Tampilkan postingan dengan label d-n-aidit-biografi. 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label d-n-aidit-biografi. 3. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Juli 2025

d-n-aidit-biografi. 3



 ng akan melakukan kudeta. Aidit pula yang 

memerintahkan penangkapan para jenderal.

Buku ini menyebut Aidit sebagai sosok yang amat dekat dengan Soekarno, dan 

memanfaatkan kedekatan itu untuk kepentingannya sendiri. Aidit dituding sebagai orang 

yang selalu menjelek-jelekkan tentara di hadapan Soekarno. Ia bahkan dituding sebagai 

sosok yang menyaring informasi yang akan disampaikan kepada Presiden. Ketika itu, 

71

Presiden tidak bisa mengandalkan informasi intelijen karena dalam kalangan tentara 

sendiri terjadi kesimpang-siuran akibat penyusupan orang-orang PKI.

Aidit adalah dalang G30S/PKI. Demikian buku kontroversial Siapa Menabur Angin akan 

Menuai Badai yang dikarang Soegiarso Soerojo pada 1988. Dituliskan bahwa Aidit 

sebenarnya baru akan merencanakan kudeta pada 1970. Namun dokumen yang berisi 

instruksi agar seluruh pimpinan PKI bersiap memuluskan rencana itu bocor. ”Seperti 

disambar geledek di siang bolong, D.N. Aidit yang ketahuan belangnya menjadi sangat 

marah,” tulis Soegiarso. Inilah yang membuat Aidit mempercepat kudeta menjadi 1965.

Soetopo Soetanto dalam kumpulan tulisan Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten 

Komunis menyebutkan kelihaian Aidit memanfaatkan tentara untuk membunuh para 

jenderalnya sendiri. ” Bahwa cara kerja PKI harus konspiratif,” demikian buku ini mengutip 

konstitusi PKI yang merupakan ide Aidit. Pemimpin Politbiro PKI ini pun memerintahkan 

infiltrasi ke tubuh militer. Para tentara yang sebelumnya memiliki latar belakang PKI 

didekati dan dipakai untuk melancarkan kudeta 1965.

Dalam Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia, Aidit digambarkan 

sebagai sosok yang anti-Tuhan. Koran-koran berhaluan komunis memproklamasikan 

Pancasila tanpa sila pertama. ”Juga dalam kesempatan berpidato di depan peserta 

Pendidikan Kader Revolusi 1964, D.N. Aidit berkata bahwa sosialisme, kalau sudah tercapai 

di Indonesia, maka Pancasila tak lagi dibutuhkan sebagai alat pemersatu,” begitu tertulis 

dalam buku keluaran Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan, Jakarta.

Tribuana Said dan D.S. Moeljanto dalam Perlawanan Pers Indonesia BPS Terhadap Gerakan 

PKI menceritakan buntut panjang pidato Aidit itu. Pers pun terbelah, berbagai golongan 

mengecam Aidit. Pro-kontra berakhir setelah Wakil Perdana Menteri Chaerul Saleh 

memerintahkan semua pihak menghentikan polemik pidato tersebut. Aidit pun sempat 

mengatakan bahwa pidatonya dipelintir harian Revolusioner, padahal ia tidak bermaksud 

mengatakan bahwa Pancasila tak lagi diperlukan.

Ini tak jauh berbeda dengan buku-buku pelajaran sekolah yang memuat versi pemerintah 

Orde Baru. Buku Sejarah Nasional Indonesia, misalnya, jelas-jelas menyebut PKI dan Aidit 

72

sebagai dalang tunggal peristiwa 1965. Buku yang antara lain dikarang oleh Nugroho 

Notosusanto itu menuai kontroversi karena menghujat Soekarno dan menyanjung 

Soeharto sebagai penyelamat bangsa. Di buku itu, juga buku-buku pelajaran lain, 

digambarkan sosok Aidit yang kejam, bengis, dan tak percaya pada Tuhan alias ateis.

Dalam suatu kesempatan, Aidit mengemukakan prinsip dan pilihan hidupnya kepada 

Murad. ”Kau tahu, aku memang tidak akan menjadi pahlawan keluarga. Pahlawan keluarga 

itu terlalu sederhana dan amat egois. Kita harus menjadi pahlawan bangsa.” Kita tahu, 

ucapan Aidit ini tak berujung sebagaimana yang ia harapkan. Ia tak akan pernah tercatat 

sebagai pahlawan.

73

Aidit dalam Bingkai Nawaksara

Oleh:  Asvi Warman Adam; Peneliti LIPI

Pertanyaan seberapa besar atau seberapa kecil peran Aidit dalam Gerakan 30 September 

mengimplikasikan bahwa ia terlibat dalam manuver politik tingkat tinggi tahun 1965. 

Versi-versi dalang peristiwa tersebut yang selama ini bersifat tunggal (PKI, Angkatan 

Darat, Soekarno, Soeharto, CIA, dst.) tak luput dari kritik. Peristiwa yang begitu kompleks 

tidak mungkin dilakukan satu orang, satu kelompok, atau satu golongan saja. Dalang 

peristiwa itu lebih dari satu, sehingga analisis Bung Karno sebagaimana disampaikan dalam 

pidato Nawaksara tahun 1967 dianggap lebih tepat. Menurut Soekarno, peristiwa itu 

merupakan pertemuan tiga sebab: keblingernya pimpinan PKI, subversi Nekolim, dan 

adanya oknum-oknum yang tidak benar.

Kalau digunakan matematika sederhana, andil masing-masing pihak yang disebut dalam 

pidato Nawaksara itu 33,33 persen. Tulisan ini mencoba mengelaborasi persentase tersebut. 

Mana yang lebih menentukan, pihak asing atau unsur dalam negeri?

Pimpinan PKI yang ”keblinger” itu adalah Biro Chusus yang diketuai langsung Aidit di 

mana Sjam Kamaruzzaman boleh dikatakan direktur eksekutifnya. Nekolim 

(Neokolonialisme) tentu mengacu kepada Amerika Serikat (AS), sungguhpun arsip yang 

terbuka belakangan memperlihatkan bahwa Inggris dan Australia juga mendukung 

sepenuhnya gebrakan membasmi komunis. Namun dalam kategori pihak asing itu tentu 

tidak dapat diabaikan peran Uni Soviet (termasuk Pakta Warsawa, konon agen asal Cek, 

Ladislav Bittman, terlibat) dan RRC. Sebelum meletusnya Gerakan 30 September, dokter-

dokter Cina telah keluar-masuk Istana Presiden. Arsip Jepang mengenai tahun 1965 juga 

perlu diperiksa.

Rumusan ”oknum yang tidak benar” itu konon penghalusan dari ”jenderal yang tidak 

benar”. Proses penulisan pidato Nawaksara itu sendiri perlu diteliti karena Soekarno 

meminta masukan dari beberapa tokoh. Apakah yang dituju Soekarno adalah Soeharto 

(yang pada masa awal beraliansi dengan Nasution)? Atau termasuk juga Untung dan 

Latief?

”Keblingernya” Aidit disebabkan situasi yang sangat meruncing saat itu. Menjelang 

peristiwa itu, kekuasaan terpusat pada tiga pihak, yakni Soekarno, PKI, dan Angkatan Darat 

(AD). AD menguasai senjata, sedangkan PKI mendominasi dukungan massa. Kalau saat 

74

itu diadakan pemilu, niscaya partai komunis akan menang. Sebab itu kekuatan 

antikomunis seperti Jenderal Suhardiman mengupayakan Soekarno menjadi presiden 

seumur hidup agar status quo tetap terjaga. Bung Karno sendiri tidak pernah memberikan 

kesempatan kepada elite komunis memimpin departemen kecuali jadi menteri negara. 

Soekarno juga menolak usulan pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam oleh mahasiswa 

kiri. Kekuatan Soekarno selain dukungan masif dari rakyat juga terletak pada kemampuan 

menjaga perimbangan politik. Ia akhirnya jatuh karena keseimbangan itu patah setelah 

meletus Gerakan 30 September.

Kondisi perekonomian yang terpuruk, suasana politik yang kian panas karena konflik 

tanah dan kebudayaan, konfrontasi dengan Malaysia dan agitasi terhadap pihak asing (AS 

dan Inggris), serta beredarnya dokumen Gilchrist dan Dewan Jenderal, menyebabkan 

semua pihak bersiaga. AD dapat mengkudeta Soekarno namun tidak akan didukung rakyat 

dan dunia internasional. PKI tidak punya senjata untuk makar. Dalam konteks ini, bila AD 

mengambil langkah lebih dulu dan berhasil, Presiden akan terguling dan selanjutnya PKI 

akan dibasmi. Karena itu, manuver Dewan Jenderal (yang keberadaannya dipercayai sang 

ketua) harus dicegah. Rapat antara motor Biro Chusus PKI, Sjam (pihak sipil) dengan 

Untung dan Latief (unsur militer) memilih cara yang ”lazim” dalam sejarah revolusi 

Indonesia, yakni culik. Para Jenderal itu akan diculik dan dihadapkan kepada Bung Karno. 

Bila mereka dipecat atau dipermalukan, ancaman kudeta tidak terjadi lagi dan selanjutnya 

pihak kiri tentu dapat meminta kursi pimpinan departemen kepada Presiden.

Konsep culik sudah dipraktekkan sejak Desember 1945, ketika terjadi penculikan dan 

pembunuhan terhadap Menteri Negara Otto Iskandar di Nata. PM Sjahrir juga pernah 

diculik walaupun kemudian ia kembali dengan selamat. Bahkan Soekarno dan Hatta pada 

hakikatnya pernah diculik oleh pemuda sehari sebelum Proklamasi. Pada 1980, Soeharto 

berpidato bahwa ia tidak segan memerintahkan untuk menculik seorang anggota MPRS 

bila mereka mencoba mengubah UUD 1945. Pidato tersebut mendapat penentangan dari 

kelompok yang kemudian dikenal sebagai Petisi 50. Sebelum akhir pemerintahan 

Soeharto, anggota komando khusus TNI AD telah menculik beberapa orang aktivis.

75

Karena misi utamanya hanya penculikan, maka dapat dipahami keanehan struktur Gerakan 

30 September yang dipimpin seorang letnan kolonel, tetapi membawahkan perwira yang 

lebih tinggi pangkatnya. Dengan alasan menyelamatkan Presiden, gerakan itu dipimpin 

oleh Komandan Batalion Cakrabirawa. Persiapan militer tidak dilakukan secara besar-

besaran karena tujuannya bukan menguasai ibu kota.

Namun ternyata penculikan terhadap tujuh orang jenderal itu gagal, karena hanya tiga 

orang yang masih hidup ketika dibawa ke Lubang Buaya. Ketika dilapori peristiwa ini, 

Soekarno di pangkalan AU Halim Perdanakusuma memerintahkan agar mereka 

menghentikan gerakan. Terjadi kekalutan karena ternyata di dalam gerakan itu tidak ada 

satu komando yang dapat mengambil keputusan tunggal. Sjam hanya koordinator antara 

Biro Chusus dan perwira militer.

Keblingeran pertama dari Biro Chusus PKI adalah keterlibatan mereka dalam perencanaan 

penculikan. Keblingeran keduanya adalah meneruskan gerakan dengan menyiarkan 

dokumen kedua (tentang pendemisioner kabinet Dwikora) dan dokumen ketiga 

(penyesuaian pangkat militer tertinggi menjadi letnan kolonel) setelah terjadi kevakuman 

enam jam pada tanggal 1 Oktober 1965. Padahal, dalam percobaan kudeta, satu menit pun 

sangat berharga.

Kalau perintah Soekarno untuk menghentikan Gerakan 30 September itu dipatuhi, 

mungkin korban yang jatuh tidak banyak. Kalau Soeharto yang membangkang perintah 

Presiden untuk datang ke Halim Perdanakusuma langsung dipecat oleh Soekarno tentu 

sejarah Indonesia akan berbeda. Kekurangan utama Soekarno adalah karena ia 

menganggap enteng seorang Mayor Jenderal Soeharto.

Siapa yang diuntungkan?

Peran seseorang atau kelompok dalam suatu kegiatan berbanding lurus dengan 

keuntungan yang (akan) diperolehnya. Dalam peristiwa 1965 itu Soekarno adalah pihak 

yang dirugikan karena selanjutnya ia kehilangan jabatannya, sedangkan Soeharto sangat 

diuntungkan. Ia yang selama ini kurang diperhitungkan berpeluang meraih puncak 

kekuasaan karena para seniornya telah terbunuh dalam satu malam. Yang sangat dirugikan 

76

pula adalah bangsa Indonesia secara keseluruhan karena enam jenderal, empat perwira, 

seorang gadis cilik, dan sekitar setengah juta orang terbunuh setelah peristiwa tersebut. 

Yang paling diuntungkan dari tragedi nasional tersebut tak lain dari Nekolim.

Tahun 1965 menjadi watersheet, pembatas zaman. Terjadi perubahan drastis secara 

serempak dalam segala bidang. Politik luar negeri Indonesia menjadi lembek dan pro-

Barat. Ekonomi berdikari berubah jadi ekonomi pasar yang bergantung pada modal asing 

dan utang. Polemik dalam bidang politik dan kebudayaan berganti dengan asas tunggal 

yang tidak membiarkan kritik.

Pergantian Duta Besar Howard Jones dengan Marshal Green bulan Juni 1965 menandai 

perubahan rencana AS terhadap politik Indonesia. Kelompok kiri didorong untuk 

melakukan suatu gerakan sehingga ada alasan bagi AD untuk menumpasnya sampai habis. 

Skenario model AS itu lebih didukung arsip sejarah ketimbang imajinasi seorang profesor 

gaek bernama Victor Fic bahwa Mao Tse Tung menyuruh Aidit mengambil kekuasaan. 

Anehnya, Soekarno kok mau dan membiarkannya. Selanjutnya Bung Karno akan 

beristirahat di danau angsa Cina.

Dialog imajiner itu berbunyi:

Mao: Kamu harus bertindak cepat.

Aidit: Saya khawatir AD akan menjadi penghalang.

Mao: Baiklah, lakukanlah apa yang saya nasihatkan kepadamu, habisi semua jenderal dan 

para perwira reaksioner itu dalam sekali pukul. Angkatan Darat lalu akan menjadi seekor 

naga yang tidak berkepala dan akan mengikutimu.

Aidit: Itu berarti membunuh beberapa ratus perwira.

Mao: Di Shensi Utara saya membunuh 20.000 orang kader dalam sekali pukul saja.

Tulisan Fic bersumber dari harian The Straits Times, Singapura, 26 April 1966, yang 

mengutip tulisan anonim di Harian Angkatan Bersenjata, Jakarta, 25 April 1966. Siapa 

penulis anonim di Jakarta itu? Menurut keterangan Salim Said yang saat itu wartawan 

pemula Harian Angkatan Bersenjata, harian tersebut memiliki versi bahasa Inggris. Apakah 

penerbitan itu bekerja sama dengan pihak AS dan Inggris? Yang jelas, arsip departemen luar 

negeri AS mengakui bahwa mereka memberikan daftar pengurus PKI di Indonesia kepada 

pihak AD melalui Adyatman, sekretaris Adam Malik. Juga mereka memberikan bantuan 

dana Rp 50 juta kepada KAP (Komite Aksi Pengganyangan) Gestapu yang terbentuk 

setelah meletus Gerakan 30 September serta dipimpin oleh Subchan Z.E. dan Harry Tjan 

Silalahi.

Setelah membaca berbagai buku dan arsip, saya cenderung menganggap pemikiran 

Soekarno bahwa Gerakan 30 September adalah pertemuan dari tiga sebab merupakan 

analisis yang paling lengkap dari berbagai versi tunggal yang ada. Andil ketiganya 

(keblingeran pimpinan PKI, Nekolim, dan oknum yang tidak benar) tidak sama. Menurut 

hemat saya, faktor kedua, yakni Nekolim, merupakan pemegang saham mayoritas.

Beijing, 19 September 2007

Semua tulisan bersumber dari : Majalah Tempo Edisi 32/XXXVI/01 – 7 Oktober 

2007