Memasuki awal abad ke-21 warga Amerika Serikat banyak
diperhadapkan dengan berbagai kasus pembunuhan yang melibatkan senjata api.
Sebagai negara yang memberikan keluasan hak bagi setiap warga sipilnya untuk
memiliki dan membawa senjata api, Amerika harus menghadapi berbagai
konsekuensi yang diakibatkan oleh kebijakan ini . Negara ini tercatat menjadi
salah satu negara yang memiliki tingkat kejahatan senjata api tertinggi di dunia
dengan jumlah korban yang terus meningkat setiap tahun
Ironisnya, kejahatan ini kini merebak terjadi di lingkungan
pendidikan. Pada bulan Desember 2011, terjadi penembakan di kampus Virginia
Tech, yang mengakibatkan dua orang meninggal. Insiden itu mengingatkan
kembali pada tragedi pembantaian di kampus yang sama di Virginia yang pernah
terjadi di tahun 2007 silam—mengakibatkan sedikitnya 32 orang tewas dan 25
lainnya luka-luka. Penembakan secara brutal ini dilakukan oleh Seung-Hui
Cho, mahasiswa berumur 23 tahun asal Korea Selatan. Pelakunya sendiri
kemudian bunuh diri dengan senjatanya. Peristiwa itu disebut sebagai
penembakan massal paling buruk dalam sejarah modern Amerika SerikatTragedi penembakan pada tahun 2011 dan 2007, sebenarnya bukanlah hal
baru dalam sejarah kejahatan senjata api yang terjadi di lingkungan pendidikan di
Amerika. Sebelumnya juga telah banyak korban yang jatuh. Pada tahun 2006 lima
orang siswi menjadi korban meninggal akibat penembakan di Amish Schoolhouse
(http://www.msnbc.msn.com/id/15105305/ns/us_news-crime_and_courts/t/th-girldies-after-amish-schoolhouse-shooting/), sedangkan tujuh tahun sebelumnya, 12
orang siswa serta 1 guru meninggal dalam tragedi pembantaian di Sekolah
Menengah Atas Columbine, Colorado tahun 1999 (Cook and Ludwig, 2000: 3).
Lebih dari sekadar data, serangkaian peristiwa ini sesungguhnya
menjelaskan bahwa kejahatan senjata api begitu mudah terjadi dalam kehidupan
kontemporer warga Amerika. Bahkan berdasarkan fakta sejarah,
pembantaian massal ini hanyalah salah satu dari sekian banyak contoh kasus
kejahatan yang terus terjadi secara berulang di Amerika Serikat, sebagai akibat
dari penyalahgunaan senjata api.
Fenomena kejahatan yang kian meresahkan warga ini memicu debat
publik nasional mengenai isu kepemilikan senjata api oleh warga sipil. Banyaknya
anak sekolahan khususnya para remaja yang kini terlibat dan menjadi korban
kejahatan senjata api menjadi keresahan banyak orang tua dan para guru. Situasi
ini mendorong kelompok-kelompok warga turun melakukan protes dan
kampanye untuk menekan reprsentatif mereka yang duduk di Statehouse dan
Capitol Hill . Mereka mempermasalahkan
keluasan akses senjata api yang tidak diimbangi dengan kontrol yang baik dari
pemerintah. Di pihak lain, terdapat kelompok warga yang tidak menghendaki
adanya kontrol senjata api dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi,
terutama melihat pentingnya makna senjata api dalam tradisi warga Amerika.
Masing-masing kelompok pro dan kontra saling berdebat, bersikukuh pada
pandangan masing-masing sehingga sukar dicapai titik kesepakatan mengenai
jalan keluar yang terbaik.
Para pendukung kontrol senjata api berpendapat bahwa kebebasan yang
diberikan kepada warga sipil untuk memiliki dan membawa senjata api ke mana
saja adalah penyebab utama mudahnya terjadinya kejahatan. Mereka menuntut
pembatasan akses senjata api khususnya di ruang-ruang publik seperti sekolah dan
tempat ibadah. Selain itu, mereka percaya bahwa banyak nyawa dapat
diselamatkan jika pemerintah semakin mempersulit kepemilikan senjata api
(Valdez and Ferguson Jr., 2011: 17-18). Tetapi di sisi lainnya, kelompok oposan
bersikeras bahwa pemerintah tidak berhak untuk melakukan pembatasan terhadap
nilai dan hak individu yang sudah dijamin di dalam Konstitusi Amerika Serikat.
Menariknya, para pendukung hak senjata ini mengusulkan bahwa jika semakin
banyak orang dipersenjatai, maka seorang penyerang yang bersenjata dapat lebih
mudah dihentikan sebelum dia membunuh orang-orang yang tidak bersalah (Valdez and Ferguson Jr., 2011: 10). Selain itu, adanya penolakan keras dari
kelompok penggemar berburu dan olahraga menembak juga semakin menyulitkan
pengaturan regulasi kontrol senjata api oleh pemerintah.
Isu ini pun dimanfaatkan oleh partai sebagai alat politik dalam
memenangkan pemilu. Partai Demokrat dan partai Republik menjadi dua
representatif utama di Amerika yang mengusung aspirasi warga kelompok
pendukungnya. Ketika kandidat yang diusung terpilih maka dengan sendirinya
ideologi dari partai ini pun akan digaungkan yang akan berpengaruh terhadap
penyusunan undang-undang negara. Menariknya, kedua partai ini juga merespon
isu kepemilikan senjata api secara berbeda. Partai Republik umumnya kuat
mendukung hak senjata api sedangkan Demokrat terkenal pro kontrol senjata.
Tidak hanya partai, tetapi negara bagian di Amerika Serikat juga
menunjukkan keberpihakan dan dukungan yang berbeda terhadap isu ini. Salah
satunya yang pro hak senjata api adalah negara bagian Utah yang secara khusus
menambahkan senjata api sebagai simbol negaranya
Selain itu, Maine, Luisiana dan Texas merupakan negara bagian dengan hukum
kontrol senjata terlemah, sedangkan dua negara yang memiliki aturan kontrol
senjata yang paling ketat yaitu Massachusetts dan Hawai (Open Society Institute,
2000: 3). Adanya situasi politik yang juga melatarbelakangi dan kepentingan masing-masing kubu yang berseberangan menjadikan hak kepemilikan senjata api
menjadi isu yang paling kontrovesial di Amerika hingga saat ini.
Kontroversi hak kepemilikan senjata api sendiri sesungguhnya sudah
berlangsung sejak lama, yakni sejak awal diregulasikan Amandemen Kedua (The
Second Amandment) The Bill of Rights. Amandemen Kedua yang diratifikasi pada
pada tanggal 15 Desember 1791 memuat tentang hak membawa senjata api (right
to bear arms) (Stephens Jr. and Scheb II, 2008: 2). Pada masa itu kontroversi yang
terjadi seputar apakah hak yang dimaksudkan di dalam dokumen ini adalah
hak individu atau hak kolektif.
Seiring waktu beberapa perubahan terjadi. Dua di antaranya yang menarik
yaitu perkembangan pokok masalah yang diperdebatkan dan orientasi warga
yang cenderung berubah terkait kepemilikan senjata api. Pertama, pokok isu yang
kini diperdebatkan mengenai apakah perlu menambah peraturan kontrol senjata
api atau tidak. Kedua, orientasi warga yang cenderung berubah yakni senjata
api yang dulunya umum dimanfaatkan sebagai alat berburu kini dipilih sebagai
solusi utama perlindungan diri di abad modern, sebagai reaksi warga
terhadap rawannya kejahatan dalam kehidupan kontemporer Amerika.
Amerika merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan
asas kebebasan individu. Kebijakan memiliki senjata api merupakan bagian dari
kebebasan individu bagi setiap warga sipil yang dijamin oleh negara, tetapi pada
saat yang sama kepentingan pribadi ini bersinggungan dengan kepentingan keamanan kolektif, sehingga memicu debat publik. Kontroversi yang terus
berlangsung sejak awal diregulasikan Amandemen Kedua hingga sekarang,
ternyata bukan persoalan yang mudah diselesaikan dengan hanya diundangkan
suatu peraturan kontrol senjata api yang baru, oleh karenanya dibutuhkan suatu
pendekatan lain dalam upaya memahami persoalan sosial ini secara lebih
mendalam. Tesis ini bermaksud untuk mengkaji perubahan sosial yang
melatarbelakangi terjadinya kontroversi hak kepemilikan senjata api di Amerika
Serikat.Terdapat banyak buku, ulasan, dan penelitian yang membahas perihal hak
senjata api di Amerika. Sebagian besar membahas tentang kontrol senjata api,
disebabkan isu ini paling aktual dalam perdebatan kontemporer di Amerika.
Beberapa buku yang akan dibahas pada bagian ini adalah Gun Control, Second
Edition yang ditulis oleh Angela Valdez dan John E. Ferguson Jr., kemudian
Firearms and Violence: A Critical Review yang disusun oleh National Research
Council, dan terakhir Gun Violence: The Real Costs oleh Philip J. Cook dan Jens
Ludwig.
1
Di dalam buku Gun Control, Second Edition, Valdez dan Ferguson Jr.
(2011) memaparkan tentang pengawasan senjata api di Amerika Serikat.
Pembahasan diawali dengan beberapa fakta yang mengguncang dunia terkait
kasus penembakan yang menimpa dua tokoh penting, Martin Luther king Jr. dan
Senator Robert F. Kennedy pada tahun 1968. Kejadian ini , berdasarkan
buku ini telah mengundang perdebatan nasional Amerika Serikat terkait isu
kontrol senjata api.
Perdebatan terjadi antara dua kelompok yang bertentangan pendapat.
Kelompok pertama berargumen bahwa pemerintah tidak berhak mengatur
pelarangan kepemilikan senjata api. Masalahnya karena senjata api memiliki latar
belakang penting dalam sejarah Amerika yang mewakili semangat frontier para
pendiri Amerika yang secara tangguh mengusir penjajah, sehingga senjata api
telah melekat dalam citra superioritas bangsa, simbol patriotisme dan sebagai
bagian dari budaya Amerika. Di pihak lain, kelompok penentang mendesak
bahwa negara harus bertanggung jawab terhadap keamanan segenap rakyatnya,
oleh karena itu kepemilikan senjata api harus dibatasi. Terlebih karena terbukti
telah banyak kejadian yang menyebabkan korban luka dan kematian akibat
penyalahgunaan senjata api. Kubu ini berargumen bahwa hak kepemilikan
senjata api tidak terkait dengan sejarah bangsa (anachronism), sebab pada masa
itu warga memang membutuhkan perlindungan yang sifatnya langsung karena
harus menghadapi serangan asing.
Dalam buku ini juga tercatat bahwa para pejabat terpilih dari kedua partai
besar telah menggunakan isu ini sebagai dukungan untuk melakukan kebijakan
kontrol terhadap senjata dan dijadikan sarana untuk memenangkan pemilu.
Menurut Center for Responsive Politics, kelompok pendukung hak senjata api
(pro-gun rights) berkontribusi sebesar $2.400.000 selama siklus kampanye 2007-2008. Sekitar 90% dari uang ini masuk ke kelompok Republik, yang
umumnya kuat mendukung hak pengunaan senjata. Sedangkan pendukung opsi
kontrol senjata (pro gun control) memberikan hampir $58.000, dengan 97% dari
mereka membantu kontribusi Demokrat, yang umumnya pro kebijakan kontrol
senjata. Buku ini juga menjelaskan bahwa selain mempromosikan kandidat yang
mendukung tujuan politik mereka, isu ini telah mempengaruhi undangundang di Kongres, termasuk dengan menggunakan dana yang dihimpun dari
masing-masing pendukung. Berdasarkan pokok perdebatan ini itulah buku
ini menguraikan mengenai infrastruktur dukungan dari masing-masing pihak.
Pada bab awal, buku ini membahas awal mula penafsiran yang keliru
terhadap Amandemen Kedua, kemudian bab berikutnya membahas mengenai
peraturan kontrol senjata yang terbukti mengurangi tindak kejahatan, disusul oleh
bab yang memaparkan realitas bahwa kebijakan kontrol senjata tidak menjamin
pencegahan tindak kriminal. Bab-bab selanjutnya menyajikan kajian mengenai
pabrik persenjataan. Perlu dijelaskan di sini mengenai jumlah kematian yang
diakibatkan oleh penggunaan senjata api, yakni pada tahun 1999 jumlah korban
senjata api sebanyak 28.874 jiwa, sedangkan tahun 2000 tercatat sebanyak
28.663 jiwa. Pada tahun 2005 jumlahnya menjadi lebih banyak yakni 31.000 jiwa
yang melayang. Korban yang berjatuhan ini menguras dana publik yang
dikeluarkan oleh pihak keluarga dan pemerintah. Itulah sebabnya terdapat argumentasi bahwa pabrik senjata harus ikut bertanggung jawab terhadap
penyantunan korban senjata api.
Pada bagian akhir buku disimpulkan bahwa perdebatan tidak juga kunjung
selesai. Hasil lobi dan tekanan dari masing-masing kelompok pada kenyataannya
semakin meneguhkan perdebatan. Pada tahun 2008 dan 2010 The Supreme Court
mengeluarkan keputusan yang kontroversial dan memperumit, bahkan
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Sebagaimana dijelaskan pada
tahun 2010 Mahkamah Agung menegaskan kepemilikan senjata api sebagai hak
individu yang harus dilindungi oleh pemerintah lokal maupun federal. Dengan
demikian kelompok pendukung gun-control dan gun-rights, masing-masing
menganggap memiliki legalitasnya masing-masing. Oleh sebab itu, isu
kepemilikan senjata api telah menjadi isu yang paling kontroversial di Amerika
Serikat.
Adapun buku berikutnya yang berjudul Firearms and Violence: A Critical
Review oleh National Research Council (2005) melengkapi kepustakaan
mengenai ekses kekerasan yang diakibatkan oleh penggunaan senjata api.
Pengantar buku ini memaparkan sebuah kenyataan yang ada bahwa “Large
segments of the population express contradictory opinions and assert
contradictory facts when they discuss the role of firearms in violence and
especially how to reduce violent injuries and deaths that involve firearms (ix)”.
Buku ini menjelaskan posisinya yang tidak bertendensi untuk memberikan kesimpulan terhadap kontroversi yang bersilangan, melainkan hendak
memberikan rekomendasi yang terkait dengan kepentingan untuk merancang
kebijakan penggunaan senjata api yang mengarah pada perbaikan kondisi
empiris, sehingga perdebatan menjadi lebih baik dan berkembang.
Buku yang membedah ekses penggunaan senjata api dalam peradaban
modern Amerika Serikat ini disajikan dengan angka-angka dari data kekerasan
yang diakibatkan penggunaan senjata api. Pada bab dua misalkan, pembaca
disuguhi data yang mengukur kekerasan senjata api dan data kepemilikan.
Kemudian disusul oleh data yang menyangkut bentuk-bentuk kekerasan yang
disebabkan oleh kekerasan senjata api. Selain itu, disajikan data yang mengukur
penggunaan senjata api sebagai alat yang digunakan untuk mempertahankan diri
dari para kriminalis. Di sini digambarkan bahwa memang terdapat manfaat bagi
seseorang untuk memiliki senjata api, tetapi dengan resiko yang sangat besar.
Melengkapi bab ini , bab-bab berikutnya membicarakan tentang bagaimana
efek samping kepemilikan senjata api terhadap bentuk prilaku social disorder,
seperti bunuh diri. Hal ini juga didukung oleh deskripsi kebijakan untuk
membawa senjata api bagi warga sipil, yang dibahas pada bab enam. Selain itu,
buku ini juga menggunakan dukungan data-data statistik, sejumlah regulasi,
beserta evaluasi terhadap dampak kebijakan membawa senjata api.
Adapun buku ketiga berjudul Gun Violence: The Real Costs (Cook and
Ludwig, 2000). Buku terbitan universitas Oxford ini melengkapi kajian dari sudut pandang ekonomi terhadap penggunaan senjata api di Amerika Serikat.
Meskipun begitu, buku ini memaparkan sisi-sisi dramatis yang mengharukan dari
tragedi yang disebabkan oleh penyalahgunaan senjata api. Itulah sebabnya buku
ini menggambarkan aspek-aspek ketakutan, kesakitan, kecacatan (disability) serta
kematian dini yang diakibatkan oleh penggunaan senjata api. Berdasarkan fakta
yang dijelaskan, ekses penggunaan senjata api perlu diketengahkan secara
memadai yang sama pentingnya dengan ancaman menakutkan lain, seperti
penyakit kanker, polusi serta kegagalan pendidikan. Masalahnya karena harga
yang diakibatkan oleh penggunaan senjata api juga besar. Dalam buku ini
disebutkan angka per tahunnya adalah $100 miliar. Suatu angka yang besar dan
mungkin juga akan semakin tinggi.
Tujuan dari penulisan buku ini adalah untuk mengurangi kemubaziran
anggaran yang dikeluarkan sambil pada saat yang sama mengulas penderitaan
yang diakibatkan. Itulah sebabnya buku ini mengawali uraian dengan menyajikan
kajian mengenai penggunan senjata dan kehidupan Amerika (Gun Violence and
Life in America). Bab ini jelas menerangkan tentang asal mula serta realitas
faktual kekerasan yang disebabkan oleh penggunaan senjata api di dalam
kehidupan sehari-hari bangsa Amerika. Sebagaimana judulnya, buku ini
menyuguhkan kalkulasi sebenarnya dari ekses penggunaan senjata api, kalkulasi
korban, pengobatan rumah sakit serta berbagai dampak dari penggunaan senjata api: penggunaan senjata api yang tidak terkendali telah berdampak pada kerugian
yang besar bagi mayarakat dan negara.
Dari ulasan ketiga buku ini dapat kita ketahui bahwa masing-masing
buku memaparkan fenomena hak senjata api berdasarkan sudut pandang dan
fokus penelitiannya masing-masing. Adapun penelitian ini mengambil sudut
pandang lain dalam menjelaskan kontroversi hak kepemilikan senjata api melalui
pendekatan sosial untuk melihat bagaimana isu ini telah memengaruhi kehidupan
sosial, budaya, dan politik warga yang seiring waktu mengalami berbagai
perubahan krusial.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam pembahasan masalah penelitian ini dipayungi oleh
teori American Studies sebagai kajian interdisipliner, yang di dalamnya mencakup
juga pembahasan sejarah, politik dan sosiologi kontroversi hak kepemilikan
senjata api. Kerangka waktu yang menjadi fokus penelitian yaitu bermula pada
munculnya regulasi Amandemen Kedua pada tahun 1791, kemudian secara
khusus melihat perubahan besar yang terjadi sejak tahun 1986 ketika dua tokoh
penting di Amerika terbunuh oleh senjata api, yaitu Martin Luther King Jr. dan
Robert Kennedy. Kemudian perkembangan mutakhir pada awal abad ke-21 ini
yang menjadikan isu kepemilikan senjata api semakin diperdebatkan. Kerangka
waktu yang dipilih berfungsi untuk melihat perbedaan dan perkembangan kontroversi hak kepemilikan senjata api dibandingkan masa awal diregulasikan
Amandemen Kedua. Penelitian ini juga dibatasi hanya pada pembahasan aspek
perubahan sosial yang melatarbelakangi terjadinya konflik berkepanjangan terkait
isu hak kepemilikan senjata api oleh warga sipil Amerika.
1.6 Landasan Teori
Penelitian ini berada di bawah lingkup American Studies yang memiliki
kaidah interdisiplin, yakni yang menggabungkan beberapa pendekatan sekaligus
seperti pendekatan sosial, ekonomi, politik, sejarah, dan sebagainya dalam
menjawab permasalahan penelitian. Meredith menegaskan “American studies is
an interdiciplinary discipline which utilizes social sciences, literature, history,
politics, social and economic structure, etc (1969: 1)”. Oleh karena itu, penelitian
ini juga memanfaatkan pendekatan sejarah, politik dan pendekatan sosiologi
dalam menjawab permasalahan penelitian.
Pendekatan sejarah dimanfaatkan dengan tujuan untuk mendeskripsikan
keadaan warga Amerika pada masa awal pembentukan negara dan saat ini
terkait hak senjata api, selain itu untuk mengamati apakah kejadian masa lalu
ini masih signifikan atau masih dapat berlaku bagi situasi dan kondisi masa
kini. Hal ini penting dicermati mengingat bahwa Amerika Serikat memiliki
sejarah panjang dalam penggunaan senjata api yang ikut membentuk karakter
bangsanya. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip reconciliation of time yang diperkenalkan oleh Mc Dowell (1948) yang menekankan pemahaman pastpresent-future. “The American Studies move toward the reconciliation of the time,
the reconciliation of disciplines and a third long-range goal, namely, a
reconciliation of region, nation, and world.” Hal ini tidak terlepas dari sifat
American Studies sebagai sebuah disiplin ilmu yang fleksibel untuk mencapai
tujuan besarnya, yaitu mendapatkan pemahaman secara komprehensif dalam
membahas permasalahan penelitian.
Sementara itu, pendekatan politik digunakan untuk menjelaskan
bagaimana isu hak senjata api telah berkembang menjadi isu politik di kalangan
elit politik organisasi pro-kontra dan juga dimanfaatkan oleh kedua partai
Republik dan Demokrat yang terus bersaing. Sedangkan hukum kontrol senjata
api yang terus berkembang juga menjadi bagian krusial yang memberi dampak
langsung bagi kehidupan warga Amerika, dan bahkan menjadi unsur yang
mempertajam kontroversi antar-warga .
Adapun pendekatan sosiologi melengkapi keutuhan pembahasan,
khususnya dalam menganalisa fenomena kekerasan yang berkembang dalam
warga yang dari waktu ke waktu mengalami perubahan signifikan sebagai
akibat hak senjata api oleh warga sipil. Dengan begitu, akan didapatkan
pemahaman yang komprehensif terkait bagaimana kontroversi hak senjata api
berkembang dari waktu ke waktu dan berpengaruh terhadap kehidupan sosial politik warga Amerika itu sendiri, khususnya yang menggambarkan suatu
perubahan sosial warga nya.
1.7 Manfaat Penelitian
1.7.1 Manfaat Teoretis
Melalui penelitian ini diharapkan pembaca mampu mendapatkan
pemahaman tentang latar belakang penyebab munculnya kontroversi hak
kepemilikan senjata api, yang secara umum orang mengetahui tradisi senjata api
melalui pencitraan koboi, gengster, ataupun tokoh heroik lewat berbagai media
khususnya televisi. Akan tetapi, dibalik itu senjata api bagi sebagian warga
Amerika dipercaya mewakili makna penting sebagai bagian dari warisan budaya
dan tradisi masa lampau serta menjadi simbol yang mengusung nilai patriotisme
dalam sejarah pendirian bangsa Amerika.
Adapun secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
bahan acuan dalam memahami perubahan sosial yang terjadi dalam warga
Amerika sebagai akibat munculnya kontroversi hak kepemilikan senjata api.
Selain itu, diharapkan dapat menjadi bahan studi kasus bagi Indonesia yang
beberapa kali mengalami kasus kejahatan senjata api yang cukup serius.Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Kualitatif adalah
suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis maupun lisan dari perilaku yang dapat diamati (Maleong, 1989: 3).
Penelitian ini bertujuan untuk membuat deskripsi, penjelasan, atau penggambaran
keadaan secara sistematis tentang peristiwa yang teramati melalui teks buku
ataupun dokumentasi sejarah.
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan studi kepustakaan (library
research), yakni data-data yang dibutuhkan dikumpulkan dari kepustakaan.
Sumber data berupa buku-buku, baik buku elektronik (ebook) ataupun buku cetak,
koran elektronik, jurnal, hasil penelitian, juga data dari internet yang relevan
dengan kajian penelitian. Data-data ini dipilah dan dikelompokkan terlebih
dahulu berdasarkan fungsi dan kebutuhan, kemudian dianalisis untuk menjawab
pertanyaan penelitian. Analisis dan interpretasi data didasarkan pada teori
American Studies yang mencakup kajian interdisipliner.
1.9 Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari lima bab. Bab pertama memuat tentang pengantar
tema penelitian yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, ruang lingkup penelitian, landasan teori, manfaat
penelitian, serta metode penelitian dan teknik pengumpulan data. Bab kedua memaparkan ihwal sejarah dan budaya awal penggunaan
senjata api di Amerika Serikat, hak sipil dalam Amandemen Kedua, munculnya
paham individualisme era Jaksonian dan hukum kontrol senjata api pertama di
Amerika.
Bab ketiga membahas tentang peningkatan tren kejahatan senjata api di
Amerika termasuk pembahasan sejumlah kasus penembakan tokoh politik dan
tragedi penembakan massal di lingkungan pendidikan yang mendorong
memperketat hukum kontrol senjata api. Selain itu, membahas peningkatan
kekerasan senjata oleh pemuda beserta faktor penyebabnya, pro-kontra hak senjata
api, partai Republik versus partai Demokrat, permasalahan dalam penegakan
hukum kontrol senjata api serta perubahan interpretasi terhadap Amandemen
Kedua.
Bab keempat membahas tentang penurunan tren kejahatan senjata api yang
dipengaruhi oleh penurunan angka kejahatan oleh pemuda, kemudian menganalisa
tentang konteks sosial isu kekerasan senjata yang melatarbelakangi yaitu terkait
segregasi dan rasisme, isu feminisme, perubahan budaya, nilai dan tradisi
warga yang memengaruhi perubahan tren kejahatan senjata api masa kini
serta perubahan sikap dan pandangan warga terkait hak kepemilikan senjata.
Bab kelima ditutup dengan kesimpulan penelitian.
Sejarah dan Budaya Senjata Api di Amerika
Sejak awal pendirian negara, senjata api telah memainkan peranan penting
dalam membentuk karakter bangsa Amerika. Adanya tradisi berburu,
pembentukan milisi, gerakan Westward Expansion dengan semangat frontiership
hingga terjadinya perang revolusi merupakan proses-proses penting pembentukan
negara yang tidak terlepas dari penggunaan senjata api. Untuk memahami
eksistensi senjata api di Amerika yang telah mengakar kuat dalam citra diri
bangsa, maka kita perlu memahami latar belakang sejarah dan budaya yang
membuat bangsa ini sangat dekat dengan penggunaan senjata api.
Adapun dulunya, Amerika atau yang awal dikenal dengan sebutan The
New World merupakan wilayah baru tanpa tatanan hukum dan pemerintahan.
Penghuni pertamanya (first settlers) merupakan penduduk Eropa yang mulai
berimigrasi pada abad ke-17 untuk mencari lahan baru. Ketika itu mereka harus
berhadapan dengan wilderness, kebuasan daerah baru untuk ditaklukkan, ancaman
dari suku natif Indian yang ganas serta serangan binatang buas. Proses
kependudukan ini tidak terlepas dari penggunaan senjata api sebagai alat
pertahanan diri dari segenap ancaman ini . Kemudian pada masa agraris,
senjata api menjadi alat untuk berburu sebagai cara utama mendapatkan makanan.
Kegiatan berburu merupakan sebuah tradisi yang ikut membentuk karakter budaya
senjata di Amerika. Tradisi ini berkembang secara turun temurun sebagai warisan
yang diturunkan oleh kakek kepada cucunya atau ayah kepada putranya yang
diikuti dengan kegiatan berburu bersama. Kegiatan ini tidak saja menjadi simbol
maskulinitas tetapi juga dimaknai secara spiritual.
Beralih pada abad ke-18 rakyat sipil diberikan hak untuk membawa senjata
api, alasannya karena pada masa itu pembentukan tentara khusus dianggap hanya
akan menjadi ancaman bagi hak-hak warga sipil. Warga kemudian diberikan
mandat untuk mengangkat senjata sebagai pasukan milisi untuk melindungi diri
dan daerah komunalnya dari segala ancaman bahaya musuh, penduduk natif,
maupun tentara luar. Milisi beranggotakan para pria di usia produktif dengan
menyiapkan sendiri senjata api beserta pelurunya. Senjata api kemudian menjadi
epitom kekuatan bangsa ketika pada puncaknya rakyat Amerika mengangkat
senjata melawan pemerintahan Inggris yang tiran melalui perang revolusi. Valdez
dan Ferguson Jr. menyatakan ―1776, the colonies declared independence and
went to war with Great Britain. The American Revolution, which ended in 1783,
would not have been possible without firearms” (2011: 30-31).
Sebagai bangsa yang baru terbentuk, para pendiri Amerika bertekad untuk
memperluas wilayah kependudukan. Dimulai pada abad ke-19, dengan semangat
frontiership para pionir melakukan ekspansi ke barat yang disebut dengan gerakan
Westward Expansion. Gerakan ini berupa penjelajahan dan penguasaan wilayah barat benua Amerika dengan tujuan untuk membangun koloni-koloni. Hasil dari
penerapan konsep ini adalah takluknya daerah-daerah yang sekarang dikenal
dengan Texas, Mexico, dan Massachusetts.
It took American colonists a century and a half to expand as far west as the
Appalachian Mounts, a few hundred miles from the Atlantic coast. It took another
fifty years to push the frontier to the Mississippi River. Seeking cheap land and
inspired by the notion that Americans had a ―manifest destiny‖ to stretch across
the continent, pioneers by 1850 pushed the edge of settlement to Texas, the
Southwest, and the Pacific Northwest. (www.digitalhistory.uh.edu/teachers/
modules/westward).
Ekspansi ini terutama diilhami dari naskah ―Manifest Destiny‖ karya John
O’Sullivan (1839) yang berisi pemikiran dan keyakinan bahwa Amerika
merupakan bangsa yang memiliki nilai-nilai agung yang bersifat universal
sehingga menjadi bangsa yang ditakdirkan Tuhan untuk menjalankan misi
kemanusiaan, menyebarkan nilai dan asas kebangsaan Amerika di dunia, termasuk
untuk memperluas daerah kekuasaan. Doktrin inilah yang digaungkan oleh para
pelopor bangsa Amerika dalam menjalankan misinya. Proses ekspansi ke barat
yang memakan waktu panjang ini juga merupakan bagian penting dalam
pengukuhan makna senjata api sebagai simbol kekuatan bangsa—menjadi alat
yang mengawal penaklukan wilayah baru, meskipun harus dilakukan dengan
gencatan senjata api melalui sejumlah peperangan.
Sejarah panjang pembentukan negara Amerika Serikat yang sangat dekat
dengan penggunaan senjata api inilah yang membentuk tradisi dan budaya senjata
api di negara ini. Senjata api telah dianggap mewakili simbol-simbol masa lampau: mewakili liberty dengan keberhasilan membebaskan diri dari tirani,
power mewakili kejayaan masa ekspansionisme, masculinity and manhood
melalui tradisi berburu.
Romantisme kejayaan masa lalu menjadi tonggak argumen para
pendukung hak senjata dalam memperjuangkan misinya, karena senjata api tidak
hanya dilihat sebagai alat mempertahankan diri tetapi juga diyakini mengusung
nilai dan simbol agung masa lampau yang harus terus dilestarikan. Akan tetapi di
pihak yang lain, kelompok pendukung kontrol senjata api menyoroti bahaya akut
lain yang diakibatkan oleh hak kepemilikan senjata api ini .
2.2 Regulasi Awal Hak Kepemilikan Senjata Api
2.2.1 Hak Sipil
Setiap manusia terlahir dengan seperangkat hak yang melekat pada dirinya
yang membuat dia setara dengan manusia lain, sementara tugas negara adalah
menjunjung tinggi dan melindungi hak-hak ini melalui perangkat undangundang. Adapun hak ini dibedakan antara hak sipil (civil rights) dengan
kebebasan sipil (civil liberties). Berikut penjelasannya di dalam dokumen
Department of Justice.
The term civil rights is used to imply that the state has a role in ensuring all
citizens have equal protection under the law and equal opportunity to exercise
the privileges of citizenship regardless of race, religion, sex, or other
characteristics unrelated to the worth of the individual. Civil rights are,
therefore, obligations imposed upon government to promote equality. More
specifically, they are the rights to personal liberty guaranteed to all United States citizens by the Thirteenth and Fourteenth Amendments and by acts of Congress.
Generally, the term civil rights involves positive (or affirmative) government
action, while the term civil liberties involves restrictions on government. (NCISP,
pp. 5–6, emphasis added.). (DOJ, 2008: 2-3).
Sedangkan pengertian kebebasan sipil:
The term civil liberties refers to fundamental individual rights such as freedom of
speech, press, or religion; due process of law; and other limitations on the power
of the government to restrain or dictate the actions of individuals. They are the
freedoms that are guaranteed by the Bill of Rights—the first ten Amendments—to
the Constitution of the United States. Civil liberties offer protection to in
dividuals from improper government action and arbitrary governmental
interference . . . .(NCISP, p. 5, emphasis added.). (DOJ, 2008: 3).
Jadi, kebebasan sipil adalah hak hakiki individu yang tidak bisa diganggu-gugat
oleh pemerintah, sedangkan hak sipil menyangkut sikap afirmatif pemerintah
dalam memberikan perlindungan dan jaminan terhadap pelaksanaan hak-hak
ini . Berikut ini akan dipaparkan salah satu hak sipil yang tertuang dalam
Konstitusi Amerika Serikat yang kemudian menjadi sumber pemicu kontroversi.
2.2.2 Amandemen Kedua
Konstitusi sebagai dasar hukum negara mengatur tentang pembatasan
antara hak negara dan hak warga sipil. Salah satunya di dalam Amandemen Kedua
(The Second Amandment The Bill of Rights) terkandung hak untuk menyimpan
dan membawa senjata api, yang berbunyi ―A well-regulated Militia, being
necessary to the security of a free State, the right of the people to keep and bear
Arms, shall not be infringed‖ (Stephens Jr. and Scheb II, 2008: 2). Undangundang yang diratifikasi pada pada tanggal 15 Desember 1791 tesebut kemudian diadopsi oleh negara-negara bagian dengan bahasa yang tidak jauh berbeda
dengan aslinya. Akan tetapi, ambiguitas bahasa dalam regulasi ini
memunculkan dua interpretasi yang berbeda terkait hak kepemilikan senjata api.
Sebagian orang percaya bahwa undang-undang ini memberikan hak
kepada individu untuk memiliki senjata, sedangkan yang lainnya meyakini hak
ini hanya diperuntukkan bagi negara bagian untuk mempertahankan
milisinya sendiri. Perbedaan inilah yang menjadi pemicu awal munculnya
kontroversi hak kepemilikan senjata api di Amerika Serikat. Hal ini terjadi karena
tidak terdapat penjelasan yang komprehensif mengenai bagaimana hak senjata api
yang dimaksudkan dalam Amandemen Kedua ini sehingga perang klaim
antara kedua kubu yang berseberangan pun terjadi.
Partisan hak senjata api berpendapat bahwa Amandemen Kedua
melindungi hak individu untuk menyimpan dan membawa senjata api untuk
pertahanan diri, rekreasi, dan jika perlu mengangkat senjata untuk melawan
pemerintah. Sedangkan pendukung kontrol senjata api juga mengklaim memiliki
sejarahnya sendiri dan secara teguh berpendapat bahwa Amandemen Kedua
semata-mata melindungi hak kolektif negara-negara bagian. Saul Cornell yang
meniliti secara mendalam tentang sejarah Amandemen Kedua dan kontrol senjata
api di Amerika menjelaskan bahwa kedua pendapat ini salah berdasarkan
sejarah. ―The original understanding of the Second Amendment was neither an
individual right of self-defense nor a collective right of the states, but rather a civic right that guaranteed that citizens would be able to keep and bear those
arms needed to meet their legal obligation to participate in a well-regulated
militia‖ (Cornell, 2006: 2).
Arti yang sesungguhnya dimaksudkan dalam Konstitusi ini yakni
tanggung jawab warga negara sebagai milisi. Warga memiliki kewajiban hukum
untuk mempersenjatai diri mereka serta harus senantiasa siaga ketika dibutuhkan
untuk melindungi lingkungan komunalnya, negara bagian bahkan negaranya
sebagai satu kesatuan. Tujuan pembentukan milisi berakar dari kekhawatiran akan
pemerintahan yang tiran. Salah satu contoh kasus yang terjadi yaitu peristiwa
pemberontakan Wiski yang dipicu oleh kenaikan pajak wiski oleh pemerintah.
Para petani, khususnya di daerah Pennsylvania Barat melakukan aksi protes
dengan menggunakan senjata api terhadap kebijakan pemerintah yang ambisius
ini . Oleh karena itu, maksud pembentukan milisia yaitu:
A well-regulated militia was the only form of defense compatible with liberty.
Only when the role of citizen and soldier were united could freedom be
preserved. The militia not only protected Americans from external threats such as
hostile Indians and rival European powers, but in an era before organized police
forces it also provided the only means to protect communities from civil unrest
(Cornell, 2006: 3).
Hal yang perlu dipahami, tegas Cornel, bahwa peneguhan hak senjata api
di dalam Konsitusi pertama negara dilakukan oleh generasi yang pada masa itu
mengalami ketakutan dilucuti senjata oleh para tentara Inggris, yang datang
menggeledah setiap rumah warga untuk menyita senjata api milik para milisi.
Dengan demikian, Konstitusi pertama negara Amerika Serikat secara eksplisit disusun untuk melindungi hak warga negara untuk menyimpan dan memopong
senjata api dalam kerangka memenuhi kewajiban mereka sebagai milisi, dan
bukan untuk pertahanan individual. Sebagaimana Cornel (2006: 4) menekankan
“The first statements of the right to bear arms in American constitutional law
were clearly aimed at protecting the militia against the danger of being disarmed
by the government, not at protecting individual citizens‘ right of personal selfdefense‖.
Adapun dalam prosesnya, makna undang-undang Amandemen Kedua diuji
dalam beberapa kasus yang terjadi. Dalam kasus United States v. Cruikshank
(1875) diputuskan “The Supreme Court held that the Second Amendment
guaranteed states the right to maintain militias but did not guarantee to
individuals the right to possess guns‖. Kemudian kasus lain yang menonjol adalah
United States v. Miller. Jack Miller adalah anggota geng Irlandia O’Malley yang
terlibat dalam perampokan beberapa bank. Pada 18 April 1938, Miller and Frank
Layton didakwa karena membawa sebuah senjata api yang tidak terregistrasi
dalam perjalanan mereka dari Oklahoma ke Arkansas tanpa izin melintasi batas
negara bagian yang merupakan sebuah pelanggaran hukum dalam The National
Firearms Act of 1934 (Valdez and Ferguson Jr., 2011: 15). Dalam pembelaan
mereka, Miller and Layton menyatakan bahwa undang-undang ini telah
melanggar Amandemen Kedua. Pemerintah kemudian mengajukan banding
terhadap putusan pengadilan distrik yang memenangkan terdakwa, dan pada akhirnya putusan Mahkamah Agung yang dikeluarkan di tahun 1939 menyatakan
bahwa ―The Supreme Court held that the ‗obvious purpose‘ of the Second
Amendment was ‗to assure the continuation and render possible the effectiveness‘
of state militias. The Court added, 'It must be interpreted and applied with that
end in view.‖ (Valdez and Ferguson Jr., 2011: 15). Keputusan ini
membatalkan putusan sebelumnya dan mendakwa Miller dan Layton.
Selanjutnya dalam kasus Lewis v. United States (1980), pengadilan
mengafirmasi kembali preseden Miller:
These legislative restrictions on the use of firearms are neither based on
constitutionally suspect criteria, nor do they trench upon any constitutionally
protected liberties. . . .
The Second Amendment guarantees no right to keep and bear a firearm that does
not have ―some reasonable relationship to the preservation or efficiency of a well
regulated militia.‖ (Stephens and Scheb II, 2008: 2).
Dalam perkembangan selanjutnya, regulasi senjata api mengalami
perubahan besar yang terjadi di awal abad ke-19 ketika banyak terjadi
persebarluasan senapan genggam dan jenis pisau bowie1
yang menjadi ancaman
bagi stabilitas nasional. Pemerintah kemudian mengeluarkan undang-undang
pertama yang melarang membawa senapan genggam dan senjata tersembunyi
(concealed weapons) lainnya. Akan tetapi hukum ini menghadapi tantangan
dengan munculnya ideologi individualisme dalam warga —hukum baru yang didasarkan pada gagasan hak konstitusional—membawa senjata bagi individu
untuk perlindungan diri (Cornell, 2006: 4).
2.3 Paradigma Individualisme di Era Jaksonian
Hak senjata api semakin kokoh posisinya di masa individualisme baru
Amerika. Di dalam bukunya, Cornel (2006: 138) membahas secara runut era
individualisme baru di Amerika ―American society in the decades after the War of
1812 was more democratic, more aggressive, and more fragmented than the
eighteenth-century world the Founding generation had inhabited‖. Di tahun
1830-an pada era Jaksonian kebebasan individu sangat diagungkan. Hal ini di satu
sisi memberi dampak pada penginterpretasian hak senjata api yang semakin
menguatkan hak ini sebagai hak warga sipil, dengan berbagai alasan untuk
perlindungan diri, kegemaran berburu yang kemudian berkembang menjadi
aktivitas olahraga. Padangan ini terutama dipicu oleh naskah ―Democracy in
America‖ yang dipublikasikan oleh Alexis de Tocqueville sebagai hasil
pengamatannya terhadap kehidupan warga Amerika. ―According to
Tocqueville, a distinguishing characteristic of American society in the 1830s, the
era of Jacksonian democracy, was a pervasive spirit of individualism‖ (Cornell,
2006: 138).
Amerika berada dalam transisi, dimana terdapat pergulatan tantangan
antara nilai tradisional Republikan dan kultur baru individualisme yang berdampak pada pandangan hukum terkait hak membawa senjata, milisia, dan ide
pertahanan diri. Menurut pengamat asal Perancis ini , hal ini tampak pada
praktek bepergian dengan mempersenjatai diri dengan senjata tersembunyi
(concealed weapons) sebagai salah satu contoh paling dramatik “individualisme”
baru. Beberapa pengamat sosial mengidentifikasikan awal mula praktek ini
dengan kecenderungan kekerasan pada budaya daerah selatan, sebagaimana
jurnalis dan sejarawan Richard Hildreth mengatakan bahwa senjata biasanya
dibawa untuk dua alasan: ―as a protection against slaves‖ dan ―in quarrels
between freemen‖. Para pengamat mencermati masalah senjata rahasia ini sebagai
manifestasi masalah yang lebih besar di era Jacksonian Amerika. Jurnalis Whig
Joseph Gales menuding bahwa perkembangan baru warga dan hukum
Amerika ini merupakan ―perversion of our political doctrines‖, ketika ide baru
ini digembar-gemborkan secara luar biasa dengan gagasan ―personal rights
and personal independence.‖ Cornel juga menambahkan:
The aggressive theory of self-defense that had taken hold in America was the
most dangerous expression of this ideology, turning ‗every man into an avenger,
not only of wrongs actually committed against his personal peace and safety, but
renders him swift to shed blood in the very apprehension of danger or insult
(2006: 139-140).
Penyebaran pistol dan pisau pada masa ini menyebabkan peningkatan
dalam jumlah kekerasan kolektif, ketika beberapa kelompok menjadi sasaran
utamanya karena dianggap sebagai kelompok luar warga Amerika yaitu
kelompok Afrika-Amerika, para budak, mormon dan penganut Katolik. Senjata api memainkan peran utama dalam pembunuhan massal di era ini. Dengan
berkembangnya level kekerasan antarorang, mendorong gerakan untuk meregulasi
kebijakan kontrol senjata secara lebih komprehensif, akan tetapi di satu sisi
gerakan ini memicu kesadaran publik akan ideologi hak senjata api secara
konstitusional—sebagai hak individu untuk perlindungan diri.
The enactment of these early gun control statutes prompted a back-lash that
produced the first systematic defense of an individual right to bear arms in selfdefense. America‘s first gun violence problem not only occasioned the first efforts
at gun control, it also helped crystallize a new gun rights ideology (Cornell,
2006: 138).
Berdasarkan pemikiran yang muncul pada era Jacksonian ini
selanjutnya memperkuat interpretasi hak kepemilikan senjata api dalam
Amandemen Kedua sebagai hak individu. Meski\pun begitu, ideologi ini
tidak semerta diterima oleh kelompok oposan. Bentrokan pendapat kedua kubu
yang bertentangan terus terjadi dengan mengandalkan kekuatan lobi dan argumen
yang ajek sehingga ikut menentukan perkembangan regulasi kontrol senjata api
selanjutnya.
2.4 Awal Hukum Kontrol Senjata Api di Amerika
Kentucky meloloskan undang-undang pertama yang disusun untuk
mengendalikan praktek membawa senjata tersembunyi di tahun 1813 (Cornell,
2006: 141). Pada tahun yang sama, tambah Cornell, Louisiana mengeluarkan
undang-undang yang lebih komprehensif melarang senjata tersembunyi untuk membendung kasus-kasus pembunuhan yang belakangan sering terjadi. Masalah
senjata tersembunyi merupakan masalah yang akut terjadi di daerah selatan. Di
berbagai daerah lain, para politisi dan komentator bereaksi dengan cara yang
berbeda-beda, seperti Gubernur New York De Witt Clinton mengatakan ―our
present criminal code does not sufficiently provide against the consequences
which may result from carrying secret arms and weapons‖. Hak membawa
senjata tersembunyi bagi Clinton bukan sebagai kebebasan fundamental atau hak
Konstitusi. Clinton menganggap praktek ini sebagai ancaman bagi kebebasan
publik yang merupakan hak fundamental yang perlu dilindungi oleh pemerintah
karena sudah menjadi hak warga untuk menikmati kebebasannya tanpa rasa takut
yang diciptakan oleh senjata tersembunyi. Pada dekade-dekade berikutnya,
Indiana, Georgia, Virginia, Alabama, dan Ohio ikut mengadopsi hukum ini .
Hukum pelarangan senjata tersembunyi pertama terjadi dalam periode
antara tahun 1813 dan 1859 yang secara mendasar mencakup pembatasan waktu,
tempat dan perilaku. Selanjutnya pada gelombang kedua hukum yang diciptakan
lebih keras mengatur pelarangan penjualan dan pemilikan jenis senjata tertentu.
Tahun 1837 Alabama melarang penggunaan pisau bowie, Georgia dan Tennessee
mengikuti dengan hukum yang lebih luas melarang penjualan pistol, pisau belati,
dan tongkat pedang (pistols, dirks, and sword canes). Akan tetapi, pada saat
negara bagian lain berusaha memperketat regulasi senjata api, di saat yang sama
juga negara bagian lainnya semakin mempertegas Konstitusi mereka dengan menyatakan bahwa hak membawa senjata adalah hak individu untuk perlindungan
diri. “Rather than follow the eighteenth-century model that affirmed ‗the right of
the people to bear arms in defense of themselves and the state,‘ Mississippi (1819)
paved the way with individualistic language that proclaimed that each citizen had
a right ―to bear arms in defense of himself and the state‖ (Cornell, 2006: 142).
Berikut adalah bunyi undang-undang Mississippi yang menekankan hak warga
menyimpan senjata api.
Mississippi Constitution Article III, Section 12
The right of every citizen to keep and bear arms in defense of his home, person,
or property, or in aid of the civil power when there to legally summoned, shall
not be called in question, but the legislature may regulate or forbid carrying
concealed weapons. (1817) (Spitzer, 2009: 299).
Satu tahun kemudian Connecticut menggunakan Mississippi sebagai
model dalam klausa barunya terkait hak membawa senjata api. Sedangkan
Konstitusi Utah mencakup tujuan yang lebih luas terkait hak senjata api, tidak saja
hanya untuk perlindungan diri dan keluarga tetapi juga tanggung jawab bela
negara.
Utah Constitution Article I, Section 6
The individual right of the people to keep and bear arms for security and defense
of self, family, others, property, or the state, as well as for other lawful purposes
shall not be infringed; but nothing herein shall prevent the Legislature from
defining the lawful use of arms. (1896) (Spitzer, 2009: 301).
Spitzer juga menjelaskan bahwa terdapat 34 klausa negara bagian merujuk
pada hak kolektif atau didasarkan hak milisia yang mengacu pada pertahanan
negara, sedangkan 28 negara bagian merujuk pada hak personal atau individual (lebih dari setengah dari klausa negara bagian ini merujuk baik hak personal
maupun kolektif). Di antaranya, juga terdapat 6 negara bagian yang memasukkan
perlindungan untuk berburu dan aktivitas rekreasi (Spitzer, 2009: 302-303).
Dengan demikian setiap negara bagian memiliki pandangannya sendiri terkait hak
senjata api yang dikukuhkan lewat konstitusinya masing-masing.
2.5 Hukum Kontrol Senjata Api Federal
Sebuah hukum larangan federal diperkenalkan pada tahun 1920-an untuk
jenis pembelian senjata api melalui pesanan pos. Kemudian merebaknya tindakan
kekerasan oleh gengster selama tahun-tahun pelarangan alkohol memicu
penyusunan hukum federal The National Firearms Act tahun 1934 dan The
Federal Firearms Act tahun 1938 yang melarang kepemilikan pribadi senjata api
mesin dan regulasi transfer senjata api antarnegara bagian (Squires, 2000: 75-76).
Regulasi federal ini kemudian diikuti dengan aktivitas kontrol senjata api di
negara bagian dan lokal sebagai reaksi terhadap angka kejahatan senjata pada
masa itu.
The first major federal firearms legislation in the United States—the National
Firearms Act of 1934, or NFA—singled out what were considered the most
dangerous guns of the time: machine guns and sawed-off shotguns. The
Prohibition era saw the rise of organized criminal networks that were often
armed with firearms such as the ―Tommy gun‖—the fully automatic Thompson
submachine gun (Gerney and Parsons, 2014a: 3).
Tidak terdapat peraturan baru selama beberapa dekade hingga terjadinya
pembunuhan Presiden Kennedy pada tahun 1963 mendesak pengajuan beberapaundang-undang kontrol senjata api kepada Kongres. Perdebatan terus berlanjut
antara kelompok lobi pro dan kontra senjata api yang menuntun pada kebuntuan
politik.
Pada abad ke-20 terjadi lonjakan tinggi dalam angka kekerasan senjata api
yang berimbas pada tingginya angka korban kematian. Berdasarkan data dari
berbagai statistik yang dikumpulkan oleh pemerintah Amerika Serikat, korban
pembunuhan meningkat tajam khususnya tahun 1980-an hingga mencapai puncak
segala masa di awal tahun 1990-an.Dari statistik terlihat bahwa tingkat pembunuhan dua kali lipat sejak awal
1960-an hingga akhir 1970-an, kemudian meningkat kembali di akhir 1980-an dan
awal 1990-an, selanjutnya mencapai puncak pada tahun 1991 yaitu terjadi 24.703
kasus pembunuhan (BJS, 2011: 2). Korban pembunuhan dengan senjata api
berkontribusi sebesar 14.373 pada tahun ini (FBI, 1996: 18). Berdasarkan
data dari Bureau of Justice Statistics (BJS) angka pembunuhan dengan senjata api
mencapai puncak terbanyak sepanjang masa di tahun 1993 yaitu sebanyak 18.253
orang. Awal tahun 1990-an menjadi tahun-tahun terparah kekerasan menggunakan
senjata api. Diketahui kematian akibat luka senjata api mencapai puncak di tahun
1993 pada angka 39.595 kematian, sedangkan angka total kekerasan senjata api
fatal dan nonfatal mencapai puncak di tahun 1994 dengan jumlah 1.585.700 kasus
kekerasan (2013: 1-2).
Adapun pada tahun 1998, data dari National Center for Health Statistics
menunjukkan bahwa dengan total 30.708 orang tewas akibat luka senjata api di
Amerika diakibatkan oleh dua komponen utama yaitu bunuh diri dan pembunuhan
dengan senjata api, dengan tingkat masing-masing 56,7% dan 39,4% (2000: 9-10).
Ironisnya terdapat lebih banyak kasus bunuh diri dengan senjata api dibandingkan
kasus pembunuhan senjata api, sedangkan senjata api dalam berbagai kasus
kecelakaan juga banyak mengakibatkan luka serius. Tidak hanya itu, beberapa
proporsi angka penembakan senjata api ini termasuk penggunaan defensif
oleh warga sipil, polisi maupun personil keamanan lainnya. Hal ini dapat menjadi
masalah serius lain ketika kepemilikan senjata api berdampak pada perilaku yang reaktif bahkan agresif para penggunanya. Seringkali perilaku ini menjadi
pembenaran dalam aksi bela diri sang pemilik yang kemudian berakibat fatal.
Kleck dan Bordua (1983) dalam Squires (2000: 86) menunjukkan statistik
California pada tahun 1981 bahwa warga yang bersenjata bertanggung jawab atas
dua kali lebih banyak ―justified shootings‖ kepada penjahat daripada oleh polisi,
sedangkan di Chicago dan Cleveland ―justified shootings‖ warga tiga kali lebih
banyak daripada polisi. Angka pembunuhan yang dibenarkan ini juga
menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, sebagaimana data yang dilaporkan
oleh FBI dalam Crime in the United States (CIUS) tahun 2003 (2004: 24) pada Berdasarkan tabel, diketahui bahwa antara tahun 1999 hingga 2003 angka
pembunuhan yang dibenarkan terus menunjukkan peningkatan secara signifikan.
Kondisi ini terus berlanjut hingga tahun 2012, yaitu terdapat 720 kasus
pembunuhan dibenarkan yang dilaporkan oleh penegak hukum. ―Of those, law
enforcement officers justifiably killed 410 felons, and private citizens justifiably
killed 310 people during the commission of crimes‖ (http://www.fbi.gov/aboutus/cjis/ucr/crime-in-the-u.s/2012/crime-in-the-u.s.-2012/offenses-known-to-lawenforcement/expanded-homicide). Pembunuhan yang dapat dibenarkan (justifiable
homicides) didefinisikan sebagai pembunuhan penjahat oleh aparat penegak
hukum dalam menjalankan tugas atau pembunuhan penjahat selama tindak
kejahatan oleh warga sipil (BJS, 2011: 32).
Penggunaan senjata api diketahui sangat dominan dalam tindak aksi
kejahatan. Di tahun 2011 misalnya, tercatat senjata secara nasional digunakan
dalam 68% pembunuhan, 41% serangan perampokan, dan 21% serangan keji
(http://nij.gov/topics/crime/gun-violence/Pages/welcome.aspx). Oleh karena itu
Zimring dan Hawkins menyimpulkan bahwa senjata api, meskipun bukan sumber
tunggal kekerasan tetapi memainkan peranan besar di dalamnya (National
Research Council, 2005: 12). Sedangkan Morris dan Hawkins (1970)
menyimpulkan review mereka berdasarkan hasil statistik yang suram:
Since the beginning of this century, some three-quarters of a million people have
been killed in the United States by privately owned guns, 30 percent more than in
all the wars in which this country has been involved in its entire history. In sum Berdasarkan data statistik, sebagian besar pembunuhan di Amerika
dilakukan dengan pistol. Insiden menggunakan pistol meningkat tajam pada akhir
1980-an dan awal 1990-an, kemudian jatuh rendah pada tahun 2008 (BJS, 2011: Dari statistik ini terlihat bahwa penggunaan senapan genggam dalam
kasus pembunuhan secara mencolok jauh lebih tinggi dibandingkan jenis senjata
lainnya. Data statistik Departement of Justice pada tahun 1992 menunjukkan
bahwa kejahatan kekerasan melibatkan pistol memecahkan semua rekorsebelumnya yakni naik hampir 50% di atas rata-rata lima tahun terakhir. Pistol
telah digunakan dalam total keseluruhan 931.000 pembunuhan, pemerkosaan,
perampokan dan serangan pada tahun 1992 (Squires, 2000: 59). Tren penggunaan
pistol ini terus berlanjut hingga mencapai puncaknya pada tahun 1993 ketika
13.212 kematian merupakan penembakan dengan pistol (FBI, 1996: 18).
Kemudian di tahun 2002 diketahui 71,1% insiden pembunuhan menggunakan
senjata api; 76,6% menggunakan pistol sementara 5,1% rifles; 5,1% dengan
shotguns; dan 13,2% jenis senjata lain atau tidak diketahui (FBI, 2003: 22).
Sedangkan pembunuhan dengan senjata api selain pistol jatuh pada level bawah di
tahun 1999, tapi kemudian meningkat sejak itu (BJS, 2011: 27).
Jenis senapan laras panjang selama ini kurang menjadi sorotan hukum
karena regulasi yang ada dititiberatkan pada kontrol jenis pistol, sehingga aturan
senapan laras panjang jauh lebih longgar. Akan tetapi, dalam beberapa tahun
terakhir terindikasi bahwa jenis senjata ini mulai menjadi pilihan dalam aksi ilegal
dan kriminal. Sebagai bandingan, berdasarkan data FBI pembunuhan senjata api
pada tahun 1994 diketahui 83% melibatkan pistol dan hanya 17% melibatkan
senapan laras panjang, rifles atau shotguns. Tetapi pada 2011 angka ini berubah
signifikan, meskipun pistol tetap menjadi instrumen utama dalam aksi
pembunuhan dengan senjata tetapi pembagian pembunuhan menggunakan
senapan laras panjang meningkat: secara nasional 73% pembunuhan dengan pistol
sementara rifles dan shotguns sebanyak 27% digunakan oleh para pembunuh
(Gerney and Parsons, 2014).
Dengan demikian, meskipun jenis senapan laras panjang ini umumnya
diperuntukkan untuk tujuan berburu dan olahraga, bukan berarti terlepas dari
bahaya penyalahgunaan dalam tindak kejahatan sehingga jenis ini juga perlu
mendapatkan perhatian dan regulasi yang memperketat aturan kepemilikannya.
Diaz yang dikutip oleh Squires (2000: 60) juga meneliti bahwa meningkatnya
senjata letal semi otomatis berkapasitas tinggi yang marak dipasarkan oleh
industri senjata api sejak pertengahan 1980-an juga bertanggung jawab atas
lonjakan kekerasan senjata api di jalanan.
In short … pistols began killing more people than revolvers had, and their
enhanced firepower (especially more rounds) was directly reflected in more
lethal injuries on US streets. The number of pistols manufacturers made
increased by 92 percent from 1985 to 1992, and deaths by handguns increased by
48 percent, from 8,902 to 13,220. The number of juveniles arrested for weapons
violations more than doubled between 1985 and 1993 (Diaz, 1999: 103–104).
(Squires, 2000: 60).
Dari sini terlihat besarnya andil pabrik senjata dalam menyokong “kebutuhan”
senjata bagi warga maupun para penegak hukum, yang diprovokasi lewat
berbagai iklan dan imej yang ditampilkan di media massa.
Adapun perubahan serius terkait hukum kontrol senjata api terjadi mulai
tahun 1968 yang dipicu oleh kasus penembakan tokoh pemimpin politik Amerika
dan sejumlah kasus penembakan massal di lingkungan pendidikan. Penembakan Martin Luther King Jr. dan Senator Robert F.
Kennedy
Hak kepemilikan senjata api di Amerika Serikat mendapat sorotan tajam
khususnya pada tahun 1968 setelah dua tokoh penganjur perdamaian dan
perubahan sosial, Martin Luther king Jr. dan Senator Robert F. Kennedy terbunuh
dalam peristiwa penembakan (Valdez dan Ferguson Jr, 2011: 11). Robert
Kennedy adalah kandidat presiden dan saudara kandung Presiden John F.
Kennedy, yang juga terbunuh oleh sejata api pada tahun 1963. Pembunuhan
presiden dan tokoh-tokoh terkemuka negara ini memberi dampak yang besar
bagi perubahan kehidupan sosial politik Amerika secara luas sehingga memicu
debat nasional terkait kekerasan senjata api. warga mempertanyakan kembali
fungsi dan bahaya senjata api yang beredar luas di kalangan warga . Isu
kontrol senjata pun mengemuka dalam dunia politik Amerika memecah kebuntuan
politik setelah perdebatan panjang antara kedua kubu pro-kontra hak senjata api.
Akan tetapi, pada masa ini hukum kontrol senjata api menjadi sebuah
keniscayaan.
The Gun Control Act of 1968 (GCA) menjadi legislasi kontrol senjata api
negara yang paling ekstensif yang disusun pascapenembakan Luther dan
Kennedy.
The prohibited groups include convicted felons, fugitives from justice, illegaldrug users or addicts, minors, anyone adjudicated mentally defective or having been committed to a mental institution, anyone dishonorably discharged from the
military, illegal immigrants, and anyone having renounced U.S. citizenship. The
law also established a system for licensing dealers, manufacturers, and
distributors (Valdez and Ferguson Jr, 2011: 64).
Secara esensi peraturan ini menetapkan lisensi yang lebih ketat dan kontrol
yang kuat terhadap perdagangan senjata api. Squires menjelaskan bahwa pada
tahun 1974, dua kelompok penekan hak senjata api yang baru terbentuk The
National Coalition to Ban the Handgun dan Handgun Control Inc. (dulu dikenal
The National Council to Control Handguns hingga 1978) melobi untuk
perundangan federal memperluas kontrol senapan genggam yang terdapat dalam
GCA. “The Act had banned mail order sales of firearms and the importation of
foreign-made, cheap, low-quality handguns – the so-called ‗Saturday Night
Specials‘ – although such weapons could still be manufactured in the USA
(Squires, 2000: 64).‖ Carter (1997) dalam Squires (2000: 64) mengatakan banyak
keinginan dari para pendukung kontrol senjata untuk mendorong pelarangan
penjualan pistol kepada warga sipil terutama mengakhiri produksi Saturday Night
Specials1
, akan tetapi organisasi Handgun Control Inc. kemudian menyadari
bahwa hal ini secara politik susah dimenangkan sehingga mengganti dengan
mendorong kontrol lebih ketat dalam penjualan senapan genggam, registrasi dan
periode menunggu.
Berkembangnya kontrol senjata api membuat kelompok hak senjata tidak
tinggal diam. Mereka menentang perundangan ini dengan berbagai alasan, terutama ukuran dari “senjata murah” Saturday Night Specials itu sendiri susah
didefinisikan, seberapa murah atau seberapa kecil senjata yang dimaksud. Oposan
kontrol sejata terus melakukan mobilisasi untuk menekan berbagai peraturan
kontrol yang diajukan oleh kelompok tandingannya melalui berbagai kampanye,
lobi, terutama terus menegaskan hak dalam Amandemen Kedua. Motor
penggeraknya adalah NRA (National Rifle Association) yang telah menjadi
representatif utama kelompok pro senjata api. NRA yang terbentuk sejak awal
1870-an menjadi organisasi pelobi politik yang kuat dan agresif dalam
menyuarakan ―the right to bear arms‖ terlebih dengan keanggotaan dan aktivitas
yang kini semakin meluas. Di bawah kepemerintahan Ronald Reagan, mobilisasi
kelompok ini akhirnya membuahkan hasil dengan pengesahan The Firearm
Owners‘ Protection Act pada tahun 1986. Reagan yang menjabat sebagai presiden
sejak 1981-1988 merupakan anggota NRA dan juga berasal dari partai Republik
(Ludwig and Cook, Ed., 2003: 360) yang terkenal selalu memberikan dukungan
kuat terhadap hak senjata api. Undang-undang 1986 ini pada intinya
memperlemah kontrol senjata tahun 1968.
In particular, the rules on interstate sales of guns and upon certain categories of
lawful owners were relaxed. In addition the Act sought to facilitate the purchase
of ammunition, ease the record-keeping requirements facing firearm dealers and
curtail the inspection powers of the ATF (the Bureau of Alcohol, Tobacco and
Firearms) (Squires, 2000: 77).Kondisi keamanan di Amerika Serikat tahun 1980-an kian bergejolak.
Angka kejahatan meningkat pesat di masa ini sehingga mendorong upaya untuk
melakukan pembatasan senjata api terutama setelah adanya percobaan
pembunuhan terhadap Presiden Ronald Reagan pada tanggal 30 Maret 1981.
Pelaku penembakan John Hinckley adalah seorang pria berumur 25 tahun yang
memiliki gangguan mental. Hinckley menggunakan revolver kaliber-22 dan
peluru yang ditembakkan mengenai Presiden Reagan, Sekretaris Pers James S.
Brady serta dua orang penegak hukum lainnya. Brady terluka parah dengan luka
tembakan di kepala yang membuatnya kemudian harus bergantung pada kursi
roda. Insiden ini membangkitkan semangat istri Brady, Sarah, untuk aktif
dalam gerakan kontrol senjata (Valdez and Ferguson Jr, 2011: 47).
Berbarengan dengan itu, sejumlah kelompok advokasi nasional
bermunculan dengan fokus mengurangi kejahatan senjata api, salah satu yang
menonjol adalah The Brady Campaign to Prevent Gun Violence yang dulunya
bernama Handgun Control, Inc. Sarah Brady menjadi salah satu motor penggerak
organisasi ini. Kelompok ini secara persisten mendorong lobi legislatif untuk
memperpanjang jangka waktu pemeriksaan yang lebih lama terhadap riwayat
hidup orang yang ingin membeli senjata api. Undang-undang Brady awalnya
diperkenalkan pada tahun 1987, akan tetapi belum membuahkan hasil hingga
akhirnya baru disahkan pada tanggal 30 November 1993 setelah Presiden Bill
Clinton menjabat. Spitzer (2009: 308) mengungkapkan “Bob Dole, Newt Gingrich, and George Bush were able to hold the Brady Bill hostage for the gun
lobby until Bill Clinton became President”.
Valdes dan Ferguson Jr. (2011: 47) menjelaskan, ―The law, which took
effect on February 28, 1994, required a five-day waiting period and background
check on all handgun purchases through licensed dealers. Today the background
check is conducted as part of all retail gun purchases‖. Meskipun begitu, ketika
hukum ini diloloskan 32 negara bagian tidak memiliki sistem pemeriksaan
riwayat hidup sehingga di negara-negara bagian ini penjahat dapat membeli
senjata api dengan hanya menandatangani pernyataan berisi sumpah tidak pernah
terkait pidana kejahatan (Valdes and Ferguson Jr., 2011: 47-49). Dengan
demikian, hal ini masih memungkinkan bagi para penjahat untuk mendapatkan
senjata api dengan hanya memberi keterangan palsu.
Menurut Jacobs, The Brady Law dalam tahapannya menuju Kongres
menjadi legislasi kontrol senjata yang paling diperdebatkan secara politik dalam
sejarah Amerika. ―It was a hot button issue in two sets of presidential debates and
in four congressional elections‖ (2002: x). Jelasnya lagi, penduduk berkali-kali
dipoling dan berulang kali juga memberikan dukungan. Undang-undang ini
merupakan legislasi federal pertama yang penting terkait kontrol senjata api dalam
kurun waktu 30 tahun terakhir. Sebagian besar tahun 1990-an merupakan periode
administrasi Demokrat yang menduduki Gedung Putih yaitu oleh Presiden Bill
Clinton. Vernick dan Hepburn mengatakan bahwa pemerintahan Demokrat dikenal lebih mendorong pada atmosfir secara nasional dan dialog konstruktif
untuk penyusunan undang-undang kontrol senjata di negara-negara bagian
(Ludwig and Cook, Ed., 2003: 360).
Hal ini kembali membuktikan bagaimana kepemimpinan sebuah partai
politik dapat memberi pengaruh besar terhadap kebijakan yang dikeluarkan sesuai
dengan ideologi, visi dan misi yang diusung partai ini . Sebagaimana Vernick
dan Hepburn yang dikutip oleh Ludwig dan Cook (2003: 360), berpendapat ―Of
course, the political party of the president in power may also be a proxy for many
other political, social, or economic factors likely to influence the enactment of
state and federal gun laws.‖
3.4 Tragedi Penembakan Massal di Lingkungan Pendidikan
Kejahatan senjata api mencapai puncak kekhawatiran ketika penembakan
massal merebak terjadi di lingkungan pendidikan yang kemudian memicu debat
publik dan tuntutan penyusunan hukum kontrol senjata.
3.4.1 Pembantaian Sekolah Cleveland
Pada tahun 1989 terjadi sebuah tragedi besar yang kembali menyita
perhatian publik, khususnya terhadap ancaman jenis senjata api senapan serbu
(assault weapons). Patrick Purdy (24 tahun), pemuda yang memiliki riwayat
gangguan mental melepas tembakan kepada anak-anak yang bermain di halaman
Sekolah Dasar Cleveland di Stockton, California. Lima anak tewas dan lebih dari 30 orang lainnya terluka (www.nytimes.com/1989/01/18/us/five-children-killedas-gunman-attacks-a-california-school.html). Purdy sendiri tewas bunuh diri
dengan senjatanya. Pembantaian ini dilakukan Purdy dengan menggunakan
sebuah senapan serbu semi otomatis buatan Cina (7.62-mm AKM-56S) dengan 30
putaran magasin yang dapat dilepas. Tragedi ini kemudian memicu dukungan
terhadap undang-undang yang melarang atau membatasi kepemilikan senjata api
jenis senapan serbu semi otomatis bergaya militer yang dirancang berkekuatan
besar dan mampu menembakkan sejumlah besar peluru hanya dalam hitungan
detik saja.
Godwin dan Schroedel (1998) dalam Squires (2000: 78-79) mengatakan
bahwa insiden ini dan semacamnya telah mendorong sejumlah legislasi negara
bagian mengikuti California mengadopsi pelarangan secara luas penjualan dan
kepemilikan senapan serbu. Selain itu, Gerney dan Parsons (2014b: 2) menulis
―This incident motivated President George H.W. Bush to sign an executive order
in July 1989 banning the importation of foreign-made semi-automatic assault
rifles in an effort to limit their availability in U.S. markets.‖
Maraknya intensitas kejahatan dengan menggunakan senapan serbu pada
tahun 1980-an ini akhirnya mendorong Presiden Clinton untuk mengesahkan
undang-undang federal pelarangan senapan serbu pada tahun 1994, yaitu Violent
Crime Control dan Law Enforcement Act of 1994. Hukum ini melarang produksi,
penjualan, importasi, atau kepemilikan jenis senapan serbu semi otomatis tertentu, rifles, pistols, dan shotguns2
yang ditetapkan 19 jenis senjata spesifik berdasarkan
nama, juga jenis senjata dengan bentuk tertentu. Selain itu, mengilegalkan
magasin selongsong yang menahan lebih dari 10 putaran amunisi. Akan tetapi
hukum ini tidak berlaku bagi senjata api dan magasin yang sudah dimiliki publik
sebagaimana senjata yang diproduksi untuk polisi dan keperluan militer (Valdez
and Ferguson Jr., 2011: 52). Kelompok polisi secara luas menyatakan
dukungannya terhadap pelarangan senapan serbu karena bahaya yang mampu
diciptakan oleh senjata ini . Dalam pidato Clinton di Ohio Peace Officers
Training Academy tahun 1994 berisi laporan seluruh kesatuan polisi Amerika
Serikat pada tahun 1980, yang memuat informasi berikut:
—that semiautomatic assault weapons had become the ―weapon of choice for
drug traffickers, gangs, and paramilitary extremist groups. Before the federal
government banned many types of assault weapons in 1994, the ATF estimated
that about 1 percent of about 200 million guns in circulation were assault
weapons. In comparison, 8 percent of the gun-tracing requests filed at that time
by police involved assault weapons (Valdez and Ferguson Jr., 2011: 52).
Selain itu, Brady (1997) dalam Squires (2000: 79) mengungkap bahwa
data dari ATF menunjukkan antara tahun 1986 dan 1991, lebih dari 20.000 senjata
serbu terlacak dalam kasus kejahatan, termasuk 1.300 pembunuhan di Amerika
Serikat. Arus dukungan juga berasal dari partisan kontrol senjata yang
berpendapat bahwa senjata serbu yang bersifat mematikan ini seharusnya
hanya tersedia untuk kepentingan pertahanan nasional. Bahkan berdasarkan data
FBI, sebagian besar penembakan massal dilakukan dengan jenis senjata ini.
Meskipun begitu, regulasi pelarangan senapan serbu tetap saja ditentang
oleh para aktivis hak senjata dengan alasan bahwa senapan serbu tidak lebih
berbahaya dikarenakan bentuknya yang berdesain gaya militer ini kelihatan
menyeramkan, dan bukan karena menyebabkan ancaman yang lebih besar.
Mereka juga berdalih bahwa penggunaan jenis senjata ini jarang dalam tindak
kejahatan dibandingkan pistol. NRA kembali menguatkan dengan alasan bahwa
regulasi terkait model senapan serbu itu sendiri sulit didefinisikan, dan dapat
membatasi jenis senapan yang digunakan untuk kepentingan olahraga berburu
(Squires, 2000: 79). Di sisi yang lain, pabrik senjata api selalu memiliki cara
untuk mengantisipasi kebijakan ini dengan memodifikasi model senjata api
yang dilarang agar dapat memenuhi standar regulasi supaya produknya bebas
dipasarkan.
Dalam pertentangan ini , aktor-aktor politik memainkan peran
utamanya dalam meyakinkan publik lewat adu argumen terkait isu kontrol senjata
api. Meskipun begitu, terlepas dari terpecahnya opini publik Amerika secara
umum, akan tetapi terlihat bahwa publik lebih bersedia berkompromi,
sebagaimana dikutip Squires (2000: 79), ―Despite a number of ambiguities,
American public opinion has generally shown itself both more willing to
compromise and more willing to accept an additional degree of gun cont