Rabu, 12 Juli 2023

sejarah negara kita 3

Tindakan kaum Padri itu dijadikan alasan Belanda untuk 
menyerang Koto Tuo di Ampek Angkek yang dipimpin Gillavary, Belanda 
juga membangun benteng pertahanan dari Ampang Gadang sampai ke 
Biaro. Batang Gadis, sebuah nagari yang memiliki posisi sangat strategis 
terletak antara Tanjung Alam dan Batu Sangkar juga diduduki. Pada tahun 
1831 Gillavary digantikan oleh Jacob Elout. Elout ini telah mendapatkan 
pesan dari Gubernur Jenderal Van den Bosch agar melaksanakan serangan 
besar-besaran terhadap kaum Padri. 
Elout segera mengerahkan pasukannya untuk menguasai beberapa nagari, 
seperti Manggung dan Naras. Termasuk daerah Batipuh. Setelah menguasai 
Batipuh, serangan Belanda ditujukan ke Benteng Marapalam. Benteng ini 
merupakan kunci untuk dapat menguasai Lintau. Karena bantuan dua orang 
Padri yang berkhianat dengan menunjukkan jalan menuju benteng kepada 
Belanda, maka pada Agustus 1831 Belanda dapat menguasai Benteng 
Marapalam tersebut. Dengan jatuhnya benteng ini maka beberapa nagari di 
sekitarnya ikut menyerah.
Seiring dengan datangnya bantuan pasukan dari Jawa pada tahun 1832 
maka Belanda semakin ofensif terhadap kekuatan kaum Padri di berbagai 
daerah. Pasukan yang datang dari Jawa itu antara lain pasukan legium 
Sentot Ali Basah Prawirodirjo dengan 300 prajurit bersenjata. Tahun 1833 
kekuatan Belanda sudah begitu besar. Dengan kekuatan yang berlipat ganda 
Belanda melakukan penyerangan terhadap pos-pos pertahanan kaum Padri. 
Di Banuhampu, Kamang, Guguk Sigandang, Tanjung Alam, Sungai Puar, 
Candung dan beberapa nagari di Agam. 
Dalam catatan sejarah kolonial penyerangan di berbagai tempat itu, 
penyerangan terhadap Guguk Sigandang merupakan catatan hitam karena 
disertai dengan penyembelihan dan penyincangan terhadap tokoh-tokoh 
dan pasukan kaum Padri. Bahkan terhadap mereka yang dicurigai sebagai 
pendukung Padri. Pada waktu penyerbuan Kamang, pasukan Belanda dapat 
mendapat perlawanan sengit, bahkan 100 orang pasukan Belanda termasuk 
perwira terbunuh. Baru hari berikutnya dengan mengerahkan kekuatannya, 
Belanda dapat menguasai Kamang. Dalam serangkaian pertempuran itu 
banyak kaum Padri telah menjadi korban, termasuk tokoh Tuanku Nan 
Cerdik dapat ditangkap.
Di samping strategi militer, setelah Van den Bosch berkunjung ke Sumatera 
Barat, diterapkan strategi winning the heart kepada masyarakat. Pajak pasar 
dan berbagai jenis pajak mulai dihapuskan. Penghulu yang kehilangan 
penghasilan akibat penghapusan pajak diberi gaji 25-30 gulden. Para kuli 
yang bekerja untuk pemerintah Belanda juga diberi gaji 50 sen sehari. 
Komandan militer untuk wilayah pesisir barat Sumatera Cornelis Pieter Jacob 
Elout digantikan oleh E. Francis. Selanjutnya Belanda tidak akan mencampuri 
urusan pemerintahan tradisional di Minangkabau. Sebagai upaya gencatan 
senjata pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Plakat Panjang. Plakat 
Panjang yaitu pernyataan atau janji khidmat yang isinya tidak akan ada 
lagi peperangan antara Belanda dan kaum Padri. Setelah pengumuman 
Plakat Panjang ini kemudian Belanda mulai menawarkan perdamaian kepada 
para pemimpin Padri. Dengan kebijakan baru itu beberapa tokoh Padri 
dikontak oleh Belanda dalam rangka mencapai perdamaian. Beberapa tokoh 
memenuhi ajakan Belanda untuk berdamai. 
Sementara para pejuang yang begitu mencintai kemerdekaan bumi 
Minangkabau terus melanjutkan perlawanan. Setelah kekuatan pasukan 
Tuanku Nan Cerdik dapat dihancurkan, pertahanan terakhir perjuangan
kaum Padri berada di tangan Tuanku Imam Bonjol. Pada tahun 1834 Belanda 
dapat memusatkan kekuatannya untuk menyerang pasukan Imam Bonjol di 
Bonjol. Jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah pantai sudah 
diblokade oleh tentara Belanda. Pada tanggal 16 Juni 1835 benteng Bonjol 
dihujani meriam oleh serdadu Belanda. Pada bulan Agustus 1835 benteng di 
perbukitan dekat Bonjol jatuh ke tangan Belanda. 
Belanda juga mencoba mendekati Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai. 
Imam Bonjol mau berdamai, tetapi dengan beberapa persyaratan antara 
lain jika tercapai perdamaian, Imam Bonjol minta agar rakyat Bonjol 
dibebaskan dari bentuk kerja paksa dan nagari itu tidak diduduki Belanda. 
Namun, Belanda tidak memberi jawaban. Belanda justru semakin ketat 
mengepung pertahanan di Bonjol. Pengepungan ini dipimpin oleh Residen 
Padang Emanuel Francis. Sampai tahun 1836 benteng Bonjol tetap dapat 
dipertahankan oleh pasukan Padri. Akan tetapi, satu per satu pemimpin 
Padri dapat ditangkap. Hal ini jelas dapat memperlemah pertahanan pasukan 
Padri. Namun, di bawah komando Imam Bonjol mereka terus berjuang 
untuk mempertahankan setiap jengkal tanah Minangkabau. Pada tanggal 
16 Agustus 1837 Benteng Bonjol berhasil dikepung dari empat penjuru dan 
berhasil dilumpuhkan. Imam Bonjol dan beberapa pejuang lainnya dapat 
meloloskan diri. Francis kembali menyerukan Imam Bonjol untuk berunding.
Demi menjamin keselamatan warganya, 
pada tanggal 28 Oktober 1837, Imam Bonjol 
menerima tawaran damai dari Residen Francis. 
Ternyata ajakan berunding itu hanya tipu 
muslihat, karena pada saat datang di tempat 
perundingan, Imam Bonjol langsung ditangkap. 
Beberapa pengikutnya memang ada yang 
berhasil meloloskan diri dan melanjutkan 
perang gerilya di hutan-hutan Minangkabau. 
Imam Bonjol kemudian dibawa ke Batavia. 
Akhirnya, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke 
Cianjur, Jawa Barat. Pada tanggal 19 Januari 
1839 ia dipindahkan ke Ambon dan tahun 1841 
dipindahkan lagi ke Manado hingga wafatnya 
pada tanggal 6 November 1864.
4. Perang Diponegoro
Memasuki abad ke-19, keadaan di Jawa khususnya di Surakarta dan 
Yogyakarta semakin memprihatinkan. Intervensi pemerintah kolonial terhadap 
pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada dan 
atau dapat melahirkan konflik baru di lingkungan kerajaan. Hal ini juga terjadi 
di Surakarta dan Yogyakarta. Campur tangan kolonial itu juga membawa 
pergeseran adat dan budaya keraton yang 
sudah lama ada di keraton bahkan melahirkan 
budaya Barat yang tidak sesuai dengan 
budaya Nusantara, seperti minum-minuman 
keras. Dominasi pemerintahan kolonial juga 
telah menempatkan rakyat sebagai objek 
pemerasan, sehingga semakin menderita. 
Pada waktu itu pemerintah kerajaan 
mengizinkan perusahaan asing menyewa 
tanah untuk kepentingan perkebunan. 
Pada umumnya tanah itu disewa dengan 
penduduknya sekaligus. Akibatnya, para 
petani tidak dapat mengembangkan hidup 
dengan pertaniannya, tetapi justru menjadi 
tenaga kerja paksa. Rakyat tetap hidup
menderita. Perubahan pada masa Van der Capellen juga menimbulkan 
kekecewaan. Beban penderitaan rakyat itu semakin berat, karena diwajibkan 
membayar berbagai macam pajak, seperti: (a) welah-welit (pajak tanah), 
(b) pengawang-awang (pajak halaman pekarangan), (c) pecumpling (pajak 
jumlah pintu), (d) pajigar (pajak ternak), (e) penyongket (pajak pindah nama), 
dan (f) bekti (pajak menyewa tanah atau menerima jabatan). Di samping 
berbagai pajak itu masih ada pajak yang ditarik di tempat pabean atau tol. 
Semua lalu lintas pengangkut barang juga dikenai pajak. Bahkan seorang 
ibu yang menggendong anak di jalan umum juga harus membayar pajak. 
Penderitaan rakyat ini semakin bertambah setelah terjadi wabah kolera di 
berbagai daerah.
Sementara itu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan terdapat jurang 
pemisah antara rakyat dengan punggawa kerajaan dan perbedaan 
status sosial antara rakyat pribumi dengan kaum kolonial. Adanya jurang 
pemisah antara si kaya dan si miskin, antara rakyat dan kaum kolonial, 
sering menimbulkan kelompok-kelompok yang tidak puas sehingga sering 
menimbulkan kekacauan.
Dalam suasana penderitaan rakyat dan kekacauan itu tampil seorang 
bangsawan, putera Sultan Hamengkubuwana III yang bernama Raden 
Mas Ontowiryo atau lebih terkenal dengan nama Pangeran Diponegoro. 
Pangeran Diponegoro merasa tidak puas dengan melihat penderitaan rakyat 
dan kekejaman serta kelicikan Belanda. Pangeran Diponegoro merasa sedih 
menyaksikan masuknya budaya Barat yang tidak sesuai dengan budaya 
Timur. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro berusaha menentang dominasi 
Belanda yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Pada tanggal 20 
Juli 1825 meletuslah Perang Diponegoro. Meletusnya perang ini didasarkan 
pada visi dan cita-cita Pangeran Diponegoro yakni untuk membentuk 
Kesultanan Yogyakarta yang memuliakan agama yang berada dalam wadah 
negara Islam. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro disebut telah melakukan 
“hijrah kultural”.(Saleh As’ad Djamhari, “ Pangeran Diponegoro dan Perang 
Jawa (1825-1830)” dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012)
Bermula dari insiden anjir
Sejak tahun 1823, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert diangkat sebagai 
residen di Yogyakarta. Tokoh Belanda ini dikenal sebagai tokoh yang sangat 
anti terhadap Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, Smissaert bekerja 
sama dengan Patih Danurejo untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro 
dari istana Yogyakarta. Pada suatu hari di tahun 1825 Smissaert dan Patih 
Danurejo memerintahkan anak buahnya untuk memasang anjir (pancang/
patok) dalam rangka membuat jalan baru. Pemasangan anjir ini secara sengaja 
melewati pekarangan milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa izin. 
Pangeran Diponegoro memerintahkan rakyat untuk mencabuti anjir tersebut. 
Kemudian Patih Danurejo memerintahkan memasang kembali anjir-anjir itu 
dengan dijaga pasukan Macanan (pasukan pengawal kepatihan). Dengan 
keberaniannya pengikut Pangeran Diponegoro mencabuti anjir/patok-patok 
itu dan digantikannya dengan tombak-tombak mereka. Berawal dari insiden 
anjir inilah meletus Perang Diponegoro. 
Pada tanggal 20 Juli 1825 sore hari, rakyat Tegalreja berduyun-duyun 
berkumpul di ndalem Tegalreja. Mereka membawa berbagai senjata seperti 
pedang, tombak, dan lembing. Mereka menyatakan setia kepada Pangeran 
Diponegoro dan mendukung perang melawan Belanda. Belanda datang 
dan mengepung kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalreja. Pertempuran 
sengit antara pasukan Diponegoro dengan serdadu Belanda tidak dapat 
dihindarkan. Tegalreja dibumihanguskan. Dengan berbagai pertimbangan, 
Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke arah selatan ke Bukit 
Selarong. 
Pangeran Diponegoro yaitu pemimpin yang tidak individualis. Beliau sangat 
memperhatikan keselamatan anggota keluarga dan anak buahnya. Sebelum 
melanjutkan perlawanan Pangeran Diponegoro harus mengungsikan 
anggota keluarga, anak-anak dan orang-orang yang sudah lanjut usia ke 
Dekso (daerah Kulon Progo). Untuk mengawali perlawanannya terhadap 
Belanda Pangeran Diponegoro membangun benteng pertahanan di Gua 
Selarong. Dalam memimpin perang ini Pangeran Diponegoro mendapat 
dukungan luas dari masyarakat, para punggawa kerajaan, dan para bupati. 
Tercatat 15 dari dari 29 pangeran dan 41 dari 88 bupati bergabung dengan 
Pangeran Diponegoro. Di samping itu, Pangeran Diponegoro juga sudah 
mempersiapkan termasuk penggalangan dana, tenaga, dan persenjataan. 
Pangeran Diponegoro mendapat dukungan dari berbagai lapisan pangeran, 
dan priayi sepuh, juga rakyat. Mereka rela mengumpulkan barang-barang 
berharga seperti uang kontan dan perhiasan, aneka sarung keris bertatahkan
permata, dan sabuk bersepuhkan emas. Bantuan juga diberikan rakyat 
sesuai dengan kemampuan mereka. Sementara dari segi persenjataan para 
pengikut Pangeran Diponegoro mempersenjatai dirinya sendiri dengan 
senjata seadanya. Seperti dilaporkan seorang komandan pasukan gerak 
cepat Belanda menceritakan sebagai berikut.
“Penduduk desa biasa di sini begitu menyatu dengan para 
pemberontak sehingga mereka langsung bergabung dengan musuh 
dan menyerang orang-orang kita (Belanda) dengan tembakan ketapel 
yang menyebabkan beberapa orang dipihak kita cedera” (Peter Carey, 
Kuasa Ramalan, 2011)
Mengatur Strategi dari Selarong 
Dari Selarong, Pangeran Diponegoro menyusun strategi perang. Dipersiapkan 
beberapa tempat untuk markas komando cadangan. Kemudian Pangeran 
Diponegoro menyusun langkah-langkah. (1) merencanakan serangan ke 
keraton Yogyakarta dengan mengisolasi pasukan Belanda dan mencegah 
masuknya bantuan dari luar. (2) mengirim kurir kepada para bupati atau 
ulama agar mempersiapkan peperangan melawan Belanda. (3) menyusun 
daftar nama bangsawan, siapa yang sekiranya kawan dan siapa lawan. (4) 
membagi kawasan Kesultanan Yogyakarta menjadi beberapa mandala perang, 
dan mengangkat para pemimpinnya. Pangeran Diponegoro telah membagi 
menjadi 16 mandala perang, 
yaitu Yogyakarta dan sekitarnya 
di bawah komando Pangeran 
Adinegoro (adik Diponegoro) yang 
diangkat sebagai patih dengan gelar 
Suryenglogo. Bagelen diserahkan 
kepada Pangeran Suryokusumo 
dan Tumenggung Reksoprojo. 
Perlawanan di daerah Kedu 
diserahkan kepada Kiai Muhammad 
Anfal dan Mulyosentiko. Bahkan, di 
daerah Kedu Pangeran Diponegoro 
juga mengutus Kiai Hasan Besari 
mengobarkan Perang Sabil untuk 
memperkuat pasukan yang telah 
ada. Pangeran Abubakar didampingi 
Pangeran Muhammad memimpin 
perlawanan di Lowanu. Perlawanan

di Kulon Progo diserahkan kepada Pangeran Adisuryo dan Pangeran 
Somonegoro. Yogyakarta bagian utara dipimpin oleh Pangeran Joyokusumo. 
Yogyakarta bagian timur diserahkan kepada Suryonegoro, Somodiningrat, 
dan Suronegoro. Perlawanan di Gunung Kidul dipimpin oleh Pangeran 
Singosari. Daerah Plered dipimpin oleh Kertopengalasan. Daerah Pajang 
diserahkan kepada Warsokusumo dan Mertoloyo, sementara itu daerah 
Sukowati dipimpin oleh Tumenggung Kertodirjo dan Mangunnegoro. 
Gowong dipimpin oleh Tumenggung Gajah Pernolo. Langon dipimpin oleh 
Pangeran Notobroto Projo. Serang dipimpin oleh Pangeran Serang.
Sebagai pucuk pimpinan Pangeran Diponegoro didampingi oleh Pangeran 
Mangkubumi (paman Pangeran Diponegoro), Ali Basyah Sentot Prawirodirjo 
sebagai panglima muda, dan Kiai Mojo bersama murid-muridnya. Nyi Ageng 
Serang yang sudah berusia 73 tahun bersama cucunya R.M. Papak bergabung 
bersama pasukan Pangeran Diponegoro. Nyi Ageng Serang (nama aslinya 
R.A. Kustiah Retno Edi), sejak remaja sudah anti terhadap Belanda dan pernah 
membantu ayahnya (Panembahan Serang) untuk melawan Belanda.
Tiga minggu setelah penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro balik 
menyerang Keraton Yogyakarta. Serangan ke keraton ini mendapatkan 
hasil. Pasukan Pangeran Diponegoro di desa Kejiwan berhasil memporak 
porandakan pasukan Belanda yang di pimpin Sollewijn. Pasukan Diponegoro 
berhasil menduduki keraton.
Pada tahun-tahun awal Pangeran Diponegoro 
mengobarkan semangat “Perang Sabil”.
Perlawanannya berjalan sangat efektif. Pusat 
kota dapat dikuasai. Selanjutnya pasukan 
Pangeran Diponegoro bergerak ke timur dan 
berhasil menaklukan Delanggu dalam rangka 
menguasai Surakarta. Namun, pasukan Pangeran 
Diponegoro dapat ditahan oleh pasukan Belanda 
di Gowok. Secara umum dapat dikatakan 
pasukan Pangeran Diponegoro mendapatkan 
banyak kemenangan. Beberapa pos pertahanan 
Belanda dapat dikuasai. Untuk memperkokoh 
kedudukan Pangeran Diponegoro, para ulama 
dan pengikutnya menobatkannya sebagai raja 
dengan gelar: Sultan Abdulhamid Herucokro 
(Sultan Ngabdulkamid Erucokro).
Perluasan perang di berbagai daerah 
Perlawanan Pangeran Diponegoro terus meningkat. Beberapa pos pertahanan 
Belanda dapat dikuasai. Pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro meluas ke 
daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang dan Rembang. Kemudian ke 
arah timur meluas ke Madiun, Magetan, Kediri dan sekitarnya. Perang yang 
dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro mampu menggerakkan kekuatan di 
seluruh Jawa. Oleh karena itu, Perang Diponegoro sering dikenal dengan 
Perang Jawa. Semua kekuatan dari rakyat, bangsawan, dan para ulama 
bergerak untuk melawan kekejaman Belanda. 
Menghadapi perlawanan Diponegoro yang terus meluas itu, Belanda 
berusaha meningkatkan kekuatannya. Beberapa komandan tempur dikirim 
ke berbagai daerah pertempuran. Misalnya Letkol Clurens dikirim ke Tegal 
dan Pekalongan, kemudian Letkol Diell ke Banyumas. Jenderal de Kock 
sebagai pemimpin perang Belanda berusaha meningkatkan kekuatannya. 
Untuk menambah kekuatan Belanda, juga didatangkan bantuan tentara 
Belanda dari Sumatera Barat.
Belanda berusaha menghancurkan pos-pos pertahanan pasukan Pangeran 
Diponegoro. Sasaran pertama Belanda yaitu pos pertahanan Pangeran 
Diponegoro di Gua Selarong. Tanggal 4 Oktober 1825 pasukan Belanda 
menyerang pos tersebut. Namun, ternyata pos Gua Selarong sudah kosong. 
Ini memang sebagai bagian strategi Pangeran Diponegoro. Pos pertahanan 
Diponegoro sudah dipindahkan ke Dekso di bawah pimpinan Ali Basyah 
Sentot Prawirodirjo. Pada tahun 1826 pasukan Ali Basyah Sentot Prawirodirjo 
ini berhasil mengalahkan tentara Belanda di daerah-daerah bagian barat 
(Kulon Progo dan sekitarnya). Sementara itu, di Gunung Kidul pasukan 
Diponegoro yang dipimpin oleh Pangeran Singosari juga mendapatkan 
berbagai kemenangan. Benteng pertahanan Belanda di Prambanan juga 
berhasil diserang oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Tumenggung 
Suronegoro. Plered sebagai pos pertahanan Diponegoro juga sering mendapat 
serangan Belanda. Meskipun demikian, Plered masih dapat dipertahankan 
oleh pasukan Diponegoro di bawah Kertopengalasan.
Seperti telah diterangkan di atas bahwa perlawanan Pangeran Diponegoro 
mendapat dukungan luas dari para bupati di mancanegara(istilah mancanegara 
untuk menyebut daerah-daerah yang berada di luar Yogyakarta). Misalnya 
terjadi perlawanan sengit di Serang (daerah perbatasan antara Karesidenan 
Semarang dan Surakarta). Daerah-daerah mancanegara bagian timur terus 
melakukan perlawanan di bawah para bupatinya, misalnya di Madiun, 
Magetan, Kertosono, Ngawi, dan Sukowati. Sementara itu, peperangan di 
daerah mancanegara bagian barat meluas di wilayah Bagelen, Magelang dan 
daerah-daerah Karesiden Kedu lainnya.
Benteng Stelsel pembawa petaka 
Pangeran Diponegoro menerapkan beberapa strategi perang. Pangeran 
Diponegoro menerapkan perang dengan penyerangan langsung yang 
mengandalkan jumlah pasukan yang besar. Selain itu, ia juga menjalankan 
prinsip perang gerilya. Bahkan, Pangeran Diponegoro juga menerapkan 
strategi perang atrisi (penjemuan). Strategi ini mengubah perang secara 
langsung dengan perang jangka panjang (agar Belanda sampai bosan). 
Dalam melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda, pasukan Pangeran 
Diponegoro senantiasa bergerak dari pos pertahanan yang satu ke pos yang 
lain. Pengaruh perlawanan Diponegoro ini semakin meluas. Perkembangan 
Perang Diponegoro ini sempat membuat Belanda kebingungan. Untuk 
menghadapi pasukan Diponegoro yang bergerak dari pos yang satu ke pos 
yang lain, Jenderal de Kock menerapkan strategi dengan sistem Benteng 
Stelsel.
Dengan strategi Benteng Stelsel sedikit demi sedikit perlawanan Diponegoro 
dapat diatasi. Dalam tahun 1827 perlawanan Diponegoro di beberapa 
tempat misalnya di Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Magelang berhasil 
dipukul mundur oleh pasukan Belanda. Setiap tempat dihubungkan dengan 
benteng pertahanan. Selain itu, Magelang dijadikan pusat kekuatan militer 
Belanda.
Dengan sistem Benteng Stelsel ruang gerak pasukan Diponegoro dari waktu 
ke waktu semakin sempit. Para pemimpin yang membantu Diponegoro 
mulai banyak yang tertangkap, tetapi perlawanan rakyat masih terjadi di 
beberapa tempat. Pasukan Diponegoro di Banyumeneng harus bertahan dari 
serangan Belanda. Di Rembang di bawah pimpinan Raden Tumenggung Ario 
Sosrodilogo, rakyat mengadakan perlawanan di daerah Rajegwesi. Namun, 
perlawanan di Rembang dapat dipatahkan oleh Belanda pada bulan Maret 
1828. Sementara itu, pasukan Diponegoro di bawah Sentot Prawirodirjo 
justru berhasil menyerang benteng Belanda di Nanggulan (daerah di Kulon 
Progo sekarang). Penyerangan ini berhasil menewaskan Kapten Ingen. 
Peristiwa penyerangan benteng di Nanggulan ini mendapat perhatian 
para pemimpin perang Belanda. Pasukan Belanda dikonsentrasikan untuk 
mendesak dan mempersempitkan ruang gerak pasukan Sentot Prawirodirjo 
dan kemudian mencoba untuk didekati agar mau berunding. Ajakan Belanda 
ini berkali-kali ditolaknya. Belanda kemudian meminta bantuan kepada Aria 
Prawirodiningrat untuk membujuk Sentot Prawirodirjo. Pertahanan hati 
Sentot Prawirodirjo pun luluh, dan menerima ajakan untuk berunding. Pada 
tanggal 17 Oktober 1829 ditandatangani Perjanjian Imogiri antara Sentot 
Prawirodirjo dengan pihak Belanda. Isi perjanjian itu antara lain sebagai 
berikut.
1) Sentot Prawirodirjo diizinkan untuk tetap memeluk agama Islam.
2) Pasukan Sentot Prawirodirjo tidak dibubarkan dan ia tetap sebagai 
pemimpinnya.
3) Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya diizinkan untuk tetap memakai 
sorban.
4) Sebagai kelanjutan perjanjian itu, maka pada tanggal 24 Oktober 1829 
Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya memasuki ibu kota negeri 
Yogyakarta untuk secara resmi menyerahkan diri.
Penyerahan diri dan tertangkapnya para pemimpin pengikut Pangeran 
Diponegoro, merupakan pukulan berat bagi perjuangan Pangeran 
Diponegoro. Namun pasukan di bawah komando Diponegoro terus berjuang 
mempertahankan tanah tumpah darahnya. Pasukan ini bergerak dari satu 
pos yang ke pos lain. Belum ada tanda-tanda perlawanan Diponegoro akan 
berakhir. Belanda kemudian mengumumkan kepada khalayak pemberian 
hadiah sejumlah 20.000 ringgit bagi siapa saja yang dapat menyerahkan 
Pangeran Diponegoro baik dalam keadaan hidup maupun mati. Tetapi 
nampaknya tidak ada yang tertarik dengan pengumuman itu.
5. Perlawanan di Bali
Kamu tentu sudah tahu tentang Bali. Sekalipun ada di antara kamu yang 
belum pernah ke Bali, tetapi tentu sudah begitu familier mendengar nama 
Bali. Bahkan, pada abad ke-20 pada saat Indonesia sudah merdeka ternyata 
masyarakat dunia lebih mengenal nama Bali dari pada nama Indonesia. Bali 
yaitu sebuah pulau kecil yang sangat terkenal di Indonesia. Bali dikenal 
sebagai Pulau Dewata dan menjadi tujuan wisata nomor satu di Indonesia. 
Tetapi kalau kita lihat dalam perjalanan sejarah nasional Indonesia sampai 
abad ke-19 Bali belum banyak menarik perhatian orang-orang Barat untuk
menanamkan pengaruhnya. Kapal-kapal orang-orang Barat mungkin 
hanya singgah dan sekedar berdagang. Baru pada sekitar tahun 1830-
an pemerintahan Hindia Belanda aktif menanamkan pengaruhnya di Bali. 
Perkembangan dominasi Belanda inilah yang kemudian menyulut api 
perlawanan rakyat Bali kepada Belanda yang terkenal dengan sebutan 
“Perang Puputan”
Mengapa Terjadi Perang Puputan di Bali?
Pada abad ke-19 di Bali sudah berkembang kerajaan-kerajaan yang berdaulat. 
Misalnya Kerajaan Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Badung, 
Jembrana, Tabanan, Menguri, dan Bangli. Pada masa pemerintahan Gubernur 
Jenderal Daendels, pemerintah kolonial mulai menjalin kontak dengan 
kerajaan-kerajaan di Bali. Kontrak tersebut tidak sekadar urusan dagang, 
tetapi juga menyangkut sewa menyewa orang-orang Bali untuk dijadikan 
tentara pemerintah Hindia BeIanda. Namun, dalam perkembangannya 
pemerintah Hindia Belanda ingin menanamkan pengaruh dan berkuasa di 
Bali. Oleh karena itu, Belanda mengirim dua utusan dengan misi masing￾masing. Pertama, G.A. Granpre Moliere untuk misi ekonomi. Kedua, Huskus 
Koopman mengemban misi politik. Misi ekonomi berjalan lancar, tetapi misi 
politik menghadapi berbagai kendala. Huskus Koopman terus berusaha 
mendekati raja-raja di Bali agar bersedia mengakui keberadaan dan kekuasaan 
Belanda. Akhirnya dicapai perjanjian atau kontrak politik antara raja-raja di 
Bali dengan Belanda, diantaranya, dengan Raja Badung (28 November 1842), 
Raja Karangasem ( 1 Mei 1843), Raja Buleleng ( 8 Mei 1843), Raja Klungkung 
(24 Mei 1843) dan Raja Tabanan (22 Juni 1843). Perjanjian kontrak antara 
raja-raja di Bali dengan Belanda itu terutama seputar Hukum Tawan Karang 
agar dihapuskan.
Karena kelihaian atau bujukan Belanda, raja-raja di Bali dapat menerima 
perjanjian untuk meratifikasi penghapusan Hukum Tawan Karang. Tetapi 
sampai tahun 1844 Raja Buleleng dan Karangasem belum melaksanakan 
perjajian tersebut. Terbukti pada tahun 1844 itu penduduk melakukan 
perampasan atas isi dua kapal Belanda yang terdampar di Pantai Sangsit 
(Buleleng) dan Jembrana (waktu itu juga daerahnya Buleleng). Belanda protes 
keras terhadap kejadian ini. Belanda memaksa Raja Buleleng, Gusti Ngurah 
Made Karangasem agar melaksanakan isi perjanjian yang telah disepakati.
Belanda juga menuntut agar Buleleng 
membayar ganti rugi atas kapal Belanda 
yang dirampas penduduk. Raja Gusti Ngurah 
Made Karangasem yang mendapat dukungan 
patihnya, I Gusti Ketut Jelantik, dengan tegas 
menolak tuntutan Belanda tersebut. Bahkan, 
I Gusti Ketut Jelantik sudah melakukan latihan 
dan menghimpun kekuatan untuk melawan 
kesewenang-wenangan Belanda. Dengan 
demikian perang tidak dapat dihindarkan.
Patih Ketut Jelantik terus mempersiapkan prajurit 
Buleleng dan memperkuat pos-pos pertahanan. 
Dalam pertempuran ini Raja Buleleng mendapat 
dukungan dari Kerajaan Karangasem dan Klungkung. Sementara, pada 
tanggal 27 Juni 1846 telah datang pasukan Belanda berkekuatan 1.700 orang 
pasukan darat yang langsung menyerbu kampung-kampung di tepi pantai. 
Di samping itu, masih ada pasukan laut yang datang dengan kapal-kapal 
sewaan. Pertempuran sengit terjadi antara para pejuang dari Buleleng yang 
dibantu oleh para pejuang Karangasem dan Klungkung melawan Belanda. 
Selama dua hari para pemimpin, prajurit, dan rakyat Buleleng bertempur 
mati-matian. Mengingat persenjataan Belanda lebih lengkap dan modern, 
maka para pejuang Buleleng semakin terdesak. Benteng pertahanan Buleleng 
jebol dan ibu kota Singaraja dikuasai Belanda. Raja dan Patih Ketut Jelantik 
beserta pasukannya terpaksa mundur sampai ke Desa Jagaraga (sekitar 7 
km sebelah timur Singaraja). Pasukan Belanda terus mendesak para pejuang 
dan memaksa Raja Buleleng untuk menandatangani perjanjian. Perjanjian 
ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1846 yang isinya antara lain: (1) dalam 
waktu tiga bulan Raja Buleleng harus menghancurkan semua benteng 
Buleleng yang pernah digunakan dan tidak boleh membangun benteng baru; 
(2) Raja Buleleng harus membayar ganti rugi dari biaya perang yang telah 
dikeluarkan Belanda, sejumlah 75.000 gulden, dan raja harus menyerahkan 
I Gusti Ketut Jelantik kepada pemerintah Belanda; (3) Belanda diizinkan 
menempatkan pasukannya di Buleleng. 
Tekanan dan paksaan Belanda itu ditandingi dengan tipu daya. Raja dan para 
pejuang berpura-pura menerima isi perjanjian itu. Namun, di balik itu Raja dan 
Patih Ktut Jelantik memperkuat pasukannya. Di Jagaraga dibangun benteng 
pertahanan yang kuat bagaikan Gelar Supit Urang. Rakyat juga sengaja tetap 
mempertahankan Hukum Tawan Karang. Pada tahun 1847 kapal-kapal asing

yang terdampar di Pantai Kusumba Klungkung tetap dirampas oleh kerajaan. 
Hal ini menimbulkan amarah dari Belanda. Belanda kemudian mengeluarkan 
ultimatum agar raja-raja di Buleleng, Klungkung, dan Karangasem mematuhi 
dan melaksanakan isi perjanjian yang telah ditandatangani.
Raja-raja di Bali tidak menghiraukan ultimatum Belanda itu. Rakyat justru 
dipersiapkan untuk melawan kekejaman Belanda. Raja Buleleng kemudian 
mengirim kurir untuk meminta bantuan pasukan dari kerajaan-kerajaan lain 
di Bali sehingga datang pasukan tambahan dari Klungkung, Karangasem, 
dan Mengwi. Belanda mengetahui bahwa Raja Buleleng membangkang dan 
Patih Ketut Jelantik terus memperkuat pasukannya. 
Belanda terus meningkatkan kekuatannya untuk menghadapi hal tersebut. 
Pada tanggal 7 dan 8 Juni 1848, bala bantuan Belanda mendarat di Pantai 
Sangsit. Tanggal 8 Juni serangan Belanda terhadap Benteng Jagaraga 
dimulai. Sebagai pemimpin tentara Belanda antara lain: J. van Swieten, 
Letkol Sutherland. Benteng Jagaraga terus dihujani meriam. Namun pasukan 
Buleleng di bawah pimpinan Ketut Jelantik yang dibantu isterinya, Jero 
Jempiring mampu mengembangkan pertahanan dengan gelar-supit urang 
sehingga dapat menjebak pasukan Belanda. Lima orang opsir dan 74 orang 
serdadu dapat ditewaskan ditambah lagi tujuh opsir dan 98 serdadu Belanda 
luka-luka. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur.
Kekalahan Belanda itu cukup menyakitkan perasaan pimpinan Belanda 
di Batavia. Oleh karena itu, dipersiapkan pasukan yang lebih kuat untuk 
melakukan pembalasan. Awal April 1849 telah datang kesatuan serdadu 
Belanda dalam jumlah besar menuju ke Jagaraga. Pada tanggal 15 April 1849 
semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk menyerang Jagaraga. Dalam 
tempo dua hari, yakni tanggal 16 April sore hari semua kekuatan di Jagaraga 
dapat dilumpuhkan oleh Belanda. Keruntuhan Benteng Jagaraga menjadi 
pertanda lenyapnya kedaulatan rakyat Buleleng. Raja Buleleng diikuti I Gusti 
Ketut Jelantik dan Jero Jempiring menyingkir ke Karangasem. Tetapi mereka 
tertangkap dan terbunuh dalam upaya untuk mempertahankan diri. 
Dengan terbunuhnya Raja Buleleng dan Patih Ketut Jelantik maka jatuhlah 
Kerajaan Buleleng ke tangan Belanda. Menyusul kemudian bulan Mei 1849 
Karangasem berhasil ditaklukkan, berikutnya Kusumba (Klungkung) jatuh 
pula ke tangan Belanda. Meskipun demikian, Belanda tidak mudah untuk 
menguasai Pulau Bali. Pertempuran demi pertempuran masih terus terjadi. 
Tahun 1906 terjadi Perang Puputan di Badung. Dua tahun kemudian Perang 
Puputan meletus di Klungkung.
6. Perang Banjar 
Kamu tentu sudah mengenal Provinsi Kalimantan Selatan. Ibu Kotanya ada 
di Banjarmasin. Berbicara soal Banjarmasin, apa yang kamu ingat, apa yang 
kamu ketahui tentang Banjarmasin atau Provinsi Kalimantan Selatan pada 
umumnya. Kamu pernah mendengar tentang batu-batu mulia dan intan dari 
Kalimantan Selatan? Atau kamu tahu tentang kain sasirangan. Itu semua 
merupakan produk-produk penting dari Kalimantan Selatan dewasa ini. 
Bagaimana dengan latar belakang sejarahnya? 
Di Kalimantan Selatan pernah berkembang Kerajaan Banjar atau Banjarmasin. 
Wilayah Kesultanan Banjarmasin ini pada abad ke-19 meliputi Kalimantan 
Selatan dan Kalimantan Tengah sekarang. Pusatnya ada di Martapura. 
Kesultanan ini memiliki posisi yang strategis dalam kegiatan perdagangan 
dunia. Hal ini terutama karena adanya hasil-hasil seperti emas dan intan, 
lada, rotan dan damar. Hasil-hasil ini termasuk produk yang diminati oleh 
orang-orang Barat. Kondisi ini membuat Belanda berambisi untuk menguasai 
Banjarmasin. 
Setelah melalui bujuk rayu disertai tekanan-tekanan, maka pada tahun 1817 
terjadi perjanjian antara Sultan Banjar (Sultan Sulaiman) dengan pemerintah 
Hindia Belanda. Dalam perjanjian ini Sultan Sulaiman harus menyerahkan 
sebagian wilayah Banjar kepada Belanda, seperti daerah Dayak, Sintang, 
Bakumpai, Tanah Laut, Mundawai, Kotawaringin, Lawai, Jalai, Pigatan, 
Pasir Kutai, dan Beran. Dengan demikian wilayah kekuasaan Kesultanan 
Banjarmasin semakin sempit, sementara daerah kekuasaan Belanda semakin 
bertambah. Bahkan, menurut perjanjian yang diadakan tanggal 4 Mei 1826 
antara Sultan Adam Alwasikh dengan Belanda ditetapkan bahwa kekuasaan 
Kesultanan Banjar hanya daerah Hulu Sungai, Martapura, dan Banjarmasin.
Wilayah yang semakin sempit itu telah membawa problem dalam kehidupan 
sosial ekonomi. Penghasilan para penguasa kerajaan menjadi semakin kecil. 
Sementara dengan masuknya pola hidup Barat, kebutuhan hidup para 
penguasa meningkat. Dengan demikian, beban hidup mereka semakin 
sulit. Untuk mengatasi kesulitan ini maka mereka menaikkan pajak. Dengan 
demikian, rakyat menjadi sasaran eksploitasi oleh pemerintah kolonial 
maupun para pejabat kerajaan. Rakyat juga diperintahkan untuk melakukan 
kerja wajib. 
Dalam suasana sosial ekonomi yang memprihatinkan itu, di dalam kerajaan 
sendiri terjadi konflik intern. Konflik ini terutama dipicu oleh intervensi 
Belanda. Hal ini bermula saat putera mahkota Abdul Rakhman meninggal 
secara mendadak pada tahun 1852. Sementara Sultan Adam memiliki tiga 
putra sebagai kandidat pengganti sultan, yakni: Pangeran Hidayatullah 
(Pangeran Hidayat), Pangeran Tamjidillah, dan Prabu Anom. Ketiga kandidat 
itu masing-masing memiliki pendukung. Pangeran Hidayatullah didukung 
pihak istana dan kebetulan sudah mengantongi surat wasiat dari Sultan 
Adam untuk menggantikan sebagai sultan, Pangeran Anom dijagokan 
sebagai mangkubumi, sedang Tamjidillah didukung Belanda.
Pada tahun 1857 Sultan Adam meninggal. Dengan sigap Residen E.F. Graaf 
von Bentheim Teklenburg mewakili Belanda mengangkat Tamjidillah sebagai 
sultan dan Pangeran Hidayatullah diangkat sebagai Mangkubumi. Pada hal 
menurut wasiat yang sah yang diangkat menjadi sultan yaitu Pangeran 
Hidayatullah. Oleh karena itu, wajar kalau pengangkatan Tamjidillah sebagai 
Sultan Banjarmasin menimbulkan protes dan rasa kecewa dari berbagai 
pihak. Tamjidillah memiliki perangai yang 
kurang baik, senang minum-minuman 
keras seperti orang Belanda. Tamjidillah 
juga menghapus hak-hak istimewa pada 
saudara-saudaranya termasuk menganggap 
tidak ada surat wasiat dari Sultan Adam 
kepada Pangeran Hidayatullah. Tindakan 
Tamjidillah yang sewenang-wenang itu 
semakin menimbulkan rasa kecewa dari 
berbagai pihak. Salah satu gerakan protes 
dan menolak pengangkatan Tamjidillah 
sebagai sultan dipelopori oleh Penghulu 
Abdulgani. Pangeran Hidayatullah yang diangkat sebagai mangkubumi ternyata selalu disisihkan dalam berbagai 
urusan. Akibatnya, ketegangan di istana semakin tajam sehingga membuat 
kondisi kerajaan menjadi tidak kondusif.
Dalam suasana yang penuh ketegangan itu ditambah terjadi gerakan di 
pedalaman yang dipelopori oleh Aling. Aling yang juga dikenal sebagai 
Panembahan Muning mengatakan dalam semedinya ia seperti mendengar 
kata-kata sebagai berikut.
“Ikam nang baamal dengan kesukaan aku, akan permintaan ikam mandapat 
nagri dan pagustianikam batatap, kardjaakan, barbunyian, mau raja-raja 
gaib manolong ikam, sakira-kira jadi salamat nagri dan rajapun tatap. Tetapi 
Pangeran Antasari ikam aturi ka Muning” 
Diterjemahkan sebagai berikut:
“Engkau yang melakukan amalan zikir, salat serta puasa dengan kesukaan 
atau izin, akan segala permintaan engkau untuk mendapat negeri dan raja-raja 
yang bertahta, bunyikanlah bunyi-bunyian. Anakmu yang bisa menari gandut 
suruh menarikan gandut dilaksanakan, maka raja-raja gaib akan menolong 
kamu, sehingga menjadi selamatlah rajapun akan duduk di atas tahta. Tetapi 
Pangeran Antasari kamu mohon datang ke Muning” (Tim, Sejarah Banjar, 
2003).
Menurut Panembahan Muning berdasarkan 
ilham atau firasat (dalam bahasa Jawa: wisik) 
bahwa nasib dan keselamatan Kesultanan 
Banjarmasin tergantung kepada peran 
serta Pangeran Antasari, sepupu Pangeran 
Hidayatullah. Pangeran Antasari yaitu juga 
seorang pangeran yang diperkirakan juga 
keturunan raja di Banjarmasin. 
Gerakan Aling ini membuat suasana 
kerajaan semakin kacau. Pusat gerakan Aling 
dinamakan Tambai Mekah (Serambi Mekah) 
yang terletak di tepian Sungai Muning. Aling 
juga memanggil Antasari agar datang di 
Tambai Mekah. Pengaruh Aling ini semakin

besar dan banyak pengikutnya, karena Aling memang dipandang orang 
yang sakti. Pangeran Antasari yang memang sudah kecewa dengan apa 
yang terjadi di lingkungan kerajaan, datang dan bergabung dengan Gerakan 
Aling. Antasari berkeinginan untuk menurunkan Tamjidillah dan melawan 
kekuasaan Belanda. Di samping kekuatan penuh dari pengikut Aling, 
Pangeran Antasari juga mendapat dukungan dari berbagai pihak seperti 
Sultan Pasir dan Tumenggung Surapati pimpinan orang-orang Dayak.
Bagaimana Perang Banjar berlangsung? 
Pada tanggal 28 April 1859 orang-orang Muning yang dipimpin oleh 
Panembahan Aling dan puteranya, Sultan Kuning menyerbu kawasan 
tambang batu bara di Pengaron. Sekalipun gagal menduduki benteng di 
Pengaron tetapi para pejuang Muning berhasil membakar kawasan tambang 
batu bara dan pemukiman orang-orang Belanda di sekitar Pengaron. Banyak 
orang-orang Belanda yang terbunuh oleh gerakan orang-orang Muning ini. 
Mereka juga melakukan penyerangan ke perkebunan milik gubernemen 
di Gunung Jabok, Kalangan, dan Bangkal. Dengan demikian berkobarlah 
Perang Banjar. 
Dengan peristiwa tersebut, keadaan 
pemerintahan Kesultanan Banjar 
semakin kacau. Sultan Tamjidillah 
yang memang tidak disenangi 
oleh rakyat itu juga tidak bisa 
berbuat banyak. Oleh karena itu, 
Tamjidillah dinilai oleh Belanda 
tidak mampu memerintah yang 
diminta untuk turun tahta. Akhirnya 
pada tanggal 25 Juni 1859 secara 
resmi Tamjidillah mengundurkan 
diri dan mengembalikan legalia
Banjar kepada Belanda. Tamjidillah 
kemudian diasingkan ke Bogor. 
Mulai saat itu Kesultanan Banjar 
berada di bawah kendali Belanda. 
Belanda sebenarnya berusaha 
membujuk Pangeran Hidayatullah 
untuk bergabung dengan Belanda 
dan akan dijadikan Sultan Banjar
Tetapi melihat kelicikan Belanda, Pangeran Hidayatullah menilai bujukan 
itu merupakan tipu daya Belanda. Oleh karena itu, Pangeran Hidayatullah 
memilih bersama rakyat untuk melancarkan perlawanan terhadap Belanda. 
Sementara itu pasukan Antasari sudah bergerak menyerbu pos-pos Belanda 
di Martapura. Perlawanan Antasari dengan cepat mendapat dukungan dari 
para ulama dan punggawa kerajaan yang sudah muak dengan kelicikan dan 
kekejaman Belanda. Bulan Agustus 1859, Antasari bersama pasukan Haji 
Buyasin, Kiai Langlang, Kiai Demang Lehman berhasil menyerang benteng 
Belanda di Tabanio. Kemudian pasukan Surapati berhasil menenggelamkan 
kapal Belanda, Onrust, dan merampas senjata yang ada di kapal tersebut 
di Lontotuor, Sungai Barito Hulu. Dengan demikian, Perang Banjar semakin 
meluas. 
Memasuki bulan Agustus-September tahun 1859 pertempuran rakyat Banjar 
terjadi di tiga lokasi, yakni di sekitar Banua Lima, sekitar Martapura dan Tanah 
Laut, serta sepanjang Sungai Barito. Pertempuran di sekitar Banua Lima 
dipimpinan oleh Tumenggung Jalil. Pertempuran di sekitar Martapura dan 
Tanah Laut dipimpin oleh Demang Lehman. Sementara itu, pertempuran di 
sepanjang Sungai Barito dikomandani oleh Pangeran Antasari. Kiai Demang 
Lehman yang berusaha mempertahankan benteng Tabanio diserbu tentara 
Belanda. Pertempuran sengit terjadi dan banyak membawa korban. Sembilan 
orang serdadu Belanda tewas. Belanda kemudian meningkatkan jumlah 
pasukannya. Benteng Tabanio berhasil dikepung oleh Belanda. Demang 
Lehman dan pasukannya dapat meloloskan diri. Demang Lehman kemudian 
memusatkan kekuatannya di benteng pertahanan di Gunung Lawak, Tanah 
Laut. Benteng ini juga diserbu tentara Belanda. Setelah bertahan mati￾matian, akhirnya Demang Lehman meninggalkan benteng itu karena sudah 
banyak pengikutnya yang menjadi korban. Kekalahan Demang Lehman 
di benteng Gunung Lawak tidak memupuskan semangat juang melawan 
Belanda sebab mereka yakin perang ini merupakan perang sabil. 
Pada bulan September Demang Lehman dan para pemimpin lain seperti 
Tumenggung Jalil dan Pangeran Muhammad Aminullah meninggalkan 
medan pertempuran di Tanah Laut menuju Kandangan untuk mengadakan 
perundingan dengan tokoh-tokoh pejuang yang lain. Pertemuan di 
Kandangan menghasilkan kesepakatan yang intinya para pemimpin pejuang 
Perang Banjar menolak tawaran berunding dengan Belanda, dengan 
merumuskan beberapa siasat perlawanan sebagai berikut:
1) pemusatan kekuatan perlawanan di daerah Amuntai;
2) membuat dan memperkuat pertahanan di Tanah Laut, Martapura, 
Rantau dan Kandangan;
3) Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di Dusun Atas; dan
4) mengusahakan tambahan senjata.
Dalam pertemuan itu semua yang hadir mengangkat sumpah untuk berjuang 
mengusir penjajah Belanda dari bumi Banjar tanpa kompromi : “Haram 
Manyarah Waja sampai Kaputing”. Para pejuang tidak akan menyerah 
sampai titik darah yang penghabisan. 
Setelah pertemuan itu perlawanan terus berkobar di berbagai tempat. Untuk 
menghadapi berbagai serangan itu Belanda juga terus memperkuat pasukan 
dan membangun benteng-benteng pertahanan seperti di Tapin, memperkuat 
Benteng Munggu Thayor, serta Benteng Amawang di Kandangan. Demang 
Lehman berusaha menyerang Benteng Amawang tersebut, tetapi gagal. 
Setelah itu, Demang Lehman dan pasukannya mundur menuju daerah 
Barabai untuk memperkuat pertahanan pasukan Pangeran Hidayatullah.
Perlu diketahui bahwa Pangeran Hidayatullah meninggalkan Martapura dan 
berkumpul dengan seluruh anggota keluarga, yang diikuti pasukannya ia 
berangkat ke Amuntai. Meskipun tidak dengan perangkat kebesaran, oleh 
para ulama dan semua pengikutnya, Hidayatullah diangkat sebagai sultan. 
Setelah itu Sultan Hidayatullah menyatakan perang jihad fi sabilillah terhadap 
orang-orang Belanda. Dalam gerakannya menuju Amuntai pasukannya 
melakukan serangan ke pos-pos Belanda. 
Gerakan perlawanan Pangeran Hidayatullah kemudian dipusatkan di 
Barabai. Datanglah kemudian pasukan Demang Lehman untuk memperkuat 
pasukan Hidayatullah. Menghadapi pasukan gabungan itu Belanda di bawah 
G.M. Verspyck mengerahkan semua kekuatan pasukan yang ada. Pasukan 
infanteri dari Batalion VII, IX, XIII semua dikerahkan, ditambah 100 orang 
petugas pembawa perlengkapan perang dan makanan. Juga mengerahkan 
kapal-kapal perang dari Suriname, Bone, dan kapal-kapal kecil. Terjadilah 
pertempuran sengit. Dengan seruan “Allahu Akbar” pasukan Hidayatullah 
dan Demang Lehman menyerbu menghadapi kekuatan tentara Belanda. 
Mereka dengan penuh keberanian menghadapi musuh karena yakin mati 
dalam perang ini yaitu syahid. Tetapi kekuatan tidak seimbang, pasukan 
Belanda lebih unggul dari jumlah pasukan maupun senjata, maka Hidayatullah
dan Demang Lehman menarik 
mundur pasukannya. Kemudian 
membangun pertahanan di 
Gunung Madang. Semua kekuatan 
Belanda dikerahkan untuk segera 
menangkap Pangeran Hidayatullah. 
Pertahanan di Gunung Madang 
pun jebol. Pangeran Hidayatullah 
dengan sisa pasukannya kemudian 
berjuang berpindah-pindah, 
bergerilya dari tempat yang satu 
ke tempat yang lain, dari hutan 
yang satu ke hutan yang lain. 
Namun Belanda terus memburu 
dan mempersempit ruang gerak 
pasukan Hidayatullah. Akhirnya 
pada tanggal 28 Februari 1862 
Hidayatullah berhasil ditangkap 
bersama anggota keluarga yang 
ikut bergerilya. Hidayatullah 
bersama anggota keluarganya 
kemudian diasingkan ke Cianjur, 
Jawa Barat. Berakhirlah perlawanan 
Pangeran Hidayatullah.
Sementara itu Pangeran Antasari terus melanjutkan perlawanan. Oleh para 
pengikutnya Antasari kemudian diangkat sebagai pejuang dan pemimpin 
tertinggi agama Islam dengan gelar Panembahan Amiruddin Kalifatullah 
Mukminin.

7. Perang Aceh 
Kita sering mendengar tentang Aceh. Apa yang kamu ketahui tentang Aceh? 
Ya, yang segar diingatan kita yakni peristiwa tsunami pada 26 Desember 
2004. Tsunami itu terjadi karena adanya gempa bumi yang begitu dahsyat 
dengan kekuatan 9,3 skala Richter terletak di Samudra Indonesia, kurang 
lebih 160 km sebelah barat Aceh pada kedalaman 10 km. Tsunami itu telah 
meluluhlantakkan Aceh. Nah, peristiwa tsunami ini bisa dikatakan sebagai 
peringatan Tuhan Yang Maha Kuasa agar kita lebih berhati-hati untuk 
menjaga lingkungan dan tidak sembarang melakukan reklamasi pantai. 
Di samping tsunami apa lagi yang kamu tahu tentang Aceh? Oh, ya mungkin 
kamu juga pernah mendengar Aceh dikenal sebagai Serambi Mekah. 
Mengapa? Aceh merupakan daerah pertama masuknya Islam di Nusantara. 
Aceh juga pernah menjadi kerajaan Islam yang mendapat pengakuan dari 
Syarif Mekah atas nama Khalifah Turki. Aceh juga pernah menjadi pangkalan/ 
pelabuhan haji untuk seluruh Nusantara. Orang-orang Indonesia yang naik 
haji ke Mekah dengan kapal laut, sebelum mengarungi Samudra Indonesia, 
tinggal beberapa bulan di Banda Aceh. Oleh karena itu, Aceh mendapat 
julukan “Serambi Mekah”. 
Sungguh Aceh ibarat Serambi Mekah merupakan daerah dan kerajaan yang 
berdaulat. Rakyat bebas beraktivitas, beribadah, dan berdagang dengan siapa 
saja, di mana saja. Tetapi kedaulatan mulai terganggu karena keserakahan 
dan dominasi Belanda. Dominasi dan kekejaman penjajahan Belanda ini 
telah berimbas ke Aceh sehingga melahirkan “Perang Aceh”, perangnya 
para pejuang untuk berjihad melawan kezaliman kaum penjajah pada tahun 
1873 - 1912.a) Mengapa dan Apa Latar Belakang Perang di Aceh itu? 
Aceh memiliki kedudukan yang strategis. Aceh menjadi pusat perdagangan. 
Daerahnya luas dan memiliki hasil penting seperti lada, hasil tambang, serta 
hasil hutan. Karena itu dalam rangka mewujudkan Pax Neerlandica, Belanda 
sangat berambisi untuk menguasai Aceh. Kita tahu sejak masa VOC, orang￾orang Belanda itu ingin menguasai perdagangan di Aceh, begitu juga zaman 
pemerintahan Hindia Belanda. Namun, di sisi lain orang-orang Aceh dan para
sultan yang pernah berkuasa tetap ingin mempertahankan kedaulatan Aceh. 
Semangat dan tindakan sultan beserta rakyatnya yang demikian itu memang 
secara resmi didukung dan dibenarkan oleh adanya Traktat London tanggal 17 
Maret 1824. Traktat London itu yaitu hasil kesepakatan antara Inggris dan 
Belanda yang isinya antara lain bahwa Belanda setelah mendapatkan kembali 
tanah jajahannya di Kepulauan Nusantara tidak dibenarkan mengganggu 
kedaulatan Aceh. 
Isi Traktat London itu secara resmi menjadi kendala bagi Belanda untuk 
menguasai Aceh. Tetapi secara geografis-politis Belanda merasa diuntungkan 
karena kekuatan Inggris tidak lagi sebagai penghalang dan Belanda mulai 
dapat mendekati wilayah Aceh. Apalagi pada tahun 1825 Inggris sudah 
menyerahkan Sibolga dan Natal kepada Belanda. Dengan demikian, Belanda 
sudah berhadapan langsung wilayah Kesultanan Aceh. Belanda tinggal 
menunggu waktu yang tepat untuk dapat melakukan intervensi di Aceh. 
Belanda mulai kasak-kusuk untuk menimbulkan kekacauan di Aceh. Politik 
adu domba juga mulai diterapkan. Belanda juga bergerak di wilayah perairan 
Aceh dan Selat Malaka. Belanda sering menemukan para bajak laut yang 
mengganggu kapal-kapal asing yang sedang berlayar dan berdagang di 
perairan Aceh dan Selat Malaka. Dengan alasan menjaga keamanan kapal￾kapal yang sering diganggu oleh para pembajak, maka Belanda menduduki 
beberapa daerah seperti Baros dan Singkil. 
Gerakan menuju aneksasi terus diintensifkan. Pada tanggal 1 Februari 1858, 
Belanda menyodorkan perjanjian dengan Sultan Siak, Sultan Ismail. Perjanjian 
inilah yang dikenal dengan Traktat Siak. Isinya antara lain Siak mengakui 
kedaulatan Hindia Belanda di Sumatra Timur. Ini artinya daerah-daerah 
yang berada di bawah pengaruh Siak seperti: Deli, Asahan, Kampar, dan 
Indragiri berada di bawah dominasi Hindia Belanda. Padahal daerah-daerah 
itu sebenarnya berada di bawah lindungan Kesultanan Aceh. Bagaimanapun 
juga hal itu tentu mengecewakan pihak Kesultanan Aceh. Belanda tampak 
bergeming dan tidak peduli. Oleh karena itu, Aceh mewaspadai sikap 
dan gerak-gerak Belanda dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk 
menghadapi aneksasi tentara Belanda. 
Sebelum Traktat Siak terdapat Perjanjian antara Inggris-Belanda yang isinya 
Inggris mengizinkan Belanda masuk ke Aceh. Sebagaimana kita ketahui 
bersama sebelumnya Aceh di bawah Pemerintahan Kolonial Inggris.
Perkembangan politik yang semakin menohok Kesultanan Aceh yaitu 
ditandatanganinya Traktat Sumatera antara Belanda dengan Inggris pada 
tanggal 2 November 1871. Isi Traktat Sumatera itu antara lain Inggris memberi 
kebebasan kepada Belanda untuk memperluas daerah kekuasaannya di 
seluruh Sumatera. Hal ini jelas merupakan ancaman bagi Kesultanan Aceh. 
Dalam posisi yang terus terancam ini Aceh berusaha mencari sekutu dengan 
negara-negara lain seperti Turki, Italia bahkan juga melakukan kontak 
hubungan dengan Amerika Serikat. Pada tahun 1873 Aceh mengirim utusan 
yakni Habib Abdurrahman pergi ke Turki untuk meminta bantuan senjata.
Langkah-langkah Aceh itu diketahui oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda 
mengancam dan mengultimatum agar Kesultanan Aceh tunduk di bawah 
pemerintahan Hindia Belanda. Aceh tidak menghiraukan ultimatum itu. 
Karena Aceh dinilai membangkang maka pada tanggal 26 Maret 1873, 
Belanda melalui Komisaris Nieuwenhuijzen mengumumkan perang terhadap 
Aceh. Pecahlah pertempuran antara Aceh melawan Belanda. Para pejuang 
Aceh di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Syah II mengobarkan semangat 
jihad angkat senjata untuk melawan kezaliman Belanda.
Beberapa persiapan di Aceh sebenarnya sudah dilakukan. Misalnya 
membangun pos-pos pertahanan. Sepanjang pantai Aceh Besar telah 
dibangun kuta, yakni semacam benteng untuk memperkuat pertahanan 
wilayah. Kuta ini dibangun di sepanjang Pantai Aceh Besar seperti Kuta 
Meugat, Kuta Pohama, Kuta Mosapi dan juga lingkungan istana Kutaraja 
dan Masjid Raya Baiturrahman. Jumlah pasukan juga ditingkatkan dan 
ditempatkan di beberapa tempat strategis. Sejumlah 3000 pasukan disiagakan 
di pantai dan 4000 pasukan disiagakan di lingkungan istana. Senjata dari 
luar juga sebagian juga telah berhasil dimasukkan ke Aceh seperti 5000 peti 
mesiu dan sekitar 1394 peti senapan.
b) Syahid atau Menang
Agresi tentara Belanda terjadi pada tanggal 5 April 1873. Tentara Belanda 
di bawah pimpinan Jenderal Mayor J.H.R. Kohler terus melakukan serangan 
terhadap pasukan Aceh. Pasukan Aceh yang terdiri atas para ulebalang, 
ulama, dan rakyat terus mendapat gempuran dari pasukan Belanda. Dengan 
memperhatian hasil laporan spionase Belanda yang mengatakan bahwa Aceh

dalam keadaan lemah secara politik dan ekonomi, membuat para pemimpin 
Belanda termasuk Kohler optimis bahwa Aceh segera dapat ditundukkan. 
Oleh karena itu, serangan-serangan tentara Belanda terus diintensifkan. 
Namun, pada kenyataannya tidak mudah menundukkan para pejuang 
Aceh. Dengan kekuatan yang ada para pejuang Aceh mampu memberikan 
perlawanan sengit. Pertempuran terjadi di kawasan pantai dan kota. Bahkan, 
pada tanggal 14 April 1873 terjadi pertempuran sengit antara pasukan Aceh 
di bawah pimpinan Teuku Imeum Lueng Bata melawan tentara Belanda di 
bawah pimpinan Kohler untuk memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman. 
Dalam pertempuran memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman ini pasukan 
Aceh berhasil membunuh Kohler di bawah pohon dekat masjid tersebut. 
Pohon ini kemudian dinamakan Kohler Boom. Banyak jatuh korban dari pihak 
Belanda. Begitu juga tidak sedikit korban dari pihak pejuang Aceh yang mati 
syahid. 
Terbunuhnya Kohler menyebabkan pasukan Belanda ditarik mundur ke 
pantai. Dengan demikian, gagallah serangan tentara Belanda yang pertama. 
Ini membuktikan bahwa tidak mudah untuk menundukkan Aceh. Karena 
kekuatan para pejuang Aceh tidak semata-mata terletak pada kekuatan 
pasukannya, tetapi juga karena hakikat kehidupan yang didasarkan pada 
nilai-nilai agama dan sosial budaya yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. 
Doktrin para pejuang Aceh dalam melawan Belanda hanya ada dua pilihan 
“syahid atau menang”. Dalam hal ini nilai-nilai agama senantiasa menjadi 
potensi yang sangat menentukan untuk menggerakkan perlawanan terhadap 
penjajahan asing. Oleh karena itu, Perang Aceh berlangsung begitu lama. 
Setelah melipatgandakan kekuatannya, pada tanggal 9 Desember 1873 
Belanda melakukan agresi atau serangan yang kedua. Serangan ini dipimpin 
oleh J. van Swieten. Pertempuran sengit terjadi istana dan juga terjadi di 
Masjid Raya Baiturrahman. Para pejuang Aceh harus mempertahankan masjid 
dari serangan Belanda yang bertubi-tubi. Masjid terus dihujani peluru dan 
kemudian pada tanggal 6 Januari 1874 masjid itu dibakar. Para pejuang dan 
ulama kemudian meninggalkan masjid. Tentara Belanda kemudian menuju 
istana. Pada tanggal 15 Januari 1874 Belanda dapat menduduki istana setelah 
istana dikosongkan, karena Sultan Mahmud Syah II bersama para pejuang 
yang lain meninggalkan istana menuju ke Leueung Bata dan diteruskan ke 
Pagar Aye (sekitar 7 km dari pusat kota Banda Aceh). Tetapi pada tanggal 28 
Januari 1874 sultan meninggal karena wabah kolera.
Jatuhnya Masjid Raya Baiturrahman dan istana sultan, Belanda menyatakan 
bahwa Aceh Besar telah menjadi daerah kekuasaan Belanda. Para ulebalang, 
ulama dan rakyat tidak ambil pusing dengan pernyataan Belanda. Mereka 
kemudian mengangkat putra mahkota Muhammad Daud Syah sebagai Sultan 
Aceh. Tetapi karena masih di bawah umur, maka diangkatlah Tuanku Hasyim 
Banta Muda sebagai wali atau pemangku sultan sampai tahun 1884. Pusat 
pemerintahan di Indrapuri (sekitar 25 km arah tenggara dari pusat kota). 
Semangat untuk melanjutkan perang terus menggelora di berbagai tempat. 
Pertempuran dengan Belanda semakin meluas ke daerah hulu. Sementara 
itu, tugas van Swieten di Aceh dipandang cukup. Ia digantikan oleh Jenderal 
Pel. Sebelum Swieten meninggalkan Aceh, ia mengatakan bahwa pemerintah 
Hindia Belanda akan segera membangun kembali masjid raya yang telah 
dibakarnya. Tentu hal ini dalam rangka menarik simpati rakyat Aceh. 
Para pejuang Aceh tidak mengendorkan semangatnya. Di bawah pimpinan 
ulebalang, ulama, dan ketua adat, rakyat Aceh terus mengobarkan perang 
melawan Belanda. Semangat juang semakin meningkat seiring pulangnya 
Habib Abdurrahman dari Turki pada tahun 1877. Tokoh ini kemudian 
menggalang kekuatan bersama Tengku Cik Di Tiro. Pasukannya terus 
melakukan serangan-serangan ke pos-pos Belanda. Kemudian Belanda 
menambah kekuatannya sehingga dapat mengalahkan serangan – serangan 
yang dilakukan pasukan Habib Abdurrahman dan Cik Di Tiro. Di bawah 
pimpinan Van der Heijden, Belanda berhasil mendesak pasukan Habib 
Abdurrahman, bahkan Habib Abdurrahman akhirnya menyerah kepada 
Belanda. Sementara Cik Di Tiro mundur ke arah Sigli untuk melanjutkan 
perlawanan. Belanda berhasil menguasai beberapa daerah seperti Seunaloh, 
Ansen Batee.
c) Perang Sabil
Tahun 1884 merupakan tahun yang sangat penting, karena Muhammad 
Daud Syah telah dewasa maka secara resmi dinobatkan sebagai sultan 
dengan gelar Sultan Ala’uddin Muhammad Daud Syah bertempat di Masjid 
Indrapuri. Pada waktu upacara penobatan ini para pemimpin Perang Aceh 
seperti Tuanku Hasyim, Panglima Polim, Tengku Cik Di Tiro memproklamirkan 
“Ikrar Prang Sabi” (Perang Sabil). Perang Sabil merupakan perang melawan 
kaphee Beulanda (kafir Belanda), perang suci untuk membela agama, perang
untuk mempertahankan tanah air, perang 
jihad untuk melawan kezaliman di muka bumi. 
Setelah penobatan itu, mengingat keamanan, 
istana di Indrapuri dipindahkan ke Keumala 
di daerah Pidie (sekitar 25 km sebelah selatan 
kota Pidie). Dari Istana Keumala inilah semangat 
Perang Sabil digelorakan. 
Dengan digelorakan Perang Sabil, perlawanan 
rakyat Aceh semakin meluas. Apalagi dengan 
seruan Sultan Muhammad Daud Syah yang 
menyerukan gerakan amal untuk membiayai 
perang, telah menambah semangat para 
pejuang Aceh. Cik Di Tiro mengobarkan 
perlawanan di Sigli dan Pidie. Di Aceh bagian 
barat tampil Teuku Umar beserta isterinya 
Cut Nyak Dien. Pertempuran sengit terjadi di 
Meulaboh. Beberapa pos pertahanan Belanda 
berhasil direbut oleh pasukan Teuku Umar. 
Pasukan Aceh dengan semangat jihadnya telah 
menambah kekuatan untuk melawan Belanda. 
Belanda mulai kewalahan di berbagai medan 
pertempuran. Belanda mulai menerapkan 
strategi baru yang dikenal dengan Konsentrasi 
Stelsel atau Stelsel Konsentrasi. 
Strategi Konsentrasi Stelsel itu ternyata juga 
belum efektif untuk dapat segera menghentikan perang di Aceh. Bahkan, 
dengan strategi itu telah menyebarkan perlawanan rakyat Aceh dari tempat 
yang satu ke tempat yang lain. Perang gerilya juga mulai dilancarkan oleh 
para pejuang Aceh. Gerakan pasukan Teuku Umar juga terus mengalami 
kemajuan. Pertengahan tahun 1886 Teuku Umar berhasil menyerang dan 
menyita kapal Belanda Hok Canton yang sedang berlabuh di Pantai Rigaih. 
Kapten Hansen (seorang berkebangsaan Denmark) nakhoda kapal yang 
diberi tugas Belanda untuk menangkap Teuku Umar justru tewas dibunuh 
oleh Teuku Umar. Di tengah-tengah perjuangan itu pada tahun 1891 Tengku
Cik Di Tiro meninggal. Perjuangannya melawan Belanda dilanjutkan oleh 
puteranya yang bernama Tengku Ma Amin Di Tiro. Kemudian ada berita 
bahwa pada tahun 1893 Teuku Umar menyerah kepada Belanda. Teuku Umar 
kemudian dijadikan panglima tentara Belanda dan diberi gelar Teuku Johan 
Pahlawan. Ia diizinkan untuk membentuk kesatuan tentara beranggotakan 
250 orang. Peristiwa ini tentu sangat berpengaruh pada semangat juang 
rakyat Aceh. Nampaknya Teuku Umar juga tidak serius untuk melawan 
bangsanya sendiri. Setelah pasukannya sudah mendapatkan banyak senjata 
dan dipercaya membawa dana 800.000 gulden, pada 29 Maret 1896 Teuku 
Umar dengan pasukannya berbalik dan kembali melawan Belanda. Peristiwa 
inilah yang dikenal dengan Het verraad van Teukoe Oemar (Pengkhianatan 
Teuku Umar). Teuku Umar berhasil menyerang pos-pos Belanda yang ditemui.
Peristiwa itu membuat Belanda semakin marah dan geram. Sementara 
untuk menghadapi semangat Perang Sabil Belanda juga semakin kesulitan. 
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain untuk melaksanakan usulan Snouck 
Horgronye untuk melawan Aceh dengan kekerasan. Perlu diketahui bahwa 
sebelum itu Belanda telah meminta Snouck Hurgronje agar melakukan kajian 
tentang seluk beluk kehidupan dan semangat juang orang-orang Aceh, 
sehingga dapat ditemukan strategi untuk segera mengalahkan para pejuang 
Aceh. Snouck Hurgronje mulai menyamar memasuki kehidupan di tengah￾tengah kehidupan masyarakat Aceh. Ia memakai nama samaran Abdul Gafar. 
Ia telah mempelajari agama Islam dan adat budaya Aceh. Snouck Horgronye 
menyimpulkan bahwa para pejuang Aceh itu sulit dikalahkan karena 
disemangati oleh semangat jihad dengan tali ukhuwah Islamiyahnya. Oleh 
karena itu, Snouck Hurgronje mengusulkan beberapa cara untuk melawan 
perjuangan rakyat Aceh. Beberapa usulan itu yaitu sebagai berikut: 
1) perlu memecah belah persatuan dan kekuatan masyarakat Aceh, sebab 
di lingkungan masyarakat Aceh terdapat rasa persatuan antara kaum 
bangsawan, ulama, dan rakyat;
2) menghadapi kaum ulama yang fanatik dalam memimpin perlawanan 
harus dengan kekerasan, yaitu dengan kekuatan senjata; dan
3) bersikap lunak terhadap kaum bangsawan dan keluarganya dan 
diberi kesempatan untuk masuk ke dalam korps pamong praja dalam 
pemerintahan kolonial Belanda.
Belanda segera melaksanakan usulan-usulan Snouck Hurgronje tersebut. 
Belanda harus menggempur Aceh dengan kekerasan dan senjata. Untuk 
memasuki fase ini dan memimpin perang melawan rakyat Aceh, diangkatlah

gubernur militer yang baru yakni van Heutsz 
(1898-1904) menggantikan van Vliet. 
Genderang perang dengan kekerasan di mulai 
tahun 1899. Perang ini berlangsung 10 tahun. 
Oleh karena itu, pada periode tahun 1899 – 
1909 di Aceh disebut dengan masa sepuluh 
tahun berdarah (tien bloedige jaren) . 
Semua pasukan disiagakan dengan dibekali 
seluruh persenjataan. Van Heutsz segera 
melakukan serangan terhadap pos pertahanan 
para pemimpin perlawanan di berbagai daerah. 
Dalam hal ini Belanda juga mengerahkan 
pasukan anti gerilya yang disebut Korps 
Marchausse (Marsose) yakni pasukan yang terdiri dari orang-orang Indonesia 
yang berada di bawah pimpinan opsir-opsir Belanda. Mereka pandai berbahasa 
Aceh. Dengan demikian, mereka dapat bergerak sebagai informan. Dengan 
kekuatan penuh dan sasaran yang tepat karena adanya informan-informan 
bayaran, serangan Belanda berhasil mencerai-beraikan para pemimpin 
perlawanan. Teuku Umar bergerak menyingkir ke Aceh bagian barat dan 
Panglima Polem dapat digiring dan bergerak di Aceh bagian timur. 
Di Aceh bagian barat Teuku Umar mempersiapkan pasukannya untuk 
melakukan penyerangan secara besar-besaran ke arah Meulaboh. Tetapi 
tampaknya persiapan Teuku Umar ini tercium oleh Belanda. Maka Belanda 
segera menyerang benteng pertahanan Teuku Umar. Terjadilah pertempuran 
sengit pada Februari 1899. Dalam pertempuran ini Teuku Umar gugur sebagai 
syuhada. Perlawanan dilanjutkan oleh Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien dengan 
pasukannya memasuki hutan dan mengembangkan perang gerilya. 
Perlawanan rakyat Aceh belum berakhir. Para pejuang Aceh di bawah 
komando Sultan Daud Syah dan Panglima Polem terus berkobar. Setelah 
istana kerajaan di Keumala diduduki Belanda, sultan melakukan perlawanan 
dengan berpindah-pindah bahkan juga melakukan perang gerilya. Sultan 
menuju Kuta Sawang kemudian pindah ke Kuta Batee Iliek. Tetapi kuta-kuta
ini berhasil diserbu Belanda. Sultan kemudian menyingkir ke Tanah Gayo. 
Pada tahun berikutnya Belanda menangkap istri sultan, Pocut Murong. Karena 
tekanan Belanda yang terus menerus, pada Januari 1903 Sultan Muhammad 
Daud Syah terpaksa menyerah. Demikian siasat licik dari Belanda. Cara licik 
ini kemudian digunakan untuk mematahkan perlawanan Panglima Polem dan 
Tuanku Raha Keumala. Istri, ibu dan anak-anak Panglima Polem ditangkap
oleh Belanda. Dengan tekanan yang bertubi-tubi akhirnya Panglima Polem 
juga menyerah pada 6 September 1903. Dengan demikian dapat dikatakan 
bahwa Kerajaan Aceh yang sudah berdiri sejak 1514 harus berakhir.
Kerajaan boleh berakhir, tetapi semangat juang rakyat Aceh untuk melawan 
dominasi asing sulit untuk dipadamkan. Sementara Cut Nyak Dien terus 
mengobarkan perang jihad dengan bergerilya. Tetapi setelah pos pertahanan 
pasukannya dikepung tentara Belanda pada tahun 1906 Cut Nyak Dien 
berhasil ditangkap. Ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat sampai meninggal 
pada tanggal 8 November 1908.
Namun perjuangan rakyat Aceh juga belum berakhir. Di daerah Pidie sejumlah 
ulama masih terus melancarkan serangan ke pos-pos Belanda. Tokoh￾tokoh ulama itu misalnya Teungku Mahyidin Tiro bersama istrinya Teungku 
Di Bukiet Tiro, Teungku Ma’at Tiro, Teungku Cot Plieng. Semua ulama ini 
gugur dalam Perang Sabil melawan kezaliman Belanda. Ulama yang terakhir 
mengadakan perlawaan di Pidie ini yaitu Teungku Ma’at Tiro yang waktu
itu baru berusia 16 tahun. Tetapi setelah dikepung di Pegunungan Tangse 
Teungku Ma’at Tiro berhasil ditembak mati oleh Belanda pada tahun 1911. 
Ia mati syahid gugur sebagai kusuma bangsa. 
Sementara itu, di pesisir utara dan timur Aceh 
juga masih banyak para ulama dan pemimpin 
adat yang terus melakukan perlawanan. Tokoh 
perlawanan tersebut diantaranya Teuku Ben 
Pirak (ayah Cut Nyak Mutia), Teuku Cik Tinong 
(suami Cut Nyak Mutia). Setelah ayah dan 
suaminya gugur, Cut Nyak Mutia melanjutkan 
perang melawan kekejaman Belanda. Cut Nyak 
Mutia sesuai dengan pesan suaminya Teuku Cik 
Tunong sebelum ditembak mati oleh Belanda 
disarankan untuk menikah dengan Pang 
Nanggru. Oleh karena itu, Cut Nyak Mutia dapat 
bersama-sama melawan Belanda dengan Pang 
Nanggru. Pada tanggal 26 September 1910 
terjadi pertempuran sengit di Paya Cicem. Pang 
Nanggru tewas dan Cut Nyak Mutia berhasil 
meloloskan diri. Bersama puteranya Raja Sabil (baru usia 11 tahun), Cut Nyak 
Mutia terus memimpin perlawanan. Tetapi Cut Nyak Mutia akhirnya dapat 
didesak dan gugur setelah beberapa peluru menembus kaki dan tubuhnya. 
Ulama yang lain seperti Teungku Di Barat bersama istrinya Cut Po Fatimah 
masih melanjutkan perlawanan, tetapi suami-istri itu akhirnya juga gugur 
tertembak oleh keganasan peluru Belanda pada tahun 1912. Demikian 
Perang Sabil yang digelorakan rakyat Aceh secara massal baru berakhir pada 
tahun 1912. Tetapi sebenarnya masih ada gerakan-gerakan perlawanan lokal 
yang berskala kecil yang sering terjadi. Bahkan, dikatakan perang-perang 
kecil itu berlangsung sampai tahun 1942.

8. Perang Batak 
Kita semua juga sudah sangat familier 
mendengar kata Batak. Batak merupakan nama 
kawasan sekaligus nama suku, Suku Batak. 
Ada beberapa kelompok Batak misalnya ada 
Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, 
Batak Mandailing, dan Batak Pakpak. Sekarang 
masyarakat Batak tersebar di berbagai daerah 
di Indonesia. Mereka banyak yang bergerak dan 
berperan di bidang hukum. 
Secara historis-sosiologis masyarakat Batak 
menarik untuk dikaji. Secara sosiologis kita 
mengenal bagaimana struktur masyarakat Batak 
itu. Basis masyarakat Batak sebenarnya berada 
di daerah-daerah kompleks perkampungan yang disebut dengan huta. 
Huta yaitu bentuk kesatuan ikatan-ikatan kampung yang dalam berbagai 
aspek kehidupan berdiri sendiri-sendiri. Setiap kesatuan huta didiami oleh 
satu ikatan kekerabatan yang disebut marga. Dalam strukturnya, di atas 
huta atau gabungan dari beberapa huta terbentuk horja dan gabungan dari 
beberapa horja terbentuk bius. Kesatuan dari beberapa bius itu terbentuklah 
satu wilayah kerajaan. Kerajaan masyarakat Batak yang dipimpin oleh Raja 
Sisingamangaraja, pusat pemerintahannya ada di Bakkara. Sejak tahun 
1870 yang menjadi raja yaitu Patuan Bosar Ompu Pulo Batu yang bergelar 
Sisingamangaraja XII. Pada tahun 1878 Raja Sisingamangaraja XII angkat 
senjata memimpin rakyat Batak untuk melawan Belanda. 
a. Mengapa terjadi Perang Batak?
Perlu diketahui bahwa setelah Perang Padri berakhir, Belanda terus meluaskan 
daerah pengaruhnya. Belanda mulai memasuki tanah Batak seperti 
Mandailing, Angkola, Padang Lawas, Sipirok bahkan sampai Tapanuli. Hal ini 
jelas merupakan ancaman serius bagi kekuasaan Raja Batak, Sisingamangaraja 
XII. Masuknya dominasi Belanda ke tanah Batak ini juga disertai dengan 
penyebaran agama Kristen. Penyebaran agama Kristen ini ditentang oleh 
Sisingamangaraja XII karena dikhawatirkan perkembangan agama Kristen itu 
akan menghilangkan tatanan tradisional dan bentuk kesatuan negeri yang 
telah ada secara turun temurun. Untuk menghalangi proses Kristenisasi ini,

pada tahun 1877 Raja Sisingamangaraja XII berkampanye keliling ke daerah￾daerah untuk menghimbau agar masyarakat mengusir para zending yang 
memaksakan agama Kristen kepada penduduk. Masuknya pengaruh Belanda 
ini juga akan mengancam kelestarian tradisi dan adat asli orang-orang Batak. 
Akibat kampanye Raja Singamangaraja XII telah menimbulkan ekses 
pengusiran para zending. Bahkan ada penyerbuan dan pembakaran terhadap 
pos-pos zending di Silindung. Kejadian ini telah memicu kemarahan Belanda 
dan dengan alasan melindungi para zending, Pada tanggal 8 Januari 1878 
Belanda mengirim pasukan untuk menduduki Silindung. Pecahlah Perang 
Batak
b. Bagaimana Jalannya Perang Batak?
Alasan untuk melindungi para Zending tentu alasan yang dibuat-buat 
Belanda. Karena yang jelas Belanda menduduki Silindung sebagai langkah 
awal untuk memasuki tanah Batak yang merupakan wilayah kekuasaan Raja 
Sisingamangaraja XII. Belanda ingin menguasai seluruh tanah Batak. Kali 
pertama pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Schelten menuju Bahal 
Batu. Rakyat Batak di bawah pimpinan langsung Raja Sisingamangaraja 
XII melakukan perlawanan terhadap gerakan pasukan Belanda di Bahal 
Batu. Dalam menghadapi perang melawan Belanda ini rakyat Batak sudah 
menyiapkan benteng pertahanan seperti benteng alam yang terdapat di 
dataran tinggi Toba dan Silindung. Di samping itu, dikembangkan benteng 
buatan yang ada di perkampungan. Setiap kelompok kampung dibentuk 
empat persegi dengan pagar keliling terbuat dari tanah dan batu. Di luar 
tembok ditanami bambu berduri dan di sebelah luarnya lagi dibuat parit 
keliling yang cukup dalam. Pintu masuk dibuat hanya beberapa buah dengan 
ukuran sempit. 
Pertempuran pertama terjadi di Bahal Batu. Sisingamangaraja XII dengan 
pasukannya berusaha memberikan perlawanan sekuat tenaga. Tetapi 
nampaknya kekuatan pasukan Batak tidak seimbang dengan kekuatan tentara 
Belanda, sehingga pasukan Sisingamangaraja XII ini harus ditarik mundur. 
Akibatnya justru pertempuran merembet ke daerah lain, misalnya sampai di 
Butar. Karena dengan gerakan mundur tadi, pasukan Sisingamangaraja XII 
juga melakukan penyerangan pada pos-pos Belanda yang lain.
Perang Batak ini semakin meluas ke daerah-daerah lain. Setelah berhasil 
menggagalkan berbagai serangan dari pasukan Sisingamangaraja XII, 
Belanda mulai bergerak ke Bakkara. Bakkara merupakan benteng dan istana 
Kerajaan Sisingamangaraja. Dengan jumlah pasukan yang cukup besar 
Belanda mulai mengepung Bakkara. Letnan Kitchner menyerang dari arah 
selatan, Chelter mendesak dari sebelah timur, sementara Van den Bergh 
mengepung dari arah barat. Beberapa komandan tempur Belanda berusaha 
memasuki benteng Bakkara, tetapi selalu dapat dihalau dengan lemparan 
batu oleh para pejuang Batak. Akhirnya benteng dan Istana Bakkara dihujani 
tembakan-tembakan yang begitu gencar, sehingga benteng itu dapat 
diduduki Belanda. Sisingamangaraja dan sisa pasukannya berhasil meloloskan 
diri dan menyingkir ke daerah Paranginan di bagian selatan Danau Toba. 
Belanda terus memburu Sisingamangaraja. Sisingamangaraja kemudian 
menyingkir ke Lintung. Belanda terus mengejar Sisingamangaraja terus 
bergerak ke Tambunan, Lagu Boti, dan terus ke Baligie. Dengan kekuatan 
pasukannya, Belanda dapat menguasai tempat-tempat itu semua, sehingga 
semua daerah di sekitar Danau Toba sudah dikuasai Belanda. 
Sisingamangaraja XII dengan sisa pasukannya bergerak menuju Huta Puong. 
Pada Juli tahun 1889 Sisingamangaraja XII kembali angkat senjata melawan 
ekspedisi Belanda. Di Huta Puong ini pasukan Sisingamangaraja XII bertahan 
cukup lama. Tetapi pada tanggal 4 September 1899 Huta Puong juga jatuh 
ke tangan Belanda. Sisingamangaraja XII kemudian membuat pertahanan 
di Pakpak dan Dairi. Pasukan Belanda di bawah komando van Daden 
mengadakan gerakan sapu bersih terhadap kantong-kantong pertahanan 
dari Aceh sampai tanah Gayo, termasuk yang ada di tanah Batak . Tahun 
1907 pasukan Belanda di bawah komando Hans Christoffel memfokuskan 
untuk menangkap Sisingamangaraja XII. Sisingamangaraja XII berhasil 
dikepung rapat di daerah segitiga Barus, Sidikalang, dan Singkel. Dalam 
pengepungan ini Belanda menggunakan cara licik yakni menangkap Boru 
Sagala, istri Sisingamangaraja XII dan dua anaknya. 
Dengan beban psikologis yang berat Sisingamangaraja XII tetap bertahan, tidak 
mau menyerah. Akhirnya pada tanggal 17 Juni 1907 siang pasukan Belanda 
dikerahkan untuk menangkap Sisingamangaraja XII di pos pertahanannya di 
Aik Sibulbulon di daerah Dairi. Dalam keadaan terdesak, Sisingamangaraja 
XII dengan putera-puteranya tetap bertahan dan melakukan perlawanan 
sekuat tenaga. Tetapi dalam pertempuran itu Sisingamangaraja XII tertembak 
mati. Begitu juga putrinya Lopian dan dua orang puteranya Sutan Nagari dan 
Patuan. Dengan demikian berakhirlah Perang Batak.


Setelah VOC dibubarkan, terjadilah perubahan penting dalam sistem pemerintahan 
di tanah Hindia Belanda. Pembaruan sistem pemerintahan ini terutama dilakukan 
oleh Daendels. Namun sistem pemerintahan yang baru itu dapat dilembagakan dan 
dilaksanakan secara nyata pada zaman pemerintahan Raffles. Sistem pemerintahan 
yang baru itu bersifat dualistis, yakni ada pemerintahan Eropa dan ada 
pemerintahan pribumi (sekalipun harus tunduk pada penguasa Eropa). Di samping 
itu, sebenarnya ada kelompok Timur Asing yang kedudukannya setara dengan 
pribumi. Dalam hal ini para pangreh praja
 direpresentasikan dalam pemerintahan pribumi. Namun penguasa kolonial sangat 
menentukan sistem pergantian kekuasaan pemerintahan pribumi.
(Sementara itu) sejak pemerintahan Daendels, pembaruan di bidang pendidikan 
di Hindia Belanda (juga) mulai dilakukan. Awalnya hanya ditujukan untuk 
kepentingan tertentu dan kalangan tertentu. Namun sejak Politik Etis bergulir, 
para bumiputra Hindia Belanda pun turut mengenyam pendidikan ala Barat. Pada 
masa selanjutnya, hal ini menjadi bumerang bagi Belanda karena pendidikan 
tersebut justru melahirkan elite lokal yang menaruh perhatian besar pada semangat 
nasionalisme. Uraian tersebut menggambarkan bahwa penjajahan Barat memiliki 
implikasi terhadap perkembangan kehidupan bangsa Indonesia. Di samping 
perkembangan pendidikan persekolahan (pendidikan modern) juga 
menggerakkan semangat nasionalisme. Munculnya semangat nasionalisme 
dan cinta tanah air, sebenarnya sudah muncul setelah Indonesia ini dijajah 
dan digerogoti oleh kekuatan kolonialisme dan imperialisme. Timbullah 
berbagai bentuk perlawanan dan pergerakan kebangsaan. Hal ini terjadi 
karena kondisi sosial ekonomi rakyat yang semakin memprihatinkan akibat 
dari penindasan kaum penjajah, kekejaman kolonialisme dan imperialisme 
Eropa. Berikut ini kita akan belajar bagaimana dampak perkembangan 
kolonialisme dan imperialisme Eropa di Indonesia.


1. Bidang Politik dan Struktur Pemerintahan
Dalam bidang politik, para penguasa penjajahan Barat terutama Belanda 
melakukan kebijakan yang sangat ketat dan cenderung menindas. 
Pemerintah kolonial menjalankan politik memecah belah atau devide et 
impera. Tidak hanya politik memecah belah, tetapi juga disertai dengan tipu 
muslihat yang cenderung menghalalkan segala cara sehingga melanggar 
norma-norma kemanusiaan. Misalnya pura-pura mengajak perundingan 
damai tetapi malah ditangkap (penangkapan Pangeran Diponegoro), pura￾pura diajak berunding tetapi malah dibunuh (pembunuhan Sultan Khaerun/
Hairun). Secara politik martabat rakyat Indonesia jatuh dan menjadi tidak 
berdaulat. Rakyat Indonesia juga menjadi kelompok masyarakat kelas tiga 
setelah kelompok orang-orang Barat (penjajah) dan kelompok orang-orang 
timur asing.
Berangkat dari politik memecah belah dan praktik-praktik tipu muslihat 
itu, kekuatan kolonial Belanda terus memperluas wilayah kekuasaannya. 
Penguasa kolonial juga selalu campur tangan dalam pergantian kekuasaan 
di lingkungan kerajaan/pemerintahan pribumi. Penguasa-penguasa pribumi/
lokal dan rakyatnya kemudian menjadi bawahan penjajajah. Hal ini dapat 
menimbulkan sikap rendah diri di kalangan rakyat. Beberapa penguasa 
pribumi mulai tidak memperhatikan rakyatnya.
Perlu disadari bahwa masa sebelum penjajahan dan sebelum terjadi intervensi 
politik para penguasa kolonial, berkembang sistem kerajaan. Kerajaan 
ini berkembang sendiri-sendiri di berbagai daerah. Tetapi seperti telah 
disinggung di depan bahwa pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal 
Daendels, telah dilakukan pembaruan bidang politik dan administrasi 
pemerintahan. Daendels telah membagi wilayah kekuasaan kolonial Belanda 
di Indonesia/Hindia Belanda di Jawa dibagi menjadi sembilan prefektur 
dan terbagi dalam 30 regentschap (kabupaten). Setiap prefektur diangkat 
seorang pejabat kepala pemerintahan yang disebut dengan prefek. Seorang pejabat prefek ini diangkat dari orang Eropa. Kemudian setiap regentschap/
kabupaten dikepalai oleh seorang regent atau bupati yang berasal dari kaum 
pribumi. Namun, status bupati sampai dengan camat (yang disebut priayi) 
sepenuhnya menjadi pegawai negeri (binnenland bestuur) baru terwujud 
setelah diterapkannya sistem Tanam Paksa pada pertengahan 1850-an).
Setiap bupati ini merupakan pegawai pemerintah yang digaji. Dengan 
demikian, para bupati ini telah kehilangan hak jabatan yang diwariskan 
secara turun temurun (lihat uraian dalam buku Taufik Abdullah dan A.B. 
Lapian, 2012).
Setiap prefek diberikan kekuasaan yang besar dan ditugasi untuk memperketat 
pengawasan administratif dan keuangan terhadap para penguasa pribumi. 
Ruang gerak para penguasa pribumi semakin sempit. Kewibawaan yang 
berusaha diciptakannyapun menjadi semu.
Dalam struktur pemerintahan dikenal adanya pemerintahan tertinggi, 
semacam pemerintahan pusat. Sebagai penguasa tertinggi yaitu gubernur 
jenderal. Di tingkat pusat ini juga ada lembaga yang disebut dengan Raad 
van Indie, tetapi perannya cenderung sebagai dewan penasihat. Dalam 
pelaksanaan pemerintahan juga dikenal adanya departemen-departemen 
untuk mengatur pemerintahan secara umum. Beberapa departemen 
hasil reorganisasi tahun 1866, antara lain ada Departemen Dalam Negeri; 
Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan; Departemen Pekerjaan 
Umum; Departemen Keuangan; Departemen Urusan Perang; kemudian 
dibentuk Departemen Kehakiman (1870); Departemen Pertanian (1904), yang 
disempurnakan menjadi Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan 
(1911).
Sementara itu, dalam pelaksanaan 
pemerintahan dalam negeri, sangat jelas 
adanya dualisme pemerintahan. Ada 
pemerintahan Eropa (Europees bestuur)
dan pemerintahan pribumi (Inlands 
bestuur). Di lingkungan pemerintahan 
Eropa ini, terdapat pejabat wilayah yang 
paling tinggi yakni residen. Ia memimpin 
wilayah karesidenan. Di seluruh Jawa￾Madura terbagi menjadi 20 karesidenan. Begitu juga di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau bagian timur 
juga dibagi dalam wilayah karesidenan-karesidenan, tetapi jumlahnya relatif 
kecil.
Di bawah residen ada pejabat asisten residen. Asisten residen ini mengepalai 
suatu wilayah bagian dari karesidenan yang dinamakan afdeling. Di bawah 
asisten residen masih ada pejabat yang disebut kontrolir (controleur). Ia 
memimpin wilayah yang dinamakan controle-afdeling.
Selanjutnya yang terkait dengan pemerintahan pribumi, para pejabatnya 
semua dijabat oleh priayi pribumi. Jenjang tertinggi dalam pemerintahan 
pribumi yaitu seorang regent atau bupati. Ia memimpin sebuah wilayah 
kabupaten. Seorang bupati ini dibantu oleh seorang pejabat yakni patih. 
Satu wilayah kabupaten umumnya terbagi menjadi beberapa distrik yang 
dipimpin oleh seorang wedana. Setiap distrik kemudian terbagi menjadi 
onderdistrik yang dikepalai seorang asisten wedana atau sekarang camat. 
Unit paling bawah kemudian ada desa-desa.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles di Hindia Belanda, ia 
mereformasi pemerintahan pada saat itu. Raffles yang berpandangan liberal 
mulai menghapus ikatan feodal dalam masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa 
yang sudah terbiasa hidup dalam adat-istiadat dan ikatan feodal yang 
kuat dipaksa untuk mengikuti sistem birokrasi baru. Karena itu, dari para 
penguasa pribumi seperti raja, bupati, hingga kepala desa harus mengikuti 
sistem pemerintahan dan birokrasi yang baru. Dalam hal ini pemerintah pusat 
dapat langsung berhubungan dengan rakyat tanpa perantara penguasa 
lokal. Sebenarnya pekerjaan ini sudah diawali oleh Daendels, sehingga 
Raffles tinggal melanjutkan saja. Pembaruan yang dilakukan Raffles juga 
menyangkut struktur pemerintahan dan peradilan.
Pada masa pemerintahan Raffles, bupati sebagai penguasa lokal harus 
dijauhkan dari otonomi yang menguntungkan diri sendiri. Seorang bupati 
diangkat sebagai pegawai pemerintah di bawah seorang residen. W. 
Daendels memberikan istilah itu dengan prefek atau landrost. Raffles 
kemudian membagi Jawa menjadi 16 keresidenan. Tiap keresidenan dikepalai 
oleh seorang residen dan dibantu oleh beberapa asisten residen. Pembaruan
yang dilakukan Raffles ini bertujuan untuk melakukan transformasi sistem 
pemerintahan Jawa, yaitu menggantikan sistem tradisional Jawa yang bersifat 
patrimonial menuju sistem pemerintahan modern yang rasional.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sistem pemerintahan Raffles 
diperbaiki kembali. Di samping itu untuk menyatukan seluruh wilayah Hindia 
Belanda yang masih berbentuk kerajaan-kerajaan, pemerintah Kolonial 
Belanda melakukan politik pasifikasi kewilayahan di Aceh, Sumatera Barat, 
Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku dan Papua. Penyatuan 
seluruh wilayah Hindia Belanda ini baru berhasil sekitar tahun 1905. 
Bersatunya Hindia Belanda ini dikenal dengan Pax Neerlandica masa setelah 
itu, wilayah Hindia Belanda telah stabil di bawah kekuasaan Hindia Belanda. 
Wilayah inilah setelah proklamasi menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik 
Indonesia (NKRI).
2. Bidang Ekonomi
Pada masa pemerintahan Daendels, perubahan sistem pemerintahan telah 
membawa pada perubahan sistem perekonomian tradisional. Dalam sistem 
modern, tanah-tanah milik Raja berubah statusnya menjadi tanah milik 
pemerintah kolonial. Dalam masa pemerintahan kolonial, mencari uang 
dan mengumpulkan kekayaan menjadi tujuan utama. Uang dan kekayaan 
mereka kumpulkan untuk membiayai keperluan pemerintahan yang sedang 
berlangsung saat itu. Untuk mendapatkan uang pemerintah kolonial 
memperolehnya dari penjual hasil bumi dari para petani berupa pajak. Petani 
pun harus menjual hasil bumi dengan harga yang telah ditetapkan. 
Grote Postweg atau jalan Raya Pos yang menghubungkan Anyer sampai 
Panarukan, dibuka pada masa Daendels memerintah Hindia Belanda. Jalan 
itu dibangun hampir di seluruh Pulau Jawa sebagai sarana pertahanan untuk 
menghadapi Inggris. Jalan yang dibangun itu menembus sebagian hutan 
dan gunung untuk menghindari rawa-rawa antara Jakarta dan Cirebon. 
Pembangunan jalan itu terkait dengan masalah politik yang sedang menimpa 
pemerintah, seperti masalah keuangan, ancaman Inggris, pemberontakan 
Banten dan Cirebon, serta banyak musuh-musuh Daendels. Tindakan 
Daendels ini mendapat pujian dari menteri penjajahan. Karena dengan 
pembangunan jalan itu maka akan mengurangi pengeluaran pemerintahan. 
Pembangunan jalan sepanjang 1000 km itu dilakukan dengan kerja rodi. 
Meskipun dibangun dengan kerja rodi, jalan itu berguna untuk memakmurkan 
pedalaman Jawa sebagai konsekuensi yang teratur. Menurut Daendels, 
jalan itu membawa keuntungan bagi penduduk setempat dengan semakin 
ramainya perdagangan. Meskipun jalan pos ini membawa perkembangan 
daerah yang dilaluinya, namun kritik pedas kepada Daendels dilontarkan 
karena pembangunan jalan itu telah merenggut ribuan nyawa manusia.
Pada masa Raffles terjadi perubahan sistem kepemilikan tanah dari tanah 
raja dan penguasa lokal ke pemerintah. Ini berarti pemerintah mempunyai 
kewenangan untuk menyewakan tanah. Perubahan dari sistem kepemilikan 
tanah inilah yang menyebabkan pula terjadinya perubahan hubungan antara 
raja dan kawulanya, yaitu dari patron-client menjadi hubungan-hubungan 
yang bersifat komersial. Adanya penyewaan tanah ini berarti pemerintah 
mendapatkan pajak tanah, dan kas pemerintah pun terisi. Dengan demikian 
pelaku ekonomi yaitu pihak swasta. Sistem ini telah membuka kemerdekaan
ekonomi yang didukung oleh kepastian hukum usaha. Perdagangan bebas 
pun mulai dilakukan. Dalam kaitannya dengan ini, bila perdagangan bebas 
dilakukan maka kemakmuran rakyat akan tumbuh dengan sendirinya. Sejak 
itulah sistem kegiatan ekonomi uang di desa-desa Jawa dan daerah lain di 
Hindia Belanda yang telah lama dikenal dengan sistem ekonomi swadaya 
berubah menjadi sistem ekonomi komersial.
Setelah pemerintah Raffles berakhir, diganti dengan pemerintahan Hindia 
Belanda ekonomi uang terus berkembang, dan kegiatan perdagangan pun 
semakin luas. Perkembangan ini didukung oleh perkembangan di bidang 
perbankan. Sejak tahun 1828 era perbankan modern masuk ke Hindia 
Belanda. Pada masa itu De Javasche Bank, didirikan di Batavia pada tanggal 
24 Januari 1828. Kemudian menyusul berdiri bank-bank lainnya seperti 
Nederlands Handels Maatschappij, De Nationale Handels Bank dan Escompto 
Bank. Selain itu juga berkembang bank-bank lain yang berasal dari Inggris, 
Australia dan Cina. Bahkan juga ada juga bank milik pribumi yaitu Bank 
Desa, Lumbung Desa.
Dampak lain dari pemerintahan kolonial yaitu munculnya kota-kota baru 
yang ditandai dengan adanya jaringan transportasi berupa jalur-jalur kereta 
api dari Jakarta ke Bogor, dan kereta api di Pulau Jawa dan lain sebagainya. 
Pada tahun 1840, muncul penyelidikan tentang pembangun jalur kereta 
api yang menghubungan dari Surabaya lewat Solo ke Yogyakarta hingga 
ke Priyangan. Pada September 1895, Jaringan kereta api Semarang-Cirebon 
terbangun. Jaringan kereta api juga dibangun di Sumatera. Perusahaan Zuid 
Sumatera Staatsramwegen membangun jaringan di Lampung sepanjang 
62 km dan Palembang sepanjang 152 km yang telah beroperasi 1917. Di 
Sumatera Barat, sejak 1833 telah dibangun kereta api, begitu juga di Aceh. 
Di samping itu, jalur transpotasi darat membawa banyak perkembangan 
dalam bidang perekonomian. 
Munculnya pelabuhan-pelabuhan membawa pengaruh pada perkembangan 
perdagangan. Terbentuknya jaringan kereta api yang terhubung ke 
pelabuhan–pelabuhan sehingga pelabuhan-pelabuhan di Hindia Belanda 
mulai tersambung pula, karena didukung munculnya angkutan kapal laut.
Perkembangan ekonomi juga didukung oleh munculnya kemajuan 
komunikasi dan transpotasi. Pada 1746, kantor pos pertama didirikan di 
Batavia. Hal ini mengalami kemajuan lagi setelah Daendels membangun jalan 
pos yang menghubungkan di wilayah Pulau Jawa. Terhubungnya jaringan 
kereta api dan jalan pos telah mempercepat pengiriman surat lewat pos, 
sehingga informasi semakin berkembang cepat. Di Sumatera pelayanan pos
dilakukan dengan mobil, misalnya di Palembang, Pantai Timur Sumatera dan 
Aceh. Pelayanan telegrap dimulai sejak 1855, sehingga informasi semakin 
cepat sampai. Sistem ekonomi kapitalis mulai bangkit dengan ditandai 
oleh masyarakat Indonesia yang mulai mengenal beberapa jenis tanaman 
perkebunan yang menjadi bahan ekspor di pasar duniaHal yang menarik dan penting untuk diketahui dalam konteks 
politik dan ekonomi itu yaitu usaha perluasan daerah kekuasaan 
Belanda. Dengan cara kekerasan dan perang, melalui kontrak dan atau 
perjanjian dengan penguasa-penguasa /raja lokal, bahkan kadang 
dengan tipu muslihat, akhirnya Kepulauan Indonesia ini berada di 
bawah kekuasaan Belanda. Pada masa kekuasaan Belanda inilah 
secara nyata mulai dikenal batas wilayah termasuk batas-batas wilayah 
Hindia Belanda yang kemudian menjadi wilayah Negara Indonesia, 
dari ujung barat (Aceh) sampai ujung timur (Papua). Batas tanah 
Hindia Belanda bagian timur di Papua ini telah disepakati dengan 
perjanjian antara Belanda dan Inggris pada tahun 1895.
1. Bidang Sosial-Budaya
Penjajahan bangsa Barat di Indonesia secara tegas telah menerapkan 
kehidupan yang diskriminatif. Orang-orang Barat memandang bahwa 
mereka yang berkulit putih sebagai kelompok yang kelas I, kaum Timur Asing 
sebagai kelas II, dan kaum pribumi dipandang sebagai masyarakat kelas III, 
kelas yang paling rendah. Hal ini membawa konsekuensi bahwa budayanya 
juga dipandang paling rendah. Pandangan ini sengaja untuk menjatuhkan 
martabat bangsa Indonesia yang memang sedang terjajah.
Memang bangsa Barat ini ingin memberantas budaya feodal. Terbukti 
Belanda berhasil menggeser hak-hak istimewa para penguasa pribumi. 
Para penguasa pribumi, telah kehilangan statusnya sebagai bangsawan 
yang sangat dihormati oleh rakyatnya. Mereka telah ditempatkan sebagai 
pegawai pemerintah kolonial, sehingga tidak memiliki hak-hak istimewa 
kebangsawanannya. Status dan hak-hak istimewanya justru diambil oleh 
Belanda. Masyarakat Indonesia harus menghormati secara berlebihan kepada 
penguasa kolonial.
Harus diakui dengan adanya dominasi orang-orang Barat di Indonesia telah 
menanamkan nilai-nilai budaya yang umumnya kurang sesuai dengan nilai￾nilai budaya bangsa Indonesia. Bahkan perkembangan budaya Barat yang 
cenderung dipaksakan juga telah menggeser nilai-nilai budaya keindonesiaan. 
Semangat persatuan, hidup dalam suasana kekerabatan, nilai-nilai gotong 
royong, nilai-nilai kesantunan, unggah-ungguh atau budi pekerti luhur 
yang dikembangkan di lingkungan kraton yang juga ditiru oleh masyarakat 
mulai bergeser. Bahkan yang menyedihkan dengan alasan modernisasi, para 
penguasa Barat tidak mau tahu tentang tradisi atau atau norma-norma, 
termasuk nilai halal dan haram dalam Islam, misalnya dengan budaya minum￾minuman keras (menjadi mabuk-mabukan), berangkat dari dance kemudian 
mengarah kepada pergaulan laki-laki dan perempuan yang cenderung tanpa 
batas. Oleh karena itu, di lingkungan masyarakat beragama Islam, kaum 
kolonial yang menjajah Indonesia dikatakan sebagai orang-orang kafir
Kedatangan dan dominasi bangsa-bangsa Barat juga telah membawa 
pengaruh semakin intensifnya perkembangan agama Kristen. Hal ini tentu 
sejenak menimbulkan culture shock di kalangan masyarakat muslim di 
Indonesia. Namun dalam perkembangannya mampu beradaptasi sehingga 
menambah khasanah keragaman di Indonesia.
Kemudian pada zaman pemerintahan Raffles, perkembangan ilmu 
pengetahuan, sejarah dan budaya, khususnya di Jawa, mendapatkan 
perhatian khusus. Melalui bukunya yang berjudul History of Java, buku 
tersebut memuat berbagai aspek sosial dan budaya di Pulau Jawa. Ada juga 
buku karya William Marsden yang berjudul History of Sumatera. Pemerhati 
budaya Nusantara ternyata cukup banyak selain Raffles dan William Marsden 
terdapat pula menteri pemerintahan Batavia, yakni Crawfurd. Ia menulis 
buku History of the East Indian Arcipelago dalam tiga jilid. Buku itu sangat 
penuh rasa kemanusiaan serta mambakar ketidakadilan yang diderita oleh 
penduduk.
Pada akhir abad XIX, Van Kol yang menjadi juru bicara sosialis Belanda 
melancarkan kritik terhadap keadaan Hindia Belanda yang semakin merosot. 
Ia menyatakan selama satu abad lebih pemerintah mengambil keuntungan 
dari penghasilan rakyat, tetapi tidak ada satu persen pun yang dikembalikan 
untuk kesejahteraan rakyat Hindia Belanda. Di samping itu, Van Deventer 
pada tahun 1899, menulis dalam judul “Hutang Kehormatan”. Dalam tulisan 
tersebut ia menganjurkan adanya politik balas budi (politik etis) yang berisi 
pendidikan, irigasi, dan imigrasi/transmigrasi.
2. Bidang Pendidikan
Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru. Dimulailah era 
Politik Etis yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.

Related Posts: