Rabu, 09 Juli 2025

d-n-aidit-biografi. 2

 



Dewan Jenderal yang hendak menggulingkan Bung Karno.

Dalam Buku Putih G-30-S/PKI yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994, disebutkan 

bahwa Aidit kemudian menyatakan, gerakan merebut kekuasaan harus dimulai jika tak 

ingin didahului Dewan Jenderal. Gerakan itu dipimpinnya sendiri. Ada pun Sjam ditunjuk 

sebagai pemimpin pelaksana gerakan.

Saat diadili Mahkamah militer, Sjam mengaku dipanggil Aidit pada 12 Agustus 1965. Dalam 

pertemuan itu, ia diberi tahu bahwa Presiden sakit dan adanya kemungkinan Dewan 

Jenderal mengambil tindakan bila Bung Karno mangkat. Menurut Sjam, Aidit 

memerintahkan dia meninjau ”kekuatan kita”.

Sejak 6 September 1965, Sjam lantas menggelar rapat-rapat di rumahnya dan di rumah 

Kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya). Di rapat ini hadir Letnan 

Kolonel Untung (Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa) dan 

Mayor Udara Sudjono (Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan Halim Perdanakusumah). 

Rapat terakhir, 29 September 1965, menyepakati gerakan dimulai 30 September 1965 

dengan Untung sebagai pemimpinnya.

35

Dalam wawancara dengan majalah D&R, 5 April 1999, A. Latief menyatakan, Gerakan 30 

September dirancang untuk menggagalkan upaya kup Dewan Jenderal. ”Kami dengar ada 

pasukan di luar Jakarta yang didatangkan dalam rangka defile Hari Angkatan Bersenjata 

dengan senjata lengkap. Ini apa? Mau defile saja, kok, membawa peralatan berat,” kata 

Latief. Karena merasa bakal terjadi sesuatu, para perwira tersebut, yang mengaku terlibat 

karena loyal pada Soekarno, memilih menjemput ”anggota” Dewan Jenderal untuk 

dihadapkan ke Soekarno.

Menurut Latief gerakan itu diselewengkan oleh Sjam. ”Rencananya akan dihadapkan 

hidup-hidup untuk men-clear-kan masalah, apakah memang benar ada Dewan Jenderal,” 

katanya. Tapi, malam hari, saat pasukan Cakrabirawa pimpinan Letnan Dul Arief, anak 

buah Untung, akan berangkat menuju rumah para jenderal, tiba-tiba, ujar Latief, Sjam 

datang. ”Bagaimana kalau para jenderal ini membangkang, menolak diajak menghadap 

Presiden,” kata Dul Arief. Sjam menjawab, para jenderal ditangkap. Hidup atau mati.

Keesokan harinya, Dul Arief melaporkan kepada Latief dan Jenderal Soepardjo bahwa 

semua telah selesai. ”Mula-mula mereka saya salami semua, tapi kemudian Dul Arief 

bilang semua jenderal mati. Saya betul-betul kaget, tidak begitu rencananya,” kata Latief 

yang mengaku tidak kenal dengan Aidit.

Aidit sendiri belum pernah memberi pernyataan tentang hal ini. Ia ditangkap di Desa 

Sambeng, dekat Solo, Jawa Tengah, pada 22 November 1965 malam, dan esok paginya 

ditembak mati. Sebelum ditangkap pasukan pimpinan Kolonel Yasir Hadibroto, Aidit 

dikabarkan sempat membuat pengakuan sebanyak 50 lembar. Pengakuan itu jatuh ke 

Risuke Hayashi, koresponden koran berbahasa Inggris yang terbit di Tokyo, Asahi Evening 

News.

Menurut Asahi, Aidit mengaku sebagai penanggung jawab tertinggi peristiwa ”30 

September”. Rencana pemberontakan itu sudah mendapat sokongan pejabat PKI lainnya 

serta pengurus organisasi rakyat di bawah PKI. Alasan pemberontakan, mereka tak puas 

dengan sistem yang ada. Rencana kup semula disepakati 1 Mei 1965, tetapi Lukman, Njoto, 

Sakirman dan Nyono—semuanya anggota Committee Central—menentang. Alasannya, 

36

persiapan belum selesai. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan Letkol Untung dan sejumlah 

pengurus lain pada Juni 1965, disepakati mulai Juli 1965 pasukan Pemuda Rakyat dan 

Gerwani dikumpulkan di Pangkalan Halim Perdanakusumah.

Pertengahan Agustus, sekembalinya dari perjalanan ke Aljazair dan Peking, Aidit kembali 

melakukan pertemuan rahasia dengan Lukman, Njoto, Brigjen Soepardjo, dan Letkol 

Untung. PKI mendapat info bahwa tentara, atas perintah Menteri Panglima Angkatan 

Darat Jenderal Achmad Yani, akan memeriksa PKI karena dicurigai mempunyai senjata 

secara tidak sah. ”Kami terpaksa mempercepat pelaksanaan coup d’etat,” kata Aidit. 

Akhirnya, dipilih tanggal 30 September.

Dalam buku Bayang-bayang PKI yang disusun tim Institut Studi Arus Informasi (1999), 

diduga Aidit tahu adanya peristiwa G-30-S karena ia membentuk dua organisasi: PKI legal 

dan PKI Ilegal. Biro Chusus adalah badan PKI tidak resmi. Sjam bertugas mendekati tentara 

dan melaporkan hasilnya, khusus hanya kepada Aidit. Hanya, ternyata, tak semua ”hasil” 

itu dilaporkan Sjam.

Tentang besarnya peran Aidit dalam peristiwa 30 September ditampik Soebandrio. 

Menurut bekas Wakil Perdana Menteri era Soekarno ini, G-30-S didalangi tentara dan PKI 

terseret lewat tangan Sjam. Alasan Soebandrio, sejak isu sakitnya Bung Karno merebak, 

Aidit termasuk yang tahu kabar tentang kesehatan Bung Karno itu bohong. Waktu itu, 

kata Soebandrio, Aidit membawa seorang dokter Cina yang tinggal di Kebayoran Baru. 

Soebandrio dan Leimena, yang juga dokter, ikut memeriksa Soekarno. Kesimpulan mereka 

sama: Bung Karno cuma masuk angin.

Soebandrio dalam memoarnya, Kesaksianku Tentang G-30-S, menyesalkan pengadilan 

yang tidak mengecek ulang kesaksian Sjam. Menurut Soebandrio, ada lima orang yang bisa 

ditanya: Bung Karno, Aidit, dokter Cina yang ia lupa namanya tersebut, Leimena, dan 

dirinya sendiri. Menurut Soebandrio, pada Agustus 1965 kelompok ”bayangan Soeharto” 

(Ali Moertopo cs) sudah ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan 

provokasi-provokasi untuk mendorong PKI mendahului memukul Angkatan Darat.

37

Njoto membantah pernyataan Aidit. Menurut Njoto, ”Hubungan PKI dengan Gerakan 

30 September dan pembunuhan Jenderal Angkatan Darat tidak ada. Saya tidak tahu apa 

pun, sampai-sampai sesudah terjadinya,” katanya dalam wawancara dengan Asahi Evening 

News. Keterangan Njoto sama dengan komentar Oei Hai Djoen, mantan anggota Comite 

Central. ”Kami semua tidak tahu apa yang terjadi,” kata dia.

Presiden Soekarno sendiri menyatakan Gestok (Gerakan Satu Oktober)—demikian istilah 

Bung Karno—terjadi karena keblingernya pemimpin PKI, lihainya kekuatan Barat atau 

kekuatan Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme), serta adanya ”oknum yang 

tidak benar”.

Misteri memang masih melingkupi peristiwa ini. ”Menurut kami, PKI memang terlibat, 

tapi terlibat seperti apa?” kata Murad. Setelah puluhan tahun tragedi itu berlalu, pertanyaan 

itu belum menemukan jawabannya. Setidaknya bagi Murad dan anggota keluarga Aidit 

yang lain.

38

*** Dan Soeharto pun Tersenyum ***

Ada di mana kamu saat pemberontakan PKI Madiun,” tanya Mayor Jenderal Soeharto, 

Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat.

”Saya waktu itu baru saja dihijrahkan dari Jawa Barat,” jawab Kolonel Yasir Hadibroto, 

Komandan Brigade IV Infanteri. ”Kompi saya lalu mendapat tugas menghadapi tiga 

batalyon komunis di daerah Wonosobo, Pak.”

”Nah, yang memberontak sekarang ini adalah anak-anak PKI Madiun dulu. Sekarang 

bereskan itu semua! D.N. Aidit ada di Jawa Tengah. Bawa pasukanmu ke sana,” ujar 

Soeharto memberi perintah.

Percakapan di Markas Komando Strategis Angkatan Darat, Jakarta, itu dituturkan ulang 

oleh Yasir dalam Kompas edisi 5 Oktober 1980. Saat itu dia bersama pasukannya baru saja 

tiba di Tanjung Priok. Brigif IV sebenarnya tengah melakukan operasi di Kisaran, Sumatera 

Utara. Karena mendengar peristiwa G-30-S, mereka kembali.

Di hari pertemuan itu, 2 Oktober 1965, tentara telah mulai mengejar orang-orang Partai 

Komunis Indonesia yang dituduh terlibat G-30-S. Tapi Dipa Nusantara Aidit, Ketua 

Central Committee PKI, menghilang.

Yasir pun memboyong pasukannya ke Solo. Di sana dia bertemu Sri Harto, orang 

kepercayaan pimpinan PKI sedang meringkuk di salah satu rumah tahanan. Orang itu dia 

lepaskan. Hanya dalam beberapa hari Sri Harto melapor: Aidit berada di Kleco dan akan 

segera pindah ke sebuah rumah di Desa Sambeng, belakang Stasiun Balapan, pada 22 

November.

Rencana pun disusun. Dan benar, sekitar pukul sebelas siang, Aidit muncul di rumah itu, 

menumpang vespa Sri Harto. Sekitar pukul sembilan malam, Letnan Ning Prayitno 

memimpin pasukan Brifif IV menggerebek rumah milik bekas pegawai PJKA itu. Yasir 

mengawasinya dari jauh.

39

Alwi Shahab, wartawan gaek yang kala itu sedang meliput di Solo, menulis di harian 

Republika, waktu digerebek Aidit bersembunyi di dalam lemari. Prayitno sendiri yang 

menemukannya.

”Mau apa kamu?” Aidit membentak anak buah Yasir itu saat keluar dari lemari. Prayitno 

keder pada mulanya, tapi segera menguasai keadaan. Setengah membujuk dia membawa 

Aidit ke markas mereka di Loji Gandrung.

Malam itu juga Yasir menginterogasi Aidit. Kabarnya, sang Ketua membuat pengakuan 

tertulis setebal 50 halaman. Isinya, antara lain, hanya dia yang bertanggung jawab atas 

peristiwa G-30-S. Sayang, menurut Yasir, Pangdam Diponegoro kemudian membakar 

dokumen itu. Entah bagaimana, koresponden Asahi Evening News di Jakarta, Risuke 

Hayasi, berhasil mendapatkan bocoran pengakuan Aidit untuk korannya.

Menjelang dini hari Yasir kebingungan, selanjutnya harus bagaimana. Aidit berkali-kali 

minta bertemu dengan Presiden Soekarno. Yasir tak mau. ”Jika diserahkan kepada Bung 

Karno, pasti akan memutarbalikkan fakta sehingga persoalannya akan jadi lain,” kata Yasir 

seperti dikutip Abdul Gafur dalam bukunya, Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia.

Akhirnya, pada pagi buta keesokan harinya, Yasir membawa Aidit meninggalkan Solo 

menuju ke arah Barat. Mereka menggunakan tiga buah jip. Aidit yang diborgol berada di 

jip terakhir bersama Yasir. Saat terang tanah iring-iringan itu tiba di Boyolali.

Tanpa sepengetahuan dua jip pertama, Yasir membelok masuk ke Markas Batalyon 444. 

Tekadnya bulat. ”Ada sumur?” tanyanya kepada Mayor Trisno, komandan batalyon. Trisno 

menunjuk sebuah sumur tua di belakang rumahnya.

Ke sana Yasir membawa tahanannya. Di tepi sumur, dia mempersilakan Aidit 

mengucapkan pesan terakhir, tapi Aidit malah berapi-api pidato. Ini membuat Yasir dan 

anak buah marah. Maka: dor! Dengan dada berlubang tubuh gempal Menteri Koordinasi 

sekaligus Wakil Ketua MPRS itu terjungkal masuk sumur.

l l l

40

24 November 1965, pukul 3 sore. Yasir bertemu Soeharto di Gedung Agung, Yogyakarta. 

Setelah melaporkan pekerjaannya, termasuk keputusannya membunuh Aidit, sang kolonel 

memberanikan diri bertanya: ”Apakah yang Bapak maksudkan dengan bereskan itu seperti 

sekarang ini, Pak?” Soeharto tersenyum.

41

*** Kuburan Aidit : Rahasia Sumur Mati ***

Aidit konon dikuburkan di Boyolali, Jawa Tengah. Anaknya pernah berziarah ke sana.

Hamparan tanah berkerikil itu ditumbuhi labu siam dan ubi jalar. Pohon mangga dan 

jambu biji menaunginya di kanan-kiri. Hanya itu. Tak ada satu pun penanda yang 

menunjukkan bekas sumur di pekarangan belakang gedung tua itu. Dulu, bangunan ini 

adalah bagian dari kompleks markas Batalion 444 TNI Angkatan Darat di Boyolali—

sebuah kota kabupaten sekitar 25 kilometer di sebelah barat Solo, Jawa Tengah.

Meski tak berbekas, banyak orang meyakini, di sepetak halaman itu pernah ada sebuah 

sumur tua tempat jenazah Dipa Nusantara Aidit, Ketua Umum Comite Central PKI, 

dikuburkan pada 23 November 1965. Salah satunya Mustasyar Nahdlatul Ulama Boyolali, 

Tamam Saemuri, 71 tahun.

Pada suatu malam di tahun berdarah 1965, dia bertemu Kolonel Yasir Hadibroto dalam 

sebuah rapat organisasi massa di pendapa kabupaten. Saat itu Tamam muda adalah aktivis 

Gerakan Pemuda Ansor, organisasi yang banyak terlibat dalam ”operasi pembersihan”. 

Kepada Tempo dua pekan lalu, dia bercerita bahwa dalam pertemuan itu Yasir 

mengumumkan pasukannya telah menembak mati Aidit beberapa hari sebelumnya. 

”Eksekusi-nya subuh-subuh,” Tamam menirukan Yasir. Se-akan meneguhkan ucapan 

kepada lawan bicaranya, Yasir menunjukkan jam tangan yang dia kenakan. ”Ini arloji 

Aidit,” katanya. Sewaktu didesak menceritakan bagaimana pucuk pimpinan PKI itu tewas, 

Yasir berujar, ”Dia diberondong senapan AK sampai habis 1 magasin.”

Sejumlah sumber lain membenarkan cerita Tamam. Setelah puluhan tahun, cerita itu 

sampai juga ke telinga putra Aidit, Ilham. Empat tahun lalu dia memutuskan datang 

sendiri ke tempat yang diduga sebagai pusara ayahnya. ”Sejak lulus kuliah sampai 1998, saya 

selalu mencari kuburan ayah dengan sembunyi-sembunyi,” katanya tatkala dihubungi 

pekan lalu. Saat itu dia hanya berbekal sepotong informasi dari koran bahwa Aidit tewas 

ditembak di Boyolali. Berbilang kawan dekat ayahnya dia tanyai, tapi tak ada satu pun yang 

tahu nasib Aidit selepas meninggalkan Ibu Kota.

42

Menemukan makam Aidit bukan perkara mudah, bahkan bagi anaknya. Ada upaya 

sistematis untuk membuat peristirahatan terakhir Aidit dilupakan orang. Sumur tua itu, 

misalnya, sampai dua kali diuruk batu setelah November 1965. Kompleks gedung markas 

Batalion 444 juga dibongkar dan kini hanya menyisakan sebuah gedung tua. Gedung itu 

sekarang digunakan sebagai mes pegawai Komando Distrik Militer (Kodim) Boyolali.

Batalion 444 dikenal sebagai kesatuan tentara pro-komunis. Salah satu komandan 

kompinya adalah Letnan Kolonel Untung Syamsuri, yang kemudian memimpin operasi 

penculikan sejumlah jenderal pada malam 30 September. Tahun-tahun menjelang 1965, 

Boyolali juga dikenal sebagai basis PKI Jawa Tengah. Dalam pemilu 1955 dan pemilihan 

kepala daerah dua tahun sesudahnya, PKI meraih kemenangan besar di sana.

Pencarian Ilham baru berbuah ketika sebuah lembaga swadaya masyarakat lokal di Boyolali 

menghubunginya dan menceritakan temuan mereka. “Mereka mengetahui lokasi ini dari 

sumber-sumber kredibel yang terlibat langsung dalam pembunuhan anggota PKI saat itu,” 

kata Ilham.

Tempo mendatangi lokasi itu dua pekan lalu. Dan seorang penghuni di mes Kodim 

membenarkan pekarangan belakang gedung itu disebut-sebut sebagai lokasi kuburan 

Aidit.

Dia menambahkan, telah lama warga setempat berusaha menghindari bekas sumur tua itu. 

”Pernah ada orang yang mau membuat bak sampah tepat di atasnya, tapi cangkulnya 

membentur batu keras,” katanya. Saat bergeser beberapa meter ke samping, justru muncul 

pecahan tulang tempurung tengkorak. Lubang itu buru-buru ditutup lagi. Si penghuni ini 

menolak disebut namanya karena khawatir keselamatannya terancam.

Tak sampai 100 meter dari sana, ada sebuah lokasi lain yang juga disebut-sebut 

berhubungan dengan Aidit. Di sanalah, konon, Wakil Ketua Majelis MPR Sementara itu 

ditembak mati. Pekarangan tersebut bagian dari satu rumah berarsitektur tua yang 

sekarang menjadi gedung Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah.

43

”Jadi, setelah ditembak di sana, baru jenazahnya dimasukkan ke sumur di sebelahnya,” kata 

Ilham kepada Tempo. Pada 1965, rumah itu digunakan sebagai Sekolah Pendidikan Guru. 

Lokasinya tak jauh dari Pasar Boyolali, yang berhadap-hadapan dengan markas polisi 

militer Kodim Boyolali dan gedung yang dulu digunakan sebagai Sekretariat PKI.

Mbah Jungkung, seorang pensiunan pegawai negeri setempat yang banyak mengetahui 

ihwal kejadian pada masa itu, membenarkan kisah Ilham. Bahkan, menurut dia, gedung 

sekolah itu dahulu dijadikan semacam kamp tahanan. Para anggota dan simpatisan PKI 

dikumpulkan di situ sebelum dieksekusi.

l l l

Ketika akhirnya berdiri di samping pusara ayahnya pada 2003 lalu, Ilham mengaku tak 

kuasa menahan getaran hatinya. ”Naluri saya mengatakan memang di sinilah tempatnya,” 

katanya dengan suara tercekat. Putra Aidit itu juga mengaku memendam keinginan untuk 

memindahkan jenazah ayahnya ke tempat yang layak. ”Tapi mungkin belum bisa 

sekarang,” katanya pelan. ”Kami harus bersabar.”

44

Keluarga Besar Aidit ; Sesudah Malam Horor itu

Dari sebuah keluarga yang sentosa, keluarga D.N. Aidit luluh-lantak setelah horor 30 

September 1965. Anak dan istri pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) itu cerai-berai. 

Ada yang masuk penjara, ada yang dibuang ke Pulau Buru. Dua anak gadisnya menjadi 

eksil dan berpindah dari satu negara ke negara lain.

Abdullah Aidit (Ayah D.N. Aidit); Jenazahnya Membusuk Tiga Hari 

Malam 30 September 1965, Abdullah menginap di rumah D.N. Aidit di Jalan Pegangsaan 

Barat 4, Jakarta Pusat. Dia melihat anak sulungnya, D.N. Aidit, dibawa pergi tiga orang 

tentara bersama pengawal pribadi bernama Kusno.

Pada 1965 itu, Abdullah sudah pindah dari Belitung ke Jakarta karena menjadi Dewan 

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Banyak orang mengira dia wakil dari Masyumi 

karena saat itu ada dua anggota Dewan dengan nama yang mirip. Yang satu dari Masyumi 

bernama Aidid, yang lain Abdullah Aidit yang ke Senayan karena kiprahnya dalam 

organisasi Nurul Islam.

D.N. Aidit tak kunjung pulang, demikian pula dengan Soetanti, istrinya, yang pergi tanpa 

pamit. Abdullah lalu mengasuh tiga cucunya: Iwan, Irfan, dan Ilham. Beruntung, di rumah 

itu masih ada dua pembantu dan keluarga dari Belitung.

Si kakek melihat massa yang beringas datang ke rumah. ”Mereka berteriak-teriak dan 

melempar rumah kami,” kata Ilham Aidit kepada Tempo. Kejadian itu berlangsung pada 

hari ditemukannya jenazah lima jenderal di Lubang Buaya. Abdullah kerap membesarkan 

hati cucu-cucunya, ”Sebentar lagi ayah dan ibu kalian datang menjemput.” Tiga anak laki 

Aidit itu kemudian diangkut seorang paman ke Kebayoran, Jakarta Selatan.

Menurut Murad Aidit, putra bungsu Abdullah Aidit, ayahnya kemudian terbang ke 

Belitung atas bantuan Wakil Perdana Menteri Chaerul Saleh. Tiga tahun menetap di 

Belitung, Abdullah jatuh sakit. Dia akhirnya meninggal ketika rumah itu kosong karena 

Marisah, istri kedua Abdullah, tengah menginap di rumah saudaranya. Tetangga sekitar 

jarang ke rumah itu, takut terkena getah G30S. Karena tak ada yang mengurus, jenazah 

Abdullah membusuk tiga hari.

45

Basri Aidit (Adik D.N. Aidit); Jadi Tukang Kebun di Bogor

Nasib Basri memang paling apes. Peristiwa 30 September 1965 meletus cuma beberapa hari 

setelah dia pindah kerja di kantor Comite Central PKI di Kramat, Jakarta Pusat. 

Sebelumnya dia adalah pegawai rendahan di kantor Dinas Pekerjaan Umum Tanah Abang.

Bekerja di kantor PKI, Basri gampang dikenali. Sehari setelah pembunuhan para jenderal, ia 

dibekuk bersama sejumlah orang PKI lainnya. Ia ditahan di penjara Kramat, kemudian pada 

1969 dibuang ke Pulau Buru.

Selama sang ayah di pembuangan, anak-istrinya menjual habis barang di rumah untuk 

bertahan hidup. Setelah semuanya ludes, hidup keluarga ini amat bergantung pada 

bantuan saudara, kenalan, dan teman.

Basri keluar dari Buru pada 1980. Atas bantuan keluarganya di Belitung, dia bisa membeli 

sebuah rumah di Bogor, Jawa Barat. Di sana dia berkebun sambil mengajar bahasa Inggris 

untuk anak-anak tetangga. Ketika meninggal dunia, dia cuma mewariskan uang Rp 2,5 

juta kepada anak cucunya.

Murad Aidit (Adik D.N. Aidit); Diisolasi di Unit 15

Seperti saudara-saudaranya yang lain, Murad datang ke Jakarta setelah tamat sekolah 

menengah zaman Belanda. Karena ikut D.N. Aidit sejak remaja, Murad banyak mengenal 

teman Aidit yang aktif di Menteng 31, asrama mahasiswa zaman itu.

Lulusan fakultas ekonomi dari Universitas Lumumba Moskow ini berkawan dengan 

banyak sastrawan. Penyair Chairil Anwar adalah sohib kentalnya. Akibat kurang gizi dan 

makan tak teratur selama ikut Tentara Pelajar, dia sempat menderita TBC dan diopname 

enam tahun.

Pada saat peristiwa 30 September 1965, Murad menginap di rumah D.N. Aidit. Sebelum 

pergi dengan tiga orang tentara yang menjemputnya, Aidit cuma memberikan pesan 

singkat kepada Murad, ”Matikan lampu depan.”

46

Esok harinya, ketika kembali ke rumahnya di Depok, Murad baru tahu bahwa sejumlah 

jenderal dibunuh dan PKI dituduh terlibat. Tapi dia tidak berusaha sembunyi.

Di tengah kegentingan situasi Jakarta saat itu, dia sempat datang ke kantor PKI. Markas 

yang biasanya meriah itu sunyi senyap. Murad ditangkap beberapa hari kemudian.

Sebagaimana anggota PKI lainnya, Murad dipenjara berpindah-pindah. Semula ditahan di 

Bogor, setelah itu di Bandung, lalu ke rumah tahanan khusus di Salemba, Jakarta. Pada 

1971 Murad dibuang ke Pulau Buru.

Di pembuangan itu dia diisolasi di Unit 15. Ini unit khusus untuk menahan petinggi PKI 

dan mahasiswa yang pernah dikirim Soekarno belajar ke luar negeri. Murad bebas pada 

1979. Istrinya, Noer Cahya, meninggal tak lama setelah bebas dari penjara wanita 

Pelantungan, Kendal, Jawa Tengah. Murad kemudian menikah lagi dengan Lilik Hartini. 

Kini keduanya tinggal di Depok dan hidup dari pekerjaan menerjemahkan buku.

Sobron Aidit (adik tiri Aidit); Hingga Wafat di Paris

Sejak remaja Sobron suka sastra. Kegemaran itu kian menyala setelah dia datang ke Jakarta 

pada 1948 dan bertemu dengan Chairil Anwar. Kebetulan Chairil adalah teman Murad dan 

kerap bermalam di kos Murad di Gondangdia, Jakarta Pusat.

Dari Chairil, juga sastrawan lain seperti Rivai Apin, Asrul Sani, dan H.B. Jassin, Sobron 

menimba banyak ilmu. Dibantu Chairil, puisi Sobron ketika itu muncul di Mimbar 

Indonesia. Saat itu usia Sobron baru 13 tahun. Malam setelah sajak itu dimuat, Chairil 

mentraktirnya makan-makan. Sobron menyantap soto, empal, nasi campur, dan rupa-

rupa lauk. Sesudah makan, Sobron baru tahu bahwa uang makan adalah honor puisinya di 

Mimbar Indonesia.

Ketika peristiwa G30S meletus, Sobron berada di Beijing untuk mengajar bahasa Indonesia. 

Tapi kontrak tak diperpanjang akibat peristiwa itu. Dia kemudian menjadi petani di negeri 

tirai bambu itu dan menikahi gadis setempat.

47

Sempat menjadi penyiar dan redaktur Radio Beijing, pada 1981 ia pindah ke Paris. Bersama 

eksil lainnya, J.J. Kusni dan Umar Said, Sobron mendirikan Restoran Indonesia di Rue de 

Vaugirard, di kawasan Luxembourg, Paris. Sobron meninggal pada Februari 2007 karena 

penyumbatan darah di otak. Buku terakhirnya, Razia Agustus, terbit pada November lalu.

Asahan Aidit (adik tiri Aidit); Jatuh Cinta pada Gadis Vietnam

Saat peristiwa 30 September meletus, Asahan sedang di Moskow. Di ibu negeri beruang 

merah itu, Asahan sedang memperdalam studi filologi. Mendengar sanak familinya di 

Indonesia diuber-uber, Asahan enggan pulang.

Dia kemudian pergi ke Cina. Dari sana Asahan pindah ke Vietnam dan meraih gelar doktor 

dalam bidang bahasa di sana. Dia menikahi gadis Vietnam.

Pada 1984 dia mendapat suaka politik di Belanda dan tinggal di sana hingga sekarang. Anak 

tunggalnya meninggal secara misterius dan dikuburkan di Inggris beberapa tahun lalu. 

Asahan termasuk dekat dengan Dipa Nusantara, abangnya. Ia, misalnya, satu-satunya adik 

Aidit yang pernah naik mobil dinas menteri koordinator bernomor B 13. Kalau Aidit harus 

bekerja hingga larut, Asahan yang ”disewa” untuk memutar musik-musik klasik. Aidit 

biasanya minta diputarkan Symphony No. 3 Beethoven.

Dokter Soetanti (Istri Aidit) ; Menyamar Jadi Istri Orang

Malam 30 September 1965, Soetanti bertengkar keras dengan D.N. Aidit. Tanti ingin 

suaminya tetap tinggal di rumah dan tidak mengikuti kemauan para penjemputnya. Tetapi 

Aidit memilih pergi.

Tiga hari setelah malam kelabu itu, Tanti menghilang dari rumah meninggalkan tiga anak 

lakinya yang masih kecil. Belakangan baru terungkap, Tanti menyusul suaminya ke 

Boyolali dan bertemu Bupati Boyolali yang juga tokoh PKI. Tak lama di Boyolali, dia 

kembali ke Jakarta dengan cara menyamar. Tanti dan Pak Bupati itu pura-pura menjadi 

suami-istri. Agar aksi penyamaran ini sukses, ”Dua orang bocah kemudian diambil sebagai 

anak angkat,” kata Ilham aidit.

48

”Suami-istri” ini kemudian mengontrak sebuah rumah di Cirendeu, Jakarta. Sandiwara itu 

sukses berbulan-bulan, sampai akhirnya para tetangga curiga karena Pak Bupati ini selalu 

bilang ”injih-injih” kepada istrinya. Sikap dua anak angkat juga mencurigakan. ”Mereka 

tidak pernah manja kepada dua orang tuanya,” kata Ilham. Dari situ, keduanya ditangkap.

Soetanti bukan wanita biasa. Kakeknya, Koesoemodikdo, adalah Bupati Tuban yang 

pertama. Menolak untuk meneruskan jabatan sang bapak, ayah Tanti, Moedigdo, memilih 

merantau ke Medan. Ibu Tanti, Siti Aminah, adalah keturunan ningrat Minang dan teman 

sekolah Sutan Syahrir.

Tanti masuk sekolah kedokteran di Semarang atas biaya R.M Susalit, saudara sepupu 

ayahnya, yang juga putra tunggal R.A. Kartini. Setelah menikah dengan Aidit, Tanti 

memperdalam ilmu kedokterannya di Korea dan menjadi dokter ahli akupunktur yang 

pertama di Indonesia.

Setelah ditangkap, Tanti berpindah dari satu penjara ke penjara lainnya hingga 1980. Di 

antaranya tahanan Kodim 66 dan Penjara Bukit Duri. Dalam sel ia kerap membuat baju 

untuk anaknya meski salah ukuran: dia selalu menduga anak-anaknya masih kecil. ”Begitu 

dipakai, bajunya kekecilan,” kata Ilham.

Sekitar 16 tahun Soetanti tidak berjumpa anaknya. Soalnya, paman yang memelihara 

bocah-bocah itu tak berani membawa mereka menjenguk ibunya di Bukit Duri. Lepas dari 

penjara Tanti masih sempat berpraktek sebagai dokter. Setelah sembilan tahun sakit-

sakitan, Tanti wafat pada 1991.

Ibarruri Putri Alam dan Ilya Aidit (dua putri D.N. Aidit); Memilih Berlabuh di Paris

Keduanya terakhir bertemu sang ayah ketika berlibur ke Jakarta pada Mei-September 1965. 

Ada yang aneh dari liburan kali ini. Sang ayah, kata Ibarruri, kerap menatap anak 

sulungnya itu secara sembunyi-sembunyi. ”Seperti ada sesuatu dalam tatapannya itu,” kata 

Iba.

Bersama ibunya, Iba sudah menginjakan kaki di Moskow, Rusia, pada 1958. Ketika itu 

masih remaja. Setahun kemudian Ilya yang baru berumur delapan tahun menyusul.

49

Setelah peristiwa G30S, lama kedua remaja itu tak tahu keadaan keluarga. Di koran beredar 

informasi rupa-rupa: ada yang menulis Aidit telah mati. Ada yang bilang ayah kedua 

remaja melarikan diri ke Hong Kong dengan kapal selam.

Belakangan, seorang utusan dari Partai Komunis Soviet menemui mereka dan 

mengabarkan bahwa sang ayah telah ditembak. Koran-koran mengabarkan Aidit ditembak 

mati di Boyolali, 23 November 1965.

Dua gadis itu kemudian berkelana dari suatu negara ke negara lain. Pada 17 Februari 1970 

mereka pindah ke Beijing, Cina. Dari situ mereka ke Burma, sebelum akhirnya menetap di 

Paris hingga sekarang.

Iwan Aidit dan si Kembar Ilham dan Irfan ; Hampir Ditembak, Disapa Sarwo Edhie

Setelah sang ayah pergi pada malam 30 September 1965, dan sang ibu menghilang 

beberapa hari kemudian, Iwan Ilham dan Irfan dijaga Abdullah Aidit, kakeknya. Saat itu 

mereka bersekolah di SD Cikini. Ilham dan Irfan kelas satu, sedangkan Iwan kelas enam.

Tiga anak ini kemudian dijemput Om Bayi, adik lelaki Soetanti yang bekerja sebagai 

direktur perusahaan pelayaran Djakarta Lloyd. Dari rumah pamannya di Kebayoran itu 

ketiga anak itu dipindahkan ke Bandung dan menetap di rumah Paul Mulyana, saudara lain 

ibu mereka.

Setelah Paul pindah ke Belanda untuk meneruskan kuliah, tiga bocah ini pindah ke rumah 

saudara Paul lainnya bernama Yohanes Mulyana. Sepuluh tahun mereka tinggal bersama 

keluarga itu. Mereka sekolah di SMP Aloysius, Bandung.

Ihlam selalu teringat akan pengalaman menggetarkan ini. Ketika usianya 9 tahun, empat 

orang petugas datang ke rumah Yohanes dan bertanya betulkah dia memelihara anak-anak 

Aidit. Yohanes mengangguk.

Tuan rumah ini mengajak petugas itu ke halaman di mana Ilham dan Irfan tengah main 

kelereng. Mengetahui dua anak itu masih kecil-kecil, dua petugas itu menyarungkan pistol 

50

dan berlalu. ”Aku betul-betul gemetar,” kenang Ilham. ”Kami selamat karena umur.” 

Beruntung, Iwan yang sudah agak besar tidak di tempat.

Ketika sekolah di SMA Kanisius, Ilham kerap berkelahi karena sering diejek sebagai anak 

D.N. Aidit. Seorang rohaniwan Katolik, M.A. Brouwer, yang mengajar di sekolah, 

menasehatinya agar tabah. ”Yang penting sekolah setinggi mungkin. Itu membuat 

kehidupan lebih baik,” kata Brouwer sebagaimana dikisahkan Ilham. Dari Brouwer dia tahu 

bahwa ada versi lain soal peristiwa 30 September itu. Irfan, sebaliknya, melewati hari-hari 

itu dalam diam.

Ilham kemudian kuliah di Jurusan Arsitek Universitas Parahyangan, Bandung, Irfan di 

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan Iwan di Institut Teknologi Bandung.

Ilham gemar mendaki gunung dan menjadi anggota kelompok pecinta alam Wanadri. Di 

situ dia mengenal Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, komandan pasukan

khusus yang membasmi PKI pasca-G30S. Sarwo Edhie adalah anggota kehormatan 

Wanadri. Menurut Ilham, ia bertemu pertama kali dengan Sarwo Edhie pada 1981, sewaktu 

dia dilantik menjadi anggota Wanadri. ”Aku didekap sama dia. Tidak lama, hanya belasan 

detik,” kata Ilham.

Pertemuan kedua berlangsung pada 1983 dalam sebuah acara pelantikan anggota baru 

Wanadri di Kawah Upas, Tangkuban Perahu. Saat itu Ilham menjadi komandan operasi 

pendidikan dasar Wanadri. Sekitar pukul 6.30 pagi, Sarwo Edhie mendatanginya. ”Kamu 

sekarang jadi apa nih?” tanya Sarwo. Ilham memberitahukan bahwa dia sudah jadi kepala 

operasi. ”Bagus,” sahut Sarwo Edhie.

Sarwo Edhie kemudian meminta waktu berbicara berdua. Mereka menyingkir ke tebing 

Kawah Upas. Sarwo Edhie bertanya tentang kabar dan kuliah Ilham. ”Aku jawab lancar, 

meski sebenarnya tidak begitu lancar,” tutur Ilham sembari tertawa.

Sarwo Edhie lalu berkisah tentang peristiwa 30 September 1965 itu. ”Kamu bisa menerima 

ini kan?” kata Sarwo. Sarwo, kata Ilham, tidak meminta maaf. Tapi Ilham lega. ”Ini bentuk 

rekonsiliasi yang lengkap,” katanya.

51

Lulus jadi arsitektur pada 1987, persis ketika pemerintah gencar melakukan screening 

terhadap anak-anak mantan anggota PKI. Sang kakak, Iwan, dikeluarkan dari sebuah 

perusahaan ternama setelah diketahui anak PKI. Adapun Ilham selalu pindah kerja. ”Begitu 

mereka tahu aku anak Aidit, mereka membuat aku tidak betah supaya keluar.” Sejak 1992, 

Ilham lalu membuka usaha sendiri di bidang arsitektur.

Sejak dua tahun lalu Ilham menetap di Bandung setelah tinggal di Bali selama 10 tahun. Dia 

juga kerap bolak-balik ke Aceh, ikut serta dalam proses rekonstruksi Aceh pasca-tsunami. 

Irfan kini menetap di Cimahi, Jawa Barat, sedangkan Iwan menjadi warga negara Kanada 

dan bekerja di sebuah perusahaan pertambangan. Pada 1980 ketiga anak laki-laki itu 

bertemu sang ibunda dan mendapat kontak dengan Iba dan Ilya di Paris.

52

*** Aidit dan Serangan di Pagi Buta ***

Jumat, dini hari, 30 September 1965. Rangkaian adegan itu masih bergerak perlahan di 

kepala mereka. Itulah terakhir kali mereka melihat ayahanda masing-masing: 

meninggalkan rumah, bersama pasukan berseragam Cakrabirawa.

Mereka, anak-anak Pahlawan Revolusi, masih remaja. Tapi, empat puluh dua tahun 

berselang, trauma belum juga pergi. Mereka merasa D.N. Aidit bertanggung jawab atas 

kejadian berdarah di malam mengerikan itu, tapi mereka sepakat tidak membalas dendam. 

Sebaliknya, mereka membentuk Forum Silaturahmi Anak Bangsa, guna mencari 

kebenaran di balik peristiwa itu. Berikut ini tanggapan anak-anak Pahlawan Revolusi 

tentang kejadian itu, juga tentang D.N. Aidit.

Amelia Achmad Yani

Amelia, putri ketiga Letnan Jenderal Achmad Yani, masih berusia 16 tahun. Ia 

menyaksikan sejumlah tentara Cakrabirawa bersenjata lengkap menghabisi nyawa ayahnya 

pada pagi buta di rumah mereka di Jalan Lembang, Menteng, Jakarta Pusat.

Amelia, kini 58 tahun, semula tidak tahu persis siapa dalang pembunuhan ayahnya. 

Belakangan, dia tahu pelakunya adalah G-30-S/PKI pimpinan Dipa Nusantara Aidit. ”Aidit 

ingin merebut kekuasaan dan menganggap Yani dan jenderal lainnya sebagai penghalang,” 

kata Amelia, yang sekarang jadi pengusaha di Yogyakarta.

Perseteruan dengan Aidit, kata Amelia, bermula dari ketidaksetujuan Yani dengan 

keinginan PKI mengganti ideologi Pancasila menjadi komunis. Hal ini telah disampaikan 

beberapa kali oleh Yani kepada Presiden Soekarno. Namun kedekatan Aidit dengan 

Soekarno menyebabkan PKI tidak bisa disingkirkan begitu saja.

”Mereka melihat Angkatan Darat sebagai penghalang mereka,” ujar Amelia. Sehingga 

diam-diam mereka melancarkan serangan propaganda untuk menghabisi TNI Angkatan 

Darat, terutama Yani dan jenderal-jenderal lain yang pernah bersekolah di Amerika.

53

Dalam pidato di depan taruna TNI Angkatan Laut pada 1964, Aidit menyebut jenderal 

lulusan Amerika sebagai jenderal Pentagon berkulit sawo matang yang berbahaya. Mereka 

diisukan akan berkhianat.

Tidak hanya itu, kata Amelia, yang sering mendengar percakapan politik antarjenderal di 

rumahnya, PKI juga menyebarkan isu Angkatan Darat telah membentuk Dewan Jenderal 

untuk melancarkan usaha kudetanya terhadap Presiden. Puncaknya, PKI membunuh 

beberapa prajurit TNI di sejumlah daerah, di antaranya Pembantu Letnan Satu Sudjono di 

Bandar Betsi, Sumatera Utara.

Amelia mengaku tidak banyak tahu soal Aidit. Ia hanya melihat Aidit sebagai ahli 

propaganda ulung yang sangat berambisi untuk berkuasa. ”Dia sudah hitung-hitungan 

siapa yang berkuasa jika Presiden Soekarno meninggal. Yang jelas, bapak saya tidak boleh 

hidup karena akan menghalanginya,” ujar Amelia.

”Kekuatan PKI saat itu luar biasa. Tukang jahit kami saja ikut baris-berbaris di siang bolong 

mengikuti rapat raksasa PKI,” ujar Amelia. Sayang, kata Amelia, PKI tidak cerdik dalam 

strategi. ”Jadinya pontang-panting setelah pembunuhan itu,” ujarnya. Dengan kekalahan 

dalam waktu singkat itu, Amelia menilai PKI sebenarnya tidak memiliki kekuatan apa-apa. 

”Mereka hanya berlindung (di belakang Soekarno—Red.) dan menggunakan Soekarno,” 

katanya.

Salomo Pandjaitan

”Suara tembakannya saja masih terngiang sampai sekarang,” kata Salomo Pandjaitan, kini 

55 tahun, putra ketiga Brigadir Jenderal Donald Ishak Pandjaitan.

Pembunuhan D.I. Pandjaitan memang paling tragis. Waktu itu Salomo masih 13 tahun. 

Pasukan Cakrabirawa, yang datang di pagi buta ke rumah mereka, melesakkan peluru ke 

kepala Pandjaitan saat jenderal bintang satu itu berdoa. Pandjaitan baru saja melipat 

tangan ketika senapan meletus. ”Bagaimana saya tidak benci dia? Di depan kepala saya, 

otak ayah saya berhamburan, dihantam peluru panas pasukan Cakrabirawa,” kata Salomo. 

”Ada 360 peluru ditemukan di rumah kami, yang luasnya 700 meter persegi.”

54

Bagi pensiunan karyawan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi ini, ”Aidit adalah 

pengkhianat, yang ingin membelokkan ideologi negara. Salah satunya dengan mendekati 

dan mempengaruhi Presiden Soekarno.” Aidit, di mata Salomo, adalah dalang Gerakan 30 

September.

Semua berawal dari perseteruan TNI Angkatan Darat dengan PKI. Tidak mudah 

menyingkirkan kekuatan politik Angkatan Darat saat itu. Apalagi Achmad Yani, 

pemimpin Angkatan Darat, kesayangan Soekarno. Karena itu, cara terbaik adalah 

membunuh mereka. ”Satu-satunya cara, ya, dengan kekerasan,” ujar Salomo.

D.N. Aidit akhirnya berhasil menjalankan rencananya, ”Karena waktu itu PKI merupakan 

partai paling kuat dengan anggota yang sangat militan,” kata Salomo. Dalam ingatan 

Salomo, Aidit selalu mencari pengaruh, pandai mengobarkan semangat anggota-

anggotanya. Ia juga berpidato seperti Soekarno, selalu berapi-api. PKI juga kuat karena 

didukung Soekarno dan negara luar seperti Cina dan Rusia.

”Waktu itu, saya belum merasakan pengaruh PKI pada diri saya. Justru pembunuhan 

terhadap para jenderal yang memacu saya jadi antikomunis.” katanya. Meski begitu, 

Salomo membatasi kebenciannya hanya kepada Aidit, ”Bukan kepada anak atau 

keluarganya.”

Rianto Nurhadi Harjono

”Saya trauma bahkan masuk rumah sakit selama empat hari setelah peristiwa itu,” kenang 

Rianto Nurhadi, yang kini pengusaha.

Saat itu Rianto Nurhadi, dipanggil Riri, baru sembilan tahun. Ia terbangun ketika 

mendengar tembakan menghantam kamar ayahnya. Ia sempat mendatangi ayahnya, tapi 

sang ayah memberi kode agar ia berlindung bersama ibu dan saudaranya di kamar lain. 

Selang beberapa menit, ayahnya telah terkapar bersimbah darah dan diseret ke atas truk.

Riri putra ketiga Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono. Walau orang tuanya menjadi 

korban, Riri tidak bisa memastikan apakah PKI satu-satunya dalang pembunuhan itu. 

Namun Riri mengakui peran politik PKI pada 1965 cukup besar, sehingga kelompok lain, 

55

di antaranya TNI Angkatan Darat, menjadi khawatir. Apalagi saat itu PKI hendak 

memaksakan sistem komunis di Indonesia. Inilah yang kemudian memicu perseteruan 

antara PKI dan TNI Angkatan Darat.

Namun PKI di bawah pimpinan Aidit saat itu sangat kuat. Ia dekat dengan Presiden 

Soekarno, sehingga tidak mudah dilumpuhkan. ”Aidit sosok yang berambisi besar untuk 

berkuasa,” ujar Riri. Karena itu, Aidit berhasil menjalankan rencananya, membunuh para 

jenderal, agar bisa berkuasa.

Sampai saat ini, ”Kebencian kepada Aidit dan PKI tetap ada,” kata Riri. Namun ia tidak 

mau memendam kebencian itu, apalagi menyalahkan anak-anak dan keluarga Aidit. 

”Kami tidak mau benci dan dendam itu berlarut-larut. Kami keluarga Pahlawan Revolusi 

dan keluarga PKI sama-sama jadi korban,” ujarnya.

Agus Widjojo

Agus Widjojo sedang lelap tidur saat peristiwa berdarah itu terjadi. Ia terbangun setelah 

mendengar derap sepatu lars dan kegaduhan di rumahnya. Tidak ada suara tembakan, tapi 

beberapa menit kemudian ia melihat ayahnya dibawa segerombolan orang berbaret merah. 

Itulah terakhir kali ia melihat sang ayah.

Di kemudian hari, ia baru tahu bahwa ayahnya diculik dan dibunuh PKI. Agus putra 

pertama Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo. ”Saat itu saya tidak tahu jelas 

perseteruan politik antara TNI Angkatan Darat dan PKI dan kenapa ayah saya dibunuh,” 

ujar Agus. Lama ia baru menyadari bahwa ayahnya menjadi salah satu sasaran PKI karena 

dianggap sebagai batu penghalang PKI untuk berkuasa.

”Saya tahu Aidit dalang pembunuhan itu setelah mencari tahu,” kata pensiunan jenderal 

ini. Selama ini, ia memandang Aidit sebagai orang yang yakin betul pada ideologi yang 

diperjuangkannya.

Menurut Agus, kini 60 tahun, perseteruan antara Angkatan Darat dan PKI bermula dari 

tersiarnya kabar bahwa Presiden Soekarno sakit keras. ”PKI berambisi ingin berkuasa,

namun dihalangi Angkatan Darat,” kata Agus.

56

Walau merasa kehilangan setelah peristiwa itu, Agus tidak dendam kepada PKI, apalagi 

kepada anak-anak D.N. Aidit. ”Kita kan harus tetap berjalan ke masa depan, tidak hanya 

terpuruk dengan masa lalu,” katanya. Untuk menghindari rasa dendam antara keluarga 

Pahlawan Revolusi dan keluarga Aidit, ia bahkan memprakarsai pembentukan Forum 

Silaturahmi Anak Bangsa. ”Kami mencoba mengambil pelajaran dan berusaha 

mengungkap kebenaran, apa yang sebenarnya terjadi,” ujarnya—walaupun, kata Agus, hal 

itu tidak mudah dilakukan.

Agus menilai pembunuhan terhadap ayahnya lebih karena alasan politik, sehingga dia 

tidak merasa trauma.

Ratna Purwati Soeprapto

Ratna Purwati telah berumur 18 tahun ketika peristiwa yang merenggut nyawa ayahnya, 

Mayor Jenderal R. Soeprapto, terjadi. Saat penculikan itu, rumahnya tidak dijaga oleh 

seorang prajurit pun, sehingga pasukan Cakrabirawa bisa leluasa membawa ayahnya. ”Baru 

setelah Pak Umar Wirahadikusumah (Panglima Kodam V/Jaya waktu itu) datang ke

rumah, kami tahu Ayah diculik gerombolan PKI,” kata Ratna, pensiunan Pertamina.

Meski tidak mengetahui pasti apakah PKI pelaku tunggal penculikan itu, Ratna, kini 60 

tahun, melihat PKI dan Aidit tidak lebih dari sosok pengecut. ”Dia tidak berani datang 

sendiri, tapi menggunakan dan memperalat orang-orang bawah untuk mencapai 

tujuannya,” kata Ratna.

Dia tidak bisa menyimpulkan PKI sebagai pelaku utamanya, ”Karena saat itu Aidit sangat 

dekat dengan Presiden Soekarno.” Ratna kerap melihat Aidit berpidato di samping 

Soekarno. Tidak hanya itu, Soekarno bahkan merangkul PKI menjadi salah satu kekuatan 

dengan mengembangkan sistem Nasakom: Nasionalis, Agama, dan Komunis.

Karena sejak awal mengetahui bahwa paham komunis tidak mengenal agama, Ratna tidak 

terlalu peduli dengan pertumbuhan pesat partai pimpinan Aidit itu. Apalagi melihat Aidit 

sebagai sosok yang heroik. ”Yang menyakitkan para jenderal dibunuh oleh bangsa sendiri, 

bukan oleh bangsa lain,” ujarnya.

57

*** Rahasia Aidit ***

Oleh : Hilmar Farid Sejarawan

Aidit memimpin PKI sejak Januari 1951. Baru beberapa bulan, partai yang baru dipukul 

secara politik dan fisik menyusul peristiwa Madiun 1948 itu kembali berhadapan dengan 

represi. Pada pertengahan Agustus, ribuan pemimpin dan kader partai ditangkap di Medan 

dan Jakarta. Ini terjadi setelah serangan terhadap sebuah kantor polisi di Tanjung Priok 

oleh gerombolan yang mengenakan simbol palu arit. Sekalipun pemimpin partai membuat 

pernyataan tidak terlibat dalam serangan itu, pemerintah Sukiman tetap mengirim aparat

untuk mengejar kaum komunis. Aidit bersama Lukman dan Njoto lolos dari kejaran.

Tepat empat tahun kemudian, September 1955, PKI menempati urutan keempat dalam 

pemilihan umum dengan 6,1 juta suara atau meraih 16,4 persen dari total suara. Dua tahun 

kemudian, dalam pemilihan daerah, jumlah suara untuk PKI meningkat hampir 40 persen, 

bahkan di beberapa daerah mereka mayoritas. Jumlah anggotanya yang semula hanya 

4.000 orang meningkat puluhan kali lipat. Pada 1957 Aidit dengan bangga melaporkan 

bahwa jumlah perempuan anggota partai sudah mencapai 100 ribu. Pada usia 32 tahun 

Aidit sudah menjadi pemimpin salah satu kekuatan politik pasca-revolusi yang paling 

signifikan dan hidup.

Apa rahasia Aidit mengubah partai yang semula terbelah ke dalam banyak faksi menjadi 

kekuatan politik yang solid dan andal?

Pengambilalihan partai dari apa yang disebut ”kalangan tua” oleh Aidit, Lukman, dan 

Njoto, pada awal 1951 bukanlah proses yang mudah. Perdebatan berlangsung di tingkat 

pimpinan pusat sampai kader-kader daerah. Dalam berbagai kesempatan, Politbiro baru di 

bawah Aidit menggunakan tangan besi. ”Pengadilan” dibentuk untuk mendisiplinkan 

kader yang berseberangan pandangan dengan pemimpin baru. Banyak dari mereka yang 

diadili kemudian diturunkan jabatan dan status keanggotaannya, bahkan dikeluarkan dari 

partai.

58

Setelah berhasil melakukan konsolidasi dengan menyatukan unsur-unsur yang setuju pada 

garis kebijakan baru partai, Politbiro yang dipimpin Aidit mulai membangun struktur 

organisasi yang ketat. Orang yang bertanggung jawab melakukan tugas berat ini adalah 

Sudisman. Seleksi dan perekrutan anggota dirapikan. Setiap calon anggota melalui tahap 

pemeriksaan dan pengawasan selama lima sampai enam bulan sebelum menjadi anggota 

penuh dan kemudian kader partai. Pada saat bersamaan diberlakukan juga asas demokrasi 

di mana kader bisa menyuarakan perbedaan pendapat dan kritik sehingga tidak 

terakumulasi menjadi faksi seperti terjadi pada masa sebelumnya.

Pendidikan politik mendapat perhatian khusus dan menurut Ruth McVey inilah kunci 

yang membuat PKI mempesona banyak orang. Di tengah sistem pendidikan nasional yang 

belum berkembang, jumlah sekolah dan guru yang terbatas, kegiatan pendidikan yang 

diselenggarakan PKI di berbagai tingkat seperti menjadi jalan menuju modernitas. Analisis 

Marxis, studi ekonomi politik, sejarah masyarakat, yang diajarkan di sekolah dan kursus 

politik milik partai tidak hanya menawarkan isi tapi juga cara ”berilmu” baru.

Perluasan pendidikan ini dibarengi dengan berlipat gandanya kegiatan penerbitan. Harian 

Rakjat, yang semula terbit terbatas untuk kader dan anggota partai, pada awal 1957 sudah 

menjadi harian dengan tiras 60 ribu eksemplar. Cabang-cabang partai mempunyai 

penerbitan sendiri seperti Suara Ibukota di Jakarta, Suara Persatuan di Semarang, Buletin 

PKI Djawa Timur di Surabaya, dan Lombok Bangun di Mataram. Terjemahan karya asing ke 

dalam bahasa Indonesia banyak dilakukan. Di Jawa Barat, kader partai membaca karya Mao 

dalam bahasa Sunda.

Namun elemen yang paling penting dalam konsolidasi partai adalah tumbuhnya 

komunitas yang berpusat pada organisasi partai. Kantor partai adalah tempat yang hidup 

dan para pengurusnya adalah orang yang aktif dalam komunitas. Organisasi secara konkret 

membantu anggota menghadapi masalah, mulai dari tekanan politik pihak lawan sampai 

urusan sehari-hari seperti melahirkan dan kematian. Menurut Donald Hindley, PKI 

berhasil membangun komunitas-komunitas berbasis solidaritas dalam masyarakat yang 

penuh ketegangan dan pertentangan.

59

Perkembangan pesat ini hampir tidak mendapat hambatan berarti. Sejak 1951 Aidit 

menitikberatkan perjuangan partai melalui jalan parlemen. Dengan strategi front nasional 

PKI berhasil menciptakan ruang yang memudahkan konsolidasi partai. Sepanjang 1950-an 

PKI praktis tidak pernah ”bermain di luar jalur” seperti halnya partai-partai yang bertualang 

dengan terlibat aksi pemberontakan di daerah-daerah, usaha putsch atau persekongkolan 

untuk menyingkirkan pemimpin nasional. Tidak mengherankan jika Soekarno melihatnya 

sebagai sekutu penting untuk mengimbangi tekanan pihak militer.

Semua ini berubah pada awal 1960-an. Angkatan Darat dan kekuatan antikomunis kini 

melihat PKI sebagai ancaman nyata. Ancaman bahwa PKI akan berhasil menguasai 

pemerintah melalui pemilihan umum dan perjuangan parlementer membuat lawan 

politiknya diam-diam mensyukuri Demokrasi Terpimpin. Ketegangan sosial dan politik 

meningkat karena perekonomian memburuk. Para ahli psychological warfare dalam 

maupun luar negeri sementara itu meramaikan suasana politik dengan desas-desus, 

pengacauan informasi, dan aksi subversi.

PKI mulai memasuki gelanggang politik baru. Tekanan berbagai pihak membuat 

keputusan-keputusan penting semakin terpusat di tangan segelintir pimpinan. Jarak 

dengan massa mulai terasa. Komunitas yang tumbuh di sekeliling organisasi partai kini 

terpusat pada mobilisasi dan semakin banyak pertimbangan survival yang melandasi 

kebijakan partai. Buruh dilarang mogok, petani diminta menahan diri agar tidak 

mengambil alih lahan, jika sasarannya adalah sekutu dalam front nasional.

Jarak pemimpin dengan massa semakin terasa, sekalipun jumlah anggota partai semakin 

bertambah. Itu membuat PKI seperti ”raksasa berkaki lempung”, meminjam istilah 

sejarawan Jacques Leclerc.

Seruan Aidit untuk memperkuat barisan partai dengan menambah jumlah anggota tidak 

hanya disambut oleh rakyat di kampung dan desa yang melihat PKI sebagai pintu menuju 

modernitas dan kemakmuran, tapi juga para pejabat dan mereka yang dalam analisis sosial 

PKI disebut kabir alias kapitalis birokrat. Bagi mereka menjadi anggota partai adalah jalan 

mengamankan posisi dalam birokrasi dan membangun perlindungan diri menghadapi 

60

pergulatan sosial yang kadang berlangsung keras dan penuh konflik. PKI pun tumbuh 

menjadi tubuh besar yang lamban dan tidak lagi tangkas menghadapi perubahan.

Di tengah keadaan ini Aidit mendengar berita tentang Dewan Jenderal yang berencana 

menggulingkan pemerintahan Soekarno. PKI sebagai partai sudah terlalu lamban untuk 

mengikuti dinamika yang berlangsung cepat. Keadaan menuntut ketangkasan politik. 

Ketika keputusan menentukan harus diambil dalam hitungan hari dan jam, Aidit pun 

terkucil dari Comite Central dan kawan-kawannya sendiri. Selama September 1965 tidak 

ada lagi rapat Politbiro. Aidit bersama sejumlah pemimpin partai terseret dalam gelap 

politik klandestin, agen ganda, dan tipu daya.

Ada yang menyebutnya pengkhianatan. Ada juga yang bilang petualangan. Bagi saya, kata 

yang lebih tepat adalah tragedi.

61

*** Wajah Aidit di Seluloid ***

Film Pengkhianatan G-30-S/PKI, untuk beberapa lama, menjadi sumber visualisasi 

tentang sosok Aidit.

BERONDONGAN peluru Cakrabirawa merangsek ke tubuh Letnan Jenderal Achmad Yani 

pada malam Jumat Pahing, 30 September 1965. Saat tubuhnya terempas membentur 

pintu, putranya menyaksikan dari bawah meja setrika dengan wajah pasi. Jenazah Yani 

yang masih hangat lantas digeret keluar oleh para pelaku, memborehkan jejak darah yang 

berlimpah-ruah di permukaan ubin.

Malam Jumat Pahing. Sebutan itu keluar dari mulut Dipa Nusantara Aidit, Ketua Partai 

Komunis Indonesia, saat ia menyebutkan hari-H dari sebuah operasi rahasia. ”Kita tak 

boleh terlambat,” ujarnya kesal saat ada anggota Politbiro lain menyangsikan eksistensi 

Dewan Jenderal dan rencana mereka untuk melakukan kup terhadap Presiden Soekarno.

Peristiwa malam Jumat Pahing yang kelak dikenal sebagai Gerakan 30 September itu 

direka ulang lewat film kolosal Pengkhianatan G-30-S/PKI (1982). Itulah pertama kalinya 

masyarakat bisa menyaksikan rekaan wajah Aidit dengan jelas melalui interpretasi Syu’bah 

Asa. Bagaimana gayanya berbicara, bagaimana ekspresinya saat berpikir, termasuk caranya 

mengepulkan asap rokok. Ada saat Aidit hanya disorot dengan close-up pada gerak 

bibirnya, terutama ketika menunjukkan strategi yang tengah dirancang. Aidit hasil tafsiran 

sutradara Arifin C. Noer adalah Aidit yang penuh muslihat.

Adalah Syu’bah Asa, budayawan yang kala itu wartawan majalah Tempo, yang didapuk 

Arifin sebagai sang gembong PKI. ”Tadinya saya ingin memberikan perwatakan yang lebih 

utuh,” ungkap mantan Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta ini, ”tapi Arifin 

bilang tak perlu karena dia hanya butuh beberapa ekspresi saja.”

Maka, seperti tersaji di film berdurasi 271 menit itu, pada saat Aidit muncul di layar, yang 

tersodor adalah fragmen-fragmen seperti mata yang mendelok-delok marah atau gaya 

merokok yang menderu-deru gelisah. ”Saya tidak merasa sukses memainkan peran itu,” 

kata Syu’bah.

62

Tapi ia tak kecewa karena sejak awal tahu bahwa sosok Aidit dibutuhkan hanya sebagai 

pengimbang, bukan tokoh utama yang menjadi alasan film itu dibuat. Belum lagi 

menyangkut akses untuk mempelajari karakter Aidit yang sangat terbatas. Bahan riset 

minim, dan akses ke keluarga almarhum saat itu tak ada. ”Waktu itu tidak mungkin 

menghubungi keluarga Aidit. Ada jurang besar yang tak terjembatani. Tidak seperti 

sekarang,” ujar Syu’bah. Maka, selain dengan penafsirannya sendiri atas skenario yang 

ditulis Arifin, Syu’bah mendalami tokoh yang akan diperankannya melalui diskusi intens 

dengan Amarzan Ismail Hamid, penyair yang mengenal Aidit secara pribadi. Sepanjang 

malam mereka berdiskusi di Wisma Tempo Sirnagalih, Megamendung, Jawa Barat.

Apa saja informasi penting yang ia dapatkan? ”Amarzan bilang dia sudah bertemu 

pemimpin komunis dunia seperti Mao Tse Tung dan Ho Chi Minh. Semua karismatis di 

mata dia. Tapi Aidit tidak,” ungkap Syu’bah. ”Dari informasi itulah saya tafsirkan ke dalam 

gerak wajah.” Namun, ketika besoknya syuting dilakukan, Syu’bah sempat ketiduran. 

”Kecapekan,” tuturnya. Ketika film itu selesai, Syu’bah kembali mengunjungi Amarzan, 

menanyakan pendapatnya tentang peran yang ia mainkan. ”Buruk,” ujar sang penyair 

seperti diulangi Syu’bah.

Amarzan, 66 tahun, yang dihubungi wartawan Tempo Arti Ekawati, menyatakan memang 

itu bukan peran yang gampang. ”Sulit untuk menggambarkan sosok seorang Aidit,” 

katanya. ”Apalagi itu film propaganda. Semua yang ada di dalamnya dibuat berdasarkan 

keinginan sang pemesan.” Di awal proses preproduksi, sebetulnya Amarzan sempat terlibat 

atas ajakan Arifin dan Danarto, yang menjadi direktur artistik film. ”Saya memberikan 

masukan tentang setting suasana rapat-rapat PKI dan suasana pada waktu itu,” tuturnya. 

Belakangan ia mengundurkan diri setelah sarannya tidak banyak didengar.

Danarto pun tak bertahan lama dalam pembuatan film yang digarap selama dua tahun 

dengan melibatkan lebih dari 10 ribu pemain figuran itu. ”Setelah berbulan-bulan 

melakukan riset, saya akhirnya juga mengundurkan diri sebagai art director karena soal 

honor,” Danarto menandaskan.

63

Bujet film ini sendiri tercatat Rp 800 juta, yang menjadikannya sebagai film termahal di 

awal 1980-an.

l l l

EMBIE C. Noer, yang bertindak sebagai direktur musik film itu, ingat kata-kata Arifin saat 

mendeskripsikan film yang akan mereka buat dengan sangat singkat, ”Ini film horor, Mbi.”

Bagi Embie, frasa sependek itu cukup menjadi dasar baginya untuk mengembangkan tafsir 

bebunyian. ”Saya bukan cuma adiknya atau krunya, melainkan juga anaknya sekaligus 

muridnya sejak dia masih muda,” tutur Embie. ”Karena itu, yang sama-sama kami pahami 

adalah Aidit sebagai sebuah diskusi politik ketimbang sebagai rekonstruksi fakta yang 

debatable.”

Contoh kecil yang menunjukkan itu, antara lain, adegan Aidit merokok yang dianggap 

menyimpang dari kebiasaan Aidit sebenarnya yang tidak merokok—seperti diyakini sang 

adik, Murad Aidit. ”Adegan itu justru menegaskan Mas Arifin sedang tidak 

merekonstruksi fakta, melainkan menyodorkan sebuah diskusi politik,” kata Embie. Ia 

prihatin melihat pelbagai diskusi yang muncul saat itu tentang pencitraan Aidit, dan film 

itu secara umumnya, yang hanya ditakar dari sisi estetika, bukan secara substantif. ”Banyak 

yang gagal membaca film ini,” keluh Embie. Dalam wawancaranya dengan majalah ini 23 

tahun silam, Arifin mengatakan bahwa niatnya membuat film ini adalah sebagai ”film 

pendidikan dan renungan tanpa menawarkan kebencian” (Tempo edisi 6/14, 7 April 1984).

Berkaitan dengan tugasnya untuk memberi tafsir musikal pada film itu, Embie 

berkeyakinan bahwa ranah politik Indonesia, sampai detik ini, adalah konsep budaya Barat 

dengan para pionir seperti Ronggowarsito untuk sastra dan metafisika serta Raden Saleh 

untuk estetika. ”Maka saya meramu suling bambu, tape double-cassette, keyboard, 

dengan semangat budaya pseudo-modern,” ujarnya.

Perdebatan yang sempat muncul mengenai sosok Aidit dalam film itu, seingat Jajang C. 

Noer, tak sampai menggelisahkan suaminya. ”Dia sangat excited ketika melihat hasil 

akhirnya,” tutur Jajang.

64

Bagi Jajang, proses persiapan bahan untuk sosok Aidit adalah saat yang sibuk sekaligus 

mencemaskan. Mereka sibuk membuat kompilasi dari pelbagai bahan tertulis. Itulah yang 

diolah Arifin menjadi sebuah skenario. Yang membuat cemas, tim Arifin hanya memiliki 

satu foto Aidit, ketika sang figur berada di sebuah acara di Istora. Rumitnya lagi, foto itu 

pun tak begitu jelas. Persoalan menjadi sedikit lebih mudah setelah mereka berhasil 

mendapatkan sebuah pasfoto Aidit yang lebih jelas. ”Ternyata bentuk fisik Aidit tak 

sebesar yang kami bayangkan semula,” ujar Jajang. ”Dari pasfoto itulah Mas Arifin punya 

kesan bahwa Aidit terlihat mirip Syu’bah. Bukan pada kepersisan wajah, tapi pada wibawa.” 

Jajang mencontohkan, pencarian pada ”kemiripan wibawa” ketimbang kemiripan wajah 

juga menjadi pertimbangan utama saat mencari pemeran Bung Karno, yang akhirnya jatuh 

pada Umar Kayam.

Sudah selesaikah persoalan? Ternyata belum. Jajang mengungkapkan, mereka masih 

kesulitan mendapatkan ciri atau gestur khusus Aidit, meski sudah mencari informasi ke 

Subandrio dan Syam Kamaruzzaman. ”Satu-satunya tambahan informasi yang muncul 

adalah bahwa Aidit itu dandy. Bukan dalam pengertian genit, tapi pada gaya busana. Dan di 

situlah repotnya,” Jajang terkekeh sejenak. ”Syu’bah nggak bisa dibilang dandy.”

Ihwal Aidit yang merokok itu, Jajang punya jawaban lain. Saat itu Arifin merasa merokok 

sebagai representasi dari The Thinker. ”Secara visual terlihat lebih bagus penggambaran 

seseorang yang berpikir keras itu lewat rokoknya,” ulas Jajang. ”Itu sebabnya ada adegan di 

mana layar hanya dipenuhi asap rokok sebagai metafor sumpeknya suasana politik 

Indonesia.”

Dengan segala pro-kontra yang muncul akibat film Pengkhianatan G-30-S/PKI, satu hal 

yang tak bisa disangkal adalah generasi yang lahir pada 1970-an dan sesudahnya 

mendapatkan satu-satunya gambaran tentang sosok Aidit secara jelas hanya dari film itu. 

Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 1998, buku tentang Aidit kemudian 

bermunculan, termasuk yang ditulis oleh mereka yang mengenalnya lebih dekat.

65

*** Sajak Pamflet Sang Ketua ***

D.N. Aidit berhasrat juga menjadi penyair. Tapi puisinya pernah ditolak HR Minggu.

TELEPON kantor Harian Rakjat di Jalan Pintu Besar Selatan Nomor 93, Jakarta Pusat, 

meraung-raung pada suatu Sabtu malam, sekitar awal 1965. Dipa Nusantara Aidit, Ketua 

Comite Central Partai Komunis Indonesia, mencari ”orang yang bertanggung jawab” atas 

seleksi puisi di HR Minggu, lembar kebudayaan yang berbeda isi, bahkan logonya, dengan 

Harian Rakjat edisi reguler. Telepon itu disambut Amarzan, redaktur yang memang 

ditugasi menyeleksi kiriman puisi.

”Apakah sajak-sajak saya sudah diterima?” terdengar Aidit di seberang telepon.

”Sudah.”

”Jadi, dimuat dalam edisi besok?”

Setelah berpikir sejenak, Amarzan menjawab, ”Tidak.”

”Maksudnya?”

”Ya, tidak dimuat”

”Mengapa tidak dimuat?”

”Menurut saya, belum layak dimuat.”

Hening. Lalu brak! Telepon dibanting.

Amarzan, ketika itu 24 tahun, baru dua tahun menjadi redaktur. Ia paham, menolak puisi 

Aidit bisa menjadi perkara besar. Sejam kemudian, telepon kantor kembali berdering, 

masih mencari Amarzan. Kali ini dari Njoto, Wakil Ketua II CC PKI sekaligus Pemimpin 

Redaksi Harian Rakjat. Dengan nada kalem, Njoto bertanya apakah benar Amarzan 

menolak memuat sajak-sajak kiriman Aidit. Amarzan membenarkan.

”Bung yakin akan pendapat Bung?” Njoto bertanya.

66

”Yakin.”

”Tak ada hal-hal lain yang bisa dipertimbangkan?”

”Tidak.”

”Baik. Kalau begitu, saya mendukung keputusan Bung.”

Plong. Tadinya ia menyangka Njoto bakal memaksanya memuat sajak-sajak Aidit itu. 

”Jika itu terjadi, saya akan keluar,” katanya mengenang ”insiden telepon” itu, tiga pekan 

lalu. Ketika itu, gajinya Rp 525 per bulan, cukup untuk makan dua pekan di masa beras 

sulit dan apa-apa harus mengantre.

Menurut Amarzan, kini 66 tahun, ia menolak puisi Aidit justru karena ingin 

menyelamatkan ”martabat” sang Ketua. ”Puisinya sejenis puisi poster,” katanya. Sayang, 

Amarzan lupa puisi Aidit mana yang ia tolak ketika itu.

Aidit lumayan banyak menulis puisi, dari 1946 sampai 1965. Sajak-sajaknya hampir 

seluruhnya berisi puji-pujian kepada partai, atau anjuran revolusi, bahkan dalam sajak yang 

sangat personal sekalipun. Selain di Harian Rakjat itu, sajak Aidit kerap muncul di Suara 

Ibukota, sebuah koran politik Jakarta yang diasuh seorang aktivis PKI, Hasan Raid.

Aidit menggunakan puisi sebagai media untuk berkomentar atas peristiwa aktual yang ia 

lihat dan dengar, dengan gaya menyeru dan berpe_tuah. Sajak-sajak di kedua koran itu 

kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dalam antologi Lumpur dan Kidung.

Baca, misalnya, sajaknya Raja Naik Mahkota Kecil, yang ditulis pada 23 Juni 1962 untuk 

menyindir pengangkatan Letnan Jenderal Ahmad Yani sebagai Kepala Staf Angkatan 

Darat, menggantikan Jenderal Abdul Harris Nasution.

Udara hari ini cerah benar

pemuda nyanyi nasakom bersatu

gelak ketawa gadis remaja

67

mendengar si lalim naik takhta

tapi konon mahkotanya kecil

Sajak empat kuplet ini ditutup dengan stanza: Ayo, maju terus kawan-kawan/ Halau dia ke 

jaring dan jerat/ tangkap dia dan ikat erat/ hadapkan dia ke mahkamah rakyat!

Atau baca: Yang Mati Hidup Kembali, yang ditulisnya pada 14 Februari 1961, sebulan 

setelah Patrice Émery Lumumba, pemimpin gerilya rakyat Kongo, mati dibunuh agen 

rahasia Amerika, CIA. Butir-butir airmata membasahi koran pagi/ Orang hitam berhati 

putih itu/ dibunuh siputih berhati hitam!

Aidit sendiri pernah sekali menulis pada 1964 bahwa sastra itu harus bertanggung jawab, 

berkepribadian nasional, dan mengabdi kepada buruh dan rakyat. Kredo ini menjadi 

semacam tren yang dianut para penulis ”berhaluan kiri”. Amarzan, sebagai redaktur HR 

Minggu, secara pribadi menganggap puisi tak selalu harus begitu. Ia sendiri, sebagai 

penyair, bisa saja menulis puisi tentang cinta, kebimbangan, bulan, dan laut.

Tak hanya Amarzan yang menganggap puisi-puisi Aidit jelek. Oey Hay Djoen, bekas 

anggota parlemen dan Dewan Pakar Ekonomi PKI, juga berpendapat demikian. Bekas 

pejabat PKI itu mengenang, ia sering dikirimi sajak oleh Aidit untuk dimintai pendapat. 

Tapi laki-laki yang masih gesit di usia 78 tahun itu mengaku tak pernah menggubrisnya. 

”Buat apa? Jelek,” katanya. Hay Djoen sendiri menulis prosa memikat dengan nama 

samaran Ira Iramanto atau Samandjaja.

Sobron Aidit—adik D.N. Aidit—sekali waktu pernah bercerita bahwa abangnya 

sesungguhnya mengagumi sajak-sajak Chairil Anwar. Chairil dan Sobron pada 1949 pernah 

satu kos di Jalan Gondangdia Lama Nomor 2, Jakarta Pusat. Mengetahui adiknya 

berkawan dengan penyair terkemuka Indonesia itu, Aidit membual: ”Chairil itu, kalau 

masih hidup, pasti berpihak pada PKI, meski tak mau jadi PKI.”

Sobron sendiri saat itu kerap mengirim cerpen ke beberapa koran dan majalah sastra. Aidit 

kerap mengkritik cara adiknya itu menulis. ”Abangku ini ternyata banyak tahu soal-soal 

teori sastra mutakhir,” tulis Sobron dalam Aidit (2003). Aidit kemudian kerap 

68

meminjamkan buku-buku penulis Rusia seperti Tolstoi, Dostoyevsky, dan Chekov kepada 

Sobron.

Barangkali menulis puisi, bagi Aidit, hanya semacam gaya seorang pemimpin partai. Sebab, 

banyak pemimpin partai komunis di Asia yang pandai menulis sajak. Mao Zedong menulis 

sajak. Ho Chi Minh malah punya kumpulan sajak yang diterjemahkan ke berbagai bahasa, 

Prison Diary. Para pemimpin PKI lainnya—Njoto, Sudisman, Alimin, dan M.H. 

Lukman—juga menulis sajak.

Ketika tersebar kabar Aidit meninggal, 23 November 1965, Mao Zedong menulis sajak 

belasungkawa yang dimuat di sebuah koran Tiongkok, yang terjemahan Indonesianya 

kira-kira:

Di jendela dingin berdiri reranting jarang

beraneka bunga di depan semarak riang

apa hendak dikata kegembiraan tiada bertahan lama

di musim semi malah jatuh berguguran.

69

Setelah Keluar dari Laci Penulis

Puluhan buku menyajikan aneka versi tentang sosok D.N. Aidit. Ayah yang baik hingga 

politikus oportunis.

D.N. Aidit dan PKI adalah kesatuan yang tak mungkin dipisahkan.”

Murad Aidit menuangkan kesaksiannya terhadap sang kakak dalam buku Aidit Sang 

Legenda. Ia melukiskan Achmad Aidit alias Dipa Nusantara Aidit sebagai aktivis yang 

habis-habisan membesarkan partai palu arit. Begitu sibuknya, Aidit kurang memperhatikan 

segala kesulitan yang ia hadapi. ”Bang Amat,” begitu Murad memanggil Aidit, ”adalah 

kakak yang sungguh tak dapat diharapkan.”

Ia mencontohkan saat meminta uang biaya pernikahan, ia sama sekali tak diberi. Tapi, pada 

saat yang lain, rasa kesal dan benci kepada Bang Amat tandas ketika Murad tergolek lemah 

akibat TBC. Dokter memberi Murad obat TBC terbaru dari Swiss, yang belum beredar di 

Indonesia. Adalah Aidit yang mendapatkan obat itu, mengandalkan jaringan 

pertemanannya di luar negeri. Cerita pun mengalir. Aidit kali ini disebut sebagai kakak 

yang sempurna.

Inilah sepenggal kisah haru-biru hubungan kakak-beradik yang ditulis dalam buku 264 

halaman yang terbit dua tahun lalu. Tak cuma Murad. Sobron Aidit, adik sepupu Aidit, 

juga menulis beberapa buku. Begitu pula Ibarruri, putri tertuanya. Iba menyebut sang ayah 

dalam buku Ibarruri Putri Alam yang terbit tahun lalu sebagai ”manusia yang paling 

kucintai”.

Buku-buku dari lingkaran terdalam keluarga Ketua Comite Central Partai Komunis 

Indonesia itu tak mungkin bisa kita baca sepuluh tahun lalu. Kendati sudah mulai ditulis 

belasan tahun lalu, buku-buku itu hanya teronggok di laci penulis. Kini, di era reformasi, 

kata sejarawan Asvi Warman Adam, ”Kita bisa lebih mengenal sosok Aidit dari sudut 

pandang personal.”

Ketika mendengar berita kepastian tewasnya sang Ayah, misalnya, Iba menuliskan, ”Di 

masa aku remaja, aku tiba-tiba kehilangan manusia yang paling kucintai, kukagumi, yang 

70

menjadi teladan dalam cita-cita.” Ibarruri adalah nama pemberian Aidit yang diambil dari 

nama pemimpin gerakan Komunis Internasional asal Spanyol, Dolores Ibarruri. Dolores 

terkenal dengan aksi menentang diktator Spanyol, Jenderal Franco.

Meski memuji setinggi langit sang ayah, Iba menyebut Aidit sebagai ayah yang tak 

mengerti merawat anak. Suatu kali di masa kecil, ia pernah menangis. Aidit yang tak tahu 

kenapa anaknya menangis terus memberi minum hingga perutnya kembung.

Sejak Soeharto tumbang, buku-buku yang berusaha ”membersihkan” sosok Aidit bebas 

beredar. Tak hanya tulisan saudara dan anak—yang jelas lebih banyak memunculkan sosok 

manusia Aidit dan dibumbui emosi karena kedekatan pada sang tokoh—tapi juga penulis 

atau peneliti yang tak ada hubungan apa pun dengan Aidit. Buku Menolak Menyerah; 

Menyingkap Tabir Keluarga Aidit (2005) karya Budi Kurniawan dan Yani Andriansyah 

boleh dikelompokkan dalam buku yang tak boleh terbit di masa Orde Baru.

Dalam buku itu, tak ada kesan dalang pembunuhan kejam dan bengis—sifat yang 

tertanam pada sebagian besar benak orang Indonesia karena dijejali buku-buku sejarah 

yang memojokkan Aidit—pada sosok politisi yang dikenal dekat dengan Soekarno ini. 

Buku tersebut bahkan memuat informasi bahwa Aidit terkucilkan dari peristiwa besar 

G30S/PKI. ”Yang terjadi adalah peristiwa di luar skenario Aidit,” tulis Budi dan Yani. 

”Terjadi penyingkiran ke Halim, yang mengakibatkan terputusnya komunikasi.”

Kebanyakan buku yang terbit di era Orde Baru memperkenalkan Aidit sebagai sosok yang

pantas dimusnahkan. Buku Pergolakan Politik Tentara Sebelum dan Sesudah G30S/PKI 

yang ditulis Todiruan Dydo pada 1989 menyebut Aidit sebagai pemimpin partai licik dan 

oportunis yang khawatir Angkatan Darat akan berkuasa setelah Soekarno meninggal. Maka 

Aidit meniupkan isu adanya Dewan Jenderal ya