Berbicara masalah pengkajian sastra-sastra klasik Indonesia umumnya dan
sastra Bali khususnya, mungkin dapat kita renungkan kembali pernyataan
R.M.Ng. Poerbatjaraka ketika meresmikan berdirinya Fakultas Sastra Uni-
versitas Udayana tahun 1958. Pernyataan beliau adalah “Bali adalah pulau
yang telah terkenal sebagai peti tempat penyimpanan dan pembendaharaan
sastra dan budaya lama” (Sudharta, 1989:10). Pernyataan tersebut sesung-
guhnya mengandung dimensi waktu jauh ke depan, agar “peti” yang me-
ngandung “misteri-misteri budaya lama” dipahami oleh para generasi.
Karya-karya kesusastraan Bali mengandung dua hal pokok yaitu:
(1) mempunyai konsep-konsep artistik tersendiri, dan (2) mempunyai kon-
sep-konsep spritual kemanusiaan dan atau kebenaran yang universal dan ha-
kiki Di samping itu olah Sastra Bali tidak semata-mata
bersifat susastra, melainkan erat kaitannya dengan kepercayaan, adat-isti-
adat, upacara ritual, maupun tradisi sosial masyarakat Bali yang bersifat
kompleks (Suastika, 1985:1) Dalam kesusastraan itu sarat berbagai pengeta-
huan seperti: filsafat, ajaran ethika, estethica, arsitektur dan Astronomi
Pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sastra klasik sangat
diperlukan zaman sekarang, agar generasi muda yang akan datang tidak ke-
hilangan jejak untuk menelusuri aktivitas sosial budaya atau peradaban ne-
nek moyangnya. Perlunya kita mempelajari, memahami warisan rohani bu-
daya bangsa masa lampau lewat sastra-sastra lama, seperti diucapkan oleh
Ida Bagus Mantra, “Ada suatu dalil secara rohaniah menyatakan bahwa
apabila dalam suatu perubahan manusia dapat menguasai perubahan-per-
ubahan itu, maka selamatlah peradaban itu berjalan, tetapi bila beban itu
merupakan suatu kejutan dan manusia harus menegakkan kehidupan ro-
haninya, kehidupan agama dan sastra-sastra agama yang terdapat dalam
pustaka-pustaka suci, sehingga ia butuh dalam menghadapi perubahan itu
sendiri dan tetap berjalan dalam mengembangkan kreativitasnya sebagai
subjek untuk menjalankan kewajibannya”
Sastra klasik Bali yang tentunya memiliki kekhasan tersendiri hingga
kini masih terpelihara dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan dalam tradisi
“mabebasan” (pembacaan karya sastra secara bergiliran disertai diskusi),
dalam sebuah kelompok sosial yang disebut “Sekaa Pesantian”. di mana-mana di pulau Jawa, Madu-
ra, Bali, Lombok, di bagian Sumatra dan Sulawesi, sastra memang seba-
giannya diturunkan dan disimpan dalam naskah-naskah tertulis, tetapi sastra
ini secara wajar dibacakan bersama-sama, antara pembaca dan pendengar
seringkali pula bergiliran perannya, seperti dalam mabebasan di Bali dan
nembang di Jawa (1998:40). Apa yang telah dijelaskan A. Teeuw tentang
mabebasan di Bali sampai saat ini masih terus terpelihara, dikembangkan,
dihayati, diulas serta ditulis bahkan diciptakan kembali.
Melalui tradisi mebebasan inilah masyarakat Bali mengakrabi dan
mengapresiasi karya-karya Jawa Kuna dan Bali. Tradisi ini dapat dianggap
sebagai ajang “kritik sastra”, karena melalui tradisi ini sebuah karya diba-
cakan, diterjemahkan, diulas serta dikomunikasikan antara anggota sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Di sini pula terjadi komunikasi dua
arah dengan sangat “demokratis” Di antra anggota yang hadir, sehingga pa-
da akhirnya akan disepakati adanya sebuah nilai yang adiluhur sebagai cer-
min hidup dalam berpikir, berkata, dan berprilaku. Penulisan dan penya-
linan karya-karya sastra kakawin, geguritan dan lain-lainnya di Bali sampai
menjelang abad 20-an masih berlangsung di bebarapa Puri, Geriya dan
sanggar-sanggar penulisan lainnya.
Salah satu karya sastra abad XX yang luput dari perhatian kita selama
ini adalah berjudul “Kakawin Ekàdaúaúiwa”. Kakawin ini ditulis oleh seo-
rang astra Brahmana muda dari Sibetan Bebandem, Karangasem Bali. Nas-
kah kakawin ini masih ditulis di atas sebuah buku tulis dan belum sempat
ditulis di atas rontal. Dengan demikian, naskah kakawin ini dapat dikatakan
sebagai naskah tunggal.
Kakawin Ekadaúaúiwa merupakan karya sastra kakawin abad XX,
yang digubah oleh pangawi yang masih tergolong sangat muda. Kakawin
ini memiliki kedudukan yang sangat penting di antara kakawin yang ada,
karena faktor isi dan keunikan penyajiannya yang merupakan jiwa zaman
yaitu adanya ajaran “Siwa Sidanta” yang khas model Bali. Demikian pen-
ting kedudukannya terutama di antara peneliti yang ada, sehingga Kakawin
Ekadaúaúiwa sangat pantas atau penting diteliti. Naskah ini penulis dapat-
kan langsung dari pengarangnya, yang tentunya sangat jarang dijumpai
adanya pengarang yang sangat produktif menulis karya sastra tradisional se-
perti kakawin di zaman modern ini. Sungguh bahagia dan bangga hati pe-
nulis atas kreativitas pengarang kakawin ini, sehingga penulis merasa ter-
tarik meneliti Kakawin Ekadaúaúiwa ini sebagai bahan kajian, sekaligus se-
bagai upaya penghargaan terhadap hasil ciptaannya dan berusaha menye-
barluaskan kepada masyarakat agar karya tradisional khususnya kakawin
berkembang secara berkelanjutan. Di usia yang masih tergolong muda seo-
rang astra Brahmana kelahiran Sibetan Bebandem Karangasem telah me-
nunjukkan kreativitasnya di bidang olah sastra, dalam bentuk puisi Jawa
Kuna berupa kakawin, yang tentunya tidak sembarang pengawi Bali mampu
melakukannya. Di samping kesukaran bahasa yaitu penguasaan bahasa Ja-
wa Kuna puisi Jawa Kuna sangat rumit, belum lagi harus memperhatikan isi
cerita dan pengungkapan estetika memerlukan daya imajinasi yang tinggi.
Berdasarkan latar belakang di atas, kajian terhadap Kakawin Eka-
daúaúiwa ini memiliki kedudukan penting dalam khazanah kebudayaan Ba-
li, yaitu: 1) bagaimana Estetika Kakawin Ekàdaúaúiwa sebagai sebuah tem-
bang? 2) bagaimana Estetika Kakawin Ekàdaúaúiwa sebagai sebuah karya
sastra Jawa Kuna?
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mendes-
kripsikan nilai-nilai estetis yang bersifat konseptual yang terkandung dalam
Kakawin Ekàdaúaúiwa ini. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dan memahami secara mendalam estetika yang terdapat dalam
Kakawin Ekàdaúaúiwa yang sarat akan nilai-nilai kebenaran lewat mang-
gala, corpus (isi), dan epilognya.
Sedangkan manfaat bagi penulis dan masyarakat luas, oleh karena
konsep-konsep pemikiran yang terkandung dalam karya ini sebagai sum-
bangan pemikiran untuk memahami konsep-konsep kebudayaan masa lam-
pau, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk memperkaya khazanah
budaya bangsa, khususnya kebudayaan daerah, dalam rangka pembinaan
dan pengembangan kebudayaan nasional.
Sastra Bali klasik atau sastra tradisional adalah karya-karya sastra yang
secara tradisional dianggap dan diakui sebagai warisan dan milik budaya
oleh masyarakat Bali. Karya sastra tersebut sangat fungsional dalam kehi-
dupan sosial-religius masyarakat Bali pada umumnya. Karya Sastra Tradisi-
onal tersebut adalah karya-karya yang secara apriori dianggap memiliki
kualitas dan nilai yang tinggi. Karenanya, Sastra Tradisional mendapat tem-
pat yang terhormat dalam sistem nilai maupun sistem sosial masyarakat Ba-
li tradisonal.
yang termasuk ke dalam lingkup
sastra Bali klasik atau sastra tradisional adalah: (a) karya-karya sastra Jawa
Kuna yang berasal dari abad IX yang umumnya diciptakan di tanah Jawa
dalam bentuk parwa dan kakawin, yang kemudian diselamatkan di Bali;
(b) karya-karya sastra Jawa Kuna yang diciptakan di Bali hingga kini, yang
oleh masyarakat Bali dianggap memiliki kualitas dan nilai yang tinggi;
(c) karya-karya sastra dalam bahasa Jawa Tengahan (Kidung); (d) karya-
karya sastra dalam bahasa Bali yang memiliki kualitas serta bernilai tinggi,
yang ditulis dalam metrum-metrum macapat (geguritan, parikan). Pernya-
taan di atas memberi gambaran bahwa Kakawin Ekàdaúaúiwa termasuk
salah satu bentuk Sastra Tradisional (butir b), yang berhassil diciptakan di
Bali pada abad XX-an oleh seorang astra Brahmana asal Sibetan, Beband-
em, Karangasem.
Istilah kakawin sudah cukup dikenal di kalangan masyarakat pengge-
mar sastra Jawa Kuna. Terlebih di kalangan masyarakat Bali istilah ini tentu
tidak asing lagi. Hal ini disebabkan hampir setiap desa di Bali ada perkum-
pulan pembahasan karya-karya kakawin yang dikenal dengan Sekaa Pesan-
tian. Kata kakawin bersal dari kata kawi mendapat awalan ka- dan akhiran –
(a)n sehingga berbentuk kata abstrak. Kawi adalah kata Sanskerta yang se-
sungguhnya berarti “ia yang diberkahi dengan kearifan, yang suci”, namun
kemudian berarti “penyair” (kata benda konkret). Kawi dalam bahasa Jawa
Kuna mengambil arti ini, sehingga kakawin berarti hasil karya penyair atau
syair
6). Selanjutnya I Nengah Tinggen (1989:8) meberikan batasan kakawin,
yaitu (a) kata dasarnya kawi (karang) mendapat awalan ka- dan akhiran-
(a)n menjadi kakawian atau kakawin yang berarti hasil karangan dari seo-
rang pangawi; dan (b) kakawin kata dasarnya awi (karang) mendapat awal-
an ka- akhiran –(a)n menjadi ka-awian direduplikasikan (dwipurwa) dan
disandikan (nyutra) menjadi kakawian atau kakawin yang juga berarti hasil
karangan dari seorang pangawi.
Kakawin adalah sebuah bentuk puisi Jawa Kuna, yang memiliki suatu
cara pembentukan yang sangat khas dan berpola. Bentukan nyanyian kakawin tidak berdasarkan gending gong, tidak juga memakai padalingsa, tetapi
memakai Wrtta Matra. Wrtta artinya banyak bilangan suku kata dalam tiap-
tiap carik (koma) yang biasanya terjadi dari 4 carik (baris) menjadi satu
pada (bait). Tetapi ada juga yang satu pada (bait) yang terdiri dari 3 carik
(baris) dinamai “Rahi Tiga” atau “Udgata-Wisama”. Matra artinya syarat
letak guru-laghu dalam tiap-tiap wrtta itu. Walaupun wrttanya atau banyak
bilangan suku kata tiap-tiap baris itu sama tetapi kalau letak guru-laghunya
lain, maka lain pula nama dan irama kakawin tersebut (Sugriwa, 1978:6).
Laghu artinya suara pendek (hrswa), ringan, rendah, lemah, kencang bagai-
kan siswa mengikuti gurunya, kalau dihitung dengan ketukan ia hanya men-
dapat satu ketukan. Sedangkan Guru artinya suara panjang (dirgha) , berat,
besar, keras, indah, berliku-liku, dan bagaikan seorang bapak. Jika dihitung
panjang suaranya mencapai hingga 3 ketukan atau lebih (1978:6-7).
Zoutmulder (1983:210) menyatakan bahwa bagi seorang penyair kema-
nunggalan dengan dewa keindahan merupakan jalan atau tujuannya. Jalan
menuju terciptanya sebuah karya yang indah, yakni kakawin. Yoga yang di-
ungkapkan dalam bait-bait pembukaan menjadikan penyair mampu “me-
ngeluarkan tunas-tunas keindahan” (alung alango), karena ia disatukan de-
ngan dewa yang merupakan keindahan itu sendiri. Tetapi di lain pihak, yo-
ga juga merupakan tujuan, asal ia tekun melakukannya, ia akan mencapai
pembebasan terakhir (moksa) dalam kemanunggalannya itu.
Selanjutnya, Agastia (2002:7) mengatakan bahwa proses kreatif seo-
rang kawi atau penyair dalam mencipta karya sastra adalah sebuah pelaksa-
naan yoga dengan menjadikan kakawin atau karya sastranya sebagai yantra-
nya. Bagi seorang yogi menggunakan sarana-sarana yang dapat disentuh
oleh panca indera, seperti puji-pujian (stuti), persembahan bunga (puspan-
jali), gerak tangan bermakna mistik (mudra), dan mantra merupakan yantra
atau alat untuk mengadakan kontak dengan dewa pujaannya (istadewata),
bahkan juga sebagai tempat dewa pujaan bersemayam. Yantra yang khas
dilakukan seorang kawi atau penyair dan yang bersifat sastra adalah kaka-
win itu sendiri. Kata-kata serta lantunan suara indah dapat menerima keha-
diran dewa pujan (istadewata) dan sekaligus merupakan obyek konsentrasi,
baik bagi sang kawi (penyair), pembaca, yang menembangkan maupun pen-
dengar karya sastra itu. Karya sastra kakawin disebut juga sebagai candi-
sastra, candi-aksara atau candi-bahasa. Oleh para kawi dinyatakan bahwa
menulis kakawin bagaikan mendirikan sebuah candi-bahasa bagi dewa
yang dipujanya.
KONTEKS BUDAYA
Penelitian yang dilakukan pada kesempatan ini adalah penelitian yang
menekankan bukan saja pada intrinsiknya tetapi ekstrinsiknya. Oleh karena
itu pembongkaran karya sastra itu dilakukan dari dalam kemudian dihubungkan dengan situasi sosial masyarakat di luar karya sastra. mengatakan karya sastra diciptakan oleh
sastrawan untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat, ia terikat oleh status sosial
tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai
medium, bahasa itu merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambar-
an kehidupan dan kehidupan itu adalah kenyataan sosial.
Dalam sejumlah kakawin dapat dijumpai pernyataan-pernyataan pe-
ngarang terhadap kata lango. Misalnya Mpu Tanakung yang senantiasa me-
mohon kepada dewata yang dipujanya agar dianugrahi apa yang disebut
digjayeng lango; Prapanca juga menyatakan bahwa belum dapat merasakan
lango; Mpu Monaguna menyatakan bahwa dirinya mencoba atau menang-
kap lango; sementara Nirartha menyatakan dirinya sebagai seorang kawi
yang belum dikasihi kalangwan (Agastia, 1987:23). Kata lango mempunyai
makna yang sulit dicari padanannya. Mungkin dapat diterjemahkan dengan
“rasa terpesona”. Secara obyektif kata lango berarti sifat yang menyebab-
kan obyek itu menghimbau pada perasaan estetis, sehingga penyair dalam
mencari keindahan terbakar rasa rindu dan keinginan untuk mencapainya.
Adanya rasa terhanyut atau mampu menghanyutkan (alango) antara obyek
dan subyek, dalam teori rasa disebut rasa yang sama (rasa waisah).
Dalam tradisi sastra kawi, para kawi-wiku atau pujangga sangat lekat
dengan pengungkapan keindahan alam. Di dalam dirinya, ada semacam
kombinasi perspektif estetika dan intelktual. Mereka mencoba menyelam ke
dalam untuk menemukan sumber keindahan itu sendiri. “Alam” atau kos-
mos ditemukan di dunia Barat oleh orang-orang Yunani pada abad kelima
dan keenam sebelum masehi. Namun, para rsi Weda menemukan Rta ribuan
tahun sebelumnya. Rta adalah prinsip tatanan moral dan kosmos di alam
semesta. Jadi, menghargai keindahan alam yang tertata baik (bhadram tat
visvam yadavanti devah). Rsi-rsi Weda selalu berkomunikasi dengan alam,
karena di baliknya ada kekuatan yang menggerakkan fenomena alam. Ke-
kuatan itu dipujanya ke dalam bentuk lagu-lagu pujaan dan selanjutnya ber-
kembang menjadi upacara persembahan yajna. Dalam kitab Weda Samhita,
bagian ini jelas tertera pada bagian mantra, yang merupakan nilai agung
puisi Weda. Juga dalam puisi Jawa Kuna yang berupa kakawin merupakan
pengejawantahan dari kitab Weda, karena di dalamnya sarat akan ajaran
adiluhung yang pada hakikatnya mencerminkan tentang Weda, yang ber-
bentuk sastra agama.
Pemikir-pemikir India juga menambahkan dimensi baru bagi estetik
India. Terdapat seni relegi di mana-mana, ada kuil-kuil (bentuk arsitektur),
patung-patung atau lukisan-lukisan yang secara artistik diciptakan untuk
kepentingan relegi yang merupakan pemujaan (bhakti). Bhakti adalah se-
buah pengalaman cinta kasih dipersembahkan kepada yang dipuja. Diharap-
kan melalui bhakti penyembah dapat bersatu dengan yang disembah. Yang
disembah adalah perwujudan cinta kasih dalam bentuknya yang paling in-
dah, dan tidak memohon apa-apa kecuali penyerahan total dan persatuan
dengan yang dipuja. Ini sesungguhnya adalah bhakti rasa. Bagi seorang
bhakta tidak ada yang lebih indah dari keindahan itu sendiri, Dialah Yang Kuasa
Estetika (aesthetics) berasal dari kata aisthesis dalam bahasa Yunani
dapat diartikan sebagai rasa nikmat indah yang timbul melalui pencerapan
pancaindra. Banyak batasan yang telah diajukan oleh para ahli mengenai
estetika dan batasan yang diberikan itu berubah-ubah dari masa ke masa.
Perubahan ini berkaitan dengan pergeseran fokus dari disiplin ini sejalan
dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Disadari atau tidak
di dalam kehidupan sehari-harinya semua umat manusia yang masih diikat
oleh kama membutuhkan keindahan. Ketika manusia tampil dan meng-
ekpresikan diri di depan sesamanya ia akan melakukan dan mewujudkannya
ke dalam bentuk-bentuk yang bernilai estetis
Peranan aspek-aspek estetis dan etis, aspek-aspek keindahan dan mo-
ral mendominasi karya sastra sepanjang abad, sejak Zaman Klasik hingga
Posmodern sebab memang di dalam kedua aspek tersebutlah terkandung
nilai-nilai karya sastra. Terjadinya penyimpangan bahkan pemerkosaan ter-
hadap kedua aspek pada masa-masa tertentu, semata-mata diakibatkan oleh
dominasi sosial politik, yang pada umumnya diakibatkan oleh hegemoni pa-
ra penguasa, baik dengan cara disengaja maupun tidak
Kebutuhan manusia akan rasa kenikmatan estetis telah mendorong
mereka untuk terus menciptakan objek-objek bernilai estetis. Pembicaraan
mengenai estetika yang bertumpu kepada masalah rasa akan selalu mengacu
kepada dua sisi yang terkait: objektivitas dan sumjektivitas. Sisi yang per-
tama menyangkut realita atau kenyataan dari suatu benda atau objek estetis,
sedangkan sisi yang kedua menyangkut kesan atau rasa (lango) yang ditim-
bulkan oleh objek tersebut. Oleh sebab itu, hasil penilaian estetis yang opti-
mal dapat dicapai dengan memadukan kedua sisi objektif dan subjektif itu.
Ada beberapa konsep yang kiranya menjadi landasan penting dari estetika
Hindu, konsep-konsep yang dimaksud antara lain konsep kesucian, konsep
kebenaran, dan konsep keseimbangan (Dibia, 2003: 96).
Estetika Kakawin Ekàdaúaúiwa Sebagai Sebuah Tembang
Dalam bentuknya sebagai sebuah tembang, Kakawin Ekàdaúaúiwa
ini terdiri dari 17 jenis wirama atau pupuh dan tidak terdapat pengulangan
atau pergantian (pesalinan) wirama, dengan jumlah bait (pada) sebanyak
164 bait. Dengan kata lain jumlah bait (pada) keseluruhan adalah 164 bait dengan 17 jenis wirama, dengan rincian: Singarùpa = 5 bait (pada), Úar-
ddhùla Wikridhìta = 9 bait (pada), Harini Pluta = 4 bait (pada), Måê-
gàngúa = 35 bait (pada), Måêdukomala = 18 bait (pada), Pawanagati = 3
bait (pada), Bhawanacakra = 14 bait (pada), Wangsaúthà = 13 bait (pada),
Indrabajra = 4 bait (pada), Påthiwitala = 9 bait (pada), Úikarióì = 16 bait
(pada), Wasantatilaka = 16 bait (pada), Sragdhara = 3 bait (pada), Sarwwa
Wipula = 18 bait (pada), Dandha = 12 bait (pada), Giriúa = 13 bait (pada),
dan Gunanikara = 2 bait (pada). Pada wirama Bhawacakra dan Úikarióì
terjadi kekeliruan bait yakni pada wirama Bhawacakra bait 2-3 dican-
tumkan dua kali, akan tetapi pada Úikarióì yaitu bait 12 tidak tercantum,
namun dari bait 11 langsung ke bait 13. Apakah hal ini merupakan kese-
ngajaan atau kehilafan, tentu hal ini merupakan catatan yang penting dalam
melihat estetika karya ini sebagai sebuah tembang.
Sebagai pengawi muda, ada catatan penting yang perlu diketahui
adalah dengan munculnya wirama baru yang sebelumnya tidak ada dalam
nama-nama wirama yang telah ada. Nama wirama itu adalah “Gunanikara”
dengan pola persajakan “14 suku kata, guru 0, laghu 14, gana 4, sesa 2
lakara”. Sebagai bukti bahwa wirama ini ciptaan pengarang atau pengawi
adalah adanya kalimat yang berbunyi: “yaya dadi gunanikara têmu ni riya”
artinya Wirama Gunanikara adalah ciptaan pengarang sendiri. Adanya cip-
taan Wirama baru ini tentunya sangat mengembirakan di kalangan pencinta
sastra Jawa Kuna, khususnya kakawin sebagai salah satu bukti kemajuan
dan perkembangan dalam “per-puisi-an” Jawa Kuna, yang dikemas begitu
estetik. Di samping itu dapat dikatakan tradisi penyalinan dan penciptaan
karya-karya baru dalam sastra Jawa Kuna di Bali masih berlanjut hingga
kini, walaupun secara kuantitas sangatlah kecil.
Dalam bentuknya sebagai sebuah tembang, Kakawin Ekàdaúaúiwa
diharapkan nantinya akan menjadi sebuah kakawin yang diminati masya-
rakat dalam kancah mabebasan. Ada semacam ketentuan yang seyogyanya
dipahami oleh peserta mabebasan, baik sebagai pangawacen (pembaca)
maupun paneges (penerjemah), yakni: unsur wirama, wiraga, dan wirasa ,Unsur wirama meliputi guru laghu, onek-onekan, nada
(reng) dan suara, unsur wiraga meliputi tikas (penampilan) dan raras (eks-
presi); sedangkan unsur wirasa, lebih menekankan kemampuan pemahaman
dan penghayatan terhadap amanat dan nilai yang terkandung dalam teks
yang dibahas. Tahap ini merupakan perumusan dari diskusi untuk menda-
patkan satu kesepakatan mengenai makna dan nilai serta amanat teks yang
telah dibaca atau ditembangkan.
Estetika Kakawin Ekàdaúaúiwa Sebuah Karya sastra Jawa Kuna
Konsep estetik yang berkaitan dengan karya sastra, yang juga ber-
laku hingga kini adalah dulce et utile (menyenangkan dan bermanfaat).
Konsep ini berasal dari Horatius, seorang ahli filsafat Yunani Kuna. Dulce
berkaitan dengan keindahan bentuk yang menghimbau panca indera sedang-
kan utele berkaitan dengan keindahan isi yang menghimbau akal budi.
Selain itu ditambah dengan konsep movere (menggerakkan), yang meng-
himbau kepada kemauan untuk melaksanakan sesuatu. Konsep estetika
yang sudah menjadi pandangan klasik atau teori Plato tentang mimesis (pe-
niruan, peneladanan), dan teori Aristoteles tentang creatio (penciptaan).
Mimesis dan creatio secara substansial pada dasarnya sama.
Sebagai sebuah karya sastra Jawa Kuna yang sarat akan konsep
Siwa-Budha, maka konsep esstetika Kakawin Ekàdaúaúiwa senantiasa
berdasar pada konsep estetika Hindu yakni monisme yang berisi tentang
konsep keselarasan, keseimbangan serta kesatuan antara bentuk (prakerti)
dan isi (purusa). Pandangan estetika Hindu pada dasarnya tidak terlalu ber-
beda dengan estetika dunia barat yang memasukkan konsep nilai ke dalam
konsep estetikanya. Dalam Bhisma Parwa misalnya disebutkan bahwa “di
mana ada kebenaran di situ ada keindahan”. Keindahan dan kebenaran
merupakan konsep estetika dalam Hindu. Dalam pandangan Hindu bentuk
dan isi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya secara
bersama-sama mewujudkan keindahan dan kebenaran. Hanya kebenaranlah
yang indah. Konsep estetika Hindu tidak hanya terfokus dalam dimensi
fisik, namun sekaligus dalam dimensi rohaniah dan spiritual.
Estetika kakawin sebagai sebuah karya sastra Jawa Kuna mencakup
aspek yang sangat luas, yang tidak hanya bersifat jasmaniah (materi) tetapi
juga rohaniah. Keindahan sesungguhnya ada di balik yang nampak, entah
itu berupa peristiwa alam maupun kenyataan yang terjadi dalam kehidupan
manusia. Keindahan itu tidak hanya nampak dalam karya sastra, tetapi apa
yang nampak dalam karya sastra adalah penampakan yang mutlak, yang ada
di balik semua itu. Karya sastra hanya merupakan sarana (yantra) bagi sang
kawi dalam melaksanakan yoga untuk dapat bersatu dengan Sang Pencipta.
Seperti terlihat dalam manggala Kakawin Ekàdaúaúiwa (KES) berikut:
ONG úrì úrì déwa bhùmi palà kusumañjalì narêpakên,
pöh pöh ning jñàna sarwwa úàstra Gaóa tatwa sàdhana nikà,
ONG nityà nitya dé nikà ngêlaranàji yà ngatêrakên,
byaktàn wàktà mahàti bhukti purihing sakàyanirikà.
(KES, Wirama I: bait 1)
Artinya: Terlebih dahulu menghaturkan pangastungkara kepada dewi
Sri, hakikat pemujaan kepada Saraswati sebagai Dewa Ilmu pengeta-
huan, yang mengantarkan orang dapat mengetahui ilmu pengetahuan,
sebagai bukti mendapatkan anugerah dari usaha yang dilakukan itu.
Setiap karya sastra kakawin sebutan Dewa Pujaan dari setiap rakawi
akan berbeda tetapi pada prinsipnya memuja Dewi Keindahan, dengan ha-
rapan Dewi Keindahan bersemayam pada padma hati dengan melalui samgamayoga menyatukan keindahan abadi dalam bathin sang kawi akan mela-
hirkan candi pustaka atau karya sastra yang utama. Pada bait manggala di
atas dapat diketahui doa pujian yang ditujukan kepada Dewi Keindahan
(Saraswati) yang dinyatakan dengan kata-kata: ONG úrì úrì déwa (Dewi
Keindahan), jñàna sarwwa úàstra (semua pengetahuan tentang sastra), tat-
wa sàdhana nikà (sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertinggi), dé nikà
ngêlaranàji yà ngatêrakên (dengan jalan mengamalkan ilmu pengetahuan),
mahàti bhukti purihing sakàyanirikà (sebagai bukti dari usaha yang telah
dilakukan). Kata-kata tersebut mengacu pada Dewi Keindahan yakni Dewi
Saraswati. Dewi Saraswati tidak hanya dihadirkan sebagai Dewi Ilmu
Pengetahuan, tetapi juga sebagai Dewi Keindahan.
Dalam bahasa Sanskerta “Saraswati” dapat bermakna “sesuatu yang
mengalir, percakapan, kata-kata”. Dalam kitab suci Weda, “Saraswati” di-
nyatakan sebagai nama sungai dan dewa. Kemudia “Saraswati” dikenal
sebagai sakti Dewa Brahma atau sebagai Dewi Kata-kata atau Dewi Ilmu
Pengetahuan (Agastia: 1987: 35). Pada bait pertama manggala di atas telah
disebutkan juga sebagai Dewi Keindahan, sakti Dewa Brahma, Dewi Ilmu
Pengetahuan, dan wahana, jiwa, dan lingganya aksara.
Simpulan yang dapat dipetik dari uraian di atas, bahwa karya sastra
Kakawin Ekàdaúaúiwa mengandung estetika isi dan bentuk. Dilihat dari
segi bentuk struktur kakawin ini terdiri dari manggala, corpus (isi) dan epi-
log yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah karya estetik
dan menyenangkan. Perpaduan antara bentuk dan isi yang selaras dan serasi
telah mewujudkan Kakawin Ekàdaúaúiwa sebagai hasil karya sastra klasik
yang unggul, sarat akan nilai-nilai estetis.
Aspek guru dan laghu merupakan hal yang paling esensial di dalam
struktur Kakawin Ekàdaúaúiwa. Komposisi guru dan laghu dalam larik-
larik kakawin sangat menentukan nama metrum kakawin tersebut. Guru
diartikan suara panjang (dirgha), berat, dan alunannya panjang. Laghu ber-
arti suara pendek (håûwa), ringan, dan alunannya lebih pendek. Larik-larik
(carik) dalam Kakawin Ekàdaúaúiwa membentuk bait (pada) dan bait-bait
dalam metrum yang sama membentuk pupuh. Pupuh atau pesalinan (per-
gantian metrum) menandai pergantian metrum yang dipakai di dalam
Kakawin Ekàdaúaúiwa.
Kakawin Ekàdaúaúiwa sebagai hasil cipta sastra merupakan simbol-
simbol dan tanda yang merupakan perpaduan erat konsep estetik dengan
konsep religius. Dengan demikian Kakawin Ekàdaúaúiwa mempunyai
fungsi dan makna dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat dan buda-
ya Bali sebagai pendukungnya. Fungsi wacana teks Kakawin Ekàdaúaúiwa
di samping memberi hiburan untuk mendapatkan kepuasan batin dan kenikmatan estetis (utile dulce) juga berfungsi sebagai afirmasi yaitu menetapkan
norma-norma sosiobudaya. Kakawin Ekàdaúaúiwa juga mengandung mak-
na prema (kebajikan dalam pelayanan), dan makna satya (kesetiaan, keju-
juran, dan keikhlasan).