lidiki arsip dan
(Koleksi Yoni Naga Raja lainnya di Museum Nasional. Dok: Pribadi)
232 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
catatan kolonial mengenai pembuatan proyek sudetan ini
(bahkan jika memungkinkan juga proyek pembangunan rel
kereta api), apakah juga ikut menggusur bangunan suci Hindu
yang menjadi penanda batas kota di lokasi tersebut, sehingga
salah satu tinggalannya yang dianggap unik pada waktu itu
terpaksa diungsikan ke Bataviaasch Genootschap.
Pengemasan Informasi
Museum sebagai sebuah institusi, seperti didefinisikan
oleh ICOM yaitu : lembaga pelayanan warga yang
bersifat tetap, nirlaba, terbuka untuk umum, yang menyimpan,
melestarikan, meneliti, menginformasikan, dan menyajikan
bukti material tentang kehidupan manusia dan lingkungannya,
untuk tujuan penelitian, pendidikan dan rekreasional. Di
lain pihak, lembaga yang tidak menjalankan salah satu
fungsi ini dianggap bukan museum (Carman, 2002:
8384). Sebagai konsekuensinya, museum sebagai lembaga
pelayanan warga yang merupakan salah satu muara
pengelolaan warisan budaya, harus mampu menyajikan
bukti materi dan informasi yang terkandung di dalamnya
kepada warga luas. Dalam ICOMOS Charter tahun
1990 mengenai perlindungan dan pengelolaan peninggalan
purba kala dinyatakan bahwa, penyajian warisan budaya
kepada warga umum yaitu hal yang sangat mendasar
dalam menyebarluaskan pemahaman mengenai asalusul dan
perkembangan warga modern. Pada saat yang sama, hal
ini bermakna sangat signifikan untuk mempromosikan
pemahaman pentingnya pelestarian warisan budaya. Penyajian
informasi seharusnya mengandung interpretasi yang sifatnya
populer, mengikuti perkembangan pemahaman warga
233Mungkinkah Batas Kota Majapahit Ada di Jakarta ?
saat ini, serta informasinya selalu diperbaharui secara
berkesinambungan berdasar berbagai sudut pandang
pendekatan keilmuan (ICAHM: 1990).
Oleh sebab itu, Museum Nasional juga harus melakukan
pembaharuan informasi terhadap koleksi yang dimilikinya,
serta mengikuti perkembangan informasi hasil penelitian
instansi terkait, termasuk misteri batas kota Majapahit dan
Yoni Naga Raja Segi Delapan. Jika dalam perkembangan
penyelidikan terbukti benar bahwa Yoni koleksi museum
ini berasal dari salah satu bangunan suci di batas
kota Majapahit, maka salah satu konsekuensinya yaitu
menampilkan informasi mengenai Majapahit dengan lebih
representatif. Saat ini, Majapahit sebagai ikon pemersatu
bangsa Indonesia hanya ditampilkan sekedarnya saja di
museum kebanggaan negeri ini. Padahal koleksi yang berasal
dari Majapahit sangat banyak jumlahnya, baik koleksi batu,
terakota, keramik, logam, bahkan lontar Nagarakretagama ada
di sini. Melihat besarnya potensi ini seharusnya Museum
Nasional mampu mencitrakan kebesaran Majapahit sebagai
NKRI masa lampau, sehingga wisatawan Nusantara yang
mengunjungi museum ini dapat mengapresiasikan nilainilai
luhur yang dikandungnya. Namun nampaknya kebanyakan
koleksi di Museum Nasional baru dilengkapi dengan name
tag berbahan kuningan yang sangat singkat saja, bahkan Yoni
Naga Raja Segi Delapan hanya dilengkapi dengan nomor
inventaris 366a di bagian badan, tanpa adanya sedikitpun
penjelasan lainnya.
Sebagai perbandingan kecil, jika kita mampir ke ruang
Kerajaan Siam (Thai Room) yang terdapat di sayap selatan
Museum Nasional, maka akan nampak perbedaan ragam
informasi yang ditampilkan antara ruangan ini dengan
234 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
ruang lainnya yang menyimpan koleksi lokal. Terbatasnya
ruang yang diberikan bagi koleksi Thailand, tidak menyurutkan
niat untuk mencuri perhatian, mempromosikan aset sejarah
budaya mereka di negeri orang. Relik yang dipamerkan tidak
bersifat master piece, namun dilengkapi dengan informasi yang
cukup lengkap dalam bentuk poster yang menarik. Selain
itu juga ada beberapa miniatur replika chedi, peninggalan
kepurbakalaan yang aslinya cukup monumental. Hasilnya,
hanya dengan berkunjung ke ruangan ini dalam beberapa menit
saja, pengunjung dapat mengetahui kekayaan peninggalan
sejarah budaya si pemilik ruangan.
(Terbatasnya informasi yang disajikan, “jangan kalah dengan Thai
Room…”. Dok: Pribadi)
Museum sebagai salah satu sumber pengetahuan tentunya
harus memiliki kekuatan pada informasi yang disajikan.
Agar pengetahuan ini dapat tersalurkan sampai kepada
warga luas, maka diperlukan media penyampaian yang
optimal. Pada museum, media penyampai informasi ini
yaitu pameran, sehingga diperlukan berbagai inovasi dalam
hal pameran. Pada dasarnya inovasi dilakukan bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan pengunjung museum yang ingin
235Mungkinkah Batas Kota Majapahit Ada di Jakarta ?
melakukan kegiatan pembelajaran di museum. Anita Olds
dalam Hein (1998: 158159) menekankan beberapa kebutuhan
pengunjung museum, antara lain yaitu : (a) bebas bergerak di
museum, mengunjungi yang mereka inginkan dan mengetahui
di mana mereka berada, (b) setting lingkungan yang nyaman,
dan tanpa perasaan tekanan, (c) merasa mampu memahami,
tidak diliputi oleh banyak hal yang sulit dimengerti, dan
pengalaman baru yang melebihi kemampuan, serta (d)
perasaan ingin menguasai keadaan.
Beberapa rekomendasi inovasi penyajian koleksi di
Museum Nasional yang ditawarkan dalam tulisan ini, ber
tujuan agar museum dapat memenuhi kebutuhan dasar
pengunjung dalam melakukan pembelajaran. Hal yang pertama
yaitu dilakukan penataan ulang koleksi pameran dengan
menciptakan ruang nafas bagi koleksi arca yang berjubel, dan
dilakukan pengelompokan koleksi berdasar kategori tema
tertentu. Nampaknya penataan koleksi terakota dan keramik di
ruangan tertentu sudah cukup representatif, namun informasi
yang disajikan masih sangat terbatas. Akan sangat baik jika
museum menyediakan ruang khusus Majapahit sebagai bentuk
testimoni terhadap nilainilai luhur kerajaan tersebut. Koleksi
yang dipamerkan dalam ruang khusus ini sebaikya ada
yang bersifat permanen (tetap) dan ada yang dapat dirotasi
(dipamerkan bergantian). Koleksi permanen ditempati oleh
relik master piece, seperti Kitab Nagarakretagama misalnya,
sedangkan koleksi yang dipamerkan secara bergantian dapat
berupa koleksi terakota, keramik, barangbarang logam,
maupun arcaarca batu. Bahkan jika suatu saat memungkinkan,
juga dilakukan pameran dengan koleksi pinjaman dari
museummuseum yang menyimpan koleksi Majapahit, baik
236 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
museum di dalam negeri (seperti Museum Trowulan) maupun
di luar negeri.
Selain penataan koleksi, hendaknya informasi disajikan
dengan representatif dan menarik, baik informasi Majapahit
secara umum, maupun keteranganketerangan khusus ber
kaitan dengan koleksi yang ditampilkan. Relikrelik yang
dipamerkan hanyalah bendabenda mati tanpa arti yang
teronggok dan tidak akan hidup tanpa adanya ruh yang
menjiwainya. Dengan memberikan makna pada benda mati
ini maka kita mengembalikan jiwa yang hilang, sehingga
membuatnya hidup kembali dan dapat berbicara, bercerita
mengenai kisahnya. Misalnya makna yang melekat pada
motif hias Naga Raja di bagian bawah cerat Yoni. Kita dapat
memulainya dengan mitologi suci Samudramanthana, sebuah
kisah India kuna mengenai perjuangan bahu membahu Dewa
dan Raksasa dalam pencarian air kehidupan, kemudian
menghubungkannya dengan makna kesuburan, dan berakhir
pada nilainilai luhur kearifan dalam pengelolaan sumberdaya
alam (air) dengan bijak. Ada baiknya juga jika di ruangan ini
dipamerkan replika tata ruang ibu kota Majapahit, beserta sisa
sisa peninggalan lain di dalamnya, seperti waduk, jaringan
kanalkanal, Petirtaan Candi Tikus, dan bangunan pengelolaan
air lainnya.
Bentuk informasi yang disajikan dapat berbentuk poster
yang dipasang secara temporer maupun booklet dan leaflet
yang dibagikan gratis, khusus menampilkan keterangan yang
berkenaan dengan informasi ruang pamer tersebut. Namun,
warga tidak selalu berkeinginan untuk membaca, bahkan
kemasan tekstual seringkali dianggap tidak dapat mem berikan
penjelasan atas berbagai pertanyaan (Riyanto, 2006: 31). Oleh
sebab itu akan sangat baik jika juga terdapat informasi dalam
237Mungkinkah Batas Kota Majapahit Ada di Jakarta ?
bentuk multimedia atau audiovisual. Sebuah perangkat
multimedia interaktif dapat ditempatkan di ruangan ini yang
menyajikan berbagai macam variasi informasi yang berkenaan
dengan Majapahit, sehingga pengunjung dapat berinteraksi
memilih informasi yang diinginkan sesuai dengan selera
masingmasing. Selain tata letak, tidak kalah penting yaitu
pengaturan cahaya dan suara latar yang berperan menggiring
imajinasi pengunjung ke masa Majapahit. Jika memungkinkan
dilakukan rekonstruksi musik Majapahit yang diperdengarkan
di ruangan ini. Potongan klipklip film kecil mungkin juga
dapat diputar secara berulang terus menerus di ruangan
Majapahit, yang misalnya menyajikan informasi mengenai
keadaan peninggalan Majapahit di lokasi aslinya. Atau,
bahkan jika memung kinkan disediakan film khusus tentang
Majapahit yang dapat dinikmati di ruang teater audiovisual
museum ini.
(Animasi audiovisual serta pengaturan tata letak dan cahaya koleksi
dari Indonesia di Musée du quai Branly, Paris. Dok: Pribadi)
Jika penataan pameran telah dibenahi secara optimal
tentunya akan banyak keuntungan yang diperoleh. Secara
umum, beberapa keuntungan dapat diperoleh dari publikasi
238 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
informasi mengenai warisan budaya kepada warga luas.
Keuntungan ini antara lain yaitu : dapat memberikan
informasi yang valid dan logis kepada warga mengenai
warisan budaya yang ada di sekitar mereka, meningkatkan
apresiasi dan respon positif serta kepedulian publik terhadap
penelitian, pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan
warisan budaya, serta dapat befungsi sebagai strategi preventif
untuk mencegah perusakan terhadap warisan budaya (Sharer
dan Ashmore, 2003: 618). Adapun keuntungan khusus yang
berkaitan dengan museum yaitu : memutus kejenuhan
pengunjung dengan kesan pameran museum yang ituitu
saja, memberikan pengalaman yang lebih mendalam kepada
pengunjung sehingga suatu saat ingin datang kembali, serta
museum mampu menyampaikan suatu informasi kepada
pengunjung. Begitu juga sebaliknya pengunjung mendapatkan
suatu pengetahuan pembelajaran dari museum. Oleh sebab
itu, harus disadari bahwa peran strategis museum sebagai
salah satu muara penyebarluasan informasi peninggalan
sejarah budaya bangsa, merupakan bagian yang tidak dapat
dipisah kan dalam sebuah alur pengelolaan warisan budaya.
Penutup
Sinar kejayaan Majapahit yang memancar hampir ke
seluruh wilayah Nusantara, dipercaya berasal dari suatu tempat
di Trowulan. Desa kecil inilah yang sampai saat ini diyakini
sebagai bekas ibu kota Kerajaan Majapahit pada masa puncak
kejayaannya. berdasar hasil penelitian Balai Arkeologi
Yogyakarta, diperkirakan ibu kota Majapahit berukuran 9
Kmx11 Km memanjang utara selatan. Keempat penjuru batas
kota ini ditandai dengan bangunan suci besar yang salah
239Mungkinkah Batas Kota Majapahit Ada di Jakarta ?
satu media pemujaannya yaitu Yoni Naga Raja Segi Delapan.
Namun sampai saat ini baru di tiga lokasi di sekitar Trowulan
yang dijumpai sisasisa bangunan suci dengan Yoni Naga Raja,
yaitu Klinterejo, Lebak Jabung dan Sedah. Satu lagi Yoni Naga
Raja dari sudut kota lainnya di TuguBadas sampai saat ini
belum diketahui keberadaannya. Salah satu lokasi yang diduga
telah mengamankan relik ini yaitu Museum Nasional,
Jakarta. Sebagai museum tertua di Asia Tenggara, museum
ini menyimpan banyak koleksi unik dan langka dari seluruh
Nusantara. Salah satu koleksinya yang menarik yaitu Yoni
Naga Raja Segi Delapan. Namun belum diketahui dari mana
asal muasal benda ini sehingga akhirnya menjadi koleksi
Museum Nasional. Guna mengungkap keberadaan Yoni Naga
Raja Segi Delapan, maka harus dilakukan penelusuran pada
berita penemuan dan catatan pemindahan koleksi ini ke
museum ini.
Museum sebagai “gudang” ilmu pengetahuan harus
mampu menyampaikan informasi yang dimilikinya. Agar
informasi ini dapat tersampaikan kepada pengunjung,
maka diperlukan strategi penyampaian yang tepat. Pada
museum, media penyampai informasi yaitu koleksi yang
dipamerkan, maka perlu dilakukan berbagai inovasi yang
berkaitan dengan pameran. Sesungguhnya contoh kasus Yoni
Naga Raja Segi Delapan dan Batas Kota Majapahit di atas
hanyalah pancingan agar museummuseum di Indonesia mau
berinovasi dalam mengelola koleksinya. Dalam tulisan ini,
beberapa rekomendasi yang ditawarkan bagi pengembangan
museum yaitu penataan ulang koleksi pameran dengan
kategori tertentu, ruangan khusus bagi pameran dengan
tema tertentu, penyajian informasi yang lebih lengkap dan
representatif, serta diversifikasi bentuk informasi yang
240 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
disediakan. Jika museum mampu berinovasi dalam menam
pilkan koleksinya, maka akan banyak keuntungan langsung
dan tidak langsung yang diperoleh baik bagi museum maupun
bagi warga yang mengunjunginya.
Gemilang masa lalu sebagai kisah kejayaan bangsa
Indonesia hendaknya tidak hanya sebatas menjadi romantisme
belaka, namun turut pula membentuk karakter dan jati diri
bangsa. Tugas kitalah para arkeolog dan rekanrekan yang
berkecimpung pada pelestarian warisan budaya sebagai “juru
dongeng”. Kita bertugas memberikan makna bagi benda
benda mati yang berserakan sehingga dapat hidup, bertutur
tentang kisahnya dan memberikan teladan bagi kita di zaman
ini, hingga menuntun langkah ke masa depan yang lebih
gemilang.
Terima Kasih
Evi Novita, Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta, atas
masukannya yang membangun sehingga terwujud tulisan
sederhana ini.
Dahulu, ketika belajar sejarah dan kebudayaan Indonesia di bangku sekolah, sejak sekolah dasar sampai ke jenjang perguruan tinggi, pasti diberikan pelajaran
tentang kerajaankerajaan besar dengan tokohnya. Pelajaran
ini dapat menjadi sumber inspirasi, bahwa bangsa
Indonesia sudah maju pada masa itu. Sebagai bangsa, kita
tentu ingat dan tahu siapa Maha Patih Gajah Mada dengan
sumpahnya yang sangat terkenal tan amukti palapa. Sumpah
dan tekad Sang Maha Patih, akhirnya dapat terwujud dengan
menyatukan/menaklukkan Nusantara di bawah panjipanji
kebesaran Majapahit.
Majapahit sebagai kerajaan besar, memiliki pengaruh kuat
yang dengan armada angkatan perangnya dapat memperluas
244 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
wilayahnya. Sebagai kerajaan yang besar, tentunya memiliki
struktur pemerintahan dan warga yang memadai.
Kehidupan warga dapat berkembang dengan baik,
dengan bukti banyak pendirian tempat suci yang dibangun
dengan arsitektur yang raya dan megah, bagi kepentingan
kerajaan, serta berkembangnya kesenian yang berkaitan dengan
sistem religinya, seperti seni patung/arca. Tinggalan budaya
materi yang ditemukan di sekitar Trowulan, menunjukkan
kemampuan warga Jawa kuna, dalam menguasai
teknologi logam, berupa arca dewadewa yang bernilai tinggi,
bagus, serta teliti dalam pengerjaannya.
Membicarakan tentang Majapahit seringkali tidak lepas
dari Kitab Nagarakretagama, yang ditulis oleh seorang pujangga
Mpu Prapanca yang dikenal baik oleh pihak kerabat keraton
dengan karyakarya sastranya. Kitab ini ditemukan salinannya
dalam keropag lontar di Kerajaan Selaparang, Lombok, Nusa
Tenggara Tengah. Mpu Prapanca menulis dalam gaya bahasa
yang enak dibaca, dengan perumpamaan dan katakata sastra
yang indah. Dalam tulisan Sang Empu, dikisahkan beberapa
aspek kehidupan Kerajaan Majapahit, mulai dari para raja,
bangsawan, para menteri, pendeta, patih, para tanda, maupun
rakyat. Semuanya tunduk kepada sang raja, berkat adanya
sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang baik dan kuat.
Pusat pemerintahan kerajaan yang sangat ramai dan luas
ini diperkirakan berada di daerah Trowulan. Trowulan
sekarang, merupakan sebuah kota kecamatan di wilayah
Kabupaten Mojokerto, Propinsi Jawa Timur. Penelitian yang
secara intensif dilakukan oleh para arkeolog sejak masa pen
jajahan Belanda, maupun para arkeolog Indonesia, mencoba
untuk merekonstruksi aspekaspek kehidupan melalui
tinggalan budaya materi, berupa artefak, ekofak, prasasti,
245Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna
dan bangunanbangunan monumental. Melalui serangkaian
penelitian dengan melakukan ekskavasi di Situs Trowulan,
akhirnya dapat diasumsikan bahwa ibukota Kerajaan
Majapahit berada di daerah Trowulan saat ini.
Ditemukannya yoni berhias nagaraja di tiga penjuru mata
angin, yaitu di timurlaut (Klinterejo), tenggara (Lebakjabung),
dan baratdaya (Sedah), serta dikaitkan dengan kanalkanal dan
kolamkolam yang terdapat di bagian dalam kota Majapahit di
situs Trowulan, mungkinkah tata letak bekas Kota Majapahit
itu melambangkan kisah Amertamanthana ? Bisa juga nagaraja
Majapahit yang terpahat pada tubuh yoni melambangkan
Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan agraris. Umumnya yoni
berpasangan dengan lingga yang melambangkan Dewa Siwa
(lingga) dan isterinya (yoni) sebagai lambang kesuburan.
Rajanaga seolah menjadi ikon Kota Majapahit yang luasnya
sekitar 11 X 9 Km itu (Rangkuti, 2006: 176177). Bagian dalam
kota dihubungkan dengan kanalkanal yang dapat berfungsi
sebagai jalur transportasi serta menjaga suhu udara, agar tetap
nyaman. Sayang sekali, dari serangkaian penelitian ini
belum dapat ditemukan lokasi dan prakiraan luas Keraton
Majapahit.
Menjadi pertanyaan sekarang, yaitu di manakah
letak sesungguhnya Majapahit? Menurut Slamet Muljana,
Majapahit terletak di lembah Sungai Brantas di sebelah
tenggara Kota Majakerta, di daerah Tarik, sebua kota kecil di
persim pangan Kali Mas dan Kali Porong. Konon pada akhir
tahun 1292, tempat ini masih merupakan hutan belantara,
penuh dengan pohonpohon maja seperti kebanyakan tempat
tempat lainnya di Lembah Sungai Brantas (Muljana, 2006:
155). Dapat dibayangkan daerah di antara sungai dan lembah
ini tentunya merupakan daerah hunian yang ideal untuk
246 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
permukiman dan pengembangan kerajaan pada masa itu.
Sebagai kerajaan besar, aspek penting di masa kejayaan kerajaan
ini yaitu bagaimana kehidupan warga Majapahit
pada masa itu, sebagai sebuah ibukota kerajaan. Berbagai
bangsa seperti Cina, Arab, dan India datang ke ibukota untuk
melakukan hubungan, baik politis maupun perdagangan
antara dua kearajaan atau lebih. Kedatangan bangsabangsa
dari berbagai negara ini tentunya menyebabkan ter
jadinya pertemuan dan percampuran antarbudaya. Dalam
konteks tersebut, substansi yang berkembang cepat, salah
satunya yaitu sistem kepercayaan berupa budaya dan Agama
Hindu yang dibawa oleh bangsa India jauh sebelum Majapahit
berdiri. Masuknya Hindu di Jawa, ditanggapi dengan positif
oleh warga dan mereka mengikuti perkembangan yang
awalnya ada di kalangan kerajaan dan keluarga kerajaan.
Dalam konteks tersebut, kesenian berkembang dengan pesat,
salah satunya yaitu seni patung/arca. Pada masa lampau seni
patung diciptakan sebagai pendukung dari konsep religius
(Hernaningsih, 1990: 1).
Adanya beragam profesi yang berhubungan dengan logam
membuktikan bahwa warga Jawa kuna telah mencapai
tingkat pengetahuan teknologi yang cukup tinggi. Hasil
hasil pekerjaan dapat dikelompokkan ke dalam kelompok
barangbarang keperluan domestik, seperti alatalat pertanian
(karya para pande besi), barangbarang perhiasan (karya para
pande emas), barangbarang keperluan upacara ritual (karya
para pande perunggu dan pande emas), alatalat musik atau
gamelan (karya pande perungu), dan mata uang (emas dan
perak). Temuan artefak logam hasil penelitian arkeologi selama
ini memperkuat kenyataan ini (Haryono, 2002: 7)
247Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna
Patung logam, batu, kayu dan bahan lainnya dibuat
seindah mungkin, sebab selain sebagai benda seni patung, juga
merupakan benda religius. Patungpatung religius perwujudan
dewadewa dibuat dengan ketentuan dan aturan yang berlaku,
seperti yang disebutkan dalam Kitab Cilpaçastra.
Budaya materi berupa arca dewadewa dari bahan logam,
merupakan ekspresi manusia dalam memenuhi kebutuhan
akan halhal yang bersifat imanen, yang sangat erat korelasinya
dengan sistem budaya dan religi yang dianutnya. Budaya
materi masa lalu, berupa artefak yang merupakan hasil karya
para seniman pada masa Jawa kuna ini tidak diketahui
bagaimana cara pembuatannya.
Untuk mengungkapkan cara pembuatan patungpatung
tersebut, digunakan pendekatan etnoarkeologi, yakni dengan
cara melihat kegiatan serupa, berupa pengerjaan arca secara
tradisional yang masih dilakukan oleh pengrajin arca di
Trowulan, Jawa Timur. Cara pembuaan arca tidak dapat
diungkapkan melalui data arkeologis, sehingga diperlukan
data etnografis sebagai bahan analogi. Terdapat dua model
pendekatan dalam studi etnoarkeologi, yaitu pendekatan
kesinam bungan sejarah (direct historical) dan perbandingan
umum (general comparative). Pendekatan pertama didasarkan
pada pandangan bahwa kebudayaan yang berkembang
sekarang ini merupakan kelanjutan dari kebudayaan masa lalu.
Oleh sebab itu, studi etnoarkeologi akan relevan dilakukan
jika antara data etnografi dan data arkeologi memiliki per
samaan atau kesinambungan sejarah. Pendekatan kedua
yaitu perbandingan umum didasari oleh pandangan bahwa
hubungan antara budaya arkeologi yang pendukungnya
telah punah dengan budaya yang masih berlangsung, pada
hakekatnya yaitu hubungan bentuk, sehingga tidak perlu
248 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
memiliki kaitan historis, ruang, dan waktu. Namun demikian,
pendekatan ini menuntut persyaratanpersyaratan, yaitu perlu
adanya kesamaan dalam bentuk budaya maupun lingkungan
antara data etnografis dengan data arkeologis (Watson,
1971: 50). Pemanfaatan analogi etnografis untuk membantu
menjelaskan data arkeologi, secara lebih rinci mempunyai
enam syarat yang perlu diperhatikan: 1) semakin dekat jarak
waktu antara data etnografi dengan data arkeologi, semakin
baik hasilnya, 2) adanya kesamaan satuan tingkat kelompok
warga yang dibandingkan, 3) adanya tingkat yang
sama dalam mata pencaharian, 4) berada pada wilayah yang
berdekatan, 5) adanya kencenderungan linguistik yang sama,
dan 6) terjaganya konservativitas budaya etnografis (Hole dan
Heiser, 1973: 312).
Oleh sebab itu, mengetahui tentang kehidupan seniman
cor logam yang ada di Bejijong, Jawa Timur sebagai bahan
etnografis untuk menganalogikan proses pembuatan arca cor
logam pada masa Jawa kuna.
Ikonologi Dalam Pembuatan Arca
Dalam ilmu arca dikenal istilah ikonologi. Menurut
Kippenberg (1987: 57), dalam kesenian ada tiga tingkatan
makna. Tingkatan pertama bertalian dengan pengetahuan
tentang keadaan alam, bendabenda, bangunan, keindahan
alam, dan lain sebagainya. Dalam hal ini setiap seniman harus
melihat suatu benda dalam hubungannya dengan benda lain,
sebab hanya dalam hubungan dengan benda lainlah suatu
benda kesenian dapat diketahui arti yang sesungguhnya.
Tingkat kedua meliputi motifmotif karya seni serta arcaarca.
Tingkat ini merupakan bidang ikonografi, dalam arti sempit
249Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna
untuk mengetahui makna yang melatarbelakangi pembuatan
sebuah arca. Tingkat ketiga yaitu prinsip nilainilai simbolis.
Tahap ini merupakan bidang ikonologi dan ikonografi
(Maulana, 1997: 1)
Menurut Rao (1920: 4344) seorang seniman yang ditugasi
untuk membuat arca dewa harus mengikuti ketentuan
ketentuan yang berlaku dan termuat dalam Cilpaçastra, sebuah
kitab di India yang berisi ketentuanketentuan pokok dalam
pembuatan arca, yang terdiri atas:
1. rûpabheda : yaitu perbedaan rupa dan bentuk arca
2. pramanam : yaitu, ukuran arca harus tepat
3. sadrçyam : arca harus digambarkan sesuai dengan
bentuk yang sesungguhnya yang dapat
dilihat (diketahui) dengan jalan meditasi
atau yoga
4. varnakibhangam : permainan dan persesuaian warna
5. bhawa : permainan perasaan
6. lavanya : keindahan yang ditimbulkan dari hasil
ciptaannya
Gambaran umum dalam pembuatan arca dewa seperti
telah disebutkan di atas, dapat dirinci menjadi dua aspek,
yaitu:
a. Aspek Ikonometri,
Dalam ikonometri, pembuatan arca harus dibuat
dengan memenuhi ukuran metrik yang telah ditentukan,
sehingga ada perbedaan penggambaran antara dewa yang
satu dengan lainnya maupun antara dewa utama (Brahma
Wisnu dan Siwa), dengan dewadewi pada derajat di
bawahnya (Dewi Sri dan Tara). Dewa utama memiliki
ukuran/angula yang lebih tinggi dibandingkan dengan
250 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
dewa/dewi di bawahnya.. Acharya (tt: 607609) merinci
cara pengukuran yang biasanya digunakan para seniman
dalam merancang pembuatan arca:
KATEGORI UKURAN KELOMPOK DEWA/MAHLUK
uttamadaśatala 124 ańgula Visņu, Brahma, dan Siva
madhyama daśatala 120 ańgula Sri, Bhumi, Uma, dan Saraswati
adhamadaśatala 116 ańgula dewadewa lokapala, 12 dewa aditya,
11 dewa rudra, 8 dewa (Vasu, Aswin,
Bhrgu, Markandeya, Garuda, Sēsa,
Durga, Karttikeya) serta 7 Rsi
navadaśatala 114 ańgula para Kubera dan Navagraha
uttamanavatala 112 ańgula Yaksa lainnya, Daitya, Gandarva
satrya ańgula navatala 111 ańgula manusia yang disamakan dengan dewa
navatala 106 ańgula Raksasa, Indra, Asura
astatala 96 ańgula manusia biasa
Dalam tabel di atas, jelas terlihat adanya perbedaan
ukuran arca berdasar angula antara arca dewa utama
(uttamadaśatala) 124 ańgula, dewa madya (madhyama
daśatala), raksasa, dan manusia (astatala) 96 ańgula. Semakin
tinggi derajatnya, semakin tinggi pula ukuran arcanya.
b. Aspek Ikonografi,
Ikonografi berisikan ketentuan tentang jenis atribut
yang disandang pada arca berdasar derajat dan ciriciri
dewa, seperti; kelengkapan pakaian/motif serta senjata dan
sikap tangan/kaki. Ikonografi berarti “Rincian suatu benda
yang menggambarkan tokoh dewa atau seseorang keramat
dalam bentuk suatu lukisan, relief, mosaik, arca atau
benda lainnya”, yang khusus dimaksudkan untuk dipuja
atau dalam beberapa hal dihubungkan dengan upacara
keagamaan yang berkenaan dengan pemujaan dewa
251Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna
dewa tertentu (Maulana, 1997: 1). Untuk membedakan
dewa yang satu dari yang lain, dikenal apa yang dalam
bahasa Sanskerta dinamakan laksana, yang berarti “tanda
khusus” yang dipunyai seorang dewa, misalnya benda
atau senjata yang dipegang atau diletakkan di dekatnya,
vahana (=kendaraan, binatang tunggangan), jenis pakaian
tertentu yang dikenakan, maupun ciri tubuh tertentu,
yang merupakan tanda pengenal arca dewa tertentu
(Sedyawati, 1985: 62). Jadi, laksana yaitu tanda yang
dikaitkan dengan ketentuan keagamaan. Dalam hal ini
laksana dilihat sebagai suatu identitas yang dapat menandai
dewa tertentu. Sebagai contoh; Dewa Wisnu digambarkan
selalu memegang senjata cakra, sedangkan Dewi Sri selalu
memegang pohon/bunga padi.
Pembuatan Arca Cor Logam di Trowulan
Desa Bejijong, letaknya di atas situs bekas kota Kerajaan
Majapahit, sekarang lebih dikenal oleh warga luas
sebagai daerah Trowulan. Para arkeolog yang telah melakukan
penelitian secara intensif, sejak dari masa Belanda hingga
sekarang, menduga bahwa di daerah ini pada abad XIII M
merupakan Ibukota Majapahit. Hal ini dibuktikan dengan
penemuan arkeologis berupa candi, gapura, strukturstruktur
bangunan, kolam, dan kanalkanal kuna yang tersebar luas di
daerah persawahan dan permukiman penduduk saat ini.
Dalam mencari nafkah, penduduk Bejijong bekerja di
beberapa sektor, seperti; pertanian, pembuatan bata merah,
pedagang, pegawai negeri, dan kerajinan membuat arca cor
logam. Di desa ini terdapat banyak seniman/pengrajin
pembuat arca logam. Kepandaian membuat arca logam
252 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
umumnya diperoleh secara turun temurun Pembuatan cor
logam diawali sekitar tahun 1970an oleh Pak Sabar, kini
kepan daian ini telah dimiliki oleh anak, saudara dan para
tetangga yang berminat membuat arca cor logam. Pembuatan
arca memerlukan keterampilan, ketelitian, kesabaran, mengerti
seluk beluk ukuran, bentuk, dan perbedaan serta ciri khas arca
tertentu. Pengetahuan ini dipelajari dari bukubuku,
gambar dan foto arca dewa yang akan dibuat. Satu hal yang
sangat penting, yaitu untuk pembuatan arca dewa diperlukan
kecermatan dan ketelitian, untuk menghasilkan karya yang
berkualitas dan bernilai tinggi.
Teknik pembuatan arca, selama ini dikenal dengan dua
cara; teknik a cire-perdue dan bivalve. A cire perdue yaitu
dengan menuangkan logam cair panas ke dalam cetakan
dari bahan tanah liat. Pada bagian dalam terdapat rongga
dengan bentuk arca yang diinginkan, cetakan ini hanya dapat
digunakan sekali.. Adapun bivalve, berupa dua buah cetakan
yang dapat ditangkupkan satu dengan lainnya. Pada kedua
sisi dalam cetakan terdapat negatif bentuk arca/tokoh, cetakan
ini dapat digunakan berulangkali dan biasanya digunakan
untuk produk masal.
Dalam membuat arca logam diperlukan seperangkat alat
yang memiliki bentuk dan fungsinya masingmasing. Peralatan
dibuat dari bahan besi baja pilihan yang dipesan pada pande
besi. Pande besi sudah mengetahui jenis dan bahan alatalat
yang dibutuhkan oleh seniman arca cor. Namun ada beberapa
alat yang bisa dibuat sendiri, menggunakan bahan kawat baja
bekas payung dan ruji sepeda, khususnya untuk alatalat yang
kecil dan runcing, atau berbentuk seperti huruf. Beberapa
jenis alat yang biasa digunakan untuk membuat arca memiliki
253Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna
nama dan fungsi yang berbeda satu dengan lainnya (Lelono,
2007: 113), antara lain:
1. Esek-esek besar, digunakan untuk menoreh model arca
pada bagian yang lurus dan simetris.
2. Esek-esek kecil, digunakan untuk menoreh model arca pada
bagian yang kecil dan rumit, misalnya lekukanlekukan.
3. Glati ukir, berfungsi untuk memotong model pada bagian
tertentu, sekaligus berfungsi untuk meratakan dan meng
haluskan.
4. Seret, alat yang digunakan untuk membuat bentuk dasar
gelang, kalung, sabuk, dan mahkota.
5. Plong, alat yang kedua sisinya ditajamkan, berfungsi untuk
membuat detil hiasan pada subang, kalung, gelang, ikat
pinggang, dan hisan pada motif kain.
6. Ukel, sebuah alat kecil dan runcing yang bisa dibuat dari
bahan jarijari payung. Alat ini digunakan untuk membuat
rambut, bulatanbulatan kecil yang menghiasi subang,
kalung, kelat bahu, gelang, dan wiron pakaian.
7. Cukit, alat dengan dua sisi yang ditajamkan, digunakan
untuk membentuk motif bunga teratai, bagian mata, bibir,
dan telinga.
8. Coret, digunakan untuk menuliskan huruf, angka tahun,
nama dewa dan tandatanda khusus pada arca. Contoh
huruf dan angka tahun diperoleh dari buku atau melihat
koleksi Museum BP3 Trowulan.
9. Kuas/sikat halus, digunakan untuk membersihkan per
mukaan model dari sisasisa kotoran bekas goresan,
potongan, dan gosokan. Permukaan model harus benar
benar bersih dan licin, sebab akan berpengaruh pada
hasil cetakan.
254 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Berbagai peralatan ini memiliki variasi ukuran,
dari kecil hingga besar, sesuai dengan ukuran arca yang akan
dibuat untuk arca berukuran besar, digunakan alat berukuran
besar, dan demikan pula sebaliknya.
Proses pembuatan arca cor memerlukan beberapa
tahapan yang masingmasing menggunakan bahan berbeda.
Sekurangnya ada empat tahap yang harus dilakukan, antara
lain: pembuatan model arca dari bahan lilin; pembuatan
cetakan dari bahan tanah liat; Penyiapan bahan cor dari logam
perunggu atau emas, proses pengecoran, dan proses yang
terakhir yaitu menghaluskan hasil cetakan.
a. Pembuatan model arca dari bahan lilin
Seorang seniman ketika membuat model arca yang
menggambarkan tokoh dewa tertentu menggunakan
bahan dasar parafin, damar, dan malam. Ketiganya ber
fungsi sama, tergantung pada selera dan pengalaman
masingmasing seniman. Proses pembuatan model arca
yaitu sebagai berikut:
1) Parafin, damar, atau malam dimasukkan ke sebuah
wadah dicampur dengan serlak (untuk pewarna), dan
dipanaskan dalam wadah sampai mencair dan pekat
seperti glali (adonan gula Jawa). Setelah warnanya
berubah menjadi hitam kekuningkuningan, kemudian
dituang ke lantai yang dilapisi dengan air sabun
supaya tidak lengket.
2) Setelah dingin akan terbentuk lempengan warna
coklat tua dan keras. Lempengan ini kemudian
dipanaskan dengan sebatang lilin sambil diremas
remas sampai berbentuk bulatan. Gumpalan parafin
ini kemudian dibentuk agak lonjong sesuai
255Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna
ukuran arca yang akan dibuat, dan dianginanginkan
sampai dingin dan menjadi keras.
3) Bentuk dasar dibuat dengan membagi dalam tiga
bagian; bagian kepala, badan, dan tangankaki. Alat
yang digunakan yaitu esek-esek besar dan kecil serta
glati. Bagianbagian ini kemudian dipotong dan
ditoreh secara perlahan. dengan cara memotong,
menoreh, bagian perbagian secara perlahanlahan.
4) Bentuk setengah jadi, setelah bentuk dasar jadi, kemu
dian membuat bentuk yang semakin jelas seperti,
anting, telinga, gelang, dan asesoris lain yang meleng
kapi arca, alat yang digunakan (seret kecil, glati ukir,
coret).
5) Tahap selanjutnya membuat detail secara teliti, seperti
rambut (ikal, lurus, keriting) tergantung dari tokoh
yang digambarkan, motif kain, motif bunga, sulur
suluran, dan ukiran, dengan menggunakan alatalat
(seret, plong, ukel, cukit).
6) Tahap akhir yaitu , menghaluskan dan membersihkan
seluruh permukaan model dari sisasisa kotoran yang
menempel.
Pada saat melakukan tatahan, torehan, dan pemo
tongan model, berbagai alat yang digunakan disesuaikan
dengan bentuk dan ukuran bidang yang akan dibentuk.
Sebagai contoh; untuk membuat ceplok bunga dengan alat
cukit, besar kecil nya bunga menentukan pula besar atau
kecilnya cukit yang digunakan. Sementara itu, alatalat
lainnya dapat digunakan untuk saling menunjang dalam
membuat bentuk, motif dan detail sebuah model arca.
256 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
b. Pembuatan rakitan (cetakan)
Bejijong merupakan sebuah kawasan yang relatif
subur untuk lahan pertanian, dengan lahan berjenis tanah
liat. Oleh sebab itu, bertani merupakan salah satu mata
pencahaian penduduk, selain ada yang membuat batu bata,
sebab melimpah nya bahan. Salah satu bahan dasar untuk
membuat cetakan yaitu tanah liat. Para seniman meng
ambil bahan dari halaman rumah atau persawahan yang
mereka miliki. Tanah kemudian dipisahkan dari campuran
kerikil dan batu dengan meng
gunakan saringan kopi. Tanah
yang telah disaring kemudian
dicampur dengan sedikit air
dan pasir, untuk dibuat adonan
dengan cara diremasremas.
Adonan ini kemudian
dibanting, dan dibolakbalik,
sampai menghasilkan adonan
yang liat, homogen dan halus. Adonan tanah liat akan
menjadi sempurna dan siap digunakan, jika tidak lengket
pada jarijari tangan. Komposisi dari campuran ini (tanah
liat, pasir dan air), menentukan dalam proses selanjutnya
untuk membuat cetakan, supaya permukaan cetakan
(negatif) benarbenar halus dan dapat membentuk detail
yang ditorehkan dalam arca model dari bahan parafin
(malam). Pasir halus berperan penting dalam mencampur
adonan. sebab pasir berfungsi sebagai penyeimbang, agar
cetakan yang dihasilkan tidak retak, menjadi lebih kuat,
serta tahan terhadap guncangan yang terjadi pada saat
proses pengecoran nantinya. Oleh sebab itu, campuran
pasir hanya diberikan kurang lebih lima persen dari tanah
Foto 1: Contoh beberapa jenis
alat yang digunakan
257Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna
liat, sedangkan air dipercikkan sedikitdemi sedikit agar
campuran merata.
Proses selanjutnya yaitu mengolesi permukaan model
dengan minyak/oli dengan menggunakan kuas halus dan
rata. Setelah itu dilaukan pembalutan, bahan pembalut
yaitu tanah liat halus yang tela disaring, dicampur
kalsium sebagai penambah daya lekat, dan ditambah
dengan air untuk dilumat dan dicampur, sehingga menjadi
adonan dengan komposisi yang tepat. Adonan ini
halus tidak lengket dan tidak menempel ditelapak tangan.
Pembalutan dilakukan dalam dua tahap, yaitu:
1) Pembalutan pertama, model yang telah disiapkan dan
dilumuri dengan minyak/oil, dilapisi perlahanlahan
dan dilakukan penekanan seperlunya pada seluruh
model sampai merata, kemudian didiamkan dengan
dianginanginkan sampai agak kering dan keras.
2) Pembalutan kedua: setelah hasil pembalutan pertama
agak kering dan keras, kemudian dilakukan pem
balutan kedua dengan cara dan teknik yang sama
seperti pembalutan pertama. Bedanya pada proses
kedua ini, bagian bawah lapisan tanah diberi lubang
untuk jalan ke luar model dari lilin yang mencair
pada saat dipanaskan pada tungku api. Tujuannya
pembalutan kedua yaitu untuk mempertebal lapisan
supaya menjadi lebih kuat dan kokoh, sebab ber
fungsi sebaai alat cetakan (negatif) arca yang akan
dibuat (rakitan). Setelah pembalutan selesai, kemudian
dianginanginkan sampai kering dan keras. Proses
pengeringan tidak boleh kena sinar matahari secara
langsung, sebab dapat berakibat cetakan retak/pecah
258 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
pecah. Dalam konteks ini pengeringan dilakukan
hanya dengan mengandalkan proses alami.
Apabila seluruh rangkaian cetakan telah selesai dan
kering, seniman menyiapkan bahan logam yang digunakan
untuk arca. Bahan logam dapat dibedakan menjadi dua
jenis; bahan emas atau bahan perunggu. Komposisi bahan
cor emas terdiri dari: emas (60 %), perak (30 %), dan
aloy (10 %). Sedangkan bahan cor perunggu terdiri dari:
Uang kepeng cina, kuningan, tembaga dan timah dengan
komposisi Tembaga 60 %, Kuningan 30% dan timah 10%.
c. Bahan cor dan alat yang digunakan
Bahanbahan yang telah disipakan dan ditimbang,
kemudian dibersihkan dari kotoran yang melekat.
Pembuatan bahan cor emas maupun perunggu proses
pem bakarannya sama, yakni dengan cara dipanaskan
di atas tungku api (anglo) menggunakan bahan bakar
arang kayu dan sebuah wadah dari bahan gerabah yang
dinamakan kowi (wadah mirip mangkok, tetapi berukuran
lebih tinggi). Pada bibir/tepian terdapat cerat sebagai jalan
ke luar cairan untuk dituang ke dalam rakitan (cetakan).
Cekungan kowi mengarah ke dalam, agar isinya tidak
mudah tumpah ketika diangkat dan terguncang.
Penggunaan kowi dipercaya dapat mengurangi
pemuaian. Dalam proses ini setelah semua logam
mencair akan terjadi penguapan yang berakibat, mengu
rangi bobot logam secara keseluruhan. Jika bahan ini
dari emas, sangat merugikan sebab dapat mengurangi
bobot, maupun kualitas warna/kecerahan emas tersebut.
Setelah semua bahan siap, kemudian kowi dipanaskan
di atas anglo dan ditaburi serbuk borak. Serbuk ini
259Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna
berfungsi untuk mengurangi peresapan kowi, khususnya
yang masih baru.
Foto 2: Kowi koleksi BP3 Jatim Foto 3: Kowi sekarang, tengah
diisi dengan emas, perak, dan
alloy.
d. Proses pembuatan arca cor
Arca cor merupakan suatu karya seni yang indah dan
rumit, utamanya dalam proses pembuatan diperlukan
ketelitian dan kecermatan, sebab proses pengecoran
hanya dilakukan sekali, kemudan rakitan dipecah untuk
mengambil isi cetakan. Oleh sebab itu, seluruh materi
yang akan digunakan sebelumnya harus dipersiapkan
dengan matang. Jika persiapan dan waktu pemanasan
kurang tepat, akan berakibat rusaknya hasil setakan.
Sebagai contoh; misalnya terdapat gerongga/gelembung
udara, atau permukaan kurang rata. Semua tahapan dalam
proses pengecoran, menjadi perhatian utama bagi para
seniman, agar memperoleh hasil yang berkualitas. Berikut
proses pengecoran logam, antara lain:
1. Pemanasan rakitan (cetakan negatif)
Rakitan yang sudah kering dipanaskan di atas
tungku berbahan bakar arang, secara simultan
temperatur ditinggikan sedikit demi sidikit, dengan
260 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
cara menambah arang ke dalam tungku. Rakitan
untuk arca berukuran kuranglebih 30 cm diperlukan
pemanasan kurang lebih sekitar 3 jam, sampai terjadi
perubahan warna menjadi coklat pucat. Pada saat
pemanasan, dari lubang rakitan yang ada di bagian
bawah akan ke luar cairan lilin/parafin dengan bunyi
ces, ces, ces yang semakin lama, bunyinya semakin
berkurang. Bersamaan dengan mengalirnya cairan
parafin dan bunyibunyi tersebut, lambat laun di
dalam rekitan tertinggal sebuah rongga dengan bentuk
model arca yang dikehendaki. Hilangnya bunyi ces
merupakan tanda bahwa cairan lilin dalam rongga
rakitan sudah bersih dan kering. Selain itu, lama
kelamaan rakitan akan berubah warna menjadi merah
bata, sebagai tanda siap dimasuki logam cor berupa
emas atau perunggu. Proses perubahan warna dan
kematangan rakitan, menentukan kualitas dan hasil
cetakan.
2. Pemanasan logam
Sementara itu, secara bersamaan bahan logam
(emas atau perunggu) yang akan dijadikan coran-coran
(dilebur) disiapkan dan dipanaskan di dalam kowi.
Lambat laun, logam dalam kowi akan meleleh/menjadi
cair. Pemanasan ini kadang dibantu dengan alat las
karbit, untuk mempercepat proses peleburan, sampai
terjadi perubahan warna dan bentuk. Jika pada sisi
luar lingkaran cairan ada terdapat garis melingkar
mirip bulan purnama, itu yaitu tanda logam cor
ini sudah siap untuk dituang ke dalam rakitan.
261Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna
3. Penuangan cor logam ke dalam rakitan
a) Rakitan kemudian diangkat dari api dan didiamkan
sejenak, kemudian lubang tempat pembuangan
cairan yang terdapat di bagian bawah rakitan ditiup
menggunakan gelonggong (batang daun pepaya)
dengan perlahanlahan, supaya kotoran yang ada
di rongga dapat ke luar melalui lubang tersebut.
Gelonggong digunakan sebab tahan panas dan
tidak mudah meleleh pada suhu tinggi. Setelah
peniupan dianggap cukup, dan masih dalam
kondisi panas, rakitan dibalik sehingga lubang
yang ada di bawah posisinya di atas, kemudian
dilakukan pengecoran logam ke dalam rakitan.
b) Pengecoran/penuangan cairan logam ke dalam
rakitan, dilakukan ketika keduaduanya dalam
kondisi panas dan dilakukan dengan hatihati, agar
tidak tidak tumpah dan terputusputus. Seandainya
terputus, akan berakibat masuknya gelembung
udara. Cara mengatasinya yaitu dibantu dengan
alat las untuk mendorong cairan ini masuk
pada selasela rongga yang sempit.
Foto 4: Rakitan yang sudah dimasuki dengan coran logam emas. Pada
lubang tampak warna merah membara. Dalam cetakan inilah terdapat
sebuah arca
262 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
c) Dalam kondisi terbalik, rakitan diletakkan pada
tempat yang aman tidak goyang dan diangin
anginkan, sampai dingin. Setelah rakitan ini
dingin, kemudian dipecah perlahanlahan meng
gunakan palu dan kayu. Bahan tanah yang telah
mengeras ini pecah dan dicelahcelahnya
tampak sebuah arca. Selanjutnya, permukaan arca
dibersihkan dengan sikat kawat.
d) Pecahan rakitan bagian dalam dikumpulkan untuk
dipisahkan dari sisa baan cor, yaitu dengan cara
dimasak untuk mengambil sisasisa emas yang
kadang menempel pada dinding. Adapun sisa
arca dari bahan perunggu dimanfaatkan lagi
untuk pengecoran selanjutnya.
4. Penyelesaian akhir (finishing)
Tahap ini sangat menentukan kualitas arca yang
dihasilkan. Banyak hal bisa menyebabkan cetakan
cacat, walaupun telah dilakukan pengerjaan sesuai
dengan prosedur yang ditentukan. Arca setelah dicuci
kemudian diamati, bagian mana yang tidak sempurna,
mulai dari bentuk keseluruhan, wajah, badan, kaki
serta asesoris yang ada. berdasar pengalaman,
cacat pada bagian muka (hidung, bibir, alis, mata)
meru pakan hal yang agak sulit untuk diperbaiki
dengan cara menambal memakai bahan dan campuran
yang sama. Untuk menambal diperlukan alat las, guna
menyatukan dengan menutupi bagian yang rusak
atau cacat. Setelah penambalan, kemudian bagian
ini ditoreh menggunakan alat sesuai dengan
kebutuhannya, misalkan; glati untuk memotong dan
263Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna
cukit untuk membuat bentuk bagian bibir, telinga,
mata, serta hiasanhiasan lainnya.
Jika penambalan selesai dilakukan, kemudian
dilakukan torehan pada bagianbagian tertentu sampai
menjadi sempurna. Langkah selanjutnya yang harus
dilakukan yaitu menyepuh, pada pande mas. Untuk
arca dari bahan emas, penyepuhan dimaksudkan
untuk memperoleh hasil dan efek warna emas yang
ideal. Pemberian efek warna pada tukang emas yaitu
dengan:
a) Arca dipanasi dengan alat
las pompa berbahan bakar
minyak tanah sampai panas,
kemudian dimasukkan ke
dalam cairan untuk member
sihkan dari sisasisa kotoran.
Kemudian arca diangkat dan
dimasukkan ke dalam cairan
sepuh emas, menggunakan
alat listrik.
b) Langkah terahkir yaitu mem
beri kesan warna kuna dan
antik, dengan cara dipanasi
dan diolesi dengan serbuk
batu bata kuna yang banyak
ter dapat di Situs Trowulan.
Hasilnya arca emas tersebut,
ber warna emas murni dan antik, berbeda dari
sebelumnya yang cenderung berwana emas
kepucatan.
Foto5: Arca emas
Dewi Sri, buatan
Seniman Bejijong
264 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Penutup
Tinggalan budaya materi dari peradaban nenek moyang
Indonesia yang telah ditemukan sanga luas persebarannya.
Ada yang telah menjadi koleksi museum, baik pamerintah
maupun swasta, dan ada juga yang masih insitu (pada
tempatnya), utamanya yang berupa bangunanbangunan
monumental. Seni arca, sebagai salah satu hasil kebudayaan
dalam penguasaan teknologi cor logam, telah menghasilkan
karyakarya seni yang indah dan menjadikan ciri khas dari
arca Indonesia, khususnya Jawa.
Hasil karya berpa arca buatan warga Jawa kuna,
mayoritas berkaitan dengan halhal bersifat religius. Arcaarca
yang dibuat mayoritas merupakan perwujudan dewadewa
dalam budaya Hindu dan Budha, seperti Dewa Wisnu, Siwa,
Sang Budha dan masih banyak lagi yang lainnya. Tinggalan
dan karya seni tinggi ini tidak diketahui bagaimana
proses dan cara pengerjaannya. Melalui data etnografis, dicoba
untuk mencari jawabnya, sehingga data etnoigrafis ini
dapat dijadikan sebagai salah satu bahan analogi. Tujannya
yaitu agar dapat memberikan gambaran kepada generasi
penerus bahwa karyakarya seni pada masa lalu bukanlah hal
yang mudah untuk dikerjakan. Banyak cara dan ketentuan
yang berkaitan dengan sistem kepercayaan yang dianut, yang
harus diikuti oleh seorang seniman, khususnya seniman arca
cor pada masa itu. Setiap dewa memiliki kekhususan dalam
ukuran (ikonometri) dan gaya, sikap tangan, serta atribut
atribut kedewaannya (ikonografi). Ketentuan ini diacu
dari seorang pendeta yang diambil dari Kitab Cilpacastra,
khususnya untuk pengarcaan dewadewa Hindu.
265Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna
Bejijong sebagai desa tempat tinggal seniman arca cor
logam, dapat dijadikan suatu contoh, untuk mengetahui
tentang cara pembuatan arca, sejak dari tahap persiapan bahan,
pembuatan model, pengolahan bahan, membuat cetakan
(rakitan), sampai menjadi sebuah arca. Proses pengerjaannya
ternyata tidak semudah yang dibayangkan, berbagai hal
yang berkaitan dengan masalah teknis harus diatasi dengan
pengalaman secara empirik, untuk menghasilkan sebuah arca
yang berkualitas. Suatu hal yang patut menjadi perhatian,
yaitu dalam penggunaan bahan maupun caranya masih
tradisional. Sebagai contoh penggunaan alatalat anglo, kowi,
glonggong kates (pepaya), dan arang. Selain itu nama alat yang
digunakan juga masih menggunakan nama tradisional seperti;
esek-esek besar, esek, glati ukir, plong, ukel, cukit, coret, dan lain
lainnya.
Betrdasarkan pada data etnografis sebagai analogi untuk
menggambarkan kehidupan warga Majapahit pada masa
itu, ternyata telah terbukti menyimpan kemegahan dalam
berbagai bentuk kebudayaan, salah satunya yaitu dalam
karya seni ketrampilan membuat arca.
Bacatulis kini menjadi salah satu kebutuhan primer bagi siapa pun, dan semua orang mengakuinya. Sindhunata pernah menulis bahwa aksara yaitu jalan
menuju ke ilmu pengetahuan, sekaligus sarana bagi manusia
untuk maju dan berkembang (Sindhunata, 2008). Untungnya
dia tidak menyi sipkan kata “satusatunya” sehingga tentu saja
ada sarana lain, yaitu gambar. Justru dia mempertanyakan,
sungguhkah pada mulanya memang aksara yang menjadi
sarana belajar? Dengan cukup meyakinkan akhirnya dijelas
kan bahwa gambarlah pada awalnya, dan belajar tidak melulu
harus melalui bacatulis. Dia contohkan sebuah gambar seorang
pemburu yang buta aksara, dan disimpulkan bahwa dalam
warga tanpa alfabet itu, juga ada pendidikan sebagai
mana ditunjukkan oleh hadirnya pengetahuan dan keahlian
membuat busur dan anak panah.
270 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Lalu, apa hubungannya dengan Majapahit ?
Sebagai contoh, coba cermati tulisan Rangkuti tentang
batas kota Majapahit dan bayangkan jika rangkaian aksara
yang membentuk kata dan kalimat itu tidak dilengkapi
dengan gambar. Tentu butuh perjuangan ekstra untuk dapat
meng ikuti makna kata dan kalimatkalimatnya melalui
jelajah imajinasi yang terlalu luas; apalagi bagi orang yang
tidak pernah berkunjung ke Kota Majapahit. Bukan hal yang
mustahil jika penjelajahan imajinatif itu meleset dari makna
kata dan kalimat sebagaimana dimaksud oleh Rangkuti.
Sarana gambar memang dahsyat, termasuk untuk
men jelaskan batas kota dan jejakjejak kejayaan Majapahit
sekalipun. Memang benar dokumen visual, entah itu foto
atau pun gambar, yaitu bagian tak terpisahkan dari proses
penelitian, dan arkeologi tentu termasuk di dalamnya.
Kepungan peneliti atas Kota Majapahit memang sudah ber
langsung lama, setidaknya sejak tahun 1815. Dokumen visual
pun sejak itu sudah menjadi kebutuhan yang bukan main
pentingnya. Karyakarya dokumen visual dari para pendahulu
itu, meskipun umumnya masih hitamputih, tetapi begitu
cantik, apalagi jika dicermati di era digital seperti sekarang.
Fenomena gambar Kota Majapahit itu sedikit atau pun
banyak juga menjadi inspirasi bagi arkeolog untuk berkarya
secara visual berkenaan dengan tema Majapahit. Geliat visual
ini seolah semakin mengukuhkan bahwa rangkaian aksara
bukanlah monopoli sarana untuk menjelaskan selukbeluk
Kota Majapahit, sehingga gambar pun tak boleh dilupakan.
Majapahit Dalam Kepungan Peneliti
Majapahit, sebuah kerajaan adidaya yang berkembang
dari akhir abad ke13 hingga awal abad ke16 M, merupakan
salah satu tonggak paling penting dalam mata rantai perjalanan
sejarah bangsa Indonesia. Kerajaan ini tidak pernah dilepaskan
dari situs Trowulan di Kabupaten Mojokerto dan situssitus
lain di sekitarnya hingga wilayah Kabupaten Jombang, justru
sebab keyakinan di situlah ibu kotanya.
Sebelum ditemukan pertama kali oleh Wardenaar pada
tahun 1815, “Kota” Trowulan memang dalam keadaan
hancur. Berbagai kemungkinan tentang faktor kehancuran
ini antara lain dikemukakan oleh Sartono dan Bandono
(1991:130) yang menyatakan ada dua faktor, yaitu politis dan
alam. Faktor politis misalnya suksesi, perpindahan pusat
peme rintahan (oleh Rajasanegara ke Tumapel pada tahun
1451), dan pendirian bangunan baru di atas bangunan lama
sebagai usaha pemulihan kota. Adapun faktor alam yaitu
letusan Gunung Kelud yang terjadi berkalikali yang bukan
hanya menimbulkan goncangan hebat tetapi juga debu yang
mengubur sebagian kota.
Di antara puing kota dan sisa kejayaan itu, banyak usaha
telah dilakukan untuk mendapatkan gambaran seperti apa
sebenarnya bentuk dan isi kota Majapahit. Sejak itu, Trowulan
benarbenar berada dalam kepungan peneliti yang berjuang
di sana, dan catatan berikut ini yaitu sebagian dari hasil
perjuangan mereka.
Pigeaud (19603, IV) menggambarkan beberapa aspek
kehidupan Majapahit berdasar Nāgararakrtāgama, seperti
penggolongan warga yang terdiri atas empat kelompok,
yaitu penguasa (rulers), pejabat keagamaan (men of religion),
272 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
rakyat biasa (commoners), dan para abdi dalem (bondmen). Aspek
kehidupan ekonomi waktu itu didasarkan pada pertanian
yang dilakukan di tanah datar atau di punggung bukit dengan
menggunakan sistem séngkédan, yang menghasilkan beras
dan jelai. Pojoh menambahkan adanya jenisjenis hewan yang
dikonsumsi pada saat itu, antara lain katak, cacing, penyu,
tikus, dan anjing. Sementara itu beberapa jenis minuman yang
dikenal oleh warga Majapahit meliputi tuak, dari pohon
kelapa maupun lontar, arak dari pohon aren, kilang, brem, dan
tampo (Pojoh, 1990: 221).
Secara khusus Parmono Atmadi (1993: 119130) mengkaji
aspek arsitektural terhadap tinggalan kepurbakalaan
Majapahit, baik yang bersifat monumen maupun lansekap
(tata ruang). Kajian ini selain didasarkan pada pengamatan
terhadap berbagai tinggalan yang ada juga didasarkan pada
berbagai laporan para pendahulu seperti: Maclaine Pont
yang menyebut Javansche Architectuur; W.F. Stutterheim yang
membicarakan de Kedaton van Majapahit; T.G. Th. Pigeaud yang
menguraikan dalam bukunya Java in the 14th Century. A Study
in Cultural History; dan Prapanca dalam Nāgararakrtāgama.
Niken Wirasanti (1997) mengulas situs Trowulan sebagai
kota pusat kerjaan Majapahit yang difokuskan pada masalah
penggolongan kota menurut fungsinya (penggolongan non
numerik) seperti kota sebagai pusat produksi, perdagangan,
maupun pemerintahan. Diyakini bahwa Trowulan merupakan
pusat kerajaan Majapahit sebagai sebuah kota yang tertata
dengan kawasankawasan khusus, misalnya kawasan
bangunan suci (candi), perumahan kelompok profesi dan
industri, serta kelompok pedagang.
Kehidupan keagamaan warga Majapahit antara lain
tercermin dari ditemukannya sejumlah besar bangunan suci
273Situs Kota Majapahit dalam Gambar
(candi) yang juga didukung oleh data tertulis. Selanjutnya
Subroto (1997: 118) menjelaskan bahwa adanya tiga kepala
keagamaan di Majaphit, yaitu Buddhadyaksa, Saiwadyaksa,
dan Mantri er haji meupakan bukti adanya tiga agama, yaitu
Buddha, Hindu, dan pertapa. Pengakuan terhadap tiga agama
ini mencerminkan adanya usaha pemerintah pada waktu
itu dalam memupuk rasa persatuan dan kesatuan melalui
kehidupan bertoleransi dalam bidang keagamaan. Hal ini
sangat jelas tergambar dari sisasisa Kota Trowulan kuna,
khususnya tinggalan bangunan keagamaan.
Soekmono dan Inajati Adrisijanti (1993: 6788) menguraikan
tentang kejayaan dan dinamika Kerajaan Majapahit seperti
tercermin dari berbaga tinggalan purbakala yang ada sebagai
warisan luhur. Warisan ini antara lain yaitu :
1. berbagai bangunan candi masa Majapahit yang ter
sebar di Jawa Timur
2. peninggalan bercorak Islam khususnya nisannisan
bertulis dari abad XIV M yang tersebar pada tujuh
kelompok makam. Bentuk Nisannisan ini paling tidak
meliputi 4 tipe yaitu: lengkung kala-makara, segi empat
berujung akolade dan berpangkal antefiks, segi empat
dengan tonojolan di atas, dan bentuk bertingkat.
Peneliti yang lain, Karina Arifin (1983), secara khusus mem
bahas waduk dan jaringan kanal di Trowulan. berdasar
pandangan para ahli sebelumnya ditambah hasil penelitiannya
(antara lain melalui analisis foto udara), dapat dipastikan bahwa
kanalkanal ini dibangun pada masa Majapahit. Selain
itu, dikatakan bahwa fungsi utama waduk dan kanal yaitu
sebagai pengendali banjir, khususnya untuk menyelamatkan
kota dan lahan pertanian yang ada. Secara geografis Trowulan
274 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
memang berada pada bentang kipas alluvial sehingga sungai
sungai di sekitarnya cepat mengalami pendangkalan justru
sebab berada pada kipas alluvial. Percepatan pendangkalan
ini berakibat langsung terhadap daya tampung sungai yang
semakin rendah, sehingga ketika musim hujan potensi meluap
nya air sungai sangat besar.
Hingga kini, berbagai kegiatan penelitian arkeologi
di Trowulan dan sekitarnya terus dilakukan, baik secara
per orangan maupun secara institusional. Seolah berpacu
dengan menurunnya kualitas dan kuantitas data di lapangan,
mungkin juga didorong oleh keniscayaan atas hasil penelitian
yang nantinya akan bermanfaat untuk negeri ini, menggali
dan menggali memang tidak boleh berhenti. Apalagi ujung
riset itu seringkali berbuah pertanyaan baru sehingga mesti
dicari jawabannya, dan terus menggali yaitu cara untuk
menemukan jawaban itu.
Geliat Visual Arkeolog
Kepungan peniliti atas situs Kota Majapahit selain meng
hasilkan berbagai informasi dan pengetahuan yang sangat
berharga, juga berbuah dokumen grafis, baik foto maupun
gambar yang hingga saat ini tak seorang pun mampu meng
hitung berapa banyak sebenarnya jumlahnya. Begitu banyak
memang informasi dan dokumen itu hingga mendorong
beberapa arkeolog berpikir keras untuk memadukan informasi
tentang Kota Majapahit dengan dokumen grafis. Tujuannya
tidak lain yaitu agar hasil riset tidak sekedar menjadi menu
yang hanya dapat dikonsumsi oleh arkeolog atau kaum
akademisi terkait, tetapi juga dapat “disantap” oleh publik
secara lebih luas. Bahasa gambar, atau setidaknya gabungan
275Situs Kota Majapahit dalam Gambar
antara gambar dan teks, tentu saja menjadi media komunikasi
yang lebih efektif untuk itu. Beranjak dari situ, beberapa
arkeolog mulai menggeliat untuk “memberdayakan” aspek
visual Kota Majapahit sebagai salah satu alat komunikasi
dengan publik.
Seolah tidak puas dengan fotofoto yang melulu hanya
digunakan untuk sekedar dokumen dan lampiran semata,
beberapa arkeolog pun mulai menggeliat secara visual. Saat
fotografi semakin “diremehkan” di era kamera digital, justru
sebab berbagai kemudahan yang ditawarkan, saat itu pula
sebenarnya arkeolog semakin jauh dari kemampuan memotret
yang baik dan benar. Tak heran jika eksotika Kota Majapahit
tidak dapat terekam dengan semestinya, ada nuansa estetika
yang luput dari bidikan, entah sebab tidak tahu atau memang
sengaja dilewatkan sebab dianggap tidak berguna. Dari
kacamata fotografi maupun kerangka estetika grafis lainnya,
Kota Majapahit di Trowulan sesungguhnya menyimpan
nuansa eksotika yang belum banyak dieksplorasi. Memang,
mungkin hanya yang berpengalaman dan yang sudah matang
di bidang estetika grafis saja yang dapat melihat mutiara
mutiara itu, termasuk di antaranya yaitu beberapa arkeolog
yang secara sadar juga menekuni bidang olah grafis.
Di sisi lain, geliat visual semakin kuat saat teknologi
digital sepenuhnya mampu mendukung olah grafis yang
nyaris tanpa batas. Imajinasi pun semakin luas jalajahnya
untuk menghadirkan Kota Majapahit dalam gambar bernuansa
estetis. Hasilnya yaitu gambargambar bukan hanya hasil
bidikan lensa berupa foto dan film, tetapi juga perpaduan
antara teks dan gambar dalam ramuan sebuah cerita visual.
Berikutnya yaitu sebagian gambargambar Kota
Majapahit buah dari geliat visual dan hasil jelajah imajinasi
276 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
yang dituangkan dalam bidikan lensa (foto dan film), cerita
dalam gambar (kolase dan poster), serta imajinasi lewat jemari
(sketsa).
Bidikan Lensa
Rekaman Kota Majapahit melalui bidikan lensa terdiri
atas fotofoto di beberapa situs serta bidikan kamera video
yang dikemas dalam sebuah film pengetahuan arkeologi.
1. foto
a) Wringin Lawang
Kiri: eksotika matahari terbit di Candi Wringin Lawang.
Kanan: “Wringin Lawang on Infrared” (Foto: Sugeng Riyanto)
Kiri: Candi Wringin Lawang saat dibersihkan. Kanan: hasil bidikan
lensa dengan filter inframerah (Foto: Sugeng Riyanto)
Candi Wringin Lawang merupakan gapura
berbentuk bentar atau gapura tanpa ambang di
277Situs Kota Majapahit dalam Gambar
atasnya, bagaikan sebuah candi yang dibelah dua
kemudian masingmasing ditarik menjauh, maka jadi
lah gapura. Meskipum dinama kan gapura, namun
tidak ada tembok di kiri dan kanannya sehingga jika
tidak teliti orang tidak akan tahu yang mana bagian
luar dan mana bagian dalam. Sesungguhnya, Wringin
Lawang menghadap ke timur, sehingga mestinya
bagain dalamnya ada di barat. Bangunan setinggi 15,5
meter ini terletak di Desa Jatipasar, Trowulan, tak jauh
dari jalan raya Mojokerto Jombang.
b) Candi Brahu
Kiri: Siluet Candi Brahu, tampak di latar belakang yaitu jajaran pegunungan
Penanggungan, Anjasmoro, dan Welirang. Kanan: hasil bidikan lensa berfilter
inframerah (Foto: Sugeng Riyanto)
Bangunan yang terletak di Desa Bejijong ini meru
pakan bangunan suci bagi agama Buddha. Dibangun
dengan material bata, bangunan setinggi kurang lebih
26 meter ini tampak seperti silinder berdiri yang diberi
profil pada tepiannya. Untung ada pintu masuk di
bagian barat, sehingga kita dapat tahu ada semacam
teras di bagian dalamnya yang mungkin menjadi
tempat ritual. warga percaya kalau di sinilah
tempat perabuan bagi rajaraja masa akhir Majapahit.
278 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Kiri: sisi lain Candi Brahu dengan filter inframerah.
Kanan: Candi Brahu saat dibersihkan
(Foto: Sugeng Riyanto dan Indradi AW)
c) Bajang Ratu
Bajang Ratu yaitu sebuah gerbang berbahan
bata setinggi hampir 17 meter, berbentuk gapura
paduraksa, yaitu bangunan gapura dengan atap
di ambangnya. Para peneliti percaya Bajang Ratu
dibangun pada pertengahan abad ke14, antara lain
didasarkan pada relief yang menceritakan kisah Sri
Tanjung. Memang, selain di sini, cerita Sri Tanjung
juga ada di Candi Panataran, Blitar yang dibangun
pada pertengahan abad ke14.
Gapura Bajangratu dalam infrared (Foto: Sugeng Riyanto)
279Situs Kota Majapahit dalam Gambar
d) Candi Tikus
Bangunan ini sebenarnya bukan candi tetapi
sebuah bangunan petirtaan, atau kolam suci bagi
agama Hindu. Bangunan berbahan bata ini berada
di bawah level muka tanah, sehingga untuk menuju
kolam harus turun melewati tangga yang ada di sisi
utara. Candi Tikus mulai dipugar pada tahun 1923
pada masa pemerintahan kolonial Belanda, dan
pemerintah RI melanjutkannya pada tahun 1980an.
Konon, petirtaan ini dinamakan Candi Tikus sebab
sebelum dipugar situs ini memang menjadi sarang
tikus.
Kiri: Candi Tikus dalam tone infrared.
Kanan: sesaji di Candi Tikus (Foto: Sugeng Riyanto)
e) Kolam Segaran
Bangunan yang ditemukan oleh Henry Maclaine
Pont pada tahun 1926 ini benarbenar berwujud
kolam yang berbentuk persegi panjang. Kolam
berbahan bata ini mungkin kolam terbesar di dunia,
melihat ukurannya yang begitu besar, yaitu 375 x 175
meter atau 6,5 hektare lebih! Pemugaran pertama kali
dilakukan pada tahun 1966 dan dilanjutkan tahun
280 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
1974 dan diselesaikan sejak tahun 1978. warga
sekitar ternyata cukup ”girang” dengan kolam yang
nyaris berisi air sepanjang tahun ini sebab memang
banyak ikan di dalamnya.
Kiri: eksotika matahari terbit di Segaran.
Kanan: foto infrared Kolam Segaran (Foto: Sugeng Riyanto)
Malam hari di Segaran, mungkin ini satusatunya foto Kolam
Segaran di waktu malam (Foto: Sugeng Riyanto)
Kiri: girang berperahu karet di kolam Majapahit.
Kanan: berburu ikan di Segaran (Foto: Sugeng Riyanto)
281Situs Kota Majapahit dalam Gambar
f) Fotofoto Lainnya
Masih di seputar Kota Majapahit, beberapa objek
arkeologi ternyata juga memiliki sisi estetika, tentu
saja jika direkam dengan teknik fotografi khusus.
Inilah fotofoto itu.
Jajaran umpak raksasa berbentuk segi delapan di Sentonorejo
(Foto: Sugeng Riyanto)
Kiri: yoni berukuran jumbo di Japanan, bandingkan dengan ukuran
orang dewasa. Kanan: salah satu ruas kanal Kota Majapahit (jalur X7)
(Foto: Sugeng Riyanto)
282 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Kiri: jajaran umpak di rimbun kebun jambu mete, Lebak Jabung.
Kanan: bangunan Sitihinggil, Bejijong (Foto: Sugeng Riyanto)
Kiri: sisa saluran air, Nglinguk. Kanan: runtuhan Candi Minak Jinggo,
Trowulan (Foto: Sugeng Riyanto)
g) Fenomena Kota Majapahit
Bekas kota Majapahit kini memang menjadi ruang
permukiman yang ramai dan padat. Di dalamnya ternyata
terdapat fenomena baru yang dapat “dikaitkaitkan”
dengan Kota Majapahit, meskipun tidak ada benang
merah nya secara langsung sebenarnya. Inilah potret
beberapa fenomena di Kota Majapahit itu.
283Situs Kota Majapahit dalam Gambar
Arca Buddha raksasa, Bejijong, bandingkan dengan ukuran orang dewasa
(Foto: Sugeng Riyanto)
Perajin arca logam, Bejijong dan perajin terakota, Trowulan.
Konon, mereka meniru artefak asli Majapahit sebagai modelnya
(Foto: Sugeng Riyanto)
2. Film
Sebuah film pengetahuan arkeologi bertema Majapahit
telah diproduksi oleh Balai Arkeologi Yogyakarta dengan
dukungan Yayasan Tahija. Film berjudul “Menembus Kota
Majapahit” ini terinspirasi oleh perjuangan para peneliti dalam
usahanya menjelaskan tentang bentuk dan isi Kota Majapahit,
termasuk kehidupan di luar kota. Catatan Prapanca dalam
Nagarakrtagama dan rekonstruksi perjalanan Hayam Wuruk
284 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
ke desadesa di Jawa Timur dan di sekitar kota mengawali
“kisah” dalam film ini.
Film berformat VCD dan berdurasi 49’ 40” ini juga
menampilkan sebagian isi kota sebagaimana dapat disaksikan
sekarang, baik berupa bangunan candi, gapura, kolam, struktur
rumah, bahkan kanal. Kekuatan film ini yaitu visualisasi
hasil penelitian Nurhadi Rangkuti tentang batas kota yang
berukuran 9 x 11 Km. Bukan hanya itu, dengan lugas juga
digambarkan teori jalan masuk ke Kota Majapahit dari Sungai
Brantas hingga Kota Majapahit di Trowulan sekarang.
Sampul film (kiri), opening title (tengah), dan bagian film saat host
menjelaskan peran Sungai Brantas sebagai pintu masuk ke Kota
Majapahit (kanan) (Sumber: “Menembus Kota Majapahit”)
Di bagian akhir, divisualisasikan makna bentuk dan tata
kota yang dikaitkan dengan konsep kosmologis, artinya ada
unsur perencanaan pada bentuk Kota Majapahit. Dijelaskan
oleh Rangkuti sebagai narasumber utama film ini bahwa
konsep amertamanthana melandasi bentuk kota sebagaimana
ditunjukkan oleh yoniyoni berhias nagaraja yang menjadi
batas kota, serta adanya jaringan kanal dan wadukwaduk di
sekitar Trowulan. Konsep amertamanthana sendiri merupakan
suatu kisah sakral ketika para dewa mencari air kehidupan
(amertha) yang berada di dasar laut, sehingga laut harus diaduk
285Situs Kota Majapahit dalam Gambar
agar amertha dapat diambil. Alat pengaduknya yaitu Gunung
Mandhara, sebagai alasnya yaitu kurakura raksasa jelmaan
Dewa Wisnu, dan sebagai tali pemutarnya yaitu naga.
Bercerita dengan Gambar
Kolase dan poster yaitu sebagian media untuk menam
pilkan sebuah cerita melalui bahasa gambar. Tentu saja teks
masih diperlukan di sini, namun perimbangan komposisi
gambar harus lebih besar. Berikutnya yaitu kolase dan poster
bertema Kota Majapahit.
1. Kolase
Seperti apa jadinya jika Kolam Segaran
dipotret dari pagi hingga malam?
Kolase ini lah jawabannya, yang
menggambarkan aspek estetika Segaran
sepanjang hari hingga malam (Foto dan
desain: Sugeng Riyanto)
Inilah kolase eksotika Wringin Lawang
sepanjang pagi, dari sebelum matahari
terbit hingga matahari beranjak naik.
Gemilang lazuardi yaitu point of
interest foto-foto dalam kolase ini (Foto
dan desain: Sugeng Riyanto)
286 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
2. Poster
Keprihatinan atas penurunan kualitas
dan kuantitas data arkeologi di situs
Trowulan yaitu inspirasi poster ini
(Ide: Nurhadi Rangkuti,
desain: Sugeng Riyanto)
Poster ini menggambarkan keagungan
Kota Majapahit. Penggalian makna
antara lain berbuah pesan adanya
konsep persatuan dalam keragaman,
etos kerja keras, keselarasan dengan
lingkungan, serta konsep jatidiri
(Ide: Nurhadi Rangkuti,
desain: Sugeng Riyanto)
Imajinasi Lewat Jemari
Kamera dan komputer yaitu perpanjangan imajinasi
guna menuangkan hasil jelajahnya ke dalam media visual.
Di sisi lain, ternyata jelajah imajinasi juga dapat disalurkan
melalui “tarian jemari” dan sebuah pensil. Berikut yaitu
karya visual bertema Kota Majapahit dalam bentuk sktesa
pensil pada media kertas HVS karya Hadi Sunaryo.
287Situs Kota Majapahit dalam Gambar
Kiri: Gapura Wringin Lawang. Kanan: Gapura Bajang Ratu
(Karya: Hadi Sunaryo)
Kiri: Kolam Segaran. Kanan: Candi Brahu (Karya: Hadi Sunaryo)
Kiri: Gunung Penanggungan. Kanan: tempat penyeberangan
di Sungai Brantas, Desa Kesamben, Jombang (Karya: Hadi Sunaryo)
288 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Lensa dan Imajinasi untuk Kota Majapahit
“Sayangnya, kota Majapahit kini hanya dapat direkonstruksi di
atas kertas. Di lapangan, bekas kota itu berubah wajah menjadi
kota industri bata. Lebih dari 3.000 titik lokasi pembuatan bata
telah melenyapkan lapisan budaya Majapahit. Pemusnahan secara
sistemik itu berlangsung terus tanpa dapat dicegah”.
Epilog dalam film “Menembus Kota Majapahit” itu benar
benar menggambarkan kondisi bekas kota yang semakin
menge naskan dari hari ke hari. Namun, dalam porakporanda,
di antara puing, dan di sela rimbun tebu dan lumpur per
sawahan, peneliti maju terus untuk menggali dan menggali
sisa runtuhan kota. Hanya dengan cara itulah arkeolog
berjuang untuk dapat memperoleh gambaran seperti apa kota
Majapahit.
Menggali dan terus menggali, seolah berpacu dan berebut
data dengan perajin bata terus dilakukan meski kadang
dihantui perasaan pesimis. Namun, api harap dan semangat
terus terjaga dan tak akan pernah padam meskipun di
tingkahi rasa cemas. Semua itu tidak lain yaitu demi dapat
menyampaikan nilainilai luhur dan adiluhung di balik kota
Majapahit ke seantero negeri. Di sisi lain, penggalian kejayaan
itu juga dilakukan lewat gambar, sebut saja foto, film, dan
poster. Jadi, penggalian tidak saja menggunakan cetok dan
cangkul, tetapi juga dapat menggunakan lensa. Namun, lensa
yang memiliki peran terbesar sebenarnya yaitu lensa nurani
dan imajinasi, tentu saja lewat eksplorasi perasaan yang lembut
dan jelajah imajinasi yang manis. Lewat jalan inilah anakanak
negeri akan tahu dan dapat memahami betapa ada jejak jaya
di riwayat negeri, yang dapat diteladani untuk menyambut
lazuardi gemilang esok pagi.
289Situs Kota Majapahit dalam Gambar
Begitu banyak pabrik bata di Trowulan,
sebagian di antaranya berada persis di atas runtuhan bangunan
masa Majapahit (Foto: Sugeng Riyanto)
Ini yaitu contoh sisa bangunan masa Majapahit yang digempur tanpa
ampun demi mendapatkan bahan baku bata (Foto: Sugeng Riyanto)
Agen kerusakan lain yaitu alat berat di perkebunan tebu (kiri)
dan pembuatan sumur (kanan) (Foto: Sugeng Riyanto)
290 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
T empat kediaman raja digambarkan bertembok bata yang tingginya lebih dari 20 kaki dan panjangnya lebih dari 100 kaki, mempunyai gapura ganda dan keadaannya bersih dan terawat
baik. Rumah-rumah di dalamnya terletak di atas tanah setinggi 30-40 kaki;
lantainya dari papan kayu yang di alasi tikar rotan atau alang-alang yang
dianyam halus, atap-atap rumah digunakan papan kayu yang keras sebagai
genteng. Rumah-rumah rakyatnya diberi atap jerami. Demikian gambaran
tentang ibukota Trowulan yang diuraikan dalam berita Cina pada abad ke
15 M.
Pahitnya buah Maja
Konon nama Majapahit
berasal dari nama buah Maja
yang dikenal dengan rasanya
yang pahit. Pada waktu
Raden Wijaya bersamasama
orang Madura membuka
”alasing wong Trik” yang akan
Buah Maja dengan latar belakang
Candi Brahu
(dokumentasi: Sugeng R./Balar Yk)
296 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
digunakan sebagai pemukiman, di sekitar lokasi tempat baru
itu banyak dijumpai pohon Maja. Ketika itu para pekerja yang
membabat alas kehabisan perbekalannya, lalu mereka makan
buah Maja ini dan ternyata rasanya pahit.
Ada beberapa nama tempat yang menggunakan unsur kata
”mojo”, seperti Mojoagung, Mojowarno, Mojolegi, Mojoduwur,
Mojowangi, dan Mojosari. Sementara itu di Trowulan sendiri
tidak dijumpai nama tempat yang menggunakan unsur kata
”mojo”. Namun desa ini telah mewariskan kepada kita
berbagai jenis maupun variasi bendabenda purbakala. Oleh
sebab itu Desa Trowulan hingga sekarang diyakini sebagai
bekas ibukota kerajaan Majapahit.
Seratus sembilan puluh empat tahun (18152009) sudah
usia situs Trowulan sebagai situs perkotaan Majapahit yang
digeluti oleh para peneliti, baik dari dalam negeri, luar negeri,
maupun pemerhati budaya. Namun hasil dari penelitian
penelitian yang telah dilakukan itu hingga kini belum mem
buahkan hasil seperti yang diharapkan, yaitu sebuah ibukota
kerajaan dari masa HinduBuda, satusatunya situs perkotaan
di era kerajaankerajaan kuno dari abad VXV Masehi yang
ada di Nusantara ini. Memang upaya untuk mendapatkan
gambaran yang utuh tentang sebuah kota tidaklah mudah.
Apalagi peninggalanpeninggalannya yang sampai kepada
kita sangat fragmentaris.
Ada beberapa faktor penyebab kerusakan yang dialami
kerajaan Majapahit. Utamanya yaitu faktor internal, yaitu
adanya suksesi dan perebutan kekuasaan. Di dalam perja
lanannya kerajaan Majapahit mengalami berbagai peristiwa
pemberontakan di antara keluarga raja untuk memperebutkan
kekuasaan, seperti pemberontakan Ranggalawe, Lembusora,
297Yang Pahit dari Majapahit
Nambi, Kuti, Tanca, penaklukan Keta, dan Sadeng (Baskoro
2004).
Peristiwa besar yang hampir meruntuhkan kerajaan
Majapahit dikenal sebagai perang Paregreg, antara
Wikramawardhana dari wilayah bagian barat (Majapahit)
dengan Bhrĕ Wirabhumi yang memerintah di bagian timur
(Blambangan). Pemberontakan terusmenerus terjadi, penguasa
silih berganti. Kemudian muncullah Girindrawardhana yang
mengambil alih pemerintahan Majapahit. Girindrawardhana
inilah yang berusaha mempersatukan kembali wilayah
kerajaan Majapahit yang terpecahpecah akibat pertentangan
keluarga (Baskoro 2004). Meskipun ia telah menyatukan
kembali wilayah Majapahit yang terpecahpecah, tetapi
kekuasaan kerajaan Majapahit tidak dapat dipertahankan.
Akibatnya pengawasan terhadap daerahdaerah bawahannya
semakin lemah, dan memberi peluang bagi daerahdaerah
bawahan ini untuk menyusun kekuatan dan melepaskan
diri dari Majapahit. Pada waktu itu di kawasan Asia Tenggara
timbul perkembangan baru di bidang politik dan ekonomi,
khususnya di daerahdaerah pesisir utara Jawa. Selain itu
perkembangan agama Islam sangat pesat pada abad 15
Masehi. Oleh sebab itu pengaruh Majapahit lenyap dengan
sendirinya dan muncullah kerajaan Demak pada tahun 1519
Masehi , Keadaan istana di Majapahit yang
sudah hancur juga disebutkan dalam Babad Pasir tahun 1891
(Irna 2004: 79).
Faktor alam seperti gunung meletus, banjir, dan gempa
juga mendukung kehancuran Majapahit. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Sartono dan Bandono (1991) membuktikan
bahwa