espondensi mengacu pada: sesuatu
(pernyataan) itu benar apabila sama (correspond) dengan realitasnya
(yakni apa yang benar-benar telah terjadi). Sementara itu teori
koherensi menyatakan bahwa sesuatu itu (suatu pernyataan) benar
apabila cocok (coherence) dengan pernyataan-peryataan lain yang
pernah diucapkan/dinyatakan dan diterima kebenarannya.
Berdasarkan pernyataan di atas, maka dalam pemakaian data sejarah,
terlebih dahulu, harus diteliti baik secara intern maupun ekstern.
Pendekatan intern adalah dilakukan dengan penelitian fisik dan tingkat
dapat dipercayanya naskah sebagai sumber sejarah, sedangkan
pendekatan ekstern dilakukan dengan menguji-silang sumber-sumber
utama yang akan digunakan dengan sumber-sumber lain. Nanti dalam
analisis data diterapkan metode deskriptif, dan analogi komparatif.
Dalam hal pengujian data sejarah ini, sikap kritik para penulis sejarah
adakalanya sampai pada tahapan skeptik (ragu) dalam memandang
informasi yang terkandung dalam suatu rekaman sejarah, tanpa
maksud meremehkannya. Karena seperti yang dijadikan sikap oleh
Prof. Nugroho Notosoesanto, ialah bahwa setiap rekaman sejarah, apa
pun wujudnya, memiliki kesempatan yang sama untuk diteliti.
Karena itulah dalam penyusunan Catatan Masalalu Banten ini,
khususnya ketika pembahasan menyentuh para tokoh, akan dihindari
sedapat mungkin berbagai penafsiran yang subyektif meski pun tidak
mungkin seratus prosen. Salah satu misal, kehebatan sesuatu
pertempuran akan diukur melalui jumlah pasukan yang terlibat, taktik
dan strategi yang digunakan, teknologi peralatan, lama pertempuran,
jumlah korban atau kerusakan dan sebagainya.
Bukan dengan dramatisasi berlebihan yang mengarah pada retorika.
Diusahakan, supaya dalam penulisan sejarah ini, tidak terjerat dalam
"keinginan" tertentu, maka haruslah diperhatikan kaidah-kaidah
disiplin ilmu sejarah, baik sejarah dalam pengertian sebagai kisah dariperistiwa atau pengalaman serta ikhwal manusia masa lampau, mau
pun sejarah sebagai aktualitas atau sebagai peristiwa itu sendiri. Untuk
mencapai maksud di atas, teori sejarah akan diterapkan membantu
menjelaskan sejarah dalam pengertian sebagai aktualitas, dan
menyusun kembali sejarah sebagai kisah (historiografi), dengan
pemaparan yang mendatar tanpa melupakan pendalaman data. Di
samping itu pula, dalam penulisan Catatan Masalalu Banten, datadata yang bersumber dari tradisi lisan, akan disebut tetap sebagai
tradisi lisan, tetapi sebaliknya pula, apabila sesuatu sumber memang
berasal/merupakan dokumen yang otentik, juga akan disebut sebagai
dokumen otentik yang telah teruji kebenarannya; sehingga pembaca
dapat menilai lebih obyektif.
Untuk memenuhi kriteria penulisan sejarah seperti yang disebutkan di
atas, maka dalam penulisan Catatan Masalalu Banten digunakan
seperangkat metode dan teknik penulisan yang tentu tidak akan
terlepas kait dari cara-cara menghimpun dan mengolah bahan-bahan
atau sumber yang menjadi materi penulisan. Karena itu dilakukan
sinkronisasi dan integrasi antara metode dan teknik penelitian dengan
metode dan teknik penulisan. Metode-metode yang digunakan dalam
penyusunan risalah ini, meliputi :
1.
Heuristik, yaitu kegiatan menghimpun jejak/bekas/ peninggalan masa lampau, baik yang
bersifat literer/
artifaktual, ipsefaktual dan ekofaktual.
2.
Kritik, yaitu kegiatan pemeriksaan dan pengujian menyeluruh bagi sumber data yang telah
terhimpun itu, secara:
margin-left:2.0cm;margin-bottom:.0001pt;text-indent:-1.0cm;msolist:l0 level2 lfo2; tab-stops:list 2.0cm;mso-layout-gridalign:none;punctuation-wrap:simple; text-autospace:none;verticalalign:baseline">a.
intern, yakni pengujian terhadap materi dari setiap sumber meliputi: keruangan/spatial,
pertanggalan/ temporan, bentuk/formal, struktur, konteks, serta fungsi dari pada setiap
sumber.
ekstern, yakni meneliti kelengkapan, kebenaran, otentisitas, orisionalitas, termasuk pengujian
terhadap sumber lain secara silang.
3.
Interpretasi, yaitu menafsirkan setiap sumber baik secara individual maupun korelasional,
baik dengan analisis maupun dengan analogis. Analisis diarahkan pada aspek-aspek kontek,
struktur, fungsi dan latar belakang dikeluarkannya setiap produk sumber sejarah. Sementara
analogi secara terbatas diarahkan pada kesejamanan dokumen lain dalam aspek
ruang/geografi, etnisitas, kultural dan bentang waktunya.
4.
Eksplanasi, yaitu menjelaskan secara berstruktur fakta-fakta sejarah, penganalisaan serta
rekontruksi sejarah, baik sejarah sebagai peristiwa mau pun sejarah sebagai kisah;
margin-left:1.0cm;margin-bottom:.0001pt;text-indent:-1.0cm;msolist:l0 level3 lfo2; tab-stops:list 1.0cm left 2.0cm;mso-layout-gridalign:none;punctuation-wrap: simple;text-autospace:none;verticalalign:baseline">5.
Presentasi/Penulisan akan dilakukan dengan teknik paparan (eksposisi) secara mendatar
(horizontal/synchronic), mau pun secara vertikal (diachronic).
Sebagai pengantar kepada uraian selanjutnya, pemahaman kesejarahan
Banten tidak bisa dilepaskan dari keadaan situasi kemasyarakatan
yang terjadi jauh di belakang dan dalam lingkup yang lebih luas.
Sebelum para penyiar agama Islam datang, di Indonesia sudah
berkembang berbagai kepercayaan, baik berupa kepercayaan asli
seperti animisme, maupun agama-agama Hindu dan Buddha yang
berasal dari Asia Selatan, malah semacam percampuran (sinkretisme)
dari berbagai kepercayaan dan agama-agama tersebut. Hal ini
mengandung pengertian bahwa bagian masyarakat tertentu
mencampur adukkan unsur-unsur dari ajaran serta upacara-upacara
dari kepercayaan dan agama di atas.
Nieuwenhuijze (1958:2) menyebutkan adanya latar belakang yang
bagus bagi masuknya Islam di Indonesia, yaitu bahwa masyarakat
Nusantara yang dimasuki unsur-unsur budaya Islam sejak abad XIII
M. itu dilukiskan sebagai "masyarakat tertutup" yang merupakan
sekelompok manusia yang saling padu, terisolir dan bebas, serta
merupakan kelompok swasembada yang dipisahkan dari seluruh
ummat manusia, dimana menurut Nieuwenhuijze selanjutnya:
margin-left:1.0cm;margin-bottom:.0001pt;text-indent:-1.0cm;msolist:l2 level1 lfo4; tab-stops:list 1.0cm left 2.0cm;mso-layout-gridalign:none;punctuation-wrap: simple;text-autospace:none;verticalalign:baseline">1.
penguasa dan atau kekuasaan adalah peran yang dimiliki masyarakat itu di alam semesta;
2.
manusia sebagai pribadi pertama-tama adalah anggota masyarakat dan bukan individu;
3.
penyerapan unsur asing secara sinkretik.
Selanjutnya, Agama Islam tampil menggantikan ideologi komunitas
Nusantara, sehingga ideologi tersebut terakhir menjadi:
1.
di depan Tuhan manusia adalah sama, dan ini secara diametral bertentangan dengan sistem
stratifikasi sosial berkasta dalam agama Hindu;
2.
iman memegang tempat utama dalam Islam dan bukan pendekatan kritis analitis terhadap
setiap permasalahan semesta; dan
3.
konsep "ummah" dalam Islam berhasil menggantikan kesatuan komunal masyarakat
sederhana, dan sekaligus memberikan rasa tentram bagi para warga ummat.
Secara politis tampak bahwa masuknya agama Islam tidak mengubah
hubungan agama dengan kekuasaan (Arbi Sanit, 1976:14). Seperti
raja-raja terdahulu, kerajaan-kerajaan Islam sesuai dengan ajaran
agama Islam menggunakan agama sebagai landasan kekuasaan dan
legitimasi kekuasaan para sultan daulat Islam di Nusantara.
legitimasi kekuasaan para sultan daulat Islam di Nusantara.
Selama hampir 300 tahun di bawah kekuasaan kolonial Belanda,
pandangan masyarakat mengenai hubungan antara kekuasaan dengan
agama hampir tidak berubah. Hal ini terjadi karena kekuasaan kolonial
Belanda berdiri di atas dua sistem yang sama sekali berbeda, yakni:
1.
Belanda membangun sistem kekuasaan yang "prinsipnya" sekuler dengan segala aparat
birokrasinya; sebaliknya
2.
di lain pihak masyarakat dikukuhkan ke dalam sistemnya yang semula telah mereka kenal dan
tumbuhkan, di mana perkaitan agama dengan organisasi dan sistem kekuasaan di dalam
masyarakat begitu erat.
Struktur masyarakat di Indonesia
> pada masa permulaan kedatangan
Islam, dalam beberapa hal masih melanjutkan tradisi budaya Indonesia
pra-Hindu. Hal ini dapat diketahui karena budaya Hindu di Indonesia
hanya menyentuh lapisan kaum bangsawan dan raja-raja, itupun hanya
mengambil beberapa aspek kehidupan saja (Tjandrasasmita et al.,
1975:62). Ketika corak pemerintahan Islam menjadi mapan, struktur
sosial pun tak banyak mengalami perubahan berarti. Papan bawah
dalam struktur masyarakat Jawa tetap menjalani sejarah tanpa
perubahan. Namun demikian perubahan sosial tetap ada, berkat
adanya konsep "ummah" dalam Islam, yang berhasil dijembatani oleh
peran-peran para kyai dan ulama, kesenjangan dalam struktur tersebut
-- walau pun tetap ada dan ini alamiah -- berhasil dikurangi.
Namun ketika penetrasi kolonial secara intensif menyentuh kehidupan
sehari-hari rakyat biasa melalui pajak yang berat, pengerahan tenaga
buruh berlebih-lebihan, dan berbagai peraturan yang menindas, maka
dirasakan realitas kekuasaan kolonial tidaklah cocok dengan realitas
sosial ekonomi dan stabilitas yang dicita-citakan masyarakat
tradisional (Kartodirdjo, 1984: 3-4). Lebih celaka lagi ketika
kekuasaan kolonial "merambah" ke daerah peka, yakni agama.
"Pesan" kekolonialan "memaksa" pemerintah penjajah mendukung
usaha kristenisasi bagi penduduk pribumi yang beragama Islam,
usaha kristenisasi bagi penduduk pribumi yang beragama Islam,
karena di samping sebagai "penjinakan" ummat Islam juga untuk
missi suci yang dibawa mereka sejak awal. "Pemurtadan"
inilah yang akhirnya menjerat pemerintah penjajah kepada maraknya
perlawanan rakyat yang dipimpin para ulama Islam.
Banten tumbuh dan dibesarkan oleh peran pedagang, mulai dari strata
terendah, menengah (perantara) sampai pada elite priyayi pedagang di
strata paling atas.
Penetrasi kekuasaan militer dan armada dagang Belanda, menghapus
perdagangan perantara dan berbagai jenis industri. Onghokham
menyatakan, bahwa masyarakat kemudian hanya mengenal dua
golongan, yakni golongan penguasa dan golongan petani penghasil
agrikultur, yang harus menyerahkan hasil mereka kepada penguasa
sebagai upeti (1983:10).
Banten yang pernah mencapai puncak keandalan pola ekonomi
eksternal (perdagangan jarak menengah dan jauh) dan internal (agroekonomi), diluluh-lantakkan oleh berbagai peristiwa politik dan
ekonomi yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial dengan segala
akibat dan dampaknya. Sebaliknya, pada masa puncak kejayaannya,
Banten yang dihuni oleh sekitar 30.000 -- 40.000 jiwa (Valentijn,
1858: 353-255) didatangi oleh para pedagang dari India, Cina, Jepang,
Siam, Philipina, Pegu, Persia, Arab, Syria, Inggris, Belanda, Perancis,
Denmark dan Portugis (Tjandrasasmita, 1975:193).
"Keramaian" dan potensi Banten pada masa puncak kejayaannya,
antara lain tampak pada catatan Jourdain bahwa pada tahun 1619
perahu Cina rata-rata berukuran 300 ton, dan catatan J.P. Coen tentang
adanya perahu Cina yang membawa dagangan senilai 300.000 real
(Wibisono, 1985:793-794).
Pada tahun 1598
terdapat catatan export lada dari Banten dengan perahu Cina sebanyak
18.000
karung (5 jung), perahu Gujarat 3.000 karung dan Perahu Belanda
sebanyak 9.000 karung lada (Keuning, 1938:92).sebanyak 9.000 karung lada (Keuning, 1938:92).
Tetapi sebaliknya kehancuran Banten dan kesengsaraan rakyat Banten
-- setelah penetrasi kekuasaan militer, ekonomi dan politik VOC dan
kemudian dilanjutkan oleh Belanda -- adalah tak terperikan.
Kesengsaraan rakyat ini kemudian berlanjut dengan akibat tanam
paksa, resesi ekonomi (maleise) pendudukan bala tentara facis Dai
Nippon, dan bahkan oleh bencana alam, wabah penyakit dan perang
kemerdekaan itu sendiri.
Pada perjanjian tahun 1609 antara Banten dengan VOC, Banten harus
memberikan konsesi/pembebasan pajak dan kebolehan VOC boleh
tetap mukim di Banten; pada perjanjian tahun 1658 Banten harus
membayar pampasan perang, menjamin keamanan armada dagang
VOC di Banten dan membebaskan segala pajak dan cukai bagi VOC;
sedang pada perjanjian tahun 1684 ditambah lagi dengan larangan
bepergian bagi rakyat Banten dan sebaliknya ke Batavia (Uka
Tjandrasasmita, 1975).
Tahapan-tahapan perjanjian "damai" yang disodorkan kompeni inilah
yang akhirnya membawa kesultanan Banten "terpuruk" ke tangan
penjajahan berkelanjutan. Maka sejak tahun 1752, secara de facto
Banten berada di bawah kuasa VOC. Melalui perjanjian yang
ditandatangani VOC dan Sultan Abulma'ali Zainul'alimin, setiap tahun
Sultan harus menghadap/membayar upeti kepada VOC di Batavia,
hanya VOC yang boleh mendirikan benteng di Banten, VOC pun
memonopoli perdagangan (juga penanaman) komoditas kopi dan tebu.
Abad XVII-XVIII M., Banten dan Indonesia pada umumnya penuh
dengan pergolakan berskala menengah dan besar, sementara pada
abad XIX-XX terjadi pula perang-perang lokal yang sama dan
berakhir dengan perang-perang kecil, yang dalam 1-7 hari telah dapat
dipadamkan Belanda.
Belanda dengan politik devide et empera, tak selamanya berperang
dalam pengertian yang sungguh-sungguh berperang dengan penguasa/
kekuasaan pribumi. Lebih sering terjadi Belanda (sebelumnya VOC),
senantiasa memanfaatkan atau bahkan menumbuhkan intrik istana,
atau adu-domba di kalangan elite kekuasaan, yang biasanya
berkembang dengan internal conflict, yang bermuara pada perjanjian-perjanjian yang antara lain meminta bantuan Belanda. Perjanjian
dalam rangkaian internal conflict tersebut, senantiasa amat merugikan
penguasa pribumi, dan akan berakibat semakin dalamnya campur
tangan kekuasaan Belanda terhadap urusan-urusan intern/otoritas
kerajaan.
Taufik Abdullah menyatakan bahwa pembuatan perjanjian-perjanjian
apapun dilihat sepanjang perjanjian tersebut menguntungkan telah
menjadi muslihat yang sering dipakai oleh VOC. Dalam hal ini
pemerintah Hindia Belanda hanyalah mewarisi kebiasaan VOC ". . .
Setiap perjanjian baru yang dibuat, tidak hanya sekedar mengukuhkan
kembali isi perjanjian terdahulu yang oleh Belanda dipandang telah
dilanggar tetapi juga, dan ini yang paling sering, menyodorkan hal
yang lebih lanjut akan melemahkan kesultanan . . ." (1984:16).
Contoh-contoh mengenai hal tersebut di atas amat lengkap, baik yang
telah dialami oleh Banten, Mataram, Aceh, Palembang, Banjar, GowaTallo, Buton, Ternate dan Tidore.
Perjanjian yang pernah dilakukan oleh Kesultanan Banten dengan
VOC/Belanda, antara lain:
Tahun 1609 : antara Mangkubumi dengan VOC
dimana (1) Belanda bersedia membantu Banten apabila Banten
diserang oleh negara lain, tetapi sebaliknya Belanda tidak akan
membantu Banten apabila Banten menyerang negara lain (2) Belanda
boleh berniaga di Banten dan orang Belanda yang menetap di Banten
tidak dikenakan pajak, dan (3) bangsa Eropa selain Belanda tidak
boleh bertempat tinggal di Banten.
Tahun 1658 : perjanjian perdamaian yang dipaksakan oleh Belanda kepada Sultan Abdulfath,
antara lain: (1) pengembalian tawanan perang dari kedua belah pihak, (2) kewajiban
membayar pampasan perang oleh Banten pada pihak Belanda, (3) jaminan keamanan
Banten terhadap kepentingan Belanda di Banten, (4) pembebasan pemeriksaan bagi
kapal-kapal Kompeni Belanda yang datang ke Banten, (5) serta dibebaskan dari segala
pungutan bea masuk, (6) larangan pelintasan batas bagi rakyat Banten dan Batavia.
Tahun 1684 : perjanjian yang dipaksakan Belanda kepada Sultan Haji sebagai kompensasi
bantuan militer Belanda bagi Sultan Haji dalam menghadapi Sultan Ageng Tirtayasa
(ayahnya), Syekh Yusuf dan Pangeran Purbaya, antara lain: (1) tetap berlakunya
perjanjian tahun 1658, (2) larangan bepergian bagi rakyat Banten ke Batavia dansebaliknya, (3) penetapan perbatasan wilayah Banten dan wilayah Kompeni Belanda,
(4) pembayaran kerugian perang dan akibat perampokan kepada Belanda, (5) pelepasan
tuntutan Banten atas wilayah Cirebon, dan sebagainya.
Dari contoh perjanjian yang dilakukan oleh penguasa-penguasa
pribumi dengan VOC/Belanda, tampak jelas bahwa isi perjanjianperjanjian, biasanya bermula pada konsesi perdagangan, monopoli
oleh Belanda dan berakhir pada campurtangan terhadap kedaulatan,
dan tidak jarang berakhir dengan penghapusan administrasi politik
sesuatu kerajaan.
Akibat perjanjian-perjanjian inilah akhirnya Kesultanan Banten yang
pernah berjaya selama hampir 200 tahun mengalami kepudarannya
sampai tenggelam dalam kegelapan. Hingga Deandels dengan leluasa
mengobrak-abrik keraton kebanggaan rakyat Banten.
Masyarakat Banten selama abad XIX, boleh dikata cukup menderita
khususnya sejak dihapuskannya Kesultanan Banten oleh Daendells
pada tahun 1812. Struktur kekuasaan di Banten menjadi sangat labil
oleh karena kehilangan tulang punggungnya.
Meski pun berstatus tinggi dan sangat terpandang dalam masyarakat,
namun para bangsawan sudah tidak berkuasa lagi. Sementara itu
unsur-unsur pemerintah kolonial, terutama elite birokrasinya belum
berakar, maka suasana pengaruh lebih berpusat pada para ulama. Kyai
dan Haji. Di samping itu, di desa-desa para jawara berperan sebagai
kepalanya.
Dalam keadaan seperti itu, di mana-mana sering timbul vakum
kekuasaan, yang membuka ruang bergerak bagi pelbagai unsur
masyarakat, yang terpaksa berjuang di bawah tanah untuk survivalnya,
antara lain: para petualang, bandit sosial, pemberontak dan lain
sebagainya (Kartodirdjo, 1988: 47).
Sejak tahun 1840
gerakan-gerakan mulai reda, di satu pihak secara sporadik keamananmasih diganggu oleh perbanditan dari Sahab, Conat, Ija, Sakan dan
Kemodin; sementara itu secara berkala meletus huru-hara yang
berpusat pada tempat tertentu seperti: Cikande Udik (1845), affair
Pungut (1862), geger Haji Wahia (1850), affair Usup (1851), peristiwa
Kolelet (1866) dan peristiwa Jayakusuma (1869).
Kiranya tepat apabila dikatakan bahwa Banten memiliki tradisi
memberontak. Segala macam gejolak, besar-kecil, dicetuskan secara
individual atau kolektif, kesemuanya dapat dipandang sebagai
manifestasi protes terhadap kekuasaan asing yang memaksakan orde
politik baru kepada masyarakat Banten.
Sartono Kartodirdjo pun pernah mengkonstantir, bahwa: "Ketika
penetrasi kolonial secara intensif menyentuh kehidupan sehari-hari
rakyat biasa melalui pajak yang berat, pengerahan tenaga buruh yang
berlebih-lebihan, dan peraturan yang menindas, pada umumnya
dirasakan bahwa realitas sosial harmoni dan stabilitas yang dicitacitakan masyarakat tradisional jauh dari harapan (1984: 3).
Hasan Muarif Ambary (1991:17), mengamati kecenderungan sosialpolitik abad-abad XVIII-XIX M., dengan munculnya mitos ratu adil,
imam mahdi atau bahkan sang messiah, boleh jadi merupakan obsesi
bahkan mungkin apologia terhadap ketidakberdayaan dan kehilangan
referensi lingkungan budaya yang sesuai dengan keyakinan.
Bersamaan dengan gejala itu, orientasi nilai berpindah dari keratonkeraton ke pesantren-pesantren. Pesantren pada abad XVIII-XIX
semakin kuat kedudukannya sebagai pusat harapan di antara
sempitnya pilihan.
Pendapat Ambary, kiranya paralel dengan pernyataan dari
Kartodirdjo, yang telah memberikan gambaran bagaimana pesantren
dan kyai menjadi panutan ummat ketika elite birokrasi pribumi
semakin kehilangan peran dan kekuasaan. Ia berasumsi, kalau rakyat
pada umumnya lebih condong kepada pihak kaum berprotes, namun
keadaan yang terpecah belah serta tidak adanya koordinasi yang tidak
mampu memobilisasi rakyat bahkan ideologi nativisme, yaitu yang
bertujuan merestorasi kesultanan tidak berdaya lagi (1988: 48). Di
samping itu, kebijaksanaan serta tindakan penguasa kolonial sekitartahun 1880 terhadap wabah hewan, bahaya kelaparan serta epidemi
sakit panas, hanya menambah kesengsaraan serta keresahan di
kalangan rakyat.
"Reportase"
Kartodirdjo terhadap keadaan rakyat Banten pada tahun 1880-an,
antara lain mengemukakan bahwa sebagai akibat pembantaian kerbau
secara massal dan kehadiran kuburannya di mana-mana, di seluruh
Banten rakyat menderita sakit panas, yang pada Agustus 1880
mencapai ± 210.000 orang penderita di mana ± 40.000 orang di
antaranya menemui ajalnya.
Pemandangan di desa-desa sungguh menyedihkan, jalan-jalan sepi,
banyak rumah tidak dihuni, padi di sawah dibiarkan membusuk karena
kekurangan tenaga. Banyak ibu tidak dapat menyusui anaknya
sehingga angka kematian anak sangat tinggi. Dari banyak rumah
terdengar ratap tangis, dzikir dan do'a.
Dapat diduga bahwa wabah penyakit hewan dan wabah sakit panas
membawa akibat serius dalam keadaan hasil pertanian dan bahanbahan makanan. Suatu himbauan kepada Pemerintah Batavia agar
Banten termasuk Lebak diberi bantuan, segera mendapatkan
tanggapan positif, baik berupa dropping bahan makanan, maupun
dalam bentuk program-program pembangunan jalan dan irigasi.
Rakyat Banten lambat-laun memulihkan kehidupannya menuju ke
arah normal. Namun letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda (23
Agustus 1883) menimbulkan gelombang laut setinggi 30 meter yang
melanda pantai barat Banten, menghancurkan Anyer, Merak,
Caringin, serta desa-desa Sirih, Pasauran, Tanjur dan Carita.
Kesemuanya sirna tanpa meninggalkan bekas, korban jiwa mencapai ±
21.500 orang tenggelam disapu gelombang.
Musibah yang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya
membawa dampak luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi
juga dalam bidang sosial politik dan kehidupan keagamaan. Meskipun
kehidupan sosial ekonomi segera dapat dipulihkan pada tahun-tahun
berikutnya, namun suasana di kalangan rakyat penuh kegelisahan danberikutnya, namun suasana di kalangan rakyat penuh kegelisahan dan
keresahan.
Sementara itu, pihak pemerintah melaksanakan sistem perpajakan
yang baru, sehubungan dengan penghapusan pelbagai kerja wajib,
seperti kerja pancen dan kerja rodi. Pada tahun berikutnya, setahun
setelah letusan G. Krakatau, pajak tanah dikurangi f. 124.000,- Pada
tahun berikutnya, 1884, pajak tanah itu untuk seluruh negeri
dinaikkan, dan di Banten terkumpul lebih besar jumlahnya dari jumlah
pajak tanah tahun 1972, meskipun jumlah penduduk turun ± 100.000
(Kartodirdjo, 1988: 55).
Pada tahun 1886 dalam masyarakat yang penuh keresahan timbul
kekeruhan yang disebabkan oleh merajalelanya gerombolan perampok
di bawah pimpinan Sakam. Karena sukar ditangkap, pada rakyat
timbul kepercayaan bahwa ia berjimat dan memiliki kekebalan. Dan
banyak lagi contoh keresahan/kemelut akibat meluasnya perbanditan
dengan segala dampak penanganannya.
Menurut hasil kajian Kartodirdjo, di Banten Utara pada tahun 1887
dan 1888 kekuatan-kekuatan sosial lambat laun mulai terkristalisasi
serta mewujudkan diri sebagai gerakan perlawanan di bawah tanah
bagaikan api di bawah sekam (1988: 57).
Di Banten Utara terlaksana konsolidasi kekuatan tersebut oleh karena
di daerah ini tersedia basis yang kokoh serta sistem kepemimpinan
yang memiliki otoritas tidak hanya besar, tetapi juga kharismatik.KEHIDUPAN MASA PRASEJARAH
Wilayah Banten yang terletak di ujung barat pulau Jawa, tepatnya antara 105°6`
sampai 106°46` BT dan 5°46` sampai 7°1` LS. Dikelilingi Laut Jawa
di sisi utara, Selat Sunda di sisi barat dan Samudra Hindia di sisi
selatan. Pulau-pulau di sekitarnya antara lain: Pulau Panaitan, Pulau
Rakata, Pulau Sertung, Pulau Panjang, Pulau Dua, Pulau Deli dan
Pulau Tinjil. Secara administratif kepemerintahan melingkupi daerah
Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Serang, Kota
Cilegon, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.
Berdasarkan keadaan lingkungan alamnya, daerah Banten dapat dibagi menjadi empat, yaitu:1.
Daerah pantai;
2.
Daerah pedataran dan kaki perbukitan;
3.
Daerah Gunung Karang, Gunung Salak, Gunung Gede Gunung Honje, Gunung Polasari dan
Gunung Batur;
4.
Daerah pegunungan.
1). Daerah pantai
Daerah pantai merupakan daerah yang kering dan tidak subur, meliputi daerah pantai utara
sekitar Teluk Banten, pantai Pontang, pesisir Tangerang, dan pantai Selat Sunda. Seperti
umumnya daerah-daerah pantai utara Jawa, di daerah pantai ini banyak sungai-sungai
bermuara dan banyak membawa lumpur hasil erosi dari daerah pedalaman. Banyaknya
pengendapan lumpur di daerah pantai ini menyebabkan garis pantai makin bergeser ke arah
laut. Daerah ini berketinggian kurang dari lima meter di atas permukaan laut. Curah hujan
rata-rata kurang dari 1500
milimeter/tahun. Karena tanahnya tidak subur, maka tanah
persawahan sangat sedikit dan kebanyakan digunakan untuk tambak
pemeliharaan ikan dan ditanami palawija dan kelapa.
2) Daerah pedataran dan kaki perbukitan
Daerah ini meliputi wilayah-wilayah Kota Cilegon, Kabupaten Serang utara dan timur,
Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang. Tanahnya merupakan tanah pedataran yang
sangat luas (hampir meliputi 50% dari seluruh wilayah Kabupaten Serang dan Tangerang)
dengan sedikit daerah kaki perbukitan di sebelah selatannya. Berketinggian kira-kira 100
meter dari permukaan laut.
Curah hujan rata-rata 1500 - 2000 milimeter/tahun. Daerah ini
merupakan daerah pertanian yang sangat luas dan subur.
3) Daerah Gunung Karang, Gunung Salak, Gunung Gede, Gunung Honje,
Gunung Polasari dan Gunung Batur
Daerah ini merupakan daerah bergunung walaupun letaknya di daerah pantai. Tanahnyasangat subur. Berketinggian sampai 600 meter di atas permukaan laut dan merupakan daerah
perkebunan. Curah hujan rata-rata 1500 - 2000
milimeter/tahun.
4) Daerah pegunungan
Daerah ini merupakan tanah pesawahan dan perkebunan yang sangat subur dan meliputi
wilayah selatan Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.
Berketinggian 200 - 2000 meter di atas permukaan laut. Curah hujan
di daerah ini cukup tinggi, rata-rata 2000 - 3000 milimeter/tahun.
Rekonstruksi tingkat kehidupan prasejarah di wilayah Propinsi Banten, mungkin harus ditarik
paling tidak ke bentang waktu antara 10.000 - 5.000 tahun lalu, sebagaimana acuan buktibukti hadirnya bekas-bekas habitasi kelompok-kelompok manusia di wilayah ini. Titimangsa
tersebut boleh bersifat hipotetis dan sangat sementara, mengingat di wilayah Banten selain
ditemukan sisa-sisa teknologi tingkat kehidupan masa bercocok tanam, juga ditemukan sisasisa budaya gua, dan tradisi pembuatan alat-alat batu inti dan serpih bilah di Cigeulis,
Pandeglang.
Salah satu hal yang agak kurang menguntungkan dalam kajian tingkat kehidupan masa
prasejarah di wilayah Banten, adalah masih kurangnya penelitian arkeologi secara intensif dan
berkesinambungan di wilayah dimaksud.
Penelitian-penelitian belum dilakukan secara menyeluruh dan masih
bersifat sepotong-sepotong.
Pada Kala Plestosin (± 3 juta – 10.000 tahun sebelum Masehi) dimana terjadi penurunan
drastis suhu bumi sehingga es yang biasanya hanya ada di daerah kutub telah meluas, dan
permukaan air laut turun drastis, disamping terjadi pengangkatan daratan sehingga juga
terbentuk gunung/ pegunungan baru. Pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan menjadi satu
dataran dengan benua Asia dan Eropa, yang disebut dengan paparan Sunda (Sunda shelf),
sedangkan pulau-pulau di bagian timur Indonesia bersatu dengan Australia yang disebut
paparan Sahul (Sahul shelf). Masa inilah yang diduga sebagai masa penyebaran penduduk
Nusantara. Baru setelah adanya perubahan iklim yang diikuti dengan pencairan es, pulaupulau tersebut menjadi terpisah oleh lautan. Selat Sunda yang dulunya merupakan sungai
besar, berubah menjadi selat yang memisahkan Sumatra dan Jawa. Dengan ditemukannya
singkapan endapan tanah formasi plestosen di Banten, maka diyakini bahwa daerah ini
muncul semasa dengan munculnya benua Asia (Kartodirdjo, 1975: 33).
Secara umum, perkembangan budaya manusia pada masa prasejarah digambarkan berupa 3
tahapan yang masing-masing memiliki ciri tertentu: masa berburu dan
mengumpulkan makanan, masa bercocok tanam, dan masa kemahiranmengumpulkan makanan, masa bercocok tanam, dan masa kemahiran
teknik (perundagian). Masa berburu dan mengumpulkan makanan,
ditandai dengan kepandaian berburu binatang hutan, menangkap ikan,
kerang dan siput di lat atau di sungai dan mengumpulkan makanan
dari alam sekitarnya, misalnya umbi-umbian seperti keladi, buahbuahan atau biji-bijian dan daun-daunan.
Hidup berburu dan mengumpul makanan adalah cara hidup yang
pokok pasa masa itu. Mungkin merekapun telah mengenal pertanian,
walau dengan cara yang sangat sederhana dan dengan cara berpindahpindah sesuai dengan kesuburan tanah dan alam lingkungannya.
Biasanya mereka sudah mempunyai tempat tinggal di goa-goa alam di
dekat sumber air atau sungai walau tidak tetap.
Mereka akan berpindah tempat apabila keadaan alam atau persediaan
makanan sudah makin berkurang. Dalam hal alat-alat penopang
hidupnya pun sangat sederhana yang dibuat dari batu, tulang ataupun
bambu, berupa batu atau tulang yang ditajamkan, seperti kapak
perimbas, kapak penetak, pahat genggam, kapak genggam dan alat
serpih. Dalam keadaan yang lebih maju, mereka juga membuat mata
anak panah yang terbuat dari batu atau tulang yang diberi gerigi untuk
keperluan berburu binatang. Walaupun mereka sudah hidup
berkelompok, namun dalam ukuran yang sangat sederhana, tergantung
dari keadaan tempat yang ditinggalinya. Peninggalan masa ini di
Banten dapat ditemukan di Cigeulis, Pandeglang berupa kapak
perimbas, kapak penetak, pembelah dan serpih bilah. Di Sanghiyang
Sirah, Ujung Kulon juga ditemukan lukisan gua yang kemungkinan
besar dibuat oleh penghuni gua pada masa itu.
Masa kehidupan bercocok tanam (neolitik), masa ini ditandai dengan mulai cara hidup
menetap di suatu perkampungan yang terdiri dari tempat-tempat tinggal sederhana yang
didiami secara berkelompok oleh beberapa keluarga.
Populasi mulai meningkat, dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan
mulai diatur antar anggota masyarakat. Kegiatan bercocok tanam,
pemeliharaan hewan ternak sudah mulai dibiasakan di samping
kegiatan berburu dan menangkap ikan masih terus dilakukan. Unsur
kepercayaan dalam kehidupan perkampungan sangat dipentingkan
untuk membina, mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan
dalam hidup bersama. Pemujaan kepada benda-benda alam yang besar
seperti gunung-gunung, matahari, bulan, laut, pohon-pohon besar,
arwah nenek moyang yang dianggap sakti dan keramat yang akan
dapat menolong dan mencegah kemurkaan alam menjadi dasar
kepercayaan mereka. Teknologi pembuatan pakaian, gerabah (alat
yang dibuat dari tanah liat), alat-alat kerja, dan perhiasan mulai
dikenal; pembuatan alat berburu seperti kapak, beliung persegi dan
mata tombak atau anak panah mulai ditingkatkan dengan diasah halus
dan spesifik. Pada tahun 1980 ketika Departemen Pekerjaan Umum
melaksanakan perluasan dan perbaikan irigasi DAS Cibanten Hilir
tepatnya di plot Kampung Odel, Desa Kasunyatan, Kecamatan
Kasemen, Kabupaten Serang sekitar 2 km di selatan Masjid Agung
Banten, ditemukan berbagai benda berciri prasejarah, seperti serpih,
bilah, alat batu inti, beliung persegi, belincung, fragmen gerabah
"cord-marked", manik-manik, fragmen gelang dan cincin perunggu,
yang seluruhnya bercampur dengan temuan-temuan yang berciri
Banten-Islam.
Hasil survey dan ekskavasi yang dilakukan di Karadenan, Odel dan Kenari yang masih
termasuk DAS Cibanten, memperlihatkan jenis-jenis temuan sebagai berikut:
penelitian di sepanjang DAS Cibanten Hilir tersebut, terlihat akumulasi data yang
menampakkan kecenderungan membentuk pola linear, yaitu pola huni di sepanjang aliran
sungai. Sungai merupakan lingkungan mikro yang dianggap penting, baik sebagai prasarana
transportasi atau pun sumber daya untuk keperluan industri, rumah tangga dan sebagainya.
Mengingat salah satu kondisi situs telah teraduk, yang berdampak tercampurnya unsur-unsur
budaya berciri prasejarah dan Banten-Islam, menimbulkan permasalahan apakah situs Odel
merupakan situs prasejarah yang kemudian langsung sinambung dengan situs Banten-Islam,
ataukah situs Odel merupakan multi component-site.
Apabila sebagai situs yang berkesinambungan, diasumsikan akan
ditemui tingginya tingkat persamaan dalam perbandingan unsur-unsur
budaya prasejarah dan Banten-Islam. Namun pada kasus situs Odel
ini, yang dijumpai adalah tingginya tingkat perbedaan kedua budaya
tersebut, yang mana ini berarti bahwa situs Odel di DAS Cibanten
Hilir merupakan multi component-site.
Pada tingkat kehidupan berikutnya, wilayah Banten memasuki masa proto sejarah yang antara
lain ditandai oleh kehadiran, pembuatan dan penggunaan benda-benda logam, yang secara
tipologis di masa-masa lalu sering dikaitkan dengan Budaya Dongson. Penemuan berbagai
kapak perunggu tipe kapak corong di Pamarayan, Kopo, Pandeglang, Cikupa dan Cipari.
Selain itu ditemukan pula benda-benda perunggu dan besi dari jenis senjata dan alat-alat
pertanian, menunjukkan jenis penggunaan dan pengenalan terhadap teknologi pembuatan
benda-benda logam itu sendiri.
Salah satu temuan penting ialah sebuah nekara perunggu dari Banten dengan tipe Heger IV.
Seperti halnya penemuan nekara dari Waleri (Jawa Tengah), maka temuan nekara tipe Heger
IV ini termasuk langka di Indonesia,
karena biasanya yang ditemukan adalah nekara-nekara tipe Heger I
(Soerjono et al, 1984: 246).
Nekara tipe Heger IV berbentuk seperti dandang terbalik, bagian atas datar dan bagian bawah
terbuka. Nekara ini mempunyai bidang pukul menutup badan nekara, bahu berbentuk
cembung dan bagian tengahnya hanya sedikit membentuk cekungan pinggang dan selanjutnya
melurus ke bawah. Pada nekara ini tampak bentuk seolah-olah bagian atas lebih besar
daripada bagian bawah. Tipe ini juga disebut dengan tipe Cina.Proto-sejarah wilayah Banten semakin lengkap dengan ditemukannya situs yang mengandung
sistem penguburan di Anyer. Tempayan kubur Anyer berisi tulang belulang manusia yang
mayatnya dikuburkan secara primer beserta benda-benda gerabah dan atau perunggu yang
berfungsi sebagai "bekal kubur".
Situs Anyer ditemukan pada tahun 1954, dan pada tahun berikutnya
(1955) diselidiki oleh Hendrik Robert van Heekeren dan Basuki, dan
baru pada tahun 1980-an dilanjutkan penelitiannya oleh Haris
Sukendar dan Joyce Ratna Indraningsih. Diduga kebudayaan demikian
adalah sisa dari kebudayaan megalitik tua (4500 - 2500 SM) yang
berkembang di sana
>.
Benda-benda gerabah dari situs Anyer belum banyak diperoleh sebagai sample penelitian.
Di antaranya adalah sebuah cawan berkaki (pedupaan) seperti yang
ditemukan pada situs-situs kompleks budaya Buni (Jawa Barat
Timur), serta sebuah kendi tanpa cerat berleher panjang, tanpa hiasan.
Tempayan dan benda gerabah Anyer, pada umumnya merupakan
gerabah berwarna coklat kehitaman dan diupan. Masa perkembangan
gerabah Anyer diduga antara 200 - 500 Masehi.
Di antara masa-masa akhir neolitik-perundagian (logam awal), bahkan sampai pada masa
sejarah, tumbuh dan berkembang budaya dan tradisi megalit, yang beresensi pada
kultus/pemujaan leluhur, yang diwujudkan melalui pendirian bangunan-bangunan batu, baik
secara mengelompok (kompleks) maupun individual.
R.
von Heine Geldern (1945: 151), menganggap bahwa tumbuhberkembangnya budaya megalit ke Indonesia berlangsung dalam dua
aliran, yakni:
1) Megalit tua; yang dalam
perkembangannya dibawa oleh aliran etnik atau kultural, yang datang
pada tingkat kehidupan bercocok tanam, dengan komunitas manusia
yang memperkenalkan budaya beliung persegi. Budaya ini
berlangsung antara 2.500
- 1.500 SM, dengan memperkenalkan adat pendirian menhir[1] (tunggal
maupun kelompok), dolmen [2] (bukan berupa kuburan), pelinggih batu, undakan batu[3],patung-patung simbolik monumental, dan lain-lain.
2) Megalitik muda; rangkaian
migrasi yang berlangsung pada masa berkembangnya kebudayaan
Dongson[4] dan Logam Awal, memperkenalkan adat pendirian kubur peti batu, kubur
dolmen, sarkopagus[5] dan kubur bejana batu (stone vats).
Menurut Rumbi Mulia (1980: 609), penemuan-penemuan bangunan arca/area megalit di
wilayah Banten, antara lain ditemukan di:
1) Tenjo, Pandeglang: arca
dengan teknik pahat dasar, seluruh bagian utama tubuh lengkap,
bentuk-bentuk dan ukuran mata, telinga tidak proporsional. Arca ini
sekarang disimpan di Museum Nasional (Inv. no. 480n), digambarkan
dalam posisi duduk.
2) Candi, Lebak: bangunan
megalit dengan 11 arca di atasnya, yang seluruhnya kini disimpan di
Museum Nasional (Inv. No. 4222 s/d 4232).
3) Kerta, Parengkujang, Lebak:
ditemukan arca dari batu tanah liat (clay-stone), disimpan di Museum
Nasional (Inv. No. 3865).
4) Kosala, Lebak: bangunan
berundak dan di dekatnya ditemukan arca yang dikenal sebagai arca
Kosala, pahatan menggambarkan posisi sedang duduk.
Bangunan megalit Kosala dan Arca Domas memperlihatkan adanya hubungan dengan orangorang Baduy yang kini hidup meng-isolir diri di daerah Banten Selatan. Monumenmonumennya berupa bangunan batu berundak lima
> tingkat, dan pada setiap undak
terdapat menhir (Soejono et al., 1984: 219). Dalam kompleks tersebut
dijumpai batu berbentuk segi lima, di bagian bawah yang tertanamdalam tanah terdapat sejumlah batu bulat bergaris tengah antara 10 -
15 cm.
Di situs ini pula terdapat arca kecil melukiskan tokoh yang duduk bersila, ditemukan dekat
bangunan berundak. Kedua tangan arca ini digambarkan dilipat ke depan, dan salah satu
tangannya mengacungkan ibujari. Arca Domas memiliki 13 undakan batu, dan undak paling
atas didirikan sebuah menhir berukuran besar. Menurut kepercayaan orang Baduy, menhir ini
merupakan lambang dari Batara Tunggal sang pencipta roh, dan kepadanya pula roh-roh
tersebut kembali.
Peninggalan megalit di Lebak Sibedug berupa bangunan berundak empat, yang seluruhnya
setinggi 6 meter. Di depan undakan batu ini terdapat lahan datar dan di sini pula terdapat
sebuah menhir yang ditunjang batu-batu berukuran kecil.
Bangunan berundak di Kosala, Arca Domas dan Lebak Sibedug tersebut, masih dipuja dan
dikeramatkan, dan karenanya bangunan-bangunan megalit di Banten Selatan ini termasuk
kategori living megalithic culture, yang berarti benda-benda arkeologi/megalit yang masih
berada dalam konteks sistem perilaku pendukungnya.
Hasan Muarif Ambary (1991: 397), menyatakan bahwa peninggalan kolosal bangunan
megalitik di Lebak Sibedug (Cibedug) merupakan salah satu prototipe tempat pemujaan
tradisi megalit yang umum terdapat di Asia Tenggara. Sementara itu Halwany Michrob
(1988) melihat kemungkinan adanya persamaan-persamaan unsur arsitektur Lebak Sibedug
dan Arca Domas terhadap berbagai bangunan di Madagaskar dari bagian barat sampai Rupanui, P. Paskah, Pekan, Formosa, Campa, Aoteraroa, New Zealand.
Khusus mengenai "orang Baduy" yang masih melakukan pemujaan/pengeramatan Arca
Domas dan Lebak Sibedug, sebenarnya terbagi dalam kelompok Baduy Luar yang menghuni
habitat seluas ± 2606 ha, dan Baduy Dalam yang menghuni habitat seluas ± 2515 ha, yang
seluruhnya berada pada ketinggian lebih dari 700 meter di atas permukaan laut.
Keterpencilan pemukiman orang Baduy, hendaknya dilihat dalam perspektif paling
resen/modern. Karena dari perspektif orang Baduy sendiri, "isolasi" (jika pun istilah ini tepat
untuk digunakan), sekaligus menampakkan keberhasilan orang Baduy dalam mengelola
teknik adaptasi mereka terhadap lingkungan alam di mana mereka hidup dan tinggal.
Penemuan-penemuan unsur bangunan megalit dari wilayah Banten akhir-akhir ini, antara lain
menghasilkan informasi mengenai adanya punden berundak di gunung Cupu, jajaran menhir
di puncak Gunung Karang, dolmen di situs Sang Hyang Dengdek, menhir (Sirit Bedug) di
Pandeglang, dan sebagainya (Michrob, 1988: 18).
Peninggalan prasejarah agaknya pernah ada di sekitar Banten Girang (Banten Hulu), sejak di
tempat tersebut di situs itu ditemukan pula keramik Cina yang berasal dari masa Dinasti Han
(206 SM - 220 M), serta undakan-undakan di atas gua Banten Girang.
Namun demikian agaknya memang perlu hati-hati dalam menafsirkan periodisasi bangunanbangunan berundak. Agus Aris Munandar (1992: 284) menyatakan bahwa bangunan berundak
di Jawa Barat tidaklah selalu berasal dari masyarakat yang mendukung tradisi megalit, karena
ada juga bangunan-bangunan berundak yang dapat dihubungkan dengan kegiatan keagamaan
masyarakat kerajaan Sunda (Hindu), bahkan pada periode akhir masa Hindu-Budha di Jawa.
Sebagai contoh bangunan berundak Kosala, yang pada jarak sekitar 100 meter ditemukan
sebuah arca. Oleh beberapa sarjana arca tersebut dinyatakan sebagai arca Budha, tinggi 50
cm, dipahat dalam relief tinggi, sikap tangan menunjuk pada mudra tertentu. Menurut Rumbi
Mulia (1980: 616-618), arca Kosala ini dihubungkan persamaannya dengan arca perwujudan
jaman klasik akhir yang melambangkan pengruwatan, dan mungkin menggambarkan arca
leluhur.
Peringatan ini kemudian diulangi oleh Satyawati Suleiman (1992: 318), yang menyatakan
bahwa arca-arca tipe Pajajaran yang ditemukan di Jawa Barat memiliki bentuk yang sangat
mirip dengan arca-arca yang ditemukan di wilayah Polynesia, maka dahulu arca-arca tipe
Pajajaran sering disebut dengan arca tipe Polynesia. Ditambah lagi dengan lokasi penemuan
yang seringkali di dekat/sekitar bangunan berundak, maka orang sering pula menafsirkannya
sebagai arca prasejarah. Salah satu arca yang pernah disebut dengan tipe Polynesia
> ini, ada yang berinskripsi angka tahun
antara 1263 - 1341 Masehi.
Betapa pun demikian, sungguh jelas bahwa wilayah Banten telah intensif dihuni sejak masamasa paling tua untuk wilayah ini, yakni sejak masa pertanian awal, mungkin lebih awal lagi
sejak masa berburu dan mengumpul makanan tingkat lanjut, seperti jika benar pada lukisan
gua di Sanghiyang Sirah, Ujung Kulon, atau pun alat-alat batu, kulit kerang dan pecahan
gerabah yang ditemukan di dasar-dasar gua Kampung Candi, pantai Bojonegara, yang
malangnya telah diruntuhkan untuk "pemburuan batu" bagi keperluan pembuatan landasan
pacu dan pembangunan bandara Sukarno Hatta.
Jika benar bahwa keramik masa Dinasti Han telah ditemukan di Banten Girang, setidaknya
wilayah ini telah terjangkau hubungan internasional, lebih awal dari pertumbuhan komunitas
nelayan di pantai utara Bekasi, dimana di komplek budaya Buni pernah ditemukan pecahan
gerabah romano-roulette yang bertitimangsa abad-abad I - II Masehi.
Wilayah Banten tumbuh dan berkembangnya tak lepas kait dengan vitalitas Selat Sunda
sebagai alur alternatif perdagangan dan pelayaran samudra India
> -
Laut Cina Selatan -- selain melalui Selat Malaka. Kesinambungan
habitasi berbagai pusat pemukiman di wilayah Banten, adalah sekedar
kelanjutan tradisi mengoptimalkan wilayah-wilayah pemukiman yang
memiliki daya dukung potensial, sejak masa prasejarah, sejarah dan
resen.
BUDAYA PRASEJARAH PADA MASA HINDU-BUDHA DI
BANTEN
Ketika turun tirai kehidupan nirleka di wilayah Banten, menyusul kemudian tumbuhnya tatakehidupan yang mendapat pengaruh anasir-anasir budaya Hinduistik dari India, wilayah
Banten telah eksis di panggung sejarah dan tetap memainkan peran sejarahnya dalam dimensi
ruang dan budaya. Masa-masa awal berkembangnya anasir-anasir Hinduistis di wilayah
Banten, sama halnya dengan bentang waktu kehidupan masa prasejarah, masih belum tergali
secara tuntas dan dalam eksplanasi yang belum menyeluruh. Pengungkapan periode awal
berkembangnya Hinduisme di wilayah Banten belum banyak didasarkan pada fakta-fakta
arkeologis, meski pun beberapa di antaranya memiliki signifikansi hubungan dengan berbagai
pusat politik, seperti Tarumanagara dan Pakuan Pajajaran. Salah satu usaha untuk menembus
stagnasi dalam rekonstruksi periode-periode ini, antara lain melalui kajian sumber asing.
Tetapi karena kurangnya data-data, kita belum dapat mengetahui apakah mereka pun sudah
mengenal bentuk kerajaan. Yang pasti mereka telah mengenal hubungan dengan luar negeri,
terutama dengan kerajaan-kerajaan di India dan Asia Tenggara (Ambary, 1977: 447). Buktibukti tentang hal ini dapat dilihat dari ditemukannya bangunan berupa pundan berundak di
Lebak Sibedug, Banten Selatan, yang merupakan bangunan-pengantar antara bangunan
prasejarah dengan candi berundak, seperti Borobudur, yang juga terdapat di beberapa tempat
di Asia (Michrob, 1988: 4).
Berita yang paling meyakinkan tentang hubungan Banten dengan Eropa
>, India dan Cina adalah dengan diketemukannya peta yang dibuat
oleh Claudius Ptolomeus. Peta ini dibuat pada tahun 165 M.
berdasarkan tulisan geograf Starbo (27 - 14 SM) dan Plinius (akhir
abad pertama masehi). Dalam peta ini digambarkan tentang jalur
pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui: India, Vietnam, ujung
utara Sumatra, kemudian menyusuri pantai barat Sumatra, Pulau
Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok Selatan sampai ke
Cina (Yogaswara, 1978: 21-38).
Hal ini dimungkinkan karena memang menurut penyelidikan Prof. Ir. Anwas Adiwilaga, di
Pulau Panaitan pada kira-kira tahun 130 M pernah berdiri satu kerajaan yang merupakan
kerajaan tertua di Jawa Barat. Kerajaan ini bernama Salakanagara (Negeri Perak) dengan
pusatnya di kota
> Rajatapura, yang
terletak di pesisir barat Pandeglang. Raja pertamanya bernama
Dewawarman I (130 - 168 M). Daerah kekuasaannya meliputi:
Kerajaan Agrabinta (di Pulau Panaitan), Kerajaan Agnynusa (di PulauKrakatau), dan daerah ujung selatan Sumatra
>. Dengan demikian seluruh Selat Sunda dapat
dikuasai Dewawarman I ini, sehingga ia digelari Haji Raksa
Gapurasagara (Raja Penguasa Gerbang Lautan) (Yogaswara,
1978:38).
Dengan diketemukannya patung Ganesha dan patung Shiwa di lereng
Gunung Raksa, Pulau Panaitan, dapatlah diduga bahwa masyarakatnya
beragama Hindu Shiwa.
Pulau Panaitan merupakan pulau yang langsung berhubungan dengan Selat Sunda --
yang bersama Pulau Peucang, luasnya sekitar 17.500 Ha -- termasuk
kawasan pelestarian/suaka alam Taman Nasional Ujung Kulon.
Penelitian geologi di Pulau Panaitan, menunjukkan bahwa pulau ini
telah ada sejak ± 26
juta tahun lalu, apabila dilihat dari umur batuan yang paling tua. Pada
berbagai singkapan, tampak bahwa pulau ini tersusun dari jenis-jenis
batuan andezite, tuffa, gamping dan yang termuda batuan aluvial.
Data arkeologi dari Pulau Panaitan berupa arca Siwa, Ganesha dan lingga semu/lingga patok.
Arca Shiwa dari Panaitan pernah raib dicuri, namun kemudian arca tersebut dapat diamankan
dan sekarang disimpan di Museum Negeri Sri Badhuga, Bandung, dengan nomor inventaris
306.2981. Arca ini berukuran tinggi 76,5 cm, lebar dan tebal maksimum 32,5 cm dan 24 cm,
dibuat dari batuan andezitik.
Arca Shiwa ini sering dikatakan berbentuk statik dan sederhana, tidak sama dengan
penggambaran Dewa Shiwa pada umumnya. Hal lain dari arca ini ialah tangan belakang yang
memegang trisula dipahat langsung pada sandaran arca di belakang kepala. Kedua tangan
bagian depan bersikap varadamudra dan memegang padma memakai selempang pola pita
lebar.
Arca Dewa Shiwa Pulau Panaitan ini bermahkota tanpa candrakapala, mata terpejam, besaran
kepala tidak proporsional apabila dibandingkan dengan postur tubuh, dalam posisi duduk di
atas nandi yang juga menghadap frontal.
Sikap duduknya digambarkan kurang lazim -- bukan yogamudra atau
semi-yogamudra -- karena kedua telapak kaki dipertautkan dalam
posisi bersila dengan ujung-ujung jari kaki "jinjit" di atas kepala
nandi. Arca Siwa tersebut diduga oleh para arkeolog berasal dari abadke-7 Masehi, suatu abad memuncaknya kesenian Hindu di pesisir
utara Jawa Barat (Cibuaya) dan pedalaman (Cangkuang).
Sementara itu, arca Ganesha Pulau Panaitan meski pun digambarkan tanpa mahkota, namun
penggambaran bagian-bagian utama/ umum tubuhnya cukup lengkap. Ganesha ini
digambarkan dalam ukuran tidak proporsional, duduk di atas batur.
Belalainya menjuntai kemudian lengkung ke arah tangan kiri.
Sedangkan pada lingga semu tidak didapati atribut sebagai salah satu
lambang emanasi Shiwa, sehingga lingga Pulau Panaitan ini dianggap
berfungsi sebagai patok batas tanah.
Kehadiran anasir-anasir budaya Hinduistis di Pulau Panaitan, mengarahkan pemikiran bahwa
pulau ini amat boleh jadi pernah jadi pulau tempat persinggahan para pelayar/musafir, atau
lebih buruk lagi sebagai pulau tempat terdamparnya kapal-kapal yang melintasi Selat Sunda.
Beberapa di antara para pelayar itu diduga beragama Hindu Shiwa, yang terutama memuja
Dewa Shiwa, Ganesha dengan segala atributnya. Shiwa dikenal sebagai dewa penguasa dan
perusak alam, sementara Ganesha dikenal sebagai dewa ilmu pengetahuan serta pembantu
memecahkan halangan/ persoalan.
Bukti-bukti arkeologi masa Hindu_Indonesia di Banten antara lain juga tampak pada
jajaran/kelompok lingga di Baros (Serang), lingga di Pulau Handeuleum, lingga dan yoni di
situs Sang Hyang Heuleut, dan arca nandi di Karangantu.
Hinduisme di wilayah Banten agaknya memang berpuncak dan
berpusat di Banten Girang, ketika menjadi Kawasan Prabu Pucuk
Umun, salah satu bawahan Pakuan Pajajaran yang beribukota di
Bogor.
Situs Banten Girang terletak di tepi sungai Cibanten berjarak 13 km dari Banten Lama. Di
tempat ini masih memperlihatkan beberapa temuan arkeologis, yang menampakkan ceruk
(gua) pertapaan, benteng keliling, saluran yang mengelilingi benteng (nampak setelah
diekskavasi), makam Ki Jong dan Mas Jo, serta sejumlah temuan artefak yang tersebar hampir
di seluruh situs, seperti: mata-kail, bandul jaring, uang kepeng, pecahan keramik lokal dan
keramik asing (Ming, Yuan, Song, Swankalok dan sebagainya), perhiasan emas, manikmanik, serta berbagai fragmen alat dari logam. Hal ini menunjukkan bahwa pada masanya
Banten Girang merupakan suatu area kota
> yang penting.
Dalam penelitian Ambary (1985), dilihat dari tipe nisan dan artefak kijing yang dipakai dalam
makam kuno Ki Jong dan Mas Jo di Banten Girang, maka dalam tipologi nisan makam Islam
dimasukkan kelompok tipe Demak-Troloyo.Selanjutnya, Montana (1988:71) mencatat kekunoan situs ini dari
gundukan tanah sekitar 300 meter di sebelah utara makam, yang
ternyata di bawah permukaannya terdapat batu berundak, dan di
bawah batu berundak itu lah terdapat dua buah gua ceruk di tebing
padas sebelah timur Cibanten. Apabila dilihat dari tipologi cerukceruk/gua yang ada di sana
>, paling tidak Banten Girang telah
muncul pada sekitar abad XI-XII M (Guillot, 1990: 12). Lebih
menarik lagi, dari data babad, Banten Girang masih difungsikan pada
masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (abad XVII), dimana pada
waktu-waktu tertentu sultan berwisata dengan kegiatan memancing
ikan di tempat itu. Dan menurut keterangan Caeff, di tempat ini Sultan
Tirtayasa menyuruh membuatkan sebuah istana sebagai tempat
mengungsi kaum wanita di masa perang (Djajadiningrat, 1983: 125).
Dari penelitian arkeologis tahun 1989, 1990, 1991 dan 1992 Lukman Nurhakim (1992)
berhasil mengungkap berbagai aspek penting dari situs Banten Girang.
Tempat ini merupakan situs pemukiman dalam skala kota
> pra-industri, yang dikelilingi
benteng dari tanah -- baik pada sisi dalam maupun luar tanggul --
untuk keperluan pertahanan. Tanggul tanah sebagai benteng di Banten
Girang, sebagaimana halnya di situs-situs lain, sudah dikenal luas baik
pada masa prasejarah akhir dan klasik, yang kemudian berlanjut pada
kota-kota kuno periode Indonesia-Islam; seperti di Pugung Raharjo
(Lampung), Pasir Angin (Bogor),Aceh, Barus (Sumatra Utara), Rao
(Sumatra Barat), Muara Takus (Riau), Muara Jambi (Jambi), Biting
(Lumajang), dan Surosowan (Banten, Serang).
Dari hasil ekskavasi diketahui bahwa situs Banten Girang berfungsi sebagai: (a) pusat
pemukiman -- terlihat dari banyaknya sebaran artefak, teknofak dan sosiofak, (b) pusat
upacara -- adanya dua gua persemedian/pemujaan, dan (c) benteng untuk melindungi
keduanya. Selanjutnya, Lukman Nurhakim memandang adanya fase-fase kehidupan di Banten
Girang yang meliputi:
margin-left:3.0cm;margin-bottom:.0001pt;text-indent:-3.0cm;msolist:l1 level1 lfo4; tab-stops:list 1.0cm left 2.0cm 3.0cm;mso-layout-
grid-align:none; punctuation-wrap:simple;textautospace:none;vertical-align:baseline">1)
Fase I; fase subordinasi Pakuan-Pajajaran dimana gua dijadikan pusat upacara
keagamaan bercorak Hinduistik (Hindu-Budha);
2)
Fase II; fase pendudukan/ administrasi politik Islam masa Maulana Hasanuddin;
3)
Fase III; fase surutnya Banten Girang karena pusat administrasi politik dipindahkan ke
Banten Lama di pesisir, tetapi Banten Girang masih tetap digunakan bahkan sampai masa
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1652 - 1671), sultan Banten kelima;
4)
Fase IV; fase akhir, ketika Banten Lama sudah dihancurkan oleh Daendels pada tahun
1815, dimana diduga frekwensi penggunaan Banten Girang semakin menurun;
5)
Fase V; fase resen, okupasi lanjut oleh penduduk Banten Girang masa sekarang yang
digunakan untuk lahan pertanian dan lahan pemukiman.
Melalui perbandingan dengan berbagai bentuk fisik benteng di berbagai tempat, atas dasar
penemuan keramik masa Dinasti Han (206 SM - 220 M) dan struktur berundak di atas gua dan
lingkungan benteng, amat boleh jadi okupasi Banten Girang sudah berlangsung lama sekali,
bahkan sejak ketika berlangsung masa kehidupan prasejarah dan proto-sejarah.
Dengan ditemukannya Prasasti Munjul, yang terletak di tengah Sungai Cidangiang, Desa
Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, berita tentang Banten dapat lebih
diperjelas lagi. Prasasti ini, yang diperkirakan berasal dari abad V, bertuliskan huruf Pallawa
dengan bahasa Sanksekerta antara lain berbunyi:
0cm;margin-left:1.0cm;margin-bottom:.0001pt;textindent:0cm">vikrantayam vanipateh
prabbhuh satyaparakramah
narendraddhvajabutena crimatah
purnnavarmmanah
Terjemahannya: (ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh
kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termashur Purnawarman
Prasasti ini menunjukkan bahwa bahwa daerah kuasa Tarumanagara sampai juga ke Banten,
dan diceritakan pula bahwa negara pada masa itu dalam kemakmuran dan kejayaan.
Berita atau sumber-sumber sejarah mengenai Banten dari masa sebelum abad ke-16
memang sangat sedikit kita temukan. Tapi setidak-tidaknya pada abad
XII-XV, Banten sudah menjadi pelabuhan kerajaan Pajajaran.
Untuk selanjutnya keadaan Banten dari abad VII sampai dengan abad XII tidak ditemukan
berita sejarah yang meyakinkan. Demikian juga, tidak diketahui siapakah penguasa daerah
Banten waktu itu, padahal benda-benda peninggalan dari masa itu sudah banyak ditemukan.
Berita tentang Banten baru muncul kembali pada awal abad XIV dengan diketemukannya
prasasti di Bogor.
Prasasti ini menyatakan bahwa Pakuan Pajajaran didirikan oleh Sri
Sang Ratu Dewata, dan Banten sampai awal abad XVI termasuk
daerah kekuasaannya (Ambary, 1980: 447). Memang, Kerajaan
Pajajaran merupakan kerajaan besar, yang daerah kuasanya
meliputi: seluruh Banten, Kalapa (Jakarta), Bogor, sampai Cirebon,
ditambah pula daerah Tegal dan Banyumas sampai batas Kali Pamali
dan Kali Serayu.
Daerah-daerah ini dibagi dalam empat Kerajaan bagian yang merupakan wilayah otonom,
yaitu:
1)
Kerajaan Indramayu; dikuasai oleh Prabu Indra Kusumah.
2)
Kerajaan Raja Galuh; dikuasai oleh Prabu Cakraningrat.
3)
Kerajaan Luragung; dikuasai oleh Prabu Luragung.
4)
Kerajaan Talaga; dikuasai oleh Prabu Pucuk Umun, salah seorang putra Prabu Siliwangi.
Kerajaan-kerajaan bagian tersebut mempunyai kuasa penuh atas daerahnya sendiri. Raja
Pajajaran hanya menuntut pengakuan kekuasaan dipertuan oleh kerajaan-kerajaan tersebut.
Untuk membuktikan kesetiaannya itu, setahun sekali mereka diharuskan membawa
kuwerabakti serta sowan ke ibukota Kerajaan Pajajaran. Kuwerabakti ini berupa barangbarang keperluan upacara keagamaan serta kebutuhan sehari-hari.
Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesyan memberi-kan keterangan-keterangan yang
cukup jelas mengenai adanya kelompok masyarakat kerajaan Sunda sebelum Islam.
Kelompok itu tidak disebutkan berdasar tata jenjang di dalam sistem birokrasi pemerintahan;
pembagiannya didasarkan kepada fungsi yang dimiliki masing-masing kelompok tersebut.
Oleh sebab itu, dijumpai adanya kelompok rohani dan cendekiawan, kelompok alat negara,
dan kelompok ekonomi yang kemudian terbagi ke dalam beberapa golongan.
Kelompok rohani dan cendekiawan terdiri dari memen (=dalang) yang mengetahui berbagai
lagu dan nyanyian, hempul yang mengetahui berbagai macam permainan, prepantun yang
mengetahui berbagai macam pantun dan ceritera, marangguy yang mengetahui berbagai
macam ukiran ukiran, pangoyok yang mengetahui berbagai macam pakaian, paratanda yang
mengetahui berbagai macam tingkat dan kehidupan keagamaan, berahmana yang mengetahui
berbagai macam mantra, janggan yang mengetahui berbagai macam pertanda zaman, pandita
yang mengetahui berbagai macam buku pustaka keagamaan, paraloka yang mengetahui
berbagai macam tingkah para dewa, juru basa darmamurcaya yang mengetahui berbagai
macam bahasa yang diketahui orang pada masa tersebut (=juru bahasa), dan barat katiga
peramal cuaca?. Disamping itu, ada kelompok yang sama sekali tidak jelas identitasnya,
seperti belamati, juru moha. Semua kelompok masyarakat yang disebutkan itu, di dalam
melaksanakan dharma atau tugas masing-masing sesuai dengan fungsinya, disebut ngawakan
tapa di nagara (=melaksanakan tapa di tengah negara).
Kelompok masyarakat berdasarkan ekonomi antara lain pangalasan (=orang utas), juru lukis
(=pelukis), pande dang (=pandai tembaga, pembuat perabot dari tembaga), pande mas (pandai
mas), pande glang (=pandai gelang), pande wesi (=pandai besi), guru wida(ng) medu wayang
(=pembuat wayang), kumbang gending (=penabuh gamelan, pembuat gamelan?), tapukan
(=penari), banyolan (=pelawak), pahuma (=peladang), panyadap (=penyadap), panyawah
(=penyawah), panyapu (=penyapu), pamanah (pemanah), pangulang desa calagara
(=pemungut pajak di pelabuhan), rare angon (=penggembala), pacelengan (=peternak babi),
pakotokan (=peternak ayam), palika (=nelayan, penangkap ikan), pretolom (=penyelam),
pahuwang (=pawang, pelaut), harop catra (=juru masak). Kelompok masyarakat yang
bertugas sebagai alat negara ialah mantri (=menteri), bayangkara (=penjaga keamanan),
prajurit (=prajurit, tentara), pam(a)rang (=pemerang, tentara), nu nangganan (=nama jabatan
di bawah mangkubumi).
Kepala prajurit disebut hulu jurit.
Yang tidak kurang menariknya ialah keterangan yang menyatakan bahwa di kerajaan Sunda
juga sudah terdapat orang-orang yang memperoleh penghasilan dengan jalan yang tidak
disukai masyarakat umumnya. Pekerjaan itu ialah antara lain meor (=?), ngodok (=merogo,
mencopet?), nyepet (=mencopet?), ngarebut (=merebut), ngarogoh (=merogoh saku),
papanjingan (=memasuki (rumah orang, mencuri), maling (=mencuri), dan ngabegal
(=membegal).
Pekerjaan seperti itu termasuk cekap carup, sesuatu yang pantang
diturut, dan hal-hal seperti itu disebut sebagai guru nista, yaitu hal-hal
yang dianggap sangat nista atau hina.
Ibukota Kerajaan Sunda/Pajajaran ini disebut dengan nama Pakwan atau menurut berita dari
Barros -- seorang pelaut Portugis -- dengan nama Daio/ Dayo (Djajadiningrat, 1983: 84). Kota
Pakwan/Pakuan ini terletak kira-kira di daerah Bogor sekarang. Agama yang dianut oleh raja
dan rakyat Pajajaran adalah agama Hindu-Budha. Dan untuk penyembahan terhadap dewadewanya, mereka banyak mendirikan kuil dan biara. Di antaranya ada biara yang dikhususkan
untuk menampung wanita-wanita yang ditinggal mati suaminya -- tetapi tidak mau dibakar
bersama jenazah suaminya, dan ada juga biara untuk wanita tua yang belum mendapatkan
suami (Djajadiningrat, 1983:84).
Bandar-bandar kerajaan Sunda, oleh Tome Pires, inspektur pajak Portugis di Malaka yang
ikut dalam ekspedisi ke Pulau Jawa (1512 - 1515) digambarkan sebagai berikut:
1)
Banten, merupakan sebuah kota
> niaga yang baik, terletak di tepi
sebuah sungai. Kota ini dikepalai oleh seorang Kapten
(=Syahbandar?), sedangkan wilayah niaganya mencapai Sumatra
> dan bahkan kepulauan Maladewa. Pelabuhan
Banten merupakan pelabuhan besar dan merupakan pula bandar untuk
beras, bahan makanan, dan lada.
2)
Pondang (Pontang?), merupakan sebuah kota
> yang besar, tetapi pelabuhannya
tidak sepenting Banten. Jalur niaga dan barang-barang yang
diperdagangkannya sama dengan Banten.
3)
Cheguide (Cikande?), juga sebuah kota
> besar. Perniagaan dari bandar inidilakukan dengan Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung,
dan lain-lain.
Barang dagangannya sama dengan Banten dan Pondang.
4)
Tangaram (Tangerang), yang merupakan kota
> besar, barang dagangannya juga sama
dengan bandar-bandar yang disebutkan terdahulu.
5)
Calapa (atau Xacatra = Jakarta, merurut Joao de Barros), merupakan sebuah kota
> yang sangat besar, serta terbaik.
Hubungan niaganya juga lebih luas, antara lain dengan Sumatra,
Palembang
>, Lawe,
Tanjungpura, Malaka, Makasar, Jawa dan Madura. Pelabuhan ini
letaknya kira-kira dua hari perjalanan dari ibukota kerajaan Pajajaran,
yang disebut Dayo (=dayoh, kota), tempat raja bersemayam. Para
pedagang dari seluruh kerajaan (Pajajaran) selalu berdatangan ke
Kalapa. Pelabuhan ini diperintah secara teratur, lengkap dengan hakim
dan klerek. Raja mengeluarkan peraturan tertulis untuk setiap
pelanggaran yang dilakukan penduduk setempat.
6)
Chi Manuk/ Chemano (Cimanuk), merupakan bandar kerajaan Sunda yang paling timur,
sekaligus sebagai batas kerajaan. Walaupun bandar itu dikatakan sebagai bandar yang besar
dan cukup ramai, tetapi jung tidak dapat merapat. Di Cimanuk, sudah banyak berdiam orangorang yang beragama Islam, walaupun syahbandarnya sendiri beragama Sunda (Cortessao,
1944: 166-173).
Di samping memiliki bandar pelabuhan yang cukup ramai, seperti yang disebutkan di atas,
kerajaan Sunda juga memiliki jalan lalulintas darat yang cukup penting, yang sedemikian jauh
sedikit sekali diketahui oleh para pedagang asing di masa yang lebih kemudian. Jalan darat
itu, ada dua jurusan yang semuanya berpusat di Pakuan Pajajaran; satu menuju ke arah timur,dan yang lainnya menuju ke arah barat.
Jalan yang menuju ke timur, menghubungkan Pakuan dengan Karangsambung yang terletak
di tepi Cimanuk -- batas kerajaan di sebelah timur -- melalui Cilongsi dan Cibarusa, lalu dari
sana, membelok ke arah utara sampai di Karang, di tepi Citarum (desa Tanjungpura). Dari
Tanjungpura, ada sambungannya melalui Cikao dan Purwakarta, kemudian berakhir di
Karangsambung (Dam, 1957: 299). Barangkali dari Karangsambung jalan itu masih ada
terusannya ke arah timur dan selatan. Yang ke timur sampai Cirebon, lalu berbelok ke selatan
lewat Kuningan, dan akhirnya sampai di Galuh dan Kawali. Sedangkan jalan satunya lagi,
dari Karangsambung ke arah selatan, melalui Sindangkasih dan Talaga sampai di Galuh dan
Kawali. Jalan lainnya yang menuju ke barat, bermula dari Pakuan Pajajaran melalui Jasinga
dan Rangkasbitung, menuju Banten Girang (girang = hulu)[6] dan berakhir di Banten yang
merupakan bandar kerajaan Sunda yang paling barat. Jalan darat lainnya dari Pakuan
Pajajaran menuju Ciampea dan Rumpin, berakhir di situ, karena perjalanan selanjutnya
dilakukan dengan melalui sungai Cisadane, -- yang memang cukup baik alirannya sejak
muara Cianten -- menuju ke Pontang, Cikande dan Tangerang (Dam, 1957: 297). Melalui
jalan-jalan darat dan sungai itulah hasil bumi kerajaan Pajajaran diangkut, dan melalui jalan
yang sama itu pula keperluan penduduk di pedalaman dikirimkan.
Untuk ke Kalapa, dipakai jalur sungai Ciliwung yang dapat dilayari dari Pakuan dalam waktu
dua hari. Karena itulah Pelabuhan Kalapa dapat dianggap gerbang masuk ke Pakuan
(Ayathrohaedi, 1979: 336).
Pada awal abad XVI, yang berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umun[7] dengan pusat
pemerintahan Kadipaten di Banten Girang (Ambary, 1982: 2).
Untuk menghubungkan antara Banten Girang dengan pelabuhan
Banten, dipakai jalur sungai Cibanten yang pada waktu itu masih
dapat dilayari (Ayathrohaedi, 1976 : 37), disamping masih ada jalan
darat yang melalui Klapadua (Djajadiningrat, 1983 : 124).
Pada waktu Tome Pires mengunjungi Banten pada tahun 1513, Banten merupakan pelabuhan
yang belum begitu berarti, tetapi sudah disebutkan sebagai pelabuhan kedua terbesar dari
kerajaan Sunda setelah Kalapa. Hubungan dagang telah banyak dilakukan antara Banten
dengan Sumatra, dan juga Maladewa. Pada waktu itu, Banten sudah merupakan pelabuhan
pengekspor beras, bahan makanan dan lada (Cortessao, 1941: 168-169; Melink - Roeslofsz,
1962: 124). Sedangkan sekitar tahun 1522 Banten sudah merupakan pelabuhan yang cukup
berarti, yang setiap tahunnya kerajaan Sunda mengekspor 1000 bahar lada melalui pelabuhan
Banten dan Kalapa (Chijs, 1881: 4).
Ketika kerajaan Islam berdiri, pusat kekuasaan di wilayah ini, yang semula berkedudukan di
Banten Girang, dipindahkan ke kota
> Surosowan, di Banten Lama dekat
pantai. Dari sudut politik dan ekonomi, pemindahan ini dimaksudkan
untuk memudahkan hubungan antara pesisir Utara Jawa dengan
pesisir Sumatra, melalui Selat Sunda dan Samudra Indonesia
>. Situasi ini
berkaitan dengan kondisi politik Asia Tenggara masa itu, dimana
Malaka sudah jatuh di bawah kekuasaan Portugis, sehingga pedagangpedagang yang segan berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur
pelayarannya melalui Selat Sunda.
Secara arkeologis, rangkaian perubahan-perubahan kultural di Banten ketika masa prakesultanan ditandai oleh artefakta Sunda yang Hindu-Budhistik. Miksic (1989: 6) menyatakan
bahwa ketika perubahan tersebut menyentuh tataran sosialisasi Islam, maka terhadap
perubahan ikutan unsur kultural yang berasal dari pengaruh Jawa Timur dan Jawa Tengah,
serta panggantian simbol-simbol keagamaan Hindu-Budha dengan Islam. Selanjutnya John N.
Miksic menganjurkan agar dikembangkan kajian terhadap himpunan
gerabah yang berasal dari masa Hindu Pajajaran.
Menhir, adalah sebuah batu tegak yang diletakkan dengan sengaja di suatu
tempat untuk memperingati arwah orang yang telah meninggal.
[2] Dolmen, atau “meja batu’, adalah susunan batu yang terdiri dari sebuah batu
lebar yang ditopang oleh beberapa batu lain sehingga berbentuk seperti meja;
berfungsi sebagai temopat untuk mengadakan kegiatan pemujaan arwah leluhur.
[3] Undakan batu adalah sebuah bangunan berundak atau bertingkat yang
diatasnya ditempatkan benda-benda yang dikeramatkan atau makam orang yang
dikeramatkan; berfungsi sebagai tempat upacara pemujaan arwah leluhur.
[4] Pembuatan dan penggunaan logam sering dikaitkan dengan kebudayaan
Dongson.[5] Sarkofagus, adalah kubur batu yang terdiri dari wadah dan tutup yang bentuk
dan ukurannya sama.
[6] Banten Girang, terletak kira-kira 3
km di sebelah selatan kota Serang sekarang, atau 13 km dari Banten Lama.
[7] Menurut Babad Cibeber, Prabu Pucuk Umun ini disebut juga Ratu Ajar
Domas
Islam adalah agama yang mula-mula tumbuh di jazirah Arab, tepatnya di kota
> Mekkah.Disampaikan oleh seorang rasul yang bernama Muhammad yang lahir
pada tahun 570 M. Pokok ajaran agama Islam adalah Tauhid, yaitu
bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang ada di
dunia ini; oleh karenanya manusia hendaknya hanya tunduk kepada
Yang Menciptakannya saja, tidak kepada yang lain. Sang Pencipta ini
bernama Allah, yakni Tuhan yang Maha Satu, Pencipta seluruh alam
semesta, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Hanya kepada-Nya
sajalah manusia menyembah dan mengabdikan diri, serta menuruti
segala perintah dan larangan-Nya; dan hanya dengan jalan itulah
kehidupan manusia akan damai dan bahagia. Sebagai petunjuk dan
bimbingan hidup manusia di dunia ini, Allah menurunkan al-Qur'an --
yakni kitab yang berisi segala perintah, larangan dan petunjuk bagi
kehidupan manusia -- kepada rasul (nabi, utusan)-Nya, yaitu
Muhammad bin Abdullah. Islam, mengajarkan bahwa manusia berasal
dari satu keturunan, sehingga semuanya mempunyai derajat dan
kedudukan yang sama, semuanya harus saling tolong-menolong untuk
bersama-sama mendapat keridaan Allah.
Semula, agama ini hanya dipeluk oleh sekelompok kecil saja bahkan karena tekanan-tekanan
dari pembesar negeri, Muhammad dan pengikutnya dua kali pindah atau hijrah; yaitu pada
tahun 615 M hijrah ke Abesinia dipimpin oleh Ja'far ibn Abi Thalib, dan sekitar tahun 622 M
hijrah ke Yatsrib (Madinah sekarang). Tapi tidak lama kemudian yakni pada tahun 630 M,
kota
> Mekkah dapat
dikuasainya bahkan seluruh jazirah Arab bernaung di bawah bendera
Islam.
Muhammad wafat pada tahun 632 M.; kemudian digantikan -- sebagai
khalifah (pemimpin negara) -- oleh Abubakar Siddiq, selanjutnya
Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib.
Pada masa kekhalifahan Abubakar dan Umar, terjadilah perluasan daerah kekuasaan negara
Islam. Damsyik dikuasai pada tahun 629, Syam dan Irak pada tahun 637, Mesir terus sampai
ke Maroko pada tahun 645. Demikian juga Parsi (646), Samarkand (680), dan seluruh
Andalusia
> (719). Sehingga pada tahun 732, kekuasaan
negara Islam telah membentang dari teluk Biskaya di sebelah barat
hingga Turkestan (Tiongkok) dan India di sebelah timur (Paradisastra,1981: 8 - 9).
Sejalan dengan perkembangan daerah kekuasaan negara Islam, perdagangan dan kegiatan
ekonomi lainnya pun maju dengan pesat. Kapal-kapal dagang Islam dari bangsa Arab dan
Turki telah biasa berniaga ke Afrika Utara
>, India, Malaka sampai Cina dan Eropa. Sehingga dikatakan bahwa
pada abad IX tidak ada kapal bangsa asing lain yang ada di jalur yang
menghubungkan Eropa dan Cina selain pedagang yang beragama
Islam (Salim, 1962: 10). Pedagang-pedagang muslim inilah yang
membawa barang dagangan dari daerah timur (Asia
>) ke barat (Eropa).
Disebutkan bahwa jalur pelayaran ke timur adalah sebagai berikut: Sesudah menyusuri pantai
Semenanjung India sampai ke Quilon di Malabar, kemudian terus ke Ceylon
>. Dari sana terus ke ujung Sumatra (Aceh) dan dengan melalui Selat
Malaka sampailah ke Palembang
>.
Selanjutnya menyusuri pantai utara pulau Sumatra, kembali lagi
dengan melalui jalur yang sama sampai di Kamboja. Dari sana
> perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri pantai Cochin
> (Cina) sampai
di pesisir negeri Cina. Setelah keadaan a