Rabu, 09 Juli 2025

pelajaran hindu. 4

 


pengabdiannya untuk Dharma. Dan julukan Pita Segara, yang artinya ”Bapak 

dari Lautan” karena beliau yang mengarungi lautan luas demi untuk Dharma. 

Sebelum pengaruh Hindu masuk dan diterima oleh bangsa Indonesia, 

berdasarkan hasil penelitian yang diadakan oleh J. Brandes menyatakan 

bahwa bangsa Indonesia telah mengenal sepuluh (10) macam unsur 

kebudayaan asli. Kesepuluh jenis kebudayaan asli itu meliputi; sistem berlayar, 

sistem perbintangan, sistem mata uang, sistem gerabah, seni membatik, seni 

wayang, sistem berburu, pola menetap, sistem bertani, dan sistem relegi. Dari 

sistem yang dikenal itu mereka meninggalkan berbagai macam peninggalan 

kebudayaan seperti; yang berasal dari zaman megalith dan prunggu terdapat 

peninggalan berupa; menhir, dolmen, sarkopagus, kuburan batu ”pandhusa”, 

funden berundak-undak, arca perwujudan nenek moyang, dan berbagai jenis 

nekara. Bangsa Indonesia telah mengenal dan menganut sistem kepercayaan 

terhadap roh nenek moyang-nya. Pemujaan kepada roh nenek moyang 

mempergunakan arca perwujudan. Arca perwujudan itu diletakkan pada 

tempat ”tanah” yang lebih tinggi dalam bentuk punden berundak-undak. 

Dengan teknis seperti itulah pemujaan kepada arwah leluhurnya. 

Bersamaan dengan berkembangnya pengaruh Hindu keseluruh dunia termasuk 

Indonesia, maka terjadilah akulturasi antara kebudayaan asli Indonesia 

dengan kebudayaan India yang dijiwai oleh agama Hindu. Selanjutnya secara 

berangsur-angsur peradaban Hindu mempengaruhi dan menjiwai peradaban 

asli Indonesia sesuai dengan sifat-sifatnya. Untuk semuanya itu terkait tentang 

bukti-bukti peninggalan sejarah Hindu, dapat diuraikan sebagai berikut;


1. Kutai.

Kutai terletak di Pulau Kalimantan bagian Timur. 

Pada abad ke empat (4) Masehi berkembanglah 

disana sebuah kerajaan yang bernama Kutai, 

dipimpin oleh Aswawarman yang disebut-

sebut sebagai putra dari Kundungga. Di Kutai 

diketemukan 7 buah Prasasti yang berbentuk 

Yupa. Yupa adalah tiang batu/tugu peringatan 

untuk melaksanakan upacara kurban. Yupa sebagai 

prasasti bertuliskan huruf Pallawa, berbahasa 

sanskerta dan tersusun dalam bentuk syair. Salah 

satu diantara batu bertulis tersebut ada yang 

menuliskan ”Sang Maha Raja Kundungga yang 

amat mulia, mempunyai putra yang masyur, Sang 

Açwawarman namanya, seperti Ançuman (Dewa Matahari), menumbuhkan 

keluarga yang sangat mulia. Sang Açwawarman mempunyai tiga putra, 

seperti api yang suci ketiganya. Yang terkemuka dari ketiganya itu 

ialah Sang Mulawarman raja yang bijaksana, kuat, dan berkuasa. Sang 

Mulawarman telah mengadakan yajna dengan mempersembahkan emas 

yang banyak”. Pada bagian lain disebutkan pula bahwa ”Sang Mulawarman 

raja mulia dan terkemuka, telah mempersembahkan yajna berupa dua puluh 

ribu (20.000) ekor sapi kepada para brahmana bertempat di lapangan suci 

waprakeswara. Waprakeswara adalah lapangan suci sebagai tempat untuk 

memuja Çiwa. 

R. Soekmono menyatakan bahwa, Kundungga adalah bukan kata sanskerta. 

Kundungga adalah seorang kepala suku penduduk asli Indonesia yang 

belum banyak kena pengaruh kebudayaan India. Purbatjaraka mengatakan, 

bahwa Kundungga bukan sosok yang terkenal di India. Mungkin beliau 

adalah orang Indonesia asli yang sudah menerima pengaruh kebudayaan 

India. Sehingga nama-nama keturunannya disesuaikan dengan budaya India 

selatan. Sebagaimana kita ketahui melalui penuturan sejarah bahwa budaya 

orang-orang India selatan sering mempergunakan akhiran ”warman” 

(pelindung) dalam memberikan nama-nama keturunannya. Sedangkan, 

Krom menyatakan bahwa, Kundungga adalah tipe India Selatan, karena 

disana diketemukan istilah tempat yang disebut Kundukura. Dari berbagai 

pendapat yang dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut di atas tentang asal 

sebutan Kundungga, yang utama patut kita ketahui dan diingat adalah apa 

saja peninggalan agama Hindu yang terdapat di Kutai pada masa lalu sampai 

sekarang. Berdasarkan penemuan peninggalan sejarah berupa batu bertulis 


(Yupa) dapat diketahui bahwa agama Hindu telah berkembang dengan 

subur di Kutai. Hindu sebagai agama telah diterima oleh masyarakat Kutai 

dan pada abad ke empat (4) Masei sudah berkembang dengan suburnya 

di Kutai. Adapun pengaruh agama Hindu yang diterima oleh masyarakat 

Kutai adalah Hindu ajaran çiwa. 

2. Jawa Barat.

Jawa Barat merupakan bagian dari pulau Jawa. Pada zaman raja-raja di 

nusantara ini, Jawa Barat merupakan salah satu daerah pusat berkembangnya 

agama Hindu. Disekitar tahun 400-500 Masehi Jawa Barat diperintah oleh 

seorang raja yang bernama ”Purnawarman” dengan kerajaannya bernama 

Taruma Negara. Kerajaan Taruma Negara meninggalkan banyak prasasti, 

diantaranya adalah prasasti; Ciaruteun, Kebon Kopi, Tugu, dan prasasti 

Canggal. Prasasti-prasasti itu kebanyakan ditulis dengan mempergunakan 

hurup Pallawa dan berbahasa sanskerta yang digubah dalam bentuk syair 

(Soekmono, ”Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II” Kanisius, 

1973).

Penemuan sebuah prasasti yang mengungkapkan tentang kehidupan 

manusia memiliki nilai tersendiri dalam membicarakan perkembangan 

agama Hindu di nusantara ini. Dalam prasasti Ciaruteun terdapat 

lukisan dua telapak kaki Sang Purnawarman yang disamakan dengan 

tapak kaki Dewa Wisnu. Ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa 

raja Purnawarman penganut ajaran Hindu. Dewa Wisnu dalam konsep 

Ketuhanan ajaran Hindu merupakan manifestasi dari Sang Hyang Widhi 

sebagai Dewa kemakmuran. Gambar telapak kaki gajah dari Sang Raja 

kita dapat temukan didalam prasasti Kebon Kopi, ini dapat dihubungkan 

dengan telapak kaki gajah Airawata (gajah Indra). Prasasti Tugu yang 

terdapat di Jakarta menuliskan bahwa, raja Purnawarman dalam tahun 

pemerintahannya yang ke 22 telah berhasil menggali sebuah sungai yang 

disebut sungai gomati. Sungai ini memiliki panjang 6122 busur ± 12 Km 

dalam waktu 21 hari. Setelah selesai diakan upacara korban serta sedekah 

berupa 1000 ekor lembu kepada para brahmana. Dalam prasasti Canggal 

yang mempergunakan angka tahun candra sengkala ”Sruti Indra rasa” 

berarti tahun 654 çaka (tahun 732 masehi) menyebutkan bahwa, Raja 

Sanjaya mendirikan sebuah Lingga sebagai simbul memuja Sang Hyang 

Widhi dalam manifestasinya sebagai Çiwa. Dalam prasasti ini juga memuat 

kata-kata pujian kepada Dewa Brahma, Wisnu, dan Çiwa. Hal ini dapat 

dihubungkan dengan konsepsi Tri Murti.

Seluruh penemuan tersebut dapat dipergunakan sebagai referensi bahwa 

pada masa pemerintahan raja Purnawarman di Jawa barat agama Hindu 

dapat berkembang dengan sangat baik dan beliau adalah penganut Hindu 

idialis. Berikut ini adalah catatan peninggalan sejarah berupa Prasasti di 

Indonesia, antara lain:

Prasasti adalah benda peninggalan sejarah yang berisi tulisan dari masa 

lampau. Tulisan itu dicatat di atas batu, logam, tanah liat, dan tanduk 

binatang. Prasasti peninggalan Hindu ditulis dengan huruf Pallawa dan 

berbahasa Sanskerta. Prasasti tertua adalah Prasasti Yupa, dibuat sekitar 

tahun 350-400 M. Prasasti Yupa berasal dari Kerajaan Kutai. Yupa adalah 

tiang batu yang digunakan pada saat upacara korban. Hewan kurban 

ditambatkan pada tiang ini. Prasasti Yupa terdiri dari tujuh batu bertulis. Isi 

Prasasti Yupa adalah syair yang mengisahkan Raja Mulawarman. 

3. Jawa Tengah.

Suburnya peradaban agama Hindu di Jawa Tengah dapat kita ketahui 

dari diketemukannya prasasti Tukmas. Prasasti ini ditulis dengan huruf 

Pallawa, berbahasa sanskerta dengan tipe tulisan berasal dari tahun 650 

Masehi. Prasasti Tukmas memuat gambar-gambar atribut; Dewa Tri Murti, 

seperti; Triçula lambang Dewa Çiwa, Kendi lambang Dewa Brahma, dan 

Cakra lambang Dewa Wisnu. Prasasti ini juga menjelaskan tentang adanya 

sumber mata air yang jernih dan bersih yang dapat disamakan dengan 

sungai Gangga.

No. Nama Prasasti Lokasi Penemuan Pembuatan Peninggalan

1 Yupa Kutai, Kaltim Abad ke-4 M Kutai

2 Ciaruteun Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara

3 Tugu Cilincing, Jakut Abad ke-5 M Tarumanegara

4 Jambu Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara

5 Kebon Kopi Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara

6 Cidanghiang Pandeglang Abad ke-5 M Tarumanegara

7 Pasir Awi Leuwiliang, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara

8 Muara Cianten Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara

9 Canggal Magelang, Jateng Abad ke-7 M Mataram Lama

10 Kalasan Yogyakarta Tahun 732 M Mataram Lama

11 Dinoyo Malang, Jatim Tahun 760 M Mataram Lama

12 Kedu Temanggung, Jateng Tahun 778 M Mataram Lama

13 Sanur Bali Abad ke-9 M Bali

                                           

Sumber berita Tionghoa berasal dari masa pemerintahan raja-raja Tang 

tahun 618-696 Masehi. Di Jawa Tengah dinyatakan berdiri Kerajaan Kaling 

yang pada tahun 674 Masehi diperintah oleh raja perempuan bernama 

”Raja Sima” yang memiliki sistem pemerintahan sangat jujur. Dikatakan 

Raja Sima secara sengaja menaruh kantong berisi emas di tengah jalan, 

dan tidak seorangpun berani menyentuhnya. Dalam kurun waktu ± 3 tahun 

secara kebetulan kantong tersebut disentuh oleh kaki putranya. Hukuman 

mati dijatuhkan kepada putranya itu, namun setelah abdinya mengajukan 

permohonan hukuman potong kaki mengingat yang salah adalah kaki 

putranya, hukuman potong kaki untuk putranya pun dilaksanakan. 

Selanjutnya menurut prasasti Canggal yang berangka tahun 732 Masehi 

menyebutkan bahwa Raja Sanjaya mendirikan Lingga sebagai tempat 

pemujaan Çiwa bertempat disebuah bukit Kunjarakunja. Di Gunung wukir 

terdapat candi induk dengan 3 buah candi perwara, di dalam candi induk 

terdapat Yoni sebagai alas Lingga. Raja Sanjaya adalah putra raja Sanaha 

sebagai saudara perempuan dari Raja Sima. Sanjaya adalah penerus dari 

kerajaan Mataram di Jawa Tengah.

Berdasarkan penuturan sejarah Jawa Tengah tersebut dapat ditarik suatu 

pernyataan bahwa pada masa pemerintaha raja-raja disana telah tumbuh 

peradaban agama Hindu dengan sangat baik. Para raja dan masyarakatnya 

telah mendapat tuntunan ajaran agama dengan sangat baik sehingga 

kehidupan pada umumnya mejadi damai dan masyarakatnyapun dapat 

mencapai kemakmuran dan keadilan. Semuanya itu terjadi karena ajaran 

Hindu dipahami, dipelajari, dan dipraktikan dengan sungguh-sungguh, 

yang dapat dibuktikan dengan adanya beberapa peninggalan candi sebagai 

sarana pemujaan Tuhan oleh umat sedharma. Berikut ini adalah daftar 

peninggal candi Hindu di Indonesia.

No. Nama Candi Lokasi Penemuan Pembuatan Peninggalan

1 Prambanan Yogyakarta Abad ke-7 M Mataram Lama

2 Dieng Dieng, Jawa Tengah Abad ke-7 M Mataram Lama

3 Badut Malang, Jawa Timur Tahun 760 M Kanjuruhan

4 Canggal Jawa Tengah Abad ke-8 M Mataram Lama

5 Gedong Sanga Jawa Tengah Abad ke-8 M Mataram Lama

6 Penataran Blitar, Jawa Timur Abad ke-11 M Kediri

7 Sawentar Blitar Jawa Timur Abad ke-12 M Singasari

8 Candi Kidal Jawa Timur Abad ke-12 M Singasari

9 Singasari Jawa Timur Abad ke-12 M Singasari

10 Sukuh

Karang Anyar, 

Jateng

Abad ke-13 M Majapahit

112 Kelas XII SMA/SMK 

Candi Prambanan dibangun pada sekitar tahun 

850 Masehi oleh salah seorang dari kedua orang 

ini, yakni: Rakai Pikatan, raja kedua wangsa 

Mataram I atau Balitung Maha Sambu, semasa 

wangsa Sanjaya. Tidak lama setelah dibangun, 

candi ini ditinggalkan dan mulai rusak. Candi 

Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Asia 

Tenggara, tinggi bangunan utamanya adalah 

setinggi 47 m. Kompleks candi ini terdiri dari 8 kuil 

atau candi utama yang kokoh dan lebih daripada 

250 candi kecil. Tiga candi utama disebut Trisakti 

dan dipersembahkan kepada sang hyang Trimurti: 

Batara Siwa sang Penghancur, Batara Wisnu sang 

Pemelihara dan Batara Brahma sang Pencipta.

Candi Arjuna adalah sebuah kompleks candi 

Hindu peninggalan dari abad ke-7 hingga abad ke-8 

yang terletak di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten 

Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia. Dibangun 

pada tahun 809M, Candi Arjuna merupakan 

salah satu dari delapan kompleks candi yang ada 

di Dieng. Ketujuh candi lainnya adalah Semar, 

Gatotkaca, PuntaDeva, Srikandi, Sembadra, Bima 

dan Dwarawati. Di kompleks candi ini terdapat 19 

candi namun hanya 8 yang masih berdiri. Bangunan-

bangunan candi ini saat ini dalam kondisi yang 

memprihatinkan. Batu-batu candi ada yang telah 

rontok, sementara di beberapa bagian bangunan ini 

terlihat retakan yang memanjang selebar 5 cm.

Candi Srikandi terletak di utara Candi Arjuna. 

Batur candi setinggi sekitar 50 cm dengan denah 

dasar berbentuk kubus. Di sisi timur terdapat 

tangga dengan bilik penampil.


Candi Badut terletak di kawasan Tidar, kota 

Malang. Dapat ditempuh dengan kendaraan 

umum jurusan Tidar. Candi ini diperkirakan 

berusia lebih dari 1400 tahun dan diyakini adalah 

peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan 

Kanjuruhan sebagaimana yang termaktub dalam 

prasasti Dinoyo pada tahun 760 Masehi silam.

Kata Badut di sini berasal dari bahasa sanskerta 

”Bha-dyut” yang berarti sorot Bintang Canopus 

atau Sorot Agastya.

Candi ini ditemukan pada tahun 1921 dimana bentuknya pada saat itu hanya 

berupa gundukan bukit batu, reruntuhan dan tanah. Orang pertama yang 

memberitakan keberadaan Candi Badut adalah Maureen Brecher, seorang 

kontrolir bangsa Belanda yang bekerja di Malang. Candi Badut dibangun 

kembali pada tahun 1925-1927 di bawah pengawasan B. De Haan dari 

Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Dari hasil penggalian yang dilakukan 

pada saat itu diketahui bahwa bangunan candi telah runtuh sama sekali, 

kecuali bagian kaki yang masih dapat dilihat susunannya.

4. Jawa Timur.

Keberadaan kerajaan Kanjuruan dapat kita pergunakan sebagai salah 

satu landasan untuk mengetahui peradaban agama Hindu di Jawa Timur. 

Prasasti Dinoyo merupakan bukti peninggalan sejarah kerajaan Kanjuruan. 

Prasasti ini banyak membicarakan tentang perkembangan agama Hindu di 

Jawa Timur. Prasasti Dinoyo ditulis mempergunakan hurup kawi (Jawa 

Kuno) dengan bahasa sanskerta menuliskan angka tahun 760 Masehi. 

Dikisahkan bahwa dalam abad ke 8 kerajaan yang berpusat di Kanjuruan 

bernama Dewa Simha. Beliau memiliki putra yang bernama Limwa, 

setelah menggantikan ayahnya sebagai raja bernama Gajayana. Raja 

Gajayana mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk memuliakan Maha 

Rsi Agastya. Arca Maha Rsi Agastya pada mulanya terbuat dari kayu 

cendana, kemudian diganti dengan arca batu hitam.

Peresmian arca Maha Rsi Agastya dilaksanakan dalam tahun 760 Masehi. 

Pelaksanaan upacaranya dipimpin oleh para pendeta ahli Weda. Pada 

saat itu pula Raja Gajayana dikisahkan mengadiahkan tanah, lembu, dan 

bangunan untuk para brahmana dan para tamu. Dinyatakan bahwa salah satu 

bentuk bangunan itu yang berasal dari zaman kerajaan Kanjuruan adalah 

”Candi Badut”. Di dalam candi inilah diketemukan sebuah lingga sebagai 

perwujudan dari Dewa Çiwa. Di dalam prasasti Dinoyo juga dituliskan 

tentang perjalanan Maha Rsi Agastya dari India menuju Indonesia untuk 

menyebarkan dan mengajarkan agama Hindu.

Selanjutnya perkembangan agama Hindu di Jawa Timur dapat kita ketahui 

dari berdirinya Dinasti Isyanawangça yang berkuasa tahun 929-947 

Masehi. Dinasti ini diperintah oleh Empu Sendok, yang mempergunakan 

gelar ”Isyana Tunggawijaya”. Isyana Tunggawijaya berarti raja yang 

memuliakan pemujaan kehadapan Dewa Çiwa. Setelah kekuasaan Isyana 

Tunggawijaya berakhir, berkuasalah raja Airlangga yang memerintah 

sampai tahun 1049 Masehi. Raja Airlangga dinobatkan sebagai pengganti 

raja Dharmawangça yang memerintah sampai tahun 1019 Masehi. Beliau 

bergelar ”Çri Maharaja Rake Halu Çri Lokeçwara Dharmawangça 

Airlangga Anantawikramottungga Dewa” yang dinobatkan oleh Pendeta 

Çiwa dan Budha. Raja Airlangga setelah mengundurkan diri dari tahtanya, 

beliau wafat tahun 1049 Masehi dan dimakamkan di Candi Belahan. 

Airlangga diwujudkan sebagai Dewa Wisnu dengan arca wisnu duduk di 

atas garuda.

Banyak karya sastra bernafaskan ajaran agama Hindu diterbitkan pada 

zaman Dharmawangça, diantaranya kitab Purwadigama yang bersumber 

pada kitab Menawa Dharmasastra. Sedangkan kitab Negara Kertagama, 

Arjuna Wiwaha, Sutasoma dan yang lainnya muncul pada zaman 

Majapahit. Pada zaman ini juga dibangun berbagai macam candi seperti 

candi Penataran di Blitar. Berdasarkan petunjuk peninggalan sejarah seperti 

tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa peradaban agama Hindu di Jawa 

Timur sangat pesat.

Wujud patung Hindu antara lain hewan dan manusia. Patung berupa hewan 

dibuat karena hewan tersebut dianggap memiliki kesaktian. Patung berupa 

manusia dibuat untuk mengabadikan tokoh tertentu dan untuk 

menggambarkan Dewa Dewi. Contoh patung peninggalan kerajaan Hindu 

yang terkenal adalah Patung Airlangga sedang menunggang garuda. Dalam 

patung itu, Airlangga digambarkan sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Jenis 

Patung peninggalan Hindu Indonesia adalah;

No. Nama Patung Lokasi Penemuan Pembuatan Peninggalan

1 Trimurti - - -

2 Dwarapala Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara

3 Wisnu Cibuaya I Cibuaya, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara

                                           

5. Bali.

Keberadaan agama Hindu di Bali 

merupakan kelanjutan dari agama Hindu 

yang berkembang di Jawa. Pertama 

kalinya disebut-sebut dikembangkan 

oleh Maha Rsi Markandheya bertempat 

di Besakih yang sekarang dikenal dengan 

nama ‘Pura Besakih’. Agama Hindu 

yang datang ke Bali disertai oleh agama 

Budha. Setelah di Bali kedua agama 

tersebut berakulturasi dengan harmonis 

dan damai. Kejadian ini sering disebut 

dengan sinkritisme Çiwa – Budha. Disekitar zaman prasejarah sebelum 

pengaruh Hindu berkembang di Bali masyarakatnya telah mengenal sistem 

kepercayaan dan pemujaan.

a. Kepercayaan kepada gunung sebagai tempat suci. Gunung oleh 

masyarakat Bali dipandang sebagai tempat bersemayamnya para roh 

nenek-moyang yang telah disucikan. 

b. Sistem penguburan yang mempergunakan sarkopagus (peti mayat). 

Setiap orang yang meninggal dikubur dengan kepala menuju arah 

gunung dan kakinya menuju arah laut. Hal ini memberikan inspirasi 

kepada kita bahwa gunung dan laut melambangkan sebagai ulu dan 

teben, kepala dan kaki, purusa dan peredana, serta utama mandala dan 

nista mandala. 

c. Kepercayaan adanya alam sekala dan niskala. Alam sekala merupakan 

tempat hidup dan kehidupan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. 

Sedangkan alam niskala diyakini sebagai tempat bersemayamnya Ida 

Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya dan roh suci manusia setelah 

meninggalkan jasadnya.

4

Wisnu Cibuaya 

II

Cibuaya, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara

5 Rajasari Jakarta Abad ke-5 M Tarumanegara

6 Airlangga Medang Kemulan Abad ke-10 M

Medang 

Kemulan

7 Ken Dedes Kediri, Jatim Abad ke-12 M Kediri

8 Kertanegara Jawa Timur Abad ke-12 M Singasari

9 Kertarajasa Mojekerto, Jatim Abad ke-13 M Majapahit


d. Kepercayaan adanya penjelmaan (Punarbhawa). Masyarakat Bali 

”Hindu” percaya bahwa roh seseorang yang meninggalkan badan 

kasarnya setelah kurun waktu tertentu menjelma kembali ke dunia nyata 

ini.

e. Kepercayaan bahwa roh nenek-moyang orang bersangkutan dapat setiap 

saat memberikan perlindungan, petunjuk, sinar dan tuntunan rohani 

kepada generasinya. 

Demikianlah sistem kepercayaan masyarakat Bali sebelum pengaruh 

ajaran Hindu datang ke Bali. Sistem kepercayaan masyarakat Bali nampak 

memiliki pola sangat sederhana. Setelah datangnya Maha Rsi Markhandeya 

di Bali pola kepercayaan yang sederhana itu kembali disempurnakan. 

Keterangan tentang Maha Rsi Markhandeya menyebarkan pengaruh 

Hindu di Bali dapat diketahui melalui kitab Markhandeya Purana. Kitab 

tersebut menyatakan bahwa untuk pertama kalinya pengaruh Hindu di Bali 

disebarkan oleh Maha Rsi Markhandeya. Beliau datang ke Bali diperkirakan 

disekitar abad ke 4-5 Masehi melalui gunung Semeru (Jawa Timur) menuju 

daerah gunung Agung (Tolangkir) dengan tujuan hendak membangun 

asrama atau penataran. Kedatangan beliau untuk pertama kalinya diikuti 

oleh 400 orang pengiring, namun dikisahkan kurang berhasil. Setelah 

pulang ke Jawa, beliau kembali datang ke Bali dengan pengiring sebanyak 

2000 orang. Kedatangan beliau yang ke dua ini berhasil menanam panca 

datu di kaki gunung Agung (Besakih) sekarang.

Selanjutnya dikisahkan bahwa Maha Rsi Markhandeya berkehendak untuk 

merabas hutan untuk dijadikan sawah guna meningkatkan kesejahteraan 

para pengiringnya. Hutan yang dirabas itu bernama Desa Sarwada (Desa 

Taro) sekarang. Di Desa Sarwada inilah beliau mendirikan tempat suci 

yang sekarang bernama Pura Desa Taro. Pada tempat suci ini beliau 

meninggalkan sebuah prasasti yang isinya mengisahkan kebesaran jiwa 

Maha Rsi Markhandeya.

Selama menetap di Bali Maha Rsi Markhandeya secara berangsur-angsur 

mulai meningkatkan kepercayaan masyarakat Bali.

f. Masyarakat Bali mulai diajarkan melakukan pemujaan kehadapan Sang 

Hyang Widhi. Sang Hyang Tuduh, Sang Hyang Prama Kawi, Sang 

Hyang Prama Wisesa dan yang lainnya adalah sebutan untuk Tuhan Yang 

Maha Esa. Dengan mempersembahkan upakara api, air, bunga dan buah 

beliau menyembah kehadapan Surya ”nyuryasewana” tiga kali sehari 

memuja kebesaran Tuhan. Unsur-unsur upakara yang dipersembahkan 

                                           

itu disebut alat-alat bebali. Selanjutnya beliau mengajarkan bahwa 

segala sesuatu yang dikerjakan adalah untuk mewujudkan keselamatan, 

hendaknya didahului dengan mempersembahkan bebali kehadapan 

Sang Hyang Widhi. Ajaran yang demikian disebut agama bebali.

g. Pada saat itu pula mulai dikenal tentang daerah Bali. Bali diartikan 

daerah yang segala sesuatunya mempergunakan sesajen atau sarana 

bebali. Masyarakat Bali yang menjadi pengiringnya dan mendiami 

daerah pegunungan disebut orang-orang Bali Aga.

h. Pura Besakih mulai dibangun dan difungsikan sebagai tempat memuja 

Sang Hyang Widhi Waça guna memohonkan keselamatan umatnya. 

Tempat suci lainnya yang dibangun oleh beliau adalah Pura Andakasa, 

Lempuyang, Watukaru, Sukawana dan yang lainnya.

i. Warna merah dan putih mulai dipergunakan sebagai ider-ider atau 

umbul-umbul di tempat-tempat suci. Kedua warna itu melambangkan 

kesucian yang bersumber dari warna surya dan bulan.

j. Upacara bebali untuk keselamatan binatang dan peternakan ditetapkan 

pada tumpek kandang atau hari sabtu-kliwon wuku uye. Sedangkan 

untuk keselamatan tumbuh-tumbuhan ditetapkan pada tumpek pengatag 

atau hari sabtu-kliwon wuku wariga. Personifikasi Tuhan Yang Maha 

Esa yang menganugrahkan keselamatan kepada binatang dan tumbuh-

tumbuhan disebut Sang Hyang Rareangon dan Sang Hyang Tumuwuh.

Upaya dan usaha pelestarian agama Hindu di Bali setelah Maha Rsi 

Markhandeya dilanjutkan oleh Empu Sang Kulputih. Beliau disebut-sebut 

sebagai pemongmong Pura Besakih. Banyak peran yang dilaksanakan dan 

diambil oleh beliau dalam meningkatkan peran dan kwalitas agama Hindu.

k. Mengajarkan tentang bebali dalam bentuk seni yang mengandung 

makna simbolis dan suci.

l. Mengajarkan orang-orang Bali Aga menjadi orang-orang suci untuk 

Pura Kahyangan, seperti; Pemangku, Jro Gede, Jro Prawayah dan Jro 

Kebayan. Untuk menjadikan diri orang bersangkutan suci diajarkan 

pula tentang tata cara melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi.

m. Empu Sang Kulputih juga mengajarkan masyarakat untuk melaksanakan 

hari-hari suci, seperti; Galungan, Kuningan, Sugian, Pagerwesi, 

Tumpek, dan yang lainnya. Disamping itu juga mengajarkan tentang tata 

cara membuat arca lingga dari kayu, logam atau uang kepeng sebagai 

perwujudan dari Ida Sang Hyang Widhi Waça beserta manifestasinya.

118 Kelas XII SMA/SMK 

Bertempat di Pura Puseh (Desa Bedulu Gianyar) ditemukan peninggalan 

arca Çiwa. Menurut tipenya arca itu dinyatakan serupa dengan arca Çiwa 

yang terdapat di Candi Dieng. AJ Bernet Kemper mengatakan arca 

tersebut berasal dari abad ke 8 Masehi. 

Prasasti Blanjong yang berangka tahun 913 Masehi menyebutkan bahwa 

Raja Putri Mahendradatta yang bergelar Gunapriya Dharmapatni mangkat 

di Buruan Kutri Gianyar. Beliau diwujudkan dalam bentuk Dhurga Mahisa 

Asura Mardhani yaitu Bhatari Dhurga yang sedang membunuh para setan 

yang ada di badan seekor kerbau. Prasasti tersebut kini tersimpan di Pura 

Blanjong Sanur.

Pada masa pemerintahan Raja Marakatta Pangkaja Sthanottungga Dewa 

tahun 944-948 çaka (1022-1026 Masehi) datanglah Empu Kuturan ke Bali. 

Beliau berasal dari Jawa Timur, setibanya di Bali membangun asrama di 

Padangbai (Pura Silayukti) sekarang. Oleh beliau masyarakat Bali diajarkan 

tentang silakrama, filsafat tentang makrokosmos dan mikrokosmos, Sang 

Hyang Widhi, Jiwatman, Karmaphala, Wali dan Wewalen. Beliau juga 

mengajarkan tentang Kusuma Dewa, Widhi Sastra, Sangkara Yoga dan tata 

cara membangun Kahyangan atau bangunan suci lainnya. Bangunan suci 

yang ada sampai sekarang dibangun menurut ajaran beliau adalah;

a. Sanggah Kemulan, Taksu dan Tugu untuk setiap rumah tangga dalam 

satu pekarangan.

b. Sanggah Pamrajan yang terdiri dari; Surya, Meru, Gedong, Kemulan, 

Taksu, Pelinggih Pengayatan Sad Kahyangan, dan Paibon serta 

yang lainnya, untuk penyungsungan lebih dari satu kepala keluarga/

pekarangan.

c. Pura Dadiya, Pemaksan, Panti dan yang lainnya, yang penyungsungnya 

lebih dari satu paibon/pemerajan.

d. Kahyangan Tiga (Pura Puseh, Baleagung, dan Dalem) sebagai tempat 

memuja Tri Murti dibangun pada setiap Desa Pekraman/adat.

Selain pembangunan tempat-tempat suci tersebut di atas, beliau juga 

mengajarkan tentang pembangunan Kahyangan Jagat, seperti; Pura 

Besakih, Pura Batur, Pura Uluwatu, Pura Lempuyang, Pura Andakasa, 

Pura Goalawah, Pura Pusering Tasik dan yang lainnya.

Pada masa Pemerintahan Raja Marakatta dilaksanakanlah penghormatan 

kepada Maha Rsi Agastya, sebagaimana disebutkan dalam prasasti tersebut 

yang berangka tahun 944 Çaka. Adapun kalimatnya berbunyi ”Rasa nikang 

                                           

sapatha Bhatara Puntahyang Hyang Anggasti Maha Rsi purwa satya 

daksina ….”. Lontar Dwijendra Tattwa menjelaskan bahwa ”kedatangan 

Maha Rsi Agastya di Bali mengajarkan agama Úiwa”. Selanjutnya 

dinyatakan bahwa beliau mengajarkan tentang ilmu gaib (Tantrisme atau 

Tantra) kepada para raja dan kaum bangsawan. Ajaran inilah yang sering 

disebut Aywawera.

Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong yang berkedudukan di 

Gelgel tahun 1470-1550 Masehi datanglah Dang Hyang Dwijendra di Bali. 

Beliau juga disebut Dang Hyang Nirartha. Kedatangan beliau di Bali melalui 

Blambangan-Banyuwangi, mengarungi segara rupek (selat Bali) dan 

sampailah di Desa Pulaki. Dari sini beliau melanjutkan perjalanan menuju 

Desa Gadingwangi, Desa Mundeh, Mengwi, Kapal, Tuban, Buangan dan 

sampailah di Desa Mas. Dalem Waturenggong memerintahkan Ki Gusti 

Penyarikan Dauh Baleagung untuk mendak Dhang Hyang Nirartha datang 

ke Puri Gelgel menjadi Purohita Kerajaan.

Dang Hyang Nirartha banyak mengajarkan pengetahuan agama kepada 

para raja dan masyarakat Bali.

a. Ilmu tentang pemerintahan.

b. Ilmu tentang peperangan (Dharmayuddha).

c. Pengetahuan tentang smaragama (cumbwana karma) ajaran tentang 

pertemuan smara laki dan perempuan.

d. Ajaran tentang pelaksanakaan mamukur, maligia, dan mahasraddha.

Sejak kedatangan beliau (Dhang Hyang Nirartha) dari Jawa ke Bali 

dan setelah lama menjadi Purohita di Puri Gelgel, seizin Raja Dalem 

Waturenggong akhirnya Dang Hyang Nirartha berasrat untuk melanjutkan 

mengadakan perjalanan suci mengelilingi Bali. Dari Puri Gelgel beliau 

berjalan menuju Pura Rambut Siwi dan selanjutnya menuju Pura Uluwatu 

– Bukit Gong – Bukit Payung – Sakenan – Air Jeruk – Tugu – Genta 

Samprangan – Tengkulak – Goa Lawah – Pojok Batu – Pengajengan – 

Masceti – Peti Tenget dan tempat suci lainnya serta akhirnya beliau 

dinyatakan moksah di Pura Luhur Uluwatu (Dwijendra Tattwa, 1993: 35).

Berdasarkan data tersebut di atas sangatlah besar jasa Dhang Hyang 

Nirartha di Bali. Beliau telah mengajarkan tata cara pemerintahan, 

keagamaan, arsitektur, kesusastraan, pembimbing masyarakat, tata cara 

pembangunan pelinggih Padmasana untuk pemujaan Sang Hyang Widhi 

dan yang lainnya dalam rangka mempermulia keimanan umat manusia.


Prasasti Bendosari yang berangka tahun 1272 Çaka ada memuat kata-kata 

”Bhairawa, Sora, dan Budha”. Prasasti ini diprediksi sudah ada pada masa 

pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Jawa. Hal ini memberikan indikasi 

bahwa Raja Hayam Wuruk juga sebagai pemuja sakti, surya dan budha. 

Sedangkan R. Goris dalam bukunya sekta-sekta di Bali, menyebutkan 

bahwa agama Hindu berkembang di Bali dengan berbagai sekta. Disebutkan 

ada sembilan sekte yang mendominasi, diantaranya; úekta Úiwa Úiddhanta-

Paúupata-Bhairawa-Wesnawa-Bodha/Sogata, Brahma-Rsi-Sora dan Ga-

nesa. Keberadaan berbagai úekta tersebut sampai sekarang masih hidup 

dan berkembang serta luluh menyatu menjadi Úiwa-Úiddhanta.

Perkembangan agama Hindu boleh dikatakan tumbuh dan berkembang 

dengan subur di Indonesia sejak abad permulaan sampai akhir abad ke 15. 

Pada abad ke 14 masehi mengalami puncak keemasan pada masa kejayaan 

pemerintahan Majapahit di Jawa. Sedangkan abad ke 15 masehi pada 

masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali. Tiga setengah abad 

berikutnya yakni pada masa pemerintahan penjajah abad ke 19 Masehi 

keberadaannya mengalami kekurang beruntungan. Disekitar tahun 1927 

Masehi oleh penjajah, pustaka Hukum Catur Agama dirubah menjadi 

pasuara Residen Bali-Lombok. Kitab Hukum Dharma Sastra dijadikan 

hukum Adat, Pengadilan Agama dijadikan Raad Van Kerta, dan Desa 

Adat ”Pekraman” yang berfungsi sebagai lembaga agama masyarakat 

disandingkan dengan Desa Dinas.

Tahun 1938 Masehi pemerintah Belanda merubah sistem pemerintahan di 

Indonesia ”Bali” menjadi dua kelompok:

a. Kaula Swapraja yaitu pemerintahan kerajaan dengan menerapkan sistem 

keadilan Raad Van Kerta.

b. Kaula Guperman yaitu pemerintahan penjajah dengan menerapkan 

sistem keadilan lembaga landra sebagai lembaga keadilan masyarakat.

Kedua sistem ini sangat kurang menguntungkan terhadap tumbuh 

kembangnya kehidupan beragama ”Hindu” di Indonesia. Sejak awal 

abad ke 20 (17 Agustus 1945) Negara Kesatuan Republik Indonesia 

diproklamasikan maka mulai kehidupan agama ditata berdasarkan Undang-

Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2. Ini berarti bahwa kehidupan 

beragama Hindu” di Indonesia telah memiliki kekuatan hukum yang pasti. 

Seiring dengan itu maka;

                                           

a. Pada tanggal 3 Januari 1946 terbentuklah Departemen Agama, yang 

bertugas menata kembali kehidupan beragama di Indonesia.

b. Tahun 1950 diberlakukan Undang-Undang Nomor 44 tahuin 1950 

tentang Pemerintahan Otonom. Pemerintah Bali mulai mengadakan 

pembinaan kepada umat Hindu, seperti tentang perayaan hari Nyepi, 

pemeliharaan Pura Besakih dan yang lainnya.

c. Tanggal 21-23 Februari 1959 diselenggarakanlah Pesamuhan Agung 

Bali bertempat di Gedung Fakultas Sastra Universitas Udayana yang 

dihadiri oleh pejabat pemerintah yang terkait, pemuka agama dan 

lembaga agama yang ada pada waktu itu. Yang akhirnya memutuskan 

untuk membentuk lembaga tertinggi umat Hindu yang disebut Parisada 

Hindu Dharma Bali.

d. Tanggal 4 Juli Yayasan Dwijendra Denpasar mendirikan Sekolah 

Pendidikan Guru Agama Hindu Bali. Pada tahun 1968 sekolah ini 

dijadikan Sekolah Pendidikan Guru Agama Hindu Negeri. Sejak itu 

berdirilah sekolah yang sejenis sampai ke Mataram (Lombok) dan 

Blitar (Jawa).

e. Tanggal 6 Juli 1960 Pemerintah Bali menetapkan hari raya; Nyepi, 

Galungan, Kuningan, Saraswati dan Pagerwesi sebagai hari libur daerah 

Bali.

f. Tanggal 17-23 November 1961 dilaksanakanlah Pesamuhan di 

Campuhan Ubud, menghasilkan Keputusan yang dikenal dengan 

sebutan Piagam Campuhan Ubud.

g. Tanggal 3 Oktober 1963 berdirilah Lembaga Tinggi Pendidikan Agama 

Hindu yang disebut Maha Widya Bhuwana Institut Hindu Dharma, 

sekarang UNHI.

h. Tanggal 7-10 Oktober 1964 dilaksanakanlah Mahasabha I dengan hasil; 

memutuskan PHDI bersidang setiap 4 tahun sekali. PHD Bali menjadi 

PHD Indonesia.

i. Tanggal 3-5 September 1992 di Denpasar telah dilaksanakan pertemuan 

PHD se dunia yang disebut ”World Hindu Federation Meeting for Peace 

Humanity.

Karya sastra peninggalan kerajaan Hindu berbentuk kakawin atau kitab. 

Kitab-kitab peninggalan itu berisi catatan sejarah. Umumnya karya sastra 

peninggalan sejarah Hindu ditulis dengan huruf Pallawa dalam bahasa 

Sanskerta pada daun lontar. Karya sastra yang terkenal antara lain Kitab 

Baratayuda dan Kitab Arjunawiwaha. Kitab Baratayuda dikarang Empu 

122 Kelas XII SMA/SMK 

Sedah dan Empu Panuluh. Kitab Baratayuda berisi cerita keberhasilan 

Raja Jayabaya dalam mempersatukan Kerajaan Kediri dan Kerajaan 

Jenggala. Kitab Arjunawiwaha berisi pengalaman hidup dan keberhasilan 

Raja Airlangga. Berikut ini daftar kitab-kitab peninggalan sejarah Hindu 

di Indonesia.

Tradisi;

Tradisi adalah kebiasaan nenek moyang yang masih dijalankan oleh 

masyarakat saat ini. Tradisi agama Hindu banyak ditemukan di daerah 

Bali karena penduduk Bali sebagian besar beragama Hindu. Tradisi agama 

Hindu yang berkembang di Bali, antara lain:

a. Upacara nelubulanin ketika bayi berumur 3 bulan.

b. Upacara potong gigi (mapandes).

c. Upacara pembakaran mayat yang disebut Ngaben. Dalam tradisi 

Ngaben, jenazah dibakar beserta sejumlah benda berharga yang dimiliki 

orang yang dibakar.

Ziarah, yaitu mengunjungi makam orang suci dan tempat suci leluhur 

seperti candi.

6. Nusa Tenggara Barat.

Perkembangan agama Hindu di NTB (Lombok) dapat kita ketahui dari 

perjalanan suci ”dharmayatra” Dhang Hyang Nirartha. Beliau dikenal 

dengan sebutan Pangeran Sangupati. Banyak peninggalan tempat suci 

dan sastra Hindu yang dapat kita pergunakan sebagai referensi bahwa 

Hindu pada zaman itu telah berkembang sampai di Nusa Tenggara Barat. 

Keberadaan agama Hindu di NTB juga tidak terlepas dari peran serta 

kekuasaan raja-raja Karangasem pada masa itu.

7. Nusa Tenggara Timur.

Masyarakat Nusa Tenggara Timur ”Sumbawa” sampai saat ini masih 

mengenal sebutan Tuan Semeru. Nama Tuan Semeru adalah sebutan dari 

No. Nama Kitab LokasiPenemuan Pembuatan Peninggalan

1

Carita 

Parahayangan

Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara

2 Kresnayana Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara

3 Arjunawiwaha Kahuripan, Jatim Abad ke-10 M

Medang 

Kemulan

4 Lubdaka Kediri, Jatim Abad ke-11 M Kediri

5 Baratayuda Kediri, Jatim Abad ke-12 M Kediri

                                           

Dhang Hyang Nirartha. Hal ini memberikan indikasi bahwa beliau pernah 

menyebarkan ajaran Hindu ke daerah ini. Sekarang keberadaan agama 

Hindu di daerah ini dikembangkan kembali oleh para transmigran asal Bali.

8. Sulawesi.

Perkembangan agama Hindu di Sulawesi diprediksi sudah ada sejak 

abad ke 3 Masehi. Hal ini ditandai dengan penemuan patung Budha yang 

terdapat di daerah Goa yang diperkirakan pembuatan sejaman dengan 

patung-patung budha yang ada di India (R.Soekmono, 1973:82). Tidak 

banyak yang bisa kita kemukakan dengan penemuan ini. Selanjutnya dapat 

dinyatakan bahwa perkembangan agama Hindu tumbuh subur di wilayah 

ini sebagai akibat dari adanya masyarakat transmigrasi yang berasal dari 

Bali dan sekitarnya.

9. Irian Barat. 

Tidak jauh berbeda dengan daerah Sulawesi, bahwa perkembangan 

ke-Hindu-an yang ada di Irian Barat disebabkan oleh karena adanya 

masyarakat transmigrasi. Disamping itu, juga karena adanya penduduk 

yang mendapatkan tugas-tugas tertentu di daerah ini.

Demikian peradaban  Hindu di Indonesia, yang menurut penuturan sejarah 

Indonesia, di mulai dari Kalimantan, Jawa, Bali, Sumatra, dan daerah yang 

lainnya. Runtuhnya Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu, peradaban 

agama Hindu di mulai kembali dari Bali yang telah menganut paham Hindu 

sejak Maha Rsi Markhandeya datang di Bali sampai sekarang.

Uji Kompetensi:

1. Setelah anda membaca teks bukti-bukti monumental peninggalan 

Prasejarah dan sejarah perkembangan Agama Hindu di Indonesia, 

apakah yang anda ketahui tentang sejarah agama Hindu? Jelaskan 

dan tuliskanlah!

2. Buatlah ringkasan yang berhubungan dengan bukti-bukti 

monumental peninggalan Prasejarah dan sejarah perkembangan 

Agama Hindu di Indonesia, dari berbagai sumber media pendidikan 

dan sosial yang anda ketahui! Tuliskan dan laksanakanlah sesuai 

dengan petunjuk dari bapak/ibu guru yang mengajar di kelasmu!

124 Kelas XII SMA/SMK 

D. Pelestarian Peninggalan Budaya Agama Hindu di 

Indonesia

Perenungan.

”Ya àtmadàbaladà yasya visva

upàsate praúiûaý yasya devàh,

yasyacchàyà’måtaý yasya måtyuh

kasmai devàya haviûà vidhema.

Terjemahan:

Ia yang menganugerahkan kekuatan jasmani dan kemuliaan rohani, yang 

hukum-Nya dipatuhi oleh semua obyek yang bercahaya dan yang memberikan 

penerangan kepada umat manusia, yang rahmat-Nya bersifat abadi, yang 

mengatasi kematian, kepadanya, sumber kebahagiaan yang suci, kami 

persembahkan doa kebaktian kami dengan ketulusan hati’ (Ågveda X. 121.2).

3. Apakah yang anda ketahui tentang bukti-bukti monumental 

peninggalan Prasejarah dan sejarah perkembangan Agama Hindu 

di Indonesia? Jelaskanlah!

4. Bagaimana cara kita untuk memanfaatkan keberadaan bukti-bukti 

monumental peninggalan Prasejarah dan sejarah perkembangan 

Agama Hindu di Indonesia? Jelaskan dan tuliskanlah pengalaman 

anda!

5. Manfaat apakah yang dapat dirasakan secara langsung dari 

memiliki pengetahuan tentang bukti-bukti monumental 

peninggalan Prasejarah dan sejarah perkembangan Agama Hindu 

di Indonesia? Tuliskanlah pengalaman anda!

6. Amatilah lingkungan sekitar anda terkait dengan keberadaan 

bukti-bukti monumental peninggalan Prasejarah dan sejarah 

perkembangan Agama Hindu di Indonesia, buatlah catatan 

seperlunya dan diskusikanlah dengan orang tuanya! Apakah yang 

terjadi? Buatlah narasinya 1–3 halaman diketik dengan huruf  

Times New Roman – 12, spasi 1,5 cm, ukuran kertas kwarto; 4-3-

3-4!

                                           

Kata ‘pelestarian’ berasal dari kata 

‘lestari’ berarti tetap seperti keadaan 

semula; tidak berubah; bertahan; kekal 

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim : 

2001). Melestarikan adalah menjadikan 

(membiarkan) tetap tidak berubah; 

membiarkan tetap seperti keadaan semula; 

mempertahankan kelangsungannya. 

Pelestari adalah orang yang menjaga 

sesuatu (hewan, hutan, lingkungan, 

warisan, budaya) dan sebagainya agar tetap 

lestari. Pelestarian adalah proses, cara, 

perbuatan melestarikan; perlindungan dari 

kemusnahan atau kerusakan; pengawetan; 

konservasi; sumber-sumber alam; 

pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pembuatannya secara bijaksana 

dan menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan 

meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.

Pelestarian peninggalan budaya agama Hindu berarti proses, cara, perbuatan 

melestarikan; perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan; pengawetan; 

konservasi; peninggalan budaya agama Hindu; pengelolaan peninggalan 

budaya agama Hindu yang menjamin pembuatannya secara bijaksana dan 

menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan 

meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Menjadi kewajiban 

umat sedharma pada kususnya (Indonesia) dan umat sejagat raya ini pada 

umumnya, untuk mewujudkan pelestarian peninggalan budaya agama Hindu 

yang diwariskan oleh putra-putri anak bangsa ini dari masa lampau. Pemikiran, 

pernyataan, sifat dan sikap anak-anak bangsa yang demikian adalah wujud 

dari putra-putri yang berhati mulia. Kita semua patut bersyukhur kehadapan-

Nya, karena berkesempatan dianugerahkannya lahir sebagai anak-anak bangsa 

menjadi pelestari dari budaya agama Hindu.

Kekuatan jasmani dan kemuliaan rohani sesungguhnya adalah anugrah 

dari Tuhan Yang Maha Esa, persembahan doa kebaktian dengan 

ketulusan hati merupakan wujud dari upaya pelestarian semua yang ada 

ini. Bagaimana kita dapat melestarikan peninggalan budaya agama Hindu 

di Indonesia? Diskusikanlah dengan kelompok-mu!


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kita ini memiliki banyak dan 

beraneka corak, ragam dan sifat benda-benda peninggalan sejarah. Benda-

benda itu merupakan warisan masa lampau yang sangat berharga dari leluhur 

anak bangsa ini. Benda-benda itu menjadi milik Negara, menjadi milik seluruh 

rakyat Indonesia. Benda-benda peninggalan sejarah yang patut menjadi 

kebanggaan bangsa Indonesia, seperti; Yupa, Prasasti, Karya sastra dan seni, 

Candi (Prambanan, Borobudur, Penataran), Pura (Besakih), dan yang lainnya. 

Sepertinya tak terbayangkan oleh kita, sejak abad ke 4  sampai dengan abad 

ke 9 bangsa kita sudah mampu membuat bangunan semegah, indah dan 

suci seperti itu. Tiada kata yang dapat kita ucapkan untuk menggantikan 

kemegahan, keindahan, dan kesuciannya. Sudah sepatutnya kita bersikap 

hormat dan menghargai benda-benda peninggalan sejarah dan budaya agama 

kita. Apa saja bentuk upaya dan pelestarian sejarah budaya agama Hindu yang 

sudah dan akan kita lakukan? 

Permasalahan di atas menunjukkan bahwa masih terlalu banyak peninggalan 

sejarah dan budaya Hindu yang belum kita upayakan pelestariannya. Benda-

benda purbakala tersebut tidak semestinya kita abaikan apalagi hanya untuk 

diperjual-belikan guna mencari keuntungan pribadi. Sebagai anak bangsa 

yang berbudaya sudah seharusnya kita melestarikan, merawat, menjaga, 

mengunjungi, menghormati dan menyucikan peninggalan leluhur kita itu. 

Benda-benda peninggalan sejarah patut dihargai. Bagaimana caranya?

1. Merawat dan menjaga pelestarian peninggalan agama Hindu di Indonesia.

Banyak benda peninggalan dan warisan sejarah budaya agama Hindu 

di Indonesia yang sudah berusia ratusan atau bahkan ribuan tahun. Tak 

heran benda-benda tersebut banyak pula yang sudah rapuh dan rusak. Bila 

tidak dirawat dengan baik bisa rusak hancur dan menghilang. Merawat 

benda-benda peninggalan dan warisan budaya agama Hindu di Indonesia 

merupakan tugas kita semua. Tapi penanggung-jawab utamanya adalah 

Negara (pemerintah yang sedang berkuasa). Cara menjaga dan merawat 

antara lain sebagai berikut

a. Membangun museum-museum untuk penyimpanan benda-benda dan 

warisan sejarah budaya agama Hindu di Indonesia.

b. Menjadikannya cagar budaya sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan, 

benda-benda budaya bernafaskan ajaran agama Hindu.

c. Menjaga dan merawat wilayah atau daerah-daerah cagar budaya benda-

benda yang bernapaskan agama Hindu dengan sebaik mungkin. Di 

daerah cagar budaya biasanya terdapat banyak benda-benda peninggalan 

berbudaya agama Hindu.

                                           

d. Turut menjaga agar benda-benda peninggalan budaya agama Hindu 

tidak dirusak atau dirusak oleh barisan orang yang tidak bertanggung-

jawab. Benda-benda peninggalan sejarah harus diamankan dari tangan-

tangan jahil.

2. Mengunjungi tempat-tempat pelestarian peninggalan warisan benda-benda 

sejarah budaya agama Hindu di Indonesia.

Sudah atau belum pernahkah diantara kita mengunjungi tempat-tempat 

pelestarian peninggalan warisan benda-benda sejarah dan budaya agama 

Hindu di Indonesia? Kalau memang sudah, lanjutkanlah upaya dan usaha 

mulia yang sudah dilaksanakan itu untuk diri pribadinya dan juga untuk 

generasi selanjutnya. Bila sekiranya belum, cobalah melakukannya, tidak 

ada cacatan sejarah yang menyalahkan-mu untuk mencoba berusaha dan 

berupaya berbuat mulia dalam kesempatan hidup ini dimanapun kita sedang 

mengabdi. Amatilah dengan baik, benda-benda apa saja yang terdapat di 

sana. Sebab mengunjungi tempat-tempat pelestarian peninggalan warisan 

benda-benda sejarah dan budaya agama Hindu termasuk salah satu cara 

mewujudkan rasa bhakti, hormat, rasa memiliki, dan menghargai-nya. 

Diatara kita bisa mengunjungi tempat pelestarian peninggalan warisan 

benda-benda sejarah dan budaya agama Hindu setempat lainnya, seperti;

a. Candi;

b. Makam pahlawan/kuburan nenek-moyang;

c. Monumen, dan yang lainnya.

3. Bersembahyang di tempat-tempat suci ”Pura” sebagai tempat suci 

peninggalan sejarah dan budaya agama Hindu dari nenek-moyang bangsa 

Indonesia.

Tempat suci umat sedharma ‘Hindu’ disebut dengan nama ”Pura”. Kata 

Pura dalam Kamus besar bahasa Indonesia berarti; kota; istana; negeri 

(spt.Indrapura); tempat beribadat (bersembahyang) umat Hindu Dharma. 

Sudahkah diantara kita umat sedharma memfungsikan ‘Pura’ sebagai 

tempat bersembahyang setiap saat atau 3 (tiga) kali dalam sehari. Umat 

Hindu memiliki banyak ”ribuan” tempat suci yang dapat dipergunakan 

sebagai sarana untuk menghubungkan diri (jasmani dan rohani) kehadapat 

Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, kapan dan dimana saja 

sedang berada sesuai dengan tata-tertib bersembahyang. Terbiasa atau 

belum biasakah diantara kita bersembahyang di tempat-tempat suci (Pura) 

sebagai peninggalan warisan sejarah dan budaya agama Hindu Indonesia 

untuk mengadakan kontak dengan-Nya? Bilamana memang sudah, 

lanjutkanlah upaya dan usaha mulia nan suci itu yang sudah terlaksana 


untuk pribadi pribadi, teman sejawat dan juga untuk generasi selanjutnya. 

Bila sekiranya belum, mulailah untuk melakukannya! Tidak ada cacatan 

prasasti yang melarang-mu untuk selalu memulai, berusaha dan berupaya 

berhubungan dengan Sang Pecipta beserta dengan prabhawanya yang patut 

kita muliakan dan sucikan dalam kesempatan hidup ini dimanapun kita 

sedang berada. Amatilah dengan baik! tempat-tempat suci untuk memuja 

siapa saja yang terdapat di sekitarnya. Sebab datang mengadap (tangkil) ke 

tempat-tempat suci yang ada di lingkungan sekitar kita, yang tetap terjaga 

sampai saat ini kelestarian dan kesuciannya, sebagai peninggalan warisan 

sarana bersejarah dan berbudaya dalam agama Hindu adalah termasuk 

salah satu cara untuk mewujudkan rasa bakti, hormat, rasa memiliki, dan 

menyucikan-nya. Diataranya, kita wajib bersembahyang di tempat-tempat 

suci, seperti;

a. Merajan/sanggah;

b. Pura Kawitan;

c. Pura Paibon;

d. Pura Dadiya/Panti;

e. Pura Kahyangan Tiga;

f. Pura Padarman;

g. Pura Dhang Kahyangan;

h. Pura Kahyangan Jagat; dan yang lain-lainnya.

4. Melarang atau tidak memberikan izin kepada  orang-orang/individu/

kelompok yang hanya memiliki kepentingan sesaat atau tidak bertanggung-

jawab untuk mengelola tempat-tempat pelestarian sejarah dan budaya 

peninggalan agama Hindu di Indonesia. Karena tidak tertutup kemungkinan 

diantara mereka dapat menyalahgunakan pemanfaatannya, seperti 

menghalalkan segala cara, menapikan sejarah dan budaya bangsanya. 

Bila kondisi seperti ini dibiarkan terjadi secara berkesinambungan maka 

degradasi moral tentu dapat terjadi, dan akhirnya bangsa ini tinggal 

menunggu kehancuran.

Uji Kompetensi:

1. Setelah anda membaca teks tentang Pelestarian peninggalan 

budaya agama Hindu di Indonesia, apakah yang sudah anda 

ketahui? Jelaskan dan tuliskanlah!

                                           

E. Kontribusi Kebudayaan Hindu dalam Pem-

bangunan Nasional dan Pariwisata Indonesia 

Menuju Era Globalisasi.

Perenungan.

”Agne nakûatram ajaram

à sùrya rohayo divi,

dadhaj jyotir janebhyaá

agne ketur viúam asi

preûþah srestah upasthasat

bhodhà stotre bayo dadhat.

2. Buatlah ringkasan yang berhubungan dengan upaya yang 

berhubungan dengan Pelestarian peninggalan budaya agama 

Hindu di Indonesia, dari berbagai sumber media pendidikan dan 

sosial yang anda ketahui! Tuliskan dan laksanakanlah sesuai 

dengan petunjuk dari bapak/ibu guru yang mengajar di kelas-mu!

3. Apakah yang anda ketahui tentang Pelestarian peninggalan budaya 

agama Hindu di Indonesia? Jelaskanlah!

4. Bagaimana cara-mu untuk dapat mewujudkan usaha dan 

upaya tentang Pelestarian peninggalan budaya agama Hindu di 

Indonesia? Jelaskan dan tuliskanlah pengalamannya!

5. Manfaat apakah yang dapat dirasakan secara langsung dari usaha 

dan upaya-mu untuk melestarikan peninggalan budaya agama 

Hindu di Indonesia? Tuliskanlah pengalaman anda!

6. Amatilah lingkungan sekitar anda terkait dengan adanya usaha 

Pelestarian peninggalan budaya agama Hindu di Indonesia, 

buatlah catatan seperlunya dan diskusikanlah dengan orang 

tuanya! Apakah yang terjadi? Buatlah narasinya 1–3 halaman 

diketik dengan huruf  Times New Roman – 12, spasi 1,5 cm, 

ukuran kertas kwarto; 4-3-3-4!


Terjemahan:

‘Ya Engkau yang bersinar, Engkau telah menciptakan matahari, bintang-

bintang, bergerak di langit, menyinari manusia; Engkau yang bercahaya, 

menjadi pelita bagi manusia; sangat mulia dan tercintalah Engkau yang 

mendampingi kami; berkatilah penyanyi, berilah dia kehidupan yang baik’ 

(Ågveda X. 156.45).

Bahasa (budaya) menunjukkan bangsa, demikian para budayawan 

menyatakan. Brandes (Belanda) tahun 1884 M. menerangkan bahwa bangsa-

bangsa di seluruh kepulauan Indonesia mulai dari pulau Formosa di sebelah 

utara, dan Madagaskar di sebelah barat, tanah Jawa, Bali dan seterusnya 

disebelah selatan, sampai ke tepi Amerika pada zaman dahulu berbahasa 

satu. H. Kern (Belanda) tahun 1889 M. mengadakan penyelidikan bahasa di 

kepulauan Indonesia, menyatakan penduduk kepulauan Indonesia berbahasa 

Tjempa (tanah Annam; sekarang). Sampai tahun 1500 SM bangsa Indonesia 

masih berkumpul di Tjempa, karena desakan bangsa lain (orang Asia tengah), 

lalu mereka berpindah ke Kamboja, ke Thai dan ke Malaka. Dari Malaka 

berpindah ke Sumatra, Borneo (Kalimantan), Jawa dan sebagainya. Sampai 

pada permulaan Masehi bangsa-bangsa ‘Hindu’ tersebut sudah ada di Borneo 

(Kutai) yang dari padanya baru diketahui ada ke’Hindu’an tahun 400 Masehi 

(abad ke 4 M) di Borneo Timur (Kutai) dan Jakarta. Tulisan yang terdapat di 

Kutai berbunyi berbunyi sebagai berikut; 

”Çrimatah çri-narendrasya, Kundungasya mahàtmanah, putro’çvavarmo 

vikhyàtah, vançakarttà yathànçumàn, tasya putra mahàtmànah, trayas traya 

ivàgnayah, tesan trayànàm pravarah, tapo-bala-damànvitah, çri-Mùlavarman 

ràjendro, yastvà buhusuvarnnakam, tasya yajnasya yùpo’yam, dvijendrais 

samprakalpitah.

Terjemahan:

”Sang Maharaja Kundunga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, 

Sang Acwawarman namanya, yang seperti sang ancuman (Dewa matahari) 

menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Acwawarman mempunyai 

Semua yang ada di dunia ini diciptakan dan dijiwai oleh Tuhan Yang 

Maha Esa, Hindu mengajarkan umatnya untuk selalu percaya dengan 

keberadaan-Nya. Bagaimana Kontribusi kebudayaan Hindu dalam 

pembangunan Nasional dan Parawisata Indonesia menuju era Globalisasi. 

Cari dan atau buatlah artikel yang berhubungan dengan kebudayaan 

Hindu. Diskusikanlah!

                                           

putra tiga, seperti api (yang suci) tiga. Yang terkemuka dari ke tiga putra 

itu ialah Sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat dan kuasa. 

Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) 

emas amat banyak. Buat peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini 

didirikan oleh para Brahmana” (Purbatjaraka,  R.M.Ng. 1968).

Sebagai anak bangsa Indonesia sudah sepantasnya kita bersyukhur kehadapan 

Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, karena telah dilahirkan, 

dipelihara/dibesarkan menjadi insan-insan yang beragama dan berbudaya. 

Berangkat dari pemikiran Dr. H. Kern, dapat disimak bahwa bangsa Indonesia 

di lahirkan oleh nenek moyangnya yang religius, berbudaya sesuai dengan 

zamannya. Hindu yang disebut-sebut sebagai agama tertua di dunia menurut 

penuturan sejarah, memiliki benang merah dengan keberadaan nenek moyang 

kita. Oleh karena panjangnya perjalanan yang dilalui maka sangat wajar 

memiliki beraneka macam bentuk, sifat dan ciri khas peninggalan kebudayaan 

yang dimilikinya termasuk karya sastra. Apa kontribusi budaya Hindu 

Indonesia?

Berdasarkan fakta-fakta sejarah Indonesia dengan peninggalan benda-benda 

budaya yang bernafaskan ke’Hindu’an dengan yang ada, dapat dinyatakan 

agama Hindu memiliki kontribusi yang besar terhadap pembangunan 

pariwisata Indonesia menuju era global. Kontribusi yang dimaksud antara 

lain;

1. Pariwisata alam; Indonesia dikenal 

oleh dunia memiliki sumber daya alam 

yang kaya dan indah bernafaskan ke-

Hinduan. Keindahan alam Indonesia 

mejadi daya tarik tersendiri bagi 

wisatawan dunia untuk berkunjung 

ke Indonesia. Atas kunjungan itu 

sudah menjadi kewajiban bangsa dan 

negara kita menyiapkan pasilitas yang 

memadai, seperti ; transportasi (jalan 

dan angkutan) umum dan khusus, 

gedung atau rumah-rumah penginapan 

beserta fasilitasnya, makanan dan 

minuman sesuai kebiasaannya, jasa 

pelayanan (harus mengetahui dan pasih berbahasa asing), keamanan 

dan kenyamanan para wisatawan dalam berwisata, administrasi yang 

akurat/jelas (tidak berbelit-belit atau membingungkan) dan yang lainnya. 


Bangsa Indonesia lebih dari wajar harus memelihara kelestarian alamnya 

sebagaimana mestinya. Realisasi dari wisata alam ini dapat memberikan 

pendapatan negara yang juga dapat meningkatkan kesejahtraan bangsa ini. 

Ajaran Hindu yang bersifat kreatif mengantarkan bangsa ini bebas dari 

kemiskinan material dan rohani.

2. Wisata budaya; Budaya anak bangsa 

Indonesia melahirkan kebudayaan. Dari 

berbagai macam suku bangsa yang ada 

di Indonesia berbuah beraneka-macam 

kebudayaanya yang dapat dinikmati 

oleh para wisatawan yang berkunjung 

ke Indonesia. Hindu sebagai agama 

tertua di dunia termasuk Indonesia, 

menjiwai kebudayaan anak bangsa 

ini sehingga semuanya itu menjadi 

hidup ”metaksu”. Kebudayaan yang 

‘metaksu’ menjadi daya tarik tersendiri 

bagi wisatawan (lokal dan asing) untuk 

menikmatinya. Semuanya itu lagi-lagi 

dapat menambah pendapatan negara dan daerah yang dikunjunginya. 

Selanjutnya beberapa bentuk kebudayaan sumbangan agama Hindu yang 

dapat disajikan dalam tulisan ini, seperti;

3. Candi:

Candi Jabung: Candi Hindu ini 

terletak di Desa Jabung, Kecamatan 

Paiton, Kabupaten Probolinggo, 

Jawa Timur. Struktur bangunan 

candi yang terbuat dari bata merah 

ini mampu bertahan ratusan tahun. 

Menurut kitab Nagarakertagama Candi 

Jabung di sebutkan dengan istilah 

Bajrajinaparamitapura. 

Kitab Nagarakertagama juga 

menyebutkan bahwa candi Jabung 

pernah dikunjungi oleh Raja Hayam 

Wuruk dalam lawatannya keliling Jawa 

Timur pada tahun 1359 Masehi. Pada 


kitab Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal 

salah seorang keluarga raja. Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa 

dengan candi Bahal yang ada di Bahal, Sumatera Utara. Bagaimana 

hubungan raja-raja Sumatra dengan raja-raja Jawa, lakukanlah penelusuran 

selanjutnya!

Candi Tikus

Candi ini terletak di kompleks 

Trowulan, sekitar 13 km di sebelah 

Tenggara kota Mojokerto. Candi Tikus 

yang semula telah terkubur dalam 

tanah ditemukan kembali pada tahun 

1914. Penggalian situs dilakukan 

berdasarkan laporan bupati Mojokerto, 

R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang 

ditemukannya miniatur candi di sebuah 

pekuburan rakyat.

Pemugaran secara menyeluruh 

dilakukan pada tahun 1984 sampai 

dengan 1985. Nama ‘Tikus’ hanya 

merupakan sebutan yang digunakan 

masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat candi tersebut 

berada merupakan sarang tikus.

Candi Dieng

Secara administratif dataran tinggi 

Dieng (Dieng Plateau) berada di lokasi 

wilayah Kabupaten Banjarnegara dan 

Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa 

Tengah. Dataran tinggi Dieng (Dieng 

Plateau) berada pada ketinggian kurang 

lebih 2088 m dari permukaan laut 

dengan suhu rata-rata 13-17 C, Dataran 

tinggi Dieng merupakan dataran yang 

terbentuk oleh kawah gunung berapi 

yang telah mati. Bentuk kawah jelas 

terlihat dari dataran yang terletak di 

tengah dengan dikelilingi oleh bukit-

bukit. Sebelum menjadi dataran, area 


ini merupakan danau besar yang kini tinggal bekas-bekasnya berupa telaga. 

Bekas-bekas kawah pada saat ini, kadang-kadang masih menampakan 

aktivitas vulkanik, misalnya pada kawah Sikidang. Disamping itu juga 

aktivitas vulkanik, yang berupa gas/uap panas bumi dan dialirkan melalui 

pipa dengan diameter yang cukup besar, dan dipasang di permukaan 

tanah untuk menuju ke lokasi tertentu yang berada cukup jauh dari lokasi 

pemukiman penduduk dan dimanfaatkan untuk Pembangkit Tenaga Listrik 

Panas Bumi. Dengan kondisi topografi, pemandangan alam yang indah 

dan situs-situs peninggalan purbakala yang berupa candi, sehingga dataran 

tinggi Dieng mempunyai potensi sebagai tempat rekreasi dan sekaligus 

obyek peninggalan sejarah Hindu yang indah.

Dataran tinggi Dieng dipandang sebagai suatu tempat yang memiliki 

kekuatan misterius, tempat bersemayamnya arwah para leluhur, sehingga 

tempat ini dianggap suci. Dieng berasal dari kata Dihyang yang artinya 

tempat arwah para leluhur. Terdapat beberapa komplek candi di daerah 

ini, komplek Candi Dieng dibangun pada masa agama Hindu, dengan 

peninggalan Arca Dewa Siwa,Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lainya 

bercirikan Agama Hindu. Candi-candi yang berada di dataran tinggi Dieng 

diberi nama yang berhubungan dengan cerita atau tokoh-tokoh wayang 

Purwa dalam lokan Mahabarata, misalnya candi Arjuna, candi Gatotkaca, 

candi Dwarawati, candi Bima, candi Semar, candi Sembadra, candi 

Srikandi dan candi Punta Dewa. Nama candi tersebut tidak ada kaitannya 

dengan fungsi bangunan dan diperkirakan nama candi tersebut diberikan 

setelah bangunan candi tersebut ditinggalkan atau tidak digunakan lagi. 

Tokoh siapa yang membangun candi tersebut belum bisa dipastikan, 

dikarenakan informasi yang terdapat di 12 prasasti batu tidak ada satupun 

yang menyebutkan siapa tokoh yang membangun candi religius ini.

Tugas para ilmuwan muda untuk membuka tabir misteri yang ada pada 

peninggalan budaya candi Dieng menuntaskannya. Sudah menjadi pakem 

kita bahwa segala sesuatu yang ada pasti ada yang menciptakannya. Hal ini 

patut ditelusuri kebenarannya, walaupun bagaimana ini adalah salah satu 

aset pariwisata budaya yang patut digali eksistensinya untuk kesejahtraan 

dan kebahagiaan anak bangsa ini. Lakukanlah ... !

Candi Cetho

Candi Cetho adalah sebuah candi bercorak agama Hindu, merupakan 

peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan 

ilmiah pertama tentang keberadaan candi Cetho dibuat oleh Van de Vlies 

pada tahun 1842. Masehi A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian 

                                           

yang berhubungan dengan keberadaan candi ini. Ekskavasi atau penggalian 

untuk kepentingan rekonstruksi candi ini dilakukan pertama kali pada 

tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda.

Berdasarkan keadaannya ketika 

itu, pada reruntuhan candi Cetho 

mulai diadakan penelitian, candi 

ini memiliki usia yang tidak jauh 

dengan Candi Sukuh. Lokasi 

candi berada di Dusun Ceto, Desa 

Gumeng, Kecamatan Jenawi, 

Kabupaten Karanganyar. Candi 

Cetho berada pada ketinggian 

1400 m di atas permukaan laut. 

Candi ini patut dikunjungi oleh 

umat sedharma untuk mengetahui 

keberadaannya.

Candi Sukuh

Merupakan sebuah kompleks 

candi agama Hindu yang 

terletak di wilayah Kabupaten 

Karanganyar, Jawa Tengah. 

Candi ini dikategorikan 

sebagai candi Hindu karena 

ditemukannya obyek pujaan 

lingga dan yoni. Candi Sukuh 

ini tergolong kontroversial 

karena bentuknya yang kurang 

lazim dan karena banyaknya 

obyek-obyek lingga dan yoni 

yang melambangkan seksualitas. 

Candi Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah satu Situs 

Warisan Dunia sejak tahun 1995.

Candi Surawana

Merupakan candi Hindu yang terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, 

Kabupaten Kediri, sekitar 25 kilometer arah timur laut dari Kota Kediri. 

Candi Surawana juga dikenal dengan nama candi Wishnubhawanapura. 

0

Candi ini diperkirakan dibangun pada abad 14 Masehi, untuk memuliakan 

Bhre Wengker, yang dikenal sebagai seorang raja dari Kerajaan Wengker 

yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Raja Wengker ini mangkat 

pada tahun 1388 M. Dalam 

Negarakertagama diceritakan 

bahwa pada tahun 1361 Raja 

Hayam Wuruk dari Majapahit 

pernah berkunjung bahkan 

menginap di candi Surawana. 

Candi Surawana saat ini 

keadaannya sudah tidak utuh. 

Hanya bagian dasar yang 

telah direkonstruksi. Untuk 

menghormati jasa para pendahulu 

negara kita, candi ini sebaiknya 

dilanjutkan rekonstruksinya 

sehingga menjadi utuh dan tetap lestari keberadaannya dalam rangka 

mewujudkan pariwisata berwawasan budaya.

Candi Gerbang Lawang

Dalam bahasa Jawa, Wringin 

Lawang berarti ‘Pintu Beringin’. 

Gapura agung ini terbuat dari 

bahan bata merah dengan 

luas dasar 13 x 11 meter dan 

tinggi 15,5 meter. Diperkirakan 

dibangun pada abad ke-14 

Masehi. 

Candi Gerbang ini lazim disebut 

bergaya candi bentar atau tipe 

gerbang terbelah. Gaya arsitektur 

seperti ini diduga muncul pada 

era Majapahit dan kini banyak 

ditemukan dalam arsitektur Bali.


4. Karyasastra

Indonesia memiliki banyak Pujangga besar pada masa pemerintahan 

raja-raja di nusantara ini. Para pujangga pada masa itu tergolong varna 

Brahmana yang memiliki kedudukan sebagai purohita kerajaan. Banyak 

karya sastra yang ditulis oleh pujangga kerajaan. Kekawin Ramayan ditulis 

oleh Empu Yogiçwara. Dalam salah satu bait karya beliau menjelaskan 

sebagai berikut;

”Bràhmana ksatryàn padulur, 

jàtinya paras paropasarpana ya, 

wiku tan panatha ya hilang, 

tan pawiku ratu wiçîrna.

Terjemahan:

”Sang Brahmana dan sang Ksatria mestinya rukun, jelasnya mesti senasib 

sepenanggungan tolong menolong, pendeta tanpa raja jelas akan kerusakan, 

raja tanpa raja tentu akan sirna, (Ramayana Kekawin, I.49).

Dalam karya ini Empu Yogiswara ingin mengajarkan bagaimana 

pentingnya hubungan harmonis dan timbal-balik antara para raja dengan 

para brahmana. Karya sastra yang lainnya yang penuh dengan makna 

tersebar di masyarakat dapat dijadikan penuntun hidup menghadapi dunia 

pariwisata di era globalisasi ini, antara lain;

a. Carita Parahiyangan Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara

Carita Parahiyangan merupakan nama suatu naskah Sunda kuna yang 

dibuat pada akhir abad ke-16, yang menceritakan sejarah Tanah Sunda, 

utamanya mengenai kekuasaan di dua ibukota Kerajaan Sunda yaitu 

Keraton Galuh dan Keraton Pakuan. Naskah ini merupakan bagian dari 

naskah yang ada pada koleksi Museum Nasional Indonesia Jakarta. 

Naskah ini terdiri dari 47 lembar daun lontar ukuran 21 x 3 cm, yang 

dalam tiap lembarnya diisi tulisan 4 baris. Aksara yang digunakan 

dalam penulisan naskah ini adalah aksara Sunda (Soeroto. 1970:1650.

Naskah Carita Parahiyangan menceritakan sejarah Sunda, dari awal 

kerajaan Galuh pada zaman Wretikandayun sampai runtuhnya Pakuan 

Pajajaran (ibukota Kerajaan Sunda akibat serangan Kesultanan Banten, 

Cirebon dan Demak).

0

b. Kresnayana Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara

Kakawin Kresnâyana adalah sebuah karya sastra Jawa kuno karya Empu 

Triguna, yang menceritakan pernikahan prabu Kresna dan penculikan 

calonnya yaitu Rukmini. Singkat, ceritanya adalah sebagai berikut. Dewi 

Rukmini, putri prabu Bismaka di negeri Kundina, sudah dijodohkan 

dengan Suniti, raja negeri Cedi. Tetapi ibu Rukmini, Dewi Pretukirti 

lebih suka jika putrinya menikah dengan Kresna. Maka karena hari 

besar sudah hampir tiba, lalu Suniti dan Jarasanda, pamannya, sama-

sama datang di Kundina. Pretukirti dan Rukmini diam-diam memberi 

tahu Kresna supaya datang secepatnya. Kemudian Rukmini dan Kresna 

diam-diam melarikan diri.

Mereka dikejar oleh Suniti, Jarasanda dan Rukma, adik Rukmini, beserta 

para bala tentara mereka. Kresna berhasil membunuh semuanya dan 

hampir membunuh Rukma namun dicegah oleh Rukmini. Kemudian 

mereka pergi ke Dwarawati dan melangsungkan pesta pernikahan. 

Kakawin Kresnâyana ditulis oleh Empu Triguna pada saat prabu 

Warsajaya memerintah di Kediri pada kurang lebih tahun 1104 Masehi 

(Yamin, Muhammad. 1975 : 29).

c. Arjunawiwaha Kahuripan, Jatim Abad ke-10 M Medang Kamulan

Kakawin Arjunawiw฀ha adalah kakawin pertama yang berasal dari 

Jawa Timur. Karya sastra ini ditulis oleh Empu Kanwa pada masa 

pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur dari 

tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini 

diperkirakan digubah sekitar tahun 1030.

Kakawin ini menceritakan sang Arjuna ketika ia bertapa di gunung 

Mahameru. Lalu ia diuji oleh para Dewa, dengan dikirim tujuh bidadari. 

Bidadari ini diperintahkan untuk menggodanya. Nama bidadari yang 

terkenal adalah Dewi Supraba dan Tilottama. Para bidadari tidak 

berhasil menggoda Arjuna, maka Batara Indra datang sendiri menyamar 

menjadi seorang brahmana tua. Mereka berdiskusi soal agama dan 

Indra menyatakan jati dirinya dan pergi. Lalu setelah itu ada seekor 

babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi pada 

saat yang bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga 

memanahnya. Ternyata pemburu ini adalah batara Siwa. Setelah itu 

Arjuna diberi tugas untuk membunuh Niwatakawaca, seorang raksasa 

yang mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil dalam tugasnya dan 

diberi anugerah boleh mengawini tujuh bidadari ini (Poerbacaraka, 

RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 15).

                                           

d. Lubdhaka Kediri, Jatim Abad ke-11 M Kediri

Kakawin ini ditulis dalam bahasa Jawa kuno oleh mpu Tanakung pada 

paruh kedua Abad ke 15. Dalam kakawin ini diceritakan bagaimana 

seseorang yang berdosa besar sekalipun dapat mencapai surga. 

Dikisahkan bagaimana Lubdhaka seorang pemburu sedang berburu di 

tengah hutan. Tetapi sudah lama ia mencari-cari buruan, tidak dapat. 

Padahal hari mulai malam. Supaya tidak diterkam dan menjadi mangsa 

binatang buas, ia lalu memanjat pohon dan berusaha supaya tidak jatuh 

tertidur. Untuk itu ia lalu memetik daun-daun pohon dan dibuangnya 

ke bawah. Di bawah ada sebuah kolam. Kebetulan di tengah kolam ada 

sebuah lingga dan daun-daun berjatuhan di atas sekitar lingga tersebut. 

Lalu malam menjadi hari lagi dan iapun turun dari pohon lagi.

Selang beberapa lama iapun melupakan peristiwa ini dan kemudian 

meninggal dunia. Arwahnya lalu gentayangan di alam baka tidak tahu 

mau ke mana. Maka Dewa Maut; Batara Yama melihatnya dan ingin 

mengambilnya ke neraka. Tetapi pada saat yang sama Batara Siwa 

melihatnya dan ingat bahwa pada suatu malam yang disebut ”Malam 

Siwa” (Siwaratri) ia pernah dipuja dengan meletakkan dedaunan di 

atas lingga, simbolnya di bumi. Lalu pasukan Yama berperang dengan 

pasukan Siwa yang ingin mengambilnya ke surga. Siwapun menang dan 

Lubdhaka dibawanya ke sorga (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan 

Jawa: 32). 

e. Baratayuda Kediri, Jatim Abad ke-12 M Kadiri.

Baratayuda, adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut 

perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa 

(Mahabharata). Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, 

yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India.

Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha (Perang Bharata), 

yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis 

pada tahun 1157 Masehi oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh atas 

perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri. Karya ini merupakan 

gubahan dari Mahabarata. Isi dari kitab ini menjelaskan peperangan 

dari darah bharata yaitu Pandawa dan Kurawa, yang berlangsung 18 

hari. Boleh jadi kekawin baratayuda yang ditulis pada masa Kediri itu 

sebagai simbolis keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dengan 

Jenggala yang sama-sama keturunan Raja Erlangga. Keadaan perang 

0

saudara itu digambarkan seolah-olah seperti yang tertulis dalam Kitab 

Mahabarata karya Vyasa yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa yang 

sebenarnya juga keturunan Vyasa sang penulis (Poerbacaraka, RM. Ng. 

Kepustakaan Jawa: 22).

f. Negarakertagama, Majapahit abad ke 14 Masehi.

Merupakan karya kesusasteraan kuno seiring perkembangan waktu 

sebagai buwah karya pujangga zaman Majapahit . Sedangkan dari 

isinya merupakan uraian sejarah. Isi dari Kekawin Negarakertagama 

merupakan uraian sejarah dari Kerajaan Singasari dan Majapahit dan 

ternyata sesuai dengan prasasti-prasasti yang ditemukan. Di dalamnya 

terdapat pula uraian tentang kota Majapahit, jajahan-jajahan Majapahit, 

perjalanan Raja Hayam Wuruk di sebagian Jawa Timur yang dijalin 

dengan daftar candi-candi yang ada, upacara craddha yang dilakukan 

untuk roh Gayatri dan tentang pemerintahan serta keagamaan dalam 

zaman Hayam Wuruk. Negarakertagama merupakan karya Empu 

Prapanca tahun 1365 Masehi (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan 

Jawa: 37)

g. Sutasoma

Kakawin Sutasoma menggunakan bahasa Jawa kuno sehingga 

dimasukkan dalam kesusasteraan zaman Majapahit I. Kitab Sutasoma 

menceritakan tentang seorang anak raja bernama Sutasoma. Sutasoma, 

seorang anak raja yang menjadi  pendeta Budha. Sutasoma rela 

meninggalkan kehidupan duniawi karena taat kepada agama Buddha. 

Ia bersedia berkorban untuk kebahagiaan makhluk hidup. Bahkan 

diceritakan ia rela dimakan raksasa agar raksasa tersebut kenyang.

Dalam kitab ini tergambar adanya kerukunan umat beragama 

di Majapahit antara umat Hindu dengan umat Budhha. Kalimat 

Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa tertulis didalamnya 

(Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 38).

h. Pararaton

Pararaton termasuk kesusasteraan zaman Majapahit II. Kitab ini 

menggunakan bahasa Jawa Tengah dan berbentuk tembang atau kidung 

namun ada pula yang berupa gancaran. Kitab Pararaton merupakan 

uraian sejarah, namun kurang dapat dipercaya karena isinya sebagian 

besar lebih bersifat mitos atau dongeng. Selain itu, angka-angka tahun 

yang ada tidak cocok dengan sumber sejarah yang lain. Dari kitab ini 

mula-mula diuraikan tentang riwayat Ken Arok, yang penuh dengan 

kegaiban. Raja-raja Singasari berikutnya juga demikian. 

                                           

Bagian kedua menguraikan Raden 

Wijaya dari ikut Kertanegara sampai 

menjadi raja Majapahit. Kemudian 

diceritakan tentang Jayanegara dan 

pemberontakan-pemberontakan 

Rangga Lawe dan Lembu Sora, 

serta peristiwa Putri Sunda di Bubat. 

Pada bagian penutup memuat daftar 

raja-raja sesudah Hayam Wuruk 

(Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 65).

i. Calon Arang

Calon Arang termasuk kesusastraan kuno yang menggunakan bahasa 

Jawa tengahan, sehingga dapat dimasukkan ke dalam zaman Majapahit 

II. Kitab Calon Arang ini berisi tentang cerita Calon Arang kemudian 

dibunuh oleh Empu Bharadah atas suruhan Raja Airlangga. Kitab Calon 

Arang ini juga mengisahkan tentang pembelahan Kerajaan Kediri oleh 

Empu Bharada atas suruhan Raja Airlangga (Poerbacaraka, RM. Ng. 

Kepustakaan Jawa: 55).

Pada awalnya karya sastra ini ditulis di atas daun lontar yang bila rusak 

selalu diperbaiki. Sejalan dengan kemajuan teknologi kemudian diubah 

menggunakan kertas. Karya sastra ini bisa berbentuk puisi, kakawin, 

maupun prosa. Berikut karya sastra yang bercorak Hindua seperti; 

Kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya, karya Empu Panuluh; 

Kitab Smaradhana, karya Empu Dharmaja; Kitab Lubdaka dan 

Kitab Wrtasancaya karya Empu Tanakung; Kitab Sundayana yang 

mengisahkan terjadinya peristiwa Bubat, yakni perkawinan yang 

berubah menjadi pertempuran; Kitab Ranggalawe yang menceritakan 

pemberontakan Ranggalawe; Kitab Sorandaka yang menceritakan 

pemberontakan tentang Lembu Sora; Kitab Usana Jawa yang 

menceritakan penaklukan Bali oleh Gajah Mada bersama Arya Damar 

(Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 23). 

Cerita Panji; Mengisahkan perkawinan Panji Inu Kertapati, putra 

raja Kahuripan dengan Galuh Candra Kirana, putri raja Daha. 

Perkawinan berlangsung setelah berhasil mengatasi berbagai kesulitan.

Tradisi tulisan peninggalan kerajaan-kerajaan Islam yang berupa karya 

sastra mendapat pengaruh dari Persia. Namun pengaruh sastra Indonesia 

dan Hindu juga masih ada. Pada masa itu muncullah hikayat, yakni 

0

karya sastra yang kebanyakan berisi dongeng belaka. Ada pula hikayat 

berisi cerita sejarah;  di pulau Jawa ‘babad’ biasa di Jawa berupa puisi 

(tembang)  di luar Jawa bisa berbentuk syair atau prosa. Pertunjukan 

seni drama biasanya banyak bersumberkan karya sastra tersebut.

Kesusasteraan merupakan hasil kebudayaan yang mengandung makna 

penting menurut sejarah. Dinyatakan demikian karena dari karya sastra 

tersebut kita banyak bisa mengetahui gambaran sejarah dimasa lampau. 

Menurut waktu perkembangannya kesusasteraan kuno dapat dibagi menjadi 

beberapa zaman, diantaranya; kesusastraan zaman Mataram (sekitar abad; 

9 dan 10 Masehi), zaman Kediri (sekitar abad; 11 dan 12 Masehi), zaman 

Majapahit I (sekitar abad; 14 Masehi), dan zaman Majapahit II (sekitar 

abad; 15 dan 16 Masehi). Ada dua zaman Majapahit disebutkan, hal ini 

dikarenakan adanya perbedaan bahasa yang digunakan pada kesusastraan 

tersebut. Zaman Majapahit I menggunakan bahasa Jawa kuno, sedangkan 

zaman Majapahit II menggunakan bahasa Jawa Tengah. Sudah tentu masih 

banyak karya sastra yang belum terungkap sampai saat ini, oleh karena itu 

adalah tugas kita bersama.

Uji Kompetensi:

1. Apakah menurut-mu Hindu agama budaya? Jelaskanlah!

2. Setelah anda membaca teks Kontribusi kebudayaan Hindu dalam 

pembangunan Nasional dan Parawisata Indonesia menuju era 

Globalisasi, apakah yang anda ketahui tentang agama Hindu? 

Jelaskan dan tuliskanlah!

3. Buatlah ringkasan yang berhubungan dengan kontribusi 

kebudayaan Hindu dalam pembangunan Nasional dan Parawisata 

Indonesia menuju era Globalisasi, dari berbagai sumber 

media pendidikan dan sosial yang anda ketahui! Tuliskan dan 

laksanakanlah sesuai dengan petunjuk dari bapak/ibu guru yang 

mengajar di kelasmu!

4. Apakah yang anda ketahui tentang kontribusi kebudayaan Hindu 

dalam pembangunan Nasional dan Pariwisata Indonesia menuju 

era Globalisasi? Jelaskanlah!

5. Bagaimana cara-mu untuk mengetahui kontribusi kebudayaan 

Hindu dalam pembangunan Nasional dan Parawisata Indonesia 

menuju era Globalisasi? Jelaskan dan tuliskanlah pengalaman 

anda!

                                           

Selamat Belajar

6. Manfaat apakah yang dapat dirasakan secara langsung dari usaha 

dan upaya untuk mengetahui kontribusi kebudayaan Hindu dalam 

pembangunan Nasional dan Pariwisata Indonesia menuju era 

Globalisasi? Tuliskanlah pengalaman anda!

7. Amatilah lingkungan sekitar anda terkait dengan adanya kontribusi 

kebudayaan Hindu dalam pembangunan Nasional dan Pariwisata 

Indonesia menuju era Globalisasi guna mewujudkan tujuan hidup 

manusia dan tujuan agama Hindu, buatlah catatan seperlunya dan 

diskusikanlah dengan orang tuamu! Apakah yang terjadi? Buatlah 

narasinya 1–3 halaman diketik dengan huruf  Times New Roman 

– 12, spasi 1,5 cm, ukuran kertas kwarto; 4-3-3-4!


Purusa evadam sarvam

yadbhutam yacca bhavyam,

utamrtatvasesa no,

jadannenati rohati.

Terjemahannya

Tuhan sebagai wujud kesadaran agung merupakan asal dari segala yang telah 

ada dan yang akan ada, Ia adalah raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini 

yang hidup dan berkembang dengan makanan (Ågveda, X.90.2).

Berbagai macam upaya telah dilaksanakan 

manusia untuk dapat meningkatkan 

kesadaran pribadinya, namun apa yang 

ingin diwujudkan belum juga bisa tercapai 

dengan sempurna! Renungkanlah bait 

sloka tersebut di atas!

0

TANTRA, YANTRA, DAN 

MANTRA

Bab III


A. Ajaran Tantra, Yantra, dan Mantra. 

Perenungan.

‘Niyataý kuru karma tvaý

karma jyàyo hyakarmaóaá,

sarira-yàtràpi ca te na

prasiddhayed akarmaóaá.

Terjemahan:

‘Bekerjalah seperti yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik daripada 

tidak berbuat, dan bahkan tubuhpun tak akan berhasil terpelihara tanpa 

berkarya (Bhagawadgita, III.8).

Dalam melaksanakan puja bakti kepada Brahman, umat Hindu  diberikan 

kebebasan untuk dapat mewujudkan bentuk Śraddhā tersebut. Secara umum 

bentuk Bakti  umat Hindu dapat dilakukan den