Rabu, 09 Juli 2025

pelajaran hindu. 1

 


Seluruh Weda merupakan sumber utama dari pada dharma (Agama Hindu), 

kemudian barulah Smrti di samping kebiasaan-kebiasaan yang baik dari 

orang-orang yang menghayati Weda serta kemudian acara tradisi dari orang-

orang suci, dan akhirnya atmanastusti yaitu rasa puas diri sendiri (Menawa 

Dharmasastra, II. 6).

 Kita patut bersyukur kehadapan-

Nya karena sampai saat ini masih 

dapat mewarisi kesusastraan Hindu, 

bagaimanakah semuanya itu dapat 

diwujudkan? Renungkanlah!


Perenungan.

”Prihen temen dharma dhumaranang sarat, 

saraga sang sadhu sireka tutana,

tan artha tan kama pidonya tan yasa,

ya sakti sang Sajjana dharma raksaka”.

Terjemahan:

Usahakan benar dharma untuk memelihara dunia ini, kesenangan orang-orang 

bijak itu kamu harus ikuti yang tidak mementingkan harta, kesenangan nafsu 

maupun nama, karena itulah yang merupakan keampuhannya orang-orang 

bijaksana didalam memegang dharma”. 

”Saka nikang rat kita yan wenang manut, 

manupadesa prihatah rumaksaya, 

ksaya nikang papa nahan prayojnana,

jana anuragadhi tuwin kapungguha”.

Terjemahan:

Peredaran zaman dunia ini sedapat-dapatnya harus kamu ikuti benar-

benar, pergunakanlah ajaran Manu untuk memelihara dunia, melenyapkan 

penderitaan hendaknya diusahakan, kecintaan rakyat pasti kamu peroleh 

(Kekawin Ramayana sargah 24 sloka 81)

Hukum Hindu adalah sebuah tata aturan yang membahas aspek kehidupan 

manusia secara menyeluruh yang menyangkut tata keagamaan, mengatur hak 

dan kewajiban manusia baik sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial, 

dan aturan manusia sebagai warga negara ( tata negara). Hukum Hindu juga 

berarti perundang – undangan yang merupakan bagian terpenting dari kehidupan 

Dharma dipandang sebagai hukum Hindu. Bagaimana perkembangan 

hukum Hindu di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat Hindu? 

Diskusikanlah!

                                           

beragama dan bermasyarakat, ada kode 

etik yang harus dihayati dan diamalkan 

sehingga menjadi kebiasaan-kebiasaan 

yang hidup dalam masyarakat. 

Dengan demikian pemerintah dapat 

mempergunakan hukum ini sebagai 

kewenangan untuk mengatur tata 

pemerintahan dan pengadilan, dan 

dapat juga mempergunakannya sebagai 

hukuman bagi masyarakat yang 

melanggarnya.

Kehadiran Hukum Hindu dimulai dari 

adanya sebuah perdebatan diantara para tokoh agama pada saat itu. Berbagai 

tulisan yang menyangkut Hukum Hindu menjadi dan merupakan perhatian 

khusus bagi para Maharshi terhadap pembinaan umat manusia. Adapun nama-

nama para maharsi sebagai penulis Hukum Hindu diantaranya; Gautama, 

Baudhayana, Shanka-likhita, Wisnu, Aphastamba, Harita, Wikana, Paitinasi, 

Usanama, Kasyapa, Brhraspati dan Manu.

Dengan adanya upaya penulisan atas Hukum Hindu tampak jelas kepada 

kita bahwa referensi Hukum Hindu telah lama dimulai juga dengan berbagai 

perdebatan dan kritik masing-masing sehingga melahirkan beberapa aliran 

Hukum Hindu diantaranya:

1. Aliran Yajnyawalkya oleh Yajnyawalkya.

2. Aliran Mithaksara oleh Wijnaneswara.

3. Aliran Dayabhaga oleh Jimutawahana.

Dari ketiga aliran tersebut akhirnya keberadaan hukum Hindu dapat berkembang 

dengan pesat khususnya di wilayah India dan sekitarnya, dua aliran yang yang 

terakhir yang mendapat perhatian khusus dan dengan penyebarannya yang 

sangat luas yaitu aliran Yajnyawalkya dan aliran Wijnaneswara (Puja, Gde. 

1984:82).

Pelembagaan aliran (Yajnyawalkya dan Wijnaneswara) yang di atas sebagai 

sumber Hukum Hindu pada Dharmasastra adalah tidak diragukan lagi karena 

adanya ulasan-ulasan yang diketengahkan oleh penulis-penulis Dharmasastra 

sesudah maha Rshi Manu yaitu Medhati (900 SM), Kullukabhata (120 SM), 

setidak-tidaknya telah membuat kemungkinan pertumbuhan sejarah Hukum 

Hindu dengan mengalami perubahan prinsip sesuai dengan perkembangan 

zaman saat itu dan wilayah penyebarannya seperti Burma, Muangthai sampai 

ke Indonesia.


Pengaruh Hukum Hindu sampai ke Indonesia nampak jelas pada Zaman 

Majapahit tetapi sudah dilakukan penyesuaian atau reformasi Hukum Hindu, 

yaitu dipakai sebagai sumber yang berisikan ajaran-ajaran pokok Hindu 

yang khususnya memuat dasar-dasar umum Hukum Hindu, yang kemudian 

dikembangkan menjadi sumber ajaran Dharma bagi masyarakat Hindu dimasa 

penyebaran agama Hindu ke seluruh pelosok negeri. Bersamaan dengan 

penyebaran Hindu ke seluruh pelosok negeri ini diturunkanlah dalam bentuk 

terjemahan-terjemahan kedalam bahasa Jawa Kuno yang isinya juga memuat 

undang-undang yang mengatur praja wilayah Nusantara. Adapun aliran 

yang memengaruhi Hukum Hindu di Indonesia yang paling dominan adalah 

Mithaksara dan Dayabhaga.

Hukum-hukum Tata Negara dan Tata Praja serta Hukum Pidana yang berlaku 

adalah sebagian besar merupakan hukum yang bersumber pada ajaran 

Manawadharmasastra, hal ini kemudian dikenal sebagai kebiasaan-kebiasaan 

atau hukum adat seperti yang berkembang di Indonesia dan khusunya dapat 

dilihat pada hukum adat di Bali. Istilah-istilah wilayah hukum dalam rangka 

tata laksana administrasi hukum dapat dilihat pada desa praja.  Desa praja 

adalah administrasi terkecil dan bersifat otonom dan inilah yang diterapkan 

pada zaman Majapahit terbukti dengan adanya sesanti, sesana dengan prasasti-

prasasti yang dapat ditemukan di berbagai daerah di seluruh Nusantara. Lebih 

luas lagi wilayah yang mengaturnya dinamakan grama, dan daerah khusus ibu 

kota sebagai daerah istimewa tempat administrasi tata pemerintahan dikenal 

dengan nama pura, penggabungan atas pengaturan semua wilayah ini 

dinamakan dengan istilah negara atau rastra. Maka dari itu hampir seluruh 

tatanan kenegaraan yang dipergunakan sekarang ini bersumber pada Hukum 

Hindu.

Manusia dalam pergaulan dan 

menjalankan kehidupan ini mereka 

diatur oleh undang-undang yang dibuat 

oleh lembaga pembuat undang-undang. 

Lembaga pembuat undang-undang 

dibuat oleh manusia, oleh karena itu 

undang-undang adalah buatan manusia. 

Di samping itu ada pula undang-undang 

yang bersifat murni, yaitu undang-

undang yang dibuat oleh Ida Sang 

Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha 

Esa, yang juga disebut Wahyu Tuhan. 

Wahyu inilah yang dihimpun dan 



dikodifikasi menjadi ”Kitab Suci”. Jadi Kitab Suci adalah semacam undang-

undang yang pembuatnya adalah Tuhan Yang Maha Esa dan bukan dibuat 

oleh manusia (apauruseya).

Keharmonisan hidup ini sangat tergantung pada keberadaan hukum yang 

berlaku di lingkungan sekitar kita. Baik tidaknya pelaksanaan hukum tersebut 

juga sangat tergantung pada siapa yang menjadi pengambil keputusan dari 

pelaksananya. Hukum alam disebut dengan istilah Rta, dikuasai oleh ”Rtavan” 

Tuhan Yang Maha Kuasa/Ida Sang Hyang Paramakawi sebagai penciptanya. 

Demikian juga bentuk hukum yang lainnya, sangat tergantung dengan siapa 

pembuatnya, mengapa, dan dimana dibuatnya. Apakah hukum itu? Hukum 

ialah peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah 

laku manusia baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok agar 

tercipta suasana yang serasi, tertib dan aman. Hukum ini ada yang tertulis 

maupun yang tidak tertulis. Hukum inilah yang merupakan undang-undang.

Di dalam sebuah Negara, undang-undang dari semua undang-undang disebut 

Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar itu mengatur pokok-pokok 

yang menjadi sendi kehidupan bernegara dan dari Undang-Undang Dasar itu 

dibuat undang-undang pokoknya. Seperti halnya dengan Undang-Undang 

Dasar, dalam kehidupan beragama, semua peraturan dan ketentuan-ketentuan 

selanjutnya dirumuskan lebih terinci dengan menafsirkan ketentuan-ketentuan 

yang terdapat di dalam kitab suci itu.

Tingkah laku manusia yang baik, yang menjadi tujuan di dalam pengaturan 

kehidupan ini disebut Darmika. Dharma adalah perbuatan-perbuatan yang 

mengandung hakekat kebenaran yang menyangga masyarakat (dharma 

dharayate prajah). Untuk memperoleh kepastian tentang kebenaran ini setiap 

tingkah laku harus mencerminkan kebenaran hukum (dharma), artinya tidak 

bertentangan dengan undang-undang yang menguasainya.

Hukum adalah peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia 

dalam kehidupan sehari-hari yang ditetapkan oleh penguasa, pemerintah 

maupun berlakunya itu secara alamiah, yang kalau perlu dipaksakan agar 

peraturan tersebut dipatuhi sebagaimana yang ditetapkan.

Hukum sebagai peraturan hidup berfungsi membatasi kepentingan dari setiap 

pendukung hukum (subyek hukum), menjamin kepentingan dan hak mereka 

masing-masing, serta menciptakan pertalian-pertalian guna mempererat 

hubungan antara mereka dan menentukan arah bagi terciptanya kerjasama. 

Tujuan yang hendak dicapai dari adanya hukum itu adalah suatu keadaan 

yang damai, adil, sejahtera, dan bahagia. Untuk tercapainya hal tersebut 

maka didalam hukum itu harus mengandung sanksi yang bersifat tegas dan 

6 Kelas XII SMA/SMK 

nyata. Hukum berfungsi sebagai pengendalian sosial agar tercapai ketertiban. 

Ketertiban adalah merupakan syarat pokok dalam masyarakat. Agar ketertiban 

ini bisa tercapai maka perlu adanya kepastian hukum di dalam masyarakat, 

sehingga mampu menciptakan masyarakat yang tenang, tenteram, damai, 

adil, sejahtera dan bahagia. Dalam ilmu hukum dibedakan antara Statuta 

Law dengan Common Law atau Natural Law. Statuta Law adalah hukum 

yang dibentuk dengan sengaja oleh penguasa, sedangkan Common Law atau 

Natural Law adalah hukum alam yang ada secara alamiah.

Unsur-unsur yang terpenting dalam peraturan-peraturan hukum memuat dua 

hal, yaitu:

1. Unsur-unsur yang bersifat mengatur atau normatif.

2. Unsur-unsur yang bersifat memaksa atau represif.

Dalam hal ini umat Hindu yang juga merupakan Warga Negara Indonesia, 

mereka harus tunduk pada dua kekuasaan hukum, yaitu: 

1. Hukum yang bersumber pada perundang-undangan Negara seperti: UUD, 

UUP, Undang-Undang dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.

2. Hukum yang bersumber pada kitab suci, sesuai dan menurut agamanya.

Kebutuhan dengan pengetahuan tentang Hukum Hindu dirasakan sangat 

penting oleh umat Hindu untuk dipelajari dan dipahami dalam rangka 

melaksanakan dharma agama dan sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Sang 

Hyang Widhi Wasa sebagai sumber segala yang ada. Disamping itu, mengingat 

umat Hindu juga sebagai warga Negara yang terikat oleh hukum nasional. 

Mengapa hukum Hindu penting untuk dipelajari: 

1. Hukum Hindu merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku bagi 

masyarakat Hindu di Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945, khususnya pasal 29 ayat 1 dan 2, serta pasal 2 aturan 

peralihan Undang-Undang Dasar 1945.

2. Untuk memahami bahwa berlakunya hukum Hindu di Indonesia dibatasi 

oleh falsafah Negara Pancasila dan ketentuan-ketentuan dalam Undang-

Undang Dasar 1945.

3. Untuk dapat mengetahui persamaan dan perbedaan antara hukum adat 

(Bali) dengan hukum agama Hindu atau hukum Hindu.

4. Untuk dapat membedakan antara adat murni dengan adat yang bersumber 

pada ajaran-ajaran agama Hindu. 

Muncul dan tumbuhnya aliran-aliran hukum Hindu ini adalah merupakan 

fenomena sejarah perkembangan hukum Hindu yang semakin meluas 

                                           

dan berkembang. Bersamaan dengan itu pula maka muncullah kritikus-

kritikus Hindu yang membahas tentang berbagai aspek hukum Hindu, serta 

bertanggung jawab atas lahirnya aliran-aliran hukum tersebut. Sebagai 

akibatnya maka timbullah berbagai masalah hukum yang relatif menimbulkan 

realitas kaedah-kaedah hukum Hindu diantara berbagai daerah Hindu. 

Dua dari aliran hukum yang muncul itu akhirnya sangat berpengaruh bagi 

perkembangkan hukum Hindu di Indonesia, terutama aliran Mitaksara, dengan 

berbagai pengadaptasiannya. Di Indonesia kita mewarisi berbagai macam 

rontal dengan berbagai sebutan, seperti: Usana, Gajahmada, Sarasamuscaya, 

Kutara Manawa, Agama, Adigama, Purwadigama, Krtapati, Krtasima. 

Diantara berbagai macam rontal-rontal itu yang memuat tentang sasana 

adalah: Rajasasana, Siwasasana, Putrasasana, Rsisasana dan yang lainnya. 

Semuanya itu adalah merupakan gubahan yang sebagian bersifat penyalinan 

dan sebagian lagi bersifat pengembangan.

Perlu dan penting kita ketahui sumber hukum dalam arti sejarah adalah adanya 

Rajasasana yang dituangkan dalam berbagai prasasti dan paswara-paswara 

yang dipergunakan sebagai yurisprudensi hukum Hindu yang dilembagakan 

oleh para raja-raja Hindu. Hal semacam inilah yang nampak pada kita yang 

secara garis besarnya dapat dikemukakan sebagai hal mengenai sumber-

sumber hukum Hindu berdasarkan atas sejarahnya.

Demikianlah uraian singkat dari sejarah adanya perkembangan hukum Hindu 

yang patut kita pedomani bersama untuk mewujudkan ketertiban umat sedunia.

U

tabhyàm dharmo hi nirbabhau. 

Terjemahan: 

Yang dimaksud dengan Sruti, adalah Weda dan dengan Smrti itu adalah 

dharmasàstra, kedua macam pustaka suci ini tidak boleh diragukan kebenaran 

ajarannya, karena keduanya itulah sumber Dharma (Manawa Dharmasastra, 

II.10).

Menurut tradisi yang lazim telah diterima 

oleh para Maha Rsi tentang penyusunan atau 

pengelompokan materi yang lebih sistematis 

sebagai sumber Hukum Hindu berasal dari 

Weda Sruti dan Weda Smrti. Weda Sruti 

adalah kitab suci Hindu yang berasal dari 

wahyu Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan 

Yang Maha Esa yang didengar langsung oleh 

para Maha Rsi, yang isinya patut dipedomani 

dan dilaksanakan oleh umat sedharma. Weda 

Smrti adalah kitab suci Hindu yang ditulis 

oleh para Maha Rsi berdasarkan ingatan yang 

bersumber dari wahyu Ida Sang Hyang Widhi 

Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, yang isinya 

patut juga dipedomani dan dilaksanakan oleh 

umat sedharma. Weda Smrti sebagai sumber 

Hukum Hindu dapat kita kelompokkan 

menjadi dua kelompok yaitu :

5. Bila seseorang mengenal sejarah agamanya dengan baik dan atau 

tidak mengenalnya, apakah yang akan terjadi? Buatlah narasinya 


1. Kelompok Vedangga/Batang tubuh Weda (Siksa, Wyakarana, Chanda, 

Nirukta, Jyotisa dan Kalpa).

2. Kelompok UpaVeda /Weda tambahan (Itihasa, Purana, Arthasastra, Ayur 

Weda dan Gandharwa Weda).

Bagian terpenting dari kelompok Vedangga adalah Kalpa yang padat dengan 

isi Hukum Hindu, yaitu Dharmasastra, sumber hukum ini membahas aspek 

kehidupan manusia yang disebut dharma. Sedangkan sumber hukum Hindu 

yang lain yang juga menjadi sumber Hukum Hindu adalah dapat dilihat 

dari berbagai kitab-kitab lain yang telah ditulis yang bersumber pada Weda 

diantaranya :

1. Kitab Sarasamuscaya

2. Kitab Suara Jambu

3. Kitab Siwasasana

4. Kitab Purwadigama

5. Kitab Purwagama

6. Kitab Devagama (Kerthopati)

7. Kitab Kutara Manawa

8. Kitab Adigama

9. Kitab Kerthasima

10. Kitab Kerthasima Subak

11. Kitab Paswara

Dari berbagai jenis kitab di atas memang tidak ada gambaran yang jelas atas 

saling berhubungan satu dengan yang lainnya juga dari semua kitab tersebut 

memuat berbagai peraturan yang berbeda satu dengan yang lainya karena 

masing-masing kitab tersebut bersumber pada inti pokok peraturan yang 

ditekankan.

Bidang-bidang Hukum Hindu sesuai dengan sumber Hukum Hindu yang 

paling terkenal adalah Manawa Dharmasastra yang mengambil sumber ajaran 

Dharmasastra yang paling tua, adapun pembagian terdiri dari :

1. Bidang Hukum Keagamaan, bidang ini banyak memuat ajaran-ajaran yang 

mengatur tentang tata cara keagamaan yaitu menyangkut tentang antara 

lain;


a. Bahwa semua alam semesta ini diciptakan dan dipelihara oleh suatu 

hukum yang disebut Rta atau dharma.

b. Ajaran-ajaran yang diturunkan bersifat anjuran dan larangan yang 

semuanya mengandung konsekuensi atau akibat sanksi).

c. Tiap-tiap ajaran mengandung sifat relatif yaitu dapat disesuaikan 

dengan zaman atau waktu dan dimana tempat dan kedudukan hukum 

itu dilaksanakan, dan absolut berarti mengikat dan wajib hukumnya 

dilaksanakan.

d. Pengertian warna dharma berdasarkan pengertian golongan fungsional.

2. Bidang Hukum Kemasyarakatan, bidang ini banyak memuat tentang 

aturan atau tata cara hidup bermasyarakat satu dengan yang lainnya, atau 

sosial. Dalam bidang ini banyak diatur tentang konsekuensi atau akibat 

dari sebuah pelanggaran, kalau kita telusuri lebih jauh saat ini lebih dikenal 

dengan hukum perdata dan pidana.

 Lembaga yang memegang peranan penting yang mengurusi tata 

kemasyarakatan adalah Badan Legislatif, yang menurut Hukum Hindu 

adalah Parisadha. Lembaga ini dapat membantu menyelesaikan masalah 

dengan cara pendekatan perdamaian sebelum nantinya kalau tidak 

memungkinkan masuk ke pengadilan.

3. Bidang Hukum Tata Kenegaraan, bidang ini banyak memuat tentang 

tata-cara bernegara, dimana terjalinnya hubungan warga masyarakat 

dengan negara sebagai pengatur tata pemerintahan yang juga menyangkut 

hubungan dengan bidang keagamaan. Disamping sistem pembagian 

wilayah administrasi dalam suatu negara, Hukum Hindu ini juga mengatur 

sistem masyarakat menjadi kelompok-kelompok hukum yang disebut ; 

Warna, Kula, Gotra, Ghana, Puga, dan Sreni, pembagian ini tidak bersifat 

kaku karena dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Kekuasaan Yudikatif diletakan pada tangan seorang raja atau kepala negara, 

beliau bertugas sebagai pemutus, memutuskan semua perkara yang timbul 

pada masyarakat. Raja dibantu oleh Devan Brahmana yang merupakan 

Majelis HakimAhli, baik sebagai lembaga yang berdiri sendiri maupun 

sebagai pembantu pemerintah didalam memutuskan perkara dalam sidang 

pengadilan (dharma sabha), pengadilan biasa (dharmaastha), pengadilan 

tinggi (pradiwaka) dan pengadilan istimewa.

Bagi umat sedharma atau masyarakat yang beragama Hindu, sumber hukumnya 

adalah kitab suci Weda. Ketentuan mengenai Weda sebagai sumber hukum 

Hindu dinyatakan dengan tegas di dalam berbagai jenis kitab suci Weda. Sruti 

                                           

adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum. Smrti bersumber pada 

kitab Sruti. Baik Sruti maupun Smrti keduanya adalah merupakan sumber 

hukum Hindu. Kedudukan Smrti sebagai sumber hukum Hindu sama kuatnya 

dengan Sruti. Smrti sebagai sumber hukum Hindu lebih populer dengan 

istilah Manusmrti atau Dharmasastra. Dharmasastra dinyatakan sebagai kitab 

hukum Hindu karena didalamnya memuat banyak peraturan-peraturan yang 

bersifat mendasar yang berfungsi untuk mengatur dan menentukan sanksi 

bila diperlukan. Di dalam kitab Dharmasastra termuat serangkaian materi 

hukum dasar yang dapat dijadikan pedoman oleh umat Hindu dalam rangka 

mencapai tujuan hidup ”catur purusartha” yang utama. Setiap pelanggaran 

baik itu merupakan delik biasa atau delik adat, tindak pidana, dan yang lainnya 

semuanya itu diancam hukuman. Sifat ancamannya mulai dari yang ringan 

sampai pada hukuman yang terberat ”hukuman mati”. Ancaman hukuman 

mati sebagai hukuman berat berlaku terhadap siapa saja yang melakukan 

tindak kejahatan.

Manawa Dharmasastra atau Manusmrti adalah kitab hukum yang telah 

tersusun secara teratur, dan sistematis. Kitab ini terbagi menjadi dua belas (12) 

bab atau adyaya. Bila kita mempelajari kitab-kitab hukum Hindu maka banyak 

kita menemukan pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan titel hukum. 

Hal ini menunjukkan bahwa hukum Hindu mengalami proses perkembangan. 

Adapun pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam hukum Hindu, antara lain. 

Kitab hukum Hindu yang pertama dikenal adalah Dharmasutra. Ada tiga 

penulis yang terkenal terkait dengan keberadaan kitab Dharmasutra, di 

antaranya adalah sebagai berikut. 

1. Gautama adalah penulis kitab Dharmasutra yang karya hukumnya lebih 

menekankan pembahasan aspek hukum dalam rangkaian peletakan dasar 

tentang fungsi dan tugas raja sebagai pemegang dharma. Pada dasarnya 

beliau membahas tentang pokok-pokok hukum pidana dan hukum perdata. 

2. Apastamba adalah penulis kitab Dharmasutra yang karya hukumnya lebih 

menekankan pembahasan tentang  pokok-pokok materi wyawaharapada 

dengan beberapa masalah yang belum dibahas dalam kitab Gautama, 

seperti; mengenai hukum perzinahan, hukuman karena membunuh diri, 

hukuman karena melanggar dharma, hukum yang timbul karena sengketa 

antara buruh dengan majikan, dan hukum yang timbul karena penyalah-

gunaan hak milik.


3. Baudhayana adalah penulis kitab Dharmasutra yang karya hukumnya lebih 

menekankan pembahasan tentang pokok-pokok hukum seperti; hukum 

mengenai bela diri, penghukuman karena seorang brahmana, penghukuman 

atas golongan rendah membunuh brahmana, dan penghukuman atas 

pembunuhan yang dilakukan terhadap ternak orang lain.

Dharmasastra adalah kitab hukum Hindu selain Dharmasutra. Ada beberapa 

penulis kitab Dharmasastra yang patut kita ketahui karya sastranya dibidang 

hukum Hindu, seperti; Wisnu, Manu, dan Yajnawalkya. Manu adalah penulis 

kitab Dharmasastra yang terkenal. Manu sebagai penulis Dharmasastra, 

berbicara tentang hukum Hindu untuk mewakili karyanya sendiri. Kitab 

Dharmasastra karya Manu, menjadi sumber hukum Hindu berlaku dan 

memiliki pengaruh yang sangat luas termasuk Indonesia. Hal ini dapat kita 

ketahui dari pokok-pokok ajarannya yang banyak kita jumpai dalam berbagai 

lontar yang ada seperti di Bali. Sedangkan Yajnawalkya menjadi terkenal 

di bidang penulisan dharmasastra sebagai sumber hukum Hindu, karena 

mewakili salah satu mazab hukum yang berkembang dalam hukum Hindu. 

Diantara mazab-mazab tersebut yang ada adalah; Mitaksara, Dayabhaga, dan 

Yajnawalkya.

Menurut kitab Dharmasastra yang ditulis oleh Manu, keberadaan titel hukum 

atau wyawaharapada dibedakan jenisnya menjadi delapan belas (18), antara 

lain;

1. Rinadana yaitu ketentuan tentang tidak membayar hutang.

2. Niksepa adalah hukum mengenai deposito dan perjanjian.

3. Aswamiwikrya adalah tentang penjualan barang tidak bertuan.

4. Sambhuya-samutthana yaitu perikatan antara firman.

5. Dattasyanapakarma adalah ketentuan mengenai hibah dan pemberian.

6. Wetanadana yaitu hukum mengenai tidak membayar upah.

7. Samwidwyatikarma adalah hukum mengenai tidak melakukan tugas yang 

diperjanjikan.

8. Krayawikrayanusaya artinya pelaksanaan jual beli.

9. Swamipalawiwada artinya perselisihan antara buruh dengan majikan.

10. Simawiwada artinya perselisihan mengenai perbatasan

11. Waparusya adalah mengenai penghinaan.

12. Dandaparusya artinya penyerangan dan kekerasan.

                                           

13. Steya adalah hukum mengenai pencurian.

14. Sahasa artinya mengenai kekerasan.

15. Stripundharma adalah hukum mengenai kewajiban suami-istri.

16. Stridharma artinya hukum mengenai kewajiban seorang istri.

17. Wibhaga adalah hukum pembagian waris.

18. Dyutasamahwya adalah hukum perjudian dan pertaruhan (Lestawi, I 

Nengah dan Kusuma, I Made Wirahadi. 2014 : 55-56).

Dalam pembelajaran hukum Hindu yang bersumber pada kitab-kitab tersebut 

di atas, maka banyak kita menemukan pokok-pokok pikiran yang berkaitan 

dengan titel hukum. Hal ini menunjukkan bahwa hukum Hindu mengalami 

proses perkembangan. Perkembangan yang dimaksud antara lain:

1. Hutang piutang (Rinadana). Dalam kitab Dharmasastra, VIII.49. Manu 

menyatakan bahwa seorang kreditur dapat menuntut atau memperoleh 

piutangnya dari debitur melalui persuasif moril, keputusan pengadilan, 

melalui upaya akal, melalui cara puasa di pintu masuk rumah debitur, 

dan yang akhirnya dengan cara kekerasan. Yang terpenting dari hukum 

utang piutang itu adalah ketentuan mengenai kebolehan menaikkan bunga 

sebagai hak yang dapat dituntut oleh kriditur atas piutang yang diberikan 

kepada debitur. Selanjutnya disebutkan bahwa hutang seorang debitur 

jatuh kepada ahli warisnya. Apabila debitur meninggal dunia sebelum 

sempat melunasi hutangnya, maka ahli waris bersangkutan berkewajiban 

melunasinya (Dharmasastra, XII.40).

2. Deposito (Niksepa). Rsi Gautama mulai mengajarkan tentang hukum 

yang berkaitan dengan masalah hukum Niksepa (deposito). Ajarannya 

diikuti oleh. Rsi Narada dan  Rsi Yajnawalkya, dengan pembahasan  yang 

lebih mendalam dan meluas. Baik Rsi Narada maupun Rsi Yajnawalkya 

membedakan ajaran hukum Niksepa menjadi beberapa jenis bentuk 

deposito, diantaranya adalah; Yachita, Ayachita,  Anwahita, dan Nyasa.

3. Penjualan barang tidak bertuan (Aswamiwikraya). Penjelasan tentang 

permasalahan hukum penjualan barang  tidak bertuan tidak dijumpai di 

dalam kitab hukum karya Rsi Gautama. Didalam kitab beliau hanya terdapat 

adanya klausal yang mengemukakan dan menegaskan bahwa penadah atau 

penerima barang curian dapat dihukum (Dharmasutra, XII.50). Dengan 

demikian, orang yang membeli barang curian dapat dihukum. Pernyataan 

ini dipertegas dan diperluas kembali oleh Rsi Yajnawalkya, yang dalam 

bukunya menyebutkan bahwa; baik pembeli maupun penjualnya dapat 

dituntut melalui hukum. Oleh karena itu, ia harus dapat membuktikan 

 

bahwa benda itu adalah haknya yang sah (Dharmasastra, II.168-174). Ini 

berarti, bahwa saat itu telah ada dan dibuatkan aturan tentang pemanfaatan 

dan pembuktian bahwa barang itu bertuan atau barang tidak bertuan.

4. Persekutuan (Sambhayasamutthana). Persekutuan antara firma dalam 

bidang hukum dagang menurut hukum Hindu baru pertama kali kita 

jumpai dalam kitab Dharmasastra karya Rsi Wisnu. Premi atau keuntungan 

atau upah yang diterima oleh para anggota harus berbanding sama menurut 

aturan. Berdasarkan pertumbuhan kesadaran hukum masyarakat, lembaga 

itu mungkin sudah berkembang sebelum Rsi Manu dan mencapai bentuknya 

pada zamannya Rsi Manu. Ajaran ini selanjutnya dikembangkan oleh Rsi 

Yajnawalkya, Rsi Narada, dan Rsi Brhaspati.

5. Dana atau pemberian (Dattasyanapakarma). Dana atau pemberian baik 

berdasarkan agama maupun tidak berdasarkan agama dikenal dengan 

titel ”Datta Pradanika” atau juga disebut Syanapakarma, yang artinya; 

menghadiahkan atau penuntutan atas pemberian. Menurut Agama Hindu 

berbuat dana merupakan kewajiban yang terpuji dan diatur berdasarkan 

ajaran agama dan kepercayaan masyarakat. Bentuk pemberian yang 

pertama kita jumpai adalah bentuk daksina, yaitu semacam pemberian 

sebagai upah kepada Pendeta (brahmana) yang melakukan upacara untuk 

orang lain. Besarnya pemberian tidak sama, yang terpenting adalah nilai 

pemberian itu. 

Selanjutnya sloka kitab hukum Manawa Dharmasastra II. 6 menjelaskan 

bahwa; Seluruh Weda merupakan sumber utama dari pada dharma (Agama 

Hindu) kemudian barulah Smrti di samping kebiasaan-kebiasaan yang baik 

dari orang-orang yang menghayati Weda serta kemudian acara tradisi dari 

orang-orang suci dan akhirnya atmanatusti ”rasa puas diri sendiri”.

Berdasarkan sloka tersebut di atas kita dapat mengenal sumber-sumber hukum 

Hindu menurut urut-urutannya adalah sebagaimana istilah berikut:

1. Weda Sruti.

2. Weda Smrti.

3. Sila.

4. Acara (Sadacara).

5. Atmanastusti.

                                           

Kitab Manawa Dharmasatra, II.10 menjelaskan bahwa; sesungguhnya Sruti 

adalah Weda demikian pula Smrti itu adalah dharmasastra, keduanya tidak 

boleh diragukan kebenarannya dalam hal apapun yang karena keduanya 

adalah kitab suci yang menjadi sumber dari Agama Hindu ”Dharma”.  Sruti 

dan Smrti adalah sumber hukum Hindu, dan merupakan dasar utama yang 

kebenarannya tidak boleh dibantah. Kedudukan Menawa Dharmasastra II.10 

dan 6, merupakan dasar yang patut dipegang teguh dalam hal kemungkinan 

timbulnya perbedaan pengertian mengenai penafsiran hukum yang terdapat 

di dalam berbagai kitab agama, maka yang pertama lebih penting dari 

yang berikutnya. Ketentuan ini ditegaskan lebih lanjut di dalam Manawa 

Dharmasastra, II.14, sebagai berikut.

”Sruti dvaidhaý tu yastra syàt

tatra dharmàvubhau smÃ¥tau, 

Ubhàvapi hi tau dharmau 

samyag uktau maniûibhiá.

Terjemahan: 

Bila dua dari kitab Sruti bertentangan satu dengan yang lainnya, keduanya 

diterima sebagai hukum karena keduanya telah diterima oleh orang-orang suci 

sebagai hukum (Manawa Dharmasastra, II. 14).

Dari ketentuan ini maka tidak ada ketentuan yang membenarkan adanya sloka 

yang satu harus dihapus oleh sloka yang lain, melainkan keduanya haruslah 

diterima sebagai hukum. Di samping sloka-sloka itu masih ada sloka-sloka 

lainnya yang penting pula artinya di dalam memberi definisi tentang pengertian 

sumber hukum itu, yaitu Menawa Dharmasastra, yang lengkapnya berbunyi 

sebagai berikut.

”Vedaá Smrtiá sadàcaraá

 svasya ca priyam àtmanaá, 

etac catur vidhaý pràhuá 

sàkûàd dharmasya laksanam.

Terjemahan: 

Pustaka suci Weda, adat istiadat luhur, tata cara kehidupan orang suci serta 

kepuasan diri sendiri, dikatakan sebagai dasar empat jalan untuk merumuskan 

kebajikan (dharma) yang positif (Manawa Dharmasastra, II. 12).


Kitab Manawa Dharmasastra II sloka 12 ini lebih menyederhanakan sloka 6, 

dengan meniadakan Sila, karena sila dan sadacara dipandang memiliki arti yang 

sama dengan kebiasaan. Sila artinya kebiasaan sedangkan sadacara artinya 

tradisi. Tradisi dan kebiasaan adalah kebiasaan pula. Kitab Sarasamuscaya 

hanya memberi penjelasan singkat mengenai status Weda, di mana dalam 

sloka 37 dan 39 kita jumpai keterangan berikut.

 ”Çrutivedah samàkhyàto dharmaûàstram tu vai smÃ¥ti, te sarvathesvamimàmsye 

tàbhyàm dharmo winirbhåtah.

Nyang ujareka sakareng, ûruti ngaranya sang hyang caturveda, sang hyang 

dharmaçastra; smÃ¥ti ngaranira, sang hyang ûruti, lawan sang hyang smÃ¥ti, 

sira juga pramànàkèna, tùtakena warawarah nira, ring asing prayojana, 

yàwat mangkana paripùrna alèp sang hyang dharmaprawåtti.

Terjemahan: 

Yang perlu dibicarakan sekarang Çruti yaitu catur Weda dan Smrti yaitu 

Dharmasastra; Çruti dan Smrti kedua-duanya harus diyakini, dituruti ajaran-

ajarannya pada setiap usaha; jika telah demikian, maka sempurnalah tindakan 

kebaikan anda dalam bidang dharma (Sarasamuscaya, 37).

Penjelasan dan terjemahan dalam kitab Sarasamuscaya yang diterbitkan 

oleh Dapartemen Agama hanya berdasarkan terjemahan bahasa Jawa kuno. 

Menurut terjemahan bahasa Jawa kuno itu, pemahaman tentang Weda 

sebagai sumber hukum telah diperluas, seperti; istilah Weda diterjemahkan 

dengan Catur Weda. Walaupun demikian pengertian semula tidaklah berubah 

maknanya. Yang menarik perhatian dan perlu dicamkan ialah bahwa kitab 

Manawa Dharmasastra maupun kitab Sarasamuscaya menganggap bahwa 

Sruti dan Smrti itu adalah dua sumber pokok dari pada Dharma. Berikut ini 

adalah petikan sloka yang dimaksud.

”Itihàsapurànàbhyàm vedam samupavrmhayet, 

bibhetyalpaûrutàdwedo màmayam pracarisyati.

Ndan Sang Hyang Weda, paripùrnakena sira, makasàdhana sang hyang 

itihàsa, sang hyang pùrana, apan atakut, sang hyang Weda ring akèdik ajinya, 

ling nira, kamung hyang, haywa tiki umarà ri kami, ling nira mangkana rakwa 

atakut.

                                           


Terjemahan:

Weda itu hendaklah dipelajari dengan sempurna dengan jalan mempelajari 

Itihasa dan Purana, sebab Weda itu merasa takut akan orang-orang yang sedikit 

pengetahuannya, sabdanya ”wahai tuan-tuan, janganlah tuan-tuan datang 

kepadaku” demikian konon sabdanya, karena takut (Sarasamuscaya, 39).

Dalam sloka ini dan sloka sebelumnya telah pula diperluas artinya dengan 

demikian menjadi sangat jelas artinya. Yang terpenting dapat kita pelajari dari 

ketentuan ini adalah penambahan ketentuan ilmu pengetahuan yang dapat 

dipelajari dari kitab Itihasa dan Purana. Kitab-kitab Itihasa adalah seperti; 

kitab Mahabharata dan Ramayana, sedangkan Purana adalah merupakan 

kitab-kitab yang termasuk kuno, misalnya babad-babad, yang memuat sejarah 

keturunan, dinasti raja-raja Hindu. Jadi secara ilmu hukum modern kedua 

jenis buku ini merupakan buku tambahan yang memuat ajaran-ajaran hukum 

yang bersifat doktrinisasi, memuat sumber keterangan mengenai Jurisprudensi 

dalam bidang hukum Hindu.

Pemahaman umum tentang hukum yang bersifat mengatur dan mengikat, 

terkait dengan ajaran agama Hindu yang bersumber pada kitab suci Weda. 

Salah satu dari unsur kepercayaan umat Hindu dalam Panca Sradha, setelah 

percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa ”Brahman” adalah percaya akan adanya 

Hukum yang ditentukan oleh Tuhan. Hukum itu adalah semacam sifat dari 

kekuasaan Tuhan, yang diperlihatkan dengan bentuk yang dapat dilihat dan 

dialami oleh manusia. Bentuk hukum Tuhan yang murni disebut dengan istilah 

”Rta”. Rta adalah hukum murni yang bersifat absolut transcendental. Bentuk 

hukum alam yang dijabarkan ke dalam amalan manusia disebut Dharma. 

Dharma bersifat mengatur tingkah laku manusia guna dapat mewujudkan 

kedamaian, kesejahtraan dan kebahagiaan di dalam hidup.

Kata Rta sering diartikan hukum, tetapi dalam arti yang kekal. Kitab suci Weda 

menjelaskan bahwa mula-mula setelah Tuhan menciptakan alam semesta ini, 

kemudian beliau menciptakan hukumnya yang mengatur hubungan antara 

unsur-unsur yang diciptakan-Nya itu. Sekali beliau menentukan hukumnya 

itu, untuk selanjutnya demikianlah jalannya hukum itu selama-lamanya. 

Tuhan sebagai pencipta dan pengendali atas hukumnya itu disebut dengan 

Rtavan. Dalam perkembangan sastra sanskerta, istilah Rta kemudian diartikan 

sama dengan Widhi yang artinya sama dengan aturan yang ditetapkan oleh 

Tuhan. Dari kata itulah kemudian lahirlah istilah Sang Hyang Widhi, yang 

artinya sama dengan penguasa atas hukumnya. Dalam ilmu sosial konsep 

istilah hukum itu kemudian berkembang dalam bentuk dua istilah, yaitu 

18 Kelas XII SMA/SMK 

hukum alam dan hukum bangsa-bangsa ”manusia”. Hukum alam inilah 

yang disebut dengan Rta, sedangkan hukum bangsa atau kelompok manusia 

disebut dengan nama Dharma yang bentuknya berbeda-beda menurut tempat 

setempat. Oleh karena itu istilah dharma sebagai hukum tidak sama bentuknya 

di semua tempat melainkan dihubungkan dengan kebiasaan-kebiasaan yang 

berlaku setempat.

Adapun ajaran hukum abadi ”Rta” dalam sejarah perkembangan agama Hindu 

itu tumbuh sebagai landasan idiil mengenai bentuk-bentuk hukum yang ingin 

diterapkan dalam mengatur masyarakat di dunia ini yang kemudian dikenal 

dengan ajaran dharma. Dalam perkembangan ajaran dharma itu, kemudian 

dharma dianggap bersumber pada Weda, Smrti, Sila, Acara dan Atmanastusti. 

Sedangkan Rta berkembang menjadi bentuk kepercayaan akan adanya nasib 

yang ditentukan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ajaran Rta dan Dharma 

inilah yang menjadi landasan ajaran karma dan karma pahala. Rta mengatur 

sebab dan akibat dari pada tingkah laku manusia sebagai satu kekuatan yang 

tampak oleh manusia. Rta sebagai hukum hanya dapat dilihat berdasarkan 

keyakinan akan adanya kebenaran. Dengan adanya keyakinan akan kebenaran 

itu, Rta dapat dihayati sehingga dengan penghayatan itu akan terciptalah 

keyakinan akan adanya Rta dan Dharma sebagai salah satu unsur dalam 

keyakinan agama Hindu. Rta dan Dharma mencakup pengertian yang sangat 

luas, meliputi pengertian hukum abadi, sebagai ajaran kesusilaan, mengandung 

ajaran estetika dan mencakup pengertian hukum sosial. Oleh karena itu Rta 

selalu menjadi dasar pemikiran yang idiil dan sangat diharapkan akan dapat 

diwujudkan dalam kehidupan di dunia ini.

Di dalam Kitab Suci Weda kita sering menjumpai beberapa istilah yang 

dipergunakan untuk menyebutkan istilah hukum yang abadi, seperti Rta, Wrata 

dan dharman, disamping kebiasaan-kebiasaan abadi yang juga merupakan 

hukum yang bersumber pada Weda yaitu dharma atau dharman. Menurut 

sistem hukum Hindu, para penulis hukum Hindu menyimpulkan bahwa ada 

empat macam masalah yang mencakup hukum itu, antara lain:

1. Mengenai kekuasaan atau kompetensi hukum dan kebiasaan.

2. Mengenai asal-usul tertib sosial.

3. Mengenai wewenang penguasa yang berkuasa yang juga menyangkut 

kompetensi relatif.

4. Mengenai kedudukan penguasa rohani dan hubungannya dengan penguasa 

negara dengan menonjolkan sifat-sifat imunitas kedua jenis penguasa itu, 

yaitu Brahmana dan Raja atau Presiden sebagai kepala negara.    

                                           

Adapun mengenai kompetensi hukum dan kebiasaan yang mengatur 

kehidupan seseorang bermasyarakat berdasarkan hukum Hindu bersumber 

pada kekuasaan Tuhan yang menciptakan atau menurut hukum abadi. Dalam 

sejarah pertumbuhan dan perkembangan agama Hindu istilah hukum ini 

lebih dikenal dengan istilah Rta. Terkait dengan sifat kekuasaan hukum atas 

kehidupan seseorang telah dikembangkan secara sistematis pada zaman 

Weda, sehingga keseluruhan model dan bentuk-bentuk hubungan hukum 

sosial telah banyak dirumuskan secara sadar didalam buku-buku karya ilmiah 

di zaman Hindu purba. Pembagian kelompok kerja berdasarkan spesialisasi 

telah pula mulai dikemas sejak zaman Weda dengan memperkenalkan konsep 

masyarakat idial dengan mengelompokkan anggota-anggota masyarakat 

berdasarkan kelompok-kelompok ahli yang lebih dikenal dengan istilah ”catur 

varna” yang kemudian berkembang menjadi konsep ”kasta”. Kejadian seperti 

ini tentu tidak terlepas dari hegemoni kaum Brahmana pada zaman Brahmana. 

Hal semacam ini perlu kita renungkan dan sikapi dengan bijak.

Konsep ”kasta” inilah yang kemudian merombak sikap pandangan para 

penulis terdahulu ”warna” menjadi bentuk kelompok berdasarkan kelahiran 

”geneotis atau jati”, dan sekaligus mengaburkan arti-istilah fungsionalisasinya 

menjadi status sosial berdasarkan keturunan. Perubahan pandangan seperti itu 

nampaknya tidak dapat dihindari lagi, karena disamping masalah komunikasi 

yang sulit, juga kesulitan bahasa telah memungkinkan timbulnya golongan 

elit tertentu untuk menggunakan fungsinya lebih menonjolkan arti dan istilah 

jati (kelahiran) menjadi konsep-konsep ‘kasta’ yang menyempit dan kaku. 

Dengan demikian akhirnya munculah konsep-konsep sosial baru yang merubah 

pola berpikir orde sosial berdasarkan Weda menjadi orde sosial berdasarkan 

versi brahmanaisme. Salah satu sumber hukum yang merupakan landasan 

idial dari model-model pembentukan lembaga sosial berdasarkan Weda, 

bersumber pada kitab suci Rg Weda mandala X yang dikenal dengan istilah 

”Purusa Sukta”. Dari ayat kitab ini kita dapat mengenal fungsionalisasi sosial 

masyarakat yang dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam kelompok kerja 

yang profesional, antara lain: Brahmana, Ksatria, Wesya dan Sudra. Uraian 

tentang konsep sosial ini ternyata diulangi lagi didalam kitab Atharwa Weda 

dengan bermacam-macam implikasinya serta memasukkan teori-teori baru 

yang bersendikan ajaran teokrasi secara lebih intensif dan ekstensif. Melalui 

kemajuan teori baru berdasarkan konsep-konsep teokrasi, tampak kepada 

kita adanya tiga jalur pertumbuhan dan perkembangan ideologi yang akan 

merubah nilai-nilai sosial dalam sejarah manusia dan kemanusiaan (Hindu) 

yaitu:


1. Pemahaman tentang orde sosial.

2. Pemahaman tentang asal-usul penguasa negara.

3. Penegasan tentang hubungan antara dua jenis kekuasaan di dalam negara 

yaitu kekuasaan kelompok agama dan penguasa negara.

Ciri pokok dari pada pertumbuhan pemahaman orde sosial itu ialah munculnya 

kesadaran-kesadaran baru yang menyadari kekuasaan hukum terhadap 

individu serta kesatuan-kesatuan unit sosial masyarakat yang pengaturan 

selanjutnya didasarkan atas kehendak Tuhan. Kehendak beliau tersebut 

dituangkan dalam bentuk hukum abadi dan kekuasaan adat kebiasaan dari 

orang-orang suci. Pandangan tentang nilai-nilai sosial mengalami perubahan 

secara evolusi oleh kelompok kedua penguasa itu dalam wujud hukum yang 

disebut ”dharma”. Tentang asal-usul penguasa negara sebagaimana dijelaskan 

dalam kitab suci Weda, yang disimpulkan dari ayat Purusa Sukta X.90 dan 

Rg Weda X.173, melukiskan bagaimana penyair itu berdoa agar diadakan raja 

atau penguasa untuk menertibkan penduduk negara dan membayar pajak untuk 

negara. Untuk memberikan bentuk kekuatan kepada raja atau penguasa dalam 

negara teokrasi, raja dipersamakan sebagaimana halnya Dewa Indra terhadap 

Dewa-Dewa lainnya. Demikian pulalah halnya raja terhadap penduduk 

negara sehingga raja dianggap sekutu dari Dewa Indra (Indrasakha). Pada 

umumnya lembaga kerajaan yang bersifat teokrasi itu tidaklah statis, karena 

sebagai lembaga penguasa. Dalam bentuk negara kerajaan itu sifat-sifat 

theokrasinya lebih menonjol dari pada bentuk negara republik. Raja sebagai 

pembuat hukum atau bertindak sebagai yudikatif. Walaupun kedudukan raja 

sedemikian penting tetapi kecendrungan untuk pembagian kekuasaan telah 

nampak pula dalam kitab Weda dengan tidak mengharuskan raja secara 

pribadi memutuskan segala macam sengketa yang diajukan kepadanya. Oleh 

karena itu timbulah lembaga yudikatif dalam bentuk Parisada dan kemudian 

pada bentuk Peradilan Kerta, ini menunjukkan bagaimana evolusi sejarah 

pertumbuhan hukum Hindu secara umum. Peninjauan tentang sumber hukum 

Hindu dapat kita lihat dalam berbagai segi. Peninjauan seperti ini dibenarkan 

berdasarkan ilmu hukum, mengingat pengertian sumber hukum itu sendiri 

belum ada persamaan secara utuh dan menyeluruh.

L. Oppenheim mengemukakan bahwa masalah sumber hukum itu dilihatnya 

dari arti kata, yakni kata sumber yang oleh beliau menyebutnya ”source”. 

Menurut Oppenheim di dalam bukunya yang berjudul International Law 

A Treatire I, mengemukakan bahwa sumber yang dimaksud adalah asal 

darimana kaidah-kaidah itu bertumbuhan dan berkembang. Pengertian ini 

dibandingkan sebagai mata air yang mempunyai berbagai anak sungai dari 

mana air-air sungai itu berasal dan akhirnya sampai ke tempat tujuan (Puja, 

                                           Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti 21

Gde. 1984:79). Selanjutnya berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan, 

peninjauan sumber hukum Hindu dapat dilakukan melalui berbagai macam 

kemungkinan, antara lain:

1. Sumber Hukum dalam Arti Sejarah

Sumber hukum dalam arti sejarah adalah peninjauan dasar-dasar hukum 

yang dipergunakan oleh para ahli sejarah dalam menyusun dan meninjau 

pertumbuhan suatu bangsa terutama di bidang politik, sosial, kebudayaan, 

hukum dll, termasuk berbagai lembaga Negara.

Perkembangan dan pertumbuhan Negara Indonesia dari zaman 

kerajaan Hindu sampai zaman merdeka, telah memperlihatkan berbagai 

perkembangan hukum dan sistem pemerintahan. Untuk dapat menemukan 

sumber-sumber ini, dapat kita jumpai berbagai prasasti-prasasti, 

piagam-piagam, dan tulisan-tulisan yang mempunyai sifat hukum yang 

dikembangkan atau ditulis pada zaman-zaman tertentu. Sumber-sumber 

tulisan inilah yang juga dipergunakan untuk menyusun konsep-konsep 

hukum dalam usaha pembentukan masyarakat yang dicita-citakan. 

Sejarah telah membuktikan bahwa lahirnya Pancasila digali dari sumber-

sumber yang diangkat dari sejarah dan pengalaman bangsa, falsafah yang 

dianut masyarakat dan struktur yang telah ada dalam masyarakat. Bukti-

bukti pengaruh hukum Hindu di Indonesia dapat ditemukan dalam catatan-

catatan seperti Siwasasana dan Kuttaramanawa.

Sumber hukum Hindu dalam arti sejarah adalah sumber hukum Hindu yang 

dipergunakan oleh para ahli Hindulogi dalam peninjauan dan penulisannya 

mengenai pertumbuhan serta kejadian hukum Hindu itu terutama dalam 

rangka pengamatan dan peninjauan masalah aspek politik, filosofis, 

sosiologi, kebudayaan dan hukumnya sampai pada bentuk materiil yang 

tampak berlaku pada satu masa dan tempat tertentu.

Peninjauan hukum Hindu secara historis ditujukan pada penelitian data-

data mengenai berlakunya kaidah-kaidah hukum berdasarkan dokumen 

tertulis yang ada. Penekanan disini mesti pada dokumen tertulis karena 

pengertian sejarah dan bukan sejarah adalah terbatas, pada bukti tertulis. 

Kaidah-kaidah yang ada dalam bentuk tidak tertulis (prasejarah), tidak 

bersifat sejarah melainkan secara tradisional atau kebiasaan yang didalam 

hukum Hindu disebut Acara.

Kemungkinan kaidah-kaidah yang berasal dari pra-sejarah ditulis dalam 

zaman sejarah, dapat dinilai sebagai satu proses pertumbuhan sejarah 

hukum dari satu phase ke phase yang baru. Dari pengertian sumber 

hukum tertulis, peninjauan sumber hukum Hindu dapat dilihat berdasarkan 

2

penemuan dokumen yang dapat kita baca dengan melihat secara umum 

dan otensitasnya. Menurut bukti-bukti sejarah, dokumen tertua yang 

memuat pokok-pokok hukum Hindu, untuk pertama kalinya kita jumpai 

di dalam Weda yang dikenal dengan nama Sruti. Kitab Weda Sruti tertua 

adalah kitab Reg Weda yang diduga mulai ada pada tahun 2000 SM. Kita 

harus bisa membedakan antara phase turunnya wahyu (Sruti) dengan 

phase penulisannya. Saat penulisannya itu merupakan phase baru dalam 

sejarah hukum Hindu dan diperkirakan telah dimulai pada abad ke X SM. 

Berdasarkan penemuan huruf yang mulai dikenal dan banyak dipakai pada 

zaman itu. Sejak tahun 2000 SM – 1000 SM. Ajaran hukum yang ada masih 

bersifat tradisional dimana isi seluruh kitab suci Weda itu disampaikan 

secara lisan dari satu generasi ke generasi yang baru. Sementara itu jumlah 

kaidah-kaidah itu berkembang dan bertambah banyak.

Adapun kitab-kitab berikutnya yang merupakan sumber hukum pula 

timbul dan berkembang pada zaman Smrti. Dalam zaman ini terdapat Yajur 

Weda, Atharwa Weda dan Sama Weda. Kemudian dikembangkan pula 

kitab Brahmana dan Aranyaka. Semua kitab-kitab yang dimaksud adalah 

merupakan dokumen tertulis yang memuat kaedah-kaedah hukum yang 

berlaku pada zaman itu. Phase berikutnya dalam sejarah pertumbuhan 

sumber hukum Hindu adalah adanya kitab Dharmasastra yang merupakan 

kitab undang-undang murni bila dibandingkan dengan kitab Sruti. Kitab 

ini dikenal dengan nama kitab smrti, yang memiliki jenis-jenis buku dalam 

jumlah yang banyak dan mulai berkembang sejak abad ke X SM. Di dalam 

buku-buku ini pula kita dapat ketahui keterangan tentang berbagai macam 

cabang ilmu dalam bentuk kaedah-kaedah yang dapat dipergunakan 

sebagai landasan pola berpikir dan berbuat dalam kehidupan ini. Kitab 

smrti ini dikelompokkan menjadi enam jenis yang dikenal dengan istilah 

Sad Vedangga. Dalam kaitannya dengan hukum yang terpenting dari Sad 

Vedangga tersebut adalah dharma sastra (Ilmu Hukum). Kitab dharma 

sastra menurut bentuk penulisannya dapat dibedakan menjadi dua macam, 

antara lain : 

a. Sutra, yaitu bentuk penulisan yang amat singkat yakni semacam 

aphorisme.

b. Sastra, yaitu bentuk penulisan yang berupa uraian-uraian panjang atau 

lebih terinci.

Di antara kedua bentuk tersebut diatas, bentuk sutra dipandang lebih tua 

waktu penulisannya yakni disekitar kurang lebih tahun 1000 SM. Sedangkan 

bentuk sastra kemungkinannya ditulis disekitar abad ke VI SM. Kitab 

smrti merupakan sumber hukum baru yang menambahkan jumlah kaidah-

                                           Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti 23

kaidah hukum yang berlaku bagi masyarakat Hindu. Disamping kitab-

kitab tersebut diatas yang dipergunakan sebagai sumber hukum Hindu, 

juga diberlakukan adat-istiadat. Hal ini merupakan langkah maju dalam 

perkembangan hukum Hindu. Menurut catatan sejarah perkembangan 

hukum Hindu, periode berlakunya hukum tersebut pun dibedakan menjadi 

beberapa bagian, antara lain:

a. Pada zaman Krta Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) 

yang ditulis oleh Manu.

b. Pada zaman Treta Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) 

yang ditulis oleh Gautama.

c. Pada zaman Dwapara Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa 

Dharmasastra yang ditulis oleh Samkhalikhita.

d. Pada zaman Kali Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) 

yang ditulis oleh Parasara.

Keempat bentuk kitab Dharmasastra di atas, sangat penting kita ketahui 

dalam hubungannya dengan perjalanan sejarah hukum Hindu. Hal ini patut 

kita camkan mengingat agama Hindu bersifat universal, yang berarti kitab 

Manawa Dharmasatra yang berlaku pada zaman Kali Yuga juga dapat 

berlaku pada zaman Trata Yuga. Demikian juga sebaliknya.

2. Sumber Hukum Hindu dalam Arti Sosiologi.

Penggunaan sumber hukum ini biasanya dipergunakan oleh para sosiolog 

dalam menyusun thesa-thesanya, sumber hukum itu dilihat dari keadaan 

ekonomi masyarakat pada zaman-zaman sebelumnya. Sumber hukum ini 

tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus di tunjang oleh data-data sejarah 

dari masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu sumber hukum ini tidak bersifat 

murni berdasarkan ilmu sosial semata melainkan memerlukan ilmu bantu 

lainnya.

Pengetahuan yang membicarakan tentang kemasyarakatan disebut dengan 

sosiologi. Masyarakat adalah kelompok manusia pada daerah tertentu yang 

mempunyai hubungan, baik hubungan agama, budaya, bahasa, suku, darah 

dan yang lainnya. Hubungan diantara mereka telah mempunyai aturan 

yang melembaga, baik berdasarkan tradisi maupun pengaruh-pengaruh 

baru lainnya yang datang kemudian. Pemikiran tentang berbagai kaidah 

hukum tidak terlepas dari pandangan-pandangan masyarakat setempat. 

Terlebih pada umumnya hukum itu bersifat dinamis, maka peranan para 


pemikir, orang-orang tua, lembaga desa, Parisada dan lembaga yang 

lainnya turut juga mewarnai perkembangan hukum yang dimaksud. Di 

dalam mempelajari data-data tertentu yang bersumber pada kitab Weda, 

kitab Manawa Dharmasastra menyebutkan sebagai berikut.

”Idanim   dharma pramananya ha, wedo’khilo dharmamulam smrtisile ca 

tadwidam, acarassaiwa sadhunam atmanastutirewa ca”.

Terjemahan:

Seluruh pustaka suci Weda adalah sumber pertama dari pada dharma, 

kemudian adat-istiadat, dan lalu tingkah-laku yang terpuji dari orang-

orang budiman yang mendalami Weda, juga kebiasaan orang-orang suci 

dan akhirnya kepuasan diri-sendiri (Manawa Dharmasastra, II.6).

Kitab suci tersebut di atas secara tegas menyatakan bahwa, sumber hukum 

(dharma) bukan saja hanya kitab-kitab sruti dan smrti, melainkan juga 

termasuk sila (tingkah laku orang-orang beradab), acara (adat-istiadat atau 

kebiasaan setempat) dan atmanastuti yaitu segala sesuatu yang memberikan 

kebahagiaan pada diri sendiri. Oleh karena aspek sosiologi tidak hanya 

sebatas mempelajari bentuk masyarakat tetapi juga kebiasaan dan moral 

yang berkembang dalam masyarakat setempat.

Sesungguhnya masih banyak lagi sloka-sloka suci Weda yang menekankan 

betapa pentingnya Weda, baik sebagai ilmu maupun sebagai alat di dalam 

membina masayarakat. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan-ketentuan 

yang ada itu penghayatan Weda bersifat sangat penting karena bermanfaat 

bukan saja kepada orang itu tetapi juga yang akan dibinanya. Karena 

itu Weda bersifat obligator baik untuk dihayati, diamalkan, dan maupun 

sebagai ilmu. Dengan mengutip beberapa sloka yang relatif penting artinya 

dalam menghayati Weda itu, nampaknya semakin jelas mengapa Weda, 

baik Sruti maupun Smrti sangat penting artinya. Kebajikan dan kebahagiaan 

adalah karena dharma berfungsi sebagaimana mestinya. Inilah yang 

menjadi hakekat dan tujuan dari pada penyebaran Weda itu, seiring dengan 

tuntutan memperoleh pengetahuan Dewasa ini yakni dengan mengingat, 

memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta atau 

mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta sesuai 

dengan tatanan yang berlaku.

3. Sumber Hukum Hindu dalam Arti Formal

Yang dimaksud dengan sumber hukum dalam arti formal menurut 

Mr.J.L.Van Aveldoorm adalah sumber hukum yang berdasarkan bentuknya 

yang dapat menimbulkan hukum positif itu, artinya dibuat oleh badan atau 

                                           

lembaga yang berwenang. Yang termasuk sumber hukum dalam arti formal 

dan bersifat pasti yaitu; Undang-undang, Kebiasaan dan adat, serta Traktat 

(Puja, Gde. 1984:85).

Disamping sumber-sumber hukum yang disebutkan di atas, ada juga 

penunjukkan sumber hukum dengan menambahkan kata yurisprudensi 

dan pendapat para ahli hukum. Dengan demikian dapat kita lihat susunan 

sumber hukum dalam arti formal sebagai berikut:

a. Undang-undang.

b. Kebiasaan dan adat.

c. Traktat

d. Yurisprudensi

e. Pendapat ahli hukum yang terkenal.

Sistematika susunan sumber hukum seperti tersebut di atas ini, dianut 

pula dalam hukum Internasional sebagai tertera dalam pasal 38 Piagam 

Mahkamah Internasional dengan menambahkan azas-azas umum hukum 

yang diakui oleh berbagai bangsa yang beradab sebagai sumber hukum 

juga. Dengan demikian, terdapat susunan hukum sebagai berikut:

a. Traktat Internasional yang kedudukannya sama dengan undang-undang 

terhadap negara itu.

b. Kebiasaan Internasional.

c. Azas-azas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab.

d. Keputusan-keputusan hukum sebagai yurisprudensi bagi suatu negara.

e. Ajaran-ajaran yang dipublikasi oleh para ahli dari berbagai negara hukum 

tersebut sebagai alat tambahan dalam bidang pengetahuan hukum.

Sistem dan azas yang dipergunakan mengenai masalah sumber hukum 

terdapat pula dalam kitab Weda, sebagaimana tersurat dalam kitab Manawa 

Dharmasastra bahwa ”seluruh pustaka suci Weda (sruti) merupakan 

sumber utama dari pada dharma (agama Hindu), kemudian barulah smrti 

disamping sila (kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang-orang yang 

menghayati Weda) dan kemudian acara (tradisi-tradisi dari orang-orang 

suci) serta akhirnya atmanastuti yakni rasa puas diri sendiri”.

Berdasarkan penjelasan sloka suci kitab hukum Hindu tersebut di atas, 

maka dapat kita mengetahui bahwa sumber-sumber hukum Hindu menurut 

Menawa Dharmasastra, adalah sebagai berikut; Weda Sruti, Weda Smrti, 

Sila, Acara (Sadacara), Atmanastuti.


Sruti berdasarkan penafsiran yang otentik dalam kitab smrti adalah Weda 

dalam arti murni, yaitu wahyu-wahyu yang dihimpun dalam beberapa 

buah buku, yang disebut mantra samhita. Kitab Weda samhita ada empat 

jenis yang disebut dengan catur Weda samhita. Bila keberadaan kitab-

kitab ini kita bandingkan dengan kitab-kitab perundang-undangan, maka 

sruti adalah undang-undang dasar itu, karena sruti merupakan sumber atau 

asal dari segala aturan (sumber dari segala sumber hukum). Sedangkan 

smrti merupakan peraturan-peraturan atau ajaran-ajaran yang dibuat 

bersumberkan pada sruti. Oleh karena itu, dalam perundang-undangan 

smrti disamakan dengan undang-undang, baik undang-undang organik 

maupun undang-undang anorganik.

Sila merupakan tingkah laku orang-orang beradab, dalam kaitannya dengan 

hukum, sila adalah menjadikan tingkah laku orang-orang beradab sebagai 

contoh dalam kehidupan. Sedangkan acarya adalah adat-istiadat yang hidup 

dalam masyarakat yang merupakan hukum positif. Atmanastuti adalah 

rasa puas pada diri. Rasa puas merupakan ukuran yang selalu diusahakan 

oleh setiap manusia. Namun, kalau rasa puas itu diukur pada diri pribadi 

seseorang akan menimbulkan berbagai kesulitan karena setiap manusia 

memiliki rasa puas yang berbeda-beda. Oleh karena itu, rasa puas tersebut 

harus diukur atas dasar kepentingan publik atau umum. Penunjukkan 

rasa puas secara umum tidak dapat dibuat tanpa pelembagaannya. Weda 

mempergunakan sistem kemajelisan sebagai dasar ukuran untuk dapat 

mewujudkan rasa puas tersebut. Majelis Parisada adalah majelis para 

ahli yang disebut para wipra (brahmana) ahli dari berbagai cabang ilmu 

pengetahuan.

Demikian keberadaan hukum formal bila dikaitkan dengan keberadaan 

hukum agama, berserta lembaganya yang ada sampai sekarang ini.

4. Sumber Hukum Hindu dalam Arti Filsafat

Filsafat merupakan dasar pembentukan kaidah-kaidah hukum itu sendiri. 

Sumber hukum ini dapat bersumber dari banyak sumber dan luas, karena 

isi sumber hukum ini meliputi seluruh proses pembentukan sumber hukum 

sejak zaman dahulu hingga sekarang. Daya mengikat hukum ini terhadap 

para anggotanya tergantung pada sifat dan bentuk kaedah-kaedah hukum 

ini, apakah bersifat normatif atau bersifat mengatur. 

Sumber hukum dalam arti filsafat merupakan aspek rasional dari agama 

dan merupakan satu bagian yang tak terpisahkan atau integral dari agama. 

Filsafat adalah ilmu pikir, filsafat juga merupakan pencairan rasional ke 

dalam sifat kebenaran atau realistis, yang juga memberikan pemecahan 

                                           

yang jelas dalam mengemukakan permasalahan-permasalahan yang lembut 

dari kehidupan ini, dimana ia juga menunjukkan jalan untuk mendapatkan 

pembebasan abadi dari penderitaan akibat kelahiran dan kematian.

Berfilsafat bermula dari keperluan praktis umat manusia yang menginginkan 

untuk mengetahui masalah-masalah transendental ketika ia berada dalam 

perenungan tentang hakikat kehidupan itu sendiri. Filsafat membimbing 

manusia tidak saja menjadi pandai tetapi juga menuntun manusia untuk 

mencapai tujuan hidup, yaitu jagadhita dan moksa. Untuk dapat hidup 

bahagia, baik di dunia maupun di akhirat diperlukan adanya keharmonisan 

hidup. Hal ini, bisa diajarkan dan diberikan filsafat. Untuk mencapai 

tingkat kebahagiaan itu ilmu filsafat Hindu menegaskan sistem dan metode 

pelaksanaannya sebagai berikut:

a. Harus berdasarkan pada dharma

b. Harus diusahakan melalui keilmuan (Jnana)

c. Hukum didasarkan pada kepercayaan (Sadhana)

d. Harus didasarkan pada usaha yang secara terus menerus dengan 

pengendalian; pikiran, ucapan, dan perilaku

e. Harus ditebus dengan usaha prayascita atau penyucian (Puja, Gde. 

1984:84).

Filsafat Hindu mengajarkan sistem dan metode penyampaian buah pikiran. 

Logika dan pragmatisme guna mendapatkan kebenaran ilmu (pramana) 

yang disebut satya. Kita harus menyadari bahwa hukum itu menyangkut 

berbagai bidang, oleh sebab itu, filsafat sangat diperlukan untuk menyusun 

hipotesis hukum. Bahkan boleh dikatakan filsafat menduduki kedudukan 

yang amat penting di dalam ilmu hukum yang disebut ”filsafat hukum”. 

Agama bukan hanya mengajarkan bagaimana manusia menyembah Tuhan. 

Tetapi juga memuat tentang; filsafat, hukum, dan lain-lain. 

Manawa Dharmasastra adalah kitab suci agama Hindu, yang memuat 

berbagai masalah hukum dilihat dari sistem kefilsafatannya, sosiologinya, 

dan bahkan dari aspek politik. Mengingat masalah hukum tersebut 

menyangkut berbagai bidang yang sangat luas, maka tidak akan terelakkan 

betapa pentingnya arti filsafat dalam menyusun suatu hipotesa hukum, 

bahkan filsafat menduduki tempat yang terpenting dalam ilmu hukum yang 

dituangkan dalam suatu cabang ilmu hukum yang disebut ”filsafat hukum”.


5. Sumber Hukum menurut Weda

Dalam sloka II.6 kitab Manawadharmasastra ditegaskan bahwa, yang 

menjadi sumber hukum umat sedharma ”Hindu” berturut-turut sesuai 

urutan adalah sebagai berikut. 

a. Sruti 

b. Smrti

c. Sila

d. Sadacara

e. Atmanastuti (Pudja dan Sudharta, 2004:31).

P.N. Sen, dan G.C. Sangkar, menyatakan bahwa sumber-sumber hukum 

Hindu berdasarkan ilmu dan tradisi adalah:

a. Sruti

b. Smrti

c. Sila

d. Sadacara

e. Atmanastuti

f. Nibanda

Nibanda adalah nama kelompok buku atau tulisan yang dibuat oleh para ahli 

pada zaman dahulu yang isinya bersifat pembahasan atau kritik terhadap 

materi hukum yang terdapat dalam kitab-kitab terdahulu. Sruti sebagai 

Sumber Hukum Hindu Pertama, sebagaimana kitab Manawadharmasastra 

II.10 menyatakan bahwa; sesungguhnya Sruti adalah Weda, Smrti itu 

Dharmasastra, keduanya tidak boleh diragukan apapun juga karena keduanya 

adalah kitab suci yang menjadi sumber dari pada hukum. Selanjutnya 

mengenai Weda sebagai sumber hukum utama, sebagaimana dinyatakan 

dalam kitab Manawadharmasastra II.6 bahwa; seluruh Weda sumber utama 

dari pada hukum, kemudian barulah smrti dan tingkah laku orang-orang 

baik, kebiasaan dan atmanastuti.

Pengertian Weda sebagai sumber ilmu menyangkut bidang yang sangat 

luas sehinga Sruti dan Smrti diartikan sebagai Weda dalam tradisi Hindu. 

Sedangkan ilmu hukum Hindu itu sendiri telah membatasi arti Weda pada 

kitab Sruti dan Smrti saja. Kitab-kitab yang tergolong Sruti menurut tradisi 

Hindu adalah: Kitab Mantra, Brahmana dan Aranyaka. Kitab Mantra terdiri 

dari: Rg Weda, Sama Weda, Yajur Weda dan Atharwa Weda.

                                           

Smrti merupakan kitab-kitab teknis yang merupakan kodifikasi berbagai 

masalah yang terdapat di dalam Sruti. Smrti bersifat pengkhususan yang 

memuat penjelasan yang bersifat autentik, penafsiran dan penjelasan ini 

menurut ajaran Hukum Hindu dihimpun dalam satu buku yang disebut 

Dharmasastra. Dari semua jenis kitab Smrti yang terpenting adalah kitab 

Dharmasastra, karena kitab inilah yang merupakan kitab Hukum Hindu. 

Ada beberapa penulis kitab Dharmasastra antara lain:

a. Manu

b. Apastambha

c. Baudhayana

d. Wasistha

e. Sankha Likhita

f. Yanjawalkya

g. Parasara

Dari ketujuh penulis tersebut, Manu yang terbanyak menulis buku 

dan dianggap sebagai standar dari penulisan Hukum Hindu itu. Secara 

tradisional Dharmasastra telah dikelompokkan menjadi empat kelompok 

menurut zamannya masing-masing yaitu:

a. Zaman Satya Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Manu.

b. Zaman Treta Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Yajnawalkya.

c. Zaman Dwapara Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Sankha 

Likhita.

d. Zaman Kali Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Parasara.

Sila berarti tingkah laku, susila berarti tingkah laku orang-orang yang baik 

atau suci. Tingkah laku tersebut meliputi pikiran, perkataan dan perbuatan 

yang suci. Pada umumnya tingkah laku para Maha Rsi dijadikan standar 

penilaian yang patut diteladani. Kaidah-kaidah tingkah laku yang baik 

tersebut tidak tertulis di dalam Smrti, sehingga sila tidak dapat diartikan 

sebagai hukum dalam pengertian yang sebenarnya, walaupun nilai-nilainya 

dijadikan sebagai dasar dalam hukum positif.

Sadacara dipandang sebagai sumber hukum Hindu positif. Dalam 

bahasa Jawa Kuna Sadacara disebut dåûta yang berarti kebiasaan. Untuk 

memahami pemikiran hukum Sadacara ini, maka hakekat dasar Sadacara 

adalah penerimaan Drsta sebagai hukum yang telah ada di tempat mana 

Hindu itu berkembang. Dengan demikian sifat hukum Hindu adalah 

fleksibel.

3

Atmanastuti artinya rasa puas pada diri sendiri. Perasaan ini dijadikan ukuran 

untuk suatu hukum, karena setiap keputusan atau tingkah laku seseorang 

mempunyai akibat. Atmanastuti dinilai sangat relatif dan subyektif, oleh 

karena itu berdasarkan Manawadharmasastra II.109 dan 115 menjelaskan 

bahwa; bila memutuskan kaidah-kaidah hukum yang masih diragukan 

kebenarannya, keputusan diserahkan kepada majelis yang terdiri dari para 

ahli dalam bidang kitab suci dan logika agar keputusan yang dilakukan 

dapat menjamin rasa keadilan dan kepuasan yang menerimanya.

Nibanda merupakan kitab yang berisi kritikan, gubahan-gubahan baru 

dengan komentar yang memberikan pandangan tertentu terhadap suatu hal 

yang telah dibicarakan.

Nibanda dijadikan pedoman dalam memberikan definisi dari suatu 

hukum atau tingkah laku sosial antar umat beragama Hindu. Istilah lain 

Nibanda adalah Bhasya yaitu jenis-jenis rontal yang membahas pandangan 

tertentu yang telah ada sebelumnya, dengan demikian Kuttaramanawa, 

Manusasana, Putrasasana, Rsisasana dll, semuanya termasuk ke dalam 

kelompok Nibanda. 

Demikianlah dapat diuraikan secara singkat beberapa sumber hukum Hindu 

yang diharapkan dapat dijadikan pedoman dalam mengamati, menanya, 

mengumpulkan, menalar/mengasosiasi, dan mengomunikasikan dalam 

kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitarnya.

Uji Kompetensi:

1. Buatlah ringkasan tentang pelaksanaan hukum Hindu yang ada 

di lingkungan sekitar-mu, berdasarkan sumber-sumber yang ada 

di media sosial maupun media pendidikan yang anda ketahui! 

Kumpulkanlah sesuai ketentuan yang diberikan oleh bapak/ibu 

guru yang mengajar di kelas-mu!

2. Setelah membaca teks yang ada dan tersedia, apakah yang anda 

ketahui tentang sumber hukum Hindu? sebutkan dan jelaskanlah!

3. Hukum Hindu yang manakah yang sedang diterapkan atau berlaku 

di sekitar lingkungan masyarakat-mu? Amati dan buatlah catatan 

seperlunya yang berhubungan dengan hal itu! Hasil pengamatan 

dan pecatatan yang anda lakukan, diskusikanlah dengan orang 

tuamu, selanjutnya buatlah laporannya sesuai dengan petunjuk

                                           

C. Çloka kitab suci yang menjelaskan sumber Hukum 

Hindu.

Himpunan sabda suci Tuhan Yang Maha Esa disebut Weda, dan bentuknya 

berupa syair-syair yang indah disebut mantra. Weda bagaikan seorang ibu 

yang membimbing mereka yang beriman untuk memperoleh kemakmuran, 

panjang umur, kehidupan yang penuh semangat kerja, kemasyuran, kekayaan 

dan kemuliaan. Çloka adalah sejenis puisi yang mengandung ajaran, biasanya 

terdiri dari 4 (empat) lirik yang berirama yang mengandung lampiran dan isi. 

Berikut ini dapat disajikan beberapa çloka dari kitab suci yang menggariskan 

Weda sebagai sumber hukum yang bersifat universal, antara lain sebagai 

berikut.

”Yaá pàvamànir adhyeti

åûibhiá saý bhåaý rasam.

sarvaý sa pùtam aúnati

svaditaý màtariúvanà”

 membuat laporan, batas waktu pengumpulan laporan dan manfaat 

pembuatan laporan yang ditentukan oleh bapak/ibu guru yang 

mengajar di kelasmu! 

4. Manfaat apakah yang dapat dirasakan secara langsung dari usaha 

dan upaya-mu memahami dan mempedomani tentang hukum 

Hindu dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup 

bermasyarakat? Tuliskanlah pengalaman anda!

5. Bila seseorang mempedomani dan melaksanakan hukum Hindu 

dalam pengabdian hidupnya atau mengabaikannya, apakah yang 

akan terjadi? Buatlah narasinya 1 – 3 halaman diketik dengan huruf  

Times New Roman – 12, spasi 1,5 cm, ukuran kertas kwarto; 4-3-

3-4!

”Diskusikanlah kutipan bait-bait sloka kitab suci” berikut  ini dengan; 

teman sekelasmu, orang tua di rumah, dan siapa saja yang menurut-

mu pantas diajak berdiskusi. Buatlah laporan hasil diskusimu, selamat 

mencoba...!


Terjemahan:

”Dia yang menyerap (memasukkan ke dalam pikiran) melalui pelajaran-

pelajaran pemurnian intisari mantra-mantra Weda yang diungkapkan kepada 

para Rûi, menikmati semua tujuan yang sepenuhnya dimurnikan yang dibuat 

manis oleh Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi nafas hidup semesta alam 

(Ã…gveda IX.67.31).

”Pàvamànir yo adhyeti-

åûibhiá saýbhåaý rasam

tasmai sarasvati duhe

kûiraý sarpir madhùdakam”.

Terjemahan:

‘Siapapun juga yang mempelajari mantra-mantra weda yang suci yang berisi 

intisari pengetahuan yang diperoleh para Rûi, Dewi pengetahuan (yakni Sang 

Hyang Saraswati) menganugerahkan susu, mentega yang dijernihkan, madu 

dan minuman Soma (minuman para Dewa)’(Ã…gveda IX.67.32).

”Iyam te rad yantasi yamano

dhruvo-asi dharunah.

kryai tva ksemaya tva

rayyai tva posaya tva”.

Terjemahan:

Wahai pemimpin, itu adalah negara-mu, engkau pengawasnya. Engkau 

mawas diri, teguh hati dan pendukung warga negara. Kami mendekat padamu 

demi perkembangan pertanian, kesejahtraan manusia, kemakmuran yang 

melimpah” (Yajurveda IX.22).

”Ahaý gÃ¥bhóàmi manasà manàýsi

mama cittam anu cittebhir eta.

mama vaseûu hrdayàni vah krnomi,

mama yàtam anuvartmàna eta”.

                                           

Terjemahan:

”Wahai para prajurit, Aku pegang (samakan) pikiranmu dengan pemikiran-

Ku. Semoga anda semua mengikuti aku menyesuaikan pikiran-mu dengan 

pikiran-ku. Aku tawan hatimu. Temanilah aku dengan mengikuti jalan-Ku, 

(Atharvaveda, VI.94.2).

Weda merupakan karunia ibu Saraswati, dan orang-orang yang mempelajari 

serta mengamalkannya dengan keyakinan yang mantap akan terpenuhi 

keinginannya. Mantra-mantra Weda mengandung kekuatan kedewataan dan 

sabda suci ini hendaknya diajarkan kepada semua orang dalam profesi apapun 

di masyarakat bahkan orang-orang asing pun tidak tertutup untuk mempelajari 

kitab suci Weda, ajarannya bersifat abadi memberikan perlindungan kepada 

umatnya. Selanjutnya kitab smrti menjelaskan sebagai berikut.

”Kàmàtmatà na praúasta

na caiwe hàstya kàmatà,

kàmyo hi wedàdhigamaá 

karmayogasca waidikaá” 

Terjemahan:

Berbuat hanya karena nafsu untuk memperoleh pahala tidaklah terpuji namun 

berbuat tanpa keinginan akan pahala tidak dapat kita jumpai di dunia ini 

karena keinginan-keinginan itu bersumber dari mempelajari Weda dan karena 

itu setiap perbuatan diatur oleh Weda (Manawa Dharmasastra, II.2).

”Teûu samyag vartta màno 

gacchatya maralokatàm, 

yathà samkalpitàýúceha 

sarwan kaman samaúnute” 

Terjemahan:

Ketahuilah bahwa ia yang selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang 

telah diatur dengan cara yang benar, mencapai tingkat kebebasan yang 

sempurna kelak dan memperoleh semua keinginan yang ia mungkin inginkan 

(Manawa Dharmasastra, II.5).

3

”Yo’ varnanyeta te mùle

hetu úàstràúrayad dvijaá, 

sa sàdhubhir bahiûkàryo 

nàstiko vedanindakaá”.

Terjemahan:

Setiap dwijati yang menggantikan dengan lembaga dialektika dan dengan 

memandang rendah kedua sumber hukum (Sruti dan Smrti) harus dijauhkan 

dari orang-orang bijak sebagai seorang atheis dan yang menentang Weda 

(Manawa Dharmasastra, II.11).

”Kitrúaá sisyo ‘dhyàpya ityàha;

àcàrya putrah úuúrusur

jnànado dharmika úuciá,

àptaá úakto rthadaá sàdhuá

svo ‘dhyàpyo daúa dharmataá”.

Terjemahan:

Menurut hukum suci, ke sepuluh macam orang-orang berikutnya adalah putra 

guru yaitu ia yang berniat melakukan pengabdiannya, ia yang memberikan 

pengetahuan, orang yang sepenuh hatinya menaati UU, orang yang suci, orang 

yang berhubungan karena perkawinan atau persaudaraan orang yang memiliki 

kemampuan rohani, orang yang menghadiahkan uang, orang yang jujur dan 

keluarga (mereka) dapat mempelajari Weda (Manawa Dharmasastra, II.109).

”Yam eva tu úuciý vidyàm

niyataý brahmacàrinam,

tasmai màý brùhi vipràya

nidhipàyà pramàdine”.

Terjemahan:

Tetapi serahkanlah saya kepada seorang brahmana yang anda ketahui pasti 

bahwa ia orang yang sudah suci, yang bisa mengendalikan panca indranya, 

berbudi baik dan tekun (Manawa Dharmasastra, II.115).

                                           

”PitÃ¥deva manuûyànàm 

Vedaú cakûuá sanàtanam, 

aúakyaý càprameyaý ca 

vedaúàstram iti sthitiá”.

Terjemahan:

Weda adalah mata yang abadi dari para leluhur, Dewa-Dewa, dan manusia; 

peraturan-peraturan dalam Weda sukar dipahami manusia dan itu adalah 

kenyataan yang pasti (Manawa Dharmasastra, XII.94).

”Ya veda vàhyà smÃ¥tayo

yàs ca kàs ca kudåûþayaá, 

sarvàsta niûphalàá pretya 

tamo niûþhà hi tà smÃ¥tàá” 

Terjemahan:

Semua tradisi dan sistem kefilsafatan yang tidak bersumber pada Weda tidak 

akan memberi pahala kelak sesudah mati karena dinyatakan bersumber dari 

kegelapan (Manawa Dharmasastra, XII.95).

 

”Utpadyànte cyavante ca 

yànyato ‘nyàni kànicit, 

tànyarvakalika tayà 

niûphalànya nÃ¥tàni ca”.

Terjemahan:

Semua ajaran yang timbul, yang menyimpang dari Weda segera akan musnah, 

tidak berharga dan palsu karena tak berpahala (Manawa Dharmasastra, XII. 

96).

 

”Vibhartti sarva bhùtàni 

veda úàstraý sanàtanam, 

tasmàd etat param manye 

yajjantorasya sàdhanam”.

3

Terjemahan:

Ajaran Weda menyangga semua mahkluk ciptaan ini, karena itu saya 

berpendapat, itu harus dijunjung tinggi sebagai jalan menuju kebahagiaan 

semua insan (Manawa Dharmasastra, XII. 99).

 ”Senàpatyaý ca ràjyaý ca 

daóða netÃ¥twam eva ca, 

sarva lokàdhipatyaý ca 

veda úàstravid arhati”.

Terjemahan:

Panglima angkatan bersenjata, Pejabat pemerintah, Pejabat pengadilan dan 

penguasa atas semua dunia ini hanya layak kalau mengenal ilmu Weda itu 

(Manawa Dharmasastra, XII.100).

”Doûair etaiá kula-ghnànàý

varna-saókara-kàrakaih,

utsàdyante jàti-dharmàá

kula-dharmàú ca úàúvatàá”.

Terjemahan:

Karena dosa dan kehancuran keluarga ini membawa keruntuhan bagi hukum 

golongan (varna dharma), kebiasaan keluarga dan hukum keluarga hancur 

untuk selama-lamanya, (Bhagawadgìtà, I.43).

”Atha cet tvam imaý dharmyaý

saògràmaý na kariûyasi,

tatah sva-dharmaý kirtiý ca

hitvà pàpam avàpsyasi”.

Terjemahan:

Akhirnya bila engkau tidak berperang, sebagaimana kewajiban, dengan 

meninggalkan  kewajiban dan kehormatan, maka penderitaanlah yang akan 

kau peroleh, (Bhagawadgìtà, II.33).

                                           

”Yadà yadà hi dharmasya

glànir bhavati bhàrata,

abhyutthànam adharmasya

tadàtmànam srjàmy aham”.

Terjemahan:

Sesungguhnya manakala dharma berkurang kekuasaannya dan tirani hendak 

merajalela, wahai arjuna, saat itu aku ciptakan diriku sendiri, (Bhagawadgìtà, 

IV.7).

”Paritràóàya sàdhànàý

vinàsàya ca duûkrtàm,

dharma-saýsthàpanàrthaya

sambhavàmi yuge-yuge”.

Terjemahan:

Untuk melindungi orang-orang baik dan untuk memusnahkan orang-orang 

jahat, Aku lahir ke dunia dari masa ke masa, untuk menegakkan dharma, 

(Bhagawadgìtà, IV.8).

”Kûipram bhavati dharmàtmà

úaúvac-chàntiý nigacchati,

kaunteya pratijànihi

na me bhaktaá pranaúyati”.

Terjemahan:

Dengan segera ia menjadi orang benar dan mencapai kedamaian yang kekal 

abadi; ketahuilah, wahai Arjuna, para pemuja-Ku pasti tak akan memusnahkan, 

(Bhagawadgìtà, IX.31).

”Çrutyuktaá paramo dharmas-

tathà smrti gato ‘parah,

çistàcàrah parah proktasrayo

dharmàá sanàtanàá.

38 Kelas XII SMA/SMK 

Kunang kengetakena, sasing kajar de sang hyang çruti dharma ngaranika, 

sakajar de sang hyang smrti kuneng dharma ta ngaranika, çistacara kunang, 

acaranika sang çista, dharma ngaranika, sista ngaran sang hyang satyawadi, 

sang apta, sang patisthan, sang panadahan upa deça sangksepa ika katiga, 

dharma ngaranira.

Terjemahan:

Adapun yang patut untuk diingat-ingat, semua apa yang diajarkan oleh Çruti 

disebut dharma, semua yang diajarkan oleh Smrti pun dharma namanya, 

demikian pula tingkah laku orang çista disebut dharma, yang disebut çista 

adalah yang berkata-kata benar, orang yang dapat dipercaya, orang yang 

menjadi tempat pensucian, orang yang menjadi tempat menerima ajaran 

kerohanian, singkatnya ketiganya itu, dharma namanya, (Sarasamuçcaya, 40).

”Çruyatàm dharmasàswam 

çrutwà çaiwopadhàryatàm,

atmanah pratikùlani na

paresàm samàcara.

Matangnyan rengo sarwadàya, paramàrtha ning sinangguh dharma telas 

rinengonta çupwanantà ta ri hati, ikang kadi ling mami ngùni wih, sasing tak 

kahyun yàwakta, yatika tanulahakenanta ring len.

Terjemahan: 

Karena itu dengarkanlah segala upaya, makna yang dianggap dharma, setelah 

engkau mendengarnya, camkan itu baik-baik di hati, sebagai mana yang telah 

saya katakan sebelumnya, segala sesuatu yang tidak berkenan di hatimu, yang 

itu janganlah hendaknya engkau lakukan kepada orang lain, (Sarasamuçcaya, 

44).

”Dharmaçcennàwasideta

kapàlenàpi jiwataá,

àdhyo smityawagantawyam

dharma wittà hi sadhawaá”.

                                           

Yadyapin atyanta daridra keta ngwang, mahuripa ta dening tasyan, yan 

langgeng apageh ring dharmàprawrtti, hidepen ta sugih jugàwakta, apan 

anghing dharmaprawrtti, màs manik sang sàdhu ngaranira, yatika prihen 

arjanan, yatika ling mami màs manik tan kena ring corahhayàdi.

Terjemahan:

Walaupun sangat miskin dan hidup dari hasil meminta-minta, jika tetap teguh 

dalam menjalankan dharma, anggaplah dirimu kaya juga, sebab perbuatan 

dharma itulah merupakan harta kekayaan orang yang saleh, yang itu supaya 

diusahakan, yang itu yang kukatakan harta kekayaan yang tak dapat dicuri, 

dirampas dan sebagainya, (Sarasamuçcaya, 50).

”Dharmamàçarato wrttiryadi

nopagamisyati,

na nama kin çilochàmbu

çàkàdyapi wipatsyate”.

Lawan ling mami, ika sang kewala tumungkulanang dharma-prawrtti, tàtan 

penemwa upajìwananira, apa matangnya tar polih angasag, gagan, wwai, 

lwirning sulabha takwanani harakanira.

Terjemahan:

Lagi pula kukata-kan, orang yang tekun melaksanakan dharma, tidak akan tidak 

memperoleh penghidupannya, apa sebabnya tidak mendapatkan makanan, 

sayur-sayuran, air, segala macam itu seakan-akan menawarkan dirinya untuk 

menjadi makanannya, (Sarasamuçcaya, 51).

Dharma ”hukum” hendaknya dipedomani dan dilaksanakan dengan sungguh-

sungguh dalam pengabdian hidup ini guna mewujudkan hidup yang sejahtera 

dan bahagia. Demiki