ng akan melakukan kudeta. Aidit pula yang
memerintahkan penangkapan para jenderal.
Buku ini menyebut Aidit sebagai sosok yang amat dekat dengan Soekarno, dan
memanfaatkan kedekatan itu untuk kepentingannya sendiri. Aidit dituding sebagai orang
yang selalu menjelek-jelekkan tentara di hadapan Soekarno. Ia bahkan dituding sebagai
sosok yang menyaring informasi yang akan disampaikan kepada Presiden. Ketika itu,
71
Presiden tidak bisa mengandalkan informasi intelijen karena dalam kalangan tentara
sendiri terjadi kesimpang-siuran akibat penyusupan orang-orang PKI.
Aidit adalah dalang G30S/PKI. Demikian buku kontroversial Siapa Menabur Angin akan
Menuai Badai yang dikarang Soegiarso Soerojo pada 1988. Dituliskan bahwa Aidit
sebenarnya baru akan merencanakan kudeta pada 1970. Namun dokumen yang berisi
instruksi agar seluruh pimpinan PKI bersiap memuluskan rencana itu bocor. ”Seperti
disambar geledek di siang bolong, D.N. Aidit yang ketahuan belangnya menjadi sangat
marah,” tulis Soegiarso. Inilah yang membuat Aidit mempercepat kudeta menjadi 1965.
Soetopo Soetanto dalam kumpulan tulisan Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten
Komunis menyebutkan kelihaian Aidit memanfaatkan tentara untuk membunuh para
jenderalnya sendiri. ” Bahwa cara kerja PKI harus konspiratif,” demikian buku ini mengutip
konstitusi PKI yang merupakan ide Aidit. Pemimpin Politbiro PKI ini pun memerintahkan
infiltrasi ke tubuh militer. Para tentara yang sebelumnya memiliki latar belakang PKI
didekati dan dipakai untuk melancarkan kudeta 1965.
Dalam Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia, Aidit digambarkan
sebagai sosok yang anti-Tuhan. Koran-koran berhaluan komunis memproklamasikan
Pancasila tanpa sila pertama. ”Juga dalam kesempatan berpidato di depan peserta
Pendidikan Kader Revolusi 1964, D.N. Aidit berkata bahwa sosialisme, kalau sudah tercapai
di Indonesia, maka Pancasila tak lagi dibutuhkan sebagai alat pemersatu,” begitu tertulis
dalam buku keluaran Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan, Jakarta.
Tribuana Said dan D.S. Moeljanto dalam Perlawanan Pers Indonesia BPS Terhadap Gerakan
PKI menceritakan buntut panjang pidato Aidit itu. Pers pun terbelah, berbagai golongan
mengecam Aidit. Pro-kontra berakhir setelah Wakil Perdana Menteri Chaerul Saleh
memerintahkan semua pihak menghentikan polemik pidato tersebut. Aidit pun sempat
mengatakan bahwa pidatonya dipelintir harian Revolusioner, padahal ia tidak bermaksud
mengatakan bahwa Pancasila tak lagi diperlukan.
Ini tak jauh berbeda dengan buku-buku pelajaran sekolah yang memuat versi pemerintah
Orde Baru. Buku Sejarah Nasional Indonesia, misalnya, jelas-jelas menyebut PKI dan Aidit
72
sebagai dalang tunggal peristiwa 1965. Buku yang antara lain dikarang oleh Nugroho
Notosusanto itu menuai kontroversi karena menghujat Soekarno dan menyanjung
Soeharto sebagai penyelamat bangsa. Di buku itu, juga buku-buku pelajaran lain,
digambarkan sosok Aidit yang kejam, bengis, dan tak percaya pada Tuhan alias ateis.
Dalam suatu kesempatan, Aidit mengemukakan prinsip dan pilihan hidupnya kepada
Murad. ”Kau tahu, aku memang tidak akan menjadi pahlawan keluarga. Pahlawan keluarga
itu terlalu sederhana dan amat egois. Kita harus menjadi pahlawan bangsa.” Kita tahu,
ucapan Aidit ini tak berujung sebagaimana yang ia harapkan. Ia tak akan pernah tercatat
sebagai pahlawan.
73
Aidit dalam Bingkai Nawaksara
Oleh: Asvi Warman Adam; Peneliti LIPI
Pertanyaan seberapa besar atau seberapa kecil peran Aidit dalam Gerakan 30 September
mengimplikasikan bahwa ia terlibat dalam manuver politik tingkat tinggi tahun 1965.
Versi-versi dalang peristiwa tersebut yang selama ini bersifat tunggal (PKI, Angkatan
Darat, Soekarno, Soeharto, CIA, dst.) tak luput dari kritik. Peristiwa yang begitu kompleks
tidak mungkin dilakukan satu orang, satu kelompok, atau satu golongan saja. Dalang
peristiwa itu lebih dari satu, sehingga analisis Bung Karno sebagaimana disampaikan dalam
pidato Nawaksara tahun 1967 dianggap lebih tepat. Menurut Soekarno, peristiwa itu
merupakan pertemuan tiga sebab: keblingernya pimpinan PKI, subversi Nekolim, dan
adanya oknum-oknum yang tidak benar.
Kalau digunakan matematika sederhana, andil masing-masing pihak yang disebut dalam
pidato Nawaksara itu 33,33 persen. Tulisan ini mencoba mengelaborasi persentase tersebut.
Mana yang lebih menentukan, pihak asing atau unsur dalam negeri?
Pimpinan PKI yang ”keblinger” itu adalah Biro Chusus yang diketuai langsung Aidit di
mana Sjam Kamaruzzaman boleh dikatakan direktur eksekutifnya. Nekolim
(Neokolonialisme) tentu mengacu kepada Amerika Serikat (AS), sungguhpun arsip yang
terbuka belakangan memperlihatkan bahwa Inggris dan Australia juga mendukung
sepenuhnya gebrakan membasmi komunis. Namun dalam kategori pihak asing itu tentu
tidak dapat diabaikan peran Uni Soviet (termasuk Pakta Warsawa, konon agen asal Cek,
Ladislav Bittman, terlibat) dan RRC. Sebelum meletusnya Gerakan 30 September, dokter-
dokter Cina telah keluar-masuk Istana Presiden. Arsip Jepang mengenai tahun 1965 juga
perlu diperiksa.
Rumusan ”oknum yang tidak benar” itu konon penghalusan dari ”jenderal yang tidak
benar”. Proses penulisan pidato Nawaksara itu sendiri perlu diteliti karena Soekarno
meminta masukan dari beberapa tokoh. Apakah yang dituju Soekarno adalah Soeharto
(yang pada masa awal beraliansi dengan Nasution)? Atau termasuk juga Untung dan
Latief?
”Keblingernya” Aidit disebabkan situasi yang sangat meruncing saat itu. Menjelang
peristiwa itu, kekuasaan terpusat pada tiga pihak, yakni Soekarno, PKI, dan Angkatan Darat
(AD). AD menguasai senjata, sedangkan PKI mendominasi dukungan massa. Kalau saat
74
itu diadakan pemilu, niscaya partai komunis akan menang. Sebab itu kekuatan
antikomunis seperti Jenderal Suhardiman mengupayakan Soekarno menjadi presiden
seumur hidup agar status quo tetap terjaga. Bung Karno sendiri tidak pernah memberikan
kesempatan kepada elite komunis memimpin departemen kecuali jadi menteri negara.
Soekarno juga menolak usulan pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam oleh mahasiswa
kiri. Kekuatan Soekarno selain dukungan masif dari rakyat juga terletak pada kemampuan
menjaga perimbangan politik. Ia akhirnya jatuh karena keseimbangan itu patah setelah
meletus Gerakan 30 September.
Kondisi perekonomian yang terpuruk, suasana politik yang kian panas karena konflik
tanah dan kebudayaan, konfrontasi dengan Malaysia dan agitasi terhadap pihak asing (AS
dan Inggris), serta beredarnya dokumen Gilchrist dan Dewan Jenderal, menyebabkan
semua pihak bersiaga. AD dapat mengkudeta Soekarno namun tidak akan didukung rakyat
dan dunia internasional. PKI tidak punya senjata untuk makar. Dalam konteks ini, bila AD
mengambil langkah lebih dulu dan berhasil, Presiden akan terguling dan selanjutnya PKI
akan dibasmi. Karena itu, manuver Dewan Jenderal (yang keberadaannya dipercayai sang
ketua) harus dicegah. Rapat antara motor Biro Chusus PKI, Sjam (pihak sipil) dengan
Untung dan Latief (unsur militer) memilih cara yang ”lazim” dalam sejarah revolusi
Indonesia, yakni culik. Para Jenderal itu akan diculik dan dihadapkan kepada Bung Karno.
Bila mereka dipecat atau dipermalukan, ancaman kudeta tidak terjadi lagi dan selanjutnya
pihak kiri tentu dapat meminta kursi pimpinan departemen kepada Presiden.
Konsep culik sudah dipraktekkan sejak Desember 1945, ketika terjadi penculikan dan
pembunuhan terhadap Menteri Negara Otto Iskandar di Nata. PM Sjahrir juga pernah
diculik walaupun kemudian ia kembali dengan selamat. Bahkan Soekarno dan Hatta pada
hakikatnya pernah diculik oleh pemuda sehari sebelum Proklamasi. Pada 1980, Soeharto
berpidato bahwa ia tidak segan memerintahkan untuk menculik seorang anggota MPRS
bila mereka mencoba mengubah UUD 1945. Pidato tersebut mendapat penentangan dari
kelompok yang kemudian dikenal sebagai Petisi 50. Sebelum akhir pemerintahan
Soeharto, anggota komando khusus TNI AD telah menculik beberapa orang aktivis.
75
Karena misi utamanya hanya penculikan, maka dapat dipahami keanehan struktur Gerakan
30 September yang dipimpin seorang letnan kolonel, tetapi membawahkan perwira yang
lebih tinggi pangkatnya. Dengan alasan menyelamatkan Presiden, gerakan itu dipimpin
oleh Komandan Batalion Cakrabirawa. Persiapan militer tidak dilakukan secara besar-
besaran karena tujuannya bukan menguasai ibu kota.
Namun ternyata penculikan terhadap tujuh orang jenderal itu gagal, karena hanya tiga
orang yang masih hidup ketika dibawa ke Lubang Buaya. Ketika dilapori peristiwa ini,
Soekarno di pangkalan AU Halim Perdanakusuma memerintahkan agar mereka
menghentikan gerakan. Terjadi kekalutan karena ternyata di dalam gerakan itu tidak ada
satu komando yang dapat mengambil keputusan tunggal. Sjam hanya koordinator antara
Biro Chusus dan perwira militer.
Keblingeran pertama dari Biro Chusus PKI adalah keterlibatan mereka dalam perencanaan
penculikan. Keblingeran keduanya adalah meneruskan gerakan dengan menyiarkan
dokumen kedua (tentang pendemisioner kabinet Dwikora) dan dokumen ketiga
(penyesuaian pangkat militer tertinggi menjadi letnan kolonel) setelah terjadi kevakuman
enam jam pada tanggal 1 Oktober 1965. Padahal, dalam percobaan kudeta, satu menit pun
sangat berharga.
Kalau perintah Soekarno untuk menghentikan Gerakan 30 September itu dipatuhi,
mungkin korban yang jatuh tidak banyak. Kalau Soeharto yang membangkang perintah
Presiden untuk datang ke Halim Perdanakusuma langsung dipecat oleh Soekarno tentu
sejarah Indonesia akan berbeda. Kekurangan utama Soekarno adalah karena ia
menganggap enteng seorang Mayor Jenderal Soeharto.
Siapa yang diuntungkan?
Peran seseorang atau kelompok dalam suatu kegiatan berbanding lurus dengan
keuntungan yang (akan) diperolehnya. Dalam peristiwa 1965 itu Soekarno adalah pihak
yang dirugikan karena selanjutnya ia kehilangan jabatannya, sedangkan Soeharto sangat
diuntungkan. Ia yang selama ini kurang diperhitungkan berpeluang meraih puncak
kekuasaan karena para seniornya telah terbunuh dalam satu malam. Yang sangat dirugikan
76
pula adalah bangsa Indonesia secara keseluruhan karena enam jenderal, empat perwira,
seorang gadis cilik, dan sekitar setengah juta orang terbunuh setelah peristiwa tersebut.
Yang paling diuntungkan dari tragedi nasional tersebut tak lain dari Nekolim.
Tahun 1965 menjadi watersheet, pembatas zaman. Terjadi perubahan drastis secara
serempak dalam segala bidang. Politik luar negeri Indonesia menjadi lembek dan pro-
Barat. Ekonomi berdikari berubah jadi ekonomi pasar yang bergantung pada modal asing
dan utang. Polemik dalam bidang politik dan kebudayaan berganti dengan asas tunggal
yang tidak membiarkan kritik.
Pergantian Duta Besar Howard Jones dengan Marshal Green bulan Juni 1965 menandai
perubahan rencana AS terhadap politik Indonesia. Kelompok kiri didorong untuk
melakukan suatu gerakan sehingga ada alasan bagi AD untuk menumpasnya sampai habis.
Skenario model AS itu lebih didukung arsip sejarah ketimbang imajinasi seorang profesor
gaek bernama Victor Fic bahwa Mao Tse Tung menyuruh Aidit mengambil kekuasaan.
Anehnya, Soekarno kok mau dan membiarkannya. Selanjutnya Bung Karno akan
beristirahat di danau angsa Cina.
Dialog imajiner itu berbunyi:
Mao: Kamu harus bertindak cepat.
Aidit: Saya khawatir AD akan menjadi penghalang.
Mao: Baiklah, lakukanlah apa yang saya nasihatkan kepadamu, habisi semua jenderal dan
para perwira reaksioner itu dalam sekali pukul. Angkatan Darat lalu akan menjadi seekor
naga yang tidak berkepala dan akan mengikutimu.
Aidit: Itu berarti membunuh beberapa ratus perwira.
Mao: Di Shensi Utara saya membunuh 20.000 orang kader dalam sekali pukul saja.
Tulisan Fic bersumber dari harian The Straits Times, Singapura, 26 April 1966, yang
mengutip tulisan anonim di Harian Angkatan Bersenjata, Jakarta, 25 April 1966. Siapa
penulis anonim di Jakarta itu? Menurut keterangan Salim Said yang saat itu wartawan
pemula Harian Angkatan Bersenjata, harian tersebut memiliki versi bahasa Inggris. Apakah
penerbitan itu bekerja sama dengan pihak AS dan Inggris? Yang jelas, arsip departemen luar
negeri AS mengakui bahwa mereka memberikan daftar pengurus PKI di Indonesia kepada
pihak AD melalui Adyatman, sekretaris Adam Malik. Juga mereka memberikan bantuan
dana Rp 50 juta kepada KAP (Komite Aksi Pengganyangan) Gestapu yang terbentuk
setelah meletus Gerakan 30 September serta dipimpin oleh Subchan Z.E. dan Harry Tjan
Silalahi.
Setelah membaca berbagai buku dan arsip, saya cenderung menganggap pemikiran
Soekarno bahwa Gerakan 30 September adalah pertemuan dari tiga sebab merupakan
analisis yang paling lengkap dari berbagai versi tunggal yang ada. Andil ketiganya
(keblingeran pimpinan PKI, Nekolim, dan oknum yang tidak benar) tidak sama. Menurut
hemat saya, faktor kedua, yakni Nekolim, merupakan pemegang saham mayoritas.
Beijing, 19 September 2007
Semua tulisan bersumber dari : Majalah Tempo Edisi 32/XXXVI/01 – 7 Oktober
2007