Rabu, 12 Juli 2023
Home »
sejarah negara kita 3
» sejarah negara kita 3
sejarah negara kita 3
By video bobo Juli 12, 2023
menyerang Koto Tuo di Ampek Angkek yang dipimpin Gillavary, Belanda
juga membangun benteng pertahanan dari Ampang Gadang sampai ke
Biaro. Batang Gadis, sebuah nagari yang memiliki posisi sangat strategis
terletak antara Tanjung Alam dan Batu Sangkar juga diduduki. Pada tahun
1831 Gillavary digantikan oleh Jacob Elout. Elout ini telah mendapatkan
pesan dari Gubernur Jenderal Van den Bosch agar melaksanakan serangan
besar-besaran terhadap kaum Padri.
Elout segera mengerahkan pasukannya untuk menguasai beberapa nagari,
seperti Manggung dan Naras. Termasuk daerah Batipuh. Setelah menguasai
Batipuh, serangan Belanda ditujukan ke Benteng Marapalam. Benteng ini
merupakan kunci untuk dapat menguasai Lintau. Karena bantuan dua orang
Padri yang berkhianat dengan menunjukkan jalan menuju benteng kepada
Belanda, maka pada Agustus 1831 Belanda dapat menguasai Benteng
Marapalam tersebut. Dengan jatuhnya benteng ini maka beberapa nagari di
sekitarnya ikut menyerah.
Seiring dengan datangnya bantuan pasukan dari Jawa pada tahun 1832
maka Belanda semakin ofensif terhadap kekuatan kaum Padri di berbagai
daerah. Pasukan yang datang dari Jawa itu antara lain pasukan legium
Sentot Ali Basah Prawirodirjo dengan 300 prajurit bersenjata. Tahun 1833
kekuatan Belanda sudah begitu besar. Dengan kekuatan yang berlipat ganda
Belanda melakukan penyerangan terhadap pos-pos pertahanan kaum Padri.
Di Banuhampu, Kamang, Guguk Sigandang, Tanjung Alam, Sungai Puar,
Candung dan beberapa nagari di Agam.
Dalam catatan sejarah kolonial penyerangan di berbagai tempat itu,
penyerangan terhadap Guguk Sigandang merupakan catatan hitam karena
disertai dengan penyembelihan dan penyincangan terhadap tokoh-tokoh
dan pasukan kaum Padri. Bahkan terhadap mereka yang dicurigai sebagai
pendukung Padri. Pada waktu penyerbuan Kamang, pasukan Belanda dapat
mendapat perlawanan sengit, bahkan 100 orang pasukan Belanda termasuk
perwira terbunuh. Baru hari berikutnya dengan mengerahkan kekuatannya,
Belanda dapat menguasai Kamang. Dalam serangkaian pertempuran itu
banyak kaum Padri telah menjadi korban, termasuk tokoh Tuanku Nan
Cerdik dapat ditangkap.
Di samping strategi militer, setelah Van den Bosch berkunjung ke Sumatera
Barat, diterapkan strategi winning the heart kepada masyarakat. Pajak pasar
dan berbagai jenis pajak mulai dihapuskan. Penghulu yang kehilangan
penghasilan akibat penghapusan pajak diberi gaji 25-30 gulden. Para kuli
yang bekerja untuk pemerintah Belanda juga diberi gaji 50 sen sehari.
Komandan militer untuk wilayah pesisir barat Sumatera Cornelis Pieter Jacob
Elout digantikan oleh E. Francis. Selanjutnya Belanda tidak akan mencampuri
urusan pemerintahan tradisional di Minangkabau. Sebagai upaya gencatan
senjata pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Plakat Panjang. Plakat
Panjang yaitu pernyataan atau janji khidmat yang isinya tidak akan ada
lagi peperangan antara Belanda dan kaum Padri. Setelah pengumuman
Plakat Panjang ini kemudian Belanda mulai menawarkan perdamaian kepada
para pemimpin Padri. Dengan kebijakan baru itu beberapa tokoh Padri
dikontak oleh Belanda dalam rangka mencapai perdamaian. Beberapa tokoh
memenuhi ajakan Belanda untuk berdamai.
Sementara para pejuang yang begitu mencintai kemerdekaan bumi
Minangkabau terus melanjutkan perlawanan. Setelah kekuatan pasukan
Tuanku Nan Cerdik dapat dihancurkan, pertahanan terakhir perjuangan
kaum Padri berada di tangan Tuanku Imam Bonjol. Pada tahun 1834 Belanda
dapat memusatkan kekuatannya untuk menyerang pasukan Imam Bonjol di
Bonjol. Jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah pantai sudah
diblokade oleh tentara Belanda. Pada tanggal 16 Juni 1835 benteng Bonjol
dihujani meriam oleh serdadu Belanda. Pada bulan Agustus 1835 benteng di
perbukitan dekat Bonjol jatuh ke tangan Belanda.
Belanda juga mencoba mendekati Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai.
Imam Bonjol mau berdamai, tetapi dengan beberapa persyaratan antara
lain jika tercapai perdamaian, Imam Bonjol minta agar rakyat Bonjol
dibebaskan dari bentuk kerja paksa dan nagari itu tidak diduduki Belanda.
Namun, Belanda tidak memberi jawaban. Belanda justru semakin ketat
mengepung pertahanan di Bonjol. Pengepungan ini dipimpin oleh Residen
Padang Emanuel Francis. Sampai tahun 1836 benteng Bonjol tetap dapat
dipertahankan oleh pasukan Padri. Akan tetapi, satu per satu pemimpin
Padri dapat ditangkap. Hal ini jelas dapat memperlemah pertahanan pasukan
Padri. Namun, di bawah komando Imam Bonjol mereka terus berjuang
untuk mempertahankan setiap jengkal tanah Minangkabau. Pada tanggal
16 Agustus 1837 Benteng Bonjol berhasil dikepung dari empat penjuru dan
berhasil dilumpuhkan. Imam Bonjol dan beberapa pejuang lainnya dapat
meloloskan diri. Francis kembali menyerukan Imam Bonjol untuk berunding.
Demi menjamin keselamatan warganya,
pada tanggal 28 Oktober 1837, Imam Bonjol
menerima tawaran damai dari Residen Francis.
Ternyata ajakan berunding itu hanya tipu
muslihat, karena pada saat datang di tempat
perundingan, Imam Bonjol langsung ditangkap.
Beberapa pengikutnya memang ada yang
berhasil meloloskan diri dan melanjutkan
perang gerilya di hutan-hutan Minangkabau.
Imam Bonjol kemudian dibawa ke Batavia.
Akhirnya, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke
Cianjur, Jawa Barat. Pada tanggal 19 Januari
1839 ia dipindahkan ke Ambon dan tahun 1841
dipindahkan lagi ke Manado hingga wafatnya
pada tanggal 6 November 1864.
4. Perang Diponegoro
Memasuki abad ke-19, keadaan di Jawa khususnya di Surakarta dan
Yogyakarta semakin memprihatinkan. Intervensi pemerintah kolonial terhadap
pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada dan
atau dapat melahirkan konflik baru di lingkungan kerajaan. Hal ini juga terjadi
di Surakarta dan Yogyakarta. Campur tangan kolonial itu juga membawa
pergeseran adat dan budaya keraton yang
sudah lama ada di keraton bahkan melahirkan
budaya Barat yang tidak sesuai dengan
budaya Nusantara, seperti minum-minuman
keras. Dominasi pemerintahan kolonial juga
telah menempatkan rakyat sebagai objek
pemerasan, sehingga semakin menderita.
Pada waktu itu pemerintah kerajaan
mengizinkan perusahaan asing menyewa
tanah untuk kepentingan perkebunan.
Pada umumnya tanah itu disewa dengan
penduduknya sekaligus. Akibatnya, para
petani tidak dapat mengembangkan hidup
dengan pertaniannya, tetapi justru menjadi
tenaga kerja paksa. Rakyat tetap hidup
menderita. Perubahan pada masa Van der Capellen juga menimbulkan
kekecewaan. Beban penderitaan rakyat itu semakin berat, karena diwajibkan
membayar berbagai macam pajak, seperti: (a) welah-welit (pajak tanah),
(b) pengawang-awang (pajak halaman pekarangan), (c) pecumpling (pajak
jumlah pintu), (d) pajigar (pajak ternak), (e) penyongket (pajak pindah nama),
dan (f) bekti (pajak menyewa tanah atau menerima jabatan). Di samping
berbagai pajak itu masih ada pajak yang ditarik di tempat pabean atau tol.
Semua lalu lintas pengangkut barang juga dikenai pajak. Bahkan seorang
ibu yang menggendong anak di jalan umum juga harus membayar pajak.
Penderitaan rakyat ini semakin bertambah setelah terjadi wabah kolera di
berbagai daerah.
Sementara itu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan terdapat jurang
pemisah antara rakyat dengan punggawa kerajaan dan perbedaan
status sosial antara rakyat pribumi dengan kaum kolonial. Adanya jurang
pemisah antara si kaya dan si miskin, antara rakyat dan kaum kolonial,
sering menimbulkan kelompok-kelompok yang tidak puas sehingga sering
menimbulkan kekacauan.
Dalam suasana penderitaan rakyat dan kekacauan itu tampil seorang
bangsawan, putera Sultan Hamengkubuwana III yang bernama Raden
Mas Ontowiryo atau lebih terkenal dengan nama Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro merasa tidak puas dengan melihat penderitaan rakyat
dan kekejaman serta kelicikan Belanda. Pangeran Diponegoro merasa sedih
menyaksikan masuknya budaya Barat yang tidak sesuai dengan budaya
Timur. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro berusaha menentang dominasi
Belanda yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Pada tanggal 20
Juli 1825 meletuslah Perang Diponegoro. Meletusnya perang ini didasarkan
pada visi dan cita-cita Pangeran Diponegoro yakni untuk membentuk
Kesultanan Yogyakarta yang memuliakan agama yang berada dalam wadah
negara Islam. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro disebut telah melakukan
“hijrah kultural”.(Saleh As’ad Djamhari, “ Pangeran Diponegoro dan Perang
Jawa (1825-1830)” dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012)
Bermula dari insiden anjir
Sejak tahun 1823, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert diangkat sebagai
residen di Yogyakarta. Tokoh Belanda ini dikenal sebagai tokoh yang sangat
anti terhadap Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, Smissaert bekerja
sama dengan Patih Danurejo untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro
dari istana Yogyakarta. Pada suatu hari di tahun 1825 Smissaert dan Patih
Danurejo memerintahkan anak buahnya untuk memasang anjir (pancang/
patok) dalam rangka membuat jalan baru. Pemasangan anjir ini secara sengaja
melewati pekarangan milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa izin.
Pangeran Diponegoro memerintahkan rakyat untuk mencabuti anjir tersebut.
Kemudian Patih Danurejo memerintahkan memasang kembali anjir-anjir itu
dengan dijaga pasukan Macanan (pasukan pengawal kepatihan). Dengan
keberaniannya pengikut Pangeran Diponegoro mencabuti anjir/patok-patok
itu dan digantikannya dengan tombak-tombak mereka. Berawal dari insiden
anjir inilah meletus Perang Diponegoro.
Pada tanggal 20 Juli 1825 sore hari, rakyat Tegalreja berduyun-duyun
berkumpul di ndalem Tegalreja. Mereka membawa berbagai senjata seperti
pedang, tombak, dan lembing. Mereka menyatakan setia kepada Pangeran
Diponegoro dan mendukung perang melawan Belanda. Belanda datang
dan mengepung kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalreja. Pertempuran
sengit antara pasukan Diponegoro dengan serdadu Belanda tidak dapat
dihindarkan. Tegalreja dibumihanguskan. Dengan berbagai pertimbangan,
Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke arah selatan ke Bukit
Selarong.
Pangeran Diponegoro yaitu pemimpin yang tidak individualis. Beliau sangat
memperhatikan keselamatan anggota keluarga dan anak buahnya. Sebelum
melanjutkan perlawanan Pangeran Diponegoro harus mengungsikan
anggota keluarga, anak-anak dan orang-orang yang sudah lanjut usia ke
Dekso (daerah Kulon Progo). Untuk mengawali perlawanannya terhadap
Belanda Pangeran Diponegoro membangun benteng pertahanan di Gua
Selarong. Dalam memimpin perang ini Pangeran Diponegoro mendapat
dukungan luas dari masyarakat, para punggawa kerajaan, dan para bupati.
Tercatat 15 dari dari 29 pangeran dan 41 dari 88 bupati bergabung dengan
Pangeran Diponegoro. Di samping itu, Pangeran Diponegoro juga sudah
mempersiapkan termasuk penggalangan dana, tenaga, dan persenjataan.
Pangeran Diponegoro mendapat dukungan dari berbagai lapisan pangeran,
dan priayi sepuh, juga rakyat. Mereka rela mengumpulkan barang-barang
berharga seperti uang kontan dan perhiasan, aneka sarung keris bertatahkan
permata, dan sabuk bersepuhkan emas. Bantuan juga diberikan rakyat
sesuai dengan kemampuan mereka. Sementara dari segi persenjataan para
pengikut Pangeran Diponegoro mempersenjatai dirinya sendiri dengan
senjata seadanya. Seperti dilaporkan seorang komandan pasukan gerak
cepat Belanda menceritakan sebagai berikut.
“Penduduk desa biasa di sini begitu menyatu dengan para
pemberontak sehingga mereka langsung bergabung dengan musuh
dan menyerang orang-orang kita (Belanda) dengan tembakan ketapel
yang menyebabkan beberapa orang dipihak kita cedera” (Peter Carey,
Kuasa Ramalan, 2011)
Mengatur Strategi dari Selarong
Dari Selarong, Pangeran Diponegoro menyusun strategi perang. Dipersiapkan
beberapa tempat untuk markas komando cadangan. Kemudian Pangeran
Diponegoro menyusun langkah-langkah. (1) merencanakan serangan ke
keraton Yogyakarta dengan mengisolasi pasukan Belanda dan mencegah
masuknya bantuan dari luar. (2) mengirim kurir kepada para bupati atau
ulama agar mempersiapkan peperangan melawan Belanda. (3) menyusun
daftar nama bangsawan, siapa yang sekiranya kawan dan siapa lawan. (4)
membagi kawasan Kesultanan Yogyakarta menjadi beberapa mandala perang,
dan mengangkat para pemimpinnya. Pangeran Diponegoro telah membagi
menjadi 16 mandala perang,
yaitu Yogyakarta dan sekitarnya
di bawah komando Pangeran
Adinegoro (adik Diponegoro) yang
diangkat sebagai patih dengan gelar
Suryenglogo. Bagelen diserahkan
kepada Pangeran Suryokusumo
dan Tumenggung Reksoprojo.
Perlawanan di daerah Kedu
diserahkan kepada Kiai Muhammad
Anfal dan Mulyosentiko. Bahkan, di
daerah Kedu Pangeran Diponegoro
juga mengutus Kiai Hasan Besari
mengobarkan Perang Sabil untuk
memperkuat pasukan yang telah
ada. Pangeran Abubakar didampingi
Pangeran Muhammad memimpin
perlawanan di Lowanu. Perlawanan
di Kulon Progo diserahkan kepada Pangeran Adisuryo dan Pangeran
Somonegoro. Yogyakarta bagian utara dipimpin oleh Pangeran Joyokusumo.
Yogyakarta bagian timur diserahkan kepada Suryonegoro, Somodiningrat,
dan Suronegoro. Perlawanan di Gunung Kidul dipimpin oleh Pangeran
Singosari. Daerah Plered dipimpin oleh Kertopengalasan. Daerah Pajang
diserahkan kepada Warsokusumo dan Mertoloyo, sementara itu daerah
Sukowati dipimpin oleh Tumenggung Kertodirjo dan Mangunnegoro.
Gowong dipimpin oleh Tumenggung Gajah Pernolo. Langon dipimpin oleh
Pangeran Notobroto Projo. Serang dipimpin oleh Pangeran Serang.
Sebagai pucuk pimpinan Pangeran Diponegoro didampingi oleh Pangeran
Mangkubumi (paman Pangeran Diponegoro), Ali Basyah Sentot Prawirodirjo
sebagai panglima muda, dan Kiai Mojo bersama murid-muridnya. Nyi Ageng
Serang yang sudah berusia 73 tahun bersama cucunya R.M. Papak bergabung
bersama pasukan Pangeran Diponegoro. Nyi Ageng Serang (nama aslinya
R.A. Kustiah Retno Edi), sejak remaja sudah anti terhadap Belanda dan pernah
membantu ayahnya (Panembahan Serang) untuk melawan Belanda.
Tiga minggu setelah penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro balik
menyerang Keraton Yogyakarta. Serangan ke keraton ini mendapatkan
hasil. Pasukan Pangeran Diponegoro di desa Kejiwan berhasil memporak
porandakan pasukan Belanda yang di pimpin Sollewijn. Pasukan Diponegoro
berhasil menduduki keraton.
Pada tahun-tahun awal Pangeran Diponegoro
mengobarkan semangat “Perang Sabil”.
Perlawanannya berjalan sangat efektif. Pusat
kota dapat dikuasai. Selanjutnya pasukan
Pangeran Diponegoro bergerak ke timur dan
berhasil menaklukan Delanggu dalam rangka
menguasai Surakarta. Namun, pasukan Pangeran
Diponegoro dapat ditahan oleh pasukan Belanda
di Gowok. Secara umum dapat dikatakan
pasukan Pangeran Diponegoro mendapatkan
banyak kemenangan. Beberapa pos pertahanan
Belanda dapat dikuasai. Untuk memperkokoh
kedudukan Pangeran Diponegoro, para ulama
dan pengikutnya menobatkannya sebagai raja
dengan gelar: Sultan Abdulhamid Herucokro
(Sultan Ngabdulkamid Erucokro).
Perluasan perang di berbagai daerah
Perlawanan Pangeran Diponegoro terus meningkat. Beberapa pos pertahanan
Belanda dapat dikuasai. Pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro meluas ke
daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang dan Rembang. Kemudian ke
arah timur meluas ke Madiun, Magetan, Kediri dan sekitarnya. Perang yang
dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro mampu menggerakkan kekuatan di
seluruh Jawa. Oleh karena itu, Perang Diponegoro sering dikenal dengan
Perang Jawa. Semua kekuatan dari rakyat, bangsawan, dan para ulama
bergerak untuk melawan kekejaman Belanda.
Menghadapi perlawanan Diponegoro yang terus meluas itu, Belanda
berusaha meningkatkan kekuatannya. Beberapa komandan tempur dikirim
ke berbagai daerah pertempuran. Misalnya Letkol Clurens dikirim ke Tegal
dan Pekalongan, kemudian Letkol Diell ke Banyumas. Jenderal de Kock
sebagai pemimpin perang Belanda berusaha meningkatkan kekuatannya.
Untuk menambah kekuatan Belanda, juga didatangkan bantuan tentara
Belanda dari Sumatera Barat.
Belanda berusaha menghancurkan pos-pos pertahanan pasukan Pangeran
Diponegoro. Sasaran pertama Belanda yaitu pos pertahanan Pangeran
Diponegoro di Gua Selarong. Tanggal 4 Oktober 1825 pasukan Belanda
menyerang pos tersebut. Namun, ternyata pos Gua Selarong sudah kosong.
Ini memang sebagai bagian strategi Pangeran Diponegoro. Pos pertahanan
Diponegoro sudah dipindahkan ke Dekso di bawah pimpinan Ali Basyah
Sentot Prawirodirjo. Pada tahun 1826 pasukan Ali Basyah Sentot Prawirodirjo
ini berhasil mengalahkan tentara Belanda di daerah-daerah bagian barat
(Kulon Progo dan sekitarnya). Sementara itu, di Gunung Kidul pasukan
Diponegoro yang dipimpin oleh Pangeran Singosari juga mendapatkan
berbagai kemenangan. Benteng pertahanan Belanda di Prambanan juga
berhasil diserang oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Tumenggung
Suronegoro. Plered sebagai pos pertahanan Diponegoro juga sering mendapat
serangan Belanda. Meskipun demikian, Plered masih dapat dipertahankan
oleh pasukan Diponegoro di bawah Kertopengalasan.
Seperti telah diterangkan di atas bahwa perlawanan Pangeran Diponegoro
mendapat dukungan luas dari para bupati di mancanegara(istilah mancanegara
untuk menyebut daerah-daerah yang berada di luar Yogyakarta). Misalnya
terjadi perlawanan sengit di Serang (daerah perbatasan antara Karesidenan
Semarang dan Surakarta). Daerah-daerah mancanegara bagian timur terus
melakukan perlawanan di bawah para bupatinya, misalnya di Madiun,
Magetan, Kertosono, Ngawi, dan Sukowati. Sementara itu, peperangan di
daerah mancanegara bagian barat meluas di wilayah Bagelen, Magelang dan
daerah-daerah Karesiden Kedu lainnya.
Benteng Stelsel pembawa petaka
Pangeran Diponegoro menerapkan beberapa strategi perang. Pangeran
Diponegoro menerapkan perang dengan penyerangan langsung yang
mengandalkan jumlah pasukan yang besar. Selain itu, ia juga menjalankan
prinsip perang gerilya. Bahkan, Pangeran Diponegoro juga menerapkan
strategi perang atrisi (penjemuan). Strategi ini mengubah perang secara
langsung dengan perang jangka panjang (agar Belanda sampai bosan).
Dalam melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda, pasukan Pangeran
Diponegoro senantiasa bergerak dari pos pertahanan yang satu ke pos yang
lain. Pengaruh perlawanan Diponegoro ini semakin meluas. Perkembangan
Perang Diponegoro ini sempat membuat Belanda kebingungan. Untuk
menghadapi pasukan Diponegoro yang bergerak dari pos yang satu ke pos
yang lain, Jenderal de Kock menerapkan strategi dengan sistem Benteng
Stelsel.
Dengan strategi Benteng Stelsel sedikit demi sedikit perlawanan Diponegoro
dapat diatasi. Dalam tahun 1827 perlawanan Diponegoro di beberapa
tempat misalnya di Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Magelang berhasil
dipukul mundur oleh pasukan Belanda. Setiap tempat dihubungkan dengan
benteng pertahanan. Selain itu, Magelang dijadikan pusat kekuatan militer
Belanda.
Dengan sistem Benteng Stelsel ruang gerak pasukan Diponegoro dari waktu
ke waktu semakin sempit. Para pemimpin yang membantu Diponegoro
mulai banyak yang tertangkap, tetapi perlawanan rakyat masih terjadi di
beberapa tempat. Pasukan Diponegoro di Banyumeneng harus bertahan dari
serangan Belanda. Di Rembang di bawah pimpinan Raden Tumenggung Ario
Sosrodilogo, rakyat mengadakan perlawanan di daerah Rajegwesi. Namun,
perlawanan di Rembang dapat dipatahkan oleh Belanda pada bulan Maret
1828. Sementara itu, pasukan Diponegoro di bawah Sentot Prawirodirjo
justru berhasil menyerang benteng Belanda di Nanggulan (daerah di Kulon
Progo sekarang). Penyerangan ini berhasil menewaskan Kapten Ingen.
Peristiwa penyerangan benteng di Nanggulan ini mendapat perhatian
para pemimpin perang Belanda. Pasukan Belanda dikonsentrasikan untuk
mendesak dan mempersempitkan ruang gerak pasukan Sentot Prawirodirjo
dan kemudian mencoba untuk didekati agar mau berunding. Ajakan Belanda
ini berkali-kali ditolaknya. Belanda kemudian meminta bantuan kepada Aria
Prawirodiningrat untuk membujuk Sentot Prawirodirjo. Pertahanan hati
Sentot Prawirodirjo pun luluh, dan menerima ajakan untuk berunding. Pada
tanggal 17 Oktober 1829 ditandatangani Perjanjian Imogiri antara Sentot
Prawirodirjo dengan pihak Belanda. Isi perjanjian itu antara lain sebagai
berikut.
1) Sentot Prawirodirjo diizinkan untuk tetap memeluk agama Islam.
2) Pasukan Sentot Prawirodirjo tidak dibubarkan dan ia tetap sebagai
pemimpinnya.
3) Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya diizinkan untuk tetap memakai
sorban.
4) Sebagai kelanjutan perjanjian itu, maka pada tanggal 24 Oktober 1829
Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya memasuki ibu kota negeri
Yogyakarta untuk secara resmi menyerahkan diri.
Penyerahan diri dan tertangkapnya para pemimpin pengikut Pangeran
Diponegoro, merupakan pukulan berat bagi perjuangan Pangeran
Diponegoro. Namun pasukan di bawah komando Diponegoro terus berjuang
mempertahankan tanah tumpah darahnya. Pasukan ini bergerak dari satu
pos yang ke pos lain. Belum ada tanda-tanda perlawanan Diponegoro akan
berakhir. Belanda kemudian mengumumkan kepada khalayak pemberian
hadiah sejumlah 20.000 ringgit bagi siapa saja yang dapat menyerahkan
Pangeran Diponegoro baik dalam keadaan hidup maupun mati. Tetapi
nampaknya tidak ada yang tertarik dengan pengumuman itu.
5. Perlawanan di Bali
Kamu tentu sudah tahu tentang Bali. Sekalipun ada di antara kamu yang
belum pernah ke Bali, tetapi tentu sudah begitu familier mendengar nama
Bali. Bahkan, pada abad ke-20 pada saat Indonesia sudah merdeka ternyata
masyarakat dunia lebih mengenal nama Bali dari pada nama Indonesia. Bali
yaitu sebuah pulau kecil yang sangat terkenal di Indonesia. Bali dikenal
sebagai Pulau Dewata dan menjadi tujuan wisata nomor satu di Indonesia.
Tetapi kalau kita lihat dalam perjalanan sejarah nasional Indonesia sampai
abad ke-19 Bali belum banyak menarik perhatian orang-orang Barat untuk
menanamkan pengaruhnya. Kapal-kapal orang-orang Barat mungkin
hanya singgah dan sekedar berdagang. Baru pada sekitar tahun 1830-
an pemerintahan Hindia Belanda aktif menanamkan pengaruhnya di Bali.
Perkembangan dominasi Belanda inilah yang kemudian menyulut api
perlawanan rakyat Bali kepada Belanda yang terkenal dengan sebutan
“Perang Puputan”
Mengapa Terjadi Perang Puputan di Bali?
Pada abad ke-19 di Bali sudah berkembang kerajaan-kerajaan yang berdaulat.
Misalnya Kerajaan Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Badung,
Jembrana, Tabanan, Menguri, dan Bangli. Pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Daendels, pemerintah kolonial mulai menjalin kontak dengan
kerajaan-kerajaan di Bali. Kontrak tersebut tidak sekadar urusan dagang,
tetapi juga menyangkut sewa menyewa orang-orang Bali untuk dijadikan
tentara pemerintah Hindia BeIanda. Namun, dalam perkembangannya
pemerintah Hindia Belanda ingin menanamkan pengaruh dan berkuasa di
Bali. Oleh karena itu, Belanda mengirim dua utusan dengan misi masingmasing. Pertama, G.A. Granpre Moliere untuk misi ekonomi. Kedua, Huskus
Koopman mengemban misi politik. Misi ekonomi berjalan lancar, tetapi misi
politik menghadapi berbagai kendala. Huskus Koopman terus berusaha
mendekati raja-raja di Bali agar bersedia mengakui keberadaan dan kekuasaan
Belanda. Akhirnya dicapai perjanjian atau kontrak politik antara raja-raja di
Bali dengan Belanda, diantaranya, dengan Raja Badung (28 November 1842),
Raja Karangasem ( 1 Mei 1843), Raja Buleleng ( 8 Mei 1843), Raja Klungkung
(24 Mei 1843) dan Raja Tabanan (22 Juni 1843). Perjanjian kontrak antara
raja-raja di Bali dengan Belanda itu terutama seputar Hukum Tawan Karang
agar dihapuskan.
Karena kelihaian atau bujukan Belanda, raja-raja di Bali dapat menerima
perjanjian untuk meratifikasi penghapusan Hukum Tawan Karang. Tetapi
sampai tahun 1844 Raja Buleleng dan Karangasem belum melaksanakan
perjajian tersebut. Terbukti pada tahun 1844 itu penduduk melakukan
perampasan atas isi dua kapal Belanda yang terdampar di Pantai Sangsit
(Buleleng) dan Jembrana (waktu itu juga daerahnya Buleleng). Belanda protes
keras terhadap kejadian ini. Belanda memaksa Raja Buleleng, Gusti Ngurah
Made Karangasem agar melaksanakan isi perjanjian yang telah disepakati.
Belanda juga menuntut agar Buleleng
membayar ganti rugi atas kapal Belanda
yang dirampas penduduk. Raja Gusti Ngurah
Made Karangasem yang mendapat dukungan
patihnya, I Gusti Ketut Jelantik, dengan tegas
menolak tuntutan Belanda tersebut. Bahkan,
I Gusti Ketut Jelantik sudah melakukan latihan
dan menghimpun kekuatan untuk melawan
kesewenang-wenangan Belanda. Dengan
demikian perang tidak dapat dihindarkan.
Patih Ketut Jelantik terus mempersiapkan prajurit
Buleleng dan memperkuat pos-pos pertahanan.
Dalam pertempuran ini Raja Buleleng mendapat
dukungan dari Kerajaan Karangasem dan Klungkung. Sementara, pada
tanggal 27 Juni 1846 telah datang pasukan Belanda berkekuatan 1.700 orang
pasukan darat yang langsung menyerbu kampung-kampung di tepi pantai.
Di samping itu, masih ada pasukan laut yang datang dengan kapal-kapal
sewaan. Pertempuran sengit terjadi antara para pejuang dari Buleleng yang
dibantu oleh para pejuang Karangasem dan Klungkung melawan Belanda.
Selama dua hari para pemimpin, prajurit, dan rakyat Buleleng bertempur
mati-matian. Mengingat persenjataan Belanda lebih lengkap dan modern,
maka para pejuang Buleleng semakin terdesak. Benteng pertahanan Buleleng
jebol dan ibu kota Singaraja dikuasai Belanda. Raja dan Patih Ketut Jelantik
beserta pasukannya terpaksa mundur sampai ke Desa Jagaraga (sekitar 7
km sebelah timur Singaraja). Pasukan Belanda terus mendesak para pejuang
dan memaksa Raja Buleleng untuk menandatangani perjanjian. Perjanjian
ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1846 yang isinya antara lain: (1) dalam
waktu tiga bulan Raja Buleleng harus menghancurkan semua benteng
Buleleng yang pernah digunakan dan tidak boleh membangun benteng baru;
(2) Raja Buleleng harus membayar ganti rugi dari biaya perang yang telah
dikeluarkan Belanda, sejumlah 75.000 gulden, dan raja harus menyerahkan
I Gusti Ketut Jelantik kepada pemerintah Belanda; (3) Belanda diizinkan
menempatkan pasukannya di Buleleng.
Tekanan dan paksaan Belanda itu ditandingi dengan tipu daya. Raja dan para
pejuang berpura-pura menerima isi perjanjian itu. Namun, di balik itu Raja dan
Patih Ktut Jelantik memperkuat pasukannya. Di Jagaraga dibangun benteng
pertahanan yang kuat bagaikan Gelar Supit Urang. Rakyat juga sengaja tetap
mempertahankan Hukum Tawan Karang. Pada tahun 1847 kapal-kapal asing
yang terdampar di Pantai Kusumba Klungkung tetap dirampas oleh kerajaan.
Hal ini menimbulkan amarah dari Belanda. Belanda kemudian mengeluarkan
ultimatum agar raja-raja di Buleleng, Klungkung, dan Karangasem mematuhi
dan melaksanakan isi perjanjian yang telah ditandatangani.
Raja-raja di Bali tidak menghiraukan ultimatum Belanda itu. Rakyat justru
dipersiapkan untuk melawan kekejaman Belanda. Raja Buleleng kemudian
mengirim kurir untuk meminta bantuan pasukan dari kerajaan-kerajaan lain
di Bali sehingga datang pasukan tambahan dari Klungkung, Karangasem,
dan Mengwi. Belanda mengetahui bahwa Raja Buleleng membangkang dan
Patih Ketut Jelantik terus memperkuat pasukannya.
Belanda terus meningkatkan kekuatannya untuk menghadapi hal tersebut.
Pada tanggal 7 dan 8 Juni 1848, bala bantuan Belanda mendarat di Pantai
Sangsit. Tanggal 8 Juni serangan Belanda terhadap Benteng Jagaraga
dimulai. Sebagai pemimpin tentara Belanda antara lain: J. van Swieten,
Letkol Sutherland. Benteng Jagaraga terus dihujani meriam. Namun pasukan
Buleleng di bawah pimpinan Ketut Jelantik yang dibantu isterinya, Jero
Jempiring mampu mengembangkan pertahanan dengan gelar-supit urang
sehingga dapat menjebak pasukan Belanda. Lima orang opsir dan 74 orang
serdadu dapat ditewaskan ditambah lagi tujuh opsir dan 98 serdadu Belanda
luka-luka. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur.
Kekalahan Belanda itu cukup menyakitkan perasaan pimpinan Belanda
di Batavia. Oleh karena itu, dipersiapkan pasukan yang lebih kuat untuk
melakukan pembalasan. Awal April 1849 telah datang kesatuan serdadu
Belanda dalam jumlah besar menuju ke Jagaraga. Pada tanggal 15 April 1849
semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk menyerang Jagaraga. Dalam
tempo dua hari, yakni tanggal 16 April sore hari semua kekuatan di Jagaraga
dapat dilumpuhkan oleh Belanda. Keruntuhan Benteng Jagaraga menjadi
pertanda lenyapnya kedaulatan rakyat Buleleng. Raja Buleleng diikuti I Gusti
Ketut Jelantik dan Jero Jempiring menyingkir ke Karangasem. Tetapi mereka
tertangkap dan terbunuh dalam upaya untuk mempertahankan diri.
Dengan terbunuhnya Raja Buleleng dan Patih Ketut Jelantik maka jatuhlah
Kerajaan Buleleng ke tangan Belanda. Menyusul kemudian bulan Mei 1849
Karangasem berhasil ditaklukkan, berikutnya Kusumba (Klungkung) jatuh
pula ke tangan Belanda. Meskipun demikian, Belanda tidak mudah untuk
menguasai Pulau Bali. Pertempuran demi pertempuran masih terus terjadi.
Tahun 1906 terjadi Perang Puputan di Badung. Dua tahun kemudian Perang
Puputan meletus di Klungkung.
6. Perang Banjar
Kamu tentu sudah mengenal Provinsi Kalimantan Selatan. Ibu Kotanya ada
di Banjarmasin. Berbicara soal Banjarmasin, apa yang kamu ingat, apa yang
kamu ketahui tentang Banjarmasin atau Provinsi Kalimantan Selatan pada
umumnya. Kamu pernah mendengar tentang batu-batu mulia dan intan dari
Kalimantan Selatan? Atau kamu tahu tentang kain sasirangan. Itu semua
merupakan produk-produk penting dari Kalimantan Selatan dewasa ini.
Bagaimana dengan latar belakang sejarahnya?
Di Kalimantan Selatan pernah berkembang Kerajaan Banjar atau Banjarmasin.
Wilayah Kesultanan Banjarmasin ini pada abad ke-19 meliputi Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah sekarang. Pusatnya ada di Martapura.
Kesultanan ini memiliki posisi yang strategis dalam kegiatan perdagangan
dunia. Hal ini terutama karena adanya hasil-hasil seperti emas dan intan,
lada, rotan dan damar. Hasil-hasil ini termasuk produk yang diminati oleh
orang-orang Barat. Kondisi ini membuat Belanda berambisi untuk menguasai
Banjarmasin.
Setelah melalui bujuk rayu disertai tekanan-tekanan, maka pada tahun 1817
terjadi perjanjian antara Sultan Banjar (Sultan Sulaiman) dengan pemerintah
Hindia Belanda. Dalam perjanjian ini Sultan Sulaiman harus menyerahkan
sebagian wilayah Banjar kepada Belanda, seperti daerah Dayak, Sintang,
Bakumpai, Tanah Laut, Mundawai, Kotawaringin, Lawai, Jalai, Pigatan,
Pasir Kutai, dan Beran. Dengan demikian wilayah kekuasaan Kesultanan
Banjarmasin semakin sempit, sementara daerah kekuasaan Belanda semakin
bertambah. Bahkan, menurut perjanjian yang diadakan tanggal 4 Mei 1826
antara Sultan Adam Alwasikh dengan Belanda ditetapkan bahwa kekuasaan
Kesultanan Banjar hanya daerah Hulu Sungai, Martapura, dan Banjarmasin.
Wilayah yang semakin sempit itu telah membawa problem dalam kehidupan
sosial ekonomi. Penghasilan para penguasa kerajaan menjadi semakin kecil.
Sementara dengan masuknya pola hidup Barat, kebutuhan hidup para
penguasa meningkat. Dengan demikian, beban hidup mereka semakin
sulit. Untuk mengatasi kesulitan ini maka mereka menaikkan pajak. Dengan
demikian, rakyat menjadi sasaran eksploitasi oleh pemerintah kolonial
maupun para pejabat kerajaan. Rakyat juga diperintahkan untuk melakukan
kerja wajib.
Dalam suasana sosial ekonomi yang memprihatinkan itu, di dalam kerajaan
sendiri terjadi konflik intern. Konflik ini terutama dipicu oleh intervensi
Belanda. Hal ini bermula saat putera mahkota Abdul Rakhman meninggal
secara mendadak pada tahun 1852. Sementara Sultan Adam memiliki tiga
putra sebagai kandidat pengganti sultan, yakni: Pangeran Hidayatullah
(Pangeran Hidayat), Pangeran Tamjidillah, dan Prabu Anom. Ketiga kandidat
itu masing-masing memiliki pendukung. Pangeran Hidayatullah didukung
pihak istana dan kebetulan sudah mengantongi surat wasiat dari Sultan
Adam untuk menggantikan sebagai sultan, Pangeran Anom dijagokan
sebagai mangkubumi, sedang Tamjidillah didukung Belanda.
Pada tahun 1857 Sultan Adam meninggal. Dengan sigap Residen E.F. Graaf
von Bentheim Teklenburg mewakili Belanda mengangkat Tamjidillah sebagai
sultan dan Pangeran Hidayatullah diangkat sebagai Mangkubumi. Pada hal
menurut wasiat yang sah yang diangkat menjadi sultan yaitu Pangeran
Hidayatullah. Oleh karena itu, wajar kalau pengangkatan Tamjidillah sebagai
Sultan Banjarmasin menimbulkan protes dan rasa kecewa dari berbagai
pihak. Tamjidillah memiliki perangai yang
kurang baik, senang minum-minuman
keras seperti orang Belanda. Tamjidillah
juga menghapus hak-hak istimewa pada
saudara-saudaranya termasuk menganggap
tidak ada surat wasiat dari Sultan Adam
kepada Pangeran Hidayatullah. Tindakan
Tamjidillah yang sewenang-wenang itu
semakin menimbulkan rasa kecewa dari
berbagai pihak. Salah satu gerakan protes
dan menolak pengangkatan Tamjidillah
sebagai sultan dipelopori oleh Penghulu
Abdulgani. Pangeran Hidayatullah yang diangkat sebagai mangkubumi ternyata selalu disisihkan dalam berbagai
urusan. Akibatnya, ketegangan di istana semakin tajam sehingga membuat
kondisi kerajaan menjadi tidak kondusif.
Dalam suasana yang penuh ketegangan itu ditambah terjadi gerakan di
pedalaman yang dipelopori oleh Aling. Aling yang juga dikenal sebagai
Panembahan Muning mengatakan dalam semedinya ia seperti mendengar
kata-kata sebagai berikut.
“Ikam nang baamal dengan kesukaan aku, akan permintaan ikam mandapat
nagri dan pagustianikam batatap, kardjaakan, barbunyian, mau raja-raja
gaib manolong ikam, sakira-kira jadi salamat nagri dan rajapun tatap. Tetapi
Pangeran Antasari ikam aturi ka Muning”
Diterjemahkan sebagai berikut:
“Engkau yang melakukan amalan zikir, salat serta puasa dengan kesukaan
atau izin, akan segala permintaan engkau untuk mendapat negeri dan raja-raja
yang bertahta, bunyikanlah bunyi-bunyian. Anakmu yang bisa menari gandut
suruh menarikan gandut dilaksanakan, maka raja-raja gaib akan menolong
kamu, sehingga menjadi selamatlah rajapun akan duduk di atas tahta. Tetapi
Pangeran Antasari kamu mohon datang ke Muning” (Tim, Sejarah Banjar,
2003).
Menurut Panembahan Muning berdasarkan
ilham atau firasat (dalam bahasa Jawa: wisik)
bahwa nasib dan keselamatan Kesultanan
Banjarmasin tergantung kepada peran
serta Pangeran Antasari, sepupu Pangeran
Hidayatullah. Pangeran Antasari yaitu juga
seorang pangeran yang diperkirakan juga
keturunan raja di Banjarmasin.
Gerakan Aling ini membuat suasana
kerajaan semakin kacau. Pusat gerakan Aling
dinamakan Tambai Mekah (Serambi Mekah)
yang terletak di tepian Sungai Muning. Aling
juga memanggil Antasari agar datang di
Tambai Mekah. Pengaruh Aling ini semakin
besar dan banyak pengikutnya, karena Aling memang dipandang orang
yang sakti. Pangeran Antasari yang memang sudah kecewa dengan apa
yang terjadi di lingkungan kerajaan, datang dan bergabung dengan Gerakan
Aling. Antasari berkeinginan untuk menurunkan Tamjidillah dan melawan
kekuasaan Belanda. Di samping kekuatan penuh dari pengikut Aling,
Pangeran Antasari juga mendapat dukungan dari berbagai pihak seperti
Sultan Pasir dan Tumenggung Surapati pimpinan orang-orang Dayak.
Bagaimana Perang Banjar berlangsung?
Pada tanggal 28 April 1859 orang-orang Muning yang dipimpin oleh
Panembahan Aling dan puteranya, Sultan Kuning menyerbu kawasan
tambang batu bara di Pengaron. Sekalipun gagal menduduki benteng di
Pengaron tetapi para pejuang Muning berhasil membakar kawasan tambang
batu bara dan pemukiman orang-orang Belanda di sekitar Pengaron. Banyak
orang-orang Belanda yang terbunuh oleh gerakan orang-orang Muning ini.
Mereka juga melakukan penyerangan ke perkebunan milik gubernemen
di Gunung Jabok, Kalangan, dan Bangkal. Dengan demikian berkobarlah
Perang Banjar.
Dengan peristiwa tersebut, keadaan
pemerintahan Kesultanan Banjar
semakin kacau. Sultan Tamjidillah
yang memang tidak disenangi
oleh rakyat itu juga tidak bisa
berbuat banyak. Oleh karena itu,
Tamjidillah dinilai oleh Belanda
tidak mampu memerintah yang
diminta untuk turun tahta. Akhirnya
pada tanggal 25 Juni 1859 secara
resmi Tamjidillah mengundurkan
diri dan mengembalikan legalia
Banjar kepada Belanda. Tamjidillah
kemudian diasingkan ke Bogor.
Mulai saat itu Kesultanan Banjar
berada di bawah kendali Belanda.
Belanda sebenarnya berusaha
membujuk Pangeran Hidayatullah
untuk bergabung dengan Belanda
dan akan dijadikan Sultan Banjar
Tetapi melihat kelicikan Belanda, Pangeran Hidayatullah menilai bujukan
itu merupakan tipu daya Belanda. Oleh karena itu, Pangeran Hidayatullah
memilih bersama rakyat untuk melancarkan perlawanan terhadap Belanda.
Sementara itu pasukan Antasari sudah bergerak menyerbu pos-pos Belanda
di Martapura. Perlawanan Antasari dengan cepat mendapat dukungan dari
para ulama dan punggawa kerajaan yang sudah muak dengan kelicikan dan
kekejaman Belanda. Bulan Agustus 1859, Antasari bersama pasukan Haji
Buyasin, Kiai Langlang, Kiai Demang Lehman berhasil menyerang benteng
Belanda di Tabanio. Kemudian pasukan Surapati berhasil menenggelamkan
kapal Belanda, Onrust, dan merampas senjata yang ada di kapal tersebut
di Lontotuor, Sungai Barito Hulu. Dengan demikian, Perang Banjar semakin
meluas.
Memasuki bulan Agustus-September tahun 1859 pertempuran rakyat Banjar
terjadi di tiga lokasi, yakni di sekitar Banua Lima, sekitar Martapura dan Tanah
Laut, serta sepanjang Sungai Barito. Pertempuran di sekitar Banua Lima
dipimpinan oleh Tumenggung Jalil. Pertempuran di sekitar Martapura dan
Tanah Laut dipimpin oleh Demang Lehman. Sementara itu, pertempuran di
sepanjang Sungai Barito dikomandani oleh Pangeran Antasari. Kiai Demang
Lehman yang berusaha mempertahankan benteng Tabanio diserbu tentara
Belanda. Pertempuran sengit terjadi dan banyak membawa korban. Sembilan
orang serdadu Belanda tewas. Belanda kemudian meningkatkan jumlah
pasukannya. Benteng Tabanio berhasil dikepung oleh Belanda. Demang
Lehman dan pasukannya dapat meloloskan diri. Demang Lehman kemudian
memusatkan kekuatannya di benteng pertahanan di Gunung Lawak, Tanah
Laut. Benteng ini juga diserbu tentara Belanda. Setelah bertahan matimatian, akhirnya Demang Lehman meninggalkan benteng itu karena sudah
banyak pengikutnya yang menjadi korban. Kekalahan Demang Lehman
di benteng Gunung Lawak tidak memupuskan semangat juang melawan
Belanda sebab mereka yakin perang ini merupakan perang sabil.
Pada bulan September Demang Lehman dan para pemimpin lain seperti
Tumenggung Jalil dan Pangeran Muhammad Aminullah meninggalkan
medan pertempuran di Tanah Laut menuju Kandangan untuk mengadakan
perundingan dengan tokoh-tokoh pejuang yang lain. Pertemuan di
Kandangan menghasilkan kesepakatan yang intinya para pemimpin pejuang
Perang Banjar menolak tawaran berunding dengan Belanda, dengan
merumuskan beberapa siasat perlawanan sebagai berikut:
1) pemusatan kekuatan perlawanan di daerah Amuntai;
2) membuat dan memperkuat pertahanan di Tanah Laut, Martapura,
Rantau dan Kandangan;
3) Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di Dusun Atas; dan
4) mengusahakan tambahan senjata.
Dalam pertemuan itu semua yang hadir mengangkat sumpah untuk berjuang
mengusir penjajah Belanda dari bumi Banjar tanpa kompromi : “Haram
Manyarah Waja sampai Kaputing”. Para pejuang tidak akan menyerah
sampai titik darah yang penghabisan.
Setelah pertemuan itu perlawanan terus berkobar di berbagai tempat. Untuk
menghadapi berbagai serangan itu Belanda juga terus memperkuat pasukan
dan membangun benteng-benteng pertahanan seperti di Tapin, memperkuat
Benteng Munggu Thayor, serta Benteng Amawang di Kandangan. Demang
Lehman berusaha menyerang Benteng Amawang tersebut, tetapi gagal.
Setelah itu, Demang Lehman dan pasukannya mundur menuju daerah
Barabai untuk memperkuat pertahanan pasukan Pangeran Hidayatullah.
Perlu diketahui bahwa Pangeran Hidayatullah meninggalkan Martapura dan
berkumpul dengan seluruh anggota keluarga, yang diikuti pasukannya ia
berangkat ke Amuntai. Meskipun tidak dengan perangkat kebesaran, oleh
para ulama dan semua pengikutnya, Hidayatullah diangkat sebagai sultan.
Setelah itu Sultan Hidayatullah menyatakan perang jihad fi sabilillah terhadap
orang-orang Belanda. Dalam gerakannya menuju Amuntai pasukannya
melakukan serangan ke pos-pos Belanda.
Gerakan perlawanan Pangeran Hidayatullah kemudian dipusatkan di
Barabai. Datanglah kemudian pasukan Demang Lehman untuk memperkuat
pasukan Hidayatullah. Menghadapi pasukan gabungan itu Belanda di bawah
G.M. Verspyck mengerahkan semua kekuatan pasukan yang ada. Pasukan
infanteri dari Batalion VII, IX, XIII semua dikerahkan, ditambah 100 orang
petugas pembawa perlengkapan perang dan makanan. Juga mengerahkan
kapal-kapal perang dari Suriname, Bone, dan kapal-kapal kecil. Terjadilah
pertempuran sengit. Dengan seruan “Allahu Akbar” pasukan Hidayatullah
dan Demang Lehman menyerbu menghadapi kekuatan tentara Belanda.
Mereka dengan penuh keberanian menghadapi musuh karena yakin mati
dalam perang ini yaitu syahid. Tetapi kekuatan tidak seimbang, pasukan
Belanda lebih unggul dari jumlah pasukan maupun senjata, maka Hidayatullah
dan Demang Lehman menarik
mundur pasukannya. Kemudian
membangun pertahanan di
Gunung Madang. Semua kekuatan
Belanda dikerahkan untuk segera
menangkap Pangeran Hidayatullah.
Pertahanan di Gunung Madang
pun jebol. Pangeran Hidayatullah
dengan sisa pasukannya kemudian
berjuang berpindah-pindah,
bergerilya dari tempat yang satu
ke tempat yang lain, dari hutan
yang satu ke hutan yang lain.
Namun Belanda terus memburu
dan mempersempit ruang gerak
pasukan Hidayatullah. Akhirnya
pada tanggal 28 Februari 1862
Hidayatullah berhasil ditangkap
bersama anggota keluarga yang
ikut bergerilya. Hidayatullah
bersama anggota keluarganya
kemudian diasingkan ke Cianjur,
Jawa Barat. Berakhirlah perlawanan
Pangeran Hidayatullah.
Sementara itu Pangeran Antasari terus melanjutkan perlawanan. Oleh para
pengikutnya Antasari kemudian diangkat sebagai pejuang dan pemimpin
tertinggi agama Islam dengan gelar Panembahan Amiruddin Kalifatullah
Mukminin.
7. Perang Aceh
Kita sering mendengar tentang Aceh. Apa yang kamu ketahui tentang Aceh?
Ya, yang segar diingatan kita yakni peristiwa tsunami pada 26 Desember
2004. Tsunami itu terjadi karena adanya gempa bumi yang begitu dahsyat
dengan kekuatan 9,3 skala Richter terletak di Samudra Indonesia, kurang
lebih 160 km sebelah barat Aceh pada kedalaman 10 km. Tsunami itu telah
meluluhlantakkan Aceh. Nah, peristiwa tsunami ini bisa dikatakan sebagai
peringatan Tuhan Yang Maha Kuasa agar kita lebih berhati-hati untuk
menjaga lingkungan dan tidak sembarang melakukan reklamasi pantai.
Di samping tsunami apa lagi yang kamu tahu tentang Aceh? Oh, ya mungkin
kamu juga pernah mendengar Aceh dikenal sebagai Serambi Mekah.
Mengapa? Aceh merupakan daerah pertama masuknya Islam di Nusantara.
Aceh juga pernah menjadi kerajaan Islam yang mendapat pengakuan dari
Syarif Mekah atas nama Khalifah Turki. Aceh juga pernah menjadi pangkalan/
pelabuhan haji untuk seluruh Nusantara. Orang-orang Indonesia yang naik
haji ke Mekah dengan kapal laut, sebelum mengarungi Samudra Indonesia,
tinggal beberapa bulan di Banda Aceh. Oleh karena itu, Aceh mendapat
julukan “Serambi Mekah”.
Sungguh Aceh ibarat Serambi Mekah merupakan daerah dan kerajaan yang
berdaulat. Rakyat bebas beraktivitas, beribadah, dan berdagang dengan siapa
saja, di mana saja. Tetapi kedaulatan mulai terganggu karena keserakahan
dan dominasi Belanda. Dominasi dan kekejaman penjajahan Belanda ini
telah berimbas ke Aceh sehingga melahirkan “Perang Aceh”, perangnya
para pejuang untuk berjihad melawan kezaliman kaum penjajah pada tahun
1873 - 1912.a) Mengapa dan Apa Latar Belakang Perang di Aceh itu?
Aceh memiliki kedudukan yang strategis. Aceh menjadi pusat perdagangan.
Daerahnya luas dan memiliki hasil penting seperti lada, hasil tambang, serta
hasil hutan. Karena itu dalam rangka mewujudkan Pax Neerlandica, Belanda
sangat berambisi untuk menguasai Aceh. Kita tahu sejak masa VOC, orangorang Belanda itu ingin menguasai perdagangan di Aceh, begitu juga zaman
pemerintahan Hindia Belanda. Namun, di sisi lain orang-orang Aceh dan para
sultan yang pernah berkuasa tetap ingin mempertahankan kedaulatan Aceh.
Semangat dan tindakan sultan beserta rakyatnya yang demikian itu memang
secara resmi didukung dan dibenarkan oleh adanya Traktat London tanggal 17
Maret 1824. Traktat London itu yaitu hasil kesepakatan antara Inggris dan
Belanda yang isinya antara lain bahwa Belanda setelah mendapatkan kembali
tanah jajahannya di Kepulauan Nusantara tidak dibenarkan mengganggu
kedaulatan Aceh.
Isi Traktat London itu secara resmi menjadi kendala bagi Belanda untuk
menguasai Aceh. Tetapi secara geografis-politis Belanda merasa diuntungkan
karena kekuatan Inggris tidak lagi sebagai penghalang dan Belanda mulai
dapat mendekati wilayah Aceh. Apalagi pada tahun 1825 Inggris sudah
menyerahkan Sibolga dan Natal kepada Belanda. Dengan demikian, Belanda
sudah berhadapan langsung wilayah Kesultanan Aceh. Belanda tinggal
menunggu waktu yang tepat untuk dapat melakukan intervensi di Aceh.
Belanda mulai kasak-kusuk untuk menimbulkan kekacauan di Aceh. Politik
adu domba juga mulai diterapkan. Belanda juga bergerak di wilayah perairan
Aceh dan Selat Malaka. Belanda sering menemukan para bajak laut yang
mengganggu kapal-kapal asing yang sedang berlayar dan berdagang di
perairan Aceh dan Selat Malaka. Dengan alasan menjaga keamanan kapalkapal yang sering diganggu oleh para pembajak, maka Belanda menduduki
beberapa daerah seperti Baros dan Singkil.
Gerakan menuju aneksasi terus diintensifkan. Pada tanggal 1 Februari 1858,
Belanda menyodorkan perjanjian dengan Sultan Siak, Sultan Ismail. Perjanjian
inilah yang dikenal dengan Traktat Siak. Isinya antara lain Siak mengakui
kedaulatan Hindia Belanda di Sumatra Timur. Ini artinya daerah-daerah
yang berada di bawah pengaruh Siak seperti: Deli, Asahan, Kampar, dan
Indragiri berada di bawah dominasi Hindia Belanda. Padahal daerah-daerah
itu sebenarnya berada di bawah lindungan Kesultanan Aceh. Bagaimanapun
juga hal itu tentu mengecewakan pihak Kesultanan Aceh. Belanda tampak
bergeming dan tidak peduli. Oleh karena itu, Aceh mewaspadai sikap
dan gerak-gerak Belanda dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk
menghadapi aneksasi tentara Belanda.
Sebelum Traktat Siak terdapat Perjanjian antara Inggris-Belanda yang isinya
Inggris mengizinkan Belanda masuk ke Aceh. Sebagaimana kita ketahui
bersama sebelumnya Aceh di bawah Pemerintahan Kolonial Inggris.
Perkembangan politik yang semakin menohok Kesultanan Aceh yaitu
ditandatanganinya Traktat Sumatera antara Belanda dengan Inggris pada
tanggal 2 November 1871. Isi Traktat Sumatera itu antara lain Inggris memberi
kebebasan kepada Belanda untuk memperluas daerah kekuasaannya di
seluruh Sumatera. Hal ini jelas merupakan ancaman bagi Kesultanan Aceh.
Dalam posisi yang terus terancam ini Aceh berusaha mencari sekutu dengan
negara-negara lain seperti Turki, Italia bahkan juga melakukan kontak
hubungan dengan Amerika Serikat. Pada tahun 1873 Aceh mengirim utusan
yakni Habib Abdurrahman pergi ke Turki untuk meminta bantuan senjata.
Langkah-langkah Aceh itu diketahui oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda
mengancam dan mengultimatum agar Kesultanan Aceh tunduk di bawah
pemerintahan Hindia Belanda. Aceh tidak menghiraukan ultimatum itu.
Karena Aceh dinilai membangkang maka pada tanggal 26 Maret 1873,
Belanda melalui Komisaris Nieuwenhuijzen mengumumkan perang terhadap
Aceh. Pecahlah pertempuran antara Aceh melawan Belanda. Para pejuang
Aceh di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Syah II mengobarkan semangat
jihad angkat senjata untuk melawan kezaliman Belanda.
Beberapa persiapan di Aceh sebenarnya sudah dilakukan. Misalnya
membangun pos-pos pertahanan. Sepanjang pantai Aceh Besar telah
dibangun kuta, yakni semacam benteng untuk memperkuat pertahanan
wilayah. Kuta ini dibangun di sepanjang Pantai Aceh Besar seperti Kuta
Meugat, Kuta Pohama, Kuta Mosapi dan juga lingkungan istana Kutaraja
dan Masjid Raya Baiturrahman. Jumlah pasukan juga ditingkatkan dan
ditempatkan di beberapa tempat strategis. Sejumlah 3000 pasukan disiagakan
di pantai dan 4000 pasukan disiagakan di lingkungan istana. Senjata dari
luar juga sebagian juga telah berhasil dimasukkan ke Aceh seperti 5000 peti
mesiu dan sekitar 1394 peti senapan.
b) Syahid atau Menang
Agresi tentara Belanda terjadi pada tanggal 5 April 1873. Tentara Belanda
di bawah pimpinan Jenderal Mayor J.H.R. Kohler terus melakukan serangan
terhadap pasukan Aceh. Pasukan Aceh yang terdiri atas para ulebalang,
ulama, dan rakyat terus mendapat gempuran dari pasukan Belanda. Dengan
memperhatian hasil laporan spionase Belanda yang mengatakan bahwa Aceh
dalam keadaan lemah secara politik dan ekonomi, membuat para pemimpin
Belanda termasuk Kohler optimis bahwa Aceh segera dapat ditundukkan.
Oleh karena itu, serangan-serangan tentara Belanda terus diintensifkan.
Namun, pada kenyataannya tidak mudah menundukkan para pejuang
Aceh. Dengan kekuatan yang ada para pejuang Aceh mampu memberikan
perlawanan sengit. Pertempuran terjadi di kawasan pantai dan kota. Bahkan,
pada tanggal 14 April 1873 terjadi pertempuran sengit antara pasukan Aceh
di bawah pimpinan Teuku Imeum Lueng Bata melawan tentara Belanda di
bawah pimpinan Kohler untuk memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman.
Dalam pertempuran memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman ini pasukan
Aceh berhasil membunuh Kohler di bawah pohon dekat masjid tersebut.
Pohon ini kemudian dinamakan Kohler Boom. Banyak jatuh korban dari pihak
Belanda. Begitu juga tidak sedikit korban dari pihak pejuang Aceh yang mati
syahid.
Terbunuhnya Kohler menyebabkan pasukan Belanda ditarik mundur ke
pantai. Dengan demikian, gagallah serangan tentara Belanda yang pertama.
Ini membuktikan bahwa tidak mudah untuk menundukkan Aceh. Karena
kekuatan para pejuang Aceh tidak semata-mata terletak pada kekuatan
pasukannya, tetapi juga karena hakikat kehidupan yang didasarkan pada
nilai-nilai agama dan sosial budaya yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an.
Doktrin para pejuang Aceh dalam melawan Belanda hanya ada dua pilihan
“syahid atau menang”. Dalam hal ini nilai-nilai agama senantiasa menjadi
potensi yang sangat menentukan untuk menggerakkan perlawanan terhadap
penjajahan asing. Oleh karena itu, Perang Aceh berlangsung begitu lama.
Setelah melipatgandakan kekuatannya, pada tanggal 9 Desember 1873
Belanda melakukan agresi atau serangan yang kedua. Serangan ini dipimpin
oleh J. van Swieten. Pertempuran sengit terjadi istana dan juga terjadi di
Masjid Raya Baiturrahman. Para pejuang Aceh harus mempertahankan masjid
dari serangan Belanda yang bertubi-tubi. Masjid terus dihujani peluru dan
kemudian pada tanggal 6 Januari 1874 masjid itu dibakar. Para pejuang dan
ulama kemudian meninggalkan masjid. Tentara Belanda kemudian menuju
istana. Pada tanggal 15 Januari 1874 Belanda dapat menduduki istana setelah
istana dikosongkan, karena Sultan Mahmud Syah II bersama para pejuang
yang lain meninggalkan istana menuju ke Leueung Bata dan diteruskan ke
Pagar Aye (sekitar 7 km dari pusat kota Banda Aceh). Tetapi pada tanggal 28
Januari 1874 sultan meninggal karena wabah kolera.
Jatuhnya Masjid Raya Baiturrahman dan istana sultan, Belanda menyatakan
bahwa Aceh Besar telah menjadi daerah kekuasaan Belanda. Para ulebalang,
ulama dan rakyat tidak ambil pusing dengan pernyataan Belanda. Mereka
kemudian mengangkat putra mahkota Muhammad Daud Syah sebagai Sultan
Aceh. Tetapi karena masih di bawah umur, maka diangkatlah Tuanku Hasyim
Banta Muda sebagai wali atau pemangku sultan sampai tahun 1884. Pusat
pemerintahan di Indrapuri (sekitar 25 km arah tenggara dari pusat kota).
Semangat untuk melanjutkan perang terus menggelora di berbagai tempat.
Pertempuran dengan Belanda semakin meluas ke daerah hulu. Sementara
itu, tugas van Swieten di Aceh dipandang cukup. Ia digantikan oleh Jenderal
Pel. Sebelum Swieten meninggalkan Aceh, ia mengatakan bahwa pemerintah
Hindia Belanda akan segera membangun kembali masjid raya yang telah
dibakarnya. Tentu hal ini dalam rangka menarik simpati rakyat Aceh.
Para pejuang Aceh tidak mengendorkan semangatnya. Di bawah pimpinan
ulebalang, ulama, dan ketua adat, rakyat Aceh terus mengobarkan perang
melawan Belanda. Semangat juang semakin meningkat seiring pulangnya
Habib Abdurrahman dari Turki pada tahun 1877. Tokoh ini kemudian
menggalang kekuatan bersama Tengku Cik Di Tiro. Pasukannya terus
melakukan serangan-serangan ke pos-pos Belanda. Kemudian Belanda
menambah kekuatannya sehingga dapat mengalahkan serangan – serangan
yang dilakukan pasukan Habib Abdurrahman dan Cik Di Tiro. Di bawah
pimpinan Van der Heijden, Belanda berhasil mendesak pasukan Habib
Abdurrahman, bahkan Habib Abdurrahman akhirnya menyerah kepada
Belanda. Sementara Cik Di Tiro mundur ke arah Sigli untuk melanjutkan
perlawanan. Belanda berhasil menguasai beberapa daerah seperti Seunaloh,
Ansen Batee.
c) Perang Sabil
Tahun 1884 merupakan tahun yang sangat penting, karena Muhammad
Daud Syah telah dewasa maka secara resmi dinobatkan sebagai sultan
dengan gelar Sultan Ala’uddin Muhammad Daud Syah bertempat di Masjid
Indrapuri. Pada waktu upacara penobatan ini para pemimpin Perang Aceh
seperti Tuanku Hasyim, Panglima Polim, Tengku Cik Di Tiro memproklamirkan
“Ikrar Prang Sabi” (Perang Sabil). Perang Sabil merupakan perang melawan
kaphee Beulanda (kafir Belanda), perang suci untuk membela agama, perang
untuk mempertahankan tanah air, perang
jihad untuk melawan kezaliman di muka bumi.
Setelah penobatan itu, mengingat keamanan,
istana di Indrapuri dipindahkan ke Keumala
di daerah Pidie (sekitar 25 km sebelah selatan
kota Pidie). Dari Istana Keumala inilah semangat
Perang Sabil digelorakan.
Dengan digelorakan Perang Sabil, perlawanan
rakyat Aceh semakin meluas. Apalagi dengan
seruan Sultan Muhammad Daud Syah yang
menyerukan gerakan amal untuk membiayai
perang, telah menambah semangat para
pejuang Aceh. Cik Di Tiro mengobarkan
perlawanan di Sigli dan Pidie. Di Aceh bagian
barat tampil Teuku Umar beserta isterinya
Cut Nyak Dien. Pertempuran sengit terjadi di
Meulaboh. Beberapa pos pertahanan Belanda
berhasil direbut oleh pasukan Teuku Umar.
Pasukan Aceh dengan semangat jihadnya telah
menambah kekuatan untuk melawan Belanda.
Belanda mulai kewalahan di berbagai medan
pertempuran. Belanda mulai menerapkan
strategi baru yang dikenal dengan Konsentrasi
Stelsel atau Stelsel Konsentrasi.
Strategi Konsentrasi Stelsel itu ternyata juga
belum efektif untuk dapat segera menghentikan perang di Aceh. Bahkan,
dengan strategi itu telah menyebarkan perlawanan rakyat Aceh dari tempat
yang satu ke tempat yang lain. Perang gerilya juga mulai dilancarkan oleh
para pejuang Aceh. Gerakan pasukan Teuku Umar juga terus mengalami
kemajuan. Pertengahan tahun 1886 Teuku Umar berhasil menyerang dan
menyita kapal Belanda Hok Canton yang sedang berlabuh di Pantai Rigaih.
Kapten Hansen (seorang berkebangsaan Denmark) nakhoda kapal yang
diberi tugas Belanda untuk menangkap Teuku Umar justru tewas dibunuh
oleh Teuku Umar. Di tengah-tengah perjuangan itu pada tahun 1891 Tengku
Cik Di Tiro meninggal. Perjuangannya melawan Belanda dilanjutkan oleh
puteranya yang bernama Tengku Ma Amin Di Tiro. Kemudian ada berita
bahwa pada tahun 1893 Teuku Umar menyerah kepada Belanda. Teuku Umar
kemudian dijadikan panglima tentara Belanda dan diberi gelar Teuku Johan
Pahlawan. Ia diizinkan untuk membentuk kesatuan tentara beranggotakan
250 orang. Peristiwa ini tentu sangat berpengaruh pada semangat juang
rakyat Aceh. Nampaknya Teuku Umar juga tidak serius untuk melawan
bangsanya sendiri. Setelah pasukannya sudah mendapatkan banyak senjata
dan dipercaya membawa dana 800.000 gulden, pada 29 Maret 1896 Teuku
Umar dengan pasukannya berbalik dan kembali melawan Belanda. Peristiwa
inilah yang dikenal dengan Het verraad van Teukoe Oemar (Pengkhianatan
Teuku Umar). Teuku Umar berhasil menyerang pos-pos Belanda yang ditemui.
Peristiwa itu membuat Belanda semakin marah dan geram. Sementara
untuk menghadapi semangat Perang Sabil Belanda juga semakin kesulitan.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain untuk melaksanakan usulan Snouck
Horgronye untuk melawan Aceh dengan kekerasan. Perlu diketahui bahwa
sebelum itu Belanda telah meminta Snouck Hurgronje agar melakukan kajian
tentang seluk beluk kehidupan dan semangat juang orang-orang Aceh,
sehingga dapat ditemukan strategi untuk segera mengalahkan para pejuang
Aceh. Snouck Hurgronje mulai menyamar memasuki kehidupan di tengahtengah kehidupan masyarakat Aceh. Ia memakai nama samaran Abdul Gafar.
Ia telah mempelajari agama Islam dan adat budaya Aceh. Snouck Horgronye
menyimpulkan bahwa para pejuang Aceh itu sulit dikalahkan karena
disemangati oleh semangat jihad dengan tali ukhuwah Islamiyahnya. Oleh
karena itu, Snouck Hurgronje mengusulkan beberapa cara untuk melawan
perjuangan rakyat Aceh. Beberapa usulan itu yaitu sebagai berikut:
1) perlu memecah belah persatuan dan kekuatan masyarakat Aceh, sebab
di lingkungan masyarakat Aceh terdapat rasa persatuan antara kaum
bangsawan, ulama, dan rakyat;
2) menghadapi kaum ulama yang fanatik dalam memimpin perlawanan
harus dengan kekerasan, yaitu dengan kekuatan senjata; dan
3) bersikap lunak terhadap kaum bangsawan dan keluarganya dan
diberi kesempatan untuk masuk ke dalam korps pamong praja dalam
pemerintahan kolonial Belanda.
Belanda segera melaksanakan usulan-usulan Snouck Hurgronje tersebut.
Belanda harus menggempur Aceh dengan kekerasan dan senjata. Untuk
memasuki fase ini dan memimpin perang melawan rakyat Aceh, diangkatlah
gubernur militer yang baru yakni van Heutsz
(1898-1904) menggantikan van Vliet.
Genderang perang dengan kekerasan di mulai
tahun 1899. Perang ini berlangsung 10 tahun.
Oleh karena itu, pada periode tahun 1899 –
1909 di Aceh disebut dengan masa sepuluh
tahun berdarah (tien bloedige jaren) .
Semua pasukan disiagakan dengan dibekali
seluruh persenjataan. Van Heutsz segera
melakukan serangan terhadap pos pertahanan
para pemimpin perlawanan di berbagai daerah.
Dalam hal ini Belanda juga mengerahkan
pasukan anti gerilya yang disebut Korps
Marchausse (Marsose) yakni pasukan yang terdiri dari orang-orang Indonesia
yang berada di bawah pimpinan opsir-opsir Belanda. Mereka pandai berbahasa
Aceh. Dengan demikian, mereka dapat bergerak sebagai informan. Dengan
kekuatan penuh dan sasaran yang tepat karena adanya informan-informan
bayaran, serangan Belanda berhasil mencerai-beraikan para pemimpin
perlawanan. Teuku Umar bergerak menyingkir ke Aceh bagian barat dan
Panglima Polem dapat digiring dan bergerak di Aceh bagian timur.
Di Aceh bagian barat Teuku Umar mempersiapkan pasukannya untuk
melakukan penyerangan secara besar-besaran ke arah Meulaboh. Tetapi
tampaknya persiapan Teuku Umar ini tercium oleh Belanda. Maka Belanda
segera menyerang benteng pertahanan Teuku Umar. Terjadilah pertempuran
sengit pada Februari 1899. Dalam pertempuran ini Teuku Umar gugur sebagai
syuhada. Perlawanan dilanjutkan oleh Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien dengan
pasukannya memasuki hutan dan mengembangkan perang gerilya.
Perlawanan rakyat Aceh belum berakhir. Para pejuang Aceh di bawah
komando Sultan Daud Syah dan Panglima Polem terus berkobar. Setelah
istana kerajaan di Keumala diduduki Belanda, sultan melakukan perlawanan
dengan berpindah-pindah bahkan juga melakukan perang gerilya. Sultan
menuju Kuta Sawang kemudian pindah ke Kuta Batee Iliek. Tetapi kuta-kuta
ini berhasil diserbu Belanda. Sultan kemudian menyingkir ke Tanah Gayo.
Pada tahun berikutnya Belanda menangkap istri sultan, Pocut Murong. Karena
tekanan Belanda yang terus menerus, pada Januari 1903 Sultan Muhammad
Daud Syah terpaksa menyerah. Demikian siasat licik dari Belanda. Cara licik
ini kemudian digunakan untuk mematahkan perlawanan Panglima Polem dan
Tuanku Raha Keumala. Istri, ibu dan anak-anak Panglima Polem ditangkap
oleh Belanda. Dengan tekanan yang bertubi-tubi akhirnya Panglima Polem
juga menyerah pada 6 September 1903. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Kerajaan Aceh yang sudah berdiri sejak 1514 harus berakhir.
Kerajaan boleh berakhir, tetapi semangat juang rakyat Aceh untuk melawan
dominasi asing sulit untuk dipadamkan. Sementara Cut Nyak Dien terus
mengobarkan perang jihad dengan bergerilya. Tetapi setelah pos pertahanan
pasukannya dikepung tentara Belanda pada tahun 1906 Cut Nyak Dien
berhasil ditangkap. Ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat sampai meninggal
pada tanggal 8 November 1908.
Namun perjuangan rakyat Aceh juga belum berakhir. Di daerah Pidie sejumlah
ulama masih terus melancarkan serangan ke pos-pos Belanda. Tokohtokoh ulama itu misalnya Teungku Mahyidin Tiro bersama istrinya Teungku
Di Bukiet Tiro, Teungku Ma’at Tiro, Teungku Cot Plieng. Semua ulama ini
gugur dalam Perang Sabil melawan kezaliman Belanda. Ulama yang terakhir
mengadakan perlawaan di Pidie ini yaitu Teungku Ma’at Tiro yang waktu
itu baru berusia 16 tahun. Tetapi setelah dikepung di Pegunungan Tangse
Teungku Ma’at Tiro berhasil ditembak mati oleh Belanda pada tahun 1911.
Ia mati syahid gugur sebagai kusuma bangsa.
Sementara itu, di pesisir utara dan timur Aceh
juga masih banyak para ulama dan pemimpin
adat yang terus melakukan perlawanan. Tokoh
perlawanan tersebut diantaranya Teuku Ben
Pirak (ayah Cut Nyak Mutia), Teuku Cik Tinong
(suami Cut Nyak Mutia). Setelah ayah dan
suaminya gugur, Cut Nyak Mutia melanjutkan
perang melawan kekejaman Belanda. Cut Nyak
Mutia sesuai dengan pesan suaminya Teuku Cik
Tunong sebelum ditembak mati oleh Belanda
disarankan untuk menikah dengan Pang
Nanggru. Oleh karena itu, Cut Nyak Mutia dapat
bersama-sama melawan Belanda dengan Pang
Nanggru. Pada tanggal 26 September 1910
terjadi pertempuran sengit di Paya Cicem. Pang
Nanggru tewas dan Cut Nyak Mutia berhasil
meloloskan diri. Bersama puteranya Raja Sabil (baru usia 11 tahun), Cut Nyak
Mutia terus memimpin perlawanan. Tetapi Cut Nyak Mutia akhirnya dapat
didesak dan gugur setelah beberapa peluru menembus kaki dan tubuhnya.
Ulama yang lain seperti Teungku Di Barat bersama istrinya Cut Po Fatimah
masih melanjutkan perlawanan, tetapi suami-istri itu akhirnya juga gugur
tertembak oleh keganasan peluru Belanda pada tahun 1912. Demikian
Perang Sabil yang digelorakan rakyat Aceh secara massal baru berakhir pada
tahun 1912. Tetapi sebenarnya masih ada gerakan-gerakan perlawanan lokal
yang berskala kecil yang sering terjadi. Bahkan, dikatakan perang-perang
kecil itu berlangsung sampai tahun 1942.
8. Perang Batak
Kita semua juga sudah sangat familier
mendengar kata Batak. Batak merupakan nama
kawasan sekaligus nama suku, Suku Batak.
Ada beberapa kelompok Batak misalnya ada
Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun,
Batak Mandailing, dan Batak Pakpak. Sekarang
masyarakat Batak tersebar di berbagai daerah
di Indonesia. Mereka banyak yang bergerak dan
berperan di bidang hukum.
Secara historis-sosiologis masyarakat Batak
menarik untuk dikaji. Secara sosiologis kita
mengenal bagaimana struktur masyarakat Batak
itu. Basis masyarakat Batak sebenarnya berada
di daerah-daerah kompleks perkampungan yang disebut dengan huta.
Huta yaitu bentuk kesatuan ikatan-ikatan kampung yang dalam berbagai
aspek kehidupan berdiri sendiri-sendiri. Setiap kesatuan huta didiami oleh
satu ikatan kekerabatan yang disebut marga. Dalam strukturnya, di atas
huta atau gabungan dari beberapa huta terbentuk horja dan gabungan dari
beberapa horja terbentuk bius. Kesatuan dari beberapa bius itu terbentuklah
satu wilayah kerajaan. Kerajaan masyarakat Batak yang dipimpin oleh Raja
Sisingamangaraja, pusat pemerintahannya ada di Bakkara. Sejak tahun
1870 yang menjadi raja yaitu Patuan Bosar Ompu Pulo Batu yang bergelar
Sisingamangaraja XII. Pada tahun 1878 Raja Sisingamangaraja XII angkat
senjata memimpin rakyat Batak untuk melawan Belanda.
a. Mengapa terjadi Perang Batak?
Perlu diketahui bahwa setelah Perang Padri berakhir, Belanda terus meluaskan
daerah pengaruhnya. Belanda mulai memasuki tanah Batak seperti
Mandailing, Angkola, Padang Lawas, Sipirok bahkan sampai Tapanuli. Hal ini
jelas merupakan ancaman serius bagi kekuasaan Raja Batak, Sisingamangaraja
XII. Masuknya dominasi Belanda ke tanah Batak ini juga disertai dengan
penyebaran agama Kristen. Penyebaran agama Kristen ini ditentang oleh
Sisingamangaraja XII karena dikhawatirkan perkembangan agama Kristen itu
akan menghilangkan tatanan tradisional dan bentuk kesatuan negeri yang
telah ada secara turun temurun. Untuk menghalangi proses Kristenisasi ini,
pada tahun 1877 Raja Sisingamangaraja XII berkampanye keliling ke daerahdaerah untuk menghimbau agar masyarakat mengusir para zending yang
memaksakan agama Kristen kepada penduduk. Masuknya pengaruh Belanda
ini juga akan mengancam kelestarian tradisi dan adat asli orang-orang Batak.
Akibat kampanye Raja Singamangaraja XII telah menimbulkan ekses
pengusiran para zending. Bahkan ada penyerbuan dan pembakaran terhadap
pos-pos zending di Silindung. Kejadian ini telah memicu kemarahan Belanda
dan dengan alasan melindungi para zending, Pada tanggal 8 Januari 1878
Belanda mengirim pasukan untuk menduduki Silindung. Pecahlah Perang
Batak
b. Bagaimana Jalannya Perang Batak?
Alasan untuk melindungi para Zending tentu alasan yang dibuat-buat
Belanda. Karena yang jelas Belanda menduduki Silindung sebagai langkah
awal untuk memasuki tanah Batak yang merupakan wilayah kekuasaan Raja
Sisingamangaraja XII. Belanda ingin menguasai seluruh tanah Batak. Kali
pertama pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Schelten menuju Bahal
Batu. Rakyat Batak di bawah pimpinan langsung Raja Sisingamangaraja
XII melakukan perlawanan terhadap gerakan pasukan Belanda di Bahal
Batu. Dalam menghadapi perang melawan Belanda ini rakyat Batak sudah
menyiapkan benteng pertahanan seperti benteng alam yang terdapat di
dataran tinggi Toba dan Silindung. Di samping itu, dikembangkan benteng
buatan yang ada di perkampungan. Setiap kelompok kampung dibentuk
empat persegi dengan pagar keliling terbuat dari tanah dan batu. Di luar
tembok ditanami bambu berduri dan di sebelah luarnya lagi dibuat parit
keliling yang cukup dalam. Pintu masuk dibuat hanya beberapa buah dengan
ukuran sempit.
Pertempuran pertama terjadi di Bahal Batu. Sisingamangaraja XII dengan
pasukannya berusaha memberikan perlawanan sekuat tenaga. Tetapi
nampaknya kekuatan pasukan Batak tidak seimbang dengan kekuatan tentara
Belanda, sehingga pasukan Sisingamangaraja XII ini harus ditarik mundur.
Akibatnya justru pertempuran merembet ke daerah lain, misalnya sampai di
Butar. Karena dengan gerakan mundur tadi, pasukan Sisingamangaraja XII
juga melakukan penyerangan pada pos-pos Belanda yang lain.
Perang Batak ini semakin meluas ke daerah-daerah lain. Setelah berhasil
menggagalkan berbagai serangan dari pasukan Sisingamangaraja XII,
Belanda mulai bergerak ke Bakkara. Bakkara merupakan benteng dan istana
Kerajaan Sisingamangaraja. Dengan jumlah pasukan yang cukup besar
Belanda mulai mengepung Bakkara. Letnan Kitchner menyerang dari arah
selatan, Chelter mendesak dari sebelah timur, sementara Van den Bergh
mengepung dari arah barat. Beberapa komandan tempur Belanda berusaha
memasuki benteng Bakkara, tetapi selalu dapat dihalau dengan lemparan
batu oleh para pejuang Batak. Akhirnya benteng dan Istana Bakkara dihujani
tembakan-tembakan yang begitu gencar, sehingga benteng itu dapat
diduduki Belanda. Sisingamangaraja dan sisa pasukannya berhasil meloloskan
diri dan menyingkir ke daerah Paranginan di bagian selatan Danau Toba.
Belanda terus memburu Sisingamangaraja. Sisingamangaraja kemudian
menyingkir ke Lintung. Belanda terus mengejar Sisingamangaraja terus
bergerak ke Tambunan, Lagu Boti, dan terus ke Baligie. Dengan kekuatan
pasukannya, Belanda dapat menguasai tempat-tempat itu semua, sehingga
semua daerah di sekitar Danau Toba sudah dikuasai Belanda.
Sisingamangaraja XII dengan sisa pasukannya bergerak menuju Huta Puong.
Pada Juli tahun 1889 Sisingamangaraja XII kembali angkat senjata melawan
ekspedisi Belanda. Di Huta Puong ini pasukan Sisingamangaraja XII bertahan
cukup lama. Tetapi pada tanggal 4 September 1899 Huta Puong juga jatuh
ke tangan Belanda. Sisingamangaraja XII kemudian membuat pertahanan
di Pakpak dan Dairi. Pasukan Belanda di bawah komando van Daden
mengadakan gerakan sapu bersih terhadap kantong-kantong pertahanan
dari Aceh sampai tanah Gayo, termasuk yang ada di tanah Batak . Tahun
1907 pasukan Belanda di bawah komando Hans Christoffel memfokuskan
untuk menangkap Sisingamangaraja XII. Sisingamangaraja XII berhasil
dikepung rapat di daerah segitiga Barus, Sidikalang, dan Singkel. Dalam
pengepungan ini Belanda menggunakan cara licik yakni menangkap Boru
Sagala, istri Sisingamangaraja XII dan dua anaknya.
Dengan beban psikologis yang berat Sisingamangaraja XII tetap bertahan, tidak
mau menyerah. Akhirnya pada tanggal 17 Juni 1907 siang pasukan Belanda
dikerahkan untuk menangkap Sisingamangaraja XII di pos pertahanannya di
Aik Sibulbulon di daerah Dairi. Dalam keadaan terdesak, Sisingamangaraja
XII dengan putera-puteranya tetap bertahan dan melakukan perlawanan
sekuat tenaga. Tetapi dalam pertempuran itu Sisingamangaraja XII tertembak
mati. Begitu juga putrinya Lopian dan dua orang puteranya Sutan Nagari dan
Patuan. Dengan demikian berakhirlah Perang Batak.
Setelah VOC dibubarkan, terjadilah perubahan penting dalam sistem pemerintahan
di tanah Hindia Belanda. Pembaruan sistem pemerintahan ini terutama dilakukan
oleh Daendels. Namun sistem pemerintahan yang baru itu dapat dilembagakan dan
dilaksanakan secara nyata pada zaman pemerintahan Raffles. Sistem pemerintahan
yang baru itu bersifat dualistis, yakni ada pemerintahan Eropa dan ada
pemerintahan pribumi (sekalipun harus tunduk pada penguasa Eropa). Di samping
itu, sebenarnya ada kelompok Timur Asing yang kedudukannya setara dengan
pribumi. Dalam hal ini para pangreh praja
direpresentasikan dalam pemerintahan pribumi. Namun penguasa kolonial sangat
menentukan sistem pergantian kekuasaan pemerintahan pribumi.
(Sementara itu) sejak pemerintahan Daendels, pembaruan di bidang pendidikan
di Hindia Belanda (juga) mulai dilakukan. Awalnya hanya ditujukan untuk
kepentingan tertentu dan kalangan tertentu. Namun sejak Politik Etis bergulir,
para bumiputra Hindia Belanda pun turut mengenyam pendidikan ala Barat. Pada
masa selanjutnya, hal ini menjadi bumerang bagi Belanda karena pendidikan
tersebut justru melahirkan elite lokal yang menaruh perhatian besar pada semangat
nasionalisme. Uraian tersebut menggambarkan bahwa penjajahan Barat memiliki
implikasi terhadap perkembangan kehidupan bangsa Indonesia. Di samping
perkembangan pendidikan persekolahan (pendidikan modern) juga
menggerakkan semangat nasionalisme. Munculnya semangat nasionalisme
dan cinta tanah air, sebenarnya sudah muncul setelah Indonesia ini dijajah
dan digerogoti oleh kekuatan kolonialisme dan imperialisme. Timbullah
berbagai bentuk perlawanan dan pergerakan kebangsaan. Hal ini terjadi
karena kondisi sosial ekonomi rakyat yang semakin memprihatinkan akibat
dari penindasan kaum penjajah, kekejaman kolonialisme dan imperialisme
Eropa. Berikut ini kita akan belajar bagaimana dampak perkembangan
kolonialisme dan imperialisme Eropa di Indonesia.
1. Bidang Politik dan Struktur Pemerintahan
Dalam bidang politik, para penguasa penjajahan Barat terutama Belanda
melakukan kebijakan yang sangat ketat dan cenderung menindas.
Pemerintah kolonial menjalankan politik memecah belah atau devide et
impera. Tidak hanya politik memecah belah, tetapi juga disertai dengan tipu
muslihat yang cenderung menghalalkan segala cara sehingga melanggar
norma-norma kemanusiaan. Misalnya pura-pura mengajak perundingan
damai tetapi malah ditangkap (penangkapan Pangeran Diponegoro), purapura diajak berunding tetapi malah dibunuh (pembunuhan Sultan Khaerun/
Hairun). Secara politik martabat rakyat Indonesia jatuh dan menjadi tidak
berdaulat. Rakyat Indonesia juga menjadi kelompok masyarakat kelas tiga
setelah kelompok orang-orang Barat (penjajah) dan kelompok orang-orang
timur asing.
Berangkat dari politik memecah belah dan praktik-praktik tipu muslihat
itu, kekuatan kolonial Belanda terus memperluas wilayah kekuasaannya.
Penguasa kolonial juga selalu campur tangan dalam pergantian kekuasaan
di lingkungan kerajaan/pemerintahan pribumi. Penguasa-penguasa pribumi/
lokal dan rakyatnya kemudian menjadi bawahan penjajajah. Hal ini dapat
menimbulkan sikap rendah diri di kalangan rakyat. Beberapa penguasa
pribumi mulai tidak memperhatikan rakyatnya.
Perlu disadari bahwa masa sebelum penjajahan dan sebelum terjadi intervensi
politik para penguasa kolonial, berkembang sistem kerajaan. Kerajaan
ini berkembang sendiri-sendiri di berbagai daerah. Tetapi seperti telah
disinggung di depan bahwa pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal
Daendels, telah dilakukan pembaruan bidang politik dan administrasi
pemerintahan. Daendels telah membagi wilayah kekuasaan kolonial Belanda
di Indonesia/Hindia Belanda di Jawa dibagi menjadi sembilan prefektur
dan terbagi dalam 30 regentschap (kabupaten). Setiap prefektur diangkat
seorang pejabat kepala pemerintahan yang disebut dengan prefek. Seorang pejabat prefek ini diangkat dari orang Eropa. Kemudian setiap regentschap/
kabupaten dikepalai oleh seorang regent atau bupati yang berasal dari kaum
pribumi. Namun, status bupati sampai dengan camat (yang disebut priayi)
sepenuhnya menjadi pegawai negeri (binnenland bestuur) baru terwujud
setelah diterapkannya sistem Tanam Paksa pada pertengahan 1850-an).
Setiap bupati ini merupakan pegawai pemerintah yang digaji. Dengan
demikian, para bupati ini telah kehilangan hak jabatan yang diwariskan
secara turun temurun (lihat uraian dalam buku Taufik Abdullah dan A.B.
Lapian, 2012).
Setiap prefek diberikan kekuasaan yang besar dan ditugasi untuk memperketat
pengawasan administratif dan keuangan terhadap para penguasa pribumi.
Ruang gerak para penguasa pribumi semakin sempit. Kewibawaan yang
berusaha diciptakannyapun menjadi semu.
Dalam struktur pemerintahan dikenal adanya pemerintahan tertinggi,
semacam pemerintahan pusat. Sebagai penguasa tertinggi yaitu gubernur
jenderal. Di tingkat pusat ini juga ada lembaga yang disebut dengan Raad
van Indie, tetapi perannya cenderung sebagai dewan penasihat. Dalam
pelaksanaan pemerintahan juga dikenal adanya departemen-departemen
untuk mengatur pemerintahan secara umum. Beberapa departemen
hasil reorganisasi tahun 1866, antara lain ada Departemen Dalam Negeri;
Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan; Departemen Pekerjaan
Umum; Departemen Keuangan; Departemen Urusan Perang; kemudian
dibentuk Departemen Kehakiman (1870); Departemen Pertanian (1904), yang
disempurnakan menjadi Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan
(1911).
Sementara itu, dalam pelaksanaan
pemerintahan dalam negeri, sangat jelas
adanya dualisme pemerintahan. Ada
pemerintahan Eropa (Europees bestuur)
dan pemerintahan pribumi (Inlands
bestuur). Di lingkungan pemerintahan
Eropa ini, terdapat pejabat wilayah yang
paling tinggi yakni residen. Ia memimpin
wilayah karesidenan. Di seluruh JawaMadura terbagi menjadi 20 karesidenan. Begitu juga di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau bagian timur
juga dibagi dalam wilayah karesidenan-karesidenan, tetapi jumlahnya relatif
kecil.
Di bawah residen ada pejabat asisten residen. Asisten residen ini mengepalai
suatu wilayah bagian dari karesidenan yang dinamakan afdeling. Di bawah
asisten residen masih ada pejabat yang disebut kontrolir (controleur). Ia
memimpin wilayah yang dinamakan controle-afdeling.
Selanjutnya yang terkait dengan pemerintahan pribumi, para pejabatnya
semua dijabat oleh priayi pribumi. Jenjang tertinggi dalam pemerintahan
pribumi yaitu seorang regent atau bupati. Ia memimpin sebuah wilayah
kabupaten. Seorang bupati ini dibantu oleh seorang pejabat yakni patih.
Satu wilayah kabupaten umumnya terbagi menjadi beberapa distrik yang
dipimpin oleh seorang wedana. Setiap distrik kemudian terbagi menjadi
onderdistrik yang dikepalai seorang asisten wedana atau sekarang camat.
Unit paling bawah kemudian ada desa-desa.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles di Hindia Belanda, ia
mereformasi pemerintahan pada saat itu. Raffles yang berpandangan liberal
mulai menghapus ikatan feodal dalam masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa
yang sudah terbiasa hidup dalam adat-istiadat dan ikatan feodal yang
kuat dipaksa untuk mengikuti sistem birokrasi baru. Karena itu, dari para
penguasa pribumi seperti raja, bupati, hingga kepala desa harus mengikuti
sistem pemerintahan dan birokrasi yang baru. Dalam hal ini pemerintah pusat
dapat langsung berhubungan dengan rakyat tanpa perantara penguasa
lokal. Sebenarnya pekerjaan ini sudah diawali oleh Daendels, sehingga
Raffles tinggal melanjutkan saja. Pembaruan yang dilakukan Raffles juga
menyangkut struktur pemerintahan dan peradilan.
Pada masa pemerintahan Raffles, bupati sebagai penguasa lokal harus
dijauhkan dari otonomi yang menguntungkan diri sendiri. Seorang bupati
diangkat sebagai pegawai pemerintah di bawah seorang residen. W.
Daendels memberikan istilah itu dengan prefek atau landrost. Raffles
kemudian membagi Jawa menjadi 16 keresidenan. Tiap keresidenan dikepalai
oleh seorang residen dan dibantu oleh beberapa asisten residen. Pembaruan
yang dilakukan Raffles ini bertujuan untuk melakukan transformasi sistem
pemerintahan Jawa, yaitu menggantikan sistem tradisional Jawa yang bersifat
patrimonial menuju sistem pemerintahan modern yang rasional.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sistem pemerintahan Raffles
diperbaiki kembali. Di samping itu untuk menyatukan seluruh wilayah Hindia
Belanda yang masih berbentuk kerajaan-kerajaan, pemerintah Kolonial
Belanda melakukan politik pasifikasi kewilayahan di Aceh, Sumatera Barat,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku dan Papua. Penyatuan
seluruh wilayah Hindia Belanda ini baru berhasil sekitar tahun 1905.
Bersatunya Hindia Belanda ini dikenal dengan Pax Neerlandica masa setelah
itu, wilayah Hindia Belanda telah stabil di bawah kekuasaan Hindia Belanda.
Wilayah inilah setelah proklamasi menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
2. Bidang Ekonomi
Pada masa pemerintahan Daendels, perubahan sistem pemerintahan telah
membawa pada perubahan sistem perekonomian tradisional. Dalam sistem
modern, tanah-tanah milik Raja berubah statusnya menjadi tanah milik
pemerintah kolonial. Dalam masa pemerintahan kolonial, mencari uang
dan mengumpulkan kekayaan menjadi tujuan utama. Uang dan kekayaan
mereka kumpulkan untuk membiayai keperluan pemerintahan yang sedang
berlangsung saat itu. Untuk mendapatkan uang pemerintah kolonial
memperolehnya dari penjual hasil bumi dari para petani berupa pajak. Petani
pun harus menjual hasil bumi dengan harga yang telah ditetapkan.
Grote Postweg atau jalan Raya Pos yang menghubungkan Anyer sampai
Panarukan, dibuka pada masa Daendels memerintah Hindia Belanda. Jalan
itu dibangun hampir di seluruh Pulau Jawa sebagai sarana pertahanan untuk
menghadapi Inggris. Jalan yang dibangun itu menembus sebagian hutan
dan gunung untuk menghindari rawa-rawa antara Jakarta dan Cirebon.
Pembangunan jalan itu terkait dengan masalah politik yang sedang menimpa
pemerintah, seperti masalah keuangan, ancaman Inggris, pemberontakan
Banten dan Cirebon, serta banyak musuh-musuh Daendels. Tindakan
Daendels ini mendapat pujian dari menteri penjajahan. Karena dengan
pembangunan jalan itu maka akan mengurangi pengeluaran pemerintahan.
Pembangunan jalan sepanjang 1000 km itu dilakukan dengan kerja rodi.
Meskipun dibangun dengan kerja rodi, jalan itu berguna untuk memakmurkan
pedalaman Jawa sebagai konsekuensi yang teratur. Menurut Daendels,
jalan itu membawa keuntungan bagi penduduk setempat dengan semakin
ramainya perdagangan. Meskipun jalan pos ini membawa perkembangan
daerah yang dilaluinya, namun kritik pedas kepada Daendels dilontarkan
karena pembangunan jalan itu telah merenggut ribuan nyawa manusia.
Pada masa Raffles terjadi perubahan sistem kepemilikan tanah dari tanah
raja dan penguasa lokal ke pemerintah. Ini berarti pemerintah mempunyai
kewenangan untuk menyewakan tanah. Perubahan dari sistem kepemilikan
tanah inilah yang menyebabkan pula terjadinya perubahan hubungan antara
raja dan kawulanya, yaitu dari patron-client menjadi hubungan-hubungan
yang bersifat komersial. Adanya penyewaan tanah ini berarti pemerintah
mendapatkan pajak tanah, dan kas pemerintah pun terisi. Dengan demikian
pelaku ekonomi yaitu pihak swasta. Sistem ini telah membuka kemerdekaan
ekonomi yang didukung oleh kepastian hukum usaha. Perdagangan bebas
pun mulai dilakukan. Dalam kaitannya dengan ini, bila perdagangan bebas
dilakukan maka kemakmuran rakyat akan tumbuh dengan sendirinya. Sejak
itulah sistem kegiatan ekonomi uang di desa-desa Jawa dan daerah lain di
Hindia Belanda yang telah lama dikenal dengan sistem ekonomi swadaya
berubah menjadi sistem ekonomi komersial.
Setelah pemerintah Raffles berakhir, diganti dengan pemerintahan Hindia
Belanda ekonomi uang terus berkembang, dan kegiatan perdagangan pun
semakin luas. Perkembangan ini didukung oleh perkembangan di bidang
perbankan. Sejak tahun 1828 era perbankan modern masuk ke Hindia
Belanda. Pada masa itu De Javasche Bank, didirikan di Batavia pada tanggal
24 Januari 1828. Kemudian menyusul berdiri bank-bank lainnya seperti
Nederlands Handels Maatschappij, De Nationale Handels Bank dan Escompto
Bank. Selain itu juga berkembang bank-bank lain yang berasal dari Inggris,
Australia dan Cina. Bahkan juga ada juga bank milik pribumi yaitu Bank
Desa, Lumbung Desa.
Dampak lain dari pemerintahan kolonial yaitu munculnya kota-kota baru
yang ditandai dengan adanya jaringan transportasi berupa jalur-jalur kereta
api dari Jakarta ke Bogor, dan kereta api di Pulau Jawa dan lain sebagainya.
Pada tahun 1840, muncul penyelidikan tentang pembangun jalur kereta
api yang menghubungan dari Surabaya lewat Solo ke Yogyakarta hingga
ke Priyangan. Pada September 1895, Jaringan kereta api Semarang-Cirebon
terbangun. Jaringan kereta api juga dibangun di Sumatera. Perusahaan Zuid
Sumatera Staatsramwegen membangun jaringan di Lampung sepanjang
62 km dan Palembang sepanjang 152 km yang telah beroperasi 1917. Di
Sumatera Barat, sejak 1833 telah dibangun kereta api, begitu juga di Aceh.
Di samping itu, jalur transpotasi darat membawa banyak perkembangan
dalam bidang perekonomian.
Munculnya pelabuhan-pelabuhan membawa pengaruh pada perkembangan
perdagangan. Terbentuknya jaringan kereta api yang terhubung ke
pelabuhan–pelabuhan sehingga pelabuhan-pelabuhan di Hindia Belanda
mulai tersambung pula, karena didukung munculnya angkutan kapal laut.
Perkembangan ekonomi juga didukung oleh munculnya kemajuan
komunikasi dan transpotasi. Pada 1746, kantor pos pertama didirikan di
Batavia. Hal ini mengalami kemajuan lagi setelah Daendels membangun jalan
pos yang menghubungkan di wilayah Pulau Jawa. Terhubungnya jaringan
kereta api dan jalan pos telah mempercepat pengiriman surat lewat pos,
sehingga informasi semakin berkembang cepat. Di Sumatera pelayanan pos
dilakukan dengan mobil, misalnya di Palembang, Pantai Timur Sumatera dan
Aceh. Pelayanan telegrap dimulai sejak 1855, sehingga informasi semakin
cepat sampai. Sistem ekonomi kapitalis mulai bangkit dengan ditandai
oleh masyarakat Indonesia yang mulai mengenal beberapa jenis tanaman
perkebunan yang menjadi bahan ekspor di pasar duniaHal yang menarik dan penting untuk diketahui dalam konteks
politik dan ekonomi itu yaitu usaha perluasan daerah kekuasaan
Belanda. Dengan cara kekerasan dan perang, melalui kontrak dan atau
perjanjian dengan penguasa-penguasa /raja lokal, bahkan kadang
dengan tipu muslihat, akhirnya Kepulauan Indonesia ini berada di
bawah kekuasaan Belanda. Pada masa kekuasaan Belanda inilah
secara nyata mulai dikenal batas wilayah termasuk batas-batas wilayah
Hindia Belanda yang kemudian menjadi wilayah Negara Indonesia,
dari ujung barat (Aceh) sampai ujung timur (Papua). Batas tanah
Hindia Belanda bagian timur di Papua ini telah disepakati dengan
perjanjian antara Belanda dan Inggris pada tahun 1895.
1. Bidang Sosial-Budaya
Penjajahan bangsa Barat di Indonesia secara tegas telah menerapkan
kehidupan yang diskriminatif. Orang-orang Barat memandang bahwa
mereka yang berkulit putih sebagai kelompok yang kelas I, kaum Timur Asing
sebagai kelas II, dan kaum pribumi dipandang sebagai masyarakat kelas III,
kelas yang paling rendah. Hal ini membawa konsekuensi bahwa budayanya
juga dipandang paling rendah. Pandangan ini sengaja untuk menjatuhkan
martabat bangsa Indonesia yang memang sedang terjajah.
Memang bangsa Barat ini ingin memberantas budaya feodal. Terbukti
Belanda berhasil menggeser hak-hak istimewa para penguasa pribumi.
Para penguasa pribumi, telah kehilangan statusnya sebagai bangsawan
yang sangat dihormati oleh rakyatnya. Mereka telah ditempatkan sebagai
pegawai pemerintah kolonial, sehingga tidak memiliki hak-hak istimewa
kebangsawanannya. Status dan hak-hak istimewanya justru diambil oleh
Belanda. Masyarakat Indonesia harus menghormati secara berlebihan kepada
penguasa kolonial.
Harus diakui dengan adanya dominasi orang-orang Barat di Indonesia telah
menanamkan nilai-nilai budaya yang umumnya kurang sesuai dengan nilainilai budaya bangsa Indonesia. Bahkan perkembangan budaya Barat yang
cenderung dipaksakan juga telah menggeser nilai-nilai budaya keindonesiaan.
Semangat persatuan, hidup dalam suasana kekerabatan, nilai-nilai gotong
royong, nilai-nilai kesantunan, unggah-ungguh atau budi pekerti luhur
yang dikembangkan di lingkungan kraton yang juga ditiru oleh masyarakat
mulai bergeser. Bahkan yang menyedihkan dengan alasan modernisasi, para
penguasa Barat tidak mau tahu tentang tradisi atau atau norma-norma,
termasuk nilai halal dan haram dalam Islam, misalnya dengan budaya minumminuman keras (menjadi mabuk-mabukan), berangkat dari dance kemudian
mengarah kepada pergaulan laki-laki dan perempuan yang cenderung tanpa
batas. Oleh karena itu, di lingkungan masyarakat beragama Islam, kaum
kolonial yang menjajah Indonesia dikatakan sebagai orang-orang kafir
Kedatangan dan dominasi bangsa-bangsa Barat juga telah membawa
pengaruh semakin intensifnya perkembangan agama Kristen. Hal ini tentu
sejenak menimbulkan culture shock di kalangan masyarakat muslim di
Indonesia. Namun dalam perkembangannya mampu beradaptasi sehingga
menambah khasanah keragaman di Indonesia.
Kemudian pada zaman pemerintahan Raffles, perkembangan ilmu
pengetahuan, sejarah dan budaya, khususnya di Jawa, mendapatkan
perhatian khusus. Melalui bukunya yang berjudul History of Java, buku
tersebut memuat berbagai aspek sosial dan budaya di Pulau Jawa. Ada juga
buku karya William Marsden yang berjudul History of Sumatera. Pemerhati
budaya Nusantara ternyata cukup banyak selain Raffles dan William Marsden
terdapat pula menteri pemerintahan Batavia, yakni Crawfurd. Ia menulis
buku History of the East Indian Arcipelago dalam tiga jilid. Buku itu sangat
penuh rasa kemanusiaan serta mambakar ketidakadilan yang diderita oleh
penduduk.
Pada akhir abad XIX, Van Kol yang menjadi juru bicara sosialis Belanda
melancarkan kritik terhadap keadaan Hindia Belanda yang semakin merosot.
Ia menyatakan selama satu abad lebih pemerintah mengambil keuntungan
dari penghasilan rakyat, tetapi tidak ada satu persen pun yang dikembalikan
untuk kesejahteraan rakyat Hindia Belanda. Di samping itu, Van Deventer
pada tahun 1899, menulis dalam judul “Hutang Kehormatan”. Dalam tulisan
tersebut ia menganjurkan adanya politik balas budi (politik etis) yang berisi
pendidikan, irigasi, dan imigrasi/transmigrasi.
2. Bidang Pendidikan
Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru. Dimulailah era
Politik Etis yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.
Related Posts:
sejarah negara kita 3 Tindakan kaum Padri itu dijadikan alasan Belanda untuk menyerang Koto Tuo di Ampek Angkek yang dipimpin Gilla… Read More