Pada penghujung 2010 hingga awal 2011, kawasan Afrika Utara dan timur
Tengah mengalami pergolakan politik yang besar sehingga menghasilkan revolusi.
Revolusi ini bertujuan untuk menumbangkan penguasa yang dimulai dari Tunisia
dan menjalar ke Mesir, Aljazair, Yaman, Bahrain, Libya, serta negara-negara
lainnya. Di Mesir dan Tunisia, revolusi ini telah berhasil menjatuhkan kedua
pemimpinnya yaitu Zine Ebidin Ben Ali dan Husni Mubarak. Gelombang revolusi
yang menerpa kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara terus meluas. Setelah
sebelumnya berhasil menjatuhkan pemimpin Tunisia dan Mesir, revolusi juga
menjalar ke Libya yang diperintah oleh Muammar Khadafi. Pada tanggal 15
Februari 2011, rakyat Libya mulai berdemonstrasi di depan markas polisi di
Benghazi. Protes kemudian menjadi semakin besar dengan bergabungnya pasukan
khusus Libya yang dipimpin Abdul Fatah Younes ke dalam pihak oposisi sejak
tanggal 19 Februari 2011. 1Younes memiliki pasukan di Katiba lengkap dengan
senapan mesin, truk, dan senjata anti pesawat yang kemudian menjadi milik oposisi.
Dibandingkan dengan negara Arab lainnya, krisis politik yang terjadi di Libya
memiliki intensitas pergolakan yang lebih tinggi.
Protes dan konflik mulai terjadi di seluruh negeri sejak tanggal 19 Februari
2011. Pada tanggal 21 Februari 2011, pengunjuk rasa mengambil alih jalan-jalan
dan senjata dijarah dari markas besar keamanan utama. Pengunjuk rasa menurunkan
benderaa Libya dari atas gedung pengadilan utama dan menggantinya dengan
bendera monarki di negara tersebut.2
Pada tanggal 24 Februari demonstran
1
Apriadi Tamburaka. Revolusi Timur Tengah: Kejatuhan Para Penguasa Otoriter di Negara-Negara Timur Tengah .
(Yogyakarta: Narasi, 2011) Hal. 228
2
memegang kendali penuh kota Tobruk. Unit angkatan darat di Tobruk dan Libya
bagian timur bergabung dengan pengunjuk rasa, termasuk beberapa prajurit dan
perwira.3
Menanggapi krisis politik tersebut yang terkait dengan aksi protes dan
demonstrasi oleh masyarakat Libya, Khadafi lebih mengutamakan penggunaan
pendekatan yang represif. Pasukan Khadafi melakukan banyak pelanggaran dengan
menembaki para demonstran secara membabi buta, bahkan dengan menggunakan jet
tempurnya. Hal ini tentunya dipersepsikan sebagai pembantaian yang dilakukan
oleh rezim di Libya terhadap warga sendiri dan merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan.4
Dalam perkembangannya, masyarakat Libya terbagi menjadi dua kelompok
yaitu pasukan loyalis Khadafi (pemerintahan Khadafi) dan pihak oposisi yang
dimobilisasi oleh Dewan Transisi Nasional Libya. Kedua kelompok ini memiliki
kepentingan yang kontradiktif. Pasukan loyalis Khadafi memiliki kepentingan untuk
mempertahankan kekuasaan Khadafi. Sedangkan pihak oposisi menginginkan
Khadafi turun dari tahta kekuasaannya. Dengan agenda utama mencapai
kepentingan masing-masing, kedua kelompok tersebut terlibat konfrontasi. Dalam
hubungan konfrontatif kedua kelompok tersebut, aksi saling menyerang yang
melibatkan warga sipil tak terelakkan. Selain itu, terjadi ketidakseimbangan dari
kekuatan kedua kelompok tersebut. Hal ini terlihat dari ketidakberdayaan pihak
oposisi menghadapi serangan udara pasukan Khadafi. Kelompok loyalis Khadafi
memiliki militer dan sistem persenjataan yang canggih jika dibandingkan dengan
pihak oposisi yang memiliki persenjataan terbatas dan sistem militer yang kurang.
Konsekuensinya, pihak oposisi lambat laun mengalami kemunduran. Di lain hal,
adanya isu pembantaian yang dilakukan oleh rezim di libya dan ketidakseimbangan
kekuatan pro Khadafi dan pihak oposisi mengundang perhatian masyarakat
3
Internasional. Hal ini juga didukung oleh keinginan pihak oposisi dalam meminta
bantuan terhadap dunia internasional terutama PBB.
Dalam melihat pergolakan di Libya ini, setelah didesak akhirnya PBB terlibat
dalam upaya untuk mengatasi persoalan tersebut. Keterlibatan PBB diwujudkan
dengan menerapkan resolusi 1973 DK PBB yang mengizinkan anggota PBB
menjalankan langkah apa pun yang diperlukan dalam upaya melindungi warga sipil
di Libya dari kekerasan pasukan pemerintah pimpinan Moammar Khadafy. Salah
satu upaya perwujudan instrumen tersebut adalah persetujuan Dewan Keamanan
PBB terhadap zona larangan terbang di atas wilayah Libya untuk melindungi warga
sipil dan pemberontak dari serangan udara pemerintah Libya. Mandat itu kemudian
dilaksanakan oleh NATO pada tanggal 17 Maret 2011. Pada tanggal 19 Maret 2011,
dilancarkan operasi dengan nama Odissey Dawn oleh NATO yang berhasil
membentuk sejumlah zona larangan terbang sejumlah kota di Libya,
menghancurkan jaringan pertahanan udara Libya, dan menyerang pasukan pro
Khadafi yang mengancam penduduk sipil. Operasi Odissey Dawn meliputi serangan
pada kekuatan sejumlah mesin perang, artileri (rudal darat ke udara), menghalangi
garis komunikasi yang mensuplai amunisi, serta mencegah pasukan musuh
menyerang penduduk sipil dan kota-kota.5
Negara-negara yang ikut dalam
intervensi ini meliputi sejumlah negara antara lain AS, Inggris, Prancis, Spanyol,
Denmark, Norwegia, Kanada, Belgia, Italia, Belanda, UEA, dan Qatar.6
Dari krisis Libya itu sendiri, intervensi NATO (North Atlantic Treaty
Organization) sanagt menentukan perkembangan pergolakan politik tersebut.
NATO mendapatkan mandat dari PBB untuk melakukan intervensi. Dengan
landasan tersebut, NATO dalam mencapai kepentingannya, menggunakan
instrumen kekerasan dengan menyerang pangkalan-pangkalan militer pasukan
loyalis Khadafi, walaupun dalam implementasinya banyak menewaskan warga sipil.
5
Jeremiah Gertler, Coordinator Specialist in Military Aviation. Operation Odissey Dawn: Background and Issues for
Congress 28 Maret 2011 Hal. 11
6
NATO begerak berdasarkan orientasi baru kebijakannya pasca perang dingin. Pada
konferensi NATO di Istanbul pada 2004 NATO mencoba mendorong kemitraan
dengan negara-negara Asia Tengah dan Timur Tengah yang bertujuan memperluas
kestabilan ke luar eropa dan beralih dari perspektif eurosentris yang telah berlaku
dalam NATO sepanjang 1990-an. Orientasi NATO di masa depan pada konferensi
tersebut adalah perluasan keamanan dengan mengikutsertakan timur tengah raya
yang membentang dari Asia Selatan dan Tengah sampai Timur Tengah dan Afrika
Utara.7
Adanya pergolakan di Libya akan turut mempengaruhi stabilitas di kawasan
timur tengah.
Intervensi militer NATO di Libya lebih menekankan pada pendekatan hard
power oleh aliansi tersebut dalam penjagaan kestabilan di Timur Tengah. Amerika
Serikat sebagai salah satu anggota NATO juga ikut berperan dalam intervensi ini.
Pada mulanya, Amerika Serikat ikut dalam intervensi ke Libya ini dengan
mengirimkan sejumlah pesawat untuk menyerang sejumlah target di Libya, akan
tetapi kemudian Amerika membatasi perannya dalam misi ini. Perannya sebagai
pemimpin dalam intevensi kemudian diambil alih oleh NATO. Menurut Robert
Gates, Amerika kemudian menggeser fokus operasinya pada sejumlah program
antara lain serangan elektronik, pengisian bahan bakar pesawat, pengangkutan,
pencarian dan penyelamatan, intelijen,serta pengawasan dan pengintaian pada
tanggal 31 Maret 2011.8
Dalam operasi tersebut, NATO secara resmi
mengintegrasikan semua operasi udara yang tersisa di Libya di bawah kendali dan
kontrolnya yang kemudian diberi nama Operasi Unified Proctector. Operasi udara di
sini terdiri atas zona larangan terbang dan operasi untuk melindungi warga sipil. Hal
ini juga adalah akhir dari operasi odyssey dawn secara resmi. Kegiatan AS lain yang
7
terkait dengan Libya adalah mendukung NATO dalam operasi Unified Protector.
Menurut menteri pertahanan, Robert Gates, AS tidak akan terlibat dalam operasi
darat di Libya.9
Hal ini berarti Amerika tidak berperan secara langsung dalam misi ini dengan
adanya penarikan mundur angkatan udaranya dalam intervensi ke Libya ini. Dengan
adanya kebijakan ini, maka sejumlah kepentingan nasional dari Amerika Serikat
akan tercapai. Terlebih dengan dengan naiknya Obama sebagai presiden yang
menggantikan Bush akan merubah pendekatan dari pencapaian kepentingan
nasional negarantya. Hal inilah yang menjadikan kasus ini menarik untuk dibahas
karena adanya kombinasi faktor kepentingan nasional AS dalam menganalisis
keterlibatan AS dalam intervensi militer NATO di Libya di bawah Obama.
Dengan terjadinya gelombang revolusi yang telah meluas ke sejumlah negara di
timur tengah telah menjadi fokus perhatian dari Amerika Serikat dalam pencapaian
kepentingan nasionalnya. Adanya pergolakan politik yang cukup besar di Libya
mengundang intervensi NATO untuk menghentikan pembantaian yang dilakukan
oleh Muammar Khadafi terhadap rakyatnya. Pada awalnya, operasi militer yang
diadakan untuk mencegah pembantaian dari pihak Khadafi terhadap rakyatnya
diikuti oleh AS, akan tetapi setelah tanggal 31 Maret 2011, operasi tersebut diambil
alih oleh NATO dan AS kemudian cuma membantu secara tidak langsung terhadap
operasi yang sudah berjalan.
Pada kasus-kasus sebelumnya seperti tragedi kemanusiaan di Kosovo, AS
berperan aktif dalam intervensi yang ada di mana AS terlibat penuh dalam
pengeboman di negara tersebut sehingga mampu memaksa tentara Serbia untuk
9
menghentikan kekejamannya di sana. Akan tetapi dalam kasus Libya ini, AS tidak
terlibat penuh. Dalam melancarkan intervensi di Libya, pihak NATO harus
melancarkan serangan secara terus menerus dengan peperangan yang semakin
berlarut-larut. Padahal dengan keunggulan kekuatan udara yang dimilikinya, pihak
NATO dan AS bisa menghancurkan kekuatan militer Libya secara keseluruhan
tanpa perlu waktu yang lama
Dengan fenomena yang sudah dijelaskan di atas, maka yang menjadi pertanyaan
adalah mengapa pihak NATO dengan bantuan AS memakai serangan udara yang
beruntun padahal pihak perang bisa diselesaikan dengan cepat ?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab tindakan militer AS
dan NATO yang menggelar serangan beruntun dalam operasi di Libya. Dalam
intervensi militer di Libya, pihak AS maupun NATO menggelar serangan beruntun
untuk melumpuhkan militer Khadafi walaupun perang bisa diselesaikan dengan
cepat. Tentunya ada kepentingan nasional AS yang mengakibatkan pilihan tersebut
karena peperangan tidak hanya berkutat sekitar masalah militer.
Peran AS tidak terlalu dominan dalam intervensi militer NATO ke Libya
pada 2011 yang lalu tercermin dalam peran AS yang hanya memberikan aset
militernya dalam operasi unified protector pada fase kedua intervensi. Kepentingan
nasional itulah yang nantinya akan diterapkan AS dalam keterlibatannya pada
intervensi militer NATO ke Libya pada tanggal 19 Maret – 31 Oktober 2011 yang
lalu.
Adapun signifikansi dari penelitian ini adalah untuk memberikan sudut
pandang yang baru mengenai pendekatan untuk mencapai kepentingan nasional AS
dengan cara yang baru sehingga dapat memberikan kontribusi pada studi hubungan
Kepentingan Amerika..., Roby Rakhmadi, FISIP UI, 2012
7
1.4.1 Perang udara (Air War)
Penggunaan kekuatan udara sebagai instrumen utama peperangan menjadi
nyata dengan adanya ide dari dua orang yang telah mengalami peperangan secara
langsung. Perang pada 1914-1918 telah membawa mereka menjadi tokoh-tokoh
yang mendukung keunggulan penggunaan pesawat terbang dalam perang. Mereka
adalah Giulio Douhet dan William Mitchell.10
Anggapan-anggapan yang mendasari teori Douhet antara lain :11
Pesawat terbang adalah instrumen penyerangan yang potensinya tidak dapat
dibandingkan dengan pertahanan efektif
Moral orang-orang sipil akan runtuh dengan pengeboman pusat populasi
Berdasarkan pondasi tersebut terdapat beberapa elemen antara lain :
§ Untuk memperoleh pertahanan nasional yang cukup memadai dalam
keadaan perang, komando udara harus dikuasai
§ Tujuan utama dari serangan udara tidak harus merupakan instalasi militer,
akan tetapi lebih difokuskan pada pusat industri dan populasi yang jauh dari
kontak angkatan darat
§ Kekuatan udara musuh, tidak boleh dihadapi dengan pertempuran di udara
akan tetapi dengan penghancuran instalasi dan pabrik yang menyuplai
material kekuatan udara tersebut
§ Peran pasukan darat harus defensif yang dirancang untuk menjaga garis
depan dan mencegah musuh maju sepanjang permukaan dan serangan
musuh oleh pasukan darat yang didukung oleh komunikasi, industri, dan
angkatan udara. Sementara pengembangan serangan udara diawali dengan
penghancuran kemampuan musuh untuk memelihara tentara dan tekad
rakyat untuk bertahan
§ Dalam upaya yang paling hemat, penggunaan pesawat tempur yang
terspesialiasi dengan pertahanan terhadap pesawat pengebom musuh harus
didahulukan. Tipe mendasar dari peralatan angkatan udara harus merupakan
pesawat tempur yang dapat melakukan pengeboman dan pada saat yang
sama dapat membela diri atau dapat dipergunakan untuk tujuan perang
Dari elemen-elemen di atas, komando udara dapat ditafsirkan sebagai berikut :
Jika negara yang berperang mampu menyerang musuhnya dari udara dan
semua pusat-pusat pertahanan negara musuhnya telah berhasil dimusnahkan, maka
kemenangan akan menjadi milik negara yang memiliki kekuatan udara atas negara
musuhnya yang tidak memiliki kekuatan udara terhadap serangan negara tersebut.12
Sedangkan Mitchell yakin bahwa efisiensi serangan pada struktur ekonomi
dan industri musuh. Ia percaya dengan moral penduduk sipil yang mudah
diruntuhkan dengan memusnahkan aktivitas industri dan sipil melalui pengeboman
besar-besaran.13 Dalam tulisan pertamanya setelah 1918, ia mendukung kerjasamara
antara pasukan darat dengan udara akan tetapi setelah kekuatan pasukan darat
berkurang sesuai dengan perkiraannya, ia lebih percaya pada lebih pentingnya
penggunaan kekuatan udara untuk penghancuran pasukan darat musuh. Ia berbeda
dari Douhet yang mengabaikan penggunaan pasukan darat saat menghancurkan
negara dan sumberdaya di belakang mereka. Perbedaan di antara keduanya adalah
karena masalah kewarganegaraan dan pandangan geografi di antara mereka berdua.
Pada perang dunia I, penggunaan pesawat terbang masih sedikit sekali dan
pada umumnya masih diandalkan sebagai alat pengintai dibanding penggunaannya
untuk misi menyerang seperti pengeboman. Dengan menggunakan bantuan radio,
misi intelijen Inggris pada waktu itu lebih leluasa melaksanakan pengintaian jauh
melampaui daerah medan perang dan menyampaikan informasi intelijen pada
kesempatan pertama.14 Keleluasaan yang diperoleh dengan menggunakan pesawat
terbang sebagai sistem senjata telah memberikan banyak keuntungan. Dalam
pengintaian, jelas dapat digunakan memperoleh informasi kedudukan musuh yang
dengan demikian dapat mempermudah pasukan kawan dalam melaksanakan
penyerangan. Untuk menyerang kedudukan lawan menggunakan bom, pesawat
terbang telah menjadi sistem senjata mutakhir yang dapat menjangkau daerah-
daerah lawan di mana saja dengan mudah dan kemudian menghancurkannya.
Fondasi dari angkatan darat sebagai tulang punggung kekuatan negara pada
zaman itu adalah pabrik-pabrik yang menghasilkan senjata dan memproduksi
perlengkapan perang lainnya. Satu resimen infantri misalnya, dapat dengan mudah
dihancurkan dalam sekejap dengan satu serangan udara, namun dalam beberapa jam
saja sudah dapat digantikan oleh resimen lainnya. Akan sangat berbeda misalnya,
bila pabrik-pabrik senjata yang dihancurkan dengan serangan udara. Walaupun tidak
serta merta melumpuhkan pasukan musuh namun kekuatan pasukan lawan secara
perlahan tetapi pasti sudah dapat dilumpuhkan. Di samping itu tidak saja pabrik,
tetapi para pekerja pabrik dan struktur sosial lainnya yang mendukung keberadaan
pabrik sebagi unsur kekuatan perang suatu negara tentunya juga harus ditentukan
sebagai target utama serangan udara.15 Walaupun tidak serta merta melumpuhkan
pasukan musuh namun kekuatan pasukan lawan secara perlahan tetapi pasti sudah
dapat dilumpuhkan. Di samping itu tidak saja pabrik, akan tetapi para pekerja pabrik
dan struktur sosial lainnya yang mendukung keberadaan pabrik sebagai unsur
kekuatan perang suatu negara tentunya juga harus ditentukan sebagai target utama
serangan udara.16
Kekuatan dahsyat dari serangan udara tidak hanya digunakan untuk
menghancurkan objek vital musuh secara fisik tetapi juga digunakan untuk
menghancurkan moral musuh dengan menyerang tempat-tempat yang padat
penduduknya. Giolio Douhet, Jendral Italia, Bapak teori air power modern dalam
bukunya yang sangat terkenal Command of the Air menulis antar lain bahwa
panduan yang mendasar dari pelaksanaan pengeboman dalam suatu operasi udara
harus dilaksanakan dengan cara:
“ sasaran harus diupayakan dapat dihancurkan secara menyeluruh dalam satu
kali serangan saja, karena pelaksanaan suatu serangan susulan adalah sangat
berbahaya untuk dilakukan.“
Dengan demikian maka pada perkembangan penggunaan kekuatan udara
menjadi suatu hal yang sangat dahsyat mengikuti pada teori-teori yang menyertai
sejajar dengan perkembangan teknologi yang mengiringinya.Tuntutan untuk selalu
mengembangkan persenjataan udara menjadi lebih dahsyat dari waktu ke waktu
menjadi jawaban yang logis dari pengertian prinsip suatu serangan udara. Jendral
Giulio Douhet mengatakan bahwa “ suatu sasaran harus dapat dihancurkan secara
menyeluruh dalam satu kali serangan saja.17
Teori 5 lingkaran ditulis oleh Kolonel John Warden didasarkan pada strategi
menyerang suatu negara yang didasarkan pada pelumpuhan kekuatannya dengan
menggunakan kekuatan udara. Pandangannya menyatakan bahwa sejumlah target
tertentu dapat diserang untuk menciptakan efek yang melumpuhkan bagi suatu
negara. Beliau percaya bahwa tiap negara mempunyai titik gravitasi yang dapat
melemahkan keamanannya. Pusat gravitasi ini dapat digolongkan ke dalam
rangkaian sistem. Serangan sukses pada hirarki dalam sistem ini dapat menjatuhkan
suatu negara. Kekuatan udara dapat mempercepat penghancuran sebuah negara
dengan menyerang target yang sama daripada mengerahkan kekuatan darat
tradisional yang menyerang target sekali saja atau berturut-turut. Teknologi
membuat ketepatan serangan satu pesawat saja terhadap sebuah target yang pada
masa lampau memerlukan armada pesawat.18
Kemajuan ini mengakibatkan komandan dapat menyerang beberapa target
sekali saja daripada menggunakan semua kekuatan mereka untuk menyerang satu
sistem dalam suatu waktu. Serangan yang bersamaan mencegah musuh melakukan
operasi militer yang bisa mempengaruhi kekuatan mereka. Setelah kekuatan udara
suatu negara memperoleh superoritas udara, mereka dapat melakukan kampanye
pengeboman strategis atau mendukung pasukan darat. Hal ini memberi kekuatan
udara kebebasan untuk menyerang sejumlah target di antara sistem ini. tujuannya
adalah untuk mempengaruhi pikiran pimpinan musuh atau sistem musuh secara
keseluruhan. Serangan fisik pada target industry dan militer yang berhubungan
dengan tujuan politik akan menyediakan kesempatan yang lebih baik dalam
mengalahkan suatu negara.
Jaringan dari sistem musuh terdiri dari 5 bagian atau lingkaran. Tiap negara
mempunyai pusat gravitasi yang mengakibatkan komandan komandan memandang
negara tersebut dengan lingkaran berbeda. Pusat gravitasi memberikan perencana
kampanye udara prioritas dalam melakukan aksi mereka. Pimpinan atau komando
adalah target pertama karena keputusan-keputusan penting, bimbingan, dan
koordinasi datang dari pimpinan. Menumpulkan atau menghancurkan lingkaran ini
akan memisahkan otak dari tubuh musuh. Aksi ini bertujuan guna meninggalkan
negara musuh tanpa pedoman. Sebagai contoh, lingkaran pimpinan terdiri dari
majelis pembuat keputusan tingkat atas, organisasi kunci, dan sistem komunikasi.19
Lingkaran lain terdiri dari esensi organik, infrastruktur, populasi, dan
pasukan darat. Esensi organik adalah fasilitas atau tempat pengolahan yang suatu
negara butuhkan untuk menunjang keberadaannya. Infrastruktur terdiri dari
kapabilitas transportasi negara. Merintangi aliran barang dan jasa secara efisien
akan membatasi kemampuan negara dalam melakukan operasi militer dan bisnis.
Target-targetnya antara lain jalan raya, rel kereta api, pelabuhan, dan bandara.
Warden tidak mendukung serangan langsung dan sembarangan terhadap penduduk
sipil dan merasa hal tersebut sangat tercela untuk dilakukan. Tetapi, jika tekanan
digunakan pada populasi untuk mempengaruhi pemerintah musuh, tekanan ini akan
mendukung penyelesaian konflik secara sukses. Moral musuh akan diturunkan
Kepentingan Amerika..., Roby Rakhmadi, FISIP UI, 2012
2
melalui serangan siang malam pada sejumlah target yang akan mengganggu
kehidupan masyarakat biasa sehari-hari. Pasukan darat, lingkaran terakhir adalah
pasukan militer tradisional yang pasukan darat dan laut.
Pasukan darat di masa lalu dipandang sebagai lingkaran paling penting. Tapi
warden menganggapnya hanya sebagai alat bagi musuh untuk mencapai tujuan yang
jelas. Jika mereka tidak mampu melancarkan serangan karena serangan udara pada
lingkaran yang lain, mereka akan menjadi kurang mamu dalam mencapai tujuan
politik musuh. Warden menyarankan serangan dilakukan dari lingkaran paling
dalam. Lingkaran pertama yang harus diserang adalah pimpinan dan terakhir adalah
pasukan darat. Kekuatan udara mengakibatkan komandan dapat menghantam semua
atau lingkaran terpilih dalam serangan secara bersamaan. Fleksibilitas kekuatan
udara memberi mereka keuntungan khusus dalam menyerang sistem musuh dengan
banyak cara.
Teori warden berpusat pada efek strategis dalam sistem kekuatan musuh
secara keseluruhan. Serangan-serangan ini tidak semata-mata ditujukan pada
pasukan darat lawan tapi juga menentang tujuan politik dari suatu negara. Teknologi
telah membuat kekuatan udara mencapai kapabilitas yang sebelumnya para
teoretikus hanya dapat bermimpi atau berspekulasi di masa depan. Asumsi warden
tentang penyerangan musuh berdasarkan sistem atau organisasinya akan berhasil
dengan lawan atau operasi yang sudah jelas.20
Dalam intervensi militer di Libya, AS dan NATO memusatkan serangan
berdasarkan titik-titik gravitasi seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dengan
menyerang pusat-pusat gravitasi ini, maka intervensi militer NATO dengan
mengunakan serangan udara bisa dijalankan dengan sukses.
Kepentingan Amerika..., Roby Rakhmadi, FISIP UI, 2012
13
Menurut Bikhu Parekh, intervensi adalah upaya mencampuri urusan negara
lain dengan tujuan untuk mengakhiri penderitaan fisik yang diakibatkan oleh
disintegrasi atau penyalahgunaan kekuasaan dari suatu negara dan membantu
menciptakan di mana stuktur dari pemerintah sipil dapat muncul dan terus berjalan.
Dengan dasar ini, pencegahan dari penderitaan fisik atau kematian yang meluas
yang diakibatkan oleh penyalahgunaan kekuasaan dapat menjadi sebab-sebab yang
dibenarkan.21 Menurut Adam Roberts, Mengintervensi suatu negara secara militer
tanpa persetujuan dari negara yang bersangkutan bertujuan mencegah penderitaan
atau kematian yang meluas di antara penduduk.22
Dengan demikian aksi militer yang dimaksud adalah intervensi humaniter
dengan situasi ketika sejumlah tindakan telah diambil untuk mencegah penderitaan
yang diakibatkan oleh pemerintah represif atau konflik internal di mana hak-hak
politik dan sipil dari warga negara telah dilanggar. Intervensi berarti penyebaran
kekuatan militer melistasi perbatasan untuk melindungi warga negara asing dari
kekerasan yang diakibatkan oleh tindakan manusia serta intervensi tersebut harus
dilakukan secara multilateral sehingga dapat diterima dan berlegitimasi.23 Dengan
legitimasi yang diberikan, intervensi eksternal dilakukan berdasarkan norma-norma
internasional yang bisa diterima dan berdasarkan alasan humaniter atau keinginan
untuk mencegah pembunuhan, penderitaan, dan aliran lintas batas yang massif.24
Oleh karena itu, intervensi militer didefinisikan sebagai penggunaan
kekuatan dengan melintasi perbatasan negara oleh kelompok negara dan organisasi
regional dengan pembenaran dan alasan untuk aksi mereka guna memulihkan
perdamaian dan keamanan sebagaimana mengakhiri penderitaan dan pelanggaran
HAM yang meluas melalui bantuan multilateral tanpa persetujuan dari negara di
mana intervensi tersebut terjadi.25
Terdapat 10 pola dalam intervensi militer yang dapat dilihat yang ditarik dari
1. Pola imperialistik: negara kuat mengintervensi secara militer di negara lain
untuk memperoleh kuentungan, memperdalam kepentingannya, dan
meningkatkan meningkatkan pengaruh terhadap negara target dan dunia
internasional. Versi yang lebih dikenal dalam pola ini adalah intervensi
hegemoni yang terjadi ketika negara hegemoni mengintervensi negara
tersebut agar tidak lepas dari pengaruhnya guna menjauhkan perkembangan
politik yang tidak disukai oleh kepentingannya
2. Pola kolonial: kepentingan nasional dari negara kolonialis kuat dipaksakan
dengan keras terhadap negara lemah, perang candu terhadap Cina dan
diplomasi gunboat terhadap Amerika Latin di abad ke-19 adalah contoh dari
pola ini
3. Perimbangan kekuatan. Selama berabad-abad, ciri utama yang mengatur
hubungan antar negara Eropa adalah perimbangan kekuatan antar negara
berdaulat yang mengakibatkan terjadinya nonintervensi. Akan tetapi perang
dan intervensi kadang-kadang digunakan sebagai alat untuk memperbaiki
keseimbangan itu dan mencegah transformasi dari sistem multipolar menjadi
hegemoni yang didominasi oleh satu aktor. Dalam perang suksesi Spanyol,
pada awal abad ke-18, justifikasi yang digunakan untuk intervensi asing
adalah klaim dari pewaris takhta yang sah akan tetapi tujuan sebenarnya
adalah mencegah Bourbon Prancis menjadi terlalu kuat
4. Ideologi: negara yang mengintervensi mencoba untuk mengubah sistem
politik dari negara sasaran dengan alasan ideology. Sebagai contoh, dari
1815 sampai 1830 aliansi suci mengintervensi untuk mendukung rezim
monarki ketika berhadapan dengan revolusi demokratik di Eropa, sementara
intervensi AS di tahun 1980-an dirancang untuk menegakkan demokrasi.27
5. Penentuan nasib sendiri (self determination) intervensi militer dalam perang
saudara mungkin mempunyai motif imperialistic atau ideologi, tapi niat
yang ada terkadang untuk mendukung salah satu pihak yang mengklaim hak
penentuan nasib sendiri. Persamaannya, intervensi asing juga dimaksudkan
untuk membantu masyarakat yang sedang berjuang melawan pendudukan
colonial.
6. Membela diri. Angkatan bersenjata digunakan di negara tetangga untuk
membalas serangan dari pihak-pihak yang tidak bisa dikendalikan oleh
pemerintahnya. Tujuan dari intervensi ini tidak untuk menggulingkan
pemerintah dari negara sasara, tapi untuk mencegah serangan. Israel pada
tahun 1980-an dan Turki di Utara Irak sering mengintervensi mengikuti pola
ini.
7. Pola intervensi perang dingin: antara 1945 dan 1990, 2 negara adidaya
mengintervensi di wilayah pengaruh atau zona yang disengketakan baik
dalam pola imperialistik maupun ideology. Pola ini meluas pada masa
dekolonisasi dalam sistem lingkungan bipolar yang tidak biasa sehingga pola
baru intervensi dapat ditetapkan. Contoh kasusnya antara lain adalah
intervensi Uni Soviet di Hongaria pada tahun 1956 dan Afghanistan pada
tahun 1979, atau intervensi amerika dalam perang saudara Vietnam dari
tahun 1964
8. Intervensi humaniter: satu atau kelompok negara menggunakan angkatan
bersenjata untuk meredakan penderitaan manusia di dalam wilayah suatu
negara lain. Terdapat dua situasi yang dapat dibedakan antara lain:
perlindungan warga negara di luar negeri contohnya intervensi Israel di
Entebbe Uganda pada 1976 atau intervensi prancis di Kinshasa, Zaire, pada
tahun 1991 b perlinedungan penduduk negara lain atau minoritas dalam
contoh bencana kemanusiaan yang diprovokasi oleh pemerintah mereka.
Operasi provide comfort di Irak Utara pada 1991 termasuk dalam kategori
itu juga.28
9. Intervensi kolektif: komunitas internasional secara keseluruhan
memutuskan untuk mengintervensi secara militer dalam suatu negara untuk
memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Terdapat 2 perbedaan
antara pola ini dan pola sebelumnya yaitu pihak yang mengotorisasi
intervensi ini adalah dewan keamanan PBB yang mewakili komunitas
internasional tanpa tergantung fakta bahwa intervensi tersebut dilakukan
oleh satu atau beberapa negara atau organisasi internasional tujuan yang
sudah dinyatakan adalah memelihara atau memulihkan perdamaian dan
keamanan internasional. Tipe intervensi ini hanya mungkin terjadi dalam
masyarakat suatu negara yang telah diorganisasikan dengan wewenang
umum. Intervensi dengan kekuatan yang disahkan oleh dewan keamanan
PBB sepanjang 1990-an terjadi di Irak, Somalia, Bosnia, Haiti, dan Timor
Timur
10. Intervensi untuk penghukuman: beberapa negara melakukan serangan pada
negara lain untuk menghukum kesalahan yang diarahkan pada negara
sasaran. Serangan AS pada Libya di tahun 1996 atau serangan rudal AS
terhadap target di Sudan dan Afghanistan pada 1998 dapat dimasukkan
dalam kategori ini.29
Berbagai macam prinsip normatif muncul sebagai akibat pola intervensi
berdasarkan sejarah. Dalam pemberlakuan intervensi militer, kekuatan yang
mengintervensi mengklaim dengan sejumlah keyakinan, pembenaran, dan alasan
untuk aksi mereka sedangkan negara lain menggunakan sejumlah argumen untuk
mengutuk aksi tersebut. Prinsip menyangkut masalah intervensi dibingkai oleh
masyarakat internasional sebagai hasil dari pertentangan tersebut.
Kepentingan nasional menurut Coulumbus dan Wolve adalah konsep sentral
untuk mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksi maupun menjelaskan
kemungkinan perilaku negara di tingkat internasional. Menurut Papp, negara adalah
entitas yang mendefinisikan sendiri apa kepentingannya dan menentukan usaha
untuk mencapainya. Kepentingan suatu negara adalah kepentingan nasional dan
metode maupun aksi untuk mencapai kepentingan nasional disebut kebijakan
nasional.
Papp mengidentifikasi setidaknya ada lima metode untuk mendefinisikan
kepentingan nasional, yakni : 1) kriteria ekonomi, 2) kriteria ideologi , 3)
augmentasi power, 4) keamanan dan/atau militer, serta 5) moralitas dan
legalitas. Sementara Couloumbus dan Wolfe mengemukakan sepuluh kriteria
untuk mendefiniskan kepentingan nasional, yakni : 1) operasional-filosofis (lokasi,
waktu, dan persepsi terhadap dunia internasional), 2) ideologi, 3) moral dan
legal, 4) pragmatis, 5) keunggulan profesional, 6)partisan, 7) birokratis, 8)
etnis/ras, 9) status kelas, dan 10) ketergantungan terhadap kebijakan luar
negeri.
Kepentingan nasional juga dapat dilihat dari tantangan-tantangan yang
dihadapi oleh negara seperti interdependensi ekonomi, kemajuan teknologi,
hadirnya institusi internasional, perpindahan transnasional dan sistem berpikir serta
fragmentasi internal. Bagi kaum realis, negara memiliki pilihan yang lebih sempit
untuk mendefinisikan kepentingan nasional mereka sebab sistem internasional yang
anarki mengharuskan kepentingan nasional didefinisikan dalam kondisi balance of
Kepentingan Amerika..., Roby Rakhmadi, FISIP UI, 2012
18
power. Posisi negara dalam sistem internasional itulah yang kemudian akan
membentuk definisi kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri negara tersebut.
Sementara, bagi kaum liberalis, kepentingan nasional sangat tergantung pada
tipe masyarakat domestik di suatu negara sehingga kepentingan nasional tidaklah
tergantung pada posisi negara dalam sistem internasional saja. Dalam paradigma
liberal, sistem internasional dipercaya sebagai sistem moderat yang memungkinkan
institusi dan jalur-jalur komunikasi menjaga kestabilan sistem dalam kondisi damai.
Dapat dikatakan, paradigma liberalis lebih memandang kepentingan nasional
ditentukan dari faktor-faktor yang berada dalam negara sementara paradigma realis
cenderung mendefinisikan kepentingan nasional dari faktor-faktor yang berada di
luar negara.
Menurut Viotti Kauppi, model teori rasional dalam pembuatan kebijakan
luar negeri menjadi dasar bagi alternatif, kebijakan, dan tindakan para pembuat
kebijakan agar tujuan akhir dapat dicapai dengan sefektif dan seefesien mungkin.
Model ini tidak bebas nilai karena sangat tergantung pada pembuat kebijakan
mempersepsikan tujuan yang ingin dicapai dan cara yang dianggap paling efektif
untuk mencapainya.30
Teori pilihan rasional memfokuskan perhatiannya pada aktor-aktor pembuat
kebijakan dan pilihan-pilihan yang mereka buat. Mereka umumnya akan membuat
kebijakan yang membuat diri berada dalam keadaan yang lebih menguntungkan
bagi kepentingan mereka atau preferensi ideologis masing-masing. Dalam hal ini
para pembuat kebijakan akan memaksimalkan kepuasan mereka dalam pengambilan
keputusan.31 Teori ini didasarkan pada ide bahwa semua tindakan adalah rasional
secara fundamental dan bahwa orang telah memperhitungkan untung dan rugi dari
tiap tindakan sebelum memutuskan untuk melakukannya.32
Rasionalitas dalam negara merujuk pada kepentingan nasional. Hal itu akan
sulit didefinisikan secara pasti. Pilihan kebijakan politik yang diambil tergantung
dari pengambil keputusan dengan kepentingannya sendiri dan persepsinya atas
kepentingan nasional. Teori pilihan rasional atau rational choice theory menganggap
dalam memahami tindakan atau fenomena internasional tergantung dari individu
yang terlibat di dalamnya atau pengambilan keputusan dan tujuan masing-masing
dan hubungannya dengan pembuat keputusan (hubungan individu dan organisasi)
dan konteksnya.
Strategis mengartikan peperangan asimetris sebagai konflik yang
menyimpang dari norma atau berdasar pendekatan tidak langsung untuk
mengimbangi kekuatan musuh. Pihak yang berperang sepanjang waktu berupaya
untuk meniadakan atau menjauhi kekuatan dari pihak lain sementara menggunakan
kekuatan musuhnya sebagai kelemahannya. Peperangan asimetris dipahami sebagai
strategi, taktik, atau metode peperangan dan konflik. Peperangan biasanya dilakukan
antar negara-bangsa dengan kapabilitas yang seimbang dan konvensional. Ketika
metode asimetris digunakan, biasanya dalam bentuk manuver atau keuntungan
teknologi, mereka memiliki efek yang dramatis.33
Peperangan asimetris meliputi sejumlah jangkauan teori, pengalaman,
perkiraan, dan ketentuan. Dasarnya adalah peperangan asimetris berkaitan dengan
akhir dan cara yang tidak diketahui.34 Semakin berbeda lawannya semakin sulit
untuk mengantisipasi aksinya. Jika suatu pihak tahu cara perencanaan lawannya
dalam mengeksploitasi perbedaannya, pihak tersebut akan mempu mengembangkan
doktrin tertentu guna mengimbangi aksinya. Terhadap lawan asimetris, doktrin
harus menyediakan cara untuk memperkirakan asimetris dan pikiran operasional
yang asimetris lakukan di lapangan.
Salah satu cara untuk meneliti peperangan asimetris adalah dengan melihat
siklus pencegahan aksi reaksi klasik. Pihak musuh akan mempelajari doktrin dan
mencoba mengimbanginya. Musuh kompeten akan melakukan hal yang tidak dapat
diduga jika hal tersebut bekerja dengan baik. Ketidakpastian tidak dapat dipisahkan
dari sifat peperangan dan asimetri meningkatkan hal tersebut. Doktrin dan taktik,
teknik, dan prosedur yang menyediakan solusi sering menjadi tidak terpakai
sepanjang operasi di lapangan. Jika musuh datang mengejutkan dengan
kapabilitasnya, balasan yang ada cenderung khusus dan kurang efektif. Berdasarkan
prasangka dan kemampuan untuk beradptasi, keuntungan atas musuh harus
berlangsung lama. Doktrin yang ada harus mempersiapkan kekuatan militer dengan
pikiran untuk berhadapan dengan ketidakpastian secara cepat dan efektif.35
Dengan adanya revolusi di timur tengah, khususnya yang terjadi di Libya,
maka hal ini turut menjadi salah satu perhatian bagi AS di bawah Obama dalam
mencapai kepentingan nasional negaranya. Revolusi yang terjadi di Libya ini
mengakibatkan terjadinya intervensi militer yang dimandatkan oleh PBB kepada
NATO di mana AS turut berperan di dalamnya. Berbagai literatur dan karya ilmiah
mencoba melihat kasus ini dari berbagai sisi, mulai dari kondisi Libya sebelum
revolusi, fokus keamanan NATO, kepentingan nasional AS di bawah Obama serta
berbagai sudut pandang lainnya. Berbagai literatur tersebut akan digunakan sebagai
materi pendukung penulisan dan sebagai bahan pembanding dalam penelitian ini.
Beberapa di antaranya akan dipaparkan secara singkat untuk membuktikan bahwa
topik penelitian yang diajukan ini merupakan karya ilmiah yang orisinil dan berbeda
dengan penelitian serupa sebelumnya.
1.5.1 Intervensi NATO di Libya
Salah satu buku yang membahas mengenai sebab-sebab terjadinya intervensi
NATO di Libya adalah karya Apriadi Tamburaka dengan judul Revolusi Timur
Tengah: Kejatuhan para Penguasa Otoriter di Negara-Negara Timur Tengah.36
Buku ini membahas mengenai revolusi yang terjadi di timur tengah dan dampaknya
terhadap Libya di mana terjadi pergolakan politik yang besar sehingga
mengakibatkan terjadinya pendekatan represif oleh rezim Khadafi terhadap para
demonstran. Pendekatan represif tersebut mengundang terjadinya intervensi oleh
pihak internasional yang diwakili oleh NATO. Setelah mendapat mandat PBB,
maka NATO pun kemudian mengintervensi Libya dengan tujuan untuk melindungi
rakyat sipil dari ancaman militer Khadafi.
Anggota NATO yang ikut terlibat dalam intervensi ini terutama terdiri dari
Inggris, Prancis, dan AS. Mereka memulai serangan tersebut pada tanggal 19 Maret
2011 dengan tujuan membentuk zona larangan terbang di wilayah udara Libya.
Dengan pesawat dan kapal induk yang sudah mereka persiapkan, maka serbuan pun
dimulai dengan menyerang target-target militer yang sudah ditentukan.
Salah satu artikel lain yang dapat menambah penjelasan mengenai intervensi
NATO ke Libya adalah karya ilmiah yang ditulis oleh Jeremiah Gertler dengan
judul “Operation Odissey Dawn (Libya) Background and Issues for Congress”.37
Dalam artikelnya, Gertler membicarakan mengenai operasi militer NATO di Libya
yang dilakukan berdasarkan resolusi PBB No. 1973 dengan tujuan guna melindungi
rakyat sipil Libya dari ancaman militer pemerintah tanpa adanya pendudukan
langsung wilayah darat Libya. Sebagai responnya, pemerintah AS menggelar
operasi militer dengan nama Odissey Dawn dengan upaya multilateral di bawah
NATO dengan tujuan menciptakan zona larangan terbang dan melindungi rakyat
s
Operasi tersebut dengan cepat berhasil menciptakan zona larangan terbang
di atas sejumlah kota di Libya, menghancurkan pertahanan udara Libya, dan
menyerang pasukan Khadafi yang dianggap dapat menimbulkan bahaya bagi
penduduk sipil. Dari awal, pemerintah Obama berniat menyerahkan komando
operasinya kepada NATO dan pada tanggal 31 Maret 2011 akhirnya NATO
mengambil alih kepemimpinan tersebut dari AS. Artikel ini juga membahas
mengenai peran kongres AS dalam mengesahkan penggunaan kekerasan, biaya
operasi, kepentingan politik dan strategis AS, peran militer AS dalam operasi di
bawah komando internasional, dll.
Artikel ilmiah yang dapat digunakan dalam menjelaskan mengenai
penelitian ini adalah tulisan Ana Dimitrova dalam Obama’s Foreign Policy:
Between Pragmatic Realism and Smart Diplomacy.38 Dalam tulisannya, Dimitrova
menjelaskan mengenai doktrin Obama dalam studi kasus intervensi militer NATO
di Libya. Pemerintahan Obama yang menggantikan Bush sebagimana diungkapkan
oleh NSS (National Security Strategy) pada tahun 2010 berupaya menguatkan
kembali kembali kepemimpinan AS di dunia pada saat telah muncul negara-negara
yang menjadi penantang dari hegemoni AS seperti BRIC (Brazil, Rusia, India,
Cina). Terdapat beberapa perbedaan dengan pola kebijakan luar negeri pada masa
pendahulunya, yaitu Bush antara lain
Relativisasi kekuatan Amerika dalam dunia yang semakin kompleks yang
berarti AS tidak dapat berperan sendiri dalam dunia internasional
Perubahan dalam persepsi peran AS di dunia internasional. Ketika
interdependensi di dunia semakin meningkat dalam bidang ekonomi dan
politik, amerika tidak lagi dipandang sebagai bangsa yang sangat
diperlukan, akan tetapi lebih sebagai pemimpin. Presiden Obama
menggambarkan kepemimpinan AS yang baru dalam hal kemitraan.
Kebijakan Bush dengan agenda kebebasan digantikan oleh peran AS sebagai
pemimpin yang mencari solusi melalui dialog dan kerjasama. Hal ini dapat
dikatakan bahwa kebijakan obama bertentangan dengan pendahulunya di gedung
putih. Kebijakan Bush lebih didasarkan pada kekuatan ekonomi dan militer atau
hard power sedangkan Obama lebih menyukai penggunaan diplomasi dan bantuan
pembangunan atau soft power untuk mencapai tujuan kebijakan luar negeri AS.
Dengan memadukan keduanya jadilah smart power.
Kebijakan yang berfokus pada smart power terbagi menjadi 5 area antara lain:
Kemitraan dan aliansi
Pembangunan global yang dimulai dengan kesehatan publik
Diplomasi publik
Integrasi ekonomi
Teknologi dan inovasi
Strategi smart power kemudian diumumkan secara resmi pada tanggal 13
Januari 2009 ketika sekretaris negara Hillary Clinton ketika berkunjung ke komite
hubungan luar negeri senat. Dalam penerapannya, AS mencoba mereformasi negara
dan memperkuat peran institusi sipil. Hal ini menunjukkan bahwa smart power telah
menjadi prinsip utama dari kebijakan luar negeri Obama. Penerapannya dalam
keikutsertaan AS dalam perang di Libya adalah intervensi AS ditetapkan oleh
Obama sebagai humanitarian (tergabung dalama koalisi internasional yang disahkan
oleh resolusi dewan keamanan PBB no. 1973 atas nama responsibility to protect)
dan terbatas (dalam hal pembagian beban yang berarti AS tidak akan bertindak
Kepentingan Amerika..., Roby Rakhmadi, FISIP UI, 2012
24
sendirian tapi bersama-sama dengan negara lain yang ikut dalam koalisi). Bentuk
baru dari kepemimpinan Amerika dapat ditetapkan dengan kepemimpinan yang
lebih luas dan pintar dalam peran AS untuk memobilisasi komunitas internasional
dalam keamanan kolektif. Strategi smart power ini tentunya akan berkaitan dengan
pencapaian kepentingan nasional AS di bawah Obama.
Salah satu buku yang membahas mengenai perdebatan tentang intervensi
humaniter adalah Security Studies: An Introduction karya Paul D. Williams.39
Dalam buku ini dibahas mengenai pengaturan kembali antara kedaulatan, Hak Asasi
Manusia, dan masyarakat internasional. Secara tradisional hal tersebut dianggap
sebagai permintaan dari tatanan internasional yang membutuhkan ketaatan ketat
pada prinsip-prinsip dari kedaulatan dan noninterference di mana keamanan negara
dan individu saling bertabrakan. Pada keadaan seperti itu, keamanan individu harus
lebih diutamakan.
Pasca perang dingin, banyak pemerintah dan cendekiawan berpendapat bahwa
dalam kondisi tertentu, aspek kedaulatan bisa dibekukan dan intervensi diizinkan.
Hal ini mengakibatkan perdebatan tentang pihak yang mempunyai hak untuk
mengesahkan intervensi tersebut dan kondisi yang sesuai untuk perbuatan tersebut.
Perdebatan ini mempertentangkan kedaulatan melawan HAM. Dari perspektif
republikan, kedaulatan terletak pada rakyat dan pemerintah hanya boleh mengklaim
hak kedaulatan jika mereka mampu memenuhi tanggungjawab mendasar terhadap
rakyat mereka. Jika kedaulatan dimengerti sebagai hal yang tergantung pada HAM,
maka masyarakat internasional berperan dalam mendukung kedaulatan dengan
melepaskan tanggungjawab mereka terhadap warga negara.
Tanggung jawab dalam perlindungan (responsibility to protect) bukan hanya
sekadar masalah kepedulian akan tetapi juga masalah tanggungjawab karena dasar-
dasar dari kedaulatan dan masyarakat internasional adalah HAM secara individu.
Sebagai akibatnya, masyarakat internasional mempunyai tanggungjawab guna
memastikan bahwa pemerintah memenuhi kewajiban mereka dengan mencegah dan
bereaksi terhadap kasus genosida, pembunuhan massal, dan pembersihan etnis serta
membantu transformasi masyarakat setelah kejadian tersebut tuntas.
Tanggung jawab dalam perlindungan (responsibility to protect) terbagi menjadi 3
antara lain:
1. Responsibility to prevent (pencegahan): pencegahan konflik adalah
tujuan mendasar dari PBB. Keseluruhan tujuan dari penjaga perdamaian
PBB tumbuh dari keyakinan sekjen bahwa organisasi dunia dapat
berperan lebih dalam perdamaian dan keamanan
internasional terutama dalam pencegahan dan penyelesaian konflik
bersenjata
2. Responsibility to react (cepat tanggap): terjadi berdasarkan dua kasus
yaitu Kosovo dan Rwanda. Di Kosovo, hal dibuat untuk menghindarkan
situasi seperti Kosovo di mana dewan keamanan PBB terbagi. Di
Rwanda, hal ini untuk menghindarkan pembiaran atas pembantaian yang
terjadi di negara tersebut.
3. Responsibility to rebuild (rekonstruksi pasca perang): setelah konflik
berhasil diselesaikan, tujuan dari PBB bukan untuk mengembalikan
masyarakat ke keadaan sebelum perang, akan tetapi mengubahnya
menjadi sesuatu yang baru.
Humanitarian Intervention and Just War.40 Sudut pandang idealis membenarkan
alasan perlunya intervensi humaniter. Dalam prosesnya, sangat etis untuk merespon
tragedi kemanusiaan dan kemudian menerjemahkannya ke dalam aksi politik.
Intervensi humaniter juga dilakukan secara multilateral dan melalui kerjasama antar
negara. Sedangkan realisme menganggap bahwa negara-negara yang terlibat dalam
operasi tersebut adalah pemerintah yang mempunyai kepentingan jangka pendek
dan panjang. Dengan kata lain bahwa intervensi humaniter yang dilakukan tidaklah
hanya untuk tujuan kemanusiaan.
Untuk kasus di Libya, banyak pihak menilai bahwa berbagai negara
memiliki kepentingan dengan adanya revolusi ini dalam artikel di kompasiana
Politik Kepentingan dalam Krisis Libya41. Hal inilah yang menjadikan kasus ini
kontroversial karena dianggap sebagai campur tangan barat untuk mencapai
kepentingannya di Libya. Dalam krisis Libya itu sendiri, intervensi NATO (North
Atlantic Treaty Organization) menentukan perkembangan keberlangsungan revolusi
tersebut. NATO mendapatkan mandat dari PBB untuk melakukan intervensi di
negara tersebut. Dengan landasan yang dimiliki, NATO dalam mencapai
kepentingannya, menggunakan instrumen kekerasan dengan menyerang pangkalan-
pangkalan militer pasukan loyalis Khadafi, walaupun dalam implementasinya
banyak menewaskan warga sipil. Dengan alasan untuk melindungi warga sipil,
NATO memberlakukan zona larangan terbang di sejumlah kota di Libya. Tujuan
resmi yang mereka dapatkan dari PBB adalah intervensi humaniter yang disahkan
dengan resolusi no. 1973 Dewan Keamanan. Yang mengejutkan di sini adalah
NATO juga melakukan serangan untuk membantu kelompok pemberontak dalam
menggulingkan Khadafi. Hal inilah yang menyebabkan banyak pihak meragukan
niat NATO dalam mengadakan intervensi di sana.
Sesuai dengan paradigma realis, keterlibatan NATO dalam krisis Libya
tentunya didasari beberapa kepentingan. Kepentingan kapital dan geopolitik
merupakan dua hal yang diperjuangkan. Kepentingan kapital berkaitan dengan
ladang minyak yang dimiliki Libya.42 Jika negara-negara NATO seperti Amerika
Serikat dan negara barat lainnya, dapat menanamkan pengaruhnya, tentunya hal ini
akan berimplikasi pada kontrol perminyakan Libya. Di lain hal, kepentingan
geopolitik lebih dikaitkan dengan pergolakan politik di negara-negara Arab dan
posisi strategis Libya dalam kawasan tersebut. Berbicara dalam konteks ini, peran
utama dalam intervensi NATO tentunya dipegang oleh Amerika Serikat. NATO
menjadi kepanjangan tangan Amerika Serikat dalam melihat kepentingannya yaitu
menanamkan pengaruhnya di Libya dan terkait ladang minyaknya. Inggris dan
Perancis juga merupakan dua negara yang turut serta dalam operasi militer di Libya.
Kedua negara ini memiliki kepentingan untuk memperbaiki perekonomian
negaranya dengan melirik kekayaan minyak dan sejumlah mineral lainnya yang
melimpah di Libya.43 Seperti halnya dengan Amerika Serikat, kedua negara ini juga
berkepentingan untuk menurunkan Khadafi dari tampuk kekuasaannya dalam
menanamkan pengaruhnya di Libya. Khadafi dikenal sebagai pemimpin yang anti
barat dan menjadi penghambat kepentingan barat.
Sedangkan kondisi di Libya sudah sangat mendesak dengan adanya
pembantaian yang dilakukan oleh Khadafi terhadap rakyatnya di mana loyalis
Khadafi berhasil mendesak pasukan oposisi di Benghazi sehingga dikhawatirkan
akan terjadi pembantaian oleh pihak Khadafi terhadap para oposisi. Dalam kasus
ini, posisi AS dalam memandang konflik di Libya menjadi terjepit antara 2 opsi
yaitu membiarkan saja krisis terjadi atau ikut dalam intervensi walaupun banyak
pihak yang menganggap bahwa keikutsertaan AS dalam krisis ini adalah karena
faktor minyak yang dimiliki Libya. Terlebih Libya adalah negara penghasil minyak
terbesar ke-9 di dunia dan memiliki cadangan minyak terbesar di Afrika. Sedangkan
AS sendiri di bawah kepemimpinan Obama berusaha untuk memperbaiki citranya di
dunia Islam. Dengan ikut serta di dalam intervensi militer yang diadakan oleh
NATO maka AS bisa ikut berperan dalam menanamkan pengaruh pasca
tergulingnya Khadafi. Dikhawatirkan bila AS tidak ikut dalam intervensi tersebut,
maka NATO tidak akan bergerak mengingat peran AS yang sangat sentarl dalam
organisasi NATO. Walaupun setelah tanggal 31 Maret, AS mundur dari operasi
tersebut dan menyerahkannya kepada NATO, akan tetapi AS telah menunjukkan
citranya untuk ikut dalam intervensi tersebut. Penelitian ini akan mencoba untuk
melihat perilaku AS dalam intervensi militer NATO ke Libya dari tanggal 19 Maret
– 31 Oktober 2011.
Salah satu buku yang dapat menjelaskan mengenai kebijakan luar negeri AS
di timur tengah adalah karya Yakub Halabi dengan judul US Foreign Policy in the
Middle East halaman 110-113.44 Halabi membahas mengenai kebijakan AS untuk
mempromosikan demokrasi di negara-negara Arab dan muslim. Dengan adanya
demokratisasi yang dilakukan, diharapkan akan tercipta kesejahteraan yang nantinya
akan memberikan dampak keamanan pada AS sendiri. Adanya demokrasi di negara-
negara muslim juga akan menghilangkan terorisme yang sering mengancam
keamanan AS. Sebagai contoh untuk negara-negara muslim lainnya, AS mencoba
memberikan proyek percontohan dengan demokrasi yang mereka coba terapkan di
Irak dan Afghanistan.
Demokratisasi yang dipromosikan oleh AS adalah kebijakan luar negeri AS
pasca 11 September yang digaungkan oleh pemerintahan Bush agar kepentingan-
kepentingan strategis Amerika seperti keamanan dan suplai minyak tetap stabil.
Promosi demokrasi juga akan memperbaiki citra AS di mata negara-negara Arab.
Citra Amerika Serikat yang selama ini selalu berpegang pada kekuatan militer akan
menjadi pulih dengan adanya demokratisasi yang didengungkan oleh negara
tersebut. Pemerintahan Obama yang menggantikan Bush tetap berpegang pada
upaya penyebaran nilai-nilai demokrasi sebagaimana ditunjukkan oleh dukungan
Obama terhadap kelompok oposisi di Libya. Dengan menyebarkan nilai-nilai
demokrasi, AS berharap dapat mencapai kepentingan nasionalnya yaitu suplai
minyak yang stabil dan keamanan negaranya.
Buku lain yang dapat menjelaskan mengenai perilaku AS di timur tengah
adalah karya fraser cameron dengan judul US Foreign Policy after the Cold War:
Global Hegemon or Reluctant Sheriff ? (US: Routledge, 2005) hal. 181-192.45 Pasca
perang dingin, AS menjadi superpower tunggal di dunia dan terjadi perubahan
kebijakan luar negeri dari sebelumnya yang memerangi komunis menjadi melawan
fundamentalis Islam. Keberlanjutan politik luar negeri Amerika Serikat di Timur
Tengah dapat dibagi menjadi beberapa karakter antara lain memilih, menerima, dan
menetapkan kebijakan keamanan dan luar negerinya secara sendiri-sendiri. Di
dalam politik domestik AS sendiri, ada perpecahan di dalam partai yang ada di AS
mengenai politik luar negeri. Unilateralis lebih banyak berada di partai republik
sedangkan multilateralis lebih banyak berada di Demokrat.
Buku lain yang dapat menjadi bahan tambahan dalam menjelaskan kebijakan
luar negeri AS adalah karya Roland Dannreuther dan John Peterson dengan judul
Security Strategy and Transatlantic Relations46. Pasca 11 September, terjadi
perubahan kebijakan Amerika Serikat di timur tengah. Salah satu proyek Amerika
yang baru adalah Timur Tengah raya yang merupakan strategi untuk menghadapi
bahaya baru yang dipersepsi oleh pemerintah Amerika lebih berbahaya daripada
ancaman Soviet. Kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang baru adalah
membentuk kembali lingkungan domestik di negar-negara timur tengah yang
dianggap gagal sehingga dapat menangkal pertumbuhan terorisme yang anti
45
Fraser Cameron. US Foreign Policy after the Cold War: Global Hegemon or Reluctant Sheriff ? (US: Routledge, 2005)
46
Roland Dannreuther dan John Peterson. Security Strategy and Transatlantic Relations. (US: Routledge, 2006)
Kepentingan Amerika..., Roby Rakhmadi, FISIP UI, 2012
30
amerika. Kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam timur tengah di sini
dipandang dari sudut eksternal. Dengan menyebarkan demokrasi, AS berupaya
mengurangi gangguan teroris yang dianggap berasal di timur tengah.
Model Level Analisis pada tingkat negara dan konsep intervensi militer
dalam penelitian ini berfungsi sebagai “alat” untuk memahami fenomena yang
hendak diteliti. Kesimpulan atau jawaban atas penelitian ini akan diupayakan
sebagai refleksi dari pemahaman konsep yang dipergunakan48. Akan tetapi,
pengukuran yang akan digunakan dalam penelitian ini bukanlah dengan angka-
angka, melainkan lebih mengacu pada keakuratan deskripsi setiap variabel dan
keakuratan hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya49
Dengan demikian, penelitian ini tidak akan menempuh metode statistika
dan matematika. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan
dengan metode studi dokumentasi dan literatur untuk mengumpulkan informasi
dalam materi-materi tertulis. Dokumen dalam hal ini mengacu pada teks atau apa
saja yang tertulis, tampak secara visual atau diucapkan melalui medium
komunikasi.50
Studi dokumen primer diperoleh dari website resmi pemerintah
Amerika Serikat. Sementara data-data dokumen sekunder bersumber pada buku,
jurnal, atau hasil penelitian dari sumber yang valid, yang berhubungan dengan topik
penelitian.
Pesawat terbang mempunyai keuntungan atas kecepatan dan ketinggian serta
memiliki kekuatan dalam menghancurkan instalasi dan instrument darat baik di
darat maupun di laut sementara pesawat tersebut tetap aman dari pembalasan efektif
di darat.
Pengunaan kekuatan udara dalam militer adalah untuk menciptakan kondisi
yang paling menguntungkan dan merugikan musuh.
Penelitian ini adalah penelitian yang berbasiskan konsep kepentingan
nasional untuk menganalisis peran AS yang mengandalkan serangan udara secara
beruntun melalui NATO dalam intervensi militer yang terjadi di Libya pada 2011
yang lalu.
Penelitian ini akan menggunakan asumsi realisme klasik. Realisme klasik
mengatakan bahwa negara adalah aktor yang uniter dan rasional. Pendekatan state-
centric yang akan digunakan dalam penelitian ini berangkat pada pemikiran bahwa
negara adalah aktor yang terpenting dalam politik dunia, dan bahwa sebagai aktor
yang rasional, negara akan berupaya mencapai kepentingan nasionalnya melalui
cara-cara yang tersedia.51
Berangkat dari asumsi dan kerangka teori yang digunakan sebelumnya,
penelitian ini akan memfokuskan pada penggunan konsep kepentingan nasional
terhadap penggunaan serangan udara dalam intervensi militer NATO yang
dilakukan di Libya pada tanggal 19 Maret – 31 Oktober 2011. Dalam intervensi
militer tersebut juga akan dijelaskan motif-motif kepentingan nasional yang
1.8 Hipotesis
Penelitian ini memiliki hipotesis yang akan dibuktikan sebagai berikut: “AS
melalui NATO melakukan serangan beruntun dalam intervensi militer ke Libya
2011 karena terkait dengan kepentingan nasionalnya”.
1.9 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman terhadap permasalahan dalam skripsi ini, maka
sistematika penulisan akan dibagi dalam lima bab, perinciannya sebagai berikut:
BAB I
Merupakan bagian pendahuluan, yang menjelaskan latar belakang permasalahan,
kerangka pemikiran, model analisis, asumsi dan hipotesis, metode penelitian dan
pengumpulan data, serta sistematika penulisan
BAB II
Penjelasan Konsep Air Power dalam Intervensi Militer NATO ke Libya 2011
Bab III
Kepentingan AS dan NATO di Libya
BAB IV
Perang Asimetris di Libya
BAB V
Bab kelima yang merupakan bab penutup dalam skripsi berisi kesimpulan dan saran
dari skripsi
Kepentingan Amerika..., Roby Rakhmadi, FISIP UI, 2012
35
INTERVENSI MILITER NATO KE LIBYA 2011
Intervensi militer NATO ke Libya yang berlangsung pada 19 Maret-31
Oktober 2011 terbagi menjadi 2 operasi yaitu operasi odyssey Dawn dan operasi
unified protector. Pada operasi odyssey dawn, AS memimpin operasi tersebut yang
berlangsung sampai 19 Maret 2011. Sedangkan pada fase kedua yaitu operasi
unified protector, NATO memimpin langsung serangan dengan adanya pengalihan
kepemimpinan dari AS. Operasi ini berakhir pada tanggal 31 Oktober 2011.
Intervensi ini dilakukan berdasarkan mandate DK PBB no. 1973 guna melindungi
rakyat sipil dari ancaman militer Khadafi.
Intervensi internasional di Libya dipimpin oleh AS, inggris, dan Prancis
dimulai pada 19 Maret 2011 yang mengubah jalan revolusi Libya. Dalam waktu 4
minggu, AS dan Eropa yang telah mempunyai hubungan baik dalam bidang politik,
militer, dan perdagangan kemudian berbalik melawan Khadafi dengan meluncurkan
kampannye militer terhadap beliau. Respon pemimpin barat terhadap pergolakan di
Libya sangat berbeda bila dibandingkan dengan reaksi mereka sebelumnya di
Tunisa dan Mesir. Mereka mengimbau Khadafi untuk turun dan menginginkannya
untuk pergi. Mereka menganggap bahwa sangat penting turut campur tangan untuk
menyelamatkan oposisi dan penduduk sipil serta menurunkan Khadafi dengan
kekerasan.52
Komunitas internasional dengan cepat juga mengutuk penggunaan kekerasan
oleh aparat keamanan Khadafi setelah terjadinya protes. Setelah hari pertama
demonstrasi pada 17 Februari, Obama mengutuk kekerasan terhadap para pemrotes
pada hari itu juga. Perdana menteri Inggris David Cameron dan Presiden Prancis
Nicholas Sarkozy mengekang dan menangguhkan ekspor militer mereka ke Libya.
Di Prancis, Sarkozi Sejak awal pemberontakan berhasrat untuk menunjukkan
kepempimpinan dalam kebijakan luar negeri negaranya dengan menjadikan ia
berperan penting dalam intervensi militer. Sarkozy mencoba untuk menggunakan
Libya untuk menaikkan kembali popularitas politiknya di Prancis menjelang
pemilihan umum pada 2012.
Ketika pertempuran semakin meningkat, para pemimpin AS, Inggris, dan
Prancis mendapatkan tekanan politik domestik untuk memutuskan hubungan dengan
Khadafi dan mengambil tindakan untuk menghukum rezimnya dan mendukung para
pemrotes. Obama mencela kekerasan yang kembali dilakukan oleh rezim pada 23
Februari dan mengatakan bahwa administrasinya sedang mencari sejumlah opsi
untuk merespon krisis. Obama membekukan sejumlah simpanan tokoh rezim
Khadafi. Beliau juga membatalkan seluruh kontak militer dengan Libya dan
memerintahkan intelijen AS guna mengalihkan aset mereka terhadap kekerasan
yang semakin meningkat dan memulai pengawasan terhadap pasukan loyalis dan
pergerakan kendaraan lapis baja.
Dengan dukungan dari AS dan Jerman, Inggris dan Prancis memperkenalkan
sebuah resolusi di dewan keamanan PBB untuk menekan Khadafi dengan sanksi
multilateral. Rusia keberatan dengan resolusi versi Inggris yang akan mengesahkan
negara guna mengambil segala hal yang diperlukan dalam memungkinkan bantuan
kemanusiaan yang dikhawatirkan akan menjadi dasar untuk intervensi militer.
Resolusi tersebut dengan cepat berhasil dibuat setelah Cina dan Rusia berisyarat
akan akan mendukung sanksi terbatas terhadap Khadafi. Resolusi Dewan Keamanan
PBB no. 1970 segera diadopsi pada 26 Februari yang berbunyi:53
Kepentingan Amerika..., Roby Rakhmadi, FISIP UI, 2012
54 Ibid. 16
37
Memberikan yuridiksi pada mahakmah internasional (ICC) atas segala
kejahatan dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di Libya
sejak 15 Februari 2011
Pemberlakuan embargo senjata pada Libya dengan mencegah negara
anggota untuk menyediakan segala jenis senjata atau peralatan militer pada
Libya, menjalankan inspeksi pada pesawat dan kapal angkutan
Melarang negara anggota mengizinkan transit tentara bayaran ke Libya
Memberlakukan larangan bepergian pada 17 pejabat rezim Libya
Mendorong negara-negara anggota untuk membekukan aset keuangan dari 6
tokoh rezim dan anggota keluarga Khadafi
Dalam waktu sebulan, posisi pemberontak di lapangan mengalami kemunduran
ketika Khadafi melancarkan serangan pada Zawiyah, Misrata, dan Cyrenaica.
Inggris dan Prancis meminta diadakannya tindakan militer terhadap Khadafi
walaupun mendapat keengganan dari AS. Tekanan domestik atau antusisasme yang
sedikit mempengaruhi kesediaan dari AS untuk ikut berperan. Sementara kekerasan
tidak dapat dihindarkan, AS dan sekutunya merencanakan dan menggerakkan
peralatan militernya ke sekitar Libya. AS, Inggris, dan Prancis masih ragu untuk
mengambil kampanye militer terhadap Khadafi tanpa bantuan dan partisipasi dari
negara-negara Arab, pengesahan dari dewan keamanan, dan dalam payung NATO
yang membutuhkan upaya diplomatik yang luas dalam waktu singkat.54
Pada 28 Februari, menteri luar negeri AS Hillary Rodham Clinton menyatakan
bahwa AS telah menjalin kontak dengan kepemimpinan pemberontak di Cyrenaica.
Pada 1 Maret, anggota senat AS mengadopsi Resolusi No 85 yang mengutuk
pelanggaran HAM di Libya dan meminta Khadafi untuk mundur dalam rangka
transisi demokrasi yang damai. Resolusi tersebut mendorong dewan keamanan
untuk mengambil langkah yang lebih jauh guna melindungi warga sipil dari
serangan termasuk kemungkinan pemberlakuan zona larangan terbang atas wilayah
Libya. Ketika pertempuran semakin meningkat, tekanan pada para pemimpin negara
Kepentingan Amerika..., Roby Rakhmadi, FISIP UI, 2012
38
barat untuk campur tangan semakin tinggi.55 Obama, Cameron, dan Sarkozy
menyatakan bahwa aksi militer harus disahkan oleh dewan keamanan.
Ketika pertempuran semakin berkecamuk, angkatan laut dan udara sekutu mulai
dikerahkan ke selatan Eropa dan Mediterania guna persiapan kemungkinan tindakan
militer di akhir Februari. Pejabat Eropa dan AS mengusulkan bahwa NATO harus
menjadi payung dari segala operasi militer yang diambil. Aliansi membutuhkan
kesatuan dari semua anggotanya dalam menjalankan operasi akan tetapi hal tersebut
terhambat karena beberapa faktor, salah satunya adalah mandat dari PBB.56 Pada 25
Februari, para menteri NATO menggelar rapat darurat di Brussel pada 25 Februari
untuk membahas situasi di Libya. Spanyol mengusulkan untuk mengirimkan
pesawat pengintai AWACS (Airborne Warning and Control System) dan kapal
perang ke pantai Libya guna memantau keadaan. Pada 7 Maret, NATO
menerbangkan pesawat AWACS-nya dari 10-24 jam sehari guna membantu
perencanaan intervensi. Aset-aset ini disebar sebagai bagian dari operasi active
endeavor yang melakukan operasi kontra terorisme dan keamanan maritim di
mediterania.
AS dan sekutunya mulai melakukan perencanaan dan menggerakkan
pasukan ke Libya segera setelah pemberontakan dimulai, yang pertama dilakukan
adalah membantu evakuasi penduduk sipil serta meningkatkan kapabilitas untuk
menentukan tindakan militer. Setelah pemberontakan, Obama memerintahkan
Mullen untuk merancang operasi militer di Libya. Pada 27 Februari, pejabat Gedung
Putih, Pentagon, dan Departemen Dalam Negeri berunding dengan pejabat NATO
dan Eropa guna memberlakukan zona larangan terbang atas Libya. Kapal perang AS
mulai bergerak melalui terusan Suez ke arah pantai Libya yang terdiri dari USS
barry (kapal perusak dengan peluru kendali terarah) serta Kearsarge Amphibious
Ready Group (KARG). Kearsarge ready group terdiri dari USS Kearsarge, kapal
pendarat amfibi dan USS Ponce, kapal dok transport amfibi. 26th Marine
Expeditionary Group (MEU) diangkut dengan Kearsarge ARG bersama dengan
skadron (AV-8B Harrier). Hal ini mendorong Pentagon guna mengirim 400 marinir
dari battalion pertama dan marinir kedua ke luar negeri guna mengantisipasi
terjadinya operasi militer. Inggris yang mempunyai pangkalan udara di Malta telah
siap untuk melancarkan serangan, sedangkan frigate dan kapal perusak Inggris yang
telah membantu pengevakuasian warga Inggris masih tetap berada di dekat pantai
Libya. Prancis mengirim kapal induk Mistral dan frigate pengawal Georges-
Leyguse ke pantai Libya.
Pada 26 Februari, Italia membekukan perjanjian persahabatannya dengan Libya
pada tahun 2008 yang mengandung pernyataan non-agresi yang bisa mencegah
Italia menggunakan kekuatan militer langsung maupun tidak terhadap Libya atau
membolehkan sekutu guna memakai wilayah Italia termasuk pangkalan militer
NATO dan AS.57
Sementara situasi di Libya memburuk dan tekanan pada pemain regional untuk
terlibat telah membuat Libya menjadi perhatian di dunia Arab. AS dan Eropa masih
membahas dasar intervensi militer mereka atas dasar dukungan internasional dan
regional. Dukungan regional pertama yang mereka dapatkan berasal dari Gulf
Cooperation Council (GCC), kelompok regional yang terdiri dari 6 negara teluk.
Setelah pertemuan antar menteri GCC di Dubai pada 7 Maret, pemimpin negara-
negara teluk mengumumkan dukungan mereka pada resolusi DK PBB no. 1970 dan
meminta dewan keamanan untuk melakukan segala hak yang diperlukan untuk
melindungi warga sipil Libya termasuk pembentukan zona larangan terbang atas
Libya. GCC juga mendorong Liga Arab untuk merespon pertempuran di Libya dan
meminta diadakannya pertemuan darurat. Pada 12 Maret, 22 negara anggota Liga
Arab menggelar pertemuan di Kairo guna merespon kekerasan di Libya. Liga Arab
berniat untuk berbicara dengan NTC dan meminta pemberlakuan zona larangan
terbang oleh PBB atas Libya dan pendirian wilayah aman untuk penduduk sipil.58
Dukungan terkuat tentang zona larangan terbang datang dari 6 anggota GCC yang
telah meminta sesi darurat untuk mendorong zona larangan terbang.
Prancis mempelopori upaya untuk mendapat persetujuan dari kelompok G-8
untuk tindakan militer atas Libya dengan meminta dukungan AS dan negara-negara
Eropa lainnya. Pada 14 Maret, Clinton bertemu dengan perwakilan NTC Mahmud
Jibril yang meminta AS untuk mendukung zona larangan terbang. Pada 15 Maret,
posisi AS dalam tindakan militer di Libya masih belum jelas akan tetapi waktu yang
tersisa sangat sedikit untuk melakukan intervensi.59 Pasukan loyalis dipukul mundur
ke Benghazi dan jika Khadafi berhasil merebut kota itu kembali akan sangat sulit
bagi AS untuk mendukung gerakan pemberontak. Pada 16 Maret, menhan AS
Mullen telah mempertimbangkan aksi militer. Obama kemudian menandatangani
keputusan rahasia yang mengesahkan CIA untuk memberikan persenjataan ke
pemberontak, langkah-langkah legal ke arah pembukaan pipa minyak, dukungan
lainnya terhadap pemberontak. Pada 17 Maret, pasukan loyalis telah merebut
Ajdabiya dan maju ke arah timur laut ke Benghazi di mana mereka mendapatkan
perlawanan keras dari pemberontak di sepanjang jalan. Dengan pusat
pemberontakan yang terancam oleh pasukan Khadafi, AS dan sekutunya kemudian
menekan Dewan Keamanan guna meluluskan resolusi.
Rusia dan Cina menentang intervensi dan mengancam veto. Akan tetapi kedua
negara tersebut kemudian abstain dalam veto. AS berhasil menarik dukungan
anggota non permanen (Afrika Selatan, Nigeria, Bosnia, dan Portugal). Pada 17
Maret, DK PBB mengesahkan resolusi DK PBB no. 1973 yang memberikan negara
anggota untuk bertindak secara mandiri atau melalui organisasi regional pengesahan
untuk melakukan segala hal yang diperlukan untuk melindungi warga sipil Libya
dari ancaman serangan militer pemerintah Libya. Resolusi tersebut menegaskan
zona larangan terbang, embargo senjata yang ketat termasuk pencegahan tentara
bayaran dari memasuki Libya yang dilakukan dengan pemeriksaan terhadap kapal
dan pesawat yang keluar masuk Libya, pembekuan aset rezim, dan larangan
bepergian bagi pejabat Libya. Resolusi tersebut melarang pasukan darat untuk
menduduki wilayah Libya.
Pada 17 Maret, dengan resolusi DK PBB no. 1973, Obama akhirnya
memberikan pengesahan serangan udara terhadap Libya ketika terjadi rapat dewan
keamanan nasional di Gedung Putih. NATO telah ditetapkan untuk mengepalai
operasi sejak awal, tetapi persetujuan di antara 28 anggotanya masih belum
didapatkan. Anggota kunci seperti Jerman dan Turki masih enggan untuk terjun ke
dalam konflik melalui aliansi. AS, Inggris, Prancis, dan beberapa negara Arab
kemudian mengeluarkan ultimatum kepada Khadafi antara lain: gencatan senjata
secepat mungkin, penarikan pasukan dari kota yang diperebutkan, dan
menghentikan tindakan militer atau menghadapi serangan militer. Pada 19 Maret,
pasukan loyalis mencapai pinggiran Benghazi. Prancis kemudian menggelar rapat di
Paris untuk menyusun kebijakan koalisi di Libya. Keputusan yang dihasilkan dalam
rapat itu adalah peserta menghasilkan kesepakatan bersama untuk memberlakukan
resolusi DK PBB no. 1973 dengan segala tindakan yang diperlukan, termasuk
kekuatan militer.60 Dengan kekuatan militer koalisi yang sudah siap, dukungan
politik dan militer negara-negara Arab serta pengesahan dari DK, maka AS dan
sekutunya kemudian melancarkan operasi odyssey dawn (petualangan fajar) pada 19
Maret.61
Pada pagi tanggal 19 Maret, pasukan loyalis telah maju sepanjang pantai ke arah
Benghazi dan telah mencapai pinggiran kota. Pada malam harinya, operasi militer
koalisi terhadap Khadafi dimulai mengikuti hasil dari rapat di Paris, di mana
pemimpin dan pejabat tingkat atas telah merapatkan tujuan militer dan politik.
Dengan Benghazi yang terancam, Sarkozy memerintahkan pesawat tempur Prancis
terbang ke ruang udara Benghazi guna melindungi kota dari serangan loyalis pada
pertengahan rapat.62
Tahap pertama dari intervensi koalisi berhasil, akan tetapi telah mengejutkan
publik di AS dan Eropa. Di AS, terdapat reaksi yang ragu-ragu dan negatif dari
kongres dan masyarakat bahwa negara terlibat dalam perang di luar negeri untuk
ketiga kalinya. Obama membela keterlibatan AS di Libya dengan dalih untuk
mencegah bencana kemanusiaan dan mencega banjir darah di Benghazi. Beliau
menekankan bahwa keterlibatan AS adalah terbatas dan tidak ditarik ke arah perang
yang lebih luas di Libya. Sementara peperangan di Libya berlanjut di darat dan
udara, administrasi kemudian mengalihkan kepemimpinan ke NATO untuk
meminimalisir peran AS serta mengizinkan Inggris dan Prancis untuk memimpin.
Obama, Sarkozy, dan Cameron telah mencapai kesepakatan sementara bahwa
NATO akan mengambil alih operasi.63
Presiden Obama berharap bahwa AS akan mampu mentransfer
kepemimpinan dalam operasi kepada entitas lain (negara, kelompok negara, atau
organisasi multinasional) dalam beberapa hari. Kandidat terkuatnya adalah NATO,
tapi Jerman dan Turki menolak opsi