N
Bom atom yang dijatuhkan Sekutu di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1942 dan
tiga hari kemudian di kota Nagasaki, membuat kaisar Jepang, Hirohito, terpaksa menyerah
tanpa syarat dan mengakui kekalahannya dalam Perang Dunia II, pada tanggal 14 Agustus
1945. Berita mengenai penyerahan Jepang ini segera menyebar ke seluruh dunia. Tetapi berita
ini rupanya sengaja diperlambat penyiarannya bagi daerah pendudukan Jepang. Walau
demikian, berita kekalahan dan bertekuk-lututnya Jepang atas Sekutu itu pun segera diketahui
oleh pegawai kantor berita Jepang Domei, di Jakarta, pada tanggal 15 Agustus 1945, yang
kemudian menyampaikannya kepada pimpinan pergerakan. Mendengar berita tersebut para
pemuda mengambil inisiatif, mendesak para tokoh masyarakat supaya secepatnya merebut
kemerdekaan Indonesia dari tangan Jepang, sebelum Indonesia menjadi pampasan perang
pihak Jepang kepada Sekutu. Ketika berita besar ini disampaikan oleh beberapa wartawan
Indonesia kepada pemimpin Jawa Hoo-kookai, mereka tidak percaya bahwa Jepang akan
menyerah begitu saja. Keadaan inilah yang menyebabkan para pemuda -- antara lain Khaerul
Saleh, Sukarni, Jusuf Kunto, Singgih, dll. -- terpaksa "menculik" Bung Karno dan Bung Hatta
ke Rengas Dengklok untuk segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia[1]. Karena ketidakpercayaan tentang menyerahnya Jepang dan "kehati-hatian" kedua pemimpin besar pergerakan
itu, barulah dua hari kemudian, pada hari Jum'at, 17 Agustus 1945 jam 4.00 menjelang sahur,
dengan disaksikan oleh Sukarni, Khairul Saleh, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. Iwa
Kusumasumantri, Sudiro, BM. Diah, Sayuti Melik dan Semaun Bakri, naskah proklamasi
kemerdekaan ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama rakyat Indonesia di
Orange Nassau-boulevard, Jakarta, rumah Laksamana Maeda. Dan pada pukul 10.00 WIB
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan dari jalan Pegangsaan Timur 56, tempat
kediaman Bung Karno, dengan disaksikan oleh beribu-ribu masyarakat Jakarta (Malik, 1975:
66). Berita proklamasi kemerdekaan ini pun berhasil diselundupkan untuk disiarkan ke seluruh
dunia melalui kantor berita Domei dan Hosho Kyoku (RRI sekarang).
Pada sidang pertama tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) memutuskan: (1) mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara RI, (2) mengangkat/
menetapkan Ir. Sukarno sebagai Presiden RI dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden, dan
(3) menetapkan bahwa, untuk sementara, pekerjaan presiden dibantu oleh Komite Nasional
sampai terbentuknya MPR/DPR. Pada sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945 diputuskan untuk
segera membentuk tentara kebangsaan, tapi karena alasan "kehati-hatian" pula, keputusan ini
dibatalkan dengan hanya membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada sidang ketiga
tanggal 22 Agustus 1945 (Yamin, 1969: 339)[2]. Pada sidang yang ketiga ini pula berhasil
dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI), yang kemudian dilantik pada sidang selanjutnya,
pada tanggal 29 Agustus 1945. Dengan dibantu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP),
pada tanggal 4 September 1945, terbentuklah kabinet presidentil pertama terdiri dari 12
kementrian dan 5 orang mentri negara.
Rapat pertama KNIP pada tanggal 16-17 Oktober 1945, menetapkan Sutan Syahrirsebagai ketua KNIP. Dan melalui Maklumat Pemerintah No. 10/1945 ditetapkan pula bahwa
KNIP sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi tugas untuk menyusun GBHN; dan
berhubung situasi genting, maka pekerjaan KNIP sehari-hari dibantu oleh Badan Pekerja yang
dipilih dari anggota KNIP itu sendiri dan juga bertanggung jawab pada KNIP. Dengan adanya
kekuasaan besar tersebut, melalui keputusan KNIP pada tanggal 26 Nopember 1945, Sutan
Syahrir mengajukan usulan untuk mengadakan perubahan dalam susunan pemerintahan. Hal
ini berarti runtuhnya Kabinet pertama, dengan mengganti Kabinet Presidenter menjadi Kabinet
Parlementer yang bertanggung jawab. Akhirnya melalui Keputusan Presiden, Sutan Syahrir
ditunjuk sebagai Perdana Menteri. Walaupun perubahan ini bertentangan dengan Undang
Undang Dasar namun karena KNIP "dianggap" sebagai MPR (yang belum terbentuk) maka
keputusan KNIP pun dianggap sah saja (Malik, 1984: 75-76).
Dalam pada itu, pasukan Sekutu, sebagai pemenang dalam Perang Dunia II, sesuai
dengan perjanjian Potsdam, Juli 1945, menugaskan pasukan Inggris untuk "menormalisasi"
keadaan di Asia Tenggara.? Tugas-tugas South East Asia Command (SEAC) itu adalah:
mengembalikan tentara Jepang -- yang di Indonesia berjumlah 283.000 orang -- ke tempat
asalnya, membebaskan tawanan perang Sekutu, memulihkan keamanan di Asia Tenggara dan
mengembalikan daerah tersebut kepada pemiliknya masing-masing. Dalam hal ini, Indonesia
dikembalikan kepada Belanda; Indo-China kepada Perancis; Semenanjung Melayu, Singapura
dan bagian utara Kalimantan kepada Inggris; dan Timor Timur kepada Portugis (Malik,
1984:30).
Pada tanggal 29 September 1945 pasukan Inggris dengan panglimanya Letnan Jenderal
Sir Philips Christison mendarat di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Dari daerah-daerah ini
mereka bergerak ke pemusatan tentara Jepang yang terletak di beberapa kota sekitar. Bersama
dengan pasukan Inggris tersebut, pasukan Belanda -- yang menamakan diri Netherlands Indies
Civil Administration (NICA), Badan Urusan Sipil Hindia Belanda -- yang direncanakan akan
menerima kembali kekuasaan sipil di Indonesia dari tentara Inggris, dipimpin oleh Van Mooks
dan Van der Plas. Masuknya tentara NICA ini hampir selalu menimbulkan kekacauan di semua
kota yang didarati tentara Inggris. Hal ini disebabkan karena teror dan kekacauan yang sengaja
ditimbulkan oleh tentara NICA. Di kota Jakarta misalnya hampir setiap hari pasukan NICA
mengadakan penculikan dan pembunuhan pada pemuda Indonesia; dan pasukan Sekutu tidak
dapat berbuat banyak (Soeroyo, 1988:58 dan Sudirdjo, ed., 1985:39).
A. PENYERANGAN MARKAS KEMPETAI DI SERANG
Berita tentang kekalahan Jepang dan disusul dengan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, baru dapat diterima dan disebarkan kepada penduduk di kota Serang pada tanggal
20 Agustus 1945 oleh Pandu Kartawiguna, Ibnu Parna, Abdul Muluk dan Ajiz. Mereka adalah
pemuda dari Jakarta yang diutus oleh Chaerul Saleh untuk menyiarkan berita tentang
proklamasi kemerdekaan Indonesia ke daerah Banten. Berita besar ini terutama disampaikan
kepada tokoh masyarakat Serang seperti : K.H. Ahmad Khatib, K.H. Syam'un dan Zulkarnain
Surya, serta para tokoh pemuda seperti: Ali Amangku dan Ayip Dzuhri, dengan maksud agar
mereka meneruskan berita itu secara berantai kepada seluruh masyarakat di karesidenan
Banten (Sandjadirdja, Naskah).
Chaerul Saleh juga mengamanatkan agar para tokoh pemuda di Serang segera merebut
kekuasaan dari penguasa militer Jepang. Maka pada tanggal 22 Agustus 1945 beberapa
pemuda, di antaranya pemudi Sri Sahuli, pegawai kantor sosial pemerintahan Jepang, berani
memprakarsai penurunan bendera Jepang yang ada di Hotel Vos, Serang (sekarang kantor
Kodim Serang). Peristiwa ini disusul dengan penurunan bendera di kantor-kantor pemerintahJepang lainnya pada keesokan harinya.
Adanya gelagat penurunan bendera ini menunjukkan bahwa para pemuda semakin
berani bertindak dan mulai giat menggerakkan kekuatan rakyat untuk melucuti serdadu Jepang
dan merebut kekuasaan pemerintahan dari tangan orang-orang Jepang. Melihat kejadian itu,
maka banyak orang Jepang Sakura[3] mulai meninggalkan Serang menuju ke Jakarta.
Syucokan (Residen) Banten Yuki Yoshii menyerahkan jabatannya kepada Fuku-syuchokan
(Wakil residen) Raden Tirtasujatna. Sedangkan orang-orang Jepang militer masih tetap berada
di pos-pos mereka di Gorda, Sajira dan Anyer untuk melaksanakan perintah Sekutu supaya
tetap menjaga status quo.
Di samping orang-orang Jepang Sakura, beberapa pamongpraja yang berasal dari
daerah Priyangan pun banyak yang pergi meninggalkan Banten. Kepergian mereka bukan
berarti mereka setia kepada Jepang, akan tetapi ia merasa takut menjadi sasaran luapan
kemarahan rakyat karena bekas pejabat kolonial yang tidak disenangi; termasuk juga Raden
Tirtasujatna yang baru menerima penyerahan jabatan dari Yuki Yoshii pun melarikan diri ke
Bogor, meskipun sebenarnya ia telah ditunjuk oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai
Residen Banten.
Sejak Residen Tirtasujatna melarikan diri dari Banten, jabatan Residen menjadi kosong,
sedangkan waktu itu belum ada penunjukan sebagai gantinya. Semetara itu pemerintah pusat di
Jakarta secara resmi telah mengumumkan pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kedua badan tersebut dibentuk pada tanggal 23
Agustus 1945 sebagai organisasi resmi yang membantu aparatur pemerintah dalam menangani
bidang politik, militer dan keuangan negara. Kepada setiap daerah diintruksikan supaya segera
membentuk KNI dan BKR (Nasution, 1970: 144-145). Di daerah Banten kedua badan tersebut
belum dapat terbentuk, hal ini disebabkan antara lain karena pucuk pimpinan pemerintah yang
resmi di daerah yakni Residen belum ada; sedangkan pejabat tinggi lain yaitu Bupati Raden
Hilman Djajadiningrat, tidak berani mengambil alih tanggung jawab Residen (Sandjadirdja,
Naskah).
Dalam situasi yang tidak menentu itu hanya kelompok pemudalah yang berani bergerak
dan mengambil inisiatif untuk melucuti orang-orang Jepang yang berada di Serang dan
sekitarnya. Usaha tersebut diprakarsai oleh pemuda yang tergabung dalam suatu organisasi
yang diberi nama Angkatan Pemuda Indonesia (API). Organisasi ini dibentuk pada tanggal 1
September 1945 atas prakarsa Chaerul Saleh didukung oleh pemuda Menteng 31 yang tidak
puas atas tindakan pemerintah karena dirasa lambat menangani pemindahan kekuasaan dari
Jepang. Organisasi API di Serang didirikan oleh pemuda ex. Yugekitai yang diketuai oleh Ali
Amangku, sedangkan pemimpin API putri adalah Sri Sahuli dan bermarkas di kampung
Kaujon Kalimati.
Atas desakan pemuda API maka pada pertengahan bulan September 1945, diadakan
perundingan dengan para tokoh masyarakat Kabupaten Serang, diantaranya: K.H. Ahmad
Khatib, K.H. Syam'un dan Zulkarnain Surya Kartalegawa. Perundingan ini dilaksanakan di
tempat kediaman Zulkarnain Surya Kartalegawa, di dekat Rumah Sakit Serang. Dalam
perundingan ini dibicarakan tentang pembagian tugas, khususnya dalam pemerintahan di
Banten. Hasil perundingan itu adalah (Amangku dan Soendjojo, Naskah):
1) Pengambilalihan kekuasaan Jepang diserahkan kepada Zulkarnain Surya
Kartalegawa.
2) Urusan keamanan diserahkan kepada K.H. Ahmad Khatib.3) Urusan yang berhubungan dengan badan-badan atau organisasi perjuangan
pemuda diserahkan kepada Ali Amangku.
Dalam perundingan itu pun para pemuda mengusulkan kepada pemerintah Republik
Indonesia agar segera mengangkat K.H. Ahmad Khatib sebagai Residen Banten, yang
menangani administrasi dan pemerintahan sipil di Banten; dan K.H. Syam'un menangani
segala urusan militer.
Tokoh K.H. Ahmad Khatib adalah seorang ulama yang cukup disegani masyarakat. Ia
alumni pesantren Kadupiring, yang kemudian melanjutkan ke pesantren Caringin, keduanya
berada di Pandeglang. Semenjak remaja, putra Kiyai Waseh ini setelah berguru pada Kiyai
Asnawi (atau dikenal Kiyai Caringin) di Caringin, aktif dalam kegiatan pergerakan pemuda,
sehingga tahun 1920 menjadi ketua Syarikat Rakyat (SI) di Banten. Karena kepintaran dan
kecerdasannya Ahmad Khatib menjadi murid kesayangan dan bahkan dijadikan mantu Kiyai
Caringin. Yang paling menonjol pada K.H. Ahmad Khatib adalah sikapnya yang keras dan
tegas terhadap penjajah. Seperti juga gurunya, Kiyai Caringin -- yang menjadi salah seorang
pimpinan dalam pemberontakan komunis di Banten pada tahun 1926-1927 -- K.H. Ahmad
Khatib dibuang ke Boven Digul (Tanah Merah), Irian. Lima belas tahun kemudian, setelah
dibebaskan, ia kembali ke Serang dan aktif dalam bidang pendidikan agama, memimpin
pesantren mertuanya di Caringin (Benda and Ruth MacVey, 1969:45).
Sedangkan K.H. Syam'un adalah seorang ulama yang cukup disegani rakyat di Banten.
Tokoh kelahiran Citangkil, Cilegon, Serang ini adalah cucu dari K. H. Wasid, salah seorang
tokoh dalam peristiwa Geger Cilegon, yang kemudian dihukum gantung oleh Belanda.
Mencapai usia remaja, pemuda yatim piatu ini setelah tamat belajar di pesantren Teneng dan
pesantren Kamasan ini kemudian melanjutkan belajar ke Mekah, Saudi Arabia. Setelah lima
tahun (1905 - 1910) belajar di Mekah, kemudian Syam'un muda ini melanjutkan ke Al-Azhar
University, Cairo, Mesir. Beberapa tahun kemudian ia pergi kembali ke Mekah dan mengajar
di Masjidil-Haram. Belum genap satu tahun di Mekah, ia kembali pulang ke kampung
halamannya di Citangkil, Serang, sebagai guru agama Islam di pesantren yang ia dirikan pada
tahun 1925 (Rahmatullah, Wawancara, 4 Juni 1981).
Pada tanggal 19 September 1945, K.H. Ahmad Khatib resmi diangkat menjadi Residen
Banten oleh Presiden Soekarno. Untuk membantu kelancaran pemerintahan, K.H. Ahmad
Khatib menunjuk Zulkarnain Surja Kertalegawa sebagai Wakil Residen. Dan untuk jabatan
bupati di daerah Serang, Pandeglang dan Lebak, K.H. Ahmad Khatib meminta agar para bupati
lama, untuk sementara tetap dalam jabatannya dan meneruskan tugasnya sebagai Bupati;
dengan pertimbangan, dalam masa transisi, para bupati lamalah yang lebih mengetahui
administrasi pemerintahan di daerahnya. Para bupati itu adalah: Raden Hilman Djajadiningrat
(Bupati Serang), Mr. Djumhana (Bupati Pandeglang) dan Raden Hardiwinangun (Bupati
Lebak). Sedangkan jabatan-jabatan dalam badan KNI (Komite Nasional Indonesia) di setiap
kabupaten, masing-masing diserahkan kepada Ce Mamat untuk kabupaten Serang, Mohamad
Ali untuk kabupaten Pandeglang, dan Raden Djajarukmantara untuk kabupaten Lebak
(Nasution, 1977: 522-523).
K.H. Syam'un yang ditunjuk menangani bidang militer segera merealisir pembentukan
Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Karesidenan Banten. Anggota BKR ini terdiri dari bekas
anggota PETA, Heiho, Hizbullah, Sabilillah, API, dan lain-lain barisan kelasykaran. Susunan
organisasi BKR masih menggunakan bentuk yang terdapat dalam Daidan (kesatuan batalion)
pada PETA di masa pendudukan Jepang. Beberapa hari kemudian, terbentuk pula BKR-Laut
Banten yang diketuai oleh Gatot; terdiri dari 2 bagian: Armada Perikanan dan Pasukan
Marinir[4]. Pendirian BKR-Laut Banten disyahkan oleh K.H. Ahmad Khatib, Residen Banten,dan K.H. Syam'un, Kepala BKR Serang (Letkol Ngaliman, Wawancara.)
Dalam hal persenjataan, pasukan BKR hanya memiliki beberapa senjata api saja untuk
sekian banyak anggotanya, karena dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan RI para
pemimpin PETA (orang Jepang) sudah melucuti senjata anak buahnya[5]. Oleh sebab untuk
mendapatkan senjata yang diperlukan pasukan yang akan menjadi pasukan inti perjuangan
rakyat Banten, K.H. Syam'un menyusun suatu rencana untuk "meminta" dari pasukan Jepang.
Untuk keperluan itu K.H. Syam'un mengadakan perundingan dengan K.H. Ahmad Khatib,
yang kemudian disepakati untuk mencoba berunding dengan Kempetai di Serang, agar pihak
Jepang menyerahkan senjatanya kepada BKR. Perundingan dengan Kempetai ini dilakukan
sampai 2 kali. Pertama dilakukan pada tanggal 4 Oktober 1945 dengan mengutus Wakil
Residen Zulkarnain Suria Kartalegawa, karena dia mengerti bahasa Jepang dan pernah menjadi
fuku-syucokan (wakil residen) zaman Jepang. Perundingan pertama ini tidak memuaskan pihak
BKR, karena pihak Jepang minta agar perundingan dilakukan secara resmi, yang langsung
dihadiri Residen Banten. K.H. Khatib menyetujui usul ini. Karenanya perundingan dilakukan
lagi pada keesokan harinya, kali ini dihadiri langsung oleh Residen didampingi Wakil residen.
Hasil perundingan itu adalah bahwa pihak kempetai menyetujui usul K.H. Chatib
asalkan BKR dan residen bersedia menjamin keselamatan seluruh orang Jepang yang masih
ada di Karesidenan Banten. Berdasarkan persetujuan ini, maka Residen mengumumkan agar
semua orang Jepang yang masih berada di Karesidenan Banten segera berkumpul di kota
Serang, di markas Kempetai, selambat-lambatnya sebelum tangggal 9 Oktober 1945 untuk
diangkut ke Jakarta dengan pengawalan pasukan BKR (Amangku dan Soendjojo, Naskah).
Pada tanggal 7 Oktober 1945 pasukan marinir Angkatan Laut Jepang (Kaigun) yang
bermarkas di Anyer tiba di Serang dengan selamat tanpa gangguan amarah rakyat, karena
rakyat telah menerima pesan Ali Amangku agar mereka jangan mengganggu orang Jepang
yang menuju ke Serang[6]. Untuk mengumpulkan pasukan Jepang yang berada di Gorda dan
Sajira, pihak kempetai meminta bantuan BKR untuk mengawalnya, karena merasa khawatir
atas keselamatan mereka dari serbuan rakyat. Maka untuk menjemput pasukan kidobutai
(angkatan udara) Jepang di Gorda, diutuslah dua anggota BKR yaitu Sadheli dan Tb. Marzuki
dengan dikawal 10 orang dengan berpakaian dinas polisi istimewa, mengendarai dua buah
mobil yang masing-masing berisi 5 orang berangkat ke lapangan udara Gorda. Kedatangan
mereka disambut dengan baik, dan tanpa kesulitan semua tentara Jepang dikawal sampai di
markas kempetai; tetapi kendaraan truk yang memuat senjata dibelokkan ke markas BKR di
jalan Pamelan (markas Korem sekarang)[7]
Pada hari yang sama pula, pimpinan BKR mengutus Abdul Mukti dan Juhdi untuk
melakukan penjemputan pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun) di Sajira, Rangkasbitung.
Untuk melaksanakan tugas itu, kedua utusan dikawal oleh 9 orang tentara Jepang. Sebelum
mereka sampai di tujuan, rombongan ini dihadang oleh rakyat di lintasan jalan kereta api
Warunggunung, Rangkasbitung. Dendam rakyat terhadap Jepang sudah tidak dapat
dikendalikan, sehingga melihat adanya iring-iringan tentara Jepang, rakyat menyerbu ke dalam
truk, dan, kesembilan serdadu Jepang ini semuanya dibunuh (Nasution, 1977:522). Abdul
Mukti dan Juhdi melarikan diri dan melaporkan kejadian itu kepada pimpinan BKR di Serang.
Keesokan harinya Tb. Kaking, seorang anggota BKR, dipanggil oleh perwira kempetai yang
pernah menjadi gurunya sewaktu latihan PETA. Dia diminta pertolongannya untuk menjemput
jenazah korban insiden Warunggunung. Tb. Kaking menyanggupi permintaan itu.[8] Maka
bersama dengan Emon dan beberapa orang pengawal, jenazah orang-orang Jepang itu dapat
diangkut ke Serang yang kemudian -- atas permintaan kempetai -- diperabukan secara massal
di Kuburan Cina, Kampung Kaloran, Serang (Panitia ..., Naskah; Djajamihardja, Wawancara,
9 Nopember 1992; Tb. Kaking, Wawancara, 30 Mei 1983; Ali Amangku, Wawancara, 2 Juni1983).
Peristiwa pembunuhan terhadap orang-orang Jepang di Warunggung telah
mengecewakan kedua pihak, baik kempetai maupun BKR. Semuanya menyesalkan
kecerobohan tindakan pemuda Warunggunung itu. Dengan alasan terjadinya peristiwa
Warunggunung ini, pihak kempetai membatalkan persetujuannya untuk menyerahkan senjata
kepada BKR. Ali Amangku mencoba berunding lagi dengan perwira kempetai, tetapi
kedatangannya tidak dihiraukan oleh mereka. Bahkan Ali Amangku melihat kesibukan tentara
Jepang membuat barikade-barikade di sekeliling markas sebagai persiapan menghadapi suatu
serangan. Menyaksikan hal ini Ali Amangku menemui wakil residen, yang pada hari itu juga
dilaporkan kepada K.H. Sam'un, sebagai pimpinan BKR. Ketiga tokoh itu berunding, dan
diambil keputusan untuk segera menggempur markas kempetai yang terletak di sebelah barat
alun-alun kota Serang. Keputusan demikian mengandung resiko yang sangat
mengkhawatirkan, yaitu akan banyaknya korban yang jatuh dari pihak republik, mengingat
persenjataan BKR yang sangat sedikit. Hari itu juga, keputusan hasil rapat kilat tersebut
disebarkan kepada pimpinan pemuda, masyarakat dan para ulama sekabupaten Serang. Sore
harinya para pemimpin pasukan dari kecamatan-kecamatan Ciomas, Pabuaran, Baros,
Taktakan, Padarincang, Kramatwatu, Cilegon dan Ciruas datang ke kota Serang untuk
membicarakan rencana rinci penyerangan itu. Dan malam harinya diadakan perundingan di
markas BKR/API di Kaujon Kalimati, Serang.
Sebagai gambaran, markas kempetai di kota Serang terletak di sebelah selatan gedung
kabupaten, terdiri dari tiga gedung besar (sekarang dipergunakan sebagai Kantor Angkatan 45,
kantor kepolisian dan kantor Dokabu), dikelilingi oleh pohon-pohon karet besar. Sekitar
halaman, dipasangi kawat berduri tiga lapis dan pagar bambu gelondongan sehingga tidak
tembus oleh peluru karaben. Pintu masuk ke halaman markas hanya satu yang juga dihalang
barikade kawat berduri. Di beranda depan gedung yang tengah, ditempatkan satu regu tentara
penjaga bersenjata brengun, standgun dan karabeyn mitalyur. Di samping kiri pintu masuk
ditempatkan dua mitalyur yang dilindungi tumpukan karung pasir. Walaupun pasukan Jepang
yang ada di markas itu hanya sekitar 3 kompi, namun mereka memiliki persenjataan lengkap,
di samping kuatnya pertahanan.
Pertemuan para pemimpin ini berlangsung sampai pukul 3.00 dini hari, yang akhirnya
diputuskan bahwa penyerbuan ke markas kempetai akan dimulai setelah adzan subuh, yaitu
sekitar pukul 4.30, hari Kamis, tanggal 10 Oktober 1945. Untuk mengadakan serbuan ke
markas kempetai itu, disusunlah siasat dan strategi penyerangan sebagai berikut: Medan
pertempuran (palagan) dibagi menjadi 4 sektor yang masing-masing sektor dipimpin oleh
pemuda-pemuda bekas syudanco PETA; Iski memimpin sektor utara (depan), Zaenal Falah
memimpin sektor timur (samping kiri), Nunung Bakri memimpin sektor barat (samping
kanan), dan Salim Nonong memimpin sektor selatan (belakang). Sedangkan pasukan rakyat
dari luar kota Serang akan menempati daerah-daerah di sekitar markas kempetai, yaitu di
Kampung Dalung, Benggala, Kaujon dan Lontar. Penyerangan akan dimulai pada hari Kamis,
10 Oktober 1945/ 5 Zulkaidah 1365 H pukul 05.00 pagi; kode penyerangan akan dimulai
dengan pemadaman listrik di seluruh kota Serang dan diawali dengan tembakan keiki kanju
(karaben steyer berkaki dua) oleh Iski. Komando penyerangan dipegang oleh Ali Amangku.
Pada hari Rabu, 9 Oktober 1945, beberapa pemimpin pejuang rakyat yang bersenjata
dari seluruh peloksok Banten berdatangan ke markas BKR di kota Serang untuk meminta
intruksi penyerangan; diperkirakan massa rakyat dari beberapa daerah itu akan masuk kota
pada malam harinya. Penampungan para pejuang disiapkan; massa dari daerah Pandeglang dan
Lebak ditampung di Kampung Benggala, dari daerah Cilegon, Merak dan Anyer ditampung di
Lontar dan Kaloran, sedang massa yang datang dari Tangerang ditampung di sekitar daerahPegantungan. Ibu-ibu dan para remaja putri yang bertempat tinggal di kampung-kampung
sekitar markas kempetai, spontan ikut menyibukkan diri bergotong-royong membantu dengan
menyediakan makanan dan minuman bagi para pejuang. Di lokasi-lokasi strategis dan yang
dianggap aman di sekitar lokasi penyerbuan, mereka membuat beberapa dapur umum.
Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitarnya pun tidak ketinggalan menyumbangkan
bahan-bahan makanan ke dapur umum. Penduduk yang tinggal di sekitar markas kempetai
diperintahkan untuk segera menyingkir dan mengosongkan rumahnya demi keselamatan
mereka.
Malam harinya, sekitar pukul 20.00 tanggal 9 Oktober 1945, berturut-turut datang
rombongan BKR serta pemuda-pemuda dari Kecamatan Ciomas, Pabuaran, Baros, Cilegon,
Padarincang, Ciruas, Mancak, Taktakan, dan Kramatwatu. Mereka semua berkumpul di asrama
Sekolah Guru di jalan Pamelan, Serang, yang sementara menjadi markas BKR (sekarang
markas Korem 064 Maulana Yusuf).
Sekitar pukul 4.30 pagi hari tanggal 10 Oktober 1945, seluruh pasukan telah siap di
tempat yang direncanakan. Pasukan yang berada di sektor utara dipimpin oleh Iski menjadi
barisan penyerang. Pasukan ini mengambil lokasi mulai dari perempatan Jalan Kantin
(sekarang Jalan Juhdi) sampai ke halaman gedung kabupaten Serang. Pasukan ini terdiri dari
anggota pilihan yang dipersenjatai dengan karaben Jepang, pistol dan granat tangan. Satusatunya keiki kanju yang dimiliki oleh BKR, ditempatkan pada sektor ini dan dipegang oleh
bekas budanco Juhdi, sebagai pendamping Iski. Sedangkan barisan-barisan pada ketiga sektor
lainnya berfungsi sebagai barisan pengepung dan penghadang musuh. Sektor barat mulai dari
halaman gedung karesidenan dan di sepanjang Kali Banten dipimpin oleh eks shodanco
Nunung Bakri dengan membawahi pasukan rakyat. Sektor selatan di sekitar kampung
Benggala, sepanjang sisi selatan alun-alun sampai ke batas Rumah Sakit Serang, dipimpin oleh
eks shodanco Salim Nonong; sektor barat dan selatan ini terdiri dari massa rakyat yang
kebanyakan bersenjatakan golok dan bambu runcing. Sedangkan barisan yang ada di sektor
timur dipimpin oleh bekas syudancho Zainal Falah dengan anggotanya terdiri dari para
pemuda eks bintara PETA, tetapi mereka pun hanya memiliki beberapa pucuk senjata api.
Setelah terdengar suara adzan subuh dari beberapa masjid, dan disusul dengan
pemadaman lampu-lampu di dalam kota, terdengar tembakan kode penyerangan oleh Iski,
maka dimulailah penyerangan ke markas kempetai. Dengan pekikan takbir "Allahu Akbar",
para pejuang sebelah timur mulai menembaki markas kempetai sambil maju menyerang. Dari
arah markas kempetai terdengar pula tembakan beruntun yang mengarah ke posisi penyerang,
maka terjadilah tembak-menembak berbalasan antara dua kubu yang berlawanan, dalam
suasana gelap. Karena pertahanan tentara Jepang yang begitu kuat, maka sulitlah bagi para
pejuang Banten untuk merebut markas kempetai ini. Sampai pukul 6.30 pertempuran
berlangsung tanpa henti, dan pihak pejuang belum berhasil mendekati gedung sasaran; karena
di sekitar markas kempetai itu dikelilingi lapangan terbuka -- sehingga apabila ada penyerang,
dengan mudah tentara Jepang menembakinya baik yang berusaha menyeberangi jembatan atau
yang merayap dari arah belakang gedung. Sekitar pukul 07.00, tersiar berita bahwa pemuda
Nunung Bakri, pemimpin sektor barat dan Juhdi dari sektor selatan telah gugur. Mendengar
berita gugurnya dua pemuda itu para pejuang baik dari BKR, lasykar rakyat dan pemuda,
semakin beringas dan menjadi "nekad", mereka hendak menyerang kubu musuh dari jarak
dekat, walau harus menebusnya dengan nyawa. Beberapa pemuda yang tidak tahan menahan
amarahnya lalu meninggalkan pasukan dan menyerang markas kempetai dalam jarak dekat.
Namun belum mencapai jarak 100 meter, peluru kempetai yang bersembunyi di atas pohon di
sekitar markas menewaskan mereka. Di antara yang meninggal ini adalah Kudsi dan Thalib,
pemuda dari laskar Ciomas. Sampai sekitar pukul 10 pagi pertempuran belum mereda.Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu, para sesepuh BKR: K.H. Ahmad Khatib,
K.H. Sam'un, H. Abdullah dan K.H. Djunaedi segera memanggil para pemimpin pejuang.
Dinasehatkan bahwa berjihad yang dikehendaki Islam bukanlah berarti bunuh diri, tapi mati
sahid dalam membela agama dan negara dengan strategi yang sewajarnya. Sebaliknya cara
berperang yang akan mereka lakukan itu cenderung kepada bunuh diri yang mengorbankan
ratusan bahkan ribuan pemuda dengan sia-sia. Oleh karena itu musuh cukup dikurung terus
sampai kehabisan perbekalan, nanti baru diserbu. Mendengar nasehat itu, para pemimpin
pejuang berjanji akan menuruti nasehat itu dan baru akan mengadakan penyerangan apabila
dikomandokan oleh Ali Amangku sebagai Komandan Pertempuran.
Sampai menjelang sore, tembak-menembak tidak terdengar lagi dari kedua belah pihak,
pasukan rakyat tetap berjaga-jaga dan mengepung markas kempetai. Dalam pada itu. K.H.
Ahmad Khatib mengajak para pemimpin penyerangan itu untuk bersama-sama mengerjakan
shalat berjamaah di Masjid Agung Serang.
Sekitar pukul 20.00, tiba-tiba terdengar tembakan gencar dari markas kempetai yang
diarahkan ke Kampung Benggala. Setengah jam kemudian, tembakan pun berhenti, sehingga
suasana menjadi hening sampai matahari terbit. Hal ini menimbulkan kecurigaan para pemuda,
sehingga beberapa di antara mereka mengintip keadaan di dalam markas kempetai yang
ternyata telah kosong, kecuali dua mayat tentara Jepang. Rupanya tembakan gencar yang
dilakukan pada malam itu merupakan pengalihperhatian pasukan rakyat dari gerakan pasukan
Jepang yang sebenarnya, yaitu meloloskan diri. Dengan menggunakan 4 buah truk mereka
meloloskan diri dari belakang, jalan Rumah Sakit, ke Jakarta dari arah timur dengan melalui
jalan Cijawa, Cipete dan Ciceri. Sedangkan kedua mayat Jepang yang tertinggal itu diduga
adalah tentara yang mendapat tugas melakukan tembakan perlindungan, yang kemudian
(mungkin) melakukan harakiri (bunuh diri) setelah merasa tugasnya berhasil baik. Jumlah
korban dalam pertempuran ini dari pihak kempetai hanya 2 orang dan dari pihak republik 5
orang (Panitia ..., Naskah; Djadjamihardja, Wawancara, 11 Nopember 1992).
Tiga hari setelah pertempuran perebutan markas kempetai, yaitu pada tanggal 14
Oktober 1945 K.H. Syam'un membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai Divisi I
Komandemen Jawa Barat dengan nama Divisi 1000/I (dibaca: divisi seribu satu); sesuai
dengan maklumat pemerintah tanggal 5 Oktober 1945.
B. PENGHIANATAN DEWAN RAKYAT
Setelah penyerbuan ke markas kempetai pada tanggal 10 Oktober 1945, situasi kota
kembali dalam keadaan semula. Pemerintahan sipil sudah berjalan seperti apa adanya. Namun,
sebenarnya, sejak K.H.Ahmad Khatib resmi menjabat sebagai Residen Banten, tanggal 19
September 1945, dan mengangkat kembali pejabat lama -- semasa pemerintahan Hindia
Belanda ataupun Jepang -- menjadi aparat-aparat di bawahnya, terjadi intrik-intrik
ketidakpuasan di antara sebagian pemuda pergerakan. Para pemuda itu menginginkan adanya
"pembaharuan total", dan mencap "orang-orang lama" ini sebagai "warisan kolonial",
"penghianat bangsa", menak dan, bahkan dikhawatirkan nanti membantu Belanda yang akan
datang dengan pasukan Sekutu. Tuntutan beberapa pemuda ini oleh K.H. Ahmad Khatib tidak
dikabulkan, dengan alasan bahwa untuk menangani administrasi pemerintahan daerah haruslah
dipilih orang yang cakap dan biasa menanganinya; karena pemerintahan Republik Indonesia
masih muda maka sangat sulit mencari "orang baru" yang memenuhi syarat. Rasa
ketidakpuasan "kelompok muda" ini akhirnya dimanfaatkan oleh kelompok lain untuk maksud
yang lain pula.Pada tanggal 27 Oktober, sekitar jam 10.00 pagi, saat itu di karesidenan sedang
berkumpul K.H. Ahmad Khatib, K.H. Syam'un dan Abdulhadi, datang serombongan orang
yang menamakan dirinya “Dewan Rakyat”. Dengan ancaman kasar mereka memaksa Residen
Banten untuk membatalkan surat pengangkatan aparat-aparat pemerintahan di seluruh
karesidenan Banten, dan menggantinya dengan orang-orang yang ditunjuk oleh Dewan Rakyat.
Pembatalan dan pengangkatan pejabat-pejabat baru itu harus dibacakan di depan umum besok
tanggal 28 Oktober 1945. Apabila hal ini tidak dilaksanakan, maka Dewan Rakyat akan
melenyapkan orang-orang "yang tidak disenangi rakyat".
Karena sergapan yang tiba-tiba dan ancaman pembunuhan kepada semua yang hadir,
K.H. Ahmad Khatib, K.H. Syam'un dan Abdulhadi tidak dapat berbuat selain "terpaksa"
menyetujui keinginan Dewan Rakyat. Keesokan harinya, tanggal 28 Oktober 1945 sekitar jam
10.00 pagi, di hadapan beberapa pejabat yang sudah berkumpul di halaman karesidenan,
diumumkan bahwa mulai hari itu kekuasaan di seluruh Karesidenan Banten diambil alih oleh
Dewan Rakyat yang dipimpin Ce Mamat,? walaupun jabatan resmi Residen dan Bupati
Serang masih tetap.
Residen Banten, K.H. Ahmad Khatib, "terpaksa" menyusun aparat pemerintah daerah
yang "disesuaikan" dengan tuntutan Dewan Rakyat, sebagai berikut: K.H. Ahmad Khatib tetap
sebagai Residen; K.H. Syam'un diangkat sebagai Bupati Serang, merangkap sebagai pimpinan
tertinggi TKR; Haji Hilman (bukan R. Hilman Djajadiningrat) diangkat sebagai Bupati
Pandeglang dan Haji Hasan sebagai Bupati Lebak. Untuk jabatan wedana, camat bahkan
sampai lurah diserahkan kepada kaum ulama. Di samping itu juga dibentuk semacam "Majlis
Ulama" yang berfungsi sebagai badan penasehat residen dan juga mengawasi residen. Anggota
majlis ini terdiri dari 40 orang kiyai yang berpengaruh di karesidenan Banten.[9]. Komite
Nasional Indonesia (KNI) dibubarkan.
Perubahan personalia pemerintahan Banten sesuai dengan keinginan Dewan Rakyat itu
akhirnya tetap tidak membuat situasi menjadi lebih baik. Kekacauan yang ditimbulkan oleh
Dewan Rakyat tetap saja berlanjut. Hal ini terutama disebabkan oleh aksi teror yang dilakukan
oleh "pasukan" Dewan Rakyat, yang menamakan diri Laskar Gulkut atau Laskar Gutgut
[10]
.
Mereka sering berkeliaran di peloksok-peloksok kota Serang menakut-nakuti penduduk,
bahkan tidak jarang merampas, merampok harta dan membunuh penduduk, terutama keluarga
pamongpraja banyak yang "di-56".[11]
Setelah paginya berhasil "merebut kekuasaan" residen di hadapan rakyat, pada malam
harinya Laskar Gulkut menculik Bupati Raden Hilman Djajadiningrat, yang kemudian
dipenjarakan di Serang -- penculikan ini dilakukan oleh anggota TKR yang menyeberang ke
Dewan Rakyat. Kejadian penculikan ini baru diketahui keesokan harinya oleh K.H. Syam'un
dan Ali Amangku, yang selanjutnya mereka mengumpulkan anggota TKR untuk
merencanakan penyerbuan ke markas Dewan Rakyat di daerah Ciomas. Rencana penyerbuan
ini pun mendapat dukungan dari Oscar Kusumadiningrat, kepala polisi Serang, yang kemudian
menyerahkan senjata-senjata yang ada di pasukannya kepada pimpinan TKR. Pertimbangan
Oscar, di samping untuk membantu TKR juga supaya senjata-senjata itu jangan jatuh ke
tangan Dewan Rakyat; menurut firasatnya, dia pribadi, termasuk "orang asing" yang berasal
dari Priyangan dan juga "warisan kolonial", karena ia pernah menjadi aparat pemerintahan
Hindia Belanda dan pendudukan Jepang, karenanya Laskar gulkut tentu akan datang ke
tempatnya, sekaligus merampas senjata-senjata itu. Ternyata tidak lama kemudian, Oscar
Kusumadiningrat pun didatangi oleh lima pemuda laskar gulkut dan diculik dari rumahnya,
yang kemudian ditahan di penjara Serang bersama dengan R. Hilman; sehari kemudian dia
dibawa ke daerah Ciomas, yang di sana pun telah ditangkap Entol Ternaya, Kepala KejaksaanSerang. Sementara itu, Wakil Residen Zulkarnain Surja Kertalegawa, yang juga mempunyai
latar belakang sama dengan Oscar, lebih dahulu melarikan diri ke Sukabumi. Memang dalam
aksi Dewan Rakyat itu beberapa pejabat di daerah seperti Camat Baros, Mantri Polisi Pabuaran
dibunuh Laskar Gulkut, terutama yang perlakuannya kejam terhadap rakyat.
Melihat adanya penculikan-penculikan pejabat dan perampokan itu, Residen K.H.
Ahmad Khatib mengintruksikan kepada Bupati Serang K.H. Sam'un untuk secepatnya
menumpas gerakan Dewan Rakyat ini. K.H. Syam'un segera memanggil Ali Amangku dan Tb.
Kaking, sebagai pimpinan TKR, untuk menyusun siasat penumpasan. Langkah pertama adalah
membebaskan R. Hilman Djajadiningrat dari penjara Serang. Usaha ini tidak mengalami
banyak kesulitan, karena penjagaan laskar gulkut di tempat itu tidak begitu kuat. Langkah
berikutnya adalah menyerang "markas besar" Dewan Rakyat di daerah Ciomas.
Sewaktu pasukan TKR bergerak dari Serang ke Ciomas, di perjalanan mendapat
perlawanan dari Laskar Gulkut yang meng-akibatkan dua orang anggota TKR terbunuh. Tapi
akhirnya, pasukan TKR dapat mendesak "pasukan jawara" sampai di dekat kantor Kawedanaan
Ciomas (Nasution, 1970: 125). Rupanya kantor Kawedanaan Ciomas itu dijadikan markas dan
juga pertahanan Dewan Rakyat. Ali Amangku memerintahkan pasukan TKR untuk mengepung
kantor kawedanaan itu sambil menyerang dengan tembakan-tembakan gencar. Dengan
demikian pertahanan Laskar Gulkut dapat dipatahkan, dan sebagian besar anggotanya dapat
ditawan sedangkan sisanya dapat melarikan diri ke daerah Lebak. Di halaman belakang kantor
kawedanaan itu pasukan TKR juga dapat membebaskan Oscar Kusumaningrat dan Entol
Ternaya, yang terikat di sebuah pohon besar.
Pada tanggal 9 Desember 1945, Presiden Soekarno beserta wakilnya, Mohamad Hatta,
datang mengadakan peninjauan ke Serang guna melihat situasi politik di Karesidenan Banten.
Dalam pidatonya di alun-alun Serang, presiden merasa prihatin dengan adanya aksi Dewan
Rakyat dan menghimbau agar fungsi dan kedudukan lembaga-lembaga negara/ pemerintahan
setempat, seperti Komite Nasional Indonesia (KNI) diaktifkan kembali. Selanjutnya, presiden
juga mengintruksikan agar Dewan Rakyat dibubarkan. Ali Amangku, yang ditugaskan
menjaga keamanan kedua tokoh besar itu, harus mengerahkan seluruh anggota TKR untuk
menjaga tempat-tempat yang akan dikunjungi presiden; karena adanya khabar bahwa Dewan
Rakyat akan menculik presiden dan wakilnya.
Penculikan kedua tokoh nasional ini tidak pernah terlaksana, tetapi di tempat lain, waktu
itu, bekas Bupati Lebak, R. Hardjawinangun, diculik oleh beberapa orang pemuda tak dikenal.
Di jambatan Cisiih, R. Hardjawinangun diturunkan dengan tangan terikat, lalu ditembak mati.
Mayatnya dilemparkan ke dalam sungai, yang dua hari kemudian barulah mayatnya ditemukan
penduduk setempat (Sin Po, 11 Desember 1945).
Pada bulan itu juga, tanpa diduga, markas polisi di Serang diserbu oleh pasukan "tak
dikenal", yang kemudian diketahui simpatisan gerakan Dewan Rakyat dari Ciomas. Namun
serbuan itu dapat diatasi oleh TKR; bahkan akhirnya pasukan TKR Serang berhasil
menghancurkan markas Dewan Rakyat di Rangkasbitung. Tachril, ketua Dewan Rakyat di
Rangkasbitung, dapat ditangkap.
C. DARI TKR SAMPAI TNI
Pada tanggal 22 Agustus 1945, dalam sidang PPKI ke-3 diputuskan untuk membentuk
Badan Keamanan Rakyat (BKR). Keputusan tersebut kemudian disusul pula dengan seruan
Presiden Republik Indonesia pada tanggal 23 Agustus 1945 yang ditujukan kepada para
pemuda Indonesia, antara lain berbunyi:"... Saya harap kepada kamu sekalian hai prajurit PETA, Heiho dan Pelaut-pelaut serta
pemuda-pemuda lainnya untuk sementara waktu masuklah dan bekerjalah dalam Badanbadan Keamanan Rakyat. Percayalah nanti akan datang saatnya kamu dipanggil menjadi
Prajurit Tentara Kebangsaan Indonesia. . . ." (Disjarah, 1973: 93).
Sejalan dengan seruan itu, maka dalam waktu yang tidak begitu lama seluruh lapisan
pemuda segera membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai barisan perjuangan
bersenjata. Karena kepentingan perjuangan, BKR yang berfungsi sebagai unsur pertahanan
keamanan nasional, pemerintah memandang perlu untuk menjadikan BKR sebagai satuan
tentara yang teratur, bersifat nasional dan langsung di bawah komando Kementerian
Pertahanan. Maka pada tanggal 5 Oktober 1945 keluarlah Maklumat Pemerintah tentang
pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Maklumat tersebut disusul dengan
Pengumuman Pemerintah tanggal 7 Oktober 1945 sbb:
"Ini hari telah dilakukan pembentukan Tentara Kebangsaan di salah satu daerah dekat
Jakarta dengan maksud untuk menyempurnakan kekuatan Republik Indonesia.
Pemuda-pemuda bekas PETA, Heiho, Kaigun Heiho, dan pemuda-pemuda dari Barisan
Pelopor telah menyiapkan tenaganya, agar setiap waktu dapat membangkitkan tenaganya
untuk menentang kembalinya penjajah Belanda.
Pemuda-pemuda dan Tentara Kebangsaan ini segera diperlengkapi dengan persenjataan
agar dengan demikian dapat mempertahankan keamanan umum." (Soeara Asia, 12
September 1945).
Maka disusunlah personalia Kementrian Keamanan Rakyat sebagai berikut
(Surjohadiprodjo, 1971:13):
Menteri Keamanan Rakyat : Mr. Amir Syarifuddin
Pimpinan Tertinggi TKR : Supriyadi
Kepala Staf Umum TKR : Urip Sumoharjo
Selanjutnya dibentuk divisi-divisi, yaitu di Sumatra (6 divisi) dan di Jawa (10 divisi).
Kesepuluh divisi di Jawa itu terbagi dalam 3 komandeman, yang masing-masing dikomandani
seorang Mayor Jenderal. Divisi-divisi itu adalah:
Divisi I : di Serang pimpinan Kolonel K.H. Syam'un.
Divisi II : di Cirebon pimpinan Kolonel Asikin.
Divisi III : di Tasikmalaya pimpinan Kolonel Aruji Kartawinata.
Divisi IV : meliputi wilayah Pekalongan timur, Semarang dan Pati pimpinan
Mayjen. G.P.H. Jatikusumo dengan komando di Salatiga.
Divisi V : meliputi wilayah Banyumas dan Kedu pimpinan Kolonel Sudirman.
Divisi VI : di Kediri pimpinan Mayjen. Sudiro, wilayahnya meliputi Kediri dan
Madiun.
Divisi VII : di Selorejo Mojokerto pimpinan Mayjen Yonosewoyo.
Divisi VIII : di Malang pimpinan Mayjen Imam Suja'i.
Divisi IX : di Yogyakarta pimpinan Mayjen Sudarsono.
Divisi X : di Surakarta pimpinan Kolonel Sutarto.Karena ex. sjodancho Supriadi, yang diangkat sebagai Pimpinan Tertinggi TKR, tidak
pernah tampil menduduki posnya,[12] maka pada tanggal 12 Nopember 1945 diadakan rapat
yang dihadiri pimpinan senior TKR di Markas Tinggi (MT) TKR di Yogjakarta. Hasil
keputusan rapat dikuatkan dengan Keputusan Pemerintah, yaitu dengan dilantiknya Kolonel
Sudirman sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat Jenderal dan Urip Sumoharjo sebagai
Kepala Staf dengan pangkat Letnan Jenderal, tanggal 18 Desember 1945 (TKR, No. 1/1, 10
Januari 1946).
1. Berdirinya Divisi 1000/I Banten
Dalam pada itu, di Serang, empat hari setelah penyerbuan ke markas tentara Jepang,
pada tanggal 14 Oktober 1945 diadakan rapat pembentukan Divisi I Komandemen Jawa Barat
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bertempat di markas BKR di Jalan Palem, Serang.
Pembentukan Divisi I Komandemen Jawa Barat itu didasarkan surat Komandan Komandemen
Jawa Barat, Mayor Jendral Abdulkadir, yang dibawa oleh Mayor Soeroto Koento, 12 Oktober
1945. Dalam surat perintah Komandemen Jawa Barat itu juga dilampirkan Maklumat
Pemerintah No. 5 (tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat) dan Pola Organisasi
Devisi.
Dalam rapat pimpinan BKR itu diputuskan untuk membentuk Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) Divisi I Banten, sebagai berikut:
1) Divisi I Komandemen I Jawa Barat yang dibentuk itu diberi nama Divisi 1000/I
(dibaca: divisi seribu satu) dengan wilayah meliputi seluruh Karesidenan Banten dan
sebelah barat Sungai Cisadane, dari pantai utara sampai pantai laut selatan.
2) Personalia Slagorde Organik Divisi 1000/I, sbb.:
Panglima Divisi :Kolonel K.H. Syam'un
Ajudan :Mayor Sukahardja
Kepala Bagian Penyelidik :Mayor Salim Satiadinata[13]
Kepala Bagian Siasat :Mayor Tb. Syamsuddin Nur[14]
Kepala Bagian Organisasi :Mayor Kusendidjaja.
Kepala Bagian Perbekalan :Mayor Hamdani.
Pada permulaan terbentuknya Divisi 1000/I terdiri dari 2 resimen infantri yang masingmasing berkekuatan 3 batalyon. Setiap batalyon membawahi 4 kompi dan setiap kompi
mempunyai 4 seksi; tiap seksi membawahi 4 regu yang masing-masing regu terdiri dari 14
orang prajurit. Resimen-resimen itu adalah (Panitia ..., Naskah):
1) Resimen I di Serang dengan kekuatan 4 batalyon:
Batalyon I : di Serang, di bawah pimpinan Mayor H. Abdullah
Batalyon II : di Cilegon, di bawah pimpinan Mayor Samanhudi
Batalyon III : di Serang di bawah pimpinan Mayor Tb. Syamsudin Nur.
Batalyon IV : di Menes di bawah pimpinan Mayor Tb. Soehadisastra. Batalyon ini
masih merupakan Batalyon persiapan.2) Resimen II di Rangkasbitung dengan kekuatan 2 batalyon:
Batalyon I : di Rangkasbitung, di bawah pimpinan Mayor Doedoeng
Padmasoekarta.
Batalyon II : di Cikadu, Rangkasbitung, di bawah pimpinan Kapten Ukon.
Batalyon ini pun masih merupakan batalyon persiapan.
Selanjutnya, dibentuk lagi Batalyon III di Pandeglang, di bawah pimpinan Mayor
Soleman.
Susunan personalia Resimen I Divisi 1000/I, yang berkedudukan di Serang:
Komandan Resimen : Letkol K.H. Djoenaedi
Kepala Staf : Mayor Tb. Soehadisastra
Kepala Bag. Organisasi : Kapten Edi Soemantri
Kepala Bag. 1 (Penyelidik) : Letnan I Ending
Kepala Bag. Sekretariat : Letnan II Tituler Hidayat
Kepala Bag. Persenjataan : Letnan I Memed Hadi
Kepala Bag. Perlengkapan : Kapten M. Sani
Kepala Dinas Kesehatan : Mayor Dr. Soeparsono
Batalyon I/Serang
Komandan Batalyon : Mayor K.H. Abdullah
Komandan Kompi I : Kapten Tb. Syapei
Komandan Kompi II : Kapten Tb. Muh. Hasan Sutawinangun
Komandan Kompi III : Kapten Widagdo
Komandan Kompi IV : Kapten O. Soepaat
Batalyon II/Cilegon
Komandan Batalyon : Mayor Samanhudi
Komandan Kompi I : Kapten Soenarjo, kemudian diganti oleh Kapten Chaerani
Soma.
Komandan Kompi II : Kapten Bachri
Komandan Kompi III : Kapten Abdullah Isa
Komandan Kompi IV : Kapten Sapta
Batalyon III/Serang
Komandan Batalyon : Mayor Tb. Syamsuddin Nur (eks. Kepala Bag. Siasat
Divisi 1000/I)Komandan Kompi I : Kapten Sofyan Syafe'i
Komandan Kompi II : Kapten Soenarjo
Komandan Kompi III : Kapten Saleh Syamsuddin
Komandan Kompi IV : Kapten Memed Hadi
Personalia slagorde organik Resimen II Divisi 1000/I, yang kedudukan di
Rangkasbitung:
Komandan Resimen : Letkol Djajaroekmantara
Kepala Staf : Mayor Sutisna Mihardja
Kepala Bag. Organisasi : Kapten Oeka Soerjadi
Kepala Bag. Sekretariat : Letnan Kombali Nitipradja
Kepala Bag. Keuangan : Letnan I Atmadikusuma
Kepala Bag. Persenjataan : Kapten Supardi
Kepala Bag. Perlengkapan : Letnan I Entjon
Kepala Dinas Kesehatan : Letkol. Dr. Satrio
Batalyon I/Rangkasbitung
Komandan Batalyon : Mayor Doedoeng Padmasoekarta
Kepala Staf : Kapten Chalik Hasan
Komandan Kompi I : Kapten Endang Danoeat-madja
Komandan Kompi II : Kapten Basyah Soetman
Komandan Kompi III : Kapten Ahim
Komandan Kompi IV : Kapten Soepardi
Batalyon II/Rangkasbitung
Komandan Batalyon : Mayor Djatmika
Komandan Kompi I : -
Komandan Kompi II : -
Komandan Kompi III : -
Komandan Kompi IV : -
Komando Keamanan Kota : Kapten Rahajoe
Komandan Yon Cadangan : Kapten Oekon
Batalyon III/Pandeglang
Komandan Batalyon : Mayor SolemanKomandan Kompi I : Kapten Abdulhalim
Komandan Kompi II : Letnan I M.A. Hasan
Komandan Kompi III : Letnan I Djakasoendang
Komandan Kompi IV : -
Kecuali pasukan Infantri juga terdapat Pasukan Khusus yang terdiri dari eks yugekitai
dipimpin oleh eks syodanco yugeki Ali Amangku. Pasukan yang terakhir ini merupakan
pasukan pengintai langsung di bawah komando Divisi -- pasukan pengintai inilah yang
kemudian menjadi Polisi Tentara Batalyon XI Divisi 1000/I yang susunan personalianya
sebagai berikut:
Panglima Batalyon : Mayor Ali Amangku
Ajudan : Letnan II Tb. Mardjuki (kemudian diganti oleh Letnan Muda R.
Soebagyo).
Kepala Staf : Kapten Rd. Achmad (kemudian diganti oleh Kapten B.A.
Hariri).
Sekretariat : Letnan I Achmad Bahar (kemudian diganti Letnan II Enggung)
Tata Usaha : Letnan II Soma Atmadja
Perlengkapan : Letnan Muda Mansyur
Persenjataan : Kapten Tb. Arsyad
Kepolisian/Intel : Letnan I Tb. Sanusi
Polisi Kampemen : Letnan II Sukimin
Kompi I Batalyon XI di Serang, merupakan Kompi Markas.
Komandan Kompi : Kapten M. Isky
Kepala Staf : Letnan Muda Reksowongso
Kepolisian : -
Sekretariat : -
Komandan Seksi I : Letnan II Syadeli kemudian diganti Letnan II M. Djanawi.
Komandan Seksi II : Letnan II Ahdi Syadeli
Komandan Seksi III : Letnan II Moh. Zen
Komandan Seksi IV : Letnan II Nafeng
Kompi II, berkedudukan di Pandeglang.
Komandan Kompi : Kapten Umar Sarie
Kepala Staf : Letnan II Tb. Suwandi
Kepolisian Sekretariat : -
Komandan Seksi I : Letnan II Ayip Rughby
Komandan Seksi II : Letnan II Tb. Chaerkusuma
Komandan Seksi III : Letnan Muda Hikmat
Kompi III berkedudukan di Rangkasbitung.
Komandan Kompi : Kapten Rd. Achmad (kemudian diganti Kapten Tb. Arsyad).
Kepala Staf : Letnan II Soewarno
Kepolisian : Letnan Muda Chudori
Sekretariat : Letnan Muda S.M. Ali
Komandan Seksi I : Letnan II Djadjamihardja
Komandan Seksi II : Letnan II Moh. Ishak , kemudian diganti oleh Letnan Muda Ito
K.
Komandan Seksi III : Letnan II Saryono
Komandan Seksi IV : Letnan Muda Syayuti
Kompi IV; yang berkedudukan di Balaraja; kompi ini merupakan kompi mobile
khususnya dalam penguasaan teritorial, kompi yang selalu di Sektor I, yang terdiri dari:
Komandan Kompi : Kapten R. Mahdi Winatapradja
Kepala Staf : Letnan II Tb. Mardjuki
Kepolisian : Letnan Muda M. Djidun
Sekretariat : Letnan Muda Herman
Seksi khusus di Curug : Letnan I Siswoyo
Komandan Seksi I : Serma M. Mursyid
Komandan Seksi II : Serma Karmail
Komandan Seksi III : Serma Chaidir
Komandan Seksi IV : Serma Tb. Subli
Bersamaan dengan pembentukan Divisi 1000/I, Letnan Kolonel Harsono mendapat tugas
khusus dari Markas Tertinggi TKR untuk membentuk Penyelidik Militer Chusus (PMC), yang
kemudian menjadi Fild Paraparation (FP). Sebagai samaran dibentuklah Badan Pemuda
Pendidikan Militer Rakyat (BPPMR) pada tanggal 20 Oktober 1945 di Rangkasbitung. Tugas
pokok dari satuan khusus ini adalah: (1) menyelidiki medan palagan, (2) menyelidiki formasi
dan kekuatan musuh, (3) melakukan sabotase, (4) mengadakan perang urat syaraf, (5) spionase
dan contra-spionase, dan (6) lain-lain gerakan rahasia untuk kepentingan militer.
Di samping tugas pokok yang disebutkan di atas, juga mengadakan pendidikan Kader
Bintara Teritorial guna menghadapi perang semesta jangka panjang. Para pendidik dan
instruktur pelatihan itu diambil dari eks anggota yugekitai. Badan ini disebut juga BadanRahasia Negara Indonesia (BRANI) yang berada langsung di bawah Komando Markas Besar
Tentara (MBT) di Yogyakarta, yang tidak harus diketahui oleh Staf Divisi, kecuali Komandan
Divisi.
Susunan personalia badan rahasia itu adalah:
Komandan : Letkol Harsono
Kepala Staf : Kapten Tb. Kaking Achirramdani
Kabag. Administrasi : Kapten Kamaruzzaman
Personalia : Letnan II Halimi
Keuangan : Letnan II Nadelan
Kabag. Logistik : Kapten Tb. Kaking Achirramdani
Perlengkapan : Kapten Tb. Kaking Achirramdani
Pendidikan : Letnan II Soedibyo
Kutai I (Kompi I) : Kapten Tb. Kaking Achirramdani
Kumi I/I : M. Djadjamihardja
Kumi II/I : Sihabuddin
Kumi III/I : M. Djanawi
Kumi IV/I : Moh. Yusuf
Kutai II : Kapten Kamaruzzaman
Kumi I/II : Soekarman
Kumi II/II : Asnawi
Kumi III/II : Moh. Ishak
Kumi IV/II : Moh. Hasan.
Setiap Kumi (Regu) beranggotakan 10 siswa. Hasil pendidikan pertama menghasilkan
50 orang kader/bintara. Sebagian dari mereka mendapatkan pendidikan lanjutan di bidang
intelejen di Pingit, Yogyakarta di bawah pimpinan Kolonel Zulkifli Lubis; dan sebagian lagi
ditugaskan di Polisi Tentara (PT) Batalyon XI sebagai kader, dan sebagian lagi dikirim ke
Pandeglang untuk mengikuti pendidikan periode ke-2.
Pendidikan keintelejenan ini di samping diselenggarakan di Rangkasbitung dan
Pandeglang juga dibuka di Serang pendidikan militer khusus untuk putri di bawah pimpinan
Letkol Harsono. Lulusan pendidikan ini disalurkan pada PMI Serang, staf polisi dan (nanti)
Biro Perjuangan XXXV Banten (Panitia Sejarah Perjuangan Divisi 1000/I, Naskah).
Lima hari setelah terbentuknya Divisi 1000/I Banten, pada tanggal 19 Oktober 1945,
BKR dari unsur armada dan tentara laut mengadakan rapat di Cimuncang, Serang, dipimpin
oleh Gatot (sebagai ketua rapat) dan Samsudin (sebagai sekretaris rapat). Pada hari itu
dibentuklah Pangkalan I Tentara Laut, disingkat Pangkalan I/TL[15]. Pangkalan I/TL ini (pada
mulanya) hanya berkekuatan 4 batalyon Polisi Tentara Laut dan Armada Tentara Laut, yang
bertugas sebagai tentara pertahanan dan keamanan pantai, mulai dari Mawuk sampai pantai
Pelabuhan Ratu (yang panjang pantainya diperkirakan ±400 km); dengan pos pangkalan berada
di Mawuk, Labuan, Bayah, Pelabuhan Ratu, Merak dan Pontang. Secara taktis, Pangkalan I
Banten itu berada tetap di bawah komando Divisi 1000/I Banten (Panitia ..., Naskah).Untuk melaksanakan tugas pengamanan pantai yang begitu luas, seharusnya, paling
sedikit, diperlukan 6 batalyon Tentara Laut dan 1 detasemen Polisi Tentara Laut (PTL). Maka
untuk memenuhi tuntutan tugas tersebut, diadakanlah pendaftaran bagi anggota TKR-Laut
Pangkalan I Banten.Bergabung dalam Divisi I Siliwangi
Pasukan NICA (Nederlands Indies Civil Administration) -- yang datang bersama dengan
pasukan Sekutu -- banyak mengadakan teror, kekacauan, penculikan dan pembunuhan di
beberapa daerah, terutama di ibukota negara, Jakarta. Dengan dalih "mengamankan"
kerusuhan-kerusuhan yang ditimbul-kannya itu, pasukan NICA mengadakan serangan
mendadak untuk menguasai kota. Kecurangan-kecurangan tentara NICA itu tidak begitu
diperhatikan oleh tentara Inggris (sebagai tentara Sekutu), karena di samping jumlah personil
yang kurang juga menganggap bahwa Belanda memang sudah disiapkan untuk menerima
kembali Indonesia (Nasution, 1977: 30). Karena ketidakamanan di Jakarta ini maka pada
tanggal 4 Januari 1946 Presiden dan Wakil Presiden pindah ke Jogjakarta, dan kemudian
dijadikan ibukota negara, demikian juga beberapa kementrian -- kecuali Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan berkedudukan di Surakarta. Sedangkan Perdana Mentri Sutan
Syahrir tetap di Jakarta.
Karena kepentingan Hankamnas yang mendesak, maka pada tanggal 7 Januari 1946
berdasarkan Ketetapan Pemerintah No. 2/S.D./1946, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) diubah
namanya menjadi Tentara Keselamatan Rakyat dengan singkatan yang tidak berubah TKR.
Tiga minggu kemudian, tanggal 25 Januari 1946, Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit yang
antara lain mengubah nama Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) menjadi Tentara Republik
Indonesia (TRI), sebagai satu-satunya organisasi militer negara. Pada tanggal yang sama,
dimana TKR menjadi TRI, maka Tentara Laut (TL) pun berubah nama menjadi Angkatan Laut
Republik Indonesia (ALRI). Dan pada hari pula dibentuk Angkatan Udara Republik Indonesia
(AURI) Pangkalan Udara Gorda.
Untuk tujuan efektivitas kerja, pada tanggal 23 Pebruari 1946 diadakan pengurangan
divisi; Divisi yang semula 16, diperkecil menjadi 10; di Jawa - Madura 7 divisi dan di Sumatra
3 divisi, ditambah 3 brigade langsung di bawah Panglima Besar sebagai Panglima Tertinggi
Angkatan Perang RI (APRI). Mengikuti keputusan Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Republik Indonesia (PT APRI), maka sejak tanggal 25 Mei 1946, susunan divisi Angkatan
Darat adalah sebagai berikut:
Divisi I : bernama Siliwangi di Tasikmalaya di bawah pimpinan Mayjen A.H.
Nasution.
Divisi II : bernama Sunan Gunungjati di Cirebon, di bawah pimpinan Mayjen
Abdul Kadir.
Divisi III : bernama Diponegoro di Yogyakarta, di bawah pimpinan Mayjen
Sudarsono.
Divisi IV : bernama Panembahan Senopati di Surapati, di bawah pimpinan Mayjen
Sudiro.
Divisi V : bernama Ronggolawe di Mantingan, di bawah pimpinan Mayjen GPH.
Jatikusumo.
Divisi VI : bernama Narotama di Kediri, di bawah pimpinan Mayjen Sungkono.
Divisi VII : bernama Suropati di Malang, di bawah pimpinan Mayjen Imam Suja'i.
Dengan penciutan organisasi TRI ini, Komandemen Jawa Barat, yang tadinya terdiri dari
3 divisi, dihapuskan dan dilebur menjadi 1 divisi, yang bernama Divisi Siliwangi -- terdiri dari5 brigade -- yang berkedudukan di Tasikmalaya Karena itulah maka Divisi I Banten (Divisi
1000/I Banten) pada tanggal 25 Mei 1946, diubah menjadi sebuah Brigade dengan nama
Brigade I Tirtayasa. Staf Komando Resimen I dan Resimen II dihapuskan, dan digabung
menjadi 5 batalyon:
Balayon I : berkedudukan di Serang, dipimpin Mayor K.H. Abdullah
Batalyon II : berkedudukan di Cilegon, dipimpin Mayor Samanhudi
Batalyon III : berkedudukan di Serang, dipimpin Mayor Tb. Syamsudin Nur.
Batalyon IV : berkedudukan di Rangkasbitung, dipimpin Mayor Doedoeng
Padmasoekarta.
Batalyon V : berkedudukan di Pandeglang, dipimpin Mayor H. Djoenaedi.
Ada pun kesatuan-kesatuan lain yang taktis komando Brigade I Tirtayasa Divisi I
Siliwangi yaitu: Pangkalan I ALRI, Pangkalan Udara AURI di Gorda dan Batalyon XI Polisi
Tentara (walau pun secara administratif berada langsung di bawah Markas Besar Polisi Tentara
(MBPT) (Panitia …, Naskah)[16].Pembentukan Resimen Singandaru
Pada bulan Mei 1946 itu pula diputuskan bahwa badan perjuangan dan lasykar-lasykar
bentukan partai-partai politik yang tidak mau bergabung kepada TRI diberi tempat dalam Biro
Perjuangan, di bawah komando Kementrian Pertahanan -- saat itu Mr. Amir Syarifuddin.[17]
Sesuai dengan Undang-undang Pertahanan Negara dan Peraturan Pemerintah No. 19/1946,
pada tanggal 27 Desember 1946 dibentuk Biro Perjuangan Daerah untuk wilayah Karesidenan
Banten yang berkedudukan di Serang dengan nama Biro Perjuangan (BP) XXXV[18]. Biro
Perjuangan ini dibentuk sebagai wadah persatuan bagi laskar-laskar perjuangan rakyat, seperti
Hizbullah, Sabilillah, Barisan Pelopor, Lasykar Rakyat, Barisan Banteng, Barisan
Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), Pesindo, yang tadinya dibentuk oleh partai-partai
politik (Notosusanto, 1985: 45). Adapun personalia pimpinan staf BP XXXV Banten adalah:
Kepala : Letkol Adi Soendjojo
Inspektorat : Kapten Abang Usman
Perlengkapan : Letnan I Asyhari
Humas : Letnan I Hasan Suleman
Sekretariat : Letnan I Tetuler Khusnun
Keuangan : Letnan II Tetuler M. Arif
Inspektorat Wanita : Sri Sahuli
Inspektorat Kab. Serang : Kapten Abang Usman
Inspektorat Kab. Pandeglang : Letnan II Suntara
Inspektorat Kab. Lebak : Letnan II Gozali
Inspektorat Kab. Tangerang : Letnan I Saleh Saisyam
Bekerjasama dengan Batalyon XI/GM/ Polisi Tentara, Penyelidik Militer Chusus
(PMC), pamongpraja, pimpinan badan-badan kelasykaran, tokoh-tokoh masyarakat dan
instansi lainnya maka hingga tanggal 17 Maret 1947 Biro Perjuangan XXXV (BP XXXV)
berhasil membentuk Resimen dari kelasykaran yang dibinanya berkekuatan 3 batalyon.
Resimen BP XXXV ini kemudian dinamai Resimen Singandaru, dengan susunan personalia
sebagai berikut:
Komandan Resimen : Letkol Adi Sundjojo
Wkl. Komandan : Mayor Saleh Iskandar
Kepala Staf : Mayor Syamsudin Nur
Kabag. Organisasi : Letnan I Sufri Djamhari
Kabag. Perlengkapan : Letnan I Asmawi
Ajudan : Letnan Muda Zainal Arifin Billah
Komandan Batalyon I : Mayor Soleh Iskandar, bermarkas di Nanggung, Jasinga
Komandan Batalyon II : Kapten Ayip Samin Salsufi, bermarkas di SerangKomandan Batalyon III : Kapten Abdurahman Abdullah, bermarkas di Pandeglang.
Untuk menjadikan satunya kekuatan angkatan bersenjata RI, maka pada tanggal 3 Juni
1947 Presiden Sukarno mengeluarkan Penetapan Presiden yang menyatakan pembentukan
Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang merupakan penyatuan dari TRI dan lasykar perjuangan
rakyat. Pimpinan dipegang oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman, dibantu oleh beberapa
anggota yaitu Letnan Jenderal Urip Sumohardjo, Laksamana Muda Nazir, Komandan Muda
Udara S. Suryadharma, Ir. Sukirman, Djokosuyono dan Sutomo (ed. Sudirjo, 1985:65). Sejak
itulah segala macam biro perjuangan bersenjata, baik yang berafiliasi kepada partai politik
maupun bukan, dilebur ke dalam wadah TNI. Dan atas keputusan Panglima Divisi Siliwangi,
pada akhir bulan Agustus 1947 Resimen Singandaru dimasukkan dalam Brigade Tirtayasa.
Komandan Resimen Singandaru dan perwira stafnya berstatus Perwira Brigade Tirtayasa dan
bertugas dalam Bagian V yang kemudian menjadi Perwira Staf Territorial Brigade Tirtayasa
(Panitia …, Naskah).
2. Terbentuknya ALRI di Banten
Sesuai dengan Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945 dan Pengumuman
Pemerintah tanggal 7 Oktober 1945, yaitu tentang dibentuknya satu badan ketentaraan
nasional, maka BKR-Laut punyang terdiri dari bekas anggota Heiho Kaigun, Koninklijke
Marine (KM), Jawa Unko Kaisha, Akabutsi Butai, pemuda-pemuda yang bekerja pada jawatan
pelayaran dan lain-lain bergabung dalam TKR-Laut. Di Serang, pada tanggal 19 Oktober 1945
dibentuklah Pangkalan I Tentara Laut dengan markas komando di Cimuncang, Serang
(sekarang dipakai Dinas Kesehatan Tentara DKT). Tugas Pangkalan ITentara Laut (TL) adalah
sebagai tentara pertahanan dan keamanan pantai mulai dari Mauk sampai ke Pelabuhan Ratu,
sepanjang ±400 km. Untuk itu paling sedikit diperlukan 6 batalyon Tentara Laut dan 1
detasemen Polisi Tentara Laut (PTL) yang berkedudukan di Merak, Labuan, Bayah, Pelabuhan
Ratu, Mauk dan Pontang.
Susunan Personalia Pangkalan I/TL
Panglima Pangkalan I : Kolonel Gatot
Wakil Panglima : Letkol. JH. Tombing
Sekretaris : Letnan Laut (Letnl) Udjer
Personalia : Letnl. Sutoyo
Keuangan : SK. Effendi, Letnl.
Peralatan : Letnl. Rusli Miskat
Komandan Armada : Mayor Laut Arga
Kompi Markas : Letnan I M. Samsudin
Batalyon I Merak : Kapten Atuk Mansur
Kompi Bojonegara : Letnan Sujadi
Batalyon II/Labuan : Kapten Said Sutawijaya
Batalyon III/Mauk : Kapten AjirahmatKompi Pontang : Letnan Atori.
Pada bulan Nopember 1945 diadakan rapat di Markas TKR-Laut Serang yang dihadiri
pula oleh utusan Markas Besar TKR Yogyakarta. Dalam rapat itu diputuskan untuk
mengangkat Kolonel Misbah sebagai pimpinan TKR-Laut Banten menggantikan Kolonel
Gatot[19]. Susunan organisasi TKR-Laut Banten sebagai berikut:
Komandan TKR Laut : Kolonel Misbah
Wakil Komandan : Mayor Tombing.
Bagian Keuangan : Letnan II Abas Syamsudin
Bagian Persenjataan : Letnan I Jatmiko
Bagian Perwira Siasat : Letnan I Ngaliman
Bagian Perkapalan : Letnan I Ahmad Hadi
Bagian Polisi Tentara Laut (PTL) :
Letnan I Sukarno Wirejo.
Komandan Pasukan Batalion : Letnan Karso
Kompi Anyer : Letnan Sepong
Kompi Merak : Letnan Bunsaman
Kompi Serang : (belum ditemukan data outentik)
TKR-Laut Banten dalam waktu singkat telah memiliki pasukan sebanyak dua batalyon,
yaitu Batalyon Serang di bawah pimpinan Kapten Margolan dan Batalyon Malingping di
bawah pimpinan Letnan I Darmo Sudiskam. Di Malimping, Darmo Sudiskam berhasil
membentuk satu batalyon pasukan yang terdiri dari 450 personil. Pasukan ini ditempatkan di
Binuangeun, Malimping, Cihara dan Bayah (Cikotok), sebagai pertahanan di Banten Selatan,
dengan susunan organisasi sebagai berikut:
Komandan Batalyon : Letnan I Darmo Sudiskam
Wakil Komandan : Letnan II Wibowo Sumantri
Bagian Tata Usaha : Sersan Toha
Bagian Intenden : Kopral Ahmad Ilyas
Dalam masa berlangsungnya pembinaan dan penyusunan organisasi TKR Laut Banten,
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia di Yogyakarta mengeluarkan ketetapan bahwa
kekuatan diperbesar dari Batalyon menjadi Devisi. Berdasarkan keputusan bulan September
1945 tentang pembentukan Devisi ini, maka seluruh pasukan TKR-Laut di Pulau Jawa dibagi
atas tiga devisi. Devisi I meliputi Jawa Barat di bawah pimpinan Laksamana III Adam yang
berkedudukan di Cirebon. Devisi I ini terdiri atas tiga Resimen yaitu :
1) Resimen I berpangkalan di Serang
2) Resimen II berpangkalan di Karawang
3) Resimen III berpangkalan di CirebonDengan adanya ketentuan itu, maka TKR-Laut Banten di Serang menjadi Resimen I/
Divisi I yang terdiri dari dua batalyon yaitu:
1) Batalyon I di Serang di bawah pimpinan Margolan,
2) Batalyon II di Malimping dibawah pimpinan Darmo Sudiskam.
Jumlah personil kedua Batalyon TKR Laut Banten seluruhnya 800 orang dengan
perincian 350 orang anggota Batalyon I termasuk anggota Staf Resimen dan 450 orang anggota
Batalyon II.
Pengembangan organisasi dari Batalyon menjadi Resimen menyebabkan tugas TKRLaut di bidang pertahanan dan keamanan semakin bertambah luas dan memerlukan tambahan
personil. Kekurangan personil itu diatasi dengan mengadakan penerimaan anggota baru.
Dengan bertambahnya personil itu, maka kekuatan pasukan TKR-Laut Banten menjadi lima
Batalyon, yang masing-masing beranggotakan antara 350 sampai 450 orang. Kelima Batalyon
itu adalah :
Batalyon I : di Merak, dipimpinan Letnan I Sutoyo Condrowinoto
Batalyon II : di Pontang, dipimpinan Abas Syamsudin
Batalyon III : di Labuan, dipimpin oleh Mayor Rachmat.
Batalyon IV : di Malimping, dipimpin Letnan I Darmo Sudiskam -- kemudian
diganti oleh Letnan Wibowo sejak bulan Juni 1946.
Batalyon V : di Pelabuhan Ratu, dipimpin Sersan Mayor Samsudin.
Dengan bertambah besarnya jumlah anggota, maka sistem pengamanan di wilayah
pantai diperkuat, yaitu dengan menambah pos-pos penjagaan pantai; sebelumnya, pos
penjagaan pantai ini hanya ada di lima tempat, yaitu: Merak, Pontang, Labuhan dan Anyer.
Kemudian dibuka pos-pos baru yaitu di Pelabuhan Ratu, Karangantu, Sangiang, Bojonegara,
Mauk, Citeurep dan Pandeglang.
Diperkuatnya daerah pantai ini karena kapal selam dan kapal peronda pantai Belanda
semakin giat mengadakan pengintaian di Selat Sunda. Tiap-tiap batalyon menempatkan
anggota pasukannya pada pada pos-pos keamanan pantai yang menjadi wilayah operasinya.
Pasukan yang ditempatkan pasa tiap pos dibagi dalam kompi, seksi, peleton, regu dan juga
pembagian sampai 3 atau 5 orang anggota. Pos pengintaian didirikan hampir sepanjang pantai
Banten mulai dari Mauk sampai Pelabuhan Ratu.
Walaupun dalam hal personil bertambah, namun persenjataannya sangatlah
memprihatinkan. Persenjataan di tiap-tiap Kompi hanya terdiri dari 5 pucuk senjata ringan dan
selebihnya senjata tajam, setiap Peleton hanya mempunyai 2 pucuk senjata ringan dan senjata
tajam, sedangkan Regu hanya memiki senjata tajam. Batalyon Malimping hanya mempunyai
11 pucuk senjata karabejn dan tiga bayonet yang diperoleh dari front Mauk (Letkol. Purn.
Darmo Sudiskam, Wawancara). Karena kurangnya persenjataan ini maka Komandan Devisi I,
Laksamana III Adam, di Cirebon, memberikan bantuan berupa 1 pucuk bren, 1 pucuk senjata
12,7 dan 2 pucuk karabejn (Letkol Ngaliman, Wawancara).
Masih dalam usaha pengadaan senjata, pimpinan TKR Laut Banten mengirim
utusan,yang terdiri dari Letnan Ngaliman, Moh Karsowidjaja, Udjer, Dulman dan Sersan
Mayor Samsudin, ke MBU Yogyakarta dan MBT Lawang untuk meminta biaya pasukan,
perlengkapan dan senjata. Utusan ini berhasil memperoleh uang dari MBU Yogyakarta dansepucuk senjata anti tank (volstein) kaliber 20 mm dengan satu peti pelurunya dari MBT
(Letkol (Pur) I C. Souhaka, Wawancara, Ciawi, 16 Januari 1979)[20]. Kapal yang dimiliki
TKR-laut Banten hanya ada dua, yaitu Pulo Merak I dan Pulo Merak II, yang keduanya
berukuran 20/25 ton. Kedua kapal ini sebenarnya milik Jawatan Pelabuhan, dalam keadaan
rusak, kemudian diambil alih dan diperbaiki oleh TKR. Setelah Mayor Achmad Hadi
menyelesaikan pendidikan Latihan Opsir di Serang, maka dibentuk Armada baru dengan
susunan sebagai berikut :
Kepala Bagian Armada : Mayor Achmad Hadi.
Bagian Perkapalan : Kapten S. Abdullah.
Staf Perkapalan : -
Mualim I Bagian Dek : Letnan Muda Tb. Hari Achmadi
Perwira Kepala Mesin : Letnan II Sukiran
Operasionalnya, bagian Armada berada di bawah Batalyon I Merak. Tugas utama dari
kapal Pulo Merak I adalah melakukan penyeberangan anggota Angkatan Laut, Angkatan Darat
dan Pegawai pemerintah. Sedangkan kegiatan Kapal Pulo Merak II adalah mengangkut
pasukan dan suplai bagi yang bertugas di pos pulau-pulau di sekitar Banten.Sekolah Kelautan di Serang
Keputusan pimpinan MBU TKR Laut di bidang penambahan personil pasukan juga
harus diimbangi dengan pengadaan pendidikan profesional kelautan. Pendidikan kelautan
tersebut dilaksanakan di beberapa kota yaitu Tegal, Banten, Lampung, Malang, Tanjung Balai
dan Pariaman.
Di Banten, pendidikan kelautan ini dilaksanakan di Serang dengan Kolonel Misbah
sebagai penanggung jawabnya; sesuai dengan instruksi Panglima Devisi I TKR Laut Jawa
Barat, Laksamana III Adam. Maka disusunlah Staf Pendidikan Latihan Opsir TKR Laut (LO
TKRL) di Serang sebagai berikut: -
Komandan Latihan Opsir : Mayor Kun Djelani
Wakil : Letnan Margolan
Ajudan Sekretaris : Letnan I Djatmiko
Instruktur pengajar :
Pelatih Teori Ketentaraan : Ajudan Ahmad Kletskop
Pelatih Kemiliteran : Aji Rachmat.
Pelatih Pelayaran Praktis : Letnan Djatmiko
Ilmu Navigasi Cosmograf : Mayor Kun Djelani
Ilmu Kemasyarakatan : Letnan Margolan
Bahasa Inggris : Letnan Supardi
Ilmu Praktek Senjata : Letnan Supardi
Organisasi Angkatan Laut : Mayor Kun Djelani
Tiup Trompet, Fluit Anggar: instruktur gabungan.
Persyaratan untuk menjadi siswa Latihan Opsir TKR Laut (LO TKRL) di Serang ini
adalah para pemuda yang mempunyai pendidikan paling tinggi siswa MULO (SMP) dan
terendah lulusan HIS (SD) (Tb. Hari Achmad, Wawancara, Cikirai, Pandenglang, 20 Mei
1980). Pendidikan dilaksanakan di gedung bekas Asisten Residen Banten yang terletak di
Cipare (sekarang Dinas Kesehatan Tentara) Serang, berlangsung selama tiga bulan (1 Januari -
31 Maret 1946). Siswa yang mengikuti pendidikan dibagi dalam dua tingkat kepangkatan
disesuaikan dengan pendidikan umum yang dimilikinya, yaitu Cadet I dengan pangkat calon
Letnan dan Cadet II dengan pangkat calon Sersan Mayor dan Sersan.
Pada malam penutupan Latihan Opsir ALRI[21] di Serang, yang dihadiri oleh pimpinan
pemerintahan sipil dan militer, dilakukan pemberian tanda lulus kepada setiap siswa. Siswa
yang lulus dengan nilai terbaik diangkat sebagai Letnan Muda dan yang nilainya lebih rendah
diangkat sebagi Sersan Mayor atau Sersan (Laks. Purn. Atung Sudibyo, Wawancara, Jakarta,
25 Maret 1975). Selanjutnya, siswa latihan Opsir ALRI di Serang yang mempunyai nilai
terbaik diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Angkatan Laut
(SAL) di Tegal. Dalam kesempatan itu dikirimkan 5 orang siswa, tetapi yang lulus testing
hanya satu orang yaitu Atung Sudibyo.
Pendidikan latihan Opsir TKR Laut Serang hanya berlangsung satu angkatan saja. Hal
ini disebabkan karena Mayor Kun Djelani dan tenaga pengajar lainnya, pada bulan April 1946,dimutasikan untuk mengajar di Sekolah Angkatan Laut (SAL) di Tegal.
Organisasi TKR Laut yang baru tumbuh itu lebih menitik beratkan kepada
pengembangan pasukan tempur dan belum berorientasi ke laut. Hal itu terjadi karena terdapat
dua Markas Tinggi Laut yaitu di Lawang dan Yogyakarta. Pimpinan TKR Laut Lawang lebih
menitik beratkan pada pengembangan pasukan darat (korps marinir), sedangkan pimpinan
TKR Laut Lawang lebih menitik beratkan pada pengembangan armada. Untuk menyatukan
perbedaan pendapat ini, pada tanggal 24 Desember 1945 diadakan pertemuan antara kedua
pimpinan TKR Laut di Yogyakarta, yang dihadiri oleh Wakil Presiden dan Panglima Besar
Sudirman. Karena tidak ada kesepakatan, maka pada bulan Januari 1946 Pimpinan Markas
Tinggi Angkatan Laut kembali mengadakan pertemuan di Yogyakarta untuk membentuk
sebuah komisi yang bertugas melakukan perbaikan dalam organisasi TKR Laut. Diputuskan
nama TKR Laut diganti menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada tanggal 7
Januari 1946 (Berdjoeang, II/65, 20 Maret 1946).
Komisi tersebut mengusulkan kepada pemerintah tentang susunan organisasi baru
Angkatan Laut Republik Indonesia, dengan Atmaji terpilih sebagai pimpinan umum ALRI dan
M. Nazir menjadi Staf Umum (Kedaoelatan Rakjat, 30 Januari 1946).
Pada tanggal 16 Pebruari 1946 dikeluarkan penetapan Presiden tentang pengangkatan
Pimpinan Angkatan Laut Republik Indonesia yaitu :
a. Pimpinan Tertinggi : Jendral Sudirman
Pembantu Kepala Staf Umum : Laksamana Muda M. Nazir
Pembantu Kepala Staf Umum : Laksamana Muda Pardi dan Laksamana Muda
Gunadi.
b. Mengangkat Atmaji sebagai Kepala Urusan Angkatan Laut pada Kementerian
Pertahanan (Soeloeh Merdeka, 11 Pebruari 1946).
Atmaji di samping menjabat Kepala Urusan Angkatan Laut pada Kementerian
Pertahanan juga merangkap sebagai Pimpinan Umum di Markas Besar Tinggi, Lawang. Kedua
markas tinggi itu masih tetap mengembangkan apa yang menjadi rencana mereka semula,
walaupun keduanya dilandasi semangat dan kesadaran yang sama yaitu tekad perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Sementara dualisme pimpinan dalam lingkungan Angkatan
Laut Republik Indonesia belum teratasi, keadaan negara bertambah genting; dimana Belanda
mendatangkan pasukan yang baru untuk memperkuat pertahanannya, untuk menggantikan
kedudukan pasukan Inggris di Indonesia.
Pasukan Belanda melancarkan serangan-serangan ke wilayah Republik untuk
memperluas wilayah pendudukannya, sehingga timbullah pertempuran-pertempuran seperti di
Medan Area, Palembang, Padang Area, Surabaya serta Jakarta dan sekitarnya. Untuk mengantisipasi hal itu, pada tanggal 17 Juni 1946 Presiden Republik Indonesia menyatakan negara
dalam keadaan bahaya perang. Pada tanggal 26 Juni 1946 dibentuk Dewan Militer yang
diketuai oleh Presiden, sebagai anggota adalah Panglima Besar, Pimpinan Umum Angkatan
Laut, Kepala Staf Tentara Republik Indonesia, Kepala Staf Angkatan Laut dan Direktur
Jenderal Kementerian Pertahanan (Nasution, 1977: 327).
Pada tanggal 26 Juni 1946 Presiden mengangkat Laksamana Muda M. Nazir menjadi
Pimpinan Umum Angkatan Laut Republik Indonesia, dengan tugas penting mengatasi
dualisme yang terjadi dalam tubuh ALRI (Nasution, 1977: 328). Untuk tujuan itu diadakan
pendekatan pada pimpinan ALRI di Lawang dan Yogyakarta, yang selanjutnya pada tanggal
19 Juli 1946 dilangsungkan Komperensi Angkatan Laut Republik Indonesia di Lawang, yanghasilnya menetapkan antara lain (Disjarah, 1973: 173 dan 183-188):
1) Nama Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) diresmikan, sehingga nama
Tentara Republik Indonesia Laut atau Marine Keamanan dan sebagainya tidak
berlaku lagi.
2) Markas Tertinggi ALRI berkedudukan di Lawang dan Sub Markas Tertinggi
berkedudukan di Yogyakarta.
3) Pembentukan 12 pangkalan ALRI di Pulau Jawa.
Pimpinan ALRI MBU Yogyakarta yang lebih menekankan fungsi ALRI sebagai alat
negara yang bertugas di laut, sehingga dalam pembinaan organisasi banyak meniru Koninglijke
Mariane (KM) dan mengutamakan pembinaan kebaharian melalui pendidikan. Berdasarkan hal
tersebut, maka tiap-tiap Resimen ALRI di Pulau Jawa diresmikan menjadi pangkalan, yang
merupakan eselon kedua dalam struktur organisasi ALRI.
Karenanya, Resimen ALRI Banten ditetapkan menjadi Pangkalan I; dan statusnya --
sebelumnya berada di bawah Cirebon -- langsung di bawah Markas Besar ALRI di
Yogyakarta. Resimen ALRI Banten berubah menjadi Pangkalan ALRI Banten, dengan struktur
organisasi sebagai berikut (Disjarah, 1977: 164)[22]:
1) Unsur Staf :
Panglima Pangkalan : Kolonel Misbah
Wakil Panglima : Mayor Tombing
Kepala Administrasi : Kapten Darmo Sudiskam
Kepala Personalia : Letnan I Sutoyo Condrowinoto
Kepala Keuangan/Intenden : Mayor Ashari
Kepala Operasi : Mayor Hasan Acang
Perwira Siasat : Letnan I Ngaliman
Kepala Persenjataan : Letnan I Supardi
2) Unsur Tempur
Komandan Pasukan : Kapten Margolan
Dan Yon II Pontang : Kapten Atuk Mansur
Dan Yon III Labuan : Letnan I Rahmat
Dan Yon IV Malimping : Letnan I Wibowo Sumanto
Dan Yon V Pelab. Ratu : Letnan M. Samsudin
3) Armada/Perkapalan dan Establismen
Komandan : Mayor Ahmad Hadi
Ka Bagian Elektro/Teknik : Letnan II Maskalir dibantu oleh Letnan Muda Mursid
dan Letnan Muda Agus Rubayah serta Letnan Muda
Basuni.
Bagian Perkapalan : Kapten S. Abdullah.
Persenjataan Armada : Serma M. Sulaiman dibantu oleh Sersan Nurdin danSersan Intan Iskandar
4) Unsur Pembinaan
Pendidikan : Letnan I Jatmiko
Pembantu : Letnan II Aji Rahmat dan Ajudan Ahmad
Kesehatan : Manteri Kesehatan Emon, dibantu oleh Zuster Suhaima.
Markas Pangkalan I Banten terletak di gedung bekas Asisten Residen di Cipare, Serang,
dengan jumlah personil lebih dari 3000 orang, yang sebagian besar terdiri dari anggota
Pasukan Tempur/Corp Marinir (CM); tetapi jumlah pelaut sangat terbatas, hanya terdiri dari
para eks perwira Koninglijke Mariene (KM), Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) dan lulusan
Latihan Opsir (LO) TKR Laut Serang.
Personil Pangkalan I tersebar di lima kota pantai dan sebagian kecil di markas Serang.
Tiap-tiap batalyon menye-barkan anggotanya untuk mengadakan pengawasan pantai dan
pulau-pulau yang ada di sekitar perairan Banten. Setiap ada hal yang mencurigakan dengan
segera mereka memberi laporan kepada pos terdekat yang kemudian diteruskan ke Markas
Pangkalan di Serang. Kegiatan Pangkalan di samping melakukan tugas pengawasan, juga
untuk bagian perkapalan bertugas mengoperasikan kapal Pulo Merak I dan Pulo Merak II.
Menjelang akhir tahun 1946 kegiatan operasi laut dari kapal-kapal perang Belanda di
Selat Sunda semakin meningkat, sehingga kegiatan kapal Pulo Merak I dalam melakukan
penyeberangan dihentikan, karena khawatir diserang patroli Belanda. Tetapi akhirnya Pulo
Merak I jatuh juga ke tangan Belanda, menjelang akhir tahun 1947. Usaha penyelamatan kapal
oleh pasukan Letnan II Tb. Hari Ahmad -- memerintahkan anggotanya untuk melepaskan kran
pipa air agar kapal bisa tenggelam -- tidak berhasil karena kapal Belanda yang bernomor
lambung B. 251 sudah hampir merapat ke Kapal Pulo Merak I. Kapal Pulo Merak I kemudian
diseret oleh kapal Belanda keluar dari pelabuhan Merak. Ketika pasukan bantuan dari Batalyon
I Merak datang, kapal Belanda tersebut telah berada di tengah laut bergabung dengan kapal
Belanda yang lain (Tb. Hari Ahmad, Wawancara).
Di samping menjaga pantai -- secara bergiliran antara anggota Corp Marinir dan
Pasukan Tempur Laut -- dan mengadakan latihan, juga ikut dalam operasi tempur ke front
Mauk sebelum dan sesudah Aksi Militer Belanda I. Selain itu Pangkalan I Banten pun
mengadakan kerja sama dengan Pangkalan I Lampung; juga mempunyai gagasan supaya Pos
ALRI di Pelabuhan Ratu dikembangkan dan ditingkatkan menjadi Pangkalan ALRI XIII di
bawah pimpinan Kapten Saleh, karena sulitnya hubungan antara pos-pos pengintai di pantai
Selatan dengan Markas di Serang. Untuk mewujudkan gagasan ini, Kolonel Misbah, Panglima
Pangkalan I Banten, setelah mengadakan inspeksi ke pelabuhan Ratu kemudian mengirimkan
utusan ke Yogyakarta untuk meminta pengesahan dari Markas Besar ALRI di Yogyakarta.
Karena persetujuan dari Markas Besar ALRI lama tidak kunjung datang, maka Kolonel Misbah
pergi ke Yogyakarta.
Begitu lamanya Kolonel Misbah meninggalkan Markas Pangkalan, sehingga
perkembangan Pangkalan I ALRI Banten menjadi terganggu. Hal ini disebabkan timbulnya
perpecahan di kalangan Perwira Staf. Keadaan itu menimbulkan kekacauan dalam organisasi
dan garis komando, sehinggga pada awal tahun 1947 Mayor Ashari perwira keuangan
mengambil alih pimpinan, yang disetujui dan didukung oleh Perwira Staf lainnya. Kejadian di
Serang ini segera dilaporkan oleh Mayor Tobing, Wakil Panglima Pangkalan I Banten, kepada
Kolonel Misbah di Pelabuhan Ratu dan ke MBU ALRI di Yogyakarta.[23] Kolonel Misbahberhasil mengatasi kemelut dan kembali memegang pimpinan di Pangkalan I Banten. Untuk
menghindari timbulnya masalah baru dalam organisasi, Mayor Ashari diberi tugas untuk
mengurus keuangan dan perlengkapan ALRI ke Markas Besar Yogyakarta. Sejak pimpinan
berada kembali di tangan Kolonel Misbah dengan dukungan dari para Perwira Staf, maka
disiplin kerja berhasil ditegakkan kembali
Pada awal kemerdekaan, masalah paling sulit diatasi adalah masalah keuangan dan
perlengkapan personil ALRI Banten, karena memang dukungan dari pemerintah daerah dan
Markas Besar tidak mencukupi. Untuk mengatasi hal ini, terpaksa Kolonel Misbah sering
mengadakan perjalanan dinas ke daerah lain untuk mencari dukungan keuangan dan
perlengkapan; misalnya ke Tegal, Garut, dan Tasikmalaya. Dari Tegal diperoleh bantuan
berupa beberapa pucuk senjata (antara lain 12,7 dan karaben), kain (blaco), sepatu dan gula.
Selama Kolonel Misbah ke luar kota, pimpinan sementara dipegang oleh Mayor Hasan Acang.
Kekosongan pimpinan ini menimbulkan kekompakan kerja tidak seperti semula; perasaan
saling curiga mencurigai antara Perwira Staf dan Komandan Batalyon tumbuh dengan subur,
yang berkembang ke arah terbentuknya sistem kelompok.
Dalam pada itu untuk mengatasi keruwetan yang sedang berkembang dalam organisasi
ALRI, diadakan pertemuan di Yogyakarta pada bulan Januari 1947 yang dihadiri oleh
pimpinan MBU Yogyakarta dan MBT Lawang. Pada pertemuan tanggal 21 Januari 1947
diputuskan untuk membentuk Dewan Angkatan Laut, yang tugasnya di samping mengawasi
MBU ALRI juga mengawasi tugas Departemen Pertahanan ALRI dalam menyusun suatu
rencana reorganisasi yang dapat memenuhi aspirasi anggota ALRI (Disjarah, 1977: 175).
Dewan Angkatan Laut memutuskan untuk mengurangi 12 pangkalan Angkatan Laut
yang sudah ada menjadi 3 pangkalan. Berdasarkan keputusan itu Panglima ABRI Laksamana
Muda M. Nazir, pada bulan Pebruari 1947, menginstruksi agar para Panglima Pangkalan
melaksanakan dan menyesuaikan diri dengan perkembangan organisasi.[24]
Perubahan itu adalah sebagai berikut :
1) Probolinggo menjadi Pangkalan I: gabungan Pangkalan VII, Pangkalan IX
Probolinggo, dan Pangkalan X Banyuwangi.
2) Cilacap menjadi Pangkalan II.
3) Cirebon menjadi pangkalan III: gabungan Pangkalan I Banten, Pangkalan II
Karawang, Pangkalan III Cirebon dan Pangkalan IV Tegal.
Instruksi Panglima ALRI tersebut mengubah kembali Pangkalan I Banten menjadi Sub
Pangkalan yang berada di bawah Pangkalan III Cirebon. Perubahan itu tidak mempengaruhi
struktur organisasi, yang terjadi hanya penyesuaian organisasi dengan bentuk baru dan
pergeseran personalia serta memindahkan markas dari Serang ke Cilegon, dengan tujuan agar
dekat dengan pasukan dan laut. Di samping itu, Pasukan Corp Marinir (CM) berada dalam satu
komando Komandan Panglima ALRI. Sedangkan organisasi Bagian Armada Perkapalan di
bawah pimpinan Mayor Ahmad Hadi diperbantukan ke Lampung untuk mengembangkan
organisasi Armada di bawah pimpinan Letnan I Hotma Harahap.
Dengan demikian organisasi ALRI Banten pada pertengahan tahun 1947 adalah sebagai
berikut :
Komandan Panglima : Kolonel Misbah
Wakil Komandan : Kapten MargolanBagian Tata Usaha : Letnan I Darmo Sudiskam dan M. Ujer
Bagian Personalia : Kapten Sutowo Condrowinoto
Bagian Keuangan : Letnan I Kairupan
Bagian Perbekalan/Suplay : Letnan I Supomo
Bagian Pendidikan : Letnan I Jatmiko
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan Aksi Militer ke-I. Maka pada tanggal 28
Juli 1947 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan No. 97-A-47, tentang
Pembentukan Pucuk Pimpinan Angkatan Laut Republik Indonesia (PP. ALRI). Dalam
organisasi ALRI, PP. ALRI adalah suatu organisasi pusat Angkatan Laut Republik Indonesia
(ALRI) yang mempunyai tanggung jawab penuh baik secara taktis operasi, organisasi maupun
administrasi. Pimpinan yang duduk dalam organisasi Pucuk Pimpinan Angkatan Laut Republik
Indonesia adalah terdiri dari tokoh pimpinan Lawang dan Yogyakarta, dengan tujuan untuk
menghilangkan dualisme dalam Pimpinan ALRI.
D. PERANG MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN REPUBLIK
Dengan masuknya tentara Sekutu yang diwakili oleh Inggris ke Indonesia, masuk
pulalah tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration (NICA), Badan Urusan Sipil
Hindia Belanda -- yang direncanakan akan menerima kembali kekuasaan sipil di Indonesia dari
tentara Inggris, dipimpin oleh Van Mooks dan Van der Plas -- pada tanggal 29 September
1945. Pasukan Sekutu yang ditugaskan untuk melucuti semua tentara Jepang di Asia Tenggara
hanya tersedia lebih kurang 8 atau 9 divisi. Dan yang ke Indonesia terdiri dari 2 divisi, yaitu
divisi 23 dan 26, untuk Jawa dan Sumatra. Sehingga untuk menduduki beberapa pelabuhan
penting seperti: Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya dan Bandung) hanya dikirim
1 brigade saja, dipimpin oleh Jendral Christison. Bahkan untuk pendaratan di Semarang
dibentuk suatu pasukan darurat yang diketuai oleh Brigadir Artileri (Nasution, 1982: 72).
Barangkali hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa pasukan Inggris tidak
begitu memperhatikan perlakuan curang tentara NICA. Dengan ikut sertanya tentara NICA
dalam pasukan Sekutu itu membuat hampir di semua kota yang didarati tentara Inggris selalu
timbul kekacauan. Hal demikian memang disengaja oleh NICA, karena sebelum tentara Sekutu
itu masuk ke suatu daerah, tentara KNIL, yang sudah dibebaskan dan dipersenjatai kembali,
mengadakan teror dan kekacauan di dalam kota untuk memancing perlawanan dari pihak TKR
dan barisan pejuang rakyat. Selanjutnya, setelah terjadi kekacauan-kekacauan pasukan Sekutu
dan NICA tampil dengan ultimatum supaya TKR dan lasykar rakyat segera meninggalkan
kota. Bahkan dengan adanya kekacauan itu -- NICA menuduh bahwa kekacauan itu dilakukan
oleh tentara RI -- van Mook (yang tiba di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1945) mengusulkan
kepada pimpinan pasukan Sekutu, Mountbatten dan Christison, untuk mengambil tindakan
lebih keras kepada tentara Indonesia, yang katanya membuat rakyat menjadi sengsara
(Sudirdjo, 1983: 315). Perlawanan rakyat di suatu daerah, dijadikan alasan oleh NICA untuk
datang "mengamankan" daerah tersebut dan kemudian menguasainya.
Di kota Jakarta misalnya, hampir setiap hari pasukan KNIL mengadakan penculikan dan
pembunuhan pada pemuda Indonesia; dan pasukan Sekutu tidak dapat berbuat banyak
(Soeroyo, 1988:58 dan Sudirdjo, ed., 1985:39). Terjadilah kontak bersenjata dengan pemudapemuda Jakarta di daerah Jagamonyet, Senen, Tanah Tinggi, Capitol, Olimo Jatinegara, Tanah
Abang, Kebayoran, dan sebagainya. Tetapi karena pihak NICA lebih kuat persenjataannya, danpula di bawah lindungan pasukan Sekutu, maka pihak pemuda Jakarta tidak dapat berbuat
banyak. Tentara NICA itu terang-terangan mengadakan teror terhadap penduduk, bahkan
kemudian berhasil menembak dan melukai beberapa pemimpin negara, seperti Sutan Syahrir,
Mohamad Roem, Mr. Amir Syarifuddin. Keadaan kota Jakarta yang kacau inilah yang
mendorong dipindahkannya ibukota Republik Indonesia ke Jogjakarta pada tanggal 4 Januari
1946.
Pemuda-pemuda pejuang dari Jakarta, yang kemudian terdesak oleh serangan pasukan
NICA, banyak yang pindah ke Tangerang. Dan, dengan alasan mengejar para perusuh,
akhirnya pasukan NICA pun masuk ke kota Tangerang dan mengultimatum agar kota
Tangerang dikosongkan; pejuang-pejuang harus mundur 4 km, sampai di sebelah barat
Cisadane. Ultimatum Sekutu itu disebarkan melalui udara pada tanggal 14 Mei 1946, dengan
disertai penjelasan bahwa pihak Pemerintah RI telah menyetujuinya. Tiga hari kemudian, 17
Mei 1946, pasukan NICA telah berhasil menduduki Serpong.
Dalam pada itu, untuk menghindari banyaknya korban rakyat, TRI Resimen 40 Divisi II
Tangerang atas perintah komandan Divisi II, diintruksikan supaya segera meninggalkan kota
Tangerang tanpa mengadakan perlawanan kepada tentara Sekutu. Sedangkan pemerintahan
sipil Tangerang dipindahkan ke Balaraja, selanjutnya Balaraja dijadikan Ibukota Kabupaten
Tangerang. Dengan mundurnya TRI dari kota Tangerang, maka dengan leluasa pasukan
Sekutu dan NICA pada tanggal 28 Mei 1946 sepenuhnya menguasai kota (Madiyah, t.t.: 60).
1. Peristiwa Makam Pahlawan Seribu
Mundurnya tentara Tangerang tanpa memberi perlawanan terhadap musuh mendapat
ejekan dari kalangan rakyat pejuang Banten -- bahkan pernah mereka dikirimi bedak, cermin
dan lipstik. Dan, karena Tangerang merupakan pintu gerbang untuk masuk ke daerah Banten,
maka pada tanggal 23 Mei 1946 laskar rakyat dari Banten berkekuatan 400 orang bergerak
menuju Tangerang, dengan maksud menahan musuh jangan sampai memasuki daerah Banten.
Pasukan rakyat itu dipimpin oleh K.H. Ibrahim dari desa Sampeureum, Maja, bertujuan untuk
menyerang markas NICA di Serpong, Tangerang. Karena keadaan kekuatan dan kelemahan
pasukan NICA -- yang baru tiba di Serpong -- belum diketahui, dan juga diperkirakan mereka
masih dalam keadaan siap tempur, maka komandan TRI Divisi 1000/I yang berada di
perbatasan melarang adanya penyerangan tersebut. Namun didorong oleh semangat Laskar
Rakyat dan kebencian mereka kepada penjajah, tanpa mengindahkan larangan itu, mereka tetap
hendak melanjutnya rencana penyerbuan.
Di perjalanan, rombongan bertambah dengan pemuda-pemuda dari desa Maja, Cibubur
dan Cipinang yang ikut bergabung. Sampai di Tenjo pasukan K.H. Ibrahim bergabung dengan
pasukan dari Tenjo yang dipimpin K.H. Harun dengan kekuatan sekitar 300 orang. Kedua
pasukan itu berjalan kaki menuju Parung Panjang dan menginap di sana. Tanggal 25 Mei 1946,
rombongan sampai di kampung Karanggan, Kademangan. Malamnya, K.H. Ibrahim dan K.H.
Harun berunding untuk mengatur penyerangan yang akan dilaksanakan besok, tanggal 26 Mei
1946. Disepakati bahwa dalam penyerangan itu pasukan K.H. Harun akan menyerang dari arah
belakang, melalui jalan Rawabuntu terus ke Cilenggang; sedangkan pasukan K.H. Ibrahim
akan menyerang langsung dari depan, melalui jalan raya Serpong.
Pada tanggal 26 Mei 1946 sesuai dengan rencana, kedua pasukan pejuang bergerak
menuju sasaran. Jumlah laskar rakyat bertambah besar karena di sepanjang jalan yang dilalui
banyak rakyat yang menggabungkan diri; di antaranya rakyat dari Sengkol yang dipimpin Jaro
Tiking. Sepanjang jalan rombongan ini mengumandangkan takbir "Allahu Akbar" sambilmeng-acung-acungkan senjata yang dibawanya berupa golok, kelewang, tombak, panah dan
bambu runcing.
Di depan kubu pertahanan NICA, seorang serdadu NICA dengan membawa bendera
putih didampingi dua orang serdadu bersenjata brengun, menyetop dan mendekati rombongan
rakyat, dengan maksud hendak menanyakan tentang kedatangan laskar rakyat itu. Namun,
tanpa dapat dikendalikan dibarengi dengan semangat kebencian, pihak rakyat terus maju
bahkan kemudian membacok serdadu NICA pembawa bendera. Melihat keadaan tersebut, dua
orang serdadu NICA lainnya segera menembak, disusul dengan tembakan gencar dibarengi
lemparan granat dan mortir dari arah markas NICA "menyapu" barisan laskar rakyat. Maka
bergelimpanganlah pasukan rakyat, tumpang-tindih. Seruan takbir akhirnya tidak terdengar
lagi tersapu dentuman montir dan granat. Serangan ke markas NICA di Serpong itu gagal, dan
korban yang gugur -- berikut mayat K.H. Ibrahim dan Jaro Tiking -- diperkirakan lebih dari
189 orang. Jenazah para pahlawan bangsa itu semuanya dikubur secara massal dalam tiga
lobang besar; karena itulah makam para syuhada ini dinamai "Taman Makam Pahlawan
Seribu" yang letaknya di Serpong (Panitia ..., Naskah ).
2. Serangan NICA ke Perbatasan Banten
Dalam pada itu di Serang, dengan dikuasainya kota Tangerang yang merupakan pintu
masuk ke daerah Banten, Komandan Brigade I Tirtayasa, Kolonel K.H. Suam'un, segera
mengintruksikan beberapa batalyon TRI untuk memperkuat pasukan di daerah perbatasan. Di
antara pasukan yang dikirim itu adalah Batalyon II Mayor Samanhudi, yang dipimpin langsung
oleh Martono, ajudan komandan batalyon II, berkekuatan 3 kompi, yang masing-masing
ditempatkan: Kompi I Sunaryo di Sarakan, Kompi II Akhmad Bakhri di Cimone dan Kompi III
Abdullah Isa di Jenggot. Di samping itu dikirim pula Polisi Tentara (PT) Batalyon XI/GM/
Banten dipimpin oleh Yusuf, dengan komandan-komandan kompinya: Haer Kusuma,
Djajamihardja, Salim Nonong, Ayip Rughbi dan Sinting. Mereka ditempatkan di Kedaung
Barat, Karangserang, Gaga-Rawakopi, Sepatan -- di mana gerakan operasinya sampai
melintasi Cisadane: ke Sanggego, Kedaung Timur, Batuceper dan Bojongrenged. Di daerah
Balaraja, ditempatkan batalyon yang dipimpin oleh Supaat; di jurusan Curug, Pasargenjer dan
di Binong ditempatkan Kompi Subki; sedangkan di Cijantra ditempatkan Kompi Sanusi --
yang kedua-duanya dari PT Batalyon XI Banten.[25]
Serangan serdadu NICA ke Jatiuwung memaksa TRI mundur ke Cikupa. Pada tanggal
16 Juni 1946, dengan menggunakan senjata dan perlengkapan perang modern, NICA
mengadakan serangan mendadak ke Curug, Mawuk dan Balaraja, sehingga terpaksa pasukan
Resimen 40 Tangerang kembali mundur sampai ke daerah Cikande.
Untuk membantu pertahanan Resimen 40 Tangerang, Komandan Brigade I Tirtayasa
Banten pada tanggal 18 Juni 1946 segera mengirimkan tambahan pasukan TRI dari Batalyon
III yang dipimpin oleh Mayor Tb. Syamsudin Noor -- di samping pasukan Banten yang sudah
berada di Tangerang: Batalyon I yang dipimpin oleh Mayor H. Abdullah dan wakilnya Kapten
Supaat, Batalyon II dipimpin Mayor Samanhudi, bersama dengan Kesatuan-kesatuan Laskar
dan Badan-badan Perjuangan yang dipimpin oleh Ayip Juhri dan Ayip Samim dari Hizbullah,
Supri Jamhari dari Sabilillah dan Haji Jamra dari Laskar Rakyat. Batalyon III ini terdiri dari 4
kompi, yang masing-masing dipimpin oleh Kapten Sape'i Sofyan, Kapten Sunaryo, Kapten
Saleh Jaisan, dan Kapten Memed Hadi (Madiah, t.t.: 72).
Penguasaan daerah Balaraja oleh serdadu NICA itu tidak berlangsung lama, karena
setelah itu, mereka pun kembali ke pangkalannya di Tangerang. Pemerintahan sipil Tangerangkembali berfungsi dari Balaraja.
Dalam pada itu, dengan dikuasainya daerah Tangerang oleh pasukan Belanda, blokade
ekonomi oleh Angkatan Laut Belanda semakin ketat. Sembilan bahan pokok kebutuhan hidup
sehari-hari semakin sulit didapat. Dalam situasi tersebut, peran para pedagang, yang
menyelundupkan bahan kebutuhan sehari-hari sangatlah membantu rakyat. Komunikasi
dengan pemerintahan propinsi, yang sementara di Tasikmalaya, dan, apalagi dengan
pemerintah pusat di Jogyakarta, terputus sama sekali. Untuk itu, segala kebutuhan rakyat
haruslah dipenuhi oleh rakyat di daerah itu sendiri. Bahkan dalam mengatasi masalah
keuangan, pemerintahan Karesidenan Banten mengeluarkan uang sendiri, yang dikenal dengan
ORIDAB (Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Banten) yang dicetak di Serang. Tetapi karena
uang ORIDAB itu begitu sederhana, maka mudah sekali dipalsukan. Pemalsu-pemalsu
ORIDAB diketahui terdiri dari orang-orang Cina yang berdomisili di Tangerang dengan
dukungan Belanda. Karenanya dengan mudah mereka memasukkan uang palsu tersebut ke
daerah Banten melalui pos-pos penjagaan Belanda di perbatasan. Akibatnya, terjadilah inflasi,
dan yang lebih parah lagi rakyat tidak menaruh kepercayaan terhadap nilai ORIDAB.
Untuk menghadapi situasi moneter tersebut, pasukan penjaga perbatasan yang dipimpin
oleh Mayor R.R. Jaelani diperintahkan untuk mengatasi keadaan itu. Dibentuklah pasukan
khusus yang ditugaskan untuk mempelajari kode-kode rahasia dari ORIDAB dan mengadakan
penelitian uang di pasar-pasar. Sebelum pasar dibuka, para petugas ini memeriksa uang yang
akan dibelanjakan, dan apabila diketahui bahwa uangnya palsu maka uang tersebut segera
dimusnahkan. Di samping itu juga dilakukan pemeriksaan ketat terhadap orang-orang yang
datang dari daerah pendudukan, dan dilakukan penangkapan terhadap orang yang diketahui
menyelundupkan ORIDAB palsu. Dengan cara semacam itu, akhirnya sedikit demi sedikit
inflasi ORIDAB dapat diatasi.
Hal yang sama juga dilakukan pada pengadaan persenjataan. Untuk memenuhi
kebutuhan akan senjata perang itu, di samping dengan cara merampas dari tentara Belanda
juga beberapa jenis senjata dibuat sendiri. Misalnya mortir 3 inci yang larasnya dibuat dari
pipa bekas tiang listrik. Mortir istimewa itu diproduksi oleh Pabrik Minyak Mexolie di
Rangkasbitung. Karena senjata mortir ini tidak memiliki peralatan pengontrol, maka dalam
pemakaiannya beberapa kali terjadi pelurunya tidak terlontar, tapi meletus di dalam tabung.
Selain mortir "Mexolie" juga dibuat bom tarik, ranjau darat dan granat bambu.
Dengan adanya Perjanjian Linggarjati, tanggal 11-15 Nopember 1946, maka
pemerintahan Karesidenan Banten -- termasuk juga pertahanan keamanan -- meliputi 5
kabupaten: Serang, Pandeglang, Lebak (Rangkasbitung), Tangerang dan Bogor Barat.
Selanjutnya, Komandan Brigade I Tirtayasa, Kolonel K.H. Syam'un, yang sebelumnya
digantikan oleh Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala; selanjutnya diganti oleh Letnan
Kolonel Dr. Eri Sudewo.
3. Palagan di Sepatan
Aksi militer Belanda ke-1 dimulai pada tanggal 20 Juli 1947. Hal itu dimulai dengan
peran Dr. H.J. Van Mook yang mendapat kuasa penuh dari pemerintah Belanda untuk
mengadakan Politioneel Actied dan mengambil segala sesuatu yang dipandang perlu. Maka
lewat tengah malam, secara sepihak, Belanda telah menyerang dan menduduki gedung-gedung
pemerintah Republik Indonesia di Jakarta. Kemudian, keesokan harinya tanggal 21 Juli 1947
Belanda mengadakan serangan ke wilayah RI dari segala jurusan; dari darat, laut dan udara.
Pertahanan tentara RI di Jakarta Timur, Bekasi dan Tambun diserang secara besar-besaran.Selanjutnya Belanda menyerang kota-kota di Jawa Barat, sehingga Divisi Siliwangi
kekuatannya terpecah-pecah dalam kesatuan kecil di beberapa daerah.
Pada hari itu pula, tanggal 21 Juli 1947, perwira muda Mayor R.E. Jaelani, komandan
batalyon dan komandan sektor garis depan, mendapat perintah dari Komandan Brigade I
Tirtayasa untuk mendahului menyerang Belanda di sektor Jakarta Barat dengan sasaran utama
kota Tangerang dan sekitarnya. Di bawah komando Jaelani diperbantukan 3 kompi pasukan
dari kesatuan lain, yaitu Kompi Umar Syarif dari kesatuan Polisi Tentara (PT), Kompi Garuda
dipimpin Kapten Sabit, dan Kompi Pioner dipimpin Kapten Umar Dipokusumo.
Kompi Umar Syarif ditempatkan di Mawuk menduduki sayap kiri; Kompi Sabit
ditempatkan di jalan raya sekitar COP Batalyon, menduduki sayap tengah; sedangkan Kompi
Pioner diserahi menghancurkan bangunan-bangunan dan jembatan-jembatan strategis, di
samping tugas tempur [26]. Penyerangan yang dipimpin oleh Jaelani sebagai komandan sektor
dilaksanakan menjelang fajar. Walaupun pasukan penyerang ini tidak berhasil melintasi Sungai
Cisadane, tetapi pertempuran ini berjalan lama hampir sepanjang hari di sekitar Sepatan,
Cimone dan Karawaci.
Pihak Belanda mengerahkan senjata-senjata berat dengan dukungan pasukan infantri,
kendaraan lapis baja dan tembakan dari udara. Dalam pertempuran terbuka yang tidak
seimbang dalam persenjataan dan perlengkapan perangnya ini, pasukan Jaelani memberikan
perlawanan gigih hingga petang hari. Baru menjelang malam, Jaelani memerintahkan
pasukannya untuk kembali ke tempat semula.
Dalam pertempuran itu beberapa prajurit gugur dan luka-luka; bagi yang luka diteruskan
ke rumah sakit darurat batalyon Cikande. Dan untuk menghindari serangan balasan secara
besar-besaran dari NICA, pasukan Jaelani mengambil teknik bumi ha-ngus; dengan
menghancurkan jalan dan jembatan-jembatan penghubung. (Panitia ..., Naskah).Rengas Dengklok, utara Karawang, Jawa Barat, adalah tempat dimana didirikan Tangsi Rengas Dengklok markas Daidan yang
mendukung cita-cita kemerdekaan Indonesia; dengan dikuasainya tempat ini maka dapat dikatakan Rengas Dengklok-lah daerah
pertama Republik Indonesia.
[2]
Sidang-sidang PPKI ini pun diprakarsai oleh pemuda-pemuda pergerakan yang memanggil anggota PPKI untuk bersidang
karena dianggapnya para pemimpin negara terlalu lamban dan terlalu dibayangi "kekhawatiran" akan kemarahan Jepang yang
masih eksis. Dan atas usahanya pula beberapa kantor penting dapat dikuasai rakyat dari tangan Jepang (Malik, 1984: 55-68).
[3]
Istilah ini dipakai untuk menyebutkan orang Jepang sipil, karena mereka sering menggunakan lencana berupa bunga sakura
pada kemejanya.
[4]
Bagian Armada Perikanan dimaksudkan untuk menyatukan kekuatan nelayan dan hasil laut yang diperoleh akan digunakan
untuk membiayai pasukan.
[5]
Setelah pemerintah Jepang mendengar mengenai kekalahan tentaranya di laut Pasifik, segera pemerintah militer Jepang
bertindak melucuti senjata semua anggota PETA, dengan alasan akan diganti dengan senjata yang lebih baik.
[6]
Pasukan marinir Jepang pada umumnya tidak pernah berhubungan langsung dengan penduduk karenanya mereka tidak menjadi
sasaran kemarahan rakyat.
[7]
Dalam missi ini Tb. Marzuki berhasil mencuri beberapa pucuk senjata tentara Jepang karena dalam pengangkutan itu tentara
Jepang dipisahkan dari senjatanya.
[8]
Kesanggupan Tb. Kaking menjemput jenazah-jenazah tersebut menurut dia, adalah dilandasi oleh perasaan hutang budi antara
murid dan guru.
[9]
Karena semua pejabat pemerintahan diangkat dari kalangan ulama, maka di beberapa kalangan dikatakan sebagai "pemerintahan
ubel-ubel"
[10]
Gulkut = gulung bukut. bukut = pamongpraja; artinya, Laskar Gulkut ini dibentuk untuk menggulung para pamongpraja yang
dianggap warisan kolonial, dan kulaburator/penghianat bangsa. Gut-gut = jawara-jawara; artinya mereka terdiri dari jawara-jawara.
Karena memang anggota laskar ini adalah para "jawara", yang biasanya berseragam baju hitam-hitam dengan lencana di dada
berbentuk segi tiga dengan tanda palu arit di tengahnya.
[11]
Istilah yang berkembang saat itu, diambil dari bahasa Jepang (5 = go; 6 = rok; 56 = gorok, berarti dibunuh).
[12]
Ternyata kemudian baru diketahui bahwa Supriyadi mungkin telah tewas dibunuh kempetai secara diam-diam.
[13]
Jabatan ini kemudian dirangkap oleh Mayor Sukahardja, karena Mayor Salim Satiadinata ditugaskan sebagai Kepala Bagian
Siasat.
[14]
Kemudian diganti oleh Mayor Salim Satiadinata, karena Mayor Tb. Syamsuddin Nur ditunjuk sebagai Komandan Batalyon III
Resimen I (perubahan batalyon).
[15]
Gedung Markas BKR-Laut Banten itu kemudian juga menjadi markas Pangkalan I Banten, sekarang menjadi gedung Dinas
Kesehatan Tentara (DKT) Korem 064 Maulana Yusuf.
[16]
Slagorde Organik Brigade I Tirtayasa Divisi I Siliwangi setelah diadakan Reformasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) pertama, Polisi
Tentara Batalyon XI menjadi Corps Polisi Militer Djawa (CPMD) Detasemen VIII Divisi Gajah Mada.
[17]
Dan, dengan dalih untuk supaya tentara pun jangan buta politik, Menteri Pertahanan membentuk Badan Pendidikan Tentara --
yang kemudian, pada tanggal 30 Mei 1946, diubah menjadi Pendidikan Politik Tentara (Pepolit); yang pada prakteknya ternyata
digunakan oleh Amir Syarifudin sebagai tempat penanaman indroktrinasi ideologi komunis (Panitia ..., 1985: 100).
[18]
Pembentukan Biro Perjuangan (BP) XXXV di daerah Karesidenan Banten, terlambat 5 bulan dibandingkan dari daerah lain.
Hal ini disebabkan, menurut laporan Komandan PMC, Letkol Harsono, Banten merupakan daerah rawan disiplin organisasi
kelasykarannya, rakyatnya "fanatik" agama Islam dan bertemperamen tinggi, pemerintahan sipilnya belum begitu lancar, dan
keadaan sosial-ekonominya sangat memprihatinkan. Akhirnya Biro Perjuangan Pusat mengirimkan langsung Kepala dan anggota
staf intinya dari Yogyakarta (Soendjojo, Naskah).
[19]
Untuk selanjutnya Kolonel Gatot ditugaskan di Markas Besar Angkatan Laut (MBAL) di Yogyakarta.
[20]
Usaha lain untuk memperoleh tambahan senjata adalah mengadakan "hubungan timbal-balik" dengan Lampung dan Tegal.
TKR Lampung memerlukan beras dan gula, sedangkan Banten memerlukan senjata dan pakaian; maka terjadilah tukar menukar
kebutuhan. Dengan cara yang sama, diperoleh senjata dan pakaian seragam putih dari TKR Tegal (Ajudan (Purn) Arif Hasibuan,
Wawancara, Jakarta 28 Mei 1979).
[21]
Pada tanggal 7 Januari 1946, TKR Laut diganti nama menjadi ALRI.
[22]
Diperkuat oleh Wawancara dengan Letkol Ngaliman, Letkol (Purn) Darmo Sudiskam dan Tb. Hari Ahmad.
[23]
Mayor Tombing akhirnya tidak kembali lagi ke Pangkalan I Banten, karena diberi tugas baru oleh MBU untuk menjabat
sebagai Perwira Perwakilan Pangkalan I di Yogyakarta, dibantu oleh lulusan Latihan Opsir ALRI Mursid, Sukrani dan Djatmiko,
eks insruktur LO ALRI.
Instruksi panglima Laksamana Muda M. Nazir baru dilaksanakan oleh Pangkalan yang ada di Jawa pada bulan Mei 1947.
[25]
Pengiriman pasukan TRI dari Serang ke daerah perbatasan Tangerang itu dilakukan dengan jalan kaki, yang sebelumnya
diadakan acara pelepasan di Alun-alun Karesidenan dengan diiringi do'a dan taburan beras kuning oleh K.H. Ahmad Chatib,
Residen Banten.
[26]
Untuk tugas penghancuran bangunan dan jembatan itu, kompi Pioner membawa beberapa buah bom besar dari Gorda sisa
tentara Jepang. Namun menjelang fajar, anak buah kompi Pioner melaporkan bahwa denodator peledak bom yang dibawanya
tertinggal di Balaraja; dengan demikian tugas penghancuran tidak dapat dilaksanakan