Dewan Jenderal yang hendak menggulingkan Bung Karno.
Dalam Buku Putih G-30-S/PKI yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994, disebutkan
bahwa Aidit kemudian menyatakan, gerakan merebut kekuasaan harus dimulai jika tak
ingin didahului Dewan Jenderal. Gerakan itu dipimpinnya sendiri. Ada pun Sjam ditunjuk
sebagai pemimpin pelaksana gerakan.
Saat diadili Mahkamah militer, Sjam mengaku dipanggil Aidit pada 12 Agustus 1965. Dalam
pertemuan itu, ia diberi tahu bahwa Presiden sakit dan adanya kemungkinan Dewan
Jenderal mengambil tindakan bila Bung Karno mangkat. Menurut Sjam, Aidit
memerintahkan dia meninjau ”kekuatan kita”.
Sejak 6 September 1965, Sjam lantas menggelar rapat-rapat di rumahnya dan di rumah
Kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya). Di rapat ini hadir Letnan
Kolonel Untung (Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa) dan
Mayor Udara Sudjono (Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan Halim Perdanakusumah).
Rapat terakhir, 29 September 1965, menyepakati gerakan dimulai 30 September 1965
dengan Untung sebagai pemimpinnya.
35
Dalam wawancara dengan majalah D&R, 5 April 1999, A. Latief menyatakan, Gerakan 30
September dirancang untuk menggagalkan upaya kup Dewan Jenderal. ”Kami dengar ada
pasukan di luar Jakarta yang didatangkan dalam rangka defile Hari Angkatan Bersenjata
dengan senjata lengkap. Ini apa? Mau defile saja, kok, membawa peralatan berat,” kata
Latief. Karena merasa bakal terjadi sesuatu, para perwira tersebut, yang mengaku terlibat
karena loyal pada Soekarno, memilih menjemput ”anggota” Dewan Jenderal untuk
dihadapkan ke Soekarno.
Menurut Latief gerakan itu diselewengkan oleh Sjam. ”Rencananya akan dihadapkan
hidup-hidup untuk men-clear-kan masalah, apakah memang benar ada Dewan Jenderal,”
katanya. Tapi, malam hari, saat pasukan Cakrabirawa pimpinan Letnan Dul Arief, anak
buah Untung, akan berangkat menuju rumah para jenderal, tiba-tiba, ujar Latief, Sjam
datang. ”Bagaimana kalau para jenderal ini membangkang, menolak diajak menghadap
Presiden,” kata Dul Arief. Sjam menjawab, para jenderal ditangkap. Hidup atau mati.
Keesokan harinya, Dul Arief melaporkan kepada Latief dan Jenderal Soepardjo bahwa
semua telah selesai. ”Mula-mula mereka saya salami semua, tapi kemudian Dul Arief
bilang semua jenderal mati. Saya betul-betul kaget, tidak begitu rencananya,” kata Latief
yang mengaku tidak kenal dengan Aidit.
Aidit sendiri belum pernah memberi pernyataan tentang hal ini. Ia ditangkap di Desa
Sambeng, dekat Solo, Jawa Tengah, pada 22 November 1965 malam, dan esok paginya
ditembak mati. Sebelum ditangkap pasukan pimpinan Kolonel Yasir Hadibroto, Aidit
dikabarkan sempat membuat pengakuan sebanyak 50 lembar. Pengakuan itu jatuh ke
Risuke Hayashi, koresponden koran berbahasa Inggris yang terbit di Tokyo, Asahi Evening
News.
Menurut Asahi, Aidit mengaku sebagai penanggung jawab tertinggi peristiwa ”30
September”. Rencana pemberontakan itu sudah mendapat sokongan pejabat PKI lainnya
serta pengurus organisasi rakyat di bawah PKI. Alasan pemberontakan, mereka tak puas
dengan sistem yang ada. Rencana kup semula disepakati 1 Mei 1965, tetapi Lukman, Njoto,
Sakirman dan Nyono—semuanya anggota Committee Central—menentang. Alasannya,
36
persiapan belum selesai. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan Letkol Untung dan sejumlah
pengurus lain pada Juni 1965, disepakati mulai Juli 1965 pasukan Pemuda Rakyat dan
Gerwani dikumpulkan di Pangkalan Halim Perdanakusumah.
Pertengahan Agustus, sekembalinya dari perjalanan ke Aljazair dan Peking, Aidit kembali
melakukan pertemuan rahasia dengan Lukman, Njoto, Brigjen Soepardjo, dan Letkol
Untung. PKI mendapat info bahwa tentara, atas perintah Menteri Panglima Angkatan
Darat Jenderal Achmad Yani, akan memeriksa PKI karena dicurigai mempunyai senjata
secara tidak sah. ”Kami terpaksa mempercepat pelaksanaan coup d’etat,” kata Aidit.
Akhirnya, dipilih tanggal 30 September.
Dalam buku Bayang-bayang PKI yang disusun tim Institut Studi Arus Informasi (1999),
diduga Aidit tahu adanya peristiwa G-30-S karena ia membentuk dua organisasi: PKI legal
dan PKI Ilegal. Biro Chusus adalah badan PKI tidak resmi. Sjam bertugas mendekati tentara
dan melaporkan hasilnya, khusus hanya kepada Aidit. Hanya, ternyata, tak semua ”hasil”
itu dilaporkan Sjam.
Tentang besarnya peran Aidit dalam peristiwa 30 September ditampik Soebandrio.
Menurut bekas Wakil Perdana Menteri era Soekarno ini, G-30-S didalangi tentara dan PKI
terseret lewat tangan Sjam. Alasan Soebandrio, sejak isu sakitnya Bung Karno merebak,
Aidit termasuk yang tahu kabar tentang kesehatan Bung Karno itu bohong. Waktu itu,
kata Soebandrio, Aidit membawa seorang dokter Cina yang tinggal di Kebayoran Baru.
Soebandrio dan Leimena, yang juga dokter, ikut memeriksa Soekarno. Kesimpulan mereka
sama: Bung Karno cuma masuk angin.
Soebandrio dalam memoarnya, Kesaksianku Tentang G-30-S, menyesalkan pengadilan
yang tidak mengecek ulang kesaksian Sjam. Menurut Soebandrio, ada lima orang yang bisa
ditanya: Bung Karno, Aidit, dokter Cina yang ia lupa namanya tersebut, Leimena, dan
dirinya sendiri. Menurut Soebandrio, pada Agustus 1965 kelompok ”bayangan Soeharto”
(Ali Moertopo cs) sudah ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan
provokasi-provokasi untuk mendorong PKI mendahului memukul Angkatan Darat.
37
Njoto membantah pernyataan Aidit. Menurut Njoto, ”Hubungan PKI dengan Gerakan
30 September dan pembunuhan Jenderal Angkatan Darat tidak ada. Saya tidak tahu apa
pun, sampai-sampai sesudah terjadinya,” katanya dalam wawancara dengan Asahi Evening
News. Keterangan Njoto sama dengan komentar Oei Hai Djoen, mantan anggota Comite
Central. ”Kami semua tidak tahu apa yang terjadi,” kata dia.
Presiden Soekarno sendiri menyatakan Gestok (Gerakan Satu Oktober)—demikian istilah
Bung Karno—terjadi karena keblingernya pemimpin PKI, lihainya kekuatan Barat atau
kekuatan Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme), serta adanya ”oknum yang
tidak benar”.
Misteri memang masih melingkupi peristiwa ini. ”Menurut kami, PKI memang terlibat,
tapi terlibat seperti apa?” kata Murad. Setelah puluhan tahun tragedi itu berlalu, pertanyaan
itu belum menemukan jawabannya. Setidaknya bagi Murad dan anggota keluarga Aidit
yang lain.
38
*** Dan Soeharto pun Tersenyum ***
Ada di mana kamu saat pemberontakan PKI Madiun,” tanya Mayor Jenderal Soeharto,
Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat.
”Saya waktu itu baru saja dihijrahkan dari Jawa Barat,” jawab Kolonel Yasir Hadibroto,
Komandan Brigade IV Infanteri. ”Kompi saya lalu mendapat tugas menghadapi tiga
batalyon komunis di daerah Wonosobo, Pak.”
”Nah, yang memberontak sekarang ini adalah anak-anak PKI Madiun dulu. Sekarang
bereskan itu semua! D.N. Aidit ada di Jawa Tengah. Bawa pasukanmu ke sana,” ujar
Soeharto memberi perintah.
Percakapan di Markas Komando Strategis Angkatan Darat, Jakarta, itu dituturkan ulang
oleh Yasir dalam Kompas edisi 5 Oktober 1980. Saat itu dia bersama pasukannya baru saja
tiba di Tanjung Priok. Brigif IV sebenarnya tengah melakukan operasi di Kisaran, Sumatera
Utara. Karena mendengar peristiwa G-30-S, mereka kembali.
Di hari pertemuan itu, 2 Oktober 1965, tentara telah mulai mengejar orang-orang Partai
Komunis Indonesia yang dituduh terlibat G-30-S. Tapi Dipa Nusantara Aidit, Ketua
Central Committee PKI, menghilang.
Yasir pun memboyong pasukannya ke Solo. Di sana dia bertemu Sri Harto, orang
kepercayaan pimpinan PKI sedang meringkuk di salah satu rumah tahanan. Orang itu dia
lepaskan. Hanya dalam beberapa hari Sri Harto melapor: Aidit berada di Kleco dan akan
segera pindah ke sebuah rumah di Desa Sambeng, belakang Stasiun Balapan, pada 22
November.
Rencana pun disusun. Dan benar, sekitar pukul sebelas siang, Aidit muncul di rumah itu,
menumpang vespa Sri Harto. Sekitar pukul sembilan malam, Letnan Ning Prayitno
memimpin pasukan Brifif IV menggerebek rumah milik bekas pegawai PJKA itu. Yasir
mengawasinya dari jauh.
39
Alwi Shahab, wartawan gaek yang kala itu sedang meliput di Solo, menulis di harian
Republika, waktu digerebek Aidit bersembunyi di dalam lemari. Prayitno sendiri yang
menemukannya.
”Mau apa kamu?” Aidit membentak anak buah Yasir itu saat keluar dari lemari. Prayitno
keder pada mulanya, tapi segera menguasai keadaan. Setengah membujuk dia membawa
Aidit ke markas mereka di Loji Gandrung.
Malam itu juga Yasir menginterogasi Aidit. Kabarnya, sang Ketua membuat pengakuan
tertulis setebal 50 halaman. Isinya, antara lain, hanya dia yang bertanggung jawab atas
peristiwa G-30-S. Sayang, menurut Yasir, Pangdam Diponegoro kemudian membakar
dokumen itu. Entah bagaimana, koresponden Asahi Evening News di Jakarta, Risuke
Hayasi, berhasil mendapatkan bocoran pengakuan Aidit untuk korannya.
Menjelang dini hari Yasir kebingungan, selanjutnya harus bagaimana. Aidit berkali-kali
minta bertemu dengan Presiden Soekarno. Yasir tak mau. ”Jika diserahkan kepada Bung
Karno, pasti akan memutarbalikkan fakta sehingga persoalannya akan jadi lain,” kata Yasir
seperti dikutip Abdul Gafur dalam bukunya, Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia.
Akhirnya, pada pagi buta keesokan harinya, Yasir membawa Aidit meninggalkan Solo
menuju ke arah Barat. Mereka menggunakan tiga buah jip. Aidit yang diborgol berada di
jip terakhir bersama Yasir. Saat terang tanah iring-iringan itu tiba di Boyolali.
Tanpa sepengetahuan dua jip pertama, Yasir membelok masuk ke Markas Batalyon 444.
Tekadnya bulat. ”Ada sumur?” tanyanya kepada Mayor Trisno, komandan batalyon. Trisno
menunjuk sebuah sumur tua di belakang rumahnya.
Ke sana Yasir membawa tahanannya. Di tepi sumur, dia mempersilakan Aidit
mengucapkan pesan terakhir, tapi Aidit malah berapi-api pidato. Ini membuat Yasir dan
anak buah marah. Maka: dor! Dengan dada berlubang tubuh gempal Menteri Koordinasi
sekaligus Wakil Ketua MPRS itu terjungkal masuk sumur.
l l l
40
24 November 1965, pukul 3 sore. Yasir bertemu Soeharto di Gedung Agung, Yogyakarta.
Setelah melaporkan pekerjaannya, termasuk keputusannya membunuh Aidit, sang kolonel
memberanikan diri bertanya: ”Apakah yang Bapak maksudkan dengan bereskan itu seperti
sekarang ini, Pak?” Soeharto tersenyum.
41
*** Kuburan Aidit : Rahasia Sumur Mati ***
Aidit konon dikuburkan di Boyolali, Jawa Tengah. Anaknya pernah berziarah ke sana.
Hamparan tanah berkerikil itu ditumbuhi labu siam dan ubi jalar. Pohon mangga dan
jambu biji menaunginya di kanan-kiri. Hanya itu. Tak ada satu pun penanda yang
menunjukkan bekas sumur di pekarangan belakang gedung tua itu. Dulu, bangunan ini
adalah bagian dari kompleks markas Batalion 444 TNI Angkatan Darat di Boyolali—
sebuah kota kabupaten sekitar 25 kilometer di sebelah barat Solo, Jawa Tengah.
Meski tak berbekas, banyak orang meyakini, di sepetak halaman itu pernah ada sebuah
sumur tua tempat jenazah Dipa Nusantara Aidit, Ketua Umum Comite Central PKI,
dikuburkan pada 23 November 1965. Salah satunya Mustasyar Nahdlatul Ulama Boyolali,
Tamam Saemuri, 71 tahun.
Pada suatu malam di tahun berdarah 1965, dia bertemu Kolonel Yasir Hadibroto dalam
sebuah rapat organisasi massa di pendapa kabupaten. Saat itu Tamam muda adalah aktivis
Gerakan Pemuda Ansor, organisasi yang banyak terlibat dalam ”operasi pembersihan”.
Kepada Tempo dua pekan lalu, dia bercerita bahwa dalam pertemuan itu Yasir
mengumumkan pasukannya telah menembak mati Aidit beberapa hari sebelumnya.
”Eksekusi-nya subuh-subuh,” Tamam menirukan Yasir. Se-akan meneguhkan ucapan
kepada lawan bicaranya, Yasir menunjukkan jam tangan yang dia kenakan. ”Ini arloji
Aidit,” katanya. Sewaktu didesak menceritakan bagaimana pucuk pimpinan PKI itu tewas,
Yasir berujar, ”Dia diberondong senapan AK sampai habis 1 magasin.”
Sejumlah sumber lain membenarkan cerita Tamam. Setelah puluhan tahun, cerita itu
sampai juga ke telinga putra Aidit, Ilham. Empat tahun lalu dia memutuskan datang
sendiri ke tempat yang diduga sebagai pusara ayahnya. ”Sejak lulus kuliah sampai 1998, saya
selalu mencari kuburan ayah dengan sembunyi-sembunyi,” katanya tatkala dihubungi
pekan lalu. Saat itu dia hanya berbekal sepotong informasi dari koran bahwa Aidit tewas
ditembak di Boyolali. Berbilang kawan dekat ayahnya dia tanyai, tapi tak ada satu pun yang
tahu nasib Aidit selepas meninggalkan Ibu Kota.
42
Menemukan makam Aidit bukan perkara mudah, bahkan bagi anaknya. Ada upaya
sistematis untuk membuat peristirahatan terakhir Aidit dilupakan orang. Sumur tua itu,
misalnya, sampai dua kali diuruk batu setelah November 1965. Kompleks gedung markas
Batalion 444 juga dibongkar dan kini hanya menyisakan sebuah gedung tua. Gedung itu
sekarang digunakan sebagai mes pegawai Komando Distrik Militer (Kodim) Boyolali.
Batalion 444 dikenal sebagai kesatuan tentara pro-komunis. Salah satu komandan
kompinya adalah Letnan Kolonel Untung Syamsuri, yang kemudian memimpin operasi
penculikan sejumlah jenderal pada malam 30 September. Tahun-tahun menjelang 1965,
Boyolali juga dikenal sebagai basis PKI Jawa Tengah. Dalam pemilu 1955 dan pemilihan
kepala daerah dua tahun sesudahnya, PKI meraih kemenangan besar di sana.
Pencarian Ilham baru berbuah ketika sebuah lembaga swadaya masyarakat lokal di Boyolali
menghubunginya dan menceritakan temuan mereka. “Mereka mengetahui lokasi ini dari
sumber-sumber kredibel yang terlibat langsung dalam pembunuhan anggota PKI saat itu,”
kata Ilham.
Tempo mendatangi lokasi itu dua pekan lalu. Dan seorang penghuni di mes Kodim
membenarkan pekarangan belakang gedung itu disebut-sebut sebagai lokasi kuburan
Aidit.
Dia menambahkan, telah lama warga setempat berusaha menghindari bekas sumur tua itu.
”Pernah ada orang yang mau membuat bak sampah tepat di atasnya, tapi cangkulnya
membentur batu keras,” katanya. Saat bergeser beberapa meter ke samping, justru muncul
pecahan tulang tempurung tengkorak. Lubang itu buru-buru ditutup lagi. Si penghuni ini
menolak disebut namanya karena khawatir keselamatannya terancam.
Tak sampai 100 meter dari sana, ada sebuah lokasi lain yang juga disebut-sebut
berhubungan dengan Aidit. Di sanalah, konon, Wakil Ketua Majelis MPR Sementara itu
ditembak mati. Pekarangan tersebut bagian dari satu rumah berarsitektur tua yang
sekarang menjadi gedung Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah.
43
”Jadi, setelah ditembak di sana, baru jenazahnya dimasukkan ke sumur di sebelahnya,” kata
Ilham kepada Tempo. Pada 1965, rumah itu digunakan sebagai Sekolah Pendidikan Guru.
Lokasinya tak jauh dari Pasar Boyolali, yang berhadap-hadapan dengan markas polisi
militer Kodim Boyolali dan gedung yang dulu digunakan sebagai Sekretariat PKI.
Mbah Jungkung, seorang pensiunan pegawai negeri setempat yang banyak mengetahui
ihwal kejadian pada masa itu, membenarkan kisah Ilham. Bahkan, menurut dia, gedung
sekolah itu dahulu dijadikan semacam kamp tahanan. Para anggota dan simpatisan PKI
dikumpulkan di situ sebelum dieksekusi.
l l l
Ketika akhirnya berdiri di samping pusara ayahnya pada 2003 lalu, Ilham mengaku tak
kuasa menahan getaran hatinya. ”Naluri saya mengatakan memang di sinilah tempatnya,”
katanya dengan suara tercekat. Putra Aidit itu juga mengaku memendam keinginan untuk
memindahkan jenazah ayahnya ke tempat yang layak. ”Tapi mungkin belum bisa
sekarang,” katanya pelan. ”Kami harus bersabar.”
44
Keluarga Besar Aidit ; Sesudah Malam Horor itu
Dari sebuah keluarga yang sentosa, keluarga D.N. Aidit luluh-lantak setelah horor 30
September 1965. Anak dan istri pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) itu cerai-berai.
Ada yang masuk penjara, ada yang dibuang ke Pulau Buru. Dua anak gadisnya menjadi
eksil dan berpindah dari satu negara ke negara lain.
Abdullah Aidit (Ayah D.N. Aidit); Jenazahnya Membusuk Tiga Hari
Malam 30 September 1965, Abdullah menginap di rumah D.N. Aidit di Jalan Pegangsaan
Barat 4, Jakarta Pusat. Dia melihat anak sulungnya, D.N. Aidit, dibawa pergi tiga orang
tentara bersama pengawal pribadi bernama Kusno.
Pada 1965 itu, Abdullah sudah pindah dari Belitung ke Jakarta karena menjadi Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Banyak orang mengira dia wakil dari Masyumi
karena saat itu ada dua anggota Dewan dengan nama yang mirip. Yang satu dari Masyumi
bernama Aidid, yang lain Abdullah Aidit yang ke Senayan karena kiprahnya dalam
organisasi Nurul Islam.
D.N. Aidit tak kunjung pulang, demikian pula dengan Soetanti, istrinya, yang pergi tanpa
pamit. Abdullah lalu mengasuh tiga cucunya: Iwan, Irfan, dan Ilham. Beruntung, di rumah
itu masih ada dua pembantu dan keluarga dari Belitung.
Si kakek melihat massa yang beringas datang ke rumah. ”Mereka berteriak-teriak dan
melempar rumah kami,” kata Ilham Aidit kepada Tempo. Kejadian itu berlangsung pada
hari ditemukannya jenazah lima jenderal di Lubang Buaya. Abdullah kerap membesarkan
hati cucu-cucunya, ”Sebentar lagi ayah dan ibu kalian datang menjemput.” Tiga anak laki
Aidit itu kemudian diangkut seorang paman ke Kebayoran, Jakarta Selatan.
Menurut Murad Aidit, putra bungsu Abdullah Aidit, ayahnya kemudian terbang ke
Belitung atas bantuan Wakil Perdana Menteri Chaerul Saleh. Tiga tahun menetap di
Belitung, Abdullah jatuh sakit. Dia akhirnya meninggal ketika rumah itu kosong karena
Marisah, istri kedua Abdullah, tengah menginap di rumah saudaranya. Tetangga sekitar
jarang ke rumah itu, takut terkena getah G30S. Karena tak ada yang mengurus, jenazah
Abdullah membusuk tiga hari.
45
Basri Aidit (Adik D.N. Aidit); Jadi Tukang Kebun di Bogor
Nasib Basri memang paling apes. Peristiwa 30 September 1965 meletus cuma beberapa hari
setelah dia pindah kerja di kantor Comite Central PKI di Kramat, Jakarta Pusat.
Sebelumnya dia adalah pegawai rendahan di kantor Dinas Pekerjaan Umum Tanah Abang.
Bekerja di kantor PKI, Basri gampang dikenali. Sehari setelah pembunuhan para jenderal, ia
dibekuk bersama sejumlah orang PKI lainnya. Ia ditahan di penjara Kramat, kemudian pada
1969 dibuang ke Pulau Buru.
Selama sang ayah di pembuangan, anak-istrinya menjual habis barang di rumah untuk
bertahan hidup. Setelah semuanya ludes, hidup keluarga ini amat bergantung pada
bantuan saudara, kenalan, dan teman.
Basri keluar dari Buru pada 1980. Atas bantuan keluarganya di Belitung, dia bisa membeli
sebuah rumah di Bogor, Jawa Barat. Di sana dia berkebun sambil mengajar bahasa Inggris
untuk anak-anak tetangga. Ketika meninggal dunia, dia cuma mewariskan uang Rp 2,5
juta kepada anak cucunya.
Murad Aidit (Adik D.N. Aidit); Diisolasi di Unit 15
Seperti saudara-saudaranya yang lain, Murad datang ke Jakarta setelah tamat sekolah
menengah zaman Belanda. Karena ikut D.N. Aidit sejak remaja, Murad banyak mengenal
teman Aidit yang aktif di Menteng 31, asrama mahasiswa zaman itu.
Lulusan fakultas ekonomi dari Universitas Lumumba Moskow ini berkawan dengan
banyak sastrawan. Penyair Chairil Anwar adalah sohib kentalnya. Akibat kurang gizi dan
makan tak teratur selama ikut Tentara Pelajar, dia sempat menderita TBC dan diopname
enam tahun.
Pada saat peristiwa 30 September 1965, Murad menginap di rumah D.N. Aidit. Sebelum
pergi dengan tiga orang tentara yang menjemputnya, Aidit cuma memberikan pesan
singkat kepada Murad, ”Matikan lampu depan.”
46
Esok harinya, ketika kembali ke rumahnya di Depok, Murad baru tahu bahwa sejumlah
jenderal dibunuh dan PKI dituduh terlibat. Tapi dia tidak berusaha sembunyi.
Di tengah kegentingan situasi Jakarta saat itu, dia sempat datang ke kantor PKI. Markas
yang biasanya meriah itu sunyi senyap. Murad ditangkap beberapa hari kemudian.
Sebagaimana anggota PKI lainnya, Murad dipenjara berpindah-pindah. Semula ditahan di
Bogor, setelah itu di Bandung, lalu ke rumah tahanan khusus di Salemba, Jakarta. Pada
1971 Murad dibuang ke Pulau Buru.
Di pembuangan itu dia diisolasi di Unit 15. Ini unit khusus untuk menahan petinggi PKI
dan mahasiswa yang pernah dikirim Soekarno belajar ke luar negeri. Murad bebas pada
1979. Istrinya, Noer Cahya, meninggal tak lama setelah bebas dari penjara wanita
Pelantungan, Kendal, Jawa Tengah. Murad kemudian menikah lagi dengan Lilik Hartini.
Kini keduanya tinggal di Depok dan hidup dari pekerjaan menerjemahkan buku.
Sobron Aidit (adik tiri Aidit); Hingga Wafat di Paris
Sejak remaja Sobron suka sastra. Kegemaran itu kian menyala setelah dia datang ke Jakarta
pada 1948 dan bertemu dengan Chairil Anwar. Kebetulan Chairil adalah teman Murad dan
kerap bermalam di kos Murad di Gondangdia, Jakarta Pusat.
Dari Chairil, juga sastrawan lain seperti Rivai Apin, Asrul Sani, dan H.B. Jassin, Sobron
menimba banyak ilmu. Dibantu Chairil, puisi Sobron ketika itu muncul di Mimbar
Indonesia. Saat itu usia Sobron baru 13 tahun. Malam setelah sajak itu dimuat, Chairil
mentraktirnya makan-makan. Sobron menyantap soto, empal, nasi campur, dan rupa-
rupa lauk. Sesudah makan, Sobron baru tahu bahwa uang makan adalah honor puisinya di
Mimbar Indonesia.
Ketika peristiwa G30S meletus, Sobron berada di Beijing untuk mengajar bahasa Indonesia.
Tapi kontrak tak diperpanjang akibat peristiwa itu. Dia kemudian menjadi petani di negeri
tirai bambu itu dan menikahi gadis setempat.
47
Sempat menjadi penyiar dan redaktur Radio Beijing, pada 1981 ia pindah ke Paris. Bersama
eksil lainnya, J.J. Kusni dan Umar Said, Sobron mendirikan Restoran Indonesia di Rue de
Vaugirard, di kawasan Luxembourg, Paris. Sobron meninggal pada Februari 2007 karena
penyumbatan darah di otak. Buku terakhirnya, Razia Agustus, terbit pada November lalu.
Asahan Aidit (adik tiri Aidit); Jatuh Cinta pada Gadis Vietnam
Saat peristiwa 30 September meletus, Asahan sedang di Moskow. Di ibu negeri beruang
merah itu, Asahan sedang memperdalam studi filologi. Mendengar sanak familinya di
Indonesia diuber-uber, Asahan enggan pulang.
Dia kemudian pergi ke Cina. Dari sana Asahan pindah ke Vietnam dan meraih gelar doktor
dalam bidang bahasa di sana. Dia menikahi gadis Vietnam.
Pada 1984 dia mendapat suaka politik di Belanda dan tinggal di sana hingga sekarang. Anak
tunggalnya meninggal secara misterius dan dikuburkan di Inggris beberapa tahun lalu.
Asahan termasuk dekat dengan Dipa Nusantara, abangnya. Ia, misalnya, satu-satunya adik
Aidit yang pernah naik mobil dinas menteri koordinator bernomor B 13. Kalau Aidit harus
bekerja hingga larut, Asahan yang ”disewa” untuk memutar musik-musik klasik. Aidit
biasanya minta diputarkan Symphony No. 3 Beethoven.
Dokter Soetanti (Istri Aidit) ; Menyamar Jadi Istri Orang
Malam 30 September 1965, Soetanti bertengkar keras dengan D.N. Aidit. Tanti ingin
suaminya tetap tinggal di rumah dan tidak mengikuti kemauan para penjemputnya. Tetapi
Aidit memilih pergi.
Tiga hari setelah malam kelabu itu, Tanti menghilang dari rumah meninggalkan tiga anak
lakinya yang masih kecil. Belakangan baru terungkap, Tanti menyusul suaminya ke
Boyolali dan bertemu Bupati Boyolali yang juga tokoh PKI. Tak lama di Boyolali, dia
kembali ke Jakarta dengan cara menyamar. Tanti dan Pak Bupati itu pura-pura menjadi
suami-istri. Agar aksi penyamaran ini sukses, ”Dua orang bocah kemudian diambil sebagai
anak angkat,” kata Ilham aidit.
48
”Suami-istri” ini kemudian mengontrak sebuah rumah di Cirendeu, Jakarta. Sandiwara itu
sukses berbulan-bulan, sampai akhirnya para tetangga curiga karena Pak Bupati ini selalu
bilang ”injih-injih” kepada istrinya. Sikap dua anak angkat juga mencurigakan. ”Mereka
tidak pernah manja kepada dua orang tuanya,” kata Ilham. Dari situ, keduanya ditangkap.
Soetanti bukan wanita biasa. Kakeknya, Koesoemodikdo, adalah Bupati Tuban yang
pertama. Menolak untuk meneruskan jabatan sang bapak, ayah Tanti, Moedigdo, memilih
merantau ke Medan. Ibu Tanti, Siti Aminah, adalah keturunan ningrat Minang dan teman
sekolah Sutan Syahrir.
Tanti masuk sekolah kedokteran di Semarang atas biaya R.M Susalit, saudara sepupu
ayahnya, yang juga putra tunggal R.A. Kartini. Setelah menikah dengan Aidit, Tanti
memperdalam ilmu kedokterannya di Korea dan menjadi dokter ahli akupunktur yang
pertama di Indonesia.
Setelah ditangkap, Tanti berpindah dari satu penjara ke penjara lainnya hingga 1980. Di
antaranya tahanan Kodim 66 dan Penjara Bukit Duri. Dalam sel ia kerap membuat baju
untuk anaknya meski salah ukuran: dia selalu menduga anak-anaknya masih kecil. ”Begitu
dipakai, bajunya kekecilan,” kata Ilham.
Sekitar 16 tahun Soetanti tidak berjumpa anaknya. Soalnya, paman yang memelihara
bocah-bocah itu tak berani membawa mereka menjenguk ibunya di Bukit Duri. Lepas dari
penjara Tanti masih sempat berpraktek sebagai dokter. Setelah sembilan tahun sakit-
sakitan, Tanti wafat pada 1991.
Ibarruri Putri Alam dan Ilya Aidit (dua putri D.N. Aidit); Memilih Berlabuh di Paris
Keduanya terakhir bertemu sang ayah ketika berlibur ke Jakarta pada Mei-September 1965.
Ada yang aneh dari liburan kali ini. Sang ayah, kata Ibarruri, kerap menatap anak
sulungnya itu secara sembunyi-sembunyi. ”Seperti ada sesuatu dalam tatapannya itu,” kata
Iba.
Bersama ibunya, Iba sudah menginjakan kaki di Moskow, Rusia, pada 1958. Ketika itu
masih remaja. Setahun kemudian Ilya yang baru berumur delapan tahun menyusul.
49
Setelah peristiwa G30S, lama kedua remaja itu tak tahu keadaan keluarga. Di koran beredar
informasi rupa-rupa: ada yang menulis Aidit telah mati. Ada yang bilang ayah kedua
remaja melarikan diri ke Hong Kong dengan kapal selam.
Belakangan, seorang utusan dari Partai Komunis Soviet menemui mereka dan
mengabarkan bahwa sang ayah telah ditembak. Koran-koran mengabarkan Aidit ditembak
mati di Boyolali, 23 November 1965.
Dua gadis itu kemudian berkelana dari suatu negara ke negara lain. Pada 17 Februari 1970
mereka pindah ke Beijing, Cina. Dari situ mereka ke Burma, sebelum akhirnya menetap di
Paris hingga sekarang.
Iwan Aidit dan si Kembar Ilham dan Irfan ; Hampir Ditembak, Disapa Sarwo Edhie
Setelah sang ayah pergi pada malam 30 September 1965, dan sang ibu menghilang
beberapa hari kemudian, Iwan Ilham dan Irfan dijaga Abdullah Aidit, kakeknya. Saat itu
mereka bersekolah di SD Cikini. Ilham dan Irfan kelas satu, sedangkan Iwan kelas enam.
Tiga anak ini kemudian dijemput Om Bayi, adik lelaki Soetanti yang bekerja sebagai
direktur perusahaan pelayaran Djakarta Lloyd. Dari rumah pamannya di Kebayoran itu
ketiga anak itu dipindahkan ke Bandung dan menetap di rumah Paul Mulyana, saudara lain
ibu mereka.
Setelah Paul pindah ke Belanda untuk meneruskan kuliah, tiga bocah ini pindah ke rumah
saudara Paul lainnya bernama Yohanes Mulyana. Sepuluh tahun mereka tinggal bersama
keluarga itu. Mereka sekolah di SMP Aloysius, Bandung.
Ihlam selalu teringat akan pengalaman menggetarkan ini. Ketika usianya 9 tahun, empat
orang petugas datang ke rumah Yohanes dan bertanya betulkah dia memelihara anak-anak
Aidit. Yohanes mengangguk.
Tuan rumah ini mengajak petugas itu ke halaman di mana Ilham dan Irfan tengah main
kelereng. Mengetahui dua anak itu masih kecil-kecil, dua petugas itu menyarungkan pistol
50
dan berlalu. ”Aku betul-betul gemetar,” kenang Ilham. ”Kami selamat karena umur.”
Beruntung, Iwan yang sudah agak besar tidak di tempat.
Ketika sekolah di SMA Kanisius, Ilham kerap berkelahi karena sering diejek sebagai anak
D.N. Aidit. Seorang rohaniwan Katolik, M.A. Brouwer, yang mengajar di sekolah,
menasehatinya agar tabah. ”Yang penting sekolah setinggi mungkin. Itu membuat
kehidupan lebih baik,” kata Brouwer sebagaimana dikisahkan Ilham. Dari Brouwer dia tahu
bahwa ada versi lain soal peristiwa 30 September itu. Irfan, sebaliknya, melewati hari-hari
itu dalam diam.
Ilham kemudian kuliah di Jurusan Arsitek Universitas Parahyangan, Bandung, Irfan di
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan Iwan di Institut Teknologi Bandung.
Ilham gemar mendaki gunung dan menjadi anggota kelompok pecinta alam Wanadri. Di
situ dia mengenal Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, komandan pasukan
khusus yang membasmi PKI pasca-G30S. Sarwo Edhie adalah anggota kehormatan
Wanadri. Menurut Ilham, ia bertemu pertama kali dengan Sarwo Edhie pada 1981, sewaktu
dia dilantik menjadi anggota Wanadri. ”Aku didekap sama dia. Tidak lama, hanya belasan
detik,” kata Ilham.
Pertemuan kedua berlangsung pada 1983 dalam sebuah acara pelantikan anggota baru
Wanadri di Kawah Upas, Tangkuban Perahu. Saat itu Ilham menjadi komandan operasi
pendidikan dasar Wanadri. Sekitar pukul 6.30 pagi, Sarwo Edhie mendatanginya. ”Kamu
sekarang jadi apa nih?” tanya Sarwo. Ilham memberitahukan bahwa dia sudah jadi kepala
operasi. ”Bagus,” sahut Sarwo Edhie.
Sarwo Edhie kemudian meminta waktu berbicara berdua. Mereka menyingkir ke tebing
Kawah Upas. Sarwo Edhie bertanya tentang kabar dan kuliah Ilham. ”Aku jawab lancar,
meski sebenarnya tidak begitu lancar,” tutur Ilham sembari tertawa.
Sarwo Edhie lalu berkisah tentang peristiwa 30 September 1965 itu. ”Kamu bisa menerima
ini kan?” kata Sarwo. Sarwo, kata Ilham, tidak meminta maaf. Tapi Ilham lega. ”Ini bentuk
rekonsiliasi yang lengkap,” katanya.
51
Lulus jadi arsitektur pada 1987, persis ketika pemerintah gencar melakukan screening
terhadap anak-anak mantan anggota PKI. Sang kakak, Iwan, dikeluarkan dari sebuah
perusahaan ternama setelah diketahui anak PKI. Adapun Ilham selalu pindah kerja. ”Begitu
mereka tahu aku anak Aidit, mereka membuat aku tidak betah supaya keluar.” Sejak 1992,
Ilham lalu membuka usaha sendiri di bidang arsitektur.
Sejak dua tahun lalu Ilham menetap di Bandung setelah tinggal di Bali selama 10 tahun. Dia
juga kerap bolak-balik ke Aceh, ikut serta dalam proses rekonstruksi Aceh pasca-tsunami.
Irfan kini menetap di Cimahi, Jawa Barat, sedangkan Iwan menjadi warga negara Kanada
dan bekerja di sebuah perusahaan pertambangan. Pada 1980 ketiga anak laki-laki itu
bertemu sang ibunda dan mendapat kontak dengan Iba dan Ilya di Paris.
52
*** Aidit dan Serangan di Pagi Buta ***
Jumat, dini hari, 30 September 1965. Rangkaian adegan itu masih bergerak perlahan di
kepala mereka. Itulah terakhir kali mereka melihat ayahanda masing-masing:
meninggalkan rumah, bersama pasukan berseragam Cakrabirawa.
Mereka, anak-anak Pahlawan Revolusi, masih remaja. Tapi, empat puluh dua tahun
berselang, trauma belum juga pergi. Mereka merasa D.N. Aidit bertanggung jawab atas
kejadian berdarah di malam mengerikan itu, tapi mereka sepakat tidak membalas dendam.
Sebaliknya, mereka membentuk Forum Silaturahmi Anak Bangsa, guna mencari
kebenaran di balik peristiwa itu. Berikut ini tanggapan anak-anak Pahlawan Revolusi
tentang kejadian itu, juga tentang D.N. Aidit.
Amelia Achmad Yani
Amelia, putri ketiga Letnan Jenderal Achmad Yani, masih berusia 16 tahun. Ia
menyaksikan sejumlah tentara Cakrabirawa bersenjata lengkap menghabisi nyawa ayahnya
pada pagi buta di rumah mereka di Jalan Lembang, Menteng, Jakarta Pusat.
Amelia, kini 58 tahun, semula tidak tahu persis siapa dalang pembunuhan ayahnya.
Belakangan, dia tahu pelakunya adalah G-30-S/PKI pimpinan Dipa Nusantara Aidit. ”Aidit
ingin merebut kekuasaan dan menganggap Yani dan jenderal lainnya sebagai penghalang,”
kata Amelia, yang sekarang jadi pengusaha di Yogyakarta.
Perseteruan dengan Aidit, kata Amelia, bermula dari ketidaksetujuan Yani dengan
keinginan PKI mengganti ideologi Pancasila menjadi komunis. Hal ini telah disampaikan
beberapa kali oleh Yani kepada Presiden Soekarno. Namun kedekatan Aidit dengan
Soekarno menyebabkan PKI tidak bisa disingkirkan begitu saja.
”Mereka melihat Angkatan Darat sebagai penghalang mereka,” ujar Amelia. Sehingga
diam-diam mereka melancarkan serangan propaganda untuk menghabisi TNI Angkatan
Darat, terutama Yani dan jenderal-jenderal lain yang pernah bersekolah di Amerika.
53
Dalam pidato di depan taruna TNI Angkatan Laut pada 1964, Aidit menyebut jenderal
lulusan Amerika sebagai jenderal Pentagon berkulit sawo matang yang berbahaya. Mereka
diisukan akan berkhianat.
Tidak hanya itu, kata Amelia, yang sering mendengar percakapan politik antarjenderal di
rumahnya, PKI juga menyebarkan isu Angkatan Darat telah membentuk Dewan Jenderal
untuk melancarkan usaha kudetanya terhadap Presiden. Puncaknya, PKI membunuh
beberapa prajurit TNI di sejumlah daerah, di antaranya Pembantu Letnan Satu Sudjono di
Bandar Betsi, Sumatera Utara.
Amelia mengaku tidak banyak tahu soal Aidit. Ia hanya melihat Aidit sebagai ahli
propaganda ulung yang sangat berambisi untuk berkuasa. ”Dia sudah hitung-hitungan
siapa yang berkuasa jika Presiden Soekarno meninggal. Yang jelas, bapak saya tidak boleh
hidup karena akan menghalanginya,” ujar Amelia.
”Kekuatan PKI saat itu luar biasa. Tukang jahit kami saja ikut baris-berbaris di siang bolong
mengikuti rapat raksasa PKI,” ujar Amelia. Sayang, kata Amelia, PKI tidak cerdik dalam
strategi. ”Jadinya pontang-panting setelah pembunuhan itu,” ujarnya. Dengan kekalahan
dalam waktu singkat itu, Amelia menilai PKI sebenarnya tidak memiliki kekuatan apa-apa.
”Mereka hanya berlindung (di belakang Soekarno—Red.) dan menggunakan Soekarno,”
katanya.
Salomo Pandjaitan
”Suara tembakannya saja masih terngiang sampai sekarang,” kata Salomo Pandjaitan, kini
55 tahun, putra ketiga Brigadir Jenderal Donald Ishak Pandjaitan.
Pembunuhan D.I. Pandjaitan memang paling tragis. Waktu itu Salomo masih 13 tahun.
Pasukan Cakrabirawa, yang datang di pagi buta ke rumah mereka, melesakkan peluru ke
kepala Pandjaitan saat jenderal bintang satu itu berdoa. Pandjaitan baru saja melipat
tangan ketika senapan meletus. ”Bagaimana saya tidak benci dia? Di depan kepala saya,
otak ayah saya berhamburan, dihantam peluru panas pasukan Cakrabirawa,” kata Salomo.
”Ada 360 peluru ditemukan di rumah kami, yang luasnya 700 meter persegi.”
54
Bagi pensiunan karyawan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi ini, ”Aidit adalah
pengkhianat, yang ingin membelokkan ideologi negara. Salah satunya dengan mendekati
dan mempengaruhi Presiden Soekarno.” Aidit, di mata Salomo, adalah dalang Gerakan 30
September.
Semua berawal dari perseteruan TNI Angkatan Darat dengan PKI. Tidak mudah
menyingkirkan kekuatan politik Angkatan Darat saat itu. Apalagi Achmad Yani,
pemimpin Angkatan Darat, kesayangan Soekarno. Karena itu, cara terbaik adalah
membunuh mereka. ”Satu-satunya cara, ya, dengan kekerasan,” ujar Salomo.
D.N. Aidit akhirnya berhasil menjalankan rencananya, ”Karena waktu itu PKI merupakan
partai paling kuat dengan anggota yang sangat militan,” kata Salomo. Dalam ingatan
Salomo, Aidit selalu mencari pengaruh, pandai mengobarkan semangat anggota-
anggotanya. Ia juga berpidato seperti Soekarno, selalu berapi-api. PKI juga kuat karena
didukung Soekarno dan negara luar seperti Cina dan Rusia.
”Waktu itu, saya belum merasakan pengaruh PKI pada diri saya. Justru pembunuhan
terhadap para jenderal yang memacu saya jadi antikomunis.” katanya. Meski begitu,
Salomo membatasi kebenciannya hanya kepada Aidit, ”Bukan kepada anak atau
keluarganya.”
Rianto Nurhadi Harjono
”Saya trauma bahkan masuk rumah sakit selama empat hari setelah peristiwa itu,” kenang
Rianto Nurhadi, yang kini pengusaha.
Saat itu Rianto Nurhadi, dipanggil Riri, baru sembilan tahun. Ia terbangun ketika
mendengar tembakan menghantam kamar ayahnya. Ia sempat mendatangi ayahnya, tapi
sang ayah memberi kode agar ia berlindung bersama ibu dan saudaranya di kamar lain.
Selang beberapa menit, ayahnya telah terkapar bersimbah darah dan diseret ke atas truk.
Riri putra ketiga Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono. Walau orang tuanya menjadi
korban, Riri tidak bisa memastikan apakah PKI satu-satunya dalang pembunuhan itu.
Namun Riri mengakui peran politik PKI pada 1965 cukup besar, sehingga kelompok lain,
55
di antaranya TNI Angkatan Darat, menjadi khawatir. Apalagi saat itu PKI hendak
memaksakan sistem komunis di Indonesia. Inilah yang kemudian memicu perseteruan
antara PKI dan TNI Angkatan Darat.
Namun PKI di bawah pimpinan Aidit saat itu sangat kuat. Ia dekat dengan Presiden
Soekarno, sehingga tidak mudah dilumpuhkan. ”Aidit sosok yang berambisi besar untuk
berkuasa,” ujar Riri. Karena itu, Aidit berhasil menjalankan rencananya, membunuh para
jenderal, agar bisa berkuasa.
Sampai saat ini, ”Kebencian kepada Aidit dan PKI tetap ada,” kata Riri. Namun ia tidak
mau memendam kebencian itu, apalagi menyalahkan anak-anak dan keluarga Aidit.
”Kami tidak mau benci dan dendam itu berlarut-larut. Kami keluarga Pahlawan Revolusi
dan keluarga PKI sama-sama jadi korban,” ujarnya.
Agus Widjojo
Agus Widjojo sedang lelap tidur saat peristiwa berdarah itu terjadi. Ia terbangun setelah
mendengar derap sepatu lars dan kegaduhan di rumahnya. Tidak ada suara tembakan, tapi
beberapa menit kemudian ia melihat ayahnya dibawa segerombolan orang berbaret merah.
Itulah terakhir kali ia melihat sang ayah.
Di kemudian hari, ia baru tahu bahwa ayahnya diculik dan dibunuh PKI. Agus putra
pertama Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo. ”Saat itu saya tidak tahu jelas
perseteruan politik antara TNI Angkatan Darat dan PKI dan kenapa ayah saya dibunuh,”
ujar Agus. Lama ia baru menyadari bahwa ayahnya menjadi salah satu sasaran PKI karena
dianggap sebagai batu penghalang PKI untuk berkuasa.
”Saya tahu Aidit dalang pembunuhan itu setelah mencari tahu,” kata pensiunan jenderal
ini. Selama ini, ia memandang Aidit sebagai orang yang yakin betul pada ideologi yang
diperjuangkannya.
Menurut Agus, kini 60 tahun, perseteruan antara Angkatan Darat dan PKI bermula dari
tersiarnya kabar bahwa Presiden Soekarno sakit keras. ”PKI berambisi ingin berkuasa,
namun dihalangi Angkatan Darat,” kata Agus.
56
Walau merasa kehilangan setelah peristiwa itu, Agus tidak dendam kepada PKI, apalagi
kepada anak-anak D.N. Aidit. ”Kita kan harus tetap berjalan ke masa depan, tidak hanya
terpuruk dengan masa lalu,” katanya. Untuk menghindari rasa dendam antara keluarga
Pahlawan Revolusi dan keluarga Aidit, ia bahkan memprakarsai pembentukan Forum
Silaturahmi Anak Bangsa. ”Kami mencoba mengambil pelajaran dan berusaha
mengungkap kebenaran, apa yang sebenarnya terjadi,” ujarnya—walaupun, kata Agus, hal
itu tidak mudah dilakukan.
Agus menilai pembunuhan terhadap ayahnya lebih karena alasan politik, sehingga dia
tidak merasa trauma.
Ratna Purwati Soeprapto
Ratna Purwati telah berumur 18 tahun ketika peristiwa yang merenggut nyawa ayahnya,
Mayor Jenderal R. Soeprapto, terjadi. Saat penculikan itu, rumahnya tidak dijaga oleh
seorang prajurit pun, sehingga pasukan Cakrabirawa bisa leluasa membawa ayahnya. ”Baru
setelah Pak Umar Wirahadikusumah (Panglima Kodam V/Jaya waktu itu) datang ke
rumah, kami tahu Ayah diculik gerombolan PKI,” kata Ratna, pensiunan Pertamina.
Meski tidak mengetahui pasti apakah PKI pelaku tunggal penculikan itu, Ratna, kini 60
tahun, melihat PKI dan Aidit tidak lebih dari sosok pengecut. ”Dia tidak berani datang
sendiri, tapi menggunakan dan memperalat orang-orang bawah untuk mencapai
tujuannya,” kata Ratna.
Dia tidak bisa menyimpulkan PKI sebagai pelaku utamanya, ”Karena saat itu Aidit sangat
dekat dengan Presiden Soekarno.” Ratna kerap melihat Aidit berpidato di samping
Soekarno. Tidak hanya itu, Soekarno bahkan merangkul PKI menjadi salah satu kekuatan
dengan mengembangkan sistem Nasakom: Nasionalis, Agama, dan Komunis.
Karena sejak awal mengetahui bahwa paham komunis tidak mengenal agama, Ratna tidak
terlalu peduli dengan pertumbuhan pesat partai pimpinan Aidit itu. Apalagi melihat Aidit
sebagai sosok yang heroik. ”Yang menyakitkan para jenderal dibunuh oleh bangsa sendiri,
bukan oleh bangsa lain,” ujarnya.
57
*** Rahasia Aidit ***
Oleh : Hilmar Farid Sejarawan
Aidit memimpin PKI sejak Januari 1951. Baru beberapa bulan, partai yang baru dipukul
secara politik dan fisik menyusul peristiwa Madiun 1948 itu kembali berhadapan dengan
represi. Pada pertengahan Agustus, ribuan pemimpin dan kader partai ditangkap di Medan
dan Jakarta. Ini terjadi setelah serangan terhadap sebuah kantor polisi di Tanjung Priok
oleh gerombolan yang mengenakan simbol palu arit. Sekalipun pemimpin partai membuat
pernyataan tidak terlibat dalam serangan itu, pemerintah Sukiman tetap mengirim aparat
untuk mengejar kaum komunis. Aidit bersama Lukman dan Njoto lolos dari kejaran.
Tepat empat tahun kemudian, September 1955, PKI menempati urutan keempat dalam
pemilihan umum dengan 6,1 juta suara atau meraih 16,4 persen dari total suara. Dua tahun
kemudian, dalam pemilihan daerah, jumlah suara untuk PKI meningkat hampir 40 persen,
bahkan di beberapa daerah mereka mayoritas. Jumlah anggotanya yang semula hanya
4.000 orang meningkat puluhan kali lipat. Pada 1957 Aidit dengan bangga melaporkan
bahwa jumlah perempuan anggota partai sudah mencapai 100 ribu. Pada usia 32 tahun
Aidit sudah menjadi pemimpin salah satu kekuatan politik pasca-revolusi yang paling
signifikan dan hidup.
Apa rahasia Aidit mengubah partai yang semula terbelah ke dalam banyak faksi menjadi
kekuatan politik yang solid dan andal?
Pengambilalihan partai dari apa yang disebut ”kalangan tua” oleh Aidit, Lukman, dan
Njoto, pada awal 1951 bukanlah proses yang mudah. Perdebatan berlangsung di tingkat
pimpinan pusat sampai kader-kader daerah. Dalam berbagai kesempatan, Politbiro baru di
bawah Aidit menggunakan tangan besi. ”Pengadilan” dibentuk untuk mendisiplinkan
kader yang berseberangan pandangan dengan pemimpin baru. Banyak dari mereka yang
diadili kemudian diturunkan jabatan dan status keanggotaannya, bahkan dikeluarkan dari
partai.
58
Setelah berhasil melakukan konsolidasi dengan menyatukan unsur-unsur yang setuju pada
garis kebijakan baru partai, Politbiro yang dipimpin Aidit mulai membangun struktur
organisasi yang ketat. Orang yang bertanggung jawab melakukan tugas berat ini adalah
Sudisman. Seleksi dan perekrutan anggota dirapikan. Setiap calon anggota melalui tahap
pemeriksaan dan pengawasan selama lima sampai enam bulan sebelum menjadi anggota
penuh dan kemudian kader partai. Pada saat bersamaan diberlakukan juga asas demokrasi
di mana kader bisa menyuarakan perbedaan pendapat dan kritik sehingga tidak
terakumulasi menjadi faksi seperti terjadi pada masa sebelumnya.
Pendidikan politik mendapat perhatian khusus dan menurut Ruth McVey inilah kunci
yang membuat PKI mempesona banyak orang. Di tengah sistem pendidikan nasional yang
belum berkembang, jumlah sekolah dan guru yang terbatas, kegiatan pendidikan yang
diselenggarakan PKI di berbagai tingkat seperti menjadi jalan menuju modernitas. Analisis
Marxis, studi ekonomi politik, sejarah masyarakat, yang diajarkan di sekolah dan kursus
politik milik partai tidak hanya menawarkan isi tapi juga cara ”berilmu” baru.
Perluasan pendidikan ini dibarengi dengan berlipat gandanya kegiatan penerbitan. Harian
Rakjat, yang semula terbit terbatas untuk kader dan anggota partai, pada awal 1957 sudah
menjadi harian dengan tiras 60 ribu eksemplar. Cabang-cabang partai mempunyai
penerbitan sendiri seperti Suara Ibukota di Jakarta, Suara Persatuan di Semarang, Buletin
PKI Djawa Timur di Surabaya, dan Lombok Bangun di Mataram. Terjemahan karya asing ke
dalam bahasa Indonesia banyak dilakukan. Di Jawa Barat, kader partai membaca karya Mao
dalam bahasa Sunda.
Namun elemen yang paling penting dalam konsolidasi partai adalah tumbuhnya
komunitas yang berpusat pada organisasi partai. Kantor partai adalah tempat yang hidup
dan para pengurusnya adalah orang yang aktif dalam komunitas. Organisasi secara konkret
membantu anggota menghadapi masalah, mulai dari tekanan politik pihak lawan sampai
urusan sehari-hari seperti melahirkan dan kematian. Menurut Donald Hindley, PKI
berhasil membangun komunitas-komunitas berbasis solidaritas dalam masyarakat yang
penuh ketegangan dan pertentangan.
59
Perkembangan pesat ini hampir tidak mendapat hambatan berarti. Sejak 1951 Aidit
menitikberatkan perjuangan partai melalui jalan parlemen. Dengan strategi front nasional
PKI berhasil menciptakan ruang yang memudahkan konsolidasi partai. Sepanjang 1950-an
PKI praktis tidak pernah ”bermain di luar jalur” seperti halnya partai-partai yang bertualang
dengan terlibat aksi pemberontakan di daerah-daerah, usaha putsch atau persekongkolan
untuk menyingkirkan pemimpin nasional. Tidak mengherankan jika Soekarno melihatnya
sebagai sekutu penting untuk mengimbangi tekanan pihak militer.
Semua ini berubah pada awal 1960-an. Angkatan Darat dan kekuatan antikomunis kini
melihat PKI sebagai ancaman nyata. Ancaman bahwa PKI akan berhasil menguasai
pemerintah melalui pemilihan umum dan perjuangan parlementer membuat lawan
politiknya diam-diam mensyukuri Demokrasi Terpimpin. Ketegangan sosial dan politik
meningkat karena perekonomian memburuk. Para ahli psychological warfare dalam
maupun luar negeri sementara itu meramaikan suasana politik dengan desas-desus,
pengacauan informasi, dan aksi subversi.
PKI mulai memasuki gelanggang politik baru. Tekanan berbagai pihak membuat
keputusan-keputusan penting semakin terpusat di tangan segelintir pimpinan. Jarak
dengan massa mulai terasa. Komunitas yang tumbuh di sekeliling organisasi partai kini
terpusat pada mobilisasi dan semakin banyak pertimbangan survival yang melandasi
kebijakan partai. Buruh dilarang mogok, petani diminta menahan diri agar tidak
mengambil alih lahan, jika sasarannya adalah sekutu dalam front nasional.
Jarak pemimpin dengan massa semakin terasa, sekalipun jumlah anggota partai semakin
bertambah. Itu membuat PKI seperti ”raksasa berkaki lempung”, meminjam istilah
sejarawan Jacques Leclerc.
Seruan Aidit untuk memperkuat barisan partai dengan menambah jumlah anggota tidak
hanya disambut oleh rakyat di kampung dan desa yang melihat PKI sebagai pintu menuju
modernitas dan kemakmuran, tapi juga para pejabat dan mereka yang dalam analisis sosial
PKI disebut kabir alias kapitalis birokrat. Bagi mereka menjadi anggota partai adalah jalan
mengamankan posisi dalam birokrasi dan membangun perlindungan diri menghadapi
60
pergulatan sosial yang kadang berlangsung keras dan penuh konflik. PKI pun tumbuh
menjadi tubuh besar yang lamban dan tidak lagi tangkas menghadapi perubahan.
Di tengah keadaan ini Aidit mendengar berita tentang Dewan Jenderal yang berencana
menggulingkan pemerintahan Soekarno. PKI sebagai partai sudah terlalu lamban untuk
mengikuti dinamika yang berlangsung cepat. Keadaan menuntut ketangkasan politik.
Ketika keputusan menentukan harus diambil dalam hitungan hari dan jam, Aidit pun
terkucil dari Comite Central dan kawan-kawannya sendiri. Selama September 1965 tidak
ada lagi rapat Politbiro. Aidit bersama sejumlah pemimpin partai terseret dalam gelap
politik klandestin, agen ganda, dan tipu daya.
Ada yang menyebutnya pengkhianatan. Ada juga yang bilang petualangan. Bagi saya, kata
yang lebih tepat adalah tragedi.
61
*** Wajah Aidit di Seluloid ***
Film Pengkhianatan G-30-S/PKI, untuk beberapa lama, menjadi sumber visualisasi
tentang sosok Aidit.
BERONDONGAN peluru Cakrabirawa merangsek ke tubuh Letnan Jenderal Achmad Yani
pada malam Jumat Pahing, 30 September 1965. Saat tubuhnya terempas membentur
pintu, putranya menyaksikan dari bawah meja setrika dengan wajah pasi. Jenazah Yani
yang masih hangat lantas digeret keluar oleh para pelaku, memborehkan jejak darah yang
berlimpah-ruah di permukaan ubin.
Malam Jumat Pahing. Sebutan itu keluar dari mulut Dipa Nusantara Aidit, Ketua Partai
Komunis Indonesia, saat ia menyebutkan hari-H dari sebuah operasi rahasia. ”Kita tak
boleh terlambat,” ujarnya kesal saat ada anggota Politbiro lain menyangsikan eksistensi
Dewan Jenderal dan rencana mereka untuk melakukan kup terhadap Presiden Soekarno.
Peristiwa malam Jumat Pahing yang kelak dikenal sebagai Gerakan 30 September itu
direka ulang lewat film kolosal Pengkhianatan G-30-S/PKI (1982). Itulah pertama kalinya
masyarakat bisa menyaksikan rekaan wajah Aidit dengan jelas melalui interpretasi Syu’bah
Asa. Bagaimana gayanya berbicara, bagaimana ekspresinya saat berpikir, termasuk caranya
mengepulkan asap rokok. Ada saat Aidit hanya disorot dengan close-up pada gerak
bibirnya, terutama ketika menunjukkan strategi yang tengah dirancang. Aidit hasil tafsiran
sutradara Arifin C. Noer adalah Aidit yang penuh muslihat.
Adalah Syu’bah Asa, budayawan yang kala itu wartawan majalah Tempo, yang didapuk
Arifin sebagai sang gembong PKI. ”Tadinya saya ingin memberikan perwatakan yang lebih
utuh,” ungkap mantan Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta ini, ”tapi Arifin
bilang tak perlu karena dia hanya butuh beberapa ekspresi saja.”
Maka, seperti tersaji di film berdurasi 271 menit itu, pada saat Aidit muncul di layar, yang
tersodor adalah fragmen-fragmen seperti mata yang mendelok-delok marah atau gaya
merokok yang menderu-deru gelisah. ”Saya tidak merasa sukses memainkan peran itu,”
kata Syu’bah.
62
Tapi ia tak kecewa karena sejak awal tahu bahwa sosok Aidit dibutuhkan hanya sebagai
pengimbang, bukan tokoh utama yang menjadi alasan film itu dibuat. Belum lagi
menyangkut akses untuk mempelajari karakter Aidit yang sangat terbatas. Bahan riset
minim, dan akses ke keluarga almarhum saat itu tak ada. ”Waktu itu tidak mungkin
menghubungi keluarga Aidit. Ada jurang besar yang tak terjembatani. Tidak seperti
sekarang,” ujar Syu’bah. Maka, selain dengan penafsirannya sendiri atas skenario yang
ditulis Arifin, Syu’bah mendalami tokoh yang akan diperankannya melalui diskusi intens
dengan Amarzan Ismail Hamid, penyair yang mengenal Aidit secara pribadi. Sepanjang
malam mereka berdiskusi di Wisma Tempo Sirnagalih, Megamendung, Jawa Barat.
Apa saja informasi penting yang ia dapatkan? ”Amarzan bilang dia sudah bertemu
pemimpin komunis dunia seperti Mao Tse Tung dan Ho Chi Minh. Semua karismatis di
mata dia. Tapi Aidit tidak,” ungkap Syu’bah. ”Dari informasi itulah saya tafsirkan ke dalam
gerak wajah.” Namun, ketika besoknya syuting dilakukan, Syu’bah sempat ketiduran.
”Kecapekan,” tuturnya. Ketika film itu selesai, Syu’bah kembali mengunjungi Amarzan,
menanyakan pendapatnya tentang peran yang ia mainkan. ”Buruk,” ujar sang penyair
seperti diulangi Syu’bah.
Amarzan, 66 tahun, yang dihubungi wartawan Tempo Arti Ekawati, menyatakan memang
itu bukan peran yang gampang. ”Sulit untuk menggambarkan sosok seorang Aidit,”
katanya. ”Apalagi itu film propaganda. Semua yang ada di dalamnya dibuat berdasarkan
keinginan sang pemesan.” Di awal proses preproduksi, sebetulnya Amarzan sempat terlibat
atas ajakan Arifin dan Danarto, yang menjadi direktur artistik film. ”Saya memberikan
masukan tentang setting suasana rapat-rapat PKI dan suasana pada waktu itu,” tuturnya.
Belakangan ia mengundurkan diri setelah sarannya tidak banyak didengar.
Danarto pun tak bertahan lama dalam pembuatan film yang digarap selama dua tahun
dengan melibatkan lebih dari 10 ribu pemain figuran itu. ”Setelah berbulan-bulan
melakukan riset, saya akhirnya juga mengundurkan diri sebagai art director karena soal
honor,” Danarto menandaskan.
63
Bujet film ini sendiri tercatat Rp 800 juta, yang menjadikannya sebagai film termahal di
awal 1980-an.
l l l
EMBIE C. Noer, yang bertindak sebagai direktur musik film itu, ingat kata-kata Arifin saat
mendeskripsikan film yang akan mereka buat dengan sangat singkat, ”Ini film horor, Mbi.”
Bagi Embie, frasa sependek itu cukup menjadi dasar baginya untuk mengembangkan tafsir
bebunyian. ”Saya bukan cuma adiknya atau krunya, melainkan juga anaknya sekaligus
muridnya sejak dia masih muda,” tutur Embie. ”Karena itu, yang sama-sama kami pahami
adalah Aidit sebagai sebuah diskusi politik ketimbang sebagai rekonstruksi fakta yang
debatable.”
Contoh kecil yang menunjukkan itu, antara lain, adegan Aidit merokok yang dianggap
menyimpang dari kebiasaan Aidit sebenarnya yang tidak merokok—seperti diyakini sang
adik, Murad Aidit. ”Adegan itu justru menegaskan Mas Arifin sedang tidak
merekonstruksi fakta, melainkan menyodorkan sebuah diskusi politik,” kata Embie. Ia
prihatin melihat pelbagai diskusi yang muncul saat itu tentang pencitraan Aidit, dan film
itu secara umumnya, yang hanya ditakar dari sisi estetika, bukan secara substantif. ”Banyak
yang gagal membaca film ini,” keluh Embie. Dalam wawancaranya dengan majalah ini 23
tahun silam, Arifin mengatakan bahwa niatnya membuat film ini adalah sebagai ”film
pendidikan dan renungan tanpa menawarkan kebencian” (Tempo edisi 6/14, 7 April 1984).
Berkaitan dengan tugasnya untuk memberi tafsir musikal pada film itu, Embie
berkeyakinan bahwa ranah politik Indonesia, sampai detik ini, adalah konsep budaya Barat
dengan para pionir seperti Ronggowarsito untuk sastra dan metafisika serta Raden Saleh
untuk estetika. ”Maka saya meramu suling bambu, tape double-cassette, keyboard,
dengan semangat budaya pseudo-modern,” ujarnya.
Perdebatan yang sempat muncul mengenai sosok Aidit dalam film itu, seingat Jajang C.
Noer, tak sampai menggelisahkan suaminya. ”Dia sangat excited ketika melihat hasil
akhirnya,” tutur Jajang.
64
Bagi Jajang, proses persiapan bahan untuk sosok Aidit adalah saat yang sibuk sekaligus
mencemaskan. Mereka sibuk membuat kompilasi dari pelbagai bahan tertulis. Itulah yang
diolah Arifin menjadi sebuah skenario. Yang membuat cemas, tim Arifin hanya memiliki
satu foto Aidit, ketika sang figur berada di sebuah acara di Istora. Rumitnya lagi, foto itu
pun tak begitu jelas. Persoalan menjadi sedikit lebih mudah setelah mereka berhasil
mendapatkan sebuah pasfoto Aidit yang lebih jelas. ”Ternyata bentuk fisik Aidit tak
sebesar yang kami bayangkan semula,” ujar Jajang. ”Dari pasfoto itulah Mas Arifin punya
kesan bahwa Aidit terlihat mirip Syu’bah. Bukan pada kepersisan wajah, tapi pada wibawa.”
Jajang mencontohkan, pencarian pada ”kemiripan wibawa” ketimbang kemiripan wajah
juga menjadi pertimbangan utama saat mencari pemeran Bung Karno, yang akhirnya jatuh
pada Umar Kayam.
Sudah selesaikah persoalan? Ternyata belum. Jajang mengungkapkan, mereka masih
kesulitan mendapatkan ciri atau gestur khusus Aidit, meski sudah mencari informasi ke
Subandrio dan Syam Kamaruzzaman. ”Satu-satunya tambahan informasi yang muncul
adalah bahwa Aidit itu dandy. Bukan dalam pengertian genit, tapi pada gaya busana. Dan di
situlah repotnya,” Jajang terkekeh sejenak. ”Syu’bah nggak bisa dibilang dandy.”
Ihwal Aidit yang merokok itu, Jajang punya jawaban lain. Saat itu Arifin merasa merokok
sebagai representasi dari The Thinker. ”Secara visual terlihat lebih bagus penggambaran
seseorang yang berpikir keras itu lewat rokoknya,” ulas Jajang. ”Itu sebabnya ada adegan di
mana layar hanya dipenuhi asap rokok sebagai metafor sumpeknya suasana politik
Indonesia.”
Dengan segala pro-kontra yang muncul akibat film Pengkhianatan G-30-S/PKI, satu hal
yang tak bisa disangkal adalah generasi yang lahir pada 1970-an dan sesudahnya
mendapatkan satu-satunya gambaran tentang sosok Aidit secara jelas hanya dari film itu.
Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 1998, buku tentang Aidit kemudian
bermunculan, termasuk yang ditulis oleh mereka yang mengenalnya lebih dekat.
65
*** Sajak Pamflet Sang Ketua ***
D.N. Aidit berhasrat juga menjadi penyair. Tapi puisinya pernah ditolak HR Minggu.
TELEPON kantor Harian Rakjat di Jalan Pintu Besar Selatan Nomor 93, Jakarta Pusat,
meraung-raung pada suatu Sabtu malam, sekitar awal 1965. Dipa Nusantara Aidit, Ketua
Comite Central Partai Komunis Indonesia, mencari ”orang yang bertanggung jawab” atas
seleksi puisi di HR Minggu, lembar kebudayaan yang berbeda isi, bahkan logonya, dengan
Harian Rakjat edisi reguler. Telepon itu disambut Amarzan, redaktur yang memang
ditugasi menyeleksi kiriman puisi.
”Apakah sajak-sajak saya sudah diterima?” terdengar Aidit di seberang telepon.
”Sudah.”
”Jadi, dimuat dalam edisi besok?”
Setelah berpikir sejenak, Amarzan menjawab, ”Tidak.”
”Maksudnya?”
”Ya, tidak dimuat”
”Mengapa tidak dimuat?”
”Menurut saya, belum layak dimuat.”
Hening. Lalu brak! Telepon dibanting.
Amarzan, ketika itu 24 tahun, baru dua tahun menjadi redaktur. Ia paham, menolak puisi
Aidit bisa menjadi perkara besar. Sejam kemudian, telepon kantor kembali berdering,
masih mencari Amarzan. Kali ini dari Njoto, Wakil Ketua II CC PKI sekaligus Pemimpin
Redaksi Harian Rakjat. Dengan nada kalem, Njoto bertanya apakah benar Amarzan
menolak memuat sajak-sajak kiriman Aidit. Amarzan membenarkan.
”Bung yakin akan pendapat Bung?” Njoto bertanya.
66
”Yakin.”
”Tak ada hal-hal lain yang bisa dipertimbangkan?”
”Tidak.”
”Baik. Kalau begitu, saya mendukung keputusan Bung.”
Plong. Tadinya ia menyangka Njoto bakal memaksanya memuat sajak-sajak Aidit itu.
”Jika itu terjadi, saya akan keluar,” katanya mengenang ”insiden telepon” itu, tiga pekan
lalu. Ketika itu, gajinya Rp 525 per bulan, cukup untuk makan dua pekan di masa beras
sulit dan apa-apa harus mengantre.
Menurut Amarzan, kini 66 tahun, ia menolak puisi Aidit justru karena ingin
menyelamatkan ”martabat” sang Ketua. ”Puisinya sejenis puisi poster,” katanya. Sayang,
Amarzan lupa puisi Aidit mana yang ia tolak ketika itu.
Aidit lumayan banyak menulis puisi, dari 1946 sampai 1965. Sajak-sajaknya hampir
seluruhnya berisi puji-pujian kepada partai, atau anjuran revolusi, bahkan dalam sajak yang
sangat personal sekalipun. Selain di Harian Rakjat itu, sajak Aidit kerap muncul di Suara
Ibukota, sebuah koran politik Jakarta yang diasuh seorang aktivis PKI, Hasan Raid.
Aidit menggunakan puisi sebagai media untuk berkomentar atas peristiwa aktual yang ia
lihat dan dengar, dengan gaya menyeru dan berpe_tuah. Sajak-sajak di kedua koran itu
kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dalam antologi Lumpur dan Kidung.
Baca, misalnya, sajaknya Raja Naik Mahkota Kecil, yang ditulis pada 23 Juni 1962 untuk
menyindir pengangkatan Letnan Jenderal Ahmad Yani sebagai Kepala Staf Angkatan
Darat, menggantikan Jenderal Abdul Harris Nasution.
Udara hari ini cerah benar
pemuda nyanyi nasakom bersatu
gelak ketawa gadis remaja
67
mendengar si lalim naik takhta
tapi konon mahkotanya kecil
Sajak empat kuplet ini ditutup dengan stanza: Ayo, maju terus kawan-kawan/ Halau dia ke
jaring dan jerat/ tangkap dia dan ikat erat/ hadapkan dia ke mahkamah rakyat!
Atau baca: Yang Mati Hidup Kembali, yang ditulisnya pada 14 Februari 1961, sebulan
setelah Patrice Émery Lumumba, pemimpin gerilya rakyat Kongo, mati dibunuh agen
rahasia Amerika, CIA. Butir-butir airmata membasahi koran pagi/ Orang hitam berhati
putih itu/ dibunuh siputih berhati hitam!
Aidit sendiri pernah sekali menulis pada 1964 bahwa sastra itu harus bertanggung jawab,
berkepribadian nasional, dan mengabdi kepada buruh dan rakyat. Kredo ini menjadi
semacam tren yang dianut para penulis ”berhaluan kiri”. Amarzan, sebagai redaktur HR
Minggu, secara pribadi menganggap puisi tak selalu harus begitu. Ia sendiri, sebagai
penyair, bisa saja menulis puisi tentang cinta, kebimbangan, bulan, dan laut.
Tak hanya Amarzan yang menganggap puisi-puisi Aidit jelek. Oey Hay Djoen, bekas
anggota parlemen dan Dewan Pakar Ekonomi PKI, juga berpendapat demikian. Bekas
pejabat PKI itu mengenang, ia sering dikirimi sajak oleh Aidit untuk dimintai pendapat.
Tapi laki-laki yang masih gesit di usia 78 tahun itu mengaku tak pernah menggubrisnya.
”Buat apa? Jelek,” katanya. Hay Djoen sendiri menulis prosa memikat dengan nama
samaran Ira Iramanto atau Samandjaja.
Sobron Aidit—adik D.N. Aidit—sekali waktu pernah bercerita bahwa abangnya
sesungguhnya mengagumi sajak-sajak Chairil Anwar. Chairil dan Sobron pada 1949 pernah
satu kos di Jalan Gondangdia Lama Nomor 2, Jakarta Pusat. Mengetahui adiknya
berkawan dengan penyair terkemuka Indonesia itu, Aidit membual: ”Chairil itu, kalau
masih hidup, pasti berpihak pada PKI, meski tak mau jadi PKI.”
Sobron sendiri saat itu kerap mengirim cerpen ke beberapa koran dan majalah sastra. Aidit
kerap mengkritik cara adiknya itu menulis. ”Abangku ini ternyata banyak tahu soal-soal
teori sastra mutakhir,” tulis Sobron dalam Aidit (2003). Aidit kemudian kerap
68
meminjamkan buku-buku penulis Rusia seperti Tolstoi, Dostoyevsky, dan Chekov kepada
Sobron.
Barangkali menulis puisi, bagi Aidit, hanya semacam gaya seorang pemimpin partai. Sebab,
banyak pemimpin partai komunis di Asia yang pandai menulis sajak. Mao Zedong menulis
sajak. Ho Chi Minh malah punya kumpulan sajak yang diterjemahkan ke berbagai bahasa,
Prison Diary. Para pemimpin PKI lainnya—Njoto, Sudisman, Alimin, dan M.H.
Lukman—juga menulis sajak.
Ketika tersebar kabar Aidit meninggal, 23 November 1965, Mao Zedong menulis sajak
belasungkawa yang dimuat di sebuah koran Tiongkok, yang terjemahan Indonesianya
kira-kira:
Di jendela dingin berdiri reranting jarang
beraneka bunga di depan semarak riang
apa hendak dikata kegembiraan tiada bertahan lama
di musim semi malah jatuh berguguran.
69
Setelah Keluar dari Laci Penulis
Puluhan buku menyajikan aneka versi tentang sosok D.N. Aidit. Ayah yang baik hingga
politikus oportunis.
D.N. Aidit dan PKI adalah kesatuan yang tak mungkin dipisahkan.”
Murad Aidit menuangkan kesaksiannya terhadap sang kakak dalam buku Aidit Sang
Legenda. Ia melukiskan Achmad Aidit alias Dipa Nusantara Aidit sebagai aktivis yang
habis-habisan membesarkan partai palu arit. Begitu sibuknya, Aidit kurang memperhatikan
segala kesulitan yang ia hadapi. ”Bang Amat,” begitu Murad memanggil Aidit, ”adalah
kakak yang sungguh tak dapat diharapkan.”
Ia mencontohkan saat meminta uang biaya pernikahan, ia sama sekali tak diberi. Tapi, pada
saat yang lain, rasa kesal dan benci kepada Bang Amat tandas ketika Murad tergolek lemah
akibat TBC. Dokter memberi Murad obat TBC terbaru dari Swiss, yang belum beredar di
Indonesia. Adalah Aidit yang mendapatkan obat itu, mengandalkan jaringan
pertemanannya di luar negeri. Cerita pun mengalir. Aidit kali ini disebut sebagai kakak
yang sempurna.
Inilah sepenggal kisah haru-biru hubungan kakak-beradik yang ditulis dalam buku 264
halaman yang terbit dua tahun lalu. Tak cuma Murad. Sobron Aidit, adik sepupu Aidit,
juga menulis beberapa buku. Begitu pula Ibarruri, putri tertuanya. Iba menyebut sang ayah
dalam buku Ibarruri Putri Alam yang terbit tahun lalu sebagai ”manusia yang paling
kucintai”.
Buku-buku dari lingkaran terdalam keluarga Ketua Comite Central Partai Komunis
Indonesia itu tak mungkin bisa kita baca sepuluh tahun lalu. Kendati sudah mulai ditulis
belasan tahun lalu, buku-buku itu hanya teronggok di laci penulis. Kini, di era reformasi,
kata sejarawan Asvi Warman Adam, ”Kita bisa lebih mengenal sosok Aidit dari sudut
pandang personal.”
Ketika mendengar berita kepastian tewasnya sang Ayah, misalnya, Iba menuliskan, ”Di
masa aku remaja, aku tiba-tiba kehilangan manusia yang paling kucintai, kukagumi, yang
70
menjadi teladan dalam cita-cita.” Ibarruri adalah nama pemberian Aidit yang diambil dari
nama pemimpin gerakan Komunis Internasional asal Spanyol, Dolores Ibarruri. Dolores
terkenal dengan aksi menentang diktator Spanyol, Jenderal Franco.
Meski memuji setinggi langit sang ayah, Iba menyebut Aidit sebagai ayah yang tak
mengerti merawat anak. Suatu kali di masa kecil, ia pernah menangis. Aidit yang tak tahu
kenapa anaknya menangis terus memberi minum hingga perutnya kembung.
Sejak Soeharto tumbang, buku-buku yang berusaha ”membersihkan” sosok Aidit bebas
beredar. Tak hanya tulisan saudara dan anak—yang jelas lebih banyak memunculkan sosok
manusia Aidit dan dibumbui emosi karena kedekatan pada sang tokoh—tapi juga penulis
atau peneliti yang tak ada hubungan apa pun dengan Aidit. Buku Menolak Menyerah;
Menyingkap Tabir Keluarga Aidit (2005) karya Budi Kurniawan dan Yani Andriansyah
boleh dikelompokkan dalam buku yang tak boleh terbit di masa Orde Baru.
Dalam buku itu, tak ada kesan dalang pembunuhan kejam dan bengis—sifat yang
tertanam pada sebagian besar benak orang Indonesia karena dijejali buku-buku sejarah
yang memojokkan Aidit—pada sosok politisi yang dikenal dekat dengan Soekarno ini.
Buku tersebut bahkan memuat informasi bahwa Aidit terkucilkan dari peristiwa besar
G30S/PKI. ”Yang terjadi adalah peristiwa di luar skenario Aidit,” tulis Budi dan Yani.
”Terjadi penyingkiran ke Halim, yang mengakibatkan terputusnya komunikasi.”
Kebanyakan buku yang terbit di era Orde Baru memperkenalkan Aidit sebagai sosok yang
pantas dimusnahkan. Buku Pergolakan Politik Tentara Sebelum dan Sesudah G30S/PKI
yang ditulis Todiruan Dydo pada 1989 menyebut Aidit sebagai pemimpin partai licik dan
oportunis yang khawatir Angkatan Darat akan berkuasa setelah Soekarno meninggal. Maka
Aidit meniupkan isu adanya Dewan Jenderal ya