Rabu, 09 Juli 2025

kejayaan majapahit di blitar 5


 lidiki arsip dan 

(Koleksi Yoni Naga Raja lainnya di Museum Nasional. Dok: Pribadi)

232 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

catatan kolonial mengenai pembuatan proyek sudetan ini 

(bahkan jika memungkinkan juga proyek pembangunan rel 

kereta api), apakah juga ikut menggusur bangunan suci Hindu 

yang menjadi penanda batas kota di lokasi tersebut, sehingga 

salah satu tinggalannya yang dianggap unik pada waktu itu 

terpaksa diungsikan ke Bataviaasch Genootschap. 

Pengemasan Informasi

Museum sebagai sebuah institusi, seperti didefinisikan 

oleh ICOM yaitu : lembaga pelayanan warga  yang 

bersifat tetap, nirlaba, terbuka untuk umum, yang menyimpan, 

melestarikan, meneliti, menginformasikan, dan menyajikan 

bukti material tentang kehidupan manusia dan lingkungannya, 

untuk tujuan penelitian, pendidikan dan rekreasional. Di 

lain pihak, lembaga yang tidak menjalankan salah satu 

fungsi ini dianggap bukan museum (Carman, 2002: 

83­84). Sebagai konsekuensinya, museum sebagai lembaga 

pelayanan warga  yang merupakan salah satu muara 

pengelolaan warisan budaya, harus mampu menyajikan 

bukti materi dan informasi yang terkandung di dalamnya 

kepada warga  luas. Dalam ICOMOS Charter tahun 

1990 mengenai perlindungan dan pengelolaan peninggalan 

purba kala dinyatakan bahwa, penyajian warisan budaya 

kepada warga  umum yaitu  hal yang sangat mendasar 

dalam menyebarluaskan pemahaman mengenai asal­usul dan 

perkembangan warga  modern. Pada saat yang sama, hal 

ini bermakna sangat signifikan untuk mempromosikan 

pemahaman pentingnya pelestarian warisan budaya. Penyajian 

informasi seharusnya mengandung interpretasi yang sifatnya 

populer, mengikuti perkembangan pemahaman warga  

233Mungkinkah Batas Kota Majapahit Ada di Jakarta ?

saat ini, serta informasinya selalu diperbaharui secara 

berkesinambungan berdasar  berbagai sudut pandang 

pendekatan keilmuan (ICAHM: 1990). 

Oleh sebab  itu, Museum Nasional juga harus melakukan 

pembaharuan informasi terhadap koleksi yang dimilikinya, 

serta mengikuti perkembangan informasi hasil penelitian 

instansi terkait, termasuk misteri batas kota Majapahit dan 

Yoni Naga Raja Segi Delapan. Jika dalam perkembangan 

penyelidikan terbukti benar bahwa Yoni koleksi museum 

ini berasal dari salah satu bangunan suci di batas 

kota Majapahit, maka salah satu konsekuensinya yaitu  

menampilkan informasi mengenai Majapahit dengan lebih 

representatif. Saat ini, Majapahit sebagai ikon pemersatu 

bangsa Indonesia hanya ditampilkan sekedarnya saja di 

museum kebanggaan negeri ini. Padahal koleksi yang berasal 

dari Majapahit sangat banyak jumlahnya, baik koleksi batu, 

terakota, keramik, logam, bahkan lontar Nagarakretagama ada 

di sini. Melihat besarnya potensi ini seharusnya Museum 

Nasional mampu mencitrakan kebesaran Majapahit sebagai 

NKRI masa lampau, sehingga wisatawan Nusantara yang 

mengunjungi museum ini dapat mengapresiasikan nilai­nilai 

luhur yang dikandungnya. Namun nampaknya kebanyakan 

koleksi di Museum Nasional baru dilengkapi dengan name 

tag berbahan kuningan yang sangat singkat saja, bahkan Yoni 

Naga Raja Segi Delapan hanya dilengkapi dengan nomor 

inventaris 366a di bagian badan, tanpa adanya sedikitpun 

penjelasan lainnya. 

Sebagai perbandingan kecil, jika kita mampir ke ruang 

Kerajaan Siam (Thai Room) yang terdapat di sayap selatan 

Museum Nasional, maka akan nampak perbedaan ragam 

informasi yang ditampilkan antara ruangan ini dengan 

234 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

ruang lainnya yang menyimpan koleksi lokal. Terbatasnya 

ruang yang diberikan bagi koleksi Thailand, tidak menyurutkan 

niat untuk mencuri perhatian, mempromosikan aset sejarah 

budaya mereka di negeri orang. Relik yang dipamerkan tidak 

bersifat master piece, namun dilengkapi dengan informasi yang 

cukup lengkap dalam bentuk poster yang menarik. Selain 

itu juga ada beberapa miniatur replika chedi, peninggalan 

kepurbakalaan yang aslinya cukup monumental. Hasilnya, 

hanya dengan berkunjung ke ruangan ini dalam beberapa menit 

saja, pengunjung dapat mengetahui kekayaan peninggalan 

sejarah budaya si pemilik ruangan.

(Terbatasnya informasi yang disajikan, “jangan kalah dengan Thai 

Room…”. Dok: Pribadi)

Museum sebagai salah satu sumber pengetahuan tentunya 

harus memiliki kekuatan pada informasi yang disajikan. 

Agar pengetahuan ini dapat tersalurkan sampai kepada 

warga  luas, maka diperlukan media penyampaian yang 

optimal. Pada museum, media penyampai informasi ini 

yaitu  pameran, sehingga diperlukan berbagai inovasi dalam 

hal pameran. Pada dasarnya inovasi dilakukan bertujuan 

untuk memenuhi kebutuhan pengunjung museum yang ingin 

235Mungkinkah Batas Kota Majapahit Ada di Jakarta ?

melakukan kegiatan pembelajaran di museum. Anita Olds 

dalam Hein (1998: 158­159) menekankan beberapa kebutuhan 

pengunjung museum, antara lain yaitu : (a) bebas bergerak di 

museum, mengunjungi yang mereka inginkan dan mengetahui 

di mana mereka berada, (b) setting lingkungan yang nyaman, 

dan tanpa perasaan tekanan, (c) merasa mampu memahami, 

tidak diliputi oleh banyak hal yang sulit dimengerti, dan 

pengalaman baru yang melebihi kemampuan, serta (d) 

perasaan ingin menguasai keadaan.

Beberapa rekomendasi inovasi penyajian koleksi di 

Museum Nasional yang ditawarkan dalam tulisan ini, ber­

tujuan agar museum dapat memenuhi kebutuhan dasar 

pengunjung dalam melakukan pembelajaran. Hal yang pertama 

yaitu  dilakukan penataan ulang koleksi pameran dengan 

menciptakan ruang nafas bagi koleksi arca yang berjubel, dan 

dilakukan pengelompokan koleksi berdasar  kategori tema 

tertentu. Nampaknya penataan koleksi terakota dan keramik di 

ruangan tertentu sudah cukup representatif, namun informasi 

yang disajikan masih sangat terbatas. Akan sangat baik jika 

museum menyediakan ruang khusus Majapahit sebagai bentuk 

testimoni terhadap nilai­nilai luhur kerajaan tersebut. Koleksi 

yang dipamerkan dalam ruang khusus ini sebaikya ada 

yang bersifat permanen (tetap) dan ada yang dapat dirotasi 

(dipamerkan bergantian). Koleksi permanen ditempati oleh 

relik master piece, seperti Kitab Nagarakretagama misalnya, 

sedangkan koleksi yang dipamerkan secara bergantian dapat 

berupa koleksi terakota, keramik, barang­barang logam, 

maupun arca­arca batu. Bahkan jika suatu saat memungkinkan, 

juga dilakukan pameran dengan koleksi pinjaman dari 

museum­museum yang menyimpan koleksi Majapahit, baik 

236 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

museum di dalam negeri (seperti Museum Trowulan) maupun 

di luar negeri.

Selain penataan koleksi, hendaknya informasi disajikan 

dengan representatif dan menarik, baik informasi Majapahit 

secara umum, maupun keterangan­keterangan khusus ber­

kaitan dengan koleksi yang ditampilkan. Relik­relik yang 

dipamerkan hanyalah benda­benda mati tanpa arti yang 

teronggok dan tidak akan hidup tanpa adanya ruh yang 

menjiwainya. Dengan memberikan makna pada benda mati 

ini maka kita mengembalikan jiwa yang hilang, sehingga 

membuatnya hidup kembali dan dapat berbicara, bercerita 

mengenai kisahnya. Misalnya makna yang melekat pada 

motif hias Naga Raja di bagian bawah cerat Yoni. Kita dapat 

memulainya dengan mitologi suci Samudramanthana, sebuah 

kisah India kuna mengenai perjuangan bahu membahu Dewa 

dan Raksasa dalam pencarian air kehidupan, kemudian 

menghubungkannya dengan makna kesuburan, dan berakhir 

pada nilai­nilai luhur kearifan dalam pengelolaan sumberdaya 

alam (air) dengan bijak. Ada baiknya juga jika di ruangan ini 

dipamerkan replika tata ruang ibu kota Majapahit, beserta sisa­

sisa peninggalan lain di dalamnya, seperti waduk, jaringan 

kanal­kanal, Petirtaan Candi Tikus, dan bangunan pengelolaan 

air lainnya.

Bentuk informasi yang disajikan dapat berbentuk poster 

yang dipasang secara temporer maupun booklet dan leaflet 

yang dibagikan gratis, khusus menampilkan keterangan yang 

berkenaan dengan informasi ruang pamer tersebut. Namun, 

warga  tidak selalu berkeinginan untuk membaca, bahkan 

kemasan tekstual seringkali dianggap tidak dapat mem berikan 

penjelasan atas berbagai pertanyaan (Riyanto, 2006: 31). Oleh 

sebab  itu akan sangat baik jika juga terdapat informasi dalam 

237Mungkinkah Batas Kota Majapahit Ada di Jakarta ?

bentuk multimedia atau audio­visual. Sebuah perangkat 

multimedia interaktif dapat ditempatkan di ruangan ini yang 

menyajikan berbagai macam variasi informasi yang berkenaan 

dengan Majapahit, sehingga pengunjung dapat berinteraksi 

memilih informasi yang diinginkan sesuai dengan selera 

masing­masing. Selain tata letak, tidak kalah penting yaitu  

pengaturan cahaya dan suara latar yang berperan menggiring 

imajinasi pengunjung ke masa Majapahit. Jika memungkinkan 

dilakukan rekonstruksi musik Majapahit yang diperdengarkan 

di ruangan ini. Potongan klip­klip film kecil mungkin juga 

dapat diputar secara berulang terus menerus di ruangan 

Majapahit, yang misalnya menyajikan informasi mengenai 

keadaan peninggalan Majapahit di lokasi aslinya. Atau, 

bahkan jika memung kinkan disediakan film khusus tentang 

Majapahit yang dapat dinikmati di ruang teater audio­visual 

museum ini.

(Animasi audio­visual serta pengaturan tata letak dan cahaya koleksi 

dari Indonesia di Musée du quai Branly, Paris. Dok: Pribadi)

Jika penataan pameran telah dibenahi secara optimal 

tentunya akan banyak keuntungan yang diperoleh. Secara 

umum, beberapa keuntungan dapat diperoleh dari publikasi 

238 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

informasi mengenai warisan budaya kepada warga  luas. 

Keuntungan ini antara lain yaitu : dapat memberikan 

informasi yang valid dan logis kepada warga  mengenai 

warisan budaya yang ada di sekitar mereka, meningkatkan 

apresiasi dan respon positif serta kepedulian publik terhadap 

penelitian, pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan 

warisan budaya, serta dapat befungsi sebagai strategi preventif 

untuk mencegah perusakan terhadap warisan budaya (Sharer 

dan Ashmore, 2003: 618). Adapun keuntungan khusus yang 

berkaitan dengan museum yaitu : memutus kejenuhan 

pengunjung dengan kesan pameran museum yang itu­itu 

saja, memberikan pengalaman yang lebih mendalam kepada 

pengunjung sehingga suatu saat ingin datang kembali, serta 

museum mampu menyampaikan suatu informasi kepada 

pengunjung. Begitu juga sebaliknya pengunjung mendapatkan 

suatu pengetahuan pembelajaran dari museum. Oleh sebab  

itu, harus disadari bahwa peran strategis museum sebagai 

salah satu muara penyebarluasan informasi peninggalan 

sejarah budaya bangsa, merupakan bagian yang tidak dapat 

dipisah kan dalam sebuah alur pengelolaan warisan budaya. 

Penutup

Sinar kejayaan Majapahit yang memancar hampir ke 

seluruh wilayah Nusantara, dipercaya berasal dari suatu tempat 

di Trowulan. Desa kecil inilah yang sampai saat ini diyakini 

sebagai bekas ibu kota Kerajaan Majapahit pada masa puncak 

kejayaannya. berdasar  hasil penelitian Balai Arkeologi 

Yogyakarta, diperkirakan ibu kota Majapahit berukuran 9 

Kmx11 Km memanjang utara selatan. Keempat penjuru batas 

kota ini ditandai dengan bangunan suci besar yang salah 

239Mungkinkah Batas Kota Majapahit Ada di Jakarta ?

satu media pemujaannya yaitu  Yoni Naga Raja Segi Delapan. 

Namun sampai saat ini baru di tiga lokasi di sekitar Trowulan 

yang dijumpai sisa­sisa bangunan suci dengan Yoni Naga Raja, 

yaitu Klinterejo, Lebak Jabung dan Sedah. Satu lagi Yoni Naga 

Raja dari sudut kota lainnya di Tugu­Badas sampai saat ini 

belum diketahui keberadaannya. Salah satu lokasi yang diduga 

telah mengamankan relik ini yaitu  Museum Nasional, 

Jakarta. Sebagai museum tertua di Asia Tenggara, museum 

ini menyimpan banyak koleksi unik dan langka dari seluruh 

Nusantara. Salah satu koleksinya yang menarik yaitu  Yoni 

Naga Raja Segi Delapan. Namun belum diketahui dari mana 

asal muasal benda ini sehingga akhirnya menjadi koleksi 

Museum Nasional. Guna mengungkap keberadaan Yoni Naga 

Raja Segi Delapan, maka harus dilakukan penelusuran pada 

berita penemuan dan catatan pemindahan koleksi ini ke 

museum ini. 

Museum sebagai “gudang” ilmu pengetahuan harus 

mampu menyampaikan informasi yang dimilikinya. Agar 

informasi ini dapat tersampaikan kepada pengunjung, 

maka diperlukan strategi penyampaian yang tepat. Pada 

museum, media penyampai informasi yaitu  koleksi yang 

dipamerkan, maka perlu dilakukan berbagai inovasi yang 

berkaitan dengan pameran. Sesungguhnya contoh kasus Yoni 

Naga Raja Segi Delapan dan Batas Kota Majapahit di atas 

hanyalah pancingan agar museum­museum di Indonesia mau 

berinovasi dalam mengelola koleksinya. Dalam tulisan ini, 

beberapa rekomendasi yang ditawarkan bagi pengembangan 

museum yaitu  penataan ulang koleksi pameran dengan 

kategori tertentu, ruangan khusus bagi pameran dengan 

tema tertentu, penyajian informasi yang lebih lengkap dan 

representatif, serta diversifikasi bentuk informasi yang 

240 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

disediakan. Jika museum mampu berinovasi dalam menam­

pilkan koleksinya, maka akan banyak keuntungan langsung 

dan tidak langsung yang diperoleh baik bagi museum maupun 

bagi warga  yang mengunjunginya. 

Gemilang masa lalu sebagai kisah kejayaan bangsa 

Indonesia hendaknya tidak hanya sebatas menjadi romantisme 

belaka, namun turut pula membentuk karakter dan jati diri 

bangsa. Tugas kitalah para arkeolog dan rekan­rekan yang 

berkecimpung pada pelestarian warisan budaya sebagai “juru 

dongeng”. Kita bertugas memberikan makna bagi benda­

benda mati yang berserakan sehingga dapat hidup, bertutur 

tentang kisahnya dan memberikan teladan bagi kita di zaman 

ini, hingga menuntun langkah ke masa depan yang lebih 

gemilang.

Terima Kasih

Evi Novita, Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta, atas 

masukannya yang membangun sehingga terwujud tulisan 

sederhana ini.


Dahulu, ketika belajar sejarah dan kebudayaan Indo­nesia di bangku sekolah, sejak sekolah dasar sampai ke jenjang perguruan tinggi, pasti diberikan pelajaran 

tentang kerajaan­kerajaan besar dengan tokohnya. Pelajaran 

ini dapat menjadi sumber inspirasi, bahwa bangsa 

Indonesia sudah maju pada masa itu. Sebagai bangsa, kita 

tentu ingat dan tahu siapa Maha Patih Gajah Mada dengan 

sumpahnya yang sangat terkenal tan amukti palapa. Sumpah 

dan tekad Sang Maha Patih, akhirnya dapat terwujud dengan 

menyatukan/menaklukkan Nusantara di bawah panji­panji 

kebesaran Majapahit. 

Majapahit sebagai kerajaan besar, memiliki pengaruh kuat 

yang dengan armada angkatan perangnya dapat memperluas 

244 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

wilayahnya. Sebagai kerajaan yang besar, tentunya memiliki 

struktur pemerintahan dan warga  yang memadai. 

Kehidupan warga  dapat berkembang dengan baik, 

dengan bukti banyak pendirian tempat suci yang dibangun 

dengan arsitektur yang raya dan megah, bagi kepentingan 

kerajaan, serta berkembangnya kesenian yang berkaitan dengan 

sistem religinya, seperti seni patung/arca. Tinggalan budaya 

materi yang ditemukan di sekitar Trowulan, menunjukkan 

kemampuan warga  Jawa kuna, dalam menguasai 

teknologi logam, berupa arca dewa­dewa yang bernilai tinggi, 

bagus, serta teliti dalam pengerjaannya.

Membicarakan tentang Majapahit seringkali tidak lepas 

dari Kitab Nagarakretagama, yang ditulis oleh seorang pujangga 

Mpu Prapanca yang dikenal baik oleh pihak kerabat keraton 

dengan karya­karya sastranya. Kitab ini ditemukan salinannya 

dalam keropag lontar di Kerajaan Selaparang, Lombok, Nusa 

Tenggara Tengah. Mpu Prapanca menulis dalam gaya bahasa 

yang enak dibaca, dengan perumpamaan dan kata­kata sastra 

yang indah. Dalam tulisan Sang Empu, dikisahkan beberapa 

aspek kehidupan Kerajaan Majapahit, mulai dari para raja, 

bangsawan, para menteri, pendeta, patih, para tanda, maupun 

rakyat. Semuanya tunduk kepada sang raja, berkat adanya 

sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang baik dan kuat. 

Pusat pemerintahan kerajaan yang sangat ramai dan luas 

ini diperkirakan berada di daerah Trowulan. Trowulan 

sekarang, merupakan sebuah kota kecamatan di wilayah 

Kabupaten Mojokerto, Propinsi Jawa Timur. Penelitian yang 

secara intensif dilakukan oleh para arkeolog sejak masa pen­

jajahan Belanda, maupun para arkeolog Indonesia, mencoba 

untuk merekonstruksi aspek­aspek kehidupan melalui 

tinggalan budaya materi, berupa artefak, ekofak, prasasti, 

245Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna

dan bangunan­bangunan monumental. Melalui serangkaian 

penelitian dengan melakukan ekskavasi di Situs Trowulan, 

akhirnya dapat diasumsikan bahwa ibukota Kerajaan 

Majapahit berada di daerah Trowulan saat ini. 

Ditemukannya yoni berhias nagaraja di tiga penjuru mata 

angin, yaitu di timurlaut (Klinterejo), tenggara (Lebakjabung), 

dan baratdaya (Sedah), serta dikaitkan dengan kanal­kanal dan 

kolam­kolam yang terdapat di bagian dalam kota Majapahit di 

situs Trowulan, mungkinkah tata letak bekas Kota Majapahit 

itu melambangkan kisah Amertamanthana ? Bisa juga nagaraja 

Majapahit yang terpahat pada tubuh yoni melambangkan 

Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan agraris. Umumnya yoni 

berpasangan dengan lingga yang melambangkan Dewa Siwa 

(lingga) dan isterinya (yoni) sebagai lambang kesuburan. 

Rajanaga seolah menjadi ikon Kota Majapahit yang luasnya 

sekitar 11 X 9 Km itu (Rangkuti, 2006: 176­177). Bagian dalam 

kota dihubungkan dengan kanal­kanal yang dapat berfungsi 

sebagai jalur transportasi serta menjaga suhu udara, agar tetap 

nyaman. Sayang sekali, dari serangkaian penelitian ini 

belum dapat ditemukan lokasi dan prakiraan luas Keraton 

Majapahit.

Menjadi pertanyaan sekarang, yaitu  di manakah 

letak sesungguhnya Majapahit? Menurut Slamet Muljana, 

Majapahit terletak di lembah Sungai Brantas di sebelah 

tenggara Kota Majakerta, di daerah Tarik, sebua kota kecil di 

persim pangan Kali Mas dan Kali Porong. Konon pada akhir 

tahun 1292, tempat ini masih merupakan hutan belantara, 

penuh dengan pohon­pohon maja seperti kebanyakan tempat­

tempat lainnya di Lembah Sungai Brantas (Muljana, 2006: 

155). Dapat dibayangkan daerah di antara sungai dan lembah 

ini tentunya merupakan daerah hunian yang ideal untuk 

246 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

permukiman dan pengembangan kerajaan pada masa itu. 

Sebagai kerajaan besar, aspek penting di masa kejayaan kerajaan 

ini yaitu  bagaimana kehidupan warga  Majapahit 

pada masa itu, sebagai sebuah ibukota kerajaan. Berbagai 

bangsa seperti Cina, Arab, dan India datang ke ibukota untuk 

melakukan hubungan, baik politis maupun perdagangan 

antara dua kearajaan atau lebih. Kedatangan bangsa­bangsa 

dari berbagai negara ini tentunya menyebabkan ter­

jadinya pertemuan dan percampuran antarbudaya. Dalam 

konteks tersebut, substansi yang berkembang cepat, salah 

satunya yaitu  sistem kepercayaan berupa budaya dan Agama 

Hindu yang dibawa oleh bangsa India jauh sebelum Majapahit 

berdiri. Masuknya Hindu di Jawa, ditanggapi dengan positif 

oleh warga  dan mereka mengikuti perkembangan yang 

awalnya ada di kalangan kerajaan dan keluarga kerajaan. 

Dalam konteks tersebut, kesenian berkembang dengan pesat, 

salah satunya yaitu  seni patung/arca. Pada masa lampau seni 

patung diciptakan sebagai pendukung dari konsep religius 

(Hernaningsih, 1990: 1). 

Adanya beragam profesi yang berhubungan dengan logam 

membuktikan bahwa warga  Jawa kuna telah mencapai 

tingkat pengetahuan teknologi yang cukup tinggi. Hasil­

hasil pekerjaan dapat dikelompokkan ke dalam kelompok 

barang­barang keperluan domestik, seperti alat­alat pertanian 

(karya para pande besi), barang­barang perhiasan (karya para 

pande emas), barang­barang keperluan upacara ritual (karya 

para pande perunggu dan pande emas), alat­alat musik atau 

gamelan (karya pande perungu), dan mata uang (emas dan 

perak). Temuan artefak logam hasil penelitian arkeologi selama 

ini memperkuat kenyataan ini (Haryono, 2002: 7)

247Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna

Patung logam, batu, kayu dan bahan lainnya dibuat 

seindah mungkin, sebab  selain sebagai benda seni patung, juga 

merupakan benda religius. Patung­patung religius perwujudan 

dewa­dewa dibuat dengan ketentuan dan aturan yang berlaku, 

seperti yang disebutkan dalam Kitab Cilpaçastra.

Budaya materi berupa arca dewa­dewa dari bahan logam, 

merupakan ekspresi manusia dalam memenuhi kebutuhan 

akan hal­hal yang bersifat imanen, yang sangat erat korelasinya 

dengan sistem budaya dan religi yang dianutnya. Budaya 

materi masa lalu, berupa artefak yang merupakan hasil karya 

para seniman pada masa Jawa kuna ini tidak diketahui 

bagaimana cara pembuatannya. 

Untuk mengungkapkan cara pembuatan patung­patung 

tersebut, digunakan pendekatan etnoarkeologi, yakni dengan 

cara melihat kegiatan serupa, berupa pengerjaan arca secara 

tradisional yang masih dilakukan oleh pengrajin arca di 

Trowulan, Jawa Timur. Cara pembuaan arca tidak dapat 

diungkapkan melalui data arkeologis, sehingga diperlukan 

data etnografis sebagai bahan analogi. Terdapat dua model 

pendekatan dalam studi etnoarkeologi, yaitu pendekatan 

kesinam bungan sejarah (direct historical) dan perbandingan 

umum (general comparative). Pendekatan pertama didasarkan 

pada pandangan bahwa kebudayaan yang berkembang 

sekarang ini merupakan kelanjutan dari kebudayaan masa lalu. 

Oleh sebab  itu, studi etnoarkeologi akan relevan dilakukan 

jika antara data etnografi dan data arkeologi memiliki per­

samaan atau kesinambungan sejarah. Pendekatan kedua 

yaitu perbandingan umum didasari oleh pandangan bahwa 

hubungan antara budaya arkeologi yang pendukungnya 

telah punah dengan budaya yang masih berlangsung, pada 

hakekatnya yaitu  hubungan bentuk, sehingga tidak perlu 

248 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

memiliki kaitan historis, ruang, dan waktu. Namun demikian, 

pendekatan ini menuntut persyaratan­persyaratan, yaitu perlu 

adanya kesamaan dalam bentuk budaya maupun lingkungan 

antara data etnografis dengan data arkeologis (Watson, 

1971: 50). Pemanfaatan analogi etnografis untuk membantu 

menjelaskan data arkeologi, secara lebih rinci mempunyai 

enam syarat yang perlu diperhatikan: 1) semakin dekat jarak 

waktu antara data etnografi dengan data arkeologi, semakin 

baik hasilnya, 2) adanya kesamaan satuan tingkat kelompok 

warga  yang dibandingkan, 3) adanya tingkat yang 

sama dalam mata pencaharian, 4) berada pada wilayah yang 

berdekatan, 5) adanya kencenderungan linguistik yang sama, 

dan 6) terjaganya konservativitas budaya etnografis (Hole dan 

Heiser, 1973: 312).

Oleh sebab  itu, mengetahui tentang kehidupan seniman 

cor logam yang ada di Bejijong, Jawa Timur sebagai bahan 

etnografis untuk menganalogikan proses pembuatan arca cor 

logam pada masa Jawa kuna.

Ikonologi Dalam Pembuatan Arca

Dalam ilmu arca dikenal istilah ikonologi. Menurut 

Kippenberg (1987: 5­7), dalam kesenian ada tiga tingkatan 

makna. Tingkatan pertama bertalian dengan pengetahuan 

tentang keadaan alam, benda­benda, bangunan, keindahan 

alam, dan lain sebagainya. Dalam hal ini setiap seniman harus 

melihat suatu benda dalam hubungannya dengan benda lain, 

sebab hanya dalam hubungan dengan benda lainlah suatu 

benda kesenian dapat diketahui arti yang sesungguhnya. 

Tingkat kedua meliputi motif­motif karya seni serta arca­arca. 

Tingkat ini merupakan bidang ikonografi, dalam arti sempit 

249Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna

untuk mengetahui makna yang melatarbelakangi pembuatan 

sebuah arca. Tingkat ketiga yaitu  prinsip nilai­nilai simbolis. 

Tahap ini merupakan bidang ikonologi dan ikonografi 

(Maulana, 1997: 1)

Menurut Rao (1920: 43­44) seorang seniman yang ditugasi 

untuk membuat arca dewa harus mengikuti ketentuan­

ketentuan yang berlaku dan termuat dalam Cilpaçastra, sebuah 

kitab di India yang berisi ketentuan­ketentuan pokok dalam 

pembuatan arca, yang terdiri atas:

1. rûpabheda  :  yaitu perbedaan rupa dan bentuk arca

2. pramanam  :  yaitu, ukuran arca harus tepat

3. sadrçyam  :  arca harus digambarkan sesuai dengan 

bentuk yang sesungguhnya yang dapat 

dilihat (diketahui) dengan jalan meditasi 

atau yoga

4. varnakibhangam :  permainan dan persesuaian warna

5. bhawa  :  permainan perasaan

6. lavanya :  keindahan yang ditimbulkan dari hasil 

ciptaannya

Gambaran umum dalam pembuatan arca dewa seperti 

telah disebutkan di atas, dapat dirinci menjadi dua aspek, 

yaitu: 

a. Aspek Ikonometri, 

Dalam ikonometri, pembuatan arca harus dibuat 

dengan memenuhi ukuran metrik yang telah ditentukan, 

sehingga ada perbedaan penggambaran antara dewa yang 

satu dengan lainnya maupun antara dewa utama (Brahma 

Wisnu dan Siwa), dengan dewa­dewi pada derajat di 

bawahnya (Dewi Sri dan Tara). Dewa utama memiliki 

ukuran/angula yang lebih tinggi dibandingkan dengan 

250 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

dewa/dewi di bawahnya.. Acharya (tt: 607­609) merinci 

cara pengukuran yang biasanya digunakan para seniman 

dalam merancang pembuatan arca:

KATEGORI UKURAN KELOMPOK DEWA/MAHLUK

uttamadaśatala 124 ańgula Visņu, Brahma, dan Siva

madhyama daśatala 120 ańgula Sri, Bhumi, Uma, dan Saraswati

adhamadaśatala 116 ańgula dewa­dewa lokapala, 12 dewa aditya, 

11 dewa rudra, 8 dewa (Vasu, Aswin, 

Bhrgu, Markandeya, Garuda, Sēsa, 

Durga, Karttikeya) serta 7 Rsi

navadaśatala 114 ańgula para Kubera dan Navagraha

uttamanavatala 112 ańgula Yaksa lainnya, Daitya, Gandarva

satrya ańgula navatala 111 ańgula manusia yang disamakan dengan dewa

navatala 106 ańgula Raksasa, Indra, Asura

astatala 96 ańgula manusia biasa

Dalam tabel di atas, jelas terlihat adanya perbedaan 

ukuran arca berdasar  angula antara arca dewa utama 

(uttamadaśatala) 124 ańgula, dewa madya (madhyama 

daśatala), raksasa, dan manusia (astatala) 96 ańgula. Semakin 

tinggi derajatnya, semakin tinggi pula ukuran arcanya. 

b. Aspek Ikonografi, 

Ikonografi berisikan ketentuan tentang jenis atribut 

yang disandang pada arca berdasar  derajat dan ciri­ciri 

dewa, seperti; kelengkapan pakaian/motif serta senjata dan 

sikap tangan/kaki. Ikonografi berarti “Rincian suatu benda 

yang menggambarkan tokoh dewa atau seseorang keramat 

dalam bentuk suatu lukisan, relief, mosaik, arca atau 

benda lainnya”, yang khusus dimaksudkan untuk dipuja 

atau dalam beberapa hal dihubungkan dengan upacara 

keagamaan yang berkenaan dengan pemujaan dewa­

251Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna

dewa tertentu (Maulana, 1997: 1). Untuk membedakan 

dewa yang satu dari yang lain, dikenal apa yang dalam 

bahasa Sanskerta dinamakan laksana, yang berarti “tanda 

khusus” yang dipunyai seorang dewa, misalnya benda 

atau senjata yang dipegang atau diletakkan di dekatnya, 

vahana (=kendaraan, binatang tunggangan), jenis pakaian 

tertentu yang dikenakan, maupun ciri tubuh tertentu, 

yang merupakan tanda pengenal arca dewa tertentu 

(Sedyawati, 1985: 62). Jadi, laksana yaitu  tanda yang 

dikaitkan dengan ketentuan keagamaan. Dalam hal ini 

laksana dilihat sebagai suatu identitas yang dapat menandai 

dewa tertentu. Sebagai contoh; Dewa Wisnu digambarkan 

selalu memegang senjata cakra, sedangkan Dewi Sri selalu 

memegang pohon/bunga padi. 

Pembuatan Arca Cor Logam di Trowulan

Desa Bejijong, letaknya di atas situs bekas kota Kerajaan 

Majapahit, sekarang lebih dikenal oleh warga  luas 

sebagai daerah Trowulan. Para arkeolog yang telah melakukan 

penelitian secara intensif, sejak dari masa Belanda hingga 

sekarang, menduga bahwa di daerah ini pada abad XIII M 

merupakan Ibukota Majapahit. Hal ini dibuktikan dengan 

penemuan arkeologis berupa candi, gapura, struktur­struktur 

bangunan, kolam, dan kanal­kanal kuna yang tersebar luas di 

daerah persawahan dan permukiman penduduk saat ini. 

Dalam mencari nafkah, penduduk Bejijong bekerja di 

beberapa sektor, seperti; pertanian, pembuatan bata merah, 

pedagang, pegawai negeri, dan kerajinan membuat arca cor 

logam. Di desa ini terdapat banyak seniman/pengrajin 

pembuat arca logam. Kepandaian membuat arca logam 

252 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

umumnya diperoleh secara turun temurun Pembuatan cor 

logam diawali sekitar tahun 1970­an oleh Pak Sabar, kini 

kepan daian ini telah dimiliki oleh anak, saudara dan para 

tetangga yang berminat membuat arca cor logam. Pembuatan 

arca memerlukan keterampilan, ketelitian, kesabaran, mengerti 

seluk beluk ukuran, bentuk, dan perbedaan serta ciri khas arca 

tertentu. Pengetahuan ini dipelajari dari buku­buku, 

gambar dan foto arca dewa yang akan dibuat. Satu hal yang 

sangat penting, yaitu  untuk pembuatan arca dewa diperlukan 

kecermatan dan ketelitian, untuk menghasilkan karya yang 

berkualitas dan bernilai tinggi.

Teknik pembuatan arca, selama ini dikenal dengan dua 

cara; teknik a cire-perdue dan bivalve. A cire perdue yaitu  

dengan menuangkan logam cair panas ke dalam cetakan 

dari bahan tanah liat. Pada bagian dalam terdapat rongga 

dengan bentuk arca yang diinginkan, cetakan ini hanya dapat 

digunakan sekali.. Adapun bivalve, berupa dua buah cetakan 

yang dapat ditangkupkan satu dengan lainnya. Pada kedua 

sisi dalam cetakan terdapat negatif bentuk arca/tokoh, cetakan 

ini dapat digunakan berulangkali dan biasanya digunakan 

untuk produk masal.

Dalam membuat arca logam diperlukan seperangkat alat 

yang memiliki bentuk dan fungsinya masing­masing. Peralatan 

dibuat dari bahan besi baja pilihan yang dipesan pada pande 

besi. Pande besi sudah mengetahui jenis dan bahan alat­alat 

yang dibutuhkan oleh seniman arca cor. Namun ada beberapa 

alat yang bisa dibuat sendiri, menggunakan bahan kawat baja 

bekas payung dan ruji sepeda, khususnya untuk alat­alat yang 

kecil dan runcing, atau berbentuk seperti huruf. Beberapa 

jenis alat yang biasa digunakan untuk membuat arca memiliki 

253Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna

nama dan fungsi yang berbeda satu dengan lainnya (Lelono, 

2007: 113), antara lain:

1. Esek-esek besar, digunakan untuk menoreh model arca 

pada bagian yang lurus dan simetris.

2. Esek-esek kecil, digunakan untuk menoreh model arca pada 

bagian yang kecil dan rumit, misalnya lekukan­lekukan.

3. Glati ukir, berfungsi untuk memotong model pada bagian 

tertentu, sekaligus berfungsi untuk meratakan dan meng­

haluskan.

4. Seret, alat yang digunakan untuk membuat bentuk dasar 

gelang, kalung, sabuk, dan mahkota.

5. Plong, alat yang kedua sisinya ditajamkan, berfungsi untuk 

membuat detil hiasan pada subang, kalung, gelang, ikat 

pinggang, dan hisan pada motif kain.

6. Ukel, sebuah alat kecil dan runcing yang bisa dibuat dari 

bahan jari­jari payung. Alat ini digunakan untuk membuat 

rambut, bulatan­bulatan kecil yang menghiasi subang, 

kalung, kelat bahu, gelang, dan wiron pakaian.

7. Cukit, alat dengan dua sisi yang ditajamkan, digunakan 

untuk membentuk motif bunga teratai, bagian mata, bibir, 

dan telinga. 

8. Coret, digunakan untuk menuliskan huruf, angka tahun, 

nama dewa dan tanda­tanda khusus pada arca. Contoh 

huruf dan angka tahun diperoleh dari buku atau melihat 

koleksi Museum BP3 Trowulan. 

9. Kuas/sikat halus, digunakan untuk membersihkan per­

mukaan model dari sisa­sisa kotoran bekas goresan, 

potongan, dan gosokan. Permukaan model harus benar­

benar bersih dan licin, sebab  akan berpengaruh pada 

hasil cetakan.

254 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Berbagai peralatan ini memiliki variasi ukuran, 

dari kecil hingga besar, sesuai dengan ukuran arca yang akan 

dibuat untuk arca berukuran besar, digunakan alat berukuran 

besar, dan demikan pula sebaliknya.

Proses pembuatan arca cor memerlukan beberapa 

tahapan yang masing­masing menggunakan bahan berbeda. 

Sekurangnya ada empat tahap yang harus dilakukan, antara 

lain: pembuatan model arca dari bahan lilin; pembuatan 

cetakan dari bahan tanah liat; Penyiapan bahan cor dari logam 

perunggu atau emas, proses pengecoran, dan proses yang 

terakhir yaitu  menghaluskan hasil cetakan. 

a.  Pembuatan model arca dari bahan lilin

Seorang seniman ketika membuat model arca yang 

menggambarkan tokoh dewa tertentu menggunakan 

bahan dasar parafin, damar, dan malam. Ketiganya ber­

fungsi sama, tergantung pada selera dan pengalaman 

masing­masing seniman. Proses pembuatan model arca 

yaitu  sebagai berikut:

1) Parafin, damar, atau malam dimasukkan ke sebuah 

wadah dicampur dengan serlak (untuk pewarna), dan 

dipanaskan dalam wadah sampai mencair dan pekat 

seperti glali (adonan gula Jawa). Setelah warnanya 

berubah menjadi hitam kekuning­kuningan, kemudian 

dituang ke lantai yang dilapisi dengan air sabun 

supaya tidak lengket.

2) Setelah dingin akan terbentuk lempengan warna 

coklat tua dan keras. Lempengan ini kemudian 

dipanaskan dengan sebatang lilin sambil diremas­

remas sampai berbentuk bulatan. Gumpalan parafin 

ini kemudian dibentuk agak lonjong sesuai 

255Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna

ukuran arca yang akan dibuat, dan diangin­anginkan 

sampai dingin dan menjadi keras. 

3) Bentuk dasar dibuat dengan membagi dalam tiga 

bagian; bagian kepala, badan, dan tangan­kaki. Alat 

yang digunakan yaitu  esek-esek besar dan kecil serta 

glati. Bagian­bagian ini kemudian dipotong dan 

ditoreh secara perlahan. dengan cara memotong, 

menoreh, bagian per­bagian secara perlahan­lahan. 

4) Bentuk setengah jadi, setelah bentuk dasar jadi, kemu­

dian membuat bentuk yang semakin jelas seperti, 

anting, telinga, gelang, dan asesoris lain yang meleng­

kapi arca, alat yang digunakan (seret kecil, glati ukir, 

coret). 

5) Tahap selanjutnya membuat detail secara teliti, seperti 

rambut (ikal, lurus, keriting) tergantung dari tokoh 

yang digambarkan, motif kain, motif bunga, sulur­

suluran, dan ukiran, dengan menggunakan alat­alat 

(seret, plong, ukel, cukit).

6) Tahap akhir yaitu , menghaluskan dan membersihkan 

seluruh permukaan model dari sisa­sisa kotoran yang 

menempel.

Pada saat melakukan tatahan, torehan, dan pemo­

tongan model, berbagai alat yang digunakan disesuaikan 

dengan bentuk dan ukuran bidang yang akan dibentuk. 

Sebagai contoh; untuk membuat ceplok bunga dengan alat 

cukit, besar kecil nya bunga menentukan pula besar atau 

kecilnya cukit yang digunakan. Sementara itu, alat­alat 

lainnya dapat digunakan untuk saling menunjang dalam 

membuat bentuk, motif dan detail sebuah model arca. 

256 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

b.  Pembuatan rakitan (cetakan) 

Bejijong merupakan sebuah kawasan yang relatif 

subur untuk lahan pertanian, dengan lahan berjenis tanah 

liat. Oleh sebab  itu, bertani merupakan salah satu mata 

pencahaian penduduk, selain ada yang membuat batu bata, 

sebab  melimpah nya bahan. Salah satu bahan dasar untuk 

membuat cetakan yaitu  tanah liat. Para seniman meng­

ambil bahan dari halaman rumah atau persawahan yang 

mereka miliki. Tanah kemudian dipisahkan dari campuran 

kerikil dan batu dengan meng­

gunakan saringan kopi. Tanah 

yang telah disaring kemudian 

dicampur dengan sedikit air 

dan pasir, untuk dibuat adonan 

dengan cara diremas­remas. 

Adonan ini kemudian 

dibanting, dan dibolak­balik, 

sampai menghasilkan adonan 

yang liat, homogen dan halus. Adonan tanah liat akan 

menjadi sempurna dan siap digunakan, jika tidak lengket 

pada jari­jari tangan. Komposisi dari campuran ini (tanah 

liat, pasir dan air), menentukan dalam proses selanjutnya 

untuk membuat cetakan, supaya permukaan cetakan 

(negatif) benar­benar halus dan dapat membentuk detail 

yang ditorehkan dalam arca model dari bahan parafin 

(malam). Pasir halus berperan penting dalam mencampur 

adonan. sebab  pasir berfungsi sebagai penyeimbang, agar 

cetakan yang dihasilkan tidak retak, menjadi lebih kuat, 

serta tahan terhadap guncangan yang terjadi pada saat 

proses pengecoran nantinya. Oleh sebab  itu, campuran 

pasir hanya diberikan kurang lebih lima persen dari tanah 

Foto 1: Contoh beberapa jenis 

alat yang digunakan

257Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna

liat, sedangkan air dipercikkan sedikit­demi sedikit agar 

campuran merata. 

Proses selanjutnya yaitu  mengolesi permukaan model 

dengan minyak/oli dengan menggunakan kuas halus dan 

rata. Setelah itu dilaukan pembalutan, bahan pembalut 

yaitu  tanah liat halus yang tela disaring, dicampur 

kalsium sebagai penambah daya lekat, dan ditambah 

dengan air untuk dilumat dan dicampur, sehingga menjadi 

adonan dengan komposisi yang tepat. Adonan ini 

halus tidak lengket dan tidak menempel ditelapak tangan. 

Pembalutan dilakukan dalam dua tahap, yaitu:

1) Pembalutan pertama, model yang telah disiapkan dan 

dilumuri dengan minyak/oil, dilapisi perlahan­lahan 

dan dilakukan penekanan seperlunya pada seluruh 

model sampai merata, kemudian didiamkan dengan 

diangin­anginkan sampai agak kering dan keras.

2) Pembalutan kedua: setelah hasil pembalutan pertama 

agak kering dan keras, kemudian dilakukan pem­

balutan kedua dengan cara dan teknik yang sama 

seperti pembalutan pertama. Bedanya pada proses 

kedua ini, bagian bawah lapisan tanah diberi lubang 

untuk jalan ke luar model dari lilin yang mencair 

pada saat dipanaskan pada tungku api. Tujuannya 

pembalutan kedua yaitu  untuk mempertebal lapisan 

supaya menjadi lebih kuat dan kokoh, sebab  ber­

fungsi sebaai alat cetakan (negatif) arca yang akan 

dibuat (rakitan). Setelah pembalutan selesai, kemudian 

diangin­anginkan sampai kering dan keras. Proses 

pengeringan tidak boleh kena sinar matahari secara 

langsung, sebab  dapat berakibat cetakan retak/pecah­

258 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

pecah. Dalam konteks ini pengeringan dilakukan 

hanya dengan mengandalkan proses alami. 

Apabila seluruh rangkaian cetakan telah selesai dan 

kering, seniman menyiapkan bahan logam yang digunakan 

untuk arca. Bahan logam dapat dibedakan menjadi dua 

jenis; bahan emas atau bahan perunggu. Komposisi bahan 

cor emas terdiri dari: emas (60 %), perak (30 %), dan 

aloy (10 %). Sedangkan bahan cor perunggu terdiri dari: 

Uang kepeng cina, kuningan, tembaga dan timah dengan 

komposisi Tembaga 60 %, Kuningan 30% dan timah 10%.

c.  Bahan cor dan alat yang digunakan

Bahan­bahan yang telah disipakan dan ditimbang, 

kemudian dibersihkan dari kotoran yang melekat. 

Pembuatan bahan cor emas maupun perunggu proses 

pem bakarannya sama, yakni dengan cara dipanaskan 

di atas tungku api (anglo) menggunakan bahan bakar 

arang kayu dan sebuah wadah dari bahan gerabah yang 

dinamakan kowi (wadah mirip mangkok, tetapi berukuran 

lebih tinggi). Pada bibir/tepian terdapat cerat sebagai jalan 

ke luar cairan untuk dituang ke dalam rakitan (cetakan). 

Cekungan kowi mengarah ke dalam, agar isinya tidak 

mudah tumpah ketika diangkat dan terguncang. 

Penggunaan kowi dipercaya dapat mengurangi 

pemuaian. Dalam proses ini setelah semua logam 

mencair akan terjadi penguapan yang berakibat, mengu­

rangi bobot logam secara keseluruhan. Jika bahan ini 

dari emas, sangat merugikan sebab  dapat mengurangi 

bobot, maupun kualitas warna/kecerahan emas tersebut. 

Setelah semua bahan siap, kemudian kowi dipanaskan 

di atas anglo dan ditaburi serbuk borak. Serbuk ini 

259Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna

berfungsi untuk mengurangi peresapan kowi, khususnya 

yang masih baru. 

Foto 2: Kowi koleksi BP3 Jatim Foto 3: Kowi sekarang, tengah 

diisi dengan emas, perak, dan 

alloy.

d.  Proses pembuatan arca cor 

Arca cor merupakan suatu karya seni yang indah dan 

rumit, utamanya dalam proses pembuatan diperlukan 

ketelitian dan kecermatan, sebab  proses pengecoran 

hanya dilakukan sekali, kemudan rakitan dipecah untuk 

mengambil isi cetakan. Oleh sebab  itu, seluruh materi 

yang akan digunakan sebelumnya harus dipersiapkan 

dengan matang. Jika persiapan dan waktu pemanasan 

kurang tepat, akan berakibat rusaknya hasil setakan. 

Sebagai contoh; misalnya terdapat gerongga/gelembung 

udara, atau permukaan kurang rata. Semua tahapan dalam 

proses pengecoran, menjadi perhatian utama bagi para 

seniman, agar memperoleh hasil yang berkualitas. Berikut 

proses pengecoran logam, antara lain: 

1. Pemanasan rakitan (cetakan negatif)

Rakitan yang sudah kering dipanaskan di atas 

tungku berbahan bakar arang, secara simultan 

temperatur ditinggikan sedikit demi sidikit, dengan 

260 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

cara menambah arang ke dalam tungku. Rakitan 

untuk arca berukuran kurang­lebih 30 cm diperlukan 

pemanasan kurang lebih sekitar 3 jam, sampai terjadi 

perubahan warna menjadi coklat pucat. Pada saat 

pemanasan, dari lubang rakitan yang ada di bagian 

bawah akan ke luar cairan lilin/parafin dengan bunyi 

ces, ces, ces yang semakin lama, bunyinya semakin 

berkurang. Bersamaan dengan mengalirnya cairan 

parafin dan bunyi­bunyi tersebut, lambat laun di 

dalam rekitan tertinggal sebuah rongga dengan bentuk 

model arca yang dikehendaki. Hilangnya bunyi ces 

merupakan tanda bahwa cairan lilin dalam rongga 

rakitan sudah bersih dan kering. Selain itu, lama­

kelamaan rakitan akan berubah warna menjadi merah 

bata, sebagai tanda siap dimasuki logam cor berupa 

emas atau perunggu. Proses perubahan warna dan 

kematangan rakitan, menentukan kualitas dan hasil 

cetakan.

2.  Pemanasan logam

Sementara itu, secara bersamaan bahan logam 

(emas atau perunggu) yang akan dijadikan coran-coran 

(dilebur) disiapkan dan dipanaskan di dalam kowi. 

Lambat laun, logam dalam kowi akan meleleh/menjadi 

cair. Pemanasan ini kadang dibantu dengan alat las 

karbit, untuk mempercepat proses peleburan, sampai 

terjadi perubahan warna dan bentuk. Jika pada sisi 

luar lingkaran cairan ada terdapat garis melingkar 

mirip bulan purnama, itu yaitu  tanda logam cor 

ini sudah siap untuk dituang ke dalam rakitan. 

261Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna

3. Penuangan cor logam ke dalam rakitan

a) Rakitan kemudian diangkat dari api dan didiamkan 

sejenak, kemudian lubang tempat pembuangan 

cairan yang terdapat di bagian bawah rakitan ditiup 

menggunakan gelonggong (batang daun pepaya) 

dengan perlahan­lahan, supaya kotoran yang ada 

di rongga dapat ke luar melalui lubang tersebut. 

Gelonggong digunakan sebab  tahan panas dan 

tidak mudah meleleh pada suhu tinggi. Setelah 

peniupan dianggap cukup, dan masih dalam 

kondisi panas, rakitan dibalik sehingga lubang 

yang ada di bawah posisinya di atas, kemudian 

dilakukan pengecoran logam ke dalam rakitan.

b) Pengecoran/penuangan cairan logam ke dalam 

rakitan, dilakukan ketika kedua­duanya dalam 

kondisi panas dan dilakukan dengan hati­hati, agar 

tidak tidak tumpah dan terputus­putus. Seandainya 

terputus, akan berakibat masuknya gelembung 

udara. Cara mengatasinya yaitu  dibantu dengan 

alat las untuk mendorong cairan ini masuk 

pada sela­sela rongga yang sempit. 

Foto 4: Rakitan yang sudah dimasuki dengan coran logam emas. Pada 

lubang tampak warna merah membara. Dalam cetakan inilah terdapat 

sebuah arca

262 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

c) Dalam kondisi terbalik, rakitan diletakkan pada 

tempat yang aman tidak goyang dan diangin­

anginkan, sampai dingin. Setelah rakitan ini 

dingin, kemudian dipecah perlahan­lahan meng­

gunakan palu dan kayu. Bahan tanah yang telah 

mengeras ini pecah dan dicelah­celahnya 

tampak sebuah arca. Selanjutnya, permukaan arca 

dibersihkan dengan sikat kawat.

d) Pecahan rakitan bagian dalam dikumpulkan untuk 

dipisahkan dari sisa baan cor, yaitu dengan cara 

dimasak untuk mengambil sisa­sisa emas yang 

kadang menempel pada dinding. Adapun sisa 

arca dari bahan perunggu dimanfaatkan lagi 

untuk pengecoran selanjutnya.

4.  Penyelesaian akhir (finishing)

 Tahap ini sangat menentukan kualitas arca yang 

dihasilkan. Banyak hal bisa menyebabkan cetakan 

cacat, walaupun telah dilakukan pengerjaan sesuai 

dengan prosedur yang ditentukan. Arca setelah dicuci 

kemudian diamati, bagian mana yang tidak sempurna, 

mulai dari bentuk keseluruhan, wajah, badan, kaki 

serta asesoris yang ada. berdasar  pengalaman, 

cacat pada bagian muka (hidung, bibir, alis, mata) 

meru pakan hal yang agak sulit untuk diperbaiki 

dengan cara menambal memakai bahan dan campuran 

yang sama. Untuk menambal diperlukan alat las, guna 

menyatukan dengan menutupi bagian yang rusak 

atau cacat. Setelah penambalan, kemudian bagian 

ini ditoreh menggunakan alat sesuai dengan 

kebutuhannya, misalkan; glati untuk memotong dan 

263Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna

cukit untuk membuat bentuk bagian bibir, telinga, 

mata, serta hiasan­hiasan lainnya.

Jika penambalan selesai dilakukan, kemudian 

dilakukan torehan pada bagian­bagian tertentu sampai 

menjadi sempurna. Langkah selanjutnya yang harus 

dilakukan yaitu  menyepuh, pada pande mas. Untuk 

arca dari bahan emas, penyepuhan dimaksudkan 

untuk memperoleh hasil dan efek warna emas yang 

ideal. Pemberian efek warna pada tukang emas yaitu  

dengan: 

a) Arca dipanasi dengan alat 

las pompa berbahan bakar 

minyak tanah sampai panas, 

kemudian dimasukkan ke 

dalam cairan untuk member­

sihkan dari sisa­sisa kotoran. 

Kemudian arca diangkat dan 

dimasukkan ke dalam cairan 

sepuh emas, menggunakan 

alat listrik.

b) Langkah terahkir yaitu  mem­

beri kesan warna kuna dan 

antik, dengan cara dipanasi 

dan diolesi dengan serbuk 

batu bata kuna yang banyak 

ter dapat di Situs Trowulan. 

Hasilnya arca emas tersebut, 

ber warna emas murni dan antik, berbeda dari 

sebelumnya yang cenderung berwana emas 

kepucatan. 

Foto5: Arca emas 

Dewi Sri, buatan 

Seniman Bejijong

264 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Penutup

Tinggalan budaya materi dari peradaban nenek moyang 

Indonesia yang telah ditemukan sanga luas persebarannya. 

Ada yang telah menjadi koleksi museum, baik pamerintah 

maupun swasta, dan ada juga yang masih insitu (pada 

tempatnya), utamanya yang berupa bangunan­bangunan 

monumental. Seni arca, sebagai salah satu hasil kebudayaan 

dalam penguasaan teknologi cor logam, telah menghasilkan 

karya­karya seni yang indah dan menjadikan ciri khas dari 

arca Indonesia, khususnya Jawa.

Hasil karya berpa arca buatan warga  Jawa kuna, 

mayoritas berkaitan dengan hal­hal bersifat religius. Arca­arca 

yang dibuat mayoritas merupakan perwujudan dewa­dewa 

dalam budaya Hindu dan Budha, seperti Dewa Wisnu, Siwa, 

Sang Budha dan masih banyak lagi yang lainnya. Tinggalan 

dan karya seni tinggi ini tidak diketahui bagaimana 

proses dan cara pengerjaannya. Melalui data etnografis, dicoba 

untuk mencari jawabnya, sehingga data etnoigrafis ini 

dapat dijadikan sebagai salah satu bahan analogi. Tujannya 

yaitu  agar dapat memberikan gambaran kepada generasi 

penerus bahwa karya­karya seni pada masa lalu bukanlah hal 

yang mudah untuk dikerjakan. Banyak cara dan ketentuan 

yang berkaitan dengan sistem kepercayaan yang dianut, yang 

harus diikuti oleh seorang seniman, khususnya seniman arca 

cor pada masa itu. Setiap dewa memiliki kekhususan dalam 

ukuran (ikonometri) dan gaya, sikap tangan, serta atribut­

atribut kedewaannya (ikonografi). Ketentuan ini diacu 

dari seorang pendeta yang diambil dari Kitab Cilpacastra, 

khususnya untuk pengarcaan dewa­dewa Hindu.

265Teknologi Pembuatan Arca Logam pada Masa Jawa Kuna

Bejijong sebagai desa tempat tinggal seniman arca cor 

logam, dapat dijadikan suatu contoh, untuk mengetahui 

tentang cara pembuatan arca, sejak dari tahap persiapan bahan, 

pembuatan model, pengolahan bahan, membuat cetakan 

(rakitan), sampai menjadi sebuah arca. Proses pengerjaannya 

ternyata tidak semudah yang dibayangkan, berbagai hal 

yang berkaitan dengan masalah teknis harus diatasi dengan 

pengalaman secara empirik, untuk menghasilkan sebuah arca 

yang berkualitas. Suatu hal yang patut menjadi perhatian, 

yaitu  dalam penggunaan bahan maupun caranya masih 

tradisional. Sebagai contoh penggunaan alat­alat anglo, kowi, 

glonggong kates (pepaya), dan arang. Selain itu nama alat yang 

digunakan juga masih menggunakan nama tradisional seperti; 

esek-esek besar, esek, glati ukir, plong, ukel, cukit, coret, dan lain­

lainnya.

Betrdasarkan pada data etnografis sebagai analogi untuk 

menggambarkan kehidupan warga  Majapahit pada masa 

itu, ternyata telah terbukti menyimpan kemegahan dalam 

berbagai bentuk kebudayaan, salah satunya yaitu  dalam 

karya seni ketrampilan membuat arca.


Baca­tulis kini menjadi salah satu kebutuhan primer bagi siapa pun, dan semua orang mengakuinya. Sindhunata pernah menulis bahwa aksara yaitu  jalan 

menuju ke ilmu pengetahuan, sekaligus sarana bagi manusia 

untuk maju dan berkembang (Sindhunata, 2008). Untungnya 

dia tidak menyi sipkan kata “satu­satunya” sehingga tentu saja 

ada sarana lain, yaitu gambar. Justru dia mempertanyakan, 

sungguhkah pada mulanya memang aksara yang menjadi 

sarana belajar? Dengan cukup meyakinkan akhirnya dijelas­

kan bahwa gambarlah pada awalnya, dan belajar tidak melulu 

harus melalui baca­tulis. Dia contohkan sebuah gambar seorang 

pemburu yang buta aksara, dan disimpulkan bahwa dalam 

warga  tanpa alfabet itu, juga ada pendidikan sebagai­

mana ditunjukkan oleh hadirnya pengetahuan dan keahlian 

membuat busur dan anak panah.

270 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Lalu, apa hubungannya dengan Majapahit ?

Sebagai contoh, coba cermati tulisan Rangkuti tentang 

batas kota Majapahit dan bayangkan jika rangkaian aksara 

yang membentuk kata dan kalimat itu tidak dilengkapi 

dengan gambar. Tentu butuh perjuangan ekstra untuk dapat 

meng ikuti makna kata dan kalimat­kalimatnya melalui 

jelajah imajinasi yang terlalu luas; apalagi bagi orang yang 

tidak pernah berkunjung ke Kota Majapahit. Bukan hal yang 

mustahil jika penjelajahan imajinatif itu meleset dari makna 

kata dan kalimat sebagaimana dimaksud oleh Rangkuti. 

Sarana gambar memang dahsyat, termasuk untuk 

men jelaskan batas kota dan jejak­jejak kejayaan Majapahit 

sekalipun. Memang benar dokumen visual, entah itu foto 

atau pun gambar, yaitu  bagian tak terpisahkan dari proses 

penelitian, dan arkeologi tentu termasuk di dalamnya. 

Kepungan peneliti atas Kota Majapahit memang sudah ber­

langsung lama, setidaknya sejak tahun 1815. Dokumen visual 

pun sejak itu sudah menjadi kebutuhan yang bukan main 

pentingnya. Karya­karya dokumen visual dari para pendahulu 

itu, meskipun umumnya masih hitam­putih, tetapi begitu 

cantik, apalagi jika dicermati di era digital seperti sekarang. 

Fenomena gambar Kota Majapahit itu sedikit atau pun 

banyak juga menjadi inspirasi bagi arkeolog untuk berkarya 

secara visual berkenaan dengan tema Majapahit. Geliat visual 

ini seolah semakin mengukuhkan bahwa rangkaian aksara 

bukanlah monopoli sarana untuk menjelaskan seluk­beluk 

Kota Majapahit, sehingga gambar pun tak boleh dilupakan.


Majapahit Dalam Kepungan Peneliti

Majapahit, sebuah kerajaan adidaya yang berkembang 

dari akhir abad ke­13 hingga awal abad ke­16 M, merupakan 

salah satu tonggak paling penting dalam mata rantai perjalanan 

sejarah bangsa Indonesia. Kerajaan ini tidak pernah dilepaskan 

dari situs Trowulan di Kabupaten Mojokerto dan situs­situs 

lain di sekitarnya hingga wilayah Kabupaten Jombang, justru 

sebab  keyakinan di situlah ibu kotanya. 

Sebelum ditemukan pertama kali oleh Wardenaar pada 

tahun 1815, “Kota” Trowulan memang dalam keadaan 

hancur. Berbagai kemungkinan tentang faktor kehancuran 

ini antara lain dikemukakan oleh Sartono dan Bandono 

(1991:130) yang menyatakan ada dua faktor, yaitu politis dan 

alam. Faktor politis misalnya suksesi, perpindahan pusat 

peme rintahan (oleh Rajasanegara ke Tumapel pada tahun 

1451), dan pendirian bangunan baru di atas bangunan lama 

sebagai usaha pemulihan kota. Adapun faktor alam yaitu  

letusan Gunung Kelud yang terjadi berkali­kali yang bukan 

hanya menimbulkan goncangan hebat tetapi juga debu yang 

mengubur sebagian kota.

Di antara puing kota dan sisa kejayaan itu, banyak usaha 

telah dilakukan untuk mendapatkan gambaran seperti apa 

sebenarnya bentuk dan isi kota Majapahit. Sejak itu, Trowulan 

benar­benar berada dalam kepungan peneliti yang berjuang 

di sana, dan catatan berikut ini yaitu  sebagian dari hasil 

perjuangan mereka.

Pigeaud (1960­3, IV) menggambarkan beberapa aspek 

kehidupan Majapahit berdasar  Nāgararakrtāgama, seperti 

penggolongan warga  yang terdiri atas empat kelompok, 

yaitu penguasa (rulers), pejabat keagamaan (men of religion), 

272 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

rakyat biasa (commoners), dan para abdi dalem (bondmen). Aspek 

kehidupan ekonomi waktu itu didasarkan pada pertanian 

yang dilakukan di tanah datar atau di punggung bukit dengan 

menggunakan sistem séngkédan, yang menghasilkan beras 

dan jelai. Pojoh menambahkan adanya jenis­jenis hewan yang 

dikonsumsi pada saat itu, antara lain katak, cacing, penyu, 

tikus, dan anjing. Sementara itu beberapa jenis minuman yang 

dikenal oleh warga  Majapahit meliputi tuak, dari pohon 

kelapa maupun lontar, arak dari pohon aren, kilang, brem, dan 

tampo (Pojoh, 1990: 221). 

Secara khusus Parmono Atmadi (1993: 119­130) mengkaji 

aspek arsitektural terhadap tinggalan kepurbakalaan 

Majapahit, baik yang bersifat monumen maupun lansekap 

(tata ruang). Kajian ini selain didasarkan pada pengamatan 

terhadap berbagai tinggalan yang ada juga didasarkan pada 

berbagai laporan para pendahulu seperti: Maclaine Pont 

yang menyebut Javansche Architectuur; W.F. Stutterheim yang 

membicarakan de Kedaton van Majapahit; T.G. Th. Pigeaud yang 

menguraikan dalam bukunya Java in the 14th Century. A Study 

in Cultural History; dan Prapanca dalam Nāgararakrtāgama.

Niken Wirasanti (1997) mengulas situs Trowulan sebagai 

kota pusat kerjaan Majapahit yang difokuskan pada masalah 

penggolongan kota menurut fungsinya (penggolongan non 

numerik) seperti kota sebagai pusat produksi, perdagangan, 

maupun pemerintahan. Diyakini bahwa Trowulan merupakan 

pusat kerajaan Majapahit sebagai sebuah kota yang tertata 

dengan kawasan­kawasan khusus, misalnya kawasan 

bangunan suci (candi), perumahan kelompok profesi dan 

industri, serta kelompok pedagang. 

Kehidupan keagamaan warga  Majapahit antara lain 

tercermin dari ditemukannya sejumlah besar bangunan suci 

273Situs Kota Majapahit dalam Gambar 

(candi) yang juga didukung oleh data tertulis. Selanjutnya 

Subroto (1997: 118) menjelaskan bahwa adanya tiga kepala 

keagamaan di Majaphit, yaitu Buddhadyaksa, Saiwadyaksa, 

dan Mantri er haji meupakan bukti adanya tiga agama, yaitu 

Buddha, Hindu, dan pertapa. Pengakuan terhadap tiga agama 

ini mencerminkan adanya usaha pemerintah pada waktu 

itu dalam memupuk rasa persatuan dan kesatuan melalui 

kehidupan bertoleransi dalam bidang keagamaan. Hal ini 

sangat jelas tergambar dari sisa­sisa Kota Trowulan kuna, 

khususnya tinggalan bangunan keagamaan.

Soekmono dan Inajati Adrisijanti (1993: 67­88) menguraikan 

tentang kejayaan dan dinamika Kerajaan Majapahit seperti 

tercermin dari berbaga tinggalan purbakala yang ada sebagai 

warisan luhur. Warisan ini antara lain yaitu :

1. berbagai bangunan candi masa Majapahit yang ter­

sebar di Jawa Timur

2. peninggalan bercorak Islam khususnya nisan­nisan 

bertulis dari abad XIV M yang tersebar pada tujuh 

kelompok makam. Bentuk Nisan­nisan ini paling tidak 

meliputi 4 tipe yaitu: lengkung kala-makara, segi empat 

berujung akolade dan berpangkal antefiks, segi empat 

dengan tonojolan di atas, dan bentuk bertingkat.

Peneliti yang lain, Karina Arifin (1983), secara khusus mem­

bahas waduk dan jaringan kanal di Trowulan. berdasar  

pandangan para ahli sebelumnya ditambah hasil penelitiannya 

(antara lain melalui analisis foto udara), dapat dipastikan bahwa 

kanal­kanal ini dibangun pada masa Majapahit. Selain 

itu, dikatakan bahwa fungsi utama waduk dan kanal yaitu  

sebagai pengendali banjir, khususnya untuk menyelamatkan 

kota dan lahan pertanian yang ada. Secara geografis Trowulan 

274 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

memang berada pada bentang kipas alluvial sehingga sungai­

sungai di sekitarnya cepat mengalami pendangkalan justru 

sebab  berada pada kipas alluvial. Percepatan pendangkalan 

ini berakibat langsung terhadap daya tampung sungai yang 

semakin rendah, sehingga ketika musim hujan potensi meluap­

nya air sungai sangat besar.

Hingga kini, berbagai kegiatan penelitian arkeologi 

di Trowulan dan sekitarnya terus dilakukan, baik secara 

per orangan maupun secara institusional. Seolah berpacu 

dengan menurunnya kualitas dan kuantitas data di lapangan, 

mungkin juga didorong oleh keniscayaan atas hasil penelitian 

yang nantinya akan bermanfaat untuk negeri ini, menggali 

dan menggali memang tidak boleh berhenti. Apalagi ujung 

riset itu seringkali berbuah pertanyaan baru sehingga mesti 

dicari jawabannya, dan terus menggali yaitu  cara untuk 

menemukan jawaban itu.

Geliat Visual Arkeolog

Kepungan peniliti atas situs Kota Majapahit selain meng­

hasilkan berbagai informasi dan pengetahuan yang sangat 

berharga, juga berbuah dokumen grafis, baik foto maupun 

gambar yang hingga saat ini tak seorang pun mampu meng­

hitung berapa banyak sebenarnya jumlahnya. Begitu banyak 

memang informasi dan dokumen itu hingga mendorong 

beberapa arkeolog berpikir keras untuk memadukan informasi 

tentang Kota Majapahit dengan dokumen grafis. Tujuannya 

tidak lain yaitu  agar hasil riset tidak sekedar menjadi menu 

yang hanya dapat dikonsumsi oleh arkeolog atau kaum 

akademisi terkait, tetapi juga dapat “disantap” oleh publik 

secara lebih luas. Bahasa gambar, atau setidaknya gabungan 

275Situs Kota Majapahit dalam Gambar 

antara gambar dan teks, tentu saja menjadi media komunikasi 

yang lebih efektif untuk itu. Beranjak dari situ, beberapa 

arkeolog mulai menggeliat untuk “memberdayakan” aspek 

visual Kota Majapahit sebagai salah satu alat komunikasi 

dengan publik.

Seolah tidak puas dengan foto­foto yang melulu hanya 

digunakan untuk sekedar dokumen dan lampiran semata, 

beberapa arkeolog pun mulai menggeliat secara visual. Saat 

fotografi semakin “diremehkan” di era kamera digital, justru 

sebab  berbagai kemudahan yang ditawarkan, saat itu pula 

sebenarnya arkeolog semakin jauh dari kemampuan memotret 

yang baik dan benar. Tak heran jika eksotika Kota Majapahit 

tidak dapat terekam dengan semestinya, ada nuansa estetika 

yang luput dari bidikan, entah sebab  tidak tahu atau memang 

sengaja dilewatkan sebab  dianggap tidak berguna. Dari 

kacamata fotografi maupun kerangka estetika grafis lainnya, 

Kota Majapahit di Trowulan sesungguhnya menyimpan 

nuansa eksotika yang belum banyak dieksplorasi. Memang, 

mungkin hanya yang berpengalaman dan yang sudah matang 

di bidang estetika grafis saja yang dapat melihat mutiara­

mutiara itu, termasuk di antaranya yaitu  beberapa arkeolog 

yang secara sadar juga menekuni bidang olah grafis.

Di sisi lain, geliat visual semakin kuat saat teknologi 

digital sepenuhnya mampu mendukung olah grafis yang 

nyaris tanpa batas. Imajinasi pun semakin luas jalajahnya 

untuk menghadirkan Kota Majapahit dalam gambar bernuansa 

estetis. Hasilnya yaitu  gambar­gambar bukan hanya hasil 

bidikan lensa berupa foto dan film, tetapi juga perpaduan 

antara teks dan gambar dalam ramuan sebuah cerita visual. 

Berikutnya yaitu  sebagian gambar­gambar Kota 

Majapahit buah dari geliat visual dan hasil jelajah imajinasi 

276 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

yang dituangkan dalam bidikan lensa (foto dan film), cerita 

dalam gambar (kolase dan poster), serta imajinasi lewat jemari 

(sketsa).

Bidikan Lensa

Rekaman Kota Majapahit melalui bidikan lensa terdiri 

atas foto­foto di beberapa situs serta bidikan kamera video 

yang dikemas dalam sebuah film pengetahuan arkeologi.

1. foto

a)  Wringin Lawang

Kiri: eksotika matahari terbit di Candi Wringin Lawang. 

Kanan: “Wringin Lawang on Infrared” (Foto: Sugeng Riyanto)

Kiri: Candi Wringin Lawang saat dibersihkan. Kanan: hasil bidikan 

lensa dengan filter inframerah (Foto: Sugeng Riyanto)

Candi Wringin Lawang merupakan gapura 

berbentuk bentar atau gapura tanpa ambang di 

277Situs Kota Majapahit dalam Gambar 

atasnya, bagaikan sebuah candi yang dibelah dua 

kemudian masing­masing ditarik menjauh, maka jadi­

lah gapura. Meskipum dinama kan gapura, namun 

tidak ada tembok di kiri dan kanannya sehingga jika 

tidak teliti orang tidak akan tahu yang mana bagian 

luar dan mana bagian dalam. Sesungguhnya, Wringin 

Lawang menghadap ke timur, sehingga mestinya 

bagain dalamnya ada di barat. Bangunan setinggi 15,5 

meter ini terletak di Desa Jatipasar, Trowulan, tak jauh 

dari jalan raya Mojokerto ­ Jombang.

b)  Candi Brahu

Kiri: Siluet Candi Brahu, tampak di latar belakang yaitu  jajaran pegunungan 

Penanggungan, Anjasmoro, dan Welirang. Kanan: hasil bidikan lensa berfilter 

inframerah (Foto: Sugeng Riyanto)

Bangunan yang terletak di Desa Bejijong ini meru­

pakan bangunan suci bagi agama Buddha. Dibangun 

dengan material bata, bangunan setinggi kurang lebih 

26 meter ini tampak seperti silinder berdiri yang diberi 

profil pada tepiannya. Untung ada pintu masuk di 

bagian barat, sehingga kita dapat tahu ada semacam 

teras di bagian dalamnya yang mungkin menjadi 

tempat ritual. warga  percaya kalau di sinilah 

tempat perabuan bagi raja­raja masa akhir Majapahit.

278 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Kiri: sisi lain Candi Brahu dengan filter inframerah.  

Kanan: Candi Brahu saat dibersihkan  

(Foto: Sugeng Riyanto dan Indradi AW)

c)  Bajang Ratu

Bajang Ratu yaitu  sebuah gerbang berbahan 

bata setinggi hampir 17 meter, berbentuk gapura 

paduraksa, yaitu bangunan gapura dengan atap 

di ambangnya. Para peneliti percaya Bajang Ratu 

dibangun pada pertengahan abad ke­14, antara lain 

didasarkan pada relief yang menceritakan kisah Sri 

Tanjung. Memang, selain di sini, cerita Sri Tanjung 

juga ada di Candi Panataran, Blitar yang dibangun 

pada pertengahan abad ke­14.

 Gapura Bajangratu dalam infrared (Foto: Sugeng Riyanto)

279Situs Kota Majapahit dalam Gambar 

d)  Candi Tikus 

Bangunan ini sebenarnya bukan candi tetapi 

sebuah bangunan petirtaan, atau kolam suci bagi 

agama Hindu. Bangunan berbahan bata ini berada 

di bawah level muka tanah, sehingga untuk menuju 

kolam harus turun melewati tangga yang ada di sisi 

utara. Candi Tikus mulai dipugar pada tahun 1923 

pada masa pemerintahan kolonial Belanda, dan 

pemerintah RI melanjutkannya pada tahun 1980an. 

Konon, petirtaan ini dinamakan Candi Tikus sebab  

sebelum dipugar situs ini memang menjadi sarang 

tikus.

Kiri: Candi Tikus dalam tone infrared.  

Kanan: sesaji di Candi Tikus (Foto: Sugeng Riyanto)

e)  Kolam Segaran

Bangunan yang ditemukan oleh Henry Maclaine 

Pont pada tahun 1926 ini benar­benar berwujud 

kolam yang berbentuk persegi panjang. Kolam 

berbahan bata ini mungkin kolam terbesar di dunia, 

melihat ukurannya yang begitu besar, yaitu 375 x 175 

meter atau 6,5 hektare lebih! Pemugaran pertama kali 

dilakukan pada tahun 1966 dan dilanjutkan tahun 

280 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

1974 dan diselesaikan sejak tahun 1978. warga  

sekitar ternyata cukup ”girang” dengan kolam yang 

nyaris berisi air sepanjang tahun ini sebab  memang 

banyak ikan di dalamnya.

Kiri: eksotika matahari terbit di Segaran.  

Kanan: foto infrared Kolam Segaran (Foto: Sugeng Riyanto)

Malam hari di Segaran, mungkin ini satu­satunya foto Kolam 

Segaran di waktu malam (Foto: Sugeng Riyanto)

Kiri: girang berperahu karet di kolam Majapahit.  

Kanan: berburu ikan di Segaran (Foto: Sugeng Riyanto)

281Situs Kota Majapahit dalam Gambar 

f)  Foto­foto Lainnya

Masih di seputar Kota Majapahit, beberapa objek 

arkeologi ternyata juga memiliki sisi estetika, tentu 

saja jika direkam dengan teknik fotografi khusus. 

Inilah foto­foto itu.

Jajaran umpak raksasa berbentuk segi delapan di Sentonorejo  

(Foto: Sugeng Riyanto)

Kiri: yoni berukuran jumbo di Japanan, bandingkan dengan ukuran 

orang dewasa. Kanan: salah satu ruas kanal Kota Majapahit (jalur X7)  

(Foto: Sugeng Riyanto)

282 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Kiri: jajaran umpak di rimbun kebun jambu mete, Lebak Jabung.  

Kanan: bangunan Sitihinggil, Bejijong (Foto: Sugeng Riyanto)

 Kiri: sisa saluran air, Nglinguk. Kanan: runtuhan Candi Minak Jinggo, 

Trowulan (Foto: Sugeng Riyanto)

g)  Fenomena Kota Majapahit

Bekas kota Majapahit kini memang menjadi ruang 

permukiman yang ramai dan padat. Di dalamnya ternyata 

terdapat fenomena baru yang dapat “dikait­kaitkan” 

dengan Kota Majapahit, meskipun tidak ada benang 

merah nya secara langsung sebenarnya. Inilah potret 

beberapa fenomena di Kota Majapahit itu.

283Situs Kota Majapahit dalam Gambar 

Arca Buddha raksasa, Bejijong, bandingkan dengan ukuran orang dewasa  

(Foto: Sugeng Riyanto)

 Perajin arca logam, Bejijong dan perajin terakota, Trowulan.  

Konon, mereka meniru artefak asli Majapahit sebagai modelnya  

(Foto: Sugeng Riyanto)

2. Film

Sebuah film pengetahuan arkeologi bertema Majapahit 

telah diproduksi oleh Balai Arkeologi Yogyakarta dengan 

dukungan Yayasan Tahija. Film berjudul “Menembus Kota 

Majapahit” ini terinspirasi oleh perjuangan para peneliti dalam 

usahanya menjelaskan tentang bentuk dan isi Kota Majapahit, 

termasuk kehidupan di luar kota. Catatan Prapanca dalam 

Nagarakrtagama dan rekonstruksi perjalanan Hayam Wuruk 

284 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

ke desa­desa di Jawa Timur dan di sekitar kota mengawali 

“kisah” dalam film ini.

Film berformat VCD dan berdurasi 49’ 40” ini juga 

menampilkan sebagian isi kota sebagaimana dapat disaksikan 

sekarang, baik berupa bangunan candi, gapura, kolam, struktur 

rumah, bahkan kanal. Kekuatan film ini yaitu  visualisasi 

hasil penelitian Nurhadi Rangkuti tentang batas kota yang 

berukuran 9 x 11 Km. Bukan hanya itu, dengan lugas juga 

digambarkan teori jalan masuk ke Kota Majapahit dari Sungai 

Brantas hingga Kota Majapahit di Trowulan sekarang.

Sampul film (kiri), opening title (tengah), dan bagian film saat host 

menjelaskan peran Sungai Brantas sebagai pintu masuk ke Kota 

Majapahit (kanan) (Sumber: “Menembus Kota Majapahit”)

Di bagian akhir, divisualisasikan makna bentuk dan tata 

kota yang dikaitkan dengan konsep kosmologis, artinya ada 

unsur perencanaan pada bentuk Kota Majapahit. Dijelaskan 

oleh Rangkuti sebagai narasumber utama film ini bahwa 

konsep amertamanthana melandasi bentuk kota sebagaimana 

ditunjukkan oleh yoni­yoni berhias nagaraja yang menjadi 

batas kota, serta adanya jaringan kanal dan waduk­waduk di 

sekitar Trowulan. Konsep amertamanthana sendiri merupakan 

suatu kisah sakral ketika para dewa mencari air kehidupan 

(amertha) yang berada di dasar laut, sehingga laut harus diaduk 

285Situs Kota Majapahit dalam Gambar 

agar amertha dapat diambil. Alat pengaduknya yaitu  Gunung 

Mandhara, sebagai alasnya yaitu  kura­kura raksasa jelmaan 

Dewa Wisnu, dan sebagai tali pemutarnya yaitu  naga.

Bercerita dengan Gambar

Kolase dan poster yaitu  sebagian media untuk menam­

pilkan sebuah cerita melalui bahasa gambar. Tentu saja teks 

masih diperlukan di sini, namun perimbangan komposisi 

gambar harus lebih besar. Berikutnya yaitu  kolase dan poster 

bertema Kota Majapahit.

1. Kolase

 

Seperti apa jadinya jika Kolam Segaran 

dipotret dari pagi hingga malam? 

Kolase ini lah jawabannya, yang 

menggambarkan aspek estetika Segaran 

sepanjang hari hingga malam (Foto dan 

desain: Sugeng Riyanto)  

Inilah kolase eksotika Wringin Lawang 

sepanjang pagi, dari sebelum matahari 

terbit hingga matahari beranjak naik. 

Gemilang lazuardi yaitu  point of 

interest foto-foto dalam kolase ini (Foto 

dan desain: Sugeng Riyanto)

286 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

2. Poster

 

Keprihatinan atas penurunan kualitas 

dan kuantitas data arkeologi di situs 

Trowulan yaitu  inspirasi poster ini  

(Ide: Nurhadi Rangkuti,  

desain: Sugeng Riyanto)

Poster ini menggambarkan keagungan 

Kota Majapahit. Penggalian makna 

antara lain berbuah pesan adanya 

konsep persatuan dalam keragaman, 

etos kerja keras, keselarasan dengan 

lingkungan, serta konsep jatidiri 

 (Ide: Nurhadi Rangkuti,  

desain: Sugeng Riyanto)

Imajinasi Lewat Jemari

Kamera dan komputer yaitu  perpanjangan imajinasi 

guna menuangkan hasil jelajahnya ke dalam media visual. 

Di sisi lain, ternyata jelajah imajinasi juga dapat disalurkan 

melalui “tarian jemari” dan sebuah pensil. Berikut yaitu  

karya visual bertema Kota Majapahit dalam bentuk sktesa 

pensil pada media kertas HVS karya Hadi Sunaryo.

287Situs Kota Majapahit dalam Gambar 

 

 Kiri: Gapura Wringin Lawang. Kanan: Gapura Bajang Ratu  

(Karya: Hadi Sunaryo)

 

 Kiri: Kolam Segaran. Kanan: Candi Brahu (Karya: Hadi Sunaryo)

 

Kiri: Gunung Penanggungan. Kanan: tempat penyeberangan  

di Sungai Brantas, Desa Kesamben, Jombang (Karya: Hadi Sunaryo)

288 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Lensa dan Imajinasi untuk Kota Majapahit

“Sayangnya, kota Majapahit kini hanya dapat direkonstruksi di 

atas kertas. Di lapangan, bekas kota itu berubah wajah menjadi 

kota industri bata. Lebih dari 3.000 titik lokasi pembuatan bata 

telah melenyapkan lapisan budaya Majapahit. Pemusnahan secara 

sistemik itu berlangsung terus tanpa dapat dicegah”.

Epilog dalam film “Menembus Kota Majapahit” itu benar­

benar menggambarkan kondisi bekas kota yang semakin 

menge naskan dari hari ke hari. Namun, dalam porak­poranda, 

di antara puing, dan di sela rimbun tebu dan lumpur per­

sawahan, peneliti maju terus untuk menggali dan menggali 

sisa runtuhan kota. Hanya dengan cara itulah arkeolog 

berjuang untuk dapat memperoleh gambaran seperti apa kota 

Majapahit.

Menggali dan terus menggali, seolah berpacu dan berebut 

data dengan perajin bata terus dilakukan meski kadang 

dihantui perasaan pesimis. Namun, api harap dan semangat 

terus terjaga dan tak akan pernah padam meskipun di­

tingkahi rasa cemas. Semua itu tidak lain yaitu  demi dapat 

menyampaikan nilai­nilai luhur dan adiluhung di balik kota 

Majapahit ke seantero negeri. Di sisi lain, penggalian kejayaan 

itu juga dilakukan lewat gambar, sebut saja foto, film, dan 

poster. Jadi, penggalian tidak saja menggunakan cetok dan 

cangkul, tetapi juga dapat menggunakan lensa. Namun, lensa 

yang memiliki peran terbesar sebenarnya yaitu  lensa nurani 

dan imajinasi, tentu saja lewat eksplorasi perasaan yang lembut 

dan jelajah imajinasi yang manis. Lewat jalan inilah anak­anak 

negeri akan tahu dan dapat memahami betapa ada jejak jaya 

di riwayat negeri, yang dapat diteladani untuk menyambut 

lazuardi gemilang esok pagi.

289Situs Kota Majapahit dalam Gambar 

 

Begitu banyak pabrik bata di Trowulan,  

sebagian di antaranya berada persis di atas runtuhan bangunan 

masa Majapahit (Foto: Sugeng Riyanto)

 

Ini yaitu  contoh sisa bangunan masa Majapahit yang digempur tanpa 

ampun demi mendapatkan bahan baku bata (Foto: Sugeng Riyanto)

 

Agen kerusakan lain yaitu  alat berat di perkebunan tebu (kiri)  

dan pembuatan sumur (kanan) (Foto: Sugeng Riyanto)

290 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya


T empat kediaman raja digambarkan bertembok bata yang tingginya lebih dari 20 kaki dan panjangnya lebih dari 100 kaki, mempunyai gapura ganda dan keadaannya bersih dan terawat 

baik. Rumah-rumah di dalamnya terletak di atas tanah setinggi 30-40 kaki; 

lantainya dari papan kayu yang di alasi tikar rotan atau alang-alang yang 

dianyam halus, atap-atap rumah digunakan papan kayu yang keras sebagai 

genteng. Rumah-rumah rakyatnya diberi atap jerami. Demikian gambaran 

tentang ibukota Trowulan yang diuraikan dalam berita Cina pada abad ke 

15 M.

Pahitnya buah Maja

Konon nama Majapahit 

berasal dari nama buah Maja 

yang dikenal dengan rasanya 

yang pahit. Pada waktu 

Raden Wijaya bersama­sama 

orang Madura membuka 

”alasing wong Trik” yang akan 

Buah Maja dengan latar belakang 

Candi Brahu  

(dokumentasi: Sugeng R./Balar Yk)

296 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

digunakan sebagai pemukiman, di sekitar lokasi tempat baru 

itu banyak dijumpai pohon Maja. Ketika itu para pekerja yang 

membabat alas kehabisan perbekalannya, lalu mereka makan 

buah Maja ini dan ternyata rasanya pahit. 

Ada beberapa nama tempat yang menggunakan unsur kata 

”mojo”, seperti Mojoagung, Mojowarno, Mojolegi, Mojoduwur, 

Mojowangi, dan Mojosari. Sementara itu di Trowulan sendiri 

tidak dijumpai nama tempat yang menggunakan unsur kata 

”mojo”. Namun desa ini telah mewariskan kepada kita 

berbagai jenis maupun variasi benda­benda purbakala. Oleh 

sebab  itu Desa Trowulan hingga sekarang diyakini sebagai 

bekas ibukota kerajaan Majapahit.

Seratus sembilan puluh empat tahun (1815­2009) sudah 

usia situs Trowulan sebagai situs perkotaan Majapahit yang 

digeluti oleh para peneliti, baik dari dalam negeri, luar negeri, 

maupun pemerhati budaya. Namun hasil dari penelitian­

penelitian yang telah dilakukan itu hingga kini belum mem­

buahkan hasil seperti yang diharapkan, yaitu sebuah ibukota 

kerajaan dari masa Hindu­Buda, satu­satunya situs perkotaan 

di era kerajaan­kerajaan kuno dari abad V­XV Masehi yang 

ada di Nusantara ini. Memang upaya untuk mendapatkan 

gambaran yang utuh tentang sebuah kota tidaklah mudah. 

Apalagi peninggalan­peninggalannya yang sampai kepada 

kita sangat fragmentaris. 

Ada beberapa faktor penyebab kerusakan yang dialami 

kerajaan Majapahit. Utamanya yaitu  faktor internal, yaitu 

adanya suksesi dan perebutan kekuasaan. Di dalam perja­

lanannya kerajaan Majapahit mengalami berbagai peristiwa 

pemberontakan di antara keluarga raja untuk memperebutkan 

kekuasaan, seperti pemberontakan Ranggalawe, Lembusora, 

297Yang Pahit dari Majapahit

Nambi, Kuti, Tanca, penaklukan Keta, dan Sadeng (Baskoro 

2004).

Peristiwa besar yang hampir meruntuhkan kerajaan 

Majapahit dikenal sebagai perang Paregreg, antara 

Wikramawardhana dari wilayah bagian barat (Majapahit) 

dengan Bhrĕ Wirabhumi yang memerintah di bagian timur 

(Blambangan). Pemberontakan terus­menerus terjadi, penguasa 

silih berganti. Kemudian muncullah Girindrawardhana yang 

mengambil alih pemerintahan Majapahit. Girindrawardhana 

inilah yang berusaha mempersatukan kembali wilayah 

kerajaan Majapahit yang terpecah­pecah akibat pertentangan 

keluarga (Baskoro 2004). Meskipun ia telah menyatukan 

kembali wilayah Majapahit yang terpecah­pecah, tetapi 

kekuasaan kerajaan Majapahit tidak dapat dipertahankan. 

Akibatnya pengawasan terhadap daerah­daerah bawahannya 

semakin lemah, dan memberi peluang bagi daerah­daerah 

bawahan ini untuk menyusun kekuatan dan melepaskan 

diri dari Majapahit. Pada waktu itu di kawasan Asia Tenggara 

timbul perkembangan baru di bidang politik dan ekonomi, 

khususnya di daerah­daerah pesisir utara Jawa. Selain itu 

perkembangan agama Islam sangat pesat pada abad 15 

Masehi. Oleh sebab  itu pengaruh Majapahit lenyap dengan 

sendirinya dan muncullah kerajaan Demak pada tahun 1519 

Masehi , Keadaan istana di Majapahit yang 

sudah hancur juga disebutkan dalam Babad Pasir tahun 1891 

(Irna 2004: 79).

Faktor alam seperti gunung meletus, banjir, dan gempa 

juga mendukung kehancuran Majapahit. Hasil penelitian yang 

dilakukan oleh Sartono dan Bandono (1991) membuktikan 

bahwa