Rabu, 09 Juli 2025

kepemilikan senjata. 1

 



Memasuki awal abad ke-21 warga  Amerika Serikat banyak 

diperhadapkan dengan berbagai kasus pembunuhan yang melibatkan senjata api. 

Sebagai negara yang memberikan keluasan hak bagi setiap warga sipilnya untuk 

memiliki dan membawa senjata api, Amerika harus menghadapi berbagai 

konsekuensi yang diakibatkan oleh kebijakan ini . Negara ini tercatat menjadi 

salah satu negara yang memiliki tingkat kejahatan senjata api tertinggi di dunia 

dengan jumlah korban yang terus meningkat setiap tahun 

Ironisnya, kejahatan ini  kini merebak terjadi di lingkungan 

pendidikan. Pada bulan Desember 2011, terjadi penembakan di kampus Virginia 

Tech, yang mengakibatkan dua orang meninggal. Insiden itu mengingatkan 

kembali pada tragedi pembantaian di kampus yang sama di Virginia yang pernah 

terjadi di tahun 2007 silam—mengakibatkan sedikitnya 32 orang tewas dan 25 

lainnya luka-luka. Penembakan secara brutal ini  dilakukan oleh Seung-Hui 

Cho, mahasiswa berumur 23 tahun asal Korea Selatan. Pelakunya sendiri 

kemudian bunuh diri dengan senjatanya. Peristiwa itu disebut sebagai 

penembakan massal paling buruk dalam sejarah modern Amerika SerikatTragedi penembakan pada tahun 2011 dan 2007, sebenarnya bukanlah hal 

baru dalam sejarah kejahatan senjata api yang terjadi di lingkungan pendidikan di 

Amerika. Sebelumnya juga telah banyak korban yang jatuh. Pada tahun 2006 lima 

orang siswi menjadi korban meninggal akibat penembakan di Amish Schoolhouse

(http://www.msnbc.msn.com/id/15105305/ns/us_news-crime_and_courts/t/th-girl￾dies-after-amish-schoolhouse-shooting/), sedangkan tujuh tahun sebelumnya, 12

orang siswa serta 1 guru meninggal dalam tragedi pembantaian di Sekolah 

Menengah Atas Columbine, Colorado tahun 1999 (Cook and Ludwig, 2000: 3). 

Lebih dari sekadar data, serangkaian peristiwa ini  sesungguhnya 

menjelaskan bahwa kejahatan senjata api begitu mudah terjadi dalam kehidupan 

kontemporer warga  Amerika. Bahkan berdasarkan fakta sejarah, 

pembantaian massal ini  hanyalah salah satu dari sekian banyak contoh kasus 

kejahatan yang terus terjadi secara berulang di Amerika Serikat, sebagai akibat 

dari penyalahgunaan senjata api. 

Fenomena kejahatan yang kian meresahkan warga ini memicu debat 

publik nasional mengenai isu kepemilikan senjata api oleh warga sipil. Banyaknya 

anak sekolahan khususnya para remaja yang kini terlibat dan menjadi korban 

kejahatan senjata api menjadi keresahan banyak orang tua dan para guru. Situasi 

ini mendorong kelompok-kelompok warga  turun melakukan protes dan

kampanye untuk menekan reprsentatif mereka yang duduk di Statehouse dan 

Capitol Hill . Mereka mempermasalahkan 

keluasan akses senjata api yang tidak diimbangi dengan kontrol yang baik dari 

pemerintah. Di pihak lain, terdapat kelompok warga  yang tidak menghendaki 

adanya kontrol senjata api dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi, 

terutama melihat pentingnya makna senjata api dalam tradisi warga  Amerika. 

Masing-masing kelompok pro dan kontra saling berdebat, bersikukuh pada 

pandangan masing-masing sehingga sukar dicapai titik kesepakatan mengenai 

jalan keluar yang terbaik. 

Para pendukung kontrol senjata api berpendapat bahwa kebebasan yang 

diberikan kepada warga sipil untuk memiliki dan membawa senjata api ke mana 

saja adalah penyebab utama mudahnya terjadinya kejahatan. Mereka menuntut 

pembatasan akses senjata api khususnya di ruang-ruang publik seperti sekolah dan 

tempat ibadah. Selain itu, mereka percaya bahwa banyak nyawa dapat 

diselamatkan jika pemerintah semakin mempersulit kepemilikan senjata api 

(Valdez and Ferguson Jr., 2011: 17-18). Tetapi di sisi lainnya, kelompok oposan 

bersikeras bahwa pemerintah tidak berhak untuk melakukan pembatasan terhadap 

nilai dan hak individu yang sudah dijamin di dalam Konstitusi Amerika Serikat. 

Menariknya, para pendukung hak senjata ini mengusulkan bahwa jika semakin 

banyak orang dipersenjatai, maka seorang penyerang yang bersenjata dapat lebih 

mudah dihentikan sebelum dia membunuh orang-orang yang tidak bersalah (Valdez and Ferguson Jr., 2011: 10). Selain itu, adanya penolakan keras dari 

kelompok penggemar berburu dan olahraga menembak juga semakin menyulitkan 

pengaturan regulasi kontrol senjata api oleh pemerintah.

Isu ini pun dimanfaatkan oleh partai sebagai alat politik dalam 

memenangkan pemilu. Partai Demokrat dan partai Republik menjadi dua 

representatif utama di Amerika yang mengusung aspirasi warga  kelompok 

pendukungnya. Ketika kandidat yang diusung terpilih maka dengan sendirinya 

ideologi dari partai ini  pun akan digaungkan yang akan berpengaruh terhadap 

penyusunan undang-undang negara. Menariknya, kedua partai ini juga merespon 

isu kepemilikan senjata api secara berbeda. Partai Republik umumnya kuat 

mendukung hak senjata api sedangkan Demokrat terkenal pro kontrol senjata.

Tidak hanya partai, tetapi negara bagian di Amerika Serikat juga 

menunjukkan keberpihakan dan dukungan yang berbeda terhadap isu ini. Salah 

satunya yang pro hak senjata api adalah negara bagian Utah yang secara khusus 

menambahkan senjata api sebagai simbol negaranya 

Selain itu, Maine, Luisiana dan Texas merupakan negara bagian dengan hukum 

kontrol senjata terlemah, sedangkan dua negara yang memiliki aturan kontrol 

senjata yang paling ketat yaitu Massachusetts dan Hawai (Open Society Institute,

2000: 3). Adanya situasi politik yang juga melatarbelakangi dan kepentingan masing-masing kubu yang berseberangan menjadikan hak kepemilikan senjata api 

menjadi isu yang paling kontrovesial di Amerika hingga saat ini. 

Kontroversi hak kepemilikan senjata api sendiri sesungguhnya sudah 

berlangsung sejak lama, yakni sejak awal diregulasikan Amandemen Kedua (The 

Second Amandment) The Bill of Rights. Amandemen Kedua yang diratifikasi pada 

pada tanggal 15 Desember 1791 memuat tentang hak membawa senjata api (right 

to bear arms) (Stephens Jr. and Scheb II, 2008: 2). Pada masa itu kontroversi yang 

terjadi seputar apakah hak yang dimaksudkan di dalam dokumen ini  adalah 

hak individu atau hak kolektif. 

Seiring waktu beberapa perubahan terjadi. Dua di antaranya yang menarik 

yaitu perkembangan pokok masalah yang diperdebatkan dan orientasi warga  

yang cenderung berubah terkait kepemilikan senjata api. Pertama, pokok isu yang 

kini diperdebatkan mengenai apakah perlu menambah peraturan kontrol senjata 

api atau tidak. Kedua, orientasi warga  yang cenderung berubah yakni senjata 

api yang dulunya umum dimanfaatkan sebagai alat berburu kini dipilih sebagai 

solusi utama perlindungan diri di abad modern, sebagai reaksi warga  

terhadap rawannya kejahatan dalam kehidupan kontemporer Amerika. 

Amerika merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan 

asas kebebasan individu. Kebijakan memiliki senjata api merupakan bagian dari 

kebebasan individu bagi setiap warga sipil yang dijamin oleh negara, tetapi pada 

saat yang sama kepentingan pribadi ini  bersinggungan dengan kepentingan keamanan kolektif, sehingga memicu debat publik. Kontroversi yang terus 

berlangsung sejak awal diregulasikan Amandemen Kedua hingga sekarang, 

ternyata bukan persoalan yang mudah diselesaikan dengan hanya diundangkan 

suatu peraturan kontrol senjata api yang baru, oleh karenanya dibutuhkan suatu 

pendekatan lain dalam upaya memahami persoalan sosial ini  secara lebih 

mendalam. Tesis ini bermaksud untuk mengkaji perubahan sosial yang 

melatarbelakangi terjadinya kontroversi hak kepemilikan senjata api di Amerika 

Serikat.Terdapat banyak buku, ulasan, dan penelitian yang membahas perihal hak 

senjata api di Amerika. Sebagian besar membahas tentang kontrol senjata api, 

disebabkan isu ini paling aktual dalam perdebatan kontemporer di Amerika. 

Beberapa buku yang akan dibahas pada bagian ini adalah Gun Control, Second 

Edition yang ditulis oleh Angela Valdez dan John E. Ferguson Jr., kemudian 

Firearms and Violence: A Critical Review yang disusun oleh National Research 

Council, dan terakhir Gun Violence: The Real Costs oleh Philip J. Cook dan Jens 

Ludwig.

1

Di dalam buku Gun Control, Second Edition, Valdez dan Ferguson Jr. 

(2011) memaparkan tentang pengawasan senjata api di Amerika Serikat. 

Pembahasan diawali dengan beberapa fakta yang mengguncang dunia terkait 

kasus penembakan yang menimpa dua tokoh penting, Martin Luther king Jr. dan 

Senator Robert F. Kennedy pada tahun 1968. Kejadian ini , berdasarkan

buku ini telah mengundang perdebatan nasional Amerika Serikat terkait isu 

kontrol senjata api. 

Perdebatan terjadi antara dua kelompok yang bertentangan pendapat.

Kelompok pertama berargumen bahwa pemerintah tidak berhak mengatur 

pelarangan kepemilikan senjata api. Masalahnya karena senjata api memiliki latar 

belakang penting dalam sejarah Amerika yang mewakili semangat frontier para 

pendiri Amerika yang secara tangguh mengusir penjajah, sehingga senjata api 

telah melekat dalam citra superioritas bangsa, simbol patriotisme dan sebagai 

bagian dari budaya Amerika. Di pihak lain, kelompok penentang mendesak

bahwa negara harus bertanggung jawab terhadap keamanan segenap rakyatnya, 

oleh karena itu kepemilikan senjata api harus dibatasi. Terlebih karena terbukti 

telah banyak kejadian yang menyebabkan korban luka dan kematian akibat 

penyalahgunaan senjata api. Kubu ini berargumen bahwa hak kepemilikan 

senjata api tidak terkait dengan sejarah bangsa (anachronism), sebab pada masa

itu warga memang membutuhkan perlindungan yang sifatnya langsung karena 

harus menghadapi serangan asing.

Dalam buku ini juga tercatat bahwa para pejabat terpilih dari kedua partai 

besar telah menggunakan isu ini sebagai dukungan untuk melakukan kebijakan 

kontrol terhadap senjata dan dijadikan sarana untuk memenangkan pemilu. 

Menurut Center for Responsive Politics, kelompok pendukung hak senjata api 

(pro-gun rights) berkontribusi sebesar $2.400.000 selama siklus kampanye 2007-2008. Sekitar 90% dari uang ini  masuk ke kelompok Republik, yang 

umumnya kuat mendukung hak pengunaan senjata. Sedangkan pendukung opsi 

kontrol senjata (pro gun control) memberikan hampir $58.000, dengan 97% dari 

mereka membantu kontribusi Demokrat, yang umumnya pro kebijakan kontrol

senjata. Buku ini juga menjelaskan bahwa selain mempromosikan kandidat yang 

mendukung tujuan politik mereka, isu ini  telah mempengaruhi undang￾undang di Kongres, termasuk dengan menggunakan dana yang dihimpun dari 

masing-masing pendukung. Berdasarkan pokok perdebatan ini  itulah buku 

ini menguraikan mengenai infrastruktur dukungan dari masing-masing pihak. 

Pada bab awal, buku ini membahas awal mula penafsiran yang keliru 

terhadap Amandemen Kedua, kemudian bab berikutnya membahas mengenai 

peraturan kontrol senjata yang terbukti mengurangi tindak kejahatan, disusul oleh 

bab yang memaparkan realitas bahwa kebijakan kontrol senjata tidak menjamin 

pencegahan tindak kriminal. Bab-bab selanjutnya menyajikan kajian mengenai 

pabrik persenjataan. Perlu dijelaskan di sini mengenai jumlah kematian yang 

diakibatkan oleh penggunaan senjata api, yakni pada tahun 1999 jumlah korban 

senjata api sebanyak 28.874 jiwa, sedangkan tahun 2000 tercatat sebanyak 

28.663 jiwa. Pada tahun 2005 jumlahnya menjadi lebih banyak yakni 31.000 jiwa 

yang melayang. Korban yang berjatuhan ini  menguras dana publik yang 

dikeluarkan oleh pihak keluarga dan pemerintah. Itulah sebabnya terdapat argumentasi bahwa pabrik senjata harus ikut bertanggung jawab terhadap 

penyantunan korban senjata api.

Pada bagian akhir buku disimpulkan bahwa perdebatan tidak juga kunjung 

selesai. Hasil lobi dan tekanan dari masing-masing kelompok pada kenyataannya 

semakin meneguhkan perdebatan. Pada tahun 2008 dan 2010 The Supreme Court

mengeluarkan keputusan yang kontroversial dan memperumit, bahkan 

dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Sebagaimana dijelaskan pada 

tahun 2010 Mahkamah Agung menegaskan kepemilikan senjata api sebagai hak 

individu yang harus dilindungi oleh pemerintah lokal maupun federal. Dengan 

demikian kelompok pendukung gun-control dan gun-rights, masing-masing 

menganggap memiliki legalitasnya masing-masing. Oleh sebab itu, isu 

kepemilikan senjata api telah menjadi isu yang paling kontroversial di Amerika 

Serikat.

Adapun buku berikutnya yang berjudul Firearms and Violence: A Critical 

Review oleh National Research Council (2005) melengkapi kepustakaan 

mengenai ekses kekerasan yang diakibatkan oleh penggunaan senjata api. 

Pengantar buku ini memaparkan sebuah kenyataan yang ada bahwa “Large 

segments of the population express contradictory opinions and assert 

contradictory facts when they discuss the role of firearms in violence and 

especially how to reduce violent injuries and deaths that involve firearms (ix)”.

Buku ini menjelaskan posisinya yang tidak bertendensi untuk memberikan kesimpulan terhadap kontroversi yang bersilangan, melainkan hendak 

memberikan rekomendasi yang terkait dengan kepentingan untuk merancang 

kebijakan penggunaan senjata api yang mengarah pada perbaikan kondisi 

empiris, sehingga perdebatan menjadi lebih baik dan berkembang.

Buku yang membedah ekses penggunaan senjata api dalam peradaban 

modern Amerika Serikat ini disajikan dengan angka-angka dari data kekerasan 

yang diakibatkan penggunaan senjata api. Pada bab dua misalkan, pembaca 

disuguhi data yang mengukur kekerasan senjata api dan data kepemilikan. 

Kemudian disusul oleh data yang menyangkut bentuk-bentuk kekerasan yang 

disebabkan oleh kekerasan senjata api. Selain itu, disajikan data yang mengukur 

penggunaan senjata api sebagai alat yang digunakan untuk mempertahankan diri 

dari para kriminalis. Di sini digambarkan bahwa memang terdapat manfaat bagi 

seseorang untuk memiliki senjata api, tetapi dengan resiko yang sangat besar. 

Melengkapi bab ini , bab-bab berikutnya membicarakan tentang bagaimana 

efek samping kepemilikan senjata api terhadap bentuk prilaku social disorder, 

seperti bunuh diri. Hal ini  juga didukung oleh deskripsi kebijakan untuk 

membawa senjata api bagi warga sipil, yang dibahas pada bab enam. Selain itu, 

buku ini juga menggunakan dukungan data-data statistik, sejumlah regulasi, 

beserta evaluasi terhadap dampak kebijakan membawa senjata api. 

Adapun buku ketiga berjudul Gun Violence: The Real Costs (Cook and

Ludwig, 2000). Buku terbitan universitas Oxford ini melengkapi kajian dari sudut pandang ekonomi terhadap penggunaan senjata api di Amerika Serikat. 

Meskipun begitu, buku ini memaparkan sisi-sisi dramatis yang mengharukan dari 

tragedi yang disebabkan oleh penyalahgunaan senjata api. Itulah sebabnya buku 

ini menggambarkan aspek-aspek ketakutan, kesakitan, kecacatan (disability) serta 

kematian dini yang diakibatkan oleh penggunaan senjata api. Berdasarkan fakta 

yang dijelaskan, ekses penggunaan senjata api perlu diketengahkan secara 

memadai yang sama pentingnya dengan ancaman menakutkan lain, seperti 

penyakit kanker, polusi serta kegagalan pendidikan. Masalahnya karena harga

yang diakibatkan oleh penggunaan senjata api juga besar. Dalam buku ini 

disebutkan angka per tahunnya adalah $100 miliar. Suatu angka yang besar dan 

mungkin juga akan semakin tinggi. 

Tujuan dari penulisan buku ini adalah untuk mengurangi kemubaziran 

anggaran yang dikeluarkan sambil pada saat yang sama mengulas penderitaan 

yang diakibatkan. Itulah sebabnya buku ini mengawali uraian dengan menyajikan 

kajian mengenai penggunan senjata dan kehidupan Amerika (Gun Violence and 

Life in America). Bab ini jelas menerangkan tentang asal mula serta realitas 

faktual kekerasan yang disebabkan oleh penggunaan senjata api di dalam 

kehidupan sehari-hari bangsa Amerika. Sebagaimana judulnya, buku ini 

menyuguhkan kalkulasi sebenarnya dari ekses penggunaan senjata api, kalkulasi 

korban, pengobatan rumah sakit serta berbagai dampak dari penggunaan senjata api: penggunaan senjata api yang tidak terkendali telah berdampak pada kerugian 

yang besar bagi mayarakat dan negara.

Dari ulasan ketiga buku ini  dapat kita ketahui bahwa masing-masing 

buku memaparkan fenomena hak senjata api berdasarkan sudut pandang dan 

fokus penelitiannya masing-masing. Adapun penelitian ini mengambil sudut 

pandang lain dalam menjelaskan kontroversi hak kepemilikan senjata api melalui 

pendekatan sosial untuk melihat bagaimana isu ini telah memengaruhi kehidupan 

sosial, budaya, dan politik warga  yang seiring waktu mengalami berbagai 

perubahan krusial. 

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam pembahasan masalah penelitian ini dipayungi oleh 

teori American Studies sebagai kajian interdisipliner, yang di dalamnya mencakup 

juga pembahasan sejarah, politik dan sosiologi kontroversi hak kepemilikan 

senjata api. Kerangka waktu yang menjadi fokus penelitian yaitu bermula pada

munculnya regulasi Amandemen Kedua pada tahun 1791, kemudian secara 

khusus melihat perubahan besar yang terjadi sejak tahun 1986 ketika dua tokoh 

penting di Amerika terbunuh oleh senjata api, yaitu Martin Luther King Jr. dan 

Robert Kennedy. Kemudian perkembangan mutakhir pada awal abad ke-21 ini 

yang menjadikan isu kepemilikan senjata api semakin diperdebatkan. Kerangka 

waktu yang dipilih berfungsi untuk melihat perbedaan dan perkembangan kontroversi hak kepemilikan senjata api dibandingkan masa awal diregulasikan 

Amandemen Kedua. Penelitian ini juga dibatasi hanya pada pembahasan aspek 

perubahan sosial yang melatarbelakangi terjadinya konflik berkepanjangan terkait 

isu hak kepemilikan senjata api oleh warga sipil Amerika. 

1.6 Landasan Teori

Penelitian ini berada di bawah lingkup American Studies yang memiliki 

kaidah interdisiplin, yakni yang menggabungkan beberapa pendekatan sekaligus 

seperti pendekatan sosial, ekonomi, politik, sejarah, dan sebagainya dalam

menjawab permasalahan penelitian. Meredith menegaskan “American studies is 

an interdiciplinary discipline which utilizes social sciences, literature, history, 

politics, social and economic structure, etc (1969: 1)”. Oleh karena itu, penelitian 

ini juga memanfaatkan pendekatan sejarah, politik dan pendekatan sosiologi 

dalam menjawab permasalahan penelitian.

Pendekatan sejarah dimanfaatkan dengan tujuan untuk mendeskripsikan 

keadaan warga  Amerika pada masa awal pembentukan negara dan saat ini 

terkait hak senjata api, selain itu untuk mengamati apakah kejadian masa lalu 

ini  masih signifikan atau masih dapat berlaku bagi situasi dan kondisi masa 

kini. Hal ini penting dicermati mengingat bahwa Amerika Serikat memiliki 

sejarah panjang dalam penggunaan senjata api yang ikut membentuk karakter 

bangsanya. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip reconciliation of time yang diperkenalkan oleh Mc Dowell (1948) yang menekankan pemahaman past￾present-future. “The American Studies move toward the reconciliation of the time, 

the reconciliation of disciplines and a third long-range goal, namely, a 

reconciliation of region, nation, and world.” Hal ini tidak terlepas dari sifat 

American Studies sebagai sebuah disiplin ilmu yang fleksibel untuk mencapai 

tujuan besarnya, yaitu mendapatkan pemahaman secara komprehensif dalam 

membahas permasalahan penelitian. 

Sementara itu, pendekatan politik digunakan untuk menjelaskan 

bagaimana isu hak senjata api telah berkembang menjadi isu politik di kalangan 

elit politik organisasi pro-kontra dan juga dimanfaatkan oleh kedua partai 

Republik dan Demokrat yang terus bersaing. Sedangkan hukum kontrol senjata 

api yang terus berkembang juga menjadi bagian krusial yang memberi dampak 

langsung bagi kehidupan warga  Amerika, dan bahkan menjadi unsur yang 

mempertajam kontroversi antar-warga .

Adapun pendekatan sosiologi melengkapi keutuhan pembahasan, 

khususnya dalam menganalisa fenomena kekerasan yang berkembang dalam 

warga  yang dari waktu ke waktu mengalami perubahan signifikan sebagai 

akibat hak senjata api oleh warga sipil. Dengan begitu, akan didapatkan 

pemahaman yang komprehensif terkait bagaimana kontroversi hak senjata api 

berkembang dari waktu ke waktu dan berpengaruh terhadap kehidupan sosial politik warga  Amerika itu sendiri, khususnya yang menggambarkan suatu 

perubahan sosial warga nya.

1.7 Manfaat Penelitian

1.7.1 Manfaat Teoretis 

Melalui penelitian ini diharapkan pembaca mampu mendapatkan 

pemahaman tentang latar belakang penyebab munculnya kontroversi hak 

kepemilikan senjata api, yang secara umum orang mengetahui tradisi senjata api 

melalui pencitraan koboi, gengster, ataupun tokoh heroik lewat berbagai media 

khususnya televisi. Akan tetapi, dibalik itu senjata api bagi sebagian warga  

Amerika dipercaya mewakili makna penting sebagai bagian dari warisan budaya 

dan tradisi masa lampau serta menjadi simbol yang mengusung nilai patriotisme 

dalam sejarah pendirian bangsa Amerika. 


Adapun secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu 

bahan acuan dalam memahami perubahan sosial yang terjadi dalam warga  

Amerika sebagai akibat munculnya kontroversi hak kepemilikan senjata api. 

Selain itu, diharapkan dapat menjadi bahan studi kasus bagi Indonesia yang 

beberapa kali mengalami kasus kejahatan senjata api yang cukup serius.Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Kualitatif adalah 

suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata 

tertulis maupun lisan dari perilaku yang dapat diamati (Maleong, 1989: 3). 

Penelitian ini bertujuan untuk membuat deskripsi, penjelasan, atau penggambaran 

keadaan secara sistematis tentang peristiwa yang teramati melalui teks buku 

ataupun dokumentasi sejarah. 

Selain itu, penelitian ini juga menggunakan studi kepustakaan (library 

research), yakni data-data yang dibutuhkan dikumpulkan dari kepustakaan. 

Sumber data berupa buku-buku, baik buku elektronik (ebook) ataupun buku cetak, 

koran elektronik, jurnal, hasil penelitian, juga data dari internet yang relevan 

dengan kajian penelitian. Data-data ini  dipilah dan dikelompokkan terlebih 

dahulu berdasarkan fungsi dan kebutuhan, kemudian dianalisis untuk menjawab 

pertanyaan penelitian. Analisis dan interpretasi data didasarkan pada teori 

American Studies yang mencakup kajian interdisipliner. 

1.9 Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari lima bab. Bab pertama memuat tentang pengantar 

tema penelitian yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan 

penelitian, tinjauan pustaka, ruang lingkup penelitian, landasan teori, manfaat 

penelitian, serta metode penelitian dan teknik pengumpulan data. Bab kedua memaparkan ihwal sejarah dan budaya awal penggunaan 

senjata api di Amerika Serikat, hak sipil dalam Amandemen Kedua, munculnya 

paham individualisme era Jaksonian dan hukum kontrol senjata api pertama di 

Amerika.

Bab ketiga membahas tentang peningkatan tren kejahatan senjata api di 

Amerika termasuk pembahasan sejumlah kasus penembakan tokoh politik dan 

tragedi penembakan massal di lingkungan pendidikan yang mendorong 

memperketat hukum kontrol senjata api. Selain itu, membahas peningkatan 

kekerasan senjata oleh pemuda beserta faktor penyebabnya, pro-kontra hak senjata 

api, partai Republik versus partai Demokrat, permasalahan dalam penegakan 

hukum kontrol senjata api serta perubahan interpretasi terhadap Amandemen 

Kedua. 

Bab keempat membahas tentang penurunan tren kejahatan senjata api yang 

dipengaruhi oleh penurunan angka kejahatan oleh pemuda, kemudian menganalisa 

tentang konteks sosial isu kekerasan senjata yang melatarbelakangi yaitu terkait 

segregasi dan rasisme, isu feminisme, perubahan budaya, nilai dan tradisi

warga  yang memengaruhi perubahan tren kejahatan senjata api masa kini 

serta perubahan sikap dan pandangan warga  terkait hak kepemilikan senjata.

Bab kelima ditutup dengan kesimpulan penelitian.


Sejarah dan Budaya Senjata Api di Amerika

Sejak awal pendirian negara, senjata api telah memainkan peranan penting 

dalam membentuk karakter bangsa Amerika. Adanya tradisi berburu, 

pembentukan milisi, gerakan Westward Expansion dengan semangat frontiership

hingga terjadinya perang revolusi merupakan proses-proses penting pembentukan 

negara yang tidak terlepas dari penggunaan senjata api. Untuk memahami 

eksistensi senjata api di Amerika yang telah mengakar kuat dalam citra diri 

bangsa, maka kita perlu memahami latar belakang sejarah dan budaya yang 

membuat bangsa ini sangat dekat dengan penggunaan senjata api.

Adapun dulunya, Amerika atau yang awal dikenal dengan sebutan The 

New World merupakan wilayah baru tanpa tatanan hukum dan pemerintahan. 

Penghuni pertamanya (first settlers) merupakan penduduk Eropa yang mulai 

berimigrasi pada abad ke-17 untuk mencari lahan baru. Ketika itu mereka harus 

berhadapan dengan wilderness, kebuasan daerah baru untuk ditaklukkan, ancaman 

dari suku natif Indian yang ganas serta serangan binatang buas. Proses 

kependudukan ini tidak terlepas dari penggunaan senjata api sebagai alat 

pertahanan diri dari segenap ancaman ini . Kemudian pada masa agraris, 

senjata api menjadi alat untuk berburu sebagai cara utama mendapatkan makanan.

Kegiatan berburu merupakan sebuah tradisi yang ikut membentuk karakter budaya 

senjata di Amerika. Tradisi ini berkembang secara turun temurun sebagai warisan 

yang diturunkan oleh kakek kepada cucunya atau ayah kepada putranya yang 

diikuti dengan kegiatan berburu bersama. Kegiatan ini tidak saja menjadi simbol 

maskulinitas tetapi juga dimaknai secara spiritual. 

Beralih pada abad ke-18 rakyat sipil diberikan hak untuk membawa senjata 

api, alasannya karena pada masa itu pembentukan tentara khusus dianggap hanya 

akan menjadi ancaman bagi hak-hak warga sipil. Warga kemudian diberikan 

mandat untuk mengangkat senjata sebagai pasukan milisi untuk melindungi diri 

dan daerah komunalnya dari segala ancaman bahaya musuh, penduduk natif, 

maupun tentara luar. Milisi beranggotakan para pria di usia produktif dengan 

menyiapkan sendiri senjata api beserta pelurunya. Senjata api kemudian menjadi 

epitom kekuatan bangsa ketika pada puncaknya rakyat Amerika mengangkat 

senjata melawan pemerintahan Inggris yang tiran melalui perang revolusi. Valdez 

dan Ferguson Jr. menyatakan ―1776, the colonies declared independence and 

went to war with Great Britain. The American Revolution, which ended in 1783, 

would not have been possible without firearms” (2011: 30-31).

Sebagai bangsa yang baru terbentuk, para pendiri Amerika bertekad untuk 

memperluas wilayah kependudukan. Dimulai pada abad ke-19, dengan semangat 

frontiership para pionir melakukan ekspansi ke barat yang disebut dengan gerakan 

Westward Expansion. Gerakan ini berupa penjelajahan dan penguasaan wilayah barat benua Amerika dengan tujuan untuk membangun koloni-koloni. Hasil dari 

penerapan konsep ini  adalah takluknya daerah-daerah yang sekarang dikenal 

dengan Texas, Mexico, dan Massachusetts.

It took American colonists a century and a half to expand as far west as the 

Appalachian Mounts, a few hundred miles from the Atlantic coast. It took another 

fifty years to push the frontier to the Mississippi River. Seeking cheap land and 

inspired by the notion that Americans had a ―manifest destiny‖ to stretch across 

the continent, pioneers by 1850 pushed the edge of settlement to Texas, the 

Southwest, and the Pacific Northwest. (www.digitalhistory.uh.edu/teachers/

modules/westward).

Ekspansi ini terutama diilhami dari naskah ―Manifest Destiny‖ karya John 

O’Sullivan (1839) yang berisi pemikiran dan keyakinan bahwa Amerika 

merupakan bangsa yang memiliki nilai-nilai agung yang bersifat universal 

sehingga menjadi bangsa yang ditakdirkan Tuhan untuk menjalankan misi 

kemanusiaan, menyebarkan nilai dan asas kebangsaan Amerika di dunia, termasuk 

untuk memperluas daerah kekuasaan. Doktrin inilah yang digaungkan oleh para 

pelopor bangsa Amerika dalam menjalankan misinya. Proses ekspansi ke barat 

yang memakan waktu panjang ini juga merupakan bagian penting dalam 

pengukuhan makna senjata api sebagai simbol kekuatan bangsa—menjadi alat 

yang mengawal penaklukan wilayah baru, meskipun harus dilakukan dengan 

gencatan senjata api melalui sejumlah peperangan. 

Sejarah panjang pembentukan negara Amerika Serikat yang sangat dekat 

dengan penggunaan senjata api inilah yang membentuk tradisi dan budaya senjata 

api di negara ini. Senjata api telah dianggap mewakili simbol-simbol masa lampau: mewakili liberty dengan keberhasilan membebaskan diri dari tirani, 

power mewakili kejayaan masa ekspansionisme, masculinity and manhood

melalui tradisi berburu. 

Romantisme kejayaan masa lalu menjadi tonggak argumen para 

pendukung hak senjata dalam memperjuangkan misinya, karena senjata api tidak 

hanya dilihat sebagai alat mempertahankan diri tetapi juga diyakini mengusung 

nilai dan simbol agung masa lampau yang harus terus dilestarikan. Akan tetapi di 

pihak yang lain, kelompok pendukung kontrol senjata api menyoroti bahaya akut 

lain yang diakibatkan oleh hak kepemilikan senjata api ini . 

2.2 Regulasi Awal Hak Kepemilikan Senjata Api

2.2.1 Hak Sipil

Setiap manusia terlahir dengan seperangkat hak yang melekat pada dirinya 

yang membuat dia setara dengan manusia lain, sementara tugas negara adalah 

menjunjung tinggi dan melindungi hak-hak ini  melalui perangkat undang￾undang. Adapun hak ini  dibedakan antara hak sipil (civil rights) dengan 

kebebasan sipil (civil liberties). Berikut penjelasannya di dalam dokumen 

Department of Justice.

The term civil rights is used to imply that the state has a role in ensuring all 

citizens have equal protection under the law and equal opportunity to exercise 

the privileges of citizenship regardless of race, religion, sex, or other 

characteristics unrelated to the worth of the individual. Civil rights are, 

therefore, obligations imposed upon government to promote equality. More 

specifically, they are the rights to personal liberty guaranteed to all United States citizens by the Thirteenth and Fourteenth Amendments and by acts of Congress. 

Generally, the term civil rights involves positive (or affirmative) government 

action, while the term civil liberties involves restrictions on government. (NCISP, 

pp. 5–6, emphasis added.). (DOJ, 2008: 2-3). 

Sedangkan pengertian kebebasan sipil:

The term civil liberties refers to fundamental individual rights such as freedom of 

speech, press, or religion; due process of law; and other limitations on the power 

of the government to restrain or dictate the actions of individuals. They are the 

freedoms that are guaranteed by the Bill of Rights—the first ten Amendments—to 

the Constitution of the United States. Civil liberties offer protection to in 

dividuals from improper government action and arbitrary governmental 

interference . . . .(NCISP, p. 5, emphasis added.). (DOJ, 2008: 3). 

Jadi, kebebasan sipil adalah hak hakiki individu yang tidak bisa diganggu-gugat 

oleh pemerintah, sedangkan hak sipil menyangkut sikap afirmatif pemerintah 

dalam memberikan perlindungan dan jaminan terhadap pelaksanaan hak-hak 

ini . Berikut ini akan dipaparkan salah satu hak sipil yang tertuang dalam 

Konstitusi Amerika Serikat yang kemudian menjadi sumber pemicu kontroversi.

2.2.2 Amandemen Kedua 

Konstitusi sebagai dasar hukum negara mengatur tentang pembatasan 

antara hak negara dan hak warga sipil. Salah satunya di dalam Amandemen Kedua 

(The Second Amandment The Bill of Rights) terkandung hak untuk menyimpan 

dan membawa senjata api, yang berbunyi ―A well-regulated Militia, being 

necessary to the security of a free State, the right of the people to keep and bear 

Arms, shall not be infringed‖ (Stephens Jr. and Scheb II, 2008: 2). Undang￾undang yang diratifikasi pada pada tanggal 15 Desember 1791 tesebut kemudian diadopsi oleh negara-negara bagian dengan bahasa yang tidak jauh berbeda 

dengan aslinya. Akan tetapi, ambiguitas bahasa dalam regulasi ini  

memunculkan dua interpretasi yang berbeda terkait hak kepemilikan senjata api. 

Sebagian orang percaya bahwa undang-undang ini  memberikan hak 

kepada individu untuk memiliki senjata, sedangkan yang lainnya meyakini hak 

ini  hanya diperuntukkan bagi negara bagian untuk mempertahankan 

milisinya sendiri. Perbedaan inilah yang menjadi pemicu awal munculnya 

kontroversi hak kepemilikan senjata api di Amerika Serikat. Hal ini terjadi karena

tidak terdapat penjelasan yang komprehensif mengenai bagaimana hak senjata api 

yang dimaksudkan dalam Amandemen Kedua ini  sehingga perang klaim 

antara kedua kubu yang berseberangan pun terjadi. 

Partisan hak senjata api berpendapat bahwa Amandemen Kedua 

melindungi hak individu untuk menyimpan dan membawa senjata api untuk 

pertahanan diri, rekreasi, dan jika perlu mengangkat senjata untuk melawan 

pemerintah. Sedangkan pendukung kontrol senjata api juga mengklaim memiliki 

sejarahnya sendiri dan secara teguh berpendapat bahwa Amandemen Kedua 

semata-mata melindungi hak kolektif negara-negara bagian. Saul Cornell yang 

meniliti secara mendalam tentang sejarah Amandemen Kedua dan kontrol senjata 

api di Amerika menjelaskan bahwa kedua pendapat ini  salah berdasarkan 

sejarah. ―The original understanding of the Second Amendment was neither an 

individual right of self-defense nor a collective right of the states, but rather a civic right that guaranteed that citizens would be able to keep and bear those 

arms needed to meet their legal obligation to participate in a well-regulated 

militia‖ (Cornell, 2006: 2).

Arti yang sesungguhnya dimaksudkan dalam Konstitusi ini  yakni 

tanggung jawab warga negara sebagai milisi. Warga memiliki kewajiban hukum 

untuk mempersenjatai diri mereka serta harus senantiasa siaga ketika dibutuhkan 

untuk melindungi lingkungan komunalnya, negara bagian bahkan negaranya 

sebagai satu kesatuan. Tujuan pembentukan milisi berakar dari kekhawatiran akan 

pemerintahan yang tiran. Salah satu contoh kasus yang terjadi yaitu peristiwa 

pemberontakan Wiski yang dipicu oleh kenaikan pajak wiski oleh pemerintah. 

Para petani, khususnya di daerah Pennsylvania Barat melakukan aksi protes 

dengan menggunakan senjata api terhadap kebijakan pemerintah yang ambisius 

ini . Oleh karena itu, maksud pembentukan milisia yaitu: 

A well-regulated militia was the only form of defense compatible with liberty. 

Only when the role of citizen and soldier were united could freedom be 

preserved. The militia not only protected Americans from external threats such as 

hostile Indians and rival European powers, but in an era before organized police 

forces it also provided the only means to protect communities from civil unrest 

(Cornell, 2006: 3). 

Hal yang perlu dipahami, tegas Cornel, bahwa peneguhan hak senjata api 

di dalam Konsitusi pertama negara dilakukan oleh generasi yang pada masa itu 

mengalami ketakutan dilucuti senjata oleh para tentara Inggris, yang datang 

menggeledah setiap rumah warga untuk menyita senjata api milik para milisi. 

Dengan demikian, Konstitusi pertama negara Amerika Serikat secara eksplisit disusun untuk melindungi hak warga negara untuk menyimpan dan memopong 

senjata api dalam kerangka memenuhi kewajiban mereka sebagai milisi, dan 

bukan untuk pertahanan individual. Sebagaimana Cornel (2006: 4) menekankan 

“The first statements of the right to bear arms in American constitutional law 

were clearly aimed at protecting the militia against the danger of being disarmed 

by the government, not at protecting individual citizens‘ right of personal self￾defense‖.

Adapun dalam prosesnya, makna undang-undang Amandemen Kedua diuji 

dalam beberapa kasus yang terjadi. Dalam kasus United States v. Cruikshank 

(1875) diputuskan “The Supreme Court held that the Second Amendment 

guaranteed states the right to maintain militias but did not guarantee to 

individuals the right to possess guns‖. Kemudian kasus lain yang menonjol adalah 

United States v. Miller. Jack Miller adalah anggota geng Irlandia O’Malley yang 

terlibat dalam perampokan beberapa bank. Pada 18 April 1938, Miller and Frank 

Layton didakwa karena membawa sebuah senjata api yang tidak terregistrasi 

dalam perjalanan mereka dari Oklahoma ke Arkansas tanpa izin melintasi batas 

negara bagian yang merupakan sebuah pelanggaran hukum dalam The National 

Firearms Act of 1934 (Valdez and Ferguson Jr., 2011: 15). Dalam pembelaan 

mereka, Miller and Layton menyatakan bahwa undang-undang ini  telah 

melanggar Amandemen Kedua. Pemerintah kemudian mengajukan banding 

terhadap putusan pengadilan distrik yang memenangkan terdakwa, dan pada akhirnya putusan Mahkamah Agung yang dikeluarkan di tahun 1939 menyatakan

bahwa ―The Supreme Court held that the ‗obvious purpose‘ of the Second 

Amendment was ‗to assure the continuation and render possible the effectiveness‘ 

of state militias. The Court added, 'It must be interpreted and applied with that 

end in view.‖ (Valdez and Ferguson Jr., 2011: 15). Keputusan ini  

membatalkan putusan sebelumnya dan mendakwa Miller dan Layton. 

Selanjutnya dalam kasus Lewis v. United States (1980), pengadilan 

mengafirmasi kembali preseden Miller: 

These legislative restrictions on the use of firearms are neither based on 

constitutionally suspect criteria, nor do they trench upon any constitutionally 

protected liberties. . . .

The Second Amendment guarantees no right to keep and bear a firearm that does 

not have ―some reasonable relationship to the preservation or efficiency of a well 

regulated militia.‖ (Stephens and Scheb II, 2008: 2).

Dalam perkembangan selanjutnya, regulasi senjata api mengalami 

perubahan besar yang terjadi di awal abad ke-19 ketika banyak terjadi 

persebarluasan senapan genggam dan jenis pisau bowie1

yang menjadi ancaman 

bagi stabilitas nasional. Pemerintah kemudian mengeluarkan undang-undang 

pertama yang melarang membawa senapan genggam dan senjata tersembunyi 

(concealed weapons) lainnya. Akan tetapi hukum ini menghadapi tantangan 

dengan munculnya ideologi individualisme dalam warga —hukum baru yang didasarkan pada gagasan hak konstitusional—membawa senjata bagi individu 

untuk perlindungan diri (Cornell, 2006: 4). 

2.3 Paradigma Individualisme di Era Jaksonian 

Hak senjata api semakin kokoh posisinya di masa individualisme baru 

Amerika. Di dalam bukunya, Cornel (2006: 138) membahas secara runut era 

individualisme baru di Amerika ―American society in the decades after the War of 

1812 was more democratic, more aggressive, and more fragmented than the 

eighteenth-century world the Founding generation had inhabited‖. Di tahun 

1830-an pada era Jaksonian kebebasan individu sangat diagungkan. Hal ini di satu 

sisi memberi dampak pada penginterpretasian hak senjata api yang semakin 

menguatkan hak ini  sebagai hak warga sipil, dengan berbagai alasan untuk 

perlindungan diri, kegemaran berburu yang kemudian berkembang menjadi 

aktivitas olahraga. Padangan ini terutama dipicu oleh naskah ―Democracy in 

America‖ yang dipublikasikan oleh Alexis de Tocqueville sebagai hasil 

pengamatannya terhadap kehidupan warga  Amerika. ―According to 

Tocqueville, a distinguishing characteristic of American society in the 1830s, the 

era of Jacksonian democracy, was a pervasive spirit of individualism‖ (Cornell, 

2006: 138).

Amerika berada dalam transisi, dimana terdapat pergulatan tantangan 

antara nilai tradisional Republikan dan kultur baru individualisme yang berdampak pada pandangan hukum terkait hak membawa senjata, milisia, dan ide 

pertahanan diri. Menurut pengamat asal Perancis ini , hal ini tampak pada 

praktek bepergian dengan mempersenjatai diri dengan senjata tersembunyi 

(concealed weapons) sebagai salah satu contoh paling dramatik “individualisme” 

baru. Beberapa pengamat sosial mengidentifikasikan awal mula praktek ini 

dengan kecenderungan kekerasan pada budaya daerah selatan, sebagaimana 

jurnalis dan sejarawan Richard Hildreth mengatakan bahwa senjata biasanya 

dibawa untuk dua alasan: ―as a protection against slaves‖ dan ―in quarrels 

between freemen‖. Para pengamat mencermati masalah senjata rahasia ini sebagai 

manifestasi masalah yang lebih besar di era Jacksonian Amerika. Jurnalis Whig 

Joseph Gales menuding bahwa perkembangan baru warga  dan hukum 

Amerika ini merupakan ―perversion of our political doctrines‖, ketika ide baru 

ini  digembar-gemborkan secara luar biasa dengan gagasan ―personal rights 

and personal independence.‖ Cornel juga menambahkan: 

The aggressive theory of self-defense that had taken hold in America was the 

most dangerous expression of this ideology, turning ‗every man into an avenger, 

not only of wrongs actually committed against his personal peace and safety, but 

renders him swift to shed blood in the very apprehension of danger or insult 

(2006: 139-140). 

Penyebaran pistol dan pisau pada masa ini menyebabkan peningkatan 

dalam jumlah kekerasan kolektif, ketika beberapa kelompok menjadi sasaran 

utamanya karena dianggap sebagai kelompok luar warga  Amerika yaitu 

kelompok Afrika-Amerika, para budak, mormon dan penganut Katolik. Senjata api memainkan peran utama dalam pembunuhan massal di era ini. Dengan 

berkembangnya level kekerasan antarorang, mendorong gerakan untuk meregulasi 

kebijakan kontrol senjata secara lebih komprehensif, akan tetapi di satu sisi 

gerakan ini memicu kesadaran publik akan ideologi hak senjata api secara 

konstitusional—sebagai hak individu untuk perlindungan diri. 

The enactment of these early gun control statutes prompted a back-lash that 

produced the first systematic defense of an individual right to bear arms in self￾defense. America‘s first gun violence problem not only occasioned the first efforts 

at gun control, it also helped crystallize a new gun rights ideology (Cornell, 

2006: 138). 

Berdasarkan pemikiran yang muncul pada era Jacksonian ini  

selanjutnya memperkuat interpretasi hak kepemilikan senjata api dalam 

Amandemen Kedua sebagai hak individu. Meski\pun begitu, ideologi ini  

tidak semerta diterima oleh kelompok oposan. Bentrokan pendapat kedua kubu 

yang bertentangan terus terjadi dengan mengandalkan kekuatan lobi dan argumen 

yang ajek sehingga ikut menentukan perkembangan regulasi kontrol senjata api 

selanjutnya.

2.4 Awal Hukum Kontrol Senjata Api di Amerika

Kentucky meloloskan undang-undang pertama yang disusun untuk 

mengendalikan praktek membawa senjata tersembunyi di tahun 1813 (Cornell, 

2006: 141). Pada tahun yang sama, tambah Cornell, Louisiana mengeluarkan 

undang-undang yang lebih komprehensif melarang senjata tersembunyi untuk membendung kasus-kasus pembunuhan yang belakangan sering terjadi. Masalah 

senjata tersembunyi merupakan masalah yang akut terjadi di daerah selatan. Di 

berbagai daerah lain, para politisi dan komentator bereaksi dengan cara yang 

berbeda-beda, seperti Gubernur New York De Witt Clinton mengatakan ―our 

present criminal code does not sufficiently provide against the consequences 

which may result from carrying secret arms and weapons‖. Hak membawa 

senjata tersembunyi bagi Clinton bukan sebagai kebebasan fundamental atau hak 

Konstitusi. Clinton menganggap praktek ini  sebagai ancaman bagi kebebasan 

publik yang merupakan hak fundamental yang perlu dilindungi oleh pemerintah 

karena sudah menjadi hak warga untuk menikmati kebebasannya tanpa rasa takut 

yang diciptakan oleh senjata tersembunyi. Pada dekade-dekade berikutnya, 

Indiana, Georgia, Virginia, Alabama, dan Ohio ikut mengadopsi hukum ini . 

Hukum pelarangan senjata tersembunyi pertama terjadi dalam periode 

antara tahun 1813 dan 1859 yang secara mendasar mencakup pembatasan waktu, 

tempat dan perilaku. Selanjutnya pada gelombang kedua hukum yang diciptakan 

lebih keras mengatur pelarangan penjualan dan pemilikan jenis senjata tertentu. 

Tahun 1837 Alabama melarang penggunaan pisau bowie, Georgia dan Tennessee 

mengikuti dengan hukum yang lebih luas melarang penjualan pistol, pisau belati, 

dan tongkat pedang (pistols, dirks, and sword canes). Akan tetapi, pada saat 

negara bagian lain berusaha memperketat regulasi senjata api, di saat yang sama 

juga negara bagian lainnya semakin mempertegas Konstitusi mereka dengan menyatakan bahwa hak membawa senjata adalah hak individu untuk perlindungan 

diri. “Rather than follow the eighteenth-century model that affirmed ‗the right of 

the people to bear arms in defense of themselves and the state,‘ Mississippi (1819) 

paved the way with individualistic language that proclaimed that each citizen had 

a right ―to bear arms in defense of himself and the state‖ (Cornell, 2006: 142).

Berikut adalah bunyi undang-undang Mississippi yang menekankan hak warga 

menyimpan senjata api. 

Mississippi Constitution Article III, Section 12

The right of every citizen to keep and bear arms in defense of his home, person, 

or property, or in aid of the civil power when there to legally summoned, shall 

not be called in question, but the legislature may regulate or forbid carrying 

concealed weapons. (1817) (Spitzer, 2009: 299).

Satu tahun kemudian Connecticut menggunakan Mississippi sebagai 

model dalam klausa barunya terkait hak membawa senjata api. Sedangkan 

Konstitusi Utah mencakup tujuan yang lebih luas terkait hak senjata api, tidak saja 

hanya untuk perlindungan diri dan keluarga tetapi juga tanggung jawab bela 

negara. 

Utah Constitution Article I, Section 6

The individual right of the people to keep and bear arms for security and defense 

of self, family, others, property, or the state, as well as for other lawful purposes 

shall not be infringed; but nothing herein shall prevent the Legislature from 

defining the lawful use of arms. (1896) (Spitzer, 2009: 301). 

Spitzer juga menjelaskan bahwa terdapat 34 klausa negara bagian merujuk 

pada hak kolektif atau didasarkan hak milisia yang mengacu pada pertahanan 

negara, sedangkan 28 negara bagian merujuk pada hak personal atau individual (lebih dari setengah dari klausa negara bagian ini merujuk baik hak personal 

maupun kolektif). Di antaranya, juga terdapat 6 negara bagian yang memasukkan 

perlindungan untuk berburu dan aktivitas rekreasi (Spitzer, 2009: 302-303). 

Dengan demikian setiap negara bagian memiliki pandangannya sendiri terkait hak 

senjata api yang dikukuhkan lewat konstitusinya masing-masing.

2.5 Hukum Kontrol Senjata Api Federal

Sebuah hukum larangan federal diperkenalkan pada tahun 1920-an untuk 

jenis pembelian senjata api melalui pesanan pos. Kemudian merebaknya tindakan 

kekerasan oleh gengster selama tahun-tahun pelarangan alkohol memicu 

penyusunan hukum federal The National Firearms Act tahun 1934 dan The 

Federal Firearms Act tahun 1938 yang melarang kepemilikan pribadi senjata api 

mesin dan regulasi transfer senjata api antarnegara bagian (Squires, 2000: 75-76). 

Regulasi federal ini kemudian diikuti dengan aktivitas kontrol senjata api di 

negara bagian dan lokal sebagai reaksi terhadap angka kejahatan senjata pada 

masa itu. 

The first major federal firearms legislation in the United States—the National 

Firearms Act of 1934, or NFA—singled out what were considered the most 

dangerous guns of the time: machine guns and sawed-off shotguns. The 

Prohibition era saw the rise of organized criminal networks that were often 

armed with firearms such as the ―Tommy gun‖—the fully automatic Thompson 

submachine gun (Gerney and Parsons, 2014a: 3).

Tidak terdapat peraturan baru selama beberapa dekade hingga terjadinya 

pembunuhan Presiden Kennedy pada tahun 1963 mendesak pengajuan beberapaundang-undang kontrol senjata api kepada Kongres. Perdebatan terus berlanjut 

antara kelompok lobi pro dan kontra senjata api yang menuntun pada kebuntuan 

politik.




Pada abad ke-20 terjadi lonjakan tinggi dalam angka kekerasan senjata api 

yang berimbas pada tingginya angka korban kematian. Berdasarkan data dari 

berbagai statistik yang dikumpulkan oleh pemerintah Amerika Serikat, korban 

pembunuhan meningkat tajam khususnya tahun 1980-an hingga mencapai puncak 

segala masa di awal tahun 1990-an.Dari statistik terlihat bahwa tingkat pembunuhan dua kali lipat sejak awal 

1960-an hingga akhir 1970-an, kemudian meningkat kembali di akhir 1980-an dan


awal 1990-an, selanjutnya mencapai puncak pada tahun 1991 yaitu terjadi 24.703 

kasus pembunuhan (BJS, 2011: 2). Korban pembunuhan dengan senjata api 

berkontribusi sebesar 14.373 pada tahun ini  (FBI, 1996: 18). Berdasarkan 

data dari Bureau of Justice Statistics (BJS) angka pembunuhan dengan senjata api 

mencapai puncak terbanyak sepanjang masa di tahun 1993 yaitu sebanyak 18.253 

orang. Awal tahun 1990-an menjadi tahun-tahun terparah kekerasan menggunakan 

senjata api. Diketahui kematian akibat luka senjata api mencapai puncak di tahun 

1993 pada angka 39.595 kematian, sedangkan angka total kekerasan senjata api 

fatal dan nonfatal mencapai puncak di tahun 1994 dengan jumlah 1.585.700 kasus 

kekerasan (2013: 1-2). 

Adapun pada tahun 1998, data dari National Center for Health Statistics

menunjukkan bahwa dengan total 30.708 orang tewas akibat luka senjata api di 

Amerika diakibatkan oleh dua komponen utama yaitu bunuh diri dan pembunuhan 

dengan senjata api, dengan tingkat masing-masing 56,7% dan 39,4% (2000: 9-10). 

Ironisnya terdapat lebih banyak kasus bunuh diri dengan senjata api dibandingkan

kasus pembunuhan senjata api, sedangkan senjata api dalam berbagai kasus 

kecelakaan juga banyak mengakibatkan luka serius. Tidak hanya itu, beberapa

proporsi angka penembakan senjata api ini  termasuk penggunaan defensif

oleh warga sipil, polisi maupun personil keamanan lainnya. Hal ini dapat menjadi 

masalah serius lain ketika kepemilikan senjata api berdampak pada perilaku yang reaktif bahkan agresif para penggunanya. Seringkali perilaku ini  menjadi 

pembenaran dalam aksi bela diri sang pemilik yang kemudian berakibat fatal. 

Kleck dan Bordua (1983) dalam Squires (2000: 86) menunjukkan statistik 

California pada tahun 1981 bahwa warga yang bersenjata bertanggung jawab atas 

dua kali lebih banyak ―justified shootings‖ kepada penjahat daripada oleh polisi,

sedangkan di Chicago dan Cleveland ―justified shootings‖ warga tiga kali lebih 

banyak daripada polisi. Angka pembunuhan yang dibenarkan ini juga 

menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, sebagaimana data yang dilaporkan 

oleh FBI dalam Crime in the United States (CIUS) tahun 2003 (2004: 24) pada Berdasarkan tabel, diketahui bahwa antara tahun 1999 hingga 2003 angka 

pembunuhan yang dibenarkan terus menunjukkan peningkatan secara signifikan. 

Kondisi ini terus berlanjut hingga tahun 2012, yaitu terdapat 720 kasus 

pembunuhan dibenarkan yang dilaporkan oleh penegak hukum. ―Of those, law 

enforcement officers justifiably killed 410 felons, and private citizens justifiably 

killed 310 people during the commission of crimes‖ (http://www.fbi.gov/about￾us/cjis/ucr/crime-in-the-u.s/2012/crime-in-the-u.s.-2012/offenses-known-to-law￾enforcement/expanded-homicide). Pembunuhan yang dapat dibenarkan (justifiable 

homicides) didefinisikan sebagai pembunuhan penjahat oleh aparat penegak 

hukum dalam menjalankan tugas atau pembunuhan penjahat selama tindak 

kejahatan oleh warga sipil (BJS, 2011: 32).

Penggunaan senjata api diketahui sangat dominan dalam tindak aksi 

kejahatan. Di tahun 2011 misalnya, tercatat senjata secara nasional digunakan 

dalam 68% pembunuhan, 41% serangan perampokan, dan 21% serangan keji

(http://nij.gov/topics/crime/gun-violence/Pages/welcome.aspx). Oleh karena itu 

Zimring dan Hawkins menyimpulkan bahwa senjata api, meskipun bukan sumber 

tunggal kekerasan tetapi memainkan peranan besar di dalamnya (National 

Research Council, 2005: 12). Sedangkan Morris dan Hawkins (1970) 

menyimpulkan review mereka berdasarkan hasil statistik yang suram: 

Since the beginning of this century, some three-quarters of a million people have 

been killed in the United States by privately owned guns, 30 percent more than in 

all the wars in which this country has been involved in its entire history. In sum Berdasarkan data statistik, sebagian besar pembunuhan di Amerika 

dilakukan dengan pistol. Insiden menggunakan pistol meningkat tajam pada akhir 

1980-an dan awal 1990-an, kemudian jatuh rendah pada tahun 2008 (BJS, 2011: Dari statistik ini  terlihat bahwa penggunaan senapan genggam dalam 

kasus pembunuhan secara mencolok jauh lebih tinggi dibandingkan jenis senjata 

lainnya. Data statistik Departement of Justice pada tahun 1992 menunjukkan 

bahwa kejahatan kekerasan melibatkan pistol memecahkan semua rekorsebelumnya yakni naik hampir 50% di atas rata-rata lima tahun terakhir. Pistol 

telah digunakan dalam total keseluruhan 931.000 pembunuhan, pemerkosaan, 

perampokan dan serangan pada tahun 1992 (Squires, 2000: 59). Tren penggunaan 

pistol ini terus berlanjut hingga mencapai puncaknya pada tahun 1993 ketika 

13.212 kematian merupakan penembakan dengan pistol (FBI, 1996: 18). 

Kemudian di tahun 2002 diketahui 71,1% insiden pembunuhan menggunakan 

senjata api; 76,6% menggunakan pistol sementara 5,1% rifles; 5,1% dengan

shotguns; dan 13,2% jenis senjata lain atau tidak diketahui (FBI, 2003: 22). 

Sedangkan pembunuhan dengan senjata api selain pistol jatuh pada level bawah di 

tahun 1999, tapi kemudian meningkat sejak itu (BJS, 2011: 27). 

Jenis senapan laras panjang selama ini kurang menjadi sorotan hukum 

karena regulasi yang ada dititiberatkan pada kontrol jenis pistol, sehingga aturan 

senapan laras panjang jauh lebih longgar. Akan tetapi, dalam beberapa tahun 

terakhir terindikasi bahwa jenis senjata ini mulai menjadi pilihan dalam aksi ilegal 

dan kriminal. Sebagai bandingan, berdasarkan data FBI pembunuhan senjata api 

pada tahun 1994 diketahui 83% melibatkan pistol dan hanya 17% melibatkan 

senapan laras panjang, rifles atau shotguns. Tetapi pada 2011 angka ini berubah 

signifikan, meskipun pistol tetap menjadi instrumen utama dalam aksi 

pembunuhan dengan senjata tetapi pembagian pembunuhan menggunakan 

senapan laras panjang meningkat: secara nasional 73% pembunuhan dengan pistol


sementara rifles dan shotguns sebanyak 27% digunakan oleh para pembunuh 

(Gerney and Parsons, 2014). 

Dengan demikian, meskipun jenis senapan laras panjang ini umumnya 

diperuntukkan untuk tujuan berburu dan olahraga, bukan berarti terlepas dari 

bahaya penyalahgunaan dalam tindak kejahatan sehingga jenis ini juga perlu 

mendapatkan perhatian dan regulasi yang memperketat aturan kepemilikannya. 

Diaz yang dikutip oleh Squires (2000: 60) juga meneliti bahwa meningkatnya

senjata letal semi otomatis berkapasitas tinggi yang marak dipasarkan oleh 

industri senjata api sejak pertengahan 1980-an juga bertanggung jawab atas

lonjakan kekerasan senjata api di jalanan.

In short … pistols began killing more people than revolvers had, and their 

enhanced firepower (especially more rounds) was directly reflected in more 

lethal injuries on US streets. The number of pistols manufacturers made 

increased by 92 percent from 1985 to 1992, and deaths by handguns increased by 

48 percent, from 8,902 to 13,220. The number of juveniles arrested for weapons 

violations more than doubled between 1985 and 1993 (Diaz, 1999: 103–104). 

(Squires, 2000: 60).

Dari sini terlihat besarnya andil pabrik senjata dalam menyokong “kebutuhan” 

senjata bagi warga  maupun para penegak hukum, yang diprovokasi lewat 

berbagai iklan dan imej yang ditampilkan di media massa.

Adapun perubahan serius terkait hukum kontrol senjata api terjadi mulai 

tahun 1968 yang dipicu oleh kasus penembakan tokoh pemimpin politik Amerika 

dan sejumlah kasus penembakan massal di lingkungan pendidikan. Penembakan Martin Luther King Jr. dan Senator Robert F. 

Kennedy

Hak kepemilikan senjata api di Amerika Serikat mendapat sorotan tajam 

khususnya pada tahun 1968 setelah dua tokoh penganjur perdamaian dan 

perubahan sosial, Martin Luther king Jr. dan Senator Robert F. Kennedy terbunuh 

dalam peristiwa penembakan (Valdez dan Ferguson Jr, 2011: 11). Robert 

Kennedy adalah kandidat presiden dan saudara kandung Presiden John F. 

Kennedy, yang juga terbunuh oleh sejata api pada tahun 1963. Pembunuhan 

presiden dan tokoh-tokoh terkemuka negara ini  memberi dampak yang besar 

bagi perubahan kehidupan sosial politik Amerika secara luas sehingga memicu 

debat nasional terkait kekerasan senjata api. warga  mempertanyakan kembali 

fungsi dan bahaya senjata api yang beredar luas di kalangan warga . Isu 

kontrol senjata pun mengemuka dalam dunia politik Amerika memecah kebuntuan 

politik setelah perdebatan panjang antara kedua kubu pro-kontra hak senjata api. 

Akan tetapi, pada masa ini hukum kontrol senjata api menjadi sebuah 

keniscayaan.

The Gun Control Act of 1968 (GCA) menjadi legislasi kontrol senjata api 

negara yang paling ekstensif yang disusun pascapenembakan Luther dan 

Kennedy. 

The prohibited groups include convicted felons, fugitives from justice, illegal￾drug users or addicts, minors, anyone adjudicated mentally defective or having been committed to a mental institution, anyone dishonorably discharged from the 

military, illegal immigrants, and anyone having renounced U.S. citizenship. The 

law also established a system for licensing dealers, manufacturers, and 

distributors (Valdez and Ferguson Jr, 2011: 64).

Secara esensi peraturan ini menetapkan lisensi yang lebih ketat dan kontrol 

yang kuat terhadap perdagangan senjata api. Squires menjelaskan bahwa pada 

tahun 1974, dua kelompok penekan hak senjata api yang baru terbentuk The 

National Coalition to Ban the Handgun dan Handgun Control Inc. (dulu dikenal 

The National Council to Control Handguns hingga 1978) melobi untuk 

perundangan federal memperluas kontrol senapan genggam yang terdapat dalam 

GCA. “The Act had banned mail order sales of firearms and the importation of 

foreign-made, cheap, low-quality handguns – the so-called ‗Saturday Night 

Specials‘ – although such weapons could still be manufactured in the USA 

(Squires, 2000: 64).‖ Carter (1997) dalam Squires (2000: 64) mengatakan banyak 

keinginan dari para pendukung kontrol senjata untuk mendorong pelarangan 

penjualan pistol kepada warga sipil terutama mengakhiri produksi Saturday Night 

Specials1

, akan tetapi organisasi Handgun Control Inc. kemudian menyadari 

bahwa hal ini secara politik susah dimenangkan sehingga mengganti dengan 

mendorong kontrol lebih ketat dalam penjualan senapan genggam, registrasi dan 

periode menunggu. 

Berkembangnya kontrol senjata api membuat kelompok hak senjata tidak 

tinggal diam. Mereka menentang perundangan ini  dengan berbagai alasan, terutama ukuran dari “senjata murah” Saturday Night Specials itu sendiri susah 

didefinisikan, seberapa murah atau seberapa kecil senjata yang dimaksud. Oposan 

kontrol sejata terus melakukan mobilisasi untuk menekan berbagai peraturan 

kontrol yang diajukan oleh kelompok tandingannya melalui berbagai kampanye, 

lobi, terutama terus menegaskan hak dalam Amandemen Kedua. Motor 

penggeraknya adalah NRA (National Rifle Association) yang telah menjadi 

representatif utama kelompok pro senjata api. NRA yang terbentuk sejak awal 

1870-an menjadi organisasi pelobi politik yang kuat dan agresif dalam 

menyuarakan ―the right to bear arms‖ terlebih dengan keanggotaan dan aktivitas 

yang kini semakin meluas. Di bawah kepemerintahan Ronald Reagan, mobilisasi 

kelompok ini akhirnya membuahkan hasil dengan pengesahan The Firearm 

Owners‘ Protection Act pada tahun 1986. Reagan yang menjabat sebagai presiden 

sejak 1981-1988 merupakan anggota NRA dan juga berasal dari partai Republik 

(Ludwig and Cook, Ed., 2003: 360) yang terkenal selalu memberikan dukungan 

kuat terhadap hak senjata api. Undang-undang 1986 ini  pada intinya 

memperlemah kontrol senjata tahun 1968. 

In particular, the rules on interstate sales of guns and upon certain categories of 

lawful owners were relaxed. In addition the Act sought to facilitate the purchase 

of ammunition, ease the record-keeping requirements facing firearm dealers and 

curtail the inspection powers of the ATF (the Bureau of Alcohol, Tobacco and 

Firearms) (Squires, 2000: 77).Kondisi keamanan di Amerika Serikat tahun 1980-an kian bergejolak. 

Angka kejahatan meningkat pesat di masa ini sehingga mendorong upaya untuk 

melakukan pembatasan senjata api terutama setelah adanya percobaan 

pembunuhan terhadap Presiden Ronald Reagan pada tanggal 30 Maret 1981. 

Pelaku penembakan John Hinckley adalah seorang pria berumur 25 tahun yang 

memiliki gangguan mental. Hinckley menggunakan revolver kaliber-22 dan 

peluru yang ditembakkan mengenai Presiden Reagan, Sekretaris Pers James S. 

Brady serta dua orang penegak hukum lainnya. Brady terluka parah dengan luka 

tembakan di kepala yang membuatnya kemudian harus bergantung pada kursi 

roda. Insiden ini  membangkitkan semangat istri Brady, Sarah, untuk aktif 

dalam gerakan kontrol senjata (Valdez and Ferguson Jr, 2011: 47). 

Berbarengan dengan itu, sejumlah kelompok advokasi nasional 

bermunculan dengan fokus mengurangi kejahatan senjata api, salah satu yang 

menonjol adalah The Brady Campaign to Prevent Gun Violence yang dulunya 

bernama Handgun Control, Inc. Sarah Brady menjadi salah satu motor penggerak 

organisasi ini. Kelompok ini secara persisten mendorong lobi legislatif untuk 

memperpanjang jangka waktu pemeriksaan yang lebih lama terhadap riwayat 

hidup orang yang ingin membeli senjata api. Undang-undang Brady awalnya 

diperkenalkan pada tahun 1987, akan tetapi belum membuahkan hasil hingga 

akhirnya baru disahkan pada tanggal 30 November 1993 setelah Presiden Bill 

Clinton menjabat. Spitzer (2009: 308) mengungkapkan “Bob Dole, Newt Gingrich, and George Bush were able to hold the Brady Bill hostage for the gun 

lobby until Bill Clinton became President”. 

Valdes dan Ferguson Jr. (2011: 47) menjelaskan, ―The law, which took 

effect on February 28, 1994, required a five-day waiting period and background 

check on all handgun purchases through licensed dealers. Today the background 

check is conducted as part of all retail gun purchases‖. Meskipun begitu, ketika 

hukum ini  diloloskan 32 negara bagian tidak memiliki sistem pemeriksaan 

riwayat hidup sehingga di negara-negara bagian ini  penjahat dapat membeli 

senjata api dengan hanya menandatangani pernyataan berisi sumpah tidak pernah 

terkait pidana kejahatan (Valdes and Ferguson Jr., 2011: 47-49). Dengan 

demikian, hal ini masih memungkinkan bagi para penjahat untuk mendapatkan 

senjata api dengan hanya memberi keterangan palsu.

Menurut Jacobs, The Brady Law dalam tahapannya menuju Kongres 

menjadi legislasi kontrol senjata yang paling diperdebatkan secara politik dalam 

sejarah Amerika. ―It was a hot button issue in two sets of presidential debates and 

in four congressional elections‖ (2002: x). Jelasnya lagi, penduduk berkali-kali 

dipoling dan berulang kali juga memberikan dukungan. Undang-undang ini 

merupakan legislasi federal pertama yang penting terkait kontrol senjata api dalam 

kurun waktu 30 tahun terakhir. Sebagian besar tahun 1990-an merupakan periode 

administrasi Demokrat yang menduduki Gedung Putih yaitu oleh Presiden Bill 

Clinton. Vernick dan Hepburn mengatakan bahwa pemerintahan Demokrat dikenal lebih mendorong pada atmosfir secara nasional dan dialog konstruktif 

untuk penyusunan undang-undang kontrol senjata di negara-negara bagian 

(Ludwig and Cook, Ed., 2003: 360). 

Hal ini kembali membuktikan bagaimana kepemimpinan sebuah partai 

politik dapat memberi pengaruh besar terhadap kebijakan yang dikeluarkan sesuai 

dengan ideologi, visi dan misi yang diusung partai ini . Sebagaimana Vernick 

dan Hepburn yang dikutip oleh Ludwig dan Cook (2003: 360), berpendapat ―Of 

course, the political party of the president in power may also be a proxy for many 

other political, social, or economic factors likely to influence the enactment of 

state and federal gun laws.‖

3.4 Tragedi Penembakan Massal di Lingkungan Pendidikan

Kejahatan senjata api mencapai puncak kekhawatiran ketika penembakan 

massal merebak terjadi di lingkungan pendidikan yang kemudian memicu debat 

publik dan tuntutan penyusunan hukum kontrol senjata.

3.4.1 Pembantaian Sekolah Cleveland

Pada tahun 1989 terjadi sebuah tragedi besar yang kembali menyita 

perhatian publik, khususnya terhadap ancaman jenis senjata api senapan serbu 

(assault weapons). Patrick Purdy (24 tahun), pemuda yang memiliki riwayat 

gangguan mental melepas tembakan kepada anak-anak yang bermain di halaman 

Sekolah Dasar Cleveland di Stockton, California. Lima anak tewas dan lebih dari 30 orang lainnya terluka (www.nytimes.com/1989/01/18/us/five-children-killed￾as-gunman-attacks-a-california-school.html). Purdy sendiri tewas bunuh diri 

dengan senjatanya. Pembantaian ini  dilakukan Purdy dengan menggunakan 

sebuah senapan serbu semi otomatis buatan Cina (7.62-mm AKM-56S) dengan 30 

putaran magasin yang dapat dilepas. Tragedi ini kemudian memicu dukungan 

terhadap undang-undang yang melarang atau membatasi kepemilikan senjata api

jenis senapan serbu semi otomatis bergaya militer yang dirancang berkekuatan 

besar dan mampu menembakkan sejumlah besar peluru hanya dalam hitungan

detik saja. 

Godwin dan Schroedel (1998) dalam Squires (2000: 78-79) mengatakan 

bahwa insiden ini dan semacamnya telah mendorong sejumlah legislasi negara 

bagian mengikuti California mengadopsi pelarangan secara luas penjualan dan 

kepemilikan senapan serbu. Selain itu, Gerney dan Parsons (2014b: 2) menulis 

―This incident motivated President George H.W. Bush to sign an executive order 

in July 1989 banning the importation of foreign-made semi-automatic assault 

rifles in an effort to limit their availability in U.S. markets.‖

Maraknya intensitas kejahatan dengan menggunakan senapan serbu pada 

tahun 1980-an ini akhirnya mendorong Presiden Clinton untuk mengesahkan 

undang-undang federal pelarangan senapan serbu pada tahun 1994, yaitu Violent 

Crime Control dan Law Enforcement Act of 1994. Hukum ini melarang produksi, 

penjualan, importasi, atau kepemilikan jenis senapan serbu semi otomatis tertentu, rifles, pistols, dan shotguns2

yang ditetapkan 19 jenis senjata spesifik berdasarkan 

nama, juga jenis senjata dengan bentuk tertentu. Selain itu, mengilegalkan 

magasin selongsong yang menahan lebih dari 10 putaran amunisi. Akan tetapi 

hukum ini tidak berlaku bagi senjata api dan magasin yang sudah dimiliki publik 

sebagaimana senjata yang diproduksi untuk polisi dan keperluan militer (Valdez 

and Ferguson Jr., 2011: 52). Kelompok polisi secara luas menyatakan 

dukungannya terhadap pelarangan senapan serbu karena bahaya yang mampu 

diciptakan oleh senjata ini . Dalam pidato Clinton di Ohio Peace Officers 

Training Academy tahun 1994 berisi laporan seluruh kesatuan polisi Amerika 

Serikat pada tahun 1980, yang memuat informasi berikut:

—that semiautomatic assault weapons had become the ―weapon of choice for 

drug traffickers, gangs, and paramilitary extremist groups. Before the federal 

government banned many types of assault weapons in 1994, the ATF estimated 

that about 1 percent of about 200 million guns in circulation were assault 

weapons. In comparison, 8 percent of the gun-tracing requests filed at that time 

by police involved assault weapons (Valdez and Ferguson Jr., 2011: 52).

Selain itu, Brady (1997) dalam Squires (2000: 79) mengungkap bahwa 

data dari ATF menunjukkan antara tahun 1986 dan 1991, lebih dari 20.000 senjata

serbu terlacak dalam kasus kejahatan, termasuk 1.300 pembunuhan di Amerika 

Serikat. Arus dukungan juga berasal dari partisan kontrol senjata yang 

berpendapat bahwa senjata serbu yang bersifat mematikan ini  seharusnya 

hanya tersedia untuk kepentingan pertahanan nasional. Bahkan berdasarkan data 

FBI, sebagian besar penembakan massal dilakukan dengan jenis senjata ini.


Meskipun begitu, regulasi pelarangan senapan serbu tetap saja ditentang 

oleh para aktivis hak senjata dengan alasan bahwa senapan serbu tidak lebih 

berbahaya dikarenakan bentuknya yang berdesain gaya militer ini  kelihatan 

menyeramkan, dan bukan karena menyebabkan ancaman yang lebih besar. 

Mereka juga berdalih bahwa penggunaan jenis senjata ini jarang dalam tindak 

kejahatan dibandingkan pistol. NRA kembali menguatkan dengan alasan bahwa 

regulasi terkait model senapan serbu itu sendiri sulit didefinisikan, dan dapat 

membatasi jenis senapan yang digunakan untuk kepentingan olahraga berburu 

(Squires, 2000: 79). Di sisi yang lain, pabrik senjata api selalu memiliki cara 

untuk mengantisipasi kebijakan ini  dengan memodifikasi model senjata api 

yang dilarang agar dapat memenuhi standar regulasi supaya produknya bebas 

dipasarkan. 

Dalam pertentangan ini , aktor-aktor politik memainkan peran 

utamanya dalam meyakinkan publik lewat adu argumen terkait isu kontrol senjata 

api. Meskipun begitu, terlepas dari terpecahnya opini publik Amerika secara 

umum, akan tetapi terlihat bahwa publik lebih bersedia berkompromi, 

sebagaimana dikutip Squires (2000: 79), ―Despite a number of ambiguities, 

American public opinion has generally shown itself both more willing to 

compromise and more willing to accept an additional degree of gun cont