BEBERAPA BENDA PENINGGALAN PURBAKALA DI BANTEN
1. Di situs Anyer Lor, Kabupaten Serang, ditemukan kuburan manusia yang diduga bertahun
500 - 200 SM. Mayat dimasukkan ke dalam gentong besar dalam posisi duduk.
(Sukendar, 1979:26).
2. Di situs Cigeulis di Desa Macapat, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, kira-kira
125 m sebelah utara jalan besar, pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut. Di sana
> ditemukan alat-alatt poleolitikum
berupa tatal-tatal batu dari bahan batu gamping kersiikan (silicifed
limestone). Diantaranya terdapat : serut samping (side scraper), serut
ganda, kapak berimbas (chopper), disamping banyak terdapat pecahan,
serpih, batu inti dan lain-lainnya. (Sukendar, 1979:3).
3. Di situs Pelanyar, Kampung Baturajang, Desa Pelanyar, kecamatan Cimanuk, Kabupaten
Pandeglang, ditemukan dolmen yang terdiri dari semua batu aldesit yang dikerjakan
sangat halus dengan permukaan darat. Batu datar ini berukuran 110 x 250 cm, disangga
oleh 4
buah penyangga yang dikerjakan sangat rapih dengan pahatan seperti
pelipit melingkar.
4. Di Kampung Ciderasi, Desa Pelanyar, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglamg
terdapat batu bergores yang oleh penduduk setempat dinamakan "batu tumbung". Batu ini
berukuran 55 x 123 x 179 cm yang terletak di tengan sawah. Goresan-goresannya
berbentuk segitiga-segitiga dengan lubang di tengahnya.
5. Di Kampung Sanghiangdengdek, Kawedanaan Menes, Kabupaten Pandeglang, ditemukan
menhir (batu tegak) besar dengan batu-batu kecil berdiri di kanan kirinya. Menhir initerbuat dari batu andesit dengan bentuk yang mengecil di puncaknya. tingginya 125 cm
dengan dengan garis tengah 85 cm.
Tidak jauh dari batu ini ditemuka batu gamelan sebuah batu berbentuk selinder yang bagian
atasnya dipahat halus dan cembung. Kira-kira 50 m disebelah barat "batu gamelan" ini,
terdapat arca megalitik yang biasa disebut Sangiangdengdek.
Di tempat lainnya ditemukan serupa umpak batu yang disebut "batu
gamelan".
Menhir di Sanggiangdengdek mungkin merupakan tempat pemujaan. Di sekitar menhir
ditemukan makam-makam dengan arah utara selatan yang ditanda dengan batu-batu kecil
yang disusun persegi panjang.
6. Di Desa Cadasbeureum, Anyer ditemukan pecahan gerabah yang diduga berasal dari
zaman Dinasti Sung dan Ming (Abad ke 10 - 13). Kira-kira 500 m keselatannya terdapat
sebuah batu yang oleh penduduk setempat disebut tungku sumbi. Di sekitar tungku sumbi
ditemukan sisa-sisa arang dan kerek besi. Diduga tungku ini sebagai penuangan logam.
Diduga pula tempat ini pernah menjadi pemukiman dalam tradisi prasejarah.
Di dekat sini pula monolit. Pada bagian yang datar terdapat 7 buah lubang yang dipahat halus.
Batu ini oleh penduduk setempat dikenal dengan sebutan paniisan. Di tempat itu pula
ditemukan sebuah menhir yang terbuat dari batu padas yang berukuran 87 x 25 cm berongga.
Oleh penduduk setempat dikenal dengan sebutan sirit baduy.
7. Di pancaniti yang terdapat di alun-alun kota Serang, terdapat patung nandi yang telah
rusak, bagian bawah kepalanya hilang. Patung ini diduga berasal dari masa Hindu. Sekarang
patung nandi ini di simpan di Site Museum Banten.
8. Di Cigabus, Kabupaten Serang, ditemukan padupaan dalam bentuk ayam jantan di atas
alas yang berbentuk piramid. Dulu disimpan di masjid yang kemudian dipindahkan ke
Museum Pusaty Jakarta (invent. Mus. Bat. No. 4862).
9. Di Kolelet Pamarayan dua buah kapak batu pada waktu penggalian saluran air. Benda ini
disimpan di Museum Pusat Jakarta (invent. Mus. Bat. No. 4873 dan 4874).
10. Di Cimanuk Kewedanaan Cimanuk, diotemukan delapan buah patung dihutan Cimanuk di
kaki Gunung Karang yang kemudian dibawa ke Caringin. Patung-patung ini diantaranya
berbentuk nandi, Genesa, Durga, Brahma, Mahadewa dan sebuah Yoni.
11. Dari Desa Tenjo, Kabupaten Pandeglang, ditemukan sebuah patung beli Polinesis yang
hampir tidak berbentuk sempurna dalam sikap duduk. Patung ini sekarang disimpan di
Museum Pusat Jakarta (Invant. Mus. Bat. No. 4350).
12. Di Desa Sangiangdengdek - Menes, Kabupaten pandeglang, di sebuah kebun di atas
lereng Gunung Polosari terdapat sebuah patung Polinesis yang kasar, sebuah tangga (trap)
batu yang dinamakan tareje mas dan sebidang tanah dengan batu-batuan yang ditatah.13. Di Cilentung - Pandeglang, dipinggir jalan desa ini menuju kawah Polosari, ada sebuah
batu berbentuk puncak mahkota wayang. Batu ini oleh penduduk setempat disebut Sanghiyang
Papaku Alam atau Sanghiyang Papaku Polosari.
14. Di Pulau Penaitan, terdapat dua buah patumg batu berbentuk Syiwa dan Ganesa. Kedua
patung ini diketemukan dipinggir jalan yang menuju Gunung Raksa. Tapi sayang sekarang
hanya tinggal patung Ganesa saja, sedangkan patung Syiwa hilang ada yang mencurinya.
15. Di statsion Rangkasbitung, pernah ditemukan kapak batu yang kemudian disimpan di
Museum Pusat Jakarta (Invent. Mus.
Bat No. 2386).
16. Di Candi, Kewedaan Sajira - Lebak, didapatkan sebelas patung Polinesis di atas sebuah
ters. Patung-patung itu sekarang disimpan di Museum pusat Jakarta (Invent. Mus. Bat. No.
No. 4222-4232).
17. Di atas Gunung Lahurjaya, Cipanas, Lebak, terdapat sebuah batu dengan tanda dua
telapak kaki, sebuah batu berbentuk telur, empat buah berbentuk peluru dan dua buah
berbentuk persegi.
18. Di Kosala terdapat lima
> teras dengan tumpukan batu
mengelilingi sebuah batu yang berdiri tegak serta sebuah patung
Polinesis dalam sikap duduk pada relief batu datar. Tempat ini
dijadikan tempat pemujaan oleh orang-orang Baduy.
19. Di Lebakpare, Lebak, terdapat sebuah patung Nandi dari batu aldesit yang sudah rusak,
penduduk setempat menamakannya batu samping. Disana juga ditemukan sebuah altar dari
batu yang di tiap pinggirnya terdapat bentuk kepala orang. Batu ini dinamakan oleh
penduduyk batu wongwongan.
20. Di Leuwidamar, Lebak, ditemukan dua buah gerobak berbentuk tempayan dan dua buah
pahat batu. Semuanya ditemukan di dekat Cidalupang. Benda-benda ini disimpan Museum
Pusat Jakarta (Invent.
Mus. Bat. No. 4523 - 4526).
21. Dari Desa Cimarga ditremukan sebuah kapak batu yang kemudian disimpan di Museum
Pusat Jakarta
> (Invent. Mus. Bat. No. 2232).
SIILSILAH SULTAN BANTEN
DAN PUTRA-PUTRANYA
[1]
I. SYARIF HIDAYATULLAH - SUNAN GUNUNG JATI,
berputra:
1. Ratu Ayu Pembayun
2. Pg. Pasarean
3. Pg. Jayalalana
4. Maulana Hasanuddin*)
5. Pg. Bratakelana
6. Ratu Winaon
7. Pg. Turusmi
II. MAULANA HASANUDDIN PANEMBAHAN SUROSOWAN
(1552 - 1570) berputra :
1. Ratu Pembayun Fatimah 9. Ratu Terpenter 2. Pg.
Yusuf
*) 10. Ratu Biru 3. Pg. Arya
Japara 11. Ratu Ayu Arsanengah 4. Pg.
Suniararas 12. Pg. Pajajaran Wado
5. Pg. Pajajaran 13. Tumenggung Wilatikta 6. Pg.
Pringgalaya 14. Ratu Ayu
Kamudarage
7. Pg. Sebrang Lor 15 Pg. Sebrang Wetan
8. Ratu Keben
III. MAULANA YUSUF PENEMBAHAN PAKALANGAN GEDE
(1570 - 1580) berputra :
1. Pg. Arya Upapati 8. Ratu Rangga 2. Pg. Arya
Adikara 9. Ratu Ayu Wiyos 3. Pg. Arya
Mandalika 10. Ratu Manis 4. Pg. Arya
Ranamanggala 11. Ratu Demang 5. Pg. Arya
Seminingrat 12. Pg. Widara 6. Pg.
Manduraraja 13. Ratu Belimbing 7. Pg.
Muhammad
*) 14. Ratu Pecatanda III. MAULANA
MUHAMMAD PG. RATU ING BANTEN (1580 - 1596),
berputra:
1. Pg. Abdul Kadir
*)
IV. SULTAN ABUL MAFKHIR MAHMUD 'ABDUL KADIR
KENARI (1596 - 1651),
berputra :
1. Sultan 'Abul Ma'ali Ahmad Kenari (Putra Mahkota) 2. Ratu
Dewi 21. Ratu Pandan 3. Ratu
Ayu 22. Ratu Mirah 4. Pg. Arya
Banten 23. Ratu Sandi 5. Pg. Arya
Wirasmara 24. Pg. Arya Jayaningrat 6. Pg.
Sudamanggala 25. Ratu Citra 7. Pg.
Ranamanggala 26. Pg. Arya Adiwangsa 8. Ratu
Belimbing 27. Pg. Arya Sutakusuma 9. Ratu
Gedong 28. Pg. Arya Jayasentika 10. Pg. Arya
Manduraja 29. Ratu Hafsah 11. Pg.
Kidul 30. Ratu Pojok 12. Ratu
Dalem 31. Ratu Pacar 13. Ratu
Lor 32. Ratu Bangsal 14. Pg.
Seminingrat 33. Ratu Salamah 15. Ratu
Kidul 34. Ratu Ratmala 16. Pg. Arya
Wiratmaka 35. Ratu Hasanah 17. Pg. Arya
Danuwangsa 36. Ratu Hasaerah
18. Pg. Arya Prabangsa 37. Ratu Kelumpuk 19. Pg. Arya
Wirasuta 38. Ratu Jiput 20. Ratu Gading
39. Ratu Wuragil V. PUTRA MAHKOTA SULTAN 'ABUL
MA'ALI AHMAD,
berputra :
1. 'Abul Fath 'Abul Fattah
*) 9. Ratu Tinumpuk 2. Ratu
Panenggak 10. Ratu Inten 3. Ratu
Nengah 11. Pg. Arya Dipanegara 4. Pg. Arya
Elor 12. Pg. Arya Adikusuma 5. Ratu
Wijil 13. Pg. Arya Kulon 6. Ratu
Puspita 14. Pg. Arya Wetan 7. Pg. Arya
Ewaraja 15. Pg. Arya Kidul
8. Ratu Ayu Ingalengkadipura
VI. SULTAN AGENG TIRTAYASA - 'ABUL FATH 'ABDUL
FATTAH (1651 - 1683)
[2]
berputra :
1. Sultan Haji
*) 16. Tb. Muhammad 'Athif 2.
Pg. Arya 'Abdul 'Alim 17. Tubagus Abdul 3. Pg. Arya
Ingayudadipura 18. Ratu Raja Mirah 4. Pg. Arya
Purbaya 19. Ratu Ayu 5. Pg. Sugiri
20. Ratu Kidul 6. Tubagus Rajasuta 21. Ratu Marta
7. Tubagus Rajaputra 22. Ratu Adi 8. Tubagus
Husen 23. Ratu Umu 9. Raden Mandaraka
24. Ratu Hadijah 10. Raden Saleh 25. Ratu
Habibah 11. Raden Rum 26. Ratu Fatimah 12.
Raden Mesir 27. Ratu 'Asyiqoh 13. Raden
Muhammad 28. Ratu Nasibah 14. Raden
Muhsin 19. Tubagus Kulon 15. Tubagus Wetan
VII. SULTAN 'ABUN NASR 'ABDUL KAHHAR - SULTAN HAJI
(1683 - 1687), berputra :
1. Sultan Abdul Fadhal
*) 6. Pg. Muhammad 'Alim 2.
Sultan 'Abul Mahasin
*) 7. Ratu Rohimah 3. Pg.
Muhammad Tahir 8. Ratu Hamimah 4. Pg.
Fadhluddin 9. Pg. Ksatrian 5. Pg.
Ja'faruddin 10. Ratu Mumbay (Bombay)
VIII. SULTAN ABDULFADHL (1687 - 1690), tidak berputra.
IX. SULTAN ABUL MAHASIN ZAINUL 'ABIDIN (1690 - 1733)
[3]
berputra:.
1. Sultan Muhammad Syifa
*) 31. Raden Putra 2. Sultan
Muhammad Wasi'
*) 32. Ratu Halimah 3. Pg.
Yusuf 33. Tubagus Sahib 4. Pg. Muhammad
Saleh 34. Ratu Sa'idah 5. Ratu Samiyah 35.
Ratu Satijah 6. Ratu Komariyah 36. Ratu 'Adawiyah
7. Pg. Tumenggung 37. Tubagus Syarifuddin 8. Pg.
Ardi Kusuma 38. Ratu 'Afiyah Ratnaningrat
9. Pg. Anom Muhammad Noh 39. Tubagus Jamil
10. Ratu Fatimah Putra 40. Tubagus Sa'jan 11. Ratu
Badariyah 41. Tubagus Haji 12. Pg.
Manduranegara 42. Ratu Thoyibah 13. Pg. Jaya
Sentika 43. Rt. Chairiyah Kumudaningrat
14. Ratu Jabariyah 44. Pg. Rajaningrat 15. Pg. Abul
Hasan 45. Tubagus Jahidi 16. Pg. Dipati
Banten 46. Tubagus Abdul Aziz 17. Pg.
Ariya 47. Pg. Rajasentika 18. Raden
Nasut 48. Tubagus Kalamuddin 19. Raden
Maksaruddin 49. Raden Darmakusuma 20. Pg.
Dipakusuma 50. Tubagus Abunasir 21. Ratu
'Afifah 51. Ratu Hayati
22. Ratu Siti Adirah/Abidah 52. Raden Hamid 23. Ratu
Safiqoh 53. Ratu Sifah 24. Tubagus
Wirakusuma 54. Ratu Minah 25. Tubagus
Abdurahman 55. Ratu 'Azizah 26. Tubagus
Mahaim 56. Ratu Sehah 27. Raden
Rauf 57. Ratu Suba/Ruba 28. Tubagus Abdul
Jalal 58. Ratu Muhibbah 29. Rt. Siti Sa'ban
Kusumaningrat
30. Tb. Muhammad Said (Pg. Natabaya)
X. SULTAN MUHAMMAD SYIFA' ZAINUL 'ARIFIN (1733 -
1750).
[4]
berputra :
1. Sultan Muhammad 'Arif
*) 7. Ratu Sa'diyah 2. Ratu
Ayu 8. Ratu Halimah 3. Tubagus
Hasanuddin 9. Tubagus Abu Khaer
4. Rd. Raje Pg. Rajasantika 10. Ratu Hayati 5. Pg.
Muhammad Rajasantika 11. Ratu 'Afiyah
6. Tubagus Muhammad Saleh
XI. SULTAN SYARIFUDDDIN RATU WAKIL (1750 - 1752).
[5]
tidak berputra.
XII. SULTAN MUHAMMAD WASI' ZAINUL 'ALIMIN (1752 -
1753). tidak berputra.
XIII. SULTAN MUHAMMAD 'ARIF ZAINUL ASYIKIN (1753 -
1773)
[6]
.
berputra :
1. Sultan 'Abul Mafakhir Muhammad Aliyuddin
*)
.
2. Sultan Muhyiddin Zainussholihin
*)
.
3. Pg. Manggala
4. Pg. Suralaya
5. Pg. Suramanggala
XIV. SULTAN 'ABUL MAFAKHIR MUHAMMAD ALIYUDDIN
(1773 - 1799)
[7]
berputra : 1. Sultan Muhammad Ishaq Zainul
Muttaqin
*)
2. Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II)
*)
3. Pg. Darma
4. Pg. Muhammad Abbas
5. Pg. Musa
6. Pg. Yali
7. Pg. Ahmad.
XV. SULTAN MUHYIDDIN ZAINUSSHOLIHIN (1799 - 1801)
[8]
.
berputra :
1. Sultan Muhammad Shafiuddin
*)
XVI. SULTAN MUHAMMAD ISHAQ ZAINUL MUTTAQIN
(1801 - 1802)
[9]
XVII. SULTAN WAKIL PANGERAN NATAWIJAYA (1802 -
1803)XVIII. SULTAN AGILLUDIN (ALIYUDDIN II) (1803 - 1808)
XIX. SULTAN WAKIL PANGERAN SURAMANGGALA (1808 -
1809).
[10]
XX. SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDDIN (1809 - 1813)
[11]
XXI. SULTAN MUHAMMAD RAFIUDDIN (1813 - 1820).
DESKRIPSI TENTANG BANTEN LAMA
A. TATA LETAK DAN PERKEMBANGAN KOTA KESULTANAN BANTEN
Sebagaimana layaknya sebuah kota
> Islam, Banten Lama juga memiliki
beberapa ciri yang secara umum ditemukan pada kota-kota Islam yang
sejaman di beberapa bagian dunia. Pusat-pusat kegiatan kemasyarakatan
yang terpenting ─ sebagaimana masyarakat muslim di Indonesia, Afrika,
dan negara-negara Arab ─ kota Islam memiliki ciri dengan adanya
istana, pasar-pasar dan masjid-masjid.
Pemukiman dibagi menurut pekerjaan dan etnik, sebagaimana kota-kota
Islam di dunia pada abad pertengahan dan akhir. Bahkan dapat dikatakan
bahwa kota
> Banten adalah
w:st="on">kota
> muslim terbesar di Indonesia, tidak
saja pada awalnya, tetapi mungkin dalam seluruh sejarahnya.
Jika muncul kota-kota di Jawa berkoinsidensi dengan penyebaran Islam, kemudian unsur-unsur
komponen kota muncul sebagaimana di banyak kota dalam dunia Islam, seseorang mungkin
dapat menduga bahwa pola-pola pemukiman di dalam kota-kota itu tentunya merupakan turunan
dari bentuk baku kota-kota Islam. Informasi sejarah telah menunjukkan bahwa asumsi demikian
tidaklah selalu benar. Distribusi fisik berupa bangunan bagi kepentingan umum dan perseorangan
di beberapa kerajaan di Jawa, lebih banyak melanjutkan tata letak tradisional Jawa pada masa
sebelum Islam. Jawa dapat dikatakan telah memiliki pola tersendiri di dalam urbanisasi, dengan
beberapa unsur yang serupa dengan kota-kota yang sejaman pada bagian-bagian lain di Asia
Tenggara. Dalam penyebarannya Islam bukanlah merupakan hasil suatu perubahan yang
revolusioner di dalam tatacara hidup orang Jawa, tetapi lebih tepat sebagai hasil proses evolusi
secara bertahap. Berbeda halnya dengan kotaBanten. Kota yang satu ini merupakan kota baru yang dibangun dari
suatu daerah sepi penduduk dan sedikitnya bangunan asal. Kota yang
dilandasi pembangunannya oleh motivasi islamisasi ini dibuat ─
mungkin sedikit ─ berbeda dengan tradisi yang hidup di masyarakat,
walaupun akhirnya memanfaatkan tradisi itu untuk menguatkan
keberadaan kerajaan dan Islam.
Dari sumber-sumber sejarah, kita tidak mungkin merekontruksikan tingkat-tingkat pertumbuhan
sebuah kota
> secara rinci. Begitu penelitian
arkeologi diselengarakan, bagaimanapun kita lebih banyak memperoleh
informasi mengenai hubungan-hubungan antara perubahan keagamaan
dengan perubahan aspek-aspek budaya yang lainnya. Ketika pada tahun
1596, di kota
> Banten,
pemukiman dan kehidupan penduduknya telah mengalami berbagai
perubahan.
Gambaran pertama yang terlihat pada penduduk kota ialah bahwa ia
telah diresapi agama Islam, tetapi alam kota dimana mereka tinggal,
masih menunjukkan gejala yang berasal dari masa yang lebih tua, dan
mungkin lebih merupakan setting suatu pedalaman agraris yang sangat
berbeda dengan pusat komersial yang sibuk di tepi jalur pelayaran
internasional.
Seperti halnya kota-kota di Eropa, Banten Lama juga dikelilingi oleh berbagai tembok kota, yang
dimensinya tidak terlalu jelas, dan dibuat dari bata.[1] Dinding batas kota tersebut jelas
digunakan sebagai pertahanan; di bagian atas ditempatkan meriam, dan di beberapa bagian
didirikan menara pengawas (pengintai). Untuk memasuki kota,
seseorang harus melalui pintu-pintu gerbang di beberapa bagian. Pintupintu tersebut ─ yang dikatakan sangat sulit (karena besar dan beratnya)
─ dijaga ketat dan sulit didekati tanpa teramati oleh para penjaga[2].
Terdapat tiga buah pintu gerbang untuk masuk ke dalam kota
> Banten, yaitu: satu di selatan, satudi barat yang disebut sebagai pintu (gerbang ?) gunung yang yang
berhadapan dengan Gunung Gede, dan satu lagi di utara yang disebut
sebagai pintu air.[3] Pembuatan tembok kota dilanjutkan ketika akan
terjadi serangan dari Mataram pada tahun 1598, tetapi ketika ancaman
menyurut, tembok-tembok tersebut terabaikan, dan akhirnya mulai
runtuh[4].
Setelah Maulana Hasanuddin mengalahkan Banten, secara cepat Banten menjadi pelabuhan
utama di Jawa Barat menggantikan kedudukan pelabuhan Sunda Kelapa. Pada abad ke-16 Banten
berada di atas pelabuhan-pelabuhan lain dalam menguasai pasar di sepanjang pantai utara Jawa.
Pada tahun 1596, Banten merupakan pelabuhan terbesar dan paling menguntungkan dibanding
dengan pelabuhan lainnya. Sayangnya, keterangan yang memaparkan tentang keadaan sepanjang
70 tahun di awal perkembangannya sangatlah sedikit. Banten tumbuh sebagai ibu kota
> Islam sampai datangnya kapal pertama
dari Eropa di pelabuhan Banten. Penulis catatan dari Portugis, da Couto,
dalam sebuah sumber yang mungkin berasal dari masa sebelum tahun
1570, menerangkan bahwa ukuran kota Banten: panjangnya 850 pal, dan
lebar sampai ke pantai 400 pal. Jalan dari pedalaman ke dalam kota
nampak semakin melebar. Perahu-perahu dapat berlayar sampai ke pusat
kota
> melalui
kanal-kanal yang terdapat di sekelilingnya. Pada salah satu sisi
pemukiman terdapat benteng bata setebal tujuh lapis dan juga terdapat
perbentengan kayu, yang dilengkapi dengan senjata.[5]
Banten Lama boleh jadi merupakan kota terbesar di pantai utara Jawa (dan juga mungkin terbesar
di seluruh Indonesia) pada tahun 1596; De Houtman memperkirakan bahwa luas Banten Lama
mungkin sama dengan kota Amsterdam, kota tempat pelayarannya dimulai. Banten memiliki
sejumlah ciri pokok sebagaimana pelabuhan besar lainnya di Jawa pada kurun waktu yang sama.
Deskripsi tertua yang cukup terinci tentang Banten ditulis oleh pendatang pertama dari Belanda
dan Inggris yang tiba di Banten pada tahun 1596. Mungkin masih ada arsip-arsip di Portugal
yang berisi naskah-naskah yang berusia lebih tua, tetapi jika pun ada tetap belum terungkapkan.
Gambaran pertama tentang kota Banten, baru diketahui setelah menjadi kota
> muslim selama 70 tahun. Kota Banten
tumbuh dari pelabuhan nomor dua di kerajaan Pajajaran menjadi pusatkota
> internasional
yang utama, dimana pedagang-pedagang asing membentuk diri sebagai
bagian penduduk yang penting, dan selanjutnya muncullah pemukimanpemukiman khusus.
Pada abad ke-15 beberapa musafir Cina memperkirakan populasi beberapa pelabuhan di Jawa; ini
merupakan sumber tertua yang berisi informasi mengenai kependudukan. Perkiraan orang Cina
untuk beberapa pelabuhan di pantai utara Jawa seperti Tuban dan Gresik, sekitar tahun 1430,
hanyalah sekitar 5000 jiwa.
Di dalam tembok kota
> Banten terdapat tiga jalan, tetapi
jalan-jalan tersebut tidak dikeraskan sehingga sangat becek (berlumpur).
Bagaimanapun seluruh bagian kota dapat dilalui perahu (Mollema, op.
cit., h. 221.), yang dilengkapi dengan sarana-sarana transportasi yang
efisien bagi penduduk dan barang.
Sistem transportasi dalam kota dihubungkan
dengan dua sungai, baik yang mengalir dari sebelah timur maupun barat
kota
>. Jalan masuk
menuju jaringan transportasi air di dalam kota
> ini juga diawasi (dikendalikan)
dengan perintang-perintang bambu, yang bila malam hari direndahkan
(diturunkan). Di sana terdapat beberapa
jembatan, misalnya terdapat di Karangantu, di sebelah timur kota
>, dan di dekat
Mesjid Agung yang disebut dengan Jembatan Rantai, yangujung-ujungnya diberati dengan batu. Sistem penyeberangan sungai
dengan perahu tambang juga ada, tetapi dilarang dilakukan pada malam
hari, untuk alasan keamanan.[6]
Banten bukanlah satu-satunya kota
> yang memiliki lingkar benteng
pertahanan. Cirebon, Demak dan Tuban juga
memiliki tembok kota dari bata, pada tahun 1596. Sementara itu kotakota pelabuhan yang lain seperti, Jayakarta, Jepara, dan Blambangan
juga memiliki tembok pertahanan dari bambu atau kayu[7].
Di pusat kota terdapat sebuah bangunan besar tempat kediaman raja Banten yang disebut istana
Surosowan. Di depan istana, di sebelah utara, itu terdapat lapangan terbuka yang berukuran luas
yang disebut dengan alun-alun.
Sejumlah kegiatan diselenggarakan di alun-alun, termasuk di antaranya
kegiatan pertemuan dewan kerajaan, sidang pengadilan dan beberapa
kegiatan (peragaan) publik lainnya. Di pagi hari, alun-alun juga
digunakan untuk penyelenggaraan pasar. Bangunan datar yang
ditinggikan dan beratap didirikan di dekat istana, digunakan oleh raja
untuk bertatap muka atau untuk tempat menunggu raja, yang disebut
dengan srimanganti. Di sebelah barat didirikan mesjid utama. Kediaman
para syahbandar menempati sisi timur alun-alun, sedangkan di tepi utara
dibatasi oleh sebuah sungai.
Di sudut timur laut alun-alun di atas tepi sungai, ditempati bangunan beratap untuk melindungi
beberapa parahu perang, beberapa fusta dan beberapa perahu besar lainnya.[8] Sebuah sumber
dari tahun 1680 menyebutkan bahwa sultan Agung memiliki 25
kapal yang digerakkan dengan dayung[9].
Gajah milik raja juga ditempatkan di dekat penambatan kapal-kapal itu.
Nama lain bagi Surosowan, mungkin lebih awal, yaitu Kedaton Pakuwuhan[10].
Tempat tinggal raja yang pertama di Banten mungkin didirikan di dekat
Karangantu, tetapi antara tahun 1552 dan 1570, pada masa pemerintahan
Maulana Hasanuddin, barulah dimulai pembangunan istana di situs
istana di Banten. Penerbitan keterangan tertua dibuat oleh Verhaghen,
yang didasarkan pada kunjungannya bulan Maret 1600. Begitu iayang didasarkan pada kunjungannya bulan Maret 1600. Begitu ia
mendekati istana dan memasuki pintu gerbang pertama, terlihat beberapa
rumah rendah yang diapit oleh dua rumah jaga tempat tentara-tentara
ditugaskan. Di dekatnya terdapat gudang persenjataan, kemudian
ruangan yang disediakan bagi para pengrajin.
Beberapa di antara mereka mungkin adalah pengrajin emas, suatu
pekerjaan biasa yang dikuasai oleh para penguasa Indonesia
>. Istana di Aceh
dikatakan telah menggunakan 300 pekerja[11].
Air raksa dijual oleh orang-orang Cina di pasar, boleh jadi telah
digunakan dalam kaitannya memperindah melalui teknik mencampur
emas dengan air raksa; cairan emas dan air raksa kemudian dituang
untuk melepaskan unsur-unsur yang tidak murni. Melalui pemanasan
yang tinggi maka unsur air raksa akan menguap, yang tersisa kemudian
hanyalah emas.
Verhaghen kemudian berjalan melalui pintu gerbang kedua, yang diukir indah sekali, diapit oleh
dua rumah sederhana yang diperuntukkan bagi pelayan-pelayan gubernur, dan kemudian sampai
di lapangan luas (alun-alun) dan mesjid kerajaan. Pada sisi kiri terdapat rumah jaga lainnya
dengan pengawal. Antara rumah jaga dan jalan masuk ke istana, terdapat portal yang diukir; dan
melalui tempat ini, seseorang dapat melihat sebuah kolam kecil dan sebuah balai atau paviliun di
atas tiang (rumah panggung) dimana ditebarkan tikar-tikar yang dianyam indah sekali.
Dinding pagar Surosowan tingginya sekitar 2
meter, lebar 5 meter, panjang pada bagian timur barat 300 meter,
sedangkan pada bagian utara selatan 100 meter, Jadi luas daerah yang
dibentengi sekitar 3 hektar. Di sudut-sudut terdapat bastion-bastion yang
berbentuk intan, dan di tengah dinding utara dan selatan berbentuk
proyeksi setengah lingkaran.
Perbentengan ini terbuat dari bata dengan tipe-tipe yang berbeda,
menurut ukuran bahan dan teknik pembuatannya. Beberapa tipe adonan
juga digunakan, termasuk tanah liat, campuran pasir dan kapur.
Dingding tersebut tidak kokoh, tetapi diisi tanah. Pada dinding bagian
utara disediakan ruangan untuk kamar-kamar. Pada bagian luar dinding
telah diperkuat bagian dalamnya untuk mencegah roboh ke arah dalam,
yang nampaknya semula direncanakan berdiri sendiri.Istana ini hancur oleh kebakaran pada bulan Desember 1605, dan pada tanggal 16 Juni 1607
terbakar habis, yang menurut pernyataan Saris, kepala perwakilan Inggris di Banten, kebakaran
tersebut sama sekali tidak dapat diterima akal. Istana kemudian dibangun di tempat yang sama.
Pada tahun 1661 dihiasi beberapa pohon. Sekitar tahun 1680, Sultan Haji membangun benteng di
sekitar istana untuk menangkis serangan dari Sultan Agung, ayahnya. Karena serangan Sultan
Ageng Tirtayasa pada tahun 1682, seluruh kota rusak akibat kebakaran, dan Sultan Haji
terkurung di dalam benteng sampai ia dibebaskan oleh tentara Belanda. Cardeel, seorang
penghianat Belanda dan tukang batu, membantu pembangunan perbentengan Surosowan.
Menurut Stavorinus, pada tahun 1769 sebuah prasasti dalam bahasa Belanda dapat dilihat di atas
portal utama: "Ini didirikan oleh Hendrik Laurentsz yang lahir di Steenwijk".[12] Penelitian
terhadap arsitektur perbentengan, bagaimana pun brkesimpulan bahwa perbentengan tersebut
jelas dibangun secara bertahap, bukan satu tahap seperti yang ditulis oleh Cardeel.
Pada mulanya terdapat tiga gerbang, di utara, timur dan selatan. Beberapa kali terjadi gerbang
selatan itu ditutup.
Gerbang utama di sebelah utara, berhadapan dengan alun-alun,
sedangkan gerbang di sebelah timur dibuat dalam bentuk lengkung,
dimaksudkan untuk mencegah tembakan langsung pada portal bila pintu
gerbang dibuka. Tiap tahap pembangunan dinding ini dapat diamati pada
gerbang bagian utara, yang secara relatif masih terpelihara dengan baik
pada fase pertama; pada fase kedua, dinding ini dipotong; dan pada
pembangunan fase ketiga, kembali dinding ditutup dengan batu karang.
Gerbang di sebelah timur telah runtuh tapi agaknya mengalami
modifikasi serupa.
Dinding yang asli mungkin adalah tembok keliling dari istana, untuk melindungi para
penghuninya dari pandangan kelas lebih bawah, dari pada dalam fungsinya untuk menjaga
serangan. Selama pembangunan pertama lebarnya tidak lebih dari pada 100 - 125 meter, tanpa
bastion, dibangun dari susunan bata berukuran besar yang dicampur dengan adonan tanah liat
(lempung).
Pada masa pembangunan tahap kedua, didirikan dinding bagian dalam, dan bastion pun
ditambahkan. Dinding ini merupakan penahan api/kebakaran. Pembangunan ini kemudian diikuti
pembangunan fase ketiga, yaitu pendirian kamar-kamar di sepanjang dinding utara, penambahan
lantai untuk mencapai dinding penahan api (parapet), gerbang utara diperbaharui, gerbang selatan
disisipi tetapi kemudian ditutup kembali.
Pada pembangunan fase keempat, dikembangkan pengubahan lainnya pada gerbang utara dan
mungkin pada gerbang timur, dan dinding bata ditutupi secara merata dengan karang pada bagian
luarnya.
Pembangunan yang kelima (terakhir) adalah menambahkan lebih banyak
kamar di bagian dalam dan penyempurnaan isian dinding. Bata-bata
yang digunakan dalam fase ini, adalah bata-bata yang berukuran lebihyang digunakan dalam fase ini, adalah bata-bata yang berukuran lebih
kecil, dan lebih banyak lagi adonan yang digunakan.
Jadi pada fase pertama dan kedua telah terjadi perubahan fungsi dinding, yaitu semula sebagai
tembok keliling menjadi tembok pertahanan dengan unsur-unsur Eropa[13].
Transformasi ini mungkin terjadi pada tahun 1680, mungkin dengan
batuan Cardeel. Sesudah masa itu maka Surosowan oleh Belanda disebut
sebagai "Fort Diamant
>". Fase pertama termasuk
penataan dinding paling luar, mungkin terjadi pada masa pemerintahan
Maulana Hasanuddin (1552 - 1570); Sejarah Banten menyebutkan
bahwa pembangunan gerbang utara dan timur dilakukan oleh Maulana
Yusuf, 1570 -
1580.
Surosowan, seperti posisi perbentengan lainnya di Banten Lama, dilengkapi dengan berbagai
pucuk senjata arteleri. Penggunaan meriam telah mencatat sejarah yang panjang di Jawa Barat.
Menurut da Barros, ketika orang Portugis pertama tiba di Jawa, meriam yang baik telah dibuat di
daerah setempat. Catatan berikutnya dari orang Portugis, yang berasal dari abad ke-16
menyebutkan bahwa Banten pada salah satu sisinya memiliki kubu kayu yang sangat kuat yang
dilengkapi dengan meriam[14].
Dari catatan orang Belanda yang tiba di Banten pada tahun 1596,
diragukan penempatan meriam-meriam itu di setiap sudut perbentengan.
Meriam-meriam itu ditempatkan tersebar di beberapa bagian kota
> sedangkan meriam-meriam yang
berukuran lebih kecil dipasang di depan istana (Crucq, 1938: 363).
Bagaimana pun meriam-meriam itu tidak dapat digunakan dengan baik,
karena amunisinya diimpor dari Malaka ─ baru kemudian Inggris pun
memasok amunisinya. Peluru-peluru meriam mulai dibuat di Banten
tahun 1666.
Menurut catatan-catatan pelayaran tahun 1596, senjata orang-orang Jawa pada umumnya terdiri
dari: tombak panjang, tameng kulit yang besar dan tipis, sumpitan panah kecil beracun, tetapi
tanpa peluru. Sebaliknya mereka memiliki pedang kecil berlekuk yang mereka sebut dengan
keris[15].Pada tahun 1837 didirikan perbentengan baru di sekeliling Banten untuk
melawan serangan yang diduga dari Mataram, dan mungkin, sebuah
meriam dipasang di depan gerbang selatan[16].
Selama blokade VOC terhadap Banten pada tahun 1657 - 1658, Banten
memasang deretan meriam-meriam pada kubu-kubu sepanjang pantai.
Menurut kebiasaan orang Jawa, setiap meriam memiliki nama khusus,
seperti yang disebutkan dalam sejarah Banten. Setiap meriam berada di
bawah pengawasan seorang pangeran/bangsawan. Seorang Belanda,
Dirk van Lier pada tahun 1659
melaporkan bahwa Banten diperkuat dengan lima benteng pertahanan
setinggi manusia, dan pada setiap kubu dilengkapi dengan 5 sampai 7
buah meriam. Ia memperkirakan bahwa di Banten terdapat 250 meriam,
setengahnya dibuat dari perunggu (mungkin usianya lebih tua), dan
setengahnya lagi dibuat dari besi, yang mungkin ditambahkan pada awal
abad ke-17[17].
Sebuah daftar meriam yang ditemukan di Banten pada tahun 1790, mungkin yang juga berada di
istana pada tahun 1680, sebagai berikut: Di sudut timur laut diament atau pakuwonan, benteng
dalam yang oleh Belanda disebut dengan flagpoint, yaitu:
margin-left:1.0cm;text-indent:-1.0cm;mso-list:l1 level1 lfo2;tab-stops:
list 1.0cm left 2.0cm">-
Dua meriam kuningan yang dibuat di Inggris untuk John, First Lord Berkly of Stratton, Master of
Ordonance pada tahun 1663. Meriam-meriam tersebut dibawa ke Tonkin (Vietnam Utara),
kemudian di jual ke Banten seharga 10.000 real Spanyol dan tiba di Banten pada tahun 1680.
-
Meriam buatan Inggris yang lain dengan prasasti William Wightman, London 1678.
-
Satu meriam lokal mungkin dibuat di Kawiragunan.
-
Di sepanjang sisi timur terdapat meriam-meriam:
Meriam Belanda dari kuningan, dibuat di Enkhuzen untuk cabang VOC di Amsterdam, 1623.
-
Meriam kuningan lain dibuat oleh Winghtman pada tahun 1677.
Sementara itu dari sudut tenggara yang disebut dengan Southpoint, yaitu:
-
Dua meriam kuningan lokal, dengan lima
> tanda pada larasnya
-
Satu meriam kuningan dengan tulisan Lamberts Amsterdam 1638.
Dari alun-alun, di sebelah utara terdapat jembatan rantai, dengan jalan menuju ke rumah
Pangeran Gebang (perwira komandan garnisun setempat), laksamana (panglima armada), dan
para bangsawan.
Keadaan tempat-tempat ini dijelaskan secara terinci oleh Willem
Lodewyksz, salah satu peserta dalam pelayaran Belanda yang pertama ke
Banten pada tahun 1596, menulis: "Setiap bangsawan memiliki 10 atau
12 orang pengawal untuk menjaga rumahnya sepanjang malam. Ketika
engkau memasuki rumah mereka, engkau pertama kali akan memasuki
bagian yang disebut dengan pacebam (Paseban), dimana para bangsawan
itu akan menerima engkau, dan paseban dimana pengawal itu
ditempatkan; beratap buluh, atau daun kelapa tempat mana mereka
menerima audiensi. Di salah satu sudut halaman mereka juga didirikan
mesjid sendiri, tempat dimana mereka melakukan sembahyang tengah
hari (Dhuhur), di sebelahnya terdapat sumur tempat mereka mencuci.
Lebih masuk ke dalam lagi, seseorang akan sampai pada pintu dengan
jalan masuk yang sempit, yang diperkuat dengan beberapa gudang dan
kapal, yang dijaga oleh beberapa budak untuk melindunginya, sehingga
para bangsawan itu tidak dapat diserang oleh musuh-musuhnya pada
malam hari. Rumah-rumah mereka didirikan di atas 4,8 atau 10 tiang
kayu, yang diukir indah sekali, beratap daun kelapa (palm) dan sisanya
dibiarkan terbuka untuk mendapatkan kesejukan. Mereka tidak punya
kamar lebih tinggi atau loteng dimana mereka dapat terbaring, tetapihanya rumah penyimpanan, yaitu rumah bata yang tinggi dan tanpa
jendela-jendela."
Dalam penelitian arkeologi, melalui survey permukaan tanah dapat ditelusuri dan direkam gejalagejala muka tanah di lokasi yang diamati untuk kemudian ditafsirkan bagaimana tata letak dan
bentuk kota itu sesungguhnya; misalnya
dengan membandingan beberapa kota di dunia
Islam dan Asia Tenggara (khususnya Indonesia
>) pada periode-periode
yang sama. Beberapa gejala arkeologi yang pokok seperti sisa-sisa
bangunan kuno, dinding-dinding, jalan, pelabuhan, pasar dan kanal-kanal
─
yang ada di permukaan tanah ─ dapat ditelusuri dengan segera, tanpa
melalui penggalian[18].
Dari peta-peta yang paling sederhana pun seperti skets secara cepat seseorang dapat mengetahui
berbagai jenis sumber sejarah. Beberapa penulis telah menambah peta-peta skets atau peta-peta
tua untuk melengkapi interpretasi mereka. Walaupun peta-peta skets dan ilustrasi tersebut dibuat
secara impresif dan tanpa menggunakan alat atau skala, namun peta-peta itu dapat dijadikan
panduan untuk melakukan pengamatan arkeologis dalam usaha untuk melihat ciri-ciri umum
suatu situs.
Di sinilah letak peranan peta/skets untuk melengkapi penulisan yang
deskriptif, dan dapat digunakan sebagai pembanding terhadap hasil
fotografi ataupun gambar-gambar. Dan karena peta-peta skets tidak
memiliki skala yang seragam, serta tidak memperlihatkan topografi,
maka tidak dapat secara tepat digunakan untuk merancang bentukbentuk atau saling hubungan antara berbagai gejala arkeologis.
Bagaimanapun peta-peta skets berguna untuk memperlihatkan rekamanrekaman sementara, dan untuk menyempurnakannya perlu digunakan
peta yang lebih akurat[19].
Dari analisis peta-peta kuno, kronologi Banten Lama dapat diamati sebagai berikut:
1) 1527 -
15701570
Menurut kronik-kronik masa itu, sejak 8 Oktober 1526
kota dipindahkan dari Banten Girang ke Banten Lor (13 km ke arah
selatan) pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin. Bangunan
pertama yang didirikan oleh Maulana Hasanuddin dan dilanjutkan oleh
Maulana Yusuf adalah dinding batas kota dengan dinding-dindingnya
terbuat dari bata dan batu. Konfigurasi klasik dari masjid, keraton,
lapangan, pasar, dan pelabuhan telah diwujudkan.
Telaga Tasikardi pun telah dibangun oleh Maulana Yusuf.
2) 1570 -
1596
Kota Banten telah dikelilingi dinding batu, yang di bagian dalamnya terbagi dalam kampungkampung berpagar. Telah dibuat sebuah kanal untuk mengalirkan air sungai Cibanten ke dalam
kota
>. Selama periode ini, pertumbuhan
w:st="on">kota
> masih terus berlanjut.
Menurut Cornelis de Houtman, yang tiba di Banten tanggal 23 Juni
1596, kota
> tersebut besarnya seperti kota Amsterdam.
3) 1596 -
1659
Kota Banten bertumbuh terus, sehingga memerlukan perluasan kanal-kanal dan tembok-tembok
keliling. Dinding kota
> menghadap ke arah laut, dan telah
diperkuat dengan bastion-bastion serta kubu pertahanan. Lokasi pasar
Karangantu terletak di sebelah timur muara sungai Cibanten dan telahdiberi tembok keliling ─ tapi masih di luar dinding batas kota
>. Di sebelah barat didirikan
perkampungan bertembok keliling yang diperuntukan bagi orang-orang
asing.
Menurut Cortemunde, di sebelah barat kota terdapat penginapan orangorang Eropa dan kompleks orang-orang Cina. Di sana
> pun terdapat beberapa kanal, dinding
w:st="on">kota
>, dan jalan yang
kemudian dipindahkan.
4) 1659 -
1725
Setelah dua abad, pertumbuhan kota masih terus berlanjut; kanal-kanal telah ditambah, salah satu
yang tertua di antaranya digunakan untuk perkampungan orang-orang asing (kota
> baru) dan di
sebelah timurnya terdapat pasar yang juga berkembang. Perbentengan
keliling sekarang telah disempurnakan. Meski pun tidak digambarkan di
dalam peta Valentijn, Belanda telah mendirikan perbentengan yang kuat
(Speelwijk) di sudut utara berhadapan dengan laut. Beberapa bagian
tembok kota
> dan kanal telah dipindahkan.
5) 1725 -
1759
Perluasan jalan dan sistem kanal telah dibuat dengan menggali parit-parit di sekeliling keraton
Surosowan dan perbentengan Belanda. Kanal yang dilintasi jembatan rante telah diluruskan ke
arah timur sampai ke bagian selatan pasar Karangantu. Dari peta Heydt terdapat gambar prosesperpindahan dan perubahan rencana kota yang meliputi aspek dan arsitektur, kanal-kanal, jalanjalan, dan
tembok-tembok kota.
Dengan menganalisa peta-peta kuno dan penginderaan jauh, kita dapat
menelusuri perpindahan dan penafsiran kota lama Banten. Pada tahun
1750 terjadi pemberontakan terbesar di Banten. Di dalam perluasan
bangunan-bangunan Belanda, menurut sejarah, tahun 1751
revolusi dapat ditindas. Situasi ini telah memperkokoh kedudukan
kompeni Belanda dan menjadikan makin lemahnya Banten.
6) 1759 -
1902
Setelah kunjungan Stavorinus 1769, tidak terdapat sumber-sumber lain mencatat perkembangan
kota
> Banten. Menurut Breughel, yang menulis
catatan tentang Banten tahun 1787, terdapat beberapa gudang dan
penjara, juga sebuah pendopo dengan sebuah platform setinggi 10 - 12
kaki memenuhi permukaan alun-alun. Bagian-bagian pemukiman
penduduk asli kota
> itu tampak tidak terlalu banyak
berubah, hanya ada beberapa rumah beratap genting pada masa itu. Pada
tahun 1795 cacah jiwa distrik Banten diperkirakan sebanyak 90.000 ─
cacah jiwa seluruh Jawa pada saat itu sekitar 3,5 juta orang. Di sana
> masih terdapat kampung Arab yang
terletak di antara keraton Surosowan dan Karangantu, tetapi dikatakan
pada waktu itu bahwa 4/5 rumah-rumah orang Cina sudah tidak dihuni.
Kekuatan ekonomi Batavia terlalu kuat, sehingga Banten menurut
statusnya menjadi pemukiman propinsi (daerah). Peristiwa-peristiwa
politik dan militer dalam perang Napoleon, pendudukan oleh Inggris,
serta kembalinya pendudukan Belanda, menyebabkan pemukimanBanten perlahan-lahan menurun dan kedudukannya menjadi desa dan
kemudian terbakar pada tahun 1808 - 1809. Kota Banten lenyap untuk
selama-lamanya, hanya tercatat bahwa Kaibon sebagai keraton ─
didirikan pada tahun 1815 ─ untuk ibu Sultan Rafiuddin, yang
kekuasaannya tidak berarti apa-apa.
7) 1902 -
1977
Situs sekarang dikenal sebagai Banten Lama (10 km di sebelah utara kota Serang). Banten kini
tersisa sebagai runtuhan. Hanya sistem kanal, tembok-tembok keraton, keraton Kaibon,
Speelwijk serta beberapa sarana pelabuhan serba kekurangan yang masih tersisa.
Menurut Serrurier, sebuah peta Banten Lama diterbitkan pada tahun 1902 itu telah dibuat pada
tahun 1879, Serrurier seorang kurator koleksi Etnografi BG memperoleh peta tersebut dari
Residen Banten pada tahun 1893. Peta itu membagi Banten menjadi 33 kampung, dan terdapat
tanda-tanda lahan lainnya. Peneliti Belanda (Brandes) menemukan peta yang "tidak dapat
dipercaya", tetapi menyetujui bahwa pemberian nama bagi beberapa kelompok pemukiman
sangat berguna sebagai petunjuk kelompok-kelompok yang pernah menghuni berbagai
perkampungan di Banten.
Banten dipugar dari tahun 1915 sampai 1930 oleh pemerintah Belanda, tetapi tidak mencatat
setiap peralihan secara kronologis, khususnya kanal-kanal dan tembok-tembok kota. Restorasi
dan pemeliharaan Banten Lama dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia
> dari tahun 1945
sampai sekarang. Masalah utama ialah bahwa beberapa runtuhan dan
situs rusak berhamburan. Tetapi kita mencoba menyelesaikan dan
merancang untuk mengembangkan situs ini sebagai "Taman Arkeologi
di Banten Lama".
8) 1977 -
1987
Suatu masterplan (rencana induk) Taman Arkeologi Banten telah dibuat dan mulai dilakukan
restorasi. Perumusan hipotetik tata kota dari berbagai periode, mencari
kesejajaran dengan beberapa kota lainnya dan memperbaikinya sebagai
suatu informasi baru menjadi
memungkinkan. Rencana ini dapat membantu mengidentifikasi area-area
yang harus dipelihara secara terbuka. Situs ini, secara umum masih tetapyang harus dipelihara secara terbuka. Situs ini, secara umum masih tetap
terpelihara, dan beberapa dari sisa-sisa pondasi bangunan masih
terpendam dalam tanah.
Menurut peta geologi, situs Banten Lama berketinggian sekitar 0 - 25 meter di atas permukaan
laut, dengan kemiringan 2%. Di sebelah selatannya yaitu daerah Banten Girang, terdapat daerah
perbukitan yang berketinggian antara 25 - 100 meter di atas permukaan laut. Curah hujannya
tertinggi setiap tahun sekitar 1840 mm, dan temperaturnya sekitar 26 - 27 derajat Celcius, dengan
kelembaban sekitar 70%. Permukaan tanah daerah Banten Lama dan Tirtayasa (kira-kira 15 km
ke arah timur) semakin rata, keduanya adalah zona alluvial (beting pantai, daerah luapan banjir
dan sekitar aliran sungai). Sering kali terjadi banjir besar setelah hujan yang sangat deras. Jenis
lempung Banten Lama seperti kelabu alluvial, hidromorf, dan gleihumus. Proses pengubahan
oleh air sungai berasal dari sedimentasi lempungan, sungai dangkal kurang 0.5 meter dalamnya,
begitu pula air muka tanah begitu dangkal yaitu pada kedalaman sekitar 0,5 - 3 meter, dan sungai
berair sepanjang tahun. Hal itu membuat lumpur dari hulu yang terbawa sepanjang aliran sungai,
setelah turun hujan lebat, akan membentuk tanah baru sepanjang tepi laut (disebabkan oleh
pengendapan alami).
B. SISA-SISA BANGUNAN PURBAKALA BANTEN
LAMA
Adalah suatu kepastian yang sudah tidak dapat disangkal lagi bahwa kehidupan manusia
merupakan suatu proses sosial budaya yang setiap saat mengalami perubahan dan pergerakan.
Hal tersebut tentu akan menyebabkan adaya unsur catatan hidup manusia itu sendiri, baik di masa
lampau yaitu priode kurun ke kurun sejarah ataupun kejadian di masa sekarang yang mungkin
suatu saat akan mengalami perobahan atas dasar keinginan manusia sesuai dengan kondisi dan
perkembangan jaman. Karena itu tugas kita sekarang adalah antara lain menyelamatkan dan
memelihara hasil budaya manusia terdahulu. Sisa-sisa peninggalan orang-orang terdahulu itu
penting dipelihara sebagai pelajaran hidup bagi generasi berikutnya.
Dari puing-puing reruntuhan bangunan sisa kota
> Banten Lama, yang sekarang terletak di desa
Banten 9 km dari kota Serang, kita dapat
mengamati beberapa peninggalan sebuah kota Islam terbesar yang
pernah ada, yaitu:1. Keraton Surosowan
Keraton Surosowan adalah tempat kediaman sultan Banten, yang oleh orang Belanda disebut
Fort Diamant atau Kota Intan, yang dikelilingi oleh tembok perbentengan seluas ± 4 hektar.
Keadaan keraton itu kini sudah hancur, yang nampak hanyalah sisa
bangunan saja yang berupa pondasi-pondasi serta tembok-tembok
dinding yang sudah rusak.
Menurut Babad Banten, keraton ini dibangun oleh raja Banten pertama yakni Maulana
Hasanuddin (1526 - 1570). Pembangunan tembok benteng dibangun oleh raja Banten kedua,
Maulana Yusuf (1570 - 1580), dengan bangunan benteng yang disusun dari batu bata dan batu
karang.
Benteng ini kemudian dirobah bentuknya menjadi bastion dan ditambah
dengan tembok batu karang di bagian luar, hingga benteng tampak lebih
kuat dan kekar oleh Hendrik Laurenzns Cardeel (1680 - 1681) pada masa
pemerintahan Sultan Haji (1672 - 1687).
Keraton Surosowan ini telah mengalami penghancuran berkali-kali. Kehancuran total yang
pertama kali terjadi ketika perang saudara antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan pihak VOC
yang dibantu putra mahkota Sultan Haji pada tahun 1680. Akibat perang ini, keraton Surosowan
dibumi-hanguskan oleh Sultan Ageng Tirtayasa sebelum melanjutkan perlawanan dari Tirtayasa.
Setelah Sultan Haji dinobatkan menjadi raja Banten pengganti ayahnya, ia meminta bantuan
seorang arsitek Belanda, Hendrik Laurenzns Cardeel, untuk membangun kembali istananya.
Cardeel meratakan dan kemudian membangunnya kembali keraton
tersebut di atas puing-puing reruntuhan keraton.
Kehancuran keduakalinya dan ini yang terparah ialah terjadi pada tahun 1813, saat mana
Gubernur Jendral Belanda waktu itu Herman Daendels memerintahkan penghancuran keraton.
Hal ini disebabkan karena Sultan Banten yang terakhir, Sultan Rafiuddin, tidak mau tunduk
kepada Belanda. Akibat penghancuran ini, maka tidak tersisa sedikit pun bangunan keraton yang
masih dalam keadaan utuh. Keraton itu kemudian ditinggalkan penghuninya, dan terbengkalai
tanpa ada yang memperhatikannya lagi.[20]
Dari penelitian dan penggalian arkeologis, ternyata perubahan desain keraton Surosowan ini
sering terjadi karena para sultan yang memerintah Banten, sering menambah, mengubah dan
memperbaiki bentuk bangunan keraton. Perubahan desain ini mudah diamati dengan cara melihat
perubahan struktur fondasi bangunan, pemotongan dinding dan penggantian bentuk serta susunan
bangunan.
Pintu gerbang istana terletak di sisi benteng sebelah utara menghadap ke alun-alun. Berdasarkan
peta lama, bahwa di sisi benteng sebelah timur pun ada terdapat pintu masuk, namun kini sudah
tidak nampak lagi. Di setiap sudut benteng terdapat bagian tembok tebal yang menjorok ke luar,
sedang pada setiap sisi sudut bagian dalamnya ditemui pintu-pintu masuk ke dalam ruangan yangtercapai pada tembok benteng itu.
Pada mulanya keraton dikelilingi pula oleh parit-parit, akan tetapi kini hanya sebelah barat dan
selatannya saja yang masih ada. Di bagian tengah keraton itu terdapat bekas "pemandian sultan"
dan beberapa kolam lainnya; yang dinamai rara denok dan pancuran mas, yang airnya dialirkan
dari suatu tempat yang dinamai Tasikardi, danau buatan yang terdapat di sebelah selatan Keraton
Surosowan. Beberapa saluran/irigasi dari Tasikardi sampai ke keraton Surosowan tampak teratur.
Dalam penyaluran air bersih digunakan pipa besar dan kecil (dari garis
tengah 2 cm hingga 40 cm), terbuat dari terrakota, hingga langsung ke
kran-kran logam pancuran mas[21].
Untuk penjernihan air yang nanti digunakan sebagai air bersih bagi
penduduk kota dan
kraton, digunakan cara penyaringan dengan teknik pengendapan dan
poriositas batuan, pasir dan ijuk di pangindelan abang, pangindelan
putih, dan pangindelan mas, tiga buah bangunan semacam benteng kecil
yang kokoh dan kuat, terdapat di pinggir jalan dari Surosowan ke
Tasikardi.
2. Meriam Ki Amuk
Meriam yang dikeramatkan oleh sebagian penduduk, (dulu) ditempatkan di dekat kanal di bawah
sebuah gubuk beratap tanpa tembok, yang diletakkan menghadap utara seperti disiapkan untuk
menembak kapal musuh yang hendak merapat ke pantai Karangantu.
Di atas bagian moncongnya, terdapat suatu prasasti bertuliskan huruf Arab yang berbunyi
"Aqikatul Khoirisala matul imani" dengan bagian pangkal berbentuk tangan yang mengepal
dengan ibu jari ke luar mengarah ke atas.
Menurut K.C. Crucq yang telah mengadakan penelitian terhadap meriam-meriam yang berasal
dari bekas kesultanan Banten, prasasti tersebut merupakan candra sengkala yang menunjuk
angka tahun saka 1450 (1528 - 1529 M). Selanjutnya menurut Crucq bahwa meriam Ki Amuk ini
ada hubungannya dengan meriam Ki Jimat, yaitu meriam yang dihadiahkan oleh Sultan
Trenggono dari Demak kepada Sunan Gunung Jati.
Beberapa tahun setelah adanya pengerukan kanal Karangantu oleh KOP Bhakti Rem 064
Maulana Yusuf tahun 1967, meriam tersebut pernah hilang dari tempatnya. Dan setelah diadakan
pemugaran Mesjid Agung Banten oleh Pertamina pada tahun 1974 meriam tersebut ditemukan
kembali dan oleh Direktorat Sejarah dan Purbakala ditempatkan di sudut tenggara alun-alun,
tidak jauh dari pintu gerbang bagian utara benteng Surosowan.3. Watu Gilang
Watu Gilang adalah sebuah batu berbentuk segi empat dengan permukaannya yang datar dan
terbuat dari batu andesit. Batu tersebut terletak di sebelah timur laut meriam Ki Amuk. Menurut
Babad Banten, batu ini dipergunakan sebagai tempat pengambilan sumpah para sultan/penobatan
raja.
4. Watu Singayaksa
Batu ini terletak di alun-alun kota
> Lama Banten. Di masa kesultanan,
dipergunakan untuk mengumumkan semua titah/peraturan-peraturan
sultan yang disampaikan oleh seorang ulama.
Menurut dongeng rakyat, batu ini pernah dipakai sebagai tempat bertapa Sang Batara Guru
Jampang, yang karena lamanya ia bertapa, hingga burung-burung membuat sarang di atas tutup
kepalanya.
5. Mesjid Pecinan Tinggi
Masjid ini terletak ± 100 meter di sebelah kiri jalan raya, dekat rel kereta api, di kampung
Dermayon. Disebut Masjid Pacinan Tinggi karena dahulunya banyak orang-orang Cina
berdagang dan bertempat tinggal di sana semasa Maulana Hasanuddin. Bangunan tersebut kini
tinggal puing reruntuhan, dengan sisa menara, dan mihrab (peng-imaman mesjid), adapun lainnya
hanya sisa pondasi bangunan induk yang terbuat dari batu karang dan bata tanah liat. Menurut
catatan sejarah, mesjid ini adalah mesjid yang pertama dibangun oleh Syarif Hidatullah yang
dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin.
Beberapa puluh meter dari Masjid Pecinan Tinggi, di daerah Pecinan (dulu), terdapat bangunan
tua sebuah rumah kuno gaya
> Cina yang masih
utuh (masih dihuni oleh seorang keturunan Cina) persis di persimpangan
jalan menuju ke Mesjid Agung; yang mungkin sisa rumah di pecinan. Ke
arah utaranya lagi dari rumah tua tersebut, terdapati pintu gerbang dan
klenteng Cina.
Klenteng pertama dengan "Dewi KwanIm"-nya yang pertama dibangun semasa raja pertama Banten, yang
letaknya di daerah Pecinan ini. Sedangkan klenteng "Dewi Kwan Im"
yang sekarang, belum diketahui kapan dibangunnya; yang di tempat itu
sebenarnya, di muara sungai Cibanten dengan jembatan jaganya, tempat
berdirinya bangunan pintu masuk pelabuhan pertama Banten ─ sewaktu
kedatangan Cornelis de Houtman ke Banten (1596) ─ dengan
gudang-gudang penimbunan barang untuk eksport kesultanan Banten. Di
tempat ini pun didapati runtuhan bekas menara penjaga petugas
pelabuhan, di sebelah kanan muara Cibanten.
6. Kompeks Mesjid Agung Banten
Komplek Mesjid Agung Banten ini terdiri dari :
margin-left:1.0cm;text-indent:-1.0cm">a. Bangunan Mesjid Agung dengan
serambi yang penuh dengan makam di kiri kanannya.
Berdasarkan sejarah Banten, mesjid ini didirikan pada masa
pemerintahan Maulana Hasanuddin. Seperti juga mesjid-mesjid lain,
bangunan mesjid ini pun berdenah segi empat. Atapnya terbuat dari kayu
bersusun berbentuk limas.
Di dalam serambi kiri yang terletak di sebelah utara terdapat makam beberapa sultan Banten dan
keluarganya. Di antaranya terdapat juga makam Maulana Hasanuddin dan istrinya, makam Sultan
Ageng Tirtayasa, dan makam Sultan Abul Nasr' Abdul Qahar (Sultan Haji). Sedang di dalam
serambi kanan yang terletak di sebelah selatan terdapat makam Maulana Muhammad, makam
Sultan Zainul Abidin dan lain-lain.
b. Bangunan Tiyamah, bangunan ini merupakan bangunan tambahan. Dibangun oleh Hendrik
Lucasz Cardeel seorang arsitek bangunan Belanda, sebab itulah bangunan tersebut
merupakan desain Eropa. Dahulu tempat ini dipakai untuk berdiskusi dan bermusyawarah
soal-soal keagamaan.
c. Menara; Menara ini terletak di halaman depan Mesjid Agung Banten. Bangunan ini terbuat
dari batu bata dan tingginya 30 meter, yang juga dibangun kembali oleh Lucasz Cardeel.
Menurut Babad Banten, menara ini dibangun sejak Maulana Yusuf oleh arsitek asal
Mongol, Cek Ban Cut. Kapan bangunan ini didirikan tidak diketahui dengan pasti. Di
dalam "Jaurnal van de Reyse" (De Eerte Schipvaart der Nederlanders naar Oost Indie
onder Cornellis de Houtman, 1595 - 1597), terdapat sebuah peta Banten yang
memperlihatkan adanya menara tersebut, sedangkan di dalam sejarah Banten antara lain
disebutkan bahwa: "Kanjeng Maulana (Hasanuddin) adarbe putra satunggal lanangjeneng putra mangke nuli den wastanne Maulana Yusuf ingkang puniko jeneng Yusuf
sampung gung ikeng putra pan sampan adarbe rayi nalika iku waktu ning wangun
munare."
Berdasarkan atas pemberitaan tersebut K.C. Crucq berpendapat bahwa menara Mesjid Agung
Banten sudah ada sebelum 1596/1570, dan berdasarkan tinjauan seni bangunan dan hiasannya ia
berkesimpulan bahwa menara tersebut didirikan pada pertengahan kedua abad XVI, yaitu antara
tahun 1560 - 1570.
d. Komplek makam di halaman sisi sebelah utara. Di sini banyak terdapat kuburan keluarga
serta kerabat sultan. Di antaranya terdapat kubur salah seorang panglima perang yang
terkenal dengan julukan Pangeran Gula Gesen. Di dalam ruang makam terdapat 9 buah
makam sultan dan para keluarganya, yakni Sultan Hasanuddin, Sultan Maulana
Muhammad, Sultan Zainul Abidin, anak dan istrinya. Di luar ruang makam ini, masih di
sebelah utara mesjid, terdapat pula makam-makam kuno bercampur dengan pemakaman
umum, antara lain Sultan Ageng Tirtayasa dan istrinya, juga Sultan Abu Nasr Abdul Kahar
(Sultan Haji).
7. Pasar dan Pelabuhan Karangantu
Karangantu menjadi pelabuhan utama dan pasar, difungsikan sebagai pelabuhan dagang bagi
lingkup lokal maupun asing.
Kunjungan Tome Pires ke Karangantu tahun 1513 belum melihat
pentingnya tempat ini, karena pelabuhan Sunda Kelapa masih
merupakan pelabuhan terpenting bagi Pajajaran. Pada abad berikutnya
Karangantu menjadi pelabuhan utama, sejak Banten diislamkan dan
aktivitas Banten Girang dipindahkan ke Banten Lama. Sejak akhir abad
XVI Karangantu menjadi bandar internasional utama untuk Indonesia
bagian barat, terutama akibat jatuhnya Malaka ke tangan Portugis.
Perkembangan dan pertumbuhan Karangantu, baik sebagai pelabuhan maupun pasar, antara lain
dapat ditelusuri melalui kajian foto udara, peta-peta kuno maupun fakta-fakta arkeologis di
lapangan, diduga keletakan berubah dari keadaan sekarang[22].
Dari peta kuna yang dibuat oleh de Houtman ketika mengunjungi Banten pada tahun 1598,
memperlihatkan bahwa kota Banten dikelilingi tembok kota dan tampak pula pasar Karangantu
dikelilingi oleh pagar kayu dan bambu.
Pada saat itu perluasan kota Banten mengarah ke bagian timur.
Sementara itu berdasarkan peta yang dibuat oleh Valentijn pada tahun 1725, terlihat bahwa pasar
Karangantu masih ditempatnya semula dan mulai dipenuhi dengan rumah-rumah pemukiman.
Pada abad-abad XVII-XIX M, seperti tampak pada peta Serrurier yang tersohor itu, Karangantutidak lagi ditandai sebagai sebuah pasar, hanya diberi catatan sebagai sebuah pelabuhan yang
dikelilingi tambak ikan. Dewasa ini situs ini menjadi tidak penting lagi, kecuali ditandai oleh
daerah pertambakan dan rawa-rawa di kampung Bugis.
Pelabuhan Karangantu berkembang dan tumbuh menjadi pusat berbagai aktivitas komersial dan
bisnis, toko-toko dan pasar utama, transaksi antara para pedagang Cina dan Arab (terutama). Di
sini pula terdapat pemukiman para nelayan, dok kapal-kapal, tempat pembuatan garam.
Sementara itu terus ke arah selatan sepanjang sungai Cibanten terdapat lahan-lahan pertanian
(padi dan sayur mayur) untuk pasokan istana.
8. Tasikardi
Tasikardi, terletak ± 2 km di sebelah tenggara keraton Surosowan, adalah suatu danau buatan/situ
(luasnya ± 5 ha) yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah pulau kecil. Semula pulau buatan ini
dibangun khusus untuk ibunda Sultan Maulana Yusuf dalam bertafakkur mendekatkan diri
kepada Allah. Selanjutnya, pulau buatan yang terdapat di tengah danau buatan itu digunakan
sebagai tempat rekreasi bagi bangsawan kesultanan. Pada tahun 1706 Sultan Banten menerima
seorang tamu Belanda Cornelis de Bruin di Tasikardi dan ketika Daendells membuat jalan dari
Merak ke Karangantu, danau kecil ini tidak diganggu. Situ ini berfungsi untuk penampung air
dari sungai Cinbanten, yang kemudian di-salurkan ke sawah-sawah dan sebagian untuk
kepentingan air minum rakyat serta untuk kebutuhan keluarga sultan di keraton Surosowan ─
dengan teknik
penyaluran air khas buatan Lucasz Cardeel ─ melalui pengindelan (filter
station) abang, kuning dan mas, air Tasik Ardi langsung masuk ke
lingkungan keraton dengan teknik penyaringan yang sudah kompleks.
9. Jembatan Rante
Jembatan Rante didirikan di atas air sungai/kanak Kota Lama Banten yang terletak 300 meter di
sebelah utara benteng Surosowan, berfungsi sebagai "tol-perpajakan" bagi setiap kapal kecil atau
perahu pengangkut barang dagangan pedagang asing yang memasuki kota kerajaan. Dari data
pictorial, jelas telah tergambar sesaat Cornelis de Houtman melukis kota Banten pada tahun
1596. Bahkan tertulis pada Babad Banten, bahwa Maulana Yusuf, tahun 1570, telah banyak
membangun fasilitas kota dengan segala macam kebutuhan untuk politik perdagangan. Jembatan
Rante dibangun dari bata dan karang serta diduga memakai tiang besi dan papan untuk fungsi
penyeberangan serta memakai "kerekan rantai" sebagai fungsi ganda bilamana lalu-lalang kapal
kecil, jembatan bisa dibuka; dan bila tidak ada kapal masuk, jembatan ditutup berfungsi sebagai
penyeberangan orang dan kendaraan darat.
Sebagai data visual yang masih berfungsi hingga sekarang kita dapat melihat dan meneliti
Jembatan Rante yang ada di Pasar Ikan, Jakarta.10. Mesjid Koja
Mesjid yang tinggal reruntuhan ini terletak di selatan jalan yang menghubungkan Speelwijk
dengan Karangantu, dimana beberapa meter dari mesjid tersebut di sebelah selatannya kini
terdapat jalan kereta api. Disebut Mesjid Koja karena dahulunya termasuk kompleks
perkampungan orang-orang Koja, Persia.
Menurut catatan orang Belanda, tempat tersebut pernah dihuni orangorang yang datang dari India, Jepang, Cina dan lain-lain sebagai
pedagang.
11 Mesjid Agung Kenari
Mesjid ini terletak di kampung Kenari ± 3 km ke arah selatan dari Mesjid Agung Banten. Mesjid
ini adalah mesjid tua peninggalan Sultan Abul Mufachir Muchmud Abdul Kadir (1596 - 1651).
Sultan pertama yang mendapat gelar "sultan" dari Mekah. Ia adalah putra Maulana Muhammad
Pangeran ing Banten. Selain itu di tempat ini terdapat pula makam putranya, Sultan Abul Ma'ali
Ahmad.
12. Benteng Speelwijk
Benteng Speelwijk terletak di tepi pantai ─
sebelum ada pendangkalan lautan di daerah ini ─ di kampung Pamarican
tidak jauh dari Pabean. Lengkapnya bernama Fort
> Speelwijk,
sebagai penghormatan kepada Cornelis Jansz Speelman, Gubernur
Jendral VOC
pada tahun 1681 - 1684. Benteng ini didirikan untuk kepentingan
kompeni Belanda yang dibangun pada tahun 1685 - 1686 oleh Hendrik
Lucasz Cardeel.
Walaupun belum diketahui pasti, apakah benteng ini berasal dari benteng Portugis, namun Graaft
menyatakan bahwa benteng tersebut adalah sebagai bangunan lanjutan dari tembok dinding kota
> yang dibangunsepanjang pantai yang disebut Tembok Banten Tua.
Jika kita berdiri menghadap reruntuhan benteng dari tepi sungai menghadap ke timur, akan
tampak bastion Speelwijk yang terletak di sebelah kiri. Di situ terdapat sebuah tangga terbuat dari
batu dan sebuah menara pengintai. Tembok yang melintang Platform Bastion adalah bekas
tembok tertua dari kota Banten, langsung menjulur ke sepanjang pantai dimana terdapat sebuah
Bolwerk (kubu pertahanan). Di sebelah atas tembok benteng terdapat jendela penembak yang
dulunya tersimpan meriam di setiap jendela tersebut.
Di bawah bastion Speelwijk terdapat ruangan tempat bubuk peledak dan tutup jalan masuknya
melalui pintu gerbang di bagian tenggara. Ada sebuah lorong di bagian bawah yang menuju ke
tempat bubuk peledak juga terdapat sebuah kamar sebagai tempat penyimpanan senjata. Lorong
yang menyudut 90 derajat itu kini masih dalam keadaan utuh dan bersih.
Ruangan-ruangan, yang sekarang tinggal sisa pondasi, di belakang pintu gerbang dalam
lingkungan puing bekas Speelwijk, adalah merupakan bangunan yang berada di bawah satu atap.
Dahulu ada sebuah jembatan gantung yang menghubungkan kedua pintu gerbang dan rumah
komandan, kamar senjata, kantor administrasi dan gereja.
Dengan berdirinya bangunan Fort Speelwijk tersebut, Belanda nampak
memperlihatkan kekuasaannya di bagian kota Banten. Dan ini juga
merupakan permulaan sejarah monopoli perdagangan kompeni Belanda.
Dalam pemerintahan Gubernur Jendral Daendels keadaan menjadi
berubah, dengan memburuknya situasi. Orang-orang Belanda mulai
meninggalkan Fort Speelwijk pada tahun
1810.
Beberapa ratus meter dari Speelwijk ke arah timur, terdapat beberapa kuburan orang-orang
Eropa. Pada tahun 1911 atas instruksi Gubernur Jendral A.W.F. Iden Borg reruntuhan Speelwijk
dan kuburan tersebut di pugar.
Sebuah kuburan yang bagus, besar dan menarik perhatian orang adalah kuburan Komandan Hugo
Pieter Faure (1717 - 1763), yang dihiasi oleh lambang keluarganya. Selanjutnya terdapat namanama: Jacob Wits, seorang pegawai fiscal/pajak dan pembelian (wafat 9 Maret 1769); Catharina
Maria van Doorn, istri Jan van Doorn seorang letnan (30
April 1747 - 8 Desember 1769); Maria Susana Acher, istri Thomas
Schipers, pegawai bagian pajak dan pembelian (wafat 6 Juli 1743).
13. Kelenteng Cina
Kelenteng ini terletak di sebelah barat Benteng Speelwijk. Semula kelenteng ini terletak diPecinan, dibangun oleh masyarakat Cina yang ada di Banten. Kapan bangunan ini dibuat tidak
dapat diketahui dengan pasti, tapi menurut tradisi, kelenteng ini dibangun pada masa awal
kerajaan Banten.
Menurut catatan Cortemunde (1659), kelenteng Cina (yang sekarang ini) menempati lahan loji
Inggris, sementara itu, kelenteng lama sesuai dengan catatan Valentijn (1725) berlokasi di
sebelah selatan menara lama (Mesjid Pacinan Tinggi).
14. Keraton Kaibon
Kearaton Kaibon adalah nama sebuah keraton yang terletak di kampung Kroya, sebelah selatan
sungai Cibanten, sebelum melewati sebuah jembatan jalan menuju ke kota
> Banten. Keraton Kaibon (Ka-ibu-an
= tempat ibu) adalah bekas kediaman Sultan Syaifudin, salah seorang
sultan yang pernah memerintah di Kesultanan Banten pada tahun 1809.
Sultan ini meninggal pada tahun 1915. Secara resmi keraton ini masih
dipakai sampai dengan masa pemerintahan bupati Banten pertama yang
mendapat restu Belanda, yakni Aria Adi Santika sebagai ganti
pemerintahan kesultanan yang dihapuskan mulai tahun 1816.
Bentuk arsitektuk kraton Kaibon, jika dibandingkan dengan keraton Surosowan justru Kaibon
nampaknya lebih archais.
Hal ini dapat kita lihat dari bentuk arsitektur pintu-pintu gerbang dan
tembok keraton. Jika diurut dari bagian depan, keraton ini mempunyai
empat buah pintu gerbang yang berbentuk bentar. Pintu gerbang utama
yang merupakan jalan masuk menuju bagian dalam keraton terletak di
tengah-tengah dinding tembok halaman depan, juga berbentuk bentar.
Dalam konsepsi kuno tentang bangunan-bangunan sakral dan sekuler pada arsitektur Jawa, kita
melihat adanya fungsi-fungsi arsitektur tertentu yang memberikan indikasi ciri-ciri sebuah
bangunan keagamaan atau bangunan sekuler. Dilihat dari bentuk pintu gerbangnya maka Kaibon
menunjukkan ciri-ciri sebuah keraton dengan gaya
> tradisional. Hal ini dapat dilihat
dari susunan pintu gerbang dan halamannya. Pintu gerbang pertama yang
merupakan jalan masuk berbentuk bentar, menunjukkan bahwa halaman
yang akan dilalui masih bersifat profan. Pada halaman kedua, jalan
masuk ditandai dengan pintu gerbang berbentuk paduraksa. Bentukpaduraksa ini, dalam tradisi bangunan kuno, menunjukkan bahwa
halaman yang akan dilalui telah mempunyai nilai sakral.
Pada umumnya, letak sitinggil pada kraton tradisional di Jawa seperti keraton Kasepuhan,
Kanoman, Demak, Panjang, Mataram terletak di halaman pertama bagian timur. Di Kaibon
terlihat tata-letak yang berbeda. Justru bangunan yang seharusnya untuk sitinggil, di sini yang
ada adalah bangunan sebuah masjid. Dengan demikian bangunan masjid pada keraton Kaibon
diletakkan pada bagian utama keletakan keraton.
Masjid Kaibon ini berbentuk persegi panjang dengan sebuah mihrab yang terletak pada dinding
barat masjid tersebut berbentuk sebuah ceruk persegi panjang. Pada halaman kedua ini pun
terdapat beberapa bangunan yang telah hancur dan yang sebagian hanya tersisa pondasipondasinya saja. Biasanya, dalam tradisi bangunan di Jawa, di halaman kedua setelah paduraksa
terdapat bangunan tempat tinggal sultan beserta kerabatnya; demikian juga bangunan-bangunan
seperti bangsal, srimanganti, dan sebagainya. Di beberapa bangunan ini, terlihat pada beberapa
sudut dinding adanya lubang bekas penempatan balok-balok kayu. Hal ini mungkin merupakan
sisa lantai bangunan yang terbuat dari papan kayu dari struktur bangunan yang lebih mutakhir.
Di pintu gerbang sebelah barat menuju ke masjid keraton terdapat sebuah tembok besar yang
terpayungi oleh pohon-pohon beringin yang tinggi. Pada tembok tersebut terdapat lima buah
pintu yang dibuat dalam gaya Jawa atau Bali
>. Ukuran tembok itu panjang 80 meter dan
tingginya 2 meter. Di sisi timur, dekat aliran sungai, masih ada lagi
sebuah pintu masuk ke dalem dengan bentuk yang sama, pintunya
berbentuk seperti busur panah, juga hal ini mengingatkan kita pada
bentuk bangunan Eropa. Di dekat pintu sebelah timur terdapat puingpuing bekas bangunan rumah-rumah yang dibangun pada permulaan
abad XVI (?). Di muka keraton Kaibon, dekat jalan raya, terdapat puingpuing dari sebuah pintu terbuat dari batu yang mana pintu tersebut
berhubungan dengan keraton Kaibon dan dinamai Pintu Gapura.
15. Makam-makam Kerabat Sultan
1) Makam Pangeran Mandalika
Makam ini terletak di seberang kampung Kroya; Pangeran Mandalika adalah putra Sultan
Hasanuddin, dari ibu yang bukan permaisuri.
2) Makam Pangeran MasTerletak di kampung Pangkalan Nangka. Dia adalah seorang Pangeran dari Demak. Meninggal
dan dimakamkan di Banten. Pintu gerbang menuju makam tersebut bergaya Holland Kuno. Di
depan pintu gerbang terdapat makam Singajaya.
3) Makam Maulana Yusuf
Terletak di sebelah timur jalan melewati rel kereta api tidak jauh dari kampung Kesunyatan,
tepatnya di tengah sawah, yang dikenal kuburan Pekalangan. Sehingga setelah meninggalnya ia
disebut Penembahan Pekalangan Gede.
4) Makam Pangeran Astapati
Makam ini terletak di kampung Odel, yang dikelilingi oleh tembok berpagar besi. Pada pintu
masuk sebelah selatan terlihat semacam bangunan ala Eropa yang sedikit ada perpaduan dengan
motif Jawa kuno. Pangeran Astapati adalah salah seorang panglima perang Banten semasa
pemerintahan Sultan Tirtayasa. Ia keturunan para pemimpin Baduy, di Kanekes, Banten Selatan,
yang kemudian menikah dengan Ratu Dahlia, salah seorang putri sultan. Pangeran Astapati atau
dikenal juga Pangeran Wirasuta ditugaskan untuk menggempur tentara kompeni Belanda di teluk
Banten.
Ibnu Khaldun (1322 -
1406) seorang cendekiawan muslim berpendapat bahwa sejarah pada
hakekatnya adalah kisah masyarakat atau kisah kebudayaan yang
merupakan perubahan-perubahan manusia secara sadar sebagai usaha
untuk menyempurnakan perikehidupannya. Dalam perubahanperubahan itu termasuk perubahan pada lingkungan alam sekitarnya
yang merupakan hukum yang ditetapkan oleh Al-Khalik untuk
manusia ciptaan-Nya. Sejarah adalah gambaran masa lalu tentang
manusia sebagai makhluk sosial, yang disusun secara ilmiah, teratur
(sistematik) dan diusahakan selengkap mungkin, meliputi urutan fakta
dalam ruang dan waktu, beserta penafsiran (interpretasi) dan
penjelasan (eksplanasi), berdasarkan sumber-sumber sejarah yang
terseleksi dan teruji.
Dengan menggunakan metode-metode baku dalam penulisan sejarah,
diharapkan produk yang dihasilkan merupakan penulisan tentangsejarah yang sebenarnya telah terjadi. Segala hal yang berkaitan kuat
atau pun hanya berhubungan pada bukti-bukti sejarah, dapat juga
dijadikan keterangan sejarah. Bukti-bukti sejarah itu dapat terdiri dari
berbagai ragam, mulai dari segala jenis dokumen, arsip, peta kuno,
silsilah, mata uang, prasasti, pada berbagai media (termasuk nisan),
peralatan, pemukiman kuno, pelabuhan kuno, sisa-sisa
pertahanan/perbentengan, sisa bangunan, teknologi, natulasi, dan
sebagainya.
Para sejarawan juga diminta perhatiannya terhadap berbagai sumber,
seperti berita perjalanan, catatan harian, hikayat, tambo, legende dan
sebagainya, karena sekali pun sebagian dari sumber-sumber itu
mengalami reduksi mau pun imbuhan, secara keseluruhan
mengandung fakta sejarah tentang sesuatu peristiwa, gejala, atau
sesuatu hal. Hanya perlu diingat, bahwa transformasi data dan
keutuhannya dipengaruhi oleh perjalanan waktu, perubahan persepsi
serta proses pewarisan data tersebut. Dimensi ruang, waktu dan
budaya masa lalu dalam dinamika dan perspektif sejarah, senantiasa
memiliki kaitan erat dengan tokoh, manusia dan kemanusiaannya. Hal
ini antara lain disebabkan bahwa dalam sejarah bidang apa pun,
manusia tetap menjadi tema sentral kajian dan pengungkapan sejarah.
Masih dalam hal sumber sejarah, Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary
menyatakan bahwa lingkup bahasan sejarah antara lain meliputi kajian
terhadap sumber-sumber literer, khususnya produk yang semasa atau
berdekatan dengan terjadinya sesuatu peristiwa sejarah (1991: 6). Oleh
karenanya sejarawan haruslah memberikan perhatian dan penghargaan
sepantasnya terhadap babad, hikayat dan tambo, yang juga memiliki
fungsi sebagai salah satu sumber sejarah. Hal demikian tidak dimiliki
oleh sejarawan barat. Ambary mengemukakan contoh, bahwa Prof.
C.C. Berg amat mengenyampingkan kitab-kitab babad untuk
diperhitungkan sebagai salah satu sumber sejarah (1938, II). Berg
menganggap bahwa babad tidak dapat dipercaya, bohong, penuh
khayal, tahayul, artifisial dan sebagainya. Ini tentunya (boleh jadi)
dipengaruhi oleh kurangnya penguasaan atau pemahaman informasi
yang ia peroleh mengenai psikologi dan persepsi orang Jawa
(khususnya) terhadap kekuasaan dan penguasa.
Ambary dengan cermat mengamati bahwa Babad Tanah Jawi (yangditulis sejak abad XVI M. dan seterusnya), mengandung banyak
paparan mengenai sejumlah peristiwa sejarah, yang notabene dapat
diuji silang terhadap sumber-sumber lain, yang (dianggap) lebih
otentik dan shahih. Kitab-kitab babad sebagai produk sastra, mungkin
memang berlebihan dalam menggambarkan raja dan kekuasaannya.
Tetapi seorang raja dalam persepsi rakyat yang dipimpinnya, adalah
seorang primus inter pares dan sah (legitimate), sekali pun misalnya ia
mencapai tahta melalui makar, tetap ia memiliki "simpanan"
legitimasi dalam bentuk lain, yakni: kesinambungan.
Untuk itu ia mengawini anak dan/atau istri raja terdahulu, mendapat
pulung/nurbuat. Dalam banyak kitab babad/ hikayat banyak tokoh
sejarah yang dikemas dalam citra magis-religius, sakral, sekti, dewa
dunia, kalipatullah dan sebagainya.
Ambary juga mengutip Prof. Soetjipto Wirjosoeparto (1963) dan
kemudian Soemarsaid Moertono (1985), bahwa dalam kitab-kitab
babad dan sejenisnya terkandung peristiwa-peristiwa yang layak
diperhatikan, bernilai setara dengan sumber-sumber sejarah dalam
bentuk yang lainnya. Begitu pula, penyusunan-penyusunan dinasti/
keluarga/ wangsa perlu mendapat perhatian yang wajar, seraya
membandingkannya terhadap daftar-daftar yang dimuat dalam sumber
lainnya.
Sejarah masa lalu, dapat menjadi "sesuatu" yang "dekat" terhadap kita
dan hari-hari ini. Seorang tokoh sejarah yang muncul di panggung
peristiwa 1-2
abad lalu, boleh jadi terasa amat dekat dengan kelompok dan suasana
batin masa kini. Ini tentunya merupakan dampak dari pengaruh faktorfaktor emosi, ikatan genealogi, besarnya dampak peristiwa di seputar
sang tokoh, apresiasi dan sebagainya. Ini pun secara gegabah dapat
dianggap sebagai bias, yang menjadi salah satu sumber subyektivitas
sejarah. Subyektivitas sejarah dapat pula bersumber dari pra-sangka
kelompok, trauma, ideologi, ras/etnisitas dan sebagainya, tetapi
bagaimana pun, subyektivitas sejarah adalah bagian yang memang ada
dalam upaya kita mencapai obyektivitas sejarah.
Karena sumber-sumber sejarah tidak lepas dari keterkaitannya dengan
(antara lain): ikatan keagamaan, kesukuan/etnisitas,kepentingan/interest, politik/ideologi dan sebagainya, maka tidak
jarang penulis sejarah terjebak dalam produk penulisan sejarah yang
dapat dipandang sebagai sejarah yang dikehendaki oleh si penulis.
Merekam kejadian masa lalu yang seratus prosen benar, bukanlah
suatu perbuatan mudah atau tidak dikatakan tidak mungkin. Karena
manusia sebagai subyek sejarah, tentunya memiliki konsekuensi
bahwa setiap kupasan tentangnya senantiasa pula memiliki
subyektivitas, sekali pun upaya-upaya pengungkapannya diusakan,
secara maksimal, untuk menjadi seobyektif mungkin.
Ke-subyektif-an sejarah itu akan selalu muncul, sebagaimana diakui
oleh Mr. A.K. Pringgodigdo: " . . . barangkali akan terlihat pula bahwa
yang menulis adalah anak bangsa Indonesia dan barang kali terdapat
pula dalam buku ini satu dua pemandangan atau kesimpulan dari
penulis yang sangat bergandengan dengan haluannya sendiri, . . ."
(1949: 13). Dan sebagaimana diakui oleh Prof. Dr. Noegroho
Notosoesanto: " . . . Tetapi sebagian besar sumber sejarah berasal dari
kesaksian manusia, karenanya tidak memiliki realitas obyektif,
melainkan hanya merupakan simbol daripada hal-hal yang pernah
nyata di masa lampau (1974:IV). Subyektivitas itu pulalah yang
menyebabkan terjadinya perbedaan visi, misalnya, Belanda
menyatakan Pangeran Diponegoro sebagai pemberontak, sebaliknya,
para sejarawan dan rakyat Indonesia dengan kacamata nasionalnya
menganggap Pangeran Diponegoro sebagai pahlawan dan pejuang
(1987:47). Prof. Dr. Haryati Soebadio mengingatkan, bahwa: "Sejarah
apa pun dan di kawasan mana pun di dunia ini penuh dengan peristiwa
yang di satu sisi bisa menimbulkan aneka macam lagenda dan bahkan
mitos, sedangkan di sisi lain bisa seketika terlupakan karena memang
selamanya pasang surut, masa keemasan di samping masa pergolakan
dan bahkan kemusnahan." (1991 a: 69). Karena itu ia sekali lagi
mengingatkan agar: " . . . sejarawan perlu mawas diri, supaya ia tetap
menjaga integritasnya sebagai peneliti ilmiah. Sejarawan sebagai
ilmiawan tidak diharapkan memberi tafsiran yang melanggar etika
ilmiyahnya. Ia mutlak harus mampu menghadapi sekalian peristiwa
dan kejadian-kejadian di sekitarnya dengan sikap seobyektif mungkin
dan serasional mungkin . . ." (1991 b: 7-8).
Namun demikian, haruslah disadari bahwa kajian sejarah beserta
peninggalan/warisan budaya masa lalu atau dikenal dewasa ini dengan
istilah benda cagar budaya mempunyai arti penting secara nasional. Di
dalam penjelasan Undang-Undang No. 5
Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, Presiden Soeharto
menegaskan bahwa: "Benda cagar budaya mempunyai arti penting bagi kebudayaan
bangsa, khususnya untuk memupuk rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh jatidiri
bangsa."
Maka sesungguhnya, makna sejarah diakui penting dan karenanya
diperlukan. Memang diakui seringkali terjadi kesenjangan pemahaman
antara sejarah sebagai peristiwa maupun sejarah sebagai kisah, atau
dengan perkataan lain terdapat perbedaan nuansa antara sejarah yang
benar-benar terjadi dan sejarah sebagaimana diceritakan. Tetapi yang
penting, para sejarahwan dan masyarakat pemakai informasi
kesejarahan, tetap harus meng-hindari segala kemungkinan
penyusunan "sejarah yang sebaiknya", karena hal itu adalah "penipuan
sejarah".
Bagaimana pun, sejarah senantiasa memiliki perspektif masa depan,
dan karena itu tidak ada alasan untuk bersikap pesimistik. Peryataan
G.J. Reiner yang sungguh membesarkan hati :
" . . . it is better, therefore, far better, that he should confess, to himself and to his readers, the
nature of his approach, display his bias . . ." (1961: 174) Keterbukaan sikap tersebut jelas
amat diperlukan, mengingat bahwa: "Reality is not 'rational' or 'realistic' in the sense that
everything which exists or happens is logical or necessary or explicable, most of it is
surprising, fantastic and improbable . . ." (Marc Bloch, 1954).
Di samping itu, rekaman sejarah -- seperti yang dinyatakan oleh
Binford (1983:23) -- merupakan bentuk statik dari dinamika yang
terjadi di masa lalu, sebagaimana halnya dinamika masa kini yang
dapat diamati pada kehidupan sehari-hari. Melalui kerangka pikir yang
dinamik, maka rekaman sejarah masa lalu (yang bersifat statik) akan
dapat dimengerti dan dijelaskan secara dinamik pula. Oleh karenanya,
untuk lebih memahami tentang kejadian dan dinamika kehidupan
masa lalu, maka fakta sejarah yang berasal dari rekaman sejarah
haruslah didekati secara kritis.
Dalam kajian ilmu sejarah sedikitnya terdapat dua teori kebenaranyang pada umumnya memiliki relevansi terhadap pengujian kebenaran
fakta sejarah, yakni apa yang biasa disebut dengan teori kebenaran
korespondensi (correspondance theory of truth) dan teori kebenaran
koherensi (coherence theory of truth) (WH Walsh, 1970: 74-75).
Walsh menyatakan bahwa teori kor