bang di sukunya
ini . Begitu juga penjelasan informan bahwa kawin lari tidak dikenal di Bali.
90 Hasil pembahasan saat FGD, tanggal 20 Maret 2016.
----------- 222
tepat dikatakan sebagai lelayuan yang bisa dinyanyikan
secara bebas, sesuai dengan kreasi mereka yang
mengidungkannya (Ibid, hlm 139-140).
11. Tekot: sebuah tempat atau wadah yang terbuat dari daun
pisang diedarkan setelah ngaturang bhakti, berisi amherta,
wasapada atau kekuluh (Ibid, hlm 143).
Selain kegiatan tradisi yang melekat dan sering
dilakukan oleh pemeluk Hindu di Lombok di atas, banyak
lagi yang belum disebutkan, misalnya ngejod, ngesange,
mekemit, dlsb.
Sumber Ajaran
Sumber ajaran agama Hindu di Lombok yaitu Weda
sebagai norma utama, lalu Bhagawadgita, ada purana-
purana, aguron-guron. Tradisi menjadikan Bhagawadgita
sebagai bacaan di emudian hari berkembang sebagai bagian
dari sumber ajaran di kalangan waisnama. Setidaknya ada
forum penghayat pada golongan waisnama. Tokoh penting
dalam hal penghayatan Bagavat Gita yaitu I Gusti Mangku
Surata.91
Weda sebagai hukum dasar,92 patokan dasar yang
mengatur tentang pola tingkah laku umat Manawa Dharma
Sastra. Beberapa kelompok penghayat Bhagawadgita juga
cukup signifikan di Lombok, meskipun secara formal
kelompok ini yaitu bagian dari pemeluk Hindu
91 Kelompok kajian atau penghayatan membaca Bhagawadgita tidak diberi
nama maupun tema, sesuai dengan penjelasan forum yang ada tidak diberi nama
khusus.
92 Wawancara dengan Pedanda Kerta Arse, tanggal 11 Maret 2016
----------- 223
tradisional (arus besar). I Gusti Ngurah Mangku Sunartha,
seorang pemangku yang cenderung reformatif menginisiasi
kegiatan ini sehingga terciptalah suatu forum kajian. Beliau
memelopori berhasil menghidupkan Bhagawadgita sebagai
suatu jalan pencerahan terutama bagi anakmuda dan pencari
makna yaitu mereka yang haus spiritualitas, aktifitasnya
yaitu mengucapkan mantra dan merenungkan makna dari
ayat-ayat di dalam kitab ini , ada aspek dharma tula di
bagian akhir dari perkumpulan ini.
Posisi Purana, dan seloka cukup penting, terutama
yang telah dilakukan sejak maharesi yang membawa banyak
tulisan serta yang dikembangkan di Lombok itu sendiri93.
Simbol-simbol
Hindu di Lombok, seperti halnya di Bali, juga memiliki
banyak symbol yang penuh makna. Beberapa di antaranya,
yaitu :
1. Benang Tridatu: simbol Tri Murti. Simbol Tri Datu yaitu
fenomena yang muncul sekitar tahun 80-an,94 ini yaitu
bentuk penguatan diri dan pernyataan pemeluk Hindu di
hadapan peradaban nasional
2. Rambut mepusung pada Pedanda Siwa dan Waisnawa.
Mengenai rambut sulinggih, benar dalam konsepnya,
megelung, lingga mudra, mangga mudra. budha sipataking
maknanya yaitu kalau lingga mudra, sudah mampu
mengikat indria beliau itu sehngga focus melakukan
93 Wawancara dengan Wayan Wirata, tanggal 16 Feberuari 2016
94 Sesuai penjelasan Sekretaris PHDI
----------- 224
sesuatu. Sipataking, bahwa Pedanda memotong indria
yang melekat.95 Kalau di China bekundul, amundi, di sini
tidak menghilangkan indria, dominan pada rajas
(keinginan), tanpa keinginan tidak dapat hidup seimbang,
Budha memangkas tidak melebihi kepentingan tubuh dan
spiritual.96
3. Perangkat upacara: pakaian pedanda/pandita, banten, bajra.
Ada perbedaaan antara peralatan yang dipakai oleh
Pedanda Siwa dengan Pedanda Budha, yaitu pada alas,
kalau Siwa berbentuk gula, kalau Budha berkaki empat.
lalu soal banten tidak ada perbedaan.
4. Bajra. Ada pemahaman tentang bajra rancu. Pada pedanda
Budha di kiri ada genta, bajra di kanan tanpa genta. Pada
pedanda Siwa, bajra genta jadi satu. Kalau seorang
pinandita di Budha, bahwa pemangku boleh pakai genta,
sebelumnya belum boleh, hanya dwijati. Tahun 70an
seorang pinandita boleh pakai bajra. Berbeda konsep
sebelum dan sesudah 70an. Dalam konsep itu yang boleh
memakai bajra dan genta, hanya kaum dwijati yang
sudah disucikan. Dulu memang ada pengekangan
pembelajaran Weda. Hanya brahmana yang boleh.
Sekarang, pemangku boleh memegang genta. Pada Budha,
bajra yaitu penyimpanan bhuana agung, sedang di
kiri yaitu bhuana alit, bisa menjadi penghancur dan
pelestari.
95 Ida Wayan Oka Santosa, penjelasan pada saat diselenggarakan FGD,
tanggal 20 Maret 2016.
96 ibid. Diiyakan oleh berbagai narasumber saat FGD.
----------- 225
Upacara Periodik
Dalam agama Hindu dikenal namanya Tri Sandhya,
peribadatan harian yang dilakukan sebanyak tiga kali dalam
sehari. sedang kegiatan yang bersifat mingguan yaitu
kliwonan, yang dilakukan saat masuk weton kliwon dan kajang
kliwon setiap putaran kliwon ketiga. Ibadah yang bersifat
bulanan yaitu purnama tilem, setidaknya sekali atau dua kali
dalam sebulan, yaitu saat bulan purnama dan bulan tidak
tampak (tilem). sedang hari besar dilakukan setiap tahun
dikenal luas, yaitu Nyepi, Galungan dan Kuningan. Berikut
beberapa hal yang berkenaan dengan hari raya.
Kliwon datang setiap lima hari ketemu kliwon pada
hari pasaran/neptu/pancawara. Kliwon dianggap istimewa
dalam tubuh ini di hari kliwon untuk mengekang sifat
keraksasan (asura). Pancawara yaitu hari suci berdasar
wuku (hari pasar dalam istilah Jawa). Berikut penjelasan I
Putu Agung Sanjaya:
“Dalam setiap penanggalan pertemuan Pancawara
(Umanis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) dengan Triwara
(Pasah, Beteng, Kajeng) diperingati sebagai hari
turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak
melaksanakan dharma agama dan pada hari ini pula
para bhuta muncul menilai manusia yang
melaksanakan dharma”.
Kajeng Kliwon yaitu hari kelipatan ketiga dari
keliwonan. “Kajeng Keliwonan merupakan pelipatan, lebih
istimewa lagi”, tutur Ida Wayan Oka Santosa. Berikut
penjelasan tentang Kajeng Keliwonan:
----------- 226
“Rerainan Kajeng kliwon diperingati setiap 15 hari sekali
pada saat itu kita menghaturkan segehan Mancawarna.
Maksud dan tujuan menghaturkan segehan ini
merupakan perwujudan bhakti dan sradha kita kepada
Hyang Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah
mengembalikan (Somya) Sang Tigabhucari. Berarti kita
telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari
alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar),
sedang sekalanya kita selalu berbuat tri kaya
parisudha dan niskalanya menyomyakan bhuta menjadi
dewa dengan harapan dunia seimbang”.
Ritual bulanan yang dilakukan oleh pemeluk Hindu di
Lombok yaitu Purnama Tilem, setiap bulan dilakukan
purnama dan pada saat bulan tenggelam. Ritual saat bulan
mencapai puncak. Berikut kegiatan tahunan yang umum
dilakukan di Lombok:
1. Nyepi: merupakan peringatan tahun baru saka, setahun
sekali, tepatnya pada penanggal satu sasih kedase (bulan ke
sepuluh). Nyepi dari sepi yang artinya sunyi, sepi, hening.
Rangkaian Nyepi yaitu :
a. Upacara pengerupukan/pecaruan
Sehari sebelum nyepi, pada tilem sasih kesanga umat
Hindu melaksanalan tawur (pembersihan) kesange
untuk membersihkan alam dari pengaruh yang tidak
baik dari bhutakala. Untuk harmonis dengan Tuhan (Tri
Hita Karana). Pecaruan dilakukan pada siang hari/sore,
dilanjukan dengan penabur nasi tawur sambil
membawa obor ke segala penjuru pekarangan rumah
----------- 227
disertai dengan memukul kentongan/bunyi-bunyian.
Pawai ogoh ogoh bagian dari pengerupukan.
b. Pelaksanaan Nyepi yaitu melaksanakan catur brata
penyepian:
1) Amati geni (tidak menyalakan api)
2) Amati karya (tidak bekerja)
3) Amati Lelanguan (tidak bepergian)
4) Amati lalanguan (tidak bersenang-senang)
c. Ngembak geni
d. Dharma santi/simakrama
2. Galungan dirayakan setiap enam bulan (210 hari), yaitu
hari Rabu kliwon dungulan. Memperingati ulang tahun
bumi atau pawedalan jagat, yakni menangnya dharma
melawan adharma.97
Prosesinya:
a. Penyekeban: tiga hari sebelum Galungan, pada neptu
pahing hari Minggu. Bermakna bahwa umat Hindu
menyekeb/menahan hawa nafsu. Waspada menjaga
kesucian diri dari godaan bhutakala (sang kala tiga).
b. Penyajaan Galungan: jatuh pada hari Soma pon dungulan,
dua hari sebelum galungan (sang kala tiga melakukan
tugasnya).
c. Penampahan Galungan: sehari sebelum Galungan,
memotong hewan, ayam, itik, babi dsb. artinya secara
97 Wawancara Jero Mangku Karsa, tanggal 12 Maret 2016
----------- 228
filosofi membunuh kebinatangan dari tubuh manusia.
Umat Hindu memasang penjor sebagai wujud rasa
terimakasih.
3. Kuningan: dirayakan sepuluh hari setelah Galungan, jatuh
pada hari sanescare kliwon kuningan. Identik dengan tas-
tasan terdiri dari biji ratus (seratus biji-bijian),
endongan/candung, segahan (nasi), cemperan (tebu).
Prosesi hari raya Kuningan yaitu sembahyang di mrajan
(sanggah) lebih dari jam 12 siang sebab pada saat itu
dewa-dewi dan roh suci sudah mulai kembali ke
kahyangan.
4. Siwalatri atau Siwaratri: dilaksanakan satu tahun sekali,
saat purwaning tilem kepitu (bulan mati ketujuh), jatuh pada
bulan januari, pada malam Siwalatri, paling gelap, yaitu
bulan ketujuh paling gelap sebab bersamaan dewa Siwa
bersemadi (payogan dewa Siwa).
5. Saraswati: pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati yang jatuh
pada saniscara umanis waku gunung setiap enam bulan
sekali (210 hari). Kata Saraswati dalam Bahasa Sanskerta
berurat kata saras yang berarti mengalir, dan wati yang
berarti memiliki. Saraswati yaitu dewinya kata-kata,
pelajaran dan bijaksana. Persembahyangan yang ditujukan
pada dewi Saraswati sebagai saktinya dewa Brahma.
mengucap syukur dengan tidak membaca pada saat itu
semua sumber ilmu pengetahuan dibantenin dengan
banten khusus, isinya terdiri dari buah, simbol cicak,
simbol telur kecil, daun beringin, tempatnya terbuat dari
ron bentuknya lingkaran. Saraswati yaitu lambang ilmu
----------- 229
pengetahuan, bertangan empat, dilukiskan sebagai
mahadewi yang mahacantik terdiri dari:
a. Tangan pertama memegang genitri: ilmu pengetahuan
terus berputar tidak putus putus,
b. Tangan kedua memegang keropak, daun lontar:
lambang penyimpan ilmu pengetahuan
c. Tangan memegang wina: alat musik, ilmu
mengandung rasa estetika.
d. Tangan memegang teratai: sebagai lambang bahwa
ilmu itu indah. Pada saat itu turunnya ilmu
pengetahuan maka wajib kita membaca sloka.
e. Keesokan harinya dilakukan banyu pinaruh, penyucian
lahir bathin. tempatnya di segara atau di mata air.
6. Pagerwesi: jatuh pada budha kliwon sinta, setiap enam
bulan sekali (210), merupakan payogan Sang Hyang
Paramesti Guru, bersama panca dewata: dewa Iswara,
berstanakan di arah timur, dewa Brahma, berstanakan
arah selatan, dewa Mahadewa, beristanakan arah barat,
dewa Wisnu, berstanakan di arah utara, dewa Siwa di
tengah. Pada saat ini dilakukan tapa, brata, yoga dan
samadi untuk memeroleh ketenangan, dan ketentraman.
7. Pujawali: dilakukan perayaan yang berpusat di pura
(besar), seperti Suranadi dan Lingsar. Pujawali di Lingsar
dilaksanakan setiap tahun yang diramaikan dengan perang
tupat, setelah perang selesai, tupat-tupat diambil oleh
petani untuk menyuburkan tanahnya.98 Uniknya, Pura
98 Wawancara dengan Pemangku di Pura Lingsar, tanggal 15 Maret 2016
----------- 230
Lingsar juga dipakai untuk peribadatan umat Islam
terutama penganut Wetu Telu, Sasak. Dua umat secara
bersama-sama merawat pura secara bertahun-tahun dari
sejak tahun 1714.
Mengembangkan Eksistensi Hindu Lombok
“Umat Hindu di Lombok secara jumlah tidak terlalu banyak,
jumlahnya kecil namun menentukan”, jelas Jero Mangku Karsa.
Posisi vital umat Hindu terasa saat Nyepi dan beberapa
kegiatan lainnya, pawai ogoh-ogoh dan melasti cukup menarik
perhatian berbagai pihak, tidak hanya warga Lombok
yang terdiri dari multiagama tetapi banyak wisatawan dari
berbagai negara. Posisi vital lainnya mungkin saja dimaksud
yaitu posisi tawar pada politik dan pembangunan sosial di
Lombok, NTB secara luas.
Adapun menyangkut eksistensi internal, sebagai
jawaban atas munculnya kritik terhadap kehidupan
keagamaan Hindu (arus besar) yang lebih cenderung ramai
diaspek upacara namun dianggap kurang mendalam diurusan
spiritual, beberapa kegiatan baru muncul, antara lain:99
1. Mengembangkan tradisi tilem, berkumpul di puri
lalu berjalan kaki ke pura. Informasi yang dapat
diperoleh kegiatan tilem ini berkembang di wilayah
Pagesangan. Di wilayah lain belum terlalu membudaya
menjadi kegiatan tahunan.
99 Wawancara dengan Wayan Wirata, tanggal 17 Februari 2016
----------- 231
2. Dharmawacana mulai dikembangkan oleh pedanda,100
pandita dan pinandita yang memiliki kemampuan untuk
ber-dharmawacana di acara mlaspas, peresmian pura baru,
acara tiga bulanan, persembahyangan besar, hari
Saraswati baik di pura, mrajan dan di rumah.
3. Dharmagita, mengembangkan tradisi kidung dan sloka
yang sebelumnya telah dimiliki namun mulai
direvitalisasi, yaitu:
a. Sekar alit atau sekar agung dipakai saat hari Siwalatri
(malam peleburan dosa), turunnya ilmu pengetahuan,
pujwali di pura tertentu (weda wakya)
b. Sloka dan palawakaya yaitu bagian sekar agung.
4. Di pemerintahan, posisi penyuluh101 cukup strategis dan
diakomodasi sebagai bagian dari petugas pemerintahan.
Umumnya, penganut Trimurti dikategorikan sebagai
kelompok tradisional, di dalamnya ada beberapa sekte,102
Siwa, Waisnama dan Brahma. Ada sebuah kelompok di dalam
tradisional yang cukup berkontribusi terhadap eksistensi
mereka di Lombok, yaitu Seruling Dewata. Kelompok ini
tidak menganggap dirinya sebagai sampradaya (kelompok
terpisah dari mainstream) namun memiliki aturan sendiri di
100 Wawancara dengan I Putu Agung Sanjaya, yang mengakui bahwa Ketua
Paruman Sulinggih kerap memberikan dharmawacana di acara-acara tertentu, tanggal
19 Maret 216. Agung kerap menjadi presenter di TV lokal mendampingi Pandita
memberikan dharmawacana.
101 Banyak pemangku dan pandita merupakan PNS di STAHN dan unit
pemerintahan lainnya. Hal ini cukup memberikan suatu warna hubungan antara
pemerintah dengan agamawan yang dirasa memberikan dampak yang positif dalam
hal membangun kehidupan keagamaan.
102 Meskipun beberapa pandita yang diwawancai menyebut istilah sekte,
sepertinya istilah aliran dan sekte tidak terlalu disepakati di kalangan Hindu.
----------- 232
dalamnya. Sesuatu yang menarik dari Seruling Dewata yaitu
kemampuannya menembus batas agama, terutama dalam hal
mengenalkan silat Seruling Dewata dan Yoga. Teknik yoga
yang dikembangkan oleh Seruling Dewata dinamakan sebagai
Yoga Watukaru, sesuai nama asalnya di Bali.103 Seruling
Dewata meyakini banyak tradisi dan kekayaan agama Hindu
yang mereka pertahankan sebab di India sendiri sudah tidak
ditemukan, terutama menyangkut Yoga (Watukaru) itu
sendiri.
Organisasi Keagamaan
Hampir semua organisasi Hindu disatukan di PHDI,
sedang dari kelompok tradisional beberapa organisasi
yang bersifat paguyuban ada juga organisasi formal, banyak
organisasi yang tergabung dalam PHDI. Secara umum PHDI
terbagi dalam Paruman Pandita yang mengurus persoalan
keagaman dan Paruman Walaka yaitu struktur yang concern
pada urusan di luar peribadatan, misalnya politik,
kebudayaan dan lain sebagainya.104 Paruman Sulinggih
merupakan organisasi mandiri untuk mengoordinasikan
seluruh sulinggih di NTB, sedang Paruman Pandita untuk
memenuhi struktur pada PHDI105.
Adapun organisasi yang termasuk dalam lingkup
PHDI, antara lain:
103 Wawancara dengan Ida Bagus Beni Pratama, tanggal 14 Maret 2016
104 Wawancara dengan Wayan Wirata dan I Gede Mandra di kantor PHDI,
tanggal 18 Februari 2016
105 Pembahasan pada FGD di PHDI, tanggal 20 Maret 2016
----------- 233
1. Perhimpunan Pemuda Hindu negara kita (Peradah)
2. Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma negara kita (KMHDI)
3. Pinandita Sanggraha Nusantara
4. Mahagotra Pasek Sanak Sakti Resi
5. Wanita Hindhu Dharma negara kita (WHDI)
6. Sampradaya-sampradaya:
a. Asram Gaura Chandra (Krisna)
b. Jalananda
c. Sai Baba
d. Brahma Charini
e. Seruling Dewata106
Organisasi dalam lingkup warga Hindu yang
bernuansa keagamaan selain struktur dalam PHDI, memiliki
keunikan dan perlu diberi penjelasan tersendiri, antara lain:
1. Mahagotra Pasek Sanak Sakti Resi
Sejarah kelahiran organisasi Warga Pasek yang sekarang
disebut Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi atau MGPSSR
dapat ditelusuri sampai ke awal tahun 50-an. Setelah
melalui beberapa tahap persiapan dan rapat-rapat,
akhirnya sejumlah tokoh Warga Pasek dari beberapa dadia
106 Seruling Dewata merupakan bagian dari Hindu (tradisional), lahir dan
tumbuh berkembang dari Watukaru, Bali. Seruling Dewata yaitu sebuah perguruan
silat yang berpusat di Bali, namun memiliki suatu tata aturan dan tata nilai sendiri di
dalamnya. Organisasi ini perlu dimasukkan sebagai sebuah fenomena untuk
memertahankan tradisi yang kuat di Hindu (Bali) yang di Lombok.
----------- 234
dan dadia agung seluruh Bali mengadakan pertemuan di
gedung bioskop Sampurna, di Klungkung pada hari
Kamis, 17 April 1952. Pertemuan ini menghasilkan
deklarasi pembentukan organisasi Warga Pasek yang
disebut dengan Ikatan Warga Pasek. Ikatan Warga Pasek
pada waktu pembentukannya diketuai oleh I Made Sirya,
tokoh dari dadia agung Pasek Gelgel di Desa Aan,
Klungkung. Selain ketua organisasi, pada setiap
kabupaten dibentuk juga koordinator untuk
mengkoordinasikan Warga Pasek di kabupaten masing-
masing.107
2. Paruman Pemangku, berupa Pinadita Sanggraha
Nusantara (PSN). Merupakan organisasi antarpemangku
secara nasional, keterlibatan para pemangku dari Lombok
dalam pendirian PSN cukup signifikan sebab sebelumnya
sudah berdiri Himpunan Pinandita Pemangku yang
didirikan pada tahun 1998.108 Namun sebab berkaitan
dengan jaringan dan legalitas sebagai organisasi
warga termasuk hubungannya dengan pengakuan di
PHDI, akhirnya tahun 2010 berdiri PSN Nusa Tenggara
Barat sampai dengan Koordinator Daerah di delapan
Kabupaten/Kota. Stuktur organisasi pada PSN dapat
dilihat pada bagan di bawah.
Bagan 1:
Struktur Organisasi PSN pada tingkatan Korwil
3. Banjar
Struktur Banjar secara umum hanya ada dua
organisasi, yaitu :
a. Ketua (Kelian)
b. Wakil Ketua (Wakil Kelian)
c. Sekretaris (penyarikan)
d. Bendahara/seringkali dirangkap oleh Penyarikan
e. Anggota
f. Organisasi berbasiskan wilayah/lingkungan.
--
g. Sebelum swatantra, hanya ada dua kepala desa,
perbekel (mayoritas Hindu) dan pemusungan (di
mana umat muslim kebanyakan)
Beradasarkan uraian di atas, konflik sebagai fungsi
yang bersifat manifest tidak pernah terjadi. Hal ini disebabkan
berbagai nilai yang masih terjaga. Adapun ketegangan
antarkelompok dan “aliran”, ataupun sekte tidak pernah
mengarah serius. Keberadaan sampradaya dirasa baik,
meskipun dengan berbagai syarat sosial tidak mengganggu
tatanan yang sudah ada.109
Nilai yang mengikat secara internal:110
1. Sidikara: kesepakatan untuk bersama-sama mensukseskan
kepentingan kelompok (sidi = sebenarnya, kara = tangan)
dalam hal pelaksanakan kegiatan keagamaan dari Pance
Yadnya sampai keagamaan lainnya.
2. Mwarang: pertemuan antara dua keluarga diakibatkan oleh
perkawinan untuk membina kerukunan anak-anak yang
terjalin dalam perkawinan dan keluarga besar.
Nilai yang mengikat dengan ekternal:111
1. Belangar: saling kunjungi saat ada yang meninggal atau
musibah
2. Simakrama: menjalin keakraban saat hari raya maupun
pesta
109 Wawancara dengan Ida Pedanda Kerta Arse, tanggal 11 Maret 2016.
Beliau mengungkapkan kalau ajaran Hindu itu flesksible tidak begitu mengikat
pemeluknya sedemikian kaku pada satu ajaran atau nilai, hanya pranata yang sudah
ada tidak boleh asal ditabrak.
3. Ngejot: memberi dan menerima dalam hal sesuatu yang
lebih sebuah acara sebagai wujud rasa syukur dan saling
memiliki.
4. Hubungan perkawinan antarsuku, antaragama. hubungan
akan menjadi baik, bagaimanapun jelek awalnya. Konversi
yaitu keniscayaan.
Dengan adanya Parisada Hindu Dharma negara kita ,
terutama wilayah NTB, ini menjadi jembatan komunikasi
yang baik dengan pemerintah, begitu juga dengan adanya
Kabid Bimas Hindu di Kanwil Kementerian Agama yang
mengayomi semua kelompok dalam agama Hindu
menjadikan.
Hubungan antara pemeluk Hindu dan pemerintah
juga sedemikian baik dan aktif. Begitu juga hubungan dengan
pemerintah daerah, Provinsi dan Kota/Kabupaten terjalin baik
yang dapat dilihat dari kehadiran para pejabat dalam
kegiatan-kegiatan agama Hindu dan dapat pula
diselenggarakan di kantor pemerintahan/pendopo
gubernuran.
Keberadaan Hindu di Lombok yang diejawantahkan
dalam tiga bentuk, yaitu Tatwa, Susila dan Upacara
memberikan dampak positif terhadap internal kelompok
dalam agama Hindu. Bagi individu dapat menjalani hidup
yang nyaman, lahir dan bathin. Begitu juga hubungannya
antarpemeluk Hindu, meskipun berbeda jalan, semua proses
beragama dapat memancarkan dharma. Kehidupan
tradisionalitas dalam Hindu merupakan suatu cara yang
efektif memertahankan tradisi, dapat mengembangkan
mentalitas dan jatidiri. Upacara hendaknya tidak selalu dapat
dipahami sebagai pemborosan sebab setiap hal yang
diberikan kepada Tuhan Yang Maha Esa akan kembali dengan
setimpal dan berguna baik untuk mencapai kehidupan
sempurna (Moksa).
Upacara tidak hanya memberikan dampak terhadap
diri pemeluk namun juga menjadi media perputaran ekonomi
sebab aktivitas jual beli upakara (peralatan upacara) diakses
oleh semua pemeluk agama, dalam hal ini muslim juga
terlibat. Tatwa, dapat memberikan dampak kepada individu
untuk meningkatkan keyakinan Tuhan,112 tujuan datang ke
dunia, dlsb. Dampak terhadap ekternal yaitu mawas diri,
dan mengenali siapa dirinya. sedang Susila terlihat dapat
memberikan perubahan bagi umat Hindu sendiri, terutama
karakternya. Selaras sengan revolusi mental, memberikan
mentalitas perubahan dan kenyamanan bagi keluarga dan
warga .
Keberadaan kaum tradisionalis Hindu di Lombok
cukup memberikan warna tidak hanya pada kehidupan
keagamaan namun berdampak pada aspek sosial lainnya.
Posisi vitalnya dalam kehidupan sosial dan keagamaan di
NTB, mencerminkan identitas kultural. Keajegan ritual
keagamaan yang tampak dalam pelaksanaan upacara, baik
yang kecil maupun besar menjadikan Hindu di Lombok
cukup unik sehingga tercipta kekhasan sendiri. Aktivitas
112 Keesaan Tuhan Yang Maha Esa yang termaktub dalam Bagavadgita yang
dijelaskan oleh Gusti Mangku Sunartha yang hidup dalam seluruh aktvitas manusia
baik dalam terjaga maupun tidak, baik itu duduk, berjalan dan tidur, untuk itu
selalulah mengingatNya.
-
keagamaan tidak hanya memberikan hal positif bagi
pemeluknya namun memberikan efek yang baik yaitu
meningkatkan kesejahteraan umum.
sedang hubungannya dengan kelompok
(sampradaya) dinilai antarmereka cukup baik, tidak
menimbulkan friksi yang serius, bahkan beberapa model
diadopsi ke dalam kehidupan tradisional Hindu sendiri, yaitu
tumbuhnya forum penghayat spiritualitas dengan membaca
Bhagawadgita di rumah tokoh agama. Dengan kata lain, ritual
sosial (upacara) jalan terus, tetapi penghayatan spiritual jalan
terus. Hal ini cukup memberikan nuansa pencerahan
tersendiri khususnya bagi kaum muda yang haus akan
siraman rohani dan kebutuhan bathin, sebagai bentuk
perimbangan terhadap intelektualitas yang semakin
meningkat.
Dengan tidak tampaknya potensi “konflik” antara
sampradaya dan kaum tradisionalis, meskipun potensi itu
relatif, maka dampaknya dalam kehidupan keagamaan di
Lombok memberikan prospek yang dinamis. Ke depan, dua
arus ini dapat saling melengkapi dan memerkaya agama
Hindu itu sendiri, meskipun syarat untuk tidak ditabraknya
pranata (tradisi) perlu untuk didiskusikan secara terus
menerus, sebab indikasi adanya sifat reformatif di tubuh
sampradaya cukup terasa. Misalnya adanya aktivitas
sampradaya tertentu di pantai Senggigi saat pelaksanaan Nyepi
dapat menjadi titik krusial.
Secara umum penelitian ini dapat menjawab tujuan
penelitian, yaitu diperolehnya informasi dan data tentang
-
perkembangan tradisional Hindu (arus besar) di Lombok
NTB; lalu dapat dipahami tentang dampak keberadaan
kelompok tradisional dalam agama Hindu terhadap kelompok
spiritual di Lombok NTB; serta diperolehnya pemahaman
tentang hubungan antarkelompok dalam Agama Hindu pada
kehidupan keagamaan di Lombok NTB. Diharapkan
penelitian ini dapat menjadi informasi dan data awal
perumusan kebijakan tentang kelompok di agama Hindu oleh
Kementerian Agama.
berdasar uraian dan simpulan di atas, rekomendasi
yang dapat diajukan dalam penelitian yaitu :
Tetap diperlukan suatu dialog yang serius di tingkat
cendikiawan tentang keberlangsungan tradisonal Hindu dan
perkembangan sampradaya untuk mengurai kesalahpahaman
satu sama lain. Cendikiawan dapat mengurai pelik hubungan
tradisionalis dengan pihak yang mungkin akan bergerak
secara reformatif.
Kementerian Agama dapat merumuskan suatu
kebijakan strategis menyangkut keberadaan tradisionalis
Hindu sebagai suatu potensi pengembangan spiritualitas,
begitu juga sebaliknya sengan sampradaya menjadi penunjang
terciptanya harmonisasi.
Memahami Hindu Kaharingan
Sebagaimana tradisi lama dalam Hindu dan juga
menurut Swami Vivekananda, ada kesatuan fundamental
Hinduistik yang mendasari banyaknya perbedaan bentuk
bagaimana Hindu itu dilaksanakan. Beberapa aliran begitu
meyakini Weda, tapi tidak bagi yang lain. Perbedaan ini lalu
diikat oleh kesamaan yang dipuja. Misalnya, sekte
Linggargayata tidak mengikuti Weda, namun percaya pada
Siwa. Hal yang sama juga dapat dibaca dalam kepercayaan
“agama-agama lokal” di negara kita . Salah satu contoh, orang
Marapu menyebut Tuhannya dengan Amallahu Amarawi
(Sugiyarto, 2014). Begitu juga dengan Kaharingan yangb
memiliki kitab Panaturan dan menyebut Tuhannya dengan
Ranying Hatalla Langit atau Mahatara. sedang suku
Huaulu menyebut Lahalata; Naulu menyebutnya Natanaka dan
sebagainya (Media Hindu, 2016, Edisi 144).
Secara teologis semua itu sama dengan Tuhan dalam
Hinduisme113. Semua aliran memiliki mitos berbeda, sesuai
budaya dan lingkungan. Meski banyak aliran mandiri, tetapi
ada kadar interaksi yang saling acu antara tokoh agama dan
113Nama-nama Tuhan memang bisa berbeda-beda dalam setiap komunitas
suku. Di Jawa misalnya, menyebut dengan Pengeran atau Gusti Allah. Seingat
penulis, guru agama di Langgar dan Musala lebih banyak menyebut Pengeran dari
pada Allah.
-
tradisi, sehingga semua tetap mengindikasikan adanya rasa
jati diri dan rasa koherensi dalam konteks yang sama.
Pada era reformasi muncul kelompok spiritual yang
kegiatan utamanya yaitu membaca kitab suci, dan agak
mengabaikan upacara, misalnya hanya menjalankan tradisi
agni hotra dan bhajan. Munculnya kelompok spiritual awalnya
menimbulkan reaksi negatif kelompok tradisional yang
menekankan pelaksanaan upacara dari pada membaca kitab
suci, meskipun kenyataanya juga membaca kitab suci,
menghayati dan mengamalkanya Weda atau Panaturan
(Kaharingan). Saat ini hubungan dua kelompok ini sudah
mencair. Jadi sebenarnya kita agak kesulitan membedakan
Hindu spiritual dan Hindu tradisonal, sebab dalam Hindu
spiritual ada upacara dan dalam Hindu tradisional ada
spiritualnya. Satu-satunya argumen paling mudah dan logis
dari makna Hindu tradisional yaitu Hindu yang bersifat
lokal (agama suku), seperti Hindu Bali, Hindu Tengger, Hindu
Hualulu, Hindu Naulu, Hindu Tolotang, dsb. Oleh sebab itu
yang disebut Hindu tradisional di Kota Palangka Raya yaitu
Hindu Kaharingan.
Masalah yang digali dalam penelitian ini yaitu
eksistesi Hindu Kaharingan di Kota Palangka Raya yang
ternyata belum banyak diketahui sebagian besar pegawai di
lingkungan Bimas Hindu Kementerian Agama. Begitu juga
bagaimana dampaknya terhadap kehidupan keagamaan. Atas
dasar masalah itu, maka implikasinya yaitu harus
menjelaskan sejarah dan perkembangan; jumlah penganut,
model struktur organisasi, tokoh, simbol yang melekat, tradisi,
media mempertahankan diri, dan relasinya dengan kelompok
Hindu lainnya.
--
Kota Palangka Raya dan Kehidupan Keagamaannya
Palangka Raya yaitu ibukota Provinsi Kalimantan
Tengah. Kota ini dibangun mulai tahun 1957 (UU Darurat No.
10/1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tk I
Kalimantan Tengah) dari hutan belantara, melalui Desa
Pahandut (bapak si Handut) di tepian Sungai Kahayan. Luas
wilayahnya 2.400 km² dan kota terluas di negara kita . Sebagian
berupa hutan, konservasi alam dan Hutan Lindung (seperti di
Tangkiling). berdasar data BPS tahun 2013, kota Palangka
Raya berpenduduk sekitar 330.962 jiwa dengan kepadatan
penduduk 9.067 jiwa/km².
Kota Palangka Raya terbagi menjadi 5 Kecamatan,
yaitu Kecamatan Pahandut (6 kelurahan), Jekan Raya (4
kerlurahan), Sabangau (6 kelurahan), Bukit Batu (7 kelurahan)
dan Kecamatan Rakumpit (7 kelurahan). Penduduk terdiri
banyak suku, yaitu suku Dayak (46,62%), Jawa (21,67%) dan
Banjar (21,03%), etnis Melayu (3,96%), Madura (1,93%), Sunda
(1,29%), Bugis (0,77%), Batak (0,56%), Flores (0,38%), Bali
(0,33%) dan suku-suku lainnya.
warga Kota Palangka Raya cukup relegius.
Terbukti ada banyak sekolah-sekolah agama, rumah
ibadah dan tokoh agama seperti ulama, mubaligh, pendeta,
penatua, pastur, pedande, basir dan sebagainya. Jika tidak
relegius, tentu tidak ada sekolah agama, rumah ibadah dan
tokoh agama. Penduduk berdasar agamanya, yaitu Islam
234.700 jiwa (74%); Kristen 81.766 jiwa (17%); Katolik 8.793
jiwa (3%); Hindu 47.942 jiwa (9,7) ; Buddha 2.218 jiwa (0,6);
dan Khonghuchu 572 jiwa (Kalimantan Tengah Dalam Angka,
2013).
-
Secara kuantitas, penganut Hindu Kaharingan ini
sudah stagnan atau semakin menurun, sebab tidak ada misi
Kaharinganisasi. Sementara rumah ibadah yang dimiliki umat
Islam 143 buah, Kristen 127 buah, Katolik 12 buah, Hindu 6
buah, dan Buddha 6 buah. Umat Khonghuchu belum punya
rumah ibadah.
warga Dayak Pemangku Agama Hindu Kaharingan
warga pemerhati kehidupan sosial keagamaan
selama ini hanya tahu bahwa Kaharingan merupakan bagian
dari Hinduisme, tetapi tidak banyak orang tahu tentang
bagaimana Hindu Kaharingan sebagai agama hanya dianut
warga Dayak. Suku Dayak yang sudah muslim, masih
melaksanakan tradisi leluhur yang berakar pada nilai Hindu
Kaharingan. Akibat banyak subkultur suku, tradisi yang
filosofid dan maknanya sama tetapi istilah sering berbeda,
terutama nama tradisi. Nama tradisi yang secara kata, makna
dan filosofinya sama-sama dipahami kalangan suku Dayak
yaitu upacara Tiwah. Kata Kaharingan sudah akrab dalam
kehidupan suku Dayak sehari-hari meskipun sudah beragama
lainnya. Hindu Kaharingan yaitu kepercayaan suku Dayak,
penganut pasti suku Dayak, tetapi tidak semua Dayak itu
Hindu Kaharingan, bahkan mayoritas muslim.
Dalam penelitian ini sangat sulit menemukan lektur
keagamaan Hindu Kaharingan, seperti tafsir berjilid-jilid,
tuntunan beragama, beragama Hindu secara utuh dan
sebagainya. Hal ini berbeda dengan umat agama lain yang
dapat memperolehnya di toko-toko buku, sehingga dapat
dipelajari kapan saja dan di mana saja. saat anak-anak
--
dewasa ini telah semakin kritis, pasti menghendaki memiliki
argumen yang kuat tentang berbagai hal dari agama yang
dianutnya, agar mereka dapat membentengi dirinya.
Dibukukannya Kitab Suci Panaturan (ajaran leluhur)
dan Telatah Basarah (tatacara beribadat) sepertinya tidak
banyak membantu umat Hindu Kaharingan untuk bertahan.
Untuk mempertahankan agama dan tradisinya, faktanya
sangat tergantung Basir dan Mantir. Kurangnya lektur
keagamaan dan majelis pendidikan agama Kaharingan
menjadi tantangan besar bagi para agamawan Hindu
Kaharingan. Jika tidak segera disikapi secara benar, maka
pelan tetapi pasti, agama ini akan semakin ditinggalkan.
Seperti yang sudah terjadi, di mana suku Dayak di
Kalimantan Tengah saat ini mayoritas muslim, dan sebagian
juga Kristen atau Katolik. Hal ini juga terlihat di Palangka
Raya, Suku Dayak sebagai kelompok terbesar ternyata
mayoritas beragama Islam. Kondisi ini sama saja dengan di
wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara yang
mayoritas beragama Kristen atau Katolik.
Suku Dayak mulanya hidup di seluruh hilir sampai ke
hulu sungai di seluruh Kalimantan dan distereotip sebagai
suku terbelakang. Stereotip itu salah besar, sebab jauh
sebelum negara kita merdeka dan muncul berbagai gerakan
pemuda negara kita awal abad 20, mereka sudah memiliki visi
kebangsaan untuk mengatur seluruh warga di
Kalimantan, apa pun agamanya. Suku Dayak itu berhimpun
pada tahun 1894 dalam jumlah yang cukup besar mewakili
406 suku Dayak (dan subnya) dalam pertemuan bersejarah
“Tumbang Anoi”, Damang Batu, Gunung Mas. Dalam
pertemuan itu termasuk 16 undangan dari Kesultanan
Banjarmasin, Pontianak, Sambas, dan kesultanan Kutai
Kartanegara serta suku Dayak di Serawak, Sabah dan Brunai.
Pertemuan itu dipersiapkan selama 4 bulan untuk
mengumpulkan akomodasi para peserta yang jumlah ribuan.
Pertemuan berlangsung selama 60 hari. Sambil menunggu
utusan terakhir mereka membahas semua hal berkaitan masa
depan suku Dayak paska perang Banjar. Salah satu
kesepakatan terpenting yaitu 96 pasal berkaitan dengan adat
yang diberlakukan dan dijaga secara bersama-sama oleh
seluruh suku Dayak apa pun agamanya. Setelah semua
berkumpul membuat pernyataan bersama hasil pertemuan.
Kehebatan suku Dayak yang dapat menghasilkan
kesepakatan 96 pasal nyata, sebab suku lainya di Nusantara
belum ada gerakan berhimpun secara besar-besaran seperti
dilakukan suku Dayak ini. Perjuangan untuk berhimpun itu
sendiri sudah merupakan semangat kebangsaan luar biasa.
Apalagi masa ini belum ada transportasi darat dan alat
komunikasi modern seperti sekarang. Bagaimana cara
menghubungi kepala suku sebanyak 406 orang dan
bagaimana mereka harus datang di Tumbang Anoi.
Pulau Kalimantan masa itu benar-benar masih hutan
belantara. Wilayahnya pun begitu luas (5,5 kali pulau Jawa).
Ada yang tetap mengganjal dilihat dari sudut logika mana
pun, bahwa mereka saling berhubungan untuk berkumpul
tanpa alat komunikasi seperti dewasa ini. Munginkah mereka
memakai cara supranatural, belum ada bukti tertulis.
Memang, dalam legenda maupun cerita informan, para
pemimpin suku dikenal dapat memanggil sauadara atau anak
buahnya tanpa harus mendatangi. Mereka cukup memanggil
secara batin, maka yang dipanggil akan datang dengan
-
sendirinya. Dalam kasus perang Sampit misalnya, diceritakan
tentang ahli supranatural memanggil roh-roh dan orang-orang
pedalaman untuk membantu dalam perang Sampit.114
Untuk datang ke Tumbang Anoi, mereka harus
mengayuh perahu di sugai-sungai lebar, jalan kaki di darat
yang masih hutan belantara, mengayuh perahu dan
seterusnya sepanjang ribuan kilometer, barulah sampai di
Tumbang Anoi. Jumlah utusan sekitar 1480-an orang. Tuang
rumah (Tumbang Anoi) yang ditugaskan selama 4 bulan
mengumpulkan akomodasi menyerahkan 100 ekor kerbau dan
sapi untuk akomodasi peserta selama 2 bulan. Tetapi
warga Tumbang Anoi dan peserta bergotong-royong,
ada juga yang bawa bekal seperti beras, ayam, ikan atau lainya
dan pertemuanpun berhasil sukses. Kesuksesan pertemuan
Tumbang Anoi ini tidak terlepas dari filosofi rumah Betang
yang mengajarkan kesetaraan, gotong-royong, demokratis,
memahami nasib dan didorong oleh cita-cita yang sama. Hasil
pertemuan bersejarah itu menjadi pegangan para Tamanggung,
Demang, Dambung dan Singa atau pemangku adat, apapun
agamanya. Paska pertemuan Tumbang Anoi, kehidupan
warga Dayak menjadi sangat baik dan damai, tidak ada
perang antar suku dan sub suku lagi.115
Sebagian warga Dayak jika sudah memeluk
Islam, suka tidak menyebut dirinya sebagai suku Dayak.
Sikap ini secara tidak langsung melahirkan munculnya
stereotif negatif. Gubernur saat ini yang belum dilantik,
Sugiyanto yaitu suku Dayak. Namanya Jawa, padahal ia
suku Dayak beragama Islam, pengusaha kaya Pangkalanbun
dan eks anggota DPR RI. Menurut pandangan suku Dayak
dahulu, suku Melayu dan Islam yaitu simbol kemodernan,
dan Dayak dengan Kaharingan distereotifkan sebagai simbol
ketertinggalan dan kekolotan.116 Komunitas suku Dayak saat
ini sangat terpelajar, sehingga menempati semua posisi
strategis di semua lini birokrasi Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten Kota.
Umat Hindu Kaharingan Berjuang Memperoleh Jatidiri
Kaharingan berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno)
dari akar kata “Haring” yang berarti ada dan tumbuh atau
hidup. Dalam istilah danum, Kaharingan diartikan air
kehidupan dan dilambangkan dengan Batang Garing atau
pohon kehidupan. Istilah Kaharingan diperkenalkan tahun
1945, menjelang kemerdekaan oleh Dai Nippon atas saran
tokoh adat Dayak Ngaju, Damang Y. Salilah dan W. A. Samat
saat Tjlik Riwut menjadi Residen Sampit berkedudukan di
Banjarmasin. Agama Kaharingan sudah menjadi agama bagi
suku Dayak, seperti agama-agama lain meskipun belum ada
pembukuan ayat-ayat dari Ranying Hatala Langit saat itu.
Umat Hindu Kaharingan sekuat tenaga
memperjuangkan jatidirnya agar diakui seperti agama lain
sejak tahun 1950. Wadahnya yaitu organisasi Serikat
Kaharingan Dayak negara kita (SKDI) yang didirikan 20 Juli
1950 di Palangka Raya. Perjuangan pengakuan ini tidak sukses
seperti umat Hindu Bali yang secara bersamaan juga
memperjuangkan jatidirinya. Hindu Bali diuntungkan
banyaknya kabupaten yang sudah berjalan efektif saat itu.
saat pemerintah belum menyepakati, umat Hindu Bali
sudah membentuk semacam dinas-dinas agama Hindu di
seluruh kabupaten di Bali. sebab itu tidak diakui pun, Hindu
Bali sudah memiliki struktur birokrasi di Pemerintah Daerah
Kabupaten, yang diketuai seorang Padanda.
Sementara umat Kaharingan menghadapi kendala luar
biasa. Kota Palangka Raya baru mulai dibangun dari hutan
belantara, belum ada jalur transportasi kecuali melalui sungai.
Kitab Suci Panaturan belum dibukukan, dan buku-buku
panduan beribadah juga belum ada, apalagi buku-buku lektur
keagamaan Kaharingan sama sekali belum ada. Budaya yang
ada yaitu budaya tutur bukan budaya tulis, seperti di agama
lain. sebab itu perjuanganya menjadi terhambat akibat belum
siapnya berbagai perangkat sebagai agama, sibuknya
penataan struktur pemerintahan, membangun tata ruang kota
dan kondisi infra strutur yang belum memadai. Akhirnya
Hindu Bali diakui sebagai agama, membentuk PHDI, dan
menempatkan tokoh di kantor Kementerian Agama pusat,
sementara umat Kaharingan gagal sebab Pemerintah Pusat
tetap menolak mengakui Kaharingan sebagai agama. Hal ini
mendorong para tokohnya untuk mencari kemungkinan lain.
Atas dasar itu, maka Majelis Besar Alim Ulama
Kaharingan negara kita (MB-AUKI) yang terbentuk setelah
SKDI, mengajukan integrasi kepada PHDI Pusat. Pengajuan
tertulis dalam surat No: 5 /KU/MB-AUKI/1980, 1 Januari 1980
tentang Penggabungan/ Integrasi Majelis Besar Agama Hindu
Kaharingan (MB-AHK) dengan PHDI yang ditanda tangani
Lewis KDR, BBA. Lewis KDR yaitu Ketua umum dan
-
pemegang mandat penuh dari MB-AUKI dengan Nomor.:
131/MB/-AUKI/II/1979, 29 Desember 1979 (PHDI Kalimantan
Tengah, 17 Juni 2006).
Sebelum integrasi, dilakukan dialog antara pengurus
MB-AHK dengan para tokoh Hindu di Bali. Dialognya
mengenai teologi, ritual, tradisi dan sebagainya dengan
intelektual Hindu Bali mirip ujian fit and proper test, dipimpin
doktor Hindu lulusan India, Ida Bagus Mantra. Selesai dialog,
dinyatakan Kaharingan yaitu Hindu kuno yang telah dianut
suku Dayak sejak jaman Weda. sebab keterputusan
intelektual, sehingga ajarannya tersosialisasi dalam bentuk
tuturan. Paska dialog, utusan MB-AUKI semakin mantab
berintegrasi. Padanda Bali pun didatangkan untuk lebih
meyakinkan. Padanda melakukan pertapaan di Bukit Batu
(Tengkiling) dan lalu menyampaikan Kaharingan
yaitu Hindu pertama di Nusantara.117
Keberadaan (MB-AUKI) yang berubah menjadi MB-
AHK dipertegas SK Dirjen Bimas Hindu dan Buddha 19 April
1980, tentang Pengukuhan MB-AHK sebagai badan
keagamaan Hindu. Posisinya dipertegas bahwa Pembimas
Kanwil Kementerian Agama hanya memberikan bimbingan
dan pelayanan kepada umat Hindu Kaharingan. Posisi MB-
AHK bersama Parisada Hindu Dharma negara kita (PHDI)
menjadi mitra utama Pembimas Kanwil Kementerian Agama
dalam melaksanakan bimbingan warga Hindu
Kaharingan. Pembinaanya efektif dilakukan oleh mitra kerja
yang memiliki legalitas dari pemerintah, yaitu PHDI Pusat
hingga Daerah dan MB-AHK Pusat juga sampai ke Daerah.
sebab itu dalam struktur organisasi MB-AHK ada unsur
Pusat (Palangka Raya), Kota dan Kabupaten (MD-AHK),
Kecamatan/ resort (MR-AHK) dan Kelompok (tingkat Desa
atau MK-AHK) (Surat Edaran Kepala Kanwil Prov.
Kalimantan Tengah).
Akhirnya pada tanggal 20 April 1980 dilakukan prosesi
“Sumpah Hambai” yang dihadiri ribuan orang dari berbagai
wilayah di Kalimantan. Dalam prosesi integrasi itu, PHDI
diwakili 4 orang, 1orang dari Dirjen Bimas Hindu dan
Buddha, dan 6 orang dari Hindu Kaharigan (anggota MB-
AUKI). Para utusan membubuhkan tanda tangan dan cap
surat pernyataannya dengan darahnya masing-masing. Proses
integrasi dilakukan di gedung pertemuan sederhana miliki
MB-AHK Pusat dan ditandatangani oleh 100 orang yang
disaksikan ribuan orang. Para utusan sepakat saling
mengangkat sumpah sebagai saudara kandung, seiman dan
seagama. Jika ada kelompok ingin melepaskan Kaharingan
menjadi agama sendiri, perlu mengingat kembali sumpah
Hambai yang bersejarah itu. Mereka yakin siapa berkhianat
akan menerima karma buruk. Beberapa informan mengatakan
bahwa mereka yang mencoba-coba keluar (berkhianat) dari
sumpah Hambai telah mendapat karma buruknya dan
hidupnya menjadi sengsara.
Satu bulan paska “Sumpah Hambai”, berdatanganlah
orang-orang Dayak luar Palangka Raya mempertanyakan,
mengapa Kaharingan masuk PHDI, sementara nama
Tuhannya lain, kitab sucinya beda, ritual dan tradisinya pun
beda. Dijelaskanlah, bahwa tidak mungkin bergabung dengan
Islam atau lainnya. Sementara umat tidak dapat menunggu
lebih lama lagi, sebab berbagai administrasi memerlukan KTP,
--
dan dalam KTP ada kolom agamanya. Satu-satunya jalan
yaitu berintegrasi dengan PHDI. Semua harus paham dalam
Hindu tidak mengenal satu jalan keselamatan, satu kitab suci,
dan semua asesoris keagamaan harus disesuaikan dengan
alam sekitar di mana seseorang beragama Hindu. Guna
mengefektifkan pembinaan keagamaan, didirikanlah
Pendidikan Guru Agama Hindu (PGAH). Pendirian PGA
didukung penuh PHDI. Guru agama Hindu di Kalimantan
Tengah yaitu alumni PGA ini. Umur PGA ternyata tidak
lama, saat pemerintah menghapuskan seluruh PGA, SPG
dan SGO di akhir tahun 1990-an. lalu didirikanlah
Sekolah Tinggi Agama Hindu Kaharingan Tampung Penyang
(STAHK-TP) dengan program D1, D2 dan D3. Program
diploma ini juga tidak lama, dan dibuatlah program S1
Agama. Pada saat ini STAHN-TP sudah membuka program S2
dan meluluskan beberapa angkatan. Dari para alumni inilah,
umat Hindu Kaharingan akan mendapat pembinaan, dan
mudah-mudhan lahir Basir-Basir baru yang menjadi banteng
agama Hindu Kaharingan. Hal ini akan menjadi harapan siapa
saja yang tulus dalam beragama agar semua umat beragama,
termasuk umat Hindu Kaharingan dapat tumbuh dengan
sehat tanpa diskriminasi.
Paska integrasi ternyata masih ada segelintir orang
yang tetap ingin Kaharingan menjadi agama tersendiri, sebab
merasa bahwa perjuang sejak tahun 1950 melalui SKDI itu
belum selesai, dan merasa tidak cocok dengan integrasi ke
PHDI. Munculah organisasi atas nama Kaharingan, seperti
Badan Amanat Kaharingan Dayak negara kita (BAKDI), Badan
Agama Kaharingan negara kita (BAKRI) dan Majelis Agama
-
Kaharingan negara kita (MAKRI).118 Nuhrison (2000)
menjelaskan bahwa sebagian mereka merasa ditipu dan
digiring ke dalam Hindu dan tidak puas berintegrasi dengan
Hindu (PHDI).
Ormas keagamaan BAKDI dipimpin Lubis, mantan
guru agama Hindu. Oleh Gubernur Teras narang, Lubis
diangkat menjadi Camat di Rangkupit. Saat ini yang
bersangkutan sudah tidak aktif lagi, praktis organisasi BAKDI
juga terhenti. Sementara Majelis Agama Kaharingan negara kita
(MAKRI) dipimpin Suel, S. Ag, mantan Kepala Pembimas
Kanwil Kementerian Agama tahun 2004-2007. Suel S.Ag juga
sebagai dosen di STAHN-TP. Oleh Gubernur Teras Narang,
Suel diangkat Kepala Dinas Pendidikan dan lalu Kepala
Dinas Satpol PP Provinsi.119 Sangat disayangkan bahwa
peneliti tidak dapat menemui satupun informan dua
organisasi keagamaan mengatasnakaman Hindu Kaharingan
ini. Menurut Pembimas Kanwil Kementerian Agama, dan
banyak informan lainya, kedua organisasi itu tidak jelas lagi
eksistensinya semenjak para pemimpinya tidak aktif.
Dalam perjalanan berikutnya, MB-AHK mendapat
perlakuan istimewa dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten
Kota di Kalimantan Tengah, seolah lebih istimewa dari PHDI.
Banyak tokoh MB-AHK sangat dekat dengan Pemerintah.
Bahkan mata anggaran bantuan MB-AHK di Pemerintah
Provinsi terpisah dengan PHDI. Seolah MBAHK setara
dengan PHDI. Pengurus PHDI sendiri yang mengetahui hal
itu legowo saja, sebab pada prinsipnya PHDI itu ormas
keagamaan mandiri, dan tidak tergantung kepada siapa pun.
Jika ada yang membantu finansial diterima, jika tidak adapun
PHDI tetap jalan. Hubungan antara keduanya selama ini
sangat harmonis, dan sangat koordinatif.120
Ciri Pokok Hindu Kaharingan
Konsep Ketuhanan Hindu Kaharingan
Orang Dayak dahulu tidak memiliki nama
kepercayaan terhadap Tuhannya. Orang Dayak Ngaju
menyebutnya sebagai kepercayaan tato-hiang (nenek moyang,
leluhur), kepercayaan huran (kuno), atau kepercayaan helo
(dulu). Jika orang non-Dayak ditanya, akan menyebutnya
sebagai kepercayaan tempon atau tempon telun, artinya cara
orang Dayak berkepercayaan. Belanda menyebut kepercayaan
Ngaju, bahkan menyebutnya kafir, pagan atau penyembah
berhala, atau dianggap ateis atau ragi usang. Ini sebab
Belanda melihat dari kacamata Kristen. Jadi, sesungguhnya
Belanda tak tahu apapun tentang Kaharingan, hingga
simpulannya serampangan dan sangat berbeda dengan yang
dipahami orang Dayak.121 Kaharingan berasal dari bahasa
Sangiang (Sangyang), yang merupakan bahasa tingginya para
imam dan tetua adat Dayak. Dalam konteks teologis,
kehidupan alam ini berasal dari Tuhan, Ranjing, Hatala, atau
Maha Tala seluruh semesta, langit dan Bumi.
Nama Tuhan dalam Hindu Kaharingan disebut
Ranying HaTala Langit, Raja Tuntung Matan Andau, Tuhan
Tambing Kabanteran Bulan, Jatha Balawang Bulau, Kanaruhan
Bapager Hintan (Panaturan 1: 3. 2:12. 41:45). Atau Ranying
Hatala Langit, Jhata Balawang Bulan, Kanaruhun Bapager Hintan,
Sahur Baragantung, Palapah Baratuyang Hawun. Artinya Tuhan
yang Maha Besar, yang memiliki Sinar Suci, yang tiada tara,
tempat menaruh harapan yang tidak terbatas dan memiliki
kuasa Maha Tinggi.
Sebutan Tuhan dalam kitab Panaturan Pasal 1 ayat 2:
“Ie je tamparan taluh handiai mukei kahain kuasae,
Jai panapatuk sukup simpan murai japa jimat tanteng,
Hayak auh Nyahu Batengkung langit , Homboh Malentar
Kilat BAsiring Hawun
Palus Ambun ije dia bajahuntun tanduk, enun
Basansinep isen baterus kening, Badandang
Manjadi balawa hayak barasih, lenda lendang,
linge lingei, hayak IE hamauh mananggare arepe
AKU TUH RANYING HATALLA, mijen Balau Bulau
Napatah Hintan,
Balai Hintan Napatah Bulau, Mijen
Tasik Malambung Bulau, Marung Laut Bapantan Hintan
Sesuai pasal ini jelas tentang keberadaan Tuhan,
yaitu Ranying Hatalla Langit. Dalam ayat ini dijelaskan,
Ranying Hatalla yaitu awal segala kejadian dan paling
kuasa. Dalam ayat 3 menyatakan:
Aku tuh ranying hatalla ije paling kuasa,
Tamparan taluh handiai tuntang kahapuse,
Tuntang kalawa jituh iete kalawa pambelum, ije
inanggareku
Gangguranan area bagare hintan kaharingan
Ranjing Hatala berarti "Tuhanku yang ditinggikan",
memiliki arti sangat luas dan tak terbatas, yaitu Keberadaan
Tunggal Maha Cerdas, Maha Pencipta segala, Maha Hidup,
Maha Mandiri, Maha Penentu tiap sesuatu, sehingga menjadi
harapan dan gantungan tiap sesuatu. Maha Raja, Maja
Penguasa, Maha Perkasa, Maha Bijaksana, Maha Pengasih,
Maha Penyayang, Maha Memberi-rejeki, Maha Mendengar,
Maha Melihat, Maha Mengetahui segala hal. Ranjing Hatala
yaitu keberadaan dengan wujud Maha Ghaib, Maha Halus,
tak akan pernah dapat dilihat oleh mata manusia, namun
dapat dirasakan dan dipikirkan oleh kalbu dan akal manusia,
sejauh jangkauan manusia dapat memahami kehadiranNya,
dan selebihnya yaitu rahasiaNya.
Ranjink hatala langit, raja tuntung matan andau, tuhan
tambing kabanteran bulan, memiliki arti Tuhanku yang
ditinggikan setinggi langit, Raja segalanya, pelindung,
pengayom, dan pemelihara tiap sesuatu. Raja Tuntung Matan
Andau, raja yang tuntas sempurna, sumber segala cahaya dan
tenaga hidup seluruh semesta. Tuhan Tambing Kabanteran
Bulan, tuhan yang indah dan memiliki pesona cahaya bulan,
menganugerahkan kedamaian, kesentosaan, dan
kesejahteraan, melimpahkan rahmat, berkat, dan nikmat
kepada seluruh makhluk yang berserah-diri. Jatha Balawang
Bulau, Kanaruhan Bapager Hintan, Ranjing Hatala Langit yaitu
Maha Awal dan Maha Akhir, Maha Memulai dan Maha
Mengakhiri, Maha Mencipta, Maha Berkarya, Maha
Merancang, dan Maha Membentuk.122
Secara teologis, keyakinan umat Hindu Kaharingan
dapat dijelaskan bahwa Ranying Hatala yaitu Tuhan Yang
Maha Esa. Tuhan yaitu Maha Pencipta dan Maha Penentu
atau tiap sesuatu. Tuhan yang meciptakan seluruh semesta,
tujuh langit dan Bumi. Tuhan yang menciptakan malaikat, jin,
hama, tumbuhan, binatang, dan manusia. Tuhan yang
menciptakan Raja Garing Hatungku dan Kameluh Petak bulau
Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan tambun, Tuhan yang
menetapkan bahwa pria yaitu pemimpin dan pelindung bagi
wanita. Tuhan yang menetapkan kesetaraan gender antara
pria dan wanita, sesuai kudrat. Tuhan yang menetapkan
pemimpin bertanggungjawab atas semua yang dipimpinnya.
Tuhan yang mendatangkan nabi dan rasul dan mewahyukan
kitab suci. Tuhan yang memerintah manusia beribadah dan
berserah diri (basarah) kepada Dia. Tuhan yang memerintah
manusia untuk membangun rumah ibadah (balai basarah).
Tuhan yang memerintahkan manusia untuk menyembelih
hewan kurban (yadnya). Tuhan yang memerintahkan manusia
untuk mensyukuri rezeki. Tuhan yang mendatangkan
kebaikan kebajikan dan keburukan kejahatan. Tuhan yang
menjadikan pahala dan dosa atas perbuatan manusia. Tuhan
yang menetapkan hukum balasan setimpal atau setara. Tuhan
yang menetapkan larangan mengganggu wanita dan anak-
anak. Tuhan yang Tuhan yang menetapkan hukum adat
dalam warga . Tuhan yang memerintahkan berdo'a dan
memohon pengampunan. Tuhan yang menciptakan dunia dan
akhirat, surga dan neraka, kehidupan setelah mati, yang
menerima do'a orang masih hidup untuk yang telah mati. Dan
Tuhan yang pula mendatangkan hari lalu , atau akhir
dunia.123
Selain alam dunia, penganut agama Kaharingan juga
percaya akan adanya alam gaib yang dihuni oleh Sangiang dan
parajin (malaikat) sebagai pembantu Tuhan. Selain Sangiang
sebagai pembantu Tuhan, penganut Kaharingan juga percaya
bahwa ada orang yang menerima ajaran (berita) dari Tuhan
namanya Raja Bunu, Bawi Ayah (perempuan), Hawun Barun-
Barun, dan Bandar Huntip Batu Api. Bandar Huntip Batu Api
(titisan Sangiang), jarak kehadirannya dengan ketiga nabi
lainnya sangat jauh. Bandar tidak hanya menerima wahyu
keagamaan tetapi juga ajaran-ajaran tentang sosial, politik
moral, hukum adat, ilmu perang, ilmu pemerintahan dan
cara-cara berwarga . Oleh sebab itu Bandar Huntip Batu
Api dikenal pula sebagai raja yang adil dan sukses. Ia diberi
gelar “Anak Janatha Lampang, Hatuen Sangiang Hadurut”,
artinya anak sangiang yang menguasai air, dan yang datang
dari langit. Sampai sekarang setiap 41 minggu diperingati hari
lahir Bandar Huntip Batu Api, yang disebut Sansana Bandar
(membaca cerita tentang Bandar).
Praktek Ibadah
Penganut Hindu Kaharingan memiliki tempat
pertemuan yang berfungsi semacam tempat ibadah disebut
Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Mereka memiliki waktu
ibadah rutin yaitu setiap Kamis atau malam Jumat. Bentuk
ibadah (ritual) dalam agama Kaharingan ada dua macam,
yaitu Manyanggar dan Basarah. Manyanggar yaitu ritual
memberikan sesajen kepada makhluk-makhluk halus agar dia
tidak mengganggu (agar ia menghindari tempat ini ).
Sesajen itu diletakkan di tempat yang diperkirakan ada
makhluk halusnya. Basarah artinya menyerahkan diri kepada
Tuhan.
Basarah biasanya dilakukan di Balai Kaharingan. Ada
tiga macam basarah, yaitu basarah perorangan, basarah
keluarga dan basarah umum. Basarah perorangan yaitu berdo’a
sendiri, menabur beras kuning, atau meletakkan telor di
tempat-tempat yang sakral (keramat). Basarah Keluarga
biasanya dikerjakan di rumah masing-masing, waktunya
disesuaikan dengan kebutuhan.
sedang basarah umum diadakan di Balai Kaharingan,
dihadiri oleh banyak umat Kaharingan pada hari kamis atau
malam jum’at. Dalam setiap upacara persembahyangan atau
upacara basarah, penganut Kaharingan secara bersama-sama
melantunkan Kandayu atau nyayian suci. Ada beberapa jenis
kandayu: Kandayu Manyarah Sangku Tambak Raja, Kandayu
Mantang Kayu Erang, Kandayu Parewei, dan Kandayu Mambur
Behas Hambaruan.
-
Sarana Upacara Keagamaan dan Jenisnya
Sarana Upacara
Dalam Hindu Kaharingan dikenal sarana
persembahyangan seperti Sangku Tambak Raja, berisikan
berbagai macam, yaitu wadah kuningan (sangku), beras, telur,
minyak kelapa, duit singah hambaruan, bulu burung tingang,
sirih pinang, rokok, bunga, beras hambaruan dalam bungkusan
kain putih, dan kain alas sangku yang kesemuanya memiliki
makna yang dipahami oleh umat Hindu kaharingan. Arti
masing-masing sarana itu yaitu :
1) Sangku, memiliki makna penyatuan jiwa dan raga dalam
melaksanakan basarah kepada Ranying Hatalla Langit
Tuhan Yang Maha Esa.
2) Beras. Menurut mitologi Hindu Kaharingan, Ranying
Hatalla Langit menciptakan beras untuk kelangsungan
hidup Raja Bunu dan keturunannya. Dalam acara auh
manawur dijelaskan “balang bitim jadi isi, hampuli balitam jadi
daha, dia balang bitim injamku akan duhung luang rawei pantai
danum kalunen, isen hampuli balitam bunu bamban panyaruhan
tisui luwuk kampungan bunu”. Artinya “behas manyangen
tingang, bukan hanya untu kelangsungan hidup manusia,
namun juga sebagai perantara manusia dengan yang
kuasa, dan perantara manusia dengan leluhur”.
3) Bulu burung tingang atau “Tingang Rangga Bapantung
Nyahu”, bermakna bahwa alam kehidupan manusia penuh
dengan pertentangan, perselisihan, baik antara kebenaran
dengan ketidakbenaran. Warna putih dibagian bawah
berarti kesucian yang dapat dicapai melalui usaha
individu melawan ketidakbenaran (adharma) yang pada
saatnya, bila dihubungkan dengan upacara keagamaan
Hindu Kaharingan, yaitu sampai pada upacara
Tiwah/Wara.
4) Sipa (sirih pinang) dan ruku (rokok), penggunaan kedua
sarana perlambang penyatuan jiwa dan raga dalam
pelaksanaan basarah.
5) Duit singah hambaruan, uang merupakan simbol
penyempurna segala kekurangan upakara.
6) Minyak kelapa, atau disebut minyak bangkang haselan
tingang uring katilambung nyahu, bermakna membersihkan
semua kekotoran yang menempel diri manusia.
7) Telur ayam, disebut tanteluh manuk darung tingang
merupakan simbol pensucian diri serta permohonan
keselamatan dan kesejahteraan.
8) Kain alas sangku, melambangkan keindahan alam semesta
karunia Ranying Hatalla Langit.
9) Bunga, selalu digunakan dalam upacara basarah dan
ditempatkan di Sangku Tambak Raja, agar seperti bunga
yang harum, dan manusia menerima anugrah Ranying
Hatalla Langit.
10) Beras hambaruan yaitu beras yang dipilih sebanyak 7 biji
yang terbaik,tanpa cacat lalu dibungkus kain putih
dan diletakkan di tengah-tengah sangku. Sebagai
perlambang raja uju hakanduang, hanya basakati yang
menjadi perantara Ranying Hatalla Langit memberikan
anugerah kepada manusia yang pada akhir
persembahyangan dibagikan kepada semua yang hadir.
Beberapa Jenis Upacara
Di kalangan umat Hindu Kaharingan dan warga
Dayak umumnya sangat kuat mempertahankan berbagai
upacara dalam sepanjang hidupnya yang disebut dengan
Balian yaitu upacara ritual Kaharingan. Ada tiga kelompok
besar upacara balian, yaitu pertama, upacara balian untuk
kesejahteraan hidup (15 upacara). Kedua, balian untuk roh
leluhur penjaga desa wilayah (5 upacara). Ketiga, balian pada
upacara kematian. Upacara Balian dipimpin oleh seorang Basir
Ufu, (basir yang senior), dan didampingi oleh Basir
pengampit.
Dalam upacara Balian selalu dibunyikan “Katambung”
(kidung). Selain itu ada pula yang disebut “Manabur”, yaitu
beras kuning dikasih minyak kelapa, lalu dinyalakan
kemenyan, lalu ditabur baik bagi roh yang jahat, dan
roh yang baik. Manabur dipimpin oleh “Pisur” (pembantu
Basir atau orang yang berpengetahuan setingkat). Seluruh
ajaran tentang keimanan, ritual dan tata cara pelaksanaan
upacara bersumber pada satu kitab suci agama Kaharingan
yang disebut Panaturan. Kitab ini terdiri atas 63 pasal, dengan
tebal 652 halaman. Kitab suci ini ditulis dalam bahasa Dayak
Kuno (Sangiang). Pada tahun 1996 kitab ini diterjemahkan ke
dalam bahasa negara kita melalui kerjasama antara Pemerintah
daerah setempat dengan Hanno Kampff Meyer MA, seorang
mahasiswa Fakultas Antropologi dari Universitas Munchen
Jerman (Nuhrison, op.cit). Semua orang Dayak yaitu
pengamal Kaharingan, walaupun mereka sudah memeluk
agama lain (Islam, Kristen, Katolik, Hindu), setidaknya
tradisinya atau setidak-tidaknya yaitu upacara Tiwah.
Beberapa upacara itu yaitu upacara kelahiran,
perkawinan, kematian (Balian Tantulak Ambun Rutas Matei)
yang dilakukan tiga hari setelah upacara penguburan dengan
tujuan untuk memindahkan arwah orang yang baru saja
meninggal dari alam kubur ke tempat penantian bersama Nyai
Bulu Indu Rangkang (sebelum dilaksanakannya pesta tiwah).
Upacara Tiwah (upacara terakhir kematian) yang merupakan
upacara sakral dan bertujuan mengantarkan jiwa atau roh
manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang
dituju, yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja
Dia Kamalesu Uhate, Lewu tatau Habaras Bulau, Habusung
Hintan, hakarang lamiang atau Lewu Liau yang letakknya di
langit ke-7.124
Upacara Manyanggar, yaitu upacara adat yang
dilakukan oleh warga Dayak sebab mereka percaya
bahwa dalam kehidupan di dunia, selain manusia juga hidup
makhluk halus. Perlunya membuat rambu-rambu atau tapal
batas dengan roh halus ini yang diharapkan tidak saling
mengganggu alam kehidupan masing-masing serta sebagai
ungkapan penghormatan terhadap batasan kehidupan
makluk lain.125
Simbol-Simbol Keagamaan
Hindu Kaharingan disimbolkan dengan pohon
kehidupan yang memiliki rincian makna filosofis, yaitu
pemahaman pada Pohon Batang Garing yang menyimbolkan
antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia
bawah yang merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat
oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling
membutuhkan.
Simbol pada Buah Batang Garing, melambangkan tiga
kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja
Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Sementara
Buah garing yang menghadap arah atas dan bawah
mengajarkan manusia untuk menghargai dua sisi yang
berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu
menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.Tempat
bertumpu Batang Garing yaitu Pulau Batu Nindan Tarung
yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum
manusia diturunkan ke bumi. Di sinilah dulunya nenek
moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu
hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi.
Dengan demikian, orang-orang suku bangsa Dayak
diingatkan bahwa dunia ini yaitu tempat tinggal sementara
bagi manusia, sebab tanah air manusia yang sebenarnya
yaitu di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian
sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu
mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.Pada
bagian puncak ada burung enggang dan matahari yang
melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini yaitu berasal
dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang
lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan
sumber segala kehidupan.Jadi inti lambang dari pohon
kehidupan ini yaitu keseimbagan atau keharmonisan antara
sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan
Tuhan.
Dampak Keberadaan Hindu Kaharingan terhadap
Kehidupan Beragama
warga Dayak meskipun memiliki adat yang
dibukukan pada kesepakatan Tumbang Anoi posisinya beda
dengan Desa Adat di Bali. Adat yang menjadi pegangan para
pemangku adat tidak dapat diklaim sendirian, sehingga tidak
dapat dijadikan sandaran umat Hindu Kaharingan.
warga suku Dayak yang beragama Hindu Kaharingan
hanya dapat bersandar pada Basir dan Mantir. Basir dan
Mantir sebagai ilmuwan sekaligus alimnya harus memacu
semangat misinya, agar warga Dayak tetap beragama
Hindu Kaharingan dengan baik. Selama ini komunitas suku
Dayak banyak yang keluar dan mayoritas muslim, Kristen dan
Katolik. Dampak nyata secara sosiologis yaitu bahwa Hindu
Kaharingan semakin ditinggalkan warga Dayak sendiri
padahal mereka inilah yang menjadi pemangku utama agama
Hindu Kaharingan. warga Dayak pun menjadi
pluralistik dalam beragama.
Orang Dayak dikenal sangat menjaga harmoni,
sehingga mengenal tiga relasi yang benar-benar harus dijaga
keharmonisannya, yaitu hubungan manusia dengan Ranying
Hatalla. Penyang Ije Kasimpei, Penyang Ranying Hatalla Langit,
artinya beriman kepada Yang Tunggal, yaitu Ranying Hatalla
Langit; Hubungan manusia dengan manusia lainnya. Hatamuei
Lingu Nalatai. Artinya saling kenal mengenal, tukar
pengalaman dan pikiran, serta saling tolong menolong.
Hatindih Kambang Nyahun Tarung, Mantang Lawang Langit.
Artinya, berlomba-lomba jadi manusia baik agar diberkati
Tuhan di langit, dan bisa memandang dan menghayati
kebesaran Tuhan; dan hubungan manusia dengan alam
semesta sebab ciptaan Ranying Hatalla yang paling mulia dan
sempurna yaitu manusia. sebab itu manusia wajib menjadi
suri tauladan bagi segala mahluk lainnya. Keajaiban-
keajaiban yang terkadang terjadi yaitu sarana untuk
mengetahui dan lebih menyadari kebesaran Ranying Hatalla.
Dengan demikian, segala makhluk hidup semakin
menyadari bahwa hanya Ranying Hatalla yang patut
disembah. warga Suku Dayak percaya bahwa
Kaharingan sudah ada sejak awal manusia pertama. Dalam
siklus kehidupan, seperti pada saat kelahiran bayi, pemberian
nama, pernikahan, bahkan hingga kematianpun mereka selalu
melakukan apa yang digariskan Ranying Hatalla, yaitu ritual
adat. Berbagai ritual adat sudah dilakukan oleh warga
Dayak sejak berabad-abad lampau terbukti dengan banyak
ditemukannya Sandung (tempat menyimpan tulang pada
upacara Tiwah). Sandung sendiri terbuat dari kayu ulin yang
tahan panas dan tahan air.126
Suku Dayak yang menjadi penyangga dari Hindu
Kaharingan dengan filosofi rumah Betangnya sangat toleran,
demokratis, sangat menghargai dan menjaga tamunya, sangat
egaliter telah berakibat pada umat Hindu Kaharingan sendiri,
dimana Hindu Kaharingan semakin menurun pengikutnya.
Jika tidak segera berbenah, sepertinya Hindu Kahringan akan
semakin berkurang. Hindu Kaharingan hampir-hampir hanya
bertumpu pada Basir, sehingga umat Hindu Kaharingan yang
hidupnya terpecar-pencar menjadi kurang mendapat
perhatian. Di samping itu begitu tidak ada buku-buku bacaan
keagamaan Hindu Kaharingan yang dipelajari oleh generasi
muda Hindu Kaharingan. Buku yang ada hanyalah Kitab
Panaturan, Talatah Basarah, dan Kidung Sembahyang saja.
Keberadaan Hindu Kaharingan dapat dikatakan
stagnan, jika tidak dikatakan semakin menurun jumlah
pengikutnya, meskipun dulunya seluruh suku Dayak
beragama Kaharingan. Hal ini terlihat bahwa mayoritas suku
Dayak ternyata muslim, sementara Hindu Kaharingan dan
umumnya hanya 6%. Penyebabnya antara lain, tidak ada
lembaga pendidikan kegamaan anak-anak secara massal,
seperti dalam Islam dan Kristen atau Katolik. Umat Hindu
Kaharingan hanya bertumpu pada Basir dan Mantir (ilmuwan
agama) untuk bertahan, sementara yang bersangkutan masih
perlu ditingkatkan wawasan keagamaanya. Di samping itu,
organisasi keagamaan Majelis Besar Agama Hindu
Kaharingan (MB-AHK) kurang dinamis dalam kegiatan
keagamaanya, sebab tidak banyak program yang
dilaksanakan.
Organisasi Hindu Kaharingan yaitu MB-AHK Pusat
Palangkaraya, MW.AHK (wilayah), MD-AHK (Kabupaten
Kota), MC.AHK (Kecamatan), MD-AHK (desa) dan terakhir
MK.AHK (kelompok). Tokoh-tokoh dalam Hindu Kaharingan
yaitu Basir dan Mantir. Simbol utama Hindu Kaharingan
yaitu Batang Garing, dan tradisi utamanya yaitu kelahiran,
perkawinan, kematian (tantulak) dan terakhir dan termahal
yaitu upacara Tiwah. Media utama untuk mempertahankan
diri yaitu adanya Basir dan Mantir saja. Sementara itu
hubungan dengan Hindu lainya sangat baik.
berdasar uraian dan hasil temuan di atas,
rekomendasi yang diajukan melalui penelitian yaitu :
1. Para tokoh agama Hindu Kaharingan baik Basir dan
Mantir atau para cendekiawanya perlu menyusun buku
keagamaan Hindu Kaharingan agar generasi baru Hindu
Kaharingan dapat belajar dan melaksanakan ajaran agama
Hindu Kaharingan dengan sebaik-baiknya.
2. Majelis Agama Hindu Kaharingan dari Pusat sampai
kelompok perlu mencanagkan program-program yang
menyentuh kepentingan warga , agar keberadaanya
dapat ketahui oleh warga luas.
EPILOG
Keanekaan Manunggal dalam Filsafat Ketuhanan
Oleh:
Dr. I Nyoman Yoga Segara, M.Hum.
Pengajar Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri
Denpasar
Setidaknya, setelah membaca utuh buku ini, kita akan
dibawa pada satu pemahaman bahwa bagaimanapun
berbedanya kelompok keagamaan yang ada dalam agama
Hindu, pada akhirnya disatukan oleh filsafat ketuhanannya
(tentang Brahman dan Atman) yang ditemukan di dalam
banyak kitab suci. Misalnya, Bhagawadgita, IV.11 menyatakan
“Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku
memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku
dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)”.
Bhagawadgita, VII.21 juga menyatakan: “Kepercayaan apapun
yang ingin dipeluk seseorang, Aku perlakukan mereka sama
dan Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih
mantap”.
Bunyi sloka Bhagawadgita ini menyuratkan
bahwa apapun jalan yang ditempuh umat Hindu akan sama
diterima Tuhan, asalkan semua bentuk bhaktinya dilakukan
dengan tulus dan ikhlas. Beragam doa yang disampaikan
dengan bahasa yang berbeda tetapi semua doa itu akan
sampai pada Tuhan yang sama. Berikut dalil yang
memperkuat pendapat ini. Regweda I.164.46: “Tuhan itu
hanya satu adanya, oleh para Resi disebutkan dengan
berbagai nama seperti: Agni, Yama, Matariswanam”.
Upanisad IV.2.1: “Tuhan itu hanya satu tidak ada duanya”.
Samaweda. 327: “Marilah datang bersama, engkau semua,
dengan semangat kuat pada Penguasa Langit. Dia yang hanya
Esa, tamu semua orang. Dia yang purba ingin kembali baru.
Kepada-Nyalah semua jalan perpaling, Sesungguhnya Dia Esa
belaka”. Rgweda X.83.3: “Oh, Bapa kami, Pencipta kami,
pengatur kami yang mengetahui semua keadaan, semua apa
yang terjadi,Dia hanyalah Esa belaka memikul nama
bermacam-macam dewa. Kepada Nyalah yang lain mencari-
cari dengan bertanya-tanya”. Rgweda. 10.90.1: “Tuhan
memiliki ribuan kepala, ribuan mata demikian pula ribuan
kaki. Ia tersebar di seluruh penjuru bumi, memiliki 10 jari
yaitu Panca Maha Butha dan Panca Tanmantra yang juga
berada di luar jagat raya ini” (Titib 1996).
Mendiskusikan Tuhan dan Ketuhanan dalam Hindu,
kita bisa memulainya dengan membaca Upanisad (S.
Radhakrishnan 1989, 2008) salah satu kitab penting yang
membahas Tuhan atau Brahman yang diyakini memiliki
kekuasaan untuk berada di dalam (immanent) dan di luar
ciptaanNya (transcendent), seperti udara yang sama berada di
dalam dan di luar ruangan (lihat lebih lengkap Astawa 2003:
8). Ia juga ibarat penari dan tariannya. Tuhan itu satu adanya
(monotehisme), namun bagi orang suci yang mengetahuinya
diberi banyak nama (ekam sat wiprah bahuda wadanti). Ia Maha
Ada sebab berada di mana-mana dan tak terbatasi oleh apa
pun (wyapi wyapaka nirwikara), bukan menyepi di satu tempat
atau tidak seperti raja yang hanya duduk disinggasana
emasnya. Ia Maha Tak Terbatas sebab ia dapat mengambil
sahasra rupam (1000 wajah) dan sahasra namam (1000 nama),
bukan hanya satu bentuk lalu menyembunyikan diri.
Brahman dalam Upanisad hanya memiliki sifat-sifat
satyam (kebenaran), siwam (kebaikan), dan sundaram
(keindahan) sehingga ia hanya memberikan kasih sayang
kepada semua makhluk hidup. Tema ini akan membawa kita
pada pembicaraan tentang Atma atau untuk
menyederhanakannya disebut jiwa. Dalam pandangan Hindu,
badan bukanlah penjara yang mengekang Atma, seperti
anggapan Plato di masa Yunani kuno. Badan terbuat dari
prakerti atau potensi materi yang berasal dari Tuhan sendiri.
Badan bersifat sementara, tidak seperti jiwa yang kekal dan
abadi, bahkan saat badan sudah rusak dan mati. Inti
manusia yaitu tentang jiwanya, atman atau sang diri yang
menggerakkan badan, yang dalam Upanisad disebut berasal
dan bagian tak terpisahkan dari Brahman itu sendiri. Selain
dalam Mundaka Upanisad, Brihad Aranyaka Upanisad, Katha
Upanisad, Chandogya Upanisad, Subala Upanisad, arti dan
sifat-sifat atman juga banyak dijelaskan dalam Bhagawadgita.
Misalnya dalam Bab X, 20 dinyatakan: “Aku yaitu atma,
menetap dalam hati semua makhluk. Aku yaitu permulaan,
pertengahan dan akhir dari semua makhluk” (Astawa 1996;
Pudja tt).
Adagium Tat Twam Asi yang artinya ITU (Tuhan)
yaitu Engkau, lahir dari konsep ini yang jika mampu
direalisasikan maka manusia berhak menyebut dirinya “Aku
yaitu Tuhan” itu sendiri (Brahma Aham Asmi). Manusia pada
level Brahma Aham Asmi akan melihat semuanya menjadi
sama, menghargai semua makhluk hidup, tidak menyakiti
dan membunuh sebab ia melihat jiwa yang sama dalam
setiap makhluk. Ada Tuhan yang sama dengan dirinya.
Apa yang belum terjawab dalam penelitian ini telah
mendapat jawaban saat berbagai perbedaan yang ada dalam
setiap kelompok keagamaan Hindu bermuara pada filsafat
ketuhanannya yang sanggup menjadi samudera luas
(pantheisme), tempat penjernihan segala perbedaan bahkan
noda, dosa dan papa. Setiap aliran air boleh mengklaim
kebenaran yang diyakininya, tetapi saat masuk dan larut
dalam air samudera luas itu, seluruh aliran air juga ikut larut
dan menyatu. Begitulah akhir dari dinamika keberadaan
berbagai kelompok keagamaan Hindu, harmoni dalam
pelukanNya. Semua kelompok keagamaan, bahkan yang
berbeda sekalipun berasal dari sumber yang sama: sarwam
idham kalu brahma, serta berada di bawah rumah besar sebab
mereka merasa bersaudara: wasudewa kutum bakam [*]
Penelitian tentang agama Hindu atau sekurangnya di
luar agama Islam tidaklah banyak. Kehadiran buku ini ibarat
oase yang menyegarkan di tengah keterbatasan para peneliti
melakukan penelitian terhadap agama-agama di luar Islam.
Buku ini yaitu pengembangan dari penelitian sebelumnya
tentang aliran dalam agama Hindu, namun diperluas dengan
meneliti keberadaan kelompok keagamaan yang dianggap
bernuansa tradisional.
Tidak mudah memisahkan keberadaan kelompok
keagamaan dalam Hindu hanya berdasar coraknya
semata. Kesulitan ini disebabkan adanya hubungan bolak
balik antara kelompok keagamaan yang dianggap spiritual
maupun tradisional. Bahkan di dalam masing-masing
kelompok keagamaan juga dihidupi oleh nuansa spiritual dan
tradisional secara bersamaan. Namun penelitian ini tidak
kurang akal dengan memfokuskan penelitian pada aspek
historisitas sehingga diperoleh data lapangan bahwa
perkembangan agama Hindu di negara kita dipengaruhi oleh
kedatangan awalnya dari India dan keberadaannya di
negara kita setelah mengalami perjumpaan intim dengan sistem
kepercayaan yang sebelumnya sudah lama hidup. Pola inilah
yang secara mudah untuk menggambarkan terminologi
spiritual dan tradisional.
Kesulitan kedua belum berhenti sampai pada istilah di
atas. Tidak mudah memahami agama Hindu di negara kita
hanya dari aspek makna dan substansi ajarannya. Secara
esensial, ajaran Hindu itu sama di mana saja agama ini
tumbuh dan berkembang. Namun soal bentuk dan
eksoterisnya bisa sangat beragam, bahkan mungkin dalam
satu wilayah atau daerah. Keragaman ini dimungkinkan
sebab agama Hindu menganut konsep desa, kala, patra
(tempat, waktu, keadaan). Melalui konsepsi ini, agama Hindu
dapat secara fleksibel untuk beradaptasi atau diadaptasi.
Sehingga wajah Hindu di negara kita juga berwarna warni,
seolah berbeda satu dengan yang lainnya, padahal
sesungguhnya satu dan sama saja.
Konsepsi di atas sebetulnya diemanasikan dalam filsafat
ketuhanannya yang membuka lebar jalan perbedaan.
Misalnya, empat jalan menuju Tuhan melalui Catur Marga.
Setiap umat Hindu boleh dan bisa mengambil jalan tertentu
yang dianggapnya sesuai dengan kapasitasnya untuk
“bertemu” Tuhan. Tidak ada jalan absolut kaku, paling benar
dan eksklusif. Begitu juga dalam memahami Tuhan yang
bahkan digambarkan dengan seribu nama (sahasra namam) dan
seribu wajah (sahasra rupam). Orang bijaksana yang
berpengetahuan suci memberiNya banyak nama, tetapi Tuhan
tetap satu, tunggal, dan esa (ekam sat wiprah bahuda wadanti).
Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma secara tepat
melukiskannya dengan bhinneka tunggal ika tan hana dharma
mangrwa. Bahkan juga Tuhan meresapi seluruh alam semesta
raya, dan Ia berada di mana-mana, bukan di satu tempat.
Pantheisme sebagai puncak dari seluruh aliran filsafat
ketuhanan yang ada dalam Hindu telah mengikat menjadi
satu kesatuan keberadaan kelompok-kelompok keagamaan
Hindu yang tampak seolah-olah berbeda satu dengan yang
lainnya. Kesamaan makna esoteris ini yaitu cara bagi
mereka untuk dapat hidup di manapun. Tesis ini dibuktikan
dari hasil penelitian kedua kelompok keagamaan ini yang
tidak banyak ditemukan resistensinya, baik secara internal
maupun eksternal. Misalnnya, kelompok spiritual lebih kuat
membangun hubungan keagamaan dengan spirit universal
ajaran Hindu, seperti cinta kasih (prema), pelayanan (sewaka),
atau meditasi dan yoga. Kelompok tradisional menempatkan
lokalitas sebagai cara untuk hidup berdampingan, seperti
ngayah (gotong royong), simakrama (menjalin keakraban),
menyamabraya (membangun persaudaraan) atau ngejot (saling
membagi atau membalas hantaran). Perpaduan dari makna
menuju laku dari kedua kelompok keagamaan inilah yang
menghasilkan sikap inklusi baik di antara mereka sendiri yang
memang berbeda dengan umat beragama lainnya.
Hasil penelitian di delapan lokasi telah memperkuat
pandangan di atas. Untuk itu hasil kerja keras para peneliti
harus diapresiasi sehingga di masa depan dapat menghasilkan
penelitian sejenis yang lebih baik. Sembari meminta maaf jika
masih ada beberapa kekurangan, semoga buku ini
bermanfaat untuk kontribusinya terhadap keilmuan dan teori
maupun kontribusinya kepada institusi, para peneliti, dan
pengguna.
Bagi sebagian kalangan umat beragama yang lain,
agama Hindu, khususnya di negara kita akan dilihat berbeda-
beda. Bahkan Hindu di satu daerah coraknya juga bisa tampak
berbeda. Hindu di Denpasar dengan Gianyar itu berbeda;
Hindu di Klaten dengan Solo juga bisa berbeda. Begitu juga
dengan daerah lainnya di negara kita . Itu semua tidak salah,
sama sekali tidak salah.
Bagi yang belum memahami keberadaan ragam Hindu
itu, mungkin akan melihatnya seperti parsial. Terlebih
perbedaan itu ternyata tidak hanya di permukaan kulit,
seperti upacara, busana, dan bentuk artifisial lainnya. Bahkan
dalam aspek teologisnya juga bisa berbeda. Seorang Hindu
dapat menjadikan Dewi Saraswati sebagai favoritnya, Hindu
yang lainnya memuja Dewi Sri, Ganesha, Baruna, Wisnu, dlsb.
Wajah Hindu yang beragam, sekali lagi, khususnya di
negara kita tak lepas dari perjalanannya ‘memuliakan’ agama
dan budaya lokal yang lebih dulu tumbuh dan subur di jagat
nusantara. Tidak ada ekspansi, juga tidak ada peng-agama-an
untuk mereka yang sudah nyaman dengan kepercayaan yang
terpelihara dari masa ke masa. Soal lalu , aliran sejarah
mempertemukan mereka dekat dengan Hindu, itu pun harus
melalui kesepakatan bersama. Integrasi agama Kaharingan
yang dianut warga Dayak di Kalimantan Tengah dengan
agama Hindu menjadi salah satu contoh.
Napak tilas perjalanan Hindu yang menurut data
sejarah diawali dari Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, lalu
berakhir di Bali, seolah menegaskan agama ini seperti aliran
air yang mengikuti warna-warni daerah yang dilaluinya,
tanpa mengubah sedikit pun substansi airnya. Maka
tampaklah wajah Hindu Lampung yang berbeda dengan
Hindu Jawa, Hindu Bali, Hindu Lombok, dan Hindu-Hindu
lainnya seantero nusantara. Dalam terminologi Bali, fakta ini
disebut sebagai pengejewantahan konsep desa (tempat), kala
(waktu), dan patra (keadaan). Bagaimana mereka beradaptasi,
tumbuh dan berkembang bersama dengan agama lain dan
budaya lokal akan selalu menyesuaikan dengan konsepsi itu.
Satu hal yang menjadi pembeda keberadaan umat
Hindu di negara kita yaitu tatanan upacaranya. Di dalam
upacara ini ada banyak upakara atau banten serta aktivitas
keagamaan. Sarana upacara ini yaitu ekspresi emosi, jiwa
sekaligus kreativitas manusia sehingga apa yang
dilahirkannya juga akan berbeda-beda. Perbedaan itu bukan
saja terlihat secara komunal tetapi juga individu.
Namun, upacara atau ritual atau acara itu hanyalah
bentuk terluar jika ingin mengupas saripati Hindu. Analogi
sederhana yang sering digunakan yaitu telur dengan tiga
lapisnya. Lapisan kulit yaitu upacara; putih telurnya yaitu
ajaran etika atau susila; kuning telurnya yaitu inti dan sari
yang disebut tattwa. Ketiganya ini lalu dikonsepsikan menjadi
Tiga Kerangka Dasar. Untuk memahami Hindu, maka
memahami ketiga kerangka ini menjadi penting sebab acara-
susila-tattwa yaitu sebuah tatantan holistik, saling
melengkapi dan tidak terpisahkan.
Memahami Tiga Kerangka Dasar itu juga harus
berjenjang, dari yang konkrit menuju yang abstrak, dari acara
yang tampak nyata, lalu susila (tingkah laku) untuk menuju
tattwa, ajaran filosofis. Untuk maksud ini, Hindu memberikan
konsep Catur Marga, yaitu empat jalan (marga) untuk
mencapai kebenaran abadi dan kesempurnaan Tuhan dengan
menyesuaikan kemampuan setiap umat Hindu. Ada yang
melalui bhakti marga, karma marga, jnana marga, bahkan
dibolehkan melalui raja marga. Keempat marga ini pun bukan
terpisah-pisah sebab bisa terjadi klaim, tetapi lebih pada
orientasi pencarian Tuhan. Jika dilakukan dengan totalitas,
penuh keihklasan, masing-masing marga akan menemukan
tujuan tertingginya. Jadi tersedia pilihan jalan yang beragam
untuk menemukan tujuan yang sama.
Dalam pencarian tujuan itu, selain Catur Marga, juga
‘disediakan’ tingkatan hidup berjenjang melalui Catur
Asrama, yaitu brahmacari (masa belajar); grahasta (hidup
berumah tangga); wanaprastha (mulai menjauhkan bahkan
mengasingkan diri dari keduaniawian) dan sanyasin atau
bhiksuka (totalitas jalan rohani). Tujuannya yaitu agar tatanan
hidup menjadi lebih terarah dalam meraih cita-cita yang
dikonsepsikan ke dalam Catur Purusartha yang terdiri dari
dharma, artha, kama dan moksa. Tampaknya, dharma menjadi
landasan utama untuk meraih harta, materi (artha) dan
memenuhi keinginan (kama) dengan moksha sebagai tujuan
akhir. Pendeknya, semua tujuan hidup diraih melalui dharma
Napak tilas perjalanan Hindu yang menurut data
sejarah diawali dari Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, lalu
berakhir di Bali, seolah menegaskan agama ini seperti aliran
air yang mengikuti warna-warni daerah yang dilaluinya,
tanpa mengubah sedikit pun substansi airnya. Maka
tampaklah wajah Hindu Lampung yang berbeda dengan
Hindu Jawa, Hindu Bali, Hindu Lombok, dan Hindu-Hindu
lainnya seantero nusantara. Dalam terminologi Bali, fakta ini
disebut sebagai pengejewantahan konsep desa (tempat), kala
(waktu), dan patra (keadaan). Bagaimana mereka beradaptasi,
tumbuh dan berkembang bersama dengan agama lain dan
budaya lokal akan selalu menyesuaikan dengan konsepsi itu.
Satu hal yang menjadi pembeda keberadaan umat
Hindu di negara kita yaitu tatanan upacaranya. Di dalam
upacara ini ada banyak upakara atau banten serta aktivitas
keagamaan. Sarana upacara ini yaitu ekspresi emosi, jiwa
sekaligus kreativitas manusia sehingga apa yang
dilahirkannya juga akan berbeda-beda. Perbedaan itu bukan
saja terlihat secara komunal tetapi juga individu.
Namun, upacara atau ritual atau acara itu hanyalah
bentuk terluar jika ingin mengupas saripati Hindu. Analogi
sederhana yang sering digunakan yaitu telur dengan tiga
lapisnya. Lapisan kulit yaitu upacara; putih telurnya yaitu
ajaran etika atau susila; kuning telurnya yaitu inti dan sari
yang disebut tattwa. Ketiganya ini lalu dikonsepsikan menjadi
Tiga Kerangka Dasar. Untuk memahami Hindu, maka
memahami ketiga kerangka ini menjadi penting sebab acara-
dan didayagunakan sepenuhnya untuk dharma (kebenaran).
Dengan ini, tujuan utama untuk bisa hidup bahagia di dunia
dan bahagia di akhirat akan terwujud. Inilah yang
dimaksudkan sebagai Moksartham Jagat Hita ya ca iti Dharma.
Dengan demikian, Hindu akan tampak seperti mozaik,
tidak monolitik. Jalinan perbedaan itu diikat menjadi satu
kesatuan melalui Panca Sraddha, yaitu lima keyakinan umat
Hindu terhadap Brahman (Tuhan), Atman, Karma Phala,
Punarbhawa dan Moksha. Kelima sraddha ini menyatukan umat
Hindu di seluruh dunia, sekaligus yang membedakannya
dengan umat lainnya.
Pertama, Hindu meyakini Tuhan yang satu tetapi
dengan nama dan wajah yang berbeda (sahasra namam dan
sahasra rupam). Tuhan itu personal God sekaligus impersonal
God, immanen dan transenden. Jadi, Tuhan diyakini tidak
hanya secara politheistik dan monotheistik, tetapi sekaligus
mempercayai Tuhan yang meresapi segalanya (pantheisme).
Dalam Weda disebutkan sebagai Ekam Sat Wiprah Bahuda
Wadanti (Tuhan itu satu tetapi orang bijaksana menyebutnya
dengan banyak nama). Mpu Tantular lalu menuliskannya ke
dalam Kakawin Sutasoma dengan Bhinneka Tunggal Ika, Tan
Hana Dharma Mangrwa (berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak
ada kebenaran yang lain yang mendua). Many in one, one in
many.
Kedua, Hindu meyakini bahwa atma atau zat hidup
yang ada dalam setiap makhluk hidup bersumber dari Tuhan.
saat memasuki badan makhluk hidup, kesempurnaannya
dipengaruhi oleh Tri Guna, sehingga antara makhluk yang
satu dengan yang lain berbeda-beda. Ada yang tamas, rajas
maupun sattwam. Hal ini lalu menjadikan filsafat
ketuhanan dalam Upanisad lalu menjadi etika sosial Tat Twam
Asi (Aku yaitu Kamu, Kamu yaitu Aku). Dari Tat Twam Asi
ini, Hindu mengejewantahkannya melalui Tri Hita Karana,
yaitu tiga hubungan yang selaras untuk menghasilkan
kebahagiaan baik secara horizontal dengan sesama manusia
dan lingkungan, serta vertikal dengan Tuhan. Dari konsep ini
pula melahirkan adagium Wasudewa Kutum Bakam (Kita semua
bersaudara; dunia ini rumah bersama yang dihuni satu
keluarga besar).
Ketiga, Hindu meyakini hukum karma phala. Setiap
perbuatan akan menghasilkan pahala, sekecil apa pun itu,
bahkan perbuatan sejak dalam pikiran dan niat. Pahala
perbuatan akan diterima saat berbuat atau setelahnya yang
akan menjadi buah untuk kelahiran kembali. Kelahiran saat
ini juga yaitu buah perbuatan masa lalu (karma wasana).
sebab itu, Hindu mengajarkan untuk terus berkarma baik
(subhakarma) meningkatkan kualitas hidup. Keempat, Hindu
meyakini punarbhawa atau samsara (reinkarnasi) sebagai jalan
untuk memperbaiki diri. Lahir kembali ke dunia, apalagi
sebagai manusia yaitu kesempatan besar untuk memperbaiki
kualitas hidup, dan menghasilkan benih perbuatan yang akan
menentukan kehidupan kelak setelah kematian. Dan Kelima,
Hindu meyakini Moksha sebagai tujuan akhir dan tertinggi
sebab membebaskan manusia dari kelahiran. Manusia lepas
dari keterikatannya.
dan didayagunakan sepenuhnya untuk dharma (kebenaran).
Dengan ini, tujuan utama untuk bisa hidup bahagia di dunia
dan bahagia di akhirat akan terwujud. Inilah yang
dimaksudkan sebagai Moksartham Jagat Hita ya ca iti Dharma.
Dengan demikian, Hindu akan tampak seperti mozaik,
tidak monolitik. Jalinan perbedaan itu diikat menjadi satu
kesatuan melalui Panca Sraddha, yaitu lima keyakinan umat
Hindu terhadap Brahman (Tuhan), Atman, Karma Phala,
Punarbhawa dan Moksha. Kelima sraddha ini menyatukan umat
Hindu di seluruh dunia, sekaligus yang membedakannya
dengan umat lainnya.
Pertama, Hindu meyakini Tuhan yang satu tetapi
dengan nama dan wajah yang berbeda (sahasra namam dan
sahasra rupam). Tuhan itu personal God sekaligus impersonal
God, immanen dan transenden. Jadi, Tuhan diyakini tidak
hanya secara politheistik dan monotheistik, tetapi sekaligus
mempercayai Tuhan yang meresapi segalanya (pantheisme).
Dalam Weda disebutkan sebagai Ekam Sat Wiprah Bahuda
Wadanti (Tuhan itu satu tetapi orang bijaksana menyebutnya
dengan banyak nama). Mpu Tantular lalu menuliskannya ke
dalam Kakawin Sutasoma dengan Bhinneka Tunggal Ika, Tan
Hana Dharma Mangrwa (berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak
ada kebenaran yang lain yang mendua). Many in one, one in
many.
Kedua, Hindu meyakini bahwa atma atau zat hidup
yang ada dalam setiap makhluk hidup bersumber dari Tuhan.
saat memasuki badan makhluk hidup, kesempurnaannya
dipengaruhi oleh Tri Guna, sehingga antara makhluk yang
Panca Sraddha dengan berbagai cara meyakininya, serta
tersedianya banyak jalan, serta konsepsi yang berjenjang,
memungkinkan umat Hindu memiliki ragam pilihan yang
dianggapnya terbaik, tanpa merendahkan jalan yang lain.
Ibarat makanan prasmanan, umat Hindu boleh memilih
makanan yang menurutnya enak dan bergizi, namun tidak
menyatakan makanan lainnya kurang lezat. Tidak ada klaim
kebenaran di dalam Hindu, sebab seperti termaktub dalam
Bhagawadgita (IV.11): “Jalan mana pun yang ditempuh seseorang
kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang
mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)”.
Tidaklah mengherankan saat berbagai aliran,
mazhab dan kepercayaan yang datang ke negara kita , terutama
dari India, dapat hidup berdampingan dengan kelompok
Hindu yang sebelumnya sudah lama hidup di negara kita .
Sempat ada friksi, tetapi tidak lama dan tidak banyak.
Gesekan itu lebih banyak terjadi sebab ego serta di tingkat
bawah, bukan para pemimpinnya. Era reformasi makin
memberikan ruang lebar kepada umat Hindu untuk memilih
jalan terbaiknya, atau memperdalam agamanya baik dengan
menjadi penghayat kelompok spiritual maupun kelompok
tradisional.
Kedua istilah ini (spiritual dan tradisional) mungkin
terasa bias sebab masing-masing dapat dipertukarkan. Di
dalam kelompok tradisional juga dimaksudkan sebagai jalan
spiritual, sebaliknya, dalam kelompok spiritual juga masih
memakai beberapa cara tradisional. Cara paling moderat
untuk memahami ciri-ciri bentuk keduanya, sebab aspek
sraddha tidak akan jauh berbeda. Misalnya, kelompok spiritual
lebih bersifat individual, menjadikan kitab suci sebagai
pegangan utama. Kelompok tradisional cenderung komunal,
upacara menjadi penting, tradisi dan budaya lokal sebagai
penuntun. Selebihnya sama.
Dari berbagai alasan seperti diuraikan di atas, maka
menyimak dengan serius hasil penelitian kedua kelompok
keagamaan ini, tidak banyak ditemukan resistensi baik secara
internal maupun eksternal. Kelompok spiritual lebih kuat
membangun hubungan keagamaan dengan spirit universal
ajaran Hindu, seperti cinta kasih (prema), pelayanan (sewaka),
atau meditasi dan yoga. Kelompok tradisional menempatkan
lokalitas sebagai cara untuk hidup berdampingan, seperti
ngayah (gotong royong), simakrama (menjalinan keakraban),
atau ngejot (saling membagi hantaran). Kedua kelompok tidak
saja melakukannya kepada sesama umat Hindu tetapi juga
umat lain. Misalnya, SAKKHI di Lampung, SSGI (Jakarta),
Sadhar Mapan (Klaten) dan Brahma Kumaris (Surabaya)
anggotanya berasal dari umat lain. Hal yang sama juga
ditemukan bagaimana umat Hindu di Cimahi, Denpasar,
Mataram dan Palangka Raya berinteraksi intim dengan umat
lainnya.
Hindu di negara kita , dari kelompok spiritual dan
kelompok tradisional sama-sama menjadikan kehidupan
sebagai lapangan untuk berkarma dan menjalankan dharmaning
agama (kewajiban sebagai umat beragama) dan dharmaning
negara (kewajiban sebagai warga negara). Pada pokoknya,
universalitas ajaran Hindu yang berangkat secara esoterik
Panca Sraddha dengan berbagai cara meyakininya, serta
tersedianya banyak jalan, serta konsepsi yang berjenjang,
memungkinkan umat Hindu memiliki ragam pilihan yang
dianggapnya terbaik, tanpa merendahkan jalan yang lain.
Ibarat makanan prasmanan, umat Hindu boleh memilih
makanan yang menurutnya enak dan bergizi, namun tidak
menyatakan makanan lainnya kurang lezat. Tidak ada klaim
kebenaran di dalam Hindu, sebab seperti termaktub dalam
Bhagawadgita (IV.11): “Jalan mana pun yang ditempuh seseorang
kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang
mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)”.
Tidaklah mengherankan saat berbagai aliran,
mazhab dan kepercayaan yang datang ke negara kita , terutama
dari India, dapat hidup berdampingan dengan kelompok
Hindu yang sebelumnya sudah lama hidup di negara kita .
Sempat ada friksi, tetapi tidak lama dan tidak banyak.
Gesekan itu lebih banyak terjadi sebab ego serta di tingkat
bawah, bukan para pemimpinnya. Era reformasi makin
memberikan ruang lebar kepada umat Hindu untuk memilih
jalan terbaiknya, atau memperdalam agamanya baik dengan
menjadi penghayat kelompok spiritual maupun kelompok
tradisional.
Kedua istilah ini (spiritual dan tradisional) mungkin
terasa bias sebab masing-masing dapat dipertukarkan. Di
dalam kelompok tradisional juga dimaksudkan sebagai jalan
spiritual, sebaliknya, dalam kelompok spiritual juga masih
memakai beberapa cara tradisional. Cara paling moderat
untuk memahami ciri-ciri bentuk keduanya, sebab aspek
(spiritual dan kemanusiaan) telah berpadu padan dengan
adab lokalitas (tradisi dan budaya), sehingga Tat Twam Asi, Tri
Hita Karana, Wasudewa Kutum Bakam, Bhinneka Tunggal Ika
bertumpu penuh di atas wadah fleksibelitasnya yang disangga
dengan desa-kala-patra dan banyaknya jalan dan jenjang (Catur
Marga, Catur Asrama, Catur Purusartha, dlsb) menuju keesaan
Tuhan. Ini semua demi dan untuk membangun kehidupan
keagamaan di negara kita yang harmonis, harapan yang
tercermin sepenuhnya melalui hasil penelitian ini [*]