Jejak-Jejak Kejayaannya
“sah sańke lodaya sira mańanti ri simpiŋ,
swecchānambyāmahajöńa ri saŋ hyaŋ darmma,
sākniŋ prasańda tuwi hana dohnya ńulwan,
na hetunyān/bańunĕn ańawetan matra.” (bait 4)
artinya (Riana, 2009: 304):
“Tidak peduli dari Blitar menuju ke selatan sepanjang jalan,
mendaki kayukayu mengering kekurangan air tak sedap
dipandang,
maka Baginda Raja tiba di Lodaya beberapa malam tinggal di
sana,
tertegun pada keindahan laut dijelajahi menyisir pantai,”
(bait 3)
“Baginda Raja meninggalkan Lodaya menuju desa Simping,
dengan rela seraya memperbaiki candi tempat memuja
leluhur,
candi itu rusak tampak bergeser ke barat,
itulah sebabnya direnovasi digeser agak ke timur,” (bait 4)
berdasar uraian di dalam Nagarakretagama ini
dapat diketahui bahwa Hayam Wuruk telah mengunjungi
Simping dan meme rintahkan untuk memperbaiki Candi
Simping ini yang prasada atau bagian atasnya miring ke
barat. Selanjutnya, dalam pupuh 70 kitab Nagarakretagama
diceritakan bahwa dua tahun kemudian sang raja datang lagi ke
Simping untuk meresmikan arca perwujudan raja Kertarajasa
sebagai Harihara atau ÇiwaWisnu (Soekmono, 1993: 71).
Candi Panataran atau yang di dalam Nagarakretagama
disebut Candi Palah merupakan candi yang terbesar dan
ter lengkap di JawaTimur, namun Nagarakretagama tidak
menyatakan bahwa candi ini termasuk dharma haji ataupun
prasada haji. Akan tetapi kunjungan raja Hayam Wuruk
ke candi ini dalam perjalanan keliling ke daerahdaerah
115Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar
sebagai mana diceritakan dalam
Nagarakretagama sebenarnya me
nunjukkan bahwa Candi Panataran
menduduki tempat yang cukup
penting dalam kerajaan Majapahit.
berdasar temuan prasastinya,
candi ini sudah dibangun tahun
1197 M oleh raja Çrengga dari
kerajaan Kadiri. Candi ini mendapat
perhatian khusus dari raja Hayam
Wuruk, tidak hanya berdasar
dari kunjungankunjungan sang
raja secara teratur, tetapi juga dari
adanya sebuah gugusan candi kecil
yang dikenal sebagai Candi Angka
Tahun. Bangunan itu disebut demikian sebab pada ambang
pintunya diberi pahatan angka tahun 1291 Ç (1369 M). Angka
tahun ini menunjukkan bahwa pembangunannya berlangsung
dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk (13501389 M)
(Soekmono, 1993: 72).
Satu candi lagi yang juga dikunjungi oleh Hayam
Wuruk dalam perjalanannya ke desadesa wilayah Majapahit
yaitu Candi Sawentar Lor (I), yang disebutkan dalam
Nagarakertagama sebagai Lwang Wentar. Pupuh LXI bait 2
berbunyi (Pigeaud, 1960: 46):
“ndan ri śakha tri tanu rawi riŋ weśāka,
śri natha muja mara ri palah sabhrtya,
jambat sing ramya pinaraniran/lańlitya,
ri lwań wentar mańuri balitar mwań jimbe”
Situs Candi
Sawentar Kidul (II)
116 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
artinya (Riana, 2009: 302):
“Lalu pada tahun saka Tritanurawi1283 (1361 M) bulan wesaka
(AprilMei),
Baginda Raja memuja (nyekar) ke Palah dengan pengiringnya,
berlarutlarut setiap yang indah dikunjungi untuk menghibur
hati,
di Lawang Wentar Manguri Blitar dan Jimbe.
Candi Sawentar Lor (I) kemungkinan merupakan salah
satu candi kerajaan, sebab pada penutup cungkup candinya
terdapat hiasan surya majapahit yang merupakan lambang
Kerajaan Majapahit. Selain Candi Sawentar Lor (I), candi
lain yang mempunyai hiasan surya majapahit yaitu Candi
Kalicilik dan Candi Sawentar Kidul (II). Candi Kalicilik jika
benar merupakan Candi Kagenengan –tempat pendharmaan
Ken Arok– berarti didirikan pada masa Singasari. Menurut
Agus Aris Munandar, candi ini kemudian diperbaiki
atau dipugar pada masa Majapahit. Hal ini menunjukkan
bahwa tidak hanya masa Majapahit saja daerah Blitar sangat
penting, melainkan dari masa Singasari bahkan masa Kediri
sudah merupakan daerah yang penting, sebab bagian dari
kompleks Candi Panataran sudah didirikan sejak masa Kediri.
Candi Kalicilik pada masa Majapahit dianggap sebagai candi
yang penting sebab sebagai tempat pendharmaan leluhur raja
raja Majapahit, sehingga perlu dipertahankan dan dijadikan
sebagai candi kerajaan yang ditandai dengan adanya hiasan
surya majapahit.
Relief surya majapahit juga terdapat di Candi Sawentar
Kidul (II) yaitu yang terdapat pada dua buah relief candra
sengkala. Dengan demikian Candi Sawentar Kidul (II) juga
merupakan salah satu candi kerajaan yang penting. Melalui
117Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar
penelitian telah berhasil diidentifikasi 3 angka tahun, salah
satunya berupa angka tahun yang terdapat di ambang pintu
(relung) miniatur candi, sedangkan dua yang lain berupa
sengkalan memet terdapat pada panilpanil berrelief binatang.
Angka tahun yang tertera di ambang pintu candi biasanya
menunjukkan tahun pendirian candi, misalnya seperti yang
terdapat di ambang pintu Candi Angka Tahun yang merupakan
salah satu gugusan bangunan di kompleks Candi Panataran.
Atas dasar itu, maka kemungkinan angka tahun yang tertera
pada ambang pintu (relung) miniatur Candi Sawentar Kidul
(II) juga menunjukkan tahun pendirian bangunan tersebut.
Jika benar tahun 1358 Ç (1436 M) merupakan tahun pendirian
Candi Sawentar Kidul berarti bangunan ini didirikan pada
masa pemerintahan Suhita di Majapahit, sebab ia memerintah
dari tahun 1351 Ç sampai 1369 Ç (14291447 M) (Djafar, 1978;
Krom, 1931).
Nagaraja Anahut Surya (1318 Ç/1396 M)
118 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Dua angka tahun lain yang berhasil diidentifikasi berupa
sengkalan memet menunjukkan angka tahun 1318 Ç (1396 M)
dan 1328 Ç (1406 M). Kedua angka tahun ini menunjukkan
kronologi yang lebih tua dari angka tahun di ambang pintu
(relung) bangunan miniatur candi. Kedua angka tahun
ini tampaknya tidak menunjukkan kronologi tahapan
pembangunan candi, sebab selisih angkaangka tahun ini
tidak sebanding dengan ukuran bangunan.
Kemungkinan lain, angkaangka tahun yang berujud
sengkalan memet ini berkaitan dengan gambaran yang
terdapat pada reliefrelief itu sendiri. Namun untuk dapat
meng kaitkannya harus memahami makna simbolik relief
relief itu, dan ditafsirkan bahwa gambargambar dalam
relief itu menunjukkan kejadian suatu peristiwa. Yang
jelas jika identifikasi angkaangka tahun itu benar berarti
peristiwa itu terjadi pada masa sebelum Suhita naik tahta.
Pada masa itu kekuasaan Majapahit masih berada di tangan
Wikramawarddhana, ayah Suhita, yang memerintah tahun
13111351 Ç (13891429 M) (Djafar, 1978).
Menurut Pararaton, peristiwa besar yang terjadi pada masa
pemerintahan Wikramawarddhana, yang nyaris meruntuhkan
Majapahit yaitu upaya perebutan tahta oleh Wirabhumi.
Peristiwa perang saudara ini dikenal sebagai peristiwa
Paregreg. Pada masa pemerintahan Wikramawarddhana telah
terjadi pertentangan keluarga, antara Wikramawarddhana
yang memerintah wilayah bagian barat (Majapahit) dengan
Bhre Wirabhumi yang memerintah bagian timur (daerah
Balambangan). Perang paregreg terjadi antara tahun 1323
1328 Ç (14011406 M) (Djafar, 1978).
Sepeninggal raja Hayam Wuruk dan Patih Amangkubhumi
Gajah Mada Majapahit memang telah mengalami kesuraman
119Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar
dan muncul suatu masalah yaitu perebutan kekuasaan
dan per tentangan keluarga mengenai hak waris atas tahta
kerajaan. Sebelumnya Hayam Wuruk telah membagi kerajaan
menjadi dua yaitu di sebelah barat (Majapahit) diperintah
oleh Wikramawarddhana dan kerajaan di timur (daerah
Balambangan) diperintah oleh Wirabhumi, anak Hayam
Wuruk dari istri selir. Sedangkan Wikramawarddhana
yaitu keponakan dan menantu Hayam Wuruk (Djafar,
1978). Dia naik tahta sebab mengawini Kusumawarddhani,
anak Hayam Wuruk dari parameswari. Dengan demikian
Kusumawardhanilah yang sebenarnya berhak atas tahta
kerajaan sebab sebagai putri mahkota.
Ganeça Inapit Mong Anahut Surya (1328 Ç/1406 M)
Angkaangka tahun yang disebutkan dalam pararaton
tentang peristiwa Paregreg ini ternyata sangat dekat
bahkan ada yang sama dengan candra sengkala atau sengkalan
memet yang dipahatkan pada reliefrelief di Candi Sawentar
Kidul tersebut. Tahun 1318 Ç yang tersirat dalam sengkalan
“Nagaraja anahut surya” sangat dekat dengan awal terjadinya
120 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
peristiwa Paregreg yang menurut Pararaton mulai tahun 1323
Ç. Jadi kemungkinan sebelum mulai peristiwa Paregreg telah
didahului dengan peristiwaperistiwa yang berkaitan dengan
upaya perebutan tahta tersebut. Atau kemungkinan lain, angka
tahun itu justru menunjuk tahun dimulainya peristiwa Paregreg.
Kemungkinan tahun yang disebut oleh penulis Pararaton
kurang tepat, mengingat penulisan Pararaton jauh setelah
peristiwa itu berlangsung (sekitar abad XVII M), sedangkan
Candi Sawentar Kidul yang memuat sengkalan “Nagaraja
anahut surya” berasal dari tahun 1358 Ç (1436 M). Jadi Candi
Sawentar Kidul didirikan 40 tahun setelah peristiwa Paregreg
terjadi. Sedangkan tahun 1328 Ç yang tersirat dalam sengkalan
memet “Ganeça inapit mong anahut Surya” sama dengan tahun
berakhirnya Paregreg saat terbunuhnya Bhre Wirabhumi, yang
menurut Pararaton berbunyi “Nagalara anahut wulan” (Djafar,
1978).
Apabila diamati dari makna penggambaran naga yang
mengenakan mahkota, sangat mungkin hal itu merupakan
simbolisasi seorang raja yang marah, dan digambarkan
sedang ber usaha menelan matahari. Sedangkan matahari
yang dicaplok naga raja ini merupakan simbolisasi dari
kekuasaan kerajaan Majapahit yang sedang dicabikcabik
untuk di runtuhkan. Sebab matahari yang digambarkan pada
panil itu yaitu “Surya Majapahit” yang merupakan lambang
kebesaran Kerajaan Majapahit.
Dengan demikian penggambaran “Nagaraja anahut Surya”
yaitu untuk menggambarkan adanya upayaupaya untuk
meruntuhkan kekuasaan Majapahit melalui perebutan tahta
oleh Wirabhumi terhadap kekuasaan Wikramawarddhana.
Gambaran perebutan kekuasaan antar keluarga rajaraja
Majapahit ini lebih diperjelas dengan adanya reliefrelief
121Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar
berikut yang menggambarkan dua ekor kuda sedang berebut
bola. Relief ini kemungkinan menggambarkan dua bersaudara
yang sedang berebut kekuasaan. Sedangkan yang lebih
memperkuat bahwa reliefrelief itu menggambarkan peristiwa
perang yaitu adanya relief Ganeça yang sedang diapit dua
ekor harimau. Selain sebagai dewa ilmu pengetahuan Ganeça
juga sebagai dewa perang. Ganeça yang digambarkan dalam
relief ini kemungkinan sebagai dewa perang, sebab
tampak sekali Ganeça ini sangat atraktif sedang menggigit
matahari dan siap mengayunkan kapaknya.
Candra sengkala atau sengkalan memang sering diguna
kan sebagai peringatan tentang kejadian atau peristiwa yang
khusus, seperti berdirinya kerajaan, kenaikan tahta raja,
kelahiran, peperangan, serta peristiwa lainnya (Suwatno,
1998/1999). Jika hal ini benar berarti Candi Sawentar Kidul
didirikan oleh Suhita untuk memperingati peristiwa upaya
perebutan tahta (Paregreg) yang terjadi pada masa pemerintahan
ayahnya. Peristiwa itu tergambar dalam panilpanil relief, dua
di antaranya sebagai sengkalan memet yang menggambarkan
kronologi terjadinya peristiwa tersebut. Jadi pendirian
bangunan suci Sawentar Kidul yaitu untuk memperingati
peristiwa yang telah terjadi 40 tahun lalu sebelum bangunan
itu didirikan.
Kesimpulan
Peran penting suatu daerah dapat diketahui dari banyak
nya bangunanbangunan monumental yang didirikan di
daerah itu. Selain itu, juga dapat diketahui dari banyaknya
kunjungan yang dilakukan oleh penguasa pada waktu itu. Di
Blitar ditemukan candicandi masa Majapahit, dari masa paling
122 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
awal yaitu bangunan suci tempat pendharmaan Kertarajasa
sampai candicandi di lereng Gunung Kelud dari masa yang
lebih muda yaitu masamasa akhir Majapahit, yang ditandai
oleh munculnya kembali anasiranasir Indonesia asli, seperti
unsur undakan pada pola halaman maupun pada candi induk
Panataran, serta munculnya bentukbentuk miniatur candi.
Ditempatkannya candi pendharmaan Kertarajasa –pendiri
Majapahit– di Simping atau Sumberjati menunjukkan bahwa
daerah Blitar merupakan tempat yang penting sejak masa awal
Majapahit. Selanjutnya kunjungan rutin yang sering dilakukan
Hayam Wuruk ke Blitar, terutama di Candi Simping atau
Candi Sumberjati dan Candi Palah atau Candi Panataran lebih
menegaskan bahwa daerah Blitar merupakan tempat yang
istimewa bagi Majapahit. Lebihlebih melihat arsitektur Candi
Panataran yang merupakan candi terbesar di Jawa Timur
dengan pola halaman ke belakang mewakili pola arsitektur
Jawa Timur yang lengkap, bukan tidak mungkin sebagai candi
kerajaan walaupun Nagarakretagama tidak menyatakannya
sebagai dharma haji.
Ditemukannya kompleks Candi Sawentar Kidul yang ber
dasarkan hasil kajian kemungkinan berkaitan dengan peristiwa
paregreg atau dengan kata lain pendirian candi ini ditujukan
sebagai monumen peringatan kemenangan telah menambah
peran penting daerah Blitar dalam sejarah Majapahit. Mungkin
masih banyak lagi tinggalan arkeologis di daerah Blitar yang
belum terungkap, yang masih merupakan potensi terpendam.
Apa yang sudah terungkap saat ini baru sebagian kecil dari
buktibukti kejayaan Majapahit di Blitar. Masih banyak
masalah yang perlu diungkap dari keberadaan candicandi
di Blitar, seperti mengapa pendiri Majapahit didharmakan di
Blitar, mengapa candi terbesar di Jawa Timur justru didirikan
123Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar
di Blitar, mengapa monumen paregreg juga didirikan di Blitar,
dan masih banyak lagi permasalahan yang harus dijawab.
dalah seorang mantan Kepala Sekolah Dasar
Bulukambang II, Kecamatan Lumbang, Kabupaten
Pasuruan bernama Soekarno BA. Dia juga dikenal
sebagai dalang yang mengkhususkan dirinya mendalang
dalam upacara keagamaan, atau upacara adat di desadesa
sekitar tempat tinggalnya, sehingga lakon yang dimainkannya
pun disesuai kan dengan tujuan diadakannya upacara tersebut.
Satu hal yang menarik bahwa di desa Lumbang ini pernah
tinggal seorang Empu pembuat keris yang sangat terkenal
pada jaman Majapahit, cuma tidak diketahui siapa namanya.
Juga dalam Nāgarakertagāma pupuh 73:3 disebutkan bahwa
pada masa pemerintahan raja HayamWuruk di desa Lumbang
dibangun sebuah candi untuk seseorang (Robson.1995:78).
Pramudito (2006) dalam bukunya mengatakan bahwa sesudah
128 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Gajah Mada tidak lagi menjabat sebagai Mahapatih di
Majapahit, dia mengasingkan dirinya hidup sebagai pertapa
di sebuah dusun terpencil di lereng Gunung Bromo dekat air
terjun, dengan suasana yang sunyi sepi di pinggir hutan yang
lebat (Pramudito.2006:135). Kenyataannya di desa Lumbang
memang terdapat air terjun yang sekarang berfungsi sebagai
tempat rekreasi. Mungkinkah nama desa Lumbang yang
sekarang ini identik dengan Lumbang seperti yang disebutkan
dalam Nāgarakertagāma dan buku karangan Pramudito
tersebut? Jika demikian halnya, nampaklah bahwa nama desa
Lumbang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Pada tahun 1985, pak Soekarno yang waktu itu men
jabat sebagai Kepala Sekolah Dasar, tergerak hatinya saat
menemukan beberapa batu candi dan arca di sebuah bukit
di lereng Gunung Bromo yang lumayan jauh dari tempat
tinggalnya. Penemuan ini langsung dilaporkan ke
instansi terkait, termasuk ke Balai Arkeologi Yogyakarta,
dan tentunya dengan sepengetahuan Kepala Desa setempat.
Namun usahanya tidak membuahkan hasil. Hal ini mungkin
disebabkan sebab lokasi tinggalan arkeologi ini sulit
dijangkau, sebab jalan menuju dusun itu melingkari bukit
dengan jurang yang terjal jalan itupun sempit, hanya cukup
untuk satu kendaraan roda empat. Harus benarbenar waspada
agar tidak berpapasan dengan kendaraan roda empat lain.
Dusun Wonogriyo, Desa Pusungmalang, Kecamatan
Puspo, Kabupaten Pasuruan, terletak pada ketinggian 1340
meter di atas permukaan laut (dpl). Seperti diketahui bahwa
pada umumnya desa di Jawa memiliki sebuah punden yang
dikeramatkan oleh penduduk setempat, sebab dianggap
sebagai makam atau tempat bersemayamnya sesepuh desa
sebagai cikalbakal berdirinya desa tersebut. Sesepuh desa
129Candi di Lereng Bromo
umumnya dipuja sebagai Danyang yang menjaga keselarasan
hidup seluruh penduduk. Asal mula munculnya Danyang
yaitu pada masa praHindu kepercayaan warga ber
pusat kepada alam dan arwah nenek moyang. Dewadewa
ini dinamakan Dahyang atau Rahyang yang kemudian
berubah menjadi Danyang (da = honorefic prefix) dalam bahasa
Jawa Baru (Kartoatmodjo:1979:43).
Demikian juga halnya di Dusun Wonogriyo, penduduk
mempunyai Danyang bernama Kyai Wonosodo, dan pundennya
berada di ujung desa, di sebuah bukit bagian dari lereng
Gunung Bromo. Penduduk juga menamakan punden tersebut:
Candi Sanggar. Mengapa dinamakan demikian? sebab selain
punden ini dianggap sebagai makam Kyai Wonosodo, juga
banyak ditemukan reruntuhan bangunan candi berupa batu
batu andesit, dan pernah pula ditemukan beberapa arca batu.
Tahun 2004 pada waktu penulis melihat arsiparsip lama
di perpustakaan Balai Arkeologi Yogyakarta ditemukanlah
surat pak Karno ini di atas. Surat itu menggunakan tulisan
tangan yang rapi dengan kertas ukuran folio yang sudah
menguning di makan usia. Isi surat menginformasikan bahwa
ada reruntuhan candi dengan rincian yang lengkap seperti
yang penulis sertakan di atas. Namun, informasi yang sangat
berharga itu tidak satu pun mendapat tanggapan, akibatnya
dari tahun ke tahun arcaarca di sana hilang satu demi satu.
Surat pak Karno yang menginformasikan tentang situs Candi
Sanggar, dan ditulis 20 tahun yang lalu
130 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
131Candi di Lereng Bromo
Informasi ini diperkuat pula oleh laporan tim
penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta yang pada tahun 2004
mengadakan penelitian tentang “Unsurunsur Kepercayaan
pada Bentuk Permukiman dan Rumah Tengger, Jawa Timur” di
Desa Keduwung (Lelono.2004:1). Pada waktu itu tim mendapat
laporan penduduk bahwa di dusun Wonogriyo ada punden
yang disebut Candi Sanggar. Tim melakukan peninjauan
ke tempat itu dan memang di sana banyak ditemukan batu
batu candi. Menurut cerita penduduk, dulu ditemukan arca
arca seperti gambar dalam laporan tulisan tangan pak Karno,
tetapi arca ini beberapa kali dicuri oleh oknum tidak
bertanggungjawab dari luar dusun tersebut.
Akhirnya ada pencuri yang mengembalikan arca
arca itu ke tempat semula, sebab selalu menderita dan sial,
konon akibat kutukan dari arca tersebut. Pencuri terakhir
tidak mengem balikan arcaarca itu ke tempat semula, sebab
sesudah menjualnya menjadi gila. Tentu saja arcaarca itu
tidak dapat dilacak kembali keberadaannya, sungguh sayang!!
Akan tetapi penduduk desa dan sekitarnya sejak dahulu tetap
menjalankan suatu tradisi yang dilakukan satu tahun sekali.
Mereka berarakan naik ke punden, dan di halaman punden
mereka mengadakan selamatan untuk menghormati Danyang
Desa, agar tetap menjaga desanya supaya terhindar dari segala
hal yang tidak baik. Upacara ini merupakan upacara
bersih desa turun temurun.
Arkeolog dan Candi Sanggar
Sesuai dengan laporan pak Karno, tim peneliti dari Balai
Arkeologi Yogyakarta mengadakan penelitian, dimulai tahun
2005 sampai sekarang. Untuk mencapai lokasi, meskipun
132 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
cuaca sangat dingin menusuk tulang, tetapi tim peneliti tetap
terengahengah sebab menaiki bukit yang cukup tinggi.
Apalagi sering turun hujan yang menyebabkan tanah menjadi
licin. Akibatnya tak ada satupun anggota tim yang tidak
pernah terpeleset!!
Di atas bukit itulah ditemukan susunan batubatu candi
yang semula disangka sebagai bagian dari dinding candi.
Namun ternyata susunan batubatu ini yaitu tum
pukan batubatu candi yang dikumpulkan oleh penduduk
apabila mereka menemukannya. Sesudah batubatu candi itu
dibersihkan, diketahui bahwa tumpukan ini antara lain
berupa umpakumpak sejumlah 23 buah berukuran besar,
sedang, dan kecil. Ternyata umpakumpak batu juga ditemu
kan bertebaran di sekitar bukit sebab terbawa tanah longsor.
Dengan penuh ketelitian para arkeolog anggota tim mem
bersihkan, mengukur, dan memotret batubatu candi ini
satu persatu. Dari 23 buah umpak batu ini diantaranya
ditemukan tiga buah umpak dengan ukuran sama, yang salah
satu sisinya bertuliskan huruf dan bahasa Jawa Kuna yang
merupakan angka tahun
dan terbaca 1431 Saka
atau 1509 Masehi.
Temuan lain yaitu
beberapa fragmen terakota
dan fragmen tembikar,
diantaranya berupa jam
bangan berukuran besar.
Dugaan ini didasar kan
dari bagian tepiannya
yang tebal, lebih kurang
Umpak berangka tahun 1431 Saka
(dok. Balar Yogya)
133Candi di Lereng Bromo
2 cm. Ada pula yang bermotif hias yang indah dan halus
pengerjaannya.
Beberapa artefak terakota hasil survei permukaan di sekitar situs
(dok.Balar Yogya)
Selain pecahanpecahan tembikar, juga beberapa fragmen
keramik asing dan mata uang kepeng Cina.
Fragmen keramik asing
(dok. Balar Yogya)
Mata uang kepeng Cina
(Dok.Balar Yogya)
Temuan lain yaitu satu buah batu andesit berbentuk
empat persegi panjang yang memuat prasasti dengan huruf
dan bahasa Jawa Kuna pada salah satu sisinya. Prasasti ini
diduga Candrasengkala. Penulis meminta bantuan 2 orang
epigraf untuk membaca dan menganalisa tulisan tersebut.
Hasil nya yaitu sebagai berikut:
134 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
1. Titi Surti Nastiti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan
Arkeologi Nasional, Jakarta membaca candrasengkala
tersebut:
Rupa (1), Guna (3), Catur (4), Janma (1) = 1431 Saka atau
1509 Masehi.
2. Sedangkan Kayato Hardani dari Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala DIY, menafsirkan Candrasengkala
ini sebagai berikut:
Ruya O Saturnakhma atau Ru Ya O Saturnakhma, maknanya:
Kata Ruya tidak dijumpai di dalam kamus Jawa Kuna
maupun Sansekerta.
Kata Ru dalam kamus Sansekerta, didefinisikan
sebagai “roar, cry, howl, yell, croak, hum, resound” ada
kaitannya dengan suara, teriakan atau lolongan.
Kata Ya merupakan partikel penegas atau penunjuk.
Kata Saturnakhma(?) mungkin dari kata dasar Turna
yang berarti dengan cepat. Kata ini berasal dari kata
Sansekerta Türna dari akar kata Tvar yang berarti
cepat.
Prasasti berupa Candrasengkala (dok.Balar Yogya)
Dalam konteks inskripsi dari Candi Sanggar ini belum
dapat diperoleh penafsiran arti kata yang jelas. Mungkin
135Candi di Lereng Bromo
inskripsi ini tentang seruan untuk mempercepat “sesuatu”.
Hal ini terlihat adanya partikel penegas dan seruan Ya dan O.
Untuk kata Saturnakhma diperkirakan sebagai sebuah bentuk
kata pasif dari kata dasar Turna yang berarti “percepatlah”.
Kayato Hardani mengacu pada Kamus bahasa Sansekerta
karangan Mac Donnel terbitan tahun 1954, dan Kamus Jawa
Kuna karangan Zoetmulder terbitan tahun 1997. Dengan tidak
mengurangi penghargaan penulis kepada Kayato Hardani,
dalam konteks ini, penulis lebih condong menggunakan
pembacaan Titi Surti Nastiti, dengan alasan angka tahun
ini sesuai dengan angka tahun pada 3 buah umpak batu.
Temuan permukaan lain berupa satu buah batu andesit
berbentuk empat persegi panjang berukuran: panjang 32 cm,
lebar 19 cm, tebal 10 cm, dan tinggi 12 cm bertuliskan huruf
dan bahasa Jawa Kuna: pa dra dra dra a la dra la
Prasasti dengan tulisan huruf dan bahasa Jawa Kuna
(dok.Balar Yogya)
Perkataan itu belum diketahui apa artinya, mungkin hanya
merupakan suatu kalimat kutukan, atau sumpah serapah, bisa
juga merupakan suatu seruan pujipujian kepada dewa atau
entah siapa yang dikeramatkan di situs tersebut. Seperti yang
sudah disebutkan di atas, bahwa di sana pernah ditemukan
arcaarca batu, yang sayangnya sudah hilang tanpa pernah
136 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
didokumentasikan sebelumnya, jadi tidak diketahui arca
siapa. Seandainya masih ada tentu akan memudahkan kita
untuk menghubungkan arcaarca itu dengan prasasti yang
ditemukan.
Selanjutnya, ada beberapa batu andesit yang pada
salah satu sisinya bergambar goresangoresan, dugaan tim
sementara, goresangoresan itu yaitu semacam kode atau
tanda untuk memudahkan penyusunan batubatu ini
menjadi suatu bangunan candi.
Dua contoh batu bergores (dok. Balar Yogya)
Dari hasil ekskavasi/penggalian, pada kedalaman 30 cm
tim menemukan satu balok batu andesit yang pada salah satu
sisinya memuat angka tahun 1267 Saka (1345 Masehi) dengan
huruf dan bahasa Jawa Kuna.
Prasasti angka tahun 1267 Saka (dok.Balar Yogya)
137Candi di Lereng Bromo
Selain itu ditemukan struktur bangunan yang diduga
semacam struktur ambang pintu ukuran lebar 210 cm mem
bujur arah timurbarat. Di pojok timur struktur ambang pintu
ditemukan arca Dwarapala setinggi 40 cm. (Istari,2007: 319)
Struktur ambang pintu dan Dwarapala (dok.Balar Yogya)
Hubungannya dengan Majapahit
Sebelum pengaruh India masuk ke Indonesia, warga
Indonesia sudah mempunyai kepercayaan asli dalam kehi
dupan keagamaannya. Konsep yang mendasari kepercayaan
asli yaitu anggapan bahwa alam semesta didiami oleh
makhlukmakhluk halus atau rohroh leluhur dan bahwa
gunung merupakan tempat arwah leluhur atau yang didewa
kan (Wales,1958:86). Kepercayaan asli itu sudah ada sejak
jaman megalitik di Indonesia. Pada masa itu pendirian
bangunanbangunan megalitik didasarkan atas kepercayaan
akan hubungan antara yang hidup dan yang telah mati, ter
utama kepercayaan kepada adanya pengaruh kuat dari yang
telah mati terhadap kesejahteraan warga dan kesuburan
138 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
tanaman. Juga adanya pemujaan kepada roh leluhur, dan
akhirnya melahirkan tatacara yang menjaga segala tingkah
laku warga di dunia fana supaya sesuai dengan tuntutan
hidup di dunia akhirat. Pada masa itu organisasi warga
telah teratur. Pengetahuan tentang teknologi yang berguna
seharihari dan nilainilai hidup terus berkembang, antara
lain mengenai caracara pembiakan ternak, pemilihan benih
benih tanaman untuk keperluan seharihari. Sikap hidup
selalu berkisar pada persoalanpersoalan manusia, bumi dan
tanaman. warga telah meningkat dan membentuk per
kampungan yang tetap, tidak seperti masa sebelumnya di
mana pengembaraan masih sering dilakukan (Poesponegoro,
2008:248251). Bangunanbangunan megalitik dibangun untuk
pemujaan kepada makhlukmakhluk halus, roh leluhur,
kepala desa, atau orangorang yang dianggap berjasa terhadap
warga desa tersebut. Mereka dibuatkan punden sebagai
tempat tinggal rohnya, dan dianggap sebagai danyang atau
leluhurnya. Selanjutnya tradisi megalitik ini memantulkan
ciricirinya pada bangunanbangunan candi sewaktu budaya
Hindu masuk ke Indonesia. Boleh dikatakan pendirian candi
candi di Indonesia merupakan refleksi kelanjutan tradisi
megalitik ini.
Cerminan berkembangnya kepercayaan asli pada masa
Majapahit akhir dapat diketahui dari berbagai aspek, diantara
nya yaitu dari susunan bangunan keagamaan serta lokasi
penempatan bangunannya. Bangunan berteras merupakan
ciri umum bangunan masa itu, sedangkan lokasi pendiriannya
umumnya di tempattempat yang tinggi, seperti misalnya di
lereng gunung atau di bukit atau di puncak gunung. Bangunan
keagamaan yang didirikan di lereng gunung atau di bukit
contohnya yaitu tinggalantinggalan arkeologi yang terdapat
139Candi di Lereng Bromo
di Gunung Penanggungan dan Gunung Arjuna di Jawa Timur
serta Gunung Lawu yang terletak di perbatasan Jawa Timur
dan Jawa Tengah (Kusen dkk,1993:99101).
Dengan latar belakang seperti di atas, marilah kita
kembali ke Candi Sanggar. Bagaimanakah bentuk Candi
Sanggar dan hubungannya dengan Majapahit? Ditinjau
dari sisi arsitekturalnya, Candi Sanggar berbentuk punden
berundak. Menurut kosmologi India, alam semesta terdiri atas
tiga tingkatan yang disebut Triloka, yang diwujudkan dalam
bagianbagian candi (Soekmono,1990:15). Tingkat terbawah
atau kaki candi melambangkan bhurloka atau dunia tempat
manusia berpijak. Tubuh candi melambangkan bhuwarloka
atau dunia tempat manusia telah mencapai kesucian dan
kesempurnaan dan sebab nya dapat berhadapan dengan
dewa atau nenek moyang yang mereka puja. Adapun atap
candi melambangkan swarloka atau dunia para dewa dan roh
leluhur. Kalau penggambaran alam semesta secara tegak lurus
itu direbahkan, maka akan diperoleh susunan bagian mendatar
yakni bagian depan, bagian tengah, dan bagian belakang yang
lebih tinggi daripada kedua bagian lain. Apabila susunan
ini diterapkan pada lereng bukit, maka menjadi punden
berundak.
Selama jaman Majapahit, telah terjadi perubahan
perubahan kebudayaan yang dilandasi oleh adanya pergeseran
pergeseran dalam bidang kepercayaan. Kepercayaan asli
warga Jawa yang dilandasi oleh pemujaan terhadap
arwah leluhur yang tampak tergeser oleh adanya unsur
unsur HinduBudha, menjelang abad XIIIXVI Masehi tampak
mulai bangkit dan muncul kembali. Mengenai pergeseran
kepercayaan ditunjukkan bentuk, susunan, dan orientasi
bangunanbangunan candinya. berdasar hal ini
140 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
diketahui bahwa kepercayaan yang berkembang pada masa
itu mengalami pergeseran dari yang semula merupakan
kepercayaan HinduBudha, berbalik lagi pada kepercayaan
asli, yaitu pemujaan arwah leluhur (Soekmono dkk,1993:78
80). Hal ini diperkuat pula oleh tulisan Kusen dkk (1993:104)
bahwa pada masa Majapahit akhir kepercayaan asli menonjol,
meskipun unsur Hindu muncul, namun diberi nafas yang
sesuai dengan kepercayaan asli. Dengan demikian yang
tampak yaitu ungkapan kepercayaan asli, seperti misalnya
perpaduan antara pemujaan leluhur dan pemujaan dewa
dewa kosmis, sehingga muncul dewadewa lokal.
Tinggalan kepurbakalaan yang digolongkan sebagai
punden berundak antara lain yaitu candicandi kecil di lereng
Gunung Penanggungan (Atmojo.1986291293), Candi Sukuh
dan Candi Ceto di lereng Gunung Lawu (Tjahjono,1987:86),
Candi Sepilar, Candi Madrim, Candi Makutarama, Candi
Wesi, dan Candi Indrakila di lereng Gunung Arjuna, demikian
pula Candi Sanggar di lereng Gunung Bromo ini. Situs Candi
Sanggar yang merupakan kompleks bangunan suci untuk
peribadatan yaitu perkembangan dari punden sebagai tempat
tinggal leluhur ke bentuk punden berundak yang berorientasi ke
puncak gunung tempat arwah leluhur tinggal.
Seperti yang telah diuraikan di depan, di situs Candi
Sanggar ditemukan angka tahun yang berbeda. Angka
tahun pertama 1267 Saka atau 1345 Masehi pada balok batu
yang masih in-situ, menandakan bahwa pada tahun itulah
Candi Sanggar pertama kali dibangun. Pada waktu itu
kerajaan Majapahit diperintah oleh seorang raja wanita yaitu
Bhre Kahuripan dengan nama gelar Tribhūwanottunggadewi
Jayawisnuwarddhani. Ia memerintah sejak tahun 1250 Saka
sampai dengan tahun 1272 Saka. (Poesponegoro,2008:461).
141Candi di Lereng Bromo
Nah, Candi Sanggar dibangun pada masa pemerintahan
Tribhūwanottunggadewi ini. Pemikiran ini didasari data bahwa
pada masa pemerintahan rajaraja Jawa Kuno, dibangunlah
bangunanbangunan suci, petirtaanpetirtaan, dan beberapa
tugu peringatan. Raja yang bersangkutan diwujudkan
menyerupai dewadewa yang dipujanya, dan dapat diundang
pada waktu mereka mengadakan upacaraupacara tertentu.
Dari Kitab Nāgarakertagama diinterpretasikan bahwa tradisi
pendirian bangunan suci yang disertai dengan pembuatan arca
merupakan pengabdian kepada raja yang sudah meninggal.
Raja ini diarcakan dalam bentuk arca dewa atau arca
yang tidak beratribut dewa, sehingga ia kemudian dipuja, dan
pada hakekatnya dianggap sebagai nenek moyang. Dengan
demikian dapatlah dikatakan bahwa candi pada masa Jawa
Timur bukan sematamata tempat pemujaan kepada dewa,
tetapi juga merupakan tempat pemujaan nenek moyang
(Hardiati, 2002:4).
Menurut cerita pak Karno, konon, Candi Sanggar dibangun
oleh orangorang Majapahit untuk bersamadi, sebelum mereka
menuju Tengger guna melakukan suatu upacara yang secara
rutin mereka lakukan. Di sebelah timur situs terdapat sebuah
sungai yang dinamakan Sungai Jajang, atau penduduk lebih
menge nalnya dengan sebutan Sungai Guyangan. Nama ini ada
riwayatnya, dinamakan Guyangan (Jawa: guyang = meman
dikan, ditambah akhiran an) sebab pada waktu itu para
peziarah memandikan kuda tunggangannya di sungai itu.
Angka tahun kedua yaitu 1431 Saka atau 1509 Masehi.
Sekitar tahun itu Majapahit diperintah oleh raja Girindra-
warddhana Dyah Ranawijaya Bhattāra I Kling. Ia meme rintah
antara tahun 1396 Saka1441 Saka atau 1474 Masehi1519 Masehi
sebagai raja Majapahit terakhir yaitu Girindrawarddhana
142 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
ini (Djafar.1978:.51). berdasar kedua angka tahun
ini dapat diperkirakan keberadaan Candi Sanggar
yaitu di antara abad ke14 sampai dengan abad ke16
Masehi. Menurut catatan sejarah abadabad itu merupakan
periode akhir masa Klasik di Indonesia, yang ditandai dengan
merosotnya kekuasaan besar kerajaan Majapahit yang masih
memeluk agama HinduBudha.
Jarak antara pemerintahan Tribhuwana dan Girindra
wardhana kurang lebih 1,5 abad. Berarti ada kemungkinan
Candi Sanggar dibangun dan kemudian diperbaiki lagi
beberapa masa kemudian. Melihat hasil temuan yang berupa
umpakumpak dengan variasi yang bermacammacam itu,
tampaknya Candi Sanggar bukanlah bangunan tunggal
melainkan suatu kompleks bangunan suci yang terdiri atas
bangunan induk dengan beberapa bangunan pendukung.
Satu hal yang penting yaitu Candi Sanggar sampai saat ini
merupakan satusatunya candi yang ditemukan di lereng
Gunung Bromo.
Kejayaan Kerajaan Majapahit tidak hanya dapat dibukti kan dari tinggalan arkeologis yang ada di kawasan TrowulanMojokerto dan sekitarnya.
Majapahit berbeda dengan kerajaankerajaan lain di Nusantara,
sebab dalam perkembangan dan kejayaannya Majapahit
yaitu representasi dari Kerajaan Nusantara yang mampu
menjalin hubungan bilateral dengan kerajaankerajaan lain di
kancah internasional. Oleh sebab itu apabila kita berbicara
tentang Majapahit, konteks skalanya yaitu Nusantara
IndonesiaNasionalisme bangsa Indonesia, bukan lagi Situs
Trowulan, ataupun kewilayahan Propinsi Jawa Timur. Hal ini
146 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
akan terlihat apabila kita menyimak data susastra seperti Kitab
Negarakrtagama, dari kitab ini dapat dipahami bahwa
kekuasaan Majapahit pada suatu masa (abad XIV M) mencapai
daerahdaerah yang sangat luas. Bahkan beberapa wilayah
bagian dari negara tetangga sebagian dapat dikuasai seperti
Malaysia, Singapura, dan Brunei (Pigeaud, 1960). Demikian
pula dalam hubungan bilateral dengan kerajaan lain, seperti
misalnya dengan Campa dan Kamboja, Majapahit sangat
menjunjung harkat dan martabat sebagai bangsa dan kerajaan
yang besar.
Sebagai negara yang besar, Majapahit pasti didukung
oleh berbagai potensi yang ada di wilayahnya. Oleh sebab
itu beberapa daerah potensial di Jawa Timur haruslah terlebih
dahulu dikuasainya, sebelum mengembangkan kekuasaan
ke luar Jawa bahkan ke luar dari wilayah Nusantara. Daerah
daerah potensial di wilayah Jawa Timur satu diantaranya
yaitu kawasan danaudanau yang banyak ditemukan di
Kabupaten Lumajang dan Probolinggo. Satu di antara danau
danau yang hingga sekarang masih menjadi andalan dan
harapan hidup warga di sekitarnya yaitu Ranu (danau)
Klakah.
Di dekat Ranu Klakah, dari hasil penelitian arkeologi yang
dilakukan oleh tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta
ditemukan sisasisa bangunan dari bata yang diduga merupakan
pondasi sebuah bangunan candi. Keberadaan candi ini
jelas erat hubungannya dengan keberadaan ranu, sebab antara
air dan kehidupan manusia tidak mungkin untuk dipisahkan.
Ruparupanya jauh sebelum masa Majapahit, kawasan Ranu
Klakah sudah diokupasi oleh manusia. Hal ini dibuktikan pula
dengan tinggalan lain yang berasal dari masa prasejarah.
147Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
Ranu Klakah dan Lingkungannya
Ranu Klakah yaitu sebuah danau yang terletak di Desa
Tegal Randu, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang,
Propinsi Jawa Timur. Di wilayah Kabupaten Probolinggo,
pada umumnya setiap ranu terkait dengan legenda yang men
ceritakan tentang asalusul ranu tersebut. Namun, ruparupanya
warga yang sekarang bermukim di sekitar Ranu Klakah
sebagian besar merupakan pendatang baru, sedangkan warga
dari generasi yang lebih tua sebagian besar telah meninggal,
maka legenda yang berkaitan dengan keberadaan Ranu Klakah,
belum sempat ditransformasikan kepada generasi berikutnya.
Hal ini berbeda dengan ranu-ranu yang ditemukan di wilayah
Kabupaten Probolinggo misalnya Ranu Segaran, Ranu Agung,
dan Ranu Gedang, warga di sekitarnya tahu tentang cerita
rakyat atau legenda masingmasing.
Ranu Klakah dengan latar belakang Gunung Lamongan
terletak di Desa Tegalrandu, Kec. Klakah, Lumajang
Dok. Balai Arkeologi Yogyakarta 2007.
148 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Selain mata air yang diperkirakan berasal dari dasar
ranu, ada beberapa in let atau sumber mata air yang masuk
ke Ranu Klakah, yang beberapa di antaranya ditemukan di
sisi timur Ranu. Lokasi ini secara administratif masuk
Dusun Klemaran. Secara topografis bagian sisi Timur Ranu
Klakah ini memiliki kelerengan yang cukup curam,
sehingga merupakan lahan yang kurang cocok sebagai lokasi
permukiman.
Lokasi yang sekarang menjadi Dusun Klemaran termasuk
permukiman baru, sebab terbatasnya lahan yang tersedia
untuk tempat tinggal penduduk yang semakin hari jumlahnya
semakin bertambah banyak. Hal ini didukung oleh
kenyataan bahwa survei arkeologis yang dilakukan pada
tahun 2007 sama sekali tidak menemukan data kekunaan, baik
artefaktual maupun non artefaktual atau intangible. Nenek
moyang mereka diperkirakan dahulu menempati di lahan
lahan yang landai dan dekat dengan areal pertanian, seperti
Dusun Krajan dan dusundusun lain di sekitar danau.
Kelerengan lahan yang cukup terjal di lingkungan Ranu
Klakah dari sisi timur berlanjut hingga sisi selatan. Sisi selatan
danau belum banyak dimanfaatkan untuk pemukiman.
Sebagian areal tepian danau yang mulai mengering oleh warga
Dusun Klemaran dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Selain
merupakan daerah yang belum banyak penghuninya, survei
permukaan dibagian sisi selatan danau tidak menemukan
artefakartefak yang menunjukkan okupasi manusia di masa
lampau. Seperti halnya lahan yang ada di sisi timur, pada
tebing danau sisi Selatan ditemukan pula beberapa in let yang
cukup besar debit airnya.
Pada kawasan sisi barat dan utara danau misalnya Dusun
Jatian, dan Gunung Lawang, yang secara topografis meru
149Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
pakan lahan yang cukup landai dan datar, hasil survei yang
dilakukan di kawasan ini menunjukkan bahwa ketiga
dusun ini di atas merupakan perkampungan tua. Di
Dusun Jatian, ditemukan sebuah keramat yang oleh warga
setempat disebut Keramat Mbah Koung. berdasar cerita
Mbah Hadi (juru kunci keramat), keramat yang ditandai
dengan dua buah batu monolit ini yaitu makam cikal
bakal warga Jatian khususnya dan Tegal Randu pada
umumnya.
Struktur batu andesitis berbentuk persegi empat, bentuk ini mirip
dengan Watu Kandang yang ditemukan di Matesih, Kab. Karanganyar,
Jawa Tengah. (Dok. Balar Yogya 2007)
berdasar orientasi atau arah bujur kubur yang meng
arah UtaraSelatan, menunjukkan tinggalan dari masa Islam.
Akan tetapi, apabila dilihat bentuk nisan yang terdiri dari batu
utuh (menhir), mengingatkan pada suatu tradisi yang berasal
dari tahap kehidupan Neolitik yaitu tradisi megalitik yang di
Indonesia berlanjut hingga waktu yang cukup panjang (Hoop,
150 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
1932; Anonim, 1999 : 85). Di Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah,
ditemukan susunan dua batu utuh seperti ini di atas, akan
tetapi orientasinya tidak UtaraSelatan, melainkan menurut
Gunadi berorientasi ke puncak sebuah gunung yaitu Gunung
Slamet (Gunadi, 1982). Dengan demikian kepastian apakah
keramat ini benarbenar sebuah makam atau sebuah
pseudo makam, masih perlu kajian yang lebih tajam lagi.
Objek lain yang terkait dengan keramat Mbah Koung yaitu
Keramat Gunung Lawang yang terletak di Dusun Gunung
Lawang, Desa Tegal Randu, Kecamatan Klakah. Keramat
Gunung Lawang merupakan susunan batubatu monolit yang
tidak beraturan. Selain Keramat Gunung Lawang, di dusun ini
ditemukan pula tinggalan lain yang disebut Batu Astah. Batu
andesitis utuh yang relatif berukuran kecil ini sampai sekarang
masih dikeramatkan oleh warga sekitar. Terbukti hingga
saat ini masih digunakan sebagai tempat peziarahan dengan
tandatanda bekas pembakaran kemenyan di dekat batu
tersebut.
Berbeda dengan Keramat Gunung Lawang, susunan batu
utuh andesitis yang ditemukan di pekarangan Bapak Parmin
warga Dusun Jatian, Desa Tegal Randu memiliki struktur yang
jelas yaitu berbentuk empat persegi atau rectangular enclosure.
Bentuk seperti ini mirip dengan Watu Kandang yang terdapat di
Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah (Nitihaminoto,
1978; Gunadi, 1994). Dari hasil ekskavasi di kompleks batu
berdenah empat persegi ini diketahui bahwa di bawah
dan sekitar susunan batu andesitis terdapat struktur lantai yang
terbuat dari susunan bata. Ukuran bata dengan panjang 40 cm,
lebar 20 cm, dan tebal 6 cm menunjukkan ukuran bata kuna,
baik yang lazim digunakan pada masa Islam awal maupun
pada masa Hindu – Budha, terutama dalam pembangunan
151Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
candicandi di Jawa Timur. Antara susunan batu yang mirip
dengan watu kandang dan struktur lantai bata belum dapat
dijelaskan bagaimana konteksnya.
Dalam ekskavasi yang dilakukan di luar struktur watu
kandang ditemukan struktur bata lain yang dapat diinter
pretasikan sebagai sisasisa pondasi suatu bangunan, yang
besar kemungkinannya yaitu sebuah candi. Perkiraan di atas
diperkuat oleh bentuk denahnya yang mirip dengan denah
sebuah candi. Untuk dapat mengetahui bentuk keselurahan
denah pondasi, ada beberapa kendala yang cukup serius.
Pertama harus memindahkan kandang sapi, dan kedua
sebagian pondasi candi ini berada di bawah bangunan
sebuah rumah milik warga. Walaupun demikian, dari hasil
penggalian beberapa kotak test pit sudah dapat dipastikan
bahwa sisasisa bangunan yang ditemukan yaitu pondasi
dari bangunan candi dari bata.
Penemuan Sisa-Sisa Bangunan Candi
Penelitian arkeologi yang dilakukan di kawasan Ranu
Klakah sebenarnya yaitu penelitian bertema kan per mukiman
ling kungan danau yang di fokuskan pada masa prasejarah.
Oleh sebab itulah pembukaan test pit diawali dari lokasi
ditemukannya sturuktur batu andesitis yang mirip dengan
bentuk Watu Kandang di Situs Megalitik Matesih, Kabupaten
Karanganyar, Jawa Tengah. Anehnya, dari hasil penggalian
pada beberapa kotak test pit ditemukan susunan lantai bata
yang diperkirakan berasal dari masa HinduBudha atau masa
Islam (biasanya material bata digunakan untuk bangunan candi
atau bangunan dari masa Islam seperti makam dan masjid).
Dari hasil penggalian ini diketahui pula bahwa susunan
152 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
lantai bata meluas hingga
keluar “struktur watu
kandang” tersebut. Untuk
menge tahui ada tidak nya
hubungan antara struktur
bata dan struktur andesitis
tersebut, maka penggalian
diperluas ke arah Utara.
Walaupun penggalian
belum dapat dituntaskan,
akan tetapi dapat diper
kirakan bahwa antara
struktur bata yang diperkirakan pondasi candi dan struktur
batu andesit yang mirip bangunan dari masa prasejarah
ini tidak ditemukan keterkaitan secara langsung.
Mengingat hasil temuan dari penggalian ini cukup spek
takuler, maka penggalian diperluas dengan melakukan lay out
ulang yaitu membuka sektor yang diberi kode Sektor Kandang
Sapi (sebab berada di
dekat kandang sapi milik
Bpk. Parmin). Sektor
Kandang Sapi yang ber
ukuran panjang 11 meter
dan lebar 5 meter ini
kemudian dibagi menjadi
beberapa grid berukuran
1x1 meter. Selanjutnya
setiap grid diberi kode
yang dise suaikan dengan
huruf yang disusun pada
sisi panjang (AK) dan
Struktur bata yang diperkirakan bagian
dari pondasi candi sudut Timur Laut
dan bagian penampil sisi Timur.
Dok. Balai Arkeologi Yogyakarta 2007.
Denah temuan struktur bata
yang diperkirakan Sebagai pondasi
sebuah candi, hasil ekskavasi
153Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
angka yang disusun pada sisi lebar (15), seperti terlihat pada
denah di atas. Sayang, hasil ekskavasi yang cukup spektakuler
ini terkendala oleh beberapa hal, antara lain dana, tenaga,
dan waktu yang sangat terbatas, sehingga pada kesempatan
ini tidak mungkin dapat membuka semua kotak yang
ada di Sektor Kandang Sapi. Kendala pertama yaitu harus
terlebih dahulu memindahkan kandang sapi, dan kedua harus
menambah waktu penelitian. Untuk memindahkan kandang
sapi, menurut keyakinan warga Tegalrandu pada umum
nya tidak dapat dilakukan di sembarang waktu. Mereka
harus mencari hari yang baik, apabila tidak menggunakan
perhitungan yang tepat akan berakibat buruk baik terhadap
kehidupannya ataupun bagi kesehatan dan keselamatan sapi
sapi mereka.
Walaupun bentuk atau denah keseluruhan struktur bata
belum dapat ditampakkan, di atas kertas sudah dapat diper
kirakan bahwa bangunan bata ini menghadap ke Timur. Hal
ini didukung oleh adanya bentuk penampil di bagian timur
yang diperkirakan sebagai bagian dari pondasi pintu masuk
candi. Ukuran bangunan
kirakira 5 meter x 5 meter,
dan lebar penampil kurang
lebih 2 meter. Memperhati
kan ukuran tersebut, dapat
dikatakan bahwa bangunan
candi bata ini ber ukuran
relatif kecil. Temuan struktur
bata pada kedalaman 100
cm, tanpa didukung adanya
temuan bata yang ada di
permukaan sudah dapat
Struktur bata yang diperkirakan
sebagai bagian dari pondasi candi
sisi Utara (foto: Balai Arkeologi
Yogyakarta)
154 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
dipastikan bahwa sebagian besar bata dari bangunan ini
telah hilang atau dimanfaatkan oleh warga sekitarnya.
Dengan demikian dapat diperkirakan pula bahwa struktur bata
yang terdiri dari enam lapis bata ini merupakan sisasisa
pondasi sebuah bangunan yang kemungkinan besar yaitu
bangunan candi. Selanjutnya dalam artikel ini sisasisa pondasi
ini dinamakan Candi Tegalrandu, sebab ditemukan di
Desa Tegalrandu, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang.
Candi dari bata merupakan salah satu ciri yang banyak
ditemukan di wilayah Jawa Timur, walaupun saat ini di
Jawa Tengahpun telah banyak ditemukan candicandi dari
bata. Antara candi bata dan candi yang dibangun dari batu
andesitis, sampai saat ini belum banyak dibahas, terutama
halhal yang terkait dengan fungsi dan status warga
pendukungnya. Tjahjono telah melakukan penelitian tentang
latar belakang pendirian candi bata di Jawa Tengah (Tjahjono,
2002). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
jumlah candi di kawasan Candi Borobudur dan sekitarnya
ditemukan sejumlah 50 situs candi yang terdiri dari : 29 situs
candi bata, 18 situs candi batu andesit, dan 4 situs candi yang
menggunakan bahan batu campuran antara bata dan batu
andesit (Tjahjono, 2002: 42). Selain itu dijelaskan pula bahwa
candicandi bata tidak hanya ditemukan di daerah pinggiran,
tetapi ditemukan pula di pusat pemerintahan. Candicandi
itu ada yang berukuran kecil ada pula yang berukuran besar.
berdasar latar belakang keagamaannya, candi bata tidak
hanya bagi agama Hindu, tetapi ada pula yang berlatar
belakang agama Budha. Demikian pula dengan arsitektur dan
masa pembangunannya, tidak ada perbedaan yang signifikan
antara candi bata dan candi batu andesit yang ditemukan di
Jawa Tengah pada Abad VIIIIX M.
155Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
Atas dasar hasil penelitian tersebut, apabila dianalogikan,
maka pendirian candi Tegalrandu di kawasan Ranu Klakah tidak
harus dikaitkan dengan warga pinggiran yang jauh dari
pusat pemerintahan (Kerajaan Majapahit). Candi Tegalrandu
yang berukuran relatif kecil dan terbuat dari bata sangat besar
kemungkinannya terkait dengan sistem pemerintahan kerajaan
besar seperti Majapahit. Dengan demikian, mungkinkah ada
fungsifungsi lain dengan didirikannya candi di Tegalrandu
tersebut, selain fungsi keagamaan?
Soekmono dalam disertasinya berjudul Candi, Fungsi
dan Pengertiannya menyimpulkan bahwa fungsi candi yaitu
sebagai kuil atau tempat pemujaan, teori ini menyangkal
pendapat lama yang menyatakan bahwa candi yaitu makam
atau tempat menyimpan abu jenasah seorang raja (Soekmono,
1974). Candicandi kecil dan terletak di daerahdaerah terpencil
yang jauh dari pusat pemerintahan, perlu dipertimbangkan
lebih teliti, terutama halhal yang tidak berkaitan dengan prosesi
keagamaan. Pendirian sebuah bangunan candi selain sebagai
sarana beribadah bagi para pemeluknya. Di lokasi ini
oleh negara atau kerajaan sudah pasti ditempatkan beberapa
orang petugas yang mengurus bangunan suci tersebut. Selain
itu, di lokasi ini diperkirakan tinggal pejabat daerah
yang bertugas mengelola potensi sumberdaya yang ada di
daerahnya. Atas dasar berbagai pertimbangan di atas, maka
dapat diperkirakan bahwa pendirian candi Tegalrandu tidak
sematamata untuk menyediakan fasilitas umum bagi umat
Hindu atau Budha, melainkan sebab di kawasan Ranu Klakah
bermukim pejabat daerah yang ditempatkan oleh kerajaan
(Majapahit) untuk mengelola potensi sumberdaya alam di
kawasan Ranu Klakah dan sekitarnya. Dengan demikian fungsi
candi Tegalrandu selain sebagai tempat sarana ibadah bagi
156 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
para pemeluknya, dapat berfungsi pula sebagai representasi
kekuasaan Majapahit
Candi Tegalrandu dan Kekuasaan Majapahit
Ranu Klakah, sebuah danau yang cukup potensial sebagai
sumberdaya alam yang dapat menopang kehidupan bagi
manusia, diduga merupakan lingkungan alam yang cocok
untuk pemukiman. Oleh sebab itulah sejak tahun 2006 Balai
Arkeologi Yogyakarta mulai melakukan penelitian arkeologi
di kawasan danau atau ranu di daerah Jawa Timur. Hasil
penelitian arkeologis di kawasan Ranu Klakah diketahui
adanya tinggalan yang menunjukkan sisasisa permukiman di
masa lampau. Secara garis besar, komponenkomponen untuk
sebuah sistem permukiman antara lain berupa lokasi untuk
bermukim, lahan untuk mencari makan, tempat penguburan
atau pemujaan, serta sumberdaya alam lain yang dibutuhkan
bagi kehidupan (Renfrew, Collin dan Bahn, Paul. 1991). Lokasi
untuk bermukim biasanya merupakan areal yang relatif datar,
tidak terlalu jauh dari areal yang menyediakan makanan, dekat
dengan sumberdaya alam misalnya sumber mata air, dan
lokasi ini juga dapat digunakan untuk areal penguburan
(Mundardjito, 1993; Gunadi, 1994 : 199 – 207). Dengan demikian
apabila ditemukan data tersebut, maka suatu lokasi dapat
“dicurigai” sebagai areal permukiman.
Data arkeologi yang ditemukan baik dari hasil survei
maupun ekskavasi seperti beliung persegi, struktur bangunan
megaltis, punden, kubur cikalbakal, dan struktur bangunan
candi menunjukkan adanya okupasi manusia di wilayah
tersebut. Temuan beliung persegi yang merupakan alat dari
masa neolitik ini ditemukan pula di kawasan ranu yang lain
157Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
yaitu Ranu Gedang dan Ranu Segaran yang secara administratif
terletak di Kabupaten Probolinggo (Anonim, 2008; Anonim,
2009). Temuan perkakas neolitik seperti ini dapat
memberikan informasi bahwa pada masa akhir prasejarah
kawasan ranuranu di atas kemungkinan telah dihuni oleh
manusia. Pemanfaatan kawasan Ranu Klakah berlanjut hingga
masa Hindu – Budha yang dibuktikan dengan ditemukannya
struktur bata yang diperkirakan merupakan pondasi sebuah
candi.
Ranu Klakah ruparupanya telah diokupasi oleh manusia
sejak masa prasejarah hingga sekarang. Dari hasil penelitian
arkeologis di atas, temuan yang signifikan terkait dengan
permukiman masa lampau yaitu struktur batu andesitis yang
berbentuk rectangular stones enclosure dan struktur bangunan
bata yang diperkirakan sebagai pondasi sebuah bangunan
candi. Walaupun tinggal sisasisa bagian pondasi, temuan
ini cukup spektakuler, sebab di daerah Lumajang
temuan bangunan candi dapat dikatakan sangat sedikit.
Oleh sebab itu, temuan ini di lingkungan akademisi
merupakan tambahan data yang cukup signifikan. Begitu
pula bagi warga dan Pemerintah Kabupaten Lumajang,
temuan ini dapat menambah potensi benda cagar budaya (bcb)
ataupun kawasan cagar budaya (kcb) yang mereka miliki.
Sisasisa bangunan tersebut, kemungkinan berasal dari masa –
masa kejayaan kekuasaan Majapahit.
Hubungan antara Majapahit dan Lumajang secara eksplisit
dapat diketahui dari sumber susastra Kitab Nagarakretagama
(Pigeaud, 1960). Pada pupuh XVII/7 disebutkan bahwa :
”Pada Tahun Saka : seekor-naga-menelan-bulan (1281) di Badrapada
bulan tambah, Sri Nata pesiar keliling seluruh Negara menuju kota
Lumajang. Ia naik kereta diiring semua raja Jawa serta permaisuri dan
158 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
abdi Menteri, tanda, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut
serta”. Selanjutnya, pada Pupuh XLVIII/2 dijelaskan bahwa :
“ini pada tahun Saka mukti-guna-memaksa-rupa (1238) bulan
madu, Baginda Jayanagara berangkat ke Lumajang menyirnakan
musuh. Kota Pajarakan dirusak, Nambi sekeluarga dibinasakan giris
miris segenap jagad melihat keperwiraan Sri Baginda”.
Atas dasar sumber susastra tersebut, ruparupanya untuk
menguasai wilayahwilayah di Jawa Timurpun Majapahit
harus melakukan intervensiintervensi, bahkan adapula yang
harus ditempuh dengan peperangan seperti yang dilakukan
terhadap Nambi untuk merebut daerah Lumajang. Setelah
tahun Saka 1238 Lumajang ditaklukkan, pada tahun Saka
1281 atau 43 tahun kemudian Lumajang yang telah menjadi
bagian dari kekuasaan Majapahit dikunjungi oleh Sri Nata
dari Majapahit. Mengapa Lumajang harus dikuasai ? Potensi
sumberdaya alam seperti beberapa danau atau ranu yang
ditemukan di Lumajang serta hutan tropis yang ada di
kawasan Gunung Lamongan merupakan satu ekosistem yang
sangat kaya, yang dapat memberikan kesejahteraan kepada
warga dan penguasa yang mampu mengelolanya.
Salah satu sumberdaya alam ini yaitu Ranu
Klakah, yang saat ini debit air danau ini mencapai 1556
M³/detik pada kondisi maximum, dan 0230 M³/detik pada
kondisi minimum, serta mampu mengaliri sungai sepanjang
40.66 KM. Keberadaan dan potensi Ranu Klakah tidak hanya
bermanfaat bagi manusia yang tinggal di sekelilingnya. Debit
air yang cukup signifikan bagi kehidupan manusia, terutama
untuk keperluan irigasi bagi lahanlahan pertanian yang
dapat dijangkau oleh aliran air tersebut, merupakan salah satu
alasan mengapa Ranu Klakah dan lingkungan sumberdaya
alam yang ada di sekitarnya perlu dikuasai. Dengan demikian,
159Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
menguasai kawasan Ranu Klakah, berarti akan dapat
menguasai lahanlahan subur yang ada di wilayah Kabupaten
Lumajang, terutama lahan persawahan yang dapat menopang
kemakmuran warga dan kerajaan (negara).
Penutup
Pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) yang
dalam konsep awalnya bertujuan akan “mengangkat kebesaran
Kerajaan Majapahit” justru menuai kritikan dan hujatan dari
berbagai pihak yang peduli akan pelestarian situs arkeologi
yang berskala internasional tersebut. Kegiatan Proyek yang
telah menelan beaya cukup banyak, sebab kurang prosedural
dan cenderung menyalahi prinsipprinsip dalam pengelolaan
sumberdaya arkeologi, akhirnya harus dihentikan sebab
justru akan “menghancurkan kebesaran Majapahit”. Memang,
Trowulan identik dengan Majapahit, akan tetapi Majapahit
tidak hanya milik Trowulan, situssitus tinggalan kerajaan
Majapahit ada di manamana, seperti yang disebutsebut
dalam sumber susastra Kitab Nagarakretagama yang ditulis
oleh Mpu Prapanca.
Sebagai negara agraris, kerajaan Majapahit secara politis
harus menguasai lahanlahan pertanian di wilayah yang
seluasluasnya agar memperoleh hasil yang sebesarbesarnya
demi kemakmuran rakyat dan negara. Untuk itulah wilayah
wilayah di Jawa Timur harus terlebih dahulu dikuasai sebelum
melakukan ekspansi ke luar. Salah satu daerah di Jawa Timur
yang harus dipertahankan yaitu Lumajang yang pada tahun
1238 direbut dari kekuasaan Nambi. Dalam upaya memper
satukan dan mempertahankan wilayah kekuasaannya, raja
Majapahit sering melakukan perjalanan ke daerahdaerah.
160 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Perjalanan keliling wilayah ini kemungkinan bertujuan
untuk melakukan konsulidasi guna mempertahankan sistem
pemerintahan. Hal ini terlihat ketika pada tahun 1281 raja
melakukan perjalanan ke Lumajang, setelah 43 tahun wilayah
ini dikuasainya.
Kapan Candi Tegalrandu dibangun? Belum ditemukan
data yang dapat memberikan penjelasan tentang hal tersebut.
berdasar data susastra di atas, Candi Tegalrandu kemung
kinan dibangun antara tahun 12381281. Terlepas dari kapan
candi Tegalrandu didirikan, temuan tinggalan dari masa
HinduBudha ini menunjukkan bahwa kawasan Ranu Klakah
merupakan daerah yang potensial bagi kekuasaan kerajaan
Majapahit. Selain itu temuan sisasisa candi bata ini juga dapat
menunjukkan tentang luas dan cakupan wilayah kekuasaan
Majapahit yang ada di Jawa Timur. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa keberadaan Candi Tegalrandu yang
didirikan di kawasan Ranu Klakah, kemungkinan berkaitan
dengan pemanfaatan sumberdaya alam, yaitu ranu dan
lingkungannya.
Sampai kapanpun Majapahit yaitu salah satu bukti
kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia. Sekecil apapun
tinggalan artefaktual yang diwariskan kepada bangsa ini
haruslah dapat kita lestarikan, sebagai salah satu bukti jati diri
bangsa untuk waktuwaktu yang akan datang. Kebesaran dan
kejayaan kerajaan Majapahit seperti tertulis dalam puja sastra
Kitab Nagakretagama ruparupanya dibuktikan pula oleh
temuan arkeologis seperti ditemukannya candi Tegalrandu, di
Desa Tegalrandu, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang.
Pusat pemerintahan kerajaan Majapahit yang dapat dipastikan
berada di daerah Trowulan dan sekitarnya, merupakan
tinggalan sebuah kota kuna dari abad XIIIXIV M yang
161Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
merupakan satusatunya situs kota kuna di Indonesia. Dengan
demikian hubungan integral antara pusat kerajaan Majapahit
yang ditandai oleh tinggalan arkeologis di Trowulan dan
sekitarnya dan tinggalan arkeologis sejaman yang ditemukan di
daerahdaerah sebagai representasi dari kekuasaan Majapahit,
haruslah tetap dijaga kelestarian dan pelestariannya.
S
ebuah benteng lokal dengan disain lokal? Rasanya
kita jarang mendengar ataupun menjumpai hal
semacam itu. Yang banyak dilihat atau dike
tahui umumnya yaitu benteng Belanda, benteng Inggris,
benteng Portugis, ataupun benteng Jepang. Kalau pun
ada benteng yang dikategorikan ”lokal”, umumnya yang
dikenal warga yaitu bentengbenteng yang ber
hubungan dengan keraton, misalnya benteng Keraton
Yogyakarta atau benteng Keraton Surosowan Banten.
Bentengbenteng keraton itupun disainnya menunjukkan
unsurunsur “asing”, utamanya Eropa. Sebagai contoh,
benteng keraton Yogyakarta pada bagian sudutsudutnya
memiliki bastion dan menara intai, yang merupakan unsur
benteng yang berbau Eropa. Sementara itu benteng lokal
yang tidak menunjukkan pengaruh asing dalam disainnya
164 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
yang diketahui sisa fisiknya sampai saat ini hanyalah
benteng tanah yang dijumpai di daerah Lampung dan Lahat,
Sumatra (Triwuryani, 2006; Indriyastuti, 2006). Benteng
benteng tanah ini umumnya berupa gundukan tanah
yang bisa dilengkapi ataupun tanpa parit. Selain itu benteng
lokal terdapat pula di Buton, Sulawesi, dari masa Kesultanan
Buton. Benteng Buton ini dibuat dari batu dengan denah
mengikuti bentang alam yang ada (Riyanto, 2002). Selain di
Sumatra dan Sulawesi, ternyata di daerah Lumajang, Jawa
Timur, ada sisasisa sebuah benteng lokal yang dikenal
warga dengan nama Biting. Biting yaitu bahasa
lokal untuk menyebut benteng. Benteng Biting ini terletak
di wilayah Kelurahan Kutorenon, Kecamatan Sukodono,
Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Sisasisa benteng Biting pertama kali disebutkan dalam
sebuah laporan peninjauan di zaman Belanda, yaitu peninjauan
yang dilakukan oleh J. Hageman di tahun 1861 (Mühlenfeld,
1921). Kemudian Mühlenfeld melakukan peninjauan lanjutan
yang diikuti dengan penggalian arkeologis di situs ini pada
tahun 1923 (OV 1923; OV 1924; Tjandrasasmita, 1977). Dari
survei maupun penggalian yang dilakukan oleh Belanda,
maupun selanjutnya
oleh Balai Arkeologi
Yogya karta dalam kurun
waktu antara awal 1980
an sampai awal 1990an,
diketahui tentang sisa
sisa sebuah benteng yang
mengelilingi areal seluas
135 ha (Abbas & Ratna
Dewi, 1985). Dari sisa Dok. Balar Yk Pengungakan I
165Benteng Biting
tembok keliling yang masih terlihat, diketahui bahwa tembok
yang menge lilingi areal ini mempunyai ketebalan sekitar 1.60
m dengan tinggi sekitar 2 m. Bekas benteng ini dibuat dari bata
berukuran besar, dengan menggunakan spesi/perekat berupa
tanah tanpa lepa. Selain itu benteng juga dilengkapi dengan
enam menara intai berdenah segi empat, yang oleh penduduk
setempat disebut sebagai pengungakan, yaitu pengungakan I
sampai VI. Dari enam pengungakan tersebut, tiga di antaranya
terletak di sisi barat, sementara di ketiga sisi lainnya masing
masing terdapat sebuah pengungakan. Dari pengungakan yang
masih tampak relatif utuh, yaitu pengungakan I dan II diketahui
bahwa luas masingmasing yaitu 7.5 m x 6.5 m dengan tinggi
antara 3.8 m 8m (Abbas, 1992). Selain itu diperoleh pula
sejumlah data toponim di bagian dalam benteng, yang oleh
penduduk setempat disebut sebagai blok, yaitu blok Kraton,
blok Jeding, blok Randu, blok Duren, dan blok Salak. Di zaman
Belanda, di blok Jeding ditemukan struktur dinding dan lantai
bata yang diduga merupakan bekas kolam pemandian, yang
saat ini sudah tidak dapat disaksikan lagi bekasbekasnya (OV
1924).
Denah benteng Biting dibuat dengan mengikuti bentuk
aliran empat sungai yang terdapat di lokasi tersebut, yaitu
Sungai Bondoyudo di sisi utara, Sungai Winong di sisi timur,
Sungai Cangkring di sisi selatan, dan Sungai Peloso di sisi
barat. Sementara keenam pengungakan pada benteng ini
masingmasing terdapat pada kelokan sungai. Sungai yang
terletak di sebelah selatan, yaitu Sungai Cangkring, merupakan
sungai buatan, dan di sebelah barat daya terdapat bekas
bekas pembendungan Sungai Peloso (Moelyadi, 1983). Dari
keempatnya, sungai terbesar yaitu Bondoyudo.
166 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Dari serangkaian penggalian arkeologis yang dilakukan
di bagian dalam bekas benteng ini, didapatkan temuan yang
cukup beragam, mulai dari pecahanpecahan tembikar,
keramik, mata uang, alat logam, sampai batubatu bulat
dengan diameter 1015 cm. Selain itu, di bagian dalam benteng
terdapat pula sebuah kompleks makam kuno. warga
setempat mengatakan bahwa tokoh utama yang dimakamkan
di situ yaitu Menak Koncar, yang menurut cerita setempat
merupakan penguasa Lumajang pada akhir masa Majapahit
(lihat juga Graaf & Pigeaud, 1985).
Yang menjadi pertanyaan, pada
masa apa benteng ini didirikan
dan digunakan? Tentunya catatan
sejarah lah yang harus ditengok,
di samping juga mencermati dan
menganalisis temuantemuan yang
berasal dari situs itu sendiri. Dok. Balar Yk
Makam Menak Koncar
167Benteng Biting
Biting dalam Lintasan Sejarah
Di masa Majapahit, daerah Lumajang beserta Panarukan
dan Blambangan dikenal dengan sebutan Lamajang Tigang
Juru, yang merupakan daerah kekuasaan Wiraraja (Schrieke,
1957). Sebenarnya nama Biting sendiri tidak pernah ditemukan
dalam catatan sejarah. Namun nama Kutorenon (yang sekarang
menjadi nama kelurahan tempat Biting termasuk ke dalamnya)
bisa dijumpai dalam Kitab Nagarakrtagama dan Babad Tanah
Jawi. Dalam Kitab Nagarakrtagama pupuh XXI disebutkan
beberapa nama tempat yang digunakan sebagai tempat per
hentian raja Hayam Wuruk (berkuasa antara tahun 1350 hingga
1386) dalam perjalanannya dari Majapahit ke Lumajang.
Tempattempat ini yaitu Jaladipa, Talapika, Padali,
Arnon, Panggulan, Payaman, dan Tepasana (Slamet Mulyana,
1979). Dari namanama tempat itu, Padali, Arnon, Panggulan,
dan Payaman sampai saat ini masih dapat dijumpai di sekitar
wilayah Kelurahan Kutorenon, yaitu Bedali, Kutorenon,
Pangul, dan Bayeman (lihat juga OV 1921). Kemudian
dalam pupuh XLVIII disebutkan mengenai penyerangan raja
Majapahit, yaitu Jayanegara (memerintah pada tahun 1309
sampai 1328), ke Lumajang pada tahun 1238 Saka (1316 M).
Dicerita kan bahwa pada penyerangan itu benteng tempat
kedudukan Nambi (putra Wiraraja) di Pajarakan dirusak,
sedangkan Nambi sekeluarga dibinasakan (Slamet Mulyana,
1979). Nama Pajarakan pun sampai saat ini masih terdapat di
wilayah Lumajang, yaitu di sebelah utara Wonorejo, sementara
Kutorenon terletak di sebelah selatan Wonorejo. Pada tahun
itu pula wilayah Lumajang jatuh kembali ke tangan Majapahit.
Kemudian pada masa Hayam Wuruk daerah ini diserahkan
kepada putranya, Bhre Wirabhumi.
168 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Sesudah masa kejayaan Majapahit berakhir, yaitu ketika
kerajaan Mataram Islam berkembang di sekitar Yogyakarta
dan Jawa Tengah, nama Renong muncul dalam kitab Babad
Tanah Jawi (Olthoff, 1941). Diceritakan dalam kitab babad
itu bahwa Sultan Agung (16131645) dari kerajaan Mataram
Islam memerintahkan pasukannya untuk menyerang dan
menaklukkan daerahdaerah di sebelah timur. Sultan Agung
menunjuk Ki Sura Tani untuk menjadi senapati dalam
penyer buan itu. Kemudian Ki Sura Tani memerintahkan Ki
Tumenggung Alapalap dengan pasukannya untuk menyerbu
Lumajang dan Renong. Dikisahkan pula bahwa dalam
penyer buan itu Lumajang dan Renong berhasil dihancurkan,
sementara para bupati Lumajang maupun Renong berhasil
melarikan diri.
Korelasi antara Catatan Sejarah dan Tinggalan Arkeologi
Menilik dua sumber sejarah di
atas, dari abad ke14, yaitu masa
Raja Jayanegara dan Hayam Wuruk
dari Kerajaan Majapahit, ter dapat
penyebutan nama Arnon dan
Pajarakan, yang keduanya terletak
berdekatan di wilayah Lumajang.
Arnon disebut sebagai salah satu
tempat yang dikunjungi Hayam
Wuruk dalam perjalanannya ke daerahdaerah di sebelah
timur Majapahit, sementara Pajarakan disebut dalam penye
rangan Jayanegara untuk memadamkan pemberontakan
Nambi. Selanjutnya di abad ke17 pada masa kekuasaan Sultan
Agung dari Kerajaan Mataram Islam disebutkan nama Renong
Dok. Balar Yk Temuan kowi
169Benteng Biting
dan Lumajang, yang diserang dan ditaklukkan oleh pasukan
Mataram Islam.
Selain sumber sejarah, penelitian arkeologi juga dapat
mengungkapkan pertanggalan suatu situs melalui temuan
temuan dari situs tersebut. Menyangkut penelitian arkeologi di
lokasi benteng Biting, temuan yang dihasilkan berupa pecahan
pecahan tembikar, keramik, mata uang, alat logam, maupun
batubatu bulat. Pecahanpecahan tembikar setelah dianalisis
menunjukkan berbagai bentuk wadah, seperti periuk, buyung
(klenthing), kendi, mangkuk, cawan, piring, pengaron, dan kowi.
Analisis terhadap temuan pecahan keramik menunjukkan
bentuk asal berupa mangkuk, bulibuli, cepuk, cangkir, piring,
dan guci.
Wadahwadah keramik ini
merupakan keramik Cina, Thai,
Vietnam, Jepang, Timur Tengah, mau
pun Eropa. Yang terbanyak, yaitu 85
% dari keseluruhan temuan keramik,
yaitu keramik Cina. Pertanggalan
keramik Cina dari benteng Biting
ini berkisar antara abad ke13 (masa
dinasti Song) sampai abad ke17 (masa dinasti Ming). Sisanya,
sebesar 15 %, terdiri atas keramik Thai (abad ke15), Vietnam
(abad ke16), Timur Tengah (abad ke16), Eropa dan Jepang
(abad ke19 dan 20). Tentunya keramik Eropa dan Jepang
ini berasal dari masa yang lebih kemudian, yaitu ketika
Belanda sudah berkoloni di Jawa yang disusul dengan masa
pendudukan Jepang. Oleh sebab itu, kedua jenis keramik ini
bisa dilepaskan dari pertanggalan situs benteng Biting.
Temuan penelitian lainnya yaitu mata uang, yang berupa
mata uang Cina yang dikenal juga sebagai mata uang kepeng.
Dok. Balar Yk
Temuan klinthing
perunggu
170 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Sebagian besar berupa
pecahan yang tidak dapat
dikenali pertanggalannya.
Mata uang ini dibuat dari
perunggu dengan lubang
segi empat di tengahnya.
Dari temuan mata uang
yang relatif utuh diketahui
bahwa pada bagian recto
terdapat aksara Cina,
dan bagian verso polos. Aksara Cina ini biasa dijumpai
pada bagian recto mata uang dari dinasti Song Selatan, yang
berasal dari abad ke12. Pecahan logam lainnya dari benteng
ini merupakan bagian dari alat dan senjata, yaitu pahat dan
ujung keris, serta kelinthing yang dibuat dari perunggu.
Mengacu pada catatan sejarah, pertanggalan situs ini ber
kisar antara abad ke14 sampai abad ke17. Sementara data
pertanggalan relatif yang diperoleh dari tinggalan arkeo logi
dari situs, yaitu berdasar temuan pecahan mata uang dan
keramik, diperoleh pertanggalan antara abad ke12 sampai
abad ke17. Membandingkan kedua sumber tersebut, terlihat
adanya kesejajaran di antara keduanya. Kemungkinan tinggalan
berupa benteng lokal di wilayah Kutorenon ini berasal dari
masa Majapahit akhir. Kemudian keberadaannya masih terus
berlangsung hingga awal masa Mataram Islam. Sementara
bila cerita warga setempat disimak, bekas benteng Biting
ini juga diasosiasikan dengan masa Majapahit akhir, dengan
adanya tokoh legendaris Menak Koncar yang dianggap sebagai
penguasa di tempat itu pada masa Majapahit akhir.
Sungai Bondoyudo di sisi utara
benteng Dok. Balar Yk
171Benteng Biting
Biting, Riwayatmu Kini
Sebagai salah satu bekas benteng lokal yang mungkin
berasal dari masa Majapahit akhir, dan diduga berlanjut
hingga masa Kerajaan Mataram Islam, dan tampaknya juga
merupakan satusatunya bekas benteng lokal di Jawa yang
masih bisa disaksikan bentuk fisiknya, kondisi situs Biting
kini sangat mengenaskan. Padahal benteng ini mencerminkan
tingginya kemampuan warga masa itu dan sekaligus
tingkat kemajuan pemikiran tentang strategi pertahanan di
masa lalu. Buktibuktinya terlihat pada pembuatan benteng
berbahan bata yang cukup besar yang mencakup areal seluas
135 hektar. Selain pembuatan tembok benteng yang dilengkapi
dengan enam pangungakan untuk mengawasi daerah sekitarnya,
mereka juga telah melakukan pemilihan lokasi yang sangat
strategis untuk tempat pertahanannya, yaitu lokasi yang
dikelilingi oleh tiga sungai. Bentang alam yang tersedia itu
kemudian dilengkapi lagi dengan 1 sungai buatan, sehingga
benteng yang didirikan itu di keempat sisinya dikelilingi oleh
sungaisungai.
Sebenarnya perusakan bekas benteng Biting ini sudah
terjadi di zaman Belanda. Pada masa itu di Kutorenon banyak
terdapat perkebunan tebu. Belanda membuat rel lori untuk
keperluan pengangkutan tebu dari kebun ke lokasi pabrik
gula. Kemungkinan besar tebutebu dari areal bekas benteng
ini diangkut menuju pabrik gula (PG) Djatiroto (yang
sebelum tahun 1912 masih bernama PG Ranupakis: lihat Suara
PG Djatiroto Edisi 2, 2003). Pembuatan rel lori ini merusak
sebagian struktur bangunan benteng. Perusakan selanjutnya
setelah masa kemerdekaan yaitu aktivitas penduduk
dalam bidang pertanian dan perkebunan, yang menjadikan
172 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
sisa bangunan benteng yang ada semakin punah. Pada saat
penelitian dilakukan di situs ini, tiap kali tim peneliti datang,
setiap kali ketebalan tembok keliling benteng semakin
menipis, sebab sawah ataupun kebun di situ selalu diperluas,
yang akhirnya menghilangkan tembok keliling benteng.
Kerusakan diperparah pula dengan maraknya penggalian
liar untuk mencari bendabenda kuno di situs ini. Dari serita
penduduk setempat diketahui bahwa para penggali liar sering
menemukan bendabenda keramik dan logam di sekitar situs
ini. Dan yang terakhir yaitu pembangunan perumahan oleh
Perum PERUMNAS pada sebagian areal bekas benteng Biting,
yaitu seluas 15 hektar (Hidayat, 1996 : 62 – 72). Pendirian
kompleks perumahan di bagian dalam bekas benteng itu
merusak sebagian sisa tembok keliling maupun sisa bangunan
di dalam benteng.
173Benteng Biting
Satu lagi perusakan telah terjadi pada tinggalan arkeologi
yang mungkin berasal dari masa Majapahit akhir, dan yang
mungkin merupakan satusatunya benteng lokal yang
masih ada di Jawa dari masa itu. Benteng yang dulunya
berfungsi sebagai tempat pertahanan untuk melindungi
kota dan penduduk di dalamnya, kini ternyata tak mampu
mempertahankan diri melawan lajunya pembangunan.
S amudera Pasai menurut sumber sejarah merupakan Kerajaan Islam pertama di Indonesia. Selain itu, keberadaan kerajaan ini juga diketahui berdasar
adanya inskripsi berhuruf Arab yang dipahatkan pada
batu nisan makam raja pertama, yaitu Malik asSaleh yang
meninggal pada tahun 696 H atau 1297 M (Tjandrasasmita,
1976: 12), dan puteranya yang bernama Sultan Muhammad
Malik azZahir yang meninggal pada tahun 726 H atau 1326
M (Tjandrasasmita, 1992: 108). Periode berikutnya, di Jawa
muncul pula sebuah kerajaan bercorak Islam yaitu Demak.
Kerajaan ini muncul pada sekitar abad XV dengan peninggalan
176 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
utama yang masih ada hingga saat ini, yaitu Masjid Agung
Demak dan kompleks makam rajaraja yang terletak di
belakang masjid tersebut. Periodisasi Masjid Agung Demak
diketahui berdasar adanya candra sengkala yaitu sengkalan
memet yang berupa relief seekor kurakura yang terdapat pada
dinding mihrab masjid tersebut. Relief kurakura ini
ditafsirkan menggambarkan angka tahun 1401 Ç atau 1478 M
(Tjandrasasmita, 1976: 67).
Pintu gerbang baru Kompleks Makam Troloyo Dok. Sugeng. R
Selanjutnya peninggalan masa Islam di Jawa tersebar di
sepanjang pantai utara, sejak dari Banten, Cirebon, Kudus,
Jepara, Rembang, Tuban, Lamongan, Gresik, dan Surabaya.
Bahkan juga di Troloyo, yaitu sebuah desa di pedalaman
Jawa Timur tepatnya di Kabupaten Mojokerto. Dari kota
kota di pantai utara Jawa ini dapat diketahui kronologi
perkembangan Islam di Pulau Jawa.
J.P. Moquette salah seorang peneliti asing, telah berhasil
membaca tulisan pada nisan yang ada di Leran, Kabupaten
177Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit
Gresik. Nama yang berhasil direkam melalui inskripsi ini
yaitu Fatimah binti M