Rabu, 12 Februari 2025

kepribadian ganda jekyll dan mr hyde



Naluri kehidupan (Eros) dan kematian (Thanatos) dalam 

pandangan Freud berjalan beriringan, walaupun naluri kehidupan 

memiliki tujuan untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan 

sedang  naruli kematian bertujuan meniadakan kehidupan 

ini . Dalam kajian ini penulis melakukan pembacaan konsep 

dualisme antara naluri kehidupan dan kematian pada novel A 

Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde yang ditulis oleh Robert 

Louis Stevenson. Penulis memakai  metode deskriptif 

kualitatif untuk mengola dan mengelaborasi teks dan teori yang 

ada. Adapun dari kajian ini ditemukan penggambaran tokoh 

utama, Henry Jekyll, mengalami ketidakselarasan kepribadian 

dengan norma yang ada pada zaman Victoria sehingga ia merasa 

memiliki dualisme di dalam dirinya dan pada akhirnya 

mendorongnya melakukan serangkaian aksi pemisahan karakter 

dalam dirinya. Disebab kan naluri kehidupan dan kematian 

berjalan beriringan, membuat rencana Jekyll tidak dapat mencapai 

tujuannya. Kegilaan akibat konsep diri yang ideal yang memiliki 

kecendrungan akan narcissistic pathology ini  akhirnya hancur 

akibat berbenturan dengan realitas. Keadaan ini  

memicu  Henry Jekyll kehilangan makna hidupnya sebagai 

simbolisasi dari kematian psikis, dan pada akhir cerita, kematian 

secara psikis ini  diikuti dengan kematian secara fisik yang 

dialami oleh Henry Jekyll. 

Novel A Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde yang ditulis oleh 

Robert Louis Stevenson yaitu  sebuah karya klasik yang diterbitkan 

pada abad ke-19 atau yang dikenal dengan zaman Victoria. Novel ini 

mengisahkan tentang kehidupan seorang tokoh bernama Dr. Henry 

Jekyll yang melakukan percobaan terhadap dirinya guna melepaskan 

karakter yang menurutnya tidak sesuai dengan aturan dan norma yang 

ada pada zaman ini . Novel karya Stevenson ini sudah dibuat ke 

dalam berbagai macam bentuk media, seperti film, cerita serial, serta 

parodi. Selain bentuk berupa karya, istilah “Jekyll dan Hyde” sendiri 

juga telah menjadi sebuah istilah atau ungkapan baru yang merujuk 

kepada seseorang yang mempunyai dua kepribadian atau menjalani dua 

kehidupan 

Banyak akademia yang telah menganalisis karya ini dengan 

berbagai macam sudut pandang, khususnya dengan perspektif 

psikoanalisis. Seperti yang dilakukan oleh Cahya dan Margawati (2018) 

dengan judul penelitian Dualism in The Strange Case of Dr. Jekyll and 

Dr. Jekyll dan Mr. Hyde... . 

Mr. Hyde By Robert Stevenson: A Demolition of Alter. Penelitian ini 

dengan gamblang menyatakan ingin menganalisis gangguan kepribadian 

ganda yang tercermin dalam novel The Strange Case of Dr. Jekyll and 

Mr. Hyde karya Robert Stevenson. Analisis mereka memakai  teori 

psikoanalisis ala Freudian. Studi ini  menunjukkan bahwa tokoh 

utama memiliki dua kepribadian; ia bisa menjadi Dr. Jekyll yang pintar 

dan baik hati atau bisa juga menjadi Mr. Hyde yang kejam. Gangguan 

kepribadian ganda ini berdampak buruk pada tokoh. Gangguan 

kepribadian ini akhirnya berubah menjadi gangguan kejiwaan sebab  

perilaku tokoh yang kerap kali melakukan kekerasan fisik baik yang 

dilakukan Hyde atas berbagai kasus kriminalnya atau pun yang 

dilakukan Jekyll kepada dirinya sendiri ,Pada akhirnya, 

gangguan kepribadian ganda membawanya ke kematian. Oleh sebab  itu, 

Cahya dan Margawati menyimpulkan bahwa seseorang yang memiliki 

kepribadian ganda berkemampuan untuk menyebabkan kehidupan 

seseorang menjadi berantakan, baik secara psikologis maupun fisik 

Masih perihal dualisme, peneliti menemukan dua kajian yang 

hampir sama yaitu dari Chloemethridge  dan Kumar

Chloemethridge berusaha melihat problematika dua kepribadian ganda 

pada kasus Jekyll dan Hyde ke dalam ranah yang lebih dalam, yaitu 

mengenai konstruksi pikiran manusia yang dijabarkan oleh Freud terbagi 

menjadi tiga, yaitu id, ego dan superego. Hasil penelitian 

memperlihatkan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh tokoh Hyde lebih 

merepresentasikan id, yaitu hasrat yang bersifat alami, murni, tanpa 

adanya penerapan nilai di dalamnya, sedang  karakter Jekyll lebih 

merepresentasikan ego, di mana semua tindakan yang ia lakukan berada 

di dalam kesadaran dan ia mengetahui konsekuensi apa yang akan 

didapatkan. Chloemethridge berpendapat bahwa keadaan ini  terjadi 

akibat benturan antara id dan superego yang membuat ego selalu 

menekan id, demi memenuhi ekspektasi norma sosial masyarakat. Hasil 

penelitian Chloemethridge ini juga tercermin dalam penelitian yang 

dilakukan Kumar. Selain bahasan tentang konsep Freud, ia juga 

menambahkan konsep yang dibawa oleh Carl Gustav Carus, yaitu 

konsep alam bawah sadar. Konsep ini  tertuang dalam karya Carus, 


 


Psyche . Carus yaitu  orang pertama yang berusaha memberikan 

teori total dan target dari kehidupan psikologis bawah sadar. Lalu pada 

tahun setelah itu munculah Freud dengan teori id/ego/superego. Konsep 

ini  dimasukkan oleh Kumar disebab kan novel The Strange Case of 

Dr. Jekyl and Mr. Hyde terbit terlebih dahulu sebelum konsep-konsep 

dari Freud bermunculan. Kumar tidak ingin berspekulasi tetapi ia juga 

tidak memungkiri bahwa karya Stevenson merupakan salah satu karya 

yang mungkin mengilhami Freud untuk meneliti perihal alam pikiran 

manusia ,

Penelitian terakhir perihal psikoanalisis yang ingin ditunjukkan 

oleh penulis yaitu  tulisan dari Moore (2019) yang berjudul Freud, 

Jekyll and Hyde. Dalam penelitiannya, Moore menyatakan bahwa kisah 

Jekyll dan Hyde ini lebih dari sekadar cerita seseorang yang memiliki 

kepribadian ganda. Tidak hanya meneliti dari segi pikiran seperti 

id/ego/superego, Moore juga menganalisis kasus Hyde dan Jekyll 

memakai  konsep Freud yang lain yaitu, Oedipus Kompleks. Hasil 

penelitian ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan tindakan yang 

dilakukan oleh tokoh Jekyll atau pun Hyde merupakan hasil implikasi 

ketidaksadaran akibat belum terselesaikannya Oedipus Kompleks di 

dalam kehidupan si tokoh, Jekyll. Hal ini dapat terlihat saat Jekyll 

berubah menjadi Hyde dan merusak foto ayah Jekyll atau pun saat ia 

melakukan tindakan kekerasan terhadap seseorang lelaki tua, Sir 

Danvers. Tindakan ini  oleh Moore dipahami sebagai tindakan tidak 

sadar yang merepresentasikan bahwa si anak (Jekyll/Hyde) ingin 

menggantikan posisi sang ayah. Dalam tulisan ini  juga Moore 

secara eksplisit menyatakan bahwa novel ini lahir sebelum konsep 

psikoanalisis yang dikembangkan Freud. 

Perspektif lain juga pernah dilakukan dalam mengkaji karya 

Stevenson oleh beberapa peneliti sebelumnya. Seperti yang dilakukan 

oleh Shuo dan Dan yang memakai  sudut pandang gender terhadap 

novel ini. Mereka melihat bahwa terdapat ketimpangan gender di dalam 

cerita akibat kurangnya karakter utama perempuan sehingga dalam hasil 

analisis ditemukan bahwa karakter perempuan di dalam novel 

diinferioritaskan. Inferioritas terhadap perempuan juga akibat peraturan 

pada zaman Victoria yang membuat perempuan tidak memiliki akses 

Dr. Jekyll dan Mr. Hyde... . 

SK Akreditasi DIKTI No: 10/E/KPT/2019 5 

terhadap dunia luar. Namun pandangan yang berat sebelah itu, menurut 

Shuo dan Dan diimbangkan dengan penokohan karakter laki-laki yang 

juga memiliki unsur feminin di dalam dirinya. Seperti karakter Utterson 

yang memiliki karakter keibuan, dan bahkan karakter Jekyll dan Hyde, 

dilihat sebagai dua karakter yang saling melengkapi (2012, 127). 

Analisis yang hampir sama dilakukan oleh Doane and Hodges (1989), 

dengan judul Demonic Disturbances of Sexual Identity: The Strange 

Case of Dr. Jekyll and Mr/s Hyde. Mereka juga mengambil sudut 

pandang gender di dalam studinya. Penelitian mereka berawal dari alasan 

yaitu tidak adanya tokoh sentral perempuan dalam novel yang 

diakibatkan oleh budaya patriarki di era ini . Namun, di sisi lain 

mereka juga berpendapat bahwa terdapat ketidakjelasan seksualitas di 

dalam cerita. Seperti tokoh Hyde, yang dalam analisis mereka 

menjelaskan bahwa tokoh Hyde bisa saja memiliki seksualitas feminin 

atau mungkin yaitu  seorang perempuan. Hal ini  dilandaskan pada 

pengetahuan di era Victoria dimana sering dilakukannya pembunuhan 

karakter dengan pemberian label monster terhadap perempuan. Tindakan 

seperti itu juga terjadi pada tokoh Hyde yang dianggap sebagai 

perwujudan monster akibat sikap dan karakteristiknya yang sadis dan 

jahat. Opini ini  jelas terlihat dalam judul analisis mereka (1989, 

67). 

Berbeda dari kedua tulisan sebelumnya, Cohen (2004), mengambil 

sudut pandang analisis yang berbeda yaitu dari sisi maskulinitas. Dia 

melihat bahwa karya The Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde 

yaitu  sebuah representasi maskulinitas yang berbeda dari zamannya. 

Menurutnya, novel ini melakukan gebrakan besar terhadap pandangan 

laki-laki ideal dan male oriented yang sangat kental di zaman Victoria 

(Cohen 2004, 182). Tulisannya menjelaskan bagaimana novel ini 

membuka opini bahwa ada tipe laki-laki yang berbeda seperti yang 

diperlihatkan pada tokoh Jekyll/Hyde di dalam cerita. Semua laki-laki 

bisa memiliki karakter maskulin dan feminin dan tetaplah menjadi 

seorang laki-laki, ungkapnya dalam tulisan ini. Novel ini membawa 

angin segar dan ideologi oposisi terhadap pandangan maskulinitas pada 

era ini  (Cohen 2004, 182).  


 

Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. IV, No. 1, Juni 2020 6 

Novel A Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde melibatkan 

unsur pengetahuan dan sains di dalam cerita, yang membuat kesan 

berbeda dari cerita pada zaman Victoria lainnya. Keadaan itu menurut 

penulis ikut juga mempengaruhi tindak tanduk si tokoh utama dalam 

novel ini . Oleh sebab  itu, dalam kajian ini penulis ingin 

mengambil lensa psikoanalisis dari Sigmund Freud yaitu mengenai 

konsep naluri kehidupan dan kematian yang dilihat melalui pembacaan 

novel milik Stevenson ini. 

Pada saat mengangkat kajian psikoanalisis tentu sudah menjadi 

pertanyaan umum yang akan dilontarkan seperti “mengapa 

memakai  teori psikoanalisis ini ” atau “apakah pemikiran Freud 

masih relevan untuk digunakan saat ini?” Untuk menjawab pertanyan 

dan persepsi demikian, penulis mengambil kutipan dalam buku Critical 

Theory milik Lois Tyson, ia mengatakan bahwa “Freud didn’t invent 

psychoanalytic principle; he discovered them operating in human being” 

(Tyson 2006, 37). Hal itu memberikan makna bahwa sebenarnya Freud 

hanya memberikan nama, melabelkan, serta menjelaskan bagaimana 

prinsip-prinsip dari tingkah laku manusia beroperasi, yang artinya semua 

itu telah atau sudah ada bahkan jauh sebelum Freud menjelaskannya. 

Keadaan ini  akan tetap ada walaupun Freud atau tokoh psikologi 

lainnya tidak menjelaskan, mengkaji dan menjadikannya sebagai sebuah 

ilmu pengetahuan. Hal ini sejalan dengan apa yang sudah dipaparkan 

oleh beberapa peneliti di atas bahwa karya Stevenson ini lahir sebelum 

konsep dari Freud bermunculan. 

Kajian psikoanalisis yang penulis pilih yaitu  kajian Freud 

khususnya mengenai dualisme antara naluri kehidupan (life instinct) dan 

naluri kematian (death instinct). Freud memperkenalkan dualisme naluri 

ini dalam esainya yang berjudul Beyond the Pleasure Principle (BPP). 

Esai ini mendeskripsikan bahwa manusia selalu berjuang dengan 

dorongan yang berlawanan. Melihat naluri kehidupan dan kematian 

menciptakan seolah-olah adanya dualisme hasrat dalam seorang 

individu. Hal yang hampir sama dapat dilihat dalam tokoh Dr. Henry 

Jekyll dan Mr. Hyde dalam karya sastra The Strange Case of Dr. Jekyll 

and Mr. Hyde. Novel ini  memperlihatkan dua sisi karakter dari 

individu yang tadinya satu, yaitu tokoh Henry Jekyll, yang melalui 

Dr. Jekyll dan Mr. Hyde... . 

SK Akreditasi DIKTI No: 10/E/KPT/2019 7 

serangkaian uji coba mampu berganti dengan dirinya yang lain, Hyde. 

Karakter Hyde yang cenderung bersifat kasar dan seram jika ditelisik 

akan lebih condong kepada naluri kematian, sedang  karakter Jekyll 

yaitu  karakter yang sebaliknya. Lalu bagaimana keduanya bisa 

berkaitan dan terhubung, jika karakter mereka kontra antara satu dan 

lainnya? Bagaimana hal ini  dijelaskan dengan lensa pemikiran 

Freud terhadap dualisme naluri? Untuk menjawab pertanyaan ini , 

dalam kajian ini penulis akan mencoba mendalami pembacaan mengenai 

dualisme naluri kehidupan dan naluri kematian memakai  lensa 

pemikiran yang telah dikembangkan oleh Freud. Dari penjelasan ini  

juga, penulis rasa sudah cukup untuk menjelaskan mengenai di mana 

posisi kajian penelitian yang ingin dikembangkan, yaitu lebih kepada 

studi Freud perihal naluri kehidupan dan kematian. Perspektif kajian ini 

dipilih sebab  penulis melihat belum adanya penelitian yang secara 

spesifik mengkaji dengan sudut pandang yang penulis ingin gunakan. 

Terlebih lagi sebagian besar peneliti sebelumnya lebih berfokus pada 

analisis dualisme pikiran atau pun memakai  point of view kajian 

gender. Memahami keadaan ini , pada penelitian ini, penulis akan 

lebih fokus melihat bagaimana setiap motif dari tindakan yang dilakukan 

oleh tokoh dan juga dampak kejiwaan apa yang terjadi di dalam dirinya, 

bagaimana pergulatan batin ini  dilihat dari kaca mata konsep naluri 

kehidupan dan kematian. 

Adapun metode yang digunakan dalam analisis ini yaitu  metode 

kualitatif deskriptif, yaitu suatu cara penafsiran, interpretasi dan 

penyajian data analisis dalam bentuk deskripsi. Data dalam penelitian ini 

tidak berbentuk angka tetapi deskriptif dan berfokus pada penafsiran 

terhadap narasi dan interaksi antar konsep yang di analisis (Ratna, 2006: 

46). Metode kualitatif menurut penulis cukup mampu untuk 

menghantarkan maksud, tujuan dan elaborasi data yang baik, agar hasil 

dari analisis ini bisa dimengerti dan dipahami oleh pembaca. 

Sebelum memasuki tahap pembahasan dan analisis, terlebih 

dahulu penulis akan menjabarkan sedikit tentang naluri kehidupan (life 

instinc) dan naluri kematian (death instinc) dalam pembacaan studi 

Sigmund Freud. Dalam karya-karya Freud yang ditulis sebelum BPP, ia 

mengatakan bahwa sex dan desire (hasrat) merupakan trigger (pemicu) 


 

Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. IV, No. 1, Juni 2020 8 

utama dalam melakukan suatu tindakan dalam hidup manusia. Hasrat 

yaitu  keinginan untuk mendapatkan kenikmatan. Aktivitas psikis 

berusaha untuk menarik kita menjauhi tindakan-tindakan yang mungkin 

akan memunculkan “ketidaksenangan” (unpleasure). Pada BPP, Freud 

menjelaskan bahwa tidak ada lagi keraguan bahwa semua yang 

dilakukan manusia secara otomatis selalu diatur oleh yang disebutnya 

dengan prinsip kesenangan atau pleasure principle (Freud 1920, 7). 

Sepanjang analisis, Freud mengamati bahwa individu-individu dipaksa 

untuk terlibat berulang-ulang dalam perilaku yang tampaknya tidak 

menjadi sumber kesenangan (pleasure). Seperti yang dijelaskan oleh 

Caropreso dan Simanke (2008, 968) bahwa dalam BPP, Freud 

menyatakan, pasti ada satu naluri yang akan menjadi titik balik dari 

semua naluri ini . Hal itu disebabkan sebab  prinsip kesenangan 

akan menjadi dominan akibat terjadinya pengulangan dari naluri yang 

disebut dengan “repetition compulsion”. Salah satu insting atau drive 

yang lain, dikemukakan oleh Freud disebut sebagai “reality” atau prinsip 

kenyataan (reality principle), seperti yang dijelaskan dalam kutipan 

berikut.  

 

“We know that the pleasure principle is proper to a primary method of 

working on the part of the mental apparatus, but that, from the point of 

view of the self-preservation of the organism among the difficulties of the 

external world, it is from the very outset inefficient and even highly 

dangerous. Under the influence of the ego’s instincts of the self-

preservation, the pleasure principle is replaced by the reality principle. 

This latter principle does not abandon the intention of ultimately 

obtaining pleasure, but it nevertheless demands and carries into effect the 

postponement of satisfaction, the abandonment of a number of 

possibilities of gaining satisfaction and the temporary toleration of the 

unpleasure as a step on the long indirect road to pleasure.” (Freud 1920, 

10). 

 

Kutipan di atas menjelaskan bahwa prinsip kenyataan nantinya 

akan menyebabkan superego untuk menyangkal atau menunda 

kebutuhan id, disebab kan realitas yang ada di dunia luar tidak 

memampukan hasrat individu untuk memenuhi apa yang diinginkannya 

pada saat itu. Hakikat dari situasi ini  yaitu  upaya untuk 

memastikan kelangsungan hidup dan kenyamanan si individu, sehingga 

realitas akan prinsip baru dari aktivitas psikis dimulai. Sekarang gagasan 

tidak lagi dibentuk dari apa yang menyenangkan, tetapi apa yang nyata, 

Dr. Jekyll dan Mr. Hyde... . 

SK Akreditasi DIKTI No: 10/E/KPT/2019 9 

bahkan jika ini kebetulan tidak menyenangkan. Prinsip kenyataan akan 

membuat hasrat pada si indvidu menjadi tertunda untuk sementara, 

sehingga naluri ini  akan mencari cara lain yang sesuai dengan 

aturan atau dengan realitas yang ada, untuk membuat dia kembali meraih 

apa yang diinginkannya, yaitu mendapatkan kesenangan (pleasure). 

Semua unsur yang muncul, mulai dari desire dan sex dalam bentuk id 

akan disaring melalui prinsip kenyataan agar manusia dapat bertahan 

hidup (survive). Hal ini  senada dengan tujuan dari semua unsur 

ini , yaitu untuk hidup dan meneruskan keturunan dari manusia itu 

sendiri. Semua unsur naluri ini  dikenal dengan apa yang disebut 

sebagai naluri kehidupan (life instinct), atau Eros (Minderop 2011, 27). 

Fakta bahwa tujuan dari prinsip kenyataan hanya akan menjadi 

penyaring dan tetap bertujuan untuk melestarikan kehidupan, 

sebagaimana tujuan dari naluri kehidupan membuat Freud juga bertanya-

tanya di manakah akhir dari tujuan prinsip kenyataan. Dalam BPP ia 

menanyakan, apakah mungkin semua dapat kembali ke keadaan awal, 

yaitu sebelum adanya kehidupan atau dengan kata lain, apa yang akan 

menjadi tujuan akhir semua kehidupan. Freud memberikan jawaban atas 

kegelisahannya sendiri dengan mengatakan bahwa "that ‘aim of all life is 

death and looking backwards, that inanimate things existed before living 

ones” (Freud, 1920: 38). Dari asalnya, kemudian, hidup dianggap 

mengandung kecenderungan untuk kembali ke keadaan anorganik. 

Dalam hal ini, kembalinya berarti membebaskan diri dari semua 

rangsangan dan semua ketegangan dengan tujuan untuk mencapai 

kematian sehingga naluri untuk kembali ini  dikenal dengan sebutan 

naluri kematian (death instinct) atau Thanatos (Feist dan Feist 2008, 30). 

Tujuan dari naluri kehidupan yaitu  kesenangan, tetapi 

kesenangan ini tidak terbatas pada kesenangan genital semata. Freud 

percaya bahwa seluruh badan manusia tertanami oleh libido. Life instincs 

ini mengambil bentuk salah satunya seperti narsisisme. Narsisisme 

yaitu  istilah yang pada mulanya digunakan untuk menyatakan suatu 

penyimpangan seksual saat  penderitanya jatuh cinta kepada diri sendiri 

dan bukan kepada orang lain. Namun, sikap narsisisme atau cinta diri 

yang berlebihan dapat membuat indvidu terangsang untuk melakukan 

hal-hal yang bahkan di luar dari batas kewajaran dan cenderung bersifat 


 

Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. IV, No. 1, Juni 2020 10 

menghancurkan diri, “narcissistic pathology, repetition compulsion may 

have the function of an active destruction of the passage of time, as an 

expression of denial of aging and death.” (Resenfeld 1971 dalam 

Kernberg 2009, 1013). Sikap penghancuran diri dapat dimanifestasikan 

ke dalam bentuk sadisme dan masokisme, sebagai motivasi dari adanya 

unsur kematian itu sendiri 

Freud juga menjelaskan bahwa naluri kematian termasuk salah 

satu tujuan dari naluri kehidupan walaupun terlihat berseberangan sebab  

naluri kematian memiliki sifat menghancurkan atau memusnahkan. 

Namun, Freud menegaskan kembali bahwa naluri kehidupan dan 

kematian berjalan bersamaan dan saling bergantian, seperti dalam 

kutipan berikut. 

 

It is as though the life of the organism moved with vacillating rhythm. One 

group of instinct rushes forward so as to reach the final aim of lime as 

swiftly as possible. But when a particular stage in the advance reached, 

the other group jerks back to a certain point to make a fresh and start 

prolong the journey. 

 

Jadi, dapat diketahui bahwa dualisme antara kehidupan dan 

kematian berjalan beriringan dan saling bergantung satu sama lain. 

Pernyataan Freud ini  juga jelas memperlihatkan bagaimana pada 

saat satu bagian bergerak menuju pencapaian, dengan sendirinya bagian 

lain dari hal ini  akan kembali kepada titik awal, untuk membuat 

awal yang baru, guna memperpanjang perjalanan itu sendiri. saat  

segala kehidupan dijalankan maka dengan sendirinya rasa naluri 

kematian itu hadir. 

 

We may picture an initial state as one in which the total available energy 

of Eros, which henceforward we shall speak of as “libido”, is present in 

the still undifferentiated ego-id and serves to neutralize the destructive 

tendencies which are simultaneously present. 

 

Oleh sebab  itu, dapat ditarik pemahaman bahwa bahwa sejak 

awal siklus kehidupan hanya akan terdiri dari jalan memutar dengan 

tujuan mencapai kematian masing-masing organisme, dan apa yang 

tampaknya merupakan dorongan untuk melestarikan kehidupan, yaitu 

manifestasi naluri yang memelihara kehidupan. Hal ini  sendirinya 

menjadi tidak lebih dari cara khas masing-masing organisme untuk 

mencapai kematian. 

A Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde berlatar belakang waktu pada 

abad ke-sembilan belas atau yang lebih akrab dikenal sebagai zaman 

Victoria. Periode ini  dinamakan dengan periode Victoria sebab  

sebagain besar waktu ini  bersamaan dengan berkuasanya Victoria 

sebagai ratu Inggris. Era ini  dikenal dengan masa dimana banyak 

terjadi perubahan sosial yang penting seperti perkembangan ekonomi 

dan teknologi yang pesat. Perubahan-perubahan ini  merupakan 

dampak dari salah satu aspek yang disebut dengan revolusi industri 

menyatakan bahwa masyarakat pada zaman 

Victoria sangat memperhatikan penampilan mereka. Hal itu disebab kan 

penampilan akan merepresentasikan kelas sosial dan kepribadian 

mereka. Agar tetap terlihat prima dan menarik, masyarakat pada zaman 

Victoria akan menutup erat semua kekurangan yang mereka miliki, 

termasuk keinginan-keiinginan mereka yang terpendam, apalagi jika hal 

ini  tidak sesuai dengan aturan dan norma yang ada. Ditambahkan 

lagi oleh Spiazzi dan Travella (2009) bahwa zaman Victoria merupakan 

era yang dikenal dengan “moralizers,” dimana orang-orang sangat 

memperhatikan karakter, pekerjaan, kesopanan, tenggang rasa, dan 

kemurnian. Maka, dapat dipahami bahwa masyarakat di era Victoria 

sangat tidak toleran terhadap hal-hal yang menyimpang dari aturan dan 

norma. 

Aturan-aturan yang ada pada zaman Victoria ini dapat dilihat 

sebagai prinsip realitas atau kenyataan. Sebagaimana dikemukakan oleh 

Freud, bahwa prinsip realitas bersifat mengatur dan menunda 

terwujudnya pencapaian hasrat untuk mencapai kesenangan. Hal ini  

dapat dilihat dari penggambaran karakter utama, Henry Jekyll, pada awal 

cerita. Jekyll diceritakan sebagai seorang dokter yang sukses, berada 

pada kelas sosial yang tinggi dan dihormati sebab  memiliki kecerdasan 

lebih dari pada orang-orang di sekitarnya.  

 

“I was born in the year 18— to a large fortune, endowed besides with 

excellent parts, inclined by nature to industry, fond of the respect of the 

wise and good among my fellow-men, and thus, as might have been 

supposed, with every guarantee of an honourable and distinguished 

future.” 

 

Walaupun demikian, Jekyll merasa bahwa dirinya terperangkap 

dan tidak bahagia dengan pencapaian yang telah diraihnya. Terdapat 

hasrat pada diri Jekyll yang tidak bisa ia luapkan dalam bentuk dirinya 

akibat norma dan aturan yang berlaku. Kepuasan yang tidak bisa 

didapatkannya ini  membuat Jekyll mengira bahwa ada dualitas 

dalam dirinya. 

 

“Hence it came about that I concealed my pleasures; and that when I 

reached years of reflection, and began to look round me and take stock of 

my progress and position in the world, I stood already committed to a 

profound duplicity of life. Many a man would have even blazoned such 

irregularities as I was guilty of; but from the high views that I had set 

before me, I regarded and hid them with an almost morbid sense of 

shame.” 

 

Merujuk pada pandangan Freud mengenai naluri, sebenarnya yang 

membuat Jekyll mengatakan dirinya mempunyai dualitas sebab  

kenyataan dan fakta yang dia temukan di lingkangan dan masyarakat 

tidak sejalan dengan dirinya. Oleh sebab  itu, curahan hasrat atau 

keinginan yang tidak bisa diekspresikan itu, disebutnya sebagai dualitas. 

Keinginan dari Jekyll dapat kita lihat sebagai id, yaitu hasrat murni dari 

dalam diri seorang individu. Namun, akibat aturan-aturan yang ada pada 

zaman Victoria, maka id akan ditekan terlebih dahulu oleh superego, 

disebab kan hasrat ini  berlawanan dengan tata aturan yang ada, 

sebagaimana fungsi dari prinsip realitas berlaku. Jekyll mencitrakan 

dirinya bukanlah seperti sosok yang dia kenal saat  dia melakukan 

hasrat yang tidak diizinkan oleh aturan di dalam masyarakat.  

 

“I was no more myself when I laid aside restraint and plunged in shame, 

than when I laboured, in the eye of day, at the furtherance of knowledge 

or the relief of sorrow and suffering.” 

Keterpisahan dalam diri Henry Jekyll akibat tata aturan era 

Victoria ini  membuat ia mengatakan bahwa seseorang ini  

tidak satu tetapi ada dua, “that man is not truly one, but truly two” 

 Pemikiran akan adanya dua karakter yang terdapat 

dalam diri manusia membuat dia ingin mencoba untuk melakukan 

pemisahan di antara keduanya. Hasrat akan pemisahan ini  dapat 

dilihat sebagai pandangan akan diri yang ideal, mengenai bagaimana dia 

ingin melihat dirinya yang sempurna. Pandangan diri yang ideal ini  

dalam pembacaan Freud disebut dengan ego-ideal. Menurut Nunberg, 

ego-ideal merupakan struktur atau konsep dimana seseorang melihat 

dirinya yang ideal yang dalam keadaan tertentu berkemungkinan 

membuat individu menjurus ke sifat narsisistik 

Keadaan ini  secara singkat dapat dipahami bahwa ego-ideal yaitu  

sebuah harapan akan konsep mengenai diri yang sempurna itu 

diharapkan. Namun, dalam kasus Jekyll, ego-ideal ini  yaitu  ego 

yang tidak stabil akibat id yang telalu tertekan oleh superego sehingga 

ego yang muncul sebagai ego-ideal lebih condong pada pemenuhan 

ekspektasi sosial terhadap dirinya. 

Dalam kasus Jekyll, dirinya yang ideal yaitu  dirinya yang 

sempurna, yang selalu baik dan tidak memiliki sisi gelap. Dengan 

demikian, dirinya akan tetap mampu mempertahankan posisi dirinya di 

ranah sosial. 

 

“If each, I told myself, could but be housed in separate identities, life 

would be relieved of all that was unbearable; the unjust might go his way, 

delivered from the aspirations and remorse of his more upright twin; and 

the just could walk steadfastly and securely on his upward path, doing the 

good things in which he found his pleasure, and no longer exposed to 

disgrace and penitence by the hands of this extraneous evil.” 

Gambaran diri yang sempurna pada akhirnya membuat Jekyll 

melakukan tindakan yang di luar dari aturan norma yang ada. Ia 

melakukan eksperimen terhadap dirinya sendiri agar dia mampu 

memisahkan sisi baik dan buruk dari dirinya. Walaupun, Jekyll tahu 

bahwa risiko dari apa yang dia lakukan cukup tinggi: 

 

“I knew well that I risked death; for any drug that so potently controlled 

and shook the very fortress of identity, might by the least scruple of an

overdose or at the least inopportunity in the moment of exhibition, utterly 

blot out that immaterial tabernacle which I looked to it to change. But the 

temptation of a discovery so singular and profound, at last overcame the 

suggestions of alarm.” 

 

Tindakan mencapai kesempurnaan diri yang dilakukan Jekyll 

menjadi tidak wajar, sebab  semua yang dia lakukan hanya demi untuk 

mendapatkan kesenangan. Keinginan kesempurnaan terhadap diri Jekyll 

dapat dilihat sebagai tindakan mencintai diri yang berlebihan. Ia rela 

melakukan segalanya asalkan dirinya selalu terlihat sempurna serta demi 

citra diri di masyarakat juga terlihat baik. Sehingga dapat dikatakan 

bahwa tindakan ekstrim yang dilakukan Jekyll merupakan salah satu dari 

tindakan narsisisme yang cukup tinggi. Narsisisme sendiri yaitu  sebuah 

keadaan di mana hasrat atau pun keinginan seseorang tidak lagi perihal 

mencari objek untuk dimanifestasikan sebagai tempat pencurahan 

libidonya, tetapi libido ini  ditarik ke dalam diri yang membuat 

individu menginvestasikan hasrat ini  ke dalam dirinya sendiri. 

Aktivitas ini  membuat megalomania semakin besar dan membuat 

seseorang merencanakan berbagai cara untuk membuat dirinya menjadi 

lebih terlihat baik menurut persepsi dari si libido yang telah 

diinvestasikan ke dalam diri ini . 

 Semua tindakan yang dilakukan Jekyll, seperti tindakan ekstrim 

dari eksperimen-eksperimen yang berisiko fatal dan tidak sesuai aturan 

pada zaman Victoria, dapat diobservasi menjurus pada satu hasrat 

naluriah, yaitu naluri kehidupan. Naluri kehidupan bekerja agar Jekyll 

dapat bertahan hidup dalam lingkungan sosialnya. Semua hal ini  

juga bertujuan untuk meraih kesenangan, walaupun cara yang ditempuh 

tidak harus menyenangkan (unpleasure). Salah satu ketidaksenangan 

yang dialami oleh Jekyll yaitu pada saat dia melakukan percobaannya 

untuk kali pertamanya “the most racking pangs succeeded: a grinding in 

the bones, deadly nausea, and a horror of the spirit that cannot be 

exceeded at the hour of birth or death.” Percobaan 

yang menyakitkan ini  anehnya justru membuat Jekyll merasa 

seperti terlahir kembali; ia merasa dirinya lebih baik dari sebelumnya. 

 

“There was something strange in my sensations, something indescribably 

new and, from its very novelty, incredibly sweet. I felt younger, lighter, 

happier in body; […], an unknown but not an innocent freedom of the 

soul.” 


Percobaan ektsrim menyakitkan itu pun akhirnya memunculkan 

sosok lain dari diri Henry Jekyll, yaitu Mr. Edward Hyde.  

 

“I saw for the first time the appearance of Edward Hyde.” 

Edward Hyde yaitu  sosok individu baru dari Henry Jekyll tetapi hanya 

memiliki sisi gelap dari Jekyll. Pada awal keberhasilan dari 

percobaannya ini  terlihat bahwa cara pemisahan ini merupakan 

salah satu cara agar Jekyll dapat merasakan kebebasan akan dirinya. Saat 

menjadi Hyde, Jekyll dapat melakukan apa pun dan juga tetap dapat 

mengikuti aturan dan norma saat dia berada di dalam tubuh Jekyll. 

Namun, hal ini  tidak dapat berlangsung lama. Keadaan berubah 

setelah sekian banyak percobaan yang ia lakukan, yakni percobaan 

bertukar memakai tubuh dengan Hyde. Biasanya, pertukaran ini  

hanya dapat terjadi saat Jekyll meminum ramuan dari hasil racikan yang 

dilakukannya di laboratorium. Namun kemudian, peristiwa yang tidak 

seperti biasanya terjadi; suatu saat , Jekyll tidur dalam bentuk dirinya 

tetapi terbangun dalam wujud Hyde. Keadaan ini menjelaskan bahwa 

tokoh Hyde memiliki kuasa pada tubuh Jekyll, dimana kini ia dapat 

berubah walaupun tanpa harus meminum ramuan terlebih dahulu. 

 

“At the sight that met my eyes, my blood was changed into something 

exquisitely thin and icy. Yes, I had gone to bed Henry Jekyll, I had 

awakened Edward Hyde.” 

 

Kuasa yang dimiliki Hyde dapat dilihat sebagaimana seharusnya 

tujuan dari naluri kehidupan berkerja, yaitu untuk menghadirkan naluri 

yang lainnya, naluri kematian. Pada saat suatu pencapaian dilakukan 

maka unsur lain akan berkerja berputar menuju kearah sebelumnya, 

kembali ke titik awal yaitu ketidak hadiran. Namun, jika ketidakhadiran 

yang dimaksudkan yaitu  kematian maka ketidakhadiran disini tidak 

begitu saja terjadi. Menurut Tyson, cara yang lebih baik, serta lebih 

akurat, untuk memahami hubungan kita dengan kematian yaitu  dengan 

memeriksanya dalam diri yaitu kaitannya dengan pengalaman psikologis 

yang kita alami. Jika kita melakukan ini, kita akan melihat bahwa 

kematian, khususnya ketakutan akan kematian, terkait erat dengan 

sejumlah realitas psikologis lainnya. Dan kita menjadi takut untuk 

mengalami kematian salah satunya sebab  rasa fear of abandonment 

yang tumbuh dalam diri kita sendiri 

Rasa ketakuan akan ditinggalkan atau tidak dihiraukan merupakan 

rasa yang pertama kali muncul dari sosok Jekyll. Hal ini  tersirat 

dari bagaimana ia ingin selalu untuk mempertahankan status sosial dan 

apa yang sudah dia dapatkan saat ini sehingga ia merasa harus 

melakukan sesuatu untuk tetap dihormati dan disegani oleh lingkungan 

sekelilingnya. Pengalaman-pengalam yang menyenangkan selama hidup 

dan karirnya membuatnya juga makin tidak ingin kehilangan apa yang 

sudah diraihnya, sebab  hal ini  yaitu  penggambaran dirinya yang 

ideal. Kecintaan Jekyll akan dirinya secara berlebihan ini  yang 

membuatnya melakukan tindakan di luar batas kewajaran, keadaan 

ini  dikenal dengan sebutan narcissistic pathology. Narcissistic 

pathology yaitu  tindakan yang dapat menjurus pada penghancuran diri, 

yang dapat mengambil tindakan seperti sadisme dan masokisme. 

Tindakan sadisme dapat dilihat dari perilaku Edward Hyde, 

dimana, dia selalu menimbulkan kengerian dari tindakan yang ia 

lakukan, seperti tindakan menyiksa dan bahkan membunuh korbannya. 

Para korban dari Hyde pun yaitu  sosok-sosok yang tidak bersalah, 

lemah dan tidak melakukan perlawanan terhadap dirinya. Seperti contoh, 

anak perempuan dan Sir Danvers. Sadisme yaitu  sebuah perbuatan 

yang dirangsang hanya oleh yang tak berdaya, tidak pernah oleh mereka 

yang memiliki kekuatan  Ada dua konsep menurut 

Fromm mengenai perbuatan sadis. Yang pertama yaitu  fenomena dari 

aktivitas seksual dan yang kedua yaitu  sebagai keinginan untuk 

menimbulkan rasa sakit, yang terlepas dari keterlibatan seksual apa pun 

Deskripsi ini  senada dengan kutipan pada saat Hyde 

menyiksa Sir Danvers. 

 

“Hyde drank ‘pleasure with bestial avidity from any degree of torture to 

another’, ‘tast[ed] delight from every blow’ that he inflicts on the 

unresisting body of Danvers Carew, and is later described as ‘strung to 

the pitch of murder, lusting to inflict pain.”


Tindakan sadis yang dilakukan Hyde dapat dilihat sebagai luapan 

emosi akibat tindakan yang dilakukan oleh Henry Jekyll yaitu tindakan 

pemisahan kepribadian, atau dalam realitas ini memisahkan karakter 

Hyde dari diri Jekyll. Pemisahan ini  membuat fungsi menstabilkan 

dalam tubuh menjadi tidak ada, lalu membuat keadaan tidak terkontrol, 

sebagaimana tindakan kekerasan yang terus menerus dilakukan oleh 

Hyde. Tindakan sadisme ini  juga dapat diartikan sebagai 

perwujudan naluri kematian, yang dirangsang akibat narsisisme yang 

tinggi. Hal ini dijelaskan oleh Freud dengan mengatakan bahwa “sadism 

is properly a death instinct which is driven apart from the ego by the 

influence of the narcissistic libido, so that it becomes manifest only in 

reference to the object.” 

saat  karakter dari Edward Hyde dilihat sebagai karakter yang 

sadis, Henry Jekyll sebaliknya dilihat sebagai karakter yang memiliki 

sifat masokisme. Walaupun banyak pernyataan dari Jekyll bahwa ia 

merasa “horror of my other self” atau pun “still 

hated and feared the thought of the brute that slept within me” 

(Stevensen, 1886:68). Namun, hal itu tetap saja tidak membuatnya 

berhenti untuk melakukan aksinya ini . “I began to be tortured with 

throes and longings, as of Hyde struggling after freedom; and at last, in 

an hour of moral weakness, I once again compounded and swallowed 

the transforming draught.” (Stevenson 1886, 63). Tokoh Henry Jekyll 

tetap kembali melakukan apa yang ia sebut menyakitkan dan 

menakutkan ini  walaupun ia mengetahui bahaya dan kemungkinan 

yang terjadi saat  dia mengambil tindakan ini . Sadisme dan 

masokisme pada dasarnya memiliki keterkaitan satu sama lain walaupun 

tindakan mereka terlihat berlawanan, tetapi kedua tindakan ini  

sebenarnya yaitu  dua sisi berbeda dari satu situasi mendasar ,Situasi mendasar pada konteks kajian ini yaitu  

ketidakstabilan individu, Henry Jekyll, akibat pemisahan sifat yang ia 

lakukan sendiri. 

Kernberg  menyatakan bahwa terdapat perilaku bunuh diri 

yang merusak diri sendiri yang disebabkan oleh kepribadian narsis yang 

parah. Dalam kasus ini, rasa kekalahan, kegagalan, penghinaan, dan 

hilangnya kepercayaan diri seseorang dapat membawa tidak hanya 


perasaan kekalahan, memalukan dan inferioritas yang dapat 

menghancurkan diri, tetapi juga rasa penghargaan terhadap hidup yang 

mereka miliki. Sehingga mereka memutuskan untuk mengambil tindakan 

menghilangkan nyawanya sendiri. Tindakan ini  sebagai pembuktian 

bahwa mereka tidak takut sakit dan tidak takut mati. Sebaliknya, 

kematian merupakan sebuah pengabaian yang elegan terhadap dunia dan 

hidup yang mereka anggap sudah tidak berharga 

Hal ini sepaham pada saat keadaan berbalik dan membuat Jekyll 

kehilangan kontrol dalam dirinya, kontrol atas Hyde. Keadaan ini  

membuat Jekyll merasa hidupnya sudah hancur, sudah kalah dan sudah 

tidak bisa melakukan apa pun sehingga rasa untuk menyerah terhadap 

kehidupan yang dia miliki pun muncul dan kematian merupakan sebuah 

keputusan yang rasional bagi diri Henry Jekyll. Tyson menjelaskan 

keadaan ini  dengan gambaran bahwa, kematian bukanlah sesuatu 

yang ditandai dengan kematian fisik, melainkan terlebih dahulu ada 

kematian yang dialami oleh seorang secara psikis sehingga membuat 

seseorang akhirnya memilih untuk mati . Lebih dalam lagi 

dijabarkan oleh Henseler bahwa seseorang menginginkan kematian 

dirinya akibat dari narsistik pada diri yang tidak sesuai dengan fantasi 

khayalan dan harapan yang ia temukan di kenyataannya. Superego 

menggerus unsur diri dalam si individu sehingga dia dengan suka rela 

memilih untuk mengakhiri hidupnya 

Pemahaman ini  senada dengan usaha yang dilakukan Jekyll 

tetapi belum berhasil. sebab  usahanya belum juga berhasil, dirinya 

kehilangan arah dan jatuh pada posisi dimana dia tidak memiliki arti bagi 

dirinya, yang dapat dipahami dengan kematian psikis dari Henry Jekyll. 

Pada saat kehilangan arti akan hidupnya, maka dengan begitu si tokoh 

Jekyll dapat diartikan sudah tidak hidup, walaupun masih bernyawa. Hal 

ini disebabkan sebab  rasa dan nilai yang hilang berada di dalam diri dan 

bukan di luar diri si tokoh. 

Pergantian Jekyll menuju Hyde tanpa adanya perantara obat, serta 

kesulitan Jekyll dalam meraih wujudnya sendiri, dapat dilihat bagaimana 

karaker Jekyll seolah-olah menyerah kepada sosok Hyde, yang di mana 

merupakan simbolisasi dari penyerahan naluri kehidupan kepada naluri 

kematian. 

“I have more than once observed that, in my second character, my 

faculties seemed sharpened to a point and my spirits more tensely elastic; 

thus it came about that, where Jekyll perhaps might have succumbed, 

Hyde rose to the importance of the moment.” (Stevenson 1886, 68). 

 

Dualisme antara naluri kehidupan dan kematian juga dapat terlihat 

jelas pada penggambaran yang dilakukan oleh tokoh Jekyll dalam 

kutipan berikut. 

 

“And certainly the hate that now divided them was equal on each side. 

With Jekyll, it was a thing of vital instinct. He had now seen the full 

deformity of that creature that shared with him some of the phenomena of 

consciousness, and was co-heir with him to death: and beyond these links 

of community, which in themselves made the most poignant part of his 

distress, he thought of Hyde, for all his energy of life, as of something not 

only hellish but inorganic.” (Stevenson 1886, 69). 

 

Pada bagian akhir, cerita ditutup dengan kematian secara fisik 

yang dialami oleh Henry Jekyll. 

 

“I am careless; this is my true hour of death, and what is to follow 

concerns another than myself. Here then, as I lay down the pen and 

proceed to seal up my confession, I bring the life of that unhappy Henry 

Jekyll to an end.”

 

 

Pemikiran awal Freud yang selalu mengedepankan desire dan sex yang 

bertujuan hanya melestarikan kehidupan di tentangnya sendiri dalam 

BPP. Freud menyatakan bahwa naluri kehidupan yang bertujuan 

melestarikan kehidupan juga memiliki fungsi sebagai stimulus untuk 

menghidupkan naluri yang lain, yaitu naluri kematian. Naluri kematian 

berfungsi untuk meniadakan kehidupan. Freud juga menyatakan bahwa 

naluri kehidupan dan naluri kematian ini  saling berjalan beriringan, 

membentuk sebuah dualisme dengan menyatakan bahwa semua yang ada 

berasal dari semua yang tidak ada sebelumnya.  

Dalam melakukan pembacaan konsep dualisme antara naluri 

kehidupan dan naluri kematian pada novel A Strange Case of Dr. Jekyll 

and Mr. Hyde yang ditulis oleh Robert Louis Stevenson. Penggambaran 

tokoh utama novel, Henry Jekyll, mengalami ketidakselarasan dirinya 

dengan norma yang ada, sehingga ia merasa memiliki dualisme di dalam 

dirinya. Keadaan ini  disebabkan sebab  Jekyll yaitu  tokoh yang 


memiliki latar belakang kelas sosial tinggi, terpandang dan dihormati 

sehingga menimbulkan rasa cinta kepada diri yang tinggi yang juga 

membuat rasa fear of abandonment, dalam dirinya juga menjadi semakin 

besar. Perasaan ini  pada akhirnya mendorong Jekyll melakukan 

tindakan-tindakan yang di luar batas norma masyarakat yang ada untuk 

mendapatkan kesenangan ini  seperti conoth tindakan masokisme.  

Disebab kan naluri kehidupan dan kematian berjalan beriringan, 

rencana Henry Jekyll tidak mampu untuk terwujud. Hal ini bermula dari 

ketidakmampuan tokoh Jekyll untuk mengendalikan sosok yang lain 

dalam dirinya, Hyde. Situasi ini  dalam pandangan Freud dapat 

dikatakan sebagai dimulainya naluri kematian itu berjalan. Bekerjanya 

naluri kematian ini  dapat dilihat dari rusaknya fantasi diri yang 

ideal yang Jekyll miliki sebab  berbenturan dengan kenyataan dan 

memicu  dirinya mati secara psikis lebih dahulu. Henry Jekyll 

kehilangan arti akan hidupnya, sehingga dalam akhir cerita kematian 

secara psikis ini  dilanjutkan dengan kematian secara fisik yang 

dialami oleh Henry Jekyll.  

 


Related Posts: