Rabu, 12 Juli 2023
Home »
penjajah belanda 1
» penjajah belanda 1
penjajah belanda 1
By video bobo Juli 12, 2023
sejarah umat manusia. Abad ini merupakan abad kebangkitan Eropa yang
diwarnai oleh semangat penemuan dan penciptaan. Orang-orang Eropa tergerak
untuk menyelidiki rahasia alam semesta, menaklukkan lautan, dan menjelajah
benua yang sebelumnya masih diliputi kegelapan.
Bangkitnya kekuatan Eropa
mengantarkan mereka pada konflik dunia dengan masyarakat Muslim. Mereka
mulai melakukan ekspansi untuk menguasai wilayah-wilayah Islam dengan
memonopoli perdagangan dan berakhir dengan pendirian rezim-rezim kolonial.
Sejak akhir abad XV, Spanyol dan Portugis memelopori bangsa Eropa
dalam melakukan pelayaran untuk mencari jalan sendiri menuju kekayaan Asia.
Selain karena motif ekonomi untuk memotong lalu lintas perdagangan di Laut
Tengah yang dikuasai para pedagang Muslim –di antaranya Turki–, mereka juga
ingin melumpuhkan kekuatan Turki dengan menghancurkan perdagangannya.
Pada saat itu, Turki memang sedang melancarkan serangan-serangan dahsyat ke
negara-negara Eropa. Motif penting lain yang tidak dapat dipisahkan dari ekspansi
tersebut adalah agama. Mereka ingin mengepung lawan yang beragama Islam dan menyiarkan agama Kristen di seberang lautan.3
Ekspansi kolonialisme Portugis
dan Spanyol itu mendapatkan restu dari Paus Alexander VI. Dalam Perjanjian
Tordesillas pada 4 Mei 1493, dia membagi dunia baru antara Portugis dan
Spanyol. Salah satu syaratnya adalah raja atau negara harus memajukan misi
Katolik Roma di daerah-daerah yang telah diserahkan kepada mereka.4
Kerajaan
bertanggungjawab untuk mengubah penduduk pribumi menjadi penganut Kristen.
Banyak dari upaya misionaris selama dua setengah abad berikutnya dilakukan di
bawah kekuasaan Portugis. Sebagian besar para misionaris saat itu adalah imam
Katolik Roma. Beberapa di antara mereka adalah pengikut ordo Jesuit, Kapusin,
dan Fransiskan.
Semangat Perang Salib sangat kuat mendorong ekspansi mereka.
Portugis
memandang semua penganut Islam adalah bangsa Moor dan musuh yang harus
diperangi.
Oleh karena itulah ketika Alfonso d'Albuquerque berhasil menduduki
Malaka pada 1511, dia berpidato, Portugis datang ke Malaka, kemudian ke Nusantara, dengan membawa
para misionaris. Penyebaran agama Kristen Katolik menjadi tujuan utama mereka,
bukan pekerjaan sambil lalu saja. Di setiap wilayah Nusantara yang ditaklukkan
Portugis, misi Katolik segera masuk dan mengkonversi penduduk. Seorang
misionaris, Franciscus Xaverius, selama lima belas bulan bekerja di Maluku
berhasil membaptis beribu-ribu orang.
Selain Maluku, misi Katolik juga segera
menyebar ke daerah-daerah lain, seperti Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara
Timur.
Bangkitnya kekuasaan Katolik Portugis dan Spanyol pada akhir abad XV
tidak hanya memulai kolonialisme modern. Akan tetapi, mereka juga meletakkan
dasar-dasar dibangunnya aliansi modern antara misi Kristen dan ekspansi
kolonial. Sejak akhir abad XVI, Belanda, Inggris dan Denmark merebut kuasa di
laut dari Spanyol dan Portugis. Keterlibatan mereka dalam sejarah kolonial itu
menandai permulaan umum ekspansi misionaris Protestan. Seperti pendahulu
mereka yang menganut Katolik, kaum Protestan memandang kolonialisme dan
imperialisme Eropa yang sekuler sebagai sarana memenuhi takdir. Para misionaris
Kristen dari semua kepercayaan dan sekte disatukan dalam kepercayaan umum bahwa ekspansi Eropa adalah manifestasi titah Tuhan untuk menyebarkan
kerajaan-Nya di dunia.
Pada 1598, para pedagang Belanda mulai datang ke Nusantara. Empat
tahun berikutnya, didirikanlah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC),
sebuah organisasi dagang yang dibentuk untuk mencegah persaingan
antarkelompok dagang Belanda. Mengenai sikap terhadap perkara agama di
Nusantara, Encyclopædie van Nederlandsch-Indië menyebutkan bahwa orang
Belanda tidak jauh berbeda dengan orang Portugis. Di mana pun dia tinggal dan
didapatinya telah ada pribumi yang Kristen, keadaan mereka itu tidak disiasiakannya. Sebaliknya, di mana pun didapatinya belum ada, dia berusaha
menanam Kristen di tengah-tengah mereka.
Seperti halnya Portugis, Belanda datang ke Nusantara juga dengan
membawa pendeta-pendeta sebagai pegawai VOC. Mereka bertugas bukan saja
menyelenggarakan kebutuhan ruhani para pedagang, pegawai dan pasukan
Belanda di pulau-pulau tempat VOC telah membuka kantornya, tetapi juga
mengusahakan pertaubatan orang kafir dan pendidikan anak-anak mereka.
Selain mengejar keuntungan ekonomis dan ikut membangun imperium Belanda,
VOC juga mendapat mandat dari Gereja Protestan Belanda (Gereformeerde
Kerk), yang waktu itu berstatus sebagai gereja negara, untuk menyebarkan iman
Kristen, sesuai dengan isi pasal 36 Pengakuan Iman Belanda tahun 1561, yang antara lain berbunyi, "Juga jabatan itu (maksudnya tugas pemerintah) meliputi:
mempertahankan pelayanan Gereja yang kudus, memberantas dan memusnahkan
seluruh penyembahan berhala dan agama palsu, menjatuhkan kerajaan AntiKristus, dan berikhtiar supaya kerajaan Yesus Kristus berkembang."
Namun demikian, dalam prakteknya, VOC tidak terlalu bersemangat
menyebarkan agama Kristen. Selama 200 tahun menguasai beberapa wilayah di
Nusantara, pertumbuhan agama Kristen pada zaman VOC mempunyai hasil
minim. VOC hanya memprioritaskan daerah-daerah bekas koloni Portugis dan
Spanyol, seperti Maluku, Minahasa dan lainnya. Kegiatan para pendeta terbatas
pada melayani orang-orang Eropa dan orang-orang pribumi yang telah masuk
Kristen. Orang-orang Maluku yang sudah beragama Katolik dipaksa untuk
berpindah ke Protestan-Calvinis. Barulah setelah VOC jatuh dan setelah melewati
permulaan abad XIX yang penuh dengan keguncangan, mencuat keinginan untuk
melakukan Kristenisasi terhadap kaum pribumi secara menggebu-gebu.
Dibanding dengan VOC, Pemerintah Hindia Belanda memberikan
perhatian lebih banyak terhadap perkembangan Kristen di daerah koloninya. Abad
XIX memang kadang-kadang disebut sebagai "Era Misi" (Age of Missions)
Berbagai lembaga misionaris pun dibentuk dan berlomba-lomba mengembangkan
agama Kristen di kalangan pribumi. Pemerintah bahkan memberikan gaji kepada
para pendeta yang berkarya di Hindia Belanda. Meskipun demikian, pemerintah tetap berhati-hati dalam menyikapi pengembangan dan penyebaran Kristen.
Beberapa daerah yang berpenduduk mayoritas Muslim dinyatakan sebagai
wilayah tertutup bagi kegiatan misi. Misionaris yang akan menyebarkan
agamanya harus meminta dan mengantongi izin terlebih dahulu dari pemerintah.
Alasan pemerintah Hindia Belanda untuk menerapkan kebijakan seperti itu adalah
untuk menjaga keamanan dan ketertiban (rust en orde) di wilayah jajahannya.
Kegiatan misi Kristen semakin meningkat pesat pada abad XX. Dalam
sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, periode ini dikenal sebagai masa politik
etis. Pemerintah Hindia Belanda ingin meningkatkan kesejahteraan pribumi dan
memperadabkan mereka. Sejalan dengan kebijakan politik etis yang ingin
"memperadabkan" pribumi, para misionaris mendirikan sekolah-sekolah dengan
bantuan subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda. Mereka juga giat dalam bidang
sosial dengan mendirikan rumah sakit dan balai-balai kesehatan. Oleh karena itu,
tepatlah jika Alwi Shihab mengatakan bahwa politik etis adalah kerangka kerja
yang di atasnya konsolidasi agama Kristen di Indonesia dimapankan.
Bagi orang Muslim, kolonialisme Eropa merupakan tragedi yang
melemahkan Islam dan bencana yang tidak tanggung-tanggung. Pemerintah
kolonial melumpuhkan masyarakat Muslim, membekukan pemikiran, dan
menguburkan kejayaan masa lalu orang Muslim. Lebih buruk lagi, masa kolonial
telah merusak rasa percaya diri orang Muslim sehingga membuat mereka tidak
berdaya seperti seorang anak kecil. Kolonialisme juga sering bekerja sama dengan misi Kristen untuk melanggengkan kekuasaannya. Hal ini merupakan
sebuah fakta sejarah yang didukung banyak bukti dan sulit dipungkiri.
Ada hal menarik mengenai sejarah politik etis. Selama ini, politik etis
sering digambarkan sebagai politik balas budi Pemerintah Hindia Belanda kepada
rakyat jajahannya. Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dianggap telah
meningkatkan pengetahuan dan kecerdasan pribumi, bahkan juga memunculkan
kelas elit modern Indonesia –meminjam istilah Robert van Niel—. Meskipun
jumlahnya relatif sedikit dibanding jumlah keseluruhan rakyat, namun kelas ini
sering dipandang sebagai pemicu gerakan kebangkitan nasional yang dengan aktif
menuntut kemerdekaan Indonesia dan mengajak rakyat bersatu. Demikianlah
sejarah yang diajarkan kepada generasi muda Indonesia. Fakta bahwa Kristenisasi
meningkat tajam pada masa politik etis19 hingga akhir pemerintahan Hindia
Belanda sangat jarang diungkap. Peningkatan Kristenisasi tersebut tentu
mempunyai hubungan erat dengan politik etis. Selain itu, masa politik etis juga
menunjukkan munculnya golongan nasionalis sekuler ke panggung sejarah
Indonesia. Golongan ini tidak muncul begitu saja. Sekolah-sekolah model Barat
yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda berperan besar dalam memunculkan
golongan ini. Dalam perjalanan sejarah berikutnya, golongan Kristen maupun
golongan nasionalis sekuler sering terlibat perseteruan dengan golongan Islam.
Agaknya tidak salah jika penulis berasumsi bahwa politik etis sebenarnya adalah
upaya pemerintah Hindia Belanda untuk mengkristenkan atau membaratkan
rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim. Masalah sebagaimana yang telah dipaparkan tadi penting untuk dikaji
lebih lanjut dan lebih mendalam. Hal itu karena beberapa alasan. Pertama,
Kristenisasi merupakan salah satu tantangan dakwah terbesar yang dihadapi oleh
umat Islam Indonesia. Hubungan umat Islam dengan umat Kristen sering
mengalami ketegangan. Berbagai upaya dilakukan untuk mengharmoniskan
hubungan tersebut. Sebagai mayoritas, umat Islam dituntut untuk bersikap toleran
kepada umat Kristen yang merupakan minoritas. Akan tetapi, berkali-kali umat
Islam menghadapi usaha penyebaran agama dengan cara tidak sehat dari pihak
Kristen. Tidak jarang usaha pihak Kristen tersebut disertai penodaan terhadap
agama Islam. Oleh karena itu, memahami sejarah Kristenisasi dapat membantu
umat Islam untuk menentukan langkah yang tepat dalam menghadapi tantangan
ini.
Kedua, kajian mengenai sejarah perjumpaan Islam dan Kristen di
Indonesia belum banyak diperhatikan di kalangan umat Islam. Baru ada sedikit
karya mereka yang secara khusus membahas hal itu. Di antaranya, Membendung
Arus; Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di
Indonesia karya Alwi Shihab dan Politik Islam Hindia Belanda karya H. Aqib
Suminto. Karya terakhir memasukkan masalah hubungan Islam dan Kristen dalam
bagian pembahasan politik Islam Pemerintah Hindia Belanda. Sementara itu,
kajian tadi telah banyak ditulis dan diperhatikan di kalangan umat Kristen; baik
secara khusus maupun menjadi bagian dari sejarah gereja. Sebut saja, misalnya,
Jan S. Aritonang yang menulis Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia. Beberapa sarjana Kristen lain yang menulis tema tersebut adalah Karel A. Steenbrink, Th. van den End, Th. Muller Kruger, dan H. Berkhof. Harus
diakui, kesadaran sejarah di kalangan umat Islam masih sangat rendah.
Ketiga, sebagian orang –terutama dari kalangan Kristen— mengingkari
adanya hubungan saling menguntungkan antara kolonialisme dan misi Kristen.
W.B. Sidjabat, misalnya, berusaha mengelak bahwa kekuasaan kolonial Belanda
ikut membantu penyebaran agama Kristen di Indonesia. Menurutnya, kaum
misionaris sama sekali tidak ada kaitannya dengan ambisi duniawi kaum
kolonialis. Penyebaran agama Kristen lebih disebabkan oleh kuasa Al-Kitab dan
bukan terutama disebabkan oleh upaya orang-orang Kristen.20 Tidak jauh berbeda
dengan W.B. Sidjabat, Jan S. Aritonang juga menolak asumsi bahwa pemerintah
kolonial memberi perlindungan kepada misi Kristen. Dia mengatakan, “Tidak
selamanya atau tidak di setiap waktu dan tempat pemerintah Hindia Belanda
mendukung pekabaran Injil, seperti yang cukup sering dikesankan oleh penulis
tertentu dari kalangan Islam.” Selain mereka, sarjana Kristen lain yang menolak
asumsi di atas adalah Chris Hartono dan Adolf Heuken SJ. bahwa meluasnya penjajahan dan kemajuan karya zending
sama-sama merupakan wadah ekspansi Barat adalah tidak benar, sekurangkurangnya tidak tepat, karena di antara keduanya terdapat perbedaan yang
hakiki. bahwa tidak selamanya
pemerintah kolonial memberikan bantuan dan perlindungan kepada misi Kristen. Menurutnya, pemerintah kolonial juga sering menghambat upaya penyebaran
Kristen sampai 1942. Lebih lanjut, dia mengatakan, “Tuduhan bahwa misi
dimanja oleh pemerintah kolonial merupakan fitnah yang tak pernah disertai data
(yang memang tidak ada).”23 Semua nama sarjana Kristen tadi berikut pernyataan
mereka sekadar contoh. Kedatangan dan penyebaran Kristen yang mengikuti
kedatangan dan penyebaran kolonialisme Barat di negeri ini sebenarnya sudah
cukup menjadi bukti bahwa keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Namun demikian, pengelakan dan penolakan mereka perlu dikaji kembali
kebenarannya berdasarkan data sejarah yang ada.
Kajian ini dibatasi pada spasial Pulau Jawa dengan temporal dari 1901
hingga 1942. Alasan batasan spasial adalah karena Jawa merupakan pusat
kekuasaan Pemerintah Hinda Belanda sehingga memiliki posisi strategis
dibandingkan wilayah lainnya. Alasan dimulainya kajian ini dari 1901 karena
tahun ini adalah tahun dimulainya politik etis dimana kegiatan zending maupun
misi meningkat tajam. Batasan akhir kajian pada 1942 karena pada tahun ini
Pemerintah Hindia Belanda runtuh dan digantikan oleh Jepang. Peristiwa ini
mengakhiri dukungannya terhadap penetrasi misi Kristen bukan hanya di Jawa,
bahkan di seluruh wilayah Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi dalam latar belakang masalah di atas, perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sejauh mana hubungan politik etis dan politik pengkristenan?
2. Mengapa Pemerintah Hindia Belanda mendukung misi Kristen?
3. Bagaimana dukungan Pemerintah Hindia Belanda terhadap misi Kristen di
Jawa pada 1901–1942?
Banyak karya yang telah ditulis mengenai hubungan kolonial dan misi
Kristen dalam sejarah Indonesia, baik oleh para sarjana Indonesia sendiri maupun
sarjana-sarjana asing. Karya tersebut adalah karya akademis yang ditulis oleh
orang yang otoritatif dalam bidangnya. Meskipun demikian, sepengetahuan
penulis belum ada satu karya pun yang secara khusus memfokuskan perhatian pada hubungan erat antara politik etis dan politik Kristenisasi dalam bentuk
sejarah deskriptif analitis. Masalah tersebut memang disinggung dalam beberapa
buku, namun pengungkapannya hanyalah merupakan bagian dari penulisan
sejarah yang lebih luas.
Di antara buku yang terpenting dan perlu disebutkan di sini adalah karya
H. Aqib Suminto yang berjudul Politik Islam Hindia Belanda (1984). Buku ini
semula merupakan disertasi penulisnya di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Dalam karyanya ini, Aqib Suminto memaparkan kebijakan Pemerintah Hindia
Belanda dalam mengelola masalah-masalah Islam di Indonesia. Termasuk
kebijakan tersebut adalah mengenai hubungan Islam dan Kristen. Aqib Suminto
menyimpulkan, meski secara teori Pemerintah menyatakan bersikap netral
terhadap agama, tetapi dalam prakteknya mereka turut campur tangan juga. Dalam
hubungan Islam dan Kristen, Pemerintah cenderung membantu dan mendukung
penyebaran Kristen serta bersikap diskriminatif terhadap Islam. Karya ini sangat
bermanfaat dalam mengkaji sejarah hubungan kolonial dan penetrasi misi Kristen.
Namun demikian, pembahasannya masih belum detail dan baru menjadi bagian
kecil dari pembahasan mengenai politik Islam Pemerintah Hindia Belanda secara
umum.
Buku kedua adalah karya Alwi Shihab yang berjudul Membendung Arus;
Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia
(1998). Seperti karya sebelumnya, buku Alwi Shihab ini semula juga merupakan
disertasi di Universitas Temple, Amerika Serikat. Disertasi ini memaparkan upaya
Muhammadiyah dalam membendung arus gencar Kristenisasi yang ditopang oleh kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena Muhammadiyah lahir pada
masa politik etis, maka keterkaitan politik ini dengan fenomena maraknya
Kristenisasi juga dibahas oleh penulisnya. Akan tetapi, pembahasannya menjadi
bagian dari keadaan politik dan keagamaan yang melatarbekalangi lahirnya
Muhammadiyah sehingga hanya sekilas.
Karya berikutnya adalah Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942
yang ditulis oleh Deliar Noer. Karya yang semula merupakan disertasi penulisnya
di Universitas Cornell, Amerika Serikat, ini memfokuskan pembahasannya pada
masalah derap langkah pembaharuan dan kebangkitan di kalangan umat Islam
Indonesia. Meskipun tidak terlalu panjang dan detail, Deliar Noer juga membahas
kerjasama pemerintah Hindia Belanda dan misi Kristen dalam menghadapi derap
langkah kebangkitan tersebut.
Kajian lain yang perlu dikemukakan di sini adalah karya Jan S. Aritonang
yang berjudul Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004). Karya
ini memaparkan secara kronologis hubungan antara umat Kristen dan umat Islam
di Indonesia sejak pertama kali kedatangan Kristen hingga 2003. Dalam karyanya,
pendeta Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) dan dosen Sejarah Gereja di
Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta ini juga membahas politik etis dan
dampaknya atas hubungan Kristen-Islam. Meski mengakui bahwa pengaruh
wawasan Kristen terasa dalam politik etis dan pelaksananya, namun dia menolak
anggapan bahwa seluruh tokoh politik etis dan para pelaksananya adalah para
pendukung Kristenisasi.Berikutnya adalah karya Th. van den End, Ragi Carita jilid 1 dan 2 (1980
dan 1988). Karya ini disusun oleh penulisnya sebagai buku pegangan mengenai
sejarah gereja di Indonesia. Banyak informasi sejarah didapatkan dari buku ini.
Oleh karena cakupan spasialnya sangat luas, yaitu seluruh wilayah Indonesia, dan
temporalnya sangat panjang, yaitu sejak abad XVI hingga abad XX, maka sudah
pasti pembahasan dalam buku ini hanya bersifat umum. Meskipun demikian, buku
karya dosen Sekolah Tinggi Teologi Jakarta ini sering menjadi rujukan utama
dalam mengkaji sejarah gereja dan penyebaran Kristen di Indonesia.
Seorang teolog Katolik Belanda yang banyak menulis tema sejarah adalah
Karel A. Steenbrink. Di antara karyanya yang sangat bermanfaat untuk melakukan
studi pendahuluan sekaligus sebagai referensi penelitian ini adalah Kawan Dalam
Pertikaian; Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596—1942), yang
diterbitkan oleh Mizan pada 1995. Karya berikutnya adalah Orang-Orang Katolik
di Indonesia 1808-1942 jilid 1 dan 2 (2006). Karya pertama memberikan
gambaran mengenai kesan kolonial Belanda sebagai pihak Kristen tentang kaum
Muslim Indonesia dan berbagai kebijakan politik yang mereka terapkan terhadap
Islam. Menurut Steenbrink, ada empat pola mengenai pertemuan antara orang
Kristen Belanda dan kaum Muslim Indonesia. Pola pertama memperlihatkan
campuran antara perhatian, keingintahuan, dan kekaguman selektif dari orang
Kristen Belanda, namun, di lain pihak, sejak awal terlihat pengambilan jarak yang
signifikan dan efektif. Pola kedua memperlihatkan prasangka-prasangka orang
Kristen Belanda terhadap Islam dengan istilah tidak beriman, takhayul, atau
klenik. Pola ketiga memperlihatkan pandangan orang Kristen Belanda terhadap Islam sebagai agama yang menimbulkan bahaya terbesar bagi keamanan orang
Eropa. Pola keempat dan terakhir muncul ketika kekuasaan kolonial telah sangat
mapan sehingga rasa khawatir terhadap fanatisme Islam tidak lagi diperlukan.
Sejak inilah perasaan superioritas yang nyata menjadi sangat dominan dan
muncullah sikap sebagai penguasa. Orang Belanda mulai menganggap dirinya
sebagai guru dan bahkan sebagai pengawas bagi bangsa yang masih belum
terpelajar. Hal ini dimanifestasikan dalam dua cara: ide-ide pembangunan sekuler,
terutama berpusat pada pendidikan, dan misi-misi Kristen. Namun, kedua hal ini
akhirnya tidak dapat dipisahkan. Sesuai pembagian Steenbrink, maka periode
politik etis terjadi ketika memasuki pola keempat. Pendapat Steenbrink ini sangat
bermanfaat untuk membantu analisis mengapa pemerintah kolonial Belanda
memberikan bantuan dan perlindungan terhadap misi Kristen.
Karya Steenbrink kedua memaparkan sejarah umat Katolik di Indonesia
secara gamblang. Buku ini tidak hanya melihat dinamika orang-orang Katolik di
Indonesia, tetapi juga berkaitan dengan persaingan dan rivalitas mereka dengan
pihak Protestan dan Islam. Pada jilid 1, Steenbrink sempat menyinggung adanya
hubungan antara kolonialisme dan agama Kristen sebagai seteru yang sepadan.
Akan tetapi, pembahasan tersebut sangat singkat. Pada jilid 2, Steenbrink
menguraikan pertumbuhan orang-orang Katolik di Jawa dan hubungan mereka
dengan umat Islam. Untuk menghadapi umat Islam, misi Katolik menggunakan
strategi pemisahan antara budaya Jawa dan Islam. Tokoh utama dan penggagas
strategi ini adalah Frans van Lith. F. Pendekatan dan Kerangka Pemikiran
Penulisan sejarah deskriptif naratif tidak bisa memberikan jawaban yang
memuaskan terhadap berbagai masalah atau gejala yang serba kompleks. Sebab,
penulisan sejarah tidak hanya bertujuan menceritakan kejadian, tetapi juga
mengkaji sebab-sebabnya, kondisi lingkungannya, dan konteks sosio-kulturalnya.
Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan multidimensional untuk membuat
analisis tentang struktur dan faktor yang melatarbelakangi peristiwa. Langkah
yang sangat penting dalam membuat analisis sejarah adalah menyediakan suatu
kerangka pemikiran yang menyangkut berbagai konsep dan teori yang akan
dipakai dalam membuat analisis itu. Hal ini dapat dilakukan dengan meminjam
konsep dan teori dari ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, politik,
ekonomi, dan sebagainya. Peminjaman itu adalah wajar karena sejarah
konvensional miskin akan hal tersebut, antara lain disebabkan oleh tidak adanya
kebutuhan menciptakan teori dan istilah-istilah khusus serta cukup memakai
bahasa kehidupan sehari-hari dan common sensePenelitian ini merupakan sejarah agama dengan model pendekatan sejarah
politik. Oleh karena itu, di sini akan dipergunakan konsep dari ilmu politik untuk
melakukan analisis.31 Konsep tersebut adalah konsep hubungan kolonialisme dan
misi Kristen. Namun sebelum menjelaskannya, ada baiknya dipahami terlebih
dahulu apa yang disebut kolonialisme dan misi Kristen. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kolonialisme
adalah paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain
dengan maksud untuk memperluas negara itu.32 Istilah ini berhubungan erat
dengan imperialisme yang didefinisikan sebagai sistem politik yang bertujuan
menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yang lebih
besar.33 Robert Delavignette mengatakan, “Kolonialisme adalah istilah yang
menandakan kebijakan imperialis dalam mengeksploitasi daerah-daerah koloni
demi mendapatkan keuntungan untuk negara induk saja.”34 Sementara itu, Edward
W. Said menyatakan bahwa kolonialisme hampir selalu merupakan konsekuensi
dari imperialisme. Kolonialisme berarti menanamkan permukiman di wilayah
yang jauh. Imperialisme berarti praktek, teori, dan sikap dari negara besar yang
memposisikan diri sebagai pusat untuk mendominasi kekuasaan di wilayah yang
jauh.35 Menurut ensiklopedi online Wikipedia, kolonialisme adalah
pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas
negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga
kerja, dan pasar wilayah tersebut. Istilah ini juga menunjuk kepada suatu
himpunan keyakinan yang digunakan untuk melegitimasikan atau
mempromosikan sistem ini, terutama kepercayaan bahwa moral dari pengkoloni
lebih hebat ketimbang yang dikolonikan.Adapun misi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan
menyebarkan Kabar Gembira (Injil) dan mendirikan jemaat setempat, dilakukan
atas dasar pengutusan sebagai kelanjutan misi Kristus. Pelakunya disebut
misionaris, yaitu orang yang melakukan penyebaran warta Injil kepada orang lain
yang belum mengenal Kristus.37 Dalam sejarah penyebaran agama Kristen di
Indonesia dikenal dua istilah: zending dan misi. Zending merupakan usaha
penyebaran Injil yang dilakukan oleh pemeluk agama Kristen Protestan.
Pelakunya disebut zendeling. Misi merupakan usaha penyebaran Injil yang
dilakukan oleh pemeluk agama Kristen Katolik.38 Kedua istilah tersebut dipakai
dalam penelitian ini untuk membedakan aliran keagamaan pelakunya. Namun
demikian, tidak jarang hanya disebut misi Kristen. Penyebutan secara sendirian
berarti mencakup usaha pekabaran Injil yang dilakukan oleh pemeluk Protestan
maupun Katolik. Pekabaran Injil sendiri merupakan istilah lain dari Kristenisasi.
Arie de Kuiper mengartikan Kristenisasi sebagai usaha-usaha yang dilakukan oleh
gereja, badan pekabaran Injil maupun orang Kristen untuk mengkristenkan
bangsa-bangsa, dunia dan semua orang; baik yang belum Kristen maupun yang
sudah Kristen.39 Dengan demikian, zending, misi, pekabaran Injil dan Kristenisasi
mempunyai makna yang sama.
Kolonialisme dan misi Kristen mempunyai hubungan sangat erat. Di
negara-negara Muslim, keduanya sering dibantu oleh orientalisme sehingga
menjadi gerakan bersama Barat untuk menghadapi Islam. Fakta sejarah pun menunjukkan bahwa gerakan kolonialisme selalui disertai oleh kegiatan
misionaris Kristen dan orientalis.40 Banyak sarjana, baik dari kalangan Muslim
maupun Barat, mengakui adanya hubungan erat antara kolonialisme dan misi
Kristen.
Untuk menganalisis dukungan pemerintah Hindia Belanda terhadap misi
Kristen, penulis menggunakan konsep hubungan kolonialisme dan misi Kristen
yang dikemukakan oleh Anwar Al-Jundi. Dia adalah seorang sastrawan dan
pemikir Islam dari Mesir yang sangat produktif menulis. Selama hidupnya
(1917—2002), ratusan buku dan artikel telah disusunnya. Menurutnya,
pemerintah kolonial yang mencengkeram negeri-negeri Islam menekankan pada
dua aktivitas mendasar.
Pertama, berusaha untuk membangun opini publik bahwa apa yang
dilakukan kolonial merupakan aktivitas yang berkaitan dengan misi pengadaban
dan kemanusiaan yang bertujuan untuk memajukan umat manusia. Mereka berasumsi bahwa orang kulit putih adalah pemilik peradaban yang
bertanggungjawab terhadap kemajuan peradaban orang kulit berwarna.
Kedua, mengubah intelektualitas Islam dari konsep dasarnya dan
membangkitkan kesamaran seputar unsur-unsur pemikiran Islam. Hal itu
dilakukan sebagai permulaan untuk mengasosiasikannya ke dalam pemikiran
Barat yang diasumsikan sebagai pemikiran universal yang dominan. Dengan cara
ini, umat Islam akan kehilangan nilai-nilai prinsipilnya, kemudian menerima nilainilai peradaban Barat dan takluk seperti kuda jinak di tangan mereka.
Untuk melaksanakan kedua hal di atas, pemerintah kolonial mengirimkan
misionaris yang memiliki peran besar dalam menciptakan orang-orang yang
menerima dan membela pemikiran Barat. Mereka tidak memusuhi kolonialisme,
tetapi malah mendukung dan menghormatinya. Oleh karena itu, pemerintah
kolonial membantu sekolah-sekolah, rumah sakit, dan organisasi-organisasi yang
didirikan oleh misionaris.
Terkait dengan penelitian ini, penulis melihat adanya kesesuaian konsep
yang dikemukakan oleh Anwar Al-Jundi dengan kasus yang terjadi dalam sejarah
kolonilisme Belanda di Indonesia. Melalui politik etis, pemerintah Hindia Belanda
menyatakan ingin meningkatkan kesejahteraan dan memajukan peradaban
pribumi. Kegiatan misi Kristen meningkat tajam pada masa politik etis. Mereka
mendirikan sekolah, klinik, rumah sakit, dan panti asuhan. Mereka sering
mendapatkan dukungan pemerintah kolonial karena dipandang membantu dalam
menjalankan misi memajukan peradaban tersebut.
Di antara semua perserikatan dagang yang ada
di abad ke-17 dan ke-18, Perserikatan Dagang
Hindia Timur (VOC), yang didirikan pada
tahun 1602, pasti merupakan yang paling sukses.
Tidak lama sesudah kelahirannya, badan ini
berhasil menyingkirkan orang Portugis, yang satu
abad sebelumnya telah membangun imperium
perdagangan di Asia, dan hampir menyisihkan
saingan di perdagangan Asia-Eropa itu. Saingan
utama VOC, yaitu East India Company (EIC), yang
telah didirikan di London pada tahun 1600, mulamula tidak cukup memiliki kemampuan keuangan
dan kehandalan keorganisasian, serta tidak cukup
mendapat dukungan dari pihak pemerintah
Inggris, sehingga tidak dapat menandingi
Kompeni Belanda itu. Baru pada akhir abad ke-
17 EIC berkembang sebagai lawan yang benarbenar patut disegani, yang kemudian, di sepanjang
abad ke-18, mengungguli saingannya di beberapa
bidang. Bagaimanapun, sampai akhir sejarahnya
pada tahun 1800 VOC tetap merupakan yang
terbesar di antara perusahaan-perusahaan dagang
yang beroperasi di Asia.
Kompeni Belanda itu bertumbuh pesat berkat
beberapa faktor. Pertama sekali, berlimpahnya
modal di Republik memungkinkan VOC
maju jauh dibandingkan dengan lawannya.
Dengan demikian VOC mampu membiayai
operasi-operasi militer yang perlu untuk meraih
kedudukan sebagai pemegang monopoli sedunia
dalam hal perdagangan rempah-rempah.
Penaklukan Kepulauan Banda pada tahun 1622
membuat VOC memperoleh monopoli pala dan
kembang pala. Sebaliknya, upaya memonopoli
cengkih membutuhkan jangka waktu yang lebih
lama. Dengan jalan menghancurkan pohon-pohon
cengkih di sejumlah pulau di Kepulauan Maluku,
VOC berhasil memusatkan pembudidayaan
rempah ini di Ambon. Makassar merupakan
pelabuhan terakhir tempat para saudagar dari
Eropa dan Asia masih sempat memasok rempahrempah bukan dengan perantaraan VOC – yang
oleh VOC dipandang sebagai ‘penyelundupan’
– tetapi penaklukan kota itu pada tahun 1667
berarti jalur itu pun tertutup. Terakhir, monopoli
dalam perdagangan kayu manis diperoleh dengan
cara mengusir orang Portugis dari Sri Lanka. Hal
ini terjadi dalam dua tahap: antara tahun 1627
dan 1642, dan dalam kurun waktu 1654-1658.
VOC tidak hanya mengangkut barang-barang
dari Asia ke pasaran Eropa. Kompeni berhasil
juga mengumpulkan modal besar di Asia sendiri
(pada masa itu wilayah perdagangan VOC
biasanya disebut Indië, ‘Hindia’), sehingga sanggup
membangun jaringan perdagangan antara kantorkantor perdagangan mereka di Asia. Perdagangan
dalam kawasan Asia itu sendiri menghasilkan
keuntungan besar bagi VOC sepanjang abad
ke-17 dan ke-18. Selama kurun waktu 1635-
1690 pemasukan yang didapat darinya melebihi
pengeluaran; usaha VOC di Asia menghasilkan
keuntungan yang membawa manfaat kepada
perusahaan VOC di Belanda. Di atas itu, sejak
tahun 1639 Kompeni Belanda itu adalah satusatunya saudagar dari Eropa yang memiliki izin
memasuki Jepang. Selama abad ke-17 hubungan
perdagangan dengan Jepang ini menghasilkan
keuntungan yang sangat besar dan memberi
kesempatan kepada VOC untuk memperoleh
perak dengan harga rendah. Seluruh pelaku
dagang bangsa Eropa di Asia membutuhkan perak
untuk membeli bahan tekstil dari India dan merica
dari kepulauan Indonesia. Berkat ‘koneksi Jepang’
ini, VOC tidak usah mendatangkan perak dalam
jumlah besar dari Eropa.
Pada akhir abad ke-17 volume perdagangan
dan pelayaran antara Eropa dan Asia meningkat
dengan pesat. Kain-kain dari India, kopi dari
Jazirah Arab, kemudian juga dari Jawa, dan teh
dari Cina merebut pasaran Eropa. Pertumbuhan
perdagangan ini merupakan gejala umum, yang
dirasakan juga oleh perserikatan dagang Eropa
lainnya. Lama kelamaan VOC kehilangan
posisi uniknya. Monopoli di bidang rempahrempah menjadi kurang berarti. Pendapatan
dari perdagangan di Asia sendiri tidak mampu
lagi mengimbangi pengeluaran, yang telah
membubung disebabkan antara lain biaya
administrasi yang tinggi. Akibatnya, dalam
abad ke-18 kegiatan VOC di Asia dari tahun
ke tahun hanya mengalami kerugian. Lagi pula,
perdagangan dengan Jepang makin menyusut dan
sesudah tahun 1700 tidak berarti lagi. Keuntungan
yang didapat dari penjualan barang-barang dari
Asia di tanah air ternyata masih mencukupi untuk
membiayai pembekalan armada kapal yang setiap
tahun berlayar ke Asia dan menutupi kerugianperdagangan di kawasan itu yang diderita tiap-tiap
tahun. Namun, persediaan cadangan keuangan
semakin menipis.
Perubahan-perubahan yang cukup mendasar ini
membawa akibat VOC semakin bersandar pada
hasil penjualan di Belanda sendiri. Pendanaan
perusahaannya langsung terkait dengan hasil
penjualan itu. Hal ini menempatkan Kompeni
di posisi yang lemah. Maka pecahnya Perang
Inggris ke-IV pada tahun 1780 tidak dapat tidak
membawa malapetaka. Selama beberapa tahun
tidak masuk lagi kapal-kapal dari Asia, sehingga
tidak mungkin lagi menyelenggarakan perlelangan
yang berarti. Secara mendadak Kompeni
kehilangan kredibilitasnya dan terjebak di lubang
hutang yang dalam. Perang itu berakhir pada
tahun 1784, tetapi sesudahnya juga Kompeni
mengalami persoalan yang begitu besar, sehingga
hanya mampu berdiri dengan dukungan penuh
pemerintah Belanda. Pendudukan negeri Belanda
oleh tentara Perancis dan transformasi tataan
politik negeri Belanda yang dicetuskan olehnya
menentukan nasib VOC. Pada awal tahun 1796,
tidak lama sesudah berdirinya Bataafse Republiek,
Direksi harus mundur dari jabatannya dan
menyerahkan pimpinan kepada Comité tot de zaken
van de Oost-Indische handel en bezittingen (Komite
untuk Urusan Perdagangan dan Jajahan di Hindia
Timur). VOC dinasionalisasi. Mulai dari tanggal
1 Januari 1800 oktroi (piagam) VOC, yang
merupakan dasar hukum organisasi itu, sudah
tidak berlaku lagi. Akibat peperangan di Eropa
yang berlangsung terus, pelayaran tidak mungkin
mengadakan perubahan besar di bidang pelayaran
dan perdagangan ke Asia. Kendati demikian,
tindakan tersebut tetap saja menandakan akhir
keberadaan VOC.
Bila kita meninjau dua abad kegiatan Kompeni,
angka-angka total sangat mengesankan, baik
yang di bidang omzet perdagangan maupun
yang menyangkut jumlah kapal dan tenaga yang
diangkut dengan kapal itu. Walau rendemen
terus menurun, ternyata selama abad ke-18
perusahaannya lebih besar daripada dalam abad
sebelumnya. Umpamanya, kapal-kapal yang
oleh VOC diluncurkan menuju Asia berjumlah
4.700, di antaranya 1.700 dalam abad ke-17 dan
3.000 lebih dalam abad ke-18. Dalam kurun
waktu 1602-1700 kapal-kapal tersebut membawa
317.000 orang ke Asia, sedangkan dari tahun 1700
sampai 1795 jumlahnya 655.000. Angka-angka di
bidang perdagangan membuktikan pertumbuhan
perusahaan Kompeni sesudah tahun 1700. Jumlah
pengeluaran untuk equipage, artinya pembuatan
dan pelengkapan kapal-kapal serta dana dan
barang-barang yang dikirim ke Asia, mencapai
370 juta gulden di tahun-tahun 1640-1700, tetapi
mencapai 1.608 juta gulden selama kurun waktu
1700-1795. Dalam periode yang sama, nilai beli
barang-barang yang oleh kapal-kapal dibawa
kembali dari Asia berjumlah masing-masing 205
juta dan 667 juta gulden. Dalam kurun waktu
tersebut pertama, hasil penjualan barang-barang
itu berjumlah 577 juta gulden, sedangkan dalam
periode kedua 1.633 juta gulden.
Pendirian VOC – Oktroi
VOC terbentuk pada tahun 1602 dari
penggabungan enam perusahaan kecil. Setelah
Compagnie van Verre yang berpangkal di Amsterdam
menyelenggarakan ekspedisi yang pertama
ke Asia (1595-1597) dan dengan demikian
membuktikan bahwa orang Belanda pun sanggup
melakukan pelayaran ke Asia, langsung juga
didirikan perusahaan-perusahaan serupa di
Amsterdam, Rotterdam, dan di provinsi Zeeland.3
Perusahaan-perusahaan tersebut biasa memodali
satu ekspedisi sekali. Kendati demikian ada
kesinambungan dalam susunan direksi, sebab
saudagar-saudagar atau anggota pengurus itu
juga yang mengusahakan ekspedisi berturut-turut.
Setiap kali kapal-kapal yang berlayar menuju Asia
kembali maka para penanam modal, baik anggota
pengurusnya maupun para pemegang saham atau
partisipan lainnya, mendapatkan kembali modal
yang mereka tanam, tentu ditambah sebagian
keuntungan yang telah diraih. Para perusahaan
ini saling menyaingi dengan seru, dengan akibat
persentase laba menurun terus. Berkurangnya
keuntungan ini membuat jera para penanam
modal dan mengancam kelanjutan pelayaran
menuju Asia.
Para pemimpin perusahaan-perusahaan
tersebut tentunya bukan tidak menyadari
perkembangan ini. Dalam waktu singkat terbentuk
kerja sama di tingkat lokal. Pada tahun 1600
kompeni-kompeni yang berbasiskan Amsterdam
melebur menjadi satu Geünieerde Amsterdamse
Oostindische Compagnie (Kompeni Hindia
Timur Serikat Amsterdam), yang kemudian oleh
para walikota Amsterdam diberi hak monopoli
untuk berlayar dari Amsterdam menuju Asia.
Di provinsi Zeeland pun orang bekerja sama.
Akan tetapi, kerja sama ini tidak meluas lebih
jauh. Para pengusaha di Zeeland tidak suka
melebur dengan perusahaan-perusahaan dari
provinsi Holland; mereka khawatir kalau-kalau
dalam satu perusahaan bersama Amsterdam
akan memperoleh kedudukan yang terpenting. Di
samping itu berdirilah kompeni-kompeni baru di
kota-kota lain (Hoorn, Enkhuizen, Delft). Maka
agaknya sesudah tahun 1600 pun persaingan akan
berjalan terus.Peleburan semua perusahaan tersebut menjadi
satu Kompeni tidak terjadi secara spontan, tetapi
dipaksakan kepadanya oleh pemerintah Belanda.
Pada zaman itu Republik Belanda sedang
dalam peperangan dengan Raja Spanyol dan
Portugal. Kompeni-kompeni yang sudah berdiri
– selanjutnya disebut sebagai voorcompagnieën
(pra-kompeni) – tidak sanggup memainkan
peranan dalam perjuangan melawan Spanyol
dan Portugal. Sebaliknya, Kompeni bersatu
dapat menjadi senjata ampuh di bidang militer
dan ekonomi. Maka pemerintah (Staten) provinsi
Holland, yang dipimpin oleh Johan van
Oldenbarnevelt, kemudian juga pemerintah negeri
Belanda (Staten-Generaal), berusaha meyakinkan
semua pihak yang bersangkutan untuk melakukan
fusi. Akhirnya, setelah stadhouder Pangeran Maurits
campur tangan, perusahaan-perusahaan dari
Zeeland pun tidak dapat lagi menghindar.
Pada tanggal 20 Maret 1602 Staten-Generaal
mengeluarkan oktroi. Dengan demikian berdirilah
Generale Vereenichde Geoctroyeerde Compagnie.
4 Oktroi
ini dinyatakan berlaku untuk jangka waktu 21
tahun. Unsur persaingan sudah disingkirkan;
oktroi tersebut menetapkan bahwa tidak satu pihak
pun selain VOC diperbolehkan mengirimkan
kapal-kapal dari negeri belanda ke daerah di
sebelah timur Tanjung Harapan dan di sebelah
barat Selat Magalan atau menyelenggarakan
kegiatan perdagangan di wilayah tersebut.
Dari butir-butir lain yang tercantum dalam
oktroi, banyak yang mengatur tata cara Kompeni,
kedudukan para direktur (bewindhebbers) dan
para partisipan, serta cara pengumpulan modal.
Dalam naskah artikel-artikel ini masih terlihat
betapa rumitnya perundingan yang harus
dilakukan mendahului penetapan oktroinya. Isi
dan perincian ketentuan-ketentuan yang tercantum
di dalamnya akan dijelaskan dalam pasal-pasal
berikutnya. Tetapi kami akan lebih dahulu
memusatkan perhatian pada sifat kompromi
okytroi itu dan pada struktur federal yang menjadi
ciri khas Compagnie Belanda itu.
Menurut oktroi, semua pra-kompeni menjadi
cabang (Belanda kamer) dalam kerangka VOC.
Jumlahnya enam: Amsterdam, Zeeland (berpusat
di Middelburg), Delft, Rotterdam, Hoorn, dan
Enkhuizen. Ternyata tidak sulit untuk mencapai
kesepakatan tentang andil masing-masing dalam
usaha bersama pelayaran dan perdagangan
di Asia. Kamer Amsterdam mendapat separuh,
sedangkan kepada Zeeland diberikan seperempat,
dan keempat kamer kecil mendapat seperenambelas
bagian masing-masing. Penerapan kunci
pembagian ini, yang dengan tegas disebut dalam
naskah oktroi, berhasil menenangkan
pengusaha-pengusaha dari Zeeland; tadinya
mereka khawatir kalau-kalau penaruhan modal
oleh kamer dijadikan dasar bagian masing-masing
dalam pelaksanaan kegiatan, lebih dari separuh
akan diraih oleh Kamer Amsterdam.
Sudah tentu para pengurus pra-kompeni
menjadi pengurus kamer di daerahnya. Di atas
kamer tersebut dibentuk badan pengurus umum,
yang bertugas menyelenggarakan pimpinan
tertinggi dan yang akan terdiri atas wakil-wakil
kamer masing-masing. Di sini timbul masalah
besar. Bagaimana perbandingan antar-kamer
harus diterapkan dalam pimpinan tertinggi?
Zeeland ingin supaya dalam badan pengurus
umum dilakukan pemberian suara menurut kamer,
sehingga bobot setiap kamer sama saja.
Mula-mula tuntutan ini menyebabkan tidak
mungkin mencapai kesepakatan. Pada akhirnya
Zeeland harus puas dengan pemungutan suara
perorangan, sedangkan badan pengurusnya
ditetapkan akan terdiri atas tujuh belas orang.
Dalam badan ini Amsterdam akan diwakili oleh
delapan utusan, Zeeland mendapat empat wakil,
dan keempat kamer lainnya masing-masing satu
wakil, sedangkan wakil yang ketujuh belas akan
ditunjukkan secara bergilir oleh salah satu kamer
di luar Amsterdam. Wakil-wakil dari Amsterdam
menganggap wajar bahwa badan pengurus
umum ini, yang biasanya disebut dengan nama
singkat Heren Zeventien (Tujuh Belas Tuan), akan
berkumpul di Amsterdam, tetapi dalam hal ini
mereka melakukan konsesi untuk menenggang
rasa Zeeland. Diputuskan untuk menetapkan
putaran delapan tahunan. Selama enam tahun
berturut-turut Amsterdam akan menjadi tempat
persidangan dan selama jangka waktu itu Kamer
Amsterdam akan bertindak selaku ketua sidang;
sesudah itu untuk dua tahun lamanya Middelburg
akan menjadi tempat kedudukan Heren Zeventien
dan jabatan ketua akan dipangku oleh pengurus
Kamer Zeeland.
Dengan demikian dalam naskah oktroi sudah
ditetapkan seberapa besar pengaruh dan hak
suara yang dimiliki setiap kamer. Di atas kertas
semuanya beres. Akan tetapi, bagaimana struktur
yang lumayan rumit ini berfungsi dalam praktek
nyata? Selama abad ke-17 sedikit demi sedikit
berkembanglah bentuk pemerintahan yang juga
terdapat dalam pemerintah Republik Belanda
sendiri. Perkembangan ini tidak mengherankan,
karena sebagian besar para direktur VOC
termasuk elite politik dan mengenal baik
seluk-beluk pemerintahan Republik itu. Hubungan
badan-badan pengurus pada tingkat kamer dengan
sidang Heren Zeventien, yang memang terdiri atas
wakil-wakil dari badan-badan tersebut, dalam
banyak hal dapat disamakan, umpamanya,
dengan hubungan badan-badan pemerintah kota di Holland, yang mengutus wakil-wakil
mereka ke rapat Staten van Holland (pemerintah
daerah Holland), dengan Staten itu. Menjelang
setiap sidang Heren Zeventien, kamer van menjabat
ketua mengirim agenda rapat ke kamer-kamer
lain. Selanjutnya setiap kamer merumuskan
petunjuk mengenai sikap yang harus diambil oleh
wakilnya bila akan terjadi pemungutan suara,
dan menitipkan instruksi tersebut kepada wakil
itu. Jika kemudian dalam sidang Heren Zeventien
ternyata muncul urusan-urusan penting yang
tidak tercantum dalam agenda, para wakil harus
berembug dulu dengan kamernya sendiri.
Oktroi VOC mengandung kompromi dalam
hal lain juga, yaitu dalam hal modal. Karena
oktroi ini memiliki masa berlaku 21 tahun,
VOC bukanlah perusahaan tambal sulam yang
melakukan satu ekspedisi saja, seperti halnya
pra-kompeni. Akan tetapi, dalam menetapkan
peraturan untuk pengumpulan modal, orang tidak
mau atau tidak berani menghadapi konsekuensi
kenyataan itu.
Sudah sebelum terbentuknya VOC prakompeni mengumpulkan dana untuk membiayai
perlengkapan kapal-kapal yang hendak berlayar
ke Asia. Kini kapal-kapal itu digabungkan
menjadi satu armada; ‘armada empat belas kapal’
ini merupakan ekspedisi pertama ke Asia yang
dibiayai oleh VOC. Selanjutnya, begitulah yang
tertulis di dalam oktroi, masyarakat akan diberi
kesempatan melakukan penanaman modal yang
baru, tidak hanya untuk satu ekspedisi, tetapi
untuk jangka waktu sepuluh tahun. Selama
masa itu modal tersebut akan dipakai untuk
memperlengkapi beberapa armada. Pada tahun
1612 para pemegang saham atau partisipan dapat
menerima kembali uang yang mereka tanam,
ditambah keuntungan yang telah diraih sampai
saat itu, dan sekali lagi akan diadakan pendaftaran
bagi para penanam modal untuk sepuluh tahun
mendatang. Selain itu, telah ditetapkan pula
bahwa sesegeranya lima persen modal
awal masuk lagi ke kas Kompeni sebagai hasil
penjualan barang-barang yang dibawa oleh
kapal-kapal yang kembali dari Asia ke negeri
Belanda, haruslah dilakukan pembayaran dividen
kepada para pemegang saham.
Ketentuan-ketentuan ini mencegah VOC
membangun modal sendiri. Hal ini tidak
seirama dengan cita-cita mereka yang telah
mengupayakan fusi sejumlah perusahaan kecil
menjadi satu Kompeni besar, yaitu penciptaan
basis yang kukuh-kuat bagi perdagangan dengan
Asia. Maka pengurus VOC tidak berpegang
padanya. Pembayaran dividen kepada para
partisipan baru dilakukan terjadi sesudah waktu
yang lama, dan setelah sepuluh tahun berlalu
tidak terjadi pengembalian modal awal kepada
para penanamnya. Sepanjang berdirinya VOC
jumlah modal yang disediakan pada awalnya tidak
pernah berubah. Pemerintah Belanda, yang telah
menetapkan oktroi tersebut, mendukung kebijakan
pimpinan pusat VOC dalam hal ini.5
Pada tahun 1622/23 oktroi VOC diperpanjang
untuk waktu dua puluh satu tahun lagi. Di
dalamnya keluhan yang telah diajukan oleh para
partisipan dihiraukan; hak mereka mengeluarkan
pendapat diperluas, tetapi oktroi tidak mengalami
perubahan penting. Dalam perpanjangan oktroi
di kemudian hari sering diskusi-diskusi politik
yang rumit. Berbagai kota dan provinsi-provinsi
lain menggunakan kesempatan itu dan sebagai
imbangan persetujuan mereka menuntut hak-hak
istimewa, umpamanya kursi luar biasa dalam
salah satu kamer. Pemerintah Belanda (StatenGeneraal) juga dapat saja pada kesempatan itu,
khususnya pada waktu perang, meminta dukungan
berupa uang atau kapal-kapal. Baru dalam bagian
terakhir abad ke-18 timbullah keraguan akan
keadaan Kompeni, sehingga pada saat oktroi
harus diperpanjang situasi di Asia sendiri dijadikan
pokok pembicaraan. Meski demikian, pada waktu
itu pun tidak dikeluarkan kritik mendasar. Secara
keseluruhan VOC selalu mendapat dukungan
Pemerintah Belanda, yang tetap mempertahankan
pula monopoli Kompeni dengan ketat.
Para Direktur dan para penanam modal
Pada masa sebelum VOC didirikan,
voor-compagnieën dipimpin oleh sebanyak 76
orang direktur. Pada tahun 1602 mereka semua
mendapat tempat dalam pimpinan perusahaan
yang baru itu. Monopoli yang ditetapkan dalam
oktroi VOC, bersama dengan kesinambungan
perusahaan itu – walau untuk sementara lama
masa operasinya dibatasi menjadi 21 tahun
– menyebabkan para direktur memiliki kedudukan
yang berbeda dari posisi yang mereka miliki
sebelumnya. Kini mereka merupakan badan
direksi dalam arti yang sebenarnya, sebuah
managerial group, dengan tujuan tersendiri,
yang berbeda dengan tujuan para partisipan.
Sesungguhnya, mereka sendiri pun telah menanam
modal besar dan selaku penanam modal posisi dan
kepentingan mereka sama dengan para penanam
modal lainnya. Akan tetapi, selaku direksi mereka
tidak dapat tidak mementingkan peningkatan
omzet dan kesinambungan serta pertumbuhan
sehat perusahaan di atas keuntungan jangka
waktu singkat, yang mengasilkan keuntungan
cepat bagi para pemberi modal.6 Dalam hal ini
direksi dilindungi oleh oktroi. Barulah sesudah
sepuluh tahun – sesudah berakhirnya rekeningkota di Holland, yang mengutus wakil-wakil
mereka ke rapat Staten van Holland (pemerintah
daerah Holland), dengan Staten itu. Menjelang
setiap sidang Heren Zeventien, kamer van menjabat
ketua mengirim agenda rapat ke kamer-kamer
lain. Selanjutnya setiap kamer merumuskan
petunjuk mengenai sikap yang harus diambil oleh
wakilnya bila akan terjadi pemungutan suara,
dan menitipkan instruksi tersebut kepada wakil
itu. Jika kemudian dalam sidang Heren Zeventien
ternyata muncul urusan-urusan penting yang
tidak tercantum dalam agenda, para wakil harus
berembug dulu dengan kamernya sendiri.
Oktroi VOC mengandung kompromi dalam
hal lain juga, yaitu dalam hal modal. Karena
oktroi ini memiliki masa berlaku 21 tahun,
VOC bukanlah perusahaan tambal sulam yang
melakukan satu ekspedisi saja, seperti halnya
pra-kompeni. Akan tetapi, dalam menetapkan
peraturan untuk pengumpulan modal, orang tidak
mau atau tidak berani menghadapi konsekuensi
kenyataan itu.
Sudah sebelum terbentuknya VOC prakompeni mengumpulkan dana untuk membiayai
perlengkapan kapal-kapal yang hendak berlayar
ke Asia. Kini kapal-kapal itu digabungkan
menjadi satu armada; ‘armada empat belas kapal’
ini merupakan ekspedisi pertama ke Asia yang
dibiayai oleh VOC. Selanjutnya, begitulah yang
tertulis di dalam oktroi, masyarakat akan diberi
kesempatan melakukan penanaman modal yang
baru, tidak hanya untuk satu ekspedisi, tetapi
untuk jangka waktu sepuluh tahun. Selama
masa itu modal tersebut akan dipakai untuk
memperlengkapi beberapa armada. Pada tahun
1612 para pemegang saham atau partisipan dapat
menerima kembali uang yang mereka tanam,
ditambah keuntungan yang telah diraih sampai
saat itu, dan sekali lagi akan diadakan pendaftaran
bagi para penanam modal untuk sepuluh tahun
mendatang. Selain itu, telah ditetapkan pula
bahwa sesegeranya lima persen modal
awal masuk lagi ke kas Kompeni sebagai hasil
penjualan barang-barang yang dibawa oleh
kapal-kapal yang kembali dari Asia ke negeri
Belanda, haruslah dilakukan pembayaran dividen
kepada para pemegang saham.
Ketentuan-ketentuan ini mencegah VOC
membangun modal sendiri. Hal ini tidak
seirama dengan cita-cita mereka yang telah
mengupayakan fusi sejumlah perusahaan kecil
menjadi satu Kompeni besar, yaitu penciptaan
basis yang kukuh-kuat bagi perdagangan dengan
Asia. Maka pengurus VOC tidak berpegang
padanya. Pembayaran dividen kepada para
partisipan baru dilakukan terjadi sesudah waktu
yang lama, dan setelah sepuluh tahun berlalu
tidak terjadi pengembalian modal awal kepada
para penanamnya. Sepanjang berdirinya VOC
jumlah modal yang disediakan pada awalnya tidak
pernah berubah. Pemerintah Belanda, yang telah
menetapkan oktroi tersebut, mendukung kebijakan
pimpinan pusat VOC dalam hal ini.5
Pada tahun 1622/23 oktroi VOC diperpanjang
untuk waktu dua puluh satu tahun lagi. Di
dalamnya keluhan yang telah diajukan oleh para
partisipan dihiraukan; hak mereka mengeluarkan
pendapat diperluas, tetapi oktroi tidak mengalami
perubahan penting. Dalam perpanjangan oktroi
di kemudian hari sering diskusi-diskusi politik
yang rumit. Berbagai kota dan provinsi-provinsi
lain menggunakan kesempatan itu dan sebagai
imbangan persetujuan mereka menuntut hak-hak
istimewa, umpamanya kursi luar biasa dalam
salah satu kamer. Pemerintah Belanda (StatenGeneraal) juga dapat saja pada kesempatan itu,
khususnya pada waktu perang, meminta dukungan
berupa uang atau kapal-kapal. Baru dalam bagian
terakhir abad ke-18 timbullah keraguan akan
keadaan Kompeni, sehingga pada saat oktroi
harus diperpanjang situasi di Asia sendiri dijadikan
pokok pembicaraan. Meski demikian, pada waktu
itu pun tidak dikeluarkan kritik mendasar. Secara
keseluruhan VOC selalu mendapat dukungan
Pemerintah Belanda, yang tetap mempertahankan
pula monopoli Kompeni dengan ketat.
Para Direktur dan para penanam modal
Pada masa sebelum VOC didirikan,
voor-compagnieën dipimpin oleh sebanyak 76
orang direktur. Pada tahun 1602 mereka semua
mendapat tempat dalam pimpinan perusahaan
yang baru itu. Monopoli yang ditetapkan dalam
oktroi VOC, bersama dengan kesinambungan
perusahaan itu – walau untuk sementara lama
masa operasinya dibatasi menjadi 21 tahun
– menyebabkan para direktur memiliki kedudukan
yang berbeda dari posisi yang mereka miliki
sebelumnya. Kini mereka merupakan badan
direksi dalam arti yang sebenarnya, sebuah
managerial group, dengan tujuan tersendiri,
yang berbeda dengan tujuan para partisipan.
Sesungguhnya, mereka sendiri pun telah menanam
modal besar dan selaku penanam modal posisi dan
kepentingan mereka sama dengan para penanam
modal lainnya. Akan tetapi, selaku direksi mereka
tidak dapat tidak mementingkan peningkatan
omzet dan kesinambungan serta pertumbuhan
sehat perusahaan di atas keuntungan jangka
waktu singkat, yang mengasilkan keuntungan
cepat bagi para pemberi modal.6 Dalam hal ini
direksi dilindungi oleh oktroi. Barulah sesudah
sepuluh tahun – sesudah berakhirnya rekeningmodal (capital account) kesepuluh tahun pertama
– mereka wajib membuka pembukuan dan
mempertanggungjawabkan perbuatan mereka
berhadapan dengan para partisipan.
Menurut ketentuan oktroi, pendapatan para
direktur berupa persentase omzet yang tertentu,
yaitu satu persen seluruh pengeluaran untuk
perlengkapan (equipages) ditambah satu persen
keuntungan yang diperoleh dari dari penjualan
muatan kapal-kapal yang kembali dari Asia
ke negeri Belanda. Kedudukan selaku direktur
berlaku untuk seumur hidup. Bila diangkat
direktur baru, para partisipan sama sekali tidak
memiliki hak bersuara. Para direktur diharuskan
memiliki saham VOC yang jumlahnya minimal
6.000 gulden (di Kamer Hoorn dan Enkhuizen
3.000 gulden). Jumlah ini bisa dipandang sebagai
uang jaminan. Bila terjadi salah urus atau
penipuan, seorang direktur dapat dituntut untuk
mempertanggungjawabkannya. Akan tetapi, oktroi
mengandung ketentuan bahwa para direktur
tidak bertanggung renteng atas hutang-hutang
perusahaan. Sebaliknya, sebagaimana telah
disinggung di atas, para direktur tidak mematuhi
ketentuan-ketentuan oktroi yang menguntungkan
para partisipan – yaitu pembayaran dividen
dari hasil penjualan muatan kapal yang kembali
dari Asia, dan pencairan modal awal setelah
berlangsung sepuluh tahun. Singkatnya, oktroi
memberi para direktur wewenang mengelola
VOC, tetapi kewajiban-kewajiban mereka tidak
seimbang dengannya, dan kewajiban itu pun tidak
dipatuhi.
Dalam oktroi jumlah para direktur ditetapkan
sebanyak 60 orang: 20 orang di Kamer Amsterdam,
12 orang di Zeeland, dan 7 orang di setiap kamer
kecil. Dikarenakan pada saat pembentukan VOC
di semua kamer, kecuali di Hoorn, jumlah para
direktur lebih besar, untuk sementara waktu jika
terjadi kelowongan tidak akan diangkat seorang
direktur baru. Menurut prosedur pengangkatan
direktur yang telah ditetapkan pada tahun 1602,
Staten (pemerintah) seprovinsi (Holland atau
Zeeland) berwenang memilih seorang direktur
dari antara tiga orang yang dicalonkan oleh para
direktur kamer yang bersangkutan. Ketentuan
ini dicantumkan dalam oktroi atas desakan
pihak Zeeland, tetapi tidak pernah diterapkan di
daerah Holland. Beberapa hari sebelum oktroi
VOC diresmikan, atas usul kota Amsterdam
Staten daerah Holland menerima resolusi yang
menyerahkan pemilihan seorang direktur dari
tiga calon kepada para walikota kota-kota yang
bersangkutan. Alasannya, menurut pemerintah
kota Amsterdam para walikota ini sungguhsungguh mengetahui kualitas para calon.
Desakan pihak Zeeland agar pemilihan direktur
disderahkan kepada Staten seprovinsi mungkin
berdasarkan keinginan mencegah terjadinya
persoalan dalam lingkungan sendiri. Situasi di
Zeeland lebih rumit dibandingkan dengan di
Holland. Di beberapa pra-kompeni yang berbasis
Zeeland penduduk kota Veere dan Vlissingen ikut
memiliki saham, dan pada tahun 1602 kota-kota
ini tidak bersedia untuk begitu saja melepaskan
bagian mereka dalam pelayaran ke Asia. Pada
akhirnya, sesudah perselisihan yang panjang,
kedua kota tersebut berhasil menduduki dua kursi
masing-masing dalam direksi Kamer Zeeland.
Hanya saja, pada tahun 1603 kota Veere sudah
kehilangan satu kursi, yaitu ketika Direktur
Balthasar de Moucheron (seorang pedagang
terkemuka di Zeeland) melepaskan kursinya,
sedangkan pada saat itu jumlah direktur masih
melebihi jumlah yang ditetapkan dalam oktroi
(13 lawan 12). Sesengit apa pun upaya Veere,
bahkan setiap kali terjadi pemilihan direktur,
kota kecil itu tidak berhasil lagi merebut kembali
kursi yang hilang itu. Middelburg bersikeras
untuk mempertahankan sembilan kursi yang telah
mereka dapat dan didukung oleh pemerintah
provinsi Zeeland. Staten Zeeland itu sampai tahun
1646 memegang teguh hak pemilihan yang
mereka punyai; sesudah itu hak itu beralih ke
kota-kota, yang dalam hal kelowongan dalam
direksi boleh mengisi kursi yang menjadi hak
masing-masing.
Akibat prosedur tersebut terbentuk hubungan
erat antara para anggota pemerintahan kota
(regenten) dengan para direktur. Maka perselisihan
antar-partai dan pembentukan kongsi-kongsi dapat
dengan mudah menembus masuk ke dalam direksi
kamer yang bersangkutan. Meskipun demikian,
janganlah hendaknya hubungan tersebut
membawa kita ke kesimpulan bahwa unsur
saudagar dalam direksi lama-lama diganti oleh
regenten. Khususnya di Amsterdam orang menjaga
agar dalam direksi tetap terdapat orang-orang
yang mengetahui seluk-beluk perdagangan. Salah
satu dampak langsung prosedur pengangkatan
direktur ialah berlimpahnya informasi mengenai
pengangkatan direktur-direktur dalam arsip-arsip
kota.
Di samping jumlah 60 direktur yang tercantum
dalam oktroi tahun 1602, lama-kelamaan
masuklah direktur-direktur dari luar kota-kota
yang menjadi tempat kedudukan kamer
masing-masing. Jabatan direktur ‘luar biasa’ atau
‘istimewa’ ini muncul akibat tuntutan-tuntutan
yang diajukan oleh sejumlah provinsi setelah
Staten-Generaal memberikan subsidi yang amat
besar kepada VOC (1606). Berdasarkan keinginan
mereka agar dapat mengawasi pemakaian dana
tersebut, maka pada tahun 1613 dan 1614 provinsi-provinsi Gelderland, Utrecht, dan
Friesland serta kota Dordrecht (sebagai kota
pertama provinsi Holland, yang biasa mengetuai
sidang Staten daerah itu) masing-masing mendapat
hak mengangkat satu orang direktur. Tentang
Dordrecht dapat dicatat bahwa pada tahun 1602
kota itu sudah berdaya upaya untuk memperoleh
pengaruh dalam kepengurusan VOC dengan cara
mengusahakan penanaman modal oleh sejumlah
besar penduduknya. Ternyata dua belas tahun
kemudian ikhtiar itu terwujud. Dalam tahun
1647, pada saat perpanjangan kedua oktroi VOC,
Overijssel dan Groningen mendapatkan kursi
dalam dewan direktur.
Kericuhan-kericuhan yang terjadi menjelang
perpanjangan kedua oktroi VOC (1647) memberi
beberapa kota di provinsi Holland peluang
memperoleh kursi direktur. Sebenarnya pada
tahun 1636 sudah timbul perselisihan antara
Dordrecht, Amsterdam, dan Haarlem. Alasannya,
kedudukan direktur luar biasa yang dimiliki kota
tersebut pertama itu secara tidak resmi berubah
menjadi kursi biasa, karena wakil kota Dordrecht,
Elias Trip, selama masa jabatannya berpindah
ke Amsterdam dan kemudian terhitung para
direktur biasa dari kota besar itu. Setelah Trip
meninggal dunia, Dordrecht ingin agar situasi
ini dipertahankan. Keinginan ini ditentang oleh
kota Haarlem, yang mengemukakan bahwa
berdasarkan sistem kepangkatan
Related Posts:
penjajah belanda 1 Abad XVI merupakan abad terpenting dalam sejarah Barat, bahkan dalam sejarah umat manusia. Abad ini merupakan… Read More