Rabu, 12 Juli 2023

sejarah negara kita 1

Kamu sering mendengar kritik bahwa secara politis kita sudah merdeka 
tetapi secara ekonomis masih sering dipermainkan oleh kekuatan 
ekonomi global. Bahkan ada yang secara ekstrim mengatakan “kita sudah 
merdeka secara politik tetapi masih terjajah di bidang ekonomi.” Bahkan 
beberapa ahli mengatakan tidak hanya terjajah secara ekonomi, di Indonesia 
juga sedang berkembang imperialisme kebudayaan. 
Dapat dirasakan bahwa kemandirian dan kekuatan ekonomi Indonesia 
masih lemah karena pengaruh kekuatan asing dan utang luar negeri yang 
tidak sedikit. Sementara di dalam negeri berbagai penyelewengan di sektor 
ekonomi, termasuk korupsi masih terus berlangsung. Begitu juga kalau 
mencermati perkembangan budaya dan gaya hidup sebagian generasi muda 
kita yang lebih bangga dan menyenangi budaya Barat. Contohnya, anak￾anak dan remaja akan lebih mengenal dan bangga memakan hamburger 
dari pada jenis makanan di negeri sendiri misalnya singkong goreng. 
Mengapa hal itu terjadi? Mengapa kemandirian di bidang ekonomi 
kita masih lemah? Mengapa jati diri di bidang kebudayaan juga kurang 
kompetitif? Pertanyaan-pertanyaan itu menarik untuk kita telaah kemudian 
menemukan jawabnya. Yang jelas kemandirian ekonomi memang harus 
terus diperjuangkan, mengingat negeri kita negeri yang begitu kaya.
Negeri kita yang terkenal dengan nama Indonesia ini, juga dikenal dengan 
sebutan Kepulauan Nusantara, sementara kaum kolonial Barat menyebutnya 
dengan tanah Hindia. Sejarah telah mencatat bahwa kekayaan Kepulauan 
Nusantara begitu luar biasa. Kekayaan bumi Nusantara ini dapat diibaratkan 
sebagai “mutiara dari timur”. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau 
Kepulauan Nusantara atau Indonesia ini menarik perhatian kongsi-kongsi 
Eropa untuk menguasainya. Terjadilah perebutan hegemoni di antara mereka 
bangsa-bangsa Eropa yang ingin menjajah Indonesia. Akibat penjajahan dan 
dominasi asing telah membuat jati diri dan budaya bangsa terancam dan 
menjadi rapuh. Begitu juga kehidupan sosial ekonomi menjadi tersendat. 
Kalau kita renungkan masalah-masalah tersebut bisa jadi berakar dari 
berkembangnya kultur kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia 
sejak abad ke-17. Nah, mulai saat itu kita tidak memiliki kemandirian dan 
kedaulatan baik secara ekonomi, sosial, politik, maupun budaya. 
Realitas kehidupan semacam itu perlu mendapat perhatian dari berbagai 
pihak. Dalam kenyataan sekarang ini masih dapat dirasakan adanya pengaruh 
asing yang begitu kuat di dalam dinamika kehidupan perekonomian di 
Indonesia. Utang luar negeri yang juga semakin menumpuk, di samping 
penyakit korupsi yang belum dapat diberantas. Kalau begitu apakah 
benar kehidupan sekarang ini juga ada warisan yang berasal dari zaman 
penjajahan, zaman dominasi kolonialisme dan imperialisme di Indonesia. Bila 
mengingat prinsip sebab akibat dan konsep perubahan dan keberlanjutan, 
sangat mungkin kehidupan kita sekarang ini juga dipengaruhi oleh kultur di 
zaman penjajahan kolonialisme dan imperialisme di Indonesia. Bagaimana 
sebenarnya perkembangan dominasi kolonialisme dan imperialisme di 
Indonesia yang sudah muncul sejak abad ke-16.
Berikut ini kita akan belajar tentang perkembangan dominasi kolonialisme 
dan imperialisme di Indonesia
Peta tersebut menggambarkan proses kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke 
Nusantara. Garis: ________ menggambarkan proses perjalanan laut bangsa 
Portugis. Simbol garis: -- . -- menunjukkan proses perjalanan laut bangsa 
Spanyol, Simbol garis:- - - - menunjukkan kedatangan bangsa Inggris, dan 
garis ……. menggambarkan proses perjalanan bangsa Belanda menuju 
Indonesia.
Perlu disadari bahwa Nusantara atau Kepulauan Indonesia merupakan 
kepulauan yang sangat kaya dan indah. Bagaikan “mutiara dari timur”. 
Tanah Nusantara memiliki flora dan fauna yang beraneka ragam, hasil dan 
persediaan tambang ada di mana-mana, hasil pertanian pun melimpah, 
begitu juga hasil perkebunan seperti rempah-rempah selalu menggugah 
selera. 
Sungguh Tuhan Yang Maha Pemurah telah menganugerahkan bumi 
Nusantara yang kaya ini untuk kita semua. Oleh karena itu, sudah sepantasnya 
kita bersyukur atas nikmat-Nya, caranya, dengan menjaga dan melestarikan 
kekayaan alam semesta Nusantara ini. Kekayaan dan keindahan tanah 
Nusantara itu pula yang menarik dan menggiurkan bangsa-bangsa lain untuk 
datang. Sekarang mereka datang ke Indonesia, ada yang sebagai wisatawan, 
ada sebagai penanam modal, ada yang bekerja seperti konsultan, dan lain￾lain.
Tetapi dalam perjalanan sejarah Indonesia, kedatangan bangsa-bangsa 
asing terutama Eropa di Nusantara yang dimulai abad ke-16 ternyata telah 
membawa sebuah perubahan besar dengan terjadinya suatu masa penjajahan 
bangsa Barat.
Nah, bagaimana proses datangnya bangsa Barat ke Indonesia? Ikuti uraian 
berikut
1. Motivasi, Nafsu, dan Kejayaan Eropa
Di dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia dikenal adanya masa penjelajahan 
samudra. Aktivitas penjelajahan samudra ini dalam rangka untuk 
menemukan dunia baru. Aktivitas penemuan dunia baru ini tidak terlepas 
dari motivasi dan keinginannya untuk bertahan hidup, memenuhi kepuasan 
dan kejayaan dalam kehidupan di dunia. Bahkan bukan sekedar motivasi, 
tetapi juga muncul nafsu untuk menguasai dunia baru itu demi memperoleh 
keuntungan ekonomi dan kejayaan politik. Pertanyaannya yaitu daerah 
mana yang dimaksud dunia baru itu? Yang dimaksud dunia baru waktu itu 
pada mulanya yaitu wilayah atau bagian dunia yang ada di sebelah timur 
(timurnya Eropa). Wilayah itu sebagai penghasil bahan-bahan yang sangat 
diperlukan dan digemari oleh bangsa-bangsa Eropa. Bahan-bahan yang 
dimaksudkan itu yaitu rempah-rempah seperti cengkih, lada, dan pala.
Mengapa orang-orang Eropa sangat 
memerlukan rempah-rempah? Orang￾orang Eropa berusaha sekuat tenaga 
untuk menemukan daerah penghasil 
rempah-rempah. Rempah-rempah ini 
menjadi komoditas perdagangan 
yang sangat laris di Eropa. Rempah￾rempah ini sangat diperlukan untuk 
bumbu masak dan bahan minuman 
yang dapat menghangatkan badan. 
Hal ini sangat cocok untuk orang￾orang Eropa yang memang tinggal di 
daerah dingin. Kemudian dari mana 
asal rempah-rempah itu?
Daerah yang menghasilkan rempah￾rempah itu tidak lain yaitu Kepulauan Nusantara. Orang-orang Eropa 
menyebut daerah itu dengan nama Hindia. Bagaikan “memburu mutiara 
dari timur”, orang-orang Eropa berusaha datang ke Kepulauan Nusantara 
untuk mendapatkan rempah-rempah. Dalam konteks penemuan dunia baru 
itu kemudian tidak hanya Kepulauan Nusantara, tetapi juga daerah-daerah 
lain yang ditemukan orang-orang Eropa pada periode penjelajahan samudra, 
misalnya Amerika dan daerah-daerah lain di Asia.
Sejarah umat manusia sudah sejak lama mengglobal. Peristiwa sejarah di 
suatu tempat sangat mungkin terpengaruh atau menjadi dampak dari 
peristiwa lain yang terjadi di tempat yang cukup jauh. Perkembangan ini 
sudah sangat nyata seiring dengan semakin ramainya perdagangan melalui 
“Jalur Sutera” 
Kehidupan global semakin berkembang dengan maraknya penjelajahan samudera 
orang-orang Eropa ke dunia Timur. Begitu juga peristiwa kedatangan bangsa 
Eropa ke Indonesia, telah ikut 
meningkatkan kehidupan global. 
Peristiwa itu dilatarbelakangi 
oleh peristiwa yang jauh dari 
Indonesia, misalnya peristiwa 
jatuhnya Konstantinopel di kawasan 
Laut Tengah pada tahun 1453. 
Serangkaian penemuan di bidang
teknologi juga merupakan faktor penting untuk melakukan pelayaran bagi 
bangsa-bangsa Barat menuju Tanah Hindia/Kepulauan Nusantara. Sementara 
itu semangat dan dorongan untuk melanjutkan Perang Salib disebut-sebut 
juga ikut mendorong kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Indonesia.

2. Petualangan, Penjelajahan, dan Perebutan Hegemoni
Bertahun-tahun lamanya Laut Tengah menjadi pusat perdagangan 
internasional antara para pedagang dari Barat/Eropa dan Timur. Salah satu 
kota pusat perdagangan itu yang terkenal yaitu Konstantinopel. Banyak jenis 
komoditas di pasar Konstantinopel. Misalnya batu mulia, emas dan perak, 
gading, sutera dan juga yang penting rempah-rempah. Orang-orang Eropa 
sangat menyenangi rempah-rempah. Para pedagang dari Barat atau orang￾orang Eropa itu mendapatkan rempah-rempah lebih mudah, dan dengan 
harga lebih murah. Namun, setelah jatuhnya Konstantinopel tahun 1453 
ke tangan Turki Usmani, akses bangsa-bangsa Eropa untuk mendapatkan 
rempah-rempah yang lebih murah di kawasan Laut Tengah menjadi tertutup. 
Harga rempah-rempah di pasar Eropa melambung sangat tinggi. Oleh karena 
itu, mereka berusaha mencari dan menemukan daerah-daerah penghasil 
rempah-rempah ke timur. Mulailah periode petualangan, penjelajahan, dan 
penemuan dunia baru. Upaya tersebut mendapat dukungan dan partisipasi 
dari pemerintah dan para ilmuwan. 
Portugis dan Spanyol dapat dikatakan sebagai pelopor petualangan, 
pelayaran, dan penjelajahan samudra untuk menemukan dunia baru di 
timur. Portugis juga telah menjadi pembuka jalan menemukan Kepulauan 
Nusantara sebagai daerah penghasil rempah-rempah. Kemudian menyusul 
Spanyol, Belanda, dan Inggris. Tujuan kedatangan mereka ke wilayah timur 
tidak semata-mata mencari keuntungan melalui perdagangan rempah￾rempah, tetapi ada tujuan yang lebih luas.

Tujuan mereka terkait dengan:
• gold : memburu kekayaan dan keuntungan dengan mencari dan
mengumpulkan emas perak dan bahan tambang serta 
bahan-bahan lain yang sangat berharga.
• glory : memburu kejayaan, superioritas, dan kekuasaan. Dalam
kaitan ini mereka saling bersaing dan ingin berkuasa di dunia 
baru yang ditemukannya. 
• gospel : menjalankan tugas suci untuk menyebarkan agama. Pada
mulanya orang-orang Eropa ingin mencari dan bertemu 
Prester John yang mereka yakini sebagai Raja Kristen yang 
berkuasa di Timur.
Mengenai ketiga jenis tujuan: gold, glory, dan gospel itu sebenarnya lebih 
dimiliki dan digelorakan oleh Portugis dan Spanyol.
Berikut ini akan dijelaskan petualangan, pelayaran, dan penjelajahan samudra 
bangsa-bangsa Eropa menuju Kepulauan Nusantara.
a) Portugis
Berita keberhasilan Columbus menemukan daerah baru, membuat penasaran 
raja Portugis (sekarang terkenal dengan sebutan Portugal), Manuel l. Raja 
Portugis tersebut kemudian memanggil pelaut ulung Portugis bernama Vasco 
da Gama untuk melakukan ekspedisi 
menjelajahi samudra mencari Tanah 
Hindia yang merupakan daerah penghasil 
rempah-rempah. Vasco da Gama mencari 
jalan lain agar lebih cepat sampai di 
Tanah Hindia yang merupakan tempat 
penghasil rempah-rempah. Kebetulan 
sebelum Vasco da Gama mendapatkan 
perintah dari Raja Manuel l, sudah ada 
pelaut Portugis bernama Bartholomeus 
Diaz melakukan pelayaran mencari daerah 
Timur dengan menelusuri pantai barat 
Afrika. Pada tahun 1488 karena serangan 
ombak besar terpaksa Bartholomeus Diaz

mendarat di suatu ujung selatan Benua Afrika. Tempat tersebut kemudian 
dinamakan Tanjung Harapan. Ia tidak melanjutkan penjelajahannya tetapi 
memilih bertolak kembali ke negerinya.
Pada Juli 1497 Vasco da Gama berangkat dari pelabuhan Lisabon untuk 
memulai penjelajahan samudra. Berdasarkan pengalaman Bartholomeus Diaz 
tersebut, Vasco da Gama juga berlayar mengambil rute yang pernah dilayari 
Bartholomeus Diaz. Rombongan Vasco da Gama juga singgah di Tanjung 
Harapan. Atas petunjuk dari pelaut bangsa Moor yang telah disewanya, 
rombongan Vasco da Gama melanjutkan penjelajahan, berlayar menelusuri 
pantai timur Afrika kemudian berbelok ke kanan untuk mengarungi Lautan 
Hindia (Samudra Indonesia). Pada tahun 1498 rombongan Vasco da Gama 
mendarat sampai di Kalikut dan juga Goa di pantai barat India.
Ada pemandangan yang menarik dari kedatangan rombongan Vasco da 
Gama ini. Mereka ternyata sudah menyiapkan patok batu yang disebut batu 
padrao. Batu ini sudah diberi pahatan lambang bola dunia. Setiap daerah 
yang disinggahi kemudian dipasang patok batu padrao sebagai tanda bahwa 
daerah yang ditemukan itu milik Portugis. Bahkan di Goa, India itu Vasco da

Gama berhasil mendirikan kantor dagang yang dilengkapi dengan benteng. 
Atas kesuksesan ekspedisi ini maka oleh Raja Portugis, Vasco da Gama 
diangkat sebagai penguasa di Goa atas nama pemerintahan Portugis.
Setelah beberapa tahun tinggal di India, orang-orang Portugis menyadari 
bahwa India ternyata bukan daerah penghasil rempah-rempah. Mereka 
mendengar bahwa Malaka merupakan kota pusat perdagangan rempah￾rempah. Oleh karena itu, dipersiapkan ekspedisi lanjutan di bawah pimpinan 
Alfonso de Albuquerque. Dengan armada lengkap Alfonso de Albuquerque 
berangkat untuk menguasai Malaka. Pada tahun 1511 armada Portugis 
berhasil menguasai Malaka. Portugis mulai memasuki wilayah Kepulauan 
Nusantara yang disebutnya juga sebagai tanah India (Hindia). Orang-orang 
Portugis pun segera mengetahui tempat buruannya “mutiara dari timur” 
yakni rempah-rempah yang ada di Kepulauan Nusantara, khususnya di 
Kepulauan Maluku,
Tentang rempah-rempah di Maluku (Ternate dan Tidore), pernah digambarkan 
oleh Luis vaz de Cam sebagai berikut.
“Lihatlah, betapa laut-laut di Timur ditebari pulau-pulau tidak terkira 
banyaknya. Tengoklah Tidore lalu Ternate dengan puncak gunung yang membara 
dan meluncurkan api. Pandanglah kebun-kebun cengkeh yang panas. Dibeli 
oleh Portugis dengan darah mereka. Dan burung cenderawasih yang terbang 
tidak pernah melangit. Tetapi jatuh ke bumi ketika mereka berhenti terbang.“
Luis vaz de Cam-cs. The Lusiads (1572). Canto. 132.
(Taufik Abdullah & AB. Lapian.

Perlu ditambahkan bahwa dengan dikuasainya Malaka oleh Portugis pada 
tahun 1511 telah menyebabkan perdagangan orang-orang Islam menjadi 
terdesak. Para pedagang Islam tidak lagi bisa berdagang dan keluar masuk 
kawasan Selat Malaka, karena Portugis melakukan monopoli perdagangan. 
Akibatnya para pedagang Islam harus menyingkir ke daerah-daerah lain. 
Tindakan Portugis yang memaksakan monopoli dalam perdagangan itu 
telah mendapatkan protes dan perlawanan dari berbagai pihak. Sebagai 
contoh pada tahun 1512 terjadi perlawanan yang dilancarkan seorang 
pemuka masyarakat yang bernama Pate Kadir (Katir). Pate Kadir merupakan 
tokoh masyarakat (kepala suku) Jawa yang ada di Malaka. Ia dikenal sangat 
pemberani. Ia melancarkan perlawanan terhadap keserakahan Portugis di 
Malaka. Dalam melancarkan perlawanan ini Pate Kadir berhasil menjalin 
persekutuan dengan Hang Nadim. Perlawanan Pate Kadir terjadi di laut dan 
kemudian menyerang pusat kota. Tetapi ternyata dengan kekuatan senjata 
yang lebih unggul, pasukan Kadir dapat dipukul mundur. Kadir semakin 
terdesak dan kemudian berhasil meloloskan diri sampai ke Jepara dan 
selanjutnya ke Demak.
Tindak monopoli yang dipaksakan Portugis juga mendapatkan protes 
dari penguasa Kerajaan Demak. Demak telah menyiapkan pasukan untuk 
melancarkan perlawanan terhadap Portugis di Malaka. Pasukan Demak ini 
dipimpin oleh putera mahkota, Pati Unus. Pasukan Demak ini semakin kuat 
setelah bergabungnya Pate Kadir dan pengikutnya. Tahun 1513 pasukan 
Demak yang berkekuatan 100 perahu dan ribuan prajurit mulai melancarkan 
serangan ke Malaka. Tetapi dalam kenyataannya kekuatan pasukan Demak 
dan pengikut Kadir belum mampu menandingi kekuatan Portugis, sehingga 
serangan Demak ini juga belum berhasil. Posisi Portugis menjadi semakin 
kuat. Portugis terus berusaha memperluas monopolinya, hingga sampai ke 
Indonesia.
b) Spanyol
Sebelum orang-orang Portugis berangkat memulai penjelajahan samudra, 
sebenarnya sudah lebih dulu Spanyol berangkat berlayar mencari tempat 
penghasil rempah-rempah. Orang-orang Spanyol dan Portugis dapat 
dikatakan sebagai pelopor dalam pelayaran dan penjelajahan samudra untuk 
mencari daerah baru penghasil rempah-rempah di timur (disebut Tanah 
Hindia).

Bangsa Portugis dan bangsa Spanyol umumnya memeluk agama Katolik. 
Kedua bangsa ini sama-sama ingin menguasai wilayah lain di dunia. Hal ini 
menimbulkan keprihatinan Paus Yulius II. Untuk menjaga kerukunan antara 
keduanya, maka Paus turun tangan untuk bermusyawarah dengan kedua 
bangsa tersebut. Diadakanlah kemudian perjanjian pembagian wilayah. 
Perjanjian ini diadakan di Tordesillas, Spanyol pada tanggal 7 Juni 1494. 
Isinya yaitu wilayah di luar Eropa dibagi menjadi dua dengan garis meridian 
1550 km sebelah barat Kepulauan Tanjung Verde. Belahan sebelah timur 
dimiliki oleh Portugis dan belahan sebelah barat dikuasai Spanyol.
Orang-orang Spanyol yang diprakarsai Christhoper Columbus merencanakan 
melakukan penjelajahan samudra untuk menemukan tanah penghasil rempah￾rempah. Sebelum berangkat Columbus menghadap kepada Ratu Isabella 
untuk mendapat dukungan termasuk fasilitas. Ratu Isabella mengizinkan dan 
menyediakan tiga kapal dengan segala perlengkapannya. Ratu Isabella juga 
menyediakan hadiah apabila misi Columbus ini dapat berhasil. 
Pada tanggal 3 Agustus 1492, Columbus 
berangkat dari pelabuhaan. Atas dasar 
keyakinan bahwa bumi itu bulat maka 
Columbus dengan rombongannya bertolak 
dari Spanyol berlayar menuju ke arah barat. 
Mereka optimis berhasil menemukan daerah 
baru di timur. 
Pada tanggal 6 September tahun yang sama, 
rombongan Columbus sampai di Kepulauan 
Kanari di sebelah barat Afrika. Ekspedisi 
penjelajahan samudra dilanjutkan dengan 
mengarungi lautan luas yang dikenal 
ganas, yakni Samudra Atlantik. Salah satu 
kapalnya rusak. Para anggota ekspedisi 
hampir putus asa. Namun Columbus terus 
memberi semangat bagi anggota rombongannya. Setelah sekitar satu bulan lebih 
berlayar, tanggal 12 Oktober 1492 rombongan Columbus berhasil mendarat di 
pantai bagian dari Kepulauan Bahama. Columbus mengira bahwa ekspedisinya 
ini sudah sampai di Tanah Hindia. Oleh karena itu, penduduk yang menempati 
daerah itu disebut orang-orang Indian. Tempat mendarat Colombus ini kemudian 
dinamakan San Salvador. Berikutnya rombongan Columbus kembali berlayar dan 
mendarat di Haiti. Merasa ekspedisinya telah berhasil maka rombongan Columbus 
bertolak kembali ke Spanyol untuk melapor kepada Ratu Isabella. Tahun 1493 
Columbus sampai kembali di Spanyol. Kedatangan Columbus dan rombongan 
disambut dengan suka cita. Bahkan dengan keberhasilannya mendarat di 
Kepulauan Bahama dan Haiti, Columbus diakui sebagai penemu daerah baru 
yakni Benua Amerika.
Keberhasilan pelayaran Columbus 
menemukan daerah baru telah 
mendorong para pelaut lain untuk 
melanjutkan penjelajahan samudra ke 
timur. Apalagi Columbus belum berhasil 
menemukan daerah penghasil rempah￾rempah. Berangkatlah ekspedisi yang 
dipimpin oleh Magellan/Magalhaes atau 
umum menyebut Magelhaens. Ia juga 
disertai oleh seorang kapten kapal yang 
bernama Yan Sebastian del Cano.
Berdasarkan catatan-catatan yang telah dikumpulkan Columbus, Magellan 
mengambil jalur yang mirip dilayari Columbus. Setelah terus berlayar 
Magellan beserta rombongan mendarat di ujung selatan benua yang 
ditemukan Columbus (Amerika). Di tempat ini terdapat selat yang agak 
sempit yang kemudian dinamakan Selat Magellan. 
Melalui selat ini rombongan Magellan terus berlayar meninggalkan Samudra 
Atlantik dan memasuki Samudra Pasifik dengan lautan yang relatif tenang. 
Setelah sekitar tiga bulan lebih rombongan Magellan berlayar akhirnya pada 
Maret 1521 Magellan mendarat di Pulau Guam. Rombongan Magellan 
kemudian melanjutkan penjelajahannya dan pada April 1521 sampai di 
Kepulauan Massava atau kemudian dikenal dengan Filipina. Magellan 
menyatakan bahwa daerah yang ditemukan ini sebagai koloni Spanyol.

Tindakan Magellan dan rombongan ini mendapat tantangan penduduk 
setempat (orang-orang Mactan). Terjadilah pertempuran antara kedua belah 
pihak. Dalam pertempuran dengan penduduk setempat itu rombongan 
Magellan terdesak bahkan Magellan sendiri terbunuh. Rombongan Magellan 
yang selamat segera meninggalkan Filipina. Mereka di bawah pimpinan 
Sebastian del Cano terus berlayar ke arah selatan. Pada tahun 1521 itu 
juga mereka sampai di Kepulauan Maluku yang ternyata tempat penghasil 
rempah-rempah. Tanpa berpikir panjang kapal-kapal rombongan del Cano 
ini dipenuhi dengan rempah-rempah dan terus bertolak kembali ke Spanyol. 
Dikisahkan bahwa atas petunjuk pemandu orang Indonesia kapal-kapal 
rombongan del Cano ini berlayar menuju ke arah barat, sehingga melewati 
Tanjung Harapan di Afrika Selatan dan diteruskan menuju Spanyol. Dengan 
penjelajahan dan pelayaran yang dipimpin oleh Magellan itu maka sering 
disebut-sebut bahwa tokoh yang berhasil mengelilingi dunia pertama kali 
yaitu Magellan.
Dalam kaitannya dengan pelayaran dan penjelajahan samudra itu ada 
pendapat yang menarik dari Menzies, seorang perwira angkatan laut Inggris. 
Ia menegaskan bahwa yang berhasil mengelilingi dunia pertama kali yaitu 
armada Cina yang dipimpin oleh Panglima Zheng He (Cheng Ho) pada tahun 
1421. Zheng He yaitu seorang kasim kepercayaan Kaisar Cina dari Dinasti 
Ming yang bernama Zhu Di atau Yong Le. Dijelaskan oleh Menzies bahwa 
Zheng He bersama armadanya telah berlayar mengelilingi dunia dengan 
berpedoman pada peta-peta kuno yang dibuat oleh para kartografer Cina 
dan juga beberapa peta yang dibuat misalnya oleh Fra Mauro (orang Italia), 
dan yang dibuat oleh Piri Reis (orang Turki).
Kemudian bagaimana peran para nelayan dan pedagang 
Indonesia yang sudah berdagang sampai India, kemudian ke 
Laut Timur Tengah? Mereka pada umumnya sudah mengetahui 
berbagai jalur perdagangan dan pelayaran ke berbagai wilayah, 
sehingga wajar kalau beberapa di antara mereka juga sebagai 
pemandu pelayaran. Sungguh luar biasa nenek moyang dan para 
pendahulu kita saat itu. Mereka sudah memiliki pengetahuan 
yang luas tentang pelayaran dan penjelajahan samudra. Mereka 
dengan perahu jung-jungnya menjelajahi perairan di Nusantara, 
bahkan sampai di luar Kepulauan Nusantara. Mereka telah 
mewariskan kepada kita tentang jiwa dan nilai-nilai bahari, 
tentang kedaulatan diri untuk berdagang dan bergaul dengan 
orang-orang dari luar atas dasar persamaan.

c) Belanda
Portugis sudah memasuki wilayah Kepulauan Nusantara tahun 1511, 
kemudian sampai ke Maluku tahun 1521. Begitu juga Spanyol memasuki 
Maluku pada tahun 1521. Tetapi Belanda datang ke wilayah Nusantara baru 
pada tahun 1596. Mengapa Belanda sangat terlambat datang ke Indonesia 
bila dibandingkan dengan Portugis dan Spanyol?
Perlu diketahui bahwa pada abad ke-15 Belanda masih menjadi vasal 
Spanyol. Berbagai gerakan terus dilakukan Belanda untuk melepaskan diri 
dari Spanyol yang kemudian dikenal Revolusi 80 tahun. Revolusi ini dimulai 
tahun 1566. Di tengah-tengah revolusi, kegiatan perdagangan orang￾orang Belanda di Eropa terutama di pusat perdagangan di Lisabon, terus 
berkembang dan masih berjalan normal. Belanda juga tidak menemui 
kesulitan untuk mendapatkan rempah-rempah di Lisabon. Tetapi pada saat 
Portugis berada di bawah kekuasaan Spanyol, maka Belanda dilarang lagi 
berdagang di Lisabon. Dengan demikian, Belanda menemui kesulitan untuk 
mendapatkan rempah-rempah. Belanda harus berusaha untuk mendapatkan 
rempah-rempah seperti yang telah dilakukan Portugis dan Spanyol. Orang￾orang Belanda mulai mencari jalan untuk pergi ke dunia Timur atau Tanah 
Hindia.
Pada tahun 1594 Willem Barents mencoba berlayar untuk mencari dunia 
Timur atau Tanah Hindia melalui daerah kutub utara. Karena keyakinannya 
bahwa bumi bulat maka sekalipun dari utara atau barat akan sampai pula di 
timur. Ternyata Barents tidak begitu mengenal medan. Ia gagal melanjutkan 
penjelajahannya karena kapalnya terjepit es mengingat air di kutub utara 
sedang membeku. Barents terhenti di sebuah pulau yang disebut Novaya 
Zemlya. Ia berusaha kembali ke negerinya, tetapi ia meninggal di perjalanan.

Pada tahun 1595 pelaut Belanda yang lain yakni Cornelis de Houtman dan 
Pieter de Keyser memulai pelayaran. Kedua pelaut ini bersama armadanya 
dengan kekuatan empat kapal dan 249 awak kapal beserta 64 pucuk meriam
melakukan pelayaran dan penjelajahan samudra untuk mencari tanah Hindia 
yang dikenal sebagai penghasil rempah-rempah. Cornelis de Houtman 
mengambil jalur laut yang sudah biasa dilalui orang-orang Portugis. Tahun 
1596 Cornelis de Houtman beserta armadanya berhasil mencapai Kepulauan 
Nusantara. Ia dan rombongan mendarat di Banten. Sesuai dengan niatnya 
untuk berdagang maka kehadiran Cornelis de Houtman diterima baik oleh 
rakyat Banten. Waktu itu di Kerajaan Banten bertepatan dengan masa 
pemerintahan Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdulkadir. Dengan melihat 
pelabuhan Banten yang begitu strategis dan adanya hasil tanaman rempah￾rempah di wilayah itu Cornelis de Houtman berambisi untuk memonopoli 
perdagangan di Banten. Dengan kesombongan dan kadang-kadang berlaku 
kasar, orang-orang Belanda memaksakan kehendaknya. Hal ini tidak dapat 
diterima oleh rakyat dan penguasa Banten. Oleh karena itu, rakyat mulai 
membenci bahkan kemudian mengusir orang-orang Belanda itu. Cornelis de 
Houtman dan armadanya segera meninggalkan Banten dan akhirnya kembali 
ke Belanda.
Ekspedisi penjelajahan berikutnya segera dipersiapkan untuk kembali menuju 
Kepulauan Nusantara. Rombongan kali ini dipimpin antara lain oleh Jacob 
van Heemskerck. Tahun 1598 van Heemskerck dengan armadanya sampai 
di Nusantara dan juga mendarat di Banten. Heemskerck dan anggotanya 
bersikap hati-hati dan lebih bersahabat. Rakyat Banten pun kembali 
menerima kedatangan orang-orang Belanda. Belanda mulai melakukan 
aktivitas perdagangan. Kapal-kapal mereka mulai berlayar ke timur dan 
singgah di Tuban. Dari Tuban pelayaran dilanjutkan ke timur menuju 
Maluku. Di bawah pimpinan Jacob van Neck mereka sampai di Maluku pada 
tahun 1599. Kedatangan orang-orang Belanda ini juga diterima baik oleh 
rakyat Maluku. Kebetulan waktu itu Maluku sedang konflik dengan orang￾orang Portugis. Oleh karena itu, kedatangan Belanda ini diterima dengan 
baik dan diberi kebebasan untuk berdagang. Pelayaran dan perdagangan 
orang-orang Belanda di Maluku ini mendapatkan keuntungan yang berlipat. 
Dengan demikian semakin banyak kapal-kapal dagang yang berlayar menuju 
Maluku.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa rakyat wilayah Nusantara/Indonesia 
senantiasa mau bersahabat dan berdagang dengan siapa saja atas dasar 
persamaan. Tetapi kalau para pedagang asing itu ingin memaksakan kehendak

dan melakukan monopoli perdagangan di wilayah Nusantara tentu harus 
ditolak karena tidak sesuai dengan martabat rakyat Indonesia yang ingin 
berdaulat dalam hidup dan kehidupan termasuk dalam kegiatan perdagangan.
d) Inggris
Perlu dipahami bahwa setelah Portugis berhasil sampai di kepulauan Maluku, 
aktif mengadakan perdagangan dengan penduduk setempat. Kedatangan 
Portugis ini telah mendorong perdagangan rempah-rempah semakin meluas. 
Jalur perdagangan antara timur (Indonesia, Maluku) dengan Eropa semakin 
berkembang. Bahkan Lisabon dalam waktu singkat berkembang menjadi 
pusat perdagangan rempah-rempah di Eropa Barat. 
Dalam kaitan ini Inggris dapat mengambil keuntungan besar dalam 
perdagangan rempah-rempah. Inggris dapat memperoleh rempah-rempah 
secara bebas dan relatif murah di Lisabon. Rempah-rempah itu kemudian 
diperdagangkan di daerah-daerah Eropa Barat bahkan sampai di Eropa 
Utara. Tetapi karena Inggris terlibat konflik dengan Portugis dan Spanyol 
apalagi setelah Portugis berada di bawah kekuasaan Spanyol, maka Inggris 
pun mulai tidak bebas untuk mendapatkan rempah-rempah di Lisabon.
Oleh karena itu, Inggris berusaha mencari sendiri negeri penghasil rempah￾rempah. Banyak anggota masyarakat, para pelaut dan pedagang yang tidak 
melibatkan diri dalam perang justru mengadakan pelayaran dan penjelajahan 
samudra untuk menemukan daerah penghasil rempah-rempah. Dalam 
pelayarannya ke dunia Timur untuk mencari daerah penghasil rempah￾rempah, Inggris pertama kali sampai ke India pada tahun 1498 dengan 
mengikuti rombongan Portugis yang dipimpin oleh Vasco da Gama. Untuk 
memperkuat daya saing para pedagang Inggris perdagangannya di dunia 
timur ini kemudian dibentuk kongsi dagang yang diberi nama East India 
Company (EIC) pada tahun 1600.
Orang-orang Inggris juga sampai ke Indonesia 
pertama kali tahun 1579 dipimpin oleh 
Francis Drake dan Thomas Cavendish. Inggris 
juga membentuk beberapa kantor dagang 
di Indonesia pada tahun 1604, misalnya di 
Ambon, Makasar, Jepara, Jayakarta.

Kalau kamu tinggal di Jakarta tentu sudah mengenal gedung Museum 
Fatahilah atau gedung Museum Sejarah Jakarta. Apakah kamu pernah 
berkunjung ke gedung museum tersebut? Apa saja koleksinya? Tahun 
berapa gedung itu dibangun? Bagi Kamu yang tinggal di luar Jakarta perlu 
diketahui bahwa di Jakarta terdapat sebuah bangunan museum yang sangat 
megah yang dikenal dengan Museum Fatahilah atau Museum Sejarah

Jakarta. Gedung yang sekarang terletak di Jalan Taman Fatahilah mulai 
dibangun tahun 1620 atas perintah Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen 
(J. P. Coen). Gedung ini kemudian dikenal sebagai Stadhuis atau Balai Kota, 
merupakan salah satu bangunan Belanda di Batavia yang digunakan sebagai 
kantor Gubernur Jenderal VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). 
Gedung itulah yang dijadikan sentral untuk membangun kemaharajaan 
VOC, tempat awal membangun keabsolutan dan kesewenang-wenangan 
bertindak kejam serta melakukan monopoli perdagangan serta intervensi 
politik VOC di Nusantara. Hal ini dilanjutkan pada masa pemerintahan Hindia 
Belanda setelah VOC dibubarkan.

1. Lahirnya VOC
Seperti telah dijelaskan di muka bahwa tujuan kedatangan orang-orang 
Eropa ke dunia timur antara lain untuk mendapatkan keuntungan dan 
kekayaan. Tujuan ini dapat dicapai setelah mereka menemukan rempah￾rempah di Kepulauan Nusantara. Berita tentang keuntungan yang melimpah 
berkat perdagangan rempah-rempah itu menyebar luas. Dengan demikian, 
semakin banyak orang-orang Eropa yang tertarik pergi ke Nusantara. Mereka 
saling berinteraksi dan bersaing meraup keuntungan dalam berdagang. Para 
pedagang atau perusahaan dagang Portugis bersaing dengan para pedagang 
Belanda, bersaing dengan para pedagang Spanyol, bersaing dengan para 
pedagang Inggris, dan seterusnya. Bahkan tidak hanya antarbangsa, 
antarkelompok atau kongsi dagang, dalam satu bangsapun mereka saling 
bersaing. Oleh karena itu, untuk memperkuat posisinya di dunia timur masing￾masing kongsi dagang dari suatu negara membentuk persekutuan dagang 
bersama. Sebagai contoh seperti pada tahun 1600 Inggris membentuk 
sebuah kongsi dagang yang diberi nama East India Company (EIC). Kongsi 
dagang EIC ini kantor pusatnya berkedudukan di Kalkuta, India. Dari Kalkuta 
ini kekuatan dan setiap kebijakan Inggris di dunia timur, dikendalikan. Pada 
tahun 1811, kedudukan Inggris begitu kuat dan meluas bahkan pernah 
berhasil menempatkan kekuasaannya di Nusantara. 
Persaingan yang cukup keras juga terjadi antarperusahaan dagang orang￾orang Belanda. Masing-masing ingin memenangkan kelompoknya agar 
mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Kenyataan ini mendapat

perhatian khusus dari pihak pemerintah dan parlemen Belanda, sebab 
persaingan antarkongsi Belanda juga akan merugikan Kerajaan Belanda 
sendiri. Terkait dengan itu, maka pemerintah dan Parlemen Belanda (Staten 
Generaal) pada 1598 mengusulkan agar antarkongsi dagang Belanda 
bekerja sama membentuk sebuah perusahaan dagang yang lebih besar. 
Usulan ini baru terealisasi empat tahun berikutnya, yakni pada 20 Maret 1602 
secara resmi dibentuklah persekutuan kongsi dagang Belanda di Nusantara 
sebagai hasil fusi antarkongsi yang telah ada. Kongsi dagang Belanda ini 
diberi nama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau dapat disebut 
dengan “Perserikatan Maskapai Perdagangan Hindia Timur/Kongsi Dagang 
India Timur”. VOC secara resmi didirikan di Amsterdam. Adapun tujuan 
dibentuknya VOC ini antara lain untuk: (1) menghindari persaingan yang 
tidak sehat antara sesama kelompok/kongsi pedagang Belanda yang telah 
ada, (2) memperkuat kedudukan para pedagang Belanda dalam menghadapi 
persaingan dengan para pedagang negara lain, (3) sebagai kekuatan revolusi 
(dalam perang 80 tahun), sehingga VOC memiliki tentara.
VOC dipimpin oleh sebuah dewan yang beranggotakan 17 orang direktur, 
sehingga disebut “Dewan Tujuh Belas” yang juga disebut dengan Heeren 
XVII. Heeren XVII ini maksudnya para tuan, misalnya Lord, Duke, Count, dari
17 provinsi yang ada di Belanda sebagai pemilik saham VOC. Mereka terdiri 
atas delapan perwakilan kota pelabuhan dagang di Belanda. Markas Besar 
Dewan ini berkedudukan di Amsterdam. Dalam menjalankan tugas, VOC ini 
memiliki beberapa kewenangan dan hak-hak antara lain:
1) melakukan monopoli perdagangan di wilayah antara Tanjung Harapan
sampai dengan Selat Magelhaens, termasuk Kepulauan Nusantara;
2) membentuk angkatan perang sendiri;
3) melakukan peperangan;
4) mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat;
5) mencetak dan mengeluarkan mata uang sendiri;
6) mengangkat pegawai sendiri; dan
7) memerintah di negeri jajahan;
Kewenangan di atas sering disebut dengan hak oktroi. Sebagai sebuah kongsi 
dagang, dengan kewenangan dan hak-hak di atas, menunjukkan bahwa VOC 
memiliki hak-hak istimewa dan kewenangan yang sangat luas. VOC sebagai 
kongsi dagang bagaikan negara dalam negara. Dengan memiliki hak untuk 
membentuk angkatan perang sendiri dan boleh melakukan peperangan, 
maka VOC cenderung ekspansif. VOC terus berusaha memperluas daerah￾daerah di Nusantara sebagai wilayah kekuasaan dan monopolinya. VOC juga

memandang bangsa-bangsa Eropa yang lain sebagai musuhnya. Mengawali 
ekspansinya tahun 1605 VOC telah berhasil mengusir Portugis dari Ambon. 
Benteng pertahanan Portugis di Ambon dapat diduduki tentara VOC. 
Benteng itu kemudian oleh VOC diberi nama Benteng Nieuw Victoria.
Pada awal pertumbuhannya sampai tahun 1610, “Dewan Tujuh Belas” secara 
langsung harus menjalankan tugas-tugas dan menyelesaikan berbagai urusan 
VOC, termasuk urusan ekspansi untuk perluasan wilayah monopoli. Dapat 
kamu bayangkan “Dewan Tujuh Belas” yang berkedudukan di Amsterdam di 
Negeri Belanda harus mengurus wilayah yang ada di Kepulauan Nusantara. 
Sudah barang tentu “Dewan Tujuh Belas” tidak dapat menjalankan 
tugas sehari-hari secara cepat dan efektif. Sementara itu, persaingan dan 
permusuhan dengan bangsa-bangsa lain juga semakin keras. Berangkat dari 
permasalahan ini maka pada 1610 secara kelembagaan diciptakan jabatan 
baru dalam organisasi VOC, yakni jabatan gubernur jenderal. Gubernur 
jenderal merupakan jabatan tertinggi yang bertugas mengendalikan 
kekuasaan di negeri jajahan VOC. Di samping itu juga dibentuk “Dewan 
Hindia” (Raad van Indie). Tugas “Dewan Hindia” ini yaitu memberi nasihat 
dan mengawasi kepemimpinan gubernur jenderal. 
Gubernur jenderal VOC yang pertama yaitu Pieter Both (1602-1614). 
Sebagai gubernur jenderal yang pertama, Pieter Both sudah tentu harus 
mulai menata organisasi kongsi dagang ini sebaik-baiknya agar harapan 
mendapatkan monopoli perdagangan di Hindia Timur dapat diwujudkan. 
Pieter Both pertama kali mendirikan pos perdagangan di Banten pada tahun 
1610. Pada tahun itu juga Pieter Both meninggalkan Banten dan berhasil 
memasuki Jayakarta. Penguasa Jayakarta waktu itu, Pangeran Wijayakrama 
sangat terbuka dalam hal perdagangan. 
Pedagang dari mana saja bebas berdagang, 
di samping dari Nusantara juga dari luar 
seperti dari Portugis, Inggris, Gujarat/India, 
Persia, Arab, termasuk juga Belanda. Dengan 
demikian, Jayakarta dengan pelabuhannya 
Sunda Kelapa menjadi kota dagang yang sangat 
ramai. Kemudian pada tahun 1611 Pieter 
Both berhasil mengadakan perjanjian dengan 
penguasa Jayakarta, guna pembelian sebidang 
tanah seluas 50x50 vadem (satu vadem sama 
dengan 182 cm) yang berlokasi di sebelah timur 
Muara Ciliwung. Tanah inilah yang menjadi cikal
bakal hunian dan daerah kekuasaan VOC di tanah Jawa dan menjadi cikal 
bakal Kota Batavia. Di lokasi ini kemudian didirikan bangunan batu berlantai 
dua sebagai tempat tinggal, kantor dan sekaligus gudang. Pieter Both juga 
berhasil mengadakan perjanjian dan menanamkan pengaruhnya di Maluku 
dan berhasil mendirikan pos perdagangan di Ambon.
2. Keserakahan dan Kekejaman VOC
Pada tahun 1614 Pieter Both digantikan oleh Gubernur Jenderal Gerard Reynst 
(1614-1615). Baru berjalan satu tahun ia digantikan gubernur jenderal yang 
baru yakni Laurens Reael (1615-1619). Pada masa jabatan Laurens Reael ini 
berhasil dibangun Gedung Mauritius yang berlokasi di tepi Sungai Ciliwung.
Orang-orang Belanda yang tergabung dalam VOC itu memang cerdik. Pada 
awalnya mereka bersikap baik dengan rakyat. Hubungan dagang dengan 
kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara juga berjalan lancar. Bahkan, 
sewaktu orang-orang Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Pieter 
Both diizinkan oleh Pangeran Wijayakrama untuk membangun tempat 
tinggal dan loji di Jayakarta. Sikap baik rakyat dan para penguasa setempat 
ini dimanfaatkan oleh VOC untuk semakin memperkuat kedudukannya di 
Nusantara. Lama kelamaan orang-orang Belanda mulai menampakkan sikap 
congkak, dan sombong. 
Setelah merasakan nikmatnya tinggal di Nusantara/Indonesia dan menikmati 
keuntungan yang melimpah dalam berdagang, Belanda semakin bernafsu 
ingin menguasai Indonesia. Untuk memenuhi nafsu serakahnya itu, VOC 
sering melakukan tindakan pemaksaan dan kekerasan terhadap kaum 
pribumi. Hal ini telah menimbulkan kebencian rakyat dan para penguasa 
lokal. Rakyat dan para penguasa lokal tidak mau diperlakukan semena-mena 
oleh VOC. Oleh karena itu, tidak jarang menimbulkan perlawanan dari rakyat 
dan penguasa lokal. Sebagai contoh pada tahun 1618 Sultan Banten yang 
dibantu tentara Inggris di bawah Laksamana Thomas Dale berhasil mengusir 
VOC dari Jayakarta. Orang-orang VOC kemudian menyingkir ke Maluku. 
Setelah VOC hengkang dari Jayakarta, pasukan Banten pada awal tahun 
1619 juga mengusir Inggris dari Jayakarta. Dengan demikian, Jayakarta 
sepenuhnya dapat dikendalikan oleh Kesultanan Banten.
Pada tahun 1619 Gubernur Jenderal 
VOC Laurens Reael digantikan oleh 
Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen 
(J.P. Coen). J.P. Coen dikenal gubernur 
jenderal yang berani dan kejam serta 
ambisius. Oleh karena itu, merasa 
bangsanya dipermalukan pasukan 
Banten dan Inggris di Jayakarta, maka 
J.P. Coen mempersiapkan pasukan 
untuk menyerang Jayakarta. Armada 
angkatan laut dengan 18 kapal 
perangnya mengepung Jayakarta. 
Jayakarta akhirnya dapat diduduki 
VOC. Kota Jayakarta kemudian 
dibumihanguskan oleh J.P. Coen pada 
tanggal 30 Mei 1619. Di atas puing￾puing kota Jayakarta itulah dibangun 
kota baru bergaya kota dan bangunan 
di Belanda. Kota baru itu dinamakan 
Batavia sebagai pengganti nama 
Jayakarta.
J.P. Coen yaitu gubernur jenderal yang ambisius untuk menguasai 
berbagai wilayah di Indonesia. Ia juga dapat dikatakan sebagai peletak dasar 
penjajahan VOC di Indonesia. Disertai dengan sikap congkak dan tindakan 
yang kejam, J.P. Coen berusaha meningkatkan eksploitasi kekayaan bumi 
Nusantara untuk keuntungan pribadi dan negerinya. Cara-cara VOC untuk 
meningkatkan eksploitasi kekayaan alam dilakukan antara lain dengan:
1) Merebut pasaran produksi pertanian, biasanya dengan memaksakan
monopoli, seperti monopoli rempah-rempah di Maluku; 
2). Tidak ikut aktif secara langsung dalam kegiatan produksi hasil pertanian. 
Cara memproduksi hasil pertanian dibiarkan berada di tangan kaum 
pribumi, tetapi yang penting VOC dapat memperoleh hasil-hasil 
pertanian itu dengan mudah, sekalipun harus dengan paksaan; 
3). VOC selalu mengincar dan berusaha keras untuk menduduki tempat￾tempat yang memiliki posisi strategis. Cara-cara yang dilakukan, di 
samping dengan kekerasan dan peperangan, juga melakukan politik 
adu domba;

 4). VOC melakukan campur tangan (intervensi) terhadap kerajaan￾kerajaan di Nusantara, terutama menyangkut usaha pengumpulan 
hasil bumi dan pelaksanaan monopoli, serta melakukan intervensi 
dalam pergantian penguasa lokal; 
5). Lembaga-lembaga pemerintahan tradisional/kerajaan masih tetap 
dipertahankan dengan harapan bisa dipengaruhi/dapat diperalat, 
kalau tidak mau baru diperangi;
Cara-cara seperti monopoli, intervensi dan politik adu domba itu kemudian 
menjadi kebiasaan VOC dan pemerintah kolonial Belanda dalam melestarikan 
penjajahannya di Indonesia.
Setelah berhasil membangun Batavia dan meletakkan dasar-dasar penjajahan 
di Nusantara, pada tahun 1623 J.P. Coen kembali ke negeri Belanda. Ia 
menyerahkan kekuasaannya kepada Pieter de Carpentier. Tetapi oleh 
pimpinan VOC di Belanda, J.P. Coen diminta kembali ke Batavia. Akhirnya 
pada tahun 1627 J.P. Coen tiba di Batavia dan diangkat kembali sebagai 
Gubernur Jenderal untuk jabatan yang kedua kalinya. J.P. Coen semakin 
congkak dan kejam dalam menjalankan kekuasaannya di Nusantara. Berbagai 
bentuk tindakan kekerasan, tipu muslihat dan politik devide et impera terus 
dilakukan. Rakyat pun semakin menderita. Pada masa jabatan yang kedua 
J.P. Coen ini pula terjadi serangan tentara Mataram di bawah Sultan Agung 
ke Batavia.
Batavia senantiasa memiliki posisi yang strategis. Batavia dijadikan markas 
besar VOC. Semua kebijakan dan tindakan VOC di kawasan Asia dikendalikan 
dari markas besar VOC di Batavia. Selain itu Batavia juga terletak pada 
persimpangan atau menjadi penghubung jalur perdagangan internasional. 
Batavia menjadi pusat perdagangan dan jalur yang menghubungkan 
perdagangan di Nusantara bagian barat dengan Malaka, India, kemudian 
juga menghubungkan dengan Nusantara bagian timur. Apalagi Nusantara 
bagian timur ini menjadi daerah penghasil rempah-rempah yang utama, 
maka posisi Batavia yang berada di tengah-tengah itu menjadi semakin 
strategis dalam perdagangan rempah-rempah.

VOC semakin bernafsu dan menunjukkan keserakahannya untuk menguasai 
wilayah Nusantara yang kaya rempah-rempah ini. Tindakan intervensi 
politik terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara dan pemaksaan monopoli 
perdagangan terus dilakukan. Politik devide et impera dan berbagai tipu 
daya juga dilaksanakan demi mendapatkan kekuasaan dan keuntungan 
sebesar-besarnya. Sebagai contoh, Mataram Islam yang merupakan kerajaan 
kuat di Jawa akhirnya juga dapat dikendalikan secara penuh oleh VOC. 
Hal ini terjadi setelah dengan tipu muslihat VOC, Raja Pakubuwana II yang 
sedang dalam keadaan sakit keras dipaksa untuk menandatangani naskah 
penyerahan kekuasaan Kerajaan Mataram Islam kepada VOC pada tahun 
1749. Tidak hanya kerajaan-kerajaan di Jawa, kerajaan-kerajaan di luar Jawa 
berusaha ditaklukkan.
Untuk memperkokoh kedudukannya di Indonesia bagian barat dan 
memperluas pengaruhnya di Sumatera, VOC berhasil menguasai Malaka. Hal 
ini terjadi setelah VOC mengalahkan saingannya, yakni Portugis pada tahun 
1641. Berikutnya VOC berusaha meluaskan pengaruhnya ke Aceh. Kerajaan 
Makassar di bawah Sultan 
Hasanuddin yang tersohor 
di Indonesia bagian timur 
juga berhasil dikalahkan 
setelah terjadi Perjanjian 
Bongaya tahun 1667. Dari 
Makasar VOC juga berhasil 
memaksakan kontrak dan 
monopoli perdagangan dengan 
Raja Sulaiman dari Kalimantan 
Selatan. Pelaksanaan monopoli 
di kawasan ini dilaksanakan 
melalui Pelayaran Hongi.
Pengaruh dan kekuasaan VOC semakin meluas. Untuk mempertahankan 
kebijakan monopoli di setiap daerah yang dipandang strategis, maka 
armada VOC diperkuat. Benteng-benteng pertahanan dibangun. Sebagai 
contoh Benteng Doorstede dibangun di Saparua, Benteng Nasau di Banda, 
di Ambon sudah ada Benteng Nieuw Victoria, Benteng Oranye di Ternate, 
dan Benteng Rotterdam di Makasar. 
VOC juga memperluas pengaruhnya sampai ke Irian/Papua yang dikenal 
sebagai wilayah yang masih tertutup dengan hutan belantara yang begitu 
luas. Penduduknya juga masih bersahaja dan primitif. Orang Belanda yang 
pertama kali sampai ke Irian yaitu Willem Janz. Bersama armadanya 
rombongan Willem Janz menaiki Kapal Duyke dan berhasil memasuki tanah 
Papua pada tahun 1606. Willem Janz ingin mencari kebun tanaman rempah￾rempah. Tahun 1616-1617 Le Maire dan William Schouten mengadakan 
survei di daerah pantai timur laut Irian dan menemukan Kepulauan Admiralty 
bahkan sampai ke New Ireland. Pada waktu itu orang-orang Belanda sangat 
memerlukan bantuan budak, maka banyak diambil dari orang-orang Irian. 
Pengaruh VOC di Irian semakin kuat. Bahkan pada tahun 1667, Pulau￾pulau yang termasuk wilayah Irian yang semula berada di bawah kekuasaan 
Kerajaan Tidore sudah berpindah tangan menjadi daerah kekuasaan VOC. 
Dengan demikian, daerah pengaruh dan kekuasaan VOC sudah meluas 
di seluruh Nusantara. Penguasaan atas Papua/Irian oleh VOC ini terutama 
terjadi setelah melihat Inggris mulai menanamkan pengaruhnya di beberapa 
tempat di Indonesia, seperti penguasaan atas Bengkulu.
Memahami uraian di atas, jelas bahwa VOC yang merupakan kongsi dagang 
itu berangkat dari usaha mencari untung kemudian dapat menanamkan 
pengaruh serta kekuasaannya di Nusantara. Fenomena ini juga terjadi pada 
kongsi dagang milik bangsa Eropa yang lain. Artinya, untuk memperkokoh 
tindakan monopoli dan memperbesar keuntungannya orang-orang Eropa itu 
harus memperbanyak daerah yang dikuasai (daerah koloninya). Tidak hanya 
daerah yang dikuasai secara ekonomi, kongsi dagang itu juga ingin 
mengendalikan secara politik atau memerintah daerah tersebut. Bercokollah 
kemudian kekuatan kolonialisme dan imperialisme.
Dalam praktiknya, antara kolonialisme dan imperialisme sulit untuk 
dipisahkan. Kolonialisme merupakan bentuk pengekalan imperialisme 
(Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012). Muara kedua paham itu yaitu 
penjajahan dari negara yang satu terhadap daerah atau bangsa yang lain. 
Sistem inilah yang umumnya diterapkan bangsa-bangsa Eropa yang datang 
di Kepulauan Nusantara, baik Portugis, Spanyol, Inggris maupun Belanda. 
Sistem ekonomi dan praktik penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Eropa 
itu tidak dilepaskan dari sistem ekonomi yang berkembang di Eropa yakni 
sistem ekonomi merkantilisme, sejak abad ke-16. Merkantilisme merupakan 
sistem ekonomi yang menekan peraturan dan praktik ekonomi pemerintahan 
suatu negara dengan tujuan memperluas kekuasaan dengan mengorbankan 
kekuatan nasional negara saingannya. Merkantilisme ini diarahkan untuk 
menambah cadangan moneter dengan melakukan ekspansi ke negara lain. 
Paham inilah yang mendorong terjadinya kolonialisme. Oleh karena itu, ciri 
yang menonjol dalam sistem ekonomi merkantilisme yakni menciptakan 
koloni di luar negaranya sendiri dan melakukan monopoli perdagangan. Oleh 
karena itu, tidak mengherankan bahwa kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke 
dunia Timur telah melahirkan koloni-koloni di berbagai wilayah.
Semua itu dalam rangka mencapai kejayaan bangsanya atas masyarakat atau 
bangsa yang lain. Pihak atau bangsa lain dipandang sebagai musuh dan 
harus disingkirkan. Sifat keangkuhan dan keserakahan ini telah menghiasi 
perilaku kaum penjajah. Inilah sifat-sifat yang sangat dibenci dan tidak 
diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Demikian halnya dengan VOC, tidak sekedar menjadi sebuah kongsi dagang 
yang berusaha untuk mencari untung saja, tetapi juga ingin menanamkan 
kekuasaannya di Nusantara. VOC dengan hak-hak dan kewenangan yang 
diberikan pemerintah dan parlemen Belanda telah melakukan penjajahan 
dan penguatan akar kolonialisme dan imperialisme. VOC telah melakukan 
praktik penjajahan di Nusantara. Melalui cara-cara pemaksaan monopoli 
perdagangan, politik memecah belah serta tipu muslihat yang sering disertai 
tindak peperangan dan kekerasan, semakin memperluas daerah kekuasaan 
dan memperkokoh “kemaharajaan” VOC. Sekali lagi tindak keserakahan 
dan kekerasan yang dilakukan oleh VOC itu menunjukkan mereka tidak mau 
bersyukur atas karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, 
wajar kalau timbul perlawanan dari berbagai daerah di Nusantara, misalnya 
dari Aceh, Banten, Demak, Mataram, Banjar, Makassar, dan Maluku.
3. VOC Gulung Tikar
Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18, VOC mengalami puncak kejayaan. 
Penguasa dan kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara umumnya berhasil 
dikuasai. Kerajaan-kerajaan itu sudah menjadi bawahan dan pelayan 
kepentingan VOC. Jalur perdagangan yang dikendalikan VOC menyebar luas 
membentang dari Amsterdam, Tanjung Harapan, India sampai Irian/Papua. 
Keuntungan perdagangan rempah-rempah juga melimpah. 
Namun di balik itu ada persoalan-persoalan yang bermunculan. Semakin 
banyak daerah yang dikuasai ternyata juga membuat masalah pengelolaan 
semakin kompleks. Semakin luas daerahnya, pengawasan juga semakin 
sulit. Kota Batavia semakin ramai dan semakin padat. Orang-orang timur 
asing seperti Cina dan Jepang diizinkan tinggal di Batavia. Sebagai pusat 
pemerintahan VOC, Batavia juga semakin dibanjiri penduduk, dari luar 
Batavia sehingga tidak jarang menimbulkan masalah-masalah sosial. 
Pada tahun 1749 terjadi perubahan yang mendasar dalam lembaga 
kepengurusan VOC. Pada tanggal 27 Maret 1749, Parlemen Belanda 
mengeluarkan UU yang menetapkan bahwa Raja Willem IV sebagai penguasa 
tertinggi VOC. Dengan demikian, anggota pengurus “Dewan Tujuh Belas” 
yang semula dipilih oleh parlemen dan provinsi pemegang saham (kecuali 
Provinsi Holland), kemudian sepenuhnya menjadi tanggung jawab Raja. Raja 
juga menjadi panglima tertinggi tentara VOC. Dengan demikian, VOC berada 
di bawah kekuasaan raja. Pengurus VOC mulai akrab dengan pemerintah 
Belanda. Kepentingan pemegang saham menjadi terabaikan. Pengurus 
tidak lagi berpikir memajukan usaha perdagangannya, tetapi berpikir untuk 
memperkaya diri. VOC sebagai kongsi dagang swasta keuntungannya 
semakin merosot. Bahkan tercatat pada tahun 1673 VOC tidak mampu 
membayar dividen. Kas VOC juga merosot tajam karena serangkaian perang 
yang telah dilakukan VOC dan beban hutang pun tidak terelakkan. 
Sementara itu para pejabat VOC juga mulai menunjukkan sikap dan perilaku 
gila hormat yang cenderung feodalis. Pada tanggal 24 Juni 1719 Gubernur 
Jenderal Henricus Zwaardecroon mengeluarkan ordonansi untuk mengatur 
secara rinci cara penghormatan terhadap gubernur jenderal, kepada Dewan 
Hindia beserta isteri dan anak-anaknya. Misalnya, semua orang harus turun 
dari kendaraan bila berpapasan dengan para pejabat tinggi tersebut, warga 
keturunan Eropa harus menundukkan kepala, dan warga bukan orang 
Eropa harus menyembah. Kemudian Gubernur Jenderal Jacob Mosel juga
mengeluarkan ordonansi baru tahun 1754. Ordonansi ini mengatur kendaraan 
kebesaran. Misalnya kereta ditarik enam ekor kuda, hiasan berwarna emas 
dan kusir orang Eropa untuk kereta kebesaran gubernur jenderal, sedang 
untuk anggota dewan hindia, kuda yang menarik kereta hanya empat ekor 
dan hiasannya warna perak. Nampaknya para pejabat VOC sudah gila hormat 
dan ingin berfoya-foya. Sudah barang tentu ini juga membebani anggaran. 
Posisi jabatan dan berbagai simbol kehormatan tersebut tidaklah lengkap 
tanpa hadiah dan upeti. Sistem upeti ini ternyata juga terjadi di kalangan 
para pejabat, dari pejabat di bawahnya kepada pejabat yang lebih tinggi. 
Hal ini semua terkait dengan mekanisme pergantian jabatan di tubuh 
organisasi VOC. Semua bermuatan korupsi. Gubernur Jenderal Van Hoorn 
konon menumpuk harta sampai 10 juta gulden ketika kembali ke Belanda 
pada tahun 1709, sementara gaji resminya hanya sekitar 700 gulden 
sebulan. Gubernur Maluku berhasil mengumpulkan kekayaan 20-30 ribu 
gulden dalam waktu 4-5 tahun, dengan gaji sebesar 150 gulden per bulan. 
Untuk menjadi karyawan VOC juga harus “menyogok”. Pengurus VOC di 
Belanda memasang tarif sebesar f 3.500,- bagi yang ingin menjadi pegawai 
onderkoopman (pada hal gaji resmi per bulan sebagai onderkoopman hanya 
f.40,- perbulan), untuk menjadi kapitein harus menyogok f.2000,- dan untuk
menjadi kopral harus membayar 120 gulden begitu seterusnya yang semua 
telah merugikan uang lembaga (baca Parakitri Simbolon, 2007) . Demikianlah 
para pejabat VOC terjangkit penyakit korupsi karena ingin kehormatan dan 
kemewahan sesaat. Beban utang VOC menjadi semakin berat, sehingga 
akhirnya VOC sendiri bangkrut dan gulung tikar. Bahkan ada sebuah 
ungkapan, VOC kepanjangan dari Vergaan Onder Corruptie (tenggelam 
karena korupsi) (R.Z. Leirissa. “Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)” 
dalam Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).
Dalam kondisi bangkrut VOC tidak dapat berbuat banyak. Menurut penilaian 
pemerintah keberadaan VOC sebagai kongsi dagang yang menjalankan 
roda pemerintahan di negeri jajahan tidak dapat dilanjutkan lagi. VOC telah 
bangkrut. Oleh karena itu, pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dinyatakan 
bubar. Semua utang piutang dan segala milik VOC diambil alih oleh 
pemerintah Belanda. Pada waktu itu sebagai Gubernur Jenderal VOC yang 
terakhir Van Overstraten masih harus bertanggung jawab tentang keadaan 
di Hindia Belanda. Ia bertugas mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.

Tentu kamu sudah akrab dengan gambar-gambar di atas. Gambar itu 
yaitu gambar tanaman kopi, tembakau, dan tebu. Ketiga jenis tanaman itu 
sekarang begitu populer di masyarakat Indonesia. Tembakau yaitu bahan 
utama untuk rokok. Sementara kopi kini menjadi minuman yang sangat 
terkenal di kalangan rakyat Indonesia. Begitu juga tebu sebagai bahan 
pembuat gula pasir. Sejak zaman kolonial di Indonesia telah berkembang 
penanaman kopi, tembakau, dan tebu. Ketiga jenis tanaman telah menjadi 
bahan ekspor.
Ketiga jenis tanaman tersebut secara historis memiliki arti yang sangat 
penting, ditambah dengan tanaman-tanaman yang lain seperti nila dan 
karet. Tanaman tersebut telah menjadi tanaman pokok pada masa kolonial 
di Indonesia, terutama pada era Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Pada masa 
itu, Indonesia berada di bawah penjajahan pemerintah kolonial Belanda. 
Kebijakan Tanam Paksa ini telah menyengsarakan rakyat Indonesia. Nah, 
bagaimana kehidupan rakyat pada masa penjajahan pemerintah kolonial? 
Berikut ini uraian tentang “Menganalisis Penjajahan Pemerintah Hindia 
Belanda”.
1. Masa Pemerintahan Republik Bataaf
Pada tahun 1795 terjadi perubahan di Belanda. Munculah kelompok yang 
menamakan dirinya kaum patriot. Kaum ini terpengaruh oleh semboyan 
Revolusi Prancis: liberte (kemerdekaan), egalite (persamaan), dan fraternite 
(persaudaraan). Berdasarkan ide dan paham yang digelorakan dalam Revolusi 
Prancis itu, maka kaum patriot menghendaki perlunya negara kesatuan. 
Bertepatan dengan keinginan itu pada awal tahun 1795 pasukan Prancis 
menyerbu Belanda. Raja Willem V melarikan diri ke Inggris. Belanda dikuasai 
Perancis. Dibentuklah pemerintahan baru sebagai bagian dari Prancis yang 
dinamakan Republik Bataaf (1795-1811). Republik Bataaf dipimpin oleh 
Louis Napoleon yang merupakan saudara dari Napoleon Bonaparte. 
Sementara itu, Raja Willem van Oranye (Raja Willem V) oleh pemerintah 
Inggris ditempatkan di Kota Kew. Raja Willem V kemudian mengeluarkan 
perintah yang terkenal dengan “Surat-surat Kew”. Isi perintah itu yaitu 
agar para penguasa di negeri jajahan Belanda menyerahkan wilayahnya 
kepada Inggris bukan kepada Prancis. Dengan “Surat-surat Kew” itu pihak 
Inggris bertindak cepat dengan mengambil alih beberapa daerah di Hindia 
seperti Padang pada tahun 1795, kemudian menguasai Ambon dan Banda 
tahun 1796. Inggris juga memperkuat armadanya untuk melakukan blokade 
terhadap Batavia.

Sudah barang tentu pihak Prancis dan Republik Bataaf juga tidak ingin 
ketinggalan untuk segera mengambil alih seluruh daerah bekas kekuasaan 
VOC di Kepulauan Nusantara. Karena Republik Bataaf ini merupakan vassal 
dari Prancis, maka kebijakan-kebijakan Republik Bataaf untuk mengatur 
pemerintahan di Hindia masih juga terpengaruh oleh Prancis. Kebijakan 
utama Prancis waktu itu yaitu memerangi Inggris. Oleh karena itu, untuk 
mempertahankan Kepulauan Nusantara dari serangan Inggris diperlukan 
pemimpin yang kuat. Ditunjuklah seorang muda dari kaum patriot untuk 
memimpin Hindia, yakni Herman Williem Daendels. Ia dikenal sebagai tokoh 
muda yang revolusioner.
a) Pemerintahan Herman Willem Daendels (1808-1811)
Herman Willem Daendels sebagai Gubernur 
Jenderal memerintah di Nusantara pada 
tahun 1808-1811. Tugas utama Daendels 
yaitu mempertahankan Jawa agar tidak 
dikuasai Inggris. Sebagai pemimpin yang 
ditunjuk oleh Pemerintahan Republik Bataaf, 
Daendels harus memperkuat pertahanan dan 
memperbaiki administrasi pemerintahan. 
Daendels juga ditugasi untuk memperbaiki 
kehidupan sosial ekonomi di Nusantara 
khususnya di tanah Jawa. Tampaknya 
Jawa menjadi sangat penting dan strategis 
dalam mengatur pemerintahan kolonial di 
Nusantara, sehingga menyelamatkan dan 
mempertahankan Jawa menjadi sangat 
penting.
Daendels yaitu kaum patriot dan berpandangan liberal. Ia kaum muda yang 
berasal dari Belanda yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Revolusi Perancis. Di 
dalam berbagai pidatonya, Daendels tidak lupa mengutip semboyan Revolusi 
Perancis. Daendels ingin menanamkan jiwa kemerdekaan, persamaan dan 
persaudaraan di lingkungan masyarakat Hindia. Oleh karena itu, ia ingin 
memberantas praktik-praktik yang dinilai feodalistik. Hal ini dimaksudkan 
agar masyarakat lebih dinamis dan produktif untuk kepentingan negeri 
induk (Republik Bataaf). Langkah ini juga untuk mencegah penyalahgunaan 
kekuasaan dan sekaligus membatasi hak-hak para bupati yang terkait dengan 
penguasaan atas tanah dan penggunaan tenaga rakyat.
Dalam rangka mengemban tugas sebagai gubernur jenderal dan memenuhi 
pesan dari pemerintah induk (Republik Bataaf), Daendels melakukan beberapa 
langkah strategis, terutama menyangkut bidang pertahanan-keamanan, 
administrasi pemerintahan, dan sosial ekonomi.
1) Bidang Pertahanan dan Keamanan
Dalam rangka melaksanakan tugas mempertahankan Jawa dari serangan 
Inggris, Daendels melakukan langkah-langkah: 
(a) membangun benteng-benteng pertahanan baru, seperti benteng 
Meester Cornelis; 
(b) membangun pangkalan angkatan laut di Anyer dan Ujungkulon. 
Namun pembangunan pangkalan di Ujungkulon boleh dikatakan tidak 
berhasil; 
(c) meningkatkan jumlah tentara, dengan mengambil orang-orang pribumi 
karena pada waktu pergi ke Nusantara, Daendels tidak membawa 
pasukan. Oleh karena itu, Daendels segera menambah jumlah pasukan 
yang diambil dari orang-orang pribumi, yakni dari 4.000 orang menjadi 
18.000 orang (baca Ricklefs, 2005); dan
(d) membangun jalan raya dari Anyer (Jawa Barat, sekarang Provinsi 
Banten) sampai Panarukan (ujung timur Pulau Jawa, Provinsi Jawa 
Timur) sepanjang kurang lebih 1.100 km. Jalan ini dinamakan Jalan 
De Groote Postweg yang oleh masyarakat sering disebut dengan jalan 
Daendels

Pelaksanaan program pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan 
tersebut telah merubah citra Daendels. Pada awalnya Daendels dikenal 
sebagai tokoh muda yang demokratis dan dijiwai panji-panji Revolusi 
Prancis dengan semboyannya: liberte, egalite dan fraternite. Namun setelah 
memegang tampuk pemerintahan, ia berubah menjadi diktator. Daendels 
juga mengerahkan rakyat untuk kerja rodi. Kerja rodi itu membuat rakyat 
yang sudah jatuh miskin menjadi semakin menderita, apalagi kerja rodi 
dalam pembuatan pangkalan di Ujungkulon. Lokasi yang begitu jauh, sulit 
dicapai dan penuh dengan sarang nyamuk malaria, menyebabkan banyak 
rakyat yang menjadi korban. Banyak rakyat Hindia yang jatuh sakit bahkan 
tidak sedikit yang meninggal.
2) Bidang Politik dan Pemerintahan
Daendels juga melakukan berbagai perubahan di bidang pemerintahan. Ia 
banyak melakukan campur tangan dan perubahan dalam tata cara dan adat 
istiadat di kerajaan-kerajaan di Jawa. Kalau sebelumnya pejabat VOC datang 
berkunjung ke istana Kasunanan Surakarta ataupun Kasultanan Yogyakarta 
ada tata cara tertentu, misalnya harus memberi hormat kepada raja, tidak 
boleh memakai payung emas, kemudian membuka topi dan harus duduk 
di kursi yang lebih rendah dari dampar (kursi singgasana raja), Daendels 
tidak mau menjalani seremoni yang seperti itu. Ia harus pakai payung emas, 
duduk di kursi sama tinggi dengan raja, dan tidak perlu membuka topi. 
Sunan Pakubuwana IV dari Kasunanan Surakarta terpaksa menerima, tetapi 
Sultan Hamengkubuwana II menolaknya (Baca Ricklefs, 2005). Penolakan 
Hamengkubuwana II terhadap kebijakan Daendels menyebabkan terjadinya 
perseteruan antara kedua belah pihak. Inilah benih-benih nasionalisme yang 
tumbuh di lingkungan Kasultanan Yogyakarta.
 Untuk memperkuat kedudukannya di Jawa, Daendels berhasil mempengaruhi 
Mangkunegara II untuk membentuk pasukan “Legiun Mangkunegara” 
dengan kekuatan 1.150 orang prajurit. Pasukan ini siap sewaktu-waktu 
untuk membantu pasukan Daendels apabila terjadi perang. Dengan 
kekuatan yang ia miliki, Daendels semakin congkak dan berani. Daendels 
mulai melakukan intervensi terhadap pemerintahan di Kasunanan Surakarta 
dan juga Kasultanan Yogyakarta.

Melihat bentuk intervensi dan kesewenang-wenangan Daendels itu, 
Raden Rangga mulai melancarkan perlawanan terhadap kolonial Belanda. 
Raden Rangga yaitu kepala pemerintahan mancanegara di Madiun yang 
merupakan bawahan Kasultanan Yogyakarta. Oleh karena itu, Sultan 
Hamengkubuwana II mendukung adanya perlawanan yang dilancarkan Raden 
Rangga. Namun perlawanan Raden Rangga ini segera dapat ditumpas dan 
Raden Rangga sendiri terbunuh. Setelah berhasil mematahkan perlawanan 
Raden Rangga, Daendels kemudian memberikan ultimatum kepada Sultan 
Hamengkubuwana II agar menyetujui pengangkatan kembali Danureja 
II sebagai patih dan Sultan harus menanggung kerugian perang akibat 
perlawanan Raden Rangga. Sultan Hamengkubuwana II menolak ultimatum 
itu. Akibatnya, pada Desember 1810 Daendels berangkat ke Yogyakarta 
dengan membawa 3.200 orang serdadu. Dengan kekuatan ini Daendels 
berhasil memaksa Hamengkubuwana II untuk turun tahta dan menyerahkan 
kekuasaannya kepada puteranya sebagai Sultan Hamengkubuwana III. 
Hamengkubuwana III ini sering disebut Sultan Raja dan Hamengkubuwana 
II sering disebut Sultan Sepuh. Sekalipun sudah diturunkan dari tahta, 
Sultan Hamengubuwana II atau Sultan Sepuh ini masih diizinkan tinggal di 
lingkungan istana.
Selain hal-hal di atas, Daendels juga melakukan beberapa tindakan yang 
dapat memperkuat kedudukannya di Nusantara. Beberapa tindakan yang 
dimaksud yaitu sebagai berikut.
(a) membatasi secara ketat kekuasaan raja-raja di Nusantara; 
(b) Daendels memerintah secara sentralistik yang kuat dengan membagi 
Pulau Jawa menjadi 23 wilayah besar (hoofdafdeeling) yang kemudian 
dikenal dengan keresidenan (residentie). Tiap karesidenan dapat dibagi 
menjadi beberapa kabupaten (regentschap) (Suhartono, “Dampak 
Politik Hindia Belanda (1800-1830)”, dalam buku Indonesia dalam 
Arus Sejarah, 2012). 
(c) berdasarkan Dekrit 18 Agustus 1808, Daendels juga telah merombak 
Provinsi Jawa Pantai Timur Laut menjadi 5 prefektur. (wilayah yang 
memiliki otoritas) dan 38 kabupaten. Terkait dengan ini maka Kerajaan 
Banten dan Cirebon dihapuskan dan daerahnya dinyatakan sebagai 
wilayah pemerintahan kolonial;
(d) kedudukan bupati sebagai penguasa tradisional diubah menjadi 
pegawai pemerintah (kolonial) yang digaji. Sekalipun demikian para 
bupati masih memiliki hak-hak feodal tertentu.

Jumlah Keresidenan di Pulau Jawa pada masa pemerintahan Daendels.
1. Tegal
2. Bagelen
3. Banyumas
4. Cirebon
5. Priangan
6. Karawang
7. Buitenzorg (Bogor)
8. Banten
9. Batavia (Jakarta)
10. Surakarta
11. Yogyakarta
12. Banyuwangi
13. Besuki
14. Pasuruan
15. Kediri
16. Surabaya
17. Rembang
18. Madiun
19. Pacitan
20. Jepara
21. Semarang
22. Kedu
23. Pekalongan

3) Bidang Peradilan
Untuk memperlancar jalannya pemerintahan dan mengatur ketertiban dalam 
kehidupan bermasyarakat, Daendels juga melakukan perbaikan di bidang 
peradilan. Daendels berusaha memberantas berbagai penyelewengan 
dengan mengeluarkan berbagai peraturan. 
(a) Daendels membentuk tiga jenis peradilan: (1) peradilan untuk orang 
Eropa, (2) peradilan untuk orang-orang Timur Asing, dan (3) peradilan 
untuk orang-orang pribumi. Peradilan untuk kaum pribumi dibentuk di 
setiap prefektur, misalnya di Batavia, Surabaya, dan Semarang; dan 
(b) peraturan untuk pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. 
Pemberantasan korupsi diberlakukan terhadap siapa saja termasuk 
orang-orang Eropa, dan Timur Asing.
» Coba lakukan analisis beberapa tindakan Daendels, kira-kira
kesimpulan apa yang kamu peroleh dilihat dari manajemen 
pemerintahannya?
4) Bidang Sosial Ekonomi
Daendels juga diberi tugas untuk memperbaiki keadaan di Tanah Hindia, 
sembari mengumpulkan dana untuk biaya perang. Oleh karena itu, Daendels 
melakukan berbagai tindakan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi 
pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan dan tindakan Daendels itu misalnya:
(a) Daendels memaksakan berbagai perjanjian dengan penguasa Surakarta 
dan Yogyakarta yang intinya melakukan penggabungan banyak daerah 
ke dalam wilayah pemerintahan kolonial, misalnya daerah Cirebon; 
(b) meningkatkan usaha pemasukan uang dengan cara pemungutan 
pajak dan penjualan tanah kepada swasta; 
(c) meningkatkan penanaman tanaman yang hasilnya laku di pasaran 
dunia;
(d) rakyat diharuskan melaksanakan penyerahan wajib hasil pertaniannya; 
(e) melakukan penjualan tanah-tanah kepada pihak swasta;

Selama tiga tahun memerintah di Hindia Belanda, Daendels dianggap gagal 
melaksanakan misi mempertahankan Pulau Jawa dari Inggris dan program 
yang dijalankannya dinilai merugikan negara karena korupsi makin merajalela. 
Oleh sebab itu Daendels dipanggil oleh pemerintah kolonial untuk kembali 
ke negaranya dan digantikan oleh Jan Willem Janssen.
b) Pemerintahan Janssen (1811)
Pada bulan Mei 1811, Daendels dipanggil 
pulang ke negerinya. Ia digantikan oleh Jan 
Willem Janssen. Janssen dikenal seorang 
politikus berkebangsaan Belanda. Sebelumnya 
Janssen menjabat sebagai Gubernur Jenderal di 
Tanjung Harapan (Afrika Selatan) tahun 1802-
1806. Pada tahun 1806 itu Janssen terusir 
dari Tanjung Harapan karena daerah itu jatuh 
ke tangan Inggris. Pada tahun 1810 Janssen 
diperintahkan pergi ke Jawa dan akhirnya 
menggantikan Daendels pada tahun 1811. 
Janssen mencoba memperbaiki keadaan yang 
telah ditinggalkan Daendels.
Namun harus diingat bahwa beberapa daerah di Hindia Belanda sudah jatuh ke 
tangan Inggris. Sebetulnya pihak Belanda sebagai bawahan Prancis berusaha 
untuk mempertahankan koloni-koloni Belanda dari ancaman Inggris. Oleh 
karena itu, seperti telah dijelaskan di depan Perancis mengirim Daendels ke 
Indonesia dengan tugas utama untuk mempertahankan Jawa dari serangan 
Inggris. Tetapi armada Inggris ternyata lebih kuat dan unggul. Jan Williem 
Janssen yang menggantikan Daendels tidak bisa berbuat banyak. Penguasa 
Inggris di India, Lord Minto kemudian memerintahkan Thomas Stamford 
Raffles yang berkedudukan di Pulau Penang untuk segera menguasai Jawa. 
Raffles segera mempersiapkan armadanya untuk menyeberangi Laut Jawa. 
Pengalaman pahit Janssen saat terusir dari Tanjung Harapan pun terulang. 
Pada Tanggal 4 Agustus 1811 sebanyak 60 kapal Inggris di bawah komando 
Raffles telah muncul di perairan sekitar Batavia. Beberapa minggu berikutnya, 
tepatnya pada tanggal 26 Agustus 1811 Batavia jatuh ke tangan Inggris. 
Janssen berusaha menyingkir ke Semarang bergabung dengan Legiun 
Mangkunegara dan prajurit-prajurit dari Yogyakarta serta Surakarta. Namun, 
pasukan Inggris lebih kuat sehingga berhasil memukul mundur Janssen 
beserta pasukannya. Janssen kemudian mundur ke Salatiga dan akhirnya 
menyerah di Tuntang. Penyerahan Janssen secara resmi ke pihak Inggris 
ditandai dengan adanya Kapitulasi Tuntang yang ditandatangani pada 
tanggal 18 September 1811. 
2. Perkembangan Kolonialisme Inggris di Indonesia
(1811-1816)
Tanggal 18 September 1811 yaitu tanggal 
dimulainya kekuasaan Inggris di Hindia. 
Gubernur Jenderal Lord Minto secara resmi 
mengangkat Thomas Stamford Raffles 
sebagai penguasa. Pusat pemerintahan Inggris 
berkedudukan di Batavia. Sebagai penguasa 
di Hindia, Raffles mulai melakukan langkah￾langkah untuk memperkuat kedudukan Inggris 
di tanah jajahan. Dalam rangka menjalankan 
pemerintahannya, Raffles berpegang pada tiga 
prinsip. Pertama, segala bentuk kerja rodi dan 
penyerahan wajib dihapus, diganti penanaman 
bebas oleh rakyat. Kedua, peranan para bupati

sebagai pemungut pajak dihapuskan dan para bupati dimasukkan sebagai 
bagian pemerintah kolonial. Ketiga, atas dasar pandangan bahwa tanah 
itu milik pemerintah, maka rakyat penggarap dianggap sebagai penyewa. 
Berangkat dari tiga prinsip itu Raffles melakukan beberapa langkah, baik yang 
menyangkut bidang politik pemerintahan maupun bidang sosial ekonomi. 
a) Kebijakan dalam Bidang Pemerintahan
Dalam menjalankan tugas di Hindia, Raffles didampingi oleh para penasihat 
yang terdiri atas: Gillespie, Mutinghe, dan Crassen. Secara geopolitik, Jawa 
dibagi menjadi 16 keresidenan. Selanjutnya untuk memperkuat kedudukan 
dan mempertahankan keberlangsungan kekuasaan Inggris, Raffles 
mengambil strategi membina hubungan baik dengan para pangeran dan 
penguasa yang sekiranya membenci Belanda. Strategi ini sekaligus sebagai 
upaya mempercepat penguasaan Pulau Jawa sebagai basis kekuatan untuk 
menguasai Kepulauan Nusantara. Sebagai realisasinya, Raffles berhasil 
menjalin hubungan dengan raja-raja di Jawa dan Palembang untuk mengusir 
Belanda dari Hindia. Tetapi nampaknya Raffles tidak tahu balas budi. Setelah 
berhasil mengusir Belanda dari Hindia, Raffles mulai tidak simpati terhadap 
tokoh-tokoh yang membantunya. Sebagai contoh dengan apa yang 
terjadi pada Raja Palembang, Baharuddin. Raja Baharuddin termasuk raja 
yang banyak jasanya terhadap Raffles dalam mengenyahkan Belanda dari 
Nusantara, tetapi justru Raffles ikut mendukung usaha Najamuddin untuk 
menggulingkan Raja Baharuddin.
Pada waktu Raffles berkuasa, konflik di lingkungan istana Kasultanan 
Yogyakarta nampaknya belum surut. Sultan Sepuh yang pernah dipecat 
oleh Daendels, menyatakan diri kembali sebagai Sultan Hamengkubuwana 
II dan Sultan Raja dikembalikan pada kedudukannya sebagai putera 
mahkota. Tetapi nampaknya Sultan Raja 
tidak puas dengan tindakan ayahandanya, 
Hamengkubuwana II. Melalui seorang 
perantara bernama Babah Jien Sing, 
Sultan Raja berkirim surat kepada Raffles. 
Surat itu isinya melaporkan bahwa di 
bawah pemerintahan Hamengkubuwana 
II, Yogyakarta menjadi kacau. Dengan 
membaca isi surat dari Sultan Raja itu, Raffles menyimpulkan bahwa Sultan Hamengkubuwana II seorang yang 
keras dan tidak mungkin diajak kerja sama bahkan bisa jadi akan menjadi 
duri dalam pemerintahan Raffles di tanah Jawa. Oleh karena itu, Raffles 
segera mengirim pasukan di bawah pimpinan Kolonel Gillespie untuk 
menyerang Keraton Yogyakarta dan memaksa Sultan Hamengkubuwana II 
turun dari tahta. Sultan Hamengkubuwana II berhasil diturunkan dan Sultan 
Raja dikembalikan sebagai Sultan Hamengkubuwana III. Sebagai imbalannya 
Hamengkubuwana III harus menandatangani kontrak bersama Inggris. Isi 
politik kontrak itu antara lain sebagai berikut.
1) Sultan Raja secara resmi ditetapkan sebagai Sultan Hamengkubuwana
III, dan Pangeran Natakusuma (saudara Sultan Sepuh) ditetapkan 
sebagai penguasa tersendiri di wilayah bagian dari Kasultanan 
Yogyakarta dengan gelar Paku Alam I; 
2) Sultan Hamengkubuwana II dengan puteranya Pangeran
Mangkudiningrat diasingkan ke Penang; dan
3) semua harta benda milik Sultan Sepuh selama menjabat sebagai sultan
dirampas menjadi milik pemerintah Inggris.
b) Tindakan dalam Bidang Ekonomi
Tidak ubahnya Daendels, Raffles bisa dikatakan yaitu tokoh pembaru 
dalam menata tanah jajahan. Pandangannya di bidang ekonomi juga cukup 
revolusioner.

Raffles berusaha melakukan beberapa tindakan untuk memajukan 
perekonomian di Hindia. Tetapi program itu tujuan utamanya untuk 
meningkatkan keuntungan pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan dan 
tindakan yang dijalankan Raffles sebagai berikut. 
1) Pelaksanaan sistem sewa tanah atau pajak tanah (landrent) yang
kemudian meletakkan dasar bagi perkembangan sistem perekonomian 
uang. 
2) Penghapusan penyerahan wajib hasil bumi.
3) Penghapusan kerja rodi dan perbudakan.
4) Penghapusan sistem monopoli.
5) Peletakan desa sebagai unit administrasi penjajahan.
Kebijakan dan program landrent yang dicanangkan Raffles tersebut terkait 
erat dengan pandangannya mengenai status tanah sebagai faktor produksi. 
Menurut Raffles, pemerintah yaitu satu-satunya pemilik tanah yang sah. 
Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila penduduk Jawa menjadi penyewa 
dengan membayar pajak sewa tanah dari tanah yang diolahnya. Pajak 
dipungut perorangan (tetapi karena kesulitan teknis, kemudian dipungut 
per desa). Jumlah pungutannya disesuaikan dengan jenis dan produktivitas 
tanah. Hasil sawah kelas satu dibebani 50% pajak, kelas dua 40%, dan kelas 
tiga 33%. Sementara untuk tegalan kelas satu 40%, kelas dua 33% dan 
kelas tiga 25% (Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia, 2007). Beban pajak 
ini tentu sangat memberatkan rakyat.
Pajak yang dibayarkan penduduk diharapkan berupa uang. Namun, jika 
terpaksa pajak dapat juga dibayar dengan barang lain, misalnya beras. Pajak 
yang dibayar dengan uang diserahkan kepada kepala desa untuk kemudian 
disetorkan ke kantor residen, sedangkan pajak yang berupa beras dikirim 
ke kantor residen setempat oleh yang bersangkutan atas biaya sendiri. Hal 
ini dimaksudkan untuk mengurangi ulah pimpinan setempat yang sering 
memotong/mengurangi penyerahan hasil panen itu. 
Kita tahu bahwa para pimpinan atau 
pejabat pribumi sudah dialihfungsikan 
menjadi pegawai pemerintah yang digaji. 
Pelaksanaan sistem landrent itu diharapkan 
dapat lebih mengembangkan sistem 
ekonomi uang di Hindia Belanda.

Kemudian ditempatkannya desa sebagai unit administrasi pelaksanaan 
pemerintah, dimaksudkan agar desa menjadi lebih terbuka sehingga bisa 
berkembang. Kalau desa berkembang maka produksi juga akan meningkat, 
hidup rakyat bertambah baik, sehingga hasil penarikan pajak tanah juga 
akan bertambah besar. Raffles juga ingin memberikan kebebasan bagi para 
petani untuk menanam tanaman yang sekiranya lebih laku di pasar dunia, 
seperti kopi, tebu, dan nila.
Raffles sebenarnya orang yang berpandangan maju. Ia ingin memperbaiki 
tanah jajahan, termasuk ingin meningkatkan kemakmuran rakyat. Namun, 
dalam pelaksanaannya di lapangan terdapat berbagai kendala. Budaya 
dan kebiasaan petani sulit diubah, pengawasan pemerintah kurang, dalam 
mengatur rakyat peran kepala desa dan bupati lebih kuat dari pada asisten 
residen yang berasal dari orang-orang Eropa. Raffles juga sulit melepaskan 
kultur sebagai penjajah. Kerja rodi, perbudakan dan juga monopoli masih 
juga dilaksanakan. Misalnya kerja rodi untuk pembuatan dan perbaikan jalan 
ataupun jembatan. Raffles juga melakukan monopoli garam. Secara umum 
dapat dikatakan Raffles kurang berhasil untuk mengendalikan tanah jajahan 
sesuai dengan idenya. Pemerintah Inggris tidak mendapat keuntungan yang 
berarti. Sementara rakyat tetap menderita.
Di luar itu semua, tampaknya Raffles juga seorang ilmuwan. Raffles juga 
sangat memperhatikan terhadap bahasa dan adat istiadat masyarakat 
di Jawa. Ia juga sangat tertarik pada antropologi dan botani. Makalah￾makalahnya kemudian diterbitkan dalam majalah Verhandelingen. Bahkan 
begitu terkesan dengan Indonesianya dengan segala budayanya, apalagi 
Jawa, maka setelah pulang ke Inggris, Raffles kemudian menulis buku History 
of Java Untuk merealisasikan buku itu, Raffles dibantu oleh juru bahasa, 
antara lain Raden Ario Notodiningrat. Ia juga memberikan bantuan penelitian 
John Crawfurd, sehingga berhasil menyelesaikan tulisannya yang berjudul 
History of the East Indian Archipelago.
3. Dominasi Pemerintahan Belanda
Raffles mengakhiri pemerintahannya di Hindia pada tahun 1816. Pemerintah 
Inggris sebenarnya telah menunjuk John Fendall untuk menggantikan Raffles 
tetapi pada tahun 1814 sudah diadakan Konvensi London. Salah satu isi 
Konvensi London yaitu Inggris harus mengembalikan tanah jajahan di 
Hindia kepada Belanda. Dengan demikian, pada tahun 1816 Kepulauan 
Nusantara kembali dikuasai oleh Belanda. Sejak itu dimulailah Pemerintahan 
Kolonial Belanda. 
a) Jalan Tengah Bersama Komisaris Jenderal
Setelah kembali ke tangan Belanda, tanah Hindia diperintah oleh badan baru 
yang diberi nama Komisaris Jenderal yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal. 
Komisaris Jenderal ini dibentuk oleh Pangeran Willem VI yang beranggotakan 
tiga orang, yakni: Cornelis Theodorus Elout, Arnold Ardiaan Buyskes, dan 
Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen.
Semula Elout ditunjuk sebagai ketua, tetapi kemudian digantikan oleh Van 
der Capellen sebagai ketua dan sekaligus sebagai gubernur jenderal. Sebagai 
rambu-rambu pelaksanaan pemerintahan di negeri jajahan, Pangeran 
Willem VI mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah untuk negeri jajahan 
(Regerings Reglement) pada tahun 1815. Salah satu pasal dari undang￾undang tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan pertanian dilakukan 
secara bebas. Hal ini menunjukkan bahwa ada relevansi dengan keinginan 
kaum liberal sebagaimana diusulkan oleh Dirk van Hogendorp.
Berbekal ketentuan dalam undang-undang tersebut ketiga anggota 
Komisaris Jenderal itu berangkat ke Hindia Belanda. Ketiganya sepakat 
untuk mengadopsi beberapa kebijakan yang pernah diterapkan oleh Raffles. 
Mereka sampai di Batavia pada 27 April 1816. Ketika melihat kenyataan di 
lapangan, Ketiga Komisaris Jenderal itu bimbang untuk menerapkan prinsip￾prinsip liberalisme dalam mengelola tanah jajahan di Nusantara. Hindia dalam 
keadaan terus merosot dan pemerintah mengalami kerugian. Kas negara di 
Belanda dalam keadaan menipis. Mereka sadar bahwa tugas mereka harus 
dilaksanakan secepatnya untuk dapat mengatasi persoalan ekonomi baik di 
Tanah Jajahan maupun di Negeri Induk.
Sementara itu perdebatan antara kaum liberal dan kaum konservatif terkait 
dengan pengelolaan tanah jajahan untuk mendatangkan keuntungan sebesar￾besarnya belum mencapai titik temu. Kaum liberal berkeyakinan bahwa 
pengelolaan negeri jajahan akan mendatangkan keuntungan yang besar bila 
diserahkan kepada swasta, dan rakyat diberi kebebasan dalam menanam. 
Sedang kelompok konservatif berpendapat pengelolaan tanah jajahan akan 
menghasilkan keuntungan apabila langsung ditangani pemerintah dengan 
pengawasan yang ketat. 
Dengan mempertimbangkan amanat UU Pemerintah dan melihat kenyataan 
di lapangan serta memperhatikan pandangan kaum liberal dan kaum 
konservatif, Komisaris Jenderal sepakat untuk menerapkan kebijakan “jalan 
tengah”. Maksudnya, eksploitasi kekayaan di tanah jajahan langsung 
ditangani pemerintah Hindia Belanda agar segera mendatangkan keuntungan 
bagi negeri induk, di samping mengusahakan kebebasan penduduk dan 
pihak swasta untuk berusaha di tanah jajahan. Tetapi kebijakan jalan tengah 
ini tidak dapat merubah keadaan. 
Pada tanggal 22 Desember 1818 Pemerintah memberlakukan UU yang 
menegaskan bahwa penguasa tertinggi di tanah jajahan yaitu gubernur 
jenderal. Van der Capellen kemudian ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal. Ia 
ingin melanjutkan strategi jalan tengah. Tetapi kebijakan Van der Capellen 
itu berkembang ke arah sewa tanah dengan penghapusan peran penguasa 
tradisional (bupati dan para penguasa 
setempat). Kemudian Van der Capellen 
juga menarik pajak tetap yang sangat 
memberatkan rakyat. Timbul banyak protes 
dan mendorong terjadinya perlawanan. Van 
der Capellen kemudian dipanggil pulang dan 
digantikan oleh Du Bus Gisignies. 
Du Bus Gisignies berkeinginan membangun 
modal dan meningkatkan ekspor. Tetapi 
program ini tidak berhasil karena rakyat tetap 
miskin sehingga tidak mampu menyediakan 
barang-barang yang diekspor. Kenyataannya 
justru impor lebih besar dibanding ekspor. 
Tentu ini sangat merugikan bagi pemerintah 
Belanda.

Kondisi tanah jajahan dalam kondisi krisis, kas negara di negeri induk pun 
kosong. Hal ini disebabkan dana banyak tersedot untuk pembiayaan perang 
di tanah jajahan. Sebagai contoh Perang Diponegoro yang baru berjalan 
satu tahun sudah menguras dana yang luar biasa, sehingga pemerintahan 
Hindia Belanda dan pemerintah negeri induk mengalami kesulitan ekonomi. 
Pengeluaran keuangan menjadi tidak terkontrol, sementara pengembangan 
usaha harus terus dilakukan untuk memperbaiki kondisi keuangan. Untuk 
mengatasi dan mengatur keuangan ini diperlukan suatu lembaga keuangan 
yang bonafit. Oleh karena itu, sebagai bentuk persetujuannya, Raja Belanda 
mengeluarkan oktroi. Atas dasar oktroi ini dibentuklah De Javasche Bank 
pada tanggal 9 Desember 1826. Kemudian oleh Gubernur Jenderal Du 
Bus Gisignies dikeluarkan Surat Keputusan No. 25 tertanggal 24 Desember 
1828 tentang Akte Pendirian De Javasche Bank. Pembentukan De Javasche 
Bank ini sekaligus juga merupakan bentuk dukungan Raja terhadap rencana 
pelaksanaan Tanam Paksa di Indonesia/Hindia.
Pemulihan kondisi ekonomi dan keuangan Belanda harus segera 
diprogramkan. Apalagi setelah keberhasilan Belgia dalam berjuang untuk 
memisahkan diri dari Belanda pada tahun 1830. Dengan pisahnya Belgia 
dari Belanda ini menjadi pukulan bagi Belanda. Keadaan ekonomi Belanda 
semakin berat. Sebab, Belanda banyak kehilangan lahan industri sehingga 
pemasukan negara juga semakin berkurang.
b) Sistem Tanam Paksa
Pemerintah Belanda terus mencari cara bagaimana untuk mengatasi problem 
ekonomi. Berbagai pendapat mulai dilontarkan oleh para pemimpin dan 
tokoh masyarakat. Salah satunya pada tahun 1829 seorang tokoh bernama 
Johannes Van den Bosch mengajukan kepada raja Belanda usulan yang 
berkaitan dengan sistem dan cara melaksanakan politik kolonial Belanda 
di Hindia. Van den Bosch berpendapat untuk memperbaiki ekonomi di 
Negeri Belanda, di tanah jajahan harus dilakukan penanaman tanaman yang 
dapat laku dijual di pasar dunia. Sesuai dengan keadaan di negeri jajahan, 
maka sistem penanaman harus dikembangkan dengan memanfaatkan 
kebiasaan kaum pribumi/petani, yaitu dengan “kerja rodi”. Oleh karena itu, 
penanam yang dilakukan para petani itu bersifat wajib. Kita, orang Indonesia 
menyebut sistem ini dengan nama “Sistem Tanam Paksa”. Van den Bosch 
menggunakan prinsip bahwa daerah jajahan itu fungsinya sebagai tempat
mengambil keuntungan bagi negeri induk. 
Diibaratkan oleh Baud, Jawa yaitu “gabus 
tempat Nederland mengapung”. Jadi dengan 
kata lain Jawa harus dieksploitasi semaksimal 
mungkin untuk keuntungan negeri penjajah. 
Dapat dikatakan Jawa dimanfaatkan sebagai 
sapi perahan. 
Konsep Bosch itulah yang kemudian dikenal 
dengan Cultuurstelsel (Tanam Paksa). Dengan 
cara ini diharapkan perekonomian Belanda 
dapat dengan cepat pulih dan semakin 
meningkat. Bahkan dalam salah satu tulisan 
Van den Bosch membuat suatu perkiraan 
bahwa dengan Tanam Paksa, hasil tanaman 
ekspor dapat ditingkatkan sebanyak kurang 
lebih f.15. sampai f.20 juta setiap tahun. Van den Bosch menyatakan bahwa 
cara paksaan seperti yang pernah dilakukan VOC yaitu cara yang terbaik 
untuk memperoleh tanaman ekspor untuk pasaran Eropa. Dengan membawa 
dan memperdagangkan hasil tanaman sebanyak-banyaknya ke Eropa, maka 
akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar. 
1) Ketentuan Tanam Paksa
Raja Willem tertarik serta setuju dengan usulan dan perkiraan Van den Bosch 
tersebut. Tahun 1830 Van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal 
baru di Jawa. Setelah sampai di Jawa, Van den Bosch segera mencanangkan 
sistem dan program Tanam Paksa. Secara umum Tanam Paksa mewajibkan 
para petani untuk menanam tanaman-tanaman yang dapat diekspor di 
pasaran dunia. Jenis tanaman itu di samping kopi juga antara lain tembakau, 
tebu, dan nila.
Secara rinci beberapa ketentuan Tanam Paksa itu termuat pada Lembaran 
Negara (Staatsblad) Tahun 1834 No. 22. Ketentuan-ketentuan itu antara lain 
sebagai berikut. 
a) penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan
Tanam Paksa; 
b) tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan
Tanam Paksa tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian 
yang dimiliki penduduk desa;

c) waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman
Tanam Paksa tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk
menanam padi;
d) tanah yang disediakan untuk tanaman Tanam Paksa dibebaskan dari
pembayaran pajak tanah;
e) hasil tanaman yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa wajib
diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai
hasil tanaman ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayarkan
oleh rakyat, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat.;
f) kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan rakyat
petani, menjadi tanggungan pemerintah;
g) penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan
Tanam Paksa berada di bawah pengawasan langsung para penguasa
pribumi, sedang pegawai-pegawai Eropa melakukan pengawasan
secara umum; dan
h) penduduk yang bukan petani, diwajibkan bekerja di perkebunan atau
pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari dalam satu tahun;
Menurut apa yang tertulis di dalam ketentuan-ketentuan tersebut di atas, 
tampaknya tidak terlalu memberatkan rakyat. Bahkan pada prinsipnya 
rakyat boleh mengajukan keberatan-keberatan apabila memang tidak dapat 
melaksanakan sesuai dengan ketentuan. Ini artinya ketentuan Tanam Paksa 
itu masih memperhatikan martabat dan batas-batas kewajaran nilai-nilai 
kemanusiaan.
2) Pelaksanaan Tanam Paksa
Menurut Van den Bosch, pelaksanaan sistem Tanam Paksa harus 
menggunakan organisasi dan kekuasaan tradisional yang sudah ada. Dalam 
hal ini para pejabat bumiputra, kaum priayi dan kepala desa memiliki peran 
penting. Mereka ini sangat diharapkan dapat menggerakkan kaum tani 
wajib menanam tanaman yang laku di pasaran dunia. Kekuasaan mereka 
harus diperkokoh dengan cara diberi hak pemilikan atas tanah dan hak￾hak istimewa yang lain. Para penguasa pribumi akhirnya lebih menjadi alat 
kolonial. Dengan demikian masyarakat umum sudah kehilangan pimpinan 
yang menjadi tempat berlindung di negerinya sendiri.
Berkaitan dengan pengerahan tenaga kerja melalui kegiatan seperti 
sambatan, gotong royong maupun gugur gunung, merupakan usaha yang 
tepat untuk dilaksanakan. Dalam hal ini peran para penguasa pribumi, priayi

dan juga kepada desa sangat sentral. Kemudian kepala desa di samping 
sebagai penggerak para petani, juga sebagai penghubung dengan atasan 
dan pejabat pemerintah. Oleh karena posisi yang begitu penting itu maka 
kepala desa tetap berada di bawah pengaruh dan pengawasan para pamong 
praja. Para penguasa pribumi dan juga kepala desa ini dalam menjalankan 
tugasnya juga mendapatkan bonus atau cultuur procenten dari pemerintah 
kolonial. Besaran bonus itu tergantung dari besar kecilnya hasil setoran kepada 
pemerintah kolonial. Semakin besar setoran dari petani kepada pemerintah 
kolonial yang ada di wilayahnya, pejabat pribumi di tempat itu juga akan 
menerima bonus semakin besar pula. Hal inilah yang mendorong terjadinya 
berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Tanam Paksa. Para penguasa 
pribumi demi mengejar cultuur procenten yang besar, kemudian memaksa 
para petani di wilayahnya untuk menanam tanaman yang diwajibkan dalam 
sistem Tanam Paksa sebanyak-banyaknya agar dapat menyetorkan hasil 
yang besar kepada pihak kolonial. Sistem cultuur procenten inilah kemudian 
mendorong terjadinya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Tanam 
Paksa. Beberapa penyelewengan itu antara dapat dicontohkan sebagai 
berikut.
a) Menurut ketentuan tanah pertanian yang disediakan penduduk
untuk kepentingan Tanam Paksa tidak melebihi seperlima dari 
tanah pertanian yang dimiliki petani, tetapi kenyataannya lebih 
dari seperlima, sepertiga, bahkan ada yang setengah dan daerah￾daerah tertentu ada yang lebih dari setengah tanah yang dimiliki 
petani. Hal ini dimaksudkan agar setoran hasil tanamannya 
juga bertambah besar, dan bonusnya juga semakin banyak.
b) Menurut ketentuan waktu yang diperlukan untuk menanam tanaman
untuk Tanam Paksa tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi, 
ternyata dalam pelaksanaannya waktu yang digunakan untuk menanam 
tanaman bagi Tanam Paksa melebihi waktu penanaman padi. Semua 
ini jelas terkait agar hasil tanaman untuk Tanam Paksa itu lebih banyak.
Dapatlah dikatakan bahwa dalam pelaksanaan Tanam Paksa itu umumnya 
berjalan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Pemicu penyelewengan 
ini tidak terlepas dari adanya cultuur procenten. Pihak pemerintah kolonial 
di Hindia ini juga melakukan pembiaran dan ini tampaknya yang memang 
diinginkan oleh pihak kolonial Belanda, agar hasil dari pelaksanaan Tanam 
Paksa segera dapat memperbaiki ekonomi dan mendapatkan keuntungan 
yang sebesar-besarnya bagi Negeri Belanda. Harus juga dipahami bahwa 
dalam pelaksanaan Tanam Paksa itu juga disertai dengan tindak kekerasan, 
tindakan menakut-nakuti para petani.
Tanam Paksa telah membawa penderitaan rakyat. Banyak pekerja yang jatuh 
sakit, bahkan meninggal. Mereka dipaksa fokus bekerja untuk Tanam Paksa, 
sehingga nasib diri sendiri 

Related Posts: