Tampilkan postingan dengan label masa lalu banten. 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label masa lalu banten. 4. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Juli 2025

masa lalu banten. 4

 





ginan ini mendapat sambutan

baik dari

Patih Mangkubumi yang semenjak Sultan sakit memegang kendali

pemerintahan.

Melihat keadaan demikian, Kadhi (hakim), Senapati Pontang, DipatiJayanegara, Ki Waduaji dan Ki Wijamanggala yang ditunjuk sebagai

Wali

Sultan, mengirim surat kepada Mangkubumi supaya Mangkubumi

tetap setia

kepada raja yang baru saja mangkat. Sindiran halus ini dapat dipahami

oleh

Mangkubumi, sehingga diadakanlah rapat di antara pembesar￾pembesar istana

tanpa diketahui Pangeran Aria Japara. Akhirnya disetujuilah usul

supaya

Pangeran Muhammad tetap diangkat menjadi Raja, sedangkan roda

pemerintahan

untuk sementara tetap ditangani oleh Patih Mangkubumi sampai Putra

Mahkota

dewasa.

Diaturlah

cara menyampaian berita itu kepada Pangeran Japara agar tidak terjadi

pertumpahan darah diantara para saudara sepupu yang akan

menambah kedukaan

rakyat Banten. Mangkubumi pergi dengan membawa seekor gajah

kerajaan

menemui Pangeran Japara di luar kota,

dan minta supaya Pangeran menaiki gajah tersebut dengan memakai

pakaian

kebesaran lengkap ke keraton, seolah-olah memang usul Pangeran

Japara

diterima rakyat. Dengan diapit oleh Mangkubumi dan Ki Demangditerima rakyat. Dengan diapit oleh Mangkubumi dan Ki Demang

Laksamana,

Pangeran Japara dan pasukannya beriringan pergi ke keraton. Sampai

di tepi

sungai di luar tembok benteng keraton, sebelum darpalagi,

Mangkubumi

memberi aba-aba untuk berhenti. Di seberang sungai, di bawah atap

srimanganti, yaitu gerbang di luar istana, sudah menanti Putra

Mahkota yang duduk dalam

pangkuan Kadhi dikelilingi para ponggawa dan para menteri kerajaan

dengan

pasukan Banten yang cukup kuat. Selanjutnya, Mangkubumi

menyeberangi sungai

sendirian, untuk kemudian menyiagakan pasukan Banten supaya

waspada apabila

terjadi yang tidak dikehendaki.

Setelah

persiapan beres, Mangkubumi kembali menemui Pangeran Jepara, dan

mengatakan

bahwa ia diperintahkan Putra Mahkota untuk menghalang-halangi

Pangeran

Jepara dan rombongan menyeberangi sungai, dan dengan segala

hormat minta

supaya Pangeran segera meninggalkan Banten dengan kapal-kapal

yang telah

disediakan. Mengetahui muslihat Mangkubumi itu, marahlah Pangeran

Jepara

dan memerintahkan pasukannya untuk menyerbu keraton. Makadan memerintahkan pasukannya untuk menyerbu keraton. Maka

terjadilah

pertempuran hebat di luar benteng istana. Dalam pertempuran itu Ki

Demang

Laksamana tewas di tangan Mangkubumi sehingga akhirnya pasukan

Pangeran

Aria Japara melarikan diri kembali ke Jepara. Setelah kejadian tersebut

dinobatkanlah Pangeran Muhammad menjadi Raja Banten ke-3

dengan gelar Kanjeng Ratu Banten Surosowan. Kadhi menyerahkan

perwaliannya kepada Mangkubumi

(Djajadiningrat, 1983: 39-41).

C. MAULANA MUHAMMAD KANJENG RATU

BANTEN SUROSOWAN (1580 - 1596)

Keadaan

Banten pada masa Maulana Muhammad ini dapat kita ketahui dari

kesaksian

Willem Lodewycksz, juru tulis Cornelis de Houtman yang mendarat di

pelabuhan Banten pada tahun 1596. Dari catatan mereka dapatlah

diketahui

keadaan kota Banten secara lebih jelas.

Ketika itu,

Banten telah mempunyai tembok-tembok yang tebalnya lebih dari

depa orang dewasa dan terbuat dari bata merah. Tembok-tembok itu

tidak mempunyai

menara-menara, melainkan semacam tiang gantungan setinggi tigastagie yang terbuat dari kayu besar (kira-kira 3 m). Orang dapat

melayari

w:st="on">kota

> seluruhnya

melalui banyak sungai. Diperkirakan besar Kota Banten sebesar

w:st="on">kota

> Amsterdam pada

tahun 1480 ketika kota itu dikelilingi tembok untuk pertama kalinya.

(Chijs, 1881:18 dan Djajadiningrat,

1983:144).

Mulai

dari pintu gerbang besar istana sampai di luar, terdapat bangunan￾bangunan:

made bahan, tempat tambak baya melakukan jaga, made mundu dan

made gayam, selanjutnya sitiluhur atau sitihinggil yang di dekatnya

terdapat bangunan untuk gudang senjata dan kandang kuda

kerajaan. Kemudian terdapat pakombalan yaitu penjagaan untuk

"wong gunung". Di sebelah utara terdapat tempat perbendaharaan

dan di sebelah barat berdiri masjid dengan menara di sampingnya.

Kemudian

terdapat satu perkampungan yang disebut Candi Raras, yang di

antaranya terdapat bangunan-bangunan made bobot dan made sirap.

Di sebelah timur made bobot terdapat mandapa yaitu suatu

bangunan terbuka yang di sana dipasang meriam Ki Jimat yangmengarah ke utara. Dekat srimanganti terdapat waringinkurung dan

watugilang. Di tepi sungai

terdapat panyurungan atau galangan kapal kerajaan. Di sebelah barat

laut terdapat pasar dan di sebelah baratnya terdapat masjid besar

kerajaan.

Dekat panyurugan terdapat tonggak yang mengikat gajah raja yang

bernama Rara Kawi. Di sebelahnya terdapat jembatan besar dari kayu

jati melintasi sungai yang selanjutnya terdapat jalan raya dengan pagar

kembar menuju ke arah utara ke perbentengan. Perbentengan sebelah

dalam

atau baluwarti dalem disebut lawang sademi atau lawang

seketeng yang di sebelah baratnya berdiri pohon beringin besar dan

perbentengan Sambar Lebu (Djajadiningrat, 1983:57).

Banten

mempunyai kapal perang yang menyerupai kapal galai dengan dua

tiang

layar. Keistimewaan kapal ini mempunyai serambi yang sempit

dengan geladak

luas. Hal ini memungkinkan tentara lebih leluasa bergerak dalam

perang. Di

bagian depannya ditempatkan empat pucuk meriam. Sedangkan ruang

pengayuh

ditempatkan di bagian bawah. Untuk perjalanan jauh seperti ke

Maluku, Banda,

Kalimantan, Sumatra dan Malaka digunakan kapaljung besar dengan layar kecil di depannya. Di samping itu ada juga

perahu-perahu lesung kecil yang bisa berlayar dengan cepat yang

belum

pernah dilihat oleh orang Belanda sebelumnya (Tjandrasasmita,

1975:17-18).

Setiap kapal asing yang hendak berlabuh di Bandar Banten diharuskan

melalui

semacam pintu gerbang dan membayar bea masuk (Michrob, 1984:5).

Tentang

pasar sebagai pusat perekonomian, dapat dilihat dari catatan Willem

Lodewyckz yang mengatakan sebagai berikut: "Di sebelah timur

w:st="on">kota

> yaitu daerah Karangantu, terdapat sebuah pasar

yang pagi maupun siang terdapat pedagang-pedagang dari Portugis,

Arab,

Turki, Cina, Keling, Pegu, Malaya, Bengali, Gujarat,

Malabar dan Abesinia. Juga terdapat pedagang-pedagang dari

Nusantara

seperti dari Bugis, Jawa dan lain-lain. Pasar kedua terletak di Paseban,

yang memperdagangkan keperluan sehari-hari. Dan pasar ke tiga

terletak di

Pacinan yang dibuka sebelum dan sesudah pasar-pasar lain tutup.

Barang-barang yang diperdagangkan di pasar ketiga ini bermacam

ragam, mulaidari kain sutra dari Cina dan Gujarat sampai sisir dan kipas.

Diceritakan pula, bahwa barang-barang tekstil dari Gujarat

> ini 20 jenis. Transansi perdagangan di pasar

ini berjalan mudah, karena mata uang dan pertukaran mata uang

(money

changer) sudah dikenal” (Tjandrasasmita, 1975: 218-231).

Maulana

Muhammad terkenal sebagai orang yang shaleh[4]. Untuk kepentingan

menyebaran agama Islam ia banyak mengarang kitab-kitab agama yang kemudian di-wakaf￾kan kepada yang membutuhkan. Sultan sangat hormat kepada gurunya yang bernama

Kiyai Dukuh yang bergelar Pangeran Kasunyatan di Kampung

Kesunyatan

(Djajadiningrat, 1983:39 dan 164). Untuk sarana ibadat dibangunnya

masjid-masjid sampai ke pelosok-pelosok yang di

w:st="on">sana

> terdapat banyak masyarakat muslim.

Dalam shalat berjamaah terutama pada shalat Jum'at dan Hari Raya,

Sultan

yang selalu menjadi imam dan khotib. Mesjid Agung yang terletak di

tepi

alun-alun diperindahnya. Tembok masjid dilapisi dengan porselen dan

tiangnya dibuat dari kayu cendana (Michrob, 1981:32). Untuk tempat

shalat

perempuan disediakan tempat khusus yang disebut pawestren atau

pawadonan (Tjandrasasmita, 1975:131-132).

yang menonjol pada masa Maulana Muhammad adalah peristiwa

penyerbuan ke Palembang

>. Kejadian

ini bermula dari hasutan Pangeran Mas yang ingin menjadi raja di

w:st="on">Palembang

>. Pangeran

Mas adalah putra dari Aria Pangiri, putra dari Sunan Prawoto atau

Pangeran

Mu'min dari Demak. Aria Pangiri tersisih dua kali dari haknya

menjadi raja

di Demak, dan karena ketahuan hendak melepaskan diri dari kuasa

Mataram,

Sutawijaya, raja Mataram, hendak membunuhnya. Tapi atas bujukan

istrinya hal itu tidak dilakukannya setelah Aria Pangiri berjanji tidak

akan kembali ke daerah Mataram untuk selamanya. Akhirnya dia

menetap di Banten sampai meninggalnya.

Terdorong

oleh darah muda dan pandainya Pangeran Mas membujuk, Sultan pun

dapat

dipengaruhinya. Saran Mangkubumi dan pembesar-pembesar senior

lainnya tidak

diindahkannya, sehingga akhirnya disiapkanlah pasukan perang untuk

segera

mengadakan penyerbuan ke Palembang.

Dengan 200 kapal perang berangkatlah pasukan Banten dipimpin oleh

SultanMuhammad yang didampingi Mangkubumi dan Pangeran Mas.

Lampung, Seputih dan

Semangka diperintahkan untuk mengerahkan tentaranya menyerang

dari darat.

Maka terjadilah pertempuran hebat di Sungai Musi sampai berhari-hari

lamanya. Dan akhirnya pasukan Palembang dapat dipukul mundur.

Tapi dalam keadaan yang hampir berhasil itu, sultan

yang memimpin pasukan dari kapal Indrajaladri tertembak yang

mengakibatkan kematiannya. Penyerangan ke

w:st="on">Palembang

> ini tidak dilanjutkan, pasukan

Banten kembali tanpa hasil (Djajadiningrat, 1983: 41-42). Peristiwa

gugurnya Maulana Muhammad ini terjadi menurut sangsakala prabu

lepas

tataning prang atau tahun 1596 M (Djajadiningrat, 1983: 168).

Adapun

tentang Pangeran Mas, diceritakan bahwa setelah pulang dari

Palembang tidak

berani lama-lama menetap di Banten karena rakyat menganggap dialah

penyebab

kematian sultan, sehingga ia pergi kepada Pangeran Ancol di Jayakarta

untuk

bisa menetap disana. Tetapi di Jayakarta pun Pangeran Mas tidak

disenangi,

akhirnya di suatu malam didapati Pangeran Mas dibunuh oleh anak

kandungnya


kandungnya

sendiri (Hamka, 1982:84).

Maulana

Muhammad meninggal dalam usia yang sangat muda kurang lebih 25

tahun dengan

meninggalkan seorang anak yang baru berusia 5 bulan dari permaisuri

Ratu

Wanagiri, putri dari Mangkubumi. Anak inilah yang menggantikan

pemerintahannya. Maulana Muhammad, setelah meninggalnya diberi

gelar Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana,

dan dikuburkan di serambi Masjid Agung

(Djajadiningrat, 1983:169).

D. SULTAN ABUL MAFAKHIR MAHMUD

ABDUL KADIR (1596 - 1651)

Setelah Maulana Muhammad meninggal dunia, maka sebagai

penggantinya dinobatkan anaknya, Abul Mafakhir, yang baru berusia

5 bulan.

Karena itu, untuk menjalankan roda pemerintahan ditunjuk

Mangkubumi

Jayanagara sebagai walinya. Mangkubumi Jayanegara adalah seorang

tua yang

lemah lembut dan luas pengalamannya dalam hal pemerintahan. Setiap

akan

mengambil putusan yang dianggap penting, beliau selalu musyawarah

denganpembesar lainnya terutama dengan seorang wanita tua bijaksana yang

juga

ditunjuk sebagai pengasuh Sultan muda yang bernama Nyai Emban

Rangkun

(Djajadiningrat, 1983:169). Dalam masa pemerintahannya, negara

banyak

mengalami kemajuan terutama dalam bidang perdagangan. Pada

masanya pulalah

kapal dagang Belanda yang pertama mendarat di pelabuhan Banten.

Masa

pemerintahan perwalian oleh Mangkubumi Jayanagara sebagai wakil

Sultan Abul

Mafakhir adalah masa yang paling pahit dalam pemerintahan

Kesultanan

Banten, karena adanya pertentangan di antara beberapa keluarga

kerajaan

yang saling berbeda kepentingan di samping adanya keinginan dari

pihak yang

hendak merebut tahta kerajaan karena Sultan masih kecil.

Mangkubumi

Jayanagara meninggal pada tahun 1602 yang digantikan oleh adiknya.

Tapi

tidak lama kemudian, yaitu pada tanggal 17 Nopember 1602 ia dipecat

dari

jabatannya karena "berkelakuan tidak baik". Dan karena

dikhawatirkan akan menyebabkan perpecahan dan irihati di antara

pangeranpangeran

dan pembesar negara, maka diputuskan untuk tidak mengangkat

Mangkubumi

baru; sedangkan perwalian diserahkan pada ibunda Sultan, Nyai Gede

Wanagiri

(Djajadiningrat, 1983:170).

Tidak

lama kemudian Nyai Gede Wanagiri menikah kembali dengan seorang

bangsawan

keraton. Atas desakannya pula, suaminya itu diangkat sebagai

Mangkubumi.

Dalam kenyataan sehari-hari, Mangkubumi yang baru ini di samping

tidak

mempunyai wibawa, juga banyak menerima suap dari pedagang￾pedagang asing,

hingga banyak peraturan dan perjanjian dagang yang lebih banyak

menguntungkan pribadi mereka dibanding untuk kepentingan negara

dan rakyat.

Sehingga rakyat menderita, sedangkan raja tidak tahu apa-apa dan

bahaya

bangsa asing telah mengancam seluruh Banten. Keadaan ini

menimbulkan rasa

ketidakpuasan dari sebagian pembesar kerajaan, yang akibatnya

menimbulkan

kekacauan di dalam negeri. Keadaan demikian tidak segera dapat

diatasi

karena Mangkubumi disibukkan oleh ulah pedagang-pedagangBelanda yang

banyak menimbulkan keributan dengan anak negeri, maupun dengan

pedagang

dari Inggris dan Portugis. Sebagian Pangeran memihak kepada

pedagang

Portugis dan sebagian lainnya membela pedagang Belanda. Padahal

antara pedagang

Belanda dan Portogis itu saling bermusuhan.

Peraturan-peraturan yang dikeluarkan Mangkubumi tidak dihiraukan oleh sebagian besar

Pangeran.

Kekuasaan Mangkubumi hanya terbatas di dalam istana saja,

sedangkan di

luar, pangeran-pangeran itulah yang berkuasa. Setiap Pangeran dapat

mengeluarkan peraturan sendiri yang kadang-kadang saling

bertentangan, dan

bahkan berbeda dengan putusan Mangkubumi.

Pertentangan

antar pembesar keraton ini akhirnya menimbulkan keributan serius

pada bulan

Oktober 1604, dimana Pangeran Mandalika, putra Maulana Yusuf,

menahan

sebuah jung dari Johor. Perintah Mangkubumi untuk melepaskan

kembali

jung itu tidak dihiraukan oleh Pangeran Mandalika; bahkan, untuk

melawan

tentara kerajaan yang diperintahkan menangkapnya, Pangeran

MandalikaMandalika

bergabung dengan pangeran-pangeran penentang lainnya, dan

membuat benteng

pertahanan di luar kota.

Makin lama kedudukan dan jumlah mereka semakin kuat, sehingga

sangat

mengkha-watirkan pemangku kuasa. Lebih-lebih lagi banyak rakyat

yang

simpati terhadap tindakan mereka itu.

Pada

bulan Juli 1605, Pangeran Jayakarta beserta beberapa pembesar negeri

dengan

pasukan besar dan kuat datang di Banten untuk menghadiri perayaan

khitanan

Sultan muda. Atas permintaan Mangkubumi, Pangeran Jayakarta

bersedia

membantu menumpas para pemberontak. Dengan bantuan orang

Inggris, pasukan

Pangeran Jayakarta ini memulai penyerangan dengan menerobos

langsung ke

kubu pertahanan para perusuh; sedangkan orang Inggris membantu

dengan

menembaki kubu pertahanan musuh dari kejauhan. Pertempuran hebat

di luar kota

> ini akhirnya

dapat memukul mundur pasukan pembangkang, maka diadakanlah

perjanjian

damai. Para pemimpin pasukan perusuh

diharuskan meninggalkan Banten dalam waktu selambat-lambatnya 6

hari dan

hanya boleh diikuti 30 orang anggota keluarganya (Djajadiningrat,

1983:

171-172).

Dengan

diusirnya biang kerusuhan ini, keadaan Banten tidaklah semakin

membaik,

bahkan sebaliknya suasana semakin tegang. Pertentangan antar

pembesar

negara ini sudah demikian hebatnya, sehingga kerusuhan yang sama

terjadi

lagi pada bulan Juli 1608 yang dikenal dengan Peristiwa Pailir.

Pertentangan

antar pembesar kerajaan yang kian memuncak ini menimbulkan

persaingan tidak

sehat di antara mereka. Masing-masing kelompok berusaha

memperkuat

kedudukan dirinya dalam segala segi. Untuk mengumpulkan dana

sebanyak-banyaknya bagi kepentingan mempersenjatai diri, para

pangeran

perusuh itu melakukan perbuatan-perbuatan yang sangat bertentangan

dengan

hukum yang berlaku, sehingga tidak jarang terjadi perampokan kapal￾kapal

kapal

pedagang asing ataupun pribumi. Karena tindakan itu, otomatis

perniagaan di

Banten terhenti.

Salah

satu sebab lagi yang menimbulkan rasa tidak senang para pangeran ini

adalah

sikap dan tindakan Mangkubumi. Diceritakan, Mangkubumi, yang

juga adalah

ayah tiri Sultan Muda, mendidik Sultan dengan penuh tanggung jawab

dan

kasih sayang, sehingga hampir tidak sekejap pun Sultan muda

ditinggalkan,

baik dalam penghadapan dan dalam pertemuan-pertemuan dengan

para

ponggawa dan pejabat-pejabat tinggi istana maupun waktu memeriksa

keadaan

kota atau pun pada waktu sasapton, Sultan muda tidak lepas dari

pangkuannya. Dengan demikian, orang-orang harus selalu bersembah

sujud

apabila bertemu Mangkubumi karena pasti dipangkuannya ada Sultan

muda. Hal

ini banyak mengundang ketidaksenangan dan iri hati pada beberapa

pangeran

dan bangsawan lainnya.

Beberapa

bangsawan, di abangsawan, di antaranya Pangeran Arya Ranamanggala, Pangeran

Mandura,

Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Ratu Bagus Kidul, Dipati

Yudanagara dan

lain-lain mengadakan pertemuan untuk mengatasi kekacauan itu.

Dalam

pertemuan itu diputuskan untuk segera membunuh Mangkubumi ---

yang dianggap

sebagai biang keladi kerusuhan. Tugas membunuh itu diserahkan

kepada

Adipati Yudanagara atas jaminan dari Pangeran Runamanggala,

Pangeran Mandura

dan juga Kadhi.

Untuk

melaksanakan tugasnya itu, Adipati Yudanagara mengadakan

pembakaran di

dalam istana, sehingga Mangkubumi keluar seorang diri tanpa

membawa Sultan

muda. Kesempatan itu dipergunakan Yudanagara untuk menyerang

dan membunuh

Mangkubumi dengan menggunakan sebilah tombak. Kejadian ini

berlangsung pada

tanggal 23 Oktober 1608.

Terbunuhnya

Mangkubumi itu membuat kesedihan yang begitu mendalam pada

Sultan muda,

sehingga Pangeran Arya Ranamanggala dan Pangeran Upapatihehingga Pangeran Arya Ranamanggala dan Pangeran Upapatih

merasa kasihan

kepadanya. Maka bermusyawarahlah Pangeran Arya Ranamanggala,

Pangeran

Upapatih, Pangeran Mandalika dan beberapa bangsawan penting

lainnya untuk

membicarakan pembunuhan Mangkubumi; Pangeran Kulon, Pangeran

Singaraja,

Ratu Bagus Kidul, dan Tubagus Prabangsa tidak mau mengikuti

pertemuan itu.

Dalam pada itu, mendengar adanya pertemuan demikian, Adipati

Yudanagara

merasa cemas kalau-kalau dirinya akan ditangkap dan hukum mati ---

karena

dialah yang membunuh Mangkubumi. Oleh karena itu Adipati

Yudanagara menemui

Pangeran Kulon, dan menyatakan bahwa dirinya dan kawan-kawan

lainnya akan

mendukung Pangeran Kulon menjadi raja Banten. Dukungan Adipati

ini menambah

semangat Pangeran Kulon yang memang berambisi besar untuk

menjadi raja

Banten. Pangeran Kulon merasa dirinyalah yang paling berhak

memegang

kekuasaan di Banten, dibandingkan dengan Sultan Abdul Kadir.

Pangeran Kulon

adalah cucu Maulana Yusuf putra dari Ratu Winaon dengan Pangeran

Gabangdari Cirebon.

Ratu Winaon adalah putri sulung Maulana Yusuf dari permaisuri,

kakak

kandung Maulana Muhammad; adapun Sultan Abdul Mufakhir

Muhammad Abdul Kadir

adalah anak Sultan Muhammad dari seorang istri yang lain, karena

permaisuri

tidak berputra. Tekad Pangeran Kulon ini didukung oleh beberapa

Pangeran

dan bangsawan Banten, di antaranya Rangga Loleta, Adipati Keling,

Pangeran

Wiramanggala, Singajaya, Syahbandar, Tumenggung Anggabaya dan

Panji

Jayengtilem. Mereka mendirikan benteng pertahanan di hilir sungai

dekat

Pabean di daerah pesisir. Banyak rakyat yang simpati terhadap

perjuangan

mereka, terutama rakyat di daerah Kepalembangan. Diperkirakan

pasukan yang

dikumpulkan oleh Pangeran Kulon sekitar enam sampai delapan ribu

orang

(Djajadiningrat, 1983: 176).

Karena

tindakan Pangeran Kulon dan pasukannya ini dianggap

membahayakan negara,

maka Pangeran Ranamanggala dan Pangeran Upapatih mengumpulkan

pasukankerajaan untuk menyerang kubu pemberontak. Mendengar rencana

penyerangan

ini, Pangeran Kulon segera menyiapkan pasukannya. Dengan dipimpin

oleh

Panji Jayengtilem dan Singajaya serta dibantu oleh dua puluh orang

prajurit

terbaiknya, pasukan perusuh mengadakan penyerbuan mendadak ke

istana.

Namun, pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Senopati Pangeran

Upapatih telah

menanti di luar benteng Keraton Surosowan, sehingga terjadilah

perang

saudara yang hebat.

Jalannya

perang saudara itu digambarkan oleh Sajarah Banten sebagai berikut:

"Diiringi dengan suara gong pengerah Kiyai Bicak, pasukan

kerajaan menyambut serangan pasukan Pangeran Kulon. Pangeran

Arya

Ranamanggala dan Sultan Abdul Kadir mengawasi pertempuran itu

dari atas

perbentengan. Dilihatnya pasukan kerajaan bagaikan burung kerenda

yang menyambar-nyambar mangsanya di sawah. Panji Jayengtilem

akhirnya dapat

dibunuh oleh Pangeran Upapatih, sedangkan Pangeran Singajaya

gugur di

tangan Ki Subuh, pembantu Pangeran Upapatih[5]. Dengan demikian maka

pasukan pemberontak akhirnya mengundurkan diri kembali ke kubunya di hilirsungai".

Untuk

memancing kemarahan Pangeran Kulon dan juga membuat jera

tentaranya,

mayat-mayat pasukan pemberontak dihanyutkan di atas rakit-rakit

yang

terbuat dari batang pisang supaya dapat dilihat oleh Pangeran Kulon

dan

pasukannya di hilir sungai. Hal ini membuat marah Pangeran Kulon,

sehingga

tanpa perhitungan matang pada hari berikutnya ia memimpin sendiri

penyerangan dengan mengerahkan semua pasukan yang ada.

Pada

mulanya pasukan pemberontak dapat mendesak tentara kerajaan,

sehingga

meriam induk kerajaan yang bernama Ki Jajaka Tuwa dapat direbut.

Dalam Babad Banten diceritakan, bahwa dengan menggunakan

meriam itu

Pangeran Kulon dapat mematahkan dahan waringinkurung yang ada di

samping istana. Setelah Pangeran Arya Ranamanggala dan

pasukannya datang

membantu, tentara kerajaan akhirnya dapat memukul mundur

pemberontak.

Mereka kembali ke kubunya di hilir sungai untuk mengatur serangan

berikutnya.Pada

saat yang genting itu, datanglah Pangeran Jayakarta dengan pasukan

yang

besar, yang kemudian ditempatkan di Pagebangan. Melalui usaha

Pangeran

Jayakarta, akhirnya perang saudara ini dapat dihentikan dan perjanjian

perdamaian dapat disepakati bersama. Pangeran Kulon, Pangeran

Singaraja,

Tubagus Prabangsa dan pimpinan pemberontak lainnya --- atas

jaminan

Pangeran Jayakarta --- tidak dibunuh, tapi semuanya dibawa ke

Jayakarta

sebagai tempat pengasingan selama empat tahun[6].

Setelah

kejadian itu Banten menjadi aman, Pangeran Ranamanggala diangkat

menjadi

Mangkubumi dan juga wali Sultan muda. Perang saudara yang

kemudian dikenal

dengan nama Pailir[7] terjadi pada sangsakala tanpa guna tataning prang atau tahun

1530 Saka atau sekitar tanggal 8 Maret

1608 sampai tanggal 26 Maret 1609 (Djajadiningrat, 1983: 43:46 dan

169-179).

1. Kedatangan Bangsa Belanda di Banten

Berbeda

dari abad sebelumnya, pada abad XIV kekuasaan Kesultanan Turki

tidak lagimenguasai sebagian besar Eropa dan Asia Timur. Daerah-daerah itu

kini

dikuasai negara-negara Kristen terutama Portugis, sehingga Lisabon

kembali

menjadi pusat perdagangan rempah-rempah di Eropa. Pedagang￾pedagang

Inggris, Belanda dan sebagainya membeli rempah-rempah dari

Lisabon. Apalagi

daerah-daerah penghasil rempah-rempah itu hanya diketahui Portugis

(Sutjipto, 1961).

Pengangkutan

rempah-rempah dari Lisabon mendatangkan keuntungan banyak bagi

pedagang-pedagang Belanda; yaitu menyalurkannya kembali ke

Jerman dan

negara-negara lain di Eropa Timur. Tetapi karena pecahnya perang

antara

Nederland dengan Spanyol pada tahun 1568 yang dikenal dengan

“Perang

Delapan Puluh Tahun”[8] mengakibatkan perdagangan Belanda di Eropa Selatan

menjadi tidak lancar, lebih-lebih sesudah Spanyol berhasil

menduduki Portugal pada tahun 1580. Raja Spanyol, Phillipos II, yang

mengetahui bahwa kemakmuran Nederland sebagian besar didapat

dari

perdagangan di Portugal, memukul Nederland dengan melarang kapal￾kapal

dagang Belanda mengunjungi bandar-bandar di daerah kekuasaannya.

AkibatAkibat

tindakan itu, perdagangan rempah-rempah Belanda terhenti, kemajuan

Lisabon

terhambat dan harga rempah-rempah di Eropa menjadi tinggi, karena

persediaan berkurang.

Situasi

perang antara Spanyol dan Belanda itu banyak membuat pedagang￾pedagang

Belanda mengalami kesukaran, apalagi sering terjadi perampokan

kapal-kapal

dagangnya oleh pelaut Inggris dan juga penangkapan oleh armada

Spanyol[9]. Hal-hal semacam inilah yang mendorong pedagang-pedagang Belanda untuk

dapat langsung berhubungan dengan

negara-negara di Asia sebagai penghasil cengkeh dan lada, tanpa

diketahui

patroli Spanyol.

Gagasan

untuk mencari sumber rempah-rempah di Asia itu dilaksanakan

melalui

persiapan dan perencanaan yang cukup baik. Ahli-ahli ilmu bumi

seperti

Pancius, seorang pendeta di Amsterdam dan Mercator di Nederland

Selatan diserahi menyusun peta dunia dan dimintai

pandangan-pandangannya.

Ketika

itu (1593) terbitlah sebuah buku Itineratio dalam bahasa Belandakarya

Jan Huygen van Linschoten yang menceritakan tentang benua Asia

dan mengenai

Hindia (Indonesia),

lengkap dengan adat istiadat, agama, barang dagangan yang disenangi

penduduk, dan sebagainya mengenai daerah Asia itu. Pengarang buku

ini pernah ikut dalam expedisi Portugis ke Asia dan

pernah tinggal beberapa lama di Goa,

w:st="on">India

>.

Untuk

menghindari pengejaran tentara Portugis, beberapa pedagang Belanda,

dibantu

oleh pemerintah, dengan kapal yang dirancang khusus mencoba

mengarungi Laut

Es, sebelah utara benua Eropa dengan perhitungan akan memperoleh

jalan

tersingkat menuju Asia, tanpa melalui Tanjung Harapan. Tiga kali

percobaan

ekspedisi ini dilaksanakan, namun ketiga-tiganya mengalami

kegagalan. Kapal

mereka terjepit di tengah-tengah lautan es di dekat pulau Nova

Zembla,

sehingga separoh anak buah kapalnya meninggal karena kedinginan.

LaksamanaJacob van Heemskerck yang memimpin pelayaran itu kembali ke

w:st="on">Amsterdam

> dengan

susah payah menghabarkan kegagalan ekspedisinya.

Akhirnya

pedagang-pedagang Amsterdam mempersiapkan

empat buah kapal untuk mencari jalan ke Indonesia

> melalui Tanjung

Harapan. Pada tangga 2 April 1595 kapal-kapal tersebut bertolak dari

pangkalan Tessel, Belanda Utara, di bawah pimpinan Cornelis de

Houtman dan

Pieter de Keyser. Cornelis de Houtman mengepalai urusan

perdagangan, dan

Pieter de Keyser mengepalai urusan navigasi.

Karena

adanya dua pimpinan dalam satu ekspedisi pertama ini, maka sering

terjadi

keributan yang berasal dari perbedaan pendapat di antara keduanya.

Hal

demikian akhirnya menimbulkan perkelahian di antara anak buah

kapal,

sehingga sebuah kapal hancur dan sebagian penumpangnya tewas.

Namun

demikian, ekspedisi ini akhirnya membuahkan hasil, yakni dengankeberhasilan mereka mendarat di pelabuhan Banten pada tanggal 23

Juni 1596.

Kedatangan

kapal dagang Belanda itu disambut ramah oleh penduduk negeri dan

seperti

biasanya apabila ada kapal asing merapat, banyak penduduk pribumi

yang naik

ke kapal untuk menawarkan makanan ataupun dagangan lainnya. Hal

ini disalah

artikan oleh awak kapal, sehingga mereka bertindak kasar dan angkuh.

Walau

pun demikian, penduduk negri yang terkenal ramah itu masih

menawarkan lada

yang memang mereka butuhkan.

Bertepatan

dengan kedatangan kapal dagang Belanda itu, Banten sedang bersiap￾siap

untuk mengadakan penyerangan ke Palembang.

Oleh karenanya Banten minta orang Belanda itu meminjamkan

kapalnya guna

pengangkutan prajurit dengan sewa yang memadai. Permintaan itu

ditolak

dengan alasan mereka datang ke Banten hanya untuk berdagang dan

setelah

selesai akan cepat kembali pulang takut ada kapal Portugis yang

datang.Tapi

sampai pasukan Banten kembali dari Palembang, mereka masih tetap

belum pergi, karena menunggu panen lada yang tidak lama

lagi; waktu panen lada harga akan jauh lebih murah. Alasan demikian

membuat

Mangkubumi Jayanegara marah. Lebih parah lagi, orang-orang

Belanda itu pada

suatu malam, menyeret dua buah kapal dari Jawa yang penuh dengan

lada ke

kapalnya dan memindahkan semua isinya. Dan dengan membawa

muatan hasil

rampokan itu mereka pergi sambil menembaki

w:st="on">kota

> Banten.

Melihat

kelakuan orang Belanda ini, rakyat Banten --- yang baru saja

kehilangan

sultannya --- sangat marah. Beberapa tentara Banten menyerbu ke

kapal

Belanda dan menangkap Houtman beserta delapan anak kapal. Dengan

tebusan

45.000 gulden sebagai ganti kerugian, barulah de Houtman dilepaskan

dan

diusir dari Banten (2 Oktober 1596)[10].

Pada

tanggal 1 Mei 1598 rombongan baru pedagang Belanda berangkat dariNederland

menuju Indonesia dengan delapan buah kapal yang di pimpin oleh

Jacob van

Neck dibantu oleh van Waerwijk dan van Heemskerck. Pada tanggal

28 Nopember

1598 rombongan kedua ini tiba di Banten. Mereka diterima baik oleh

rakyat

Banten karena tingkah lakunya berbeda dengan pendahulunya.

Pengalaman

pertama yang merugikan itu rupanya dijadikan pelajaran. Mereka

pandai

membawa diri dan sanggup menahan hati bila berhadapan dengan

Mangkubumi,

bahkan permohonan untuk menghadap Sultan pun dikabulkan. Dengan

membawa

hadiah sebuah piala berkaki emas sebagai tanda persahabatan, van

Neck menghadap

kepada Sultan Abdul Mafakhir.

Mangkubumi

Jayanagara membujuk van Neck untuk membantu tentara Banten

dalam

penyerangan ke Palembang --- sebagai pembalasan atas kematian

Sultan Muhammad --- dengan imbalan

lada sebanyak dua kapal penuh. Semula van Neck menyetujui usul

Mangkubumi

ini, tapi karena van Neck minta dibayar di muka satu kapal dan sisanya

sesudahnya, sedangkan Mangkubumi menghendaki pembayaran

sekaligus setelah

penyerangan selesai, maka penyerangan ke

w:st="on">Palembang

> tidak diteruskan. Van Neck

kembali ke Belanda dengan tiga kapal yang penuh muatan, sedangkan

van

Waerwijk dan van Heemskerck melanjutkan perjalanannya ke Maluku

dengan lima

> buah kapal

(Tjandrasasmita, 1977:353 dan Djajadiningrat, 1983:164).

Dengan

keberhasilan dua ekspedisi dagang ke

w:st="on">Indonesia

> ini akhirnya

berduyun-duyunlah orang-orang Belanda untuk berdagang. Tercatat

pada tahun

1598 saja ada 22 kapal milik perorangan dan perikatan dagang dari

w:st="on">Nederland

> menuju

w:st="on">Indonesia

>. Bahkan tahun 1602

ada 65 kapal yang kembali dari kepulauan Indonesiadengan muatan penuh.

Suatu

hari datanglah utusan khusus pemerintah Portugis dari Malaka dengan

membawa

hadiah uang 10.000 rial dan berbagai perhiasan yang bagus dan mahal.

Mereka

minta supaya Banten memutuskan hubungan dagang dengan Belanda

dan apabila

orang-orang Belanda itu datang supaya kapal-kapalnya dirusak atau

diusir.

Dikatakan pula, bahwa nanti akan datang armada Portugis yang akan

mengadakan pembersihan terhadap kapal Belanda di perairan Banten

dan negeri

timur lainnya.

Mangkubumi

Jayanagara menerima semua hadiah tersebut, tapi, secara rahasia,

diutusnya

kurir untuk menyampaikan berita itu kepada pedagang Belanda,

supaya mereka

segera meninggalkan Banten karena armada Portugis akan menyergap

mereka.

Mendengar berita itu, kapal dagang Belanda pun segera meninggalkan

Banten.

Tidak

lama kemudian pada tahun 1598 sampailah angkatan laut Portugis

dipimpimoleh Laurenco de Brito dari pangkalannya di Goa.

Setelah dilihatnya tidak ada satu pun kapal Belanda yang berlabuh di

Banten, marahlah mereka. Mangkubumi dituduh telah berhianat dan

bersekongkol dengan Belanda karena membocorkan rahasia, dan

menuntut supaya

Mangkubumi mengembalikan semua hadiah yang sudah diberikan.

Sudah tentu

Mangkubumi tidak mau menuruti kemauan mereka, karena Portugis

tidak ada hak

dan wewenang untuk mengusir kapal-kapal asing yang sedang

berlabuh di

Banten.

Dengan

kemarahan yang amat sangat, diserangnya pelabuhan Banten, barang￾barang

yang ada di sana dirampas dan diangkut ke kapalnya, bahkan lada

kepunyaan pedagang dari Cina

pun dirampasnya pula. Melihat kejadian itu, tentara Banten, yang

memang

sudah dipersiapkan, menyerang kapal-kapal Portugis itu, sehingga tiga

buah

kapal Portugis dapat dirampas dan seorang laksamananya tewas;

sedangkan

yang lainnya melarikan diri, setelah meninggalkan barang hasil

rampasannya

(Djajadiningrat, 1983: 164)Karena

persaingan ketat antar sesama pedagang Belanda yang berlomba￾lomba untuk

mendapat rempah-rempah dari negeri timur, maka keuntungan mereka

pun

sedikit, dan bahkan rugi --- dari data-data yang dikumpulkan, ternyata

kerugiannya mencapai 5 laksa gulden. Melihat kenyataan ini maka

pada tahun


1602 dibentuknya persatuan dagang yang

kemudian diberi nama

“Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dengan modal pertama

6,5

juta gulden dan berkedudukan di Amsterdam; dan tujuannya adalah

mencari laba sebanyak-banyaknya, di samping untuk

memperkuat kedudukan Belanda melawan kekuasaan Portugis dan

Spanyol.

Berdirinya

VOC ini dibantu oleh pemerintah kerajaan Belanda, sehingga VOC

diberi

hak-hak sebagai berikut (Sutjipto, 1961:24):

1) Hak monopoli untuk berdagang di

wilayah antara Amerika dan Afrika.

2) Dapat membentuk angkatan perang

sendiri, mengadakan peperangan, mendirikan benteng dan bahkan

menjajah.

3) Berhak untuk mengangkat pegawai

sendiri.

4) Berhak untuk membuat peradilan

sendiri (justisi).

5) Berhak mencetak dan mengedarkan

uang sendiri.


uang sendiri.

Sebaliknya

VOC mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pemerintah

kerajaan

Belanda, yaitu :

1) Bertanggung jawab kepada Staten

General (Dewan Perwakilan Rakyat Belanda).

2) Pada waktu perang harus membantu

pemerintah dengan uang dan angkatan perang.

Pembentukan

VOC di samping untuk menyatukan langkah dalam perdagangan dan

modal, juga

didorong dengan adanya saingan baru yang dianggapnya berat, yaitu

pedagang-pedagang Inggris yang telah membentuk satu kongsi dagang

yang

bernama EIC (East India Compagnie) pada tahun 1600.

Untuk

memudahkan gerak dan siasat dagangnya, VOC membuka kantor￾kantor cabang di

Middelberg, Delft, Rotterdam,

Hoorn dan

Enkhuizen. Setelah dirasa kedudukan VOC sudah mapan, maka pada

tahun 1610


tahun 1610

dibuka pula kantor dagang untuk Hindia Timur atau Kepulauan

Nusantara,

dengan Pieter Both menjadi Gubernur Jendral yang dibantu Dewan

Penasehat

(Raad van Indie) yang anggotanya terdiri dari 5 orang.

Dicarinya

daerah-daerah strategis untuk dijadikan pusat kegiatan di Hindia

Timur ini.

Alternatif pertama dipilihnya Johor, tetapi karena Johor terlalu dekat

dengan Malaka yang duduki Portugis, maka dipilihnya alternatif kedua

yakni

Banten. Walaupun di Banten telah berdiri perwakilan dagang VOC

sejak tahun

1603 --- yang diketuai oleh Francois Wittert --- tapi karena di Banten

pun

Mangkubumi Arya Ranamanggala selalu bertindak tegas dalam

menghadapi

orang-orang asing, pilihan ini dibatalkan. Akhirnya VOC menetapkan

Jayakarta sebagai pusat kegiatannya, karena walau pun Jayakarta di

bawah

kuasa Banten, namun penguasa di sana tidak begitu kuat. Maka pada

tahun 1610 berangkatlah Pieter Both dari

w:st="on">Amsterdam

> menuju

Jayakarta bersama dengan 8 buah kapal besar. Pada bulan Nopember

1611 VOC

berhasil mendirikan kantor dagang di Jayakarta. Untuk mengontrol

tindakan

VOC, Pangeran Jayakarta membolehkan perusahaan dagang Inggris

yang

tergabung dalam East India Company (EIC) membuat kantor

dagangnya di

Jayakarta, berhadapan dengan kantor dagang VOC.

2. Mangkubumi

Arya Ranamanggala

Setelah

Mangkubumi yang juga ayah tiri Sultan dibunuh orang, maka

diangkatlah

Pangeran Arya Ranamanggala menjadi penggantinya. Pangeran Arya

Ranamanggala

adalah putra Maulana Yusuf dari istri yang bukan permaisuri. Tentang

tahun

kelahirannya tidak jelas, tapi yang pasti dia lebih muda dari Maulana

Muhammad (Djajadiningrat, 1983:190).

Tindakan

pertama yang dilakukannya sebagai Mangkubumi adalah menertibkan

keamanan

negara. Yaitu dengan memberikan hukuman tegas kepada pangeran

atau ponggawa

yang melakukan p

yang melakukan penyelewengan, bahkan untuk kelancaran

pemerintahan Sultan

Muda pun tidak diizinkan mempengaruhi urusan pemerintahan. Hal ini

berlangsung hingga Sultan mempunyai anak tiga (Djajadiningrat

1983:190).

Dengan cara demikian barulah kerajaan Banten dapat diselamatkan

dari

kehancuran dan perpecahan, baik dari rongrongan di dalam maupun

desakan-desakan dari negara asing. Peraturan-peraturan atau pun

keputusan-keputusan Mangkubumi terdahulu diperbaharuinya.

Peraturan yang berisi tentang

keharusan pedagang Cina untuk menjual lada hanya kepada Belanda

dicabutnya,

kemudian dibuatlah peraturan yang isinya menyatakan bahwa siapa

pun dapat

membeli atau menjual lada kepada siapa saja dengan harga yang

disetujui

bersama.

Dalam

menghadapi pedagang-pedagang asing Eropa, Mangkubumi tidak

bertindak

"berat sebelah", tingkah laku mereka yang kadang-kadang

menyinggung perasaan, terutama pedagang-pedagang dari Belanda,

akan ia

tanggapi dengan kepala dingin. Ini dapat dibuktikan sewaktu pedagang

Belanda mengajukan perjanjian pada tahun 1609. Naskah perjanjian

yang

yang

dibuat Belanda itu diajukan kepada Mangkubumi yang isinya adalah:

1.

Belanda bersedia membantu Banten apabila diserang oleh

negara lain, tapi kalau Banten akan menyerang negara lain Belanda

tidak

akan membantu.

2.

Belanda dibolehkan berniaga dengan rakyat Banten. Dan

apabila ada orang Belanda yang ingin menetap di Banten dia tidak

dikenakan

pajak.

3.

Bangsa Eropa selain bangsa Belanda tidak dibolehkan

tinggal di Banten.

Perjanjian

yang berat sebelah dan sangat menyinggung kewibawaan negara itu

tidak

ditolaknya dengan kasar, tapi diterimanya dengan senyum biar pun

isinya tidak

diterima. Bahkan tidak lama kemudian dikeluarkan peraturan tentang

kenaikan

pajak ekspor untuk lada dan ketentuan pajak import untuk barang￾barang yangtadinya belum terkena peraturan pajak.

Dalam

hal perpajakan di Banten pada tahun 1609, secara terperinci dicatat

oleh

pegawai Belanda dimana untuk membeli 8440 karung lada dikenakan

pajak

sebagai berikut :

Pajak

kerajaan sebesar 8 % dari harga beli:

(4 real per karung) f.

6.346,00

Ruba-ruba untuk raja, dengan ketentuan:

500 real untuk 6000 karung f 1.625,00

Ruba-ruba untuk Syahbandar

250 real untuk 6000 karung f 625,00

Beli-belian (suatu pajak khusus)

666 real tiap satu karung f 2.202,00

Panggoro, pajak khusus lain :

11,50% cash tiap satu karung f 14,00

Pajak untuk juru tulis

dihitung per 100 karung f 198,00

Pajak untu juru timbang

margin-left:2.0cm;tab-stops:19.85pt 39.7pt 59.55pt 241.0pt right

297.7pt">per 100 karung f 198,00

Biaya mengangkut lada ke rumah timbang f 98,00

Jumlah f 11.533,00Jumlah

f. 11.533,00 ini harus dibayar sebagai pajak ekspor barang seharga f.

33.760,00. Kain yang dimasukkan Belanda dikenakan pajak sebesar 3

% dari

harga jual, bahkan untuk barang ekspor yang bukan hasil dalam negeri

dikenakan pajak lebih besar (Tjandrasasmita, 1975:80).

Ternyata,

pajak yang demikian besar itu hanya berlaku untuk orang Belanda.

Karena dalam

kenyatannya pedagang dari Cina hanya dikenakan pajak 5% dari harga

beli

dengan syarat mereka harus membawa hadiah berupa barang porselen

Cina.

De-ngan demikian tidaklah heran apabila penulis-penulis Belanda

menceritakan Mangkubumi Arya Ranamanggala ini adalah orang yang

paling

jahat, curang dan rakus (Djajadiningrat, 1983:190).

Peraturan

ketat semacam ini dilakukan Mangkubumi dengan maksud supaya

pedagang-pedagang Belanda tidak lagi berniaga di Banten, karena

setelah

diperhatikan, mereka bukan saja datang semata-mata untuk berdagang,

tapi

juga berusaha menanamkan pengaruh dan mencampuri politik negara.

Karena

faktor Arya Ranamanggala ini pulalah maka VOC tidak memilih

Banten sebagai

pusat kegiatan dagangnya, tetapi dipilihnya Jayakarta.

Yang

berkuasa di Jayakarta pada saat itu ialah Pangeran Jayakarta atau

disebut

juga Pangeran Wijayakrama, yang memerintah atas nama Kesultanan

Banten.

Pangeran Jayakarta ingin supaya pelabuhan Jayakarta ramai seperti

Banten,

sehingga tawaran L'Hermito untuk menjadikan Jayakarta sebagai pusat

perdagangan Belanda diterima dengan senang hati. Maka pada tanggal

10-13

Nopember 1610, ditandatanganilah perjanjian antara VOC, yang

diwakili oleh

L'Hermito dengan Pangeran Jayakarta. Perjanjian tersebut kemudian

disyahkan

oleh Gubernur Jenderal Pieter Both pada bulan Januari 1611. Isi

perjanjian

antara lain adalah sebagai berikut:

1)

Orang Belanda dibolehkan membeli tanah di Jayakarta

seluas 50 depa dengan harga 1.200 real.

2)

Barang-barang yang dibeli orang Belanda dikenakan pajak,

kecuali barang tersebut dibeli dari pedagang Cikecuali barang tersebut dibeli dari pedagang Cina.

3)

Bahan makanan kebutuhan sehari-hari tidak dikenakan

pajak.

4)

Belanda akan membantu Jayakarta apabila diserang musuh,

tapi tidak kalau Jayakarta yang memulai penyerangan.

5)

Orang Portugis dan Spanyol tidak dibolehkan berdagang di

Jayakarta.

6)

Belanda dibolehkan mengambil kayu untuk bahan pembuat

kapal di pulau-pulau di depan teluk Jakarta.

7)

Pegawai-pegawai yang lari dari kedua belah pihak akan

dikembalikan.

8)

Pangeran bersedia menagih piutang orang Belanda apabila

dimintakan.

9)

Kedua belah pihak akan menghukum orang masing-masing

apabila mereka bersalah.Pada

bulan Januari 1611, Pieter Both membujuk Pangeran Jayakarta untuk

mengizinkan VOC membuat benteng, tetapi permintaan itu dengan

tegas

ditolak, bahkan Pangeran menginginkan bahan makanan yang dibeli

VOC pun

harus dikenakan pajak. Terpaksa keinginan itu dituruti Pieter Both.

Karena

izin mendirikan benteng tidak diperoleh, maka VOC mendirikanlah

sebuah

gedung batu yang digunakan sebagai kantor dan gudang di sebelah

timur

sungai Ciliwung (Sanusi Pane, 1950:193).

Dibukanya

hubungan dagang dengan Belanda ini membuat semakin ramainya

pelabuhan

Jayakarta. Hubungan intim ini membuat gusar Mangkubumi

Ranamanggala.

Khawatir akan niat baik Belanda terhadap Jayakarta yang nanti

akhirnya akan

merembet ke daerah Banten lainnya. Maka Mangkubumi mengutus

Nyai Emban

Rangkum, seorang yang dianggap berwibawa bagi Pangeran Jayakarta,

untuk

menghadap Pangeran Jayakarta dan memberi peringatan agar hati-hati

dengan

orang-orang Belanda. Peringatan ini bukannya diterima baik olehorang-orang Belanda. Peringatan ini bukannya diterima baik oleh

Pangeran

Jayakarta tapi bahkan membuat curiga dan prasangka buruk terhadap

Mangkubumi. Hal inilah yang membuat hubungan antara Jayakarta

dan Banten

agak sedikit renggang, bahkan kadang-kadang seperti bermusuhan.

Situasi panas

antara Jayakarta dan Banten ini sengaja diperuncing lagi oleh Jan

Pieterzoon Coen, presiden direktur kantor dagang Belanda di Banten

dan

Jayakarta yang baru, dengan memindahkan sebagian besar kegiatan

dagang

Belanda dari Banten ke Jayakarta, sehingga perdagangan di Banten

sedikit

menurun --- walau pun, untuk menjaga membesarnya pengaruh Inggris

di

Banten, VOC masih tetap membuka kantor perwakilannya di

Banten[11].

Pada

tahun 1618, datanglah di Banten kapal berbendera Perancis tetapi

awak kapal

dan bahkan nahodanya orang Belanda, padahal ada larangan keras dari

pemerintah Belanda, bahwa bagi orang Belanda yang bekerja di kapal

asing

tidak boleh membocorkan rahasia peta jalan menuju ke negara timur,

tapi

mungkin karena pembayaran yang tinggi, maka ada juga yang tidak

mentaati.

Semua awak kapal Perancis itu ditawan oleh Pieterzoon Coen --- yang

pada

tahun itu (bulan Juni 1618) ia diangkat menjadi Gubernur Jendral

VOC untuk

Hindia Timur, menggantikan Pieter Both. Tetapi dengan pertolongan

orang

Inggris, di antara mereka itu ada yang dapat melarikan diri dan minta

perlindungan kepada Mangkubumi Ranamanggala.

Jan

Pieterszoon Coen mendesak Mangkubumi supaya menyerahkan orang

Belanda yang

melarikan diri itu, tapi sebaliknya Mangkubumi pun mendesak supaya

melepaskan

kapal Perancis dan awaknya, karena Belanda tidak berhak menangkap

kapal

asing di pelabuhan Banten. Coen bukannya mengindahkan kehendak

Mangkubumi,

bahkan dibawanya kapal Perancis itu ke Jayakarta. Atas perbuatan

Belanda

itu Mangkubumi tidak dapat berbuat apa-apa karena memang Banten

tidak ada

kekuatan untuk menggempur kompeni Belanda.

Makin

meruncinglah permusuhan antara Banten dan VOC. Untuk

memperlunak sikapmemperlunak sikap

keras Mangkubumi dan juga mengacaukan perekonomian Banten,

kompeni

mengadakan blokade ekonomi; dimana VOC tidak lagi membeli lada

dari Banten,

bahkan, kapal-kapal asing pun dilarang berlabuh di Banten. Tindakan

VOC ini

sangat merugikan Banten, sehingga harga lada di pasar Banten

menurun tajam.

Suatu

hari datanglah kapal jung dari negeri Cina yang tujuannya hendak

membeli lada di Banten, dan dengan mudah terjadilah transaksi jual

beli

dengan pedagang Banten. Kejadian ini terdengar oleh JP. Coen,

sehingga

dengan marah diancamnya pedagang Cina itu agar segera

mengembalikan lada

yang sudah dibelinya, dan apabila tidak maka kapalnya akan

ditenggelamkan

di tengah laut oleh Belanda. Mangkubumi memprotes tindakan rendah

Belanda

itu, tapi kembali beliau tidak bisa berbuat apa-apa.

Empat

bulan embargo VOC atas Banten ini berlangsung, sehingga pedagang￾pedagang

asing tidak dapat membeli lada dari Banten karena takut dengan

ancamanBelanda, akibatnya pelabuhan Banten sepi dari kapal-kapal dagang.

Sebaliknya pelabuhan Jayakarta semakin ramai. Perdagangan VOC

semakin maju,

sehingga untuk menampung barang dagangannya dibutuhkan

tambahan gudang yang

lebih luas. Maka dibangunnya lagi sebuah gudang baru di tepi sungai

Ciliwung berhadapan dengan Nasau, gudang yang pertama. Gudang

ini

diberi nama Mauritius sesuai dengan nama raja Belanda, Prins

Maurits. Selain itu dibuatnya pula

sebuah rumah sakit dan sebuah kubu yang dikawal meriam dengan

pasukan yang

kuat di pulau Onrust di Teluk Jayakarta. Bahkan pada tanggal 22

Oktober

1618, VOC juga mulai membangun sebuah benteng kuat yang seluruh

penjurunya

dijaga meriam-meriam besar.

Pembangunan

benteng ini ditentang keras oleh Pangeran Jayakarta, tetapi Belanda

terus

membangunnya juga. Terpukullah rasa harga diri Pangeran, tapi dia

tidak

bisa berbuat apa-apa karena memang tidak ada kemampuan untuk

mencegah niat

Belanda itu. Maka sadarlah akan bahaya orang Belanda atas Banten

dan

Jayaka


Jayakarta khususnya. Tapi diingatnya pula akan ketergantungan

Jayakarta

dengan adanya pedagang Belanda itu, apalagi pangeran dan pejabat￾pejabat

tingginya sudah sering mendapatkan hadiah-hadiah dari orang

Belanda.

Khawatir dengan tindakan orang Belanda selanjutnya dan lemahnya

kekuatan

tentara Jayakarta, maka diambil kebijaksanaan bahwa semua orang

asing yang

tinggal di Jayakarta dapat mendirikan benteng-benteng pertahanan.

Dengan

keizinan ini orang Inggris segera membuat benteng di tepi barat sungai

Ciliwung, berhadapan dengan benteng Belanda. Demikian juga dengan

pedagang-pedagang Cina.

Melihat

pembangunan benteng Inggris itu Jan Piterzoon Coen mengajukan

protes.

Karena protesnya tidak ditanggapi, maka ia memerintahkan tentara

Belanda

menembak hancur benteng yang sedang dibuat Inggris. Orang Inggris

tidak

mampu melawan serangan Belanda itu karena kekuatannya jauh lebih

kecil

dibanding dengan tentara Belanda. Demikian juga dengan pedagang￾pedagang

Cina.


Cina.

Pada

tanggal 23 Desember 1618 berlabuhlah di Jayakarta 11 buah kapal

Inggris.

Melihat kenyataan bahwa benteng yang baru dibangun Inggris itu telah

dihancurkan Belanda, mereka pun menyerang benteng Belanda dari

laut, dan

Belanda pun membalasnya dengan mengerahkan 7 buah kapal

perangnya. Maka

terjadilah pertempuran hebat di Teluk Jayakarta antara dua kekuatan

yang

seimbang. Tetapi akhirnya Belanda terdesak setelah Inggris

mendatangkan

lagi 3 buah kapal yang lain. JP. Coen memerintahkan sebagian

pasukannya

mundur dan melarikan diri ke Ambon untuk

mencari bantuan. Hal ini terjadi pada tanggal 31 Desember 1618.

Sedangkan

di benteng kompeni sepeninggal JP. Coen, pimpinan benteng

dipercayakan

kepada Pieter van den Broecke, disertai 250 orang termasuk 25 orang

Jepang

dan 70 orang budak belian, mereka diperintahkan untuk tetap bertahan

di

dalam benteng.

Sementaraitu di keraton Surosowan, mendengar adanya pertempuran di Teluk

Jayakarta

segera diadakan pertemuan pembesar-pembesar keraton untuk segera

mengirimkan bantuan ke Jayakarta guna menghancurkan benteng

Belanda.

Jayakarta adalah daerah kuasa Banten, sehingga kehancuran Belanda

sangat

diharapkan Mangkubumi, meski pun tidak mengharapkan Inggris

nantinya menggantikan Belanda. Maka berangkatlah 4000 orang

tentara Banten, yang kemudian

ditempatkan di Muara Angke sambil menunggu perintah selanjutnya.

Benteng

Belanda telah dikepung dari tiga jurusan, di Teluk Jayakarta Inggris

menempatkan 5 buah kapalnya, sebelah barat oleh pasukan Banten

sedangkan di

selatan oleh tentara Jayakarta. Dapat dipastikan bila ketiga kekuatan

ini

menyerang secara bersamaan, benteng Belanda tanpa kesulitan akan

mudah

direbut.

Tapi tidak

demikian keadaannya. Inggris ingin agar benteng Belanda itu direbut

dan

dikuasai sebagai ganti benteng mereka yang dihancurkan Belanda.

Sedangkan

Pangeran Jayakarta dan orang-orang Banten menginginkan benteng

Belandatersebut dihancurkan dan semua penghuninya ditahan, karena, secara

ekonomis, Jayakarta dan Banten masih membutuhkan kehadiran

pedagang Belanda

itu. Tujuan Pangeran Jayakarta dan Pangeran Ranamanggala pun

berbeda.

Pangeran Jayakarta menginginkan agar Pangeran Ranamanggala

jangan terlalu dekat

dengan pihak Belanda, sebab hal itu akan merugikan kedudukan

Jayakarta.

Sedangkan Pangeran Ranamanggala berprinsip bahwa Jayakarta

adalah daerah

taklukan Banten sehingga semua tindakan Jayakarta, apalagi tentang

hubungan

luar negeri, harus atas izin Banten. Dari perbedaan tujuan ini, akhirnya

tidak ada satu pasukan pun yang mendahului menyerang benteng.

Setelah

beberapa hari benteng Belanda itu dikepung, Pangeran Jayakarta

memerintahkan agar perang ditangguhkan dan diajukan perdamaian.

Maka pada

tanggal 19 Januari 1619 terjadi kesepakatan antara Pangeran Jayakarta

dengan Belanda, dimana Belanda diharuskan membayar kerugian

6000 real

kepada Pangeran Jayakarta, sedangkan komandan pasukan Belanda

yang ada di

benteng, Pieter van den Broecke, ditahan sebagai jaminan.Pada

waktu yang hampir bersamaan diadakan pula perjanjian antara Inggris

dan

Pangeran Jayakarta yang berisi:

1)

Inggris akan membayar kerugian perang kepada Pangeran

Jayakarta sebanyak 2000 real.

2)

Orang Belanda dilarang berniaga di Jayakarta

3)

Inggris dan Jayakarta akan bersama-sama menyerang

benteng Belanda. Kemudian benteng yang telah direbut itu akan

diserahkan

kepada Pangeran Jayakarta. Sedangkan harta bendanya dibagi dua

antara

Inggris dan Pangeran Jayakarta.

Dengan adanya perjanjian antara Pangeran Jayakarta dan

pasukan Inggris ini pengepungan benteng diperketat. Diserukan

kepada

orang-orang Belanda agar menyerah secara baik-baik --- yang nanti

mereka

akan dikirim ke Koromandel atas jaminan Inggris --- atau benteng

akan

direbut secara paksa. Melihat banyaknya pasukan yang mengepung,

maka

komandkomandan pasukan Belanda menyatakan diri akan menyerah.

Diaturlah

tatacara pengambilalihan benteng dan pengamanan tawanan.

Disepakati bahwa

perjalanan orang Belanda ke Koromandel akan dikawal ketat oleh

pasukan

Inggris, supaya jangan diganggu tentara Banten dan Jayakarta.

Rencana ini

telah disetujui baik oleh Belanda, Inggris, maupun Jayakarta. Tiba-tiba

ketika maksud tersebut akan dilaksanakan, datang sanggahan dari

Banten.

Pangeran Arya Ranamanggala tetap berprinsip Jayakarta adalah daerah

kekuasaan Banten, oleh karenanya tidak ada hak untuk mengadakan

perjanjian

dengan orang asing tanpa persetujuan Banten. Di samping itu,

Ranamanggala

berpendapat bahwa orang Belanda dan orang Inggris sama saja,

mereka ingin

mengeruk kekayaan negara tanpa memperdulikan keadaan penduduk

asli. Bila

dalam keadaan lemah, mereka bersedia mentaati perjanjian, tapi bila

sudah

kuat dirobeklah perjanjian tersebut. Penghancuran benteng Belanda

mutlak

harus dilaksanakan, dan semua tawanan harus diserahkan serta

menjadi

wewenang Banten. Demikian juga dengan pihak Inggris, mereka haruswewenang Banten. Demikian juga dengan pihak Inggris, mereka harus

segera

pergi dari Jayakarta. Dan apabila mereka tidak mau, maka pemerintah

Banten

akan menghancurkan semua kapal dan loji Inggris yang ada di Banten.

Utusan

Pangeran Ranamanggala, yaitu Tumenggung Pangeran Upapatih,

beserta 4000

orang pasukannya mengepung orang-orang Inggris, sehingga mereka

kembali ke

pangkalannya di Banten. Orang-orang Belanda yang ditawan Pangeran

Jayakarta

diserahkan kepada Pangeran Upapatih. Dan atas perintah Mangkubumi

Ranamanggala, Pangeran Jayakarta dipecat dari jabatannya, kemudian

bersama

Tumenggung dan lima puluh pengawalnya dikirim ke Tanahara untuk

menjalani hukuman. Peristiwa

ini terjadi pada tanggal 15 Pebruari 1619 (Djajadiningrat, 1983:184)

[12].

Selanjutnya,

Banten mendesak agar Belanda menyerahkan bentengnya untuk

kemudian

dihancurkan. Tetapi setelah dilihatnya tentara Banten tidak begitu

kuat,

pasukan Belanda tidak mau menyerah, mereka lebih baik bertahan di

dalam

benteng sambil menunggu bantuan.Pada

tanggal 10 Mei 1619 Pieter de Carpentier dan Andaris Soury dengan

kapal

Ceylon tiba di Jayakarta mendahului kapal yang ditumpangi JP Coen.

Beberapa

hari kemudian JP Coen menyusul dengan enam belas kapal dari

w:st="on">Ambon

>. Dengan kekuatan 1000 orang tentara Belanda ini

pengepungan benteng tidak ada artinya lagi. Maka pada tanggal 30

Mei 1619

benteng dan sekitarnya telah jatuh ke tangan kompeni Belanda (VOC).

Mereka

kemudian menamakan tempat tersebut menjadi

w:st="on">Batavia

>, sebagai peringatan kepada

nenek moyang bangsa Belanda, yaitu suku Bataaf.

Pada

bulan April 1619, Jan Pieterszoon Coen memerintahkan tentaranya

untuk

merampas daerah-daerah di seberang sungai Ciliwung, yang termasuk

wilayah

Banten. Hanya dengan mengerahkan 1000 orang tentaranya saja

Belanda dapat

merebut seluruh kota Jayakarta. Tembok-tembok batas kota dan

benteng Jayakarta dihancurkan dan dibakar habis. Dan sejak saat itunama Jayakarta pun diganti dengan Batavia (Djajadiningrat,

1983:186). Dengan ancaman akan menyerang Banten, akhirnya

Mangkubumi Ranamanggala menyerahkan kembali orang-orang

Belanda yang

ditawanannya. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Mei 1619 (Hamka,

1976:269).

Supaya

dalam hal pengadaan beras jangan terlalu bergantung kepada Mataram,

Belanda

membuat sawah-sawah baru di sekitar Batavia.

Dan karena penduduk pribumi selalu mengadakan perlawanan ---

dipimpin oleh

beberapa ponggawa Pangeran Jayakarta orang-orang Banten --- JP

Coen pun

mengambil beribu-ribu orang Cina untuk dipekerjakan. Orang-orang

Cina itu

diberi tanah untuk bertani, berdagang bahkan diperbantukan untuk

membuat

benteng-benteng di sekeliling kota.

Di antara mereka diangkat menjadi kepala penduduk Cina, yang diberi

wewenang untuk mengambil pajak tanah bagi penduduk pribumi, dan

bahkan

memelihara tentara sendiri[13]. Di luar benteng kota Batavia, rakyat Jayakarta di

bawah pimpinan Pangeran Wijayakusumah, Tubagus Arya

Suta dan Tubagus Wahas terus mengadakan perlawanan dengan

bantuanprajurit-prajurit Banten[14].

Pada

tahun 1619 itu pula diadakan perjanjian persahabatan antara kompeni

Belanda

(VOC) dengan Inggris dalam hal perdagangan di nusantara. Inggris

dibolehkan

berdagang di Batavia,

meski dalam prakteknya, antara orang Inggris dan orang Belanda

sering

terjadi bentrokan, sehingga akhirnya orang Inggris pindah ke Banten.

Dalam

pada itu, kekalahan pasukan Banten di Jayakarta, membuat rakyat

Banten

tidak pernah berhenti menentang VOC. Sering terjadi bentrokan antar

kedua

belah pihak. Pejuang-pejuang Banten sering mengadakan perampasan

dan

keributan di darat maupun di laut terhadap orang-orang Belanda.

Kapal-kapal

VOC sering dirampok, orangnya dibunuh dan kapalnya

ditenggelamkan. Demikian

juga perkebunan-perkebunan tebu yang ditangani Belanda dirusaknya,

mereka

membabat pohon-pohon tebu itu pada malam hari. Kejadian semacam

ini sering

dan sukar sekali ditumpasnya, karena mereka menggunakan sistim

gerilya.


gerilya.

Diserangnya rombongan Belanda pada malam hari kemudian apabila

pasukan dari

Batavia datang, mereka lari; sehingga tentara kompeni jarang dapat

menangkap

perusuh-perusuh itu.

Setelah

perang pada tahun 1619 itu, Banten menempatkan pasukannya yang

besar dan

kuat di Tangerang. Pasukan ini dipimpin oleh Tumenggung

Wirautama dan

Rangga Wirapatra dibantu oleh dua orang kepercayaan Mangkubumi.

Pasukan

khusus ini dipersiapkan bukan saja sebagai benteng penghalang antara

w:st="on">Batavia

> dengan Banten, tapi juga dapat digunakan untuk

menyerang Batavia.

Dari Tangerang inilah kegiatan gerilya Banten di lancarkan

(Djajadiningrat,

1983:50).

Karena

gangguan-gangguan ini maka hubungan antara

w:st="on">Batavia

> dan Banten menjadi tetap tegang.

Sehingga tahun 1633 terjadilah perang besar antara dua kekuatan yangSehingga tahun 1633 terjadilah perang besar antara dua kekuatan yang

saling

bermusuhan itu.

Kira-kira

bulan Januari 1624, Mangkubumi Pangeran Arya Ranamanggala

meletakkan

jabatannya karena sakit, segala kewenangan diserahkan kepada Sultan

Abdul

Kadir yang memang sudah dewasa. Tapi walaupun demikian,

Ranamanggala masih

menjadi orang yang sangat dibutuhkan nasehatnya oleh Sultan dalam

mengambil

keputusan-keputusan penting. Bahkan kadang-kadang pendapatnyalah

yang dijadikan

padoman kebijaksanaan Sultan. Hal ini dapat dibuktikan dengan

keputusan

tentang hubungan Banten dengan kompeni Belanda. Banten tetap tidak

dapat

bersahabat dengan Belanda, walaupun Sultan dengan pembesar

lainnya

cenderung untuk berdamai (Djajadiningrat, 1983:190). Barulah pada

tanggal


16 Nopember 1624, Pangeran Arya

Ranamanggala menyerahkan pemerintahan

seluruhnya kepada Sultan.

Dua

tahun kemudian yakni tanggal 13 Mei 1626 Pangeran Arya

Ranamanggala

meninggal dunia. Dengan upacara kenegaraan jenazahnya

dimakamkan di serambi

barat Masjid Agung. Untuk memperingati kebesaran pahlawan besar

ini, rakyat

Banten kemudian menyebutnya dengan Pangeran Gede

(Djajadiningrat,

1983:191).

3. Penyerbuan

Mataram ke Batavia

Setelah

Sultan Sutawijaya meninggal, diangkatlah anaknya yang bernama Mas

Jolang

sebagai sultan di Mataram (1601 - 1613). Sedangkan putra sulungnya

yaitu

Pangeran Puger menjadi adipati Demak. Mas Jolang meninggal di

desa Krapyak


dan dimakamkan di Pasar Gede dengan gelar Sedo Krapyak. Sebagai

penggantinya diangkatlah putra sulungnya Mas Rangsang dengan

gelar Penembahan Agung Senopati Ing Ngalogo Ngamdurahman

(1613 - 1645), atau disebut juga Prabu Pandito Cokrokusumo.

Kemudian ia memakai gelar Sultan sehingga dikenal

dengan nama Sultan Agung.

Pada

masa pemerintahan Sultan Agung ini, Mataram mengalami zaman

kejayaan. Hasil

pertaniannya, terutama beras, melimpah sehingga menjadi hasil ekspor

terbesar bagi Mataram. Ibu kota kerajaan

semula di Karta (Kartosuro) yang kemudian dipindahkan ke Plered,

yang

kedua-duanya terletak di Kabupaten Bantul, Yogyakarta,

sekarang. Untuk menggambarkan bagaimana keadaan penduduk

Kartosuro,

dikatakan bahwa makanan yang dibutuhkan rakyat adalah 4000 ekor

binatang

sembelihan setiap hari dan kalau gong di pojok-pojok kota dipukul,

maka

dalam tempo setengah hari saja berkumpul 200.000 orang yang siap

dengan

senjata di tangan (Sanusi Pane 1950:197-198).

Sultan

Agung bercita-cita untuk menyatukan Pulau Jawa dalam

pemerintahannya dan


mengusir Belanda. Untuk itu ia menyiapkan tentara yang kuat dengan

penasehat yang cakap yaitu Kalifah Imam dan Kiyai Surodono. Dalam

waktu

yang relatif singkat direbutnya Wirosobo, Lasem, Pasuruan, Pajang

dan

Tuban. Demikian juga Madura (1624), Surabaya (1625) dan

Blambangan (1639). Bahkan kerajaan-kerajaan di Jawa Barat pun

yaitu Cirebon,

dan Priyangan mengakui kekuasaan Mataram. Sehingga otomatis

hampir seluruh

Jawa kecuali Batavia dan Banten, berada di bawah kekuasaan

Mataram. Usaha penaklukan Banten

sudah sering dilakukan Mataram; misalnya pada tahun 1596, Mataram

pernah

mengirimkan 15.000 tentaranya ke Banten dan menyerang dari laut;

tapi tidak

berhasil. Demikian juga pada tahun 1626 dengan bantuan dari

w:st="on">Palembang

>, Mataram

mengulangi lagi usahanya itu walau tanpa hasil apapun

(Djajadiningrat,

1983:180-20).

Dorongan

ingin menguasai seluruh Jawa inilah yang merisaukan kesultanan

Banten,

sehingga hubungan antara Banten dengan Mataram kelihatan selalusehingga hubungan antara Banten dengan Mataram kelihatan selalu

tegang. Hal

ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan mengapa Banten

membiarkan

orang-orang Belanda tetap diam di Jayakarta. Padahal pada

permulaannya

banyak pembesar Banten mengusulkan supaya kompeni Belanda itu

diusir

sebelum mereka kuat. Mangkubumi Arya Ranamanggala berpikir

bahwa tempat

kedudukan orang Belanda itu dapat dijadikan penghalang atau benteng

pemisah

antara Mataram dan Banten (Djajadiningrat, 1983:47).

Di pihak

lain, musuh terbesar Mataram adalah kompeni Belanda, tapi rasanya

Sultan

Agung belum cukup kuat untuk menyerang

w:st="on">Batavia

>. Tapi apabila Banten sudah berada

di bawah kuasanya, barulah saat penyerbuan ke

w:st="on">Batavia

> ini akan dimulai. Hal demikian

sukar sekali terwujud, karena jalan ke Banten terhalang oleh

kekuasaan

Belanda di Batavia. Oleh karenanya diajukan usul kepada kompeni;

bahwaapabila kompeni bersedia membantu penyerbuan Mataram ke Banten,

maka

kompeni akan dibolehkan membeli beras dari Mataram sebanyak￾banyaknya. Usul

itu ditolaknya karena kompeni sudah mengetahui maksud yang

tersimpan dalam tawaran perjanjian itu.

Baru

setelah Surabaya dapat dikuasai Mataram

(1625), Sultan Agung merencanakan penyerangan ke

w:st="on">Batavia

>. Untuk perbekalan bagi

pasukannya, disiapkan di tempat-tempat yang dilalui, seperti di Jepara,

Tegal, Kendal, Pekalongan, Ciasem, Cirebon dan Kerawang --- yang

direbutnya dari Banten. Karawang terkenal penghasil

beras yang besar bagi Banten (Djajadiningrat, 1983:200).

Dalam

pada itu Jan Pieterszoon Coen diberhentikan sebagai Gubernur Jendral

VOC

pada tahun 1623. Akan tetapi pada tahun 1627 dia diangkat kembali

setelah

didengar berita bahwa Mataram akan menyerbu

w:st="on">Batavia

>.

Padatahun 1628 berangkatlah pasukan Mataram untuk menyerang Batavia

>. Pasukan ini dibagi dalam tiga

kelompok. Pasukan pertama dipimpin oleh Baurekso yang akan

menyerang

w:st="on">Batavia

> pertamakali

dari laut. Pasukan kedua dipimpin oleh Tumenggung Sura Agulagul,

Dipati

Mandureja, Dipati Upasanta, Dipati Tohpati dan Tumenggung

Anggabaya.

Pasukan ini lebih banyak dari pasukan pertama dan akan berperang

apabila

Baurekso terdesak. Sedangkan pasukan ketiga dipimpin oleh Adipati

Juminah

dan Pangeran Singaranu. Pasukan ketiga ini jumlahnya sama dengan

pasukan

kedua, mereka akan menyerang apabila diperlukan (Djajadiningrat,

1983:50

dan 186).

Mendengar

adanya pemberangkatan pasukan Mataram secara besar-besaran itu,

Sultan

Banten merasa cemas, diperintahkannya supaya memperkuat pasukan

penyanggah

di Tangerang. Dikhawatirkan kalau-kalau pasukan Mataram ini

kemudian akan

kemudian akan

menyerang Banten.

Pasukan

Mataram yang dikerahkan untuk menyerbu

w:st="on">Batavia

> ini adalah pasukan terbesar dalam

sejarah Jawa. Karena pasukan ini adalah gabungan dari prajurit￾prajurit Surabaya

>, Demak,

Pasuruan, Ponorogo, Madura, Priyangan dan lain-lain (Sanusi Pane,

1950:204).

Sore

hari tanggal 26 Agustus 1628 datanglah 59 kapal Mataram di

pelabuhan

Batavia dengan menyamar sebagai kapal dagang dengan membawa

80.000 prajurit

yang dipimpin Baurekso. Maka terjadilah perang besar yang banyak

memakan

korban di kedua belah pihak. Pasukan Mataram tidak dapat menembus

benteng

pertahanan Belanda, karena memang Belanda telah menyiapkan

meriam-meriam

besar untuk menghadapi pasukan Mataram. Pertempuran itu

berlangsung sampai

berminggu-minggu, sehingga Mataram harus mengakui kekuatan

senjata yang

dimiliki VOC. Pengepungan pasukan Mataram dibuat tidak berdaya

lagi, bahkan

akhirnya Tumenggung Baurekso sendiri gugur dalam pertempuran 21

Oktober

1628 (Djajadiningrat 1983:186).

Melihat

keadaan pasukan Baurekso itu maka pada tanggal 21 September 1628

pasukan

kedua bergabung untuk menyerang Batavia dari segala arah. Hampir

Batavia dapat direbutnya. Tembok-tembok

w:st="on">kota

> diruntuhkan dan benteng-benteng kecil di sekitar

w:st="on">kota

> dapat direbut.

Sehingga serdadu kompeni Belanda hanya dapat bertahan di dalam

benteng

induk di tepi sungai Ciliwung saja.

Untuk

memaksa pasukan Belanda keluar dari bentengnya, Tumenggung Sura

Agulagul

memerintahkan untuk memben-dung sungai Ciliwung dan

mengalihkan alirannya,

sehingga di perbentengan akan mengalami kesulitan air. Dan memang

hal initerjadi. Penyakit kolera berjangkit dalam benteng, bahkan akhirnya

Gubernur

Jendral Jan Pieterszoon Coen sendiri mati terkena penyakit ini

(Djajadiningrat, 1983:187).

Dalam

situasi yang sangat menentukan itu, ternyata pertempuran yang

berjalan

hampir lima bulan tersebut banyak menghabiskan tenaga, dana,

kecerdikan dan keberanian,

juga persediaan makanan. Persedian makanan pasukan Mataram sudah

semakin

menipis, sedangkan orang-orang Banten tidak ada yang mau

membantunya. Hal

ini dapat dipahami, karena memang antara Banten dan Mataram

sedang ada dalam

situasi permusuhan dan saling curiga. Sehingga banyak prajurit

Mataram yang

meninggal karena kelaparan atau karena penyakit. Melihat keadaan

yang

menyedihkan ini, maka pada tangga 3 Desember 1628 Tumenggung

Sura Agulagul

memerintahkan pasukannya kembali pulang ke Mataram

(Djajadiningrat,

1983:186).

Tapi

baru saja orang Belanda mengira bahwa pertempuran sudah selesai,

datanglah


datanglah

pasukan Mataram yang lebih besar. Pasukan ketiga dipimpin oleh

Pangeran

Juminah, Pangeran Singaranu, Dipati Puger dan Dipati Purbaya.

Dikepungnya

kembali benteng Belanda itu. Karena banyaknya pasukan Mataram ini,

maka

orang Belanda tidak ada yang berani menyerang keluar dari

perbentengan.

Pengepungan

ini berjalan berbulan-bulan. Tapi karena kelaparan, penyakit dan

banyaknya

prajurit Mataram yang meninggalkan barisan, maka makin lemahlah

pasukan

penyerang. Pengepungan ini pun mengalami kegagalan yang tragis.

Akhirnya

pada tanggal 7 Oktober 1629, pasukan Mataram menghentikan

pengepungannya

dan mereka kembali ke Mataram dengan meninggalkan prajurit￾prajuritnya yang

mati dan sakit diperjalanan (Djajadiningrat, 1983:51 dan 187).

Sultan

Agung sangat marah mendengar kekalahannya itu. Direncanakannya

lagi

penyerangan ke Batavia yang akan dipimpinnya sendiri. Untuk supaya

kejadian kekalahan itu jangan

terulang lagi, maka harus dibuat lumbung-lumbung padi di beberapa

tempat di

dekat Batavia;

dan tugas ini diserahkan kepada Kerawang. Namun maksud besar

Sultan Agung

ini tidak terlaksana, karena Belanda telah mendengar rencana itu, dan

lumbung-lumbung yang sudah dibuat, dibakar oleh Belanda. Sampai

meninggalnya Sultan Agung, rencana penyerbuan selanjutnya ke

w:st="on">Batavia

> tidak pernah

terwujudkan.

4. Keadaan Banten setelah Mangkubumi Arya Ranamanggala

Setelah

meninggalnya Mangkubumi Arya Ranamanggala, kesultanan Banten

sepenuhnya di

tangan Sultan Abdul Kadir. Pada masa itu hubungan Banten dengan

w:st="on">Batavia

> sedang

memburuk. Banyak perampokan dan pengrusakan yang dilakukan

orang Banten

terhadap milik kompeni. Karena gangguan-gangguan ini, kompeni

mengadakan

ekspedisi pembersihan ke daerah-daerah kuasa Banten. Daerah yang

menjadi

sasaran ekspedisi antara lain Tanahara, Anyer dan beberapa daerah di

Lampung. Maka terjadilah pertempuran-pertempuran sengit di daerah

tersebut

pada sekitar bulan Nopember 1633. Pertempuran-pertempuran tersebut

lebih

banyak dimenangkan pasukan Banten, karena kekuatan kompeni

sedang melemah

akibat serbuan Mataram yang memakan waktu sangat lama

(Djajadiningrat,

1983: 189).

Pada

tanggal 5 Januari 1634 dikirimnya lagi pasukan laut kompeni yang

lebih kuat

untuk mengepung kota Banten, maka diadakanlah blokade menyeluruh

atas daerah Teluk Banten.

Pengepungan Belanda di perairan Tanahara dapat digagalkan oleh

pasukan yang

dipimpin Tubagus Singaraja, kuasa Banten di

w:st="on">sana

>. Sedangkan pengepungan di perairan

pelabuhan Banten, baru dapat digagalkan setelah digunakan taktik

baru. Atas

usul Wangsadipa, prajurit-prajurit Banten memuat sampah dan

rumput-rumput

kering di atas beratus-ratus perahu kecil yang kemudian dibasahi

denganminyak bakar. Pada malam hari perahu-perahu tadi diluncurkan dekat

dengan

kapal-kapal kompeni. Dalam jarak yang sudah dekat, barulah rumput

kering

tersebut dibakar. Dengan cara ini banyak kapal kompeni yang ikut

juga

terbakar, dan akhirnya pengepungan Belanda dapat juga digagalkan.

Peristiwa

pembakaran kapal-kapal kompeni itu disebut dalam sejarah Banten

dengan

istilah Pabaranang (Djajadiningrat, 1983:189).

Pertempuran-pertempuran kecil maupun besar antara Batavia dan Banten terus berlangsung.

Semuanya ini lebih banyak merugikan kompeni,

padahal kompeni sedang sibuk menghadapi perang dengan Mataram

dan Makasar.

Oleh karenanya diadakanlah genjatan senjata dengan Banten pada

bulan Juli

1636; tapi dalam prakteknya baru bisa dilaksanakan pada bulan Maret

1639.

Sultan

Abdul Kadir, dari permaisurinya (putri Pangeran Rangga Singasari)

mempunyai

5 orang anak: Pangeran Pekik, Ratu Dewi, Ratu Mirah, Ratu Ayu dan

Pangeran

Banten. Sedangkan dari istri yang lain, Sultan mempunyai lebih dari

30 anak

Djajadiningrat, 1983:50). Pangeran Pekik atau Pangeran Kilen diasuh

oleh

paman tuanya yaitu Mangkubumi Arya Ranamanggala. Dialah yang

kemudian

diangkat menjadi Putra Mahkota.

Islam

mengajarkan supaya ummatnya bersatu baik dalam keadaan damai

maupun dalam

keadaan perang. Mereka diwajibkan menunaikan ibadah haji di

Mekkah. Dalam

kesempatan haji itulah mereka berkumpul saling memberikan

informasi tentang

keadaan negaranya dan menentukan apa ya