Rabu, 12 Juli 2023

penjajahan di indonesia

Cornelis de Houtman tiba di Banten pada tahun 1595 dan berhasil 
membawa cukup banyak rempah-rempah ke negeri Belanda. Sejak saat itu
banyak perusahaan-perusahaan Belanda yang melakukan ekspedisi untuk 
mencari rempah-rempah Indonesia. Pada tahun 1601 empat belas buah 
ekspedisi yang berbeda diberangkatkan dari Belanda setelah armada dibawah 
pimpinan Jacob van Neck berhasil memperoleh keuntungan sebanyak 400 
persen pada tahun 1599.1
Banyaknya kedatangan para pedagang Eropa ke Indonesia menyebabkan 
persaingan yang sangat ketat antar pedagang dan perusahaan. Persaingan 
ketat antara perusahaan pelayaran niaga dalam mengklaim monopoli 
perdagangan di Asia, khususnya Nusantara menyebabkan keuntungan yang 
diperoleh merosot. Untuk mengatasi hal itu pihak pemerintah Belanda
memutuskan untuk menyatukan semua perusahaan pelayaran niaga tersebut 
dalam satu perusahaan saja. Pada tanggal 20 Maret 1602 dengan bantuan 
pemerintah masing-masing, dan intervensi keluarga Oranye (Pangeran 
Mauritz), Staten General mengeluarkan sebuah surat izin (Octrooi) pada 
Hal ini membuktikan bahwa wilayah Indonesia 
sudah mulai menjadi tujuan utama dan incaran tokoh imperialisme yang 
mencari keuntungan sebanyak-banyaknya demi industri negerinyasebuah perusahaan yang dinamakan Verenigde Oostindische Compagnie 
(Serikat Perusahaan Perdagangan di Asia Timur).2
Perkembangannya, Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) tidak 
hanya menciptakan jabatan Gubernur Jenderal untuk menangani secara lebih 
tegas lagi urusan-urusan VOC di Asia, tetapi juga mempunyai sebuah markas 
besar yang tetap yaitu di Jayakarta. Nama Jayakarta sendiri kemudian diubah 
menjadi Batavia3
 2 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah 
Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia (1700-1900).
Jakarta: Balai Pustaka, 2009, hlm. 29.
3 Batavia diambil dari nama suku bangsa Jerman Kuno di negeri 
Belanda, lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam 
Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia (1700-
1900). Jakarta: Balai Pustaka, 2009, hlm. 45.
setelah Jenderal Jan Pieterszoon Coen merebut Jayakarta 
dari Pangeran Wijayakrama. Pangeran Wijayakrama adalah seorang pangeran 
beragama islam yang memerintah Jayakarta sebagai wakil dari kerajaan 
Banten. 
Coen kemudian membangun benteng-benteng pertahanan dan 
membangun sebuah kota baru yang memiliki pola dan tata letak meniru kota￾kota di negeri Belanda di kota Batavia. Sejak saat itu Batavia menjadi pusat 
persekutuan dagang VOC untuk wilayah Hindia bagian timur. Pembangunan 
pusat pemerintahan Belanda di wilayah koloni ini menyebabkan mulai 
berdatangannya bangsa Belanda untuk mengadu nasib di negeri jajahan 
Nusantara.
Perkembangan VOC sejalan dengan pembangunan kota Batavia. VOC 
yang dibekali dengan hak istimewa4
, menjelma menjadi sebuah pemerintahan 
yang mempunyai struktur yang rapi bak sebuah negara bagian dari Kerajaan 
Belanda. Padahal pada awal pembentukannya, VOC hanyalah sebuah 
perusahaan yang dirancang untuk melakukan perdagangan secara monopoli 
antara Asia dan negeri Belanda. Pembangunan kota Batavia berjalan dengan 
sangat pesat. Jumlah penduduk kota Batavia meningkat sampai tiga kali lipat
dalam jangka waktu delapan tahun, meskipun pembangunan kota baru selesai 
pada tahun 1650.5
Penduduk yang terdapat di kota Batavia pada masa itu pun semata-mata 
terkait dengan kegiatan VOC yang monopolistik. Menurut R. Z. Leirissa 
penduduk kota Batavia pasa masa itu dapat dibagi menjadi enam katagori, 
yaitu:6
1. Pegawai dan tentara VOC;
2. Vrijburger atau bekas pegawai atau tentara VOC yang tidak mau 
kembali ke tanah airnya;
3. Mestizo atau orang yang berdarah campuran Belanda-Asia;
4. Mardijker atau bekas budak yang telah dibebaskan;
5. Orang-orang Asia (sebagian besar adalah orang Cina);
6. Berbagai etnis lain dari Nusantara.Kedatangan sejumlah pegawai-pegawai VOC ke Hindia Belanda inilah 
yang mempengaruhi lahirnya sistem pernyaian di Hindia Belanda khususnya 
di Pulau Jawa. Kebanyakan dari pegawai-pegawai Eropa itu datang ke Hindia 
Belanda sebagai perjaka. Alasannya adalah adanya peraturan yang tidak 
memperbolehkan untuk menikah, selain itu juga karena pegawai-pegawai 
Eropa baru tersebut belum mempunyai pendapatan yang memadai untuk 
menanggung sebuah keluarga Eropa. Mereka memang bermaksud untuk 
menikah dengan seorang wanita Eropa begitu mereka kembali ke tanah 
airnya. Karena itu perkawinan dengan wanita pribumi tidak biasa terjadi, 
walaupun bukan tidak pernah terdengar.7
The more well-to-do officials and estate-owners could have more than 
one concubine, at least at the beginning of the nineteenth century: Van 
Reede tot de Parkeler, Governor og Java’s Northeast Coast had 
twenty ‘favourites’, Van Bronckhorst, Resident of Juwana, had a 
‘serail’, and Van Lawick van Pabst, Commissioner of Native Affairs in 
Buitenzorg and the Priangan, was reported to have inspected his 
district with his concubines in attendance (all examples between 1800 
and 1810)
Diantara pegawai-pegawai Eropa 
tersebut memilih untuk tinggal dengan nyai pribumi sebagai gundikPernyataan Peter Boomgard diatas membuktikan bahwa pengambilan 
seorang nyai oleh para pegawai Eropa sangat digemari, mereka tidak hanya 
akan mengambil seorang nyai saja, tetapi bahkan lebih dari satu. Hal ini 
dipicu pemikiran bahwa memelihara seorang nyai dianggap lebih bermanfaat 
dan menguntungkan. Tidak semua orang Jawa bisa menganggap bentuk pernyaian ini sebagai hal yang tepat, tetapi perilaku ini tidak mengalami 
perlawanan secara terang-terangan.
Nyai merupakan lambang romantisme seksual yang memberi kunci 
suksesnya kolonialisme. Sampai abad ke 20, menurut dongeng orang-orang 
kaya Belanda yang menetap atau bertugas ke Hindia Belanda dinasehatkan 
selekas mungkin memelihara Nyai sehingga si “majikan” dapat mempelajari 
bahasa, adat istiadat, dan misteri di “Timur” dengan cepat.9
Politik Pintu Terbuka juga turut andil dalam mempengaruhi jumlah 
pegawai-pegawai Eropa yang datang ke Hindia Belanda. Pembangunan 
ekonomi dalam bentuk perkebunan-perkebunan, industri-industri manufaktur, 
maupun industri pertambangan mengakibatkan dibutuhkan lebih banyak lagi
tenaga kerja. Dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 mendukung migrasi 
para pegawai Eropa ke Hindia Belanda menjadi semakin mudah. Awalnya 
sebagian besar imigran Eropa terdiri atas golongan militer, yang besar kecil 
jumlahnya tergantung pada keadaan peperangan yang terjadi di Hindia 
Negeri “Timur” 
adalah sebutan untuk wilayah koloni di Asia Timur yang jaraknya sangat jauh 
dari negeri Belanda, memerlukan waktu yang sangat lama untuk dapat 
sampai ke sana. Selain menghabiskan banyak waktu dalam perjalanannya, 
kondisi wilayah koloni juga masih sangat jauh terbelakang bagi bangsa 
Belanda. Berbagai fasilitas publik yang sudah ada di Belanda tidak dapat 
dijumpai di sanaBelanda. Akan tetapi semenjak perdagangan, perkebunan, dan industri di 
Hindia Belanda mengalami pertumbuhan pesat di akhir abad 19 dan awal 
abad 20, maka kehadiran imigran para kapitalis dan profesional sipil Eropa 
semakin banyak jumlahnya.10
Sebenarnya praktik pernyaian sudah banyak terjadi di kalangan para 
pedagang Asia dan Portugis ketika jumlah kaum pria Belanda atau Eropa 
tidak sebanding dengan jumlah kaum wanita Belanda atau Eropa yang ada.
Meningkatnya arus kedatangan orang-orang 
Eropa ke Jawa baik sebagai pejabat pemerintah kolonial maupun sebagai 
pengusaha swasta penenaman modal pada industri perkebunan, telah 
menimbulkan derasnya arus modernisasi gaya hidup.
B. Kondisi Jawa pada Tahun 1870-1942
Jumlah kaum wanita Belanda atau Eropa yang jauh lebih sedikit 
mengakibatkan semakin maraknya praktik pernyaian pada masa 
pemerintahan Belanda di Hindia Belanda sejak dibentuknya VOC di Batavia. 
Memang harus diakui bahwa kebutuhan seksual menghadirkan nyai di daerah 
perkebunan, di dunia sipil, maupun dalam tangsi-tangsi militer.
Pada tahun 1870 hingga 1942 terjadi beberapa tahap peristiwa yang 
penting bagi negara Indonesia. Walaupun Negara Kesatuan Republik 
Indonesia belum terbentuk, namun pada sekitaran tahun inilah mulai terjadi 
perubahan besar bagi rakyat pribumi. Peristiwa awal adalah dihapuskannya cultuurstelsel12
1. Politik Kolonial Liberal
(Sistem Tanam Paksa) dan digantikan dengan politik kolonial 
Liberal. Politik kolonial Liberal ditandai dengan dikeluarkannya Undang￾Undang Agraria pada tahun 1870, kemudian disusul politik Ethis dan 
berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia pada 1942.
Tahun 1870 menjadi masa yang penting dalam perjalanan sejarah 
bangsa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa pada tahun ini menjadi tonggak 
awal modernisasi di Hindia Belanda khususnya di Jawa. Masa antara 1870 
sampai dengan 1900 dalam sejarah kolonial dilihat sebagai masa Liberal. 
Artinya masa dimana pemerintah melepaskan peranan-peranan 
ekonominya (Tanam Paksa, Monopoli rempah-rempah) dan menyerahkan 
eksploitasi ekonomi kepada modal swasta. Pemerintah hanya bertindak 
sebagai wasit atau penjaga keamanan yang dilakukan melalui birokrasi dan 
tentaranya.
Rakyat mengalami masa penderitaan sangat berat akibat 
Cultuurstelsel hingga tahun 1870, yang banyak merenggut nyawa rakyat 
Dimulai dari tahun inilah Hindia Belanda mengalami 
perubahan yang sangat besar, banyaknya pihak swasta yang datang ke 
Hindia Belanda membawa pengaruh modernisme dari berbagai negara. pribumi. Permasalahan yang timbul akibat Cutuurstelsel ini 
mengakibatkan munculnya pertentangan di negeri Belanda. Melalui sistem 
ini Belanda mengalami surplus keuangan tetapi ini tidak dibenarkan 
karena dianggap melakukan penindasan terhadap orang-orang Jawa dan 
Sunda. Penindasan ini dianggap tidak manusiawi karena mempekerjakan 
rakyat pribumi tanpa memberikan upah, rakyat pribumi diharuskan terus 
bekerja tanpa imbalan yang setimpal.
Tahun 1860, seorang mantan pejabat kolonial, Eduard Douwes 
Dekker menerbitkan sebuah novel yang berjudul Max Havelaar dengan 
nama samaran ‘Multatuli’.
Perdebatan yang terjadi antara kaum liberal yang menginginkan 
dihapuskannya sistem Tanam Paksa dan kaum Konservatif, akhirnya 
mencapai kesepakatan yaitu dengan dihapuskannya sistem Tanam Paksa 
ini sedikit demi sedikit. Kaum Konservatif merupakan kelompok yang 
tetap ingin mempertahankan sistem Tanam Paksa karena telah berhasil 
Buku ini mengisahkan tentang keadaan 
pemerintah kolonial atas penindasannya terhadap rakyat pribumi melalui 
sistem Tanam Paksa di Jawa. Ternyata buku ini menjadi senjata ampuh 
dalam menentang rezim penjajahan pada abad ke-19 di Jawa. Munculnya 
novel yang berlatar keadaan nyata rakyat Hindia Belanda telah 
memberikan opini masyarakat dunia khususnya kaum liberal. Tanam 
Paksa ini dianggap perbuatan yang telah melanggar hak-hak asasi 
manusia, hingga banyak mendapat kecaman dari berbagai pihak.memberikan keuntungan yang besar kepada negeri Belanda. Penghapusan 
dilakukan mulai dari komoditi yang paling sedikit mendatangkan 
keuntungan atau yang tidak menguntungkan sama sekali.
Perubahan besar terjadi dalam masyarakat pribumi setelah golongan 
liberal yang didukung oleh orang-orang borjuis menduduki posisi ekonomi 
dan politik yang kuat sampai dengan tahun 1880-an. kerja paksa kemudian 
dihapus dan digantikan dengan kerja bebas. Kepentingan politik golongan 
liberal membawa dampak ekonomi di wilayah koloni dengan didirikannya 
infrastruktur kolonial seperti jalan kereta api dan trem, dinas pos, bank, 
dan perusahaan swasta. Usaha golongan liberal berjalan lancar dan 
keuntungan juga diperoleh dengan mudah.15
Usaha golongan liberal mendapat jalan setelah pemerintah Hindia 
Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. 
Undang-undang ini pada dasarnya melarang penjualan tanah kepada orang 
asing tetapi mereka hanya diperkenankan menyewanya dalam waktu 75 
tahun.
Seiring dengan pembangunan 
yang dilakukan di Hindia Belanda, modernisasi mulai terasa di wilayah 
koloni. Modernisasi ini didukung dengan kedatangan para pegawai Eropa 
dalam jumlah banyak ke Hindia Belanda setelah dibukanya terusan Suez 
pada tahun 1869.
Setelah itu pihak-pihak swasta berbondong-bondong datang ke 
Hindia Belanda untuk membangun berbagai pusat ekonomi seperti perusahaan-perusahaan perkebunan (onderneming), industri-industri 
manufaktur, industri pertambangan, serta jaringan distribusi perdagangan. 
Sejak diterapkannya Undang-undang Agraria, terjadilah proses 
swastanisasi dan modernisasi perekonomian dalam masyarakat di Hindia 
Belanda.
Perkembangan sejak tahun 1870 menimbulkan banyak perubahan 
berikutnya. Jaringan komunikasi (jalan) lebih mendekatkan desa dengan 
pusat-pusat administrasi. Akibat sistem komunikasi ini adalah timbulnya 
interaksi yang lebih banyak antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. 
Selain itu timbul pula interaksi antara pulau yang satu dengan pulau 
lainnya, terutama antara Pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya. Manusia 
dan barang dapat diangkut dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif 
singkat dibanding dengan zaman-zaman sebelumnya. 
Maka semakin kuatlah peranan pengusaha ataupun investor 
swasta dalam perekonomian kolonial di Hindia Belanda.
Pulu Jawa yang merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda 
menjadi wilayah yang mengalami perubahan yang sangat besar. Hutan￾hutan dibabat dan digantikan dengan perkebunan-perkebunan yang 
didirikan di beberapa wilayah Jawa. Pabrik-pabrik gula dibangun dengan 
megah, rel kereta api, dan jalan raya yang menghubungkan antar kota 
semakin banyak hingga mobilisasi menjadi lebih mudah. Seiring dengan 
pembangunannya yang sangat pesat, Pulau Jawa berubah menjadi pusat 
kegiatan pemerintah Belanda di Hindia Belanda.
Sejak saat itu masyarakat kesukuan mulai membaur terutama di 
daerah-daerah perkotaan. Perpindahan penduduk dari pulau lainnya 
menuju pulau Jawa atau dari desa ke pusat-pusat perekonomian seperti 
perkebunan dan pabrik mengalami kenaikan tajam. Perpindahan penduduk 
ini dilakukan sebagian besar oleh laki-laki lajang yang bertekad ingin 
mendapatkan pekerjaan. Jumlah laki-laki lajang di perkebunan-perkebunan 
inilah yang menimbulkan adanya praktik pernyaian di perkebunan swasta. 
Orang-orang Belanda juga makin banyak dan makin sering dilihat di 
lingkungan pedesaan, jaringan administrasi makin diperluas ke daerah 
pedesaan. Ini berarti cara-cara pemerintahan Barat berangsur-angsur 
menggantikan segi-segi tertentu dari cara-cara pemerintahan tradisional. 
Tampak secara jelas bahwa sejak tahun 1870 modernisasi dan kemajuan di 
dalam kehidupan ekonomi merupakan akibat yang nyata, 
2. Politik Ethis
Fase penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia adalah 
dicetuskannya politik Ethis yang berdampak besar dalam pergerakan 
nasional Indonesia. Politik ini juga sering dinamakan Politik Etika, yang 
dicanangkan pada tahun 1901 oleh Van Deventer
 Orang sering mengaitkan timbulnya sistem Politik Etis dengan tulisan 
Van Deventer dalam majalah De Gids (Nomor 63, tahun 1899) yang berjudul Een 
Eereschuld atau “Hutang Budi”, lihat Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah 
Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai 
setelah Ratu Belanda 
melontarkan pernyataan bahwa negeri Belanda mempunyai kewajiban 
untuk mengusahakan kemakmuran serta pengembangan sosial dan
ekonomi penduduk pribumi.
Politik Ethis menggunakan tiga sila sebagai slogannya, yaitu Irigasi, 
Edukasi, dan Emigrasi.
Politik Ethis mencoba mengubah sistem 
liberal menjadi sebuah sistem yang dapat dijadikan media pemerintah agar 
dapat turut campur urusan-urusan masyarakat.
 Perkebunan tebu menghendaki irigasi yang 
intensif. Pabrik-pabrik yang banyak jumlahnya, kantor-kantor dagang, dan 
cabang-cabang perusahaan lainnya menyebabkan timbulnya kebutuhan 
manusia dan tenaga kerja yang lebih murah. Tenaga kerja ini dibutuhkan 
tidak hanya di Pulau Jawa tetapi di propinsi-propinsi luar Jawa, sebagai 
daerah-daerah baru yang dibuka untuk perkebunan modern. Perluasan dan 
pembesaran birokrasi pemerintah kolonial membutuhkan adanya lapisan 
pegawai-pegawai rendahan dalam lembaga pangreh praja (Binnenlands 
Bestuur) atau Departemen Dalam Negeri Pemerintahan Kolonial Hindia 
Belanda. Kebutuhan dan desakan kuat golongan Liberal dan Kaum Ethis 
mempercepat pemerintah kolonial untuk mendirikan sekolah-sekolah yang 
berderajat rendah bagi masyarakat pribumi.
Tersedia pada 
Pada akhir abad 19 mulai 
bermunculan sekolah pribumi atau sekolah desa, dan baru pada awal abad 
20 dibuka sekolah-sekolah tingkat menengah serta tingkat tinggi.Penerapan sistem pendidikan Barat semakin mempercepat laju proses 
modernisasi yang merubah secara struktural lapisan-lapisan sosial tertentu 
di masyarakat Jawa pada masa itu. Terbentuklah pola-pola hubungan 
sosial dalam jaringan yang baru karena proses industrialisasi, 
komersialisasi pertanian dan perkebunan, perubahan sistem birokrasi, 
urbanisasi, perluasan infra struktur, maupun mobilisasi sosial. Akhirnya 
stratifikasi tidak hanya terjadi dalam hubungan sosial, tetapi juga dalam 
lapangan pekerjaan. Pada jabatan-jabatan tertinggi dalam birokrasi 
pemerintahan diduduki oleh golongan masyarakat Eropa, sedangkan 
masyarakat pribumi terkonsentrasi pada jabatan-jabatan yang lebih rendah.
Pada awal abad ke-20, tingkat interaksi antara warga kulit putih 
dengan masyarakat pribumi yang semakin tinggi menyebabkan munculnya 
golongan Indo Eropa. Golongan tersebut merupakan hasil keturunan dari 
perkawinan campuran antara Belanda/Eropa asli dengan wanita pribumi 
yang berstatus gundik atau nyai.
 Golongan Indo secara yuridis formal 
termasuk dalam status golongan Eropa, akan tetapi pada kenyataannya 
golongan Eropa totok tidak mau dipersamakan statusnya dengan golongan 
mestizo ini. Masyarakat Indo sendiri dalam kehidupannya lebih 
berorientasi kepada budaya Eropa. Mereka berusaha mengingkari garis 
asal keturunan dari ibunya yang berasal dari masyarakat pribumi.Munculnya Pernyaian di Jawa
Praktik pernyaian pada masa penjajahan sudah bukan menjadi hal tabu 
lagi, status nyai bahkan menjadi idaman para gadis-gadis pribumi agar dapat 
merubah status sosialnya menjadi lebih tinggi. Walaupun masih ada 
sekelompok masyarakat dari kalangan pribumi maupun kalangan kolonial 
yang menentangnya. Terutama dalam masyarakat desa yang menganggap 
perkawinan adalah hal yang sangat penting bagi masyarakat yang tertata baik, 
harmonis, dan produktif. Seperti yang diungkapkan oleh Peteer Boomgard;In such a society concubinage, at least among the indigenous 
population, was taboo. Erlier writers do not mention it all, either 
because it was too absurd a notion, or because it had escaped their 
attention. Later no a number of authors stated that concubinage was not 
permitted, but other sources suggest that it was much in evidence. It 
could be that concubinage was restricted to specific groups: Poensen, 
whose material came from Kediri, mentioned it as a typical urban 
phenomenon, and Krawang, where the Resident reported the frequent 
occurrence of unlawful unions, had a large proportion of people 
engaged in fishing, slat-making, industry, commerce and trade. 
Concubinage, no doubt as much a source of trouble as the presence of 
many bachelors, may indeed have been virtually absent from most 
villages.
Masyarakat desa menginginkan suatu masyarakat yang harmonis seperti 
yang dijelaskan sebelumnya, memelihara seorang selir atau gundik dianggap 
sesuatu yang tabu. Sejumlah pengarang menyatakan bahwa memelihara selir 
atau gundik tidak diperbolehkan, tetapi sumber lain menunjukkan bahwa 
ternyata banyak yang melakukannya. Bahwa memelihara seorang nyai hanya 
terbatas pada kelompok tertentu. Di daerah perkotaan dan sejumlah tempat indutri, memelihara seorang gundik tidak dapat disangkal lagi, yang 
merupakan sumber keresahan bagi banyak laki-laki lajang.
Sejak awal abad 17 banyak pejabat-pejabat kolonial bahkan memelihara 
lebih dari satu nyai. Seorang gubernur pesisir laut Jawa dikatakan memiliki 
dua puluh orang perempuan “kesayangan” bangsa pribumi. Kemudian 
disebut-sebut pula nama pejabat lain yang memelihara nyai, yaitu Van Reed, 
Residen Juwana, Van Lawick, dan seorang pejabat Komisi Urusan Bumiputra 
di Buitenzorg. Semua contoh ini diambil dari tahun 1800-1810.
1. Jumlah Laki-laki Eropa atau Belanda Lebih Banyak Dibandingkan 
Jumlah Perempuan Eropa atau Belanda.
Terdapat beberapa penyebab mengapa praktik pernyaian tumbuh begitu 
kuat di tanah jajahan, antara lain;
Pada awalnya sistem pernyaian mulai marak di Batavia pada masa 
pemerintahan VOC meskipun sesungguhnya jauh sebelum Belanda 
tampil di Asia. Praktik pergundikan sudah banyak terjadi di kalangan para 
pedagang Asia dan Portugis ketika jumlah kaum pria Belanda atau Eropa 
tidak sebanding dengan jumlah kaum wanita Belanda atau Eropa yang 
ada.
Hal tersebut menjelaskan bahwa kaum pendatang dari Eropa adalah 
laki-laki, baik laki-laki yang masih bujangan atau laki-laki yang sudah 
berkeluarga tetapi tidak menyertakan istri dan anak-anaknya untuk ikut ke 
negeri jajahan. Menyertakan seorang istri Eropa dianggap akan menimbulkan kesulitan ekonomi maupun sosial bagi mereka nantinya di 
tanah koloni. Anggapan ini semakin memberikan alasan pegawai￾pegawai Belanda atau Eropa memilih berangkat sendiri ke daerah koloni 
tanpa didampingi oleh istri atau keluarganya. Mereka hanya ingin
mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, sehingga apabila pulang 
kembali ke negeri asal kelak dapat menikmati sisa-sisa umur mereka 
dengan berleha-leha bersama istri Eropa yang mereka dambakan.
Alasan lain para lelaki Eropa enggan membawa keluarga mereka ke 
daerah koloni adalah perbedaan iklim Eropa dengan daerah tropis seperti 
Indonesia yang mencolok. Selain itu, perjalanan melalui laut yang 
memakan waktu sangat lama, sekitar 7-10 bulan, dan melelahkan, bahkan 
terkadang disertai cuaca yang tidak baik dan penuh bahaya. Perjalanan 
seperti ini tentunya sangat berbahaya bagi seorang perempuan, apalagi 
perempuan Eropa yang sangat rentan dan tidak terbiasa dengan iklim 
tropis.
Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799, pemerintahan diambil 
alih oleh pemerintahan Hindia Belanda. Sistem eksploitasi dan monopoli 
peninggalan VOC tetap diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda 
dengan penyempurnaan kekuasaan di Nusantara. Perluasan tersebut baik 
dalam bidang ekonomi, politik, militer, maupun penyebaran agama 
Nasrani. Untuk kepentingan tersebut, maka dibutuhkan personil tambahan 
dalam militer dan pegawai sipil baik yang didatangkan dari negeri 
Belanda, Eropa lainnya, atau pun dengan jalan perekrutan tenaga pribumi.Pada abad ke-19, kota pelabuhan Batavia menyambut para pendatang 
dengan iklim kota yang buruk, kabut menggelantung rendah yang 
beracun, parit yang tercemar, dan penyakit-penyakit aneh dengan nama 
seram, seperti remitterende rotkoortsen (demam maut), roode loop
(berak-berak merah), febre ardentes, malignae et putridae, dan mort de 
chien (demam parah, jahat dan busuk, dan mati mendadak).26 Karena itu,
pendatang Eropa yang datang ke Batavia mayoritas adalah kaum laki￾laki, walaupun sudah ada peningkatan jumlah pendatang kaum 
perempuan Eropa dari sebelumnya.
Jumlah wanita asing yang tidak sebanding dengan jumlah lelaki 
asing di Hindia Belanda dapat dilihat dari sensus penduduk yang 
dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu. Berikut ini 
merupakan tabel sensus penduduk pada tahun 1860 hingga 1930.
Sensus penduduk yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda 
di Hindia Belanda pada tahun 1920 dan 1930 juga masih menunjukkan 
bahwa jumlah laki-laki Eropa lebih banyak dibanding perempuan Eropa.
Meskipun jumlah perempuan Eropa yang datang ke Hindia telah 
mengalami peningkatan, tetapi dalam hal jumlah laki-laki Eropa d Hindia 
Belanda lebih banyak. Dari tiga buku sensus penduduk Hindia Belanda 
oleh pemerintah Belanda dapat disimpulkan sebagai berikut.Batavia merupakan wilayah penting dalam pertumbuhan penduduk 
Eropa di Hindia Belanda. Kota yang yang menjadi pusat pemerintahan 
Belanda di wilayah koloni Hindia Belanda ini menjadi basis pertumbuhan 
penduduk Eropa. Terbukti jumlah penduduk Eropa di wilayah Jawa 
Barat, hampir 50 persen penduduk Eropa berada di Batavia. Batavia 
bukan hanya menjadi tempat peristirahatan bangsa Eropa yang datang ke 
Hindia Belanda, tetapi juga menjadi tempat menetap para kulit putih 
tersebut.
Jumlah perempuan di Batavia dari tahun 1920 sampai tahun 1930 
mengalami meningkatan, karena memang sejak dibukanya terusan Suez perempuan Eropa lebih banyak dikirim ke wilayah koloni. Dalam kurun 
waktu 10 tahun, jumlah perempuan meningkat tajam, dari 11.290 hingga 
15.243. Peningkatan jumlah perempuan Eropa yang datang ke Hindia 
Belanda ternyata masih belum bisa mengimbangi jumlah laki-laki Eropa. 
Jumlah kaum perempuan Eropa tetap lebih sedikit diantara jumlah laki￾laki Eropa.
Perbandingan jumlah perempuan Eropa dan laki-laki Eropa di Jawa 
Barat pada sensus penduduk tahun 1930 adalah sebagai berikut.Pada 4 tabel diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah lelaki Belanda 
atau Eropa jauh lebih besar daripada jumlah perempuan Belanda atau 
Eropa. Jumlah penduduk Eropa di atas telah ditotal dari jumlah penduduk 
Eropa di setiap kota di wilayah masing-masing, yaitu Jawa Barat, Jawa 
Tengah, dan Jawa Timur. Dari tahun 1920 hingga 1930 memang terjadi 
kenaikan jumlah penduduk perempuan Eropa di Pulau Jawa. jika 
dibandingkan pada awal kedatangan bangsa Eropa ke Hindia Belanda 
jumlah perempuan Eropa ini sangatlah berbeda. Dari tahun ke tahun 
terjadi peningkatan jumlah, hal ini didukung sejak tahun 1869 dibuka 
terusan Suez. Karena perjalanan menuju wilayah koloni di Asia menjadi 
lebih cepat dan lebih mudah, maka pengangkutan perempuan-perempuan 
Eropa ke wilayah Timur menjadi lebih besar jumlahnya.
Perbandingan jumlah laki-laki Eropa dan perempuan Eropa yang 
tidak seimbang, dimana laki-laki Eropa jauh lebih banyak mengakibatkan permasalahan tersendiri bagi laki-laki lajang yang berada di Hindia 
Belanda. Bagi seorang laki-laki Belanda atau Eropa, mempunyai istri 
seorang Belanda atau Eropa adalah dambaan. Karena kebutuhan 
perempuan Eropa tidak sebanding dengan jumlah lelaki Eropa, maka 
beberapa lelaki Eropa memilih untuk hidup bersama nyai atau gundik 
selagi menunggu seorang perempuan Eropa. Pengambilan seorang nyai 
ini menjadi solusi atas jumlah laki-laki Eropa dan perempuan Eropa yang 
tidak seimbang.
2. Peraturan gereja yang tidak memperbolehkan terjadinya pernikahan 
beda keyakinan.
Pada zaman kolonial hingga tahun 1848, keagamaan dipergunakan 
sebagai pedoman dalam hal-hal perkawinan campuran. Sesuai dengan 
struktur masyarakat yang terdapat pada waktu itu, agama yang dianut 
oleh penguasa, agama Nasrani, dijadikan pedoman atau pegangan.27
Agama Kristen merupakan trait d’union dalam masyarakat kolonial. 
Pemerintah VOC menginginkan penduduk yang penurut, sesuai dengan 
norma-norma Kristen sebagai penduduk Belanda di dalam Republik. 
Tugas gereja menjadi sangat kompleks, yaitu mencatat kelahiran, 
perkawinan, kematian, penyelenggaraan pendidikan dan kesejahteraan, 
semuanya termasuk di dalam tanggung jawabnya. Akibatnya gereja 
Agama digunakan untuk melindungi golongan Belanda. menjadi benar-benar berakar di dalam masyarakat, lebih dari yang diduga 
oleh para pengamat di abad ke-20.28
Proses peng-Kristenan bagi masyarakat pribumi pun diusahakan 
dengan mengeluarkan beberapa peraturan-peraturan serta iming-iming 
keuntungan. Pribumi yang telah bertaubat akan menerima tunjangan uang 
barang sedikit. Lebih dari itu, pemeluk-pemeluk Kristen pribumi tidak 
bisa dijual sebagai budak lantaran utang, dan budak-budak Kristen tidak 
bisa dijual kepada tuan-tuan budak yang tidak beragama Kristen. Hanya 
sesudah pindah agama perempuan pribumi bisa menikah dengan laki-laki 
Belanda atau Eropa.29
Sebelum tahun 1848 sebuah pernikahan antara seorang Eropa Kristen 
dengan seorang perempuan pribumi non-Kristen merupakan hal yang 
dilarang.
Bahkan dapat dikatakan bahwa orang golongan 
rendahan dapat beralih kepihak atasan dengan jalan memeluk agama 
Kristen ini.
Namun sesuai dengan perubahan zaman, lambat laun kriteria
agama dan larangan perkawinan campuran ini tidak dapat dipertahankan. 
Akhirnya pernikahan campuran bukan berarti dilarang sama sekali, hanya
menjadi hal tidak dikehendaki. Perkawinan campuran menjadi sebuah 
fenomena sosial yang banyak terjadi antara laki-laki Eropa denganperempuan pribumi dalam hubungan pergundikan. Hal ini sudah menjadi 
sesuatu yang wajar terjadi, tetapi kenyataannya segolongan masyarakat 
Eropa masih tetap menentang perkawinan campuran.
Seorang laki-laki Eropa Kristen harus menikahi seorang perempuan 
Kristen pula. Jadi jika laki-laki Eropa Kristen menginginkan menikah 
dengan seorang perempuan pribumi, perempuan tersebut haruslah 
beragama Kristen. Apabila perempuan tersebut adalah seorang budak, 
maka si lelaki harus menebus kemerdekaan perempuan pilihannya 
kemudian dibaptis, baru setelah itu boleh menjadi istri laki-laki 
bersangkutan. Sebagai ganti peralihan agamanya, ia memperoleh 
kewarganegaraan suaminya. Anak-anak mereka hanya boleh dibaptis jika 
ibu mereka orang Kristen yang aktif menganut agamanya.
Rezim 
semacam ini telah mendorong lahirnya hubungan tanpa ikatan antara laki￾laki Eropa dengan perempuan Asia.
Praktik pernyaian semakin diminati oleh lelaki Eropa ketika 
perempuan yang ingin mereka nikahi adalah seorang Islam. Perempuan￾perempuan pribumi yang beragama Islam lebih enggan untuk pindah 
agama ke Kristen. Karena keadaan itu, banyak lelaki Eropa yang tak 
pernah menikahi secara resmi perempuan pribumi, melainkan hidup 
dengannya sebagai gundik atau nyai.
3. Memelihara seorang nyai dianggap lebih mudah dan menguntungkan 
dibandingkan menikah secara resmi dengan seorang perempuan 
pribumi.
Pegawai-pegawai Eropa yang datang ke daerah koloni di Asia berarti 
mempunyai tekad dan keberanian yang sangat tinggi. Selain melalui 
perjalanan laut yang sangat jauh hingga berbulan-bulan, perbedaan iklim 
dengan negara asal yang sangat mencolok menjadi satu tantangan berat 
tersendiri. Tidak hanya perbedaan iklim saja, tetapi perbedaan bahasa, 
adat, dan budaya antara negara asal dengan daerah koloni menjadi alasan 
seorang pegawai Eropa harus berpikir matang untuk mau dikirim ke 
daerah koloni tersebut.
Obsesi mengumpulkan harta sebanyak mungkin menyebabkan 
seorang pegawai Belanda atau Eropa tidak hanya sekedar tinggal 
beberapa bulan lamanya di tanah jajahan. Pegawai Eropa akan meniti 
karirnya hingga bertahun-tahun bahkan bisa saja seumur hidup, karena itu
mereka harus bisa beradaptasi dengan lingkungan baru di tanah jajahan, 
Hindia Belanda. Keadaan dipersulit karena kebanyakan dari mereka 
datang sendiri tanpa didampingi seorang istri atau pun keluarga. Sebagian 
besar pegawai Eropa yang datang adalah seorang bujangan. Akhirnya 
mereka harus berjuang sendiri di tanah baru yang sangat berbeda dengan 
negara asal mereka yang sudah maju. Tanah jajahan di Asia oleh orang￾orang Eropa dianggap daerah terbelakang dan sangat minim fasilitas.Memilih hidup membujang di tanah koloni dianggap sebagai 
keputusan yang tepat mengingat kondisi finansial para pegawai Eropa ini 
belum memungkinkan untuk menanggung sebuah keluarga. Apalagi 
sebuah keluarga yang bergaya hidup Eropa yang senang dengan 
kemewahan. Fasilitas-fasilitas hidup di tanah jajahan seperti sekolah 
untuk anak-anak yang sangat terbatas, kondisi rumah sakit, dan tempat￾tempat hiburan juga tidak sesuai dengan ukuran kehidupan orang Eropa. 
Alasan tersebut semakin memperkuat alasan seorang pegawai Eropa 
memilih untuk tidak menikah.
Bukan berarti para pegawai Eropa ini tidak membutuhkan bantuan 
orang lain untuk mengurus rumah dan melayaninya dalam kehidupan 
sehari-hari. Untuk mengatasinya mereka biasanya mengambil seorang 
perempuan pembantu rumah tangga dari kalangan pribumi. Semakin 
lama, perempuan pribumi itu tidak hanya membantunya dalam mengurus 
rumah tangga, tetapi juga melayani kebutuhan biologis sang tuannya. 
Perempuan-perempuan pribumi inilah yang dipanggil dengan nyai. 
Memelihara nyai dianggap lebih mudah dan menguntungkan 
daripada menikah secara resmi dengan seorang perempuan Eropa. 
Memelihara nyai lebih mudah untuk ditinggalkan dan dapat diperlakukan 
sekehendak hati. Nyai juga dapat dimanfaatkan dalam hal menjaga 
kesehatan tuan Eropanya dibandingkan dengan jika harus berhubungan 
dengan pelacur yang tidak terjamin kebersihannya dari berbagai macam 
penyakit kelamin menular seperti syphilis, gonorhae dan sebagainya. Hal ini dikarenakan semakin maraknya praktik pelacuran di masa itu yang 
ditandai dengan bertambah banyaknya jumlah kompleks pelacuran 
terutama di sekitar barak-barak tentara Belanda. Memelihara nyai juga 
dianggap lebih terhormat bagi seorang pejabat tinggi dibandingkan jika ia 
berkunjung ke kompleks pelacuran.
Jelas bahwa pengambilan seorang nyai atau perempuan pribumi 
pada waktu itu sangat menguntungkan bagi seorang pegawai koloni di 
tanah jajahan. Namun kelemahannya dalam paparan keuntungan diatas 
adalah bahwa hubungan pernyaian haruskan dilandasi atas ketertarikan 
antara keduanya. Padahal hanya sedikit hubungan pernyaian yang 
didasari atas rasa cinta antara laki-laki Eropa dengan perempuan 
pribumi. Hubungan yang terjadi dalam praktik pernyaian adalah 
mutualisme. Baik lelaki Eropa-nya maupun perempuan pribuminya 
mendapatkan keuntungan, walaupun memang tidak sebanding tentunya 
lebih banyak keuntungan untuk sang lelaki Eropa.
Reggie Baay (2010:4) menjelaskan dalam bukunya dengan lebih 
rinci:
Gubernur Jenderal yang memimpin dari 1650 sampai 1653, Carel 
Reyniersz, dan penggantinya, Joan Maetsuyker, merupakan 
pendukung kuat perkawinan antara pegawai VOC dengan 
perempuan Asia atau Eurasia. Menurut mereka ada berbagai 
keuntungan dari hal tersebut. Para perempuan Asia lebih 
menguntungkan daripada perempuan-perempuan Eropa karena biaya 
pelayaran perempuan Eropa tentu harus ditanggung oleh laki-laki 
sendiri. Keterikatan dengan tanah kelahiran membuat para 
perempuan pribumi ingin tetap tinggal di Timur sehingga mereka 
pasti akan membujuk suaminya mereka untuk hal serupaJelas bahwa pengambilan seorang nyai atau perempuan pribumi 
pada waktu itu sangat menguntungkan bagi seorang pegawai koloni 

Jika dibandingkan dengan perempuan Belanda atau Eropa, 
perempuan Asia (dalam hal ini adalah pribumi) tidak terlalu serakah. 
Memperoleh gaji yang kecil pun mereka sudah puas, dengan demikian 
bahaya akan para pegawai untuk memperkaya diri dengan jalan korupsi 
dianggap berkurang. Perkawinan campuran ini akan menghasilkan 
anak-anak kelak, dimana laki-laki akan menjadi calon pegawai dan 
anak perempuan akan menjadi calon pengantin idaman bagi angkatan 
baru pegawai dari Belanda.
Kehadiran nyai pribumi juga dimanfaatkan untuk memperoleh 
pengetahuan mengenai kebudayaan Melayu, baik dalam bidang bahasa, 
kebiasaan, maupun adat istiadatnya.
Dalam dunia perdagangan 
maupun pergaulan resmi, seorang Belanda atau Eropa mau tidak mau 
harus berhubungan dan berinteraksi dengan penduduk pribumi. 
Hadirnya seorang nyai dapat membantunya untuk mengerti dan 
menyelami kehidupan masyarakat serta alam pikiran bangsa Indonesia. 
Seorang nyai merupakan kamus berjalan tentang budaya pribumi bagi 
tuan Eropanya. Keuntungan lainnya adalah diperoleh pengetahuan 
mengenai obat-obatan tradisional dari seorang nyai. Nyai dapat 
membantu para tuan Eropa menghadapi ancaman serangan penyakit 
tropis karena masih terbatasnya jumlah obat-obatan yang ada. Bahkan 
saat menderita sakit ringan, orang Eropa umumnya akan lebih 
mengggunakan obat-obatan tradional daripada berkonsultasi pada dokter yang mendalami ilmu kedokteran Barat. Ahli obat-obatan 
tradisional dari tanaman atau akar alami, baik yang betul-betul ahli atau 
hanya sekedar pengetahuan secara turun temurun, sebagian besar 
adalah seorang perempuan.
Melalui para nyai, orang-orang Belanda atau Eropa mendapat 
kesempatan untuk tetap bertahan di lingkungan yang baru.34 Melalui 
bantuan para nyai itu pula tuan-tuan Eropa memperoleh pengertian 
tentang kehidupan masyarakat serta alam pikiran bangsa Indonesia. 
Selain itu kita perlu tahu bahwa nyai juga berperan sebagai agen 
budaya. Nyai menjadi sebuah mata rantai antara dua kelompok 
masyarakat di mana ia memindahkan pengetahuan kebudayaan secara 
spesifik dan nilai-nilai serta perilaku atau tabiat dari satu kelompok 
masyarakat kepada kelompok masyarakat lainnya,35
Terdapat satu kelebihan lain ketika seorang laki-laki Eropa memilih 
hidup bersama seorang perempuan pribumi, hal ini merupakan kenyataan 
pahit yang harus diterima oleh pemerintah Hindia Belanda yang melarang 
adanya pernyaian. Perkawinan suami istri Belanda di Hindia ternyata 
sering mandul, keguguran dan kematian anak-anak sering terjadi. Heren 
XVII menambahkan “padahal sebaliknya yang kita jumpai manakala laki￾laki kita mengawini perempuan pribumi lahirlah anak-anak yang kuat dan tegap serta panjang umur”. Angka kematian rata-rata para perempuan 
Eropa di daerah Timur jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kaum laki￾laki Eropa.
D. Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap Praktik Pernyaian
Kedatangan bangsa Barat ke Nusantara, baik sejak bangsa Portugis, 
Spanyol, Belanda, hingga Inggris tidak dapat dilepaskan dari munculnya nyai,
seorang perempuan pribumi yang hidup bersama lelaki Eropa dalam hubungan 
pernyaian. Tumbuh kuatnya praktik pernyaian di Hindia Belanda bukan 
berarti karena didukung oleh pemerintah maupun masyarakat. Justru 
dikarenakan beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada 
waktu itu yang kemudian mempengaruhi pesatnya pertumbuhan pernyaian 
hingga berabad-abad lamanya.
Peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan dari pemerintah Hindia 
Belanda pun sering berubah-berubah dan tidak konsisten. Ada masanya 
praktik pernyaian benar-benar ditentang dengan keras, namun dengan alasan 
menguntungkan pihak kolonial praktik pernyaian tidak dilarang atau bahkan
dianjurkan. Kebijakan yang berubah-ubah itu tentunya dilihat dari sudut 
pandang keuntungan yang diperoleh oleh pihak kolonial.
Telah dijelaskan bahwa fenomena pernyaian muncul jauh sebelum VOC 
didirikan, yaitu pada masa kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol ke 
Nusantara pada abad ke 16. Dapat dikatakan bahwa pernyaian adalah wajah 
utama dalam masyarakat kolonial Portugis. Tetapi mutlak hal itu harus terjadi, 
karena jumlah perempuan Portugis yang dikirim ke Timur sangatlah sedikit. Pemerintah Portugis justru menggalakkan perkawinan serdadu-serdadu 
dengan perempuan-perempuan setempat sejak sekitar tahun 1505 sampai 1515 
semasa Rajamuda Dom Fransisco de Almeida dan penggantinya, Alfonso de 
Albuquerque.36
1. Kebijakan Jan Pieterszoon Coen terhadap Praktik Pergundikan
Pernyaian semacam ini masih bertahan hingga datangnya 
bangsa Belanda ke Nusantara.
Jan Pieterszoon Coen adalah pendiri Batavia setelah pada tahun 1619 
Djakarta berhasil diduduki oleh VOC. Coen adalah Gubernur Jenderal 
VOC pada saat itu. Jabatan Gubernur Jenderal adalah sorang pemimpin 
umum yang berkuasa dan mengurus semua kepentingan VOC di Asia. 
Setelah mendirikan Batavia, Coen berusaha untuk membangun koloni 
kulit-kulit putih di tanah jajahan. Berbeda dengan usaha pemerintah 
Portugis yang menggalakkan perkawinan para serdadu dengan perempuan￾perempuan pribumi untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja di Asia dan 
membangun sebuah koloni di tanah jajahan, Coen tidak terlalu berharap 
dari serdadu-serdadu. Bagi Coen, para serdadu bukanlah jenis yang tepat 
untuk pembangunan sebuah koloni. 
Maraknya pernyaian pada masa itu yang terjadi di kalangan lelaki 
Belanda atau Eropa dengan perempuan pribumi sangat ditentang dan 
dibenci oleh Coen karena dianggap sebagai tindakan yang tidak pantas.
Coen memang seorang yang terkenal sangat keras terhadap pelanggaran seksual.37 Kekerasannya ini terlihat pada sebuah kasus skandal seks di 
kalangan kastil Batavia, yakni hubungan gelap antara seorang serdadu 
bawahan berbangsa Belanda dengan Sara Specx, putri Jacques Specx38
dari selir Jepangnya. Ketika skandal tersebut terbongkar, serdadu yang 
melakukannya dihukum mati, sedangkan Sara Specx dihukum cambuk di 
muka umum.
Coen menganggap bahwa perkawinan campuran yang terjadi antara 
orang Belanda atau Eropa dengan orang pribumi bukanlah jalan yang tepat 
untuk membangun sebuah koloni kulit putih di tanah jajahan. Dalam 
beberapa suratnya yang ditulis untuk dewan pengurus di Amsterdam, Coen 
menguraikan gagasannya mengenai bagaimana mengisi kota Batavia. 
Ditegaskannya bahwa ia terpaksa mengambil langkah sementara dan 
membeli perempuan-perempuan budak dari pantai India, karena pengurus 
agaknya tak berminat untuk membangun sebuah koloni.
Menurut Coen, perempuan adalah prasyarat dalam berdagang, “dasar 
negara di Hindia. Jika perempuan tersedia pasar-pasar perdagangan Hindia 
adalah milik Anda”, tulisnya kepada Heren XVII (Opkomst IVxxxiv).41Maka, Coen meminta kiriman anak-anak gadis serta mengusulkan agar 
banyak keluarga Belanda dari kalangan yang baik-baik untuk beremigrasi 
ke Batavia. Bersama keluarga dan anak-anak mereka ini disertakan pula 
sekitar empat sampai lima ratus anak laki-laki dan perempuan berusia 10 
sampai 12 tahun, yang diambil dari semua rumah-rumah yatim-piatu di 
Verenigde Provincien, dengan perbandingan antara anak laki-laki dan 
perempuan diusulkannya 2:1.42
Coen memahami bahwa para laki-laki dalam wilayah jajahan harus 
memperoleh alternatif mendapatkan pasangan hidup selain dengan 
melakukan praktik pergundikan. Coen menganggap pernyaian sebagai 
penyebab dari timbulnya kasus pengguguran kandungan, pembunuhan 
bayi, dan terkadang aksi peracunan terhadap si tuan Eropa yang dilakukan 
Para yatim-piatu Belanda tersebut memenuhi kriteria Coen untuk 
membangun masa depan koloni. Coen mendukung terciptanya wilayah 
pendudukan permanen bagi imigran dari Belanda. Bersama para pedagang 
dan serdadu, para imigran dapat membentuk kelompok masyarakat yang 
akan memberi tempat bagi para petani, pengrajin, agamawan dan guru. 
Para yatim-piatu, baik laki-laki maupun perempuan, menurut Coen sangat 
cocok untuk menjadi penduduk baru di daerah koloni karena tidak 
mempunyai keluarga maupun ikatan dengan tanah air mereka. Karena itu, 
akan lebih mudah bagi mereka untuk mengikat diri dengan tempat tinggal 
di dalam koloni.oleh gundik yang cemburu. Ia pun meminta calon-calon pengantin 
perempuan kulit putih kepada Heren van de Compagnie.

Tahun 1620, barulah Hereen XVII mengabulkan permintaan Coen 
ditandai dengan adanya pengiriman sejumlah perempuan Eropa melalui 
kapal-kapal laut ke wilayah Timur.
Calon-calon pengantin perempuan kulit yang diminta oleh Coen 
haruslah para gadis atau perempuan muda yang berkelakuan baik dan 
diutamakan yang pernah dididik dengan ketat dip anti asuhan. Sebelumnya 
sudah banyak wanita lajang dibawa ke Hindia Belanda. Mereka 
diwajibkan untuk menikah dengan para pegawai VOC di Timur dan 
sebagai gantinya mereka mendapat pelayaran gratis beserta mas kawin. 
Gagasan tersebut pada awalnya tidak mendapat tanggapan dari Hereen 
XVII sehingga Coen harus merintis sendiri usahanya dengan jalan 
membeli perempuan-perempuan budak dari pantai India.
Anak-anak perempuan ini 
ditempatkan pada keluarga-keluarga, atau di sekolah-sekolah khusus yang 
dibiayai kompeni dan di sanalah mereka diasuh, dirawat, dididik, dan 
diajar sampai menjadi akil balig dan dapat dikawinkan dengan calon suami 
yang baik, agar dari perkawinan mereka itu bisa diturunkan keluarga￾keluarga yang terhormat. Gagasan pokok rencana ini ialah agar semua 
sifat-sifat baik keluarga Belanda dan kaum wanita Belanda khususnya, misalnya kesopanan, kebersihan dan kesalihan. Usaha ini dilakukan agar 
bisa mendesak istri-istri dari keturunan Asia atau Indo yang sudah di sini.
Permintaan dan peraturan-peraturan oleh Coen ternyata tidak terlalu 
efektif. Jumlah pergundikan di wilayah pendudukan tidak berkurang 
secara signifikan. Maka Coen mengeluarkan larangan bagi kaum lelaki 
Belanda atau Eropa untuk menikahi kaum perempuan pribumi seperti yang 
tercantum pada Regering bij Plakaat pada tahun 1625.
Sesudah masa Gubernur Jenderal Coen, sanksi terhadap hubungan di 
luar perkawinan yang sah pun sangat longgar.
Larangan Coen 
ternyata tidak dapat menghapus pergundikan di Hindia Belanda, 
kebutuhan biologis telah mengalahkan kebijakan pemerintah. Pergundikan 
baru benar-benar hilang berabad-abad setelah kepemimpinan Coen, yaitu 
seiring dengan perginya bangsa Eropa dari Indonesia.
2. Peraturan Kolonial tentang Perkawinan Campuran
Ketika masa kompeni 
berganti dengan masa pemerintah Hindia Belanda, pernyaian semakin 
meningkat. Kedatangan laki-laki Eropa dalam jumlah besar telah 
memperpanjang sejarah pernyaian di Hindia Belanda.
Peraturan perkawinan campuran di Hindia Belanda diatur dalam 
Staatsblad 1898 No. 159. Beslit Kerajaan 29 Desember 1896 No 23, S 
1898/158. Peraturan tersebut memberikan definisi sebagai berikut; 
perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang dibawah hukum yang berlainan yang ada di Indonesia. Hukum yang 
berlainan ini antara lain disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, 
kependudukan dalam berbagai wilayah, golongan rakyat, tempat 
kediaman, atau agama. Maka perkawinan campuran dibedakan menjadi 
beberapa jenis, yaitu perkawinan campuran internasional, perkawinan 
campuran antar-regio, perkawinan campuran antar-tempat, perkawinan 
campuran antargolongan, dan perkawinan campuran antar-agama.
Praktik pernyaian yang terjadi antara laki-laki Eropa dengan seorang 
perempuan pribumi tentu adalah sebuah perkawinan campuran. Karena 
keduanya dipisahkan tidak hanya karena perbedaan ras dan 
kewarganegaraan saja, tetapi golongan dan agama yang berbeda. Hukum 
kolonial tentang perkawinan campuran ini merupakan salah satu peraturan 
yang dikeluarkan untuk menanggapi banyaknya perkawinan laki-laki 
Eropa yang ada di Hindia Belanda dengan perempuan pribumi, baik itu 
yang dimulai dengan hubungan pernyaian atau pun tidak.
Penulis akan hanya membahas lebih lanjut tentang perkawinan 
campuran antaragama, perkawinan campuran antargolongan, dan 
perkawinan antara orang-orang yang berkewarganegaraan berbeda. Hal ini 
dikarenakan mengingat bahwa bagi Indonesia sebagian besar terjadi
hubungan semacam ini.
1) Perkawinan Campuran antartempat (interlocaal)
Perkawinan campuran antartempat dimaksudkan terutama 
perkawinan antara orang-orang Indonesia sendiri yang berasal dari suku bangsa atau daerah yang berlainan dan hidup dalam berbagai 
lingkungan hukum. Misalnya perkawinan antara orang Batak dengan 
perempuan Sunda, seorang Jawa dengan wanita Lampung, dan 
sebagainya.
2) Perkawinan Campuran Antaragama (interreligieus)
Mengenai perkawinan antara mereka dari satu golongan rakyat 
tetapi berlainan agama, termasuk istilah perkawinan campuran dari 
GHR48
Agama dipakai untuk melindungi golongan Belanda. Seorang 
Kristen tidak dapat menikah dengan seorang bukan Kisten. Karena tak 
sesuai dengan keadaan zaman, pendirian ini dilepaskan dengan 
diterimanya pasal 15 Ov
. Dalam zaman kompeni hingga tahun 1848, keagamaan 
dipergunakan sebagai pedoman dalam hal-hal perkawinan campuran. 
Sesuai dengan struktur masyarakat yang terdapat pada waktu itu, 
agama yang dianut oleh penguasa adalah agama Nasrani, yang 
kemudian dijadikan pegangan.
 Bahwa perbedaan agama tak 
dapat dipergunakan sebagai larangan terhadap suatu perkawinan 
campuran. Sumber lain dari perkawinan campuran antaragama adalah 
Ordonansi Perkawinan Indonesia Nasrani Djawa, Minahasa, dan 
Amboina, S. 1933/74 (HOCI). Bahwa GHR berlaku pula untuk perkawinan orang-orang Kristen dengan bukan Kristen segolongan 
rakyat Indonesia.
Agama Nasrani dapat dianggap sebagai agama yang dianut oleh 
kasta tertinggi dalam masyarakat Hindia Belanda sebelum perang. 
Agama Nasrani dapat menggantikan status keturunan, orang golongan 
rendahan dapat beralih ke pihak atasan dengan jalan memeluk agama 
Kristen. Orang Indonesia Kristen seolah-olah berdiri pada perbatasan 
antara golongan. Jarak pemisah antara orang Eropa dan Indonesia 
Nasrani tidak begitu jauh. Posisi agama di sini dianggap sesuatu yang 
penting untuk menentukan status sosial bagi masyarakat Eropa. 
Seorang pribumi Kristen akan lebih mendapatkan posisi di mata 
masyarakat Eropa, begitu pula dalam hal perkawinan. Praktik 
pergundikan menjadi semakin berkembang juga karena larangan 
menikahi perempuan pribumi non-Kristen. Karena dipersulit untuk 
melaksanakan sebuah perkawinan, seorang laki-laki Eropa Kristen dan 
seorang perempuan pribumi Muslim memilih untuk hanya berada pada 
hubungan pergundikan.
3) Perkawinan Campuran Antargolongan (intergentiel)
Antargolongan diartikan dalam antar kasta, mengingat masyarakat 
kolonial adalah masyarakat kasta. Istilah kasta dalam ilmu sosiologi 
dipergunakan untuk menunjukkan adanya bendungan-bendungan yang 
hamper tak dapat ditembus dan menghalang-halangi kenaikan sosial
dari seseorang. Bendungan yang dimaksudkan ialah color line, ciri universal pertama dari kolonialisme. Tembok ini adalah alas dari 
segenap masyarakat kolonial. Penduduk asing yang menjajah terpisah 
dari rakyat asli oleh tembok sosial yang tebal serta tinggi, yang hampir 
tidak dapat dilewati.
Akibat dari adanya tembok-tembok pemisah ini, masyarakat 
kolonial menyolok mata karena hanya sedikit hubungan sosial (sosial
contact) antara kasta yang dijajah dengan kasta penjajah. Dalam 
pergaulan sehari-hari, di jalan-jalan, perkumpulan dan tempat-tempat 
bertamasya nampak dengan tegas, distansi antara golongan pribumi 
dan bangsa kulit putih. Sifat ini adalah suatu corak pula dari 
masyarakat kolonial. Corak-corak ini dapat dikatakan ada pada tiap￾tiap masyarakat jajahan, meskipun dengan berbagai variasi. Hal 
tersebut juga terdapat dalam masyarakat Hindia Belanda, khususnya 
dalam abad ke-19.
Di Hindia Belanda pada zaman itu nampak tiga kasta yang hidup 
agak terpisah satu sama lain, yaitu kasta Eropa, kasta Timur Asing, dan 
kasta Inlanders (pribumi). Kasta Eropa diliputi dengan perlindungan, 
sistem hormat, kemewahan yang diperlihatkan, dengan banyak emas 
dan bordiran-bordiran, patung-patung, dan tanda-tanda kehormatan, 
bahasa Belanda yang hanya boleh dipergunakan oleh orang Belanda, 
pakaian dan kelakuan yang tidak dapat dipergunakan oleh kasta-kasta 
lain. Kasta Eropa juga identik dengan perkumpulan-perkumpulan 
eksklusif, tempat-tempat umum seperti penginapan-penginapan, dan pemandian-pemandian yang hanya menerima orang-orang Eropa, 
penghargaan yang berlebihan.
Cukup jelas bahwa dalam suasana demikian dengan batas-batas 
ras yang begitu kokoh dan kaku serta sedikitnya kontak sosial dari 
individu kasta-kasta yang satu dengan yang lainnya. Hal ini terjadi 
karena dianggap menyalahi hubungan antar kasta, maka perkawinan 
campuran secara terang-terangan tidak banyak terjadi. Seorang Eropa 
yang mengadakan perkawinan campuran tak dipandang lebih lama 
oleh golongannya. Jika seorang Eropa hendak mengadakan hubungan 
tetap dengan seorang perempuan Indonesia, ia tidak mengawininya, 
melainkan diambilnya sebagai nyai. Baru jika ia mengundurkan diri 
dari pergaulan masyarakat, dalam kepentingan anaknya dan supaya 
memperoleh pensiun janda, seorang Eropa tersebut berpikir untuk 
mengesahkan pergaulan campuran itu di hadapan umum.
Hal ini terjadi karena adanya keberatan-keberatan sosial yang 
nyata di kalangan kasta Eropa jika ada seorang dari mereka berbaur 
apalagi melakukan perkawinan dengan kasta yang paling rendah, 
pribumi. Keberatan-keberatan tersebut dapat berupa resiko pemecatan 
dari jabatan-jabatan tinggi, misalnya terdapat seorang dokter militer 
pandai berpangkat kolonel, karena kawin dengan “ibu dari anak￾anaknya”50
 50 Istilah “ibu dari anak-anaknya” digunakan untuk menyebutkan 
seorang nyai, bahwa ia bukan isteri yang sah bagi Tuan Eropa-nya tetapi seorang 
nyai melahirkan anak-anak dari Tuan Eropanya tersebut.
telah dipecat dari kedudukannya. Seorang residen yang
hilang pamornya karena “ibu dari anak-anaknya” ini bertindak terang￾terangan sebagai isterinya pada resepsi-resepsi dan pertemuan￾pertemuan resmi hingga timbul ketegangan diantara isteri-isteri Eropa 
dari pejabat-pejabat pegawai negeri setempat.
Hanya lapisan-lapisan bawah dari kasta Eropa yang 
memberanikan diri untuk menikah dengan “ibu dari anak-anaknya”, 
mengingat tindakan ini seolah-olah merupakan penumpasan diri bagi 
kehidupan mereka. Perkawinan ini diatur dalam KB tanggal 29 
Desember 1896 (S. 1896-158) yang telah beberapa kali diubah. Pasal 2 
KB tersebut menentukan bahwa seorang perempuan yang 
melangsungkan perkawinan campuran sejak saat perkawinannya itu 
mengikuti status suaminya, jadi seorang perempuan bukan Eropa yang 
kawin dengan seorang dari golongan Eropa, selama dalam 
perkawinannya tunduk pada hukum yang berlaku untuk suaminya, 
baik dalam hukum publik maupun dalam hukum sipil/perdata.51
Sedangkan perkawinan campuran antara perempuan-perempuan 
Eropa dengan lelaki bukan Eropa lebih jarang terjadi. Budaya 
patrilineal yang kuat di Hindia Belanda memaksa seorang perempuan 
Hal 
inilah yang dianggap perkawinan campuran dengan seorang 
perempuan pribumi dianggap akan mengotori ras totok yang sangat 
menjunjung tinggi prinsip rasial mereka.
Eropa yang harus ikut dalam kasta Inlander ketika ia berani melakukan 
perkawinan campuran dengan seorang lelaki Inlander. Bahkan 
perubahan status ini tetap berlaku setelah perkawinan itu terputus, 
apabila ia dalam waktu satu tahun setelah perceraian itu tidak 
menyampaikan pernyataan kepada Kepala Pemerintah setempat 
dimana ia bertempat tinggal, bahwa ia ingin kembali ke status 
semula.Menjelang akhir abad ke-18, VOC mengalami masa-masa 
kemunduran. Kemunduran VOC diakibatkan pelbagai permasalahan 
yang terdapat pada VOC sebagai sebuah perusahaan dagang. Salah satupermasalahan serius yang dialami oleh VOC ialah maraknya praktik 
korupsi di kalangan pegawainya. Praktik korupsi ini terjadi akibat dari 
rendahnya upah yang diterima oleh para pegawai VOC. Praktik korupsi 
yang dilakukan oleh para pegawai VOC berdampak pada menurunnya 
pemasukkan kas perusahaan dan sangat merugikan negeri Belanda. 
Akibat praktik korupsi yang parah dan telah menggerogoti VOC maka, 
pemerintah Belanda pada akhirnya membubarkan VOC pada tanggal 31 
Desember 1799. Dan sejak tanggal 1 Januari 1800 pemerintah kolonial 
Belanda mengambil alih kekuasaan di Hinda Belanda dari VOC.
Bubarnya VOC menyisakkan pekerjaan rumah bagi pemerintah 
kolonial Belanda. Salah satu pekerjaan rumah yang harus segera 
diselesaikan oleh pemerintah kolonial Belanda adalah mengisi kas negara 
yang kosong. Namun pertama-tama pemeritah kolonial Belanda harus 
berhadapan dengan sistem pemerintahan tradisional yang diterapkan 
oleh para penguasa pribumi. Ketika VOC masih beriri sebagai sebuah 
perusahaan dagang, VOC tidak melakukan intervensi secara penuh 
terhadap kekuasaan yang dimiliki para penguasa pribumi. VOC hanya 
berusaha untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari para 
penguasa pribumi yang ada. Akan tetapi pemerintah kolonial Belanda 
memiliki maksud lain, yaitu tidak hanya mengambil keuntungan secara 
ekonomis dari para penguasa pribumi melainkan juga mencoba 
menguasainya secara politis.
Pertama pemerintah kolonial Belanda mencoba berinteraksi dengan 
rakyat, khususnya para petani. Pemerintah kolonial Belanda mengadakan 
hubungan dengan para petani secara langsung dan intens untuk 
menjamin arus tanaman sekspor dalam jumlah yang dihendaki. Hal ini 
dilakukan untuk memangkas pengeluaran dan menambah keuntungan 
dari setiap komoditas yang mereka dapatkan dan jual, serta 
meminimalisir keterlibatan penguasa pribumi. Gubernur Jenderal 
pertama yang berkuasa setelah bubarnya VOC adalah Dirk van 
Hogendorp (1799-1808). Sebagai seorang liberal Hogendorp menganggap 
bahwa kondisi rakyat yang sulit diakibatkan oleh sistem feodal yang 
mematikan potensi rakyat. Hodendorp mengusulkan agar kedudukan
bupati dan penguasa lokal diatur kembali, penguasaan tanah dicabut dan 
dikembalikan pada rakyat untuk ditanami secara bebas (Kartodirdjo, 
1991). Namun semasa pemerintahannya usulan tersebut belum 
terlaksana. Para penguasa pribumi masih berkuasa secara penuh atas 
tanah dan rakyatnya.
Hogendorp mengusulkan agar rakyat diberikan kebebasan untuk 
memilih jenis tanaman dan bebas untuk menjualnya. Penyerahan wajib 
kepada pemerintah dalam bentuk pajak yang berupa hasil bumi dan pajak 
uang perkepala. Pemerintah berhadap dengan sistem ini rakyat menjadi 
lebih giat dalam menanam, dan mampu menghasilkan berbagai komoditi 
ekspor, seperti kopi, beras, lada, kapas, coklat, dll. Meskipun tidak 
berjalan dengan baik akibat masih kuatnya sistem feodal di Jawa, sampai 
berkuasanya Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811). 
Di bawah pemerintahannya terjadi perombakan total dalam struktur 
pemerintahan tradisional dan penguasaan atas tanah.
Gubernur Jenderal Daendels menekankan pentingnya sentralisasi 
kekuasaan di bawah wewenang pemerintah pusat. Salah satu tindakan 
yang paling fenomenal Daendels ialah mengatur hubungan antara 
pemerintah kolonial dengan penguasa pribumi. Hubungan antara 
pemerintah kolonial dengan penguasa pribumi yang semula bersifat 
horizontal, berubah menjadi hubungan vertikal dengan Gubernur 
Jenderal berkedudukan sebagai atasan dan penguasa pribumi sebagai 
bawahan (baca: pegawai kolonial). Begitu juga pada penguasaan tanah, 
tanah-tanah milik penguas lokal menjadi tanah milik negara. Akibat dari 
kebijakan penguasaan tanah tersebut, maka runtuh lah sistem feodal. 
Para penguasa pribumi yang sebelumnya berkuasa secara penuh atas 
tanah, kemudian berubah menjadi pengurus tanah-tanah tersebut atas 
nama pemerintah. Hal ini terjadi sampai kedatangan Inggris pada 1811.
Pada tahun 1881 hingga 1816 Hindia Belanda berada di bawah 
pemerintahan Letnan Gubernur Stamford Raffles atas nama Kerajaan 
Inggris. Raffles adalah tokoh yang dianggap liberal dan pada masa 
kepemimpinannya sistem sewa tanah diperkenalkan di Jawa. Selain 
sistem sewa tanah yang diperkenalkan oleh Raffles, dirinya juga
merombak sistem feodal di Jawa. Tanah-tanah yang sebelumnya 
merupakan milik para penguasa feodal diambil alih oleh pemerintah dan 
menjadi milik negara. Para penguasa feodal yang ada kemudian dijadikan 
para pegawai pemerintah, yang berada di bawah kekuasaan Letnan 
Gubernur. Pemerintahan Letnan Jenderal Raffles menjadi peletak dasar 
dari sistem sewa tanah, yang kemudian digunakan oleh pemerintah 
kolonial Belanda saat kembali berkuasa.
Pasca penguasaan Inggris di Hindia Belanda (1811-1816), pemikiran 
politik di daerah jajahan mulai bergeser dari politik liberal ke pihak 
konservatif (Kartodirdjo, 1991). Pada 1810-1830 sistem pajak tanah 
diberlakukan dan sistem penyerahan wajib di jawa dihapuskan. Akan 
tetapi di daerah Priangan dilaksanakan Preanger Stelsel berupa wajib 
tanam kopi yang menjadi pilot project bagi pelaksanaan sistem tanam 
paksa (culturrestelsel) yang dijalankan oleh Gubernur Jenderal Johannes 
Van den Bosch pada 1830. Kebijakan tanam paksa (cultuurestelsel) ini 
lah yang kemudian menjadi sumber kas negara Belanda selama kurang 
lebih empat puluh tahun kemudian (1830-1870).

Sekilas tentang Kebijakan Tanam Paksa
Sistem tanam paksa atau cultuurstelsel digagas oleh Gubernur 
Jenderal Johannes Van den Bosch pada tahun 1830. Tanam paksa 
diberlakukan untuk menggantikan sistem sewa tanah atau landelijk 
stelsel yang gagal diterapkan secara maksimal. Sistem sewa tanah yang 
diterapkan dari masa Letnan Jenderal Stamford Raffles sampai masa 
pemerintahan Komisaris Jenderal Van der Cappelen dan Du Buss gagal 
mendorong para petani untuk meningkatkan produksi komoditi tanaman 
ekspor. 
Kebutuhan akan suatu kebijakan baru yang diharapkan dapat 
dengan cepat mengisi kekosongan kas negeri Belanda memang sangat 
mendesak. Keadaan perekonomian negeri Belanda saat itu memang 
sedang kacau. Peperangan yang dilakukan sungguh menguras kas 
negara. Pada saat itu negeri Belanda memang sedang menanggung 
banyak hutang akibat dua peperangan yang dihadapi. Pertama perang di 
Eropa melawan Belgia dan kedua perang di Hindia Belanda (baca: Pulau 
Jawa) melawan Diponegoro. 
Negeri Belanda membebankannya pada daerah jajahan mereka untuk 
meningkatkan produksi tanaman ekspor yang tidak dapat dicapai dengan 
kebijakan sebelumnya yaitu dengan menetapkan sistem sewa tanah. Akan 
tetapi sistem ini gagal memberikan negeri Belanda pemasukan yang 
cukup. Namun sistem sewa tanah ini kemudian memberikan pondasi 
pada sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang diterapkan kemudian. 
Sistem sewa meninggalkan peraturan untuk setiap desa harus 
menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor, 
khususnya kopi, tebu, dan indigo. Hasil panen dari tanaman-tanaman tersebut nantinya akan diberikan kepada pemerintah Hindia Belanda. 
Sedangkan untuk para penduduk yang tidak memiliki tanah, maka harus 
bekerja 66 hari selama satu tahun.
Pada dasarnya, sistem tanam paksa atau cultuurstelsel merupakan 
gabungan dari sistem penyerahan wajib dan sistem pajak tanah. Rakyat 
memiliki kewajiban untuk membayar pajak dari hasil tanaman mereka. 
Sistem ini juga merupakan upaya untuk menghidupkan kembali 
eksploitasi yang terjadi pada masa VOC, yaitu berupa penyerahan wajib 
untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor. Perbedaannya adalah 
sistem tanam paksa lebih terorganisir dan melibatkan unsur-unsur 
pokok, seperti birokrasi pemerintahan kolonial, para kepala pribumi, 
organisasi desa, tanah pertanian rakyat, tenaga kerja rakyat, dan juga 
pengusaha.
Seperti yang tertera dalam Staatsblad tahun 1834 nomor 2 yang berisi tentang ketentuan-ketentuan pelaksanaan 
sistem cultuurstelsel sebagai berikut :
1. Penduduk desa menyediakan sebagian tanahnya untuk ditanami 
tanaman perdagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa
2. Tanah yang disediakan tidak boleh melebihi seperlima dari tanah 
pertanian yang dimiliki oleh penduduk desa
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman yang 
ditentukan tersebut tidak boleh melebihi pekerjaan yang 
dibutuhkan untuk menanam padi dan komoditi pangan lainnya 
4. Bagian yang ditanami tanaman perdagangan dibebaskan dari 
pembayaran pajak tanah
5. Hasil tanaman wajib diserahkan kepada Pemerintah Hindia 
Belanda. Bila hasilnya melebihi pajak tanah yang harus dibayar 
rakyat, selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat
6. Kegagalan panen harus dibebankan kepada Pemerintah Hindia 
Belanda, terutama bila kegagalan bukan disebabkan oleh kelalaian 
penduduk
7. Penduduk desa akan mengerjakan tanah mereka dengan 
pengawasan kepala-kepala mereka, dan para pegawai Eropa membatasi pengawasannya pada segi-segi teknis dan ketepatan 
waktu dalam pembajakan tanah, panen, serta pengangkutan.
Penerapan Cultuurstelsel dan Penyelewengannya
Di wilayah Jawa, sistem tanam paksa atau tanam paksa ini 
diterapkan di daerah-daerah Gubernemen, yaitu daerah yang langsung 
dibawahi oleh pemerintahan administratif Hindia Belanda, dengan 
pengecualian daerah Batavia, Buitenzorg, wilayah-wilayah particuliere 
landerijen, dan juga wilayah vorstenlanden (Kartodirdjo, 1991). Wilayah 
Batavia dan Buitenzorg tidak ditetapkan sebagai daerah penerapan tanam 
paksa karena kedua daerah tersebut merupakan pusat pemerintahan. 
Selain itu daerah-daerah yang termasuk wilayah pribadi atau particuliere 
landerijen juga tidak dianggap sebagai wilayah penerapan tanam paksa. 
Hal ini dikarenakan particuliere landerijen merupakan tanah yang 
dikelola atau dimiliki oleh swasta, sehingga pemerintah kolonial Belanda 
tidak bisa sembarangan dalam menetapkan kebijakan. Selain itu, tanam 
paksa juga tidak diterapkan di wilayah milik suatu kerajaan atau 
vorstenlanden, seperti di Yogyakarta dan Surakarta. Di wilayah 
vorstenlanden tersebut yang berlaku adalah sistem sewa tanah atau 
landelijk stelsel. Pemerintah kolonial Belanda berkuasa atas 18 
karesidenan, diantaranya Karesidenan Banten, Priangan, Karawang, 
Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, 
Pasuruan, Besuki, Kedu, Bagelen, Banyumas, Madiun, dan Kediri . 
Pada pelaksanaan sistem tanam paksa, penduduk diminta untuk 
menanam berbagai jenis tanaman komoditas dagang. Tanaman tersebut 
dibagi menjadi dua skala, yaitu skala besar dan skala kecil. Tanaman 
skala besar seperti seperti kopi, tebu, dan indigo. Kemudian untuk 
tanaman berskala kecil, antara lain lada, tembakau, teh, dan kayu manis. 
Jenis tanaman yang ditanam pada masing-masing daerah berbeda, 
bergantung pada kondisi lahan dan kecocokan tanamannya. Tanaman 
kopi misalnya, tanaman ini dapat di tanam di seluruh keresidenan. Akan 
tetapi hasil tanaman kopi terbaik berasal dari empat keresidenan, yaitu 
Keresidenan Priangan, Kedu, Pasuruan dan Besuki.
Tanaman jenis tebu hanya dapat ditanam di 13 karesidenan saja dan 
karena tebu merupakan komoditi ekspor yang berpotensi mendatangkan 
untung yang besar maka banyak pengusaha swasta mengadakan kontrak 
dengan pemerintah untuk menanam dan membudidayakan tanaman 
tebu. Akhirnya sejak tahun 1837 produksi gula dari perusahaan swasta 
mencapai separuh dari produksi gula dari perusahaan pemerintah. Pada 
sistem tanam paksa tugas petani tidak hanya sekedar menanam saja, 
melainkan juga diharuskan memproses hasil panennya untuk diserahkan 
kepada gudang-gudang milik pemerintah. Sebagai gantinya, para petani 
akan menerima sejumlah uang pembayaran yang disebut plantloon, yang 
nantinya uang plantloon tersebut digunakan untuk membayar tagihan 
pajak tanah dari tanah yang mereka garap di desa mereka sesuai dengan 
daerah-daerah yang telah ditetapkan. Meskipun petani menerima upah 
dari hasil kerja kerasnya menanam dan menerima pembayaran ketika 
menjual hasilnya ke pemerintah kolonial, akan tetapi uang tersebut tidak 
pernah cukup untuk menghidup kehidupan mereka. Sistem tanam paksa 
telah menciptakan lalu lintas uang yang mempercepat timbulnya ekonomi 
uang di desa (Kartodirdjo, 1991).
Pemerintah kolonial Belanda akan memberikan bonus berupa 
cultuur procenten, kepada para pejabatnya, baik pejabat Belanda 
maupun pribumi apabila panen yang dihasilkan dapat memenuhi target 
produksi yang ditetapkan oleh pemerintah, Kebijakan 
ini yang kemudian menimbulkan jurang pemisah antara rakyat, yaitu 
para petani dengan pejabat pribumi. Para penguasa pribumi dianggap 
sebagai antek-antek pemerintah kolonial Belanda dan di satu sisi rakyat, 
khususnya para petani tidak bisa berbuat apa-apa atas kondisi yang 
berlangsung.
Pada pelaksanaanya, sistem tanam paksa tidak sesuai dengan 
peraturan yang telah pemerintah kolonial tetapkan sebagai sebuah 
peraturan dalam Staatsblad tahun 1834 nomor 22. Sistem tanam paksa 
lebih menguntungkan pemerintah kolonial dan semata-mata sebagai 
bentuk eksploitasi (O’Malley, 1988). Gubernur Jenderal Bosch 
menghendaki adanya campur tangan orang Belanda dalam proses
produksi. Para petani dipaksa menanam tanaman komoditi yang telah 
ditentukan oleh pemerintah di tanah-tanah milik mereka sendiri. Para 
petani yang dalam teorinya diberikan kebebasan dalam menjual hasil 
panen, justru diwajibkan menjualnya hanya kepada pemerintah.
Tanah-tanah pertanian yang seyogyanya tidak dikenakan tanam 
paksa, justru dipaksa menjadi lahan-lahan tanam paksa. Para petani 
kehilangan mata pencaharian dan penghasilan. Akibatnya mereka 
bertransformasi menjadi para petani penggarap, yang ironisnya mereka 
menggarap di atas tanah milik mereka sendiri. Pajak-pajak yang 
diterapkan pemerintah bukan dalam bentuk uang melainkan dalam 
bentuk tenaga atau in natura yang direpresentasikan dengan berbagai 
macam kerja. Hal ini dianggap lebih sesuai dengan sifat rumah tangga 
desa yang ingin dipertahankan sebagai rumah tangga produksi dan 
dicegah agar tidak menjalankan rumah tangga uang ,
Mengenai pengerahan kerja wajib, seperti yang tertera dalam 
Staatsblad tahun 1834 nomor 22, pengerahan kerja wajib bertujuan 
untuk mengerjakan pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah dan harus 
dilakukan selama 66 hari dalam satu tahun , Para 
pekerja wajib ini terdiri dari mereka yang tidak memiliki tanah dan juga 
orang-orang yang diserahkan untuk tanam paksa ,
Pengerahan kerja wajib ini terbagi ke dalam tiga kategori. Pertama ialah 
kerja wajib umum atau heerendiensten, kedua ialah kerja wajib pancen 
atau pancen diensten, dan ketiga ialah kerja wajib garap penamaman atau 
cultuurdiensten.
Kerja wajib umum atau heerendiensten merupakan kerja wajib 
untuk kepentingan umum, seperti pembuatan atau perbaikan jalan, 
pembuatan bangunan gedung perkantoran, penjagaan tawanan, dan 
sebagainya. Kerja wajib pancen atau pancen disenten merupakan kerja 
wajib untuk merawat lahan pertanian di tanah milik para kepala pribumi. 
Sedangkan kerja wajib garap penanaman atau cultuurdiensten 
merupakan pengerahan kerja paksa untuk pembukaan lahan 
perkebunan, pembuatan dan perbaikan irigasi, kegiatan penanaman, pengangkutan hasil panen, atau pekerjaan lain di kebun-kebun milik 
pemerintah.
Penyediaan tanah untuk digarap dibebankan kepada seluruh desa, 
bukan kepada penduduk secara individu sebagai pemilik tanah. 
Pemerintah kolonial Belanda beralasan hal tersebut untuk mempermudah 
dalam menanganinya. Akibat dari hal tersebut maka terjadilah perluasan 
tanah secara komunal (milik bersama), dan terjadi perubahan hubungan 
sosia di pedesaan. Kemudian tanah yang semua hanya diwajibkan 1/5 
bagian, lalu kemudian meluas menjadi 1/3 bagian, lalu ½ bagian, bahkan 
menjadi seluruh tanah desa .
Penyelewengan yang terjadi selama puluhan tahun sejak 
pelaksanaan sistem tanam paksa mengakibatkan kondisi yang buruk bagi 
rakyat, khususnya para petani. Gelombang kelaparan akibat minimnya 
lahan pertanian dan ekspolitasi tenaga kerja di beberapa daerah banyak 
mengakibatkan kematian dan penderitaan. Di Belanda sendiri terjadi 
gelombang kritik, khususnya dilakukan oleh golongan humanis dan 
liberal untuk menghentikan praktik tanam paksa di Hindia Belanda. 
Mulai tahun 1860, terjadi penghapusan sistem tanam paksa secara 
bertahap. Beberapa tanaman komoditi dikeluarkan dari daftar tanam 
paksa, seperti lada pada 1862, nila, teh dan kayu manis pada 1865, dan 
tembakau pada 1866.
Pada 1870 sistem tanam paksa dihentikan sekaligus menandakan 
kemenangan golongan liberal di Belanda. Sistem taman paksa yang 
dianggap sentralistik dan merugikan pihak pengusaha swasta lalu 
kemudian digantikan dengan sistem liberal. Hal ini tercermin dalam 
undang-undang agraria kolonial, Agrarische Wet 1870 dan UU Gula 1870. 
Keduanya mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sistem kolonial 
Belanda, dan bagi rakyat Indonesia era liberal ekonomi ini hanya lah 
peralihan kekuasaan dari pemerintah kolonial ke pihak-pihak swasta.
Sekilas Mengenai Penerapan Cultuurstelsel Di Luar Jawa
Sebelum tanam paksa ditetapkan secara formal oleh pemerintah 
Belanda, Maluku telah menganut sistem ini untuk tanaman cengkeh di 
Kepulauan Ambon dan pala di Kepulauan Banda. Dimulai pada abad 16
ketika Belanda menawarkan bantuan untuk mengusir Portugis dari
Maluku. Rakyat Maluku akhirnya dapat terpengaruh dan mau menuruti 
permintaan Belanda untuk tidak menjual rempah-rempahya kepada 
bangsa lain. Setelah mendapat kepercayaan dari rakyat Maluku, pihak 
Belanda menjadikan dirinya sentra monopoli dan mendirikan banteng di 
Maluku. Kemudian setelah Portugis pergi, di Maluku terdapat dua 
penguasa, yakni Inggris dan Belanda. Inggris berkuasa atas Banda, 
sementara VOC berkuasa di Ambon, Saparua, dan sebagian Maluku 
Tengah. VOC memperkuat pertahanan dan armadanya di Maluku Tengah 
dan mengikat kontrak dengan penguasa-penguasa daerah agar dapat 
memonopoli perdagangan rempah dengan mudah. Hal ini mengakibatkan 
rakyat Maluku tidak bisa bebas menanam cengkih dan pala jika tidak ada 
izin dari pihak Belanda. Jika peredaran cengkih dan pala terlampau 
banyak di pasaran, penguasa tanah tersebut harus membakar tanaman￾tanaman miliknya. Saat Inggris akhirnya bisa berkuasa di Maluku pasca 
perang Eropa antara Inggris dan Prancis, peraturan semasa Belanda 
banyak yang diubah. Rakyat diberi kebebasan untuk berniaga dan hak 
ekstirpasi atau penghancuran pohon pala dan cengkih pada masa VOC 
dihentikan. Pada tahun 1830 Belanda kembali datang dan menguasai 
Maluku. Tanam paksa tidak diberlakukan lagi di Maluku pada tahun 
1860.
Sama dengan Maluku, daerah Minahasa telah memberlakukan 
sistem tanam paksa sejak tahun 1822 untuk tanaman kopi. Mulanya 
Minahasa merupakan daerah pemasok beras bagi kepentingan niaga 
VOC. Namun kewajiban memasok beras dihentikan pada tahun 1852. 
Baru kemudian VOC mulai menerapkan cultuurstelsel tanaman kopi 
didataran tinggi Tondano. Wilayah tersebut merupakan salah satu 
wilayah di Minahasa yang padat penduduk sehingga memungkinkan 
adanya tenaga kerja yang banyak untuk proses penanaman kopi hingga 
pembangunan sarana prasarana untuk mendukung budidaya kopi. 
Tanaman kopi kemudian tumbuh subur dan banyak ditanam di distrik 
Romboken, kemudian meluas ke Tomohon, Kawaknokoan dan Sonder. 
Pemerintah mengambil tanah-tanah kalekeran, yaitu tanah milik distrik
yang kosong dan tidak digarap penduduk karena kondisi tanah tersebut 
kurang baik untuk perkenier atau persawahan. Pilihan VOC untuk 
membuka tanah kalekeran sangat memberatkan penduduk, karena 
letaknya jauh dari pemukiman warga dan upah yang tidak bisa 
mencukupi kebutuhan masyarakat setempat. Rakyat dibayar 10 gulden 
per pikol. Pada masa itu satu keluarga hanya bisa menghasilkan satu 
pikul, belum lagi adanya kecurangan yang dilakukan oleh petugas 
penimbang kopi. Ada pula biaya pengangkutan kopi ke gudang pemerinah 
yang berada di wilayah pantai, sangat jauh dari tanah kalekeran dan 
pemukiman. Pengangkutan komoditi dilkukan oleh pekerja dengan cara 
dipikul. Tahun 1851, pemerintah mulai membuka gudang di daerah 
pegunungan. Pengangkutan tetap dilakukan dengan cara diangkut oleh 
pekerja upahan yang khusus untuk mengangkut. Mulai dibangun jalan 
dan jembatan yang menghubungkan daerah pegunungan dengan daerah 
pesisir. Pembangunan jalan dan jembatan ini melibatkan penduduk, 
dipimpin oleh kepala walak. Pada proses pembangunan jalan dan 
jembatan, lokasi pengerjaan jauh dari desa dan terdapat lokasi yang 
sangat sulit dijangkau dan berbahaya. Para pekerja tidak dipilih khusus 
menjadi pekerja proyek, melainkan mereka merupakan petani yang 
memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sistem tanam 
paksa di Minahasa resmi dihapuskan pada tahun 1899.
Sistem tanam paksa di Sumatera Barat dilaksanakan pada tahun 
1847 dibawah pimpinan Andreas Victor Michiels yang merupakan seorang 
Mayor Jenderal. Sebelum masa kolonial, kehidupan perekonomian di 
wilayah dataran tinggi Minangkabau cenderung subsisten; mereka 
bekerja untuk mencukupi kebutuhan pokok wilayah mereka sendiri. 
Kebanyakan penduduknya ialah petani, lalu ada pula penenun, pandai 
besi, dan pedagang. Ketika AV Michiels menerapkan sistem tanam paksa 
kopi, ia mewajibkan setiap keluarga menanam sekurang-kurangnya 150 
batang kopi. Per batangnya diharapkan menghasilkan 1,05 pikul setiap 
tahunnya. Ada tiga jenis kebun kopi di Sumatera Barat, yaitu:
1. Kopi di pekarangan rumah rakyat atau dihutan dekat kampung 
(hal ini karena kopi telah dikerjakan rakyat secara turun temurun).
2. Kebun kopi milik rakyat.
3. Kebun kopi yang luas dan teratur; yang pada akhirnya dikontrol 
penuh oleh orang Belanda dan terletak jauh dari pemukiman 
penduduk.
Andreas Victor Michiels juga membangun jalan yang 
menghubungkan daerah pedalaman dengan pusat pengumpulan kopi. AV 
Michiels juga mewajibkan “jual paksa” komoditi kopi pada pemerintah. 
Setelah 3-4 tahun diterapkan tanam paksa kopi, hasil produksi kopi di 
Sumatera Barat meningkat secara kuantitas. Pada tahun ke 5 sampai 20 
kopi mencapai puncak produksinya dan menjadi salah satu produksi 
unggulan Sumatera Barat. Namun AV Michiels melanggar isi Plakat 
Panjang yang kelima, yaitu perjanjian bahwa Belanda tidak akan lagi 
memungut pajak, sebagai gantinya masyarakat harus memperluas 
penanaman kopi. Rakyat terpaksa berganti profesi secara cepat dari 
petani menjadi pekerja kebun. Rakyat yang dahulu berkecukupan, 
kemudian harus menggantungkan sumber pemasukkannya dari 
penjualan kopi ke gudang Belanda dengan upah yang sangat minim dan 
adanya pajak. Belum lagi adanya metode penanaman yang sering diganti 
dan adanya upaya pemerasan mandor pada rakyat pekerja, salah satu 
contoh adalah dengan memberi berbagai macam denda. Tahun 1908 
tanam paksa di Sumatera Barat dihapus. Hal ini dikarenakan banyak 
rakyat yang menderita karena beban pekerjaan yang berat dan tingginya 
pajak. Hak atas kepemilikan tanah dan hak lainnya juga dirampas dan 
diusik oleh pihak Belanda.
Dampak Penerapan Cultuurstelsel Bagi Kehidupan Rakyat Hindia 
Belanda
Dampak dari pelaksanaan tanam paksa ini bermacam-macam, ada 
dampak positif dan ada pula dampak negatif. Di satu sisi, tanam paksa 
dianggap berhasil meningkatkan produksi tanaman ekspor dan 
mendatangkan keuntungan besar sehingga hutang-hutang Belanda yang 
saat itu sedemikian besarnya pada akhirnya dapat dilunasi. Selain itu, 
rakyat mengenal jenis-jenis tanaman ekspor yang bernilai jual tinggi, rakyat mengenal teknologi baru yang digunakan dalam pertanian, dan 
rakyat juga dapat mengenal sistem ekonomi uang dan kemudian 
menerapkannya dalam kehidupan pedesaan. Namun di sisi lain, rakyat 
menderita karena tidak diberi upah atau plantloon yang “janjinya” akan 
dibayarkan dan secara fisik pekerjaan mereka terbilang berat. Selain itu, 
juga terjadi peristiwa kelaparan di berbagai daerah seperti contohnya di 
daerah Demak di tahun 1848 dan di daerah Grobogan pada tahun 1849 .
Banyaknya penderitaan yang dirasakan oleh rakyat akibat 
penerapan tanam paksa membuat banyak kritik dan gerakan dilancarkan 
untuk menghapus sistem tanam paksa, seperti contohnya kritik dalam 
Max Havelaar (Multatuli), L. Vitalis, dan Baron van Hoevell. Serangan￾serangan dari orang-orang non-pemerintah juga mulai menggencar akibat 
terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-
an di Grobogan, Demak, dan Cirebon. Gejala kelaparan ini diangkat ke 
permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan 
eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputera Jawa. Lalu muncullah 
orang-orang humanis maupun praktisi liberal menyusun serangan￾serangan strategisnya. Dari bidang sastra muncul Multatuli (Eduard 
Douwes Dekker), sementara di lapangan jurnalistik muncul E.S.W. 
Roorda van Eysinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van 
Hoevell. Namun tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya 
terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan 
lebih lanjut. Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para 
pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan 
terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda 
berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan 
dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi 
ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai 
pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman 
dan menjamin keamanan serta ketertiban warga negaranya dalam 
mengelola sektor perkebunan.
Pada 1830, negeri Belanda mengalami krisis ekonomi akibat hutang 
yang sangat besar. Oleh karena itu pemerintah Belanda membebankan 
negeri jajahan untuk dengan segera melepaskannya dari hutang. 
Dibutuhkan sebuah kebijakan yang praktis dan efisien dengan tujuan 
mengumpulkan dana bagi negara. Pada masa itu terjadi pula pergeseran 
pemikiran dari pemikiran liberal ke ara konservatif. Maka kebijakan baru 
yang digunakan sebagai jalan keluar sebenarnya bukanlah sebuah 
gagasan baru, melainkan bersumber pada kebijakan eksploitatif yang 
pernah diterapkan di Hindia Belanda oleh VOC. Kebijakan tersebut ialah 
kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel.
Kebijakan tanam paksa digagas oleh Gubernur Jenderal Johanes Van 
den Bosch, dan diterapkan sejak tahun 1830 sampai dengan 1870. Sistem 
tanam paksa yang diusung oleh Van den Bosh memiliki tujuan utama, 
yaitu meningkatkan produksi tanaman komoditi ekspor agar dapat 
menyasai pasar dunia dan mendapatkan keuntungan sebanyak￾banyaknya. Secara teori sistem tanam paksa tidak terlalu merugikan para 
petani, akan tetapi pada praktiknya sistem tanam paksa justru menjadi 
mimpi buruk bagi para petani di Hindia Belanda. Infiltrasi pemerintah 
melalui para pegawai Belanda dan penggunaan penguasa pribumi sebagai 
kaki-tangan merupakan salah satu sumber penyimpangan dalam praktik 
tanam paksa.
Penderitaan rakyat yang hampir lima puluh tahun adalah efek dari 
penyimpangan atas sistem tanam paksa. Tanam paksa yang berlangsung 
selama hampir lima puluh tahun berdampak pada perkembangan sosial 
dan ekonomi masyarakat di pedesan. Kelaparan yang berujung pada 
kematian adalah konsekuensi yang harus rakyat terima akibat eksploitasi 
lahan tanpa memandang apakah itu lahan pertanian atau bukan. 
Eksploitasi terhadap tenaga kerja juga membuat rakyat menderita, 
banyak dari mereka yang lari untuk menghindari kerja-kerja wajib yang 
merupakan salah satu poin dalam sistem tanam paksa. Sistem tanam 
paksa juga melahirkan ekonomi uang di pedesaan yang kemudian 
menyingkirkan sistem ekonomi pertanian yang bersifat subsisten.
Dihapusnya sistem tanam paksa pada 1870 tidak serta-merta 
membebaskan rakyat khususnya para petani dari penderitaan. 
Berlakunya sistem liberal kemudian justru memperparah keadaan bagi 
rakyat khususnya para petani.

Related Posts: