Tampilkan postingan dengan label kejayaan majapahit di blitar 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kejayaan majapahit di blitar 2. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Juli 2025

kejayaan majapahit di blitar 2


 an ke Maluku untuk diperdagangkan 

atau ditukar dengan rempah­rempah. Selanjutnya rempah­

rempah yang diperoleh, ditukar atau diperdagangkan dengan 

para pedagang yang datang dari negara lain, terutama dari 

Cina dan India. Dari perdagangan inilah keluarga kerajaan 

mendapatkan kain, sutra, keramik, dan benda­benda logam. 

Selain beras sebagai unggulan hasil pertanian, menurut catatan 

Cina Majapahit juga memiliki komoditas ekspor lainnya, 

seperti garam (yang berasal dari pantai utara Jawa), merica, 

cengkeh, kemukus, kayu adas, kayu cendana, damar, kayu 

gaharu, kapur barus, gula tebu, pisang, pinang, gading gajah, 

53Dukungan Faktor Alam 

kulit penyu, tikar pandan, kain sutra, dan kain katun. Selain 

itu juga ada beberapa binatang yang diekspor seperti burung 

nuri, merak, merpati, dan tekukur (Kristinah, 2007).

Kondisi lingkungan Majapahit selain memberikan 

dukungan terhadap kemajuan, juga menyimpan bahaya berupa 

bencana alam, yaitu bencana banjir dan letusan gunung berapi. 

warga  Majapahit rupanya memahami betul ancaman 

ini dan mengantisipasinya dengan pembangunan waduk­

waduk. berdasar  fungsinya, waduk­waduk yang ada di 

situs Trowulan dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok 

barat laut dan kelompok timur. Waduk­waduk yang ada di 

kelompok barat laut berfungsi sebagai jalur transportasi air, 

sebagai contoh yaitu  waduk Temon. Terdapat dua kanal 

kuno yang bermuara di sungai Temon dari arah barat. Dalam 

prasasti Canggu juga disebutkan bahwa tempat penyeberangan 

kali pertama yaitu  Temon, sehingga dugaan bahwa waduk 

Temon sebagai terminal air cukup beralasan (Wibowo, 2006). 

Adapun kelompok kedua yaitu  kelompok timur. Waduk­

waduk yang ada di kelompok timur mempunyai fungsi 

sebagai penyeimbang debit air, sehingga pada musim hujan 

tidak terjadi banjir, dan pada musim kemarau tidak terjadi 

kekeringan.

Selain dukungan faktor alam, berkembangnya kerajaan 

Majapahit terutama pada masa pemerintahan Hayam Wuruk 

juga didukung oleh beberapa faktor, yaitu:

1. adanya sistem pemerintahan yang efektif

2. adanya keajegan/kestabilan pemerintahan

3. kehidupan agama yang baik

4. terselengggaranya upacara kemegahan di istana

5. tumbuh kembangnya berbagai kesenian

54 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

6. hidupnya perniagaan Nusantara dengan Jawa 

(Majapahit)

7. pelaksanaan politik Majapahit terhadap nusantara

8. adanya pengakuan internasional dari negara­negara 

lain di Asia

Luasnya wilayah Majapahit bukan merupakan hasil eks­

pansi politik semata, melainkan sebab  alasan yang didorong 

oleh kepentingan perdagangan yang perlu dilindungi dengan 

menempatkan daerah­daerah itu sebagai pangkalan yang 

memang harus dikuasai 

Kondisi alam daerah sekitar Trowulan sangat mendukung 

proses berkembangnya Majapahit hingga mencapai puncak 

kejayaannya. Lokasi yang cukup datar dan kondisi tanah yang 

cukup stabil sangat baik untuk tempat pemukiman. Tanah yang 

subur serta ketersediaan air menyebabkan daerah ini surplus 

bahan makanan. Selain dukungan faktor alam, berkembangnya 

Trowulan hingga mencapai kejayaan Majapahit tidak terlepas 

dari warga  pendukungnya. Dengan kecerdasannya 

warga  Majapahit mampu mengubah bencana menjadi 

potensi yang menguntungkan bagi kehidupan mereka. 

Letaknya yang strategis sangat mendukung terhadap proses 

tumbuhnya Majapahit baik dari jalur darat maupun jalur air. 

Terbukti bahwa di masa itu Majapahit dapat berkembang 

pesat dengan dukungan berbagai aspek yang terutama berasal 

dari dukungan faktor alam serta, sistem pemerintahan serta 

warga  pendukungnya.


P eninggalan masa Hindu­Budha yang tersebar di kawasan Provinsi Jawa Timur sebagian besar meru pakan peninggalan peradaban besar seperti 

Kadiri, Singosari, dan Majapahit. Diantara ketiga kerajaan besar 

ini rupanya Majapahit yang paling banyak peninggalan 

sehingga banyak mendapat perhatian untuk mengungkap 

misteri­misterinya. Dan konon untuk menyingkap misteri 

warisan Majapahit tidak ada habisnya dan selalu ada yang 

baru. Masa kejayaan dari sebuah kerajaan besar di nusantara 

yang disebut Kerajaan Majapahit berlangsung antara abad 13­15 

Masehi. Kerajaan yang cukup berpengaruh dan berwibawa di 

58 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

wilayah nusantara hingga sampai ke mancanegara pada masa 

itu, kewibawaan ini diduga mungkin tidak sekedar sebab  

kuatnya prajurit perang, kuatnya dukungan rakyat, kewibawaan 

dan strategi politik Sang Raja saja, tetapi sebab  kekuatan sosial 

warga , kekuatan ekonomi, dan kebudayaannya yang turut 

berperan dalam membesarkan kerajaan yang berjaya selama 

ratusan tahun. 

Memandang relief­relief pada media candi­candi maupun 

pada media lain dapat menimbulkan rasa kekaguman seolah 

kita terbawa ke masa lalu yang romantik. Apabila hanya 

dipandang dan diamati secara sekilas tampak hanya sebagai 

gambar atau hiasan belaka. Akan tetapi apabila dicermati 

lebih mendalam, ternyata sebagian besar merupakan cerminan 

yang ekspresif dalam mengambarkan suatu potret keadaan 

lingkungan di masa lalu. Lalu apabila berhadapan dengan 

kedua jenis benda itu seolah sedang membuka halaman demi 

halaman melihat potretnya lalu membaca teks keterangannya, 

walaupun keduanya tempatnya terpisah. 

Disatu sisi memang relief ada kelebihan dan ada kele­

mahannya, kelebihannya jelas pada keotentikan dan keunikan 

yang masih bisa disaksikan sampai saat ini, sedangkan 

kelemahannya apa benar gambar itu sebagi penggambaran 

atau visualisasi keadaan masa lalu?. Oleh sebab  itu tidak 

dibahas disini tentang penggambaran pada relief ini 

berdasar  apa? dan menceritakan apa?. Tetapi dalam 

paparan disini hanya mengamati sisi gambar dan adegan­

adegan lain dalam gambar relief, lalu diapresiasikan dengan 

lingkungan kehidupan sehari­hari pada masa kini. Kemudian 

dilengkapi dengan membaca dan membandingkan data 

tekstualnya, maka lengkaplah menikmati keindahan masa lalu 

itu dalam kemasan potret­potret kearifan lingkungannya. 

59Potret-Potret Kearifan Lingkungan Masa Lalu 

Sebagian menunjukkan lukisan lingkungan alam sekitar 

(lanskap), ada yang penggambaran lingkungan permukiman, 

lingkungan rumah tangga, lingkungan kerajaan dan lainnya. 

Penggambaran unsur­unsur eksploitasi sumberdaya alam 

oleh warga  masa lalu mengalir begitu saja dalam 

menyikapi tuntutan dan tantangan hidup mereka. Kemudian 

secara jelas mereka ekspresikan kedalam bentuk lukisan pada 

hamparan tatanan batu­batu candi, bagian bangunan, dan 

artefak lainnya. Banyak ragam ekspresi dalam lukisan masa 

lalu di dalam relief, namun paparan ini dari berbagai relief 

yang ditemukan dipilahkan menjadi kelompok­kelompok 

pemanfaatan dan kelompok warga  masa lalu dalam 

menyikapi lingkungannya. 

Pertanian 

Kejayaan Majapahit yang terkenal sampai ke mancanegara 

itu salah satunya sebab  kemajuan dibidang pangan khusunya 

pertanian. Data visual berupa penemuan artefak pertanian, 

penggambaran aktifitas pertanian melalui relief, dan data 

tekstual berupa kitab­kitab kuna dan prasasti­prasasti yang 

menyebut aktivitas pertanian merupakan bukti yang konkrit 

pertanian Majapahit. Penggambaran mengenai pertanian di 

Jawa yang disebutkan dalam prasasti antara lain pada Prasasti 

Kwak I (879 M), prasasti Ngabean V (prasasti Ra Tawun) 883 

M, prasasti Kamalagi (831 M), prasasti Watukura I (902 M), 

prasasti Harinjing (921 M), prasasti Bakalan (prasasti Wulig) 

934 M, prasasti Kamalagyan (1039 M), prasasti Kandangan 

(1350 M), dan prasasti Trailokyapuri (1486 M). Prasasti­prasasti 

ini memuat data mengenai jenis­jenis pertanian, pejabat­

pejabat yang mengurusi pertanian, pajak pertanian, pengairan, 

60 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

usaha­usaha yang dilakukan oleh penguasa untuk memajukan 

sektor pertanian serta gambaran mengenai proses bertani padi 

(Oriza sativa) dari mulai pengolahan tanah, menanam, menuai, 

dan mengolah hasil panenannya. Dari data prasasti ini 

sudah dapat dirasakan kompleksitas kehidupan pertanian 

pada masa itu (Wardani, 2009).

Cara bercocok tanam padi pada masa Majapahit yang 

tampak begitu sistematis tentunya tidak terjadi begitu saja, pada 

masa sebelumnya diduga terjadi adanya tahapan pengenalan 

sampai pembudidayaan tanaman. Padi sebagai bahan pokok 

makanan warga  hingga saat ini masih sebetulnya masih 

menyimpan pertanyaan, sejak kapan padi dibudidayakan di 

nusantara atau di Jawa?. Sampai saat ini belum ada pernyataan 

dan bukti arkeologis yang kuat untuk pembuktiannya. Di 

beberapa situs prasejarah pernah ditemukan sisa tanaman padi 

dalam bentuk arang kulit padi (sekam), namun sebab  belum 

ada pertanggalan situs maka belum bisa dikatagorikan apakah 

lebih tua, sejaman, atau lebih muda dari masa Majapahit. 

Membaca catatan dalam prasasti maupun memperhatikan 

penggambaran pada relief, budidaya pertanian khususnya 

tanaman padi di Jawa telah dikenal semenjak abad ke­8. 

Dalam prasasti tidak menyebutkan secara eksplisit nama padi, 

namun disebutkan kata bras atau beras. Penggambaran padi 

pada relief peninggalan candi­candi di Jawa lebih jelas yaitu  

proses pembudidayaan padi dari mulai gambar bentang 

sawah, proses pengolahan tanah untuk tanaman padi, proses 

penanaman padi, proses memanen atau memetik padi, proses 

angkut padi hasil panenan, proses menjadikan beras, menanak 

nasi hingga penggambaran hidangan nasi. Penggambaran 

relief­relief ini tidak dijumpai dalam satu panil atau 

61Potret-Potret Kearifan Lingkungan Masa Lalu 

dalam satu candi tetapi diambil dari berbagai lokasi candi 

dalam kurun waktu peninggalan masa Majapahit. 

1.  Bentang Persawahan

Penggambaran bentang sawah yaitu  pemandangan 

lingkungan dengan liukan saluran­saluran irigasi yang 

seolah­olah menggambarkan aliran air. Gambaran petak­

petak sawah dengan batas­batas pematang, padi­padi yang 

merunduk siap panen, aktivitas memetik padi dan bagian­

bagian petak sawah yang belum ditanami, serta kegiatan 

olah sawah dengan cara membajak. Gambaran­gambaran 

relief ini merupakan pemandangan bentang sawah 

yang tertata rapi sebagimana sawah­sawah masa sekarang 

yang masih dijumpai di pedesaan. Sentuhan teknologi 

telah tampak disini, disadari atau tidak mereka telah 

menggunakan teknologi pengendalian penampungan air, 

yaitu agar kondisi tanaman padi tetap tergenang air maka 

dibuat petak­petak pematang. Pemandangan ini 

seperti dijumpai pada relief yang dipahat pada batu 

andesit dari bagian batu candi koleksi Museum Trowulan. 

Gambar. relief sawah pada batu candi koleksi Museum Trowulan,  

dan gambar kanan sketsanya oleh Prof. Th. P. Galestin dalam Pigeaud 

(1962,p.116)

62 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Data tertulis oleh Mpu Prapanca di dalam kitab 

Nagarakrtagama sedikitnya ada lima kali menyebutkan kata 

“sawah” dalam berbagai ilustrasinya, sedangkan dalam 

kitab Kakawin Siwaratrikalpa (Zoetmulder, 1983) pada bait 

ke­6 penyair menggambarkan sawah dan ladang disertai 

ilustrasi pemandangannya sebagai berikut:

“Di sebelah barat terdapat punggung­punggung bukit yang 

penuh dengan sawah­sawah, pematangnya kelihatan jelas 

dan tajam. Halama­halaman saling berdekatan, rapi berderet, 

pohon­pohon nyiur semuanya berselimut kabut. Sayap­sayap 

burung kuntul berkilauan ketika mereka terbang di atas, 

samar­samar kelihatan dari jauh di tengah­tengah awan­awan, 

kemudian mereka lenyap, terlebur dalam kabut dan tidak 

kelihatan lagi.”

2.  Membajak 

Salah satu kegiatan pertanian dalam penyiapan lahan 

untuk tanaman padi atau palawija diawali dengan peng­

olahan tanah. Membajak sebagai aktivitas peng olahan 

tanah sebagai salah satu cara olah sawah atau lahan yang 

bertujuan untuk memberi pernafasan tanah dan atau meng­

geburkan tanah serta memberantas pertum buhan gulma 

serta tumbuhan pengganggu yang tidak dikehendaki. Cara 

pengolahan tanah dengan alat bajak dan bertenaga hewan 

telah dikenal berabad­abad di masa lalu. Darimana cara ini 

berasal?, asli atau dari luar?, dan sejak kapan berkembang 

di Nusantara? belum ada jawaban. Namun secara logika 

pengenalan cara olah tanah semacam ini sejak dikenalnya 

budaya budidaya atau bercocok tanam. 

Adegan secara naturalis penggambaran orang sedang 

membajak dipahatkan pada relief Candi Borobudur 

dimana penggambarannya tidak jauh berbeda dengan 

63Potret-Potret Kearifan Lingkungan Masa Lalu 

kegiatan serupa yang masih dilakukan petani saat ini. 

Dua ekor sapi yang dikait keduanya pada leher dan 

ditengahnya dipasang batang penarik bajak, sedang 

bajaknya bertangkai sebagai kemudi. Berbeda sekali contoh 

adegan orang yang sedang membajak ini pada relief candi 

lain, terutama candi­candi di Jawa Timur. Perbedaanya 

terletak pada binatang yang menarik bajak, dimana pada 

Candi Panataran ada penarik bajak berupa kepiting yang 

dipahatkan di Candi Naga pada sisi kiri atas. Ada juga 

adegan membajak dimana penarik bajaknya sapi namun 

pembajaknya singa (Phanthera leo) yaitu pada relief Kolam 

Petirtaan masih di dalam kompleks Candi Panataran. 

Gambar: Relief membajak pada Candi Petirtaan dan Candi Naga  

di Kompleks Candi Panataran di Kabupaten Blitar

Gambar: Relief membajak dengan tenaga gajah terdapat di Candi 

Penampihan Tulungagung (kiri), relief membajak di Candi Gambar 

Wetan Tulungagung (kanan) sketsanya oleh Prof. Th. P. Galestin  

dalam Pigeaud (1962, p.39)

64 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Gambar: Kegiatan membajak sawah masa kini di Madura dimana 

tangkai kemudi bajak mirip dengan relief pada Candi Penampihan 

Tulungagung (foto: penulis)

Lain halnya relief membajak pada Candi Penampihan 

di Kabupaten Tulungagung, uniknya dimana hewan 

penarik bajaknya yaitu  dua ekor gajah (Elephas sp.). 

Terlepas gambaran pada relief ini apakah meng­

gambar kondisi jaman dulu atau hanya sebuah ilustrasi 

belaka?, yang jelas fenomena ini yang menarik untuk 

menarik benang merah tentang aktivitas pengolahan 

sawah dan ladang yang telah dikenal berabad­abad pada 

masa itu, namun kini masih layak dilakukan terutama di 

pedesaan. 

3.  Menanam padi

Tanam padi dengan teknik semai sudah dikenal lama 

sejak masa lampau di Jawa. Salah satu proses budidaya 

tanam padi yang belum berubah caranya samai sekarang, 

dengan cara manual yaitu menancapkan satu persatu 

batang bibit padi ke dalam lumpur dengan jarak tertentu. 

Penanaman padi dengan cara mekanis tampaknya belum 

menjadi pilihan sebab  sambil memungut batang bibit 

padi sambil merasakan berapa batang yang akan di tanam. 

Penanaman manual dengan tangan juga menjamin batang 

65Potret-Potret Kearifan Lingkungan Masa Lalu 

bibit tidak akan patah tertekan sehingga menjamin babit 

padi kelak akan tumbuh baik. Potret menanam padi pada 

masa Majapahit seperti pada relief umpak batu koleksi 

Museum Trowulan, tampak menggambarkan kegiatan 

orang sedang menanam padi manual. Cara menanam 

padi pada relief seperti ini masih dilakukan orang sampai 

sekarang, yaitu setelah tanah diolah menjadi lumpur 

kemudian permukaan lumpurnya digaris sebagai pola 

untuk menancapkan batang bibit padi. Penanaman padi 

dilakukan dengan cara mundur agar tidak merusak atau 

menginjak bibit padi yang baru ditanam.

Gambar: Relief “menanam padi” pada umpak batu koleksi Museum 

Trowulan Mojokerto 

Gambar. Kegiatan menanam padi yang masih dilakukan petani 

masa kini (foto: Sugeng R.)

66 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

4.  Panen dan menumbuk padi

Padi yang siap panen digambarkan bentuk untaian­

untaian yang merunduk menunjukkan siap untuk dipetik. 

Kegiatan memetik padi tidak jauh berbeda apa yang masih 

banyak dilakukan petani di Jawa pada beberapa dekade 

tahun yang lalu yaitu dengan cara ani-ani. Cara memetik 

padi sekarang telah banyak berubah yaitu dengan cara 

memangkas seluruh batang atau sebagian batang padi 

kemudian memisahkan butiran gabahnya dengan mesin 

perontok, namun di beberapa tempat masih ada yang 

melakukan secara tradisional yaitu dengan cara ani-ani. 

Cara mengupas kulit padi untuk dijadikan beras pada 

masa lalu tampaknya telah menggunakan cara ditumbuk. 

Relief yang menggambarkan adegan demikian terdapat 

di Candi Borobudur. Sedangkan artefak lumpang batu 

sebagai alat menumbuk padi saat ini masih banyak di­

jumpai dibeberapa situs. 

Gambar: Relief memetik padi (panen) pada Candi Rimbi  

di Kabupaten Jombang 

67Potret-Potret Kearifan Lingkungan Masa Lalu 

5.  Menanak nasi 

Pada masa Majapahit menanak nasi dicontohkan pada 

relief umpak batu yaitu dengan mengunakan dandang 

dan kukusan diletakkan di atas tungku yang berbahan 

bakar kayu. Cara menanak nasi seperti ini sebagian masih 

dilakukan oleh warga  saat ini, terutama yang masih 

menggunakan bahan bakar kayu atau arang. Nasi yang 

telah matang dihidangkan dalam bakul yang dilengkapi 

dengan lauk pauk berupa ikan terdapat pada relief Candi 

Cabean Kunti di Kabupaten Boyolali. 

Gambar. Relief “menanak nasi” pada umpak batu  

koleksi Museum Trowulan Mojokerto 

Berburu 

Berburu binatang merupakan kegiatan manusia yang 

berlagsung sejak masa prasejarah dan ribuan tahun sebelum 

sekarang. Aktifitas berburu pada masa prasejarah biasanya 

digambarkan pada lukisan­lukisan dinding gua. Sedangkan 

masa sejarah klasik di Jawa digambarkan pada relief­relief, 

dituliskan dalam prasasti maupun naskah­naskah sastra kuna. 

Bagi rakyat biasa, berburu lebih utama sebagai pemenuhan 

68 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

kebutuhan pangan untuk memenuhi kebutuhan protein 

hewani. Mungkin lain halnya dengan para kepentingan bagi 

para bangsawan atau raja, berburu merupakan kegemaran, 

kebanggaan, dan sebagai sarana latihan berperang. Disamping 

sebagai hiburan, berburu dengan menggunakan senjata di 

hutan belantara dapat bermanfaat sebagai tempaan atau latihan 

berperang bagaimana cara mengepung dan melemahkan 

musuh. Gambaran seorang raja yang sedang berburu seperti 

dalam petikan dari kitab Nagarakrtagama yang berbunyi 

sebagai berikut:

Pupuh­L (1)

ini Bagianda Raja berangkat berburu

Berlengkap dengan senjata, kuda dan kereta

Dengan bala ke hutan Nandawa, rimba belantara

Rungkut rimbun penuh gelagah rumput rampak….

Pupuh LIV (1)

ini Baginda telah mengendarai kereta kencana

Tinggi lagi indah ditarik lembu yang tidak takut bahaya

Menuju hutan belantara, mengejar buruan ketakutan

Yang menjauhkan diri lari bercerai­berai meninggalkan 

bangkai

(Pigeaud, 1960).

Isi pada bait ini tampak mirip dengan gambaran 

dalam bentuk relief di Candi Sukuh Jawa Tengah, dimana 

digambarkan suatu adegan bangsawan sedang berburu 

dengan naik kuda dan di tangan kanan memegang sejata. Di 

belakangnya sedang berjalan juga tampak seorang bangsawan 

yang dilukiskan dengan berpenutup kepala serta dipayungi, 

sedangkan pada bagian depan para bala dan seekor anjing 

pemburu siap memburu.

69Potret-Potret Kearifan Lingkungan Masa Lalu 

Gambar Relief “suasana berburu” pada Candi Sukuh di lerereng barat 

Gunung Lawu Kabupaten Karanganyar (batang skala 1 meter) 

berdasar  relief­relief yang menggambarkan berburu 

tampaknya pada masa lalu telah ada beberapa cara berburu 

atau menangkap binatang yaitu dengan cara panah, cara jerat, 

cara tangkap, cara pancing, cara pukul, cara geladag. Cara 

geladag seperti contoh relief di Candi Sukuh di atas yaitu  

menggunakan hewan geladag yaitu anjing. Dalam Pupuh LIII 

yang berisi tentang kegiatan berburu:

1.  ini pemburu kijang rusa riuh seru menyeru

 Ada satu yang tertusuk tanduk, lelah lambat jalannya

 sebab  luka kakinya, darah deras meluap­luap

 Lainnya mati terinjak­injak, menggelimpang kesakitan

2.  Bala kembali berburu, berlengkap tombak serta lembing

 Berserak kijang rusa di samping bangkai bertumpuk 

timbun

 Banteng serta binatang galak lainnya bergerak 

menyerang

 Terperanjat bala raja bercicir lari tunggang langgang

3.  Ada yang lari berlindung di jurang, semak, kayu 

rimbun

 Ada yang memanjat pohon, ramai mereka berebut 

puncak

 Kasihanlah yang memanjat pohon tergelincir ke bawah

 Betisnya segera diseruduk dengan tanduk, pingsanlah!

70 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

4.  Segera kawan­kawan datang menolong dengan kereta

 Menombak, melembing, menikam, melanting, menjejak-

jejak

 sebab nya badak mundur, meluncur berdebak 

gemuruh

 Lari terburu, terkejar; yang terbunuh bertumpuk 

timbun.

 (Pigeaud, 1960).

Cara berburu binatang selain geladag yaitu  adanya cara 

jerat yang digambarkan pada relief terakota koleksi Museum 

Trowulan. Adegan ini yaitu digambarkan dengan memasang 

tali jerat pada ujung tongkat atau ranting elastik kemudian 

dileng kungkan sedemikian rupa. Apabila ada hewan buruan 

menyentuh tali atau jebakan ini maka hewan terjerat tali, 

pada saat bersamaan tongkat ini kembali lurus sehingga 

menarik hewan buruan yang terjerat kakinya atau bisa pada 

lehernya. 

Gambar: Adegan menjerat binatang dilukis pada bejana terakota koleksi 

Museum Pusat Informasi majapahit Trowulan (batang skala 10 cm).

Cara menangkap ikan dengan pancing dikenal melalui 

relief tampaknya mulai muncul pada masa setelah abad ke­10, 

71Potret-Potret Kearifan Lingkungan Masa Lalu 

sebab  relief kegiatan memancing hanya ada pada candi­candi 

pada era setelah abad ke­10 saja. Contoh adegan memancing 

ikan dan memancing katak seperti di Candi Surawana, 

demikian pula adegan memancing katak ada terdapat di relief 

Candi Rimbi. 

Gambar: Memancing katak, relief Candi Rimbi Kabupaten Jombang

Menangkap ikan dengan cara wuwu, yaitu semacam alat 

perangkap dari bahan bambu yang dibuat sedemikian rupa 

sehingga kalau diletakkan di dalam air ikan yang masuk 

kedalamnya terjebak tidak bisa keluar lagi. Gambar yaitu 

memasang wuwu diperlihatkan pada relief di Candi Rimbi. 

Kegiatan ini masih ada beberapa warga  yang melakukan 

penangkapan ikan dengan cara ini terutama warga  

pedesaan, sebab  bahan dan pembuatannya mudah.

Cara berburu lainnya yaitu cara panah, dimana degan 

meng gunakan peralatan busur dan anak panah untuk 

melumpuhkan binatang buruan. Relief panah dan kegiatan 

berburu dengan panah banyak digambarkan pada relief candi 

antara lain pada Candi Panataran di Blitar, Candi Kedhaton 

di Probolinggo, dan Candi Surawana di Kediri. Dan di dalam 

kitab Negarakrtagama disebut panah pada pupuh LV (3) 

”..gelaknya seperti hujan panah jatuh”. (Pigeaud, 1960).

72 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Gambar: Relief penggunaan panah untuk membunuh babi hutan  

di Candi Kedhaton Kabupaten Probolinggo.

Secara keseluruhan di dalam kitab Nagarakrtagama 

disebutkan pula beberapa jenis binatang buruan, antara 

lain celeng (Sus scrofa), kasuari (Casuarius sp.), rusa (Cervus 

sp.), kelinci (Leporidae), badak (Rhinoceros sp.), banteng 

(Bos banteng), kerbau (Bos bubalus), lembu (Bos indicus), serta 

harimau (Panthera sp.), biawak (Varanus sp.), kucing (Felis 

silvestris catus), kera (Macaca sp.), serigala (Canis lupus), dan 

singa (Panthera leo). 

Binatang-binatang asing

Pemburuan dan penggambaran unsur fauna ternyata 

tidak hanya binatang yang berhabitat di jawa saja, ternyata 

binatang asing disebut dan digambar. Apa yang menjadi 

bahan wawasan sang penyair dan pemahat relief? apa sebab  

tuntutan cerita atau sebab  memang benar ada binatang 

ini didatangkan ke Jawa?. Bait­bait dalam berikut dalam 

kitab Nagarakrtagama:

73Potret-Potret Kearifan Lingkungan Masa Lalu 

Pupuh L (6)

Tertangkap segala binatang dalam hutan

Tak ada yang menentang, semua bersatu

Srigala gagah, yang bersikap tegak­teguh

Berunding dengan singa sebagai ketua

Pupuh LIV (2)

Celeng, kaswari, rusa dan kelinci tinggal dalam ketakutan

Baginda berkuda mengejar yang riuh lari bercerai­berai

Menteri, tanda dan pujangga di punggung kuda turut 

memburu

Binatang jatuh terbunuh, tertombak, terpotong, tertusuk, 

tertikam.

(Pigeaud, 1960).

Apa yang tampak ada yang janggal dalam bait­bait 

tersebut?, yaitu pelukisan dan penulisan jenis binatang asing 

sebagai buruannya, dimana disebutkan binatang kasuari dan 

singa. Diketahui sebab  kedua jenis binatang ini bukan jenis 

yang berhabitat di Jawa. Tampaknya si penyair dalam ceritanya 

hanya memaparkan sebagai ilustrasi atau latar belakang 

untuk lebih menghidupkan penggambaranya adengan sedang 

berburu di hutan. Kemudian dalam gambar relief apakah 

terkait dengan isi kitab Nagarakrtagama atau tidak bahwa 

bukti adanya penggambaran kedua jenis binatang ini 

seperti dipahatkan di Candi Panataran untuk relief kasuari, 

sedangkan jenis singa juga dipahatkan di Candi Panataran dan 

candi­candi lainnya.

74 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Gambar Relief burung kasuari (kiri) dan keledai (kanan) 

pada Candi Panataran Kabupaten Blitar.

Tentang keledai (Equus asinus) binatang yang berhabitat 

asli dari Afrika ini didatangkan ke Jawa atau hanya disebut 

dalam cerita? seperti halnya singa dan kasuari. 

Alat transportasi 

Transportasi pada masa Hindu­Buddha di Jawa rupanya 

masih mengandalkan tenaga hewan, baik untuk transportasi 

orang atau barang. Hewan yang digunakan sebagai alat 

transportasi tentunya hewan yang mempunyai tenaga kuat 

misalnya gajah, kerbau, sapi, kuda, dan keledai. Seiring dengan 

adanya teknologi roda maka beban hewan sebagai tenaga alat 

transportasi menjadi ringan. Selain itu dengan adanya roda 

transportasi lebih praktis, ekonomis dan cepat sebab  dengan 

menggunakan kereta yang ditarik kuda larinnya lebih cepat 

maupun gerobag yang ditarik sapi, gajah maupun kerbau 

muatannya lebih banyak. 

75Potret-Potret Kearifan Lingkungan Masa Lalu 

Gambar: Kereta yang ditarik empat ekor kuda,  

relief pada Candi Panataran di Blitar

Relief gajah di Candi Panataran digambarkan sedang 

ditunggangi dan dengan aksesoris di tubuhnnya yaitu ber­

pelana. Pada Candi Panataran banyak dipahatkan gajah 

dan semuanya menunjukkan jenis gajah Asia. Demikian 

pula relief gajah di Candi Sukuh yang terletak di Kabupaten 

Karanganyar, memperhatikan jenis gajahnya yaitu  gajah Asia 

(Elephas maximus) digambarkan sedang ditunggangi orang 

pada punggunggnya, berkalung kelinting dan berjalan sambil 

dikawal seseorang. Tinggalan Candi Sukuh ini berdasar  

catatan dan prasasti berupa candra­sengkala yang bermakna 

angka tahun antara 1416­1459 Masehi atau abad ke­15 

(Kempers, 1959). 

Penggunaan gajah sebagai alat transportasi pada abad­

abad sekitar abad ke­15 ini didukung oleh bukti­bukti 

tertulis sebagaimana disebutkan dalam kitab Nagarakretagama 

pupuh XVII (5) berbunyi “Bhayangkari gemruduk berbondong-

bondong naik gajah dan kuda “ (Pigeaud, 1960).

76 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Gambar, Gajah (Elephas sp.) sebagai alat transportasi 

pada relief Candi Jawi di Pasuruan

Sarana transportasi bergerak selain di darat yaitu  sarana 

transportasi air berupa perahu. Pupuh LXVI Nagarakrtagama 

menyebut perahu, 

Pada hari keenam pagi Sri Baginda bersiap mempersembahkan 

persajian.

Pun para kesatria dan pembesar mempersembahkan rumah­

rumahan yang terpikul.

Dua orang pembesar mempersembahkan perahu yang melu­

kiskan kutipan kidung.

Seperahu sungguh besarnya, diiringi gong dan bubar meng­

guntur menggembirakan.

(Pigeaud 1960).

Gambaran perahu dan kapal yang sangat terkenal reliefnya 

berada di Candi Borobudur, yang membuktikan jauh sebelum 

masa Majapahit di Jawa sudah menggunakan transportasi 

perahu. Pengaruh Majapahit sampai mancanegara dan 

pengaruh kekuasaannya di Nusantara sangat mustahil kalau 

tanpa didukung transportasi perahu. Walaupun disebutkan 

dalam data tekstual, namun sayangnya penggambaran perahu 

masa Majapahit dalam relief sangat langka. Satu contoh peng­

gambaran bentuk perahu pada dinding barat Candi Pendopo 

Teras kompleks Candi Panataran di Blitar.

77Potret-Potret Kearifan Lingkungan Masa Lalu 

Gambar. Perahu Majapahit?, gambar kiri pada relief Candi Pendopo 

Teras Panataran Blitar, dan gambar kanan perahu dayung pada relief 

Candi Pendopo Teras Panataran Blitar sketsa oleh Prof. Th. P. Galestin 

dalam Pigeaud (1962, 218).

Potret lingkungan dan landskap

Seni masa lalu sudah demikian tinggi namun masih ter­

batasnya media untuk menuangkan gagasannya. Sedangkan 

media yang ada untuk melukis biasanya tidak tahan lama, 

misalnya pada daun, kulit kayu, atau pada kayu. Media batu 

yaitu  salah satu yang tahan lama sebagi media lukis yang 

dibuat bentuk relief. 

1.  Lanskap

Lukisan alam lingkungan yang menggambarkan suatu 

tata lingkungan yang apik sebuah candi dengan taman 

yang dihiasi tumbuh­tumbuhan serta genangan air kolam 

yang mengelilinginya. Gambaran ini merupakan 

gambar lansekap candi tempat relief itu dipahatkan yaitu 

Candi Jawi. Relief lansekap ini mengilhami perancang 

dalam mere konstruksi dan merehabilitasi candi itu sendiri 

yang pada mulanya telah rusak dan runtuh. Lansekap ling­

kungan perkampungan dengan jajaran rumah penduduk, 

jalan kampung serta fasilitas umum (public area) nya 

dipotret lewat lukisan batu yang ditampakkan dalam 

bentuk tiga dimensi. 

78 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Gambar: Relief yang mengambarkan“lingkungan kampung dan 

sawah” pada lempengan batu koleksi Museum Trowulan Mojokerto, 

sketsa oleh Prof. Th. P. Galestin dalam Pigeaud (1960, p.II).

Gambar: Relief yang mengambarkan “lanskap lingkungan kampung” 

pada dinding Candi jawi Kabupaten Pasuruan,  

sketsa oleh Prof. Th. P. Galestin dalam Pigeaud (1962, p.II).

2.  Jual beli

Ada adegan pada relief yang menggambarkan sebuah 

kegiatan ekonomi sehari­hari dalam warga  yaitu 

79Potret-Potret Kearifan Lingkungan Masa Lalu 

transaksi atau jual beli di sebuah pasar. Cara yang diguna­

kan apakah dalam bentuk barter atau telah menggunakan 

alat tukar berupa uang tidak tampak dalam relief. 

Penggambaran suasana aktifitas jual beli yang dilakukan 

oleh dua orang penjual dan pembeli yang bernaung 

di bawah pohon waru (Hibiscus tiliaceus). Pohon waru 

sebagai jenis pohon yang mudah dan cepat tumbuh serta 

mempunyai tajuk daun yang rindang sehingga nyaman 

bernaung di bawahnya. 

Gambar: Relief kiri “Perempuan duduk di bawah pohon sambil 

menjajakan dagangan”, kanan “transaksi di bawah pohon” pada 

batu koleksi Pusat Informasi Majapahit Trowulan Mojokerto.

Adegan semacam ini layaknya sekarang masih banyak 

dijumpai di dalam sebuah pasar tradisional, dimana pada 

umumnya masih menjajakan langsung barang dagangan­

nya di atas wadahnya dan bernaung di bawah pohon. 

Pohon pada relief ini diidentifikasi dengan ciri 

bentuk tajuk, bentuk daun dan bentuk bunganya sebagai 

pohon waru (Hibiscus tiliaceus). Relief pada batu­batu 

andesit ini diduga merupakan bagian dari sebuah 

candi masa Majapahit dimana sekarang sebagai koleksi 

Museum Trowulan Jawa Timur. 

80 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Cuaca dan keadaan alam

Indonesia sebagai wilayah beriklim tropis yang hanya 

memiliki dua musim yaitu musim kering atau kemarau dan 

musim hujan. Hujan badai ditandai dengan binatang­binatang 

berteduh dibawah pohon, ranting­ranting patah diterpa angin. 

Potret­potret kejadian alam pada masa lalu mereka goreskan 

pada bagian candi antara lain di Candi Borobudur, Candi 

Rimbi, Candi Jago, dan Candi Wleri.

Gambar: Suasana awan mendung, hujan dan air dibawah  

terdapat ikan dan tumbuhan teratai, pada relief pada Candi Wleri  

di Kabupaten Blitar

Gambar: Suasana hujan dan tumbuhan teratai pada Candi Rimbi 

Kabupaten Jombang.

81Potret-Potret Kearifan Lingkungan Masa Lalu 

Demikian pula penggambaran kejadian­kejadian alam 

lingkungan seperti kebakaran, mereka melukiskan kobaran 

api yang menyala­nyala disertai kepanikan binatang dan 

manusia yang berlari untuk menyelamatkan diri, adegan 

seperti ini tergambar pada relief Candi Panataran.

Gambar: Api yang berkobar membuat panik hewan dan manusia 

dipahatkan pada dinding Candi Panataran.

Lain halnya dalam menggambarkan keadaan gelap pada 

malam hari, bila dituangkan kedalam kanvas atau kertas tinggal 

memberi warna hitam, namun bila menggambarkan kedalam 

media batu dalam bentuk relief memerlukan cara tersendiri. 

Gambaran suasana pada malam hari ini mereka wujudkan 

dengan memahatkan bentuk benda­benda alam yang biasanya 

muncul pada malam hari yaitu bulan purnama, bulan sabit, 

dan bintang­bintang. Penggambaran ini tidak dijumpai 

pada peninggalan masa Majapahit namun tertera pada relief 

di pagar langkan lantai IV Candi Borobudur.

0

Kearifan warga  masa lalu terhadap lingkungannya 

tampak telah berkembang dengan baik. Bentuk kearifan yang 

82 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

dimiliki berbeda dari satu warga  ke warga  yang 

lain, dan dari generasi ke generasi. Perbedaan disebabkan oleh 

sebab  tantangan alam berbeda dan kebutuhan hidup mereka 

berbeda­beda. Bagimana cara mereka mengeksploitasi sumber 

daya alam baik flora, fauna, dan batuan disekitar hidup mereka 

untuk dimanfaatkan sedemikian rupa sebagai sumber pangan, 

sumber energi, dan memenuhi kebutuhan spiritualnya. Dengan 

kata lain pengalaman mereka dalam memenuhi kebutuhan 

hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan, 

baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial 

kemasya rakatan, dengan tujuan untuk melindungi dirinya 

dan alam sekitarnya secara spesifik. Pada akhirnya mereka 

memahami dan merasakan secara mendalam bagaimana 

makna dan pengaruh lingkungan terhadap kehidupan sehari­

harinya. Tentu saja sistem pengetahuan ini tumbuh dalam 

sejarah panjang perjalanan hidup warga  Majapahit pada 

jamannya. 

Potret­potret warga  dalam lingkungan hidupnya 

ini diambil dengan latar belakang yang berbeda, namun 

pada intinya mengambil obyek yang menggambarkan unsur 

flora, fauna, dan alam fisik. Relief­relief ini terkadang 

ada dalam sebuah adegan cerita dan ada yang lepas atau 

bukan bagian dari sebuah cerita. Pada umumnya cerita di 

dalam relief berisi mengenai ajaran moral seperti cerita­cerita 

fabel, cerita Bubuksah­Gagangaking, cerita Sang Satyawan, 

cerita Arjuna Wiwaha, cerita Kunjarakarna, dan cerita lainnya. 

Ternyata pengaruh adegan cerita dalam relief lebih tampak 

nyata dalam penampilan flora dan fauna dibanding pengaruh 

latar belakang keagamaanya. (Siswanto, 1999).

Mengapa potret­potret masa lalu hanya melalui pengamatan 

penggambaran relief dan sastra tertulis?, Sebenarnya tidak 

83Potret-Potret Kearifan Lingkungan Masa Lalu 

juga, hasil­hasil penggalian penelitian dapat membantu untuk 

rekonstruksi lingkungan masa lalu, namun tinggalan inilah 

yang paling mudah dipahami. Dan tampaknya benda­benda 

tinggalan ini memang dibuat agar terus dipahami dan 

diresapi terutama ajaran moralnya dari generasi ke generasi. 

Sedangkan pertimbangan lain menggunakan media ini yaitu  

bahwa di dalam penggambaran atau ilustrasinya sang penyair 

dan pelukis (pemahat) akan menyajikan gambaran yang ada 

didalam benaknya, sehingga apa yang tertuang dalam karyanya 

merupakan sesuatu yang telah mereka lihat, mereka ketahui, 

dan yang mereka alami pada masa itu.

Memang mengenang kemasyurannya, mengagumi 

pening galannya, dan mengungkap misterinya selalu saja 

menarik dan seolah tidak ada lelah, apalagi selalu ada sesuatu 

tantangan baru. Demikianlah bila berhadapan dengan sisa­sisa 

kejayaan masa lalu yang dapat kita nikmati sekarang. Melalui 

benda yang tersisa itu bagaimana caranya dapat menikmatinya 

kalau tidak dicermati, dibandingkan, dan diterjemahkan. 

Peninggalan relief dan sastra kuna yaitu  bentuk peninggalan 

visual dan tekstual yang menarik untuk dicermati. sebab  

secara visual potret masa lalu tergambar pada relief­relief 

candi maupun relief pada bahan lain, sedangkan secara 

tekstual ditinggalkan dalam bentuk prasasti maupun dalam 

kitab­kitab kuna. 

84 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya


dEsa-dEsa MEgalitiK  

di NEgEri Majapahit

Priyatno Hadi S.

Negeri Majapahit

Dalam Kitab Nágárakretágama dikisahkan bahwa Majapahit pada mulanya yaitu  sebuah desa yang terletak di lembah Sungai Brantas, tepatnya di daerah 

Tarik yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Singasari. 

Konon, pada mulanya tempat itu merupakan hutan belantara 

yang banyak ditumbuhi pohon­pohon Maja yang pahit 

rasanya. Hutan belantara itu kemudian dibuka untuk lahan 

pertanian dan permukiman, dan terbentuklah sebuah desa 

yang bernama Majapahit dengan kepala desa bernama Nararya 

Sanggramawijaya. Berakhirnya berbagai intrik politik di pusat 

kerajaan Singasari yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan­

kerajaan besar, yaitu Singasari dan Kediri, Desa Majapahit 

kemudian dijadikan sebagai pusat pemerintahan kerajaan baru 

yang bernama Kerajaan Majapahit (Slametmulyana: 1979).

86 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Kerajaan Majapahit pertama kali didirikan dan dipimpin 

oleh seorang raja yang bernama Nararya Sanggramawijaya 

pada tahun 1293 M. Wilayah kekuasaannnya meliputi bekas 

wilayah kerajaan Singasari, Kediri, Jenggala, dan Pulau Madura. 

Kerajaan Majapahit kemudian mencapai puncak kejayaannya 

di bawah pemerintahaan Raja Hayam Wuruk (1350­1389), dan 

pendampingnya seorang mahapatih bernama Gadjahmada. 

Mahapatih Gadjahmada menggunakan strategi sumpah amukti 

palapa yang bertujuan mempersatukan wilayah Nusantara 

menjadi kenyataan, semakin lama wilayah kekuasaannya 

semakin luas. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika semakin menun­

jukkan bukti puncak kejayaan Negeri Majapahit yang ditandai 

dengan luas wilayah kerajaan bawahan yang meliputi seluruh 

wilayah Nusantara (Jawa, Madura, Bali, Lombok, Sumatera, 

Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, hingga Irian). 

Selain itu, terdapat kerajaan­kerajaan bawahan lain yang 

berada di luar wilayah Nusantara, yaitu Tumasik dan Brunei 

(Slametmulyana: 1979).

Negeri Majapahit memiliki aturan perundangan yang 

meng atur tata kehidupan rakyat Majapahit yang disebut 

Kutara Manawa. Kitab Kutara Manawa mengatur berbagai aspek 

tentang hukum baik pidana maupun perdata. Agama resmi 

negara terdiri dari Siwa, Budha, dan Brahma. Kehidupan 

keagamaan ini sangat mempengaruhi pola tata kehidupan 

warga  Majapahit, yang dikelompokkan ke dalam empat 

golongan warga  (warna) berdasar  kastanya, yang 

terdiri dari brahmana, ksatriya, waisya, dan sudra. Namun di luar 

kelompok itu masih terdapat golongan Candaka, Mleccha, dan 

Tuccha (Slametmulyana: 1979). 

Majapahit yang tadinya merupakan sebuah desa kemu­

dian berkembang menjadi sebuah kota yang berfungsi sebagai 

87Desa-Desa Megalitik di Negeri Majapahit 

pusat pemerintahan Negeri Majapahit. Wilayah di luar pusat 

pemerintahan berupa daerah bawahan, yang terdiri dari 

kerajaan­kerajaan bawahan yang juga dipimpin oleh seorang 

raja bawahan. Organisasi pemerintahan di dalam kerajaan 

bawahan sama persis dengan organisasi pemerintahan pusat, 

yaitu raja, patih amangkubumi, dan lima pejabat utama di 

bidang administrasi negara yang terdiri dari patih, demung, 

kanuruhan, rangga, dan tumenggung. Selain itu, Negeri Majapahit 

juga memiliki wilayah bawahan yang bukan dipimpin oleh 

seorang raja, tetapi oleh seorang menteri amancanagara atau 

juga disebut juru. Organisasi pemerintahan di bawah menteri 

amancanagara terdiri dari beberapa tingkat, yaitu wedana, 

akuwu, dan buyut. Wedana membawahi wilayah pada tingkat 

semacam distrik atau kabupaten. Akuwu membawahi wilayah 

semacam kecamatan atau kelompok desa­desa, dan buyut 

yaitu  pembesar desa setingkat lurah (Slametmulyana: 1979).

Permasalahan yang muncul yaitu  adanya kontradiksi 

antara peraturan perundangan (Kutara Manawa) dan pembagian 

wilayah bawahan, yaitu adanya wilayah bawahan yang 

dipimpin oleh raja dan wilayah bawahan yang dipimpin oleh 

seorang menteri. Apakah aturan perundangan Kutara Manawa 

ini berlaku untuk seluruh rakyat Majapahit di seluruh 

pelosok negeri atau hanya terbatas untuk kalangan keluarga 

dan pejabat kerajaan saja? Masalah itu perlu mendapat 

perhatian mengingat pada kenyataannya di pinggiran Negeri 

Majapahit pada masa yang sama terdapat pula warga  yang 

hidup dengan budaya, kepercayaan, dan aturan yang sangat 

berbeda dengan Kutara Manawa. warga  ini yaitu  

pendukung budaya megalitik yang jejak­jejak kehidupannya 

ditemukan tersebar di wilayah Bondowoso, Situbondo, Jember, 

dan Banyuwangi.

88 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Tinggalan Megalitik di Jawa Timur

Tinggalan megalitik di Jawa Timur ditemukan tersebar 

di wilayah Bondowoso, Situbondo, Jember, dan Banyuwangi. 

Tinggalan megalitik di wilayah itu mulai dikenal sejak 

dilaporkan oleh H.E. Steinmetz (1898), H.R. Van Heekeren 

(1931), dan W.J.A. Willems (1938) yang dipublikasikan melalui 

terbitan Rapporten van Oudheidkundige Dienst jilid 3 (Willems, 

1938). Willems melakukan kegiatan penelitian berupa survei 

permukaan dan berhasil menemukan beberapa jenis tinggalan 

megalitik, antara lain batu kenong, sarkopagus, dolmen, batu 

dakon, menhir/batu tegak, punden berundak, dan arca batu. 

Benda­benda ini dalam konteks megalitik merupakan 

komponen permukiman, antara lain untuk bangunan tempat 

tinggal, bangunan pemujaan, dan penguburan. Laporan 

para pendahulu ini kemudian ditindaklanjuti dengan 

beberapa kegiatan penelitian oleh Balai Arkeologi Yogyakarta 

(1983, 1985, 1991). berdasar  jumlah temuan tinggalan 

megalitik yang melimpah dan sebaran yang sangat luas, serta 

kepadatan yang tinggi dapat dikatakan bahwa daerah Jawa 

Timur merupakan “kerajaan megalitik” yang “beribukota” di 

Bondowoso (Hidayat,2007). Hasil analisis terhadap tinggalan 

megalitik ini diuraikan di bawah ini: 

Batu Kenong Sebagai Umpak Rumah Megalitik

Salah satu jenis tinggalan megalitik yang paling menarik 

perhatian yaitu  batu kenong, yaitu batu andesit yang dipahat 

dengan bentuk silinder, pada salah satu ujungnya terdapat 

tonjolan, sehingga bagian itu menyerupai bentuk instrumen 

gamelan yang bernama kenong. Pada umumnya batu kenong 

89Desa-Desa Megalitik di Negeri Majapahit 

ditemukan pada posisi berdiri 

tegak, bagian kenongnya berada 

di atas dan bagian ujung yang 

lain terpendam di dalam tanah. 

Ukuran batu kenong sangat ber­

variasi, panjangnya antara 1­2 m, 

sedangkan diameter rata­rata 1 

m, dan tonjolan kenongnya ber­

ukuran antara 5­10 cm. Fungsi 

batu kenong ini seringkali diinter­

pretasikan sebagai umpak bangunan yang menggunakan tiang 

dari bambu. Lubang bambu diletakkan pada tonjolan kenong, 

sehingga mampu menahan tiang agar tidak bergeser. 

Jenis tinggalan ini selain jumlahnya paling banyak juga 

memiliki sebaran paling luas di antara temuan yang lain. 

Sebaran batu kenong paling padat terdapat di situs Pakauman 

di Bondowoso. Namun, saat ini banyak batu kenong yang 

ditemukan dalam kondisi roboh, sehingga keletakan sebaran 

batu kenong ini bersifat acak. Hal ini disebabkan sebab  

lokasi temuan sebagian besar berada di pemukiman penduduk 

dan di lahan pertanian, sehingga sangat memungkinkan lokasi 

temuan banyak yang tidak insitu lagi. Sebaran batu kenong 

yang berpola teratur ditemukan di situs Kodedek. Lokasi 

situs ini berada di atas punggung bukit di tepi hutan sehingga 

kondisi temuan lebih terjaga kelestariannya. Keteraturan pola 

sebaran ini dapat digunakan sebagai petunjuk tentang 

bentuk denah bangunannya.

Kegiatan penelitian di situs Kodedek berupa eksavasi 

dengan tujuan untuk mengungkap fungsi batu kenong dan 

batu tegak, terutama yang berkaitan dengan aspek arsitektur 

rumah megalitik Bondowoso. Hasil ekskavasi memperoleh 

Batu kenong dari Bondowoso

90 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

kesimpulan bahwa batu kenong di situs Kodedek berfungsi 

sebagai umpak bangunan. Hal ini tampak dari pola sebaran 

batu kenong yang masih insitu, membentuk bidang lingkaran 

dan persegi empat. Selain itu, data artefaktual dari dalam tanah 

membuktikan adanya sis­sisa aktifitas kehidupan keseharian 

yang dilakukan oleh manusia penghuninya.

Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh beberapa ahli 

tentang fungsi batu kenong. Pendapat pertama dikemukakan 

oleh Steinmetz, yang mengkaitkan bentuk fisik batu kenong 

dengan alat musik dari etnik Jawa (Steinmetz, 1898). Heekeren 

menghubungkan fungsi batu kenong sebagai umpak rumah 

panggung dan kemungkinan lain batu kenong yang ber­

kelompok berfungsi sebagai kuburan bersama (mass graves) 

(Heekeren, 1931). Pendapat Heekeren didukung pula oleh 

Willems yang menyatakan bahwa batu kenong berfungsi 

sebagai umpak rumah panggung (Willems, 1940).

Batu kenong formasi lingkaran

Pendapat mengenai fungsi batu kenong sebagai umpak 

rumah panggung tampaknya dapat dibuktikan dari hasil 

ekskavasi di situs Kodedek. Ekskavasi pada kelompok batu 

91Desa-Desa Megalitik di Negeri Majapahit 

kenong dengan formasi melingkar dan persegi mengindikasikan 

bahwa batu kenong ini berfungsi sebagai umpak rumah. 

Hasil ekskavasi menunjukkan ada perbedaan konstruksi 

antara batu kenong yang berada di sekeliling dan batu kenong 

yang berada di tengah (titik pusat lingkaran). Konstruksi batu 

kenong yang terletak di tengah diberi alas atau ditopang oleh 

lempengan batu, sedangkan batu kenong di sekeliling tidak 

dilakukan.

Fungsi lempengan batu ini sebagai penopang umpak 

yang berada di tengah bangunan. Posisi umpak yang berada 

pada titik pusat ling karan merupakan umpak yang menang­

gung beban paling berat, sehingga lempengan batu ini 

digunakan sebagai fondasi atau sebagai media pembagi beban 

ke permukaan tanah yang lebih luas. Dengan per lakuan ini 

beban berat dari bangunan di atasnya dapat terbagi ke bidang 

yang lebih luas, sebagai usaha agar umpak tidak melesak. 

Perbedaan konstruksi demikian juga terjadi pada formasi batu 

kenong persegi empat, yaitu hanya umpak di tengah yang 

dileng kapi dengan fondasi berupa lempengan batu. Perbedaan 

konstruksi ini membuk tikan 

bahwa batu kenong berfungsi 

sebagai umpak rumah (Sulistyarto, 

1991/1992)

Data yang mendukung bahwa 

bangunan di situs Kodedek yaitu  

bangunan rumah panggung 

tampak pada kelompok batu 

kenong dengan formasi melingkar 

dan dua buah batu kenong lagi 

ber ada di sisi luar arah tenggara 

dari formasi lingkaran tersebut. 

92 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Kedua batu kenong itu menunjukkan umpak bagian tangga 

dan pintu masuk, sehingga diduga bangunan rumah ini 

menghadap ke arah tenggara. Arah hadap bangunan ini sangat 

sesuai dengan morfologi permukaan bukit, yaitu sisi tenggara 

memiliki kelerengan lebih landai. 

Arsitektur rumah panggung pada umumnya menggunakan 

umpak sebagai penopang tiang, dan penyangga atap. Tiap 

umpak menopang sebuah tiang kayu yang masing­masing 

saling dikaitkan oleh kayu penyangga lantai rumah dan kayu 

kerangka atap. 

Keletakan umpak menun­

jukkan bentuk denah bangunan. 

Dengan demikian berarti bahwa 

arsitektur rumah megalitik di 

situs Kodedek terdiri dari dua 

bentuk denah, yaitu berbentuk 

bulat dan persegi empat, 

kedua nya menghadap ke arah 

tenggara. Jumlah tiang sesuai 

dengan jumlah umpak, yaitu 11 

buah tiang sebagai konstruksi 

penyangga rumah induk, dan 4 

buah tiang sebagai penyangga 

pintu masuk dan tangga.

Dugaan ini didukung pula oleh temuan artefaktual 

hasil ekskavasi, yaitu fragmen tembikar, arang, fragmen 

belincung, fragmen batu rijang, fragmen kaca, fragmen 

gigi, tulang binatang, dan moluska (lihat tabel). Jenis­

jenis temuan ini merupakan indikator kuat bahwa 

lokasi situs merupakan bekas hunian manusia. Fragmen 

tembikar merupakan sisa­sisa benda yang berfungsi sebagai 

93Desa-Desa Megalitik di Negeri Majapahit 

peralatan keperluan sehari­hari, terutama sekali berkaitan 

dengan kebutuhan akan wadah. Adapun arang merupakan 

sisa pembakaran yang merupakan indikator dalam suatu 

kehidupan manusia yang bersifat hunian. 

Selain itu, data lingkungan juga mendukung bahwa 

lokasi situs yang berdekatan dengan sungai sangat ideal 

untuk hunian, yaitu sebagai sumber air yang menyediakan 

kebutuhan utama manusia.

Sarkopagus

Sarkopagus yaitu  salah 

satu tinggalan mega litik yang 

berfungsi sebagai wadah kubur 

dalam sistem penguburan 

yang dikenal di Indonesia. 

Pada umumnya sarkopagus 

terbuat dari batuan, namun 

ada pula yang dibuat dari 

bahan kayu. Wadah kubur ini terdiri dari dua komponen, 

yaitu wadah dan tutup. Bentuk wadah kubur ini menye rupai 

dua buah perahu yang ditelangkupkan menjadi satu sehingga 

di dalamnya tercipta rongga 

sebagai ruang untuk mele­

takkan mayat. Bentuk utuh 

sarkopagus terdiri dari dua 

komponen, bagian bawah 

sebagai wadah, dan bagian 

atas sebagai tutup. 

Kedua bagian itu ber­

bentuk sama, apabila ada 

Sarkopagus sebelum diekskavasi

Sarkofagus setelah diekskavasi

94 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

perbedaan biasanya terdapat pada pola hias. Orientasi hiasan 

dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan antara 

wadah dan tutup. Pada umumnya sarkopagus berukuran besar 

dengan ukuran panjang minimal 2 m, lebar minimal 0,80 m. 

Ukuran wadah kubur ini memungkinkan untuk meletakkan 

mayat secara langsung (sistem primer) dengan posisi tubuh 

membujur/terlentang. 

Salah satu sarkopagus di Bondowoso menunjukkan 

petunjuk penting sebagai data pertanggalan. Hiasan yang 

dipahatkan pada sarkopagus berupa inskripsi yang menun­

jukkan angka tahun 1324 Çaka atau 1402 M. Dalam sejarah 

Indonesia angka tahun itu semasa dengan masa pemerintahan 

Majapahit.

Dolmen

Dolmen yaitu  salah satu tinggalan megalitik berupa 

susunan batu yang terdiri dari sebuah batu lebar yang di­

topang oleh beberapa batu lain, sehingga menyerupai bentuk 

meja (Soejono, 1984). Dolmen di situs Pakauman, Bondowoso 

pada umumnya terbuat dari batu andesit dengan ukuran 

panjang 100­200 cm, lebar 60­120 cm, tinggi 80­120 cm. Sampai 

saat ini ekskavasi pada dolmen di Bondowoso belum pernah 

dilakukan, sehingga belum diketahui konteksnya dengan 

artefak lepas, dan lapisan tanah di bawahnya. Dengan demikian 

fungsi dolmen dalam kehidupan megalitik belum diketahui. 

Namun, berdasar  penelitian pada dolmen di wilayah lain 

di Indonesia, Soejono berpendapat bahwa dolmen berfungsi 

sebagai altar/tempat untuk meletakkan sesaji pada upacara 

pemujaan arwah leluhur (Soejono, 1984).

95Desa-Desa Megalitik di Negeri Majapahit 

Batu Dakon

Batu dakon merupakan benda yang seringkali ditemukan 

di situs­situs megalitik, dan pada warga  sekarang 

benda ini tidak dikenal lagi. Lokasi penemuan batu dakon 

di situs­situs megalitik di Indonesia pada umumnya terletak 

pada lingkungan yang berdekatan dengan sumber air, atau 

pertemuan antar sungai. Bahkan pada beberapa situs lain, 

sampai saat ini batu dakon masih dikeramatkan dengan cara 

diberi sesaji pada waktu­waktu tertentu. Bahkan batu dakon 

diletakkan pada undakan teratas sebuah bangunan punden 

berundak, dan merupakan objek utama pemujaan. Penempatan 

ini memberi petunjuk bahwa batu dakon merupakan benda 

yang dianggap sakral. Lingkungan dan keletakannya meru­

pakan indikator bahwa batu dakon berfungsi sebagai sarana 

pemujaan terhadap alam, terutama terhadap unsur air. Selain 

itu benda ini berfungsi sebagai komponen dalam upacara 

pemujaan pada arwah nenek moyang terutama untuk 

memohon kesuburan.

Tinggalan batu dakon di situs Kodedek, di wilayah 

Bondowoso dibuat dari batu andesit, berbentuk lonjong dengan 

ukuran 85x67x43 cm. Bagian atas permukaan batu relatif rata 

dan memiliki sembilan buah lubang berbentuk cekungan. 

Permukaan batu pada bagian dalam cekungan sangat halus 

dengan ukuran kedalaman lubang rata­rata 10 cm. Ciri fisik 

ini menunjukkan bahwa benda ini pernah difungsikan secara 

intensif. Lokasi temuan batu dakon berada di tengah antara 

kelompok batu kenong berpola melingkar, dan kelompok batu 

kenong berpola segi empat.

96 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Menhir/Batu Tegak

Jenis temuan batu tegak 

berupa lempengan batu andesit 

yang didirikan dengan cara 

sebagian badannya ditanam 

di dalam tanah. Batu tegak di 

situs Kodedek berjumlah 4 buah 

dengan ukuran rata­rata tinggi 

60 cm, lebar 40 cm, tebal 15 cm. 

Batu tegak pertama terletak di sebelah utara, batu tegak kedua 

dan ketiga terletak di sebelah tenggara batu tegak pertama, 

sedangkan batu tegak keempat terletak di sebelah barat daya 

batu tegak pertama, masing­masing dengan jarak 2 m, di 

antara batu tegak ini terdapat lempengan­lempengan 

batu yang ditanam berjajar sehingga menyerupai bentuk huruf 

“L” (lihat gambar). Hasil ekskavasi di lokasi ini menunjukkan 

bahwa batu tegak ini ternyata tertanam jauh ke dalam 

tanah hingga mencapai kedalaman 1.6 m. Susunan batu tegak 

ini berfungsi sebagai dinding dari ruangan di dalam 

tanah yang berdenah bidang persegi sama sisi (masing­masing 

berukuran 2 m). Pada bagian dasar terdapat lantai dari batu. 

Bentuk bangunan ini menyerupai bangunan megalitik kamar 

batu (stone chamber) di situs Pasemah, Sumatera Selatan, yang 

berfungsi sebagai tempat penguburan (Hoop, 1932)

Punden Berundak

Sebuah bangunan punden berundak yang berfungsi 

sebagai tempat melaksanakan upacara pemujaan ditemukan 

di daerah Tlogosari, Bondowoso. Temuan permukaan pada 

Menhir untuk struktur stone 

chamber

97Desa-Desa Megalitik di Negeri Majapahit 

punden berundak ini berupa fragmen batu bata lepas 

berukuran besar, lumpang batu (2 buah), batu tegak dalam 

posisi berpasangan pada umumnya berfungsi sebagai tanda 

kubur (10 pasang), dan batu tegak sebagai pembatas jalan dan 

pintu masuk (2 pasang), dan umpak batu.

Arca Batu

Arca megalitik di temukan di situs Pekauman, Bondowoso. 

Arca ini dibuat dari batu andesit dan dipahat untuk 

menggambarkan bentuk figur manusia. Ukuran arca sebesar 

ukuran manusia dewasa, bahkan pada beberapa bagian tubuh 

digambarkan berukuran besar. 

Desa-desa Megalitik di Jawa Timur 

Penelitian mengenai permukiman megalitik telah dila­

kukan oleh Sukendar (1984), yang bertujuan melakukan 

rekonstruksi permukiman megalitik melalui analogi etnografi. 

berdasar  hasil penelitian itu dapat disimpulkan bahwa 

permukiman megalitik pada dasarnya dapat dibagi menjadi 

dua kategori, yaitu permukiman komunitas dan permukiman 

zonal. Permukiman komunitas merupakan permukiman tingkat 

desa atau situs yang keberadaannya banyak dipengaruhi oleh 

kuatnya organisasi kekerabatan. Bentuk permukiman zonal, 

menurut Sukendar lebih bersifat hubungan antar situs dan 

pengelolaan areal situs di luar komunitasnya. Secara umum 

Sukendar menyimpulkan bahwa permukiman megalitik di 

Indonesia yang sampai saat ini masih berlangsung terdiri 

atas berbagai aspek, yaitu: tempat tinggal, tempat pemujaan, 

tempat penguburan, tempat upacara, tempat pertanian, 

98 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

tempat perburuan, tempat pengambilan hasil hutan, tempat 

penangkapan ikan, dan pasar (Sukendar, 1994). Aspek­aspek 

data etnografis ini ternyata lebih kompleks bila dibandingkan 

dengan data artefaktual yang terdapat pada situs­situs 

megalitik di Indonesia.

Penerapan konsep ini dapat digunakan untuk 

merekonstruksi pola permukiman megalitik di Jawa Timur 

(Bondowoso, Situbondo, Jember, dan Banyuwangi). Sebaran 

situs megalitik yang begitu luas, keragaman bangunan yang 

beraneka dan intensitas temuan yang padat menunjukkan 

bahwa pemukiman megalitik di Jawa Timur berada pada 

permukiman tingkat zonal yang di dalamnya terdiri dari 

sejumlah komunitas berupa perkampungan atau desa

Pertanggalan Permukiman Megalitik di Jawa Timur

Data pertanggalan berlangsungnya kehidupan tradisi 

megalitik di Kawasan Jawa Timur di wilayah Bondowoso, 

Situbondo, Jember, dan Banyuwangi diperoleh dari berbagai 

sumber. Data pertanggalan dari situs Krajan di Situbondo 

menggunakan metode pertanggalan analisa karbon menun­

jukkan umur 1250±240 BP atau sekitar 1000­1500 tahun yang 

lalu (abad VI­X M). Data pertanggalan lain diperoleh pula 

dari inskripsi yang dipahatkan pada sebuah Sarkopagus yang 

menunjukkan angka tahun 1324 Çaka atau 1402 M (Prasetyo: 

1999, 2008). berdasar  kedua data pertanggalan ini 

menunjukkan bahwa pada sekitar abad VI hingga awal abad 

XV M, budaya megalitik di situs ini masih berkembang. 

Hal ini berarti pula bahwa pada saat Negeri Majapahit mulai 

berdiri, mencapai puncak kejayaannya, bahkan hingga 

keruntuhannya, di daerah Bondowoso, Situbondo, Jember, 

99Desa-Desa Megalitik di Negeri Majapahit 

dan Banyuwangi berkembang pula kehidupan warga  

dengan budaya megalitik. Pola permukiman warga  

dengan budaya megalitik yang menyebar dengan bentuk 

perkampungan atau desa­desa.

Penutup

berdasar  uraian di atas dapat diambil kesimpulan 

bahwa:

1. Sebaran tinggalan megalitik di Kawasan Jawa 

Timur di wilayah Bondowoso, Situbondo, Jember, 

dan Banyuwangi merupakan data permukiman 

perkampungan atau desa­desa bercorak megalitik

2. Salah satu bentuk arsitektur rumah yang digunakan 

yaitu  rumah panggung yang menggunakan batu 

kenong sebagai umpak/penyangga tiang

3. Data pertanggalan menunjukkan bahwa antara 

keberlangsungan kehidupan desa­desa megalitik 

di Kawasan Jawa Timur memiliki kesamaan waktu 

dengan berkembangnya Kerajaan Majapahit


M ajapahit yaitu  sebuah kerajaan besar pada masa Indonesia kuna. Majapahit yang didiri­kan oleh Raden Wijaya dari hutan Tarik, 

berkembang menjadi sebuah kerajaan, yang makin lama 

makin kuat dan besar, serta mencapai kejayaannya pada masa 

pemerintahan Hayam Wuruk yang didampingi oleh Sang 

Mahapatih Gajah Mada.

Upaya untuk mencari lokasi ibukota Majapahit telah 

dilakukan sejak lama, dimulai pada abad XIX M oleh Gubernur 

Jenderal Raffles, kemudian dilanjutkan oleh Maclaine Pont 

(1924) dengan melakukan penggalian di situs Trowulan di 

Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Maclaine Pont merekons­

truksi kota Majapahit di Situs Trowulan berdasar  

102 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

gambaran dari naskah Nagarakretagama. Sejak tahun 1976 

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan penelitian 

permukiman kota kuna di Situs Trowulan itu secara intensif 

(Rangkuti, 2000: 1). Serangkaian kegiatan penelitian telah 

berhasil mengungkapkan berbagai peninggalan arkeologi dari 

masa Majapahit di kawasan tersebut, antara lain berupa candi, 

gapura, pemandian, kolam, kanal­kanal buatan, struktur­

struktur bata, umpak­umpak batu, fragmen keramik, fragmen 

gerabah, dan mata uang logam (Rangkuti, 2000: 16). Hasil­

hasil penelitian ini telah memberikan gambaran bahwa 

Situs Trowulan merupakan situs kota yang diyakini sebagai 

ibukota Majapahit.

Bukti kejayaan Majapahit yang telah berhasil memper­

satukan Nusantara tidak terbatas di Trowulan saja, melainkan 

juga di berbagai daerah yang pernah dikuasainya, salah 

satunya di daerah Blitar. Oleh sebab  itu, tulisan ini tidak 

bertujuan untuk membahas tinggalan­tinggalan arkeologis 

di situs Trowulan, melainkan ingin mengetahui bukti­bukti 

kejayaan Majapahit di Blitar, salah satu tempat yang pernah 

dikunjungi Hayam Wuruk dalam perjalanannya ke desa­

desa wilayah Majapahit. Kunjungan itu tertulis dalam kitab 

Nāgarakretāgama atau dikenal juga sebagai Desawarnana. 

Blitar sekarang yaitu  sebuah kota kecil di Jawa Timur bagian 

selatan, ibukota Kabupaten Blitar. Daerah itu sarat dengan 

tinggalan sejarah masa Hindu­Buddha, yaitu sejak jaman Kadiri 

sekitar abad XII M hingga akhir masa kerajaan Majapahit. 

Banyaknya tinggalan arkeologis dari masa Majapahit yang 

terdapat di wilayah Kabupaten Blitar menunjukkan bahwa 

daerah ini mempunyai peran penting pada masa lalu, 

khususnya masa Majapahit.

103Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar 

Tidak mengherankan jika di daerah Blitar banyak ting­

galan arkeologis dari masa Majapahit, sebab  memang daerah 

kekuasaan Majapahit sangat luas meliputi seantero Nusantara. 

Permasalahannya yaitu  tinggalan arkeologis manakah yang 

menunjukkan sisa­sisa kejayaan Majapahit. Peran apakah yang 

telah dimainkan oleh daerah Blitar pada masa itu, sehingga 

tinggalan­tinggalan penting dari masa Majapahit banyak 

terdapat di wilayah tersebut.

Situs-Situs Candi di Blitar

Di sebelah utara Kabupaten Blitar terdapat sebuah gunung 

yang aktif yaitu Gunung Kelud (1731 meter). Dua buah sungai 

yang berhulu di lereng atas gunung itu dan mengalir ke daerah 

Blitar yaitu  Sungai Bladak dan Sungai Putih. Sungai Bladak 

mengalir ke baratdaya Blitar di wilayah Kecamatan Ponggok, 

sedangkan Sungai Putih mengalir ke selatan dan bermuara di 

Sungai Brantas. Melalui kedua sungai itu pulalah material lava 

Gunung Kelud dialirkan ke daerah Blitar. Material lava itulah 

yang sebagian telah mengubur situs­situs candi yang berada 

di lereng barat dan selatan Gunung tersebut. 

Aliran Sungai Bladak memiliki gosong sungai di daerah 

Gambar. Di tepi sungai ini terdapat situs Candi Gambar 

Wetan atau sering disebut Candi Bodo, yang secara administratif 

berada di Dusun Perkebunan Gambar, Desa Sumberasri, 

Kecamatan Nglegok. Candi Gambar Wetan mempunyai 

pola halaman yang terbagi menjadi tiga disusun berundak 

ke belakang. Pada halaman pertama terdapat sebuah arca 

dwarapala, di halaman kedua tidak ada temuan, di halaman 

ketiga terdapat candi induk dan 2 buah arca dwarapala. Candi 

induk berupa batur dengan penampil berupa tangga masuk 

104 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

di sebelah barat berukuran 4 x 5,5 m. Pada masing­masing 

lapik arca kedua dwarapala itu terdapat angka tahun Jawa 

Kuna yaitu 1260 Ç (1338 M) dan 1293 Ç (1371 M). berdasar  

pertanggalan ini Candi Gambar Wetan diperkirakan 

merupakan bangunan suci masa Majapahit dari dua periode 

pemerintahan, yaitu tahun 1260 Ç (1338 M) masa pemerintahan 

Tribhuwana Tunggadewi dan tahun 1293 Ç (1371 M) masa 

pemerintahan Hayam Wuruk (Anonim, 2009: 21­27).

Candi Induk Panataran

Di daerah Gambar, Sungai Bladak bercabang dua, salah 

satunya yaitu  sungai Lahar yang mengalir melewati bagian 

barat situs Candi Panataran. Candi ini terletak di Desa 

Panataran, Kecamatan Nglegok. Candi Panataran atau Candi 

Palah yang mempunyai arah hadap ke barat itu merupakan 

candi terbesar di Jawa Timur. Kompleks candi ini didirikan 

secara bertahap yang tampak dari banyaknya angka tahun yang 

dipahatkan di bagian­bagian gugusan candinya. Angka­angka 

tahun itu yang tertua 1119 Ç (1197 M) dan termuda 1376 Ç 

(1454 M). Kompleks ini diperuntukkan bagi Çiwa raja gunung 

105Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar 

atau Girindra. Terdiri atas tiga halaman berurutan dari barat 

ke timur. Halaman utama terletak paling belakang (timur). 

Pada halaman pertama terdapat dua buah batur pendapa, satu 

di antaranya berhiaskan relief­relief cerita yaitu Çri Tanjung, 

Bubuksah dan Gagang Aking, serta beberapa cerita Panji. Di 

halaman II terdapat sebuah candi yang berangka tahun 1291 

Ç (1369 M), sehingga disebut Candi Angka Tahun. Selain itu 

juga terdapat sebuah candi dengan relief naga. Pada halaman 

III (halaman utama) terletak candi induknya. Candi induk 

Panataran tinggal bagian kaki yang terdiri atas tiga teras. 

Relief yang mengelilingi candi induk terdiri atas relief pengisi 

bidang dan relief cerita. Relief pengisi bidang berupa medalion­

medalion bergambar binatang dengan ekor berupa tumbuh­

tumbuhan atau bunga­bungaan, sedangkan relief cerita yaitu 

Ramayana dan Krsnayana (Kempers, 1959: 90­92).

Di lereng barat Gunung 

Kelud tepatnya di Desa Candirejo, 

Kecamatan Ponggok juga terdapat 

sebuah candi yang terbuat dari 

bata dan batu andesit yaitu Candi 

Kalicilik. Candi ini masih cukup 

lengkap, hanya bagian atapnya 

yang tidak utuh. Pintu candi 

menghadap ke barat, sedangkan 

pada sisi­sisi lainnya terdapat 

pintu semu. Di atas pintu masuk 

maupun pintu semu terdapat 

hiasan kepala kala. Selain hiasan 

kepala kala, di atas pintu masuk 

candi juga terdapat pahatan 

angka tahun 1271 Ç (1369 M). 

Candi Kalicilik Sumber: files.

myopera.com

106 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Dari angka tahun itu dapat diketahui bahwa Candi Kalicilik 

merupakan peninggalan masa Majapahit pada pemerintahan 

Tribhuwanatunggadewi. Bilik candi dalam keadaan kosong, 

pada bagian cungkup candi terdapat relief Surya Majapahit 

(Anonim, 2009: 17­19). Oleh Raffles Candi Kalicilik ini disebut 

Candi Genengan, sebab  letaknya di dekat Desa Genengan 

(Raffles, 2008: 382; Anonim, 2009: 20). Menurut Agus Aris 

Munandar kemungkinan Candi Kalicilik yaitu  Kagenengan, 

tempat pendarmaan Ken Arok. Angka tahun yang terdapat 

pada pintu masuk candi kemungkinan merupakan peringatan 

perbaikan atau pemugaran bangunan yang telah ada pada masa 

Singasari (Munandar, 2005: 3­4; Anonim, 2009: 20).

Sungai Putih dan anak­anak sungainya mengalir mem­

bawa material lava ketika terjadi erupsi Gunung Kelud, 

dan merusak situs­situs candi yang terletak di sekitarnya. 

Di daerah Menjanganmalung sungai ini bercabang 

dua, di sebelah barat yaitu  anak sungai Glondong, dan di 

sebelah timur yaitu  Sungai Putih dan Sungai Landing. Di 

Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar 

terdapat Candi Wringin Branjang. Candi yang berdiri di 

lereng tertinggi Gunung Kelud ini dibuat dari balok­balok 

batu andesit. Strukturnya sederhana, tidak mempunyai kaki, 

hanya mempunyai tubuh dan atap candi saja (Siagian, 2002: 

153). Menarik perhatian bahwa Candi Wringin Branjang ini 

menghadap ke selatan. 

Di Desa Sumberagung Kecamatan Gandusari terdapat 

situs Candi Sumberagung, yang sebagian terbenam oleh 

endapan lava. Candi Sumberagung yang semula berdiri di 

tengah Sungai Putih ini dibuat dari batu andesit. Komponen 

bangunan sekarang tinggal bagian kaki, dan di tengahnya 

terdapat lubang bekas sumuran. Sisa bangunan candi yang 

107Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar 

menghadap ke timur itu diekskavasi oleh tim peneliti Balai 

Arkeologi Yogyakarta pada tahun 1982. Akan tetapi ketika 

Gunung Kelud meletus pada tahun 1990 sebagian bangunan 

candi ini terbenam kembali.

Candi Sawentar Lor (I)

Pada jarak 1,7 km di sebelah timur Candi Sumberagung 

terdapat Candi Kotes, yang terletak di Desa Sukasewu 

Kecamatan Gandusari. Candi yang terbuat dari batu andesit 

ini terdiri dari dua bangunan yang menghadap ke 

barat. Bangunan di depan berupa batur candi yang di atasnya 

berdiri tiga miniatur candi dengan bangunan altar pemujaan. 

Bangunan yang terletak di belakangnya berupa bangunan batur 

candi berdenah empat persegi panjang. Di atasnya terdapat 

umpak­umpak dari batu andesit. Pada sisi depan kedua batur 

itu terdapat angka tahun, masing­masing yaitu  1222 Ç (1300 

M) dan 1223 Ç (1301 M). berdasar  angka tahun ini 

candi ini diperkirakan berasal dari masa pemerintahan Raden 

108 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Wijaya, raja pertama Majapahit (Tim Penggali dan Perumus 

Hari Jadi Kabupaten Blitar, 1976: 39­40; Anonim, 2009: 15).

Sekitar 300 m di sebelah timurlaut Candi Kotes terdapat 

situs Candi Sukosewu. Situs ini berupa bangunan altar 

dan miniatur bangunan. Arah hadap altar ini ke selatan 

dengan orientasi ke puncak Gunung Kelud. Candi Kotes dan 

Candi Sukosewu terletak di dekat Sungai Mlalo yang berhulu 

di Gunung Pisang, yang merupakan bagian dari Gunung 

Kelud.

Di daerah dataran di selatan Gunung Kelud juga terdapat 

situs­situs candi, yaitu situs Candi Sawentar Lor (I) dan situs 

Candi Sawentar Kidul (II). Kedua candi ini terletak di Dusun 

Centong, Desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro dan berada di 

tepi sungai kuna yang kini alirannya sudah mati yaitu Sungai 

Ngasinan. Material­material lava berupa pasir kasar, kerikil, 

kerakal, dan batu­batu besar yang ditemukan saat ekskavasi 

Candi Sawentar kidul, berasal dari aliran Sungai Putih. Candi 

Sawentar Lor (I) berada di sebelah timur Sungai Ngasinan dan 

menghadap ke barat atau menghadap ke sungai, sedangkan 

Candi Sawentar Kidul berada di sebelah barat sungai dan 

menghadap ke barat juga atau membelakangi sungai. Kedua 

candi ini juga mempunyai bentuk arsitektur yang berbeda. 

Candi Sawentar Lor (I) mewakili arsitektur awal Majapahit, 

sedangkan Candi Sawentar Kidul (II) mewakili arsitektur 

akhir Majapahit. Candi Sawentar Lor (I) tidak memuat angka 

tahun, tetapi dari berbagai ciri khasnya termasuk dalam seni 

bangun Majapahit (Soekmono, 1993: 73), sedangkan Candi 

Sawentar Kidul (II) didirikan tahun 1436 M (Tjahjono, 2000: 

42). Candi Sawentar Lor (I) terbuat dari batu andesit dan masih 

tampak utuh, terdiri dari batur, kaki, tubuh, dan atap. Candi 

ini menghadap ke barat dengan penampil di bagian depan. Di 

109Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar 

kanan kiri pintu masuk dihiasi dengan kepala naga yang sudah 

aus. Pada sisi utara, timur, dan selatan tubuh candi terdapat 

pintu semu dengan hiasan kala di bagian atas. Di bagian atas 

bilik candi terdapat relief surya majapahit dengan tokoh dewa 

menunggang kuda. Di dalam bilik juga terdapat yoni dengan 

hiasan garuda sedang terbang. Adanya hiasan surya majapahit 

menunjukkan bahwa candi ini termasuk dalam periode awal 

Majapahit sebab  hiasan surya majapahit merupakan lambang 

Kerajaan Majapahit 

Candi Kotes

Penelitian yang telah dilakukan bebe rapa kali di situs 

Candi Sawentar Kidul (II) telah berhasil mengungkap denah 

bangunan dan pagar halaman candi. Pagar halaman terbuat dari 

bata berbentuk empat persegi panjang dengan luas 29,70 x 38,80 

m². Halaman seluas itu terbagi menjadi dua bagian, halaman 

utara dengan luas 21, 30 x 29,70 m² dan halaman selatan dengan 

luas 17,50 x 29,70 m². Masing­masing halaman mempunyai 

pintu gerbang di sebelah barat. Halaman utara lebih tinggi 

110 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

dari halaman selatan, yang tampak dari perbedaan ketinggian 

masing­masing ambang pintu bawahnya dan perbedaan 

ketinggian dasar dinding pagar halaman utara dengan 

dinding pagar halaman selatan. Pada masing­masing halaman 

ditemukan sebuah gugusan candi yang sebagian besar terbuat 

dari batu andesit dan sebagian lagi terbuat dari bata. Gugusan 

candi di halaman utara 

terdiri dari dua buah 

batur berdenah empat 

persegi panjang berjajar 

melintang utara­selatan. 

Batur di sebelah timur 

terbuat dari batu andesit, 

di atasnya terdapat dua 

buah pondasi bangunan 

berdenah bujursangkar. 

Sedangkan batur di sebelah barat juga berdenah empat persegi 

panjang. Pada bagian luar terbuat dari batu andesit tetapi 

bagian dalamnya terbuat dari bata. Di atas batur tidak terdapat 

bangunan apapun. Di sebelah baratnya terdapat dua buah 

pondasi bangunan dari bata berbentuk bujursangkar. Bangunan 

ini berukuran kecil dan tinggal dua lapis bata saja. Di halaman 

selatan gugusan candinya hampir sama bentuk dan ukurannya 

dengan gugusan candi di halaman utara, yang berbeda hanya 

pada batur­baturnya. Batur sisi timur berbentuk bujursangkar 

yang berdiri sendiri­sendiri, masing­masing menyangga 

pondasi bangunan yang di atasnya terdapat bangunan 

berbentuk kubus dengan masing­masing dindingnya terdapat 

relief binatang. Di bawah batur yang ter buat dari batu andesit 

ini terdapat empat lapis bata yang me nyangga masing­masing 

batur tersebut. Di sebelah baratnya terdapat batur ber bentuk 

Candi Sukosewu

111Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar 

empat persegi panjang melintang utara selatan yang terbuat 

dari bata (Tjahjono, 2006: 34­35). Melalui penelitian juga, telah 

berhasil diidentifikasi 3 angka tahun, salah satunya berupa 

angka tahun yang terdapat di ambang pintu (relung) miniatur 

candi yaitu tahun 1358 Ç (1436 M), sedangkan lainnya berupa 

sengkalan memet terdapat pada panil­panil berrelief binatang 

yang berbunyi “Nagaraja anahut surya” berarti tahun 1318 Ç 

(1396 M) dan “Ganeça inapit mong anahut Surya” berarti tahun 

1328 Ç (1406 M) (Tjahjono, 2000: 35).

Candi Wringin Branjang

Agak jauh di daerah Blitar selatan terdapat Desa Sumberjati 

yang termasuk wilayah Kecamatan Kademangan. Di desa ini 

terdapat tinggalan arkeologis berupa sisa­sisa bangunan candi 

yang dikenal sebagai Candi Sumberjati atau Candi Simping. Di 

candi ini terdapat pahatan angka tahun 1283 Ç (1361 M) yang 

menunjukkan tahun pendirian bangunan tersebut. Di candi 

ini juga ditemukan arca Harihara yang merupakan perpaduan 

112 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

antara Dewa Çiwa dengan Dewa Wisnu. Arca ini sekarang 

disimpan di Museum Nasional Jakarta. Candi Sumberjati 

merupakan bangunan pendharmaan Raja Kertarajasa. Candi 

yang terbuat dari batu andesit ini berdiri di atas pondasi bata. 

Denah bangunan berbentuk bujursangkar dengan arah hadap 

ke barat. Komponen bangunan yang tersisa tinggal pondasi 

dan sebagian kaki candi 

Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar

Banyaknya tinggalan candi­candi masa Majapahit di Blitar 

menunjukkan bahwa daerah ini pada masa itu memegang peran 

penting dalam kehidupan politik dan religiusnya. berdasar  

angka­angka tahun yang terdapat pada komponen­komponen 

Candi Panataran maupun candi­candi lain dapat diketahui 

berasal dari abad 12 sampai dengan abad 15 M. Jadi meliputi 

awal berdirinya Kerajaan Majapahit sampai akhir Majapahit. 

Di Blitar juga terdapat candi­candi dari yang berukuran kecil, 

sedang, sampai candi yang kompleks dan terbesar di Jawa 

Timur. Pentingnya daerah Blitar ini tampak juga dari seringnya 

daerah ini dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk. 

Dua buah candi di daerah Blitar yang sering dikunjungi 

oleh Hayam Wuruk yaitu  Candi Sumberjati atau Candi 

Simping dan Candi Panataran atau Candi Palah. Candi 

Sumberjati yang terletak di daerah Blitar selatan yaitu  sebuah 

candi pendharmaan Kertarajasa, pendiri dan raja pertama 

Majapahit. Dia yaitu  leluhur raja Hayam Wuruk, sehingga 

sudah kewajibannya untuk mengunjungi bahkan memelihara 

tempat pendharmaan leluhur tersebut. 

Dari kitab Nagarakretagama dan kitab Pararaton diketahui 

bahwa pembangunan candi pada masa Majapahit bertalian erat 

113Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar 

dengan peristiwa wafatnya seorang raja. Sebuah candi didirikan 

untuk mengabadikan dharma-nya dan memuliakan rohnya yang 

telah bersatu dengan dewa penitisnya. Oleh sebab  itu, sebutan 

untuk candi yaitu  dharma atau sudharma, sedangkan raja yang 

telah meninggal itu dhinarma atau di­dharma­kan (Soekmono, 

1993: 67). Arca yang didirikan dalam candi ini dikenal 

sebagai arca perwujudan. Arca perwujudan itu merupakan 

penggambaran seorang raja yang dipuja sebagai dewa, yang 

sering disebut sebagai kultus Dewaraja. Munculnya bentuk 

arca perwujudan itu sebab  adanya percampuran unsur­unsur 

kebudayaan Hindu dengan unsur kebudayaan asli Indonesia, 

yaitu pemujaan arwah nenek moyang (Stutterheim, 1931: 5). 

Di Sumberjati ditemukan sisa­sisa bangunan candi, namun 

arca perwujudan yang ditemukan di situs ini bukan arca 

Çiwa –sebagaimana disebutkan dalam Nagarakretagama– 

melainkan arca Harihara. Candi Simping atau Candi Sumberjati 

ini menurut kitab Nagarakretagama merupakan salah satu 

candi pendharmaan raja atau yang sering disebut sebagai 

dharma haji 

Menurut Bernet Kempers, Sumberjati disamakan 

dengan Simping, yaitu nama tempat yang terdapat dalam 

Nagarakretagama sebagai “Çiwapratista” atau tempat arca 

Çiwa (Kempers, 1959: 82). Dalam Nagarakretagama diterang­

kan bahwa Simping terletak di sebelah selatan Blitar, seperti 

disebutkan dalam pupuh LXI bait 3 dan 4, yang berbunyi 

(Pigeaud, 1960: 46):

“jañjan sańke balitar ańidul tūt/mārgga,

sĕńkān/poryyaŋ gataraşa tahĕnyādoh wwe,

ndah prāpteŋ lodaya sira piraŋ rātryāńher,

çakte rūmniń jaladi jinajah tūt pińgir.” (bait 3)

114 Majapahit :  Batas Kota dan