Rabu, 12 Juli 2023

sejarah negara kita 4

F. Idenburg 
yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916). 
Ada tiga program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan trasmigrasi. Adanya 
Politik Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan 
politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol 
baru yaitu “kemajuan”. Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupan pun 
mulai mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan 
dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Di Batavia lambang kemajuan 
ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa 
itu. Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memberikan perhatiannya
pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi. 
Di samping itu, pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai tenaga kerja 
murah di perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera. 
Hal yang sangat penting untuk mendukung simbol kemajuan itu maka dalam 
era Politik Etis ini dikembangkan program pendidikan. Pendidikan ini ternyata 
tidak hanya untuk orang-orang Belanda tetapi juga diperuntukkan kepada 
kaum pribumi, tetapi dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Suasana 
dan simbol kemajuan melalui program pendidikan ini juga didukung oleh 
adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di 
Belanda, yang merupakan inspirasi bagi kaum etis pada saat itu. Semangat 
era etis yaitu kemajuan menuju modernitas. Perluasan pendidikan gaya 
Barat yaitu tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu. Pendidikan itu tidak saja 
menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, tetapi juga pada 
sektor swasta Belanda. 
Dalam bidang pendidikan meskipun 
dampaknya sangat kecil kepada 
penduduk pribumi, tetapi membawa 
dampak pada tumbuhnya sekolah￾sekolah. Pada tahun 1900, tercatat 
sebanyak 169 Eurepese Lagree School
(ELS) di seluruh Hindia Belanda. 
Dari sekolah ini murid-murid dapat 
melanjutkan pelajaran ke STOVIA 
(School tot Opleiding van Indische 
Artsen) ke Batavia atau Hoogeree 
Burgelijk School (HBS). Di samping itu 
juga dikenal sekolah OSVIA (sekolah 
calon pegawai) yang berjumlah enam 
buah.
Untuk memperluas program pendidikan maka keberadaan sekolah guru 
sangat diperlukan. Dikembangkan sekolah guru. Sebenarnya Sekolah Guru 
atau Kweekkschool sudah dibuka pada tahun 1852 di Solo. Berkembanglah 
pendidikan di Indonesia sejak jenjang pendidikan dasar seperti Hollands 
Inlandse School (HIS) kemudian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). 
Untuk kelanjutan pendidikannya kemudian dibuka sekolah menengah yang 
disebut Algemene Middelbare School (AMS), juga ada sekolah Hogere Burger 
School (HBS). Kemudian khusus untuk kaum pribumi disediakan “Sekolah 
Kelas Satu” yang murid-muridnya berasal dari anak-anak golongan atas yang 
nanti akan menjadi pegawai, dan kemudian rakyat pada umumnya disediakan 
“Sekolah Kelas Dua” yang di Jawa dikenal dengan “Sekolah Ongko Loro”. 
Bagi para pemuda aktifis banyak yang bersekolah di School tot Opleiding 
van Indische Artsen (STOVIA) yang berpusat di Batavia. Sekolah ini sering 
disebut dengan “Sekolah Dokter Jawa” Dari sekolah ini lahir beberapa tokoh 
pergerakan kebangsaan.
Memang harus diakui, meskipun penduduk pribumi yang dapat bersekolah 
sangat sedikit, namun keberadaan sekolah itu telah menumbuhkan kesadaran 
di kalangan pribumi akan pentingnya pendidikan. Hal ini mempercepat 
proses modernisasi dan munculnya kaum terpelajar yang akan membawa 
pada kesadaran nasionalisme.
Munculnya kaum terpelajar itu 
mendorong munculnya surat kabar, 
seperti, Pewarta Priyayi yang dikelola 
oleh R.M Tjokroadikoesoemo. Juga 
koran-koran lain, seperti Surat kabar 
De Preanger Bode (1885) di Bandung, 
Deli Courant (1884) di Sumatera 
Timur, Makassarsche Courant (1902) 
di Sulawesi, Bromartani (1855) di 
Surakarta, Bintang Hindia (1902) 
yang dikelola oleh Abdul Rivai, 
membawa pencerahan di kalangan 
pribumi. Dari berbagai informasi 
yang ada di surat kabar inilah lambat 
laun kesadaran akan pentingnya 
persamaan, kemerdekaan terus 
menyebar ke kalangan terpelajar di
seluruh wilayah Hindia Belanda. Berkat informasi yang berkembang inilah 
kaum terpelajar terus melakukan dialog dan berdebat tentang masa depan 
tanah kelahirannya sehingga kesadaran pentingnya kemerdekaan terus 
berkembang dari waktu ke waktu yang puncaknya yaitu adanya kesadaran 
untuk menjadi satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yaitu Indonesia 
pada 28 Oktober 1928.
Hasrat untuk meraih kemajuan bangsa Indonesia muncul ketika banyak pemuda 
telah mengecap bangku sekolah, baik dalam maupun luar negeri. Selain itu, 
munculnya surat kabar telah memupuk kesadaran berbangsa dari seluruh lapisan 
masyarakat bumiputra. Kesadaran ini makin tampak dengan banyaknya organisasi 
kaum muda, yang mengarahkan tujuannya untuk membentuk suatu bangsa dan 
negara yang merdeka”
Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), Indonesia Dalam Arus Sejarah VI (2012)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa kaum muda terpelajar mempunyai 
peranan yang cukup penting bagi kesadaran untuk mencapai kemajuan 
dalam kehidupan berbangsa. Dalam catatan sejarah dapat diingat bagaimana 
peran para pemuda dan kaum terpelajar. Hal ini tampak jelas terutama setelah 
dilaksanakan Politik Etis di Indonesia. Dibukanya program edukasi telah 
membuka jalan lahirnya kaum muda terpelajar yang kemudian menggerakkan 
kesadaran kebangsaan sehingga melahirkan gerakan kebangkitan nasional 
di Indonesia. Puncaknya yaitu terjadinya peristiwa Sumpah Pemuda yang 
telah meneguhkan tiga pilar jati diri keindonesiaan: tanah air, bangsa, dan 
bahasa Indonesia.
Setelah berhasil menggelorakan Sumpah Pemuda, hampir setiap momen 
perubahan dan pembaharuan di Indonesia tidak pernah lepas dari peran 
pemuda. Sebut saja peristiwa Proklamasi Indonesia, penumpasan G30S/PKI 
dan lahirnya Orde Baru serta gerakan reformasi tahun 1998, kaum muda 
tampil sebagai penggerak dan pelopor. Peranan mereka dapat menentukan 
kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tetapi sayang dalam kehidupan dewasa ini nilai-nilai kepeloporan kaum 
muda terpelajar itu tidak sepenuhnya dapat dipahami dan diteladani oleh 
para remaja, pemuda dan juga kaum terpelajar, kecuali sebagian kecil. 
Marilah kita perhatikan gejala dan kehidupan yang nampak pada remaja dan 
masyarakat kita di berbagai daerah dewasa ini. Munculnya perilaku anarkis 
di kalangan remaja, perkelahian antarpelajar, penyalahgunaan narkoba dan 
rapuhnya rasa nasionalisme. Tidak sedikit di antara remaja kita yang lebih 
gandrung dengan budaya dan produk luar negeri ketimbang mencintai 
budaya dan produk negeri sendiri, juga munculnya rasa etnosentrisme 
hampir dapat kita jumpai di berbagai daerah. Penggunaan Bahasa Indonesia 
yang mulai rusak-rusakan. Penolakan terhadap seorang pemimpin karena 
tidak berasal dari suku bangsa yang sama, atau karena perbedaan keyakinan, 
masih merupakan hal yang sering kali dapat kita lihat dari berbagai media, 
baik cetak maupun elektronik. Hal ini sebagai indikator rendahnya semangat 
nasionalisme dan jati diri keindonesiaan di lingkungan masyarakat kita. 
Tetapi di tengah-tengah merosotnya rasa nasionalisme dan jati diri bangsa 
ini ada seorang bocah berumur 8 tahun yang sudah mahir bermain sepak 
bola yang bernama Tristan Alif Naufal. Kini ia tengah mendapat undangan 
untuk berlatih sepak bola di klub Ajax Amsterdam, Belanda. Ia bersama 
kedua orang tuanya mendapat kesempatan menjadi warga negara Belanda 
dan mendapat kesempatan menjadi pemain sepak bola di Tim Oranye yang 
memang sangat menjanjikan. “Aku mau bela Tim Nasional Indonesia. Aku 
tidak mau jadi warga negara Belanda, “aku mau tetap jadi orang Indonesia”, 
ujar Alif”. (Tribun Kaltim, 3 November 2013). Sungguh luar biasa pendirian 
anak berusia 8 tahun itu. Sudah barang tentu ilustrasi itu menginspirasi 
dan menggerakkan hati serta kesadaran kita untuk meneguhkan kembali 
semangat nasionalisme kita.
Sehubungan dengan problem kehidupan remaja dan masyarakat yang mulai 
melemah semangat keindonesiaannya dan inspirasi dari anak berusia 8 tahun 
itu, penting untuk merevitalisasi nilai-nilai kepeloporan para pemuda yang 
telah menggelorakan nasionalisme serta prinsip persatuan dan kesatuan 
bangsa. Melalui kegiatan belajar kemudian memahami dan menghayati materi 
bab tentang Sumpah Pemuda dan Jati diri Keindonesiaan ini diharapkan dan 
dapat menumbuhkan semangat nasionalisme dan mengaplikasikan dalam 
kehidupan sehari-hari.

1. Politik Etis: Pintu Pembuka Pendidikan Modern
Memasuki abad ke-20, kebijakan pemerintah kolonial Belanda mendorong 
untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. Kebijakan itu diikuti dengan 
penaklukkan terhadap wilayah-wilayah yang belum dikuasai, jika perlu 
dengan pendekatan militer. Daerah-daerah kolonial yang masih terpisah 
disatukan dalam penerapan adminstrasi baru yang berpusat di Batavia, yang 
disebut Pax Neerlandica. Pemerintah kolonial pun melakukan perjanjian￾
perjanjian. Selanjutnya sistem administrasi tradisional berubah ke sistem 
administrasi modern. Suatu sistem yang mana pemerintahan mengambil 
alih sistem pemimpin pribumi ke sistem birokrasi kolonial. Kebijakan ini 
ditetapkan untuk mengambil posisi penting dari pemimpin daerah ke tangan 
Belanda. Sistem itu memisahkan pemimpin pribumi dari akar hubungan 
tradisonal dengan rakyatnya, mereka kemudian dijadikan pegawai dalam 
birokrasi kolonial.
Serangkaian tindakan penjajahan Belanda tersebut telah menimbulkan 
banyak perlawanan dari pihak bangsa Indonesia. Strategi perlawanan yang 
ditempuh waktu umumnya dengan perlawanan bersenjata. Sayangnya 
perlawanan dalam menghadapi kekuatan kolonialisme dan imperialisme 
itu masih bersifat lingkup daerah atau wilayah tertentu. Riau melancarkan 
perlawanan sendiri, Banten perang sendiri, Mataram angkat senjata sendiri, 
Makasar begitu, Tondano juga begitu dan begitu seterusnya perlawanan 
Diponegoro berdiri sendiri, Padri sendiri, Aceh sendiri. Bahkan dari masing￾masing daerah atau pihak Indonesia ini bisa diadu domba. Orang-orang 
Madura diadu domba dengan Mataram, Aru Palaka dari Bone diadu dengan 
Hasanuddin dari Makassar, pasukan Ali Basya Sentot Prawirodirjo diadu 
dengan pasukan Padri. Sudah barang tentu ini sangat tidak menguntungkan 
dan sangat melemahkan para pejuang Indonesia. Pengalaman ini 
menunjukkan pentingnya cara-cara yang lebih terorganisasi dan didasarkan 
pada persatuan dan kesatuan. 
Sementara itu, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi yang 
berbasis pada sistem kapitalisme Barat, melalui komersialisasi, sistem moneter, 
dan komoditas barang. Sistem itu didukung dengan kebijakan pajak tanah, 
sistem perkebunan, perbankan, perindustrian, perdagangan, dan pelayaran. 
Dampak dari itu semua, kehidupan rakyat Hindia Belanda mengalami 
penurunan kesejahteraan. Kebijakan itu mendapat kritik dari politikus 
dan intelektual di Hindia Belanda, yaitu C.Th. Van Deventer. Ia membuat 
tulisan yang berjudul “Een Eereschlud’ (utang kehormatan), yang dimuat di 
majalah De Gids (1899). Dalam tulisannya Van Deventer mengatakan bahwa 
pemerintah Hindia Belanda telah mengeksploitasi wilayah jajahannya untuk 
membangun negeri mereka dan memperoleh keuntungan yang besar. Oleh 
karena itu, menurutnya sudah sewajarnya Belanda membayar utang budi itu 
dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara jajahan.
Kritikan itu mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Beberapa kelompok 
yang sependapat dengan Van Deventer mengungkapkan perlunya suatu 
kewajiban moral bagi Belanda untuk memberikan balas budi. Keuntungan 
yang didapat dari hasil ekploitasi di tanah Hindia harus dikembalikan. Untuk 
itulah perlu dilakukan perbaikan kesejahteraan penduduk melalui berbagai 
bidang kehidupan, pendidikan, dan besarnya partisipasi masyarakat dalam 
mengurus pemerintahan. Kritik-kritik itu mendapat perhatian serius dari 
pemerintah Belanda. Ratu Wilhelmina kemudian mengeluarkan suatu 
kebijakan baru bagi masyarakat Hindia Belanda yaitu meningkatkan 
kesejahteraan rakyat. Kebijakan baru itu yaitu Politik Etis.
Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era Politik 
Etis, yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang 
kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916). Ada tiga 
program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Adanya Politik 
Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik 
negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru 
yaitu “kemajuan”. Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupanpun mulai 
mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan 
dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Di Batavia lambang kemajuan 
ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa 
itu. Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memberikan perhatiannya 
pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi. 
Di samping itu, pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai tenaga kerja 
murah di perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera. 
Zaman kemajuan ditandai dengan adanya surat-surat R.A. Kartini kepada 
sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan inspirasi 
bagi kaum etis pada saat itu. Semangat era etis yaitu kemajuan menuju 
modernitas. Perluasan pendidikan gaya Barat sebagai model pendidikan 
modern merupakan tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu. Pendidikan itu 
hanya saja menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, tetapi 
juga pada sektor swasta Belanda.
Adanya pendidikan gaya Barat itu 
membuka peluang bagi mobilitas 
sosial masyarakat di tanah Hindia/
Indonesia. Pengaruh pendidikan Barat 
itu pula yang kemudian memunculkan 
sekelompok kecil intelektual bumiputra 
yang memunculkan kesadaran, bahwa 
rakyat bumiputra harus mampu 
bersaing dengan bangsa-bangsa lain 
untuk mencapai kemajuan. Golongan 
intelektual bumiputra itu disebut 
“priyayi baru” yang sebagian besar 
yaitu guru dan jurnalis di kota-kota. 
Pendidikan dan pers itu pula menjadi 
sarana untuk menyalurkan ide-ide dan 
pemikiran mereka yang ingin membawa 
kemajuan, dan pembebasan bangsa 
dari segala bentuk penindasan dari 
kolonialisme Belanda. Mereka tidak memandang Jawa, Sunda, Minangkabau, 
Ambon, atau apa pun karena mereka yaitu bumiputra. 
Pengalaman yang mereka peroleh di sekolah dan dalam kehidupan setelah 
lulus sangatlah berbeda dengan generasi orang tua mereka. Para kaum muda 
terpelajar inilah yang kemudian membentuk kesadaran “nasional” sebagai 
bumiputra di Hindia, dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis 
waktu yang tidak terhingga menuju modernitas, suatu dunia yang memberi 
makna baru bagi kaum pelajar terdidik saat itu. Mereka tentunya tidak 
mengenal satu sama lain di Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Yogyajakarta, 
Surabaya, dan seluruh wilayah Hindia. Mereka saling berbagi pengalaman, 
gagasan, dan asumsi tentang dunia, Hindia, dan zaman mereka. Pemerintah 
Kolonial Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang sejumlah 
tokoh Indonesia bergabung di dalamnya. Mereka menggerakkan wacana 
perubahan di lembaga tersebut.
2. Pers Membawa Kemajuan 
Pada awal abad ke-20, para priyayi baru menuangkan gagasannya melalui 
pers (media cetak) mengenai isu-isu perubahan. Isu-isu yang dipopulerkan, 
yaitu terkait dengan peningkatan status sosial rakyat bumiputra dan 
peningkatan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kata 
kemajuan menjadi populer pada saat itu. Kemajuan saat itu diartikan dengan 
pendidikan, pencerahan, peradaban, modernisasi, dan kesuksesan hidup. 
Pers merupakan sarana berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, kemajuan 
dan pergerakan nasional. Pada dekade itu ditandai dengan jumlah penerbitan 
surat kabar berbahasa Melayu yang mengalami peningkatan. Orang-orang 
pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu yaitu orang Indo seperti H.C.O. 
Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger dari Bintang Baru, dan 
G. Francis dari Pemberitaan Betawi.
Pada abad itu penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa 
itulah yang menjadikan pertumbuhan surat kabar berkembang pesat. Dalam 
perkembangannya kaum bumiputra juga mengambil bagian. Mereka 
pada mulanya magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, kemudian peran 
mereka meningkat sebagai redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa. 
Bermula dari itulah para bumiputra itu mendirikan sendiri penerbitan surat 
kabar mereka. Penerbit bumiputra pertama di Batavia yang muncul pada 
pertengahan abad ke-20 yaitu R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, 
dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar 
Perniagaan, dan Pewarta Prijaji.
Di Surakarta R.Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang diterbitkan 
oleh Albert Rusche & Co., di Yogyakarta Dr. Wahidin Sudirohusodo sebagai 
redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodhoemillah diterbitkan oleh Firma H. 
Buning.
Bermunculannya media cetak itu segera diikuti dengan munculnya sejumlah 
jurnalis bumiputra lainnya. Mereka yaitu R. Tirtodanudja dan R. Mohammad 
Jusuf. Keduanya yaitu redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij 
& Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoer yang diterbitkan di Malang oleh 
Kwee Khaij Khee. Di Bandung Abdul Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia 
yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co. Para jurnalis bumiputra itulah yang 
memberikan wawasan dan ”embrio kebangsaan” melalui artikel, komentar￾komentar mereka dalam surat pembaca, dan mengungkapkan solidaritas 
diantara mereka dan para pembaca yang sebagian besar yaitu kaum muda 
terpelajar. Misalnya Pewarta Prijaji yang disunting oleh R.M.T. Kusumo Utoyo 
seorang Bupati Ngawi, yang menyerukan persatuan di kalangan priyayi. 
Mereka juga mendapatkan dukungan dari simpatisan dan pelanggan dengan 
15 cabang di Jawa, Madura, dan Sumatera (lebih lanjut baca Takashi Shiraishi 
dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926). 
Sementara itu pergerakan kebudayaan “cetak” mulai masuk di beberapa 
kota kolonial lain, seperti Surabaya, Padang, dan Semarang. Kebudayaan 
cetak mempermudah kaum terdidik untuk memperoleh informasi. Pada 
tahun 1901, sebuah majalah bulanan Insulinde diterbitkan atas kerja sama 
para terpelajar di Kota Padang dengan guru-guru Belanda di sekolah raja 
(Kweekschool) Bukittinggi, terutama van Ophuysen, ahli bahasa Melayu. Ketua 
redaksi majalah itu yaitu Dja Endar Muda, seorang wartawan keturunan 
Tapanuli yang juga telah menerbitkan surat kabar Pertja Barat dan majalah 
bulanan berbahasa Batak, Tapian Nauli. Majalah Insulinde itu disebarkan ke 
seluruh Sumatera dan Jawa. Majalah itulah yang pertama memperkenalkan 
slogan “kemajuan” dan “zaman maju”. Satu diantara artikel menarik yang 
dimuat dalam Insulinde yaitu kisah kemenangan Jepang, negara “kecil” 
yang menang mengalahkan Tiongkok “yang besar”. Kemenangan Jepang itu 
disebabkan keberhasilannya dalam memasuki “dunia maju”. Ulasan tentang 
perkembangan yang terjadi di “dunia maju” secara terbuka mengajak para 
pembaca untuk ikut serta dalam zaman “kemajuan”. Majalah itu tidak saja 
memuat artikel tentang bangsa Hindia Belanda, akan tetapi juga memuat 
tentang berita Asia dan Eropa.
Sementara itu, tokoh muda dr. 
Abdul Rivai yang baru datang dari 
Belanda menganjurkan pada tokoh 
muda di Hindia untuk membentuk 
sebuah organisasi. Dalam tulisan￾tulisannya pada surat kabar Bintang 
Hindia, ia selalu memuat tentang 
“kemajuan” dan “dunia maju”. 
Rivai menggolongkan masyarakat 
menjadi tiga golongan, yaitu kaum 
kolot, kaum kuno, dan kaum 
muda. Menurut Rivai, kaum muda 
yaitu orang yang senantiasa 
ingin mendapatkan harga diri 
melalui pengetahuan dan ilmu. 
Untuk mencapai kemajuan dan 
terwujudnya dunia maju, Rivai 
menganjurkan agar ada organisasi 
bernama Persatuan Kaum Muda 
didirikan dengan cabang di semua 
kota-kota penting di Hindia. 
Seorang pensiunan “dokter Jawa” 
yaitu Wahidin Soedirohoesodo 
tertarik dengan tulisan Rivai. Saat itu ia sebagai editor majalah berbahasa 
Jawa, Retnodhumilah, dalam tulisan itu disarankan agar kaum lanjut usia 
dan kaum muda membentuk organisasi pendidikan yang bertujuan untuk 
memajukan masyarakat. Gagasan Wahidin akhirnya terwujud ketika para 
pelajar “Stovia”, Sekolah dokter Jawa, mendirikan suatu organisasi bernama 
Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908 (untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam 
Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012).
Beberapa surat kabar yang kemudian membawa kemajuan bagi kalangan 
pribumi yaitu Medan Prijaji ( 1909-1917) dan juga terbitan wanita pertama 
yang terbit berkala yaitu Poetri Hindia (1908-1913). Seorang editornya yang 
dikenal yaitu R.M. Tirtoadisuryo memuat tentang tulisannya, bahwa untuk 
memperbaiki status dagang “pedagang bangsa Islam”, perlu ada organisasi 
yang anggota-anggotanya terdiri atas para pedagang sehingga “orang 
kecil tidak bisa dikalahkan karena mereka bersatu”. Ia kemudian dikenal 
sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamijah atau lebih dikenal dengan Sarekat 
Dagang Islam (SDI). Pada perkembangannya SDI mengubah dirinya menjadi 
Sarekat Islam (SI) dengan pimpinan Haji Samanhudi. Begitulah semangat 
nasionalisme tumbuh dan dibangun melalui tulisan di media cetak. Begitu 
pula di tanah Sumatera, gagasan untuk melawan sistem pemerintahan 
kolonial ditunjukkan melalui surat kabar Oetoesan Melajoe (1913). Juga 
untuk kemajuan kaum perempuan diterbitkan majalah Soenting Melajoe, 
yang berisi tentang panggilan perempuan untuk memasuki dunia maju tanpa 
meninggalkan peranannya sebagai sendi kehidupan keluarga Minangkabau. 
Sementara itu, anak-anak muda berpendidikan Barat di Padang menerbitkan 
majalah perempuan Soeara Perempuan (1918), dengan semboyannya 
Vrijheid (kemerdekaan) bagi anak perempuan untuk ikut dalam kemajuan 
tanpa hambatan adat yang mengekang.
Wacana kemajuan terus merebak melalui pers. Pers bumiputra juga 
mempunyai fungsi untuk memobilisasi pergerakan nasional pada saat itu. 
Harian Sinar Djawa, memuat tentang perlunya rakyat kecil untuk terus 
menuntut ilmu setinggi mungkin. Surat kabar tersebut memuat dua hal 
penting, yaitu tentang “bangsawan usul” dan “bangsawan pikiran”. 
Bangsawan usul yaitu mereka yang mempunyai keturunan dari keluarga 
raja-raja dengan gelar bendara, raden mas, raden, raden ajeng, raden ngabei, 
raden ayu, dan lain-lain. Bangsawan pikiran yaitu mereka yang mempunyai 
gelar meester, dokter, dan sebagainya, yang diperoleh melalui pendidikan. 
Surat kabar yang paling mendapat perhatian pemerintah kolonial saat itu 
yaitu De Express. Surat kabar itu memuat berita-berita propaganda ide￾ide radikal dan kritis terhadap sistem pemerintahan kolonial. Puncaknya saat 
Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan 
Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid (Panitia 
untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda dari Perancis), yang 
kemudian disebut dengan Komite Boemipoetera (1913). Tujuan panitia 
itu untuk mengumpulkan dana dari rakyat untuk mendukung perayaan
kemerdekaan Belanda. Di balik itu tujuan Komite Bumiputra yaitu 
mengkritik tindakan pemerintah kolonial yang merayakan kemerdekaannya 
di tanah jajahan dengan mencari dana dukungan dari rakyat.
Kritik tajam kemudian dilakukan oleh Suwardi Surjaningrat dengan menulis di 
brosur yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (“Seandainya Saya menjadi 
Seorang Belanda”). Tulisan ini berisi kritikan yang sangat tajam kepada Belanda 
yang tidak tahu malu karena minta dana kepada rakyat yang dijajah untuk 
perayaan kemerdekaan negara yang menjajah. Pemerintah Kolonial Belanda 
menilai tulisan itu dapat menghasut rakyat untuk melawan pemerintah. 
Pada 30 Juli 1913, polisi Belanda menangkap Cipto Mangunkusumo dan 
Suwardi Suryaningrat. Kemudian menyusul Abdul Moeis sebagai pembaca 
naskah itu dalam surat kabar De Preanger Bode. Juga Widnjadisastra sebagai 
editor Kaoem Moeda, karena telah mencetak dan menyebarluaskan tulisan 
itu. Pemerintah kolonial selanjutkan memutuskan “Tiga Serangkai” itu untuk 
ditangkap, yaitu Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, dan Douwes 
Dekker, untuk diasingkan ke luar Jawa. Cipto pada awalnya diasingkan ke 
Bangka, kemudian ke Belanda.
Seorang jurnalis bumiputera yang gigih memperjuangkan kebebasan pers 
yaitu Semaun. Ia mengkritik beberapa kebijakan kolonial melalui Sinar 
Hindia. Kritikannya mengenai haatzaai artikelen, yang menurutnya sebagai 
sarana untuk membungkam rakyat dan melindungi kekuasaan kolonial dan 
kapitalis asing. Atas kritikannya itulah ia diadili dan dijebloskan ke penjara. 
Seorang aktivis dan juga jurnalis, Marco Kartodikromo dikenal dengan 
kritikannya yang tajam terhadap program Indie Weerbaar dalam bentuk 
syair. Kritik tajam Marco itu ditujukan pada Dewan Kota yang sebagian besar 
yaitu orang Eropa.
3. Bangkitnya Nasionalisme
Keberadaan kaum muda terpelajar sangat cocok dan responsif terhadap 
berkembangnya paham-paham baru, apalagi paham yang ikut menggelorakan 
kemerdekaan. Pada saat itu di Eropa sedang tumbuh subur paham-paham 
yang terkait dengan kemajuan, kebebasan, kemerdekaan sebagai dampak 
dari Revolusi Perancis. Paham-paham itu misalnya liberalisme, nasionalisme, 
sosialisme.
Pada awal abad ke-20, paham nasionalisme memasuki wilayah Indonesia. 
Perlu diingat bahwa dengan pelaksanaan Politik Etis telah mendorong lahirnya 
kaum muda terpelajar. Pemikiran mereka semakin rasional, wawasannya 
semakin luas dan terbuka sehingga memperlancar berkembangnya paham￾paham baru di Indonesia. Paham baru itu misalnya nasionalisme. Paham 
ini telah mendorong lahirnya kesadaran nasional, kesadaran hidup dalam 
suatu bangsa, Bangsa Indonesia. Kesadaran ini kemudian mendorong untuk 
merubah dan menyempurnakan strategi perjuangan bangsa yang selama ini 
telah dilakukan.
Di samping didorong oleh pelaksanaan Politik Etis sebagai pembuka 
munculnya kaum terpelajar, peran pers/media cetak, dan paham-paham 
baru, secara eksternal, munculnya kesadaran nasional itu juga dipicu oleh 
beberapa peristiwa dunia. Misalnya adanya 
Gerakan Turki Muda, Revolusi Cina, Gerakan 
Nasional di India dan Filipina.
Sekalipun didorong oleh banyak faktor, 
kesadaran berbangsa dan kebangkitan 
nasional yang muncul di Indonesia tidak lepas 
dari bentuk antitesis terhadap penjajahan dan 
kekuasaan kolonialisme dan imperialisme 
Belanda. Kesadaran bersama muncul bahwa 
untuk melakukan perlawanan terhadap 
kolonialisme dan imperialisme, bentuk dan 
strateginya harus sudah berubah. Bentuk 
diplomasi dan melalui berbagai organisasi 
pergerakan dipandang lebih tepat. Dipelopori 
oleh kaum terpelajar kemudian lahirlah 
berbagai organisasi pergerakan nasional. 
Organisasi pergerakan itu ada yang bercorak 
sosio-kultural, politik, keagamaan tetapi juga yang sekuler, kedaerahan 
tetapi ada juga yang nasionalis, ada dari kelompok pemuda tetapi juga ada 
kelompok perempuan. Dalam strategi ada yang kooperatif dan ada juga 
non-kooperatif. 
Pada periode awal pergerakan kebangsaan telah muncul organisasi Budi 
Utomo (BU) yang bersifat sosio-kultural. Organisasi ini didirikan antara lain 
oleh Sutomo, Gunawan atas rintisan Wahidin Sudirohusodo pada tanggal 
20 Mei 1908. Tujuannya untuk mengumpulkan dana guna membantu kaum 
bumiputera yang kekurangan dalam menempuh pendidikan. 
Organisasi yang berikutnya yaitu Sarekat Islam (SI). Pada mulanya SI ini 
lahir karena adanya dorongan dari R.M. Tirtoadisuryo seorang bangsawan, 
wartawan, dan pedagang dari Solo. Tahun 1909, ia mendirikan perkumpulan 
dagang yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Tahun 1911 K.H. 
Samanhudi secara resmi mendirikan SDI. Pada tahun 1912 nama SDI diganti 
Sarekat Islam (SI) oleh HOS Cokroaminoto. Pada tahun 1912 itu juga berdiri 
organisasi yang bercorak politik yakni Indische Partij (IP). Pendiri organisasi itu 
dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai”, yakni: Douwes Dekker, dr. Cipto 
Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat atau dikenal dengan Ki Hajar 
Dewantoro. Setelah itu IP berkembang pesat di berbagai daerah di Indonesia.
Dari bidang keagamaan misalnya ada Muhammadiyah yang bersifat modern, 
yang didirikan Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Yogyakarta. 
Organisasi ini, bercirikan organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan. 
Tujuannya antara lain memurnikan ajaran Islam sesuai dengan ajaran Al￾Quran dan Al-Hadis. Tindakannya yaitu amar makruf nahi munkar, atau 
mengajak hal yang baik dan mencegah hal yang buruk. Kemudian muncul 
organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 
Januari 1926, di Surabaya. Sebagai pendiri organisasi ini yaitu Kyai Haji 
Hasyim Ashari dan sejumlah ulama lainnya. Organisasi itu berpegang teguh 
pada Ahlusunnah wal jam’ah. Organisasi ini tetap mempertahankan tradisi 
yang sudah lama berkembang di kalangan ulama. Tujuan organisasi ini 
terkait dengan masalah sosial, ekonomi, dan pendidikan. Kedua oraganisasi 
Islam ini sekarang merupakan organisasi massa Islam yang cukup besar di 
Indonesia.
Dari kalangan kaum Kristiani juga membentuk organisasi antara lain 
didirikannya Perkumpulan Politik Katolik Jawi (PPKJ). Organisasi ini didirikan 
I.J. Kasimo pada tanggal 22 Februari 1925. Organisasi ini juga bergerak 
di bidang sosial pendidikan. Tujuannya turut berusaha sekuat tenaga bagi 
kemajuan Indonesia.
Organisasi lain yang bergerak di 
bidang sosial dan pendidikan yang 
bersifat nasional misalnya Taman 
Siswa. Organisasi ini didirikan pada 
tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta 
oleh Raden Mas Suwardi Suryaningrat 
yang kemudian lebih dikenal nama 
Ki Hajar Dewantoro. Tujuannya lebih 
diarahkan pada upaya memajukan 
pendidikan bagi bumiputera. 
Pendidikan yang ditawarkan yaitu 
sistem pendidikan nasional yang 
berdasarkan kepada kebudayaan asli Indonesia. Asas perjuangan Taman 
Siswa yaitu “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri 
Handayani”. Dalam waktu singkat Taman Siswa ini sudah berkembang pesat. 
Ki Hajar Dewantoro diakui sebagai bapak pendidikan di Indonesia. Ia telah 
meletakkan dasar-dasar bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Organisasi pergerakan lainnya yang bersifat nasionalis, misalnya Perhimpunan 
Indonesia (PI). Pada mulanya organisasi ini bernama Indische Vereniging 
didirikan pada tahun 1908 oleh para pelajar/mahasiswa yang belajar di 
negeri Belanda seperti R.M Notosuroto, R. Panji Sostrokartono, dan R. Husein 
Djajadiningrat. Kemudian dengan datangnya para aktivis perjuangan dari 
Indonesia seperti Moh. Hatta, Iwa Kusumasumantri, J.B. Sitanala, organisasi 
ini semakin bernuansa politik kebangsaan. Bahkan nama Indische Vereeniging 
diubah menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1922 dan diubah lagi 
menjadi “Perhimpunan Indonesia” pada tahun 1925. Organisasi ini cukup 
revolusioner dalam memperjuangkan kebebasan Indonesia dari penjajahan 
Belanda. Majalahnya sebagai corong perjuangan yang semula bernama 
“Hindia Putera” diubah menjadi “Indonesia Merdeka” Asas perjuangannya 
antara lain: menolong dirinya sendiri (swadaya), non-kooperasi, persatuan 
nasional.
Sekilas Nama Indonesia
Nama Indonesia mulanya dikembangkan oleh Adolf Bastians 
(sarjana Jerman) yang diambil dari Logan (sarjana Inggris). Namun 
yang dimaksud Bastians dengan konsep Indonesia, yaitu Indonesia 
secara etnografi, bukan konsep Indonesia seperti saat ini. selanjutnya 
dalam rapat-rapat menjelang kemerdekaan pandangan etnografi 
dikalahkan oleh pandangan Ernest Renan tentang nasion yang saat 
itu masih digunakan sebagai konsep bangsa dan wilayahnya.
Para pelajar dan mahasiswa Hindia di Belanda kemudian 
menggunakan Indonesia sebagai identitas dirinya, tanah airnya, dan 
nasionnya, serta posisi politiknya. Karena itulah Organisasi Indische 
Vereeniging berganti nama ke Perhimpoenan Indonesia. 
Hatta dalam memoarnya menuturkan,” ....Langkah pertama untuk 
memperkenalkan Tanah Air kita Indonesia di luar negeri dibuat 
dengan berhasil. Nama “INDONESIA” tidak perlu dimajukan dengan 
resolusi. Selama aku di sana dan setelah mendengar pidatoku pada 
pembukaan Kongres itu, semuanya menyebut Indonesia. orang-orang 
Belanda, yang pada pidato permulaan masih menyebut “Hindia 
Belanda”, kata itu tidak diulang mereka lagi, dalam perdebatan 
maupun dalam pembicaraan lainnya. Dalam tulisan-tulisan mereka 
keluar, kepada kawan dan keterangan umum, mereka menyebut 
“INDONESIA”. Apalagi setelah bertukar pikiran dengan aku. Dalam 
pimpinan agenda Kongres, nama Indonesia telah terekam, tidak 
dapat ditukar kembali dengan “Indes Neerlandises”.

PI menjadi organisasi politik yang semakin disegani karena pengaruh 
Moh. Hatta. Di bawah pimpinan Hatta, PI berkembang dengan pesat dan 
merangsang para mahasiswa yang ada di Belanda untuk terus memikirkan 
kemerdekaan tanah airnya. Aktivitas politik PI tidak saja dilakukan di Belanda 
dan Indonesia, tetapi juga dilakukan secara internasional. Mahasiswa secara 
teratur melakukan diskusi dan melakukan kritik terhadap pemerintah 
Belanda. PI juga menuntut kemerdekaan Indonesia dengan secepatnya.
Terilhami dengan perkembangan dan perjuangan PI di Belanda, beberapa 
tokoh pemuda seperti Soekarno, Gatot Mangkuprojo dan lain-lain pada 
4 Juli 1927 berkumpul untuk mendiskusikan pembentukan organisasi 
semacam PI. Setelah melalui serangkaian diskusi dan pertemuan akhirnya, 
dalam pertemuan di Bandung, di kediaman Ir. Sukarno, tanggal 4 Juli 1927, 
diresmikanlah berdirinya partai baru yang diberi nama Perserikatan Nasional 
Indonesia (PNI). Sebagai ketua dipercayakan kepada Ir. Sukarno. Pada 
Kongres I di Surabaya, nama Perserikatan Nasional Indonesia diubah menjadi 
Partai Nasional Indonesia (PNI). Tujuan perjuangannya untuk kemerdekaan 
Indonesia. Asas perjuangannya berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), non￾kooperasi dan marhenisme (orientasi kerakyatan).
Organisasi yang bersifat revolusioner yang lain sebelum PNI sebenanrnya 
sudah ada, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Organisasi ini sebenarnya 
merupakan kelanjutan dari organisasi Indische Sociaal Democratische 
Vereniging (ISDV). ISDV berdiri pada 9 Mei 1914 atas prakarsa Sneevliet. 
Tokoh-tokohnya antara lain Semaun, Darsono. Dengan memperhatikan 
perkembangan politik, setelah melalui serangkaian pembahasan, maka pada 
saat kongres yang ke-7 nama ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis di 
Hindia, dan dipertegas pada tanggal 23 Mei 1920 menjadi Partai Komunis 
Hindia. Kemudian pada bulan Desember 1920 diubah dengan wajah 
keindonesiaan yakni menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai ketua 
PKI yang pertama yaitu Semaun. Pada tahun 1921 diterapkan disiplin 
partai, yakni bagi setiap anggota yang rangkap anggota PKI dan SI, harus 
memilih salah satu. PKI berkembang menjadi partai radikal dan sekuler. PKI 
juga menjadi partai rakyat yang cepat berkembang.
Masa pergerakan kebangsaan ini juga 
berkembang organisasi pemuda dan 
tidak ketinggalan organisasi para 
perempuan. Organisasi pemuda yang 
pertama berdiri di Indonesia yaitu 
Trikoro Darmo. Organisasi ini dibentuk 
pada tanggal 7 Mei 1915. Organisasi 
ini diharapkan menjadi wadah 
pembinaan generasi muda di 
Indonesia. Tokohnya antara lain: 
Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman. 
Nama Trikoro Darmo ini bermakna 
memiliki tiga tujuan utama yakni: 
sakti, budi dan bakti. Tujuan dan arah 
gerakan Trikoro Darmo untuk 
menciptakan wadah pelatihan dan 
pembinaan generasi muda/pelajar untuk menjadi pemuka/pemimpin nasional 
yang cinta tanah air. Anggota Trikoro Darmo umumnya terdiri atas para 
pelajar STOVIA dan berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. 
Di lingkungan pemuda ini juga berkembang gerakan kepanduan yang 
umumnya dimiliki oleh organisasi induknya. Misalnya Muhammadiyah 
mempunyai organisasi kepanduan Hizbul Wathan (HW). Sementara itu itu 
di lingkungan kaum wanita juga berkembang organisasi wanita. Organisasi 
yang pertama yaitu Puteri Mardika. Organisasi ini dibentuk pada tahun 
1912 atas prakarsa BU.
Melihat beberapa organisasi yang berkembang di masa pergerakan 
kebangsaan, jelas orientasinya yaitu untuk kemajuan bangsa. Bahkan 
ada beberapa organisasi yang secara terang-terangan bertujuan untuk 
pembebasan Indonesia dari penjajahan. Namun organisasi-organisasi itu 
masih berkembang sendiri-sendiri.
Oleh karena itu, untuk memperkuat perjuangan berbagai organisasi menuju 
cita-cita mulia yakni pembebasan rakyat dari belenggu penjajahan atau 
kemerdekaan perlu ada saling kerja sama, perlu persatuan dan kesatuan. Hal 
inilah yang mendorong para pemuda berjuang untuk dapat mempersatukan 
berbagai organisasi dan partai yang ada di Indonesia.

1. Federasi dan “Front Sawo Matang”
Pada uraian di depan sudah disebutkan bahwa kaum muda terpelajar belum 
puas dengan perkembangan organisasi pergerakan yang belum bersatu. 
Kesadaran kebangsaan sudah tumbuh, tetapi masih terbatas pada anggota 
masing-masing organisasi. Dengan belajar dari perjuangan PI pemuda 
semakin bersemangat untuk mewujudkan persatuan di antara organisasi￾organisasi pergerakan yang ada.
Asas perjuangan PI tidak hanya menginspirasi para muda terpelajar, tetapi 
juga tokoh-tokoh organisasi pada umumnya. Sebagai contoh Ir. Sukarno. Ia 
belum juga puas dengan keadaan dan perkembangan organisasi-organisasi 
yang ada, termasuk PNI sebagai organisasi yang ia pimpin. Perkembangan 
PNI memang sangat pesat tetapi belum mampu membangun jaringan 
dan kerja sama dengan organisasi-organisasi yang lain. Oleh karena itu, Ir.Sukarno ingin membentuk wadah yang merupakan gabungan dari 
berbagai organisasi. Sukarno pernah membentuk Konsentrasi Radikal pada 
tahun 1922. Konsentrasi Radikal dimaksudkan merupakan wadah penyatuan 
para nasionalis dan partai-partai yang diwakilinya.
Gagasan tentang persatuan dan kerja sama antarorganisasi itu sudah 
lama didengungkan oleh PI. Bahkan “persatuan” menjadi salah satu asas 
perjuangan PI. Tahun 1926 Moh. Hatta dengan tegas menyatakan perlunya 
diciptakan “blok nasional” yang terdiri atas partai-partai politik (organisasi￾organisasi pergerakan), baik yang berbasis komunis maupun yang nasionalis, 
(baik yang agamis maupun yang sekuler), guna menghadapi penjajahan 
pemerintah Hindia Belanda. Namun sayangnya pada tahun 1926 dan awal 
tahun 1927 PKI dengan ambisinya melakukan gerakan sendiri melawan 
kekuasaan Belanda dan akhirnya dapat dihancurkan oleh Belanda. 
Dengan peristiwa itu, maka tokoh-tokoh pergerakan nasionalis semakin 
bersemangat untuk membentuk kekuatan bersama. Apalagi kondisi politik 
saat itu yang diwarnai dengan sikap keras dan kejam pemerintah kolonial 
terhadap organisasi-organisasi pergerakan. Oleh karena itu, sangat diperlukan 
kerja sama antara berbagai organisasi pergerakan yang ada. Kebetulan juga 
pada tahun 1927 telah terbit beberapa surat kabar yang memuat tulisan 
tentang perlunya mengatasi berbagai perbedaan untuk membangun kerja 
sama yang lebih kokoh.
Dalam rangka merealisasikan gagasan tentang persatuan itu, Ir. Sukarno ingin 
membentuk wadah persatuan dengan memadukan aliran nasionalisme, Islam 
dan marxisme, sehingga merupakan kekuatan moral dan nasionalisme yang 
kokoh. Ir. Sukarno mendesak para pemimpin organisasi untuk membentuk 
sebuah federasi antarpartai dan organisasi yang sekaligus merupakan “front 
sawo matang” untuk menghadapi praktik diskriminasi kelompok kulit putih 
yang merasa superior. Federasi dalam hal ini harus mencerminkan situasi 
sosial dan politik di Indonesia dengan berbagai orientasi dan aliran yang 
beragam. Mengingat realitas ini maka federasi dibuat longgar dan tidak lebur. 
Ir. Sukarno segera menemui beberapa pimpinan organisasi untuk membahas 
ide persatuan melalui sebuah federasi. Sukarno juga bertemu dengan Dr. 
Sukiman sebagai pimpinan Partai Sarikat Islam (PSI) sebagai organisasi atau 
partai yang cukup besar di Indonesia. Serangkaian pertemuan dan diskusi 
dilakukan untuk membahas tentang pembentukan federasi antarpartai dan 
organisasi di Indonesia. Ada pemikiran bahwa organisasi baru hasil federasi 
itu akan diberi nama “Persatuan Rakyat Indonesia” (Sardiman AM, 1996).
Untuk membahas secara resmi tentang ide federasi tersebut maka pada 
tanggal 17-18 Desember 1927 diadakan rapat di Bandung. Hadir dalam 
rapat itu antara lain perwakilan dari BU, PNI, PSI, PPKI, beberapa organisasi 
pemuda seperti Sumatranen Bond, Kaum Betawi, Pasundan, Kelompok Studi 
Indonesia. Mereka sepakat mendirikan sebuah federasi yang diberi nama 
“Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia” 
(PPPKI). Kemudian sebelum terbentuk kepengurusan federasi yang tetap, 
terlebih dulu dibentuk semacam panitia yang diketuai oleh Sabirin. Akhirnya 
terbentuk kepengurusan tetap PPPKI, sebagai berikut.
 Dewan Penasihat : Ir. Sukarno dan Dr. Sukiman
 Ketua : Iskaq Cokroadisuryo
 Sekretaris merangkap Bendahara : Dr. Samsi
Adapun tujuan dari PPPKI yaitu sebagai berikut:
 1) Mencegah perselisihan antarpartai dan organisasi
 2) Menyatukan arah dan cara beraksi dalam perjuangan ke kemerdekaan 
Indonesia.
 3) Mengembangkan persatuan kebangsaan Indonesia dengan berbagai 
lambangnya, seperti Sang Merah Putih, lagu Indonesia Raya dan 
Bahasa Indonesia.
2. Cita-Cita Persatuan 
Munculnya elite baru di kalangan kaum muda terpelajar, telah melahirkan 
pemahaman baru, yakni tentang kebangsaan. Kalangan elite baru itu lebih 
cenderung memilih pekerjaan sebagai guru, penerjemah, dokter, pengacara, 
dan wartawan agar dapat memberikan perlindungan dan advokasi kepada 
rakyat. 
Tujuh tahun setelah didirikannya Budi Utomo, pemuda Indonesia mulai 
bangkit meskipun dalam loyalitas kedaerahan. Seperti telah disinggung di 
depan bahwa pada tahun 1915 telah lahir organisasi pemuda yang pertama, 
Trikoro Darmo. Trikoro Darmo ini diharapkan menjadi wadah pembinaan 
generasi muda untuk penjadi pemimpin nasional yang memiliki rasa cinta 
tanah air.
Organisasi Trikoro Darmo dirasakan para anggotanya cenderung Jawa sentris, 
terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Oleh karena itu, dalam kongresnya 
di Solo pada 12 Juli 1918, nama Trikoro Darmo diganti menjadi Jong Java, 
yang berarti Jawa Muda. Harapannya masyarakat dan komunitas Sunda di 
Jawa Barat dan juga Kaum Betawi bisa bergabung dengan Jong Java. 
Pada dasarnya Jong Java ini bukan organisasi politik dan anggotanya tidak 
berpolitik. Organisasi ini lebih menaruh perhatian pada pendidikan dan 
pelatihan. Namun dalam perkembangannya atas usul Samsurijal pada 
kongers Jong Java tahun 1924, bahwa anggota Jong Java itu dibagi dalam 
dua kelompok. Kelompok pertama anggota yang berusia di bawah 18 tahun 
tidak boleh berpolitik dan kelompok kedua anggota yang berusia 18 tahun 
ke atas diizinkan untuk ikut dalam gerakan politik.
Berkembangnya organisasi Jong Java ini telah mendorong munculnya 
organisasi pemuda di berbagai daerah. Misalnya pada tanggal 9 Desember 
1917 berdiri organisasi pemuda Jong Sumatranen Bond. Organisasi ini 
didirikan oleh para pelajar dan pemuda Sumatera yang ada di Jakarta. 
Tokohnya antara lain Moh. Hatta, Muh. Yamin. Tujuannya untuk mempererat 
tali persaudaraan dan persatuan antarpelajar dari Sumatera.
Pada tahun 1918 berdiri organisasi pemuda yang bernama Jong Minahasa. 
Menyusul berikutnya berdiri Jong Celebes (Sulawesi), Jong Ambon, Jong
Borneo (Kalimantan). Kemudian Sekar Rukun, organisasi pemuda dari tanah 
Sunda yang didirikan oleh para pelajar Sekolah Guru. Organisasi-organisasi 
ini berorientasi pada kedaerahan atas dasar prinsip persatuan. Tujuan 
dikembangkannya organisasi-oraganisasi itu untuk mempersatukan para 
pemuda dan pelajar yang merupakan keturunan dari orang tua yang berasal 
dari daerah-daerah yang bersangkutan (misalnya anggota Jong Celebes 
para pemuda/pelajar keturunan orang tua dari Sulawesi, Jong Ambon, para 
pemuda keturunan orang tua dari Ambon, dan begitu seterusnya).
Selain berkembang organisasi pemuda dari berbagai daerah juga muncul 
organisasi pemuda dari kelompok agama. Sebagai contoh dari penganut 
agama Islam muncul organisasi Jong Islamieten Bond (JIB). Organisasi ini atas 
ide Agus Salim setelah usulnya untuk memasukkan unsur Islam di dalam 
Jong Java, tidak diterima. Oleh karena dibentuk Jong Islamieten Bond untuk 
mewadahi para pemuda yang berasal dari kalangan Islam. Sebagai ketua JIB 
dipercayakan kepada Samsurijal dan Agus Salim sebagai penasihat. Sekalipun 
berbasis Islam, JIB memperjuangkan persatuan nasional
Perkembangan organisasi-organisasi pemuda tersebut semakin meramaikan 
suasana pergerakan kebangsaan di Indonesia, apalagi setelah beberapa 
organisasi pemuda mulai bersentuhan dengan gerakan politik. Sebagai 
contoh pada lustrum pertama Jong Sumatranen Bond pada tahun 1923. 
Dalam lustrum itu Muh. Yamin menyampaikan pidato yang bertajuk; De 
Maleische Taal in het verleden, heden en ini de toekomst (Bahasa Melayu 
di Masa Lampau, Sekarang dan Masa Datang). Muh. Yamin melontarkan 
gagasan pentingnya sebuah majalah kebudayaan yang diberi nama Malaya 
(nama ini dalam rangka mengambil hati penduduk Malaya yang masih 
berada di bawah penjajahan Inggris). Gagasan ini dapat dimaknai bahwa 
perlunya bangsa Indonesia memiliki bahasa pengantar yang bersumber dari 
budaya sendiri (Restu Gunawan, “Pemuda dan Perempuan dalam Dinamika 
Nasionalisme Indonesia, dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012). 
Begitu juga Jong Java setelah tahun 1924 nuansa politik semakin jelas. 
Sementara itu JIB sudah sangat kental dengan gerakan politik. Dengan 
demikian, telah terjadi perubahan pesat dan radikal di lingkungan organisasi 
pemuda. Organisasi pemuda saat itu semakin meluas untuk mencapai cita￾cita persatuan Indonesia.
Pada tanggal 15 November 1925 dilaksanakan pertemuan organisasi￾organisasi pemuda. Hadir dalam pertemuan itu antara lain perwakilan dari 
Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, Pelajar￾pelajar Minahasa, Sekar Rukun. Dalam pertemuan ini antara lain dibahas 
tentang rencana kongres pemuda. Kemudian setelah pertemuan ini juga 
dibentuk sebuah komite dipimpin oleh Tabrani. Komite ini diberi tanggung 
jawab untuk menyelenggarakan kongres pemuda.
Setelah dilakukan berbagai persiapan maka pada 30 April – 2 Mei 1926, 
diadakannya rapat besar pemuda di Jakarta, yang kemudian dikenal dengan 
Kongres Pemuda Pertama. Kongres itu diketuai oleh M. Tabrani. Tujuan 
kongres itu yaitu untuk mencapai perkumpulan pemuda yang tunggal, yaitu 
membentuk suatu badan sentral. Keberadaan badan sentral ini dimaksudkan 
untuk memantapkan paham persatuan kebangsaan dan mempererat 
hubungan antara semua perkumpulan pemuda kebangsaan.
Gagasan-gagasan persatuan dibicarakan dan juga dipaparkan oleh para 
tokoh dalam kongres itu. Sumarto misalnya, tampil sebagai pembicara 
dengan topik “Gagasan Persatuan Indonesia”. Bahder Djohan tampil dengan 
topik “Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Indonesia”. Nona Adam 
yang menyampaikan gagasannya tentang “Kedudukan Kaum Wanita”. 
Djaksodipoero berbicara tentang “Rapak Lumuh”. Paul Pinontoan berbicara 
tentang “Tugas Agama di dalam Pergerakan Nasional”. Muhammad Yamin 
berbicara tentang “Kemungkinan Perkembangan Bahasa-Bahasa dan 
Kesusasteraan Indonesia di Masa Mendatang”.
Gagasan yang disampaikan oleh Yamin dalam kongres itu merupakan 
pengulangan dari pidatonya yang disampaikan dalam Lustrum I Jong 
Sumatranen Bond. Saat itu pidato Yamin mendapat komentar dari Prof. Dr. 
Hooykes, bahwa kelak Muh. Yamin menjadi pelopor bagi usaha penggunaan 
bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dan pergaulan di Indonesia. 
Dengan demikian, penggunaan bahasa Belanda dapat semakin terdesak.
Dalam Kongres Pemuda I telah muncul kesadaran dan kesepahaman 
tentang perlunya bahasa kesatuan. Pada saat kongres ini telah diusulkan 
untuk memutuskan bahasa kesatuan yang pilihannya antara bahasa Jawa 
atau Bahasa Melayu. Setelah dipilih satu di antara dua bahasa itu akhirnya 
dipilih Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan yang disebut dengan 
Bahasa Indonesia. Jadi pada akhir Kongres Pemuda I itu sudah disepakati 
dan diputuskan bahwa bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Hanya 
pada waktu M. Tabrani mengusulkan dan kemudian memutuskan agar 
Ikrar Pemuda yang mengakui Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan 
dibicarakan lagi pada Kongres Pemuda berikutnya. Inilah hasil penting dari 
Kongres Pemuda I. 
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kongres Pemuda I telah melahirkan 
keputusan yang mendasar yakni mengakui dan menerima tentang cita-cita 
persatuan Indonesia dan bahasa Indonesia disepakati sebagai perekatnya. 
Perlu diketahui bahwa usul mengenai bahasa Indonesia itu sebenanrnya 
datang dari M. Tabrani. Semula Muh. Yamin agak keberatan, namun setelah 
berdiskusi dengan Sanusi Pane dan dan Adinegoro, disepakati yang diusulkan 
sebagai bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia yang intinya berasal dari 
bahasa Melayu yang akan diperkaya oleh bahasa-bahasa lainnya.
3. Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. 
Perangkat lunak untuk membangun dan memperkokoh persatuan sudah 
disepakati, yakni bahasa. Namun, dalam rangka melawan penjajahan harus 
juga diwujudkan secara kongkret. Organisasi atau partai yang berjalan sendiri￾sendiri tentu tidak efektif. Begitu juga organisasi pemuda yang terpisah-pisah 
tidak akan bisa melawan penjajahan. Oleh karena itu, setelah Kongres 
Pemuda I berakhir, berkembang usulan agar dilakukan penggabungan 
berbagai organisasi pemuda yang ada. Sebagai realisasinya maka pada 
tanggal 15 Agustus 1926 diadakan pertemuan organisasi-organisasi pemuda 
di Jakarta. Hadir dalam pertemuan itu perwakilan antara lain dari Jong Java, 
Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, Jong Bataks 
Bond, Jong Celebes, Perhimpunan Pelajar Ambon, juga dihadiri Komite 
Kongres Pemuda I. Dalam pertemuan ini diusulkan agar dibentuk badan 
tetap untuk keperluan persatuan Indonesia. Berkaitan dengan usulan ini 
maka tanggal 31 Agustus 1926 telah disahkan Anggaran Dasar untuk suatu 
perkumpulan atau organisasi pemuda yang baru yang diberi nama Jong 
Indonesia. Namun realisasinya belum memuaskan seperti yang diharapkan 
para pemuda. Baru pada tanggal 20 Februari 1927 ada pertemuan yang 
digagas oleh Algemene Studie Club di Bandung. Pertemuan tersebut berhasil 
mendirikan organisasi pemuda yang diberi nama Jong Indonesia. Organisasi 
ini berdasarkan pada asas kebangsaan atau nasionalisme. Tokoh-tokoh yang 
ada di dalam Jong Indonesia itu antara lain: Sutan Syahrir, Suwiryo, Halim, 
Moh. Tamzil, Yusupadi, dan Notokusumo.
Di samping organisasi itu, pada bulan September 1926 juga diadakan 
pertemuan para pelajar atau mahasiswa. Dalam pertemuan itu berhasil 
dibentuk perkumpulan yang diberi nama Perhimpunan Pelajar-Pelajar di 
Indonesia (PPPI). Anggota umumnya dari para mahasiswa STOVIA dan 
Sekolah Tinggi Hukum. PPPI bertujuan untuk memperjuangkan Indonesia 
merdeka. Cita-cita hanya dapat tercapai bila paham kedaerahan dihilangkan 
dan perselisihan pendapat di antara kaum nasionalis harus dihapuskan. 
Aktivitas PPPI meliputi gerakan pemuda, sosial, dan politik. Ketua 
perkumpulan itu Soegondo Djojopoespito, tokoh-tokoh lainnya yaitu Muh. 
Yamin, Abdullah Sigit, Suwiryo, Sumitro Reksodiputro, A.K. Gani, Sunarko,
Amir Syarifuddin, dan Sumanang. Perhimpunan itu sering berkumpul di 
Indonesische Clubgebouw yang terletak di Jl. Kramat No 106, Weltevreden. 
Mereka mempunyai hubungan antaranggota yang sangat dekat dan tidak 
formal. PPPI memiliki peran penting dalam pertemuan-pertemuan berikutnya 
dalam rangka mewujudkan persatuan Indonesia untuk melawan penjajahan 
Belanda. Dua oragisasi PPPI dan Jong Indonesia ini memiliki peran strategis 
dalam perjuangan pemuda untuk mewujudkan persatuan Indonesia. 
Memasuki tahun 1927 perjuangan pemuda mengalami percepatan yang luar 
biasa. Setiap ide persatuan untuk membebaskan Indonesia ditangkap dengan 
segera, baik oleh kelompok pemuda bahkan juga kelompok tua. Dinamika 
silaturahmi antarorganisasi terus dilakukan untuk mencapai kesepatan dan 
mewujudkan. Gerakan semangat dan gelora perjuangan para pemuda ini 
semakin meningkat untuk merapatkan barisan perjuangan di tanah Hindia, 
karena didukung oleh bergabungnya tokoh-tokoh dan para pelajar dari 
Perhimpunan Indonesia yang baru saja kembali ke tanah air. Di antara 
mereka yaitu Sartono, Moh. Nazif, dan Mononutu. Selama dua tahun 
itulah para pemuda mengadakan pertemuan secara intensif di Indonesische
Clubgebouw.
Pada tanggal 28 Desember 1927, Jong Indonesia menyelenggarakan kongres 
di Bandung. Dalam kongres ini Ir. Sukarno memberikan ceramah yang dapat 
menambah semangat para pemuda. Dalam kongres ini juga menetapkan 
nama Jong Indonesia diganti dengan Pemuda Indonesia. Beberapa keputusan 
penting dalam kongres ini antara lain:
1. Menetapkan nama Jong Indonesia diganti dengan Pemuda Indonesia
2. Bahasa Indonesia (akhirnya dipilih bahasa Melayu) dijadikan bahasa 
pengantar organisasi Pemuda Indonesia.
3. Pemuda Indonesia menyetujui usul PPPI tentang dibentuknya fusi semua 
organisasi–organisasi lainnya yang berasaskan kebangsaan.
Selanjutnya untuk merealisasikan gagasan fusi semua organisasi itu, PPPI 
segerta mengambil langkah-langkah. Diadakanlah pertemuan untuk 
membentuk panitia yang dikenal sebagai Panitia Kongres Pemuda II. Panitia 
ini akan bertanggung jawab terhadap serangkaian acara seperti rapat￾rapat terbuka dan ceramah-ceramah yang menganjurkan dan menguatkan 
semangat persatuan. Pada bulan Juni 1928, panitia kongres dibentuk. Terpilih 
sebagai Ketua Kongres Pemuda II yaitu Soegoendo Djojopoespito dari PPPI. 
Selengkapnya susunan panitia itu sebagai berikut.
Ketua : Soegoendo Djojopoespito dari PPPI 
Wakil Ketua : Djoko Marsaid dari Jong Java, 
Sekretaris : Muh. Yamin dari Sumatranen Bond
Bendahara : Amir Syarifuddin dari Jong Bataks Bond
Pembantu I : Djohan Muh. Tjai dari Jong Islamieten Bond
Pembantu II : Kontjosungkono dari Pemuda Indonesia
Pembantu III : Senduk dari Jong Celebes
Pembantu IV : J. Leimena dari Jong Ambon
Pemantu V : Rohyani dari Pemuda Kaum Betawi
Banyak tokoh-tokoh dari Perhimpunan Indonesia yang memberi saran dan 
masukan dalam penyelenggaraan kongres, misalnya Sartono, S.H., Sunario, 
SH., Moh. Nazif, A.J.Z Mononutu.
Kongres Pemuda II ini dialaksanakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928. 
Yang diundang dalam kongres ini yaitu semua organisasi pemuda dan 
mahasiswa, serta berbagai organisasi dan partai yang sudah ada. Tampak 
hadir beberapa tokoh pemuda ataupun tokoh senior, seperti: Soegoendo 
Djojopoespito, Djoko Marsaid, Muh. Yamin, Amir Syarifuddin, Sartono, 
Kartokusumo, Abdulrahman, Sunario, Kartosuwiryo, S. Mangunsarkoro, 
Nonan Purnomowulan, Siti Sundari, Muh. Roem, Wongsonegoro, 
Kasmansingodimedjo, dan A.K. Gani. Kongres itu juga dihadiri perwakilan 
dari Volksraad dan juga dari pemerintah Hindia Belanda. Diperkirakan hadir 
lebih dari 750 orang.
Kongres itu dilaksanakan dalam tiga tahapan sidang.
Rapat pertama
Dilaksanakan hari Sabtu, 27 Oktober 1928 malam bertempat di gedung 
Katholik Jongelingen Bond, Waterloopen. Rapat dibuka oleh Ketua Panitia 
Kongres Pemuda II. Di dalam pembukaan ini juga dibacakan amanat tertulis 
dari Ir. Sukarno, amanat tertulis dari pengurus Perhimpunan Indonesia 
yang ada di Belanda. Sementara itu, dalam pidato pembukaan Soegoendo 
Djojopoespito menyerukan tentang pentingnya Indonesia Bersatu. Dalam 
sidang pertama, Muh. Yamin memberikan ceramah tentang persatuan dan 
kebangsaan Indonesia. Dalam ceramahnya itu Yamin menegaskan ada lima 
faktor yang dapat memperkuat persatuan bangsa, yakni faktor: sejarah, 
bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Rapat kedua
Rapat kedua dilaksanakan pada hari Minggu, 28 Oktober 1928, berlangsung 
pukul 08.00-12.00 Sidang dilaksanakan di Oost Java Bioscoop Koningsplein. 
Rapat membahas hal-hal yang berkait dengan pendidikan. Beberapa tokoh 
tampil berbicara misalnya Nona Purnomowulan, S. Mangunsarkoro. Ki Hajar 
Dewantoro diharapkan dapat tampil sebagai pembicara tetapi berhalangan 
hadir.
Rapat ketiga
Rapat ketiga dialksanakan pada hari Minggu 28 Oktober 1928 17.30-20.00 
Rapat ini dilaksanakan di gedung Indonesische Clubgebouw., Jl. Kramat Raya 
106. Pada rapat ketiga ini rencananya akan diramaikan dengan acara pawai 
atau arak-arakan organisasi kepanduan. Namun, pawai gagal dilakukan 
karena dihalang-halangi oleh pihak polisi Belanda. Hal ini mengecewakan para 
peserta. Walaupun demikian, kekecewaan ini tidak menyurutkan semangat 
para peserta. Bahkan sebaliknya semakin membakar semangat para peserta 
kongres. Pada rapat yang ketiga ini juga diisi ceramah-ceramah. Misalnya 
Ramelan menyampaikan tentang gerakan kepanduan. Berikutnya Sunario 
menyampaikan materi tentang “Pergerakan Pemuda dan Persatuan Bangsa” 
dalam ceramah ini ditekankan pentingnya persatuan dan kehidupan yang 
demokratis dan patriotis.
Rapat kemudian diistirahatkan. Pada saat istirahat ini tampillah W.R. 
Supratman untuk memainkan lagu yang diberi judul “Indonesia Raya”. 
Namun untuk menyiasati agar tidak dilarang oleh orang Belanda yang hadir, 
W.R. Supratman menampilkan lagu tersebut secara instrumental dengan 
biola. Lagu inilah yang kemudian kita kenal dengan Lagu Kebangsaan 
Indonesia dan bendera Merah Putih diakui sebagai bendera kebangsaan.
Setelah istirahat kemudian rapat dilanjutkan. Pada puncak Kongres Pemuda 
II ini diikrarkan sebuah sumpah yang kemudian kita kenal dengan nama 
Sumpah Pemuda senantiasa menjadi keputusan penting yang historis￾monumental dalam Kongres Pemuda II. Naskah rumusan ikrar Sumpah 
Pemuda ini selengkapnya dirumuskan oleh Muh. Yamin. Naskah selengkapnya 
dapat dilihat sebagai berikut
Kepoetoesan Kongres Pemoeda-Pemoedi Indonesia
Kerapatan pemoeda-pemoedi Indonesia diadakan oleh perkoempoelan￾perkoempoelan Indonesia berdasarkan kebangsaan, dengan namanja Jong 
Java, Jong Soematra Bond (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar 
Roekoen, Jong Islameten Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan 
Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia.
Memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928 di negeri 
Djakarta.Sesoenggoehnja mendengar pidato-pidato pembitjaraan jang 
diadakan di dalam kerapatan tadi sesoedahnja mendengar pidato-pidato dan 
pembitjaraan ini.
Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:
Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah 
 darah jang satoe, tanah Indonesia 
Kedua: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe berbangsa 
jang satoe, bangsa Indonesia
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia, mendjoendjoeng 
bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas 
ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan kebangsaan Indonesia.
Mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan 
memperhatikan dasar persatoeannja:
Kemaoean,
Sejarah, 
Bahasa,
Hoekoem adat, 
Pendidikan dan kepandoean. 
Dan mengeloearkan pengharapan soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala 
surat kabar dan dibatjakan di moeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan. .

Setelah Kongres Pemuda II berakhir, perkumpulan-perkumpulan pemuda 
segera menyiapkan untuk melakukan proses fusi. Bahkan Jong Java sebagai 
organisasi pemuda terbesar dan tertua mengadakan kongres tanggal 25-29 
Desember 1928 di Yogyakarta memutuskan menyetujui untuk ikut fusi di 
dalam perkumpulan pemuda baru yang akan segera dibentuk.
Sebagai pematangan persiapan fusi, pada tanggal 24 April dan 25 Mei 
1929 diadakan pertemuan di gedung Indonesia Clubgebouw yang dihadiri 
perwakilan perkumpulan pemuda seperti perwakilan Jong Java, Jong 
Sumatranen Bond, dan Pemuda Indonesia. Dalam pertemuan ini disepakati 
hasil fusi akan melahirkan organisasi pemuda yang baru yang berdasarkan 
pada kebangsaan Indonesia. Untuk itu dibentuklah suatu komisi besar 
yang anggotanya diambil dari berbagai organisasi pemuda. Berdasarkan 
perwakilan dari masing-masing organisasi itu disusunlah struktur Komisi 
Besar Indonesia Muda, sebagai berikut. 
Ketua : Kuntjoropurbopranoto 
Wakil Ketua : Muh. Yamin 
Penulis I : Joesoepandi 
Penulis II : Sjahrial
Bendahara I : Assaat
Bendahara II : Soewadji Prawirohardjo
Administratie I : A.K. Gani
Administratie II : Mohammad Tamzil
Pembantu : G.R. Pantouw
Pembantu : Surjadi
Selanjutnya Komisi Besar Indonesia Muda ini menyelenggarakan kongres pada 
tanggal 28 Desember 1930 - 2 Januari 1931 di gedung Habiprojo Surakarta. 
Dalam kongres ini diputuskan organisasi baru sebagai hasil fusi berbagai 
organisasi pemuda yang diberi nama Indonesia Muda. Tepat pukul 12.00 
WIB semua hadirin diminta untuk berdiri dan piagam pendirian Indonesia 
Muda dibacakan. Pada saat itu Panji-panji Indonesia Muda berkibar untuk 
selama-lamanya diiringi bunyi gamelan, setelah gamelan berhenti semua 
pemuda yang hadir menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. 
Pada saat diresmikan Indonesia Muda sudah memiliki 25 cabang di seluruh 
Indonesia dengan 2.393 anggota (Restu Gunawan, “Pemuda dan Perempuan 
dalam Dinamika Nasionalisme Indonesia”, dalam buku Indonesia dalam 
Arus Sejarah, 2012). Dengan berdirinya Indonesia Muda secara otomatis 
perkumpulan atau berbagai organisasi pemuda yang ada menyatakan 
membubarkan diri. 
Tujuan organisasi Indonesia Muda ini yaitu membangun dan 
mempertahankan keinsyafan antara anak bangsa yang bertanah air satu agar 
tercapai Indonesia Raya. Karena Indonesia Muda berusaha memajukan rasa 
saling menghargai dan memelihara persatuan semua anak bangsa, menjalin 
kerja sama dengan semua komponen bangsa, mengadakan kursus-kursus 
untuk memberantas buta huruf, memajukan kegiatan olah raga, dan lain￾lain.
4. Nilai-nilai Penting Sumpah Pemuda
Menurut Taufik Abdullah, kisah Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah 
Pemuda memperlihatkan pada kita tentang satu hal yang menarik dalam 
pengetahuan masa lalu kita. Sumpah Pemuda dapat kita lihat sebagai 
perwujudan dari sebuah peristiwa besar, yaitu produk dari berkumpulnya 
organisasi-organisasi pemuda terpelajar untuk melakukan “Kongres 
Pemuda”. Sumpah Pemuda dipandang sebagai pengakuan fundamental dari 
sebuah bangsa yang masih dalam tahap pembentukan. Ia terbentuk melalui 
kurun yang waktu panjang. Tujuh tahun setelah terbentuknya Budi Utomo, 
pemuda Indonesia mulai bangkit meskipun masih dalam tahapan loyalitas 
kepulauan. Perubahan pesat dan radikal dari organisasi-organisasi pemuda 
itu mendorong mereka untuk menciptakan persatuan yang lebih luas. 
Dengan demikian, jelas nilai yang utama dari peristiwa Sumpah Pemuda 
yaitu nilai persatuan. Persatuan yang diilhami oleh asas perjuangan 
Perhimpunan Indonesia ini sudah lama diperjuangkan oleh para pemuda. 
Para pemuda dengan memahami sejarah panjang perjuangan bangsa 
Indonesia, telah melahirkan kesadaran yang mendalam tentang pentingnya 
persatuan. Kiranya dapat cermati bagaimana ratusan tahun bangsa kita 
berjuang untuk membebaskan diri dari kekuasaan penjajahan. Aceh berjuang, 
Banten, Mataram, Makassar, Maluku, tetapi gagal karena mereka berjuang 
di daerahnya sendiri-sendiri. Selanjutnya Patimura, Pangeran Hidayatullah, 
Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien juga kandas tidak 
mampu mengusir penjajah karena tidak ada saling membantu di antara 
mereka. Mereka belum mampu menjalin persatuan di antara mereka. 
Begitu juga di era modern BU, SI, Indische Partij, PSI, PKI, PNI belum berhasil 
membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajah. Setiap organisasi masih 
cenderung berjuang dengan organisasinya sendiri. Oleh karena itu, berbagai 
organisasi pemuda berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan persatuan 
di antara anak bangsa, minimal di kalangan pemuda. Lahirnya Indonesia 
Muda diharapkan dapat menggerakkan seluruh komponen bangsa untuk 
menciptakan Indonesia Raya, membebaskan diri dari penjajahan, dan 
akhirnya tercapai kemerdekaan.
Nilai berikutnya, yaitu kemandirian, jati diri, kedaulatan atau penguatan 
nasionalisme. Secara tidak langsung dengan peristiwa Sumpah Pemuda, 
para pemuda telah meneguhkan pentingnya jati diri Indonesia, penguatan 
semangat kebangsaan atau nasionalisme. Hal ini tercermin dalam ikrar satu 
tanah air, satu bangsa dan keikhlasan menjunjung satu bahasa: INDONESIA.
Pernyataan satu nusa, bangsa, dan bahasa Indonesia ini menunjukkan adanya 
kesadaran yang amat tinggi tentang jati diri dan semangat kebangsaan kita 
semua sebagai orang Indonesia. Di dalam jati diri dan ruh kebangsaan itu 
tentu mengandung kemandirian, kalau bangsa ini mandiri berarti berdaulat, 
berdaulat berarti tidak dijajah orang lain, itulah kemerdekaan.
Di balik peristiwa Sumpah Pemuda, juga terkandung nilai demokrasi. Setelah 
Sumpah Pemuda diikrarkan, persatuan diwujudkan maka langkah-langkah 
perjuangan pun dilaksanakan. Dalam mewujudkan cita-cita Indonesia 
Raya, satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa perlu ada program-program 
kebersamaan, saling menghargai, dan rembug bareng di antara komponen 
bangsa untuk memajukan bangsa. Setelah maju dapat mandiri dan bedaulat. 
Bahkan dalam strategi politik para pemuda juga mengembangkan sikap 
saling menghargai baik yang mengambil langkah kooperasi maupun non￾kooperasi. Mereka dalam berjuang tidak lagi dengan fisik dan kekerasan 
tetapi dengan bermusyawarah, berdemokrasi misalnya melalui Volksraad. 
Di depan sudah disinggung bahwa pada tahun 1926 telah menunjukkan 
perubahan dalam orientasi perjuangan bagi organisasi pergerakan 
kebangsaan. Pendekatan dan strategi perjuangan mulai dimantapkan. 
Orientasi dan pendekatan politik semakin terbuka. Semangat persatuan 
dan kesatuan mulai digelorakan. Kongres Pemuda II yang melahirkan 
Sumpah Pemuda secara nyata mengembangkan semangat persatuan dan 
kebangsaan. Di samping itu, Sumpah Pemuda secara tidak langsung 
telah memberikan pelajaran tentang nilai-nilai jati diri dan demokrasi. 
Dengan dipelopori organisasi pemuda, nilai dan semangat keindonesiaan 
untuk memperkokoh jati diri dan kemandirian juga semakin memantapkan 
perjuangan bangsa Indonesia. Perjuangan politik melalui Volksraad telah 
juga menjadi ajang yang penting untuk menunjukkan salah satu strategi 
perjuangan bangsa yang lebih demokratis.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa Sumpah Pemuda telah 
menjadi tonggak sejarah dalam mengompakkan perjuangan seluruh warga 
bangsa Indonesia dalam upaya mengusir penjajah. Sekalipun perjuangan 
belum berlabuh pada tujuan yang diharapkan tetapi semua itu, baik 
perjuangan yang bersifat kooperatif dan non-kooperatif, perjuangan 
melalui Volksraad maupun di luar Volksraad telah menunjukkan eksistensi 
bangsa Indonesia dalam berjuang untuk mengusir penjajahan menuju 
kemerdekaan bangsa.


c. Penguatan Jati Diri Keindonesiaan
l
Kalau kita perhatikan isi Sumpah Pemuda merupakan suatu peristiwa 
komitmen dan kebulatan tekad Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang satu 
dan tanah air yang satu, serta menjunjung bahasa persatuan yang satu, 
bahasa Indonesia.

Harus diingat Sumpah Pemuda itu memiliki makna yang strategis dalam 
rangkaian untuk mengembangkan rasa persatuan dan proses penguatan jati 
diri bangsa, bangsa Indonesia. Karena hal yang sangat menonjol, setelah 
terjadinya Sumpah Pemuda, organisasi-organisasi dan partai yang ada secara 
tegas mendasarkan jiwa dan semangat keindonesiaan. Partai atau organisasi 
politik yang belum mencatumkan namanya dengan kata Indonesia, mulai 
menambahkan nama Indonesia, misalnya Partai Sarekat Islam menjadi Partai 
Sarekat Islam Indonesia.
Pada bagian ini kita akan mendalami tentang materi yang terkait dengan 
“Penguatan Jati Diri Keindonesiaan” sebagai implikasi dari semangat Sumpah 
Pemuda.
1. Politik untuk Kesejahteraan dan Kejayaan
Perlu dipahami bahwa dengan berkembangnya organisasi di kalangan 
pemuda juga diikuti oleh berkembangnya organisasi wanita atau perempuan 
di Indonesia. Pada tahun 1912 berdiri organisasi perempuan yang pertama 
yakni Putri Mardika di Jakarta. Organisasi itu bertujuan untuk membantu 
bimbingan dan penerangan pada gadis bumiputera dalam menuntut 
pelajaran dan mengemukakan pendapat di muka umum, serta memperbaiki 
hidup wanita sebagai manusia yang mulia. Berbagai aktivitas dilakukan oleh 
organisasi itu, terutama memberikan beasiswa untuk menunjang pendidikan 
dan menerbitkan majalah wanita Putri Mardika. Beberapa tokoh yang pernah 
duduk dalam kepengurusan Putri Mardika, yaitu Sabaruddin, R.A Sutinah, 
Joyo Pranoto, Rr. Rukmini, dan Sadikun Tondokusumo. Kartini Fonds, 
didirikan atas usaha Ny. C. Th. Van Deventer, seorang penasehat Politik 
Etis. Perkumpulan itu didirikan pada 1912 dengan tujuan untuk mendirikan 
sekolah Kartini. Setelah itu, muncul dan berkembang organisasi perempuan 
di berbagai daerah, juga organisasi-organisasi perempuan sebagai bagian 
dari organisasi yang sudah ada, seperti organisasi wanita di Muhammadiyah, 
organisasi wanita di Taman Siswa, organisasi perempuan di BU, dan begitu 
seterusnya.
Berkembangnya berbagai organisasi wanita tersebut mendorong pergerakan 
wanita untuk lebih berperan untuk meningkatkan kesejahteraan kaum 
perempuan. Wanita yang mengenyam pendidikan juga semakin banyak. 
Dengan demikian, wawasan mereka juga semakin berkembang untuk 
memberi dukungan terhadap organisasi-organisasi pergerakan pada 
umumnya. 
Diadakannya Kongres Pemuda II yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda 
tersebut nampaknya ikut menyemangati perjuangan organisasi pergerakan 
perempuan di Indonesia. Seide dengan pelaksanaan Kongres Pemuda II itu 
kemudian organisasi-organisasi wanita yang telah berkembang di berbagai 
daerah di Indonsia itu mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 
22-25 Desember 1928, di Pendopo Joyodipuro, yang dipimpin oleh Ny. R.A. 
Sukanto. Kongres itu diprakarsai oleh Ny. Sukoto, Nyi Hajar Dewantara, 
dan Nn. Suyatin. Kongres itu bertujuan untuk menjalin persatuan di antara 
perkumpulan wanita, dan memajukan wanita. Dalam Kongres Perempuan 
Indonesia I itu dihadiri oleh 30 organisasi wanita. Kongres Perempuan 
Indonesia I itu merupakan bagian penting bagi Kesatuan Pergerakan Wanita 
Indonesia. Untuk mengenang sejarah kongres perempuan maka setiap 
tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu di Indonesia.
Pada perkembangan selanjutnya organisasi itu berubah nama sebagai 
Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPPI). Perjuangan organisasi itu 
semakin kuat dengan didirikannya Isteri Sedar dan Istri Indonesia. Isteri Sedar 
didirikan oleh Suwarni Pringgodigdo (1930), di Bandung. Organisasi itu 
bertujuan meningkatkan kesadaran wanita Indonesia untuk memperkokoh 
cita-cita Indonesia Merdeka. Organisasi ini sejalan dengan PNI, yang menolak 
poligami. Selanjutnya Istri Indonesia didirikan 1932. Organisasi itu didirikan 
berdasarkan nasionalisme dan demokrasi. Tujuan Istri Indonesia yaitu 
mencapai Indonesia Raya dan bersikap kooperatif terhadap pemerintah 
Belanda. Tokoh-tokoh organisasi itu yaitu Ny. Sunaryo Mangunpuspito dan 
Maria Ulfah Santoso. Kongres Perempuan I dan juga semakin meningkatnya 
gerakan organisasi wanita telah ikut mendorong bagi kemajuan perjuangan 
bangsa Indonesia untuk mencapai kejayaan. Kejayaan ini dalam rangka 
menuju cita-cita kemerdekaan. 

2. Pemuda yang Berpolitik
Seperti telah dijelaskan bahwa pada tahun 1931 secara resmi telah berdiri 
organisasi pemuda hasil fusi yang bernama Indonesia Muda. Mereka para 
anggota penuh semangat untuk memperjuangakan Indonesia Bersatu, 
Indonesia yang merdeka.
Pada mulanya perkumpulan Indonesia Muda tidak diperbolehkan terlibat 
dalam politik. Tekanan pemerintah terhadap larangan berpolitik mendorong 
anggota Indonesia Muda untuk mendirikan perkumpulan lain, bahkan 
tersebar di berbagai organisasi politik atau golongan yang ada. Pada 1931, 
orang-orang PNI Baru di Malang mendirikan Suluh Pemuda Indonesia yang 
bercorak Marhaen. Partindo di Yogyakarta mendirikan Persatuan Pemuda 
Rakyat Indonesia (Perpri). Dari perkumpulan Islam misalnya, berdiri JIB bagian 
keputrian, Pemuda Muslim Indonesia, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda 
Perserikatan Ulama, Pemuda Persatuan Islam, dan Anshor NU. Dari pemuda 
Kristen misalnya, lahir Persatuan Pergerakan Pemuda Kristen, sementara
pemuda Katholik melahirkan Mudo Katholik dari partai politik Suluh Pemuda 
Indonesia, barisan Pemuda Gerindo, Jajasan Obor Pasundan. Perkumpulan 
lainnya seperti, Taman Siswa, Persatuan Pemuda Teknik, Persatuan Putri 
Cirebon, Kebangunan Sulawesi, dan Minangkabau. Di dalam organisasi ini 
para pemuda dapat bersentuhan dengan kegiatan politik sesuai dengan 
dinamika organisasi induknya.
Dalam gerakannya para pemuda juga melakukan kegiatan kepanduan. 
Kepanduan itu berasal dari kepanduan Jong Java, Pemuda Sumatera, 
dan organisasi pemuda lainnya. Di samping itu juga berdiri kepanduan 
berdasarkan kebangsaan dan keagamaan, seperti Natipy, Hizbul Wathon, 
Siap, dan Kepanduan Rakyat Indonesia. 
 Kepanduan itu mengambil azas dari kepanduan dunia, yang berisi tentang 
memberikan pelajaran dalam bentuk segala permainan dan kecakapan pandu, 
untuk meningkatkan kesehatan para pemuda. Dalam kegiatan kepanduan 
ini para pemuda dengan payung kegiatan kesehatan bisa dikaitkan dengan 
pembinaan disiplin seperti baris-berbaris. Dari kegiatan ini dapat ditumbuhkan 
semangat termasuk kemudian semangat patriotisme dan nasionalisme, atau 
cinta tanah air seperti yang dikembangkan di lingkungan Hizbul Wathon.
3. Nasionalisme yang Revolusioner 
Sebagai seorang terpelajar Sukarno, muncul sebagai seorang pemuda cerdas 
yang memimpin pergerakan nasional baru. Ia mendirikan partai dengan 
nama Partai Nasional Indonesia (4 Juli 1927). Partai itu bersifat revolusioner, 
sebelumnya partai itu bernama Algeemene Studie Club. Sukarno memimpin 
partai itu hingga Desember 1929. Jumlah anggotanya hingga saat itu 
mencapai 1000 orang. 
Sukarno juga turut serta memprakarsai berdirinya Permufakatan 
Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 
1927. Pada 28 Oktober 1928 organisasi ini ikut menyatakan ikrar tentang 
tanah air yang satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia. 
Pernyataan Sumpah Pemuda itu membawa dampak luas pada masyarakat 
untuk menumbuhkan nasionalisme yang kuat. Di daerah-daerah munculnya 
nasionalisme yang digerakkan oleh tradisi dan agama. Mereka terinspirasi 
oleh para pemimpin pergerakan nasional yang ada di Jakarta.
Oleh karena itu, 
perlawanan terhadap 
kekuasaan kolonial 
pada masa pergerakan 
banyak berbasis pada 
masalah perkumpulan 
agama. Di pihak lain, 
karena gerakan￾g e r a k a n n y a y a n g 
cenderung keras, 
komunis merupakan 
target langsung dari 
pemerintah Belanda. 
Namun demikian, 
Belanda tidak dapat 
m e m p e r t a h a n k a n 
kekuasaan mereka di 
daerah-daerah yang berbasis komunis. Pada saat itu semangat untuk 
memerangi imperialisme dan kolonialis begitu kuat di lingkungan pengikut￾pengikut PKI. Pengikut Tan Malaka masih terus dapat mempertahankan 
kerangka struktur yang biasanya dilakukan melalui kontak pribadi di desa￾desa atau bekerja sama dengan organisasi-organisasi agama lainnya. 
Sementara itu Partai Nasional Indonesia (PNI) terus menggelorakan program￾program perjuangan. Kritik tajam terhadap kekejaman kolonialisme dan 
imperialis terus dilancarkan. Oleh karena itu, PNI di bawah pimpinan Ir. 
Sukarno terus mendapat tekanan dari Belanda. Sukarno sebagai pimpinan PNI 
karena aksi-aksi yang dengan radikal terhadap pemerintah Belanda, akhirnya 
ditangkap dan diadili. Menjelang vonis pengadilan dijatuhkan, Sukarno 
sempat mengucapkan pidato pembelaan untuk membakar semangat para 
pejuang. Pidato pembelaan itulah yang kemudian dibukukan dengan judul: 
“Indonesia Menggugat”. 
Pidato pembelaan Bung Karno yang kemudian diberi judul Indonesia 
Menggugat itu telah ikut membangun kesadaran tentang dampak 
penjajahan dan imperialisme modern yang akan membawa kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu, setiap organisasi dan partai yang 
berjiwa kemerdekaan akan menolak dan melakukan perlawanan terhadap 
kekejaman penjajah dan imperialisme (baca: Indonesia Menggugat. Pidato 
Bung Karno tentang Indonesia Menggugat itu telah ikut mendorong 
terjadinya penguatan kesadaran sebagai bangsa yang harus merdeka.
Pidato pembelaan Bung karno yang cukup kritis dan keras untuk tidak 
mempengaruhi pendirian hakim. Putusan pengadilan akhirnya menjatuhkan 
hukuman kurungan kepada Sukarno. Ia ditahan di Penjara Sukamiskin 
selama empat tahun terhitung Desember 1930. Selama Sukarno menjalani 
masa penahanannya PNI pecah menjadi dua, Partai Indonesia (Partindo) 
dipimpin oleh Sartono dan Pendidikan Nasional Indonesia Baru dipimpin oleh 
Mohammad Hatta dan Syahrir. Setelah bebas Sukarno masuk dalam Partai 
Indonesia.
Partai Indonesia pimpinan Sukarno lebih menekankan pada mobilisasi massa, 
sedangkan Hatta dan Sjahrir lebih menekankan pada organisasi kader yang 
akan menentang tekanan pemerintah kolonial Belanda dengan keras dan 
lebih menanamkan pemahaman ide nasionalisme. Namun demikian, kedua 
strategi politik itu belum mencapai hasil yang maksimal. Akhirnya, ketiga 
tokoh itu ditangkap dan diasingkan oleh Belanda dan ditahan serta diasingkan
pada 1933. Kedua organisasi yang 
didirikan oleh ketiga tokoh itupun 
dibubarkan oleh pemerintah 
kolonial. 
Sukarno dengan ide-ide 
nasionalisme itu memang terus 
diawasi. Selepas dari penjara 
Sukamiskin kemudian diasingkan 
ke Ende, Flores, Nusa Tenggara 
Timur. Ia ditempatkan di sebuah 
rumah (konon rumah ini milik Haji 
Abdullah). Bersama keluarganya, 
Sukarno selama empat tahun 
(1934-1938) diisolasi dijauhkan dari 
dinamika perjuangan kebangsaan. Tetapi ide dan semangat nasionalismenya 
tidak pernah padam. Dikisahkan di pengasingan itu Sukarno sering 
merenung di bawah pohon sukun yang ada di dekat rumah itu. Kebetulan 
pohon sukun itu bercabang lima. Ia merenungkan nilai-nilai luhur yang ada 
dalam kehidupan Bangsa Indonesia 
sejak zaman Praaksara. Nilai-nilai 
itulah yang kemudian dirumuskan 
menjadi nilai-nilai dalam Pancasila. 
Menurut Cindy Adam, Sukarno 
memberi nama Pancasila itu karena 
terinspirasi dengan pohon sukun 
yang bercabang lima dan daun 
sukun yang memiliki lima sirip 
kanan, kiri, dan tengah. 
Sukarno ternyata tidak hanya 
diisolasi, sebagai tahanan 
pemerintah, Sukarno justru masih 
harus berjuang untuk menghidupi 
anggota keluarganya. Inilah 
perjuangan dan pengorbanan 
yang harus dilakukan Sukarno di 
pengasingan
4. Volksraad: Wahana Perjuangan
Sementara Sukarno dan beberapa tokoh lain ditahan, organisasi pergerakan 
untuk menentang Belanda terus berjalan. Kelompok yang beraliran Marxis 
mendirikan Gerakan Rakjat Indonesia (Gerindo) di bawah kepemimpinan Amir 
Sjarifuddin dan A.K. Gani. Partai ini cenderung menampakkan faham fasisme 
internasional. Di Sumatera Timur, PNI, PKI, Permi, dan Partindo pemimpinnya 
berasal dari organisasi-organisasi radikal dari tahun-tahun sebelumnya. 
Gerindo sebagai partai yang berpaham marxis lebih menunjukkan sikap 
anti kolonialisme, anti-Eropa dan antikapitalisme. Desakan-desakan untuk 
kemerdekaan nasional sangat kuat dan radikal. Organisasi itu juga tidak 
sepaham dengan sistem feodalisme, nasionalisasi perusahaan-perusahaan 
kapital dan restorasi hak-hak tanah pribumi. 
Sementara itu, Gabungan Politik Indonesia (GAPI) didirikan pada tahun 1939. 
Tokoh pendiri GAPI yaitu Muhammad Husni Thamrin. Dalam gabungan itu, 
Gerindo berada dalam satu arah dengan Parindra yang dipimpin oleh Thamrin 
dan sebelumnya oleh Sutomo. Parindra yaitu partai politik Indonesia yang 
paling berpengaruh di Hindia, karena keberhasilannya dalam pemilihan di 
volksraad. Thamrin kemudian memimpin front Indonesia bersatu di dalam 
Volksraad yang disebut Fraksi Nasional.
Pada akhir tahun 1929, pimpinan PNI ditangkap. Untuk melanjutkan 
perjuangan maka dibentuklah fraksi baru dalam volksraad yang bernama 
Fraksi Nasional, pada Januari 1930 di Jakarta. Fraksi itu diketuai oleh
Muhammad Husni Thamrin yang beranggotakan sepuluh orang yang berasal 
dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Tujuan organisasi itu yaitu menjamin 
kemerdekaan Indonesia dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. 
Penangkapan pimpinan PNI menjadi pembicaraan di kalangan Fraksi Nasional. 
Mereka mengecam tindakan pemerintah terhadap ketidakadilan yang 
diterapkan terhadap gerakan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Atas 
usulan Fraksi Nasional itu volksraad meninjau ulang kebijakan pemerintah 
kolonial. Pemerintah kemudian mengusulkan perkara yang dituduhkan 
kepada para pemimpin ke pengadilan tinggi, bukan pengadilan negeri. 
Akan tetapi permintaan itu ditolak, karena masalah itu menyangkut masalah 
perbuatan pidana, bukan masalah pelanggaran politik. Jelaslah bahwa 
gerakan yang dilakukan oleh kaum pergerakan dianggap sebagai kejahatan 
yang mengganggu keamanan bukan sebagai gerakan politik. 
Fraksi Nasional juga menolak usulan pemerintah untuk memperkuat 
pertahanan yang dapat menghabiskan biaya yang besar. Ini berarti menambah 
kesengsaraan rakyat karena situasi ekonomi saat itu sedang mengalami 
depresi. Menurut Fraksi Nasional lebih baik biaya itu digunakan untuk 
meningkatkan kesejateraan rakyat. Sementara pengawasan dalam bidang 
politik semakin diperketat dengan adanya bermacam-macam larangan, 
seperti larangan berkumpul, pembredelan surat kabar, dan propaganda. 
Fraksi Nasional juga mendorong anggotanya untuk lebih berperan dalam 
Volksraad. Para nasionalis di Volksraad diminta untuk bersikap nonkooperasi. 
Meskipun aspirasi masyarakat sudah mendapat tempat, melalui perjuangan 
yang bersikap moderat dalam perjuangannya, rasa tidak puas terhadap 
pemerintah terus berkembang. Kericuhan sempat muncul dengan adanya 
Petisi Sutardjo pada 15 Juli 1936, dalam sidang Volksraad. Petisi itu 
menyuarakan tentang kurang giatnya pergerakan nasional dalam pergerakan 
yang disebabkan oleh tidak adanya saling pengertian dari pihak pemerintah. 
Situasi politik dunia saat itu, yaitu sedang berkembangnya naziisme dan 
fasisisme seharusnya membuat pemerintah waspada melihat bahaya yang 
mungkin mengancam Indonesia, sehingga perlu mempererat hubungan 
dengan Pergerakan Nasional Indonesia.
Sutardjo Kartohadikusumo, yang saat itu sebagai ketua Persatuan Pegawai 
Bestuur/Pamong Praja Bumi Putera dan wakil dari organisasi itu di Volksraad, 
mendapat dukungan dari beberapa wakil golongan dan daerah dari Volksraad 
mengusulkan diadakan suatu musyawarah antara wakil Indonesia dan 
Kerajaan Belanda untuk menentukan masa depan bangsa Indonesia yang 
dapat berdiri sendiri meskipun dalam ruang lingkungan Kerajaan Belanda. 
Petisi itu melahirkan pro dan kontra, baik di kalangan Indonesia dan Belanda. 
Petisi itu mendapat persetujuan mayoritas dari anggota Volksraad, selanjutnya 
disampaikan pada pemerintah kerajaan dan parlemen Belanda. Partai 
Nasional saat itu memperingatkan para pendukung petisi, bahwa tindakan 
yang diambil itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, seperti 
Volksraad sehingga usaha itu sia-sia belaka. Pendukung petisi itu tidak 
menghiraukan peringatan itu, bahkan membentuk suatu komite agar petisi 
itu mendapat dukungan luas di kalangan rakyat. Kondisi itu tidak hanya 
bergerak di Indonesia saja, bahkan hingga ke negeri Belanda, sehingga 
menyetujui petisi itu. 
Petisi itu tanpa melalui perdebatan ditolak oleh pemerintah Belanda pada 16 
November 1938. Alasan penolakan petisi yaitu Indonesia belum siap untuk 
memikul tanggungjawab memerintah diri sendiri. Bangsa Indonesia juga 
dinilai belum mampu untuk berdiri apalagi menjadi negara yang merdeka. 
Cara penolakan yang tanpa perdebatan di parlemen mengecewakan pihak 
pergerakan nasional, meskipun pihak yang ditolak sesungguhnya telah 
menduga sebelumnya. Realitas itu menunjukkan bahwa tuntutan rakyat 
Indonesia tidak dibicarakan secara terbuka di parlemen.
PETISI SUTARDJO:
1. Volksraad sebagai parlemen sesungguhnya, 
2. Direktur departemen diberi tanggungjawab, 
3. Dibentuk Dewan Kerajaan sebagai badan tertinggi antara negeri Belanda dan Indonesia yang anggotanya merupakan 
 wakil kedua belah pihak, 
4. Penduduk Indonesia yaitu orang-orang yang karena 
 kelahirannya, asal usulnya, dan cita-citanya memihak Indonesia.
a. Partai Indonesia Raya (Parindra) 
Partai Indonesia Raya didirikan di Solo pada Desember 1935. Partai ini 
merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi yaitu BU dan PBI. 
Sebagai ketuanya dipilih dr. Sutomo. Tujuan partai yaitu mencapai Indonesia 
Raya dan mulia yang hakekatnya mencapai Indonesia merdeka. 
Di Jawa anggota Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian 
disebut dengan kaum kromo. Di daerah lain masuk kaum Betawi, Serikat 
Sumatera, dan Sarikat Selebes. Partai ini yaitu yang mengajukan petisi 
Sutardjo yang ditandatangani oleh Sutardjo, penandatanganan pertama, 
yang lainnya I.J. Kasimo,.dr. Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung, Kwo Kwat 
Tiong, dan Alatas. 
b. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Kegagalan Petisi Sutardjo mendorong gagasan untuk menggabungan 
organisasi politik dalam suatu bentuk federasi. Gabungan Politik Indonesia 
(GAPI) itu diketuai oleh Muh. Husni Thamrin. Pimpinan lainnya yaitu Mr. 
Amir Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosuyoso. Alasan lain dibentuknya GAPI 
yaitu adanya situasi internasional akibat meningkatnya pengaruh fasisme. 
Juga sikap pemerintah yang kurang memperhatikan kepentingan Bangsa 
Indonesia. Kemenangan dan kemajuan yang diperoleh negara fasis yaitu, 
Jepang, Jerman, Italia tidak menggembirakan Indonesia. Karena itu pers 
Indonesia menyerukan untuk menyusun kembali barisan dalam suatu wadah 
persatuan berupa “konsentrasi nasional”.
Parindra berpendapat pentingnya untuk perjuangan ke dalam, yaitu 
menyadarkan dan menggerakkan rakyat untuk memperoleh suatu 
pemerintahan sendiri, serta menyadarkan pemerintah Belanda akan cita￾cita bangsa Indonesia. Juga mengadakan perubahan pendekatan dengan 
organisasi-organisasi politik untuk membicarakan masa depan Bangsa 
Indonesia. Pada 21 Mei 1939, dalam rapat pendirian konsentrasi nasional di 
Jakarta berhasil didirikan suatu organisasi yang merupakan kerja sama partai 
politik nasional di Jakarta yang diberi nama Gabungan Partai Politik Indonesia 
(GAPI). 
Anggaran Dasar GAPI menyebutkan, bahwa GAPI mempunyai hak untuk 
menentukan diri sendiri; persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia 
dengan berdasarkan kerakyatan dalam paham politik, ekonomi, sosial, dan 
persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia. Dalam konferensi I GAPI (4 Juli 
1939) dibicarakan aksi GAPI dengan semboyan Indonesia berparlemen. GAPI 
tidak menuntut kemerdekaan penuh, tetapi suatu parlemen berdasarkan 
sendi demokrasi. 
Untuk mencapai tujuannya, GAPI menyerukan pada rakyat Indonesia agar 
didukung oleh semua lapisan masyarakat. Seruan itu disambut hangat oleh 
Pers Indonesia. Pada 1939, GAPI mengadakan rapat umum. Tidak kurang 
dari seratus tempat mengadakan rapat propaganda tujuan GAPI, sehingga 
suasana di Indonesia saat itu menyerukan Indonesia berparlemen. Penyadar, 
PNI Baru, dan Perkumpulan Kristen Indonesia tidak sependapat dengan GAPI. 
Mereka berpendapat tidak ada gunanya bersifat meminta-minta kepada 
Belanda. 
Untuk mencapai tujuannya, GAPI membentuk Kongres Rakyat Indonesia 
(KRI). Tujuan kongres untuk kesempurnaan Indonesia dan cita-citanya, yaitu 
Indonesia Berparlemen penuh. Keputusan penting lainnya yaitu penetapan 
bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu 
persatuan Indonesia. Juga penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa 
rakyat Indonesia. Selanjutnya dibentuk Komite Parlemen Indonesia.
Saat Jerman menyerbu Polandia, GAPI mengeluarkan Manifest GAPI (20 
September 1939). Isi manifest itu mengajak rakyat Indonesia dan Negeri 
Belanda untuk bekerja sama menghadapi bahaya fasisme. Menurut GAPI 
usaha itu lebih berhasil bila rakyat Indonesia diberi hak baru dalam urusan 
pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan dengan parlemen yang dipilih dari, 
oleh rakyat, dan pemerintah yang bertanggungjawab kepada parlemen.
Pada Agustus 1940, saat negeri Belanda dikuasai Jerman dan Indonesia 
dinyatakan dalam darurat perang, GAPI kembali mengeluarkan resolusi yang 
menuntut diadakannya perubahan ketatanegaraan di Indonesia dengan 
menggunakan hukum tata negara dalam masa genting. Isi resolusi yaitu 
mengganti Volksraad dengan parlemen sejati yang anggotanya dipilih 
rakyat dan mengubah fungsi kepala departemen menjadi menteri yang 
bertanggungjawab kepada parlemen. Bagi rakyat serta organisasi lainnya 
yang tidak bergabung dalam GAPI diminta untuk mendukung GAPI. Resolusi 
itu dikirimkan ke gubernur jenderal, Volksraad, Ratu Wilhelmina, dan kabinet 
Belanda di London. 
Aksi gigih yang dilakukan itu menghasilkan persetujuan pemerintah. Pada 14 
September 1940 dibentuk Commissie tot besudeering van staatsrechtelijke
Hervormigen. Komisi itu dikenal dengan komisi Visman, karena diketuai oleh 
D. Visman. Pembentukan komisi itu tidak


 mendapat sambutan baik dari 
Volksraad maupun dari GAPI sendiri. Ketidaksetujuan itu didasarkan dari 
pengalaman sebelumnya, bahwa pembentukan komisi tidak menghasilkan 
perbaikan nasib rakyat seperti yang diinginkan. Untuk menghindari 
ketidaksamaan pendapat dalam menghadapi komisi Visman, GAPI meminta 
anggota-anggotanya untuk tidak memberikan pendapatnya sendiri-sendiri. 
Sikap GAPI menjadi lunak ketika menerima undangan secara resmi dari 
komisi Visman. Sementara itu Volksraad 
mengajukan suatu mosi yang lebih ringan 
dengan mengajak kerja sama pemimpin 
Indonesia dan pemerintah Belanda. 
Pertemuan wakil GAPI dengan komisi 
Visman pada 14 Februari 1941 di 
Gedung Raad van Indie, di Jakarta tidak 
menghasilkan hal baru. Pertemuan itu 
hanya menambahkan kekecewaan pada 
kalangan pergerakan sehingga ada 
anggapan GAPI tidak radikal lagi.

Tentang Penguatan Jatidiri 
Kebangsaan selengkapnya 
kamu bisa membaca buku 
dari Taufik Abdullah dan A.B. 
Lapian, Indonesia dalam 
Arus Sejarah, 2012, juga 
buku Suhartono, Sejarah 
Pergerakan Nasional: dari Budi 
Utomo sampai Proklamasi 
1908 -1945, juga buku Siti 
Waridah Q (dkk), 1997, 
Sejarah Nasional Indonesia 
dan Dunia, buku Hans van 
Miert, Dengan Semangat 
Berkobar: Nasionalisme 
dan Gerakan Pemuda di 
Indonesia, 1918-1930, 2003, 
juga buku Susanto Tirtoprodjo, 
Sejarah Pergerakan Nasional 
Indonesia, 1960 .

5. Tamatnya Kemaharajaan Belanda
Ratusan tahun sudah Belanda membangun kemaharajaan di Kepulauan 
Indonesia, di tanah Hindia Belanda. Secara interen pejuang dan para pemuda 
yang kemudian berpolitik untuk mewujudkan persatuan guna melawan 
penjajahan. Roda kebangsaan digerakkan untuk melawan ganasnya roda 
kolonialisme dan imperialisme. Tetapi tampaknya roda kolonialisme dan 
imperialisme itu masih cukup kokoh. Tetapi para pejuang dan intelek muda 
kita tidak pernah putus asa. Roda kebangsaan terus digerakkan di berbagai 
penjuru yang dipandang memungkinkan untuk mendapatkan kebebasan 
termasuk melalui Volksraad.
Kebijakan politik etis telah diterapkan sebagai pengaman dari sebuah 
pertanggungjawaban pemerintah kolonial terhadap negeri jajahan yang 
rakyatnya sudah lama dibuat menderita. Pintu pendidikan dan politik bagi 
kaum bumiputera, dibuka untuk memberi kesempatan para pejuang kita 
untuk mengekspresikan strategi perjuangannya secara lebih demokratis, 
berbeda dari perjuangan masa-masa sebelumnya. Tetapi semua ini tidak 
dapat berjalan cepat sebagaimana harapan para pejuang pergerakan 
kebangsaan. Kekuatan kolonialisme dan imperialisme Belanda tampak 
masih mampu mengontrol para pejuang kita. Masuknya bumiputera sebagai 
anggota Volksraad bukan berarti kaum bumiputera diberi hak penuh untuk 
menyuarakan pendapatnya. Namun setidaknya Volksraad sudah memberikan 
peluang para wakil Hindia, yang membukakan wawasan mereka perlunya 
persatuan untuk melakukan gerakan nasional dalam melawan dominasi 
kolonialisme dan imperialisme Belanda. 
Di tengah-tengah roda pergerakan kebangsaan bergesekan dan beradu 
dengan roda kolonialisme dan imperialisme, Tuhan Yang Maha Kuasa, telah 
membuat skenario baru, yakni berkobarnya Perang Dunia II. Perang itu pun 
dengan cepat menjalar ke Indonesia yang ditandai dengan datangnya tentara 
Jepang yang kemudian ikut menyudahi kemaharajaan Belanda di Indonesia.


Afdeling: daerah yang merupakan bagian dari daerah karesidenan yang dipimpin 
oleh seorang Asisten Residen
Aneksasi: pengambilan dengan paksa tanah (wilayah) negara lain untuk disatukan 
dengan tanah (negara) sendiri; penyerobotan; pencaplokan 
Bangsa Moor: sebutan untuk kaum Muslim 
Cultuurstelsel: Sistem Tanam Paksa yang digagas oleh Van den Bosch 
de Heeren XVII (Dewan Tujuh Belas): Dewan pimpinan VOC yang beranggotakan 17 
orang wakil dari enam kamar dagang di Belanda 
De Javasche Bank, yaitu sebuah bank yang didirikan oleh Belanda di Batavia 
pada tanggal 24 Januari 1828
devide et impera: Politik Adu domba 
Dualisme pemerintahan. Pada masa penjajahan ada dua pemerintahan yakni 
pemerintahan Eropa (Europees bestuur) dan pemerintahan pribumi (Inlands 
bestuur).
East India Company (EIC):.Kongsi dagang Inggris berkantor pusat di India. 
Ekspansif: bersifat meluas 
Eksploitasi: pemanfaatan untuk keuntungan sendiri 
Feodalisme yaitu sistem sosial politik yang memberikan kekuasaan besar kepada 
bangsawan. 
glory: memburu kejayaan, superioritas, dan kekuasaan. Dalam kaitan ini mereka 
saling bersaing dan ingin berkuasa di dunia baru yang ditemukannya. 
gold: memburu kekayaan dan keuntungan dengan mencari dan mengumpulkan 
emas, perak dan bahan tambang serta bahan-bahan lain yang sangat 
berharga. Waktu itu yang dituju terutama Guinea dan rempah-rempah dari 
Timur
gospel: menjalankan tugas suci untuk menyebarkan agama. Pada mulanya orang￾orang Eropa ingin mencari dan bertemu Prester John yang mereka yakini 
sebagai Raja Kristen yang berkuasa di Timur 
Grote Postweg : jalan raya pos antara Anyer–Panarukan sejauh 1.000 km. 
gugur gunung: bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan 
(bersama)
Imperialisme yaitu sistem politik yang bertujuan menjajah negara lain untuk 
mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yang lebih besar. 
Interaksi yaitu saling berhubungan. 
Intervensi yaitu campur tangan dalam perselisihan antara dua pihak. 
Kapitulasi yaitu penyerahan kekuasaan sebagai akibat kekalahan dalam peperangan 
kepada pihak pemenang. 
Kapitulasi Tuntang: perjanjian pengalihan kekuasaan di Hindia dari Belanda kepada 
Inggris di Tuntang pada 18 September 1811 
Kolonialisme: paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau 
bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu 
Komisaris Jenderal: Badan pemerintah baru yang dibentuk oleh Pangeran Willem 
VI setelah Inggris mengembalikan kekuasaan kepada Belanda. Terdiri atas 
tiga orang, yakni: Cornelis Theodorus Elout (ketua), Arnold Ardiaan Buyskes 
(anggota), dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen (anggota). 
Komoditas yaitu barang dagangan utama. 
Kongsi yaitu persekutuan dagang. 
Konvensi London: Perjanjian yang mengharuskan Inggris mengembalikan tanah 
jajahan di Hindia kepada Belanda tahun 1814.
Landrente yaitu pajak tanah.
Legiun Mangkunegara: Legiun Mangkunegaran yaitu organisasi militer ala Eropa 
tepatnya Militer Perancis yang merupakan institusi modern di Asia pada awal 
abad ke-19. 
Liberalisme yaitu aliran ketatanegaraan dan ekonomi yang menghendaki demokrasi 
dan kebebasan pribadi. 
liberte, egalite dan fraternite: kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. prinsip￾prinsip baru yang menggulingkan tradisi, hierarki monarki, aristokrat, dan 
kekuasaan Gereja Katolik. 
Mobilisasi yaitu pengerahan tenaga manusia untuk dijadikan tentara. 
Moderat yaitu menghindari perilaku yang bersifat ekstrem. 
Nederlansche Handel Matschappij (NHM): Perusahaan Perdagangan Belanda 
Onderkoopman: Pedagang Muda 
Ordonansi: peraturan pemerintah 
Padrao: patok batu sebagai tanda bahwa daerah yang ditemukan itu milik Portugis 
Pasar Monopoli: hak tunggal untuk berusaha 
Pasukan kavaleri: pasukan berkuda
Pelayaran Hongi: Pelayaran hongi yaitu pelayaran yang diadakan oleh VOC 
dengan menggunakan senjata lengkap untuk mengawasi jalannya monopoli 
perdagangan. 
Prefektur: wilayah yang memiliki otoritas. 
Propaganda yaitu penjelasan yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan 
seseorang agar menganut aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu.
Raad van Indie (Dewan Hindia): Dewan yang bertugas memberi nasihat dan 
mengawasi kepemimpinan gubernur jenderal. 
Radikal yaitu kemajuan dalam berpikir dan bertindak untuk menuntut perubahan. 
Rasionalisme yaitu paham yang mengatakan bahwa sumber dari segala kebenaran 
yaitu pikiran manusia. 
Republik Bataaf: Pemerintahan baru Belanda sebagai bagian dari Perancis yang 
dipimpin oleh Louis Napoleon saudara dari Napoleon Bonaparte. 
Revolusi Perancis: suatu periode sosial radikal dan pergolakan politik di Perancis 
yang memiliki dampak abadi terhadap sejarah Perancis, dan lebih luas lagi, 
terhadap Eropa secara keseluruhan 
Sambatan: membantu untuk mengurangi beban keluhan karena pekerjaan yang 
banyak. 
Sawo matang: untuk memberi gambaran warna kulit orang Indonesia
Staatsblad: Lembaran Negara 
Staten Generaal: Parlemen Belanda 
Traktat London: Perjanjian antara Inggris dan Belanda yang isinya antara lain bahwa 
Belanda setelah mendapatkan kembali tanah jajahannya di Kepulauan 
Nusantara, tidak dibenarkan mengganggu kedaulatan Aceh tahun 1824. 
Traktat Sumatera: Perjanjian yang memberikan Belanda kebebasan untuk meluaskan 
daerahnya sampai ke Aceh tahun 1871. 
Vadem: satuan ukur. satu vadem sama dengan 182 cm. 
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC): Kongsi dagang Belanda berkantor pusat 
di Batavia 
Volksraad yaitu Dewan Perwakilan Rakyat pada masa penjajahan Belanda

Related Posts: