Rabu, 09 Juli 2025

agama hindu. 5

 


bang di sukunya 

ini . Begitu juga penjelasan informan bahwa kawin lari tidak dikenal di Bali.  

90 Hasil pembahasan saat FGD, tanggal 20 Maret 2016.  

----------- 222

tepat dikatakan sebagai lelayuan yang bisa dinyanyikan 

secara bebas, sesuai dengan kreasi mereka yang 

mengidungkannya (Ibid, hlm 139-140).  

11. Tekot: sebuah tempat atau wadah yang terbuat dari daun 

pisang diedarkan setelah ngaturang bhakti, berisi amherta, 

wasapada atau kekuluh (Ibid, hlm 143). 

Selain kegiatan tradisi yang melekat dan sering 

dilakukan oleh pemeluk Hindu di Lombok di atas, banyak 

lagi yang belum disebutkan, misalnya ngejod, ngesange, 

mekemit, dlsb. 

 

Sumber Ajaran 

Sumber ajaran agama Hindu di Lombok yaitu  Weda 

sebagai norma utama, lalu   Bhagawadgita, ada purana-

purana, aguron-guron. Tradisi menjadikan Bhagawadgita 

sebagai bacaan di emudian hari berkembang sebagai bagian 

dari sumber ajaran di kalangan waisnama. Setidaknya ada 

forum penghayat pada golongan waisnama. Tokoh penting 

dalam hal penghayatan Bagavat Gita yaitu  I Gusti Mangku 

Surata.91 

Weda sebagai hukum dasar,92 patokan dasar yang 

mengatur tentang pola tingkah laku umat Manawa Dharma 

Sastra. Beberapa kelompok penghayat Bhagawadgita juga 

cukup signifikan di Lombok, meskipun secara formal 

kelompok ini  yaitu  bagian dari pemeluk Hindu 

                                                          

91 Kelompok kajian atau penghayatan membaca Bhagawadgita tidak diberi 

nama maupun tema, sesuai dengan penjelasan forum yang ada tidak diberi nama 

khusus.  

92 Wawancara dengan Pedanda Kerta Arse, tanggal 11 Maret 2016  

----------- 223

tradisional (arus besar). I Gusti Ngurah Mangku Sunartha, 

seorang pemangku yang cenderung reformatif menginisiasi 

kegiatan ini sehingga terciptalah suatu forum kajian. Beliau 

memelopori berhasil menghidupkan Bhagawadgita sebagai 

suatu jalan pencerahan terutama bagi anakmuda dan pencari 

makna yaitu  mereka yang haus spiritualitas, aktifitasnya 

yaitu  mengucapkan mantra dan merenungkan makna dari 

ayat-ayat di dalam kitab ini , ada aspek dharma tula di 

bagian akhir dari perkumpulan ini.  

Posisi Purana, dan seloka cukup penting, terutama 

yang telah dilakukan sejak maharesi yang membawa banyak 

tulisan serta yang dikembangkan di Lombok itu sendiri93.  

 

Simbol-simbol  

Hindu di Lombok, seperti halnya di Bali, juga memiliki 

banyak symbol yang penuh makna. Beberapa di antaranya, 

yaitu : 

1. Benang Tridatu: simbol Tri Murti. Simbol Tri Datu yaitu  

fenomena yang muncul sekitar tahun 80-an,94 ini yaitu  

bentuk penguatan diri dan pernyataan pemeluk Hindu di 

hadapan peradaban nasional  

2. Rambut mepusung pada Pedanda Siwa dan Waisnawa. 

Mengenai rambut sulinggih, benar dalam konsepnya, 

megelung, lingga mudra, mangga mudra. budha sipataking 

maknanya yaitu  kalau lingga mudra, sudah mampu 

mengikat indria beliau itu sehngga focus melakukan 

                                                          

93 Wawancara dengan Wayan Wirata, tanggal 16 Feberuari 2016 

94 Sesuai penjelasan Sekretaris PHDI  

----------- 224

sesuatu. Sipataking, bahwa Pedanda memotong indria 

yang melekat.95 Kalau di China bekundul, amundi, di sini 

tidak menghilangkan indria, dominan pada rajas 

(keinginan), tanpa keinginan tidak dapat hidup seimbang, 

Budha memangkas tidak melebihi kepentingan tubuh dan 

spiritual.96 

3. Perangkat upacara: pakaian pedanda/pandita, banten, bajra. 

Ada perbedaaan antara peralatan yang dipakai oleh 

Pedanda Siwa dengan Pedanda Budha, yaitu pada alas, 

kalau Siwa berbentuk gula, kalau Budha berkaki empat. 

lalu   soal banten tidak ada perbedaan.  

4. Bajra. Ada pemahaman tentang bajra rancu. Pada pedanda 

Budha di kiri ada genta, bajra di kanan tanpa genta. Pada 

pedanda Siwa, bajra genta jadi satu. Kalau seorang 

pinandita di Budha, bahwa pemangku boleh pakai genta, 

sebelumnya belum boleh, hanya dwijati. Tahun 70an 

seorang pinandita boleh pakai bajra. Berbeda konsep 

sebelum dan sesudah 70an. Dalam konsep itu yang boleh 

memakai  bajra dan genta, hanya kaum dwijati yang 

sudah disucikan. Dulu memang ada pengekangan 

pembelajaran Weda. Hanya brahmana yang boleh. 

Sekarang, pemangku boleh memegang genta. Pada Budha, 

bajra yaitu  penyimpanan bhuana agung, sedang  di 

kiri yaitu  bhuana alit, bisa menjadi penghancur dan 

pelestari.  

 

                                                          

95 Ida Wayan Oka Santosa, penjelasan pada saat diselenggarakan FGD, 

tanggal 20 Maret 2016.  

96 ibid. Diiyakan oleh berbagai narasumber saat FGD.  

----------- 225

Upacara Periodik 

Dalam agama Hindu dikenal namanya Tri Sandhya, 

peribadatan harian yang dilakukan sebanyak tiga kali dalam 

sehari. sedang  kegiatan yang bersifat mingguan yaitu  

kliwonan, yang dilakukan saat masuk weton kliwon dan kajang 

kliwon setiap putaran kliwon ketiga. Ibadah yang bersifat 

bulanan yaitu  purnama tilem, setidaknya sekali atau dua kali 

dalam sebulan, yaitu saat bulan purnama dan bulan tidak 

tampak (tilem). sedang  hari besar dilakukan setiap tahun 

dikenal luas, yaitu Nyepi, Galungan dan Kuningan. Berikut 

beberapa hal yang berkenaan dengan hari raya. 

Kliwon datang setiap lima hari ketemu kliwon pada 

hari pasaran/neptu/pancawara. Kliwon dianggap istimewa 

dalam tubuh ini di hari kliwon untuk mengekang sifat 

keraksasan (asura). Pancawara yaitu  hari suci berdasar  

wuku (hari pasar dalam istilah Jawa). Berikut penjelasan I 

Putu Agung Sanjaya:  

“Dalam setiap penanggalan pertemuan Pancawara 

(Umanis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) dengan Triwara 

(Pasah, Beteng, Kajeng) diperingati sebagai hari 

turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak 

melaksanakan dharma agama dan pada hari ini pula 

para bhuta muncul menilai manusia yang 

melaksanakan dharma”.  

Kajeng Kliwon yaitu  hari kelipatan ketiga dari 

keliwonan. “Kajeng Keliwonan merupakan pelipatan, lebih 

istimewa lagi”, tutur Ida Wayan Oka Santosa. Berikut 

penjelasan tentang Kajeng Keliwonan:  

----------- 226

“Rerainan Kajeng kliwon diperingati setiap 15 hari sekali 

pada saat itu kita menghaturkan segehan Mancawarna. 

Maksud dan tujuan menghaturkan segehan ini 

merupakan perwujudan bhakti dan sradha kita kepada 

Hyang Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah 

mengembalikan (Somya) Sang Tigabhucari. Berarti kita 

telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari 

alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar), 

sedang  sekalanya kita selalu berbuat tri kaya 

parisudha dan niskalanya menyomyakan bhuta menjadi 

dewa dengan harapan dunia seimbang”.  

Ritual bulanan yang dilakukan oleh pemeluk Hindu di 

Lombok yaitu  Purnama Tilem, setiap bulan dilakukan 

purnama  dan pada saat bulan tenggelam. Ritual saat bulan 

mencapai puncak. Berikut kegiatan tahunan yang umum 

dilakukan di Lombok: 

1. Nyepi: merupakan peringatan tahun baru saka, setahun 

sekali, tepatnya pada penanggal satu sasih kedase (bulan ke 

sepuluh). Nyepi  dari sepi yang artinya sunyi, sepi, hening. 

Rangkaian Nyepi yaitu : 

a. Upacara pengerupukan/pecaruan 

Sehari sebelum nyepi, pada tilem sasih kesanga umat 

Hindu melaksanalan tawur (pembersihan) kesange 

untuk membersihkan alam dari pengaruh yang tidak 

baik dari bhutakala. Untuk harmonis dengan Tuhan (Tri 

Hita Karana). Pecaruan dilakukan pada siang hari/sore, 

dilanjukan dengan penabur nasi tawur sambil 

membawa obor ke segala penjuru pekarangan rumah 

----------- 227

disertai dengan memukul kentongan/bunyi-bunyian. 

Pawai ogoh ogoh bagian dari pengerupukan. 

b. Pelaksanaan Nyepi yaitu  melaksanakan catur brata 

penyepian:  

1) Amati geni (tidak menyalakan api) 

2) Amati karya (tidak bekerja) 

3) Amati Lelanguan (tidak bepergian) 

4) Amati lalanguan (tidak bersenang-senang) 

c. Ngembak geni 

d. Dharma santi/simakrama 

2. Galungan dirayakan setiap enam bulan (210 hari), yaitu 

hari Rabu kliwon dungulan. Memperingati ulang tahun 

bumi atau pawedalan jagat, yakni menangnya dharma 

melawan adharma.97  

Prosesinya: 

a. Penyekeban: tiga hari sebelum Galungan, pada neptu 

pahing hari Minggu. Bermakna bahwa umat Hindu 

menyekeb/menahan hawa nafsu. Waspada menjaga 

kesucian diri dari godaan bhutakala (sang kala tiga).  

b. Penyajaan Galungan: jatuh pada hari Soma pon dungulan, 

dua hari sebelum galungan (sang kala tiga melakukan 

tugasnya). 

c. Penampahan Galungan: sehari sebelum Galungan, 

memotong hewan, ayam, itik, babi dsb.  artinya secara 

                                                          

97 Wawancara  Jero Mangku Karsa, tanggal 12 Maret 2016 

----------- 228

filosofi membunuh kebinatangan dari tubuh manusia. 

Umat Hindu memasang penjor  sebagai wujud rasa 

terimakasih.   

3. Kuningan: dirayakan sepuluh hari setelah Galungan, jatuh 

pada hari sanescare kliwon kuningan. Identik dengan tas-

tasan terdiri dari biji ratus (seratus biji-bijian), 

endongan/candung, segahan (nasi), cemperan (tebu). 

Prosesi hari raya Kuningan yaitu  sembahyang di mrajan 

(sanggah) lebih dari jam 12 siang sebab  pada saat itu 

dewa-dewi dan roh suci sudah mulai kembali ke 

kahyangan.  

4. Siwalatri atau Siwaratri: dilaksanakan satu tahun sekali, 

saat purwaning tilem kepitu (bulan mati ketujuh), jatuh pada 

bulan januari, pada malam Siwalatri, paling gelap, yaitu 

bulan ketujuh paling gelap sebab  bersamaan dewa Siwa 

bersemadi (payogan dewa Siwa).   

5. Saraswati: pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati yang jatuh 

pada saniscara umanis waku gunung setiap enam bulan 

sekali (210 hari). Kata Saraswati dalam Bahasa Sanskerta 

berurat kata saras yang berarti mengalir, dan wati yang 

berarti memiliki. Saraswati yaitu  dewinya kata-kata, 

pelajaran dan bijaksana. Persembahyangan yang ditujukan 

pada dewi Saraswati sebagai saktinya dewa Brahma. 

mengucap syukur dengan tidak membaca pada saat itu 

semua sumber ilmu pengetahuan dibantenin dengan 

banten khusus, isinya terdiri dari buah, simbol cicak, 

simbol telur kecil, daun beringin, tempatnya terbuat dari 

ron bentuknya lingkaran. Saraswati yaitu  lambang ilmu 

----------- 229

pengetahuan, bertangan empat, dilukiskan sebagai 

mahadewi yang mahacantik terdiri dari:  

a. Tangan pertama memegang genitri:  ilmu pengetahuan 

terus berputar tidak putus putus,  

b. Tangan kedua memegang keropak, daun lontar: 

lambang penyimpan ilmu pengetahuan 

c. Tangan memegang wina: alat musik, ilmu 

mengandung rasa estetika. 

d. Tangan memegang teratai: sebagai lambang bahwa 

ilmu itu indah. Pada saat itu turunnya ilmu 

pengetahuan maka wajib kita membaca sloka. 

e. Keesokan harinya dilakukan banyu pinaruh, penyucian 

lahir bathin. tempatnya di segara atau di mata air. 

6. Pagerwesi: jatuh pada budha kliwon sinta, setiap enam 

bulan sekali (210), merupakan payogan Sang Hyang 

Paramesti Guru, bersama panca dewata: dewa Iswara, 

berstanakan di arah timur, dewa Brahma, berstanakan 

arah selatan, dewa Mahadewa, beristanakan arah barat, 

dewa Wisnu, berstanakan di arah utara, dewa Siwa di 

tengah. Pada saat ini dilakukan tapa, brata, yoga dan 

samadi untuk memeroleh ketenangan, dan ketentraman. 

7. Pujawali: dilakukan perayaan yang berpusat di pura 

(besar), seperti Suranadi dan  Lingsar. Pujawali di Lingsar 

dilaksanakan setiap tahun yang diramaikan dengan perang 

tupat, setelah perang selesai, tupat-tupat diambil oleh 

petani untuk menyuburkan tanahnya.98  Uniknya, Pura 

                                                          

98 Wawancara dengan Pemangku di Pura Lingsar, tanggal 15 Maret 2016 

----------- 230

Lingsar juga dipakai untuk peribadatan umat Islam 

terutama penganut Wetu Telu, Sasak. Dua umat secara 

bersama-sama merawat pura secara bertahun-tahun dari 

sejak tahun 1714.  

 

Mengembangkan Eksistensi Hindu Lombok 

“Umat Hindu di Lombok secara jumlah tidak terlalu banyak, 

jumlahnya kecil namun menentukan”, jelas Jero Mangku Karsa. 

Posisi vital umat Hindu terasa saat Nyepi dan beberapa 

kegiatan lainnya, pawai ogoh-ogoh dan melasti cukup menarik 

perhatian berbagai pihak, tidak hanya warga  Lombok 

yang terdiri dari multiagama tetapi banyak wisatawan dari 

berbagai negara. Posisi vital lainnya mungkin saja dimaksud 

yaitu  posisi tawar pada politik dan pembangunan sosial di 

Lombok, NTB secara luas.   

Adapun menyangkut eksistensi internal, sebagai 

jawaban atas munculnya kritik terhadap kehidupan 

keagamaan Hindu (arus besar) yang lebih cenderung ramai 

diaspek upacara namun dianggap kurang mendalam diurusan 

spiritual, beberapa kegiatan baru muncul, antara lain:99  

1. Mengembangkan tradisi tilem, berkumpul di puri 

lalu   berjalan kaki ke pura. Informasi yang dapat 

diperoleh kegiatan tilem ini berkembang di wilayah 

Pagesangan. Di wilayah lain belum terlalu membudaya 

menjadi kegiatan tahunan.  

                                                          

99 Wawancara dengan Wayan Wirata, tanggal 17 Februari 2016 

----------- 231

2. Dharmawacana mulai dikembangkan oleh pedanda,100 

pandita dan pinandita yang memiliki kemampuan untuk 

ber-dharmawacana di acara mlaspas, peresmian pura baru, 

acara tiga bulanan, persembahyangan besar, hari 

Saraswati baik di pura, mrajan dan di rumah.  

3. Dharmagita, mengembangkan tradisi kidung dan sloka 

yang sebelumnya telah dimiliki namun mulai 

direvitalisasi, yaitu: 

a. Sekar alit atau sekar agung dipakai saat hari Siwalatri 

(malam peleburan dosa), turunnya ilmu pengetahuan, 

pujwali di pura tertentu (weda wakya) 

b. Sloka dan palawakaya yaitu  bagian sekar agung. 

4. Di pemerintahan, posisi penyuluh101 cukup strategis dan 

diakomodasi sebagai bagian dari petugas pemerintahan. 

Umumnya, penganut Trimurti dikategorikan sebagai 

kelompok tradisional, di dalamnya ada beberapa sekte,102 

Siwa, Waisnama dan Brahma. Ada sebuah kelompok di dalam 

tradisional yang cukup berkontribusi terhadap eksistensi 

mereka di Lombok, yaitu Seruling Dewata. Kelompok ini 

tidak menganggap dirinya sebagai sampradaya (kelompok 

terpisah dari mainstream) namun memiliki aturan sendiri di 

                                                          

100 Wawancara dengan I Putu Agung Sanjaya, yang mengakui bahwa Ketua 

Paruman Sulinggih kerap memberikan dharmawacana di acara-acara tertentu, tanggal 

19 Maret 216. Agung kerap menjadi presenter di TV lokal mendampingi Pandita 

memberikan dharmawacana.  

101 Banyak pemangku dan pandita merupakan PNS di STAHN dan unit 

pemerintahan lainnya. Hal ini cukup memberikan suatu warna hubungan antara 

pemerintah dengan agamawan yang dirasa memberikan dampak yang positif dalam 

hal membangun kehidupan keagamaan.  

102 Meskipun beberapa pandita yang diwawancai menyebut istilah sekte, 

sepertinya istilah aliran dan sekte tidak terlalu disepakati di kalangan Hindu. 

----------- 232

dalamnya. Sesuatu yang menarik dari Seruling Dewata yaitu  

kemampuannya menembus batas agama, terutama dalam hal 

mengenalkan silat Seruling Dewata dan Yoga. Teknik yoga 

yang dikembangkan oleh Seruling Dewata dinamakan sebagai 

Yoga Watukaru, sesuai nama asalnya di Bali.103 Seruling 

Dewata  meyakini banyak tradisi dan kekayaan agama Hindu 

yang mereka pertahankan sebab  di India sendiri sudah tidak 

ditemukan, terutama menyangkut Yoga (Watukaru) itu 

sendiri.  

 

Organisasi Keagamaan 

Hampir semua organisasi Hindu disatukan di PHDI, 

sedang  dari kelompok tradisional beberapa organisasi 

yang bersifat paguyuban ada juga organisasi formal, banyak 

organisasi yang tergabung dalam PHDI. Secara umum PHDI 

terbagi dalam Paruman Pandita yang mengurus persoalan 

keagaman dan Paruman Walaka yaitu  struktur yang concern 

pada urusan di luar peribadatan, misalnya politik, 

kebudayaan dan lain sebagainya.104 Paruman Sulinggih 

merupakan organisasi mandiri untuk mengoordinasikan 

seluruh sulinggih di NTB, sedang  Paruman Pandita untuk 

memenuhi struktur pada PHDI105.  

Adapun organisasi yang termasuk dalam lingkup 

PHDI, antara lain: 

 

                                                          

103 Wawancara dengan Ida Bagus Beni Pratama, tanggal 14 Maret 2016 

104 Wawancara dengan Wayan Wirata dan I Gede Mandra di kantor PHDI, 

tanggal 18 Februari 2016 

105 Pembahasan pada FGD di PHDI, tanggal 20 Maret 2016 

----------- 233

1. Perhimpunan Pemuda Hindu negara kita  (Peradah) 

2. Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma negara kita  (KMHDI) 

3. Pinandita Sanggraha Nusantara 

4. Mahagotra Pasek Sanak Sakti Resi 

5. Wanita Hindhu Dharma negara kita  (WHDI) 

6. Sampradaya-sampradaya: 

a. Asram Gaura Chandra (Krisna) 

b. Jalananda  

c. Sai Baba 

d. Brahma Charini 

e. Seruling Dewata106  

Organisasi dalam lingkup warga  Hindu yang 

bernuansa keagamaan selain struktur dalam PHDI, memiliki 

keunikan dan perlu diberi penjelasan tersendiri, antara lain: 

1. Mahagotra Pasek Sanak Sakti Resi 

Sejarah kelahiran organisasi Warga Pasek yang sekarang 

disebut Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi atau MGPSSR 

dapat ditelusuri sampai ke awal tahun 50-an. Setelah 

melalui beberapa tahap persiapan dan rapat-rapat, 

akhirnya sejumlah tokoh Warga Pasek dari beberapa dadia 

                                                          

106 Seruling Dewata merupakan bagian dari Hindu (tradisional), lahir dan 

tumbuh berkembang dari Watukaru, Bali. Seruling Dewata yaitu  sebuah perguruan 

silat yang berpusat di Bali, namun memiliki suatu tata aturan dan tata nilai sendiri di 

dalamnya. Organisasi ini perlu dimasukkan sebagai sebuah fenomena untuk 

memertahankan tradisi yang kuat di Hindu (Bali) yang di Lombok. 

----------- 234

dan dadia agung seluruh Bali mengadakan pertemuan di 

gedung bioskop Sampurna, di Klungkung pada hari 

Kamis, 17 April 1952.  Pertemuan ini  menghasilkan 

deklarasi pembentukan organisasi Warga Pasek yang 

disebut dengan Ikatan Warga Pasek. Ikatan Warga Pasek 

pada waktu pembentukannya diketuai oleh I Made Sirya, 

tokoh dari dadia agung Pasek Gelgel di Desa Aan, 

Klungkung. Selain ketua organisasi, pada setiap 

kabupaten dibentuk juga koordinator untuk 

mengkoordinasikan Warga Pasek di kabupaten masing-

masing.107  

2. Paruman Pemangku, berupa Pinadita Sanggraha 

Nusantara (PSN). Merupakan organisasi antarpemangku 

secara nasional, keterlibatan para pemangku dari Lombok 

dalam pendirian PSN cukup signifikan sebab  sebelumnya 

sudah berdiri Himpunan Pinandita Pemangku yang 

didirikan pada tahun 1998.108 Namun sebab  berkaitan 

dengan jaringan dan legalitas sebagai organisasi 

warga  termasuk hubungannya dengan pengakuan di 

PHDI, akhirnya tahun 2010 berdiri PSN Nusa Tenggara 

Barat sampai dengan Koordinator Daerah di delapan 

Kabupaten/Kota. Stuktur organisasi pada PSN dapat 

dilihat pada bagan di bawah.  

 

 

Bagan 1: 

Struktur Organisasi PSN pada tingkatan Korwil 

 

3. Banjar 

Struktur Banjar secara umum hanya ada dua 

organisasi, yaitu : 

a. Ketua (Kelian) 

b. Wakil Ketua (Wakil Kelian)  

c. Sekretaris (penyarikan) 

d. Bendahara/seringkali dirangkap oleh Penyarikan 

e. Anggota 

f. Organisasi berbasiskan wilayah/lingkungan.  

--

g. Sebelum swatantra, hanya ada dua kepala desa, 

perbekel (mayoritas Hindu)  dan pemusungan (di 

mana umat muslim kebanyakan) 

Beradasarkan uraian di atas, konflik sebagai fungsi 

yang bersifat manifest tidak pernah terjadi. Hal ini disebabkan 

berbagai nilai yang masih terjaga. Adapun ketegangan 

antarkelompok dan “aliran”, ataupun sekte tidak pernah 

mengarah serius. Keberadaan sampradaya dirasa baik, 

meskipun dengan berbagai syarat sosial tidak mengganggu 

tatanan yang sudah ada.109 

Nilai yang mengikat secara internal:110 

1. Sidikara: kesepakatan untuk bersama-sama mensukseskan 

kepentingan kelompok (sidi = sebenarnya, kara = tangan) 

dalam hal pelaksanakan kegiatan keagamaan dari Pance 

Yadnya sampai keagamaan lainnya. 

2. Mwarang: pertemuan antara dua keluarga diakibatkan oleh 

perkawinan  untuk membina kerukunan anak-anak yang 

terjalin dalam perkawinan dan keluarga besar. 

Nilai yang mengikat dengan ekternal:111 

1. Belangar: saling kunjungi saat   ada yang meninggal atau 

musibah 

2. Simakrama: menjalin keakraban saat hari raya maupun 

pesta 

                                                          

109 Wawancara dengan Ida Pedanda Kerta Arse, tanggal 11 Maret 2016. 

Beliau mengungkapkan kalau ajaran Hindu itu flesksible tidak begitu mengikat 

pemeluknya sedemikian kaku pada satu ajaran atau nilai, hanya pranata yang sudah 

ada tidak boleh asal ditabrak.  


3. Ngejot: memberi dan menerima dalam hal sesuatu yang 

lebih sebuah acara sebagai wujud rasa syukur dan saling 

memiliki. 

4. Hubungan perkawinan antarsuku, antaragama. hubungan 

akan menjadi baik, bagaimanapun jelek awalnya. Konversi 

yaitu  keniscayaan. 

Dengan adanya Parisada Hindu Dharma negara kita , 

terutama wilayah NTB, ini menjadi jembatan komunikasi 

yang baik dengan pemerintah, begitu juga dengan adanya 

Kabid Bimas Hindu di Kanwil Kementerian Agama yang 

mengayomi semua kelompok dalam agama Hindu 

menjadikan.  

Hubungan antara pemeluk Hindu dan pemerintah 

juga sedemikian baik dan  aktif. Begitu juga hubungan dengan 

pemerintah daerah, Provinsi dan Kota/Kabupaten terjalin baik 

yang dapat dilihat dari kehadiran para pejabat dalam 

kegiatan-kegiatan agama Hindu dan dapat pula 

diselenggarakan di kantor pemerintahan/pendopo 

gubernuran.  

Keberadaan Hindu di Lombok yang diejawantahkan 

dalam tiga bentuk, yaitu Tatwa, Susila dan Upacara 

memberikan dampak positif terhadap internal kelompok 

dalam agama Hindu. Bagi individu dapat menjalani hidup 

yang  nyaman, lahir dan bathin. Begitu juga hubungannya 

antarpemeluk Hindu, meskipun berbeda jalan, semua proses 

beragama dapat memancarkan dharma. Kehidupan 

tradisionalitas dalam Hindu merupakan suatu cara yang 

efektif memertahankan tradisi, dapat mengembangkan 

mentalitas dan jatidiri. Upacara hendaknya tidak selalu dapat 

dipahami sebagai pemborosan sebab  setiap hal yang 

diberikan kepada Tuhan Yang Maha Esa akan kembali dengan 

setimpal dan berguna baik untuk mencapai kehidupan 

sempurna (Moksa).  

Upacara tidak hanya memberikan dampak terhadap 

diri pemeluk namun juga menjadi media perputaran ekonomi 

sebab  aktivitas jual beli upakara (peralatan upacara) diakses 

oleh semua pemeluk agama, dalam hal ini muslim juga 

terlibat.  Tatwa, dapat memberikan dampak kepada individu 

untuk meningkatkan keyakinan Tuhan,112 tujuan datang ke 

dunia, dlsb. Dampak terhadap ekternal yaitu  mawas diri, 

dan mengenali siapa dirinya.  sedang  Susila terlihat dapat 

memberikan perubahan bagi umat Hindu sendiri, terutama 

karakternya. Selaras sengan revolusi mental, memberikan 

mentalitas perubahan dan kenyamanan bagi keluarga dan 

warga .  

Keberadaan kaum tradisionalis Hindu di Lombok 

cukup memberikan warna tidak hanya pada kehidupan 

keagamaan namun berdampak pada aspek sosial lainnya. 

Posisi vitalnya dalam kehidupan sosial dan keagamaan di 

NTB, mencerminkan identitas kultural. Keajegan ritual 

keagamaan yang tampak dalam pelaksanaan upacara, baik 

yang kecil maupun besar menjadikan Hindu di Lombok 

cukup unik sehingga tercipta kekhasan sendiri. Aktivitas 

                                                          

112 Keesaan Tuhan Yang Maha Esa yang termaktub dalam Bagavadgita yang 

dijelaskan oleh Gusti Mangku Sunartha yang hidup dalam seluruh aktvitas manusia 

baik dalam terjaga maupun tidak, baik itu duduk, berjalan dan tidur, untuk itu 

selalulah mengingatNya.  

-

keagamaan tidak hanya memberikan hal positif bagi 

pemeluknya namun memberikan efek yang baik yaitu 

meningkatkan kesejahteraan umum.  

sedang  hubungannya dengan kelompok 

(sampradaya) dinilai antarmereka cukup baik, tidak 

menimbulkan friksi yang serius, bahkan beberapa model 

diadopsi ke dalam kehidupan tradisional Hindu sendiri, yaitu 

tumbuhnya forum penghayat spiritualitas dengan membaca 

Bhagawadgita di rumah tokoh agama. Dengan kata lain, ritual 

sosial (upacara) jalan terus, tetapi penghayatan spiritual jalan 

terus. Hal ini  cukup memberikan nuansa pencerahan 

tersendiri khususnya bagi kaum muda yang haus akan 

siraman rohani dan kebutuhan bathin, sebagai bentuk 

perimbangan terhadap intelektualitas yang semakin 

meningkat.  

Dengan tidak tampaknya potensi “konflik” antara 

sampradaya dan kaum tradisionalis, meskipun potensi itu 

relatif, maka dampaknya dalam kehidupan keagamaan di 

Lombok memberikan prospek yang dinamis. Ke depan, dua 

arus ini  dapat saling melengkapi dan memerkaya agama 

Hindu itu sendiri, meskipun syarat untuk tidak ditabraknya 

pranata (tradisi) perlu untuk didiskusikan secara terus 

menerus, sebab  indikasi adanya sifat reformatif di tubuh 

sampradaya cukup terasa. Misalnya adanya aktivitas 

sampradaya tertentu di pantai Senggigi saat pelaksanaan Nyepi 

dapat menjadi titik krusial.   

Secara umum penelitian ini dapat menjawab tujuan 

penelitian, yaitu diperolehnya informasi dan data tentang 

-

perkembangan tradisional Hindu (arus besar) di Lombok 

NTB; lalu   dapat dipahami tentang dampak keberadaan 

kelompok tradisional dalam agama Hindu terhadap kelompok 

spiritual di Lombok NTB; serta diperolehnya pemahaman 

tentang hubungan antarkelompok dalam Agama Hindu pada 

kehidupan keagamaan di Lombok NTB. Diharapkan 

penelitian ini dapat menjadi informasi dan data awal 

perumusan kebijakan tentang kelompok di agama Hindu oleh 

Kementerian Agama.  

berdasar  uraian dan simpulan di atas, rekomendasi 

yang dapat diajukan dalam penelitian yaitu : 

Tetap diperlukan suatu dialog yang serius di tingkat 

cendikiawan tentang keberlangsungan tradisonal Hindu dan 

perkembangan sampradaya untuk mengurai kesalahpahaman 

satu sama lain. Cendikiawan dapat mengurai pelik hubungan 

tradisionalis dengan pihak yang mungkin akan bergerak 

secara reformatif.  

Kementerian Agama dapat merumuskan suatu 

kebijakan strategis menyangkut keberadaan tradisionalis 

Hindu sebagai suatu potensi pengembangan spiritualitas, 

begitu juga sebaliknya sengan sampradaya menjadi penunjang 

terciptanya harmonisasi.  

 

 

Memahami Hindu Kaharingan 

Sebagaimana tradisi lama dalam Hindu dan juga 

menurut Swami Vivekananda, ada kesatuan fundamental 

Hinduistik yang mendasari banyaknya perbedaan bentuk 

bagaimana Hindu itu dilaksanakan. Beberapa aliran begitu 

meyakini Weda, tapi tidak bagi yang lain. Perbedaan ini lalu 

diikat oleh kesamaan yang dipuja. Misalnya, sekte 

Linggargayata tidak mengikuti  Weda, namun percaya pada 

Siwa. Hal yang sama juga dapat dibaca dalam kepercayaan 

“agama-agama lokal” di negara kita . Salah satu contoh, orang 

Marapu menyebut Tuhannya dengan Amallahu Amarawi 

(Sugiyarto, 2014). Begitu juga dengan Kaharingan yangb 

memiliki kitab Panaturan dan menyebut Tuhannya dengan 

Ranying Hatalla Langit atau Mahatara. sedang  suku 

Huaulu menyebut Lahalata; Naulu menyebutnya Natanaka dan 

sebagainya (Media Hindu, 2016, Edisi 144). 

Secara teologis semua itu sama dengan Tuhan dalam 

Hinduisme113. Semua aliran memiliki mitos berbeda, sesuai 

budaya dan lingkungan. Meski banyak aliran mandiri, tetapi 

ada kadar interaksi yang saling acu antara tokoh agama dan 

                                                          

113Nama-nama Tuhan memang bisa berbeda-beda dalam setiap komunitas 

suku. Di Jawa misalnya, menyebut dengan Pengeran atau Gusti Allah. Seingat 

penulis, guru agama di Langgar dan Musala lebih banyak menyebut Pengeran dari 

pada Allah. 

-

tradisi, sehingga semua tetap mengindikasikan adanya rasa 

jati diri dan rasa koherensi dalam konteks yang sama.  

Pada era reformasi muncul kelompok spiritual yang 

kegiatan utamanya yaitu  membaca kitab suci, dan agak 

mengabaikan upacara, misalnya hanya menjalankan tradisi 

agni hotra dan bhajan.  Munculnya kelompok spiritual awalnya 

menimbulkan reaksi negatif kelompok tradisional yang 

menekankan pelaksanaan upacara dari pada membaca  kitab 

suci, meskipun kenyataanya juga membaca kitab suci, 

menghayati dan mengamalkanya Weda atau Panaturan 

(Kaharingan). Saat ini hubungan dua kelompok ini sudah 

mencair. Jadi sebenarnya kita agak kesulitan membedakan 

Hindu spiritual dan Hindu tradisonal, sebab  dalam Hindu 

spiritual ada upacara dan dalam Hindu tradisional ada 

spiritualnya. Satu-satunya argumen paling mudah dan logis 

dari makna Hindu tradisional yaitu  Hindu yang bersifat 

lokal (agama suku), seperti Hindu Bali, Hindu Tengger, Hindu 

Hualulu, Hindu Naulu, Hindu Tolotang, dsb. Oleh sebab  itu 

yang disebut Hindu tradisional di Kota Palangka Raya yaitu  

Hindu Kaharingan. 

Masalah yang digali dalam penelitian ini yaitu  

eksistesi Hindu Kaharingan di Kota Palangka Raya yang 

ternyata belum banyak diketahui sebagian besar pegawai di 

lingkungan Bimas Hindu Kementerian Agama. Begitu juga 

bagaimana dampaknya terhadap kehidupan keagamaan. Atas 

dasar masalah itu, maka implikasinya yaitu  harus 

menjelaskan sejarah dan perkembangan; jumlah penganut, 

model struktur organisasi, tokoh, simbol yang melekat, tradisi, 

media mempertahankan diri, dan relasinya dengan kelompok 

Hindu lainnya.  

  

--

Kota Palangka Raya dan Kehidupan Keagamaannya  

Palangka Raya yaitu  ibukota Provinsi Kalimantan 

Tengah. Kota ini dibangun mulai tahun 1957 (UU Darurat No. 

10/1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tk I 

Kalimantan Tengah) dari hutan belantara, melalui Desa 

Pahandut (bapak si Handut) di tepian Sungai Kahayan. Luas 

wilayahnya 2.400 km² dan kota terluas di negara kita . Sebagian 

berupa hutan, konservasi alam dan Hutan Lindung (seperti di 

Tangkiling). berdasar  data BPS tahun 2013, kota Palangka 

Raya berpenduduk sekitar 330.962 jiwa dengan kepadatan 

penduduk 9.067 jiwa/km².  

Kota Palangka Raya terbagi menjadi 5 Kecamatan, 

yaitu Kecamatan Pahandut (6 kelurahan), Jekan Raya (4 

kerlurahan), Sabangau (6 kelurahan), Bukit Batu (7 kelurahan) 

dan Kecamatan Rakumpit (7 kelurahan). Penduduk terdiri 

banyak suku, yaitu suku Dayak (46,62%), Jawa (21,67%) dan 

Banjar (21,03%), etnis Melayu (3,96%), Madura (1,93%), Sunda 

(1,29%), Bugis (0,77%), Batak (0,56%), Flores (0,38%), Bali 

(0,33%) dan suku-suku lainnya. 

warga  Kota Palangka Raya cukup relegius. 

Terbukti ada  banyak sekolah-sekolah agama, rumah 

ibadah dan tokoh agama seperti ulama, mubaligh, pendeta, 

penatua, pastur, pedande, basir dan sebagainya. Jika tidak 

relegius, tentu tidak ada sekolah agama, rumah ibadah dan 

tokoh agama. Penduduk berdasar  agamanya, yaitu  Islam 

234.700 jiwa (74%); Kristen 81.766 jiwa (17%); Katolik 8.793 

jiwa (3%); Hindu 47.942 jiwa (9,7) ; Buddha 2.218 jiwa (0,6); 

dan Khonghuchu 572 jiwa (Kalimantan Tengah Dalam Angka, 

2013).  

-

Secara kuantitas, penganut Hindu Kaharingan ini 

sudah stagnan atau semakin menurun, sebab  tidak ada misi 

Kaharinganisasi. Sementara rumah ibadah yang dimiliki umat 

Islam 143 buah, Kristen 127 buah, Katolik 12 buah, Hindu 6 

buah, dan Buddha 6 buah. Umat Khonghuchu belum punya 

rumah ibadah.  

 

warga  Dayak Pemangku Agama Hindu Kaharingan 

warga  pemerhati kehidupan sosial keagamaan 

selama ini hanya tahu bahwa Kaharingan merupakan bagian 

dari Hinduisme, tetapi tidak banyak orang tahu tentang 

bagaimana Hindu Kaharingan sebagai agama hanya dianut 

warga  Dayak. Suku Dayak yang sudah muslim, masih 

melaksanakan tradisi leluhur yang berakar pada nilai Hindu 

Kaharingan. Akibat banyak subkultur suku, tradisi yang 

filosofid dan maknanya sama tetapi istilah sering berbeda, 

terutama nama tradisi. Nama tradisi yang secara kata, makna 

dan filosofinya sama-sama dipahami kalangan suku Dayak 

yaitu  upacara Tiwah. Kata Kaharingan sudah akrab dalam 

kehidupan suku Dayak sehari-hari meskipun sudah beragama 

lainnya. Hindu Kaharingan yaitu  kepercayaan suku Dayak, 

penganut pasti suku Dayak, tetapi tidak semua Dayak itu 

Hindu Kaharingan, bahkan mayoritas muslim.  

Dalam penelitian ini sangat sulit menemukan lektur 

keagamaan Hindu Kaharingan, seperti tafsir berjilid-jilid, 

tuntunan beragama, beragama Hindu secara utuh dan 

sebagainya. Hal ini berbeda dengan umat agama lain yang 

dapat memperolehnya di toko-toko buku, sehingga dapat 

dipelajari kapan saja dan di mana saja. saat   anak-anak 

--

dewasa ini telah semakin kritis, pasti menghendaki memiliki 

argumen yang kuat tentang berbagai hal dari agama yang 

dianutnya, agar mereka dapat membentengi dirinya.  

Dibukukannya Kitab Suci Panaturan (ajaran leluhur) 

dan Telatah Basarah (tatacara beribadat) sepertinya tidak 

banyak membantu umat Hindu Kaharingan untuk bertahan. 

Untuk mempertahankan agama dan tradisinya, faktanya  

sangat tergantung Basir dan Mantir. Kurangnya lektur 

keagamaan dan majelis pendidikan agama Kaharingan 

menjadi tantangan besar bagi para agamawan Hindu 

Kaharingan. Jika tidak segera disikapi secara benar, maka 

pelan tetapi pasti, agama ini akan semakin ditinggalkan. 

Seperti yang sudah terjadi, di mana suku Dayak di 

Kalimantan Tengah saat ini mayoritas muslim, dan sebagian 

juga Kristen atau Katolik. Hal ini juga terlihat di Palangka 

Raya, Suku Dayak sebagai kelompok terbesar ternyata 

mayoritas beragama Islam. Kondisi ini sama saja dengan di 

wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara yang 

mayoritas beragama Kristen atau Katolik.  

Suku Dayak mulanya hidup di seluruh hilir sampai ke 

hulu sungai di seluruh Kalimantan dan distereotip sebagai 

suku terbelakang. Stereotip itu salah besar, sebab jauh 

sebelum negara kita  merdeka dan muncul berbagai gerakan 

pemuda negara kita  awal abad 20, mereka sudah memiliki visi 

kebangsaan untuk mengatur seluruh warga  di 

Kalimantan, apa pun agamanya. Suku Dayak itu berhimpun 

pada tahun 1894 dalam jumlah yang cukup besar mewakili 

406 suku Dayak (dan subnya) dalam pertemuan bersejarah 

“Tumbang Anoi”, Damang Batu, Gunung Mas. Dalam 

pertemuan itu termasuk 16 undangan dari Kesultanan 

Banjarmasin, Pontianak, Sambas, dan kesultanan Kutai 

Kartanegara serta suku Dayak di Serawak, Sabah dan Brunai. 

Pertemuan itu dipersiapkan selama 4 bulan untuk 

mengumpulkan akomodasi para peserta yang jumlah ribuan. 

Pertemuan berlangsung selama 60 hari. Sambil menunggu 

utusan terakhir mereka membahas semua hal berkaitan masa 

depan suku Dayak paska perang Banjar. Salah satu 

kesepakatan terpenting yaitu  96 pasal berkaitan dengan adat 

yang diberlakukan dan dijaga secara bersama-sama oleh 

seluruh suku Dayak apa pun agamanya. Setelah semua 

berkumpul membuat pernyataan bersama hasil pertemuan. 

Kehebatan suku Dayak yang dapat menghasilkan 

kesepakatan 96 pasal nyata, sebab  suku lainya di Nusantara 

belum ada gerakan berhimpun secara besar-besaran seperti 

dilakukan suku Dayak ini. Perjuangan untuk berhimpun itu 

sendiri sudah merupakan semangat kebangsaan luar biasa. 

Apalagi masa ini belum ada transportasi darat dan alat 

komunikasi modern seperti sekarang. Bagaimana cara 

menghubungi kepala suku sebanyak 406 orang dan 

bagaimana mereka harus datang di Tumbang Anoi.  

Pulau Kalimantan masa itu benar-benar masih hutan 

belantara. Wilayahnya pun begitu luas (5,5 kali pulau Jawa). 

Ada yang tetap mengganjal dilihat dari sudut logika mana 

pun, bahwa mereka saling berhubungan untuk berkumpul 

tanpa alat komunikasi seperti dewasa ini. Munginkah mereka 

memakai  cara supranatural, belum ada bukti tertulis. 

Memang, dalam legenda maupun cerita informan, para 

pemimpin suku dikenal dapat memanggil sauadara atau anak 

buahnya tanpa harus mendatangi. Mereka cukup memanggil 

secara batin, maka yang dipanggil akan datang dengan 

-

sendirinya. Dalam kasus perang Sampit misalnya, diceritakan 

tentang ahli supranatural memanggil roh-roh dan orang-orang 

pedalaman untuk membantu dalam perang Sampit.114 

Untuk datang ke Tumbang Anoi, mereka harus 

mengayuh perahu di sugai-sungai lebar, jalan kaki di darat 

yang masih hutan belantara, mengayuh perahu dan 

seterusnya sepanjang ribuan kilometer, barulah sampai di 

Tumbang Anoi. Jumlah utusan sekitar 1480-an orang. Tuang 

rumah (Tumbang Anoi) yang ditugaskan selama 4 bulan 

mengumpulkan akomodasi menyerahkan 100 ekor kerbau dan 

sapi untuk akomodasi peserta selama 2 bulan. Tetapi 

warga  Tumbang Anoi dan peserta bergotong-royong, 

ada juga yang bawa bekal seperti beras, ayam, ikan atau lainya 

dan pertemuanpun berhasil sukses. Kesuksesan pertemuan 

Tumbang Anoi ini tidak terlepas dari filosofi rumah Betang 

yang mengajarkan kesetaraan, gotong-royong, demokratis, 

memahami nasib dan didorong oleh cita-cita yang sama. Hasil 

pertemuan bersejarah itu menjadi pegangan para Tamanggung, 

Demang, Dambung dan Singa atau pemangku adat, apapun 

agamanya. Paska pertemuan Tumbang Anoi, kehidupan 

warga  Dayak menjadi sangat baik dan damai, tidak ada 

perang antar suku dan sub suku lagi.115  

Sebagian warga  Dayak jika sudah memeluk 

Islam, suka tidak menyebut dirinya sebagai suku Dayak. 

Sikap ini secara tidak langsung melahirkan munculnya 

stereotif negatif. Gubernur saat ini yang belum dilantik, 

Sugiyanto yaitu  suku Dayak. Namanya Jawa, padahal ia 

                                                          

suku Dayak beragama Islam, pengusaha kaya Pangkalanbun 

dan eks anggota DPR RI. Menurut pandangan suku Dayak 

dahulu, suku Melayu dan Islam yaitu  simbol kemodernan, 

dan Dayak dengan Kaharingan distereotifkan sebagai simbol 

ketertinggalan dan kekolotan.116 Komunitas suku Dayak saat 

ini sangat terpelajar, sehingga menempati semua posisi 

strategis di semua lini birokrasi Pemerintah Provinsi dan 

Kabupaten Kota. 

 

Umat Hindu Kaharingan Berjuang Memperoleh Jatidiri 

Kaharingan berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno) 

dari akar kata “Haring” yang berarti ada dan tumbuh atau 

hidup. Dalam istilah danum, Kaharingan diartikan air 

kehidupan dan dilambangkan dengan Batang Garing atau 

pohon kehidupan. Istilah Kaharingan diperkenalkan tahun 

1945, menjelang kemerdekaan oleh Dai Nippon atas saran 

tokoh adat Dayak Ngaju, Damang Y. Salilah dan W. A. Samat 

saat Tjlik Riwut menjadi Residen Sampit berkedudukan di 

Banjarmasin. Agama Kaharingan sudah menjadi agama bagi 

suku Dayak, seperti agama-agama lain meskipun belum ada 

pembukuan ayat-ayat dari Ranying Hatala Langit saat itu. 

Umat Hindu Kaharingan sekuat tenaga 

memperjuangkan jatidirnya agar diakui seperti agama lain 

sejak tahun 1950. Wadahnya yaitu  organisasi Serikat 

Kaharingan Dayak negara kita  (SKDI) yang didirikan 20 Juli 

1950 di Palangka Raya. Perjuangan pengakuan ini tidak sukses 

seperti umat Hindu Bali yang secara bersamaan juga 

                                                          

memperjuangkan jatidirinya. Hindu Bali diuntungkan 

banyaknya kabupaten yang sudah berjalan efektif saat itu. 

saat   pemerintah belum menyepakati, umat Hindu Bali 

sudah membentuk semacam dinas-dinas agama Hindu di 

seluruh kabupaten di Bali. sebab  itu tidak diakui pun, Hindu 

Bali sudah memiliki struktur birokrasi di Pemerintah Daerah 

Kabupaten, yang diketuai seorang Padanda.  

Sementara umat Kaharingan menghadapi kendala luar 

biasa. Kota Palangka Raya baru mulai dibangun dari hutan 

belantara, belum ada jalur transportasi kecuali melalui sungai. 

Kitab Suci Panaturan belum dibukukan, dan buku-buku 

panduan beribadah juga belum ada, apalagi buku-buku lektur 

keagamaan Kaharingan sama sekali belum ada. Budaya yang 

ada yaitu  budaya tutur bukan budaya tulis, seperti di agama 

lain. sebab  itu perjuanganya menjadi terhambat akibat belum 

siapnya berbagai perangkat sebagai agama, sibuknya 

penataan struktur pemerintahan, membangun tata ruang kota 

dan kondisi infra strutur yang belum memadai. Akhirnya 

Hindu Bali diakui sebagai agama, membentuk PHDI, dan 

menempatkan tokoh di kantor Kementerian Agama pusat, 

sementara umat Kaharingan gagal sebab  Pemerintah Pusat 

tetap menolak mengakui Kaharingan sebagai agama. Hal ini 

mendorong para tokohnya untuk mencari kemungkinan lain. 

Atas dasar itu, maka Majelis Besar Alim Ulama 

Kaharingan negara kita   (MB-AUKI) yang terbentuk setelah 

SKDI, mengajukan integrasi kepada PHDI Pusat. Pengajuan 

tertulis dalam surat No: 5 /KU/MB-AUKI/1980, 1 Januari 1980 

tentang Penggabungan/ Integrasi Majelis Besar Agama Hindu 

Kaharingan (MB-AHK) dengan PHDI yang ditanda tangani 

Lewis KDR, BBA. Lewis KDR yaitu  Ketua umum dan 

-

pemegang mandat penuh dari MB-AUKI dengan Nomor.: 

131/MB/-AUKI/II/1979, 29 Desember 1979 (PHDI Kalimantan 

Tengah, 17 Juni 2006). 

Sebelum integrasi, dilakukan dialog antara pengurus 

MB-AHK dengan para tokoh Hindu di Bali. Dialognya 

mengenai teologi, ritual, tradisi dan sebagainya dengan 

intelektual Hindu Bali mirip ujian fit and proper test, dipimpin 

doktor Hindu lulusan India, Ida Bagus Mantra. Selesai dialog, 

dinyatakan Kaharingan yaitu  Hindu kuno yang telah dianut 

suku Dayak sejak jaman Weda. sebab  keterputusan 

intelektual, sehingga ajarannya tersosialisasi dalam bentuk 

tuturan. Paska dialog, utusan MB-AUKI semakin mantab 

berintegrasi. Padanda Bali pun didatangkan untuk lebih 

meyakinkan. Padanda melakukan pertapaan di Bukit Batu 

(Tengkiling) dan lalu   menyampaikan Kaharingan 

yaitu  Hindu pertama di Nusantara.117  

Keberadaan (MB-AUKI) yang berubah menjadi MB-

AHK dipertegas SK Dirjen Bimas Hindu dan Buddha 19 April 

1980, tentang Pengukuhan MB-AHK sebagai badan 

keagamaan Hindu. Posisinya dipertegas bahwa Pembimas 

Kanwil Kementerian Agama hanya memberikan bimbingan 

dan pelayanan kepada umat Hindu Kaharingan. Posisi MB-

AHK bersama Parisada Hindu Dharma negara kita  (PHDI) 

menjadi mitra utama Pembimas Kanwil Kementerian Agama 

dalam melaksanakan bimbingan warga  Hindu 

Kaharingan. Pembinaanya efektif dilakukan oleh mitra kerja 

yang memiliki legalitas dari pemerintah, yaitu PHDI Pusat 

hingga Daerah dan MB-AHK Pusat juga sampai ke Daerah. 

                                                          

sebab  itu dalam struktur organisasi MB-AHK ada unsur 

Pusat (Palangka Raya), Kota dan Kabupaten (MD-AHK), 

Kecamatan/ resort (MR-AHK)  dan  Kelompok (tingkat Desa 

atau MK-AHK) (Surat Edaran Kepala Kanwil Prov. 

Kalimantan Tengah). 

Akhirnya pada tanggal 20 April 1980 dilakukan prosesi 

“Sumpah Hambai” yang dihadiri ribuan orang dari berbagai 

wilayah di Kalimantan. Dalam prosesi integrasi itu, PHDI 

diwakili 4 orang, 1orang dari Dirjen Bimas Hindu dan 

Buddha, dan 6 orang dari Hindu Kaharigan (anggota MB-

AUKI). Para utusan membubuhkan tanda tangan dan cap 

surat pernyataannya dengan darahnya masing-masing. Proses 

integrasi dilakukan di gedung pertemuan sederhana miliki 

MB-AHK Pusat dan ditandatangani oleh 100 orang yang 

disaksikan ribuan orang. Para utusan sepakat saling 

mengangkat sumpah sebagai saudara kandung, seiman dan 

seagama. Jika ada kelompok ingin melepaskan Kaharingan 

menjadi agama sendiri, perlu mengingat kembali sumpah 

Hambai yang bersejarah itu. Mereka yakin siapa berkhianat 

akan menerima karma buruk. Beberapa informan mengatakan 

bahwa mereka yang mencoba-coba keluar (berkhianat) dari 

sumpah Hambai telah mendapat karma buruknya dan 

hidupnya menjadi sengsara.  

Satu bulan paska “Sumpah Hambai”, berdatanganlah 

orang-orang Dayak luar Palangka Raya mempertanyakan, 

mengapa Kaharingan masuk PHDI, sementara nama 

Tuhannya lain, kitab sucinya beda, ritual dan tradisinya pun 

beda. Dijelaskanlah, bahwa tidak mungkin bergabung dengan 

Islam atau lainnya.  Sementara umat tidak dapat menunggu 

lebih lama lagi, sebab berbagai administrasi memerlukan KTP, 

--

dan dalam KTP ada kolom agamanya. Satu-satunya jalan 

yaitu  berintegrasi dengan PHDI. Semua harus paham dalam 

Hindu tidak mengenal satu jalan keselamatan, satu kitab suci, 

dan semua asesoris keagamaan harus disesuaikan dengan 

alam sekitar di mana seseorang beragama Hindu. Guna 

mengefektifkan pembinaan keagamaan, didirikanlah 

Pendidikan Guru Agama Hindu (PGAH). Pendirian PGA 

didukung penuh PHDI. Guru agama Hindu di Kalimantan 

Tengah yaitu  alumni PGA ini. Umur PGA ternyata tidak 

lama, saat   pemerintah menghapuskan seluruh PGA, SPG 

dan SGO di akhir tahun 1990-an. lalu   didirikanlah 

Sekolah Tinggi Agama Hindu Kaharingan Tampung Penyang 

(STAHK-TP) dengan program D1, D2 dan D3. Program 

diploma ini juga tidak lama, dan dibuatlah program S1 

Agama. Pada saat ini STAHN-TP sudah membuka program S2 

dan meluluskan beberapa angkatan. Dari para alumni inilah, 

umat Hindu Kaharingan akan mendapat pembinaan, dan 

mudah-mudhan lahir Basir-Basir baru yang menjadi banteng 

agama Hindu Kaharingan. Hal ini akan menjadi harapan siapa 

saja yang tulus dalam beragama agar semua umat beragama, 

termasuk umat Hindu Kaharingan dapat tumbuh dengan 

sehat tanpa diskriminasi.   

Paska integrasi ternyata masih ada segelintir orang 

yang tetap ingin Kaharingan menjadi agama tersendiri, sebab  

merasa bahwa perjuang sejak tahun 1950 melalui SKDI itu 

belum selesai, dan merasa tidak cocok dengan integrasi ke 

PHDI. Munculah organisasi atas nama Kaharingan, seperti 

Badan Amanat Kaharingan Dayak negara kita  (BAKDI), Badan 

Agama Kaharingan negara kita  (BAKRI) dan Majelis Agama 

-

Kaharingan negara kita  (MAKRI).118 Nuhrison (2000) 

menjelaskan bahwa sebagian mereka merasa ditipu dan 

digiring ke dalam Hindu dan tidak puas berintegrasi dengan 

Hindu (PHDI).  

Ormas keagamaan BAKDI dipimpin Lubis, mantan 

guru agama Hindu. Oleh Gubernur Teras narang, Lubis 

diangkat menjadi Camat di Rangkupit. Saat ini yang 

bersangkutan sudah tidak aktif lagi, praktis organisasi BAKDI 

juga terhenti. Sementara Majelis Agama Kaharingan negara kita  

(MAKRI) dipimpin Suel, S. Ag, mantan Kepala Pembimas 

Kanwil Kementerian Agama tahun 2004-2007. Suel S.Ag juga 

sebagai dosen di STAHN-TP. Oleh Gubernur Teras Narang, 

Suel diangkat Kepala Dinas Pendidikan dan lalu   Kepala 

Dinas Satpol PP Provinsi.119 Sangat disayangkan bahwa 

peneliti tidak dapat menemui satupun informan dua 

organisasi keagamaan mengatasnakaman Hindu Kaharingan 

ini. Menurut Pembimas Kanwil Kementerian Agama, dan 

banyak informan lainya, kedua organisasi itu tidak jelas lagi 

eksistensinya semenjak para pemimpinya tidak aktif. 

Dalam perjalanan berikutnya, MB-AHK mendapat 

perlakuan istimewa dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten 

Kota di Kalimantan Tengah, seolah lebih istimewa dari PHDI. 

Banyak tokoh MB-AHK sangat dekat dengan Pemerintah. 

Bahkan mata anggaran bantuan MB-AHK di Pemerintah 

Provinsi terpisah dengan PHDI. Seolah MBAHK setara 

dengan PHDI. Pengurus PHDI sendiri yang mengetahui hal 

                                                          

itu legowo saja, sebab  pada prinsipnya PHDI itu ormas 

keagamaan mandiri, dan tidak tergantung kepada siapa pun. 

Jika ada yang membantu finansial diterima, jika tidak adapun 

PHDI tetap jalan. Hubungan antara keduanya selama ini 

sangat harmonis, dan sangat koordinatif.120 

 

Ciri Pokok Hindu Kaharingan 

Konsep Ketuhanan Hindu Kaharingan 

 Orang Dayak dahulu tidak memiliki nama 

kepercayaan terhadap Tuhannya. Orang Dayak Ngaju 

menyebutnya sebagai kepercayaan tato-hiang (nenek moyang, 

leluhur), kepercayaan huran (kuno), atau kepercayaan helo 

(dulu). Jika orang non-Dayak ditanya, akan menyebutnya 

sebagai kepercayaan tempon atau tempon telun, artinya cara 

orang Dayak berkepercayaan. Belanda menyebut kepercayaan 

Ngaju, bahkan menyebutnya kafir, pagan atau penyembah 

berhala, atau dianggap ateis atau ragi usang. Ini sebab  

Belanda melihat dari kacamata Kristen. Jadi, sesungguhnya 

Belanda tak tahu apapun tentang Kaharingan, hingga 

simpulannya serampangan dan sangat berbeda dengan yang 

dipahami orang Dayak.121 Kaharingan berasal dari bahasa 

Sangiang (Sangyang), yang merupakan bahasa tingginya para 

imam dan tetua adat Dayak. Dalam konteks teologis, 

kehidupan alam ini berasal dari Tuhan, Ranjing, Hatala, atau 

Maha Tala seluruh semesta, langit dan Bumi.  

                                                          

Nama Tuhan dalam Hindu Kaharingan disebut 

Ranying HaTala Langit, Raja Tuntung Matan Andau, Tuhan 

Tambing Kabanteran Bulan, Jatha Balawang Bulau, Kanaruhan 

Bapager Hintan (Panaturan 1: 3. 2:12. 41:45). Atau Ranying 

Hatala Langit, Jhata Balawang Bulan, Kanaruhun Bapager Hintan, 

Sahur Baragantung, Palapah Baratuyang Hawun. Artinya Tuhan 

yang Maha Besar, yang memiliki Sinar Suci, yang tiada tara, 

tempat menaruh harapan yang tidak terbatas dan memiliki 

kuasa Maha Tinggi.  

Sebutan Tuhan dalam kitab Panaturan Pasal 1 ayat 2:  

“Ie je tamparan taluh handiai mukei kahain kuasae,  

Jai panapatuk sukup simpan murai japa jimat tanteng, 

Hayak auh Nyahu Batengkung langit , Homboh Malentar 

Kilat BAsiring Hawun 

Palus Ambun ije dia bajahuntun tanduk, enun 

Basansinep isen baterus kening, Badandang 

Manjadi balawa hayak barasih, lenda lendang,  

linge lingei, hayak IE hamauh mananggare arepe 

AKU TUH RANYING HATALLA, mijen Balau Bulau 

Napatah Hintan, 

Balai Hintan Napatah Bulau, Mijen 

Tasik Malambung Bulau, Marung Laut Bapantan Hintan 

Sesuai pasal ini  jelas tentang keberadaan Tuhan, 

yaitu Ranying Hatalla Langit. Dalam ayat ini dijelaskan, 

Ranying Hatalla yaitu  awal segala kejadian dan paling 

kuasa. Dalam ayat 3 menyatakan: 


Aku tuh ranying hatalla ije paling kuasa, 

Tamparan taluh handiai tuntang kahapuse, 

Tuntang kalawa jituh iete kalawa pambelum, ije 

inanggareku 

Gangguranan area bagare hintan kaharingan  

 Ranjing Hatala berarti "Tuhanku yang ditinggikan", 

memiliki arti sangat luas dan tak terbatas, yaitu Keberadaan 

Tunggal Maha Cerdas, Maha Pencipta segala, Maha Hidup, 

Maha Mandiri, Maha Penentu tiap sesuatu, sehingga menjadi 

harapan dan gantungan tiap sesuatu. Maha Raja, Maja 

Penguasa, Maha Perkasa, Maha Bijaksana, Maha Pengasih, 

Maha Penyayang, Maha Memberi-rejeki, Maha Mendengar, 

Maha Melihat, Maha Mengetahui segala hal. Ranjing Hatala 

yaitu  keberadaan dengan wujud Maha Ghaib, Maha Halus, 

tak akan pernah dapat dilihat oleh mata manusia, namun 

dapat dirasakan dan dipikirkan oleh kalbu dan akal manusia, 

sejauh jangkauan manusia dapat memahami kehadiranNya, 

dan selebihnya yaitu  rahasiaNya.  

 Ranjink hatala langit, raja tuntung matan andau, tuhan 

tambing kabanteran bulan, memiliki arti Tuhanku yang 

ditinggikan setinggi langit, Raja segalanya, pelindung, 

pengayom, dan pemelihara tiap sesuatu. Raja Tuntung Matan 

Andau, raja yang tuntas sempurna, sumber segala cahaya dan 

tenaga hidup seluruh semesta. Tuhan Tambing Kabanteran 

Bulan, tuhan yang indah dan memiliki pesona cahaya bulan, 

menganugerahkan kedamaian, kesentosaan, dan 

kesejahteraan, melimpahkan rahmat, berkat, dan nikmat 

kepada seluruh makhluk yang berserah-diri. Jatha Balawang 

Bulau, Kanaruhan Bapager Hintan, Ranjing Hatala Langit yaitu  

Maha Awal dan Maha Akhir, Maha Memulai dan Maha 

Mengakhiri, Maha Mencipta, Maha Berkarya, Maha 

Merancang, dan Maha Membentuk.122 

 Secara teologis, keyakinan umat Hindu Kaharingan 

dapat dijelaskan bahwa Ranying Hatala yaitu  Tuhan Yang 

Maha Esa. Tuhan yaitu  Maha Pencipta dan Maha Penentu 

atau tiap sesuatu. Tuhan yang meciptakan seluruh semesta, 

tujuh langit dan Bumi. Tuhan yang menciptakan malaikat, jin, 

hama, tumbuhan, binatang, dan manusia. Tuhan yang 

menciptakan Raja Garing Hatungku dan Kameluh Petak bulau 

Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan tambun, Tuhan yang 

menetapkan bahwa pria yaitu  pemimpin dan pelindung bagi 

wanita. Tuhan yang menetapkan kesetaraan gender antara 

pria dan wanita, sesuai kudrat. Tuhan yang menetapkan 

pemimpin bertanggungjawab atas semua yang dipimpinnya. 

Tuhan yang mendatangkan nabi dan rasul dan mewahyukan 

kitab suci. Tuhan yang memerintah manusia beribadah dan 

berserah diri (basarah) kepada Dia. Tuhan yang memerintah 

manusia untuk membangun rumah ibadah (balai basarah). 

Tuhan yang memerintahkan manusia untuk menyembelih 

hewan kurban (yadnya). Tuhan yang memerintahkan manusia 

untuk mensyukuri rezeki. Tuhan yang mendatangkan 

kebaikan kebajikan dan keburukan kejahatan. Tuhan yang 

menjadikan pahala dan dosa atas perbuatan manusia. Tuhan 

yang menetapkan hukum balasan setimpal atau setara. Tuhan 

                                                          

yang menetapkan larangan mengganggu wanita dan anak-

anak. Tuhan yang Tuhan yang menetapkan hukum adat 

dalam warga . Tuhan yang memerintahkan berdo'a dan 

memohon pengampunan. Tuhan yang menciptakan dunia dan 

akhirat, surga dan neraka, kehidupan setelah mati, yang 

menerima do'a orang masih hidup untuk yang telah mati. Dan 

Tuhan yang pula mendatangkan hari lalu  , atau akhir 

dunia.123 

 Selain alam dunia, penganut agama Kaharingan juga 

percaya akan adanya alam gaib yang dihuni oleh Sangiang dan 

parajin (malaikat) sebagai pembantu Tuhan. Selain Sangiang 

sebagai pembantu Tuhan, penganut Kaharingan juga percaya 

bahwa ada orang yang menerima ajaran (berita) dari Tuhan 

namanya Raja Bunu, Bawi Ayah (perempuan), Hawun Barun-

Barun, dan Bandar Huntip Batu Api.  Bandar Huntip Batu Api 

(titisan Sangiang), jarak kehadirannya dengan ketiga nabi 

lainnya sangat jauh. Bandar tidak hanya menerima wahyu 

keagamaan tetapi juga ajaran-ajaran tentang sosial, politik 

moral, hukum adat, ilmu perang, ilmu pemerintahan dan 

cara-cara berwarga . Oleh sebab itu Bandar Huntip Batu 

Api dikenal pula sebagai raja yang adil dan sukses. Ia diberi 

gelar “Anak Janatha Lampang, Hatuen Sangiang Hadurut”, 

artinya anak sangiang yang menguasai air, dan yang datang 

dari langit. Sampai sekarang setiap 41 minggu diperingati hari 

lahir Bandar Huntip Batu Api, yang disebut Sansana Bandar 

(membaca cerita tentang Bandar).  

                                                          

Praktek Ibadah 

 Penganut Hindu Kaharingan memiliki tempat 

pertemuan yang berfungsi semacam tempat ibadah disebut 

Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Mereka memiliki waktu 

ibadah rutin yaitu setiap Kamis atau malam Jumat. Bentuk 

ibadah (ritual) dalam agama Kaharingan ada dua macam, 

yaitu Manyanggar dan Basarah. Manyanggar yaitu  ritual 

memberikan sesajen kepada makhluk-makhluk halus agar dia 

tidak mengganggu (agar ia menghindari tempat ini ). 

Sesajen itu diletakkan di tempat yang diperkirakan ada 

makhluk halusnya. Basarah artinya menyerahkan diri kepada 

Tuhan.  

Basarah biasanya dilakukan di Balai Kaharingan. Ada 

tiga macam basarah, yaitu basarah perorangan, basarah 

keluarga dan basarah umum. Basarah perorangan yaitu berdo’a 

sendiri, menabur beras kuning, atau meletakkan telor di 

tempat-tempat yang sakral (keramat). Basarah Keluarga 

biasanya dikerjakan di rumah masing-masing, waktunya 

disesuaikan dengan kebutuhan.  

sedang  basarah umum diadakan di Balai Kaharingan, 

dihadiri oleh banyak umat Kaharingan pada hari kamis atau 

malam jum’at. Dalam setiap upacara persembahyangan atau 

upacara basarah, penganut Kaharingan secara bersama-sama 

melantunkan Kandayu atau nyayian suci. Ada beberapa jenis 

kandayu: Kandayu Manyarah Sangku Tambak Raja, Kandayu 

Mantang Kayu Erang, Kandayu Parewei, dan Kandayu Mambur 

Behas Hambaruan.  

 

-

Sarana Upacara Keagamaan dan Jenisnya 

Sarana Upacara 

 Dalam Hindu Kaharingan dikenal sarana 

persembahyangan seperti Sangku Tambak Raja, berisikan 

berbagai macam, yaitu wadah kuningan (sangku), beras, telur, 

minyak kelapa, duit singah hambaruan, bulu burung tingang, 

sirih pinang, rokok, bunga, beras hambaruan dalam bungkusan 

kain putih, dan kain alas sangku yang kesemuanya memiliki  

makna yang dipahami oleh umat Hindu kaharingan. Arti 

masing-masing sarana itu yaitu : 

1) Sangku, memiliki makna penyatuan jiwa dan raga dalam 

melaksanakan basarah kepada Ranying Hatalla Langit 

Tuhan Yang Maha Esa.  

2) Beras. Menurut mitologi Hindu Kaharingan, Ranying 

Hatalla Langit menciptakan beras untuk kelangsungan 

hidup Raja Bunu dan keturunannya. Dalam acara auh 

manawur dijelaskan “balang bitim jadi isi, hampuli balitam jadi 

daha, dia balang bitim injamku akan duhung luang rawei pantai 

danum kalunen, isen hampuli balitam bunu bamban panyaruhan 

tisui luwuk kampungan bunu”. Artinya “behas manyangen 

tingang, bukan hanya untu kelangsungan hidup manusia, 

namun juga sebagai perantara manusia dengan yang 

kuasa, dan perantara manusia dengan leluhur”. 

3) Bulu burung tingang atau “Tingang Rangga Bapantung 

Nyahu”, bermakna bahwa alam kehidupan manusia penuh 

dengan pertentangan, perselisihan, baik antara kebenaran 

dengan ketidakbenaran. Warna putih dibagian bawah 

berarti kesucian yang dapat dicapai melalui usaha 

individu melawan ketidakbenaran (adharma) yang pada 


saatnya, bila dihubungkan dengan upacara keagamaan 

Hindu Kaharingan, yaitu sampai pada upacara 

Tiwah/Wara.  

4) Sipa (sirih pinang) dan ruku (rokok), penggunaan kedua 

sarana perlambang penyatuan jiwa dan raga dalam 

pelaksanaan basarah.  

5) Duit singah hambaruan, uang merupakan simbol 

penyempurna segala kekurangan upakara.  

6) Minyak kelapa, atau disebut minyak bangkang haselan 

tingang uring katilambung nyahu, bermakna membersihkan 

semua kekotoran yang menempel diri manusia.  

7) Telur ayam, disebut tanteluh manuk darung tingang 

merupakan simbol pensucian diri serta permohonan 

keselamatan dan kesejahteraan. 

8) Kain alas sangku, melambangkan keindahan alam semesta 

karunia Ranying Hatalla Langit.  

9) Bunga, selalu digunakan dalam upacara basarah dan 

ditempatkan di Sangku Tambak Raja, agar seperti bunga 

yang harum, dan manusia menerima anugrah Ranying 

Hatalla Langit.  

10) Beras hambaruan yaitu  beras yang dipilih sebanyak 7 biji 

yang terbaik,tanpa cacat lalu   dibungkus kain putih 

dan diletakkan di tengah-tengah sangku. Sebagai 

perlambang raja uju hakanduang, hanya basakati yang 

menjadi perantara Ranying Hatalla Langit memberikan 

anugerah kepada manusia yang pada akhir 

persembahyangan dibagikan kepada semua yang hadir.  


Beberapa Jenis Upacara 

Di kalangan umat Hindu Kaharingan dan warga  

Dayak umumnya sangat kuat mempertahankan berbagai 

upacara dalam sepanjang hidupnya yang disebut dengan 

Balian yaitu upacara ritual Kaharingan. Ada tiga kelompok 

besar upacara balian, yaitu pertama, upacara balian untuk 

kesejahteraan hidup (15 upacara). Kedua, balian untuk roh 

leluhur penjaga desa wilayah (5 upacara). Ketiga, balian pada 

upacara kematian. Upacara Balian dipimpin oleh seorang Basir 

Ufu, (basir yang senior), dan didampingi oleh Basir 

pengampit.  

Dalam upacara Balian selalu dibunyikan “Katambung” 

(kidung). Selain itu ada pula yang disebut “Manabur”, yaitu 

beras kuning dikasih minyak kelapa, lalu dinyalakan 

kemenyan, lalu   ditabur baik bagi roh yang jahat, dan 

roh yang baik. Manabur dipimpin oleh “Pisur” (pembantu 

Basir atau orang yang berpengetahuan setingkat). Seluruh 

ajaran tentang keimanan, ritual dan tata cara pelaksanaan 

upacara bersumber pada satu kitab suci agama Kaharingan 

yang disebut Panaturan. Kitab ini terdiri atas 63 pasal, dengan 

tebal 652 halaman. Kitab suci ini ditulis dalam bahasa Dayak 

Kuno (Sangiang). Pada tahun 1996 kitab ini diterjemahkan ke 

dalam bahasa negara kita  melalui kerjasama antara Pemerintah 

daerah setempat dengan Hanno Kampff Meyer MA, seorang 

mahasiswa Fakultas Antropologi dari Universitas Munchen 

Jerman (Nuhrison, op.cit). Semua orang Dayak yaitu  

pengamal Kaharingan, walaupun mereka sudah memeluk 

agama lain (Islam, Kristen, Katolik, Hindu), setidaknya 

tradisinya atau setidak-tidaknya yaitu  upacara Tiwah.  


Beberapa upacara itu yaitu  upacara kelahiran, 

perkawinan, kematian (Balian Tantulak Ambun Rutas Matei) 

yang dilakukan tiga hari setelah upacara penguburan dengan 

tujuan untuk memindahkan arwah orang yang baru saja 

meninggal dari alam kubur ke tempat penantian bersama Nyai 

Bulu Indu Rangkang (sebelum dilaksanakannya pesta tiwah). 

Upacara Tiwah (upacara terakhir kematian) yang merupakan 

upacara sakral dan bertujuan mengantarkan jiwa atau roh 

manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang 

dituju, yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja 

Dia Kamalesu Uhate, Lewu tatau Habaras Bulau, Habusung 

Hintan, hakarang lamiang atau Lewu Liau yang letakknya di 

langit ke-7.124  

Upacara Manyanggar, yaitu upacara adat yang 

dilakukan oleh warga  Dayak sebab  mereka percaya 

bahwa dalam kehidupan di dunia, selain manusia juga hidup 

makhluk halus. Perlunya membuat rambu-rambu atau tapal 

batas dengan roh halus ini  yang diharapkan tidak saling 

mengganggu alam kehidupan masing-masing serta sebagai 

ungkapan penghormatan terhadap batasan kehidupan 

makluk lain.125 

 

Simbol-Simbol Keagamaan 

Hindu Kaharingan disimbolkan dengan pohon 

kehidupan yang memiliki rincian makna filosofis, yaitu 

                                                          

pemahaman pada Pohon Batang Garing yang menyimbolkan 

antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia 

bawah yang merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat 

oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling 

membutuhkan. 

Simbol pada Buah Batang Garing, melambangkan tiga 

kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja 

Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Sementara 

Buah garing yang menghadap arah atas dan bawah 

mengajarkan manusia untuk menghargai dua sisi yang 

berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu 

menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.Tempat 

bertumpu Batang Garing yaitu  Pulau Batu Nindan Tarung 

yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum 

manusia diturunkan ke bumi. Di sinilah dulunya nenek 

moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu 

hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi. 

Dengan demikian, orang-orang suku bangsa Dayak 

diingatkan bahwa dunia ini yaitu  tempat tinggal sementara 

bagi manusia, sebab  tanah air manusia yang sebenarnya 

yaitu  di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian 

sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu 

mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.Pada 

bagian puncak ada  burung enggang dan matahari yang 

melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini yaitu  berasal 

dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang 

lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan 

sumber segala kehidupan.Jadi inti lambang dari pohon 

kehidupan ini yaitu  keseimbagan atau keharmonisan antara 

sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan 

Tuhan. 


Dampak Keberadaan Hindu Kaharingan terhadap 

Kehidupan Beragama 

warga  Dayak meskipun memiliki adat yang 

dibukukan pada kesepakatan Tumbang Anoi posisinya beda 

dengan Desa Adat di Bali. Adat yang menjadi pegangan para 

pemangku adat tidak dapat diklaim sendirian, sehingga tidak 

dapat dijadikan sandaran umat Hindu Kaharingan. 

warga  suku Dayak yang beragama Hindu Kaharingan 

hanya dapat bersandar pada Basir dan Mantir. Basir dan 

Mantir sebagai ilmuwan sekaligus alimnya harus memacu 

semangat misinya, agar warga  Dayak tetap beragama 

Hindu Kaharingan dengan baik. Selama ini komunitas suku 

Dayak banyak yang keluar dan mayoritas muslim, Kristen dan 

Katolik. Dampak nyata secara sosiologis yaitu  bahwa Hindu 

Kaharingan semakin ditinggalkan warga  Dayak sendiri 

padahal mereka inilah yang menjadi pemangku utama agama 

Hindu Kaharingan. warga  Dayak pun menjadi 

pluralistik dalam beragama. 

Orang Dayak dikenal sangat menjaga harmoni, 

sehingga mengenal tiga relasi yang benar-benar harus dijaga 

keharmonisannya, yaitu hubungan manusia dengan Ranying 

Hatalla. Penyang Ije Kasimpei, Penyang Ranying Hatalla Langit, 

artinya beriman kepada Yang Tunggal, yaitu Ranying Hatalla 

Langit; Hubungan manusia dengan manusia lainnya. Hatamuei 

Lingu Nalatai. Artinya saling kenal mengenal, tukar 

pengalaman dan pikiran, serta saling tolong menolong. 

Hatindih Kambang Nyahun Tarung, Mantang Lawang Langit. 

Artinya, berlomba-lomba jadi manusia baik agar diberkati 

Tuhan di langit, dan bisa memandang dan menghayati 

kebesaran Tuhan; dan hubungan manusia dengan alam 

semesta sebab  ciptaan Ranying Hatalla yang paling mulia dan 

sempurna yaitu  manusia. sebab  itu manusia wajib menjadi 

suri tauladan bagi segala mahluk lainnya. Keajaiban- 

keajaiban yang terkadang terjadi yaitu  sarana untuk 

mengetahui dan lebih menyadari kebesaran Ranying Hatalla.  

Dengan demikian, segala makhluk hidup semakin 

menyadari bahwa hanya Ranying Hatalla yang patut 

disembah. warga  Suku Dayak percaya bahwa 

Kaharingan sudah ada sejak awal manusia pertama. Dalam 

siklus kehidupan, seperti pada saat kelahiran bayi, pemberian 

nama, pernikahan, bahkan hingga kematianpun mereka selalu 

melakukan apa yang digariskan Ranying Hatalla, yaitu ritual 

adat. Berbagai ritual adat sudah dilakukan oleh warga  

Dayak sejak berabad-abad lampau terbukti dengan banyak 

ditemukannya Sandung (tempat menyimpan tulang pada 

upacara Tiwah). Sandung sendiri terbuat dari kayu ulin yang 

tahan panas dan tahan air.126 

Suku Dayak yang menjadi penyangga dari Hindu 

Kaharingan dengan filosofi rumah Betangnya sangat toleran, 

demokratis, sangat menghargai dan menjaga tamunya, sangat 

egaliter telah berakibat pada umat Hindu Kaharingan sendiri, 

dimana Hindu Kaharingan semakin menurun pengikutnya. 

Jika tidak segera berbenah, sepertinya Hindu Kahringan akan 

semakin berkurang. Hindu Kaharingan hampir-hampir hanya 

bertumpu pada Basir, sehingga umat Hindu Kaharingan yang 

hidupnya terpecar-pencar menjadi kurang mendapat 

perhatian. Di samping itu begitu tidak ada buku-buku bacaan 

                                                          

keagamaan Hindu Kaharingan yang dipelajari oleh generasi 

muda Hindu Kaharingan. Buku yang ada hanyalah Kitab 

Panaturan, Talatah Basarah, dan Kidung Sembahyang saja. 

 Keberadaan Hindu Kaharingan dapat dikatakan 

stagnan, jika tidak dikatakan semakin menurun jumlah 

pengikutnya, meskipun dulunya seluruh suku Dayak 

beragama Kaharingan. Hal ini terlihat bahwa mayoritas suku 

Dayak ternyata muslim, sementara Hindu Kaharingan dan 

umumnya hanya 6%. Penyebabnya antara lain, tidak ada 

lembaga pendidikan kegamaan anak-anak secara massal, 

seperti dalam Islam dan Kristen atau Katolik. Umat Hindu 

Kaharingan hanya bertumpu pada Basir dan Mantir (ilmuwan 

agama) untuk bertahan, sementara yang bersangkutan masih 

perlu ditingkatkan wawasan keagamaanya. Di samping itu, 

organisasi keagamaan Majelis Besar Agama Hindu 

Kaharingan (MB-AHK) kurang dinamis dalam kegiatan 

keagamaanya, sebab  tidak banyak program yang 

dilaksanakan.  

Organisasi Hindu Kaharingan yaitu  MB-AHK Pusat 

Palangkaraya, MW.AHK (wilayah), MD-AHK (Kabupaten 

Kota), MC.AHK (Kecamatan), MD-AHK (desa) dan terakhir 

MK.AHK (kelompok). Tokoh-tokoh dalam Hindu Kaharingan 

yaitu  Basir dan Mantir. Simbol utama Hindu Kaharingan 

yaitu  Batang Garing, dan tradisi utamanya yaitu  kelahiran, 

perkawinan, kematian (tantulak) dan terakhir dan termahal 

yaitu  upacara Tiwah. Media utama untuk mempertahankan 

diri yaitu  adanya Basir dan Mantir saja. Sementara itu 

hubungan dengan Hindu lainya sangat baik.  

berdasar  uraian dan hasil temuan di atas, 

rekomendasi yang diajukan melalui penelitian yaitu : 

1. Para tokoh agama Hindu Kaharingan baik Basir dan 

Mantir atau para cendekiawanya perlu menyusun buku 

keagamaan Hindu Kaharingan agar generasi baru Hindu 

Kaharingan dapat belajar dan melaksanakan ajaran agama 

Hindu Kaharingan dengan sebaik-baiknya. 

2. Majelis Agama Hindu Kaharingan dari Pusat sampai 

kelompok perlu mencanagkan program-program yang 

menyentuh kepentingan warga , agar keberadaanya 

dapat ketahui oleh warga  luas.  

 

EPILOG 

Keanekaan Manunggal dalam Filsafat Ketuhanan 

 

Oleh: 

Dr. I Nyoman Yoga Segara, M.Hum. 

Pengajar Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri 

Denpasar 

 

Setidaknya, setelah membaca utuh buku ini, kita akan 

dibawa pada satu pemahaman bahwa bagaimanapun 

berbedanya kelompok keagamaan yang ada dalam agama 

Hindu, pada akhirnya disatukan oleh filsafat ketuhanannya 

(tentang Brahman dan Atman) yang ditemukan di dalam 

banyak kitab suci. Misalnya, Bhagawadgita, IV.11 menyatakan 

“Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku 

memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku 

dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)”. 

Bhagawadgita, VII.21 juga menyatakan: “Kepercayaan apapun 

yang ingin dipeluk seseorang, Aku perlakukan mereka sama 

dan Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih 

mantap”. 

Bunyi sloka Bhagawadgita ini  menyuratkan 

bahwa apapun jalan yang ditempuh umat Hindu akan sama 

diterima Tuhan, asalkan semua bentuk bhaktinya dilakukan 

dengan tulus dan ikhlas. Beragam doa yang disampaikan 

dengan bahasa yang berbeda tetapi semua doa itu akan 

sampai pada Tuhan yang sama. Berikut dalil yang 

memperkuat pendapat ini. Regweda I.164.46: “Tuhan itu 

hanya satu adanya, oleh para Resi disebutkan dengan 

berbagai nama seperti: Agni, Yama, Matariswanam”. 

Upanisad IV.2.1: “Tuhan itu hanya satu tidak ada duanya”. 

Samaweda. 327: “Marilah datang bersama, engkau semua, 

dengan semangat kuat pada Penguasa Langit. Dia yang hanya 

Esa, tamu semua orang. Dia yang purba ingin kembali baru. 

Kepada-Nyalah semua jalan perpaling, Sesungguhnya Dia Esa 

belaka”. Rgweda X.83.3: “Oh, Bapa kami, Pencipta kami, 

pengatur kami yang mengetahui semua keadaan, semua apa 

yang terjadi,Dia hanyalah Esa belaka memikul nama 

bermacam-macam dewa. Kepada Nyalah yang lain mencari-

cari dengan bertanya-tanya”. Rgweda. 10.90.1: “Tuhan 

memiliki ribuan kepala, ribuan mata demikian pula ribuan 

kaki. Ia tersebar di seluruh penjuru bumi, memiliki 10 jari 

yaitu Panca Maha Butha dan Panca Tanmantra yang juga 

berada di luar jagat raya ini” (Titib 1996). 

Mendiskusikan Tuhan dan Ketuhanan dalam Hindu, 

kita bisa memulainya dengan membaca Upanisad (S. 

Radhakrishnan 1989, 2008) salah satu kitab penting yang 

membahas Tuhan atau Brahman yang diyakini memiliki 

kekuasaan untuk berada di dalam (immanent) dan di luar 

ciptaanNya (transcendent), seperti udara yang sama berada di 

dalam dan di luar ruangan (lihat lebih lengkap Astawa 2003: 

8). Ia juga ibarat penari dan tariannya. Tuhan itu satu adanya 

(monotehisme), namun bagi orang suci yang mengetahuinya 

diberi banyak nama (ekam sat wiprah bahuda wadanti). Ia Maha 

Ada sebab  berada di mana-mana dan tak terbatasi oleh apa 

pun (wyapi wyapaka nirwikara), bukan menyepi di satu tempat 

atau tidak seperti raja yang hanya duduk disinggasana 

emasnya. Ia Maha Tak Terbatas sebab  ia dapat mengambil 

sahasra rupam (1000 wajah) dan sahasra namam (1000 nama), 

bukan hanya satu bentuk lalu menyembunyikan diri.  

Brahman dalam Upanisad hanya memiliki sifat-sifat 

satyam (kebenaran), siwam (kebaikan), dan sundaram 

(keindahan) sehingga ia hanya memberikan kasih sayang 

kepada semua makhluk hidup. Tema ini akan membawa kita 

pada pembicaraan tentang Atma atau untuk 

menyederhanakannya disebut jiwa. Dalam pandangan Hindu, 

badan bukanlah penjara yang mengekang Atma, seperti 

anggapan Plato di masa Yunani kuno. Badan terbuat dari 

prakerti atau potensi materi yang berasal dari Tuhan sendiri. 

Badan  bersifat sementara, tidak seperti jiwa yang kekal dan 

abadi, bahkan saat   badan sudah rusak dan mati. Inti 

manusia yaitu  tentang jiwanya, atman atau sang diri yang 

menggerakkan badan, yang dalam Upanisad disebut berasal 

dan bagian tak terpisahkan dari Brahman itu sendiri. Selain 

dalam Mundaka Upanisad, Brihad Aranyaka Upanisad, Katha 

Upanisad, Chandogya Upanisad, Subala Upanisad, arti dan 

sifat-sifat atman juga banyak dijelaskan dalam Bhagawadgita. 

Misalnya dalam Bab X, 20 dinyatakan: “Aku yaitu  atma, 

menetap dalam hati semua makhluk. Aku yaitu  permulaan, 

pertengahan dan akhir dari semua makhluk” (Astawa 1996; 

Pudja tt). 

Adagium Tat Twam Asi yang artinya ITU (Tuhan) 

yaitu  Engkau, lahir dari konsep ini yang jika mampu 

direalisasikan maka manusia berhak menyebut dirinya “Aku 

yaitu  Tuhan” itu sendiri (Brahma Aham Asmi). Manusia pada 

level Brahma Aham Asmi akan melihat semuanya menjadi 

sama, menghargai semua makhluk hidup, tidak menyakiti 

dan membunuh sebab  ia melihat jiwa yang sama dalam 

setiap makhluk. Ada Tuhan yang sama dengan dirinya.  

Apa yang belum terjawab dalam penelitian ini telah 

mendapat jawaban saat   berbagai perbedaan yang ada dalam 

setiap kelompok keagamaan Hindu bermuara pada filsafat 

ketuhanannya yang sanggup menjadi samudera luas 

(pantheisme), tempat penjernihan segala perbedaan bahkan 

noda, dosa dan papa. Setiap aliran air boleh mengklaim 

kebenaran yang diyakininya, tetapi saat   masuk dan larut 

dalam air samudera luas itu, seluruh aliran air juga ikut larut 

dan menyatu. Begitulah akhir dari dinamika keberadaan 

berbagai kelompok keagamaan Hindu, harmoni dalam 

pelukanNya. Semua kelompok keagamaan, bahkan yang 

berbeda sekalipun berasal dari sumber yang sama: sarwam 

idham kalu brahma, serta berada di bawah rumah besar sebab  

mereka merasa bersaudara: wasudewa kutum bakam [*] 

 

Penelitian tentang agama Hindu atau sekurangnya di 

luar agama Islam tidaklah banyak. Kehadiran buku ini ibarat 

oase yang menyegarkan di tengah keterbatasan para peneliti 

melakukan penelitian terhadap agama-agama di luar Islam. 

Buku ini yaitu  pengembangan dari penelitian sebelumnya 

tentang aliran dalam agama Hindu, namun diperluas dengan 

meneliti keberadaan kelompok keagamaan yang dianggap 

bernuansa tradisional. 

Tidak mudah memisahkan keberadaan kelompok 

keagamaan dalam Hindu hanya berdasar  coraknya 

semata. Kesulitan ini disebabkan adanya hubungan bolak 

balik antara kelompok keagamaan yang dianggap spiritual 

maupun tradisional. Bahkan di dalam masing-masing 

kelompok keagamaan juga dihidupi oleh nuansa spiritual dan 

tradisional secara bersamaan. Namun penelitian ini tidak 

kurang akal dengan memfokuskan penelitian pada aspek 

historisitas sehingga diperoleh data lapangan bahwa 

perkembangan agama Hindu di negara kita  dipengaruhi oleh 

kedatangan awalnya dari India dan keberadaannya di 

negara kita  setelah mengalami perjumpaan intim dengan sistem 

kepercayaan yang sebelumnya sudah lama hidup. Pola inilah 

yang secara mudah untuk menggambarkan terminologi 

spiritual dan tradisional. 

Kesulitan kedua belum berhenti sampai pada istilah di 

atas. Tidak mudah memahami agama Hindu di negara kita  

hanya dari aspek makna dan substansi ajarannya. Secara 

esensial, ajaran Hindu itu sama di mana saja agama ini 

tumbuh dan berkembang. Namun soal bentuk dan 

eksoterisnya bisa sangat beragam, bahkan mungkin dalam 

satu wilayah atau daerah. Keragaman ini dimungkinkan 

sebab  agama Hindu menganut konsep desa, kala, patra 

(tempat, waktu, keadaan).  Melalui konsepsi ini, agama Hindu 

dapat secara fleksibel untuk beradaptasi atau diadaptasi. 

Sehingga wajah Hindu di negara kita  juga berwarna warni, 

seolah berbeda satu dengan yang lainnya, padahal 

sesungguhnya satu dan sama saja. 

Konsepsi di atas sebetulnya diemanasikan dalam filsafat 

ketuhanannya yang membuka lebar jalan perbedaan. 

Misalnya, empat jalan menuju Tuhan melalui Catur Marga. 

Setiap umat Hindu boleh dan bisa mengambil jalan tertentu 

yang dianggapnya sesuai dengan kapasitasnya untuk 

“bertemu” Tuhan. Tidak ada jalan absolut kaku, paling benar 

dan eksklusif.  Begitu juga dalam memahami Tuhan yang 

bahkan digambarkan dengan seribu nama (sahasra namam) dan 

seribu wajah (sahasra rupam). Orang bijaksana yang 

berpengetahuan suci memberiNya banyak nama, tetapi Tuhan 

tetap satu,  tunggal, dan esa (ekam sat wiprah bahuda wadanti). 

Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma secara tepat 

melukiskannya dengan bhinneka tunggal ika tan hana dharma 

mangrwa. Bahkan juga Tuhan meresapi seluruh alam semesta 

raya, dan Ia berada di mana-mana, bukan di satu tempat.  

Pantheisme sebagai puncak dari seluruh aliran filsafat 

ketuhanan yang ada dalam Hindu telah mengikat menjadi 

satu kesatuan keberadaan kelompok-kelompok keagamaan 

Hindu yang tampak seolah-olah berbeda satu dengan yang 

lainnya.  Kesamaan makna esoteris ini yaitu  cara bagi 

mereka untuk dapat hidup di manapun. Tesis ini dibuktikan 

dari hasil penelitian kedua kelompok keagamaan ini yang 

tidak banyak ditemukan resistensinya, baik secara internal 

maupun eksternal. Misalnnya, kelompok spiritual lebih kuat 

membangun hubungan keagamaan dengan spirit universal 

ajaran Hindu, seperti cinta kasih (prema), pelayanan (sewaka), 

atau meditasi dan yoga. Kelompok tradisional menempatkan 

lokalitas sebagai cara untuk hidup berdampingan, seperti 

ngayah (gotong royong), simakrama (menjalin keakraban), 

menyamabraya (membangun persaudaraan) atau ngejot (saling 

membagi atau membalas hantaran).  Perpaduan dari makna 

menuju laku dari kedua kelompok keagamaan inilah yang 

menghasilkan sikap inklusi baik di antara mereka sendiri yang 

memang berbeda dengan umat beragama lainnya. 

Hasil penelitian di delapan lokasi telah memperkuat 

pandangan di atas. Untuk itu hasil kerja keras para peneliti 

harus diapresiasi sehingga di masa depan dapat menghasilkan 

penelitian sejenis yang lebih baik. Sembari meminta maaf jika 

masih ada  beberapa kekurangan, semoga buku ini 

bermanfaat untuk kontribusinya terhadap keilmuan dan teori 

maupun kontribusinya kepada institusi, para peneliti, dan 

pengguna.  


Bagi sebagian kalangan umat beragama yang lain, 

agama Hindu, khususnya di negara kita  akan dilihat berbeda-

beda. Bahkan Hindu di satu daerah coraknya juga bisa tampak 

berbeda. Hindu di Denpasar dengan Gianyar itu berbeda; 

Hindu di Klaten dengan Solo juga bisa berbeda. Begitu juga 

dengan daerah lainnya di negara kita . Itu semua tidak salah, 

sama sekali tidak salah.  

Bagi yang belum memahami keberadaan ragam Hindu 

itu, mungkin akan melihatnya seperti parsial. Terlebih 

perbedaan itu ternyata tidak hanya di permukaan kulit, 

seperti upacara, busana, dan bentuk artifisial lainnya. Bahkan 

dalam aspek teologisnya juga bisa berbeda. Seorang Hindu 

dapat menjadikan Dewi Saraswati sebagai favoritnya, Hindu 

yang lainnya memuja Dewi Sri, Ganesha, Baruna, Wisnu, dlsb.  

Wajah Hindu yang beragam, sekali lagi, khususnya di 

negara kita  tak lepas dari perjalanannya ‘memuliakan’ agama 

dan budaya lokal yang lebih dulu tumbuh dan subur di jagat 

nusantara. Tidak ada ekspansi, juga tidak ada peng-agama-an 

untuk mereka yang sudah nyaman dengan kepercayaan yang 

terpelihara dari masa ke masa. Soal lalu  , aliran sejarah 

mempertemukan mereka dekat dengan Hindu, itu pun harus 

melalui kesepakatan bersama. Integrasi agama Kaharingan 

yang dianut warga  Dayak di Kalimantan Tengah dengan 

agama Hindu menjadi salah satu contoh. 

Napak tilas perjalanan Hindu yang menurut data 

sejarah diawali dari Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, lalu 

berakhir di Bali, seolah menegaskan agama ini seperti aliran 

air yang mengikuti warna-warni daerah yang dilaluinya, 

tanpa mengubah sedikit pun substansi airnya. Maka 

tampaklah wajah Hindu Lampung yang berbeda dengan 

Hindu Jawa, Hindu Bali, Hindu Lombok, dan Hindu-Hindu 

lainnya seantero nusantara. Dalam terminologi Bali, fakta ini 

disebut sebagai pengejewantahan konsep desa (tempat), kala 

(waktu), dan patra (keadaan). Bagaimana mereka beradaptasi, 

tumbuh dan berkembang bersama dengan agama lain dan 

budaya lokal akan selalu menyesuaikan dengan konsepsi itu.  

Satu hal yang menjadi pembeda keberadaan umat 

Hindu di negara kita  yaitu  tatanan upacaranya. Di dalam 

upacara ini ada  banyak upakara atau banten serta aktivitas 

keagamaan. Sarana upacara ini yaitu  ekspresi emosi, jiwa 

sekaligus kreativitas manusia sehingga apa yang 

dilahirkannya juga akan berbeda-beda. Perbedaan itu bukan 

saja terlihat secara komunal tetapi juga individu.  

Namun, upacara atau ritual atau acara itu hanyalah 

bentuk terluar jika ingin mengupas saripati Hindu. Analogi 

sederhana yang sering digunakan yaitu  telur dengan tiga 

lapisnya. Lapisan kulit yaitu  upacara; putih telurnya yaitu  

ajaran etika atau susila; kuning telurnya yaitu  inti dan sari 

yang disebut tattwa. Ketiganya ini lalu dikonsepsikan menjadi 

Tiga Kerangka Dasar. Untuk memahami Hindu, maka 

memahami ketiga kerangka ini menjadi penting sebab  acara-

susila-tattwa yaitu  sebuah tatantan holistik, saling 

melengkapi dan tidak terpisahkan.   

Memahami Tiga Kerangka Dasar itu juga harus 

berjenjang, dari yang konkrit menuju yang abstrak, dari acara 

yang tampak nyata, lalu susila (tingkah laku) untuk menuju 

tattwa, ajaran filosofis. Untuk maksud ini, Hindu memberikan 

konsep Catur Marga, yaitu empat jalan (marga) untuk 

mencapai kebenaran abadi dan kesempurnaan Tuhan dengan 

menyesuaikan kemampuan setiap umat Hindu. Ada yang 

melalui bhakti marga, karma marga, jnana marga, bahkan 

dibolehkan melalui raja marga. Keempat marga ini pun bukan 

terpisah-pisah sebab  bisa terjadi klaim, tetapi lebih pada 

orientasi pencarian Tuhan. Jika dilakukan dengan totalitas, 

penuh keihklasan, masing-masing marga akan menemukan 

tujuan tertingginya. Jadi tersedia pilihan jalan yang beragam 

untuk menemukan tujuan yang sama.  

Dalam pencarian tujuan itu, selain Catur Marga, juga 

‘disediakan’ tingkatan hidup berjenjang melalui Catur 

Asrama, yaitu brahmacari (masa belajar); grahasta (hidup 

berumah tangga); wanaprastha (mulai menjauhkan bahkan 

mengasingkan diri dari keduaniawian) dan sanyasin atau 

bhiksuka (totalitas jalan rohani). Tujuannya yaitu  agar tatanan 

hidup menjadi lebih terarah dalam meraih cita-cita yang 

dikonsepsikan ke dalam Catur Purusartha yang terdiri dari 

dharma, artha, kama dan moksa. Tampaknya, dharma menjadi 

landasan utama untuk meraih harta, materi (artha) dan 

memenuhi keinginan (kama) dengan moksha sebagai tujuan 

akhir. Pendeknya, semua tujuan hidup diraih melalui dharma 

Napak tilas perjalanan Hindu yang menurut data 

sejarah diawali dari Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, lalu 

berakhir di Bali, seolah menegaskan agama ini seperti aliran 

air yang mengikuti warna-warni daerah yang dilaluinya, 

tanpa mengubah sedikit pun substansi airnya. Maka 

tampaklah wajah Hindu Lampung yang berbeda dengan 

Hindu Jawa, Hindu Bali, Hindu Lombok, dan Hindu-Hindu 

lainnya seantero nusantara. Dalam terminologi Bali, fakta ini 

disebut sebagai pengejewantahan konsep desa (tempat), kala 

(waktu), dan patra (keadaan). Bagaimana mereka beradaptasi, 

tumbuh dan berkembang bersama dengan agama lain dan 

budaya lokal akan selalu menyesuaikan dengan konsepsi itu.  

Satu hal yang menjadi pembeda keberadaan umat 

Hindu di negara kita  yaitu  tatanan upacaranya. Di dalam 

upacara ini ada  banyak upakara atau banten serta aktivitas 

keagamaan. Sarana upacara ini yaitu  ekspresi emosi, jiwa 

sekaligus kreativitas manusia sehingga apa yang 

dilahirkannya juga akan berbeda-beda. Perbedaan itu bukan 

saja terlihat secara komunal tetapi juga individu.  

Namun, upacara atau ritual atau acara itu hanyalah 

bentuk terluar jika ingin mengupas saripati Hindu. Analogi 

sederhana yang sering digunakan yaitu  telur dengan tiga 

lapisnya. Lapisan kulit yaitu  upacara; putih telurnya yaitu  

ajaran etika atau susila; kuning telurnya yaitu  inti dan sari 

yang disebut tattwa. Ketiganya ini lalu dikonsepsikan menjadi 

Tiga Kerangka Dasar. Untuk memahami Hindu, maka 

memahami ketiga kerangka ini menjadi penting sebab  acara-

dan didayagunakan sepenuhnya untuk dharma (kebenaran). 

Dengan ini, tujuan utama untuk bisa hidup bahagia di dunia 

dan bahagia di akhirat akan terwujud. Inilah yang 

dimaksudkan sebagai Moksartham Jagat Hita ya ca iti Dharma. 

Dengan demikian, Hindu akan tampak seperti mozaik, 

tidak monolitik. Jalinan perbedaan itu diikat menjadi satu 

kesatuan melalui Panca Sraddha, yaitu lima keyakinan umat 

Hindu terhadap Brahman (Tuhan), Atman, Karma Phala, 

Punarbhawa dan Moksha. Kelima sraddha ini menyatukan umat 

Hindu di seluruh dunia, sekaligus yang membedakannya 

dengan umat lainnya.  

Pertama, Hindu meyakini Tuhan yang satu tetapi 

dengan nama dan wajah yang berbeda (sahasra namam dan 

sahasra rupam). Tuhan itu personal God sekaligus impersonal 

God, immanen dan transenden. Jadi, Tuhan diyakini tidak 

hanya secara politheistik dan monotheistik, tetapi sekaligus 

mempercayai Tuhan yang meresapi segalanya (pantheisme). 

Dalam Weda disebutkan sebagai Ekam Sat Wiprah Bahuda 

Wadanti (Tuhan itu satu tetapi orang bijaksana menyebutnya 

dengan banyak nama). Mpu Tantular lalu menuliskannya ke 

dalam Kakawin Sutasoma dengan Bhinneka Tunggal Ika, Tan 

Hana Dharma Mangrwa (berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak 

ada kebenaran yang lain yang mendua). Many in one, one in 

many. 

Kedua, Hindu meyakini bahwa atma atau zat hidup 

yang ada dalam setiap makhluk hidup bersumber dari Tuhan. 

saat   memasuki badan makhluk hidup, kesempurnaannya 

dipengaruhi oleh Tri Guna, sehingga antara makhluk yang 

satu dengan yang lain berbeda-beda. Ada yang tamas, rajas 

maupun sattwam. Hal ini lalu   menjadikan filsafat 

ketuhanan dalam Upanisad lalu menjadi etika sosial Tat Twam 

Asi (Aku yaitu  Kamu, Kamu yaitu  Aku). Dari Tat Twam Asi 

ini, Hindu mengejewantahkannya melalui Tri Hita Karana, 

yaitu tiga hubungan yang selaras untuk menghasilkan 

kebahagiaan baik secara horizontal dengan sesama manusia 

dan lingkungan, serta vertikal dengan Tuhan. Dari konsep ini 

pula melahirkan adagium Wasudewa Kutum Bakam (Kita semua 

bersaudara; dunia ini rumah bersama yang dihuni satu 

keluarga besar). 

Ketiga, Hindu meyakini hukum karma phala. Setiap 

perbuatan akan menghasilkan pahala, sekecil apa pun itu, 

bahkan perbuatan sejak dalam pikiran dan niat. Pahala 

perbuatan akan diterima saat berbuat atau setelahnya yang 

akan menjadi buah untuk kelahiran kembali. Kelahiran saat 

ini juga yaitu  buah perbuatan masa lalu (karma wasana). 

sebab  itu, Hindu mengajarkan untuk terus berkarma  baik 

(subhakarma) meningkatkan kualitas hidup. Keempat, Hindu 

meyakini punarbhawa atau samsara (reinkarnasi) sebagai jalan 

untuk memperbaiki diri. Lahir kembali ke dunia, apalagi 

sebagai manusia yaitu  kesempatan besar untuk memperbaiki 

kualitas hidup, dan menghasilkan benih perbuatan yang akan 

menentukan kehidupan kelak setelah kematian. Dan Kelima, 

Hindu meyakini Moksha sebagai tujuan akhir dan tertinggi 

sebab  membebaskan manusia dari kelahiran. Manusia lepas 

dari keterikatannya.   

dan didayagunakan sepenuhnya untuk dharma (kebenaran). 

Dengan ini, tujuan utama untuk bisa hidup bahagia di dunia 

dan bahagia di akhirat akan terwujud. Inilah yang 

dimaksudkan sebagai Moksartham Jagat Hita ya ca iti Dharma. 

Dengan demikian, Hindu akan tampak seperti mozaik, 

tidak monolitik. Jalinan perbedaan itu diikat menjadi satu 

kesatuan melalui Panca Sraddha, yaitu lima keyakinan umat 

Hindu terhadap Brahman (Tuhan), Atman, Karma Phala, 

Punarbhawa dan Moksha. Kelima sraddha ini menyatukan umat 

Hindu di seluruh dunia, sekaligus yang membedakannya 

dengan umat lainnya.  

Pertama, Hindu meyakini Tuhan yang satu tetapi 

dengan nama dan wajah yang berbeda (sahasra namam dan 

sahasra rupam). Tuhan itu personal God sekaligus impersonal 

God, immanen dan transenden. Jadi, Tuhan diyakini tidak 

hanya secara politheistik dan monotheistik, tetapi sekaligus 

mempercayai Tuhan yang meresapi segalanya (pantheisme). 

Dalam Weda disebutkan sebagai Ekam Sat Wiprah Bahuda 

Wadanti (Tuhan itu satu tetapi orang bijaksana menyebutnya 

dengan banyak nama). Mpu Tantular lalu menuliskannya ke 

dalam Kakawin Sutasoma dengan Bhinneka Tunggal Ika, Tan 

Hana Dharma Mangrwa (berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak 

ada kebenaran yang lain yang mendua). Many in one, one in 

many. 

Kedua, Hindu meyakini bahwa atma atau zat hidup 

yang ada dalam setiap makhluk hidup bersumber dari Tuhan. 

saat   memasuki badan makhluk hidup, kesempurnaannya 

dipengaruhi oleh Tri Guna, sehingga antara makhluk yang 

Panca Sraddha dengan berbagai cara meyakininya, serta 

tersedianya banyak jalan, serta konsepsi yang berjenjang, 

memungkinkan umat Hindu memiliki ragam pilihan yang 

dianggapnya terbaik, tanpa merendahkan jalan yang lain. 

Ibarat makanan prasmanan, umat Hindu boleh memilih 

makanan yang menurutnya enak dan bergizi, namun tidak 

menyatakan makanan lainnya kurang lezat. Tidak ada klaim 

kebenaran di dalam Hindu, sebab  seperti termaktub dalam 

Bhagawadgita (IV.11): “Jalan mana pun yang ditempuh seseorang 

kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang 

mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)”.  

Tidaklah mengherankan saat   berbagai aliran, 

mazhab dan kepercayaan yang datang ke negara kita , terutama 

dari India, dapat hidup berdampingan dengan kelompok 

Hindu yang sebelumnya sudah lama hidup di negara kita . 

Sempat ada friksi, tetapi tidak lama dan tidak banyak. 

Gesekan itu lebih banyak terjadi sebab  ego serta di tingkat 

bawah, bukan para pemimpinnya. Era reformasi makin 

memberikan ruang lebar kepada umat Hindu untuk memilih 

jalan terbaiknya, atau memperdalam agamanya baik dengan 

menjadi penghayat kelompok spiritual maupun kelompok 

tradisional.  

Kedua istilah ini (spiritual dan tradisional) mungkin 

terasa bias sebab  masing-masing dapat dipertukarkan. Di 

dalam kelompok tradisional juga dimaksudkan sebagai jalan 

spiritual, sebaliknya, dalam kelompok spiritual juga masih 

memakai  beberapa cara tradisional. Cara paling moderat 

untuk memahami ciri-ciri bentuk keduanya, sebab  aspek 

sraddha tidak akan jauh berbeda. Misalnya, kelompok spiritual 

lebih bersifat individual, menjadikan kitab suci sebagai 

pegangan utama. Kelompok tradisional cenderung komunal, 

upacara menjadi penting, tradisi dan budaya lokal sebagai 

penuntun. Selebihnya sama. 

Dari berbagai alasan seperti diuraikan di atas, maka 

menyimak dengan serius hasil penelitian kedua kelompok 

keagamaan ini, tidak banyak ditemukan resistensi baik secara 

internal maupun eksternal. Kelompok spiritual lebih kuat 

membangun hubungan keagamaan dengan spirit universal 

ajaran Hindu, seperti cinta kasih (prema), pelayanan (sewaka), 

atau meditasi dan yoga. Kelompok tradisional menempatkan 

lokalitas sebagai cara untuk hidup berdampingan, seperti 

ngayah (gotong royong), simakrama (menjalinan keakraban), 

atau ngejot (saling membagi hantaran). Kedua kelompok tidak 

saja melakukannya kepada sesama umat Hindu tetapi juga 

umat lain. Misalnya, SAKKHI di Lampung, SSGI (Jakarta), 

Sadhar Mapan (Klaten) dan Brahma Kumaris (Surabaya) 

anggotanya berasal dari umat lain. Hal yang sama juga 

ditemukan bagaimana umat Hindu di Cimahi, Denpasar, 

Mataram dan Palangka Raya berinteraksi intim dengan umat 

lainnya.  

Hindu di negara kita , dari kelompok spiritual dan 

kelompok tradisional sama-sama menjadikan kehidupan 

sebagai lapangan untuk berkarma dan menjalankan dharmaning 

agama (kewajiban sebagai umat beragama) dan dharmaning 

negara (kewajiban sebagai warga negara). Pada pokoknya, 

universalitas ajaran Hindu yang berangkat secara esoterik 

Panca Sraddha dengan berbagai cara meyakininya, serta 

tersedianya banyak jalan, serta konsepsi yang berjenjang, 

memungkinkan umat Hindu memiliki ragam pilihan yang 

dianggapnya terbaik, tanpa merendahkan jalan yang lain. 

Ibarat makanan prasmanan, umat Hindu boleh memilih 

makanan yang menurutnya enak dan bergizi, namun tidak 

menyatakan makanan lainnya kurang lezat. Tidak ada klaim 

kebenaran di dalam Hindu, sebab  seperti termaktub dalam 

Bhagawadgita (IV.11): “Jalan mana pun yang ditempuh seseorang 

kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang 

mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)”.  

Tidaklah mengherankan saat   berbagai aliran, 

mazhab dan kepercayaan yang datang ke negara kita , terutama 

dari India, dapat hidup berdampingan dengan kelompok 

Hindu yang sebelumnya sudah lama hidup di negara kita . 

Sempat ada friksi, tetapi tidak lama dan tidak banyak. 

Gesekan itu lebih banyak terjadi sebab  ego serta di tingkat 

bawah, bukan para pemimpinnya. Era reformasi makin 

memberikan ruang lebar kepada umat Hindu untuk memilih 

jalan terbaiknya, atau memperdalam agamanya baik dengan 

menjadi penghayat kelompok spiritual maupun kelompok 

tradisional.  

Kedua istilah ini (spiritual dan tradisional) mungkin 

terasa bias sebab  masing-masing dapat dipertukarkan. Di 

dalam kelompok tradisional juga dimaksudkan sebagai jalan 

spiritual, sebaliknya, dalam kelompok spiritual juga masih 

memakai  beberapa cara tradisional. Cara paling moderat 

untuk memahami ciri-ciri bentuk keduanya, sebab  aspek 

(spiritual dan kemanusiaan) telah berpadu padan dengan 

adab lokalitas (tradisi dan budaya), sehingga Tat Twam Asi, Tri 

Hita Karana, Wasudewa Kutum Bakam, Bhinneka Tunggal Ika 

bertumpu penuh di atas wadah fleksibelitasnya yang disangga 

dengan desa-kala-patra dan banyaknya jalan dan jenjang (Catur 

Marga, Catur Asrama, Catur Purusartha, dlsb) menuju keesaan 

Tuhan. Ini semua demi dan untuk membangun kehidupan 

keagamaan di negara kita  yang harmonis, harapan yang 

tercermin sepenuhnya melalui hasil penelitian ini [*]