situs Trowulan terkena bencana letusan gunung. Letusan
gunung Kelud merusak situs Trowulan sebanyak delapan
298 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
kali. Dampak dari letusan gunung dan banjir yang melanda
Trowulan menghancurkan pemukiman di situs tersebut, dan
sangat mempengaruhi hancurnya sektor perekonomian dan
perdagangan yang menjadi andalan kerajaan Majapahit.
Selain faktor internal dan faktor alam, hal yang paling
sulit diatasi yaitu ulah manusia. Kerusakan peninggalan
peninggalan arkeologi di Trowulan ini sudah terjadi sejak
jaman Belanda dahulu. Entah sengaja atau tidak, ketika
Maclaine Pont berupaya merekonstruksi tembok keraton
Majapahit, ia melakukan kesalahan prosedur. Tembok bata
yang masih tertutup itu disemprot dengan air dari mobil
pemadam kebakaran, sehingga dinding tembok dengan cepat
tampak dipermukaan. Sementara temuan penting lainnya
tidak dihiraukan dan terbawa air. Temuantemuan lainnya itu
dianggap sebagai temuan permukaan lalu dikumpulkan oleh
penduduk. Temuantemuan itu disimpan di rumah Maclaine
Pont yang kemudian dijadikan museum (Wibowo 1980: 2021).
Pada tahun 1926 museum ini dibuka untuk umum,
dan ketika Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942
museum ditutup sebab Pont ditawan. Setahun kemudian
atas ijin pimpinan Kantor Urusan Barang Kuno di Jakarta
museum dibuka kembali dan barangbarang koleksi Pont
dilelang, termasuk sebagian koleksi museum itu sendiri.
Koleksi museum ini kemudian ditempatkan di Museum
Mojokerto, dan pada tahun 1963 dipindahkan ke Museum
Balai Penyelamatan Arca yang terletak di dekat kolam Segaran
(Sulanjari 2004). Museum Balai Penyelamatan Arca (sekarang
menjadi Pusat Informasi Majapahit) memiliki tiga ruang
pamer, yaitu ruang logam, ruang prasejarah, ruang keramik
dan terakota, dan ruang terbuka untuk menyimpan jenis
temuan dari batu andesit. Melihat jenisjenis koleksi yang
299Yang Pahit dari Majapahit
dipamerkan di museum ini tidak satupun jenis koleksi
yang dapat menjadi ”unggulan” bagi kerajaan Majapahit
yang diakui kebesarannya. Kebanyakan jenis koleksi yang
dipamerkan yaitu artefak yang terbuat dari terakota. Koleksi
dari terakota ini disimpan di ruang khusus dengan berbagai
jenis dan kuantitasnya.
Kerusakan Situs Majapahit juga akibat kegiatan para
penggali liar yang dilakukan penduduk untuk mendulang
emas hingga sekarang. Banyak lubang yang dibuat para
penggali liar merusak situs Majapahit. Sebuah kerajaan yang
besar tentunya mewariskan banyak benda kerajinan dari
emas. Seperti yang diuraikan dalam beberapa pupuh dari
kitab Nagarakertagama bahwa iringiringan raja Majapahit
menggunakan kereta yang berhiaskan emas. Juga ada sebuah
legenda yang diyakini oleh warga setempat bahwa raja
raja Majapahit sering mengadakan perjamuan untuk tamu di
tepi kolam Segaran. Konon peralatan pesta terbuat dari emas
yang dihiasi dengan permata yang sangat indah (Badil 2009).
Peralatanperalatan ini setelah dipakai dibuang ke kolam
Segaran.
Demikian juga ada beritaberita Cina yang menyebutkan
bahwa raja Jawa sangat kaya. Raja memakai pakaian yang
ditenun dengan benang emas, perhiasan emas, dan senjata
pedang pendek berhulu emas. Di dalam berita Cina juga
disebutkan bahwa utusan Majapahit mendatangi Cina mem
bawa “upeti maaf” senilai 60.000 tail emas. Sementara itu
seorang pelaut berkebangsaan Portugis bernama Tome Pires
melaporkan bahwa pada tahun 1515 ”orang Jawa itu sangat
kaya raya begitu makmurnya sampaisampai kalung anjingpun
dibuat dari emas” (Badil 2009). Akan tetapi tidak satupun jenis
300 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
koleksi berbahan dasar emas ini dijumpai di Museum Balai
Penyelamatan Arca (PIM).
Lubang “penggalian liar” tempat mendulang emas yang dilakukan
penduduk di Dukuh Nglinguk, Desa Trowulan, dan di sekitar lubang
banyak berserakan batabata kuna (Foto ini dibuat tahun 1974)
(Repro: A.S. Wibowo 1980)
Keperihatinan tentang kerusakan ibukota kerajaan
Majapahit juga dirasakan oleh Harjoso Projopangarso seorang
guru besar Teknik Sipil UGM. Ia menilai bahwa situs ibukota
kerajaan Majapahit menyimpan teknologi ramah lingkungan
yang sangat penting untuk dipelajari generasi sekarang,
seperti saluran air yang sederhana tetapi peduli lingkungan.
Berbagai teknologi ramah lingkungan itu masih perlu
digali untuk dikembangkan di masa mendatang. Dengan
pengrusakan terjadi, sejumlah kekayaan teknologi dari masa
silam dikhawatirkan hilang untuk selamanya (Kompas 2009).
Kekhawatiran hilangnya saluran air di Trowulan ini sudah
301Yang Pahit dari Majapahit
terjadi. Di dekat Sentonorejo saluran dan juga situs sudah
dibuldozer dan dijadikan lahan parkir bagi para pengunjung
yang akan berziarah ke makam Troloyo.
Aktifitas pembuat bata di Desa Sentonorejo
(dokumentasi: Sugeng R./BAY)
Kerusakan akibat aktifitas pembuat bata di sekitar Candi Tikus
(dokumentasi: Sugeng R/BAY)
302 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Struktur bata yang dibongkar tanpa prosedur yang benar
di Desa Sentonorejo (Dokumentasi: Sugeng R./BAY).
Panggung yang dibangun di halaman Candi Wringin Lawang
Oleh BP3 Jatim dan Dinas Pariwisata Mojokerto
(Dokumentasi: Sugeng R./ BAY)
Kebiasaan memanfaatkan lahan untuk pembuatan bata
paling sulit untuk dikendalikan dan dihentikan, sebab pem
buatan bata ini merupakan sumber utama mata penca harian
303Yang Pahit dari Majapahit
penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Justru
peninggalanpeninggalan arkeologi di Trowulan itu banyak
dijumpai di lahan pembuatan bata baik dalam keadaan utuh,
tidak utuh, rusak saat ditemukan, atau rusak akibat alat yang
digunakan oleh pembuat bata. Bahkan seringkali para pembuat
bata menemukan bendabenda yang masih utuh atau benda
lainnya yang mempunyai nilai ekonomis tinggi lalu diperjual
belikan.
Pembongkaran dan pengambilan bata kuna menurut
laporan Bosch (1930: 3031) sudah berlangsung ratusan tahun.
Orang berusaha mengambil batabata yang utuh untuk dijual
ke pabrikpabrik dan batabata yang tidak utuh ditumbuk.
Seperti Candi Lima di Trowulan juga sudah hilang tidak ada
bekasnya, sebab batabatanya diambil. Hilangnya Candi
Lima ini disebutkan dalam ROC 1915 halaman 216. Hal ini
diperkuat juga dengan surat bertarikh 1877, yang dikirimkan
oleh seorang Insinyur Jawatan Kereta Api bernama Wouters
pada tahun 1924 kepada Oudheidkundige Dienst, bahwa bata
bata dari Candi Lima itu digunakan untuk fondasi jalan kereta
api antara SurabayaMadiun dan KertosonoBlitar
Kerusakan kawasan situs Trowulan menurut Yunus Satrio
Atmojo mencapai sekitar 6,2 ha per tahun, yaitu berupa tanah
di sekitar situs yang dimanfaatkan untuk pembuatan bata
(Rinaldi 2009: 12). Kurang lebih 5000 kepala keluarga bermata
pencaharian dari pembuatan bata. Akibat dari kegiatan
ini sepertiga situs rusak (NAL 2008: 12). Dari luas 99
km2, pemerintah hanya menguasai lahan seluas 57,225 m2. Di
luar lahan ini pemerintah tidak dapat berbuat apaapa
(Fitrianto 2009: 18).
304 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Pembuatan masterplan Majapahit sudah dilakukan oleh
Ditlinbinjarah (sekarang: Direktorat Peninggalan Purbakala)
bekerjasama dengan berbagai instansi terkait termasuk
Bakosurtanal. Pada tahun 1986 master plan itu diterbitkan
dengan judul Bukti-Bukti Kejayaan Majapahit Muncul
Kembali: Rencana Induk Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan
Bekas Kota Kerajaan Majapahit. Dalam perkembangan
selanjutnya kegiatan penelitian tentang berbagai aspek yang
berkaitan dengan Majapahit tetap terus berjalan.
Lokasi rencana pembangunan PIM di atas situs
(
Datadata baru dari hasil penelitian masih terbatas pada
pengumpulan data saja. Belum disinkronkan dan digunakan
sebagai data untuk melengkapi buku induk yang pernah
dibuat. Upaya untuk melengkapi datadata yang ada dalam
buku masterplan ini telah dilakukan oleh Puslit Arkenas
(sekarang: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi
Nasional). Hasil dari penelitian itu nantinya akan digunakan
305Yang Pahit dari Majapahit
untuk melengkapi data dan mencocokkan kembali ada
tidaknya keberadaan data yang terdapat dalam buku induk
ini dengan kondisi sekarang.
Pembangunan tiang pancang dekat struktur bata kuna
Majapahit yang Pahit
Isu rencana pembangunan Pusat Informasi Majapahit
(PIM) ini sudah lama terdengar, di antaranya disebutkan akan
dibangun semacam arena bermain yang letaknya tidak jauh
dari Balong Bunder. Begitu terkejutnya ketika sebuah media
massa mengabarkan tentang Pembangunan Pusat Informasi
Majapahit yang berdiri di atas lahan yang diduga mengandung
306 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
banyak tinggalan arkeologi. Ada sekitar 50 buah tiang pancang
beton dengan diameter masingmasing 50 cm yang akan
dipasang dengan cara di bor, bukan dengan pemukul tiang
pancang (hydraulic hammer). Cara pertama ini dianggap
dapat meminimalisir kerusakan situs. Sungguh merupakan
pekerjaan yang sangat ceroboh, dan mengapa harus dibangun
di lokasi yang sangat kaya dengan peninggalan Majapahit
yang belum sepenuhnya terungkap oleh penelitian arkeologis.
Bukankah di Segaran III dan Segaran IV juga belum diteliti.
Atau pemilihan lokasi pembangunan di Segaran itu disengaja
sebab ingin menampilkan sisasisa bangunan rumah tangga
warga Majapahit seperti yang ditunjukkan di Segaran II
(lihat peta). Konon di atas gedung
yang dibangun itu berlantaikan
kaca tembus pandang, sehingga
dapat melihat ke bawah sisasisa
pemukiman Majapahit.
Bentuk Surya Majapahit yang
akan dijadikan model bangunan
PIM dengan pem bagian ruang
yang sudah dirancang sedemikian
rupa, khususnya ruang pamer
ada 4 tempat. Apakah fasilitas ini
mampu mengisi koleksi artefak
Majapahit yang memiliki daya
tarik, ”eyecatching?”, mengingat
jenis koleksi yang tersimpan di
museum sekarang tidak ada yang
dapat di ”unggulkan”.
Maksud dari pembangunan mega proyek ini yaitu
menya tukan situssitus peninggalan ibukota Majapahit di
Denah dan lokasi proyek PIM
(Repro: Kompas,
Januari 2009)
307Yang Pahit dari Majapahit
Trowulan dalam sebuah konsep terpadu. Tujuannya untuk
menye lamatkan situs dan benda cagarbudaya dari kerusakan
untuk menarik wisatawan. Namun sangat disayangkan bahwa
maksud dan tujuan dari pembangunan ini tidak seimbang
dengan prakteknya.
Di satu sisi berupaya melestarikan peninggalanpening
galan Majapahit yang masih ada, tetapi di sisi lain justru
merusak data bahkan menghancurkannya. Kerusakan pada
skala besar ini tidak lepas dari andil pemerintah. Sejak awal
niat pemerintah untuk melindungi situs ibukota Majapahit
tidak pernah total. Di sini tampak sekali kepentingan investasi
lebih diprioritaskan daripada pemeliharaan situs bersejarah.
Akhirakhir ini seringkali di daerah sekitar Trowulan
di temukan peninggalanpeninggalan Majapahit. Konon
temuantemuan itu sudah dilaporkan ke instansi yang
berhak menanganinya, namun seringkali belum/kurang/
tidak mendapat tanggapan. Mungkin banyak sekali temuan
yang harus mendapat ganti rugi, sementara dana ganti rugi
dari pemerintah masih minim. Selain itu kemungkinan
yang lain disebabkan terbatasnya SDM yang ada di instansi
ini sebab terlampau banyak kasus yang harus dihadapi.
Minimnya SDM juga akibat dari peraturan pemerintah yang
lambat membuka lowongan kerja terutama bagi para sarjana
arkeologi. Akibatnya terjadi kevacuman dalam instansi,
fatalnya lagi menjadikan generasi muda yang ingin menekuni
bidang arkeologi makin lama makin habis. Semestinya
pemerintah harus memikirkan lembaga yang minim SDMnya
dengan beban pekerjaannya yang sangat kompleks. Padahal
warisan budaya bangsa Indonesia sangat kaya dan ada di
hampir seluruh wilayah nusantara. Bila pemerintah tidak
segera memikirkan atau memperhatikan SDM dan warisan
308 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
budayanya, sangat dikhawatirkan jati diri bangsa ini juga akan
segera hancur.
Semestinya masterplan yang sudah dibuat dapat dijadikan
panduan untuk mengembangkan penelitian, pelestarian, dan
pemanfaatan tinggalantinggalan yang ada di bekas ibukota
kerajaan Majapahit. Untuk itu instansi yang terkait ataupun
pemerhati budaya yang peduli dengan Trowulan selayaknya
bersamasama mencari jalan keluar segala permasalahan
tentang Trowulan dan melepaskan ego kepentingan.
Memang rehabilitasi situs yang rusak akibat pembangunan
PIM sulit dilakukan jika melihat parahnya kerusakan situs
oleh penggalian fondasi PIM. Namun perlu segera ditetapkan
secara hukum batasbatas kawasan dan batasbatas zona di
dalam kawasan secara geografis, administratif dan kultural,
seperti yang dikemukakan Mundarjito. Dengan demikian jelas
mana wilayah perlindungan dan pengembangan.
Untuk membantu zonasi ini diperlukan metode
yang lebih cepat. Dalam hal ini dapat melibatkan para ahli
geofisika dari BPPT dengan menggunakan alat georadar.
Studi tentang geofisika terfokus pada bidang minyak dan gas
bumi, eksplorasi mineral, geotermal, gempa, tsunami dan
cuaca. Geofisika migas dan geofisika arkeologi mempunyai
kesamaan teori, konsep, metode interpretasi, oleh sebab itu
tidak sulit untuk memetakan situs Trowulan yang terpendam.
Perbedaannya: untuk eksplorasi migas digunakan energi
gelombang getaran seismik untuk mendapatkan citra bawah
permukaan; sedangkan untuk kepentingan pemetaan arkeologi
digunakan sumber gelombang radar (ground penetration radar/
GPR) (Ikawati 2009).
Pemetaan GPR menggunakan pulsa radar frekuensi tinggi
yang dipancarkan dengan antene dari permukaan ke dalam
309Yang Pahit dari Majapahit
tanah. Gelombang ini kemudian diteruskan dan dipantulkan
kembali oleh bendabenda yang terpendam dalam tanah.
Kemudian data pantulan gelombang ini akan direkam di
dalam domain waktu dan citra yang dihasilkannya, kemudian
dikonversi ke dalam domain kedalaman. Citra bawah per
mukaan digambarkan dalam bentuk amplitude gelombang
yang menggambarkan perubahan cepat rambat gelombang
pada bendabenda terpendam maupun sedimen tertutup.
Batu candi atau benda peninggalan lainnya mempunyai
cepat rambat gelombang yang lebih tinggi daripada sedimen
penutupnya. Penggunaan alat georadar di situs Trowulan yang
diperkirakan berukuran 11 X 9 km2 dapat diketahui kerapatan
peninggalan arkeologi, dan tempattempat mana yang kosong.
Ditemukannya tempat kosong itu dapat dijadikan acuan untuk
mendirikan bangunan yang direncanakan.
Aplikasi georadar ini pernah digunakan dalam pencarian
bekas kerajaan Sumbawa yang terpendam akibat letusan
Gunung Tambora di NTB. Pencarian ini dilakukan oleh
Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi
Sumberdaya Alam BPPT dipimpin Djoko Nugroho. Selain itu
metode ini juga pernah dilakukan untuk pendeteksian
keberadaan situs Megalitik di Pagar Alam di Desa Rimba Jati,
Sumatra Selatan yang tertimbun akibat letusan gunung Dempo
(Ikawati 2009).
Penutup
Tidaklah mudah untuk menjawab berbagai permasalahan
mengenai Trowulan yang diduga sebagai bekas ibukota
kerajaan Majapahit ini. Namun penelitian arkeologi untuk
menjawab berbagai pertanyaan tentang Trowulan haruslah
310 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
terus dilakukan sebelum semuanya menjadi sulit untuk dijawab
akibat aktivitas penggunaan lahan yang mengakibatkan
rusaknya atau hilangnya jejakjejak budaya masa lampau.
Semoga kepahitan dari peristiwaperistiwa yang telah
terjadi di situs Trowulan tidak terulang lagi dan masih ada yang
bisa diselamatkan. Dengan harapan generasi muda mendatang
masih dapat menikmati sisasisa kebesaran kerajaan Majapahit,
dan tidak hanya mendengar dongengnya saja. Tinggalan
tinggalan Majapahit ini apabila ditangani secara profesional
dapat memberikan keuntungan berbagai pihak. Paling tidak
membangkitkan jati diri bangsa.
Pemerintah juga diharapkan perlu meningkatkan anggaran
di bidang kebudayaan, agar ganti rugi yang harus diterimakan
kepada pihak yang bersangkutan disambut dengan rasa
lega. Selain itu, Undang Undang No. 5 tahun 1992 tentang
benda cagar budaya yang telah direvisi segera diedarkan dan
disosialisasikan.
H ingga kini sudah ribuan tulisan mengenai Majapahit yang membicarakan beragam hasil penelitian dengan berbagai pendekatan mengenai aspek-aspek
kesejarahan dan kebudayaan, baik secara parsial maupun
menyeluruh, yang diwujudkan dalam bentuk buku, makalah,
laporan penelitian, katalog dan lain-lain. Tulisan-tulisan itu
disusun atas dasar jenis data dari hasil perilaku verbal (berupa
tuturan dan teks yang berasal dari dalam maupun luar
negeri) dan perilaku kinetis (berupa artefak, lingkungan alam
termodifikasi, dan lingkungan alam asli).
Buku ini yang berjudul “Majapahit: Batas Kota dan Jejak-
jejak Kejayaannya” merupakan kumpulan dari 15 tulisan yang
beragam topiknya, ditulis oleh para peneliti Balai Arkeologi
Yogyakarta yang wilayah tugasnya mencakup daerah Jawa
Timur di mana tinggalan budaya Majapahit tersebar luas di
daerah itu. Sejenis dengan buku bunga rampai semacam ini
telah diterbitkan 20 tahun yang lalu dalam rangka memperingati
lahirnya Majapahit berjudul “700 Tahun Majapahit 1293-1993:
Suatu Bunga Rampai”. Meskipun kedua buku bunga rampai
ini sama-sama memuat 15 judul, namun itu tidak berarti sama
dalam hal struktur, isi, keluasan cakupan dan kedalaman
bahasannya. Saya yakin para pembaca akan memperoleh
gambaran yang lebih luas jika disandingkan dengan tulisan-
tulisan dalam buku bunga rampai tahun 1993.
vi Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Buku yang diterbitkan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta
ini terbagi atas empat bagian, yang pertama mengenai “Kota
Majapahit”, kedua tentang “Jejak di Luar Kota”, ketiga
mengenai “Islam dan Majapahit”, dan bagian terakhir tentang
“Kini di Kota Majapahit”.
Bagian pertama membicarakan batas kota Majapahit di
Trowulan yang sulit ditelusuri sebab ketiadaan data dalam
naskah kuno termasuk Nagarakertagama yang biasa dijadikan
acuan dan ketidakjelasan wujudnya di lapangan. Berbeda
misalnya dengan kota Banten Lama, sebab data tertulis berupa
gambar peta yang dibuat Serrurier, yang memperlihatkan
tembok keliling kota (termasuk batas Keraton Surasowan dan
Benteng Speelwijk), dapat kemudian dibuktikan keberadaannya
melalui ekskavasi. Bahkan kita dapat mengetahui bentuk dan
ukuran, bahan yang digunakan dan teknik membangunnya.
Nurhadi Rangkuti dalam tulisannya ini membeberkan
bagaimana kiat arkeolog untuk mengetahui luas kota dengan
upaya mengenali batas kota Majapahit di Trowulan. Pada
tahun 1991-1993 dibentuklah satu tim survei yang melakukan
pengumpulan data permukaan secara sistematis di seluruh
permukaan tanah di antara dua sungai (interfluve) yaitu Sungai
Brangkal di timur dan Sungai Gunting di barat. Hasil survei
menunjukkan temuan tinggalan purbakala tersebar pada satu
wilayah yang luasnya 9 x 11 km, dan kepadatan temuannya
berada di sekitar bangunan monumental Kolam Segaran seluas
6,5 ha. Terobosan metodologis untuk mengetahui keluasan
pemukiman kota Majapahit ini atas dasar keberadaan
temuan permukaan sudah tentu masih meninggalkan
banyak pertanyaan. Nurhadi kemudian mempertanyakan
apakah ada wujud budaya yang menandakan batas kota itu.
Dihubungkannya data keluasan kota Majapahit yang luasnya
9 x 11 km (terdiri dari pusat kota dan pinggiran kota) dengan
viiMajapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
keberadaan empat situs di keempat arah mata angin yaitu
situs Klinterejo, Jabung, Sedah dan Badas. Keempat situs
ini ditafsirkan Nurhadi sebagai tanda batas kota Majapahit.
Pembaca buku ini tentu dapat memahami cara arkeolog
bernalar dalam pencarian bukti konkrit di lapangan.
Masalah kota Majapahit berikutnya dibicarakan oleh Hery
Priswanto dalam tulisannya “Orang-orang Asing di Majapahit”.
Dikemukakannya keberadaan orang-orang asing di kota ini,
yang selain dinyatakan dalam sumber tertulis (prasasti, naskah
kuno dan berita asing) ditemukan pula wujudnya di situs
kota Majapahit berupa arca dari terakota dan batuan. Hery
telah berupaya mengidentifikasi arca-arca itu berdasar
raut wajahnya sebagai orang Cina, India, Tartar, dan orang
Arab, satu jumlah jenis orang asing yang ternyata lebih sedikit
daripada yang disebut dalam sumber tertulis. Para pembaca
yang tertarik dengan arca orang asing yang ditemukan di
situs kota Majapahit dapat melihatnya di Museum Trowulan.
Orang-orang asing itulah yang berperan dalam kehidupan
perdagangan di warga kota Majapahit.
Tulisan berikutnya mengenai hubungan antara kota
Majapahit dengan lingkungan alam sebagai pendukungnya.
Alifah dalam tulisannya “Dukungan Faktor Alam” melihat
pemilihan lokasi kota Majapahit di Trowulan dan keber-
lanjutannya didasarkan atas berbagai pertimbangan antara
lain: letak geografisnya di pedalaman (tetapi yang memiliki
akses keluar hingga ke laut), dan kedekatannya dengan pusat
pemukiman dari kerajaan-kerajaan sebelum Majapahit; kondisi
geomorfologi yang datar, luas, dan subur; kondisi geologis
yang dipengaruhi sistem pegunungan di selatan dan sistem
aliran sungai Brantas beserta anak sungainya; dan kemampuan
adaptasi budaya warga terhadap lingkungan alam
sekitarnya. Pandangan adaptasi budaya semacam ini juga
viii Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
dapat digunakan untuk menunjukkan pemanfaatan tanah
di situs ini sebagai bahan utama memproduksi bangunan-
bangunan monumental, sejumlah besar perumahan, peralatan
rumah tangga, peralatan upacara, karya seni dan sebagainya
sebagai ciri dari kehidupan masyaratakat dengan tipe sosial
budaya kota.
Tulisan mengenai kearifan lingkungan yang dikemukakan
oleh Siswanto dalam “Potret-potret Kearifan Lingkungan dalam
Relief & Sastra Tertulis” menunjukkan bahwa warga
Majapahit memiliki teknologi adaptif terhadap lingkungan
alam sekitar. Pembaca dapat melihat relief-relief yang meng-
gambarkan tahap-tahap kegiatan dalam sistem pertanian
sawah, dan kegiatan berburu hewan (baik untuk kebutuhan
protein hewani maupun untuk memenuhi kegemaran). Selain
itu terdapat pula relief yang menggambarkan binatang asing
sebagaimana juga dinyatakan dalam kitab Nagakertagama,
juga alat transportasi, keadaan alam, dan sebagainya. Bagi
pembaca yang berminat melihat temuan terakota dalam
bentuk beberapa jenis binatang berukuran kecil (sekitar 5-10
cm) dapat kiranya dilihat di Museum Trowulan sebagai hasil
ekskavasi tahun 2009 di halaman selatan museum itu.
Bagian kedua dari buku ini diberi judul “Jejak di Luar
Kota”. Dalam tulisan pertama dari bagian kedua buku ini
berjudul “Desa-desa Megalitik di Negeri Majapahit”, Priyatno
Hadi Sulistyarto menyampaikan pendapatnya bahwa pada
masa itu terdapat pula warga berkebudayaan megalitik
yang hidup tersebar di wilayah Majapahit, khususnya di
daerah Bondowoso, Situbondo, Jember dan Banyuwangi.
Pembaca dapat membayangkan keadaan itu seperti keberadaan
warga Nias atau Banten di wilayah Republik Indonesia.
Keberadaan sejumlah tinggalan megalitik berupa batu kenong
(yang ditafsirkan sebagai umpak rumah), dolmen, sarkofag,
ixMajapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
batu dakon, menhir, punden berundak, dan batu arca
ditafsirkan Priyatno sebagai bukti adanya desa-desa megalitik
di wilayah Majapahit pada masa awal hingga akhir Majapahit
sebagaimana pertarikhannya dibuktikan oleh sarkofag
berangka tahun 1324 Saka atau 1402 Masehi. Pembaca buku ini
agaknya masih perlu diyakinkan pertarikhannya (absolut dan
relatif) untuk mendukung pertanggalan yang sudah ada.
Tulisan Baskoro Daru Tjahjono berjudul “Bukti
Kejayaan Majapahit di Blitar” mengantarkan pembaca untuk
mengetahui begitu banyak situs candi di wilayah Blitar yaitu:
Candi Panataran (yang terbesar), Candi Gambar Wetan, Candi
Kalicilik, Candi Wringin Branjang, Candi Sumberagung, Candi
Kotes, Candi Sukosewu, Candi Sawentar Lor, Candi Sawentar
Kidul, dan Candi Sumberjati. Sebagian dari nama candi-candi
itu disebutkan dalam kitab Nagarakertagama tatkala raja
Hayam Wuruk mengadakan perjalanan keliling ke daerah-
daerah. Dengan tulisan ini pembaca diberi informasi bahwa
naskah kuno dapat menjadi sumber informasi untuk kemudian
dibuktikan arkeolog di lapangan. Namun sebagaimana
dikemukakan di bawah seringkali apa yang disebut dalam
sumber tertulis tidak ditemukan kenyataannya, sebab
candinya sudah hancur atau masih tersembunyi di dalam
tanah, atau telah terjadi perubahan nama desa sebagaimana
sering terjadi dalam perjalanan sejarah kita.
Tulisan T.M. Rita Istari “Candi di Lereng Bromo” menge-
mukakan adanya tinggalan purbakala di lereng Gunung
Bromo. Namun seperti terungkap dalam uraiannya tidak
semua tinggalan itu dapat dipastikan sebagai candi. Sebuah
“punden keramat” yang dinamakan penduduk sebagai
“Candi Sanggar” tidak serta merta dapat dipastikan sebagai
candi, sebab yang ditemukan hanya batu-batu candi tanpa
informasi apakah bentuk batu-batu itu mewakili unsur dari
x Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
komponen-komponen bangunan candi, dan apakah jumlahnya
meyakinkan untuk diperkirakan sebagai bahan penyusun
sebuah candi. Meskipun penduduk memberi tambahan
informasi bahwa di lokasi itu pernah ditemukan beberapa
arca tetapi kemudian hilang tak diketahui rimbanya, peneliti
tak akan menyimpulkan bahwa di dusun Wonogriyo itu
terdapat candi. Demikian pula ketika dalam Nagarakertagama
dinyatakan sebuah candi didirikan di desa Lumbang, peneliti
tidak dapat menyimpulkan bahwa di desa Lumbang ada
candi sebab unsur dan komponen bangunan candi tidak
ditemukan. Apalagi jika diingat nama-nama desa dapat
berubah-ubah sepanjang waktu. Lebih sukar lagi bagi peneliti
jika menemukan kumpulan batu yang dapat diduga sebagai
susunan dinding bangunan, tetapi ternyata hanya merupakan
tumpukan batu candi yang dilakukan oleh penduduk. Asli
batunya tetapi palsu susunannya. Banyak kasus membuktikan
hasil dari proses transformasi kultural semacam itu sering
dijumpai peneliti. Rita Istari kemudian menulis bahwa setelah
diteliti lebih lanjut ternyata batu-batu itu merupakan 23
umpak-umpak batu dengan berbagai ukuran. Dengan uraian
ini para pembaca diperkenalkan dengan satu cerita bagaimana
sulitnya menemukan candi jika batu-batu yang ditemukan
tidak mewakili komponen bangunan semacam itu.
Tulisan Gunadi K. “Candi Tegalrandu: Bukti Tinggalan
Majapahit di Lumajang” memberi pelajaran kepada kita bahwa
tujuan semula untuk meneliti pemukiman prasejarah di tepi
danau ternyata beralih kepada mengkaji sisa bangunan candi
yang semula tidak diduga keberadaannya. Di dekat (danau)
Ranu Klakah, desa Tegalrandu, ditemukan sisa bangunan bata
yang diduga bagian dari fondasi candi. Namun di lokasi ini
juga terdapat tinggalan masa prasejarah. berdasar data ini
danau ini dapat disimpulkan sebagai “catchment area”
xiMajapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
bagi para pemukim masa prasejarah dan masa Hindu-Buda.
Di desa ini ditemukan tinggalan masa prasejarah berupa
struktur (enclosure) batu andesit berdenah segi empat di atas
(bukan di bawah) struktur lantai dari bata berukuran besar
yang biasa digunakan pada masa Hindu-Buda dan Islam.
Urutan kronologis dari “lapisan budaya terbalik” semacam
ini agaknya perlu kelak diverifikasi. Tetapi setelah ekskavasi
diperluas ke sektor “Kandang Sapi” peneliti menemukan sisa
candi bata berukuran 5 x 5 meter pada kedalaman 1 meter
di bawah permukaan. Sisa bangunan yang menghadap ke
timur ini kemudian diberi nama Candi Tegalrandu. Namun,
penggalian untuk menelusuri bentuk dan luas bangunan itu
terpaksa dihentikan sebab keterbatasan waktu, dana dan
tenaga, satu hal yang amat umum dialami para peneliti di
lapangan. Melalui uraian Gunadi juga para pembaca diingatkan
mengenai hakekat penelitian kualitatif yang tidak selamanya
konsisten dengan rencana penelitian yang dirancang sebelum
terjun ke lapangan.