Tampilkan postingan dengan label kejayaan majapahit di blitar 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kejayaan majapahit di blitar 6. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Juli 2025

kejayaan majapahit di blitar 6

 


situs Trowulan terkena bencana letusan gunung. Letusan 

gunung Kelud merusak situs Trowulan sebanyak delapan 

298 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

kali. Dampak dari letusan gunung dan banjir yang melanda 

Trowulan menghancurkan pemukiman di situs tersebut, dan 

sangat mempengaruhi hancurnya sektor perekonomian dan 

perdagangan yang menjadi andalan kerajaan Majapahit. 

Selain faktor internal dan faktor alam, hal yang paling 

sulit diatasi yaitu  ulah manusia. Kerusakan peninggalan­

peninggalan arkeologi di Trowulan ini sudah terjadi sejak 

jaman Belanda dahulu. Entah sengaja atau tidak, ketika 

Maclaine Pont berupaya merekonstruksi tembok keraton 

Majapahit, ia melakukan kesalahan prosedur. Tembok bata 

yang masih tertutup itu disemprot dengan air dari mobil 

pemadam kebakaran, sehingga dinding tembok dengan cepat 

tampak dipermukaan. Sementara temuan penting lainnya 

tidak dihiraukan dan terbawa air. Temuan­temuan lainnya itu 

dianggap sebagai temuan permukaan lalu dikumpulkan oleh 

penduduk. Temuan­temuan itu disimpan di rumah Maclaine 

Pont yang kemudian dijadikan museum (Wibowo 1980: 20­21). 

Pada tahun 1926 museum ini dibuka untuk umum, 

dan ketika Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942 

museum ditutup sebab  Pont ditawan. Setahun kemudian 

atas ijin pimpinan Kantor Urusan Barang Kuno di Jakarta 

museum dibuka kembali dan barang­barang koleksi Pont 

dilelang, termasuk sebagian koleksi museum itu sendiri. 

Koleksi museum ini kemudian ditempatkan di Museum 

Mojokerto, dan pada tahun 1963 dipindahkan ke Museum 

Balai Penyelamatan Arca yang terletak di dekat kolam Segaran 

(Sulanjari 2004). Museum Balai Penyelamatan Arca (sekarang 

menjadi Pusat Informasi Majapahit) memiliki tiga ruang 

pamer, yaitu ruang logam, ruang prasejarah, ruang keramik 

dan terakota, dan ruang terbuka untuk menyimpan jenis 

temuan dari batu andesit. Melihat jenis­jenis koleksi yang 

299Yang Pahit dari Majapahit

dipamerkan di museum ini tidak satupun jenis koleksi 

yang dapat menjadi ”unggulan” bagi kerajaan Majapahit 

yang diakui kebesarannya. Kebanyakan jenis koleksi yang 

dipamerkan yaitu  artefak yang terbuat dari terakota. Koleksi 

dari terakota ini disimpan di ruang khusus dengan berbagai 

jenis dan kuantitasnya. 

Kerusakan Situs Majapahit juga akibat kegiatan para 

penggali liar yang dilakukan penduduk untuk mendulang 

emas hingga sekarang. Banyak lubang yang dibuat para 

penggali liar merusak situs Majapahit. Sebuah kerajaan yang 

besar tentunya mewariskan banyak benda kerajinan dari 

emas. Seperti yang diuraikan dalam beberapa pupuh dari 

kitab Nagarakertagama bahwa iring­iringan raja Majapahit 

menggunakan kereta yang berhiaskan emas. Juga ada sebuah 

legenda yang diyakini oleh warga  setempat bahwa raja­

raja Majapahit sering mengadakan perjamuan untuk tamu di 

tepi kolam Segaran. Konon peralatan pesta terbuat dari emas 

yang dihiasi dengan permata yang sangat indah (Badil 2009). 

Peralatan­peralatan ini setelah dipakai dibuang ke kolam 

Segaran.

Demikian juga ada berita­berita Cina yang menyebutkan 

bahwa raja Jawa sangat kaya. Raja memakai pakaian yang 

ditenun dengan benang emas, perhiasan emas, dan senjata 

pedang pendek berhulu emas. Di dalam berita Cina juga 

disebutkan bahwa utusan Majapahit mendatangi Cina mem­

bawa “upeti maaf” senilai 60.000 tail emas. Sementara itu 

seorang pelaut berkebangsaan Portugis bernama Tome Pires 

melaporkan bahwa pada tahun 1515 ”orang Jawa itu sangat 

kaya raya begitu makmurnya sampai­sampai kalung anjingpun 

dibuat dari emas” (Badil 2009). Akan tetapi tidak satupun jenis 

300 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

koleksi berbahan dasar emas ini dijumpai di Museum Balai 

Penyelamatan Arca (PIM).

Lubang “penggalian liar” tempat mendulang emas yang dilakukan 

penduduk di Dukuh Nglinguk, Desa Trowulan, dan di sekitar lubang 

banyak berserakan bata­bata kuna (Foto ini dibuat tahun 1974)  

(Repro: A.S. Wibowo 1980)

Keperihatinan tentang kerusakan ibukota kerajaan 

Majapahit juga dirasakan oleh Harjoso Projopangarso seorang 

guru besar Teknik Sipil UGM. Ia menilai bahwa situs ibukota 

kerajaan Majapahit menyimpan teknologi ramah lingkungan 

yang sangat penting untuk dipelajari generasi sekarang, 

seperti saluran air yang sederhana tetapi peduli lingkungan. 

Berbagai teknologi ramah lingkungan itu masih perlu 

digali untuk dikembangkan di masa mendatang. Dengan 

pengrusakan terjadi, sejumlah kekayaan teknologi dari masa 

silam dikhawatirkan hilang untuk selamanya (Kompas 2009). 

Kekhawatiran hilangnya saluran air di Trowulan ini sudah 

301Yang Pahit dari Majapahit

terjadi. Di dekat Sentonorejo saluran dan juga situs sudah 

dibuldozer dan dijadikan lahan parkir bagi para pengunjung 

yang akan berziarah ke makam Troloyo. 

Aktifitas pembuat bata di Desa Sentonorejo  

(dokumentasi: Sugeng R./BAY)

Kerusakan akibat aktifitas pembuat bata di sekitar Candi Tikus 

(dokumentasi: Sugeng R/BAY)

302 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Struktur bata yang dibongkar tanpa prosedur yang benar  

di Desa Sentonorejo (Dokumentasi: Sugeng R./BAY).

Panggung yang dibangun di halaman Candi Wringin Lawang  

Oleh BP3 Jatim dan Dinas Pariwisata Mojokerto  

(Dokumentasi: Sugeng R./ BAY)

Kebiasaan memanfaatkan lahan untuk pembuatan bata 

paling sulit untuk dikendalikan dan dihentikan, sebab  pem­

buatan bata ini merupakan sumber utama mata penca harian 

303Yang Pahit dari Majapahit

penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Justru 

peninggalan­peninggalan arkeologi di Trowulan itu banyak 

dijumpai di lahan pembuatan bata baik dalam keadaan utuh, 

tidak utuh, rusak saat ditemukan, atau rusak akibat alat yang 

digunakan oleh pembuat bata. Bahkan seringkali para pembuat 

bata menemukan benda­benda yang masih utuh atau benda 

lainnya yang mempunyai nilai ekonomis tinggi lalu diperjual 

belikan. 

Pembongkaran dan pengambilan bata kuna menurut 

laporan Bosch (1930: 30­31) sudah berlangsung ratusan tahun. 

Orang berusaha mengambil bata­bata yang utuh untuk dijual 

ke pabrik­pabrik dan bata­bata yang tidak utuh ditumbuk. 

Seperti Candi Lima di Trowulan juga sudah hilang tidak ada 

bekasnya, sebab  bata­batanya diambil. Hilangnya Candi 

Lima ini disebutkan dalam ROC 1915 halaman 216. Hal ini 

diperkuat juga dengan surat bertarikh 1877, yang dikirimkan 

oleh seorang Insinyur Jawatan Kereta Api bernama Wouters 

pada tahun 1924 kepada Oudheidkundige Dienst, bahwa bata­

bata dari Candi Lima itu digunakan untuk fondasi jalan kereta 

api antara Surabaya­Madiun dan Kertosono­Blitar 

Kerusakan kawasan situs Trowulan menurut Yunus Satrio 

Atmojo mencapai sekitar 6,2 ha per tahun, yaitu berupa tanah 

di sekitar situs yang dimanfaatkan untuk pembuatan bata 

(Rinaldi 2009: 12). Kurang lebih 5000 kepala keluarga bermata 

pencaharian dari pembuatan bata. Akibat dari kegiatan 

ini sepertiga situs rusak (NAL 2008: 12). Dari luas 99 

km2, pemerintah hanya menguasai lahan seluas 57,225 m2. Di 

luar lahan ini pemerintah tidak dapat berbuat apa­apa 

(Fitrianto 2009: 18). 

304 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Pembuatan masterplan Majapahit sudah dilakukan oleh 

Ditlinbinjarah (sekarang: Direktorat Peninggalan Purbakala) 

bekerjasama dengan berbagai instansi terkait termasuk 

Bakosurtanal. Pada tahun 1986 master plan itu diterbitkan 

dengan judul Bukti-Bukti Kejayaan Majapahit Muncul 

Kembali: Rencana Induk Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan 

Bekas Kota Kerajaan Majapahit. Dalam perkembangan 

selanjutnya kegiatan penelitian tentang berbagai aspek yang 

berkaitan dengan Majapahit tetap terus berjalan. 

Lokasi rencana pembangunan PIM di atas situs  

(

Data­data baru dari hasil penelitian masih terbatas pada 

pengumpulan data saja. Belum disinkronkan dan digunakan 

sebagai data untuk melengkapi buku induk yang pernah 

dibuat. Upaya untuk melengkapi data­data yang ada dalam 

buku masterplan ini telah dilakukan oleh Puslit Arkenas 

(sekarang: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi 

Nasional). Hasil dari penelitian itu nantinya akan digunakan 

305Yang Pahit dari Majapahit

untuk melengkapi data dan mencocokkan kembali ada­

tidaknya keberadaan data yang terdapat dalam buku induk 

ini dengan kondisi sekarang.

Pembangunan tiang pancang dekat struktur bata kuna 


Majapahit yang Pahit

Isu rencana pembangunan Pusat Informasi Majapahit 

(PIM) ini sudah lama terdengar, di antaranya disebutkan akan 

dibangun semacam arena bermain yang letaknya tidak jauh 

dari Balong Bunder. Begitu terkejutnya ketika sebuah media 

massa mengabarkan tentang Pembangunan Pusat Informasi 

Majapahit yang berdiri di atas lahan yang diduga mengandung 

306 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

banyak tinggalan arkeologi. Ada sekitar 50 buah tiang pancang 

beton dengan diameter masing­masing 50 cm yang akan 

dipasang dengan cara di bor, bukan dengan pemukul tiang 

pancang (hydraulic hammer). Cara pertama ini dianggap 

dapat meminimalisir kerusakan situs. Sungguh merupakan 

pekerjaan yang sangat ceroboh, dan mengapa harus dibangun 

di lokasi yang sangat kaya dengan peninggalan Majapahit 

yang belum sepenuhnya terungkap oleh penelitian arkeologis. 

Bukankah di Segaran III dan Segaran IV juga belum diteliti. 

Atau pemilihan lokasi pembangunan di Segaran itu disengaja 

sebab  ingin menampilkan sisa­sisa bangunan rumah tangga 

warga  Majapahit seperti yang ditunjukkan di Segaran II 

(lihat peta). Konon di atas gedung 

yang dibangun itu berlantaikan 

kaca tembus pandang, sehingga 

dapat melihat ke bawah sisa­sisa 

pemukiman Majapahit.

Bentuk Surya Majapahit yang 

akan dijadikan model bangunan 

PIM dengan pem bagian ruang 

yang sudah dirancang sedemikian 

rupa, khususnya ruang pamer 

ada 4 tempat. Apakah fasilitas ini 

mampu mengisi koleksi artefak 

Majapahit yang memiliki daya 

tarik, ”eyecatching?”, mengingat 

jenis koleksi yang tersimpan di 

museum sekarang tidak ada yang 

dapat di ”unggulkan”.

Maksud dari pembangunan mega proyek ini yaitu  

menya tukan situs­situs peninggalan ibukota Majapahit di 

Denah dan lokasi proyek PIM  

(Repro: Kompas,  

Januari 2009)

307Yang Pahit dari Majapahit

Trowulan dalam sebuah konsep terpadu. Tujuannya untuk 

menye lamatkan situs dan benda cagarbudaya dari kerusakan 

untuk menarik wisatawan. Namun sangat disayangkan bahwa 

maksud dan tujuan dari pembangunan ini tidak seimbang 

dengan prakteknya. 

Di satu sisi berupaya melestarikan peninggalan­pening­

galan Majapahit yang masih ada, tetapi di sisi lain justru 

merusak data bahkan menghancurkannya. Kerusakan pada 

skala besar ini tidak lepas dari andil pemerintah. Sejak awal 

niat pemerintah untuk melindungi situs ibukota Majapahit 

tidak pernah total. Di sini tampak sekali kepentingan investasi 

lebih diprioritaskan daripada pemeliharaan situs bersejarah.

Akhir­akhir ini seringkali di daerah sekitar Trowulan 

di temukan peninggalan­peninggalan Majapahit. Konon 

temuan­temuan itu sudah dilaporkan ke instansi yang 

berhak menanganinya, namun seringkali belum/kurang/

tidak mendapat tanggapan. Mungkin banyak sekali temuan 

yang harus mendapat ganti rugi, sementara dana ganti rugi 

dari pemerintah masih minim. Selain itu kemungkinan 

yang lain disebabkan terbatasnya SDM yang ada di instansi 

ini sebab  terlampau banyak kasus yang harus dihadapi. 

Minimnya SDM juga akibat dari peraturan pemerintah yang 

lambat membuka lowongan kerja terutama bagi para sarjana 

arkeologi. Akibatnya terjadi kevacuman dalam instansi, 

fatalnya lagi menjadikan generasi muda yang ingin menekuni 

bidang arkeologi makin lama makin habis. Semestinya 

pemerintah harus memikirkan lembaga yang minim SDMnya 

dengan beban pekerjaannya yang sangat kompleks. Padahal 

warisan budaya bangsa Indonesia sangat kaya dan ada di 

hampir seluruh wilayah nusantara. Bila pemerintah tidak 

segera memikirkan atau memperhatikan SDM dan warisan 

308 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

budayanya, sangat dikhawatirkan jati diri bangsa ini juga akan 

segera hancur.

Semestinya masterplan yang sudah dibuat dapat dijadikan 

panduan untuk mengembangkan penelitian, pelestarian, dan 

pemanfaatan tinggalan­tinggalan yang ada di bekas ibukota 

kerajaan Majapahit. Untuk itu instansi yang terkait ataupun 

pemerhati budaya yang peduli dengan Trowulan selayaknya 

bersama­sama mencari jalan keluar segala permasalahan 

tentang Trowulan dan melepaskan ego kepentingan. 

Memang rehabilitasi situs yang rusak akibat pembangunan 

PIM sulit dilakukan jika melihat parahnya kerusakan situs 

oleh penggalian fondasi PIM. Namun perlu segera ditetapkan 

secara hukum batas­batas kawasan dan batas­batas zona di 

dalam kawasan secara geografis, administratif dan kultural, 

seperti yang dikemukakan Mundarjito. Dengan demikian jelas 

mana wilayah perlindungan dan pengembangan. 

Untuk membantu zonasi ini diperlukan metode 

yang lebih cepat. Dalam hal ini dapat melibatkan para ahli 

geofisika dari BPPT dengan menggunakan alat georadar. 

Studi tentang geofisika terfokus pada bidang minyak dan gas 

bumi, eksplorasi mineral, geotermal, gempa, tsunami dan 

cuaca. Geofisika migas dan geofisika arkeologi mempunyai 

kesamaan teori, konsep, metode interpretasi, oleh sebab  itu 

tidak sulit untuk memetakan situs Trowulan yang terpendam. 

Perbedaannya: untuk eksplorasi migas digunakan energi 

gelombang getaran seismik untuk mendapatkan citra bawah 

permukaan; sedangkan untuk kepentingan pemetaan arkeologi 

digunakan sumber gelombang radar (ground penetration radar/

GPR) (Ikawati 2009). 

Pemetaan GPR menggunakan pulsa radar frekuensi tinggi 

yang dipancarkan dengan antene dari permukaan ke dalam 

309Yang Pahit dari Majapahit

tanah. Gelombang ini kemudian diteruskan dan dipantulkan 

kembali oleh benda­benda yang terpendam dalam tanah. 

Kemudian data pantulan gelombang ini akan direkam di 

dalam domain waktu dan citra yang dihasilkannya, kemudian 

dikonversi ke dalam domain kedalaman. Citra bawah per­

mukaan digambarkan dalam bentuk amplitude gelombang 

yang menggambarkan perubahan cepat rambat gelombang 

pada benda­benda terpendam maupun sedimen tertutup. 

Batu candi atau benda peninggalan lainnya mempunyai 

cepat rambat gelombang yang lebih tinggi daripada sedimen 

penutupnya. Penggunaan alat georadar di situs Trowulan yang 

diperkirakan berukuran 11 X 9 km2 dapat diketahui kerapatan 

peninggalan arkeologi, dan tempat­tempat mana yang kosong. 

Ditemukannya tempat kosong itu dapat dijadikan acuan untuk 

mendirikan bangunan yang direncanakan. 

Aplikasi georadar ini pernah digunakan dalam pencarian 

bekas kerajaan Sumbawa yang terpendam akibat letusan 

Gunung Tambora di NTB. Pencarian ini dilakukan oleh 

Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi 

Sumberdaya Alam BPPT dipimpin Djoko Nugroho. Selain itu 

metode ini juga pernah dilakukan untuk pendeteksian 

keberadaan situs Megalitik di Pagar Alam di Desa Rimba Jati, 

Sumatra Selatan yang tertimbun akibat letusan gunung Dempo 

(Ikawati 2009). 

Penutup

Tidaklah mudah untuk menjawab berbagai permasalahan 

mengenai Trowulan yang diduga sebagai bekas ibukota 

kerajaan Majapahit ini. Namun penelitian arkeologi untuk 

menjawab berbagai pertanyaan tentang Trowulan haruslah 

310 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

terus dilakukan sebelum semuanya menjadi sulit untuk dijawab 

akibat aktivitas penggunaan lahan yang mengakibatkan 

rusaknya atau hilangnya jejak­jejak budaya masa lampau.

Semoga kepahitan dari peristiwa­peristiwa yang telah 

terjadi di situs Trowulan tidak terulang lagi dan masih ada yang 

bisa diselamatkan. Dengan harapan generasi muda mendatang 

masih dapat menikmati sisa­sisa kebesaran kerajaan Majapahit, 

dan tidak hanya mendengar dongengnya saja. Tinggalan­

tinggalan Majapahit ini apabila ditangani secara profesional 

dapat memberikan keuntungan berbagai pihak. Paling tidak 

membangkitkan jati diri bangsa. 

Pemerintah juga diharapkan perlu meningkatkan anggaran 

di bidang kebudayaan, agar ganti rugi yang harus diterimakan 

kepada pihak yang bersangkutan disambut dengan rasa 

lega. Selain itu, Undang Undang No. 5 tahun 1992 tentang 

benda cagar budaya yang telah direvisi segera diedarkan dan 

disosialisasikan. 


H ingga kini sudah ribuan tulisan mengenai Majapahit yang membicarakan beragam hasil penelitian dengan berbagai pendekatan mengenai aspek-aspek 

kesejarahan dan kebudayaan, baik secara parsial maupun 

menyeluruh, yang diwujudkan dalam bentuk buku, makalah, 

laporan penelitian, katalog dan lain-lain. Tulisan-tulisan itu 

disusun atas dasar jenis data dari hasil perilaku verbal (berupa 

tuturan dan teks yang berasal dari dalam maupun luar 

negeri) dan perilaku kinetis (berupa artefak, lingkungan alam 

termodifikasi, dan lingkungan alam asli).

Buku ini yang berjudul “Majapahit: Batas Kota dan Jejak-

jejak Kejayaannya” merupakan kumpulan dari 15 tulisan yang 

beragam topiknya, ditulis oleh para peneliti Balai Arkeologi 

Yogyakarta yang wilayah tugasnya mencakup daerah Jawa 

Timur di mana tinggalan budaya Majapahit tersebar luas di 

daerah itu. Sejenis dengan buku bunga rampai semacam ini 

telah diterbitkan 20 tahun yang lalu dalam rangka memperingati 

lahirnya Majapahit berjudul “700 Tahun Majapahit 1293-1993: 

Suatu Bunga Rampai”. Meskipun kedua buku bunga rampai 

ini sama-sama memuat 15 judul, namun itu tidak berarti sama 

dalam hal struktur, isi, keluasan cakupan dan kedalaman 

bahasannya. Saya yakin para pembaca akan memperoleh 

gambaran yang lebih luas jika disandingkan dengan tulisan-

tulisan dalam buku bunga rampai tahun 1993. 

vi Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Buku yang diterbitkan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta 

ini terbagi atas empat bagian, yang pertama mengenai “Kota 

Majapahit”, kedua tentang “Jejak di Luar Kota”, ketiga 

mengenai “Islam dan Majapahit”, dan bagian terakhir tentang 

“Kini di Kota Majapahit”. 

Bagian pertama membicarakan batas kota Majapahit di 

Trowulan yang sulit ditelusuri sebab  ketiadaan data dalam 

naskah kuno termasuk Nagarakertagama yang biasa dijadikan 

acuan dan ketidakjelasan wujudnya di lapangan. Berbeda 

misalnya dengan kota Banten Lama, sebab  data tertulis berupa 

gambar peta yang dibuat Serrurier, yang memperlihatkan 

tembok keliling kota (termasuk batas Keraton Surasowan dan 

Benteng Speelwijk), dapat kemudian dibuktikan keberadaannya 

melalui ekskavasi. Bahkan kita dapat mengetahui bentuk dan 

ukuran, bahan yang digunakan dan teknik membangunnya. 

Nurhadi Rangkuti dalam tulisannya ini membeberkan 

bagaimana kiat arkeolog untuk mengetahui luas kota dengan 

upaya mengenali batas kota Majapahit di Trowulan. Pada 

tahun 1991-1993 dibentuklah satu tim survei yang melakukan 

pengumpulan data permukaan secara sistematis di seluruh 

permukaan tanah di antara dua sungai (interfluve) yaitu Sungai 

Brangkal di timur dan Sungai Gunting di barat. Hasil survei 

menunjukkan temuan tinggalan purbakala tersebar pada satu 

wilayah yang luasnya 9 x 11 km, dan kepadatan temuannya 

berada di sekitar bangunan monumental Kolam Segaran seluas 

6,5 ha. Terobosan metodologis untuk mengetahui keluasan 

pemukiman kota Majapahit ini atas dasar keberadaan 

temuan permukaan sudah tentu masih meninggalkan 

banyak pertanyaan. Nurhadi kemudian mempertanyakan 

apakah ada wujud budaya yang menandakan batas kota itu. 

Dihubungkannya data keluasan kota Majapahit yang luasnya 

9 x 11 km (terdiri dari pusat kota dan pinggiran kota) dengan 

viiMajapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

keberadaan empat situs di keempat arah mata angin yaitu 

situs Klinterejo, Jabung, Sedah dan Badas. Keempat situs 

ini ditafsirkan Nurhadi sebagai tanda batas kota Majapahit. 

Pembaca buku ini tentu dapat memahami cara arkeolog 

bernalar dalam pencarian bukti konkrit di lapangan. 

Masalah kota Majapahit berikutnya dibicarakan oleh Hery 

Priswanto dalam tulisannya “Orang-orang Asing di Majapahit”. 

Dikemukakannya keberadaan orang-orang asing di kota ini, 

yang selain dinyatakan dalam sumber tertulis (prasasti, naskah 

kuno dan berita asing) ditemukan pula wujudnya di situs 

kota Majapahit berupa arca dari terakota dan batuan. Hery 

telah berupaya mengidentifikasi arca-arca itu berdasar  

raut wajahnya sebagai orang Cina, India, Tartar, dan orang 

Arab, satu jumlah jenis orang asing yang ternyata lebih sedikit 

daripada yang disebut dalam sumber tertulis. Para pembaca 

yang tertarik dengan arca orang asing yang ditemukan di 

situs kota Majapahit dapat melihatnya di Museum Trowulan. 

Orang-orang asing itulah yang berperan dalam kehidupan 

perdagangan di warga  kota Majapahit.

Tulisan berikutnya mengenai hubungan antara kota 

Majapahit dengan lingkungan alam sebagai pendukungnya. 

Alifah dalam tulisannya “Dukungan Faktor Alam” melihat 

pemilihan lokasi kota Majapahit di Trowulan dan keber-

lanjutannya didasarkan atas berbagai pertimbangan antara 

lain: letak geografisnya di pedalaman (tetapi yang memiliki 

akses keluar hingga ke laut), dan kedekatannya dengan pusat 

pemukiman dari kerajaan-kerajaan sebelum Majapahit; kondisi 

geomorfologi yang datar, luas, dan subur; kondisi geologis 

yang dipengaruhi sistem pegunungan di selatan dan sistem 

aliran sungai Brantas beserta anak sungainya; dan kemampuan 

adaptasi budaya warga  terhadap lingkungan alam 

sekitarnya. Pandangan adaptasi budaya semacam ini juga 

viii Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

dapat digunakan untuk menunjukkan pemanfaatan tanah 

di situs ini sebagai bahan utama memproduksi bangunan-

bangunan monumental, sejumlah besar perumahan, peralatan 

rumah tangga, peralatan upacara, karya seni dan sebagainya 

sebagai ciri dari kehidupan masyaratakat dengan tipe sosial 

budaya kota. 

Tulisan mengenai kearifan lingkungan yang dikemukakan 

oleh Siswanto dalam “Potret-potret Kearifan Lingkungan dalam 

Relief & Sastra Tertulis” menunjukkan bahwa warga  

Majapahit memiliki teknologi adaptif terhadap lingkungan 

alam sekitar. Pembaca dapat melihat relief-relief yang meng-

gambarkan tahap-tahap kegiatan dalam sistem pertanian 

sawah, dan kegiatan berburu hewan (baik untuk kebutuhan 

protein hewani maupun untuk memenuhi kegemaran). Selain 

itu terdapat pula relief yang menggambarkan binatang asing 

sebagaimana juga dinyatakan dalam kitab Nagakertagama, 

juga alat transportasi, keadaan alam, dan sebagainya. Bagi 

pembaca yang berminat melihat temuan terakota dalam 

bentuk beberapa jenis binatang berukuran kecil (sekitar 5-10 

cm) dapat kiranya dilihat di Museum Trowulan sebagai hasil 

ekskavasi tahun 2009 di halaman selatan museum itu. 

Bagian kedua dari buku ini diberi judul “Jejak di Luar 

Kota”. Dalam tulisan pertama dari bagian kedua buku ini 

berjudul “Desa-desa Megalitik di Negeri Majapahit”, Priyatno 

Hadi Sulistyarto menyampaikan pendapatnya bahwa pada 

masa itu terdapat pula warga  berkebudayaan megalitik 

yang hidup tersebar di wilayah Majapahit, khususnya di 

daerah Bondowoso, Situbondo, Jember dan Banyuwangi. 

Pembaca dapat membayangkan keadaan itu seperti keberadaan 

warga  Nias atau Banten di wilayah Republik Indonesia. 

Keberadaan sejumlah tinggalan megalitik berupa batu kenong 

(yang ditafsirkan sebagai umpak rumah), dolmen, sarkofag, 

ixMajapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

batu dakon, menhir, punden berundak, dan batu arca 

ditafsirkan Priyatno sebagai bukti adanya desa-desa megalitik 

di wilayah Majapahit pada masa awal hingga akhir Majapahit 

sebagaimana pertarikhannya dibuktikan oleh sarkofag 

berangka tahun 1324 Saka atau 1402 Masehi. Pembaca buku ini 

agaknya masih perlu diyakinkan pertarikhannya (absolut dan 

relatif) untuk mendukung pertanggalan yang sudah ada.

Tulisan Baskoro Daru Tjahjono berjudul “Bukti 

Kejayaan Majapahit di Blitar” mengantarkan pembaca untuk 

mengetahui begitu banyak situs candi di wilayah Blitar yaitu: 

Candi Panataran (yang terbesar), Candi Gambar Wetan, Candi 

Kalicilik, Candi Wringin Branjang, Candi Sumberagung, Candi 

Kotes, Candi Sukosewu, Candi Sawentar Lor, Candi Sawentar 

Kidul, dan Candi Sumberjati. Sebagian dari nama candi-candi 

itu disebutkan dalam kitab Nagarakertagama tatkala raja 

Hayam Wuruk mengadakan perjalanan keliling ke daerah-

daerah. Dengan tulisan ini pembaca diberi informasi bahwa 

naskah kuno dapat menjadi sumber informasi untuk kemudian 

dibuktikan arkeolog di lapangan. Namun sebagaimana 

dikemukakan di bawah seringkali apa yang disebut dalam 

sumber tertulis tidak ditemukan kenyataannya, sebab  

candinya sudah hancur atau masih tersembunyi di dalam 

tanah, atau telah terjadi perubahan nama desa sebagaimana 

sering terjadi dalam perjalanan sejarah kita. 

Tulisan T.M. Rita Istari “Candi di Lereng Bromo” menge-

mukakan adanya tinggalan purbakala di lereng Gunung 

Bromo. Namun seperti terungkap dalam uraiannya tidak 

semua tinggalan itu dapat dipastikan sebagai candi. Sebuah 

“punden keramat” yang dinamakan penduduk sebagai 

“Candi Sanggar” tidak serta merta dapat dipastikan sebagai 

candi, sebab  yang ditemukan hanya batu-batu candi tanpa 

informasi apakah bentuk batu-batu itu mewakili unsur dari 

x Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

komponen-komponen bangunan candi, dan apakah jumlahnya 

meyakinkan untuk diperkirakan sebagai bahan penyusun 

sebuah candi. Meskipun penduduk memberi tambahan 

informasi bahwa di lokasi itu pernah ditemukan beberapa 

arca tetapi kemudian hilang tak diketahui rimbanya, peneliti 

tak akan menyimpulkan bahwa di dusun Wonogriyo itu 

terdapat candi. Demikian pula ketika dalam Nagarakertagama 

dinyatakan sebuah candi didirikan di desa Lumbang, peneliti 

tidak dapat menyimpulkan bahwa di desa Lumbang ada 

candi sebab  unsur dan komponen bangunan candi tidak 

ditemukan. Apalagi jika diingat nama-nama desa dapat 

berubah-ubah sepanjang waktu. Lebih sukar lagi bagi peneliti 

jika menemukan kumpulan batu yang dapat diduga sebagai 

susunan dinding bangunan, tetapi ternyata hanya merupakan 

tumpukan batu candi yang dilakukan oleh penduduk. Asli 

batunya tetapi palsu susunannya. Banyak kasus membuktikan 

hasil dari proses transformasi kultural semacam itu sering 

dijumpai peneliti. Rita Istari kemudian menulis bahwa setelah 

diteliti lebih lanjut ternyata batu-batu itu merupakan 23 

umpak-umpak batu dengan berbagai ukuran. Dengan uraian 

ini para pembaca diperkenalkan dengan satu cerita bagaimana 

sulitnya menemukan candi jika batu-batu yang ditemukan 

tidak mewakili komponen bangunan semacam itu.

Tulisan Gunadi K. “Candi Tegalrandu: Bukti Tinggalan 

Majapahit di Lumajang” memberi pelajaran kepada kita bahwa 

tujuan semula untuk meneliti pemukiman prasejarah di tepi 

danau ternyata beralih kepada mengkaji sisa bangunan candi 

yang semula tidak diduga keberadaannya. Di dekat (danau) 

Ranu Klakah, desa Tegalrandu, ditemukan sisa bangunan bata 

yang diduga bagian dari fondasi candi. Namun di lokasi ini 

juga terdapat tinggalan masa prasejarah. berdasar  data ini 

danau ini dapat disimpulkan sebagai “catchment area” 

xiMajapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

bagi para pemukim masa prasejarah dan masa Hindu-Buda. 

Di desa ini ditemukan tinggalan masa prasejarah berupa 

struktur (enclosure) batu andesit berdenah segi empat di atas 

(bukan di bawah) struktur lantai dari bata berukuran besar 

yang biasa digunakan pada masa Hindu-Buda dan Islam. 

Urutan kronologis dari “lapisan budaya terbalik” semacam 

ini agaknya perlu kelak diverifikasi. Tetapi setelah ekskavasi 

diperluas ke sektor “Kandang Sapi” peneliti menemukan sisa 

candi bata berukuran 5 x 5 meter pada kedalaman 1 meter 

di bawah permukaan. Sisa bangunan yang menghadap ke 

timur ini kemudian diberi nama Candi Tegalrandu. Namun, 

penggalian untuk menelusuri bentuk dan luas bangunan itu 

terpaksa dihentikan sebab  keterbatasan waktu, dana dan 

tenaga, satu hal yang amat umum dialami para peneliti di 

lapangan. Melalui uraian Gunadi juga para pembaca diingatkan 

mengenai hakekat penelitian kualitatif yang tidak selamanya 

konsisten dengan rencana penelitian yang dirancang sebelum 

terjun ke lapangan.