rol in
return for a promise of greater public safety (Wright et al., 1983; Kleck, 1991;
Bijlefeld, 1997).‖
Penembakan Stockton ini menjadi contoh bahwa regulasi di negara bagian
yang bersifat lokal dapat memberi dampak secara nasional yang diikuti dengan
adopsi undang-undang oleh negara bagian lain, bahkan diikuti dengan
perundangan federal. Hanya saja pada perkembangannya, dengan kekuatan lobi
aktivis hak senjata api akhirnya berhasil menekan kongres untuk tidak
memperbarui pelarangan senapan serbu ketika kadaluarsa di tahun 2004,
meskipun Presiden George W. Bush dan setiap badan penegak hukum nasional
mendukung pelarangan ini . Organisasi kontrol senjata api mendebat
keputusan ini dengan menyatakan bahwa pelarangan senapan serbu telah
memberi dampak pada penurunan jumlah senapan serbu yang ada di jalanan dan
penggunaannya dalam kejahatan, oleh karena itu harus kembali disahkan (Valdez
and Ferguson Jr., 2011: 53).
3.4.2 Tragedi Columbine
Pada 20 April 1999, dunia kembali dikejutkan dengan aksi penembakan
massal di lingkungan sekolah. Dylan Klebold dan Eric Harris (17 tahun)
melakukan pembantaian di sekolah mereka, Columbine High School di Jefferson
County, Colorado. Keduanya menggunakan bom-bom rakitan, sebuah karabin
semi otomatis, sebuah pistol, dan dua senapan laras pendek (sawed-off shotguns).
Mereka membunuh 12 siswa dan 1 orang guru serta melukai hampir 20 orang
lainnya sebelum kemudian bunuh diri. Salah seorang teman kedua siswa, Robyn
Anderson (18 tahun) membeli dua dari empat senjata yang digunakan dalam
pembantaian ini dari penjual swasta di Tanner Gun Show dekat Denver.
Anderson mengaku jika seandainya dibutuhkan suatu pemeriksaan riwayat hidup
(background check) dia pasti tidak dapat melakukan pembelian ini (Valdez
and Ferguson Jr, 2011: 53-54).
Kasus ini menjadi salah satu contoh dari celah yang terdapat dalam hukum
kontrol senjata api sehingga pelaksanaannya menjadi kurang efektif. Valdes dan
Ferguson Jr. (2011: 54-55) juga menjelaskan bahwa pada tahun 1960 dan 1970-an
seiring industri senjata api diperluas dan kepemilikan senjata meningkat, pameran
pistol menjadi popular sebagai tempat untuk menjual senjata api. Sebanyak 2.000
hingga 5.000 pameran pistol diadakan setiap tahun di Amerika Serikat yang mulai
menarik perhatian mereka yang ingin membeli senjata api secara anonim. Bahkan
meskipun hukum The Brady Act mensyaratkan agar semua penjual senjata
berlisensi harus menjalankan pemeriksaan riwayat hidup terhadap semua
penjualan, akan tetapi penjual tanpa lisensi masih dapat menjual senjatanya pada
saat pameran senjata. Sedangkan di 32 negara bagian pemeriksaan riwayat hidup
tidak diperlukan. The Brady Law tidak mengatur tentang penjualan senjata api di
tangan kedua oleh non dealer, sehingga aktivis kontrol senjata api meyakini
bahwa dengan adanya pameran senjata maka orang yang tidak memiliki
kualifikasi dapat dengan mudah membeli senjata api dan hal ini dapat berakibat
bahaya seperti kejadian penembakan massal di SMA Columbine.
Pascatragedi Columbine, Presiden George W. Bush juga mengesahkan No
Child Left Behind Act (NCLB) of 2001, Public Law 107-110 pada 8 Januari 2001.
NCLB dimaksudkan untuk mengubah secara radikal tata cara mendidik siswa,
yang menekankan perbaikan sistem pendidikan dengan menitikberatkan empat
prinsip besar perbaikan: akuntabilitas, pelibatan orang tua dan komunitas dalam
proses pendidikan, pengambil keputusan secara lokal dan menggunakan programprogram berlandasakan ilmu pengetahuan (Modzeleski, 2007: 107). Menyadari
pentingnya perombakan dalam sistem pendidikan Amerika, berbagai institusi
pendidikan melakukan langkah-langkah afirmatif dalam meminimalisir kasus
kejahatan senjata api yang terjadi di sekolah. Salah satu kekhawatiran ini
muncul karena banyaknya kasus siswa membawa senjata api ke sekolah. Untuk
itu, pemerintah mengesahkan The Gun-Free Schools Act (GFSA) pada tahun
1994. Banyak sistem sekolah kemudian mengadopsi The Zero-Tolerance Law
yang mewajibkan sekolah untuk mengeluarkan siswa dari sekolah jika ditemukan
membawa senjata api (National School Safety Center, 2006).
Di dalam sebuah survey yang dilakukan, ditemukan bahwa banyak siswa
menjadi takut akan terjadinya serangan di sekolah oleh karena itu lebih banyak
siswa dilaporkan terlihat membawa pistol ke sekolah (NSSC, 2006: 7). Tidak
hanya itu, dari laporan survey oleh Justice Policy Institute and Children‘s Law
Center di tahun 1999 diketahui juga bahwa kini terdapat lebih banyak orang
Amerika yang menjadi lebih takut akan terjadinya penembakan di sekolahnyadibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selain itu, dari data yang terkumpul
ditemukan sebanyak 3,1 juta anak muda di Amerika diskors ataupun dikeluarkan
dari sekolah di tahun 1997 atau hampir 6,8% dari jumlah keseluruhan siswa.
Jumlah ini naik dari persentase 3,7% dari jumlah di tahun 1974 (NSSC,
2006: 17-18). Dalam laporan tahunan untuk tahun 2000 oleh U.S. Department of
Education mengenai ―State Implementation of the Gun-Free Schools Act – Year:
1998-1999‖ tercatat bahwa:
a) 55 states reported that they expelled a total of 3,523 students from school for
bringing a firearm to school.
b) 57 percent of the expulsions by school level were students in high school, 33
percent were in junior high, and 10 percent were in elementary school.
c) 59 percent of the expulsions reported by type of firearm were for bringing a
handgun to school.; 12 percent of the expulsions were for bringing a rifle or
shotgun to school, and 29 percent were for some other type of firearm (such as
bombs, grenades, or starter pistols). (NSSC, 2006: 15).
Banyak perubahan signifikan dalam dunia pendidikan Amerika khususnya
perbaikan yang menyangkut sistem keamanan sekolah dan tata cara pendidikan
anak pascatragedi Columbine sebagai hasil dari dorongan dan kekhawatiran
publik akan keselamatan anak. Akan tetapi, meskipun banyak perubahan yang
dilakukan belum juga mampu mencegah dan melindungi sekolah dari berbagai
aksi serangan bersenjata lainnya.
3.4.3 Pembantaian Virginia Tech
Amerika digegerkan kembali dengan serangan terorisme di lingkungan
pendidikan yang terjadi pada tanggal 16 April 2007 di Virginia Polytechnic Institute and State University. Kampus ini mendapat serangan dari seorang
mahasiswa yang bernama Seung Hui Cho, yang diketahui memiliki sejarah
gangguan mental. Pelaku menggunakan dua senapan genggam dan mengakibatkan
sebanyak 32 mahasiswa dan guru tewas dalam insiden ini sedangkan pelaku
kemudian tewas bunuh diri.
Seung Hui Cho membeli dua senapan genggam secara legal meskipun
memiliki latar belakang gangguan emosional yakni pernah mengencani siswi SMP
dan oleh hakim diputuskan bahwa ia menderita sakit secara mental dan
merupakan bahaya bagi dirinya sendiri. Akan tetapi, jelas Spitzer, nama Seung
Hui Cho tidak muncul di dalam daftar federal sebagai orang yang dilarang
membeli senapan genggam karena keinkonsistensian negara bagian Virginia
dalam melaporkan data ini kepada pemerintah federal. Oleh karena itu,
meskipun hukum federal The Brady Law memerintahkan negara bagian untuk
melaporkan data ini kepada The National Instant Criminal Background
Check System, akan tetapi hanya 22 negara bagian saja yang memenuhi aturan
ini di tahun 2007. Persoalannya adalah laporan ini tidak bersifat wajib
karena tidak diikuti dengan sanksi tegas bagi negara bagian yang gagal menaati
peraturan ini . Alasan lain adalah ketidakmampuan beberapa negara bagian
untuk membiayai pengembangan penyimpanan rekaman data yang esensi. Sekali
lagi hal ini menjadi celah dalam hukum kontrol senjata yang ada. Berbulan-bulan pascapenembakan, Virginia kemudian mengundangkan
legislasi baru untuk memperbaiki penyimpanan rekaman data dan praktek
laporannya. Selain itu, di awal 2008 Kongres akhirnya mengundangkan legislasi
yang memaksa semua negara bagian untuk menaati persyaratan-persyaratan
federal (Spitzer, 2009: 312).
3.4.4 Pembantaian Massal di Sandy Hook Elementary School
Kasus penembakan massal di area sekolah yang meningkat tajam di akhir
abad ke-20 terus berlanjut hingga abad ke-21. Salah satu kasus yang paling
menggegerkan dunia adalah pembantaian di Sandy Hook Elementary School tahun
2012 yang memakan 26 korban termasuk 20 anak-anak. Pelaku pembunuhan
Adam Lanza (20 tahun) juga mengakhiri hidupnya dengan senjata setelah aksi
brutalnya. Senapan serbu yang digunakan Lanza merupakan senjata legal milik
ibunya. Peristiwa ini kembali menjadi contoh bagaimana senjata yang diperoleh
secara legal juga berpotensi besar disalahgunakan dalam aksi kejahatan.
Berbagai pembantaian massal yang belakangan marak terjadi menandakan
bahwa lingkungan pendidikan di Amerika Serikat tidak lagi seaman dulu.
Kejahatan senjata api dapat terjadi kapanpun, di manapun, baik di daerah
perkotaan, pinggiran kota atau pedesaaan sekalipun, bahkan tanpa mengenal level
sekolah dan secara sadis tanpa memandang jenis kelamin ataupun umur calon
korbannya, seperti dalam kasus ini. Tingginya angka kejahatan senjata api di Amerika menempatkan negara ini pada posisi pertama dalam kasus penembakan
di lingkungan pendidikan terbanyak di dunia.
Tragedi ini dan yang serupa lainnya memukul kesadaran semua pihak
bahwa kemudahan akses senjata api di Amerika merupakan problematika serius
yang harus segera ditangani. Berbagai elemen warga mendorong pemerintah
untuk menyusun berbagai regulasi baru yang kompleks, yang bahkan tidak pernah
ada di masa-masa sebelumnya. Pascatragedi Sandy Hook ribuan orang
menandatangani petisi online yang mendesak Gedung Putih untuk segera
membahas isu kontrol senjata api melalui penyusunan undang-undang. "The goal
of this petition is to force the Obama Administration to produce legislation that
limits access to guns. While a national dialogue is critical, laws are the only
means in which we can reduce the number of people murdered in gun related
deaths" (http://abcnews.go.com/blogs/politics/2012/12/petition-calls-for-whitehouse-to-address-gun-control/).
Presiden Obama secara terbuka menyatakan komitmennya untuk mengatur
kontrol senapan serbu. Pascapenembakan Newtown, Obama mengajukan
rangkaian proposal hukum kontrol senjata api, termasuk memperluas pengecekan
riwayat hidup. Sayangnya proposal ini harus terhalang di kongres yang
sebagian besar disebabkan oleh oposisi Republikan. Banyak Republikan
mengatakan bahwa rencana kontrol senjata ini tidak efektif dan juga
pelanggaran terhadap hak Amandemen Kedua terkait kepemilikan senjata api. Para anggota GOP mengatakan bahwa penekanan harus pada pencegahan orang
dengan gangguan mental untuk memiliki senjata api.
Meskipun begitu, Walikota Washington Vincent Gray mendukung
Presiden Obama dengan pernyataan "our country is drowning in a sea of guns,‖
dan secara tegas berpendapat, ―a fact of life which we must stop accepting."
(http://www.usatoday.com/story/news/nation/2013/09/22/navy-shooting-spreememorial-service-obama/2849165/Obama calls for 'transformation' of nation's gun
laws). Pascakekalahan proposal undang-undang kontrol senjata api, Presiden
Obama melakukan pidato yang mengungkapkan kekecewaannya. Meskipun
demikian, Obama tetap menyatakan komitmennya untuk terus melawan kekerasan
senjata api di Amerika Serikat. Berikut petikan pidatonya.
THE PRESIDENT: ―A few months ago, in response to too many tragedies —
including the shootings of a United States Congresswoman, Gabby Giffords,
who‘s here today, and the murder of 20 innocent schoolchildren and their
teachers –- this country took up the cause of protecting more of our people from
gun violence. By now, it‘s well known that 90 percent of the American people
support universal background checks that make it harder for a dangerous person
to buy a gun. We‘re talking about convicted felons, people convicted of domestic
violence, people with a severe mental illness. Ninety percent of Americans
support that idea. Most Americans think that‘s already the law. And a few
minutes ago, 90 percent of Democrats in the Senate just voted for that idea. But
it‘s not going to happen because 90 percent of Republicans in the Senate just
voted against that idea.
…..
But this effort is not over. I want to make it clear to the American people we can
still bring about meaningful changes that reduce gun violence, so long as the
American people don‘t give up on it. Even without Congress, my administration
will keep doing everything it can to protect more of our communities. We‘re
going to address the barriers that prevent states from participating in the existing
background check system. We‘re going to give law enforcement more information
about lost and stolen guns so it can do its job. We‘re going to help to put in place
emergency plans to protect our children in their schools.‖
Meskipun terdapat berbagai upaya yang dilakukan untuk menetapkan
perundangan yang melarang senapan serbu, akan tetapi upaya-upaya ini
selalu gagal dikarenakan dominasi lobi pro hak senjata. Adapun fenomena lain
yang berkembang di tengah krisis kejahatan senjata yaitu justru terjadi
peningkatan dalam jumlah permintaan senapan serbu setelah Obama
mengumumkan niatnya melarang senjata ini . Sebagaimana dilansir oleh
beberapa situs berita termasuk Nbcnews.com bahwa penjualan senjata meningkat
drastis di beberapa kota, bahkan senjata yang digunakan Adam Lanza, pelaku
penembakan, terjual habis, sehingga agen senjata api mengaku kehabisan stok
meskipun telah menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan sebelum
penembakan Newtown. Rilis situs berita ini , jenis rifle AR-15-style ini menjadi semakin
populer setelah digunakan Adam Lanza di Newtown, sementara sebagian besar
alasan para pembeli adalah untuk berlatih menggunakannya sebelum penjualannya
dilarang. Akan tetapi, Presiden Obama berjanji ―to put everything I've got into
passing a series of proposals intended to crack down on gun violence, as
Republicans and the NRA are already signaling it will be an uphill battle for the
administration.‖ (http://usnews.nbcnews.com/_news/2013/01/18/16570552-gunstores-running-low-on-weapons-as-sales-surge-owners-say?lite). Kasus ini
menggambarkan bagaimana sebuah tragedi justru menjadi epidemik baru di
warga untuk semakin ingin memiliki senjata, bahkan jenis senapan serbu
yang paling berdampak mematikan. Dampak lainnya adalah melalui jajak
pendapat yang diprakarsai ABC News/Washington Post setelah kejadian
penembakan massal ini ditemukan bahwa 71% orang Amerika menentang
pelarangan penjualan pistol kepada setiap orang selain penegak hukum
(http://abcnews.go.com/US/OTUS/controlling-gun-violence-obstacles-effectivepolicy/story?id=18008013). Situasi ini seakan membenarkan pendapat yang
menyatakan bahwa di mana terjadi kekacauan maka di situ permintaan senjata api
pun meningkat. Sebagaimana pendapat Sherill (1973) yang dikutip Squires:
After any serious riot gun sales are said to jump fourfold in that locale …
doubtless there is some connection between the rise in crime and the increase in
gun sales, but there is no way to know to what extent the teetering mound of arms
causes crime and to what extent it is simply there as a defensive response
(Squires, 2000: 86).
Sedangkan McDowall dan Loftin mengamati secara lebih luas dengan
berkesimpulan bahwa permintaan senapan genggam berkaitan dengan tingkat
keamanan dan tingkat kejahatan serta kekuatan polisi dalam menjamin keamanan
kolektif (Squires, 2000: 86-87).
Tragedi ini di satu sisi sangat menyita perhatian publik terutama
memunculkan berbagai ide dan saran untuk mencegah kekerasan senjata terjadi di
lingkungan sekolah. Salah satunya yang secara khusus diprakarsai oleh NRA yaitu
usulan perencanaan dan legislasi untuk mempersenjatai para guru. Seperti
berbagai usulan legislasi lainnya, ide inipun menuai kontroversi, terutama karena
banyak kekhawatiran dari warga . Meskipun begitu, dalam berita yang dirilis
The New York Times 9 Maret 2013 mengabarkan bahwa South Dakota menjadi
negara bagian pertama yang mengesahkan hukum secara eksplisit yang memberi
kewenangan kepada karyawan sekolah untuk membawa senjata di tempat kerja.
Bahkan di beberapa negara lain juga tidak ada pembatasan hukum sehingga
memungkinkan para guru untuk memiliki senjata di dalam kelas. The Harrold
Independen School District di Texas mulai memungkinkan para guru untuk
membawa senjata pada tahun 2008, kemudian Utah juga disebut memiliki guru
yang membawa senjata di dalam kelas meskipun mereka tidak perlu
mengungkapkan secara terbuka (http://www.nytimes.com/2013/03/09/us/southdakota-gun-law classrooms.html?_r=0).
Para petugas keamanan ini harus melewati pelatihan tambahan khusus
untuk mendapatkan izin membawa senjata tersembunyi di sekolah atau universitas
mereka. Tidak hanya itu, berbagai perangkat sekolah diciptakan anti peluru, seperti meja anti peluru, pintu dan papan tulis kelas anti peluru. Berbagai
perangkat keamanan juga dipasang di sekolah seperti kamera keamanan, metal
detector, penjaga sekolah di lorong serta menempatkan petugas keamanan atau
polisi secara berkala di sekolah. Banyak perombakan yang dilakukan dalam
sistem keamanan sekolah di Amerika. Di sisi lain, ide membolehkan senjata api di
sekolah ini ditentang banyak kalangan, khususnya kelompok pro kontrol senjata,
mengingat bahwa kepemilikan senjata api juga memiliki resiko penyalahgunaan
ataupun resiko kecelakaan. Selain itu, terdapat berbagai macam resiko dan
pertimbangan lainnya, terutama jika tidak tersimpan dengan aman, siswa dapat
mengakses senjata ini sehingga justru membahayakan.
Tindakan pencegahan juga diajukan untuk mencegah anak atau remaja
menggunakan senjata yang diambil dari rumahnya, yaitu dengan mengamankan
senjata api yang disimpan di dalam rumah. Penembakan di Newtown 2012 dan
berbagai kasus lainnya yang melibatkan senjata api legal diketahui berasal dari
rumah. Untuk itu, sebagian besar negara bagian saat ini memiliki Child Access
Prevention Laws, hukum yang disusun untuk mencegah anak mengakses senjata
api dari rumah.
3.5 Peningkatan Kekerasan Senjata Api oleh Pemuda
Dari berbagai penelitian yang pernah dilakukan, para ahli sependapat
bahwa angka kejahatan senjata api di Amerika sangat erat kaitannya dengan keterlibatan angka kekerasan oleh pemuda (remaja dan dewasa muda).
Berdasarkan kumpulan data BJS, peningkatan tajam dalam kasus pembunuhan
dari pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an dan banyak penurunan berikutnya
adalah disebabkan oleh kekerasan senjata remaja dan dewasa muda (2011: 28).
Berdasarkan data BJS dari tahun 1980 sampai 2008, sekitar sepertiga (34%) dari
korban pembunuhan dan hampir setengah (49%) dari pelaku berada di bawah usia
25 tahun. Untuk keduanya, korban dan pelaku, memuncak pada kelompok usia 18
sampai 24 tahun di tingkat 17,1 korban per 100.000 dan 29,3 pelaku per 100.000
(BJS, 2011: 3).
Tingkat viktimisasi untuk remaja laki-laki (berusia 14 sampai 17 tahun)
sangat mencolok terjadi pada remaja kulit hitam yaitu pada puncaknya tahun 1993
dengan tingkat 79 kasus pembunuhan per 100.000 sedangkan 9,4 kasus
pembunuhan per 100.000 untuk kulit putih (BJS, 2011: 14). Meskipun terjadi
penurunan dalam jumlah pembunuhan dengan senjata tahun 2008 akan tetapi
angka ini masih lebih tinggi dari jumlah pembunuhan di awal dan pertengahan
1980-an. Pembunuhan oleh remaja dan dewasa diketahui lebih cenderung
dilakukan dengan pistol.
Istilah popular awal tahun 90-an seperti ―juvenile super predator‖,
―coming blood bath‖ dan ―crime time bomb‖ menandakan bertumbuhnya
generasi anak muda yang keji. Jumlah remaja yang ditahan untuk tindak
kekerasan (murder, forcible rape, robbery, and aggravated assault) bertumbuh 64% antara tahun 1980 dan 1994. Remaja yang ditahan untuk pembunuhan
melonjak 99% selama periode ini , sedangkan antara 1984 dan 1993 saja
tingkat penahanan pembunuhan pemuda melonjak 167% (Butts and Travis, 2002:
2). Bahkan kekerasan senjata di lingkungan sekolah bukan hal yang tabu lagi di
Amerika. Data dari BJS pembunuhan di sekolah oleh pemuda terakumulasi
kurang dari 2% dari semua kasus pembunuhan anak muda usia 5 sampai 18 tahun.
Selama tahun 2000-an, rata-rata sekitar 1.600 pembunuhan anak muda usia 5
sampai 18 terjadi per tahun dan mayoritas kasus pembunuhan terhadap pemuda
baik di sekolah dan luar sekolah dilakukan dengan senjata api (2013: 9).
CDC dalam ―The 10 Leading Causes of Death by Age Group‖ tahun 2007
mencatat bahwa kasus pembunuhan dan bunuh diri masing-masing menjadi
penyebab kedua dan ketiga kematian pemuda usia 15-24 tahun. Pemuda paling
rentan terbunuh di antara kelompok usia lainnya dibandingkan dengan usia
dewasa di atas 25 tahun. Sedangkan untuk kelompok usia 10-14 tahun
pembunuhan dan bunuh diri masing-masing berada pada urutan ketiga dan
keempat, sementara di tahun 1998-dst. diketahui pembunuhan adalah penyebab
utama kematian pemuda kulit hitam laki-laki dan perempuan usia 15-24 tahun dan
bunuh diri pada urutan ketiga (Murphy, 2000: 33). Pembunuhan terkait senjata api
telah menjadi penyebab utama kematian untuk laki-laki kulit hitam usia 15-19
sejak 1969 (OJJDP, 1999). Tingginya angka kematian pemuda ini tentunya sangat memprihatinkan
dan menjadi perhatian utama berbagai pihak terutama orang tua dan guru karena
banyak remaja Amerika saat ini terlibat dalam aktivitas berbahaya di saat mereka
masih berada dalam usia sekolah. Banyak di antaranya tidak segan membawa atau
menggunakan senjata di sekolah sebagaimana dilaporkan dalam berbagai survey.
Dalam ―Causes of School Violence‖ oleh Constitutional Rights Foundation
(2015) dipaparkan berbagai perihal penyebab terjadinya kekerasan siswa di
sekolah, salah satunya lewat studi yang dilakukan oleh U.S. Department of
Education dan U.S. Department of Justice tahun 2006 yang berjudul ―Indicators
of School Crime and Safety‖.
Dalam studi ini ditemukan bahwa sekolah negeri mengalami
peningkatan insiden kekerasan 71 hingga 81% selama periode lima tahun (1999-
2000). Selain itu, disebutkan bahwa sebagian besar pendidik, peneliti dan praktisi
pendidikan setuju bahwa kekerasan dalam sekolah muncul dari akibat yang
berlapis dan faktor-faktor resiko termasuk (tapi tak terbatas pada) akses senjata,
kekerasan media, pelecehan lewat dunia maya (cyber abuse), pengaruh sekolah,
komunitas, dan lingkungan keluarga, alienasi personal, dan lain-lain (www.crfusa.org/school-violence/causes-of-school-violence.html). Berikut ini akan dibahas
beberapa pokok permasalahan yang memengaruhi perilaku kekerasan pemuda.
Pada periode selama akhir 1980-an dan awal 1990-an terekam dalam data
pemerintah bahwa kekerasan senjata oleh remaja meningkat drastis di Amerika
Serikat yang berakibat pada melonjaknya angka kematian dan luka serius. Pemuda
yang membawa senjata di luar rumah bahkan ke sekolah sangat tinggi, yaitu 14%
di tahun 1997 atau 1 dalam 7 pemuda laki-laki mengakui membawa senjata api
keluar rumah dalam periode 30 hari. Sedangkan dalam sebuah studi terhadap 800
siswa SMA di dalam kota melaporkan bahwa 22% mereka mengaku membawa
senjata (OJJDP, 1999). Kondisi ini dimungkinkan karena adanya akses yang
mudah terhadap senjata api, dimana beberapa negara bagian seperti misalnya
Texas, tidak mengatur batasan umur untuk memiliki senjata api terutama untuk
jenis laras panjang (Open Society Institute, 2000: 1). Selain itu banyak anak masa
kini tinggal di dalam rumah yang memiliki senjata api dan dapat dengan mudah
mengaksesnya.
Dalam survey tahunan nasional ke-13 oleh USA Weekend terhadap
129.593 siswa responden tingkat 6-12 dari sekolah-sekolah yang ada di kota,
pinggiran kota dan pedesaan ditemukan bahwa ―Almost 50% of the respondents
reported having a gun in their home, and of those, more than half say they can get
their hands on it. Among respondents, 4 in 10 say a teen in their community could
get a gun within a day‖ (National School Safety Center, 2006: 16). Kemudahan
ini membuat remaja “terekspos” dalam lingkungan bersenjata, yang justru dapat 6membawa bahaya karena berbagai resiko yang bisa diakibatkan. Tidak hanya
berbahaya bagi remaja itu sendiri tetapi juga lingkungan sekitarnya. Beberapa
kasus pembunuhan dan kejahatan serius dengan senjata oleh remaja terbukti
berasal dari rumah, misalnya contoh kasus penembakan di Sparks Middle School
tahun 2013. Penembakan di sekolah ini dilakukan oleh remaja laki-laki
berumur 12 tahun yang mengambil senjata dari rumahnya kemudian menembak
guru dan 2 siswa, sebelum kemudian bunuh diri dengan senjata ini
(www.kolotv.com/home/headlines/Police-Middle-School-Shooter-Got-Gun-fromHome-228798851.html).
Akses senjata oleh pemuda ini merupakan masalah besar karena senjata
dapat diperoleh dengan berbagai cara, misalnya dengan mencuri, meminjam
ataupun melakukan pembelian lewat pasar sekunder melalui gun shows, yang
tidak sedikit di antaranya digunakan dalam tindak kejahatan. Senjata api telah
menjadi fasilitator dalam tindakan kekerasan, dan dengan ketersediannya secara
luas, oleh para kritikus sering dikaitkan dengan peningkatan kejahatan senjata
yang terjadi di warga , khususnya dengan kemudahan akses oleh pemuda
yang cenderung memiliki perilaku agresif.
3.5.1.2 Kekerasan Media
Media massa saat ini juga memiliki peran dalam menyumbang angka
kekerasan di antara remaja. Berbagai media, televisi, film, komik, musik, internet, hingga video game banyak menyuguhkan unsur kekerasan yang dilengkapi
dengan berbagai kecanggihan senjata api untuk menambah keseruan padahal
banyak anak muda yang memanfaatkan media ini secara bebas. Paparan aksi
kekerasan secara terus-menerus ini tanpa pengawasan dan bimbingan orang
tua dapat memberi dampak negatif bagi perilaku remaja, meningkatkan perilaku
agresif dan bahkan adegan kekerasan ini dapat dipelajari atau ditiru.
Sebagaimana Professor of Child Psychiatry (Harvard Medical School), Felton
Earls menjelaskan ―Violent behavior is learned behavior..It is reflected in the
brain but is not carried by genes. We have done a good job of changing social
norms with respect to child abuse. Now we need to broaden this to include
exposure to violence‖ (http://harvardmagazine.com/2013/01/gun-violence-andpublic-health).
Di satu sisi, dengan hadirnya internet aktivitas bullying berkembang
menjadi cyber abuse, cyber bullying di antara pemuda yang dapat berdampak pada
psikologis remaja yang menjadi korban. Dalam survey nasional oleh USA
Weekend terhadap remaja dilaporkan bahwa ‖About 50% of the respondents
blame movies, video games, the Internet and TV for promoting violence among
their peers. About 1 in 10 teens who responded to the survey admitted they have
visited a hate or bomb-making site on the Internet (among boys, it‘s one in eight)‖
(NSSC, 2006: 16).
Tidak hanya itu, ribuan situs penjualan kebutuhan senjata tersedia secara
online yang sangat memudahkan pembelian tanpa harus melewati prosedur hukum
lewat agen penjual senjata resmi. Contoh kasus pelaku penembakan massal
bioskop Aurora memborong ribuan peluru dari jaringan online. Inilah salah satu
celah dalam regulasi kontrol senjata yang belum mampu diatasi hingga saat ini.
3.5.1.3 Lingkungan Pergaulan
Pergaulan anak remaja dengan teman sepergaulannya diklaim para peneliti
lebih memberi pengaruh terhadap sikap remaja. Sebagaimana hasil penelitian The
National Longitudinal Study of Adolescent Health tahun 2000 bahwa “How
teenagers perform in school, and the peers they hang out with after classes, have
more influence than their race or family-income level on whether they will drink
alcohol, smoke cigarettes, or carry weapons‖ (NSSC, 2006: 11). Hasil penelitian
ini berlawanan dengan pandangan luas bahwa ras dan pendapatan memiliki
pengaruh utama.
Dengan kondisi orang tua yang bekerja selama siang hari membuat anak
berada dalam kondisi yang tidak terawasi pascajam sekolah. Situasi ini
memungkinkan anak lebih rentan melakukan kegiatan berbahaya ketika bergaul
pascajam sekolah dibandingkan anak yang memiliki aktivitas terawasi, mereka
dapat terlibat narkoba, alkohol, merokok dan lain-lain dengan teman
sepergaulannya.
Keterlibatan Anak Muda dalam Geng
Terjadi peningkatan besar keterlibatan remaja dalam aktivitas kelompok
geng, narkoba, dan penembakan dengan senjata api. Misalnya pada tahun 2002
dalam total 14.054 korban pembunuhan, diketahui sebanyak 9.369 korban akibat
luka senjata api. Di antara jumlah ini adalah kasus pembunuhan geng
pemuda dengan total 911 korban pembunuhan, yang sebagian besar dilakukan
dengan senjata api yaitu sebanyak 870 korban (FBI, 2003: 26). Sedangkan
aktivitas geng, tidak lagi menjadi persoalan warga perkotaan semata. Dari
tahun 1989 hingga 1995, persentase siswa yang melaporkan bahwa geng jalanan
hadir di sekolah meningkat 186% di sekolah-sekolah pinggiran kota dan 250% di
sekolah-sekolah di pedesaan. Geng dilaporkan beroperasi di 41% sekolah di
perkotaan, 26% sekolah di pinggiran kota, dan 20% sekolah di pedesaan (OJJDP,
1999). Kehadiran geng ini semakin menjadi tren karena dengan memiliki anggota
“perkumpulan” mereka merasa lebih kuat, superior, dan dipercaya bisa membantu
mereka ketika sedang berada dalam kesulitan.
3.5.1.5 Lingkungan Keluarga
Dalam ―Causes of School Violence‖ disebutkan berbagai penyebab
terjadinya kekerasan siswa di sekolah, salah satunya oleh Profesor di Universitas
California di Santa Cruz, Michael Males, yang menjelaskan sumber dibalik sikap
dan perilaku anak-anak ini :
More than any past generation, today's kids are far more likely to grow up with
parents who abuse drugs, get arrested, go to prison, disappear, fail to maintain
stable families. Poverty, disownment, and messed-up adults are by far the biggest
problems kids face, and the mystery is why only a relatively small fraction of
modern kids are acting dangerously (www.crf-usa.org/school-violence/causes-ofschool-violence.html).
Diterangkan juga bahwa penyebab lain adalah kedua orang tua demi memenuhi
kebutuhan ekonomi masa kini dituntut untuk bekerja sepanjang hari, kemudian
banyak anak kini harus dibesarkan oleh orang tua tunggal termasuk remaja yang
sudah menjadi ibu, dan juga beberapa anak ditelantarkan ataupun mendapatkan
penyiksaan dari orang tuanya. Selain itu, permasalahan keluarga yang dihadapi
kedua orang tua seperti kecanduan alkohol, narkotika, kekerasan dalam rumah
tangga, ketersediaan senjata di rumah, juga dapat mendorong anak untuk
mengikuti jejak orang tuanya.
Dalam survey lain yang dilakukan MTV Networks and Garin-Hart
Research Associates didapatkan hasil bahwa ―Drugs were considered the leading
cause of violence (26%), followed by the economy/unemployment (20%), lack of
moral values (16%), family unit breakdown (15%), and gangs (14%)‖ (NSSC,
2006: 30). Kerumitan situasi yang dihadapi sang anak membuat anak tumbuh
dalam lingkungan yang tidak aman, terlebih dengan nilai moral yang merosot
karena ketidakmampuan orang tua memberi teladan kepada sang anak. Banyak
pihak kemudian sangat mengandalkan peran multifungsi sekolah dalam hal
mendidik dan memberikan perlindungan terhadap anak. Sekolah-sekolah di
Amerika kemudian banyak menambah kegiatan ekstra pascajam sekolah untuk
6membuat siswa tetap berada dalam kegiatan positif dan terawasi. Sekolah juga
dituntut untuk menjamin keamanan siswanya. Fungsi ganda sekolah saat ini
semua dilakukan demi kepentingan anak, ketika fungsi orang tua semakin
berkurang peranannya.
3.5.1.6 Ras dan Etnisitas
Remaja laki-laki kulit hitam paling rentan menjadi korban atau penyerang
dalam tindak kejahatan, meskipun kulit putih juga pada tahun tertentu dominan
dalam kasus kematian akibat luka senjata. Seperti data BJS pada tahun 1998 ―Of
the firearm injury deaths in 1998, 61.9 percent were white males, 21.5 percent
were black males, 11.3 percent were white females, and 3.0 percent were black
females (Murphy, 2000: 10)‖. Meskipun begitu, akumulasi secara umum masih
mencolok dialami oleh kulit hitam. Dengan adanya marginalisasi dan rasisme
remaja kulit hitam paling banyak tumbuh dalam lingkungan yang berbahaya.
Dalam survey ―Annual Report on School Safety‖ tahun 2000 ditemukan bahwa
terdapat perbedaan dalam persepsi siswa terkait keamanan di sekolah berdasarkan
ras dan grup etnik, dimana persentase ketakutan terjadinya penyerangan lebih
besar dialami oleh siswa kulit hitam dan hispanik daripada kulit putih (NSSC,
2006: 13).
Di dalam berbagai survey yang dilaksanakan secara periodik tingkat
kekerasan di sekolah dihubungan dengan aktivitas bullying, cyber bullying,
alcohol, drugs, gangs yang dilaporkan hadir di lingkungan sekolah. Tindakan
pelecehan dan bullying biasa dilakukan oleh kelompok superior di sekolah bahkan
bisa berlanjut hingga ke perguruan tinggi. Hal ini dianggap sebagai perilaku yang
wajar dan dapat diterima oleh orang dewasa sebagai bagian dari “pengalaman”
masa sekolah dan masa muda, padahal perlakuan ini dapat berdampak
negatif secara psikologis, korban dapat berubah menjadi tidak percaya diri dan
merasa terasing dari lingkungan pergaulannya. Pada tahap akut kondisi merasa
tertekan ini dapat memicu keinginan bunuh diri ataupun balas dendam. Seperti
contoh kasus pembantaian di SMA Columbine, kedua remaja pelaku Eric Harris
dan Dylan Klebold ditengarai merupakan korban brutal high school bullies
sehingga dianggap menjadi faktor penyebab penembakan berdarah dingin yang
mereka lakukan (http://www.nytimes.com/2004/04/24/opinion/the-columbinekillers.html).
Tidak hanya itu, keterlibatan siswa dengan senjata api menjadi
permasalahan serius di Amerika karena dalam berbagai survey ditemukan bahwa
banyak siswa membawa senjata api ke sekolah. Salah satunya dalam ―Students‘
Reports of School Crime: 1989 and 1995‖ tahun 1998 dilaporkan, ―In 1995,
students were questioned about guns at school. (These questions were not asked in
1989.) Although less than one-half of 1% reported taking a gun to school, 5.3%
reported seeing another student with a gun at school, and 12.7% reported
knowing another student who brought a gun to school‖ (NSSC, 2006: 20).
Kemudian dalam laporan lain, ―Report Card on the Ethics of American Youth
2000, Report #1: Violence, Guns and Alcohol‖ oleh Josephson Institute of Ethics
ditemukan:
a) 60 percent of high school and 31 percent middle school boys said they could get a
gun if they wanted to.
b) 69 percent of high school and 27 percent of middle school boys said they could
get drugs if they wanted to
c) 19 percent of high school and 9 percent of middle school boys admit they were
drunk at school at least once in the past year.
(NSSC, 2006: 9).
Dalam survey yang lain dilaporkan bahwa antara tahun 1994 dan 1996,
persentase siswa laki-laki kelas 12 yang melaporkan membawa senjata ke sekolah
dalam kurun waktu 4 minggu terakhir bertambah dari 4,8 ke 6,3 atau sekitar 1
dalam 17 ((OJJDP, 1999). Adapun alasan utama mereka memiliki atau membawa
senjata adalah untuk perlindungan diri, mereka merasa lebih aman jika membawa
senjata. Beberapa alasan ini umumnya diungkapkan setelah sebelumnya
mendapatkan serangan. ―In 1999, 3.6 percent of students who experienced violent
victimization and 3.9 percent who reported being bullied at school also reported
bringing a weapon to school‖ (NSSC, 2006: 6). Banyak anak kini merasa tidak
aman berada di sekolah.
More than one in three students (39 percent of middle schoolers and 36 percent
of high schoolers) said they don‘t feel safe at school. 43 percent of high school
and 37 percent of middle school boys believed it is OK to hit or threaten a person
who makes them angry. Nearly one in five (19 percent) of the girls agreed (NSSC,
2006: 9).
Dengan banyaknya tingkat kejahatan jalanan, membawa ketakutan
berbagai pihak bahkan motivasi psikologis para pemilik senjata oleh penjahat
sekalipun menyatakan untuk perlindungan diri. Seperti yang dikutip Squires
(2000: 87), ―the evidence suggests that among the juveniles studied, the odds of
surviving in a hostile environment were seen as better if one were armed (Sheley
and Wright, 1993: 386–387).‖ Sebagian besar responden ini bertempat
tinggal di daerah dengan tingkat kejahatan yang tinggi, kekerasan yang tinggi,
secara sosial termarginalkan dari lingkungan kota, pernah menjadi korban
kekerasan dan pilihan mereka adalah mempersenjatai diri, tidak terkecuali di
sekolah. Sementara anak muda sangat reaktif dalam bersikap menghadapi
ancaman, dan meskipun terdapat alasan untuk perlindungan diri, akan tetapi
kepemilikan senjata api juga sangat berpotensi untuk disalahgunakan, seperti
dapat dijadikan alat bantu dalam melakukan kejahatan.
3.6 Hukum Membawa Senjata Tersembunyi (Concealed Carry)
Squires di dalam bukunya (2000: 82) mencontohkan majalah NRA
American Rifleman dan publikasi lainnya seperti Guns & Ammoor Combat
Handguns yang secara berkala menonjolkan berbagai artikel cerita ―it happened
to me‖, sebagai daur ulang kisah orang-orang yang menggunakan senjata api
untuk efek baik dalam menghalangi agresor. Misalnya cerita mereka yang pernah
menggunakan senjata untuk menggagalkan serangan atau percobaan pemerkosaan.
Pada saat penulisan ini , lebih dari 30 negara bagian memperkenalkan hukum
yang memungkinkan warga sipil untuk memiliki izin membawa senjata
tersembunyi secara meluas di negara bagian (dikeluarkan baik oleh polisi ataupun
departemen perizinan kota lainnya). Dalam beberapa kasus hukum ini
berlawanan dengan hukum lama yang mengatur bahwa membawa senjata api
tersembunyi adalah suatu pelanggaran.
Squires menulis bahwa sebagian besar negara bagian telah mengadopsi
undang-undang ini sejak 1990, empat mengadopsinya pada 1980-an, Alabama
mengadopsinya tahun 1936, New Hampshire tahun 1923 sementara Vermont tidak
pernah mengatur hukum membawa senjata tersembunyi (2000: 82). Kemudian
dari sebuah penelitian oleh Center to Prevent Handgun Violence (1993) terhadap
hukum akses senjata api bagi kelompok minor di negara bagian, didapatkan
bahwa 22 negara bagian mengizinkan membawa pistol secara terbuka bagi orang
berumur di bawah 18 tahun, dan hanya 13 negara bagian dan distrik Columbia
yang melarang semua kelompok minor di bawah 21 tahun, sedangkan tidak
terdapat hukum pelarangan federal terkait membawa pistol secara terbuka bagi
kelompok minor (NSSC, 2006: 34).
Sementara itu, pengaturan lisensi bervariasi dari setiap negara. Di negaranegara bagian tertentu, izin diberikan antara untuk 1 dan 5 tahun, batas usia
berlaku bagi kebanyakan negara bagian hanya mengeluarkan untuk mereka yang berusia 21 tahun ke atas (meskipun beberapa pada usia 18 tahun). Lott (1998)
dalam Squires (2000: 82-83) mengemukakan bahwa 16 negara bagian
memerlukan pemohon untuk menjalani beberapa pelatihan menembak, legal
dan/atau pelatihan keamanan (biasanya durasi kurang dari 10 jam) tetapi 11
negara tidak memerlukan pelatihan apapun. Dengan demikian, melalui peraturan
ini warga sipil (yang memiliki kualifikasi) mendapatkan keluasan untuk
memiliki dan membawa senjata api ke mana saja. Hal ini tentu menjadi tantangan
dan kontroversi tersendiri bagi kelompok pro kontrol senjata api.
Valdes dan Ferguson mengemukakan bahwa saat ini warga Amerika
memiliki sekitar 283 juta senjata yang artinya diperkirakan 97 senjata untuk setiap
100 orang di Amerika. Menurut mereka hubungan mematikan antara kepemilikan
senjata dan tingginya kejahatan ini dapat dilihat dari statistik Amerika
Serikat jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang meminimalisir akses
senjata api. ―According to data from the National Center for Health Statistics, the
U.S. firearms death rate in 1995 was 13.7 per 100,000; in Canada, it was 3.9 per
100,000; in Australia, it was 2.9 per 100,000; and in England and Wales, it was
0.4 per 100,000‖ (Valdez dan Ferguson, 2011: 45). Dari angka ini terlihat
jelas bahwa angka kematian senjata api di Amerika melambung tinggi berkali
lipat dibandingkan negara lainnya.
Selanjutnya Squires (2000: 62) menyebutkan bahwa di dalam laporan
―Firearms and Violence in American Life‖ oleh Newton dan Zimring (1968)
disimpulkan bahwa semakin banyak senjata api yang ada, semakin banyak juga
kejahatan senjata api cenderung terjadi. Proporsi dari penggunaan senjata dalam
kejahatan tampak dari berkembang dan menurunnya level kepemilikan senjata api
di warga . Bahkan dengan bertambahnya dukungan negara bagian terhadap
hukum ―concealed carry of a handgun‖ yang saat ini menjadi 49 negara bagian
(NSSF, 2012: 2) menggambarkan semakin menguatnya posisi hak senjata
dikukuhkan sebagai kebutuhan warga sipil masa kini di Amerika Serikat.
3.7 Pro-Kontra Kontrol Senjata Api
Para pendukung kontrol senjata maupun hak senjata masing-masing
memiliki argumen yang kuat dalam memertahankan pendapatnya terkait isu hak
kepemilikan senjata api. Dengan kekuatan retorika kedua kelompok saling beradu
untuk menyukseskan kepentingan masing-masing kelompok yang didukung
dengan data hasil penelitian yang dilakukan.
3.7.1 Pendukung Hak Senjata Api: Mempersenjatai Diri Mengurangi
Angka Kejahatan
Merespon berbagai peraturan kontrol senjata api yang berkembang,
kelompok oposan menyerang kontrol senjata yang dievaluasi bertendensi untuk
melucuti senjata para warga yang taat hukum. Di satu sisi menurut Squires (2000:
68-69) argumen ini memiliki dasar pemikiran yang beralasan sebagaimana Wright
(1995) menjelaskan, “Gun control could be looked upon as a slur upon the responsibility and integrity of the USA‘s many millions of gun owners, the
overwhelming majority of whom would only ever use their firearms for a
legitimate sporting purpose.” NRA dan kelompok lobi senjata terus berupaya
menolak The Brady/Handgun Control Inc. dan legislasi yang muncul dengan
berbagai alasan bahwa needs based licensing memberi diskresi kepada polisi
untuk melakukan berbagai operasi dan dalam menentukan akses senapan genggam
(seperti halnya di New York) sehingga membuat kepemilikan pistol menjadi
sebuah keistimewaan dan bukan sebagai hak. Mereka melihat hal ini sebagai tahap
awal menuju pelarangan senapan genggam.
Selain itu, lanjut Squires, para peneliti pro senjata api menanggapi bahwa
hukum melarang Saturday-Night Specials dan pemilikan senjata api oleh warga
sipil dapat menjadi kontra-produktif bahkan akan termentahkan dengan
sendirinya. Dorongan untuk melarang jenis pistol kecil dan murah dikhawatirkan
justru akan mendorong para penjahat untuk beralih memiliki senjata yang lebih
besar dan lebih berbahaya. Sebagaimana slogan yang terkenal oleh NRA yang
banyak beredar melalui stiker-stiker “When guns are outlawed, only the outlaws
will have guns.‖ Hanya para kriminalis yang memeroleh senjata, sedangkan warga
sipil taat hukum tidak dapat membela dirinya ketika terjadi serangan. Squires juga
mengutip pandangan Kleck yang mengatakan bahwa senjata laras panjang dapat
menggantikan senapan genggam dalam semua situasi pembunuhan. Kleck juga
mengamati bahwa kontrol senapan genggam tidak terlalu efektif ―Fortunately, existing handgun-only policies … are not very effective, and have not reduced
handgun availability enough to stimulate much gun substitution among violenceprone people (Kleck, 1991: 93–94)‖ (Squires, 2000: 68-69).
Dengan lingkungan yang bertambah bahaya, warga Amerika
memiliki kekhawatiran jika mereka akan menjadi korban kejahatan. Mereka
merasa bahwa polisi tidak dapat melindungi mereka dari serangan yang dapat
membobol masuk ke dalam rumah mereka, sehingga banyak yang memilih untuk
membeli senjata api untuk melindungi keluarganya (Valdez and Ferguson Jr.,
2011: 67). Alasan ini juga dipakai oleh kritikus kontrol senjata yang terus
menyuarakan bahwa jika korban menggunakan senjata api maka lebih besar
kemungkinan menggagalkan aksi kejahatan, bahkan dapat menyelamatkan nyawa
korban ini . Sama halnya dengan NRA yang mengajukan usulan agar warga
sipil diberikan keluasan hak memiliki senjata api agar dapat melawan para
kriminalis yang menyerang. Kapanpun tragedi penembakan terjadi seperti
pembunuhan di SMA Columbine tahun 1999, mereka selalu berargumen bahwa
insiden ini dapat dicegah jika saja para guru mempersenjatai diri. Selain itu,
kelompok ini selalu vokal menegaskan bahwa ―guns don‘t kill, people do‖
(Squires, 2000: 85), bahwa senjata api itu sendiri bukanlah penyebab kejahatan
terjadi.
Kriminolog John Lott adalah salah satu peneliti yang paling mendapat
sorotan kritikus hak senjata karena hasil penelitiannya yang diungkapkan di dalam bukunya More Guns Less Crime. Lott menunjukkan statistik sejak akhir 1980-an
dan awal 1990-an saat tingkat kejahatan secara nasional menurun ketika pada saat
yang sama banyak warga sipil memiliki senjata api (Valdez and Ferguson Jr.,
2011: 67-69). Situasi ini terutama terjadi di negara-negara bagian yang
meloloskan hukum membawa senjata tersembunyi yang lebih lunak, diketahui
tingkat pembunuhan dan kejahatannya juga menjadi menurun. “According to his
review of statistics in all U.S. counties from 1977 to 2005, states that passed
concealed-carry laws saw a reduction of 20 percent in their rates of murder,
rape by 14 percent, aggravated assault by 13 percent, and robbery by 6
percent‖ (Valdez and Ferguson Jr., 2011: 69).
Kelompok ini mengemukakan data statistik yang menunjukkan bahwa
seseorang tidak akan mudah diserang jika mempersenjatai diri, dan pelaku
kejahatan akan takut menyerang jika warga memiliki senjata api. Di dalam
bukunya Lott berkesimpulan bahwa dengan membolehkan rakyat sipil membawa
senapan genggam tersembunyi maka dapat mengurangi tindak kekerasan, dan
pengurangan ini berbarengan sangat dekat dengan dikeluarkannya sejumlah
izin untuk senapan genggam tersembunyi (Squires, 2000: 83).
Selain itu, Valdez dan Ferguson Jr. (2011: 60-66) juga memaparkan
berbagai kritik oleh kelompok oponen terhadap ketatnya kontrol senjata yang
dinilai tidak semerta membuat kota ini terbebas dari kejahatan. New York
dan beberapa kota besar lainnya sering dijadikan contoh acuan dalam mendukung argumentasi mereka. New York memiliki hukum lisensi senapan genggam tertua
di Amerika Serikat, The Sullivan Act of 1911, akan tetapi kota ini memiliki salah
satu tingkat kejahatan kekerasan tertinggi di negara dari tahun 1960-an hingga
tahun 1990-an. “The NRA Website points to efforts in Washington D.C.; Chicago;
New York; Maryland; and California. Washington D.C. banned handgun sales in
1977 as did Chicago in 1982. By the early 1990s, the homicide rate had tripled in
Washington D.C., and had doubled in Chicago‖ (Valdez and Ferguson Jr., 2011:
61-63). Kemudian dijelaskan bahwa menurut NRA, tingkat pembunuhan
gabungan untuk enam yurisdiksi dengan kebijakan senjata api paling ketat yaitu
California, Illinois, Maryland, New Jersey, New York, dan Washington, DC
adalah 23% lebih tinggi dari tingkat negara sisanya. Dengan demikian, jelas
menurut NRA bahwa kontrol senjata tidak mencegah kejahatan dan bahkan
mungkin mendorong hal ini , dengan melihat tingginya tingkat pembunuhan
di negara-negara dengan kontrol senjata yang kuat.
Tidak hanya itu, NRA juga menantang pernyataan oleh pendukung kontrol
senjata bahwa undang-undang senjata api dari abad ke-20; The Brady Act, The
Assault Weapons Ban, dan The Gun Control Act of 1968 telah mengurangi
tingkat kejahatan, sebab berdasarkan data statistik yang dikutip oleh NRA
menunjukkan bahwa angka kejahatan lebih rendah sebelum undang-undang
ini diberlakukan. ―The national homicide rate was 50 percent higher, on
average, during the five years after the law than during the five years before it. Ten years later, the rate was, on average, 81 percent higher‖ (Valdez and
Ferguson Jr., 2011: 63-65).
Tidak berhenti di situ, kelompok ini juga mengkritisi pembatasan akses
senjata yang dianggap hanya akan menumbuhkan pasar senjata ilegal dan akan
menambah ketersediaan senjata yang tidak melalui sistem pengecekan kontrol
senjata. Terdapat lebih dari 220 juta senjata api yang berada dalam sirkulasi,
dengan banyaknya jumlah yang beredar ini dan tidak terkontrol jangkauan
hukum, justru diyakini hanya akan beredar melalui pasar ilegal. ―As an estimated
80 percent of firearms used in crimes are traded through illegal or unregulated
means, control opponents say, stricter laws enforced on legal markets will ensure
that only criminals have access to guns‖ (Valdez and Ferguson Jr. 2011: 65-66).
Kelompok oponen kontrol senjata mengatakan kunci mengurangi kejahatan
terletak pada undang-undang yang sudah ada yang harus digalakkan. Mereka
berpendapat bahwa dengan meningkatkan penegakan hukum, polisi dan jaksa bisa
mengurangi kejahatan tanpa menambah kebingungan dengan menambah legislasi
baru.
3.7.2 Pendukung Kontrol Senjata: Kontrol Senjata Mengurangi Kejahatan
Hukum kontrol senjata dipercaya oleh para pendukungnya efektif dalam
mengurangi kejahatan yang terjadi dalam warga . Berbagai penelitian
dilakukan untuk mengevaluasi dampak hukum ini . Beberapa di antaranya dibahas Squires (2000: 67) misalnya Deutsch dan Alt yang meneliti efektivitas
hukum kontrol senjata api yang baru di Boston, Massachusetts. Dengan adanya
kontrol pembelian senjata api yang lebih ketat di Massachusetts ditemukan bahwa
87% senjata api dalam tindak kejahatan diperoleh dari luar negara bagian.
Hukum yang baru menargetkan kepemilikan senjata api yang tidak
teregulasi dengan sanksi satu tahun penjara untuk siapa pun yang membawa
senjata api tanpa lisensi yang sesuai. Para peneliti menemukan bukti sebesar 27%
terjadi penurunan perampokan bersenjata pada bulan-bulan pascapengimplementasian hukum baru ini meskipun tidak terdapat penurunan
dalam kasus pembunuhan. Dengan demikian, Deutsch dan Alt (1977)
menyimpulkan bahwa hukum baru dengan pengimplementasian yang ketat dapat
memberikan efek pencegahan, tetapi mereka merekomendasikan evaluasi lebih
jauh lagi untuk melihat apakah efek pencegahan ini terus berlanjut.
Kemudian, Pierce dan Bowers meneliti dampak hukum periode lebih lama
mengonfirmasi bahwa terjadi penurunan jangka pendek dalam perampokan
bersenjata tetapi juga menemukan bukti lain terkait penggantian jenis senjata dan
serangan. Mereka juga menemukan sejumlah bukti berkurangnya pembunuhan
dengan senjata api (Squires, 2000: 67).
Selain itu, kelompok pro kontrol senjata mengklaim bahwa The Brady Act
mencegah kejahatan. Schwartz (1999) dalam Squires (2000: 78) mengatakan, “In
the first full year of the law‘s operation over 15,000 handgun purchases were denied (out of over 400,000), 4,365 being attempted purchases by persons with
felony records‖. Mendukung pernyataan ini , The Brady Center juga
mengklaim bahwa Undang-undang Brady telah menyebabkan penurunan
penggunaan senjata api dalam berbagai kejahatan dan berdampak pada
kemungkinan mencegah ribuan kematian.
Valdez dan Ferguson Jr. (2011: 49-50) menyimpulkan dari penelitian
ini yaitu selama 4 tahun setelah undang-undang disahkan, antara tahun 1994
dan 1998, terdapat sekitar 9.368 orang yang tewas, jumlah ini lebih sedikit dari
yang diperkirakan karena terjadi penurunan persentase perampokan dan
penyerangan yang dilakukan dengan senjata api. Jumlah serangan parah dengan
senjata api sejak itu telah menurun 31,4%, sedangkan jumlah perampokan yang
dilakukan dengan senjata api sejak tahun 1994 telah menurun 33,7%. Kemudian
jumlah dari semua pembunuhan turun 23,4% dan jumlah pembunuhan dilakukan
dengan senjata api turun 29%. The Department of Justice menjelaskan bahwa UU
Brady telah mencegah 1,8 juta penjahat dan orang-orang terlarang lainnya dari
pembelian senjata melalui dealer berlisensi (Valdes and Ferguson Jr, 2011: 49-
50).
Tidak hanya itu, hasil studi yang juga dilakukan oleh Brady Center tahun
1999 berdasarkan data statistik FBI dari tahun 1992 sampai 1998 membantah
penelitian yang dikemukakan Lott. “In states that make it hard for citizens to
carry concealed weapons, the violent crime rate fell by an average of 30 percent. In states that allow easy access to concealed weapons, the violent crime rates
dropped by much less, just 15 percent. Nationally, violent crime fell by 25
percent‖ (Valdez and Ferguson, 2011: 44-45). Kelompok lobi kontrol senjata juga
menuduh Lott mendukung NRA dengan pahamnya untuk terus mengukuhkan
pembudayaan senjata. Mereka juga mendebat argumen kelompok pro hak senjata
dengan berpendapat bahwa menyimpan senjata untuk membela diri sebenarnya
berbahaya bagi rumah pemilik senjata itu sendiri. Mentalitas persiapan pertahanan
diri terhadap kekerasan membuat tidak ada yang menjadi lebih aman dan
menyebabkan siklus kekerasan yang terus berkelanjutan (Valdez and Ferguson,
2011: 59). Selain itu, mereka meyakini “that there is no such thing as a good gun,
are often accused of over-looking the fears and insecurities of those millions to
whom firearms seem to offer a promise of personal protection‖ (Squires, 2000:
85).
Penelitian lain yang juga mendukung argumen kelompok kontrol senjata
yaitu berasal dari Center for American Progress. Dengan mencermati output
penerapan hukum dari setiap negara yang memiliki hukum kepemilikan senjata
api yang berbeda, maka akan ditemukan gambaran korelasi antara hukum senjata
yang ketat dengan jumlah kekerasan senjata yang ada. Hasil yang ditemukan
adalah, ―In some states, gun violence exceeds the rest of the country by a wide
margin. In Louisiana, between 2001 and 2010, there were 18.9 gun deaths for
every 100,000 people, more than six times the rate in Hawaii, the state with the lowest violence‖ (http://247wallst.com/special-report/2013/04/15/states-with-themost-gun-violence/#ixzz3RE8ArBo2). Kesimpulannya adalah negara-negara
dengan kekerasan senjata api yang tinggi cenderung memiliki hukum senjata api
yang kurang ketat dibandingkan dengan negara-negara lain dengan sedikit angka
kekerasan seperti New Jersey, Connecticut dan Hawai.
Dengan adanya kedua kubu yang terus berseteru ini hanya memperkeruh
permasalahan yang ada dan semakin memperuncing kontroversi hak kepemilikan
senjata api, sehingga menjadi semakin sulit juga untuk mencapai kesepakatan
bersama terkait jalan keluar yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan
kejahatan senjata api.
3.8 Partai Republik versus Partai Demokrat
Dalam pemilihan presiden tahun 2000, isu senjata memainkan peran utama
dalam kampanye para kandidat (Spitzer, 2009: 303). Kandidat Presiden Partai
Demokrat Al Gore menyatakan dukungannya terhadap ―common-sense gun
laws‖, sementara pesaingnya dari Republikan George W. Bush ―stronger law
enforcement measures instead of tougher gun laws‖. Pertarungan sengit ini
akhirnya dimenangkan oleh Bush lewat dukungan arus utama dari NRA. Oleh
karena itu, Bush kemudian menjalankan kepemimpinannya dengan memayungi
agenda politik NRA.
In 2001, Bush‘s Attorney General, John Ashcroft, reversed decades of Justice
Department policy spanning Democratic and Republican administrations that defined the amendment‘s right as militia based, and instead endorsed the
―individualist‖ view of the Second Amendment, claiming that it protected a
personal right of citizens to own guns aside from militia service (Spitzer, 2009:
303).
Spitzer juga mengemukakan bahwa pemerintahan Bush menetapkan
peraturan baru untuk menghancurkan data pengecekan riwayat hidup setelah 24
jam daripada menahannya hingga 90 hari, juga mengubah kebijakan dengan
melarang agen penegak hukum untuk menyelidiki data pengecekan riwayat hidup
senjata api, meskipun dalam kasus investigasi teroris. Selain itu, pemerintahan ini
juga bekerja di belakang layar untuk mencegah pengesahan kembali hukum
larangan senjata serbu (The Assault Weapons Ban yang kadaluarsa tahun 2004)
dan mendorong secara agresif untuk mengundangkan sasaran utama legislatif
NRA, yaitu undang-undang untuk memberikan perlindungan legal hutang-piutang
terhadap industri senjata yang disahkan tahun 2005. Secara keseluruhan
kesimpulan Spitzer, periode kedua administrasi Bush menunjukkan presidensial
yang paling gun-friendly di era modern (2009: 303).
Di sisi lain, partai Demokrat sejak dulu dalam berbagai platform partainya
selalu dominan menunjukkan dukungan terhadap kontrol senjata. Berbagai
proposal diajukan secara simultan untuk memperbaiki hukum kontrol senapan
genggam yang disadari membawa bahaya serius khususnya pascapembunuhan
1968. Meskipun begitu, partai ini tetap mengakui hak para pelaku olahraga senjata
yang murni memiliki senjata untuk keperluan berburu dan olahraga menembak.
Selain itu di tahun 1992 Demokrat menelorkan berbagai program untuk memberantas kejahatan dan narkoba, karena disadari kejahatan tidak hanya
sebuah gejala tetapi menjadi penyebab besar dari isu kemiskinan dan demoralisasi
yang semakin parah menyerang komunitas dalam kota. Untuk itu, partai ini
berjanji untuk menambah personil polisi di jalan untuk menciptakan ketaatan
hukum kembali.
Merespon berbagai aktivitas kejahatan senjata api, di bawah
kepemerintahan Bill Clinton, berbagai hukum kontrol senjata api akhirnya
disahkan; The Brady Bill dan The Assault Weapons Ban. Tidak hanya itu, partai
ini juga menelorkan Youth Prevention Programs menyikapi permasalahan
tingginya angka remaja yang terlibat kejahatan senjata. Berbagai upaya ini
membuahkan hasil yang signifikan dalam angka penurunan kejahatan,
sebagaimana disebutkan dalam platform Demokrat:
Serious crime is down seven years in a row, to its low-est level in a quartercentury. Violent crime is down by 24 percent. The number of juveniles committing
homicides with guns is down by nearly 60 percent.. . . We can‘t surrender to the
right-wing Republicans who threatened funding for new police, who tried to gut
crime prevention, and who would invite the NRA into the Oval Office. Nor will we
go back to the old approach which was tough on the causes of crime, but not
tough enough on crime itself. . . . A shocking level of gun violence on our streets
and in our schools has shown America that the need to keep guns away from
those who shouldn‘t have them—in ways that respect the rights of hunters,
sportsmen, and legitimate gun owners. The Columbine tragedy struck America‘s
heart, but in its wake Republicans have done nothing to keep guns away from
those who should not have them.
Source:http://a9.g.akamai.net/7/9/8082/v001/www.democrats.org/pdfs/2000platf
orm.pdf. (Spitzer, 2009: 304-310).
Pascapembantaian tahun 1999 di SMA Columbine isu senjata api kembali
mengemuka menjadi isu politik para kandidat partai. Akan tetapi pada periode ini ideologi partai Demokrat mulai terkikis. Senator Massachusetts John Kerry
kandidat presiden partai Demokrat tahun 2004 dalam sebuah debat kampanye
untuk pertama kalinya menyatakan dukungannya terhadap Amandemen Kedua.
Terjadi pergeseran platform partai Demokrat yang kini mengikuti platform
Republikan yang secara umum menekankan hak senjata daripada kontrol senjata.
Spitzer mengevaluasi perubahan ini sebagai gejala bahwa partai Demokrat
tidak lagi melihat upaya untuk memperketat hukum kontrol senjata sebagai
strategi politik yang efektif. Demikian juga dengan platform Demokrat tahun 2008
yang mencalonkan Barack Obama juga mereferensi perlindungan hak warga
negara untuk membawa senjata, tetapi di sisi lain juga mendukung untuk menutup
celah pameran senjata (gun shows loophole), memperbaiki pengecekan riwayat
hidup, dan mengaktifkan kembali The Assault Weapons Ban yang kadaluarsa
tahun 2004 (Spitzer, 2009: 313). Partai ini kini menjadi lebih moderat dalam
hukum kontrol senjata api. Hal ini tentu terjadi dengan melihat kecenderungan
sikap publik terkait hak senjata api ketika semakin banyak dukungan terhadap hak
individual senjata untuk perlindungan diri, sementara kehadiran partai politik
berkepentingan untuk menyalurkan aspirasi rakyat ini .
3.9 Permasalahan dalam Penegakan Hukum Kontrol Senjata Api
Berawal dari undang-undang yang diatur dalam Amandemen Kedua
sekarang terdapat sekitar 20.000 hukum, peraturan kota dan regulasi atau kontrol terhadap penjualan, transfer, kepemilikan dan penggunaan senjata api (Squires,
2000: 75). Meskipun saat ini terdapat begitu banyak hukum kontrol senjata api
yang ada baik di tingkat federal maupun negara bagian, akan tetapi masih terdapat
banyak celah dalam penerapannya, selain itu juga kurangnya ketegasan dalam
penindakan membuat hukum ini menjadi kurang efektif. Salah satunya
adalah permasalahan pasar sekunder senjata api yang tidak terjangkau hukum.
Penjualan lewat tangan kedua ini terlepas dari kewajiban pengecekan riwayat
hidup yang berfungsi mencegah orang yang tidak berkualifikasi untuk membeli
senjata api.
This gap in federal background check laws, often called the ―Gun Show
Loophole,‖ is associated with gun shows because they are a large and central
marketplace where purchasers who wish to avoid detection can easily connect
with private sellers. Private sales at gun shows are a reliable way for dangerous
individuals – such as gun traffickers, convicted felons, and people with serious
mental illness – to avoid background checks when they purchase guns (Mayors
Against Illegal Guns, 2010: 14).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para penjahat membeli senjata dari
sumber yang tak teregulasi, yang memiliki jaringan yang luas sehingga terhindar
dari ―instant check‖. Padahal pasar sekunder ini menyumbang sebesar 40% dalam
penjualan senjata api di Amerika Serikat, sementara hadirnya perdagangan ilegal
menjadi salah satu penyumbang besar dalam pembunuhan senjata api. ―Every
year, tens of thousands of guns make their way into the hands of criminals
through illegal trafficking channels. These firearms contribute to the more than
12,000 gun murders in the United States each year (Mayors Against Illegal Guns,2010: 2).‖ Meskipun terdapat hukum Brady yang mensyaratkan pengecekan
riwayat hidup dan periode menunggu, akan tetapi hukum yang masih bersifat
permisif ini memberi celah bagi mereka yang tidak memiliki kualifikasi
untuk tetap dapat membeli senjata api. Bahkan banyak penjualan yang dilakukan
tanpa mengikuti aturan ini . Bahkan disebutkan bahwa “States that do not require background checks for all
handgun sales at gun shows export crime guns at a rate more than two and a half
times greater than states that do, and are the source of a greater proportion of
short TTC (Time-to-Crime) crime guns (Mayors Against Illegal Guns, 2010: 14).‖
Sementara itu, para kriminalis mendapatkan senjata dari berbagai jalur: ―theft,
illegal manufacture, illegal importation (smuggling), reactivation of deactivated
weapons and diversion from the legal trade, the (admittedly) limited evidence
available does suggest that one source of supply dwarfs all the others‖ (Squires,
2000: 111).
Adapun BJS melaporkan bahwa pada tahun 2004, di antara narapidana
penjara negara bagian yang memiliki senjata pada saat pelanggaran, kurang dari
2% membeli senjata api mereka di pasar loak atau pameran senjata, sekitar 10%
dibeli dari pedagang eceran atau pegadaian, 37% diperoleh dari keluarga atau
teman, dan lainnya 40% diperoleh dari sumber ilegal (theft or burglary, drug
dealer/off street, fence/black market). Angka ini mirip dengan persentase
distribusi pada tahun 1997 (2013: 13). Sedangkan Office of Juvenile Justice and
Delinquency Prevention (OJJDP, 1999) di dalam laporannya menuliskan bahwa di
Amerika Serikat setiap harinya terjadi sekitar 37.500 penjualan senjata termasuk
di dalamnya penjualan 17.800 senapan genggam. Dengan bertambahnya
kepemilikan senjata ini menurut OJJDP meningkatkan bahaya senjata yang
diperoleh secara ilegal melalui pencurian dan perampokan. ―In 1994, more than a
quarter-million households experienced the theft of one or more firearms; nearly
600,000 guns were stolen during these burglaries (OJJDP, 1999).‖
Besarnya angka senjata api yang telah beredar di kalangan warga ini
menjadi salah satu masalah krusial yang dihadapi oleh hukum kontrol senjata.
Dengan jumlah penduduk Amerika yang mencapai 313.914.040 di tahun 2012
(FBI, 2012) terdapat sekitar 300 juta pucuk senjata api yang telah berada dalam
sirkulasi (NSSF, 2012: 2). Angka ini begitu besar dan tidak mampu dibendung
oleh sistem kontrol senjata negara. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan
bahwa saat ini terdapat dukungan yang lebih besar dari hukum negara bagian
terhadap hak membawa senjata api tersembunyi (concealed-carry) secara luas,
dan akses senjata api bagi kelompok minor menjadi lebih tinggi.
Kompleksitas permasalahan hukum senjata juga diwarnai dengan hukum
federal yang membedakan regulasi antara senapan laras panjang dan senapan
genggam. Persyaratan yang harus dipenuhi seseorang untuk mendapatkan senapan
genggam lebih kompleks, sementara tidak halnya dengan senapan laras panjang
sehingga syarat kepemilikan jenis senjata ini sangat mudah (Gerney and Parsons,
2014a: 5-7). Hukum federal melarang kepemilikan senapan genggam oleh
individu dibawah umur 18 tahun tetapi tidak ada batasan usia untuk rifles dan
shotguns. Kemudian untuk mencegah perdagangan ilegal senapan genggam
antarnegara, di bawah hukum federal penjual berlisensi dilarang menjual senapan
genggam kepada penduduk dari luar negara bagian akan tetapi boleh menjual
senapan laras panjang kepada orang yang sama termasuk sebuah senapan serbu.
Selain itu, tidak dibutuhkan laporan kepada ATF (Bureau of Alcohol, Tobacco,
Firearms and Explosives) untuk penjualan berlipat ganda rifles dan shotguns tidak
seperti pada penjualan lebih dari satu senapan genggam.
Celah ini menurut Gerney dan Parsons membawa kelemahan signifikan
bagi penegak hukum untuk mengidentifikasi jaringan ilegal perdagangan senjata
api dan pembelian ilegal jenis senjata ini. Sebagaimana hasil statistik
menunjukkan bahwa senapan laras panjang mengalami peningkatan dalam
penggunaan pembunuhan oleh para kriminalis dan seringkali diperdagangkan
secara ilegal di pasar sekunder. Khususnya dalam aktivitas kriminal kartel
narkoba Meksiko diketahui agen senjata Amerika menjual lebih dari setengah.
Sementara pembunuhan dengan jenis senjata ini terus mengalami kenaikan.
Jenis senjata ini digunakan dalam kejahatan pembunuhan di daerah
pedesaan dan pinggiran kota, sedangkan pistol digunakan dalam 91%
pembunuhan di daerah-daerah kota besar (Gerney and Parsons, 2014a: 11-12).
Bahkan angka kejahatan senapan laras panjang terus meningkat signifikan di
tahun 2013. Banyak faktor yang memengaruhi tren ini termasuk kejahatan secara
keseluruhan menurun lebih signifikan di kota-kota besar dibandingkan daerah
pedesaan. Gerney dan Parsons (2014a: 14) juga menyimpulkan bahwa sudah
saatnya untuk mengevaluasi kembali hukum federal dan negara bagian yang
memiliki regulasi yang kurang tegas terhadap senapan laras panjang daripada
senapan genggam, termasuk untuk senapan serbu.Berbagai masalah yang ditemukan yang menjadi celah dalam hukum
kontrol senjata menjadi tantangan besar bagi pemerintah Amerika Serikat untuk
dihadapi. Hanya saja, kembali disayangkan bahwa kondisi ini tidak mampu
diimbangi dengan ketersediaan aparat keamanan yang ada, sebagaimana Squires
(2000: 86) mengutip Kates (1983: 268):
It is regrettably the case that enormous increases in police budgets and personnel
have not prevented the per capita incidence of reported robbery, rape and
aggravated assault from rising by 300, 400 and 300 percent respectively since
1960. Increasingly police are concluding, and even publicly proclaiming, that
they cannot protect the law-abiding citizen, and that it is not only rational for him
to choose to protect himself with firearms, but a socially beneficial deterrent to
violent crime.
Kurangnya perlindungan hukum oleh aparat keamanan dalam lingkungan
warga Amerika yang semakin berbahaya, menjadi salah satu penyebab besar
mengapa warga kemudian memilih jalan self-protection dengan memiliki
senjata api pribadi. Squires (2000: 86) menyimpulkan:
‗The demand for legal handguns is positively related to riots and crime rates and
negatively related to a measure of resources devoted to collective security, the
number of police per capita. We interpret this as evidence that legal handgun
demand is responsive to evaluations of the strength of collective security‘
(McDowall and Loftin, 1983: 1,147; Kleck, 1991: 27–33).
Tidak hanya oleh kalangan sipil biasa, bahkan penjahat sekalipun mengakui
bahwa motivasi psikologis mereka memiliki senjata api adalah untuk
perlindungan diri (OJJDP, 1999). Di satu sisi, situasi ini menandakan kurangnya
kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah dalam menjalankan tugas
memberikan perlin