Rabu, 09 Juli 2025

kejayaan majapahit di blitar 1

 





Tulisan terakhir dari bagian kedua buku ini membicarakan 

sebuah benteng yang dibangun warga  Majapahit di 

Lumajang (bukan oleh orang Belanda atau Portugis). Novida 

Abbas dalam tulisannya berjudul “Benteng Biting: Sebuah 

Benteng Lokal di Jawa” menguraikan temuan benteng lokal 

yang dikajinya (sering disebut dengan istilah “benteng 

nusantara”). Benteng Biting itu berdenah persegi empat, 

dikelilingi 3 sungai asli di ketiga arah mata angin dan 1 sungai 

buatan di sisi selatan. Tingginya 2 m dan tebal dinding 1.60 m, 

dibuat dari bata-bata besar (kuno) dan dilengkapi di sisi barat 

dengan 3 menara intai (istilah penduduk “pengungakan”) 

dan masing-masing 1 menara di tiga arah mata angin lainnya. 

Tata ruang dalam benteng terbagi ke dalam satuan-satuan 

ruang yang dinamakan penduduk sebagai blok Keraton, blok 

xii Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Randu, blok Duren dan sebagainya, di mana terdapat beragam 

temuan antara lain tembikar lokal, porselin dan batuan dari 

beberapa negara asing, mata uang kepeng Cina dan artefak 

logam. Karya Novida Abbas ini ditulis berdasar  data yang 

cukup lengkap, sehingga pembaca dapat membayangkannya 

dengan mudah. Sudah tentu masih banyak pertanyaan tentang 

benteng ini yang menuntut jawaban, namun upaya itu tak 

akan berhasil jika vandalism yang kian ekstensif kita biarkan 

berlangsung di situs penting ini. Melalui tulisan ini bukan tidak 

mungkin ada di antara pembaca yang berinisiatif membangun 

gerakan warga  untuk melestarikan benteng lokal yang 

jarang ditemukan di Indonesia, suatu penerapan dari public 

archaeology yang pernah beberapa kali dikumandangkan di 

negara kita.

Bagian ketiga dari buku ini diberi judul Islam dan 

Majapahit. Tulisan pertama oleh M. Chawari “Fenomena Islam 

pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit” menceritakan 

tentang keberadaan sejumlah makam Islam abad 14-16 Masehi 

yang terdapat di Troloyo yaitu di bagian selatan dari kota 

Majapahit yang sebagian terbesar bercorak Hindu-Buda. 

Keberadaan makam dan nisan inilah yang membuktikan 

bahwa kerajaan Majapahit menunjukkan toleransinya terhadap 

komunitas Islam yang bermukim tidak jauh dari pusat kota. 

Bersama dengan makam-makam itu ada pula nisan-nisan dan 

balok-balok batu yang berangka tahun sejaman dengan masa 

Majapahit awal hingga akhir. Pada nisan-nisan itu dituliskan 

kutipan ayat-ayat Quran dengan huruf Arab. Dari tulisan M. 

Chawari ini pembaca dapat memperoleh keterangan tentang 

ayat-ayat Quran mana yang dipakai dan mana yang dikutip 

utuh dan mana yang dikutip sebagian saja. Kesemuanya 

mencerminkan upaya manusia berhubungan dengan Allah. 

xiiiMajapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Tulisan kedua oleh Masyhudi “Komunitas Muslim di 

Tengah Kota Majapahit” membicarakan hal yang lebih kurang 

sama dengan tulisan M. Chawari sebelumnya. Hanya saja pada 

bagian akhir dari tulisannya dibicarakan perlunya kompleks 

makam Troloyo dikelola dengan mengacu pada kaidah 

pelestarian sebagaimana dikemukakan dalam perundang-

undangan cagar budaya yang berlaku di negara kita.

Penutup dari buku ini, bagian keempat, diberi judul “Kini 

di Kota Majapahit”. Tulisan Sofwan Noerwidi “Mungkinkah 

Batas Kota Majapahit ada di Jakarta” membicarakan 

kemungkinan bahwa sebuah koleksi “yoni nagaraja” dari 

batu di Museum Nasional Jakarta yaitu  artefak penanda 

batas kota Majapahit yang mungkin berasal dari situs Badas. 

Untuk itu Noerwidi mengusulkan agar catatan atau riwayat 

penemuan koleksi Museum ini perlu ditelusuri. Memang 

sebagian besar dari koleksi Museum Nasional tidak dilengkapi 

keterangan dari situs mana ditemukannya secara tepat, dan 

temuan apa saja yang merupakan temuan-sertanya atau 

konteksnya. Pada masa lalu lokasi ditemukannya suatu artefak 

tidak dilengkapi dengan keterangan yang in situ atau ex situ. 

Buku daftar temuan arkeologi pada waktu yang lalu tidak 

dilengkapi dengan koordinatnya, kecuali hanya nama dusun 

atau desa, yang seringkali berubah atau diganti namanya. Tidak 

banyak informasi mengenai konteks temuan suatu koleksi 

yang merupakan kunci penting bagi interpretasi fungsinya. 

Penerimaan atau pembelian koleksi tidak mempertimbangkan 

perlunya data dimensi ruang, padahal 3 pilar arkeologi yang 

menjadi dasar rekonstruksi budaya yaitu  dimensi form, time 

dan space. Tulisan Noerwidi membuka wawasan pembaca 

mengenai informasi dan pengemasannya dari sebagian 

besar koleksi yang tidak memadai sebagai sumber ideologi 

dan sumber pengetahuan akademik bagi publik. Bahkan 

xiv Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

diusulkannya agar ada ruang tetap khusus berkenaan dengan 

Majapahit yang merupakan ikon negara dan bangsa Indonesia. 

Sebagai informasi kini pembenahan Museum Nasional sedang 

berjalan sehingga ruang pamer museum dan ruang deposit 

koleksi tidak lagi bercampur .

Tulisan T.M. Hari Lelono berjudul “Teknologi Pembuatan 

Arca Logam pada Masa Jawa Kuna” mengutarakan kemampuan 

warga  Majapahit dalam hal teknologi untuk mewujudkan 

artefak logam yang bentuk dan fungsinya amat beragam, 

bahkan sebagian di antaranya memerlukan sentuhan artistik-

dinamis dan religius-normatif. Apa yang disebutkan dalam 

naskah kuno dan yang wujudnya berupa artefak di museum 

merupakan produk akhir dari pembuatannya, sedangkan 

bagaimana cara membuatnya perlu dijelaskan secara analogis 

dengan keterangan yang diperoleh dari para pengrajin logam 

di daerah Trowulan. Data etnoarkeologi yang rinci mengenai 

langkah-langkah pembuatan arca logam (perunggu) yang 

dibuat pengrajin sekarang secara turun temurun memang 

perlu dilakukan untuk memungkinkan interpretasi fungsional 

atas temuan artefak logam masa Majapahit. Hari Lelono telah 

mengantar para pembaca untuk memperkenalkan metode 

interpretasi arkeologi yang biasa dilaksanakan pada level of 

archaeological research tingkat akhir.

Sugeng Riyanto, arkeolog yang amat menggemari 

fotografi menuliskan gagasannya atas dasar pengalaman 

praktis nya dalam tulisan “Situs Kota Majapahit dalam 

Gambar”. Bagi arkeologi, mendeskripsikan beragam temuan 

dengan konteksnya melalui gambar dan foto merupakan 

satu kewajiban. Suatu deskripsi verbal harus didukung 

oleh deskripsi piktorial dalam tingkat pengumpulan data, 

pengolahan data dan penafsiran data hingga ke tahap 

pelaporan dan penerbitan. Memang ada bedanya antara 

xvMajapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

pengambilan foto ketika proses ekskavasi masih berjalan dan 

digunakan untuk pelaporan sementara dibandingkan dengan 

pemotretan untuk penerbitan dan publikasi umum. Sugeng 

dalam tulisannya mencontohkan foto-foto untuk publikasi 

yang membangkitkan minat artistik dan rasa kagum. Konsep 

satu gambar memiliki ribuan kata, dan konsep seeing is 

beleiving merupakan konsep yang ada di dalam hati dan 

pikiran Sugeng Riyanto. Sudah tentu bukan berarti semua 

foto dokumen ekskavasi dan prosesnya harus difoto dengan 

cara ini. Bagi peneliti foto yang wajib menunjukkan bukti 

temuannya di kotak gali misalnya, merupakan dokumen yang 

amat penting dalam proses analisis dan interpretasi, meskipun 

harus difoto dalam keadaan yang masih kotor penuh tanah, 

dikelilingi oleh papan nomor kotak gali, skala ukuran temuan, 

dan tanda panah orientasi arah mata angin. 

Artikel terakhir yaitu tulisan Lisa Ekawati “Yang Pahit 

dari Majapahit” mengutarakan secara gamblang apanya yang 

dirasakan pahit oleh banyak pihak: arkeolog peneliti, arkeolog 

pelestari, birokrat, ikatan profesi, lsm pelestari budaya, 

pemerhati sejarah kejayaan Majapahit, sejarawan, wartawan, 

dan masyakat umum. Sudah hampir 200 tahun penelitian situs-

kota Majapahit di Trowulan diperhatikan, disurvei, diteliti, 

dianalisis dan dibahas dengan berbagai pendekatan, namun 

hingga kini kita belum mampu mengintegrasikan seluruh hasil 

penelitian lapangan dan non-lapangan. Bahkan, Lisa Ekawati 

menggambarkan perusakan situs dan temuannya makin 

intensif dan ekstensif. Sebagian besar penelitian yang dilakukan 

tidak diikuti dengan pelestarian situs dan temuan dalam 

konteksnya, bahkan kegiatan pembangunan oleh pemerintah 

untuk melindungi situs pemukiman kota Majapahit telah 

merusak cagar budaya yang hendak dilindungi, dikembangkan, 

dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan ideologik, 

xvi Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

akademik dan ekonomik. Selain kerusakan yang dirancang 

pemerintah, Lisa Ekawati juga menjelaskan kerusakan oleh 

penduduk yang matapencaharian utamanya bertani dan 

membuat bata. Program penelitian yang terintegratif dengan 

program pelestarian tidak banyak diterapkan di situs ini, 

bahkan kawasan kota Majapahit yang sudah dipatok 9x11 km 

belum ditetapkan secara hukum menurut UUCB Tahun 2011. 

Para pembaca tulisan Lisa Ekawati ini dapat memperoleh 

gambaran secara komprehensif tentang apa yang terjadi di 

situs ini dan apa yang diharapkannya sebagaimana kita semua 

mendambakannya.

Akhirnya buku ini dapat dikatakan bermanfaat bagi 

pembaca yang ingin mengetahui seluk beluk penelitian dan 

pelestarian mengenai Majapahit dan situs kota Majapahit di 

Trowulan. Di dalamnya terungkap beberapa problem dalam 

khasanah penelitian Majapahit, yaitu: permasalahan ilmiah 

berupa kesenjangan antara data tertulis dan artefaktual, 

permasalahan kelembagaan berupa kurangnya koordinasi, 

kolaborasi dan integrasi hasil penelitian, dan permasalahan 

pelestarian berupa ancaman perusakan situs sebagai akibat 

kelemahan politik pelestarian di negara kita. 





Majapahit yang dibangun oleh R. Wijaya sekitar abad 12 

meru pakan salah satu kerajaan besar di Nusantara, kehadiran 

Majapahit di Nusantara bertahan hingga abad 14. Menjelang 

surutnya eksistensi Majapahit pada masa Raja Brawijaya V 

yang memiliki putra bernama Djin Bun sebab  ibunya berasal 

dari negeri Campa, babak baru sejarah akan lahir. 

Peradaban kerajaan Majapahit yang berlatar belakang 

Hindu-Buda memasuki masa senjakala dan akan digantikan 

peradaban Islam. Kelak Djin Bun dikenal sebagai Raden 

Patah yang menjadi jalan masuknya peradaban baru melalui 

penyebaran Islam di Jawa dengan mendirikan Kerajaan Demak 

yang mendapatkan dukungan dari Sunan Ampel. 

Dalam masa hampir 200 tahun kehadiran Kerajaan 

Majapahit tidak sedikit meninggalkan warisan budaya seperti 

bangunan, adat istiadat, kesenian, makanan, dan lainnya. 

Para arkeolog Indonesia yang bekerja pada Balai Arkeologi 

Yogyakarta melakukan penelitian dan menuliskan dalam buku 

dengan judul Majapahit Batas kota dan Jejak Kejayaan di Luar 

Kota yang diterbitkan oleh Kepel Press dengan dukungan Balai 

Arkeologi Yogyakarta. 


P ada masa kini menelusuri batas kota bukan pekerjaan yang mudah. Dilihat dari tampilan fisik, sulit meng­identifikasi batas yang tegas antara kota dan desa, 

terutama di daerah pinggiran kota. Tampilan kekotaan banyak 

dijumpai pada desa­desa di pinggiran kota. Bangunan­

bangunan sarana dan prasarana, arsitektur bangunan tempat 

tinggal dan bentuk penggunaan lahan lainnya yang terdapat 

di daerah pinggiran kota menunjukkan ciri­ciri kekotaan 

sekaligus ciri­ciri kedesaan.

Apalagi melacak batas bekas kota Majapahit yang kini 

tinggal puing, yaitu kawasan situs Trowulan yang berada 

di wilayah Mojokerto dan Jombang di Jawa Timur. Tak satu 

pun sumber sejarah yang memberi informasi tentang lokasi 

dan batas­batas kota Majapahit di situs Trowulan, baik secara 

geografis, budaya, maupun batas wilayah secara politis­

administratif. 

4 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Walaupun demikian, para arkeolog senantiasa berupaya 

menelusuri bekas kota Majapahit di Kawasan Trowulan 

untuk mengetahui luas dan batas­batasnya di lapangan. 

Para arkeolog menggunakan bukti­bukti arkeologis yang 

terdapat di permukaan tanah, dan di bawah permukaan tanah 

sebagai petunjuk. Para arkeolog menganggap seluruh situs 

arkeologis yang ada (apapun bentuk, ukuran dan kualitasnya) 

di kawasan Trowulan sangat penting sebab  menunjukkan 

bentuk penggunaan lahan (landuse) masa lalu. Karakteristik 

situs menjadi acuan dalam menafsirkan ciri­ciri perkotaan dan 

ciri­ciri pedesaan pada permukiman masa Hindu­Buddha di 

kawasan Trowulan.

Upaya mengkaji ciri­ciri perkotaan dan pedesaan dari 

aspek bentuk penggunaan lahan masa lalu di kawasan 

situs Trowulan mengadopsi konsep­konsep dari geografi. 

Penggunaan lahan merupakan salah satu cara dalam geografi 

untuk mengidentifikasi apakah sebuah wilayah merupakan 

sebuah pusat kota (city), daerah pinggiran kota (rural­urban 

fringe) atau daerah pedesaan (rural fringe). Daerah pinggiran 

kota yaitu zona penggunaan lahan campuran yang terdapat 

di sekeliling daerah perkotaan. Jalur daerah ini merupakan 

jalur peralihan antara tampilan perkotaan dan pedesaan. 

Oleh sebab  itu kawasan ini memiliki ciri­ciri baik perkotaan 

maupun pedesaan (Yunus 1987). 

Ditinjau dari segi penggunaan lahan atau tampilan fisik, 

kota dapat diartikan sebagai suatu daerah tertentu dengan 

karakteristik tata guna lahan non­agraris, sebagian besar 

tertutup oleh bangunan dan secara umum “building coverage” 

lebih besar daripada “vegetation coverage”; pola jaringan jalan 

yang kompleks; dalam satu permukiman yang kompleks dan 

relatif lebih besar dengan daerah sekitarnya (Yunus 1987). 

5Batas Kota Majapahit

Hal ini yang membedakannya dengan daerah pedesaan yang 

sebagian besar penggunaan lahannya untuk pertanian.

berdasar  hasil penelitian di kawasan Trowulan yang 

dilakukan sejak Maclaine Pont (1926) sampai sekarang, diper­

oleh gambaran tentang bentuk­bentuk penggunaan lahan masa 

lalu, antara lain kanal­kanal, waduk­waduk, kolam­kolam, 

dan sumur­sumur. Di samping itu ada bangunan­bangunan 

tempat tinggal, candi­candi, tempat­tempat industri logam 

dan tembikar, tempat pembuangan sampah makanan, dan 

lahan­lahan terbuka di antara situs­situs yang ada. Sepintas 

dihasilkan bahwa kawasan Trowulan yaitu  sebuah daerah 

perkotaan masa Majapahit yang meliputi daerah pusat kota, 

dan daerah pinggiran kota.

Nãgarakretãgama dan Situs Trowulan

Kakawin Ngãrakretãgama (khususnya pupuh VIII­XII) 

meru pakan sumber tertulis yang penting untuk mengetahui 

gambaran kota Majapahit sekitar tahun 1350. Kota pada 

masa itu bukanlah kota dalam arti kota modern. Pigeaud 

(1962), ahli sejarah bangsa Belanda, dalam kajiannya terhadap 

Ngãrakretãgama yang ditulis oleh Mpu Prapanca itu menyim­

pulkan bahwa Majapahit bukan kota yang dikelilingi tembok, 

melainkan sebuah kompleks permukiman besar yang meliputi 

sejumlah kompleks yang lebih kecil, satu sama lain dipisahkan 

oleh lapangan terbuka. Tanah­tanah lapang digunakan 

untuk kepentingan publik, seperti pasar dan tempat­tempat 

pertemuan. 

Uraian tentang kota Majapahit dalam Ngãrakretãgama 

itu telah dicari lokasinya di lapangan. Maclaine Pont (1924­

1926) merupakan salah satu peneliti yang menghubungkan 

6 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

gambaran kota Majapahit yang tercatat dalam Ngãrakretãgama 

dengan peninggalan situs arkeologi di daerah Trowulan, yang 

terletak di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa 

Timur. 

Dengan kitab di tangan kiri dan cetok di tangan kanan, ia 

menggali Situs Trowulan. Hasilnya yaitu  sebuah sketsa tata 

kota Majapahit, dipadukan dengan peninggalan­peninggalan 

bangunan yang terdapat di Situs Trowulan. Bentang kota 

Majapahit digambarkannya dalam bentuk jaringan jalan dan 

tembok keliling yang membentuk blok­blok empat persegi. 

Secara hipotetis Maclaine Pont menempatkan keraton 

raja Majapahit di sebelah timur Kolam Segaran, yaitu di 

sekitar lokasi sisa­sisa bangunan Candi Menak Jinggo. Di 

sebelah selatan istana terdapat tempat kediaman pemimpin 

keagamaan. Sebelah timurlaut dan tenggara istana terdapat 

tempat kediaman para pendeta Brahma dan tempat pemandian. 

Sampai sekarang hipotesis Maclaine Pont masih menjadi 

perdebatan para ahli.

Upaya untuk mengetahui batas­batas kawasan Trowulan 

telah dilakukan dengan cara survey sistematis pada tahun 

1991­1993 oleh tim Indonesian Field School of Archaeology (IFSA). 

Penelitian IFSA bertitik tolak dari beberapa asumsi. Asumsi 

pertama, luas ruang kota secara horizontal dicerminkan 

oleh kekerapan (frequency) dan kepadatan (density) tinggalan 

arkeologis di permukaan. Gradasi kekerapan atau bahkan 

tidak adanya tinggalan arkeologi di suatu areal, pada radius 

tertentu dari pusat kota menandai keberadaan batas atau 

tepi kota. Asumsi kedua, pola pemukiman dan jenis­jenis 

pengelompokan warga  dicerminkan oleh variabilitas, 

kekerapan, serta kerapatan dan distribusi tinggalan arkeologis 

di permukaan. Akumulasi tinggalan arkeologis secara 

7Batas Kota Majapahit

mencolok pada areal­areal tertentu sangat potensial untuk 

menandai kemungkinan adanya pengelompokan warga  

kuna pemukim Situs Trowulan (Faisaliskandiar, 1995).

Survei sistematis dilakukan dengan menerapkan strategi 

pencuplikan jalur (systematic transect sampling). Wilayah 

ditentukan seluas 9 X 11 km yang memanjang utara­selatan. 

Daerah yang disurvei yaitu  11 jalur yang telah ditetapkan, 

masing­masing jalur berukuran 0,1 km X 9 km. Berbagai jenis 

keramik dan tembikar yang berada dalam jalur dikumpulkan 

untuk dianalisis lebih lanjut.

Dari hasil survei disimpulkan bahwa ternyata batas­

batas situs sukar dipastikan. Rupanya situs Trowulan tidak 

dapat dipisahkan secara mutlak dari tanah di sekitarnya, 

sebaliknya peralihan dari pusat situs kepada tapak yang 

berada di luar situs tidak dapat diperincikan. Nampak pola 

permukiman Situs Trowulan memang tidak terdiri dari suatu 

kelompok bangunan yang utuh, melainkan sejumlah pusat 

yang dipisahkan satu dari yang lain oleh tanah lapang (Miksic 

1992). Selain itu dari kepadatan dan kekerapan temuan 

keramik terlihat adanya pemusatan di sekitar Kolam Segaran. 

Semakin jauh dari lokasi itu temuannya cenderung menipis. 

Artefak keramik di sekitar Kolam Segaran cenderung relatif 

tua. Sementara itu semakin jauh dari Kolam Segaran ke arah 

barat, artefak keramik cenderung berasal dari period yang 

lebih muda (Faisaliskandiar, 1995).

Bangunan Pura Hindu di Pinggir Kota

Di daerah pinggiran kawasan Trowulan, ditemukan tiga 

kompleks bangunan pemujaan bersifat Hindu (Siwa), yang 

letaknya mengikuti arah mata angin. Kompleks bangunan yang 

8 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

terletak di bagian tenggara Trowulan, yaitu  Situs Lebakjabung 

(Kecamatan Jatirejo, Mojokerto), di bagian baratdaya dijumpai 

Situs Sedah atau Situs Yoni Gambar (Kecamatan Mojowarno, 

Jombang), dan di bagian baratlaut terdapat Situs Klinterejo 

(Kecamatan Sooko, Mojokerto). Ketiga kompleks bangunan 

ini masing­masing memiliki sebuah yoni dengan hiasan 

yang raya.

Penggalian arkeologis di Situs Klinterejo dan Situs Lebak­

jabung memberikan gambaran tentang tata ruang bangunan 

keagamaan itu. Pada prinsipnya, kompleks bangunan itu 

memanjang barat­timur. Luas kompleks bangunan di Situs 

Lebakjabung diperkirakan sekitar 250 X 125 meter, dan 

kompleks bangunan di Situs Klinterejo diperkirakan luasnya 

300 X 150 meter.

Tampaknya pembagian ruang berdasar  persebaran 

sisa­sisa bangunan kuna itu, mirip dengan pembagian halaman 

pada pura­pura di Bali. Bekas kompleks bangunan pura 

Majapahit ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian paling barat 

yang memiliki pintu masuk, bagian tengah, dan terakhir bagian 

timur, yang merupakan bagian yang paling sakral. Pada bagian 

paling barat berdiri bangunan­bangunan semacam pendopo 

atau balai dengan konstruksi tiang kayu yang disangga oleh 

umpak­umpak batu berukuran besar. Umpak­umpak ini berdiri 

di atas batur tinggi yang terbuat dari susunan bata. Pada bagian 

timur pura ditempatkan sebuah yoni. Artefak keagamaan itu 

biasanya berpasangan dengan lingga, yang melambangkan 

Siwa (lingga) dan pasangannya (yoni). 

Tata letak bangunan semacam itu mengingatkan kita pada 

kompleks Candi Panataran di Blitar. Kompleks candi kerajaan 

Majapahit itu memiliki halaman yang terbagi atas tiga bagian 

yang masing­masing dihubungkan oleh gapura masuk. Bagian 

9Batas Kota Majapahit

yang pertama terletak paling barat, sedangkan bangunan 

candi utama terletak paling timur. Di halaman bagian pertama 

berdiri tiga buah bangunan batur dan sebuah bangunan candi 

yang disebut Candi Berangka Tahun (1291 Saka atau 1369 

Masehi). Pada bagian tengah terdiri dari bangunan Candi 

Naga dan bangunan­banguan lainnya, sedangkan pada bagian 

belakang atau paling timur yaitu  bangunan utama disertai 

kolam, dan bangunan­bangunan lainnya.

Tiga buah yoni yang terdapat pada tiga bekas kompleks 

pura Majapahit di pinggiran kawasan Trowulan, digarap 

sangat indah dengan hiasan yang raya. Menarik perhatian, 

ketiga yoni itu memiliki pahatan kepala naga yang mengguna­

kan mahkota, ditempatkan di bawah cerat. Aspek penggarapan 

yoni menunjukkan adanya pengaruh pusat kota. Pendirian 

tiga kompleks bangunan keagamaan di pinggiran kota diper­

kirakan merupakanbagian dari tata ruang kota yang telah 

direncanakan oleh kalangan elit di pusat. 

Yoni dari Lebak Jabung yang ditemukan pada tahun 1989, 

sekarang menjadi koleksi Museum Trowulan. Yoni berdenah 

segi delapan itu terbuat dari bahan batu andesit berukuran 

tinggi 77 cm dan garis tengah 81 cm. Yoni dari Sedah merupakan 

yoni terbesar dengan ukuran garis tengah badan 204 cm dan 

tinggi 133 cm. Hal yang menarik, yoni ini juga memiliki denah 

segi delapan, sehingga membuka spekulasi tentang makna 

denah yoni naga itu. Mengapa dua kompleks pura di bagian 

selatan kota Majapahit, masing­masing memiliki yoni nagaraja 

dengan denah segi delapan?

Umumnya yoni berdenah segi empat, seperti yoni dari 

Situs Klinterejo, bekas pura Majapahit yang terletak di bagian 

timurlaut kota. Yoni di Situs Klinterejo ini berukuran 

tinggi 150 cm dan lebar 189 X 183 cm. Pada salah satu sisi badan 

10 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

yoni Situs Klinterejo terpahat angka tahun dalam tulisan Jawa 

Kuna, yaitu tahun Saka 1294 (1372 Masehi). 

Mencari Pura Keempat

GPS (Global Positioning System) digunakan untuk merekam 

koordinat, arah dan jarak dari ketiga kompleks bangunan 

pura. Dengan menarik garis dari Situs Lebak Jabung ke arah 

Situs Klinterejo dan Situs Sedah, diperoleh satu garis ke utara 

dan satu garis ke barat. Dari Lebak Jabung ke Situs Klinterejo, 

berjarak sekitar 11 km ke arah utara dengan kemiringan 10 

derajat, sedangkan dari Lebak Jabung ke Situs Sedah berjarak 

sekitar 9 km ke arah barat dengan kemiringan 5 derajat. 

berdasar  pengukuran jarak dan arah ketiga situs satu sama 

lain, lokasi pura di bagian barat laut kota Majapahit dapat dicari 

di sekitar Tugu dan Badas, di wilayah Kecamatan Sumobito, 

Jombang. Lokasi itu dekat dengan sudetan Sungai Konto yang 

berhubungan dengan Sungai Watudakon lalu bertemu dengan 

Sungai Brantas di sekitar Kota Mojokerto.

Upaya pencarian sisa pura dan yoni dengan hiasan naga 

bermahkota ke seluruh pelosok Desa Badas dan Tugu tidak 

memperoleh hasil. Namun demikian sebuah yoni ditemukan 

di tepi parit dekat jalan kereta api yang masuk wilayah Dusun 

Balongrejo di Desa Badas. Yoni berdenah segi empat ini ter­

benam dalam tanah. Bentuk, ukuran, dan kualitas pengga­

rapannya tidak sebanding dengan ketiga yoni sebelumnya. 

Yoni di Desa Badas berukuran kecil (tinggi 36 cm dan lebar 42 

cm), polos dan tak ada hiasan nagaraja di bawah cerat. Yoni 

ini telah beberapa kali pindah tempat dan akhirnya hilang 

ketika disurvei kembali oleh tim Balai Arkeologi Yogyakarta 

pada tahun 2005. Selain yoni dijumpai pula beberapa batu candi 

11Batas Kota Majapahit

di Desa Badas yang menunjukkan pernah berdiri bangunan 

suci di desa tersebut.

Peninggalan yang masih berdiri tegak yaitu  dua buah 

tugu batu di perempatan jalan Dusun Tugu, termasuk wilayah 

Desa Sebani, Kecamatan Sumobito, yang terdapat di utara 

Desa Badas. Kedua tugu batu itu seolah­olah merupakan tanda 

masuk ke wilayah Tugu­Badas apabila orang datang dengan 

perahu dari Sungai Brantas menyusur Sungai Watudakon di 

bagian utara.

Situs Tugu yang terletak di tepi sudetan Sungai Konto 

memliki karakteristik situs yang bersifat profan. Di sekitar situs 

ditemukan sejumlah lumpang batu. Penggalian arkeologis 

meng hasilkan artefak­artefak keseharian dari keramik, 

tembikar, serta tulang­tulang hewan sebagai sisa makanan. 

Sebuah artefak tanahliat yang berbentuk menyerupai pemberat 

timbangan yang telah ditemukan dalam penggalian, menguat­

kan cerita rakyat bahwa daerah itu dulunya yaitu  pasar kuna 

dari masa Majapahit. 

Di sebelah utara Situs Tugu­Badas yang dipisahkan oleh 

sudetan Sungai Konto ditemukan tiga tugu batu dan sebuah 

lingga semu di wilayah Desa Mentoro. Tugu batu bentuknya 

sama dengan patok batu di Situs Tugu­Badas, yaitu bentuk 

denah segi empat di bagian bawah, sedangkan di bagian atas 

segi delapan. Lingga semu bentuknya segi empat di bagian 

bawah, sedangkan bagian atas bulat

Data yang diperoleh melalui survey dan penggalian 

arkeologis di Situs Mentoro pada tahun 2005 menunjukkan 

adanya permukiman masa Majapahit di tepi sungai yang 

sudah hilang. Sungai itu berhubungan dengan Sungai Brantas 

di sebelah utara. Situs Tugu­Badas satu garis utara­selatan 

dengan Situs Mentoro sebagai permukiman di tepi sungai. 

12 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Diperkirakan tempat­tempat itu sebagai pelabuhan sungai 

masa Majapahit.

Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 Masehi, 

diterbitkan oleh Raja Hayam Wuruk, berisi tentang desa­

desa penyeberangan, dan aturan­aturan mengenai aktivitas 

penyeberangan. Dalam prasasti itu disebutkan nama­nama 

desa penyeberangan yang juga berfungsi sebagai pelabuhan 

sungai, antara lain Canggu, Nusa, Temon, Mabuwur, Godhong, 

Rumasan, Randu Gowok, Wahas, Nagara, Sarba. 

Canggu sendiri sudah diketahui lokasinya yaitu di sebelah 

timurlaut Kota Mojokerto sekarang, letaknya di tepi Sungai 

Brantas. Situs Tugu, Badas dan Mentoro yang terletak dekat 

sungai yang berhubungan dengan Brantas, tidak mustahil juga 

merupakan bekas pelabuhan sungai Majapahit, pelabuhan 

yang terdekat dengan Kota Majapahit. 

Situs Candi Kedaton: Pura Pusat?

Dengan menarik dua garis diagonal dari empat lokasi 

yaitu Situs Sedah (Yoni Gambar), Lebakjabung, Klinterejo 

dan Tugu, maka perpotongan dua garis diagonal terdapat di 

wilayah Desa Pesantren, Kecamatan Mojoagung. Tepat pada 

titik perpotongan yang bersifat hipotetis itu dijumpai sebidang 

tanah di tengah­tengah sawah yang berawa. 

Dalam foto udara lokasi titik hipotesis itu terletak di ujung 

sebuah bekas kanal kuno yang terletak di bagian barat Situs 

Trowulan. Pada sebidang tanah itu dijumpai peninggalan 

arkeologis berupa sebuah balok batu candi dan sebuah fragmen 

lumpang batu. 

Sebagai titik pusat yang dianggap penting, peninggalan­

peninggalan yang ada di lokasi itu tidak mewakili gambaran 

13Batas Kota Majapahit

tentang kompleks bangunan keagamaan di pusat kota 

Majapahit. Oleh sebab  itu dicari situs terdekat dengan titik 

pusat itu yang menggambarkan adanya kompleks keagamaan 

yang sejenis dengan sisa bangunan di Situs Lebakjabung dan 

Klinterejo. Situs yang paling dekat dengan titik pusat itu 

yaitu  kompleks Candi Kedaton di Sentonorejo, letaknya 1,7 

km di sebelah timur titik hipotetis. 

Lokasi kompleks Situs Candi Kedaton dikelilingi oleh 

kanal­kanal kuna yang berpotongan, membentuk sebidang 

tanah berdenah segi empat dengan luas sekitar 700 meter X 

500 m yang memanjang utara­selatan. Pada lahan seluas itu 

terdapat peninggalan­peninggalan arkeologis yang padat 

dan beraneka ragam. Selain candi Kedaton, di areal ini 

terdapat deretan umpak­umpak batu berukuran besar, 

struktur­struktur bangunan bata, lantai bata segi enam, lantai 

bata segi empat, sumur­sumur kuna. Serangkaian penggalian 

arkeologis di tempat ini banyak menemukan artefak­artefak 

rumah tangga dari tembikar dan keramik, serta fragmen 

logam, mata uang logam Cina, serta sisa­sisa tulang dan gigi 

hewan. 

Candi Kedaton, dikenal juga dengan sebutan Candi 

Sumurupas, berupa bagian kaki sebuah bangunan yang 

memiliki denah segi empat dengan ukuran 12,60 X 9,50 meter 

dan tingginya 1,58 meter dan menghadap ke barat dengan 

azimuth 279 derajat. Di depan bangunan ini terdapat 

sebuah sumur kuna berdenah bujursangkar, dibuat dari 

susunan bata. Kira­kira 80 meter di sebelah barat Candi Kedaton 

terdapat deretan 16 umpak batu besar dalam konfigurasi tujuh­

enam yang berorientasi timur­barat. Di antara lokasi umpak­

umpak dan Candi Kedaton terdapat sisa­sisa bangunan dari 

bata yang belum diketahui bentuk dan fungsinya. 

14 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Penggalian arkeologis pada lokasi umpak­umpak di 

Sentonorejo itu menghasilkan informasi bahwa umpak­umpak 

ini berdiri di atas pondasi berupa susunan dan tumpukan 

bata yang dikeraskan. Seperti halnya di Lebakjabung dan 

Klinterejo, tampaknya umpak­umpak besar itu diletakkan di 

atas lantai batur yang disusun dari bata.

Candi Kedaton tampaknya berkaitan dengan bangunan 

batur berumpak batu yang terdapat di sebelah barat. Bila diurut 

dari barat ke timur, kelompok Candi Kedaton terdiri dari 

bangunan batur berumpak batu besar, bangunan­bangunan 

bata di bagian tengah, dan Candi Kedaton. Kelompok ini 

membentuk pola dua atau tiga halaman dari barat ke timur. 

Bukanlah hal yang kebetulan, bila pola ini memiliki kemiripan 

dengan pola persebaran bangunan di Situs Lebakjabung dan 

Klinterejo. Persamaannya yaitu  bangunan­bangunan ber­

umpak terdapat di bagian barat, sedangkan bangunan utama 

ada di bagian timur. 

Dalam ROD 1915 tercatat adanya benda­benda keagama­

an yang ditemukan di sekitar Candi Kedaton dan Sentonorejo, 

yang disimpan di Museum Jakarta dan Museum Mojokerto 

(sekarang Museum Trowulan). Artefak­artefak yang ditemu­

kan antara lain sebuah genta, dua buah arca Siwa, sebuah 

Mahakala, Bhairawa, sebuah arca Parwati, sebuah arca 

Buddha, sebuah kepala kala, sebuah pahatan kepala naga, dan 

dua buah batu candi berangka tahun Saka (1297 dan 1372). 

Hal ini mendukung fungsi kompleks Candi Kedaton sebagai 

bangunan suci. 

Pada jarak sekitar 100 meter di sebelah selatan Candi 

Kedaton terdapat peninggalan arkeologis yang dikenal dengan 

situs Lantai Segi Enam. Situs ini telah digali pada tahun 1982 

dengan luas 12,50 meter X 12, 50 meter. Lantai bata segi enam 

15Batas Kota Majapahit

ini ditemukan bersama­sama dengan lantai bata segi empat 

seluas 200 cm X 80 cm. 

Penggalian arkeologis di sebelah barat Situs Lantai Segi 

Enam yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Arkeologi 

Nasional, Jakarta, juga menemukan lantai yang serupa. Lokasi 

penggalian berjarak sekitar 70 meter dari situs lantai segi enam, 

dan sekitar 100 meter di selatan situs Batu Umpak. Selain 

lantai bata segi enam, juga ditemukan lantai bata segi empat, 

sumur kuna dan struktur­struktur bata lainnya. Tim penelitian 

menyimpulkan bahwa situs ini merupakan situs hunian kaum 

bangsawan yang dikelilingi oleh pagar tembok bata.

Tampaknya kompleks bangunan “pura” Candi Kedaton 

berada di lingkungan hunian kaum elit Majapahit. Apakah 

bangunan perumahan ini bagian dari kompleks keraton 

Majapahit?

Batas Kota

Secara keruangan, bekas kota Majapahit yang tidak 

dikelilingi tembok itu terdiri dari daerah bagian dalam kota 

(inner city), dan daerah pinggiran kota (rural-urban fringe). 

Daerah bagian dalam kota dipastikan terdapat pada lahan­

lahan yang dikelilingi oleh kanal­kanal kuna yang berpotongan 

tegak lurus di situs Trowulan, meliputi situs­situs di sekitar 

Kemasan, Segaran,Nglinguk, Pendopo Agung, Kedaton 

dan Sentonorejo. Penggalian arkeologis di daerah ini 

menunjukkan adanya kelompok­kelompok permukiman elit 

dalam suatu kompleks bangunan­bangunan yang besar dan 

luas. Karakteristik permukiman ini dicirikan oleh adanya 

perlengkapan rumah tangga yang beragam (variabilitas 

16 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

bentuk dan bahan) dalam jumlah besar, memiliki kepadatan, 

dan banyak artefak berkualitas tinggi.

Daerah pinggiran kota merupakan suatu zona yang 

memiliki karakteristik campuran kota­desa yang terdapat di 

sekeliling daerah perkotaan. Daerah ini berada di luar lahan 

yang dikelilingi oleh kanal­kanal. Persebaran situs di zona ini 

sampai ke dataran aluvial Brantas (Kecamatan Sumobito di 

Jombang) di baratlaut, dan puncak kipas alluvial di tenggara 

(Kecamatan Jatirejo dan Kecamatan Gondang di Mojokerto). 

Daerah pinggiran kota Majapahit menempati daerah 

pertanian yang telah mapan di Jawa Timur sebelum masa 

Majapahit. Pada masa Mpu Sindok abad ke­10 Masehi telah 

dibangun sistem irigasi di daerah hulu Sungai Brangkal. 

Waduk­waduk kuno dan bendungan kuno banyak dijumpai 

di sebelah tenggara Trowulan.

berdasar  jarak dan keletakan empat situs (Sedah, 

Lebakjabung, Klinterejo dan Badas­Tugu) yang mengikuti 

arah mata angin, diperkirakan luas Kota Majapahit, yaitu 11 

km x 9 km, memanjang utara­selatan. Penempatan pura­pura 

di pinggiran kota berfungsi pula sebagai tanda batas kota 

Majapahit. Di bagian baratlaut kota, dijumpai sisa bangunan 

candi dan situs­situs permukiman di Badas, Tugu dan 

Mentoro. Diperkirakan tempat­tempat itu merupakan desa 

penye berangan dan pelabuhan sungai masa Majapahit.

Sumber tertulis berupa naskah yang bernama Kidung 

Wargasari menggambarkan rute dari Wewetih sampai ke 

Majapahit melalui Jirah, Bletik, Kamal Pandak, dan Sagada. 

Menurut Hadi Sidomulyo (2005) rute ini dapat diikuti dari 

barat ke timur melalui Kabupaten Jombang. Ia mengidentifikasi 

Sagada dapat disamakan dengan Segodo(rejo) yang terdapat 

di Kecamatan Sumobito jaraknya sekitar satu kilometer di 

17Batas Kota Majapahit

sebelah timur Situs Tugu­Badas. Di Desa Segodorejo ditemu­

kan lumping batu dan fragmen­fragmen bata kuna. Dikaitkan 

dengan hasil kajian arkeologis di Kecamatan Sumobito diper­

kirakan daerah di baratlaut kawasan Trowulan ini 

merupakan jalan masuk ke kota Majapahit melalui jalur 

transportasi sungai dan darat.


M ajapahit pada abad XII ­ XV Masehi merupakan sebuah negara adidaya dan adikuasa di kawasan Asia Tenggara yang mempunyai daya tarik 

ter sendiri bagi orang­orang asing untuk mengunjunginya. 

Pengertian orang asing disini yaitu  orang yang datang dari 

daerah lain yang mempunyai raut wajah yang berbeda dengan 

raut wajah orang Majapahit. Kedatangan orang­orang asing 

ini tentunya mempunyai berbagai macam tujuan antara 

lain untuk berdagang. 

Data arkeologi seperti prasasti, naskah kuna, dan berita 

asing memberikan informasi yang banyak mengenai keber­

adaan beberapa orang asing di Majapahit. Selain data 

arkeologi ini di atas data arkeologi berupa arca batu 

22 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

maupun terakota juga dijumpai adanya penggambaran orang 

asing di Majapahit. Sumber tertulis yang paling awal pada 

masa Majapahit yang menyinggung mengenai keberadaan 

orang­orang asing yaitu  Prasasti Balawi (1305 M.). Prasasti 

Balawi atau Prasasti Kertarajasa merupakan prasasti koleksi 

Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris No. 80 

a ­f berasal dari daerah Trowulan, Jawa Timur. Prasasti ini 

ditulis menggunakan huruf dan bahasa Jawa Kuna. Pada 

prasasti ini disebutkan adanya orang asing dari Keling, Arya, 

Singhala, Karnnataka, Bahlara, Cina, Campa, Mandikira, 

Rĕmin, Khmer, Bĕbĕl, dan Māmbaŋ. Selain Prasasti Balawi, 

pada Kakawin Nāgarakrtāgama (1365 M.) digambarkan 

kegiatan perdagangan yang melibatkan para pedagang asing, 

dan suasana pasar ketika para pedagang asing melakukan 

transaksi dagang. (Wiryomartono, 1992 :271). Selain itu, dalam 

Kakawin Nāgarakrtāgama pupuh XV/1 juga disebutkan per­

sahabatan antara Majapahit dengan negara­negara asing yaitu: 

“...nakan/lwir ning deçantara kacaya de çri narapati, tuhun/tang 

syangkayodyapura kimutang dharmmanagari marutma mwang 

ring rajapura nuniweh sinhanagari, ri campa kambojanyat i yamana 

mitreka satata...” (Pigeuad, 1962: 12). Dalam pupuh XV/1 ini 

disebutkan negara­negara asing dari Syangkayodyapura, 

Dharmmanagari, Marutma, Singhanagara, Campa, Kamboja, 

dan Yamana.

Majapahit juga mengikat hubungan persahabatan dengan 

Jambudwipa, Kamboja Cina, Yamana, Campa, Karnnataka, 

Goda, dan Siam. Para tamu asing yang mengarungi lautan ber­

sama para pedagang, resi, dan pendeta merasa puas dan senang 

menetap di Majapahit (Zoetmulder, 1985: 183), sebagai mana 

digambarkan dalam pupuh LXXXIII/4: yaitu “...hetunyanantara 

sarwwajana tka sakenanyadeça prakirnna nang jambudwipa khamboja 

23Orang-Orang Asing di Majapahit 

cina yamana len/cempa kharnnatakadi, goda mwang syangka tang 

sankanika makahawan/putra milwina wanika sök, bhiksu mwang 

wipra mukyan hana tka sinuman/bhoga trstan pananti...” (Pigeaud, 

1962: 64) yang artinya kurang lebih yaitu “...itulah alasannya 

mengapa tanpa henti semua orang datang dari negara lain tak 

terkecuali dari Jambudwipa (India), Kamboja, Cina, Yamana 

(Annam), serta Campa, Karnnataka (India Selatan), Goda 

(Gauri), dan Syangka (Siam) yang berangkat dari tempat 

asalnya dengan naik kapal bersama­sama dengan pedagang. 

Kaum bhiksu dan wipra juga berkunjung ke sini (Majapahit). 

Pada saat kedatangannya, mereka disambut dengan baik dan 

hangat...”

Selain berhubungan dagang dan menjalin persahabatan 

dengan negara­negara asing, sejarah berdirinya Majapahit juga 

tidak lepas dari keberadaan orang­orang Tatar. Tujuan orang­

orang Tartar datang ke Pulau Jawa yaitu  untuk menghukum 

Raja Jawa yaitu Kertanegara, yang telah melukai wajah 

utusan Kaisar Kublai Khan. Pada Kitab Pararaton disebutkan 

cerita Raden Wijaya yang bersekutu dengan tentara Tartar 

untuk melawan Jayakatwang di Daha. Berikut kutipan Kitab 

Pararaton pupuh VI yang berhubungan dengan hal ini 

di atas:

“...sakawulanira. Raden wijaya angajak ing sira wiraraja amerepeng 

daha. Sirawiraraja anayuti, angucap ing utusan: aja geru, hana 

upayanisun manih, matura sira ki pangalasanira ring sira pangeran, 

isun amitra lawan sang satu ring tatar, isun tawanane rajaputri, 

sira ta kaki pangalasanira, muliha mangke iki maring majapahit. 

Sapungkurira sun akirim surat maring tatar, apan parahu saking 

tatar mangke hana adagang merene. Hana parahunisun, sun kon 

milua maring tatar, angajak amerep ing Daha; lamun huwus kalah 

sang ratu ring daha, hana rajaputri ring tumapel hayu, sanusa jawa 

24 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

tan hanamadani, irika akua ring ratu tatar, iku pangapusisun ing 

ratu tatar...” (Brandes. 1920).

Yang artinya yaitu  Raden Wijaya mengajak Wiraraja 

menyerang Daha, namun Wiraraja tidak tergesa­gesa mene­

rimanya dan berkata kepada utusannya: jangan tergesa­gesa 

dahulu, aku masih mempunyai muslihat, aku akan berteman 

dengan raja orang Tatar yang akan kutawari seorang puteri 

bangsawan. Hendaklah kamu pulang ke Majapahit sekarang. 

Sepeninggalmu, aku akan berkirim surat ke Tatar sebab  

perahu orang­orang Tatar yang berdagang sedang menuju ke 

sini. Aku mempunyai perahu yang akan kusuruh ikut serta 

ke Tatar, agar menyampaikan ajakan untuk menyerang Daha. 

Jika raja Daha telah kalah maka puteri­puteri bangsawan 

di Tumapel, yang cantik dan tak ada yang menyamainya di 

seluruh Jawa, itu dapat dimiliki oleh raja Tatar, demikian 

muslihatku terhadap raja Tatar...” (Padmapuspita, 1966: 77).

Orang-Orang Asing di Majapahit

Arca batu dan arca terakota memberikan informasi menge­

nai keberadaan orang asing di Majapahit dapat dikelompokkan 

atas:

1. Orang Cina

Pengertian Orang Cina di sini yaitu  orang­orang 

yang hidup dan berasal dari daerah lőss yang subur di 

Daratan Cina. Orang Cina termasuk salah satu kelompok 

penting Ras Mongolid yaitu Sin, Tungus di Mongolia, 

Paleomongol di Asia Tenggara dan Siberia di Asia Tengah. 

Persebaran ras kulit kuning yang merupakan induk Ras 

Mongolid berpusat di Asia Tengah, menyebar ke Asia 

25Orang-Orang Asing di Majapahit 

Timur, Utara, dan Tenggara, bahkan sampai ke Benua 

Amerika (Indian). (Shadily, 1996: 2278). Ciri­ciri fisik Ras 

Mongolid yaitu  bentuk kepala yang brachycephalic, yaitu 

perbandingan panjang kepala lebih besar daripada lebar 

kepala sehingga membentuk wajah persegi hingga oval. 

Rambut hitam lurus, bertubuh pendek kurang dari 168 

cm, berkulit kuning atau coklat­kuning, mata coklat atau 

hitam dengan ‘lipatan mongol’ (epicanthus), hidung relatif 

kecil rendah dan berpangkal melebar dan ke dalam, dagu 

bulat, dan tulang pipi menonjol (torus zigotmaticus) (Comas, 

1960: 611 ­ 612). Artefak Majapahit yang memperlihatkan 

ciri­ciri fisik orang Cina berupa:

a. Arca Siwa Mahadewa

Arca Siwa Mahadewa 

ini merupakan arca koleksi 

Museum Nasional Jakarta 

dengan nomor inventaris 

5621. Arca Siwa Mahadewa 

ini di temukan di daerah 

Rejoagung, Pare, Kediri dan 

diperkirakan berasal dari 

periode Majapahit (abad 

XIII­XIV M) yang ditandai 

dengan bunga teratai yang 

keluar dari vasnya. Arca 

Siwa Mahadewa meng gambarkan seorang tokoh laki­

laki dengan sikap samabhangga dan mempunyai dua 

pasang tangan. Sepasang tangan diangkat ke samping, 

masing­masing­masing memegang camara dan vajra. 

Sepasang tangan yang lainnya bersikap dhyanamudra 

Dok. Penulis

26 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

sambil memegang padma. Stela dan prabha berbentuk 

persegi dengan puncak berbentuk kurawal.

Hal yang menarik untuk diamati pada Arca Siwa 

Mahadewa yaitu  pada bagian wajah, hiasan kepala, 

dan tata rambutnya. Tokoh ini mempunyai bentuk 

wajah persegi, rahang lebar, alis mata tipis, dan 

meleng kung sampai pangkal hidung. Bagian hidung 

sudah rusak. Matanya berbentuk elips dan sipit dengan 

sudut mata bagian luar lebih tinggi dari sudut yang 

dalam serta kelopak mata yang tebal. Mulut tertutup, 

berbibir tebal, dan dagu persegi. Ciri fisik Arca Siwa 

Mahadewa ini termasuk ke dalam ciri ras Mongolid 

yaitu terlihat pada bentuk wajah persegi, bermata 

sipit, dan tulang pipi menonjol.

b. Arca Siwa Mahakala

Arca Siwa Mahakala Koleksi 

Museum Nasional Jakarta dengan 

nomor inventaris 38. Arca Siwa 

Mahakala ini ditemukan dari 

daerah Mojokerto Jawa Timur. 

Siwa Mahakala ini digambarkan 

sebagai seorang tokoh laki­laki. 

Arca ini memiliki stela berbentuk 

persegi dengan bagian ujung 

seperti kurawal, dan mem punyai 

prabha pada bagian belakang 

kepalanya. Seluruh tubuh arca 

dike lilingi “surya majapahit” yang 

mencirikan tinggalan­tinggalan 

dari periode Majapahit.

Dok. Repro. Holt, 

Claire. 1967, Art 

in Indonesia ­ 

Continuities and 

Change

27Orang-Orang Asing di Majapahit 

Hal yang menarik dari tokoh Siwa Mahakala yaitu  

bagian wajah serta cara menata kumis dan jenggotnya. 

Arca ini mempunyai bentuk wajah persegi, leher 

pendek, tulang pipi menonjol, bentuk bibir tebal, serta 

alis mata tajam dan lurus. Bentuk mata elips, pelupuk 

mata tebal, sudut mata luar digambarkan lebih ke atas 

sehingga mata sipitnya tampak jelas. Kumisnya ditata 

dengan cara dipilin dan dibiarkan panjang, begitu juga 

dengan jenggotnya ditata dengan cara dipilin, selebar 

mulut, dan dibentuk segitiga sampai ujungnya berada 

di depan dada. Ciri fisik Siwa Mahakala termasuk ke 

dalam Ras Mongolid yaitu terlihat pada bentuk wajah 

persegi, mata sipit, dan tulang pipi menonjol. Adapun 

ciri budaya yang menonjol yaitu  pada penataan 

kumis dengan cara dipilin dan dikumpulkan pada 

masing­masing sudut mulut sampai menyentuh dagu, 

sedangkan jenggotnya dibiarkan 

panjang yang ditata dengan cara 

dipilin berbentuk seperti segitiga 

sampai bagian dada.

c. Arca laki­laki bertopi 

Arca laki­laki bertopi ini meru­

pakan arca terakota Koleksi Museum 

Trowulan­Mojokerto dengan nomor 

inventaris 30/tr/kms/24/Bpg. Arca 

ini menggam barkan seorang laki­

laki dengan posisi duduk bersila. 

Telapak tangan kanannya dalam 

keadaan meng genggam sedangkan 

telapak tangan kirinya berada di atas 

pangkuan. Tokoh laki­laki ini menge­

Dok. Repro. 

John Miksic 

dan Endang Sri 

H.S., (ed.), 1995 

The Legacy of 

Majapahit.

28 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

nakan tutup kepala ber bentuk setengah lingkaran 

dengan tonjolan kecil di bagian atasnya yang disebut 

Maozi. Maozi yaitu  sebuah penutup kepala (topi) 

yang sering digunakan oleh orang­orang Cina.

Mata tokoh digambarkan sipit, yaitu sudut mata 

bagian luar lebih tinggi dari sudut mata dalam, serta 

pelupuk mata tebal. Selain itu, tokoh laki­laki ini 

digambarkan mempunyai hidung kecil, mulut dengan 

ekspresi tersenyum, bibir tipis, pipi montok, dan dagu 

panjang berlipat­lipat.

Tokoh laki­laki ini digambarkan berbadan gemuk 

dan berperut buncit, tidak mengenakan baju bagian 

atas dan baju bagian bawahnya berupa sarung 

yang dipakai dengan cara digulung pada bagian 

pinggangnya. 

d. Arca laki­laki memegang kotak uang

Arca terakota ini menggam barkan 

seorang laki­laki, tanpa anggota 

badan bagian bawah. Rambut tokoh 

disisir model belah tengah dan diberi 

hiasan bunga di atas telinga kanannya. 

Penggambaran alis mata berupa dua 

garis lengkung bertemu di pangkal 

hidung. Mata sipit dengan sudut mata 

bagian luar ditarik ke atas. Hidung 

mancung. Mulut terkatup dengan 

bentuk bibirnya tebal.

Tokoh laki­laki ini digambarkan 

mengenakan pakaian seperti baju 

kurung berlengan panjang yang lazim disebut qi pao. 

Lengan digulung pada bagian pergelangan tangan. 

Dok. Repro. 

John Miksic 

dan Endang Sri 

H.S., (ed.), 1995 

The Legacy of 

Majapahit.

29Orang-Orang Asing di Majapahit 

Telapak tangan kanannya diletakkan pada bagain 

lambung kanan, dan tangan kirinya memegang sebuah 

kotak uang. Qi pao lazim digunakan sebagai pakaian 

sehari­hari orang­orang Cina.

e. Arca Laki­Laki berjubah 

Arca laki­laki berjubah ini meru­

pakan arca terakota koleksi Museum 

Trowulan­Mojokerto dengan nomor 

inventaris 35/Tr/Kms/24/Bpg. Arca 

terakota ini menggambarkan seorang 

tokoh laki­laki yang memakai jubah 

seperti baju kurung berlengan panjang, 

bagian dada dibiarkan terbuka, leher 

baju dibuat tinggi sampai menyentuh 

dagu. Tangan kanannya berada di 

pangkuan sedangkan tangan kirinya 

sedang memegang sebuah benda.

Rambutnya dipotong sedemikian 

rupa sehingga bagian dahinya tampak lebar sedang­

kan rambutnya disisir ke belakang dan dikucir. Tata 

rambut demikian lazim dijumpai dan merupakan 

tradisi orang Cina. Matanya sipit dengan pelupuk 

mata tebal dan sudut mata luar meninggi. Hidung 

besar dan lebar. Kumis tebal ditata dengan membentuk 

pilinan di kanan kiri mulut. Bentuk mulut mungil dan 

berbibir tebal. Pakaian arca terakota ini juga berciri 

Cina, yaitu pakaian dengan bagian leher baju tertutup 

yang disebut dengan cheongsam atau chángshān (長衫) 

(http://en.wikipedia.org/wiki/Cheongsam, 2009)

Dok. Repro. 

John Miksic dan 

Endang Sri H.S., 

(ed.), 1995  

The Legacy of 

Majapahit.

30 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

f. Arca Kepala Laki­laki

Arca terakota berupa kepala 

Laki­laki merupakan arca terakota 

Koleksi Kantor BP3 Jawa Tengah 

dengan nomor inventaris 247. Arca 

terakota ini menggambarkan kepala 

laki­laki dengan bentuk wajah bulat, 

mengenakan tutup kepala ber bentuk 

setengah bola dengan tonjolan kecil 

di bagian atasnya. Bentuk dahinya 

lebar, mata sipit, hidung kecil, pipi 

tembem, mulutnya dengan ekspresi tersenyum hingga 

terlihat sebaris gigi bagian atas. Bentuk daun telinga 

kecil. Pada bagian leher atas terdapat indikasi bagian 

dari pakaian, yaitu bagian leher baju yang dibuat tinggi 

hingga menutupi leher. cheongsam atau chángshān. Ciri 

etnis Cina pada arca ini yaitu  tutup kepala maozi 

yang dikenakan yang berbentuk setengah bola dengan 

tonjolan kecil di bagian atasnya dan cheongsam.

g.  Arca Kepala Anak Laki­Laki

Arca Kepala Anak Laki­Laki ini 

merupakan arca terakota koleksi 

Kantor BP3 Jawa Tengah dengan 

nomor inventaris 261. Arca terakota 

ini menggambarkan kepala arca 

anak laki­laki, yang digambarkan 

dengan bentuk kepala lonjong. 

Rambutnya dipotong gundul dengan 

menyisakan semacam kucir pada 

bagian ubun­ubunnya. Tata rambut seperti demikian 

merupakan cara penataan rambut yang biasa dijumpai 

Dok. Penulis

Dok. Penulis

31Orang-Orang Asing di Majapahit 

dan diterapkan pada anak­anak kecil di daratan Cina, 

yang sedang mengikuti pelatihan wushu di shao lin sie 

(http://www.kungfu­in­china.com/temple.htm, 2009)

Ciri­ciri kanak­kanaknya ditun jukkan oleh bagian 

dahi nya yang lebar dengan pipi yang tembem. Bentuk 

hidungnya kecil (pesek), mulut sedikit terbuka seperti 

sedang tertawa sehingga tiga buah gigi bagian atasnya 

kelihatan. Matanya sipit, pelupuk mata tebal, dan 

sudut mata bagian luar meninggi.

Ciri­ciri budaya yang menggambarkan orang 

Cina yaitu  cara menata rambut, kumis, dan jenggot; 

jenis pakaian yang dikenakan; serta tutup kepala 

(maozi) yang berbentuk setengah lingkaran dengan 

tonjolan kecil di bagian atasnya. (Muller, 1978: 58).

Tutup kepala ini merupakan salah satu ciri khas 

kelengkapan pakaian orang Cina. Melalui tutup kepala 

yang dikenakan dapat diidentifikasikan asal usul serta 

agama yang dianutnya. Maozi dengan bentuk pendek 

biasanya dikenakan oleh orang­orang Cina di bagian 

selatan yang menganut agama Buddha, sedangkan 

maozi yang bentuk lebih tinggi dipakai oleh orang­

orang Cina Muslim di bagian utara.

Pakaian tradisional orang Cina terdiri atas dua jenis 

yaitu cheongsam dan qi pao. Masa itu cheongsam atau 

chángshān yaitu  pakaian dengan leher baju tertutup 

lazim dikenakan oleh kaum laki­laki Cina. Qípáo atau 

sering juga disebut shanghai dress yaitu  jenis pakaian 

yang menyerupai baju kurung dengan lengan panjang 

yang bagian ujung lengan biasanya digulung hingga 

pada bagian pergelangan tangan. Jenis pakaian 

32 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

ini lazim dikenakan oleh kaum wanita Cina 

(http://en.wikipedia.org/wiki/Cheongsam, 2009)

2. Orang India

Orang India sebagian termasuk 

ke dalam Ras Kaukasid, biasanya 

disebut suku bangsa Arya. Arya 

yaitu  nama sebuah suku bangsa 

yang memasuki India dan yang 

meneruskan kebudayaan Hindu. 

Nama Arya dapat dijumpai dalam 

kitab Veda (Hockings, 1993: 13). 

Selain itu terdapat orang India 

yang mempunyai ciri kulit hitam 

yang tinggal di bagian selatan India 

dan Sri Lanka, yaitu suku bangsa 

Drawida. Drawida yaitu  nama 

sebuah suku bangsa asli India 

yg mendiami bagian selatan, bagian tengah, dan timur 

laut India, sebelum bangsa Arya memasuki wilayah ini 

(Majumdar 1960: 13 ­14). 

Suku bangsa Arya mempunyai ciri­ciri fisik ras 

Kaukasid, yaitu berkulit pucat (kadang­kadang agak 

gelap), wajah persegi, bentuk kepala dolichocephalic, yaitu 

perbandingan antara panjang kepala dengan lebar kepala 

hampir sama, tulang hidung tinggi dan runcing (mancung), 

tubuh berambut, dan kaki lebih pendek apabila dibanding­

kan dengan Ras Negrid tetapi lebih panjang dari pada Ras 

Mongolid. Dari semua ciri fisik yang telah diuraikan yang 

tidak dapat dikenali pada sampel arca yaitu  warna kulit. 

Salah satu arca terakota yang diidentifikasikan sebagai 

orang India yaitu  arca laki­laki bersorban. Ciri fisik arca 

Dok. Repro. John 

Miksic dan Endang Sri 

H.S., (ed.), 1995 The 

Legacy of Majapahit.

33Orang-Orang Asing di Majapahit 

ini termasuk ciri orang Arya, yaitu bentuk wajah oval, alis 

mata tebal dengan kelopak mata menonjol, dan berbibir 

tebal. Arca ini merupakan arca terakota koleksi Museum 

Trowulan­Mojokerto dengan nomor inventaris 31/Tr/

Kms/24/Bpg, menggambarkan seorang tokoh laki­laki 

dalam posisi bersandar pada semacam stela, dan berdiri di 

atas lapik dengan membawa barang yang dipikul. 

Tokoh ini digambarkan bertubuh gemuk dan ber perut 

buncit mengenakan upawita berupa kain polos yang dipakai 

menyilang dari bahu kiri hingga ke bagian pinggang. 

Udarabandha dilengkapi dengan timang (gesper) serta 

mengenakan baju penutup tubuh bagian bawah semacam 

dhoti sampai batas mata kaki. Ciri­ciri budaya yang dapat 

menunjukkan identitasnya sebagai orang India yaitu  

tutup kepala, pakaian, dan cara menata kumis dan jenggot. 

Arca ini mengenakan tutup kepala berupa sorban. Seperti 

diketahui bahwa orang­orang di India identik dengan 

pemakaian sorban (http://id.wikipedia.org/wiki/Swami_

Vivekananda,2009), walaupun tidak secara keseluruhan. 

Begitu juga dengan kebiasaan memelihara kumis dan 

jenggot, tokoh ini mengenakan pakaian yang disebut dhoti, 

yaitu jenis pakaian untuk kaum laki­laki sebagai penutup 

tubuh bagian bawah yang lazim dipakai terutama di daerah 

pedesaan di India. (Setiawan, 1989 : 57).

3. Orang Tartar

Nama Tartar seringkali dikaitkan dengan sejarah 

runtuhnya Singhasari dan berdirinya Majapahit sekitar 

abad XIII­XIV M. keberadaan orang Tartar disebut 

dalam Kakawin Nāgarakrtāgama, Pararaton, dan Kidung 

Harsawijaya. Ketiga naskah itu menyebutkan kedatangan 

orang Tartar ke Pulau Jawa yaitu  dalam rangka meng­

34 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

hukum raja Jawa, yaitu Kertanegara, 

raja Singhasari. Selanjutnya nama 

Tatar digunakan untuk menyebut 

bangsa­bangsa yang menyerang dan 

menduduki beberapa bagian Asia 

dan Eropa pada abad XIII M yang 

dipimpin oleh suku bangsa Moghul 

(Mongol).

Orang­orang Tartar termasuk 

ke dalam Ras Turanian yang mem ­

punyai ciri­ciri tinggi badan sedang, 

berkepala lebar (brachy chephalic), 

bentuk wajah panjang dengan 

tulang pipi menonjol, bentuk bibir lembut, dan mata tidak 

mempunyai lipatan epichantic tetapi sudut mata luarnya 

agak naik. Suku Turanian termasuk orang­orang nomaden 

pastoral dari daerah padang rumput di Rusia bagian selatan 

dan Turkestan. Suku ini merupakan percampuran dari 

suku Kirghiz, Uzbegs, Bashkirs, Sarts, (Comas, 1960: 609)

Arca terakota koleksi Museum Trowulan­Mojokerto 

dengan nomor inventaris 327/tr/trw/24/Bpg menggam­

barkan kepala tokoh laki­laki yang memakai tutup kepala 

berbentuk seperti caping, dengan bentuk wajah bulat. 

Matanya digambarkan sipit dengan kelopak mata tebal dan 

agak menonjol. Bentuk hidungnya pendek dan melebar 

(pesek). Mulutnya kecil dan bibirnya tebal. Kumisnya 

tebal dan ditata melengkung ke bawah, yang disesuaikan 

dengan bentuk mulutnya.

Meskipun ciri yang dimiliki sampel tidak secara 

menyeluruh menunjukkan ciri fisik orang Tatar, tetapi ciri 

budaya yang tampak yaitu tutup kepala yang dikenakan 

Dok. Repro. John 

Miksic dan Endang 

Sri H.S., (ed.), 

1995 The Legacy of 

Majapahit.

35Orang-Orang Asing di Majapahit 

dengan bentuk seperti caping dengan sebuah tonjolan kecil 

di bagian puncaknya, serta rambut yang ditata seperti 

gumpalan di kanan­kiri kepala merupakan ciri budaya 

khas Tartar. Selain itu, pakaian yang dikenakan berupa 

semacam jubah dengan belahan di depan leher, mirip 

dengan pakaian prajurit Tartar (Kusen, 1981: 124).

4. Orang Arab

Hubungan orang­orang Arab dengan dunia timur, 

termasuk Nusantara, sudah terjalin sejak masa pra­Islam 

akibat adanya aktivitas dagang (Arnold, 1981: 317). Pada 

abad VIII M, orang­orang Arab sudah mulai mengadakan 

hubungan lebih luas dengan penduduk di wilayah 

Nusantara. Hal ini dikaitkan dengan kegiatan penyebaran 

agam Islam yang dilakukan orang­orang Arab. Lebih jauh 

dapat dikatakan bahwa masuknya agama Islam ke wilayah 

Nusantara diikuti pula dengan masuknya orang­orang 

Arab beserta budayanya. Orang­orang Arab yang datang 

ke Nusantara diduga kebanyakan berasal dari Hadramaut, 

sebuah negara di Timur Tengah yang sekarang dikenal 

dengan nama Jumhuriyat Al Yaman atau Yaman Selatan. 

Dorongan untuk berdagang sampai ke Nusantara yaitu  

sebab  adanya hasil bumi yang sangat laku di pasaran 

internasional (Wijayanto, 1983: 30­32).

Orang­orang Arab tinggal di daerah gurun di Arab, 

Mesopotamia, Syria, dan Palestina. Orang­orang Arab 

termasuk ke dalam Ras Kaukasid dan mempunyai ciri­ciri 

fisik: bentuk kepala dolychochephalic, berhidung mancung 

dengan cuping lebar, rambut berombak, bibir tebal, bentuk 

wajah persegi hingga oval, warna mata dan kulit gelap, 

dan mempunyai tinggi badan sekitar 1,65 ­ 1,68 m (Comas, 

1960 : 608­609).

36 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Ciri fisik orang Arab dari Hadramaut sebagaimana 

diidentifikasikan, dapat diamati pada arca terakota laki­

laki bersongkok yang merupakan koleksi Kantor BP3 Jawa 

Tengah dengan nomor inventaris 242. Arca terakota ini 

digambarkan dengan bagian mata dan hidung agak besar, 

bibir tebal, serta kelopak mata yang menonjol. Selain itu, 

arca ini mempunyai ciri budaya yang dapat menunjukkan 

identitasnya sebagai penggambaran orang Arab, yaitu 

kumis yang dipelihara lebat, tutup kepala berupa songkok 

yang bagian atasnya datar, serta mengenakan anting­

anting. Perhiasan telinga berupa anting­anting berbentuk 

cincin yang besar juga merupakan salah satu ciri budaya 

orang Arab (Kusen, 1981 : 112).

Penutup

Majapahit pada abad XIII ­ XV Masehi merupakan suatu 

magnet yang mempunyai daya tarik yang tinggi bagi orang 

asing untuk melakukan kunjungan, transaksi dagang, maupun 

menjalin persahabatan. Mengenai keberadaan orang asing di 

Majapahit, akan lebih menarik lagi apabila diketahui mengenai 

jumlah populasi dan peranan mereka di dalam pertumbuhan 

dan perkembangan Majapahit. Keberadaan orang asing dalam 

komunitas lokal Majapahit memberikan warna dan dinamika 

dalam historiografi Majapahit. 

Di dalam beberapa sumber tertulis Majapahit dijumpai 

bahwa orang asing yang paling sering disebut yaitu  orang 

Cina. Hal ini berkaitan erat dengan keberadaan orang 

Cina sebagai pedagang yang sudah lama berhubungan dengan 

Jawa, apabila dibandingkan dengan orang asing lainnya. 

Tampaknya mereka juga merupakan pedagang asing mayoritas 

37Orang-Orang Asing di Majapahit 

di Majapahit. Hal ini nampak dari beberapa tinggalan­tinggalan 

arkeologi yang sebagian besar juga menunjukkan ciri­ciri fisik 

orang Cina.


dUKUNgaN FaKtor alaM 

Alifah

Gapura Wringin Lawang, Dok. Sugeng Riyanto

Asal­usul Majapahit disebutkan dalam kitab Pararaton dan Nagarakretagama diawali dengan pembukaan hutan Trik yang terletak di Delta Sungai Brantas oleh 

Raden Wijaya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1293 M. 

40 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Hutan yang semula banyak ditumbuhi pohon maja ini 

kemudian berkembang menjadi perkampungan yang dihuni 

oleh orang Madura dan orang Tumapel. Daerah ini 

menjadi tempat yang subur, dengan tanaman­tanaman seperti 

bunga pucung, pinang, kelapa, pisang, serta persawahan. 

Majapahit merupakan kelanjutan dari kerajaan Singasari, yang 

tercermin dari nama abhiseka Raden Wijaya ketika naik tahta, 

yaitu Kertarajasa Jayawardana. Nama ini terdiri dari 4 

kata yaitu kerta, rajasa, jaya, wardhana. Keempat kata yang 

dapat dihubungkan dengan nama raja­raja Singasari sebagai 

leluhur Raden Wijaya yaitu Kertanegara, Rajasa (Ken Angrok), 

dan Jayawisnuwardana (Mulyana, 1979).

Sampai saat ini belum ada sumber atau penelitian yang 

menyebutkan alasan perpindahan pusat atau cikal bakal 

kerajaan Majapahit dari hutan Trik (dari data toponim diper­

kirakan berada Dusun Medowo, Kecamatan Tarik, Kabupaten 

Sidoarjo, Jawa Timur) ke Trowulan, dan kapan peristiwa 

perpindahan itu terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh 

Kusumohartono di situs Medowo menghasilkan temuan 

berupa fragmen tembikar, bata, keramik asing, bandul jala, 

mata uang, alat logam, alat batu, dan tulang yang tersebar di 

area yang cukup luas. Data­data ini mengindikasikan 

bahwa situs Medowo pernah berfungsi sebagai lokasi pusat 

suatu kegiatan pada periode Indonesia kuno yang sejaman 

dengan fase Majapahit (Kusumohartono, 1990). Menurut 

Wibowo (1980), ada dua kemungkinan tentang perpindahan 

pusat Majapahit dari Medowo ke Trowulan. Kemungkinan 

pertama yaitu  luas alasing Trik yang diminta oleh Raden 

Wijaya dari Jayakatwang untuk dibuka menjadi pemukiman 

baru meliputi daerah Tarik di tepi Sungai Brantas terus ke arah 

selatan dan barat daya hingga daerah Trowulan sekarang. 

41Dukungan Faktor Alam 

Kemungkinan kedua, pemukiman baru Raden Wijaya dalam 

perkembangan selanjutnya meluas hingga mencapai puncak 

jayanya di Trowulan. Keyakinan bahwa Trowulan yaitu  

ibukota Majapahit diperoleh dari catatan Prapanca yang 

menyebutkan bahwa Raja Hayam Wuruk melakukan per­

jalanan ke daerah­daerah bawahan yang diawali dan diakhiri 

di daerah Trowulan. Selain itu dugaan ini juga diperkuat 

dengan banyaknya temuan, baik berupa bangunan­bangunan 

candi, gapura, saluran air dan dam, umpak, pondasi bangunan, 

prasasti serta beberapa perabot seperti gerabah, patung, dan 

perhiasan.

Kondisi lingkungan situs Trowulan secara garis besar 

dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu letak geografis, 

geomorfologis, dan geologis. Dasar pemikirannya yaitu  

proses alam yang berlangsung pada masa sekarang tidak 

jauh berbeda dengan proses alam yang berlangsung pada 

masa lampau. Perbedaan yang mungkin ada yaitu  akibat 

dari aktifitas gunung api yang ada di sebelah selatan kawasan 

Trowulan, namun perbedaan ini masih pada julad yang 

dapat diterima (Soetikno,1991). berdasar  klasifikasi iklim, 

daerah Trowulan termasuk daerah yang mempunyai musim 

kemarau yang panjang, sedangkan pada bagian selatan yaitu 

sekitar pegunungan mempunyai curah hujan yang relatif lebih 

tinggi.

Letak Geografis

Kota Trowulan terletak pada posisi strategis yang dapat 

diakses baik melalui jalan darat maupun jalan air. Letak 

Trowulan yang berada didaerah yang relatif datar dan 

dekat dengan pusat kerajaan terdahulu seperti Kadiri, Daha, 

42 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Singasari, Jenggala, dan Panjalu sangat memungkinkan ter­

jadinya kontak antar daerah­daerah tersebut, baik untuk 

kepentingan perdagangan, sosial budaya, maupun politik. 

Daerah Trowulan terletak tidak terlalu jauh dari kota 

pelabuhan seperti Surabaya, Gresik, Tuban, dan Pasuruan 

yang berada di pesisir utara pulau Jawa. Daerah pesisir Jawa 

utara tidak jauh dari Semenanjung Malaka yang dilewati 

arus perdagangan internasional. Pelabuhan­pelabuhan di 

sepanjang jalan perdagangan di Asia Tenggara, khususnya 

Semenanjung Malaka, sejak abad VIII telah ramai dikunjungi 

oleh para pedagang dari Arab, Persi, Turki, India, dan Cina. 

Sumber tertulis Arab menyebutkan bahwa pada abad X di 

Asia Tenggara telah terjadi koloni­koloni (Kusbandono,1993). 

Di sekitar Trowulan juga mengalir sungai­sungai yang besar 

seperti kali Brantas, Kali Porong, dan Kali Brangkal yang 

merupakan jalur utama perdagangan. Sungai­sungai ini 

berfungsi sebagai jalur transportasi dan perdagangan. Dari 

sungai­sungai dekat pantai ini bermunculan desa­desa yang 

kemudian berkembang sebagai pusat perdagangan, pelayaran, 

dan penyeberangan antar daerah. 

Kondisi Geomorfologi

Daerah Trowulan terletak pada dataran aluvial yang 

sangat luas serta memiliki derajat kemiringan yang rendah. 

Daerah ini mempunyai ketinggian sekitar 30­40 m dari 

permukaan laut. Di sebelah utara terdapat hamparan luas 

dataran banjir sungai Brantas, sedangkan di sebelah selatan dan 

tenggara sejauh lebih kurang 25 km menjulang tinggi kompleks 

pegunungan api Anjasmoro dan Arjuno­Welirang, dengan 

ketinggian 2000­3000 m dari permukaan laut (Sampurno 

43Dukungan Faktor Alam 

dan Bandono, 1980). Secara garis besar berdasar  bentuk 

lahan dan proses geomorfiknya, daerah Trowulan dibedakan 

menjadi beberapa satuan bentuk lahan, yaitu dataran aluvial, 

dataran fluvio vulkanik, kipas fluvio vulkanik, serta tubuh 

vulkan (Sutikno,1991).

Dataran aluvial yang ada di situs Trowulan terbentuk oleh 

aktifitas air yang berasal dari sungai Brantas. Bentuk lahan ini 

terdapat di sebelah utara Trowulan arah Mojokerto. Bentang 

lahan ini mempunyai ciri­ciri: topografinya datar dengan derajat 

kemiringan 2%. Endapan yang ada tersusun atas material 

pasir, geluh, dan lempung. Daerah ini umumnya mempunyai 

tanah yang subur dan baik untuk aktifitas pertanian, namun 

sebab  letaknya di dataran dekat sungai maka daerah ini sering 

dilanda banjir. Daerah Trowulan bagian barat dan meluas 

sampai Mojoagung merupakan bentang alam yang terbentuk 

oleh dataran fluvio vulkanik, dengan material penyusun yang 

berasal dari aktifitas kompleks gunung api Arjuna dan Kelud. 

Daerah ini mempunyai topografi yang landai dan dilalui oleh 

sungai­sungai dengan pola aliran radial seperti sungai Jarak, 

Sungai Gunting, dan Sungai Blokororubuh. Faktor kemiringan 

dan posisinya menyebabkan daerah ini rawan terhadap 

bahaya banjir, baik banjir air maupun banjir lahar. Wilayah 

selatan Trowulan mempunyai topografi yang lebih tinggi serta 

memiliki material yang lebih tahan terhadap erosi, sehingga 

mengakibatkan aliran sungai yang berasal dari Gunung 

Blokororubuh yang seharusnya mengalir ke utara melalui 

daerah Trowulan menjadi membelok ke arah barat.

Daerah Trowulan ke arah tengggara merupakan bentang 

lahan kipas fluvio vulkanik yang terbentuk oleh proses fluvial. 

Bentang lahan ini disebabkan oleh aliran sungai yang berasal 

dari Gunung Api Anjasmoro dan Welirang, yang mengalir ke 

44 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

arah barat. Kipas fluvio vulkanik terdiri dari 3 bagian yaitu 

bagian puncak, bagian tengah, dan bagian kaki. Daerah bagian 

atas mempunyai derajat kemiringan 8­10% dan tersusun 

atas material yang kasar. Pada bentang lahan ini proses erosi 

berlangsung sangat kuat sehingga sungai sering mengalami 

pergeseran. Oleh sebab  materialnya kasar, dan kemiringannya 

relatif besar, maka air tanah relatif lebih dalam. Bagian tengah 

kipas dengan derajat kemiringan 4­8%, mempunyai material 

penyusun yang berukuran sedang dan kasar. Daerah ini 

mempunyai persediaan air tanah yang cukup banyak, sehingga 

pada umumnya merupakan daerah yang subur untuk aktifitas 

pertanian. Kaki kipas aluvial mempunyai derajat kemiringan 

lebih kecil dari 2% dan tersusun atas material berupa endapan 

berukuran sedang mencapai kaki kipas. Aliran permukaan 

kadang­kadang besar dan menyebabkan banjir yang biasanya 

merupakan kejadian periodik yang berulang, yaitu setiap lima 

tahun sekali atau sepuluh tahun sekali.

Bentuk lahan tubuh vulkan terletak di sebelah selatan 

Trowulan, yaitu satuan tubuh gunung api kompleks Arjuna, 

Anjasmoro, Welirang, dan Kelud. Gunung api yang paling 

berperan dalam proses pembentukan lahan di daerah 

Trowulan yaitu  Gunung api Anjasmoro dan Welirang. 

Batuan penyusun dari bentang lahan ini yaitu  aliran lava, 

piroklastika, dan breksi laharik. Di beberapa tempat batuan 

ini tersingkap dan muncul ke permukaan, sehingga jika 

terjadi banjir, material­material ini tererosi dan memberi 

kontribusi terhadap pembentukan kipas aluvial di daerah 

Trowulan dan sekitarnya (Sutikno,1991)

45Dukungan Faktor Alam 

Kondisi Geologis

Daerah Trowulan tersusun oleh endapan Vulkanik kwarter 

tua yang terdiri dari bahan piroklastika berukuran pasir dan 

pada tempat tertentu terdapat lapisan yang berstruktur lebih 

halus (tuff). Material­material ini berasal dari gunung 

api di sebelah selatan. Secara garis besar daerah Trowulan 

dipengaruhi oleh dua sistem geologi, yaitu pengaruh sistem 

pegunungan berupa gunung berapi di sebelah selatannya 

yang terdiri atas kompleks gunung Welirang, Arjuno dan 

Anjasmoro, serta pengaruh sistem aliran sungai yang berasal 

dari Sungai Brantas dan beberapa anak sungainya. Di sebelah 

utara Trowulan terdapat cekungan memanjang arah timur­

barat, yang terletak antara pegunungan Kendeng di sebelah 

utara dengan kompleks gunung api di selatannya. Material 

penyusunnya yaitu  endapan aluvial dengan ukuran butiran 

yang halus. Material dasar dari endapan fluvial ini 

yaitu  abu vulkanik dari Gunung Kelud yang sangat aktif 

Gunung Penanggungan yang melatar belakangi Situs Trowulan.  

Dok. Sugeng Riyanto.

46 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

menge luarkan abu vulkanik yang tersebar luas, sehingga 

material letusan ini dapat menjadi materi pembentuk 

endapan aluvial di sekitar Trowulan. Jenis tanah yang terdapat 

di Trowulan yaitu  regosol dan litosol. Tanah ini terdiri dari 

pasir halus yang bersifat lepas dan hanya kadang­kadang 

tersemen, serta sering mengandung sisipan kerikil tipis. Pada 

bagian permukaan, pasir ini melapuk menjadi tanah laterik 

kecoklatan dengan ketebalan sekitar 0.5­1 m. 

Pemilihan Lokasi

Sungai Brantas sebagai penghubung daerah hulu dan hili.,  

Dok. Sugeng Riyanto.

Pemilihan lokasi sebuah kota atau pemukiman memerlu­

kan persyaratan­persyaratan antara lain: sudut lereng yang 

sesuai untuk tata guna dan peruntukan tanah, cukup luas untuk 

pembangunan dan perluasan kota, cukup air untuk memenuhi 

kebutuhan sehari­hari dan usaha industri, mempunyai tanah 

47Dukungan Faktor Alam 

fondasi yang cukup mantap untuk pendirian bangunan, mem­

punyai daerah belakang yang mendukung kehidupan dan 

perkembangan kehidupan kota, seperti tanah yang subur untuk 

pertanian, dan adanya bahan baku bangunan. Satu hal yang 

penting bahwa lokasi pemukiman ini jauh dari ancaman 

bencana alam (Sampurno dan Bandono, 1980). Syarat­syarat 

ini berlaku untuk perencanaan kota atau pemukiman, baik 

pemukiman lama maupun pemukiman modern. Daerah sekitar 

situs Trowulan mempunyai bentuk lahan yang umumnya 

bergelombang, mempunyai pegu nungan­pegunungan yang 

lebar dan lembah yang lebar pula, serta mengarah ke utara. 

Banyak di antara lembah­lembah ini membentuk 

cekungan­cekungan berbelok, dan undak­undak di sekitarnya 

yang merupakan ciri khas pola aliran meander (Sampurno dan 

Bandono, 1980). Daerah di sekitar cekungan pada umumnya 

menjadi daerah persawahan, sedangkan pegunungan menjadi 

daerah ladang atau perkampungan. Sungai­sungai kecil juga 

dijumpai di sekitar cekungan. Kondisi tanahnya yang berpasir 

dan kadang­kadang kerakal merupakan tanah fondasi yang 

kuat, yang mampu menahan beban bangunan berat tanpa 

ambles. Perkembangan kawasan ini juga didukung oleh 

ketersediaan bahan­bahan bangunan yang dekat dan mudah 

didapat. Sumber air yang ada di sekitar situs berasal dari 

sungai­sungai di antaranya Kali Brangkal dengan beberapa 

cabang anak sungai di antaranya Kali Landean dan Kali Pikatan. 

Demikian pula mata air dijumpai di daerah hulunya, sehingga 

diduga daerah ini dapat memperoleh dan mengembangkan 

air dengan cukup leluasa. 

48 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Pemanfaatan kondisi lingkungan.

warga  Majapahit khususnya Trowulan, tampaknya 

mempunyai kecerdasan yang cukup tinggi dalam memanfaat­

kan kondisi alam sekitar. Trowulan sebagai pusat kerajaan 

berada di daerah pedalaman, namun memiliki akses ke luar 

melalui jalur­jalur air, dengan memanfaatkan air sungai yang 

kemudian dikembangkan dengan pembangunan kanal sebagai 

perpanjangan dari sungai­sungai alam. 

Diagram blok lokasi pusat kerajaan Majapahit Sumber: Sampurno  

dan Bandono disempurnakan oleh Sugeng Riyanto dan Andreas Eka

Dalam kitab Nagarakretagama disebutkan bahwa 

barang­barang yang akan dibawa ke Majapahit dari daerah 

luar diturunkan di pelabuhan besar, kemudian diangkut 

dengan mengunakan kapal­kapal kecil melalui sungai dan 

kanal. Tampak di sini bahwa pemanfaatan transportasi air 

dimaksimalkan. Sungai Brantas sebagai penghubung utama 

antara daerah pesisir dengan pedalaman telah memberi 

kontribusi positif terhadap perkembangan peradaban 

49Dukungan Faktor Alam 

pada masa Majapahit. Keberadaan sungai dan pelabuhan 

selain digunakan sebagai pendukung faktor ekonomi juga 

digunakan sebagai jalur diplomasi, politik, penyebaran 

agama, dan kebudayaan. Kondisi ini sangat ber­

pengaruh terhadap berkembangnya kota Trowulan.

Dalam prasasti Canggu atau prasasti Trowulan I 

disebutkan bahwa terdapat 44 desa penyeberangan di tepi 

Sungai Brantas. Adanya desa­desa penyeberangan ini 

kemudian berkembang menjadi pelabuhan sungai yang besar 

seperti Canggu, Bubat, dan Terung (Rangkuti, 2005). Persebaran 

desa penyeberangan di Sungai Brantas mempertegas posisi 

sungai ini sebagai sarana transportasi dan perdagangan 

yang menghubungkan daerah hulu dengan daerah hilir.

Ilustrasi desa penyeberangan pada masa Majapahit.  

Gambar Hadi Sunaryo.

Dilihat dari faktor keamanan dan politik, pemilihan lokasi 

di pedalaman sebagai ibukota tampaknya cukup beralasan, 

sebab  daerah ini cukup aman dari ancaman bahaya 

terbuka yang berupa penyerangan dari pihak luar melalui jalur 

50 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

laut. Adanya kanal­kanal sebagai “perpanjangan” dari sungai­

sungai alam sebagai jalur transportasi air memungkinkan 

untuk mendeteksi ancaman atau bahaya secara lebih dini. Berita 

Cina Ying­Yai Sheng­Lan (1416) menyebutkan bahwa tanah 

Jawa mempunyai empat buah kota tanpa tembok. Kapal yang 

datang ke daerah ini pertama mendarat di Tuban kemudian 

ke Gresik, Surabaya, dan terakhir ke Majapahit. Perjalanan 

dari Surabaya ke Majapahit terlebih dahulu melewati Canggu 

sebuah pelabuhan sungai dengan menggunakan perahu 

kecil sepanjang 70­80 li atau kurang lebih 25 mil, kemudian 

perjalanan dilanjutkan dengan menempuh jalan darat selama 

1,5 hari (Groeneveld, 1960). Keberadaan kanal, selain untuk 

jalur transportasi dan pertahanan juga dikaitkan dengan 

aktivitas pertanian. Konsep pendirian kerajaan Majapahit 

yaitu  berbasis pertanian. Hal ini dibuktikan dari adanya 

waduk dan saluran­saluran air. 

Sawah sebagai penyokong perekonomian Majapahit. 

Dok. Sugeng Riyanto

51Dukungan Faktor Alam 

Dalam dunia pertanian ketergantungan terhadap alam 

sekitar sangat mutlak. Unsur hara tanaman, air hujan, letak 

ketinggian, serta sinar matahari merupakan komponen alam 

yang sangat diperlukan dalam sistem budidaya tanaman 

(Munir, 1996). Syarat­syarat ini cukup dimiliki oleh kondisi 

alam Majapahit sehingga daerah ini memiliki hasil pertanian 

yang melimpah. Hasil pertanian merupakan komoditas utama 

sebagai penyokong perekonomian kerajaan. Kondisi tanah 

Towulan yang berbahan abu vulkanik merupakan daerah yang 

subur untuk dikelola sebagai lahan pertanian. Rupanya hal ini 

sangat diperhatikan oleh para pejabat kerajaan masa itu. 

Majunya pertanian di Trowulan selain oleh dukungan 

faktor alam juga dipengaruhi oleh ketrampilan pengelolaannya, 

terutama dengan campur tangan pemerintah yang menentukan 

aturan dan undang­undang tentang pengelolaan tanah. Seperti 

tertuang dalam prasasti Trailokyapuri 1486 M, bentuk campur 

tangan pemerintah berupa dibentuknya pejabat­pejabat yang 

khusus untuk menangani kebutuhan pertanian, seperti petugas 

pengatur irigasi. Teknologi pengolahan pertanianpun mulai 

dikembangkan, seperti teknologi pengolahan tanah dengan 

penggunaan bajak, tatacara persemaian benih, serta teknik 

penanggulangan hama.

52 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Saluran irigasi untuk keperluan pertanian. Dok. Sugeng Riyanto.

Majapahit merupakan negara agraris komersial, dengan 

hasil bumi melimpah yang dari pedalaman diangkut ke pesisir 

untuk diperdagangkan. Hal ini menunjukan bahwa Trowulan 

sebagai pusat kerajaan Majapahit merupakan daerah yang 

sudah memiliki ketahanan pangan dengan surplus bahan 

makanan yang kemudian dijual sebagai komoditas ekspor. 

Beras yang sudah diangkut ke pesisir kemudian dibawa 

oleh armada keraja