Rabu, 09 Juli 2025

pelajaran hindu. 5

 


gan melibatkan aspek: yantra, 

tantra, mantra, yajña, dan yoga. Yantra adalah alat atau simbol-simbol 

keagamaan yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual untuk meningkatkan 

kesucian. Tantra adalah kekuatan suci dalam diri yang dibangkitkan dengan 

cara-cara yang ditetapkan dalam kitab suci. Mantra adalah doa-doa yang 

harus diucapkan oleh umat kebanyakan, pinandita, pandita sesuai dengan 

kewenangan dan tingkatannya. Ketiga aspek itu dilaksanakan secara terpadu 

dengan berbasiskan “ketulus-ikhlasan” sehingga membangun satu aktifitas 

yang disebut yajña. Yajña yaitu persembahan yang tulus ikhlas atas dasar 

kesadaran untuk dipersembahkan sehingga dapat meningkatkan kesucian. 

Jika hal ini dilaksanakan secara intens maka akan mempengaruhi gelombang-

gelombang pikiran menjadi stabil dan kuat. Dan Yoga adalah mengendalikan 

gelombang-gelombang pikiran dalam alam pikiran untuk dapat berhubungan 

dengan Tuhan, yang dapat dilakukan melalui Astangga Yoga (yama, niyama, 

asana, pranayama, prathyahara, dharana, dhyana, dan samadhi (Titib, I Made. 

2003).

Hindu mengajarkan umatnya untuk selalu berbuat, dalam hidup ini 

berbuat jauh lebih baik dari pada sama sekali tidak berbuat (karma). 

Bagaimana manfaat ajaran Tantra, Yantra, dan Mantra dalam agama 

Hindu? Carilah dan atau buatlah artikel tentang ajaran Tantra, Yantra, 

dan Mantra, selanjutnya diskusikanlah di kelas-mu!

                                           

1. Tantra: 

Kata tantra berasal dari bahasa Sanekerta 

yang memiliki makna “memperluas”. 

Tantra merupakan salah satu dari sekian 

banyak konsep pemujaan kehadapan 

Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan 

Yang Maha Esa, di mana manusia 

kagum pada sifat-sifat kemahakuasaan-

Nya sehingga memiliki keinginan 

untuk mendapatkan kesaktian. Kamus 

Besar Bahasa Indonesia, 2003:1141 

menjelaskan tantra ‘tantrisme’ adalah 

ajaran dalam agama Hindu yang 

mengandung unsur mistik dan magis. 

Mistik dapat dipahami sebagai eksistensi 

tertinggi kesadaran manusia, di mana 

ragam perbedaan (“kulit”) akan lenyap, eksistensi melebur ke dalam 

kesatuan mutlak hal ikhwal, nilai universalitas, alam kesejatian hidup, atau 

ketiadaan. Kesadaran tertinggi ini terletak di dalam batin atau rohaniah, 

mempengaruhi perilaku batiniah (bawa) seseorang, dan selanjutnya 

mewarnai pola pikirnya. Atau sebaliknya, pola pikir telah dijiwai oleh nilai 

mistikisme yakni eksistensi kesadaran batin. Meskipun demikian, eksistensi 

mistik yang sesungguhnya tidaklah berhenti pada perilaku batin (bawa) 

saja, lebih utama adalah perilaku jasad (solah). Artinya, mistik bukanlah 

sekedar teori namun lebih ke arah manifestasi atau mempraktikkan perilaku 

batin ke dalam aktivitas hidup sehari-harinya dalam berhubungan dengan 

sesama manusia dan makhluk lainnya. Diantara kita tentu ada yang tidak 

ingin menjadi seorang agamis, yang hanya terpaku pada simbol-simbol 

agama berupa penampilan fisik, jenis pakaian, cara bicara, bahasa, gerak-

gerik, bau minyak wanginya. Ada baiknya diantara kita menjadi seorang 

praktisi (penghayat) akan teori-teori agama sehingga tidak hanya pintar 

berbicara. Hal itu menjadi hak setiap orang untuk memilih, masing-masing 

tentu akan membawa dampak yang berbeda-beda. Damarjati Supadjar, 

mengemukakan bahwa ciri-ciri mistikisme adalah sebagai berikut: 

Mistikisme adalah persoalan praktik; Secara keseluruhan, mistikisme 

adalah aktivitas spiritual; Jalan dan metode mistikisme adalah cinta kasih 

sayang; Mistikisme menghasilkan pengalaman psikologis yang nyata; dan 

Mistikisme sejati tidak mementingkan diri sendiri.


Jika kita cermati dari kelima ciri mistikisme di atas dapat ditarik benang 

merah bahwa mistik berbeda dengan sikap klenik, gugon tuhon, bodoh, 

puritan, irasional. Sebaliknya mistik merupakan tindakan atau perbuatan 

yang adiluhung, penuh keindahan, atas dasar dorongan dari budi pekerti 

luhur atau akhlak mulia. Mistik sarat akan pengalaman-pengalaman 

spiritual. Yakni bentuk pengalaman-pengalaman halus, terjadi sinkronisasi 

antara logika rasio dengan logika batin. Pelaku mistik dapat memahami 

fenomena atau eksistensi di luar diri (gaib) sebagai kenyataan yang logis 

atau masuk akal. Sebab akal telah mendapat informasi secara runtut, juga 

memahami rumus-rumus yang terjadi di alam gaib.

Subramuniyaswami, Satguru Úivaya 1997, mengatakan bahwa “Tantra 

adalah bagian dari çaktisme, yaitu pemujaan kepada Ibu semesta. Dalam 

proses pemujaannya, para pemuja ‘çakta’ tersebut menggunakan mantra, 

yantra, tantra, yoga, dan puja serta melibatkan kekuatan alam semesta 

dan membangkitkan kekuatan kundalini.” Disebut çaktiisme karena 

yang dijadikan obyek persembahannya adalah çakti. Çakti dilukiskan 

sebagai Devi, sumber kekuatan atau tenaga. “Çakti is the symbol of bala 

or strength” Çakti adalah simbol dari bala atau kekuatan. Pada sisi lain 

çakti juga disamakan dengan energi atau kala ”this sakti or energi is also 

regarded as ‘Kala’ or time” (Das Gupta, 1955).

Terdapat berbagai definisi Tantra yang berasal dari sudut pandang yang 

berbeda. Sayangnya diantara berbagai definisi itu tidak selalu konsisten 

antara yang satu dengan yang lainnya. Tantra merupakan ajaran filosofis 

yang pada umumnya mengajarkan pemujaan kepada çakti sebagai obyek 

utama pemujaan, dan memandang alam semesta sebagai permainan atau 

kegiatan rohani dari çakti dan Úiwa. Tantra adalah cabang dari agama 

Hindu. Ajaran tantra mengacu kepada kitab-kitab yang pada umumnya 

berhubungan dengan pemujaan kepada çakti (Ibu semesta; Devi Durga, 

Devi Kali, Parwati, Laksmi, dan sebagainya), sebagai aspek Tuhan yang 

tertinggi dan sangat erat kaitannya dengan praktek spiritual dan bentuk-

bentuk ritual pemujaan, yang bertujuan membebaskan seseorang dari 

kebodohan, dan mencapai pembebasan. Dengan demikian tantrisme lebih 

sering dinyatakan sebagai suatu paham kepercayaan yang memusatkan 

pemujaan pada bentuk çakti yang berisi tentang tata cara upacara 

keagamaan, filsafat, dan cabang ilmu pengetahuan lainnya, yang ditemukan 

dalam percakapan antara Deva Siwa dan Devi Parwati. Tantra bukan 

merupakan sebuah sistem filsafat yang bersifat padu (koheren), tantra 

                                           

merupakan akumulasi dari berbagai praktek dan gagasan yang memiliki 

ciri utama penggunaan ritual, ditandai dengan pemanfaatan sesuatu yang 

bersifat duniawi, untuk menggapai dan mencapai sesuatu yang bersifat 

rohani, serta penyamaan atau pengidentikan antara unsur mikrokosmos 

dengan unsur makrokosmos. Praktisi tantra memanfaatkan prana (energi 

semesta) yang mengalir di seluruh alam semesta (termasuk dalam badan 

manusia) untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan itu bisa berupa 

tujuan material, bisa pula tujuan spiritual, atau gabungan keduanya. Para 

penganut tantra meyakini bahwa pengalaman mistis adalah merupakan 

suatu keharusan yang menjamin keberhasilan seseorang dalam menekuni 

tantra. Beberapa jenis tantra membutuhkan kehadiran seorang guru yang 

mahir untuk membimbing kemajuan siswa tantra.

Tantra dalam perkembangannya sering 

menggunakan simbol-simbol material 

termasuk simbol-simbol erotis. Tantra 

sering diidentikkan dengan ajaran kiri yang 

mengajarkan pemenuhan nafsu seksual, 

pembunuhan dan kepuasan makan daging. 

Padahal beberapa perguruan tantra yang 

saat ini mempopulerkan diri sebagai tantra 

putih menjadikan; mabuk-mabukan, makan 

daging dan hubungan seksual sebagai 

sadhana dasar pantangan dalam meniti 

jalan tantra. Konsep ini berpangkal pada 

percakapan Devi Parwati dengan Deva Siva yang menguraikan turunnya 

Devi Durga ke Bumi pada zaman Kali untuk menyelamatkan dunia dari 

kehancuran moral dan perilaku. Dalam beberapa sumber Devi Durga juga 

disebut “Candi”. Mulai saat itulah pada mulanya muncul istilah candi 

‘candikaghra’ untuk menamai bangunan suci sebagai tempat memuja Deva 

dan arwah yang telah suci. Peran Devi Durga dalam menyelamatkan dunia 

dari kehancuran moral dan perilaku disebut kalimosada ‘kali-maha-usada’ 

yang artinya Devi Durga adalah obat yang paling mujarab dalam zaman 

kekacauan moral, pikiran dan perilaku; sedangkan misi beliau turun ke 

bumi disebut Kalika-Dharma.

Menurut Maurice Winernitz, meskipun teks-teks kitab tantra tidak 

menunjukkan permusuhan secara nyata terhadap ayat-ayat atau ajaran 

Weda, namun menegaskan bahwa ajaran-ajaran Weda dianggap terlalu 

sulit untuk dipraktekkan oleh beberapa kalangan pengikut tantra. Karena 

0

alasan itulah, cara yang lebih mudah dan praktis diberikan dalam kitab-

kitab tantra. Prinsip-prinsip Tantra terdapat dalam buku bernama Nigama, 

sedangkan praktek-prakteknya dalam buku Agama. Sebagian buku-buku 

kuno itu telah hilang dan sebagian lagi tak dapat dimengerti karena tertulis 

dalam tulisan rahasia untuk menjaga kerahasiaan tantra terhadap mereka 

yang tak memperoleh inisiasi. Setidaknya terdapat 64 jenis kitab yang 

memuat ajaran Tantrayana, antara lain: Maha nirwana tantra, Kularnawa 

tantra, Tantra Bidhana, Yoginirdaya tantra, Tantrasara, dan sebagainya.

Dalam perkembangan selanjutnya, praktek ajaran tantra dinyatakan selalu 

mewarnai kebudayaan dan keagamaan yang berkembang di nusantara. Hal 

ini dapat dilihat dari berbagai jenis peninggalan seperti; prasasti, candi dan 

arca-arca yang bercorak tantrisme. Kebanyakan isi kitab-kitab tantra masih 

dirahasiakan dari arti yang sebenarnya dan yang sudah diketahui masih 

merupakan teka-teki. Orang-orang Hindu, termasuk para sarjana besar pada 

umumnya tidak mendiskusikan Tantra. Berbeda dengan agama Hindu pada 

umumnya, sebagian dari tantra percaya kepada kenikmatan hidup material. 

Tidak seorangpun mengetahui secara tepat kapan ajaran tantra dimulai atau 

Maharsi siapa yang memulainya. Bukti menunjukkan bahwa tantrisme ada 

selama zaman Weda. Bahkan Sankara menyebut keberadaannya dalam 

bukunya Saundarya Lahari. Ada sekitar seratus delapan buku mengenai 

Tantra. Tantrisme dan Saktiisme hampir satu dan sama. Dalam Tantrisme, 

IstaDeva yang dipuja adalah Siwa-Sakti, kombinasi dari Siwa dan saktinya 

Parwati. Tantra adalah satu sistem dari praktek-praktek yang dipergunakan 

untuk meningkatkan spiritual. Ajaran terbaik dari tantra adalah pengetahuan 

mengenai energi kundalini yang luas yang belum dimanfaatkan di dalam 

tubuh manusia. Tantra juga melakukan penelitian mengenai ilmu kimia, 

astrologi, astronomi, palmistry “ilmu meramal melalui rajah tangan”, 

cosmologi “ilmu tentang alam semesta, awal perkembangan dan akhirnya” 

bahkan teori atom. Mantra-mantra Hindu yang ada sampai saat ini banyak 

bernafaskan ajaran tantra. Yantra dan bentuk-bentuk geometris yang 

dihubungkan dengan mantra, juga merupakan ajaran yang sama pentingnya 

dari tantra untuk kemanusiaan.

Disepanjang Sushumna, ada tujuh pusat-pusat batin ‘psychic centers’; 

mulai dari muladhara chakra. Elemen ini tidak dapat dilihat dengan mata 

telanjang, namun  mesti dipercaya berbentuk seperti bunga teratai dengan 

warna-warna yang berbeda dan masing-masing mengendalikan kegiatan 

dari organ indra yang berbeda. Muladhara Chakra berada pada dasar dari 

                                           

tulang belakang, memiliki empat daun bunga dan mengendalikan bau. 

Swadishthana Chakra berada pada dasar kelamin, memiliki enam daun 

bunga dan mengendalikan rasa. Manipura Chakra berposisi di seberang 

pusar, mempunyai sepuluh daun bunga dan mengendalikan pandangan. 

Anahata Chakra posisinya sejajar dengan hati, mempunyai dua-belas 

daun bunga dan mengendalikan sentuhan. Wisuddha Chakra berada pada 

jakun kerongkongan, memiliki enam belas daun bunga dan mengendalikan 

pendengaran. Ajna Chakra berkedudukan di antara alis, memiliki dua daun 

bunga dan mengendalikan pikiran. Sahasrara Chakra terletak di atas titik 

paling atas dari kepala, mempunyai seribu daun bunga. Seorang Yogi yang 

mendalami ajaran kundalini dengan memiliki posisi chakra seperti tersebut 

di atas dapat dinyatakan telah meperoleh ‘kesadaran Kosmis’. 

Menurut Kitab-kitab Tantra, ada kekuatan hebat yang sangat rahasia di 

dalam tubuh manusia yang disebut kekuatan Kundalini atau kekuatan ular. 

Ia berbaring seperti seekor ular dalam gulungan atau bentuk yang tidak 

aktif pada dasar dari tulang belakang di Muladhara chakra. Tiga dari saraf 

yang paling penting dari tubuh manusia, Sushumna, Ida dan Pinggala, juga 

berawal dari titik yang sama disebut Muladhara chakra. Menurut Tantra, 

karena kekuatan yang hebat ini tetap tidur ‘dormant’ selama kehidupan 

seseorang maka kebanyakan orang tidak menyadari keberadaannya. 

Dipercayai bahwa ketika manusia mengembangkan spiritualitas dengan 

meditasi atau latihan pranayama, kekuatan ini bangkit ke atas perlahan-

lahan melalui saraf Sushumna. Bergeraknya ke atas secara perlahan dari 

kekuatan Kundalini ini dikenal sebagai kebangkitan dari Kundalini. 

Kekuatan ini begerak ke atas secara perlahan-lahan dan mantap dalam 

satu garis lurus. Ketika melewati setiap pusat batin ‘psychic center’ orang 

itu akan memiliki kendali penuh atas organ-organ indriyanya. Misalnya, 

bila ia mencapai Manipura Chakra di seberang pusar, orang itu akan 

mempunyai kendali penuh atas pandangan. Tidak ada Samadhi “persatuan 

dengan Tuhan” yang dapat dilakukan tanpa kebangkitan kekuatan 

kundalini. Dikatakan bahwa kekuatan kundalini melewati keenam chakra 

dan akhirnya bersatu dengan Sahasrara di atas “tiara, crown” dari kepala. 

Ketika ini terjadi orang tersebut telah mencapai kesadaran kosmis, bentuk 

tertinggi dari pengejawantahan Tuhan. 

Demikian makna tantra yang disebut-sebut sebagai bagian dari ajaran 

agama Hindu yang bersifat magis dapat dipahami oleh pengikutnya 

dilaksanakan dengan memanfaatkan yantra dan mantra.

0

2. Yantra

Dalam kamus Sanskerta, kata Yantra memiliki arti mengikat, 

menyimpulkan sebuah peralatan, instrumen, mesin dan sebuah jimat 

(Surada, 2007: 257). Yantra umumnya berarti alat untuk melakukan 

sesuatu guna mencapai tujuan. Di dalam pemujaan yantra adalah sarana 

tempat memusatkan pikiran. Yantra merupakan aspek dalam dari bentuk 

penciptaan. Sifat dasar dari manusia dan binatang, seperti halnya para 

Dewata yang diekspresikan melalui yantra. Yantra adalah garis-garis lurus, 

lengkung yang dipadukan yang merupakan basis dari energi alam semesta 

yang merupakan perwujudan Dewata (Titib, 2003:469-470). Selain itu 

yantra adalah suatu lukisan geometri dari tipe tertentu yang mempunyai 

makna serta mempunyai bentuk yang berbeda-beda sehingga pada masing-

masing bentuk memiliki setruktur dan komposisi dari suatu Deva tertentu 

(Tim Penyusun, 1987:6). Yantra merupakan hal yang sangat penting bagi 

seseorang dalam hal melakukan pemujaan serta persembahan kehadapan 

Tuhan. Yantra dilihat dari struktur memiliki bentuk yang beragam serta 

disusun sesuai dengan si penggunanya.

Hal senada dijelaskan pula dalam kamus Jawa Kuno oleh L. Mardiwarsito 

(dalam Wiana 2004:189), kata yantra dinyatakan berasal dari bahasa 

sanskerta yang artinya sarana untuk memuja Deva, sedangkan dalam 

kamus Sanskerta-Indonesia, kata yantra diartikan harta kekayaan, 

bantuan, alat perlengkapan dan lain-lain. Yantra merupakan kebutuhan 

dasar untuk menggambarkan semua simbol-simbol, semua wujud suci, 

altar, pura dan mudra. Yantra dipergunakan dalam upacara pemujaan, 

Dewata dihadirkan dengan menggambar melalui yantra dan memanggil 

nama yang gaib. Yantra dapat diekspresikan ke dalam aspek internal dari 

setiap bentuk ciptaan. Sifat alami manusia dan binatang-binatang, seperti 

halnya Deva-Deva dapat diekspresikan melalui yantra (Titib, 2003:469). 

Amatilah gambar berikut 

ini dengan baik dan benar, 

selanjutnya buatlah narasinya, 

paparkanlah di depan kelas-

mu dengan bimbingan bapak/

ibu guru yang mengajarnya!

0

Yantra dapat berbentuk diagram, dilukis atau dipahatkan di atas logam, 

kertas atau benda-benda lain dan disucikan seperti menyucikan pratima, 

kemudian dilakukan pemujaan melalui sarana yantra tersebut, seperti 

pemujaan melalui pratima, arca (patung), dan sebagainya. Mantra yang 

berbeda digunakan untuk melakukan pemujaan yang berbeda, demikian 

pula halnya dengan penggunaan yantra-yantra. Menurut Ensiklopedi 

Hindu, yantra merupakan simbol seperti banten atau alat-alat upacara (Tim 

Penyusun, 2011:619). Yantra adalah segala bentuk dan wujud sarana, alat 

atau instrumen yang dipergunakan oleh seseorang yang telah suci (pribadi, 

pemangku, pendeta atau sulinggih) dalam memuja Ida Sang Hyang Widhi/

Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya. Selain itu, yantra lebih 

banyak mengejawantah ke dalam berbagai lambang-lambang atau simbol 

beserta peralatan, sarana dan prasarana ritual bersangkutan.

Yantra adalah garis-garis lurus dan garis-garis lengkung yang dipadukan 

sedemikian rupa, yang merupakan basis dari energi dan alam semesta 

sebagai perwujudan dewata. “Yantra adalah wujudnya, mantra adalah 

jiwanya dan dewata adalah atma yang menghidupkannya. Perbedaan 

antara yantra dengan dewata adalah seperti halnya badan dan roh”. Yantra 

diyakini merupakan basis alami, atau kebenaran, indeogram daripadanya 

tulisan-tulisan muncul. Segala bentuk garis, titik, garis lurus, tanda tambah, 

lingkaran, segitiga dan sebagainya mengandung arti simbolis berhubungan 

dengan gerak alami. Hal ini dapat dikombinasikan lebih kompleks untuk 

menjadi gambaran kekuatan tertentu atau sifat wujud dalam beberapa 

aspek penciptaan. Tidak ada bentuk, tidak ada gerakan yang mungkin 

tidak direduksi melalui pertolongan yantra dengan analisis yang benar 

dan penggambaran kekuatan penciptaan dari alam semesta yang kita 

sebut sebagai yang suci. Yantra walaupun digambarkan di atas lembaran 

sebagai suatu yang menumbuhkan kesan bentuk tiga dimensi merupakan 

wujud dari yantra. Bentuk yantra tiga dimensi itu sendiri sebagai wujud 

bayangan yang statis dalam gerak, berkombinasi dengan kekuatan hidup 

yang menggambarkan Dewata tertentu. Yantra merupakan kebutuhan 

dasar untuk menggambarkan semua simbol-simbol, semua wujud suci, 

semua arca, semua bangunan suci, altar, pura dan mudra. Yantra digunakan 

dalam upacara pemujaan pada umumnya, dewata dihadirkan dengan 

menggambarkan melalui yantra dan memanggil nama yang gaib. Yantra 

dapat diekspresikan ke dalam aspek internal dari setiap bentuk ciptaan. 

Sifat alami manusia dan binatang-binatang, seperti halnya Deva-Deva 

dapat diekspresikan melalui yantra. Yantra merupakan aspek dalam dari 

bentuk penciptaan. Sifat dasar manusia dan binatang, seperti halnya para 

dewata dapat diekspresikan melalui yantra. “di dunia ini terdapat yantra 

0

yang tidak terhitung jumlahnya. Setiap bentuk adalah yantra, setiap daun 

adalah yantra, setiap bunga adalah yantra, melalui bentuk, warna, bau 

harum, dan sebagainya, semua menjelaskan kepada kita cerita tentang 

penciptaan” (Danielou. 1964).

Yantra, umumnya berarti alat untuk melaksanakan sesuatu guna mencapai 

tujuan. Di dalam pemujaan, Yantra adalah sarana tempat memusatkan 

pikiran. Dalam Yogini Tantra dikatakan bahwa Devi harus dipuja di dalam 

pratima, mandala atau yantra. Pada tingkat tertentu, kemajuan spiritual 

sadhaka diperkenankan memusatkan baktinya melalui yantra. Siddha-

yogi di dalam proses pemujaan internal yang dilakukannya (antarpuja) 

memulainya dengan melakukan pemujaan melalui yantra, yang merupakan 

perlambang dari Brahma-vijnana. Sebagaimana halnya mantra adalah 

lambang dari perwujudan dewata. Dinamakan yantra karena sarana itu 

juga mencegah timbulnya ni-yantrana (nafsu, kemarahan, dan kekeruhan 

lain) dari jiwa dan mencegah penderitaan yang diakibatkan oleh kekeruhan 

jiwa tersebut.

Yantra biasanya berbentuk diagram, di lukis atau dipahatkan di atas logam, 

kertas atau benda-benda yang lain, dan disucikan seperti menyucikan 

pratima, kemudian dilakukan pemujaan melalui sarana yantra tersebut, 

seperti pemujaaan melalui pratima, arca (patung) dan sebagainya. Mantra 

yang berbeda digunakan untuk melakukan pemujaan yang berbeda, 

demikian pula halnya dengan penggunaan yantra-yantra itu. Terdapat 

berbagai jenis lukisan di dalam yantra, tergantung dari tujuan pemujaan 

(Avalon, 1997: 93). Demikian sehingga dalam waktu singkat makna 

yantra sebagai simbol sesuatu yang dikenakan oleh setiap pemakai dapat 

dirasakan hasilnya.

3. Mantra:

Ya indra sasty-avrato anuṣvāpam-adevayuá,

svaiá sa evair mumurat poṣyam rayiṁ sanutar dhei taṁ tataá.

Terjemahannya;

Tuhan Yang Maha Esa, orang yang tidak beriman kepada Tuhan Yang 

Maha Esa adalah lamban dan mengantuk, mati oleh perbuatannya sendiri. 

Berikanlah semua kekayaan yang dikumpulkan oleh orang semacam itu, 

kepada orang lain’ (Ågveda VIII. 97.3).

                                           

Kata mantra berasal dari bahasa Sanskerta dari kata “Man” artinya pikiran 

dan “Tra” artinya menyeberangkan. Mantra adalah media untuk 

menyeberangkan pikiran dari yang tidak suci atau tidak benar menjadi 

semakin suci dan semakin benar (Wiana, 2004:184). Mantra memiliki 

tujuan untuk melindungi pikiran dari jalan sesat menuju jalan yang benar 

dan suci. Menurut Danielou (dalam Titib 2003:437) bahasa yang benar 

yang merupakan ucapan suci yang digunakan dalam pemujaan disebut 

dengan mantra. Kata mantra berarti “bentuk pikiran”, sehingga seseorang 

yang mampu memahami makna yang terkandung di dalam mantra dapat 

merealisasikan apa yang digambarkan di dalam mantra tersebut. Mantra 

adalah kumpulan dari pada kata-kata yang mempunyai arti mistik, serta 

umumnya berasal dari bahasa sanskerta dan dinamai Bijaksara (Tim 

Penyusun, 1987:6). Mantra disusun dengan menggunakan aksara-aksara 

tertentu yang diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk 

bunyi, sedangkan huruf-huruf itu sebagai perlambang dari bunyi tersebut. 

Mantra mempunyai getaran atau suara tersendiri sehingga untuk 

menghasilkan pengaruh yang dikehendaki mantra harus disuarakan dengan 

cara yang tepat, sesuai dengan “suara” atau ritme, dan warna atau bunyi. 

Apabila mantra tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa lain, mantra itu 

tidak memiliki warna yang sama, sehingga terjemahannya hanya sekedar 

kalimat (Avalon dalam Titib, 2003:439). Kamus Besar Bahasa Indonesia 

menjelaskan, mantra adalah merupakan susunan kata yang berunsur puisi, 

seperti ritme dan irama yang dianggap mengandung kekuatan gaib, 

biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan 

gaib yang lain. Mantra sebagai sebuah pola gabungan kata-kata bahasa 

Weda yang diidentikkan dengan Deva atau Devi tertentu. Mantra digunakan 

dalam sadhana tantra atau berbagai ritual, diucapkan atau diulang-ulang 

dalam berbagai kombinasi atau konteks yang kemudian membuat pola 

vibrisi tertentu. Mantra-mantra yang ada sekarang adalah warisan dari para 

maharsi, orang suci, orang sadhu dan yogi yang telah mempraktikkan 

berbagai mantra selama ribuan tahun (Chawdhri, 2003:97). Dalam 

pengucapan mantra, ada hal-hal yang perlu dicermati seperti: susunan kata-

kata, ritme/intonasi serta pengucapan yang tepat yang diikuti dengan 

suasana lingkungan yang baik sehingga akan menciptakan suatu kesucian. 

Renungkanlah bait mantra ini dengan baik dan benar, buatlah narasinya, 

paparkanlah di depan kelas-mu, mintalah tanggapan dari teman-teman-

mu atas bimbimgam Bapak/ibu guru yang mengajar di kelas!


Mantra adalah sebuah kata-kata atau kalimat suci yang bersumber dari 

kitab suci weda khususnya dalam teks dharma pemujaan kehadapan Ida 

Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa beserta dengan berbagai macam 

manifestasi-Nya pada saat pelaksanaan Panca Yajna dalam kehidupan dan 

penerapan ajaran Hindu.

Mantra adalah catur Weda yaitu: Åg Veda, 

Yayur Weda, Sama Weda, dan Atharwa 

Weda. Mantra merupakan bunyi, suku 

kata, kata, atau sekumpulan kata-kata 

yang dipandang mampu “menciptakan 

perubahan” seperti misalnya perubahan 

spiritual. Penggunaan mantra sekarang 

tersebar melalui berbagai gerakan 

spiritual yang berdasarkan atau cabang 

dari berbagai praktik dalam tradisi dan 

agama ketimuran. Mantra Aum atau 

Om dalam aksara Devanagari. Mantra 

merupakan sebuah kata atau kombinasi 

beberapa buah kata yang sangat kuat atau ampuh, yang didengar oleh orang 

bijak dan dapat membawa seseorang yang mengucapkannya melintasi 

lautan kelahiran kembali, inilah yang merupakan arti mantra yang tertingi. 

Mantra adalah rumusan gaib untuk melepaskan berbagai kesulitan atau 

untuk memenuhi bermacam-macam keinginan duniawi, tergantung dari 

motif pengucapan mantra tersebut. Mantra sebagai sebuah kekuatan 

kata yang dapat dipergunakan untuk mewujudkan keinginan spiritual 

atau keinginan material, yang dapat dipergunakan untuk kesejahteraan 

ataupun penghancuran diri seseorang. Mantra seperti energi atom yakni 

suatu  tenaga yang bertindak sesuai dengan rasa bakti seseorang yang 

mempergunakannya. Sabda adalah Brahman, karena itu Ia menjadi 

penyebab Brāhmanda (Svami Rama: 1984: 24). Khanna (2003: 21) 

menyatakan hubungan mantra dan yantra dengan manifestasi mental energi 

sebagai berikut: Mantra-mantra, suku kata Sanskerta yang tertulis pada 

yantra, sejatinya merupakan ‘perwujudan pikiran’ yang merepresentasikan 

keillahian atau kekuatan kosmik, yang menggunakan pengaruh mereka 

dengan getaran suara. Mantra juga dikenal masyarakat Indonesia sebagai 

rapalan untuk maksud dan tujuan tertentu “maksud baik maupun maksud 

kurang baik”. Dalam dunia sastra, mantra adalah jenis puisi lama yang 

mengandung daya magis. Setiap daerah di Indonesia umumnya memiliki 

mantra, biasanya mantra di daerah-daerah tertentu menggunakan bahasa 

daerah masing-masing. Mantra di dalam bahasa Minangkabau disebut juga 

0

sebagai manto,  jampi-jampi, sapo-sapo, kato pusako, kato, katubah, atau 

capak baruak. Sampai saat ini mantra masih bertahan di tengah-tengah 

masyarakat di Minangkabau. Isi mantra di Minangkabau saat ini berupa 

campuran antara bahasa Minangkabau lama “kepercayaan animisme dan 

dinamisme”, Melayu, bahasa Arab sebagaimana pengaruh Islam dan 

bahasa Sanskerta sebagai wujud dari pengaruh Hindu Budha (Djamaris E. 

: 2001). Sebagian masyarakat tradisional khususnya di Nusantara biasanya 

menggunakan mantra untuk tujuan tertentu. Hal tersebut sebenarnya bisa 

sangat efektif bagi para penggunanya. Selain merupakan salah satu sarana 

komunikasi dan permohonan kepada Tuhan, mantra dengan kata yang 

berirama memungkinkan orang semakin rileks dan masuk pada keadaan 

trance. Dalam kalimat mantra yang kaya metafora dengan gaya bahasa 

yang hiperbola tersebut membantu perapal melakukan visualisasi terhadap 

keadaan yang diinginkan dalam tujuan mantra. Kalimat mantra yang 

diulang-ulang menjadi afirmasi, pembelajaran di level unconscious dan 

membangun apa yang para psikolog dan motivator menyebutnya sebagai 

sugesti diri. Sedangkan  Prapancha Sara menyatakan bahwa: “Brāhmanda 

diresapi oleh sakti, yang terdiri atas Dhvani, yang juga disebut Nada, Prana, 

dan sebagainya”. Manifestasi dari Sabda menjadi wujud kasar (Sthūla) itu 

tidak bisa terjadi terkecuali Sabda itu ada dalam wujud halus (Suksma). 

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa Mantra merupakan aspek 

dari Brahman dan seluruh manfestasi Kulakundalini. Secara filosofis 

sabda itu adalah guna dari akasa atau ruang eternal. Tetapi sabda itu bukan 

produksi akasa. Sabda memanifestasikan diri di dalam akasa. Sabda itu 

adalah Brahman, seperti halnya di antariksa, gelombang bunyi dihasilkan 

oleh gerakan-gerakan udara (Vāyu); karena itu di dalam rongga jiwa atau 

di rongga tubuh yang menyelubungi jiwa, gelombang bunyi dihasilkan 

sesuai dengan gerakan-gerakan Praṇa vāyu dan proses menarik napas dan 

mengeluarkan napas.

Mantra disusun dengan menggunakan akṣara-akṣara tertentu, diatur 

sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk bunyi, sedangkan 

huruf-huruf itu sebagai perlambang-perlambang dari bunyi tersebut. Untuk 

menghasilkan pengaruh yang dikehendaki, mantra harus disuarakan dengan 

cara yang tepat, sesuai dengan svara ‘ritme’ dan varna ‘bunyi’. Huruf-huruf 

penyusunannya pada dasarnya ialah mantra sastra, karena itu dikatakan 

sebagai perwujudan Śastra dan Tantra. Mantra adalah Paramātma., Weda 

sebagai Jivātma, Dharsana sebagai indriya, Puraṇa sebagai jasad, dan Smṛti 

sebagai anggota. Karena itu Tantra merupakan Śākti dan kesadaran, yang 

terdiri atas mantra. Mantra tidak sama dengan doa-doa atau kata-kata untuk 

menasehati diri ‘Ātmanivedana’. Dalam Nitya Tantra, disebutkan berbagai 


nama terhadap mantra menurut jumlah suku katanya. Mantra yang terdiri 

dari satu suku kata disebut Pinda. Mantra tiga suku kata disebut Kartari, 

yang terdiri dari empat suku kata sampai sembilan suku kata disebut Vija 

Mantra, sepuluh sampai duapuluh suku kata disebut Mantra, dan yang 

terdiri lebih dari duapuluh suku kata disebut Mālā. Tetapi istilah Vija juga 

diberikan kepada mantra yang bersuku kata tunggal.

Dalam melaksanakan Tri Sandhya, sembahyang dan berdoa setiap umat 

Hindu sepatutnya menggunakan mantram, namun bila tidak memahami 

makna mantram, maka sebaiknya menggunakan bahasa hati atau bahasa 

ibu, bahasa yang paling dipahami oleh seseorang yang dalam tradisi Bali 

disebut “Sehe” atau “ujuk-ujuk” dalam bahasa Jawa. Penggunaan mantram 

sangat diperlukan dalam sembahyang. Mantram memiliki makna sebagai 

alat untuk mengikatkan pikiran kepada obyek yang dipuja. Pernyataan ini 

tidak berarti bahwa setiap orang harus mampu mengucapkan mantram 

sebanyak-banyaknya, melainkan ada mantra-mantra yang merupakan 

ciri atau identitas seseorang penganut Hindu yang taat, yakni setiap umat 

Hindu paling tidak mampu mengucapkan mantra sembahyang Tri Sandhya, 

Kramaning Sembah dan doa-doa tertentu, misalnya mantram sebelum 

makan, sebelum bepergian, mohon kesembuhan dan lain-lain.

Umumnya umat Hindu di seluruh dunia mengenal Gayatri mantram, 

mantram-mantram subhasita ‘yang memberikan rasa bahagia dan 

kegembiraan’ termasuk mahamrtyunjaya ‘doa kesembuhan/mengatasi 

kematian’, sanyipatha ‘mohon ketengan dan kedamaian’ dan lain-lain. 

Mantram pada umumnya adalah untuk menyebutkan syair-syair yang 

merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut dengan sruti. Dalam 

pengertian ini yang termasuk mantram adalah seluruh syair dalam kitab-

kitab Samhita (Ågveda, Yajurveda, Samaveda, Atharvaveda), Brahmana 

(Sathapatha, Gopatha dan lain-lain), Aranyaka (Taittiriya, Brhadaranyaka, 

dan lain-lain) dan seluruh Upanisad (Chandogya, Isa, Kena, dan lain-lain). 

Di samping pengertian mantram seperti tersebut di atas, syair-syair untuk 

pemujaan yang tidak diambil dari kitab Sruti, sebagian diambil dari 

kitab-kitab Itihasa, Purana, kitab-kitab Agama dan Tantra juga disebut 

mantra, termasuk pula mantram para Pandita Hindu di Bali. Mantram-

mantram ini digolongkan ke dalam kelompok stuti, stava, stotra dan puja. 

Selanjutnya yang dimaksud dengan sutra adalah kalimat-kalimat singkat 

yang mengandung makna yang dalam seperti kitab Yogasutra oleh Maharsi 

Patanjali, Brahmasutra oleh Badarayana dan lain-lain, sedangkan syair-

syair yang dipakai dalam kitab-kitab Itihasa dan Purana, termasuk seluruh 

kitab-kitab sastra agama setelah kitab-kitab Itihasa dan Purana disebut 

                                           

dengan nama Sloka. Demikian makna mantra yang disebut-sebut sebagai 

bagian dari ajaran agama Hindu yang bersifat magis dapat dipahami oleh 

umat sedharma.

B. Fungsi dan Manfaat Tantra, Yantra, dan Mantra 

dalam Kehidupan dan Penerapan Ajaran Hindu.

Perenungan.

“Om Adityasya paramjyotir rakta tejo namo ‘stute, cweta pankaja madhyasthe 

bhaskaraya namo ‘stute.”

Terjemahan:

Ya Tuhan, hamba memuja-Mu dalam perwujudan sinar suci yang merah 

cemerlang berkilauan cahaya-Mu, Engkau putih suci, bersemayam di tengah-

tengah laksana teratai, Engkaulah sumber cahaya yang hamba puja.

Uji Kompetensi:

1. Setelah anda membaca teks ajaran yantra, tantra dan mantra, 

apakah yang anda ketahui tentang agama Hindu? Jelaskan dan 

tuliskanlah!

2. Buatlah ringkasan yang berhubungan dengan ajaran yantra, tantra 

dan mantra, dari berbagai sumber media pendidikan dan sosial 

yang anda ketahui! Tuliskan dan laksanakanlah sesuai dengan 

petunjuk dari bapak/ibu guru yang mengajar di kelas!

3. Bagaimana caramu untuk mengetahui ajaran tantra, yantra, dan 

mantra? Jelaskan dan tuliskanlah pengalamanmu!

4. Manfaat apakah yang dapat dirasakan secara langsung dari usaha 

dan upaya untuk mengetahui ajaran tantra, yantra, dan mantra? 

Tuliskanlah pengalaman anda!

5. Amatilah lingkungan sekitar anda terkait dengan adanya 

pengamalan ajaran tantra, yantra, dan mantra guna mewujudkan 

tujuan hidup manusia dan tujuan agama Hindu, buatlah catatan 

seperlunya dan diskusikanlah dengan orang tuamu! Apakah yang 

terjadi? Buatlah narasinya 1–3 halaman diketik dengan huruf  

Times New Roman –12, spasi 1,5 cm, ukuran kertas kwarto; 4-3-

3-4!


Dalam totalitas kehidupan manusia sebagai insan yang beragama dan berbudaya 

sangat membutuhkan tuntunan dan perlindungan dari Sang Penciptanya guna 

dapat mewujudkan cita-cita hidupnya. Ajaran agama dapat menuntun umat 

manusia untuk mewujudkan semuanya itu dengan baik dan damai. Tantra, 

Yantra, dan Mantra sebagai bagian dari ajaran agama memiliki kontribusi yang 

bermanfaat untuk mewujudkan semuanya itu oleh umat sedharma. Adapun 

fungsi dan manfaat ajaran Yantra, Tantra dan Mantra dalam kehidupan dan 

penerapan ajaran Hindu dapat dipaparkan sebagai berikut.

1. Tantra

Menurut ajaran tantra disebutkan ada tiga urat saraf manusia yang paling 

penting, yaitu; Sushumna, Ida dan Pinggala. Keberadaannya dimulai dari 

muladhara chakra, yang bertempat didasar tulang belakang. Sushumna 

adalah yang paling penting dari semua saraf atau nadi. Urat saraf atau nadi 

manusia tidak kelihatan secara kasat mata karena bersifat sangat halus. Ia 

bergerak melalui jaringan pusat dari tulang belakang dan bergerak jauh 

sampai titik paling atas dari kepala. Ida dan Pinggala bergerak paralel 

dengan Sushumna di sebelah kiri dan kanan dari saraf tulang belakang. Ida 

dan Pinggala bertemu dengan sushumna di ajna chakra, titik yang terletak 

diantara alis mata. Mereka berpisah lagi dan mengalir melalui sisi kiri dan 

kanan hidung

Tantra adalah suatu kombinasi yang unik antara mantra, upacara 

dan pemujaan secara total. Ia adalah agama dan juga filosofi, yang 

berkembang baik dalam Hinduisme maupun Buddhisme. Definisi tantra 

dijelaskan dalam kalimat ini; shasanat tarayet yastu sah shastrah 

parikirtitah, yang berarti” yang menyediakan petunjuk jelas memotong dan 

oleh karena itu menuntun ke jalan pembebasan spiritual dan pengikutnya 

disebut sastra.” Akar kata ”trae” diikuti oleh saffix “da” menjadi “tra” yang 

berarti “yang membebaskan”. Kita melihat penggunaan yang sama dari akar 

kata “tra” di dalam kata mantra. Definisi mantra adalah: mamanat tarayet 

yastu sah mantrah parikirtitah:” Suatu proses yang ketika diulang-ulang 

terus menerus di dalam pikiran, membawa pembebasan, disebut mantra. 

Beberapa sarjana mencoba membagi tantra menjadi dua bagian utama, 

yaitu “jalan kanan” dan “jalan kiri”. Bernet Kemper berpendapat, tantra 

“jalan kanan” (menghindari praktek ekstrem, mencari-cari pengertian 

yang mendalam, dan pembebasan melalui asceticism) harus dibedakan 

dari “jalan kiri” (black magic dan ilmu sihir). Ia kemudian menegaskan, di 

dalam “jalan kanan”, bakti atau penyerahan diri memegang peranan yang 

sangat penting. Lebih dari itu, bakti cenderung menolak dunia material. 

Sedangkan “jalan kiri” mempunyai kecendrungan yang sangat berbeda. Ia 

                                           

berusaha keras untuk menguasai aspek-aspek kehidupan yang menggangu 

dan mengerikan seperti kematian dan penyakit. Untuk mengatasi hal 

tersebut eksistensi dari kekuatan keraksasaan (demonic) “jalan kiri” 

membuat kontak langsung di tempat-tempat yang mengerikan seperti di 

pekuburan.

Pandangan kalangan akademis ini sangat berbeda dengan pandangan dari 

praktisi tantra. Para praktisi tantra pada umumnya menolak pembagian 

tantra atas tantra positif dan negatif dan menekankan pada metode untuk 

mentransformasikan keinginan. Lama Thubten Yeshe, seorang praktisi 

Tibetan mengatakan tantra menggunakan energi dari khayalan seperti 

keterikatan kepada keinginan adalah sumber dari penderitaan dan oleh 

karena itu harus di atasi namun ia juga mengajarkan keahlian untuk 

menggunakan energi dari khayalan tersebut untuk memperdalam kesadaran 

kita hingga menghasilkan kemajuan spiritual. Seperti mereka yang dengan 

keahliannya mampu mengangkat racun tumbuh-tumbuhan dan menjadikan 

obat yang mujarab, seperti itu pula seorang yang ahli dan terlatih dalam 

praktek tantra, mampu memanipulasi energi keinginan bahkan kemarahan 

menjadi mapan. Ini sungguh-sungguh sangat mungkin dilakukan.

Dalam arti tertentu tantra merupakan suatu teknik untuk mempercepat 

pencapaian tujuan agama atau realisi sang diri dengan menggunakan 

berbagai medium seperti mantra, yantra, mudra, mandala pemujaan 

terhadap berbagai Deva Devi termasuk pemujaan kepada makhluk 

setengah Deva dan mahluk-mahluk lain, meditasi dan berbagai cara 

pemujaan, serta praktek yoga yang kadang-kadang dihubungkan dengan 

hubungan seksual. Elemen-elemen tersebut terdapat dalam tantra Hindu 

maupun Buddha. Kesamaan teologi ini menjadi faktor penting yang 

memungkinkan tantra menjadi salah satu medium penyatuan antara 

Siwaisme dan Buddhisme di Indonesia. Hubungan seks dalam tantra, 

seperti diperkirakan oleh Dasgupta; merupakan penyimpangan dari konsep 

awal tantra. Konsep awal tantra meliputi elemen-elemen seperti yang 

disebutkan di atas, yakni; mantra, yantra, mudra dan yoga. Penyimpanan 

tersebut terjadi karena penggunaan “alat-alat praktis” dalam tantra 

Buddha yang berdasarkan prinsip-prinsip Mahayana dimaksudkan untuk 

merealisasikan tujuan tertinggi baik tantra Hindu maupun Buddha, adalah 

tercapainya keadaan sempurna dengan penyatuan antara dua praktek serta 

merealisasikan sifat non dualis dari realitas tertinggi. 

H.B. Sarkar menyatakan hubungan seksual dalam tantra lebih diarahkan 

untuk mengontrol kekuatan alam dan bukan untuk mencapai kebebasan. Ia 

mengatakan secara umum tradisi Indonesia membagi tujuan hidup manusia 

0

menjadi dua; pragmatis dan idealistis.  Mengontrol kekuatan alam adalah 

salah satu tujuan pragmatis. Hal ini biasanya dilakukan oleh raja yang 

mempraktikkan sistem kalacakrayana dalam usaha melindungi rakyatnya, 

memberikan keadilan, kesejahteraan dan kedamaian.

Di Indonesia dikenal ada tiga jenis tantra yaitu; 

Bhairava Heruka di Padang Lawas, Sumatra Barat; 

Bhairava kalacakra yang dipraktikkan oleh raja 

ketanegara dari Singasari dan Adtityawarman 

dari Sumatra yang sezaman dengan Gajah Mada 

di Majapahit; dan Bharavia Bhima di Bali. Arca 

Bharavia Bima terdapat di Pura Edan, Bedulu, 

Gianyar Bali. Menurut prasasti Palembang, 

Tantrayana masuk ke Indonesia melalui 

kerajaan Sriwijaya di Sumatra pada adab ke-7. 

Kalacakratantra memegang peranan penting dalam 

unifikasi siwaisme dan buddhaisme, karena dalam 

tantra ini Siwa dan Buddha, diunifikasikan menjadi 

siwa-buddha. Konsep Ardhanariswari memegang 

peranan yang sangat penting dalam Kalacakratantra. 

Kalacakratantra mencoba menjelaskan penciptaan 

dan kekuatan alam dengan penyatuan Devi Kali 

yang mengerikan, tidak hanya dengan Dhyani Buddha, melainkan juga 

dengan adi Buddha sendiri. Kalacakratantra mempunyai berbagai sebutan 

dalam sekta tantra yang lain seperti; Hewarja, Kalacakra, Acala, Cakra 

Sambara, Vajrabairava, Yamari, Candama harosama dan berbagai bentuk 

Heruka.

Di dalam tantrayana ritual adalah elemen utama untuk merealisaikan 

kebenaran tertinggi. John Woodroffe mengatakan, ritual adalah sebuah seni 

keagamaan. Seni adalah bentuk luar materi sebagai ekspresi dari ide-ide 

yang berdasarkan intelektual dan dirasakan secara emosional. Seni ritual 

berhubungan dengan ekspresi ide-ide dan perasaan tersebut yang secara 

khusus disebut religius. Ini adalah suatu cara, dengan mana kebenaran 

religious ditampilkan, dan dapat dimengerti dalam bentuk material dan 

simbol-simbol oleh pikiran. Ini berhubungan dengan semua manifestasi 

alam dalam wujud keindahan, dimana untuk beberapa alasan, Tuhan 

memperlihatkan diri Beliau sendiri. Tetapi ini tidak terbatas hanya untuk 

tujuan itu semata-mata. Artinya, dengan seni religius sebagai alat pikiran 

yang ditransformasikan dan di sucikan.

0

Masab siwa-buddha dengan pengaruh khusus Kalacakratantra dapat dilihat 

pada peninggalan-peninggalan arkeologi seperti di Candi Jawi. Prapanca 

dalam Nagarakertagama Bab 56 ayat 1 dan 2 melukiskan monumen ini 

dengan sangat indah. Bagian bawah candi yaitu bagian dasar dan bagian 

badan candi adalah Siwaitis  dan bagian atas atau atap, adalah buddhistis, 

sebab di dalam kamar terdapat arca Siva dan diatasnya di langit-langit 

terdapat sebuah arca Aksobhya. Inilah alasannya mengapa Candi Jawi 

sangat tinggi dan oleh karena itu disebut sebuah Kirthi. Dalam tantra 

Hindu prinsip metafisik Siwa-Shakti dimanifestasikan di dunia material 

ini dalam wujud laki dan perempuan sedangkan dalam tantra Buddha 

pola sejenis diikuti dimana prinsip-prinsip metaffisik Prajna dan Upaya 

termanifestasikan dalam wujud perempuan dan laki-laki. Tujuan tertinggi 

dari kedua masab tantra ini adalah penyatuan sempurna yaitu penyatuan 

antara dua aspek dari realitas dan realisasi dari sifat-sirat non-dualis dari 

roh dan non-roh.

2. Yantra.

Fungsi dan manfaat Yantra, dalam kehidupan dan penerapan ajaran Hindu 

bagi umat sedharma adalah:

a. Simbol sesuatu yang dihormati/dipuja.

b. Sarana atau media mewujudkan tujuan hidup dan tujuan agama yang 

diyakininya.

c. Media memusatkan pikiran.

Yantra adalah bentuk “niyasa” (symbol, pengganti yang sebenarnya) yang 

diwujudkan oleh manusia untuk mengkonsentrasikan baktinya ke hadapan 

Ida Sang Hyang Widhi Wasa, seperti misalnya dalam perpaduan warna, 

kembang, banten, gambar, arca, dan lain-lain. Setiap yantra baik dari segi 

bentuk maupun goresan yang tertera pada yantra tersebut mempunyai 

arti yang berbeda serta tujuan yang berbeda pula. Karena yantra 

mempunyai tujuan dan manfaat yang berbeda sehingga bentuk-bentuk 

yantra dikembangkan dan diberi sentuhan artistik modern. Yantra tidak 

lagi kelihatan seperti barang seni atau seperti sebuah perhiasan tertentu. 

Bentuk yantra sudah disesuaikan dengan kebutuhan si pemakainya. 

Dengan berkembangnya zaman seperti sekarang ini, banyak sekali yantra 

dibentuk kecil, misalnya dalam bentuk kalung, gelang dan cincin. Memang 

sebaiknya yantra tersebut diusahakan selalu dekat dengan si pemakainya. 

Dengan kedekatan itu, maka antara energi yang ada dalam yantra dan 

energi si pemakai menjadi saling menyesesuaikan. Yantra dapat diibaratkan 

sebagai polaritas energi positif yang secara terus menerus mempengaruhi 

si pemakainya.

0

3. Mantra.

Berdasarkan sumbernya “weda” ada bermacam-macam jenis mantra 

yang secara garis besar dapat dipisahkan menjadi; Vedik mantra, Tantrika 

mantra, dan Puraṇik mantra. Sedangkan berdasarkan sifatnya mantra 

dapat terbagi menjadi; Śāttvika mantra (mantra yang diucapkan guna 

untuk pencerahan, sinar, kebijaksanaan, kasih sayang Tuhan tertinggi, cinta 

kasih dan perwujudan Tuhan), Rājasika mantra (mantra yang diucapkan 

guna kemakmuran duniawi serta kesejahteraan anak-cucu), Tāmasika 

mantra (mantra yang diucapkan guna mendamaikan roh-roh jahat, untuk 

menghancurkan atau menyengsarakan orang lain, ataupun perbuatan-

perbuatan kejam lainnya/Vama marga/Ilmu Hitam). Disamping itu mantra 

juga dapat diklasifikasikan menjadi sebutan antara lain: Mantra: yang 

berupa sebuah daya pemikiran yang diberikan dalam bentuk beberapa suku 

kata atau kata, guna keperluan meditasi dari seorang guru (Mantra Diksa); 

Stotra: doa-doa kepada para dewata, Stotra ada yang bersifat umum, yaitu; 

yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang harus datang dari Tuhan 

sesuai dengan kehendakNya, misalnya doa-doa yang diucapkan oleh para 

rohaniawan ketika memimpin persembahyangan, sedangkan Stotra yang 

bersifat khusus adalah doa-doa dari seorang pribadi kepada Tuhan untuk 

memenuhi beberapa keinginan khususnya, misalnya doa memohon anak, 

dan sebagainya; Kāvaca Mantra: mantra yang dipergunakan untuk benteng 

atau perlindungan dari berbagai rintangan.

Umat Hindu percaya bahwa kehidupan ini diliputi dan diresapi oleh mantra. 

Semua mahluk, apakah seorang petani atau seorang Raja, semuanya 

diatur oleh mantra. Adapun arti dan makna sebuah mantra adalah utuk 

mengembangkan sebuah kekuatan supranpada diri manusia; “Pikiran 

yang luar biasa dapat muncul dari kelahiran, obat-obatan, mantra-mantra, 

pertapaan dan kontemplasi keDewataan (Yoga Sutra 4.1). 

Berdasarkan hal tersebut, maka mantra adalah ucapan yang luar biasa 

yang dapat mengikat pikiran. Adapun makna mantra ataupun maksud 

pengucapan mantra, dapat dirinci sebagai berikut:

a. Untuk mencapai kebebasan;

b. Memuja manifestasi Tuhan yang Maha Esa;

c. Memuja para dewata dan roh-roh;

d. Berkomunikasi dengan para Deva;

e. Memperoleh tenaga dari manusia super (Purusottama);

f. Menyampaikan persembahan kepada roh leluhur dan para dewata;

                                           

g. Berkomunikasi dengan roh-roh dan hantu-hantu;

h. Mencegah pengaruh negatif;

i. Mengusir roh-roh jahat;

j. Mengobati penyakit;

k. Mempersiapkan air yang dapat menyembuhkan (air suci);

l. Menghancurkan tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang dan manusia;

m. Menetralkan pengaruh bisa atau racun dalam tubuh manusia;

n. Memberi pengaruh lain terhadap pikiran dan perbuatan;

o. Mengontrol manusia, binatang-binatang buas, Deva-Deva dan roh-roh 

jahat;

p. Menyucikan badan manusia (Majumar, 1952, 606).

Fungsi dan manfaat mantra dalam kehidupan dan penerapan ajaran Hindu 

bagi umat sedharma adalah:

a. Memuja Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam ajaran agama Hindu, Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi 

Wasa sebagai pencipta semua yang ada ini. Beliaulah menyebabkan semua 

yang ada ini menjadi hidup. Tanpa bantuan beliau semuanya ini tidak akan 

pernah ada. Kita patut bersyukur kehadapan-Nya dengan memuja-Nya, 

sebagaimana diajarkan oleh agama yang tersurat dan tersirat dalam kitab 

suci ‘weda’

b. Memohon kesucian.

Tuhan Yang Maha Esa bersifat mahasuci. Bila kita ingin memperoleh 

kesucian itu, dekatkanlah diri ini kepada-Nya. Dengan kesucian hati 

menyebabkan seseorang memperoleh kebahagiaan, menghancurkan pikiran 

atau perbuatan jahat. Orang yang memiliki kesucian hati mencapai surga 

dan bila ia berpikiran jernih dan suci maka kesucian akan mengelilinginya. 

Kesucian atau hidup suci diamanatkan sebagai sarana untuk mendekatkan 

diri dengan Tuhan Yang Maha Esa.

c. Memohon keselamatan.

Mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk memohon 

keselamatan dan kebahagiaan melalui berbagai jalan yang telah 

ditunjukkannya dalam kitab suci menjadi kewajiban umat sedharma. 

Keselamatan dalam hidup ini merupakan sesuatu yang sangat penting. 

Dalam keadaan selamat kita dapat melaksanakan pengabdian hidup ini 

166 Kelas XII SMA/SMK 

menjadi lebih baik. Tuhan Yang Maha Esa , pengasih dan penyayang 

selalu menganugerahkan pertolongan kepada orang-orang-Nya. Orang-

orang yang bijaksana sesudah kematiannya memperoleh keselamatan dan 

kebahagiaan yang sejati.

d. Memohon Pencerahan dan kebijakan.

Dalam kitab Nirukta Vedangga, mantra dapat dibagi menjadi 3 sesuai 

dengan tingkat kesukarannya, seperti: Paroksa Mantra, yaitu mantra yang 

memiliki tingkat kesukaran yang paling tinggi. Hal ini disebabkan mantra 

jenis ini hanya dapat dijangkau arti dan maknanya kalau diwahyukan oleh 

Tuhan. Tanpa sabda Tuhan mantra ini tidak mungkin dapat dipahami; 

Adyatmika Mantra, yaitu mantra yang memiliki tingkat kesukaran yang 

lebih rendah dari Paroksa Mantra. Mantra ini dapat dicapai maknanya 

melalui proses pensucian diri. Orang yang rohaninya masih kotor, tidak 

mungkin dapat memahami arti dan fungsi jenis mantra ini; Pratyāksa 

Mantra, yaitu mantra yang lebih mudah dipahami dibandingkan dengan 

Paroksa Mantra dan Adyatmika Mantra. Untuk menjangkau makna mantra 

ini dapat hanya mengandalkan ketazaman pikiran dan indra.

e. Melestarikan ajaran “Dharma”.

Sumber ajaran agama Hindu adalah Weda. Weda adalah wahyu Tuhan yang 

diterima oleh para maharsi baik secara langsung, maupun berdasarkan 

ingatannya. Diyakini bahwa pada awalnya weda diajarkan secara lisan, 

hal ini memungkinkan karena pada saat itu manusia masih mempolakan 

dirinya secara sederhana dan polos. Setelah kebudayaan manusia semakin 

berkembang, peralatan tulis-menulis telah ditemukan maka berbagai jenis 

mantra yang sudah ada dan yang baru diterima dituliskan secara baik dalam 

buku, kitab, lontar yang disebut Varnātmaka Sabda, yang terdiri dari suku 

kata, kata ataupun kalimat. Sedangkan mantra yang diucapkan disebut 

Dhvanyātma Sabda, yang merupakan nada atau perwujudan dari pikiran 

melalui suara tertentu, yang dapat berupa suara saja atau kata-kata yang 

diucapkan ataupun dilagukan dan setiap macamnya dipergunakan sesuai 

dengan keperluan, kemampuan serta motif pelaksana.

Uji Kompetensi:

1. Setelah membaca teks fungsi dan manfaat yantra, tantra dan 

mantra dalam kehidupan dan penerapan ajaran Hindu, apakah 

yang anda ketahui tentang agama Hindu? Jelaskan dan tuliskanlah!

                                           

C. Bentuk-Bentuk Tantra, Yantra, dan Mantra yang 

Dipergunakan dalam Praktik Kehidupan Sesuai 

Ajaran Agama Hindu.

Perenungan.

“Trātāram indram avitāram handraṁhavehave suhavaṁ ṡuram indram, 

hvayāmi ṡakram puruhūtam indraṁ svasti no maghavā dhātvindrah.

Terjemahan:

Tuhan sebagai penolong, Tuhan sebagai penyelamat, Tuhan yang maha kuasa, 

yang dipuja dengan gembira dalam setiap pemujaan, Tuhan, maha kuasa, selalu 

dipuja, kami memohon, semoga Tuhan, yang maha pemurah, melimpahkan 

rahmat kepada kami (RV.VI.47.11).

2. Buatlah ringkasan yang berhubungan dengan fungsi dan manfaat 

yantra, tantra dan mantra dalam kehidupan dan penerapan ajaran 

Hindu, dari berbagai sumber media pendidikan dan sosial yang 

anda ketahui! Tuliskan dan laksanakanlah sesuai dengan petunjuk 

dari bapak/ibu guru yang mengajar di kelas!

3. Apakah yang anda ketahui tentang fungsi dan manfaat yantra, 

tantra dan mantra dalam kehidupan dan penerapan ajaran Hindu? 

Jelaskanlah!

4. Bagaimana caramu untuk mengetahui fungsi dan manfaat yantra, 

tantra dan mantra dalam kehidupan dan penerapan ajaran Hindu? 

Jelaskan dan tuliskanlah pengalamannya!

5. Manfaat apakah yang dapat dirasakan secara langsung dari usaha 

dan upaya untuk mengetahui fungsi dan manfaat yantra, tantra 

dan mantra dalam kehidupan dan penerapan ajaran Hindu? 

Tuliskanlah pengalaman anda!

6. Amatilah lingkungan sekitar anda terkait dengan adanya fungsi 

dan manfaat yantra, tantra dan mantra dalam kehidupan dan 

penerapan ajaran Hindu guna mewujudkan tujuan hidup manusia 

dan tujuan agama Hindu, buatlah catatan seperlunya dan 

diskusikanlah dengan orang tuanya! Apakah yang terjadi? Buatlah 

narasinya 1–3 halaman diketik dengan huruf  Times New Roman 

–12, spasi 1,5 cm, ukuran kertas kwarto; 4-3-3-4!

0

Tantra

Tantra adalah konsep pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa di mana manusia 

kagum pada sifat-sifat kemahakuasaan-Nya, sehingga ada keinginan untuk 

mendapatkan sedikit kesaktian. Tantra adalah suatu kombinasi yang unik 

antara mantra, upacara dan pemujaan secara total. Ia adalah agama dan juga 

philosopy, yang berkembang baik dalam Hinduisme maupun Buddhisme. 

Tantra adalah cabang dari agama Hindu. Kebanyakan kitab-kitab Tantra masih 

dirahasiakan dari arti sebenarnya dan yang sudah diketahui masih merupakan 

teka-teki. Ada baiknya diantara kita mulai belajar mendiskusikan ajaran tantra 

berlandaskan makna ajaran tersebut yang sesungguhnya, dengan demikian 

kita akan dapat mengetahui dan melaksanakan dengan bentuknya yang baik 

dan benar.

Secara umum dapat dinyatakan bahwa yantra dan mantra adalah bentuk-

bentuk ajaran tantra yang sudah dilaksanakan oleh masyarakat pengikutnya 

guna memuja kebesaran Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur 

semua yang ada ini. Namun demikian pelaksanaannya masih perlu disesuaikan 

dengan kemampuan dan keadaan pelaksananya, sehingga mereka dapat 

terhindar dari sesuatu yang tidak kita inginkan bersama.

Yantra

Di dalam pemujaan yantra adalah sarana tempat memusatkan pikiran. Yantra 

adalah sebuah bentuk geometrik. Bentuk yantra yang paling sederhana adalah 

sebuah titik (Bindu) atau segitiga terbalik. Disamping ada bentuk yantra yang 

sederhana, ada juga bentuknya yang sangat rumit (simetris dan non-simetris) 

yang semuanya itu dapat disebut Yantra. Semua bentuk-bentuk ini didasarkan 

atas bentuk-bentuk matematika dan metode-metode tertentu. Yantra tersebut 

dipergunakan untuk melambangkan para Deva seperti Siwa, Wishnu, Ganesha, 

dan yang lainnya termasuk Sakti. Keadaan Mantra dan Yantra adalah saling 

terkait. Pikiran dinyatakan dalam bentuk halus sebagai satu Mantra dan 

pikiran yang sama dinyatakan dalam bentuk gambar sebagai sebuah Yantra. 

Dinyatakan terdapat lebih dari sembilan ratus Yantra. Salah satu dari Yantra 

yang terpenting adalah Sri Yantra, atau Navayoni Chakra, melambangkan 

Siwa dan Sakti. Yantra itu dapat dicermati dari berbagai praktik aliran atau 

pengikut Sakti. Adapun bentuk-bentuk yantra yang dapat dikemukakan dalam 

tulisan ini adalah;

                                           

1. Banten

Banten adalah salah satu bentuk Yantra, 

sebagaimana dinyatakan dalam Lontar 

Yadnya Parakerti. Banten itu memiliki arti 

yang demikian dalam dan universal. Banten 

dalam upacara agama Hindu adalah wujudnya 

sangat lokal, namun di dalamnya terkandung 

nilai-nilai yang universal. Banten itu adalah 

bahasa untuk menjelaskan ajaran agama 

Hindu dalam bentuk simbol. Banten menurut 

Lontar Yadnya Prakerti menyatakan sebagai 

simbol ekspresi diri manusia. Misalnya; 

banten caru sebagai lambang penetralisir 

kekuaan negatif, banten peras sebagai lambang permohonan untuk hidup 

sukses dengan menguatkan Tri Guna ‘Peras Ngarania Prasidha Tri Guna 

Sakti’ artinya hidup sukses itu dengan memproporsikan dan memposisikan 

dengan tepat dinamika Tri Guna (Sattwam Rajas Tamas) sampai mencapai 

Sakti.

2. Susastra

Dalam tradisi Hindu, yantra umumnya digunakan untuk melakukan 

upakara puja dengan mengikut sertakan bija mantra sesuai yantra 

tersebut. Banyaknya jenis puja dan setiap puja menggunakan yantra maka 

penggunaan mantra juga menjadi berbeda. Adapun bentuk-bentuk yantra 

dalam kesusastraan Hindu antara lain:

a. Bhu Pristha yantra; adalah yantra yang biasanya dibuat secara timbul 

atau dipahat pada suatu bahan tertentu. Bhu Pristha yantra biasanya 

hanya ditulis pada selembar kertas atau kain.

b. Meru Pristha yantra; adalah yantra yang berbentuk seperti gunung atau 

piramid dimana di bagian dasar penampangnya dibuat lebar atau besar 

semakin keatas semakin mengecil misalnya bentuk meru pada bangunan 

pelinggih yang ada di Bali.

c. Meru parastar yantra; adalah bentuk yantra yang dipotong sesuai garis 

yantra tersebut atau dipotong bagian tertentu.

d. Ruram Pristha yantra; adalah yantra dimana bagian dasarnya 

membentuk mandala segi empat dan diatasnya dibentuk sebuah bentuk 

tertelungkup atau seperti pundak kura-kura.

e. Patala yantra: adalah yantra yang dibagian diatasnya bentuknya lebih 

besaran dari pada bentuk bagian bawahnya ‘kecil’. Bentuk ini kebalikan 

dari meru Pristha yantra

0

Setiap Yantra baik dari segi bentuk maupun goresan yang tertera pada 

Yantra tersebut akan mempunyai arti yang berbeda serta tujuan yang 

berbeda pula. Karena yantra mempunyai tujuan dan manfaat yang berbeda. 

Bentuk-bentuk yantra dikembangkan dan diberi sentuhan artistik modern 

sehingga yantra tidak lagi kelihatan seperti barang seni atau sebuah 

perhiasan belaka, tetapi disesuaikan dengan makna dan ciri yantra serta 

kebutuhan si pemakainya. Sesuai perkembangan zaman sekarang banyak 

sekali yantra dibentuk kecil, misalanya dalam bentuk kalung, gelang dan 

cincin. memang sebaiknya yantra tersebut diusahakan selalu dekat dengan 

si pemakainya, dengan kedekatan itu maka energi yang ada dalam yantra 

dan energi pemakai menjadi saling menyesuaikan. Yantra dapat diibaratkan 

sebagai polaritas energi positif yang secara terus menerus mempengaruhi 

si pemakainya sehingga dalam waktu singkat fungsi yantra yang dikenakan 

dapat dirasakan manfaatnya atau hasilnya.

Siwa lingga adalah bagian dari Tantrisme. Devasa ini hampir di semua 

tempat suci (Pura) seseorang dapat melihat Siwalingga yang diwujudkan 

dengan lingga – yoni. Menurut Siwa Purana, itu melambangkan ruang di 

mana alam semesta menciptakan dan melenyapkan dirinya berulang-kali. 

Sedangkan menurut Tantra mewujudkannya dengan phalus dan yoni 

sebagai perlambang dari sifat laki-laki dan wanita. Ia juga melambangkan 

prinsip-prinsip kreatif dari kehidupan. Siwalingga bisa bersifat Chala 

(bergerak) atau Achala (tidak bergerak). Chala Lingga dapat ditempatkan 

di Pura atau rumah atau dapat dibuat secara sementara dari tanah liat atau 

adonan atau nasi. Achala Lingga biasanya ditempatkan di Pura, terbuat 

dari batu. Bagian terbawah dari Siwalingga disebut Brahmabhaga yang 

melambangkan Brahma, bagian tengah yang berbentuk segi delapan 

disebut Wishnubhaga yang melambangkan Wishnu, dan bagian menonjol 

yang berbentuk silinder disebut Rudrabhaga, serta pemujaan kepadanya 

disebut Pujabhaga.

Mandala artinya “lingkaran.” Ia sesungguhnya 

bentuk Yantra yang paling rumit. Ia berwujud 

dalam segala bentuk dan sifatnya sangat 

artisitik. Dalam agama Hindu, mandala 

digunakan sebagai alat bantu meditasi. 

Keindahan dari tempat-tempat suci (Pura) 

Hindu terletak dalam jumlah mandala yang 

dipahat di batu-batu di dinding Pura. Sebuah 

mandala terdiri dari satu pusat titik, garis-

garis dan lingkaran-lingkaran yang diletakkan 


secara geometrik di sekeliling lingkaran. Pusatnya biasanya adalah 

sebuah titik (Bindu). Kita juga dapat melihat mandala di Wihara Buddha. 

Dibalik setiap mandala terdapat sejumlah besar pikiran-pikiran. Kadang-

kadang melihat sebuah mandala sepertinya kita melihat melalui sebuah 

kaleidoskop.

Sri Chakra adalah satu dari yantra yang 

paling kuat dalam ajaran agama Hindu, yang 

biasanya digunakan oleh penganut sakti Devi 

ibu, dalam pemujaan-Nya. Sri Chakra adalah 

simbol dari Lalitha aspek dari Ibu Suci. Ia 

terdiri dari sebuah titik (Bindu) pada 

pusatnya, yang dikelilingi oleh sembilan 

Trikona, lima dari padanya dengan puncak 

menghadap ke bawah dan empat yang lain 

menghadap ke atas. Interseksi atau 

persinggungan dari sembilan segitiga ini 

menghasilkan empat puluh tiga segitiga secara total. Ini dikelilingi oleh 

lingkaran konsentris dari delapan daun bunga teratai dan juga oleh tiga 

lingkaran konsentris. Akhirnya pada sisi paling luar, ada sebuah segi empat 

(Chaturasra) yang dibuat dari  tiga garis, garis yang satu ada di dalam garis 

yang lain, membuka ditengah-tengahnya masing-masing sisi sebagai empat 

gerbang. 

Mandala dalam konsep agama Hindu adalah 

gambaran dari alam semesta. Secara harafiah 

mandala berarti “lingkaran.” Mandala ini 

terkait dengan kosmologi India kuno yang 

berpusatkan Gunung Mahameru, sebuah 

gunung yang diyakini sebagai pusat alam 

semesta. Di dalam Tantrayana mandala 

juga menggambarkan alam kediaman para 

makhluk suci, yang sangat penting bagi ritual 

atau sadhana Tantra. Saat berlangsungnya 

sadhana, sadhaka akan menyusun ulang 

mandala ini baik secara nyata ataupun 

visualisasi. Sesungguhnya semua orang diantara kita setiap hari telah 

menyusun mandalanya masing-masing. Mandala adalah melambangkan 

cakupan karya dan medan pemikiran seseorang. Menurut ajaran Vajrayana, 

mandala hendaknya disusun secara cermat. Ini menandakan bahwa dalam 

berkarya seseorang hendaknya cermat dan melakukan yang sebaik-baiknya. 

0

3. Doa (Mantra)

Maha Rsi Manu yang disebut sebagai peletak dasar hukum yang 

digambarkan sebagai orang yang pertama memperoleh mantra. Beliau 

mengajarkan mantra itu kepada umat manusia dengan menjelaskan 

hubungan antara mantra dengan objeknya. Demikianlah mantra merupakan 

bahasa ciptaan yang pertama. Mantra-mantra digambarkan dalam bentuk 

yang sangat halus dari sesuatu, bersifat abadi, berbentuk formula yang 

tidak dapat dihancurkan yang merupakan asal dari semua bentuk yang 

tidak abadi. Bahasa yang pertama diajarka oleh Manu adalah bahasa awal 

dari segalanya, bersifat abadi, penuh makna. Bahasa Sanskerta diyakini 

sebagai bahasa yang langsung barasal dari bahasa yang pertama, sedang 

bahasa-bahasa lainnya dianggap perkembangan dari bahasa Sanskerta 

(Majumdar, 1916, p.603). Sebagai asal dari bahasa yang benar, merupakan 

ucapan suci yang digunakan dalam pemujaan disebut mantra. Kata mantra 

berarti “bentuk pikiran”. Seseorang yang mampu memahami makna yang 

terkandung di dalam mantra dapat merealisasikan apa yang digambarkan 

di dalam mantra itu (Danielou, 1964, 334).

Bentuk abstrak yang dimanifestasikan itu berasal dan diidentikkan dengan 

para Deva (dewata). Mantra merupakan sifat alami dari Deva-Deva dan 

tidak dapat dipisahkan (keduanya) itu. Kekuasaan para Deva merupakan 

satu kesatuan dengan nama-Nya. Aksara suci dan mantra, yang menjadi 

kendaraan gaib para deva dapat menghubungkan penyembah dengan 

dewata yang dipuja. Dengan mantra yang memadai mahluk-mahluk halus 

dapat dimohon kehadirannya. Mantra, oleh karenanya merupakan kunci 

yang penting dalam aktivitas ritual dari semua agama dan juga digunakan 

dalam aktivitas bentuk-bentuk magis. Pustaka Yamala Tantra menjelaskan 

sebagai berikut; “sesungguhnya, tubuh dewata muncul dari mantra atau 

bizamantra”. Masing-masing dewata digambarkan dengan sebuah mantra 

yang jelas, dan melalui bunyi-bunyi yang misterius. Arca dapat disucikan 

dengan mantra dan arca tersebut menjadi ‘hidup’. Demikianlah kekuatan 

sebuah mantra yang menghadirkan dewata dan masuk ke dalam arca. 

Sebagai benang penghubung dunia yang berbeda, jembatan dari yang 

berbeda, mantra-mantra adalah instrume, melalui mantra itu dapat dicapai 

sesuatu diluar kemampuan persepsi seseorang.

“Sebuah mantra; dinamakan demikian karena membimbing pikiran 

(manana) dan hal itu merupakan pengetahuan tentang alam semesta dan 

perlindungan (trana) dari perpindahan jiwa, dapat dicapai” (Pingala Tantra) 

“Disebut sebagai sebuah mantra karena pikiran terlindungi” (Mantra 

Maharnava, dikutip oleh Devaraja Vidya Vacaspati) 0

Persepsi yang pertama tentang sebuah mantra selalu ditandai sebagai 

hubungan langsung antara umat manusia dengan Deva. Mantra, diperoleh 

pertama kali oleh seorang rsi. “Karenanya seorang rsi adalah yang pertama 

merapalkan mantra” (Sarvanukramani). Selanjutnya mantra ditegaskan 

dengan karakter matrik (irama) dihubungkan dengan karakter garis-garis 

lurus berkaitan denga yantra; kenyataannya ini merujuk kepada sesuatu 

yang dimiliki oleh mantra. Mantra menggambarkan dewata tertentu yang 

dipuja dan dipuji; “mantra itu membicarakan dewata” (Sarvanukramani). 

Selanjutnya pula, seseorang melakukan tindakan dan untuk mencapai 

tujuan tertentu dengan menggunakan mantra itu.

Unsur-unsur bunyi digunakan dalam semua bahasa untuk membentuk 

“ucapan suku kata” atau varna-varna yang dibatasi oleh kemampuan alat-

alat wicara manusia kecerdasan membedakannya melalui pendengaran. 

Unsur-unsur ini adalah umum dalam setiap bahasa, walaupun umumnya 

bahasa-bahasa itu adalah sebuah bagian dari padanya. Unsur-unsur bunyi 

dari bahasa sifatnya sungguh-sungguh permanent, bebas dari evolusi atau 

perkembangan bahasa, dan dapat diucapkan sebagai sesuatu yang tidak 

terbatas dan abadi. Kitab-kitab Tantra melengkapi hal itu sebagai eksistensi 

yang bebas dan digambarkan sebagai yang hidup, kekuatan kesadaran 

bunyi, disamakan dengan Deva-Deva. Kekuatan dasar dari bunyi (mantra) 

berhubungan dengan semua lingkungan dari manifestasinya. Setiap bentuk 

dijangkau oleh pikiran dan indra yang seimbang dengan pola-pola bunyi 

sebagai sebuah sebutan yang alami. Dasar mantra satu suku kata disebuat 

sebagai bizamantra atau vizamantra (benih atau bentuk dasar dari pikiran) 

Danielou, 1964: 335).

Mantra disusun dengan menggunakan aksara-aksara tertentu, diatur 

sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk bunyi, sedang 

huruf-huruf itu sebagai perlambang-perlambang dari bunyi tersebut. 

Untuk menghasilkan pengaruh yang dikehendaki, mantra harus disuarakan 

dengan cara yang tepat, sesuai dengan ‘svara” atau ritme, dan varna atau 

bunyi. Mantra mempunyai getaran atau suara tersendiri, karena itu apabila 

diterjemahkan ke dalam bahasa lain, mantra itu tidak memiliki warna yang 

sama, sehingga terjemahannya itu hanya sekedar kalimat (Avalon, 1997: 85).

Mantra itu mungkin jelas dan mungkin pula tidak jelas artinya. Vijra 

(vijaksara) mantra seperti misalnya Aim, Klim, Hrim, tidak mempunyai 

arti dalam bahasa sehari-hari. Tetapi mereka yang sudah menerima inisiasi 

mantra mengetahui bahwa artinya itu terkandung dalam perwujudnnya itu 

sendiri (svarupa) yang adalah perwujudan dewata yang sedemikian itulah 

mantra-Nya, dan bahwa vija mantra itu adalah dhvani yang menjadikan 

0

semua aksara memiliki bunyi dan selalu hadir di dalam apa yang diucapkan 

dan yang didengar, karena itu setiap mantra merupakan perwujudan (rupa) 

dari Brahman. Dari manana atau berpikir didapatkan pengertian terhadap 

kesejatian yang bersifat Esa, bahwa substansi Brahman dan Brahmanda itu 

satu dari man yang sama, dan mantra datang dari suku pertama manana, 

sedangkan tra berawal dari trana, atau pembebasan dari ikatan samsara 

atau dunia fenomena ini. Dari kombinasi man dan tra itulah disebut 

mantra yang dapat memanggil datang (matrana) catur varga atau empat 

tujuan dari mahluk-mahluk luhur. Mantra adalah daya kekuatan yang 

mendorong, ucapan berkekuatan (yang buah dari padanya disebut mantra-

siddhi) dan karena itu sangat efektif untuk menghasilkan catur varga, 

persepsi kesejatian tunggal, dan mukti. Karena itu dikatakan bahwa siddhi 

merupakan hasil yang pasti dari Japa. Dengan mantra dewata itu dicapai 

(Sadhya). Dengan siddhi yang terkandung di dalam mantra itu terbukalah 

visi tri bhuvana. Tujuan dari suatu puja  (pemujaan), patha (pembacaan), 

stava (himne), homa (pengorbanan), dhyana (kontemplasi) dan dharana 

(konsentrasi) serta Samadhi adalah sama. Namun yang terakhir yaitu diksa 

mantra, sadhana sakti bekerja bersama-sama dengan mantra. Sakti yang 

memiliki daya revelasi dan api dengan demikian lalu memiliki kekuatan 

yang luar biasa. Mantra khusus yang diterima ketika diinisiasi (diksa) 

adalah vija mantra, yang ditabur di dalam tanah nurani seorang sadhaka. 

Terkait dengan ajaran tantra seperti sandhya, nyasa, puja dan sebagainya 

merupakan pohon dari cabang-cabang, daun-daunnya ialah sruti, vandana 

bunganya, sedangkan kavaca terdiri atas mantra adalah buahnya (Avalon, 

1997: 86).

Nitya Tantra menyebutkan berbagai sebutan terhadap mantra menurut 

jumlah suku katanya. Mantra yang terdiri dari satu suku kata disebut Pinda, 

tiga suku kata disebut Kartari. Mantra yang terdiri dari empat sampai 

sembilan suku kata disebut Vija mantra. Sepuluh sampai dua puluh disebut 

mantra, dan mantra yang terdiri lebih dari 20 suku kata disebut Mala. Tetapi 

biasanya istilah Vija diberikan kepada mantra yang bersuku kata tunggal. 

Mantra-mantra Tantrika disebut Vija mantra, disebut demikian karena 

mantra-mantra itu merupakan biji dari buah yang tidak lain adalah sidhhi, 

dan mantra-mantra Tantrika itu adalah saripatinya mantra. Mantra-mantra 

Tantrika pada umumnya pendek, tidak dapat dikupas lagi secara etimologi, 

seperti misalnya Hrim, Srm, Krim, Hum, Am, Phat dan sebagainya.

Setiap dewata memiliki vija. Mantram primer satu dewata disebut mula 

mantra. Kata mula berarti jasad super halus dari dewata yang disebut 

Kamakala. Mengucapkan mantra dengan tidak mengetahui artinya atau 

                                           

mengucapkan tanpa metode tidak lebih dari sekedar gerakan-gerakan 

bibir. Matra itu tidur. Beberapa proses harus dilakukan sebelum mantra 

itu diucapkan secara benar, dan proses-proses itu kembali menggunakan 

mantra-mantra, seperti usaha penyucian mulut ‘mukhasodhana’, penyucian 

lidah ‘jihvasodhana’, dan penyucian terhadap mantra-mantra itu sendiri 

‘asaucabhanga’, kulluka, nirvana, setu, nidrabhanga ‘menbangunkan 

mantra’, mantra chaitanya atau memberi daya hidup kepada mantra dan 

mantrarthabhavana, yaitu membentuk bayangan mental terhadap dewata 

yang menyatu di dalam mantra itu. Terdapat 10 samskara terhadap mantra 

itu. Mantra tentang dewata adalah dewata itu sendiri. Getaran-getaran 

ritmis dari bunyi yang dikandung oleh mantra itu bukan sekedar bertujuan 

mengatur getaran yang tidak teratur dari kosakata seorang pemuja, 

tetapi lebih jauh lagi dari irama mantra itu muncul perwujudan dewata, 

demikianlah kesejatiannya. Mantra sisshi ialah kemampuan untuk membuat 

mantra itu menjadi efektif dan mengasilkan buah, dalam hal itu mantra 

itu disebut siddha (Avalon. 1997: 87). Berikut ini adalah beberapa mantra 

yang dikutip dari buku Doa sehar-hari menurut Hindu, dapat dipergunakan 

dalam kehidupan sehari-hari oleh umat sedharma, sebagai berikut:

Doa, bangun pagi:

Om jagrasca prabhata kalasca ya namah swaha.

Terjemahan:

Oh Hyang Widhi, hamba memuja-Mu, bahwa hamba telah bangun pagi 

dalam keadaan selamat.

Doa, membersihkan diri (mandi):

Om gangga amrtha sarira sudhamam swaha, Om sarira parisudhamam 

swaha.

Terjemahan:

Ya Tuhan, Engkau adalah sumber kehidupan abadi nan suci, semoga badan 

hamba menjadi bersih dan suci.

Doa, di waktu akan menikmati makanan:

Om Ang Kang kasolkaya ica na ya namah swaha, swasti swasti sarwa 

Deva bhuta pradhana purusa sang yoga ya namah.

Terjemahan:

Oh Hyang Widhi yang bergelar Icana (bergerak cepat) para Deva bhutam, 

dan unsur Pradhana Purusa, para Yogi, semoga senang berkumpul 

menikmati makanan ini.

Doa, memohon bimbingan:

Om asato ma sadyamaya tamaso ma jyoti gamaya mrtyor ma amrtam 

gamaya, Om agne brahma grbhniswa dharrunama syanta riksam drdvamha, 

brahmawanitwa ksatrawani sajata, wahyu dadhami bhratrwyasya 

wadhyaya.

Terjemahan: 

Tuhan yang maha suci, bimbinglah hamba dari yang tidak benar menuju 

yang benar, bimbinglah hamba dari kegelapan menuju cahaya pengetahuan 

yang terang, lepaskanlah hamba dari kematian menuju kehidupan yang 

abadi, Tuhan yang maha suci, terimalah pujian yang hamba persembahkan 

melalui Weda mantra dan kembangkanlah pengetahuan rohani hamba agar 

hamba dapat menghancurkan musuh yang ada pada diri hamba (nafsu). 

Hamba menyadari bahwa engkaulah yang berada dalam setiap insani 

(Jiwatman), menolong orang terpelajar, pemimpin negara dan para pejabat. 

Hamba menuju Engkau semoga melimpahkan anugerah kekuatan kepada 

hamba (Ngurah, IGM. dan Wardhana, IB. Rai. 2003 : 7 – 17).

Demikian dapat diuraikan beberapa bentuk-bentuk Yantra, Tantra dan 

Mantra yang dipergunakan dalam praktik kehidupan berdasarkan ajaran 

agama Hindu dalam tulisan ini. Menjadi kewajiban umat sedharma untuk 

mempraktikkannya, sehingga apa yang menjadi tujuan bersama dapat 

diwujudkan dengan baik (damai).

Uji Kompetensi:

1. Setelah anda membaca teks bentuk-bentuk tantra, yantra, dan  

mantra yang dipergunakan dalam praktik kehidupan sesuai ajaran 

agama Hindu, apakah yang anda ketahui tentang agama Hindu? 

Jelaskan dan tuliskanlah!

                                           

D. Cara Mempraktikkan Ajaran Tantra, Yantra, dan 

Mantra

Perenungan.

“Brahmaóà bhùmir vihità

brahma dyaur uttarà hità,

brahma-idam urdhvaý tiryak ca

antarikûaý vyaco hitam.

2.

Terjemahan:

‘Brahma menciptakan bumi ini, brahma menempatkan langit ini diatasnya, 

brahma menempatkan wilayah tengah yang luas ini di atas dan di jarak lintas’ 

(Atharvaveda X. 2.25).

Tantra

Tantra atau yang sering disebut tantrisme adalah ajaran dalam agama Hindu 

yang mengandung unsur mistik dan magis. “Tantra adalah bagian dari Saktisme, 

yaitu pemujaan kepada Ibu Semesta. Dalam proses pemujaannya, para pemuja 

Sakta tersebut menggunakan mantra, yantra, dan tantra, yoga, dan puja serta 

melibatkan kekuatan alam semesta dan membangkitkan kekuatan kundalini. 

Bagaimana praktik ajaran tantra, berikut ini dapat dipaparkan, antara lain;

1. Memuja shakti.

Tantra disebut Shaktiisme, karena yang dijadikan obyek persembahannya 

adalah shakti. Shakti dilukiskan sebagai Devi, sumber kekuatan atau 

tenaga. Shakti adalah simbol dari bala atau kekuatan ‘Shakti is the symbol 

of bala or strength’ Pada sisi lain shakti juga disamakan dengan energi atau 

kala ‘This sakti or energi is also regarded as “Kala” or time’ (Das Gupta, 

1955 : 100). 

Tantra merupakan ajaran filosofis yang pada umumnya mengajarkan 

pemujaan kepada shakti sebagai obyek utama pemujaan, dan memandang 

alam semesta sebagai permainan atau kegiatan rohani dari Shakti dan 

Siwa. Tantra juga mengacu kepada kitab-kitab yang pada umumnya 

berhubungan dengan pemujaan kepada Shakti (Ibu Semesta, misalnya Devi 

Durga, Devi Kali, Parwati, Laksmi, dan sebagainya), sebagai aspek Tuhan 

Yang Tertinggi dan sangat erat kaitannya dengan praktek spiritual dan 

bentuk-bentuk ritual pemujaan, yang bertujuan membebaskan seseorang 

dari kebodohan, dan mencapai pembebasan. Dengan demikian Tantrisme 

lebih sering didefinisikan sebagai suatu paham kepercayaan yang 

memusatkan pemujaan pada bentuk shakti yang berisi tentang tata cara 

upacara keagamaan, filsafat, dan cabang ilmu pengetahuan lainnya, yang 

ditemukan dalam percakapan antara Deva Siwa dan Devi Parwati, maupun 

antara Buddha dan Devi Tara.

2. Meyakini pengalaman mistis.

Tantra bukan merupakan sebuah sistem filsafat yang bersifat padu 

(koheren), tetapi tantra merupakan akumulasi dari berbagai praktik dan 

gagasan yang memiliki ciri utama penggunaan ritual, yang ditandai dengan 

                                           

pemanfaatan sesuatu yang bersifat duniawi (mundane). Untuk menggapai 

dan mencapai sesuatu yang rohani (supra-mundane), serta penyamaan atau 

pengidentikan antara unsur mikrokosmos dengan unsur makrokosmos 

perlu diupayakan. Praktisi tantra memanfaatkan prana (energi semesta) 

yang mengalir di seluruh alam semesta (termasuk dalam badan manusia) 

untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan itu bisa berupa tujuan 

material, bisa pula tujuan spiritual, atau gabungan keduanya. 

Para penganut tantra meyakini bahwa pengalaman mistis adalah merupakan 

suatu keharusan yang menjamin keberhasilan seseorang dalam menekuni 

tantra. Beberapa jenis tantra membutuhkan kehadiran seorang guru yang 

mahir untuk membimbing kemajuan siswa tantra.

3. Simbol-simbol erotis.

Dalam perkembangannya dimana tantra sering menggunakan simbol-

simbol material termasuk simbol-simbol erotis. Tantra sering kali 

diidentikkan dengan ajaran kiri yang mengajarkan pemenuhan nafsu 

seksual, pembunuhan dan kepuasan makan daging. Padahal beberapa 

perguruan tantra yang saat ini mempopulerkan diri sebagai tantra putih 

menjadikan pantangan mabuk-mabukan, makan daging dan hubungan 

seksual sebagai sadhana dasar dalam m