Rabu, 09 Juli 2025

kejayaan majapahit di blitar 3


 Jejak-Jejak Kejayaannya

“sah sańke lodaya sira mańanti ri simpiŋ,

swecchānambyāmahajöńa ri saŋ hyaŋ darmma,

sākniŋ prasańda tuwi hana dohnya ńulwan,

na hetunyān/bańunĕn ańawetan matra.” (bait 4)

artinya (Riana, 2009: 304):

“Tidak peduli dari Blitar menuju ke selatan sepanjang jalan,

mendaki kayu­kayu mengering kekurangan air tak sedap 

dipandang,

maka Baginda Raja tiba di Lodaya beberapa malam tinggal di 

sana,

tertegun pada keindahan laut dijelajahi menyisir pantai,” 

(bait 3)

“Baginda Raja meninggalkan Lodaya menuju desa Simping,

dengan rela seraya memperbaiki candi tempat memuja 

leluhur, 

candi itu rusak tampak bergeser ke barat,

itulah sebabnya direnovasi digeser agak ke timur,” (bait 4)

berdasar  uraian di dalam Nagarakretagama ini 

dapat diketahui bahwa Hayam Wuruk telah mengunjungi 

Simping dan meme rintahkan untuk memperbaiki Candi 

Simping ini yang prasada atau bagian atasnya miring ke 

barat. Selanjutnya, dalam pupuh 70 kitab Nagarakretagama 

diceritakan bahwa dua tahun kemudian sang raja datang lagi ke 

Simping untuk meresmikan arca perwujudan raja Kertarajasa 

sebagai Harihara atau Çiwa­Wisnu (Soekmono, 1993: 71).

Candi Panataran atau yang di dalam Nagarakretagama 

disebut Candi Palah merupakan candi yang terbesar dan 

ter lengkap di JawaTimur, namun Nagarakretagama tidak 

menyatakan bahwa candi ini termasuk dharma haji ataupun 

prasada haji. Akan tetapi kunjungan raja Hayam Wuruk 

ke candi ini dalam perjalanan keliling ke daerah­daerah 

115Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar 

sebagai mana diceritakan dalam 

Nagarakretagama sebenarnya me­

nunjukkan bahwa Candi Panataran 

menduduki tempat yang cukup 

penting dalam kerajaan Majapahit. 

berdasar  temuan prasastinya, 

candi ini sudah dibangun tahun 

1197 M oleh raja Çrengga dari 

kerajaan Kadiri. Candi ini mendapat 

perhatian khusus dari raja Hayam 

Wuruk, tidak hanya berdasar  

dari kunjungan­kunjungan sang 

raja secara teratur, tetapi juga dari 

adanya sebuah gugusan candi kecil 

yang dikenal sebagai Candi Angka 

Tahun. Bangunan itu disebut demikian sebab  pada ambang 

pintunya diberi pahatan angka tahun 1291 Ç (1369 M). Angka 

tahun ini menunjukkan bahwa pembangunannya berlangsung 

dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350­1389 M) 

(Soekmono, 1993: 72).

Satu candi lagi yang juga dikunjungi oleh Hayam 

Wuruk dalam perjalanannya ke desa­desa wilayah Majapahit 

yaitu  Candi Sawentar Lor (I), yang disebutkan dalam 

Nagarakertagama sebagai Lwang Wentar. Pupuh LXI bait 2 

berbunyi (Pigeaud, 1960: 46):

“ndan ri śakha tri tanu rawi riŋ weśāka,

śri natha muja mara ri palah sabhrtya,

jambat sing ramya pinaraniran/lańlitya,

ri lwań wentar mańuri balitar mwań jimbe”

Situs Candi  

Sawentar Kidul (II)

116 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

artinya (Riana, 2009: 302):

“Lalu pada tahun saka Tritanurawi­1283 (1361 M) bulan wesaka 

(April­Mei),

Baginda Raja memuja (nyekar) ke Palah dengan pengiringnya,

berlarut­larut setiap yang indah dikunjungi untuk menghibur 

hati,

di Lawang Wentar Manguri Blitar dan Jimbe.

Candi Sawentar Lor (I) kemungkinan merupakan salah 

satu candi kerajaan, sebab  pada penutup cungkup candinya 

terdapat hiasan surya majapahit yang merupakan lambang 

Kerajaan Majapahit. Selain Candi Sawentar Lor (I), candi 

lain yang mempunyai hiasan surya majapahit yaitu  Candi 

Kalicilik dan Candi Sawentar Kidul (II). Candi Kalicilik jika 

benar merupakan Candi Kagenengan –tempat pendharmaan 

Ken Arok– berarti didirikan pada masa Singasari. Menurut 

Agus Aris Munandar, candi ini kemudian diperbaiki 

atau dipugar pada masa Majapahit. Hal ini menunjukkan 

bahwa tidak hanya masa Majapahit saja daerah Blitar sangat 

penting, melainkan dari masa Singasari bahkan masa Kediri 

sudah merupakan daerah yang penting, sebab  bagian dari 

kompleks Candi Panataran sudah didirikan sejak masa Kediri. 

Candi Kalicilik pada masa Majapahit dianggap sebagai candi 

yang penting sebab  sebagai tempat pendharmaan leluhur raja­

raja Majapahit, sehingga perlu dipertahankan dan dijadikan 

sebagai candi kerajaan yang ditandai dengan adanya hiasan 

surya majapahit.

Relief surya majapahit juga terdapat di Candi Sawentar 

Kidul (II) yaitu yang terdapat pada dua buah relief candra 

sengkala. Dengan demikian Candi Sawentar Kidul (II) juga 

merupakan salah satu candi kerajaan yang penting. Melalui 

117Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar 

penelitian telah berhasil diidentifikasi 3 angka tahun, salah 

satunya berupa angka tahun yang terdapat di ambang pintu 

(relung) miniatur candi, sedangkan dua yang lain berupa 

sengkalan memet terdapat pada panil­panil berrelief binatang. 

Angka tahun yang tertera di ambang pintu candi biasanya 

menunjukkan tahun pendirian candi, misalnya seperti yang 

terdapat di ambang pintu Candi Angka Tahun yang merupakan 

salah satu gugusan bangunan di kompleks Candi Panataran. 

Atas dasar itu, maka kemungkinan angka tahun yang tertera 

pada ambang pintu (relung) miniatur Candi Sawentar Kidul 

(II) juga menunjukkan tahun pendirian bangunan tersebut. 

Jika benar tahun 1358 Ç (1436 M) merupakan tahun pendirian 

Candi Sawentar Kidul berarti bangunan ini didirikan pada 

masa pemerintahan Suhita di Majapahit, sebab ia memerintah 

dari tahun 1351 Ç sampai 1369 Ç (1429­1447 M) (Djafar, 1978; 

Krom, 1931).

Nagaraja Anahut Surya (1318 Ç/1396 M)

118 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Dua angka tahun lain yang berhasil diidentifikasi berupa 

sengkalan memet menunjukkan angka tahun 1318 Ç (1396 M) 

dan 1328 Ç (1406 M). Kedua angka tahun ini menunjukkan 

kronologi yang lebih tua dari angka tahun di ambang pintu 

(relung) bangunan miniatur candi. Kedua angka tahun 

ini tampaknya tidak menunjukkan kronologi tahapan 

pembangunan candi, sebab selisih angka­angka tahun ini 

tidak sebanding dengan ukuran bangunan. 

Kemungkinan lain, angka­angka tahun yang berujud 

sengkalan memet ini berkaitan dengan gambaran yang 

terdapat pada relief­relief itu sendiri. Namun untuk dapat 

meng kaitkannya harus memahami makna simbolik relief­

relief itu, dan ditafsirkan bahwa gambar­gambar dalam 

relief itu menunjukkan kejadian suatu peristiwa. Yang 

jelas jika identifikasi angka­angka tahun itu benar berarti 

peristiwa itu terjadi pada masa sebelum Suhita naik tahta. 

Pada masa itu kekuasaan Majapahit masih berada di tangan 

Wikramawarddhana, ayah Suhita, yang memerintah tahun 

1311­1351 Ç (1389­1429 M) (Djafar, 1978). 

Menurut Pararaton, peristiwa besar yang terjadi pada masa 

pemerintahan Wikramawarddhana, yang nyaris meruntuhkan 

Majapahit yaitu  upaya perebutan tahta oleh Wirabhumi. 

Peristiwa perang saudara ini dikenal sebagai peristiwa 

Paregreg. Pada masa pemerintahan Wikramawarddhana telah 

terjadi pertentangan keluarga, antara Wikramawarddhana 

yang memerintah wilayah bagian barat (Majapahit) dengan 

Bhre Wirabhumi yang memerintah bagian timur (daerah 

Balambangan). Perang paregreg terjadi antara tahun 1323­ 

1328 Ç (1401­1406 M) (Djafar, 1978).

Sepeninggal raja Hayam Wuruk dan Patih Amangkubhumi 

Gajah Mada Majapahit memang telah mengalami kesuraman 

119Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar 

dan muncul suatu masalah yaitu perebutan kekuasaan 

dan per tentangan keluarga mengenai hak waris atas tahta 

kerajaan. Sebelumnya Hayam Wuruk telah membagi kerajaan 

menjadi dua yaitu di sebelah barat (Majapahit) diperintah 

oleh Wikramawarddhana dan kerajaan di timur (daerah 

Balambangan) diperintah oleh Wirabhumi, anak Hayam 

Wuruk dari istri selir. Sedangkan Wikramawarddhana 

yaitu  keponakan dan menantu Hayam Wuruk (Djafar, 

1978). Dia naik tahta sebab  mengawini Kusumawarddhani, 

anak Hayam Wuruk dari parameswari. Dengan demikian 

Kusumawardhanilah yang sebenarnya berhak atas tahta 

kerajaan sebab  sebagai putri mahkota.

Ganeça Inapit Mong Anahut Surya (1328 Ç/1406 M)

Angka­angka tahun yang disebutkan dalam pararaton 

tentang peristiwa Paregreg ini ternyata sangat dekat 

bahkan ada yang sama dengan candra sengkala atau sengkalan 

memet yang dipahatkan pada relief­relief di Candi Sawentar 

Kidul tersebut. Tahun 1318 Ç yang tersirat dalam sengkalan 

“Nagaraja anahut surya” sangat dekat dengan awal terjadinya 

120 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

peristiwa Paregreg yang menurut Pararaton mulai tahun 1323 

Ç. Jadi kemungkinan sebelum mulai peristiwa Paregreg telah 

didahului dengan peristiwa­peristiwa yang berkaitan dengan 

upaya perebutan tahta tersebut. Atau kemungkinan lain, angka 

tahun itu justru menunjuk tahun dimulainya peristiwa Paregreg. 

Kemungkinan tahun yang disebut oleh penulis Pararaton 

kurang tepat, mengingat penulisan Pararaton jauh setelah 

peristiwa itu berlangsung (sekitar abad XVII M), sedangkan 

Candi Sawentar Kidul yang memuat sengkalan “Nagaraja 

anahut surya” berasal dari tahun 1358 Ç (1436 M). Jadi Candi 

Sawentar Kidul didirikan 40 tahun setelah peristiwa Paregreg 

terjadi. Sedangkan tahun 1328 Ç yang tersirat dalam sengkalan 

memet “Ganeça inapit mong anahut Surya” sama dengan tahun 

berakhirnya Paregreg saat terbunuhnya Bhre Wirabhumi, yang 

menurut Pararaton berbunyi “Nagalara anahut wulan” (Djafar, 

1978). 

Apabila diamati dari makna penggambaran naga yang 

mengenakan mahkota, sangat mungkin hal itu merupakan 

simbolisasi seorang raja yang marah, dan digambarkan 

sedang ber usaha menelan matahari. Sedangkan matahari 

yang dicaplok naga raja ini merupakan simbolisasi dari 

kekuasaan kerajaan Majapahit yang sedang dicabik­cabik 

untuk di runtuhkan. Sebab matahari yang digambarkan pada 

panil itu yaitu  “Surya Majapahit” yang merupakan lambang 

kebesaran Kerajaan Majapahit. 

Dengan demikian penggambaran “Nagaraja anahut Surya” 

yaitu  untuk menggambarkan adanya upaya­upaya untuk 

meruntuhkan kekuasaan Majapahit melalui perebutan tahta 

oleh Wirabhumi terhadap kekuasaan Wikramawarddhana. 

Gambaran perebutan kekuasaan antar keluarga raja­raja 

Majapahit ini lebih diperjelas dengan adanya relief­relief 

121Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar 

berikut yang menggambarkan dua ekor kuda sedang berebut 

bola. Relief ini kemungkinan menggambarkan dua bersaudara 

yang sedang berebut kekuasaan. Sedangkan yang lebih 

memperkuat bahwa relief­relief itu menggambarkan peristiwa 

perang yaitu  adanya relief Ganeça yang sedang diapit dua 

ekor harimau. Selain sebagai dewa ilmu pengetahuan Ganeça 

juga sebagai dewa perang. Ganeça yang digambarkan dalam 

relief ini kemungkinan sebagai dewa perang, sebab 

tampak sekali Ganeça ini sangat atraktif sedang menggigit 

matahari dan siap mengayunkan kapaknya. 

Candra sengkala atau sengkalan memang sering diguna­

kan sebagai peringatan tentang kejadian atau peristiwa yang 

khusus, seperti berdirinya kerajaan, kenaikan tahta raja, 

kelahiran, peperangan, serta peristiwa lainnya (Suwatno, 

1998/1999). Jika hal ini benar berarti Candi Sawentar Kidul 

didirikan oleh Suhita untuk memperingati peristiwa upaya 

perebutan tahta (Paregreg) yang terjadi pada masa pemerintahan 

ayahnya. Peristiwa itu tergambar dalam panil­panil relief, dua 

di antaranya sebagai sengkalan memet yang menggambarkan 

kronologi terjadinya peristiwa tersebut. Jadi pendirian 

bangunan suci Sawentar Kidul yaitu  untuk memperingati 

peristiwa yang telah terjadi 40 tahun lalu sebelum bangunan 

itu didirikan.

Kesimpulan

Peran penting suatu daerah dapat diketahui dari banyak­

nya bangunan­bangunan monumental yang didirikan di 

daerah itu. Selain itu, juga dapat diketahui dari banyaknya 

kunjungan yang dilakukan oleh penguasa pada waktu itu. Di 

Blitar ditemukan candi­candi masa Majapahit, dari masa paling 

122 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

awal yaitu bangunan suci tempat pendharmaan Kertarajasa 

sampai candi­candi di lereng Gunung Kelud dari masa yang 

lebih muda yaitu masa­masa akhir Majapahit, yang ditandai 

oleh munculnya kembali anasir­anasir Indonesia asli, seperti 

unsur undakan pada pola halaman maupun pada candi induk 

Panataran, serta munculnya bentuk­bentuk miniatur candi. 

Ditempatkannya candi pendharmaan Kertarajasa –pendiri 

Majapahit– di Simping atau Sumberjati menunjukkan bahwa 

daerah Blitar merupakan tempat yang penting sejak masa awal 

Majapahit. Selanjutnya kunjungan rutin yang sering dilakukan 

Hayam Wuruk ke Blitar, terutama di Candi Simping atau 

Candi Sumberjati dan Candi Palah atau Candi Panataran lebih 

menegaskan bahwa daerah Blitar merupakan tempat yang 

istimewa bagi Majapahit. Lebih­lebih melihat arsitektur Candi 

Panataran ­­yang merupakan candi terbesar di Jawa Timur­­ 

dengan pola halaman ke belakang mewakili pola arsitektur 

Jawa Timur yang lengkap, bukan tidak mungkin sebagai candi 

kerajaan walaupun Nagarakretagama tidak menyatakannya 

sebagai dharma haji.

Ditemukannya kompleks Candi Sawentar Kidul yang ber­

dasarkan hasil kajian kemungkinan berkaitan dengan peristiwa 

paregreg atau dengan kata lain pendirian candi ini ditujukan 

sebagai monumen peringatan kemenangan telah menambah 

peran penting daerah Blitar dalam sejarah Majapahit. Mungkin 

masih banyak lagi tinggalan arkeologis di daerah Blitar yang 

belum terungkap, yang masih merupakan potensi terpendam. 

Apa yang sudah terungkap saat ini baru sebagian kecil dari 

bukti­bukti kejayaan Majapahit di Blitar. Masih banyak 

masalah yang perlu diungkap dari keberadaan candi­candi 

di Blitar, seperti mengapa pendiri Majapahit didharmakan di 

Blitar, mengapa candi terbesar di Jawa Timur justru didirikan 

123Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar 

di Blitar, mengapa monumen paregreg juga didirikan di Blitar, 

dan masih banyak lagi permasalahan yang harus dijawab.


dalah seorang mantan Kepala Sekolah Dasar 

Bulukambang II, Kecamatan Lumbang, Kabupaten 

Pasuruan bernama Soekarno BA. Dia juga dikenal 

sebagai dalang yang mengkhususkan dirinya mendalang 

dalam upacara keagamaan, atau upacara adat di desa­desa 

sekitar tempat tinggalnya, sehingga lakon yang dimainkannya 

pun disesuai kan dengan tujuan diadakannya upacara tersebut. 

Satu hal yang menarik bahwa di desa Lumbang ini pernah 

tinggal seorang Empu pembuat keris yang sangat terkenal 

pada jaman Majapahit, cuma tidak diketahui siapa namanya. 

Juga dalam Nāgarakertagāma pupuh 73:3 disebutkan bahwa 

pada masa pemerintahan raja Hayam­Wuruk di desa Lumbang 

dibangun sebuah candi untuk seseorang (Robson.1995:78). 

Pramudito (2006) dalam bukunya mengatakan bahwa sesudah 

128 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Gajah Mada tidak lagi menjabat sebagai Mahapatih di 

Majapahit, dia mengasingkan dirinya hidup sebagai pertapa 

di sebuah dusun terpencil di lereng Gunung Bromo dekat air 

terjun, dengan suasana yang sunyi sepi di pinggir hutan yang 

lebat (Pramudito.2006:135). Kenyataannya di desa Lumbang 

memang terdapat air terjun yang sekarang berfungsi sebagai 

tempat rekreasi. Mungkinkah nama desa Lumbang yang 

sekarang ini identik dengan Lumbang seperti yang disebutkan 

dalam Nāgarakertagāma dan buku karangan Pramudito 

tersebut? Jika demikian halnya, nampaklah bahwa nama desa 

Lumbang tidak dapat diabaikan begitu saja. 

 Pada tahun 1985, pak Soekarno yang waktu itu men­

jabat sebagai Kepala Sekolah Dasar, tergerak hatinya saat 

menemukan beberapa batu candi dan arca di sebuah bukit 

di lereng Gunung Bromo yang lumayan jauh dari tempat 

tinggalnya. Penemuan ini langsung dilaporkan ke 

instansi terkait, termasuk ke Balai Arkeologi Yogyakarta, 

dan tentunya dengan sepengetahuan Kepala Desa setempat. 

Namun usahanya tidak membuahkan hasil. Hal ini mungkin 

disebabkan sebab  lokasi tinggalan arkeologi ini sulit 

dijangkau, sebab jalan menuju dusun itu melingkari bukit 

dengan jurang yang terjal jalan itupun sempit, hanya cukup 

untuk satu kendaraan roda empat. Harus benar­benar waspada 

agar tidak berpapasan dengan kendaraan roda empat lain. 

 Dusun Wonogriyo, Desa Pusungmalang, Kecamatan 

Puspo, Kabupaten Pasuruan, terletak pada ketinggian 1340 

meter di atas permukaan laut (dpl). Seperti diketahui bahwa 

pada umumnya desa di Jawa memiliki sebuah punden yang 

dikeramatkan oleh penduduk setempat, sebab  dianggap 

sebagai makam atau tempat bersemayamnya sesepuh desa 

sebagai cikal­bakal berdirinya desa tersebut. Sesepuh desa 

129Candi di Lereng Bromo

umumnya dipuja sebagai Danyang yang menjaga keselarasan 

hidup seluruh penduduk. Asal mula munculnya Danyang 

yaitu  pada masa pra­Hindu kepercayaan warga  ber­

pusat kepada alam dan arwah nenek moyang. Dewa­dewa 

ini dinamakan Dahyang atau Rahyang yang kemudian 

berubah menjadi Danyang (da = honorefic prefix) dalam bahasa 

Jawa Baru (Kartoatmodjo:1979:43). 

 Demikian juga halnya di Dusun Wonogriyo, penduduk 

mempunyai Danyang bernama Kyai Wonosodo, dan pundennya 

berada di ujung desa, di sebuah bukit bagian dari lereng 

Gunung Bromo. Penduduk juga menamakan punden tersebut: 

Candi Sanggar. Mengapa dinamakan demikian? sebab  selain 

punden ini dianggap sebagai makam Kyai Wonosodo, juga 

banyak ditemukan reruntuhan bangunan candi berupa batu­

batu andesit, dan pernah pula ditemukan beberapa arca batu.

 Tahun 2004 pada waktu penulis melihat arsip­arsip lama 

di perpustakaan Balai Arkeologi Yogyakarta ditemukanlah 

surat pak Karno ini di atas. Surat itu menggunakan tulisan 

tangan yang rapi dengan kertas ukuran folio yang sudah 

menguning di makan usia. Isi surat menginformasikan bahwa 

ada reruntuhan candi dengan rincian yang lengkap seperti 

yang penulis sertakan di atas. Namun, informasi yang sangat 

berharga itu tidak satu pun mendapat tanggapan, akibatnya 

dari tahun ke tahun arca­arca di sana hilang satu demi satu.

Surat pak Karno yang menginformasikan tentang situs Candi 

Sanggar, dan ditulis 20 tahun yang lalu

130 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

131Candi di Lereng Bromo

Informasi ini diperkuat pula oleh laporan tim 

penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta yang pada tahun 2004 

mengadakan penelitian tentang “Unsur­unsur Kepercayaan 

pada Bentuk Permukiman dan Rumah Tengger, Jawa Timur” di 

Desa Keduwung (Lelono.2004:1). Pada waktu itu tim mendapat 

laporan penduduk bahwa di dusun Wonogriyo ada punden 

yang disebut Candi Sanggar. Tim melakukan peninjauan 

ke tempat itu dan memang di sana banyak ditemukan batu­

batu candi. Menurut cerita penduduk, dulu ditemukan arca­

arca seperti gambar dalam laporan tulisan tangan pak Karno, 

tetapi arca ini beberapa kali dicuri oleh oknum tidak 

bertanggungjawab dari luar dusun tersebut. 

 Akhirnya ada pencuri yang mengembalikan arca­

arca itu ke tempat semula, sebab  selalu menderita dan sial, 

konon akibat kutukan dari arca tersebut. Pencuri terakhir 

tidak mengem balikan arca­arca itu ke tempat semula, sebab  

sesudah menjualnya menjadi gila. Tentu saja arca­arca itu 

tidak dapat dilacak kembali keberadaannya, sungguh sayang!! 

Akan tetapi penduduk desa dan sekitarnya sejak dahulu tetap 

menjalankan suatu tradisi yang dilakukan satu tahun sekali. 

Mereka berarakan naik ke punden, dan di halaman punden 

mereka mengadakan selamatan untuk menghormati Danyang 

Desa, agar tetap menjaga desanya supaya terhindar dari segala 

hal yang tidak baik. Upacara ini merupakan upacara 

bersih desa turun temurun.

Arkeolog dan Candi Sanggar 

Sesuai dengan laporan pak Karno, tim peneliti dari Balai 

Arkeologi Yogyakarta mengadakan penelitian, dimulai tahun 

2005 sampai sekarang. Untuk mencapai lokasi, meskipun 

132 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

cuaca sangat dingin menusuk tulang, tetapi tim peneliti tetap 

terengah­engah sebab  menaiki bukit yang cukup tinggi. 

Apalagi sering turun hujan yang menyebabkan tanah menjadi 

licin. Akibatnya tak ada satupun anggota tim yang tidak 

pernah terpeleset!!

Di atas bukit itulah ditemukan susunan batu­batu candi 

yang semula disangka sebagai bagian dari dinding candi. 

Namun ternyata susunan batu­batu ini yaitu  tum­

pukan batu­batu candi yang dikumpulkan oleh penduduk 

apabila mereka menemukannya. Sesudah batu­batu candi itu 

dibersihkan, diketahui bahwa tumpukan ini antara lain 

berupa umpak­umpak sejumlah 23 buah berukuran besar, 

sedang, dan kecil. Ternyata umpak­umpak batu juga ditemu­

kan bertebaran di sekitar bukit sebab  terbawa tanah longsor. 

Dengan penuh ketelitian para arkeolog anggota tim mem­

bersihkan, mengukur, dan memotret batu­batu candi ini 

satu persatu. Dari 23 buah umpak batu ini diantaranya 

ditemukan tiga buah umpak dengan ukuran sama, yang salah 

satu sisinya bertuliskan huruf dan bahasa Jawa Kuna yang 

merupakan angka tahun 

dan terbaca 1431 Saka 

atau 1509 Masehi.

Temuan lain yaitu  

beberapa fragmen terakota 

dan fragmen tembikar, 

diantaranya berupa jam­

bangan berukuran besar. 

Dugaan ini didasar kan 

dari bagian tepiannya 

yang tebal, lebih kurang 

Umpak berangka tahun 1431 Saka  

(dok. Balar Yogya)

133Candi di Lereng Bromo

2 cm. Ada pula yang bermotif hias yang indah dan halus 

pengerjaannya. 

Beberapa artefak terakota hasil survei permukaan di sekitar situs  

(dok.Balar Yogya)

Selain pecahan­pecahan tembikar, juga beberapa fragmen 

keramik asing dan mata uang kepeng Cina. 

Fragmen keramik asing  

(dok. Balar Yogya)

Mata uang kepeng Cina  

(Dok.Balar Yogya)

Temuan lain yaitu  satu buah batu andesit berbentuk 

empat persegi panjang yang memuat prasasti dengan huruf 

dan bahasa Jawa Kuna pada salah satu sisinya. Prasasti ini 

diduga Candrasengkala. Penulis meminta bantuan 2 orang 

epigraf untuk membaca dan menganalisa tulisan tersebut. 

Hasil nya yaitu  sebagai berikut:

134 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

1. Titi Surti Nastiti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan 

Arkeologi Nasional, Jakarta membaca candrasengkala 

tersebut:

  Rupa (1), Guna (3), Catur (4), Janma (1) = 1431 Saka atau 

1509 Masehi. 

2.  Sedangkan Kayato Hardani dari Balai Pelestarian 

Peninggalan Purbakala DIY, menafsirkan Candrasengkala 

ini sebagai berikut:

 Ruya O Saturnakhma atau Ru Ya O Saturnakhma, maknanya: 

 Kata Ruya tidak dijumpai di dalam kamus Jawa Kuna 

maupun Sansekerta.

 Kata Ru dalam kamus Sansekerta, didefinisikan 

sebagai “roar, cry, howl, yell, croak, hum, resound” ada 

kaitannya dengan suara, teriakan atau lolongan.

 Kata Ya merupakan partikel penegas atau penunjuk.

 Kata Saturnakhma(?) mungkin dari kata dasar Turna 

yang berarti dengan cepat. Kata ini berasal dari kata 

Sansekerta Türna dari akar kata Tvar yang berarti 

cepat. 

Prasasti berupa Candrasengkala (dok.Balar Yogya)

 Dalam konteks inskripsi dari Candi Sanggar ini belum 

dapat diperoleh penafsiran arti kata yang jelas. Mungkin 

135Candi di Lereng Bromo

inskripsi ini tentang seruan untuk mempercepat “sesuatu”. 

Hal ini terlihat adanya partikel penegas dan seruan Ya dan O. 

Untuk kata Saturnakhma diperkirakan sebagai sebuah bentuk 

kata pasif dari kata dasar Turna yang berarti “percepatlah”. 

Kayato Hardani mengacu pada Kamus bahasa Sansekerta 

karangan Mac Donnel terbitan tahun 1954, dan Kamus Jawa 

Kuna karangan Zoetmulder terbitan tahun 1997. Dengan tidak 

mengurangi penghargaan penulis kepada Kayato Hardani, 

dalam konteks ini, penulis lebih condong menggunakan 

pembacaan Titi Surti Nastiti, dengan alasan angka tahun 

ini sesuai dengan angka tahun pada 3 buah umpak batu. 

 Temuan permukaan lain berupa satu buah batu andesit 

berbentuk empat persegi panjang berukuran: panjang 32 cm, 

lebar 19 cm, tebal 10 cm, dan tinggi 12 cm bertuliskan huruf 

dan bahasa Jawa Kuna: pa dra dra dra a la dra la

Prasasti dengan tulisan huruf dan bahasa Jawa Kuna  

(dok.Balar Yogya)

Perkataan itu belum diketahui apa artinya, mungkin hanya 

merupakan suatu kalimat kutukan, atau sumpah serapah, bisa 

juga merupakan suatu seruan puji­pujian kepada dewa atau 

entah siapa yang dikeramatkan di situs tersebut. Seperti yang 

sudah disebutkan di atas, bahwa di sana pernah ditemukan 

arca­arca batu, yang sayangnya sudah hilang tanpa pernah 

136 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

didokumentasikan sebelumnya, jadi tidak diketahui arca 

siapa. Seandainya masih ada tentu akan memudahkan kita 

untuk menghubungkan arca­arca itu dengan prasasti yang 

ditemukan. 

Selanjutnya, ada beberapa batu andesit yang pada 

salah satu sisinya bergambar goresan­goresan, dugaan tim 

sementara, goresan­goresan itu yaitu  semacam kode atau 

tanda untuk memudahkan penyusunan batu­batu ini 

menjadi suatu bangunan candi.

Dua contoh batu bergores (dok. Balar Yogya)

Dari hasil ekskavasi/penggalian, pada kedalaman 30 cm 

tim menemukan satu balok batu andesit yang pada salah satu 

sisinya memuat angka tahun 1267 Saka (1345 Masehi) dengan 

huruf dan bahasa Jawa Kuna. 

 Prasasti angka tahun 1267 Saka (dok.Balar Yogya)

137Candi di Lereng Bromo

Selain itu ditemukan struktur bangunan yang diduga 

semacam struktur ambang pintu ukuran lebar 210 cm mem­

bujur arah timur­barat. Di pojok timur struktur ambang pintu 

ditemukan arca Dwarapala setinggi 40 cm. (Istari,2007: 3­19) 

Struktur ambang pintu dan Dwarapala (dok.Balar Yogya)

Hubungannya dengan Majapahit

Sebelum pengaruh India masuk ke Indonesia, warga  

Indonesia sudah mempunyai kepercayaan asli dalam kehi­

dupan keagamaannya. Konsep yang mendasari kepercayaan 

asli yaitu  anggapan bahwa alam semesta didiami oleh 

makhluk­makhluk halus atau roh­roh leluhur dan bahwa 

gunung merupakan tempat arwah leluhur atau yang didewa­

kan (Wales,1958:86). Kepercayaan asli itu sudah ada sejak 

jaman megalitik di Indonesia. Pada masa itu pendirian 

bangunan­bangunan megalitik didasarkan atas kepercayaan 

akan hubungan antara yang hidup dan yang telah mati, ter­

utama kepercayaan kepada adanya pengaruh kuat dari yang 

telah mati terhadap kesejahteraan warga  dan kesuburan 

138 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

tanaman. Juga adanya pemujaan kepada roh leluhur, dan 

akhirnya melahirkan tatacara yang menjaga segala tingkah 

laku warga  di dunia fana supaya sesuai dengan tuntutan 

hidup di dunia akhirat. Pada masa itu organisasi warga  

telah teratur. Pengetahuan tentang teknologi yang berguna 

sehari­hari dan nilai­nilai hidup terus berkembang, antara 

lain mengenai cara­cara pembiakan ternak, pemilihan benih­

benih tanaman untuk keperluan sehari­hari. Sikap hidup 

selalu berkisar pada persoalan­persoalan manusia, bumi dan 

tanaman. warga  telah meningkat dan membentuk per­

kampungan yang tetap, tidak seperti masa sebelumnya di 

mana pengembaraan masih sering dilakukan (Poesponegoro, 

2008:248­251). Bangunan­bangunan megalitik dibangun untuk 

pemujaan kepada makhluk­makhluk halus, roh leluhur, 

kepala desa, atau orang­orang yang dianggap berjasa terhadap 

warga  desa tersebut. Mereka dibuatkan punden sebagai 

tempat tinggal rohnya, dan dianggap sebagai danyang atau 

leluhurnya. Selanjutnya tradisi megalitik ini memantulkan 

ciri­cirinya pada bangunan­bangunan candi sewaktu budaya 

Hindu masuk ke Indonesia. Boleh dikatakan pendirian candi­

candi di Indonesia merupakan refleksi kelanjutan tradisi 

megalitik ini. 

Cerminan berkembangnya kepercayaan asli pada masa 

Majapahit akhir dapat diketahui dari berbagai aspek, diantara­

nya yaitu  dari susunan bangunan keagamaan serta lokasi 

penempatan bangunannya. Bangunan berteras merupakan 

ciri umum bangunan masa itu, sedangkan lokasi pendiriannya 

umumnya di tempat­tempat yang tinggi, seperti misalnya di 

lereng gunung atau di bukit atau di puncak gunung. Bangunan 

keagamaan yang didirikan di lereng gunung atau di bukit 

contohnya yaitu  tinggalan­tinggalan arkeologi yang terdapat 

139Candi di Lereng Bromo

di Gunung Penanggungan dan Gunung Arjuna di Jawa Timur 

serta Gunung Lawu yang terletak di perbatasan Jawa Timur 

dan Jawa Tengah (Kusen dkk,1993:99­101). 

 Dengan latar belakang seperti di atas, marilah kita 

kembali ke Candi Sanggar. Bagaimanakah bentuk Candi 

Sanggar dan hubungannya dengan Majapahit? Ditinjau 

dari sisi arsitekturalnya, Candi Sanggar berbentuk punden 

berundak. Menurut kosmologi India, alam semesta terdiri atas 

tiga tingkatan yang disebut Triloka, yang diwujudkan dalam 

bagian­bagian candi (Soekmono,1990:15). Tingkat terbawah 

atau kaki candi melambangkan bhurloka atau dunia tempat 

manusia berpijak. Tubuh candi melambangkan bhuwarloka 

atau dunia tempat manusia telah mencapai kesucian dan 

kesempurnaan dan sebab nya dapat berhadapan dengan 

dewa atau nenek moyang yang mereka puja. Adapun atap 

candi melambangkan swarloka atau dunia para dewa dan roh 

leluhur. Kalau penggambaran alam semesta secara tegak lurus 

itu direbahkan, maka akan diperoleh susunan bagian mendatar 

yakni bagian depan, bagian tengah, dan bagian belakang yang 

lebih tinggi daripada kedua bagian lain. Apabila susunan 

ini diterapkan pada lereng bukit, maka menjadi punden 

berundak. 

Selama jaman Majapahit, telah terjadi perubahan­

perubahan kebudayaan yang dilandasi oleh adanya pergeseran­

pergeseran dalam bidang kepercayaan. Kepercayaan asli 

warga  Jawa yang dilandasi oleh pemujaan terhadap 

arwah leluhur yang tampak tergeser oleh adanya unsur­

unsur Hindu­Budha, menjelang abad XIII­XVI Masehi tampak 

mulai bangkit dan muncul kembali. Mengenai pergeseran 

kepercayaan ditunjukkan bentuk, susunan, dan orientasi 

bangunan­bangunan candinya. berdasar  hal ini 

140 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

diketahui bahwa kepercayaan yang berkembang pada masa 

itu mengalami pergeseran dari yang semula merupakan 

kepercayaan Hindu­Budha, berbalik lagi pada kepercayaan 

asli, yaitu pemujaan arwah leluhur (Soekmono dkk,1993:78­

80). Hal ini diperkuat pula oleh tulisan Kusen dkk (1993:104) 

bahwa pada masa Majapahit akhir kepercayaan asli menonjol, 

meskipun unsur Hindu muncul, namun diberi nafas yang 

sesuai dengan kepercayaan asli. Dengan demikian yang 

tampak yaitu  ungkapan kepercayaan asli, seperti misalnya 

perpaduan antara pemujaan leluhur dan pemujaan dewa­

dewa kosmis, sehingga muncul dewa­dewa lokal. 

Tinggalan kepurbakalaan yang digolongkan sebagai 

punden berundak antara lain yaitu  candi­candi kecil di lereng 

Gunung Penanggungan (Atmojo.1986291­293), Candi Sukuh 

dan Candi Ceto di lereng Gunung Lawu (Tjahjono,1987:86), 

Candi Sepilar, Candi Madrim, Candi Makutarama, Candi 

Wesi, dan Candi Indrakila di lereng Gunung Arjuna, demikian 

pula Candi Sanggar di lereng Gunung Bromo ini. Situs Candi 

Sanggar yang merupakan kompleks bangunan suci untuk 

peribadatan yaitu  perkembangan dari punden sebagai tempat 

tinggal leluhur ke bentuk punden berundak yang berorientasi ke 

puncak gunung tempat arwah leluhur tinggal. 

 Seperti yang telah diuraikan di depan, di situs Candi 

Sanggar ditemukan angka tahun yang berbeda. Angka 

tahun pertama 1267 Saka atau 1345 Masehi pada balok batu 

yang masih in-situ, menandakan bahwa pada tahun itulah 

Candi Sanggar pertama kali dibangun. Pada waktu itu 

kerajaan Majapahit diperintah oleh seorang raja wanita yaitu 

Bhre Kahuripan dengan nama gelar Tribhūwanottunggadewi 

Jayawisnuwarddhani. Ia memerintah sejak tahun 1250 Saka 

sampai dengan tahun 1272 Saka. (Poesponegoro,2008:461). 

141Candi di Lereng Bromo

Nah, Candi Sanggar dibangun pada masa pemerintahan 

Tribhūwanottunggadewi ini. Pemikiran ini didasari data bahwa 

pada masa pemerintahan raja­raja Jawa Kuno, dibangunlah 

bangunan­bangunan suci, petirtaan­petirtaan, dan beberapa 

tugu peringatan. Raja yang bersangkutan diwujudkan 

menyerupai dewa­dewa yang dipujanya, dan dapat diundang 

pada waktu mereka mengadakan upacara­upacara tertentu. 

Dari Kitab Nāgarakertagama diinterpretasikan bahwa tradisi 

pendirian bangunan suci yang disertai dengan pembuatan arca 

merupakan pengabdian kepada raja yang sudah meninggal. 

Raja ini diarcakan dalam bentuk arca dewa atau arca 

yang tidak beratribut dewa, sehingga ia kemudian dipuja, dan 

pada hakekatnya dianggap sebagai nenek moyang. Dengan 

demikian dapatlah dikatakan bahwa candi pada masa Jawa 

Timur bukan semata­mata tempat pemujaan kepada dewa, 

tetapi juga merupakan tempat pemujaan nenek moyang 

(Hardiati, 2002:4). 

Menurut cerita pak Karno, konon, Candi Sanggar dibangun 

oleh orang­orang Majapahit untuk bersamadi, sebelum mereka 

menuju Tengger guna melakukan suatu upacara yang secara 

rutin mereka lakukan. Di sebelah timur situs terdapat sebuah 

sungai yang dinamakan Sungai Jajang, atau penduduk lebih 

menge nalnya dengan sebutan Sungai Guyangan. Nama ini ada 

riwayatnya, dinamakan Guyangan (Jawa: guyang = meman­

dikan, ditambah akhiran an) sebab  pada waktu itu para 

peziarah memandikan kuda tunggangannya di sungai itu. 

 Angka tahun kedua yaitu 1431 Saka atau 1509 Masehi. 

Sekitar tahun itu Majapahit diperintah oleh raja Girindra-

warddhana Dyah Ranawijaya Bhattāra I Kling. Ia meme rintah 

antara tahun 1396 Saka­1441 Saka atau 1474 Masehi­1519 Masehi 

sebagai raja Majapahit terakhir yaitu  Girindrawarddhana 

142 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

ini (Djafar.1978:.51). berdasar  kedua angka tahun 

ini dapat diperkirakan keberadaan Candi Sanggar 

yaitu  di antara abad ke­14 sampai dengan abad ke­16 

Masehi. Menurut catatan sejarah abad­abad itu merupakan 

periode akhir masa Klasik di Indonesia, yang ditandai dengan 

merosotnya kekuasaan besar kerajaan Majapahit yang masih 

memeluk agama Hindu­Budha. 

Jarak antara pemerintahan Tribhuwana dan Girindra­

wardhana kurang lebih 1,5 abad. Berarti ada kemungkinan 

Candi Sanggar dibangun dan kemudian diperbaiki lagi 

beberapa masa kemudian. Melihat hasil temuan yang berupa 

umpak­umpak dengan variasi yang bermacam­macam itu, 

tampaknya Candi Sanggar bukanlah bangunan tunggal 

melainkan suatu kompleks bangunan suci yang terdiri atas 

bangunan induk dengan beberapa bangunan pendukung. 

Satu hal yang penting yaitu  Candi Sanggar sampai saat ini 

merupakan satu­satunya candi yang ditemukan di lereng 

Gunung Bromo.


Kejayaan Kerajaan Majapahit tidak hanya dapat dibukti kan dari tinggalan arkeologis yang ada di kawasan Trowulan­Mojokerto dan sekitarnya. 

Majapahit berbeda dengan kerajaan­kerajaan lain di Nusantara, 

sebab  dalam perkembangan dan kejayaannya Majapahit 

yaitu  representasi dari Kerajaan Nusantara yang mampu 

menjalin hubungan bilateral dengan kerajaan­kerajaan lain di 

kancah internasional. Oleh sebab  itu apabila kita berbicara 

tentang Majapahit, konteks skalanya yaitu  Nusantara­

Indonesia­Nasionalisme bangsa Indonesia, bukan lagi Situs 

Trowulan, ataupun kewilayahan Propinsi Jawa Timur. Hal ini 

146 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

akan terlihat apabila kita menyimak data susastra seperti Kitab 

Negarakrtagama, dari kitab ini dapat dipahami bahwa 

kekuasaan Majapahit pada suatu masa (abad XIV M) mencapai 

daerah­daerah yang sangat luas. Bahkan beberapa wilayah 

bagian dari negara tetangga sebagian dapat dikuasai seperti 

Malaysia, Singapura, dan Brunei (Pigeaud, 1960). Demikian 

pula dalam hubungan bilateral dengan kerajaan lain, seperti 

misalnya dengan Campa dan Kamboja, Majapahit sangat 

menjunjung harkat dan martabat sebagai bangsa dan kerajaan 

yang besar.

Sebagai negara yang besar, Majapahit pasti didukung 

oleh berbagai potensi yang ada di wilayahnya. Oleh sebab  

itu beberapa daerah potensial di Jawa Timur haruslah terlebih 

dahulu dikuasainya, sebelum mengembangkan kekuasaan 

ke luar Jawa bahkan ke luar dari wilayah Nusantara. Daerah­

daerah potensial di wilayah Jawa Timur satu diantaranya 

yaitu  kawasan danau­danau yang banyak ditemukan di 

Kabupaten Lumajang dan Probolinggo. Satu di antara danau­

danau yang hingga sekarang masih menjadi andalan dan 

harapan hidup warga  di sekitarnya yaitu  Ranu (danau) 

Klakah. 

Di dekat Ranu Klakah, dari hasil penelitian arkeologi yang 

dilakukan oleh tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta 

ditemukan sisa­sisa bangunan dari bata yang diduga merupakan 

pondasi sebuah bangunan candi. Keberadaan candi ini 

jelas erat hubungannya dengan keberadaan ranu, sebab antara 

air dan kehidupan manusia tidak mungkin untuk dipisahkan. 

Rupa­rupanya jauh sebelum masa Majapahit, kawasan Ranu 

Klakah sudah diokupasi oleh manusia. Hal ini dibuktikan pula 

dengan tinggalan lain yang berasal dari masa prasejarah. 

147Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang 

Ranu Klakah dan Lingkungannya

Ranu Klakah yaitu  sebuah danau yang terletak di Desa 

Tegal Randu, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang, 

Propinsi Jawa Timur. Di wilayah Kabupaten Probolinggo, 

pada umumnya setiap ranu terkait dengan legenda yang men­

ceritakan tentang asal­usul ranu tersebut. Namun, rupa­rupanya 

warga  yang sekarang bermukim di sekitar Ranu Klakah 

sebagian besar merupakan pendatang baru, sedangkan warga 

dari generasi yang lebih tua sebagian besar telah meninggal, 

maka legenda yang berkaitan dengan keberadaan Ranu Klakah, 

belum sempat ditransformasikan kepada generasi berikutnya. 

Hal ini berbeda dengan ranu-ranu yang ditemukan di wilayah 

Kabupaten Probolinggo misalnya Ranu Segaran, Ranu Agung, 

dan Ranu Gedang, warga  di sekitarnya tahu tentang cerita 

rakyat atau legenda masing­masing.

Ranu Klakah dengan latar belakang Gunung Lamongan  

terletak di Desa Tegalrandu, Kec. Klakah, Lumajang  

Dok. Balai Arkeologi Yogyakarta 2007.

148 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Selain mata air yang diperkirakan berasal dari dasar 

ranu, ada beberapa in let atau sumber mata air yang masuk 

ke Ranu Klakah, yang beberapa di antaranya ditemukan di 

sisi timur Ranu. Lokasi ini secara administratif masuk 

Dusun Klemaran. Secara topografis bagian sisi Timur Ranu 

Klakah ini memiliki kelerengan yang cukup curam, 

sehingga merupakan lahan yang kurang cocok sebagai lokasi 

permukiman. 

Lokasi yang sekarang menjadi Dusun Klemaran termasuk 

permukiman baru, sebab  terbatasnya lahan yang tersedia 

untuk tempat tinggal penduduk yang semakin hari jumlahnya 

semakin bertambah banyak. Hal ini didukung oleh 

kenyataan bahwa survei arkeologis yang dilakukan pada 

tahun 2007 sama sekali tidak menemukan data kekunaan, baik 

artefaktual maupun non artefaktual atau intangible. Nenek 

moyang mereka diperkirakan dahulu menempati di lahan­

lahan yang landai dan dekat dengan areal pertanian, seperti 

Dusun Krajan dan dusun­dusun lain di sekitar danau. 

Kelerengan lahan yang cukup terjal di lingkungan Ranu 

Klakah dari sisi timur berlanjut hingga sisi selatan. Sisi selatan 

danau belum banyak dimanfaatkan untuk pemukiman. 

Sebagian areal tepian danau yang mulai mengering oleh warga 

Dusun Klemaran dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Selain 

merupakan daerah yang belum banyak penghuninya, survei 

permukaan dibagian sisi selatan danau tidak menemukan 

artefak­artefak yang menunjukkan okupasi manusia di masa 

lampau. Seperti halnya lahan yang ada di sisi timur, pada 

tebing danau sisi Selatan ditemukan pula beberapa in let yang 

cukup besar debit airnya. 

Pada kawasan sisi barat dan utara danau misalnya Dusun 

Jatian, dan Gunung Lawang, yang secara topografis meru­

149Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang 

pakan lahan yang cukup landai dan datar, hasil survei yang 

dilakukan di kawasan ini menunjukkan bahwa ketiga 

dusun ini di atas merupakan perkampungan tua. Di 

Dusun Jatian, ditemukan sebuah keramat yang oleh warga  

setempat disebut Keramat Mbah Koung. berdasar  cerita 

Mbah Hadi (juru kunci keramat), keramat yang ditandai 

dengan dua buah batu monolit ini yaitu  makam cikal 

bakal warga  Jatian khususnya dan Tegal Randu pada 

umumnya.

Struktur batu andesitis berbentuk persegi empat, bentuk ini mirip 

dengan Watu Kandang yang ditemukan di Matesih, Kab. Karanganyar, 

Jawa Tengah. (Dok. Balar Yogya 2007)

berdasar  orientasi atau arah bujur kubur yang meng­

arah Utara­Selatan, menunjukkan tinggalan dari masa Islam. 

Akan tetapi, apabila dilihat bentuk nisan yang terdiri dari batu 

utuh (menhir), mengingatkan pada suatu tradisi yang berasal 

dari tahap kehidupan Neolitik yaitu tradisi megalitik yang di 

Indonesia berlanjut hingga waktu yang cukup panjang (Hoop, 

150 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

1932; Anonim, 1999 : 85). Di Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, 

ditemukan susunan dua batu utuh seperti ini di atas, akan 

tetapi orientasinya tidak Utara­Selatan, melainkan menurut 

Gunadi berorientasi ke puncak sebuah gunung yaitu Gunung 

Slamet (Gunadi, 1982). Dengan demikian kepastian apakah 

keramat ini benar­benar sebuah makam atau sebuah 

pseudo makam, masih perlu kajian yang lebih tajam lagi. 

Objek lain yang terkait dengan keramat Mbah Koung yaitu 

Keramat Gunung Lawang yang terletak di Dusun Gunung 

Lawang, Desa Tegal Randu, Kecamatan Klakah. Keramat 

Gunung Lawang merupakan susunan batu­batu monolit yang 

tidak beraturan. Selain Keramat Gunung Lawang, di dusun ini 

ditemukan pula tinggalan lain yang disebut Batu Astah. Batu 

andesitis utuh yang relatif berukuran kecil ini sampai sekarang 

masih dikeramatkan oleh warga  sekitar. Terbukti hingga 

saat ini masih digunakan sebagai tempat peziarahan dengan 

tanda­tanda bekas pembakaran kemenyan di dekat batu 

tersebut. 

Berbeda dengan Keramat Gunung Lawang, susunan batu 

utuh andesitis yang ditemukan di pekarangan Bapak Parmin 

warga Dusun Jatian, Desa Tegal Randu memiliki struktur yang 

jelas yaitu berbentuk empat persegi atau rectangular enclosure. 

Bentuk seperti ini mirip dengan Watu Kandang yang terdapat di 

Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah (Nitihaminoto, 

1978; Gunadi, 1994). Dari hasil ekskavasi di kompleks batu 

berdenah empat persegi ini diketahui bahwa di bawah 

dan sekitar susunan batu andesitis terdapat struktur lantai yang 

terbuat dari susunan bata. Ukuran bata dengan panjang 40 cm, 

lebar 20 cm, dan tebal 6 cm menunjukkan ukuran bata kuna, 

baik yang lazim digunakan pada masa Islam awal maupun 

pada masa Hindu – Budha, terutama dalam pembangunan 

151Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang 

candi­candi di Jawa Timur. Antara susunan batu yang mirip 

dengan watu kandang dan struktur lantai bata belum dapat 

dijelaskan bagaimana konteksnya.

Dalam ekskavasi yang dilakukan di luar struktur watu 

kandang ditemukan struktur bata lain yang dapat diinter­

pretasikan sebagai sisa­sisa pondasi suatu bangunan, yang 

besar kemungkinannya yaitu  sebuah candi. Perkiraan di atas 

diperkuat oleh bentuk denahnya yang mirip dengan denah 

sebuah candi. Untuk dapat mengetahui bentuk keselurahan 

denah pondasi, ada beberapa kendala yang cukup serius. 

Pertama harus memindahkan kandang sapi, dan kedua 

sebagian pondasi candi ini berada di bawah bangunan 

sebuah rumah milik warga. Walaupun demikian, dari hasil 

penggalian beberapa kotak test pit sudah dapat dipastikan 

bahwa sisa­sisa bangunan yang ditemukan yaitu  pondasi 

dari bangunan candi dari bata. 

Penemuan Sisa-Sisa Bangunan Candi 

Penelitian arkeologi yang dilakukan di kawasan Ranu 

Klakah sebenarnya yaitu  penelitian bertema kan per mukiman 

ling kungan danau yang di fokuskan pada masa prasejarah. 

Oleh sebab  itulah pembukaan test pit diawali dari lokasi 

ditemukannya sturuktur batu andesitis yang mirip dengan 

bentuk Watu Kandang di Situs Megalitik Matesih, Kabupaten 

Karanganyar, Jawa Tengah. Anehnya, dari hasil penggalian 

pada beberapa kotak test pit ditemukan susunan lantai bata 

yang diperkirakan berasal dari masa Hindu­Budha atau masa 

Islam (biasanya material bata digunakan untuk bangunan candi 

atau bangunan dari masa Islam seperti makam dan masjid). 

Dari hasil penggalian ini diketahui pula bahwa susunan 

152 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

lantai bata meluas hingga 

keluar “struktur watu 

kandang” tersebut. Untuk 

menge tahui ada tidak nya 

hubungan antara struktur 

bata dan struktur andesitis 

tersebut, maka penggalian 

diperluas ke arah Utara.

Walaupun penggalian 

belum dapat dituntaskan, 

akan tetapi dapat diper­

kirakan bahwa antara 

struktur bata yang diperkirakan pondasi candi dan struktur 

batu andesit yang mirip bangunan dari masa prasejarah 

ini tidak ditemukan keterkaitan secara langsung.

Mengingat hasil temuan dari penggalian ini cukup spek­

takuler, maka penggalian diperluas dengan melakukan lay out 

ulang yaitu membuka sektor yang diberi kode Sektor Kandang 

Sapi (sebab  berada di 

dekat kandang sapi milik 

Bpk. Parmin). Sektor 

Kandang Sapi yang ber­

ukuran panjang 11 meter 

dan lebar 5 meter ini 

kemudian dibagi menjadi 

beberapa grid berukuran 

1x1 meter. Selanjutnya 

setiap grid diberi kode 

yang dise suaikan dengan 

huruf yang disusun pada 

sisi panjang (A­K) dan 

Struktur bata yang diperkirakan bagian 

dari pondasi candi sudut Timur Laut  

dan bagian penampil sisi Timur.  

Dok. Balai Arkeologi Yogyakarta 2007.

Denah temuan struktur bata  

yang diperkirakan Sebagai pondasi 

sebuah candi, hasil ekskavasi

153Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang 

angka yang disusun pada sisi lebar (1­5), seperti terlihat pada 

denah di atas. Sayang, hasil ekskavasi yang cukup spektakuler 

ini terkendala oleh beberapa hal, antara lain dana, tenaga, 

dan waktu yang sangat terbatas, sehingga pada kesempatan 

ini tidak mungkin dapat membuka semua kotak yang 

ada di Sektor Kandang Sapi. Kendala pertama yaitu  harus 

terlebih dahulu memindahkan kandang sapi, dan kedua harus 

menambah waktu penelitian. Untuk memindahkan kandang 

sapi, menurut keyakinan warga  Tegalrandu pada umum­

nya tidak dapat dilakukan di sembarang waktu. Mereka 

harus mencari hari yang baik, apabila tidak menggunakan 

perhitungan yang tepat akan berakibat buruk baik terhadap 

kehidupannya ataupun bagi kesehatan dan keselamatan sapi­

sapi mereka. 

Walaupun bentuk atau denah keseluruhan struktur bata 

belum dapat ditampakkan, di atas kertas sudah dapat diper­

kirakan bahwa bangunan bata ini menghadap ke Timur. Hal 

ini didukung oleh adanya bentuk penampil di bagian timur 

yang diperkirakan sebagai bagian dari pondasi pintu masuk 

candi. Ukuran bangunan 

kira­kira 5 meter x 5 meter, 

dan lebar penampil kurang 

lebih 2 meter. Memperhati­

kan ukuran tersebut, dapat 

dikatakan bahwa bangunan 

candi bata ini ber ukuran 

relatif kecil. Temuan struktur 

bata pada kedalaman 100 

cm, tanpa didukung adanya 

temuan bata yang ada di 

permukaan sudah dapat 

Struktur bata yang diperkirakan 

sebagai bagian dari pondasi candi 

sisi Utara (foto: Balai Arkeologi 

Yogyakarta)

154 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

dipastikan bahwa sebagian besar bata dari bangunan ini 

telah hilang atau dimanfaatkan oleh warga  sekitarnya. 

Dengan demikian dapat diperkirakan pula bahwa struktur bata 

yang terdiri dari enam lapis bata ini merupakan sisa­sisa 

pondasi sebuah bangunan yang kemungkinan besar yaitu  

bangunan candi. Selanjutnya dalam artikel ini sisa­sisa pondasi 

ini dinamakan Candi Tegalrandu, sebab  ditemukan di 

Desa Tegalrandu, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang. 

Candi dari bata merupakan salah satu ciri yang banyak 

ditemukan di wilayah Jawa Timur, walaupun saat ini di 

Jawa Tengahpun telah banyak ditemukan candi­candi dari 

bata. Antara candi bata dan candi yang dibangun dari batu 

andesitis, sampai saat ini belum banyak dibahas, terutama 

hal­hal yang terkait dengan fungsi dan status warga  

pendukungnya. Tjahjono telah melakukan penelitian tentang 

latar belakang pendirian candi bata di Jawa Tengah (Tjahjono, 

2002). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa 

jumlah candi di kawasan Candi Borobudur dan sekitarnya 

ditemukan sejumlah 50 situs candi yang terdiri dari : 29 situs 

candi bata, 18 situs candi batu andesit, dan 4 situs candi yang 

menggunakan bahan batu campuran antara bata dan batu 

andesit (Tjahjono, 2002: 42). Selain itu dijelaskan pula bahwa 

candi­candi bata tidak hanya ditemukan di daerah pinggiran, 

tetapi ditemukan pula di pusat pemerintahan. Candi­candi 

itu ada yang berukuran kecil ada pula yang berukuran besar. 

berdasar  latar belakang keagamaannya, candi bata tidak 

hanya bagi agama Hindu, tetapi ada pula yang berlatar 

belakang agama Budha. Demikian pula dengan arsitektur dan 

masa pembangunannya, tidak ada perbedaan yang signifikan 

antara candi bata dan candi batu andesit yang ditemukan di 

Jawa Tengah pada Abad VIII­IX M.

155Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang 

Atas dasar hasil penelitian tersebut, apabila dianalogikan, 

maka pendirian candi Tegalrandu di kawasan Ranu Klakah tidak 

harus dikaitkan dengan warga  pinggiran yang jauh dari 

pusat pemerintahan (Kerajaan Majapahit). Candi Tegalrandu 

yang berukuran relatif kecil dan terbuat dari bata sangat besar 

kemungkinannya terkait dengan sistem pemerintahan kerajaan 

besar seperti Majapahit. Dengan demikian, mungkinkah ada 

fungsi­fungsi lain dengan didirikannya candi di Tegalrandu 

tersebut, selain fungsi keagamaan?

 Soekmono dalam disertasinya berjudul Candi, Fungsi 

dan Pengertiannya menyimpulkan bahwa fungsi candi yaitu  

sebagai kuil atau tempat pemujaan, teori ini menyangkal 

pendapat lama yang menyatakan bahwa candi yaitu  makam 

atau tempat menyimpan abu jenasah seorang raja (Soekmono, 

1974). Candi­candi kecil dan terletak di daerah­daerah terpencil 

yang jauh dari pusat pemerintahan, perlu dipertimbangkan 

lebih teliti, terutama hal­hal yang tidak berkaitan dengan prosesi 

keagamaan. Pendirian sebuah bangunan candi selain sebagai 

sarana beribadah bagi para pemeluknya. Di lokasi ini 

oleh negara atau kerajaan sudah pasti ditempatkan beberapa 

orang petugas yang mengurus bangunan suci tersebut. Selain 

itu, di lokasi ini diperkirakan tinggal pejabat daerah 

yang bertugas mengelola potensi sumberdaya yang ada di 

daerahnya. Atas dasar berbagai pertimbangan di atas, maka 

dapat diperkirakan bahwa pendirian candi Tegalrandu tidak 

semata­mata untuk menyediakan fasilitas umum bagi umat 

Hindu atau Budha, melainkan sebab  di kawasan Ranu Klakah 

bermukim pejabat daerah yang ditempatkan oleh kerajaan 

(Majapahit) untuk mengelola potensi sumberdaya alam di 

kawasan Ranu Klakah dan sekitarnya. Dengan demikian fungsi 

candi Tegalrandu selain sebagai tempat sarana ibadah bagi 

156 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

para pemeluknya, dapat berfungsi pula sebagai representasi 

kekuasaan Majapahit

Candi Tegalrandu dan Kekuasaan Majapahit

Ranu Klakah, sebuah danau yang cukup potensial sebagai 

sumberdaya alam yang dapat menopang kehidupan bagi 

manusia, diduga merupakan lingkungan alam yang cocok 

untuk pemukiman. Oleh sebab  itulah sejak tahun 2006 Balai 

Arkeologi Yogyakarta mulai melakukan penelitian arkeologi 

di kawasan danau atau ranu di daerah Jawa Timur. Hasil 

penelitian arkeologis di kawasan Ranu Klakah diketahui 

adanya tinggalan yang menunjukkan sisa­sisa permukiman di 

masa lampau. Secara garis besar, komponen­komponen untuk 

sebuah sistem permukiman antara lain berupa lokasi untuk 

bermukim, lahan untuk mencari makan, tempat penguburan 

atau pemujaan, serta sumberdaya alam lain yang dibutuhkan 

bagi kehidupan (Renfrew, Collin dan Bahn, Paul. 1991). Lokasi 

untuk bermukim biasanya merupakan areal yang relatif datar, 

tidak terlalu jauh dari areal yang menyediakan makanan, dekat 

dengan sumberdaya alam misalnya sumber mata air, dan 

lokasi ini juga dapat digunakan untuk areal penguburan 

(Mundardjito, 1993; Gunadi, 1994 : 199 – 207). Dengan demikian 

apabila ditemukan data tersebut, maka suatu lokasi dapat 

“dicurigai” sebagai areal permukiman.

Data arkeologi yang ditemukan baik dari hasil survei 

maupun ekskavasi seperti beliung persegi, struktur bangunan 

megaltis, punden, kubur cikal­bakal, dan struktur bangunan 

candi menunjukkan adanya okupasi manusia di wilayah 

tersebut. Temuan beliung persegi yang merupakan alat dari 

masa neolitik ini ditemukan pula di kawasan ranu yang lain 

157Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang 

yaitu Ranu Gedang dan Ranu Segaran yang secara administratif 

terletak di Kabupaten Probolinggo (Anonim, 2008; Anonim, 

2009). Temuan perkakas neolitik seperti ini dapat 

memberikan informasi bahwa pada masa akhir prasejarah 

kawasan ranu­ranu di atas kemungkinan telah dihuni oleh 

manusia. Pemanfaatan kawasan Ranu Klakah berlanjut hingga 

masa Hindu – Budha yang dibuktikan dengan ditemukannya 

struktur bata yang diperkirakan merupakan pondasi sebuah 

candi. 

Ranu Klakah rupa­rupanya telah diokupasi oleh manusia 

sejak masa prasejarah hingga sekarang. Dari hasil penelitian 

arkeologis di atas, temuan yang signifikan terkait dengan 

permukiman masa lampau yaitu  struktur batu andesitis yang 

berbentuk rectangular stones enclosure dan struktur bangunan 

bata yang diperkirakan sebagai pondasi sebuah bangunan 

candi. Walaupun tinggal sisa­sisa bagian pondasi, temuan 

ini cukup spektakuler, sebab  di daerah Lumajang 

temuan bangunan candi dapat dikatakan sangat sedikit. 

Oleh sebab  itu, temuan ini di lingkungan akademisi 

merupakan tambahan data yang cukup signifikan. Begitu 

pula bagi warga  dan Pemerintah Kabupaten Lumajang, 

temuan ini dapat menambah potensi benda cagar budaya (bcb) 

ataupun kawasan cagar budaya (kcb) yang mereka miliki. 

Sisa­sisa bangunan tersebut, kemungkinan berasal dari masa – 

masa kejayaan kekuasaan Majapahit.

Hubungan antara Majapahit dan Lumajang secara eksplisit 

dapat diketahui dari sumber susastra Kitab Nagarakretagama 

(Pigeaud, 1960). Pada pupuh XVII/7 disebutkan bahwa : 

”Pada Tahun Saka : seekor-naga-menelan-bulan (1281) di Badrapada 

bulan tambah, Sri Nata pesiar keliling seluruh Negara menuju kota 

Lumajang. Ia naik kereta diiring semua raja Jawa serta permaisuri dan 

158 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

abdi Menteri, tanda, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut 

serta”. Selanjutnya, pada Pupuh XLVIII/2 dijelaskan bahwa : 

“ini pada tahun Saka mukti-guna-memaksa-rupa (1238) bulan 

madu, Baginda Jayanagara berangkat ke Lumajang menyirnakan 

musuh. Kota Pajarakan dirusak, Nambi sekeluarga dibinasakan giris 

miris segenap jagad melihat keperwiraan Sri Baginda”.

Atas dasar sumber susastra tersebut, rupa­rupanya untuk 

menguasai wilayah­wilayah di Jawa Timurpun Majapahit 

harus melakukan intervensi­intervensi, bahkan adapula yang 

harus ditempuh dengan peperangan seperti yang dilakukan 

terhadap Nambi untuk merebut daerah Lumajang. Setelah 

tahun Saka 1238 Lumajang ditaklukkan, pada tahun Saka 

1281 atau 43 tahun kemudian Lumajang yang telah menjadi 

bagian dari kekuasaan Majapahit dikunjungi oleh Sri Nata 

dari Majapahit. Mengapa Lumajang harus dikuasai ? Potensi 

sumberdaya alam seperti beberapa danau atau ranu yang 

ditemukan di Lumajang serta hutan tropis yang ada di 

kawasan Gunung Lamongan merupakan satu ekosistem yang 

sangat kaya, yang dapat memberikan kesejahteraan kepada 

warga  dan penguasa yang mampu mengelolanya. 

Salah satu sumberdaya alam ini yaitu  Ranu 

Klakah, yang saat ini debit air danau ini mencapai 1556 

M³/detik pada kondisi maximum, dan 0230 M³/detik pada 

kondisi minimum, serta mampu mengaliri sungai sepanjang 

40.66 KM. Keberadaan dan potensi Ranu Klakah tidak hanya 

bermanfaat bagi manusia yang tinggal di sekelilingnya. Debit 

air yang cukup signifikan bagi kehidupan manusia, terutama 

untuk keperluan irigasi bagi lahan­lahan pertanian yang 

dapat dijangkau oleh aliran air tersebut, merupakan salah satu 

alasan mengapa Ranu Klakah dan lingkungan sumberdaya 

alam yang ada di sekitarnya perlu dikuasai. Dengan demikian, 

159Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang 

menguasai kawasan Ranu Klakah, berarti akan dapat 

menguasai lahan­lahan subur yang ada di wilayah Kabupaten 

Lumajang, terutama lahan persawahan yang dapat menopang 

kemakmuran warga  dan kerajaan (negara). 

Penutup

Pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) yang 

dalam konsep awalnya bertujuan akan “mengangkat kebesaran 

Kerajaan Majapahit” justru menuai kritikan dan hujatan dari 

berbagai pihak yang peduli akan pelestarian situs arkeologi 

yang berskala internasional tersebut. Kegiatan Proyek yang 

telah menelan beaya cukup banyak, sebab  kurang prosedural 

dan cenderung menyalahi prinsip­prinsip dalam pengelolaan 

sumberdaya arkeologi, akhirnya harus dihentikan sebab  

justru akan “menghancurkan kebesaran Majapahit”. Memang, 

Trowulan identik dengan Majapahit, akan tetapi Majapahit 

tidak hanya milik Trowulan, situs­situs tinggalan kerajaan 

Majapahit ada di mana­mana, seperti yang disebut­sebut 

dalam sumber susastra Kitab Nagarakretagama yang ditulis 

oleh Mpu Prapanca.

Sebagai negara agraris, kerajaan Majapahit secara politis 

harus menguasai lahan­lahan pertanian di wilayah yang 

seluas­luasnya agar memperoleh hasil yang sebesar­besarnya 

demi kemakmuran rakyat dan negara. Untuk itulah wilayah­

wilayah di Jawa Timur harus terlebih dahulu dikuasai sebelum 

melakukan ekspansi ke luar. Salah satu daerah di Jawa Timur 

yang harus dipertahankan yaitu  Lumajang yang pada tahun 

1238 direbut dari kekuasaan Nambi. Dalam upaya memper­

satukan dan mempertahankan wilayah kekuasaannya, raja 

Majapahit sering melakukan perjalanan ke daerah­daerah. 

160 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Perjalanan keliling wilayah ini kemungkinan bertujuan 

untuk melakukan konsulidasi guna mempertahankan sistem 

pemerintahan. Hal ini terlihat ketika pada tahun 1281 raja 

melakukan perjalanan ke Lumajang, setelah 43 tahun wilayah 

ini dikuasainya.

Kapan Candi Tegalrandu dibangun? Belum ditemukan 

data yang dapat memberikan penjelasan tentang hal tersebut. 

berdasar  data susastra di atas, Candi Tegalrandu kemung­

kinan dibangun antara tahun 1238­1281. Terlepas dari kapan 

candi Tegalrandu didirikan, temuan tinggalan dari masa 

Hindu­Budha ini menunjukkan bahwa kawasan Ranu Klakah 

merupakan daerah yang potensial bagi kekuasaan kerajaan 

Majapahit. Selain itu temuan sisa­sisa candi bata ini juga dapat 

menunjukkan tentang luas dan cakupan wilayah kekuasaan 

Majapahit yang ada di Jawa Timur. Dengan demikian dapat 

disimpulkan bahwa keberadaan Candi Tegalrandu yang 

didirikan di kawasan Ranu Klakah, kemungkinan berkaitan 

dengan pemanfaatan sumberdaya alam, yaitu ranu dan 

lingkungannya. 

Sampai kapanpun Majapahit yaitu  salah satu bukti 

kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia. Sekecil apapun 

tinggalan artefaktual yang diwariskan kepada bangsa ini 

haruslah dapat kita lestarikan, sebagai salah satu bukti jati diri 

bangsa untuk waktu­waktu yang akan datang. Kebesaran dan 

kejayaan kerajaan Majapahit seperti tertulis dalam puja sastra 

Kitab Nagakretagama rupa­rupanya dibuktikan pula oleh 

temuan arkeologis seperti ditemukannya candi Tegalrandu, di 

Desa Tegalrandu, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang. 

Pusat pemerintahan kerajaan Majapahit yang dapat dipastikan 

berada di daerah Trowulan dan sekitarnya, merupakan 

tinggalan sebuah kota kuna dari abad XIII­XIV M yang 

161Candi Tegalrandu : Bukti Tinggalan Majapahit di Lumajang 

merupakan satu­satunya situs kota kuna di Indonesia. Dengan 

demikian hubungan integral antara pusat kerajaan Majapahit 

yang ditandai oleh tinggalan arkeologis di Trowulan dan 

sekitarnya dan tinggalan arkeologis sejaman yang ditemukan di 

daerah­daerah sebagai representasi dari kekuasaan Majapahit, 

haruslah tetap dijaga kelestarian dan pelestariannya.


S

ebuah benteng lokal dengan disain lokal? Rasanya 

kita jarang mendengar ataupun menjumpai hal 

semacam itu. Yang banyak dilihat atau dike­

tahui umumnya yaitu  benteng Belanda, benteng Inggris, 

benteng Portugis, ataupun benteng Jepang. Kalau pun 

ada benteng yang dikategorikan ”lokal”, umumnya yang 

dikenal warga  yaitu  benteng­benteng yang ber­

hubungan dengan keraton, misalnya benteng Keraton 

Yogyakarta atau benteng Keraton Surosowan Banten. 

Benteng­benteng keraton itupun disainnya menunjukkan 

unsur­unsur “asing”, utamanya Eropa. Sebagai contoh, 

benteng keraton Yogyakarta pada bagian sudut­sudutnya 

memiliki bastion dan menara intai, yang merupakan unsur 

benteng yang berbau Eropa. Sementara itu benteng lokal 

yang tidak menunjukkan pengaruh asing dalam disainnya 

164 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

yang diketahui sisa fisiknya sampai saat ini hanyalah 

benteng tanah yang dijumpai di daerah Lampung dan Lahat, 

Sumatra (Triwuryani, 2006; Indriyastuti, 2006). Benteng­

benteng tanah ini umumnya berupa gundukan tanah 

yang bisa dilengkapi ataupun tanpa parit. Selain itu benteng 

lokal terdapat pula di Buton, Sulawesi, dari masa Kesultanan 

Buton. Benteng Buton ini dibuat dari batu dengan denah 

mengikuti bentang alam yang ada (Riyanto, 2002). Selain di 

Sumatra dan Sulawesi, ternyata di daerah Lumajang, Jawa 

Timur, ada sisa­sisa sebuah benteng lokal yang dikenal 

warga  dengan nama Biting. Biting yaitu  bahasa 

lokal untuk menyebut benteng. Benteng Biting ini terletak 

di wilayah Kelurahan Kutorenon, Kecamatan Sukodono, 

Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Sisa­sisa benteng Biting pertama kali disebutkan dalam 

sebuah laporan peninjauan di zaman Belanda, yaitu peninjauan 

yang dilakukan oleh J. Hageman di tahun 1861 (Mühlenfeld, 

1921). Kemudian Mühlenfeld melakukan peninjauan lanjutan 

yang diikuti dengan penggalian arkeologis di situs ini pada 

tahun 1923 (OV 1923; OV 1924; Tjandrasasmita, 1977). Dari 

survei maupun penggalian yang dilakukan oleh Belanda, 

maupun selanjutnya 

oleh Balai Arkeologi 

Yogya karta dalam kurun 

waktu antara awal 1980­

an sampai awal 1990­an, 

diketahui tentang sisa­

sisa sebuah benteng yang 

mengelilingi areal seluas 

135 ha (Abbas & Ratna 

Dewi, 1985). Dari sisa Dok. Balar Yk Pengungakan I

165Benteng Biting

tembok keliling yang masih terlihat, diketahui bahwa tembok 

yang menge lilingi areal ini mempunyai ketebalan sekitar 1.60 

m dengan tinggi sekitar 2 m. Bekas benteng ini dibuat dari bata 

berukuran besar, dengan menggunakan spesi/perekat berupa 

tanah tanpa lepa. Selain itu benteng juga dilengkapi dengan 

enam menara intai berdenah segi empat, yang oleh penduduk 

setempat disebut sebagai pengungakan, yaitu pengungakan I 

sampai VI. Dari enam pengungakan tersebut, tiga di antaranya 

terletak di sisi barat, sementara di ketiga sisi lainnya masing­

masing terdapat sebuah pengungakan. Dari pengungakan yang 

masih tampak relatif utuh, yaitu pengungakan I dan II diketahui 

bahwa luas masing­masing yaitu  7.5 m x 6.5 m dengan tinggi 

antara 3.8 m ­ 8m (Abbas, 1992). Selain itu diperoleh pula 

sejumlah data toponim di bagian dalam benteng, yang oleh 

penduduk setempat disebut sebagai blok, yaitu blok Kraton, 

blok Jeding, blok Randu, blok Duren, dan blok Salak. Di zaman 

Belanda, di blok Jeding ditemukan struktur dinding dan lantai 

bata yang diduga merupakan bekas kolam pemandian, yang 

saat ini sudah tidak dapat disaksikan lagi bekas­bekasnya (OV 

1924). 

Denah benteng Biting dibuat dengan mengikuti bentuk 

aliran empat sungai yang terdapat di lokasi tersebut, yaitu 

Sungai Bondoyudo di sisi utara, Sungai Winong di sisi timur, 

Sungai Cangkring di sisi selatan, dan Sungai Peloso di sisi 

barat. Sementara keenam pengungakan pada benteng ini 

masing­masing terdapat pada kelokan sungai. Sungai yang 

terletak di sebelah selatan, yaitu Sungai Cangkring, merupakan 

sungai buatan, dan di sebelah barat daya terdapat bekas­

bekas pembendungan Sungai Peloso (Moelyadi, 1983). Dari 

keempatnya, sungai terbesar yaitu  Bondoyudo.

166 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Dari serangkaian penggalian arkeologis yang dilakukan 

di bagian dalam bekas benteng ini, didapatkan temuan yang 

cukup beragam, mulai dari pecahan­pecahan tembikar, 

keramik, mata uang, alat logam, sampai batu­batu bulat 

dengan diameter 10­15 cm. Selain itu, di bagian dalam benteng 

terdapat pula sebuah kompleks makam kuno. warga  

setempat mengatakan bahwa tokoh utama yang dimakamkan 

di situ yaitu  Menak Koncar, yang menurut cerita setempat 

merupakan penguasa Lumajang pada akhir masa Majapahit 

(lihat juga Graaf & Pigeaud, 1985). 

Yang menjadi pertanyaan, pada 

masa apa benteng ini didirikan 

dan digunakan? Tentunya catatan 

sejarah lah yang harus ditengok, 

di samping juga mencermati dan 

menganalisis temuan­temuan yang 

berasal dari situs itu sendiri. Dok. Balar Yk  

Makam Menak Koncar

167Benteng Biting

Biting dalam Lintasan Sejarah

Di masa Majapahit, daerah Lumajang beserta Panarukan 

dan Blambangan dikenal dengan sebutan Lamajang Tigang 

Juru, yang merupakan daerah kekuasaan Wiraraja (Schrieke, 

1957). Sebenarnya nama Biting sendiri tidak pernah ditemukan 

dalam catatan sejarah. Namun nama Kutorenon (yang sekarang 

menjadi nama kelurahan tempat Biting termasuk ke dalamnya) 

bisa dijumpai dalam Kitab Nagarakrtagama dan Babad Tanah 

Jawi. Dalam Kitab Nagarakrtagama pupuh XXI disebutkan 

beberapa nama tempat yang digunakan sebagai tempat per­

hentian raja Hayam Wuruk (berkuasa antara tahun 1350 hingga 

1386) dalam perjalanannya dari Majapahit ke Lumajang. 

Tempat­tempat ini yaitu  Jaladipa, Talapika, Padali, 

Arnon, Panggulan, Payaman, dan Tepasana (Slamet Mulyana, 

1979). Dari nama­nama tempat itu, Padali, Arnon, Panggulan, 

dan Payaman sampai saat ini masih dapat dijumpai di sekitar 

wilayah Kelurahan Kutorenon, yaitu Bedali, Kutorenon, 

Pangul, dan Bayeman (lihat juga OV 1921). Kemudian 

dalam pupuh XLVIII disebutkan mengenai penyerangan raja 

Majapahit, yaitu Jayanegara (memerintah pada tahun 1309 

sampai 1328), ke Lumajang pada tahun 1238 Saka (1316 M). 

Dicerita kan bahwa pada penyerangan itu benteng tempat 

kedudukan Nambi (putra Wiraraja) di Pajarakan dirusak, 

sedangkan Nambi sekeluarga dibinasakan (Slamet Mulyana, 

1979). Nama Pajarakan pun sampai saat ini masih terdapat di 

wilayah Lumajang, yaitu di sebelah utara Wonorejo, sementara 

Kutorenon terletak di sebelah selatan Wonorejo. Pada tahun 

itu pula wilayah Lumajang jatuh kembali ke tangan Majapahit. 

Kemudian pada masa Hayam Wuruk daerah ini diserahkan 

kepada putranya, Bhre Wirabhumi.

168 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Sesudah masa kejayaan Majapahit berakhir, yaitu ketika 

kerajaan Mataram Islam berkembang di sekitar Yogyakarta 

dan Jawa Tengah, nama Renong muncul dalam kitab Babad 

Tanah Jawi (Olthoff, 1941). Diceritakan dalam kitab babad 

itu bahwa Sultan Agung (1613­1645) dari kerajaan Mataram 

Islam memerintahkan pasukannya untuk menyerang dan 

menaklukkan daerah­daerah di sebelah timur. Sultan Agung 

menunjuk Ki Sura Tani untuk menjadi senapati dalam 

penyer buan itu. Kemudian Ki Sura Tani memerintahkan Ki 

Tumenggung Alap­alap dengan pasukannya untuk menyerbu 

Lumajang dan Renong. Dikisahkan pula bahwa dalam 

penyer buan itu Lumajang dan Renong berhasil dihancurkan, 

sementara para bupati Lumajang maupun Renong berhasil 

melarikan diri.

Korelasi antara Catatan Sejarah dan Tinggalan Arkeologi

Menilik dua sumber sejarah di 

atas, dari abad ke­14, yaitu masa 

Raja Jayanegara dan Hayam Wuruk 

dari Kerajaan Majapahit, ter dapat 

penyebutan nama Arnon dan 

Pajarakan, yang keduanya terletak 

berdekatan di wilayah Lumajang. 

Arnon disebut sebagai salah satu 

tempat yang dikunjungi Hayam 

Wuruk dalam perjalanannya ke daerah­daerah di sebelah 

timur Majapahit, sementara Pajarakan disebut dalam penye­

rangan Jayanegara untuk memadamkan pemberontakan 

Nambi. Selanjutnya di abad ke­17 pada masa kekuasaan Sultan 

Agung dari Kerajaan Mataram Islam disebutkan nama Renong 

Dok. Balar Yk Temuan kowi

169Benteng Biting

dan Lumajang, yang diserang dan ditaklukkan oleh pasukan 

Mataram Islam. 

Selain sumber sejarah, penelitian arkeologi juga dapat 

mengungkapkan pertanggalan suatu situs melalui temuan­

temuan dari situs tersebut. Menyangkut penelitian arkeologi di 

lokasi benteng Biting, temuan yang dihasilkan berupa pecahan­

pecahan tembikar, keramik, mata uang, alat logam, maupun 

batu­batu bulat. Pecahan­pecahan tembikar setelah dianalisis 

menunjukkan berbagai bentuk wadah, seperti periuk, buyung 

(klenthing), kendi, mangkuk, cawan, piring, pengaron, dan kowi. 

Analisis terhadap temuan pecahan keramik menunjukkan 

bentuk asal berupa mangkuk, buli­buli, cepuk, cangkir, piring, 

dan guci. 

Wadah­wadah keramik ini 

merupakan keramik Cina, Thai, 

Vietnam, Jepang, Timur Tengah, mau­

pun Eropa. Yang terbanyak, yaitu 85 

% dari keseluruhan temuan keramik, 

yaitu  keramik Cina. Pertanggalan 

keramik Cina dari benteng Biting 

ini berkisar antara abad ke­13 (masa 

dinasti Song) sampai abad ke­17 (masa dinasti Ming). Sisanya, 

sebesar 15 %, terdiri atas keramik Thai (abad ke­15), Vietnam 

(abad ke­16), Timur Tengah (abad ke­16), Eropa dan Jepang 

(abad ke­19 dan 20). Tentunya keramik Eropa dan Jepang 

ini berasal dari masa yang lebih kemudian, yaitu ketika 

Belanda sudah berkoloni di Jawa yang disusul dengan masa 

pendudukan Jepang. Oleh sebab  itu, kedua jenis keramik ini 

bisa dilepaskan dari pertanggalan situs benteng Biting. 

Temuan penelitian lainnya yaitu  mata uang, yang berupa 

mata uang Cina yang dikenal juga sebagai mata uang kepeng. 

Dok. Balar Yk 

Temuan klinthing 

perunggu

170 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

Sebagian besar berupa 

pecahan yang tidak dapat 

dikenali pertanggalannya. 

Mata uang ini dibuat dari 

perunggu dengan lubang 

segi empat di tengahnya. 

Dari temuan mata uang 

yang relatif utuh diketahui 

bahwa pada bagian recto 

terdapat aksara Cina, 

dan bagian verso polos. Aksara Cina ini biasa dijumpai 

pada bagian recto mata uang dari dinasti Song Selatan, yang 

berasal dari abad ke­12. Pecahan logam lainnya dari benteng 

ini merupakan bagian dari alat dan senjata, yaitu pahat dan 

ujung keris, serta kelinthing yang dibuat dari perunggu.

Mengacu pada catatan sejarah, pertanggalan situs ini ber­

kisar antara abad ke­14 sampai abad ke­17. Sementara data 

pertanggalan relatif yang diperoleh dari tinggalan arkeo logi 

dari situs, yaitu berdasar  temuan pecahan mata uang dan 

keramik, diperoleh pertanggalan antara abad ke­12 sampai 

abad ke­17. Membandingkan kedua sumber tersebut, terlihat 

adanya kesejajaran di antara keduanya. Kemungkinan tinggalan 

berupa benteng lokal di wilayah Kutorenon ini berasal dari 

masa Majapahit akhir. Kemudian keberadaannya masih terus 

berlangsung hingga awal masa Mataram Islam. Sementara 

bila cerita warga  setempat disimak, bekas benteng Biting 

ini juga diasosiasikan dengan masa Majapahit akhir, dengan 

adanya tokoh legendaris Menak Koncar yang dianggap sebagai 

penguasa di tempat itu pada masa Majapahit akhir.

Sungai Bondoyudo di sisi utara 

benteng Dok. Balar Yk

171Benteng Biting

Biting, Riwayatmu Kini 

Sebagai salah satu bekas benteng lokal yang mungkin 

berasal dari masa Majapahit akhir, dan diduga berlanjut 

hingga masa Kerajaan Mataram Islam, dan tampaknya juga 

merupakan satu­satunya bekas benteng lokal di Jawa yang 

masih bisa disaksikan bentuk fisiknya, kondisi situs Biting 

kini sangat mengenaskan. Padahal benteng ini mencerminkan 

tingginya kemampuan warga  masa itu dan sekaligus 

tingkat kemajuan pemikiran tentang strategi pertahanan di 

masa lalu. Bukti­buktinya terlihat pada pembuatan benteng 

berbahan bata yang cukup besar yang mencakup areal seluas 

135 hektar. Selain pembuatan tembok benteng yang dilengkapi 

dengan enam pangungakan untuk mengawasi daerah sekitarnya, 

mereka juga telah melakukan pemilihan lokasi yang sangat 

strategis untuk tempat pertahanannya, yaitu lokasi yang 

dikelilingi oleh tiga sungai. Bentang alam yang tersedia itu 

kemudian dilengkapi lagi dengan 1 sungai buatan, sehingga 

benteng yang didirikan itu di keempat sisinya dikelilingi oleh 

sungai­sungai. 

Sebenarnya perusakan bekas benteng Biting ini sudah 

terjadi di zaman Belanda. Pada masa itu di Kutorenon banyak 

terdapat perkebunan tebu. Belanda membuat rel lori untuk 

keperluan pengangkutan tebu dari kebun ke lokasi pabrik 

gula. Kemungkinan besar tebu­tebu dari areal bekas benteng 

ini diangkut menuju pabrik gula (PG) Djatiroto (yang 

sebelum tahun 1912 masih bernama PG Ranupakis: lihat Suara 

PG Djatiroto Edisi 2, 2003). Pembuatan rel lori ini merusak 

sebagian struktur bangunan benteng. Perusakan selanjutnya 

setelah masa kemerdekaan yaitu  aktivitas penduduk 

dalam bidang pertanian dan perkebunan, yang menjadikan 

172 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

sisa bangunan benteng yang ada semakin punah. Pada saat 

penelitian dilakukan di situs ini, tiap kali tim peneliti datang, 

setiap kali ketebalan tembok keliling benteng semakin 

menipis, sebab  sawah ataupun kebun di situ selalu diperluas, 

yang akhirnya menghilangkan tembok keliling benteng. 

Kerusakan diperparah pula dengan maraknya penggalian 

liar untuk mencari benda­benda kuno di situs ini. Dari serita 

penduduk setempat diketahui bahwa para penggali liar sering 

menemukan benda­benda keramik dan logam di sekitar situs 

ini. Dan yang terakhir yaitu  pembangunan perumahan oleh 

Perum PERUMNAS pada sebagian areal bekas benteng Biting, 

yaitu seluas 15 hektar (Hidayat, 1996 : 62 – 72). Pendirian 

kompleks perumahan di bagian dalam bekas benteng itu 

merusak sebagian sisa tembok keliling maupun sisa bangunan 

di dalam benteng.

173Benteng Biting

Satu lagi perusakan telah terjadi pada tinggalan arkeologi 

yang mungkin berasal dari masa Majapahit akhir, dan yang 

mungkin merupakan satu­satunya benteng lokal yang 

masih ada di Jawa dari masa itu. Benteng yang dulunya 

berfungsi sebagai tempat pertahanan untuk melindungi 

kota dan penduduk di dalamnya, kini ternyata tak mampu 

mempertahankan diri melawan lajunya pembangunan.


S amudera Pasai menurut sumber sejarah merupakan Kerajaan Islam pertama di Indonesia. Selain itu, keberadaan kerajaan ini juga diketahui berdasar  

adanya inskripsi berhuruf Arab yang dipahatkan pada 

batu nisan makam raja pertama, yaitu Malik as­Saleh yang 

meninggal pada tahun 696 H atau 1297 M (Tjandrasasmita, 

1976: 1­2), dan puteranya yang bernama Sultan Muhammad 

Malik az­Zahir yang meninggal pada tahun 726 H atau 1326 

M (Tjandrasasmita, 1992: 108). Periode berikutnya, di Jawa 

muncul pula sebuah kerajaan bercorak Islam yaitu Demak. 

Kerajaan ini muncul pada sekitar abad XV dengan peninggalan 

176 Majapahit :  Batas Kota dan Jejak-Jejak Kejayaannya

utama yang masih ada hingga saat ini, yaitu Masjid Agung 

Demak dan kompleks makam raja­raja yang terletak di 

belakang masjid tersebut. Periodisasi Masjid Agung Demak 

diketahui berdasar  adanya candra sengkala yaitu sengkalan 

memet yang berupa relief seekor kura­kura yang terdapat pada 

dinding mihrab masjid tersebut. Relief kura­kura ini 

ditafsirkan menggambarkan angka tahun 1401 Ç atau 1478 M 

(Tjandrasasmita, 1976: 6­7).

Pintu gerbang baru Kompleks Makam Troloyo Dok. Sugeng. R

Selanjutnya peninggalan masa Islam di Jawa tersebar di 

sepanjang pantai utara, sejak dari Banten, Cirebon, Kudus, 

Jepara, Rembang, Tuban, Lamongan, Gresik, dan Surabaya. 

Bahkan juga di Troloyo, yaitu sebuah desa di pedalaman 

Jawa Timur tepatnya di Kabupaten Mojokerto. Dari kota­

kota di pantai utara Jawa ini dapat diketahui kronologi 

perkembangan Islam di Pulau Jawa.

J.P. Moquette salah seorang peneliti asing, telah berhasil 

membaca tulisan pada nisan yang ada di Leran, Kabupaten 

177Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit 

Gresik. Nama yang berhasil direkam melalui inskripsi ini 

yaitu  Fatimah binti M