Rabu, 03 Mei 2023

majapahit 3

 pada 3 buah umpak batu. 
 Temuan permukaan lain berupa satu buah batu andesit 
berbentuk empat persegi panjang berukuran: panjang 32 cm, 
lebar 19 cm, tebal 10 cm, dan tinggi 12 cm bertuliskan huruf 
dan bahasa Jawa Kuna: pa dra dra dra a la dra la
Prasasti dengan tulisan huruf dan bahasa Jawa Kuna  
(dok.Balar Yogya)
Perkataan itu belum diketahui apa artinya, mungkin hanya 
merupakan suatu kalimat kutukan, atau sumpah serapah, bisa 
juga merupakan suatu seruan puji­pujian kepada dewa atau 
entah siapa yang dikeramatkan di situs ini. Seperti yang 
sudah disebutkan di atas, bahwa di sana pernah ditemukan 
arca­arca batu, yang sayangnya sudah hilang tanpa pernah 
136 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
didokumentasikan sebelumnya, jadi tidak diketahui arca 
siapa. Seandainya masih ada tentu akan memudahkan kita 
untuk menghubungkan arca­arca itu dengan prasasti yang 
ditemukan. 
Selanjutnya, ada beberapa batu andesit yang pada 
salah satu sisinya bergambar goresan­goresan, dugaan tim 
sementara, goresan­goresan itu adalah semacam kode atau 
tanda untuk memudahkan penyusunan batu­batu ini 
menjadi suatu bangunan candi.
Dua contoh batu bergores (dok. Balar Yogya)
Dari hasil ekskavasi/penggalian, pada kedalaman 30 cm 
tim menemukan satu balok batu andesit yang pada salah satu 
sisinya memuat angka tahun 1267 Saka (1345 Masehi) dengan 
huruf dan bahasa Jawa Kuna. 
 Prasasti angka tahun 1267 Saka (dok.Balar Yogya)
137Candi di Lereng Bromo
Selain itu ditemukan struktur bangunan yang diduga 
semacam struktur ambang pintu ukuran lebar 210 cm mem­
bujur arah timur­barat. Di pojok timur struktur ambang pintu 
ditemukan arca Dwarapala setinggi 40 cm. (Istari,2007: 3­19) 
Struktur ambang pintu dan Dwarapala (dok.Balar Yogya)
Hubungannya dengan Majapahit
Sebelum pengaruh India masuk ke Indonesia, warga 
Indonesia sudah memiliki kepercayaan asli dalam kehi­
dupan keagamaannya. Konsep yang mendasari kepercayaan 
asli adalah anggapan bahwa alam semesta didiami oleh 
makhluk­makhluk halus atau roh­roh leluhur dan bahwa 
gunung merupakan tempat arwah leluhur atau yang didewa­
kan (Wales,1958:86). Kepercayaan asli itu sudah ada sejak 
jaman megalitik di Indonesia. Pada masa itu pendirian 
bangunan­bangunan megalitik didasarkan atas kepercayaan 
akan hubungan antara yang hidup dan yang telah mati, ter­
utama kepercayaan kepada adanya pengaruh kuat dari yang 
telah mati terhadap kesejahteraan warga dan kesuburan 
138 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
tanaman. Juga adanya pemujaan kepada roh leluhur, dan 
akhirnya melahirkan tatacara yang menjaga segala tingkah 
laku warga di dunia fana susaha sesuai dengan tuntutan 
hidup di dunia akhirat. Pada masa itu organisasi warga 
telah teratur. Pengetahuan tentang teknologi yang berguna 
sehari­hari dan nilai­nilai hidup terus berkembang, antara 
lain mengenai cara­cara pembiakan ternak, pemilihan benih­
benih tanaman untuk keperluan sehari­hari. Sikap hidup 
selalu berkisar pada persoalan­persoalan manusia, bumi dan 
tanaman. warga telah meningkat dan membentuk per­
kampungan yang tetap, tidak seperti masa sebelumnya di 
mana pengembaraan masih sering dilakukan (Poesponegoro, 
2008:248­251). Bangunan­bangunan megalitik dibangun untuk 
pemujaan kepada makhluk­makhluk halus, roh leluhur, 
kepala desa, atau orang­orang yang dianggap berjasa terhadap 
warga desa ini. Mereka dibuatkan punden sebagai 
tempat tinggal rohnya, dan dianggap sebagai danyang atau 
leluhurnya. Selanjutnya tradisi megalitik ini memantulkan 
ciri­cirinya pada bangunan­bangunan candi sewaktu budaya 
Hindu masuk ke Indonesia. Boleh dikatakan pendirian candi­
candi di Indonesia merupakan refleksi kelanjutan tradisi 
megalitik ini. 
Cerminan berkembangnya kepercayaan asli pada masa 
Majapahit akhir dapat diketahui dari berbagai aspek, diantara­
nya adalah dari susunan bangunan keagamaan serta lokasi 
penempatan bangunannya. Bangunan berteras merupakan 
ciri umum bangunan masa itu, sedangkan lokasi pendiriannya 
umumnya di tempat­tempat yang tinggi, seperti misalnya di 
lereng gunung atau di bukit atau di puncak gunung. Bangunan 
keagamaan yang didirikan di lereng gunung atau di bukit 
contohnya adalah tinggalan­tinggalan arkeologi yang terdapat 
139Candi di Lereng Bromo
di Gunung Penanggungan dan Gunung Arjuna di Jawa Timur 
serta Gunung Lawu yang terletak di perbatasan Jawa Timur 
dan Jawa Tengah (Kusen dkk,1993:99­101). 
 Dengan latar belakang seperti di atas, marilah kita 
kembali ke Candi Sanggar. Bagaimanakah bentuk Candi 
Sanggar dan hubungannya dengan Majapahit? Ditinjau 
dari sisi arsitekturalnya, Candi Sanggar berbentuk punden 
berundak. Menurut kosmologi India, alam semesta terdiri atas 
tiga tingkatan yang disebut Triloka, yang diwujudkan dalam 
bagian­bagian candi (Soekmono,1990:15). Tingkat terbawah 
atau kaki candi melambangkan bhurloka atau dunia tempat 
manusia berpijak. Tubuh candi melambangkan bhuwarloka 
atau dunia tempat manusia telah mencapai kesucian dan 
kesempurnaan dan karenanya dapat berhadapan dengan 
dewa atau nenek moyang yang mereka puja. Adapun atap 
candi melambangkan swarloka atau dunia para dewa dan roh 
leluhur. Kalau penggambaran alam semesta secara tegak lurus 
itu direbahkan, maka akan diperoleh susunan bagian mendatar 
yakni bagian depan, bagian tengah, dan bagian belakang yang 
lebih tinggi dibandingkan kedua bagian lain. jika susunan 
ini diterapkan pada lereng bukit, maka menjadi punden 
berundak. 
Selama jaman Majapahit, telah terjadi perubahan­
perubahan kebudayaan yang dilandasi oleh adanya pergeseran­
pergeseran dalam bidang kepercayaan. Kepercayaan asli 
warga Jawa yang dilandasi oleh pemujaan terhadap 
arwah leluhur yang tampak tergeser oleh adanya unsur­
unsur Hindu­Budha, menjelang abad XIII­XVI Masehi tampak 
mulai bangkit dan muncul kembali. Mengenai pergeseran 
kepercayaan ditunjukkan bentuk, susunan, dan orientasi 
bangunan­bangunan candinya. Berdasarkan hal ini 
140 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
diketahui bahwa kepercayaan yang berkembang pada masa 
itu mengalami pergeseran dari yang semula merupakan 
kepercayaan Hindu­Budha, berbalik lagi pada kepercayaan 
asli, yaitu pemujaan arwah leluhur (Soekmono dkk,1993:78­
80). Hal ini diperkuat pula oleh tulisan Kusen dkk (1993:104) 
bahwa pada masa Majapahit akhir kepercayaan asli menonjol, 
meskipun unsur Hindu muncul, namun diberi nafas yang 
sesuai dengan kepercayaan asli. Dengan demikian yang 
tampak adalah ungkapan kepercayaan asli, seperti misalnya 
perpaduan antara pemujaan leluhur dan pemujaan dewa­
dewa kosmis, sehingga muncul dewa­dewa lokal. 
Tinggalan kepurbakalaan yang digolongkan sebagai 
punden berundak antara lain adalah candi­candi kecil di lereng 
Gunung Penanggungan (Atmojo.1986291­293), Candi Sukuh 
dan Candi Ceto di lereng Gunung Lawu (Tjahjono,1987:86), 
Candi Sepilar, Candi Madrim, Candi Makutarama, Candi 
Wesi, dan Candi Indrakila di lereng Gunung Arjuna, demikian 
pula Candi Sanggar di lereng Gunung Bromo ini. Situs Candi 
Sanggar yang merupakan kompleks bangunan suci untuk 
peribadatan adalah perkembangan dari punden sebagai tempat 
tinggal leluhur ke bentuk punden berundak yang berorientasi ke 
puncak gunung tempat arwah leluhur tinggal. 
 Seperti yang telah diuraikan di depan, di situs Candi 
Sanggar ditemukan angka tahun yang berbeda. Angka 
tahun pertama 1267 Saka atau 1345 Masehi pada balok batu 
yang masih in-situ, menandakan bahwa pada tahun itulah 
Candi Sanggar pertama kali dibangun. Pada waktu itu 
kerajaan Majapahit diperintah oleh seorang raja wanita yaitu 
Bhre Kahuripan dengan nama gelar Tribhūwanottunggadewi 
Jayawisnuwarddhani. Ia memerintah sejak tahun 1250 Saka 
sampai dengan tahun 1272 Saka. (Poesponegoro,2008:461). 
141Candi di Lereng Bromo
Nah, Candi Sanggar dibangun pada masa pemerintahan 
Tribhūwanottunggadewi ini. Pemikiran ini didasari data bahwa 
pada masa pemerintahan raja­raja Jawa Kuno, dibangunlah 
bangunan­bangunan suci, petirtaan­petirtaan, dan beberapa 
tugu peringatan. Raja yang bersangkutan diwujudkan 
menyerupai dewa­dewa yang dipujanya, dan dapat diundang 
pada waktu mereka mengadakan upacara­upacara tertentu. 
Dari Kitab Nāgarakertagama diinterpretasikan bahwa tradisi 
pendirian bangunan suci yang disertai dengan pembuatan arca 
merupakan pengabdian kepada raja yang sudah meninggal. 
Raja ini diarcakan dalam bentuk arca dewa atau arca 
yang tidak beratribut dewa, sehingga ia lalu dipuja, dan 
pada hakekatnya dianggap sebagai nenek moyang. Dengan 
demikian dapatlah dikatakan bahwa candi pada masa Jawa 
Timur bukan semata­mata tempat pemujaan kepada dewa, 
tetapi juga merupakan tempat pemujaan nenek moyang 
(Hardiati, 2002:4). 
Menurut cerita pak Karno, konon, Candi Sanggar dibangun 
oleh orang­orang Majapahit untuk bersamadi, sebelum mereka 
menuju Tengger guna melakukan suatu upacara yang secara 
rutin mereka lakukan. Di sebelah timur situs terdapat sebuah 
sungai yang dinamakan Sungai Jajang, atau penduduk lebih 
menge nalnya dengan sebutan Sungai Guyangan. Nama ini ada 
riwayatnya, dinamakan Guyangan (Jawa: guyang = meman­
dikan, ditambah akhiran an) karena pada waktu itu para 
peziarah memandikan kuda tunggangannya di sungai itu. 
 Angka tahun kedua yaitu 1431 Saka atau 1509 Masehi. 
Sekitar tahun itu Majapahit diperintah oleh raja Girindra-
warddhana Dyah Ranawijaya Bhattāra I Kling. Ia meme rintah 
antara tahun 1396 Saka­1441 Saka atau 1474 Masehi­1519 Masehi 
sebagai raja Majapahit terakhir adalah Girindrawarddhana 
142 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
ini (Djafar.1978:.51). Berdasarkan kedua angka tahun 
ini dapat diperkirakan keberadaan Candi Sanggar 
adalah di antara abad ke­14 sampai dengan abad ke­16 
Masehi. Menurut catatan sejarah abad­abad itu merupakan 
periode akhir masa Klasik di Indonesia, yang ditandai dengan 
merosotnya kekuasaan besar kerajaan Majapahit yang masih 
memeluk agama Hindu­Budha. 
Jarak antara pemerintahan Tribhuwana dan Girindra­
wardhana kurang lebih 1,5 abad. Berarti ada kemungkinan 
Candi Sanggar dibangun dan lalu diperbaiki lagi 
beberapa masa lalu. Melihat hasil temuan yang berupa 
umpak­umpak dengan variasi yang bermacam­macam itu, 
tampaknya Candi Sanggar bukanlah bangunan tunggal 
melainkan suatu kompleks bangunan suci yang terdiri atas 
bangunan induk dengan beberapa bangunan pendukung. 
Satu hal yang penting adalah Candi Sanggar sampai saat ini 
merupakan satu­satunya candi yang ditemukan di lereng 
Gunung Bromo.
Ucapan Terimakasih disampaikan pada:
1. Titi Surti Nastiti ­ Pusat Penelitian dan Pengembangan 
Arkeologi Nasional, Jakarta
2. Kayato Hardani ­ Balai Pelestarian Peninggalan 
Purbakala, Daerah Istimewa Yogyakarta 
3. T.M. Hari Lelono ­ Balai Arkeologi Yogyakarta 
143Candi di Lereng Bromo
KEpUstaKaaN
Atmodjo, Satrio Junus. 1986. “Arsitektur Punden­punden 
Berundak di Gunung Penanggungan” dalam PIA IV. 
Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala Departemen 
Pendidikan dan Kebudayaan.
Djafar, Hasan.1978. Girindrawarddhana. Beberapa Masalah Majapahit 
Akhir. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhist 
Nalanda.
 Hardiati,Endang Sri.2002. “Aspek Arsitektural dan Aspek 
Simbolik Bangunan Candi” dalam Candi. Sebagai Warisan 
Seni dan Budaya Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada 
University Press. Halaman 1­14. 
Istari, TM Rita. 2007. “Arsitektur Candi Sanggar di Lereng 
Gunung Bromo Kabupaten Pasuruan (Tahap III)”. 
Laporan Penelitian Arkeologi. Yogyakarta: Balai Arkeologi 
Yogyakarta
Kartoatmodjo, M.M Soekarto. 1979. Struktur warga Jawa Kuna 
pada Jaman Mataram Hindu dan Majapahit. Yogyakarta: 
Pusat Penelitian dan Studi Pedesaan dan Kawasan. 
Universitas Gajah Mada.
Kusen, Sumijati AS, Inajati AR 1993. “Agama dan Kepercayaan 
warga Majapahit” dalam 700 Tahun Majapahit (1293 
– 1993). Suatu Bunga Rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata 
Daerah Propinsi Tingkat I Jawa Timur CV. Tiga Dara. 
Halaman 91­115.
Lelono. TM Hari.2004. “Unsur­unsur Kepercayaan pada Bentuk 
Permukiman dan Rumah Tengger, Jawa Timur”. Laporan 
144 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Penelitian Arkeologi Balai Arkeologi Yogyakarta. Yogyakarta: 
Balai Arkeologi Yogyakarta.
Poesponegoro, Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto (ed). 
2008. 
Sejarah Nasional Indonesia I. Zaman Prasejarah Indonesia. 
Sejarah Nasional Indonesia II. Zaman Kuno. Jakarta: PT Balai 
Pustaka.
Pramudito,Bambang. 2006. Kitab Negara Kertagama. Sejarah Tata 
Pemerintahan dan Peradilan Kraton Majapahit. Yogyakarta: 
Gelombang Pasang.
Robson, Stuart. 1995. Désawarnana (Nāgarakrtāgama) by Mpu 
Prapanca. Leiden: KITLV Press.
Soekmono. 1990. “Indonesian Architecture of the Classical Period: 
A Brief Survey” dalam The Sculpture of Indonesia (J.Fontein) 
National Gallery of Art. Washington 
Soekmono, Inajati Adrisijanti R. 1993. “Peninggalan­peninggalan 
Purbakala Masa Majapahit” dalam Sartono Kartodirdjo 
dkk (ed). Dalam 700 Tahun Majapahit (1293 – 1993). 
Suatu Bunga Rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah 
Propinsi Tingkat I Jawa Timur. Halaman 67­88.
Tjahjono, Baskoro Daru. 1987. Arsitektur Candi Sukuh. Tinjauan 
Terhadap Pola Ayunan dalam Perkembangan Arsitektur 
Bangunan-bangunan Suci Indonesia Klasik. Skripsi Sarjana 
pada Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Wales, H.G.Quaritch.1958. The Mountain of God a Study in Early 
Religion and Kingship. London: Bernard Quaritch,Ltd.
145Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang
7
CaNdi tEgalraNdU :  
BUKti tiNggalaN Majapahit 
di lUMajaNg
H. Gunadi Kasnowihardjo
Pendahuluan
Kejayaan Kerajaan Majapahit tidak hanya dapat dibukti kan dari tinggalan arkeologis yang ada di kawasan Trowulan­Mojokerto dan sekitarnya. 
Majapahit berbeda dengan kerajaan­kerajaan lain di Nusantara, 
karena dalam perkembangan dan kejayaannya Majapahit 
adalah representasi dari Kerajaan Nusantara yang mampu 
menjalin hubungan bilateral dengan kerajaan­kerajaan lain di 
kancah internasional. Oleh karena itu jika kita berbicara 
tentang Majapahit, konteks skalanya adalah Nusantara­
Indonesia­Nasionalisme bangsa Indonesia, bukan lagi Situs 
Trowulan, ataupun kewilayahan Propinsi Jawa Timur. Hal ini 
146 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
akan terlihat jika kita menyimak data susastra seperti Kitab 
Negarakrtagama, dari kitab ini dapat dipahami bahwa 
kekuasaan Majapahit pada suatu masa (abad XIV M) mencapai 
daerah­daerah yang sangat luas. Bahkan beberapa wilayah 
bagian dari negara tetangga sebagian dapat dikuasai seperti 
Malaysia, Singapura, dan Brunei (Pigeaud, 1960). Demikian 
pula dalam hubungan bilateral dengan kerajaan lain, seperti 
misalnya dengan Campa dan Kamboja, Majapahit sangat 
menjunjung harkat dan martabat sebagai bangsa dan kerajaan 
yang besar.
Sebagai negara yang besar, Majapahit pasti didukung 
oleh berbagai potensi yang ada di wilayahnya. Oleh karena 
itu beberapa daerah potensial di Jawa Timur haruslah terlebih 
dahulu dikuasainya, sebelum mengembangkan kekuasaan 
ke luar Jawa bahkan ke luar dari wilayah Nusantara. Daerah­
daerah potensial di wilayah Jawa Timur satu diantaranya 
adalah kawasan danau­danau yang banyak ditemukan di 
Kabupaten Lumajang dan Probolinggo. Satu di antara danau­
danau yang hingga sekarang masih menjadi andalan dan 
harapan hidup warga di sekitarnya adalah Ranu (danau) 
Klakah. 
Di dekat Ranu Klakah, dari hasil penelitian arkeologi yang 
dilakukan oleh tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta 
ditemukan sisa­sisa bangunan dari bata yang diduga merupakan 
pondasi sebuah bangunan candi. Keberadaan candi ini 
jelas erat hubungannya dengan keberadaan ranu, sebab antara 
air dan kehidupan manusia tidak mungkin untuk dipisahkan. 
Rupa­rupanya jauh sebelum masa Majapahit, kawasan Ranu 
Klakah sudah diokupasi oleh manusia. Hal ini dibuktikan pula 
dengan tinggalan lain yang berasal dari masa prasejarah. 
147Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang 
Ranu Klakah dan Lingkungannya
Ranu Klakah adalah sebuah danau yang terletak di Desa 
Tegal Randu, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang, 
Propinsi Jawa Timur. Di wilayah Kabupaten Probolinggo, 
pada umumnya setiap ranu terkait dengan legenda yang men­
ceritakan tentang asal­usul ranu ini. Namun, rupa­rupanya 
warga yang sekarang bermukim di sekitar Ranu Klakah 
sebagian besar merupakan pendatang baru, sedangkan warga 
dari generasi yang lebih tua sebagian besar telah meninggal, 
maka legenda yang berkaitan dengan keberadaan Ranu Klakah, 
belum sempat ditransformasikan kepada generasi berikutnya. 
Hal ini berbeda dengan ranu-ranu yang ditemukan di wilayah 
Kabupaten Probolinggo misalnya Ranu Segaran, Ranu Agung, 
dan Ranu Gedang, warga di sekitarnya tahu tentang cerita 
rakyat atau legenda masing­masing.
Ranu Klakah dengan latar belakang Gunung Lamongan  
terletak di Desa Tegalrandu, Kec. Klakah, Lumajang  
Dok. Balai Arkeologi Yogyakarta 2007.
148 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Selain mata air yang diperkirakan berasal dari dasar 
ranu, ada beberapa in let atau sumber mata air yang masuk 
ke Ranu Klakah, yang beberapa di antaranya ditemukan di 
sisi timur Ranu. Lokasi ini secara administratif masuk 
Dusun Klemaran. Secara topografis bagian sisi Timur Ranu 
Klakah ini memiliki kelerengan yang cukup curam, 
sehingga merupakan lahan yang kurang cocok sebagai lokasi 
permukiman. 
Lokasi yang sekarang menjadi Dusun Klemaran termasuk 
permukiman baru, karena terbatasnya lahan yang tersedia 
untuk tempat tinggal penduduk yang semakin hari jumlahnya 
semakin bertambah banyak. Hal ini didukung oleh 
kenyataan bahwa survei arkeologis yang dilakukan pada 
tahun 2007 sama sekali tidak menemukan data kekunaan, baik 
artefaktual maupun non artefaktual atau intangible. Nenek 
moyang mereka diperkirakan dahulu menempati di lahan­
lahan yang landai dan dekat dengan areal pertanian, seperti 
Dusun Krajan dan dusun­dusun lain di sekitar danau. 
Kelerengan lahan yang cukup terjal di lingkungan Ranu 
Klakah dari sisi timur berlanjut hingga sisi selatan. Sisi selatan 
danau belum banyak dimanfaatkan untuk pemukiman. 
Sebagian areal tepian danau yang mulai mengering oleh warga 
Dusun Klemaran dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Selain 
merupakan daerah yang belum banyak penghuninya, survei 
permukaan dibagian sisi selatan danau tidak menemukan 
artefak­artefak yang menunjukkan okupasi manusia di masa 
lampau. Seperti halnya lahan yang ada di sisi timur, pada 
tebing danau sisi Selatan ditemukan pula beberapa in let yang 
cukup besar debit airnya. 
Pada kawasan sisi barat dan utara danau misalnya Dusun 
Jatian, dan Gunung Lawang, yang secara topografis meru­
149Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang 
pakan lahan yang cukup landai dan datar, hasil survei yang 
dilakukan di kawasan ini menunjukkan bahwa ketiga 
dusun ini di atas merupakan perkampungan tua. Di 
Dusun Jatian, ditemukan sebuah keramat yang oleh warga 
setempat disebut Keramat Mbah Koung. Berdasarkan cerita 
Mbah Hadi (juru kunci keramat), keramat yang ditandai 
dengan dua buah batu monolit ini adalah makam cikal 
bakal warga Jatian khususnya dan Tegal Randu pada 
umumnya.
Struktur batu andesitis berbentuk persegi empat, bentuk ini mirip 
dengan Watu Kandang yang ditemukan di Matesih, Kab. Karanganyar, 
Jawa Tengah. (Dok. Balar Yogya 2007)
Berdasarkan orientasi atau arah bujur kubur yang meng­
arah Utara­Selatan, menunjukkan tinggalan dari masa Islam. 
Akan tetapi, jika dilihat bentuk nisan yang terdiri dari batu 
utuh (menhir), mengingatkan pada suatu tradisi yang berasal 
dari tahap kehidupan Neolitik yaitu tradisi megalitik yang di 
Indonesia berlanjut hingga waktu yang cukup panjang (Hoop, 
150 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
1932; Anonim, 1999 : 85). Di Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, 
ditemukan susunan dua batu utuh seperti ini di atas, akan 
tetapi orientasinya tidak Utara­Selatan, melainkan menurut 
Gunadi berorientasi ke puncak sebuah gunung yaitu Gunung 
Slamet (Gunadi, 1982). Dengan demikian kepastian apakah 
keramat ini benar­benar sebuah makam atau sebuah 
pseudo makam, masih perlu kajian yang lebih tajam lagi. 
Objek lain yang terkait dengan keramat Mbah Koung yaitu 
Keramat Gunung Lawang yang terletak di Dusun Gunung 
Lawang, Desa Tegal Randu, Kecamatan Klakah. Keramat 
Gunung Lawang merupakan susunan batu­batu monolit yang 
tidak beraturan. Selain Keramat Gunung Lawang, di dusun ini 
ditemukan pula tinggalan lain yang disebut Batu Astah. Batu 
andesitis utuh yang relatif berukuran kecil ini sampai sekarang 
masih dikeramatkan oleh warga sekitar. Terbukti hingga 
saat ini masih dipakai sebagai tempat peziarahan dengan 
tanda­tanda bekas pembakaran kemenyan di dekat batu 
ini. 
Berbeda dengan Keramat Gunung Lawang, susunan batu 
utuh andesitis yang ditemukan di pekarangan Bapak Parmin 
warga Dusun Jatian, Desa Tegal Randu memiliki struktur yang 
jelas yaitu berbentuk empat persegi atau rectangular enclosure. 
Bentuk seperti ini mirip dengan Watu Kandang yang terdapat di 
Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah (Nitihaminoto, 
1978; Gunadi, 1994). Dari hasil ekskavasi di kompleks batu 
berdenah empat persegi ini diketahui bahwa di bawah 
dan sekitar susunan batu andesitis terdapat struktur lantai yang 
terbuat dari susunan bata. Ukuran bata dengan panjang 40 cm, 
lebar 20 cm, dan tebal 6 cm menunjukkan ukuran bata kuna, 
baik yang lazim dipakai pada masa Islam awal maupun 
pada masa Hindu – Budha, terutama dalam pembangunan 
151Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang 
candi­candi di Jawa Timur. Antara susunan batu yang mirip 
dengan watu kandang dan struktur lantai bata belum dapat 
dijelaskan bagaimana konteksnya.
Dalam ekskavasi yang dilakukan di luar struktur watu 
kandang ditemukan struktur bata lain yang dapat diinter­
pretasikan sebagai sisa­sisa pondasi suatu bangunan, yang 
besar kemungkinannya adalah sebuah candi. Perkiraan di atas 
diperkuat oleh bentuk denahnya yang mirip dengan denah 
sebuah candi. Untuk dapat mengetahui bentuk keselurahan 
denah pondasi, ada beberapa kendala yang cukup serius. 
Pertama harus memindahkan kandang sapi, dan kedua 
sebagian pondasi candi ini berada di bawah bangunan 
sebuah rumah milik warga. Walaupun demikian, dari hasil 
penggalian beberapa kotak test pit sudah dapat dipastikan 
bahwa sisa­sisa bangunan yang ditemukan adalah pondasi 
dari bangunan candi dari bata. 
Penemuan Sisa-Sisa Bangunan Candi 
Penelitian arkeologi yang dilakukan di kawasan Ranu 
Klakah sebenarnya adalah penelitian bertema kan per mukiman 
ling kungan danau yang di fokuskan pada masa prasejarah. 
Oleh karena itulah pembukaan test pit diawali dari lokasi 
ditemukannya sturuktur batu andesitis yang mirip dengan 
bentuk Watu Kandang di Situs Megalitik Matesih, Kabupaten 
Karanganyar, Jawa Tengah. Anehnya, dari hasil penggalian 
pada beberapa kotak test pit ditemukan susunan lantai bata 
yang diperkirakan berasal dari masa Hindu­Budha atau masa 
Islam (biasanya material bata dipakai untuk bangunan candi 
atau bangunan dari masa Islam seperti makam dan masjid). 
Dari hasil penggalian ini diketahui pula bahwa susunan 
152 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
lantai bata meluas hingga 
keluar “struktur watu 
kandang” ini. Untuk 
menge tahui ada tidak nya 
hubungan antara struktur 
bata dan struktur andesitis 
ini, maka penggalian 
diperluas ke arah Utara.
Walaupun penggalian 
belum dapat dituntaskan, 
akan tetapi dapat diper­
kirakan bahwa antara 
struktur bata yang diperkirakan pondasi candi dan struktur 
batu andesit yang mirip bangunan dari masa prasejarah 
ini tidak ditemukan keterkaitan secara langsung.
Mengingat hasil temuan dari penggalian ini cukup spek­
takuler, maka penggalian diperluas dengan melakukan lay out 
ulang yaitu membuka sektor yang diberi kode Sektor Kandang 
Sapi (karena berada di 
dekat kandang sapi milik 
Bpk. Parmin). Sektor 
Kandang Sapi yang ber­
ukuran panjang 11 meter 
dan lebar 5 meter ini 
lalu dibagi menjadi 
beberapa grid berukuran 
1x1 meter. Selanjutnya 
setiap grid diberi kode 
yang dise suaikan dengan 
huruf yang disusun pada 
sisi panjang (A­K) dan 
Struktur bata yang diperkirakan bagian 
dari pondasi candi sudut Timur Laut  
dan bagian penampil sisi Timur.  
Dok. Balai Arkeologi Yogyakarta 2007.
Denah temuan struktur bata  
yang diperkirakan Sebagai pondasi 
sebuah candi, hasil ekskavasi
153Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang 
angka yang disusun pada sisi lebar (1­5), seperti terlihat pada 
denah di atas. Sayang, hasil ekskavasi yang cukup spektakuler 
ini terkendala oleh beberapa hal, antara lain dana, tenaga, 
dan waktu yang sangat terbatas, sehingga pada kesempatan 
ini tidak mungkin dapat membuka semua kotak yang 
ada di Sektor Kandang Sapi. Kendala pertama adalah harus 
terlebih dahulu memindahkan kandang sapi, dan kedua harus 
menambah waktu penelitian. Untuk memindahkan kandang 
sapi, menurut keyakinan warga Tegalrandu pada umum­
nya tidak dapat dilakukan di sembarang waktu. Mereka 
harus mencari hari yang baik, jika tidak memakai 
perhitungan yang tepat akan berakibat buruk baik terhadap 
kehidupannya ataupun bagi kesehatan dan keselamatan sapi­
sapi mereka. 
Walaupun bentuk atau denah keseluruhan struktur bata 
belum dapat ditampakkan, di atas kertas sudah dapat diper­
kirakan bahwa bangunan bata ini menghadap ke Timur. Hal 
ini didukung oleh adanya bentuk penampil di bagian timur 
yang diperkirakan sebagai bagian dari pondasi pintu masuk 
candi. Ukuran bangunan 
kira­kira 5 meter x 5 meter, 
dan lebar penampil kurang 
lebih 2 meter. Memperhati­
kan ukuran ini, dapat 
dikatakan bahwa bangunan 
candi bata ini ber ukuran 
relatif kecil. Temuan struktur 
bata pada kedalaman 100 
cm, tanpa didukung adanya 
temuan bata yang ada di 
permukaan sudah dapat 
Struktur bata yang diperkirakan 
sebagai bagian dari pondasi candi 
sisi Utara (foto: Balai Arkeologi 
Yogyakarta)
154 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
dipastikan bahwa sebagian besar bata dari bangunan ini 
telah hilang atau dimanfaatkan oleh warga sekitarnya. 
Dengan demikian dapat diperkirakan pula bahwa struktur bata 
yang terdiri dari enam lapis bata ini merupakan sisa­sisa 
pondasi sebuah bangunan yang kemungkinan besar adalah 
bangunan candi. Selanjutnya dalam artikel ini sisa­sisa pondasi 
ini dinamakan Candi Tegalrandu, karena ditemukan di 
Desa Tegalrandu, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang. 
Candi dari bata merupakan salah satu ciri yang banyak 
ditemukan di wilayah Jawa Timur, walaupun saat ini di 
Jawa Tengahpun telah banyak ditemukan candi­candi dari 
bata. Antara candi bata dan candi yang dibangun dari batu 
andesitis, sampai saat ini belum banyak dibahas, terutama 
hal­hal yang terkait dengan fungsi dan status warga 
pendukungnya. Tjahjono telah melakukan penelitian tentang 
latar belakang pendirian candi bata di Jawa Tengah (Tjahjono, 
2002). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa 
jumlah candi di kawasan Candi Borobudur dan sekitarnya 
ditemukan sejumlah 50 situs candi yang terdiri dari : 29 situs 
candi bata, 18 situs candi batu andesit, dan 4 situs candi yang 
memakai bahan batu campuran antara bata dan batu 
andesit (Tjahjono, 2002: 42). Selain itu dijelaskan pula bahwa 
candi­candi bata tidak hanya ditemukan di daerah pinggiran, 
tetapi ditemukan pula di pusat pemerintahan. Candi­candi 
itu ada yang berukuran kecil ada pula yang berukuran besar. 
Berdasarkan latar belakang keagamaannya, candi bata tidak 
hanya bagi agama Hindu, tetapi ada pula yang berlatar 
belakang agama Budha. Demikian pula dengan arsitektur dan 
masa pembangunannya, tidak ada perbedaan yang signifikan 
antara candi bata dan candi batu andesit yang ditemukan di 
Jawa Tengah pada Abad VIII­IX M.
155Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang 
Atas dasar hasil penelitian ini, jika dianalogikan, 
maka pendirian candi Tegalrandu di kawasan Ranu Klakah tidak 
harus dikaitkan dengan warga pinggiran yang jauh dari 
pusat pemerintahan (Kerajaan Majapahit). Candi Tegalrandu 
yang berukuran relatif kecil dan terbuat dari bata sangat besar 
kemungkinannya terkait dengan sistem pemerintahan kerajaan 
besar seperti Majapahit. Dengan demikian, mungkinkah ada 
fungsi­fungsi lain dengan didirikannya candi di Tegalrandu 
ini, selain fungsi keagamaan?
 Soekmono dalam disertasinya berjudul Candi, Fungsi 
dan Pengertiannya menyimpulkan bahwa fungsi candi adalah 
sebagai kuil atau tempat pemujaan, teori ini menyangkal 
pendapat lama yang menyatakan bahwa candi adalah makam 
atau tempat menyimpan abu jenasah seorang raja (Soekmono, 
1974). Candi­candi kecil dan terletak di daerah­daerah terpencil 
yang jauh dari pusat pemerintahan, perlu dipertimbangkan 
lebih teliti, terutama hal­hal yang tidak berkaitan dengan prosesi 
keagamaan. Pendirian sebuah bangunan candi selain sebagai 
sarana beribadah bagi para pemeluknya. Di lokasi ini 
oleh negara atau kerajaan sudah pasti ditempatkan beberapa 
orang petugas yang mengurus bangunan suci ini. Selain 
itu, di lokasi ini diperkirakan tinggal pejabat daerah 
yang bertugas mengelola potensi sumberdaya yang ada di 
daerahnya. Atas dasar berbagai pertimbangan di atas, maka 
dapat diperkirakan bahwa pendirian candi Tegalrandu tidak 
semata­mata untuk menyediakan fasilitas umum bagi umat 
Hindu atau Budha, melainkan karena di kawasan Ranu Klakah 
bermukim pejabat daerah yang ditempatkan oleh kerajaan 
(Majapahit) untuk mengelola potensi sumberdaya alam di 
kawasan Ranu Klakah dan sekitarnya. Dengan demikian fungsi 
candi Tegalrandu selain sebagai tempat sarana ibadah bagi 
156 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
para pemeluknya, dapat berfungsi pula sebagai representasi 
kekuasaan Majapahit
Candi Tegalrandu dan Kekuasaan Majapahit
Ranu Klakah, sebuah danau yang cukup potensial sebagai 
sumberdaya alam yang dapat menopang kehidupan bagi 
manusia, diduga merupakan lingkungan alam yang cocok 
untuk pemukiman. Oleh karena itulah sejak tahun 2006 Balai 
Arkeologi Yogyakarta mulai melakukan penelitian arkeologi 
di kawasan danau atau ranu di daerah Jawa Timur. Hasil 
penelitian arkeologis di kawasan Ranu Klakah diketahui 
adanya tinggalan yang menunjukkan sisa­sisa permukiman di 
masa lampau. Secara garis besar, komponen­komponen untuk 
sebuah sistem permukiman antara lain berupa lokasi untuk 
bermukim, lahan untuk mencari makan, tempat penguburan 
atau pemujaan, serta sumberdaya alam lain yang dibutuhkan 
bagi kehidupan (Renfrew, Collin dan Bahn, Paul. 1991). Lokasi 
untuk bermukim biasanya merupakan areal yang relatif datar, 
tidak terlalu jauh dari areal yang menyediakan makanan, dekat 
dengan sumberdaya alam misalnya sumber mata air, dan 
lokasi ini juga dapat dipakai untuk areal penguburan 
(Mundardjito, 1993; Gunadi, 1994 : 199 – 207). Dengan demikian 
jika ditemukan data ini, maka suatu lokasi dapat 
“dicurigai” sebagai areal permukiman.
Data arkeologi yang ditemukan baik dari hasil survei 
maupun ekskavasi seperti beliung persegi, struktur bangunan 
megaltis, punden, kubur cikal­bakal, dan struktur bangunan 
candi menunjukkan adanya okupasi manusia di wilayah 
ini. Temuan beliung persegi yang merupakan alat dari 
masa neolitik ini ditemukan pula di kawasan ranu yang lain 
157Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang 
yaitu Ranu Gedang dan Ranu Segaran yang secara administratif 
terletak di Kabupaten Probolinggo (Anonim, 2008; Anonim, 
2009). Temuan perkakas neolitik seperti ini dapat 
memberikan informasi bahwa pada masa akhir prasejarah 
kawasan ranu­ranu di atas kemungkinan telah dihuni oleh 
manusia. Pemanfaatan kawasan Ranu Klakah berlanjut hingga 
masa Hindu – Budha yang dibuktikan dengan ditemukannya 
struktur bata yang diperkirakan merupakan pondasi sebuah 
candi. 
Ranu Klakah rupa­rupanya telah diokupasi oleh manusia 
sejak masa prasejarah hingga sekarang. Dari hasil penelitian 
arkeologis di atas, temuan yang signifikan terkait dengan 
permukiman masa lampau adalah struktur batu andesitis yang 
berbentuk rectangular stones enclosure dan struktur bangunan 
bata yang diperkirakan sebagai pondasi sebuah bangunan 
candi. Walaupun tinggal sisa­sisa bagian pondasi, temuan 
ini cukup spektakuler, karena di daerah Lumajang 
temuan bangunan candi dapat dikatakan sangat sedikit. 
Oleh karena itu, temuan ini di lingkungan akademisi 
merupakan tambahan data yang cukup signifikan. Begitu 
pula bagi warga dan Pemerintah Kabupaten Lumajang, 
temuan ini dapat menambah potensi benda cagar budaya (bcb) 
ataupun kawasan cagar budaya (kcb) yang mereka miliki. 
Sisa­sisa bangunan ini, kemungkinan berasal dari masa – 
masa kejayaan kekuasaan Majapahit.
Hubungan antara Majapahit dan Lumajang secara eksplisit 
dapat diketahui dari sumber susastra Kitab Nagarakretagama 
(Pigeaud, 1960). Pada pupuh XVII/7 disebutkan bahwa : 
”Pada Tahun Saka : seekor-naga-menelan-bulan (1281) di Badrapada 
bulan tambah, Sri Nata pesiar keliling seluruh Negara menuju kota 
Lumajang. Ia naik kereta diiring semua raja Jawa serta permaisuri dan 
158 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
abdi Menteri, tanda, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut 
serta”. Selanjutnya, pada Pupuh XLVIII/2 dijelaskan bahwa : 
“ini pada tahun Saka mukti-guna-memaksa-rupa (1238) bulan 
madu, Baginda Jayanagara berangkat ke Lumajang menyirnakan 
musuh. Kota Pajarakan dirusak, Nambi sekeluarga dibinasakan giris 
miris segenap jagad melihat keperwiraan Sri Baginda”.
Atas dasar sumber susastra ini, rupa­rupanya untuk 
menguasai wilayah­wilayah di Jawa Timurpun Majapahit 
harus melakukan intervensi­intervensi, bahkan adapula yang 
harus ditempuh dengan peperangan seperti yang dilakukan 
terhadap Nambi untuk merebut daerah Lumajang. sesudah 
tahun Saka 1238 Lumajang ditaklukkan, pada tahun Saka 
1281 atau 43 tahun lalu Lumajang yang telah menjadi 
bagian dari kekuasaan Majapahit dikunjungi oleh Sri Nata 
dari Majapahit. Mengapa Lumajang harus dikuasai ? Potensi 
sumberdaya alam seperti beberapa danau atau ranu yang 
ditemukan di Lumajang serta hutan tropis yang ada di 
kawasan Gunung Lamongan merupakan satu ekosistem yang 
sangat kaya, yang dapat memberikan kesejahteraan kepada 
warga dan penguasa yang mampu mengelolanya. 
Salah satu sumberdaya alam ini adalah Ranu 
Klakah, yang saat ini debit air danau ini mencapai 1556 
M³/detik pada kondisi maximum, dan 0230 M³/detik pada 
kondisi minimum, serta mampu mengaliri sungai sepanjang 
40.66 KM. Keberadaan dan potensi Ranu Klakah tidak hanya 
bermanfaat bagi manusia yang tinggal di sekelilingnya. Debit 
air yang cukup signifikan bagi kehidupan manusia, terutama 
untuk keperluan irigasi bagi lahan­lahan pertanian yang 
dapat dijangkau oleh aliran air ini, merupakan salah satu 
alasan mengapa Ranu Klakah dan lingkungan sumberdaya 
alam yang ada di sekitarnya perlu dikuasai. Dengan demikian, 
159Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang 
menguasai kawasan Ranu Klakah, berarti akan dapat 
menguasai lahan­lahan subur yang ada di wilayah Kabupaten 
Lumajang, terutama lahan persawahan yang dapat menopang 
kemakmuran warga dan kerajaan (negara). 
Penutup
Pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) yang 
dalam konsep awalnya bertujuan akan “mengangkat kebesaran 
Kerajaan Majapahit” justru menuai kritikan dan hujatan dari 
berbagai pihak yang peduli akan pelestarian situs arkeologi 
yang berskala internasional ini. Kegiatan Proyek yang 
telah menelan beaya cukup banyak, karena kurang prosedural 
dan cenderung menyalahi prinsip­prinsip dalam pengelolaan 
sumberdaya arkeologi, akhirnya harus dihentikan karena 
justru akan “menghancurkan kebesaran Majapahit”. Memang, 
Trowulan identik dengan Majapahit, akan tetapi Majapahit 
tidak hanya milik Trowulan, situs­situs tinggalan kerajaan 
Majapahit ada di mana­mana, seperti yang disebut­sebut 
dalam sumber susastra Kitab Nagarakretagama yang ditulis 
oleh Mpu Prapanca.
Sebagai negara agraris, kerajaan Majapahit secara politis 
harus menguasai lahan­lahan pertanian di wilayah yang 
seluas­luasnya agar memperoleh hasil yang sebesar­besarnya 
demi kemakmuran rakyat dan negara. Untuk itulah wilayah­
wilayah di Jawa Timur harus terlebih dahulu dikuasai sebelum 
melakukan ekspansi ke luar. Salah satu daerah di Jawa Timur 
yang harus dipertahankan adalah Lumajang yang pada tahun 
1238 direbut dari kekuasaan Nambi. Dalam usaha memper­
satukan dan mempertahankan wilayah kekuasaannya, raja 
Majapahit sering melakukan perjalanan ke daerah­daerah. 
160 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Perjalanan keliling wilayah ini kemungkinan bertujuan 
untuk melakukan konsulidasi guna mempertahankan sistem 
pemerintahan. Hal ini terlihat ketika pada tahun 1281 raja 
melakukan perjalanan ke Lumajang, sesudah 43 tahun wilayah 
ini dikuasainya.
Kapan Candi Tegalrandu dibangun? Belum ditemukan 
data yang dapat memberikan penjelasan tentang hal ini. 
Berdasarkan data susastra di atas, Candi Tegalrandu kemung­
kinan dibangun antara tahun 1238­1281. Terlepas dari kapan 
candi Tegalrandu didirikan, temuan tinggalan dari masa 
Hindu­Budha ini menunjukkan bahwa kawasan Ranu Klakah 
merupakan daerah yang potensial bagi kekuasaan kerajaan 
Majapahit. Selain itu temuan sisa­sisa candi bata ini juga dapat 
menunjukkan tentang luas dan cakupan wilayah kekuasaan 
Majapahit yang ada di Jawa Timur. Dengan demikian dapat 
disimpulkan bahwa keberadaan Candi Tegalrandu yang 
didirikan di kawasan Ranu Klakah, kemungkinan berkaitan 
dengan pemanfaatan sumberdaya alam, yaitu ranu dan 
lingkungannya. 
Sampai kapanpun Majapahit adalah salah satu bukti 
kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia. Sekecil apapun 
tinggalan artefaktual yang diwariskan kepada bangsa ini 
haruslah dapat kita lestarikan, sebagai salah satu bukti jati diri 
bangsa untuk waktu­waktu yang akan datang. Kebesaran dan 
kejayaan kerajaan Majapahit seperti tertulis dalam puja sastra 
Kitab Nagakretagama rupa­rupanya dibuktikan pula oleh 
temuan arkeologis seperti ditemukannya candi Tegalrandu, di 
Desa Tegalrandu, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang. 
Pusat pemerintahan kerajaan Majapahit yang dapat dipastikan 
berada di daerah Trowulan dan sekitarnya, merupakan 
tinggalan sebuah kota kuna dari abad XIII­XIV M yang 
161Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang 
merupakan satu­satunya situs kota kuna di Indonesia. Dengan 
demikian hubungan integral antara pusat kerajaan Majapahit 
yang ditandai oleh tinggalan arkeologis di Trowulan dan 
sekitarnya dan tinggalan arkeologis sejaman yang ditemukan di 
daerah­daerah sebagai representasi dari kekuasaan Majapahit, 
haruslah tetap dijaga kelestarian dan pelestariannya.
KEpUstaKaaN
Anonim, 1999. Metode Penelitian Arkeologi, Departemen Pendidikan 
Nasional, Jakarta : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Bahn, Paul dan Collin, Renfrew. 1991. Archaeology Theories, 
Methods, and Practice, Thames and Hudson Ltd. United 
States of America 
Gunadi, 1982. Peninggalan Megalitik di Cilongok, Kabupaten 
Banyumas, Jawa Tengah, Skripsi Sarjana, Jurusan Arkeologi, 
Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah 
Mada, Yogyakarta. 
________, 1994. Situs-Situs Watu Kandang di Lembah Sungai Kali 
Samin Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah : Satu Penelitian 
Peninggalan Megalitik dengan Pendekatan Lingkungan, Tesis 
Magister bidang Humaniora, Program Pascasarjana, 
Universitas Indonesia.
Hoop, A.N.J. Th.a Th. Van der, 1932. Megalithic Remains in South 
Sumatra, Translated by William Shirlaw, W.J. Thieme & 
Cie, Zutphen, Netherland.
162 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Mundardjito, 1993. Pertimbangan Ekologi Dalam Penempatan 
Situs – Situs Masa Hindu – Buda di Daerah Yogyakarta : 
Kajian Arkeologi Ruang Skala Makro, Disertasi, Universitas 
Indonesia. Nitihaminoto, Goenadi 1978. Laporan Ekskavasi 
Matesih, Proyek Penelitian dan Penggalian Purbakala 
Yogyakarta, Belum diterbitkan. 
Nitihaminoto, Goenadi, Dkk. 2007. Penelitian Permukiman 
Arkeologi Danau di Desa Tegal Randu, Lumajang 
dan Danau­Danau di Kabupaten Probolinggo, Laporan 
Penelitian Arkeologi, Balai Arkeologi Yogyakarta. 
______________________1978. Laporan Ekskavasi Matesih, Proyek 
Penelitian dan Penggalian Purbakala Yogyakarta, Belum 
diterbitkan. 
Pigeaud, Theodore G. 1960. Java in The 14th Century, A Study in 
Cultural History, Vol. III (Translations), The Hague – 
Martinus Nijhoff. 
Soekmono, 1974. Candi, Fungsi dan Pengertiannya, Disertasi 
Universitas Indonesia, Jakarta.
Tjahjono, Baskoro Daru, 2002. Latar Belakang Pendirian Candi 
Bata di Jawa Tengah Tahap III, Laporan Penelitian Arkeologi, 
Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
163Benteng Biting
8
BENtENg BitiNg
Novida Abbas
Sebuah Benteng Lokal di Jawa
S
ebuah benteng lokal dengan disain lokal? Rasanya 
kita jarang mendengar ataupun menjumpai hal 
semacam itu. Yang banyak dilihat atau dike­
tahui umumnya adalah benteng Belanda, benteng Inggris, 
benteng Portugis, ataupun benteng Jepang. Kalau pun 
ada benteng yang dikategorikan ”lokal”, umumnya yang 
dikenal warga adalah benteng­benteng yang ber­
hubungan dengan keraton, misalnya benteng Keraton 
Yogyakarta atau benteng Keraton Surosowan Banten. 
Benteng­benteng keraton itupun disainnya menunjukkan 
unsur­unsur “asing”, utamanya Eropa. Sebagai contoh, 
benteng keraton Yogyakarta pada bagian sudut­sudutnya 
memiliki bastion dan menara intai, yang merupakan unsur 
benteng yang berbau Eropa. Sementara itu benteng lokal 
yang tidak menunjukkan pengaruh asing dalam disainnya 
164 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
yang diketahui sisa fisiknya sampai saat ini hanyalah 
benteng tanah yang dijumpai di daerah Lampung dan Lahat, 
Sumatra (Triwuryani, 2006; Indriyastuti, 2006). Benteng­
benteng tanah ini umumnya berupa gundukan tanah 
yang bisa dilengkapi ataupun tanpa parit. Selain itu benteng 
lokal terdapat pula di Buton, Sulawesi, dari masa Kesultanan 
Buton. Benteng Buton ini dibuat dari batu dengan denah 
mengikuti bentang alam yang ada (Riyanto, 2002). Selain di 
Sumatra dan Sulawesi, ternyata di daerah Lumajang, Jawa 
Timur, ada sisa­sisa sebuah benteng lokal yang dikenal 
warga dengan nama Biting. Biting adalah bahasa 
lokal untuk menyebut benteng. Benteng Biting ini terletak 
di wilayah Kelurahan Kutorenon, Kecamatan Sukodono, 
Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Sisa­sisa benteng Biting pertama kali disebutkan dalam 
sebuah laporan peninjauan di zaman Belanda, yaitu peninjauan 
yang dilakukan oleh J. Hageman di tahun 1861 (Mühlenfeld, 
1921). lalu Mühlenfeld melakukan peninjauan lanjutan 
yang diikuti dengan penggalian arkeologis di situs ini pada 
tahun 1923 (OV 1923; OV 1924; Tjandrasasmita, 1977). Dari 
survei maupun penggalian yang dilakukan oleh Belanda, 
maupun selanjutnya 
oleh Balai Arkeologi 
Yogya karta dalam kurun 
waktu antara awal 1980­
an sampai awal 1990­an, 
diketahui tentang sisa­
sisa sebuah benteng yang 
mengelilingi areal seluas 
135 ha (Abbas & Ratna 
Dewi, 1985). Dari sisa Dok. Balar Yk Pengungakan I
165Benteng Biting
tembok keliling yang masih terlihat, diketahui bahwa tembok 
yang menge lilingi areal ini memiliki ketebalan sekitar 1.60 
m dengan tinggi sekitar 2 m. Bekas benteng ini dibuat dari bata 
berukuran besar, dengan memakai spesi/perekat berupa 
tanah tanpa lepa. Selain itu benteng juga dilengkapi dengan 
enam menara intai berdenah segi empat, yang oleh penduduk 
setempat disebut sebagai pengungakan, yaitu pengungakan I 
sampai VI. Dari enam pengungakan ini, tiga di antaranya 
terletak di sisi barat, sementara di ketiga sisi lainnya masing­
masing terdapat sebuah pengungakan. Dari pengungakan yang 
masih tampak relatif utuh, yaitu pengungakan I dan II diketahui 
bahwa luas masing­masing adalah 7.5 m x 6.5 m dengan tinggi 
antara 3.8 m ­ 8m (Abbas, 1992). Selain itu diperoleh pula 
sejumlah data toponim di bagian dalam benteng, yang oleh 
penduduk setempat disebut sebagai blok, yaitu blok Kraton, 
blok Jeding, blok Randu, blok Duren, dan blok Salak. Di zaman 
Belanda, di blok Jeding ditemukan struktur dinding dan lantai 
bata yang diduga merupakan bekas kolam pemandian, yang 
saat ini sudah tidak dapat disaksikan lagi bekas­bekasnya (OV 
1924). 
Denah benteng Biting dibuat dengan mengikuti bentuk 
aliran empat sungai yang terdapat di lokasi ini, yaitu 
Sungai Bondoyudo di sisi utara, Sungai Winong di sisi timur, 
Sungai Cangkring di sisi selatan, dan Sungai Peloso di sisi 
barat. Sementara keenam pengungakan pada benteng ini 
masing­masing terdapat pada kelokan sungai. Sungai yang 
terletak di sebelah selatan, yaitu Sungai Cangkring, merupakan 
sungai buatan, dan di sebelah barat daya terdapat bekas­
bekas pembendungan Sungai Peloso (Moelyadi, 1983). Dari 
keempatnya, sungai terbesar adalah Bondoyudo.
166 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Dari serangkaian penggalian arkeologis yang dilakukan 
di bagian dalam bekas benteng ini, didapatkan temuan yang 
cukup beragam, mulai dari pecahan­pecahan tembikar, 
keramik, mata uang, alat logam, sampai batu­batu bulat 
dengan diameter 10­15 cm. Selain itu, di bagian dalam benteng 
terdapat pula sebuah kompleks makam kuno. warga 
setempat mengatakan bahwa tokoh utama yang dimakamkan 
di situ adalah Menak Koncar, yang menurut cerita setempat 
merupakan penguasa Lumajang pada akhir masa Majapahit 
(lihat juga Graaf & Pigeaud, 1985). 
Yang menjadi pertanyaan, pada 
masa apa benteng ini didirikan 
dan dipakai? Tentunya catatan 
sejarah lah yang harus ditengok, 
di samping juga mencermati dan 
menganalisis temuan­temuan yang 
berasal dari situs itu sendiri. Dok. Balar Yk  
Makam Menak Koncar
167Benteng Biting
Biting dalam Lintasan Sejarah
Di masa Majapahit, daerah Lumajang beserta Panarukan 
dan Blambangan dikenal dengan sebutan Lamajang Tigang 
Juru, yang merupakan daerah kekuasaan Wiraraja (Schrieke, 
1957). Sebenarnya nama Biting sendiri tidak pernah ditemukan 
dalam catatan sejarah. Namun nama Kutorenon (yang sekarang 
menjadi nama kelurahan tempat Biting termasuk ke dalamnya) 
bisa dijumpai dalam Kitab Nagarakrtagama dan Babad Tanah 
Jawi. Dalam Kitab Nagarakrtagama pupuh XXI disebutkan 
beberapa nama tempat yang dipakai sebagai tempat per­
hentian raja Hayam Wuruk (berkuasa antara tahun 1350 hingga 
1386) dalam perjalanannya dari Majapahit ke Lumajang. 
Tempat­tempat ini adalah Jaladipa, Talapika, Padali, 
Arnon, Panggulan, Payaman, dan Tepasana (Slamet Mulyana, 
1979). Dari nama­nama tempat itu, Padali, Arnon, Panggulan, 
dan Payaman sampai saat ini masih dapat dijumpai di sekitar 
wilayah Kelurahan Kutorenon, yaitu Bedali, Kutorenon, 
Pangul, dan Bayeman (lihat juga OV 1921). lalu 
dalam pupuh XLVIII disebutkan mengenai penyerangan raja 
Majapahit, yaitu Jayanegara (memerintah pada tahun 1309 
sampai 1328), ke Lumajang pada tahun 1238 Saka (1316 M). 
Dicerita kan bahwa pada penyerangan itu benteng tempat 
kedudukan Nambi (putra Wiraraja) di Pajarakan dirusak, 
sedangkan Nambi sekeluarga dibinasakan (Slamet Mulyana, 
1979). Nama Pajarakan pun sampai saat ini masih terdapat di 
wilayah Lumajang, yaitu di sebelah utara Wonorejo, sementara 
Kutorenon terletak di sebelah selatan Wonorejo. Pada tahun 
itu pula wilayah Lumajang jatuh kembali ke tangan Majapahit. 
lalu pada masa Hayam Wuruk daerah ini diserahkan 
kepada putranya, Bhre Wirabhumi.
168 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Sesudah masa kejayaan Majapahit berakhir, yaitu ketika 
kerajaan Mataram Islam berkembang di sekitar Yogyakarta 
dan Jawa Tengah, nama Renong muncul dalam kitab Babad 
Tanah Jawi (Olthoff, 1941). Diceritakan dalam kitab babad 
itu bahwa Sultan Agung (1613­1645) dari kerajaan Mataram 
Islam memerintahkan pasukannya untuk menyerang dan 
menaklukkan daerah­daerah di sebelah timur. Sultan Agung 
menunjuk Ki Sura Tani untuk menjadi senapati dalam 
penyer buan itu. lalu Ki Sura Tani memerintahkan Ki 
Tumenggung Alap­alap dengan pasukannya untuk menyerbu 
Lumajang dan Renong. Dikisahkan pula bahwa dalam 
penyer buan itu Lumajang dan Renong berhasil dihancurkan, 
sementara para bupati Lumajang maupun Renong berhasil 
melarikan diri.
Korelasi antara Catatan Sejarah dan Tinggalan Arkeologi
Menilik dua sumber sejarah di 
atas, dari abad ke­14, yaitu masa 
Raja Jayanegara dan Hayam Wuruk 
dari Kerajaan Majapahit, ter dapat 
penyebutan nama Arnon dan 
Pajarakan, yang keduanya terletak 
berdekatan di wilayah Lumajang. 
Arnon disebut sebagai salah satu 
tempat yang dikunjungi Hayam 
Wuruk dalam perjalanannya ke daerah­daerah di sebelah 
timur Majapahit, sementara Pajarakan disebut dalam penye­
rangan Jayanegara untuk memadamkan pemberontakan 
Nambi. Selanjutnya di abad ke­17 pada masa kekuasaan Sultan 
Agung dari Kerajaan Mataram Islam disebutkan nama Renong 
Dok. Balar Yk Temuan kowi
169Benteng Biting
dan Lumajang, yang diserang dan ditaklukkan oleh pasukan 
Mataram Islam. 
Selain sumber sejarah, penelitian arkeologi juga dapat 
mengungkapkan pertanggalan suatu situs melalui temuan­
temuan dari situs ini. Menyangkut penelitian arkeologi di 
lokasi benteng Biting, temuan yang dihasilkan berupa pecahan­
pecahan tembikar, keramik, mata uang, alat logam, maupun 
batu­batu bulat. Pecahan­pecahan tembikar sesudah dianalisis 
menunjukkan berbagai bentuk wadah, seperti periuk, buyung 
(klenthing), kendi, mangkuk, cawan, piring, pengaron, dan kowi. 
Analisis terhadap temuan pecahan keramik menunjukkan 
bentuk asal berupa mangkuk, buli­buli, cepuk, cangkir, piring, 
dan guci. 
Wadah­wadah keramik ini 
merupakan keramik Cina, Thai, 
Vietnam, Jepang, Timur Tengah, mau­
pun Eropa. Yang terbanyak, yaitu 85 
% dari keseluruhan temuan keramik, 
adalah keramik Cina. Pertanggalan 
keramik Cina dari benteng Biting 
ini berkisar antara abad ke­13 (masa 
dinasti Song) sampai abad ke­17 (masa dinasti Ming). Sisanya, 
sebesar 15 %, terdiri atas keramik Thai (abad ke­15), Vietnam 
(abad ke­16), Timur Tengah (abad ke­16), Eropa dan Jepang 
(abad ke­19 dan 20). Tentunya keramik Eropa dan Jepang 
ini berasal dari masa yang lebih lalu, yaitu ketika 
Belanda sudah berkoloni di Jawa yang disusul dengan masa 
pendudukan Jepang. Oleh karena itu, kedua jenis keramik ini 
bisa dilepaskan dari pertanggalan situs benteng Biting. 
Temuan penelitian lainnya adalah mata uang, yang berupa 
mata uang Cina yang dikenal juga sebagai mata uang kepeng. 
Dok. Balar Yk 
Temuan klinthing 
perunggu
170 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Sebagian besar berupa 
pecahan yang tidak dapat 
dikenali pertanggalannya. 
Mata uang ini dibuat dari 
perunggu dengan lubang 
segi empat di tengahnya. 
Dari temuan mata uang 
yang relatif utuh diketahui 
bahwa pada bagian recto 
terdapat aksara Cina, 
dan bagian verso polos. Aksara Cina ini biasa dijumpai 
pada bagian recto mata uang dari dinasti Song Selatan, yang 
berasal dari abad ke­12. Pecahan logam lainnya dari benteng 
ini merupakan bagian dari alat dan senjata, yaitu pahat dan 
ujung keris, serta kelinthing yang dibuat dari perunggu.
Mengacu pada catatan sejarah, pertanggalan situs ini ber­
kisar antara abad ke­14 sampai abad ke­17. Sementara data 
pertanggalan relatif yang diperoleh dari tinggalan arkeo logi 
dari situs, yaitu berdasarkan temuan pecahan mata uang dan 
keramik, diperoleh pertanggalan antara abad ke­12 sampai 
abad ke­17. Membandingkan kedua sumber ini, terlihat 
adanya kesejajaran di antara keduanya. Kemungkinan tinggalan 
berupa benteng lokal di wilayah Kutorenon ini berasal dari 
masa Majapahit akhir. lalu keberadaannya masih terus 
berlangsung hingga awal masa Mataram Islam. Sementara 
bila cerita warga setempat disimak, bekas benteng Biting 
ini juga diasosiasikan dengan masa Majapahit akhir, dengan 
adanya tokoh legendaris Menak Koncar yang dianggap sebagai 
penguasa di tempat itu pada masa Majapahit akhir.
Sungai Bondoyudo di sisi utara 
benteng Dok. Balar Yk
171Benteng Biting
Biting, Riwayatmu Kini 
Sebagai salah satu bekas benteng lokal yang mungkin 
berasal dari masa Majapahit akhir, dan diduga berlanjut 
hingga masa Kerajaan Mataram Islam, dan tampaknya juga 
merupakan satu­satunya bekas benteng lokal di Jawa yang 
masih bisa disaksikan bentuk fisiknya, kondisi situs Biting 
kini sangat mengenaskan. Padahal benteng ini mencerminkan 
tingginya kemampuan warga masa itu dan sekaligus 
tingkat kemajuan pemikiran tentang strategi pertahanan di 
masa lalu. Bukti­buktinya terlihat pada pembuatan benteng 
berbahan bata yang cukup besar yang mencakup areal seluas 
135 hektar. Selain pembuatan tembok benteng yang dilengkapi 
dengan enam pangungakan untuk mengawasi daerah sekitarnya, 
mereka juga telah melakukan pemilihan lokasi yang sangat 
strategis untuk tempat pertahanannya, yaitu lokasi yang 
dikelilingi oleh tiga sungai. Bentang alam yang tersedia itu 
lalu dilengkapi lagi dengan 1 sungai buatan, sehingga 
benteng yang didirikan itu di keempat sisinya dikelilingi oleh 
sungai­sungai. 
Sebenarnya perusakan bekas benteng Biting ini sudah 
terjadi di zaman Belanda. Pada masa itu di Kutorenon banyak 
terdapat perkebunan tebu. Belanda membuat rel lori untuk 
keperluan pengangkutan tebu dari kebun ke lokasi pabrik 
gula. Kemungkinan besar tebu­tebu dari areal bekas benteng 
ini diangkut menuju pabrik gula (PG) Djatiroto (yang 
sebelum tahun 1912 masih bernama PG Ranupakis: lihat Suara 
PG Djatiroto Edisi 2, 2003). Pembuatan rel lori ini merusak 
sebagian struktur bangunan benteng. Perusakan selanjutnya 
sesudah masa kemerdekaan adalah aktivitas penduduk 
dalam bidang pertanian dan perkebunan, yang menjadikan 
172 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
sisa bangunan benteng yang ada semakin punah. Pada saat 
penelitian dilakukan di situs ini, tiap kali tim peneliti datang, 
setiap kali ketebalan tembok keliling benteng semakin 
menipis, karena sawah ataupun kebun di situ selalu diperluas, 
yang akhirnya menghilangkan tembok keliling benteng. 
Kerusakan diperparah pula dengan maraknya penggalian 
liar untuk mencari benda­benda kuno di situs ini. Dari serita 
penduduk setempat diketahui bahwa para penggali liar sering 
menemukan benda­benda keramik dan logam di sekitar situs 
ini. Dan yang terakhir adalah pembangunan perumahan oleh 
Perum PERUMNAS pada sebagian areal bekas benteng Biting, 
yaitu seluas 15 hektar (Hidayat, 1996 : 62 – 72). Pendirian 
kompleks perumahan di bagian dalam bekas benteng itu 
merusak sebagian sisa tembok keliling maupun sisa bangunan 
di dalam benteng.
173Benteng Biting
Satu lagi perusakan telah terjadi pada tinggalan arkeologi 
yang mungkin berasal dari masa Majapahit akhir, dan yang 
mungkin merupakan satu­satunya benteng lokal yang 
masih ada di Jawa dari masa itu. Benteng yang dulunya 
berfungsi sebagai tempat pertahanan untuk melindungi 
kota dan penduduk di dalamnya, kini ternyata tak mampu 
mempertahankan diri melawan lajunya pembangunan.
KEpUstaKaaN
Abbas, Novida dan Enny Ratna Dewi. 1985. “Penelitian Biting V, 
Lumajang, Jawa Timur”. Laporan Penelitian Arkeologi No. 
7. Yogyakarta. Balai Arkeologi.
_________. 1986. “Biting, Suatu Studi Pendahuluan tentang Unsur 
Pertahanan”. Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi II. 
Jakarta. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
_________. 1992. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Situs Biting, 
Kelurahan Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Kabupaten 
Lumajang, Jawa Timur Tahap XI. Yogyakarta. Balai 
Arkeologi.
Graaf, H.J. de & Th. G. Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam 
di Jawa. Jakarta. Grafiti Pers.
Hidayat, Muhammad. 1996. “Pembangunan Perumahan pada 
Areal Situs Biting, Lumajang”. Berkala Arkeologi Thn XVI 
No. 2. Hlm. 62­72. Yogyakarta. Balai Arkeologi.
Indriyastuti, Kristantina. 2006. “Benteng Tanah Muara Payang”. 
Permukiman di Indonesia-Perspektif Arkeologi. Hlm. 102­ 
107. Jakarta. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 
174 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Badan Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan dan 
Pariwisata.
Moelyadi. 1983. “Dampak Lingkungan Geologi terhadap 
Pendirian dan Kehancuran Kerajaan Lama Sukodono, 
Lumajang, Jawa Timur”. Yogyakarta. Jurusan Teknik 
Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Mühlenfeld, A. 1921. “De Ruinen van Koeta Renon in het 
Loemadjangsche”. O.V. eerste kwartaal. Hlm. 35 – 38. 
‘s­Gravenhage. Martinus Nijhoff.
Olthoff, W.L. 1941. Poenika Serat Babad Tanah Djawi wiwit saking 
Nabi Adam doemoegi ing Taoen 1647. ‘s­Fravenhage. 
Martinus Nijhoff.
O.V. 1923. derde en vierde kwartaal. Hlm. 84 – 85. ‘s­Gravenhage. 
Martinus Nijhoff.
_______ 1924. derde en vierde kwartaal. Hlm. 11­13. ‘s­Gravenhage. 
Martinus Nijhoff.
Schrieke, B. 1957. Indonesian Sociological Studies I. Bandung. The 
Hague.
Slamet Mulyana. 1979. Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. 
Jakarta. Bhratara Karya Aksara.
Tjandrasasmita, Uka. 1977. “Riwayat Penyelidikan Kepurbakalaan 
Islam di Indonesia”. 50 Tahun Lembaga Purbakala dan 
Peninggalan Nasional. Hlm. 107­135. Jakarta. P.T. Karya 
Nusantara.
Triwuryani, Rr. 2006. “Benteng Tanah DAS Sekampung”. 
Permukiman di Indonesia-Perspektif Arkeologi. Hlm. 97­101. 
Jakarta. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Badan 
Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan dan Pariwisata.
175Fenomena Islam  Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit
9
FENoMENa islaM  
pada Masa KEBEsaraN 
KErajaaN Majapahit
Muhammad Chawari
Keberadaan Kompleks Makam Troloyo
S amudera Pasai menurut sumber sejarah merupakan Kerajaan Islam pertama di Indonesia. Selain itu, keberadaan kerajaan ini juga diketahui berdasarkan 
adanya inskripsi berhuruf Arab yang dipahatkan pada 
batu nisan makam raja pertama, yaitu Malik as­Saleh yang 
meninggal pada tahun 696 H atau 1297 M (Tjandrasasmita, 
1976: 1­2), dan puteranya yang bernama Sultan Muhammad 
Malik az­Zahir yang meninggal pada tahun 726 H atau 1326 
M (Tjandrasasmita, 1992: 108). Periode berikutnya, di Jawa 
muncul pula sebuah kerajaan bercorak Islam yaitu Demak. 
Kerajaan ini muncul pada sekitar abad XV dengan peninggalan 
176 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
utama yang masih ada hingga saat ini, yaitu Masjid Agung 
Demak dan kompleks makam raja­raja yang terletak di 
belakang masjid ini. Periodisasi Masjid Agung Demak 
diketahui berdasarkan adanya candra sengkala yaitu sengkalan 
memet yang berupa relief seekor kura­kura yang terdapat pada 
dinding mihrab masjid ini. Relief kura­kura ini 
ditafsirkan menggambarkan angka tahun 1401 Ç atau 1478 M 
(Tjandrasasmita, 1976: 6­7).
Pintu gerbang baru Kompleks Makam Troloyo Dok. Sugeng. R
Selanjutnya peninggalan masa Islam di Jawa tersebar di 
sepanjang pantai utara, sejak dari Banten, Cirebon, Kudus, 
Jepara, Rembang, Tuban, Lamongan, Gresik, dan Surabaya. 
Bahkan juga di Troloyo, yaitu sebuah desa di pedalaman 
Jawa Timur tepatnya di Kabupaten Mojokerto. Dari kota­
kota di pantai utara Jawa ini dapat diketahui kronologi 
perkembangan Islam di Pulau Jawa.
J.P. Moquette salah seorang peneliti asing, telah berhasil 
membaca tulisan pada nisan yang ada di Leran, Kabupaten 
177Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit 
Gresik. Nama yang berhasil direkam melalui inskripsi ini 
adalah Fatimah binti Maimun bin Hibatallah yang meninggal 
pada tahun 495 H atau 1102 M (Moquette, 1912: 208 – 214). 
lalu pada tahun 1910 van Ronkel berhasil membaca 
nisan kubur Malik Ibrahim yang ada di kota Gresik kota. Hasil 
pembacaan van Ronkel diulangi lagi oleh Th.W. Juynboll. 
Kedua orang ini membaca bulan wafatnya Malik 
Ibrahim adalah Rabi’ul Awwal. Namun pembacaan keduanya 
disangkal oleh Moquette. Hasil pembacaan Moquette adalah 
Rabi’ul Akhir. Dari inskripsi yang ada pada nisan makam 
Malik Ibrahim ini diperoleh angka tahun 822 H atau 1419 
M (Tjandrasasmita, 1992: 108). Di samping itu, pada Kompleks 
Makam Pusponegoro di kota Gresik juga ditemukan inskripsi 
dengan huruf pegon, yang terdapat pada salah satu cungkup 
makam. Masih di kabupaten Gresik, yaitu di daerah Giri 
terdapat sebuah pesantren dan kompleks makam Islam kuna 
yang dikenal sebagai pusat pengembangan agama Islam untuk 
wilayah Indonesia bagian timur (Umar, 1979).
Bangunan baru yang berfungsi sebagai cungkup Dok. Sugeng. R
178 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Sementara itu, makam­makam yang terdapat di daerah 
Troloyo dan Trowulan, Kabupaten Mojokerto pernah diteliti 
oleh Uka Tjandrasasmita. Hasil penelitian ini lalu 
dipubli kasikan lewat Aspek-aspek Arkeologi Indonesia No. 
3 tahun 1976. Di dalam tulisan ini diuraikan bahwa 
di kedua daerah ini (Troloyo dan Trowulan) banyak 
ditemu kan makam yang berasal dari abad XIV sampai dengan 
XVI. Dari makam­makam ini banyak ditemukan nisan 
yang berinskripsi huruf Arab. Sarjana lain yang lebih dahulu 
meneliti daerah ini adalah L.Ch. Damais yang tulisannya 
dimuat dalam BEFEO tahun 1957. Dalam tulisan ini, 
Damais menyebutkan bahwa di daerah itu banyak ditemukan 
nisan­nisan kubur dari orang­orang muslim yang pada waktu 
itu bermukim di sekitar Keraton Majapahit. Sekitar 30 buah 
nisan dan balok batu bertulis telah diteliti oleh Damais. Nisan­
nisan ini kebanyakan menyebut angka tahun dengan 
tahun Çaka. Angka­angka tahun ini sejaman dengan 
masa berdiri, masa kejayaan, dan masa keruntuhan Kerajaan 
Majapahit (Damais, 1957: 353­415).
Dari Kompleks Makam Troloyo dapat diketahui berbagai 
aspek kepurbakalaan yang berhubungan dengan gejala atau 
fenomena perkembangan Islam, khususnya di Jawa Timur, 
lebih khusus lagi berkaitan erat dengan keberadaan Kerajaan 
Majapahit. Dari berbagai macam penelitian yang pernah 
dilakukan, baik oleh peneliti asing maupun peneliti pribumi 
terhadap data kronologi, data keletakan kompleks makam, 
data ragam hias, dan data inskripsi, dapat diketahui tentang 
nilai sejarah, nilai politik, nilai budaya, dan juga nilai agama 
yang melatarinya.
Dalam tulisan ini yang akan dibahas adalah nilai yang 
berhubungan dengan agama (Islam). Khusus nilai agama, hal 
179Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit 
ini dapat diketahui salah satunya dari data inskripsi yang ada. 
Oleh sebab itu maka kajian yang akan dilakukan terhadap isi 
inskripsi dan studi terhadap paleografinya, diharapkan akan 
dapat mengungkap hal­hal yang berkaitan dengan maksud 
dan tujuan pencantuman isi dari inskripsi ini.
Bangsa Indonesia pada abad XIII sampai dengan XVIII 
pernah mengalami masa kejayaan lewat kerajaan­kerajaan 
Islam. Dengan demikian setidak­tidaknya akan meninggalkan 
bekas­bekas aktivitasnya. Terutama dalam hal ini yang ber­
kaitan dengan manusia dan warga pendukungnya 
(warga muslim), yaitu makam. Tetapi jauh sebelum itu, 
yaitu pada abad XI masehi sudah ditemukan peninggalan 
Islam tertua (berupa makam juga) yang merupakan indikasi 
tentang hadirnya Islam di Indonesia.
Kompleks Makam Troloyo
Kompleks makam Troloyo 
terletak di Dukuh Sidodadi, Desa 
Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, 
Kabupaten Mojokerto. Di kompleks 
pemakaman ini banyak ditemukan 
makam­makam kuna. Makam­
makam ini sebagian masih 
dalam keadaan terawat dengan 
adanya juru pelihara dari BP3 Jawa 
Timur, namun sebagian lagi telah 
mengalami perubahan dengan 
adanya penambahan berbagai bangunan baru. Pada kompleks 
makam ini sekarang telah dibuat beberapa bangunan baru 
Inskripsi yang berisi tentang 
kalimat tauhid  
Dok. Sugeng. R
180 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
yang berdiri di atas bangunan cungkup lama, termasuk areal 
perparkiran. Beberapa makam akan diuraikan di bawah ini:
1. Kubur Panjang
warga menyebut makam ini Kubur Panjang, 
karena merupakan sebuah makam yang panjangnya 
melebihi ukuran panjang makam pada umumnya. Kubur 
Panjang terletak di sebelah timur laut masjid dan disebut 
sebagai makam Syeh Ngundung. Inskripsi yang terdapat 
pada nisan makam merupakan kutipan ayat­ayat Al­
Qur’an dari satu potong Surat Ali Imran ayat 185, Surat 
Al­Ambiya ayat 35, Surat Al­Ankabut ayat 37, dan Surat 
Ar­Rahman ayat 26 dan 27.
2. Kubur Tunggal
Dok. Sugeng. R Sebuah masjid yang terletak  
di dalam Kompleks Makam Troloyo
Disebut Kubur Tunggal karena dahulu (sebelum 
adanya pembangunan cungkup baru) kuburan ini terletak 
di dalam sebuah cungkup dan berdiri sendiri. Kuburan ini 
terletak di sebelah timur masjid. Makam ini oleh warga 
setempat disebut sebagai makam Syeh Jumadil Kubro. 
Inskripsi yang terdapat pada nisan makam merupakan 
181Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit 
kutipan ayat­ayat Al­Qur’an dari Surat Ali Imran ayat 185, 
Surat Al­Ambiya ayat 35, Surat Al­Ankabut ayat 37, Surat 
Ar­Rahman ayat 26, Surat Al­Qasas ayat 88, dua kalimah 
dalam bahasa Arab, dan Asma’ul Khusna.
3. Petilasan Walisongo
Disebut Petilasan Walisongo karena di dalam satu 
gentan terdapat sembilan makam. Petilasan Walisongo ini 
terletak di sebelah timur masjid. Inskripsi yang terdapat 
pada nisan makam merupakan kutipan ayat­ayat Al­
Qur’an dari Surat Ali Imran ayat 185, Surat Al­Ambiya 
ayat 35, Surat Al­Ankabut ayat 57, dan satu kalimah dalam 
bahasa Arab.
4. Kubur Telu
Kubur Telu terletak di 
sebelah timur masjid. Istilah 
Kubur Telu diberikan oleh 
warga setempat, karena 
di dalamnya terdapat tiga 
buah makam, yaitu:
a. Makam Syeh Maulana 
Ibrahim
Makam ini di dalam 
cungkup berada paling 
timur di antara tiga 
makam lainnya. Inskripsi 
yang ter dapat pada nisan 
makam merupakan kutipan ayat­ayat Al­Qur’an dari 
Surat Ar­Rahman ayat 26 dan 27.
b. Makam Syeh Maulana Sekah
Makam ini berada di tengah di antara tiga makam 
yang berada dalam satu bangunan. Inskripsi yang 
Dok. Sugeng. R Salah satu 
makam yang berangka tahun
182 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
terdapat pada nisan makam berupa satu kalimat 
tauhid (dua kalimah syahadat).
c. Makam Syeh Abdul Qodir Jaelani Sini
Makam ini berada di bagian paling barat di antara 
tiga makam lainnya. Inskripsi yang terdapat pada 
nisan makam merupakan kutipan ayat­ayat Al­Qur’an 
dari satu potong Surat Ali Imran ayat 185, Surat Al­
Ambiya ayat 35, Surat Al­Ankabut ayat 57, puji­pujian 
kepada Allah, kalimat Tauhid, Asma’ul Khusna. Selain 
itu juga tercantum angka tahun Çaka dalam angka 
Arab yaitu 1533 Ç (1611 M).
Arti dan Maksud Isi Inskripsi
Dari beberapa makam yang berinskripsi huruf Arab dapat 
diketahui adanya pemakaian atau kutipan beberapa ayat 
Al­Qur’an dari surat­surat yang berbeda. Ayat­ayat suci Al­
Qur’an ini ada yang dikutip secara utuh, namun ada pula 
yang dikutip secara sepotong­sepotong. Beberapa surat yang 
dikutip dari ayat Al­Qur’an adalah:
1. Potongan dari Surat Ali Imran ayat 185
Artinya:  Tiap­tiap yang berjiwa akan merasakan mati. 
Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah 
disempurnakan pahalamu.
2. Potongan dari Surat Al­Ambiya ayat 35
Artinya:  Tiap­tiap yang berjiwa akan merasakan mati.
3. Dari Surat Al­Ankabut ayat 57
Artinya:  Tiap­tiap yang berjiwa akan merasakan mati. 
lalu hanyalah kepada Kami kamu 
dikembalikan.
183Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit 
4. Dari Surat Ar­Rahman ayat 26 dan 27
Artinya:  Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan 
tetap kekal Dzat Tuhanmu yang memiliki 
kebesaran dan kemuliaan.
5. Surat Al­Qasas ayat 88
Artinya:  Tiap­tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.
6. Selain surat­surat dalam Al­Qur’an, dicantumkan pula 
beberapa ungkapan, yaitu: dua kalimah dalam bahasa 
Arab, asma’ul khusna (nama­nama sifat Allah), puji­pujian 
kepada Allah, dan kalimat tauhid.
Pencantuman dan pemakaian ayat­ayat suci Al­Qur’an 
yang terdiri atas Surat Ali Imran ayat 185, Surat Al­Ambiya 
ayat 35, Surat Al­Ankabut ayat 57, Surat Ar­Rahman ayat 26­ 
27, dan Surat Al­Qasas ayat 88 dapat dipahami. Demikian pula 
kalimat tauhid (dua kalimah syahadat) seperti tercantum dalam 
beberapa nisan makam, pencantuman do’a­do’a, nama­nama 
sifat Allah (asma’ul khusna), serta puji­pujian kepada Allah, 
yang semua menyiratkan hubungan antara manusia dengan 
Allah sang pencipta. Lebih khusus lagi adanya hubungan 
antara kelompok warga muslim yang berdiam di Troloyo 
(bagian dari wilayah kota Majapahit) dengan Tuhannya melalui 
agama yang dianutnya. Selain itu, pemakaian kalimat tauhid 
(dua kalimah syahadat) menunjukkan betapa pentingnya 
mengucapkan pengakuan atau kesaksian seseorang yang akan 
memeluk agama Islam. Pengakuan atau kesaksian ini 
adalah: “tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah 
utusan­Nya (rasul­Nya)” (Tjandrasasmita, 1993: 281). Selain itu 
juga diungkapkan nama­nama sifat Allah, peringatan kepada 
manusia bahwa semua yang ada di bumi pasti akan mengalami 
kematian dan kebinasaan, serta peringatan bahwa setiap 
184 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
manusia akan memperoleh imbalan pahala atas perbuatannya 
selama hidup di dunia.
Berdasarkan data inskripsi ini, baik yang berupa 
pencantuman ayat­ayat Al­Qur’an maupun adanya pengakuan 
atau kesaksian terhadap Allah Sang Pencipta, menunjukkan 
bahwa orang­orang yang dimakamkan di Kompleks Troloyo 
telah menganut atau memeluk agama Islam.
Identifikasi Tokoh
Nama­nama tokoh yang digu­
nakan dalam penamaan makam seperti 
ini di atas merupakan penamaan 
yang berasal dari masya rakat sekitar 
kompleks makam Troloyo, bukan 
nama yang sesungguhnya. Nama­
nama ini semata­mata hanya 
untuk memper mudah identifikasi 
saja. Sebetulnya dasar dan maksud 
nama tokoh­tokoh ini, belum 
diketahui dengan jelas. Yang jelas 
nama­nama seperti Syeh Maulana 
Ibrahim, Makam Syeh Abdul Qodir 
Jaelani Sini, Syeh Maulana Sekah, 
Syeh Ngundung, Syeh Jumadil Kubro, dan istilah Walisongo 
merupakan nama­nama yang banyak dikenal dalam percaturan 
sejarah Islam di Indonesia. Sebenarnya dari seluruh makam 
di Troloyo yang ada prasastinya tidak ada satupun yang 
mencantumkan nama orang yang meninggal, kecuali satu 
inskripsi yang menyebut nama Zayn ud­Din (Zaenuddin?). 
Selebihnya tidak ada sama sekali.
Bangunan baru yang 
berdiri di atas cungkup 
lama Dok. Sugeng. R
185Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit 
Secara khusus antara nama yang dikenal sekarang dengan 
makamnya tidak ada hubungannya. Tetapi secara umum 
tokoh­tokoh ini pernah berjaya dan sangat dikenal di 
masa lalu, tidak di daerah Troloyo saja namun juga di daerah 
lain dalam kurun waktu yang lain pula. Dengan kata lain 
nama­nama tokoh ini bukan nama tokoh sejarah yang 
berhubungan dengan makam Troloyo. Selain itu, penamaan 
tokoh ini diberikan oleh warga setempat.
Kronologi Makam Dalam Sejarah Majapahit
Makam­makam berangka tahun yang ada di kompleks 
makam Troloyo jumlahnya cukup banyak. Nisan dan balok 
batu yang berangka tahun sejumlah 21 buah, salah satunya 
berangka tahun 1533 Ç (1611 M). Nisan­nisan berangka tahun 
ini kebanyakan memakai tahun Çaka, meskipun ada juga 
yang memakai angka tahun Hijriyah. Nisan yang memakai 
angka tahun Arab menyebut nama Zayn ud­Din, dan bertahun 
874 H atau 1469 M (Damais, 1957: 353 – 415). Selain itu, yang 
menarik adalah adanya sebuah balok batu berangka tahun 
1204 Çaka atau 1282 M. Jika dilihat dari usia, maka balok 
batu ini berasal dari masa sebelum berdirinya Kerajaan 
Majapahit. Hal inilah yang meragukan L.Ch.Damais dan Uka 
Tjandrasasmita. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah balok 
batu ini benar­benar merupakan nisan, atau hanyalah 
meru pakan bagian dari sebuah bangunan yang bercorak 
Hindu (candi) yang lalu dimanfaatkan untuk nisan.
Selain itu, terdapat sebuah angka tahun yaitu 874 H yang 
bertepatan dengan tahun Çaka 1391 atau 1469 M. Dari angka 
tahun ini dapat disimpulkan bahwa agama Islam telah 
dianut oleh penduduk Majapahit pada jaman pemerintahan 
186 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Raja Hayam Wuruk. Mengingat bahwa Kompleks Makam 
Troloyo ini letaknya tidak jauh dari keraton yaitu di dalam 
kota Majapahit, dapat dikatakan bahwa tempat merupakan 
pemakaman bagi penduduk kota Majapahit dan keluarga raja 
yang telah memeluk agama Islam. Oleh karena itu, pada waktu 
Majapahit mencapai puncak jaman keemasan yaitu di bawah 
raja Hayam Wuruk, agama Islam sudah dianut oleh penduduk 
ibu kota Majapahit (Djafar, 1978: 56).
Selanjutnya jika dilihat dari seluruh angka tahun yang ada, 
kisarannya berada antara 1204 Çaka atau 1282 M (yang tertua) 
sampai 1533 Ç atau 1611 M (yang termuda). Angka tahun yang 
tertua, 1204 Çaka atau 1282 M, jika dicocokkan dengan sejarah 
berasal dari masa sebelum Majapahit. Angka tahun ini 
semasa dengan pemerintahan raja Singasari awal. Ternyata 
antara Singasari dengan Majapahit memiliki hubungan yang 
sangat dekat. Hubungan ini terlihat sebagai berikut: dinasti 
raja­raja Majapahit adalah Rajasa (Rajasawangsa) yang terkenal 
pula dengan sebutan Dinasti Girindra (Girindrawangsa). Dinasti 
ini merupakan keturunan langsung dari Ken Arok alias Sri 
Ranggah Rajasa Bhattara Sang Amurwwabhumi, yaitu pendiri 
dan raja pertama Kerajaan Singasari (Djafar, 1978: 70). sesudah 
Kerajaan Singasari runtuh, pada tahun 1293 M muncullah era 
baru, yaitu dengan berdirinya Kerajaan Majapahit. Kerajaan 
ini didirikan oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa 
Jayawardhana.
Sementara angka tahun yang lain dapat dikelompokkan 
menjadi dua, yaitu:
1. Angka tahun yang berasal dari abad XIV ada 8 buah, yaitu: 
1241 Ç (1319 M), 1276 Ç (1354 M), 1278 Ç (1356 M), 1294 Ç 
(1372 M), dan 1298 Ç (1376 M), 1302 Ç (1380 M), 1319 Ç 
(1397 M), 1320 Ç (1398 M).
187Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit 
Sepeninggal Raden Wijaya, Jayanagara diangkat 
sebagai penggantinya mulai tahun 1309 M. Jayanagara 
memerintah Majapahit selama 19 tahun, yaitu sampai 
tahun 1250 Ç atau 1328 M, karena dia dibunuh oleh 
Tanca. Selanjutnya Jayanagara digantikan oleh 
Tribhuwanatunggadewi yang sesudah menjadi raja bergelar 
Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani. Dalam 
perkawinannya dengan Kertawardhana memperoleh tiga 
orang anak, salah satunya Hayam Wuruk yang lahir pada 
tahun 1256 Ç atau 1334 M. Pada tahun yang sama terjadi 
gempa bumi yang lalu ditafsirkan akan terjadinya 
perubahan besar di Majapahit. Kejadian itu diikuti dengan 
pengangkatan Gajah Mada sebagai patih amangkubumi 
(Slametmulyana, 1979: 130 ­ 133). Tribhuwanatunggadewi 
memerintah selama 22 tahun sampai tahun 1350 M. sesudah 
raja ini mengundurkan diri, lalu diganti oleh Hayam 
Wuruk. Hayam Wuruk memerintah Majapahit cukup lama 
yaitu 36 tahun, antara tahun 1350 M sampai 1386 M. Dalam 
masa pemerintahan yang panjang ini, Hayam Wuruk 
didampingi oleh Patih Gajah Mada dan kerajaan mengalami 
masa kejayaan. Namun Gajah Mada mendampingi Hayam 
Wuruk hanya sampai tahun 1286 Ç (1364 M). sesudah 
Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1386 M, sebagai 
pengganti adalah menantunya, yaitu Wikramawardhana 
(suami Kusumawardhani) yang memerintah antara tahun 
1386 M – 1397 M (Kuswanto, 2006: 3). Demikianlah sampai 
dengan akhir abad XIV Majapahit sudah diperintah oleh 5 
orang raja yang berbeda dan pada masa ini pula Majapahit 
berada di puncak kejayaannya.
2. Angka tahun yang berasal dari abad XV ada 8 buah, yaitu: 
1329 Ç (1407 M), 1332 Ç (1410 M), 1340 Ç (1418 M), 1342 Ç 
188 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
(1420 M), 1349 Ç (1427 M), 1389 Ç (1467 M), 1391 Ç (1469 
M), dan 1397 Ç (1475 M).
sesudah Wikramawardhana meninggal pada tahun 
1397 M, maka sejak awal abad XV atau sekitar tahun 
1413 M keadaan Kerajaan Majapahit mulai mengalami 
kemunduran. Hal ini dapat diketahui berdasarkan atas 
laporan dari kunjungan Ma Huan ke Majapahit. Ma 
Huan mengatakan bahwa pelabuhan­pelabuhan yang 
dikuasi oleh dan milik Majapahit mulai banyak didiami 
oleh pedagang­pedagang Cina dan pribumi yang kaya 
(Slametmulyana, 1979: 149). Pada tahun 1427 ­ 1429 M 
Kusumawardhani memerintah Majapahit menggantikan 
suaminya, Wikramawardhana. Pada periode berikutnya 
Majapahit diperintah oleh putrinya yang bernama Suhita, 
yaitu antara tahun 1429 M hingga tahun 1447 M. Oleh 
karena Suhita tidak memiliki keturunan, maka hak 
atas tahta kerajaan diberikan kepada saudara seayah, 
yaitu Kertawijaya. Raja ini memerintah antara tahun 
1447 M hingga 1451 M. Sebagai pengganti Kertawijaya 
adalah Girindrawardhana Dyah Wijayakarana hingga 
tahun 1468 M. sesudah raja ini, secara berturut­turut 
Kerajaan Majapahit diperintah oleh Girindrawardhana 
Singawardhana Dyah Ranawijaya antara tahun 1468 M 
hingga 1474 M, Bhre Kertabhumi dari tahun 1474 M hingga 
1478 M. Selanjutnya sampai awal abad XVI, yaitu antara 
tahun 1486 M sampai tahun 1527 M Majapahit berada di 
bawah kekuasaan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya 
(Slametmulyana, 1979: 151 ­ 157). Sampai awal abad XVI 
Majapahit telah diperintah oleh 7 orang raja dan pada masa 
ini pula Majapahit mengalami berbagai kemunduran, baik 
di bidang politik, sosial, maupun perdagangan.
189Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit 
Berdasarkan atas sederetan angka tahun yang disampaikan 
oleh Tjandrasasmita ini, diperkirakan bahwa kelompok 
warga muslim pada masa puncak kekuasaan Kerajaan 
Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk dengan Patih Gajah 
Mada dan raja­raja sesudahnya sudah bermukim di sekitar ibu 
kota kerajaan. Kebanyakan dari mereka bermukim di Troloyo, 
yang terletak di sebelah selatan Kedaton yang merupakan pusat 
atau inti kerajaan Majapahit. Tempat itu (Troloyo) merupakan 
suatu lokasi yang diberikan oleh pihak Kerajaan Majapahit 
(Tjandrasasmita, 1993: 280). Pemberian lokasi tertentu kepada 
kelompok warga muslim memiliki maksud tertentu. 
Hal ini kemungkinan dimaksudkan sebagai sikap toleransi 
terhadap kelompok tertentu atau penghormatan terhadap 
golongan tertentu, seandainya memang benar bahwa lokasi 
di Troloyo ini diberikan oleh pihak kerajaan untuk 
kaum muslim di Majapahit saat itu. Keadaan ini menyiratkan 
adanya sifat toleransi pihak penguasa terhadap kegiatan 
yang dilakukan oleh kelompok warga muslim. Terdapat 
kemungkinan lain bahwa adanya permukiman kelompok 
warga muslim di Troloyo, diduga terkait dengan pola 
dan penataan kota Majapahit saat itu. Sebuah kota sejak dulu 
terbagi dalam perkampungan­perkampungan atau kelompok­
kelompok yang dihuni oleh komunitas yang heterogen 
dan memiliki hubungan erat. Pembagian itu didasarkan 
atas profesi, status, agama, dan ras. Komponen­komponen 
ini merupakan data yang dapat mencerminkan kondisi 
sosial, ekonomi, dan budaya warga pendukungnya 
(Atmosudiro, 2002: 144).
190 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Penutup
Berdasarkan atas adanya inskripsi­inskripsi pada makam 
di Kompleks Troloyo, baik dilihat dari arti, maksud pencan­
tumannya, serta kronologi yang ada dapat diketahui beberapa 
hal yaitu:
1. Arti dan maksud pencantuman isi inskripsi berkaitan erat 
antara yang dimakamkan dengan para pendukungnya 
yaitu warga muslim yang berlokasi di Troloyo selaku 
warga minoritas. Pencantuman ayat­ayat suci Al­
Qur’an dimaksudkan untuk mendo’akan kepada yang 
telah meninggal, juga untuk peringatan bagi yang masih 
hidup. Peringatan ini berkaitan bahwa pada suatu 
saat manusia pasti akan mengalami maut atau mati. Untuk 
itu agar manusia yang masih hidup susaha bersiap­siap 
sebelum ajal menjemput.
2. Berdasarkan atas penelitian L.Ch.Damais hanya terdapat 
satu buah makam yang menyebutkan nama orang yaitu 
Zayn ud­Din (mungkin Zaenuddin). Selebihnya tidak ada 
nama orang yang dicantumkan.
3. Berdasarkan angka tahun yang tertera pada makam 
dapat diketahui bahwa angka tahun tertua berasal 
dari masa sebelum Majapahit yaitu raja Singasari yang 
bernama Kertanagara. Selanjutnya diikuti pada masa awal 
Kerajaan Majapahit yaitu Raja Raden Wijaya, melewati 
masa kejayaan yaitu Hayam Wuruk hingga masa 
keruntuhannya.
4. Toleransi beragama telah tercipta di jaman Majapahit, 
yang dapat terlihat dari keberadaan makam­makam Islam 
di dekat pusat Kerajaan Majapahit.
191Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit 
KEpUstaKaaN
Atmosudiro, Sumijati. 2002. Tata Ruang Permukiman Kota Gede 
Kuna dan Orang Kalang: Dalam Perspektif Profesionalisme 
Pekerjaan dalam Jurnal Kebudayaan Kabanaran. 
Yogyakarta: Penerbit Retno Aji Mataram Press.
Damais, L.Ch. 1957. Etudes Javanaise I, Les Tombes Musulmanen 
Datees de Tralaya, BEFEOXLVII.
Djafar, Hasan. 1978. Girindrawarddhana Beberapa Masalah 
Majapahit Akhir. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan 
Buddhis Nalanda.
Kuswanto. 2006. Matrifokalitas Pada Masa Majapahit: Sebuah 
Pemikiran Awal dalam Desawarnana Buletin Arkeologi 
No. 3, November. Mojokerto: Balai Pelestarian 
Peninggalan Purbakala Jawa Timur.
Moquette, J.P. 1912. De Datum op den Grafsteen van Malik Ibrahim te 
Gresik, TBG.
Slametmulyana, Prof.DR. 1979. Nagarakretagama Dan Tafsir 
Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Tjandrasasmita, Uka. 1976. Sepintas Mengenai Peninggalan 
Kepurbakalaan Islam Di Pesisir Utara Jawa, Aspek-aspek 
Arkeologi Indonsia No. 3. Jakarta: Pusat Penelitian 
Arkeologi Nasional.
­­­­­­­­­­. 1992. Riwayat Penyelidikan Kepurbakalaan Islam Di 
Indonesia, 50 Tahun Lembaga Purbakala Dan Peninggalan 
Nasional. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Cetakan 
Kedua.
192 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
­­­­­­­­­­. 1993. Majapahit Dan Kedatangan Islam Serta Prosesnya, 700 
Tahun Majapahit (1293 – 1993) Suatu Bunga Rampai. 
Surabaya: CV. Wisnu Murti. Edisi Kedua.
Umar, Hasyim. 1979. Sunan Giri Dan Pemerintahan Ulama Di 
Giri Kedaton. Kudus: Menara.
193Komunitas Muslim  di Tengah Kota Majapahit
10
KoMUNitas MUsliM  
di tENgah Kota Majapahit
(stUdi KasUs pENgElolaaN 
KoMplEKs MaKaM troloyo)
Masyhudi
Pendahuluan
M
ajapahit adalah sebuah kerajaan yang besar dan 
megah dengan warna agama Hindu yang kental. 
Akan tetapi kini tinggal kenangan. Kerajaan ini 
hingga kini masih banyak menyimpan misteri tentang tata 
kehidupan kerajaan. Pada beberapa tahun lalu Balai Arkeologi 
Yogyakarta mengadakan pendokumentasian terhadap sisa­
sisa peningggalan kerajaan yang besar ini yang diawali 
dengan suatu perjalanan yang cukup melelahkan. Selama 21 
hari kami harus meninggalkan sanak keluarga. Saat melakukan 
aktivitas pendokumentasian kami tidak mengenal waktu. 
194 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Terkadang kami harus berangkat ke lokasi pada jam tiga pagi, 
terkadang jam empat pagi, jam enam pagi dan pada waktu­
waktu lain yang sangat sulit dipastikan jamnya, karena harus 
berburu cuaca.
Luas areal kota Majapahit diperkirakan hampir mencapai 
seratus kilo meter persegi. Peninggalan­peninggalannya 
sangat banyak dan beragam. Berbagai bangunan candi men­
dominasi tinggalan di wilayah ini. Ada bangunan segaran, 
ada bangunan permukiman dan lain sebagainya, baik yang 
sakral maupun yang profan. Di Desa Sentonorejo, Kecamatan 
Trowulan, Kabupaten Mojoklerto terdapat suatu kompleks 
makam kuno yang terdapat di tengah kota Majapahit yang 
besar dan megah ini. Konon makam ini lebih tua bila 
dibandingkan dengan makam­makam tokoh penyebar Islam 
di Jawa yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Sehingga 
menurut informasi dari warga setempat, tidaklah afdhol, 
bila seseorang melakukan ziarah ke makam walisongo kalau 
tidak terlebih dahulu melakukan ziarah ke makam Troloyo. 
Situs Troloyo terkenal sebagai tempat wisata religius 
semenjak masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, 
atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, saat mengadakan 
kunjungan ziarah ke tempat ini. Sejak saat itu, tempat ini 
banyak dikunjungi peziarah baik dari Trowulan maupun dari 
daerah lain, bahkan dari luar Jawa Timur. Ketenaran Makam 
Troloyo ini juga disebabkan karena seringnya dikunjungi oleh 
para pejabat tinggi. Selain itu, pada hari­hari tertentu seperti 
malam Jumat Legi, haul Syekh Jumadil Qubro, dan Gerebeg 
Suro di tempat ini dilakukan upacara adat yang semakin 
menarik wisatawan untuk datang ke tempat ini. Situs Troloyo 
merupakan salah satu bukti keberadaan komunitas muslim 
pada masa Majapahit. Situs ini terletak di Dusun Sidodadi, 
195Komunitas Muslim di Tengah Kota Majapahit 
Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. 
Untuk mencapai situs ini dapat ditempuh dari perempatan 
Trowulan kearah selatan sejauh ± 2 km.
Menurut cerita rakyat yang dikumpulkan oleh J. Knebel, 
Troloyo merupakan tempat peristrirahatan bagi kaum niaga­
wan muslim dalam rangka menyebarkan agama Islam kepada 
Prabu Brawijaya V beserta para pengikutnya. Di hutan 
Troloyo ini lalu dibuat petilasan untuk menandai 
peristiwa itu. Menurut Poerwodarminta, tralaya berasal dari 
kata setra dan pralaya. Setra berarti tegal/tanah lapang tempat 
pembuangan bangkai (mayat), sedangkan pralaya berarti 
rusak/mati/kiamat. Kata setra dan pralaya disingkat menjadai 
Tralaya.
Kepurbakalaan yang ada di situs Troloyo adalah berupa 
makam Islam kuna yang berasal dari masa Majapahit. Adanya 
makam kuna ini merupakan bukti adanya komunitas muslim 
di wilayah ibukota Majapahit. Disebutkan pula oleh Ma­Huan 
dalam bukunya Ying Yai ­ Sing Lan, yang ditulis pada tahun 
1416 M. Dalam buku The Malay Annals of Semarang and 
Cherbon yang diterjemahkan oleh HJE. de Graaf disebutkan 
bahwa utusan­utusan Cina dari Dinasti Ming pada abad 
XV yang berada di Majapahit kebanyakan muslim. Sebelum 
sampai di Majapahit, muslim Cina yang bermahzab Hanafi 
membentuk warga muslim di Kukang (Palembang), 
barulah lalu mereka bermukim di tempat lain termasuk 
wilayah kerajaan Majapahit. Pada masa peme rintahan Suhita 
(1429­1447 M), Haji Gen Eng Cu yang diberi gelar A Lu Ya 
(Arya) telah diangkat menjadi kepala pelabuhan di Tuban. 
Selain itu, duta besar Tiongkok bernama Haji Ma Jhong 
Fu ditempatkan di lingkungan kerajaan Majapahit. Dalam 
196 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
perkembangannya, terjadi perkawinan antara orang­orang 
Cina dengan orang­orang pribumi.
Adanya situs makam ini menarik perhatian para sarjana 
untuk meneliti, antara lain P.J. Veth, Verbeek, Knebel, Krom, dan 
L.C. Damais. Menurut L.C. Damais, Makam Troloyo meliputi 
kurun waktu antara 1368–1611 M. Berdasarkan hasil penelitian 
yang telah dilakukan, hanya diketahui nama seorang yang 
dimakamkan di kompleks Makam Troloyo, yaitu Zainudin. 
Namun nisan dengan nama ini tidak lagi diketahui 
tempatnya, sedangkan nama­nama tokoh yang disebutkan di 
makam ini berasal dari kepercayaan warga.
Tulisan ini dilatarbelakangi oleh adanya suatu gagasan 
bahwa benda warisan budaya masa lalu tumbuh dalam 
proses sakralisasi, di mana warga menempatkan warisan 
budaya sebagai sesuatu yang sangat terhormat. Tetapi kini 
gagasan tentang benda warisan budaya ini berada pada 
suatu titik balik, yaitu semakin dipaksa terlibat dalam konflik­
konflik kepentingan antar sektor, akhirnya suatu benda 
budaya yang memiliki sifat langka, mudah rusak, unik dan 
tidak dapat diperbaharui (non renewable) sering meninggalkan 
keberadaannya dengan penuh keprihatinan. Oleh karena itu 
dalam hal pengembangan sumberdaya budaya seharusnya 
dipelajari terebih dahulu tentang nilai­nilai dan makna kultural 
yang terdapat di dalamnya. Sumberdaya budaya yang bersifat 
tangible hendaknya dijunjung tinggi keberadaannya, karena 
di dalamnya terdapat nilai­nilai sosial dan individu yang 
membentuk jalinan tradisi dan adat istiadat yang akhirnya 
menghasilkan produk benda­benda budaya oleh lingkungan 
warga tertentu dan pada zaman tetrtentu pula.
Karya­karya budaya yang memiliki kepastian dalam 
bentuk fisik akan dapat berubah maknanya, bahkan sering 
197Komunitas Muslim di Tengah Kota Majapahit 
menemukan makna yang baru yang jauh dari makna penciptaan 
semula. Konsep kebudayaan tradisional dan moderen pada 
dasarnya menunjukkan dinamika perkembangan budaya 
warga t yang sama di dalam menempuh perubahan­
perubahan zaman. Oleh karenanya kebudayaan dapat disebut 
sebagai perwujudan dari kemampuan keseluruhan hidup 
warga dalam menghadapi tantangan lingkungan secara 
spasial dan temporal dalam usaha mewujudkan pengalaman 
hidupnya.
Situs Kota Majapahit adalah suatu kawasan yang 
secara administratif bentang lahannya berada di wilayah 
Kecamatan Trowulan. Situs ini kaya akan peninggalan­
pening galan arkeologis. Sebaran tinggalan arkeologisnya 
hampir mnencapai seratus kilometer persegi. Pada lokasi yang 
begitu luas, situs ini juga diimbangi dengan bervariasinya 
jenis peninggalan arkeologis, meliputi berbagai artefak yang 
sebagian sudah berada di permukaan tanah. Berbagai jenis 
pening galan arkeologis ini merupakan data yang sangat 
penting untuk rekonstruksi kehidupan masa lalu terutama 
menyangkut kehidupan warga Majapahit beserta 
keadaan lingkungannya.
Di antara peninggalan­peninggalan yang secara fisik 
terdapat di Trowulan antara lain adalah bangunan­bangunan 
baik yang profan maupun yang sakral. Bangunan profan 
ditunjukkan oleh sisa­sisa bangunan fondasi, genteng dan 
unsur­unsur bangunan lain yang selama ini belum pernah 
ditemukan struktur bangunan profan yang masih utuh. Hal 
ini disebabkan oleh material bangunan ytang terbuat dari 
bahan yang relatif mudah rusak sebagaimana terdapat di situs 
Pendopo Agung dan situs Sentonorejo. Adapun beberapa 
bangunan sakral yang terdapat di wilayah Trowulan anatara 
198 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
lain Candi Tikus, Candi Brahu, Candi Kedaton, Candi Gentong, 
Siti Hinggil, kompleks makam Troloyo, makam Putri Cempo, 
situs Makam Panjang dan situs­ situs lain yang masih belum 
jelas keberadaannya apakah termasuk bangunan profan atau 
bangunan sakral seperti Wringin Lawan dan Bajang Ratu 
(Soekmono, 1993 : 68­88).
Sebagian besar tinggalan­tinggalan arkeologis yang 
terdapat di Trowulan ini dalam kondisi tidak utuh atau 
rusak, namun demikian jika dilakukan analisi secara mendalam 
terhadap temuan­temuan ini, berbagai aspek kehidupan 
warga Majapahit, baik aspek sosial budaya, ekopnomi 
dan politiknya akan dapat terungkap. Disisi lain rusaknya 
sebagian besar tinggalan­tinggalan arkeologis ini akan 
berdampak semakin terancam keselamatannya. Adapun faktor 
penyebabnya antara lain;
1. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam, misalnya 
gempa bumi, Banjir. dan gunung meletus.
2. Kerusakan oleh faktor kimia, seperti adanya pengruh 
oksidasi.
3. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor biologik, yaitu 
disebabkan oleh perlakukan benda­benda hidup, 
seperti tanaman, binatang dan manusia.
Faktor kerusakan yang bersumber dari perlakukan 
manusia inilah merupakan salah satu faktor yang sangat sulit 
untuk diatasi. Adapun permaslahannya adalah bagaimana 
langkah yang harus dilakukan agar keberadaan tinggalan­
tinggalan arkeologis ini tidak semakin rusak dan dapat 
diselamatkan.
Dari permasalahan ini maka tulisan ini bertujuan 
untuk membantu memberikan sumbangan pemikiran dalam 
199Komunitas Muslim di Tengah Kota Majapahit 
hal pengelolaan sumberdaya arkeologi, khususnya tentang 
keberadaan situs­situs Islam yang terdapat di tengah situs 
kota Majapahit terutama dalam hal pelestarian dan peman­
faatannya. Secara teknis, untuk mengetahui keberadaan 
komunitas muslim di tengah kota Majapahit dilakukan secara 
deskripsi terhadap makam­makam Islam kuna yang terdapat 
di wilayah Trowulan, sehingga akan diperoleh data arkeologi 
yang diharapkan dapat memberikan informasi tentang 
peninggalan pada masa Majapahit yang bernuansa Islam.
Bukti Peninggalan Islam di Trowulan
Pada awalnya kebanyakan warga tak mengira kalau 
di tengah kota Majapahit yang sarat dengan agama Hindu, 
Islam telah tumbuh dan berkembang dengan subur. Memang 
pada akhir masa Majapahit Islam telah mulai berkembang di 
Jawa yang ditandai dengan berdirinya suatu dinasti, yaitu 
Kerajaan Demak yang dikenal sebagai Kerajaan Islam di Jawa. 
Dinasti ini telah didukung oleh orang­orang kharismatik yang 
memiliki berbagai strategi dalam pengembangan Islam. Orang­
orang ini adalah para wali yang memiliki semangat 
juang yang sangat tinggil. Berbagaai strategi telah ditempuh 
demi tercapainya tujuan dakwah Islamiyah di tengah­trengah 
warga yang beragama Hindu dan Budha. Akan tetapi 
pada kenyataannya berbeda, bahwa di dalam suatu kerajaan 
yang mayoritas warganya beragama Hindu dan Budha 
terdapat suatru komunitas muslim.
Keberadaan kompleks makam Troloyo merupakan salah 
satu bukti bahwa Islam telah hadir di pusat kerajaan Majapahit. 
Kehadiran warga muslim ini berkisar antara abad ke 
14 hingga 17 Masehi, suatu bentang waktu yang menunjukkan 
200 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
awal berdirinya Kerajaan majapahit hingga surutnya kerajaan 
ini dari panggung sejarah. Kompleks makam Troloyo 
juga merupakan suatu bukti bahwa dalam kehidupan 
beragama ; Hindu, Budha dan Islam dapat berlangsung secara 
harmonis. Hal ini dapat diketahui melalui adanya kompleks 
makam Troloyo di tengah­tengah sebuah kerajaan besar yang 
sarat dengan agama Hindunya. Dalam kondisi yang demikian 
Islam telah diberikan suatu kelonggaran untuk melakukan 
syi’ar kepada warga antara lain melalui media makam, 
yaitu dengan pesan­pesan kutipan ayat­ayat al­qur’an yang 
mengingatkan kepada manusia bahwa setiap yang bernyawa 
pasti akan mati, suatu kematian yang kebanyakan orang 
menakutinya pasti akan ditemuinya. Terlepas dari boleh 
atau tidaknya dalam ajaran Islam yang pasti telah terbukti 
bahwa kutipan ayat­ayat al­qur’an banyak dijumpai dalam 
beberapa inskripsi berhuruf Arab, yaitu pada bagian beberapa 
nisan di kompleks makamTroloyo. Pola hias sinar Majapahit 
merupakan suatu lingkaran yang dibagian luar lingkaran 
terdapat 6 sampai dengan 12 buah sudut serta beberapa garis 
yang mengelilingi lingkaran ini. Pada masa lalu 
pola ini lalu berkembangan ke beberapa daerah di 
jawa Tengah dan Jawa Tmur (Ambary, 1998: 64).
Situs makam Troloyo terletak di Desa Sentonorejo, 
Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto Jawa Timur. Di 
makam ini terdapat beberapa makam kuna yang secara 
kronologis usianya tebih tua disbanding dengan makam para 
wali penyebar Islam diJawa yang dikenal dengan sebutan 
Walisongo. Diantara makam yang ada terdapat sepuluh buah 
makam yang pada bagian nisannya terdapat inskripsi dengan 
aksara Jawa kuna dan inskripsi berhuruf serta berbahasa Arab. 
Dari inskripsi yang beraksara Jawa kuna menunjukkan angka 
201Komunitas Muslim di Tengah Kota Majapahit 
tahun tertua, yaitu 1203 Caka atau 1281 Masehi. Sementara 
angka tahun termuda menunjuk pada angka tahun 1533 caka 
atau 1611 Masehi. lalu dari inskripsi yangberhuruf dan 
berbahasa Arab merupakan kutipan dari kalimah thayyibah 
dan kutipan ayat­ayat al­qur’an.(Ambary, 1998: 63).
Berdasarkan inskripsi yang terdapat di kompleks makam 
Troloyo ini dapat diprediksi bahwa kehadiran warga 
muslim di tengah Kerajaan Majapahit berkisar antara abad ke­
13 sampai dengan abad ke­17 Masehi. Angka tahun ini 
menunjukkan adanya suatu keterkaitan dengan bentang 
waktu awal berdirinya kerajaan Majapahit hingga surutnya 
dari panggung sejarah. Dengan demikian dapat diketahui 
bahwa warga muslim di tengah kerajaan Majapahit sudah 
ada sejak awal berdirinya kejaan ini. Kompleks makam 
Troloyo ini terbagi dalam beberapa kelompok:
1. Cungkup Kubur panjang
Dalam kelompok makam ini terdapat seorang tokoh 
yang dimakamkan, yaitu Syekh Ngudung. Makam 
ini berada pada posisi sebelah timur masjid Troloyo. 
Nama Cungkup Kubur Panjang sendiri adalah penamaan 
oleh warga setempat yang semata­mata untuk 
memudahkan dalam identifikasi. Makam ini memiliki 
ukuran paling panjang disbanding dengan makam­makam 
yang lain. lalu nama Syekh Ngudung juga tidak 
terdapat pada inskripsi, sehingga secara fisik, mengenai 
nama tokoh yang dimakamkan tidak disertai bukti. 
Inskripsi yang ada hanyalah merupakan suatu kutipan 
ayat al­quranul­karim yang terdapat pada surat Ali ‘Imran 
185. Surat Al­Anbiya 35 dan surat Al­‘Ankabut 57;
202 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Tiap yang berjiwa akan merasakan mati : 
كل نفس ذا ئقة الموت 
Surat ar­rahman ayat 26­27:
كل من عليها فان ويبقى وجه ريك ذوالجلال والاكرام :
Semua yang ada di bumi akan binasa, dan akan tetap kekal 
wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.
2. Cungkup Kubur Tunggal
Cungkup Kubur Tunggal terletak di sebelah timur 
masjid Troloyo, di dalam cungkup hanya terdapat sebuah 
makam yaitu makam Syekh Jumadil­Kubro. Tetapi 
inskripsi yang terdapat pada batu nisan hanyalah kutipan­
kutipan ayat al­Qut’an : surat Ali ‘Imran 185. Surat Al­
Anbiya 35 dan surat Al­‘Ankabut 57;
Tiap yang berjiwa akan merasakan mati : 
ßá äÝÓ ÐÇ ÆÞÉ ÇáãæÊ 
Surat ar­rahman ayat 26:
ßá ãä ÚáíåÇ ÝÇä:
Semua yang ada di bumi akan binasa.
3. Makam Petilasan Walisongo
Di sdebelah timur masjid troloyo juga terdapat 
Sembilan buah makam dengn formasi berjajar yang berada 
di dalam sati kotak. Oleh warga setempat disebut­
nya dengan makam petilasan Walisongo. Inskripsi yang 
terdapat pada nisan merupakan kutipan ayat al­Qur’an 
surat Ali ‘Imran 185. Surat Al­Anbiya 35 dan surat Al­
‘Ankabut 57;
Tiap yang berjiwa akan merasakan mati :
 ßá äÝÓ ÐÇ ÆÞÉ ÇáãæÊ 
203Komunitas Muslim di Tengah Kota Majapahit 
4. Cungkup Kubur Telu
Disebut dengan Cungkup kKubur Telu karena di 
dalam satu cungkup terdapat tiga buah makam, yaitu 
makam Syekh Maulana Ibrahim, makam Syekh Maulana 
Ishak dan makam ASyekh Abdul­Qadir Jaelani dengan 
formasi berjajar dari arah timur ke barat. Pada bagian nisan 
makam Syekh Maulana Ibrahim terdapat inskripsi dengan 
gaya tulisan Naskhi, berupa kutipan ayat al­Qur’an Surat 
ar­rahman ayat 26­27:
ßá ãä ÚáíåÇ ÝÇä æíÈÞì æÌå Ñíß ÐæÇáÌáÇá æÇáÇßÑÇã :
Semua yang ada di bumi akan binasa, dan akan tetap kekal 
wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.
lalu pada makam Maulana Ishak yang terletak 
di tengah terdapat inskripsi berupa kalimah tauhid dengan 
gaya tulisan Tsuluts:
áÇ Çáå ÇáÇ Çááå ãÍãÏ ÑÓæá Çááå 
Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah
Pada makam yang berada pada posisi paling barat 
(makam Syekh Abdul­Qadir Jaelani pada bagian nisannya 
terdapat inskripsi berupa kutipan ayat al­Qur’an, Surat 
Ali ‘Imran 185. Surat Al­Anbiya 35 dan surat Al­‘Ankabut 
57, kalimah tauhid, asmaul­husna dan angka tahun caka 
1533:
Tiap yang berjiwa akan merasakan mati :
 ßá äÝÓ ÐÇ ÆÞÉ ÇáãæÊ 
 áÇ Çáå ÇáÇ Çááå ãÍãÏ ÑÓæá Çááå 
Tidak ada Tuhan selain Allah, 
Muhammad adalah utusan Allah (Chawary 1997, 57-58)
204 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya
Mengingat situs ini merupakan asset budaya 
yang perlu dilestarikan, meskipun di satu sisi telah diman­
faatkan oleh warga banyak untuk kepentingan ziarah 
(nenepi) maka untuk meminimalkan konflik yang ada perlu 
adanya suatu langkah yang lebih terarah dengan tanpa 
meninggalkan aktivitas yang telah berlangsung. Adapun 
langkah yang dimaksud adalah penataan ling kungan dan 
penataan ruang­ruang yang sekiranya mendukung untuk 
aktivitras peziarahan.
Penglolaan kompleks Makam Islam di Trowulan 
Kultural Resourse Management (CRM) muncul karena 
banyaknya benda­benda budaya yang dialihfungsikan demi 
kepentingan pribadi atau kelompok. Secara konseptual 
di Indonesia, CRM sebenarnya sudah mulai muncul pada 
tahun 1931 M, yaitu dengan diundangkannya Monumenten 
Ordonantie yang berfungsi sebagai perangkat hukum yang 
meng atur warisan budaya dari aktivitas lembaga­lembaga 
peminat warisan budaya yang sudah ada sejak tahun 1778 M. 
Perangkat hukum ini masih bersifat sepihak. Pemerintah 
atau lembaga­lembaga peminat warisan budaya termasuk para 
peneliti telah merasa dan mengaku sebagai pihak yang paling 
berhak melestarikan dan memanfaatkannya. Oleh karenanya 
perangkat hukum ini perlu di perbaharui. lalu 
pada tahun 1992 baru diberlakukan suatu perangkat hukum 
yang baru daalam bentuk undang­undaang, yaitu Undang­
Undang No. 5 Tahun 1992, tenta

Related Posts:

  • majapahit 3  pada 3 buah umpak batu.  Temuan permukaan lain berupa satu buah batu andesit berbentuk empat persegi panj… Read More