Rabu, 09 Juli 2025

kepemilikan senjata. 2

 



rol in 

return for a promise of greater public safety (Wright et al., 1983; Kleck, 1991; 

Bijlefeld, 1997).‖


Penembakan Stockton ini menjadi contoh bahwa regulasi di negara bagian 

yang bersifat lokal dapat memberi dampak secara nasional yang diikuti dengan 

adopsi undang-undang oleh negara bagian lain, bahkan diikuti dengan 

perundangan federal. Hanya saja pada perkembangannya, dengan kekuatan lobi 

aktivis hak senjata api akhirnya berhasil menekan kongres untuk tidak 

memperbarui pelarangan senapan serbu ketika kadaluarsa di tahun 2004,

meskipun Presiden George W. Bush dan setiap badan penegak hukum nasional 

mendukung pelarangan ini . Organisasi kontrol senjata api mendebat 

keputusan ini  dengan menyatakan bahwa pelarangan senapan serbu telah 

memberi dampak pada penurunan jumlah senapan serbu yang ada di jalanan dan 

penggunaannya dalam kejahatan, oleh karena itu harus kembali disahkan (Valdez 

and Ferguson Jr., 2011: 53).

3.4.2 Tragedi Columbine

Pada 20 April 1999, dunia kembali dikejutkan dengan aksi penembakan 

massal di lingkungan sekolah. Dylan Klebold dan Eric Harris (17 tahun) 

melakukan pembantaian di sekolah mereka, Columbine High School di Jefferson 

County, Colorado. Keduanya menggunakan bom-bom rakitan, sebuah karabin 

semi otomatis, sebuah pistol, dan dua senapan laras pendek (sawed-off shotguns). 

Mereka membunuh 12 siswa dan 1 orang guru serta melukai hampir 20 orang 

lainnya sebelum kemudian bunuh diri. Salah seorang teman kedua siswa, Robyn


Anderson (18 tahun) membeli dua dari empat senjata yang digunakan dalam 

pembantaian ini  dari penjual swasta di Tanner Gun Show dekat Denver. 

Anderson mengaku jika seandainya dibutuhkan suatu pemeriksaan riwayat hidup 

(background check) dia pasti tidak dapat melakukan pembelian ini  (Valdez 

and Ferguson Jr, 2011: 53-54). 

Kasus ini menjadi salah satu contoh dari celah yang terdapat dalam hukum 

kontrol senjata api sehingga pelaksanaannya menjadi kurang efektif. Valdes dan 

Ferguson Jr. (2011: 54-55) juga menjelaskan bahwa pada tahun 1960 dan 1970-an 

seiring industri senjata api diperluas dan kepemilikan senjata meningkat, pameran 

pistol menjadi popular sebagai tempat untuk menjual senjata api. Sebanyak 2.000 

hingga 5.000 pameran pistol diadakan setiap tahun di Amerika Serikat yang mulai 

menarik perhatian mereka yang ingin membeli senjata api secara anonim. Bahkan 

meskipun hukum The Brady Act mensyaratkan agar semua penjual senjata 

berlisensi harus menjalankan pemeriksaan riwayat hidup terhadap semua 

penjualan, akan tetapi penjual tanpa lisensi masih dapat menjual senjatanya pada 

saat pameran senjata. Sedangkan di 32 negara bagian pemeriksaan riwayat hidup 

tidak diperlukan. The Brady Law tidak mengatur tentang penjualan senjata api di 

tangan kedua oleh non dealer, sehingga aktivis kontrol senjata api meyakini 

bahwa dengan adanya pameran senjata maka orang yang tidak memiliki 

kualifikasi dapat dengan mudah membeli senjata api dan hal ini dapat berakibat 

bahaya seperti kejadian penembakan massal di SMA Columbine.

Pascatragedi Columbine, Presiden George W. Bush juga mengesahkan No 

Child Left Behind Act (NCLB) of 2001, Public Law 107-110 pada 8 Januari 2001. 

NCLB dimaksudkan untuk mengubah secara radikal tata cara mendidik siswa, 

yang menekankan perbaikan sistem pendidikan dengan menitikberatkan empat 

prinsip besar perbaikan: akuntabilitas, pelibatan orang tua dan komunitas dalam 

proses pendidikan, pengambil keputusan secara lokal dan menggunakan program￾program berlandasakan ilmu pengetahuan (Modzeleski, 2007: 107). Menyadari 

pentingnya perombakan dalam sistem pendidikan Amerika, berbagai institusi 

pendidikan melakukan langkah-langkah afirmatif dalam meminimalisir kasus 

kejahatan senjata api yang terjadi di sekolah. Salah satu kekhawatiran ini  

muncul karena banyaknya kasus siswa membawa senjata api ke sekolah. Untuk 

itu, pemerintah mengesahkan The Gun-Free Schools Act (GFSA) pada tahun 

1994. Banyak sistem sekolah kemudian mengadopsi The Zero-Tolerance Law 

yang mewajibkan sekolah untuk mengeluarkan siswa dari sekolah jika ditemukan 

membawa senjata api (National School Safety Center, 2006). 

Di dalam sebuah survey yang dilakukan, ditemukan bahwa banyak siswa 

menjadi takut akan terjadinya serangan di sekolah oleh karena itu lebih banyak 

siswa dilaporkan terlihat membawa pistol ke sekolah (NSSC, 2006: 7). Tidak 

hanya itu, dari laporan survey oleh Justice Policy Institute and Children‘s Law 

Center di tahun 1999 diketahui juga bahwa kini terdapat lebih banyak orang 

Amerika yang menjadi lebih takut akan terjadinya penembakan di sekolahnyadibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selain itu, dari data yang terkumpul 

ditemukan sebanyak 3,1 juta anak muda di Amerika diskors ataupun dikeluarkan 

dari sekolah di tahun 1997 atau hampir 6,8% dari jumlah keseluruhan siswa. 

Jumlah ini  naik dari persentase 3,7% dari jumlah di tahun 1974 (NSSC, 

2006: 17-18). Dalam laporan tahunan untuk tahun 2000 oleh U.S. Department of 

Education mengenai ―State Implementation of the Gun-Free Schools Act – Year: 

1998-1999‖ tercatat bahwa: 

a) 55 states reported that they expelled a total of 3,523 students from school for 

bringing a firearm to school. 

b) 57 percent of the expulsions by school level were students in high school, 33 

percent were in junior high, and 10 percent were in elementary school. 

c) 59 percent of the expulsions reported by type of firearm were for bringing a 

handgun to school.; 12 percent of the expulsions were for bringing a rifle or 

shotgun to school, and 29 percent were for some other type of firearm (such as 

bombs, grenades, or starter pistols). (NSSC, 2006: 15).

Banyak perubahan signifikan dalam dunia pendidikan Amerika khususnya 

perbaikan yang menyangkut sistem keamanan sekolah dan tata cara pendidikan 

anak pascatragedi Columbine sebagai hasil dari dorongan dan kekhawatiran 

publik akan keselamatan anak. Akan tetapi, meskipun banyak perubahan yang 

dilakukan belum juga mampu mencegah dan melindungi sekolah dari berbagai 

aksi serangan bersenjata lainnya. 

3.4.3 Pembantaian Virginia Tech 

Amerika digegerkan kembali dengan serangan terorisme di lingkungan 

pendidikan yang terjadi pada tanggal 16 April 2007 di Virginia Polytechnic Institute and State University. Kampus ini  mendapat serangan dari seorang 

mahasiswa yang bernama Seung Hui Cho, yang diketahui memiliki sejarah 

gangguan mental. Pelaku menggunakan dua senapan genggam dan mengakibatkan 

sebanyak 32 mahasiswa dan guru tewas dalam insiden ini  sedangkan pelaku 

kemudian tewas bunuh diri. 

Seung Hui Cho membeli dua senapan genggam secara legal meskipun 

memiliki latar belakang gangguan emosional yakni pernah mengencani siswi SMP 

dan oleh hakim diputuskan bahwa ia menderita sakit secara mental dan 

merupakan bahaya bagi dirinya sendiri. Akan tetapi, jelas Spitzer, nama Seung 

Hui Cho tidak muncul di dalam daftar federal sebagai orang yang dilarang 

membeli senapan genggam karena keinkonsistensian negara bagian Virginia 

dalam melaporkan data ini  kepada pemerintah federal. Oleh karena itu, 

meskipun hukum federal The Brady Law memerintahkan negara bagian untuk 

melaporkan data ini  kepada The National Instant Criminal Background 

Check System, akan tetapi hanya 22 negara bagian saja yang memenuhi aturan 

ini  di tahun 2007. Persoalannya adalah laporan ini  tidak bersifat wajib 

karena tidak diikuti dengan sanksi tegas bagi negara bagian yang gagal menaati 

peraturan ini . Alasan lain adalah ketidakmampuan beberapa negara bagian 

untuk membiayai pengembangan penyimpanan rekaman data yang esensi. Sekali 

lagi hal ini menjadi celah dalam hukum kontrol senjata yang ada. Berbulan-bulan pascapenembakan, Virginia kemudian mengundangkan 

legislasi baru untuk memperbaiki penyimpanan rekaman data dan praktek 

laporannya. Selain itu, di awal 2008 Kongres akhirnya mengundangkan legislasi 

yang memaksa semua negara bagian untuk menaati persyaratan-persyaratan 

federal (Spitzer, 2009: 312). 

3.4.4 Pembantaian Massal di Sandy Hook Elementary School

Kasus penembakan massal di area sekolah yang meningkat tajam di akhir 

abad ke-20 terus berlanjut hingga abad ke-21. Salah satu kasus yang paling 

menggegerkan dunia adalah pembantaian di Sandy Hook Elementary School tahun 

2012 yang memakan 26 korban termasuk 20 anak-anak. Pelaku pembunuhan 

Adam Lanza (20 tahun) juga mengakhiri hidupnya dengan senjata setelah aksi 

brutalnya. Senapan serbu yang digunakan Lanza merupakan senjata legal milik 

ibunya. Peristiwa ini kembali menjadi contoh bagaimana senjata yang diperoleh 

secara legal juga berpotensi besar disalahgunakan dalam aksi kejahatan. 

Berbagai pembantaian massal yang belakangan marak terjadi menandakan 

bahwa lingkungan pendidikan di Amerika Serikat tidak lagi seaman dulu. 

Kejahatan senjata api dapat terjadi kapanpun, di manapun, baik di daerah 

perkotaan, pinggiran kota atau pedesaaan sekalipun, bahkan tanpa mengenal level

sekolah dan secara sadis tanpa memandang jenis kelamin ataupun umur calon 

korbannya, seperti dalam kasus ini. Tingginya angka kejahatan senjata api di Amerika menempatkan negara ini pada posisi pertama dalam kasus penembakan 

di lingkungan pendidikan terbanyak di dunia. 

Tragedi ini dan yang serupa lainnya memukul kesadaran semua pihak 

bahwa kemudahan akses senjata api di Amerika merupakan problematika serius 

yang harus segera ditangani. Berbagai elemen warga  mendorong pemerintah 

untuk menyusun berbagai regulasi baru yang kompleks, yang bahkan tidak pernah 

ada di masa-masa sebelumnya. Pascatragedi Sandy Hook ribuan orang 

menandatangani petisi online yang mendesak Gedung Putih untuk segera 

membahas isu kontrol senjata api melalui penyusunan undang-undang. "The goal 

of this petition is to force the Obama Administration to produce legislation that 

limits access to guns. While a national dialogue is critical, laws are the only 

means in which we can reduce the number of people murdered in gun related 

deaths" (http://abcnews.go.com/blogs/politics/2012/12/petition-calls-for-white￾house-to-address-gun-control/).

Presiden Obama secara terbuka menyatakan komitmennya untuk mengatur 

kontrol senapan serbu. Pascapenembakan Newtown, Obama mengajukan 

rangkaian proposal hukum kontrol senjata api, termasuk memperluas pengecekan 

riwayat hidup. Sayangnya proposal ini  harus terhalang di kongres yang 

sebagian besar disebabkan oleh oposisi Republikan. Banyak Republikan 

mengatakan bahwa rencana kontrol senjata ini  tidak efektif dan juga 

pelanggaran terhadap hak Amandemen Kedua terkait kepemilikan senjata api. Para anggota GOP mengatakan bahwa penekanan harus pada pencegahan orang 

dengan gangguan mental untuk memiliki senjata api. 

Meskipun begitu, Walikota Washington Vincent Gray mendukung

Presiden Obama dengan pernyataan "our country is drowning in a sea of guns,‖

dan secara tegas berpendapat, ―a fact of life which we must stop accepting."

(http://www.usatoday.com/story/news/nation/2013/09/22/navy-shooting-spree￾memorial-service-obama/2849165/Obama calls for 'transformation' of nation's gun 

laws). Pascakekalahan proposal undang-undang kontrol senjata api, Presiden 

Obama melakukan pidato yang mengungkapkan kekecewaannya. Meskipun 

demikian, Obama tetap menyatakan komitmennya untuk terus melawan kekerasan 

senjata api di Amerika Serikat. Berikut petikan pidatonya.

THE PRESIDENT: ―A few months ago, in response to too many tragedies —

including the shootings of a United States Congresswoman, Gabby Giffords, 

who‘s here today, and the murder of 20 innocent schoolchildren and their 

teachers –- this country took up the cause of protecting more of our people from 

gun violence. By now, it‘s well known that 90 percent of the American people 

support universal background checks that make it harder for a dangerous person 

to buy a gun. We‘re talking about convicted felons, people convicted of domestic 

violence, people with a severe mental illness. Ninety percent of Americans 

support that idea. Most Americans think that‘s already the law. And a few 

minutes ago, 90 percent of Democrats in the Senate just voted for that idea. But 

it‘s not going to happen because 90 percent of Republicans in the Senate just 

voted against that idea.

…..

But this effort is not over. I want to make it clear to the American people we can 

still bring about meaningful changes that reduce gun violence, so long as the 

American people don‘t give up on it. Even without Congress, my administration 

will keep doing everything it can to protect more of our communities. We‘re 

going to address the barriers that prevent states from participating in the existing 

background check system. We‘re going to give law enforcement more information 

about lost and stolen guns so it can do its job. We‘re going to help to put in place 

emergency plans to protect our children in their schools.‖


Meskipun terdapat berbagai upaya yang dilakukan untuk menetapkan 

perundangan yang melarang senapan serbu, akan tetapi upaya-upaya ini  

selalu gagal dikarenakan dominasi lobi pro hak senjata. Adapun fenomena lain 

yang berkembang di tengah krisis kejahatan senjata yaitu justru terjadi 

peningkatan dalam jumlah permintaan senapan serbu setelah Obama 

mengumumkan niatnya melarang senjata ini . Sebagaimana dilansir oleh 

beberapa situs berita termasuk Nbcnews.com bahwa penjualan senjata meningkat 

drastis di beberapa kota, bahkan senjata yang digunakan Adam Lanza, pelaku 

penembakan, terjual habis, sehingga agen senjata api mengaku kehabisan stok 

meskipun telah menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan sebelum 

penembakan Newtown. Rilis situs berita ini , jenis rifle AR-15-style ini menjadi semakin 

populer setelah digunakan Adam Lanza di Newtown, sementara sebagian besar


alasan para pembeli adalah untuk berlatih menggunakannya sebelum penjualannya 

dilarang. Akan tetapi, Presiden Obama berjanji ―to put everything I've got into 

passing a series of proposals intended to crack down on gun violence, as 

Republicans and the NRA are already signaling it will be an uphill battle for the 

administration.‖ (http://usnews.nbcnews.com/_news/2013/01/18/16570552-gun￾stores-running-low-on-weapons-as-sales-surge-owners-say?lite). Kasus ini 

menggambarkan bagaimana sebuah tragedi justru menjadi epidemik baru di 

warga  untuk semakin ingin memiliki senjata, bahkan jenis senapan serbu 

yang paling berdampak mematikan. Dampak lainnya adalah melalui jajak 

pendapat yang diprakarsai ABC News/Washington Post setelah kejadian 

penembakan massal ini ditemukan bahwa 71% orang Amerika menentang 

pelarangan penjualan pistol kepada setiap orang selain penegak hukum

(http://abcnews.go.com/US/OTUS/controlling-gun-violence-obstacles-effective￾policy/story?id=18008013). Situasi ini seakan membenarkan pendapat yang 

menyatakan bahwa di mana terjadi kekacauan maka di situ permintaan senjata api 

pun meningkat. Sebagaimana pendapat Sherill (1973) yang dikutip Squires: 

After any serious riot gun sales are said to jump fourfold in that locale … 

doubtless there is some connection between the rise in crime and the increase in 

gun sales, but there is no way to know to what extent the teetering mound of arms 

causes crime and to what extent it is simply there as a defensive response 

(Squires, 2000: 86). 

Sedangkan McDowall dan Loftin mengamati secara lebih luas dengan 

berkesimpulan bahwa permintaan senapan genggam berkaitan dengan tingkat


keamanan dan tingkat kejahatan serta kekuatan polisi dalam menjamin keamanan 

kolektif (Squires, 2000: 86-87). 

Tragedi ini di satu sisi sangat menyita perhatian publik terutama 

memunculkan berbagai ide dan saran untuk mencegah kekerasan senjata terjadi di 

lingkungan sekolah. Salah satunya yang secara khusus diprakarsai oleh NRA yaitu 

usulan perencanaan dan legislasi untuk mempersenjatai para guru. Seperti 

berbagai usulan legislasi lainnya, ide inipun menuai kontroversi, terutama karena 

banyak kekhawatiran dari warga . Meskipun begitu, dalam berita yang dirilis 

The New York Times 9 Maret 2013 mengabarkan bahwa South Dakota menjadi 

negara bagian pertama yang mengesahkan hukum secara eksplisit yang memberi 

kewenangan kepada karyawan sekolah untuk membawa senjata di tempat kerja. 

Bahkan di beberapa negara lain juga tidak ada pembatasan hukum sehingga 

memungkinkan para guru untuk memiliki senjata di dalam kelas. The Harrold 

Independen School District di Texas mulai memungkinkan para guru untuk 

membawa senjata pada tahun 2008, kemudian Utah juga disebut memiliki guru 

yang membawa senjata di dalam kelas meskipun mereka tidak perlu 

mengungkapkan secara terbuka (http://www.nytimes.com/2013/03/09/us/south￾dakota-gun-law classrooms.html?_r=0). 

Para petugas keamanan ini harus melewati pelatihan tambahan khusus 

untuk mendapatkan izin membawa senjata tersembunyi di sekolah atau universitas 

mereka. Tidak hanya itu, berbagai perangkat sekolah diciptakan anti peluru, seperti meja anti peluru, pintu dan papan tulis kelas anti peluru. Berbagai 

perangkat keamanan juga dipasang di sekolah seperti kamera keamanan, metal 

detector, penjaga sekolah di lorong serta menempatkan petugas keamanan atau 

polisi secara berkala di sekolah. Banyak perombakan yang dilakukan dalam 

sistem keamanan sekolah di Amerika. Di sisi lain, ide membolehkan senjata api di 

sekolah ini ditentang banyak kalangan, khususnya kelompok pro kontrol senjata, 

mengingat bahwa kepemilikan senjata api juga memiliki resiko penyalahgunaan 

ataupun resiko kecelakaan. Selain itu, terdapat berbagai macam resiko dan 

pertimbangan lainnya, terutama jika tidak tersimpan dengan aman, siswa dapat 

mengakses senjata ini  sehingga justru membahayakan. 

Tindakan pencegahan juga diajukan untuk mencegah anak atau remaja 

menggunakan senjata yang diambil dari rumahnya, yaitu dengan mengamankan 

senjata api yang disimpan di dalam rumah. Penembakan di Newtown 2012 dan 

berbagai kasus lainnya yang melibatkan senjata api legal diketahui berasal dari 

rumah. Untuk itu, sebagian besar negara bagian saat ini memiliki Child Access 

Prevention Laws, hukum yang disusun untuk mencegah anak mengakses senjata 

api dari rumah.

3.5 Peningkatan Kekerasan Senjata Api oleh Pemuda

Dari berbagai penelitian yang pernah dilakukan, para ahli sependapat 

bahwa angka kejahatan senjata api di Amerika sangat erat kaitannya dengan keterlibatan angka kekerasan oleh pemuda (remaja dan dewasa muda). 

Berdasarkan kumpulan data BJS, peningkatan tajam dalam kasus pembunuhan 

dari pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an dan banyak penurunan berikutnya 

adalah disebabkan oleh kekerasan senjata remaja dan dewasa muda (2011: 28). 

Berdasarkan data BJS dari tahun 1980 sampai 2008, sekitar sepertiga (34%) dari 

korban pembunuhan dan hampir setengah (49%) dari pelaku berada di bawah usia 

25 tahun. Untuk keduanya, korban dan pelaku, memuncak pada kelompok usia 18 

sampai 24 tahun di tingkat 17,1 korban per 100.000 dan 29,3 pelaku per 100.000 

(BJS, 2011: 3). 

Tingkat viktimisasi untuk remaja laki-laki (berusia 14 sampai 17 tahun) 

sangat mencolok terjadi pada remaja kulit hitam yaitu pada puncaknya tahun 1993 

dengan tingkat 79 kasus pembunuhan per 100.000 sedangkan 9,4 kasus 

pembunuhan per 100.000 untuk kulit putih (BJS, 2011: 14). Meskipun terjadi 

penurunan dalam jumlah pembunuhan dengan senjata tahun 2008 akan tetapi 

angka ini masih lebih tinggi dari jumlah pembunuhan di awal dan pertengahan 

1980-an. Pembunuhan oleh remaja dan dewasa diketahui lebih cenderung 

dilakukan dengan pistol. 

Istilah popular awal tahun 90-an seperti ―juvenile super predator‖, 

―coming blood bath‖ dan ―crime time bomb‖ menandakan bertumbuhnya 

generasi anak muda yang keji. Jumlah remaja yang ditahan untuk tindak 

kekerasan (murder, forcible rape, robbery, and aggravated assault) bertumbuh 64% antara tahun 1980 dan 1994. Remaja yang ditahan untuk pembunuhan 

melonjak 99% selama periode ini , sedangkan antara 1984 dan 1993 saja 

tingkat penahanan pembunuhan pemuda melonjak 167% (Butts and Travis, 2002:

2). Bahkan kekerasan senjata di lingkungan sekolah bukan hal yang tabu lagi di 

Amerika. Data dari BJS pembunuhan di sekolah oleh pemuda terakumulasi 

kurang dari 2% dari semua kasus pembunuhan anak muda usia 5 sampai 18 tahun. 

Selama tahun 2000-an, rata-rata sekitar 1.600 pembunuhan anak muda usia 5 

sampai 18 terjadi per tahun dan mayoritas kasus pembunuhan terhadap pemuda 

baik di sekolah dan luar sekolah dilakukan dengan senjata api (2013: 9). 

CDC dalam ―The 10 Leading Causes of Death by Age Group‖ tahun 2007 

mencatat bahwa kasus pembunuhan dan bunuh diri masing-masing menjadi 

penyebab kedua dan ketiga kematian pemuda usia 15-24 tahun. Pemuda paling 

rentan terbunuh di antara kelompok usia lainnya dibandingkan dengan usia 

dewasa di atas 25 tahun. Sedangkan untuk kelompok usia 10-14 tahun 

pembunuhan dan bunuh diri masing-masing berada pada urutan ketiga dan 

keempat, sementara di tahun 1998-dst. diketahui pembunuhan adalah penyebab 

utama kematian pemuda kulit hitam laki-laki dan perempuan usia 15-24 tahun dan 

bunuh diri pada urutan ketiga (Murphy, 2000: 33). Pembunuhan terkait senjata api 

telah menjadi penyebab utama kematian untuk laki-laki kulit hitam usia 15-19 

sejak 1969 (OJJDP, 1999). Tingginya angka kematian pemuda ini tentunya sangat memprihatinkan 

dan menjadi perhatian utama berbagai pihak terutama orang tua dan guru karena 

banyak remaja Amerika saat ini terlibat dalam aktivitas berbahaya di saat mereka 

masih berada dalam usia sekolah. Banyak di antaranya tidak segan membawa atau 

menggunakan senjata di sekolah sebagaimana dilaporkan dalam berbagai survey. 

Dalam ―Causes of School Violence‖ oleh Constitutional Rights Foundation

(2015) dipaparkan berbagai perihal penyebab terjadinya kekerasan siswa di 

sekolah, salah satunya lewat studi yang dilakukan oleh U.S. Department of 

Education dan U.S. Department of Justice tahun 2006 yang berjudul ―Indicators 

of School Crime and Safety‖. 

Dalam studi ini  ditemukan bahwa sekolah negeri mengalami 

peningkatan insiden kekerasan 71 hingga 81% selama periode lima tahun (1999-

2000). Selain itu, disebutkan bahwa sebagian besar pendidik, peneliti dan praktisi 

pendidikan setuju bahwa kekerasan dalam sekolah muncul dari akibat yang 

berlapis dan faktor-faktor resiko termasuk (tapi tak terbatas pada) akses senjata, 

kekerasan media, pelecehan lewat dunia maya (cyber abuse), pengaruh sekolah, 

komunitas, dan lingkungan keluarga, alienasi personal, dan lain-lain (www.crf￾usa.org/school-violence/causes-of-school-violence.html). Berikut ini akan dibahas 

beberapa pokok permasalahan yang memengaruhi perilaku kekerasan pemuda.


Pada periode selama akhir 1980-an dan awal 1990-an terekam dalam data 

pemerintah bahwa kekerasan senjata oleh remaja meningkat drastis di Amerika 

Serikat yang berakibat pada melonjaknya angka kematian dan luka serius. Pemuda 

yang membawa senjata di luar rumah bahkan ke sekolah sangat tinggi, yaitu 14% 

di tahun 1997 atau 1 dalam 7 pemuda laki-laki mengakui membawa senjata api 

keluar rumah dalam periode 30 hari. Sedangkan dalam sebuah studi terhadap 800 

siswa SMA di dalam kota melaporkan bahwa 22% mereka mengaku membawa 

senjata (OJJDP, 1999). Kondisi ini dimungkinkan karena adanya akses yang 

mudah terhadap senjata api, dimana beberapa negara bagian seperti misalnya 

Texas, tidak mengatur batasan umur untuk memiliki senjata api terutama untuk 

jenis laras panjang (Open Society Institute, 2000: 1). Selain itu banyak anak masa 

kini tinggal di dalam rumah yang memiliki senjata api dan dapat dengan mudah 

mengaksesnya. 

Dalam survey tahunan nasional ke-13 oleh USA Weekend terhadap 

129.593 siswa responden tingkat 6-12 dari sekolah-sekolah yang ada di kota, 

pinggiran kota dan pedesaan ditemukan bahwa ―Almost 50% of the respondents 

reported having a gun in their home, and of those, more than half say they can get 

their hands on it. Among respondents, 4 in 10 say a teen in their community could 

get a gun within a day‖ (National School Safety Center, 2006: 16). Kemudahan 

ini membuat remaja “terekspos” dalam lingkungan bersenjata, yang justru dapat 6membawa bahaya karena berbagai resiko yang bisa diakibatkan. Tidak hanya 

berbahaya bagi remaja itu sendiri tetapi juga lingkungan sekitarnya. Beberapa 

kasus pembunuhan dan kejahatan serius dengan senjata oleh remaja terbukti 

berasal dari rumah, misalnya contoh kasus penembakan di Sparks Middle School

tahun 2013. Penembakan di sekolah ini  dilakukan oleh remaja laki-laki 

berumur 12 tahun yang mengambil senjata dari rumahnya kemudian menembak 

guru dan 2 siswa, sebelum kemudian bunuh diri dengan senjata ini  

(www.kolotv.com/home/headlines/Police-Middle-School-Shooter-Got-Gun-from￾Home-228798851.html). 

Akses senjata oleh pemuda ini merupakan masalah besar karena senjata 

dapat diperoleh dengan berbagai cara, misalnya dengan mencuri, meminjam 

ataupun melakukan pembelian lewat pasar sekunder melalui gun shows, yang 

tidak sedikit di antaranya digunakan dalam tindak kejahatan. Senjata api telah 

menjadi fasilitator dalam tindakan kekerasan, dan dengan ketersediannya secara 

luas, oleh para kritikus sering dikaitkan dengan peningkatan kejahatan senjata 

yang terjadi di warga , khususnya dengan kemudahan akses oleh pemuda

yang cenderung memiliki perilaku agresif. 

3.5.1.2 Kekerasan Media 

Media massa saat ini juga memiliki peran dalam menyumbang angka 

kekerasan di antara remaja. Berbagai media, televisi, film, komik, musik, internet, hingga video game banyak menyuguhkan unsur kekerasan yang dilengkapi 

dengan berbagai kecanggihan senjata api untuk menambah keseruan padahal 

banyak anak muda yang memanfaatkan media ini  secara bebas. Paparan aksi 

kekerasan secara terus-menerus ini  tanpa pengawasan dan bimbingan orang 

tua dapat memberi dampak negatif bagi perilaku remaja, meningkatkan perilaku 

agresif dan bahkan adegan kekerasan ini  dapat dipelajari atau ditiru. 

Sebagaimana Professor of Child Psychiatry (Harvard Medical School), Felton 

Earls menjelaskan ―Violent behavior is learned behavior..It is reflected in the 

brain but is not carried by genes. We have done a good job of changing social 

norms with respect to child abuse. Now we need to broaden this to include 

exposure to violence‖ (http://harvardmagazine.com/2013/01/gun-violence-and￾public-health).

Di satu sisi, dengan hadirnya internet aktivitas bullying berkembang 

menjadi cyber abuse, cyber bullying di antara pemuda yang dapat berdampak pada 

psikologis remaja yang menjadi korban. Dalam survey nasional oleh USA 

Weekend terhadap remaja dilaporkan bahwa ‖About 50% of the respondents 

blame movies, video games, the Internet and TV for promoting violence among 

their peers. About 1 in 10 teens who responded to the survey admitted they have 

visited a hate or bomb-making site on the Internet (among boys, it‘s one in eight)‖ 

(NSSC, 2006: 16).


Tidak hanya itu, ribuan situs penjualan kebutuhan senjata tersedia secara 

online yang sangat memudahkan pembelian tanpa harus melewati prosedur hukum 

lewat agen penjual senjata resmi. Contoh kasus pelaku penembakan massal 

bioskop Aurora memborong ribuan peluru dari jaringan online. Inilah salah satu 

celah dalam regulasi kontrol senjata yang belum mampu diatasi hingga saat ini.

3.5.1.3 Lingkungan Pergaulan

Pergaulan anak remaja dengan teman sepergaulannya diklaim para peneliti 

lebih memberi pengaruh terhadap sikap remaja. Sebagaimana hasil penelitian The 

National Longitudinal Study of Adolescent Health tahun 2000 bahwa “How 

teenagers perform in school, and the peers they hang out with after classes, have 

more influence than their race or family-income level on whether they will drink 

alcohol, smoke cigarettes, or carry weapons‖ (NSSC, 2006: 11). Hasil penelitian 

ini berlawanan dengan pandangan luas bahwa ras dan pendapatan memiliki 

pengaruh utama.

Dengan kondisi orang tua yang bekerja selama siang hari membuat anak 

berada dalam kondisi yang tidak terawasi pascajam sekolah. Situasi ini 

memungkinkan anak lebih rentan melakukan kegiatan berbahaya ketika bergaul 

pascajam sekolah dibandingkan anak yang memiliki aktivitas terawasi, mereka 

dapat terlibat narkoba, alkohol, merokok dan lain-lain dengan teman 

sepergaulannya.



Keterlibatan Anak Muda dalam Geng

Terjadi peningkatan besar keterlibatan remaja dalam aktivitas kelompok 

geng, narkoba, dan penembakan dengan senjata api. Misalnya pada tahun 2002 

dalam total 14.054 korban pembunuhan, diketahui sebanyak 9.369 korban akibat 

luka senjata api. Di antara jumlah ini  adalah kasus pembunuhan geng 

pemuda dengan total 911 korban pembunuhan, yang sebagian besar dilakukan 

dengan senjata api yaitu sebanyak 870 korban (FBI, 2003: 26). Sedangkan 

aktivitas geng, tidak lagi menjadi persoalan warga  perkotaan semata. Dari 

tahun 1989 hingga 1995, persentase siswa yang melaporkan bahwa geng jalanan 

hadir di sekolah meningkat 186% di sekolah-sekolah pinggiran kota dan 250% di 

sekolah-sekolah di pedesaan. Geng dilaporkan beroperasi di 41% sekolah di 

perkotaan, 26% sekolah di pinggiran kota, dan 20% sekolah di pedesaan (OJJDP, 

1999). Kehadiran geng ini semakin menjadi tren karena dengan memiliki anggota 

“perkumpulan” mereka merasa lebih kuat, superior, dan dipercaya bisa membantu 

mereka ketika sedang berada dalam kesulitan.

3.5.1.5 Lingkungan Keluarga 

Dalam ―Causes of School Violence‖ disebutkan berbagai penyebab 

terjadinya kekerasan siswa di sekolah, salah satunya oleh Profesor di Universitas 

California di Santa Cruz, Michael Males, yang menjelaskan sumber dibalik sikap 

dan perilaku anak-anak ini :


More than any past generation, today's kids are far more likely to grow up with 

parents who abuse drugs, get arrested, go to prison, disappear, fail to maintain 

stable families. Poverty, disownment, and messed-up adults are by far the biggest

problems kids face, and the mystery is why only a relatively small fraction of 

modern kids are acting dangerously (www.crf-usa.org/school-violence/causes-of￾school-violence.html).

Diterangkan juga bahwa penyebab lain adalah kedua orang tua demi memenuhi 

kebutuhan ekonomi masa kini dituntut untuk bekerja sepanjang hari, kemudian 

banyak anak kini harus dibesarkan oleh orang tua tunggal termasuk remaja yang 

sudah menjadi ibu, dan juga beberapa anak ditelantarkan ataupun mendapatkan 

penyiksaan dari orang tuanya. Selain itu, permasalahan keluarga yang dihadapi 

kedua orang tua seperti kecanduan alkohol, narkotika, kekerasan dalam rumah 

tangga, ketersediaan senjata di rumah, juga dapat mendorong anak untuk 

mengikuti jejak orang tuanya. 

Dalam survey lain yang dilakukan MTV Networks and Garin-Hart 

Research Associates didapatkan hasil bahwa ―Drugs were considered the leading 

cause of violence (26%), followed by the economy/unemployment (20%), lack of 

moral values (16%), family unit breakdown (15%), and gangs (14%)‖ (NSSC, 

2006: 30). Kerumitan situasi yang dihadapi sang anak membuat anak tumbuh 

dalam lingkungan yang tidak aman, terlebih dengan nilai moral yang merosot 

karena ketidakmampuan orang tua memberi teladan kepada sang anak. Banyak 

pihak kemudian sangat mengandalkan peran multifungsi sekolah dalam hal 

mendidik dan memberikan perlindungan terhadap anak. Sekolah-sekolah di 

Amerika kemudian banyak menambah kegiatan ekstra pascajam sekolah untuk

6membuat siswa tetap berada dalam kegiatan positif dan terawasi. Sekolah juga 

dituntut untuk menjamin keamanan siswanya. Fungsi ganda sekolah saat ini 

semua dilakukan demi kepentingan anak, ketika fungsi orang tua semakin 

berkurang peranannya. 

3.5.1.6 Ras dan Etnisitas

Remaja laki-laki kulit hitam paling rentan menjadi korban atau penyerang 

dalam tindak kejahatan, meskipun kulit putih juga pada tahun tertentu dominan 

dalam kasus kematian akibat luka senjata. Seperti data BJS pada tahun 1998 ―Of 

the firearm injury deaths in 1998, 61.9 percent were white males, 21.5 percent 

were black males, 11.3 percent were white females, and 3.0 percent were black 

females (Murphy, 2000: 10)‖. Meskipun begitu, akumulasi secara umum masih 

mencolok dialami oleh kulit hitam. Dengan adanya marginalisasi dan rasisme 

remaja kulit hitam paling banyak tumbuh dalam lingkungan yang berbahaya. 

Dalam survey ―Annual Report on School Safety‖ tahun 2000 ditemukan bahwa 

terdapat perbedaan dalam persepsi siswa terkait keamanan di sekolah berdasarkan 

ras dan grup etnik, dimana persentase ketakutan terjadinya penyerangan lebih 

besar dialami oleh siswa kulit hitam dan hispanik daripada kulit putih (NSSC, 

2006: 13).


Di dalam berbagai survey yang dilaksanakan secara periodik tingkat 

kekerasan di sekolah dihubungan dengan aktivitas bullying, cyber bullying, 

alcohol, drugs, gangs yang dilaporkan hadir di lingkungan sekolah. Tindakan 

pelecehan dan bullying biasa dilakukan oleh kelompok superior di sekolah bahkan 

bisa berlanjut hingga ke perguruan tinggi. Hal ini dianggap sebagai perilaku yang 

wajar dan dapat diterima oleh orang dewasa sebagai bagian dari “pengalaman” 

masa sekolah dan masa muda, padahal perlakuan ini  dapat berdampak 

negatif secara psikologis, korban dapat berubah menjadi tidak percaya diri dan 

merasa terasing dari lingkungan pergaulannya. Pada tahap akut kondisi merasa 

tertekan ini dapat memicu keinginan bunuh diri ataupun balas dendam. Seperti 

contoh kasus pembantaian di SMA Columbine, kedua remaja pelaku Eric Harris 

dan Dylan Klebold ditengarai merupakan korban brutal high school bullies 

sehingga dianggap menjadi faktor penyebab penembakan berdarah dingin yang 

mereka lakukan (http://www.nytimes.com/2004/04/24/opinion/the-columbine￾killers.html). 

Tidak hanya itu, keterlibatan siswa dengan senjata api menjadi 

permasalahan serius di Amerika karena dalam berbagai survey ditemukan bahwa 

banyak siswa membawa senjata api ke sekolah. Salah satunya dalam ―Students‘ 

Reports of School Crime: 1989 and 1995‖ tahun 1998 dilaporkan, ―In 1995, 

students were questioned about guns at school. (These questions were not asked in 

1989.) Although less than one-half of 1% reported taking a gun to school, 5.3%


reported seeing another student with a gun at school, and 12.7% reported

knowing another student who brought a gun to school‖ (NSSC, 2006: 20).

Kemudian dalam laporan lain, ―Report Card on the Ethics of American Youth 

2000, Report #1: Violence, Guns and Alcohol‖ oleh Josephson Institute of Ethics

ditemukan:

a) 60 percent of high school and 31 percent middle school boys said they could get a 

gun if they wanted to. 

b) 69 percent of high school and 27 percent of middle school boys said they could 

get drugs if they wanted to 

c) 19 percent of high school and 9 percent of middle school boys admit they were 

drunk at school at least once in the past year. 

(NSSC, 2006: 9).

Dalam survey yang lain dilaporkan bahwa antara tahun 1994 dan 1996, 

persentase siswa laki-laki kelas 12 yang melaporkan membawa senjata ke sekolah 

dalam kurun waktu 4 minggu terakhir bertambah dari 4,8 ke 6,3 atau sekitar 1 

dalam 17 ((OJJDP, 1999). Adapun alasan utama mereka memiliki atau membawa 

senjata adalah untuk perlindungan diri, mereka merasa lebih aman jika membawa 

senjata. Beberapa alasan ini  umumnya diungkapkan setelah sebelumnya 

mendapatkan serangan. ―In 1999, 3.6 percent of students who experienced violent 

victimization and 3.9 percent who reported being bullied at school also reported 

bringing a weapon to school‖ (NSSC, 2006: 6). Banyak anak kini merasa tidak 

aman berada di sekolah. 

More than one in three students (39 percent of middle schoolers and 36 percent 

of high schoolers) said they don‘t feel safe at school. 43 percent of high school 

and 37 percent of middle school boys believed it is OK to hit or threaten a person


who makes them angry. Nearly one in five (19 percent) of the girls agreed (NSSC, 

2006: 9).

Dengan banyaknya tingkat kejahatan jalanan, membawa ketakutan 

berbagai pihak bahkan motivasi psikologis para pemilik senjata oleh penjahat 

sekalipun menyatakan untuk perlindungan diri. Seperti yang dikutip Squires 

(2000: 87), ―the evidence suggests that among the juveniles studied, the odds of 

surviving in a hostile environment were seen as better if one were armed (Sheley 

and Wright, 1993: 386–387).‖ Sebagian besar responden ini  bertempat 

tinggal di daerah dengan tingkat kejahatan yang tinggi, kekerasan yang tinggi, 

secara sosial termarginalkan dari lingkungan kota, pernah menjadi korban 

kekerasan dan pilihan mereka adalah mempersenjatai diri, tidak terkecuali di 

sekolah. Sementara anak muda sangat reaktif dalam bersikap menghadapi 

ancaman, dan meskipun terdapat alasan untuk perlindungan diri, akan tetapi 

kepemilikan senjata api juga sangat berpotensi untuk disalahgunakan, seperti 

dapat dijadikan alat bantu dalam melakukan kejahatan. 

 

3.6 Hukum Membawa Senjata Tersembunyi (Concealed Carry)

Squires di dalam bukunya (2000: 82) mencontohkan majalah NRA

American Rifleman dan publikasi lainnya seperti Guns & Ammoor Combat 

Handguns yang secara berkala menonjolkan berbagai artikel cerita ―it happened 

to me‖, sebagai daur ulang kisah orang-orang yang menggunakan senjata api 

untuk efek baik dalam menghalangi agresor. Misalnya cerita mereka yang pernah

menggunakan senjata untuk menggagalkan serangan atau percobaan pemerkosaan. 

Pada saat penulisan ini , lebih dari 30 negara bagian memperkenalkan hukum 

yang memungkinkan warga sipil untuk memiliki izin membawa senjata 

tersembunyi secara meluas di negara bagian (dikeluarkan baik oleh polisi ataupun 

departemen perizinan kota lainnya). Dalam beberapa kasus hukum ini  

berlawanan dengan hukum lama yang mengatur bahwa membawa senjata api 

tersembunyi adalah suatu pelanggaran. 

Squires menulis bahwa sebagian besar negara bagian telah mengadopsi 

undang-undang ini sejak 1990, empat mengadopsinya pada 1980-an, Alabama 

mengadopsinya tahun 1936, New Hampshire tahun 1923 sementara Vermont tidak 

pernah mengatur hukum membawa senjata tersembunyi (2000: 82). Kemudian 

dari sebuah penelitian oleh Center to Prevent Handgun Violence (1993) terhadap 

hukum akses senjata api bagi kelompok minor di negara bagian, didapatkan 

bahwa 22 negara bagian mengizinkan membawa pistol secara terbuka bagi orang 

berumur di bawah 18 tahun, dan hanya 13 negara bagian dan distrik Columbia 

yang melarang semua kelompok minor di bawah 21 tahun, sedangkan tidak 

terdapat hukum pelarangan federal terkait membawa pistol secara terbuka bagi 

kelompok minor (NSSC, 2006: 34).

Sementara itu, pengaturan lisensi bervariasi dari setiap negara. Di negara￾negara bagian tertentu, izin diberikan antara untuk 1 dan 5 tahun, batas usia

berlaku bagi kebanyakan negara bagian hanya mengeluarkan untuk mereka yang berusia 21 tahun ke atas (meskipun beberapa pada usia 18 tahun). Lott (1998) 

dalam Squires (2000: 82-83) mengemukakan bahwa 16 negara bagian 

memerlukan pemohon untuk menjalani beberapa pelatihan menembak, legal 

dan/atau pelatihan keamanan (biasanya durasi kurang dari 10 jam) tetapi 11 

negara tidak memerlukan pelatihan apapun. Dengan demikian, melalui peraturan 

ini  warga sipil (yang memiliki kualifikasi) mendapatkan keluasan untuk 

memiliki dan membawa senjata api ke mana saja. Hal ini tentu menjadi tantangan 

dan kontroversi tersendiri bagi kelompok pro kontrol senjata api.

Valdes dan Ferguson mengemukakan bahwa saat ini warga  Amerika 

memiliki sekitar 283 juta senjata yang artinya diperkirakan 97 senjata untuk setiap 

100 orang di Amerika. Menurut mereka hubungan mematikan antara kepemilikan 

senjata dan tingginya kejahatan ini  dapat dilihat dari statistik Amerika 

Serikat jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang meminimalisir akses 

senjata api. ―According to data from the National Center for Health Statistics, the 

U.S. firearms death rate in 1995 was 13.7 per 100,000; in Canada, it was 3.9 per 

100,000; in Australia, it was 2.9 per 100,000; and in England and Wales, it was 

0.4 per 100,000‖ (Valdez dan Ferguson, 2011: 45). Dari angka ini  terlihat 

jelas bahwa angka kematian senjata api di Amerika melambung tinggi berkali 

lipat dibandingkan negara lainnya. 

Selanjutnya Squires (2000: 62) menyebutkan bahwa di dalam laporan 

―Firearms and Violence in American Life‖ oleh Newton dan Zimring (1968)

disimpulkan bahwa semakin banyak senjata api yang ada, semakin banyak juga 

kejahatan senjata api cenderung terjadi. Proporsi dari penggunaan senjata dalam 

kejahatan tampak dari berkembang dan menurunnya level kepemilikan senjata api 

di warga . Bahkan dengan bertambahnya dukungan negara bagian terhadap 

hukum ―concealed carry of a handgun‖ yang saat ini menjadi 49 negara bagian 

(NSSF, 2012: 2) menggambarkan semakin menguatnya posisi hak senjata 

dikukuhkan sebagai kebutuhan warga sipil masa kini di Amerika Serikat.

3.7 Pro-Kontra Kontrol Senjata Api

Para pendukung kontrol senjata maupun hak senjata masing-masing 

memiliki argumen yang kuat dalam memertahankan pendapatnya terkait isu hak 

kepemilikan senjata api. Dengan kekuatan retorika kedua kelompok saling beradu 

untuk menyukseskan kepentingan masing-masing kelompok yang didukung

dengan data hasil penelitian yang dilakukan. 

3.7.1 Pendukung Hak Senjata Api: Mempersenjatai Diri Mengurangi 

Angka Kejahatan

Merespon berbagai peraturan kontrol senjata api yang berkembang, 

kelompok oposan menyerang kontrol senjata yang dievaluasi bertendensi untuk 

melucuti senjata para warga yang taat hukum. Di satu sisi menurut Squires (2000: 

68-69) argumen ini memiliki dasar pemikiran yang beralasan sebagaimana Wright 

(1995) menjelaskan, “Gun control could be looked upon as a slur upon the responsibility and integrity of the USA‘s many millions of gun owners, the 

overwhelming majority of whom would only ever use their firearms for a 

legitimate sporting purpose.” NRA dan kelompok lobi senjata terus berupaya 

menolak The Brady/Handgun Control Inc. dan legislasi yang muncul dengan 

berbagai alasan bahwa needs based licensing memberi diskresi kepada polisi 

untuk melakukan berbagai operasi dan dalam menentukan akses senapan genggam 

(seperti halnya di New York) sehingga membuat kepemilikan pistol menjadi 

sebuah keistimewaan dan bukan sebagai hak. Mereka melihat hal ini sebagai tahap 

awal menuju pelarangan senapan genggam. 

Selain itu, lanjut Squires, para peneliti pro senjata api menanggapi bahwa 

hukum melarang Saturday-Night Specials dan pemilikan senjata api oleh warga 

sipil dapat menjadi kontra-produktif bahkan akan termentahkan dengan 

sendirinya. Dorongan untuk melarang jenis pistol kecil dan murah dikhawatirkan 

justru akan mendorong para penjahat untuk beralih memiliki senjata yang lebih 

besar dan lebih berbahaya. Sebagaimana slogan yang terkenal oleh NRA yang 

banyak beredar melalui stiker-stiker “When guns are outlawed, only the outlaws 

will have guns.‖ Hanya para kriminalis yang memeroleh senjata, sedangkan warga 

sipil taat hukum tidak dapat membela dirinya ketika terjadi serangan. Squires juga 

mengutip pandangan Kleck yang mengatakan bahwa senjata laras panjang dapat 

menggantikan senapan genggam dalam semua situasi pembunuhan. Kleck juga 

mengamati bahwa kontrol senapan genggam tidak terlalu efektif ―Fortunately, existing handgun-only policies … are not very effective, and have not reduced 

handgun availability enough to stimulate much gun substitution among violence￾prone people (Kleck, 1991: 93–94)‖ (Squires, 2000: 68-69).

Dengan lingkungan yang bertambah bahaya, warga  Amerika 

memiliki kekhawatiran jika mereka akan menjadi korban kejahatan. Mereka 

merasa bahwa polisi tidak dapat melindungi mereka dari serangan yang dapat 

membobol masuk ke dalam rumah mereka, sehingga banyak yang memilih untuk 

membeli senjata api untuk melindungi keluarganya (Valdez and Ferguson Jr.,

2011: 67). Alasan ini juga dipakai oleh kritikus kontrol senjata yang terus 

menyuarakan bahwa jika korban menggunakan senjata api maka lebih besar 

kemungkinan menggagalkan aksi kejahatan, bahkan dapat menyelamatkan nyawa 

korban ini . Sama halnya dengan NRA yang mengajukan usulan agar warga 

sipil diberikan keluasan hak memiliki senjata api agar dapat melawan para 

kriminalis yang menyerang. Kapanpun tragedi penembakan terjadi seperti 

pembunuhan di SMA Columbine tahun 1999, mereka selalu berargumen bahwa 

insiden ini  dapat dicegah jika saja para guru mempersenjatai diri. Selain itu, 

kelompok ini selalu vokal menegaskan bahwa ―guns don‘t kill, people do‖

(Squires, 2000: 85), bahwa senjata api itu sendiri bukanlah penyebab kejahatan 

terjadi. 

Kriminolog John Lott adalah salah satu peneliti yang paling mendapat 

sorotan kritikus hak senjata karena hasil penelitiannya yang diungkapkan di dalam bukunya More Guns Less Crime. Lott menunjukkan statistik sejak akhir 1980-an 

dan awal 1990-an saat tingkat kejahatan secara nasional menurun ketika pada saat 

yang sama banyak warga sipil memiliki senjata api (Valdez and Ferguson Jr., 

2011: 67-69). Situasi ini terutama terjadi di negara-negara bagian yang 

meloloskan hukum membawa senjata tersembunyi yang lebih lunak, diketahui 

tingkat pembunuhan dan kejahatannya juga menjadi menurun. “According to his 

review of statistics in all U.S. counties from 1977 to 2005, states that passed 

concealed-carry laws saw a reduction of 20 percent in their rates of murder, 

rape by 14 percent, aggravated assault by 13 percent, and robbery by 6 

percent‖ (Valdez and Ferguson Jr., 2011: 69).

Kelompok ini mengemukakan data statistik yang menunjukkan bahwa 

seseorang tidak akan mudah diserang jika mempersenjatai diri, dan pelaku 

kejahatan akan takut menyerang jika warga memiliki senjata api. Di dalam 

bukunya Lott berkesimpulan bahwa dengan membolehkan rakyat sipil membawa 

senapan genggam tersembunyi maka dapat mengurangi tindak kekerasan, dan 

pengurangan ini  berbarengan sangat dekat dengan dikeluarkannya sejumlah 

izin untuk senapan genggam tersembunyi (Squires, 2000: 83). 

Selain itu, Valdez dan Ferguson Jr. (2011: 60-66) juga memaparkan 

berbagai kritik oleh kelompok oponen terhadap ketatnya kontrol senjata yang 

dinilai tidak semerta membuat kota ini  terbebas dari kejahatan. New York 

dan beberapa kota besar lainnya sering dijadikan contoh acuan dalam mendukung argumentasi mereka. New York memiliki hukum lisensi senapan genggam tertua

di Amerika Serikat, The Sullivan Act of 1911, akan tetapi kota ini memiliki salah 

satu tingkat kejahatan kekerasan tertinggi di negara dari tahun 1960-an hingga

tahun 1990-an. “The NRA Website points to efforts in Washington D.C.; Chicago; 

New York; Maryland; and California. Washington D.C. banned handgun sales in 

1977 as did Chicago in 1982. By the early 1990s, the homicide rate had tripled in 

Washington D.C., and had doubled in Chicago‖ (Valdez and Ferguson Jr., 2011: 

61-63). Kemudian dijelaskan bahwa menurut NRA, tingkat pembunuhan 

gabungan untuk enam yurisdiksi dengan kebijakan senjata api paling ketat yaitu 

California, Illinois, Maryland, New Jersey, New York, dan Washington, DC

adalah 23% lebih tinggi dari tingkat negara sisanya. Dengan demikian, jelas 

menurut NRA bahwa kontrol senjata tidak mencegah kejahatan dan bahkan 

mungkin mendorong hal ini , dengan melihat tingginya tingkat pembunuhan

di negara-negara dengan kontrol senjata yang kuat. 

Tidak hanya itu, NRA juga menantang pernyataan oleh pendukung kontrol 

senjata bahwa undang-undang senjata api dari abad ke-20; The Brady Act, The 

Assault Weapons Ban, dan The Gun Control Act of 1968 telah mengurangi 

tingkat kejahatan, sebab berdasarkan data statistik yang dikutip oleh NRA 

menunjukkan bahwa angka kejahatan lebih rendah sebelum undang-undang 

ini  diberlakukan. ―The national homicide rate was 50 percent higher, on 

average, during the five years after the law than during the five years before it. Ten years later, the rate was, on average, 81 percent higher‖ (Valdez and 

Ferguson Jr., 2011: 63-65).

Tidak berhenti di situ, kelompok ini juga mengkritisi pembatasan akses 

senjata yang dianggap hanya akan menumbuhkan pasar senjata ilegal dan akan 

menambah ketersediaan senjata yang tidak melalui sistem pengecekan kontrol 

senjata. Terdapat lebih dari 220 juta senjata api yang berada dalam sirkulasi, 

dengan banyaknya jumlah yang beredar ini  dan tidak terkontrol jangkauan 

hukum, justru diyakini hanya akan beredar melalui pasar ilegal. ―As an estimated 

80 percent of firearms used in crimes are traded through illegal or unregulated 

means, control opponents say, stricter laws enforced on legal markets will ensure 

that only criminals have access to guns‖ (Valdez and Ferguson Jr. 2011: 65-66).

Kelompok oponen kontrol senjata mengatakan kunci mengurangi kejahatan

terletak pada undang-undang yang sudah ada yang harus digalakkan. Mereka 

berpendapat bahwa dengan meningkatkan penegakan hukum, polisi dan jaksa bisa

mengurangi kejahatan tanpa menambah kebingungan dengan menambah legislasi 

baru.

3.7.2 Pendukung Kontrol Senjata: Kontrol Senjata Mengurangi Kejahatan

Hukum kontrol senjata dipercaya oleh para pendukungnya efektif dalam 

mengurangi kejahatan yang terjadi dalam warga . Berbagai penelitian 

dilakukan untuk mengevaluasi dampak hukum ini . Beberapa di antaranya dibahas Squires (2000: 67) misalnya Deutsch dan Alt yang meneliti efektivitas 

hukum kontrol senjata api yang baru di Boston, Massachusetts. Dengan adanya 

kontrol pembelian senjata api yang lebih ketat di Massachusetts ditemukan bahwa 

87% senjata api dalam tindak kejahatan diperoleh dari luar negara bagian. 

Hukum yang baru menargetkan kepemilikan senjata api yang tidak 

teregulasi dengan sanksi satu tahun penjara untuk siapa pun yang membawa 

senjata api tanpa lisensi yang sesuai. Para peneliti menemukan bukti sebesar 27% 

terjadi penurunan perampokan bersenjata pada bulan-bulan pasca￾pengimplementasian hukum baru ini  meskipun tidak terdapat penurunan 

dalam kasus pembunuhan. Dengan demikian, Deutsch dan Alt (1977) 

menyimpulkan bahwa hukum baru dengan pengimplementasian yang ketat dapat 

memberikan efek pencegahan, tetapi mereka merekomendasikan evaluasi lebih 

jauh lagi untuk melihat apakah efek pencegahan ini  terus berlanjut. 

Kemudian, Pierce dan Bowers meneliti dampak hukum periode lebih lama 

mengonfirmasi bahwa terjadi penurunan jangka pendek dalam perampokan 

bersenjata tetapi juga menemukan bukti lain terkait penggantian jenis senjata dan 

serangan. Mereka juga menemukan sejumlah bukti berkurangnya pembunuhan 

dengan senjata api (Squires, 2000: 67). 

Selain itu, kelompok pro kontrol senjata mengklaim bahwa The Brady Act

mencegah kejahatan. Schwartz (1999) dalam Squires (2000: 78) mengatakan, “In 

the first full year of the law‘s operation over 15,000 handgun purchases were denied (out of over 400,000), 4,365 being attempted purchases by persons with 

felony records‖. Mendukung pernyataan ini , The Brady Center juga 

mengklaim bahwa Undang-undang Brady telah menyebabkan penurunan 

penggunaan senjata api dalam berbagai kejahatan dan berdampak pada 

kemungkinan mencegah ribuan kematian. 

Valdez dan Ferguson Jr. (2011: 49-50) menyimpulkan dari penelitian 

ini  yaitu selama 4 tahun setelah undang-undang disahkan, antara tahun 1994 

dan 1998, terdapat sekitar 9.368 orang yang tewas, jumlah ini lebih sedikit dari 

yang diperkirakan karena terjadi penurunan persentase perampokan dan 

penyerangan yang dilakukan dengan senjata api. Jumlah serangan parah dengan 

senjata api sejak itu telah menurun 31,4%, sedangkan jumlah perampokan yang 

dilakukan dengan senjata api sejak tahun 1994 telah menurun 33,7%. Kemudian 

jumlah dari semua pembunuhan turun 23,4% dan jumlah pembunuhan dilakukan 

dengan senjata api turun 29%. The Department of Justice menjelaskan bahwa UU 

Brady telah mencegah 1,8 juta penjahat dan orang-orang terlarang lainnya dari 

pembelian senjata melalui dealer berlisensi (Valdes and Ferguson Jr, 2011: 49-

50). 

Tidak hanya itu, hasil studi yang juga dilakukan oleh Brady Center tahun 

1999 berdasarkan data statistik FBI dari tahun 1992 sampai 1998 membantah 

penelitian yang dikemukakan Lott. “In states that make it hard for citizens to 

carry concealed weapons, the violent crime rate fell by an average of 30 percent. In states that allow easy access to concealed weapons, the violent crime rates 

dropped by much less, just 15 percent. Nationally, violent crime fell by 25 

percent‖ (Valdez and Ferguson, 2011: 44-45). Kelompok lobi kontrol senjata juga 

menuduh Lott mendukung NRA dengan pahamnya untuk terus mengukuhkan 

pembudayaan senjata. Mereka juga mendebat argumen kelompok pro hak senjata 

dengan berpendapat bahwa menyimpan senjata untuk membela diri sebenarnya

berbahaya bagi rumah pemilik senjata itu sendiri. Mentalitas persiapan pertahanan 

diri terhadap kekerasan membuat tidak ada yang menjadi lebih aman dan

menyebabkan siklus kekerasan yang terus berkelanjutan (Valdez and Ferguson, 

2011: 59). Selain itu, mereka meyakini “that there is no such thing as a good gun, 

are often accused of over-looking the fears and insecurities of those millions to 

whom firearms seem to offer a promise of personal protection‖ (Squires, 2000: 

85).

Penelitian lain yang juga mendukung argumen kelompok kontrol senjata 

yaitu berasal dari Center for American Progress. Dengan mencermati output

penerapan hukum dari setiap negara yang memiliki hukum kepemilikan senjata 

api yang berbeda, maka akan ditemukan gambaran korelasi antara hukum senjata 

yang ketat dengan jumlah kekerasan senjata yang ada. Hasil yang ditemukan 

adalah, ―In some states, gun violence exceeds the rest of the country by a wide 

margin. In Louisiana, between 2001 and 2010, there were 18.9 gun deaths for 

every 100,000 people, more than six times the rate in Hawaii, the state with the lowest violence‖ (http://247wallst.com/special-report/2013/04/15/states-with-the￾most-gun-violence/#ixzz3RE8ArBo2). Kesimpulannya adalah negara-negara 

dengan kekerasan senjata api yang tinggi cenderung memiliki hukum senjata api 

yang kurang ketat dibandingkan dengan negara-negara lain dengan sedikit angka 

kekerasan seperti New Jersey, Connecticut dan Hawai.

Dengan adanya kedua kubu yang terus berseteru ini hanya memperkeruh

permasalahan yang ada dan semakin memperuncing kontroversi hak kepemilikan

senjata api, sehingga menjadi semakin sulit juga untuk mencapai kesepakatan

bersama terkait jalan keluar yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan

kejahatan senjata api.

3.8 Partai Republik versus Partai Demokrat

Dalam pemilihan presiden tahun 2000, isu senjata memainkan peran utama 

dalam kampanye para kandidat (Spitzer, 2009: 303). Kandidat Presiden Partai 

Demokrat Al Gore menyatakan dukungannya terhadap ―common-sense gun 

laws‖, sementara pesaingnya dari Republikan George W. Bush ―stronger law 

enforcement measures instead of tougher gun laws‖. Pertarungan sengit ini 

akhirnya dimenangkan oleh Bush lewat dukungan arus utama dari NRA. Oleh 

karena itu, Bush kemudian menjalankan kepemimpinannya dengan memayungi 

agenda politik NRA. 

In 2001, Bush‘s Attorney General, John Ashcroft, reversed decades of Justice 

Department policy spanning Democratic and Republican administrations that defined the amendment‘s right as militia based, and instead endorsed the 

―individualist‖ view of the Second Amendment, claiming that it protected a 

personal right of citizens to own guns aside from militia service (Spitzer, 2009: 

303).

Spitzer juga mengemukakan bahwa pemerintahan Bush menetapkan 

peraturan baru untuk menghancurkan data pengecekan riwayat hidup setelah 24 

jam daripada menahannya hingga 90 hari, juga mengubah kebijakan dengan 

melarang agen penegak hukum untuk menyelidiki data pengecekan riwayat hidup 

senjata api, meskipun dalam kasus investigasi teroris. Selain itu, pemerintahan ini 

juga bekerja di belakang layar untuk mencegah pengesahan kembali hukum 

larangan senjata serbu (The Assault Weapons Ban yang kadaluarsa tahun 2004) 

dan mendorong secara agresif untuk mengundangkan sasaran utama legislatif 

NRA, yaitu undang-undang untuk memberikan perlindungan legal hutang-piutang 

terhadap industri senjata yang disahkan tahun 2005. Secara keseluruhan 

kesimpulan Spitzer, periode kedua administrasi Bush menunjukkan presidensial 

yang paling gun-friendly di era modern (2009: 303).

Di sisi lain, partai Demokrat sejak dulu dalam berbagai platform partainya 

selalu dominan menunjukkan dukungan terhadap kontrol senjata. Berbagai 

proposal diajukan secara simultan untuk memperbaiki hukum kontrol senapan 

genggam yang disadari membawa bahaya serius khususnya pascapembunuhan 

1968. Meskipun begitu, partai ini tetap mengakui hak para pelaku olahraga senjata 

yang murni memiliki senjata untuk keperluan berburu dan olahraga menembak. 

Selain itu di tahun 1992 Demokrat menelorkan berbagai program untuk memberantas kejahatan dan narkoba, karena disadari kejahatan tidak hanya 

sebuah gejala tetapi menjadi penyebab besar dari isu kemiskinan dan demoralisasi 

yang semakin parah menyerang komunitas dalam kota. Untuk itu, partai ini 

berjanji untuk menambah personil polisi di jalan untuk menciptakan ketaatan 

hukum kembali. 

Merespon berbagai aktivitas kejahatan senjata api, di bawah 

kepemerintahan Bill Clinton, berbagai hukum kontrol senjata api akhirnya 

disahkan; The Brady Bill dan The Assault Weapons Ban. Tidak hanya itu, partai 

ini juga menelorkan Youth Prevention Programs menyikapi permasalahan 

tingginya angka remaja yang terlibat kejahatan senjata. Berbagai upaya ini 

membuahkan hasil yang signifikan dalam angka penurunan kejahatan, 

sebagaimana disebutkan dalam platform Demokrat:

Serious crime is down seven years in a row, to its low-est level in a quarter￾century. Violent crime is down by 24 percent. The number of juveniles committing 

homicides with guns is down by nearly 60 percent.. . . We can‘t surrender to the 

right-wing Republicans who threatened funding for new police, who tried to gut 

crime prevention, and who would invite the NRA into the Oval Office. Nor will we 

go back to the old approach which was tough on the causes of crime, but not 

tough enough on crime itself. . . . A shocking level of gun violence on our streets 

and in our schools has shown America that the need to keep guns away from 

those who shouldn‘t have them—in ways that respect the rights of hunters, 

sportsmen, and legitimate gun owners. The Columbine tragedy struck America‘s 

heart, but in its wake Republicans have done nothing to keep guns away from 

those who should not have them. 

Source:http://a9.g.akamai.net/7/9/8082/v001/www.democrats.org/pdfs/2000platf

orm.pdf. (Spitzer, 2009: 304-310).

Pascapembantaian tahun 1999 di SMA Columbine isu senjata api kembali 

mengemuka menjadi isu politik para kandidat partai. Akan tetapi pada periode ini ideologi partai Demokrat mulai terkikis. Senator Massachusetts John Kerry 

kandidat presiden partai Demokrat tahun 2004 dalam sebuah debat kampanye 

untuk pertama kalinya menyatakan dukungannya terhadap Amandemen Kedua. 

Terjadi pergeseran platform partai Demokrat yang kini mengikuti platform

Republikan yang secara umum menekankan hak senjata daripada kontrol senjata. 

Spitzer mengevaluasi perubahan ini sebagai gejala bahwa partai Demokrat 

tidak lagi melihat upaya untuk memperketat hukum kontrol senjata sebagai 

strategi politik yang efektif. Demikian juga dengan platform Demokrat tahun 2008 

yang mencalonkan Barack Obama juga mereferensi perlindungan hak warga 

negara untuk membawa senjata, tetapi di sisi lain juga mendukung untuk menutup 

celah pameran senjata (gun shows loophole), memperbaiki pengecekan riwayat 

hidup, dan mengaktifkan kembali The Assault Weapons Ban yang kadaluarsa 

tahun 2004 (Spitzer, 2009: 313). Partai ini kini menjadi lebih moderat dalam 

hukum kontrol senjata api. Hal ini tentu terjadi dengan melihat kecenderungan 

sikap publik terkait hak senjata api ketika semakin banyak dukungan terhadap hak 

individual senjata untuk perlindungan diri, sementara kehadiran partai politik 

berkepentingan untuk menyalurkan aspirasi rakyat ini . 

3.9 Permasalahan dalam Penegakan Hukum Kontrol Senjata Api

Berawal dari undang-undang yang diatur dalam Amandemen Kedua 

sekarang terdapat sekitar 20.000 hukum, peraturan kota dan regulasi atau kontrol terhadap penjualan, transfer, kepemilikan dan penggunaan senjata api (Squires, 

2000: 75). Meskipun saat ini terdapat begitu banyak hukum kontrol senjata api 

yang ada baik di tingkat federal maupun negara bagian, akan tetapi masih terdapat 

banyak celah dalam penerapannya, selain itu juga kurangnya ketegasan dalam 

penindakan membuat hukum ini  menjadi kurang efektif. Salah satunya 

adalah permasalahan pasar sekunder senjata api yang tidak terjangkau hukum. 

Penjualan lewat tangan kedua ini terlepas dari kewajiban pengecekan riwayat 

hidup yang berfungsi mencegah orang yang tidak berkualifikasi untuk membeli 

senjata api. 

This gap in federal background check laws, often called the ―Gun Show 

Loophole,‖ is associated with gun shows because they are a large and central 

marketplace where purchasers who wish to avoid detection can easily connect 

with private sellers. Private sales at gun shows are a reliable way for dangerous 

individuals – such as gun traffickers, convicted felons, and people with serious 

mental illness – to avoid background checks when they purchase guns (Mayors

Against Illegal Guns, 2010: 14).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para penjahat membeli senjata dari 

sumber yang tak teregulasi, yang memiliki jaringan yang luas sehingga terhindar 

dari ―instant check‖. Padahal pasar sekunder ini menyumbang sebesar 40% dalam 

penjualan senjata api di Amerika Serikat, sementara hadirnya perdagangan ilegal

menjadi salah satu penyumbang besar dalam pembunuhan senjata api. ―Every 

year, tens of thousands of guns make their way into the hands of criminals 

through illegal trafficking channels. These firearms contribute to the more than 

12,000 gun murders in the United States each year (Mayors Against Illegal Guns,2010: 2).‖ Meskipun terdapat hukum Brady yang mensyaratkan pengecekan 

riwayat hidup dan periode menunggu, akan tetapi hukum yang masih bersifat 

permisif ini  memberi celah bagi mereka yang tidak memiliki kualifikasi 

untuk tetap dapat membeli senjata api. Bahkan banyak penjualan yang dilakukan 

tanpa mengikuti aturan ini . Bahkan disebutkan bahwa “States that do not require background checks for all 

handgun sales at gun shows export crime guns at a rate more than two and a half


times greater than states that do, and are the source of a greater proportion of 

short TTC (Time-to-Crime) crime guns (Mayors Against Illegal Guns, 2010: 14).‖

Sementara itu, para kriminalis mendapatkan senjata dari berbagai jalur: ―theft, 

illegal manufacture, illegal importation (smuggling), reactivation of deactivated 

weapons and diversion from the legal trade, the (admittedly) limited evidence 

available does suggest that one source of supply dwarfs all the others‖ (Squires, 

2000: 111).

Adapun BJS melaporkan bahwa pada tahun 2004, di antara narapidana 

penjara negara bagian yang memiliki senjata pada saat pelanggaran, kurang dari 

2% membeli senjata api mereka di pasar loak atau pameran senjata, sekitar 10% 

dibeli dari pedagang eceran atau pegadaian, 37% diperoleh dari keluarga atau 

teman, dan lainnya 40% diperoleh dari sumber ilegal (theft or burglary, drug 

dealer/off street, fence/black market). Angka ini mirip dengan persentase 

distribusi pada tahun 1997 (2013: 13). Sedangkan Office of Juvenile Justice and 

Delinquency Prevention (OJJDP, 1999) di dalam laporannya menuliskan bahwa di 

Amerika Serikat setiap harinya terjadi sekitar 37.500 penjualan senjata termasuk 

di dalamnya penjualan 17.800 senapan genggam. Dengan bertambahnya 

kepemilikan senjata ini menurut OJJDP meningkatkan bahaya senjata yang 

diperoleh secara ilegal melalui pencurian dan perampokan. ―In 1994, more than a 

quarter-million households experienced the theft of one or more firearms; nearly 

600,000 guns were stolen during these burglaries (OJJDP, 1999).‖


Besarnya angka senjata api yang telah beredar di kalangan warga  ini 

menjadi salah satu masalah krusial yang dihadapi oleh hukum kontrol senjata. 

Dengan jumlah penduduk Amerika yang mencapai 313.914.040 di tahun 2012 

(FBI, 2012) terdapat sekitar 300 juta pucuk senjata api yang telah berada dalam 

sirkulasi (NSSF, 2012: 2). Angka ini begitu besar dan tidak mampu dibendung 

oleh sistem kontrol senjata negara. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan 

bahwa saat ini terdapat dukungan yang lebih besar dari hukum negara bagian 

terhadap hak membawa senjata api tersembunyi (concealed-carry) secara luas, 

dan akses senjata api bagi kelompok minor menjadi lebih tinggi. 

Kompleksitas permasalahan hukum senjata juga diwarnai dengan hukum 

federal yang membedakan regulasi antara senapan laras panjang dan senapan 

genggam. Persyaratan yang harus dipenuhi seseorang untuk mendapatkan senapan 

genggam lebih kompleks, sementara tidak halnya dengan senapan laras panjang 

sehingga syarat kepemilikan jenis senjata ini sangat mudah (Gerney and Parsons, 

2014a: 5-7). Hukum federal melarang kepemilikan senapan genggam oleh 

individu dibawah umur 18 tahun tetapi tidak ada batasan usia untuk rifles dan 

shotguns. Kemudian untuk mencegah perdagangan ilegal senapan genggam 

antarnegara, di bawah hukum federal penjual berlisensi dilarang menjual senapan 

genggam kepada penduduk dari luar negara bagian akan tetapi boleh menjual 

senapan laras panjang kepada orang yang sama termasuk sebuah senapan serbu. 

Selain itu, tidak dibutuhkan laporan kepada ATF (Bureau of Alcohol, Tobacco,

Firearms and Explosives) untuk penjualan berlipat ganda rifles dan shotguns tidak 

seperti pada penjualan lebih dari satu senapan genggam. 

Celah ini menurut Gerney dan Parsons membawa kelemahan signifikan 

bagi penegak hukum untuk mengidentifikasi jaringan ilegal perdagangan senjata 

api dan pembelian ilegal jenis senjata ini. Sebagaimana hasil statistik 

menunjukkan bahwa senapan laras panjang mengalami peningkatan dalam 

penggunaan pembunuhan oleh para kriminalis dan seringkali diperdagangkan 

secara ilegal di pasar sekunder. Khususnya dalam aktivitas kriminal kartel 

narkoba Meksiko diketahui agen senjata Amerika menjual lebih dari setengah. 

Sementara pembunuhan dengan jenis senjata ini terus mengalami kenaikan. 

Jenis senjata ini digunakan dalam kejahatan pembunuhan di daerah 

pedesaan dan pinggiran kota, sedangkan pistol digunakan dalam 91% 

pembunuhan di daerah-daerah kota besar (Gerney and Parsons, 2014a: 11-12). 

Bahkan angka kejahatan senapan laras panjang terus meningkat signifikan di 

tahun 2013. Banyak faktor yang memengaruhi tren ini termasuk kejahatan secara 

keseluruhan menurun lebih signifikan di kota-kota besar dibandingkan daerah 

pedesaan. Gerney dan Parsons (2014a: 14) juga menyimpulkan bahwa sudah 

saatnya untuk mengevaluasi kembali hukum federal dan negara bagian yang 

memiliki regulasi yang kurang tegas terhadap senapan laras panjang daripada 

senapan genggam, termasuk untuk senapan serbu.Berbagai masalah yang ditemukan yang menjadi celah dalam hukum 

kontrol senjata menjadi tantangan besar bagi pemerintah Amerika Serikat untuk 

dihadapi. Hanya saja, kembali disayangkan bahwa kondisi ini  tidak mampu 

diimbangi dengan ketersediaan aparat keamanan yang ada, sebagaimana Squires 

(2000: 86) mengutip Kates (1983: 268): 

It is regrettably the case that enormous increases in police budgets and personnel 

have not prevented the per capita incidence of reported robbery, rape and 

aggravated assault from rising by 300, 400 and 300 percent respectively since 

1960. Increasingly police are concluding, and even publicly proclaiming, that 

they cannot protect the law-abiding citizen, and that it is not only rational for him 

to choose to protect himself with firearms, but a socially beneficial deterrent to 

violent crime. 

Kurangnya perlindungan hukum oleh aparat keamanan dalam lingkungan 

warga  Amerika yang semakin berbahaya, menjadi salah satu penyebab besar 

mengapa warga  kemudian memilih jalan self-protection dengan memiliki 

senjata api pribadi. Squires (2000: 86) menyimpulkan:

‗The demand for legal handguns is positively related to riots and crime rates and 

negatively related to a measure of resources devoted to collective security, the 

number of police per capita. We interpret this as evidence that legal handgun 

demand is responsive to evaluations of the strength of collective security‘ 

(McDowall and Loftin, 1983: 1,147; Kleck, 1991: 27–33).

Tidak hanya oleh kalangan sipil biasa, bahkan penjahat sekalipun mengakui 

bahwa motivasi psikologis mereka memiliki senjata api adalah untuk 

perlindungan diri (OJJDP, 1999). Di satu sisi, situasi ini menandakan kurangnya 

kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah dalam menjalankan tugas 

memberikan perlin