Rabu, 28 Februari 2024

kakawin

 


 



Berbicara masalah pengkajian sastra-sastra klasik Indonesia umumnya dan 

sastra Bali khususnya, mungkin dapat kita renungkan kembali pernyataan 

R.M.Ng. Poerbatjaraka ketika meresmikan berdirinya Fakultas Sastra Uni-

versitas Udayana tahun 1958. Pernyataan beliau adalah “Bali adalah pulau 

yang telah terkenal sebagai peti tempat penyimpanan dan pembendaharaan 

sastra dan budaya lama” (Sudharta, 1989:10). Pernyataan tersebut sesung-

guhnya mengandung dimensi waktu jauh ke depan, agar “peti” yang me-

ngandung “misteri-misteri budaya lama” dipahami oleh para generasi. 

Karya-karya kesusastraan Bali mengandung dua hal pokok yaitu: 

(1) mempunyai konsep-konsep artistik tersendiri, dan (2) mempunyai kon-

sep-konsep spritual kemanusiaan dan atau kebenaran yang universal dan ha-

kiki  Di samping itu olah Sastra Bali tidak semata-mata 

bersifat susastra, melainkan erat kaitannya dengan kepercayaan, adat-isti-

adat, upacara ritual, maupun tradisi sosial masyarakat Bali yang bersifat 

kompleks (Suastika, 1985:1) Dalam kesusastraan itu sarat berbagai pengeta-

                                                

huan seperti: filsafat, ajaran ethika, estethica, arsitektur dan Astronomi 

Pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sastra klasik sangat 

diperlukan zaman sekarang, agar generasi muda yang akan datang tidak ke-

hilangan jejak untuk menelusuri aktivitas sosial budaya atau peradaban ne-

nek moyangnya. Perlunya kita mempelajari, memahami warisan rohani bu-

daya bangsa masa lampau lewat sastra-sastra lama, seperti diucapkan oleh 

Ida Bagus Mantra, “Ada suatu dalil secara rohaniah menyatakan bahwa 

apabila dalam suatu perubahan manusia dapat menguasai perubahan-per-

ubahan itu, maka selamatlah peradaban itu berjalan, tetapi bila beban itu 

merupakan suatu kejutan dan manusia harus menegakkan kehidupan ro-

haninya, kehidupan agama dan sastra-sastra agama yang terdapat dalam 

pustaka-pustaka suci, sehingga ia butuh dalam menghadapi perubahan itu 

sendiri dan tetap berjalan dalam mengembangkan kreativitasnya sebagai 

subjek untuk menjalankan kewajibannya” 

Sastra klasik Bali yang tentunya memiliki kekhasan tersendiri hingga 

kini masih terpelihara dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan dalam tradisi 

“mabebasan” (pembacaan karya sastra secara bergiliran disertai diskusi), 

dalam sebuah kelompok sosial yang disebut “Sekaa Pesantian”. di mana-mana di pulau Jawa, Madu-

ra, Bali, Lombok, di bagian Sumatra dan Sulawesi, sastra memang seba-

giannya diturunkan dan disimpan dalam naskah-naskah tertulis, tetapi sastra 

ini secara wajar dibacakan bersama-sama, antara pembaca dan pendengar 

seringkali pula bergiliran perannya, seperti dalam mabebasan di Bali dan 

nembang di Jawa (1998:40). Apa yang telah dijelaskan A. Teeuw tentang 

mabebasan di Bali sampai saat ini masih terus terpelihara, dikembangkan, 

dihayati, diulas serta ditulis bahkan diciptakan kembali. 

Melalui tradisi mebebasan inilah masyarakat Bali mengakrabi dan 

mengapresiasi karya-karya Jawa Kuna dan Bali. Tradisi ini dapat dianggap 

sebagai ajang “kritik sastra”, karena melalui tradisi ini sebuah karya diba-

cakan, diterjemahkan, diulas serta dikomunikasikan antara anggota sesuai 

dengan kemampuan masing-masing. Di sini pula terjadi komunikasi dua 

arah dengan sangat “demokratis” Di antra anggota yang hadir, sehingga pa-

da akhirnya akan disepakati adanya sebuah nilai yang adiluhur sebagai cer-

min hidup dalam berpikir, berkata, dan berprilaku. Penulisan dan penya-

linan karya-karya sastra kakawin, geguritan dan lain-lainnya di Bali sampai 

menjelang abad 20-an masih berlangsung di bebarapa Puri, Geriya dan 

sanggar-sanggar penulisan lainnya. 

Salah satu karya sastra abad XX yang luput dari perhatian kita selama 

ini adalah berjudul “Kakawin Ekàdaúaúiwa”. Kakawin ini ditulis oleh seo-

rang astra Brahmana muda dari Sibetan Bebandem, Karangasem Bali. Nas-

kah kakawin ini masih ditulis di atas sebuah buku tulis dan belum sempat 

ditulis di atas rontal. Dengan demikian, naskah kakawin ini dapat dikatakan 

sebagai naskah tunggal. 

Kakawin Ekadaúaúiwa merupakan karya sastra kakawin abad XX, 

yang digubah oleh pangawi yang masih tergolong sangat muda. Kakawin 

ini memiliki kedudukan yang sangat penting di antara kakawin yang ada, 

karena faktor isi dan keunikan penyajiannya yang merupakan jiwa zaman 

yaitu adanya ajaran “Siwa Sidanta” yang khas model Bali. Demikian pen-

ting kedudukannya terutama di antara peneliti yang ada, sehingga Kakawin 

Ekadaúaúiwa sangat pantas atau penting diteliti. Naskah ini penulis dapat-

kan langsung dari pengarangnya, yang tentunya sangat jarang dijumpai 

adanya pengarang yang sangat produktif menulis karya sastra tradisional se-

perti kakawin di zaman modern ini. Sungguh bahagia dan bangga hati pe-

nulis atas kreativitas pengarang kakawin ini, sehingga penulis merasa ter-

tarik meneliti Kakawin Ekadaúaúiwa ini sebagai bahan kajian, sekaligus se-

bagai upaya penghargaan terhadap hasil ciptaannya dan berusaha menye-

barluaskan kepada masyarakat agar karya tradisional khususnya kakawin 

berkembang secara berkelanjutan. Di usia yang masih tergolong muda seo-

rang astra Brahmana kelahiran Sibetan Bebandem Karangasem telah me-

nunjukkan kreativitasnya di bidang olah sastra, dalam bentuk puisi Jawa 

Kuna berupa kakawin, yang tentunya tidak sembarang pengawi Bali mampu 

melakukannya. Di samping kesukaran bahasa yaitu penguasaan bahasa Ja-

wa Kuna puisi Jawa Kuna sangat rumit, belum lagi harus memperhatikan isi 

cerita dan pengungkapan estetika memerlukan daya imajinasi yang tinggi. 

Berdasarkan latar belakang di atas, kajian terhadap Kakawin Eka-

daúaúiwa ini memiliki kedudukan penting dalam khazanah kebudayaan Ba-

li, yaitu: 1) bagaimana Estetika Kakawin Ekàdaúaúiwa sebagai sebuah tem-

bang? 2) bagaimana Estetika Kakawin Ekàdaúaúiwa sebagai sebuah karya 

sastra Jawa Kuna? 

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mendes-

kripsikan nilai-nilai estetis yang bersifat konseptual yang terkandung dalam 

Kakawin Ekàdaúaúiwa ini. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk 

mengetahui dan memahami secara mendalam estetika yang terdapat dalam 

Kakawin Ekàdaúaúiwa yang sarat akan nilai-nilai kebenaran lewat mang-

gala, corpus (isi), dan epilognya. 

Sedangkan manfaat bagi penulis dan masyarakat luas, oleh karena 

konsep-konsep pemikiran yang terkandung dalam karya ini sebagai sum-

bangan pemikiran untuk memahami konsep-konsep kebudayaan masa lam-

pau, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk memperkaya khazanah 

budaya bangsa, khususnya kebudayaan daerah, dalam rangka pembinaan 

dan pengembangan kebudayaan nasional. 

Sastra Bali klasik atau sastra tradisional adalah karya-karya sastra yang 

secara tradisional dianggap dan diakui sebagai warisan dan milik budaya 

oleh masyarakat Bali. Karya sastra tersebut sangat fungsional dalam kehi-

dupan sosial-religius masyarakat Bali pada umumnya. Karya Sastra Tradisi-

onal tersebut adalah karya-karya yang secara apriori dianggap memiliki 

kualitas dan nilai yang tinggi. Karenanya, Sastra Tradisional mendapat tem-

pat yang terhormat dalam sistem nilai maupun sistem sosial masyarakat Ba-

li tradisonal. 

 yang termasuk ke dalam lingkup 

sastra Bali klasik atau sastra tradisional adalah: (a) karya-karya sastra Jawa 

Kuna yang berasal dari abad IX yang umumnya diciptakan di tanah Jawa 

dalam bentuk parwa dan kakawin, yang kemudian diselamatkan di Bali; 

(b) karya-karya sastra Jawa Kuna yang diciptakan di Bali hingga kini, yang 

oleh masyarakat Bali dianggap memiliki kualitas dan nilai yang tinggi; 

(c) karya-karya sastra dalam bahasa Jawa Tengahan (Kidung); (d) karya-

karya sastra dalam bahasa Bali yang memiliki kualitas serta bernilai tinggi, 

yang ditulis dalam metrum-metrum macapat (geguritan, parikan). Pernya-

taan di atas memberi gambaran bahwa Kakawin Ekàdaúaúiwa termasuk 

salah satu bentuk Sastra Tradisional (butir b), yang berhassil diciptakan di 

Bali pada abad XX-an oleh seorang astra Brahmana asal Sibetan, Beband-

em, Karangasem. 

Istilah kakawin sudah cukup dikenal di kalangan masyarakat pengge-

mar sastra Jawa Kuna. Terlebih di kalangan masyarakat Bali istilah ini tentu 

tidak asing lagi. Hal ini disebabkan hampir setiap desa di Bali ada perkum-

pulan pembahasan karya-karya kakawin yang dikenal dengan Sekaa Pesan-

tian. Kata kakawin bersal dari kata kawi mendapat awalan ka- dan akhiran –

(a)n sehingga berbentuk kata abstrak. Kawi adalah kata Sanskerta yang se-

sungguhnya berarti “ia yang diberkahi dengan kearifan, yang suci”, namun 

kemudian berarti “penyair” (kata benda konkret). Kawi dalam bahasa Jawa 

Kuna mengambil arti ini, sehingga kakawin berarti hasil karya penyair atau 

syair 

6). Selanjutnya I Nengah Tinggen (1989:8) meberikan batasan kakawin, 

yaitu (a) kata dasarnya kawi (karang) mendapat awalan ka- dan akhiran- 

(a)n menjadi kakawian atau kakawin yang berarti hasil karangan dari seo-

rang pangawi; dan (b) kakawin kata dasarnya awi (karang) mendapat awal-

an ka- akhiran –(a)n menjadi ka-awian direduplikasikan (dwipurwa) dan 

disandikan (nyutra) menjadi kakawian atau kakawin yang juga berarti hasil 

karangan dari seorang pangawi. 

Kakawin adalah sebuah bentuk puisi Jawa Kuna, yang memiliki suatu 

cara pembentukan yang sangat khas dan berpola. Bentukan nyanyian kakawin tidak berdasarkan gending gong, tidak juga memakai padalingsa, tetapi 

memakai Wrtta Matra. Wrtta artinya banyak bilangan suku kata dalam tiap-

tiap carik (koma) yang biasanya terjadi dari 4 carik (baris) menjadi satu 

pada (bait). Tetapi ada juga yang satu pada (bait) yang terdiri dari 3 carik 

(baris) dinamai “Rahi Tiga” atau “Udgata-Wisama”. Matra artinya syarat 

letak guru-laghu dalam tiap-tiap wrtta itu. Walaupun wrttanya atau banyak 

bilangan suku kata tiap-tiap baris itu sama tetapi kalau letak guru-laghunya 

lain, maka lain pula nama dan irama kakawin tersebut (Sugriwa, 1978:6). 

Laghu artinya suara pendek (hrswa), ringan, rendah, lemah, kencang bagai-

kan siswa mengikuti gurunya, kalau dihitung dengan ketukan ia hanya men-

dapat satu ketukan. Sedangkan Guru artinya suara panjang (dirgha) , berat, 

besar, keras, indah, berliku-liku, dan bagaikan seorang bapak. Jika dihitung 

panjang suaranya mencapai hingga 3 ketukan atau lebih (1978:6-7). 

Zoutmulder (1983:210) menyatakan bahwa bagi seorang penyair kema-

nunggalan dengan dewa keindahan merupakan jalan atau tujuannya. Jalan 

menuju terciptanya sebuah karya yang indah, yakni kakawin. Yoga yang di-

ungkapkan dalam bait-bait pembukaan menjadikan penyair mampu “me-

ngeluarkan tunas-tunas keindahan” (alung alango), karena ia disatukan de-

ngan dewa yang merupakan keindahan itu sendiri. Tetapi di lain pihak, yo-

ga juga merupakan tujuan, asal ia tekun melakukannya, ia akan mencapai 

pembebasan terakhir (moksa) dalam kemanunggalannya itu. 

Selanjutnya, Agastia (2002:7) mengatakan bahwa proses kreatif seo-

rang kawi atau penyair dalam mencipta karya sastra adalah sebuah pelaksa-

naan yoga dengan menjadikan kakawin atau karya sastranya sebagai yantra-

nya. Bagi seorang yogi menggunakan sarana-sarana yang dapat disentuh 

oleh panca indera, seperti puji-pujian (stuti), persembahan bunga (puspan-

jali), gerak tangan bermakna mistik (mudra), dan mantra merupakan yantra 

atau alat untuk mengadakan kontak dengan dewa pujaannya (istadewata), 

bahkan juga sebagai tempat dewa pujaan bersemayam. Yantra yang khas 

dilakukan seorang kawi atau penyair dan yang bersifat sastra adalah kaka-

win itu sendiri. Kata-kata serta lantunan suara indah dapat menerima keha-

diran dewa pujan (istadewata) dan sekaligus merupakan obyek konsentrasi, 

baik bagi sang kawi (penyair), pembaca, yang menembangkan maupun pen-

dengar karya sastra itu. Karya sastra kakawin disebut juga sebagai candi-

sastra, candi-aksara atau candi-bahasa. Oleh para kawi dinyatakan bahwa 

menulis kakawin bagaikan mendirikan sebuah candi-bahasa bagi dewa 

yang dipujanya. 

 

KONTEKS  BUDAYA 

 

Penelitian yang dilakukan pada kesempatan ini adalah penelitian yang 

menekankan bukan saja pada intrinsiknya tetapi ekstrinsiknya. Oleh karena 

itu pembongkaran karya sastra itu dilakukan dari dalam kemudian dihubungkan dengan situasi sosial masyarakat di luar karya sastra.  mengatakan karya sastra diciptakan oleh 

sastrawan untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. 

Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat, ia terikat oleh status sosial 

tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai 

medium, bahasa itu merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambar-

an kehidupan dan kehidupan itu adalah kenyataan sosial. 

Dalam sejumlah kakawin dapat dijumpai pernyataan-pernyataan pe-

ngarang terhadap kata lango. Misalnya Mpu Tanakung yang senantiasa me-

mohon kepada dewata yang dipujanya agar dianugrahi apa yang disebut 

digjayeng lango; Prapanca juga menyatakan bahwa belum dapat merasakan 

lango; Mpu Monaguna menyatakan bahwa dirinya mencoba atau menang-

kap lango; sementara Nirartha menyatakan dirinya sebagai seorang kawi 

yang belum dikasihi kalangwan (Agastia, 1987:23). Kata lango mempunyai 

makna yang sulit dicari padanannya. Mungkin dapat diterjemahkan dengan 

“rasa terpesona”. Secara obyektif kata lango berarti sifat yang menyebab-

kan obyek itu menghimbau pada perasaan estetis, sehingga penyair dalam 

mencari keindahan terbakar rasa rindu dan keinginan untuk mencapainya. 

Adanya rasa terhanyut atau mampu menghanyutkan (alango) antara obyek 

dan subyek, dalam teori rasa disebut rasa yang sama (rasa waisah). 

Dalam tradisi sastra kawi, para kawi-wiku atau pujangga sangat lekat 

dengan pengungkapan keindahan alam. Di dalam dirinya, ada semacam 

kombinasi perspektif estetika dan intelktual. Mereka mencoba menyelam ke 

dalam untuk menemukan sumber keindahan itu sendiri. “Alam” atau kos-

mos ditemukan di dunia Barat oleh orang-orang Yunani pada abad kelima 

dan keenam sebelum masehi. Namun, para rsi Weda menemukan Rta ribuan 

tahun sebelumnya. Rta adalah prinsip tatanan moral dan kosmos di alam 

semesta. Jadi, menghargai keindahan alam yang tertata baik (bhadram tat 

visvam yadavanti devah). Rsi-rsi Weda selalu berkomunikasi dengan alam, 

karena di baliknya ada kekuatan yang menggerakkan fenomena alam. Ke-

kuatan itu dipujanya ke dalam bentuk lagu-lagu pujaan dan selanjutnya ber-

kembang menjadi upacara persembahan yajna. Dalam kitab Weda Samhita, 

bagian ini jelas tertera pada bagian mantra, yang merupakan nilai agung 

puisi Weda. Juga dalam puisi Jawa Kuna yang berupa kakawin merupakan 

pengejawantahan dari kitab Weda, karena di dalamnya sarat akan ajaran 

adiluhung yang pada hakikatnya mencerminkan tentang Weda, yang ber-

bentuk sastra agama. 

Pemikir-pemikir India juga menambahkan dimensi baru bagi estetik 

India. Terdapat seni relegi di mana-mana, ada kuil-kuil (bentuk arsitektur), 

patung-patung atau lukisan-lukisan yang secara artistik diciptakan untuk 

kepentingan relegi yang merupakan pemujaan (bhakti). Bhakti adalah se-

buah pengalaman cinta kasih dipersembahkan kepada yang dipuja. Diharap-

kan melalui bhakti penyembah dapat bersatu dengan yang disembah. Yang 

disembah adalah perwujudan cinta kasih dalam bentuknya yang paling in-

dah, dan tidak memohon apa-apa kecuali penyerahan total dan persatuan 

dengan yang dipuja. Ini sesungguhnya adalah bhakti rasa. Bagi seorang 

bhakta tidak ada yang lebih indah dari keindahan itu sendiri, Dialah Yang Kuasa 

Estetika (aesthetics) berasal dari kata aisthesis dalam bahasa Yunani 

dapat diartikan sebagai rasa nikmat indah yang timbul melalui pencerapan 

pancaindra. Banyak batasan yang telah diajukan oleh para ahli mengenai 

estetika dan batasan yang diberikan itu berubah-ubah dari masa ke masa. 

Perubahan ini berkaitan dengan pergeseran fokus dari disiplin ini sejalan 

dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Disadari atau tidak 

di dalam kehidupan sehari-harinya semua umat manusia yang masih diikat 

oleh kama membutuhkan keindahan. Ketika manusia tampil dan meng-

ekpresikan diri di depan sesamanya ia akan melakukan dan mewujudkannya 

ke dalam bentuk-bentuk yang bernilai estetis 

Peranan aspek-aspek estetis dan etis, aspek-aspek keindahan dan mo-

ral mendominasi karya sastra sepanjang abad, sejak Zaman Klasik hingga 

Posmodern sebab memang di dalam kedua aspek tersebutlah terkandung 

nilai-nilai karya sastra. Terjadinya penyimpangan bahkan pemerkosaan ter-

hadap kedua aspek pada masa-masa tertentu, semata-mata diakibatkan oleh 

dominasi sosial politik, yang pada umumnya diakibatkan oleh hegemoni pa-

ra penguasa, baik dengan cara disengaja maupun tidak 

Kebutuhan manusia akan rasa kenikmatan estetis telah mendorong 

mereka untuk terus menciptakan objek-objek bernilai estetis. Pembicaraan 

mengenai estetika yang bertumpu kepada masalah rasa akan selalu mengacu 

kepada dua sisi yang terkait: objektivitas dan sumjektivitas. Sisi yang per-

tama menyangkut realita atau kenyataan dari suatu benda atau objek estetis, 

sedangkan sisi yang kedua menyangkut kesan atau rasa (lango) yang ditim-

bulkan oleh objek tersebut. Oleh sebab itu, hasil penilaian estetis yang opti-

mal dapat dicapai dengan memadukan kedua sisi objektif dan subjektif itu. 

Ada beberapa konsep yang kiranya menjadi landasan penting dari estetika 

Hindu, konsep-konsep yang dimaksud antara lain konsep kesucian, konsep 

kebenaran, dan konsep keseimbangan (Dibia, 2003: 96). 

Estetika Kakawin Ekàdaúaúiwa Sebagai Sebuah Tembang 

Dalam bentuknya sebagai sebuah tembang, Kakawin Ekàdaúaúiwa 

ini terdiri dari 17 jenis wirama atau pupuh dan tidak terdapat pengulangan 

atau pergantian (pesalinan) wirama, dengan jumlah bait (pada) sebanyak 

164 bait. Dengan kata lain jumlah bait (pada) keseluruhan adalah 164 bait   dengan 17 jenis wirama, dengan rincian: Singarùpa = 5 bait (pada), Úar-

ddhùla Wikridhìta = 9 bait (pada), Harini Pluta = 4 bait (pada), Måê-

gàngúa = 35 bait (pada), Måêdukomala = 18 bait (pada), Pawanagati = 3 

bait (pada), Bhawanacakra = 14 bait (pada), Wangsaúthà = 13 bait (pada), 

Indrabajra = 4 bait (pada), Påthiwitala = 9 bait (pada), Úikarióì = 16 bait 

(pada), Wasantatilaka = 16 bait (pada), Sragdhara = 3 bait (pada), Sarwwa 

Wipula = 18 bait (pada), Dandha = 12 bait (pada), Giriúa = 13 bait (pada), 

dan Gunanikara = 2 bait (pada). Pada wirama Bhawacakra dan Úikarióì 

terjadi kekeliruan bait yakni pada wirama Bhawacakra bait 2-3 dican-

tumkan dua kali, akan tetapi pada Úikarióì yaitu bait 12 tidak tercantum, 

namun dari bait 11 langsung ke bait 13. Apakah hal ini merupakan kese-

ngajaan atau kehilafan, tentu hal ini merupakan catatan yang penting dalam 

melihat estetika karya ini sebagai sebuah tembang. 

Sebagai pengawi muda, ada catatan penting yang perlu diketahui 

adalah dengan munculnya wirama baru yang sebelumnya tidak ada dalam 

nama-nama wirama yang telah ada. Nama wirama itu adalah “Gunanikara” 

dengan pola persajakan “14 suku kata, guru 0, laghu 14, gana 4, sesa 2 

lakara”. Sebagai bukti bahwa wirama ini ciptaan pengarang atau pengawi 

adalah adanya kalimat yang berbunyi: “yaya dadi gunanikara têmu ni riya” 

artinya Wirama Gunanikara adalah ciptaan pengarang sendiri. Adanya cip-

taan Wirama baru ini tentunya sangat mengembirakan di kalangan pencinta 

sastra Jawa Kuna, khususnya kakawin sebagai salah satu bukti kemajuan 

dan perkembangan dalam “per-puisi-an” Jawa Kuna, yang dikemas begitu 

estetik. Di samping itu dapat dikatakan tradisi penyalinan dan penciptaan 

karya-karya baru dalam sastra Jawa Kuna di Bali masih berlanjut hingga 

kini, walaupun secara kuantitas sangatlah kecil. 

Dalam bentuknya sebagai sebuah tembang, Kakawin Ekàdaúaúiwa 

diharapkan nantinya akan menjadi sebuah kakawin yang diminati masya-

rakat dalam kancah mabebasan. Ada semacam ketentuan yang seyogyanya 

dipahami oleh peserta mabebasan, baik sebagai pangawacen (pembaca) 

maupun paneges (penerjemah), yakni: unsur wirama, wiraga, dan wirasa ,Unsur wirama meliputi guru laghu, onek-onekan, nada 

(reng) dan suara, unsur wiraga meliputi tikas (penampilan) dan raras (eks-

presi); sedangkan unsur wirasa, lebih menekankan kemampuan pemahaman 

dan penghayatan terhadap amanat dan nilai yang terkandung dalam teks 

yang dibahas. Tahap ini merupakan perumusan dari diskusi untuk menda-

patkan satu kesepakatan mengenai makna dan nilai serta amanat teks yang 

telah dibaca atau ditembangkan. 

Estetika Kakawin Ekàdaúaúiwa Sebuah Karya sastra Jawa Kuna 

Konsep estetik yang berkaitan dengan karya sastra, yang juga ber-

laku hingga kini adalah dulce et utile (menyenangkan dan bermanfaat). 

Konsep ini berasal dari Horatius, seorang ahli filsafat Yunani Kuna. Dulce 

berkaitan dengan keindahan bentuk yang menghimbau panca indera sedang-

kan utele berkaitan dengan keindahan isi yang menghimbau akal budi. 

Selain itu ditambah dengan konsep movere (menggerakkan), yang meng-

himbau kepada kemauan untuk melaksanakan sesuatu. Konsep estetika 

yang sudah menjadi pandangan klasik atau teori Plato tentang mimesis (pe-

niruan, peneladanan), dan teori Aristoteles tentang creatio (penciptaan). 

Mimesis dan creatio secara substansial pada dasarnya sama. 

Sebagai sebuah karya sastra Jawa Kuna yang sarat akan konsep 

Siwa-Budha, maka konsep esstetika Kakawin Ekàdaúaúiwa senantiasa 

berdasar pada konsep estetika Hindu yakni monisme yang berisi tentang 

konsep keselarasan, keseimbangan serta kesatuan antara bentuk (prakerti) 

dan isi (purusa). Pandangan estetika Hindu pada dasarnya tidak terlalu ber-

beda dengan estetika dunia barat yang memasukkan konsep nilai ke dalam 

konsep estetikanya. Dalam Bhisma Parwa misalnya disebutkan bahwa “di 

mana ada kebenaran di situ ada keindahan”. Keindahan dan kebenaran 

merupakan konsep estetika dalam Hindu. Dalam pandangan Hindu bentuk 

dan isi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya secara 

bersama-sama mewujudkan keindahan dan kebenaran. Hanya kebenaranlah 

yang indah. Konsep estetika Hindu tidak hanya terfokus dalam dimensi 

fisik, namun sekaligus dalam dimensi rohaniah dan spiritual. 

Estetika kakawin sebagai sebuah karya sastra Jawa Kuna mencakup 

aspek yang sangat luas, yang tidak hanya bersifat jasmaniah (materi) tetapi 

juga rohaniah. Keindahan sesungguhnya ada di balik yang nampak, entah 

itu berupa peristiwa alam maupun kenyataan yang terjadi dalam kehidupan 

manusia. Keindahan itu tidak hanya nampak dalam karya sastra, tetapi apa 

yang nampak dalam karya sastra adalah penampakan yang mutlak, yang ada 

di balik semua itu. Karya sastra hanya merupakan sarana (yantra) bagi sang 

kawi dalam melaksanakan yoga untuk dapat bersatu dengan Sang Pencipta. 

Seperti terlihat dalam manggala Kakawin Ekàdaúaúiwa (KES) berikut: 

ONG úrì úrì déwa bhùmi palà kusumañjalì narêpakên, 

pöh pöh ning jñàna sarwwa úàstra Gaóa tatwa sàdhana nikà, 

ONG nityà nitya dé nikà ngêlaranàji yà ngatêrakên, 

byaktàn wàktà mahàti bhukti purihing sakàyanirikà. 

     (KES, Wirama I: bait 1) 

Artinya: Terlebih dahulu menghaturkan pangastungkara kepada dewi 

Sri, hakikat pemujaan kepada Saraswati sebagai Dewa Ilmu pengeta-

huan, yang mengantarkan orang dapat mengetahui ilmu pengetahuan, 

sebagai bukti mendapatkan anugerah dari usaha yang dilakukan itu.  

Setiap karya sastra kakawin sebutan Dewa Pujaan dari setiap rakawi 

akan berbeda tetapi pada prinsipnya memuja Dewi Keindahan, dengan ha-

rapan Dewi Keindahan bersemayam pada padma hati dengan melalui samgamayoga menyatukan keindahan abadi dalam bathin sang kawi akan mela-

hirkan candi pustaka atau karya sastra yang utama. Pada bait manggala di 

atas dapat diketahui doa pujian yang ditujukan kepada Dewi Keindahan 

(Saraswati) yang dinyatakan dengan kata-kata: ONG úrì úrì déwa (Dewi 

Keindahan), jñàna sarwwa úàstra (semua pengetahuan tentang sastra), tat-

wa sàdhana nikà (sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertinggi), dé nikà 

ngêlaranàji yà ngatêrakên (dengan jalan mengamalkan ilmu pengetahuan), 

mahàti bhukti purihing sakàyanirikà (sebagai bukti dari usaha yang telah 

dilakukan). Kata-kata tersebut mengacu pada Dewi Keindahan yakni Dewi 

Saraswati. Dewi Saraswati tidak hanya dihadirkan sebagai Dewi Ilmu 

Pengetahuan, tetapi juga sebagai Dewi Keindahan. 

Dalam bahasa Sanskerta “Saraswati” dapat bermakna “sesuatu yang 

mengalir, percakapan, kata-kata”. Dalam kitab suci Weda, “Saraswati” di-

nyatakan sebagai nama sungai dan dewa. Kemudia “Saraswati” dikenal 

sebagai sakti Dewa Brahma atau sebagai Dewi Kata-kata atau Dewi Ilmu 

Pengetahuan (Agastia: 1987: 35). Pada bait pertama manggala di atas telah 

disebutkan juga sebagai Dewi Keindahan, sakti Dewa Brahma, Dewi Ilmu 

Pengetahuan, dan wahana, jiwa, dan lingganya aksara. 

 

 

Simpulan yang dapat dipetik dari uraian di atas, bahwa karya sastra 

Kakawin Ekàdaúaúiwa mengandung estetika isi dan bentuk. Dilihat dari 

segi bentuk struktur kakawin ini terdiri dari manggala, corpus (isi) dan epi-

log yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah karya estetik 

dan menyenangkan. Perpaduan antara bentuk dan isi yang selaras dan serasi 

telah mewujudkan Kakawin Ekàdaúaúiwa sebagai hasil karya sastra klasik 

yang unggul, sarat akan nilai-nilai estetis. 

Aspek guru dan laghu merupakan hal yang paling esensial di dalam 

struktur Kakawin Ekàdaúaúiwa. Komposisi guru dan laghu dalam larik-

larik kakawin sangat menentukan nama metrum kakawin tersebut. Guru 

diartikan suara panjang (dirgha), berat, dan alunannya panjang. Laghu ber-

arti suara pendek (håûwa), ringan, dan alunannya lebih pendek. Larik-larik 

(carik) dalam Kakawin Ekàdaúaúiwa membentuk bait (pada) dan bait-bait 

dalam metrum yang sama membentuk pupuh. Pupuh atau pesalinan (per-

gantian metrum) menandai pergantian metrum yang dipakai di dalam 

Kakawin Ekàdaúaúiwa. 

Kakawin Ekàdaúaúiwa sebagai hasil cipta sastra merupakan simbol-

simbol dan tanda yang merupakan perpaduan erat konsep estetik dengan 

konsep religius. Dengan demikian Kakawin Ekàdaúaúiwa mempunyai 

fungsi dan makna dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat dan buda-

ya Bali sebagai pendukungnya. Fungsi wacana teks Kakawin Ekàdaúaúiwa 

di samping memberi hiburan untuk mendapatkan kepuasan batin dan kenikmatan estetis (utile dulce) juga berfungsi sebagai afirmasi yaitu menetapkan 

norma-norma sosiobudaya. Kakawin Ekàdaúaúiwa juga mengandung mak-

na prema (kebajikan dalam pelayanan), dan makna satya (kesetiaan, keju-

juran, dan keikhlasan).