Rabu, 12 Juli 2023

sejarah negara kita 2

dan keluarganya tidak terurus. Bahkan kemudian 
timbul bahaya kelaparan dan kematian di berbagai daerah. Misalnya di 
Cirebon (1843 - 1844), di Demak (tahun 1849) dan Grobogan pada tahun 
1850. 
Sementara itu dengan pelaksanaan Tanam Paksa ini Belanda telah mengeruk 
keuntungan dan kekayaan dari tanah Hindia. Dari tahun 1831 hingga tahun 
1877 perbendaharaan kerajaan Belanda telah mencapai 832 juta gulden, 
utang-utang lama VOC dapat dilunasi, kubu-kubu dan benteng pertahanan 
dapat dibangun. Belanda menikmati keuntungan di atas penderitaan sesama 
manusia. 
Pelaksanaan Tanam Paksa dapat dikatakan telah melanggar hak-hak asasi 
manusia. Memang harus diakui beberapa manfaat adanya Tanam Paksa, 
misalnya, dikenalkannya beberapa jenis tanaman baru yang menjadi tanaman 
ekspor, dibangunnya berbagai saluran irigasi, dan juga dibangunnya jaringan 
rel kereta api. Beberapa hal ini memang sangat berarti dalam kehidupan 
masyarakat di kemudian hari.
c) Sistem Usaha Swasta
Pelaksanaan Tanam Paksa memang telah berhasil memperbaiki perekonomian 
Belanda. Kemakmuran juga semakin meningkat. Bahkan keuntungan 
dari Tanam Paksa telah mendorong Belanda berkembang sebagai negara 
industri. Sejalan dengan hal ini telah mendorong pula tampilnya kaum 
liberal yang didukung oleh para pengusaha. Oleh karena itu, mulai muncul 
perdebatan tentang pelaksanaan Tanam Paksa. Masyarakat Belanda mulai 
mempertimbangkan baik buruk dan untung ruginya Tanam Paksa. Timbullah 
pro dan kontra mengenai pelaksanaan Tanam Paksa. 
Pihak yang pro dan setuju Tanam Paksa tetap dilaksanakan yaitu 
kelompok konservatif dan para pegawai pemerintah. Mereka setuju karena 
Tanam Paksa telah mendatangkan banyak keuntungan. Begitu juga para 
pemegang saham perusahaan NHM (Nederlansche Handel Matschappij), 
yang mendukung pelaksanaan Tanam Paksa karena mendapat hak monopoli 
untuk mengangkut hasil-hasil Tanam Paksa dari Hindia Belanda ke Eropa. 
Sementara, pihak yang menentang pelaksanaan Tanam Paksa yaitu 
kelompok masyarakat yang merasa kasihan terhadap penderitaan rakyat 
pribumi. Mereka umumnya kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh 
ajaran agama dan penganut asas liberalisme. Kaum liberal menghendaki 
tidak adanya campur tangan pemerintah dalam urusan ekonomi. Kegiatan 
ekonomi sebaiknya diserahkan kepada pihak swasta. 
Nederlansche Handel Matschappij: perusahaan dagang yang didirikan oleh 
Raja William I di Den Haag pada 9 Maret 1824 sebagai promosi antara lain 
bidang perdagangan dan perusahaan pengiriman, dan memegang peran 
penting dalam mengembangkan perdagangan Belanda-Indonesia.
Pandangan dan ajaran kaum liberal itu semakin berkembang dan pengaruhnya 
semakin kuat. Oleh karena itu, tahun 1850 Pemerintah mulai bimbang. 
Apalagi setelah kaum liberal mendapatkan kemenangan politik di Parlemen 
(Staten Generaal). Parlemen memiliki peranan lebih besar dalam urusan tanah 
jajahan. Sesuai dengan asas liberalisme, maka kaum liberal menuntut adanya
perubahan dan pembaruan. Peranan pemerintah dalam kegiatan ekonomi 
harus dikurangi, sebaliknya perlu diberikan keleluasaan kepada pihak swasta 
untuk mengelola kegiatan ekonomi. Pemerintah berperan sebagai pelindung 
warga, mengatur tegaknya hukum, dan membangun sarana prasarana agar 
semua aktivitas masyarakat berjalan lancar.
Kaum liberal menuntut pelaksanaan Tanam Paksa di Hindia Belanda 
diakhiri. Hal tersebut didorong oleh terbitnya dua buah buku pada tahun 
1860 yakni buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker dengan 
nama samarannya Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrak￾kontrak Gula) tulisan Frans van de Pute. 
Kedua buku ini memberikan kritik keras 
terhadap pelaksanaan Tanam Paksa. 
Penolakan terhadap Tanam Paksa sudah 
menjadi pendapat umum. Oleh karena itu, 
secara berangsur-angsur Tanam Paksa mulai 
dihapus dan mulai diterapkan sistem politik 
ekonomi liberal. Hal ini juga didorong oleh 
isi kesepakatan di dalam Traktat Sumatera 
yang ditandatangani tahun 1871. Di dalam 
Traktat Sumatera itu antara lain dijelaskan 
bahwa Inggris memberikan kebebasan 
kepada Belanda untuk meluaskan 
daerahnya sampai ke Aceh. Tetapi sebagai Sumber: Max Havelaar, 2013.
imbangannya Inggris meminta kepada Gambar 1.23 E. Douwes Dekker.
Belanda agar menerapkan ekonomi liberal 
sehingga pihak swasta termasuk Inggris dapat menanamkan modalnya di 
tanah jajahan Belanda di Hindia.Penetapan pelaksanan sistem politik ekonomi liberal memberikan peluang 
pihak swasta untuk ikut mengembangkan perekonomian di tanah jajahan. 
Seiring dengan upaya pembaruan dalam menangani perekonomian di negeri 
jajahan, Belanda telah mengeluarkan berbagai ketentuan dan peraturan 
perundang-undangan.
1) Tahun 1864 dikeluarkan Undang-Undang Perbendaharaan Negara
(Comptabiliet Wet). Berdasarkan Undang-undang ini setiap anggaran
belanja Hindia Belanda harus diketahui dan disahkan oleh parlemen.
2) Undang-Undang Gula (Suiker Wet). Undang-undang ini antara lain
mengatur tentang monopoli tanaman tebu oleh pemerintah yang
kemudian secara bertahap akan diserahkan kepada pihak swasta.
3) Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870.
Undang-Undang ini mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di
negeri jajahan. Di dalam undang-undang itu ditegaskan, antara lain:
 a) Tanah di negeri jajahan di Hindia Belanda dibagi menjadi
dua bagian. Pertama, tanah milik penduduk pribumi berupa
persawahan, kebun, ladang dan sebagainya. Kedua, tanah￾tanah hutan, pegunungan dan lainnya yang tidak termasuk
tanah penduduk pribumi dinyatakan sebagai tanah pemerintah.
 b) Pemerintah mengeluarkan surat bukti kepemilikan tanah.
c) Pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah pemerintah
maupun tanah penduduk. Tanah-tanah pemerintah dapat disewa
pengusaha swasta sampai 75 tahun. Tanah penduduk dapat
disewa selama lima tahun, ada juga yang disewa sampai 30 tahun. 
Sewa-menyewa tanah ini harus didaftarkan kepada pemerintah.
Sejak dikeluarkan UU Agraria itu, pihak swasta semakin banyak memasuki 
tanah jajahan di Hindia Belanda. Mereka memainkan peranan penting dalam 
mengeksploitasi tanah jajahan. Oleh karena itu, mulailah era imperialisme 
modern. Berkembanglah kapitalisme di Hindia Belanda. Tanah jajahan 
berfungsi sebagai: (1) tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk 
kepentingan industri di Eropa, dan tempat penanaman modal asing, (2) 
tempat pemasaran barang-barang hasil industri dari Eropa, (3) penyedia 
tenaga kerja yang murah.
Usaha perkebunan di Hindia Belanda semakin berkembang. Beberapa jenis 
tanaman perkebunan yang dikembangkan misalnya tebu, tembakau, kopi, 
teh, kina, kelapa sawit, dan karet. Hasil barang tambang juga meningkat. 
Industri ekspor terus berkembang pesat seiring dengan permintaan dari 
pasaran dunia yang semakin meningkat. 
Untuk mendukung pengembangan sektor ekonomi, diperlukan sarana 
dan prasarana, misalnya irigasi, jalan raya, jembatan-jembatan, dan jalan 
kereta api. Hal ini semua dimaksudkan untuk membantu kelancaran

pengangkutan hasil-hasil perusahaan perkebunan dari daerah pedalaman 
ke daerah pantai atau pelabuhan yang akan diteruskan ke dunia luar. Pada 
tahun 1873 dibangun serangkaian jalan kereta api. Jalan-jalan kereta api 
yang pertama dibangun yaitu antara Semarang dan Yogyakarta, kemudian 
antara Batavia dan Bogor, dan antara Surabaya dan Malang. Pembangunan 
jalan kereta api juga dilakukan di Sumatera pada akhir abad ke-19. Tahun 
1883 Maskapai Tembakau Deli telah memprakarsai pembangunan jalan 
kereta api. Pembangunan jalan kereta api ini direncanakan untuk daerah￾daerah yang telah dikuasai dan yang akan dikuasai, misalnya Aceh. Oleh 
karena itu, pembangunan jalan kereta api di Sumatera ini, juga berdasarkan 
pertimbangan politik dan militer. Jalur kereta api juga dibangun untuk 
kepentingan pertambangan, seperti di daerah pertambangan batu bara di 
Sumatra Barat. 
Di samping angkutan darat, angkutan laut juga mengalami peningkatan. 
Tahun 1872 dibangun Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia, Pelabuhan 
Belawan di Sumatra Timur, dan Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) di 
Padang. Jalur laut ini semakin ramai dan efisien terutama setelah adanya 
pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869. 
Bagi rakyat Bumiputera pelaksanaan usaha swasta tetap membawa 
penderitaan. Pertanian rakyat semakin merosot. Pelaksanaan kerja paksa 
masih terus dilakukan seperti pembangunan jalan raya, jembatan, jalan 
kereta api, saluran irigasi, benteng-benteng dan sebagainya. Di samping 
melakukan kerja paksa, rakyat masih harus membayar pajak, sementara 
hasil-hasil pertanian rakyat banyak yang menurun. Kerajinan-kerajinan rakyat 
mengalami kemunduran karena terdesak oleh alat-alat yang lebih maju. Alat 
transportasi tradisional, seperti dokar, gerobak juga semakin terpinggirkan. 
Dengan demikian rakyat tetap hidup menderita.
d) Perkembangan Agama Kristen
Perkembangan agama Kristen di Indonesia secara garis besar dapat 
dikelompokkan menjadi dua, yakni Kristen Katolik dan Kristen Protestan. 
Perkembangan agama Kristen ini tidak dapat dilepaskan dari kedatangan 
bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia. Bersamaan gelombang kedatangan 
bangsa-bangsa Eroapa seperti Portugis, Spanyol datang pula para missionaris 
untuk menyebarkan agama Kristen di Indonesia.
Aktivitas pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang Eropa 
itu sudah menjangkau ke seluruh wilayah Kepulauan Indonesia. Dalam 
kenyataannya agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan berkembang di 
berbagai daerah. Bahkan di daerah Indonesia bagian Timur seperti di Papua, 
daerah Minahasa, Timor, Nusa Tenggara Timur, juga daerah Tapanuli di 
Sumatera, agama Kristen menjadi mayoritas. 
Harus diakui bahwa kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia telah membuka 
jalan bagi perkembangan agama Kristen di Indonesia. Orang-orang Portugis 
menyebarkan agama Kristen Katolik (selanjutnya disebut Katolik). Orang￾orang Belanda membawa agama Kristen Protestan (selanjutnya disebut 
Kristen). Telah diterangkan dalam uraian sebelumnya bahwa pada abad 
ke-16 telah terjadi penjelajahan samudra untuk menemukan dunia baru. 
Oleh karena itu, periode ini sering disebut The Age of Discovery. Kegiatan 
penjelajahan samudra untuk menemukan dunia baru itu dipelopori oleh 
orang-orang Portugis dan Spanyol dengan semboyannya; gold, glory, dan 
gospel. Dengan motivasi dan semboyan itu maka penyebaran agama Katolik 
yang dibawa oleh Portugis tidak dapat terlepas dari kepentingan ekonomi dan 
politik. Minimal secara politik, kegiatan para missionaris dalam menyebarkan 
agama Kristen menjadi lebih lancar.
Setelah menguasai Malaka tahun 1511 Portugis kemudian meluaskan 
wilayahnya ke Kepulauan Maluku dengan maksud memburu rempah-rempah. 
Pada tahun 1512 pertama kali kapal Portugis mendarat di Hitu (di Pulau Ambon) 
Kepulauan Maluku. Pada waktu itu perdagangan di Kepulauan Maluku sudah 
ramai. Melalui kegiatan peradagangan ini pula Islam sudah berkembang di 
Maluku. Kemudian datang Portugis untuk menyebarkan agama Katolik. 
Berkembanglah agama Katolik di beberapa daerah di Kepulauan Maluku. 
Para penyiar agama Katolik diawali oleh para pastor (dalam bahasa Portugis, 
padre yang berarti imam). Pastor yang terkenal waktu itu yaitu Pastor Fransiscus Xaverius SJ 
dari ordo Yesuit. Ia aktif 
mengunjungi desa-desa 
di sepanjang Pantai 
Leitimor, Kepulauan 
Lease, Pulau Ternate, 
Halmahera Utara dan 
Kepulauan Morotai. 
Usaha penyebaran 
agama Katolik ini 
kemudian dilanjutkan 
oleh pastor-pastor 
yang lain. Kemudian 
di Nusa Tenggara Timur 
seperti Flores, Solor, 
dan Timor agama 
Katolik berkembang 
tidak terputus sampai 
sekarang.
B e r i k u t n y a j u g a 
berkembang agama 
Kristen di Kepulauan 
Maluku terutama setelah VOC menguasai Ambon. Pada waktu itu para 
zendeling aktif menyebarkan agama baru ini dengan semangat piesme, yaitu 
menekankan pertobatan orang-orang Kristen. Penyebaran agama Kristen 
ini juga semakin intensif saat Raffles berkuasa. Agama Katolik dan Kristen 
berkembang pesat di Indonesia bagian timur. 
Agama Katolik juga berkembang di Minahasa setelah Portugis singgah di 
tempat itu pada abad ke-16. Penyebaran agama Katolik di daerah Minahasa 
dipimpin oleh pastor Diogo de Magelhaens dan Pedro de Mascarenhas. 
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1563, yang dapat dikatakan sebagai tahun 
masuknya agama Katolik di Sulawesi Utara. Tercatat pada ekspedisi itu 
sejumlah rakyat dan raja menyatakan masuk agama Katolik dan dibaptis. 
Misalnya Raja Babontehu bersama 1.500 rakyatnya telah dibaptis oleh 
Magelhaens. Agama Kristen juga masuk dan berkembang di tanah Minahasa. Agama Katolik dan Kristen berkembang di daerah-daerah Papua, wilayah 
Timur Kepulauan Indonesia pada umumnya, Sulawesi Utara dan tanah Batak 
di Sumatera. Singkatnya agama Katolik dan Kristen dapat berkembang di 
berbagai tempat di Indonesia, termasuk di Batavia. Bahkan di Jawa ada 
sebutan Kristen Jawa.
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa perkembangan agama Kristen 
di Indonesia, secara intensif terjadi saat pengaruh kekuasaan orang-orang￾orang Barat (Portugis, Belanda dan juga Inggris) semakin kuat. Agama Kristen 
kemudian berkembang tidak hanya di Indonesia bagian Timur tetapi juga di 
berbagai wilayah seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi. Bahkan di 
Jawa ada sebutan Kristen Jawa.
Perkembangan Kristen Jawa ini tidak dapat dilepaskan dari peran Kiai 
Sadrach. Dalam petualangannya mencari keyakinan agama, akhirnya ia 
memeluk agama Kristen setelah dibaptis pada tahun 1867. Ia kemudian 
mengembangkan Kristen Protestan dalam kandungan budaya Jawa. Ia 
bebas mengembangkan agama Kristen Protestan dengan budaya Jawa. 
Pengikutnya pun semakin banyak. Kiai Sadrach juga tidak mau tunduk dan 
bahkan kemudian memisahkan diri dari Gereja Protestan Belanda. Ia tinggal 
dan mengembangkan Kristen Protestan Jawa ini di desa Karangyoso (sebelah 
selatan Kutoarjo). Banyak pengikut 
Kristen Jawa ini di Jawa Tengah.


Bangsa Indonesia memang cinta perdamaian, tetapi tentu lebih cinta 
kemerdekaan, karena secara fitrah setiap orang diciptakan oleh Tuhan 
Yang Maha Esa memiliki hak kemerdekaan dan kedaulatan. Kedaulatan 
itu baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat dan bangsa. Oleh 
karena itu, sudah selayaknya sesuai dengan fitrah maka setiap bentuk 
dominasi asing dan penjajahan harus kita lawan. Jiwa dan semangat untuk 
melawan setiap bentuk penjajahan ini seharusnya ada pada diri setiap warga 
Indonesia. Banyak orang mengatakan dalam arti politik secara formal kita 
sudah merdeka tetapi banyak kritik dilontarkan bahwa kita masih mengalami 
“penjajahan” dalam bidang ekonomi dan kebudayaan dalam arti kurang 
memiliki kemandirian. Oleh karena itu, dengan segala upaya kita harus 
memperjuangkan kemandirian dan kedaulatan di bidang ekonomi dan 
kebudayaan. Dalam berjuang untuk memperkuat kemandirian itu, kita perlu 
meneladani atau mencontoh semangat juang para pendahulu kita, misalnya 
para pahlawan yang telah berjuang melawan penjajahan, keserakahan 
kolonialisme, dan imperialisme. Pada bab ini kita akan belajar tentang sejarah 
perjuangan rakyat dan para tokoh pejuang Indonesia pada kurun waktu 
sekitar abad ke-16 sampai dengan abad ke-20.

A. Perang Melawan Hegemoni dan Keserakahan Kongsi 
Dagang
Ilustrasi atau gambar di atas menunjukkan adanya sebuah perlawanan bangsa 
Indonesia terhadap kezaliman kaum kolonialis dan imperialis, penjajahan 
bangsa Eropa di Indonesia. Gambar di atas melukiskan kapal-kapal Belanda 
yang menuju Indonesia. Kemudian gambar ke-2 menunjukkan ilustrasi 
tentang salah satu situasi perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC 
di Banten. Gambar ketiga gambar tokoh Pangeran Nuku dari Tidore untuk 
melawan kekejaman kompeni Belanda. Sungguh heroik perlawanan rakyat 
Kepulauan Maluku dan sekitarnya di bawah pimpinan Pangeran Nuku. Dari
pulau yang satu ke pulau yang lain Nuku 
berhasil menggerakkan berbagai lapisan 
kekuatan baik dari bangsawan maupun 
rakyat untuk melawan kezaliman Belanda. 
Politik devide et impera pun mulai diterapkan 
oleh Belanda, tetapi Nuku tidak terpengaruh, 
tetap teguh dan satu niat untuk melawan 
penjajah. Dengan dukungan para penguasa 
dari Papua dan Halmahera, bahkan juga 
Inggris, pasukan Nuku semakin berjaya. 
Belanda harus mengakui keunggulan Sultan 
Nuku. Di masa Pangeran Nuku inilah Tidore 
memperoleh kembali kemerdekaannya 
dan terus bertahan sampai Sultan Nuku 
meninggal dunia.
Uraian di atas menunjukkan salah satu perlawanan terhadap keserakahan 
dan kekejaman kekuatan kongsi dagang asing yang melakukan monopoli dan 
menjajah bumi Nusantara ini. Kekuatan penjajahan itu telah merendahkan 
martabat bangsa dan membuat penderitaan rakyat, sehingga perlawanan 
itu terjadi di berbagai daerah. Berikut ini akan kita pelajari tentang berbagai 
perlawanan untuk melawan keserakahan VOC.
1. Aceh Versus Portugis dan VOC 
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa 
hikmah bagi Aceh. Banyak para pedagang Islam yang mengalihkan kegiatan 
perdagangannya dari Malaka ke Aceh. Dengan demikian, perdagangan di 
Aceh semakin ramai. Hal ini telah mendorong Aceh berkembang menjadi 
bandar dan pusat perdagangan. Kerajaan Aceh muncul sebagai kekuatan 
baru, yang berhasil menguasai daerah perdagangan seperti di pantai timur 
Sumatera sebelah utara. Bahkan Aceh kemudian mampu mengendalikan 
pusat-pusat perdagangan di pantai barat Sumatera, seperti di Barus, Tiku, 
dan Pariaman. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat al-Kahar 
(1537-1568) terkenal sebagai tokoh yang meng-aceh-kan kawasan pantai 
barat Sumatera. 
Tampilnya Aceh sebagai kekuatan ekonomi dan politik di kawasan pantai 
Sumatera Barat dan pantai timur Sumatera, sangat disegani oleh pedagang￾pedagang asing. Pedagang-pedagang asing seperti dari Perancis, Inggris, 
Belanda kalau ingin berdagang di wilayah pantai barat Sumatera dan tempat￾tempat lain yang menjadi daerah kekuasaan Aceh harus minta izin kepada 
Aceh.
Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai 
ancaman. Oleh karena itu, Portugis berupaya untuk menghancurkan Aceh. 
Pada tahun 1523 Portugis melancarkan serangan ke Aceh. Kembali Portugis 
tahun berikutnya melancarkan serangan ke Aceh. Beberapa serangan 
Portugis ini mengalami kegagalan. Portugis terus mencari cara untuk 
melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal Portugis 
selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh dimanapun berada. Tindakan 
Portugis ini tidak dapat dibiarkan. Aceh yang ingin berdaulat dan tetap 
dapat mengendalikan perdagangan di beberapa pelabuhan penting di 
Sumatera, merencanakan untuk melakukan perlawanan. Sebagai persiapan 
Aceh melakukan langkah-langkah antara lain: 
1) melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam 
dan prajurit; 
2) mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa 
ahli dari Turki pada tahun 1567; dan
3) mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara. 
Setelah berbagai bantuan berdatangan, Aceh segera melancarkan serangan 
terhadap Portugis di Malaka. Portugis harus bertahan mati-matian di Benteng 
Formosa. Portugis harus mengerahkan semua kekuatannya sehingga 
serangan Aceh ini dapat digagalkan. Sebagai tindakan balasan pada tahun 
1569 Portugis balik menyerang Aceh, tetapi serangan Portugis di Aceh ini 
juga dapat digagalkan oleh pasukan Aceh. 
Sementara itu, para pedagang Belanda juga ingin mendapatkan keuntungan 
dengan berdagang di pantai barat Sumatera, bahkan kalau perlu dapat 
melakukan monopoli. Oleh karena itu, VOC harus bersaing dengan Portugis 
dan harus mendapat izin dari Aceh. Padahal Aceh dikenal anti terhadap 
dominasi dan para pedagang asing. Terkait dengan ini para pedagang 
Belanda melalui Pangeran Maurits pernah berkirim surat kepada Raja 
Aceh, Alauddin tertanggal 23 Agustus 1601. Dalam surat dipenuhi dengan 
kata-kata sanjungan dan puji-pujian kepada Sultan Alauddin dan rakyat 
Aceh. Dalam surat itu juga dicantumkan kata-kata yang menjelek-jelekkan 
Portugis, dan juga dicantumkan tawaran bantuan untuk mengusir orang￾orang Portugis. Surat itu kemudian ditutup dengan kalimat: “ Mencium 
tangan Yang Mulia, dari hamba, Maurits de Nassau” Pada waktu utusan 
Pangeran Maurits itu menyerahkan surat tersebut juga disertai dengan 
sejumlah hadiah dan hantaran (Uka Tjandrasasmita, “Persaingan di Pantai 
Barat Sumatera: dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012). Dengan 
surat ini ternyata Sultan Aceh yang kebetulan sedang bermusuhan dengan 
Portugis, dapat menerima kehadiran para pedagang Belanda. Bahkan pada 
tahun 1607 Aceh memberikan izin kepada VOC untuk membuka loji di Tiku 
di pantai Barat Sumatera
Apapun yang terjadi, rakyat Aceh dan para pemimpinnya tetap memiliki 
pendirian dan semangat untuk terus berdaulat dan menentang dominasi 
orang asing. Oleh karena itu, jiwa dan semangat juang untuk mengusir 
Portugis dari Malaka tidak pernah padam. Pada masa pemerintahan Sultan 
Iskandar Muda (1607-1639), semangat juang mempertahankan tanah air 
dan mengusir penjajahan asing semakin meningkat. Bahkan pada masa
pemerintahan Iskandar Muda ini mulai memutuskan hubungan dan menolak 
kehadiran VOC. Iskandar Muda yaitu raja yang gagah berani dan bercita￾cita untuk mengenyahkan penjajahan asing, termasuk mengusir Portugis dari 
Malaka. Iskandar Muda juga menentang kesewenang-wenangan VOC yang 
sudah berkuasa di Batavia.
Dalam rangka melawan Portugis di Malaka, Sultan Iskandar Muda berusaha 
untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya. Angkatan lautnya diperkuat 
dengan kapal-kapal besar yang dapat mengangkut 600-800 prajurit. 
Pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia bahkan, Aceh 
juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri. Sementara itu untuk 
mengamankan wilayahnya yang semakin luas meliputi Sumatera Timur dan 
Sumatera Barat, ditempatkan para pengawas di jalur-jalur perdagangan. 
Para pengawas itu ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan penting seperti di 
Pariaman. Para pengawas itu umumnya terdiri para panglima perang. 
Setelah mempersiapkan pasukannya, pada tahun 1629 Iskandar Muda 
melancarkan serangan ke Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis 
sempat kewalahan. Portugis harus mengerahkan semua kekuatan tentara 
dan persenjataan untuk menghadapi pasukan Iskandar Muda. Namun, 
serangan Aceh kali ini juga belum berhasil mengusir Portugis dari Malaka. 
Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk. Bentrokan-bentrokan 
antara kedua belah pihak masih sering terjadi, tetapi Portugis tetap tidak 
berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir 
Portugis dari Malaka. Portugis dapat diusir dari Malaka oleh VOC pada tahun 
1641, setelah VOC bersekutu dengan Kesultanan Johor.
2. Maluku Angkat Senjata 
Portugis berhasil memasuki Kepulauan Maluku pada tahun 1521. Mereka 
memusatkan aktivitasnya di Ternate. Tidak lama berselang orang￾orang Spanyol juga memasuki Kepulauan Maluku dengan memusatkan 
kedudukannya di Tidore. Terjadilah persaingan antara kedua belah pihak.

Persaingan itu semakin tajam setelah Portugis berhasil menjalin persekutuan 
dengan Ternate dan Spanyol bersahabat dengan Tidore. Semua ini tidak 
terlepas dari ambisi bangsa-bangsa Barat untuk menguasai perdagangan 
dan menanamkan kekuasaannya di Maluku. Mereka sering memanfaatkan 
kelemahan kaum pribumi termasuk memanfaatkan intrik-intrik yang 
membuat perpecahan di lingkungan istana. 
Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis. Penyebab 
perang ini karena kapal-kapal Portugis menembaki jung-jung dari Banda yang 
akan membeli cengkih ke Tidore. Tentu saja Tidore tidak dapat menerima 
tindakan armada Portugis. Rakyat Tidore angkat senjata. Terjadilah perang 
antara Tidore melawan Portugis. Dalam perang ini Portugis mendapat 
dukungan dari Ternate dan Bacan. Akhirnya Portugis mendapat kemenangan. 
Dengan kemenangan ini Portugis menjadi semakin sombong dan sering 
berlaku kasar terhadap penduduk Maluku. Upaya monopoli terus dilakukan. 
Maka, wajar jika sering terjadi letupan-letupan perlawanan rakyat. 
Sementara itu konflik dan persaingan antara Portugis dan Spanyol di Maluku 
ini harus segera diakhiri. Dengan mengingat kesepakatan pada Perjanjian 
Tordesillas, maka diadakan perjanjian damai antara Portugis dan Spanyol. 
Perjanjian damai dilaksanakan di Saragosa pada tahun 1529. Berdasarkan 
Perjanjian Saragosa ini disepakati bahwa Portugis tetap berkuasa di Maluku, 
sementara Spanyol berkuasa di wilayah Filipina. Dengan demikian setelah 
ditandatangani Perjanjian Saragosa, kedudukan Portugis di Maluku 
semakin kuat. Portugis semakin berkuasa untuk memaksakan kehendaknya 
melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Kedudukan 
Portugis juga semakin mengancam kedaulatan kerajaan-kerajaan yang ada 
di Maluku. 
Melihat kesewenang-wenangan Portugis itu, pada tahun 1565 muncul 
perlawanan rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Khaerun/Hairun. 
Sultan Khaerun menyerukan seluruh rakyat dari Irian/Papua sampai Jawa 
untuk angkat senjata melawan kezaliman kolonial Portugis. Portugis mulai 
kewalahan dan menawarkan perundingan kepada Sultan Khaerun. Dengan 
pertimbangan kemanusiaan, Sultan Khaerun menerima ajakan Portugis. 
Perundingan dilaksanakan pada tahun 1570 bertempat di Benteng Sao Paolo. 
Ternyata semua ini hanyalah tipu muslihat Portugis. Pada saat perundingan 
sedang berlangsung, Sultan Khaerun ditangkap dan dibunuh. Tindakan 
yang dilakukan Portugis kala itu sungguh kejam dan tidak mengenal 
perikemanusiaan. Demi keuntungan ekonomi Portugis telah merusak sendi￾sendi kehidupan kemanusiaan dan keberagamaan.
Setelah Sultan Khaerun dibunuh, perlawanan dilanjutkan di bawah pimpinan 
Sultan Baabullah (putera Sultan Khaerun). Melihat tindakan Portugis yang 
tidak mengenal nilai-nilai kemanusiaan, semangat rakyat Maluku untuk 
melawannya semakin berkobar. Seluruh rakyat Maluku berhasil dipersatukan 
termasuk Ternate dan Tidore untuk melancarkan serangan besar-besaran 
terhadap Portugis. Akhirnya Portugis dapat didesak dan pada tahun 1575 
berhasil diusir dari Ternate. Orang-orang Portugis kemudian melarikan diri 
dan menetap di Ambon. Pada tahun1605 Portugis dapat diusir oleh VOC 
dari Ambon dan kemudian menetap di Timor Timur.
Serangkaian perlawanan rakyat terus terjadi terhadap Portugis maupun VOC 
yang melakukan tindakan kejam dan sewenang-wenang kepada rakyat. 
Misalnya pada periode tahun 1635-1646 terjadi serangan sporadis dari rakyat 
Hitu yang dipimpin oleh Kakiali dan Telukabesi. Perlawanan rakyat ini juga 
meluas ke Ambon. Tahun 1650 perlawanan rakyat juga terjadi di Ternate 
yang dipimpin oleh Kecili Said. Sementara perlawanan secara gerilya terjadi 
seperti di Jailolo. Namun berbagai serangan itu selalu dapat dipatahkan 
oleh kekuatan VOC yang memiliki organisasi serta peralatan senjata lebih 
lengkap. Rakyat terus mengalami penderitaan akibat kebijakan monopoli 
rempah-rempah yang disertai dengan Pelayaran Hongi.
Pada tahun 1680, VOC memaksakan sebuah perjanjian baru dengan 
penguasa Tidore. Kerajaan Tidore yang semula sebagai sekutu turun statusnya 
menjadi vassal VOC. Sebagai penguasa yang baru diangkatlah Putra Alam 
sebagai Sultan Tidore (menurut tradisi kerajaan Tidore yang berhak sebagai
sultan semestinya yaitu Pangeran Nuku). Penempatan Tidore sebagai vassal 
atau daerah kekuasaan VOC telah menimbulkan protes keras dari Pangeran 
Nuku. Akhirnya Nuku memimpin perlawanan rakyat. Timbullah perang hebat 
antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran Nuku melawan kekuatan 
kompeni Belanda (tentara VOC). Pangeran Nuku mendapat dukungan rakyat 
Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang Gamrange dari 
Halmahera. Oleh para pengikutnya, Pangeran Nuku diangkat sebagai sultan 
dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah. Dengan posisinya 
sebagai sultan ini, maka perlawanan terhadap VOC semakin diperkuat. 
Bahkan Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran 
Ibrahim dari Ternate untuk bersama-sama melawan VOC. Pangeran Nuku 
juga mendapat dukungan dari para pedagang Seram Timur. Kapitan laut 
Pangeran Nuku sebagian besar berasal dari para pemuka pedagang Seram 
Timur. Para pedagang Seram Timur ini memiliki kemandirian dan militansi yang 
tinggi. Dalam perang ini Sultan Nuku juga mendapat dukungan dari armada 
Inggris (EIC). Belanda kewalahan dan tidak mampu membendung semangat 
pasukan Sultan Nuku untuk lepas dari dominasi Belanda. Akhirnya Sultan 
Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat melepaskan 
diri dari dominasi Belanda di Tidore sampai akhir hayatnya (tahun 1805). 
3. Sultan Agung Versus J.P. Coen
Sultan Agung yaitu raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram. Pada 
masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan. 
Cita-cita Sultan Agung antara 
lain: (1) mempersatukan 
seluruh tanah Jawa, dan 
(2) mengusir kekuasaan 
asing dari bumi Nusantara. 
Terkait dengan cita-citanya 
ini maka Sultan Agung 
sangat menentang keberadaan 
kekuatan VOC di Jawa. 
Apalagi tindakan VOC yang 
terus memaksakan kehendak 
untuk melakukan monopoli 
perdagangan membuat 
para pedagang Pribumi 
mengalami kemunduran. 
Kebijakan monopoli itu

juga dapat membawa penderitaan rakyat. Oleh karena itu, Sultan Agung 
merencanakan serangan ke Batavia. Ada beberapa alasan mengapa Sultan 
Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni: 
1) tindakan monopoli yang dilakukan VOC; 
2) VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram 
yang akan berdagang ke Malaka; 
3) VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram; dan 
4) keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius 
bagi masa depan Pulau Jawa.
Pada tahun 1628 Sultan Agung mempersiapkan pasukan Mataram dengan 
segenap persenjataan dan perbekalannya untuk menyerang VOC di Batavia. 
Pada waktu itu yang menjadi Gubernur Jenderal VOC yaitu J.P. Coen. Pada 
tanggal 22 Agustus 1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung 
Baureksa menyerang Batavia. Pasukan Mataram berusaha membangun pos￾pos pertahanan, tetapi kompeni VOC terus berusaha menghalang-halangi. 
Akibatnya pertempuran antara kedua pihak tidak dapat dihindarkan. Di 
tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain 
berdatangan seperti pasukan di bawah Tumenggung Sura Agul-Agul yang 
dibantu oleh Kiai Dipati Mandurareja dan Upa Santa. Datang pula laskar 
orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati Ukur. Pasukan Mataram 
berusaha mengepung Batavia dari berbagai tempat. Terjadilah pertempuran 
sengit antara pasukan Mataram melawan tentara VOC di berbagai tempat. 
Tetapi kekuatan tentara VOC dengan senjatanya jauh lebih unggul, sehingga 
dapat memukul mundur semua lini kekuatan pasukan Mataram. Tumenggung 
Baureksa gugur dalam pertempuran itu. Dengan 
demikian, serangan tentara Sultan Agung pada 
tahun 1628 itu belum berhasil. 
Sultan Agung tidak lantas berhenti dengan 
kekalahan yang baru saja dialami pasukannya. 
Ia segera mempersiapkan serangan yang kedua. 
Belajar dari kekalahan terdahulu Sultan Agung 
meningkatkan jumlah kapal dan senjata, Ia juga 
membangun lumbung-lumbung beras untuk 
persediaan bahan makanan seperti di Tegal 
dan Cirebon. Tahun 1629 pasukan Mataram 
diberangkatkan menuju Batavia. Sebagai 
pimpinan pasukan Mataram dipercayakan 
kepada Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati
Juminah, dan Dipati Purbaya. Ternyata informasi persiapan pasukan Mataram 
diketahui oleh VOC. Dengan segera VOC mengirim kapal-kapal perang untuk 
menghancurkan lumbung-lumbung yang dipersiapkan pasukan Mataram. Di 
Tegal tentara VOC berhasil menghancurkan 200 kapal Mataram, 400 rumah 
penduduk dan sebuah lumbung beras. Pasukan Mataram pantang mundur, 
dengan kekuatan pasukan yang ada terus berusaha mengepung Batavia. 
Pasukan Mataram berhasil mengepung dan menghancurkan Benteng 
Hollandia. Berikutnya pasukan Mataram mengepung Benteng Bommel, 
tetapi gagal menghancurkan benteng tersebut. Pada saat pengepungan 
Benteng Bommel, terpetik berita bahwa J.P. Coen meninggal. Peristiwa ini 
terjadi pada tanggal 21 September 1629. Dengan semangat juang yang 
tinggi pasukan Mataram terus melakukan penyerangan. Dalam situasi yang 
kritis ini pasukan VOC semakin marah dan meningkatkan kekuatannya untuk 
mengusir pasukan Mataram. Dengan mengandalkan persenjataan yang lebih 
baik dan lengkap, akhirnya dapat menghentikan serangan-serangan pasukan 
Mataram. Pasukan Mataram semakin melemah dan akhirnya ditarik mundur 
kembali ke Mataram. Dengan demikian, serangan Sultan Agung yang kedua 
ini juga mengalami kegagalan. 
Kegagalan pasukan Mataram menyerang Batavia, membuat VOC semakin 
berambisi untuk terus memaksakan monopoli dan memperluas pengaruhnya 
di daerah-daerah lain. Namun, di balik itu VOC selalu khawatir dengan 
kekuatan tentara Mataram. Tentara VOC selalu berjaga-jaga untuk mengawasi 
gerak-gerik pasukan Mataram. Sebagai contoh pada waktu pasukan Sultan 
Agung dikirim ke Palembang untuk membantu Raja Palembang dalam 
melawan VOC, langsung diserang oleh tentara VOC di tengah perjalanan.
Perlawanan pasukan Sultan Agung terhadap VOC mengalami kegagalan. 
Namun, semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing terus tertanam 
pada jiwa Sultan Agung dan para pengikutnya. Secara militer Mataram 
memang tidak berhasil memaksa VOC untuk menjadi bawahan Mataram. 
Sementara itu, tentara VOC sendiri sebenarnya merasa khawatir dan segan 
terhadap kekuatan militer Mataram. Sultan Agung yang cerdas itu kemudian 
menggunakan kemampuan diplomasi. Melalui kemampuan diplomasinya 
Sultan Agung berhasil memaksa VOC untuk mengakui eksistensi Mataram 
dan Sultan Agung sebagai Yang Dipertuan Agung. Hal ini buktikan dengan 
pengiriman upeti secara periodik dari VOC ke Mataram. Sementara VOC 
mendapat imbalan diizinkan untuk melakukan perdagangan di pantai utara 
Jawa. Dalam perdagangan ini VOC cenderung melakukan monopoli.
Sayangnya semangat dan kebesaran Sultan Agung itu tidak diwarisi oleh raja￾raja pengganti Sultan Agung. Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, 
Mataram menjadi semakin lemah sehingga akhirnya berhasil dikendalikan 
oleh VOC.
Sebagai pengganti Sultan Agung yaitu Sunan Amangkurat I. Ia memerintah 
pada tahun 1646 -1677. Ternyata Raja Amangkurat I merupakan raja yang 
lemah dan bahkan bersahabat dengan VOC. Raja ini juga bersifat reaksioner 
dengan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat dan kejam terhadap 
para ulama. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Amangkurat I itu 
timbul berbagai perlawanan rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin oleh 
Trunajaya
4. Perlawanan Banten
Banten memiliki posisi yang strategis sebagai bandar perdagangan 
internasional. Oleh karena itu, sejak semula Belanda ingin menguasai 
Banten, tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya VOC membangun Bandar 
di Batavia pada tahun 1619. Terjadi persaingan antara Banten dan Batavia 
memperebutkan posisi sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh 
karena itu, rakyat Banten sering melakukan serangan-serangan terhadap 
VOC.
Pada tahun 1651, Pangeran Surya naik tahta di 
Kesultanan Banten. Ia yaitu cucu Sultan Abdul 
Mufakhir Mahmud Abdul Karim, anak dari 
Sultan Abu al- Ma’ali Ahmad yang wafat pada 
1650. Pangeran Surya bergelar Sultan Abu al￾Fath Abdulfatah. Sultan Abu al-Fath Abdulfatah 
ini lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng 
Tirtayasa. la berusaha memulihkan posisi Banten 
sebagai bandar perdagangan internasional 
sekaligus menandingi perkembangan VOC 
di Batavia. Beberapa kebijakannya misalnya 
mengundang para pedagang Eropa lain seperti 
Inggris, Perancis, Denmark, dan Portugis. 
Sultan Ageng Tirtayasa juga mengembangkan 
hubungan dagang dengan negara-negara Asia seperti Persia, Benggala, Siam, 
Tonkin, dan Cina. Perkembangan di Banten ternyata sangat tidak disenangi 
oleh VOC. Oleh karena itu, untuk melemahkan peran Banten sebagai Bandar 
perdagangan, VOC sering melakukan blokade. Jung-jung Cina dan kapal￾kapal dagang dari Maluku dilarang oleh VOC meneruskan perjalanan menuju 
Banten. Sebagai balasan Sultan Ageng mengirim beberapa pasukannya 
untuk mengganggu kapal-kapal dagang VOC dan menimbulkan gangguan 
di Batavia. Dalam rangka memberi tekanan dan memperlemah kedudukan 
VOC, rakyat Banten juga melakukan perusakan terhadap beberapa kebun 
tanaman tebu milik VOC. Akibatnya hubungan antara Banten dan Batavia 
semakin memburuk.
Menghadapi serangan pasukan Banten, VOC terus memperkuat kota Batavia 
dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan seperti Benteng Noordwijk. 
Dengan tersedianya beberapa benteng di Batavia diharapkan VOC mampu 
bertahan dari berbagai serangan dari luar dan mengusir para penyerang 
tersebut. Sementara itu untuk kepentingan pertahanan, Sultan Ageng 
memerintahkan untuk membangun saluran irigasi yang membentang dari 
Sungai Untung Jawa sampai Pontang. Selain berfungsi untuk meningkatkan 
produksi pertanian, saluran irigasi dimaksudkan juga untuk memudahkan 
transportasi perang. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng ini memang 
banyak dibangun saluran air/irigasi. Oleh karena jasa-jasanya ini maka sultan 
digelari Sultan Ageng Tirtayasa (tirta artinya air).

Serangan dan gangguan terhadap VOC terus dilakukan. Di tengah-tengah 
mengobarkan semangat anti VOC itu, pada tahun 1671 Sultan Ageng 
Tirtayasa mengangkat putra mahkota Abdulnazar Abdulkahar sebagai 
raja pembantu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Haji. Sebagai raja 
pembantu Sultan Haji bertanggung jawab urusan dalam negeri, dan Sultan 
Ageng Tirtayasa bertanggung jawab urusan luar negeri dibantu puteranya 
yang lain, yakni Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan 
di Banten ini tercium oleh perwakilan VOC di Banten W. Caeff. Ia kemudian 
mendekati dan menghasut Sultan Haji agar urusan pemerintahan di Banten 
tidak dipisah-pisah dan jangan sampai kekuasaan jatuh ke tangan Arya 
Purbaya. Karena hasutan VOC ini Sultan Haji mencurigai ayah dan saudaranya. 
Sultan Haji juga sangat khawatir, apabila dirinya tidak segera dinobatkan 
sebagai sultan, sangat mungkin jabatan sultan itu akan diberikan kepada 
Pangeran Arya Purbaya. Tanpa berpikir panjang Sultan Haji segera membuat 
persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten. 
Timbullah pertentangan yang begitu tajam antara Sultan Haji dengan Sultan 
Ageng Tirtayasa.
Dalam persekongkolan tersebut VOC sanggup membantu Sultan Haji untuk 
merebut Kesultanan Banten tetapi dengan empat syarat. (1) Banten harus 
menyerahkan Cirebon kepada VOC, (2) monopoli lada di Banten dipegang 
oleh VOC dan harus menyingkirkan para pedagang Persia, India, dan Cina, 
(3) Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan (4) 
pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan 
segera ditarik kembali. Isi perjanjian ini disetujui oleh Sultan Haji. 
Pada tahun 1681 VOC atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan 
Banten. Istana Surosowan berhasil dikuasai. Sultan Haji menjadi Sultan 
Banten yang berkedudukan di istana Surosowan. 
Sultan Ageng Tirtayasa kemudian membangun istana yang baru berpusat 
di Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa berusaha merebut kembali Kesultanan 
Banten dari Sultan Haji yang didukung VOC. Pada tahun 1682 pasukan Sultan 
Ageng Tirtayasa berhasil mengepung istana Surosowan. Sultan Haji terdesak 
dan segera meminta bantuan tentara VOC. Datanglah bantuan tentara 
VOC di bawah pimpinan Francois Tack. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa 
dapat dipukul mundur dan terdesak hingga ke Benteng Tirtayasa. Benteng 
Tirtayasa juga dikepung tentara VOC. Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya 
berhasil meloloskan diri bersama puteranya, pangeran Purbaya ke hutan 
Lebak. Mereka masih melancarkan serangan sekalipun dengan bergerilya.

Tentara VOC terus memburu. Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya 
yang kemudian bergerak ke arah Bogor. Pada tahun 1683 Sultan Ageng 
Tirtayasa berhasil ditangkap oleh VOC dengan tipu muslihat. Sultan Ageng 
ditawan di Batavia sampai wafatnya pada tahun 1692. 
Semangat juang Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya tidak pernah 
padam. Ia telah mengajarkan untuk selalu menjaga kedaulatan negara dan 
mempertahankan tanah air dari dominasi asing. Hal ini terbukti setelah 
Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, perlawanan rakyat Banten terhadap VOC 
terus berlangsung. Misalnya pada tahun 1750 berkobar perlawanan yang 
dipimpin oleh seorang ulama terkenal yakni Ki Tapa. Pada bulan November 
1750 gabungan pasukan VOC dan tentara kerajaan berhasil dihancurkan oleh 
pasukan Ki Tapa. Ki Tapa ini antara lain juga mendapat dukungan seorang 
pangeran yang bekerja sama dengan Ratu Bagus. Perlawanan Ki Tapa ini 
semakin meluas. VOC tidak ingin dipermalukan oleh pasukan pribumi. Oleh 
karena itu, pada tahun 1751 VOC mengerahkan pasukan gabungan yang 
jumlah sangat besar mencapai 1250 personil untuk mengepung pasukan Ki 
Tapa dan Ratu Bagus. Pasukan Ki Tapa dapat didesak oleh VOC. Namun, 
Ki Tapa dan ratu Bagus dapat meloloskan diri dan pergi ke hutan untuk 
melancarkan perang gerilya. Ki Tapa telah menjadi lambang kekuatan Banten 
yang tidak pernah terkalahkan.

5. Perlawanan Gowa 
Kerajaan Gowa merupakan salah satu kerajaan yang sangat terkenal di 
Nusantara. Pusat pemerintahannya berada di Somba Opu yang sekaligus 
menjadi pelabuhan Kerajaan Gowa. Somba Opu senantiasa terbuka untuk 
siapa saja. Banyak para pedagang asing yang tinggal di kota itu. Misalnya, 
orang Inggris, Denmark, Portugis, dan Belanda. Mereka diizinkan membangun 
loji di kota itu. Gowa anti terhadap tindakan monopoli perdagangan. 
Masyarakat Gowa ingin hidup merdeka dan bersahabat kepada siapa saja 
tanpa hak istimewa. Masyarakat Gowa senantiasa berpegang pada prinsip 
hidup sesuai dengan kata-kata “Tanahku terbuka bagi semua bangsa”, 
“Tuhan menciptakan tanah dan laut; tanah dibagikan-Nya untuk semua 
manusia dan laut yaitu milik bersama.” Dengan prinsip keterbukaan dan 
kebersamaan itu maka Gowa cepat berkembang. 
Makassar dengan pelabuhan Somba Opu memiliki posisi yang strategis dalam 
jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Somba Opu telah berperan 
sebagai bandar perdagangan tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari 
timur ke barat atau sebaliknya. Sebagai contoh kapal-kapal pengangkut 
rempah-rempah dari Maluku yang berangkat ke Malaka sebelumnya singgah 
dulu di Bandar Somba Opu. Begitu pula barang dagangan dari barat yang 
akan masuk ke Maluku juga melakukan bongkar muat di Somba Opu. 
Dengan melihat peran dan posisi Makassar atau Kerajaan Gowa yang 
strategis, VOC berusaha keras untuk dapat mengendalikan Gowa. VOC ingin 
menguasai pelabuhan Somba Opu serta menerapkan monopoli perdagangan. 
Untuk itu VOC harus dapat menundukkan Kerajaan Gowa. Berbagai upaya 
untuk melemahkan posisi Gowa terus dilakukan. Sebagai contoh, pada tahun 
1634, VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Somba Opu, tetapi gagal 
karena perahu-perahu Makasar yang berukuran kecil lebih lincah dan mudah 
bergerak di antara pulau-pulau, yang ada. Bahkan dengan menggunakan 
perahu-perahu tradisional seperti padewakang, palari, sope dan yang sudah 
begitu terkenal perahu pinisi, mereka sudah biasa mengarungi perairan 
Nusantara. VOC pun merasa kesulitan untuk memburu dan menangkap
perahu-perahu tersebut. Oleh karena itu, saat kapal-kapal VOC sedang 
patroli dan menemui perahu-perahu orang-orang Bugis, Makassar dan yang 
lain segera diburu, ditangkap, dan dirusaknya.
Raja Gowa, Sultan Hasanuddin ingin segera 
menghentikan tindakan VOC yang anarkis dan 
provokatif itu. Sultan Hasanuddin menentang 
ambisi VOC yang ingin memaksakan monopoli 
di Gowa. Seluruh kekuatan dipersiapkan untuk 
menghadapi VOC. Benteng pertahanan mulai 
dipersiapkan di sepanjang pantai. Beberapa 
sekutu Gowa mulai dikoordinasikan. Semua 
dipersiapkan untuk melawan kesewenang￾wenangan VOC.
Sementara itu, VOC juga mempersiapkan diri 
untuk menundukkan Gowa. Politik devide 
et impera mulai dilancarkan. Misalnya VOC 
menjalin hubungan dengan seorang Pangeran 
Bugis dari Bone yang bernama Aru Palaka. 
Setelah mendapat dukungan Aru Palaka, 
pimpinan VOC, Gubernur Jenderal Maetsuyker memutuskan untuk 
menyerang Gowa. Dikirimlah pasukan ekspedisi yang berkekuatan 21 kapal 
dengan mengangkut 600 orang tentara. Mereka terdiri atas tentara VOC, 
orang-orang Ambon, dan orang-orang Bugis Bone yang di pimpin oleh Aru 
Palaka. Tanggal 7 Juli 1667, meletus Perang Gowa. Tentara VOC dipimpin 
oleh Cornelis Janszoon Spelman, diperkuat oleh pengikut Aru Palaka dan 
ditambah orang-orang Ambon di bawah pimpinan Jonker van Manipa. 
Kekuatan VOC ini menyerang pasukan Gowa dari berbagai penjuru. Beberapa 
serangan VOC berhasil ditahan pasukan Hasanuddin. Tetapi dengan 
pasukan gabungan disertai peralatan senjata yang lebih lengkap, VOC 
berhasil mendesak pasukan Hasanuddin. Benteng pertahanan tentara Gowa 
di Barombang dapat diduduki oleh pasukan Aru Palaka. Hal ini menandai 
kemenangan pihak VOC atas kerajaan Gowa. Hasanuddin kemudian dipaksa 
untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 
1667, yang isinya antara lain sebagai berikut.
1) Gowa harus mengakui hak monopoli VOC.
2) Semua orang Barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah 
Gowa.
3) Gowa harus membayar biaya perang.
Sultan Hasanuddin tidak ingin melaksanakan isi perjanjian itu, karena isi 
perjanjian itu bertentangan dengan hati nurani dan semboyan masyarakat 
Gowa atau Makassar. Pada tahun 1668 Sultan Hasanuddin mencoba 
menggerakkan kekuatan rakyat untuk kembali melawan kesewenang￾wenangan VOC itu. Namun perlawanan ini segera dapat dipadamkan oleh 
VOC. Bahkan benteng pertahanan rakyat Gowa jatuh dan dikuasai oleh VOC. 
Benteng itu kemudian oleh Spelman 
diberi nama Benteng Rotterdam. 
Dengan sangat terpaksa Sultan 
Hasanuddin harus melaksanakan 
isi Perjanjian Bongaya. Dengan 
ditandatanganinya Perjanjian 
Bongaya, VOC memang berhasil 
mengendalikan peran politik 
Kerajaan Gowa. Tetapi VOC 
tidak mampu mengendalikan 
dan memaksakan monopoli 
perdagangan di perairan Indonesia 
Timur. Dengan ditandatanganinya 
Perjanjian Bongaya itu justru 
melahirkan diaspora perdagangan 
bagi orang-orang Bugis-Makassar. 
Mereka tidak menghiraukan 

monopoli yang dipaksakan VOC. Dengan prinsip bebas berdagang mereka 
menyelundup ke berbagai kota dan pelabuhan untuk berdagang termasuk 
perdagangan rempah-rempah di Maluku. Artinya VOC gagal dalam 
mengendalikan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Bugis￾Makassar. Heather Sutherland menjelaskan kegagalan VOC mengendalikan 
perdagangan di perairan Indonesia Timur yang dilakukan oleh orang-orang 
Bugis-Makassar itu, karena: (1) ketidakmungkinan membatasi perdagangan 
yang didukung dengan motif mencari untung dipadu dengan kondisi geografis 
yang sulit terpantau sehingga mudah untuk melakukan penyelundupan 
dagang, (2) VOC memiliki kelemahan dalam pemasaran, karena mengejar 
keuntungan yang tinggi dan tidak mampu membangun jaringan dengan pasar 
lokal/tidak paham dengan selera pasar lokal, dan (3) keterlibatan VOC dalam 
pembelian produk-produk lokal sangat kecil, termasuk produk-produk laut, 
sementara para pedagang Cina sangat menghargai produk lokal dan produk￾produk laut ini. Akhirnya VOC tidak mampu bersaing dengan pedagang Cina 
dan pribumi (Singgih Tri Sulistiyono, “Pasang Surut Jaringan Makasar Hingga 
Masa Akhir Dominasi Kolonial Belanda, dalam buku Indonesia dalam Arus 
Sejarah, 2012).
6. Rakyat Riau Angkat Senjata 
Ambisi untuk melakukan monopoli perdagangan dan menguasai berbagai 
daerah di Nusantara terus dilakukan oleh VOC. Di samping menguasai Malaka, 
VOC juga mulai mengincar Kepulauan Riau. Dengan politik memecah belah 
VOC mulai berhasil menanamkan pengaruhnya di Riau. Kerajaan-kerajaan 
kecil seperti Siak, Indragiri, Rokan, dan Kampar semakin terdesak oleh ambisi 
monopoli dan tindakan sewenang-wenang VOC. Oleh karena itu, beberapa 
kerajaan mulai melancarkan perlawanan.
Salah satu contohnya perlawanan di Riau yang dilancarkan oleh Kerajaan 
Siak Sri Indrapura. Raja Siak Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723 – 1744) 
memimpin rakyatnya untuk melawan VOC. Setelah berhasil merebut Johor 
kemudian ia membuat benteng pertahanan di Pulau Bintan. Dari pertahanan 
di Pulau Bintan ini pasukan Sultan Abdul Jalil mengirim pasukan di bawah 
komando Raja Lela Muda untuk menyerang Malaka. Uniknya dalam 
pertempuran ini Raja Lela Muda selalu mengikutsertakan puteranya yang 
bernama Raja Indra Pahlawan. Itulah sebabnya sejak remaja Raja Indra 
Pahlawan sudah memiliki kepandaian berperang. Sifat bela negara dan cinta 
tanah air sudah mulai tertanam pada diri Raja Indra Pahlawan.
Dalam suasana konfrontasi dengan VOC itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah 
wafat. Sebagai gantinya diangkatlah puteranya yang bernama Muhammad 
Abdul Jalil Muzafar Syah (1746 -1760). Raja ini juga memiliki naluri seperti 
ayahandanya yang ingin selalu memerangi VOC di Malaka. Raja Muhammad 
Abdul Jalil Muzafar menunjuk Raja Indra Pahlawan sebagai pimpinan 
perangnya. Pada tahun 1751 perang berkobar antara Kerajaan Siak melawan 
VOC. Sebagai strategi menghadapi serangan Raja Siak, VOC berusaha 
memutus jalur perdagangan menuju Siak. VOC mendirikan benteng 
pertahanan di sepanjang jalur yang menghubungkan Sungai Indragiri, 
Kampar, sampai Pulau Guntung yang berada di muara Sungai Siak. Kapal￾kapal dagang yang akan menuju Siak ditahan oleh VOC. Hal ini merupakan 
pukulan bagi Siak. Oleh karena itu, Kerajaan Siak segera mempersiapkan 
kekuatan yang lebih besar untuk menyerang VOC. Sebagai pucuk pimpinan 
pasukan dipercayakan kembali kepada Raja Indra Pahlawan dan Panglima 
Besar Tengku Muhammad Ali. 
Serangan ini diperkuat dengan kapal perang “Harimau Buas” yang dilengkapi 
dengan lancang serta perlengkapan perang secukupnya. Terjadilah 
pertempuran sengit di Pulau Guntung (1752 – 1753). Ternyata benteng VOC 
di Pulau Guntung berlapis-lapis dan dilengkapi meriam-meriam besar. Dengan 
demikian pasukan Siak sulit menembus benteng pertahanan itu. Namun 
banyak pula jatuh korban dari VOC, sehingga VOC harus mendatangkan 
bantuan kekuatan termasuk juga orang-orang Cina. Pertempuran hampir 
berlangsung satu bulan. Sementara VOC terus mendatangkan bantuan. 
Melihat situasi yang demikian itu kedua panglima perang Siak menyerukan 
pasukannya untuk mundur kembali ke Siak. 
Sultan Siak bersama para panglima dan penasihatnya mengatur siasat 
baru. Mereka sepakat bahwa VOC harus dilawan dengan tipu daya. Sultan 
diminta berpura-pura berdamai dengan cara memberikan hadiah kepada 
Belanda. Oleh karena itu, siasat ini dikenal dengan “siasat hadiah sultan”. 
VOC setuju dengan ajakan damai ini. Perundingan damai diadakan di loji di 
Pulau Guntung. Pada saat perundingan baru mulai justru Sultan Siak dipaksa 
untuk tunduk kepada pemerintahah VOC. Sultan segera memberi kode pada 
anak buah dan segera menyergap dan membunuh orang-orang Belanda 
di loji itu. Loji segera dibakar dan rombongan Sultan Siak kembali ke Siak 
dengan membawa kemenangan, sekalipun belum berhasil mengusir VOC 
dari Malaka. Siasat perang ini tidak terlepas dari jasa Raja Indra Pahlawan. 
Oleh karena itu, atas jasanya Raja Indra Pahlawan diangkat sebagai Panglima 
Besar Kesultanan Siak dengan gelar: “Panglima Perang Raja Indra Pahlawan 
Datuk Lima Puluh”.
7. Orang-orang Cina Berontak 
Sejak abad ke-5 orang-orang Cina sudah mengadakan hubungan dagang 
ke Jawa dan jumlahnya pun semakin banyak. Pada masa perkembangan 
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan Islam banyak pedagang Cina yang 
tinggal di daerah pesisir, yang menikah dengan penduduk Jawa khususnya 
ke Batavia. Begitu juga pada masa pemerintahan VOC di Batavia, banyak 
orang Cina yang datang ke Jawa. VOC memang sengaja mendatangkan 
orang-orang Cina dari Tiongkok dalam rangka mendukung kemajuan 
perekonomian dan keamanan kota Batavia dan sekitarnya. Ternyata kota 
Batavia juga menjadi daya tarik bagi orang-orang Cina miskin untuk 
mengadu nasib di kota ini. Orang-orang Cina yang datang ke Jawa tidak 
semua yang memiliki modal. Banyak di antara mereka termasuk golongan 
miskin. Mereka kemudian menjadi pengemis bahkan ada yang menjadi 
pencuri. Sudah barang tentu hal ini sangat mengganggu kenyamanan dan 
keamanan Kota Batavia. Akhirnya VOC mengeluarkan kebijakan membatasi 
imigran Cina.
Untuk membatasi kedatangan orang–orang Cina ke Batavia, VOC 
mengeluarkan ketentuan bahwa setiap orang Cina yang tinggal di Batavia 
harus memiliki surat izin bermukim yang disebut permissiebriefjes atau 
masyarakat sering menyebut dengan “surat pas”. Apabila tidak memiliki 
surat izin, maka akan ditangkap dan dibuang ke Sailon (Sri Langka) untuk 
dipekerjakan di kebun-kebun pala milik VOC atau akan dikembalikan ke Cina. 
Mereka diberi waktu enam bulan untuk mendapatkan surat izin tersebut. 
Biaya untuk mendapatkan surat izin itu yang resmi dua ringgit (Rds.2,-) per 
orang. Tetapi dalam pelaksanaannya untuk mendapatkan surat izin terjadi 
penyelewengan dengan membayar lebih mahal, tidak hanya dua ringgit. 
Akibatnya banyak yang tidak mampu memiliki surat izin tersebut. VOC 
bertindak tegas, orang-orang Cina yang tidak memiliki surat izin bermukim 
ditangkap. Tetapi mereka banyak yang dapat melarikan diri keluar kota. 
Mereka kemudian membentuk gerombolan yang mengacaukan keberadaan 
VOC di Batavia. 
Pada tahun 1740 terjadi kebakaran di Batavia. VOC menafsirkan peristiwa 
ini sebagai gerakan orang-orang Cina yang akan melakukan pemberontakan. 
Oleh karena itu, para serdadu VOC mulai beraksi dengan melakukan sweeping
memasuki rumah-rumah orang Cina dan kemudian melakukan pembunuhan 
terhadap orang-orang Cina yang ditemukan di setiap rumah. Orang-orang 
Cina yang berhasil meloloskan diri kemudian melakukan perlawanan 
di berbagai daerah, misalnya di Jawa Tengah. Salah satu tokohnya yang 
terkenal yaitu Oey Panko atau kemudian dikenal dengan sebutan Khe 
Panjang, kemudian di Jawa menjadi Ki Sapanjang. Nama ini dikaitkan dengan 
perannya dalam memimpin perlawanan di sepanjang pesisir Jawa. 
Perlawanan orang-orang Cina terhadap VOC kemudian menumbuhkan 
kekacauan yang meluas di berbagai tempat terutama di daerah pesisir Jawa. 
Perlawanan orang-orang Cina ini mendapat bantuan dan dukungan dari para 
bupati di pesisir. Atas desakan para pangeran, Raja Pakubuwana II juga ikut 
mendukung pemberontakan orang-orang Cina tersebut. Pada tahun 1741 
benteng VOC di Kartasura dapat diserang sehingga jatuh banyak korban. 
VOC segera meningkatkan kekuatan tentara dan persenjataan sehingga 
pemberontakan orang-orang Cina satu demi satu dapat dipadamkan. Pada 
kondisi yang demikian ini Pakubuwana II mulai bimbang dan akhirnya 
melakukan perundingan damai dengan VOC. Sikap Pakubuwana II yang 
demikian ini telah menambah panjang barisan orang-orang yang kecewa 
dan sakit hati di lingkungan kraton. Kondisi ini pula yang telah mendorong 
VOC kemudian melakukan intervensi politik di lingkungan istana.
8. Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said 
Perlawanan terhadap VOC di Jawa kembali terjadi. Perlawanan ini dipimpin 
oleh bangsawan kerajaan yakni Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. 
Perlawanan berlangsung sekitar 20 tahun.
Pada uraian terdahulu sudah disinggung bahwa beberapa raja Mataram 
pasca Sultan Agung merupakan raja-raja yang lemah bahkan bersahabat 
dengan kaum penjajah. Pada saat pemerintahan Pakubuwana II terjadi 
persahabatan dengan VOC. Bahkan, VOC semakin berani untuk menekan 
dan melakukan intervensi terhadap jalannya pemerintahan Pakubuwana II. 
Wilayah pengaruh Kerajaan Mataram juga semakin berkurang. Persahabatan 
antara Pakubuwana II dengan VOC ini telah menimbulkan kekecewaan para 
bangsawan kerajaan. Terlebih lagi VOC melakukan intervensi dalam urusan 
pemerintahan kerajaan. Hal ini mendorong munculnya berbagai perlawanan 
misalnya perlawanan Raden Mas Said.
Raden Mas Said yaitu putera dari Raden Mas Riya yang bergelar Adipati Arya 
Mangkunegara dengan Raden Ayu Wulan putri dari Adipati Blitar. Pada usia 
14 tahun Raden Mas Said sudah diangkat sebagai gandek kraton (pegawai 
rendahan di istana) dan diberi gelar R.M.Ng. Suryokusumo. Karena merasa 
sudah berpengalaman, Raden Mas Said kemudian mengajukan permohonan 
untuk mendapatkan kenaikan pangkat. Akibat permohonan ini Mas Said 
justru mendapat cercaan dan hinaan dari keluarga kepatihan, bahkan dikait￾kaitkan dengan tuduhan ikut membantu pemberontakan orang-orang Cina 
yang sedang berlangsung. Mas Said merasa sakit hati dengan sikap keluarga 
kepatihan. Muncullah niat untuk melakukan perlawanan terhadap VOC 
yang telah membuat kerajaan kacau karena banyak kaum bangwasan yang 
bekerja sama dengan VOC. Hal ini merupakan bentuk protes dan perlawanan 
terhadap penguasa Mataram yang bersekutu dengan VOC. Raden Masa Said 
diikuti R. Sutawijaya dan Suradiwangsa (yang kemudian dikenal dengan Kiai 
Kudanawarsa) pergi keluar kota untuk menyusun kekuatan. Raden Mas Said
pergi menuju Nglaroh untuk memulai perlawanan. Oleh para pengikutnya 
Mas Said diangkat sebagai raja baru dengan gelar Pangeran Adipati Anom 
Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang. Hingga kini sebutan Mas Said 
yang sangat dikenal masyarakat yakni Pangeran Sambernyawa. Perlawanan 
Mas Said cukup kuat karena mendapat dukungan dari masyarakat sehingga 
menjadi ancaman yang serius bagi eksistensi Pakubuwana II sebagai raja di 
Mataram. Oleh karena itu, pada tahun 1745 Pakubuwana II mengumumkan 
barang siapa yang dapat memadamkan perlawanan Mas Said akan diberi 
hadiah sebidang tanah di Sukowati (di wilayah Sragen sekarang). Mas Said 
tidak menghiraukan apa yang dilakukan Pakubuwana II di istana. Ia dengan 
pengikutnya terus melancarkan perlawanan terhadap VOC dan juga pihak 
kerajaan. 
Mendengar adanya sayembara berhadiah itu, Pangeran Mangkubumi 
ingin mencoba sekaligus menakar seberapa jauh komitmen dan kejujuran 
Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi yaitu adik dari Pakubuwana 
II. Singkat cerita Pangeran Mangkubumi dan para pengikutnya berhasil 
memadamkan perlawanan Mas Said. Ternyata Pakubuwana II ingkar 
janji. Pakubuwana II kehilangan nilai dan komitmennya sebagai raja yang 
berpegang pada tradisi, sabda pandhita ratu datan kena wola-wali (perkataan 
raja tidak boleh ingkar). Karena bujukan Patih Pringgalaya, Pakubuwana II 
tidak jadi memberikan tanah Sukowati kepada Pangeran Mangkubumi. 
Terjadilah pertentangan antara Raja Pakubuwana II yang didukung Patih 
Pringgalaya di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi di pihak lain. 
Dalam suasana konflik ini tiba-tiba dalam pertemuan terbuka di istana itu 
Gubernur Jenderal Van Imhoff (1743-1750) mengeluarkan kata-kata yang 
menghina dan menuduh Pangeran Mangkubumi terlalu ambisi mencari 
kekuasaan. Hal inilah yang sangat mengecewakan Pangeran Mangkubumi. 
Dia menganggap pejabat VOC secara langsung telah mencampuri urusan 
pemerintahan kerajaan. Pangeran Mangkubumi segera meninggalkan istana. 
Tidak ada pilihan lain kecuali angkat senjata untuk melawan VOC yang telah 
semena-mena ikut campur tangan dalam politik pemerintahan kerajaan. Hal 
ini sekaligus untuk protes menolak kebijakan saudara tuanya Pakubuwana II 
yang mau didikte oleh VOC. 
Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya pertama kali pergi ke Sukowati 
untuk menemui Mas Said. Kedua pihak bersepakat untuk bersatu melawan 
VOC. Untuk memperkokoh persekutuan ini, Raden Mas Said dijadikan 
menantu oleh Pangeran Mangkubumi. Mangkubumi dan Mas Said sepakat
untuk membagi wilayah perjuangan. Raden Mas Said bergerak di bagian 
timur, daerah Surakarta ke selatan terus ke Madiun, Ponorogo dengan 
pusatnya Sukowati. Sedangkan Pangeran Mangkubumi konsentrasi di 
bagian barat Surakarta terus ke barat dengan pusat di Hutan Beringin dan 
Desa Pacetokan, dekat Plered (termasuk daerah Yogyakarta sekarang). 
Diberitakan pada saat itu Pangeran Mangkubumi memiliki 13.000 prajurit, 
termasuk 2.500 prajurit kavaleri.
Perpaduan perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said sangat kuat dan 
meluas di hampir seluruh Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kemenangan demi 
kemenangan mulai diraih oleh pasukan Mas Said dan pasukan Mangkubumi. 
Di tengah-tengah berkecamuknya perang di berbagai tempat, terdengar 
berita bahwa pada tahun 1749 Pakubuwana II sakit keras. Pakubuwana II 
sangat mengharapkan kehadiran pimpinan VOC untuk segera datang ke 
istana kerajaan. Melihat kondisi Pakubuwana II yang mulai tidak menentu 
dan sangat lemah itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff memerintahkan 
Gubernur Semarang Gijsbert Karel Van Hogendorp (1762-1834) untuk 
secepatnya menemui Pakubuwana II dan menyodorkan perjanjian. Dalam 
kondisi Pakubuwana II sakit keras ini tercapailah Het Allerbelangrijkste 
Contract, sebuah perjanjian yang sangat penting antara Pakubuwana II 
dengan pihak VOC yang diwakili oleh Gubernur VOC untuk wilayah pesisir 
timur laut, Baron van Hohendorft.
Isi perjanjian ini sangat menyakitkan rakyat dan para punggawa kerajaan, 
karena Pakubuwana II telah menyerahkan Kerajaan Mataram kepada VOC. 
Perjanjian itu ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1749 yang isinya 
antara lain sebagai berikut.
1). Susuhunan Pakubuwana II menyerahkan Kerajaan Mataram baik secara 
de facto maupun de jure kepada VOC.
2). Hanya keturunan Pakubuwana II yang berhak naik tahta dan akan 
dinobatkan oleh VOC menjadi raja Mataram dengan tanah Mataram 
sebagai pinjaman dari VOC.
3). Putera mahkota akan segera dinobatkan. Setelah Pakubuwana II wafat, 
kemudian tanggal 15 Desember 1749 Van Hohendorff mengumumkan 
pengangkatan putera mahkota sebagai Susuhunan Pakubuwana III.
Perjanjian tersebut merupakan sebuah tragedi besar. Karena Kerajaan 
Mataram yang pernah berjaya di masa Sultan Agung, akhirnya oleh para 
pewarisnya harus diserahkan begitu saja kepada pihak asing (VOC). Hal 
ini semakin membuat kekecewaan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said, 
sehingga keduanya harus meningkatkan perlawanannya terhadap kezaliman 
VOC.
Perlu diketahui bahwa pada saat perjanjian antara Pakubuwana II dengan 
VOC ditandatangani, Pakubuwana II dinyatakan bukan lagi Raja Mataram, 
sementara VOC juga belum mengangkat raja yang baru. Mataram dalam 
keadaan vakum. Dalam keadaan vakum ini, oleh para pengikutnya Pangeran 
Mangkubumi diangkat sebagai raja dengan sebutan Sri Susuhunan 
Pakubuwana, tetapi sebutan ini kurang begitu populer. Karena penobatan 
Pangeran Mangkubumi ini bertempat di Desa Kabanaran, maka Pangeran 
Mangkubumi lebih terkenal dengan nama Susuhunan atau Sultan Kabanaran.
Tahun 1750 merupakan tahun kemenangan bagi Pangeran Mangkubumi. 
Kemenangan demi kemenangan diperoleh Pangeran Mangkubumi dan juga 
Mas Said. Sebagai contoh pasukan Mangkubumi berhasil menghancurkan 
De Clerq dan pasukannya di daerah Kedu. Dari Kedu pasukan Mangubumi 
bergerak ke utara dan berhasil menguasai daerah Pekalongan dan beberapa 
daerah pesisir lainnya.
Van Hogendorp yang diberi tanggung jawab oleh VOC untuk memadamkan 
perlawanan Mangkubumi dan Mas Said mulai frustrasi dan putus asa. Oleh 
karena itu, Van Hogendorp kemudian mengundurkan diri. Ia digantikan oleh 
Nicolas Hartingh. Begitu juga Van Imhoff selaku Gubernur Jenderal VOC

digantikan oleh Jacob Mosel. Kedua pejabat VOC yang baru ini berusaha 
keras untuk menyelesaikan perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas 
Said. Cara perundingan mulai dipikirkan secara serius untuk mengakhiri 
perlawanan tersebut.
Perang dan kekacauan yang terjadi Mataram itu telah menghabiskan dana 
yang begitu besar. Sementara perlawanan Pangeran Mangubumi dan Mas 
Said belum ada tanda-tanda mau berakhir. Oleh karena itu, penguasa 
VOC terus membujuk kepada Pangeran Mangkubumi untuk berunding. 
Dengan perantara seorang ulama besar Syeikh Ibrahim, akhirnya Pangeran 
Mangkubumi bersedia berunding dengan VOC. Dengan demikian perlawanan 
Pangeran Mangkubumi berakhir. Tercapailah sebuah perjanjian yang dikenal 
dengan Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 13 
Februari 1755 di Desa Giyanti.

Isi pokok perjanjian itu yaitu bahwa Mataram dibagi dua. Wilayah bagian 
barat (daerah Yogyakarta) diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dan 
berkuasa sebagai sultan dengan sebutan Sri Sultan Hamengkubuwana I, 
sedang bagian timur (daerah Surakarta) tetap diperintah oleh Pakubuwana III 
dengan sebutan Kasunanan Surakarta. Perjanjian Giyanti ini sering dinamakan 
dengan “Palihan Negari”.
Dalam praktiknya Perjanjian Giyanti hanya 
berhasil menghentikan peperangan secara 
militer. Namun peperangan dalam bentuk lain 
tidak dapat dipadamkan seperti perlawanan 
budaya yang tercermin dalam budaya 
Jawa yang berkembang di Yogyakarta dan 
Surakarta dalam konsep dan kepercayaan 
“Dewa-Raja”. Perlawanan budaya dengan 
konsep dan kepercayaan “Dewa-Raja”
bahkan terus berkembang sampai Indonesia 
merdeka.
Sementara perlawanan Mas Said berakhir 
setelah tercapai Perjanjian Salatiga pada 
tanggal 17 Maret 1757 yang isinya Mas 
Said diangkat sebagai penguasa di sebagian 
wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran 
Adipati Arya Mangkunegara I.

B. Perang Melawan Penjajahan Belanda
Gambar di atas menunjukkan ilustrasi yang berkaitan dengan Perang Aceh 
Perang Aceh berlangsung sangat lama yang ditujukan untuk melawan 
kezaliman dan kekejaman pemerintah kolonial Belanda. Rakyat Aceh 
bersama para pemimpinnya, baik tuanku maupun tengku mampu bertahan 
dan membuat tentara Belanda kewalahan karena rakyat Aceh memiliki 
motivasi yang bersifat spiritual, yakni sebuah keyakinan Islam. Rakyat Aceh 
yakin bahwa perang yang mereka kobarkan yaitu perang melawan kafir. 
Perjuangan melawan kekejaman penjajahan pemerintah Belanda juga terjadi 
di berbagai daerah. Bagaimana perlawanan dan perang yang terjadi di 
berbagai daerah dalam melawan penjajahan pemerintah kolonial Belanda 
itu? Pelajari dan telaah uraian-uraian berikut.
1. Perang Tondano 
“Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 yaitu perang yang melibatkan orang Minahasa di 
Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad XIX. Perang pada permulaan 
abad XIX ini terjadi akibat dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para 
pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara “
(Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, 2012:375) 
a) Perang Tondano I (1808)
Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tondano terjadi 
dalam dua tahap. Perang Tondano I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada 
saat datangnya bangsa Barat, orang-orang Spanyol sudah sampai di tanah 
Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol selain berdagang 
juga menyebarkan agama Kristen. Tokoh yang berjasa dalam penyebaran 
agama Kristen di tanah Minahasa yaitu Fransiscus Xaverius. Hubungan 
dagang orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai 
abad XVII hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan 
kehadiran para pedagang VOC. Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan 
pengaruhnya di Ternate. Bahkan, Gubernur Terante Simon Cos mendapatkan 
kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh 
Spanyol. Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh 
untuk mengawasi pantai timur Minahasa. Para pedagang Spanyol dan juga 
Makassar yang bebas berdagang mulai tersingkir karena ulah VOC. Apalagi 
waktu itu Spanyol harus meninggalkan Kepulauan Indonesia untuk menuju 
Filipina.
VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual 
berasnya kepada VOC. Hal ini karena VOC sangat membutuhkan beras 
untuk melakukan monopoli perdagangan beras di Sulawesi Utara. Orang￾orang Minahasa menentang usaha monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain 
bagi VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan 
orang- orang Minahasa, VOC membendung Sungai Temberan. Akibatnya 
aliran sungai meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para 
pejuang Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan
tempat tinggalnya di Danau Tondano dengan rumah-rumah apung. 
Pasukan VOC kemudian mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang 
berpusat di Danau Tondano. Simon Cos kemudian memberikan ultimatum 
yang isinya antara lain: (1) Orang-orang Tondano harus menyerahkan para 
tokoh pemberontak kepada VOC, (2) orang-orang Tondano harus membayar 
ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 budak sebagai ganti rugi rusaknya 
tanaman padi karena genangan air Sungai Temberan. Ternyata rakyat 
Tondano bergeming dengan ultimatum VOC tersebut. Simon Cos sangat 
kesal karena ultimatumnya tidak diperhatikan. Pasukan VOC akhirnya ditarik 
mundur ke Manado. Setelah itu rakyat Tondano menghadapi masalah 
dengan hasil pertanian yang menumpuk, tetapi tidak ada yang membeli. 
Dengan terpaksa mereka kemudian mendekati VOC agar membeli hasil￾hasil pertaniannya. Dengan demikian, terbukalah tanah Minahasa oleh 
VOC. Berakhirlah Perang Tondano I. Orang-orang Minahasa kemudian 
memindahkan perkampungannya di Danau Tondano ke perkampungan baru 
di daratan yang diberi nama Minawanua (ibu negeri).
b) Perang Tondano II (1809)
Perang Tondano II sebenarnya sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, 
yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi 
oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels yang mendapat mandat untuk 
mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerlukan pasukan 
dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan, maka direkrut 
pasukan dari kalangan pribumi. Mereka yang dipilih yaitu dari suku￾suku yang memiliki keberanian berperang. Beberapa suku yang dianggap 
memiliki keberanian yaitu orang-orang Madura, Dayak, dan Minahasa. 
Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger 
segera mengumpulkan para ukung.
(Ukung yaitu pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat 
distrik). Belanda menargetkan 2000 pasukan Minahasa yang akan dikirim 
ke Jawa. Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan 
program Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai 
pasukan kolonial. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. 
Mereka justru ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. 
Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya di Tondano, Minawanua. 
Salah seorang pemimpin perlawanan itu yaitu Ukung Lonto. Ia menegaskan 
rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda sebagai bentuk penolakan 
terhadap program pengiriman 2.000 pemuda Minahasa ke Jawa serta 
menolak kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras 
secara cuma-cuma kepada Belanda. 
Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Residen 
Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang￾orang Minahasa di Tondano Minawanua. Belanda kembali menerapkan 
strategi dengan membendung Sungai Temberan. Prediger juga membentuk 
dua pasukan tangguh. Satu pasukan dipersiapkan untuk menyerang dari 
Danau Tondano, sedangkan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari 
darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar. Pasukan 
Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan 
merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan 
Minawanua sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di 
Minawanua. Walaupun sudah malam para pejuang tetap dengan semangat 
yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. 
Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 
1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan 
Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti 
tidak ada lagi kehidupan. 
Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari 
perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan 
hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan 
Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang 
dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. 
Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, 
tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu 
mematahkan semangat juang orang-orang Tondano, Minawanua. Bahkan 
terdengar berita kapal Belanda yang paling besar tenggelam di danau.
Perang Tondano II berlangsung 
cukup lama, bahkan sampai 
Agustus 1809. Dalam suasana 
kepenatan dan kekurangan 
makanan, mulai ada kelompok 
pejuang yang memihak kepada 
Belanda. Namun dengan kekuatan 
yang ada para pejuang Tondano 
terus memberikan perlawanan. 
Akhirnya pada tanggal 4-5 
Agustus 1809 Benteng pertahanan 
Moraya milik para pejuang hancur 
bersama rakyat yang berusaha 
m e m p e r t a h a n k a n n y a . P a r a 
pejuang itu memilih mati dari pada 
menyerah kepada penjajah.2. Perang Pattimura (1817)
Maluku dengan hasil rempah-rempahnya diibaratkan bagaikan “mutiara 
dari timur”. Kekayaan yang diibaratkan bagaikan “mutiara dari timur” itu, 
senantiasa diburu oleh orang-orang Eropa. Namun tidak hanya memburu 
kekayaan, orang-orang Eropa juga ingin berkuasa dan melakukan monopoli 
perdagangan. Kekuasaan orang-orang Eropa itu telah merusak tata ekonomi 
dan pola perdagangan bebas yang telah lama berkembang di Nusantara. 
Pada masa pemerintahan Inggris di bawah Raffles keadaan Maluku relatif 
lebih tenang karena Inggris bersedia membayar hasil bumi rakyat Maluku. 
Kegiatan kerja rodi mulai dikurangi. Bahkan para pemuda Maluku juga diberi 
kesempatan untuk bekerja pada dinas angkatan perang Inggris. Tetapi pada 
masa pernerintahan kolonial Hindia Belanda, keadaan kembali berubah. 
Kegiatan monopoli di Maluku kembali diperketat. Dengan demikian, beban 
rakyat semakin berat. Sebab selain penyerahan wajib, masih juga harus dikenai 
kewajiban kerja paksa, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi. Kalau ada 
penduduk yang melanggar akan ditindak tegas. Ditambah lagi terdengar 
desas desus bahwa para guru akan diberhentikan untuk penghematan, 
sementara itu para pemuda akan dikumpulkan untuk dijadikan tentara di 
luar Maluku. Desas-desus ini membuat situasi semakin panas, ditambah 
lagi dengan sikap arogan dan sikap sewenang-wenang dari Residen 
Saparua. Suatu ketika Belanda memesan perahu orambai kepada nelayan. 
Setelah selesai perahu diserahkan kepada Belanda. Tetapi Belanda tidak 
mau membayar perahu itu dengan harga yang pantas. Mereka menuntut 
agar pemerintah bersedia membayar perahu orambai yang dipesan oleh 
pemerintah Belanda dengan harga yang pantas. Bahkan perahu orambai 
yang diserahkan kepada pemerintah Belanda tidak pernah dibayar. Padahal 
orang-orang Maluku sudah berperan menyediakan ikan asin untuk kapal￾kapal Belanda di Maluku. Belanda sama sekali tidak menghargai jasa orang￾orang Maluku. Oleh karena itu, para pembuat perahu mengancam akan
mogok jika tidak dibayar. Residen Saparua Van 
den Berg menolak tuntutan rakyat itu. Kejadian 
itu menyebabkan kebencian rakyat Maluku 
semakin menjadi-jadi. 
Menanggapi kondisi yang demikian para 
tokoh dan pemuda Maluku melakukan 
serangkaian pertemuan rahasia. Sebagai 
contoh telah diadakan pertemuan rahasia di 
Pulau Haruku, pulau yang dihuni orang-orang 
Islam. Selanjutnya pada tanggal 14 Mei 1817 di 
Pulau Saparua (pulau yang dihuni orang-orang 
Kristen) kembali diadakan pertemuan di sebuah 
tempat yang sering disebut dengan Hutan 
Kayu Putih. Dalam berbagai pertemuan itu 
disimpulkan bahwa rakyat Maluku tidak ingin 
terus menderita di bawah keserakahan dan kekejaman Belanda. Oleh karena 
itu, mereka perlu mengadakan perlawanan untuk menentang kebijakan 
Belanda. Thomas Matulessy yang kemudian terkenal dengan gelarnya 
Pattimura dipercaya sebagai pemimpin. Pengalamannya bekerja di dinas 
angkatan perang Inggris diyakini dapat menguntungkan rakyat Maluku. 
Gerakan perlawanan dimulai dengan menghancurkan kapal-kapal Belanda 
di pelabuhan. Para pejuang Maluku kemudian menuju Benteng Duurstede. 
Ternyata di benteng itu sudah berkumpul pasukan Belanda. Dengan demikian 
terjadilah pertempuran antara para pejuang Maluku melawan pasukan 
Belanda. Dalam perang itu pasukan Belanda dipimpin oleh Residen van 
den Berg. Sementara dari pihak para pejuang dipimpin oleh para tokoh lain 
seperti Christina Martha Tiahahu, Thomas Pattiwwail, dan Lucas Latumahina. 
Para pejuang Maluku dengan sekuat tenaga mengepung Benteng 
Duurstede dan tidak begitu menghiraukan tembakan-tembakan meriam 
yang dimuntahkan oleh serdadu Belanda dari dalam benteng. Sementara 
itu senjata para pejuang Maluku masih sederhana seperti pedang dan keris. 
Dalam waktu yang hampir bersamaan para pejuang Maluku satu persatu 
dapat memanjat dan masuk ke dalam benteng. Residen dapat dibunuh dan 
Benteng Duurstede dapat dikuasai oleh para pejuang Maluku. Jatuhnya 
Benteng Duurstede telah menambah semangat juang para pemuda Maluku 
untuk terus berjuang melawan Belanda.
Belanda kemudian mendatangkan bantuan dari Ambon. Datanglah 300 
prajurit yang dipimpin oleh Mayor Beetjes. Pasukan ini dikawal oleh dua kapal 
perang yakni Kapal Nassau dan Evertsen. Namun bantuan ini dapat digagalkan 
oleh pasukan Pattimura, bahkan Mayor Beetjes terbunuh. Kemenangan ini 
semakin menggelorakan perjuangan para pejuang di berbagai tempat seperti 
di Seram, Hitu, Haruku, dan Larike. Selanjutnya Pattimura memusatkan 
perhatian untuk menyerang Benteng Zeelandia di Pulau Haruku. Melihat 
gelagat itu maka pasukan Belanda memperkuat pertahanan benteng di 
bawah komandannya Groot. Patroli juga terus diperketat. Oleh karena itu, 
Pattimura gagal menembus Benteng Zeelandia. 
Upaya perundingan mulai ditawarkan, tetapi tidak ada kesepakatan. 
Akhirnya Belanda mengerahkan semua kekuatannya termasuk bantuan dari 
Batavia untuk merebut kembali Benteng Duurstede. Bulan Agustus 1817 
Saparua diblokade, Benteng Duurstede dikepung disertai tembakan meriam
yang bertubi-tubi. Satu persatu perlawanan 
di luar benteng dapat dipatahkan. Daerah di 
kepulauan itu jatuh kembali ke tangan Belanda. 
Dalam kondisi yang demikian itu Pattimura 
memerintahkan pasukannya untuk meloloskan 
diri dan meninggalkan tempat pertahanannya. 
Dengan demikian, Benteng Duurstede berhasil 
dikuasai Belanda kembali. Pattimura dan 
pengikutnya terus melawan dengan gerilya. 
Tetapi pada bulan November beberapa 
pembantu Pattimura tertangkap seperti 
Kapitan Paulus Tiahahu (ayah Christina Martha 
Tiahahu) yang kemudian dijatuhi hukuman 
mati. Mendengar peristiwa ini Christina Martha 
Tiahahu marah dan segera pergi ke hutan untuk 
bergerilya. 
Belanda tidak akan puas sebelum dapat menangkap Pattimura. Bahkan, 
Belanda mengumumkan kepada siapa saja yang dapat menangkap Pattimura 
akan diberi hadiah 1.000 gulden. Setelah enam bulan memimpin perlawanan, 
akhirnya Pattimura tertangkap. Pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura 
dihukum gantung di alun-alun Kota Ambon. Christina Martha Tiahahu yang 
berusaha melanjutkan perang gerilya akhirnya juga tertangkap. Ia tidak 
dihukum mati tetapi bersama 39 orang lainnya dibuang ke Jawa sebagai 
pekerja rodi. Dikisahkan bahwa di dalam kapal Christina Martha Tiahahu 
mogok tidak mau makan dan tidak mau buka mulut. Ia jatuh sakit dan 
akhirnya meninggal pada tanggal 2 Januari 1818. Jenazahnya dibuang ke laut 
antara Pulau Buru dan Pulau Tiga. Dengan demikian, berakhirlah perlawanan 
Pattimura.
3. Perang Padri
Perang Padri terjadi di tanah Minangkabau, Sumatera Barat pada tahun 
1821–1837. Perang ini digerakkan oleh para pembaru Islam. Mengapa dan 
bagaimana Perang Padri itu terjadi? 
Perang Padri sebenarnya merupakan perlawanan kaum Padri terhadap 
dominasi pemerintahan Hindia Belanda di Sumatera Barat. Perang ini 
bermula adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum Adat dalam 
masalah praktik keagamaan. Pertentangan itu dimanfaatkan sebagai pintu 
masuk bagi Belanda untuk campur tangan dalam urusan Minangkabau. Perlu 
dipahami sekalipun masyarakat Minangkabau sudah memeluk agama Islam, 
tetapi sebagian masyarakat masih memegang teguh adat dan kebiasaan 
yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Pada akhir abad ke-18 telah datang seorang ulama dari kampung Kota 
Tua di daratan Agam. Karena berasal dari kampung Kota Tua maka ulama 
itu terkenal dengan nama Tuanku Kota Tua. Tuanku Kota Tua ini mulai 
mengajarkan pembaruan-pembaruan dan praktik agama Islam. Dengan 
melihat realitas kebiasaan masyarakat, Tuanku Kota Tua menyatakan bahwa 
masyarakat Minangkabau sudah begitu jauh menyimpang dari ajaran Islam. 
Ia menunjukkan bagaimana seharusnya masyarakat itu hidup sesuai dengan 
Alquran dan Sunah Nabi. Di antara murid dari Tuanku Kota Tua ini yang 
bernama Tuanku Nan Renceh. Kemudian pada tahun 1803 datanglah 
tiga orang ulama yang baru saja pulang haji dari tanah suci Mekah, yakni: 
Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piabang. Mereka melanjutkan gerakan 
pembaruan atau pemurnian pelaksanaan ajaran Islam seperti yang pernah 
dilakukan oleh Tuanku Kota Tua. Orang-orang yang melakukan gerakan 
pemurnian ajaran Islam di Minangkabau itu sering dikenal dengan kaum 
Padri.
Mengenai sebutan Padri ini sesuai dengan sebutan orang Padir di Aceh. Padir 
itu tempat persinggahan para jamaah haji. Orang Belanda menyebutnya 
dengan Padri yang dapat dikaitkan dengan kata padre dari bahasa Portugis 
untuk menunjuk orang-orang Islam yang berpakaian putih. Sementara kaum 
Adat di Sumatera Barat memakai pakaian hitam.
NAMA PADRI 
“Ada beberapa pendapat mengenai istilah padri. Ada yang mengatakan, 
padri berasal dari kata Portugis, padre yang artinya “bapak”, sebuah 
gelar yang biasa diberikan untuk golongan pendeta. Ada pula yang 
mengatakan berasal dari kata Pedir, sebuah kota Bandar di pesisir utara 
Aceh, tempat transit dan pemberangkatan kaum muslimin yang akan 
melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Di Minangkabau pada awal abad 
XIX istilah padri belum dikenal. Waktu itu hanya popular sebutan 
golongan hitam dan golongan putih. Penamaan ini didasarkan pada 
pakaian yang mereka kenakan. Golongan putih yang pakaiannya serba 
putih yaitu para pembaru, kemudian oleh penulis-penulis sejarah 
disebut sebagai kaum Padri/Padri. Belum diketahui mengapa golongan 
putih ini mereka sebut sebagai kaum Padri, sedangkan untuk golongan 
hitam merupakan kelompok yang memakai pakaian serba hitam. 
Kelompok ini merupakan kelompok yang mempertahankan paham yang 
terlebih dahulu sudah berkembang lama di Minangkabau, sehingga juga 
dikenal sebagai golongan adat”(Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed),
2012: 415)
Dalam melaksanakan pemurnian praktik ajaran Islam, kaum Padri menentang 
praktik berbagai adat dan kebiasaan kaum Adat yang memang dilarang 
dalam ajaran Islam seperti berjudi, menyabung ayam, dan minum-minuman 
keras. Kaum Adat yang mendapat dukungan dari beberapa pejabat penting 
kerajaan menolak gerakan kaum Padri. Terjadilah pertentangan antara kedua 
belah pihak. Timbullah bentrokan antara keduanya. 
Pada tahun 1821 pemerintah Hindia Belanda mengangkat James Du Puy 
sebagai residen di Minangkabau. Pada tanggal 10 Februari 1821, Du Puy 
mengadakan perjanjian persahabatan dengan tokoh Adat, Tuanku Suruaso 
dan 14 Penghulu Minangkabau. Berdasarkan perjanjian ini maka beberapa 
daerah kemudian diduduki oleh Belanda. Pada tanggal 18 Februari 1821, 
Belanda yang telah diberi kemudahan oleh kaum Adat berhasil menduduki 
Simawang. Di daerah ini telah ditempatkan dua meriam dan 100 orang 
serdadu Belanda. Tindakan Belanda ini ditentang keras oleh kaum Padri pada 
tahun 1821 itu meletuslah Perang Padri.
Perang Padri di Sumatera Barat ini dapat dibagi dalam tiga fase. 
a) Fase Pertama (1821-1825) 
Pada fase pertama, kaum Padri menyerang pos-pos dan pencegatan 
terhadap patroli-patroli Belanda. Bulan September 1821 pos-pos Simawang 
menjadi sasaran serbuan kaum Padri. Begitu pula dengan pos-pos lain 
seperti Soli Air, dan Sipinang. Kemudian Tuanku Pasaman menggerakkan 
sekitar 20.000 sampai 25.000 pasukan untuk mengadakan serangan di 
sekitar hutan di sebelah timur gunung. Pasukan Padri menggunakan senjata￾senjata tradisional, seperti tombak dan parang. Sedangkan Belanda dengan 
kekuatan 200 orang serdadu Eropa ditambah sekitar 10.000 pasukan orang 
pribumi termasuk juga kaum Adat. Belanda menggunakan senjata-senjata 
lebih modern seperti meriam dan senjata api lainnya. Pertempuran ini 
memakan banyak korban. Di pihak Tuanku Pasaman kehilangan 350 orang 
prajurit, termasuk putra Tuanku Pasaman. Begitu juga Belanda tidak sedikit 
kehilangan pasukannya. Tuanku Pasaman dengan sisa pasukannya kemudian 
mengundurkan diri ke Lintau. Sementara itu, pasukan Belanda setelah berhasil 
menguasai seluruh lembah Tanah Datar, kemudian mendirikan benteng di 
Batusangkar yang kelak terkenal dengan sebutan Fort Van der Capellen. 
Perlawanan kaum Padri muncul di berbagai tempat. Tuanku Pasaman 
memusatkan perjuangannya di Lintau dan Tuanku Nan Renceh memimpin 
pasukannya di sekitar Baso. Pasukan Tuanku Nan Renceh harus menghadapi 
pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Goffinet. Periode tahun 1821 
- 1825, serangan-serangan kaum Padri memang meluas di seluruh tanah 
Minangkabau. Bulan September 1822 kaum Padri berhasil mengusir Belanda 
dari Sungai Puar, Guguk Sigandang, dan Tajong Alam. Menyusul kemudian 
di Bonio kaum Padri harus menghadapi menghadapi pasukan PH. Marinus. 
Pada tahun 1823 pasukan Padri berhasil mengalahkan tentara Belanda di 
Kapau. Kesatuan kaum Padri yang terkenal berpusat di Bonjol. Pemimpin 
mereka yaitu Peto Syarif. Peto Syarif inilah yang dalam sejarah Perang Padri 
dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol. Ia sangat gigih memimpin kaum Padri 
untuk melawan kekejaman dan keserakahan Belanda di tanah Minangkabau.
Belanda merasa kewalahan dalam melawan kaum Padri, sehingga mengambil 
strategi damai. Oleh karena itu, pada tanggal 26 Januari 1824 tercapailah 
perundingan damai antara Belanda dengan kaum Padri di wilayah Alahan 
Panjang. Perundingan ini dikenal dengan Perjanjian Masang. Tuanku Imam 
Bonjol tidak keberatan dengan adanya perjanjian damai tersebut. Akan 
tetapi, Belanda justru memanfaatkan perdamaian tersebut untuk menduduki 
daerah-daerah lain. Kemudian Belanda juga memaksa Tuanku Mensiangan 
dari Kota Lawas untuk berunding, tetapi ditolak. Tuanku Mensiangan 
justru melakukan perlawanan. Tetapi Belanda lebih kuat bahkan pusat 
pertahanannya kemudian dibakar dan Tuanku Mensiangan ditangkap. 
Tindakan Belanda itu telah menimbulkan amarah kaum Padri Alahan Panjang 
dan menyatakan pembatalan kesepakatan dalam Perjanjian Masang. Tuanku 
Imam Bonjol menggelorakan kembali semangat untuk melawan Belanda. 
Dengan demikian, perlawanan kaum Padri masih terus berlangsung di 
berbagai tempat.
b) Fase Kedua (1825-1830) 
Coba ingat-ingat angka tahun 1825-1830 itu. Kira-kira terkait dengan 
peristiwa apa pada angka tahun tersebut? Peristiwa itu jelas di luar Sumatera 
Barat. Tahun itu merupakan tahun yang sangat penting, sehingga bagi 
Belanda digunakan sebagai bagian strategi dalam menghadapi perlawanan 
kaum Padri di Sumatera Barat. Bagi Belanda tahun itu digunakan untuk sedikit 
mengendorkan ofensifnya dalam Perang Padri. Upaya damai diusahakan 
sekuat tenaga. Oleh karena itu, Kolonel De Stuers yang merupakan penguasa 
sipil dan militer di Sumatera Barat berusaha mengadakan kontak dengan 
tokoh-tokoh kaum Padri untuk menghentikan perang dan sebaliknya perlu 
mengadakan perjanjian damai. Kaum Padri tidak begitu menghiraukan 
ajakan damai dari Belanda, karena Belanda sudah biasa bersikap licik. Belanda 
kemudian minta bantuan kepada seorang saudagar keturunan Arab yang 
bernama Sulaiman Aljufri untuk mendekati dan membujuk para pemuka 
kaum Padri agar dapat diajak berdamai. Sulaiman Aljufri menemui Tuanku 
Imam Bonjol agar bersedia berdamai dengan Belanda. Tuanku Imam Bonjol 
menolak. Kemudian menemui Tuanku Lintau ternyata merespon ajakan 
damai itu. Hal ini juga didukung Tuanku Nan Renceh. Itulah sebabnya pada 
tanggal 15 November 1825 ditandatangani Perjanjian Padang. Isi Perjanjian 
Padang itu antara lain sebagai berikut: 
1) Belanda mengakui kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar, 
Saruaso, Padang Guguk Sigandang, Agam, Bukittinggi dan menjamin 
pelaksanaan sistem agama di daerahnya.
2) Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang.
3) kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang 
sedang melakukan perjalanan.
4) Secara bertahap Belanda akan melarang praktik adu ayam.
c) Fase ketiga (1830 – 1837/1838) 
Nah, tentu kamu sudah menemukan jawaban peristiwa tahun 1825-1830 di 
Jawa. Peristiwa itu yaitu Perang Diponegoro. Setelah Perang Diponegoro 
berakhir pada tahun 1830, semua kekuatan Belanda dikonsentrasikan ke 
Sumatera Barat untuk menghadapi perlawanan kaum Padri. Dimulailah 
Perang Padri fase ketiga. 
Pada pertempuran fase ketiga ini kaum Padri mulai mendapatkan simpati 
dari kaum Adat. Dengan demikian, kekuatan para pejuang di Sumatera Barat 
meningkat. Orang-orang Padri yang mendapatkan dukungan kaum Adat itu 
bergerak ke pos-pos tentara Belanda. Kaum Padri dari Bukit Kamang berhasil 
memutuskan sarana komunikasi antara benteng Belanda di Tanjung Alam 
dan Bukittinggi. 

Related Posts: