Rabu, 03 Mei 2023
Home »
majapahit 3
» majapahit 3
majapahit 3
By video bobo Mei 03, 2023
Temuan permukaan lain berupa satu buah batu andesit
berbentuk empat persegi panjang berukuran: panjang 32 cm,
lebar 19 cm, tebal 10 cm, dan tinggi 12 cm bertuliskan huruf
dan bahasa Jawa Kuna: pa dra dra dra a la dra la
Prasasti dengan tulisan huruf dan bahasa Jawa Kuna
(dok.Balar Yogya)
Perkataan itu belum diketahui apa artinya, mungkin hanya
merupakan suatu kalimat kutukan, atau sumpah serapah, bisa
juga merupakan suatu seruan pujipujian kepada dewa atau
entah siapa yang dikeramatkan di situs ini. Seperti yang
sudah disebutkan di atas, bahwa di sana pernah ditemukan
arcaarca batu, yang sayangnya sudah hilang tanpa pernah
136 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
didokumentasikan sebelumnya, jadi tidak diketahui arca
siapa. Seandainya masih ada tentu akan memudahkan kita
untuk menghubungkan arcaarca itu dengan prasasti yang
ditemukan.
Selanjutnya, ada beberapa batu andesit yang pada
salah satu sisinya bergambar goresangoresan, dugaan tim
sementara, goresangoresan itu adalah semacam kode atau
tanda untuk memudahkan penyusunan batubatu ini
menjadi suatu bangunan candi.
Dua contoh batu bergores (dok. Balar Yogya)
Dari hasil ekskavasi/penggalian, pada kedalaman 30 cm
tim menemukan satu balok batu andesit yang pada salah satu
sisinya memuat angka tahun 1267 Saka (1345 Masehi) dengan
huruf dan bahasa Jawa Kuna.
Prasasti angka tahun 1267 Saka (dok.Balar Yogya)
137Candi di Lereng Bromo
Selain itu ditemukan struktur bangunan yang diduga
semacam struktur ambang pintu ukuran lebar 210 cm mem
bujur arah timurbarat. Di pojok timur struktur ambang pintu
ditemukan arca Dwarapala setinggi 40 cm. (Istari,2007: 319)
Struktur ambang pintu dan Dwarapala (dok.Balar Yogya)
Hubungannya dengan Majapahit
Sebelum pengaruh India masuk ke Indonesia, warga
Indonesia sudah memiliki kepercayaan asli dalam kehi
dupan keagamaannya. Konsep yang mendasari kepercayaan
asli adalah anggapan bahwa alam semesta didiami oleh
makhlukmakhluk halus atau rohroh leluhur dan bahwa
gunung merupakan tempat arwah leluhur atau yang didewa
kan (Wales,1958:86). Kepercayaan asli itu sudah ada sejak
jaman megalitik di Indonesia. Pada masa itu pendirian
bangunanbangunan megalitik didasarkan atas kepercayaan
akan hubungan antara yang hidup dan yang telah mati, ter
utama kepercayaan kepada adanya pengaruh kuat dari yang
telah mati terhadap kesejahteraan warga dan kesuburan
138 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
tanaman. Juga adanya pemujaan kepada roh leluhur, dan
akhirnya melahirkan tatacara yang menjaga segala tingkah
laku warga di dunia fana susaha sesuai dengan tuntutan
hidup di dunia akhirat. Pada masa itu organisasi warga
telah teratur. Pengetahuan tentang teknologi yang berguna
seharihari dan nilainilai hidup terus berkembang, antara
lain mengenai caracara pembiakan ternak, pemilihan benih
benih tanaman untuk keperluan seharihari. Sikap hidup
selalu berkisar pada persoalanpersoalan manusia, bumi dan
tanaman. warga telah meningkat dan membentuk per
kampungan yang tetap, tidak seperti masa sebelumnya di
mana pengembaraan masih sering dilakukan (Poesponegoro,
2008:248251). Bangunanbangunan megalitik dibangun untuk
pemujaan kepada makhlukmakhluk halus, roh leluhur,
kepala desa, atau orangorang yang dianggap berjasa terhadap
warga desa ini. Mereka dibuatkan punden sebagai
tempat tinggal rohnya, dan dianggap sebagai danyang atau
leluhurnya. Selanjutnya tradisi megalitik ini memantulkan
ciricirinya pada bangunanbangunan candi sewaktu budaya
Hindu masuk ke Indonesia. Boleh dikatakan pendirian candi
candi di Indonesia merupakan refleksi kelanjutan tradisi
megalitik ini.
Cerminan berkembangnya kepercayaan asli pada masa
Majapahit akhir dapat diketahui dari berbagai aspek, diantara
nya adalah dari susunan bangunan keagamaan serta lokasi
penempatan bangunannya. Bangunan berteras merupakan
ciri umum bangunan masa itu, sedangkan lokasi pendiriannya
umumnya di tempattempat yang tinggi, seperti misalnya di
lereng gunung atau di bukit atau di puncak gunung. Bangunan
keagamaan yang didirikan di lereng gunung atau di bukit
contohnya adalah tinggalantinggalan arkeologi yang terdapat
139Candi di Lereng Bromo
di Gunung Penanggungan dan Gunung Arjuna di Jawa Timur
serta Gunung Lawu yang terletak di perbatasan Jawa Timur
dan Jawa Tengah (Kusen dkk,1993:99101).
Dengan latar belakang seperti di atas, marilah kita
kembali ke Candi Sanggar. Bagaimanakah bentuk Candi
Sanggar dan hubungannya dengan Majapahit? Ditinjau
dari sisi arsitekturalnya, Candi Sanggar berbentuk punden
berundak. Menurut kosmologi India, alam semesta terdiri atas
tiga tingkatan yang disebut Triloka, yang diwujudkan dalam
bagianbagian candi (Soekmono,1990:15). Tingkat terbawah
atau kaki candi melambangkan bhurloka atau dunia tempat
manusia berpijak. Tubuh candi melambangkan bhuwarloka
atau dunia tempat manusia telah mencapai kesucian dan
kesempurnaan dan karenanya dapat berhadapan dengan
dewa atau nenek moyang yang mereka puja. Adapun atap
candi melambangkan swarloka atau dunia para dewa dan roh
leluhur. Kalau penggambaran alam semesta secara tegak lurus
itu direbahkan, maka akan diperoleh susunan bagian mendatar
yakni bagian depan, bagian tengah, dan bagian belakang yang
lebih tinggi dibandingkan kedua bagian lain. jika susunan
ini diterapkan pada lereng bukit, maka menjadi punden
berundak.
Selama jaman Majapahit, telah terjadi perubahan
perubahan kebudayaan yang dilandasi oleh adanya pergeseran
pergeseran dalam bidang kepercayaan. Kepercayaan asli
warga Jawa yang dilandasi oleh pemujaan terhadap
arwah leluhur yang tampak tergeser oleh adanya unsur
unsur HinduBudha, menjelang abad XIIIXVI Masehi tampak
mulai bangkit dan muncul kembali. Mengenai pergeseran
kepercayaan ditunjukkan bentuk, susunan, dan orientasi
bangunanbangunan candinya. Berdasarkan hal ini
140 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
diketahui bahwa kepercayaan yang berkembang pada masa
itu mengalami pergeseran dari yang semula merupakan
kepercayaan HinduBudha, berbalik lagi pada kepercayaan
asli, yaitu pemujaan arwah leluhur (Soekmono dkk,1993:78
80). Hal ini diperkuat pula oleh tulisan Kusen dkk (1993:104)
bahwa pada masa Majapahit akhir kepercayaan asli menonjol,
meskipun unsur Hindu muncul, namun diberi nafas yang
sesuai dengan kepercayaan asli. Dengan demikian yang
tampak adalah ungkapan kepercayaan asli, seperti misalnya
perpaduan antara pemujaan leluhur dan pemujaan dewa
dewa kosmis, sehingga muncul dewadewa lokal.
Tinggalan kepurbakalaan yang digolongkan sebagai
punden berundak antara lain adalah candicandi kecil di lereng
Gunung Penanggungan (Atmojo.1986291293), Candi Sukuh
dan Candi Ceto di lereng Gunung Lawu (Tjahjono,1987:86),
Candi Sepilar, Candi Madrim, Candi Makutarama, Candi
Wesi, dan Candi Indrakila di lereng Gunung Arjuna, demikian
pula Candi Sanggar di lereng Gunung Bromo ini. Situs Candi
Sanggar yang merupakan kompleks bangunan suci untuk
peribadatan adalah perkembangan dari punden sebagai tempat
tinggal leluhur ke bentuk punden berundak yang berorientasi ke
puncak gunung tempat arwah leluhur tinggal.
Seperti yang telah diuraikan di depan, di situs Candi
Sanggar ditemukan angka tahun yang berbeda. Angka
tahun pertama 1267 Saka atau 1345 Masehi pada balok batu
yang masih in-situ, menandakan bahwa pada tahun itulah
Candi Sanggar pertama kali dibangun. Pada waktu itu
kerajaan Majapahit diperintah oleh seorang raja wanita yaitu
Bhre Kahuripan dengan nama gelar Tribhūwanottunggadewi
Jayawisnuwarddhani. Ia memerintah sejak tahun 1250 Saka
sampai dengan tahun 1272 Saka. (Poesponegoro,2008:461).
141Candi di Lereng Bromo
Nah, Candi Sanggar dibangun pada masa pemerintahan
Tribhūwanottunggadewi ini. Pemikiran ini didasari data bahwa
pada masa pemerintahan rajaraja Jawa Kuno, dibangunlah
bangunanbangunan suci, petirtaanpetirtaan, dan beberapa
tugu peringatan. Raja yang bersangkutan diwujudkan
menyerupai dewadewa yang dipujanya, dan dapat diundang
pada waktu mereka mengadakan upacaraupacara tertentu.
Dari Kitab Nāgarakertagama diinterpretasikan bahwa tradisi
pendirian bangunan suci yang disertai dengan pembuatan arca
merupakan pengabdian kepada raja yang sudah meninggal.
Raja ini diarcakan dalam bentuk arca dewa atau arca
yang tidak beratribut dewa, sehingga ia lalu dipuja, dan
pada hakekatnya dianggap sebagai nenek moyang. Dengan
demikian dapatlah dikatakan bahwa candi pada masa Jawa
Timur bukan sematamata tempat pemujaan kepada dewa,
tetapi juga merupakan tempat pemujaan nenek moyang
(Hardiati, 2002:4).
Menurut cerita pak Karno, konon, Candi Sanggar dibangun
oleh orangorang Majapahit untuk bersamadi, sebelum mereka
menuju Tengger guna melakukan suatu upacara yang secara
rutin mereka lakukan. Di sebelah timur situs terdapat sebuah
sungai yang dinamakan Sungai Jajang, atau penduduk lebih
menge nalnya dengan sebutan Sungai Guyangan. Nama ini ada
riwayatnya, dinamakan Guyangan (Jawa: guyang = meman
dikan, ditambah akhiran an) karena pada waktu itu para
peziarah memandikan kuda tunggangannya di sungai itu.
Angka tahun kedua yaitu 1431 Saka atau 1509 Masehi.
Sekitar tahun itu Majapahit diperintah oleh raja Girindra-
warddhana Dyah Ranawijaya Bhattāra I Kling. Ia meme rintah
antara tahun 1396 Saka1441 Saka atau 1474 Masehi1519 Masehi
sebagai raja Majapahit terakhir adalah Girindrawarddhana
142 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
ini (Djafar.1978:.51). Berdasarkan kedua angka tahun
ini dapat diperkirakan keberadaan Candi Sanggar
adalah di antara abad ke14 sampai dengan abad ke16
Masehi. Menurut catatan sejarah abadabad itu merupakan
periode akhir masa Klasik di Indonesia, yang ditandai dengan
merosotnya kekuasaan besar kerajaan Majapahit yang masih
memeluk agama HinduBudha.
Jarak antara pemerintahan Tribhuwana dan Girindra
wardhana kurang lebih 1,5 abad. Berarti ada kemungkinan
Candi Sanggar dibangun dan lalu diperbaiki lagi
beberapa masa lalu. Melihat hasil temuan yang berupa
umpakumpak dengan variasi yang bermacammacam itu,
tampaknya Candi Sanggar bukanlah bangunan tunggal
melainkan suatu kompleks bangunan suci yang terdiri atas
bangunan induk dengan beberapa bangunan pendukung.
Satu hal yang penting adalah Candi Sanggar sampai saat ini
merupakan satusatunya candi yang ditemukan di lereng
Gunung Bromo.
Ucapan Terimakasih disampaikan pada:
1. Titi Surti Nastiti Pusat Penelitian dan Pengembangan
Arkeologi Nasional, Jakarta
2. Kayato Hardani Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala, Daerah Istimewa Yogyakarta
3. T.M. Hari Lelono Balai Arkeologi Yogyakarta
143Candi di Lereng Bromo
KEpUstaKaaN
Atmodjo, Satrio Junus. 1986. “Arsitektur Pundenpunden
Berundak di Gunung Penanggungan” dalam PIA IV.
Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Djafar, Hasan.1978. Girindrawarddhana. Beberapa Masalah Majapahit
Akhir. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhist
Nalanda.
Hardiati,Endang Sri.2002. “Aspek Arsitektural dan Aspek
Simbolik Bangunan Candi” dalam Candi. Sebagai Warisan
Seni dan Budaya Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Halaman 114.
Istari, TM Rita. 2007. “Arsitektur Candi Sanggar di Lereng
Gunung Bromo Kabupaten Pasuruan (Tahap III)”.
Laporan Penelitian Arkeologi. Yogyakarta: Balai Arkeologi
Yogyakarta
Kartoatmodjo, M.M Soekarto. 1979. Struktur warga Jawa Kuna
pada Jaman Mataram Hindu dan Majapahit. Yogyakarta:
Pusat Penelitian dan Studi Pedesaan dan Kawasan.
Universitas Gajah Mada.
Kusen, Sumijati AS, Inajati AR 1993. “Agama dan Kepercayaan
warga Majapahit” dalam 700 Tahun Majapahit (1293
– 1993). Suatu Bunga Rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata
Daerah Propinsi Tingkat I Jawa Timur CV. Tiga Dara.
Halaman 91115.
Lelono. TM Hari.2004. “Unsurunsur Kepercayaan pada Bentuk
Permukiman dan Rumah Tengger, Jawa Timur”. Laporan
144 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Penelitian Arkeologi Balai Arkeologi Yogyakarta. Yogyakarta:
Balai Arkeologi Yogyakarta.
Poesponegoro, Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto (ed).
2008.
Sejarah Nasional Indonesia I. Zaman Prasejarah Indonesia.
Sejarah Nasional Indonesia II. Zaman Kuno. Jakarta: PT Balai
Pustaka.
Pramudito,Bambang. 2006. Kitab Negara Kertagama. Sejarah Tata
Pemerintahan dan Peradilan Kraton Majapahit. Yogyakarta:
Gelombang Pasang.
Robson, Stuart. 1995. Désawarnana (Nāgarakrtāgama) by Mpu
Prapanca. Leiden: KITLV Press.
Soekmono. 1990. “Indonesian Architecture of the Classical Period:
A Brief Survey” dalam The Sculpture of Indonesia (J.Fontein)
National Gallery of Art. Washington
Soekmono, Inajati Adrisijanti R. 1993. “Peninggalanpeninggalan
Purbakala Masa Majapahit” dalam Sartono Kartodirdjo
dkk (ed). Dalam 700 Tahun Majapahit (1293 – 1993).
Suatu Bunga Rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah
Propinsi Tingkat I Jawa Timur. Halaman 6788.
Tjahjono, Baskoro Daru. 1987. Arsitektur Candi Sukuh. Tinjauan
Terhadap Pola Ayunan dalam Perkembangan Arsitektur
Bangunan-bangunan Suci Indonesia Klasik. Skripsi Sarjana
pada Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Wales, H.G.Quaritch.1958. The Mountain of God a Study in Early
Religion and Kingship. London: Bernard Quaritch,Ltd.
145Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
7
CaNdi tEgalraNdU :
BUKti tiNggalaN Majapahit
di lUMajaNg
H. Gunadi Kasnowihardjo
Pendahuluan
Kejayaan Kerajaan Majapahit tidak hanya dapat dibukti kan dari tinggalan arkeologis yang ada di kawasan TrowulanMojokerto dan sekitarnya.
Majapahit berbeda dengan kerajaankerajaan lain di Nusantara,
karena dalam perkembangan dan kejayaannya Majapahit
adalah representasi dari Kerajaan Nusantara yang mampu
menjalin hubungan bilateral dengan kerajaankerajaan lain di
kancah internasional. Oleh karena itu jika kita berbicara
tentang Majapahit, konteks skalanya adalah Nusantara
IndonesiaNasionalisme bangsa Indonesia, bukan lagi Situs
Trowulan, ataupun kewilayahan Propinsi Jawa Timur. Hal ini
146 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
akan terlihat jika kita menyimak data susastra seperti Kitab
Negarakrtagama, dari kitab ini dapat dipahami bahwa
kekuasaan Majapahit pada suatu masa (abad XIV M) mencapai
daerahdaerah yang sangat luas. Bahkan beberapa wilayah
bagian dari negara tetangga sebagian dapat dikuasai seperti
Malaysia, Singapura, dan Brunei (Pigeaud, 1960). Demikian
pula dalam hubungan bilateral dengan kerajaan lain, seperti
misalnya dengan Campa dan Kamboja, Majapahit sangat
menjunjung harkat dan martabat sebagai bangsa dan kerajaan
yang besar.
Sebagai negara yang besar, Majapahit pasti didukung
oleh berbagai potensi yang ada di wilayahnya. Oleh karena
itu beberapa daerah potensial di Jawa Timur haruslah terlebih
dahulu dikuasainya, sebelum mengembangkan kekuasaan
ke luar Jawa bahkan ke luar dari wilayah Nusantara. Daerah
daerah potensial di wilayah Jawa Timur satu diantaranya
adalah kawasan danaudanau yang banyak ditemukan di
Kabupaten Lumajang dan Probolinggo. Satu di antara danau
danau yang hingga sekarang masih menjadi andalan dan
harapan hidup warga di sekitarnya adalah Ranu (danau)
Klakah.
Di dekat Ranu Klakah, dari hasil penelitian arkeologi yang
dilakukan oleh tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta
ditemukan sisasisa bangunan dari bata yang diduga merupakan
pondasi sebuah bangunan candi. Keberadaan candi ini
jelas erat hubungannya dengan keberadaan ranu, sebab antara
air dan kehidupan manusia tidak mungkin untuk dipisahkan.
Ruparupanya jauh sebelum masa Majapahit, kawasan Ranu
Klakah sudah diokupasi oleh manusia. Hal ini dibuktikan pula
dengan tinggalan lain yang berasal dari masa prasejarah.
147Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
Ranu Klakah dan Lingkungannya
Ranu Klakah adalah sebuah danau yang terletak di Desa
Tegal Randu, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang,
Propinsi Jawa Timur. Di wilayah Kabupaten Probolinggo,
pada umumnya setiap ranu terkait dengan legenda yang men
ceritakan tentang asalusul ranu ini. Namun, ruparupanya
warga yang sekarang bermukim di sekitar Ranu Klakah
sebagian besar merupakan pendatang baru, sedangkan warga
dari generasi yang lebih tua sebagian besar telah meninggal,
maka legenda yang berkaitan dengan keberadaan Ranu Klakah,
belum sempat ditransformasikan kepada generasi berikutnya.
Hal ini berbeda dengan ranu-ranu yang ditemukan di wilayah
Kabupaten Probolinggo misalnya Ranu Segaran, Ranu Agung,
dan Ranu Gedang, warga di sekitarnya tahu tentang cerita
rakyat atau legenda masingmasing.
Ranu Klakah dengan latar belakang Gunung Lamongan
terletak di Desa Tegalrandu, Kec. Klakah, Lumajang
Dok. Balai Arkeologi Yogyakarta 2007.
148 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Selain mata air yang diperkirakan berasal dari dasar
ranu, ada beberapa in let atau sumber mata air yang masuk
ke Ranu Klakah, yang beberapa di antaranya ditemukan di
sisi timur Ranu. Lokasi ini secara administratif masuk
Dusun Klemaran. Secara topografis bagian sisi Timur Ranu
Klakah ini memiliki kelerengan yang cukup curam,
sehingga merupakan lahan yang kurang cocok sebagai lokasi
permukiman.
Lokasi yang sekarang menjadi Dusun Klemaran termasuk
permukiman baru, karena terbatasnya lahan yang tersedia
untuk tempat tinggal penduduk yang semakin hari jumlahnya
semakin bertambah banyak. Hal ini didukung oleh
kenyataan bahwa survei arkeologis yang dilakukan pada
tahun 2007 sama sekali tidak menemukan data kekunaan, baik
artefaktual maupun non artefaktual atau intangible. Nenek
moyang mereka diperkirakan dahulu menempati di lahan
lahan yang landai dan dekat dengan areal pertanian, seperti
Dusun Krajan dan dusundusun lain di sekitar danau.
Kelerengan lahan yang cukup terjal di lingkungan Ranu
Klakah dari sisi timur berlanjut hingga sisi selatan. Sisi selatan
danau belum banyak dimanfaatkan untuk pemukiman.
Sebagian areal tepian danau yang mulai mengering oleh warga
Dusun Klemaran dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Selain
merupakan daerah yang belum banyak penghuninya, survei
permukaan dibagian sisi selatan danau tidak menemukan
artefakartefak yang menunjukkan okupasi manusia di masa
lampau. Seperti halnya lahan yang ada di sisi timur, pada
tebing danau sisi Selatan ditemukan pula beberapa in let yang
cukup besar debit airnya.
Pada kawasan sisi barat dan utara danau misalnya Dusun
Jatian, dan Gunung Lawang, yang secara topografis meru
149Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
pakan lahan yang cukup landai dan datar, hasil survei yang
dilakukan di kawasan ini menunjukkan bahwa ketiga
dusun ini di atas merupakan perkampungan tua. Di
Dusun Jatian, ditemukan sebuah keramat yang oleh warga
setempat disebut Keramat Mbah Koung. Berdasarkan cerita
Mbah Hadi (juru kunci keramat), keramat yang ditandai
dengan dua buah batu monolit ini adalah makam cikal
bakal warga Jatian khususnya dan Tegal Randu pada
umumnya.
Struktur batu andesitis berbentuk persegi empat, bentuk ini mirip
dengan Watu Kandang yang ditemukan di Matesih, Kab. Karanganyar,
Jawa Tengah. (Dok. Balar Yogya 2007)
Berdasarkan orientasi atau arah bujur kubur yang meng
arah UtaraSelatan, menunjukkan tinggalan dari masa Islam.
Akan tetapi, jika dilihat bentuk nisan yang terdiri dari batu
utuh (menhir), mengingatkan pada suatu tradisi yang berasal
dari tahap kehidupan Neolitik yaitu tradisi megalitik yang di
Indonesia berlanjut hingga waktu yang cukup panjang (Hoop,
150 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
1932; Anonim, 1999 : 85). Di Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah,
ditemukan susunan dua batu utuh seperti ini di atas, akan
tetapi orientasinya tidak UtaraSelatan, melainkan menurut
Gunadi berorientasi ke puncak sebuah gunung yaitu Gunung
Slamet (Gunadi, 1982). Dengan demikian kepastian apakah
keramat ini benarbenar sebuah makam atau sebuah
pseudo makam, masih perlu kajian yang lebih tajam lagi.
Objek lain yang terkait dengan keramat Mbah Koung yaitu
Keramat Gunung Lawang yang terletak di Dusun Gunung
Lawang, Desa Tegal Randu, Kecamatan Klakah. Keramat
Gunung Lawang merupakan susunan batubatu monolit yang
tidak beraturan. Selain Keramat Gunung Lawang, di dusun ini
ditemukan pula tinggalan lain yang disebut Batu Astah. Batu
andesitis utuh yang relatif berukuran kecil ini sampai sekarang
masih dikeramatkan oleh warga sekitar. Terbukti hingga
saat ini masih dipakai sebagai tempat peziarahan dengan
tandatanda bekas pembakaran kemenyan di dekat batu
ini.
Berbeda dengan Keramat Gunung Lawang, susunan batu
utuh andesitis yang ditemukan di pekarangan Bapak Parmin
warga Dusun Jatian, Desa Tegal Randu memiliki struktur yang
jelas yaitu berbentuk empat persegi atau rectangular enclosure.
Bentuk seperti ini mirip dengan Watu Kandang yang terdapat di
Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah (Nitihaminoto,
1978; Gunadi, 1994). Dari hasil ekskavasi di kompleks batu
berdenah empat persegi ini diketahui bahwa di bawah
dan sekitar susunan batu andesitis terdapat struktur lantai yang
terbuat dari susunan bata. Ukuran bata dengan panjang 40 cm,
lebar 20 cm, dan tebal 6 cm menunjukkan ukuran bata kuna,
baik yang lazim dipakai pada masa Islam awal maupun
pada masa Hindu – Budha, terutama dalam pembangunan
151Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
candicandi di Jawa Timur. Antara susunan batu yang mirip
dengan watu kandang dan struktur lantai bata belum dapat
dijelaskan bagaimana konteksnya.
Dalam ekskavasi yang dilakukan di luar struktur watu
kandang ditemukan struktur bata lain yang dapat diinter
pretasikan sebagai sisasisa pondasi suatu bangunan, yang
besar kemungkinannya adalah sebuah candi. Perkiraan di atas
diperkuat oleh bentuk denahnya yang mirip dengan denah
sebuah candi. Untuk dapat mengetahui bentuk keselurahan
denah pondasi, ada beberapa kendala yang cukup serius.
Pertama harus memindahkan kandang sapi, dan kedua
sebagian pondasi candi ini berada di bawah bangunan
sebuah rumah milik warga. Walaupun demikian, dari hasil
penggalian beberapa kotak test pit sudah dapat dipastikan
bahwa sisasisa bangunan yang ditemukan adalah pondasi
dari bangunan candi dari bata.
Penemuan Sisa-Sisa Bangunan Candi
Penelitian arkeologi yang dilakukan di kawasan Ranu
Klakah sebenarnya adalah penelitian bertema kan per mukiman
ling kungan danau yang di fokuskan pada masa prasejarah.
Oleh karena itulah pembukaan test pit diawali dari lokasi
ditemukannya sturuktur batu andesitis yang mirip dengan
bentuk Watu Kandang di Situs Megalitik Matesih, Kabupaten
Karanganyar, Jawa Tengah. Anehnya, dari hasil penggalian
pada beberapa kotak test pit ditemukan susunan lantai bata
yang diperkirakan berasal dari masa HinduBudha atau masa
Islam (biasanya material bata dipakai untuk bangunan candi
atau bangunan dari masa Islam seperti makam dan masjid).
Dari hasil penggalian ini diketahui pula bahwa susunan
152 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
lantai bata meluas hingga
keluar “struktur watu
kandang” ini. Untuk
menge tahui ada tidak nya
hubungan antara struktur
bata dan struktur andesitis
ini, maka penggalian
diperluas ke arah Utara.
Walaupun penggalian
belum dapat dituntaskan,
akan tetapi dapat diper
kirakan bahwa antara
struktur bata yang diperkirakan pondasi candi dan struktur
batu andesit yang mirip bangunan dari masa prasejarah
ini tidak ditemukan keterkaitan secara langsung.
Mengingat hasil temuan dari penggalian ini cukup spek
takuler, maka penggalian diperluas dengan melakukan lay out
ulang yaitu membuka sektor yang diberi kode Sektor Kandang
Sapi (karena berada di
dekat kandang sapi milik
Bpk. Parmin). Sektor
Kandang Sapi yang ber
ukuran panjang 11 meter
dan lebar 5 meter ini
lalu dibagi menjadi
beberapa grid berukuran
1x1 meter. Selanjutnya
setiap grid diberi kode
yang dise suaikan dengan
huruf yang disusun pada
sisi panjang (AK) dan
Struktur bata yang diperkirakan bagian
dari pondasi candi sudut Timur Laut
dan bagian penampil sisi Timur.
Dok. Balai Arkeologi Yogyakarta 2007.
Denah temuan struktur bata
yang diperkirakan Sebagai pondasi
sebuah candi, hasil ekskavasi
153Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
angka yang disusun pada sisi lebar (15), seperti terlihat pada
denah di atas. Sayang, hasil ekskavasi yang cukup spektakuler
ini terkendala oleh beberapa hal, antara lain dana, tenaga,
dan waktu yang sangat terbatas, sehingga pada kesempatan
ini tidak mungkin dapat membuka semua kotak yang
ada di Sektor Kandang Sapi. Kendala pertama adalah harus
terlebih dahulu memindahkan kandang sapi, dan kedua harus
menambah waktu penelitian. Untuk memindahkan kandang
sapi, menurut keyakinan warga Tegalrandu pada umum
nya tidak dapat dilakukan di sembarang waktu. Mereka
harus mencari hari yang baik, jika tidak memakai
perhitungan yang tepat akan berakibat buruk baik terhadap
kehidupannya ataupun bagi kesehatan dan keselamatan sapi
sapi mereka.
Walaupun bentuk atau denah keseluruhan struktur bata
belum dapat ditampakkan, di atas kertas sudah dapat diper
kirakan bahwa bangunan bata ini menghadap ke Timur. Hal
ini didukung oleh adanya bentuk penampil di bagian timur
yang diperkirakan sebagai bagian dari pondasi pintu masuk
candi. Ukuran bangunan
kirakira 5 meter x 5 meter,
dan lebar penampil kurang
lebih 2 meter. Memperhati
kan ukuran ini, dapat
dikatakan bahwa bangunan
candi bata ini ber ukuran
relatif kecil. Temuan struktur
bata pada kedalaman 100
cm, tanpa didukung adanya
temuan bata yang ada di
permukaan sudah dapat
Struktur bata yang diperkirakan
sebagai bagian dari pondasi candi
sisi Utara (foto: Balai Arkeologi
Yogyakarta)
154 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
dipastikan bahwa sebagian besar bata dari bangunan ini
telah hilang atau dimanfaatkan oleh warga sekitarnya.
Dengan demikian dapat diperkirakan pula bahwa struktur bata
yang terdiri dari enam lapis bata ini merupakan sisasisa
pondasi sebuah bangunan yang kemungkinan besar adalah
bangunan candi. Selanjutnya dalam artikel ini sisasisa pondasi
ini dinamakan Candi Tegalrandu, karena ditemukan di
Desa Tegalrandu, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang.
Candi dari bata merupakan salah satu ciri yang banyak
ditemukan di wilayah Jawa Timur, walaupun saat ini di
Jawa Tengahpun telah banyak ditemukan candicandi dari
bata. Antara candi bata dan candi yang dibangun dari batu
andesitis, sampai saat ini belum banyak dibahas, terutama
halhal yang terkait dengan fungsi dan status warga
pendukungnya. Tjahjono telah melakukan penelitian tentang
latar belakang pendirian candi bata di Jawa Tengah (Tjahjono,
2002). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
jumlah candi di kawasan Candi Borobudur dan sekitarnya
ditemukan sejumlah 50 situs candi yang terdiri dari : 29 situs
candi bata, 18 situs candi batu andesit, dan 4 situs candi yang
memakai bahan batu campuran antara bata dan batu
andesit (Tjahjono, 2002: 42). Selain itu dijelaskan pula bahwa
candicandi bata tidak hanya ditemukan di daerah pinggiran,
tetapi ditemukan pula di pusat pemerintahan. Candicandi
itu ada yang berukuran kecil ada pula yang berukuran besar.
Berdasarkan latar belakang keagamaannya, candi bata tidak
hanya bagi agama Hindu, tetapi ada pula yang berlatar
belakang agama Budha. Demikian pula dengan arsitektur dan
masa pembangunannya, tidak ada perbedaan yang signifikan
antara candi bata dan candi batu andesit yang ditemukan di
Jawa Tengah pada Abad VIIIIX M.
155Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
Atas dasar hasil penelitian ini, jika dianalogikan,
maka pendirian candi Tegalrandu di kawasan Ranu Klakah tidak
harus dikaitkan dengan warga pinggiran yang jauh dari
pusat pemerintahan (Kerajaan Majapahit). Candi Tegalrandu
yang berukuran relatif kecil dan terbuat dari bata sangat besar
kemungkinannya terkait dengan sistem pemerintahan kerajaan
besar seperti Majapahit. Dengan demikian, mungkinkah ada
fungsifungsi lain dengan didirikannya candi di Tegalrandu
ini, selain fungsi keagamaan?
Soekmono dalam disertasinya berjudul Candi, Fungsi
dan Pengertiannya menyimpulkan bahwa fungsi candi adalah
sebagai kuil atau tempat pemujaan, teori ini menyangkal
pendapat lama yang menyatakan bahwa candi adalah makam
atau tempat menyimpan abu jenasah seorang raja (Soekmono,
1974). Candicandi kecil dan terletak di daerahdaerah terpencil
yang jauh dari pusat pemerintahan, perlu dipertimbangkan
lebih teliti, terutama halhal yang tidak berkaitan dengan prosesi
keagamaan. Pendirian sebuah bangunan candi selain sebagai
sarana beribadah bagi para pemeluknya. Di lokasi ini
oleh negara atau kerajaan sudah pasti ditempatkan beberapa
orang petugas yang mengurus bangunan suci ini. Selain
itu, di lokasi ini diperkirakan tinggal pejabat daerah
yang bertugas mengelola potensi sumberdaya yang ada di
daerahnya. Atas dasar berbagai pertimbangan di atas, maka
dapat diperkirakan bahwa pendirian candi Tegalrandu tidak
sematamata untuk menyediakan fasilitas umum bagi umat
Hindu atau Budha, melainkan karena di kawasan Ranu Klakah
bermukim pejabat daerah yang ditempatkan oleh kerajaan
(Majapahit) untuk mengelola potensi sumberdaya alam di
kawasan Ranu Klakah dan sekitarnya. Dengan demikian fungsi
candi Tegalrandu selain sebagai tempat sarana ibadah bagi
156 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
para pemeluknya, dapat berfungsi pula sebagai representasi
kekuasaan Majapahit
Candi Tegalrandu dan Kekuasaan Majapahit
Ranu Klakah, sebuah danau yang cukup potensial sebagai
sumberdaya alam yang dapat menopang kehidupan bagi
manusia, diduga merupakan lingkungan alam yang cocok
untuk pemukiman. Oleh karena itulah sejak tahun 2006 Balai
Arkeologi Yogyakarta mulai melakukan penelitian arkeologi
di kawasan danau atau ranu di daerah Jawa Timur. Hasil
penelitian arkeologis di kawasan Ranu Klakah diketahui
adanya tinggalan yang menunjukkan sisasisa permukiman di
masa lampau. Secara garis besar, komponenkomponen untuk
sebuah sistem permukiman antara lain berupa lokasi untuk
bermukim, lahan untuk mencari makan, tempat penguburan
atau pemujaan, serta sumberdaya alam lain yang dibutuhkan
bagi kehidupan (Renfrew, Collin dan Bahn, Paul. 1991). Lokasi
untuk bermukim biasanya merupakan areal yang relatif datar,
tidak terlalu jauh dari areal yang menyediakan makanan, dekat
dengan sumberdaya alam misalnya sumber mata air, dan
lokasi ini juga dapat dipakai untuk areal penguburan
(Mundardjito, 1993; Gunadi, 1994 : 199 – 207). Dengan demikian
jika ditemukan data ini, maka suatu lokasi dapat
“dicurigai” sebagai areal permukiman.
Data arkeologi yang ditemukan baik dari hasil survei
maupun ekskavasi seperti beliung persegi, struktur bangunan
megaltis, punden, kubur cikalbakal, dan struktur bangunan
candi menunjukkan adanya okupasi manusia di wilayah
ini. Temuan beliung persegi yang merupakan alat dari
masa neolitik ini ditemukan pula di kawasan ranu yang lain
157Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
yaitu Ranu Gedang dan Ranu Segaran yang secara administratif
terletak di Kabupaten Probolinggo (Anonim, 2008; Anonim,
2009). Temuan perkakas neolitik seperti ini dapat
memberikan informasi bahwa pada masa akhir prasejarah
kawasan ranuranu di atas kemungkinan telah dihuni oleh
manusia. Pemanfaatan kawasan Ranu Klakah berlanjut hingga
masa Hindu – Budha yang dibuktikan dengan ditemukannya
struktur bata yang diperkirakan merupakan pondasi sebuah
candi.
Ranu Klakah ruparupanya telah diokupasi oleh manusia
sejak masa prasejarah hingga sekarang. Dari hasil penelitian
arkeologis di atas, temuan yang signifikan terkait dengan
permukiman masa lampau adalah struktur batu andesitis yang
berbentuk rectangular stones enclosure dan struktur bangunan
bata yang diperkirakan sebagai pondasi sebuah bangunan
candi. Walaupun tinggal sisasisa bagian pondasi, temuan
ini cukup spektakuler, karena di daerah Lumajang
temuan bangunan candi dapat dikatakan sangat sedikit.
Oleh karena itu, temuan ini di lingkungan akademisi
merupakan tambahan data yang cukup signifikan. Begitu
pula bagi warga dan Pemerintah Kabupaten Lumajang,
temuan ini dapat menambah potensi benda cagar budaya (bcb)
ataupun kawasan cagar budaya (kcb) yang mereka miliki.
Sisasisa bangunan ini, kemungkinan berasal dari masa –
masa kejayaan kekuasaan Majapahit.
Hubungan antara Majapahit dan Lumajang secara eksplisit
dapat diketahui dari sumber susastra Kitab Nagarakretagama
(Pigeaud, 1960). Pada pupuh XVII/7 disebutkan bahwa :
”Pada Tahun Saka : seekor-naga-menelan-bulan (1281) di Badrapada
bulan tambah, Sri Nata pesiar keliling seluruh Negara menuju kota
Lumajang. Ia naik kereta diiring semua raja Jawa serta permaisuri dan
158 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
abdi Menteri, tanda, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut
serta”. Selanjutnya, pada Pupuh XLVIII/2 dijelaskan bahwa :
“ini pada tahun Saka mukti-guna-memaksa-rupa (1238) bulan
madu, Baginda Jayanagara berangkat ke Lumajang menyirnakan
musuh. Kota Pajarakan dirusak, Nambi sekeluarga dibinasakan giris
miris segenap jagad melihat keperwiraan Sri Baginda”.
Atas dasar sumber susastra ini, ruparupanya untuk
menguasai wilayahwilayah di Jawa Timurpun Majapahit
harus melakukan intervensiintervensi, bahkan adapula yang
harus ditempuh dengan peperangan seperti yang dilakukan
terhadap Nambi untuk merebut daerah Lumajang. sesudah
tahun Saka 1238 Lumajang ditaklukkan, pada tahun Saka
1281 atau 43 tahun lalu Lumajang yang telah menjadi
bagian dari kekuasaan Majapahit dikunjungi oleh Sri Nata
dari Majapahit. Mengapa Lumajang harus dikuasai ? Potensi
sumberdaya alam seperti beberapa danau atau ranu yang
ditemukan di Lumajang serta hutan tropis yang ada di
kawasan Gunung Lamongan merupakan satu ekosistem yang
sangat kaya, yang dapat memberikan kesejahteraan kepada
warga dan penguasa yang mampu mengelolanya.
Salah satu sumberdaya alam ini adalah Ranu
Klakah, yang saat ini debit air danau ini mencapai 1556
M³/detik pada kondisi maximum, dan 0230 M³/detik pada
kondisi minimum, serta mampu mengaliri sungai sepanjang
40.66 KM. Keberadaan dan potensi Ranu Klakah tidak hanya
bermanfaat bagi manusia yang tinggal di sekelilingnya. Debit
air yang cukup signifikan bagi kehidupan manusia, terutama
untuk keperluan irigasi bagi lahanlahan pertanian yang
dapat dijangkau oleh aliran air ini, merupakan salah satu
alasan mengapa Ranu Klakah dan lingkungan sumberdaya
alam yang ada di sekitarnya perlu dikuasai. Dengan demikian,
159Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
menguasai kawasan Ranu Klakah, berarti akan dapat
menguasai lahanlahan subur yang ada di wilayah Kabupaten
Lumajang, terutama lahan persawahan yang dapat menopang
kemakmuran warga dan kerajaan (negara).
Penutup
Pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) yang
dalam konsep awalnya bertujuan akan “mengangkat kebesaran
Kerajaan Majapahit” justru menuai kritikan dan hujatan dari
berbagai pihak yang peduli akan pelestarian situs arkeologi
yang berskala internasional ini. Kegiatan Proyek yang
telah menelan beaya cukup banyak, karena kurang prosedural
dan cenderung menyalahi prinsipprinsip dalam pengelolaan
sumberdaya arkeologi, akhirnya harus dihentikan karena
justru akan “menghancurkan kebesaran Majapahit”. Memang,
Trowulan identik dengan Majapahit, akan tetapi Majapahit
tidak hanya milik Trowulan, situssitus tinggalan kerajaan
Majapahit ada di manamana, seperti yang disebutsebut
dalam sumber susastra Kitab Nagarakretagama yang ditulis
oleh Mpu Prapanca.
Sebagai negara agraris, kerajaan Majapahit secara politis
harus menguasai lahanlahan pertanian di wilayah yang
seluasluasnya agar memperoleh hasil yang sebesarbesarnya
demi kemakmuran rakyat dan negara. Untuk itulah wilayah
wilayah di Jawa Timur harus terlebih dahulu dikuasai sebelum
melakukan ekspansi ke luar. Salah satu daerah di Jawa Timur
yang harus dipertahankan adalah Lumajang yang pada tahun
1238 direbut dari kekuasaan Nambi. Dalam usaha memper
satukan dan mempertahankan wilayah kekuasaannya, raja
Majapahit sering melakukan perjalanan ke daerahdaerah.
160 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Perjalanan keliling wilayah ini kemungkinan bertujuan
untuk melakukan konsulidasi guna mempertahankan sistem
pemerintahan. Hal ini terlihat ketika pada tahun 1281 raja
melakukan perjalanan ke Lumajang, sesudah 43 tahun wilayah
ini dikuasainya.
Kapan Candi Tegalrandu dibangun? Belum ditemukan
data yang dapat memberikan penjelasan tentang hal ini.
Berdasarkan data susastra di atas, Candi Tegalrandu kemung
kinan dibangun antara tahun 12381281. Terlepas dari kapan
candi Tegalrandu didirikan, temuan tinggalan dari masa
HinduBudha ini menunjukkan bahwa kawasan Ranu Klakah
merupakan daerah yang potensial bagi kekuasaan kerajaan
Majapahit. Selain itu temuan sisasisa candi bata ini juga dapat
menunjukkan tentang luas dan cakupan wilayah kekuasaan
Majapahit yang ada di Jawa Timur. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa keberadaan Candi Tegalrandu yang
didirikan di kawasan Ranu Klakah, kemungkinan berkaitan
dengan pemanfaatan sumberdaya alam, yaitu ranu dan
lingkungannya.
Sampai kapanpun Majapahit adalah salah satu bukti
kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia. Sekecil apapun
tinggalan artefaktual yang diwariskan kepada bangsa ini
haruslah dapat kita lestarikan, sebagai salah satu bukti jati diri
bangsa untuk waktuwaktu yang akan datang. Kebesaran dan
kejayaan kerajaan Majapahit seperti tertulis dalam puja sastra
Kitab Nagakretagama ruparupanya dibuktikan pula oleh
temuan arkeologis seperti ditemukannya candi Tegalrandu, di
Desa Tegalrandu, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang.
Pusat pemerintahan kerajaan Majapahit yang dapat dipastikan
berada di daerah Trowulan dan sekitarnya, merupakan
tinggalan sebuah kota kuna dari abad XIIIXIV M yang
161Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
merupakan satusatunya situs kota kuna di Indonesia. Dengan
demikian hubungan integral antara pusat kerajaan Majapahit
yang ditandai oleh tinggalan arkeologis di Trowulan dan
sekitarnya dan tinggalan arkeologis sejaman yang ditemukan di
daerahdaerah sebagai representasi dari kekuasaan Majapahit,
haruslah tetap dijaga kelestarian dan pelestariannya.
KEpUstaKaaN
Anonim, 1999. Metode Penelitian Arkeologi, Departemen Pendidikan
Nasional, Jakarta : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Bahn, Paul dan Collin, Renfrew. 1991. Archaeology Theories,
Methods, and Practice, Thames and Hudson Ltd. United
States of America
Gunadi, 1982. Peninggalan Megalitik di Cilongok, Kabupaten
Banyumas, Jawa Tengah, Skripsi Sarjana, Jurusan Arkeologi,
Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
________, 1994. Situs-Situs Watu Kandang di Lembah Sungai Kali
Samin Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah : Satu Penelitian
Peninggalan Megalitik dengan Pendekatan Lingkungan, Tesis
Magister bidang Humaniora, Program Pascasarjana,
Universitas Indonesia.
Hoop, A.N.J. Th.a Th. Van der, 1932. Megalithic Remains in South
Sumatra, Translated by William Shirlaw, W.J. Thieme &
Cie, Zutphen, Netherland.
162 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Mundardjito, 1993. Pertimbangan Ekologi Dalam Penempatan
Situs – Situs Masa Hindu – Buda di Daerah Yogyakarta :
Kajian Arkeologi Ruang Skala Makro, Disertasi, Universitas
Indonesia. Nitihaminoto, Goenadi 1978. Laporan Ekskavasi
Matesih, Proyek Penelitian dan Penggalian Purbakala
Yogyakarta, Belum diterbitkan.
Nitihaminoto, Goenadi, Dkk. 2007. Penelitian Permukiman
Arkeologi Danau di Desa Tegal Randu, Lumajang
dan DanauDanau di Kabupaten Probolinggo, Laporan
Penelitian Arkeologi, Balai Arkeologi Yogyakarta.
______________________1978. Laporan Ekskavasi Matesih, Proyek
Penelitian dan Penggalian Purbakala Yogyakarta, Belum
diterbitkan.
Pigeaud, Theodore G. 1960. Java in The 14th Century, A Study in
Cultural History, Vol. III (Translations), The Hague –
Martinus Nijhoff.
Soekmono, 1974. Candi, Fungsi dan Pengertiannya, Disertasi
Universitas Indonesia, Jakarta.
Tjahjono, Baskoro Daru, 2002. Latar Belakang Pendirian Candi
Bata di Jawa Tengah Tahap III, Laporan Penelitian Arkeologi,
Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
163Benteng Biting
8
BENtENg BitiNg
Novida Abbas
Sebuah Benteng Lokal di Jawa
S
ebuah benteng lokal dengan disain lokal? Rasanya
kita jarang mendengar ataupun menjumpai hal
semacam itu. Yang banyak dilihat atau dike
tahui umumnya adalah benteng Belanda, benteng Inggris,
benteng Portugis, ataupun benteng Jepang. Kalau pun
ada benteng yang dikategorikan ”lokal”, umumnya yang
dikenal warga adalah bentengbenteng yang ber
hubungan dengan keraton, misalnya benteng Keraton
Yogyakarta atau benteng Keraton Surosowan Banten.
Bentengbenteng keraton itupun disainnya menunjukkan
unsurunsur “asing”, utamanya Eropa. Sebagai contoh,
benteng keraton Yogyakarta pada bagian sudutsudutnya
memiliki bastion dan menara intai, yang merupakan unsur
benteng yang berbau Eropa. Sementara itu benteng lokal
yang tidak menunjukkan pengaruh asing dalam disainnya
164 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
yang diketahui sisa fisiknya sampai saat ini hanyalah
benteng tanah yang dijumpai di daerah Lampung dan Lahat,
Sumatra (Triwuryani, 2006; Indriyastuti, 2006). Benteng
benteng tanah ini umumnya berupa gundukan tanah
yang bisa dilengkapi ataupun tanpa parit. Selain itu benteng
lokal terdapat pula di Buton, Sulawesi, dari masa Kesultanan
Buton. Benteng Buton ini dibuat dari batu dengan denah
mengikuti bentang alam yang ada (Riyanto, 2002). Selain di
Sumatra dan Sulawesi, ternyata di daerah Lumajang, Jawa
Timur, ada sisasisa sebuah benteng lokal yang dikenal
warga dengan nama Biting. Biting adalah bahasa
lokal untuk menyebut benteng. Benteng Biting ini terletak
di wilayah Kelurahan Kutorenon, Kecamatan Sukodono,
Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Sisasisa benteng Biting pertama kali disebutkan dalam
sebuah laporan peninjauan di zaman Belanda, yaitu peninjauan
yang dilakukan oleh J. Hageman di tahun 1861 (Mühlenfeld,
1921). lalu Mühlenfeld melakukan peninjauan lanjutan
yang diikuti dengan penggalian arkeologis di situs ini pada
tahun 1923 (OV 1923; OV 1924; Tjandrasasmita, 1977). Dari
survei maupun penggalian yang dilakukan oleh Belanda,
maupun selanjutnya
oleh Balai Arkeologi
Yogya karta dalam kurun
waktu antara awal 1980
an sampai awal 1990an,
diketahui tentang sisa
sisa sebuah benteng yang
mengelilingi areal seluas
135 ha (Abbas & Ratna
Dewi, 1985). Dari sisa Dok. Balar Yk Pengungakan I
165Benteng Biting
tembok keliling yang masih terlihat, diketahui bahwa tembok
yang menge lilingi areal ini memiliki ketebalan sekitar 1.60
m dengan tinggi sekitar 2 m. Bekas benteng ini dibuat dari bata
berukuran besar, dengan memakai spesi/perekat berupa
tanah tanpa lepa. Selain itu benteng juga dilengkapi dengan
enam menara intai berdenah segi empat, yang oleh penduduk
setempat disebut sebagai pengungakan, yaitu pengungakan I
sampai VI. Dari enam pengungakan ini, tiga di antaranya
terletak di sisi barat, sementara di ketiga sisi lainnya masing
masing terdapat sebuah pengungakan. Dari pengungakan yang
masih tampak relatif utuh, yaitu pengungakan I dan II diketahui
bahwa luas masingmasing adalah 7.5 m x 6.5 m dengan tinggi
antara 3.8 m 8m (Abbas, 1992). Selain itu diperoleh pula
sejumlah data toponim di bagian dalam benteng, yang oleh
penduduk setempat disebut sebagai blok, yaitu blok Kraton,
blok Jeding, blok Randu, blok Duren, dan blok Salak. Di zaman
Belanda, di blok Jeding ditemukan struktur dinding dan lantai
bata yang diduga merupakan bekas kolam pemandian, yang
saat ini sudah tidak dapat disaksikan lagi bekasbekasnya (OV
1924).
Denah benteng Biting dibuat dengan mengikuti bentuk
aliran empat sungai yang terdapat di lokasi ini, yaitu
Sungai Bondoyudo di sisi utara, Sungai Winong di sisi timur,
Sungai Cangkring di sisi selatan, dan Sungai Peloso di sisi
barat. Sementara keenam pengungakan pada benteng ini
masingmasing terdapat pada kelokan sungai. Sungai yang
terletak di sebelah selatan, yaitu Sungai Cangkring, merupakan
sungai buatan, dan di sebelah barat daya terdapat bekas
bekas pembendungan Sungai Peloso (Moelyadi, 1983). Dari
keempatnya, sungai terbesar adalah Bondoyudo.
166 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Dari serangkaian penggalian arkeologis yang dilakukan
di bagian dalam bekas benteng ini, didapatkan temuan yang
cukup beragam, mulai dari pecahanpecahan tembikar,
keramik, mata uang, alat logam, sampai batubatu bulat
dengan diameter 1015 cm. Selain itu, di bagian dalam benteng
terdapat pula sebuah kompleks makam kuno. warga
setempat mengatakan bahwa tokoh utama yang dimakamkan
di situ adalah Menak Koncar, yang menurut cerita setempat
merupakan penguasa Lumajang pada akhir masa Majapahit
(lihat juga Graaf & Pigeaud, 1985).
Yang menjadi pertanyaan, pada
masa apa benteng ini didirikan
dan dipakai? Tentunya catatan
sejarah lah yang harus ditengok,
di samping juga mencermati dan
menganalisis temuantemuan yang
berasal dari situs itu sendiri. Dok. Balar Yk
Makam Menak Koncar
167Benteng Biting
Biting dalam Lintasan Sejarah
Di masa Majapahit, daerah Lumajang beserta Panarukan
dan Blambangan dikenal dengan sebutan Lamajang Tigang
Juru, yang merupakan daerah kekuasaan Wiraraja (Schrieke,
1957). Sebenarnya nama Biting sendiri tidak pernah ditemukan
dalam catatan sejarah. Namun nama Kutorenon (yang sekarang
menjadi nama kelurahan tempat Biting termasuk ke dalamnya)
bisa dijumpai dalam Kitab Nagarakrtagama dan Babad Tanah
Jawi. Dalam Kitab Nagarakrtagama pupuh XXI disebutkan
beberapa nama tempat yang dipakai sebagai tempat per
hentian raja Hayam Wuruk (berkuasa antara tahun 1350 hingga
1386) dalam perjalanannya dari Majapahit ke Lumajang.
Tempattempat ini adalah Jaladipa, Talapika, Padali,
Arnon, Panggulan, Payaman, dan Tepasana (Slamet Mulyana,
1979). Dari namanama tempat itu, Padali, Arnon, Panggulan,
dan Payaman sampai saat ini masih dapat dijumpai di sekitar
wilayah Kelurahan Kutorenon, yaitu Bedali, Kutorenon,
Pangul, dan Bayeman (lihat juga OV 1921). lalu
dalam pupuh XLVIII disebutkan mengenai penyerangan raja
Majapahit, yaitu Jayanegara (memerintah pada tahun 1309
sampai 1328), ke Lumajang pada tahun 1238 Saka (1316 M).
Dicerita kan bahwa pada penyerangan itu benteng tempat
kedudukan Nambi (putra Wiraraja) di Pajarakan dirusak,
sedangkan Nambi sekeluarga dibinasakan (Slamet Mulyana,
1979). Nama Pajarakan pun sampai saat ini masih terdapat di
wilayah Lumajang, yaitu di sebelah utara Wonorejo, sementara
Kutorenon terletak di sebelah selatan Wonorejo. Pada tahun
itu pula wilayah Lumajang jatuh kembali ke tangan Majapahit.
lalu pada masa Hayam Wuruk daerah ini diserahkan
kepada putranya, Bhre Wirabhumi.
168 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Sesudah masa kejayaan Majapahit berakhir, yaitu ketika
kerajaan Mataram Islam berkembang di sekitar Yogyakarta
dan Jawa Tengah, nama Renong muncul dalam kitab Babad
Tanah Jawi (Olthoff, 1941). Diceritakan dalam kitab babad
itu bahwa Sultan Agung (16131645) dari kerajaan Mataram
Islam memerintahkan pasukannya untuk menyerang dan
menaklukkan daerahdaerah di sebelah timur. Sultan Agung
menunjuk Ki Sura Tani untuk menjadi senapati dalam
penyer buan itu. lalu Ki Sura Tani memerintahkan Ki
Tumenggung Alapalap dengan pasukannya untuk menyerbu
Lumajang dan Renong. Dikisahkan pula bahwa dalam
penyer buan itu Lumajang dan Renong berhasil dihancurkan,
sementara para bupati Lumajang maupun Renong berhasil
melarikan diri.
Korelasi antara Catatan Sejarah dan Tinggalan Arkeologi
Menilik dua sumber sejarah di
atas, dari abad ke14, yaitu masa
Raja Jayanegara dan Hayam Wuruk
dari Kerajaan Majapahit, ter dapat
penyebutan nama Arnon dan
Pajarakan, yang keduanya terletak
berdekatan di wilayah Lumajang.
Arnon disebut sebagai salah satu
tempat yang dikunjungi Hayam
Wuruk dalam perjalanannya ke daerahdaerah di sebelah
timur Majapahit, sementara Pajarakan disebut dalam penye
rangan Jayanegara untuk memadamkan pemberontakan
Nambi. Selanjutnya di abad ke17 pada masa kekuasaan Sultan
Agung dari Kerajaan Mataram Islam disebutkan nama Renong
Dok. Balar Yk Temuan kowi
169Benteng Biting
dan Lumajang, yang diserang dan ditaklukkan oleh pasukan
Mataram Islam.
Selain sumber sejarah, penelitian arkeologi juga dapat
mengungkapkan pertanggalan suatu situs melalui temuan
temuan dari situs ini. Menyangkut penelitian arkeologi di
lokasi benteng Biting, temuan yang dihasilkan berupa pecahan
pecahan tembikar, keramik, mata uang, alat logam, maupun
batubatu bulat. Pecahanpecahan tembikar sesudah dianalisis
menunjukkan berbagai bentuk wadah, seperti periuk, buyung
(klenthing), kendi, mangkuk, cawan, piring, pengaron, dan kowi.
Analisis terhadap temuan pecahan keramik menunjukkan
bentuk asal berupa mangkuk, bulibuli, cepuk, cangkir, piring,
dan guci.
Wadahwadah keramik ini
merupakan keramik Cina, Thai,
Vietnam, Jepang, Timur Tengah, mau
pun Eropa. Yang terbanyak, yaitu 85
% dari keseluruhan temuan keramik,
adalah keramik Cina. Pertanggalan
keramik Cina dari benteng Biting
ini berkisar antara abad ke13 (masa
dinasti Song) sampai abad ke17 (masa dinasti Ming). Sisanya,
sebesar 15 %, terdiri atas keramik Thai (abad ke15), Vietnam
(abad ke16), Timur Tengah (abad ke16), Eropa dan Jepang
(abad ke19 dan 20). Tentunya keramik Eropa dan Jepang
ini berasal dari masa yang lebih lalu, yaitu ketika
Belanda sudah berkoloni di Jawa yang disusul dengan masa
pendudukan Jepang. Oleh karena itu, kedua jenis keramik ini
bisa dilepaskan dari pertanggalan situs benteng Biting.
Temuan penelitian lainnya adalah mata uang, yang berupa
mata uang Cina yang dikenal juga sebagai mata uang kepeng.
Dok. Balar Yk
Temuan klinthing
perunggu
170 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Sebagian besar berupa
pecahan yang tidak dapat
dikenali pertanggalannya.
Mata uang ini dibuat dari
perunggu dengan lubang
segi empat di tengahnya.
Dari temuan mata uang
yang relatif utuh diketahui
bahwa pada bagian recto
terdapat aksara Cina,
dan bagian verso polos. Aksara Cina ini biasa dijumpai
pada bagian recto mata uang dari dinasti Song Selatan, yang
berasal dari abad ke12. Pecahan logam lainnya dari benteng
ini merupakan bagian dari alat dan senjata, yaitu pahat dan
ujung keris, serta kelinthing yang dibuat dari perunggu.
Mengacu pada catatan sejarah, pertanggalan situs ini ber
kisar antara abad ke14 sampai abad ke17. Sementara data
pertanggalan relatif yang diperoleh dari tinggalan arkeo logi
dari situs, yaitu berdasarkan temuan pecahan mata uang dan
keramik, diperoleh pertanggalan antara abad ke12 sampai
abad ke17. Membandingkan kedua sumber ini, terlihat
adanya kesejajaran di antara keduanya. Kemungkinan tinggalan
berupa benteng lokal di wilayah Kutorenon ini berasal dari
masa Majapahit akhir. lalu keberadaannya masih terus
berlangsung hingga awal masa Mataram Islam. Sementara
bila cerita warga setempat disimak, bekas benteng Biting
ini juga diasosiasikan dengan masa Majapahit akhir, dengan
adanya tokoh legendaris Menak Koncar yang dianggap sebagai
penguasa di tempat itu pada masa Majapahit akhir.
Sungai Bondoyudo di sisi utara
benteng Dok. Balar Yk
171Benteng Biting
Biting, Riwayatmu Kini
Sebagai salah satu bekas benteng lokal yang mungkin
berasal dari masa Majapahit akhir, dan diduga berlanjut
hingga masa Kerajaan Mataram Islam, dan tampaknya juga
merupakan satusatunya bekas benteng lokal di Jawa yang
masih bisa disaksikan bentuk fisiknya, kondisi situs Biting
kini sangat mengenaskan. Padahal benteng ini mencerminkan
tingginya kemampuan warga masa itu dan sekaligus
tingkat kemajuan pemikiran tentang strategi pertahanan di
masa lalu. Buktibuktinya terlihat pada pembuatan benteng
berbahan bata yang cukup besar yang mencakup areal seluas
135 hektar. Selain pembuatan tembok benteng yang dilengkapi
dengan enam pangungakan untuk mengawasi daerah sekitarnya,
mereka juga telah melakukan pemilihan lokasi yang sangat
strategis untuk tempat pertahanannya, yaitu lokasi yang
dikelilingi oleh tiga sungai. Bentang alam yang tersedia itu
lalu dilengkapi lagi dengan 1 sungai buatan, sehingga
benteng yang didirikan itu di keempat sisinya dikelilingi oleh
sungaisungai.
Sebenarnya perusakan bekas benteng Biting ini sudah
terjadi di zaman Belanda. Pada masa itu di Kutorenon banyak
terdapat perkebunan tebu. Belanda membuat rel lori untuk
keperluan pengangkutan tebu dari kebun ke lokasi pabrik
gula. Kemungkinan besar tebutebu dari areal bekas benteng
ini diangkut menuju pabrik gula (PG) Djatiroto (yang
sebelum tahun 1912 masih bernama PG Ranupakis: lihat Suara
PG Djatiroto Edisi 2, 2003). Pembuatan rel lori ini merusak
sebagian struktur bangunan benteng. Perusakan selanjutnya
sesudah masa kemerdekaan adalah aktivitas penduduk
dalam bidang pertanian dan perkebunan, yang menjadikan
172 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
sisa bangunan benteng yang ada semakin punah. Pada saat
penelitian dilakukan di situs ini, tiap kali tim peneliti datang,
setiap kali ketebalan tembok keliling benteng semakin
menipis, karena sawah ataupun kebun di situ selalu diperluas,
yang akhirnya menghilangkan tembok keliling benteng.
Kerusakan diperparah pula dengan maraknya penggalian
liar untuk mencari bendabenda kuno di situs ini. Dari serita
penduduk setempat diketahui bahwa para penggali liar sering
menemukan bendabenda keramik dan logam di sekitar situs
ini. Dan yang terakhir adalah pembangunan perumahan oleh
Perum PERUMNAS pada sebagian areal bekas benteng Biting,
yaitu seluas 15 hektar (Hidayat, 1996 : 62 – 72). Pendirian
kompleks perumahan di bagian dalam bekas benteng itu
merusak sebagian sisa tembok keliling maupun sisa bangunan
di dalam benteng.
173Benteng Biting
Satu lagi perusakan telah terjadi pada tinggalan arkeologi
yang mungkin berasal dari masa Majapahit akhir, dan yang
mungkin merupakan satusatunya benteng lokal yang
masih ada di Jawa dari masa itu. Benteng yang dulunya
berfungsi sebagai tempat pertahanan untuk melindungi
kota dan penduduk di dalamnya, kini ternyata tak mampu
mempertahankan diri melawan lajunya pembangunan.
KEpUstaKaaN
Abbas, Novida dan Enny Ratna Dewi. 1985. “Penelitian Biting V,
Lumajang, Jawa Timur”. Laporan Penelitian Arkeologi No.
7. Yogyakarta. Balai Arkeologi.
_________. 1986. “Biting, Suatu Studi Pendahuluan tentang Unsur
Pertahanan”. Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi II.
Jakarta. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
_________. 1992. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Situs Biting,
Kelurahan Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Kabupaten
Lumajang, Jawa Timur Tahap XI. Yogyakarta. Balai
Arkeologi.
Graaf, H.J. de & Th. G. Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam
di Jawa. Jakarta. Grafiti Pers.
Hidayat, Muhammad. 1996. “Pembangunan Perumahan pada
Areal Situs Biting, Lumajang”. Berkala Arkeologi Thn XVI
No. 2. Hlm. 6272. Yogyakarta. Balai Arkeologi.
Indriyastuti, Kristantina. 2006. “Benteng Tanah Muara Payang”.
Permukiman di Indonesia-Perspektif Arkeologi. Hlm. 102
107. Jakarta. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,
174 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Badan Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan dan
Pariwisata.
Moelyadi. 1983. “Dampak Lingkungan Geologi terhadap
Pendirian dan Kehancuran Kerajaan Lama Sukodono,
Lumajang, Jawa Timur”. Yogyakarta. Jurusan Teknik
Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Mühlenfeld, A. 1921. “De Ruinen van Koeta Renon in het
Loemadjangsche”. O.V. eerste kwartaal. Hlm. 35 – 38.
‘sGravenhage. Martinus Nijhoff.
Olthoff, W.L. 1941. Poenika Serat Babad Tanah Djawi wiwit saking
Nabi Adam doemoegi ing Taoen 1647. ‘sFravenhage.
Martinus Nijhoff.
O.V. 1923. derde en vierde kwartaal. Hlm. 84 – 85. ‘sGravenhage.
Martinus Nijhoff.
_______ 1924. derde en vierde kwartaal. Hlm. 1113. ‘sGravenhage.
Martinus Nijhoff.
Schrieke, B. 1957. Indonesian Sociological Studies I. Bandung. The
Hague.
Slamet Mulyana. 1979. Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya.
Jakarta. Bhratara Karya Aksara.
Tjandrasasmita, Uka. 1977. “Riwayat Penyelidikan Kepurbakalaan
Islam di Indonesia”. 50 Tahun Lembaga Purbakala dan
Peninggalan Nasional. Hlm. 107135. Jakarta. P.T. Karya
Nusantara.
Triwuryani, Rr. 2006. “Benteng Tanah DAS Sekampung”.
Permukiman di Indonesia-Perspektif Arkeologi. Hlm. 97101.
Jakarta. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Badan
Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan dan Pariwisata.
175Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit
9
FENoMENa islaM
pada Masa KEBEsaraN
KErajaaN Majapahit
Muhammad Chawari
Keberadaan Kompleks Makam Troloyo
S amudera Pasai menurut sumber sejarah merupakan Kerajaan Islam pertama di Indonesia. Selain itu, keberadaan kerajaan ini juga diketahui berdasarkan
adanya inskripsi berhuruf Arab yang dipahatkan pada
batu nisan makam raja pertama, yaitu Malik asSaleh yang
meninggal pada tahun 696 H atau 1297 M (Tjandrasasmita,
1976: 12), dan puteranya yang bernama Sultan Muhammad
Malik azZahir yang meninggal pada tahun 726 H atau 1326
M (Tjandrasasmita, 1992: 108). Periode berikutnya, di Jawa
muncul pula sebuah kerajaan bercorak Islam yaitu Demak.
Kerajaan ini muncul pada sekitar abad XV dengan peninggalan
176 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
utama yang masih ada hingga saat ini, yaitu Masjid Agung
Demak dan kompleks makam rajaraja yang terletak di
belakang masjid ini. Periodisasi Masjid Agung Demak
diketahui berdasarkan adanya candra sengkala yaitu sengkalan
memet yang berupa relief seekor kurakura yang terdapat pada
dinding mihrab masjid ini. Relief kurakura ini
ditafsirkan menggambarkan angka tahun 1401 Ç atau 1478 M
(Tjandrasasmita, 1976: 67).
Pintu gerbang baru Kompleks Makam Troloyo Dok. Sugeng. R
Selanjutnya peninggalan masa Islam di Jawa tersebar di
sepanjang pantai utara, sejak dari Banten, Cirebon, Kudus,
Jepara, Rembang, Tuban, Lamongan, Gresik, dan Surabaya.
Bahkan juga di Troloyo, yaitu sebuah desa di pedalaman
Jawa Timur tepatnya di Kabupaten Mojokerto. Dari kota
kota di pantai utara Jawa ini dapat diketahui kronologi
perkembangan Islam di Pulau Jawa.
J.P. Moquette salah seorang peneliti asing, telah berhasil
membaca tulisan pada nisan yang ada di Leran, Kabupaten
177Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit
Gresik. Nama yang berhasil direkam melalui inskripsi ini
adalah Fatimah binti Maimun bin Hibatallah yang meninggal
pada tahun 495 H atau 1102 M (Moquette, 1912: 208 – 214).
lalu pada tahun 1910 van Ronkel berhasil membaca
nisan kubur Malik Ibrahim yang ada di kota Gresik kota. Hasil
pembacaan van Ronkel diulangi lagi oleh Th.W. Juynboll.
Kedua orang ini membaca bulan wafatnya Malik
Ibrahim adalah Rabi’ul Awwal. Namun pembacaan keduanya
disangkal oleh Moquette. Hasil pembacaan Moquette adalah
Rabi’ul Akhir. Dari inskripsi yang ada pada nisan makam
Malik Ibrahim ini diperoleh angka tahun 822 H atau 1419
M (Tjandrasasmita, 1992: 108). Di samping itu, pada Kompleks
Makam Pusponegoro di kota Gresik juga ditemukan inskripsi
dengan huruf pegon, yang terdapat pada salah satu cungkup
makam. Masih di kabupaten Gresik, yaitu di daerah Giri
terdapat sebuah pesantren dan kompleks makam Islam kuna
yang dikenal sebagai pusat pengembangan agama Islam untuk
wilayah Indonesia bagian timur (Umar, 1979).
Bangunan baru yang berfungsi sebagai cungkup Dok. Sugeng. R
178 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Sementara itu, makammakam yang terdapat di daerah
Troloyo dan Trowulan, Kabupaten Mojokerto pernah diteliti
oleh Uka Tjandrasasmita. Hasil penelitian ini lalu
dipubli kasikan lewat Aspek-aspek Arkeologi Indonesia No.
3 tahun 1976. Di dalam tulisan ini diuraikan bahwa
di kedua daerah ini (Troloyo dan Trowulan) banyak
ditemu kan makam yang berasal dari abad XIV sampai dengan
XVI. Dari makammakam ini banyak ditemukan nisan
yang berinskripsi huruf Arab. Sarjana lain yang lebih dahulu
meneliti daerah ini adalah L.Ch. Damais yang tulisannya
dimuat dalam BEFEO tahun 1957. Dalam tulisan ini,
Damais menyebutkan bahwa di daerah itu banyak ditemukan
nisannisan kubur dari orangorang muslim yang pada waktu
itu bermukim di sekitar Keraton Majapahit. Sekitar 30 buah
nisan dan balok batu bertulis telah diteliti oleh Damais. Nisan
nisan ini kebanyakan menyebut angka tahun dengan
tahun Çaka. Angkaangka tahun ini sejaman dengan
masa berdiri, masa kejayaan, dan masa keruntuhan Kerajaan
Majapahit (Damais, 1957: 353415).
Dari Kompleks Makam Troloyo dapat diketahui berbagai
aspek kepurbakalaan yang berhubungan dengan gejala atau
fenomena perkembangan Islam, khususnya di Jawa Timur,
lebih khusus lagi berkaitan erat dengan keberadaan Kerajaan
Majapahit. Dari berbagai macam penelitian yang pernah
dilakukan, baik oleh peneliti asing maupun peneliti pribumi
terhadap data kronologi, data keletakan kompleks makam,
data ragam hias, dan data inskripsi, dapat diketahui tentang
nilai sejarah, nilai politik, nilai budaya, dan juga nilai agama
yang melatarinya.
Dalam tulisan ini yang akan dibahas adalah nilai yang
berhubungan dengan agama (Islam). Khusus nilai agama, hal
179Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit
ini dapat diketahui salah satunya dari data inskripsi yang ada.
Oleh sebab itu maka kajian yang akan dilakukan terhadap isi
inskripsi dan studi terhadap paleografinya, diharapkan akan
dapat mengungkap halhal yang berkaitan dengan maksud
dan tujuan pencantuman isi dari inskripsi ini.
Bangsa Indonesia pada abad XIII sampai dengan XVIII
pernah mengalami masa kejayaan lewat kerajaankerajaan
Islam. Dengan demikian setidaktidaknya akan meninggalkan
bekasbekas aktivitasnya. Terutama dalam hal ini yang ber
kaitan dengan manusia dan warga pendukungnya
(warga muslim), yaitu makam. Tetapi jauh sebelum itu,
yaitu pada abad XI masehi sudah ditemukan peninggalan
Islam tertua (berupa makam juga) yang merupakan indikasi
tentang hadirnya Islam di Indonesia.
Kompleks Makam Troloyo
Kompleks makam Troloyo
terletak di Dukuh Sidodadi, Desa
Sentonorejo, Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Mojokerto. Di kompleks
pemakaman ini banyak ditemukan
makammakam kuna. Makam
makam ini sebagian masih
dalam keadaan terawat dengan
adanya juru pelihara dari BP3 Jawa
Timur, namun sebagian lagi telah
mengalami perubahan dengan
adanya penambahan berbagai bangunan baru. Pada kompleks
makam ini sekarang telah dibuat beberapa bangunan baru
Inskripsi yang berisi tentang
kalimat tauhid
Dok. Sugeng. R
180 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
yang berdiri di atas bangunan cungkup lama, termasuk areal
perparkiran. Beberapa makam akan diuraikan di bawah ini:
1. Kubur Panjang
warga menyebut makam ini Kubur Panjang,
karena merupakan sebuah makam yang panjangnya
melebihi ukuran panjang makam pada umumnya. Kubur
Panjang terletak di sebelah timur laut masjid dan disebut
sebagai makam Syeh Ngundung. Inskripsi yang terdapat
pada nisan makam merupakan kutipan ayatayat Al
Qur’an dari satu potong Surat Ali Imran ayat 185, Surat
AlAmbiya ayat 35, Surat AlAnkabut ayat 37, dan Surat
ArRahman ayat 26 dan 27.
2. Kubur Tunggal
Dok. Sugeng. R Sebuah masjid yang terletak
di dalam Kompleks Makam Troloyo
Disebut Kubur Tunggal karena dahulu (sebelum
adanya pembangunan cungkup baru) kuburan ini terletak
di dalam sebuah cungkup dan berdiri sendiri. Kuburan ini
terletak di sebelah timur masjid. Makam ini oleh warga
setempat disebut sebagai makam Syeh Jumadil Kubro.
Inskripsi yang terdapat pada nisan makam merupakan
181Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit
kutipan ayatayat AlQur’an dari Surat Ali Imran ayat 185,
Surat AlAmbiya ayat 35, Surat AlAnkabut ayat 37, Surat
ArRahman ayat 26, Surat AlQasas ayat 88, dua kalimah
dalam bahasa Arab, dan Asma’ul Khusna.
3. Petilasan Walisongo
Disebut Petilasan Walisongo karena di dalam satu
gentan terdapat sembilan makam. Petilasan Walisongo ini
terletak di sebelah timur masjid. Inskripsi yang terdapat
pada nisan makam merupakan kutipan ayatayat Al
Qur’an dari Surat Ali Imran ayat 185, Surat AlAmbiya
ayat 35, Surat AlAnkabut ayat 57, dan satu kalimah dalam
bahasa Arab.
4. Kubur Telu
Kubur Telu terletak di
sebelah timur masjid. Istilah
Kubur Telu diberikan oleh
warga setempat, karena
di dalamnya terdapat tiga
buah makam, yaitu:
a. Makam Syeh Maulana
Ibrahim
Makam ini di dalam
cungkup berada paling
timur di antara tiga
makam lainnya. Inskripsi
yang ter dapat pada nisan
makam merupakan kutipan ayatayat AlQur’an dari
Surat ArRahman ayat 26 dan 27.
b. Makam Syeh Maulana Sekah
Makam ini berada di tengah di antara tiga makam
yang berada dalam satu bangunan. Inskripsi yang
Dok. Sugeng. R Salah satu
makam yang berangka tahun
182 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
terdapat pada nisan makam berupa satu kalimat
tauhid (dua kalimah syahadat).
c. Makam Syeh Abdul Qodir Jaelani Sini
Makam ini berada di bagian paling barat di antara
tiga makam lainnya. Inskripsi yang terdapat pada
nisan makam merupakan kutipan ayatayat AlQur’an
dari satu potong Surat Ali Imran ayat 185, Surat Al
Ambiya ayat 35, Surat AlAnkabut ayat 57, pujipujian
kepada Allah, kalimat Tauhid, Asma’ul Khusna. Selain
itu juga tercantum angka tahun Çaka dalam angka
Arab yaitu 1533 Ç (1611 M).
Arti dan Maksud Isi Inskripsi
Dari beberapa makam yang berinskripsi huruf Arab dapat
diketahui adanya pemakaian atau kutipan beberapa ayat
AlQur’an dari suratsurat yang berbeda. Ayatayat suci Al
Qur’an ini ada yang dikutip secara utuh, namun ada pula
yang dikutip secara sepotongsepotong. Beberapa surat yang
dikutip dari ayat AlQur’an adalah:
1. Potongan dari Surat Ali Imran ayat 185
Artinya: Tiaptiap yang berjiwa akan merasakan mati.
Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu.
2. Potongan dari Surat AlAmbiya ayat 35
Artinya: Tiaptiap yang berjiwa akan merasakan mati.
3. Dari Surat AlAnkabut ayat 57
Artinya: Tiaptiap yang berjiwa akan merasakan mati.
lalu hanyalah kepada Kami kamu
dikembalikan.
183Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit
4. Dari Surat ArRahman ayat 26 dan 27
Artinya: Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan
tetap kekal Dzat Tuhanmu yang memiliki
kebesaran dan kemuliaan.
5. Surat AlQasas ayat 88
Artinya: Tiaptiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.
6. Selain suratsurat dalam AlQur’an, dicantumkan pula
beberapa ungkapan, yaitu: dua kalimah dalam bahasa
Arab, asma’ul khusna (namanama sifat Allah), pujipujian
kepada Allah, dan kalimat tauhid.
Pencantuman dan pemakaian ayatayat suci AlQur’an
yang terdiri atas Surat Ali Imran ayat 185, Surat AlAmbiya
ayat 35, Surat AlAnkabut ayat 57, Surat ArRahman ayat 26
27, dan Surat AlQasas ayat 88 dapat dipahami. Demikian pula
kalimat tauhid (dua kalimah syahadat) seperti tercantum dalam
beberapa nisan makam, pencantuman do’ado’a, namanama
sifat Allah (asma’ul khusna), serta pujipujian kepada Allah,
yang semua menyiratkan hubungan antara manusia dengan
Allah sang pencipta. Lebih khusus lagi adanya hubungan
antara kelompok warga muslim yang berdiam di Troloyo
(bagian dari wilayah kota Majapahit) dengan Tuhannya melalui
agama yang dianutnya. Selain itu, pemakaian kalimat tauhid
(dua kalimah syahadat) menunjukkan betapa pentingnya
mengucapkan pengakuan atau kesaksian seseorang yang akan
memeluk agama Islam. Pengakuan atau kesaksian ini
adalah: “tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah
utusanNya (rasulNya)” (Tjandrasasmita, 1993: 281). Selain itu
juga diungkapkan namanama sifat Allah, peringatan kepada
manusia bahwa semua yang ada di bumi pasti akan mengalami
kematian dan kebinasaan, serta peringatan bahwa setiap
184 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
manusia akan memperoleh imbalan pahala atas perbuatannya
selama hidup di dunia.
Berdasarkan data inskripsi ini, baik yang berupa
pencantuman ayatayat AlQur’an maupun adanya pengakuan
atau kesaksian terhadap Allah Sang Pencipta, menunjukkan
bahwa orangorang yang dimakamkan di Kompleks Troloyo
telah menganut atau memeluk agama Islam.
Identifikasi Tokoh
Namanama tokoh yang digu
nakan dalam penamaan makam seperti
ini di atas merupakan penamaan
yang berasal dari masya rakat sekitar
kompleks makam Troloyo, bukan
nama yang sesungguhnya. Nama
nama ini sematamata hanya
untuk memper mudah identifikasi
saja. Sebetulnya dasar dan maksud
nama tokohtokoh ini, belum
diketahui dengan jelas. Yang jelas
namanama seperti Syeh Maulana
Ibrahim, Makam Syeh Abdul Qodir
Jaelani Sini, Syeh Maulana Sekah,
Syeh Ngundung, Syeh Jumadil Kubro, dan istilah Walisongo
merupakan namanama yang banyak dikenal dalam percaturan
sejarah Islam di Indonesia. Sebenarnya dari seluruh makam
di Troloyo yang ada prasastinya tidak ada satupun yang
mencantumkan nama orang yang meninggal, kecuali satu
inskripsi yang menyebut nama Zayn udDin (Zaenuddin?).
Selebihnya tidak ada sama sekali.
Bangunan baru yang
berdiri di atas cungkup
lama Dok. Sugeng. R
185Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit
Secara khusus antara nama yang dikenal sekarang dengan
makamnya tidak ada hubungannya. Tetapi secara umum
tokohtokoh ini pernah berjaya dan sangat dikenal di
masa lalu, tidak di daerah Troloyo saja namun juga di daerah
lain dalam kurun waktu yang lain pula. Dengan kata lain
namanama tokoh ini bukan nama tokoh sejarah yang
berhubungan dengan makam Troloyo. Selain itu, penamaan
tokoh ini diberikan oleh warga setempat.
Kronologi Makam Dalam Sejarah Majapahit
Makammakam berangka tahun yang ada di kompleks
makam Troloyo jumlahnya cukup banyak. Nisan dan balok
batu yang berangka tahun sejumlah 21 buah, salah satunya
berangka tahun 1533 Ç (1611 M). Nisannisan berangka tahun
ini kebanyakan memakai tahun Çaka, meskipun ada juga
yang memakai angka tahun Hijriyah. Nisan yang memakai
angka tahun Arab menyebut nama Zayn udDin, dan bertahun
874 H atau 1469 M (Damais, 1957: 353 – 415). Selain itu, yang
menarik adalah adanya sebuah balok batu berangka tahun
1204 Çaka atau 1282 M. Jika dilihat dari usia, maka balok
batu ini berasal dari masa sebelum berdirinya Kerajaan
Majapahit. Hal inilah yang meragukan L.Ch.Damais dan Uka
Tjandrasasmita. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah balok
batu ini benarbenar merupakan nisan, atau hanyalah
meru pakan bagian dari sebuah bangunan yang bercorak
Hindu (candi) yang lalu dimanfaatkan untuk nisan.
Selain itu, terdapat sebuah angka tahun yaitu 874 H yang
bertepatan dengan tahun Çaka 1391 atau 1469 M. Dari angka
tahun ini dapat disimpulkan bahwa agama Islam telah
dianut oleh penduduk Majapahit pada jaman pemerintahan
186 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Raja Hayam Wuruk. Mengingat bahwa Kompleks Makam
Troloyo ini letaknya tidak jauh dari keraton yaitu di dalam
kota Majapahit, dapat dikatakan bahwa tempat merupakan
pemakaman bagi penduduk kota Majapahit dan keluarga raja
yang telah memeluk agama Islam. Oleh karena itu, pada waktu
Majapahit mencapai puncak jaman keemasan yaitu di bawah
raja Hayam Wuruk, agama Islam sudah dianut oleh penduduk
ibu kota Majapahit (Djafar, 1978: 56).
Selanjutnya jika dilihat dari seluruh angka tahun yang ada,
kisarannya berada antara 1204 Çaka atau 1282 M (yang tertua)
sampai 1533 Ç atau 1611 M (yang termuda). Angka tahun yang
tertua, 1204 Çaka atau 1282 M, jika dicocokkan dengan sejarah
berasal dari masa sebelum Majapahit. Angka tahun ini
semasa dengan pemerintahan raja Singasari awal. Ternyata
antara Singasari dengan Majapahit memiliki hubungan yang
sangat dekat. Hubungan ini terlihat sebagai berikut: dinasti
rajaraja Majapahit adalah Rajasa (Rajasawangsa) yang terkenal
pula dengan sebutan Dinasti Girindra (Girindrawangsa). Dinasti
ini merupakan keturunan langsung dari Ken Arok alias Sri
Ranggah Rajasa Bhattara Sang Amurwwabhumi, yaitu pendiri
dan raja pertama Kerajaan Singasari (Djafar, 1978: 70). sesudah
Kerajaan Singasari runtuh, pada tahun 1293 M muncullah era
baru, yaitu dengan berdirinya Kerajaan Majapahit. Kerajaan
ini didirikan oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa
Jayawardhana.
Sementara angka tahun yang lain dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu:
1. Angka tahun yang berasal dari abad XIV ada 8 buah, yaitu:
1241 Ç (1319 M), 1276 Ç (1354 M), 1278 Ç (1356 M), 1294 Ç
(1372 M), dan 1298 Ç (1376 M), 1302 Ç (1380 M), 1319 Ç
(1397 M), 1320 Ç (1398 M).
187Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit
Sepeninggal Raden Wijaya, Jayanagara diangkat
sebagai penggantinya mulai tahun 1309 M. Jayanagara
memerintah Majapahit selama 19 tahun, yaitu sampai
tahun 1250 Ç atau 1328 M, karena dia dibunuh oleh
Tanca. Selanjutnya Jayanagara digantikan oleh
Tribhuwanatunggadewi yang sesudah menjadi raja bergelar
Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani. Dalam
perkawinannya dengan Kertawardhana memperoleh tiga
orang anak, salah satunya Hayam Wuruk yang lahir pada
tahun 1256 Ç atau 1334 M. Pada tahun yang sama terjadi
gempa bumi yang lalu ditafsirkan akan terjadinya
perubahan besar di Majapahit. Kejadian itu diikuti dengan
pengangkatan Gajah Mada sebagai patih amangkubumi
(Slametmulyana, 1979: 130 133). Tribhuwanatunggadewi
memerintah selama 22 tahun sampai tahun 1350 M. sesudah
raja ini mengundurkan diri, lalu diganti oleh Hayam
Wuruk. Hayam Wuruk memerintah Majapahit cukup lama
yaitu 36 tahun, antara tahun 1350 M sampai 1386 M. Dalam
masa pemerintahan yang panjang ini, Hayam Wuruk
didampingi oleh Patih Gajah Mada dan kerajaan mengalami
masa kejayaan. Namun Gajah Mada mendampingi Hayam
Wuruk hanya sampai tahun 1286 Ç (1364 M). sesudah
Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1386 M, sebagai
pengganti adalah menantunya, yaitu Wikramawardhana
(suami Kusumawardhani) yang memerintah antara tahun
1386 M – 1397 M (Kuswanto, 2006: 3). Demikianlah sampai
dengan akhir abad XIV Majapahit sudah diperintah oleh 5
orang raja yang berbeda dan pada masa ini pula Majapahit
berada di puncak kejayaannya.
2. Angka tahun yang berasal dari abad XV ada 8 buah, yaitu:
1329 Ç (1407 M), 1332 Ç (1410 M), 1340 Ç (1418 M), 1342 Ç
188 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
(1420 M), 1349 Ç (1427 M), 1389 Ç (1467 M), 1391 Ç (1469
M), dan 1397 Ç (1475 M).
sesudah Wikramawardhana meninggal pada tahun
1397 M, maka sejak awal abad XV atau sekitar tahun
1413 M keadaan Kerajaan Majapahit mulai mengalami
kemunduran. Hal ini dapat diketahui berdasarkan atas
laporan dari kunjungan Ma Huan ke Majapahit. Ma
Huan mengatakan bahwa pelabuhanpelabuhan yang
dikuasi oleh dan milik Majapahit mulai banyak didiami
oleh pedagangpedagang Cina dan pribumi yang kaya
(Slametmulyana, 1979: 149). Pada tahun 1427 1429 M
Kusumawardhani memerintah Majapahit menggantikan
suaminya, Wikramawardhana. Pada periode berikutnya
Majapahit diperintah oleh putrinya yang bernama Suhita,
yaitu antara tahun 1429 M hingga tahun 1447 M. Oleh
karena Suhita tidak memiliki keturunan, maka hak
atas tahta kerajaan diberikan kepada saudara seayah,
yaitu Kertawijaya. Raja ini memerintah antara tahun
1447 M hingga 1451 M. Sebagai pengganti Kertawijaya
adalah Girindrawardhana Dyah Wijayakarana hingga
tahun 1468 M. sesudah raja ini, secara berturutturut
Kerajaan Majapahit diperintah oleh Girindrawardhana
Singawardhana Dyah Ranawijaya antara tahun 1468 M
hingga 1474 M, Bhre Kertabhumi dari tahun 1474 M hingga
1478 M. Selanjutnya sampai awal abad XVI, yaitu antara
tahun 1486 M sampai tahun 1527 M Majapahit berada di
bawah kekuasaan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya
(Slametmulyana, 1979: 151 157). Sampai awal abad XVI
Majapahit telah diperintah oleh 7 orang raja dan pada masa
ini pula Majapahit mengalami berbagai kemunduran, baik
di bidang politik, sosial, maupun perdagangan.
189Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit
Berdasarkan atas sederetan angka tahun yang disampaikan
oleh Tjandrasasmita ini, diperkirakan bahwa kelompok
warga muslim pada masa puncak kekuasaan Kerajaan
Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk dengan Patih Gajah
Mada dan rajaraja sesudahnya sudah bermukim di sekitar ibu
kota kerajaan. Kebanyakan dari mereka bermukim di Troloyo,
yang terletak di sebelah selatan Kedaton yang merupakan pusat
atau inti kerajaan Majapahit. Tempat itu (Troloyo) merupakan
suatu lokasi yang diberikan oleh pihak Kerajaan Majapahit
(Tjandrasasmita, 1993: 280). Pemberian lokasi tertentu kepada
kelompok warga muslim memiliki maksud tertentu.
Hal ini kemungkinan dimaksudkan sebagai sikap toleransi
terhadap kelompok tertentu atau penghormatan terhadap
golongan tertentu, seandainya memang benar bahwa lokasi
di Troloyo ini diberikan oleh pihak kerajaan untuk
kaum muslim di Majapahit saat itu. Keadaan ini menyiratkan
adanya sifat toleransi pihak penguasa terhadap kegiatan
yang dilakukan oleh kelompok warga muslim. Terdapat
kemungkinan lain bahwa adanya permukiman kelompok
warga muslim di Troloyo, diduga terkait dengan pola
dan penataan kota Majapahit saat itu. Sebuah kota sejak dulu
terbagi dalam perkampunganperkampungan atau kelompok
kelompok yang dihuni oleh komunitas yang heterogen
dan memiliki hubungan erat. Pembagian itu didasarkan
atas profesi, status, agama, dan ras. Komponenkomponen
ini merupakan data yang dapat mencerminkan kondisi
sosial, ekonomi, dan budaya warga pendukungnya
(Atmosudiro, 2002: 144).
190 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Penutup
Berdasarkan atas adanya inskripsiinskripsi pada makam
di Kompleks Troloyo, baik dilihat dari arti, maksud pencan
tumannya, serta kronologi yang ada dapat diketahui beberapa
hal yaitu:
1. Arti dan maksud pencantuman isi inskripsi berkaitan erat
antara yang dimakamkan dengan para pendukungnya
yaitu warga muslim yang berlokasi di Troloyo selaku
warga minoritas. Pencantuman ayatayat suci Al
Qur’an dimaksudkan untuk mendo’akan kepada yang
telah meninggal, juga untuk peringatan bagi yang masih
hidup. Peringatan ini berkaitan bahwa pada suatu
saat manusia pasti akan mengalami maut atau mati. Untuk
itu agar manusia yang masih hidup susaha bersiapsiap
sebelum ajal menjemput.
2. Berdasarkan atas penelitian L.Ch.Damais hanya terdapat
satu buah makam yang menyebutkan nama orang yaitu
Zayn udDin (mungkin Zaenuddin). Selebihnya tidak ada
nama orang yang dicantumkan.
3. Berdasarkan angka tahun yang tertera pada makam
dapat diketahui bahwa angka tahun tertua berasal
dari masa sebelum Majapahit yaitu raja Singasari yang
bernama Kertanagara. Selanjutnya diikuti pada masa awal
Kerajaan Majapahit yaitu Raja Raden Wijaya, melewati
masa kejayaan yaitu Hayam Wuruk hingga masa
keruntuhannya.
4. Toleransi beragama telah tercipta di jaman Majapahit,
yang dapat terlihat dari keberadaan makammakam Islam
di dekat pusat Kerajaan Majapahit.
191Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit
KEpUstaKaaN
Atmosudiro, Sumijati. 2002. Tata Ruang Permukiman Kota Gede
Kuna dan Orang Kalang: Dalam Perspektif Profesionalisme
Pekerjaan dalam Jurnal Kebudayaan Kabanaran.
Yogyakarta: Penerbit Retno Aji Mataram Press.
Damais, L.Ch. 1957. Etudes Javanaise I, Les Tombes Musulmanen
Datees de Tralaya, BEFEOXLVII.
Djafar, Hasan. 1978. Girindrawarddhana Beberapa Masalah
Majapahit Akhir. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan
Buddhis Nalanda.
Kuswanto. 2006. Matrifokalitas Pada Masa Majapahit: Sebuah
Pemikiran Awal dalam Desawarnana Buletin Arkeologi
No. 3, November. Mojokerto: Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Jawa Timur.
Moquette, J.P. 1912. De Datum op den Grafsteen van Malik Ibrahim te
Gresik, TBG.
Slametmulyana, Prof.DR. 1979. Nagarakretagama Dan Tafsir
Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Tjandrasasmita, Uka. 1976. Sepintas Mengenai Peninggalan
Kepurbakalaan Islam Di Pesisir Utara Jawa, Aspek-aspek
Arkeologi Indonsia No. 3. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
. 1992. Riwayat Penyelidikan Kepurbakalaan Islam Di
Indonesia, 50 Tahun Lembaga Purbakala Dan Peninggalan
Nasional. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Cetakan
Kedua.
192 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
. 1993. Majapahit Dan Kedatangan Islam Serta Prosesnya, 700
Tahun Majapahit (1293 – 1993) Suatu Bunga Rampai.
Surabaya: CV. Wisnu Murti. Edisi Kedua.
Umar, Hasyim. 1979. Sunan Giri Dan Pemerintahan Ulama Di
Giri Kedaton. Kudus: Menara.
193Komunitas Muslim di Tengah Kota Majapahit
10
KoMUNitas MUsliM
di tENgah Kota Majapahit
(stUdi KasUs pENgElolaaN
KoMplEKs MaKaM troloyo)
Masyhudi
Pendahuluan
M
ajapahit adalah sebuah kerajaan yang besar dan
megah dengan warna agama Hindu yang kental.
Akan tetapi kini tinggal kenangan. Kerajaan ini
hingga kini masih banyak menyimpan misteri tentang tata
kehidupan kerajaan. Pada beberapa tahun lalu Balai Arkeologi
Yogyakarta mengadakan pendokumentasian terhadap sisa
sisa peningggalan kerajaan yang besar ini yang diawali
dengan suatu perjalanan yang cukup melelahkan. Selama 21
hari kami harus meninggalkan sanak keluarga. Saat melakukan
aktivitas pendokumentasian kami tidak mengenal waktu.
194 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Terkadang kami harus berangkat ke lokasi pada jam tiga pagi,
terkadang jam empat pagi, jam enam pagi dan pada waktu
waktu lain yang sangat sulit dipastikan jamnya, karena harus
berburu cuaca.
Luas areal kota Majapahit diperkirakan hampir mencapai
seratus kilo meter persegi. Peninggalanpeninggalannya
sangat banyak dan beragam. Berbagai bangunan candi men
dominasi tinggalan di wilayah ini. Ada bangunan segaran,
ada bangunan permukiman dan lain sebagainya, baik yang
sakral maupun yang profan. Di Desa Sentonorejo, Kecamatan
Trowulan, Kabupaten Mojoklerto terdapat suatu kompleks
makam kuno yang terdapat di tengah kota Majapahit yang
besar dan megah ini. Konon makam ini lebih tua bila
dibandingkan dengan makammakam tokoh penyebar Islam
di Jawa yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Sehingga
menurut informasi dari warga setempat, tidaklah afdhol,
bila seseorang melakukan ziarah ke makam walisongo kalau
tidak terlebih dahulu melakukan ziarah ke makam Troloyo.
Situs Troloyo terkenal sebagai tempat wisata religius
semenjak masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid,
atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, saat mengadakan
kunjungan ziarah ke tempat ini. Sejak saat itu, tempat ini
banyak dikunjungi peziarah baik dari Trowulan maupun dari
daerah lain, bahkan dari luar Jawa Timur. Ketenaran Makam
Troloyo ini juga disebabkan karena seringnya dikunjungi oleh
para pejabat tinggi. Selain itu, pada harihari tertentu seperti
malam Jumat Legi, haul Syekh Jumadil Qubro, dan Gerebeg
Suro di tempat ini dilakukan upacara adat yang semakin
menarik wisatawan untuk datang ke tempat ini. Situs Troloyo
merupakan salah satu bukti keberadaan komunitas muslim
pada masa Majapahit. Situs ini terletak di Dusun Sidodadi,
195Komunitas Muslim di Tengah Kota Majapahit
Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Untuk mencapai situs ini dapat ditempuh dari perempatan
Trowulan kearah selatan sejauh ± 2 km.
Menurut cerita rakyat yang dikumpulkan oleh J. Knebel,
Troloyo merupakan tempat peristrirahatan bagi kaum niaga
wan muslim dalam rangka menyebarkan agama Islam kepada
Prabu Brawijaya V beserta para pengikutnya. Di hutan
Troloyo ini lalu dibuat petilasan untuk menandai
peristiwa itu. Menurut Poerwodarminta, tralaya berasal dari
kata setra dan pralaya. Setra berarti tegal/tanah lapang tempat
pembuangan bangkai (mayat), sedangkan pralaya berarti
rusak/mati/kiamat. Kata setra dan pralaya disingkat menjadai
Tralaya.
Kepurbakalaan yang ada di situs Troloyo adalah berupa
makam Islam kuna yang berasal dari masa Majapahit. Adanya
makam kuna ini merupakan bukti adanya komunitas muslim
di wilayah ibukota Majapahit. Disebutkan pula oleh MaHuan
dalam bukunya Ying Yai Sing Lan, yang ditulis pada tahun
1416 M. Dalam buku The Malay Annals of Semarang and
Cherbon yang diterjemahkan oleh HJE. de Graaf disebutkan
bahwa utusanutusan Cina dari Dinasti Ming pada abad
XV yang berada di Majapahit kebanyakan muslim. Sebelum
sampai di Majapahit, muslim Cina yang bermahzab Hanafi
membentuk warga muslim di Kukang (Palembang),
barulah lalu mereka bermukim di tempat lain termasuk
wilayah kerajaan Majapahit. Pada masa peme rintahan Suhita
(14291447 M), Haji Gen Eng Cu yang diberi gelar A Lu Ya
(Arya) telah diangkat menjadi kepala pelabuhan di Tuban.
Selain itu, duta besar Tiongkok bernama Haji Ma Jhong
Fu ditempatkan di lingkungan kerajaan Majapahit. Dalam
196 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
perkembangannya, terjadi perkawinan antara orangorang
Cina dengan orangorang pribumi.
Adanya situs makam ini menarik perhatian para sarjana
untuk meneliti, antara lain P.J. Veth, Verbeek, Knebel, Krom, dan
L.C. Damais. Menurut L.C. Damais, Makam Troloyo meliputi
kurun waktu antara 1368–1611 M. Berdasarkan hasil penelitian
yang telah dilakukan, hanya diketahui nama seorang yang
dimakamkan di kompleks Makam Troloyo, yaitu Zainudin.
Namun nisan dengan nama ini tidak lagi diketahui
tempatnya, sedangkan namanama tokoh yang disebutkan di
makam ini berasal dari kepercayaan warga.
Tulisan ini dilatarbelakangi oleh adanya suatu gagasan
bahwa benda warisan budaya masa lalu tumbuh dalam
proses sakralisasi, di mana warga menempatkan warisan
budaya sebagai sesuatu yang sangat terhormat. Tetapi kini
gagasan tentang benda warisan budaya ini berada pada
suatu titik balik, yaitu semakin dipaksa terlibat dalam konflik
konflik kepentingan antar sektor, akhirnya suatu benda
budaya yang memiliki sifat langka, mudah rusak, unik dan
tidak dapat diperbaharui (non renewable) sering meninggalkan
keberadaannya dengan penuh keprihatinan. Oleh karena itu
dalam hal pengembangan sumberdaya budaya seharusnya
dipelajari terebih dahulu tentang nilainilai dan makna kultural
yang terdapat di dalamnya. Sumberdaya budaya yang bersifat
tangible hendaknya dijunjung tinggi keberadaannya, karena
di dalamnya terdapat nilainilai sosial dan individu yang
membentuk jalinan tradisi dan adat istiadat yang akhirnya
menghasilkan produk bendabenda budaya oleh lingkungan
warga tertentu dan pada zaman tetrtentu pula.
Karyakarya budaya yang memiliki kepastian dalam
bentuk fisik akan dapat berubah maknanya, bahkan sering
197Komunitas Muslim di Tengah Kota Majapahit
menemukan makna yang baru yang jauh dari makna penciptaan
semula. Konsep kebudayaan tradisional dan moderen pada
dasarnya menunjukkan dinamika perkembangan budaya
warga t yang sama di dalam menempuh perubahan
perubahan zaman. Oleh karenanya kebudayaan dapat disebut
sebagai perwujudan dari kemampuan keseluruhan hidup
warga dalam menghadapi tantangan lingkungan secara
spasial dan temporal dalam usaha mewujudkan pengalaman
hidupnya.
Situs Kota Majapahit adalah suatu kawasan yang
secara administratif bentang lahannya berada di wilayah
Kecamatan Trowulan. Situs ini kaya akan peninggalan
pening galan arkeologis. Sebaran tinggalan arkeologisnya
hampir mnencapai seratus kilometer persegi. Pada lokasi yang
begitu luas, situs ini juga diimbangi dengan bervariasinya
jenis peninggalan arkeologis, meliputi berbagai artefak yang
sebagian sudah berada di permukaan tanah. Berbagai jenis
pening galan arkeologis ini merupakan data yang sangat
penting untuk rekonstruksi kehidupan masa lalu terutama
menyangkut kehidupan warga Majapahit beserta
keadaan lingkungannya.
Di antara peninggalanpeninggalan yang secara fisik
terdapat di Trowulan antara lain adalah bangunanbangunan
baik yang profan maupun yang sakral. Bangunan profan
ditunjukkan oleh sisasisa bangunan fondasi, genteng dan
unsurunsur bangunan lain yang selama ini belum pernah
ditemukan struktur bangunan profan yang masih utuh. Hal
ini disebabkan oleh material bangunan ytang terbuat dari
bahan yang relatif mudah rusak sebagaimana terdapat di situs
Pendopo Agung dan situs Sentonorejo. Adapun beberapa
bangunan sakral yang terdapat di wilayah Trowulan anatara
198 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
lain Candi Tikus, Candi Brahu, Candi Kedaton, Candi Gentong,
Siti Hinggil, kompleks makam Troloyo, makam Putri Cempo,
situs Makam Panjang dan situs situs lain yang masih belum
jelas keberadaannya apakah termasuk bangunan profan atau
bangunan sakral seperti Wringin Lawan dan Bajang Ratu
(Soekmono, 1993 : 6888).
Sebagian besar tinggalantinggalan arkeologis yang
terdapat di Trowulan ini dalam kondisi tidak utuh atau
rusak, namun demikian jika dilakukan analisi secara mendalam
terhadap temuantemuan ini, berbagai aspek kehidupan
warga Majapahit, baik aspek sosial budaya, ekopnomi
dan politiknya akan dapat terungkap. Disisi lain rusaknya
sebagian besar tinggalantinggalan arkeologis ini akan
berdampak semakin terancam keselamatannya. Adapun faktor
penyebabnya antara lain;
1. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam, misalnya
gempa bumi, Banjir. dan gunung meletus.
2. Kerusakan oleh faktor kimia, seperti adanya pengruh
oksidasi.
3. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor biologik, yaitu
disebabkan oleh perlakukan bendabenda hidup,
seperti tanaman, binatang dan manusia.
Faktor kerusakan yang bersumber dari perlakukan
manusia inilah merupakan salah satu faktor yang sangat sulit
untuk diatasi. Adapun permaslahannya adalah bagaimana
langkah yang harus dilakukan agar keberadaan tinggalan
tinggalan arkeologis ini tidak semakin rusak dan dapat
diselamatkan.
Dari permasalahan ini maka tulisan ini bertujuan
untuk membantu memberikan sumbangan pemikiran dalam
199Komunitas Muslim di Tengah Kota Majapahit
hal pengelolaan sumberdaya arkeologi, khususnya tentang
keberadaan situssitus Islam yang terdapat di tengah situs
kota Majapahit terutama dalam hal pelestarian dan peman
faatannya. Secara teknis, untuk mengetahui keberadaan
komunitas muslim di tengah kota Majapahit dilakukan secara
deskripsi terhadap makammakam Islam kuna yang terdapat
di wilayah Trowulan, sehingga akan diperoleh data arkeologi
yang diharapkan dapat memberikan informasi tentang
peninggalan pada masa Majapahit yang bernuansa Islam.
Bukti Peninggalan Islam di Trowulan
Pada awalnya kebanyakan warga tak mengira kalau
di tengah kota Majapahit yang sarat dengan agama Hindu,
Islam telah tumbuh dan berkembang dengan subur. Memang
pada akhir masa Majapahit Islam telah mulai berkembang di
Jawa yang ditandai dengan berdirinya suatu dinasti, yaitu
Kerajaan Demak yang dikenal sebagai Kerajaan Islam di Jawa.
Dinasti ini telah didukung oleh orangorang kharismatik yang
memiliki berbagai strategi dalam pengembangan Islam. Orang
orang ini adalah para wali yang memiliki semangat
juang yang sangat tinggil. Berbagaai strategi telah ditempuh
demi tercapainya tujuan dakwah Islamiyah di tengahtrengah
warga yang beragama Hindu dan Budha. Akan tetapi
pada kenyataannya berbeda, bahwa di dalam suatu kerajaan
yang mayoritas warganya beragama Hindu dan Budha
terdapat suatru komunitas muslim.
Keberadaan kompleks makam Troloyo merupakan salah
satu bukti bahwa Islam telah hadir di pusat kerajaan Majapahit.
Kehadiran warga muslim ini berkisar antara abad ke
14 hingga 17 Masehi, suatu bentang waktu yang menunjukkan
200 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
awal berdirinya Kerajaan majapahit hingga surutnya kerajaan
ini dari panggung sejarah. Kompleks makam Troloyo
juga merupakan suatu bukti bahwa dalam kehidupan
beragama ; Hindu, Budha dan Islam dapat berlangsung secara
harmonis. Hal ini dapat diketahui melalui adanya kompleks
makam Troloyo di tengahtengah sebuah kerajaan besar yang
sarat dengan agama Hindunya. Dalam kondisi yang demikian
Islam telah diberikan suatu kelonggaran untuk melakukan
syi’ar kepada warga antara lain melalui media makam,
yaitu dengan pesanpesan kutipan ayatayat alqur’an yang
mengingatkan kepada manusia bahwa setiap yang bernyawa
pasti akan mati, suatu kematian yang kebanyakan orang
menakutinya pasti akan ditemuinya. Terlepas dari boleh
atau tidaknya dalam ajaran Islam yang pasti telah terbukti
bahwa kutipan ayatayat alqur’an banyak dijumpai dalam
beberapa inskripsi berhuruf Arab, yaitu pada bagian beberapa
nisan di kompleks makamTroloyo. Pola hias sinar Majapahit
merupakan suatu lingkaran yang dibagian luar lingkaran
terdapat 6 sampai dengan 12 buah sudut serta beberapa garis
yang mengelilingi lingkaran ini. Pada masa lalu
pola ini lalu berkembangan ke beberapa daerah di
jawa Tengah dan Jawa Tmur (Ambary, 1998: 64).
Situs makam Troloyo terletak di Desa Sentonorejo,
Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto Jawa Timur. Di
makam ini terdapat beberapa makam kuna yang secara
kronologis usianya tebih tua disbanding dengan makam para
wali penyebar Islam diJawa yang dikenal dengan sebutan
Walisongo. Diantara makam yang ada terdapat sepuluh buah
makam yang pada bagian nisannya terdapat inskripsi dengan
aksara Jawa kuna dan inskripsi berhuruf serta berbahasa Arab.
Dari inskripsi yang beraksara Jawa kuna menunjukkan angka
201Komunitas Muslim di Tengah Kota Majapahit
tahun tertua, yaitu 1203 Caka atau 1281 Masehi. Sementara
angka tahun termuda menunjuk pada angka tahun 1533 caka
atau 1611 Masehi. lalu dari inskripsi yangberhuruf dan
berbahasa Arab merupakan kutipan dari kalimah thayyibah
dan kutipan ayatayat alqur’an.(Ambary, 1998: 63).
Berdasarkan inskripsi yang terdapat di kompleks makam
Troloyo ini dapat diprediksi bahwa kehadiran warga
muslim di tengah Kerajaan Majapahit berkisar antara abad ke
13 sampai dengan abad ke17 Masehi. Angka tahun ini
menunjukkan adanya suatu keterkaitan dengan bentang
waktu awal berdirinya kerajaan Majapahit hingga surutnya
dari panggung sejarah. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa warga muslim di tengah kerajaan Majapahit sudah
ada sejak awal berdirinya kejaan ini. Kompleks makam
Troloyo ini terbagi dalam beberapa kelompok:
1. Cungkup Kubur panjang
Dalam kelompok makam ini terdapat seorang tokoh
yang dimakamkan, yaitu Syekh Ngudung. Makam
ini berada pada posisi sebelah timur masjid Troloyo.
Nama Cungkup Kubur Panjang sendiri adalah penamaan
oleh warga setempat yang sematamata untuk
memudahkan dalam identifikasi. Makam ini memiliki
ukuran paling panjang disbanding dengan makammakam
yang lain. lalu nama Syekh Ngudung juga tidak
terdapat pada inskripsi, sehingga secara fisik, mengenai
nama tokoh yang dimakamkan tidak disertai bukti.
Inskripsi yang ada hanyalah merupakan suatu kutipan
ayat alquranulkarim yang terdapat pada surat Ali ‘Imran
185. Surat AlAnbiya 35 dan surat Al‘Ankabut 57;
202 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Tiap yang berjiwa akan merasakan mati :
كل نفس ذا ئقة الموت
Surat arrahman ayat 2627:
كل من عليها فان ويبقى وجه ريك ذوالجلال والاكرام :
Semua yang ada di bumi akan binasa, dan akan tetap kekal
wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.
2. Cungkup Kubur Tunggal
Cungkup Kubur Tunggal terletak di sebelah timur
masjid Troloyo, di dalam cungkup hanya terdapat sebuah
makam yaitu makam Syekh JumadilKubro. Tetapi
inskripsi yang terdapat pada batu nisan hanyalah kutipan
kutipan ayat alQut’an : surat Ali ‘Imran 185. Surat Al
Anbiya 35 dan surat Al‘Ankabut 57;
Tiap yang berjiwa akan merasakan mati :
ßá äÝÓ ÐÇ ÆÞÉ ÇáãæÊ
Surat arrahman ayat 26:
ßá ãä ÚáíåÇ ÝÇä:
Semua yang ada di bumi akan binasa.
3. Makam Petilasan Walisongo
Di sdebelah timur masjid troloyo juga terdapat
Sembilan buah makam dengn formasi berjajar yang berada
di dalam sati kotak. Oleh warga setempat disebut
nya dengan makam petilasan Walisongo. Inskripsi yang
terdapat pada nisan merupakan kutipan ayat alQur’an
surat Ali ‘Imran 185. Surat AlAnbiya 35 dan surat Al
‘Ankabut 57;
Tiap yang berjiwa akan merasakan mati :
ßá äÝÓ ÐÇ ÆÞÉ ÇáãæÊ
203Komunitas Muslim di Tengah Kota Majapahit
4. Cungkup Kubur Telu
Disebut dengan Cungkup kKubur Telu karena di
dalam satu cungkup terdapat tiga buah makam, yaitu
makam Syekh Maulana Ibrahim, makam Syekh Maulana
Ishak dan makam ASyekh AbdulQadir Jaelani dengan
formasi berjajar dari arah timur ke barat. Pada bagian nisan
makam Syekh Maulana Ibrahim terdapat inskripsi dengan
gaya tulisan Naskhi, berupa kutipan ayat alQur’an Surat
arrahman ayat 2627:
ßá ãä ÚáíåÇ ÝÇä æíÈÞì æÌå Ñíß ÐæÇáÌáÇá æÇáÇßÑÇã :
Semua yang ada di bumi akan binasa, dan akan tetap kekal
wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.
lalu pada makam Maulana Ishak yang terletak
di tengah terdapat inskripsi berupa kalimah tauhid dengan
gaya tulisan Tsuluts:
áÇ Çáå ÇáÇ Çááå ãÍãÏ ÑÓæá Çááå
Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah
Pada makam yang berada pada posisi paling barat
(makam Syekh AbdulQadir Jaelani pada bagian nisannya
terdapat inskripsi berupa kutipan ayat alQur’an, Surat
Ali ‘Imran 185. Surat AlAnbiya 35 dan surat Al‘Ankabut
57, kalimah tauhid, asmaulhusna dan angka tahun caka
1533:
Tiap yang berjiwa akan merasakan mati :
ßá äÝÓ ÐÇ ÆÞÉ ÇáãæÊ
áÇ Çáå ÇáÇ Çááå ãÍãÏ ÑÓæá Çááå
Tidak ada Tuhan selain Allah,
Muhammad adalah utusan Allah (Chawary 1997, 57-58)
204 Majapahit : Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Mengingat situs ini merupakan asset budaya
yang perlu dilestarikan, meskipun di satu sisi telah diman
faatkan oleh warga banyak untuk kepentingan ziarah
(nenepi) maka untuk meminimalkan konflik yang ada perlu
adanya suatu langkah yang lebih terarah dengan tanpa
meninggalkan aktivitas yang telah berlangsung. Adapun
langkah yang dimaksud adalah penataan ling kungan dan
penataan ruangruang yang sekiranya mendukung untuk
aktivitras peziarahan.
Penglolaan kompleks Makam Islam di Trowulan
Kultural Resourse Management (CRM) muncul karena
banyaknya bendabenda budaya yang dialihfungsikan demi
kepentingan pribadi atau kelompok. Secara konseptual
di Indonesia, CRM sebenarnya sudah mulai muncul pada
tahun 1931 M, yaitu dengan diundangkannya Monumenten
Ordonantie yang berfungsi sebagai perangkat hukum yang
meng atur warisan budaya dari aktivitas lembagalembaga
peminat warisan budaya yang sudah ada sejak tahun 1778 M.
Perangkat hukum ini masih bersifat sepihak. Pemerintah
atau lembagalembaga peminat warisan budaya termasuk para
peneliti telah merasa dan mengaku sebagai pihak yang paling
berhak melestarikan dan memanfaatkannya. Oleh karenanya
perangkat hukum ini perlu di perbaharui. lalu
pada tahun 1992 baru diberlakukan suatu perangkat hukum
yang baru daalam bentuk undangundaang, yaitu Undang
Undang No. 5 Tahun 1992, tenta
Related Posts:
majapahit 3 pada 3 buah umpak batu. Temuan permukaan lain berupa satu buah batu andesit berbentuk empat persegi panj… Read More