Rabu, 12 Juli 2023

penjajah belanda 1

Abad XVI merupakan abad terpenting dalam sejarah Barat, bahkan dalam 
sejarah umat manusia. Abad ini merupakan abad kebangkitan Eropa yang 
diwarnai oleh semangat penemuan dan penciptaan. Orang-orang Eropa tergerak 
untuk menyelidiki rahasia alam semesta, menaklukkan lautan, dan menjelajah 
benua yang sebelumnya masih diliputi kegelapan.
 Bangkitnya kekuatan Eropa 
mengantarkan mereka pada konflik dunia dengan masyarakat Muslim. Mereka 
mulai melakukan ekspansi untuk menguasai wilayah-wilayah Islam dengan 
memonopoli perdagangan dan berakhir dengan pendirian rezim-rezim kolonial.
 
 Sejak akhir abad XV, Spanyol dan Portugis memelopori bangsa Eropa 
dalam melakukan pelayaran untuk mencari jalan sendiri menuju kekayaan Asia. 
Selain karena motif ekonomi untuk memotong lalu lintas perdagangan di Laut 
Tengah yang dikuasai para pedagang Muslim –di antaranya Turki–, mereka juga 
ingin melumpuhkan kekuatan Turki dengan menghancurkan perdagangannya. 
Pada saat itu, Turki memang sedang melancarkan serangan-serangan dahsyat ke 
negara-negara Eropa. Motif penting lain yang tidak dapat dipisahkan dari ekspansi 
tersebut adalah agama. Mereka ingin mengepung lawan yang beragama Islam dan menyiarkan agama Kristen di seberang lautan.3
 Ekspansi kolonialisme Portugis 
dan Spanyol itu mendapatkan restu dari Paus Alexander VI. Dalam Perjanjian 
Tordesillas pada 4 Mei 1493, dia membagi dunia baru antara Portugis dan 
Spanyol. Salah satu syaratnya adalah raja atau negara harus memajukan misi 
Katolik Roma di daerah-daerah yang telah diserahkan kepada mereka.4
 Kerajaan 
bertanggungjawab untuk mengubah penduduk pribumi menjadi penganut Kristen. 
Banyak dari upaya misionaris selama dua setengah abad berikutnya dilakukan di 
bawah kekuasaan Portugis. Sebagian besar para misionaris saat itu adalah imam 
Katolik Roma. Beberapa di antara mereka adalah pengikut ordo Jesuit, Kapusin, 
dan Fransiskan.
 Semangat Perang Salib sangat kuat mendorong ekspansi mereka.
 Portugis 
memandang semua penganut Islam adalah bangsa Moor dan musuh yang harus 
diperangi.
 Oleh karena itulah ketika Alfonso d'Albuquerque berhasil menduduki 
Malaka pada 1511, dia berpidato, Portugis datang ke Malaka, kemudian ke Nusantara, dengan membawa 
para misionaris. Penyebaran agama Kristen Katolik menjadi tujuan utama mereka, 
bukan pekerjaan sambil lalu saja. Di setiap wilayah Nusantara yang ditaklukkan 
Portugis, misi Katolik segera masuk dan mengkonversi penduduk. Seorang 
misionaris, Franciscus Xaverius, selama lima belas bulan bekerja di Maluku 
berhasil membaptis beribu-ribu orang.
 Selain Maluku, misi Katolik juga segera 
menyebar ke daerah-daerah lain, seperti Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara 
Timur. 
Bangkitnya kekuasaan Katolik Portugis dan Spanyol pada akhir abad XV 
tidak hanya memulai kolonialisme modern. Akan tetapi, mereka juga meletakkan 
dasar-dasar dibangunnya aliansi modern antara misi Kristen dan ekspansi 
kolonial. Sejak akhir abad XVI, Belanda, Inggris dan Denmark merebut kuasa di 
laut dari Spanyol dan Portugis. Keterlibatan mereka dalam sejarah kolonial itu 
menandai permulaan umum ekspansi misionaris Protestan. Seperti pendahulu 
mereka yang menganut Katolik, kaum Protestan memandang kolonialisme dan 
imperialisme Eropa yang sekuler sebagai sarana memenuhi takdir. Para misionaris 
Kristen dari semua kepercayaan dan sekte disatukan dalam kepercayaan umum bahwa ekspansi Eropa adalah manifestasi titah Tuhan untuk menyebarkan 
kerajaan-Nya di dunia.
Pada 1598, para pedagang Belanda mulai datang ke Nusantara. Empat 
tahun berikutnya, didirikanlah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), 
sebuah organisasi dagang yang dibentuk untuk mencegah persaingan 
antarkelompok dagang Belanda. Mengenai sikap terhadap perkara agama di 
Nusantara, Encyclopædie van Nederlandsch-Indië menyebutkan bahwa orang 
Belanda tidak jauh berbeda dengan orang Portugis. Di mana pun dia tinggal dan 
didapatinya telah ada pribumi yang Kristen, keadaan mereka itu tidak disia￾siakannya. Sebaliknya, di mana pun didapatinya belum ada, dia berusaha 
menanam Kristen di tengah-tengah mereka. 
Seperti halnya Portugis, Belanda datang ke Nusantara juga dengan 
membawa pendeta-pendeta sebagai pegawai VOC. Mereka bertugas bukan saja 
menyelenggarakan kebutuhan ruhani para pedagang, pegawai dan pasukan 
Belanda di pulau-pulau tempat VOC telah membuka kantornya, tetapi juga 
mengusahakan pertaubatan orang kafir dan pendidikan anak-anak mereka. 
Selain mengejar keuntungan ekonomis dan ikut membangun imperium Belanda, 
VOC juga mendapat mandat dari Gereja Protestan Belanda (Gereformeerde 
Kerk), yang waktu itu berstatus sebagai gereja negara, untuk menyebarkan iman 
Kristen, sesuai dengan isi pasal 36 Pengakuan Iman Belanda tahun 1561, yang antara lain berbunyi, "Juga jabatan itu (maksudnya tugas pemerintah) meliputi: 
mempertahankan pelayanan Gereja yang kudus, memberantas dan memusnahkan 
seluruh penyembahan berhala dan agama palsu, menjatuhkan kerajaan Anti￾Kristus, dan berikhtiar supaya kerajaan Yesus Kristus berkembang." 
Namun demikian, dalam prakteknya, VOC tidak terlalu bersemangat 
menyebarkan agama Kristen. Selama 200 tahun menguasai beberapa wilayah di 
Nusantara, pertumbuhan agama Kristen pada zaman VOC mempunyai hasil 
minim. VOC hanya memprioritaskan daerah-daerah bekas koloni Portugis dan 
Spanyol, seperti Maluku, Minahasa dan lainnya. Kegiatan para pendeta terbatas 
pada melayani orang-orang Eropa dan orang-orang pribumi yang telah masuk 
Kristen. Orang-orang Maluku yang sudah beragama Katolik dipaksa untuk 
berpindah ke Protestan-Calvinis. Barulah setelah VOC jatuh dan setelah melewati 
permulaan abad XIX yang penuh dengan keguncangan, mencuat keinginan untuk 
melakukan Kristenisasi terhadap kaum pribumi secara menggebu-gebu. 
Dibanding dengan VOC, Pemerintah Hindia Belanda memberikan 
perhatian lebih banyak terhadap perkembangan Kristen di daerah koloninya. Abad 
XIX memang kadang-kadang disebut sebagai "Era Misi" (Age of Missions)
Berbagai lembaga misionaris pun dibentuk dan berlomba-lomba mengembangkan 
agama Kristen di kalangan pribumi. Pemerintah bahkan memberikan gaji kepada 
para pendeta yang berkarya di Hindia Belanda. Meskipun demikian, pemerintah tetap berhati-hati dalam menyikapi pengembangan dan penyebaran Kristen. 
Beberapa daerah yang berpenduduk mayoritas Muslim dinyatakan sebagai 
wilayah tertutup bagi kegiatan misi. Misionaris yang akan menyebarkan 
agamanya harus meminta dan mengantongi izin terlebih dahulu dari pemerintah. 
Alasan pemerintah Hindia Belanda untuk menerapkan kebijakan seperti itu adalah 
untuk menjaga keamanan dan ketertiban (rust en orde) di wilayah jajahannya. 
Kegiatan misi Kristen semakin meningkat pesat pada abad XX. Dalam 
sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, periode ini dikenal sebagai masa politik 
etis. Pemerintah Hindia Belanda ingin meningkatkan kesejahteraan pribumi dan 
memperadabkan mereka. Sejalan dengan kebijakan politik etis yang ingin 
"memperadabkan" pribumi, para misionaris mendirikan sekolah-sekolah dengan 
bantuan subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda. Mereka juga giat dalam bidang 
sosial dengan mendirikan rumah sakit dan balai-balai kesehatan. Oleh karena itu, 
tepatlah jika Alwi Shihab mengatakan bahwa politik etis adalah kerangka kerja 
yang di atasnya konsolidasi agama Kristen di Indonesia dimapankan. 
Bagi orang Muslim, kolonialisme Eropa merupakan tragedi yang 
melemahkan Islam dan bencana yang tidak tanggung-tanggung. Pemerintah 
kolonial melumpuhkan masyarakat Muslim, membekukan pemikiran, dan 
menguburkan kejayaan masa lalu orang Muslim. Lebih buruk lagi, masa kolonial 
telah merusak rasa percaya diri orang Muslim sehingga membuat mereka tidak 
berdaya seperti seorang anak kecil. Kolonialisme juga sering bekerja sama dengan misi Kristen untuk melanggengkan kekuasaannya. Hal ini merupakan 
sebuah fakta sejarah yang didukung banyak bukti dan sulit dipungkiri. 
Ada hal menarik mengenai sejarah politik etis. Selama ini, politik etis 
sering digambarkan sebagai politik balas budi Pemerintah Hindia Belanda kepada 
rakyat jajahannya. Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dianggap telah 
meningkatkan pengetahuan dan kecerdasan pribumi, bahkan juga memunculkan 
kelas elit modern Indonesia –meminjam istilah Robert van Niel—. Meskipun 
jumlahnya relatif sedikit dibanding jumlah keseluruhan rakyat, namun kelas ini 
sering dipandang sebagai pemicu gerakan kebangkitan nasional yang dengan aktif 
menuntut kemerdekaan Indonesia dan mengajak rakyat bersatu. Demikianlah 
sejarah yang diajarkan kepada generasi muda Indonesia. Fakta bahwa Kristenisasi 
meningkat tajam pada masa politik etis19 hingga akhir pemerintahan Hindia 
Belanda sangat jarang diungkap. Peningkatan Kristenisasi tersebut tentu 
mempunyai hubungan erat dengan politik etis. Selain itu, masa politik etis juga 
menunjukkan munculnya golongan nasionalis sekuler ke panggung sejarah 
Indonesia. Golongan ini tidak muncul begitu saja. Sekolah-sekolah model Barat 
yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda berperan besar dalam memunculkan 
golongan ini. Dalam perjalanan sejarah berikutnya, golongan Kristen maupun 
golongan nasionalis sekuler sering terlibat perseteruan dengan golongan Islam. 
Agaknya tidak salah jika penulis berasumsi bahwa politik etis sebenarnya adalah 
upaya pemerintah Hindia Belanda untuk mengkristenkan atau membaratkan 
rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim. Masalah sebagaimana yang telah dipaparkan tadi penting untuk dikaji 
lebih lanjut dan lebih mendalam. Hal itu karena beberapa alasan. Pertama, 
Kristenisasi merupakan salah satu tantangan dakwah terbesar yang dihadapi oleh 
umat Islam Indonesia. Hubungan umat Islam dengan umat Kristen sering 
mengalami ketegangan. Berbagai upaya dilakukan untuk mengharmoniskan 
hubungan tersebut. Sebagai mayoritas, umat Islam dituntut untuk bersikap toleran 
kepada umat Kristen yang merupakan minoritas. Akan tetapi, berkali-kali umat 
Islam menghadapi usaha penyebaran agama dengan cara tidak sehat dari pihak 
Kristen. Tidak jarang usaha pihak Kristen tersebut disertai penodaan terhadap 
agama Islam. Oleh karena itu, memahami sejarah Kristenisasi dapat membantu 
umat Islam untuk menentukan langkah yang tepat dalam menghadapi tantangan 
ini. 
Kedua, kajian mengenai sejarah perjumpaan Islam dan Kristen di 
Indonesia belum banyak diperhatikan di kalangan umat Islam. Baru ada sedikit 
karya mereka yang secara khusus membahas hal itu. Di antaranya, Membendung 
Arus; Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di 
Indonesia karya Alwi Shihab dan Politik Islam Hindia Belanda karya H. Aqib 
Suminto. Karya terakhir memasukkan masalah hubungan Islam dan Kristen dalam 
bagian pembahasan politik Islam Pemerintah Hindia Belanda. Sementara itu, 
kajian tadi telah banyak ditulis dan diperhatikan di kalangan umat Kristen; baik 
secara khusus maupun menjadi bagian dari sejarah gereja. Sebut saja, misalnya, 
Jan S. Aritonang yang menulis Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di 
Indonesia. Beberapa sarjana Kristen lain yang menulis tema tersebut adalah Karel A. Steenbrink, Th. van den End, Th. Muller Kruger, dan H. Berkhof. Harus 
diakui, kesadaran sejarah di kalangan umat Islam masih sangat rendah. 
Ketiga, sebagian orang –terutama dari kalangan Kristen— mengingkari 
adanya hubungan saling menguntungkan antara kolonialisme dan misi Kristen. 
W.B. Sidjabat, misalnya, berusaha mengelak bahwa kekuasaan kolonial Belanda 
ikut membantu penyebaran agama Kristen di Indonesia. Menurutnya, kaum 
misionaris sama sekali tidak ada kaitannya dengan ambisi duniawi kaum 
kolonialis. Penyebaran agama Kristen lebih disebabkan oleh kuasa Al-Kitab dan 
bukan terutama disebabkan oleh upaya orang-orang Kristen.20 Tidak jauh berbeda 
dengan W.B. Sidjabat, Jan S. Aritonang juga menolak asumsi bahwa pemerintah 
kolonial memberi perlindungan kepada misi Kristen. Dia mengatakan, “Tidak 
selamanya atau tidak di setiap waktu dan tempat pemerintah Hindia Belanda 
mendukung pekabaran Injil, seperti yang cukup sering dikesankan oleh penulis 
tertentu dari kalangan Islam.” Selain mereka, sarjana Kristen lain yang menolak 
asumsi di atas adalah Chris Hartono dan Adolf Heuken SJ. bahwa meluasnya penjajahan dan kemajuan karya zending 
sama-sama merupakan wadah ekspansi Barat adalah tidak benar, sekurang￾kurangnya tidak tepat, karena di antara keduanya terdapat perbedaan yang 
hakiki. bahwa tidak selamanya 
pemerintah kolonial memberikan bantuan dan perlindungan kepada misi Kristen. Menurutnya, pemerintah kolonial juga sering menghambat upaya penyebaran 
Kristen sampai 1942. Lebih lanjut, dia mengatakan, “Tuduhan bahwa misi 
dimanja oleh pemerintah kolonial merupakan fitnah yang tak pernah disertai data 
(yang memang tidak ada).”23 Semua nama sarjana Kristen tadi berikut pernyataan 
mereka sekadar contoh. Kedatangan dan penyebaran Kristen yang mengikuti 
kedatangan dan penyebaran kolonialisme Barat di negeri ini sebenarnya sudah 
cukup menjadi bukti bahwa keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan. 
Namun demikian, pengelakan dan penolakan mereka perlu dikaji kembali 
kebenarannya berdasarkan data sejarah yang ada. 
Kajian ini dibatasi pada spasial Pulau Jawa dengan temporal dari 1901 
hingga 1942. Alasan batasan spasial adalah karena Jawa merupakan pusat 
kekuasaan Pemerintah Hinda Belanda sehingga memiliki posisi strategis 
dibandingkan wilayah lainnya. Alasan dimulainya kajian ini dari 1901 karena 
tahun ini adalah tahun dimulainya politik etis dimana kegiatan zending maupun 
misi meningkat tajam. Batasan akhir kajian pada 1942 karena pada tahun ini 
Pemerintah Hindia Belanda runtuh dan digantikan oleh Jepang. Peristiwa ini 
mengakhiri dukungannya terhadap penetrasi misi Kristen bukan hanya di Jawa, 
bahkan di seluruh wilayah Indonesia. 
B. Perumusan Masalah 
Berdasarkan deskripsi dalam latar belakang masalah di atas, perumusan 
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sejauh mana hubungan politik etis dan politik pengkristenan? 
2. Mengapa Pemerintah Hindia Belanda mendukung misi Kristen? 
3. Bagaimana dukungan Pemerintah Hindia Belanda terhadap misi Kristen di 
Jawa pada 1901–1942? 

 Banyak karya yang telah ditulis mengenai hubungan kolonial dan misi 
Kristen dalam sejarah Indonesia, baik oleh para sarjana Indonesia sendiri maupun 
sarjana-sarjana asing. Karya tersebut adalah karya akademis yang ditulis oleh 
orang yang otoritatif dalam bidangnya. Meskipun demikian, sepengetahuan 
penulis belum ada satu karya pun yang secara khusus memfokuskan perhatian pada hubungan erat antara politik etis dan politik Kristenisasi dalam bentuk 
sejarah deskriptif analitis. Masalah tersebut memang disinggung dalam beberapa 
buku, namun pengungkapannya hanyalah merupakan bagian dari penulisan 
sejarah yang lebih luas. 
Di antara buku yang terpenting dan perlu disebutkan di sini adalah karya 
H. Aqib Suminto yang berjudul Politik Islam Hindia Belanda (1984). Buku ini 
semula merupakan disertasi penulisnya di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 
Dalam karyanya ini, Aqib Suminto memaparkan kebijakan Pemerintah Hindia 
Belanda dalam mengelola masalah-masalah Islam di Indonesia. Termasuk 
kebijakan tersebut adalah mengenai hubungan Islam dan Kristen. Aqib Suminto 
menyimpulkan, meski secara teori Pemerintah menyatakan bersikap netral 
terhadap agama, tetapi dalam prakteknya mereka turut campur tangan juga. Dalam 
hubungan Islam dan Kristen, Pemerintah cenderung membantu dan mendukung 
penyebaran Kristen serta bersikap diskriminatif terhadap Islam. Karya ini sangat 
bermanfaat dalam mengkaji sejarah hubungan kolonial dan penetrasi misi Kristen. 
Namun demikian, pembahasannya masih belum detail dan baru menjadi bagian 
kecil dari pembahasan mengenai politik Islam Pemerintah Hindia Belanda secara 
umum. 
Buku kedua adalah karya Alwi Shihab yang berjudul Membendung Arus; 
Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia 
(1998). Seperti karya sebelumnya, buku Alwi Shihab ini semula juga merupakan 
disertasi di Universitas Temple, Amerika Serikat. Disertasi ini memaparkan upaya 
Muhammadiyah dalam membendung arus gencar Kristenisasi yang ditopang oleh kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena Muhammadiyah lahir pada 
masa politik etis, maka keterkaitan politik ini dengan fenomena maraknya 
Kristenisasi juga dibahas oleh penulisnya. Akan tetapi, pembahasannya menjadi 
bagian dari keadaan politik dan keagamaan yang melatarbekalangi lahirnya 
Muhammadiyah sehingga hanya sekilas. 
Karya berikutnya adalah Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 
yang ditulis oleh Deliar Noer. Karya yang semula merupakan disertasi penulisnya 
di Universitas Cornell, Amerika Serikat, ini memfokuskan pembahasannya pada 
masalah derap langkah pembaharuan dan kebangkitan di kalangan umat Islam 
Indonesia. Meskipun tidak terlalu panjang dan detail, Deliar Noer juga membahas 
kerjasama pemerintah Hindia Belanda dan misi Kristen dalam menghadapi derap 
langkah kebangkitan tersebut. 
Kajian lain yang perlu dikemukakan di sini adalah karya Jan S. Aritonang 
yang berjudul Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004). Karya 
ini memaparkan secara kronologis hubungan antara umat Kristen dan umat Islam 
di Indonesia sejak pertama kali kedatangan Kristen hingga 2003. Dalam karyanya, 
pendeta Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) dan dosen Sejarah Gereja di 
Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta ini juga membahas politik etis dan 
dampaknya atas hubungan Kristen-Islam. Meski mengakui bahwa pengaruh 
wawasan Kristen terasa dalam politik etis dan pelaksananya, namun dia menolak 
anggapan bahwa seluruh tokoh politik etis dan para pelaksananya adalah para 
pendukung Kristenisasi.Berikutnya adalah karya Th. van den End, Ragi Carita jilid 1 dan 2 (1980 
dan 1988). Karya ini disusun oleh penulisnya sebagai buku pegangan mengenai 
sejarah gereja di Indonesia. Banyak informasi sejarah didapatkan dari buku ini. 
Oleh karena cakupan spasialnya sangat luas, yaitu seluruh wilayah Indonesia, dan 
temporalnya sangat panjang, yaitu sejak abad XVI hingga abad XX, maka sudah 
pasti pembahasan dalam buku ini hanya bersifat umum. Meskipun demikian, buku 
karya dosen Sekolah Tinggi Teologi Jakarta ini sering menjadi rujukan utama 
dalam mengkaji sejarah gereja dan penyebaran Kristen di Indonesia. 
Seorang teolog Katolik Belanda yang banyak menulis tema sejarah adalah 
Karel A. Steenbrink. Di antara karyanya yang sangat bermanfaat untuk melakukan 
studi pendahuluan sekaligus sebagai referensi penelitian ini adalah Kawan Dalam 
Pertikaian; Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596—1942), yang 
diterbitkan oleh Mizan pada 1995. Karya berikutnya adalah Orang-Orang Katolik 
di Indonesia 1808-1942 jilid 1 dan 2 (2006). Karya pertama memberikan 
gambaran mengenai kesan kolonial Belanda sebagai pihak Kristen tentang kaum 
Muslim Indonesia dan berbagai kebijakan politik yang mereka terapkan terhadap 
Islam. Menurut Steenbrink, ada empat pola mengenai pertemuan antara orang 
Kristen Belanda dan kaum Muslim Indonesia. Pola pertama memperlihatkan 
campuran antara perhatian, keingintahuan, dan kekaguman selektif dari orang 
Kristen Belanda, namun, di lain pihak, sejak awal terlihat pengambilan jarak yang 
signifikan dan efektif. Pola kedua memperlihatkan prasangka-prasangka orang 
Kristen Belanda terhadap Islam dengan istilah tidak beriman, takhayul, atau 
klenik. Pola ketiga memperlihatkan pandangan orang Kristen Belanda terhadap Islam sebagai agama yang menimbulkan bahaya terbesar bagi keamanan orang 
Eropa. Pola keempat dan terakhir muncul ketika kekuasaan kolonial telah sangat 
mapan sehingga rasa khawatir terhadap fanatisme Islam tidak lagi diperlukan. 
Sejak inilah perasaan superioritas yang nyata menjadi sangat dominan dan 
muncullah sikap sebagai penguasa. Orang Belanda mulai menganggap dirinya 
sebagai guru dan bahkan sebagai pengawas bagi bangsa yang masih belum 
terpelajar. Hal ini dimanifestasikan dalam dua cara: ide-ide pembangunan sekuler, 
terutama berpusat pada pendidikan, dan misi-misi Kristen. Namun, kedua hal ini 
akhirnya tidak dapat dipisahkan. Sesuai pembagian Steenbrink, maka periode 
politik etis terjadi ketika memasuki pola keempat. Pendapat Steenbrink ini sangat 
bermanfaat untuk membantu analisis mengapa pemerintah kolonial Belanda 
memberikan bantuan dan perlindungan terhadap misi Kristen. 
Karya Steenbrink kedua memaparkan sejarah umat Katolik di Indonesia 
secara gamblang. Buku ini tidak hanya melihat dinamika orang-orang Katolik di 
Indonesia, tetapi juga berkaitan dengan persaingan dan rivalitas mereka dengan 
pihak Protestan dan Islam. Pada jilid 1, Steenbrink sempat menyinggung adanya 
hubungan antara kolonialisme dan agama Kristen sebagai seteru yang sepadan. 
Akan tetapi, pembahasan tersebut sangat singkat. Pada jilid 2, Steenbrink 
menguraikan pertumbuhan orang-orang Katolik di Jawa dan hubungan mereka 
dengan umat Islam. Untuk menghadapi umat Islam, misi Katolik menggunakan 
strategi pemisahan antara budaya Jawa dan Islam. Tokoh utama dan penggagas 
strategi ini adalah Frans van Lith. F. Pendekatan dan Kerangka Pemikiran 
Penulisan sejarah deskriptif naratif tidak bisa memberikan jawaban yang 
memuaskan terhadap berbagai masalah atau gejala yang serba kompleks. Sebab, 
penulisan sejarah tidak hanya bertujuan menceritakan kejadian, tetapi juga 
mengkaji sebab-sebabnya, kondisi lingkungannya, dan konteks sosio-kulturalnya. 
Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan multidimensional untuk membuat 
analisis tentang struktur dan faktor yang melatarbelakangi peristiwa. Langkah 
yang sangat penting dalam membuat analisis sejarah adalah menyediakan suatu 
kerangka pemikiran yang menyangkut berbagai konsep dan teori yang akan 
dipakai dalam membuat analisis itu. Hal ini dapat dilakukan dengan meminjam 
konsep dan teori dari ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, politik, 
ekonomi, dan sebagainya. Peminjaman itu adalah wajar karena sejarah 
konvensional miskin akan hal tersebut, antara lain disebabkan oleh tidak adanya 
kebutuhan menciptakan teori dan istilah-istilah khusus serta cukup memakai 
bahasa kehidupan sehari-hari dan common sensePenelitian ini merupakan sejarah agama dengan model pendekatan sejarah 
politik. Oleh karena itu, di sini akan dipergunakan konsep dari ilmu politik untuk 
melakukan analisis.31 Konsep tersebut adalah konsep hubungan kolonialisme dan 
misi Kristen. Namun sebelum menjelaskannya, ada baiknya dipahami terlebih 
dahulu apa yang disebut kolonialisme dan misi Kristen. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kolonialisme 
adalah paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain 
dengan maksud untuk memperluas negara itu.32 Istilah ini berhubungan erat 
dengan imperialisme yang didefinisikan sebagai sistem politik yang bertujuan 
menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yang lebih 
besar.33 Robert Delavignette mengatakan, “Kolonialisme adalah istilah yang 
menandakan kebijakan imperialis dalam mengeksploitasi daerah-daerah koloni 
demi mendapatkan keuntungan untuk negara induk saja.”34 Sementara itu, Edward 
W. Said menyatakan bahwa kolonialisme hampir selalu merupakan konsekuensi 
dari imperialisme. Kolonialisme berarti menanamkan permukiman di wilayah 
yang jauh. Imperialisme berarti praktek, teori, dan sikap dari negara besar yang 
memposisikan diri sebagai pusat untuk mendominasi kekuasaan di wilayah yang 
jauh.35 Menurut ensiklopedi online Wikipedia, kolonialisme adalah 
pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas 
negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga 
kerja, dan pasar wilayah tersebut. Istilah ini juga menunjuk kepada suatu 
himpunan keyakinan yang digunakan untuk melegitimasikan atau 
mempromosikan sistem ini, terutama kepercayaan bahwa moral dari pengkoloni 
lebih hebat ketimbang yang dikolonikan.Adapun misi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan 
menyebarkan Kabar Gembira (Injil) dan mendirikan jemaat setempat, dilakukan 
atas dasar pengutusan sebagai kelanjutan misi Kristus. Pelakunya disebut 
misionaris, yaitu orang yang melakukan penyebaran warta Injil kepada orang lain 
yang belum mengenal Kristus.37 Dalam sejarah penyebaran agama Kristen di 
Indonesia dikenal dua istilah: zending dan misi. Zending merupakan usaha 
penyebaran Injil yang dilakukan oleh pemeluk agama Kristen Protestan. 
Pelakunya disebut zendeling. Misi merupakan usaha penyebaran Injil yang 
dilakukan oleh pemeluk agama Kristen Katolik.38 Kedua istilah tersebut dipakai 
dalam penelitian ini untuk membedakan aliran keagamaan pelakunya. Namun 
demikian, tidak jarang hanya disebut misi Kristen. Penyebutan secara sendirian 
berarti mencakup usaha pekabaran Injil yang dilakukan oleh pemeluk Protestan 
maupun Katolik. Pekabaran Injil sendiri merupakan istilah lain dari Kristenisasi. 
Arie de Kuiper mengartikan Kristenisasi sebagai usaha-usaha yang dilakukan oleh 
gereja, badan pekabaran Injil maupun orang Kristen untuk mengkristenkan 
bangsa-bangsa, dunia dan semua orang; baik yang belum Kristen maupun yang 
sudah Kristen.39 Dengan demikian, zending, misi, pekabaran Injil dan Kristenisasi 
mempunyai makna yang sama. 
Kolonialisme dan misi Kristen mempunyai hubungan sangat erat. Di 
negara-negara Muslim, keduanya sering dibantu oleh orientalisme sehingga 
menjadi gerakan bersama Barat untuk menghadapi Islam. Fakta sejarah pun menunjukkan bahwa gerakan kolonialisme selalui disertai oleh kegiatan 
misionaris Kristen dan orientalis.40 Banyak sarjana, baik dari kalangan Muslim 
maupun Barat, mengakui adanya hubungan erat antara kolonialisme dan misi 
Kristen. 
Untuk menganalisis dukungan pemerintah Hindia Belanda terhadap misi 
Kristen, penulis menggunakan konsep hubungan kolonialisme dan misi Kristen 
yang dikemukakan oleh Anwar Al-Jundi. Dia adalah seorang sastrawan dan 
pemikir Islam dari Mesir yang sangat produktif menulis. Selama hidupnya 
(1917—2002), ratusan buku dan artikel telah disusunnya. Menurutnya, 
pemerintah kolonial yang mencengkeram negeri-negeri Islam menekankan pada 
dua aktivitas mendasar. 
 Pertama, berusaha untuk membangun opini publik bahwa apa yang 
dilakukan kolonial merupakan aktivitas yang berkaitan dengan misi pengadaban 
dan kemanusiaan yang bertujuan untuk memajukan umat manusia. Mereka berasumsi bahwa orang kulit putih adalah pemilik peradaban yang 
bertanggungjawab terhadap kemajuan peradaban orang kulit berwarna. 
Kedua, mengubah intelektualitas Islam dari konsep dasarnya dan 
membangkitkan kesamaran seputar unsur-unsur pemikiran Islam. Hal itu 
dilakukan sebagai permulaan untuk mengasosiasikannya ke dalam pemikiran 
Barat yang diasumsikan sebagai pemikiran universal yang dominan. Dengan cara 
ini, umat Islam akan kehilangan nilai-nilai prinsipilnya, kemudian menerima nilai￾nilai peradaban Barat dan takluk seperti kuda jinak di tangan mereka. 
 Untuk melaksanakan kedua hal di atas, pemerintah kolonial mengirimkan 
misionaris yang memiliki peran besar dalam menciptakan orang-orang yang 
menerima dan membela pemikiran Barat. Mereka tidak memusuhi kolonialisme, 
tetapi malah mendukung dan menghormatinya. Oleh karena itu, pemerintah 
kolonial membantu sekolah-sekolah, rumah sakit, dan organisasi-organisasi yang 
didirikan oleh misionaris. 
 Terkait dengan penelitian ini, penulis melihat adanya kesesuaian konsep 
yang dikemukakan oleh Anwar Al-Jundi dengan kasus yang terjadi dalam sejarah 
kolonilisme Belanda di Indonesia. Melalui politik etis, pemerintah Hindia Belanda 
menyatakan ingin meningkatkan kesejahteraan dan memajukan peradaban 
pribumi. Kegiatan misi Kristen meningkat tajam pada masa politik etis. Mereka 
mendirikan sekolah, klinik, rumah sakit, dan panti asuhan. Mereka sering 
mendapatkan dukungan pemerintah kolonial karena dipandang membantu dalam 
menjalankan misi memajukan peradaban tersebut.


Di antara semua perserikatan dagang yang ada 
di abad ke-17 dan ke-18, Perserikatan Dagang 
Hindia Timur (VOC), yang didirikan pada 
tahun 1602, pasti merupakan yang paling sukses. 
Tidak lama sesudah kelahirannya, badan ini 
berhasil menyingkirkan orang Portugis, yang satu 
abad sebelumnya telah membangun imperium 
perdagangan di Asia, dan hampir menyisihkan 
saingan di perdagangan Asia-Eropa itu. Saingan 
utama VOC, yaitu East India Company (EIC), yang 
telah didirikan di London pada tahun 1600, mula￾mula tidak cukup memiliki kemampuan keuangan 
dan kehandalan keorganisasian, serta tidak cukup 
mendapat dukungan dari pihak pemerintah 
Inggris, sehingga tidak dapat menandingi 
Kompeni Belanda itu. Baru pada akhir abad ke-
17 EIC berkembang sebagai lawan yang benar￾benar patut disegani, yang kemudian, di sepanjang 
abad ke-18, mengungguli saingannya di beberapa 
bidang. Bagaimanapun, sampai akhir sejarahnya 
pada tahun 1800 VOC tetap merupakan yang 
terbesar di antara perusahaan-perusahaan dagang 
yang beroperasi di Asia.
Kompeni Belanda itu bertumbuh pesat berkat 
beberapa faktor. Pertama sekali, berlimpahnya 
modal di Republik memungkinkan VOC 
maju jauh dibandingkan dengan lawannya. 
Dengan demikian VOC mampu membiayai 
operasi-operasi militer yang perlu untuk meraih 
kedudukan sebagai pemegang monopoli sedunia 
dalam hal perdagangan rempah-rempah. 
Penaklukan Kepulauan Banda pada tahun 1622 
membuat VOC memperoleh monopoli pala dan 
kembang pala. Sebaliknya, upaya memonopoli 
cengkih membutuhkan jangka waktu yang lebih 
lama. Dengan jalan menghancurkan pohon-pohon 
cengkih di sejumlah pulau di Kepulauan Maluku, 
VOC berhasil memusatkan pembudidayaan 
rempah ini di Ambon. Makassar merupakan 
pelabuhan terakhir tempat para saudagar dari 
Eropa dan Asia masih sempat memasok rempah￾rempah bukan dengan perantaraan VOC – yang 
oleh VOC dipandang sebagai ‘penyelundupan’ 
– tetapi penaklukan kota itu pada tahun 1667 
berarti jalur itu pun tertutup. Terakhir, monopoli 
dalam perdagangan kayu manis diperoleh dengan 
cara mengusir orang Portugis dari Sri Lanka. Hal 
ini terjadi dalam dua tahap: antara tahun 1627 
dan 1642, dan dalam kurun waktu 1654-1658.
VOC tidak hanya mengangkut barang-barang 
dari Asia ke pasaran Eropa. Kompeni berhasil 
juga mengumpulkan modal besar di Asia sendiri 
(pada masa itu wilayah perdagangan VOC 
biasanya disebut Indië, ‘Hindia’), sehingga sanggup 
membangun jaringan perdagangan antara kantor￾kantor perdagangan mereka di Asia. Perdagangan 
dalam kawasan Asia itu sendiri menghasilkan 
keuntungan besar bagi VOC sepanjang abad 
ke-17 dan ke-18. Selama kurun waktu 1635-
1690 pemasukan yang didapat darinya melebihi 
pengeluaran; usaha VOC di Asia menghasilkan 
keuntungan yang membawa manfaat kepada 
perusahaan VOC di Belanda. Di atas itu, sejak 
tahun 1639 Kompeni Belanda itu adalah satu￾satunya saudagar dari Eropa yang memiliki izin 
memasuki Jepang. Selama abad ke-17 hubungan 
perdagangan dengan Jepang ini menghasilkan 
keuntungan yang sangat besar dan memberi 
kesempatan kepada VOC untuk memperoleh 
perak dengan harga rendah. Seluruh pelaku 
dagang bangsa Eropa di Asia membutuhkan perak 
untuk membeli bahan tekstil dari India dan merica 
dari kepulauan Indonesia. Berkat ‘koneksi Jepang’ 
ini, VOC tidak usah mendatangkan perak dalam 
jumlah besar dari Eropa.
Pada akhir abad ke-17 volume perdagangan 
dan pelayaran antara Eropa dan Asia meningkat 
dengan pesat. Kain-kain dari India, kopi dari 
Jazirah Arab, kemudian juga dari Jawa, dan teh 
dari Cina merebut pasaran Eropa. Pertumbuhan 
perdagangan ini merupakan gejala umum, yang 
dirasakan juga oleh perserikatan dagang Eropa 
lainnya. Lama kelamaan VOC kehilangan 
posisi uniknya. Monopoli di bidang rempah￾rempah menjadi kurang berarti. Pendapatan 
dari perdagangan di Asia sendiri tidak mampu 
lagi mengimbangi pengeluaran, yang telah 
membubung disebabkan antara lain biaya 
administrasi yang tinggi. Akibatnya, dalam 
abad ke-18 kegiatan VOC di Asia dari tahun 
ke tahun hanya mengalami kerugian. Lagi pula, 
perdagangan dengan Jepang makin menyusut dan 
sesudah tahun 1700 tidak berarti lagi. Keuntungan 
yang didapat dari penjualan barang-barang dari 
Asia di tanah air ternyata masih mencukupi untuk 
membiayai pembekalan armada kapal yang setiap 
tahun berlayar ke Asia dan menutupi kerugianperdagangan di kawasan itu yang diderita tiap-tiap 
tahun. Namun, persediaan cadangan keuangan 
semakin menipis.
Perubahan-perubahan yang cukup mendasar ini 
membawa akibat VOC semakin bersandar pada 
hasil penjualan di Belanda sendiri. Pendanaan 
perusahaannya langsung terkait dengan hasil 
penjualan itu. Hal ini menempatkan Kompeni 
di posisi yang lemah. Maka pecahnya Perang 
Inggris ke-IV pada tahun 1780 tidak dapat tidak 
membawa malapetaka. Selama beberapa tahun 
tidak masuk lagi kapal-kapal dari Asia, sehingga 
tidak mungkin lagi menyelenggarakan perlelangan 
yang berarti. Secara mendadak Kompeni 
kehilangan kredibilitasnya dan terjebak di lubang 
hutang yang dalam. Perang itu berakhir pada 
tahun 1784, tetapi sesudahnya juga Kompeni 
mengalami persoalan yang begitu besar, sehingga 
hanya mampu berdiri dengan dukungan penuh 
pemerintah Belanda. Pendudukan negeri Belanda 
oleh tentara Perancis dan transformasi tataan 
politik negeri Belanda yang dicetuskan olehnya 
menentukan nasib VOC. Pada awal tahun 1796, 
tidak lama sesudah berdirinya Bataafse Republiek, 
Direksi harus mundur dari jabatannya dan 
menyerahkan pimpinan kepada Comité tot de zaken 
van de Oost-Indische handel en bezittingen (Komite 
untuk Urusan Perdagangan dan Jajahan di Hindia 
Timur). VOC dinasionalisasi. Mulai dari tanggal 
1 Januari 1800 oktroi (piagam) VOC, yang 
merupakan dasar hukum organisasi itu, sudah 
tidak berlaku lagi. Akibat peperangan di Eropa 
yang berlangsung terus, pelayaran tidak mungkin 
mengadakan perubahan besar di bidang pelayaran 
dan perdagangan ke Asia. Kendati demikian, 
tindakan tersebut tetap saja menandakan akhir 
keberadaan VOC.
Bila kita meninjau dua abad kegiatan Kompeni, 
angka-angka total sangat mengesankan, baik 
yang di bidang omzet perdagangan maupun 
yang menyangkut jumlah kapal dan tenaga yang 
diangkut dengan kapal itu. Walau rendemen 
terus menurun, ternyata selama abad ke-18 
perusahaannya lebih besar daripada dalam abad 
sebelumnya. Umpamanya, kapal-kapal yang 
oleh VOC diluncurkan menuju Asia berjumlah 
4.700, di antaranya 1.700 dalam abad ke-17 dan 
3.000 lebih dalam abad ke-18. Dalam kurun 
waktu 1602-1700 kapal-kapal tersebut membawa 
317.000 orang ke Asia, sedangkan dari tahun 1700 
sampai 1795 jumlahnya 655.000. Angka-angka di 
bidang perdagangan membuktikan pertumbuhan 
perusahaan Kompeni sesudah tahun 1700. Jumlah 
pengeluaran untuk equipage, artinya pembuatan 
dan pelengkapan kapal-kapal serta dana dan 
barang-barang yang dikirim ke Asia, mencapai 
370 juta gulden di tahun-tahun 1640-1700, tetapi 
mencapai 1.608 juta gulden selama kurun waktu 
1700-1795. Dalam periode yang sama, nilai beli 
barang-barang yang oleh kapal-kapal dibawa 
kembali dari Asia berjumlah masing-masing 205 
juta dan 667 juta gulden. Dalam kurun waktu 
tersebut pertama, hasil penjualan barang-barang 
itu berjumlah 577 juta gulden, sedangkan dalam 
periode kedua 1.633 juta gulden.
Pendirian VOC – Oktroi
VOC terbentuk pada tahun 1602 dari 
penggabungan enam perusahaan kecil. Setelah 
Compagnie van Verre yang berpangkal di Amsterdam 
menyelenggarakan ekspedisi yang pertama 
ke Asia (1595-1597) dan dengan demikian 
membuktikan bahwa orang Belanda pun sanggup 
melakukan pelayaran ke Asia, langsung juga 
didirikan perusahaan-perusahaan serupa di 
Amsterdam, Rotterdam, dan di provinsi Zeeland.3
Perusahaan-perusahaan tersebut biasa memodali 
satu ekspedisi sekali. Kendati demikian ada 
kesinambungan dalam susunan direksi, sebab 
saudagar-saudagar atau anggota pengurus itu 
juga yang mengusahakan ekspedisi berturut-turut. 
Setiap kali kapal-kapal yang berlayar menuju Asia 
kembali maka para penanam modal, baik anggota 
pengurusnya maupun para pemegang saham atau 
partisipan lainnya, mendapatkan kembali modal 
yang mereka tanam, tentu ditambah sebagian 
keuntungan yang telah diraih. Para perusahaan 
ini saling menyaingi dengan seru, dengan akibat 
persentase laba menurun terus. Berkurangnya 
keuntungan ini membuat jera para penanam 
modal dan mengancam kelanjutan pelayaran 
menuju Asia.
Para pemimpin perusahaan-perusahaan 
tersebut tentunya bukan tidak menyadari 
perkembangan ini. Dalam waktu singkat terbentuk 
kerja sama di tingkat lokal. Pada tahun 1600 
kompeni-kompeni yang berbasiskan Amsterdam 
melebur menjadi satu Geünieerde Amsterdamse 
Oostindische Compagnie (Kompeni Hindia 
Timur Serikat Amsterdam), yang kemudian oleh 
para walikota Amsterdam diberi hak monopoli 
untuk berlayar dari Amsterdam menuju Asia. 
Di provinsi Zeeland pun orang bekerja sama. 
Akan tetapi, kerja sama ini tidak meluas lebih 
jauh. Para pengusaha di Zeeland tidak suka 
melebur dengan perusahaan-perusahaan dari 
provinsi Holland; mereka khawatir kalau-kalau 
dalam satu perusahaan bersama Amsterdam 
akan memperoleh kedudukan yang terpenting. Di 
samping itu berdirilah kompeni-kompeni baru di 
kota-kota lain (Hoorn, Enkhuizen, Delft). Maka 
agaknya sesudah tahun 1600 pun persaingan akan 
berjalan terus.Peleburan semua perusahaan tersebut menjadi 
satu Kompeni tidak terjadi secara spontan, tetapi 
dipaksakan kepadanya oleh pemerintah Belanda. 
Pada zaman itu Republik Belanda sedang 
dalam peperangan dengan Raja Spanyol dan 
Portugal. Kompeni-kompeni yang sudah berdiri 
– selanjutnya disebut sebagai voorcompagnieën
(pra-kompeni) – tidak sanggup memainkan 
peranan dalam perjuangan melawan Spanyol 
dan Portugal. Sebaliknya, Kompeni bersatu 
dapat menjadi senjata ampuh di bidang militer 
dan ekonomi. Maka pemerintah (Staten) provinsi 
Holland, yang dipimpin oleh Johan van 
Oldenbarnevelt, kemudian juga pemerintah negeri 
Belanda (Staten-Generaal), berusaha meyakinkan 
semua pihak yang bersangkutan untuk melakukan 
fusi. Akhirnya, setelah stadhouder Pangeran Maurits 
campur tangan, perusahaan-perusahaan dari 
Zeeland pun tidak dapat lagi menghindar. 
Pada tanggal 20 Maret 1602 Staten-Generaal 
mengeluarkan oktroi. Dengan demikian berdirilah 
Generale Vereenichde Geoctroyeerde Compagnie.
4 Oktroi 
ini dinyatakan berlaku untuk jangka waktu 21 
tahun. Unsur persaingan sudah disingkirkan; 
oktroi tersebut menetapkan bahwa tidak satu pihak 
pun selain VOC diperbolehkan mengirimkan 
kapal-kapal dari negeri belanda ke daerah di 
sebelah timur Tanjung Harapan dan di sebelah 
barat Selat Magalan atau menyelenggarakan 
kegiatan perdagangan di wilayah tersebut.
Dari butir-butir lain yang tercantum dalam 
oktroi, banyak yang mengatur tata cara Kompeni, 
kedudukan para direktur (bewindhebbers) dan 
para partisipan, serta cara pengumpulan modal. 
Dalam naskah artikel-artikel ini masih terlihat 
betapa rumitnya perundingan yang harus 
dilakukan mendahului penetapan oktroinya. Isi 
dan perincian ketentuan-ketentuan yang tercantum 
di dalamnya akan dijelaskan dalam pasal-pasal 
berikutnya. Tetapi kami akan lebih dahulu 
memusatkan perhatian pada sifat kompromi 
okytroi itu dan pada struktur federal yang menjadi 
ciri khas Compagnie Belanda itu.
Menurut oktroi, semua pra-kompeni menjadi 
cabang (Belanda kamer) dalam kerangka VOC. 
Jumlahnya enam: Amsterdam, Zeeland (berpusat 
di Middelburg), Delft, Rotterdam, Hoorn, dan 
Enkhuizen. Ternyata tidak sulit untuk mencapai 
kesepakatan tentang andil masing-masing dalam 
usaha bersama pelayaran dan perdagangan 
di Asia. Kamer Amsterdam mendapat separuh, 
sedangkan kepada Zeeland diberikan seperempat, 
dan keempat kamer kecil mendapat seperenambelas 
bagian masing-masing. Penerapan kunci 
pembagian ini, yang dengan tegas disebut dalam 
naskah oktroi, berhasil menenangkan 
pengusaha-pengusaha dari Zeeland; tadinya 
mereka khawatir kalau-kalau penaruhan modal 
oleh kamer dijadikan dasar bagian masing-masing 
dalam pelaksanaan kegiatan, lebih dari separuh 
akan diraih oleh Kamer Amsterdam.
Sudah tentu para pengurus pra-kompeni 
menjadi pengurus kamer di daerahnya. Di atas 
kamer tersebut dibentuk badan pengurus umum, 
yang bertugas menyelenggarakan pimpinan 
tertinggi dan yang akan terdiri atas wakil-wakil 
kamer masing-masing. Di sini timbul masalah 
besar. Bagaimana perbandingan antar-kamer 
harus diterapkan dalam pimpinan tertinggi? 
Zeeland ingin supaya dalam badan pengurus 
umum dilakukan pemberian suara menurut kamer, 
sehingga bobot setiap kamer sama saja. 
Mula-mula tuntutan ini menyebabkan tidak 
mungkin mencapai kesepakatan. Pada akhirnya 
Zeeland harus puas dengan pemungutan suara 
perorangan, sedangkan badan pengurusnya 
ditetapkan akan terdiri atas tujuh belas orang. 
Dalam badan ini Amsterdam akan diwakili oleh 
delapan utusan, Zeeland mendapat empat wakil, 
dan keempat kamer lainnya masing-masing satu 
wakil, sedangkan wakil yang ketujuh belas akan 
ditunjukkan secara bergilir oleh salah satu kamer
di luar Amsterdam. Wakil-wakil dari Amsterdam 
menganggap wajar bahwa badan pengurus 
umum ini, yang biasanya disebut dengan nama 
singkat Heren Zeventien (Tujuh Belas Tuan), akan 
berkumpul di Amsterdam, tetapi dalam hal ini 
mereka melakukan konsesi untuk menenggang 
rasa Zeeland. Diputuskan untuk menetapkan 
putaran delapan tahunan. Selama enam tahun 
berturut-turut Amsterdam akan menjadi tempat 
persidangan dan selama jangka waktu itu Kamer
Amsterdam akan bertindak selaku ketua sidang; 
sesudah itu untuk dua tahun lamanya Middelburg 
akan menjadi tempat kedudukan Heren Zeventien
dan jabatan ketua akan dipangku oleh pengurus 
Kamer Zeeland.
Dengan demikian dalam naskah oktroi sudah 
ditetapkan seberapa besar pengaruh dan hak 
suara yang dimiliki setiap kamer. Di atas kertas 
semuanya beres. Akan tetapi, bagaimana struktur 
yang lumayan rumit ini berfungsi dalam praktek 
nyata? Selama abad ke-17 sedikit demi sedikit 
berkembanglah bentuk pemerintahan yang juga 
terdapat dalam pemerintah Republik Belanda 
sendiri. Perkembangan ini tidak mengherankan, 
karena sebagian besar para direktur VOC 
termasuk elite politik dan mengenal baik 
seluk-beluk pemerintahan Republik itu. Hubungan 
badan-badan pengurus pada tingkat kamer dengan 
sidang Heren Zeventien, yang memang terdiri atas 
wakil-wakil dari badan-badan tersebut, dalam 
banyak hal dapat disamakan, umpamanya, 
dengan hubungan badan-badan pemerintah kota di Holland, yang mengutus wakil-wakil 
mereka ke rapat Staten van Holland (pemerintah 
daerah Holland), dengan Staten itu. Menjelang 
setiap sidang Heren Zeventien, kamer van menjabat 
ketua mengirim agenda rapat ke kamer-kamer
lain. Selanjutnya setiap kamer merumuskan 
petunjuk mengenai sikap yang harus diambil oleh 
wakilnya bila akan terjadi pemungutan suara, 
dan menitipkan instruksi tersebut kepada wakil 
itu. Jika kemudian dalam sidang Heren Zeventien
ternyata muncul urusan-urusan penting yang 
tidak tercantum dalam agenda, para wakil harus 
berembug dulu dengan kamernya sendiri.
Oktroi VOC mengandung kompromi dalam 
hal lain juga, yaitu dalam hal modal. Karena 
oktroi ini memiliki masa berlaku 21 tahun, 
VOC bukanlah perusahaan tambal sulam yang 
melakukan satu ekspedisi saja, seperti halnya 
pra-kompeni. Akan tetapi, dalam menetapkan 
peraturan untuk pengumpulan modal, orang tidak 
mau atau tidak berani menghadapi konsekuensi 
kenyataan itu. 
Sudah sebelum terbentuknya VOC pra￾kompeni mengumpulkan dana untuk membiayai 
perlengkapan kapal-kapal yang hendak berlayar 
ke Asia. Kini kapal-kapal itu digabungkan 
menjadi satu armada; ‘armada empat belas kapal’ 
ini merupakan ekspedisi pertama ke Asia yang 
dibiayai oleh VOC. Selanjutnya, begitulah yang 
tertulis di dalam oktroi, masyarakat akan diberi 
kesempatan melakukan penanaman modal yang 
baru, tidak hanya untuk satu ekspedisi, tetapi 
untuk jangka waktu sepuluh tahun. Selama 
masa itu modal tersebut akan dipakai untuk 
memperlengkapi beberapa armada. Pada tahun 
1612 para pemegang saham atau partisipan dapat 
menerima kembali uang yang mereka tanam, 
ditambah keuntungan yang telah diraih sampai 
saat itu, dan sekali lagi akan diadakan pendaftaran 
bagi para penanam modal untuk sepuluh tahun 
mendatang. Selain itu, telah ditetapkan pula 
bahwa sesegeranya lima persen modal 
awal masuk lagi ke kas Kompeni sebagai hasil 
penjualan barang-barang yang dibawa oleh 
kapal-kapal yang kembali dari Asia ke negeri 
Belanda, haruslah dilakukan pembayaran dividen 
kepada para pemegang saham.
Ketentuan-ketentuan ini mencegah VOC 
membangun modal sendiri. Hal ini tidak 
seirama dengan cita-cita mereka yang telah 
mengupayakan fusi sejumlah perusahaan kecil 
menjadi satu Kompeni besar, yaitu penciptaan 
basis yang kukuh-kuat bagi perdagangan dengan 
Asia. Maka pengurus VOC tidak berpegang 
padanya. Pembayaran dividen kepada para 
partisipan baru dilakukan terjadi sesudah waktu 
yang lama, dan setelah sepuluh tahun berlalu 
tidak terjadi pengembalian modal awal kepada 
para penanamnya. Sepanjang berdirinya VOC 
jumlah modal yang disediakan pada awalnya tidak 
pernah berubah. Pemerintah Belanda, yang telah 
menetapkan oktroi tersebut, mendukung kebijakan 
pimpinan pusat VOC dalam hal ini.5
Pada tahun 1622/23 oktroi VOC diperpanjang 
untuk waktu dua puluh satu tahun lagi. Di 
dalamnya keluhan yang telah diajukan oleh para 
partisipan dihiraukan; hak mereka mengeluarkan 
pendapat diperluas, tetapi oktroi tidak mengalami 
perubahan penting. Dalam perpanjangan oktroi 
di kemudian hari sering diskusi-diskusi politik 
yang rumit. Berbagai kota dan provinsi-provinsi 
lain menggunakan kesempatan itu dan sebagai 
imbangan persetujuan mereka menuntut hak-hak 
istimewa, umpamanya kursi luar biasa dalam 
salah satu kamer. Pemerintah Belanda (Staten￾Generaal) juga dapat saja pada kesempatan itu, 
khususnya pada waktu perang, meminta dukungan 
berupa uang atau kapal-kapal. Baru dalam bagian 
terakhir abad ke-18 timbullah keraguan akan 
keadaan Kompeni, sehingga pada saat oktroi 
harus diperpanjang situasi di Asia sendiri dijadikan 
pokok pembicaraan. Meski demikian, pada waktu 
itu pun tidak dikeluarkan kritik mendasar. Secara 
keseluruhan VOC selalu mendapat dukungan 
Pemerintah Belanda, yang tetap mempertahankan 
pula monopoli Kompeni dengan ketat. 
Para Direktur dan para penanam modal
Pada masa sebelum VOC didirikan, 
voor-compagnieën dipimpin oleh sebanyak 76 
orang direktur. Pada tahun 1602 mereka semua 
mendapat tempat dalam pimpinan perusahaan 
yang baru itu. Monopoli yang ditetapkan dalam 
oktroi VOC, bersama dengan kesinambungan 
perusahaan itu – walau untuk sementara lama 
masa operasinya dibatasi menjadi 21 tahun 
– menyebabkan para direktur memiliki kedudukan 
yang berbeda dari posisi yang mereka miliki 
sebelumnya. Kini mereka merupakan badan 
direksi dalam arti yang sebenarnya, sebuah 
managerial group, dengan tujuan tersendiri, 
yang berbeda dengan tujuan para partisipan. 
Sesungguhnya, mereka sendiri pun telah menanam 
modal besar dan selaku penanam modal posisi dan 
kepentingan mereka sama dengan para penanam 
modal lainnya. Akan tetapi, selaku direksi mereka 
tidak dapat tidak mementingkan peningkatan 
omzet dan kesinambungan serta pertumbuhan 
sehat perusahaan di atas keuntungan jangka 
waktu singkat, yang mengasilkan keuntungan 
cepat bagi para pemberi modal.6 Dalam hal ini 
direksi dilindungi oleh oktroi. Barulah sesudah 
sepuluh tahun – sesudah berakhirnya rekeningkota di Holland, yang mengutus wakil-wakil 
mereka ke rapat Staten van Holland (pemerintah 
daerah Holland), dengan Staten itu. Menjelang 
setiap sidang Heren Zeventien, kamer van menjabat 
ketua mengirim agenda rapat ke kamer-kamer
lain. Selanjutnya setiap kamer merumuskan 
petunjuk mengenai sikap yang harus diambil oleh 
wakilnya bila akan terjadi pemungutan suara, 
dan menitipkan instruksi tersebut kepada wakil 
itu. Jika kemudian dalam sidang Heren Zeventien
ternyata muncul urusan-urusan penting yang 
tidak tercantum dalam agenda, para wakil harus 
berembug dulu dengan kamernya sendiri.
Oktroi VOC mengandung kompromi dalam 
hal lain juga, yaitu dalam hal modal. Karena 
oktroi ini memiliki masa berlaku 21 tahun, 
VOC bukanlah perusahaan tambal sulam yang 
melakukan satu ekspedisi saja, seperti halnya 
pra-kompeni. Akan tetapi, dalam menetapkan 
peraturan untuk pengumpulan modal, orang tidak 
mau atau tidak berani menghadapi konsekuensi 
kenyataan itu. 
Sudah sebelum terbentuknya VOC pra￾kompeni mengumpulkan dana untuk membiayai 
perlengkapan kapal-kapal yang hendak berlayar 
ke Asia. Kini kapal-kapal itu digabungkan 
menjadi satu armada; ‘armada empat belas kapal’ 
ini merupakan ekspedisi pertama ke Asia yang 
dibiayai oleh VOC. Selanjutnya, begitulah yang 
tertulis di dalam oktroi, masyarakat akan diberi 
kesempatan melakukan penanaman modal yang 
baru, tidak hanya untuk satu ekspedisi, tetapi 
untuk jangka waktu sepuluh tahun. Selama 
masa itu modal tersebut akan dipakai untuk 
memperlengkapi beberapa armada. Pada tahun 
1612 para pemegang saham atau partisipan dapat 
menerima kembali uang yang mereka tanam, 
ditambah keuntungan yang telah diraih sampai 
saat itu, dan sekali lagi akan diadakan pendaftaran 
bagi para penanam modal untuk sepuluh tahun 
mendatang. Selain itu, telah ditetapkan pula 
bahwa sesegeranya lima persen modal 
awal masuk lagi ke kas Kompeni sebagai hasil 
penjualan barang-barang yang dibawa oleh 
kapal-kapal yang kembali dari Asia ke negeri 
Belanda, haruslah dilakukan pembayaran dividen 
kepada para pemegang saham.
Ketentuan-ketentuan ini mencegah VOC 
membangun modal sendiri. Hal ini tidak 
seirama dengan cita-cita mereka yang telah 
mengupayakan fusi sejumlah perusahaan kecil 
menjadi satu Kompeni besar, yaitu penciptaan 
basis yang kukuh-kuat bagi perdagangan dengan 
Asia. Maka pengurus VOC tidak berpegang 
padanya. Pembayaran dividen kepada para 
partisipan baru dilakukan terjadi sesudah waktu 
yang lama, dan setelah sepuluh tahun berlalu 
tidak terjadi pengembalian modal awal kepada 
para penanamnya. Sepanjang berdirinya VOC 
jumlah modal yang disediakan pada awalnya tidak 
pernah berubah. Pemerintah Belanda, yang telah 
menetapkan oktroi tersebut, mendukung kebijakan 
pimpinan pusat VOC dalam hal ini.5
Pada tahun 1622/23 oktroi VOC diperpanjang 
untuk waktu dua puluh satu tahun lagi. Di 
dalamnya keluhan yang telah diajukan oleh para 
partisipan dihiraukan; hak mereka mengeluarkan 
pendapat diperluas, tetapi oktroi tidak mengalami 
perubahan penting. Dalam perpanjangan oktroi 
di kemudian hari sering diskusi-diskusi politik 
yang rumit. Berbagai kota dan provinsi-provinsi 
lain menggunakan kesempatan itu dan sebagai 
imbangan persetujuan mereka menuntut hak-hak 
istimewa, umpamanya kursi luar biasa dalam 
salah satu kamer. Pemerintah Belanda (Staten￾Generaal) juga dapat saja pada kesempatan itu, 
khususnya pada waktu perang, meminta dukungan 
berupa uang atau kapal-kapal. Baru dalam bagian 
terakhir abad ke-18 timbullah keraguan akan 
keadaan Kompeni, sehingga pada saat oktroi 
harus diperpanjang situasi di Asia sendiri dijadikan 
pokok pembicaraan. Meski demikian, pada waktu 
itu pun tidak dikeluarkan kritik mendasar. Secara 
keseluruhan VOC selalu mendapat dukungan 
Pemerintah Belanda, yang tetap mempertahankan 
pula monopoli Kompeni dengan ketat. 
Para Direktur dan para penanam modal
Pada masa sebelum VOC didirikan, 
voor-compagnieën dipimpin oleh sebanyak 76 
orang direktur. Pada tahun 1602 mereka semua 
mendapat tempat dalam pimpinan perusahaan 
yang baru itu. Monopoli yang ditetapkan dalam 
oktroi VOC, bersama dengan kesinambungan 
perusahaan itu – walau untuk sementara lama 
masa operasinya dibatasi menjadi 21 tahun 
– menyebabkan para direktur memiliki kedudukan 
yang berbeda dari posisi yang mereka miliki 
sebelumnya. Kini mereka merupakan badan 
direksi dalam arti yang sebenarnya, sebuah 
managerial group, dengan tujuan tersendiri, 
yang berbeda dengan tujuan para partisipan. 
Sesungguhnya, mereka sendiri pun telah menanam 
modal besar dan selaku penanam modal posisi dan 
kepentingan mereka sama dengan para penanam 
modal lainnya. Akan tetapi, selaku direksi mereka 
tidak dapat tidak mementingkan peningkatan 
omzet dan kesinambungan serta pertumbuhan 
sehat perusahaan di atas keuntungan jangka 
waktu singkat, yang mengasilkan keuntungan 
cepat bagi para pemberi modal.6 Dalam hal ini 
direksi dilindungi oleh oktroi. Barulah sesudah 
sepuluh tahun – sesudah berakhirnya rekeningmodal (capital account) kesepuluh tahun pertama 
– mereka wajib membuka pembukuan dan 
mempertanggungjawabkan perbuatan mereka 
berhadapan dengan para partisipan.
Menurut ketentuan oktroi, pendapatan para 
direktur berupa persentase omzet yang tertentu, 
yaitu satu persen seluruh pengeluaran untuk 
perlengkapan (equipages) ditambah satu persen 
keuntungan yang diperoleh dari dari penjualan 
muatan kapal-kapal yang kembali dari Asia 
ke negeri Belanda. Kedudukan selaku direktur 
berlaku untuk seumur hidup. Bila diangkat 
direktur baru, para partisipan sama sekali tidak 
memiliki hak bersuara. Para direktur diharuskan 
memiliki saham VOC yang jumlahnya minimal 
6.000 gulden (di Kamer Hoorn dan Enkhuizen 
3.000 gulden). Jumlah ini bisa dipandang sebagai 
uang jaminan. Bila terjadi salah urus atau 
penipuan, seorang direktur dapat dituntut untuk 
mempertanggungjawabkannya. Akan tetapi, oktroi 
mengandung ketentuan bahwa para direktur 
tidak bertanggung renteng atas hutang-hutang 
perusahaan. Sebaliknya, sebagaimana telah 
disinggung di atas, para direktur tidak mematuhi 
ketentuan-ketentuan oktroi yang menguntungkan 
para partisipan – yaitu pembayaran dividen 
dari hasil penjualan muatan kapal yang kembali 
dari Asia, dan pencairan modal awal setelah 
berlangsung sepuluh tahun. Singkatnya, oktroi 
memberi para direktur wewenang mengelola 
VOC, tetapi kewajiban-kewajiban mereka tidak 
seimbang dengannya, dan kewajiban itu pun tidak 
dipatuhi.
Dalam oktroi jumlah para direktur ditetapkan 
sebanyak 60 orang: 20 orang di Kamer Amsterdam, 
12 orang di Zeeland, dan 7 orang di setiap kamer
kecil. Dikarenakan pada saat pembentukan VOC 
di semua kamer, kecuali di Hoorn, jumlah para 
direktur lebih besar, untuk sementara waktu jika 
terjadi kelowongan tidak akan diangkat seorang 
direktur baru. Menurut prosedur pengangkatan 
direktur yang telah ditetapkan pada tahun 1602, 
Staten (pemerintah) seprovinsi (Holland atau 
Zeeland) berwenang memilih seorang direktur 
dari antara tiga orang yang dicalonkan oleh para 
direktur kamer yang bersangkutan. Ketentuan 
ini dicantumkan dalam oktroi atas desakan 
pihak Zeeland, tetapi tidak pernah diterapkan di 
daerah Holland. Beberapa hari sebelum oktroi 
VOC diresmikan, atas usul kota Amsterdam 
Staten daerah Holland menerima resolusi yang 
menyerahkan pemilihan seorang direktur dari 
tiga calon kepada para walikota kota-kota yang 
bersangkutan. Alasannya, menurut pemerintah 
kota Amsterdam para walikota ini sungguh￾sungguh mengetahui kualitas para calon.
Desakan pihak Zeeland agar pemilihan direktur 
disderahkan kepada Staten seprovinsi mungkin 
berdasarkan keinginan mencegah terjadinya 
persoalan dalam lingkungan sendiri. Situasi di 
Zeeland lebih rumit dibandingkan dengan di 
Holland. Di beberapa pra-kompeni yang berbasis 
Zeeland penduduk kota Veere dan Vlissingen ikut 
memiliki saham, dan pada tahun 1602 kota-kota 
ini tidak bersedia untuk begitu saja melepaskan 
bagian mereka dalam pelayaran ke Asia. Pada 
akhirnya, sesudah perselisihan yang panjang, 
kedua kota tersebut berhasil menduduki dua kursi 
masing-masing dalam direksi Kamer Zeeland. 
Hanya saja, pada tahun 1603 kota Veere sudah 
kehilangan satu kursi, yaitu ketika Direktur 
Balthasar de Moucheron (seorang pedagang 
terkemuka di Zeeland) melepaskan kursinya, 
sedangkan pada saat itu jumlah direktur masih 
melebihi jumlah yang ditetapkan dalam oktroi 
(13 lawan 12). Sesengit apa pun upaya Veere, 
bahkan setiap kali terjadi pemilihan direktur, 
kota kecil itu tidak berhasil lagi merebut kembali 
kursi yang hilang itu. Middelburg bersikeras 
untuk mempertahankan sembilan kursi yang telah 
mereka dapat dan didukung oleh pemerintah 
provinsi Zeeland. Staten Zeeland itu sampai tahun 
1646 memegang teguh hak pemilihan yang 
mereka punyai; sesudah itu hak itu beralih ke 
kota-kota, yang dalam hal kelowongan dalam 
direksi boleh mengisi kursi yang menjadi hak 
masing-masing.
Akibat prosedur tersebut terbentuk hubungan 
erat antara para anggota pemerintahan kota 
(regenten) dengan para direktur. Maka perselisihan 
antar-partai dan pembentukan kongsi-kongsi dapat 
dengan mudah menembus masuk ke dalam direksi 
kamer yang bersangkutan. Meskipun demikian, 
janganlah hendaknya hubungan tersebut 
membawa kita ke kesimpulan bahwa unsur 
saudagar dalam direksi lama-lama diganti oleh 
regenten. Khususnya di Amsterdam orang menjaga 
agar dalam direksi tetap terdapat orang-orang 
yang mengetahui seluk-beluk perdagangan. Salah 
satu dampak langsung prosedur pengangkatan 
direktur ialah berlimpahnya informasi mengenai 
pengangkatan direktur-direktur dalam arsip-arsip 
kota.
Di samping jumlah 60 direktur yang tercantum 
dalam oktroi tahun 1602, lama-kelamaan 
masuklah direktur-direktur dari luar kota-kota 
yang menjadi tempat kedudukan kamer
masing-masing. Jabatan direktur ‘luar biasa’ atau 
‘istimewa’ ini muncul akibat tuntutan-tuntutan 
yang diajukan oleh sejumlah provinsi setelah 
Staten-Generaal memberikan subsidi yang amat 
besar kepada VOC (1606). Berdasarkan keinginan 
mereka agar dapat mengawasi pemakaian dana 
tersebut, maka pada tahun 1613 dan 1614 provinsi-provinsi Gelderland, Utrecht, dan 
Friesland serta kota Dordrecht (sebagai kota 
pertama provinsi Holland, yang biasa mengetuai 
sidang Staten daerah itu) masing-masing mendapat 
hak mengangkat satu orang direktur. Tentang 
Dordrecht dapat dicatat bahwa pada tahun 1602 
kota itu sudah berdaya upaya untuk memperoleh 
pengaruh dalam kepengurusan VOC dengan cara 
mengusahakan penanaman modal oleh sejumlah 
besar penduduknya. Ternyata dua belas tahun 
kemudian ikhtiar itu terwujud. Dalam tahun 
1647, pada saat perpanjangan kedua oktroi VOC, 
Overijssel dan Groningen mendapatkan kursi 
dalam dewan direktur.
Kericuhan-kericuhan yang terjadi menjelang 
perpanjangan kedua oktroi VOC (1647) memberi 
beberapa kota di provinsi Holland peluang 
memperoleh kursi direktur. Sebenarnya pada 
tahun 1636 sudah timbul perselisihan antara 
Dordrecht, Amsterdam, dan Haarlem. Alasannya, 
kedudukan direktur luar biasa yang dimiliki kota 
tersebut pertama itu secara tidak resmi berubah 
menjadi kursi biasa, karena wakil kota Dordrecht, 
Elias Trip, selama masa jabatannya berpindah 
ke Amsterdam dan kemudian terhitung para 
direktur biasa dari kota besar itu. Setelah Trip 
meninggal dunia, Dordrecht ingin agar situasi 
ini dipertahankan. Keinginan ini ditentang oleh 
kota Haarlem, yang mengemukakan bahwa 
berdasarkan sistem kepangkatan

Related Posts:

  • penjajah belanda 1 Abad XVI merupakan abad terpenting dalam sejarah Barat, bahkan dalam sejarah umat manusia. Abad ini merupakan… Read More