dungan bagi segenap warganya. Keamanan kolektif pun
kembali menjadi taruhannya.Babak Baru Kontroversi Abad XXI: Perubahan Interpretasi
Amandemen Kedua
Dari berbagai kasus terdahulu, United States v. Cruikshank (1875), United
States v. Miller (1939) kemudian Lewis v. United States (1980) putusan
Mahkamah Agung tetap konsisten pada paham bahwa Amandemen Kedua tidak
memberi jaminan bagi individu untuk memiliki dan membawa senjata api kecuali
untuk tujuan milisia. Hal ini terus berlanjut hingga putusan-putusan selanjutnya.
Banyak kalangan mengkritisi bahwa Mahkamah Agung gagal dalam memahami
Amandemen Kedua yang seyogyanya melindungi hak fundamental individu untuk
memiliki senjata api. Kontroversi antara kedua kubu tidak memberi jalan keluar
yang final terkait hak kepemilikan senjata api. Akan tetapi setelah sekian lama,
keputusan baru Mahkamah Agung memberi definisi berbeda terkait hak dalam
Amandemen Kedua (Stephens Jr. and Scheb II., 2008: 2).
Dalam keputusan kasus District of Columbia v. Heller (2008) dan
McDonald v. Chicago (2010), Mahkamah Agung mengesahkan bahwa
Amandemen Kedua melindungi hak individu untuk memiliki senjata api dengan
tujuan perlindungan diri. Mahkamah Agung juga memutus bahwa hak ini
harus dilindungi oleh semua level pemerintahan, tidak hanya federal tetapi juga
oleh negara-negara bagian, meskipun begitu hak ini ditegaskan tidak tanpa
batas. Keputusan baru ini mematahkan putusan-putusan sebelumnya dan justru semakin mengaburkan makna sebenarnya yang terkandung dalam Amandemen
Kedua dibandingkan masa awal ratifikasi. Perubahan ini terjadi karena adanya
peran kuat para aktor pendukung yang ada di belakangnya dan lingkungan yang
memungkinkan hal itu terjadi. Sebagaimana dijelaskan oleh Stephens Jr. dan
Scheb II (2008: ix) ―Constitutional law is constantly in-formed by numerous
actors‘ understandings of the meaning of the United States Constitution. Lawyers,
judges, politicians, academicians, and, of course, citizens all contribute to the
dialogue that produces constitutional law.‖
Perubahan interpretasi ini justru menciptakan kontroversi baru bagi
khalayak ramai karena berbagai masalah baru harus dipikirkan, yakni di antaranya
yang menyangkut pembatasan atau keluasan tempat di mana saja senjata api boleh
dibawa atau dipertontonkan. Selain itu masalah perbedaan hukum federal dan
negara bagian yang masih bertentangan—beberapa negara bagian masih
mengedepankan kontrol senjata yang ketat—membawa dilema sejauh mana
batasan peraturan dalam pelaksanaan antara hukum federal dan negara bagian
harus diatur. Dengan demikian, keputusan ini belum menjadi jalan keluar terbaik
yang mampu meredam kontroversi yang selama ini berlangsung di Amerika
Serikat tetapi justru menjadi sebuah propaganda.
Dalam dua dekade terakhir tren pembunuhan senjata api kembali
mengalami perubahan drastis pascapuncaknya di awal tahun 90-an. Angka
kejahatan senjata api secara simultan menunjukkan penurunan tajam, yang
terekam dalam data statistik pada Gambar 4.1 berikut. Berdasarkan data BJS, pembunuhan terkait senjata api turun sebesar 39%,
dari 18.253 pada tahun 1993 menjadi 11.101 tahun 2011. Sementara itu, kejahatan
senjata api nonfatal menurun 69%, dari 1,5 juta viktimisasi kejahatan pada tahun
1993 menjadi 467.300 viktimisasi pada tahun 2011. Kekerasan senjata api menyumbang sekitar 70% dari semua kasus pembunuhan dan kurang dari 10%
dari semua kejahatan kekerasan nonfatal dari tahun 1993 sampai 2011 (2013: 1).
Meskipun terdapat penurunan dalam kejahatan senjata api, akan tetapi dari tahun
1993 sampai 2010 tingkat tertinggi pembunuhan senjata api berdasarkan ras masih
didominasi oleh kaum laki-laki, kulit hitam, dan orang usia 18 sampai 24 tahun.
Pada tahun 2010, tingkat pembunuhan senjata api untuk kulit hitam adalah 14,6
per 100.000, dibandingkan dengan 1,9 untuk kulit putih, 2,7 untuk Indian Amerika
dan natif Alaska, dan 1,0 untuk orang Asia dan kepulauan Pasifik.
4.1.1 Penurunan Angka Kejahatan Senjata Api oleh Pemuda
Penurunan drastis juga terjadi pada pembunuhan senjata api oleh pemuda.
Dari tahun 1993 hingga 2010, tingkat pembunuhan bagi orang usia 18-24 tahun
menurun 51% dibandingkan dengan penurunan 35% untuk orang usia 25-34 dan
50% untuk orang usia 11 atau lebih muda (2013: 6). Kemudian angka penahanan
kejahatan kekerasan bagi remaja dan dewasa muda tahun 2000 hampir serendah
angka pada tahun 1980 bahkan angka penangkapan untuk pembunuhan lebih
rendah dibandingkan tahun 1980. Remaja dan dewasa muda bila digabungkan
(semua pemuda dibawah umur 24 tahun) bertanggung jawab terhadap 32%
kenaikan penahanan kejahatan kekerasan antara 1980 dan 2000, tapi kemudian
terhitung 58% penahanan menurun antara 1994 dan 2000 (Butts and Travis, 2002:
9). Dari sini dapat kita lihat bagaimana pengaruh besar dari kaum pemuda
terhadap tingkat kejahatan yang ada sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
Dalam referensi ini pemuda didefinisikan semua orang berumur di bawah
25 tahun. Grup ini termasuk dewasa muda (umur 18-24) dan remaja (di bawah 18
tahun). Akan tetapi definisi ini bukan definisi legal, karena beberapa negara
bagian definisi remaja hanya sampai pada umur 15 tahun (CT, NC, and NY)
sedangkan yang lain umur 16 tahun (GA, IL, LA, MA, MI, MO, NH, SC, Tx, dan
WI) (Butts and Travis, 2002: 3).
4.1.2 Penyebab Penurunan Angka Kejahatan
Tingginya angka kejahatan pemuda telah menyita perhatian berbagai
pihak, khususnya para orang tua, para pembuat kebijakan, media massa, begitupun
dengan khalayak publik. Sejumlah hipotesis dikemukakan oleh para pengamat
untuk menjelaskan fenomena perputaran secara tiba-tiba ini, dimana kasus
kekerasan di Amerika menurun sejak tahun 1994 meskipun tidak diketahui alasan
pastinya. Butts dan Travis mengemukakan penurunan dalam kasus kejahatan di
antaranya disebabkan oleh pengaruh menguatnya perekonomian di akhir tahun 90-
an, bertumbuhnya budaya intoleransi terhadap perilaku kekerasan, perubahan
pasar ilegal narkoba, kebijakan-kebijakan baru untuk mengatur akses terhadap
senjata api, hukuman penjara yang diperpanjang, pertumbuhan komunitas yang
memelihara keamanan hukum, dan inovasi peradilan kriminal lainnya (2002: 3).
Pada kesimpulannya Butts dan Travis mengungkapkan bahwa perubahan
cepat dari perilaku kekerasan ini dihubungkan dengan kondisi pada masa itu yang
mempengaruhi perilaku pemuda; fluktuasi pengangguran dan keterpurukan
ekonomi, kaitan antara kekerasan pasar narkoba dan senjata api serta tingkat
kerusuhan komunitas secara umum dan kualitas kehidupan sehari-hari untuk anakanak, pemuda dan keluarga. Oleh karena itu, menurut mereka kebijakan dan
penelitian di kemudian hari perlu mengombinasikan kekuatan sosial untuk setiap
gelombang kekerasan remaja, yakni peneliti harus rutin memonitor kondisi
komunitas berbarengan dengan tingkah laku dan norma yang diterapkan oleh
pemuda untuk lebih memahami perilaku yang dianggap tidak pantas dan tidak
dapat diterima di antara populasi pemuda. Dengan begitu, program penelitian
untuk mendeteksi kondisi dan perilaku ini dapat membantu komunitas dalam
mengantisipasi dan menghindari peningkatan tiba-tiba kekerasan pemuda di
kemudian hari (2002: 10).
Sejalan dengan itu, sosiolog dan krimonilog Chris Uggen dan Suzy
McElrath dalam tulisan mereka ―Six Social Sources of the U.S. Crime Drop‖
tahun 2013 menjelaskan bahwa banyak hal yang memengaruhi penurunan
kejahatan, terkait kontrol sosial formal seperti peningkatan polisi dan penjara,
perubahan secara luas dalam populasi dan peranan ekonomi. Selain itu,
disebabkan juga oleh perubahan bertahap dalam kehidupan sosial Amerika dan
interaksi satu sama lain, termasuk perubahan dalam institusi-institusi, teknologi
dan praktek-praktek budaya. Misalnya perbaikan dalam kontrol sosial formal
berhubungan dengan layanan yang diberikan oleh kepolisian umum dan swasta;
perpanjangan masa hukuman dan peningkatan drastis dalam populasi penjara, dari
241.000 di tahun 1975 menjadi 773.000 di tahun 1990 kemudian menjadi lebih
dari 1,6 juta di tahun 2010.
Faktor pendukung lainnya adalah adanya strategi yang efektif dan
kenaikan jumlah aparat kepolisian di jalanan yang didukung dengan kecanggihan
teknologi termasuk penemuan bukti DNA mampu mengungkap berbagai kasus
kejahatan. Sejumlah perbaikan ini didukung dengan insiasi keluarga maupun
komunitas, yang mengungkap kasus kejahatan maupun mencegah terjadinya
kejahatan dengan kecanggihan teknologi lewat kamera pengintai, CCTV, sistem
pelacak, GPS, dan layanan 911.
Di sisi lain, sebuah fakta yang cukup menarik didapatkan bahwa resesi
nasional Amerika tidak begitu berpengaruh pada kejahatan senjata yang ada.
Krisis ekonomi negara yang dialami tahun 2007-2009 dengan tingkat
pengangguran yang sangat tinggi tidak membuat angka kejahatan meningkat,
justru berdasarkan data FBI menurun dibandingkan tahun sebelumnya, meski
kemudian mengalami kenaikan di tahun 2011. Para pengamat menjelaskan situasi
ini dihubungkan dengan kesempatan kejahatan yang juga menurun sebab dengan
keadaan tanpa pekerjaan banyak orang memilih untuk berada di dalam rumah,
oleh karena itu dapat mencegah terjadinya kejahatan properti yang pada waktu itu
mengalami penurunan signifikan. Meskipun tentu banyak faktor lain yang ikut
berpengaruh di dalamnya. Oleh karena itu, sebagian kriminolog menganggap
hanya sebagian kecil dari penurunan kejahatan dihubungkan dengan kondisi
ekonomi (http://thesocietypages.org/papers/crime-drop/). Faktor lain yang banyak
disebutkan adalah berkurangnya paparan terhadap senjata api akibat urbanisasi.
Dengan meningkatnya urbanisasi dari desa ke perkotaan di satu sisi memberi
pengaruh terhadap penurunan tradisi berburu, khususnya oleh anak muda sehingga
menurunkan resiko kecelakaan kematian akibat senjata api (Hemenwey, 2004;
Legault, 2008).
Meskipun angka kejahatan senjata api telah menurun signifikan selama 20
tahun terakhir, akan tetapi dengan angka kematian sekitar 30.000 per tahun akibat
senjata api masih sangatlah tinggi, bahkan berkali lipat lebih tinggi dibandingkan
negara industri lainnya. Dari berita yang dilansir ABC News Desember 2012,
tingkat pembunuhan senjata api di Amerika lebih tinggi dibandingkan negara
berkembang lainnya, yaitu 3,2 per 100.000 orang, sementara Italia yang juga
anggota G-8 menempati posisi kedua dengan angka jauh di bawah Amerika yaitu
0,71, sedangkan Kanada 0,5, Jepang, Perancis, dan Britania Raya 0,1 per 100.000
orang. Bahkan dalam investigasi oleh NBC News tahun 2013 dicatat, anak berusia
5 hingga 14 tahun di Amerika 13 kali lebih mungkin terbunuh dengan senjata api
dibanding dengan anak-anak di Jepang, Italia, atau negara industri lainnya. Seorang remaja di Amerika Serikat saat ini lebih mungkin meninggal akibat luka
tembak daripada semua gabungan penyebab "alami" kematian (OJJDP, 1999).
Oleh karena itu, permasalahan senjata api di Amerika masih bersifat akut
dan perlu penanganan yang lebih serius. Masih banyak pekerjaan rumah yang
harus diselesaikan pemerintah Amerika, karena penurunan angka kejahatan saat
ini masih jauh dari tujuan terciptanya ketaatan hukum yang ideal sebagai sebuah
negara hukum.
4.2 Konteks Sosial Isu Kekerasan Senjata Api
Zimring dan Hawkins sebagaimana disebutkan dalam bab III menyatakan
bahwa ketersediaan senjata api bukanlah persoalan tunggal penyebab kekerasan
senjata di Amerika. Ada banyak hal lain yang ikut memengaruhi fenomena
ini yang kini mewabahi segala lini kehidupan warga , karena kekerasan
senjata tidak saja hanya terjadi di jalanan tetapi juga merebak akut terjadi di
rumah-rumah dan diperparah dengan maraknya penembakan massal di lingkungan
pendidikan. Bahkan, tragedi kejahatan senjata tidak hanya bersarang di pusat kotakota besar semata, tetapi juga merambat ke wilayah pedesaan terpencil sekalipun.
Open Society Institute dalam evaluasi yang dilakukan menyatakan bahwa
hubungan antara hukum senjata api dan kekerasan diperumit dengan banyak
faktor, termasuk demografi, level urbanisasi, kemiskinan, pengangguran,
kejahatan terorganisir, penggunaan narkoba dan alkohol, luasnya kepemilikansenjata api, superioritas senapan genggam versus senapan laras panjang (rifles dan
shotguns) dalam warga , dan jarak antara negara-negara bagian dengan
hukum senjata yang lebih lemah atau lebih kuat (2000: 4). Sejalan dengan itu,
Klerk (1991) juga menganalisa bahwa ketersediaan senjata dan kontrol senjata
adalah dua faktor di antara sekian banyak lainnya (termasuk kemiskinan dan
ketimpangan ekonomi, rasisme, gangguan sosial dan narkoba–pada dasarnya
indikator dari pemisahan sosial) yang membantu memertahankan level kronis dari
kejahatan senjata (Squires, 2000: 88).
Untuk itu, pada bagian ini akan dibahas beberapa isu sosial dalam konteks
kehidupan warga Amerika yang secara krusial melatarbelakangi tingginya
angka kekerasan senjata api di Amerika serta bagaimana hal ini memberi
pengaruh terhadap perubahan dalam kehidupan warga itu sendiri.
4.2.1 Segregasi, Marginalisasi, dan Rasisme dalam Aturan Hukum Hak
Kepemilikan Senjata Api
Dalam kemajemukan warga Amerika, terdapat perbedaan mencolok
secara demografis, antara karakteristik pelaku dan korban pembunuhan dengan
karakteristik umum populasi keseluruhan. Berdasarkan data yang dikumpulkan
pemerintah (BJS, 2011) yang tersedia dari tahun 1980 sampai 2008 diketahui
bahwa pola kriminalisasi dan viktimisasi paling banyak terjadi di antara anak
muda laki-laki kulit hitam. Hal ini terjadi karena berbagai faktor kompleks yang memengaruhi, seperti lingkungan tempat tinggal dan aktivitas berbahaya dimana
kelompok ini paling banyak terlibat. Aspek yang kemudian menjadi kekhawatiran
besar di Amerika yaitu angka kejahatan kalangan anak muda, keterlibatan dalam
geng, narkotika dan alkohol—yang umumnya merupakan ciri kekerasan di kotakota besar. Aktivitas kekerasan dan kejahatan ini sangat umum diikuti
dengan penggunaan senjata api. Oleh sebab itu, untuk lebih memahami sejumlah
kondisi ini , berikut uraian data tren pembunuhan berdasarkan ras; ukuran
kota; dan keterlibatan geng, narkoba dan alkohol
Berdasarkan data BJS, ras kulit hitam secara mencolok merepresentasi
baik sebagai korban maupun pelaku pembunuhan. Tingkat viktimisasi untuk orang
kulit hitam (27,8 per 100.000) adalah 6 kali lebih tinggi daripada tingkat ras kulit
putih (4,5 per 100.000). Tingkat pelaku pembunuhan untuk kulit hitam (34,4 per
100.000) hampir 8 kali lebih tinggi dari tingkat untuk kulit putih (4,5 per 100.000)
(2011: 3). Pola ini memuncak pada awal 1990-an pada angka 51,1 pelaku per
100.000 pada tahun 1991 (BJS, 2011: 11). Meskipun terlihat bahwa angka
kejahatan secara keseluruhan menurun drastis pascapuncaknya, akan tetapi untuk
tingkat pelaku untuk kulit hitam pada tahun 2008 (24,7 pelaku per 100.000) masih
7 kali lebih tinggi dari tingkat untuk kulit putih (3,4 pelaku per 100.000).
Meskipun begitu, sebagian besar kasus pembunuhan ini bersifat intrarasial
yakni dari tahun 1980 sampai 2008, diketahui 93% korban kulit hitam dibunuh
oleh pelaku kulit hitam, dan 84% dari korban kulit putih dibunuh oleh pelaku kulit
putih (BJS, 2011: 13).
b. Tren Kejahatan Berdasarkan Ukuran Kota
Kota-kota besar paling rawan mengalami kejahatan, dimana pembunuhan
dengan senjata mendominasi angka 59,6%, sedangkan mayoritas dari semua
pembunuhan terkait narkoba 67,4%, dan geng 69,6% juga paling banyak terjadi di
kota-kota besar.
c. Keterlibatan Geng, Narkoba dan Alkohol
Berdasarkan OJJDP (1999), geng telah menjamur dengan cepat sejak
tahun 1980 yang dulu terdapat sekitar 2.000 geng dengan 100.000 anggota di 286 kota, menjadi bertambah drastis 31.000 geng dengan 846.000 anggota di 4.800
kota di tahun 1996. Selain itu, data BJS dari tahun 1980 sampai 2008
menunjukkan bahwa pembunuhan melibatkan orang dewasa atau kekerasan geng
remaja meningkat dari sekitar 220 kasus pembunuhan di 1980 menjadi 960 kasus
pembunuhan pada tahun 2008 (2011: 26). Kemudian data dari National Institute
of Justice (NIJ) pembunuhan terkait senjata api paling umum terjadi di kalangan
geng dan selama tindak pelaksanaan kejahatan, dan persentasi ini meningkat
dari tahun 1980 sampai 2005. Sementara itu, kasus pembunuhan ras kulit hitam
yang melibatkan narkoba 62,1%, sedangkan kulit putih 36,9% dan 1% dari ras
lain. Dua pertiga dari kasus pembunuhan terkait narkoba dilakukan oleh pelaku
kulit hitam (65,6%) (BJS, 2011: 12). Data dari Centers For Disease Control And
Prevention (CDC) menunjukkan bahwa pada tahun 1998, kematian akibat alkohol
untuk laki-laki adalah 3,5 kali dari angka perempuan, dan tingkat bagi kulit hitam
1,5 kali dari kulit putih (2000: 11).
Dari serangkaian data ini terlihat dengan jelas bahwa kejahatan
senjata api secara mencolok terjadi di antara warga kulit hitam dibandingkan
dengan warga kulit putih, lebih banyak terjadi di kota-kota besar dengan
keterlibatan anggota geng, narkoba dan alkohol yang tinggi dan dominan diikuti
dengan penggunaan senjata api. Kenyataan ini tidak terlepas dari kondisi yang
melatarbelakangi hal ini , yaitu perbedaan lingkungan tempat tinggal dimana
kebanyakan kejahatan terkonsentrasi di wilayah tempat tinggal yang kumuh, di lingkungan pusat perkotaan dan pinggiran kota yang secara sosial termarjinalkan,
sebagai akibat dari adanya segregasi. Mirisnya, wilayah terabaikan ini
sebagian besar dihuni oleh warga kulit hitam.
John R. Logan dari Brown University di tahun 2014 mengungkap hasil
penelitiannya yang menyoroti tentang ―Separate and Unequal in Suburbia‖.
Logan mencermati bertumbuhnya keragaman etnis dan ras dalam kehidupan
daerah pinggiran kota masa kini, yang dulunya pada tahun 1980 hampir 90% kulit
putih kini menjadi jauh beragam. Akan tetapi menurut Logan tingkat ketimpangan
masih tinggi meskipun terdapat moderasi segregasi perumahan di rata-rata daerah
pinggiran kota. Kelompok yang berbeda hidup terbagi oleh batasan ras dan etnis.
As is true in cities, blacks and Hispanics live in the least desirable
neighborhoods, even when they can afford better. And their children attend the
lowest performing schools. This is a familiar story in older central cities. Because
moving to the suburbs was once believed to mean making it into the mainstream,
these disparities are especially poignant, and they puncture the image of a post
racial America (http://www.s4.brown.edu/us2010).
Logan mengevaluasi akibat lain dari segregasi yaitu lingkungan kelompokkelompok ini tidak setara. Sama seperti laporan untuk daerah metropolitan,
warga kulit putih dan Asia pinggiran kota tinggal di lingkungan yang lebih baik
(yaitu dengan kemiskinan yang lebih rendah) dibandingkan warga kulit hitam dan
Hispanik, meskipun mereka memiliki pendapatan yang tinggi. Ketidaksetaraan
juga terjadi dalam berbagai pelayanan publik, termasuk fasilitas sekolah yang jauh
berbeda. Selain itu, New York Times juga melansir berita analisis pembunuhan dan
sensus data di Chicago yang membandingkan daerah rawan pembunuhan dengan yang tidak. ―Residents living near homicides in the last 12 years were much more
likely to be black, earn less money and lack a college degree.‖
(http://www.nytimes.com/interactive/2013/01/02/us/chicago-killings.html?_r=0).
Sementara Jason Silverstein dalam tulisannya mengkritisi segregasi rasial
pemukiman seperti yang terjadi di kota Chicago, dimana kota ini menjadi salah
satu kota yang paling tersegregasi di Amerika yang bisa dilihat dari perbedaan
mencolok harapan hidup antara lingkungan mayoritas kulit putih dan lingkungan
mayoritas kulit hitam. Pendapat ini sejalan dengan pengamatan sosiolog William
J. Wilson yang menyatakan bahwa segregasi menyebabkan sejumlah akumulasi
kerugian.
Segregate a population and they get decreased access to resources, increased
poverty and joblessness, and more constraints on their life chances. Concentrated
poverty creates an environment for violence. But violence, also, creates more
poverty: fewer businesses want to invest in an area, which depresses property
values and decreases civil services, and keeps people disconnected from job
networks. Gun violence is a public health problem that causes more public health
problems. (http://blogs.plos.org/publichealth/2013/07/25/the-gun-violence-epidemic/).
Melengkapi itu, Short (1996) juga berpendapat bahwa dengan berubahnya
ekonomi politik kota-kota di Amerika dan marginalisasi sejumlah besar penduduk
dalam kota dari arus utama aktivitas ekonomi telah menimbulkan aktivitas
perdagangan narkoba terselubung dengan tingkat kepemilikan senjata api yang
tinggi dan keanggotaan geng. Sedangkan menurut Huff (1996b) sebagian besar
anggota geng ini memiliki akses terhadap senjata yang bersifat mematikan
dan lebih canggih daripada senjata standar yang dikeluarkan untuk aparat penegak hukum (Squires, 2000: 87-88). Kondisi ini diperparah dengan kecenderungan
hukum yang rasis dan ketersediaan aparat keamanan yang tidak mengimbangi
kejahatan yang ada di jalanan. ―Worse, the residents of entire neighbourhoods are
written off or further alienated by aggressive, or operationally racist, policing
initiatives which fail to distinguish between victims and violators (Squires, 2000:
23).‖
Ketidakberpihakan pada kelompok marginal ini menciptakan
ketimpangan sosial yang besar dalam warga , yang berdampak pada
mencoloknya tingkat kriminalitas di wilayah ini , sedangkan wilayah ini juga
jauh dari berbagai fasilitas memadai yang menjamin kesejahteraan warganya, baik
dari segi layanan publik seperti sekolah, kesehatan, bahkan jaminan keamanan.
Itulah sebabnya kejahatan dan keterpurukan dari berbagai sisi kehidupan tumbuh
subur di daerah ini yang mayoritas penghuninya merupakan warga kulit
hitam. Bahkan beberapa hukum kontrol senjata api pun sering dianggap bersifat
rasis.
The Sullivan Law yang disahkan pada tahun 1991 disebut-sebut sebagai
contoh dari hukum kontrol senjata api yang membatasi kepemilikan berdasarkan
ras. Dijelaskan oleh Legault bahwa The Sullivan Law sebagai sebuah reaksi
diskriminasi terhadap besarnya imigran Eropa Timur yang masuk dan bersama
mereka unsur anarkisme, sosialisme dan kerusuhan (2008: 31), ―In this case, gun
control was only intended to disarm minority groups consisting of blacks, immigrants, or other ‗undesirable‘ classes such as the Irish, Italians, or Jews by
the discretionary nature of the issuance of police permits for the possession and
concealed carry of firearms (Tonso, 1982: 256-257; Kopel, 1992: 342-343)‖.
Sedangkan Cottrol dan Diamond (1995) dalam Squires (2000: 80) mengatakan
―The typically discretionary character of such early efforts at citizen disarmament
serves to reinforce arguments about the racist nature of many gun control
initiatives and, relatedly, the rather selective interpretation of the Second
Amendment‖. Menurut Legault stratifikasi sosial menjadi tema sentral dalam
kepemilikan senjata api dalam warga yang mengalami pemberontakan masa
awal industrial Amerika (2008: 31).
Di satu sisi, Republikan dan NRA sebagaimana diketahui juga sangat
menekankan hak membawa senjata jenis apapun sebagai bagian dari hak warga
sipil, akan tetapi mencegah kepemilikan senjata ini jatuh ke tangan yang
salah. Sedangkan warga kulit hitam harus hidup menanggung stereotip yang
cenderung negatif di antara kalangan warga Amerika sehingga sering
menyulitkan kelompok ini untuk mendapatkan hak-haknya termasuk keluasan
akses selayaknya warga kulit putih. Squires menyimpulkan:
In particular, the alleged relationships between firearms, race and class and the
idea of the violent ghettos, fuel an especially hard-edged cocktail of racist and
reactionary values linking the break-down of family and community, with drugdealing, rampant criminality, benefit dependency and firearms (2000: 95-96).
Di pihak lain, politik kontrol senjata api menjadi alat dalam
memarginalisasi kelompok tertentu dari hak kepemilikan senjata. Oleh sebab itu, berdasarkan demografi data kepemilikan senjata api selama ini didominasi oleh
warga kulit putih yang dianggap memiliki legalitas dalam aturan umum
kepemilikan senjata. Adapun karakteristik ini disebutkan oleh beberapa
peneliti yang dikutip oleh Legault (2008: 40) sebagai berikut:
According to most descriptive accounts of gun owners in the U.S., we know that
members of the gun culture tend to be white, male, rural, Protestant, and middle
class
addition, gun ownership tends to be more heavily concentrated in the South and
South-Western regions of the country
Gun owners were often socialized to become part of the gun culture by their
parents who owned guns
Karakteristik ini hingga saat ini masih serupa sebagaimana sejumlah poling
yang dilakukan belum lama ini. Salah satunya oleh Gallup dan Harris di tahun
2001, ―Throughout any of the years that the survey has been conducted gun
owners remain chiefly rural, Southern, Protestant, Republican, middle-aged,
white, and male Penjelasan
karakteristik ini menunjukkan kuatnya dominasi warga kulit putih terhadap
hak kepemilikan senjata api sejak dulu hingga sekarang. Warga kulit hitam belum
sepenuhnya mendapat privilese yang sama selayaknya warga kulit putih dalam
berbagai aspek kehidupan.
4.2.2 Isu Feminisme dalam Kepemilikan Senjata Api
Isu lain yang mengemuka dalam kehidupan kontemporer Amerika adalah
jumlah keterlibatan perempuan yang membeli senjata semakin meningkat, meskipun selama ini tetap didominasi oleh kaum lelaki. Berdasarkan data BJS
(2011: 3) tahun 1980-2008 laki-laki tetap mewakili 77% korban pembunuhan dan
hampir 90% pelaku pembunuhan, sedangkan tingkat viktimisasi untuk laki-laki
(11,6 per 100.000) adalah 3 kali lebih tinggi dari tingkat untuk perempuan (3,4 per
100.000), dan tingkat pelaku untuk laki-laki (15,1 per 100.000) hampir 9 kali lebih
tinggi dari tingkat untuk perempuan (1,7 per 100.000). Akan tetapi pola ini mulai
bergeser dengan persebaran angka perempuan yang semakin terlibat.
NRA dan industri senjata kerap mengiklankan kebutuhan perempuan
terhadap senjata api dengan dalil bahwa kebutuhan ini menjadi utama di era
modern saat perempuan sangat rentan menjadi target ancaman kekerasan. Bahkan
model dan warna senjata api kini tersedia dengan tampilan ‗feminis‘ untuk
memikat pengguna senjata perempuan.
Squires dalam bukunya mengutip beberapa pengamat yang menyoroti isu
ini, seperti Quigley yang menyatakan perubahan budaya dan demografi ini
dipengaruhi dan sekaligus juga mencerminkan kekayaan feminisme di Amerika
Serikat. Perempuan masa kini lebih banyak yang bekerja di luar rumah, memiliki
penghasilan yang baik dan hidup sendiri sehingga menjadi target pemerkosaan,
perampokan dan penyerangan, untuk itu kebutuhan perlindungan pribadi menjadi
akut (Quigley, 1989: 7). Tetapi Lentz mengkritisi Quigley yang dinilai
membangun kasusnya pada pernyataan bahwa warga telah berubah, bukan perempuan (Lentz, 1993: 383), sehingga warga direpresentasikan telah
menjadi lebih berbahaya (Squires, 2000: 93).
Selain itu juga, The Guardian pada artikel bulan November 1995 melansir
peningkatan keterlibatan gadis remaja dalam aktivitas komplotan geng selama
dekade terakhir, dimana mereka tidak lagi segan untuk membunuh demi
mendapatkan apa yang dia inginkan, ―The wider social context for this shift of
adolescent girls into gang activity was said to be the American government
cutting back on welfare payments and thereby increasing the pressure on teenage
girls trapped between a lack of job opportunities, broken homes and early
pregnancy.‖ Perubahan pola keterlibatan dalam geng tercermin dari angka
kejahatan, dimana angka penangkapan perempuan untuk tindakan pidana berat
meningkat 10% setiap tahun sejak pertengahan 1980 (Squires, 2000: 121-122).
Banyak hal yang ditengarai memengaruhi fenomena ini, seperti
disebabkan oleh permasalahan rumah tangga yang dialami, kondisi keluarga yang
tidak harmonis, perpisahan orang tua, ataupun orang tua dipenjara, diperparah
dengan kehidupan di lingkungan yang keras, membuat banyak anak muda
Amerika masa kini tumbuh tanpa role model dan berkeliaran di lingkungan yang
semakin berbahaya. Akibatnya secara umum meningkatkan resiko pemuda untuk
terlibat dalam aktivitas kriminal yang kemudian mengarus pada booming-nya
angka kematian usia muda.
Setiap tahun sekitar 30.000 orang tewas akibat luka tembakan, sedangkan
senjata api rata-rata digunakan dalam 70% tindak kriminalitas. Fakta ini
menjadikan kekerasan senjata api sebagai bagian dari isu masalah kesehatan
warga . Bahkan dengan meningkatnya pembunuhan massal para ahli
kesehatan setuju bahwa kekerasan senjata merupakan penyakit sosial, karena
seperti epidemi virus ini mewabah secara nasional yang dipicu oleh berbagai
permasalahan sosial yang ada. Sebagaimana James Mercy dari Centers For
Disease Control And Prevention menyatakan, ―Violence is a crime issue, it is a
social problem, it is a human rights problem, it is also a public health problem‖
(http://blogs.plos.org/publichealth/2013/07/25/the-gun-violence-epidemic/).
Para ahli mengategorikan kepemilikan senjata api pribadi sebagai bagian
dari masalah kesehatan sosial karena hal ini dapat menyebabkan berbagai
permasalahan lain, tindakan kriminal, kecelakaan, dan bunuh diri. Kebanyakan
kecelakaan terjadi karena kekuranghati-hatian dan penyimpanan yang kurang
aman. Sebagian besar kasus penembakan oleh anak kecil melibatkan senjata api
miliki orang tua atau kakek-nenek mereka (Hemenway, 2004: 33), sedangkan
angka kecelakaan yang tinggi diyakini diakibatkan besarnya angka kepemilikan
senjata api yang disimpan di dalam rumah.
About 260 million to 300 million firearms are owned by civilians in the United
States; about one-third of American homes have one. Guns are used in two-thirds
of homicides, according to the FBI. About 9% of all violent crimes involve a gun
— roughly 338,000 cases each year.
http://usatoday30.usatoday.com/news/health/story/2012-08-11/guns-publichealth/56979706/1)
Di satu sisi, dengan jumlah fantastis kepemilikan senjata api juga
meningkatkan berbagai resiko bahaya, luka tembakan yang tidak disengaja, bunuh
diri dan terjadinya pembunuhan. David Hemenway secara khusus meneliti tentang
resiko ini dalam bukunya Private Guns Public Health (2004). Misalnya
antara tahun 1991 dan 2000, ditemukan bahwa di lingkungan tempat tinggal
negara bagian yang tinggi senjata api memiliki resiko lebih dari 10 kali lipat untuk
meninggal dalam kecelakaan senjata, daripada mereka yang berada di negara
bagian dengan tingkat senjata api yang rendah (2004: 29). Sedangkan dalam
beberapa studi ditemukan bahwa negara-negara bagian dengan tingkat
kepemilikan senjata api yang tinggi juga memiliki tingkat bunuh diri dengan
senjata api yang lebih tinggi (Hemenway, 2004; National Research Council,
2005). Hemenway juga menambahkan bahwa dalam dua studi kasus kontrol
ditemukan bahwa senjata di dalam rumah meningkatkan dua kali lipat resiko
anggota keluarga untuk pembunuhan (2004: 81).
Berbagai kumpulan data FBI bahkan menunjukkan bahwa penembakan
senjata justru banyak terjadi di antara orang-orang yang dikenal, baik anggota
keluarga, kerabat, pasangan ataupun teman, sebagai akibat dari pertengkaran,
kecelakaan, bunuh diri ataupun alasan lainnya daripada alasan yang awalnya
dibeli dimaksudkan untuk perlindungan diri.
Selain itu data dari BJS pada tahun 2007-2011, mayoritas kekerasan
senjata api nonfatal justru banyak terjadi di dalam atau di sekitar rumah korban
(42%), atau di daerah terbuka, di jalan, atau saat dalam transportasi umum (23%)
(2013: 8). Sedangkan hanya sekitar 1% dari keseluruhan kejahatan kekerasan
nonfatal diketahui korban menggunakan senjata untuk perlindungan diri,
sementara angka ini tetap stabil di bawah 2% dari tahun 1993 hingga 2011
(BJS, 2013: 12). Oleh karena itu, keinginan menyimpan senjata ini justru
dianggap menimbulkan berbagai resiko fatal daripada digunakan untuk
menghindari kejahatan.
Ironisnya di Amerika lebih banyak orang menggunakan senjata untuk
bunuh diri daripada dibunuh oleh orang lain. Misalnya pada tahun 1996, dari
sebanyak 34.040 orang yang meninggal akibat tembakan di Amerika Serikat,
sekitar 54% kasus bunuh diri, sedangkan 41% pembunuhan dan 3% tidak
disengaja (OJJDP, 1999). Bahkan angka bunuh diri dengan senjata api meningkat
setiap tahun di Amerika, yang diketahui naik 75% antara 1965 hingga 1985, dan
secara konstan naik sejak itu. Sejak 1965 lebih dari setengah juta orang Amerika
melakukan bunuh diri dengan senjata api, angka ini hampir 10 kali lipat
angka yang tewas akibat kecelakaan senjata (Hemenway, 2004: 35-36).
Tren ini terus meningkat dari data CDC dengan angka bunuh diri
mencapai 21.175 di tahun 2013 (www.cdc.gov/nchs/fastats/suicide.htm). Di
Amerika, lebih banyak orang bunuh diri dengan senjata api dibanding dengan
semua gabungan metode yang ada. Masalah ini kebanyakan merupakan masalah
anak muda dan usia paruh baya, akan tetapi anak-anak juga mengalami kasus ini
dengan jumlah yang tinggi, bahkan lebih tinggi daripada negara berkembang
lainnya. Sementara itu, faktor resiko terkuat individu untuk mencoba bunuh diri
adalah gangguan jiwa atau penyalahgunaan zat (Hemenway, 2004: 37). Senjata
dipilih sebagai alat bunuh diri karena dua hal: efek senjata yang paling mematikan
dalam waktu cepat dan dapat diakses. Oleh karena itu, para ahli berpendapat
kehadiran senjata dalam rumah meningkatkan berbagai macam resiko
(http://www.hsph.harvard.edu/magazine-features/guns-and-suicide-the-hiddentoll/). Selain itu, resiko lain yang umum terjadi adalah rentan mengalami
pencurian karena senjata juga menjadi barang incaran para perampok.
Diperkirakan hampir setengah juta senjata dicuri setiap tahun dan banyak di
antaranya kemudian digunakan dalam kejahatan (Hemenway, 2004: 82),
sebagaimana telah dibahas pada Bab III.
Pembunuhan terkait senjata api umumnya terjadi di perkotaan sedangkan
bunuh diri kebanyakan terjadi di pedesaan karena di wilayah ini paling banyak
rumah tangga memiliki senjata api (Valdez and Ferguson, 2011: 57). Dengan
demikian, lingkungan perkotaan ataupun pedesaaan di Amerika sama-sama rawan
mengalami kasus kekerasan senjata api yang berujung pada tingginya angka
kematian. Tingginya angka ini sesungguhnya sangat dapat dihindari jika saja
paparan terhadap senjata api dan aksesnya tidak semudah seperti sekarang ini di
Amerika Serikat.
4.2.4 Perubahan Budaya, Nilai, dan Tradisi warga Amerika
Beranjak dari wilayah tanpa tatanan hukum dan pemerintahan, wilayah
buas dan tradisional pedesaan, Amerika saat ini telah berkembang menjadi negara
industrial modern yang maju dan terus berkembang pesat. Kemajuan ini
bukan tanpa konsekuensi. Berbagai permasalahan muncul seiring dengan
kompleksitas kebutuhan warga perkotaan yang berdampak pada terkikisnya
budaya dan nilai tradisional Amerika zaman dulu yang salah satunya
terepresentasikan dalam hak kepemilikan senjata api oleh warga sipil. Zaman
modern dan berbagai tuntutannya, memberi dampak pada perubahan demografis,
perubahan struktur keluarga, sosial warga , perubahan gaya hidup, nilai dan
tradisi, maupun institusi yang cenderung menghendaki pencapaian tujuan dengan
cara instan. Cara hidup baru ini mempengaruhi cara pandang dan sikap
warga terhadap kehidupan itu sendiri seiring dengan kuatnya paham
individualisme Amerika, begitupun dengan hak kepemilikan senjata api.
Perubahan dalam tradisi senjata api tercermin lewat tradisi berburu yang
saat ini semakin berkurang jumlahnya. Tradisi ini merupakan kegiatan yang
mewarnai sebagian besar budaya senjata penduduk sipil di lingkungan pedesaan di
abad ke-20. Sedangkan berkurangnya tradisi ini salah satunya dipengaruhi oleh
perubahan demografis warga Amerika, yang mencakup level urbanisasi
warga dari desa ke kota yang kurang memiliki tradisi berburu, juga
perubahan struktur keluarga yakni banyak keluarga masa kini tidak lagi memiliki
lelaki panutan untuk meneruskan tradisi berburu. Selain itu juga muncul berbagai
aktivis lingkungan dan kelompok pecinta binatang yang menentang kegiatan ini.
Kondisi ini secara signifikan memberi dampak pada penurunan penjualan rifles
dan shotguns sebagai senjata untuk hobi berburu dan olahraga menembak.
Dengan menurunnya penjualan jenis senapan laras panjang mendorong
perusahaan senjata api untuk memberikan penawaran baru untuk beralih ke
senapan genggam sebagai alat perlindungan di jalanan. Squires mengevaluasi hal
penting dari peralihan ini, dari lingkungan tradisional yang beradab, budaya
senjata di pedesaan menjadi budaya perkotaan yang berbahaya (2000: 57).
Orientasi terhadap penggunaan senjata api pun bertransisi. Sementara itu,
perubahan cepat dalam kemajuan perkotaan industri di Amerika memengaruhi
stabilitas sosial dalam warga . Sebagaimana Legault (2008: 21) di dalam
bukunya menulis:
Conflicts, major wars, civil disorder, feuds, crime, heterogeneous immigration,
huge population growth and an industrial base that grew at a much faster rate
than those in similar countries all contributed to a less stable society and conflict,
thus increasing rates of gun ownership for personal and communal defense
(Lane, 1997:104-107, 110-111; Monkkonen, 2001:2137-39).
Peralihan dan perubahan ini meningkatkan tindak kekerasan antarpersonal, terutama dengan menjamurnya keanggotaan kelompok geng dan angka
kepemilikan senjata api yang tinggi di antara warga. Gerney dan Parsons
mengemukakan bahwa pada tahun 1999, estimasi 49% pemilik senjata
melaporkan kepemilikannya untuk tujuan berburu dan 26% untuk perlindungan
pribadi, sedangkan pada tahun 2013 angka ini terbalik berubah menjadi
masing-masing 32% dan 48% persen. Kemudian senjata api semi-otomatis dengan
magasin lebih besar juga lebih popular menggantikan revolver tradisional 6-tembakan sementara senjata semi-otomatis rifle hitam bergaya militer
mengungguli rifle kayu yang dulunya mendominasi (2014b: 3).
Selain itu, sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa upaya
pembatasan senjata api diawali di kota-kota besar yang mengindikasikan
kecenderungan penggunaan senjata api dalam warga yang berkaitan dengan
tingkat keamanan dan kesejahteraan di wilayah ini . Seperti hukum tertua
kontrol senjata api The Sullivan Law di New York tahun 1911. Kota besar yang
berkembang pesat menciptakan gap-gap tersendiri dalam warga terlebih
dengan kecenderungan hukum yang rasis mengakibatkan terjadinya ketimpangan
sosial, terutama masih adanya sentimen tertentu terhadap kelompok-kelompok
warga marginal. Kondisi ini rentan memicu kejahatan merebak terjadi di
jalanan yang kemudian berdampak pada kenaikan permintaan senjata api di
kalangan warga dengan alasan sebagian besar untuk perlindungan diri.
Gerney dan Parsons berpendapat bahwa hukum federal dan negara bagian
yang ada saat ini mencerminkan perubahan dalam kecemasan pada waktu ketika
hukum ini diundangkan. Oleh karena itu, hukum federal dan negara bagian
cenderung meregulasi senapan genggam lebih ketat dibandingkan dengan senapan
laras panjang karena lebih banyak digunakan dalam kejahatan karena bentuknya
yang mudah disembunyikan. Oleh karena itu, senjata jenis ini dianggap cocok
untuk lingkungan perkotaan terutama ketika pada akhir abad ke-20 ketika
gelombang kejahatan meningkat. Selain itu, rifle dan shotgun merupakan tipe senjata yang banyak dihubungkan dengan aktivitas olahraga menembak dan
berburu sehingga banyak hukum federal dan negara bagian memusatkan regulasi
senjata yang banyak dihubungan dalam kejahatan perkotaan dan meminimalisir
hukum yang akan memberi dampak pada aktivitas tradisional berburu dan
olahraga (2014a: 6).
Akan tetapi, seiring waktu jenis senjata laras panjang kemudian memberi
dampak substansi dalam jumlah kenaikan kejahatan senjata api, khususnya di
pinggiran kota dan komunitas pedesaan (2014a: 8-9). Padahal jenis senapan serbu
juga sering digunakan dalam penembakan massal seperti pembantaian di
Newtown dan di Bioskop Aurora tahun 2012. Peningkatan terhadap penggunaan
senapan laras panjang dalam tindak kejahatan akhir-akhir ini menjadi tanda
bahaya bahwa tidak ada senjata api yang aman atau yang memiliki sedikit resiko
jika beredar luas di kalangan warga , terutama karena sifat senjata api itu
sendiri yang mematikan di tengah warga yang agresif dan aktif dalam
penggunaan senjata api. Kepemilikan senjata api yang dulunya identik dengan
tradisi berburu, kini tergerus dengan kepentingan perlindungan diri sebagai bagian
dari tuntutan kehidupan modern Amerika.
4.2.4.1 Pembudayaan Senjata Api Abad Modern
Di pihak lain, modernisasi menjadi momok tersendiri bagi warga
Amerika. Kehidupan warga modern yang menghendaki cara instan dalam mencapai tujuan menjadi alat yang dimanfaatkan korporasi untuk terus berupaya
dengan segala cara mencari keuntungan pribadi tanpa menghiraukan akibat
bahaya yang ditimbulkan. Dengan perubahan dalam kecanggihan teknologi yang
dimiliki Amerika saat ini, pabrik senjata terus berupaya untuk mengembangkan
dan memodifikasi model senjata dengan berbagai cara, mengiklankan efisiensi,
kemudahan dibawa/disimpan, kecepatan hingga ukuran yang juga cocok untuk
penggunanya, termasuk untuk perempuan yang terus digaungkan sebagai alat
perlindungan diri dari berbagai ancaman kejahatan. Bahkan untuk menghindari
tipikal jenis senjata yang dilarang pabrik senjata memodifikasi model senjatanya
agar dapat lolos dari sistem regulasi yang dilarang.
The gun manufacturer Glock spearheaded a process that allowed handguns to be
manufactured using plastic polymer rather than metal, which made them
potentially undetectable by metal detectors. Concern over these new guns and the
threat they posed to airline security led to the enactment of the Undetectable
Firearms Act of 1988, which banned firearms that did not contain a certain
amount of metal (Gerney and Parsons, 2014a: 4).
Kecanggihan senjata api yang semakin berkembang saat ini mendorong
pengaturan regulasi yang lebih komprehensif, sebagaimana hukum senjata yang
juga ikut berubah. Tidak kalah dalam proses pembudayaan senjata api ini yaitu
peran industri media massa dalam mempertahankan imej senjata api.
Even so, a superficial examination of American orientations to firearms might
suggest a fairly seamless transition here–just as a generation of Hollywood‘s
maverick cowboys slipped effortlessly from their western landscapes into
identical roles as tough city cops in a later film genre. Likewise the USA‘s media
industries have undoubtedly played a major role in sustaining the imagery,
values and characters associated with America‘s western frontier by constantly
recycling America‘s western traditions (Squires, 2000: 57).Hal krusial dalam penciptaan imej senjata api adalah pencitraan tokoh dan
cerita kepahlawanan dan keadilan yang diperoleh dengan senjata api sebagai alat
pendukung mencapai tujuan ini .
Regarding history and culture through the lenses of Hollywood, the civilizing
then decivilising ‗genres of the gun‘ can seem particularly emphatic. We move
from narratives focusing upon The Gun that Won the West, defeating the Indians,
taming the frontier, rescuing the girl and making the man (Slotkin, 1992) to
Robocop, the self styled ‗future of law enforcement‘ dealing out swift ‗justice‘ in
a post-apocalyptic city-scape by invariably shooting first. (Squires, 2000: 205-
206).
Dari genre film koboi beralih ke efek yang lebih modern, tetapi memiliki inti yang
sama—memproyeksikan senjata api sebagai alat meraih keadilan dan menegakkan
hukum. Dengan cara ini , brutalisme dalam film dapat menjadi ―pembenaran‖
aksi kekerasan karena senjata pada akhirnya membawa kemenangan dalam
balutan kisah heroik. Tema balas dendam dengan menggunakan senjata api,
ketidakpercayaan pada kemampuan penegak hukum, menciptakan sikap main
hakim sendiri di kalangan warga dan glorious kemenangan dalam kisah yang
didramatisir merupakan unsur penyempurna cerita sehingga terkesan bahwa
tindakan ini menjadi jalan keluar ketika hukum tidak berpihak pada
warga ―kecil‖.
warga tumbuh dalam lingkungan yang penuh kekerasan, baik di
dunia nyata, dunia maya maupun fiksi. Di era modern pencitraan lewat berbagai
media oleh para aktor lobi senjata menjadi bentuk pembudayaan baru senjata api.
Media telivisi, musik, film, majalah, novel, komik, video game, bahkan layanan internet kerap mempertontonkan dan menyuguhkan adegan kekerasan disertai
penggunaan senjata api, sehingga warga Amerika dibuat ―terbiasa‖ dengan
paparan adegan kekerasan yang melibatkan senjata api. Ironisnya adegan ini
banyak dicontoh oleh anak muda. Contohnya kasus pembantaian yang
menghebohkan dunia yang terjadi di bioskop Aurora, Colorado tahun 2012.
Ketika pemutaran premier film terbaru Batman, pelaku pembantaian berdandan
dan mengaku sebagai ―The Joker‖ lakon antagonis dalam film laga ini
kemudian membantai seisi ruang bioskop yang mengakibatkan setidaknya 12
orang tewas dan 58 orang lainnya terluka akibat tembakan peluru. Tragedi
ini menjadi salah satu contoh dampak buruk kekerasan media yang kemudian
ditiru.
Kondisi ini diperparah dengan adanya layanan internet yang umumnya
jauh dari kontrol hukum, memudahkan penjualan kebutuhan senjata yang
berlangsung bebas kapanpun secara online. Ribuan situs penjualan senjata dari
pistol hingga senapan serbu dijual bebas tanpa harus melewati sistem pelacakan
ataupun pengecekan riwayat hidup calon pembeli, seperti halnya pembelian pada
agen resmi. Kemudahan fasilitas inilah yang dimanfaatkan James Holmes (27
tahun) pelaku penembakan bioskop Aurora dengan memborong 6000 amunisi dari
internet yang digunakan dalam aksi brutal pembantaian massal, sedangkan 4
senjata yang digunakan Holmes dibeli secara legal di toko senjata lokal, termasuk
rifle semi otomatis AR-15. Dari sini terlihat jelas bagaimana senjata api tidak lagi hanya menjadi milik budaya tradisional pedesaan tetapi telah menjadi bagian dari
tren gaya hidup baru abad modern.
4.2.4.2 Poling Opini Publik
Berdasarkan hasil poling dari Gallup tahun 2014, angka kepemilikan
senjata api di rumah Amerika mengalami penurunan sejak puncaknya awal 90-an
(http://www.gallup.com/poll/1645/guns.aspx). Hal ini sedikit banyak disebabkan
oleh regulasi kontrol senjata api yang diperketat khususnya pada pemerintahan
Bill Clinton. Akan tetapi saat ini, perubahan signifikan terjadi pada dukungan
warga terhadap pengaturan untuk memperketat penjualan senjata api yang
justru semakin menurun setiap tahun berdasarkan historis rekaman data poling
Gallup, seperti pada Gambar 4.3 berikut.
Kurang dari setengah penduduk memilih untuk memperketat kontrol
senjata (47%), meskipun angka ini masih lebih tinggi dari dukungan untuk
mempertahankan hukum seperti sekarang (38%), dan kurang diperketat (14%).
Sementara itu, banyak warga tidak menyetujui jika ada hukum yang melarang
kepemilikan senapan genggam selain untuk pihak berwajib 73%, sedangkan yang
setuju pelarangan sebanyak 26%. Angka dukungan terhadap hukum pelarangan ini
semakin menurun setiap tahunnya, dimana pada tahun 1959 angka ini
terbalik, lebih besar sebanyak 60% yang setuju sementara yang tidak setuju 36%
dan 4% tidak memberikan pendapat.
Perubahan angka ini menunjukkan kebutuhan warga yang
semakin besar terhadap senjata api dan bahwa dengan memiliki senjata api di
dalam rumahnya banyak warga merasa lebih aman 64%, sedangkan merasa lebih
berbahaya 30%, dan 6% menjawab tergantung, dan 1% tanpa opini. Angka ini
jauh berbeda di tahun 1993 dan semakin meningkat sejak itu, sebanyak 24%
menjawab lebih aman sementara dengan memiliki senjata lebih berbahaya
sebanyak 52%.
Kecemasan warga tidak terlepas dari maraknya kejahatan senjata yang
terjadi dalam kehidupan kontemporer Amerika yang mengancam nyawa terutama
dengan merebaknya kasus pembunuhan massal. Dalam survey ―Are We Safe? The
1999 National Crime Prevention Survey‖ tahun 1999 dilaporkan bahwa terdapat
level persisten kecemasan, gelisah dan ketakutan yang besar akan kejahatan yang
memengaruhi kehidupan sehari-hari banyak orang di mana mereka tinggal,
berbelanja dan bersantai . Hal ini sangat berpengaruh terhadap
perubahan drastis cara hidup warga Amerika modern yang kini memandang
senjata api sebagai solusi keamanan pribadi dan untuk melindungi keluarga.
Meskipun saat ini, bahkan dalam periode 20 tahun terakhir, angka
kejahatan telah jauh menurun dibandingkan awal tahun 90-an, akan tetapi warga
masa kini merasa lebih aman jika memiliki senjata di rumah untuk melindungi diri
dari penjahat, daripada khawatir dengan bahaya resiko kecelakaan senjata ataupun kekerasan domestik. Padahal angka kecelakaan dan kekerasan domestik terkait
senjata api sangat tinggi terjadi di dalam rumah dengan senjata api.
Tindakan defensif dengan mempersenjatai diri menjadi sebuah ironi.
Kondisi ini tercipta tidak terlepas dari adanya kekuatan lobi hak senjata dalam
pencitraan dan pembudayaan senjata api yang tinggi di kalangan warga .
Romantisme masa lalu, kisah patriotisme dalam simbol senjata api tidak lagi
memainkan peranan signifikan dalam budaya modern, akan tetapi ketakutan
warga akan ancaman bahaya kejahatan masa kini yang dominan diekspos
sehingga menjadi motifasi utama warga memiliki senjata api (perlindungan diri
60%, berburu 36%, rekreasi/sport 13% berdasarkan Gallup). Hanya saja, pilihan
perlindungan ini diandalkan pada alat berbahaya yang mampu melumpuhkan
bahkan mematikan targetnya. Dengan jumlah kepemilikan senjata api yang tinggi
di dalam rumah (42% warga Amerika memiliki senjata api di rumah menurut
poling Gallup) dan dengan dukungan 49 negara bagian yang memiliki aturan
mengijinkan membawa senapan genggam tersebunyi (NSSF, 2012: 2) hanya
menciptakan kondisi warga bersenjata dan lingkungan yang semakin
berbahaya.
Tidak hanya itu, dengan dukungan keputusan terbaru Mahkamah Agung,
maka saat ini lebih banyak warga Amerika percaya bahwa Konstitusi
melindungi hak warga negara untuk memiliki senjata (73%), sementara sedikit
yang meyakini hak ini hanya untuk anggota milisi (20%) berdasarkan hasil
poling Gallup tahun 2008. Sedikit banyak opini publik ini disebabkan oleh
kurangnya pemahamaan warga terhadap sejarah awal penyusunan
Amandemen Kedua terkait hak warga sipil memiliki senjata api dan hanya
terhipnotis dengan pencitraan budaya baru senjata dan ekspos kekerasan yang
ditonjolkan oleh kelompok lobi senjata api.
Mempertahankan budaya senjata api sama halnya dengan
mempertahankan budaya kekerasan. Padahal jenis budaya ini tidak pantas
dan tidak layak lagi untuk dipertahankan di abad modern ini. Dengan kecanggihan
teknologi semestinya tidak perlu lagi ada warga bersenjata karena tidak lagi
seperti zaman dulu yang masih berada dalam ancaman masa penjajahan dan
peperangan. Sebagai sebuah negara maju, Amerika tentunya sudah memiliki
personil keamanan yang baik dan dilengkapi dengan fasilitas canggih sehingga
seyogyanya mampu menciptakan social order dalam warga , tanpa harus
menyerahkan kendali ke tangan warga itu sendiri lewat proteksi dengan
senjata api, karena tidak hanya menciptakan situasi main hakim sendiri tetapi juga
semakin memperlemah fungsi kepolisian yang berdampak pada stabilitas
keamanan publik secara keseluruhan.Terdapat banyak perbedaan mendasar antara fungsi, makna, terutama
pengalaman warga yang hidup di abad awal negara dengan warga masa
kini terkait hak senjata api. Hak senjata yang awalnya di masa penjajahan
diperuntukkan bagi warga dalam tugasnya sebagai milisi, kini telah berubah
menjadi hak individual warga untuk perlindungan diri di abad modern. Perubahan
ini disebabkan oleh adanya berbagai perbedaan mendasar dalam cara hidup
warga nya. Kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik warga yang
mengalami perubahan drastis secara signifikan memengaruhi perubahan sikap dan
pandangan warga terkait hak kepemilikan senjata api.
Tradisi berburu sebagai warisan masa lampau dan kegemaran olahraga
menembak kini harus diperhadapkan dengan tingginya angka statistik kejahatan
senjata api. Senjata api yang dulunya diagungkan sebagai simbol superioritas
bangsa kini dianggap menjadi produk budaya kekerasan dan bagian dari penyakit
sosial karena berbagai akibat fatal yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan.
Jaminan kebebasan hak yang diberikan negara Amerika kepada warganya
untuk memiliki dan menyimpan senjata api lewat pengesahan Amandemen Kedua,
ternyata menjadi bumerang bagi stabilitas keamanan negara Amerika itu sendiri.
Berbagai permasalahan akut kekerasan senjata terjadi sebagai akibat dari kebebasan berlebihan dan kemudahan akses senjata api di abad modern Amerika.
Tingginya angka kejahatan senjata dan pembunuhan massal membuat negara ini
tidak lagi seaman dulu, bahkan lingkungan pendidikan tidak terlepas dari ancaman
kejahatan senjata yang dulunya tidak pernah menjadi bagian kekhawatiran
warga .
Hal yang disayangkan bahwa negara ini tetap bersikukuh memertahankan
budaya dan hak senjata api hingga saat ini apapun konsekuensinya. Padahal
budaya kekerasan ini semestinya sudah lama ditinggalkan karena tidak lagi
selaras dengan nilai-nilai kehidupan masa kini yang mengandalkan kecanggihan
teknologi dan informasi dibandingkan ketergantungan pada produk budaya
kekerasan dengan dalil perlindungan diri, yang memiliki konsekuensi hilangnya
30.000 nyawa setiap tahunnya di Amerika Serikat akibat luka tembakan senjata
api. Berdasarkan realitas yang ada budaya senjata api tidak lagi signifikan
memberi pengaruh baik bagi kehidupan sosial warga Amerika masa kini,
karena lebih besar resiko bahaya yang dihadapi.
Fenomena ini menjadi contoh bagaimana pengagungan demokrasi di
Amerika diterapkan pada hal yang negatif yaitu dengan memberikan kebebasan
dan perlindungan hak senjata api bagi warga sipil, yang justru membawa dampak
buruk bagi stabilitas keamanan nasional negara Amerika itu sendiri. Sementara
kontroversi berkepanjangan yang ditimbulkan tidak menunjukkan tanda usai karena dualisme opini publik hingga saat ini tidak menemukan titik temu bagi
penyelesaian isu yang diperdebatkan.
Kontroversi yang terus bergulir hingga saat ini hanya memperumit
persoalan kekerasan senjata api karena kenyataannya bukanlah hal yang mudah
diatasi. Meskipun terdapat berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk
memperketat hukum kontrol senjata lewat berbagai undang-undang dan kebijakan,
yang saat ini diperkirakan terdapat 20.000 regulasi, ternyata tidak juga mampu
meredam tingginya angka kejahatan senjata api di Amerika Serikat. Hal ini
disebabkan oleh permasalahan kemudahan akses senjata api bukanlah persoalan
tunggal di Amerika, akan tetapi berkaitan juga dengan tingkat kekerasan dan
kejahatan di lingkungan warga yang tinggi yang dilatarbelakangi oleh
berbagai permasalahan sosial yang ada. Untuk itu, pemerintah Amerika harus
terus berupaya mengatasi permasalahan kekerasan senjata api dari akar
permasalahannya yang menyangkut isu sosial warga , dan tidak hanya
menitikberatkan pada hukum kontrol senjata api semata.
Perbedaan yang terjadi dari waktu ke waktu karena adanya benturan nilainilai dalam warga yang tidak lagi sejalan dengan kondisi warga yang
berubah. Nilai-nilai tradisional warga tergilas dengan kepentingan abad
modern. Salah satu penandanya adalah kompleksitas hukum kontrol senjata api
yang ada saat ini menandakan kompleksitas kehidupan dan kebutuhan warga
Amerika terhadap senjata api. Hanya saja kemajuan pesat dalam berbagai sisi kehidupan terutama ilmu pendidikan dan teknologi yang dimiliki saat ini, tidak
lantas membuat warga Amerika secara luas lebih bijaksana dalam menyikapi
permasalahan isu hak senjata, terutama dalam praktek penggunaannnya di
kalangan warga . Sementara lajunya pertumbuhan senjata belum mampu
diimbangi dengan kesiapan negara menghadapi berbagai konsekuensinya.
Melindungi keamanan dan menjaga ketertiban warga seyogyanya menjadi
tugas dan tanggung jawab utama negara dan bukan diberikan mandat kepada
warga itu sendiri. Jika seandainya negara dapat menjalankan fungsinya
ini dengan baik, maka warga pun tidak perlu bersenjata untuk
melindungi diri. Kebebasan individu selayaknya berada dalam batasan yang tegas
yang tidak mendahului kepentingan kolektif, terutama yang menyangkut
keselamatan orang banyak.
Selain itu, perubahan interpretasi terhadap Amandemen Kedua sebagai hak
individu warga untuk memiliki senjata api harus dikaji ulang manfaatnya bagi
khalayak banyak, mengingat bahwa kepemilikan senjata api secara luas terbukti
lebih banyak membawa bahaya bagi warga itu sendiri. Berbagai pembenahan
lain juga perlu dilakukan oleh pemerintah Amerika, khususnya di sektor
pendidikan dengan lebih menanamkan budaya anti kekerasan di kalangan anak
muda, memperbaiki pelayanan publik yang adil dan merata tanpa memandang
perbedaan suku, ras ataupun gender, perbaikan dalam sektor kesehatan yang
menyangkut penyakit kesehatan mental warga , kesejahteraan meliputi penyediaan lapangan pekerjaan bagi pemuda, sektor sosial dengan mengaktifkan
fungsi keluarga dan komunitas yang produktif dalam menciptakan lingkungan
yang aman dan nyaman, memberantas narkotika serta memberikan jaminan
keamanan lewat ketersediaan aparat keamanan.
Pemerintah Amerika juga harus berupaya untuk menutup berbagai celah
yang ada dalam hukum kontrol senjata api dan meminimalisir paparan warga
terhadap senjata api. Selain itu, dengan angka kematian senjata api yang paling
tinggi di antara negara industri lainnya, semestinya Amerika Serikat bisa belajar
ataupun mengadopsi regulasi yang memperketat kontrol senjata api seperti di
negara industrial lainnya yang memiliki tingkat kematian senjata api yang kecil,
sebagaimana di Inggris, Jepang, ataupun Kanada yang paling memiliki persamaan
sejarah dan budaya seperti Amerika.
Dengan demikian, penanganan permasalahan harus dilakukan secara masif
dengan pendekatan secara komprehensif, tidak saja hanya menekankan pada
hukum, tetapi juga harus memerhatikan aspek-aspek sosial yang berkembang
dalam warga . Tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga harus didukung oleh
elemen warga itu sendiri. Hal ini krusial karena tren kejahatan yang
terus berubah juga menandakan kecenderungan sikap warga yang terus
mengalami perubahan. Artinya, sikap warga dapat berubah positif jika situasi
dan kondisi lingkungan tempat tinggal secara khusus dan negara secara umum
diciptakan kondusif. Banyak hukum kontrol senjata api baru ditelorkan karena adanya dorongan
kuat dan tuntutan dari warga . Oleh karena itu, andil terbesar terhadap
perubahan ke arah yang lebih baik berada di tangan warga itu sendiri.
Bahkan makna Konstitusi dapat berubah dengan kekuatan suara rakyat (vox
populi). Oleh karena itu, jika warga Amerika ingin mencapai stabilitas
keamanan nasional, warga Amerika perlu menyatukan persepsi, sebab
dualisme dalam opini publik yang semakin tajam hanya akan menciptakan
kontroversi tak berujung yang justru tidak membawa solusi konkret bagi
penyelesaian permasalahan yang diperdebatkan.
Pada kesimpulan akhir, adanya perubahan budaya, politik dan sosial
warga memberi dampak resiprokal yang saling berpengaruh satu sama lain
terhadap penggunaan dan eksistensi hak senjata api di tengah warga Amerika
yang berdinamika.