Tampilkan postingan dengan label kepemilikan senjata. 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kepemilikan senjata. 3. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Juli 2025

kepemilikan senjata. 3

 



dungan bagi segenap warganya. Keamanan kolektif pun 

kembali menjadi taruhannya.Babak Baru Kontroversi Abad XXI: Perubahan Interpretasi 

Amandemen Kedua

Dari berbagai kasus terdahulu, United States v. Cruikshank (1875), United 

States v. Miller (1939) kemudian Lewis v. United States (1980) putusan 

Mahkamah Agung tetap konsisten pada paham bahwa Amandemen Kedua tidak 

memberi jaminan bagi individu untuk memiliki dan membawa senjata api kecuali 

untuk tujuan milisia. Hal ini terus berlanjut hingga putusan-putusan selanjutnya. 

Banyak kalangan mengkritisi bahwa Mahkamah Agung gagal dalam memahami 

Amandemen Kedua yang seyogyanya melindungi hak fundamental individu untuk 

memiliki senjata api. Kontroversi antara kedua kubu tidak memberi jalan keluar 

yang final terkait hak kepemilikan senjata api. Akan tetapi setelah sekian lama, 

keputusan baru Mahkamah Agung memberi definisi berbeda terkait hak dalam 

Amandemen Kedua (Stephens Jr. and Scheb II., 2008: 2). 

Dalam keputusan kasus District of Columbia v. Heller (2008) dan 

McDonald v. Chicago (2010), Mahkamah Agung mengesahkan bahwa 

Amandemen Kedua melindungi hak individu untuk memiliki senjata api dengan 

tujuan perlindungan diri. Mahkamah Agung juga memutus bahwa hak ini  

harus dilindungi oleh semua level pemerintahan, tidak hanya federal tetapi juga 

oleh negara-negara bagian, meskipun begitu hak ini  ditegaskan tidak tanpa 

batas. Keputusan baru ini mematahkan putusan-putusan sebelumnya dan justru semakin mengaburkan makna sebenarnya yang terkandung dalam Amandemen 

Kedua dibandingkan masa awal ratifikasi. Perubahan ini terjadi karena adanya 

peran kuat para aktor pendukung yang ada di belakangnya dan lingkungan yang 

memungkinkan hal itu terjadi. Sebagaimana dijelaskan oleh Stephens Jr. dan

Scheb II (2008: ix) ―Constitutional law is constantly in-formed by numerous 

actors‘ understandings of the meaning of the United States Constitution. Lawyers, 

judges, politicians, academicians, and, of course, citizens all contribute to the 

dialogue that produces constitutional law.‖ 

Perubahan interpretasi ini  justru menciptakan kontroversi baru bagi 

khalayak ramai karena berbagai masalah baru harus dipikirkan, yakni di antaranya 

yang menyangkut pembatasan atau keluasan tempat di mana saja senjata api boleh 

dibawa atau dipertontonkan. Selain itu masalah perbedaan hukum federal dan 

negara bagian yang masih bertentangan—beberapa negara bagian masih 

mengedepankan kontrol senjata yang ketat—membawa dilema sejauh mana 

batasan peraturan dalam pelaksanaan antara hukum federal dan negara bagian 

harus diatur. Dengan demikian, keputusan ini belum menjadi jalan keluar terbaik 

yang mampu meredam kontroversi yang selama ini berlangsung di Amerika 

Serikat tetapi justru menjadi sebuah propaganda.

Dalam dua dekade terakhir tren pembunuhan senjata api kembali 

mengalami perubahan drastis pascapuncaknya di awal tahun 90-an. Angka 

kejahatan senjata api secara simultan menunjukkan penurunan tajam, yang 

terekam dalam data statistik pada Gambar 4.1 berikut. Berdasarkan data BJS, pembunuhan terkait senjata api turun sebesar 39%, 

dari 18.253 pada tahun 1993 menjadi 11.101 tahun 2011. Sementara itu, kejahatan 

senjata api nonfatal menurun 69%, dari 1,5 juta viktimisasi kejahatan pada tahun 

1993 menjadi 467.300 viktimisasi pada tahun 2011. Kekerasan senjata api menyumbang sekitar 70% dari semua kasus pembunuhan dan kurang dari 10% 

dari semua kejahatan kekerasan nonfatal dari tahun 1993 sampai 2011 (2013: 1). 

Meskipun terdapat penurunan dalam kejahatan senjata api, akan tetapi dari tahun 

1993 sampai 2010 tingkat tertinggi pembunuhan senjata api berdasarkan ras masih 

didominasi oleh kaum laki-laki, kulit hitam, dan orang usia 18 sampai 24 tahun. 

Pada tahun 2010, tingkat pembunuhan senjata api untuk kulit hitam adalah 14,6 

per 100.000, dibandingkan dengan 1,9 untuk kulit putih, 2,7 untuk Indian Amerika 

dan natif Alaska, dan 1,0 untuk orang Asia dan kepulauan Pasifik.

4.1.1 Penurunan Angka Kejahatan Senjata Api oleh Pemuda

Penurunan drastis juga terjadi pada pembunuhan senjata api oleh pemuda. 

Dari tahun 1993 hingga 2010, tingkat pembunuhan bagi orang usia 18-24 tahun 

menurun 51% dibandingkan dengan penurunan 35% untuk orang usia 25-34 dan 

50% untuk orang usia 11 atau lebih muda (2013: 6). Kemudian angka penahanan 

kejahatan kekerasan bagi remaja dan dewasa muda tahun 2000 hampir serendah 

angka pada tahun 1980 bahkan angka penangkapan untuk pembunuhan lebih 

rendah dibandingkan tahun 1980. Remaja dan dewasa muda bila digabungkan 

(semua pemuda dibawah umur 24 tahun) bertanggung jawab terhadap 32% 

kenaikan penahanan kejahatan kekerasan antara 1980 dan 2000, tapi kemudian 

terhitung 58% penahanan menurun antara 1994 dan 2000 (Butts and Travis, 2002:


9). Dari sini dapat kita lihat bagaimana pengaruh besar dari kaum pemuda 

terhadap tingkat kejahatan yang ada sebagaimana telah dibahas sebelumnya. 

Dalam referensi ini pemuda didefinisikan semua orang berumur di bawah 

25 tahun. Grup ini termasuk dewasa muda (umur 18-24) dan remaja (di bawah 18 

tahun). Akan tetapi definisi ini bukan definisi legal, karena beberapa negara 

bagian definisi remaja hanya sampai pada umur 15 tahun (CT, NC, and NY) 

sedangkan yang lain umur 16 tahun (GA, IL, LA, MA, MI, MO, NH, SC, Tx, dan 

WI) (Butts and Travis, 2002: 3).

4.1.2 Penyebab Penurunan Angka Kejahatan

Tingginya angka kejahatan pemuda telah menyita perhatian berbagai 

pihak, khususnya para orang tua, para pembuat kebijakan, media massa, begitupun 

dengan khalayak publik. Sejumlah hipotesis dikemukakan oleh para pengamat 

untuk menjelaskan fenomena perputaran secara tiba-tiba ini, dimana kasus 

kekerasan di Amerika menurun sejak tahun 1994 meskipun tidak diketahui alasan 

pastinya. Butts dan Travis mengemukakan penurunan dalam kasus kejahatan di 

antaranya disebabkan oleh pengaruh menguatnya perekonomian di akhir tahun 90-

an, bertumbuhnya budaya intoleransi terhadap perilaku kekerasan, perubahan 

pasar ilegal narkoba, kebijakan-kebijakan baru untuk mengatur akses terhadap 

senjata api, hukuman penjara yang diperpanjang, pertumbuhan komunitas yang 

memelihara keamanan hukum, dan inovasi peradilan kriminal lainnya (2002: 3).

Pada kesimpulannya Butts dan Travis mengungkapkan bahwa perubahan 

cepat dari perilaku kekerasan ini dihubungkan dengan kondisi pada masa itu yang 

mempengaruhi perilaku pemuda; fluktuasi pengangguran dan keterpurukan 

ekonomi, kaitan antara kekerasan pasar narkoba dan senjata api serta tingkat 

kerusuhan komunitas secara umum dan kualitas kehidupan sehari-hari untuk anak￾anak, pemuda dan keluarga. Oleh karena itu, menurut mereka kebijakan dan 

penelitian di kemudian hari perlu mengombinasikan kekuatan sosial untuk setiap 

gelombang kekerasan remaja, yakni peneliti harus rutin memonitor kondisi 

komunitas berbarengan dengan tingkah laku dan norma yang diterapkan oleh 

pemuda untuk lebih memahami perilaku yang dianggap tidak pantas dan tidak 

dapat diterima di antara populasi pemuda. Dengan begitu, program penelitian 

untuk mendeteksi kondisi dan perilaku ini  dapat membantu komunitas dalam 

mengantisipasi dan menghindari peningkatan tiba-tiba kekerasan pemuda di 

kemudian hari (2002: 10).

Sejalan dengan itu, sosiolog dan krimonilog Chris Uggen dan Suzy 

McElrath dalam tulisan mereka ―Six Social Sources of the U.S. Crime Drop‖

tahun 2013 menjelaskan bahwa banyak hal yang memengaruhi penurunan 

kejahatan, terkait kontrol sosial formal seperti peningkatan polisi dan penjara, 

perubahan secara luas dalam populasi dan peranan ekonomi. Selain itu, 

disebabkan juga oleh perubahan bertahap dalam kehidupan sosial Amerika dan 

interaksi satu sama lain, termasuk perubahan dalam institusi-institusi, teknologi


dan praktek-praktek budaya. Misalnya perbaikan dalam kontrol sosial formal 

berhubungan dengan layanan yang diberikan oleh kepolisian umum dan swasta; 

perpanjangan masa hukuman dan peningkatan drastis dalam populasi penjara, dari 

241.000 di tahun 1975 menjadi 773.000 di tahun 1990 kemudian menjadi lebih 

dari 1,6 juta di tahun 2010. 

Faktor pendukung lainnya adalah adanya strategi yang efektif dan 

kenaikan jumlah aparat kepolisian di jalanan yang didukung dengan kecanggihan 

teknologi termasuk penemuan bukti DNA mampu mengungkap berbagai kasus 

kejahatan. Sejumlah perbaikan ini  didukung dengan insiasi keluarga maupun 

komunitas, yang mengungkap kasus kejahatan maupun mencegah terjadinya 

kejahatan dengan kecanggihan teknologi lewat kamera pengintai, CCTV, sistem 

pelacak, GPS, dan layanan 911. 

Di sisi lain, sebuah fakta yang cukup menarik didapatkan bahwa resesi 

nasional Amerika tidak begitu berpengaruh pada kejahatan senjata yang ada. 

Krisis ekonomi negara yang dialami tahun 2007-2009 dengan tingkat 

pengangguran yang sangat tinggi tidak membuat angka kejahatan meningkat, 

justru berdasarkan data FBI menurun dibandingkan tahun sebelumnya, meski 

kemudian mengalami kenaikan di tahun 2011. Para pengamat menjelaskan situasi 

ini dihubungkan dengan kesempatan kejahatan yang juga menurun sebab dengan 

keadaan tanpa pekerjaan banyak orang memilih untuk berada di dalam rumah, 

oleh karena itu dapat mencegah terjadinya kejahatan properti yang pada waktu itu


mengalami penurunan signifikan. Meskipun tentu banyak faktor lain yang ikut 

berpengaruh di dalamnya. Oleh karena itu, sebagian kriminolog menganggap 

hanya sebagian kecil dari penurunan kejahatan dihubungkan dengan kondisi 

ekonomi (http://thesocietypages.org/papers/crime-drop/). Faktor lain yang banyak 

disebutkan adalah berkurangnya paparan terhadap senjata api akibat urbanisasi. 

Dengan meningkatnya urbanisasi dari desa ke perkotaan di satu sisi memberi 

pengaruh terhadap penurunan tradisi berburu, khususnya oleh anak muda sehingga 

menurunkan resiko kecelakaan kematian akibat senjata api (Hemenwey, 2004; 

Legault, 2008). 

Meskipun angka kejahatan senjata api telah menurun signifikan selama 20 

tahun terakhir, akan tetapi dengan angka kematian sekitar 30.000 per tahun akibat 

senjata api masih sangatlah tinggi, bahkan berkali lipat lebih tinggi dibandingkan 

negara industri lainnya. Dari berita yang dilansir ABC News Desember 2012, 

tingkat pembunuhan senjata api di Amerika lebih tinggi dibandingkan negara 

berkembang lainnya, yaitu 3,2 per 100.000 orang, sementara Italia yang juga 

anggota G-8 menempati posisi kedua dengan angka jauh di bawah Amerika yaitu 

0,71, sedangkan Kanada 0,5, Jepang, Perancis, dan Britania Raya 0,1 per 100.000 

orang. Bahkan dalam investigasi oleh NBC News tahun 2013 dicatat, anak berusia 

5 hingga 14 tahun di Amerika 13 kali lebih mungkin terbunuh dengan senjata api 

dibanding dengan anak-anak di Jepang, Italia, atau negara industri lainnya. Seorang remaja di Amerika Serikat saat ini lebih mungkin meninggal akibat luka 

tembak daripada semua gabungan penyebab "alami" kematian (OJJDP, 1999). 

Oleh karena itu, permasalahan senjata api di Amerika masih bersifat akut 

dan perlu penanganan yang lebih serius. Masih banyak pekerjaan rumah yang 

harus diselesaikan pemerintah Amerika, karena penurunan angka kejahatan saat 

ini masih jauh dari tujuan terciptanya ketaatan hukum yang ideal sebagai sebuah 

negara hukum. 

4.2 Konteks Sosial Isu Kekerasan Senjata Api 

Zimring dan Hawkins sebagaimana disebutkan dalam bab III menyatakan 

bahwa ketersediaan senjata api bukanlah persoalan tunggal penyebab kekerasan 

senjata di Amerika. Ada banyak hal lain yang ikut memengaruhi fenomena 

ini  yang kini mewabahi segala lini kehidupan warga , karena kekerasan 

senjata tidak saja hanya terjadi di jalanan tetapi juga merebak akut terjadi di 

rumah-rumah dan diperparah dengan maraknya penembakan massal di lingkungan 

pendidikan. Bahkan, tragedi kejahatan senjata tidak hanya bersarang di pusat kota￾kota besar semata, tetapi juga merambat ke wilayah pedesaan terpencil sekalipun. 

Open Society Institute dalam evaluasi yang dilakukan menyatakan bahwa 

hubungan antara hukum senjata api dan kekerasan diperumit dengan banyak 

faktor, termasuk demografi, level urbanisasi, kemiskinan, pengangguran, 

kejahatan terorganisir, penggunaan narkoba dan alkohol, luasnya kepemilikansenjata api, superioritas senapan genggam versus senapan laras panjang (rifles dan 

shotguns) dalam warga , dan jarak antara negara-negara bagian dengan 

hukum senjata yang lebih lemah atau lebih kuat (2000: 4). Sejalan dengan itu, 

Klerk (1991) juga menganalisa bahwa ketersediaan senjata dan kontrol senjata 

adalah dua faktor di antara sekian banyak lainnya (termasuk kemiskinan dan 

ketimpangan ekonomi, rasisme, gangguan sosial dan narkoba–pada dasarnya 

indikator dari pemisahan sosial) yang membantu memertahankan level kronis dari 

kejahatan senjata (Squires, 2000: 88). 

Untuk itu, pada bagian ini akan dibahas beberapa isu sosial dalam konteks 

kehidupan warga  Amerika yang secara krusial melatarbelakangi tingginya 

angka kekerasan senjata api di Amerika serta bagaimana hal ini  memberi 

pengaruh terhadap perubahan dalam kehidupan warga  itu sendiri. 

4.2.1 Segregasi, Marginalisasi, dan Rasisme dalam Aturan Hukum Hak 

Kepemilikan Senjata Api 

Dalam kemajemukan warga  Amerika, terdapat perbedaan mencolok 

secara demografis, antara karakteristik pelaku dan korban pembunuhan dengan 

karakteristik umum populasi keseluruhan. Berdasarkan data yang dikumpulkan 

pemerintah (BJS, 2011) yang tersedia dari tahun 1980 sampai 2008 diketahui 

bahwa pola kriminalisasi dan viktimisasi paling banyak terjadi di antara anak 

muda laki-laki kulit hitam. Hal ini terjadi karena berbagai faktor kompleks yang memengaruhi, seperti lingkungan tempat tinggal dan aktivitas berbahaya dimana 

kelompok ini paling banyak terlibat. Aspek yang kemudian menjadi kekhawatiran 

besar di Amerika yaitu angka kejahatan kalangan anak muda, keterlibatan dalam 

geng, narkotika dan alkohol—yang umumnya merupakan ciri kekerasan di kota￾kota besar. Aktivitas kekerasan dan kejahatan ini  sangat umum diikuti 

dengan penggunaan senjata api. Oleh sebab itu, untuk lebih memahami sejumlah 

kondisi ini , berikut uraian data tren pembunuhan berdasarkan ras; ukuran 

kota; dan keterlibatan geng, narkoba dan alkohol


Berdasarkan data BJS, ras kulit hitam secara mencolok merepresentasi 

baik sebagai korban maupun pelaku pembunuhan. Tingkat viktimisasi untuk orang 

kulit hitam (27,8 per 100.000) adalah 6 kali lebih tinggi daripada tingkat ras kulit



putih (4,5 per 100.000). Tingkat pelaku pembunuhan untuk kulit hitam (34,4 per 

100.000) hampir 8 kali lebih tinggi dari tingkat untuk kulit putih (4,5 per 100.000) 

(2011: 3). Pola ini  memuncak pada awal 1990-an pada angka 51,1 pelaku per 

100.000 pada tahun 1991 (BJS, 2011: 11). Meskipun terlihat bahwa angka 

kejahatan secara keseluruhan menurun drastis pascapuncaknya, akan tetapi untuk 

tingkat pelaku untuk kulit hitam pada tahun 2008 (24,7 pelaku per 100.000) masih 

7 kali lebih tinggi dari tingkat untuk kulit putih (3,4 pelaku per 100.000). 

Meskipun begitu, sebagian besar kasus pembunuhan ini  bersifat intrarasial 

yakni dari tahun 1980 sampai 2008, diketahui 93% korban kulit hitam dibunuh 

oleh pelaku kulit hitam, dan 84% dari korban kulit putih dibunuh oleh pelaku kulit 

putih (BJS, 2011: 13).

b. Tren Kejahatan Berdasarkan Ukuran Kota


Kota-kota besar paling rawan mengalami kejahatan, dimana pembunuhan 

dengan senjata mendominasi angka 59,6%, sedangkan mayoritas dari semua 

pembunuhan terkait narkoba 67,4%, dan geng 69,6% juga paling banyak terjadi di 

kota-kota besar. 

c. Keterlibatan Geng, Narkoba dan Alkohol

Berdasarkan OJJDP (1999), geng telah menjamur dengan cepat sejak 

tahun 1980 yang dulu terdapat sekitar 2.000 geng dengan 100.000 anggota di 286 kota, menjadi bertambah drastis 31.000 geng dengan 846.000 anggota di 4.800 

kota di tahun 1996. Selain itu, data BJS dari tahun 1980 sampai 2008 

menunjukkan bahwa pembunuhan melibatkan orang dewasa atau kekerasan geng 

remaja meningkat dari sekitar 220 kasus pembunuhan di 1980 menjadi 960 kasus 

pembunuhan pada tahun 2008 (2011: 26). Kemudian data dari National Institute 

of Justice (NIJ) pembunuhan terkait senjata api paling umum terjadi di kalangan 

geng dan selama tindak pelaksanaan kejahatan, dan persentasi ini  meningkat 

dari tahun 1980 sampai 2005. Sementara itu, kasus pembunuhan ras kulit hitam 

yang melibatkan narkoba 62,1%, sedangkan kulit putih 36,9% dan 1% dari ras 

lain. Dua pertiga dari kasus pembunuhan terkait narkoba dilakukan oleh pelaku 

kulit hitam (65,6%) (BJS, 2011: 12). Data dari Centers For Disease Control And 

Prevention (CDC) menunjukkan bahwa pada tahun 1998, kematian akibat alkohol 

untuk laki-laki adalah 3,5 kali dari angka perempuan, dan tingkat bagi kulit hitam 

1,5 kali dari kulit putih (2000: 11).

Dari serangkaian data ini  terlihat dengan jelas bahwa kejahatan 

senjata api secara mencolok terjadi di antara warga kulit hitam dibandingkan 

dengan warga kulit putih, lebih banyak terjadi di kota-kota besar dengan 

keterlibatan anggota geng, narkoba dan alkohol yang tinggi dan dominan diikuti 

dengan penggunaan senjata api. Kenyataan ini tidak terlepas dari kondisi yang 

melatarbelakangi hal ini , yaitu perbedaan lingkungan tempat tinggal dimana 

kebanyakan kejahatan terkonsentrasi di wilayah tempat tinggal yang kumuh, di lingkungan pusat perkotaan dan pinggiran kota yang secara sosial termarjinalkan, 

sebagai akibat dari adanya segregasi. Mirisnya, wilayah terabaikan ini  

sebagian besar dihuni oleh warga kulit hitam. 

John R. Logan dari Brown University di tahun 2014 mengungkap hasil 

penelitiannya yang menyoroti tentang ―Separate and Unequal in Suburbia‖. 

Logan mencermati bertumbuhnya keragaman etnis dan ras dalam kehidupan 

daerah pinggiran kota masa kini, yang dulunya pada tahun 1980 hampir 90% kulit 

putih kini menjadi jauh beragam. Akan tetapi menurut Logan tingkat ketimpangan 

masih tinggi meskipun terdapat moderasi segregasi perumahan di rata-rata daerah 

pinggiran kota. Kelompok yang berbeda hidup terbagi oleh batasan ras dan etnis. 

As is true in cities, blacks and Hispanics live in the least desirable 

neighborhoods, even when they can afford better. And their children attend the 

lowest performing schools. This is a familiar story in older central cities. Because 

moving to the suburbs was once believed to mean making it into the mainstream, 

these disparities are especially poignant, and they puncture the image of a post 

racial America (http://www.s4.brown.edu/us2010).

Logan mengevaluasi akibat lain dari segregasi yaitu lingkungan kelompok￾kelompok ini  tidak setara. Sama seperti laporan untuk daerah metropolitan, 

warga kulit putih dan Asia pinggiran kota tinggal di lingkungan yang lebih baik 

(yaitu dengan kemiskinan yang lebih rendah) dibandingkan warga kulit hitam dan 

Hispanik, meskipun mereka memiliki pendapatan yang tinggi. Ketidaksetaraan 

juga terjadi dalam berbagai pelayanan publik, termasuk fasilitas sekolah yang jauh 

berbeda. Selain itu, New York Times juga melansir berita analisis pembunuhan dan 

sensus data di Chicago yang membandingkan daerah rawan pembunuhan dengan yang tidak. ―Residents living near homicides in the last 12 years were much more 

likely to be black, earn less money and lack a college degree.‖

(http://www.nytimes.com/interactive/2013/01/02/us/chicago-killings.html?_r=0).

Sementara Jason Silverstein dalam tulisannya mengkritisi segregasi rasial 

pemukiman seperti yang terjadi di kota Chicago, dimana kota ini menjadi salah 

satu kota yang paling tersegregasi di Amerika yang bisa dilihat dari perbedaan 

mencolok harapan hidup antara lingkungan mayoritas kulit putih dan lingkungan 

mayoritas kulit hitam. Pendapat ini sejalan dengan pengamatan sosiolog William 

J. Wilson yang menyatakan bahwa segregasi menyebabkan sejumlah akumulasi 

kerugian. 

Segregate a population and they get decreased access to resources, increased 

poverty and joblessness, and more constraints on their life chances. Concentrated 

poverty creates an environment for violence. But violence, also, creates more 

poverty: fewer businesses want to invest in an area, which depresses property 

values and decreases civil services, and keeps people disconnected from job 

networks. Gun violence is a public health problem that causes more public health 

problems. (http://blogs.plos.org/publichealth/2013/07/25/the-gun-violence-epidemic/).

Melengkapi itu, Short (1996) juga berpendapat bahwa dengan berubahnya 

ekonomi politik kota-kota di Amerika dan marginalisasi sejumlah besar penduduk 

dalam kota dari arus utama aktivitas ekonomi telah menimbulkan aktivitas 

perdagangan narkoba terselubung dengan tingkat kepemilikan senjata api yang 

tinggi dan keanggotaan geng. Sedangkan menurut Huff (1996b) sebagian besar 

anggota geng ini  memiliki akses terhadap senjata yang bersifat mematikan 

dan lebih canggih daripada senjata standar yang dikeluarkan untuk aparat penegak hukum (Squires, 2000: 87-88). Kondisi ini diperparah dengan kecenderungan 

hukum yang rasis dan ketersediaan aparat keamanan yang tidak mengimbangi 

kejahatan yang ada di jalanan. ―Worse, the residents of entire neighbourhoods are 

written off or further alienated by aggressive, or operationally racist, policing 

initiatives which fail to distinguish between victims and violators (Squires, 2000: 

23).‖

Ketidakberpihakan pada kelompok marginal ini  menciptakan 

ketimpangan sosial yang besar dalam warga , yang berdampak pada 

mencoloknya tingkat kriminalitas di wilayah ini , sedangkan wilayah ini juga 

jauh dari berbagai fasilitas memadai yang menjamin kesejahteraan warganya, baik 

dari segi layanan publik seperti sekolah, kesehatan, bahkan jaminan keamanan. 

Itulah sebabnya kejahatan dan keterpurukan dari berbagai sisi kehidupan tumbuh 

subur di daerah ini  yang mayoritas penghuninya merupakan warga kulit 

hitam. Bahkan beberapa hukum kontrol senjata api pun sering dianggap bersifat 

rasis. 

The Sullivan Law yang disahkan pada tahun 1991 disebut-sebut sebagai 

contoh dari hukum kontrol senjata api yang membatasi kepemilikan berdasarkan 

ras. Dijelaskan oleh Legault bahwa The Sullivan Law sebagai sebuah reaksi 

diskriminasi terhadap besarnya imigran Eropa Timur yang masuk dan bersama 

mereka unsur anarkisme, sosialisme dan kerusuhan (2008: 31), ―In this case, gun 

control was only intended to disarm minority groups consisting of blacks, immigrants, or other ‗undesirable‘ classes such as the Irish, Italians, or Jews by 

the discretionary nature of the issuance of police permits for the possession and 

concealed carry of firearms (Tonso, 1982: 256-257; Kopel, 1992: 342-343)‖.

Sedangkan Cottrol dan Diamond (1995) dalam Squires (2000: 80) mengatakan 

―The typically discretionary character of such early efforts at citizen disarmament 

serves to reinforce arguments about the racist nature of many gun control 

initiatives and, relatedly, the rather selective interpretation of the Second 

Amendment‖. Menurut Legault stratifikasi sosial menjadi tema sentral dalam 

kepemilikan senjata api dalam warga  yang mengalami pemberontakan masa 

awal industrial Amerika (2008: 31). 

Di satu sisi, Republikan dan NRA sebagaimana diketahui juga sangat 

menekankan hak membawa senjata jenis apapun sebagai bagian dari hak warga 

sipil, akan tetapi mencegah kepemilikan senjata ini  jatuh ke tangan yang 

salah. Sedangkan warga kulit hitam harus hidup menanggung stereotip yang 

cenderung negatif di antara kalangan warga  Amerika sehingga sering 

menyulitkan kelompok ini untuk mendapatkan hak-haknya termasuk keluasan 

akses selayaknya warga kulit putih. Squires menyimpulkan: 

In particular, the alleged relationships between firearms, race and class and the 

idea of the violent ghettos, fuel an especially hard-edged cocktail of racist and 

reactionary values linking the break-down of family and community, with drug￾dealing, rampant criminality, benefit dependency and firearms (2000: 95-96). 

Di pihak lain, politik kontrol senjata api menjadi alat dalam 

memarginalisasi kelompok tertentu dari hak kepemilikan senjata. Oleh sebab itu, berdasarkan demografi data kepemilikan senjata api selama ini didominasi oleh 

warga kulit putih yang dianggap memiliki legalitas dalam aturan umum 

kepemilikan senjata. Adapun karakteristik ini  disebutkan oleh beberapa 

peneliti yang dikutip oleh Legault (2008: 40) sebagai berikut:

According to most descriptive accounts of gun owners in the U.S., we know that 

members of the gun culture tend to be white, male, rural, Protestant, and middle 

class 

addition, gun ownership tends to be more heavily concentrated in the South and 

South-Western regions of the country 

Gun owners were often socialized to become part of the gun culture by their 

parents who owned guns 

Karakteristik ini  hingga saat ini masih serupa sebagaimana sejumlah poling 

yang dilakukan belum lama ini. Salah satunya oleh Gallup dan Harris di tahun 

2001, ―Throughout any of the years that the survey has been conducted gun 

owners remain chiefly rural, Southern, Protestant, Republican, middle-aged, 

white, and male  Penjelasan 

karakteristik ini  menunjukkan kuatnya dominasi warga kulit putih terhadap 

hak kepemilikan senjata api sejak dulu hingga sekarang. Warga kulit hitam belum 

sepenuhnya mendapat privilese yang sama selayaknya warga kulit putih dalam 

berbagai aspek kehidupan.

4.2.2 Isu Feminisme dalam Kepemilikan Senjata Api 

Isu lain yang mengemuka dalam kehidupan kontemporer Amerika adalah 

jumlah keterlibatan perempuan yang membeli senjata semakin meningkat, meskipun selama ini tetap didominasi oleh kaum lelaki. Berdasarkan data BJS 

(2011: 3) tahun 1980-2008 laki-laki tetap mewakili 77% korban pembunuhan dan 

hampir 90% pelaku pembunuhan, sedangkan tingkat viktimisasi untuk laki-laki 

(11,6 per 100.000) adalah 3 kali lebih tinggi dari tingkat untuk perempuan (3,4 per 

100.000), dan tingkat pelaku untuk laki-laki (15,1 per 100.000) hampir 9 kali lebih 

tinggi dari tingkat untuk perempuan (1,7 per 100.000). Akan tetapi pola ini mulai 

bergeser dengan persebaran angka perempuan yang semakin terlibat. 

NRA dan industri senjata kerap mengiklankan kebutuhan perempuan 

terhadap senjata api dengan dalil bahwa kebutuhan ini menjadi utama di era 

modern saat perempuan sangat rentan menjadi target ancaman kekerasan. Bahkan 

model dan warna senjata api kini tersedia dengan tampilan ‗feminis‘ untuk 

memikat pengguna senjata perempuan. 

Squires dalam bukunya mengutip beberapa pengamat yang menyoroti isu 

ini, seperti Quigley yang menyatakan perubahan budaya dan demografi ini 

dipengaruhi dan sekaligus juga mencerminkan kekayaan feminisme di Amerika 

Serikat. Perempuan masa kini lebih banyak yang bekerja di luar rumah, memiliki 

penghasilan yang baik dan hidup sendiri sehingga menjadi target pemerkosaan, 

perampokan dan penyerangan, untuk itu kebutuhan perlindungan pribadi menjadi 

akut (Quigley, 1989: 7). Tetapi Lentz mengkritisi Quigley yang dinilai 

membangun kasusnya pada pernyataan bahwa warga  telah berubah, bukan perempuan (Lentz, 1993: 383), sehingga warga  direpresentasikan telah 

menjadi lebih berbahaya (Squires, 2000: 93). 

Selain itu juga, The Guardian pada artikel bulan November 1995 melansir 

peningkatan keterlibatan gadis remaja dalam aktivitas komplotan geng selama 

dekade terakhir, dimana mereka tidak lagi segan untuk membunuh demi 

mendapatkan apa yang dia inginkan, ―The wider social context for this shift of 

adolescent girls into gang activity was said to be the American government 

cutting back on welfare payments and thereby increasing the pressure on teenage 

girls trapped between a lack of job opportunities, broken homes and early 

pregnancy.‖ Perubahan pola keterlibatan dalam geng tercermin dari angka 

kejahatan, dimana angka penangkapan perempuan untuk tindakan pidana berat 

meningkat 10% setiap tahun sejak pertengahan 1980 (Squires, 2000: 121-122). 

Banyak hal yang ditengarai memengaruhi fenomena ini, seperti 

disebabkan oleh permasalahan rumah tangga yang dialami, kondisi keluarga yang 

tidak harmonis, perpisahan orang tua, ataupun orang tua dipenjara, diperparah 

dengan kehidupan di lingkungan yang keras, membuat banyak anak muda 

Amerika masa kini tumbuh tanpa role model dan berkeliaran di lingkungan yang 

semakin berbahaya. Akibatnya secara umum meningkatkan resiko pemuda untuk 

terlibat dalam aktivitas kriminal yang kemudian mengarus pada booming-nya 

angka kematian usia muda. 


Setiap tahun sekitar 30.000 orang tewas akibat luka tembakan, sedangkan 

senjata api rata-rata digunakan dalam 70% tindak kriminalitas. Fakta ini  

menjadikan kekerasan senjata api sebagai bagian dari isu masalah kesehatan 

warga . Bahkan dengan meningkatnya pembunuhan massal para ahli 

kesehatan setuju bahwa kekerasan senjata merupakan penyakit sosial, karena 

seperti epidemi virus ini mewabah secara nasional yang dipicu oleh berbagai 

permasalahan sosial yang ada. Sebagaimana James Mercy dari Centers For 

Disease Control And Prevention menyatakan, ―Violence is a crime issue, it is a 

social problem, it is a human rights problem, it is also a public health problem‖

(http://blogs.plos.org/publichealth/2013/07/25/the-gun-violence-epidemic/).

Para ahli mengategorikan kepemilikan senjata api pribadi sebagai bagian 

dari masalah kesehatan sosial karena hal ini dapat menyebabkan berbagai 

permasalahan lain, tindakan kriminal, kecelakaan, dan bunuh diri. Kebanyakan 

kecelakaan terjadi karena kekuranghati-hatian dan penyimpanan yang kurang 

aman. Sebagian besar kasus penembakan oleh anak kecil melibatkan senjata api 

miliki orang tua atau kakek-nenek mereka (Hemenway, 2004: 33), sedangkan 

angka kecelakaan yang tinggi diyakini diakibatkan besarnya angka kepemilikan 

senjata api yang disimpan di dalam rumah. 

About 260 million to 300 million firearms are owned by civilians in the United 

States; about one-third of American homes have one. Guns are used in two-thirds 

of homicides, according to the FBI. About 9% of all violent crimes involve a gun 

— roughly 338,000 cases each year.


http://usatoday30.usatoday.com/news/health/story/2012-08-11/guns-public￾health/56979706/1)

Di satu sisi, dengan jumlah fantastis kepemilikan senjata api juga 

meningkatkan berbagai resiko bahaya, luka tembakan yang tidak disengaja, bunuh 

diri dan terjadinya pembunuhan. David Hemenway secara khusus meneliti tentang 

resiko ini  dalam bukunya Private Guns Public Health (2004). Misalnya 

antara tahun 1991 dan 2000, ditemukan bahwa di lingkungan tempat tinggal 

negara bagian yang tinggi senjata api memiliki resiko lebih dari 10 kali lipat untuk 

meninggal dalam kecelakaan senjata, daripada mereka yang berada di negara 

bagian dengan tingkat senjata api yang rendah (2004: 29). Sedangkan dalam 

beberapa studi ditemukan bahwa negara-negara bagian dengan tingkat 

kepemilikan senjata api yang tinggi juga memiliki tingkat bunuh diri dengan 

senjata api yang lebih tinggi (Hemenway, 2004; National Research Council, 

2005). Hemenway juga menambahkan bahwa dalam dua studi kasus kontrol 

ditemukan bahwa senjata di dalam rumah meningkatkan dua kali lipat resiko 

anggota keluarga untuk pembunuhan (2004: 81).

Berbagai kumpulan data FBI bahkan menunjukkan bahwa penembakan 

senjata justru banyak terjadi di antara orang-orang yang dikenal, baik anggota 

keluarga, kerabat, pasangan ataupun teman, sebagai akibat dari pertengkaran, 

kecelakaan, bunuh diri ataupun alasan lainnya daripada alasan yang awalnya 

dibeli dimaksudkan untuk perlindungan diri.


Selain itu data dari BJS pada tahun 2007-2011, mayoritas kekerasan 

senjata api nonfatal justru banyak terjadi di dalam atau di sekitar rumah korban 

(42%), atau di daerah terbuka, di jalan, atau saat dalam transportasi umum (23%) 

(2013: 8). Sedangkan hanya sekitar 1% dari keseluruhan kejahatan kekerasan 

nonfatal diketahui korban menggunakan senjata untuk perlindungan diri, 

sementara angka ini  tetap stabil di bawah 2% dari tahun 1993 hingga 2011 

(BJS, 2013: 12). Oleh karena itu, keinginan menyimpan senjata ini justru 

dianggap menimbulkan berbagai resiko fatal daripada digunakan untuk 

menghindari kejahatan. 

Ironisnya di Amerika lebih banyak orang menggunakan senjata untuk 

bunuh diri daripada dibunuh oleh orang lain. Misalnya pada tahun 1996, dari 

sebanyak 34.040 orang yang meninggal akibat tembakan di Amerika Serikat, 

sekitar 54% kasus bunuh diri, sedangkan 41% pembunuhan dan 3% tidak 

disengaja (OJJDP, 1999). Bahkan angka bunuh diri dengan senjata api meningkat 

setiap tahun di Amerika, yang diketahui naik 75% antara 1965 hingga 1985, dan 

secara konstan naik sejak itu. Sejak 1965 lebih dari setengah juta orang Amerika 

melakukan bunuh diri dengan senjata api, angka ini  hampir 10 kali lipat 

angka yang tewas akibat kecelakaan senjata (Hemenway, 2004: 35-36).


Tren ini terus meningkat dari data CDC dengan angka bunuh diri 

mencapai 21.175 di tahun 2013 (www.cdc.gov/nchs/fastats/suicide.htm). Di 

Amerika, lebih banyak orang bunuh diri dengan senjata api dibanding dengan 

semua gabungan metode yang ada. Masalah ini kebanyakan merupakan masalah 

anak muda dan usia paruh baya, akan tetapi anak-anak juga mengalami kasus ini 

dengan jumlah yang tinggi, bahkan lebih tinggi daripada negara berkembang 

lainnya. Sementara itu, faktor resiko terkuat individu untuk mencoba bunuh diri 

adalah gangguan jiwa atau penyalahgunaan zat (Hemenway, 2004: 37). Senjata 

dipilih sebagai alat bunuh diri karena dua hal: efek senjata yang paling mematikan 

dalam waktu cepat dan dapat diakses. Oleh karena itu, para ahli berpendapat


kehadiran senjata dalam rumah meningkatkan berbagai macam resiko 

(http://www.hsph.harvard.edu/magazine-features/guns-and-suicide-the-hidden￾toll/). Selain itu, resiko lain yang umum terjadi adalah rentan mengalami 

pencurian karena senjata juga menjadi barang incaran para perampok. 

Diperkirakan hampir setengah juta senjata dicuri setiap tahun dan banyak di 

antaranya kemudian digunakan dalam kejahatan (Hemenway, 2004: 82), 

sebagaimana telah dibahas pada Bab III. 

Pembunuhan terkait senjata api umumnya terjadi di perkotaan sedangkan 

bunuh diri kebanyakan terjadi di pedesaan karena di wilayah ini paling banyak 

rumah tangga memiliki senjata api (Valdez and Ferguson, 2011: 57). Dengan 

demikian, lingkungan perkotaan ataupun pedesaaan di Amerika sama-sama rawan 

mengalami kasus kekerasan senjata api yang berujung pada tingginya angka 

kematian. Tingginya angka ini  sesungguhnya sangat dapat dihindari jika saja 

paparan terhadap senjata api dan aksesnya tidak semudah seperti sekarang ini di 

Amerika Serikat. 

4.2.4 Perubahan Budaya, Nilai, dan Tradisi warga  Amerika

Beranjak dari wilayah tanpa tatanan hukum dan pemerintahan, wilayah 

buas dan tradisional pedesaan, Amerika saat ini telah berkembang menjadi negara 

industrial modern yang maju dan terus berkembang pesat. Kemajuan ini  

bukan tanpa konsekuensi. Berbagai permasalahan muncul seiring dengan


kompleksitas kebutuhan warga  perkotaan yang berdampak pada terkikisnya 

budaya dan nilai tradisional Amerika zaman dulu yang salah satunya 

terepresentasikan dalam hak kepemilikan senjata api oleh warga sipil. Zaman 

modern dan berbagai tuntutannya, memberi dampak pada perubahan demografis, 

perubahan struktur keluarga, sosial warga , perubahan gaya hidup, nilai dan 

tradisi, maupun institusi yang cenderung menghendaki pencapaian tujuan dengan 

cara instan. Cara hidup baru ini  mempengaruhi cara pandang dan sikap 

warga  terhadap kehidupan itu sendiri seiring dengan kuatnya paham 

individualisme Amerika, begitupun dengan hak kepemilikan senjata api. 

Perubahan dalam tradisi senjata api tercermin lewat tradisi berburu yang 

saat ini semakin berkurang jumlahnya. Tradisi ini merupakan kegiatan yang 

mewarnai sebagian besar budaya senjata penduduk sipil di lingkungan pedesaan di 

abad ke-20. Sedangkan berkurangnya tradisi ini salah satunya dipengaruhi oleh 

perubahan demografis warga  Amerika, yang mencakup level urbanisasi 

warga  dari desa ke kota yang kurang memiliki tradisi berburu, juga 

perubahan struktur keluarga yakni banyak keluarga masa kini tidak lagi memiliki 

lelaki panutan untuk meneruskan tradisi berburu. Selain itu juga muncul berbagai 

aktivis lingkungan dan kelompok pecinta binatang yang menentang kegiatan ini. 

Kondisi ini secara signifikan memberi dampak pada penurunan penjualan rifles

dan shotguns sebagai senjata untuk hobi berburu dan olahraga menembak.


Dengan menurunnya penjualan jenis senapan laras panjang mendorong 


perusahaan senjata api untuk memberikan penawaran baru untuk beralih ke 


senapan genggam sebagai alat perlindungan di jalanan. Squires mengevaluasi hal 


penting dari peralihan ini, dari lingkungan tradisional yang beradab, budaya 


senjata di pedesaan menjadi budaya perkotaan yang berbahaya (2000: 57). 


Orientasi terhadap penggunaan senjata api pun bertransisi. Sementara itu, 


perubahan cepat dalam kemajuan perkotaan industri di Amerika memengaruhi 


stabilitas sosial dalam warga . Sebagaimana Legault (2008: 21) di dalam 


bukunya menulis: 


Conflicts, major wars, civil disorder, feuds, crime, heterogeneous immigration, 


huge population growth and an industrial base that grew at a much faster rate 


than those in similar countries all contributed to a less stable society and conflict, 


thus increasing rates of gun ownership for personal and communal defense 


(Lane, 1997:104-107, 110-111; Monkkonen, 2001:2137-39).


Peralihan dan perubahan ini  meningkatkan tindak kekerasan antar￾personal, terutama dengan menjamurnya keanggotaan kelompok geng dan angka 


kepemilikan senjata api yang tinggi di antara warga. Gerney dan Parsons 


mengemukakan bahwa pada tahun 1999, estimasi 49% pemilik senjata 


melaporkan kepemilikannya untuk tujuan berburu dan 26% untuk perlindungan 


pribadi, sedangkan pada tahun 2013 angka ini  terbalik berubah menjadi 


masing-masing 32% dan 48% persen. Kemudian senjata api semi-otomatis dengan 


magasin lebih besar juga lebih popular menggantikan revolver tradisional 6-tembakan sementara senjata semi-otomatis rifle hitam bergaya militer 


mengungguli rifle kayu yang dulunya mendominasi (2014b: 3).


Selain itu, sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa upaya 


pembatasan senjata api diawali di kota-kota besar yang mengindikasikan 


kecenderungan penggunaan senjata api dalam warga  yang berkaitan dengan 


tingkat keamanan dan kesejahteraan di wilayah ini . Seperti hukum tertua 


kontrol senjata api The Sullivan Law di New York tahun 1911. Kota besar yang 


berkembang pesat menciptakan gap-gap tersendiri dalam warga  terlebih 


dengan kecenderungan hukum yang rasis mengakibatkan terjadinya ketimpangan 


sosial, terutama masih adanya sentimen tertentu terhadap kelompok-kelompok 


warga  marginal. Kondisi ini rentan memicu kejahatan merebak terjadi di 


jalanan yang kemudian berdampak pada kenaikan permintaan senjata api di 


kalangan warga  dengan alasan sebagian besar untuk perlindungan diri. 


Gerney dan Parsons berpendapat bahwa hukum federal dan negara bagian 


yang ada saat ini mencerminkan perubahan dalam kecemasan pada waktu ketika 


hukum ini  diundangkan. Oleh karena itu, hukum federal dan negara bagian 


cenderung meregulasi senapan genggam lebih ketat dibandingkan dengan senapan 


laras panjang karena lebih banyak digunakan dalam kejahatan karena bentuknya 


yang mudah disembunyikan. Oleh karena itu, senjata jenis ini dianggap cocok 


untuk lingkungan perkotaan terutama ketika pada akhir abad ke-20 ketika 


gelombang kejahatan meningkat. Selain itu, rifle dan shotgun merupakan tipe senjata yang banyak dihubungkan dengan aktivitas olahraga menembak dan 


berburu sehingga banyak hukum federal dan negara bagian memusatkan regulasi 


senjata yang banyak dihubungan dalam kejahatan perkotaan dan meminimalisir


hukum yang akan memberi dampak pada aktivitas tradisional berburu dan 


olahraga (2014a: 6). 


Akan tetapi, seiring waktu jenis senjata laras panjang kemudian memberi 


dampak substansi dalam jumlah kenaikan kejahatan senjata api, khususnya di 


pinggiran kota dan komunitas pedesaan (2014a: 8-9). Padahal jenis senapan serbu 


juga sering digunakan dalam penembakan massal seperti pembantaian di 


Newtown dan di Bioskop Aurora tahun 2012. Peningkatan terhadap penggunaan 


senapan laras panjang dalam tindak kejahatan akhir-akhir ini menjadi tanda 


bahaya bahwa tidak ada senjata api yang aman atau yang memiliki sedikit resiko 


jika beredar luas di kalangan warga , terutama karena sifat senjata api itu 


sendiri yang mematikan di tengah warga  yang agresif dan aktif dalam 


penggunaan senjata api. Kepemilikan senjata api yang dulunya identik dengan 


tradisi berburu, kini tergerus dengan kepentingan perlindungan diri sebagai bagian 


dari tuntutan kehidupan modern Amerika. 


4.2.4.1 Pembudayaan Senjata Api Abad Modern


Di pihak lain, modernisasi menjadi momok tersendiri bagi warga  


Amerika. Kehidupan warga  modern yang menghendaki cara instan dalam mencapai tujuan menjadi alat yang dimanfaatkan korporasi untuk terus berupaya 


dengan segala cara mencari keuntungan pribadi tanpa menghiraukan akibat 


bahaya yang ditimbulkan. Dengan perubahan dalam kecanggihan teknologi yang 


dimiliki Amerika saat ini, pabrik senjata terus berupaya untuk mengembangkan 


dan memodifikasi model senjata dengan berbagai cara, mengiklankan efisiensi, 


kemudahan dibawa/disimpan, kecepatan hingga ukuran yang juga cocok untuk 


penggunanya, termasuk untuk perempuan yang terus digaungkan sebagai alat 


perlindungan diri dari berbagai ancaman kejahatan. Bahkan untuk menghindari 


tipikal jenis senjata yang dilarang pabrik senjata memodifikasi model senjatanya 


agar dapat lolos dari sistem regulasi yang dilarang. 


The gun manufacturer Glock spearheaded a process that allowed handguns to be 


manufactured using plastic polymer rather than metal, which made them 


potentially undetectable by metal detectors. Concern over these new guns and the 


threat they posed to airline security led to the enactment of the Undetectable 


Firearms Act of 1988, which banned firearms that did not contain a certain 


amount of metal (Gerney and Parsons, 2014a: 4).


Kecanggihan senjata api yang semakin berkembang saat ini mendorong 


pengaturan regulasi yang lebih komprehensif, sebagaimana hukum senjata yang 


juga ikut berubah. Tidak kalah dalam proses pembudayaan senjata api ini yaitu 


peran industri media massa dalam mempertahankan imej senjata api.


Even so, a superficial examination of American orientations to firearms might 


suggest a fairly seamless transition here–just as a generation of Hollywood‘s 


maverick cowboys slipped effortlessly from their western landscapes into 


identical roles as tough city cops in a later film genre. Likewise the USA‘s media 


industries have undoubtedly played a major role in sustaining the imagery, 


values and characters associated with America‘s western frontier by constantly 


recycling America‘s western traditions (Squires, 2000: 57).Hal krusial dalam penciptaan imej senjata api adalah pencitraan tokoh dan 


cerita kepahlawanan dan keadilan yang diperoleh dengan senjata api sebagai alat 


pendukung mencapai tujuan ini . 


Regarding history and culture through the lenses of Hollywood, the civilizing 


then decivilising ‗genres of the gun‘ can seem particularly emphatic. We move 


from narratives focusing upon The Gun that Won the West, defeating the Indians, 


taming the frontier, rescuing the girl and making the man (Slotkin, 1992) to 


Robocop, the self styled ‗future of law enforcement‘ dealing out swift ‗justice‘ in 


a post-apocalyptic city-scape by invariably shooting first. (Squires, 2000: 205-


206).


Dari genre film koboi beralih ke efek yang lebih modern, tetapi memiliki inti yang 


sama—memproyeksikan senjata api sebagai alat meraih keadilan dan menegakkan


hukum. Dengan cara ini , brutalisme dalam film dapat menjadi ―pembenaran‖ 


aksi kekerasan karena senjata pada akhirnya membawa kemenangan dalam 


balutan kisah heroik. Tema balas dendam dengan menggunakan senjata api, 


ketidakpercayaan pada kemampuan penegak hukum, menciptakan sikap main 


hakim sendiri di kalangan warga  dan glorious kemenangan dalam kisah yang 


didramatisir merupakan unsur penyempurna cerita sehingga terkesan bahwa 


tindakan ini  menjadi jalan keluar ketika hukum tidak berpihak pada 


warga  ―kecil‖. 


warga  tumbuh dalam lingkungan yang penuh kekerasan, baik di 


dunia nyata, dunia maya maupun fiksi. Di era modern pencitraan lewat berbagai 


media oleh para aktor lobi senjata menjadi bentuk pembudayaan baru senjata api. 


Media telivisi, musik, film, majalah, novel, komik, video game, bahkan layanan internet kerap mempertontonkan dan menyuguhkan adegan kekerasan disertai


penggunaan senjata api, sehingga warga  Amerika dibuat ―terbiasa‖ dengan 


paparan adegan kekerasan yang melibatkan senjata api. Ironisnya adegan ini  


banyak dicontoh oleh anak muda. Contohnya kasus pembantaian yang 


menghebohkan dunia yang terjadi di bioskop Aurora, Colorado tahun 2012. 


Ketika pemutaran premier film terbaru Batman, pelaku pembantaian berdandan 


dan mengaku sebagai ―The Joker‖ lakon antagonis dalam film laga ini  


kemudian membantai seisi ruang bioskop yang mengakibatkan setidaknya 12 


orang tewas dan 58 orang lainnya terluka akibat tembakan peluru. Tragedi 


ini  menjadi salah satu contoh dampak buruk kekerasan media yang kemudian 


ditiru. 


Kondisi ini diperparah dengan adanya layanan internet yang umumnya 


jauh dari kontrol hukum, memudahkan penjualan kebutuhan senjata yang 


berlangsung bebas kapanpun secara online. Ribuan situs penjualan senjata dari 


pistol hingga senapan serbu dijual bebas tanpa harus melewati sistem pelacakan 


ataupun pengecekan riwayat hidup calon pembeli, seperti halnya pembelian pada 


agen resmi. Kemudahan fasilitas inilah yang dimanfaatkan James Holmes (27 


tahun) pelaku penembakan bioskop Aurora dengan memborong 6000 amunisi dari 


internet yang digunakan dalam aksi brutal pembantaian massal, sedangkan 4 


senjata yang digunakan Holmes dibeli secara legal di toko senjata lokal, termasuk 


rifle semi otomatis AR-15. Dari sini terlihat jelas bagaimana senjata api tidak lagi hanya menjadi milik budaya tradisional pedesaan tetapi telah menjadi bagian dari 


tren gaya hidup baru abad modern. 


4.2.4.2 Poling Opini Publik


Berdasarkan hasil poling dari Gallup tahun 2014, angka kepemilikan 


senjata api di rumah Amerika mengalami penurunan sejak puncaknya awal 90-an 


(http://www.gallup.com/poll/1645/guns.aspx). Hal ini sedikit banyak disebabkan 


oleh regulasi kontrol senjata api yang diperketat khususnya pada pemerintahan 


Bill Clinton. Akan tetapi saat ini, perubahan signifikan terjadi pada dukungan 


warga  terhadap pengaturan untuk memperketat penjualan senjata api yang 


justru semakin menurun setiap tahun berdasarkan historis rekaman data poling 


Gallup, seperti pada Gambar 4.3 berikut.


Kurang dari setengah penduduk memilih untuk memperketat kontrol 


senjata (47%), meskipun angka ini  masih lebih tinggi dari dukungan untuk 


mempertahankan hukum seperti sekarang (38%), dan kurang diperketat (14%). 


Sementara itu, banyak warga tidak menyetujui jika ada hukum yang melarang 


kepemilikan senapan genggam selain untuk pihak berwajib 73%, sedangkan yang 


setuju pelarangan sebanyak 26%. Angka dukungan terhadap hukum pelarangan ini 


semakin menurun setiap tahunnya, dimana pada tahun 1959 angka ini  


terbalik, lebih besar sebanyak 60% yang setuju sementara yang tidak setuju 36% 


dan 4% tidak memberikan pendapat. 


Perubahan angka ini  menunjukkan kebutuhan warga  yang 


semakin besar terhadap senjata api dan bahwa dengan memiliki senjata api di 


dalam rumahnya banyak warga merasa lebih aman 64%, sedangkan merasa lebih 


berbahaya 30%, dan 6% menjawab tergantung, dan 1% tanpa opini. Angka ini 


jauh berbeda di tahun 1993 dan semakin meningkat sejak itu, sebanyak 24% 


menjawab lebih aman sementara dengan memiliki senjata lebih berbahaya 


sebanyak 52%.


Kecemasan warga tidak terlepas dari maraknya kejahatan senjata yang 


terjadi dalam kehidupan kontemporer Amerika yang mengancam nyawa terutama 


dengan merebaknya kasus pembunuhan massal. Dalam survey ―Are We Safe? The 


1999 National Crime Prevention Survey‖ tahun 1999 dilaporkan bahwa terdapat 


level persisten kecemasan, gelisah dan ketakutan yang besar akan kejahatan yang 


memengaruhi kehidupan sehari-hari banyak orang di mana mereka tinggal, 


berbelanja dan bersantai . Hal ini sangat berpengaruh terhadap 


perubahan drastis cara hidup warga  Amerika modern yang kini memandang 


senjata api sebagai solusi keamanan pribadi dan untuk melindungi keluarga.


Meskipun saat ini, bahkan dalam periode 20 tahun terakhir, angka 


kejahatan telah jauh menurun dibandingkan awal tahun 90-an, akan tetapi warga 


masa kini merasa lebih aman jika memiliki senjata di rumah untuk melindungi diri 


dari penjahat, daripada khawatir dengan bahaya resiko kecelakaan senjata ataupun kekerasan domestik. Padahal angka kecelakaan dan kekerasan domestik terkait 


senjata api sangat tinggi terjadi di dalam rumah dengan senjata api.


Tindakan defensif dengan mempersenjatai diri menjadi sebuah ironi. 


Kondisi ini tercipta tidak terlepas dari adanya kekuatan lobi hak senjata dalam 


pencitraan dan pembudayaan senjata api yang tinggi di kalangan warga . 


Romantisme masa lalu, kisah patriotisme dalam simbol senjata api tidak lagi 


memainkan peranan signifikan dalam budaya modern, akan tetapi ketakutan 


warga  akan ancaman bahaya kejahatan masa kini yang dominan diekspos 


sehingga menjadi motifasi utama warga memiliki senjata api (perlindungan diri 


60%, berburu 36%, rekreasi/sport 13% berdasarkan Gallup). Hanya saja, pilihan 


perlindungan ini  diandalkan pada alat berbahaya yang mampu melumpuhkan 


bahkan mematikan targetnya. Dengan jumlah kepemilikan senjata api yang tinggi 


di dalam rumah (42% warga Amerika memiliki senjata api di rumah menurut 


poling Gallup) dan dengan dukungan 49 negara bagian yang memiliki aturan 


mengijinkan membawa senapan genggam tersebunyi (NSSF, 2012: 2) hanya 


menciptakan kondisi warga  bersenjata dan lingkungan yang semakin 


berbahaya. 


Tidak hanya itu, dengan dukungan keputusan terbaru Mahkamah Agung, 


maka saat ini lebih banyak warga  Amerika percaya bahwa Konstitusi 


melindungi hak warga negara untuk memiliki senjata (73%), sementara sedikit 


yang meyakini hak ini  hanya untuk anggota milisi (20%) berdasarkan hasil

poling Gallup tahun 2008. Sedikit banyak opini publik ini disebabkan oleh 


kurangnya pemahamaan warga  terhadap sejarah awal penyusunan 


Amandemen Kedua terkait hak warga sipil memiliki senjata api dan hanya 


terhipnotis dengan pencitraan budaya baru senjata dan ekspos kekerasan yang 


ditonjolkan oleh kelompok lobi senjata api. 


Mempertahankan budaya senjata api sama halnya dengan 


mempertahankan budaya kekerasan. Padahal jenis budaya ini  tidak pantas 


dan tidak layak lagi untuk dipertahankan di abad modern ini. Dengan kecanggihan 


teknologi semestinya tidak perlu lagi ada warga  bersenjata karena tidak lagi 


seperti zaman dulu yang masih berada dalam ancaman masa penjajahan dan 


peperangan. Sebagai sebuah negara maju, Amerika tentunya sudah memiliki 


personil keamanan yang baik dan dilengkapi dengan fasilitas canggih sehingga 


seyogyanya mampu menciptakan social order dalam warga , tanpa harus 


menyerahkan kendali ke tangan warga  itu sendiri lewat proteksi dengan 


senjata api, karena tidak hanya menciptakan situasi main hakim sendiri tetapi juga 


semakin memperlemah fungsi kepolisian yang berdampak pada stabilitas 


keamanan publik secara keseluruhan.Terdapat banyak perbedaan mendasar antara fungsi, makna, terutama 


pengalaman warga  yang hidup di abad awal negara dengan warga  masa 


kini terkait hak senjata api. Hak senjata yang awalnya di masa penjajahan


diperuntukkan bagi warga dalam tugasnya sebagai milisi, kini telah berubah 


menjadi hak individual warga untuk perlindungan diri di abad modern. Perubahan


ini disebabkan oleh adanya berbagai perbedaan mendasar dalam cara hidup 


warga nya. Kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik warga  yang 


mengalami perubahan drastis secara signifikan memengaruhi perubahan sikap dan 


pandangan warga  terkait hak kepemilikan senjata api.


Tradisi berburu sebagai warisan masa lampau dan kegemaran olahraga 


menembak kini harus diperhadapkan dengan tingginya angka statistik kejahatan 


senjata api. Senjata api yang dulunya diagungkan sebagai simbol superioritas


bangsa kini dianggap menjadi produk budaya kekerasan dan bagian dari penyakit 


sosial karena berbagai akibat fatal yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan.


Jaminan kebebasan hak yang diberikan negara Amerika kepada warganya 


untuk memiliki dan menyimpan senjata api lewat pengesahan Amandemen Kedua, 


ternyata menjadi bumerang bagi stabilitas keamanan negara Amerika itu sendiri. 


Berbagai permasalahan akut kekerasan senjata terjadi sebagai akibat dari kebebasan berlebihan dan kemudahan akses senjata api di abad modern Amerika. 


Tingginya angka kejahatan senjata dan pembunuhan massal membuat negara ini 


tidak lagi seaman dulu, bahkan lingkungan pendidikan tidak terlepas dari ancaman 


kejahatan senjata yang dulunya tidak pernah menjadi bagian kekhawatiran 


warga . 


Hal yang disayangkan bahwa negara ini tetap bersikukuh memertahankan 


budaya dan hak senjata api hingga saat ini apapun konsekuensinya. Padahal 


budaya kekerasan ini  semestinya sudah lama ditinggalkan karena tidak lagi 


selaras dengan nilai-nilai kehidupan masa kini yang mengandalkan kecanggihan 


teknologi dan informasi dibandingkan ketergantungan pada produk budaya 


kekerasan dengan dalil perlindungan diri, yang memiliki konsekuensi hilangnya 


30.000 nyawa setiap tahunnya di Amerika Serikat akibat luka tembakan senjata 


api. Berdasarkan realitas yang ada budaya senjata api tidak lagi signifikan 


memberi pengaruh baik bagi kehidupan sosial warga  Amerika masa kini, 


karena lebih besar resiko bahaya yang dihadapi.


Fenomena ini menjadi contoh bagaimana pengagungan demokrasi di 


Amerika diterapkan pada hal yang negatif yaitu dengan memberikan kebebasan 


dan perlindungan hak senjata api bagi warga sipil, yang justru membawa dampak 


buruk bagi stabilitas keamanan nasional negara Amerika itu sendiri. Sementara 


kontroversi berkepanjangan yang ditimbulkan tidak menunjukkan tanda usai karena dualisme opini publik hingga saat ini tidak menemukan titik temu bagi 


penyelesaian isu yang diperdebatkan. 


Kontroversi yang terus bergulir hingga saat ini hanya memperumit 


persoalan kekerasan senjata api karena kenyataannya bukanlah hal yang mudah 


diatasi. Meskipun terdapat berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk 


memperketat hukum kontrol senjata lewat berbagai undang-undang dan kebijakan,


yang saat ini diperkirakan terdapat 20.000 regulasi, ternyata tidak juga mampu 


meredam tingginya angka kejahatan senjata api di Amerika Serikat. Hal ini 


disebabkan oleh permasalahan kemudahan akses senjata api bukanlah persoalan 


tunggal di Amerika, akan tetapi berkaitan juga dengan tingkat kekerasan dan 


kejahatan di lingkungan warga  yang tinggi yang dilatarbelakangi oleh 


berbagai permasalahan sosial yang ada. Untuk itu, pemerintah Amerika harus 


terus berupaya mengatasi permasalahan kekerasan senjata api dari akar 


permasalahannya yang menyangkut isu sosial warga , dan tidak hanya 


menitikberatkan pada hukum kontrol senjata api semata. 


Perbedaan yang terjadi dari waktu ke waktu karena adanya benturan nilai￾nilai dalam warga  yang tidak lagi sejalan dengan kondisi warga  yang 


berubah. Nilai-nilai tradisional warga  tergilas dengan kepentingan abad 


modern. Salah satu penandanya adalah kompleksitas hukum kontrol senjata api 


yang ada saat ini menandakan kompleksitas kehidupan dan kebutuhan warga  


Amerika terhadap senjata api. Hanya saja kemajuan pesat dalam berbagai sisi kehidupan terutama ilmu pendidikan dan teknologi yang dimiliki saat ini, tidak 


lantas membuat warga  Amerika secara luas lebih bijaksana dalam menyikapi 


permasalahan isu hak senjata, terutama dalam praktek penggunaannnya di 


kalangan warga . Sementara lajunya pertumbuhan senjata belum mampu 


diimbangi dengan kesiapan negara menghadapi berbagai konsekuensinya. 


Melindungi keamanan dan menjaga ketertiban warga  seyogyanya menjadi 


tugas dan tanggung jawab utama negara dan bukan diberikan mandat kepada 


warga  itu sendiri. Jika seandainya negara dapat menjalankan fungsinya 


ini  dengan baik, maka warga  pun tidak perlu bersenjata untuk 


melindungi diri. Kebebasan individu selayaknya berada dalam batasan yang tegas 


yang tidak mendahului kepentingan kolektif, terutama yang menyangkut 


keselamatan orang banyak.


Selain itu, perubahan interpretasi terhadap Amandemen Kedua sebagai hak 


individu warga untuk memiliki senjata api harus dikaji ulang manfaatnya bagi 


khalayak banyak, mengingat bahwa kepemilikan senjata api secara luas terbukti 


lebih banyak membawa bahaya bagi warga  itu sendiri. Berbagai pembenahan 


lain juga perlu dilakukan oleh pemerintah Amerika, khususnya di sektor 


pendidikan dengan lebih menanamkan budaya anti kekerasan di kalangan anak 


muda, memperbaiki pelayanan publik yang adil dan merata tanpa memandang 


perbedaan suku, ras ataupun gender, perbaikan dalam sektor kesehatan yang 


menyangkut penyakit kesehatan mental warga , kesejahteraan meliputi penyediaan lapangan pekerjaan bagi pemuda, sektor sosial dengan mengaktifkan 


fungsi keluarga dan komunitas yang produktif dalam menciptakan lingkungan 


yang aman dan nyaman, memberantas narkotika serta memberikan jaminan 


keamanan lewat ketersediaan aparat keamanan. 


Pemerintah Amerika juga harus berupaya untuk menutup berbagai celah 


yang ada dalam hukum kontrol senjata api dan meminimalisir paparan warga  


terhadap senjata api. Selain itu, dengan angka kematian senjata api yang paling 


tinggi di antara negara industri lainnya, semestinya Amerika Serikat bisa belajar 


ataupun mengadopsi regulasi yang memperketat kontrol senjata api seperti di 


negara industrial lainnya yang memiliki tingkat kematian senjata api yang kecil, 


sebagaimana di Inggris, Jepang, ataupun Kanada yang paling memiliki persamaan 


sejarah dan budaya seperti Amerika. 


Dengan demikian, penanganan permasalahan harus dilakukan secara masif 


dengan pendekatan secara komprehensif, tidak saja hanya menekankan pada 


hukum, tetapi juga harus memerhatikan aspek-aspek sosial yang berkembang 


dalam warga . Tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga harus didukung oleh 


elemen warga  itu sendiri. Hal ini  krusial karena tren kejahatan yang 


terus berubah juga menandakan kecenderungan sikap warga  yang terus 


mengalami perubahan. Artinya, sikap warga  dapat berubah positif jika situasi 


dan kondisi lingkungan tempat tinggal secara khusus dan negara secara umum 


diciptakan kondusif. Banyak hukum kontrol senjata api baru ditelorkan karena adanya dorongan 


kuat dan tuntutan dari warga . Oleh karena itu, andil terbesar terhadap 


perubahan ke arah yang lebih baik berada di tangan warga  itu sendiri. 


Bahkan makna Konstitusi dapat berubah dengan kekuatan suara rakyat (vox 


populi). Oleh karena itu, jika warga  Amerika ingin mencapai stabilitas 


keamanan nasional, warga  Amerika perlu menyatukan persepsi, sebab 


dualisme dalam opini publik yang semakin tajam hanya akan menciptakan 


kontroversi tak berujung yang justru tidak membawa solusi konkret bagi


penyelesaian permasalahan yang diperdebatkan. 


Pada kesimpulan akhir, adanya perubahan budaya, politik dan sosial 


warga  memberi dampak resiprokal yang saling berpengaruh satu sama lain 


terhadap penggunaan dan eksistensi hak senjata api di tengah warga  Amerika 


yang berdinamika.