Tampilkan postingan dengan label masa lalu banten. 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label masa lalu banten. 3. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Juli 2025

masa lalu banten. 3

 





ngin baik, mereka kembali ke

negerinya dengan melalui rute yang sama (Salim, 1962 : 10 - 13).

Di samping berdagang, mereka pun aktif menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk negeri

yang mereka singgahi; sebab menurut ajaran Islam, menyebarkan agama merupakan

kewajiban setiap pemeluknya sebagaimana juga menyebarkan kebaikan kepada sesamanya.

Dengan cara demikian maka pada abad ke-7, sudah banyak penduduk negeri Cina yang

beragama Islam (Bukhari, 1971: 10). Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya Masjid Chee Lin

Se dan Masjid Kwang Tah Se di Kanton pada masa Dinasti Tang (618 - 905 M) (Tien Ying

Ma, 1979: 29).

Demikian pula dengan kepulauan Nusantara. Diperkirakan, pada abad ke-7 dan ke-8 M

(abad pertama Hijriah), pedagang-pedagang Muslim telah singgah dinusantara, sehingga agama Islam sudah banyak dikenal dan dianut

oleh beberapa penduduk pribumi di nusantara (Tjandrasasmita, 1981:

362). Banyak sudah bukti sejarah yang diperoleh para ahli tentang

masuknya ajaran agama Islam di nusantara ini (Ambary, 1981: 522).

Bahkan pada tahun 840, umat Islam di Peureulak (Aceh) sudah dapat

mendirikan satu negara bercorak Islam dengan Sayid Maulana sebagai

raja pertamanya (Toynbee, 1981: 324). Demikian juga, sejak masa

Sriwijaya, Kediri, Daha, Janggala dan Majapahit, sudah ada

kelompok-kelompok umat Islam (perkampungan muslim), terutama di

daerah pesisir (Ambary, 1981: 552) [1].

Sejarah telah mencatat, bahwa hubungan nusantara, terutama Sumatra, dengan tanah Arab

telah berlangsung lama sejak zaman sebelum Islam. Para pedagang Arab mencari rempah￾rempah, yang waktu itu hanya dijumpai di Sumatra

>, yaitu berupa kemenyan (styrax sumatrana)

dan kapur barus (dryobalanops aromatica) ─ sehingga dalam

khazanah bahasa Arab pun dikenal kata "barus" sebagai nama kapur￾barus. Dengan keadaan ini, tidaklah mengherankan, apabila kronik

Cina Hsin Tang Shu (Sejarah Dinasti Tang) mencatat bahwa pada

tahun 674

M. sudah ada pemukiman pedagang Arab dan Cina muslim di

Sriwijaya; Palembang dan Kedah. Keadaan di atas, juga berkaitan

dengan adanya aktifitas perdagangan dan pelayaran yang meningkat

antara Dinasti Umayyah (660-749 M.), Dinasti T'ang (618-905 M.)

dan Dinasti Sriwijaya (abad ke-7

s.d 14 M.) (Tjandrasasmita, 1975: 85-86).

Dengan melihat eratnya hubungan perdagangan antara Arab, Cina, India dan kepulauan

Nusantara, dan, ditunjang dengan keaktifan penyebaran agama Islam oleh pedagang muslim

ini kepada penduduk pribumi, maka Thomas W. Arnold (1979: 209) menyatakan bahwa

agama Islam datang di Nusantara dibawa oleh para pedagang Arab yang muslim pada

permulaan tahun Hijriah.

Di Pulau Jawa, bukti tentang adanya masyarakat Islam baru ditemui pada abad ke-11 M.

Sebuah batu nisan bertuliskan huruf Arab Kufi ditemukan di Leran, dekat Gresik, Jawa

Timur. Batu ini menerangkan tentang wafatnya seorang muslimah yang bernama Fathimah

binti Maimun tanggal 7 Rajab 475 Hijriah, bertepatan dengan 2 Desember 1082 Masehi

(Salam, 1977: 5). Bahkan dalam Kakawin Ghatotkacasraya gubahan Mpu Panuluh ditulis

abad ke-12 M, sudah ditemukan beberapa istilah Arab. Hal ini menunjukkan bahwa istilah-istilah Arab itu sudah diserap menjadi bahasa negeri (Kurnia, 1980).

Banten, ─ yang berada di jalur pelayaran internasional ─ diperkirakan pada abad pertama

Masehi sudah dikunjungi oleh bangsa lain: India

>, Cina

dan Eropa. Dan bahkan pada abad ke-7 menjadi pelabuhan ramai yang

dikunjungi oleh pedagang-pedagang internasional, ─ seiring dengan

meningkatnya volume perdagangan antara barat dan timur [2] ─ tidaklah

terlepas dari keadaan di atas. Pedagang-pedagang dan, mungkin mubalig-mubalig dari Arab,

Cina ataupun India dan Peureulak singgah di Banten dan mengajarkan agama Islam di sana

>. Walaupun belum diadakan penelitian

lanjutan, besar kemungkinan, di Banten pun kegiatan penyebaran

Islam ini sudah dimulai jauh sebelum abad ke-15.

Tentang keberadaan orang-orang Islam di Banten, Tome' Pires, menyebutkan bahwa di daerah

Cimanuk, kota pelabuhan dan batas kerajaan Sunda dengan Cirebon, banyak dijumpai orang

Islam. Ini berarti bahwa pada akhir abad ke-15 M. di wilayah kerajaan Sunda Hindu sudah

ada masyarakat yang beragama Islam.

Karena hubungan yang didorong oleh faktor ekonomi, maka mereka

umumnya tinggal di kota pelabuhan, seperti juga di Kalapa dan

Banten. Yang jelas, sewaktu Sunan Ampel Denta pertama datang ke

Banten, sudah didapatinya banyak penduduk yang beragama Islam

walaupun Bupatinya masih beragama Hindu. Bahkan di Banten sudah

berdiri satu masjid di Pecinan, yang kemudian diperbaiki oleh Syarif

Hidayatullah (Purwaka, 20).

Dalam Purwaka Caruban Nagari dijelaskan bahwa Syarif Hidayat beserta 98

orang muridnya dari Cirebon, berusaha mengislamkan penduduk di

Banten. Dengan kesabaran dan ketekunan, banyaklah yang mengikuti

jejak Syarif Hidayatullah ini. Bahkan akhirnya Bupati Banten dan

sebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam.

Karena tertarik akan budi pekerti dan ketinggian ilmunya, maka Bupati Banten menikahkan

Syarif Hidayatullah dengan adik perempuannya yang bernama Nhay Kawunganten. Dari

pernikahan ini Syarif Hidayatullah dikaruniai dua anak yang diberinya nama Ratu Winaon

dan Hasanuddin [3] (Djajadiningrat, 1983:161).Tidak lama kemudian, karena panggilan uwaknya, Cakrabuana, Syarif

Hidayat berangkat ke Cirebon.

Di sana ia diangkat menjadi Tumenggung yang memerintah daerah

Cirebon, menggantikan uwaknya yang sudah tua. Sedangkan tugas

penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada Hasanuddin.

Dengan ketekunan dan kesungguhan serta kelembutan hatinya, usaha Hasanuddin ini

membuahkan hasil yang menakjubkan. Diceritakan bahwa di antara yang memeluk agama

Islam adalah 800 orang pertapa/ resi dengan sebagian besar pengikutnya (Toynbee, 1981:

335) [4]. Sehingga di Banten telah terbentuk satu masyarakat Islam di antara penduduk

pribumi yang masih memeluk ajaran nenek moyang.

B. PROSES

BANTEN MENJADI KERAJAAN BERCORAK ISLAM

Rempah-rempah merupakan barang yang sangat dibu-tuhkan orang Eropa untuk dijadikan

bumbu, campuran minuman dan obat-obatan. Rempah-rempah itu mula-mula sampai di

pasaran Eropa melalui pedagang-pedagang Arab di Timur Tengah.

Pedagang-pedagang Portugis, Spanyol dan Belanda merupakan

pedagang perantara dalam perdagangan rempah-rempah itu. Mereka

membeli rempah-rempah itu di pelabuhan-pelabuhan Timur Tengah,

yang kemudian mereka pasarkan di Eropa Barat.

Tapi setelah Constantinopel, ibukota Kerajaan Romawi Timur, jatuh ke tangan Kesultanan

Turki Usmani pada tanggal 29 Mei 1453, terjadilah perubahan besar. Paus, pemimpin

keagamaan Kristen Katolik, yang berpusat di Vatikan, Roma, mengumumkan "perang suci"

dengan umat Islam, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib (Soeroto, 1965: 59-

76). Dalam keadaan perang ini dimintakan supaya seluruh umat Katolik membantu tentara

yang sedang berperang mengusir tentara Islam di Eropa. Demikian juga dalam bidang

perdagangan, mereka dilarang berhubungan dengan umat Islam kecuali dengan tujuan

menghancurkan kekuatan Islam. Mengindahkan seruan Paus ini, para pedagang dari Portugis,

Spanyol dan negeri Eropa lainnya, memutuskan hubungan perniagaan mereka dengan para

pedagang muslim, sehingga mereka tidak lagi membeli rempah-rempah dari orang Islam.

Akibatnya, harga rempah-rempah di Eropa menjadi sangat mahal karena memang sukar

didapat.

Hal ini mendorong mereka berusaha keras untuk menemukan tempat

di mana rempah-rempah itu ditanam.

Dengan memperalat Mualim Ibn Majid, seorang ilmuwan muslim dalam bidang kelautan,akhirnya bangsa Portugis berlayar sampai di Calikut

>, India, pada tahun 1498 M di bawah pimpinan Vasco da Gama

(Tjandrasasmita, 1975: 5-7). Berawal dari sinilah bangsa Asia

dikenalkan dengan praktek kolonialisme barat yang bertentangan

dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Dalam ekspedisi selanjutnya, beberapa pelabuhan penting di pantai India

> dikuasai Portugis. Dan untuk melebarkan kekuasaannya dibangun

benteng yang kuat di Goa, pesisir barat India.

Dari kota pelabuhan Goa inilah Portugis selanjutnya meluaskan

daerah jajahannya ke arah barat dengan memerangi Turki dan ke arah

timur dengan menduduki daerah-daerah di Nusantara.

Pada tanggal 5 Agustus 1511 pasukan Portugis dapat merebut Malaka dari kekuasaan Sultan

Malaka, Makhmudsyah. Disusul dengan penaklukan Samudra Pasai pada tahun 1521, dan

pada akhirnya Maluku pun dapat didudukinya. Semua tindakan itu mereka lakukan demi

untuk kekuasaan, kekayaan dan tugas sucinya dalam menghancurkan umat Islam di mana pun

berada. Tujuan dagang mereka telah dicampuri dengan maksud dan tujuan lain, yaitu

penguasaan di segala sektor kehidupan masyarakat, dan juga pelampiasan rasa dendam pada

umat Islam, sehingga di samping berdagang mereka pun memperdaya, merampas dan

akhirnya menjajah, termasuk pemaksaan agama kepada rakyat yang dikuasainya (Suminto,

1985:13).

Dengan menguasai Malaka, Portugis mengharapkan dapat memonopoli semua perdagangan

rempah-rempah di Asia Tenggara. Dengan cara monopoli ini, mereka menginginkan

keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara mematikan bangsa lain.

Sikap dan tingkah-laku bangsa Portugis di Malaka yang memaksakan monopoli perdagangan

dan bahkan cenderung selalu memusuhi pedagang-pedagang yang beragama Islam tadi

menimbulkan rasa benci dan permusuhan; padahal pada umumnya, pedagang di Asia

Tenggara beragama Islam. Karena sikap Portugis yang tidak bersahabat itu, maka para

pedagang muslim tadi segan dan tidak singgah di bandar Malaka. Bahkan, banyak pedagang

muslim yang tinggal di Malaka pindah ke Aceh, Banten, Cirebon dan Demak. Sikap angkuh

bangsa Portugis ini pula yang menyebabkan akhirnya kapal-kapal dagang Arab, Parsi, Cina

dan bangsa lainnya tidak sudi melewati Selat Malaka.

Memang di Malaka, Portugis membuat peraturan baru yang dianggap kurang adil, sehingga

terjadilah keadaan sebagai berikut:

1)

Pedagang-pedagang dari kepulauan Nusantara harus menjual dagangannya hanya kepada

orang Portugis. Demikian juga bagi bangsa lain yang akan membeli rempah-rempah harusmelalui orang Portugis dengan harga yang sudah ditentukan.

2)

Perlakuan orang Portugis yang kasar dan bahkan mempersulit dengan bea-bea tinggi, terutama

bagi pedagang yang beragama Islam.

Keadaan dan situasi yang tidak menguntungkan itu, akhirnya mendorong para pedagang dari

India, Parsi, Arab, Cina dan bangsa lainnya, walaupun melalui jalan yang sulit, dapat

berhubungan langsung dengan pelabuhan-pelabuhan di kepulauan Nusantara melalui Selat

Sunda. Hal ini menyebabkan jalur pelayaran niaga beralih dari Selat Malaka. Mereka tidak

menyinggahi Malaka tetapi menyusur pantai utara Sumatra terus membelok ke Aceh Barat,

Barus, Singkel, Padang Pariaman dan Salida, kemudian terus ke pelabuhan Banten. Dari

pelabuhan inilah barang-barang perniagaan yang ke dan dari kepulauan Nusantara

didistribusikan. Dengan perubahan jalur perniagaan laut di Asia Tenggara ini, kedudukan

pelabuhan Banten menjadi begitu penting, sehingga menjadi ramai dikunjungi pedagang￾pedagang asing dan dari kepulauan nusantara

1. Perluasan Pengaruh Islam Di Banten

Sejalan dengan perkembangan pelabuhan Banten, maka semakin banyak orang-orang Islam

yang berkunjung dan menetap di kota pelabuhan ini, sehingga lama kelamaan Banten menjadi

pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Untuk penyebaran agama Islam kepada

penduduk pribumi Banten, peran Hasanuddin beserta pengikut-pengikutnya sangat

menentukan.

Dengan kehalusan akhlak dan ketinggian ilmu keislamannya,

Hasanuddin mendapat sambutan baik, yang akhirnya beberapa

pembesar negri dan bahkan 800 ajar beserta pengikutnya memeluk

Islam. Dalam pada itu, di wilayah timur, pusat pengembangan agama

Islam didorong oleh kerajaan Demak.

Trenggono, raja Demak ke-3 pengganti Dipati Unus, bercita-cita

meluaskan pengaruh Islam ke seluruh Pulau Jawa ─ yang berarti juga

perluasan hegemoni Demak.

Melihat perkembangan kekuatan Islam di barat dan timur yang cukup pesat ini, menimbulkan

kekhawatiran raja Pajajaran kalau-kalau agama Hindu ─

yang menjadi agama negara ─ akan makin terdesak, dan Pajajaran

akan kehilangan kewibawaannya di daerah pantai.

Untuk menanggulangi bahaya ini maka raja Pajajaran mengambil kebijaksanaan, antara lain:

Pertama, membatasi pedagang-pedagang yang beragama Islam mengunjungi pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah pengawasan Pajajaran.

Kedua, mengadakan hubungan persahabatan dan kerja sama dengan kuasa Portugis yang

berkedudukan di Malaka, dengan maksud agar Portugis dapat membantu Pajajaran

kalau diserang Demak.

Dalam pada itu, sampai tahun 1521 yang berkuasa di Pajajaran adalah Jayadewata yang

bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata atau

disebut juga Prabu Silihwangi. Untuk mengadakan hubungan persahabatan dengan orang

Portugis di Malaka itu raja mengutus putra mahkota, Ratu Sangiang atau Surawisesa [5].

Ajakan kerja sama di bidang militer ini sudah tentu diterima baik oleh Jorge d'Albuquerque,

penguasa tertinggi Portugis di Malaka, yang memang berkeinginan menguasai kerajaan

Pajajaran yang kaya dengan lada. Bahkan maksud yang lebih jauh lagi yaitu untuk

menghancurkan dan menguasai kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di Jawa.

Pada tanggal 21 Agustus 1522, Henrique Leme, utusan Gubernur Malaka menandatangani

perjanjian persahabatan dengan raja Pajajaran, Pangeran Surawisesa, pengganti Sri Baduga,

yang isinya antara lain:

margin-left:2.0cm;margin-bottom:.0001pt;text-indent:-1.0cm;mso￾list:l5 level1 lfo4; tab-stops:list 1.0cm left 2.0cm;mso-layout-grid￾align:none;punctuation-wrap: simple;text-autospace:none;vertical￾align:baseline">1)

Portugis dapat mendirikan benteng di pelabuhan Sunda Kalapa.

2)

Raja Pajajaran akan memberikan lada sebanyak yang diperlukan Portugis sebagai penukaran

barang-barang kebutuhan Pajajaran.

3)

Portugis bersedia akan membantu Pajajaran apabila diserang tentara Demak atau yang

lainnya.

4)

Sebagai tanda persahabatan, raja Pajajaran menghadiahkan 1000 karung (1000 x 10600 caxas

Jawa = 160 bahar = 351 sentenar) lada setiap tahun kepada Portugis.

Untuk memperingati dan sebagai tanda adanya perjanjian tersebut, dibuatlah tugu batu di

pinggir kiri muara sungai Ciliwung.Tindakan raja Pajajaran ini bukannya menyelesaikan masalah, melainkan membuat situasi

semakin tidak menentu. Rakyat kerajaan Pajajaran, yang sudah banyak beragama Islam,

menyambut perjanjian persahabatan Portugis ini dengan ketidakpuasan. "Pamor" raja di mata

rakyat semakin menurun.

Beberapa daerah pesisir berusaha pula melepaskan diri dari

pengawasan Pajajaran. Terjadilah perlawanan rakyat yang antara lain

dipimpin oleh Hasanuddin yang menentang perjanjian itu.

Dalam pada itu, mendengar perjanjian persahabatan antara Pajajaran dengan Portugis ini,

yang salah satunya ditujukan langsung kepada Demak, Trenggono, raja Demak, menjadi

marah. Karena itu ia berusaha untuk menghancurkan kekuasaan Portugis di Nusantara, berikut

Pajajaran yang berani mengadakan perjanjian dengan bangsa asing yang dibencinya. Peristiwa

inilah, salah satunya, yang menjadi

momentum perluasan pengaruh Islam ke wilayah Jawa Barat.

Kemarahan raja Demak kepada Pajajaran ini dapat dimaklumi, karena perjanjian itu diadakan

tidak lama setelah kegagalan Demak, secara beruntun, dalam usahanya mengusir bangsa

Portugis di Malaka. Demak berusaha menghancurkan kekuasaan Portugis di Malaka, tapi di

lain pihak Pajajaran mengadakan perjanjian persahabatan [6]. Masuknya Portugis ke Pulau

Jawa akan berakibat fatal bagi kemerdekaan nusantara secara keseluruhan.

Dalam kondisi dan situasi psikologis kekalahan yang masih

membekas di kalangan para pemimpin Demak ini, maka kerjasama

militer Pajajaran dengan Portugis itu dianggap sebagai serangan

balasan terhadap Demak, dan karenanya merupakan ancaman serius

bagi kelangsungan hidup kerajaan Demak.

Dari aspek ekonomi, penguasaan Portugis atas jalur pelayaran ke Selat

Malaka, dapat mematikan sumber ekonomi Demak ─ karena di

Malaka, hasil bumi Demak dipasarkan untuk nanti ditukarkan dengan

barang kebutuhan rakyat. Di samping itu, pembatasan pedagang

muslim di kota-kota pelabuhan Pajajaran, menimbulkan rasa

permusuhan antara dua kerajaan bertetangga yang berlainan

pandangan hidup tersebut. Peristiwa inilah yang mendorong makin

besarnya hasrat Trenggono untuk segera menguasai Pajajaran. Atas

pertimbangan-pertimbangan ini, Trenggono menugaskan Fatahillah,

saudara ipar dan juga panglima perang Demak, bersama dengan 2000

pasukan pilihan untuk segera menyerang Pajajaran.

Sebelum mengadakan penyerbuan ke Pajajaran, pasukan Demak yang dipimpin Fatahillah,

dengan menggunakan kapal-kapal besar berangkat ke Cirebon> untuk mendengar nasehat Syarif

Hidayatullah (Djajadiningrat, 1983:87). Dari Cirebon inilah

direncanakan strategi penyerangan. Sesuai dengan saran Syarif

Hidayatullah, pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang dipimpin

oleh Fatahillah, Pangeran Cirebon, Dipati Keling dan Dipati

Cangkuang berangkat ke Banten (Purwaka, tt: 23).

Dan tanpa mengalami banyak kesulitan yang berarti, pasukan

gabungan ini dapat menguasai Banten pada tahun 1525

(Djajadiningrat, 1983: 125). Hal ini bukan saja karena kuatnya

pasukan gabungan Demak-Cirebon, tapi juga berkat bantuan dari

pasukan pribumi yang dipimpin oleh Hasanuddin. Selanjutnya, untuk

pemantapan keamanan di daerah yang baru dikuasai ini maka

diangkatlah Hasanuddin menjadi Adipati Banten dengan pusat

pemerintahan di Banten Girang. Sesuai dengan penetapan Syarif

Hidayatullah, pusat pemerintahan di Banten Girang ini kemudian

dipindahkan ke dekat pelabuhan yang kemudian disebutnya

Surosowan. Pemindahan ibukota Banten ini terjadi pada tahun 1526

(Djajadiningrat, 1983: 123-124).

Setahun kemudian, yakni tahun 1527 terdengar berita bahwa pasukan Portugis dengan enam

buah kapal besar dan persenjataan lengkap telah meninggalkan Malaka dengan tujuan Sunda

Kalapa. Mendengar berita ini, Fatahillah dan Hasanuddin mengumpulkan para senapati untuk

merun-dingkan tindakan selanjutnya; dan diputuskan untuk segera menguasai Sunda Kalapa.

Maka disiapkanlah pasukan gabungan Demak, Cirebon dan Banten untuk berangkat ke Sunda

Kelapa melalui jalan darat dan laut.

Penyerbuan ini dipimpin oleh Fatahillah, Pangeran Cirebon, Dipati

Keling dan Dipati Cangkuang dengan tentara berkekuatan 1452 orang

(Purwaka, tt: 23). Dengan bantuan penduduk setempat, yang memang

sudah banyak beragama Islam, maka dengan mudah Sunda Kelapa

dapat dikalahkan pada tahun 1527.

Atas persetujuan Sultan Demak dan Syarif Hidayatullah, maka

Fatahillah diangkat menjadi Adipati di Sunda Kelapa. Dan untuk

menyatakan rasa syukur atas kemenangan ini, nama Sunda Kelapa

diganti dengan Jayakarta yang artinya "kota yang menang".

Tidak lama kemudian, armada Portugis dari Malaka yang dipimpin oleh Francisco de Sa

sampai di bandar Sunda Kelapa dengan maksud semula untuk membangun benteng, sesuaidengan perjanjian tahun 1522. Pasukan Portugis ini terdiri dari dua buah galyun, sebuah gale,

sebuah galeota, sebuah caravella dan sebuah brigantin dengan persenjataan lengkap berupa

meriam-meriam besar dan senjata api lainnya (Djajadiningrat, 1983:80). Mereka tidak

mengetahui bahwa Sunda Kelapa sudah dikuasai tentara Islam. Tentu saja maksud Portugis

itu ditolak Fatahillah. Hal ini membuat Francisco de Sa marah dan mengancam hendak

menghancurkan Sunda Kelapa.

Maka terjadilah perang terbuka di pelabuhan Sunda Kelapa. Tentara

Portugis mendapat perlawanan hebat dari tentara Islam yang dipimpin

oleh Pangeran Cirebon, sehingga mereka semuanya kembali ke kapal

dan meminta bantuan dari kapal-kapal perang mereka yang masih

menunggu di lepas pantai. Akhirnya, karena didorong semangat jihad,

pasukan Islam dapat mengusir Portugis dari perairan Jayakarta.

Diceritakan pula, bahwa sebelum pasukan Portugis itu sampai di

Teluk Jakarta, di tengah perjalanan terjadi angin ribut, sehingga

sebuah kapal brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho terpisah

dari kapal yang lain dan kandas di pelabuhan Banten. Kapal Portugis

ini pun dapat dikuasai prajurit Banten, sehingga banyak tentaranya

terbunuh (Djajadiningrat, 1983: 81-82).

Setelah berhasil mengamankan Sunda Kalapa dari ancaman Portugis, Hasanuddin dan

Fatahillah bekerja sama menangani pembangunan di Banten dan Jayakarta.

Hasanuddin bertanggung jawab dalam masalah pengembangan

wilayah dan pendidikan kamasyarakatan, sedangkan Fatahillah

menangani bidang keamanan dan pertahanan wilayah. Sehingga pada

masa itu Islam menyebar dengan pesat dan keamanan negara terjamin.

Kedua penguasa wilayah ini memerintah atas nama Sultan Demak

(Hamka, 1976:178).

Penguasaan Banten dan Sunda Kalapa ini mempunyai arti yang sangat penting bagi kerajaan

Demak, karena antara lain:

1)

Dengan dikuasainya Banten dan Sunda Kalapa, akan memudahkan pengembangan pengaruh

Islam ke Pajajaran di kemudian hari.

2)

Banten dapat dijadikan tempat yang strategis bagi perluasan wilayah Demak ke pantai selatan

Sumatra, Lampung dan Palembang

> yang kayayang kaya

akan cengkeh dan lada.

3)

Dengan dikuasainya pantai utara Jawa Barat yaitu Banten, Sunda Kalapa dan Cirebon, maka

kekhawatiran Demak atas pengaruh Portugis di Pulau Jawa dapat diatasi.

4)

Banten juga dapat dijadikan pusat penyebaran agama Islam untuk masyarakat Jawa Barat dan

sebagian Sumatra Selatan yang masih animis.

Melihat perkembangan kemajuan daerah Banten yang pesat, maka pada tahun 1552 Kadipaten

Banten ditingkatkan statusnya menjadi Kerajaan di bawah pengawasan Demak, dengan

Hasanuddin sebagai raja Banten pertamanya. Sedangkan Fatahillah pada tahun yang sama

(1552) diangkat menjadi penguasa di Cirebon mewakili Syarif Hidayatullah, karena Pangeran

Pasarean yang memerintah sebelumnya telah meninggal pada tahun 1552 itu. Untuk

menjalankan tugas pemerintahan di Jayakarta diangkat Pangeran Bagus Angke, menantu

Hasanuddin (Purwaka, tt: 27).

2. Berdiri Kota Banten Tanggal 8 Oktober 1526

Tentang tarikh berdirinya Kasultanan Banten di Surosowan ini dituliskan sebagai berikut:

"Inkang kalang Banten nagari sedengnyan haro hara ikang nunaya jeng sisa Sabakingkin

anak ira susuhunan Jatipurba lawan pra saparisharanya teka wong muslim prasiya sira,

wiweha kahanan ika wadya Demak lan Charbon teka ta prahwa nira mandeg ing labuhan

Banten nagari, irika tang ayuddha mwang anggepuk wadya bala Budha-Prawa. Bopatya

Banten nagari lawan saparicharyanya lumayu menjing wanantara paran ira mangidul ngetan

ringkitha-gung Pakuan Pajajaran, witan ikang pramatya Banten nagari. Ri huwuws ika binu

patyakna ta sira Sabakingkin Banten nagari lawan nawastwan ngaran Hasanuddin deng

rama nira Susuhunan Jatipurba kang lungguh raja paditha atahwa Sang Kamastwing sarat

Sunda, kang tamolah ing Puserbumi nagari ya ta Charbon, kithaya sinebut Garage (Purwaka

Caruban Nagari, pupuh 162 - 168).

Terjemahan teks tersebut adalah:

(162) Pada waktu itu di Banten sedang timbul huru-hara yang di-sebabkan oleh Pangeran

Sabakingkin, putera Susuhunan Jatipurba dengan para pengikutnya. (163) Orang-orang

muslim dan para muridnya, bertambah-tambah dengan kedatangan angkatan bersenjata

Demak dan Cirebon yang telah berlabuh di pelabuhan Banten, kemudian menyerang dan

memukul (164) angkatan bersenjata Budha-prawa. Adipati Banten dan para pengikutnyamelarikan diri masuk hutan belantara menuju ke arah tenggara ke kota

> besar Pakuan

Pajajaran. (165) Setelah itu dinobatkanlah Pangeran Sabakingkin di

negeri Banten dengan gelar (168) Pangeran Hasanuddin oleh

ayahnya dipertuan bagi seluruh daerah Sunda, yang berpusat di

Puserbumi yaitu negeri Cirebon

> atau Garage (Atja, 1972: 57-58).

Djajadiningrat (1983:123-124) menuliskan tentang tarikh penaklukan Banten Girang ini ada

dua sangkala yang keduanya berbeda.

Brasta gempung warna tunggal tidak mempunyai nilai angka selain

daripada 1400 Saka atau 1478 Masehi. Sangkala kedua berbunyi Ilang

kari warna lan nagri; kata kari adalah suatu kesalahan penurunan

naskah yang ditulis dalam pegon, karena kata ini tidak pernah ditemui

dalam bahasa sangkala. Mungkin kata itu berasal dari kata kadi =

kaya = 3.

Sehingga seharusnya berbunyi: ilang kadi warna lan nagri, dan ini

berarti angka tahun 1480 Saka atau 1558 Masehi.

Selanjutnya, dari keterangan Caeff, wakil VOC di Banten (1671), menyebutkan bahwa

"Banten Lama" (dimaksudkan Banten Girang) yang letaknya sedikit di atas Clappadoa, kira￾kira enam jam perjalanan kaki dari Tirtayasa ke Pontang dan tiga jam dari Banten. Sultan

Ageng telah menyuruh mendirikan sebuah istana di sana, yang digunakan sebagai tempat

mengungsi kaum wanita di masa perang.

Kelapadua sekarang masih merupakan sebuah kampung kira-kira di

barat laut Serang. Oleh karenanya, ibukota lama Banten haruslah

letaknya di bagian barat atau barat daya Serang; yaitu Banten Girang

(Banten Hulu). Tempat inilah yang dilaporkan Joao de Barros pada

tahun 1525 Faletehan mendapat sambutan yang ramah dan selanjutnya

menjadi tuan. Kemudian, masih menurut de Barros, pada tahun 1527

dari Banten yang letaknya lebih ke hilir sungai di tepi laut, Faletehan

dapat menguasai Sunda Kalapa. Dari berita ini dapatlah ditarik

kesimpulan, bahwa dua sangkala di atas haruslah diabaikan, karena

tidaklah mungkin terjadi. Pemerintahan Banten tidak akan

membiarkan "musuh" yang eksis di dekat-dekat dirinya, sementaraPinto [7], menceritakan bahwa pada tahun 1546 Tagaril mengirimkan sebagian besar

tentaranya untuk membantu Demak menggempur Pasuruan. Demikian pula pemindahan

ibukota dari Banten Girang ke Banten yang diceritakan Sajarah Banten, tak dapat terjadi oleh

Hasanuddin. Yang demikian itu haruslah dilakukan oleh ayahnya, dan barangkali segera

setelah direbutnya Banten Girang; dan yang paling memungkinkan adalah antara tahun 1525

dan 1527(Djajadiningrat, 1983: 127).

Jika penaklukan Banten Girang terjadi pada tahun 1525 M, maka pendirian Banten Pesisir

(Surosowan) sesuai bukti arkeologis dengan berita asing dan Purwaka Caruban Nagari terjadi

tidak lain pada tahun 1526 M. Mengenai ketepatan waktu yang berupa tanggal, meskipun

tidak ada berita pasti, namun dapat dianalogikan dengan hari mulia yaitu Muharram tanggal

satu sebagaimana juga gambaran menuju peperangan ke Pakuwan Pajajaran yang dilakukan

pada Muharram, tahun Alip 1579 (Djajadiningrat, 1983: 145-146).



Syuro atau 1 Muharram adalah hari baik untuk melakukan peristiwa

penting yang dipercayai oleh masyarakat pada waktu itu, maka untuk

pemindahan ibukota Banten dari Banten Girang ke Surosowan

(Banten pesisir) itu dimungkinkan terjadi pada tanggal 1 Muharram

933 Hijriah yang, menurut Tabel Wuskfeld, bertepatan dengan tanggal

8 Oktober 1526 Masehi.

3. Sekitar Syarif Hidayatullah dan Fatahillah

Untuk lebih memperluas keterangan di atas, penulis menganggap perlu, secara singkat,

menguraikan riwayat tokoh Syarif Hidayatullah dan Fatahillah. Karena, kedua tokoh inilah

yang memegang peran menentukan dalam kesejarahan kerajaan Banten khususnya, dan

penyebaran agama Islam di Jawa bagian Barat.

Dalam Purwaka Caruban Nagari, dikisahkan tentang silsilah keturunan Syarif Hidayatullah,

sebagai berikut:

Prabu Siliwangi raja Pakuan Pajajaran dari perkawinannya dengan Nhay Subang Larang

mempunyai 3 orang anak: Raden Walangsungsang, Nhay Lara Santang dan Raden Jaka

Sangara. Nhay Lara Santang, yang kemudian memeluk agama ibunya yaitu agama Islam,

pergi ke Makkah bersama Raden Walangsungsang untuk menunaikan ibadah haji sambil

menuntut ilmu agama di sana

>. Mereka berguru pada Syekh Abdul

Jadid yang kemudian Nhay Lara Santang menikah dengan Maulana

Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah seorang raja di Mesir. Dari

pernikahan ini lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah, yang

lahir dua tahun kemudian.

Setelah Syarif Hidayatullah berumur 20 tahun, dia pergi ke Makkah untuk belajar ilmu agama

pada Syekh Tajmuddin al-Kubri selama dua tahun, dan kepada Syekh Athaullahi Sajali

selama dua tahun pula. Syarif Hidayat tidak mau menggantikan ayahnya yang telah wafat

untuk menjadi raja di Mesir, tetapi jabatan tersebut diserahkan kepada adiknya, Syarif

Nurullah. Syarif Hidayat sendiri pergi ke Pulau Jawa untuk menyiarkan agama Islam. Daerah

pertama yang dikunjunginya adalah Pasai dan dua tahun kemudian singgah di bandar Banten.

Di sana didapati sudah banyak penduduk yang beragama Islam, hasil usaha Sayid Rakhmatatau Sunan Ampel, yang juga masih terhitung keluarga. Dari Banten, barulah Syarif Hidayat

pergi ke Jawa Timur yakni ke Ngampel. Oleh Sunan Ampel, Syarif Hidayat ditetapkan

sebagai da'i di Pesambangan (Sembung) bersama uwaknya Haji Abdullah Iman, nama lain

dari Raden Walangsungsang.

Syarif Hidayat membuat pondok di Bukit Sembung, Gunung Jati,

sehingga dikenal dengan nama Maulana Jati atau Syekh Jati.

Istri dan anak Syarif Hidayat(ullah) adalah sebagai berikut:

margin-left:1.0cm;margin-bottom:.0001pt;text-indent:-1.0cm;mso￾list:l3 level1 lfo8; tab-stops:list 1.0cm left 2.0cm;mso-layout-grid￾align:none;punctuation-wrap: simple;text-autospace:none;vertical￾align:baseline">1)

Nhay Babadan seorang putri dari Ki Gedheng Babadan.

Pernikahan ini tidak berlangsung lama karena Nhay Babadan

meninggal dunia, tanpa dikaruniai anak.

2)

Nhay Lara Bagdad atau Syarifah Bagdad, adik dari Maulana Abdurahman Bagdadi atau

Pangeran Panjunan. Dari pernikahan ini dikaruniai dua orang anak: Pangeran Jayakelana dan

Pangeran Bratakelana.

Pangeran Jayakelana kemudian kawin dengan Ratu Pembayun putri Raden Fattah, sultan

Demak pertama. Pangeran Jayakelana meninggal dunia pada usia muda, selanjutnya, Ratu

Pembayun menikah dengan Fatahillah atau Fadilah Khan seorang pemuda asal Pasai.

Sedangkan Pangeran Bratakelana menikah dengan Ratu Nyawa, adik dari Prabu Trenggono.

Dalam perjalanan menuju Cirebon, Pangeran Bratakelana gugur dalam

pertempuran melawan bajak laut, dan karenanya ia disebut dengan

nama Pangeran Sendang Lautan atau Pangeran Gung Anom.

3)

Nhay Tepasari, putri dari Ki Gedheng Tepasari dari Majapahit. Dari pernikahan ini Syarif

Hidayat dikaruniai dua orang anak: Nhay Ratu Ayu dan Pangeran Mahmud Arifin, yang

kemudian disebut Pangeran Pasarean.

Nhay Ratu Ayu kemudian menikah dengan Pangeran Muhammad Yunus atau Pangeran

Sabrang Lor, putra tertua Raden Fattah. Pernikahan ini tidak dikaruniai anak, karena

Muhammad Yunus mati muda ─ memerintah Demak selama tiga tahun saja. Nhay Ratu Ayu

kemudian menikah lagi dengan Fatahillah dan dikaruniai dua orang anak: Ratu Wanawati

Raras dan Pangeran Sedang Garuda. Adapun Pangeran Mahmud Arifin atau Pangeran

Pasarean menikah dengan Ratu Nyawa, yaitu janda dari Pangeran Bratakelana atau Pangeran

Gung Anom. Dari pernikahannya dikaruniai 6 orang anak, yaitu:

(1.)

Pangeran Kesatrian, yang kemudian menikah dengan seorang putri asal Tuban.

(2.)

Pangeran Losari, yang menjadi Panembahan Losari.

(3.)

Pangeran Suwarga, yang kemudian menjadi Adipati di Cirebon

> dengan gelar

Pangeran Adipati Pakungja atau Pangeran Sedang Kemuning.

Pangeran ini kemudian menikah dengan Ratu Wanawati Raras, putri

dari Fatahillah dengan Nhay Ratu Ayu.

(4.)

Ratu Emas, yang kemudian menikah dengan Tubagus Banten di Banten.

(5.)

Pangeran yang berkeluarga di Panjunan.

(6.)

Pangeran Weruju.

4)

Nhay Kawunganten, adik Adipati Banten.

Dari pernikahan ini lahirlah dua orang anak: Ratu Winaon atau Putri Wulung Ayu dan

Hasanuddin atau disebut juga Pangeran Sabakingkin. Ratu Winaon kemudian menikah

dengan Pangeran Atas Angin atau Pangeran Raja Laut, yang kemungkinan nama lain dari

Sunan Kalijaga.

5)Pada tahun 1478, Syarif Hidayatullah menikah dengan Nhay Pakungwati, putri uwaknya,

Raden Walangsungsang dengan Nhay Indhang Geulis.

Pernikahan ini tidak membuahkan keturunan, sehingga Nhay

Pakungwati mengambil Nhay Ratu Ayu dan Pangeran Pasarean

menjadi anak angkatnya ─

karena ibunya, Nhay Tepasari, meninggal dunia sewaktu mereka

masih kecil.

6)

Pada tahun 1481, Syarif Hidayat menikah dengan Putri Ong Tien, seorang putri raja Cina

yang datang ke Pulau Jawa dengan rombongan yang besar. Dengan putri Cina ini Syarif

Hidayat beroleh seorang putra tetapi meninggal pada saat dilahirkan. Empat tahun kemudian

Putri Ong Tien pun wafat.

Di Cirebon, Syarif Hidayatullah diangkat menjadi Tumenggung yang menguasai daerah

Cirebon dan sekitarnya, menggantikan Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabhumi.

Adapun tugasnya di Banten, yakni menyebarkan agama Islam

diserahkan kepada anaknya, Hasanuddin.

Semenjak Cirebon dikuasakan kepada Syarif Hidayatullah, Cirebon

> tidak pernah lagi mengirimkan kuwerabhakti atau upeti kepada Raja

Pajajaran. Hal inilah yang menyebabkan Pajajaran mengirimkan enam

puluh orang prajurit yang dipimpin oleh Tumenggung Jagabaya untuk

menagih upeti tersebut. Tapi akhirnya prajurit-prajurit tersebut tidak

berani memerangi Cirebon, dan, bahkan semuanya memeluk agama

Islam dan menjadi murid Syarif Hidayatullah yang setia.

Pada saat di Cirebon, Syarif Hidayatullah diangkat oleh para wali atau pimpinan penyebaran

agama Islam di Pulau Jawa untuk menjadi Penetap panatagama Rasul Saerat Sunda yang

berkuasa penuh di seluruh daerah Sunda, menggantikan Syekh Nurul Jati yang sudah

mangkat. Dan untuk mengkhususkan pemikirannya kepada penyebaran agama Islam, Syarif

Hidayatullah pada tahun 1528 mengangkat putranya, Pangeran Pasarean, menjadi

Tumenggung di Cirebon sebagai wakil dirinya. Dan setelah Pangeran Pasarean mangkat

(1552), pemangku kuasa di Cirebon

> diserahkan kepada Fatahillah atau

Pangeran Pasai, menantu Syarif Hidayatullah

Pangeran Pasai, menantu Syarif Hidayatullah.

Pada tahun 1568, Syarif Hidayatullah meninggal dunia pada usia lanjut, yang kemudian

dimakamkan di puncak Bukit Sembung, komplek Gunung Jati, tempat dia mengajar. Dengan

meninggalnya Syarif Hidayatullah, maka Fatahillah menjadi pemegang kuasa penuh di

Cirebon sampai meninggalnya pada tahun 1570. Jenazahnya dikubur di Gunung Jati, sejajar

dengan makam Sunan Gunung Jati.

Sebenarnya antara Syarif Hidayatullah dan Fatahillah masih ada hubungan kekerabatan.

Fatahillah atau Fadhilah Khan lahir pada tahun 1490 di Samudra

Pasai. Dia adalah putra Makhdar Ibrahim dari Gujarat yang menetap

di Pasai sebagai Imam Agama. Makhdar Ibrahim adalah putra dari

Maulana Abdul Gafur alias Maulana Malik Ibrahim seorang putra dari

Barkat Zainul Alim adik dari Ali Nurul Alim kakek Syarif

Hidayatullah dan juga kakek Ibrahim Zainul Akbar (ayah Sunan

Ampel). Sunan Ampel adalah guru dan mertua Raden Fatah pendiri

kerajaan Demak. Jadi Jelaslah bahwa Fatahillah masih terhitung

keponakan Syarif Hidayatullah dari garis ayah. Kekerabatan ini

kemudian dipererat lagi dengan perkawinan. Fatahillah memperistri

Nhay Ratu Ayu, putri Syarif Hidayatullah (janda Pangeran Sabrang

Lor) dan juga menikah dengan Ratu Pembayun (janda Pangeran

Jayakelana), putri Raden Fatah. Dengan demikian Fatahillah adalah

mantu, keponakan dan murid dari Syarif Hidayatullah, juga mantu dari

Raden Fatah.


Pendapat Snouck Horgronje, yang menyatakan bahwa Islam masuk ke

kepulauan Nusantara pada abad ke-13 M., barangkali, dimaksudkan adalah

bukannya masuknya Islam ke Nusantara, tetapi permulaan umat Islam diNusantara sudah menjadi satu kekuatan sosial yang perlu diperhitungkan,

bahkan sudah mampu mendirikan negara yang bercorak keislaman.

[2] Hal demikian dimungkinkan karena penemuan teknologi perkapalan yang

sudah mampu membuat kapal-kapal ukuran besar yang mampu berlayar jauh dan

mengangkut sekitar 600 - 700 orang (Berger, 1962:14).

[3] Dalam catatan Babad

Banten, anak Syarif Hidayatullah ini bernama Wulung Ayu dan Hasanuddin.

[4] Dalam Babad Banten

diceritakan bahwa, Hasanuddin mendatangi 800 ajar pengikut Pucuk Umun di

Gunung Pulosari, yang kemudian mereka memeluk agama Islam; dan mereka

pun bersedia menjadi pengikut setia Hasanuddin ("Kawula sakakah anut, tuwan

kaya pucuk umum")

[5] Kecurigaan raja

Pajajaran ini bertambah tebal dengan hadirnya pasukan Demak di Cirebon

sewaktu pesta perkawinan 4 pasangan: Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana,

Ratu Aju dengan Pangeran Sabrang Lor, Pangeran Jayakelana dengan Ratu

Pembayun, dan Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).

[6] Pada tahun 1512, armada Demak dengan 90 buah kapal jung yang

berkekuatan 12.000 prajurit dilengkapi dengan meriam-meriam buatan sendiri

menyerang penguasa Portugis di Malaka. Perang besar ini dipimpin oleh Patih

Yunus kakak tertua dari Prabu Trenggono yang berakhir dengan kekalahan

pasukan Demak dan gugurnya Patih Yunus yang selanjutnya dikenal dengan

Pangeran Sabrang Lor.

[7] Fernao Mendes Pinto

atau Tome Pinto (1510-1583), adalah pimpinan armada Portugis yang juga ikut

menandatangani perjanjian Pajajaran-Portugis (1522) mencatat semua

pengalaman pelayarannya dari Goa ke Nusantara dalam buku Peregrinacao

(Penjelajahan).


MASA PEMERINTAHAN

KESULTANAN BANTEN

A. MAULANA

HASANUDDIN (1552 - 1570)

Dalam Babad Banten menceritakan bahwa Sunan Gunung Jati

dan putranya, Hasanuddin, datang dari Pakungwati (Cirebon

>) untuk mengislamkan masyarakat di

daerah Banten. Mula-mula mereka datang di Banten Girang, lalu terus

keke

selatan, ke Gunung Pulosari, tempat bersemayamnya 800 ajar yang

kemudian semuanya menjadi pengikut Hasanuddin. Di lereng Gunung

Pulosari

itu, Sunan Gunung Jati mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan

keislaman kepada

anaknya. Setelah ilmu yang dikuasai Hasanuddin sudah dianggap

cukup, Sunan

Gunung Jati memerintahkan supaya anaknya itu berkelana sambil

menyebarkan

agama Islam kepada penduduk negeri.

Hasanuddin

berkeliling sambil berdakwah dari satu daerah ke daerah lain. Sesekali

bertempat di Gunung Pulosari, Gunung Karang atau Gunung Lor,

bahkan sampai

ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Setelah tujuh tahun melakukan

tugasnya

itu, Hasanuddin bertemu kembali dengan ayahnya, yang kemudian

membawanya

pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah (Djajadiningrat, 1983:34).

Dalam

menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk pribumi, Hasanuddin

menggunakan

cara-cara yang dikenal oleh masyarakat setempat, seperti menyabung

ayam

ataupun mengadu kesaktian. Diceritakan, bahwa dalam acara

menyabung ayam dimenyabung ayam di

Gunung Lancar yang dihadiri oleh banyak pembesar negri, dua orang

ponggawa Pajajaran, Mas Jong dan Agus Jo --- disebut juga Ki Jongjo

--- memeluk

agama Islam dan bersedia menjadi pengikut Hasanuddin.[1]

Setelah Banten

dikuasai oleh pasukan Demak dan Cirebon pada tahun 1525, atas

petunjuk dari

Syarif Hidayatullah, pada tanggal 1 Muharram 1526 M. atau 8

Oktober 1526 M,

pusat pemerintahan Banten, yang tadinya berada di pedalaman yakni

di Banten

Girang (3 km dari kota Serang) dipindahkan ke dekat pelabuhan

Banten. Dalam

pemindahan pusat pemerintahan Banten ke pesisir tersebut, Syarif

Hidayatullah pulalah yang menentukan dimana tempat dalem (istana),

benteng, pasar, dan alun-alun harus dibangun. Semakin besar dan

majunya

daerah Banten, maka pada tahun 1552 Banten yang tadinya hanya

sebuah

kadipaten diubah menjadi negara bagian Demak dengan Hasanuddin

sebagai

rajanya, dengan gelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan.

1. Konflik Bersenjata antara Banten dan Pajajaran

Masalahyang dianggap cukup penting dalam kesejarahan Banten adalah

bagaimana usaha

Maulana Hasanuddin dalam menjaga kestabilan politik dan keamanan

negaranya.

Hal ini ada kaitannya juga dengan keadaan negara tetangga, yakni

Kerajaan

Pajajaran, yang jaraknya tidak begitu jauh. Dari proses berdirinya

Kerajaan

Banten, yang secara kewilayahan sangat merugikan Pajajaran,

dapatlah

dipahami apabila kedua negara yang berbeda pandangan hidupnya ini

saling

curiga-mencurigai. Pemerintahan di Banten merasa terancam

keamanannya

kalau-kalau pasukan Pajajaran akan merebut kembali wilayah yang

telah

diduduki tentara Islam, demikian juga sebaliknya. Kecurigaan ini

didukung

dengan banyaknya pertempuran kecil, terutama di daerah perbatasan

kedua

negara, yang masih terus berlangsung sampai 5 tahun. Baru pada tahun

1531

tercapailah kesepakatan damai antara Pajajaran, Banten dan Cirebon

>. Perjanjian ini di tandatangani

oleh Surawisesa, Fatahillah, Hasanuddin dan Cakrabuana.

Di dalam

Kerajaan Pajajan


Kerajaan Pajajaran sendiri, setelah perjanjian damai antara Banten dan

Pajajaran ini ditandatangi, Surawisesa, raja Pajajaran saat itu,

berkesempatan untuk menumpas pemberontakan di 15 daerah

kekuasaannya. Dan

baru setelah 2 tahun pemberontakan ini berhasil ditumpas. Pada tahun

1535

Surawisesa meninggal dunia yang kemudian dikuburkan di Padaren.

Surawisesa

atau Ratu Sangiang dikenal dalam naskah babad dengan nama Guru

Gantangan, sedangkan dalam pantun di sebut Mundinglaya Dikusuma.

Penggantinya

adalah Dewata Buana yang dikenal sebagai "raja resi", karena dia

lebih banyak hidup di pertapaan dari pada memperhatikan

pemerintahan

negaranya.

Dalam

pada itu, mungkin karena kecurigaan kepada Pajajaran, Banten

menyusun

pasukan khusus yang mampu bergerak cepat, tanpa membawa nama

Kerajaan

Banten. Pasukan khusus yang dipimpin oleh Pangeran Yusuf, putra

mahkota

Banten, ditugaskan untuk menanggulangi kerusuhan-kerusuhan yang

disebabkan

oleh tentara Pajajaran atau pemberontak di perbatasan. Namun, karena

alasan

yang belum jelas, pasukan ini menyerang serta menguasai beberapayang belum jelas, pasukan ini menyerang serta menguasai beberapa

daerah

perbatasan, bahkan akhirnya menyerang ibukota Pakuan. Hanya berkat

kuatnya

benteng yang dibangun Sri Baduga, pasukan penyerang tidak mampu

memasuki kota

>. Akan tetapi

dalam pertempuran ini gugur dua orang senapati tangguh yakni

Tohaan Ratu

Sarendet dan Tohaan Ratu Sangiang. Gagal memasuki ibukota

Pajajaran,

pasukan ini mengalihkan sasaran dengan menguasai daerah

Sumedang, Ciranjang

dan Jayagiri.

Ratu

Dewata memerintah selama 8 tahun (1535 - 1543), penggantinya

adalah Ratu

Sakti yang memerintah secara kejam dan lalim. Banyak penduduk

dihukum mati

dan dirampas hartanya tanpa alasan. Raja ini dicap sebagai melanggar

adat

keraton kerena mengawini seorang putri larangan [2] dari keluaran [3]. yang

dilarang adat secara keras. Bahkan, yang lebih parah, Ratu Sakti pun diketahui memperistri

ibu

tirinya sendiri. Ratu Sakti meninggal pada tahun 1551 dan digantikan

oleh

Sang Nilakenda atau Sang Lumahing Majaya.Sang

Nilakenda lebih banyak mementingkan hal-hal mistis. Upacara￾upacara mistis

ini menggunakan matra-mantra dalam ketidaksadaran (mabuk). Hal ini

mendorong penghuni istana kepada ketagihan minuman keras.

Pekerjaan raja

hanya berfoya-foya dan menjurus ke arah kemaksiatan. Gejala

demikian

akhirnya menyebar ke seluruh penduduk negeri, sehingga membawa

kelemahan

negara, kekacauan pemerintahan dan penderitaan bagi rakyat

Pajajaran.

Keadaan yang tidak terkendali di Pajajaran ini dianggap berbahaya

bagi

keamanan penduduk Banten, di samping suatu kesempatan baik.

Barangkali ini

pulalah yang mendorong Maulana Hasanuddin untuk segera

mengadakan serangan

ke pusat pemerintahan Pajajaran. Pakuan dengan mudah dikuasai

pasukan

Pangeran Yusuf pada tahun 1567; walaupun Sang Nilakendra sendiri

dapat

meloloskan diri.

Raja

Pajajaran terakhir adalah Ragamulya atau Prabu Surya Kencana. Raja

ini

tidak berkedudukan di Pakuan, melainkan di Pulosari, Pandeglang,tidak berkedudukan di Pakuan, melainkan di Pulosari, Pandeglang,

sehingga

disebut juga Pucuk Umun (Panembahan) Pulosari. Karena kedudukan

Pulosari demikian sulit ditembus musuh, maka baru pada masa

pemerintahan

Maulana Yusuf --- yang merasa tidak terikat perjanjian dengan

Pajajaran ---

benteng Pulosari ini dapat direbut pasukan Banten dengan susah

payah.

Kejadian ini berlangsung pada Pajajaran sirna ing bhumi ekadaci

weshakamasa sahasra limangatus punjul siji ikang sakakala (tanggal

11

suklapaksa bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Dihitung dengan

penanggalan

Masehi dan Hijriah akan jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 atau 11 Rabiul

awal

987, hari Jum'at Legi. Pasukan Banten ini dipimpin langsung oleh

Maulana

Yusuf yang berangkat dari Banten pada hari Ahad tanggal 1 Muharam

tahun

Alif dengan sangsakala bumi rusak rekeh iki atau tahun 1501 Saka.

Dari

keterangan di atas, dapatlah diketahui bahwa penyerangan Banten ke

Pajajaran, sedikitnya terjadi dalam 3 gelombang besar:

Pertama, pada masa pemerintahan Ratu Dewata Buana (1535 - 1543) yang dikisahkan :

"Datang na bencana

musuh ganal, tambuh sangkane, prangrang di burwan ageung, pejahmusuh ganal, tambuh sangkane, prangrang di burwan ageung, pejah

Tohaan Ratu

Sarendet jeung Tohaan Ratu Sangiang" (Datang serangan pasukan

tidak diketahui asal usulnya: perang di alun-alun, gugur Tohaan Ratu

Sarendet dan

Tohaan Ratu Sangiang).

Kedua, pada pemerintahan Nilakendra (1551 - 1567) yang dikisahkan: "Alah prengrang

mangka tan nitih

ring kadat-wan" (Kalah perang, karena itu tidak tinggal di

keraton).

Ketiga, pada masa pemerintahan Ragamulya (1567 - 1579) yang dikisahkan: "tembey datang

na prebeda,

bwana alit sumurup ing ganal, metu sanghara ti Selam" (mulailah

datang perubahan, budi tenggelam datang nafsu, muncul bahaya dari

Islam).

2 Usaha

Maulana Hasanuddin dalam

Pengembangan Banten

Usaha

Hasanuddin untuk mengubah satu daerah nelayan kecil menjadi

sebuah

w:st="on">kota

> yang layak

dijadikan ibukota negara, bukanlah satu perbuatan yang mudah.

Dengan

bantuan pasukan Demak, Cirebon dan juga

penduduk di sekitar, pembangunan kota baru ini dapat terlaksana

dengan mulus. Kota Banten, berkembang dengan

pesat.

Mengenai

keadaan fisik kota Banten --- yang kemudian lebih disebut Surosowan

--- di masa mula berdirinya

ini, sangat sulit direkontruksikan karena terbatasnya data.

Digambarkan

oleh Diogo do Couto, yang juga mengikuti perjalanan Francisco de Sa,

bahwa kota

> Banten terletak

di pertengahan pesisir teluk, yang lebarnya sampai tiga mil, dengan

kedalaman antara dua sampai 6 depa. Kota ini panjangnya 850 depa, di

tepi pantai panjangnya 400 depa; masuk ke

dalamnya lebih panjang. Melalui tengah

w:st="on">kota

> ada sungai jernih, di mana kapal jung dan gale dapat berlayar

masuk. Sepanjang pinggiran kota

> ada anak sungai yang hanya perahu

kecil saja bisa masuk. Kota Banten dikelilingi benteng terbuat dari

bata

dan lebarnya tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya

terbuat

dari kayu, terdiri dari dua tingkat yang dilengkapi dengan meriam.

Teluk

Teluk

itu di beberapa tempat berlumpur, dan di beberapa tempat lagi

berpasir;

dalamnya antara dua dan enam depa (Djajadiningrat, 1983:145).

Di

tengah kota terdapat sebuah lapangan luas, disebut alun-alun, yang

digunakan bukan saja

untuk kepentingan kegiatan ketentaraan dan kesenian rakyat juga

digunakan

sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di bagian selatan

alun-alun, yang di sampingnya terdapat bangunan datar yang

ditinggikan dan

beratap, disebut srimanganti, yang digunakan sebagai tempat raja

bertatap muka dengan rakyat. Sedangkan sebelah barat alun-alun

didirikan

sebuah masjid agung (Ambary, 1988: 30).

Pemindahan

pusat pemerintahan dari daerah pedalaman ke pesisir sangatlah

menguntungkan

baik dalam bidang politik maupun sosial-ekonomi; dengan kepindahan

pusat

kota itu hubungan dengan negara-negara lain di pesisir Jawa, Sumatra

Barat

dan Malaka, bahkan hubungan dengan negara di luar kepulauan

nusantara pun

akan lebih mudah. Pelabuhan Banten, yang pada masa Pajajaran hanya

menjadi

pelabuhan kedua setelah Kalapa, pada masa Maulana Hasanuddin

telah berubah

menjadi bandar besar yang menjadi persinggahan utama dan

penghubung antara

pedagang dari Arab, Parsi, India dan Cina dengan negara-negara di

Nusantara. Situasi demikian berkaitan dengan keadaan peta politik di

Asia Tenggara; setelah Malaka dikuasai Portugis. Dengan keadaan itu,

Banten, yang berada

di tengah perdagangan rempah-rempah ke dan dari Maluku, menjadi

tempat

untuk membeli bekal perjalanan, tempat perdagangan rempah-rempah

dan barang

dagangan lain dari luar negeri (Tjandrasasmita, 1975: 322).

Pedagang-pedagang dari Arab, Persi, Gujarat,

Birma, Cina dan negara-negara lain datang secara berkala di Banten;

demikian juga pedagang dari Nusantara.

Maulana

Hasanuddin, dalam usahanya membangun dan mengembangkan kota

> Banten, lebih menitikberatkan pada

pengembangan di sektor perdagangan, di samping memperluas daerah

pertanian

dan perkebunan. Ia berusaha mendorong peningkatan pendapatan

rakyatnya

dengan melalui pertumbuhan pasar yang cepat. Karena Bantenmenjadi tempat persinggahan perdaganan rempah-rempah dari Eropa

maupun Asia dan juga daerah-daerah di nusantara, maka Banten pun

harus mempunyai

persediaan lada yang cukup, yang pada waktu itu menjadi hasil

perdagangan

utama. Hasil lada ini diambil dari daerah Banten sendiri dan daerah

lain di

bawah kuasa Banten, yaitu Jayakarta, Lampung dan Bengkulu.

Perkebunan lada

di daerah-daerah itu diperluas untuk memenuhi kebutuhan

perdagangan yang

berkembang (Tjandrasasmita, 1975: 323).

Untuk

menggambarkan ramainya perdagangan di Banten ini diceritakan oleh

Willem

Lodewycks (1596) sebagai berikut (Chijs, 1889:53-56):

"Di

Banten ada tiga pasar yang dibuka setiap hari. Yang pertama dan

terbesar

terletak di sebelah timur kota (Karangantu). Di sana banyak ditemukan

pedagang-pedagang asing dari Portugis, Arab, Turki, Cina, Quilon

(India

>), Pegu (Birma), Melayu, Benggala,

w:st="on">Gujarat

>, Malabar, Abesinia dan dari seluruh

nusantara. Mereka berdagang sampai pukul sembilan pagi. Pasarnusantara. Mereka berdagang sampai pukul sembilan pagi. Pasar

kedua

terletak di alun-alun dekat masjid agung, yang dibuka sampai tengah

hari

bahkan sampai sore. Di pasar ini diperdagangkan merica, buah￾buahan,

senjata keris, tombak, pisau, meriam kecil, kayu cendana, tekstil, kain

putih untuk bahan batik, binatang peliharaan, kambing dan sayuran.

Orang-orang Cina menjual benang sulam, sutra, damast, porselen dan

lain-lain. Di sini juga dijual rempah-rempah dan obat-obatan.

Demikian

besarnya pasar kedua ini sehingga ujungnya hampir menyambung

dengan pasar

pertama di pelabuhan. Pasar ketiga terletak di daerah Pacinan yang

dibuka

setiap hari sampai malam".

Cara

jual-beli di Banten, pada saat itu, banyak yang masih menggunakan

sistem

barter; menukar barang dengan barang yang lain, terutama di daerah

pedalaman. Di antara daerah yang dibawa dari daerah pedalaman

berupa hasil

bumi terutama beras dan lada, ditukar dengan kebutuhan sehari-hari

seperti

garam, pakaian, dan lain-lain. Hasil bumi di atas itulah yang kemudian

oleh

pedagang di jual kembali sebagai barang eksport. Selain sistem barter,

di Banten juga dikenal adanya uang sebagai alat tukar. Tome Pires

menceritakan bahwa mata uang yang biasa digunakan adalah real

banten dan cash cina (caxa).

Jumlah

penduduk kota Banten pada masa Maulana Hasanuddin belum

ditemukan data yang

pasti; namun melihat kemampuan Banten mengirimkan 7000

tentaranya ke

Pasuruan tahun 1546 untuk membantu Demak menaklukkan daerah itu

(Djajadiningrat, 1983:84), terlihat, betapa cukup padatnya kota ini.

Kalau

perbandingan antara banyaknya tentara dengan penduduk biasa 1 : 10

saja,

maka paling tidak penduduk kota Banten saat itu ada sekitar 70.000

jiwa.

Karena

banyaknya pedagang muslim yang, selain aktif berniaga juga aktif

menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk negeri, maka di Banten

terkumpul

beberapa ulama yang mengajarkan Islam kepada siapa saja. Akhirnya,

Banten

pun menjadi pusat penyebaran ajaran Islam untuk daerah Jawa Barat

dan

sebagian Sumatra. Banyak santri (pelajar) dari luar daerah yang

sengaja datang ke Banten untuk belajar


ilmu-ilmu agama, sehingga tumbuhlah beberapa perguruan Islam,

seperti di

Kasunyatan. Di tempat ini berdiri Masjid Kesunyatan yang umurnya

lebih tua

dari Masjid Agung Banten (Ismail, 1983: 35). Di sini pulalah tempat

tinggal

dan mengajar Kiyai Dukuh yang kemudian bergelar Pangeran

Kesunyatan, guru

Pangeran Yusuf (Djajadiningrat, 1983:163). Di samping membangun

Mesjid

Agung di dekat alun-alun, Maulana Hasanuddin juga memperbaiki

mesjid di

Pacinan dan Karangantu (Ambary, 1978:1 dan Michrob, 1984:5).

Masjid Agung

dan masjid di Pacinan ini mempunyai atap tumpang limasan dalam

w:st="on">lima

> susun, dan ini

menjadi model mesjid-mesjid kuno di Jawa, seperti Masjid Demak,

Sendang

Duwur dan sebagainya.

3. Banten

Melepaskan Diri dari Kuasa Demak

Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Fattah (Raden Patah)

atau Pangeran Jinbun sekitar tahun 1500. Ia adalah putra Prabu

BrawijayaBrawijaya

Kertabhumi, raja Majapahit terakhir, dari seorang selir asal Cina

(Djajadiningrat, 1983: 266; Muljana, 1968: 95).

Pada

tahun 1478 terjadilah penyerbuan terhadap Majapahit oleh Kediri

>. Prabu Brawijaya gugur dalam

pertempuran itu, dibunuh oleh Senapati Udara, seorang patih

w:st="on">Kediri

>. Dengan

demikian Prabu Giri Indra Wardhana, Raja Kediri, mengambil alih

kekuasaan

Majapahit. Tapi pada tahun 1498 Prabu Indra Wardhana dibunuh pula

oleh

Patih Udara dalam satu pemberontakan, yang kemudian, Patih Udara

mengangkat

dirinya menjadi Raja Majapahit dengan gelar Prabu Udara.

Perubahan

politik di pusat pemerintahan Majapahit ini merupakan salah satu

faktor

yang mendorong semangat Raden Fattah untuk lebih giat lagi

mengembangkan

daerahnya, Bintaro, menjadi daerah kuat dengan santri-santrinya yang

dididik keprajuritan. Di samping itu, penyebaran agama Islam lebih

ditingkatkan sehingga sebagian besar masyarakat pesisir utara Jawa

memeluk

agama Islam. Hal ini dapat dikaitkan dengan dorongan moril Sunan

Giri

kepada Raden Fattah bahwa dialah yang lebih berhak menjadi raja

Majapahit

dibandingkan dengan Prabu Udara. Dengan kata lain, jika Raden

Fattah

menyerang Prabu Udara dalam rangka merebut pusat pemerintahan

Majapahit,

maka peristiwa tersebut ditafsirkan sebagai usaha untuk mengambil

pusaka

orang tuanya sendiri. Karenanya, beberapa raja di pesisir utara Jawa

menganggap pemerintahan Prabu Udara atas Majapahit ini tidak sah.

Hubungan

yang tidak harmonis antara daerah-daerah pesisir utara dangan pusat

pemerintahan Majapahit, mengakibatkan ekonomi menjadi lemah.

Karena

sebagaimana telah dijelaskan, bahwa daerah-daerah pesisir utara Jawa

adalah

kota-kota pelabuhan dagang, yang merupakan sumber pemasukan

devisa yang

sangat potensial untuk kas negara, melalui perdagangan ekspor￾impornya.

Krisis ekonomi yang berkepanjangan ini pada gilirannya merusak

kesatuan

sosial kehidupan masyarakat dan secara tidak langsung ikut

melemahkankekuatan Majapahit.

Dalam

keadaan kerajaan yang tidak menentu akibat penolakan rakyat secara

the

jure terhadap pemerintahannya, pengaruh Islam maju cukup pesat di

pesisir utara Jawa, ditambah keadaan kehidupan sosial-ekonomi rakyat

yang

semakin memburuk --- yang pada akhirnya menyebabkan kewibawaan

pemerintah

pusat menurun --- maka Prabu Udara mengadakan hubungan

persahabatan dengan

Portugis di Malaka.

Dengan

membawa hadiah-hadiah yang berharga, pada tahun 1512

berangkatlah utusan

Majapahit menemui Alfonso d'Albuquerque di Malaka (Berg, 1952:

385).

Mendengar tindakan Prabu Udara itu, Raden Fattah dibantu beberapa

raja

pesisir segera mengadakan penyerangan besar-besaran terhadap

Majapahit pada

tahun 1517. Melalui pertempuran hebat dan banyak memakan korban

akhirnya

Majapahit dapat dikalahkan. Prabu Udara dan beberapa pengikut

setianya

melarikan diri ke Bali, Pasuruan danBlambangan. Semua barang kebesaran Majapahit dipindahkan ke

Bintaro, yang

selanjutnya menjadi ibu kota Kerajaan Demak. Maka pada masa

Raden Fattah, di Pulau Jawa hanya ada dua

kerajaan Hindu, yakni Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat dan Kerajaan

Blambangan di Pasuruan.

Raden

Fattah mempunyai tiga orang putra: Pangeran Muhammad Yunus,

Pangeran Sekar

Seda Lepen dan Pangeran Trenggono. Sebagai putra raja, mereka

dilatih dalam

urusan pemerintahan untuk dipersiapkan menjadi pemimpin negara

sepeninggal

orang tuanya. Dalam hal ini, Muhammad Yunus, sebagai putra tertua,

diangkat

menjadi Patih Demak, yang bertugas sebagai pendamping raja dalam

segala

urusan kenegaraan; sehingga ia disebut Patih Yunus atau Patih Unus.

Patih

Yunus yakin bahwa Portugis adalah musuh besar umat Islam. Mereka

selalu

berusaha menghancurkan negara-negara Islam. Ini mereka buktikan

sendiri

dengan menjajah Kesultanan Malaka dan di Malaka pedagang￾pedagang yang

beragama Islam selalu dipersulit dengan berbagai peraturan dan pajak

yangyang

tinggi. Orang Portugis bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan Hindu

untuk

menghancurkan Kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan Hindu lebih

senang

bersahabat dengan bangsa asing, Portugis, dibanding bersahabat

dengan

kerajaan Islam di Jawa. Persahabatan Majapahit dengan Portugis lebih

meyakinkan Patih Yunus untuk menyerang dan menghancurkan

Portugis di

Malaka.

Maka

pada tahun 1512, setelah mendapatkan izin ayahnya, bersama dengan

90 buah

kapal jung yang berkekuatan 12.000 prajurit dilengkapi dengan

meriam-meriam buatan sendiri, berangkatlah armada Demak ke

Malaka. Perang

besar terjadi di Selat Malaka pada tahun 1513, tapi karena pertahanan

armada Portugis lebih kuat dan lebih berpengalaman dalam

pertempuran laut,

maka pasukan Demak pulang dengan membawa kekalahan. Patih

Yunus sendiri

pulang dengan sebuah jung ke Jepara, bandar kerajaan Demak. Setelah

penyerangan Malaka itu, Patih Yunus bergelar Pangeran Sabrang Lor

(Berg, 1952: 385).

Raden


Fattah meninggal pada tahun 1518, kemudian tahta Demak digantikan

oleh

Pangeran Muhammad Yunus. Muhammad Yunus meninggal dunia

pada tahun 1521

dengan tidak meninggalkan putra, oleh karena itu adiknyalah yang

berhak

menggantikan sebagai raja Demak. Kedua adik Muhammad Yunus,

yakni Pangeran

Sekar Seda Lepen dan Pangeran Trenggono sama-sama ingin menjadi

raja, maka

terjadilah perebutan pengaruh di antara keduanya. Apabila hal

demikian

didiamkan, dikhawatirkan akan terjadi perang saudara yang akan

menimbulkan

perpecahan dan menelan banyak korban. Pikiran semacam inilah yang

mendorong

Pangeran Mu'min atau dikenal dengan nama Sunan Prawoto, anak

sulung

Pangeran Trenggono, membunuh Pangeran Sekar Seda Lepen. Dengan

demikian

maka Pangeran Trenggono diangkat menjadi Raja Demak pada tahun

1521 sampai

tahun 1546 (Hamka, 1976: 158-160).

Pada

kurun pemerintahan Trenggono, perluasan pengaruh Islam mengalami

kemajuan

yang pesat di Jawa. Tahun 1527, dikuasainya wilayah Jawa Barat.

Kemudian

pada tahun 1546 diadakan penyerangan ke Pasuruan, Panarukan, dan

Supit

Urang, sebagai daerah-daerah penting Kerajaan Blambangan. Dalam

usaha

memperluas pengaruh Islam di Jawa Timur ini, Banten mengirimkan

7.000

prajurit pilihan yang langsung dipimpin oleh Fatahillah untuk

membantu

pasukan Demak. Walaupun ketiga daerah tersebut dapat dikuasainya,

tapi

Trenggono sendiri gugur dalam satu pertempuran.

Tahta

Demak kemudian dipegang oleh Sunan Prawoto, anak tertua

Trenggono. Tapi

baru satu tahun ia memerintah Demak, Sunan Prawoto dibunuh oleh

misannya

Arya Penansang, putra Pangeran Sekar Seda Lepen, sebagai tindakan

balas

dendam. Anak Sunan Prawoto, yaitu Pangeran Pangiri, juga akan

dibunuhnya

pula, namun tidak berhasil, karena Pangeran Pangiri lebih dahulu

meloloskan

diri dan berlindung kepada Pangeran Hadiri, Adipati Kalinyamat.

Akhirnya,

Pangeran Hadiri pun dibunuh oleh suruhan Arya Penansang (Berg,

1952: 390)Krisis

kepemimpinan di pusat kerajaan Demak ini berlangsung cukup lama,

yaitu

sekitar 21 tahun (1547 - 1568). Kefakuman kepemimpinan Demak ini

baru

berakhir setelah Jaka Tingkir, menantu Trenggono, dapat membunuh

Arya

Penansang dalam suatu pertempuran sengit. Jaka Tingkir dinobatkan

menjadi

penguasa di Demak dengan gelar Sultan Adiwijoyo dan pusat

pemerintahan

dipindahkan ke Pajang; sedangkan Demak dijadikan kadipaten dengan

Arya

Pangiri sebagai bupatinya. Sultan Adiwijoyo memerintah selama 16

tahun

(1568 - 1586), yang kemudian tewas dalam pertempuran melawan

pasukan

Mataram yang dipimpin oleh Sutowijoyo.

Kemelut

berkepanjangan yang melanda pemerintahan ini menyebabkan

kerajaan Demak

menjadi lemah dalam segala bidang kehidupan. Keadaan ini

mengakibatkan

Demak kehilangan kewibawaannya di mata dunia internasional,

sedang dalam

waktu yang bersamaan, Banten, mengalami kemajuan dalam segala

segi. Situasidemikianlah yang mendorong Hasanuddin mengambil keputusan

untuk melepaskan

Banten dari pengawasan Demak. Banten menjadi kerajaan yang berdiri

sendiri,

dengan Maulana Hasanuddin sebagai raja pertamanya. Sedang wilayah

kekuasaannya pada waktu itu meliputi Banten, Jayakarta sampai

Kerawang,

Lampung, Indrapura sampai Solebar (Djajadiningrat, 1983: 38).

Tindakan

Hasanuddin melepaskan diri dari pengawasan Demak ini dianggap

sangat

penting, karena di samping untuk kemajuan pengembangan daerah

Banten, juga,

berarti Hasanuddin tidak mau ikut terlibat dalam keributan di

pemerintahan

Demak, yang masih terhitung famili dekat. Dengan

ketidakterikatannya dengan

Demak, maka dalam masa pemerintahan Maulana Hasanuddin selama

18 tahun

(1552 - 1570), banyak kemajuan yang diperoleh Banten dalam segala

bidang

kehidupan (Djajadiningrat, 1983:181).

Dalam

kehidupan pribadi Maulana Hasanuddin, dari pernikahannya pada

tahun 1526

dengan putri Raja Demak, Trenggono, yang bernama Pangeran Ratu

(Ratu Ayu

Ratu Ayu

Kirana), dikarunia anak : Ratu Pembayun, Pangeran Yusuf, Pangeran

Arya,

Pangeran Sunyararas, Pangeran Pajajaran, Pangeran Pringgalaya, Ratu

Agung

atau Ratu Kumadaragi, Pangeran Molana Magrib dan Ratu Ayu

Arsanengah.

Sedang anak dari istri yang lainnya: Pangeran Wahas, Pangeran Lor,

Ratu

Rara, Ratu Keben, Ratu Terpenter, Ratu Wetan dan Ratu Biru. Ratu

Pembayun

kemudian menikah dengan Ratu Bagus Angke putra Ki Mas Wisesa

Adimarta yang

selanjutnya mereka tinggal di Angke daerah Jayakarta (Djajadiningrat,

1983:128).

Maulana

Hasanuddin wafat pada tahun 1570 dan dikuburkan di samping Masjid

Agung.

Setelah kematiannya Maulana Hasanuddin dikenal dengan sebutan

Sedakinking kemudian sebagai gantinya dinobatkanlah Pangeran

Yusuf menjadi Raja Banten

ke-2.

B. MAULANA YUSUF

(1570 - 1580)

pemerintahan Maulana Hasanuddin, pembangunan negara lebih

dipusatkan pada

bidang keamanan kota, perluasan wilayah perdagangan, di samping

penyebaran dan

pemantapan kepercayaan rakyat kepada ajaran Islam; sedangkan pada

masa

Maulana Yusuf strategi pembangunan lebih dititikberatkan pada

pengembangan

kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian. Tahun 1579,

pasukan

Banten dapat merebut Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran

(Djajadiningrat,

1983:153). Ponggawa-ponggawa yang ditaklukkan lalu di-islamkan

dan

masing-masing dibiarkan memegang jabatannya semula

(Djajadiningrat, 1983:

37). Dengan demikian, gangguan keamanan yang dikhawatirkan

datang dari Pajajaran sudah berkurang. Maulana Yusuf dapat lebih

memusatkan perhatiannya pada

pembangunan sektor ekonomi dan pertanian.

Pada

masa pemerintahan Maulana Yusuf, perdagangan sudah demikian

maju sehingga

Banten merupakan tempat penimbunan barang-barang dari segala

penjuru dunia

yang nantinya disebarkan ke seluruh kerajaan di Nusantara (Sutjipto,

1961:13). Situasi perdagangan di Karangantu, sebagai pelabuhanBanten,

digambarkan sebagai berikut : Pedagang-pedagang dari Cina

membawa uang

kepeng yaitu uang yang terbuat dari timah, porselen, sutra, beludru,

benang

emas, kain sulaman, jarum, sisir, payung, selop, kipas, kertas, dan

sebagainya. Pulangnya mereka membawa lada, nila, kayu cendana,

cengkeh,

buah pala, kulit penyu dan gading gajah. Orang Arab dan

w:st="on">Persia

> membawa permata dan obat-obatan. Orang Gujarat menjual kain

dari kapas dan sutra, kain putih dari Coromandel. Pulangnya

mereka membeli rempah-rempah. Sedangkan orang Portugis

mambawa kain-kain

dari Eropa dan India.

Barang-barang

dari luar negeri ini diambil oleh pedagang-pedagang dari Jawa,

Makasar,

Sumbawa, Palembang dan lainnya. Ke Banten pedagang-pedagang ini

membawa garam dari Jawa Timur,

gula dari Jepara dan Jayakarta, beras dari Makasar dan Sumbawa, ikan

kering

dari Karawang, Banjarmasin dan Palembang. Minyak kelapa dari

Belambangan,

rempah-rempah dari Maluku, lada dari Lampung dan Solebar, kayu

cendana dari

kepulauan Sunda kecil, gading gajah dari Andalas, tenunan dari Bali

dan

Sumbawa, timah putih dan timah hitam dari Perak, Kedah dan Ujung

Selong di

Malaka, besi dari Karimata, damar dari Banda dan Banjarmasin

(Sanusi Pane,

1950:182).

1. Pengembangan

Kota Banten

Dengan

majunya perdagangan maritim di Banten, maka kota Surosowan, sejak

pindahnya kota ini dari Wahanten

Girang tanggal 8 Oktober 1526 M dikembangkan menjadi kota

> pelabuhan terbesar di Jawa (Michrob,

dkk., 1990). Babad Banten pupuh XXII menyatakan: Gawe Kuta

baluwarti

bata kalawan kawis yang artinya: membangun kota

> dan perbentengan dari bata dan

karang. Dari awal dinasti Maulana Yusuf inilah Banten menjadi ramai

baik oleh penduduk pribumi maupun pendatang. Oleh karenanya

dibuatlah

aturan penempatan penduduk sesuai dengan keahlian dan asal daerah

penduduk

itu (Ambary, 1977:448). Sehingga tumbuhlah perkampungan untuk


orang India,

perkampungan orang Pegu, orang Arab, Turki, Persia, Siam, Cina dan

sebagainya. Di samping ada pula perkampungan untuk orang Melayu,

Ternate,

Banjar, Bugis, Makasar, Bali (Tjandrasasmita, 1975:160).

Perkampungan

untuk orang asing biasanya ditempatkan di luar tembok kota

>. Seperti Kampung Pekojan yang

terletak di sebelah barat pasar Karangantu diperuntukkan bagi

pedagang-pedagang muslim yang berasal dari Arab, Gujarat,

Mesir dan Turki. Kampung Pecinan terletak di sebelah barat Masjid

Agung di

luar batas kota,

diperuntukkan bagi pendatang dari Cina. Kampung Panjunan tempat

pemukiman

tukang anjun (gerabah, periuk, belanga, dan sebagainya). Kampung

Kepandean

tempat pandai besi, Pangukiran tempat tukang ukir, Pagongan tempat

pembuat

gong dan gemelan, Sukadiri tempat pengecoran logam, dan pembuatan

senjata

perang (Tjandrasasmita, 1975:162). Demikian juga untuk golongan

birokrasi

tertentu, seperti : Kademangan tempat demang, Kesatrian, tempat para

senopati, perwira dan para prajurit istana, Kefakihan tempat ulama-senopati, perwira dan para prajurit istana, Kefakihan tempat ulama￾ulama

hukum Islam, dan sebagainya (Michrob, 1981:74).

Pengelompokan

pemukiman ini bukan saja dimaksudkan untuk kerapihan dan

keserasian

w:st="on">kota

> tetapi yang

lebih penting adalah untuk keamanan. Setiap kampung secara

bersama-sama

dapat segera mencegah pencurian, perampokan dan kebakaran yang

sering

terjadi (Chijs, 1881:66). Yang akhirnya, ini pun dapat merupakan

upaya

penyebaran dan perluasan kota (Michrob, 1981:31).

Tembok

keliling kota diperkuat dan dipertebal, demikian juga tembok benteng

di sekeliling

istana. Tembok benteng diperkuat dengan lapisan luar yang terbuat

dari bata

dan batu karang dengan parit-parit di sekelilingnya (Djajadiningrat,

1983:144, Michrob, 1983:31). Perbaikan Masjid Agung pun

dikerjakannya, dan

sebagai kelengkapan dibuatlah menara dengan bantuan Cek Ban Cut

arsitek

muslim asal Mongolia (Ismail, 1983).Di

samping mengembangkan pertanian yang sudah ada, Maulana Yusuf

pun mendorong

rakyatnya untuk membuka daerah-daerah baru bagi persawahan,

sehingga sawah

di Banten bertambah luas sampai melewati daerah Serang sekarang.

Sedangkan

untuk memenuhi kebutuhan air bagi sawah-sawah tersebut, dibuatlah

terusan-terusan irigasi dan bendungan-bendungan (Djajadiningrat,

1983:38

dan 59).

Bagi

persawahan yang terletak di sekitar kota, dibangun satu danau buatan

yang dinamakan Tasikardi. Air dari sungai

Cibanten dialirkan melalui terusan khusus ke danau ini, yang

kemudian

dibagi ke daerah-daerah di sekitar danau. Tasikardi juga digunakan

bagi

pemenuhan kebutuhan air bersih bagi kebutuhan masyarakat di

w:st="on">kota

>. Dengan melalui

pipa-pipa yang terbuat dari terakota, setelah dibersihkan/ diendapkan

di pengindelan abang dan pengindelan putih, air yang sudah jernih

tersebut

dialirkan ke keraton dan tempat-tempat lain di dalam kota

>. Di tengah danau buatan tersebut>. Di tengah danau buatan tersebut

terdapat pulau kecil yang digunakan untuk tempat rekreasi keluarga

keraton.

Dari

permaisuri Ratu Hadijah, Maulana Yusuf mempunyai

dua anak

yaitu Ratu Winaon dan Pangeran Muhammad, sedangkan dari istri￾istri lainnya

baginda dikaruniai anak antara lain: Pangeran Upapati, Pangeran

Dikara,

Pangeran Mandalika atau Pangeran Padalina, Pangeran Aria

Ranamanggala,

Pangeran Mandura, Pangeran Seminingrat, Pangeran Dikara (lagi),

Ratu Demang

atau Ratu Demak, Ratu Pacatanda atau Ratu Mancatanda, Ratu

Rangga, Ratu

Manis, Ratu Wiyos dan Ratu Balimbing (Djajadiningrat, 1983:39).

Pada

tahun 1580, Maulana Yusuf mangkat dalam usia 80 tahun dan

dimakamkan di

Pakalangan Gede dekat Kampung Kesunyatan sekarang, karenanya

setelah

meninggal Maulana Yusuf diberi gelar Pangeran Penembahan

Pekalangan Gede atau Pangeran Pasarean. Sebagai penggantinya,

diangkatlah Pengeran

Muhammad, anak Maulana Yusuf yang pada waktu itu baru berusia 9

tahunDjajadiningrat, 1983-163).

2. Peristiwa

menjelang wafatnya Maulana Yusuf

Ketika

Maulana Yusuf sakit keras, datanglah Pangeran Aria Jepara dengan

membawa

pasukan besar ke Banten dengan maksud untuk menjeguk. Pangeran

Aria Jepara

dengan pasukannya yang dipimpin oleh Ki Demang Laksamana,

kemudian

ditempatkan di Pagebangan di luar tembok batas

w:st="on">kota

>. Pangeran Jepara adalah adik dari

Maulana Yusuf yang pendidikannya diserahkan kepada bibinya Ratu

Kalinyamat

di Jepara. Mendengar wafatnya Maulana Yusuf yang kemudian

digantikan

Pangeran Muhammad yang masih kecil itu, timbullah niat Pangeran

Aria untuk

menjadi pengganti Raja Banten. Kein