Karena bujukan
dan janji-janji Van Happel, akhirnya Syekh Yusuf menerima untuk
berunding;
tapi dengan siasat licik ini,
Syekh Yusuf ditangkap kompeni pada tanggal 14 Desember 1683.
Syekh Yusuf
dibawa ke Cirebon yang kemudian dipindahkan ke Batavia, dan,
akhirnya pada
tanggal 12 Desember 1684 dibuang ke Ceylon. Karena di Ceylon pun
Syekh
Yusuf masih terus mengadakan hubungan perjuangan dengan orangorang Banten
yang pulang dari menunaikan ibadah haji, maka keputusan Pemerintah
Tinggi
Kompeni pada tanggal 7 Juli 1693 Syekh Yusuf dipindahkan
pengasingannya ke
Tanjung Harapan, sampai meninggalnya pada tanggal 23 Mei 1699.
Dalam
pada itu, Pangeran Purbaya, Pangeran Sake dengan sekitar 800 orang
pasukannya yang masih setia melanjutkan perjuangannya di daerahCikalong,
Bogor Selatan. Dengan menggunakan Untung Surapati, yang berhasil
dibujuk
untuk masuk tentara kompeni, bupati Sukapura dan demang
Timbanganten,
kompeni membujuk Pangeran Purbaya agar menyerahkan diri. Di
samping
mengutus Untung Surapati, pemerintah kompeni sebelumnya telah
mengirimkan
pula sepasukan tentara kompeni lainnya yang dipimpin Kuffeler.
Ketika
Surapati sedang mengadakan perundingan dengan Pangeran Purbaya,
datanglah
Kuffeler dan pasukannya yang bertindak kasar kepada Pangeran
Purbaya.
Untung Surapati menjadi marah karena merasa direndahkan
martabatnya,
berbalik menyerang tentara kompeni. Dalam pertempuran itu tentara
kompeni
dapat dikalahkan dan mereka melarikan diri kembali ke Sukapura
dengan
meninggalkan 20 orang Belanda yang mati terbunuh. Untung Surapati
selanjutnya meneruskan perlawanan terhadap kompeni Belanda di
daerah
Priyangan yang selanjutnya ke Kartasura. Dalam pertempuran di
Cikalong itu,
tanggal 28 Januari 1684, walau pun Belanda menderita kekalahan tapibersama
mereka yang melarikan ke Sukapura, kompeni pun berhasil
menangkap Pangeran
Mohammad Sake, saudara Pangeran Purbaya, yang kemudian ditahan
di Sukapura.
Dengan tipu muslihat yang sama, Pangeran Purbaya bersedia
menyerahkan
kerisnya dari Cileungsir, sebagai jaminan, untuk dikirimkan ke
Batavia,
baru kemudian Pangeran Purbaya sendiri menyusul ke Batavia.
Setibanya di
Batavia, Pangeran Purbaya disambut baik oleh kompeni dan kerisnya
diserahkan kembali kepadanya, namun kemudian ia ditangkap dan
dipenjarakan
di Batavia,
hingga wafatnya.
F. PEMERINTAHAN
SULTAN-SULTAN BANTEN SESUDAH SULTAN AGENG
TIRTAYASA
Dengan
ditangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf, Pangeran
Purbaya dan
pengikut-pengikut setianya ini membawa Banten ke ambang pintu
penjajahankompeni. Peperangan sudah mulai berkurang, tapi rakyat di sana-sini
masih
mengadakan perlawanan walau pun semuanya tidaklah begitu berarti.
Sementara
itu, dengan restu kompeni Belanda pulalah Sultan Haji dikukuhkan
menjadi
Sultan Banten dengan beberapa persyaratan. Tapi dengan demikian,
kedaulatan
kerajaan Banten telah runtuh, apalagi dengan ditandatanganinya
perjanjian
pada tanggal 17 April 1684, yang isinya sebagai berikut
(Tjandrasasmita,
1967:53):
1)
Perjanjian 10 Juli 1659 tetap masih berlaku dengan utuh
kecuali beberapa hal yang diubah dalam perjanjian ini. Di samping itu
untuk
kedamaian antara Banten dan kompeni Belanda, maka Banten dilarang
memberikan bantuan dalam bentuk apapun kepada musuh-musuh
kompeni. Demikian
juga Banten tidak boleh turut campur dalam politik di Cirebon
>.
2)
Penduduk Banten tidak boleh datang ke Batavia, demikian juga sebaliknya, kecuali ada
keperluan khusus dengan mendapat surat
> izin dari yangberwenang. Apabila memasuki daerah-daerah tersebut tanpa surat
> izin, maka orang itu dianggap
sebagai musuh dan boleh ditangkap atau dibunuh.
3)
Sungai Untung Jawa (Cisadane) dan garis sambungnya ke
selatan dan utara sampai laut Kidul, menjadi batas daerah Banten dan
kompeni.
4)
Apabila ada kapal milik kompeni atau milik Banten atau
warganya terdampar atau mendapat kecelakaan di laut Jawa dan
w:st="on">Sumatra
>, maka haruslah mendapat pertolongan baik
penumpangnya atau pun barang-barangnya.
5)
Untuk kerugian-kerugian perang dan perampokan oleh
penduduk Banten atas kompeni, maka Sultan harus menggantikan
kerugian
sejumlah 12.000 ringgit kepada kompeni.
6)
Tentara ataupun penduduk sipil atau siapa saja yang
berani melanggar hukum yang telah disepakati ini akan ditangkap dan
diserahkan kepada kompeni.
Sultan Banten harus melepas tuntutannya atas
w:st="on">Cirebon
> dan harus
menganggap sebagai negara sahabat yang bersekutu di bawah
lindungan
kompeni.
8)
Sesuai dengan isi perjanjian tahun 1659 pasal 4 yang
menyatakan bahwa kompeni tidak memberikan sewa tanah atau rumah
yang
digunakan untuk loji, maka menyimpang dari hal itu kompeni akan
menentukan
pembayaran kembali dengan cara debet.
9)
Sultan berkewajiban untuk waktu yang akan datang tidak
mengadakan perjanjian atau persekutuan, perserikatan dengan
kekuatan atau
bangsa lain, kerena hal itu bertentangan dengan isi perjanjian ini.
10)
Karena perjanjian ini harus tetap terpelihara dan
berlaku terus hingga masa yang akan datang, maka Paduka Sri Sultan
Abdul
Kahar Abu Nasr beserta seluruh keturunannya haruslah menerima
seluruh pasal
perjanjian ini, dimaklumi serta dianggap suci, dipercayai dan benarbenar
akan dilaksanakan oleh segenap pembesar kerajaan tanpa penolakan,
demikian
pula dari pihak kompeni.
Perjanjian ini ditandatangani di Keraton Surosowan dan
dibuat dalam bahasa Belanda, Jawa dan Melayu yang sama maksud
dan isinya.
Penandatangan dari pihak kompeni adalah Komandan dan Presiden
Komisi
Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel, Evenhart van der
Schuere
serta kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus. Sedangkan dari pihak
Banten
ditandatangani oleh Sultan Abdul Kahar, Pangeran Dipaningrat, Kiyai
Suko
Tajuddin, Pangeran Natanagara dan Pangeran Natawijaya
(Tjandrasasmita,
1967:54).
Dengan
ditandatanganinya perjanjian ini, lenyaplah kejayaan dan kemajuan
Banten,
ditelan monopoli dan penjajahan kompeni Belanda. Bahkan akibat
perjanjian
ini pulalah akhirnya Kesultanan Banten menjadi hancur dan lenyap.
Bertumpuk-tumpuklah penderitaan rakyat bukan saja karena pembersihan atas pengikut Sultan
Ageng, pajak yang tinggi --- karena Sultan harus membayar biaya
perang ---
tapi juga karena monopoli perdagangan kompeni. Rakyat dipaksa
untuk menjual
hasil pertaniannya terutama lada dan cengkeh kepada kompeni melalui
pegawai
kesultanan yang ditunjuk dengan harga yang sangat rendah. Raja
seolah-olah
hanya sebagai pegawai kompeni dalam hal pengumpulan lada dari
rakyat.
Pedagang-pedagang bangsa Inggris, Perancis dan Denmark, karena
dianggap
banyak membantu Sultan Ageng Tirtayasa dalam perang yang lalu,
diusir dari
Banten dan mereka pindah ke Bangkahulu (Chijs, 1881:59).
Dengan demikian
maka tidaklah mengherankan apabila pada waktu itu terjadi banyak
kerusuhan
dan pemberontakan yang ditimbulkan oleh rakyat. Perampokanperampokan dan
pembunuhan-pembunuhan sering dialami pedagang-pedagang dan
patroli kompeni
di luar atau pun di dalam kota.
Bahkan pernah terjadi pembakaran yang menghabiskan 2/3 bangunanbangunan di
dalam kota.
Ketidakamanan pun terjadi di lautan, banyak kapal-kapal kompeni
Ketidakamanan pun terjadi di lautan, banyak kapal-kapal kompeni
yang
dibajak oleh "bajak negara" yang bersembunyi di sekitar perairan
Bojonegara sekarang (Michrob, 1981:39). Kemungkinan dalam
operasinya banyak
dibantu oleh pelaut-pelaut asal Sumatra yang dipimpin oleh Ibn
Iskandar (Soeroto, 1965:212).
Untuk
memperkuat pertahanan dan kuasanya atas Banten, maka kompeni
Belanda
membuat sebuah benteng di pantai utara dekat pasar Karangantu.
Benteng ini
diberi nama Spelwijk --- sebagai peringatan kepada Speelman --- pada
tahun 1682, dan kemudian disempurnakan lagi pada tahun 1685
(Chijs,
1881:25).
Akibat
perang saudara yang berkepanjangan itu, banyak bangunan di dalam
w:st="on">kota
> yang rusak
berat, seperti istana dan benteng Surosowan. Untuk memperbaiki
semuanya
itu, Sultan meminta kepada Hendrik Laurenszoon van Steenwijk
Cardeel,
seorang arsitek bangsa Belanda yang dikatakan sudah beragama Islam
--- yang
juga membangun benteng Spelwijk (Chijs, 1881:36). Diratakannya
dulu semua
bekas benteng dan istana, kemudian di atas fondasi yang lama
dibangunlah
kembali seperti semula. Pekerjaan ini berjalan hampir dua tahun penuh
(Michrob, 1981:37).
Masa
pemerintahan Sultan Haji dipenuhi dengan pemberontakanpemberontakan dan
kekacauan di segala bidang. Sebagian besar rakyat tidak mengakui
dirinya
sebagai Sultan. Oleh sebab itu, kehidupan Sultan Haji selalu ada dalam
keadaan kegelisahan dan ketakutan. Bagaimana pun juga sebagai
seorang manusia,
penyesalannya terhadap perlakuan buruknya terhadap ayah, saudara,
sahabat
dan prajurit-prajuritnya yang setia selalu ada. Tapi semuanya sudah
terlanjur. Kompeni yang dulu dianggap sebagai sahabat dan
pelindungnya,
sekarang bahkan menjadi tuan yang harus dituruti segala kehendaknya.
Karena
tekanan-tekanan itu akhirnya Sultan Haji jatuh sakit sampai meninggal
pada
tahun 1687. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Sedakingkin
sebelah utara
Masjid Agung, sejajar dengan makam ayahnya, Sultan Ageng
Masjid Agung, sejajar dengan makam ayahnya, Sultan Ageng
Tirtayasa (Ismail,
1983:7).
Melihat
sejarah Sultan Haji yang demikian memalukan itu, maka timbullah
cerita-cerita rakyat yang hampir semuanya jauh dari data sejarah yang
ada.
Diceritakan bahwa yang melawan Sultan Ageng Tirtayasa bukanlah
Sultan Haji,
anaknya, tapi orang lain yang berasal dari Pulau Putri atau Pulau
Majeti.
Sewaktu Sultan Haji pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji
yang kedua
kalinya, ia singgah di suatu pulau yang dinamakan Pulau Putri atau
Pulau
Majeti. Di sana Sultan bertemu dengan seorang putri cantik yang
kemudian ia jatuh cinta dan
menikahinya. Dan atas permintaan sang putri, semua pakaian dan
perhiasan
Sultan diserahkan sebagai mahar. Pakaian dan perhiasan ini kemudian
diberikan kepada kakak sang putri yang kebetulan berwajah mirip
dengan Sultan
Haji. Kakaknya inilah yang kemudian berlayar ke
w:st="on">Batavia
> dan mengaku bernama Sultan Haji.
Karena pakaian dan wajahnya yang memang mirip, rakyat punKarena pakaian dan wajahnya yang memang mirip, rakyat pun
mengakuinya.
Dialah yang kemudian memerintah Banten dan berperang dengan
Sultan Ageng
Tirtayasa. Setelah selang beberapa tahun kemudian, Sultan Haji (yang
asli)
pulang ke Banten, dan melihat keadaan Banten yang sudah berubah,
dan untuk
menjaga jangan terjadi keributan ia pergi ke Cimanuk-Cikaduen,
Pandeglang,
aktif menyebarkan agama Islam sampai meninggalnya. Dialah yang
kemudian
dikenal dengan nama Haji Mansur atau Syekh Mansur Cikaduen
(Roesjan,
1954:26-30 dan Djajadiningrat, 1983: 15). Cerita semacam ini
dianggap
sangat lemah dalam data sejarah, dan hanyalah dianggap sebagai
dongeng yang
mengandung nilai filosofis.
Dari
pernikahannya dengan permaisuri, Sultan Haji mempunyai beberapa
orang anak
di antaranya Pangeran Ratu (anak pertama) dan Pangeran Adipati
(anak kedua)
(Djajadiningrat, 1983:210). Sedangkan dari sumber lain (Babad
Banten)
tercatat bahwa Sultan Haji mempunyai 10 orang anak (Ismail, 1967):Pangeran Ratu (Sultan 'Abulfadl).
2)
Pangeran Adipati (Sultan Muhammad Zainul Abidin).
3)
Pangeran Muhammad Thohir.
4)
Pangeran Fahdluddin.
5)
Pangeran Ja'faruddin.
6)
Pangeran Muhammad 'Alim.
7)
Ratu Rohimah.
8)
Ratu Hamimah.
9)
Pangeran Ksatrian.
10)
Ratu Mumbay (Ratu Bombay).
Setelah
Sultan Haji meninggal, terjadilah perebutan kekuasaan di antara
anak-anaknya. Barulah setelah Van Imhoff turun tangan, masalah inidapat
diselesaikan dengan mengangkat anak pertama, Pangeran Ratu,
menjadi sultan
Banten, yang kemudian bergelar Sultan Abu'l Fadhl Muhammad
Yahya (1687 -
1690). Ternyata Sultan Abu'l Fadl termasuk orang yang benci kepada
kompeni
Belanda. Ditatanya kembali Banten yang sudah porak poranda itu.
Tapi baru
berjalan 3 tahun, Sultan jatuh sakit yang mengakibatkan kematiannya,
jenazahnya dimakamkan di samping kanan makam Sultan Hasanuddin
di Pasarean
Sabakingkin (Ismail, 1983:7).
Karena
Sultan Abu'l Fadhl Muhammad Yahya tidak mempunyai anak, maka
tahta
kesultanan diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar
Sultan
Abu'l Mahasin Muhammad Zainul Abidin atau juga biasa disebut
Kang
Sinuhun Ing Nagari Banten yang memerintah dari tahun 1690 sampai
1733.
(Djajadiningrat, 1983:139). Putra Sultan Abu'l Mahasin yang sulung
meninggal
dunia dibunuh orang, sehingga yang menggantikan tahta kesultanan
pada tahun
1733 adalah putra keduanya yang kemudian bergelar Sultan Abulfathi1733 adalah putra keduanya yang kemudian bergelar Sultan Abulfathi
Muhammad
Shifa Zainul Arifin (1733 - 1747).
Pada
masa pemerintahan Sultan Zainul Arifin ini banyak terjadi
pemberontakan
rakyat yang tidak senang dengan perlakuan kompeni yang sudah di
luar batas
kemanusiaan --- misalnya dengan adanya kerja rodi, tanam paksa dan
sebagainya. Memang pada awal abad ke-18 ini terjadi perubahan
politik
kompeni dalam pengelolaan daerah yang dikuasainya. Monopoli
rempah-rempah
dianggapnya sudah tidak menguntungkan lagi karena Inggris sudah
berhasil
menanam cengkeh di India, sehingga harga cengkeh di Eropa pun
turun. Oleh karenanya kompeni
mengalihkan usahanya dengan menanam tebu dan kopi di samping
rempah-rempah.
Untuk
keperluan penanaman tebu dan kopi itu kompeni banyak
membutuhkan tanah yang
luas dan tenaga kerja murah. Maka mulailah penaklukan daerahdaerah
pedalaman. Raja yang menguasai daerah itu diharuskan menanam tebu
atau kopi
yang kemudian hasilnya harus dijual kepada kompeni dengan hargayang kemudian hasilnya harus dijual kepada kompeni dengan harga
yang sudah
ditentukan. Rakyat dipaksa menanami sebagian tanahnya dengan tebu
atau kopi
yang hasilnya harus dijual kepada raja, yang kemudian menjualnya
kembali
kepada kompeni (Soeroto, 1965:213-214). Dalam praktek penjualan
kembali
ini, harga jual yang diperoleh rakyat jauh lebih rendah dibandingkan
dengan
harga jual raja kepada kompeni. Kompeni membeli kopi dari raja
seharga 21
ringgit per pikul, sedangkan raja membayar hanya 5 ringgit kepada
rakyat
(Sanusi Pane, 1950:265).
Cara
penimbangan yang semberono, jenjang/birokrasi perdagangan yang
berbelit-belit, menyebabkan kerugian pada rakyat petani. Sebagai
gambaran
dapatlah dikemukakan sebagai berikut : sultan menjual lada kepada
kompeni
seharga 15 mat Spanyol per bahar (375 pon), sedangkan sultan sendiri
membelinya dari pejabat yang ditunjuknya seharga 7,8 atau 9 mat
Spanyol,
dan pejabat tersebut membeli dari rakyat seharga 4 mat Spanyol yang
dibayarnya dengan cara penukaran barang kebutuhan sehari-hari
(garam, kain,beras dan lain-lain) yang diperhitungkan dengan harga tinggi, sehingga
si
petani hampir tidak mendapat apa-apa dari hasil buminya itu (Chijs,
1881:70).
Dalam
pada itu, di dalam kraton pun terjadi keributan dan kekacauan
pemerintahan.
Sultan Zainul Arifin sangat dipengaruhi permaisurinya, Ratu Syarifah
Fatimah, janda seorang letnan Melayu di Batavia. Sultan Zainul Arifin
menunjuk Pangeran Gusti, putranya yang tertua, menjadi Putra
Mahkota,
tetapi karena Ratu Fatimah tidak menyetujuinya maka diangkatlah
Pangeran
Syarif Abdullah, suami anak Ratu Fatimah dari suaminya yang
terdahulu,
menjadi Putra Mahkota. Dan karena desakan Ratu Fatimah pula,
Pangeran Gusti
disuruh pergi ke Batavia, yang kemudian, atas perintah Ratu Fatimah,
di
tengah perjalanan ia ditangkap tentara kompeni dan diasingkan ke
Sailan
(1747).
Atas
persetujuan kompeni, Pangeran Syarif Abdullah dinobatkan menjadi
Putra
Mahkota, dan untuk jasa-jasa kompeni ini, Ratu Fatimah
Mahkota, dan untuk jasa-jasa kompeni ini, Ratu Fatimah
menghadiahkan
sebidang tanah di daerah Cisadane dan hak separuh penghasilan
tambang emas
di Tulang Bawang, Lampung, kepada kompeni. Karena fitnah istrinya
pula
akhirnya Sultan Zainul Arifin ditangkap kompeni, dituduh gila, dan
diasingkan ke Ambon sampai meninggalnya.
Sebagai gantinya diangkatlah Pangeran Syarif Abdullah dengan gelar
Sultan
Syarifuddin Ratu Wakil menjadi Sultan Banten, tahun 1750, tapi
sebenarnya,
Ratu Fatimahlah yang memegang kuasa pemerintahan.
Kecurangan
yang dilakukan Ratu Fatimah ini bagi rakyat dan sebagian petinggi
negeri
merupakan suatu penghinaan besar dan penghianatan yang sudah tidak
bisa
diampuni lagi, sehingga rakyat pun mengadakan perlawanan
bersenjata.
Dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, mereka menyerbu
Surosowan.
Dalam penyerangan ini pasukan perlawanan dibagi dua, sebagian
langsung
menyerang kota Surosowan dan sebagian lagi
mencegat bantuan pasukan kompeni dari Batavia.
Ratu Bagus Buang dengan pasukan yang besar menyerbu dari arah
barat, yang
memaksa pasukan Ratu Fatimah hanya mampu bertahan di benteng
saja,
sedangkan pasukan Ki Tapa yang mencegat pasukan kompeni dari
Batavia,
melalui pertempuran hebat, mereka dapat menghancurkan pasukan
kompeni.
Bahkan apabila tidak segera datang pasukan baru dari negeri Belanda,
w:st="on">Batavia
> pun mungkin
dapat direbut pasukan Ki Tapa ini. Karena pasukan bantuan dari negeri
Belanda ini pulalah akhirnya pasukan pejuang dapat dipukul mundur.
Demikian
juga pengepungan di Surosowan dapat dibuyarkan.
Untuk
menenangkan rakyat Banten, gubernur jendral kompeni yang baru,
Mossel,
segera memerintahkan wakilnya di Banten untuk segera menangkap
Ratu
Syarifah Fatimah dan Sultan Syarifuddin. Ratu Fatimah selanjutnya
diasingkan ke Saparua dan Sultan Syarifuddin ke Banda[22]. Belanda
mengangkat Pangeran Arya Adisantika, adik Sultan Zainul Arifin, menjadi wakil raja dan
mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya.
Walau
pun kompeni telah mengembalikan Pangeran Gusti dan bahkan
menangkap Ratu
Fatimah, namun perlawanan rakyat Banten tidak mereda. Barisan
rakyat dipimpin
oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang sering mengadakan serangan
mendadak di
sekitar ibukota Surosowan. Tapi dalam serangan besar-besaran yang
dilakukan
kompeni, akhirnya pasukan perlawanan ini dapat dipukul mundur,
hingga
mereka hanya dapat bertahan di daerah pengunungan di Pandeglang.
Baru pada
serangan berikutnya, pasukan pejuang ini menyingkir ke Gunung
Munara di
Ciampea, Bogor.
Melalui serangan yang berkali-kali barulah Gunung Munara dapat
dikuasai
kompeni, sehingga Ki Tapa dan pasukannya pindah ke daerah Bogor
> dan Banten Selatan.
Dalam
pada itu di Surosowan, kompeni mengangkat Pangeran Arya Adi
Santika menjadi
Sultan Banten dengan gelar Sultan Abulma'ali Muhammad Wasi'
Zainul 'Alimin
pada tahun 1752, dan Pangeran Gusti ditetapkan sebagai Putra
Mahkota. Tapi
dengan pengangkatan itu Sultan Abulma'ali harus menandatangani
perjanjianperjanjian
dengan kompeni yang isinya[23]:
margin-left:2.0cm;margin-bottom:.0001pt;text-indent:-1.0cm;msolist:l3 level1 lfo22; tab-stops:1.0cm list 2.0cm left 3.0cm">1)
Banten di bawah kuasa penuh kompeni Belanda walaupun
pemerintahan tetap di tangan sultan.
2)
Sultan akan mengirim utusan ke Batavia
> setiap tahun sambil membawa upeti
berupa lada yang jumlahnya ditetapkan kompeni.
3)
Hanya kompeni Belanda yang boleh mendirikan benteng di
Banten.
4)
Banten hanya boleh menjual kopi dan tebu kepada kompeni
saja.
5)
Sejalan dengan bunyi pasal 4, banyaknya produksi kopi
dan tebu di Banten haruslah ditentukan kompeni.
Mengetahui
tentang pasal-pasal perjanjian kompeni ini, beberapa pangeran dan
pembesar
kraton lainnya menjadi gusar, demikian juga dengan Pangeran Gusti.kraton lainnya menjadi gusar, demikian juga dengan Pangeran Gusti.
Rakyat
kembali mengangkat senjata mengadakan perlawanan, dan kembali
mengadakan
hubungan dengan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang di pedalaman.
Pasukan
penentang mengadakan serangan serentak ke kota Surosowan; Ki
Tapa, Ratu Bagus Buang dan pasukannya menyerang dari luar
sedangkan rakyat yang dipimpin pangeran dan ponggawa Banten
mengadakan
pengacauan di dalam kota.
Terjadilah pertempuran hebat di daerah Caringin dan kota
> Surosowan.
Dengan
susah payah Belanda akhirnya berhasil melumpuhkan seranganserangan
tersebut. Ki Tapa menyingkir ke daerah Priyangan. Dan setelah terjadi
peperangan di Bandung, akhirnya dengan
beberapa ratus pengikutnya Ki Tapa pergi ke Jawa Timur untuk
bergabung
dengan para pejuang di sana.
Sedangkan Ratu Bagus Buang sampai tahun 1757 masih tetap
mengadakan
perlawanan di Banten. Karena adanya perlawanan rakyat itu pulalah,
enam
bulan kemudian, Sultan Abulma'ali Muhammad Wasi' Zainul 'Alamin
menyerahkan
kekuasaannya kepada Pangeran Gusti. Maka pada tahun 1753
Pangeran Gusti
dinobatkan menjadi Sultan dengan gelar Abu'l Nasr Muhammad 'Arif
Zainul
'Asiqin. Sultan Abu'l Nasr Muhammad 'Asiqin wafat pada tahun 1773
dan
digantikan putranya dengan gelar Sultan Abu'l Mafakhir Muhammad
Aliuddin
(1773 - 1799).
Karena
tidak mempunyai anak laki-laki, Sultan 'Aliuddin, setelah wafat
diganti
oleh adiknya, Pangeran Muhiddin, dengan gelar Sultan Abu'lfath
Muhammad
Muhiddin Zainushalihin yang memerintah pada tahun 1799 sampai
dengan 1801.
Pada tahun 1801, Sultan Muhiddin dibunuh oleh Tubagus Ali, seorang
putra
Sultan 'Aliuddin, dan Tubagus Ali sendiri dapat dibunuh oleh
pengawal
kesultanan. Selanjutnya yang menjadi Sultan adalah putra Sultan
'Aliuddin,
dari selir (istri yang bukan permaisuri), dengan gelar Sultan Abu'l Nasr
Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801 - 1802).
Padatahun 1802 kesultanan dipegang oleh Sultan Wakil Pangeran
Natawijaya yang
kemudian pada tahun 1803 digantikan putra kedua Sultan Abul
Mafakhir
Muhammad Aliuddin dengan gelar Sultan Abu'lnasr Muhammad Ishak
Zainulmuttaqin atau Sultan Aliyuddin II (1803 - 1808).
Pada
akhir abad ke-18, yang berkuasa di sebagian besar kerajaan di
nusantara
hakekatnya adalah kompeni Belanda, sultan statusnya tidak lebih dari
pegawainya saja. Melalui tangan Sultan, kompeni dapat
memerintahkan apa
saja kepada rakyat. Dalam hal perdagangan, kompeni bukan saja
menghendaki
monopoli pembelian hasil bumi, tetapi juga dalam hal perantaraan dan
penjualan. Kompeni dapat memaksa Banten (dan Lampung) menjual
lada hanya
kepadanya saja, demikian juga dalam hal penanamannya. Cengkeh
yang dibeli
kompeni dari Ambon dan pala dari Banda
dibelinya dengan barang-barang Eropa atau lokal, yang dari barangbarang
itu saja sudah diambil keuntungan 50% hingga 75%. Sedangkan
rempah-rempah
yang dibeli dengan harga 7,5 sen per pon dijualnya 300 sen. Garam
dariRembang, Gresik dan Japara yang dibeli 6 ringgit per 500 pond dijual
kompeni kepada rakyat Andalas seharga 30 hingga 35 ringgit per 300
pond. Di
Banten pun ditetapkan bahwa hanya kompeni yang boleh menjual
kain-kain dari
Koromandel, keramik Cina, dan lain-lain.
Untuk
lebih banyak mendapatkan laba, kompeni pun menerapkan aturan
"pemberian wajib" kepada beberapa negara taklukannya. Mataram
diharuskan memberikan beras dengan jumlah yang ditentukan dan
harga yang
juga ditentukan semurah-murahnya oleh kompeni. Banten diharuskan
memberikan
lada, Priyangan harus memberikan kayu, beras, lada, ternak, kapas dan
nila.
Dengan ketentuan ini, sultan pun mewajibkan rakyatnya untuk
menyediakan
kehendak kompeni itu dengan harga yang rendah.
Tahun
1707 kompeni mewajibkan kepada rakyat Priyangan untuk menanam
kopi yang
hasilnya harus diserahkan kepada kompeni. Mula-mula dihargakan 21
ringgit
per pikul, kemudian diturunkan menjadi 5 ringgit per pikul, itu pun
dibayarseparoh dengan cara barter dan separohnya lagi dengan "
w:st="on">surat
> utang".
Dan tidak jarang pula, untuk "menyetabilkan harga" sewaktu-waktu
tanaman kopi itu harus ditebang sebagian yang kemudian sewaktuwaktu harus
ditanam baru lagi.
Pada
masa pemerintahan Sultan Muhammad Aliuddin, atas perintah
kompeni Belanda,
rakyat Banten yang berumur lebih dari 16 tahun dan berbadan sehat,
harus
menanam 500 batang pohon lada. Lada yang dihasilkan harus dijual
kepada
kompeni melalui petugas kerajaan yang ditunjuk secara barter dengan
bahan-bahan kebutuhan pokok. Karena barang kebutuhan pokok ini
dihargakan
terlalu tinggi dan harga sebahar (tiga pikul) lada kurang dari 4 ringgit
Spanyol, maka rakyat penanam hanya mendapat sedikit kelebihannya,
atau
bahkan tidak sama sekali. Karena ketentuan ini, Belanda pada tahun
1774
dapat mengirimkan 19.000 bahar lada ke negeri Belanda. Semua
ketentuan
kompeni ini menambah kemakmuran kompeni yang kemudian
dikirimkan ke negeri
dikirimkan ke negeri
Belanda, di lain pihak rakyat pribumi semakin menderita.
G. PENGHANCURAN SUROSOWAN OLEH
DAENDELS
Pada akhir abad ke-18, walau pun kompeni dapat menguasai
hampir seluruh kepulauan nusantara, namun kompeni pun mengalami
kemunduran
dalam perdagangannya. Hal ini disebabkan karena situasi moneter
dunia dan
masalah di dalam tubuh VOC sendiri yang kurang sehat,
mengakibatkan hutang
kompeni (VOC) bertumpuk. Di antara sebab penting lain dalam
masalah ini
adalah :
1)
Persaingan dagang yang semakin ketat dari bangsa
Perancis dan Ingris.
2)
Miskinnya penduduk nusantara, terutama pulau Jawa karena
monopoli, sehingga rakyat tidak mampu membeli barang dagangan
yang dibawa
VOC.
Turunnya harga rempah-rempah di pasaran dunia, karena di
samping seringnya penduduk pribumi yang melanggar monopoli
kompeni, Inggris
pun sudah berhasil menanamnya di
w:st="on">India
>.
4)
Banyak pegawai VOC melakukan korupsi.
5)
Banyak biaya yang harus dikeluarkan VOC terutama untuk
membayar tentara dan pegawainya yang sangat besar. Demikian juga
untuk
menguasai daerah-daerah yang baru, terutama di Jawa dan Madura.
Karena
sebab-sebab itulah akhirnya pada tanggal 1 Maret 1796, VOC
dibubarkan.
Semua kekayaan dan utang piutangnya ditangani pemerintah Kerajaan
Belanda,
dan sejak saat itulah kepulauan Nusantara dijajah Belanda (Soetjipto,
1961:56).
Pada
tahun 1789 terjadi Revolusi Perancis di bawah pimpinan Napoleon
Bonaparte,
yang mengguncangkan Eropa. Sebagian besar Eropa dikuasai
Perancis, kecualiInggris; Belanda pun dapat dapat dikuasainya tahun 1807 --- sehingga
otomatis daerah jajahan Belanda, termasuk kepulauan Nusantara
berada di
tangan Perancis. Louis Napoleon, adik Kaisar Napoleon, yang diberi
kuasa di
Belanda, mengangkat Herman William Daendels sebagai Gubernur
Jendral di
kepulauan Nusantara. Ia datang di Batavia pada tahun 1808 dengan
tugas utama mempertahankan pulau Jawa dari serangan
tentara Inggris yang berpangkalan di
w:st="on">India
>. Untuk tugas tersebut
Daendels membangun sarana-sarana pertahanan: jalan-jalan pos,
personil,
barak militer, benteng, pelabuhan, rumah sakit tentara dan pabrik
mesiu.
Semua itu harus segera diselesaikan dengan dana serendah mungkin,
karena
memang dana dari negeri Belanda tidak bisa diharapkan. Untuk itulah
dilakukan rodi atau kerja paksa, yaitu para pekerja tanpa upah.
Pekerjaan
pertama adalah membuat pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon.
Untuk itu
Deandels memerintahkan kepada Sultan Banten mengirimkan pekerja
rodisebanyak-banyaknya. Tapi karena daerahnya berawa-rawa maka
banyak pekerja
yang mati, terkena hawa beracun atau penyakit malaria, atau melarikan
diri.
Keadaan
ini membuat Daendels marah dan menuduh Mangkubumi Wargadiraja
sebagai
biangkeladi larinya pekerja-pekerja itu. Melalui utusan Sultan yang
dipanggil datang ke Batavia,
Daendels memerintahkan supaya:
1)
Sultan harus mengirimkan 1000 orang rakyat setiap hari
untuk dipekerjakan di Ujung Kulon.
2)
Menyerahkan Patih Mangkubumi Wargadiraja ke
w:st="on">Batavia
>.
3)
Sultan supaya segera memindahkan keratonnya ke daerah
Anyer, karena Surosowan akan dijadikan benteng Belanda.
Sudah
tentu tuntutan ini ditolak oleh Sultan Aliudin. Mengetahui sikap Sultan
yang demikian, dengan segera (dan sembunyi-sembunyi) dikirimnya
pasukandalam jumlah besar yang dipimpin Daendels sendiri ke Banten, yang
dua hari
kemudian pasukan ini sampai di perbatasan
w:st="on">kota
>. Kemudian diutuslah Komondeur Philip
Pieter du Puy dengan beberapa orang pengawalnya ke istana
Surosowan untuk
menanyakan kembali kesanggupan Sultan, tanpa memberitahukan
bahwa pasukan
Belanda sudah disiapkan di luar kota.
Namun karena kebencian yang sudah memuncak kepada Belanda, Du
Puy dan
seluruh pengawalnya dibunuh oleh pasukan pengawal kraton di depan
pintu
gerbang benteng Surosowan.
Mengetahui
keadaan utusannya itu Daendels segera memerintahkan pasukannya
untuk
menyerang istana Surosowan pada hari itu juga, yakni tanggal 21
Nopember
1808 (Chijs, 1881:43). Serangan yang tiba-tiba ini sangat mengejutkan
dan
memang di luar dugaan, sehingga Sultan tidak sempat lagi
menyiapkan
pasukannya. Prajurit-prajurit Banten dengan keberanian yang
mengagumkanmempertahankan setiap jengkal tanah airnya. Tapi akhirnya Deandels
dapat
menumpas semua itu. Surosowan dapat direbutnya, Sultan ditangkap
dan
diasingkan ke Ambon. Sedangkan Patih
Mangkubumi dihukum pancung dan mayatnya dilemparkan ke laut.
Selanjutnya
Banten dan Lampung dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda.
Tangerang,
Jasinga, dan Sadang dimasukkan ke dalam teritorial Batavia
>. Dan sebagai Sultan Banten
diangkatlah Putra Mahkota dengan gelar Sultan Wakil Pangeran
Suramanggala
(1808-1809). Walaupun masih bergelar Sultan, namun kekuasaannya
tidak lebih
dari seorang pegawai Belanda. Sultan tidak mempunyai kuasa apa-apa,
dengan
gaji 15.000 real setahun dari Belanda (Sanusi Pane, 1950 b:113).
Tindakan
kejam Deandels ini menimbulkan kebencian rakyat kepada Belanda
semakin
memuncak. Perampokan kapal-kapal Belanda sering terjadi, demikian
juga
pengacauan-pengacauan di darat yang digerakkan oleh para ulama.
Mereka
bermarkas di daerah Cibungur, pantai Teluk Marica. Serangan
pasukan Belanda
ke daerah ini tidak berhasil, bahkan serangan yang dipimpin Daendels
sendiri pun dapat dipukul mundur. Daendels mencurigai Sultan
sebagai dalang
kerusuhan tersebut, untuk itu bersama pasukannya ia datang ke
Banten.
Sultan ditangkap dan dipenjarakan di Batavia, sedangkan benteng dan
istana Surosowan dihancurkan dan dibakar (1808).
Untuk
melemahkan perlawanan rakyat, Daendels membagi daerah Banten
dalam tiga
daerah yang statusnya sama dengan kabupaten: Banten Hulu, Caringin
dan
Anyer. Ketiga daerah tersebut di bawah pengawasan landros
(semacam
residen) yang berkedudukan di Serang. Daerah Tangerang dan Jasinga
digabungkan dengan Batavia.
Untuk daerah Banten Hulu diangkat Sultan Muhammad Syafi'uddin
(1809 -
1813), putra Sultan Muhyiddin Zainul Shalikhin (Sanusi Pane,
1950b:14 dan
Ismail, 1983:270); karena Keraton Surosowan telah hancur maka pusat
pemerintahan dialihkan ke Keraton Kaibon. Demikianlah, semenjak
kejadian itu
kesultanan Banten lenyap dan dilupakan orang. Perlawanan rakyat
yang tanpahentinya pun dihancurkan dengan kejam.
Tentang
pembuatan pelabuhan militer di Ujung Kulon, karena banyaknya
pekerja yang
mati dan daerahnya yang berawa-rawa, maka pembangunannya
dihentikan, dan
dipindahkan ke Anyer. Pada tahun 1809 itu pulalah mulai dikerjakan
pembuatan “jalan pos” dari Anyer sampai Panarukan (±1000
Km) yang akan digunakan untuk kepentingan militer; sedangkan
pelaksanaan
pembangunannya menjadi tanggung jawab bupati di daerah yang
dilewati jalan
tersebut. Dengan cara kerja paksa (rodi) begini, pembangunan jalan ini
selesai dikerjakan hanya dalam tempo satu tahun dengan
mengorbankan
beribu-ribu rakyat Banten.
Melihat
tindakan Daendels yang dianggap sangat keras, maka Kaisar Napoleon
pada
tahun 1810 memanggil Daendels untuk pulang ke negerinya. Sebagai
penggantinya, Napoleon menugaskan Jansens menjadi Gubernur
Jendral di
Hindia Belanda.
Sekitar
bulan Agustus 1811 pasukan Inggris dari India, dengan menggunakan
100 buah
kapal, mendarat di Banten. Dengan mudah tentara Inggris yang
dipimpin oleh
Thomas Stamford Raffles --- dengan bantuan beberapa raja yang
sangat
membenci Belanda --- dapat mengalahkan tentara Belanda. Jansen
dengan
beberapa sisa tentaranya melarikan diri ke
w:st="on">Semarang
>, dan akhirnya menyerah tanpa
syarat. Belanda menandatangani perjanjian menyerah pada tanggal 17
September 1811 di Salatiga; dengan demikian seluruh daerah jajahan
Perancis
ini beralih tangan di bawah kuasa Inggris.
#Pada
masa pemerintahan Inggris ini, untuk memudahkan administrasi dan
pengawasannya, Raffles membagi Pulau Jawa dalam 16 daerah
karesidenan. Di
samping itu Raffles pun mengadakan perobahan dalam bidang
peradilan, yang
disesuaikan dengan sistem peradilan di Inggris. Kerja rodi dan
perbudakan,
karena dianggap tidak sesuai dengan "prinsip kemanusiaan"
dilarang. Untuk menambah pemasukan keuangan negara, Raffles
menerapkanmonopoli garam dan menjual beberapa daerah kepada partikelir ---
seperti
juga Daendels.
Di
Banten, Sultan Muhamad Syafiuddin, pada tahun 1813, dipaksa turun
tahta
oleh Raffles dan menyerahkan jabatan pemerintahan Banten kepada
pemerintah
Inggris; kesultanan Banten dihapuskan. Seluruh daerah Kesultanan
Banten
telah dikuasai Pemerintah Inggris dan dijadikan sebuah karesidenan.
Dengan
demikian, berakhirlah keberadaan Kesultanan Banten. Gelar
"sultan" boleh dipakai terus dan kepada Sultan diberi 10.000
ringgit Spanyol setahun. Sultan Muhyiddin meninggal pada tahun
1816 dan
digantikan anaknya, Sultan Muhammad Rafi'uddin, --- yang pada
tahun 1832
diasingkan ke Surabaya karena dituduh berkomplot dengan bajak laut.
Pada
tahun 1813 itu juga, Raflles membagi wilayah Banten dari tiga daerah
menjadi empat kabupaten yang masing-masing diperintah oleh seorang
bupati:
1.
Kabupaten Banten Lor (Banten Utara) dengan ibukota
Serang, diperintah oleh Pangeran Suramenggala.
2.
Kabupetan Banten Kulon (Banten Barat) dengan ibukota
Caringin, diperintah oleh
Tubagus Hayudin.
3.
Kabupaten Banten Tengah dengan ibukota Pandeglang,
diperintah oleh Tubagus Ramlan.
4.
Kabupaten Banten Kidul (Banten Selatan) dengan ibukota
Lebak, diperintah oleh Tumenggung Suradilaga.
Setelah
Kaisar Napoleon Bonaparte dikalahkan dalam pertempuran di Leipzig
dan
kemudian ditangkap, Pemerintah Inggris pada tahun 1814
memutuskan dalam Convention of London untuk menyerahkan
kembali daerah bekas jajahan Belanda kepada
pemerintah Kerajaan Belanda. Raffles, yang tidak setuju dengan
keputusan
itu meletakkan jabatannya, dan digantikan oleh Letnan Gubernur John
Fendall. Pada tahun 1816 Fendall menyerahkan kepulauan Nusantara
kepada
pemerintah Belanda.
Keturunan Mas Jong yang
laki-laki disebut "Mas" dan yang perempuan "Nyimas".
Keturunan dari Agus Jo, yang laki-laki tertua disebut "Agus" dan yang
perempuannya dipanggil "Entu"; sedangkan anak selanjutnya, yang
laki-laki dipanggil "Entol" dan yang perempuan dipanggil
"Ayu".
[2] "Putri
larangan" adalah wanita yang masih terikat pertunangan dengan pria lain
padahal pria tunangannya itu belum meninggal.
[3] "Turunan
keluaran" adalah wanita dari keturunan Majapahit. Karena, setelah Perang
Bubat ─ yaitu perang antara Pajajaran dan Majapahit di daerah Bubat ─
pria Pajajaran dilarang keras menikah dengan wanita turunan Majapahit.
[4] Kelihatannya, Raja
Banten pertama sampai ketiga ini di samping sebagai kepala negara juga dikenal
dengan keshalehan dan pengetahuan agama yang tinggi sehingga berperan juga
sebagai kepala keagamaan yang sangat besar pengaruhnya dalam penyebaran
sebagai kepala keagamaan yang sangat besar pengaruhnya dalam penyebaran
Islam
di Banten, oleh karenanya dikenal dengan sebutan “Maulana”.
[5] Atas jasanya ini Ki
Subuh dianugerahi pangkat Menteri dengan gelar Jayaprana.
[6] Dalam kenyataannya,
kawanan pemberontak ini kembali ke Banten bukan 4 tahun, tetapi 8 tahun yaitu
tahun 1627.
[7] Dinamakan Pailir karena perang saudara yang mengerikan ini terjadi di
hilir sungai. Atau karena
banyaknya mayat pemberontak yang dihanyutkan (diilirkan) ke sungai.
[8] Peperangan ini bermula
dari perang agama antara Kristen Katolik yang dianut Spanyol dengan Kristen
Protestan (Calvin) yang dianut rakyat Belanda (1568 - 1648) (Soeroto, 1965: 189
- 190).
[9] Seperti pada tahun 1595
terjadi penangkapan 400 kapal Belanda oleh pemerintah Spanyol, demikian juga
tahun 1599.
[10] Karena sikap kasar ini
pulalah akhirnya kapal Belanda ini dirampas dan Cornelis de Houtman sendiri
dibinasakan oleh tentara Aceh sewaktu mereka singgah di Aceh.
[11] JP Coen adalah seorang opperkoopman (saudagar tinggi) di negerinya.Gubernur Jenderal Pieter Both mengangkatnya
menjadi Presiden Direktur Kantor Dagang VOC di Banten dan Jayakarta, ketika
ia
berumur 28 tahun; sebagai seorang pemuda yang penuh ambisi. Untuk
mewujudkan
ambisinya memonopoli perdagangan VOC di Nusantara itu, JP. Coen menyewa
tentara
bayaran dari Jepang.
[12] Ketika Pangeran Jayakarta
dibebaskan dari hukuman, kota Jayakarta sudah
dikuasai VOC. Pangeran Jayakarta memimpin perjuangan rakyat Jakarta
> dengan bergerilya melawan pendudukan
kompeni Belanda ini sampai akhir hayatnya. Menurut Drs. Uka Tjandrasasmita,
makam Pangeran Jayakarta terletak di kampung Katengahan, Kasemen, Serang.
[13] Dalam perkembangan
selanjutnya, orang-orang Cina itu tumbuh menjadi tuan-tuan tanah dengan
kekuasaan yang makin besar. Pemimpin-pemimpin Cina itu merupakan wakilwakil
kompeni dalam menangani masalah penduduk Cina. Mereka pun diberi
kekuasaan
lebih besar misalnya: memeriksa dan mengadili perkara, memelihara keamanan,
mencatat kelahiran, menarik pajak, dan sebagainya. Karena kekuasaan yang
begitu
besar, maka mereka sering bertindak sewenang-wenang menindas penduduk
pribumi
untuk kepentingan pribadi.
[14] Pangeran Wijayakusumah adalah
penasehat agung dan guru agama Islam pada masa Pangeran Jayakarta. Ketika
Pangeran Jayakarta dimakzulkan, Pangeran Wijayakusumah diangkat sebagai
gantinya (Tamarjaya, 1965:198). Sedangkan Tubagus Arya Suta dan Tubagus
Wahas
adalah anak laki-laki dari Pangeran Jayakarta (Djajadiningrat, 1983:49). Adapun
anak perempuannya yang bernama Ratu Martakusuma dikawinkan dengan
Pangeran
Pekik, Putra Sultan Abdul Kadir. Perkawinan ini berakhir tragis karena Ratu
Martakusuma dihukum rajam setelah diketahui berbuat serong dengan laki-laki
lain (Djajadiningrat, 1983:185).
[15] Pedekan tundan, pedekan
jawi dan nyai adalah pangkat pegawai perempuan istana.
[16] Sebetulnya penyerahan
kedudukan Putra Mahkota ini dilakukan semenjak Sultan Abulma'ali sakit. Hal
ini
kita dapatkan dari surat Gubernur Jendral VOC kepada Sultan sewaktu
pelantikan Putra Mahkota tertanggal
13 Maret 1684. (Djajadiningrat, 1983:206).
[17] Karena jasa-jasanya, Hendrik
Lucasz Cardeel diberi gelar Pangeran Wiraguna[18] Ketiga pangeran ini pada
mulanya tinggal di Mataram sebagai raja yang tidak mempunyai kekuasaan
apapun,
yang segala keperluannya diatur oleh Prabu Amangkurat I. Dengan dikuasainya
Mataram
oleh pasukan Trunojoyo, mereka pindah ke Kediri, tapi setelah Trunojoyo dapat
dikalahkan Belanda, mereka melarikan diri dan bermaksud menghambakan diri
kepada Sultan Ageng Tirtayasa yang di samping masih ada hubungan keluarga
juga
karena Banten selalu membantu Trunojoyo dalam menghadapi kompeni
(Tamarjaya,
1965:293).
[19] Belum sempat ketiga pangeran
itu menyusun kekuatan di Cirebon,
mereka lebih dahulu ditangkap oleh kompeni. Kemudian atas perkenan kompeni,
daerah Cirebon dibagi tiga wilayah yang masing-masing diserahkan kepada
ketiga pangeran ini.
Pangeran Martawijaya bergelar Sultan Sepuh, dan Pangeraan Kartawijaya diberi
gelar Sultan Anom, demikian juga Pangeran Wangsakerta. Dengan dipecahpecah
demikian, Cirebon tidak mempunyai kekuatan yang berarti lagi bagi kompeni.
[20] Pada tanggal 2 Desember 1676
Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan beberapa kapal yang penuh dengan senjata
lengkap dengan amunisinya kepada Pangeran Trunojoyo melalui Jepara.
Demikian
juga pada tanggal 29 Desember 1676 dikirimnya empat kapal berisi
senjata-senjata api melalui Cirebon dan enam kapal lagi melalui Gresik
(Tjandrasasmita, 1967,31-32).
[21] Penulis lain memberikan bahwa
jenazah Sultan Ageng Tirtayasa dimakamkan di bekas istananya di Tirtayasa
(Hamka, 1976:309).
[22] Ratu Syarifah Fatimah
meninggal terlebih dahulu sebelum dibawa ke tempat pengasingan.
[23] Dalam kenyataannya, hancurnya
kesultanan Banten bukanlah karena kalah perang dengan kompeni, tapi lebih
banyak disebabkan ditandatanganinya perjanjian-perjanjian yang berat sebelah.
Kesultanan mewarisi utang kepada kompeni, sebagai penanggungan biaya
perang
semenjak Sultan Haji, yang sampai runtuhnya kesultanan tidak pernah lunas
terbayar.
[24]
BANTEN DI BAWAH
KEKUASAAN PENJAJAH
Akibat politik adu-domba yang dilakukan kompeni Belanda di Banten, maka terjadilah perang
antara anak dan ayah, antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Dengan bantuan
personil tentara kompeni, melalui tipu daya licik, akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa dapat
ditangkap dan dipenjarakan sampai meninggalnya. Dengan demikian, untuk membalas "budibaik"
kompeni, Sultan Haji bersedia menandatangani perjanjian damai dan
pembayaran kerugian perang yang telah dikeluarkan kompeni. Perjanjian
"menentukan" ini terjadi pada tanggal 17 April 1684
(Tjandrasasmita, 1967: 51).
Untuk menjaga kelangsungan perjanjian itu, kompeni membangun sebuah benteng di pantai utara
dekat Karangantu yang diberi nama Speelwijk pada tahun 1685. Semenjak ditandatanganinya
perjanjian itu maka kedaulatan kesultanan Banten, secara bertahap dan pasti, terancam jatuh ke
tangan penguasaan kompeni Belanda. Dalam kenyataannya, sampai kesultanan Banten
dibubarkan Raffles, hutang kesultanan akibat perjanjian tahun 1684 itu tidak pernah lunas
terbayar.
Dari sultan ke sultan, sejak digantikannya Sultan Haji kepada Sultan Abul Fadhal pada tahun
1687 yang dilanjutkan oleh sultan berikutnya, Sultan Abul Mahasin Zainul Abidin pada tahun
1690, di Banten tidak terjadi hal-hal yang luar biasa, kecuali sesaat setelah Sultan Fathi
Muhammad Syifa Zainul Arifin dinobatkan menjadi sultan pada tahun 1733. Masa pemerintahan
sultan ini banyak diwarnai dengan pemberontakan rakyat yang tidak puas dengan tekanantekanan Belanda, seperti kerja rodi dan sebagainya. Pembesar kerajaan hanyalah sebagai
perpanjangan tangan Belanda terhadap rakyat dengan kesewenang-wenangan, tanpa
memperhatikan penderitaan rakyat. Hingga tahun 1740 sampai 1753 dimana Sultan Syarifuddin
baru memerintah menggantikan Sultan Fathi terjadi banyak pemberontakan rakyat. Terlebih lagi
ketika Sultan Fathi ditangkap dan dibuang ke Ambon oleh tentara Belanda atas hasutan
permaisurinya sendiri, Ratu Syarifah Fatimah, pada tahun 1735.
Pengikut dan pengagum Sultan Ageng bersama dengan Ki Tapa, seorang ulama asal Gunung
Munara, Pandeglang, dan Ratu Bagus Buang dengan pengikutnya menyerang dan melumpuhkankekuatan kompeni di Banten. Melihat keadaan genting ini Belanda segera menangkap Syarifah
Fatimah dan anaknya, Syarif Abdullah, yang kemudian diasingkan ke Banda. Pangeran Gusti,
putra Sultan Zainal Arifin, dinobatkan kompeni menjadi raja Banten dan Arya Adi Santika
sebagai Wakil Sultan. Dengan cara demikian, Belanda berhasil memecah belah persatuan kaum
bangsawan dan memisahkannya dengan kaum perlawanan rakyat. Meski pun demikian,
perlawanan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang terus berlanjut sehingga sangat merepotkan tentara
kompeni.
Dari sultan ke sultan berikutnya, Banten semakin dalam tenggelam ke tangan penjajah. Terakhir,
pada tahun 1809, Deandels menyerang dan membakar habis keraton Surosowan. Sultan
Muhammad Syafiuddin ditangkap dan dibuang ke Ambon
> sedangkan patihnya dihukum pancung. Penyerbuan
Belanda terhadap keraton Surosowan memakan waktu lama sampai
tahun 1832; gedung-gedung dihancurkan, lantai ubinnya dipindahkan ke
gedung pemerintahan Belanda di Serang.
A. PERAN ULAMA DI TUBUH KESULTANAN BANTEN
Dalam perkembangan kesejarahan Banten peran ulama sejak berdirinya Kesultanan Banten
sangatlah menentukan. Bahkan berdirinya kesultanan Banten itu sendiri didahului dengan motif
penyebaran agama dan menolak kehadiran Portugis ─ yang gigih menghancurkan Islam dalam
semangat Perang Salib. Pendiri kesultanan Banten pun, Syarif Hidayatullah, adalah seorang
ulama yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Hasanuddin, juga seorang da'i yang
berhasil. Penyerangan Banten ke Lampung dan Solebar pada masa Maulana Hasanuddin,
penyerangan Palembang pada masa Sultan Muhammad dan juga penyerangan ke Pajajaran pada
masa Maulana Yusuf, semuanya bermotifkan keagamaan, penyebaran agama Islam, di samping
tidak menutup kemungkinan adanya motif ekonomi, motif kekuasaan, atau motif tambahan
lainnya.
Dalam birokrasi kerajaan, dikenal adanya Kadhi (Hakim Agung) yaitu seorang ulama yang
mempunyai kedudukan menentukan dalam setiap keputusan penting.
Kadhi atau disebut juga Faqih Najmuddin selalu dimintai pendapatnya
dan persetujuannya dalam setiap perjanjian yang dibuat Sultan (Sudewo,
1986:65). Kadhi-lah yang menjadi Wali Sultan dan penasehat
pengangkatan pengganti sultan pada masa Sultan Muhammad, yang
masih kecil. Bahkan dalam keadaan genting, ia menjadi pemimpin
angkatan perang di samping jabatan tetapnya sebagai pemimpin
keagamaan, misalnya pada masa Sultan Tirtayasa.
Keadaan demikian berlangsung sampai dikenalkannya sistem penjajahan oleh Belanda.Pemerintah kolonial berusaha untuk memisahkan antara urusan
kenegaraan dengan urusan keagamaan, disesuaikan dengan prinsip yang
dianutnya: sekularisme.
Para ulama mengajarkan pada masyarakat
bahwa penjajahan adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan juga bertentangan dengan ajaran Islam. Menentang
penjajah adalah perbuatan mulia dan wajib dilakukan setiap orang Islam,
dan bahwa “mencintai tanah air adalah sebagian dari iman”. Maka
apabila mati dalam peperangan melawan kesewenang-wenangan, dia
mati sahid yang balasannya hanya surga. Keyakinan semacam ini
tertanam pada setiap muslim yang taat kepada agamanya. Dengan
demikian wajarlah apabila Banten yang dikenal sebagai pusat
penyebaran Islam di Jawa sebelah barat tidak pernah sepi dari pada
perlawanan kepada penjajah. Dan benarlah bahwa nasionalisme
Indonesia
> dimulai dengan nasionalisme Islam (Noer, 1982:8).
Pada masa awal kesultanan sampai dengan masa Sultan Ageng Tirtayasa, penguasa selalu
bergabung dengan para ulama. Sehingga seluruh kebijaksanaan pemerintah mendapat dukungan
penuh dari rakyat. Semenjak kompeni Belanda dapat menguasai politik pemerintahan Banten, ─
yang mempunyai missi tertentu kepada agama Islam[1]
─ maka untuk keamanan diri dan keluarganya, kaum elit
birokrasi sedikit demi sedikit menjauhi kaum agama. Merupakan satu
kegembiraan tersendiri apabila mereka tidak dimasukkan kepada
kelompok "fanatik", yaitu orang-orang yang memakai “ukuran agama”
dalam setiap tindakannya, dan, karenanya orang "fanatik" inilah yang
dianggap berbahaya oleh penjajah. Bagi para pejabat (yang sudah
dipengaruhi "kuasa" penjajah), kesejahteraan rakyat tidaklah begitu
diperhatikan, mereka hanya berlomba-lomba menye-nangkan tuannya
dengan memeras rakyat. Sehingga sangat jarang sekali perlawanan
bersenjata tumbuh dari kalangan birokrasi ini. Hal demikian memang
disengaja oleh pemerintah penjajah, untuk mengadu-domba pimpinan
pribumi. Penjajah merangkul penguasa-penguasa yang rakus dengan
kekuasaan; dan dengan dalih mempertahankan adat istiadat nenek
moyang mereka bekerjasama membendung pengaruh agama Islam.Dengan keadaan ini maka hanya kepada para ulama-lah tumpuan rakyat
untuk mengakhiri penderitaan mereka.
Meski pun akhirnya Belanda berhasil mengontrol sebagian besar daerah Banten, namun
perlawanan rakyat yang dipimpin para ulama terus meningkat; bahkan pada abad ke-19
perlawanan bersenjata ini lebih meningkat lagi, sehingga dikatakan bahwa sepanjang abad ke-19
ini Banten sebagai tempat persemaian “kerusuhan” dan “pemberontakan”. Tidak ada satu pun
distrik di Banten yang sepi dari perlawanan rakyat menentang penjajah Belanda (Kartodirdjo,
1984: 45).
Keadaan demikian sejalan dengan meningkatnya semangat kebangkitan Islam yang tumbuh di
Timur Tengah, dan berkat semakin meningkatnya hubungan antara kedua daerah itu (Benda,
1972: 83). Sejak dibukanya terusan Suez pada tahun 1869, setiap tahun ribuan kaum muslimin
Indonesia
> menunaikan ibadah haji ke Makkah. Dari data yang diperoleh, dalam
tahun lima puluhan dan enam puluhan, jamaah haji dari Indonesia ratarata sekitar 1600 orang; dalam tahun tujuh puluhan jumlah itu meningkat
menjadi sekitar 2600, sedangkan dalam tahun-tahun delapan puluhan
(1879 - 1888) jumlah jemaah haji ini meningkat lagi menjadi 4968
(1887) orang (Kartodirdjo, 1984: 219).
Tidak sedikit di antara mereka, setelah sekian lama bermukim di tanah suci itu kembali ke tanah
air dengan membawa kekuatan baru berupa ajaran Islam yang lebih murni. Lambat laun ajaran
tauhid tersebut berhasil menggantikan kedudukan mistik dan sinkretisme yang selama ini
menguasai Indonesia
>;
dengan dimotori ulama-ulama inilah perlawanan umat Islam lebih
bersemangat lagi (Suminto, 1985:3).
Walaupun dalam teorinya pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem politik netral agama,
tapi dalam praktek bertolak belakang; banyaknya kemudahan yang diberikan bagi pemeluk
agama Kristen sebanding dengan tekanan-tekanan pada pemeluk Islam.[2] Pada tahun 1859,
Gubernur Jendral mengintruksikan agar selalu mengawasi setiap gerak-gerik ulama, terutama
yang dianggap "fanatik" dan suka memberontak. Dengan
melihat bahwa hampir setiap perlawanan rakyat selalu digerakkan oleh
ulama ─
terutama yang sudah pergi haji ─ maka diadakanlah pembatasan,
pengetatan dan pengawasan terhadap orang yang akan dan sudah haji.Dengan dalih untuk melindungi perjalanan jamaah haji ini, pemerintah
kolonial mendirikan konsul di Singapura, Kalkuta, Kairo, dan Jeddah;
melalui konsul-konsul itulah segala gerak-gerik jamaah haji dari
Nusantara diawasi, sejak keberangkatannya sampai pulangnya dan
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya selama di Mekkah (Suminto,
1985: 3). Di antara jamaah haji dari Banten ini banyak yang mukim di
Mekah untuk memperdalam pengetahuan keislaman, dan akhirnya
mereka pun banyak yang menjadi tokoh terkemuka mukimin asal
Nusantara ─ dikenal dengan nama masyarakat Jawah. Melalui jamaah
haji ─ yang merupakan orang pilihan di daerahnya ─ kaum Jawah
"memompakan" semangat
perjuangan kebangkitan keagamaan dan politik, yang kemudian
disebarkan kepada rakyat Banten (Kartodirdjo, 1985:221). Dengan
kenyataan ini Snouck Hurgronye menyatakan bahwa dari Mekah inilah
perlawanan rakyat Nusantara dikontrol dan dimotori (Kartono,
1985:222).
Salah seorang "kaum Jawah" yang terkenal dan berpengaruh asal Banten adalah Syekh Nawawi
al-Jawi al-Bantani. Menurut tradisi, Nawawi adalah keturunan langsung dari Pangeran
Sunyararas, putra Maulana Hasanuddin.
Mulai dari usia 5 tahun, ia belajar ilmu-ilmu agama dari ayahnya, K.H.
Umar, di daerah asalnya yakni di desa Tanara, Tirtayasa, Serang.
Sepuluh tahun kemudian, setelah ayahnya meninggal, Nawawi
melanjutkan belajar pada K.H. Sahal, seorang ulama terkenal di daerah
Banten. Kemudian bertiga dengan saudaranya (Tamim dan Ahmad),
mereka pergi ke Purwakarta untuk belajar pada Raden Haji Yusuf. Pada
usia yang masih muda, tiga bersaudara itu pergi ke Mekah untuk
memperdalam ilmu keislamannya. Selama 30 tahun (1830 - 1860)
Nawawi pun belajar pada Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf
Sambulawesi, Nahrawi dan Abdul Gani Daghestani di Mekah.
Selanjutnya, Syekh Nahrawi belajar pada Syekh Dimyati dan
Muhammad Dahlan Khatib al-Hambali di Madinah (Hafifuddin, 1987:
40). Dari ilmu-ilmu yang diperolehnya di perantauan ini, ia banyak
menulis buku yang antara lain 115
buah judul yang sudah diterbitkan dalam bahasa Arab, dalam berbagai
bidang ilmu. Dari prestasi keilmuannya ini Nawawi digelari Ulama al-Hijaz, Imam Ulama al-Haramain.
Pengaruh Syekh Nawawi al-Jawi al-Banteni ini sangat terasa dalam pergerakan nasional
menentang penjajahan Belanda di Indonesia. Melalui murid-muridnya yang datang ke Mekah,
sewaktu ibadah haji, Syekh Nanawi memompakan semangat perjuangan. Di antara muridmuridnya yang terkenal adalah: K.H. Wasid (Cilegon), K.H. Khalil (Madura), K.H. Hasyim
Asyhari (Jombang), dan K.H.
Tb. Asnawi (Caringin) (Steenbrink, 1984: 118; Chaidar, 1978:6 dan
Kartodirdjo, 1988: 78),
Untuk menjaga dari pengaruh-pengaruh ajaran agama dan kebudayaan yang dibawa kolonial
Belanda, para guru agama mendirikan pesantren, yaitu lembaga pendidikan agama, yang
umumnya didirikan di tempat-tempat jauh dari keramaian kota.
Di pesantren inilah para santri dididik untuk cinta agama dan semangat
membela tanah air. Dalam beberapa dasawarsa, di Banten terdapat
peningkatan fanatisme di kalangan masyarakat pesantren, dengan satu
sikap bermusuhan dan agresif yang ditanamkan pada diri para santri
terhadap penguasa kolonial beserta dan kaum priyayi yang dianggap
sebagai antek penjajah (Kartodirdjo, 1985: 224). Ketimpangan sosial,
penderitaan rakyat, dan perlakuan yang tidak manusiawi dari penjajah
dan antek-anteknya ini menimbulkan kebencian yang mendalam kepada
penjajah. Alasan inilah yang memudahkan timbulnya banyak api
pemberontakan di Banten ─ yang hampir semuanya berbalutkan agama
─ walaupun dalam skala yang berlainan.
Kerusuhan-kerusuhan kedaerahan terus bermunculan silih berganti, dan
beberapa di antaranya berkembang menjadi pemberontakan yang
sesunguhnya.
Dalam tahun 1808 dan 1809 terjadi pemberontakan oleh "bajolaut" di
Teluk Merica dan di muara Cibungur menentang kerja paksa dan
pembuatan pelabuhan di Ujung Kulon yang diberlakukan Daendels atas
penduduk negeri.
Di Cibungur, Caringin, timbul huru-hara, disambung dengan
pemberontakan Pasir Peuteuy, Pandeglang, di bawah pimpinan Nuriman.
Kekacauan ini memaksa pemerintah kolonial pada tahun 1810
menobatkan kembali Sultan,# di selatan, dengan harapan dapat meredam
pemberontakan yang dianggap karena ketidakpuasan rakyat terhadappembubaran kesultanan ini; walaupun akhirnya tidak berhasil, dan
pemberontakan rakyat terus berkobar. Bahkan pada tahun 1811 para
pemberontak yang dipimpin oleh Mas Jakaria dapat menguasai hampir
seluruh kota Pandeglang. Melalui pertempuran hebat akhirnya Mas
Jakaria ini tertangkap dan dipenjarakan, tapi dalam bulan Agustus 1827
ia dapat melarikan diri untuk kembali menyusun kekuatan ─ yang dalam
tahun itu juga ia kembali menyerbu kota Pandeglang[3].
Kerusuhan yang dipimpin oleh Ngabehi Adam, Haji Yamin, Ngabehi Utu dan Ngabehi Ikram,
menimbulkan kerusakan dan kekacauan besar. Taktik gerilya yang dilancarkan pemberontak
menyebabkan pasukan pemerintah kolonial benar-benar tidak berdaya. Pada tahun 1815 terjadi
serangan besar dan pengepungan pada keraton Sultan di Pandeglang, dipimpin oleh Mas Bangsa,
Pangeran Sane dan Nuriman atau dikenal dengan nama Sultan Kanoman. Meski pun pasukan
pemerintah akhirnya dapat memukul mundur mereka, namun sebagian pasukan pemberontak
dapat melarikan diri, yang kemudian menyusun kekuatan untuk mengadakan penyerangan
kembali. Situasi alam yang berbukit-bukit dan berhutan lebat mempersulit pasukan kolonial
menumpastuntas pelawan ini, apalagi rakyat selalu membela mereka. Pada tahun 1818 dan awal
1819, Haji Tassin, Moba, Mas Haji dan Mas Rakka memimpin pemberontakan di Banten Selatan,
dengan mengadakan perusuhan-perusuhan dan berhasil membunuh beberapa pejabat
pamongpraja di Lebak. Demikian juga pada tahun 1820, 1822, 1825 dan 1827
yang dipimpin oleh Mas Raye, Tumenggung Muhammad dari Menes
dan Mas Aria dibantu oleh beberapa pemuka agama. Walau akhirnya
pemberontakan ini dapat dipadamkan namun sebagian dari mereka dapat
mengobarkan pemberontakan baru.
Demikian juga terjadi pemberontakan pada tahun 1832 dan 1833.
Pada tahun 1836 terjadi lagi pemberontakan yang dipimpin oleh Nyai Gumparo (Nyai
Gamparan). Meski pun pemberontakan ini dapat dipadamkan, namun pengikut-pengikutnya yang
dapat meloloskan diri, tetap berusaha kembali meneruskan perlawanan. Tahun 1839 terjadi
persiapan pemberontakan yang dipimpin oleh Ratu Bagus Ali (pada pemberontakan tahun 1836
dikenal dengan nama Kiyai Gede), Pangeran Kadli dan Mas Jabeng, putra Mas Jakaria. Atas
usaha Bupati Serang, usaha pemberontakan itu dapat digagalkan. Tahun 1840
Mas Jamin dan pengikutnya, yang sebagian besar pernah ikut dalam
pemberontakan tahun 1836 dan 1839, kembali mengadakan perlawanan
bersenjata. Dan walau pun akhirnya Mas Jamin dapat ditangkap
pemerintah kolonial, para pengikutnya tetap meneruskan perlawanan.
Pada tahun 1842, mereka berhasil membunuh seorang Belanda pemilik
perkebunan nopal di Pandeglang. Tetapi mereka pun akhirnya dapat
ditangkap dan di hukum buang.
Namun ketika Mas Anom, Mas Serdang dan Mas Adong ─ yang
kesemuanya anak Mas Jakaria ─ bergabung dengan sisa pasukan ini,
maka
pemberontakan berkobar lagi pada tahun 1845 yang dikenal sebagai
Peristiwa Cikande Udik (Arsip Nasional, 1973: lvii).
Peristiwa itu bermula pada tanggal 13 Desember 1845 di mana kaum perusuh merebut rumah
tuan tanah di Cikande Udik dan kemudian membunuh tuan tanah Kamphuys beserta istri dan
kelima anaknya kecuali tiga anak lainnya diselamatkan oleh Mas Gusti Sarinten, salah seorang
kepala perusuh, sedangkan semua orang Eropa di sekitarnya dibunuh. Jumlah perusuh bertambah
sekitar 600 orang.
Untuk menumpas pemberontakan itu, Residen segera meminta bantuan
tentara dari Batavia.
Mendengar akan adanya penyerangan penumpasan di Cikande ini, para
pemberontak di daerah lain segera bangkit mengadakan perlawanan dan
segera menguasai pos-pos militer di Warunggunung, Pandeglang dan
Caringin.
Beberapa pemimpin pemberontakan yang dikenal dalam peristiwa ini
ialah: Mas Endong, Mas Rila dari Cikupa dan Mas Ubid dari Kolle
(kemenakan dan menantu Mas Jakaria), Kiyai Gede, Samini, Pangeran
Amir dari Bayuku, Raden Yintan, Pangeran Lamir, dan seorang wanita
bernama Sarinem. Peristiwa Cikande ini dapat dikatakan merupakan
awal dari pemberontakan bersenjata yang terkoordinir dengan
mengikutsertakan beberapa kelompok penentang di hampir seluruh
daerah Banten (Kartodirdjo, 1985: 176).
Berhubung dengan banyaknya pemberontakan yang dilakukan rakyat Banten itu, pemerintah
Belanda, di samping menyelesaikannya dengan cara kekerasan dan penuntutan-penuntutan di
pengadilan kolonial, tetapi juga secara politik.
Untuk mencegah jangan sampai meletus lagi perlawanan rakyat itu,
pemerintah kolonial berusaha mengadakan perbaikan-perbaikan
kehidupan sosial masyarakat. Perbaikan-perbaikan yang dilakukan
pemerintah di Keresidenan Banten dari tahun 1846 hingga 1848 antara
lain: menambah jumlah pegawai pribumi; menghapuskan jabatan asisten
residen di Anyer; membentuk kabupaten baru, yaitu Kabupaten
Pandeglang; memperluas saluran-irigasi; menyatukan kampungkampung yang tersebar untuk memudahkan pengawasan; menghapuskan
wajib tanam dan wajib kerja di perkebunan-perkebunan Eropa, terutamawajib tanam dan wajib kerja di perkebunan-perkebunan Eropa, terutama
di daerah-daerah miskin.
Pada tahun 1839 Bupati Serang, Raden Adipati Jayakusumaningrat, dipensiunkan, dan diganti
oleh Raden Adipati Manduraraja Jayanegara, Bupati Caringin.
Karena di Banten tidak ada pembesar pribumi yang dianggap "cakap"
oleh pemerintah Belanda, maka yang diangkat sebagai pengganti Bupati
Caringin ialah Raden Aria Tumenggung Wiriadiyahya, seorang jaksa
kepala di Bogor. Di Pandeglang, yang ditunjuk sebagai Bupati adalah
Raden Tumenggung Ario Condronegoro, juga bukan bangsawan dari
keturunan asli Banten (Arsip Nasional, 1973: lvii).
Pada tanggal 24 Pebruari 1850 telah terjadi pula pembunuhan terhadap Demang Cilegon dan
stafnya yang sedang mengadakan inspeksi di Rohjambu. Kerusuhan ini dipimpin oleh Raden
Bagus Jayakarta, Tubagus Suramarja, Tubagus Mustafa, Tubagus Iskak, Mas Derik, Mas Diad,
Satus, Nasid, Asidin, Haji Wakhia dan Penghulu Dempol. Di antara mereka Haji Wakhia-lah
yang terkenal perjuangannya, ia sudah sejak tahun 1850 selalu mengadakan huru-hara menentang
kolonial Belanda. Haji Wakhia adalah penduduk kampung Gudang Batu, orang kaya dan
dianggap ulama besar. Haji Wakhia, atas ajakan Tubagus Iskak dan dengan dukungan penuh dari
penduduk Gudang Batu, terus mengobarkan perjuangan menentang politik kolonial Belanda dan
mengajak mengadakan “perang sabil”; dan persiapan-persiapan untuk itu dilakukan terus
menerus di bawah pimpinan Penghulu Dempol. Pusat kerusuhan lainnya ialah Pulomerak, di sana
dapat dihimpun orang-orang Lampung di bawah pimpinan Mas Diad.
Dalam strategi pertahanan "pemberontak Wakhia" ini, pasukan dibagi
dalam tiga kelompok besar; kelompok yang dipimpin Mas Derik dan
Nasid berada di pegunungan sebelah timur Pulomerak, kelompok
pimpinan Mas Diad dan Tubagus Iskak di distik Banten, dan kelompok
pimpinan Haji Wakhia dan Penghulu Dempol bergerak di sebelah barat
bukit Simari Kangen; yang ketiga daerah tersebut dilingkungi oleh hutan
dan pegunungan yang sulit ditembus.
Dalam beberapa kali penyerbuan, pasukan kolonial akhirnya dapat
memukul mundur pemberontak ini. Pertempuran di Tegalpapak pada
tanggal 3 Mei 1850, beberapa pemimpin pejuang dapat ditawan dan
dibunuh. Haji Wakhia dan Tubagus Ishak dapat meloloskan diri ke
Lampung, dan kemudian ia bergabung dalam perlawanan yang dipimpin
oleh Pangeran Singabranta dan Raden Intan.
Dalam satu pertempuran akhirnya Haji Wakhia dapat ditangkap dan
dihukum mati pada tahun 1856.
Setelah pemberontakan Haji Wakhia berakhir, maka muncul pulalah peristiwa pemberontakan
lain seperti “Peristiwa Usup” (1851), “Peristiwa Pungut”
(1862), “Kasus Kolelet” (1866), serta “Kasus Jayakusuma” (1868).
Peristiwa Usup ialah terjadinya pembunuhan terhadap Mas Usup, Jaro
Tras Daud dengan keluarganya oleh orang yang tak dikenal pada tanggal
15 April 1851. Pejabat pemerintah telah mendengar adanya pertemuan
yang diselenggarakan oleh para pemberontak di Tegalpapak, yang
kemudian terjadi percobaan pembunuhan terhadap Residen. Semua
peristiwa ini dipelopori oleh Ki Mudin, yang meramalkan bahwa
pemerintahan kolonial sudah akan ambruk. Gerakan Mudin ini dibantu
oleh Kamud dan Nur. Pemerintah kolonial akhirnya berhasil menangkap
20 orang pemberontak, dan mereka dibuang. Tahun 1862, Mas Pungut
dan kawan-kawannya melakukan huru-hara dan pemberontakan lagi.
Dengan mengaku sebagai anggota keluarga sultan dan anak Mas Jakaria,
ia berhasil menarik simpati rakyat untuk menjadi pengikut-pengikutnya.
Pada tanggal 19
September 1862, diketahui oleh pemerintah kolonial, bahwa ia sedang
berada di hutan Cilanggar. Ketika Mas Pungut sedang singgah di rumah
Usip ─
salah seorang pengikutnya ─ di desa Ciora, ia dengan 25 orang
pengikutnya tertembak dalam perlawanan yang seru. Namun pada tahun
1866
muncul lagi gerakan perlawanan yang lebih besar, dikabarkan mereka
akan menyerang dan menghancurkan kota Pandeglang, dan mengirimkan
surat ancaman kepada para pejabat terutama Residen dan Bupati.
Pemerintah kolonial berhasil menangkap Asmidin, dan dua orang yang
diduga terlibat yaitu Mas Sutadiwirya, bekas Demang di Baros dan
R.A.A. Natadiningrat, bekas Bupati Pandeglang. Para pemberontak ini
berjumlah 30 orang yang berasal dari Kolelet, Cikande dan Kramatwatu,
semuanya itu bekas pemimpin kerusuhan terdahulu.
B. PERISTIWA GEGER
CILEGON 1888
Perlawanan bersenjata yang paling menonjol di Banten pada abad ke-19 adalah peristiwa yang
dikenal dengan “Geger Cilegon”, pada tanggal 9 Juli 1888 yang dipimpin oleh para ulama.
Dalam setiap pengajian/dzikiran yang diadakan di rumah-rumah atau pun di masjid, para ulama
itu selalu menanamkan semangat jihad menentang penjajah kepada masyarakat. Melalui
pesantren-pesantren, para tokoh itu dengan mudah melancarkan taktik perjuangan menentang
pemerintahan kolonial. Gerakan itu antara lain dipimpin oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus
Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid.
Haji Abdul Karim adalah seorang ulama di desa Lampuyang, Pontang yang kegiatan sehariharinya mengadakan pengajaran agama pada masyarakat di daerahnya.
Kegiatan pengajian Kiayi ini semakin berkembang terutama setelah ia
kembali dari Mekkah tahun 1872. Haji Abdul Karim mendirikan
pesantren di Tanahara, yang dalam waktu singkat mendapat banyak
murid dan pengaruh terhadap penguasa pribumi, seperti bupati, penghulu
kepala di Serang serta Haji R.A.
Prawiranegara, pensiunan patih Serang. Begitu besar pengaruhnya di
kalangan rakyat dan pejabat pemerintah sehingga dikenal pula sebagai
“Kiyai Agung”
bahkan dianggap sebagai “Wali Allah”. Dalam mengadakan acara
dzikiran di rumah-rumah tertentu, langgar atau masjid, Haji Abdul
Karim selalu menganjurkan tentang perlunya perang sabil terhadap
pemerintah kolonial yang kafir.
Ketika Kiyai Haji Abdul Karim akan ke Mekkah untuk kedua kalinya pada tanggal 13
Pebruari 1876, banyak kiyai, tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah
yang datang untuk mengucapkan selamat jalan. Rakyat dari Tanahara,
Tangerang dan sekitarnya berbondong-bondong menunggu di pinggir
jalan yang akan dilaluinya. Khawatir akan terjadi huru-hara, pemerintah
kolonial minta supaya Kiyai Haji Abdul Karim berangkat langsung
menggunakan kapal laut dari Tanahara ke Batavia.
Sebagai ganti pimpinan pesantren dipercayakan kepada muridnya, Kiyai
Haji Tubagus Ismail, yang juga gencar menganjurkan perlawanan
kepada penjajah kafir. Anjuran itu disambut baik kiyai-kiyai terkenal
seperti Kiyai Haji Wasid dari Beji, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji
Syadeli dari Kaloran, Haji Iskhak dari Saneja, Haji Usman dari Tunggak,Haji Asnawi dari Lempuyang dan Haji Muhammad Asyik dari Bendung.
Gerakan semacam ini timbul pula di Tanahara yang dipimpin oleh Haji
Marjuki, yang dalam waktu singkat pengikutnya bertambah banyak, di
samping dari Banten, juga dari daerah lain seperti Tangerang, Bogor dan
w:st="on">Batavia
>.
1. Beberapa Peristiwa Yang Mendahului Geger Cilegon
Tokoh menentukan dalam peristiwa Geger Cilegon ini adalah Haji Wasid, yang pernah belajar di
Mekkah pada Syekh Nawawi al-Bantani, kemudian mengajar di pesantrennya di Kampung Beji,
Cilegon.
Tiga pokok ajaran yang disebarkan kepada muridnya adalah tentang
Tauhid, Fiqh dan Tasawuf merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dalam ajaran Islam dan harus dipraktekan dalam setiap
kegiatan sehari-hari.
Bersama kawan seperjuangannya: Haji Abdurahman, Haji Akib, Haji
Haris, Haji Arsad Thawil, Haji Arsad Qashir dan Haji Ismail, mereka
menyebarkan pokok-pokok ajaran Islam itu kepada masyarakat. Dengan
memahami tiga pokok ajaran Islam ini diharapkan, murid-muridnya,
akan menjadi muslim yang baik dan taat dalam menjalankan semua
perintah agama serta menjauhi segala yang dilarang-Nya. Segala
peribadatan, segala ketaatan dan segala harapan hendaknya, semuanya,
ditujukan kepada Allah; bukan kepada manusia dan bukan kepada benda
lainnya. Peribadatan dan penyembahan yang ditujukan kepada selain
Allah adalah musrik, dan ini termasuk dosa besar, tanpa ampunan dari
Allah. Tiada takut dan tiada harap; tiada benci dan tiada suka, kecuali
semuanya karena Allah.
Dalam pada itu, antara tahun 1882 dan 1884 keadaan rakyat Banten khususnya di Serang dan
Anyer ditimpa dua malapetaka; kelaparan dan penyakit sampar (pes) binatang ternak.
Diperkirakan, hampir dua tahun hujan tidak turun, sehingga tanaman padi tidak ada yang tumbuh
dan air minum pun sulit didapat. Musim kering yang berkepanjangan ini, menyebabkan kelaparan
merajalela. Tanah pertanian, yang sebagian besar berupa "tadah hujan" menjadi kering, sehingga
tidak ada tumbuhan yang dapat ditanam penduduk desa. Karena kurangnya makanan ini maka
banyak penduduk yang terjangkit penyakit demam yang parah; terutama sekali kaum perempuan.Untuk menggambarkan keadaan rakyat Banten pada saat itu, PAA. Djajadiningrat, menyaksikan
bahwa di pasar Kramatwatu, Cilegon, hampir sering menemukan bayi di pojokan pasar yang
ditutupi selembar daun pisang, sekedar untuk menjaga dari teriknya matahari. Bayi-bayi ini
sengaja ditinggalkan ibunya karena ia tidak mampu lagi memberinya makan, dan mengharapkan
nanti ada yang mengambil untuk memeliharanya; atau karena ibunya tiba-tiba terkena demam
dan meninggal tidak lama kemudian. Istri wedana Kramatwatu, ibunya PAA. Djajadiningrat,
berhasil mengumpulkan sampai 20 orang anak yang kemudian dipeliharanya di Kawedanaan
(PAA. Djajadinigrat, 1936:8).
Karena musim kemarau ini pula maka berjangkit wabah penyakit sampar (pes) yang menyerang
ternak kerbau atau kambing (1880). Penyakit hewan ini menular dengan cepat, sehingga
pemerintah kolonial menginstruksikan supaya membunuh dan mengubur atau membakar semua
kerbau atau kambing di suatu desa yang di sana
> terdapat kerbau
yang berpenyakit agar jangan menular ke desa lain. Dengan demikian,
kerbau yang tidak terkena penyakit pun turut dibunuh pula. Bagi rakyat
petani, ternak kerbau bukan hanya dianggap sebagai hewan peliharaan
tapi juga teman/sahabat yang banyak membantu pekerjaannya di sawah,
sehingga perlakuan demikian membuat tambah sedih, dianggap suatu
kekejian dan kesewenang-wenangan yang membuat makin besar
kebencian kepada Belanda dan anteknya; walaupun mereka tidak bisa
berbuat apa-apa, pasrah dengan perlakuan itu. Ironisnya, kerbau atau
kambing yang dibunuh tentara kolonial ini, karena banyaknya, tidak
sempat dikuburkan, sehingga bangkai hewan dapat ditemukan di manamana; dan ini mengundang datangnya penyakit baru lagi bagi rakyat
desa. Tidak heran dari catatan yang ada pada bulan Agustus 1880, dari ±
210.000 penderita, tercatat lebih dari 40.000 orang di antaranya tidak
dapat tertolong dan menemui ajalnya (Kartodirdjo, 1988:88).
Pemanda