Tampilkan postingan dengan label d-n-aidit-biografi. 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label d-n-aidit-biografi. 1. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Juli 2025

d-n-aidit-biografi. 1

 




Aidit, Lukman, dan Njoto bahu-membahu membesarkan partai. Karena perempuan, 

Njoto tersisih.

Madiun, 19 September 1948…

Revolusi memakan anak sendiri. Sebelas pemimpin teras PKI tewas. Muso, Amir 

Sjarifuddin, dan Maruto Darusman ditembak mati di Desa Ngalihan, Solo.

Partai limbung, tercerai-berai. Tiba-tiba muncul tiga anak muda, Aidit, Njoto, dan 

Lukman, bagaikan The Three Musketeers. Mereka muncul menjadi tulang punggung 

partai. Ketiganya menghidupkan partai—dan bisa membuat lebih besar. Mereka kemudian 

dikenal sebagai trisula PKI: Sekretaris Jenderal, Wakil Sekjen I, dan Wakil Sekjen II.

Kisah persahabatan—dan konflik—tiga sahabat itu menarik dikenang.

Dipa Nusantara Aidit pertama kali bertemu dengan Mohamad Hakim Lukman pada 1943 

di Menteng 31, Jakarta. Bekas Hotel Schomper itu terkenal sebagai sarang para pemuda 

aktivis kemerdekaan. Mereka bergabung dengan Gerakan Indonesia Merdeka. Aidit tiga 

tahun lebih muda daripada Lukman, yang ketika itu baru 23 tahun. Aidit kemudian 

menjadi Ketua Dewan Politik Gerakan Indonesia Merdeka, dan Lukman anggota.

Sejak itu, Aidit dan Lukman menjadi akrab dan seolah ditakdirkan melakoni sejarah hidup 

yang sama. Keduanya pada 1944 terpilih masuk Barisan Pelopor Indonesia—kumpulan 

100 pejuang paling setia kepada Bung Karno. Keduanya pernah dijebloskan ke penjara 

Jatinegara oleh Polisi Militer Jepang karena ikut menggerakkan demonstrasi di Lapangan 

Ikada pada 19 September 1945. Keduanya juga pernah ditangkap dan ditawan di Pulau 

Onrust, Jakarta Utara, selama tujuh bulan.

Keduanya bersama memilih jalan komunis dan berguru ke tokoh-tokoh komunis senior. 

Saat menjadi penghuni Menteng, mereka misalnya menjalin kontak dengan Widarta, 

penanggung jawab organisasi bawah tanah PKI Jakarta. Widarta adalah kawan akrab 

Wikana, pemimpin PKI Jawa Barat yang terkenal cerdas. Aidit dan Lukman terkesan pada 

Wikana.

2

Sampai-sampai, setelah bebas dari Onrust, mereka mencari Wikana di Yogyakarta. Di 

Yogya saat itu, pemimpin PKI Sardjono, eks Digulis, baru saja memindahkan kantor pusat 

PKI di Jalan Boemi 29, Solo, ke Jalan Bintaran, Yogyakarta. Aidit dan Lukman kemudian 

tinggal di Yogya. Mereka menghidupkan majalah dwibulanan Bintang Merah. Di sinilah 

keduanya lalu bertemu Njoto. Njoto saat itu 19 tahun. Pemuda berkacamata tebal itu 

adalah wakil PKI Banyuwangi dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Sejak itulah terjalin persahabatan antara Aidit, Njoto, dan Lukman. Saat KNIP bersidang di 

Malang pada Maret 1947, Aidit terpilih menjadi Ketua Fraksi PKI, Njoto memimpin Badan 

Pekerja KNIP. Aidit, Njoto, dan Lukman kemudian masuk Komisi Penterjemah PKI di 

awal 1948, yang tugasnya menerjemahkan Manifes Partai Komunis karya Karl Marx dan 

Friedrich Engels.

Pada Agustus 1948, tiga serangkai ini sama-sama menjadi anggota Comite Central PKI. 

Aidit mengurus agraria, Lukman di sekretariat agitasi dan propaganda, sedangkan Njoto 

menjalin relasi dengan badan-badan perwakilan.

Hingga pecahlah geger Madiun….

Aidit sempat tertangkap, tapi dibebaskan karena tak ada yang mengenalnya. Ibarruri Putri 

Alam, putri sulung Aidit, melukiskan, ayahnya bisa lolos ke Jakarta dengan menyamar 

menjadi pedagang Cina. ”Rambutnya digundul habis, Papa ikut iring-iringan konvoi 

barang.” Njoto dan Lukman, kemudian menyusul Aidit ke Jakarta.

Di Jakarta, trio Aidit-Lukman-Njoto ditempa. ”Mereka menggodok orientasi partai,” kata 

Sumaun Utomo, kini 85 tahun, bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI, mengenang. 

Terbunuhnya banyak kader dalam Peristiwa Madiun membuat mereka harus mandiri. 

”Mereka jadi independen karena tak punya lagi tempat bertanya,” kata Murad Aidit dalam 

bukunya, Aidit Sang Legenda.

Mereka diam-diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan membentuk Onder Seksi 

Comite di tingkat kecamatan. Adapun organisasi dijalankan lewat sistem komisariat di 

Comite Central. Situasinya sulit karena setiap kabinet alergi komunisme.

3

Sampai-sampai itu membuat trio Aidit-Lukman-Njoto harus bersembunyi dengan 

menyamar. Aidit dan Lukman bahkan pernah disiarkan pergi ke Cina pada 1949. Padahal 

itu hanya bualan belaka untuk mengecoh pengejaran. Ada yang bilang sesungguhnya 

mereka ke Medan. Ada yang bilang ke Jakarta. ”Mereka sering menginap di rumah seorang 

kawan di Kemayoran,” tulis sejarawan Prancis, Jacques Leclerc, dalam Aidit dan Partai Pada 

Tahun 1950.

Dalam situasi serba repot itu, Aidit dan Lukman justru nekat kembali menerbitkan Bintang 

Merah pada 15 Agustus 1950. Dua pekan sekali mereka meluncurkan stensilan Suara 

Rakjat, embrio Harian Rakjat yang menjadi koran terbesar dengan oplah 55 ribu per hari. 

Njoto bergabung di redaksi pada Januari 1951.

Dua tahun kemudian, tiga sahabat kelompok Bintang Merah ini memimpin partai. Aidit 

menjadi sekretaris jenderal, Lukman wakil sekjen I, dan Njoto wakil sekjen II (jabatan ini 

diganti menjadi ketua dan wakil ketua pada 1959).

Sebagai ketua, Aidit memelototi politik secara umum. Lukman, yang jago main sepak 

bola, memimpin Front Persatuan. Urusan agitasi dan propaganda kini diemban Njoto. Tak 

cuma berorganisasi, untuk meluaskan jaringan, mereka mendirikan sekolah, dari tingkat 

dasar sampai universitas.

Usaha itu berbuah. Pada Pemilihan Umum 1955, PKI menclok di urutan keempat. Hasil itu 

membuat Aidit optimistis partainya bisa meraih posisi nomor satu sebelum 1975. ”Asalkan 

keadaan berjalan normal,” kata Murad mengutip ucapan kakaknya.

Kenyataannya, cita-cita itu terempas. Tragedi 1965 menguak cerita bahwa tiga sekawan itu, 

meski di luar tampak guyub, ternyata tidak melulu solid.

Aidit dan Njoto, misalnya, amat berbeda pendapat soal teori revolusi. Aidit percaya kup 

yang didukung sedikitnya 30 persen tentara bisa bermutasi menjadi revolusi. Aidit saat itu, 

menurut Manai Sophiaan (almarhum)—dalam sebuah tulisannya—terinspirasi oleh 

kudeta di Aljazair pada Juni 1965. Saat itu Kolonel Houri Boumedienne mengambil alih 

kekuasaan dari tangan Presiden Ben Bella.

4

Sebaliknya, Njoto justru mempertanyakan kesahihan teori itu. Bahkan, dalam 

wawancaranya dengan koresponden Asahi Shimbun di Jakarta pada 2 Desember 1965—dua 

pekan sebelum ia dinyatakan ”hilang”—ia tak yakin Gerakan 30 September dapat 

dikategorikan sebagai kudeta yang bisa menjadi revolusi. ”Revolusi siapa melawan siapa?” 

kata Njoto. Ia bahkan menyangsikan premis Letnan Kolonel Untung soal Dewan Jenderal 

bisa membenarkan kup.

Soetarni, bekas istri Njoto—kini 79 tahun—ingat, sesungguhnya menjelang petaka 1965 

suaminya yang pandai main musik dan dandy sudah disingkirkan Aidit. Masalahnya adalah 

kedekatan Njoto dengan Soekarno. Njoto kerap menulis naskah pidato si Bung. Soekarno 

pernah menyebut Njoto sebagai Marhaen sejati. Aidit malah melihat Njoto ”dipakai” 

Soekarno. ”Di mata Soekarno, Njoto pertama-tama adalah nasionalis, itu baru komunis,” 

kata Aidit saat itu.

Tapi, menurut Sumaun, Njoto tersingkir karena punya pacar orang Rusia. Namanya Rita. 

Gara-gara itulah seluruh posisi dipreteli oleh Aidit. Tidak etis, menurut Aidit, seorang 

pentolan partai yang sudah berkeluarga memiliki pacar.

Saat ditanyai Tempo bagaimanakah sesungguhnya hubungan Njoto dan Rita, Soetarni tak 

menyembunyikan hal itu. Ia mengaku semula tidak menaruh curiga pada Rita. Mereka 

bahkan kerap bertukar suvenir. Rita mengiriminya kosmetik, Soetarni membalasnya 

dengan batik. Hingga datanglah sepucuk surat dari Rusia. Isinya: perempuan 20-an tahun 

itu jatuh cinta dan ingin menikahi suaminya.

Soetarni jelas marah. Tapi anak ningrat Solo itu cuma bisa menumpahkannya kepada salah 

satu pamannya. ”Njoto tahu kalau saya marah. Ia kemudian minta maaf,” kata Soetarni.

Njoto akhirnya disidang CC. Ia dipecat dari Biro Agitasi dan dari kursi Pemimpin Redaksi 

Harian Rakjat. ”Hal itu dilakukan karena bila dibiarkan akan merusak partai di mata orang 

lain,” kata Sumaun.

”Three Musketeers” retak. Lalu terjadilah tragedi 1965….

5

*** Dua Wajah Dipa Nusantara ***

EMPAT puluh dua tahun berlalu dan kini kita mengenang lelaki itu dengan kebencian dan 

rasa kagum. Dipa Nusantara Aidit memimpin Partai Komunis Indonesia pada usia belia, 31 

tahun. Ia hanya perlu setahun untuk melambungkan PKI ke dalam kategori empat partai 

besar di Indonesia. PKI mengklaim memiliki 3,5 juta pendukung dan menjadi partai 

komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina. Aidit 

memimpikan revolusi, ia berkhayal tentang Indonesia tanpa kelas. Tapi ia terempas dalam 

prahara 1965. Setelah itu, ia jadi mitos. Seperti juga peristiwa G-30-S, kisah tentangnya 

dipenuhi mitos dan pelbagai takhayul. Siapa Aidit ini sebenarnya?

BERTAHUN-TAHUN orang mengenalnya sebagai ”si jahat”. Lelaki gugup berwajah dingin 

dengan bibir yang selalu berlumur asap rokok. Bertahun-tahun terdengar kalimat-kalimat 

ini meluncur dari mulutnya: ”Djawa adalah kunci…”; ”Djam D kita adalah pukul empat 

pagi…”; ”Kita tak boleh terlambat…!”

Dipa Nusantara Aidit pada 1980-an adalah Syu’bah Asa. Seniman dan wartawan ini 

memerankan Ketua Umum Comite Central Partai Komunis Indonesia itu dalam film 

Pengkhianatan G-30-S/PKI. Setiap 30 September film itu diputar di TVRI. Lalu di depan 

layar kaca kita ngeri membayangkan sosoknya: lelaki penuh muslihat, dengan bibir 

bergetar memerintahkan pembunuhan itu.

Di tempat lain, terutama setelah Orde Baru runtuh dan orang lebih bebas berbicara, PKI 

didiskusikan kembali. Juga Aidit. Pikiran-pikirannya dipelajari seperti juga doktrin-doktrin 

Marxisme-Leninisme. Dalam sebuah diskusi di Yogyakarta, seorang penulis muda pernah di 

luar kepala mengutip doktrin 151—ajaran dasar bagi kaum kiri dalam berkesenian. Diam-

diam komunisme dipelajari kembali dan Aidit menjadi mitos lain: sang idola.

Dia memulai ”hidup” sejak belia. Putra Belitung yang lahir dengan nama Achmad Aidit itu 

menapaki karier politik di asrama mahasiswa Menteng 31—sarang aktivis pemuda ”radikal” 

kala itu. Bersama Wikana dan Sukarni, ia terlibat peristiwa Rengasdengklok—penculikan 

Soekarno oleh pemuda setelah pemimpin revolusi itu dianggap lamban 

memproklamasikan kemerdekaan. Ia terlibat pemberontakan PKI di Madiun, 1948. 

6

Usianya baru 25 tahun. Setelah itu, ia raib tak tentu rimba. Sebagian orang mengatakan ia 

kabur ke Vietnam Utara, sedangkan yang lain mengatakan ia bolak-balik Jakarta-Medan. 

Dua tahun kemudian, dia ”muncul” kembali.

Aidit hanya butuh waktu setahun untuk membesarkan kembali PKI. Ia mengambil alih 

partai itu dari komunis tua—Alimin dan Tan Ling Djie—pada 1954, dalam Pemilu 1955 

partai itu sudah masuk empat pengumpul suara terbesar di Indonesia. PKI mengklaim 

beranggota 3,5 juta orang. Inilah partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan 

Republik Rakyat Cina.

Dalam kongres partai setahun sebelum pemilu, Aidit berpidato tentang ”jalan baru yang 

harus ditempuh untuk memenangkan revolusi”. Dipa Nusantara bercita-cita menjadikan 

Indonesia negara komunis. Ketika partai-partai lain tertatih-tatih dalam regenerasi kader, 

PKI memunculkan anak-anak belia di tampuk pimpinan partai: D.N. Aidit, 31 tahun, M.H. 

Lukman (34), Sudisman (34), dan Njoto (27).

Tapi semuanya berakhir pada Oktober 1965, ketika Gerakan 30 September gagal dan 

pemimpin PKI harus mengakhiri hidup di ujung bedil. Aidit sendiri tutup buku dengan 

cara tragis: tentara menangkapnya di Boyolali, Jawa Tengah, dan ia tewas dalam siraman 

satu magazin peluru senapan Kalashnikov serdadu.

l l l

LAHIR dari keluarga terpandang di Belitung, Sumatera Selatan, 30 Juli 1923, D.N. Aidit 

adalah anak sulung dari enam bersaudara—dua di antaranya adik tiri.

Ayahnya, Abdullah Aidit, adalah mantri kehutanan, jabatan yang cukup terpandang di 

Belitung ketika itu. Ibunya, Mailan, lahir dari keluarga ningrat. Ayah Mailan seorang tuan 

tanah. Orang-orang Belitung menyebut luas tanah keluarga ini dengan ujung jari: sejauh 

jari menunjuk itulah tanah mereka. Adapun Abdullah Aidit adalah anak Haji Ismail, 

pengusaha ikan yang cukup berhasil.

Tak banyak fakta yang menguraikan kehidupannya pada periode Belitung ini kecuali 

keterangan dari Murad Aidit, anak bungsu Abdullah-Mailan. Meski disebut-sebut bahwa 

7

Achmad adalah kakak yang melindungi adik-adiknya, ada pula cerita yang menyebutkan 

ia sebetulnya tak peduli benar dengan keluarga. Kepada Murad, suatu ketika saat mereka 

sudah di Jakarta, Aidit pernah mengatakan satu-satunya hal yang mengaitkan mereka 

berdua adalah mereka berasal dari ibu dan bapak yang sama. Tidak lebih. Dengan kata lain, 

Achmad tak peduli benar soal ”akar”.

Di Belitung, ia bergaul dengan banyak orang. Ia menjadi bagian dari anak pribumi, tapi 

juga bergaul dengan pemuda Tionghoa. Simpatinya kepada kaum buruh dimulai dari 

persahabatannya dengan seorang pekerja Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, tambang 

timah di kampung halamannya.

Tapi seorang bekas wartawan Harian Rakjat, koran yang berafiliasi dengan PKI, menangkap 

kesan lain tentang Aidit. Katanya, Dipa Nusantara bukan orang yang mudah didekati. Ia 

tegang, ia tak ramah. ”Saya tak pernah merasa nyaman bila bersamanya,” kata bekas 

wartawan itu. Dalam hal ini, potret Arifin C. Noer, sutradara Pengkhianatan G-30-S/PKI, 

tentang Aidit mungkin tak kelewat salah: Aidit adalah pegiat partai yang dingin—

mungkin cenderung kering.

Tak seperti Njoto, ia tak flamboyan. Ia tak main musik. Kisah cintanya jarang terdengar, 

kecuali dengan Soetanti, dokter yang belakangan menjadi istrinya. Pernah terdengar kabar 

ia menyukai seorang gadis yang juga dicintai sastrawan kiri, Utuy Tatang Sontani. Tapi tak 

ada perselisihan yang berarti. Ketika gadis itu menikah dengan lelaki lain, keduanya cuma 

tersenyum simpul.

Aidit memang menulis puisi, tapi sajak-sajaknya miskin imajinasi. Puisi-puisinya pernah 

ditolak dimuat di Harian Rakjat, koran yang sebetulnya berada di bawah kendalinya. 

Untuk itu ia murka, ia membanting telepon. Ada dugaan ia menulis sajak karena Mao 

Tse-Tung menulis sajak. Dikabarkan pernah pula ia berenang di sepotong sungai di Jakarta 

karena tahu Ketua Mao pernah menyeberangi Sungai Yang-Tse di Cina.

Tapi, apa pun, ia memimpin partai yang berhasil—setidaknya sampai G-30-S membuatnya 

porak-poranda. Kini peristiwa itu dikenal dengan pelbagai tafsir dengan Aidit sebagai 

tokoh yang selalu disebut.

8

Buku putih pemerintah Orde Baru menyebutkan PKI adalah dalang prahara itu. Tujuannya 

jelas: menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Hasil studi sejumlah Indonesianis asal 

Cornell University, Amerika Serikat, menyimpulkan kejadian itu adalah buah konflik 

internal Angkatan Darat. Studi ini disokong penelitian lain yang dilakukan Coen 

Holtzappel.

Ada pula yang yakin Amerika Serikat dan CIA yang menjadi dalang. Bekerja sama dengan 

klik tertentu dalam Angkatan Darat, AS memprovokasi PKI untuk menjatuhkan Soekarno. 

Peneliti Geoffrey Robinson termasuk yang mempercayai skenario ini.

Yang lain percaya ada skenario Inggris dan CIA yang bertemu untuk menjatuhkan 

Soekarno yang prokomunis. Ada pula yang berpendapat G-30-S adalah skenario Soekarno 

untuk melenyapkan oposisi tertentu dalam Angkatan Darat.

l l l

D.N. AIDIT sebetulnya punya sejumlah modal untuk melancarkan revolusi—sesuatu yang 

dipercaya kaum komunis bisa menjadikan masyarakat lebih baik: masyarakat tanpa kelas. Ia 

dekat dengan Soekarno, ia punya massa. Tapi PKI punya kelemahan: mereka tak punya 

tentara. Pengalaman partai komunis di banyak negara menunjukkan kekuatan bersenjata 

di bawah kendali partai adalah esensial karena, seperti kata Mao, kekuasaan lahir dari laras 

bedil. PKI pernah mengusulkan dibentuknya angkatan kelima—dengan mempersenjatai 

buruh dan tani—tapi gagasan itu segera ditentang tentara.

Mengatasi keadaan, Aidit datang dengan teorinya sendiri. Sebuah revolusi bisa dimulai 

dengan kudeta asalkan kup itu disokong 30 persen tentara. Kabarnya, gagasan ini sempat 

dipersoalkan aktivis partai komunis negara lain karena ide itu tak ada dalam ajaran 

Marxisme.

Di sinilah muncul spekulasi bahwa Aidit ”berjalan sendiri”. Indikasi yang paling sering 

disebut adalah ketika ia mendirikan Biro Chusus bersama Sjam Kamaruzzaman—tokoh 

misterius yang bahkan tak banyak dikenal oleh petinggi PKI sendiri. Pendirian Biro Chusus 

menjadi bahan gunjingan karena dilakukan tanpa konsultasi dengan anggota Comite 

9

Central yang lain. Sudisman menyebut ada dua faksi dalam partainya: PKI legal dan PKI 

ilegal. Yang terakhir ini adalah sindiran Sudisman terhadap Biro Chusus.

Itulah sebabnya, di hadapan seorang wartawan Harian Rakjat, 6 Oktober 1965, Njoto 

pernah bertanya kepada Lukman tentang apa yang terjadi dengan G-30-S. Lukman 

menggeleng.

Njoto, dalam wawancaranya dengan Asahi Shimbun, 2 Desember 1965—dua pekan 

sebelum ia dinyatakan ”hilang”—menyerang keyakinan Aidit tentang kudeta yang bisa 

bermutasi menjadi revolusi itu. ”Revolusi siapa melawan siapa? Apakah dengan demikian 

premis Untung (Letnan Kolonel Untung, pemimpin aksi G-30-S—Red.) mengenai 

adanya Dewan Jenderal itu membenarkan coup d’etat?” tanya Njoto.

Aiditkah dalang tunggal prahara G-30-S? Dalam diskusi internal redaksi Tempo, Ibarruri 

Putri Alam, anak sulung D.N. Aidit, menyangkalnya. Iba, kini bermukim di Paris, Prancis, 

meyakini bapaknya pun tak tahu-menahu soal pembunuhan para jenderal. Dari sejumlah 

studi yang dibacanya, ditemukan bahwa saat dibawa ke Halim, Jakarta Timur, oleh aktivis 

PKI tak lama setelah pembunuhan terjadi, Aidit bertanya-tanya, ”Saya mau dibawa ke 

mana?”

Di sinilah muncul spekulasi lain: Aidit ditelikung Sjam Kamaruzzaman. Skenario ini bukan 

tak punya argumentasi. Sebuah studi misalnya mengutip keterangan Mayor Angkatan 

Udara Soejono yang berbincang dengan Aidit pada 30 September malam. Kepada 

Soejono, Aidit membenarkan kabar bahwa informasi-informasi penting yang ditujukan 

kepadanya harus melalui Sjam.

Persoalannya, menurut Soejono, rapat-rapat Politbiro menjelang G-30-S hanya 

memerintahkan penangkapan para jenderal—untuk diserahkan kepada Bung Karno—

bukan pembunuhan. Ketidaksetujuan terhadap analisis militer Sjam juga telah disampaikan 

seorang komandan batalion gerakan yang kemudian ditahan di Rumah Tahanan Militer 

Salemba.

10

Begitukah? Tak pernah ada jawaban tunggal atas prahara yang menewaskan ratusan ribu 

orang tersebut. Tidak buku putih Orde Baru, tidak juga keyakinan Ibarruri. Sejarah adalah 

sebuah proses menafsirkan.

Apa yang disajikan dalam Liputan Khusus Tempo kali ini adalah upaya mengetengahkan 

versi-versi itu. Juga ikhtiar membongkar mitos tentang D.N. Aidit. Bahwa ia bukan 

sepenuhnya ”si brengsek”, sebagaimana ia bukan sepenuhnya tokoh yang patut jadi 

panutan.

11

*** Masa Kecil di Belitung ***

Datang dari keluarga terhormat, bibit komunisme tumbuh dalam diri Aidit ketika 

menyaksikan nasib buruh kecil di perusahaan tambang timah di Belitung.

ACHMAD Aidit lahir pada 30 Juli 1923 di Jalan Belantu 3, Pangkallalang, Belitung. 

Ayahnya Abdullah Aidit dan ibunya Mailan. Abdullah adalah mantri kehutanan, jabatan 

yang cukup bergengsi di Belitung ketika itu. Mailan lahir dari keluarga ningrat Bangka 

Belitung.

Ayah Mailan bernama Ki Agus Haji Abdul Rachman. Titel ki pada nama itu mencirikan ia 

ningrat. Dia juga tuan tanah. Orang-orang Belitung menyebut luas tanah keluarga ini 

dengan ujung jari. Maksudnya, sejauh jari menunjuk, itulah tanah mereka. Adapun 

Abdullah Aidit, anak Haji Ismail, seorang pengusaha ikan yang makmur. Mereka memiliki 

puluhan sero, semacam tempat penangkapan ikan di laut, dan pemasok ikan terbesar ke 

sejumlah pasar.

Ya, Achmad yang belakangan berganti nama menjadi Dipa Nusantara (D.N.) Aidit 

memang datang dari keluarga terhormat.

Karena datang dari kaum terpandang itulah keluarga ini gampang bergaul dengan polisi di 

tangsi, orang-orang Tionghoa di pasar, dan none-none Belanda di Gemeenschapelijke 

Mijnbouw Billiton, sebuah perusahaan tambang timah milik Belanda.

Berdiri pada 1825, perusahaan itu hanya dua kilometer dari rumah Aidit. Dinasionalisasi 

pada era Soekarno, firma ini berubah menjadi PT Pertambangan Timah Balitung, lalu 

ditutup pada April 1991 setelah stok timah di kawasan itu merosot.

Selain mudah bergaul dengan tuan-tuan Belanda, anak-anak Abdullah juga gampang 

masuk Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah menengah pemerintah Belanda ketika 

itu. Kini bangunan sekolah itu masih tegap berdiri dan berganti wujud menjadi Sekolah 

Menengah Pertama Negeri 1 Tanjung Pandan.

12

Abdullah punya delapan anak. Semua lelaki. Dari perkawinan dengan Mailan, lahir 

Achmad, Basri, Ibrahim (meninggal dunia ketika dilahirkan) dan Murad. Abdullah 

kemudian menikah lagi dengan Marisah dan melahirkan Sobron dan Asahan. Keenam 

anaknya itu menyandang nama belakang Aidit–nama keluarga, ”Namun bukan marga,” 

kata Ibarruri Aidit, putri sulung D.N. Aidit. Dua anak lainnya, Rosiah dan Mohammad 

Thaib, adalah anak bawaan Marisah dengan suami sebelumnya.

Walau dididik di sekolah Belanda, anak-anak Abdullah tumbuh dalam keluarga yang rajin 

beribadah. Abdullah adalah tokoh pendidikan Islam di Belitung. Dia pendiri Nurul Islam, 

organisasi pendidikan Islam dekat kawasan pecinan di kota itu. Hingga kini sekolah itu 

masih tegak berdiri.

Sepulang sekolah, Aidit dan adik-adiknya belajar mengaji. Guru mereka Abdurracham, 

adik ipar Abdullah. Setelah mengaji, Achmad dan adik-adiknya meluncur ke sungai 

mengambil air. Sebagai kakak tertua, Achmad biasanya membawa jeriken paling besar.

Orang-orang di Jalan Belantu mengenal Achmad Aidit sebagai tukang azan. Seperti di 

sebagian besar wilayah Indonesia saat itu, Belitung juga belum punya pengeras suara guna 

mengumandangkan azan. “Karena suara Bang Achmad keras, dia kerap diminta 

mengumandangkan azan,” kata kata Murad Aidit.

Dari delapan anak Abdullah, Achmad adalah yang paling mudah bergaul. Rupa-rupa geng 

remaja di Belitung ia dekati. Setidaknya, ada empat geng di sana: geng kampung, anak 

benteng, geng Tionghoa, dan geng Sekak.

Geng kampung adalah kumpulan anak pribumi. Achmad dan adik-adiknya masuk 

kelompok ini. Anak polisi yang datang dari Jawa masuk kelompok anak benteng atau 

kerap juga disebut anak tangsi–menyebut asrama tempat tinggal polisi.

Kelompok ketiga adalah geng Tionghoa. Orang tua mereka berdagang di pasar dan 

pelabuhan Belitung. Karena tinggal di pasar, geng itu punya nama lain yakni geng pasar. 

Kawasan ini cuma 500 meter dari rumah Aidit. Achmad kerap nongkrong bersama anak-

anak geng pasar ini. Saat ini kawasan pecinan itu masih berdiri tegak bahkan berbiak. 

13

Sejumlah toko dan papan jalan ditulis dengan aksara Cina. Kelompok anak muda yang 

terakhir adalah geng Sekak. Mereka datang dari keluarga yang kerap berpindah tempat 

tinggal, semacam kaum gypsy di Eropa.

Antargeng kerap terjadi baku pukul. Situasi yang serba keras itu membuat Aidit 

membesarkan otot. Dia rajin berlatih tinju dan olahraga angkat besi. Mungkin karena 

sering angkat besi, tubuh Aidit lebih gempal daripada adik-adiknya.

Aidit menjadi pelindung saudara-saudaranya dari perseteruan antargeng. Tapi dia tidak 

main hajar. Suatu hari Murad baku pukul dengan seorang anak geng tangsi. Si bungsu ini 

mengadu ke kakak sulungnya itu.

Diam-diam Aidit melacak lawan sang adik. Pulang ke rumah, Aidit bilang kepada Murad, 

”Kau lawan saja sendiri.” Dari pelacakan itu, rupanya Aidit tahu bahwa musuh itu masih 

sebanding dengan adiknya. Aidit rupanya cuma membantu kalau lawannya lebih besar.

Walau pertikaian cukup sengit, Achmad mudah bergaul dengan pelbagai geng. Dia, 

misalnya, kerap pulang malam karena menonton wayang bersama anak-anak benteng di 

tangsi. Dia juga kerap nongkrong di pasar bersama anak-anak Tionghoa. Kedekatan 

dengan geng ini lantaran mereka satu sekolah di HIS.

Aidit juga rajin menelusuri sungai bersama anak-anak Sekak. Mereka kerap berlomba 

berenang di sungai dekat Gunung Tajam, sekitar 20 kilometer dari Belitung. Suatu hari 

perlombaan dimulai dengan salto dari sebuah batu besar. Anak-anak gunung 

melakukannya dengan sempurna. Tapi Achmad menang, “Karena dia bisa melakukan 

kontra-salto,” kata Murad.

Aidit juga kerap melindungi adik-adiknya dari sikap keras sang ayah. Suatu petang Basri 

pernah bertindak ceroboh. Dia melepas 15 ekor itik dari kandang milik keluarga itu. 

Abdullah yang mendengar kisruh ini murka besar. Melihat adiknya dalam bahaya, Achmad 

mengaku dialah penyebab kaburnya itik-itik itu. Tak rela Basri dimarahi, Achmad sejak 

petang hingga magrib ke sana-kemari mencari kawanan unggas itu.

14

Pergaulan Achmad memang lebih laju daripada remaja seusianya. Selain gemar berkumpul 

dengan pelbagai kelompok remaja itu, dia juga bergaul dengan buruh di 

Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton.

Letak perusahaan itu sekitar dua kilometer dari rumah Aidit. Boleh jadi semangat anti-

Belanda dan perjuangan antikelas di kemudian hari bermula dari tambang itu. Saban hari 

Aidit melihat buruh berlumur lumpur, bermandi keringat, dan hidup susah. Sedangkan 

meneer Belanda dan tuan-tuan dari Inggris hura-hura.

Perusahaan ini menyediakan societet, gedung khusus tempat petinggi perusahaan dan 

none-none Belanda menonton film terbaru sembari menenggak minuman keras. Buruh 

tambang itu cuma bisa menelan ludah dan sesekali mengintip bioskop.

Tertarik mendalami hidup para buruh, Achmad mendekati mereka. Tapi tak mudah karena 

para buruh cenderung tertutup. Sampai suatu hari Achmad melihat seorang buruh sedang 

menanam pisang di pekarangan rumah. Achmad menawarkan bantuan. Tertegun sebentar, 

si buruh itu mengangguk. Aidit lalu mencangkul.

Sejak saat itu Aidit bersahabat dengan buruh itu. Kian hari hubungan mereka kian dekat. 

Kadang mereka ngobrol sembari menyeruput kopi dan mengudap singkong rebus. Dari 

ngobrol-ngobrol santai itulah Aidit kemudian tahu kesulitan para buruh, juga soal pesta-

pora petinggi tambang.

Pergaulan dengan kaum buruh itu, menurut Murad, yang menentukan jalan pikiran dan 

sikap politik Achmad setelah di Jakarta. Hingga akhir ia memimpin partai komunis dan 

tenggelam dalam peristiwa yang dikenal dengan Gerakan 30 September.

60 | TEMPO 1 OktOber 2007

SilSilah keluarga aidit

ranting  

yang terberai

AcHMAD ”Dipo Nusantara” Aidit tak lahir dari ke-luarga komunis. Ayahnya, Abdullah Aidit, adalah mus-lim taat dan pemuka masyarakat yang dihormati. ka-kek dari garis ibu, ki Agus Haji Abdul rachman, adalah 

pendiri batu Itam, kampung di pesisir di barat belitung, seki-

tar 15 kilometer utara tanjungpandan. tapi garis hidup dan 

politik ideologi mencerai-beraikan anak dan cucu Abdullah. 

kini mereka hidup terpisah, sebagian menjadi eksil di eropa. 

Achmad Aidit alias 

Dipa Nusantara Aidit 

(30 Juli 1923-23 November 1965)

Sejak kecil dikenal pemberani. karena sua-

ranya nyaring, dia sering menjadi tukang 

azan di surau dekat rumahnya. Sewaktu 

dia memutuskan ke Jakarta, setelah kha-

tam ngaji, neneknya khawatir dia menjadi 

Serani (kristen). Di Jakarta Achmad tertarik 

pada Marxisme dan aktif berpolitik.

basri Aidit 

(1925-1992)

boleh dibilang dia agak jauh 

dari dunia D.N. Aidit. ketika ka-

kaknya sukses memimpin par-

tai, basri cuma pegawai biasa 

di Dinas Pekerjaan Umum ta-

nah Abang, Jakarta. toh, ketika 

anggota PkI dikejar-kejar, basri 

ikut dikirim ke Pulau buru. Dia 

bebas pada 1980.

Moedigdo

Ayahnya, koesoemodikdo, 

adalah bupati pertama tu-

ban. tapi Moedigdo menolak 

mewarisi jabatan yang diang-

gapnya hanya 

antek penjajah. Moedigdo ke-

mudian merantau ke Medan 

dan bertemu serta menikah 

dengan Siti Aminah. 

Siti Aminah

keturunan ningrat 

Minang ini adalah teman 

sekolah Sutan Sjahrir. 

Menurut Ibarruri–putri 

sulung D.N. Aidit–ne-

neknya yang berbadan 

besar itu sering mem-

bantu Sjahrir dalam 

perkelahian di sekolah. 

Dokter Soetanti

(1924 - 1991)

Dia dokter Indonesia pertama yang menguasai akupunktur. 

kerabat ayahnya, r.M. Soesalit, anak tunggal r.A. kartini, 

membantu membiayai sekolah Soetanti. Selepas dari penjara 

Orde baru pada 1980, dia kembali praktek, termasuk membe-

rikan pengobatan gratis untuk para tetangga miskinnya di Pon-

dok Gede, Jakarta. ”ketika Ibu meninggal, orang kampung me-

layat sambil membawa ayam dan kelapa,” kata Ilham Aidit.

Ibarruri Putri 

Alam

(58 tahun)

Menginjakkan kaki per-

tama kali di Moskow, 

rusia, pada 1958. kini 

dia menetap di Paris 

dan bekerja sebagai 

perawat. tahun lalu dia 

menerbitkan otobiografi 

berjudul Anak Sulung 

D.N. Aidit. 

Ilya Aidit

(56 tahun)

Dia bergabung dengan 

kakaknya di Moskow 

pada usia 8 tahun. 

Setelah G30S, Ilya 

ikut Ibarruri berke-

lana ke cina, burma, 

Makao, dan akhirnya 

menetap di Paris.

Iwan Aidit

(55 tahun)

Setelah berpisah dari orang tua, 

Iwan bersama kedua adiknya, 

Ilham dan Irfan, menumpang 

di rumah keluarga Mulyana, 

saudara ibunya di bandung. Lu-

lus dari teknik Pertambangan In-

stitut teknologi bandung, Iwan 

sepenuhnya jadi profesional dan 

mencari hidup di luar negeri. kini 

ia menjadi warga negara kanada 

dan bekerja untuk Petronas, peru-

sahaan minyak Malaysia.

1 OktOber 2007 TEMPO | 61

Abdullah Aidit

(Meninggal 1968)

Dia ikut membesarkan Nurul Islam, se-

buah perkumpulan keagamaan di beli-

tung. Dia pernah pula menjadi anggota 

Dewan Perwakilan rakyat dan Dewan 

Perwakilan rakyat Sementara-repu-

blik Indonesia Serikat mewakili belitung. 

Pada Juni 1954 Abdullah mengundurkan 

diri dari lembaga perwakilan tersebut.

Mailan

(Meninggal 1927)

Istri pertama Abdullah. 

Ayahnya, kAH Abdul rach-

man, adalah pendiri kam-

pung batu Itam di be-

litung. Mailan meninggal 

tak lama setelah melahir-

kan Murad.

Masirah

(Meninggal 1974)

Sumber:

1. buku Anak Sulung D.N. Aidit, oleh 

Ibarruri Aidit

2. buku Menolak Menyerah: Menying-

kap tabir keluarga Aidit, oleh budi kur-

niawan dan Yani Andriansyah

3. buku Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru 

di Masa Pergolakan, oleh Sobron Aidit

4. Wawancara tempo

Ibrahim Aidit 

(1926)

Usianya tak sampai 

sehari.

Murad Aidit  

(80 tahun) 

temannya banyak: dari aktivis pelajar di 

Menteng 31, Jakarta, hingga sastrawan 

seperti chairil Anwar, Sanusi Pane, dan 

H.b. Jasin. Hasil pemilu 1955, Murad 

menjadi anggota DPrD II belitung. Dia 

juga terpilih menjadi Wakil bupati be-

litung, namun lebih suka melanjutkan 

studi ekonomi di Moskow. kini tinggal di 

cikumpa, Depok.

Sobron Aidit

(1934 - 2007)

kegemaran akan sastra bertambah 

setelah datang ke Jakarta pada 1948 

dan mengenal chairil Anwar. Dia 

menetap di Prancis hingga berpulang 

pada 10 Februari 2007. buku-buku-

nya, baik fiksi, puisi, maupun me-

moar, telah diterjemahkan ke banyak 

bahasa. razia Agustus adalah buku 

terakhirnya, terbit November lalu.

Asahan Aidit

(69 tahun)

Sewaktu muda, dia seorang pe-

main biola. bersama Mokhtar em-

but, Syafeii embut, dan theo Djin 

Hui, mereka membentuk kelompok 

kuartet. ketika sedang di Moskow 

untuk memperdalam filologi,  pecah 

peristiwa G30S. Setelah terdampar 

di cina dan Vietnam, dia kini mene-

tap di belanda.

Ilham Aidit

(48 tahun)

empat tentara dengan pistol 

di tangan berniat ”mengha-

bisi” Ilham dan Irfan, sauda-

ra kembarnya, namun urung 

setelah tentara menyadari ke-

duanya hanya bocah berusia 

8 tahun. kini arsitek lulusan 

Universitas Parahyangan ban-

dung itu tinggal di kota kem-

bang dan kini terlibat proyek 

rekonstruksi Aceh.

Irfan Aidit

(48 tahun)

Dia sempat belajar 

di fakultas kedokter-

an. Saat ini mene-

tap di cimahi, Jawa 

barat.

FOtO: IStIMeWA, kOLekSI ILHAM AIDIt, teMPO/AHMAD tAUFIk, 

teMPO/ArIF FADILLAH, rePrO/teMPO/rAMDANI

15

*** Rumah Tua Mantri Idit ***

RUMAH panggung itu tua dan setia. Di sana-sini, kayunya lapuk dan berjamur. Sebagian 

atap berbahan sirap telah koyak dan diganti seng. Hanya kerangka utama yang 

menggunakan kayu ulin yang masih kukuh. Selebihnya ringkih dimakan zaman. Itulah 

rumah Abdullah Aidit, ayah Dipa Nusantara Aidit—Ketua Umum Partai Komunis 

Indonesia.

Dibangun pada 1921 oleh Haji Ismail, kakek D.N. Aidit dari garis bapak, rumah itu terletak 

di Jalan Dahlan 12 (dulu Jalan Belantu 3) Dusun Air Berutak, Desa Pangkalalang, Belitung 

Barat.

Seperti rumah-rumah lain di Belitung, rumah ini punya dua bangunan utama: rumah 

depan dan rumah belakang. Kini yang tersisa hanya rumah belakang berukuran 8×7 

meter. Bagian depan dibongkar tak lama setelah Abdullah Aidit meninggal pada 23 

November 1965.

Di sana sekarang tinggal Gakdung, 48 tahun, seorang buruh lepas Pelabuhan Tanjung 

Pandan asal Bugis. Gakdung tinggal seorang diri. ”Semula dia sewa. Tapi, karena hidupnya 

pun susah, biarlah ia cuma-cuma menempatinya,” kata Murad aidit, adik D.N. Aidit.

Ditempati oleh nelayan miskin, rumah itu lusuh tak terawat. Yang tersisa hanya sebuah 

bilik, ruang tamu, dan dapur. Di dinding kayu menuju dapur terdapat kalender Partai 

Bulan Bintang bergambar Yusril Ihza Mahendra, bekas ketua umum partai itu.

Rumah Abdullah sempat menjadi asrama pelajar asal Kelapa Kampit, Belitung Timur, 

sebuah kawasan sekitar 54 kilometer dari Tanjung Pandan. Sekretaris Pemerintah 

Kabupaten Bangka Barat, Abdul Hadi Adjin, pernah tinggal di sana.

Antara rumah dan Jalan Dahlan yang memanjang di depannya, terdapat kebun dengan 

beberapa pokok pohon pisang dan pohon jengkol. Sebagian kebun ini adalah bekas rumah 

depan. Sebagian lagi yang lebih dekat jalan adalah bekas halaman yang kini dipakai untuk 

lapangan badminton. Di sanalah dulu Achmad Aidit—nama kecil Dipa Nusantara—

16

berlatih tinju, angkat besi, dan senam. Hingga D.N. Aidit hijrah ke Jakarta, halaman rumah 

ini masih menjadi lapangan olahraga pemuda kampung Pangkalalang.

Sekitar 20 meter dari rumah tua itu terdapat rumah tua lainnya yang lebih terawat dan 

kukuh. Inilah rumah peninggalan Siti Azahra, istri Abdurrachman, qari di kampung itu. 

Kepada Abdurrachmanlah dulu Ahmad belajar mengaji Quran. Kini rumah ini dimiliki 

Efendi, kerabat Siti Azahra.

Anak-anak Abdullah Aidit juga belajar mengaji kepada Liman, saudara sepupu Azahra. 

Rumah Liman tak jauh dari kediaman Siti. Di rumah Liman, Achmad bersama teman 

seumurannya juga berlatih kesenian hadrah.

Seratus meter dari rumah Abdullah dulu berdiri surau panggung. Di sinilah Achmad kecil 

kerap didapuk mendendangkan azan saat magrib dan isya. Sekarang surau itu sudah rata 

tanah dan digantikan Kantor Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan Cabang 

Belitung.

Rosihan, 54 tahun, cucu Siti Azahra, mengungkapkan bahwa sebagian orang yang lahir 

sebelum tahun 1970 mengenal rumah ini milik Mantri Aidit. Ini sebutan untuk Abdullah 

yang pernah menjadi pegawai Boswezen, dinas kehutanan zaman Belanda. Abdullah 

meninggal pada 1968 dalam keadaan yang mengenaskan. Jasadnya baru ditemukan 

Marisah, istri kedua Abdullah, tiga hari setelah ia wafat. Pada hari kematian itu, Marisah 

tengah pergi ke rumah kerabatnya dan baru pulang tiga hari kemudian. Sepeninggal 

Abdullah, Marisah menempati rumah itu hingga akhirnya Sang Khalik memanggilnya pada 

1974.

Adakah orang-orang di kampung Air Berutak menghubungkan rumah tua itu dengan 

Aidit, tokoh penting Partai Komunis Indonesia? Tidak. ”Buat kami, semua biasa-biasa 

saja,” kata Taufan, 52 tahun, cucu Siti Azahra. Semua memang sudah lewat. Yang tersisa 

hanya gubuk ringkih beratap sirap—rumah panggung yang tua dan setia.

17

*** Merantau ke Jakarta ***

Aidit muda tertarik pada politik setibanya di Jakarta. Mendirikan Antara dan berganti 

nama.

AKU mau ke Batavia,” kata Achmad Aidit kepada ayahnya, Abdullah. Waktu itu awal 

1936. Achmad berusia 13 tahun, baru lulus Hollandsch Inlandsche School, setingkat 

sekolah dasar masa itu. Di Belitung, tempat tinggal keluarga Aidit, sekolah ”paling tinggi” 

memang hanya itu. Untuk masuk sekolah menengah—dikenal dengan nama Meer 

Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)—pemuda-pemuda pulau itu harus merantau ke 

Medan atau Jakarta.

Meninggalkan Belitung bukan pilihan yang lazim pada masa itu. Pemuda yang merantau 

sampai tanah Jawa bisa dihitung dengan jari. Tapi Aidit bisa meyakinkan ayahnya. ”Abang 

saya paling jarang meminta sesuatu kepada Bapak,” kata Murad Aidit, adik kandung 

Achmad, kepada Tempo, dua pekan lalu. Kalau sudah sampai meminta sesuatu, kata 

Murad, itu artinya tekad Aidit sudah benar-benar bulat.

Adik Aidit yang lain, Sobron, dalam bukunya Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru di Masa 

Pergolakan, menjelaskan bahwa untuk diizinkan merantau, seorang remaja harus 

memenuhi empat syarat: bisa memasak sendiri, bisa mencuci pakaian sendiri, sudah 

disunat, dan sudah khatam mengaji. Keempat syarat itu sudah dipenuhi Aidit.

Setibanya di Batavia, Achmad Aidit ditampung di rumah kawan ayahnya, Marto, seorang 

mantri polisi, di kawasan Cempaka Putih. Sayangnya, pendaftaran MULO sudah ditutup 

ketika Aidit tiba di Jakarta. Dia harus puas bersekolah di Middestand Handel School 

(MHS), sebuah sekolah dagang di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.

Bakat kepemimpinan Aidit dan idealismenya yang berkobar-kobar langsung menonjol di 

antara kawan sebayanya. Di sekolahnya yang baru, Aidit mengorganisasi kawannya 

melakukan bolos massal untuk mengantar jenazah pejuang kemerdekaan Muhammad 

Husni Thamrin, yang ketika itu akan dimakamkan. Karena terlalu aktif di luar sekolah, 

Aidit tidak pernah menyelesaikan pendidikan formalnya di MHS.

18

Tiga tahun di Cempaka Putih, Aidit pindah ke sebuah rumah di Tanah Tinggi 48, kawasan 

Senen, Jakarta Pusat. Ketika indekos di sini, Murad datang menyusul dari Belitung, juga 

untuk bersekolah di Jakarta.

Menyekolahkan dua anak jauh dari rumah tentu tak mudah untuk keuangan Abdullah 

Aidit. Gajinya sebagai mantri kehutanan hanya sekitar 60 gulden sebulan. Dari jumlah itu, 

15-25 gulden dikirimnya ke Batavia. Tentu saja jumlah itu juga pas-pasan untuk dua 

bersaudara Aidit.

Apalagi ketika masa pendudukan Jepang tiba, pada 1942. Hubungan komunikasi antara 

Jakarta dan kota sekitarnya terputus total. Saat itu, dari rumah tumpangannya di Tanah 

Tinggi, Aidit menyaksikan ribuan orang berduyun-duyun menjarah gudang-gudang 

perkapalan di Pelabuhan Tanjung Priok. Dari pagi sampai sore, aneka jenis barang diangkut 

massa ke Pasar Senen, mulai dari ban mobil, mesin ketik, sampai gulungan kain bahan 

baju.

Kiriman uang dari Belitung macet. Untuk bertahan hidup, Achmad dan Murad mau tak 

mau harus mulai bekerja. Aidit lalu membuat biro pemasaran iklan dan langganan surat 

kabar bernama Antara. Lama-kelamaan, selain biro iklan, Antara juga berjualan buku dan 

majalah. Tatkala abangnya sibuk melayani pelanggan, Murad biasanya berjualan pin dan 

lencana bergambar wajah pahlawan seperti Kartini, Dr Soetomo, dan Diponegoro, di 

dekatnya.

Berdagang memang bukan pekerjaan baru untuk Aidit. Ketika masih tinggal di Belitung, 

setiap kali ada pertandingan sepak bola di Kampung Parit, Aidit selalu berjualan kerupuk 

dan nanas. ”Untuk ditabung,” Sobron berkisah dalam bukunya.

Tak puas dengan perkembangan usahanya, Aidit kemudian mengajak seorang kawan yang 

tinggal satu indekos dengannya, Mochtar, untuk berkongsi. Mochtar ini seorang penjahit 

yang punya toko lumayan besar di Pasar Baru. Karena lokasi usahanya yang strategis, toko 

Mochtar segera menjadi tempat mangkal para aktivis masa itu, seperti Adam Malik dan 

Chaerul Saleh. Otomatis, jaringan relasi Aidit meluas.

19

Ketika Mochtar menikah dan menyewa rumah sendiri di kawasan Kramat Pulo, Aidit dan 

Murad ikut pindah ke sana. Kondisi ini menguntungkan Aidit, karena Mochtar sering 

membiarkan kakak-beradik itu tidak membayar sewa. ”Pakai saja untuk keperluan lain,” 

katanya seperti ditirukan Murad. Tapi, kalau Mochtar sedang butuh duit, setoran uang 

sewa Murad akan dimasukkan ke kantong. Biasanya, kalau begitu, Aidit akan menggerutu. 

”Kamu sih, terlalu menyodor-nyodorkan uangnya, makanya dia terima,” katanya 

memarahi Murad.

Namun situasi ekonomi yang terus memburuk membuat Aidit akhirnya angkat tangan. 

Murad diminta tinggal di sebuah asrama korban perang, sebelum dikirim pulang ke 

Belitung.

l l l

SITUASI politik Ibu Kota yang gegap-gempita sudah menarik minat Aidit sejak awal. Dia 

pertama-tama bergabung dengan Persatuan Timur Muda atau Pertimu. Pekumpulan ini 

dimotori Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah pimpinan Amir Syariffudin dan 

Dr Ahmad Kapau Gani. Dalam organisasi inilah persinggungan Aidit dengan politik makin 

menjadi-jadi. Hanya dalam waktu singkat, Aidit diangkat menjadi Ketua Umum Pertimu.

Di balik karier politiknya yang mulai menjulang, Aidit seperti mencoba mengibaskan 

bayang-bayang keluarga dan masa lalunya di Belitung. Ketika Murad berkali-kali meminta 

bantuan finansial, misalnya, Aidit selalu menolak. Suatu kali Aidit bahkan berujar bahwa 

persamaan di antara mereka hanyalah faktor kebetulan, karena dilahirkan dari ibu dan 

bapak yang sama. ”Selebihnya, tak ada hubungan apa pun di antara kita,” katanya.

Sekitar masa-masa itulah Achmad Aidit memutuskan berganti nama. Dia memilih 

memakai nama Dipa Nusantara—biasa disingkat D.N. Menurut adik-adiknya, pergantian 

nama itu lebih dipicu perhitungan politik Aidit. ”Dia mulai membaca risiko,” kata Murad. 

Sejak namanya berubah itu memang tak banyak orang yang tahu asal-usul Aidit. Dia 

sering disebut-sebut berdarah Minangkabau, dan D.N. di depan namanya adalah singkatan 

”Djafar Nawawi”.

20

Proses perubahan nama itu juga tak mudah. Abdullah, ayah Aidit, tak bisa dengan segera 

menerima gagasan anaknya. Di depan anak-anaknya, Abdullah mengaku tidak bisa 

menerima rencana pergantian nama itu karena nama Achmad Aidit sudah kadung tercetak 

di slip gajinya sebagai putra sulung keluarga itu. Akan muncul banyak persoalan jika nama 

itu mendadak lenyap dari daftar keluarga.

Abdullah dan Aidit bersurat-suratan beberapa kali, sebelum akhirnya Abdullah menyerah. 

Ayah dan anak itu sepakat, nama D.N. Aidit baru akan dipakai jika sudah ada pengesahan 

dari notaris dan kantor Burgelijske Stand—atau catatan sipil.

21

*** Kisah Cinta ; Meminang Lewat Sepucuk Surat ***

Gaya orasi dan wawasan Aidit memikat hati seorang calon dokter. Sangat antipoligami.

Suatu siang di awal 1946. Kantor majalah dua bulanan Bintang Merah di Jalan Purnosari, 

Solo, yang biasanya lengang lengau, kedatangan tamu tak diundang. Dua gadis berdiri di 

depan pintu. Mereka kemudian dijamu dua redaktur, Hasan Raid dan Dipa Nusantara 

Aidit.

Dua gadis itu mengaku mahasiswi tingkat tiga Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten, 

Yogyakarta. Yang agak gemuk dan berpipi bulat memperkenalkan diri sebagai Soetanti. 

”Seingat saya, mereka datang untuk silaturahmi saja,” kata Hasan, kini 85 tahun, kepada 

Tempo dua pekan lalu.

Soetanti—yang disapa ”Bolletje” (sebuah kata Belanda yang berarti bundar) oleh teman-

temannya—datang lagi beberapa hari kemudian, dengan kawan lain yang lebih banyak. 

Kali ini atas nama Sarekat Mahasiswa Indonesia. Mereka mengundang Aidit sebagai Ketua 

Departemen Agitasi dan Propaganda Partai Komunis Indonesia Solo untuk memberikan 

”kuliah” soal politik dan keorganisasian.

Karena urusan organisasi itulah Soetanti kerap bolak-balik Klaten-Solo. Kunjungan 

berikutnya tak lagi ke kantor Bintang Merah, tapi ke kantor PKI di Jalan Boemi 29. Dari 

pertemuan-pertemuan itulah, kata Hasan, hubungan Aidit-Soetanti kian akrab. Padahal 

keduanya punya watak bertolak belakang.

Sebagai seorang ningrat Mangkunegaran (kakeknya seorang Bupati Tuban), Tanti punya 

banyak teman dari pelbagai golongan. Predikat mahasiswi kedokteran membuatnya kian 

dihormati dalam organisasi dan dalam kehidupan sehari-hari. Itu disokong sifat dasarnya 

yang periang, gampang akrab, dan suka bicara ceplas-ceplos.

Beda dengan Aidit. Anak seorang mantri kehutanan dari Belitung itu seorang pemuda 

serius, tak pandai berkelakar, dan suka musik klasik. Yang dipikirkannya hanyalah 

bagaimana memajukan partai. Mengobrol dengannya, seperti dikenang Hasan, tak akan 

lepas dari soal-soal politik, revolusi, dan patriotisme.

22

Tapi justru inilah yang membuat Soetanti kesengsem. Dalam ceramahnya, Aidit fasih 

mengutip filsafat Marxisme, mengurai revolusi Prancis dan Rusia, juga soal-soal politik 

mutakhir. Setiap kali Aidit berpidato, si bolle senantiasa menyimak di bangku paling 

depan.

Meski akrab, Aidit-Tanti tak pernah terlihat berduaan. Hasan Raid, yang kemudian 

diangkat anak oleh Siti Aminah—ibu Tanti—karena sama-sama dari Minang, tak pernah 

melihat Aidit ngapel ke asrama atau ke rumah Tanti laiknya orang pacaran. Pertemuan 

keduanya pun selalu dalam acara organisasi. ”Kalau menginap di kantor PKI, Tanti datang 

beramai-ramai,” katanya.

Suatu ketika, seusai pidato, Aidit menghampiri Tanti, lalu menyerahkan sepucuk surat 

yang ditujukan kepada Bapak Moedigdo, ayah Tanti, seorang kepala polisi Semarang yang 

aktif di Partai Sosialis Indonesia. Surat itu ternyata surat lamaran. Aidit menyampaikan niat 

meminang Soetanti. Moedigdo langsung setuju.

Maka, awal 1948, Aidit, 25 tahun, dan Soetanti, 24 tahun, menikah secara Islam tanpa 

pesta, di rumah KH Raden Dasuki, sesepuh PKI Solo, yang bertindak sebagai penghulu. 

Moedigdo, Aminah, dan empat adik Soetanti datang. Hanya Murad dan Sobron—dua adik 

Aidit—yang mewakili keluarga Belitung.

Setelah menikah, aktivitas Aidit di partai dan pergerakan tak surut. Ia bahkan sering 

meninggalkan Soetanti, yang buka praktek dokter, untuk turne ke kampung-kampung 

memperkenalkan dan menggalakkan program-program PKI. Ketika pada September 1948 

”Peristiwa Madiun” meletus, Aidit ditangkap, lalu ”buron” ke Jakarta. Tanti kian sedih 

karena ayahnya, yang mendukung Amir Syarifuddin, tewas ditembak.

Di Jakarta pun, Aidit jarang ada di rumah. Soetanti hanya ditemani adik-adik Aidit ketika 

melahirkan Ibarruri Putri Alam, putri sulung mereka, pada 23 November 1949. Suami-istri 

ini jarang terlihat jalan bareng, kecuali dalam acara-acara resmi partai atau kenegaraan.

Aidit lalu menjadi Ketua Politbiro—eksekutif dalam partai—PKI pada 1951. Ia kian sibuk 

dengan bepergian ke luar negeri, mengunjungi dan menghadiri rapat-rapat internasional 

23

komunis di Vietnam, Tiongkok, dan Rusia. ”Tak ada mesra-mesraan seperti pasangan 

muda lain.” Itu kesaksian Fransisca Fanggidaej, wartawan Harian Rakjat dan radio Gelora

Pemuda Indonesia yang kemudian menjadi anggota parlemen dari PKI pada 1957-1959.

Fransisca, kini 82 tahun dan tinggal di Utrecht, Belanda, adalah satu-satunya perempuan 

yang akrab dengan Aidit. Selain di kantor partai, keduanya sering bertemu di parlemen.

Ciri paling menonjol dari keluarga Aidit, kata Fransisca, selain sederhana, juga egaliter. 

Sementara anak-anak memanggil dengan sebutan borjuis ”Papa”, Tanti memanggil 

suaminya cukup dengan ”Dit”. ”Padahal semua orang menyapa Aidit dengan panggilan 

hormat ’Bung’,” katanya. Ketika Fransisca menanyakan ihwal panggilan itu, Tanti 

menjawab, ”Suka-suka saya, dong. Wong dia suami saya. Kalau tidak mau, dia pasti 

menyampaikan keberatan.”

Selama perkawanan itu, tak sekali pun Aidit curhat soal pribadi kepadanya. Apalagi tentang 

hasrat kepada perempuan lain. Padahal Aidit dikagumi banyak perempuan di partai dan di 

gedung DPR. ”Selain ganteng, berwawasan luas, ia pandai menyenangkan dan menghargai 

orang,” kata Fransisca.

Hanya sekali, pada 1950-an, Aidit dengan guyon menyatakan kagum pada kecantikan 

seorang perempuan anggota konstituante. Ismiyati, gadis itu, kata Fransisca, menjadi 

kembang parlemen dan disukai banyak laki-laki. Mendengar guyonan Aidit itu, Utuy 

Tatang Sontani—sastrawan kiri kondang di zaman itu—menyatakan kekaguman yang 

sama. Bisik-bisik, keduanya bersaing menggapai hati Ismiyati.

Tapi agaknya ”persaingan” itu tak serius. Ketika Ismiyati menikah dengan pemuda lain, 

Utuy dan Aidit cuma ketawa-ketawa. ”Keduanya sebatas mengagumi kecantikan. Tapi 

tidak tahu kalau Utuy, karena dia suka mengejar perempuan,” kata Fransisca, tergelak.

Selain cerita ini, tak pernah terdengar Aidit berhubungan dengan perempuan lain, baik 

sebelum maupun setelah bertemu dengan Soetanti. Apalagi Aidit orang yang sangat 

antipoligami. Ia pernah memarahi Njoto, Wakil Ketua II Comite Central PKI, yang akan 

menikah lagi dengan seorang penerjemah asal Rusia.

24

Semasa kepemimpinan Aidit, sikap antipoligami dan antiperselingkuhan ini hampir 

menjadi ”garis partai”. Oey Hay Djoen, bekas anggota parlemen dan Dewan Pakar 

Ekonomi PKI, bercerita, pada masa jayanya banyak anggota PKI yang diskors karena 

ketahuan memacari istri orang.

25

Aidit dan Revolusi 1945 ; Anak Muda di Beranda 

Republik

Aidit aktif dalam gerakan pemuda menjelang dan setelah proklamasi. Ikut 

menculik Soekarno dan Hatta?

Pukul 11.30 malam. Sekelompok anak muda bergegas ke luar rumah di Pegangsaan Timur 

56, Jakarta. Mula-mula Chaerul Saleh dan Wikana. Lalu D.N. Aidit, Djohar Noer, 

Pardjono, Aboebakar, Soedewo, Armansjah, Soebadio Sastrosatomo, Soeroto, dan Joesoef 

Koento. Hari itu Rabu, 15 Agustus 1945.

Mereka adalah aktivis pemuda antifasis dari Asrama Menteng 31. Para pemuda itu baru saja 

mendesak Soekarno agar memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Tapi Bung 

Karno menolak. Mohammad Hatta yang datang belakangan pun tak setuju dengan ide 

mereka.

Sebagaimana dicatat Hatta dan Sidik Kertapati—salah seorang tokoh 1945, juga oleh 

Soekarno dalam buku Penyambung Lidah Rakyat—terjadi pertengkaran hebat antara 

pihak pemuda dan Bung Karno pada malam itu. Inilah malam yang dikenang hingga kini 

karena berjasa mempercepat proklamasi Indonesia.

”Sekarang, Bung! Malam ini juga kita kobarkan revolusi,” ujar Chaerul Saleh. ”Kalau Bung 

tidak mau mengumumkan proklamasi, besok akan terjadi pertumpahan darah,” sambung 

Wikana berapi-api.

Bung Karno marah. ”Ini batang leherku,” katanya setengah berteriak sambil mendekati 

Wikana. ”Seret saya ke pojok itu dan potong malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu 

esok hari!”

”Mereka pulang marah-marah,” cerita Murad Aidit. Murad melihat kakaknya mengikuti 

rapat rahasia di bawah pohon jarak. Tepatnya di belakang kebun bekas Institut Bakteriologi 

Ejkman di Pegangsaan, empat jam sebelumnya. Aidit datang bersepeda membonceng 

Wikana.

26

Sudah lama para pemuda mendesak golongan tua agar memproklamasikan kemerdekaan. 

Soalnya, dari radio BBC, London, mereka mendengar kabar bom atom di Hiroshima dan 

Nagasaki, Jepang. Mereka khawatir, Jepang akan mengembalikan Indonesia kepada 

Belanda. Golongan tua tak sependapat. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia memilih 

menunggu instruksi dari Jepang.

Setelah Bung Karno menolak, Kamis dini hari itu, para pemuda yang dipimpin oleh 

Soekarni nekat menjalankan rencana B, yakni menculik dan membawa Soekarno-Hatta ke 

Rengasdengklok, Karawang.

Ada beragam versi peran Aidit, ketika itu 22 tahun, di seputar proklamasi. Cerita 

keikutsertaan Aidit ke rumah Soekarno dituturkan Sidik Kertapati dalam buku Sekitar 

Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam tulisannya Sidik menyebut Aidit juga ikut rombongan 

pemuda menculik Soekarno-Hatta. Kitab Sejarah Perjuangan Pemuda Indonesia terbitan 

Balai Pustaka—oleh Panitia Penjusun Biro Pemuda Departemen P&K—mencatat hal yang 

sama.

Hanya banyak juga rekaman sejarah yang tak menyebut keterlibatan Aidit dalam ”perang” 

antara kaum muda dan kaum tua menjelang proklamasi. Kepada Z. Yasni–tertuang dalam 

buku Bung Hatta Menjawab–Hatta menegaskan Aidit tak ada di rumah Bung Karno 

malam itu. Dia cuma mengingat Wikana dan Soekarni. Sedangkan dalam buku Menteng 

31 Membangun Jembatan Dua Angkatan, A.M. Hanafi mengatakan bahwa Aidit terlibat 

karena mengantarkan Wikana.

Murad tak ingat pasti apakah Aidit ikut membawa Soekarno ke Rengasdengklok. Syodanco 

Singgih, anggota PETA, yang bersama Soekarni membawa Soekarno-Hatta, pun tak 

menyebut kehadiran Aidit dalam rombongan ”penculik” (Tempo, Agustus 1975).

Aidit memang aktif dalam kelompok pemuda antifasis yang bergerilya di Jakarta pada 

masa pendudukan Jepang hingga kembalinya Belanda. Soekarno dan Hatta bahkan 

mengenalnya dengan baik sejak periode awal Angkatan Baru Indonesia di Asrama 

Menteng 31.

27

Menteng 31 dulunya hotel bernama Schomper I. Setelah Belanda pergi pada 1942 tempat 

itu menjadi salah satu basis perlawanan anak muda. Di tempat yang kini berubah nama 

menjadi Gedung Joang 45 itu, Aidit dan teman-teman mendapat gemblengan dari bapak 

bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta, Amir Syarifudin, Ahmad Soebardjo, dan Ki Hajar 

Dewantara.

Budayawan dan penerjemah Oey Hay Djoen mengatakan, Hatta amat menyukai Aidit 

yang cerdas dan berani. ”Belakangan, ketika Aidit mulai terlibat dengan kelompok kiri, 

Hatta marah,” ujarnya. Maklum, Aidit dekat dengan Wikana, yang memimpin perjuangan 

PKI bawah tanah di Jawa Barat. Buku-buku bertema Marxisme dan sosialisme menjadi 

bacaan utamanya.

Aidit dan Wikana kian rapat setelah Laksamana Maeda, pimpinan Angkatan Laut Jepang di 

Indonesia, mendirikan sekolah Dokuritsu Juku (Asrama Kemerdekaan). Saat itu sekitar 

setahun sebelum proklamasi. Wikana menjadi kepala sekolah tersebut. Aidit, M.H. 

Loekman, Sidik Kertapati, Chalid Rasjidi, dan puluhan pemuda lain menjadi siswa. 

Nishijima, salah seorang pengasuh sekolah ini, mengatakan, ”Meski tak menyelesaikan 

kuliah, pelajar sekolah ini ikut berperan dalam mendirikan Republik” (Tempo, Agustus, 

1987).

Sekolah ini memanfaatkan fasilitas Kaigun (Angkatan Laut Jepang) di belakang Komando 

Angkatan Laut Gunung Sahari, Jalan Defenci van de Bosch—kini Bungur Raya. Di sekolah 

inilah diam-diam Aidit, Chalid Rasjidi, dan Salam membentuk organisasi semi-militer 

yang beraksi menyerang tentara-tentara Jepang dengan nama Banteng Merah.

Setelah proklamasi kemerdekaan, pada awal September, aktivis Menteng 31 membentuk 

Angkatan Pemuda Indonesia (API). Wikana mereka pilih sebagai ketua. Sekretarisnya 

H.M. Hanafi. ”Bang Amat (D.N. Aidit) menjadi Ketua API Jakarta Raya,” ujar Murad, 

yang terdaftar sebagai anggota API dengan nomor 13.

API segera menjadi momok bagi Jepang, lalu Sekutu yang datang kemudian. Di bidang 

keorganisasian mereka membentuk Barisan Rakyat yang mengorganisasi pada petani.

28

Sidik juga mencatat sebuah pengalaman menarik tentang Aidit sewaktu di lapangan 

Ikada—sekarang Monas—pada 19 September 1945. Ketika itu API bersama barisan buruh 

dan tani memprakarsai sebuah rapat raksasa untuk menunjukkan dukungan rakyat kepada 

para pimpinan negara. Tapi, hingga waktu yang direncanakan, Bung Karno tak juga 

muncul. Massa yang datang sejak pagi mulai marah. Tiba-tiba, di bawah todongan 

moncong senapan tentara Jepang yang mengelilingi Ikada, Aidit bersama Suryo Sumanto 

naik podium. Mereka mengajak massa menyanyikan lagu perjuangan, antara lain Darah 

Rakyat, Padamu Negeri, dan Maju Tak Gentar. Massa pun tenang kembali hingga Bung 

Karno tiba.

Rapat di lapangan Ikada membuat tentara Jepang naik darah. Mereka merazia Asrama 

Menteng 31. Para pemimpin API, termasuk Aidit, M.H. Loekman, Sidik Kertapati, dan 

A.M. Hanafi, mereka bawa ke penjara Jatinegara.

Aidit dan teman-teman berhasil menyogok penjaga penjara dan kabur. Dan sejak itu 

aktivitas Menteng 31 berhenti. Aidit kembali ke jalan, memimpin API Jakarta melakukan 

serangan-serangan ”kecil” kepada tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA) 

yang datang membonceng sekutu pada 28 September 1945.

Para aktivis API bermarkas di tepi Jalan Kramat Raya. Sebuah gerbong trem sengaja 

mereka taruh di depan pos untuk bersembunyi saat membidik patroli sekutu. Hampir 

setiap jip sekutu yang melaju dari Markas Batalion X di Lapangan Banteng menuju 

Jatinegara mereka tembaki. Kalau dikejar, mereka berpencar melarikan diri ke 

perkampungan Kramat Pulo. Itu terjadi berulang-ulang hingga tentara Sekutu meledakkan 

markas API.

Puncak dari aktivitas ”bawah tanah” Aidit pada periode sekitar kemerdekaan adalah pada 5 

November 1945. Ketika itu Aidit bersama Alizar Thaib memimpin sekelompok pemuda 

menyerbu pos pertahanan Koninklijke Nederlands Indische Lege atau Tentara Kerajaan 

Hindia Belanda. Namun mereka sial, kepergok tentara Inggris yang berpatroli dengan lima 

truk. Sekitar 30 aktivis tertangkap, termasuk Aidit. Tentara Inggris menyerahkan mereka 

29

ke Belanda, yang lalu membuang mereka ke Pulau Onrust, di gugusan Kepulauan Seribu, 

utara Jakarta.

Aidit bebas tujuh bulan kemudian, setelah kesepakatan Hoge Voluwe di Belanda pada 24 

April 1946. Ketika itu ibu kota negara sudah pindah ke Yogyakarta. Cuma sehari di Jakarta, 

dia lalu menyusul teman-temannya ke Yogya, menumpang kereta dari Karawang.

30

*** Karir di PKI ; Berakhir Seperti Muso ***

Muso mengubah paham revolusioner Dipa Nusantara Aidit menjadi aksi. 

Keduanya telah mencoba, keduanya gagal.

KEDATANGAN Muso dari Rusia membangkitkan gairah revolusi Dipa Nusantara Aidit. Ia 

begitu terkesan pada gagasan Muso, ”Jalan Baru bagi Republik”. Menurut arsitek 

pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatera pada 1926 itu, yang kemudian dilibas Belanda, 

seluruh kekuatan sosialis komunis harus disatukan. Untuk merebut kekuasaan, PKI tak 

boleh bergerak sendiri.

Pada pertengahan 1948 itu, Aidit muda ditugasi mengkoordinasi seksi perburuhan partai. 

Padahal umurnya baru 25 tahun, banyak yang lebih senior dan berpengalaman. Posisi 

strategis ini merupakan kepercayaan besar bagi lelaki tamatan sekolah dasar itu.

Muso mencela Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus. Menurut dia, revolusi itu justru 

merupakan kegagalan besar kaum revolusioner. Kepemimpinan nasional jatuh ke tangan 

individu yang ditudingnya borjuis: Soekarno-Hatta. Bukan ke genggaman kaum proletar, 

buruh dan tani. Sikap ini diyakini Aidit. Baginya, kehadiran Muso menjanjikan aksi, bukan 

sekadar angan revolusi.

Hanya sebulan setelah Aidit menerima jabatan koordinator seksi perburuhan partai, 

tepatnya pada dini hari 18 September 1948, tiga letusan pistol menyalak di kesunyian Kota 

Madiun, Jawa Timur. Massa yang menyebut dirinya kaum revolusioner bergerak. Puluhan 

ribu buruh dan tani merangsek mengambil alih kekuasaan pemerintah di daerah-daerah.

Muso mencoba mendirikan apa yang disebutnya ”Soviet Republik Indonesia”. Madiun, 

Magetan, Cepu, Blora, dan sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikuasai massa 

PKI. Bendera merah bergambar palu arit ditancapkan di banyak tempat. Soekarno meminta 

rakyat memilih: dirinya atau Muso, yang dicapnya sebagai pengkhianat Republik. Muso 

balik menuduh Soekarno-Hatta sebagai kolaborator imperialis.

Ini fase penting sekaligus genting bagi karier politik Aidit. Aksi massa revolusioner di 

lapangan berujung getir. Mayoritas pimpinan partai tertangkap, lalu dihukum tembak. 

31

Menurut Suripno, seorang pentolan partai yang berakhir di ujung bedil, gerakan gagal 

karena sepi dukungan rakyat. Layu dalam dua pekan.

Pengalaman itu terasa semakin pahit bagi Aidit. Mentor yang digugu, Muso, tewas 

ditembak tentara. Sempat tertangkap di Yogyakarta, Aidit cukup beruntung lepas karena 

tak dikenali. Belakangan, setelah jadi Ketua Comite Central PKI, Aidit menyebut peristiwa 

itu sekadar ”permainan anak-anak” (kinderspel). Ia menuduh Mohammad Hatta, perdana 

menteri saat itu, sebagai pihak yang memprovokasi. Amerika Serikat dicurigai di belakang 

pemerintah untuk melawan ”bahaya merah”.

Dari Yogyakarta, Aidit ”hijrah” ke Jakarta, dan dikabarkan kabur ke Beijing, Cina. Namun, 

menurut buku karangan Murad Aidit, sang abang bersembunyi di daerah pelabuhan 

Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia memakai nama samaran Ganda.

Bergerak dalam senyap, bersama beberapa yang tersisa, Aidit mencoba membangun 

kembali partai yang terserak. Aidit masih setia pada ide Muso. Lewat penerbitan Bintang 

Merah, ia menyebarkan lagi paham revolusioner dan anti-imperialis. Ia kerap 

mencantumkan nama ”Alamputra” di bawah tulisannya.

Tiga tahun berlalu, karier politik Aidit makin moncer. Ia ”mengkudeta” kelompok PKI tua, 

Alimin dkk, yang dinilai melakukan banyak kesalahan. Tan Ling Djie, anggota senior 

politibiro, didepak karena perbedaan pandangan politik. Didukung sejumlah aktivis muda 

dalam Kongres V PKI, 1951, ia berhasil mencapai posisi Ketua Comite Central PKI.

Aidit terus di puncak kekuasaan itu hingga tak lama setelah Gerakan 30 September 1965. 

Seperti Muso, Aidit berakhir diterjang peluru.

32

Gerakan 30 September ; Dari Menteng ke Pusaran 

Kekuasaan

Sejumlah kesaksian menyebut D.N. Aidit mengetahui rencana Gerakan 30 

September. Seberapa jauh dia terlibat?

PERISTIWA 42 tahun lalu itu tetap saja masih menjadi tanda tanya keluarga besar Aidit: 

apa sebenarnya peran Aidit dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 itu? Peran Aidit 

dalam ”kup” 30 September 1965 memang masih misteri. Sejumlah sejarawan, juga 

sejumlah kalangan militer, yakin PKI dalang penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal 

Angkatan Darat. Karena PKI terlibat, maka Aidit pun, sebagai Ketua Committee Central, 

dituding sebagai otaknya.

Murad Aidit, adik kandung Aidit, berkisah. Pada ”malam berdarah” itu tak ada tanda-

tanda atau kesibukan khusus di rumah Aidit. ”Malah saya dipesan mematikan lampu,” kata 

Murad. Menjelang ”peristiwa Gerakan 30 September” itu, Murad memang menginap di 

rumah Aidit di Pegangsaan Barat, Jakarta Pusat. Rumah Aidit sepi. ”Sampai sekarang saya 

lebih bisa menerima tragedi itu karena ada pengkhianat dalam tubuh PKI,” katanya. Dia 

tidak yakin abangnya yang memerintahkan pembunuhan para jenderal.

Aidit mengawali ”karier politiknya” dari Asrama Menteng 31, asrama yang dikenal sebagai 

”sarang pemuda garis keras” pada awal kemerdekaan. Di tempat ini berdiam, antara lain, 

Anak Marhaen Hanafi (pernah menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Kuba), 

Adam Malik, dan Sayuti Melik (pengetik naskah Proklamasi). Para penghuni Menteng 31 

sempat menculik Soekarno dan memaksa si Bung memproklamasikan kemerdekaan 

Indonesia—sesuatu yang kemudian ditolak Bung Karno. Di kelompok Menteng 31, Aidit 

sangat dekat dengan Wikana, seorang pemuda sosialis.

Aidit disebut-sebut juga berperan dalam pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. 

Pascapemberontakan yang gagal itu, ia sempat dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogya. 

Ketika terjadi agresi Belanda, ia kabur dari penjara dan tinggal di Vietnam Utara. Tentang 

kepergiannya ke Vietnam ada pendapat lain. Ada yang menyebut bahwa sebenarnya ia 

hanya mondar-mandir Jakarta-Medan.

33

Yang pasti, pada pertengahan 1950, Aidit, yang saat itu berusia 27 tahun ”muncul” lagi. 

Bersama M.H. Lukman, 30 tahun, Sudisman, 30 tahun, dan Njoto, 23 tahun, ia 

memindahkan kantor PKI dari Yogyakarta ke Jakarta. Bisa dibilang, dalam kurun waktu 

inilah karier politik Aidit sesungguhnya dimulai.

Momentum konsolidasi partai terjadi ketika meletus kerusuhan petani di Tanjung 

Morawa, Sumatera Utara, 6 Juni 1953. Kerusuhan yang digerakkan kader PKI itu 

menjatuhkan kabinet Wilopo. Kesuksesan ini memompa semangat baru ke tubuh partai 

tersebut.

Bersama ”kelompok muda” partai, Aidit menyingkirkan tokoh-tokoh lama partai. Pada 

Kongres PKI 1954, pengurus PKI beralih ke generasi muda. Tokoh partai semacam Tan 

Ling Djie dan Alimin disingkirkan. Pada kongres itu, Aidit dikukuhkan menjadi Sekretaris 

Jenderal PKI. Aidit lantas meluncurkan dokumen perjuangan partai berjudul ”Jalan Baru 

Yang Harus Ditempuh Untuk Memenangkan Revolusi”.

Aidit juga membangun aliansi kekuatan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk 

memperkuat PKI. PNI dipilih karena, selain sama-sama anti-Barat, juga ada figur Soekarno 

yang bisa dipakai mengatasi tekanan lawan-lawan politik mereka. Puncak kerja sama 

terjadi pada masa Sidik Djojosukarto memimpin PNI. Saat itu disepakati bahwa PNI tidak 

akan mengganggu PKI dalam rangka membangun partai.

Menurut Ganis Harsono, seorang diplomat senior Indonesia dalam otobiografinya, 

Cakrawala Politik Era Sukarno, strategi ini berhasil ”menyandera” Bung Karno. Ada kesan 

bahwa Bung Karno berdiri di depan PKI, sekaligus memberi citra PKI pendukung revolusi 

Bung Karno dan Pancasila.

Kerja keras Aidit membuahkan hasil. Pada Pemilu 1955, PKI masuk ”empat besar” setelah 

PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Di masa ini PKI menjadi partai komunis terbesar di 

negara non-komunis dan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan Cina.

PKI terus maju. Pada tahun itu juga partai ini menerbitkan dokumen perjuangan ”Metode 

Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan”. Bentuk pertama, perjuangan gerilya di desa-desa oleh 

34

kaum buruh dan petani. Kedua, perjuangan revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota, 

terutama kaum buruh di bidang transportasi. Ketiga, pembinaan intensif di kalangan 

kekuatan bersenjata, yakni TNI.

Pada 1964, PKI membentuk Biro Khusus yang langsung dibawahi Aidit sebagai Ketua 

Committee Central PKI. Tugas biro ini mematangkan situasi untuk merebut kekuasaan 

dan infiltrasi ke tubuh TNI. Biro Chusus Central (demikian namanya) dipimpin Sjam 

Kamaruzzaman. Tak sampai setahun, Biro Chusus berhasil menyelusup ke dalam TNI, 

khususnya Angkatan Darat.

Pada Juli 1965, seiring dengan merebaknya kabar kesehatan Bung Karno memburuk, suhu 

politik Tanah Air makin panas pula. Sebuah berita dari dokter RRC yang merawat Presiden 

datang: Bung Karno akan lumpuh atau meninggal dunia. Di Jakarta bertiup rumor 

menyengat, muncul