Rabu, 12 Juli 2023
Home »
sejarah negara kita 2
» sejarah negara kita 2
sejarah negara kita 2
By video bobo Juli 12, 2023
timbul bahaya kelaparan dan kematian di berbagai daerah. Misalnya di
Cirebon (1843 - 1844), di Demak (tahun 1849) dan Grobogan pada tahun
1850.
Sementara itu dengan pelaksanaan Tanam Paksa ini Belanda telah mengeruk
keuntungan dan kekayaan dari tanah Hindia. Dari tahun 1831 hingga tahun
1877 perbendaharaan kerajaan Belanda telah mencapai 832 juta gulden,
utang-utang lama VOC dapat dilunasi, kubu-kubu dan benteng pertahanan
dapat dibangun. Belanda menikmati keuntungan di atas penderitaan sesama
manusia.
Pelaksanaan Tanam Paksa dapat dikatakan telah melanggar hak-hak asasi
manusia. Memang harus diakui beberapa manfaat adanya Tanam Paksa,
misalnya, dikenalkannya beberapa jenis tanaman baru yang menjadi tanaman
ekspor, dibangunnya berbagai saluran irigasi, dan juga dibangunnya jaringan
rel kereta api. Beberapa hal ini memang sangat berarti dalam kehidupan
masyarakat di kemudian hari.
c) Sistem Usaha Swasta
Pelaksanaan Tanam Paksa memang telah berhasil memperbaiki perekonomian
Belanda. Kemakmuran juga semakin meningkat. Bahkan keuntungan
dari Tanam Paksa telah mendorong Belanda berkembang sebagai negara
industri. Sejalan dengan hal ini telah mendorong pula tampilnya kaum
liberal yang didukung oleh para pengusaha. Oleh karena itu, mulai muncul
perdebatan tentang pelaksanaan Tanam Paksa. Masyarakat Belanda mulai
mempertimbangkan baik buruk dan untung ruginya Tanam Paksa. Timbullah
pro dan kontra mengenai pelaksanaan Tanam Paksa.
Pihak yang pro dan setuju Tanam Paksa tetap dilaksanakan yaitu
kelompok konservatif dan para pegawai pemerintah. Mereka setuju karena
Tanam Paksa telah mendatangkan banyak keuntungan. Begitu juga para
pemegang saham perusahaan NHM (Nederlansche Handel Matschappij),
yang mendukung pelaksanaan Tanam Paksa karena mendapat hak monopoli
untuk mengangkut hasil-hasil Tanam Paksa dari Hindia Belanda ke Eropa.
Sementara, pihak yang menentang pelaksanaan Tanam Paksa yaitu
kelompok masyarakat yang merasa kasihan terhadap penderitaan rakyat
pribumi. Mereka umumnya kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh
ajaran agama dan penganut asas liberalisme. Kaum liberal menghendaki
tidak adanya campur tangan pemerintah dalam urusan ekonomi. Kegiatan
ekonomi sebaiknya diserahkan kepada pihak swasta.
Nederlansche Handel Matschappij: perusahaan dagang yang didirikan oleh
Raja William I di Den Haag pada 9 Maret 1824 sebagai promosi antara lain
bidang perdagangan dan perusahaan pengiriman, dan memegang peran
penting dalam mengembangkan perdagangan Belanda-Indonesia.
Pandangan dan ajaran kaum liberal itu semakin berkembang dan pengaruhnya
semakin kuat. Oleh karena itu, tahun 1850 Pemerintah mulai bimbang.
Apalagi setelah kaum liberal mendapatkan kemenangan politik di Parlemen
(Staten Generaal). Parlemen memiliki peranan lebih besar dalam urusan tanah
jajahan. Sesuai dengan asas liberalisme, maka kaum liberal menuntut adanya
perubahan dan pembaruan. Peranan pemerintah dalam kegiatan ekonomi
harus dikurangi, sebaliknya perlu diberikan keleluasaan kepada pihak swasta
untuk mengelola kegiatan ekonomi. Pemerintah berperan sebagai pelindung
warga, mengatur tegaknya hukum, dan membangun sarana prasarana agar
semua aktivitas masyarakat berjalan lancar.
Kaum liberal menuntut pelaksanaan Tanam Paksa di Hindia Belanda
diakhiri. Hal tersebut didorong oleh terbitnya dua buah buku pada tahun
1860 yakni buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker dengan
nama samarannya Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrakkontrak Gula) tulisan Frans van de Pute.
Kedua buku ini memberikan kritik keras
terhadap pelaksanaan Tanam Paksa.
Penolakan terhadap Tanam Paksa sudah
menjadi pendapat umum. Oleh karena itu,
secara berangsur-angsur Tanam Paksa mulai
dihapus dan mulai diterapkan sistem politik
ekonomi liberal. Hal ini juga didorong oleh
isi kesepakatan di dalam Traktat Sumatera
yang ditandatangani tahun 1871. Di dalam
Traktat Sumatera itu antara lain dijelaskan
bahwa Inggris memberikan kebebasan
kepada Belanda untuk meluaskan
daerahnya sampai ke Aceh. Tetapi sebagai Sumber: Max Havelaar, 2013.
imbangannya Inggris meminta kepada Gambar 1.23 E. Douwes Dekker.
Belanda agar menerapkan ekonomi liberal
sehingga pihak swasta termasuk Inggris dapat menanamkan modalnya di
tanah jajahan Belanda di Hindia.Penetapan pelaksanan sistem politik ekonomi liberal memberikan peluang
pihak swasta untuk ikut mengembangkan perekonomian di tanah jajahan.
Seiring dengan upaya pembaruan dalam menangani perekonomian di negeri
jajahan, Belanda telah mengeluarkan berbagai ketentuan dan peraturan
perundang-undangan.
1) Tahun 1864 dikeluarkan Undang-Undang Perbendaharaan Negara
(Comptabiliet Wet). Berdasarkan Undang-undang ini setiap anggaran
belanja Hindia Belanda harus diketahui dan disahkan oleh parlemen.
2) Undang-Undang Gula (Suiker Wet). Undang-undang ini antara lain
mengatur tentang monopoli tanaman tebu oleh pemerintah yang
kemudian secara bertahap akan diserahkan kepada pihak swasta.
3) Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870.
Undang-Undang ini mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di
negeri jajahan. Di dalam undang-undang itu ditegaskan, antara lain:
a) Tanah di negeri jajahan di Hindia Belanda dibagi menjadi
dua bagian. Pertama, tanah milik penduduk pribumi berupa
persawahan, kebun, ladang dan sebagainya. Kedua, tanahtanah hutan, pegunungan dan lainnya yang tidak termasuk
tanah penduduk pribumi dinyatakan sebagai tanah pemerintah.
b) Pemerintah mengeluarkan surat bukti kepemilikan tanah.
c) Pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah pemerintah
maupun tanah penduduk. Tanah-tanah pemerintah dapat disewa
pengusaha swasta sampai 75 tahun. Tanah penduduk dapat
disewa selama lima tahun, ada juga yang disewa sampai 30 tahun.
Sewa-menyewa tanah ini harus didaftarkan kepada pemerintah.
Sejak dikeluarkan UU Agraria itu, pihak swasta semakin banyak memasuki
tanah jajahan di Hindia Belanda. Mereka memainkan peranan penting dalam
mengeksploitasi tanah jajahan. Oleh karena itu, mulailah era imperialisme
modern. Berkembanglah kapitalisme di Hindia Belanda. Tanah jajahan
berfungsi sebagai: (1) tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk
kepentingan industri di Eropa, dan tempat penanaman modal asing, (2)
tempat pemasaran barang-barang hasil industri dari Eropa, (3) penyedia
tenaga kerja yang murah.
Usaha perkebunan di Hindia Belanda semakin berkembang. Beberapa jenis
tanaman perkebunan yang dikembangkan misalnya tebu, tembakau, kopi,
teh, kina, kelapa sawit, dan karet. Hasil barang tambang juga meningkat.
Industri ekspor terus berkembang pesat seiring dengan permintaan dari
pasaran dunia yang semakin meningkat.
Untuk mendukung pengembangan sektor ekonomi, diperlukan sarana
dan prasarana, misalnya irigasi, jalan raya, jembatan-jembatan, dan jalan
kereta api. Hal ini semua dimaksudkan untuk membantu kelancaran
pengangkutan hasil-hasil perusahaan perkebunan dari daerah pedalaman
ke daerah pantai atau pelabuhan yang akan diteruskan ke dunia luar. Pada
tahun 1873 dibangun serangkaian jalan kereta api. Jalan-jalan kereta api
yang pertama dibangun yaitu antara Semarang dan Yogyakarta, kemudian
antara Batavia dan Bogor, dan antara Surabaya dan Malang. Pembangunan
jalan kereta api juga dilakukan di Sumatera pada akhir abad ke-19. Tahun
1883 Maskapai Tembakau Deli telah memprakarsai pembangunan jalan
kereta api. Pembangunan jalan kereta api ini direncanakan untuk daerahdaerah yang telah dikuasai dan yang akan dikuasai, misalnya Aceh. Oleh
karena itu, pembangunan jalan kereta api di Sumatera ini, juga berdasarkan
pertimbangan politik dan militer. Jalur kereta api juga dibangun untuk
kepentingan pertambangan, seperti di daerah pertambangan batu bara di
Sumatra Barat.
Di samping angkutan darat, angkutan laut juga mengalami peningkatan.
Tahun 1872 dibangun Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia, Pelabuhan
Belawan di Sumatra Timur, dan Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) di
Padang. Jalur laut ini semakin ramai dan efisien terutama setelah adanya
pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869.
Bagi rakyat Bumiputera pelaksanaan usaha swasta tetap membawa
penderitaan. Pertanian rakyat semakin merosot. Pelaksanaan kerja paksa
masih terus dilakukan seperti pembangunan jalan raya, jembatan, jalan
kereta api, saluran irigasi, benteng-benteng dan sebagainya. Di samping
melakukan kerja paksa, rakyat masih harus membayar pajak, sementara
hasil-hasil pertanian rakyat banyak yang menurun. Kerajinan-kerajinan rakyat
mengalami kemunduran karena terdesak oleh alat-alat yang lebih maju. Alat
transportasi tradisional, seperti dokar, gerobak juga semakin terpinggirkan.
Dengan demikian rakyat tetap hidup menderita.
d) Perkembangan Agama Kristen
Perkembangan agama Kristen di Indonesia secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi dua, yakni Kristen Katolik dan Kristen Protestan.
Perkembangan agama Kristen ini tidak dapat dilepaskan dari kedatangan
bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia. Bersamaan gelombang kedatangan
bangsa-bangsa Eroapa seperti Portugis, Spanyol datang pula para missionaris
untuk menyebarkan agama Kristen di Indonesia.
Aktivitas pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang Eropa
itu sudah menjangkau ke seluruh wilayah Kepulauan Indonesia. Dalam
kenyataannya agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan berkembang di
berbagai daerah. Bahkan di daerah Indonesia bagian Timur seperti di Papua,
daerah Minahasa, Timor, Nusa Tenggara Timur, juga daerah Tapanuli di
Sumatera, agama Kristen menjadi mayoritas.
Harus diakui bahwa kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia telah membuka
jalan bagi perkembangan agama Kristen di Indonesia. Orang-orang Portugis
menyebarkan agama Kristen Katolik (selanjutnya disebut Katolik). Orangorang Belanda membawa agama Kristen Protestan (selanjutnya disebut
Kristen). Telah diterangkan dalam uraian sebelumnya bahwa pada abad
ke-16 telah terjadi penjelajahan samudra untuk menemukan dunia baru.
Oleh karena itu, periode ini sering disebut The Age of Discovery. Kegiatan
penjelajahan samudra untuk menemukan dunia baru itu dipelopori oleh
orang-orang Portugis dan Spanyol dengan semboyannya; gold, glory, dan
gospel. Dengan motivasi dan semboyan itu maka penyebaran agama Katolik
yang dibawa oleh Portugis tidak dapat terlepas dari kepentingan ekonomi dan
politik. Minimal secara politik, kegiatan para missionaris dalam menyebarkan
agama Kristen menjadi lebih lancar.
Setelah menguasai Malaka tahun 1511 Portugis kemudian meluaskan
wilayahnya ke Kepulauan Maluku dengan maksud memburu rempah-rempah.
Pada tahun 1512 pertama kali kapal Portugis mendarat di Hitu (di Pulau Ambon)
Kepulauan Maluku. Pada waktu itu perdagangan di Kepulauan Maluku sudah
ramai. Melalui kegiatan peradagangan ini pula Islam sudah berkembang di
Maluku. Kemudian datang Portugis untuk menyebarkan agama Katolik.
Berkembanglah agama Katolik di beberapa daerah di Kepulauan Maluku.
Para penyiar agama Katolik diawali oleh para pastor (dalam bahasa Portugis,
padre yang berarti imam). Pastor yang terkenal waktu itu yaitu Pastor Fransiscus Xaverius SJ
dari ordo Yesuit. Ia aktif
mengunjungi desa-desa
di sepanjang Pantai
Leitimor, Kepulauan
Lease, Pulau Ternate,
Halmahera Utara dan
Kepulauan Morotai.
Usaha penyebaran
agama Katolik ini
kemudian dilanjutkan
oleh pastor-pastor
yang lain. Kemudian
di Nusa Tenggara Timur
seperti Flores, Solor,
dan Timor agama
Katolik berkembang
tidak terputus sampai
sekarang.
B e r i k u t n y a j u g a
berkembang agama
Kristen di Kepulauan
Maluku terutama setelah VOC menguasai Ambon. Pada waktu itu para
zendeling aktif menyebarkan agama baru ini dengan semangat piesme, yaitu
menekankan pertobatan orang-orang Kristen. Penyebaran agama Kristen
ini juga semakin intensif saat Raffles berkuasa. Agama Katolik dan Kristen
berkembang pesat di Indonesia bagian timur.
Agama Katolik juga berkembang di Minahasa setelah Portugis singgah di
tempat itu pada abad ke-16. Penyebaran agama Katolik di daerah Minahasa
dipimpin oleh pastor Diogo de Magelhaens dan Pedro de Mascarenhas.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1563, yang dapat dikatakan sebagai tahun
masuknya agama Katolik di Sulawesi Utara. Tercatat pada ekspedisi itu
sejumlah rakyat dan raja menyatakan masuk agama Katolik dan dibaptis.
Misalnya Raja Babontehu bersama 1.500 rakyatnya telah dibaptis oleh
Magelhaens. Agama Kristen juga masuk dan berkembang di tanah Minahasa. Agama Katolik dan Kristen berkembang di daerah-daerah Papua, wilayah
Timur Kepulauan Indonesia pada umumnya, Sulawesi Utara dan tanah Batak
di Sumatera. Singkatnya agama Katolik dan Kristen dapat berkembang di
berbagai tempat di Indonesia, termasuk di Batavia. Bahkan di Jawa ada
sebutan Kristen Jawa.
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa perkembangan agama Kristen
di Indonesia, secara intensif terjadi saat pengaruh kekuasaan orang-orangorang Barat (Portugis, Belanda dan juga Inggris) semakin kuat. Agama Kristen
kemudian berkembang tidak hanya di Indonesia bagian Timur tetapi juga di
berbagai wilayah seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi. Bahkan di
Jawa ada sebutan Kristen Jawa.
Perkembangan Kristen Jawa ini tidak dapat dilepaskan dari peran Kiai
Sadrach. Dalam petualangannya mencari keyakinan agama, akhirnya ia
memeluk agama Kristen setelah dibaptis pada tahun 1867. Ia kemudian
mengembangkan Kristen Protestan dalam kandungan budaya Jawa. Ia
bebas mengembangkan agama Kristen Protestan dengan budaya Jawa.
Pengikutnya pun semakin banyak. Kiai Sadrach juga tidak mau tunduk dan
bahkan kemudian memisahkan diri dari Gereja Protestan Belanda. Ia tinggal
dan mengembangkan Kristen Protestan Jawa ini di desa Karangyoso (sebelah
selatan Kutoarjo). Banyak pengikut
Kristen Jawa ini di Jawa Tengah.
Bangsa Indonesia memang cinta perdamaian, tetapi tentu lebih cinta
kemerdekaan, karena secara fitrah setiap orang diciptakan oleh Tuhan
Yang Maha Esa memiliki hak kemerdekaan dan kedaulatan. Kedaulatan
itu baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat dan bangsa. Oleh
karena itu, sudah selayaknya sesuai dengan fitrah maka setiap bentuk
dominasi asing dan penjajahan harus kita lawan. Jiwa dan semangat untuk
melawan setiap bentuk penjajahan ini seharusnya ada pada diri setiap warga
Indonesia. Banyak orang mengatakan dalam arti politik secara formal kita
sudah merdeka tetapi banyak kritik dilontarkan bahwa kita masih mengalami
“penjajahan” dalam bidang ekonomi dan kebudayaan dalam arti kurang
memiliki kemandirian. Oleh karena itu, dengan segala upaya kita harus
memperjuangkan kemandirian dan kedaulatan di bidang ekonomi dan
kebudayaan. Dalam berjuang untuk memperkuat kemandirian itu, kita perlu
meneladani atau mencontoh semangat juang para pendahulu kita, misalnya
para pahlawan yang telah berjuang melawan penjajahan, keserakahan
kolonialisme, dan imperialisme. Pada bab ini kita akan belajar tentang sejarah
perjuangan rakyat dan para tokoh pejuang Indonesia pada kurun waktu
sekitar abad ke-16 sampai dengan abad ke-20.
A. Perang Melawan Hegemoni dan Keserakahan Kongsi
Dagang
Ilustrasi atau gambar di atas menunjukkan adanya sebuah perlawanan bangsa
Indonesia terhadap kezaliman kaum kolonialis dan imperialis, penjajahan
bangsa Eropa di Indonesia. Gambar di atas melukiskan kapal-kapal Belanda
yang menuju Indonesia. Kemudian gambar ke-2 menunjukkan ilustrasi
tentang salah satu situasi perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC
di Banten. Gambar ketiga gambar tokoh Pangeran Nuku dari Tidore untuk
melawan kekejaman kompeni Belanda. Sungguh heroik perlawanan rakyat
Kepulauan Maluku dan sekitarnya di bawah pimpinan Pangeran Nuku. Dari
pulau yang satu ke pulau yang lain Nuku
berhasil menggerakkan berbagai lapisan
kekuatan baik dari bangsawan maupun
rakyat untuk melawan kezaliman Belanda.
Politik devide et impera pun mulai diterapkan
oleh Belanda, tetapi Nuku tidak terpengaruh,
tetap teguh dan satu niat untuk melawan
penjajah. Dengan dukungan para penguasa
dari Papua dan Halmahera, bahkan juga
Inggris, pasukan Nuku semakin berjaya.
Belanda harus mengakui keunggulan Sultan
Nuku. Di masa Pangeran Nuku inilah Tidore
memperoleh kembali kemerdekaannya
dan terus bertahan sampai Sultan Nuku
meninggal dunia.
Uraian di atas menunjukkan salah satu perlawanan terhadap keserakahan
dan kekejaman kekuatan kongsi dagang asing yang melakukan monopoli dan
menjajah bumi Nusantara ini. Kekuatan penjajahan itu telah merendahkan
martabat bangsa dan membuat penderitaan rakyat, sehingga perlawanan
itu terjadi di berbagai daerah. Berikut ini akan kita pelajari tentang berbagai
perlawanan untuk melawan keserakahan VOC.
1. Aceh Versus Portugis dan VOC
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa
hikmah bagi Aceh. Banyak para pedagang Islam yang mengalihkan kegiatan
perdagangannya dari Malaka ke Aceh. Dengan demikian, perdagangan di
Aceh semakin ramai. Hal ini telah mendorong Aceh berkembang menjadi
bandar dan pusat perdagangan. Kerajaan Aceh muncul sebagai kekuatan
baru, yang berhasil menguasai daerah perdagangan seperti di pantai timur
Sumatera sebelah utara. Bahkan Aceh kemudian mampu mengendalikan
pusat-pusat perdagangan di pantai barat Sumatera, seperti di Barus, Tiku,
dan Pariaman. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat al-Kahar
(1537-1568) terkenal sebagai tokoh yang meng-aceh-kan kawasan pantai
barat Sumatera.
Tampilnya Aceh sebagai kekuatan ekonomi dan politik di kawasan pantai
Sumatera Barat dan pantai timur Sumatera, sangat disegani oleh pedagangpedagang asing. Pedagang-pedagang asing seperti dari Perancis, Inggris,
Belanda kalau ingin berdagang di wilayah pantai barat Sumatera dan tempattempat lain yang menjadi daerah kekuasaan Aceh harus minta izin kepada
Aceh.
Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai
ancaman. Oleh karena itu, Portugis berupaya untuk menghancurkan Aceh.
Pada tahun 1523 Portugis melancarkan serangan ke Aceh. Kembali Portugis
tahun berikutnya melancarkan serangan ke Aceh. Beberapa serangan
Portugis ini mengalami kegagalan. Portugis terus mencari cara untuk
melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal Portugis
selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh dimanapun berada. Tindakan
Portugis ini tidak dapat dibiarkan. Aceh yang ingin berdaulat dan tetap
dapat mengendalikan perdagangan di beberapa pelabuhan penting di
Sumatera, merencanakan untuk melakukan perlawanan. Sebagai persiapan
Aceh melakukan langkah-langkah antara lain:
1) melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam
dan prajurit;
2) mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa
ahli dari Turki pada tahun 1567; dan
3) mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara.
Setelah berbagai bantuan berdatangan, Aceh segera melancarkan serangan
terhadap Portugis di Malaka. Portugis harus bertahan mati-matian di Benteng
Formosa. Portugis harus mengerahkan semua kekuatannya sehingga
serangan Aceh ini dapat digagalkan. Sebagai tindakan balasan pada tahun
1569 Portugis balik menyerang Aceh, tetapi serangan Portugis di Aceh ini
juga dapat digagalkan oleh pasukan Aceh.
Sementara itu, para pedagang Belanda juga ingin mendapatkan keuntungan
dengan berdagang di pantai barat Sumatera, bahkan kalau perlu dapat
melakukan monopoli. Oleh karena itu, VOC harus bersaing dengan Portugis
dan harus mendapat izin dari Aceh. Padahal Aceh dikenal anti terhadap
dominasi dan para pedagang asing. Terkait dengan ini para pedagang
Belanda melalui Pangeran Maurits pernah berkirim surat kepada Raja
Aceh, Alauddin tertanggal 23 Agustus 1601. Dalam surat dipenuhi dengan
kata-kata sanjungan dan puji-pujian kepada Sultan Alauddin dan rakyat
Aceh. Dalam surat itu juga dicantumkan kata-kata yang menjelek-jelekkan
Portugis, dan juga dicantumkan tawaran bantuan untuk mengusir orangorang Portugis. Surat itu kemudian ditutup dengan kalimat: “ Mencium
tangan Yang Mulia, dari hamba, Maurits de Nassau” Pada waktu utusan
Pangeran Maurits itu menyerahkan surat tersebut juga disertai dengan
sejumlah hadiah dan hantaran (Uka Tjandrasasmita, “Persaingan di Pantai
Barat Sumatera: dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012). Dengan
surat ini ternyata Sultan Aceh yang kebetulan sedang bermusuhan dengan
Portugis, dapat menerima kehadiran para pedagang Belanda. Bahkan pada
tahun 1607 Aceh memberikan izin kepada VOC untuk membuka loji di Tiku
di pantai Barat Sumatera
Apapun yang terjadi, rakyat Aceh dan para pemimpinnya tetap memiliki
pendirian dan semangat untuk terus berdaulat dan menentang dominasi
orang asing. Oleh karena itu, jiwa dan semangat juang untuk mengusir
Portugis dari Malaka tidak pernah padam. Pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1607-1639), semangat juang mempertahankan tanah air
dan mengusir penjajahan asing semakin meningkat. Bahkan pada masa
pemerintahan Iskandar Muda ini mulai memutuskan hubungan dan menolak
kehadiran VOC. Iskandar Muda yaitu raja yang gagah berani dan bercitacita untuk mengenyahkan penjajahan asing, termasuk mengusir Portugis dari
Malaka. Iskandar Muda juga menentang kesewenang-wenangan VOC yang
sudah berkuasa di Batavia.
Dalam rangka melawan Portugis di Malaka, Sultan Iskandar Muda berusaha
untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya. Angkatan lautnya diperkuat
dengan kapal-kapal besar yang dapat mengangkut 600-800 prajurit.
Pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia bahkan, Aceh
juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri. Sementara itu untuk
mengamankan wilayahnya yang semakin luas meliputi Sumatera Timur dan
Sumatera Barat, ditempatkan para pengawas di jalur-jalur perdagangan.
Para pengawas itu ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan penting seperti di
Pariaman. Para pengawas itu umumnya terdiri para panglima perang.
Setelah mempersiapkan pasukannya, pada tahun 1629 Iskandar Muda
melancarkan serangan ke Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis
sempat kewalahan. Portugis harus mengerahkan semua kekuatan tentara
dan persenjataan untuk menghadapi pasukan Iskandar Muda. Namun,
serangan Aceh kali ini juga belum berhasil mengusir Portugis dari Malaka.
Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk. Bentrokan-bentrokan
antara kedua belah pihak masih sering terjadi, tetapi Portugis tetap tidak
berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir
Portugis dari Malaka. Portugis dapat diusir dari Malaka oleh VOC pada tahun
1641, setelah VOC bersekutu dengan Kesultanan Johor.
2. Maluku Angkat Senjata
Portugis berhasil memasuki Kepulauan Maluku pada tahun 1521. Mereka
memusatkan aktivitasnya di Ternate. Tidak lama berselang orangorang Spanyol juga memasuki Kepulauan Maluku dengan memusatkan
kedudukannya di Tidore. Terjadilah persaingan antara kedua belah pihak.
Persaingan itu semakin tajam setelah Portugis berhasil menjalin persekutuan
dengan Ternate dan Spanyol bersahabat dengan Tidore. Semua ini tidak
terlepas dari ambisi bangsa-bangsa Barat untuk menguasai perdagangan
dan menanamkan kekuasaannya di Maluku. Mereka sering memanfaatkan
kelemahan kaum pribumi termasuk memanfaatkan intrik-intrik yang
membuat perpecahan di lingkungan istana.
Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis. Penyebab
perang ini karena kapal-kapal Portugis menembaki jung-jung dari Banda yang
akan membeli cengkih ke Tidore. Tentu saja Tidore tidak dapat menerima
tindakan armada Portugis. Rakyat Tidore angkat senjata. Terjadilah perang
antara Tidore melawan Portugis. Dalam perang ini Portugis mendapat
dukungan dari Ternate dan Bacan. Akhirnya Portugis mendapat kemenangan.
Dengan kemenangan ini Portugis menjadi semakin sombong dan sering
berlaku kasar terhadap penduduk Maluku. Upaya monopoli terus dilakukan.
Maka, wajar jika sering terjadi letupan-letupan perlawanan rakyat.
Sementara itu konflik dan persaingan antara Portugis dan Spanyol di Maluku
ini harus segera diakhiri. Dengan mengingat kesepakatan pada Perjanjian
Tordesillas, maka diadakan perjanjian damai antara Portugis dan Spanyol.
Perjanjian damai dilaksanakan di Saragosa pada tahun 1529. Berdasarkan
Perjanjian Saragosa ini disepakati bahwa Portugis tetap berkuasa di Maluku,
sementara Spanyol berkuasa di wilayah Filipina. Dengan demikian setelah
ditandatangani Perjanjian Saragosa, kedudukan Portugis di Maluku
semakin kuat. Portugis semakin berkuasa untuk memaksakan kehendaknya
melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Kedudukan
Portugis juga semakin mengancam kedaulatan kerajaan-kerajaan yang ada
di Maluku.
Melihat kesewenang-wenangan Portugis itu, pada tahun 1565 muncul
perlawanan rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Khaerun/Hairun.
Sultan Khaerun menyerukan seluruh rakyat dari Irian/Papua sampai Jawa
untuk angkat senjata melawan kezaliman kolonial Portugis. Portugis mulai
kewalahan dan menawarkan perundingan kepada Sultan Khaerun. Dengan
pertimbangan kemanusiaan, Sultan Khaerun menerima ajakan Portugis.
Perundingan dilaksanakan pada tahun 1570 bertempat di Benteng Sao Paolo.
Ternyata semua ini hanyalah tipu muslihat Portugis. Pada saat perundingan
sedang berlangsung, Sultan Khaerun ditangkap dan dibunuh. Tindakan
yang dilakukan Portugis kala itu sungguh kejam dan tidak mengenal
perikemanusiaan. Demi keuntungan ekonomi Portugis telah merusak sendisendi kehidupan kemanusiaan dan keberagamaan.
Setelah Sultan Khaerun dibunuh, perlawanan dilanjutkan di bawah pimpinan
Sultan Baabullah (putera Sultan Khaerun). Melihat tindakan Portugis yang
tidak mengenal nilai-nilai kemanusiaan, semangat rakyat Maluku untuk
melawannya semakin berkobar. Seluruh rakyat Maluku berhasil dipersatukan
termasuk Ternate dan Tidore untuk melancarkan serangan besar-besaran
terhadap Portugis. Akhirnya Portugis dapat didesak dan pada tahun 1575
berhasil diusir dari Ternate. Orang-orang Portugis kemudian melarikan diri
dan menetap di Ambon. Pada tahun1605 Portugis dapat diusir oleh VOC
dari Ambon dan kemudian menetap di Timor Timur.
Serangkaian perlawanan rakyat terus terjadi terhadap Portugis maupun VOC
yang melakukan tindakan kejam dan sewenang-wenang kepada rakyat.
Misalnya pada periode tahun 1635-1646 terjadi serangan sporadis dari rakyat
Hitu yang dipimpin oleh Kakiali dan Telukabesi. Perlawanan rakyat ini juga
meluas ke Ambon. Tahun 1650 perlawanan rakyat juga terjadi di Ternate
yang dipimpin oleh Kecili Said. Sementara perlawanan secara gerilya terjadi
seperti di Jailolo. Namun berbagai serangan itu selalu dapat dipatahkan
oleh kekuatan VOC yang memiliki organisasi serta peralatan senjata lebih
lengkap. Rakyat terus mengalami penderitaan akibat kebijakan monopoli
rempah-rempah yang disertai dengan Pelayaran Hongi.
Pada tahun 1680, VOC memaksakan sebuah perjanjian baru dengan
penguasa Tidore. Kerajaan Tidore yang semula sebagai sekutu turun statusnya
menjadi vassal VOC. Sebagai penguasa yang baru diangkatlah Putra Alam
sebagai Sultan Tidore (menurut tradisi kerajaan Tidore yang berhak sebagai
sultan semestinya yaitu Pangeran Nuku). Penempatan Tidore sebagai vassal
atau daerah kekuasaan VOC telah menimbulkan protes keras dari Pangeran
Nuku. Akhirnya Nuku memimpin perlawanan rakyat. Timbullah perang hebat
antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran Nuku melawan kekuatan
kompeni Belanda (tentara VOC). Pangeran Nuku mendapat dukungan rakyat
Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang Gamrange dari
Halmahera. Oleh para pengikutnya, Pangeran Nuku diangkat sebagai sultan
dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah. Dengan posisinya
sebagai sultan ini, maka perlawanan terhadap VOC semakin diperkuat.
Bahkan Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran
Ibrahim dari Ternate untuk bersama-sama melawan VOC. Pangeran Nuku
juga mendapat dukungan dari para pedagang Seram Timur. Kapitan laut
Pangeran Nuku sebagian besar berasal dari para pemuka pedagang Seram
Timur. Para pedagang Seram Timur ini memiliki kemandirian dan militansi yang
tinggi. Dalam perang ini Sultan Nuku juga mendapat dukungan dari armada
Inggris (EIC). Belanda kewalahan dan tidak mampu membendung semangat
pasukan Sultan Nuku untuk lepas dari dominasi Belanda. Akhirnya Sultan
Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat melepaskan
diri dari dominasi Belanda di Tidore sampai akhir hayatnya (tahun 1805).
3. Sultan Agung Versus J.P. Coen
Sultan Agung yaitu raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram. Pada
masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan.
Cita-cita Sultan Agung antara
lain: (1) mempersatukan
seluruh tanah Jawa, dan
(2) mengusir kekuasaan
asing dari bumi Nusantara.
Terkait dengan cita-citanya
ini maka Sultan Agung
sangat menentang keberadaan
kekuatan VOC di Jawa.
Apalagi tindakan VOC yang
terus memaksakan kehendak
untuk melakukan monopoli
perdagangan membuat
para pedagang Pribumi
mengalami kemunduran.
Kebijakan monopoli itu
juga dapat membawa penderitaan rakyat. Oleh karena itu, Sultan Agung
merencanakan serangan ke Batavia. Ada beberapa alasan mengapa Sultan
Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni:
1) tindakan monopoli yang dilakukan VOC;
2) VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram
yang akan berdagang ke Malaka;
3) VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram; dan
4) keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius
bagi masa depan Pulau Jawa.
Pada tahun 1628 Sultan Agung mempersiapkan pasukan Mataram dengan
segenap persenjataan dan perbekalannya untuk menyerang VOC di Batavia.
Pada waktu itu yang menjadi Gubernur Jenderal VOC yaitu J.P. Coen. Pada
tanggal 22 Agustus 1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung
Baureksa menyerang Batavia. Pasukan Mataram berusaha membangun pospos pertahanan, tetapi kompeni VOC terus berusaha menghalang-halangi.
Akibatnya pertempuran antara kedua pihak tidak dapat dihindarkan. Di
tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain
berdatangan seperti pasukan di bawah Tumenggung Sura Agul-Agul yang
dibantu oleh Kiai Dipati Mandurareja dan Upa Santa. Datang pula laskar
orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati Ukur. Pasukan Mataram
berusaha mengepung Batavia dari berbagai tempat. Terjadilah pertempuran
sengit antara pasukan Mataram melawan tentara VOC di berbagai tempat.
Tetapi kekuatan tentara VOC dengan senjatanya jauh lebih unggul, sehingga
dapat memukul mundur semua lini kekuatan pasukan Mataram. Tumenggung
Baureksa gugur dalam pertempuran itu. Dengan
demikian, serangan tentara Sultan Agung pada
tahun 1628 itu belum berhasil.
Sultan Agung tidak lantas berhenti dengan
kekalahan yang baru saja dialami pasukannya.
Ia segera mempersiapkan serangan yang kedua.
Belajar dari kekalahan terdahulu Sultan Agung
meningkatkan jumlah kapal dan senjata, Ia juga
membangun lumbung-lumbung beras untuk
persediaan bahan makanan seperti di Tegal
dan Cirebon. Tahun 1629 pasukan Mataram
diberangkatkan menuju Batavia. Sebagai
pimpinan pasukan Mataram dipercayakan
kepada Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati
Juminah, dan Dipati Purbaya. Ternyata informasi persiapan pasukan Mataram
diketahui oleh VOC. Dengan segera VOC mengirim kapal-kapal perang untuk
menghancurkan lumbung-lumbung yang dipersiapkan pasukan Mataram. Di
Tegal tentara VOC berhasil menghancurkan 200 kapal Mataram, 400 rumah
penduduk dan sebuah lumbung beras. Pasukan Mataram pantang mundur,
dengan kekuatan pasukan yang ada terus berusaha mengepung Batavia.
Pasukan Mataram berhasil mengepung dan menghancurkan Benteng
Hollandia. Berikutnya pasukan Mataram mengepung Benteng Bommel,
tetapi gagal menghancurkan benteng tersebut. Pada saat pengepungan
Benteng Bommel, terpetik berita bahwa J.P. Coen meninggal. Peristiwa ini
terjadi pada tanggal 21 September 1629. Dengan semangat juang yang
tinggi pasukan Mataram terus melakukan penyerangan. Dalam situasi yang
kritis ini pasukan VOC semakin marah dan meningkatkan kekuatannya untuk
mengusir pasukan Mataram. Dengan mengandalkan persenjataan yang lebih
baik dan lengkap, akhirnya dapat menghentikan serangan-serangan pasukan
Mataram. Pasukan Mataram semakin melemah dan akhirnya ditarik mundur
kembali ke Mataram. Dengan demikian, serangan Sultan Agung yang kedua
ini juga mengalami kegagalan.
Kegagalan pasukan Mataram menyerang Batavia, membuat VOC semakin
berambisi untuk terus memaksakan monopoli dan memperluas pengaruhnya
di daerah-daerah lain. Namun, di balik itu VOC selalu khawatir dengan
kekuatan tentara Mataram. Tentara VOC selalu berjaga-jaga untuk mengawasi
gerak-gerik pasukan Mataram. Sebagai contoh pada waktu pasukan Sultan
Agung dikirim ke Palembang untuk membantu Raja Palembang dalam
melawan VOC, langsung diserang oleh tentara VOC di tengah perjalanan.
Perlawanan pasukan Sultan Agung terhadap VOC mengalami kegagalan.
Namun, semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing terus tertanam
pada jiwa Sultan Agung dan para pengikutnya. Secara militer Mataram
memang tidak berhasil memaksa VOC untuk menjadi bawahan Mataram.
Sementara itu, tentara VOC sendiri sebenarnya merasa khawatir dan segan
terhadap kekuatan militer Mataram. Sultan Agung yang cerdas itu kemudian
menggunakan kemampuan diplomasi. Melalui kemampuan diplomasinya
Sultan Agung berhasil memaksa VOC untuk mengakui eksistensi Mataram
dan Sultan Agung sebagai Yang Dipertuan Agung. Hal ini buktikan dengan
pengiriman upeti secara periodik dari VOC ke Mataram. Sementara VOC
mendapat imbalan diizinkan untuk melakukan perdagangan di pantai utara
Jawa. Dalam perdagangan ini VOC cenderung melakukan monopoli.
Sayangnya semangat dan kebesaran Sultan Agung itu tidak diwarisi oleh rajaraja pengganti Sultan Agung. Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645,
Mataram menjadi semakin lemah sehingga akhirnya berhasil dikendalikan
oleh VOC.
Sebagai pengganti Sultan Agung yaitu Sunan Amangkurat I. Ia memerintah
pada tahun 1646 -1677. Ternyata Raja Amangkurat I merupakan raja yang
lemah dan bahkan bersahabat dengan VOC. Raja ini juga bersifat reaksioner
dengan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat dan kejam terhadap
para ulama. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Amangkurat I itu
timbul berbagai perlawanan rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin oleh
Trunajaya
4. Perlawanan Banten
Banten memiliki posisi yang strategis sebagai bandar perdagangan
internasional. Oleh karena itu, sejak semula Belanda ingin menguasai
Banten, tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya VOC membangun Bandar
di Batavia pada tahun 1619. Terjadi persaingan antara Banten dan Batavia
memperebutkan posisi sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh
karena itu, rakyat Banten sering melakukan serangan-serangan terhadap
VOC.
Pada tahun 1651, Pangeran Surya naik tahta di
Kesultanan Banten. Ia yaitu cucu Sultan Abdul
Mufakhir Mahmud Abdul Karim, anak dari
Sultan Abu al- Ma’ali Ahmad yang wafat pada
1650. Pangeran Surya bergelar Sultan Abu alFath Abdulfatah. Sultan Abu al-Fath Abdulfatah
ini lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng
Tirtayasa. la berusaha memulihkan posisi Banten
sebagai bandar perdagangan internasional
sekaligus menandingi perkembangan VOC
di Batavia. Beberapa kebijakannya misalnya
mengundang para pedagang Eropa lain seperti
Inggris, Perancis, Denmark, dan Portugis.
Sultan Ageng Tirtayasa juga mengembangkan
hubungan dagang dengan negara-negara Asia seperti Persia, Benggala, Siam,
Tonkin, dan Cina. Perkembangan di Banten ternyata sangat tidak disenangi
oleh VOC. Oleh karena itu, untuk melemahkan peran Banten sebagai Bandar
perdagangan, VOC sering melakukan blokade. Jung-jung Cina dan kapalkapal dagang dari Maluku dilarang oleh VOC meneruskan perjalanan menuju
Banten. Sebagai balasan Sultan Ageng mengirim beberapa pasukannya
untuk mengganggu kapal-kapal dagang VOC dan menimbulkan gangguan
di Batavia. Dalam rangka memberi tekanan dan memperlemah kedudukan
VOC, rakyat Banten juga melakukan perusakan terhadap beberapa kebun
tanaman tebu milik VOC. Akibatnya hubungan antara Banten dan Batavia
semakin memburuk.
Menghadapi serangan pasukan Banten, VOC terus memperkuat kota Batavia
dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan seperti Benteng Noordwijk.
Dengan tersedianya beberapa benteng di Batavia diharapkan VOC mampu
bertahan dari berbagai serangan dari luar dan mengusir para penyerang
tersebut. Sementara itu untuk kepentingan pertahanan, Sultan Ageng
memerintahkan untuk membangun saluran irigasi yang membentang dari
Sungai Untung Jawa sampai Pontang. Selain berfungsi untuk meningkatkan
produksi pertanian, saluran irigasi dimaksudkan juga untuk memudahkan
transportasi perang. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng ini memang
banyak dibangun saluran air/irigasi. Oleh karena jasa-jasanya ini maka sultan
digelari Sultan Ageng Tirtayasa (tirta artinya air).
Serangan dan gangguan terhadap VOC terus dilakukan. Di tengah-tengah
mengobarkan semangat anti VOC itu, pada tahun 1671 Sultan Ageng
Tirtayasa mengangkat putra mahkota Abdulnazar Abdulkahar sebagai
raja pembantu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Haji. Sebagai raja
pembantu Sultan Haji bertanggung jawab urusan dalam negeri, dan Sultan
Ageng Tirtayasa bertanggung jawab urusan luar negeri dibantu puteranya
yang lain, yakni Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan
di Banten ini tercium oleh perwakilan VOC di Banten W. Caeff. Ia kemudian
mendekati dan menghasut Sultan Haji agar urusan pemerintahan di Banten
tidak dipisah-pisah dan jangan sampai kekuasaan jatuh ke tangan Arya
Purbaya. Karena hasutan VOC ini Sultan Haji mencurigai ayah dan saudaranya.
Sultan Haji juga sangat khawatir, apabila dirinya tidak segera dinobatkan
sebagai sultan, sangat mungkin jabatan sultan itu akan diberikan kepada
Pangeran Arya Purbaya. Tanpa berpikir panjang Sultan Haji segera membuat
persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten.
Timbullah pertentangan yang begitu tajam antara Sultan Haji dengan Sultan
Ageng Tirtayasa.
Dalam persekongkolan tersebut VOC sanggup membantu Sultan Haji untuk
merebut Kesultanan Banten tetapi dengan empat syarat. (1) Banten harus
menyerahkan Cirebon kepada VOC, (2) monopoli lada di Banten dipegang
oleh VOC dan harus menyingkirkan para pedagang Persia, India, dan Cina,
(3) Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan (4)
pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan
segera ditarik kembali. Isi perjanjian ini disetujui oleh Sultan Haji.
Pada tahun 1681 VOC atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan
Banten. Istana Surosowan berhasil dikuasai. Sultan Haji menjadi Sultan
Banten yang berkedudukan di istana Surosowan.
Sultan Ageng Tirtayasa kemudian membangun istana yang baru berpusat
di Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa berusaha merebut kembali Kesultanan
Banten dari Sultan Haji yang didukung VOC. Pada tahun 1682 pasukan Sultan
Ageng Tirtayasa berhasil mengepung istana Surosowan. Sultan Haji terdesak
dan segera meminta bantuan tentara VOC. Datanglah bantuan tentara
VOC di bawah pimpinan Francois Tack. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa
dapat dipukul mundur dan terdesak hingga ke Benteng Tirtayasa. Benteng
Tirtayasa juga dikepung tentara VOC. Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya
berhasil meloloskan diri bersama puteranya, pangeran Purbaya ke hutan
Lebak. Mereka masih melancarkan serangan sekalipun dengan bergerilya.
Tentara VOC terus memburu. Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya
yang kemudian bergerak ke arah Bogor. Pada tahun 1683 Sultan Ageng
Tirtayasa berhasil ditangkap oleh VOC dengan tipu muslihat. Sultan Ageng
ditawan di Batavia sampai wafatnya pada tahun 1692.
Semangat juang Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya tidak pernah
padam. Ia telah mengajarkan untuk selalu menjaga kedaulatan negara dan
mempertahankan tanah air dari dominasi asing. Hal ini terbukti setelah
Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, perlawanan rakyat Banten terhadap VOC
terus berlangsung. Misalnya pada tahun 1750 berkobar perlawanan yang
dipimpin oleh seorang ulama terkenal yakni Ki Tapa. Pada bulan November
1750 gabungan pasukan VOC dan tentara kerajaan berhasil dihancurkan oleh
pasukan Ki Tapa. Ki Tapa ini antara lain juga mendapat dukungan seorang
pangeran yang bekerja sama dengan Ratu Bagus. Perlawanan Ki Tapa ini
semakin meluas. VOC tidak ingin dipermalukan oleh pasukan pribumi. Oleh
karena itu, pada tahun 1751 VOC mengerahkan pasukan gabungan yang
jumlah sangat besar mencapai 1250 personil untuk mengepung pasukan Ki
Tapa dan Ratu Bagus. Pasukan Ki Tapa dapat didesak oleh VOC. Namun,
Ki Tapa dan ratu Bagus dapat meloloskan diri dan pergi ke hutan untuk
melancarkan perang gerilya. Ki Tapa telah menjadi lambang kekuatan Banten
yang tidak pernah terkalahkan.
5. Perlawanan Gowa
Kerajaan Gowa merupakan salah satu kerajaan yang sangat terkenal di
Nusantara. Pusat pemerintahannya berada di Somba Opu yang sekaligus
menjadi pelabuhan Kerajaan Gowa. Somba Opu senantiasa terbuka untuk
siapa saja. Banyak para pedagang asing yang tinggal di kota itu. Misalnya,
orang Inggris, Denmark, Portugis, dan Belanda. Mereka diizinkan membangun
loji di kota itu. Gowa anti terhadap tindakan monopoli perdagangan.
Masyarakat Gowa ingin hidup merdeka dan bersahabat kepada siapa saja
tanpa hak istimewa. Masyarakat Gowa senantiasa berpegang pada prinsip
hidup sesuai dengan kata-kata “Tanahku terbuka bagi semua bangsa”,
“Tuhan menciptakan tanah dan laut; tanah dibagikan-Nya untuk semua
manusia dan laut yaitu milik bersama.” Dengan prinsip keterbukaan dan
kebersamaan itu maka Gowa cepat berkembang.
Makassar dengan pelabuhan Somba Opu memiliki posisi yang strategis dalam
jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Somba Opu telah berperan
sebagai bandar perdagangan tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari
timur ke barat atau sebaliknya. Sebagai contoh kapal-kapal pengangkut
rempah-rempah dari Maluku yang berangkat ke Malaka sebelumnya singgah
dulu di Bandar Somba Opu. Begitu pula barang dagangan dari barat yang
akan masuk ke Maluku juga melakukan bongkar muat di Somba Opu.
Dengan melihat peran dan posisi Makassar atau Kerajaan Gowa yang
strategis, VOC berusaha keras untuk dapat mengendalikan Gowa. VOC ingin
menguasai pelabuhan Somba Opu serta menerapkan monopoli perdagangan.
Untuk itu VOC harus dapat menundukkan Kerajaan Gowa. Berbagai upaya
untuk melemahkan posisi Gowa terus dilakukan. Sebagai contoh, pada tahun
1634, VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Somba Opu, tetapi gagal
karena perahu-perahu Makasar yang berukuran kecil lebih lincah dan mudah
bergerak di antara pulau-pulau, yang ada. Bahkan dengan menggunakan
perahu-perahu tradisional seperti padewakang, palari, sope dan yang sudah
begitu terkenal perahu pinisi, mereka sudah biasa mengarungi perairan
Nusantara. VOC pun merasa kesulitan untuk memburu dan menangkap
perahu-perahu tersebut. Oleh karena itu, saat kapal-kapal VOC sedang
patroli dan menemui perahu-perahu orang-orang Bugis, Makassar dan yang
lain segera diburu, ditangkap, dan dirusaknya.
Raja Gowa, Sultan Hasanuddin ingin segera
menghentikan tindakan VOC yang anarkis dan
provokatif itu. Sultan Hasanuddin menentang
ambisi VOC yang ingin memaksakan monopoli
di Gowa. Seluruh kekuatan dipersiapkan untuk
menghadapi VOC. Benteng pertahanan mulai
dipersiapkan di sepanjang pantai. Beberapa
sekutu Gowa mulai dikoordinasikan. Semua
dipersiapkan untuk melawan kesewenangwenangan VOC.
Sementara itu, VOC juga mempersiapkan diri
untuk menundukkan Gowa. Politik devide
et impera mulai dilancarkan. Misalnya VOC
menjalin hubungan dengan seorang Pangeran
Bugis dari Bone yang bernama Aru Palaka.
Setelah mendapat dukungan Aru Palaka,
pimpinan VOC, Gubernur Jenderal Maetsuyker memutuskan untuk
menyerang Gowa. Dikirimlah pasukan ekspedisi yang berkekuatan 21 kapal
dengan mengangkut 600 orang tentara. Mereka terdiri atas tentara VOC,
orang-orang Ambon, dan orang-orang Bugis Bone yang di pimpin oleh Aru
Palaka. Tanggal 7 Juli 1667, meletus Perang Gowa. Tentara VOC dipimpin
oleh Cornelis Janszoon Spelman, diperkuat oleh pengikut Aru Palaka dan
ditambah orang-orang Ambon di bawah pimpinan Jonker van Manipa.
Kekuatan VOC ini menyerang pasukan Gowa dari berbagai penjuru. Beberapa
serangan VOC berhasil ditahan pasukan Hasanuddin. Tetapi dengan
pasukan gabungan disertai peralatan senjata yang lebih lengkap, VOC
berhasil mendesak pasukan Hasanuddin. Benteng pertahanan tentara Gowa
di Barombang dapat diduduki oleh pasukan Aru Palaka. Hal ini menandai
kemenangan pihak VOC atas kerajaan Gowa. Hasanuddin kemudian dipaksa
untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November
1667, yang isinya antara lain sebagai berikut.
1) Gowa harus mengakui hak monopoli VOC.
2) Semua orang Barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah
Gowa.
3) Gowa harus membayar biaya perang.
Sultan Hasanuddin tidak ingin melaksanakan isi perjanjian itu, karena isi
perjanjian itu bertentangan dengan hati nurani dan semboyan masyarakat
Gowa atau Makassar. Pada tahun 1668 Sultan Hasanuddin mencoba
menggerakkan kekuatan rakyat untuk kembali melawan kesewenangwenangan VOC itu. Namun perlawanan ini segera dapat dipadamkan oleh
VOC. Bahkan benteng pertahanan rakyat Gowa jatuh dan dikuasai oleh VOC.
Benteng itu kemudian oleh Spelman
diberi nama Benteng Rotterdam.
Dengan sangat terpaksa Sultan
Hasanuddin harus melaksanakan
isi Perjanjian Bongaya. Dengan
ditandatanganinya Perjanjian
Bongaya, VOC memang berhasil
mengendalikan peran politik
Kerajaan Gowa. Tetapi VOC
tidak mampu mengendalikan
dan memaksakan monopoli
perdagangan di perairan Indonesia
Timur. Dengan ditandatanganinya
Perjanjian Bongaya itu justru
melahirkan diaspora perdagangan
bagi orang-orang Bugis-Makassar.
Mereka tidak menghiraukan
monopoli yang dipaksakan VOC. Dengan prinsip bebas berdagang mereka
menyelundup ke berbagai kota dan pelabuhan untuk berdagang termasuk
perdagangan rempah-rempah di Maluku. Artinya VOC gagal dalam
mengendalikan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang BugisMakassar. Heather Sutherland menjelaskan kegagalan VOC mengendalikan
perdagangan di perairan Indonesia Timur yang dilakukan oleh orang-orang
Bugis-Makassar itu, karena: (1) ketidakmungkinan membatasi perdagangan
yang didukung dengan motif mencari untung dipadu dengan kondisi geografis
yang sulit terpantau sehingga mudah untuk melakukan penyelundupan
dagang, (2) VOC memiliki kelemahan dalam pemasaran, karena mengejar
keuntungan yang tinggi dan tidak mampu membangun jaringan dengan pasar
lokal/tidak paham dengan selera pasar lokal, dan (3) keterlibatan VOC dalam
pembelian produk-produk lokal sangat kecil, termasuk produk-produk laut,
sementara para pedagang Cina sangat menghargai produk lokal dan produkproduk laut ini. Akhirnya VOC tidak mampu bersaing dengan pedagang Cina
dan pribumi (Singgih Tri Sulistiyono, “Pasang Surut Jaringan Makasar Hingga
Masa Akhir Dominasi Kolonial Belanda, dalam buku Indonesia dalam Arus
Sejarah, 2012).
6. Rakyat Riau Angkat Senjata
Ambisi untuk melakukan monopoli perdagangan dan menguasai berbagai
daerah di Nusantara terus dilakukan oleh VOC. Di samping menguasai Malaka,
VOC juga mulai mengincar Kepulauan Riau. Dengan politik memecah belah
VOC mulai berhasil menanamkan pengaruhnya di Riau. Kerajaan-kerajaan
kecil seperti Siak, Indragiri, Rokan, dan Kampar semakin terdesak oleh ambisi
monopoli dan tindakan sewenang-wenang VOC. Oleh karena itu, beberapa
kerajaan mulai melancarkan perlawanan.
Salah satu contohnya perlawanan di Riau yang dilancarkan oleh Kerajaan
Siak Sri Indrapura. Raja Siak Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723 – 1744)
memimpin rakyatnya untuk melawan VOC. Setelah berhasil merebut Johor
kemudian ia membuat benteng pertahanan di Pulau Bintan. Dari pertahanan
di Pulau Bintan ini pasukan Sultan Abdul Jalil mengirim pasukan di bawah
komando Raja Lela Muda untuk menyerang Malaka. Uniknya dalam
pertempuran ini Raja Lela Muda selalu mengikutsertakan puteranya yang
bernama Raja Indra Pahlawan. Itulah sebabnya sejak remaja Raja Indra
Pahlawan sudah memiliki kepandaian berperang. Sifat bela negara dan cinta
tanah air sudah mulai tertanam pada diri Raja Indra Pahlawan.
Dalam suasana konfrontasi dengan VOC itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah
wafat. Sebagai gantinya diangkatlah puteranya yang bernama Muhammad
Abdul Jalil Muzafar Syah (1746 -1760). Raja ini juga memiliki naluri seperti
ayahandanya yang ingin selalu memerangi VOC di Malaka. Raja Muhammad
Abdul Jalil Muzafar menunjuk Raja Indra Pahlawan sebagai pimpinan
perangnya. Pada tahun 1751 perang berkobar antara Kerajaan Siak melawan
VOC. Sebagai strategi menghadapi serangan Raja Siak, VOC berusaha
memutus jalur perdagangan menuju Siak. VOC mendirikan benteng
pertahanan di sepanjang jalur yang menghubungkan Sungai Indragiri,
Kampar, sampai Pulau Guntung yang berada di muara Sungai Siak. Kapalkapal dagang yang akan menuju Siak ditahan oleh VOC. Hal ini merupakan
pukulan bagi Siak. Oleh karena itu, Kerajaan Siak segera mempersiapkan
kekuatan yang lebih besar untuk menyerang VOC. Sebagai pucuk pimpinan
pasukan dipercayakan kembali kepada Raja Indra Pahlawan dan Panglima
Besar Tengku Muhammad Ali.
Serangan ini diperkuat dengan kapal perang “Harimau Buas” yang dilengkapi
dengan lancang serta perlengkapan perang secukupnya. Terjadilah
pertempuran sengit di Pulau Guntung (1752 – 1753). Ternyata benteng VOC
di Pulau Guntung berlapis-lapis dan dilengkapi meriam-meriam besar. Dengan
demikian pasukan Siak sulit menembus benteng pertahanan itu. Namun
banyak pula jatuh korban dari VOC, sehingga VOC harus mendatangkan
bantuan kekuatan termasuk juga orang-orang Cina. Pertempuran hampir
berlangsung satu bulan. Sementara VOC terus mendatangkan bantuan.
Melihat situasi yang demikian itu kedua panglima perang Siak menyerukan
pasukannya untuk mundur kembali ke Siak.
Sultan Siak bersama para panglima dan penasihatnya mengatur siasat
baru. Mereka sepakat bahwa VOC harus dilawan dengan tipu daya. Sultan
diminta berpura-pura berdamai dengan cara memberikan hadiah kepada
Belanda. Oleh karena itu, siasat ini dikenal dengan “siasat hadiah sultan”.
VOC setuju dengan ajakan damai ini. Perundingan damai diadakan di loji di
Pulau Guntung. Pada saat perundingan baru mulai justru Sultan Siak dipaksa
untuk tunduk kepada pemerintahah VOC. Sultan segera memberi kode pada
anak buah dan segera menyergap dan membunuh orang-orang Belanda
di loji itu. Loji segera dibakar dan rombongan Sultan Siak kembali ke Siak
dengan membawa kemenangan, sekalipun belum berhasil mengusir VOC
dari Malaka. Siasat perang ini tidak terlepas dari jasa Raja Indra Pahlawan.
Oleh karena itu, atas jasanya Raja Indra Pahlawan diangkat sebagai Panglima
Besar Kesultanan Siak dengan gelar: “Panglima Perang Raja Indra Pahlawan
Datuk Lima Puluh”.
7. Orang-orang Cina Berontak
Sejak abad ke-5 orang-orang Cina sudah mengadakan hubungan dagang
ke Jawa dan jumlahnya pun semakin banyak. Pada masa perkembangan
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan Islam banyak pedagang Cina yang
tinggal di daerah pesisir, yang menikah dengan penduduk Jawa khususnya
ke Batavia. Begitu juga pada masa pemerintahan VOC di Batavia, banyak
orang Cina yang datang ke Jawa. VOC memang sengaja mendatangkan
orang-orang Cina dari Tiongkok dalam rangka mendukung kemajuan
perekonomian dan keamanan kota Batavia dan sekitarnya. Ternyata kota
Batavia juga menjadi daya tarik bagi orang-orang Cina miskin untuk
mengadu nasib di kota ini. Orang-orang Cina yang datang ke Jawa tidak
semua yang memiliki modal. Banyak di antara mereka termasuk golongan
miskin. Mereka kemudian menjadi pengemis bahkan ada yang menjadi
pencuri. Sudah barang tentu hal ini sangat mengganggu kenyamanan dan
keamanan Kota Batavia. Akhirnya VOC mengeluarkan kebijakan membatasi
imigran Cina.
Untuk membatasi kedatangan orang–orang Cina ke Batavia, VOC
mengeluarkan ketentuan bahwa setiap orang Cina yang tinggal di Batavia
harus memiliki surat izin bermukim yang disebut permissiebriefjes atau
masyarakat sering menyebut dengan “surat pas”. Apabila tidak memiliki
surat izin, maka akan ditangkap dan dibuang ke Sailon (Sri Langka) untuk
dipekerjakan di kebun-kebun pala milik VOC atau akan dikembalikan ke Cina.
Mereka diberi waktu enam bulan untuk mendapatkan surat izin tersebut.
Biaya untuk mendapatkan surat izin itu yang resmi dua ringgit (Rds.2,-) per
orang. Tetapi dalam pelaksanaannya untuk mendapatkan surat izin terjadi
penyelewengan dengan membayar lebih mahal, tidak hanya dua ringgit.
Akibatnya banyak yang tidak mampu memiliki surat izin tersebut. VOC
bertindak tegas, orang-orang Cina yang tidak memiliki surat izin bermukim
ditangkap. Tetapi mereka banyak yang dapat melarikan diri keluar kota.
Mereka kemudian membentuk gerombolan yang mengacaukan keberadaan
VOC di Batavia.
Pada tahun 1740 terjadi kebakaran di Batavia. VOC menafsirkan peristiwa
ini sebagai gerakan orang-orang Cina yang akan melakukan pemberontakan.
Oleh karena itu, para serdadu VOC mulai beraksi dengan melakukan sweeping
memasuki rumah-rumah orang Cina dan kemudian melakukan pembunuhan
terhadap orang-orang Cina yang ditemukan di setiap rumah. Orang-orang
Cina yang berhasil meloloskan diri kemudian melakukan perlawanan
di berbagai daerah, misalnya di Jawa Tengah. Salah satu tokohnya yang
terkenal yaitu Oey Panko atau kemudian dikenal dengan sebutan Khe
Panjang, kemudian di Jawa menjadi Ki Sapanjang. Nama ini dikaitkan dengan
perannya dalam memimpin perlawanan di sepanjang pesisir Jawa.
Perlawanan orang-orang Cina terhadap VOC kemudian menumbuhkan
kekacauan yang meluas di berbagai tempat terutama di daerah pesisir Jawa.
Perlawanan orang-orang Cina ini mendapat bantuan dan dukungan dari para
bupati di pesisir. Atas desakan para pangeran, Raja Pakubuwana II juga ikut
mendukung pemberontakan orang-orang Cina tersebut. Pada tahun 1741
benteng VOC di Kartasura dapat diserang sehingga jatuh banyak korban.
VOC segera meningkatkan kekuatan tentara dan persenjataan sehingga
pemberontakan orang-orang Cina satu demi satu dapat dipadamkan. Pada
kondisi yang demikian ini Pakubuwana II mulai bimbang dan akhirnya
melakukan perundingan damai dengan VOC. Sikap Pakubuwana II yang
demikian ini telah menambah panjang barisan orang-orang yang kecewa
dan sakit hati di lingkungan kraton. Kondisi ini pula yang telah mendorong
VOC kemudian melakukan intervensi politik di lingkungan istana.
8. Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said
Perlawanan terhadap VOC di Jawa kembali terjadi. Perlawanan ini dipimpin
oleh bangsawan kerajaan yakni Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.
Perlawanan berlangsung sekitar 20 tahun.
Pada uraian terdahulu sudah disinggung bahwa beberapa raja Mataram
pasca Sultan Agung merupakan raja-raja yang lemah bahkan bersahabat
dengan kaum penjajah. Pada saat pemerintahan Pakubuwana II terjadi
persahabatan dengan VOC. Bahkan, VOC semakin berani untuk menekan
dan melakukan intervensi terhadap jalannya pemerintahan Pakubuwana II.
Wilayah pengaruh Kerajaan Mataram juga semakin berkurang. Persahabatan
antara Pakubuwana II dengan VOC ini telah menimbulkan kekecewaan para
bangsawan kerajaan. Terlebih lagi VOC melakukan intervensi dalam urusan
pemerintahan kerajaan. Hal ini mendorong munculnya berbagai perlawanan
misalnya perlawanan Raden Mas Said.
Raden Mas Said yaitu putera dari Raden Mas Riya yang bergelar Adipati Arya
Mangkunegara dengan Raden Ayu Wulan putri dari Adipati Blitar. Pada usia
14 tahun Raden Mas Said sudah diangkat sebagai gandek kraton (pegawai
rendahan di istana) dan diberi gelar R.M.Ng. Suryokusumo. Karena merasa
sudah berpengalaman, Raden Mas Said kemudian mengajukan permohonan
untuk mendapatkan kenaikan pangkat. Akibat permohonan ini Mas Said
justru mendapat cercaan dan hinaan dari keluarga kepatihan, bahkan dikaitkaitkan dengan tuduhan ikut membantu pemberontakan orang-orang Cina
yang sedang berlangsung. Mas Said merasa sakit hati dengan sikap keluarga
kepatihan. Muncullah niat untuk melakukan perlawanan terhadap VOC
yang telah membuat kerajaan kacau karena banyak kaum bangwasan yang
bekerja sama dengan VOC. Hal ini merupakan bentuk protes dan perlawanan
terhadap penguasa Mataram yang bersekutu dengan VOC. Raden Masa Said
diikuti R. Sutawijaya dan Suradiwangsa (yang kemudian dikenal dengan Kiai
Kudanawarsa) pergi keluar kota untuk menyusun kekuatan. Raden Mas Said
pergi menuju Nglaroh untuk memulai perlawanan. Oleh para pengikutnya
Mas Said diangkat sebagai raja baru dengan gelar Pangeran Adipati Anom
Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang. Hingga kini sebutan Mas Said
yang sangat dikenal masyarakat yakni Pangeran Sambernyawa. Perlawanan
Mas Said cukup kuat karena mendapat dukungan dari masyarakat sehingga
menjadi ancaman yang serius bagi eksistensi Pakubuwana II sebagai raja di
Mataram. Oleh karena itu, pada tahun 1745 Pakubuwana II mengumumkan
barang siapa yang dapat memadamkan perlawanan Mas Said akan diberi
hadiah sebidang tanah di Sukowati (di wilayah Sragen sekarang). Mas Said
tidak menghiraukan apa yang dilakukan Pakubuwana II di istana. Ia dengan
pengikutnya terus melancarkan perlawanan terhadap VOC dan juga pihak
kerajaan.
Mendengar adanya sayembara berhadiah itu, Pangeran Mangkubumi
ingin mencoba sekaligus menakar seberapa jauh komitmen dan kejujuran
Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi yaitu adik dari Pakubuwana
II. Singkat cerita Pangeran Mangkubumi dan para pengikutnya berhasil
memadamkan perlawanan Mas Said. Ternyata Pakubuwana II ingkar
janji. Pakubuwana II kehilangan nilai dan komitmennya sebagai raja yang
berpegang pada tradisi, sabda pandhita ratu datan kena wola-wali (perkataan
raja tidak boleh ingkar). Karena bujukan Patih Pringgalaya, Pakubuwana II
tidak jadi memberikan tanah Sukowati kepada Pangeran Mangkubumi.
Terjadilah pertentangan antara Raja Pakubuwana II yang didukung Patih
Pringgalaya di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi di pihak lain.
Dalam suasana konflik ini tiba-tiba dalam pertemuan terbuka di istana itu
Gubernur Jenderal Van Imhoff (1743-1750) mengeluarkan kata-kata yang
menghina dan menuduh Pangeran Mangkubumi terlalu ambisi mencari
kekuasaan. Hal inilah yang sangat mengecewakan Pangeran Mangkubumi.
Dia menganggap pejabat VOC secara langsung telah mencampuri urusan
pemerintahan kerajaan. Pangeran Mangkubumi segera meninggalkan istana.
Tidak ada pilihan lain kecuali angkat senjata untuk melawan VOC yang telah
semena-mena ikut campur tangan dalam politik pemerintahan kerajaan. Hal
ini sekaligus untuk protes menolak kebijakan saudara tuanya Pakubuwana II
yang mau didikte oleh VOC.
Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya pertama kali pergi ke Sukowati
untuk menemui Mas Said. Kedua pihak bersepakat untuk bersatu melawan
VOC. Untuk memperkokoh persekutuan ini, Raden Mas Said dijadikan
menantu oleh Pangeran Mangkubumi. Mangkubumi dan Mas Said sepakat
untuk membagi wilayah perjuangan. Raden Mas Said bergerak di bagian
timur, daerah Surakarta ke selatan terus ke Madiun, Ponorogo dengan
pusatnya Sukowati. Sedangkan Pangeran Mangkubumi konsentrasi di
bagian barat Surakarta terus ke barat dengan pusat di Hutan Beringin dan
Desa Pacetokan, dekat Plered (termasuk daerah Yogyakarta sekarang).
Diberitakan pada saat itu Pangeran Mangkubumi memiliki 13.000 prajurit,
termasuk 2.500 prajurit kavaleri.
Perpaduan perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said sangat kuat dan
meluas di hampir seluruh Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kemenangan demi
kemenangan mulai diraih oleh pasukan Mas Said dan pasukan Mangkubumi.
Di tengah-tengah berkecamuknya perang di berbagai tempat, terdengar
berita bahwa pada tahun 1749 Pakubuwana II sakit keras. Pakubuwana II
sangat mengharapkan kehadiran pimpinan VOC untuk segera datang ke
istana kerajaan. Melihat kondisi Pakubuwana II yang mulai tidak menentu
dan sangat lemah itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff memerintahkan
Gubernur Semarang Gijsbert Karel Van Hogendorp (1762-1834) untuk
secepatnya menemui Pakubuwana II dan menyodorkan perjanjian. Dalam
kondisi Pakubuwana II sakit keras ini tercapailah Het Allerbelangrijkste
Contract, sebuah perjanjian yang sangat penting antara Pakubuwana II
dengan pihak VOC yang diwakili oleh Gubernur VOC untuk wilayah pesisir
timur laut, Baron van Hohendorft.
Isi perjanjian ini sangat menyakitkan rakyat dan para punggawa kerajaan,
karena Pakubuwana II telah menyerahkan Kerajaan Mataram kepada VOC.
Perjanjian itu ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1749 yang isinya
antara lain sebagai berikut.
1). Susuhunan Pakubuwana II menyerahkan Kerajaan Mataram baik secara
de facto maupun de jure kepada VOC.
2). Hanya keturunan Pakubuwana II yang berhak naik tahta dan akan
dinobatkan oleh VOC menjadi raja Mataram dengan tanah Mataram
sebagai pinjaman dari VOC.
3). Putera mahkota akan segera dinobatkan. Setelah Pakubuwana II wafat,
kemudian tanggal 15 Desember 1749 Van Hohendorff mengumumkan
pengangkatan putera mahkota sebagai Susuhunan Pakubuwana III.
Perjanjian tersebut merupakan sebuah tragedi besar. Karena Kerajaan
Mataram yang pernah berjaya di masa Sultan Agung, akhirnya oleh para
pewarisnya harus diserahkan begitu saja kepada pihak asing (VOC). Hal
ini semakin membuat kekecewaan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said,
sehingga keduanya harus meningkatkan perlawanannya terhadap kezaliman
VOC.
Perlu diketahui bahwa pada saat perjanjian antara Pakubuwana II dengan
VOC ditandatangani, Pakubuwana II dinyatakan bukan lagi Raja Mataram,
sementara VOC juga belum mengangkat raja yang baru. Mataram dalam
keadaan vakum. Dalam keadaan vakum ini, oleh para pengikutnya Pangeran
Mangkubumi diangkat sebagai raja dengan sebutan Sri Susuhunan
Pakubuwana, tetapi sebutan ini kurang begitu populer. Karena penobatan
Pangeran Mangkubumi ini bertempat di Desa Kabanaran, maka Pangeran
Mangkubumi lebih terkenal dengan nama Susuhunan atau Sultan Kabanaran.
Tahun 1750 merupakan tahun kemenangan bagi Pangeran Mangkubumi.
Kemenangan demi kemenangan diperoleh Pangeran Mangkubumi dan juga
Mas Said. Sebagai contoh pasukan Mangkubumi berhasil menghancurkan
De Clerq dan pasukannya di daerah Kedu. Dari Kedu pasukan Mangubumi
bergerak ke utara dan berhasil menguasai daerah Pekalongan dan beberapa
daerah pesisir lainnya.
Van Hogendorp yang diberi tanggung jawab oleh VOC untuk memadamkan
perlawanan Mangkubumi dan Mas Said mulai frustrasi dan putus asa. Oleh
karena itu, Van Hogendorp kemudian mengundurkan diri. Ia digantikan oleh
Nicolas Hartingh. Begitu juga Van Imhoff selaku Gubernur Jenderal VOC
digantikan oleh Jacob Mosel. Kedua pejabat VOC yang baru ini berusaha
keras untuk menyelesaikan perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas
Said. Cara perundingan mulai dipikirkan secara serius untuk mengakhiri
perlawanan tersebut.
Perang dan kekacauan yang terjadi Mataram itu telah menghabiskan dana
yang begitu besar. Sementara perlawanan Pangeran Mangubumi dan Mas
Said belum ada tanda-tanda mau berakhir. Oleh karena itu, penguasa
VOC terus membujuk kepada Pangeran Mangkubumi untuk berunding.
Dengan perantara seorang ulama besar Syeikh Ibrahim, akhirnya Pangeran
Mangkubumi bersedia berunding dengan VOC. Dengan demikian perlawanan
Pangeran Mangkubumi berakhir. Tercapailah sebuah perjanjian yang dikenal
dengan Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 13
Februari 1755 di Desa Giyanti.
Isi pokok perjanjian itu yaitu bahwa Mataram dibagi dua. Wilayah bagian
barat (daerah Yogyakarta) diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dan
berkuasa sebagai sultan dengan sebutan Sri Sultan Hamengkubuwana I,
sedang bagian timur (daerah Surakarta) tetap diperintah oleh Pakubuwana III
dengan sebutan Kasunanan Surakarta. Perjanjian Giyanti ini sering dinamakan
dengan “Palihan Negari”.
Dalam praktiknya Perjanjian Giyanti hanya
berhasil menghentikan peperangan secara
militer. Namun peperangan dalam bentuk lain
tidak dapat dipadamkan seperti perlawanan
budaya yang tercermin dalam budaya
Jawa yang berkembang di Yogyakarta dan
Surakarta dalam konsep dan kepercayaan
“Dewa-Raja”. Perlawanan budaya dengan
konsep dan kepercayaan “Dewa-Raja”
bahkan terus berkembang sampai Indonesia
merdeka.
Sementara perlawanan Mas Said berakhir
setelah tercapai Perjanjian Salatiga pada
tanggal 17 Maret 1757 yang isinya Mas
Said diangkat sebagai penguasa di sebagian
wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran
Adipati Arya Mangkunegara I.
B. Perang Melawan Penjajahan Belanda
Gambar di atas menunjukkan ilustrasi yang berkaitan dengan Perang Aceh
Perang Aceh berlangsung sangat lama yang ditujukan untuk melawan
kezaliman dan kekejaman pemerintah kolonial Belanda. Rakyat Aceh
bersama para pemimpinnya, baik tuanku maupun tengku mampu bertahan
dan membuat tentara Belanda kewalahan karena rakyat Aceh memiliki
motivasi yang bersifat spiritual, yakni sebuah keyakinan Islam. Rakyat Aceh
yakin bahwa perang yang mereka kobarkan yaitu perang melawan kafir.
Perjuangan melawan kekejaman penjajahan pemerintah Belanda juga terjadi
di berbagai daerah. Bagaimana perlawanan dan perang yang terjadi di
berbagai daerah dalam melawan penjajahan pemerintah kolonial Belanda
itu? Pelajari dan telaah uraian-uraian berikut.
1. Perang Tondano
“Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 yaitu perang yang melibatkan orang Minahasa di
Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad XIX. Perang pada permulaan
abad XIX ini terjadi akibat dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para
pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara “
(Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, 2012:375)
a) Perang Tondano I (1808)
Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tondano terjadi
dalam dua tahap. Perang Tondano I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada
saat datangnya bangsa Barat, orang-orang Spanyol sudah sampai di tanah
Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol selain berdagang
juga menyebarkan agama Kristen. Tokoh yang berjasa dalam penyebaran
agama Kristen di tanah Minahasa yaitu Fransiscus Xaverius. Hubungan
dagang orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai
abad XVII hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan
kehadiran para pedagang VOC. Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan
pengaruhnya di Ternate. Bahkan, Gubernur Terante Simon Cos mendapatkan
kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh
Spanyol. Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh
untuk mengawasi pantai timur Minahasa. Para pedagang Spanyol dan juga
Makassar yang bebas berdagang mulai tersingkir karena ulah VOC. Apalagi
waktu itu Spanyol harus meninggalkan Kepulauan Indonesia untuk menuju
Filipina.
VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual
berasnya kepada VOC. Hal ini karena VOC sangat membutuhkan beras
untuk melakukan monopoli perdagangan beras di Sulawesi Utara. Orangorang Minahasa menentang usaha monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain
bagi VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan
orang- orang Minahasa, VOC membendung Sungai Temberan. Akibatnya
aliran sungai meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para
pejuang Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan
tempat tinggalnya di Danau Tondano dengan rumah-rumah apung.
Pasukan VOC kemudian mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang
berpusat di Danau Tondano. Simon Cos kemudian memberikan ultimatum
yang isinya antara lain: (1) Orang-orang Tondano harus menyerahkan para
tokoh pemberontak kepada VOC, (2) orang-orang Tondano harus membayar
ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 budak sebagai ganti rugi rusaknya
tanaman padi karena genangan air Sungai Temberan. Ternyata rakyat
Tondano bergeming dengan ultimatum VOC tersebut. Simon Cos sangat
kesal karena ultimatumnya tidak diperhatikan. Pasukan VOC akhirnya ditarik
mundur ke Manado. Setelah itu rakyat Tondano menghadapi masalah
dengan hasil pertanian yang menumpuk, tetapi tidak ada yang membeli.
Dengan terpaksa mereka kemudian mendekati VOC agar membeli hasilhasil pertaniannya. Dengan demikian, terbukalah tanah Minahasa oleh
VOC. Berakhirlah Perang Tondano I. Orang-orang Minahasa kemudian
memindahkan perkampungannya di Danau Tondano ke perkampungan baru
di daratan yang diberi nama Minawanua (ibu negeri).
b) Perang Tondano II (1809)
Perang Tondano II sebenarnya sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19,
yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi
oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels yang mendapat mandat untuk
mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerlukan pasukan
dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan, maka direkrut
pasukan dari kalangan pribumi. Mereka yang dipilih yaitu dari sukusuku yang memiliki keberanian berperang. Beberapa suku yang dianggap
memiliki keberanian yaitu orang-orang Madura, Dayak, dan Minahasa.
Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger
segera mengumpulkan para ukung.
(Ukung yaitu pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat
distrik). Belanda menargetkan 2000 pasukan Minahasa yang akan dikirim
ke Jawa. Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan
program Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai
pasukan kolonial. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah.
Mereka justru ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda.
Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya di Tondano, Minawanua.
Salah seorang pemimpin perlawanan itu yaitu Ukung Lonto. Ia menegaskan
rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda sebagai bentuk penolakan
terhadap program pengiriman 2.000 pemuda Minahasa ke Jawa serta
menolak kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras
secara cuma-cuma kepada Belanda.
Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Residen
Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orangorang Minahasa di Tondano Minawanua. Belanda kembali menerapkan
strategi dengan membendung Sungai Temberan. Prediger juga membentuk
dua pasukan tangguh. Satu pasukan dipersiapkan untuk menyerang dari
Danau Tondano, sedangkan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari
darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar. Pasukan
Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan
merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan
Minawanua sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di
Minawanua. Walaupun sudah malam para pejuang tetap dengan semangat
yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah.
Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober
1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan
Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti
tidak ada lagi kehidupan.
Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari
perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan
hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan
Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang
dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri.
Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua,
tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu
mematahkan semangat juang orang-orang Tondano, Minawanua. Bahkan
terdengar berita kapal Belanda yang paling besar tenggelam di danau.
Perang Tondano II berlangsung
cukup lama, bahkan sampai
Agustus 1809. Dalam suasana
kepenatan dan kekurangan
makanan, mulai ada kelompok
pejuang yang memihak kepada
Belanda. Namun dengan kekuatan
yang ada para pejuang Tondano
terus memberikan perlawanan.
Akhirnya pada tanggal 4-5
Agustus 1809 Benteng pertahanan
Moraya milik para pejuang hancur
bersama rakyat yang berusaha
m e m p e r t a h a n k a n n y a . P a r a
pejuang itu memilih mati dari pada
menyerah kepada penjajah.2. Perang Pattimura (1817)
Maluku dengan hasil rempah-rempahnya diibaratkan bagaikan “mutiara
dari timur”. Kekayaan yang diibaratkan bagaikan “mutiara dari timur” itu,
senantiasa diburu oleh orang-orang Eropa. Namun tidak hanya memburu
kekayaan, orang-orang Eropa juga ingin berkuasa dan melakukan monopoli
perdagangan. Kekuasaan orang-orang Eropa itu telah merusak tata ekonomi
dan pola perdagangan bebas yang telah lama berkembang di Nusantara.
Pada masa pemerintahan Inggris di bawah Raffles keadaan Maluku relatif
lebih tenang karena Inggris bersedia membayar hasil bumi rakyat Maluku.
Kegiatan kerja rodi mulai dikurangi. Bahkan para pemuda Maluku juga diberi
kesempatan untuk bekerja pada dinas angkatan perang Inggris. Tetapi pada
masa pernerintahan kolonial Hindia Belanda, keadaan kembali berubah.
Kegiatan monopoli di Maluku kembali diperketat. Dengan demikian, beban
rakyat semakin berat. Sebab selain penyerahan wajib, masih juga harus dikenai
kewajiban kerja paksa, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi. Kalau ada
penduduk yang melanggar akan ditindak tegas. Ditambah lagi terdengar
desas desus bahwa para guru akan diberhentikan untuk penghematan,
sementara itu para pemuda akan dikumpulkan untuk dijadikan tentara di
luar Maluku. Desas-desus ini membuat situasi semakin panas, ditambah
lagi dengan sikap arogan dan sikap sewenang-wenang dari Residen
Saparua. Suatu ketika Belanda memesan perahu orambai kepada nelayan.
Setelah selesai perahu diserahkan kepada Belanda. Tetapi Belanda tidak
mau membayar perahu itu dengan harga yang pantas. Mereka menuntut
agar pemerintah bersedia membayar perahu orambai yang dipesan oleh
pemerintah Belanda dengan harga yang pantas. Bahkan perahu orambai
yang diserahkan kepada pemerintah Belanda tidak pernah dibayar. Padahal
orang-orang Maluku sudah berperan menyediakan ikan asin untuk kapalkapal Belanda di Maluku. Belanda sama sekali tidak menghargai jasa orangorang Maluku. Oleh karena itu, para pembuat perahu mengancam akan
mogok jika tidak dibayar. Residen Saparua Van
den Berg menolak tuntutan rakyat itu. Kejadian
itu menyebabkan kebencian rakyat Maluku
semakin menjadi-jadi.
Menanggapi kondisi yang demikian para
tokoh dan pemuda Maluku melakukan
serangkaian pertemuan rahasia. Sebagai
contoh telah diadakan pertemuan rahasia di
Pulau Haruku, pulau yang dihuni orang-orang
Islam. Selanjutnya pada tanggal 14 Mei 1817 di
Pulau Saparua (pulau yang dihuni orang-orang
Kristen) kembali diadakan pertemuan di sebuah
tempat yang sering disebut dengan Hutan
Kayu Putih. Dalam berbagai pertemuan itu
disimpulkan bahwa rakyat Maluku tidak ingin
terus menderita di bawah keserakahan dan kekejaman Belanda. Oleh karena
itu, mereka perlu mengadakan perlawanan untuk menentang kebijakan
Belanda. Thomas Matulessy yang kemudian terkenal dengan gelarnya
Pattimura dipercaya sebagai pemimpin. Pengalamannya bekerja di dinas
angkatan perang Inggris diyakini dapat menguntungkan rakyat Maluku.
Gerakan perlawanan dimulai dengan menghancurkan kapal-kapal Belanda
di pelabuhan. Para pejuang Maluku kemudian menuju Benteng Duurstede.
Ternyata di benteng itu sudah berkumpul pasukan Belanda. Dengan demikian
terjadilah pertempuran antara para pejuang Maluku melawan pasukan
Belanda. Dalam perang itu pasukan Belanda dipimpin oleh Residen van
den Berg. Sementara dari pihak para pejuang dipimpin oleh para tokoh lain
seperti Christina Martha Tiahahu, Thomas Pattiwwail, dan Lucas Latumahina.
Para pejuang Maluku dengan sekuat tenaga mengepung Benteng
Duurstede dan tidak begitu menghiraukan tembakan-tembakan meriam
yang dimuntahkan oleh serdadu Belanda dari dalam benteng. Sementara
itu senjata para pejuang Maluku masih sederhana seperti pedang dan keris.
Dalam waktu yang hampir bersamaan para pejuang Maluku satu persatu
dapat memanjat dan masuk ke dalam benteng. Residen dapat dibunuh dan
Benteng Duurstede dapat dikuasai oleh para pejuang Maluku. Jatuhnya
Benteng Duurstede telah menambah semangat juang para pemuda Maluku
untuk terus berjuang melawan Belanda.
Belanda kemudian mendatangkan bantuan dari Ambon. Datanglah 300
prajurit yang dipimpin oleh Mayor Beetjes. Pasukan ini dikawal oleh dua kapal
perang yakni Kapal Nassau dan Evertsen. Namun bantuan ini dapat digagalkan
oleh pasukan Pattimura, bahkan Mayor Beetjes terbunuh. Kemenangan ini
semakin menggelorakan perjuangan para pejuang di berbagai tempat seperti
di Seram, Hitu, Haruku, dan Larike. Selanjutnya Pattimura memusatkan
perhatian untuk menyerang Benteng Zeelandia di Pulau Haruku. Melihat
gelagat itu maka pasukan Belanda memperkuat pertahanan benteng di
bawah komandannya Groot. Patroli juga terus diperketat. Oleh karena itu,
Pattimura gagal menembus Benteng Zeelandia.
Upaya perundingan mulai ditawarkan, tetapi tidak ada kesepakatan.
Akhirnya Belanda mengerahkan semua kekuatannya termasuk bantuan dari
Batavia untuk merebut kembali Benteng Duurstede. Bulan Agustus 1817
Saparua diblokade, Benteng Duurstede dikepung disertai tembakan meriam
yang bertubi-tubi. Satu persatu perlawanan
di luar benteng dapat dipatahkan. Daerah di
kepulauan itu jatuh kembali ke tangan Belanda.
Dalam kondisi yang demikian itu Pattimura
memerintahkan pasukannya untuk meloloskan
diri dan meninggalkan tempat pertahanannya.
Dengan demikian, Benteng Duurstede berhasil
dikuasai Belanda kembali. Pattimura dan
pengikutnya terus melawan dengan gerilya.
Tetapi pada bulan November beberapa
pembantu Pattimura tertangkap seperti
Kapitan Paulus Tiahahu (ayah Christina Martha
Tiahahu) yang kemudian dijatuhi hukuman
mati. Mendengar peristiwa ini Christina Martha
Tiahahu marah dan segera pergi ke hutan untuk
bergerilya.
Belanda tidak akan puas sebelum dapat menangkap Pattimura. Bahkan,
Belanda mengumumkan kepada siapa saja yang dapat menangkap Pattimura
akan diberi hadiah 1.000 gulden. Setelah enam bulan memimpin perlawanan,
akhirnya Pattimura tertangkap. Pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura
dihukum gantung di alun-alun Kota Ambon. Christina Martha Tiahahu yang
berusaha melanjutkan perang gerilya akhirnya juga tertangkap. Ia tidak
dihukum mati tetapi bersama 39 orang lainnya dibuang ke Jawa sebagai
pekerja rodi. Dikisahkan bahwa di dalam kapal Christina Martha Tiahahu
mogok tidak mau makan dan tidak mau buka mulut. Ia jatuh sakit dan
akhirnya meninggal pada tanggal 2 Januari 1818. Jenazahnya dibuang ke laut
antara Pulau Buru dan Pulau Tiga. Dengan demikian, berakhirlah perlawanan
Pattimura.
3. Perang Padri
Perang Padri terjadi di tanah Minangkabau, Sumatera Barat pada tahun
1821–1837. Perang ini digerakkan oleh para pembaru Islam. Mengapa dan
bagaimana Perang Padri itu terjadi?
Perang Padri sebenarnya merupakan perlawanan kaum Padri terhadap
dominasi pemerintahan Hindia Belanda di Sumatera Barat. Perang ini
bermula adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum Adat dalam
masalah praktik keagamaan. Pertentangan itu dimanfaatkan sebagai pintu
masuk bagi Belanda untuk campur tangan dalam urusan Minangkabau. Perlu
dipahami sekalipun masyarakat Minangkabau sudah memeluk agama Islam,
tetapi sebagian masyarakat masih memegang teguh adat dan kebiasaan
yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Pada akhir abad ke-18 telah datang seorang ulama dari kampung Kota
Tua di daratan Agam. Karena berasal dari kampung Kota Tua maka ulama
itu terkenal dengan nama Tuanku Kota Tua. Tuanku Kota Tua ini mulai
mengajarkan pembaruan-pembaruan dan praktik agama Islam. Dengan
melihat realitas kebiasaan masyarakat, Tuanku Kota Tua menyatakan bahwa
masyarakat Minangkabau sudah begitu jauh menyimpang dari ajaran Islam.
Ia menunjukkan bagaimana seharusnya masyarakat itu hidup sesuai dengan
Alquran dan Sunah Nabi. Di antara murid dari Tuanku Kota Tua ini yang
bernama Tuanku Nan Renceh. Kemudian pada tahun 1803 datanglah
tiga orang ulama yang baru saja pulang haji dari tanah suci Mekah, yakni:
Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piabang. Mereka melanjutkan gerakan
pembaruan atau pemurnian pelaksanaan ajaran Islam seperti yang pernah
dilakukan oleh Tuanku Kota Tua. Orang-orang yang melakukan gerakan
pemurnian ajaran Islam di Minangkabau itu sering dikenal dengan kaum
Padri.
Mengenai sebutan Padri ini sesuai dengan sebutan orang Padir di Aceh. Padir
itu tempat persinggahan para jamaah haji. Orang Belanda menyebutnya
dengan Padri yang dapat dikaitkan dengan kata padre dari bahasa Portugis
untuk menunjuk orang-orang Islam yang berpakaian putih. Sementara kaum
Adat di Sumatera Barat memakai pakaian hitam.
NAMA PADRI
“Ada beberapa pendapat mengenai istilah padri. Ada yang mengatakan,
padri berasal dari kata Portugis, padre yang artinya “bapak”, sebuah
gelar yang biasa diberikan untuk golongan pendeta. Ada pula yang
mengatakan berasal dari kata Pedir, sebuah kota Bandar di pesisir utara
Aceh, tempat transit dan pemberangkatan kaum muslimin yang akan
melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Di Minangkabau pada awal abad
XIX istilah padri belum dikenal. Waktu itu hanya popular sebutan
golongan hitam dan golongan putih. Penamaan ini didasarkan pada
pakaian yang mereka kenakan. Golongan putih yang pakaiannya serba
putih yaitu para pembaru, kemudian oleh penulis-penulis sejarah
disebut sebagai kaum Padri/Padri. Belum diketahui mengapa golongan
putih ini mereka sebut sebagai kaum Padri, sedangkan untuk golongan
hitam merupakan kelompok yang memakai pakaian serba hitam.
Kelompok ini merupakan kelompok yang mempertahankan paham yang
terlebih dahulu sudah berkembang lama di Minangkabau, sehingga juga
dikenal sebagai golongan adat”(Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed),
2012: 415)
Dalam melaksanakan pemurnian praktik ajaran Islam, kaum Padri menentang
praktik berbagai adat dan kebiasaan kaum Adat yang memang dilarang
dalam ajaran Islam seperti berjudi, menyabung ayam, dan minum-minuman
keras. Kaum Adat yang mendapat dukungan dari beberapa pejabat penting
kerajaan menolak gerakan kaum Padri. Terjadilah pertentangan antara kedua
belah pihak. Timbullah bentrokan antara keduanya.
Pada tahun 1821 pemerintah Hindia Belanda mengangkat James Du Puy
sebagai residen di Minangkabau. Pada tanggal 10 Februari 1821, Du Puy
mengadakan perjanjian persahabatan dengan tokoh Adat, Tuanku Suruaso
dan 14 Penghulu Minangkabau. Berdasarkan perjanjian ini maka beberapa
daerah kemudian diduduki oleh Belanda. Pada tanggal 18 Februari 1821,
Belanda yang telah diberi kemudahan oleh kaum Adat berhasil menduduki
Simawang. Di daerah ini telah ditempatkan dua meriam dan 100 orang
serdadu Belanda. Tindakan Belanda ini ditentang keras oleh kaum Padri pada
tahun 1821 itu meletuslah Perang Padri.
Perang Padri di Sumatera Barat ini dapat dibagi dalam tiga fase.
a) Fase Pertama (1821-1825)
Pada fase pertama, kaum Padri menyerang pos-pos dan pencegatan
terhadap patroli-patroli Belanda. Bulan September 1821 pos-pos Simawang
menjadi sasaran serbuan kaum Padri. Begitu pula dengan pos-pos lain
seperti Soli Air, dan Sipinang. Kemudian Tuanku Pasaman menggerakkan
sekitar 20.000 sampai 25.000 pasukan untuk mengadakan serangan di
sekitar hutan di sebelah timur gunung. Pasukan Padri menggunakan senjatasenjata tradisional, seperti tombak dan parang. Sedangkan Belanda dengan
kekuatan 200 orang serdadu Eropa ditambah sekitar 10.000 pasukan orang
pribumi termasuk juga kaum Adat. Belanda menggunakan senjata-senjata
lebih modern seperti meriam dan senjata api lainnya. Pertempuran ini
memakan banyak korban. Di pihak Tuanku Pasaman kehilangan 350 orang
prajurit, termasuk putra Tuanku Pasaman. Begitu juga Belanda tidak sedikit
kehilangan pasukannya. Tuanku Pasaman dengan sisa pasukannya kemudian
mengundurkan diri ke Lintau. Sementara itu, pasukan Belanda setelah berhasil
menguasai seluruh lembah Tanah Datar, kemudian mendirikan benteng di
Batusangkar yang kelak terkenal dengan sebutan Fort Van der Capellen.
Perlawanan kaum Padri muncul di berbagai tempat. Tuanku Pasaman
memusatkan perjuangannya di Lintau dan Tuanku Nan Renceh memimpin
pasukannya di sekitar Baso. Pasukan Tuanku Nan Renceh harus menghadapi
pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Goffinet. Periode tahun 1821
- 1825, serangan-serangan kaum Padri memang meluas di seluruh tanah
Minangkabau. Bulan September 1822 kaum Padri berhasil mengusir Belanda
dari Sungai Puar, Guguk Sigandang, dan Tajong Alam. Menyusul kemudian
di Bonio kaum Padri harus menghadapi menghadapi pasukan PH. Marinus.
Pada tahun 1823 pasukan Padri berhasil mengalahkan tentara Belanda di
Kapau. Kesatuan kaum Padri yang terkenal berpusat di Bonjol. Pemimpin
mereka yaitu Peto Syarif. Peto Syarif inilah yang dalam sejarah Perang Padri
dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol. Ia sangat gigih memimpin kaum Padri
untuk melawan kekejaman dan keserakahan Belanda di tanah Minangkabau.
Belanda merasa kewalahan dalam melawan kaum Padri, sehingga mengambil
strategi damai. Oleh karena itu, pada tanggal 26 Januari 1824 tercapailah
perundingan damai antara Belanda dengan kaum Padri di wilayah Alahan
Panjang. Perundingan ini dikenal dengan Perjanjian Masang. Tuanku Imam
Bonjol tidak keberatan dengan adanya perjanjian damai tersebut. Akan
tetapi, Belanda justru memanfaatkan perdamaian tersebut untuk menduduki
daerah-daerah lain. Kemudian Belanda juga memaksa Tuanku Mensiangan
dari Kota Lawas untuk berunding, tetapi ditolak. Tuanku Mensiangan
justru melakukan perlawanan. Tetapi Belanda lebih kuat bahkan pusat
pertahanannya kemudian dibakar dan Tuanku Mensiangan ditangkap.
Tindakan Belanda itu telah menimbulkan amarah kaum Padri Alahan Panjang
dan menyatakan pembatalan kesepakatan dalam Perjanjian Masang. Tuanku
Imam Bonjol menggelorakan kembali semangat untuk melawan Belanda.
Dengan demikian, perlawanan kaum Padri masih terus berlangsung di
berbagai tempat.
b) Fase Kedua (1825-1830)
Coba ingat-ingat angka tahun 1825-1830 itu. Kira-kira terkait dengan
peristiwa apa pada angka tahun tersebut? Peristiwa itu jelas di luar Sumatera
Barat. Tahun itu merupakan tahun yang sangat penting, sehingga bagi
Belanda digunakan sebagai bagian strategi dalam menghadapi perlawanan
kaum Padri di Sumatera Barat. Bagi Belanda tahun itu digunakan untuk sedikit
mengendorkan ofensifnya dalam Perang Padri. Upaya damai diusahakan
sekuat tenaga. Oleh karena itu, Kolonel De Stuers yang merupakan penguasa
sipil dan militer di Sumatera Barat berusaha mengadakan kontak dengan
tokoh-tokoh kaum Padri untuk menghentikan perang dan sebaliknya perlu
mengadakan perjanjian damai. Kaum Padri tidak begitu menghiraukan
ajakan damai dari Belanda, karena Belanda sudah biasa bersikap licik. Belanda
kemudian minta bantuan kepada seorang saudagar keturunan Arab yang
bernama Sulaiman Aljufri untuk mendekati dan membujuk para pemuka
kaum Padri agar dapat diajak berdamai. Sulaiman Aljufri menemui Tuanku
Imam Bonjol agar bersedia berdamai dengan Belanda. Tuanku Imam Bonjol
menolak. Kemudian menemui Tuanku Lintau ternyata merespon ajakan
damai itu. Hal ini juga didukung Tuanku Nan Renceh. Itulah sebabnya pada
tanggal 15 November 1825 ditandatangani Perjanjian Padang. Isi Perjanjian
Padang itu antara lain sebagai berikut:
1) Belanda mengakui kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar,
Saruaso, Padang Guguk Sigandang, Agam, Bukittinggi dan menjamin
pelaksanaan sistem agama di daerahnya.
2) Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang.
3) kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang
sedang melakukan perjalanan.
4) Secara bertahap Belanda akan melarang praktik adu ayam.
c) Fase ketiga (1830 – 1837/1838)
Nah, tentu kamu sudah menemukan jawaban peristiwa tahun 1825-1830 di
Jawa. Peristiwa itu yaitu Perang Diponegoro. Setelah Perang Diponegoro
berakhir pada tahun 1830, semua kekuatan Belanda dikonsentrasikan ke
Sumatera Barat untuk menghadapi perlawanan kaum Padri. Dimulailah
Perang Padri fase ketiga.
Pada pertempuran fase ketiga ini kaum Padri mulai mendapatkan simpati
dari kaum Adat. Dengan demikian, kekuatan para pejuang di Sumatera Barat
meningkat. Orang-orang Padri yang mendapatkan dukungan kaum Adat itu
bergerak ke pos-pos tentara Belanda. Kaum Padri dari Bukit Kamang berhasil
memutuskan sarana komunikasi antara benteng Belanda di Tanjung Alam
dan Bukittinggi.
Related Posts:
sejarah negara kita 2 dan keluarganya tidak terurus. Bahkan kemudian timbul bahaya kelaparan dan kematian di berbagai daerah. Misal… Read More