Rabu, 12 Juli 2023
Home »
sejarah negara kita 4
» sejarah negara kita 4
sejarah negara kita 4
By video bobo Juli 12, 2023
yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916).
Ada tiga program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan trasmigrasi. Adanya
Politik Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan
politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol
baru yaitu “kemajuan”. Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupan pun
mulai mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan
dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Di Batavia lambang kemajuan
ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa
itu. Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memberikan perhatiannya
pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi.
Di samping itu, pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai tenaga kerja
murah di perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera.
Hal yang sangat penting untuk mendukung simbol kemajuan itu maka dalam
era Politik Etis ini dikembangkan program pendidikan. Pendidikan ini ternyata
tidak hanya untuk orang-orang Belanda tetapi juga diperuntukkan kepada
kaum pribumi, tetapi dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Suasana
dan simbol kemajuan melalui program pendidikan ini juga didukung oleh
adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di
Belanda, yang merupakan inspirasi bagi kaum etis pada saat itu. Semangat
era etis yaitu kemajuan menuju modernitas. Perluasan pendidikan gaya
Barat yaitu tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu. Pendidikan itu tidak saja
menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, tetapi juga pada
sektor swasta Belanda.
Dalam bidang pendidikan meskipun
dampaknya sangat kecil kepada
penduduk pribumi, tetapi membawa
dampak pada tumbuhnya sekolahsekolah. Pada tahun 1900, tercatat
sebanyak 169 Eurepese Lagree School
(ELS) di seluruh Hindia Belanda.
Dari sekolah ini murid-murid dapat
melanjutkan pelajaran ke STOVIA
(School tot Opleiding van Indische
Artsen) ke Batavia atau Hoogeree
Burgelijk School (HBS). Di samping itu
juga dikenal sekolah OSVIA (sekolah
calon pegawai) yang berjumlah enam
buah.
Untuk memperluas program pendidikan maka keberadaan sekolah guru
sangat diperlukan. Dikembangkan sekolah guru. Sebenarnya Sekolah Guru
atau Kweekkschool sudah dibuka pada tahun 1852 di Solo. Berkembanglah
pendidikan di Indonesia sejak jenjang pendidikan dasar seperti Hollands
Inlandse School (HIS) kemudian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).
Untuk kelanjutan pendidikannya kemudian dibuka sekolah menengah yang
disebut Algemene Middelbare School (AMS), juga ada sekolah Hogere Burger
School (HBS). Kemudian khusus untuk kaum pribumi disediakan “Sekolah
Kelas Satu” yang murid-muridnya berasal dari anak-anak golongan atas yang
nanti akan menjadi pegawai, dan kemudian rakyat pada umumnya disediakan
“Sekolah Kelas Dua” yang di Jawa dikenal dengan “Sekolah Ongko Loro”.
Bagi para pemuda aktifis banyak yang bersekolah di School tot Opleiding
van Indische Artsen (STOVIA) yang berpusat di Batavia. Sekolah ini sering
disebut dengan “Sekolah Dokter Jawa” Dari sekolah ini lahir beberapa tokoh
pergerakan kebangsaan.
Memang harus diakui, meskipun penduduk pribumi yang dapat bersekolah
sangat sedikit, namun keberadaan sekolah itu telah menumbuhkan kesadaran
di kalangan pribumi akan pentingnya pendidikan. Hal ini mempercepat
proses modernisasi dan munculnya kaum terpelajar yang akan membawa
pada kesadaran nasionalisme.
Munculnya kaum terpelajar itu
mendorong munculnya surat kabar,
seperti, Pewarta Priyayi yang dikelola
oleh R.M Tjokroadikoesoemo. Juga
koran-koran lain, seperti Surat kabar
De Preanger Bode (1885) di Bandung,
Deli Courant (1884) di Sumatera
Timur, Makassarsche Courant (1902)
di Sulawesi, Bromartani (1855) di
Surakarta, Bintang Hindia (1902)
yang dikelola oleh Abdul Rivai,
membawa pencerahan di kalangan
pribumi. Dari berbagai informasi
yang ada di surat kabar inilah lambat
laun kesadaran akan pentingnya
persamaan, kemerdekaan terus
menyebar ke kalangan terpelajar di
seluruh wilayah Hindia Belanda. Berkat informasi yang berkembang inilah
kaum terpelajar terus melakukan dialog dan berdebat tentang masa depan
tanah kelahirannya sehingga kesadaran pentingnya kemerdekaan terus
berkembang dari waktu ke waktu yang puncaknya yaitu adanya kesadaran
untuk menjadi satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yaitu Indonesia
pada 28 Oktober 1928.
Hasrat untuk meraih kemajuan bangsa Indonesia muncul ketika banyak pemuda
telah mengecap bangku sekolah, baik dalam maupun luar negeri. Selain itu,
munculnya surat kabar telah memupuk kesadaran berbangsa dari seluruh lapisan
masyarakat bumiputra. Kesadaran ini makin tampak dengan banyaknya organisasi
kaum muda, yang mengarahkan tujuannya untuk membentuk suatu bangsa dan
negara yang merdeka”
Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), Indonesia Dalam Arus Sejarah VI (2012)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa kaum muda terpelajar mempunyai
peranan yang cukup penting bagi kesadaran untuk mencapai kemajuan
dalam kehidupan berbangsa. Dalam catatan sejarah dapat diingat bagaimana
peran para pemuda dan kaum terpelajar. Hal ini tampak jelas terutama setelah
dilaksanakan Politik Etis di Indonesia. Dibukanya program edukasi telah
membuka jalan lahirnya kaum muda terpelajar yang kemudian menggerakkan
kesadaran kebangsaan sehingga melahirkan gerakan kebangkitan nasional
di Indonesia. Puncaknya yaitu terjadinya peristiwa Sumpah Pemuda yang
telah meneguhkan tiga pilar jati diri keindonesiaan: tanah air, bangsa, dan
bahasa Indonesia.
Setelah berhasil menggelorakan Sumpah Pemuda, hampir setiap momen
perubahan dan pembaharuan di Indonesia tidak pernah lepas dari peran
pemuda. Sebut saja peristiwa Proklamasi Indonesia, penumpasan G30S/PKI
dan lahirnya Orde Baru serta gerakan reformasi tahun 1998, kaum muda
tampil sebagai penggerak dan pelopor. Peranan mereka dapat menentukan
kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tetapi sayang dalam kehidupan dewasa ini nilai-nilai kepeloporan kaum
muda terpelajar itu tidak sepenuhnya dapat dipahami dan diteladani oleh
para remaja, pemuda dan juga kaum terpelajar, kecuali sebagian kecil.
Marilah kita perhatikan gejala dan kehidupan yang nampak pada remaja dan
masyarakat kita di berbagai daerah dewasa ini. Munculnya perilaku anarkis
di kalangan remaja, perkelahian antarpelajar, penyalahgunaan narkoba dan
rapuhnya rasa nasionalisme. Tidak sedikit di antara remaja kita yang lebih
gandrung dengan budaya dan produk luar negeri ketimbang mencintai
budaya dan produk negeri sendiri, juga munculnya rasa etnosentrisme
hampir dapat kita jumpai di berbagai daerah. Penggunaan Bahasa Indonesia
yang mulai rusak-rusakan. Penolakan terhadap seorang pemimpin karena
tidak berasal dari suku bangsa yang sama, atau karena perbedaan keyakinan,
masih merupakan hal yang sering kali dapat kita lihat dari berbagai media,
baik cetak maupun elektronik. Hal ini sebagai indikator rendahnya semangat
nasionalisme dan jati diri keindonesiaan di lingkungan masyarakat kita.
Tetapi di tengah-tengah merosotnya rasa nasionalisme dan jati diri bangsa
ini ada seorang bocah berumur 8 tahun yang sudah mahir bermain sepak
bola yang bernama Tristan Alif Naufal. Kini ia tengah mendapat undangan
untuk berlatih sepak bola di klub Ajax Amsterdam, Belanda. Ia bersama
kedua orang tuanya mendapat kesempatan menjadi warga negara Belanda
dan mendapat kesempatan menjadi pemain sepak bola di Tim Oranye yang
memang sangat menjanjikan. “Aku mau bela Tim Nasional Indonesia. Aku
tidak mau jadi warga negara Belanda, “aku mau tetap jadi orang Indonesia”,
ujar Alif”. (Tribun Kaltim, 3 November 2013). Sungguh luar biasa pendirian
anak berusia 8 tahun itu. Sudah barang tentu ilustrasi itu menginspirasi
dan menggerakkan hati serta kesadaran kita untuk meneguhkan kembali
semangat nasionalisme kita.
Sehubungan dengan problem kehidupan remaja dan masyarakat yang mulai
melemah semangat keindonesiaannya dan inspirasi dari anak berusia 8 tahun
itu, penting untuk merevitalisasi nilai-nilai kepeloporan para pemuda yang
telah menggelorakan nasionalisme serta prinsip persatuan dan kesatuan
bangsa. Melalui kegiatan belajar kemudian memahami dan menghayati materi
bab tentang Sumpah Pemuda dan Jati diri Keindonesiaan ini diharapkan dan
dapat menumbuhkan semangat nasionalisme dan mengaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
1. Politik Etis: Pintu Pembuka Pendidikan Modern
Memasuki abad ke-20, kebijakan pemerintah kolonial Belanda mendorong
untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. Kebijakan itu diikuti dengan
penaklukkan terhadap wilayah-wilayah yang belum dikuasai, jika perlu
dengan pendekatan militer. Daerah-daerah kolonial yang masih terpisah
disatukan dalam penerapan adminstrasi baru yang berpusat di Batavia, yang
disebut Pax Neerlandica. Pemerintah kolonial pun melakukan perjanjian
perjanjian. Selanjutnya sistem administrasi tradisional berubah ke sistem
administrasi modern. Suatu sistem yang mana pemerintahan mengambil
alih sistem pemimpin pribumi ke sistem birokrasi kolonial. Kebijakan ini
ditetapkan untuk mengambil posisi penting dari pemimpin daerah ke tangan
Belanda. Sistem itu memisahkan pemimpin pribumi dari akar hubungan
tradisonal dengan rakyatnya, mereka kemudian dijadikan pegawai dalam
birokrasi kolonial.
Serangkaian tindakan penjajahan Belanda tersebut telah menimbulkan
banyak perlawanan dari pihak bangsa Indonesia. Strategi perlawanan yang
ditempuh waktu umumnya dengan perlawanan bersenjata. Sayangnya
perlawanan dalam menghadapi kekuatan kolonialisme dan imperialisme
itu masih bersifat lingkup daerah atau wilayah tertentu. Riau melancarkan
perlawanan sendiri, Banten perang sendiri, Mataram angkat senjata sendiri,
Makasar begitu, Tondano juga begitu dan begitu seterusnya perlawanan
Diponegoro berdiri sendiri, Padri sendiri, Aceh sendiri. Bahkan dari masingmasing daerah atau pihak Indonesia ini bisa diadu domba. Orang-orang
Madura diadu domba dengan Mataram, Aru Palaka dari Bone diadu dengan
Hasanuddin dari Makassar, pasukan Ali Basya Sentot Prawirodirjo diadu
dengan pasukan Padri. Sudah barang tentu ini sangat tidak menguntungkan
dan sangat melemahkan para pejuang Indonesia. Pengalaman ini
menunjukkan pentingnya cara-cara yang lebih terorganisasi dan didasarkan
pada persatuan dan kesatuan.
Sementara itu, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi yang
berbasis pada sistem kapitalisme Barat, melalui komersialisasi, sistem moneter,
dan komoditas barang. Sistem itu didukung dengan kebijakan pajak tanah,
sistem perkebunan, perbankan, perindustrian, perdagangan, dan pelayaran.
Dampak dari itu semua, kehidupan rakyat Hindia Belanda mengalami
penurunan kesejahteraan. Kebijakan itu mendapat kritik dari politikus
dan intelektual di Hindia Belanda, yaitu C.Th. Van Deventer. Ia membuat
tulisan yang berjudul “Een Eereschlud’ (utang kehormatan), yang dimuat di
majalah De Gids (1899). Dalam tulisannya Van Deventer mengatakan bahwa
pemerintah Hindia Belanda telah mengeksploitasi wilayah jajahannya untuk
membangun negeri mereka dan memperoleh keuntungan yang besar. Oleh
karena itu, menurutnya sudah sewajarnya Belanda membayar utang budi itu
dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara jajahan.
Kritikan itu mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Beberapa kelompok
yang sependapat dengan Van Deventer mengungkapkan perlunya suatu
kewajiban moral bagi Belanda untuk memberikan balas budi. Keuntungan
yang didapat dari hasil ekploitasi di tanah Hindia harus dikembalikan. Untuk
itulah perlu dilakukan perbaikan kesejahteraan penduduk melalui berbagai
bidang kehidupan, pendidikan, dan besarnya partisipasi masyarakat dalam
mengurus pemerintahan. Kritik-kritik itu mendapat perhatian serius dari
pemerintah Belanda. Ratu Wilhelmina kemudian mengeluarkan suatu
kebijakan baru bagi masyarakat Hindia Belanda yaitu meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Kebijakan baru itu yaitu Politik Etis.
Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era Politik
Etis, yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang
kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916). Ada tiga
program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Adanya Politik
Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik
negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru
yaitu “kemajuan”. Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupanpun mulai
mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan
dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Di Batavia lambang kemajuan
ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa
itu. Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memberikan perhatiannya
pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi.
Di samping itu, pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai tenaga kerja
murah di perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera.
Zaman kemajuan ditandai dengan adanya surat-surat R.A. Kartini kepada
sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan inspirasi
bagi kaum etis pada saat itu. Semangat era etis yaitu kemajuan menuju
modernitas. Perluasan pendidikan gaya Barat sebagai model pendidikan
modern merupakan tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu. Pendidikan itu
hanya saja menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, tetapi
juga pada sektor swasta Belanda.
Adanya pendidikan gaya Barat itu
membuka peluang bagi mobilitas
sosial masyarakat di tanah Hindia/
Indonesia. Pengaruh pendidikan Barat
itu pula yang kemudian memunculkan
sekelompok kecil intelektual bumiputra
yang memunculkan kesadaran, bahwa
rakyat bumiputra harus mampu
bersaing dengan bangsa-bangsa lain
untuk mencapai kemajuan. Golongan
intelektual bumiputra itu disebut
“priyayi baru” yang sebagian besar
yaitu guru dan jurnalis di kota-kota.
Pendidikan dan pers itu pula menjadi
sarana untuk menyalurkan ide-ide dan
pemikiran mereka yang ingin membawa
kemajuan, dan pembebasan bangsa
dari segala bentuk penindasan dari
kolonialisme Belanda. Mereka tidak memandang Jawa, Sunda, Minangkabau,
Ambon, atau apa pun karena mereka yaitu bumiputra.
Pengalaman yang mereka peroleh di sekolah dan dalam kehidupan setelah
lulus sangatlah berbeda dengan generasi orang tua mereka. Para kaum muda
terpelajar inilah yang kemudian membentuk kesadaran “nasional” sebagai
bumiputra di Hindia, dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis
waktu yang tidak terhingga menuju modernitas, suatu dunia yang memberi
makna baru bagi kaum pelajar terdidik saat itu. Mereka tentunya tidak
mengenal satu sama lain di Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Yogyajakarta,
Surabaya, dan seluruh wilayah Hindia. Mereka saling berbagi pengalaman,
gagasan, dan asumsi tentang dunia, Hindia, dan zaman mereka. Pemerintah
Kolonial Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang sejumlah
tokoh Indonesia bergabung di dalamnya. Mereka menggerakkan wacana
perubahan di lembaga tersebut.
2. Pers Membawa Kemajuan
Pada awal abad ke-20, para priyayi baru menuangkan gagasannya melalui
pers (media cetak) mengenai isu-isu perubahan. Isu-isu yang dipopulerkan,
yaitu terkait dengan peningkatan status sosial rakyat bumiputra dan
peningkatan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kata
kemajuan menjadi populer pada saat itu. Kemajuan saat itu diartikan dengan
pendidikan, pencerahan, peradaban, modernisasi, dan kesuksesan hidup.
Pers merupakan sarana berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, kemajuan
dan pergerakan nasional. Pada dekade itu ditandai dengan jumlah penerbitan
surat kabar berbahasa Melayu yang mengalami peningkatan. Orang-orang
pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu yaitu orang Indo seperti H.C.O.
Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger dari Bintang Baru, dan
G. Francis dari Pemberitaan Betawi.
Pada abad itu penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa
itulah yang menjadikan pertumbuhan surat kabar berkembang pesat. Dalam
perkembangannya kaum bumiputra juga mengambil bagian. Mereka
pada mulanya magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, kemudian peran
mereka meningkat sebagai redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa.
Bermula dari itulah para bumiputra itu mendirikan sendiri penerbitan surat
kabar mereka. Penerbit bumiputra pertama di Batavia yang muncul pada
pertengahan abad ke-20 yaitu R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan,
dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar
Perniagaan, dan Pewarta Prijaji.
Di Surakarta R.Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang diterbitkan
oleh Albert Rusche & Co., di Yogyakarta Dr. Wahidin Sudirohusodo sebagai
redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodhoemillah diterbitkan oleh Firma H.
Buning.
Bermunculannya media cetak itu segera diikuti dengan munculnya sejumlah
jurnalis bumiputra lainnya. Mereka yaitu R. Tirtodanudja dan R. Mohammad
Jusuf. Keduanya yaitu redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij
& Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoer yang diterbitkan di Malang oleh
Kwee Khaij Khee. Di Bandung Abdul Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia
yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co. Para jurnalis bumiputra itulah yang
memberikan wawasan dan ”embrio kebangsaan” melalui artikel, komentarkomentar mereka dalam surat pembaca, dan mengungkapkan solidaritas
diantara mereka dan para pembaca yang sebagian besar yaitu kaum muda
terpelajar. Misalnya Pewarta Prijaji yang disunting oleh R.M.T. Kusumo Utoyo
seorang Bupati Ngawi, yang menyerukan persatuan di kalangan priyayi.
Mereka juga mendapatkan dukungan dari simpatisan dan pelanggan dengan
15 cabang di Jawa, Madura, dan Sumatera (lebih lanjut baca Takashi Shiraishi
dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926).
Sementara itu pergerakan kebudayaan “cetak” mulai masuk di beberapa
kota kolonial lain, seperti Surabaya, Padang, dan Semarang. Kebudayaan
cetak mempermudah kaum terdidik untuk memperoleh informasi. Pada
tahun 1901, sebuah majalah bulanan Insulinde diterbitkan atas kerja sama
para terpelajar di Kota Padang dengan guru-guru Belanda di sekolah raja
(Kweekschool) Bukittinggi, terutama van Ophuysen, ahli bahasa Melayu. Ketua
redaksi majalah itu yaitu Dja Endar Muda, seorang wartawan keturunan
Tapanuli yang juga telah menerbitkan surat kabar Pertja Barat dan majalah
bulanan berbahasa Batak, Tapian Nauli. Majalah Insulinde itu disebarkan ke
seluruh Sumatera dan Jawa. Majalah itulah yang pertama memperkenalkan
slogan “kemajuan” dan “zaman maju”. Satu diantara artikel menarik yang
dimuat dalam Insulinde yaitu kisah kemenangan Jepang, negara “kecil”
yang menang mengalahkan Tiongkok “yang besar”. Kemenangan Jepang itu
disebabkan keberhasilannya dalam memasuki “dunia maju”. Ulasan tentang
perkembangan yang terjadi di “dunia maju” secara terbuka mengajak para
pembaca untuk ikut serta dalam zaman “kemajuan”. Majalah itu tidak saja
memuat artikel tentang bangsa Hindia Belanda, akan tetapi juga memuat
tentang berita Asia dan Eropa.
Sementara itu, tokoh muda dr.
Abdul Rivai yang baru datang dari
Belanda menganjurkan pada tokoh
muda di Hindia untuk membentuk
sebuah organisasi. Dalam tulisantulisannya pada surat kabar Bintang
Hindia, ia selalu memuat tentang
“kemajuan” dan “dunia maju”.
Rivai menggolongkan masyarakat
menjadi tiga golongan, yaitu kaum
kolot, kaum kuno, dan kaum
muda. Menurut Rivai, kaum muda
yaitu orang yang senantiasa
ingin mendapatkan harga diri
melalui pengetahuan dan ilmu.
Untuk mencapai kemajuan dan
terwujudnya dunia maju, Rivai
menganjurkan agar ada organisasi
bernama Persatuan Kaum Muda
didirikan dengan cabang di semua
kota-kota penting di Hindia.
Seorang pensiunan “dokter Jawa”
yaitu Wahidin Soedirohoesodo
tertarik dengan tulisan Rivai. Saat itu ia sebagai editor majalah berbahasa
Jawa, Retnodhumilah, dalam tulisan itu disarankan agar kaum lanjut usia
dan kaum muda membentuk organisasi pendidikan yang bertujuan untuk
memajukan masyarakat. Gagasan Wahidin akhirnya terwujud ketika para
pelajar “Stovia”, Sekolah dokter Jawa, mendirikan suatu organisasi bernama
Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908 (untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam
Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012).
Beberapa surat kabar yang kemudian membawa kemajuan bagi kalangan
pribumi yaitu Medan Prijaji ( 1909-1917) dan juga terbitan wanita pertama
yang terbit berkala yaitu Poetri Hindia (1908-1913). Seorang editornya yang
dikenal yaitu R.M. Tirtoadisuryo memuat tentang tulisannya, bahwa untuk
memperbaiki status dagang “pedagang bangsa Islam”, perlu ada organisasi
yang anggota-anggotanya terdiri atas para pedagang sehingga “orang
kecil tidak bisa dikalahkan karena mereka bersatu”. Ia kemudian dikenal
sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamijah atau lebih dikenal dengan Sarekat
Dagang Islam (SDI). Pada perkembangannya SDI mengubah dirinya menjadi
Sarekat Islam (SI) dengan pimpinan Haji Samanhudi. Begitulah semangat
nasionalisme tumbuh dan dibangun melalui tulisan di media cetak. Begitu
pula di tanah Sumatera, gagasan untuk melawan sistem pemerintahan
kolonial ditunjukkan melalui surat kabar Oetoesan Melajoe (1913). Juga
untuk kemajuan kaum perempuan diterbitkan majalah Soenting Melajoe,
yang berisi tentang panggilan perempuan untuk memasuki dunia maju tanpa
meninggalkan peranannya sebagai sendi kehidupan keluarga Minangkabau.
Sementara itu, anak-anak muda berpendidikan Barat di Padang menerbitkan
majalah perempuan Soeara Perempuan (1918), dengan semboyannya
Vrijheid (kemerdekaan) bagi anak perempuan untuk ikut dalam kemajuan
tanpa hambatan adat yang mengekang.
Wacana kemajuan terus merebak melalui pers. Pers bumiputra juga
mempunyai fungsi untuk memobilisasi pergerakan nasional pada saat itu.
Harian Sinar Djawa, memuat tentang perlunya rakyat kecil untuk terus
menuntut ilmu setinggi mungkin. Surat kabar tersebut memuat dua hal
penting, yaitu tentang “bangsawan usul” dan “bangsawan pikiran”.
Bangsawan usul yaitu mereka yang mempunyai keturunan dari keluarga
raja-raja dengan gelar bendara, raden mas, raden, raden ajeng, raden ngabei,
raden ayu, dan lain-lain. Bangsawan pikiran yaitu mereka yang mempunyai
gelar meester, dokter, dan sebagainya, yang diperoleh melalui pendidikan.
Surat kabar yang paling mendapat perhatian pemerintah kolonial saat itu
yaitu De Express. Surat kabar itu memuat berita-berita propaganda ideide radikal dan kritis terhadap sistem pemerintahan kolonial. Puncaknya saat
Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan
Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid (Panitia
untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda dari Perancis), yang
kemudian disebut dengan Komite Boemipoetera (1913). Tujuan panitia
itu untuk mengumpulkan dana dari rakyat untuk mendukung perayaan
kemerdekaan Belanda. Di balik itu tujuan Komite Bumiputra yaitu
mengkritik tindakan pemerintah kolonial yang merayakan kemerdekaannya
di tanah jajahan dengan mencari dana dukungan dari rakyat.
Kritik tajam kemudian dilakukan oleh Suwardi Surjaningrat dengan menulis di
brosur yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (“Seandainya Saya menjadi
Seorang Belanda”). Tulisan ini berisi kritikan yang sangat tajam kepada Belanda
yang tidak tahu malu karena minta dana kepada rakyat yang dijajah untuk
perayaan kemerdekaan negara yang menjajah. Pemerintah Kolonial Belanda
menilai tulisan itu dapat menghasut rakyat untuk melawan pemerintah.
Pada 30 Juli 1913, polisi Belanda menangkap Cipto Mangunkusumo dan
Suwardi Suryaningrat. Kemudian menyusul Abdul Moeis sebagai pembaca
naskah itu dalam surat kabar De Preanger Bode. Juga Widnjadisastra sebagai
editor Kaoem Moeda, karena telah mencetak dan menyebarluaskan tulisan
itu. Pemerintah kolonial selanjutkan memutuskan “Tiga Serangkai” itu untuk
ditangkap, yaitu Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, dan Douwes
Dekker, untuk diasingkan ke luar Jawa. Cipto pada awalnya diasingkan ke
Bangka, kemudian ke Belanda.
Seorang jurnalis bumiputera yang gigih memperjuangkan kebebasan pers
yaitu Semaun. Ia mengkritik beberapa kebijakan kolonial melalui Sinar
Hindia. Kritikannya mengenai haatzaai artikelen, yang menurutnya sebagai
sarana untuk membungkam rakyat dan melindungi kekuasaan kolonial dan
kapitalis asing. Atas kritikannya itulah ia diadili dan dijebloskan ke penjara.
Seorang aktivis dan juga jurnalis, Marco Kartodikromo dikenal dengan
kritikannya yang tajam terhadap program Indie Weerbaar dalam bentuk
syair. Kritik tajam Marco itu ditujukan pada Dewan Kota yang sebagian besar
yaitu orang Eropa.
3. Bangkitnya Nasionalisme
Keberadaan kaum muda terpelajar sangat cocok dan responsif terhadap
berkembangnya paham-paham baru, apalagi paham yang ikut menggelorakan
kemerdekaan. Pada saat itu di Eropa sedang tumbuh subur paham-paham
yang terkait dengan kemajuan, kebebasan, kemerdekaan sebagai dampak
dari Revolusi Perancis. Paham-paham itu misalnya liberalisme, nasionalisme,
sosialisme.
Pada awal abad ke-20, paham nasionalisme memasuki wilayah Indonesia.
Perlu diingat bahwa dengan pelaksanaan Politik Etis telah mendorong lahirnya
kaum muda terpelajar. Pemikiran mereka semakin rasional, wawasannya
semakin luas dan terbuka sehingga memperlancar berkembangnya pahampaham baru di Indonesia. Paham baru itu misalnya nasionalisme. Paham
ini telah mendorong lahirnya kesadaran nasional, kesadaran hidup dalam
suatu bangsa, Bangsa Indonesia. Kesadaran ini kemudian mendorong untuk
merubah dan menyempurnakan strategi perjuangan bangsa yang selama ini
telah dilakukan.
Di samping didorong oleh pelaksanaan Politik Etis sebagai pembuka
munculnya kaum terpelajar, peran pers/media cetak, dan paham-paham
baru, secara eksternal, munculnya kesadaran nasional itu juga dipicu oleh
beberapa peristiwa dunia. Misalnya adanya
Gerakan Turki Muda, Revolusi Cina, Gerakan
Nasional di India dan Filipina.
Sekalipun didorong oleh banyak faktor,
kesadaran berbangsa dan kebangkitan
nasional yang muncul di Indonesia tidak lepas
dari bentuk antitesis terhadap penjajahan dan
kekuasaan kolonialisme dan imperialisme
Belanda. Kesadaran bersama muncul bahwa
untuk melakukan perlawanan terhadap
kolonialisme dan imperialisme, bentuk dan
strateginya harus sudah berubah. Bentuk
diplomasi dan melalui berbagai organisasi
pergerakan dipandang lebih tepat. Dipelopori
oleh kaum terpelajar kemudian lahirlah
berbagai organisasi pergerakan nasional.
Organisasi pergerakan itu ada yang bercorak
sosio-kultural, politik, keagamaan tetapi juga yang sekuler, kedaerahan
tetapi ada juga yang nasionalis, ada dari kelompok pemuda tetapi juga ada
kelompok perempuan. Dalam strategi ada yang kooperatif dan ada juga
non-kooperatif.
Pada periode awal pergerakan kebangsaan telah muncul organisasi Budi
Utomo (BU) yang bersifat sosio-kultural. Organisasi ini didirikan antara lain
oleh Sutomo, Gunawan atas rintisan Wahidin Sudirohusodo pada tanggal
20 Mei 1908. Tujuannya untuk mengumpulkan dana guna membantu kaum
bumiputera yang kekurangan dalam menempuh pendidikan.
Organisasi yang berikutnya yaitu Sarekat Islam (SI). Pada mulanya SI ini
lahir karena adanya dorongan dari R.M. Tirtoadisuryo seorang bangsawan,
wartawan, dan pedagang dari Solo. Tahun 1909, ia mendirikan perkumpulan
dagang yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Tahun 1911 K.H.
Samanhudi secara resmi mendirikan SDI. Pada tahun 1912 nama SDI diganti
Sarekat Islam (SI) oleh HOS Cokroaminoto. Pada tahun 1912 itu juga berdiri
organisasi yang bercorak politik yakni Indische Partij (IP). Pendiri organisasi itu
dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai”, yakni: Douwes Dekker, dr. Cipto
Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat atau dikenal dengan Ki Hajar
Dewantoro. Setelah itu IP berkembang pesat di berbagai daerah di Indonesia.
Dari bidang keagamaan misalnya ada Muhammadiyah yang bersifat modern,
yang didirikan Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Yogyakarta.
Organisasi ini, bercirikan organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan.
Tujuannya antara lain memurnikan ajaran Islam sesuai dengan ajaran AlQuran dan Al-Hadis. Tindakannya yaitu amar makruf nahi munkar, atau
mengajak hal yang baik dan mencegah hal yang buruk. Kemudian muncul
organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini didirikan pada tanggal 31
Januari 1926, di Surabaya. Sebagai pendiri organisasi ini yaitu Kyai Haji
Hasyim Ashari dan sejumlah ulama lainnya. Organisasi itu berpegang teguh
pada Ahlusunnah wal jam’ah. Organisasi ini tetap mempertahankan tradisi
yang sudah lama berkembang di kalangan ulama. Tujuan organisasi ini
terkait dengan masalah sosial, ekonomi, dan pendidikan. Kedua oraganisasi
Islam ini sekarang merupakan organisasi massa Islam yang cukup besar di
Indonesia.
Dari kalangan kaum Kristiani juga membentuk organisasi antara lain
didirikannya Perkumpulan Politik Katolik Jawi (PPKJ). Organisasi ini didirikan
I.J. Kasimo pada tanggal 22 Februari 1925. Organisasi ini juga bergerak
di bidang sosial pendidikan. Tujuannya turut berusaha sekuat tenaga bagi
kemajuan Indonesia.
Organisasi lain yang bergerak di
bidang sosial dan pendidikan yang
bersifat nasional misalnya Taman
Siswa. Organisasi ini didirikan pada
tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta
oleh Raden Mas Suwardi Suryaningrat
yang kemudian lebih dikenal nama
Ki Hajar Dewantoro. Tujuannya lebih
diarahkan pada upaya memajukan
pendidikan bagi bumiputera.
Pendidikan yang ditawarkan yaitu
sistem pendidikan nasional yang
berdasarkan kepada kebudayaan asli Indonesia. Asas perjuangan Taman
Siswa yaitu “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri
Handayani”. Dalam waktu singkat Taman Siswa ini sudah berkembang pesat.
Ki Hajar Dewantoro diakui sebagai bapak pendidikan di Indonesia. Ia telah
meletakkan dasar-dasar bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Organisasi pergerakan lainnya yang bersifat nasionalis, misalnya Perhimpunan
Indonesia (PI). Pada mulanya organisasi ini bernama Indische Vereniging
didirikan pada tahun 1908 oleh para pelajar/mahasiswa yang belajar di
negeri Belanda seperti R.M Notosuroto, R. Panji Sostrokartono, dan R. Husein
Djajadiningrat. Kemudian dengan datangnya para aktivis perjuangan dari
Indonesia seperti Moh. Hatta, Iwa Kusumasumantri, J.B. Sitanala, organisasi
ini semakin bernuansa politik kebangsaan. Bahkan nama Indische Vereeniging
diubah menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1922 dan diubah lagi
menjadi “Perhimpunan Indonesia” pada tahun 1925. Organisasi ini cukup
revolusioner dalam memperjuangkan kebebasan Indonesia dari penjajahan
Belanda. Majalahnya sebagai corong perjuangan yang semula bernama
“Hindia Putera” diubah menjadi “Indonesia Merdeka” Asas perjuangannya
antara lain: menolong dirinya sendiri (swadaya), non-kooperasi, persatuan
nasional.
Sekilas Nama Indonesia
Nama Indonesia mulanya dikembangkan oleh Adolf Bastians
(sarjana Jerman) yang diambil dari Logan (sarjana Inggris). Namun
yang dimaksud Bastians dengan konsep Indonesia, yaitu Indonesia
secara etnografi, bukan konsep Indonesia seperti saat ini. selanjutnya
dalam rapat-rapat menjelang kemerdekaan pandangan etnografi
dikalahkan oleh pandangan Ernest Renan tentang nasion yang saat
itu masih digunakan sebagai konsep bangsa dan wilayahnya.
Para pelajar dan mahasiswa Hindia di Belanda kemudian
menggunakan Indonesia sebagai identitas dirinya, tanah airnya, dan
nasionnya, serta posisi politiknya. Karena itulah Organisasi Indische
Vereeniging berganti nama ke Perhimpoenan Indonesia.
Hatta dalam memoarnya menuturkan,” ....Langkah pertama untuk
memperkenalkan Tanah Air kita Indonesia di luar negeri dibuat
dengan berhasil. Nama “INDONESIA” tidak perlu dimajukan dengan
resolusi. Selama aku di sana dan setelah mendengar pidatoku pada
pembukaan Kongres itu, semuanya menyebut Indonesia. orang-orang
Belanda, yang pada pidato permulaan masih menyebut “Hindia
Belanda”, kata itu tidak diulang mereka lagi, dalam perdebatan
maupun dalam pembicaraan lainnya. Dalam tulisan-tulisan mereka
keluar, kepada kawan dan keterangan umum, mereka menyebut
“INDONESIA”. Apalagi setelah bertukar pikiran dengan aku. Dalam
pimpinan agenda Kongres, nama Indonesia telah terekam, tidak
dapat ditukar kembali dengan “Indes Neerlandises”.
PI menjadi organisasi politik yang semakin disegani karena pengaruh
Moh. Hatta. Di bawah pimpinan Hatta, PI berkembang dengan pesat dan
merangsang para mahasiswa yang ada di Belanda untuk terus memikirkan
kemerdekaan tanah airnya. Aktivitas politik PI tidak saja dilakukan di Belanda
dan Indonesia, tetapi juga dilakukan secara internasional. Mahasiswa secara
teratur melakukan diskusi dan melakukan kritik terhadap pemerintah
Belanda. PI juga menuntut kemerdekaan Indonesia dengan secepatnya.
Terilhami dengan perkembangan dan perjuangan PI di Belanda, beberapa
tokoh pemuda seperti Soekarno, Gatot Mangkuprojo dan lain-lain pada
4 Juli 1927 berkumpul untuk mendiskusikan pembentukan organisasi
semacam PI. Setelah melalui serangkaian diskusi dan pertemuan akhirnya,
dalam pertemuan di Bandung, di kediaman Ir. Sukarno, tanggal 4 Juli 1927,
diresmikanlah berdirinya partai baru yang diberi nama Perserikatan Nasional
Indonesia (PNI). Sebagai ketua dipercayakan kepada Ir. Sukarno. Pada
Kongres I di Surabaya, nama Perserikatan Nasional Indonesia diubah menjadi
Partai Nasional Indonesia (PNI). Tujuan perjuangannya untuk kemerdekaan
Indonesia. Asas perjuangannya berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), nonkooperasi dan marhenisme (orientasi kerakyatan).
Organisasi yang bersifat revolusioner yang lain sebelum PNI sebenanrnya
sudah ada, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Organisasi ini sebenarnya
merupakan kelanjutan dari organisasi Indische Sociaal Democratische
Vereniging (ISDV). ISDV berdiri pada 9 Mei 1914 atas prakarsa Sneevliet.
Tokoh-tokohnya antara lain Semaun, Darsono. Dengan memperhatikan
perkembangan politik, setelah melalui serangkaian pembahasan, maka pada
saat kongres yang ke-7 nama ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis di
Hindia, dan dipertegas pada tanggal 23 Mei 1920 menjadi Partai Komunis
Hindia. Kemudian pada bulan Desember 1920 diubah dengan wajah
keindonesiaan yakni menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai ketua
PKI yang pertama yaitu Semaun. Pada tahun 1921 diterapkan disiplin
partai, yakni bagi setiap anggota yang rangkap anggota PKI dan SI, harus
memilih salah satu. PKI berkembang menjadi partai radikal dan sekuler. PKI
juga menjadi partai rakyat yang cepat berkembang.
Masa pergerakan kebangsaan ini juga
berkembang organisasi pemuda dan
tidak ketinggalan organisasi para
perempuan. Organisasi pemuda yang
pertama berdiri di Indonesia yaitu
Trikoro Darmo. Organisasi ini dibentuk
pada tanggal 7 Mei 1915. Organisasi
ini diharapkan menjadi wadah
pembinaan generasi muda di
Indonesia. Tokohnya antara lain:
Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman.
Nama Trikoro Darmo ini bermakna
memiliki tiga tujuan utama yakni:
sakti, budi dan bakti. Tujuan dan arah
gerakan Trikoro Darmo untuk
menciptakan wadah pelatihan dan
pembinaan generasi muda/pelajar untuk menjadi pemuka/pemimpin nasional
yang cinta tanah air. Anggota Trikoro Darmo umumnya terdiri atas para
pelajar STOVIA dan berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di lingkungan pemuda ini juga berkembang gerakan kepanduan yang
umumnya dimiliki oleh organisasi induknya. Misalnya Muhammadiyah
mempunyai organisasi kepanduan Hizbul Wathan (HW). Sementara itu itu
di lingkungan kaum wanita juga berkembang organisasi wanita. Organisasi
yang pertama yaitu Puteri Mardika. Organisasi ini dibentuk pada tahun
1912 atas prakarsa BU.
Melihat beberapa organisasi yang berkembang di masa pergerakan
kebangsaan, jelas orientasinya yaitu untuk kemajuan bangsa. Bahkan
ada beberapa organisasi yang secara terang-terangan bertujuan untuk
pembebasan Indonesia dari penjajahan. Namun organisasi-organisasi itu
masih berkembang sendiri-sendiri.
Oleh karena itu, untuk memperkuat perjuangan berbagai organisasi menuju
cita-cita mulia yakni pembebasan rakyat dari belenggu penjajahan atau
kemerdekaan perlu ada saling kerja sama, perlu persatuan dan kesatuan. Hal
inilah yang mendorong para pemuda berjuang untuk dapat mempersatukan
berbagai organisasi dan partai yang ada di Indonesia.
1. Federasi dan “Front Sawo Matang”
Pada uraian di depan sudah disebutkan bahwa kaum muda terpelajar belum
puas dengan perkembangan organisasi pergerakan yang belum bersatu.
Kesadaran kebangsaan sudah tumbuh, tetapi masih terbatas pada anggota
masing-masing organisasi. Dengan belajar dari perjuangan PI pemuda
semakin bersemangat untuk mewujudkan persatuan di antara organisasiorganisasi pergerakan yang ada.
Asas perjuangan PI tidak hanya menginspirasi para muda terpelajar, tetapi
juga tokoh-tokoh organisasi pada umumnya. Sebagai contoh Ir. Sukarno. Ia
belum juga puas dengan keadaan dan perkembangan organisasi-organisasi
yang ada, termasuk PNI sebagai organisasi yang ia pimpin. Perkembangan
PNI memang sangat pesat tetapi belum mampu membangun jaringan
dan kerja sama dengan organisasi-organisasi yang lain. Oleh karena itu, Ir.Sukarno ingin membentuk wadah yang merupakan gabungan dari
berbagai organisasi. Sukarno pernah membentuk Konsentrasi Radikal pada
tahun 1922. Konsentrasi Radikal dimaksudkan merupakan wadah penyatuan
para nasionalis dan partai-partai yang diwakilinya.
Gagasan tentang persatuan dan kerja sama antarorganisasi itu sudah
lama didengungkan oleh PI. Bahkan “persatuan” menjadi salah satu asas
perjuangan PI. Tahun 1926 Moh. Hatta dengan tegas menyatakan perlunya
diciptakan “blok nasional” yang terdiri atas partai-partai politik (organisasiorganisasi pergerakan), baik yang berbasis komunis maupun yang nasionalis,
(baik yang agamis maupun yang sekuler), guna menghadapi penjajahan
pemerintah Hindia Belanda. Namun sayangnya pada tahun 1926 dan awal
tahun 1927 PKI dengan ambisinya melakukan gerakan sendiri melawan
kekuasaan Belanda dan akhirnya dapat dihancurkan oleh Belanda.
Dengan peristiwa itu, maka tokoh-tokoh pergerakan nasionalis semakin
bersemangat untuk membentuk kekuatan bersama. Apalagi kondisi politik
saat itu yang diwarnai dengan sikap keras dan kejam pemerintah kolonial
terhadap organisasi-organisasi pergerakan. Oleh karena itu, sangat diperlukan
kerja sama antara berbagai organisasi pergerakan yang ada. Kebetulan juga
pada tahun 1927 telah terbit beberapa surat kabar yang memuat tulisan
tentang perlunya mengatasi berbagai perbedaan untuk membangun kerja
sama yang lebih kokoh.
Dalam rangka merealisasikan gagasan tentang persatuan itu, Ir. Sukarno ingin
membentuk wadah persatuan dengan memadukan aliran nasionalisme, Islam
dan marxisme, sehingga merupakan kekuatan moral dan nasionalisme yang
kokoh. Ir. Sukarno mendesak para pemimpin organisasi untuk membentuk
sebuah federasi antarpartai dan organisasi yang sekaligus merupakan “front
sawo matang” untuk menghadapi praktik diskriminasi kelompok kulit putih
yang merasa superior. Federasi dalam hal ini harus mencerminkan situasi
sosial dan politik di Indonesia dengan berbagai orientasi dan aliran yang
beragam. Mengingat realitas ini maka federasi dibuat longgar dan tidak lebur.
Ir. Sukarno segera menemui beberapa pimpinan organisasi untuk membahas
ide persatuan melalui sebuah federasi. Sukarno juga bertemu dengan Dr.
Sukiman sebagai pimpinan Partai Sarikat Islam (PSI) sebagai organisasi atau
partai yang cukup besar di Indonesia. Serangkaian pertemuan dan diskusi
dilakukan untuk membahas tentang pembentukan federasi antarpartai dan
organisasi di Indonesia. Ada pemikiran bahwa organisasi baru hasil federasi
itu akan diberi nama “Persatuan Rakyat Indonesia” (Sardiman AM, 1996).
Untuk membahas secara resmi tentang ide federasi tersebut maka pada
tanggal 17-18 Desember 1927 diadakan rapat di Bandung. Hadir dalam
rapat itu antara lain perwakilan dari BU, PNI, PSI, PPKI, beberapa organisasi
pemuda seperti Sumatranen Bond, Kaum Betawi, Pasundan, Kelompok Studi
Indonesia. Mereka sepakat mendirikan sebuah federasi yang diberi nama
“Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia”
(PPPKI). Kemudian sebelum terbentuk kepengurusan federasi yang tetap,
terlebih dulu dibentuk semacam panitia yang diketuai oleh Sabirin. Akhirnya
terbentuk kepengurusan tetap PPPKI, sebagai berikut.
Dewan Penasihat : Ir. Sukarno dan Dr. Sukiman
Ketua : Iskaq Cokroadisuryo
Sekretaris merangkap Bendahara : Dr. Samsi
Adapun tujuan dari PPPKI yaitu sebagai berikut:
1) Mencegah perselisihan antarpartai dan organisasi
2) Menyatukan arah dan cara beraksi dalam perjuangan ke kemerdekaan
Indonesia.
3) Mengembangkan persatuan kebangsaan Indonesia dengan berbagai
lambangnya, seperti Sang Merah Putih, lagu Indonesia Raya dan
Bahasa Indonesia.
2. Cita-Cita Persatuan
Munculnya elite baru di kalangan kaum muda terpelajar, telah melahirkan
pemahaman baru, yakni tentang kebangsaan. Kalangan elite baru itu lebih
cenderung memilih pekerjaan sebagai guru, penerjemah, dokter, pengacara,
dan wartawan agar dapat memberikan perlindungan dan advokasi kepada
rakyat.
Tujuh tahun setelah didirikannya Budi Utomo, pemuda Indonesia mulai
bangkit meskipun dalam loyalitas kedaerahan. Seperti telah disinggung di
depan bahwa pada tahun 1915 telah lahir organisasi pemuda yang pertama,
Trikoro Darmo. Trikoro Darmo ini diharapkan menjadi wadah pembinaan
generasi muda untuk penjadi pemimpin nasional yang memiliki rasa cinta
tanah air.
Organisasi Trikoro Darmo dirasakan para anggotanya cenderung Jawa sentris,
terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Oleh karena itu, dalam kongresnya
di Solo pada 12 Juli 1918, nama Trikoro Darmo diganti menjadi Jong Java,
yang berarti Jawa Muda. Harapannya masyarakat dan komunitas Sunda di
Jawa Barat dan juga Kaum Betawi bisa bergabung dengan Jong Java.
Pada dasarnya Jong Java ini bukan organisasi politik dan anggotanya tidak
berpolitik. Organisasi ini lebih menaruh perhatian pada pendidikan dan
pelatihan. Namun dalam perkembangannya atas usul Samsurijal pada
kongers Jong Java tahun 1924, bahwa anggota Jong Java itu dibagi dalam
dua kelompok. Kelompok pertama anggota yang berusia di bawah 18 tahun
tidak boleh berpolitik dan kelompok kedua anggota yang berusia 18 tahun
ke atas diizinkan untuk ikut dalam gerakan politik.
Berkembangnya organisasi Jong Java ini telah mendorong munculnya
organisasi pemuda di berbagai daerah. Misalnya pada tanggal 9 Desember
1917 berdiri organisasi pemuda Jong Sumatranen Bond. Organisasi ini
didirikan oleh para pelajar dan pemuda Sumatera yang ada di Jakarta.
Tokohnya antara lain Moh. Hatta, Muh. Yamin. Tujuannya untuk mempererat
tali persaudaraan dan persatuan antarpelajar dari Sumatera.
Pada tahun 1918 berdiri organisasi pemuda yang bernama Jong Minahasa.
Menyusul berikutnya berdiri Jong Celebes (Sulawesi), Jong Ambon, Jong
Borneo (Kalimantan). Kemudian Sekar Rukun, organisasi pemuda dari tanah
Sunda yang didirikan oleh para pelajar Sekolah Guru. Organisasi-organisasi
ini berorientasi pada kedaerahan atas dasar prinsip persatuan. Tujuan
dikembangkannya organisasi-oraganisasi itu untuk mempersatukan para
pemuda dan pelajar yang merupakan keturunan dari orang tua yang berasal
dari daerah-daerah yang bersangkutan (misalnya anggota Jong Celebes
para pemuda/pelajar keturunan orang tua dari Sulawesi, Jong Ambon, para
pemuda keturunan orang tua dari Ambon, dan begitu seterusnya).
Selain berkembang organisasi pemuda dari berbagai daerah juga muncul
organisasi pemuda dari kelompok agama. Sebagai contoh dari penganut
agama Islam muncul organisasi Jong Islamieten Bond (JIB). Organisasi ini atas
ide Agus Salim setelah usulnya untuk memasukkan unsur Islam di dalam
Jong Java, tidak diterima. Oleh karena dibentuk Jong Islamieten Bond untuk
mewadahi para pemuda yang berasal dari kalangan Islam. Sebagai ketua JIB
dipercayakan kepada Samsurijal dan Agus Salim sebagai penasihat. Sekalipun
berbasis Islam, JIB memperjuangkan persatuan nasional
Perkembangan organisasi-organisasi pemuda tersebut semakin meramaikan
suasana pergerakan kebangsaan di Indonesia, apalagi setelah beberapa
organisasi pemuda mulai bersentuhan dengan gerakan politik. Sebagai
contoh pada lustrum pertama Jong Sumatranen Bond pada tahun 1923.
Dalam lustrum itu Muh. Yamin menyampaikan pidato yang bertajuk; De
Maleische Taal in het verleden, heden en ini de toekomst (Bahasa Melayu
di Masa Lampau, Sekarang dan Masa Datang). Muh. Yamin melontarkan
gagasan pentingnya sebuah majalah kebudayaan yang diberi nama Malaya
(nama ini dalam rangka mengambil hati penduduk Malaya yang masih
berada di bawah penjajahan Inggris). Gagasan ini dapat dimaknai bahwa
perlunya bangsa Indonesia memiliki bahasa pengantar yang bersumber dari
budaya sendiri (Restu Gunawan, “Pemuda dan Perempuan dalam Dinamika
Nasionalisme Indonesia, dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).
Begitu juga Jong Java setelah tahun 1924 nuansa politik semakin jelas.
Sementara itu JIB sudah sangat kental dengan gerakan politik. Dengan
demikian, telah terjadi perubahan pesat dan radikal di lingkungan organisasi
pemuda. Organisasi pemuda saat itu semakin meluas untuk mencapai citacita persatuan Indonesia.
Pada tanggal 15 November 1925 dilaksanakan pertemuan organisasiorganisasi pemuda. Hadir dalam pertemuan itu antara lain perwakilan dari
Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, Pelajarpelajar Minahasa, Sekar Rukun. Dalam pertemuan ini antara lain dibahas
tentang rencana kongres pemuda. Kemudian setelah pertemuan ini juga
dibentuk sebuah komite dipimpin oleh Tabrani. Komite ini diberi tanggung
jawab untuk menyelenggarakan kongres pemuda.
Setelah dilakukan berbagai persiapan maka pada 30 April – 2 Mei 1926,
diadakannya rapat besar pemuda di Jakarta, yang kemudian dikenal dengan
Kongres Pemuda Pertama. Kongres itu diketuai oleh M. Tabrani. Tujuan
kongres itu yaitu untuk mencapai perkumpulan pemuda yang tunggal, yaitu
membentuk suatu badan sentral. Keberadaan badan sentral ini dimaksudkan
untuk memantapkan paham persatuan kebangsaan dan mempererat
hubungan antara semua perkumpulan pemuda kebangsaan.
Gagasan-gagasan persatuan dibicarakan dan juga dipaparkan oleh para
tokoh dalam kongres itu. Sumarto misalnya, tampil sebagai pembicara
dengan topik “Gagasan Persatuan Indonesia”. Bahder Djohan tampil dengan
topik “Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Indonesia”. Nona Adam
yang menyampaikan gagasannya tentang “Kedudukan Kaum Wanita”.
Djaksodipoero berbicara tentang “Rapak Lumuh”. Paul Pinontoan berbicara
tentang “Tugas Agama di dalam Pergerakan Nasional”. Muhammad Yamin
berbicara tentang “Kemungkinan Perkembangan Bahasa-Bahasa dan
Kesusasteraan Indonesia di Masa Mendatang”.
Gagasan yang disampaikan oleh Yamin dalam kongres itu merupakan
pengulangan dari pidatonya yang disampaikan dalam Lustrum I Jong
Sumatranen Bond. Saat itu pidato Yamin mendapat komentar dari Prof. Dr.
Hooykes, bahwa kelak Muh. Yamin menjadi pelopor bagi usaha penggunaan
bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dan pergaulan di Indonesia.
Dengan demikian, penggunaan bahasa Belanda dapat semakin terdesak.
Dalam Kongres Pemuda I telah muncul kesadaran dan kesepahaman
tentang perlunya bahasa kesatuan. Pada saat kongres ini telah diusulkan
untuk memutuskan bahasa kesatuan yang pilihannya antara bahasa Jawa
atau Bahasa Melayu. Setelah dipilih satu di antara dua bahasa itu akhirnya
dipilih Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan yang disebut dengan
Bahasa Indonesia. Jadi pada akhir Kongres Pemuda I itu sudah disepakati
dan diputuskan bahwa bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Hanya
pada waktu M. Tabrani mengusulkan dan kemudian memutuskan agar
Ikrar Pemuda yang mengakui Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
dibicarakan lagi pada Kongres Pemuda berikutnya. Inilah hasil penting dari
Kongres Pemuda I.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kongres Pemuda I telah melahirkan
keputusan yang mendasar yakni mengakui dan menerima tentang cita-cita
persatuan Indonesia dan bahasa Indonesia disepakati sebagai perekatnya.
Perlu diketahui bahwa usul mengenai bahasa Indonesia itu sebenanrnya
datang dari M. Tabrani. Semula Muh. Yamin agak keberatan, namun setelah
berdiskusi dengan Sanusi Pane dan dan Adinegoro, disepakati yang diusulkan
sebagai bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia yang intinya berasal dari
bahasa Melayu yang akan diperkaya oleh bahasa-bahasa lainnya.
3. Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa.
Perangkat lunak untuk membangun dan memperkokoh persatuan sudah
disepakati, yakni bahasa. Namun, dalam rangka melawan penjajahan harus
juga diwujudkan secara kongkret. Organisasi atau partai yang berjalan sendirisendiri tentu tidak efektif. Begitu juga organisasi pemuda yang terpisah-pisah
tidak akan bisa melawan penjajahan. Oleh karena itu, setelah Kongres
Pemuda I berakhir, berkembang usulan agar dilakukan penggabungan
berbagai organisasi pemuda yang ada. Sebagai realisasinya maka pada
tanggal 15 Agustus 1926 diadakan pertemuan organisasi-organisasi pemuda
di Jakarta. Hadir dalam pertemuan itu perwakilan antara lain dari Jong Java,
Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, Jong Bataks
Bond, Jong Celebes, Perhimpunan Pelajar Ambon, juga dihadiri Komite
Kongres Pemuda I. Dalam pertemuan ini diusulkan agar dibentuk badan
tetap untuk keperluan persatuan Indonesia. Berkaitan dengan usulan ini
maka tanggal 31 Agustus 1926 telah disahkan Anggaran Dasar untuk suatu
perkumpulan atau organisasi pemuda yang baru yang diberi nama Jong
Indonesia. Namun realisasinya belum memuaskan seperti yang diharapkan
para pemuda. Baru pada tanggal 20 Februari 1927 ada pertemuan yang
digagas oleh Algemene Studie Club di Bandung. Pertemuan tersebut berhasil
mendirikan organisasi pemuda yang diberi nama Jong Indonesia. Organisasi
ini berdasarkan pada asas kebangsaan atau nasionalisme. Tokoh-tokoh yang
ada di dalam Jong Indonesia itu antara lain: Sutan Syahrir, Suwiryo, Halim,
Moh. Tamzil, Yusupadi, dan Notokusumo.
Di samping organisasi itu, pada bulan September 1926 juga diadakan
pertemuan para pelajar atau mahasiswa. Dalam pertemuan itu berhasil
dibentuk perkumpulan yang diberi nama Perhimpunan Pelajar-Pelajar di
Indonesia (PPPI). Anggota umumnya dari para mahasiswa STOVIA dan
Sekolah Tinggi Hukum. PPPI bertujuan untuk memperjuangkan Indonesia
merdeka. Cita-cita hanya dapat tercapai bila paham kedaerahan dihilangkan
dan perselisihan pendapat di antara kaum nasionalis harus dihapuskan.
Aktivitas PPPI meliputi gerakan pemuda, sosial, dan politik. Ketua
perkumpulan itu Soegondo Djojopoespito, tokoh-tokoh lainnya yaitu Muh.
Yamin, Abdullah Sigit, Suwiryo, Sumitro Reksodiputro, A.K. Gani, Sunarko,
Amir Syarifuddin, dan Sumanang. Perhimpunan itu sering berkumpul di
Indonesische Clubgebouw yang terletak di Jl. Kramat No 106, Weltevreden.
Mereka mempunyai hubungan antaranggota yang sangat dekat dan tidak
formal. PPPI memiliki peran penting dalam pertemuan-pertemuan berikutnya
dalam rangka mewujudkan persatuan Indonesia untuk melawan penjajahan
Belanda. Dua oragisasi PPPI dan Jong Indonesia ini memiliki peran strategis
dalam perjuangan pemuda untuk mewujudkan persatuan Indonesia.
Memasuki tahun 1927 perjuangan pemuda mengalami percepatan yang luar
biasa. Setiap ide persatuan untuk membebaskan Indonesia ditangkap dengan
segera, baik oleh kelompok pemuda bahkan juga kelompok tua. Dinamika
silaturahmi antarorganisasi terus dilakukan untuk mencapai kesepatan dan
mewujudkan. Gerakan semangat dan gelora perjuangan para pemuda ini
semakin meningkat untuk merapatkan barisan perjuangan di tanah Hindia,
karena didukung oleh bergabungnya tokoh-tokoh dan para pelajar dari
Perhimpunan Indonesia yang baru saja kembali ke tanah air. Di antara
mereka yaitu Sartono, Moh. Nazif, dan Mononutu. Selama dua tahun
itulah para pemuda mengadakan pertemuan secara intensif di Indonesische
Clubgebouw.
Pada tanggal 28 Desember 1927, Jong Indonesia menyelenggarakan kongres
di Bandung. Dalam kongres ini Ir. Sukarno memberikan ceramah yang dapat
menambah semangat para pemuda. Dalam kongres ini juga menetapkan
nama Jong Indonesia diganti dengan Pemuda Indonesia. Beberapa keputusan
penting dalam kongres ini antara lain:
1. Menetapkan nama Jong Indonesia diganti dengan Pemuda Indonesia
2. Bahasa Indonesia (akhirnya dipilih bahasa Melayu) dijadikan bahasa
pengantar organisasi Pemuda Indonesia.
3. Pemuda Indonesia menyetujui usul PPPI tentang dibentuknya fusi semua
organisasi–organisasi lainnya yang berasaskan kebangsaan.
Selanjutnya untuk merealisasikan gagasan fusi semua organisasi itu, PPPI
segerta mengambil langkah-langkah. Diadakanlah pertemuan untuk
membentuk panitia yang dikenal sebagai Panitia Kongres Pemuda II. Panitia
ini akan bertanggung jawab terhadap serangkaian acara seperti rapatrapat terbuka dan ceramah-ceramah yang menganjurkan dan menguatkan
semangat persatuan. Pada bulan Juni 1928, panitia kongres dibentuk. Terpilih
sebagai Ketua Kongres Pemuda II yaitu Soegoendo Djojopoespito dari PPPI.
Selengkapnya susunan panitia itu sebagai berikut.
Ketua : Soegoendo Djojopoespito dari PPPI
Wakil Ketua : Djoko Marsaid dari Jong Java,
Sekretaris : Muh. Yamin dari Sumatranen Bond
Bendahara : Amir Syarifuddin dari Jong Bataks Bond
Pembantu I : Djohan Muh. Tjai dari Jong Islamieten Bond
Pembantu II : Kontjosungkono dari Pemuda Indonesia
Pembantu III : Senduk dari Jong Celebes
Pembantu IV : J. Leimena dari Jong Ambon
Pemantu V : Rohyani dari Pemuda Kaum Betawi
Banyak tokoh-tokoh dari Perhimpunan Indonesia yang memberi saran dan
masukan dalam penyelenggaraan kongres, misalnya Sartono, S.H., Sunario,
SH., Moh. Nazif, A.J.Z Mononutu.
Kongres Pemuda II ini dialaksanakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928.
Yang diundang dalam kongres ini yaitu semua organisasi pemuda dan
mahasiswa, serta berbagai organisasi dan partai yang sudah ada. Tampak
hadir beberapa tokoh pemuda ataupun tokoh senior, seperti: Soegoendo
Djojopoespito, Djoko Marsaid, Muh. Yamin, Amir Syarifuddin, Sartono,
Kartokusumo, Abdulrahman, Sunario, Kartosuwiryo, S. Mangunsarkoro,
Nonan Purnomowulan, Siti Sundari, Muh. Roem, Wongsonegoro,
Kasmansingodimedjo, dan A.K. Gani. Kongres itu juga dihadiri perwakilan
dari Volksraad dan juga dari pemerintah Hindia Belanda. Diperkirakan hadir
lebih dari 750 orang.
Kongres itu dilaksanakan dalam tiga tahapan sidang.
Rapat pertama
Dilaksanakan hari Sabtu, 27 Oktober 1928 malam bertempat di gedung
Katholik Jongelingen Bond, Waterloopen. Rapat dibuka oleh Ketua Panitia
Kongres Pemuda II. Di dalam pembukaan ini juga dibacakan amanat tertulis
dari Ir. Sukarno, amanat tertulis dari pengurus Perhimpunan Indonesia
yang ada di Belanda. Sementara itu, dalam pidato pembukaan Soegoendo
Djojopoespito menyerukan tentang pentingnya Indonesia Bersatu. Dalam
sidang pertama, Muh. Yamin memberikan ceramah tentang persatuan dan
kebangsaan Indonesia. Dalam ceramahnya itu Yamin menegaskan ada lima
faktor yang dapat memperkuat persatuan bangsa, yakni faktor: sejarah,
bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Rapat kedua
Rapat kedua dilaksanakan pada hari Minggu, 28 Oktober 1928, berlangsung
pukul 08.00-12.00 Sidang dilaksanakan di Oost Java Bioscoop Koningsplein.
Rapat membahas hal-hal yang berkait dengan pendidikan. Beberapa tokoh
tampil berbicara misalnya Nona Purnomowulan, S. Mangunsarkoro. Ki Hajar
Dewantoro diharapkan dapat tampil sebagai pembicara tetapi berhalangan
hadir.
Rapat ketiga
Rapat ketiga dialksanakan pada hari Minggu 28 Oktober 1928 17.30-20.00
Rapat ini dilaksanakan di gedung Indonesische Clubgebouw., Jl. Kramat Raya
106. Pada rapat ketiga ini rencananya akan diramaikan dengan acara pawai
atau arak-arakan organisasi kepanduan. Namun, pawai gagal dilakukan
karena dihalang-halangi oleh pihak polisi Belanda. Hal ini mengecewakan para
peserta. Walaupun demikian, kekecewaan ini tidak menyurutkan semangat
para peserta. Bahkan sebaliknya semakin membakar semangat para peserta
kongres. Pada rapat yang ketiga ini juga diisi ceramah-ceramah. Misalnya
Ramelan menyampaikan tentang gerakan kepanduan. Berikutnya Sunario
menyampaikan materi tentang “Pergerakan Pemuda dan Persatuan Bangsa”
dalam ceramah ini ditekankan pentingnya persatuan dan kehidupan yang
demokratis dan patriotis.
Rapat kemudian diistirahatkan. Pada saat istirahat ini tampillah W.R.
Supratman untuk memainkan lagu yang diberi judul “Indonesia Raya”.
Namun untuk menyiasati agar tidak dilarang oleh orang Belanda yang hadir,
W.R. Supratman menampilkan lagu tersebut secara instrumental dengan
biola. Lagu inilah yang kemudian kita kenal dengan Lagu Kebangsaan
Indonesia dan bendera Merah Putih diakui sebagai bendera kebangsaan.
Setelah istirahat kemudian rapat dilanjutkan. Pada puncak Kongres Pemuda
II ini diikrarkan sebuah sumpah yang kemudian kita kenal dengan nama
Sumpah Pemuda senantiasa menjadi keputusan penting yang historismonumental dalam Kongres Pemuda II. Naskah rumusan ikrar Sumpah
Pemuda ini selengkapnya dirumuskan oleh Muh. Yamin. Naskah selengkapnya
dapat dilihat sebagai berikut
Kepoetoesan Kongres Pemoeda-Pemoedi Indonesia
Kerapatan pemoeda-pemoedi Indonesia diadakan oleh perkoempoelanperkoempoelan Indonesia berdasarkan kebangsaan, dengan namanja Jong
Java, Jong Soematra Bond (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar
Roekoen, Jong Islameten Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan
Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia.
Memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928 di negeri
Djakarta.Sesoenggoehnja mendengar pidato-pidato pembitjaraan jang
diadakan di dalam kerapatan tadi sesoedahnja mendengar pidato-pidato dan
pembitjaraan ini.
Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:
Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah
darah jang satoe, tanah Indonesia
Kedua: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe berbangsa
jang satoe, bangsa Indonesia
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia, mendjoendjoeng
bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas
ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan kebangsaan Indonesia.
Mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan
memperhatikan dasar persatoeannja:
Kemaoean,
Sejarah,
Bahasa,
Hoekoem adat,
Pendidikan dan kepandoean.
Dan mengeloearkan pengharapan soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala
surat kabar dan dibatjakan di moeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan. .
Setelah Kongres Pemuda II berakhir, perkumpulan-perkumpulan pemuda
segera menyiapkan untuk melakukan proses fusi. Bahkan Jong Java sebagai
organisasi pemuda terbesar dan tertua mengadakan kongres tanggal 25-29
Desember 1928 di Yogyakarta memutuskan menyetujui untuk ikut fusi di
dalam perkumpulan pemuda baru yang akan segera dibentuk.
Sebagai pematangan persiapan fusi, pada tanggal 24 April dan 25 Mei
1929 diadakan pertemuan di gedung Indonesia Clubgebouw yang dihadiri
perwakilan perkumpulan pemuda seperti perwakilan Jong Java, Jong
Sumatranen Bond, dan Pemuda Indonesia. Dalam pertemuan ini disepakati
hasil fusi akan melahirkan organisasi pemuda yang baru yang berdasarkan
pada kebangsaan Indonesia. Untuk itu dibentuklah suatu komisi besar
yang anggotanya diambil dari berbagai organisasi pemuda. Berdasarkan
perwakilan dari masing-masing organisasi itu disusunlah struktur Komisi
Besar Indonesia Muda, sebagai berikut.
Ketua : Kuntjoropurbopranoto
Wakil Ketua : Muh. Yamin
Penulis I : Joesoepandi
Penulis II : Sjahrial
Bendahara I : Assaat
Bendahara II : Soewadji Prawirohardjo
Administratie I : A.K. Gani
Administratie II : Mohammad Tamzil
Pembantu : G.R. Pantouw
Pembantu : Surjadi
Selanjutnya Komisi Besar Indonesia Muda ini menyelenggarakan kongres pada
tanggal 28 Desember 1930 - 2 Januari 1931 di gedung Habiprojo Surakarta.
Dalam kongres ini diputuskan organisasi baru sebagai hasil fusi berbagai
organisasi pemuda yang diberi nama Indonesia Muda. Tepat pukul 12.00
WIB semua hadirin diminta untuk berdiri dan piagam pendirian Indonesia
Muda dibacakan. Pada saat itu Panji-panji Indonesia Muda berkibar untuk
selama-lamanya diiringi bunyi gamelan, setelah gamelan berhenti semua
pemuda yang hadir menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Pada saat diresmikan Indonesia Muda sudah memiliki 25 cabang di seluruh
Indonesia dengan 2.393 anggota (Restu Gunawan, “Pemuda dan Perempuan
dalam Dinamika Nasionalisme Indonesia”, dalam buku Indonesia dalam
Arus Sejarah, 2012). Dengan berdirinya Indonesia Muda secara otomatis
perkumpulan atau berbagai organisasi pemuda yang ada menyatakan
membubarkan diri.
Tujuan organisasi Indonesia Muda ini yaitu membangun dan
mempertahankan keinsyafan antara anak bangsa yang bertanah air satu agar
tercapai Indonesia Raya. Karena Indonesia Muda berusaha memajukan rasa
saling menghargai dan memelihara persatuan semua anak bangsa, menjalin
kerja sama dengan semua komponen bangsa, mengadakan kursus-kursus
untuk memberantas buta huruf, memajukan kegiatan olah raga, dan lainlain.
4. Nilai-nilai Penting Sumpah Pemuda
Menurut Taufik Abdullah, kisah Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah
Pemuda memperlihatkan pada kita tentang satu hal yang menarik dalam
pengetahuan masa lalu kita. Sumpah Pemuda dapat kita lihat sebagai
perwujudan dari sebuah peristiwa besar, yaitu produk dari berkumpulnya
organisasi-organisasi pemuda terpelajar untuk melakukan “Kongres
Pemuda”. Sumpah Pemuda dipandang sebagai pengakuan fundamental dari
sebuah bangsa yang masih dalam tahap pembentukan. Ia terbentuk melalui
kurun yang waktu panjang. Tujuh tahun setelah terbentuknya Budi Utomo,
pemuda Indonesia mulai bangkit meskipun masih dalam tahapan loyalitas
kepulauan. Perubahan pesat dan radikal dari organisasi-organisasi pemuda
itu mendorong mereka untuk menciptakan persatuan yang lebih luas.
Dengan demikian, jelas nilai yang utama dari peristiwa Sumpah Pemuda
yaitu nilai persatuan. Persatuan yang diilhami oleh asas perjuangan
Perhimpunan Indonesia ini sudah lama diperjuangkan oleh para pemuda.
Para pemuda dengan memahami sejarah panjang perjuangan bangsa
Indonesia, telah melahirkan kesadaran yang mendalam tentang pentingnya
persatuan. Kiranya dapat cermati bagaimana ratusan tahun bangsa kita
berjuang untuk membebaskan diri dari kekuasaan penjajahan. Aceh berjuang,
Banten, Mataram, Makassar, Maluku, tetapi gagal karena mereka berjuang
di daerahnya sendiri-sendiri. Selanjutnya Patimura, Pangeran Hidayatullah,
Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien juga kandas tidak
mampu mengusir penjajah karena tidak ada saling membantu di antara
mereka. Mereka belum mampu menjalin persatuan di antara mereka.
Begitu juga di era modern BU, SI, Indische Partij, PSI, PKI, PNI belum berhasil
membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajah. Setiap organisasi masih
cenderung berjuang dengan organisasinya sendiri. Oleh karena itu, berbagai
organisasi pemuda berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan persatuan
di antara anak bangsa, minimal di kalangan pemuda. Lahirnya Indonesia
Muda diharapkan dapat menggerakkan seluruh komponen bangsa untuk
menciptakan Indonesia Raya, membebaskan diri dari penjajahan, dan
akhirnya tercapai kemerdekaan.
Nilai berikutnya, yaitu kemandirian, jati diri, kedaulatan atau penguatan
nasionalisme. Secara tidak langsung dengan peristiwa Sumpah Pemuda,
para pemuda telah meneguhkan pentingnya jati diri Indonesia, penguatan
semangat kebangsaan atau nasionalisme. Hal ini tercermin dalam ikrar satu
tanah air, satu bangsa dan keikhlasan menjunjung satu bahasa: INDONESIA.
Pernyataan satu nusa, bangsa, dan bahasa Indonesia ini menunjukkan adanya
kesadaran yang amat tinggi tentang jati diri dan semangat kebangsaan kita
semua sebagai orang Indonesia. Di dalam jati diri dan ruh kebangsaan itu
tentu mengandung kemandirian, kalau bangsa ini mandiri berarti berdaulat,
berdaulat berarti tidak dijajah orang lain, itulah kemerdekaan.
Di balik peristiwa Sumpah Pemuda, juga terkandung nilai demokrasi. Setelah
Sumpah Pemuda diikrarkan, persatuan diwujudkan maka langkah-langkah
perjuangan pun dilaksanakan. Dalam mewujudkan cita-cita Indonesia
Raya, satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa perlu ada program-program
kebersamaan, saling menghargai, dan rembug bareng di antara komponen
bangsa untuk memajukan bangsa. Setelah maju dapat mandiri dan bedaulat.
Bahkan dalam strategi politik para pemuda juga mengembangkan sikap
saling menghargai baik yang mengambil langkah kooperasi maupun nonkooperasi. Mereka dalam berjuang tidak lagi dengan fisik dan kekerasan
tetapi dengan bermusyawarah, berdemokrasi misalnya melalui Volksraad.
Di depan sudah disinggung bahwa pada tahun 1926 telah menunjukkan
perubahan dalam orientasi perjuangan bagi organisasi pergerakan
kebangsaan. Pendekatan dan strategi perjuangan mulai dimantapkan.
Orientasi dan pendekatan politik semakin terbuka. Semangat persatuan
dan kesatuan mulai digelorakan. Kongres Pemuda II yang melahirkan
Sumpah Pemuda secara nyata mengembangkan semangat persatuan dan
kebangsaan. Di samping itu, Sumpah Pemuda secara tidak langsung
telah memberikan pelajaran tentang nilai-nilai jati diri dan demokrasi.
Dengan dipelopori organisasi pemuda, nilai dan semangat keindonesiaan
untuk memperkokoh jati diri dan kemandirian juga semakin memantapkan
perjuangan bangsa Indonesia. Perjuangan politik melalui Volksraad telah
juga menjadi ajang yang penting untuk menunjukkan salah satu strategi
perjuangan bangsa yang lebih demokratis.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa Sumpah Pemuda telah
menjadi tonggak sejarah dalam mengompakkan perjuangan seluruh warga
bangsa Indonesia dalam upaya mengusir penjajah. Sekalipun perjuangan
belum berlabuh pada tujuan yang diharapkan tetapi semua itu, baik
perjuangan yang bersifat kooperatif dan non-kooperatif, perjuangan
melalui Volksraad maupun di luar Volksraad telah menunjukkan eksistensi
bangsa Indonesia dalam berjuang untuk mengusir penjajahan menuju
kemerdekaan bangsa.
c. Penguatan Jati Diri Keindonesiaan
l
Kalau kita perhatikan isi Sumpah Pemuda merupakan suatu peristiwa
komitmen dan kebulatan tekad Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang satu
dan tanah air yang satu, serta menjunjung bahasa persatuan yang satu,
bahasa Indonesia.
Harus diingat Sumpah Pemuda itu memiliki makna yang strategis dalam
rangkaian untuk mengembangkan rasa persatuan dan proses penguatan jati
diri bangsa, bangsa Indonesia. Karena hal yang sangat menonjol, setelah
terjadinya Sumpah Pemuda, organisasi-organisasi dan partai yang ada secara
tegas mendasarkan jiwa dan semangat keindonesiaan. Partai atau organisasi
politik yang belum mencatumkan namanya dengan kata Indonesia, mulai
menambahkan nama Indonesia, misalnya Partai Sarekat Islam menjadi Partai
Sarekat Islam Indonesia.
Pada bagian ini kita akan mendalami tentang materi yang terkait dengan
“Penguatan Jati Diri Keindonesiaan” sebagai implikasi dari semangat Sumpah
Pemuda.
1. Politik untuk Kesejahteraan dan Kejayaan
Perlu dipahami bahwa dengan berkembangnya organisasi di kalangan
pemuda juga diikuti oleh berkembangnya organisasi wanita atau perempuan
di Indonesia. Pada tahun 1912 berdiri organisasi perempuan yang pertama
yakni Putri Mardika di Jakarta. Organisasi itu bertujuan untuk membantu
bimbingan dan penerangan pada gadis bumiputera dalam menuntut
pelajaran dan mengemukakan pendapat di muka umum, serta memperbaiki
hidup wanita sebagai manusia yang mulia. Berbagai aktivitas dilakukan oleh
organisasi itu, terutama memberikan beasiswa untuk menunjang pendidikan
dan menerbitkan majalah wanita Putri Mardika. Beberapa tokoh yang pernah
duduk dalam kepengurusan Putri Mardika, yaitu Sabaruddin, R.A Sutinah,
Joyo Pranoto, Rr. Rukmini, dan Sadikun Tondokusumo. Kartini Fonds,
didirikan atas usaha Ny. C. Th. Van Deventer, seorang penasehat Politik
Etis. Perkumpulan itu didirikan pada 1912 dengan tujuan untuk mendirikan
sekolah Kartini. Setelah itu, muncul dan berkembang organisasi perempuan
di berbagai daerah, juga organisasi-organisasi perempuan sebagai bagian
dari organisasi yang sudah ada, seperti organisasi wanita di Muhammadiyah,
organisasi wanita di Taman Siswa, organisasi perempuan di BU, dan begitu
seterusnya.
Berkembangnya berbagai organisasi wanita tersebut mendorong pergerakan
wanita untuk lebih berperan untuk meningkatkan kesejahteraan kaum
perempuan. Wanita yang mengenyam pendidikan juga semakin banyak.
Dengan demikian, wawasan mereka juga semakin berkembang untuk
memberi dukungan terhadap organisasi-organisasi pergerakan pada
umumnya.
Diadakannya Kongres Pemuda II yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda
tersebut nampaknya ikut menyemangati perjuangan organisasi pergerakan
perempuan di Indonesia. Seide dengan pelaksanaan Kongres Pemuda II itu
kemudian organisasi-organisasi wanita yang telah berkembang di berbagai
daerah di Indonsia itu mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada
22-25 Desember 1928, di Pendopo Joyodipuro, yang dipimpin oleh Ny. R.A.
Sukanto. Kongres itu diprakarsai oleh Ny. Sukoto, Nyi Hajar Dewantara,
dan Nn. Suyatin. Kongres itu bertujuan untuk menjalin persatuan di antara
perkumpulan wanita, dan memajukan wanita. Dalam Kongres Perempuan
Indonesia I itu dihadiri oleh 30 organisasi wanita. Kongres Perempuan
Indonesia I itu merupakan bagian penting bagi Kesatuan Pergerakan Wanita
Indonesia. Untuk mengenang sejarah kongres perempuan maka setiap
tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu di Indonesia.
Pada perkembangan selanjutnya organisasi itu berubah nama sebagai
Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPPI). Perjuangan organisasi itu
semakin kuat dengan didirikannya Isteri Sedar dan Istri Indonesia. Isteri Sedar
didirikan oleh Suwarni Pringgodigdo (1930), di Bandung. Organisasi itu
bertujuan meningkatkan kesadaran wanita Indonesia untuk memperkokoh
cita-cita Indonesia Merdeka. Organisasi ini sejalan dengan PNI, yang menolak
poligami. Selanjutnya Istri Indonesia didirikan 1932. Organisasi itu didirikan
berdasarkan nasionalisme dan demokrasi. Tujuan Istri Indonesia yaitu
mencapai Indonesia Raya dan bersikap kooperatif terhadap pemerintah
Belanda. Tokoh-tokoh organisasi itu yaitu Ny. Sunaryo Mangunpuspito dan
Maria Ulfah Santoso. Kongres Perempuan I dan juga semakin meningkatnya
gerakan organisasi wanita telah ikut mendorong bagi kemajuan perjuangan
bangsa Indonesia untuk mencapai kejayaan. Kejayaan ini dalam rangka
menuju cita-cita kemerdekaan.
2. Pemuda yang Berpolitik
Seperti telah dijelaskan bahwa pada tahun 1931 secara resmi telah berdiri
organisasi pemuda hasil fusi yang bernama Indonesia Muda. Mereka para
anggota penuh semangat untuk memperjuangakan Indonesia Bersatu,
Indonesia yang merdeka.
Pada mulanya perkumpulan Indonesia Muda tidak diperbolehkan terlibat
dalam politik. Tekanan pemerintah terhadap larangan berpolitik mendorong
anggota Indonesia Muda untuk mendirikan perkumpulan lain, bahkan
tersebar di berbagai organisasi politik atau golongan yang ada. Pada 1931,
orang-orang PNI Baru di Malang mendirikan Suluh Pemuda Indonesia yang
bercorak Marhaen. Partindo di Yogyakarta mendirikan Persatuan Pemuda
Rakyat Indonesia (Perpri). Dari perkumpulan Islam misalnya, berdiri JIB bagian
keputrian, Pemuda Muslim Indonesia, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda
Perserikatan Ulama, Pemuda Persatuan Islam, dan Anshor NU. Dari pemuda
Kristen misalnya, lahir Persatuan Pergerakan Pemuda Kristen, sementara
pemuda Katholik melahirkan Mudo Katholik dari partai politik Suluh Pemuda
Indonesia, barisan Pemuda Gerindo, Jajasan Obor Pasundan. Perkumpulan
lainnya seperti, Taman Siswa, Persatuan Pemuda Teknik, Persatuan Putri
Cirebon, Kebangunan Sulawesi, dan Minangkabau. Di dalam organisasi ini
para pemuda dapat bersentuhan dengan kegiatan politik sesuai dengan
dinamika organisasi induknya.
Dalam gerakannya para pemuda juga melakukan kegiatan kepanduan.
Kepanduan itu berasal dari kepanduan Jong Java, Pemuda Sumatera,
dan organisasi pemuda lainnya. Di samping itu juga berdiri kepanduan
berdasarkan kebangsaan dan keagamaan, seperti Natipy, Hizbul Wathon,
Siap, dan Kepanduan Rakyat Indonesia.
Kepanduan itu mengambil azas dari kepanduan dunia, yang berisi tentang
memberikan pelajaran dalam bentuk segala permainan dan kecakapan pandu,
untuk meningkatkan kesehatan para pemuda. Dalam kegiatan kepanduan
ini para pemuda dengan payung kegiatan kesehatan bisa dikaitkan dengan
pembinaan disiplin seperti baris-berbaris. Dari kegiatan ini dapat ditumbuhkan
semangat termasuk kemudian semangat patriotisme dan nasionalisme, atau
cinta tanah air seperti yang dikembangkan di lingkungan Hizbul Wathon.
3. Nasionalisme yang Revolusioner
Sebagai seorang terpelajar Sukarno, muncul sebagai seorang pemuda cerdas
yang memimpin pergerakan nasional baru. Ia mendirikan partai dengan
nama Partai Nasional Indonesia (4 Juli 1927). Partai itu bersifat revolusioner,
sebelumnya partai itu bernama Algeemene Studie Club. Sukarno memimpin
partai itu hingga Desember 1929. Jumlah anggotanya hingga saat itu
mencapai 1000 orang.
Sukarno juga turut serta memprakarsai berdirinya Permufakatan
Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada
1927. Pada 28 Oktober 1928 organisasi ini ikut menyatakan ikrar tentang
tanah air yang satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia.
Pernyataan Sumpah Pemuda itu membawa dampak luas pada masyarakat
untuk menumbuhkan nasionalisme yang kuat. Di daerah-daerah munculnya
nasionalisme yang digerakkan oleh tradisi dan agama. Mereka terinspirasi
oleh para pemimpin pergerakan nasional yang ada di Jakarta.
Oleh karena itu,
perlawanan terhadap
kekuasaan kolonial
pada masa pergerakan
banyak berbasis pada
masalah perkumpulan
agama. Di pihak lain,
karena gerakang e r a k a n n y a y a n g
cenderung keras,
komunis merupakan
target langsung dari
pemerintah Belanda.
Namun demikian,
Belanda tidak dapat
m e m p e r t a h a n k a n
kekuasaan mereka di
daerah-daerah yang berbasis komunis. Pada saat itu semangat untuk
memerangi imperialisme dan kolonialis begitu kuat di lingkungan pengikutpengikut PKI. Pengikut Tan Malaka masih terus dapat mempertahankan
kerangka struktur yang biasanya dilakukan melalui kontak pribadi di desadesa atau bekerja sama dengan organisasi-organisasi agama lainnya.
Sementara itu Partai Nasional Indonesia (PNI) terus menggelorakan programprogram perjuangan. Kritik tajam terhadap kekejaman kolonialisme dan
imperialis terus dilancarkan. Oleh karena itu, PNI di bawah pimpinan Ir.
Sukarno terus mendapat tekanan dari Belanda. Sukarno sebagai pimpinan PNI
karena aksi-aksi yang dengan radikal terhadap pemerintah Belanda, akhirnya
ditangkap dan diadili. Menjelang vonis pengadilan dijatuhkan, Sukarno
sempat mengucapkan pidato pembelaan untuk membakar semangat para
pejuang. Pidato pembelaan itulah yang kemudian dibukukan dengan judul:
“Indonesia Menggugat”.
Pidato pembelaan Bung Karno yang kemudian diberi judul Indonesia
Menggugat itu telah ikut membangun kesadaran tentang dampak
penjajahan dan imperialisme modern yang akan membawa kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu, setiap organisasi dan partai yang
berjiwa kemerdekaan akan menolak dan melakukan perlawanan terhadap
kekejaman penjajah dan imperialisme (baca: Indonesia Menggugat. Pidato
Bung Karno tentang Indonesia Menggugat itu telah ikut mendorong
terjadinya penguatan kesadaran sebagai bangsa yang harus merdeka.
Pidato pembelaan Bung karno yang cukup kritis dan keras untuk tidak
mempengaruhi pendirian hakim. Putusan pengadilan akhirnya menjatuhkan
hukuman kurungan kepada Sukarno. Ia ditahan di Penjara Sukamiskin
selama empat tahun terhitung Desember 1930. Selama Sukarno menjalani
masa penahanannya PNI pecah menjadi dua, Partai Indonesia (Partindo)
dipimpin oleh Sartono dan Pendidikan Nasional Indonesia Baru dipimpin oleh
Mohammad Hatta dan Syahrir. Setelah bebas Sukarno masuk dalam Partai
Indonesia.
Partai Indonesia pimpinan Sukarno lebih menekankan pada mobilisasi massa,
sedangkan Hatta dan Sjahrir lebih menekankan pada organisasi kader yang
akan menentang tekanan pemerintah kolonial Belanda dengan keras dan
lebih menanamkan pemahaman ide nasionalisme. Namun demikian, kedua
strategi politik itu belum mencapai hasil yang maksimal. Akhirnya, ketiga
tokoh itu ditangkap dan diasingkan oleh Belanda dan ditahan serta diasingkan
pada 1933. Kedua organisasi yang
didirikan oleh ketiga tokoh itupun
dibubarkan oleh pemerintah
kolonial.
Sukarno dengan ide-ide
nasionalisme itu memang terus
diawasi. Selepas dari penjara
Sukamiskin kemudian diasingkan
ke Ende, Flores, Nusa Tenggara
Timur. Ia ditempatkan di sebuah
rumah (konon rumah ini milik Haji
Abdullah). Bersama keluarganya,
Sukarno selama empat tahun
(1934-1938) diisolasi dijauhkan dari
dinamika perjuangan kebangsaan. Tetapi ide dan semangat nasionalismenya
tidak pernah padam. Dikisahkan di pengasingan itu Sukarno sering
merenung di bawah pohon sukun yang ada di dekat rumah itu. Kebetulan
pohon sukun itu bercabang lima. Ia merenungkan nilai-nilai luhur yang ada
dalam kehidupan Bangsa Indonesia
sejak zaman Praaksara. Nilai-nilai
itulah yang kemudian dirumuskan
menjadi nilai-nilai dalam Pancasila.
Menurut Cindy Adam, Sukarno
memberi nama Pancasila itu karena
terinspirasi dengan pohon sukun
yang bercabang lima dan daun
sukun yang memiliki lima sirip
kanan, kiri, dan tengah.
Sukarno ternyata tidak hanya
diisolasi, sebagai tahanan
pemerintah, Sukarno justru masih
harus berjuang untuk menghidupi
anggota keluarganya. Inilah
perjuangan dan pengorbanan
yang harus dilakukan Sukarno di
pengasingan
4. Volksraad: Wahana Perjuangan
Sementara Sukarno dan beberapa tokoh lain ditahan, organisasi pergerakan
untuk menentang Belanda terus berjalan. Kelompok yang beraliran Marxis
mendirikan Gerakan Rakjat Indonesia (Gerindo) di bawah kepemimpinan Amir
Sjarifuddin dan A.K. Gani. Partai ini cenderung menampakkan faham fasisme
internasional. Di Sumatera Timur, PNI, PKI, Permi, dan Partindo pemimpinnya
berasal dari organisasi-organisasi radikal dari tahun-tahun sebelumnya.
Gerindo sebagai partai yang berpaham marxis lebih menunjukkan sikap
anti kolonialisme, anti-Eropa dan antikapitalisme. Desakan-desakan untuk
kemerdekaan nasional sangat kuat dan radikal. Organisasi itu juga tidak
sepaham dengan sistem feodalisme, nasionalisasi perusahaan-perusahaan
kapital dan restorasi hak-hak tanah pribumi.
Sementara itu, Gabungan Politik Indonesia (GAPI) didirikan pada tahun 1939.
Tokoh pendiri GAPI yaitu Muhammad Husni Thamrin. Dalam gabungan itu,
Gerindo berada dalam satu arah dengan Parindra yang dipimpin oleh Thamrin
dan sebelumnya oleh Sutomo. Parindra yaitu partai politik Indonesia yang
paling berpengaruh di Hindia, karena keberhasilannya dalam pemilihan di
volksraad. Thamrin kemudian memimpin front Indonesia bersatu di dalam
Volksraad yang disebut Fraksi Nasional.
Pada akhir tahun 1929, pimpinan PNI ditangkap. Untuk melanjutkan
perjuangan maka dibentuklah fraksi baru dalam volksraad yang bernama
Fraksi Nasional, pada Januari 1930 di Jakarta. Fraksi itu diketuai oleh
Muhammad Husni Thamrin yang beranggotakan sepuluh orang yang berasal
dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Tujuan organisasi itu yaitu menjamin
kemerdekaan Indonesia dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Penangkapan pimpinan PNI menjadi pembicaraan di kalangan Fraksi Nasional.
Mereka mengecam tindakan pemerintah terhadap ketidakadilan yang
diterapkan terhadap gerakan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Atas
usulan Fraksi Nasional itu volksraad meninjau ulang kebijakan pemerintah
kolonial. Pemerintah kemudian mengusulkan perkara yang dituduhkan
kepada para pemimpin ke pengadilan tinggi, bukan pengadilan negeri.
Akan tetapi permintaan itu ditolak, karena masalah itu menyangkut masalah
perbuatan pidana, bukan masalah pelanggaran politik. Jelaslah bahwa
gerakan yang dilakukan oleh kaum pergerakan dianggap sebagai kejahatan
yang mengganggu keamanan bukan sebagai gerakan politik.
Fraksi Nasional juga menolak usulan pemerintah untuk memperkuat
pertahanan yang dapat menghabiskan biaya yang besar. Ini berarti menambah
kesengsaraan rakyat karena situasi ekonomi saat itu sedang mengalami
depresi. Menurut Fraksi Nasional lebih baik biaya itu digunakan untuk
meningkatkan kesejateraan rakyat. Sementara pengawasan dalam bidang
politik semakin diperketat dengan adanya bermacam-macam larangan,
seperti larangan berkumpul, pembredelan surat kabar, dan propaganda.
Fraksi Nasional juga mendorong anggotanya untuk lebih berperan dalam
Volksraad. Para nasionalis di Volksraad diminta untuk bersikap nonkooperasi.
Meskipun aspirasi masyarakat sudah mendapat tempat, melalui perjuangan
yang bersikap moderat dalam perjuangannya, rasa tidak puas terhadap
pemerintah terus berkembang. Kericuhan sempat muncul dengan adanya
Petisi Sutardjo pada 15 Juli 1936, dalam sidang Volksraad. Petisi itu
menyuarakan tentang kurang giatnya pergerakan nasional dalam pergerakan
yang disebabkan oleh tidak adanya saling pengertian dari pihak pemerintah.
Situasi politik dunia saat itu, yaitu sedang berkembangnya naziisme dan
fasisisme seharusnya membuat pemerintah waspada melihat bahaya yang
mungkin mengancam Indonesia, sehingga perlu mempererat hubungan
dengan Pergerakan Nasional Indonesia.
Sutardjo Kartohadikusumo, yang saat itu sebagai ketua Persatuan Pegawai
Bestuur/Pamong Praja Bumi Putera dan wakil dari organisasi itu di Volksraad,
mendapat dukungan dari beberapa wakil golongan dan daerah dari Volksraad
mengusulkan diadakan suatu musyawarah antara wakil Indonesia dan
Kerajaan Belanda untuk menentukan masa depan bangsa Indonesia yang
dapat berdiri sendiri meskipun dalam ruang lingkungan Kerajaan Belanda.
Petisi itu melahirkan pro dan kontra, baik di kalangan Indonesia dan Belanda.
Petisi itu mendapat persetujuan mayoritas dari anggota Volksraad, selanjutnya
disampaikan pada pemerintah kerajaan dan parlemen Belanda. Partai
Nasional saat itu memperingatkan para pendukung petisi, bahwa tindakan
yang diambil itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, seperti
Volksraad sehingga usaha itu sia-sia belaka. Pendukung petisi itu tidak
menghiraukan peringatan itu, bahkan membentuk suatu komite agar petisi
itu mendapat dukungan luas di kalangan rakyat. Kondisi itu tidak hanya
bergerak di Indonesia saja, bahkan hingga ke negeri Belanda, sehingga
menyetujui petisi itu.
Petisi itu tanpa melalui perdebatan ditolak oleh pemerintah Belanda pada 16
November 1938. Alasan penolakan petisi yaitu Indonesia belum siap untuk
memikul tanggungjawab memerintah diri sendiri. Bangsa Indonesia juga
dinilai belum mampu untuk berdiri apalagi menjadi negara yang merdeka.
Cara penolakan yang tanpa perdebatan di parlemen mengecewakan pihak
pergerakan nasional, meskipun pihak yang ditolak sesungguhnya telah
menduga sebelumnya. Realitas itu menunjukkan bahwa tuntutan rakyat
Indonesia tidak dibicarakan secara terbuka di parlemen.
PETISI SUTARDJO:
1. Volksraad sebagai parlemen sesungguhnya,
2. Direktur departemen diberi tanggungjawab,
3. Dibentuk Dewan Kerajaan sebagai badan tertinggi antara negeri Belanda dan Indonesia yang anggotanya merupakan
wakil kedua belah pihak,
4. Penduduk Indonesia yaitu orang-orang yang karena
kelahirannya, asal usulnya, dan cita-citanya memihak Indonesia.
a. Partai Indonesia Raya (Parindra)
Partai Indonesia Raya didirikan di Solo pada Desember 1935. Partai ini
merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi yaitu BU dan PBI.
Sebagai ketuanya dipilih dr. Sutomo. Tujuan partai yaitu mencapai Indonesia
Raya dan mulia yang hakekatnya mencapai Indonesia merdeka.
Di Jawa anggota Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian
disebut dengan kaum kromo. Di daerah lain masuk kaum Betawi, Serikat
Sumatera, dan Sarikat Selebes. Partai ini yaitu yang mengajukan petisi
Sutardjo yang ditandatangani oleh Sutardjo, penandatanganan pertama,
yang lainnya I.J. Kasimo,.dr. Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung, Kwo Kwat
Tiong, dan Alatas.
b. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Kegagalan Petisi Sutardjo mendorong gagasan untuk menggabungan
organisasi politik dalam suatu bentuk federasi. Gabungan Politik Indonesia
(GAPI) itu diketuai oleh Muh. Husni Thamrin. Pimpinan lainnya yaitu Mr.
Amir Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosuyoso. Alasan lain dibentuknya GAPI
yaitu adanya situasi internasional akibat meningkatnya pengaruh fasisme.
Juga sikap pemerintah yang kurang memperhatikan kepentingan Bangsa
Indonesia. Kemenangan dan kemajuan yang diperoleh negara fasis yaitu,
Jepang, Jerman, Italia tidak menggembirakan Indonesia. Karena itu pers
Indonesia menyerukan untuk menyusun kembali barisan dalam suatu wadah
persatuan berupa “konsentrasi nasional”.
Parindra berpendapat pentingnya untuk perjuangan ke dalam, yaitu
menyadarkan dan menggerakkan rakyat untuk memperoleh suatu
pemerintahan sendiri, serta menyadarkan pemerintah Belanda akan citacita bangsa Indonesia. Juga mengadakan perubahan pendekatan dengan
organisasi-organisasi politik untuk membicarakan masa depan Bangsa
Indonesia. Pada 21 Mei 1939, dalam rapat pendirian konsentrasi nasional di
Jakarta berhasil didirikan suatu organisasi yang merupakan kerja sama partai
politik nasional di Jakarta yang diberi nama Gabungan Partai Politik Indonesia
(GAPI).
Anggaran Dasar GAPI menyebutkan, bahwa GAPI mempunyai hak untuk
menentukan diri sendiri; persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia
dengan berdasarkan kerakyatan dalam paham politik, ekonomi, sosial, dan
persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia. Dalam konferensi I GAPI (4 Juli
1939) dibicarakan aksi GAPI dengan semboyan Indonesia berparlemen. GAPI
tidak menuntut kemerdekaan penuh, tetapi suatu parlemen berdasarkan
sendi demokrasi.
Untuk mencapai tujuannya, GAPI menyerukan pada rakyat Indonesia agar
didukung oleh semua lapisan masyarakat. Seruan itu disambut hangat oleh
Pers Indonesia. Pada 1939, GAPI mengadakan rapat umum. Tidak kurang
dari seratus tempat mengadakan rapat propaganda tujuan GAPI, sehingga
suasana di Indonesia saat itu menyerukan Indonesia berparlemen. Penyadar,
PNI Baru, dan Perkumpulan Kristen Indonesia tidak sependapat dengan GAPI.
Mereka berpendapat tidak ada gunanya bersifat meminta-minta kepada
Belanda.
Untuk mencapai tujuannya, GAPI membentuk Kongres Rakyat Indonesia
(KRI). Tujuan kongres untuk kesempurnaan Indonesia dan cita-citanya, yaitu
Indonesia Berparlemen penuh. Keputusan penting lainnya yaitu penetapan
bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu
persatuan Indonesia. Juga penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa
rakyat Indonesia. Selanjutnya dibentuk Komite Parlemen Indonesia.
Saat Jerman menyerbu Polandia, GAPI mengeluarkan Manifest GAPI (20
September 1939). Isi manifest itu mengajak rakyat Indonesia dan Negeri
Belanda untuk bekerja sama menghadapi bahaya fasisme. Menurut GAPI
usaha itu lebih berhasil bila rakyat Indonesia diberi hak baru dalam urusan
pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan dengan parlemen yang dipilih dari,
oleh rakyat, dan pemerintah yang bertanggungjawab kepada parlemen.
Pada Agustus 1940, saat negeri Belanda dikuasai Jerman dan Indonesia
dinyatakan dalam darurat perang, GAPI kembali mengeluarkan resolusi yang
menuntut diadakannya perubahan ketatanegaraan di Indonesia dengan
menggunakan hukum tata negara dalam masa genting. Isi resolusi yaitu
mengganti Volksraad dengan parlemen sejati yang anggotanya dipilih
rakyat dan mengubah fungsi kepala departemen menjadi menteri yang
bertanggungjawab kepada parlemen. Bagi rakyat serta organisasi lainnya
yang tidak bergabung dalam GAPI diminta untuk mendukung GAPI. Resolusi
itu dikirimkan ke gubernur jenderal, Volksraad, Ratu Wilhelmina, dan kabinet
Belanda di London.
Aksi gigih yang dilakukan itu menghasilkan persetujuan pemerintah. Pada 14
September 1940 dibentuk Commissie tot besudeering van staatsrechtelijke
Hervormigen. Komisi itu dikenal dengan komisi Visman, karena diketuai oleh
D. Visman. Pembentukan komisi itu tidak
mendapat sambutan baik dari
Volksraad maupun dari GAPI sendiri. Ketidaksetujuan itu didasarkan dari
pengalaman sebelumnya, bahwa pembentukan komisi tidak menghasilkan
perbaikan nasib rakyat seperti yang diinginkan. Untuk menghindari
ketidaksamaan pendapat dalam menghadapi komisi Visman, GAPI meminta
anggota-anggotanya untuk tidak memberikan pendapatnya sendiri-sendiri.
Sikap GAPI menjadi lunak ketika menerima undangan secara resmi dari
komisi Visman. Sementara itu Volksraad
mengajukan suatu mosi yang lebih ringan
dengan mengajak kerja sama pemimpin
Indonesia dan pemerintah Belanda.
Pertemuan wakil GAPI dengan komisi
Visman pada 14 Februari 1941 di
Gedung Raad van Indie, di Jakarta tidak
menghasilkan hal baru. Pertemuan itu
hanya menambahkan kekecewaan pada
kalangan pergerakan sehingga ada
anggapan GAPI tidak radikal lagi.
Tentang Penguatan Jatidiri
Kebangsaan selengkapnya
kamu bisa membaca buku
dari Taufik Abdullah dan A.B.
Lapian, Indonesia dalam
Arus Sejarah, 2012, juga
buku Suhartono, Sejarah
Pergerakan Nasional: dari Budi
Utomo sampai Proklamasi
1908 -1945, juga buku Siti
Waridah Q (dkk), 1997,
Sejarah Nasional Indonesia
dan Dunia, buku Hans van
Miert, Dengan Semangat
Berkobar: Nasionalisme
dan Gerakan Pemuda di
Indonesia, 1918-1930, 2003,
juga buku Susanto Tirtoprodjo,
Sejarah Pergerakan Nasional
Indonesia, 1960 .
5. Tamatnya Kemaharajaan Belanda
Ratusan tahun sudah Belanda membangun kemaharajaan di Kepulauan
Indonesia, di tanah Hindia Belanda. Secara interen pejuang dan para pemuda
yang kemudian berpolitik untuk mewujudkan persatuan guna melawan
penjajahan. Roda kebangsaan digerakkan untuk melawan ganasnya roda
kolonialisme dan imperialisme. Tetapi tampaknya roda kolonialisme dan
imperialisme itu masih cukup kokoh. Tetapi para pejuang dan intelek muda
kita tidak pernah putus asa. Roda kebangsaan terus digerakkan di berbagai
penjuru yang dipandang memungkinkan untuk mendapatkan kebebasan
termasuk melalui Volksraad.
Kebijakan politik etis telah diterapkan sebagai pengaman dari sebuah
pertanggungjawaban pemerintah kolonial terhadap negeri jajahan yang
rakyatnya sudah lama dibuat menderita. Pintu pendidikan dan politik bagi
kaum bumiputera, dibuka untuk memberi kesempatan para pejuang kita
untuk mengekspresikan strategi perjuangannya secara lebih demokratis,
berbeda dari perjuangan masa-masa sebelumnya. Tetapi semua ini tidak
dapat berjalan cepat sebagaimana harapan para pejuang pergerakan
kebangsaan. Kekuatan kolonialisme dan imperialisme Belanda tampak
masih mampu mengontrol para pejuang kita. Masuknya bumiputera sebagai
anggota Volksraad bukan berarti kaum bumiputera diberi hak penuh untuk
menyuarakan pendapatnya. Namun setidaknya Volksraad sudah memberikan
peluang para wakil Hindia, yang membukakan wawasan mereka perlunya
persatuan untuk melakukan gerakan nasional dalam melawan dominasi
kolonialisme dan imperialisme Belanda.
Di tengah-tengah roda pergerakan kebangsaan bergesekan dan beradu
dengan roda kolonialisme dan imperialisme, Tuhan Yang Maha Kuasa, telah
membuat skenario baru, yakni berkobarnya Perang Dunia II. Perang itu pun
dengan cepat menjalar ke Indonesia yang ditandai dengan datangnya tentara
Jepang yang kemudian ikut menyudahi kemaharajaan Belanda di Indonesia.
Afdeling: daerah yang merupakan bagian dari daerah karesidenan yang dipimpin
oleh seorang Asisten Residen
Aneksasi: pengambilan dengan paksa tanah (wilayah) negara lain untuk disatukan
dengan tanah (negara) sendiri; penyerobotan; pencaplokan
Bangsa Moor: sebutan untuk kaum Muslim
Cultuurstelsel: Sistem Tanam Paksa yang digagas oleh Van den Bosch
de Heeren XVII (Dewan Tujuh Belas): Dewan pimpinan VOC yang beranggotakan 17
orang wakil dari enam kamar dagang di Belanda
De Javasche Bank, yaitu sebuah bank yang didirikan oleh Belanda di Batavia
pada tanggal 24 Januari 1828
devide et impera: Politik Adu domba
Dualisme pemerintahan. Pada masa penjajahan ada dua pemerintahan yakni
pemerintahan Eropa (Europees bestuur) dan pemerintahan pribumi (Inlands
bestuur).
East India Company (EIC):.Kongsi dagang Inggris berkantor pusat di India.
Ekspansif: bersifat meluas
Eksploitasi: pemanfaatan untuk keuntungan sendiri
Feodalisme yaitu sistem sosial politik yang memberikan kekuasaan besar kepada
bangsawan.
glory: memburu kejayaan, superioritas, dan kekuasaan. Dalam kaitan ini mereka
saling bersaing dan ingin berkuasa di dunia baru yang ditemukannya.
gold: memburu kekayaan dan keuntungan dengan mencari dan mengumpulkan
emas, perak dan bahan tambang serta bahan-bahan lain yang sangat
berharga. Waktu itu yang dituju terutama Guinea dan rempah-rempah dari
Timur
gospel: menjalankan tugas suci untuk menyebarkan agama. Pada mulanya orangorang Eropa ingin mencari dan bertemu Prester John yang mereka yakini
sebagai Raja Kristen yang berkuasa di Timur
Grote Postweg : jalan raya pos antara Anyer–Panarukan sejauh 1.000 km.
gugur gunung: bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan
(bersama)
Imperialisme yaitu sistem politik yang bertujuan menjajah negara lain untuk
mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yang lebih besar.
Interaksi yaitu saling berhubungan.
Intervensi yaitu campur tangan dalam perselisihan antara dua pihak.
Kapitulasi yaitu penyerahan kekuasaan sebagai akibat kekalahan dalam peperangan
kepada pihak pemenang.
Kapitulasi Tuntang: perjanjian pengalihan kekuasaan di Hindia dari Belanda kepada
Inggris di Tuntang pada 18 September 1811
Kolonialisme: paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau
bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu
Komisaris Jenderal: Badan pemerintah baru yang dibentuk oleh Pangeran Willem
VI setelah Inggris mengembalikan kekuasaan kepada Belanda. Terdiri atas
tiga orang, yakni: Cornelis Theodorus Elout (ketua), Arnold Ardiaan Buyskes
(anggota), dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen (anggota).
Komoditas yaitu barang dagangan utama.
Kongsi yaitu persekutuan dagang.
Konvensi London: Perjanjian yang mengharuskan Inggris mengembalikan tanah
jajahan di Hindia kepada Belanda tahun 1814.
Landrente yaitu pajak tanah.
Legiun Mangkunegara: Legiun Mangkunegaran yaitu organisasi militer ala Eropa
tepatnya Militer Perancis yang merupakan institusi modern di Asia pada awal
abad ke-19.
Liberalisme yaitu aliran ketatanegaraan dan ekonomi yang menghendaki demokrasi
dan kebebasan pribadi.
liberte, egalite dan fraternite: kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. prinsipprinsip baru yang menggulingkan tradisi, hierarki monarki, aristokrat, dan
kekuasaan Gereja Katolik.
Mobilisasi yaitu pengerahan tenaga manusia untuk dijadikan tentara.
Moderat yaitu menghindari perilaku yang bersifat ekstrem.
Nederlansche Handel Matschappij (NHM): Perusahaan Perdagangan Belanda
Onderkoopman: Pedagang Muda
Ordonansi: peraturan pemerintah
Padrao: patok batu sebagai tanda bahwa daerah yang ditemukan itu milik Portugis
Pasar Monopoli: hak tunggal untuk berusaha
Pasukan kavaleri: pasukan berkuda
Pelayaran Hongi: Pelayaran hongi yaitu pelayaran yang diadakan oleh VOC
dengan menggunakan senjata lengkap untuk mengawasi jalannya monopoli
perdagangan.
Prefektur: wilayah yang memiliki otoritas.
Propaganda yaitu penjelasan yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan
seseorang agar menganut aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu.
Raad van Indie (Dewan Hindia): Dewan yang bertugas memberi nasihat dan
mengawasi kepemimpinan gubernur jenderal.
Radikal yaitu kemajuan dalam berpikir dan bertindak untuk menuntut perubahan.
Rasionalisme yaitu paham yang mengatakan bahwa sumber dari segala kebenaran
yaitu pikiran manusia.
Republik Bataaf: Pemerintahan baru Belanda sebagai bagian dari Perancis yang
dipimpin oleh Louis Napoleon saudara dari Napoleon Bonaparte.
Revolusi Perancis: suatu periode sosial radikal dan pergolakan politik di Perancis
yang memiliki dampak abadi terhadap sejarah Perancis, dan lebih luas lagi,
terhadap Eropa secara keseluruhan
Sambatan: membantu untuk mengurangi beban keluhan karena pekerjaan yang
banyak.
Sawo matang: untuk memberi gambaran warna kulit orang Indonesia
Staatsblad: Lembaran Negara
Staten Generaal: Parlemen Belanda
Traktat London: Perjanjian antara Inggris dan Belanda yang isinya antara lain bahwa
Belanda setelah mendapatkan kembali tanah jajahannya di Kepulauan
Nusantara, tidak dibenarkan mengganggu kedaulatan Aceh tahun 1824.
Traktat Sumatera: Perjanjian yang memberikan Belanda kebebasan untuk meluaskan
daerahnya sampai ke Aceh tahun 1871.
Vadem: satuan ukur. satu vadem sama dengan 182 cm.
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC): Kongsi dagang Belanda berkantor pusat
di Batavia
Volksraad yaitu Dewan Perwakilan Rakyat pada masa penjajahan Belanda
Related Posts:
sejarah negara kita 4 F. Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916). Ada tiga program Politik… Read More