Tampilkan postingan dengan label agama hindu. 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label agama hindu. 4. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Juli 2025

agama hindu. 4

 


para dewa. 

Mewujudkan Tuhan kepada berbagai bentuk sesuai dengan 

peran dan fungsinya. Dewa merupakan wujud lain dari 

Tuhan dan mempunyai salah satu peran dan fungsi dari 

Tuhan itu sendiri di muka bumi ini (alam  semesta). Adapun 

wujud dan bentuk dari para dewa ini  disesuaikan 

dengan persepsi umat Hindu itu sendiri untuk 

mempersepsinya seperti apa. Sehingga wujud dan bentuk 

para dewa itu selalu tidak sama, namun secara subtansi peran 

dan fungsi dewa itu tidak berubah.  

Menurut I Gede Swantana (dosen Pascasarjana IHDN) 

bahwa bagi seorang yang pemaham keagamaannya tinggi 

maka Tuhan tidak perlu diwujudkan, yang peting kita yakin 

dia ada, namun untuk mencapai Tuhan bagi  warga  biasa 

perlu diwujudkan dalam bentuk-bentuk tertentu sesuai 

dengan persepsi orang yang memujanya, sebab  setiap orang 

mempersepsikan Tuhan dengan perwujudan dewa dan 

sesuatunya tidak sama. Bisa saja personifikasi dewa Wisnu 

menurut A digambarkan seperti orang yang sangat 

berwibawa dan tampan sebab  Wisnu yaitu  personifikasi 

Tuhan dalam simbol air, namun pada si B bisa saja Wisnu 

digambarkan  tidak seperti itu, begitu juga pada si C, belum 

tentu personifikasinya sama dengan si A dan B, bisa saja 

dengan gambar atau wujud yang lain, Wisnu dapat 

diwujudkan dalam banyak personofikasi, begitu juga dengan 

dewa-dewa lainnya atau bisa saja sama bentuk yang 

dipersonifikasikan ini .  

Senada denga hal ini , Yoga Segara (Dosen 

Pascasarjana IHDN) menyatakan bahwa bagi umat Hindu 

yang terpenting yaitu  mereka mampu menyatukan diri 

dengan Tuhannya, persoalan lainnya merupakan sarana saja, 

namun masarakat perlu mempersonafikasi Tuhannya dalam 

kehidupan sehari-hari, sehingga Tuhan dalam bentuk dewa 

bagi seseorang itu tidak sama, tergantung yang bersangkutan 

mempersonifikasikannya sesuai fungsinya.  

Menurut I Ketut Donder menyatakan bahwa 

warga  Hindu barnyak yang tidak tau isi weda yang 

aslinya, sehingga mereka kebanyakan memakai bagawangitha 

yang merupakan rangkuman dari Weda yang sudah 

diterjemahkan dalam bahasa negara kita , kitab-kitab seperti ini 

biasanya hanya di baca oleh para resi, kelompok Brahmana 

dan para akademisi yang konsen dalam hal keagamaan. 

Kebanyakan umat hindu menyembah Siwa, Wisnu dan 

Brahma atau Trimurti. Ada beberapa kelompok spiritual yang 

hanya cukup dengan melakukan yoga saja, ada yang sudah 

modern dengan cara yoga, ada juga yang menggabungkan 

keduanya, bahkan ada yang bersifat memahami Tuhan 

dengan cara-cara klenik, bahkan ateis. Semua bisa diterima 

sepanjang mereka tujuannya satu yaitu penyatuan diri kepada 

Tuhan yang maha tunggal. 

Sire Mpu Pande Aji, seorang sulinggih dari keluarga 

Pande menjelaskan tentang adanya hurup suci yang 

diturunkan Tuhan ke alam semesta yang disebut Ongkara. 

Huruf suci (Ongkara) itu terdiri atas Ang, Ung dan Mang. 

Ketiga hurup itu mewakili unsur alam dan unsur Trimurti. 

Ang menjadi simbol unsur Api yang berarti penciptaan yang 

dipersonifikasikan dengan Dewa Brahma. Ung menjadi simbol 

unsur Air yang berarti pemeliharaan dengan personifikasi 

Dewa Wisnu. Mang menjadi simbol unsur angin yang berarti 

peleburan atau pengembali dengan personifikasi Dewa Siwa. 

Kesemua unsur api, air dan angin itu menjadi satu 

kesatuan dalam sistem Trimurti. Tuhan dipercaya sebagai satu 

zat yang esa yang dipersonifikasikan dengan fungsi dan peran 

Tuhan sebagai pencipta yang disebut dengan Brahma (simbol 

api), sebagai pemelihara alam semesta yang disebut dengan 

Wisnu (simbol air)  dan Siwa (simbol angin) sebagai pelebur, 

pengembali alam dan mahluk hidup kepada asalnya. 

Dewa sebagai personifikasi Tuhan dapat disimbolkan 

berupa alam. Dimana alam memiliki kesamaan substansi 

dengan sifat Tuhan atau Dewa ini . Unsur Api dianggap 

mewakili sifat penciptaan, sebab  api yaitu  energi asal dari 

kehidupan, inti matahari, inti bumi dan kekuatan yang 

memberi kehidupan. Api juga merupakan kekuatan yang 

memberi bentuk kepada seuatu seperti api yang digunakan 

pada penempaan besi, baja dan nikel menjadi senjata. 

sedang  unsur air dianggap sebagai wakil pernyataan 

tentang pemeliharaan yang menyejukan dan memastikan 

kehidupan berjalan dengan baik. Air menjadi penebus dahaga 

dan panas, dan menjadi mediapengobatan dari berbagai 

penyakit. Berbeda dengan unsur angin atau udara yang 

dianggap mewakili sifat melebur dan mengembalikan, sebab  

angin yaitu  zat yang bisa membawa sesuatu dan merubah 

bentuk benda dari bentuk yang telah ada sebelumnya. Jika 

konsep trimurti ini dijalankan dengan baik maka akan terjalin 

hubungan yang harmonisasi.  

Konsep Tri Murti ini dalam keluarga pande pura 

tatasan diwujudkan dalam 3 padmasana. Dan keluarga ini 

lebih memakai unsur Brahma sebagai unsur api, unsur api 

untuk membuat keris yang menjadi pusaka turun temurun 

dalam klan pande. Sehingga Tuhan yang berwujud Brahma 

tetap hadir dalam tradisi pande besi dan diwujudkan dalam 

tradisi membuat keris pusaka yang dibakar besinya dengan 

api. Disinilah wujud Tuhan itu hadir.   

Pemahaman kelompok tradisional pande ini , 

dikuatkan oleh I Nyoman Lastra yang menyatakan bahwa 

dalam sistem keyakinan orang Bali menganut sistem 

ketuhanan yang disebut dengan Tri Murti, yang merupakan 

suatu keyakinan tentang keesaan tuhan yang disebut Sang 

Hyang Widhi Wasa yang dipersonifikasikan dengan tiga 

bentuk yaitu Brahma (pencipta), Wisnu (pemelihara) dan Siwa 

(pemralina atau pengembali). Sang Hyang Widhi Wasa 

merupakan zat Tuhan Yang Maha Esa.  

Menurutnya, sebuah zat yang berada dalam keadaan 

yang tidak dapat digambarkan dengan apapun atau 

menyerupai apapaun. Dialah yang menjadi pusat segala 

sesuatu kehidupan. Brahma merupakan personifikasi Tuhan 

sebagai pencipta. Peran Tuhan menciptakan alam semesta dan 

terkait unsur–unsur dasar sumber kehidupan. Wisnu yaitu  

penggambaran peran Tuhan sebagai pemelihara kehidupan 

dan alam semesta. Wisnu yaitu  wujud Tuhan yang 

menyebarkan kesejahteraan, pengetahuan, peradaban, dan 

hallaian yangmemastikan kehidupan manusia dan alam 

semesta terpelihara. sedang  Siwa yaitu  manifestasi 

Tuhan yang menjalankan siklus kehidupan, melebur yang ada 

menjadi tiada,yang hidup menjadi mati sebagai bagian dari 

proses kehidupan yang harus berjalan dengan seimbang.  

Senada dengan Lastra, I Gusti Ngurah Sudiana yang 

juga menjabat sebagai Ketua Umum PHDI menyatakan bahwa  

dalam sistem kepercayaan warga  tradisional Hindu Bali,  

Tuhan dipersonifikasikan kepada 9 bentuk peran  yaitu : 

1. Siwa (peran pelebur dan pengembali) 

2. Durga (peran penguasa dunia ghaib, mahluk halus dan 

siluman) 

3. Brahma (peran Penciptaan) 

4. Wisnu (peran pemelihara kehidupan) 

5. Indra 

6. Gana (Ganesha) (peran penguasa ilmu pengetahuan) 

7. Birawa 

8. Surya (matahari, sumber kehidupan) 

9. Agni (penguasa Api). 

Kesembilan simbol peran ini  digabung  menjadi 

tiga dalam satu kesatuan manunggal yang mereka sebut Tri 

Murti, yaitu: 

1. Siwa (kesatuan dari Durga, Birawa dan Siwa) 

2. Wisnu (kesatuan dari Indera, Gana dan Wisnu) 

3. Brahma (kesatuan dari Surya, Agni dan Brahma) 

Tri Murti inilah yang merupakan representasi dari 

Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam setiap upacara keagamaan, 

Sang Hyang Widhi Wasa ditunjukan dalam banyak simbol-

simbol lainnya, seperti dalam canang yang didalamnya 

ada  unsur-unsur pokok dalam banten atau upakhara. Tri 

Murti dilambangkan dengan sirih yang merupakan simbol 

dari Wisnu sebagai pemelihara. Kapur sebagai simbolis dari 

Siwa yang melebur dan mengembalikan dan buah pinang 

yang merupakan simbol Brahma atau penciptaan.  

Konsep Tri Murti paling fundamental disimbolkan 

dalam bentuk pemujaan rong tiga. Di dalam bangunan rong 

tiga kita akan melihat simbol ini  berupa ruangan 

kotak/rong tiga, yang menunjukan persembahan atau 

pemujaan terhadap dewa Brahma, Wisnu dan Siwa. 

sedang  rong dua di kiri dan kanan melambangkan simbol 

pemujaan pada leluhur laki-laki dan perempuan, dan rong 

satu ditengah untuk pemujaan terhadap roh suci leluhur yang 

tunggal dan biasanya ada  di areal utama tempat suci 

keluarga. 

Pendapat yang sama diungkapkan pula oleh Ide 

Pandita Dukuh Acharya Daksa, seorang pendeta pada 

padukuhan Samiaga dan I Ketut Donder yang menyatakan 

bahwa secara hirarki ketuhanan dalam agama Hindu dibagi 

menjadi 2 bagian, yaitu:  

1. Nirguna Brahman, yaitu Tuhan tidak mungkin 

dibayangkan atau disamakan dengan apapun. sebab  

ketidak mampuan umatnya mengenal Tuhannya maka 

para resi memohon akan diwujudkan sesuatu yang 

berwujud. 

2. Saguna Brahman, disinilah yang disebutkan atau 

dipersonifikasikan  berwujud Brahma, Wisnu, Siwa yang 

mampu dibayangkan seakan-akan manusia bagi para resi 

(orang suci) dan para yogi. Dan umat pun pada prinsipnya 

diarahkan pada pemahaman nirguna brahman. Walaupun 

dalam implemntasinya mereka memahami melalui 

pemahaman saguna brahman, hal ini terjadi disebab kan 

keadaan zaman dalam keadaan seimbang antara 

keburukan dan kebaikan. 

 

Upacara sebagai Ritual Keagamaan 

Dalam penghayatan dan pengajaran Agama Hindu, 

dikenal tiga kerangka agama,  yaitu tatwa, susila dan upacara. 

Dari tatwanya, umat akan mendapatkan pengetahuan tentang 

ajaran-ajaran Ketuhanan. Dari ajaran susila, umat akan 

mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana prilaku 

manusia sebagai mahluk tertinggi ciptaan Tuhan. sedang  

dari upacara, umat akan mendapatkan tuntunan bagaimana 

melaksanakan upacara agama yang benar, sesuai dengan 

sastranya. Dari ketiga unsur agama ini , unsur tatwanya 

akan tampak sama, sebab  bersumber pada Weda, sebagai 

kitab suci agama Hindu. Umat Hindu dimanapun berada, 

mesti sama dalam memahami tentang tatwa. Namun dari 

unsur susila akan perbedaan-perbedaan perilaku umat Hindu 

yang ada disatu daerah dengan umat Hindu daerah lainnya. 

Prilaku susila tertata, umum dikatakan adat, yaitu perilaku 

manusia yang ditata menurut tempat berada, penataannya itu 

sering disebut tata krama. 

Begitu pula dengan unsur upacara, manakala umat 

Hindu melaksanakan upacara agama, akan tampak wujudnya 

berupa seni-budaya, namun landasannya tetap dari Weda 

sendiri. Ucapan mantram, dikumandangkan dengan seni, 

suara berupa kidung, lalu   tata pelaksanaannya 

diwujudkan dalam bentuk seni-tari berupa: rejang, pendet, 

baris, wayang, diiringi pula dengan seni-tabuh berupa gong, 

gender, gambang, angklung, yang terlihat dalam seni-rupa 

berupa lukisan pengider-ngider, kajang dan patung. Kesemua 

itu dilaksanakan menurut waktu yang tepat dan pada tempat 

yang tepat pula. Demikian pula halnya dalam melaksanakan 

upacara agama berupa hari raya keagamaan, perayaannya 

dilaksanakan dengan tatanan upacara. Makna dan tujuan 

berdasar  Tatwa, melalui sastra lontar, pelaksanaan 

mengikuti tata krama, dan bentuk upacaranya diwujudkan 

menurut seni budaya. Untuk menetapkan waktu, tempat, 

bentuk, jenis upacara, itu mengacu pada lontar tatwa wariga 

yang ada di Bali, sehingga sering dikatakan agama Hindu di 

Bali diberikan identitas sebagai Hindu Bali.  

warga  Bali sebagai warga  yang religius, di 

mana antara agama, adat istiadat atau tradisi dan budaya 

menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan didalam 

kehidupan keseharian mereka. Secara substantif yang 

menjalankan tradisi Hindu Bali dalam keagamaan atau secara 

tradisional dilakukan oleh umat yang memiliki pura keluarga. 

Dalam kesehariannya umat Hindu dalam keluarga dapat 

melakukan puja-puja setiap harinya kepada Tuhan atau Sang 

Hyang Widhi Wasa didalam tempat beribadah yang ada 

dilingkungan rumahnya dengan mengadakan berbagai 

upacara. Menurut I Nyoman Lastra dan I Gede Arnawa 

(Sekretaris I PHDI Prov. Bali) bahwa upacara atau kegiatan 

keagamaan dilaksanakan di pura. Sehingga pura terbagi 

kepada tiga tingkatan, yaitu Pura Keluarga, Pura Teritorial 

dan Pura Kahayanagan Jagat. 

Pura keluarga terdiri atas beberapa jenis, antara lain 

sanggah kemulan, sanggah merajan, Pura Panti dan Pura 

Dadya. Setiap anggota keluarag terikat dengan pura keluarga, 

setiap orang yang sudah menikah dan memisahkan diri dari 

keluarga orang tuannya biasannya memiliki pura keluarga 

sendiri. Pura Keluarga  ini  biasanya terdiri atas 1-3 

bangunan. Tiap bangunan memiliki tempat persembahan 

yang jumlahnya berbeda. bangunan itu, antara lain: 

1. Kemulan (Rong Tiga): diperuntukan untuk upacara 

pemujaan kepada leluhur yang sudah disucikan/dewa 

yang dipersonifikasikan dalam konsep Trimurti (Brahma, 

Wisnu dan Siwa). 

2. Taksu (Rong Satu): Bangunan yang diperuntukan untuk 

memuja atau upacara yang terkait dengan kewibawaan 

3. Tugu (Rong Satu): Bangunan yang diperuntukan untuk 

penjagaan pekarangan  yang ada di rumah agar pemilik 

rumah senantiasa terjaga dalam kehidupan yang damai. 

4. Rong Dua: Bangunan yang diperuntukan untuk pemujaan 

leluhur yang belum disucikan. 

Adapun Pura Keluarga terbagi kepada beberapa 

jenis,antara lain sanggah kemulan, sanggah merajan, pura merajan 

dan sanggah gede /merajan agung yang juga disebut paibon. 

Berbagai jenis pura keluarga ini  dikategorikan 

berdasar  kelengkapan padmasana dan tingkatan keluarga. 

Sanggah Gede/Paibon yaitu  pura pusat keluarga besar atau 

klan. Hampir disetiap rumah di Bali memiliki bangunan pura 

di bagian depan rumah mereka. Kebanyakan pura rumah 

ini  memiliki beberapa bangunan tinggi berjumlah tiga 

bangunan, walau ada beberapa pura yang memiliki lebih dari 

tiga bangunan di dalamnya. Bangunanan padmasana Rong 

Satu, Rong Dua dan rong Tiga, kebanyakan pura ini  

dibangun dengan batu hitam dan ukiran seni bali.  

I Gusti Ngurah Sudiana menyatakan kelompok 

warga  Hindu Bali Tradisional terbagi kepada  dua jenis 

kelompok, yaitu: 

1. Kelompok dari Griya61 (rumah Pandita).   

2. Kelompok Non Griya (Pasraman62).  

Para sulinggih itu memiliki identitas atau sebutan 

masing-masing, yaitu: 

1. Pedanda (Pendeta yang berasal dari Keluarga Brahmana) 

2. Resi (Pendeta dari wangsa satria) 

3. Resi Bujangga (Pendeta wangsa Aria) 

4. Sire Mpu (Pendeta dari klan Pande) 

5. Sri Mpu (Pendeta dari klan Pasek) 

6. Dukuh (Pendeta dari Warga Dukuh) 

7. Bhagawan (Pendeta dari kaum Kesatria) 

Pada Pura Keluarga dalem Pande Majapahit Tatasan, 

sulinggih dan keluarganya melakukan sembahyang setiap 

harinya di pura keluarga di komplek rumahnya. Proses 

sembahyang dilakukan setiap hari oleh sulinggih, istri dan 

keluarganya. Sire Mpu Pande Aji, selalu melakukan 

persembahyangan yang dibagi dalam 3 waktu atau disebut 

Trisandya: pagi sekitar jam 5 subuh dengan membaca mantra 

gayatri memuja Dewa Siwa dengan menyebut nama Tuhan 

sebanyak 108 kali. Pada siang hari sekitar jam 12 dan sore jam 

                                                          

61 Griya yaitu  kelompok Hindu  yng secara turun temurun menjalankan 

tradisi Hindu yang berpusat pada rumah dan pura pendande/sulinggih klan. Tiap 

Kelompok/klan memiliki sulinggih dan paibon sebagai pusat kegiatan tradisi Hindu 

Bali  mereka. 

62 Adapun Pasraman merupakan tempat berkumpul, kegiatan dan sekaligus 

pendidikan, juga sebagai tempat tinggal berupa asrama. Orang yang bergabung 

dalam Pasraman belajar dan mengkaji berbagai ilmu yang terkait dengan 

kedigdayaan/olah kanuragan, pengobatan, dan Filsafat, ajaran Hindu baik yang 

dipelajari dengan membaca weda atau yang mempelajari tanpa membaca Weda. 

 

6 sore menjelang malam. Sembahyang sesungguhnya bisa saja 

dilakukan di dalam kamar atau ruangan tertutup yang bersih. 

Namun jika di rumah ada pura, sebaiknya sembahyang di 

pura. Para ibu atau perempuan biasanya sembahyang pagi 

sehabis mandi dan setelah masak. Sembahyang siang sebelum 

makan. Sembahyang malam sesudah mandi sore. 

Kelompok tradisonal di Bali pada umumnya 

melakukan kegiatan atau tradisi keagamaan melalui berbagai 

upacara keagamaan dengan memakai  media upakara 

yang biasa disebut banten yang berbentuk sesajen. Di mana 

bentuk, isinya terdiri dari mewakili unsur–unsur pemujaan 

sesuai dengan tingkatan upacaranya. Pada prinsipnya upacara 

disetiap keluarga kelompok tradisional di Bali sama, tidak ada 

perbedaan secara substansial. Namun yang membedakannya 

yaitu  pada ragam isi sesajen/upakara pada saat upacara 

dilaksanakan.  

Menurut Lastra, sesajen persembahan dalam agama 

Hindu yang paling inti yaitu  Canang yang berisi porosan 

yang bahannya daun sirih, kapur dan buah pinang. Di mana 

daun sirih merupakan simbol pemelihara kekuatan Wisnu, 

kapur sebagai simbol peleburan atau pengembali kekuatan 

Siwa dan buah pinang merupakan simbol penciptaan 

kekuatan brahma. Isi canang ini merupakan perwujudan dari 

Brahma, Wisnu dan Siwa atau Trimurti. Sehingga sebesar 

apapun banten atau persembahan kepada Sang Hyang Widhi 

Wasa bagi umat Hindu, maka canang tidak pernah 

ditinggalkan, dia selalu ada.  

saat   peneliti berada di rumah sulinggih Sire Empu 

Pande Aji, istri pande Aji sedang menyiapkan sesajen untuk 

bersembahyang, di dalam sajen ini  ada canang yang 

berisi sedikit daun siri, buah pinang, kapur, diatasnya ditaburi 

----------- 180

aneka bunga yang tidak ditentukan berapa jumlahnya. 

Canang ini dibawa ke pura dalam lingkungan rumah dan 

dilakukan sembahyang disana. Selain itu disiapkan juga 

canang yang lain dibeberapa tempat di dalam wilayah pura. 

Dari kebiasaan di pura keluarga tatasan disiapkan canang 

yang isinya juga lauk pauk yang dimasak hari itu untuk 

disisihkan sedikit diatas canang, seperti nasi, ayam, ikan, dll 

disisihkan. Hal ini dilakukan dalam rangka ucapan 

terimakasih dan rasa syukur keluarga pande sudah diberikan 

rezeki makan hari itu dan bisa dimasak untuk dimakan 

keluarga. Tradisi yang dilakukan di keluarga pande ini juga 

dilakukan oleh umat Hindu lainnya. Hal ini  dibenarkan 

oleh Luhde Sriti, sebagai umat Hindu Bali yang melaksanakan 

keseharian hidupnya secara tradisional.  

Hal senada juga disampaikan seorang ibu yang datang 

Tulungg Agung dari Klan Pande ke pura tatasan saat peneliti 

berada di sana. Setiap hari dia selalu membuat sesajen untuk 

berbagai keperluan di rumahnya sebagai bentuk persembahan 

kepada Tuhan dan leluhurnya. Menurut Luhde, hampir hari-

harinya melakukan tradisi sembahyang dengan membuat 

canang, semua itu dinikmatinya dengan rasa syukur. 

Walaupun kadang terasa capek, namun jika tidak dilakukan 

seakan ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya jika tidak 

melakukan persembahyangan dengan membuat sesajen, 

sepertinya tidak sempurna sembahyangnya jika tidak 

menyiapkan sesajen. 

Kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh kelompok 

tradisional di Bali pada umumnya dan keluarga pande pura 

tatasan khususnya, semuannya tertuang dalam ajaran Kitab 

Weda. Walaupun Sire Mpu Pande Aji menyampaikan bahwa 

mengetahui semua isi Weda ini  tidak terlalu penting jika 

tidak dilaksanakan. Bagi umat Hindu, yang terpenting yaitu  

melaksanakan isi Weda ini  sekalipun dia tidak pernah 

membaca kitab Weda. Menurut belia tradisi turun temurun 

yang di sampaikan oleh para leluhur mereka yaitu  

bersumber dari kitab Weda. Hal senada di ungkapkan pula 

oleh Ida Pedande Made Gunung yang menyatakan bahwa 

semua tradisi yang dilakukan oleh warga  Hindu Bali 

yaitu  bersumber dari Weda. Weda yaitu a ajaran yang 

mengayomi, menjangkau dan memberikan makna bagi 

budaya lokal. Weda mengajarkan agama yaitu  jalan 

mencapai keadaan kembali kepada sang pencipta atau moksa, 

Dalam ajaran Hindu, Surga yaitu  tempat transit jiwa 

sebelum dikembalikan kedunia sampai manusia itu mencapai 

kesempurnaan dan menyatu dengan sang pencipta. 

Dalam ajaran Hindu ada dua jalan besar untuk 

mencapai kesempurnaan, yaitu: 

1. Jnana Sandiyasa: mencari kesempurnaan melalui pelajaran 

teologi,pemahaman weda dan sebagainya. 

2. Karma Sandiyasa: mencari kesempurnaan  dengan 

berhubungan dengan Tuhan melauai perbuatan. Karma 

sandiyasa dilakukan dengan media upacara agama. 

Karma Sandiyasa dilakuan dengan media upacara 

agama, sedang  upacara agama yaitu  proses pemujaan 

atau berhubungan dengan pencipta yang dilakuan dengan 

media banten. Disebab kan Weda bukan ajaran doktrin, 

sehingga terjadilah berbagai perbedaan dalam upacara.  

Upacara pada satu keluarga dengan keluarga lainnya tidak 

sama, begitu juga upacara dalam satu pura tidak sama, namun 

secara substansi diadakan upacara ini  tetap tidak 

berbeda.  

Dalam tradisi warga  Hindu Bali, berbagai 

upacara didasarkan pada tiga hal : 

1. Sastra Destra. 

Upacara harus dilaksanakan berdasar  kepada ajaran 

yang ada  dalam kitab suci weda. Upacara merupakan 

bentuk implementasi dari berbagai macam yang diajaran 

dalam kitab Weda. Semua prosesi dan perangkat upacara 

senatiasa mewkili berbagai simbol ajaran yang ada  

dalam weda.  

2. Desa Destra. 

Upacara agama dilandasi keadaan alam dan sosiologis 

tempat tinggal warga  umat Hindu di Bali. Tiap Desa 

atau wilayah memiliki situasi yang berbeda sehingga 

memiliki macam ragam tradisi upacara yang berbeda, 

walau secara substansi tidak keluar dari Weda.  Sebagai 

contoh, Padmasana (tempat menghaturkan sesajen 

/upakara) yang ada  di tiap rumah, warga  

Denpasar meletakan Padmasana atau Pura keluarganya di 

bagian tengah rumah. Di Tabanan, warga  

membangun padmasana mereka di bagian depan rumah. 

3. Kuna Destra 

Upacara Adat harus diaksanakan berdasakan tradisi turun 

temurun. Dalam pelaksanaan kegiatan upacara agama 

Hindu di Bali ada 4 hal yang tidak dapat dipisahkan, dia 

menjadi satu kesatuan yang berkaitan yang mencakup 

Budaya, Adat, Seni dan Sosial. Ajaran Weda diwujudkan 

dalam tradisi desa dresta dan kuna dresta sehingga ajaran 

agama Hindu menyatu dalam budaya,adat, seni dan 

tatatan sosial. Upacara agama  umat Hindu Bali tidak 

hanya sarana bersyukur kepada Tuhan, tapi sarana 


mendidik orang Bali untuk berpikir rumit, kritis dan 

dinamis sehingga membentuk warga  yang produktif. 

Hal itu didasari situasi alam dan warga  Bali. Alam 

Bali tidak luas dan tidak memiliki kandungan kekayaan 

alam yang besar. Maka upacara agama harus menjadi 

sarana kreatifitas yang mengandung unsur bisnis dan 

ekonomi. Disamping adat, budaya, seni dan sosial. 

Lebih lanjut Ratu Pendanda Ida Gede Made Gunung, 

mengungkapkan bahwa dalam ajaran agama Hindu Bali, 

banten merupakan simbol ajaran yang ada  dalam Kitab 

Weda. Simbol-simbol itu dapat dilihat dari tiga hal yang 

disebut dengan Tribuana.yaitu bentuk, isi dan keadaan. Ketiga 

hal ini  selalau mengandung unsur Bhur berarti alam 

bawah, Bwah berarti alam tengah dan Swah berarti . alam atas 

atau akasa. Unsur-unsur dimaksud dapat dilihat, antara lain:  

1. Dalam bentuk banten, ada  jajaitan yang berupa 

segitiga (mewakili Bhur), segi empat (Mewakili Bwah)dan 

Bundar (mewakili Swah) 

2. Dalam isi banten ada  unsur tumbuh-tumbuhan 

seperti padi dan buah-buahan (mewakili unsur Bhur), 

unsur mahluk yang dilahirkan seperti babi (mewakili 

unsur Bawah) dan mahluk yang bertelur seperti ayam, 

(mewakili unsur Swah) 

3. Dalam keadaan banten, ada  unsur mentah (mewakili 

unsur bhur), unsur benda yang matang (mewakili unsur 

bwah) dan benda yang masak (mewakili unsur Swah.) 

Ida Sire Empu Pande Aji mengungkapkan bahwa 

berbagai jenis upacara yang diselenggarakan di Pura 

Keluarganya, antara lain: 

----------- 184

1. Banten Saiban (setiap hari), Persembahan kepada Tuhan, 

bagian/unsur dari makanan yang dimasak dan dmakan 

oleh keluarga. 

2. Purnama Tilem (setiap 15 Hari) 

3. Piodalan/Wedalan (setiap 6 bulan), Upacara yang terkait 

dengan pendirian bangunan pura keluarga. 

Selain ketiga, upacara ini , di lingkungan pura 

keluarga tatasan juga diadakan berbagai upacra yang 

dilaksanakan setiap 210 hari sekali, antara lain: 

1. Upacara Tumpak Landap: Upacara untuk jiwa pada 

benda–benda yang terbuat dari besi. Memuja Dewa 

Pasopati 

2. Upacara Tumpak Wrige: Upacara untuk jiwa pada 

tumbuh–tumbuhan, memuja Dewi Sangkara. 

3. Upacara Tumpak Krulut: Upacara jiwa pada barang – 

barang seni, memuja Dewa Iswara.  

4. Upacara Tumpak Uye/kandang: Upacara untuk jiwa pada 

hewan.  

5. Upacara Tumpak Wayang: Upacara untuk jiwa pada 

wayang. 

6. Upacara Tumpak Kuningan: Upacara untuk jiwa para 

leluhur.  

Selain upacara ini  di atas, di pura keluarga pande 

tatasan, juga ikut melaksanakan hari besar dalam agama 

Hindu lainnya seperti hari raya lainnya seperti hari raya 

Nyepi, hari raya Galungan, hari raya Kuningan, dll. Biasanya 

hari-hari besar ini , Ida Sire Empu Panji,  sebagai 


Sulinggih dimohonkan untuk memimpin/memuput acara 

ini .  Dalam pandangan beliau, tradisi dan upacara yang 

diadakan oleh umat hindu sesungguhnya membangun nilai 

tentang memanusiakan alam dan lingkungan. Alam dan 

lingkungan baik benda besi, tumbuhan, hewan,alat seni dan 

wayang dianggap sebagai benda yang berjiwa seperti 

manusia, sehingga diperlukan suatu upacara khusus untuk 

tiap unsur alam dan lingkungan ini  sebagai simbol 

pengakuan terhadap jiwa di dalamnya. 

Upacara dalam tardisi warga  Hindu Bali juga 

mengandung makna memanusiakan manusia, dengan 

mangatur etika manusia dalam upacara. Seorang yang datang 

ke Pura untuk upacara agama harus mengenakan pakaian 

sesuai dengan susila dan etika, dia datang dan duduk, sambil 

menunggu upacara dia melantunkan bernyanyi. Nanyian itu 

mengandung makna melatih nafas dan suara, jika seseorang 

bernafas dengan baik maka hidupnya akan baik. sebab  

upacara yaitu  media pembentukan jasmani dan rohani. 

Upacara juga yaitu  sarana membangun mindset sebagai 

mahluk sosial. Dalam ajaran Hindu, Sembahyang yaitu  

media memohon ampun atas kesalahan diri dan memohon 

agar alam beserta isinya mendapatkan kebahagian, maka 

sembahyang yaitu  melatih mindset sosial pelakunya. Oleh 

sebab  itu tiga hal dalam upacara sebagai pengajaran dalam 

agama Hindu sebagai sarana untuk Kasih terhadap alam dan 

lingkungan, Cinta kepada sesama manusia dan bhakti kepada 

Tuhan. 

 

Strategi Mempertahankan dan Mengembangkan 

Keberadaan Klan Pande Pura Tatasan 

Seorang pande tidak hanya ahli besi, tapi bisa juga 

sebagai seorang sulinggih/pendeta, namun tidak semua pande 

menjadi seorang sulinggih. Seorang sulinggih kelompok 

pande berkewajiban untuk mencari atau menentukan salah 

satu keturunannya untuk menjadi sulinggih atau melanjutkan 

jabatan Sulingginya. Kriteria atau ciri keturunan yang 

ditunjuk dan dipersiapkan yaitu  anak atau keponakan yang 

memiliki ketertarikan pada ilmu kepanditaan/kepandean dan 

mau belajar upacara-upacara keagamaan, sehingga dia lebih 

cepat paham soal agama. Biasanya disiapkan usia 25 tahun, 

sebab  akan lebih pas jika nanti menjadi sulinggih diusia 40 

tahun.  

Sulinggih pande yaitu  salah satu dari sulinggih yang 

ada di Bali. Sulinggih yang berada dari keturunan Pande di 

Bali hanya berjumlah 20 orang. sedang  jumlah Sulinggih 

dari keluarga Pasek mencapai 500 orang, begitu juga sulinggih 

dari keluarga Brahmana yang berjumlah 500 orang. Tugas 

sulinggih di keluarga pande yaitu  memimpin berbagai 

upacara besar di kalangan keluarga/klan pande. Pande 

bertugas memberikan pelayanan kerohanian bagi umat Hindu 

Keluarga pande. Setiap paibon mempunyai pemimpinnya 

sendiri-sendiri tapi hanya sebagai seorang pemangku. sebab  

untuk upacara-upacara besar  harus dipimpin seorang 

sulinggih. Misalnya menghidupkan patung atau memberikan 

jiwa pada patung. Tidak semua patung ada jiwannya, jika 

diminta atau diisi oleh sulinggih baru patung mempunyai 

jiwa (hidup) sesuai dengan kepentingannya. Misalnya untuk 

menjadi kharismatik, menjaga wibawa, menjaga lingkungan, 

dll. sedang  untuk patung-patung atau keris yang diluaran 

belum tentu diisi jiwa. Secara politik, kelompok sulinggih 

terbagi kepada dua unsur besar, yaitu para sulinggih yang 

bergabung dengan Pura Besakih dan para sulinggih yang 

bergabung di Pura Ubud. 

Pada keluarga Klan Pande tradisi pande wajib 

diteruskan secara turun temurun dalam keluarga pande. 

Menurut Sira Mpu Pande Aji, dirinya sebagai seorang 

sulinggih dari keluarga Pande akan merasa sagat berdosa dan 

bersalah jika tidak ada anak turunannya yang menjadi   

sulinggih pande. Sehingga ada kewajiban bagi dirinya untuk 

mempersiapkan agar ada dari keturunannya menjadi seorang 

sulinggih. Seorang Sulinggih Pande yaitu  pemimpin acara-

acara keagamaan di Pura Paibon Pande dan juga sebagai 

tempat konsultasi umat Hindu dari Klan Pande. Adapun 

upaya yang dilakukan Sira Mpu Pande Aji untuk 

mempersiakan penggantinya yaitu  dengan cara 

memperhatikan salah seorang putranya dari 4 orang putra 

yang ia miliki yang mempunyai ketertarikan terhadap ilmu 

keagamaan Hindu, mempelajari Kitab Weda, keahlian dalam 

bidang pembuatan keris, senjata dan berbagai perangkat besi, 

paham tentang ritual-ritual  dan filosofi banten. Hal yang 

paling penting yaitu  mempunyai mental, integritas 

(kejujuran), mempunyai sikap sebagai seorang yang 

mengayomi seperti seorang sulinggih, mempunyai 

kemampuan untuk belajar memimpin ritual keagamamaan 

baik dalam keluarganya sendiri maupun pada kelompok 

pande. 

Saat ini Sira Mpu Pande Aji melihat bahwa salah satu 

dari keturunannya ada yang dapat dipersiapkannya sebagai 

sulinggih, yaitu putra bungsunya, namun sayangnya putranya 

itu sering mengalami kurang sehat pisiknya (suka sakit-

----------- 188

sakitan). Sehingga Sira Mpu Pande Aji merasa ada ke 

khawatiran akan membebani anaknya ini . Namun 

demikian beliau tidak merasa keberatan jika pada akhirnya 

takdir Tuhan menentukan lain, bahwa yang jadi sulinggih 

yang akan menggantikannya bukan dari keturunannya 

langsung.  

sebab  persoalan menjadi sulinggih ini juga 

merupakan ketentuan dari Tuhan, namun demikian tidak 

salah jika sulinggih menyiapkan calon penggantinya. Beliau 

juga menyatakan jika harus yang lain seperti keponakan atau 

dari klan pande lainnya ternyata yang ditentukan Tuhan 

untuk menggantikan nya sebagai sulinggih tentunya harus 

memenuhi ketentuan-ketentuan yang mengarah pada 

kesiapan seorang slinggih seperti yang disebutkan diatas. Dan 

juga Sri Mpu Pande Aji akan tetap memerikan pembinaan dan 

pembekalan khusus lebih dalam tentang Kitab Weda juga 

keahlian kepandean lainnya serta semua ilmu yang 

berhubungan dengan pasopati atau pengisian jiwa pada 

senjata. Selain itu Sulinggih juga akan mengirim kadernya ke 

berbagai tempat untuk menempa ilmu dan mencari 

pengalaman skill dan spiritual. 

Lebih lanjut Mpu Sire pande Aji mengatakan bahwa 

dirinya tidak keberatan jika seorang sulinggih menguasai 

berbagai ilmu dari tempat lain yang bukan asli dari Hindu 

Bali atau ilmu turunan keluarga pande. Ilmu baginya hanya 

sebagai alat yang diibaratkan korek api untuk memasak. 

Selama beras yang dimasak berasal dari dalam atau dari Bali, 

tidak masalah jika alat memasak atau menyalakan api 

didapatkan dari luar selama bisa mempercepat dan 

menyempurnakan proses memasak ini .  

Untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan 

tradisi dari Klan Pande Sira Mpu Pande Aji sedang 

menyiapkan pendirian pasraman untuk mendidik para calon 

pande  yang disebut dengan pasraman pande. Biaya pendirian 

Pasraman Pande dengan memakai  biaya sendiri atau 

keluarga pande tanpa bantuan pemerintah. Namun jika 

pemerintah ingin memberikan bantuan beliau tidak 

menolaknya, tetapi jika pemerintah mensyaratkan untuk 

mendapatkan bantuan ini  harus membuat permohonan 

pengajuan proposal bantuan dana, beliau tidak                    

akan melakukannya. sebab  dalam keyakinannya 

mempersembahkan sesuatu bagi Tuhan tidak boleh dilakukan 

dengan dana atau barang yang dihasilkan dari meminta-

minta. Baginya pasraman yang akan dia dirikan merupakan 

bentuk persembahan dirinya kepada Tuhan. 

Faktor lain yang penting dalam melanjutkan tradisi 

dengan berbagai upacara dan pendidikan yaitu  masalah 

biaya. Maka untuk meastikan biaya tradisi ini  tersedia, 

keluarga pande menjalankan usaha pembuatan berbagai alat 

atau kerajinan yang terbuat dari besi. Tidak semua keluarga 

pande menjadi sulinggih, tapi banyak diantara mereka yang 

mediirikan pusat kerajinan pande besi yang disebut dengan 

perapen. 

Biaya upacara tradisional dan pasraman diambil dari 

keuntungan pemasaran produk keris. Semua keluarga pande 

membuat perapen/pusat kerajinan pande untuk menjual 

senjata berupa keris, golok, tombak, peralatan rumah tangga 

dsb. Namun Keluarga inti pande atau sulinggih pande yang 

menjadi pusat keluarga pande hanya memproduksi senjata 

dan memberijiwa pada senjata. Satu keris yang dibuat oleh 

pande di pura tatasan beragam harganya, mulai dari yang 


murah seharga 700 ribu rupiah, hingga ratusan juta, terutama 

keris yang sudah diisi jiwanya. 

Banyak hambatan dan tantangan yang dihadapi 

keluarga pande dalam mempertahankan tradisi 

kepandeannya. Diantaranya yaitu  cara pandang generasi 

muda pande yang bersifat pragmatis, ditambah lagi era digital 

yang mengakibatkan generasi pande lebih banyak memilih 

jalur lain dan mengembangkan dirinya untuk melakukan 

perubahan dalam kehidupan mereka, kebanyakan mereka 

memilih pekerjaan sebagai PNS, swasta, di Bank, dosen, dll 

yang merupakan matapencarian kehidupan mereka. Sehingga 

keadaan ini telah mempersempit generasi keluarga pande 

untuk menjadikan kepandean sebagai profesi mereka. Namun 

demikian dengan keadaan seperti ini, Sira Mpu Pande Aji 

tetap harus mencari salah satu anggota keluargnya untuk 

terus melanjutkan profesi pande dan kependetaan pande ini, 

sebab  jika tidak diteruskan maka tradisi ini akan hilang dan 

lama-lama punah. 

Selanjutnya perpindahan keyakinan anggota keluarga 

pande dari agama Hindu ke agama lain, dan adanya 

perubahan keyakinan ajaran Hindu Tradisional menjadi 

pengikut ajaran Hindu Spiritual yang lebih menyederhanakan 

ritaul-ritual keagamaan dalam penggunaan banten pada 

upacara keagamaan juga menjadi tantangan tersendiri bagi 

umat Hindu pada umumnya. Perpindahan keyakinan 

seseorang merupakan hak setiap orang untuk menentukan 

pilihan keberagamaannya, sehingga Sira Mpu Pande Aji 

menganggap bukan persoalan yang menjadi ancaman terlalu 

signifikan, walaupun hal ini  menjadi pemikiran 

tersendiri bagi tokoh agama Hindu untuk lebih menguatkan 

keagamaan umatnya. Diantara tantangan ini , beliau 

tetap mempersiapkan keturunannya harus ada yang 

meneruskan tradisi kepandean dan menjadi penggantinya 

sebagai seorang sulinggih.  

 

Struktur Organisasi Pura Pande Majapahit Tatasan 

Layaknya sebuah  organisasi, kelompok tradisional 

Pande Majapahit Tatasan juga mempunyai susunan 

kepengurusan organisasi yang sangat sederhana. Organisasi 

ini dibentuk dalam rangka untuk memudahkan dalam 

melaksanakan berbagai kegiatan keagaman di pura pande 

tatasan. Adapun susunan kepengurusan Paibon Pande yaitu  

sebagai berikut: 

Klian (Ketua atau  

yang dituakan) : Made Jana Bertugas mengayomi 

kegiatan di pura 

Penyarkan  

(Sekretaris) : Rai Subawa, bertugas mencatat, 

mengarsip dan mengatur 

administrasi di Pura 

Bendahara : Nyoman Mariana, bertugas 

mencatat pemasukan dan 

pengeluaran dibidang keuangan 

Pengempon 

(anggota) : berjumlah 24 orang) 

Dari  ke-24 orang pengempon ini, mereka sudah 

mengetahui apa yang menjadi tugas masing-masing saat 

upacara. Dari 24 orang ini kebanyakan perempuan, banyak 

yang PNS, tapi dua (2) minggu sebelum kegiatan dimulai 

biasanya mereka sudah dikasih surat tentang tugasnya 

----------- 192

masing-masing, dan mereka ini ini ada yang mebawa masing-

masing secara bergiliran canang, telur, buah, hewan, dll untuk 

upacara keagamaan. 

Struktur Denah Kawitan/Keluarga Pura Pande 

Majapahit Tatasan yaitu  sebagai berikut: 

 

Penjelasan denah: 

- Kawitan Lontar merupakan penasehat  

- Ratu Gede bertugas sebagai Raja 

- Ratu Biang yaitu  Istri Raja 

- Ratu Pande bertugas sebagai maha patih dan harus 

 mengayomi umatnya atau klan pande 

- Penyarikan/Pemayun yaitu  sebagai sekretaris 

- Dwa Hyang merupakan Leluhur Klan Pande 

- Ratu Ngurah yaitu  Penjaga  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kawitan 

Lontor/Pen

asehat 

Ratu Gede 

Ratu 

Biang 

Ratu 

Pande 

Dewa 

Hiyang 

 

Penyarikan 

Ratu 

Ngurah 

----------- 193

Pura kawitan/keluarga ini , merupakan tempat 

komunitas Klan Pande Majapahit Tatasan yang ada di Bali 

dan yang ada di luar Bali. Semua keturunan Pande Majapahit 

Tatasan dimanapun mereka berada mereka akan kembali ke 

pura kawitan Pande Majapahit Tatasan yang ada di Jalan 

Ratna No, 50 Denpasar Bali ini. Disinilah komunitas mereka, 

sehingga proses upacara hidup dan matinya mereka diurus di 

pura pande ini . 

Adapun jumlah Komunitas Klan Pande yang terdaftar 

di Pura Pande Majapahit Tatasan berjumlah sebanyak 1.800 

KK, yang tersebar di 4 Griya, yaitu: 

1. Griya Suci Tatasan di Denpasar berjumlah sebanyak  800 

KK. 

2. Griya Suci Kalianda Negara di Jembrana jumlahnya 

sebanyak 200 KK 

3. Griya Suci Kalianda Balinuraga di Lampung Selatan 

jumlahnya sebanyak 400 KK 

4. Griya Suci Lampu Hawa di Sulawesi Selatan jumlahnya 

sebanyak 400 KK  

Griya Suci Tatasan luasnya 4 hektar, adapun tanahnya 

milik desa adat, sedang  pura khusu pande hanya memiliki 

15 are. 1 are = 10 meter. Jadi 15 are = 150 meter. sedang  

khusus ruangan prapen seluas 10 meter. 

 

Dampak Keberadaan Klan Pande terhadap Kehidupan 

Keagamaan  

Keberadaan kelompok tradisional Pura keluarga Klan 

Pande Majapahit Tatasan dalam agama Hindu dan kehidupan 

----------- 194

keagamaan di Bali sangatlah banyak. Secara positif klan Pande 

dengan sendirinya sudah banyak membantu warga  baik 

di lingkungan Pande maupun kepada umat beragama lainnya. 

Dengan adanya pura dalam Pande Majapahit Tatasan semua 

klan pande dapat mengenal leluhur mereka dimanapun 

mereka berada. warga , khusunya umat Hindu banyak 

yang datang melakukan ibadah di pura ini  yang datang 

dari berbagai daerah baik dari Bali maupun dari luar Bali. Saat 

peneliti berada disana, banyak warga yang datang 

berkonsultasi dan meminta fatwa dari sulinggih untuk 

kegiatan upacara mereka, banten apa yang cocok untuk acara 

yang diadakan. Juga ada yang meminta dibuatkan kain bagi 

yang keluarganya meninggal dengan meminta hari, tanggal, 

bulan baik kapan akan dikuburkan dan memakai  kain 

dengan bunga aksara.  

warga  juga terbantu dengan adanya klan Pande 

pura tatasan sebab  banyak memproduksi alat-alat berupa 

gong, keris, dll yang bisa digunakan oleh warga  untuk 

keperluan mereka sehari-hari. Adanya acara odalan/perayaan 

keagamaan di Pura Pande Majapahit tatasan, mengakibatkan 

banyak pedagang dadakan disekitar pura dan menjadikan 

penghasilan tersendiri bagi kehidupan mereka.  

Seringnya diadakan ritual keagamaan di Pura Pande 

Majapahit Tatasan secara otomatis banyak memakai  

bunga-bunga, buah dan hewa untuk persembahan, dengan 

demikian sudah membantu para pedagang memutar roda 

perekonomian dan menambah pendapatan mereka. Para 

pedagang ini rata-rata beragama non Hindu. Orang-orang non 

Hindu inilah justru lebih mengetahui dimana dan hari apa 

upacara-upacara dalam agama Hindu dilaksanakan. Dengan 

----------- 195

demikian mereka akan berjualan disekitar tempat acara 

ini .  

Sisi positif lainnya, yaitu  meningkatkan nilai 

keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mendidik umat 

menjadi mengerti nilai-nilai keagamaan, kesabaran, 

kerajasama kelompok, menjaga tradisi turun temurun, 

sehingga masalah lainnya tidak menjadi pertimbangan yang 

siqnifikan. Disinilah kita melihat bahwa keyakinan beragama 

dan kecintaan seseorang terhadap ajaran agamanya dapat 

membuat seseorang mengorbankan segalanya untuk agama 

dan keayakinan yang dia yakini, yang tidak dapat ditukar 

dengan apapun.  

 

Hubungan Klan Pande Tatasan dengan Pemerintah dan 

warga  

Hubungan dengan Pemerintah 

Hubungan secara langsung antara kelompok 

tradisional Klan Pande Majapahit Tatasan dengan pemerintah 

belum terjalin. Namun secara tidak langsung hubungan itu 

tetap ada, yaitu melalui bantuan dan pembinaan pemerintah 

kepada umat Hindu di tingkat banjar atau desa pakraman, 

dimana kelompok tradisional Klan Pande juga berada disana. 

Pembinaan pemda tidak sampai kepada tingkatan pura 

keluarga, demikian diungkapkan oleh Kepala Biro 

Kesejahteraan Rakyat Provinsi Bali (I Gede Griya) dan Kepala 

Bidang Urusan Agama (Eka Putri Kusuma Wati).  

Bantuan pemerintah ini  diberikan kepada pura-

pura yang ada di Bali dan diluar Bali melalui para pemangku 

di pura banjar dan desa Pakraman. Bantuan berupa uang 

----------- 196

sebanyak Rp. 200 juta untuk setiap desa Pakraman dengan 

peruntukannya yaitu  untuk pembinaan dalam fasilitasi 

terhadap Pemerajan (tempat ibadah) 40 %, Pawongan (manusia 

dan warga ): 40 % dan Palemahan (wilayah) 20 %. Selain 

pada pura bantuan juga diberikan kepada PHDI dan FKUB 

bersifat hibah atau biaya langsung yang jumlahnya tidak 

selalu sama dan bervariasi sebesar Rp. 100 juta, kadang Rp. 

200 juta, diperuntukan untuk kegiatan mereka. Adapun 

program kegiatan yang menetukan yaitu  pihak yang 

dibantu. Bantuan dana ini  hanya bersifat stimulan saja 

(sebagai perangsang). Terkait masalah pembinaan dalam hal 

substansi ritual atau tradisi keagamaan diserahkan kepada 

tokoh agama, dalam hal ini secara institusi yaitu  PHDI. 

Dalam hal untuk meningkatkan kerukunan umat beragama 

baik secara internal umat Hindu maupun antarumat beragama 

di serahkan kepada FKUB yang tentunya tetap berkoordinasi 

dengan Pemda Biro Kesra dan Bidang Agama. 

Selain melakukan pembinaan dalam fasilitasi kepada 

umat Hindu Bali, Pemprov juga ikut terlibat dan 

berkoordinasi dengan berbagai elemen menangani berbagai 

kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di Bali. Jika ada 

persoalan di Bali maka Gubernur memanggil semua pihak 

yang ada di Bali demi menjaga keamaanan di Bali, terkait 

persoalan agama maka yang biasanya dilibatkan yaitu  

bagian Biro Kesra dan Bidang Agama ini . Misalnya, 

baru-baru ini terjadi perbedaan pendapat tentang pelaksanaan 

penanggalan pada acara Tawur Kesanga pada Uncal Balung 

yang berbarengan dengan hari raya Nyepi dan sholat gerhana 

matahari. Bidang Agama Pemprov. Bali ikut serta dalam rapat 

koordinasi bersama dengan pihak-pihak lainnya yang ada di 

Bali untuk mencari solusi yang terbaik agar semua kegiatan 

keagamaan bisa berlangsung sesuai dengan harapan. 

----------- 197

Terkait denga adanya perbedaan pendapat tentang 

penanggalan pelaksanaan keagamaan yang bersamaan 

dengan hari raya Nyepi ini , Kementerian Agama 

mengadakan rapat bersama Gubernur Bali dan Biro Kesra dan 

Bidang Agama, Polda Bali, Komandan Korem, 162/Wirasatya, 

Kesbangpol Prov. Bali, Bendesa Agung MUDP Bali, FKUB 

Prov. Bali, Majelis Agama Prov. Bali (PHDI Prov. Bali, MUI 

Prov. Bali, MPAG Prov. Bali, Walubi Prov. Bali dan Matakin 

Prov. Bali), pada hari Selasa 16 Februari 2016, bertempat di 

Kantor Kementerian Agama Wilayah Prov. Bali dengan acara 

pokok tentang pelaksanaan Hari Raya Suci Nyepi Tahun Baru 

Caka 1938 yang akhirnya ditetapkan dilaksanakan pada 

tanggal 9 Maret 2016 dengan menghasilkan adanya Seruan 

Bersama Majelis-majelis Agama dan Keagamaan Prov. Bali 

Tahun 2016.  

 

Hubungan dengan warga  

Kelompok tradisional Klan Pande Majapahit Tatasan 

mempunyai hubungan sosial yang baik terhadap 

lingkungannya. Di lingkungan Pura Kawitan Pande Majapahit 

Tatasan sesungguhnya lebih banyak dihuni oleh kalangan 

Pande, warga  Hindu pada umumnya, namun ada 

beberapa keluarga non Hindu disekitar Pura Kawitan Pande 

Majapahit Tatasan terhadap warga  sekitarnya, yaitu 

yang beragama Islam dan Kristen. Hubungan keluarga pande 

dengan warga  pada umumnya terjalin baik dan saling 

kerjasama terutama saat   dalam melaksanakan kegiatan 

keagamaan di Banjar. Mereka saling menghargai dan 

kerjasama satu sama lainnya. Bahkan ada beberapa kelompok 

lain yang sering datang meminta saran kepada Sri Mpu Pande 

Aji tentang keagamaan. 

----------- 198

warga  Bali yang beragama Hindu, termasuk klan 

Pande sangat kental dengan kepribadian yang senantiasa 

berupaya menjaga keseimbangan, kedamaian, dan 

keharmonisan dalam keragaman umat beragama.  Sikap  

semacam itu merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai 

budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang antara lain 

tertuang dalam konsep ‘ahimsa (tidak melakukan kekerasan), 

‘tat twam asi’ ( engkau yaitu  kamu ), angawe sukaning wong len 

(berbuat untuk kebahagiaan orang lain) dan sederetan 

ungkapan tradisional Bali.  

Dengan kepribadian seperti itu, warga  non 

Hindu ikut berpartisifasi menciptakan suasana  tenang damai 

dalam kehidupan. Yang paling menonjol saat   perayaan hari 

raya Nyepi. Hari raya Nyepi  merupakan  hari  raya besar bagi 

umat Hindu, saat    hari raya Nyepi warga  Hindu 

dilarang melakukan segala aktivitas selama 24 jam. Pada 

perayaan ini semua umat beragam yang ada di Bali  ( Islam, 

Cina, Buddha, Kristen, Khong Hu Cu) turut bertoleransi 

dengan tidak melakukan aktivitas. Umat muslim misalnya 

saat   melakukan persembahyangan dengan tidak 

memakai  pengeras suara di seluruh Bali.  Bagi warga lain 

turut memberikan dukungan dan doa agar  upacara  yang 

dilaksanakan dapat berlangsung khidmat. 

Menurut I Nyoman Lastra, kerukunan antarumat 

beragama di Bali telah menjadi tradisi yang turun temurun, 

seperti contohnya, orang–orang Muslim di Buleleng 

membantu penyelenggaraan Nyepi ,mereka memastikan umat 

Islam selalau menghormati Nyepi. Kegiatan Nyepi telah 

menjadi milik bersama umat beragama di Bali, bukan saja 

milik umat Hindu.  

 

----------- 199

Simpulan 

berdasar  hasil penelitian dan analisisnya, dapat 

disimpulkan sebagai berikut: 

1. Klan Pande di Pura Keluarga dalam agama Hindu di Kota 

Denpasar Bali merupakan salah satu kelompok tradisional 

dalam agama Hindu yang keberadaannya di Bali sudah 

ada sejak zaman dahulu hingga hari ini dan 

mempertahankan tradisi pande besi dilingkungan 

warga  Bali. Tradisi pande besi tidak hanya untuk 

membuat peralatan dari besi untuk kehidupan sehari-hari 

tetapi lebih jauh dari itu yaitu  mempertahankan pusaka 

nenek moyang atau leluhur mereka. Selain sebagai 

seorang pandai besi juga menjadikan barang pusaka 

bernilai magis dan mempunyai kekuatan supranatural. 

Kelompok tradisional pande ini hidup dalam lingkungan 

keluarga dan dalam komplek keluarga yang menyatu 

dengan tradisi keagamaan, menyatu dalam lingkungan 

pura keluarga.  

2. Dampak keberadaan kelompok tradisional Pura Keluarga 

Klan Pande terhadap kehidupan keagamaan di Bali. 

Keberadaan kelompok tradisional Pura Keluarga Klan 

Pande Majapahit Tatasan dalam Agama Hindu dan 

kehidupannya keagamaan di Bali secara positif banyak 

membantu warga  baik di lingkungan Pande maupun 

kepada umat beragama lainnya.  

a) Hubungan Klan Pande Tatasan dengan pemerintah dan 

warga  sudah berjalan baik. Meski hubungan secara 

langsung antara kelompok tradisional Klan Pande 

Majapahit Tatasan dengan pemerintah belum terjalin, 

namun secara tidak langsung hubungan itu tetap ada, 

----------- 200

yaitu melalui bantuan dan pembinaan pemerintah kepada 

umat Hindu di tingkat banjar atau desa pakraman, di 

mana kelompok tradisional Klan Pande juga menjadi 

bagian di dalamnya. sedang  hubungannya dengan 

warga , Klan Pande Majapahit Tatasan mempunyai 

hubungan sosial yang baik terhadap lingkungannya, 

saling kerjasama terutama saat   dalam melaksanakan 

kegiatan keagamaan di Banjar. Saling menghormati dan 

menghargai, seperti dalam perayaan Hari raya Nyepi dan 

upacaranlainnya. 

Rekomendasi yang dapat diajukan dalam penelitian ini 

yaitu : 

1. Pemerintah perlu memberikan perhatian khusus berupa 

pembinaan dan memfasilitasi kepada kelompok 

tradisional klan pande Majapahit Tatasan untuk menjaga 

tradisi pande besi pusaka sebagai aset budaya bangsa, 

berupa memberikan bantuan dana dan diklat kepandean.. 

2. Perlu dipertahankan dan ditingkatkan koordinasi 

antarlembaga pemerintah dan warga  dalam menjaga 

keamanan dan kedamaian di Bali, dengan cara selalu 

melakukan pertemuan tidak hanya bersifat formal jika ada 

permasalahan saja, tetapi secara instensif melakukan 

dialog-dialog nonformal atau wokshop dan seminar yang 

meilibatkan tokoh-tokoh lintas agama agar terjalin 

komunikasi yang baik dan setiap permasalahan dapat 

diantisipasi sebelum terjadi. 

 

Hindu Bali Rasa Lombok: Mengembangkan 

Harmoni dengan Identitas Lokal 

 

Oleh Raudatul Ulum 

 

Setting Awal: Hindu Lombok dalam Tiga Gelombang 

Sejarah Hindu di Nusa Tenggara Barat (NTB) 

khusunya di Lombok tidak bisa dilepaskan dari arus 

kedatangan orang orang Bali ke pulau ini . Arus 

kedatangan warga Bali di Lombok  ada tiga gelombang 

(Suyadnya, 2006: 2-3). Gelombang pertama diyakini sebelum 

munculnya Kerajaan Karang Asem di Lombok. Beberapa 

Pedanda sempat dikirm oleh raja Kelkel Klungkung, 

salahsatunya meninggalkan jejak Pura Suranadi dan Pura 

Batu Bolong dan beberapa pura lainnya oleh Pedanda Sakti 

Wau Rauh.  

Gelombang kedua kedatangan orang Bali yaitu  

beridirinya Kerajaan Karang Asem pada tahun 1720 (Ibid). 

yang lalu   menyatu dengan berbagai kerajaan kecil 

menjadi Singasari Lombok. Secara bertahap warga Bali 

semakin berkembang di berbagai tempat di Lombok. 

Selanjutnya gelombang ketiga, pada era kemerdekaan, berbeda 

dengan dua gelombang sebelumnya kedatangan warga Bali 

lebih banyak disebabkan profesi ebagai PNS, POLRI/TNI dan 

wiraswasta.  

Cukup banyak tempat yang disucikan oleh umat 

Hindu di Lombok, khususnya Kota Mataram dan Sekirtarnya, 

yaitu Kabupaten Lombok Barat. Kekentalan pada budaya 

----------- 204

Hindu Bali cukup menjadi alasaan utama peneltiian yang 

difokuskan pada kelompok tradisional cukup tepat dilakukan 

di Lombok, begitu juga dengan cirikhas dan keunikannya 

dibanding Hindu di Bali. Terutama aspek adaptasinya dengan 

budaya lokal, sehingga sering disebut sebagai Bali Sasak oleh 

orang di Bali. 

Hindu Lombok yaitu  Hindu Bali yang mengalami 

pengaruh budaya lokal Lombok, terutama persinggungan 

budaya dengan suku Sasak, sehingga banyak keunikan yang 

ditemukan dalam praktik dan ritual sosial keagamaan yang 

tidak ditemukan di Bali. Terutama menyangkut upacara dan 

beberapa pranata sosial yang tidak sama dengan di Bali. 

Meskipun pada dasarnya, budaya yang berkembang berakar 

kuat pada Hindu Bali.  

 

Strategi Memasuki dan Memahami Hindu Lombok 

Untuk memahami lebih dalam lagi tentang Hindu 

Lombok, penulis memfokuskan diri pada kelompok 

tradisional atau kelompok arus besar Hindu di Lombok, 

dibatasi dengan topik yang pada aspek-aspek yang 

dimatrikulasi mulai dari struktur ketuhanan, yang teridiri atas 

praktik ibadah, etika dan moralitas,  tradisi keagamaan, serta 

simbol-simbol. lalu   ritual keagamaan yang periodical. 

Berikutnya yaitu  cara mempertahankan dan pengembangan 

eksistensi kelompok. Matrik berikutnya tentang 

kelompok/organisasi keagamaan.  

----------- 205

Aspek krusial yaitu  kemungkinan adanya konflik 

internal maupun ekternal yang menyangkut kehidupan 

keagamaan, sedang  hubungan dengan pemerintah, 

warga  dimaksudkan untuk menekankan kondisi kendali 

atas interaksi komunikasi yang terjadi pada kelompok 

keagamaan ini . Matriks terakhir dimaksudkan untuk 

memberikan jawaban pada pertanyaan penelitian tentang 

dampak terhadap kehidupan keagamaan baik secara internal 

maupun eksternal.  

Secara metodologis, jenis penelitian yaitu  kualitatif 

dengan pendekaatan sosiologis, paradigma fungsional-

strukturalis.  Teknik pengumpulan data dilakukan dengan 

observasi langsung pada objek kegiatan dan pengenalan 

subjek, serta wawancara mendalam pada subjek secara 

terstruktur maupun tidak terstruktur. Alat pengumpulan data 

yaitu  matrik observasi dan daftar pertanyaan atau instrumen 

pengumpulan data, direkam melalui perekam telepon 

genggam dan tulisan tangan, dokumentasi melalui foto-foto. 

Informan kunci pada penelitian ini informan memiliki 

fungsi utama dalam hal mengumpulkan data yang dipilih 

berdasar  kategori kepanditaan dan kepinanditaan. 

Adapun kategori yang dimaksud yaitu , sebagai berikut: 

1. Ida Pedanda Gede Made Kerta Arsa, Manggala (ketua) 

paruman sulinggih se NTB. beliau seorang Pedanda Siwa.  

2. Ida Pandita Empu Acarya Jaya Dharma Daksa Nata, 

berasal dari kalangan Pasek yang memiliki organisasi 

Mahagotra Pasek Sana Sakte Resi. 

----------- 206

3. Ida Pandita Resi Dwija Ariabawa (Resi Agung), yaitu  

pandita yang beraliran Waisnawa dari kalangan resi. 

4. Ida Pedanda Budha Oka Dharma, Pedanda Budha 

5. Ida Pedanda Budha Oka Dwija Putra, Pedanda Budha 

6. Pinandita Jero Mangku Karsa, Ketua Parisada Sanggraha 

Nusantara 

7. Pinandita I Gusti Ngurah Mangku Sunartha, Pemangku  

8. Ida Bagus Benny Surya Adi Pramana, Padepokan Seruling 

Dewata. 

9. I Wayan Sukawan, Hari Krisna 

10. I Gede Mandra, Ketua PHDI 

11. Ida Wayan Oka Santosa (sekretaris PHDI) 

12. I Ketut Ari Setiawan 

13. I Wayan Widra, S.Ag., M.Pd.H. Kabid Bimas Hindu 

Kanwil Kemenag NTB 

14. I Gede Subrata, Kasi Pemberdayaan Umat Hindu 

Kemenag NTB 

15. I Putu Agung Sanjaya, Penyuluh Agama Hindu Kanwil 

Kemenag NTB.  

Selain itu, penulis melakukan observasi di di dua 

tempat, yaitu di kota Mataram dengan mengikuti proses 

pawai ogoh-ogoh, dari proses “menghidupkan” ogoh ogoh 

sampai dengan mengarak, diberi penilaian sampai dengan 

pembakaran. Observasi berikutnya yaitu  kegiatan melasti, 

----------- 207

yaitu pembersihan jagat besar (Bhuwana Agung) dan jagat 

kecil (Bhuawa Alit), pembersihan diri sebagai jagad kecil dan 

alam semesta sebagai jagad besar dilakukan oleh umat Hindu 

Lombok yang dipusatkan di Pantai Mlase Lombok Barat 

yaitu  ritual rutin menyambut Hari Raya Nyepi. Tradisi 

tahunan ini setidaknya juga dilakukan di enam tempat yang 

lain, biasanya di pantai.63 Selanjutnya, penulis juga melakukan 

observasi di Pura Lingsar, sebagai satu dari sekian tempat 

yang dianggap suci, kedudukan pura ini cukup penting 

setelah Pura Suranadi sebagai peninggalan bersejarah bagi 

umat Hindu Lombok, dibuat oleh Pedanda Saktu Wawu 

Rawuh.  

Untuk memahami Hindu Lombok, penulis terbantu 

dengan sedikitnya sembilan tema penelitian yang dilakukan 

dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Mataram selama 2015 

yang memiliki kesesesuaian dengan topik penelitian 

kelompok tradisional Hindu di Lombok kali ini. Misalnya, 

“Segregasi Spasial Pemukiman dan Pola Integrasi Sosial 

Antarkomunitas Bali-Hindu dengan Komunitas Sasak-Islam di 

Wilayah Cakranegara Kota Mataram”, oleh I Wayan Ardhi 

Wirawan. Penelitian ini mengemukakan tentang fenomena 

pemisahan ruang pemukiman antara orang-orang Bali-Hindu 

dan orang orang Sasak-Islam, berdasar  aspek perubahan 

sosial sejak pengkonsidian pada zaman kerajaan Karang Asem 

sampai dengan saat ini yang semakin dinamis. Seiring waktu 

segregasi terkikis namun menimbulkan masalah sosial baru, 

sejumlah kasus muncul kerap menimbulkan atau berpeluang 

                                                          

munculnya kekerasan komunal. Untuk itu direkomendasikan, 

dengan memakai  pendekatan quotidian perlu dilakukan 

reharmoni dan revitalisasi mutualistik dalam kegiatan sosial, 

budaya dan agama.  

Berikutnya, “Integritas Kebhinnekaan Umat Hindu and 

Islam Wetu Telu Pada Upacara Pujawali di Pura Lingsar Kabupaten 

Lombok Barat”, Oleh Ni Putu Sudawi Budhawati. ada nya 

fakta tentang suku Bali-Hindu dan Sasak-Islam dalam hal 

Wetu Telu memiliki upacara agama pada hari dan waktu yang 

sama di satu kompleks Pura Lingsar. Kegiatan pujawali 

tahunan yang diselenggarakan oleh dua entitas warga  

beragama yang berbeda ini  menimbulkan suatu toleransi 

yang tinggi dalam rangka membangun kerekatan satu sama 

lain.  

Penelitian yang lain yaitu  “Dinamika Organisasi Banjar 

dalam Komunitas warga  Hindu Pedesaan”, oleh I Nyoman 

Sumantri. Penelitian ini berusaha menggambarkan kondisi 

perkembangan banjar sebagai sebuah organisasi yang 

dinamis. Kehidupan gotong-royong di tengah warga  

yang memberikan kesan harmonis, dalam beberapa decade 

terakhir kerap dimanfaatkan untuk diarahkan ke partai politik 

tertentu. Meskipun begitu, keterlibatan warga  dalam 

kegiatan ini  masih cukup efektif terutama yang berkaitan 

dengan bidang keagamaan, sosial dan adat. sedang  di luar 

hal ini  masih belum tergarap dengan baik.  

Berturut-turut penelitian yang lain yaitu  “Konstruksi 

Soliditas Sosial Antarumat Hindu dengan Umat Islam dalam Pawai 

Ogoh-ogoh di Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara”, oleh 

----------- 209

I Gusti Komang Kembarawan. Penelitian ini memotret 

kehidupan kebersamaan dalam bingkai budaya melalui 

atraksi ogoh ogoh.  “Peran Pasraman Prakam Wyata Dharma 

dalam Memelihara Tradisi Beragama Umat Hindu di Selong Lombok 

Timur”, oleh I Komang Arcana. Penelitian ini menghasilkan 

eksistensi pasraman yang berbadan hukum dan mendapatkan 

bantuan dari Kementerian Agama merupakan kemajuan dan 

memantapkan posisi dalam rangka memelihara tradisi 

keagamaan dalam agama Hindu. Peran pasraman yang 

dimaksud mampu menjadi: 1) pemelihara ideology dan tradisi 

Hindu; 2) penguat pertahanan ideology dan tradisi umat; 3) 

pemersatu dan pemelihara kebersamaan umat; 4) penerus dan 

pembawa ideologi, tradisi umat; 5) perekat sosial komunitas 

banjar; 6) penegak norma sosial; 7) sebagai mediasi 

mendapatkan payung hukum akan rasa aman dalam aktifitas 

beragama.  

“Perjuangan Tokoh Agama dalam Mengembangkan 

Peradaban Hindu di Lombok”, I Wayan Wirata. Penelitian ini 

menginventarisasi tokoh dan sepak terjanya dalam 

mengembangkan peradaban Hindu di Lombok mulai dari 

pendirian tempat suci, rehabilitasi tempat mandi sakral, 

pemberantasan buta huruf Bali dan Jawa Kuno. Penelitian 

ini  juga menggali makna atas peradaban yang 

berkembang dalam aspek religiusitas, makna sosial budaya, 

serta makna kesatuan dan persatuan.  

“Pergeseran Nilai-nilai Simbolik Sesari dalam Kewangen”, 

oleh Gede Mahardika. Penelitian ini bertujuan memahami 

tentang pergeseran sesari dan kwangen atas makna dibalik 

----------- 210

pergeserannya. Dijelaskan bahwa pergeseran sesari dalam 

kwangen yaitu  bentuk dari bahan dasar, sedang  makna 

daripada pergeseran ini  yang tediri dari penaluran dana 

punia pada wujud bhakti ke hadapan Ida Snghyang Widhi 

Wasa. “Fenomena Penggunaan Simbolisasi Benang Tridatu dalam 

Reproduksi  Indentitas Komunitas Hindu di Kota Mataram”, oleh I 

Ketut Cameng Mustika. Penggunaan gelang tridatu terpola 

sebagai simbolisasi kembalinya identitas Hindu Bali secara 

kontemporer dalam praktek sosial religious. Terakhir, 

“Personifikasi Bhuwana Alit dalam Lis Dewa Yajna oleh 

warga  Hindu di Kota Mataram”, oleh I Gede Jaya Satria 

Wibawa. Penelitian ini menjelaskan tentang tiga hal, a) bentuk 

personifikasi bhuwana alit dalam lis dewa yadna. b) fungsi 

personifikasi, dan c) makna personifikasi.  

Memasuki Kota Mataram 

Pulau Lombok dari aspek lokasi cukup layak menjadi 

lokus penelitian sebab  banyaknya pura yang ditinggalkan 

oleh orang orang suci dari sejak jaman kerajaan dahulu. 

lalu   jarak tempuh antar pura tidak terlalu jauh, 

sehingga dapat memungkinkan observasi partisipatif di 

beberapa kegiatan pura secara langsung.  

Sebagaimana diketahui, NTB yaitu  sebuah provinsi 

di negara kita  yang berada dalam gugusan Sunda Kecil dan 

termasuk dalam Kepulauan Nusa Tenggara. Provinsi ini 

memiliki 10 Kabupaten/Kota. Di awal kemerdekaan negara kita , 

wilayah ini termasuk dalam wilayah Provinsi Sunda Kecil64 

                                                          

64 Mr. Muhamad Yamin yang pada 1950-an saat   menjadi Menteri P.P. dan 

K. mengganti istilah Kepulauan Sunda Kecil menjadi Kepulauan Nusa Tenggara. 

----------- 211

yang beribukota di Singaraja. lalu  , wilayah Provinsi 

Sunda Kecil dibagi menjadi 3 provinsi: Bali, Nusa Tenggara 

Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Saat ini nama "Nusa 

Tenggara" digunakan oleh dua daerah administratif: Provinsi 

Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sesuai 

dengan namanya, provinsi ini meliputi bagian barat 

Kepulauan Nusa Tenggara. Dua pulau terbesar di provinsi ini 

yaitu  Lombok yang terletak di barat dan Sumbawa yang 

terletak di timur. Ibu kota provinsi ini yaitu  Kota Mataram 

yang berada di Pulau Lombok. 

NTB terdiri dari Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, 

memiliki luas wilayah 20.153,15 km2. Terletak antara 115° 46' - 

119° 5' Bujur Timur dan 8° 10' - 9 °g 5' Lintang Selatan. Selong 

merupakan kota yang mempunyai ketinggian paling tinggi, 

yaitu 148 m dari permukaan laut, sementara Raba terendah 

dengan 13 m dari permukaan laut. Dari tujuh gunung yang 

ada di Pulau Lombok, Gunung Rinjani merupakan gunung 

tertinggi dengan ketinggian 3.775 m, sedang  Gunung 

Tambora merupakan gunung tertinggi di Sumbawa dengan 

ketinggian 2.851 m. 

Sebagian besar dari penduduk Lombok berasal dari 

suku Sasak, sementara suku Bima dan Sumbawa merupakan 

kelompok etnis terbesar di Pulau Sumbawa. Mayoritas 

                                                                                                                           

Sebab, istilah Kepulauan Sunda Kecil diganti dengan Kepulauan Nusa Tenggara, 

maka istilah Kepulauan Sunda Besar juga tidak lagi digunakan dalam ilmu bumi dan 

perpetaan nasional negara kita  – meskipun dalam perpetaan Internasional istilah 

Greater Sunda Islands dan Lesser Sunda Islands masih tetap digunakan." (Ajip Rosidi: 

Penulis, budayawan. Pikiran Rakyat, 21 Agustus 2010) 

----------- 212

penduduk Nusa Tenggara Barat beragama Islam. Berikut tabel 

menurut jumlah pemeluk agama. 

 

Melihat jumlah keseluruhan di NTB, posisi Umat Hindu 

sekitar 2.5%, sebagian besar tinggal di Kota Mataram, 

terkonsentrasi di pulau Lombok jumlah cukup signifikan. Di 

Kota Mataram, persentase pemeluk Hindu 16.13% sedang  

di Kabupaten Lombok Barat 6.63%, Kabupaten Lombok Utara 

8.47%. sedang  di Sumbawa 2.82%. Keberapdaan Umat 

Hindu di Kabupaten lain jumlahnya tidak terlalu signifikan, 

tidak terlalu besar namun cukup lekat dengan tradisi yang 

berkembang seperti kabupaten lain. 

----------- 213

Pembahasan Hasil 

Konsep Ketuhanan 

Kelompok Hindu tradisional di NTB khususnya pulau 

lombok, seperi halnya Hindu Bali lebih dekat pada konsep 

Trimurti, tiga sesembahan satu kesatuan, unitarian. Awalnya 

ada Sembilan sekte utama setidaknya yang berkembang di 

Nusantara, Bali. Hadirnya Pedanda Kuturan yang 

menginisiasi menyatukan berbagai sekte melalui kesepakatan 

bersama menjadi tiga aliran besar, Siwaisme, Waisnama, dan 

Brahmaisme65. Banyaknya kesimpangsiuran pemahaman di 

kalangan pemeluk, penyederhanaan sesembahan dalam tiga 

dewa utama ini menjadi sejarah penting dalam perjalanan 

Hindu di negara kita . Berbeda dengan India yang memilih satu 

dewa untuk diagungkan dan disembah, Hindu Bali 

menyembah semua dewa, hal ini cukup menarik sebab  

konsepsi penyatuan berbagai aliran menjadikan cirikhas 

tersendiri. 

Konsep ketuhanan yang dibangun dalam Tri Murti 

juga menarik, sebab  penganut Siwaisme, Waisnamawa, 

Brahmaisme serta aliran Budha yang lalu   digabungkan 

sebagai Siwa-Budha (Siwa Sidhanta),66 tiga arus dalam 

trimurti memiliki tiga pandita yang terdiri atas Pedanda Siwa 

dan Pedanda Budha, pandita resi dapat dilekatkan pada 

waisnawa, lalu   pandita empu yang berada pada aras 

Siwa. Tiga karakter kepanditaan dapat memimpin secara 

lintas-batas,67 tidak ada dikotomi sekte atau aliran. Secara 

                                                          

65 Wawancara dengan Pandita Empu, tangga; 12 Maret 2016 

66 Pandita Empu, Ibid. 

67 Fenomena kehadiran Budha sendiri menarik, sebab  kalau setia pada 

trimurti mestinya ada pandita yang mengurus sembahan pada Brahma, sepanjang 

penelitian tidak ditemukan pandita brahmaisme.  

----------- 214

faktual Siwa menyatu dengan Budha, menjadi Siwa-Budha, 

menyatu dalam hal upacara yang memiliki tugas masing-

masing. Penyelesaaian upacara dari atas menghadirkan Tuhan 

dilakukan oleh Pedanda Siwa, lalu   menyiapkan tempat 

menyelesaikan di bawah yaitu  Pedanda Budha.68 Bagi 

penganut Siwa, bahwa Dewa Siwa lah yang paling penting, 

menduduki tempat yang tertinggi sebab  bertugas terakhir 

setelah pemeliharaan alam oleh Wisnu. Siwa yaitu  

pengembali segala bentuk, wujud kembali ke asalnya, dalam 

hal konsepsi yang mudah dipahami yaitu  pengembalian 

wujud manusia ke dalam empat anasir pembentuknya, air, 

api, angin dan tanah.69 

sedang  bagi penganut Waisnama, dewa Wisnu lah 

yang paling penting sebab  mengagungkan pemelihara bumi 

dan alam semesta ini yang akan membuat kesempurnaan 

bhakti manusia, sehingga memungkinkan ketercapaian 

muksa70. Tidak perlu reinkarnasi. Linear dengan keagungan 

Wishnu sebagai pemelihara dan penting, sebab  dari Sri 

Wishnu turunnya awatara Tuhan Yang Maha Esa ke dunia 

melalui wujud Sri Krishna.71  

Keberadaan Budha pada Siwa Sidanta yaitu  suatu 

kompromi atas sejarah sejak zaman majapahit atas dua arus 

besar Siwa dan Sogata, sehingga ada dua pandita saat itu 

Dang Acarya Kasiwan dan Dang Acarya Kasogatan. 

                                                          

68 Wawancara dengan Ketua Paruman Sulinggih (Pedanda Siwa), tanggal 11 

Maret 2016 

69 Sesuai penjelasan I Gede Subrata saat pertanyaan tentang konsepsi Siwa 

sebagai pengembali, pada wawancara tanggal 15 Maret 2016 

70 Wawancara dengan Pandita Resi, tangga; 12 Maret 2016 

71 Wawancara  dengan Mangku Sunartha, tanggal 16 maret 2016, serta 

ditunjang oleh mantra pada Bhagawadgita tentang keutamaan Krishna sebagai 

Awatara Wisnu.  

----------- 215

Selanjutnya dua eksistensi ini terbawa ke Bali, seiring 

munculnya pendande Budha Keling di Bali pasca runtuhnya 

Majapahit, mengikuti gelombang pindahnya para penganut 

Siwa ke Bali72 (cikal bakal Hindu Dharma). Istilah Budha 

sendiri berbagai macam, satu diantaranya yang dipahami 

dalam Siwa Sidanta yaitu  lebur, jadi Budha itu bertugas 

meleburkan segala hal yang negatif menjadi stabil73, meskipun 

sejatinya tidak dapat dipisahkan dari ajaran dan nilai yang 

dikembangkan oleh Sidharta Gautama, sebagai awatara 

Tuhan kesembilan.  

Ajaran Pokok Hindu sejatinya terbagi dalam tiga 

bagian utama, yaitu Tatwa (filsafat), Susila (ethika), dan 

Upacara (ritual),74 Lebih lanjut dalam buku Upadeca yang 

diterbitkan Parisada Hindu Dharma negara kita , tatwa sendiri 

diartikan sebagai kerangka dasar agama Hindu (Hindu 

Dharma) yang memuat lima kerangka kepercayaan mutlak 

yang harus diyakini, yaitu: percaya adanya Sang Hyang 

Widhi (Widhi Tatwa); percaya adanya Atma (Atma Tatwa); 

percaya adanya Hukum Karma Phala; percaya adanya 

Samsara (Purnabhawa); dan percaya dengan adanya Moksa.  

 

Etika dan Moralitas 

Susila yaitu  tingkah laku yang baik dan mulia yang 

selaras dengan ketentuan dharma dan yadnya. Cukup banyak 

                                                          

72 Wawancara dengan Pedanda Budha Oka Dwija Putra, tanggal 19 Maret 

2016 

73 Wawancara dengan Pedanda Kerta Arse, tanggal 11 Maret 2016 

74 Wawancara Wayan Wirata, tanggal 14 Februari 2016. Lihat juga PHDI, 

2002:5). 

----------- 216

struktur etika dan moralitas dalam agama hindu. Beberapa hal 

menyangkut Susila dapat dipahami melalui beberapa bagian: 

1. Tri Hita Karana:75 hubungan manusia dengan Tuhan, 

Manusia dengan manusia, manusia dengan Alam 

2. Tatwam Asi:76 intinya tidak boleh menyakiti (saya yaitu  

kamu, kamu yaitu  saya)  

3. Tri Kaya Parisudha (tiga perbuatan yang disucikan) yaitu 

kayika (berbuat yang baik), wacika (berkata yang baik) dan 

manacika (berpikir yang baik)  

4. Wasudewa Kutum Bakam: (kita semua yaitu  saudara) 

5. Sad Ripu (enam musuh yang harus dihindari):77 

a. Kama: keinginan, nafsu 

b. Lobha: rakus, tamak 

c. Krodha: kemarahan 

d. Moha: kebingungan 

e. Mada: mabuk 

f. Matsarya: iri hati, dengki 

6. Lima pilar dalam kehidupan:78 

a. Satya: Kejujuran 

b. Dharma: kebenaran 

c. Shanti: Kedamaian 

                                                          

75 Wawancara dengan Mangku Sunartha, tanggal 14 Maret 2016 

76 Wawanacara dengan I Putu Agung Sanjaya, tangga; 10  Maret 2016 

77 Wawancara dengan Jero Mangku Karsa, tanggal 11 Maret 2016 

78 Wawancara dengan I Gusti Wayan Mangku Sunartha, op.cit.  

----------- 217

d. Prema: Cinta/kasih sayang, Prema dikatakan sebagai 

hal terpenting dalam hal mewujudkan dharma dalam 

kehidupan, sebab  dengan kasih sayang empat hal 

yang lain akan muncul dengan sendirinya bagi setiap 

orang yang mamahami hal ini.   

e. Ahimsa: nirkekerasan. 

Dalam hal etika dan moralitas, diyakini oleh pemeluk 

Hindu bersumber pada Weda. Ajaran Weda yang membentuk 

manusia untuk melakukan Catur Dharma. Terutama setia 

pada karma masing-masing.79  

 

Praktek Ibadah  

Praktek Ibadah yang dilakukan oleh umat Hindu 

mengenal empat jalan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan 

Yang Maha Esa (Titib, 1997: 4-5),80 dikenal dengan Catur 

Marga, yaitu Bhakti Marga (jalan kebaktian), Karma marga 

(jalan perbuatan), Jnana Marga (jalan pengetahuan 

kerohanian), dan Yoga Marga (jalan Yoga/menghubungkan diri 

kepadanya).  

Parama Prema dan Prappati yaitu  bentuk yang bisa 

dipahami dari bhakti marga, parama prema dimaksudkan 

untuk memahami atman dengan membaca mantram yang 

diajarkan Weda. Parama prema yaitu  kasih yang sejati 

seperti yang diberikan oleh bapak, sanak saudara, sahabat dan 

didalam Gurupuja (Ibid, hlm 13). sedang  Prappati yaitu  

                                                          

79 Wawancara Pedanda Kerta, dan Pandita Mpu. 12 Maret 2016 

80 Diskusi dengan I Nyoman Segara, dosen IHDN Denpasar, tanggal 1 

Maret 2016. 

----------- 218

penyerahan diri sebagai cermin dari orang berbudi luhur yang 

paling mulia. 

Kewajiban pemeluk Hindu dalam peribadatan yaitu  

Tri Sandhya, dengan kata lain harus dilakukan oleh  umat 

Hindu setiap hari. Tri Sandya terdiri atas Surya Puja: 

pemujaan dewa pada saat matahati terbit; Rahina Puja: 

pemujaan Tuhan pada tengah hari; dan Sandhya Puja: 

pemujaan pada saat matahari terbenam. Meskipun dalam 

beberapa pihak menganggap semua kewajiban dalam Hindu 

tidaklah mutlak, sebab  Hindu fleksibel.81 Selain Tri Sandhya, 

Hindu juga mengenal panca sembah. Sembahyang dapat 

berlaku dalam beberapa praktek ritual dan secara tradisi 

berlaku dalam Tri Sandhya itu sendiri.82 Pada prakteknya 

pemeluk melaksanakan Tri Sandhya dengan panca sembah, 

seperti yang dilakukan oleh seorang informan, melalui 

observasi keseharian, I Putu Agung Sanjaya83 pada waktu 

yang ditetapkan melakukan puja pagi saat matahari terbit, 

siang hari pada saat matahari hampir bergeser, lalu   di 

sore hari menjelang terbenam. 

Panca sembah terdiri dari lima bagian,84 yaitu: muspa 

pemuyung, sembah tanpa bunga yang ditujukan pada Sang 

Hyang Widhi; Surya Raditya, yaitu sembah pada Dewa Surya; 

sembah pada Ista Dewata, yaitu kepada dewa tertentu, dalam 

hal ini perbedaan pada mantra tergantung dewanya; nunas 

panugrahan, yaitu mengucap rasa syukur. Dan terakhir muspa 

                                                          

81 Dinamika dalam FGD, dan konsepsi fleksibel diutarakan oleh beberapa 

informan.  

82 Wawancara dengan I Putu Agung Sanjaya, tanggal 10 Maret 2016 

83 Observasi pada I Putu Agung Sanjaya dalam hal melaksanakan Tri 

Sandhya, tanggal 18 Maret 2016. 

84 Ibid.  

----------- 219

puyung untuk matur suksma. Biasanya dilanjutkan untuk 

meminta tirta dan bija.85 

Istadevata puja yaitu  mantram yang dibaca saat 

persembahan, adapun mantram sebagian besar berkembang 

dan dikutip dari purana, secara praktis biasanya termaktub 

dalam Upadeca yang dikeluarkan PHDI atau buku tuntunan 

muspa (Titib, op.cit. hlm 46). 

Mantram dapat dibaca pada persembahyangan di pura 

atau kahyangan maupun sebagian yang dikembangkan 

sebagai mantra sehari-hari. Begitu juga dengan mantra yang 

berkembang khusus untuk tradisi tertentu, seperti kelahiran 

bayi, mendoakan meninggal dunia dan beberapa hal sejenis. 

Berikutnya, peribadatan yang dikenal sebagai japa, berjapa 

yaitu  mengucapkan mantra secara berulang-ulang yang 

bertujuan untuk membersihkan rohani, menyucikan diri 

pribadi.  

 

Tradisi Keagamaan 

Bagi Hindu di Lombok, seperti halnya Bali mengenal 

beberapa tradisi keagamaan, meskipun secara kekhususan 

beberapa tradisi tidak sama persis dengan di Bali. Sebagian 

tradisi keagamaan yang melekat pada warga  Hindu di 

Lombok yaitu  sebagai berikut: 

1. Melasti: membersihkan buana agung (makrokosmos) dan 

buana alit (mikrokosmos)86 menjelang Nyepi. Kegiatan ini 

biasanya dilakukan di pantai satu hari menjelang Nyepi.  

                                                          

85 Tirta dan bija disesuaikan pada kebutuhan puja itu sendiri, baik secara 

pribadi ataupun kegiatan puja di sanggah atau di Pura. 

----------- 220

2. Pawai ogoh ogoh: sebagai bagian dari cerminan bhutakala, 

suatu gambaran kekuatan alam semesta yang tak terukur, 

ogoh ogoh dapat dipahami sebagai suatu proses 

keinsyafan manusia akan kekuatan maha dahsyat menuju 

kebahagiaan dan kehancuran.  

3. Perang Tupat (populer di Lombok): dirayakan tiap tahun 

bersamaan dengan pujawali di Pura Lingsar Lombok 

Barat, bersamaan dengan hari penting berdirinya pura 

ini . Perang tupat yaitu  lempar lemparan ketupat di 

area depan Pura, pesertanya dari berbagai etnis dan 

pemeluk agama. Uniknya tupat bekas alat perang-

perangan ini  diambil lalu   ditaburkan di sawah 

masing-masing sebab  diyakini dapat menyuburkan tanah 

garapan ini .  

4. Perang api yaitu  kegiatan tahunan sebagai akhir dari 

pawai ogoh ogoh. Di Lombok khususnya Kota Mataram 

biasanya terpusat di simpang antara dua banjar, yaitu 

Banjar Negarasakah dan Banjar Sweta87 dengan 

memakai  bobok yang dibuat dari daun kelapa yang 

diikat lalu   dibakar88. 

                                                                                                                           

86 Istilah mikrokosmos dan makrokosmos dikutip dari sambutan oleh I 

Gede Mandra pada saat kegiatan mlasti di Pantai Mlase Lombok Barat, tanggal 8 

Maret 2016. Kegiatan mlasti besar dilakukan secara seremonial oleh warga Hindu 

yang didukung oleh Kanwil Kemega NTB dan PHDI Provinsi NTB.  

87 Wawancara dengan I Gede Subrata, tanggal 5 Februari 2016.  

88 Penjelasan dari pelaku perang api tentang peralatan yang digunakan, 

tanggal 8 Maret 2016.  

----------- 221

5. Rangkat: tradisi ini sejatinya yaitu  milik Suku Sasak,89 

lalu   tumbuh juga dalam tradisi Suku Bali yang ada 

di Lombok sebab  filosofi lokal meminta anak gadis orang 

tidaklah etis, sehingga membawa lari merupakan sikap 

ksatria (Suyadnya, op.cit. hlm 21). Jadi inti dari rangkat 

yaitu  membawa lari anak gadis orang untuk dinikahi 

sebagai wujud keberanian dan kekastriaan.  

6. Megae: tradisi undangan khusus, setidaknya di Lombok 

lebih cenderung diartikan sebagai undangan untuk 

mengikuti upacara ngaben. Meskipun dalam hal istilah bisa 

juga sebagai undangan untuk ngaben (megae ala) maupun 

megae ayu (yadnya selain ngaben). 

7. Megibung: tradisi memandu makan oleh seorang tukang 

tarek (pemandu yang ditunjuk pemilik hajat).  

8. Sidikara: diartikan sebagai sebuah kebersamaan dalam 

suatu upaya untuk mensukseskan suatu kegiatan, tidak 

hanya ngaben90 tetapi banyak hal lain terutama yang 

berhubungan dengan panca yadhnya.  

9. Maturan: istilah lain untuk menyebut sembahyang yang 

berkembang di Lombok bagi kalangan Suku Bali pemeluk 

Hindu. Istilah maturan kerap dilekatkan pada kegiatan 

sembahyang di Pura.  

10. Turun daun: semacam kidung suci yang dimiliki Hindu di 

Lombok, bahasanya dapat dikatakan bahasa Sasak. 

Klasifikasi pada tembang Bali jika mau dimasukkan lebih 

                                                          

89 Pembicaraan tidak terstruktur dengan Imron Rosadi, seorang Suku Sasak 

yang menyatakan bahwa tradisi kawin lari, dibawa lari tumbuh kem