Naluri kehidupan (Eros) dan kematian (Thanatos) dalam
pandangan Freud berjalan beriringan, walaupun naluri kehidupan
memiliki tujuan untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan
sedang naruli kematian bertujuan meniadakan kehidupan
ini . Dalam kajian ini penulis melakukan pembacaan konsep
dualisme antara naluri kehidupan dan kematian pada novel A
Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde yang ditulis oleh Robert
Louis Stevenson. Penulis memakai metode deskriptif
kualitatif untuk mengola dan mengelaborasi teks dan teori yang
ada. Adapun dari kajian ini ditemukan penggambaran tokoh
utama, Henry Jekyll, mengalami ketidakselarasan kepribadian
dengan norma yang ada pada zaman Victoria sehingga ia merasa
memiliki dualisme di dalam dirinya dan pada akhirnya
mendorongnya melakukan serangkaian aksi pemisahan karakter
dalam dirinya. Disebab kan naluri kehidupan dan kematian
berjalan beriringan, membuat rencana Jekyll tidak dapat mencapai
tujuannya. Kegilaan akibat konsep diri yang ideal yang memiliki
kecendrungan akan narcissistic pathology ini akhirnya hancur
akibat berbenturan dengan realitas. Keadaan ini
memicu Henry Jekyll kehilangan makna hidupnya sebagai
simbolisasi dari kematian psikis, dan pada akhir cerita, kematian
secara psikis ini diikuti dengan kematian secara fisik yang
dialami oleh Henry Jekyll.
Novel A Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde yang ditulis oleh
Robert Louis Stevenson yaitu sebuah karya klasik yang diterbitkan
pada abad ke-19 atau yang dikenal dengan zaman Victoria. Novel ini
mengisahkan tentang kehidupan seorang tokoh bernama Dr. Henry
Jekyll yang melakukan percobaan terhadap dirinya guna melepaskan
karakter yang menurutnya tidak sesuai dengan aturan dan norma yang
ada pada zaman ini . Novel karya Stevenson ini sudah dibuat ke
dalam berbagai macam bentuk media, seperti film, cerita serial, serta
parodi. Selain bentuk berupa karya, istilah “Jekyll dan Hyde” sendiri
juga telah menjadi sebuah istilah atau ungkapan baru yang merujuk
kepada seseorang yang mempunyai dua kepribadian atau menjalani dua
kehidupan
Banyak akademia yang telah menganalisis karya ini dengan
berbagai macam sudut pandang, khususnya dengan perspektif
psikoanalisis. Seperti yang dilakukan oleh Cahya dan Margawati (2018)
dengan judul penelitian Dualism in The Strange Case of Dr. Jekyll and
Dr. Jekyll dan Mr. Hyde... .
Mr. Hyde By Robert Stevenson: A Demolition of Alter. Penelitian ini
dengan gamblang menyatakan ingin menganalisis gangguan kepribadian
ganda yang tercermin dalam novel The Strange Case of Dr. Jekyll and
Mr. Hyde karya Robert Stevenson. Analisis mereka memakai teori
psikoanalisis ala Freudian. Studi ini menunjukkan bahwa tokoh
utama memiliki dua kepribadian; ia bisa menjadi Dr. Jekyll yang pintar
dan baik hati atau bisa juga menjadi Mr. Hyde yang kejam. Gangguan
kepribadian ganda ini berdampak buruk pada tokoh. Gangguan
kepribadian ini akhirnya berubah menjadi gangguan kejiwaan sebab
perilaku tokoh yang kerap kali melakukan kekerasan fisik baik yang
dilakukan Hyde atas berbagai kasus kriminalnya atau pun yang
dilakukan Jekyll kepada dirinya sendiri ,Pada akhirnya,
gangguan kepribadian ganda membawanya ke kematian. Oleh sebab itu,
Cahya dan Margawati menyimpulkan bahwa seseorang yang memiliki
kepribadian ganda berkemampuan untuk menyebabkan kehidupan
seseorang menjadi berantakan, baik secara psikologis maupun fisik
Masih perihal dualisme, peneliti menemukan dua kajian yang
hampir sama yaitu dari Chloemethridge dan Kumar
Chloemethridge berusaha melihat problematika dua kepribadian ganda
pada kasus Jekyll dan Hyde ke dalam ranah yang lebih dalam, yaitu
mengenai konstruksi pikiran manusia yang dijabarkan oleh Freud terbagi
menjadi tiga, yaitu id, ego dan superego. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh tokoh Hyde lebih
merepresentasikan id, yaitu hasrat yang bersifat alami, murni, tanpa
adanya penerapan nilai di dalamnya, sedang karakter Jekyll lebih
merepresentasikan ego, di mana semua tindakan yang ia lakukan berada
di dalam kesadaran dan ia mengetahui konsekuensi apa yang akan
didapatkan. Chloemethridge berpendapat bahwa keadaan ini terjadi
akibat benturan antara id dan superego yang membuat ego selalu
menekan id, demi memenuhi ekspektasi norma sosial masyarakat. Hasil
penelitian Chloemethridge ini juga tercermin dalam penelitian yang
dilakukan Kumar. Selain bahasan tentang konsep Freud, ia juga
menambahkan konsep yang dibawa oleh Carl Gustav Carus, yaitu
konsep alam bawah sadar. Konsep ini tertuang dalam karya Carus,
Psyche . Carus yaitu orang pertama yang berusaha memberikan
teori total dan target dari kehidupan psikologis bawah sadar. Lalu pada
tahun setelah itu munculah Freud dengan teori id/ego/superego. Konsep
ini dimasukkan oleh Kumar disebab kan novel The Strange Case of
Dr. Jekyl and Mr. Hyde terbit terlebih dahulu sebelum konsep-konsep
dari Freud bermunculan. Kumar tidak ingin berspekulasi tetapi ia juga
tidak memungkiri bahwa karya Stevenson merupakan salah satu karya
yang mungkin mengilhami Freud untuk meneliti perihal alam pikiran
manusia ,
Penelitian terakhir perihal psikoanalisis yang ingin ditunjukkan
oleh penulis yaitu tulisan dari Moore (2019) yang berjudul Freud,
Jekyll and Hyde. Dalam penelitiannya, Moore menyatakan bahwa kisah
Jekyll dan Hyde ini lebih dari sekadar cerita seseorang yang memiliki
kepribadian ganda. Tidak hanya meneliti dari segi pikiran seperti
id/ego/superego, Moore juga menganalisis kasus Hyde dan Jekyll
memakai konsep Freud yang lain yaitu, Oedipus Kompleks. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan tindakan yang
dilakukan oleh tokoh Jekyll atau pun Hyde merupakan hasil implikasi
ketidaksadaran akibat belum terselesaikannya Oedipus Kompleks di
dalam kehidupan si tokoh, Jekyll. Hal ini dapat terlihat saat Jekyll
berubah menjadi Hyde dan merusak foto ayah Jekyll atau pun saat ia
melakukan tindakan kekerasan terhadap seseorang lelaki tua, Sir
Danvers. Tindakan ini oleh Moore dipahami sebagai tindakan tidak
sadar yang merepresentasikan bahwa si anak (Jekyll/Hyde) ingin
menggantikan posisi sang ayah. Dalam tulisan ini juga Moore
secara eksplisit menyatakan bahwa novel ini lahir sebelum konsep
psikoanalisis yang dikembangkan Freud.
Perspektif lain juga pernah dilakukan dalam mengkaji karya
Stevenson oleh beberapa peneliti sebelumnya. Seperti yang dilakukan
oleh Shuo dan Dan yang memakai sudut pandang gender terhadap
novel ini. Mereka melihat bahwa terdapat ketimpangan gender di dalam
cerita akibat kurangnya karakter utama perempuan sehingga dalam hasil
analisis ditemukan bahwa karakter perempuan di dalam novel
diinferioritaskan. Inferioritas terhadap perempuan juga akibat peraturan
pada zaman Victoria yang membuat perempuan tidak memiliki akses
Dr. Jekyll dan Mr. Hyde... .
SK Akreditasi DIKTI No: 10/E/KPT/2019 5
terhadap dunia luar. Namun pandangan yang berat sebelah itu, menurut
Shuo dan Dan diimbangkan dengan penokohan karakter laki-laki yang
juga memiliki unsur feminin di dalam dirinya. Seperti karakter Utterson
yang memiliki karakter keibuan, dan bahkan karakter Jekyll dan Hyde,
dilihat sebagai dua karakter yang saling melengkapi (2012, 127).
Analisis yang hampir sama dilakukan oleh Doane and Hodges (1989),
dengan judul Demonic Disturbances of Sexual Identity: The Strange
Case of Dr. Jekyll and Mr/s Hyde. Mereka juga mengambil sudut
pandang gender di dalam studinya. Penelitian mereka berawal dari alasan
yaitu tidak adanya tokoh sentral perempuan dalam novel yang
diakibatkan oleh budaya patriarki di era ini . Namun, di sisi lain
mereka juga berpendapat bahwa terdapat ketidakjelasan seksualitas di
dalam cerita. Seperti tokoh Hyde, yang dalam analisis mereka
menjelaskan bahwa tokoh Hyde bisa saja memiliki seksualitas feminin
atau mungkin yaitu seorang perempuan. Hal ini dilandaskan pada
pengetahuan di era Victoria dimana sering dilakukannya pembunuhan
karakter dengan pemberian label monster terhadap perempuan. Tindakan
seperti itu juga terjadi pada tokoh Hyde yang dianggap sebagai
perwujudan monster akibat sikap dan karakteristiknya yang sadis dan
jahat. Opini ini jelas terlihat dalam judul analisis mereka (1989,
67).
Berbeda dari kedua tulisan sebelumnya, Cohen (2004), mengambil
sudut pandang analisis yang berbeda yaitu dari sisi maskulinitas. Dia
melihat bahwa karya The Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde
yaitu sebuah representasi maskulinitas yang berbeda dari zamannya.
Menurutnya, novel ini melakukan gebrakan besar terhadap pandangan
laki-laki ideal dan male oriented yang sangat kental di zaman Victoria
(Cohen 2004, 182). Tulisannya menjelaskan bagaimana novel ini
membuka opini bahwa ada tipe laki-laki yang berbeda seperti yang
diperlihatkan pada tokoh Jekyll/Hyde di dalam cerita. Semua laki-laki
bisa memiliki karakter maskulin dan feminin dan tetaplah menjadi
seorang laki-laki, ungkapnya dalam tulisan ini. Novel ini membawa
angin segar dan ideologi oposisi terhadap pandangan maskulinitas pada
era ini (Cohen 2004, 182).
Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. IV, No. 1, Juni 2020 6
Novel A Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde melibatkan
unsur pengetahuan dan sains di dalam cerita, yang membuat kesan
berbeda dari cerita pada zaman Victoria lainnya. Keadaan itu menurut
penulis ikut juga mempengaruhi tindak tanduk si tokoh utama dalam
novel ini . Oleh sebab itu, dalam kajian ini penulis ingin
mengambil lensa psikoanalisis dari Sigmund Freud yaitu mengenai
konsep naluri kehidupan dan kematian yang dilihat melalui pembacaan
novel milik Stevenson ini.
Pada saat mengangkat kajian psikoanalisis tentu sudah menjadi
pertanyaan umum yang akan dilontarkan seperti “mengapa
memakai teori psikoanalisis ini ” atau “apakah pemikiran Freud
masih relevan untuk digunakan saat ini?” Untuk menjawab pertanyan
dan persepsi demikian, penulis mengambil kutipan dalam buku Critical
Theory milik Lois Tyson, ia mengatakan bahwa “Freud didn’t invent
psychoanalytic principle; he discovered them operating in human being”
(Tyson 2006, 37). Hal itu memberikan makna bahwa sebenarnya Freud
hanya memberikan nama, melabelkan, serta menjelaskan bagaimana
prinsip-prinsip dari tingkah laku manusia beroperasi, yang artinya semua
itu telah atau sudah ada bahkan jauh sebelum Freud menjelaskannya.
Keadaan ini akan tetap ada walaupun Freud atau tokoh psikologi
lainnya tidak menjelaskan, mengkaji dan menjadikannya sebagai sebuah
ilmu pengetahuan. Hal ini sejalan dengan apa yang sudah dipaparkan
oleh beberapa peneliti di atas bahwa karya Stevenson ini lahir sebelum
konsep dari Freud bermunculan.
Kajian psikoanalisis yang penulis pilih yaitu kajian Freud
khususnya mengenai dualisme antara naluri kehidupan (life instinct) dan
naluri kematian (death instinct). Freud memperkenalkan dualisme naluri
ini dalam esainya yang berjudul Beyond the Pleasure Principle (BPP).
Esai ini mendeskripsikan bahwa manusia selalu berjuang dengan
dorongan yang berlawanan. Melihat naluri kehidupan dan kematian
menciptakan seolah-olah adanya dualisme hasrat dalam seorang
individu. Hal yang hampir sama dapat dilihat dalam tokoh Dr. Henry
Jekyll dan Mr. Hyde dalam karya sastra The Strange Case of Dr. Jekyll
and Mr. Hyde. Novel ini memperlihatkan dua sisi karakter dari
individu yang tadinya satu, yaitu tokoh Henry Jekyll, yang melalui
Dr. Jekyll dan Mr. Hyde... .
SK Akreditasi DIKTI No: 10/E/KPT/2019 7
serangkaian uji coba mampu berganti dengan dirinya yang lain, Hyde.
Karakter Hyde yang cenderung bersifat kasar dan seram jika ditelisik
akan lebih condong kepada naluri kematian, sedang karakter Jekyll
yaitu karakter yang sebaliknya. Lalu bagaimana keduanya bisa
berkaitan dan terhubung, jika karakter mereka kontra antara satu dan
lainnya? Bagaimana hal ini dijelaskan dengan lensa pemikiran
Freud terhadap dualisme naluri? Untuk menjawab pertanyaan ini ,
dalam kajian ini penulis akan mencoba mendalami pembacaan mengenai
dualisme naluri kehidupan dan naluri kematian memakai lensa
pemikiran yang telah dikembangkan oleh Freud. Dari penjelasan ini
juga, penulis rasa sudah cukup untuk menjelaskan mengenai di mana
posisi kajian penelitian yang ingin dikembangkan, yaitu lebih kepada
studi Freud perihal naluri kehidupan dan kematian. Perspektif kajian ini
dipilih sebab penulis melihat belum adanya penelitian yang secara
spesifik mengkaji dengan sudut pandang yang penulis ingin gunakan.
Terlebih lagi sebagian besar peneliti sebelumnya lebih berfokus pada
analisis dualisme pikiran atau pun memakai point of view kajian
gender. Memahami keadaan ini , pada penelitian ini, penulis akan
lebih fokus melihat bagaimana setiap motif dari tindakan yang dilakukan
oleh tokoh dan juga dampak kejiwaan apa yang terjadi di dalam dirinya,
bagaimana pergulatan batin ini dilihat dari kaca mata konsep naluri
kehidupan dan kematian.
Adapun metode yang digunakan dalam analisis ini yaitu metode
kualitatif deskriptif, yaitu suatu cara penafsiran, interpretasi dan
penyajian data analisis dalam bentuk deskripsi. Data dalam penelitian ini
tidak berbentuk angka tetapi deskriptif dan berfokus pada penafsiran
terhadap narasi dan interaksi antar konsep yang di analisis (Ratna, 2006:
46). Metode kualitatif menurut penulis cukup mampu untuk
menghantarkan maksud, tujuan dan elaborasi data yang baik, agar hasil
dari analisis ini bisa dimengerti dan dipahami oleh pembaca.
Sebelum memasuki tahap pembahasan dan analisis, terlebih
dahulu penulis akan menjabarkan sedikit tentang naluri kehidupan (life
instinc) dan naluri kematian (death instinc) dalam pembacaan studi
Sigmund Freud. Dalam karya-karya Freud yang ditulis sebelum BPP, ia
mengatakan bahwa sex dan desire (hasrat) merupakan trigger (pemicu)
Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. IV, No. 1, Juni 2020 8
utama dalam melakukan suatu tindakan dalam hidup manusia. Hasrat
yaitu keinginan untuk mendapatkan kenikmatan. Aktivitas psikis
berusaha untuk menarik kita menjauhi tindakan-tindakan yang mungkin
akan memunculkan “ketidaksenangan” (unpleasure). Pada BPP, Freud
menjelaskan bahwa tidak ada lagi keraguan bahwa semua yang
dilakukan manusia secara otomatis selalu diatur oleh yang disebutnya
dengan prinsip kesenangan atau pleasure principle (Freud 1920, 7).
Sepanjang analisis, Freud mengamati bahwa individu-individu dipaksa
untuk terlibat berulang-ulang dalam perilaku yang tampaknya tidak
menjadi sumber kesenangan (pleasure). Seperti yang dijelaskan oleh
Caropreso dan Simanke (2008, 968) bahwa dalam BPP, Freud
menyatakan, pasti ada satu naluri yang akan menjadi titik balik dari
semua naluri ini . Hal itu disebabkan sebab prinsip kesenangan
akan menjadi dominan akibat terjadinya pengulangan dari naluri yang
disebut dengan “repetition compulsion”. Salah satu insting atau drive
yang lain, dikemukakan oleh Freud disebut sebagai “reality” atau prinsip
kenyataan (reality principle), seperti yang dijelaskan dalam kutipan
berikut.
“We know that the pleasure principle is proper to a primary method of
working on the part of the mental apparatus, but that, from the point of
view of the self-preservation of the organism among the difficulties of the
external world, it is from the very outset inefficient and even highly
dangerous. Under the influence of the ego’s instincts of the self-
preservation, the pleasure principle is replaced by the reality principle.
This latter principle does not abandon the intention of ultimately
obtaining pleasure, but it nevertheless demands and carries into effect the
postponement of satisfaction, the abandonment of a number of
possibilities of gaining satisfaction and the temporary toleration of the
unpleasure as a step on the long indirect road to pleasure.” (Freud 1920,
10).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa prinsip kenyataan nantinya
akan menyebabkan superego untuk menyangkal atau menunda
kebutuhan id, disebab kan realitas yang ada di dunia luar tidak
memampukan hasrat individu untuk memenuhi apa yang diinginkannya
pada saat itu. Hakikat dari situasi ini yaitu upaya untuk
memastikan kelangsungan hidup dan kenyamanan si individu, sehingga
realitas akan prinsip baru dari aktivitas psikis dimulai. Sekarang gagasan
tidak lagi dibentuk dari apa yang menyenangkan, tetapi apa yang nyata,
Dr. Jekyll dan Mr. Hyde... .
SK Akreditasi DIKTI No: 10/E/KPT/2019 9
bahkan jika ini kebetulan tidak menyenangkan. Prinsip kenyataan akan
membuat hasrat pada si indvidu menjadi tertunda untuk sementara,
sehingga naluri ini akan mencari cara lain yang sesuai dengan
aturan atau dengan realitas yang ada, untuk membuat dia kembali meraih
apa yang diinginkannya, yaitu mendapatkan kesenangan (pleasure).
Semua unsur yang muncul, mulai dari desire dan sex dalam bentuk id
akan disaring melalui prinsip kenyataan agar manusia dapat bertahan
hidup (survive). Hal ini senada dengan tujuan dari semua unsur
ini , yaitu untuk hidup dan meneruskan keturunan dari manusia itu
sendiri. Semua unsur naluri ini dikenal dengan apa yang disebut
sebagai naluri kehidupan (life instinct), atau Eros (Minderop 2011, 27).
Fakta bahwa tujuan dari prinsip kenyataan hanya akan menjadi
penyaring dan tetap bertujuan untuk melestarikan kehidupan,
sebagaimana tujuan dari naluri kehidupan membuat Freud juga bertanya-
tanya di manakah akhir dari tujuan prinsip kenyataan. Dalam BPP ia
menanyakan, apakah mungkin semua dapat kembali ke keadaan awal,
yaitu sebelum adanya kehidupan atau dengan kata lain, apa yang akan
menjadi tujuan akhir semua kehidupan. Freud memberikan jawaban atas
kegelisahannya sendiri dengan mengatakan bahwa "that ‘aim of all life is
death and looking backwards, that inanimate things existed before living
ones” (Freud, 1920: 38). Dari asalnya, kemudian, hidup dianggap
mengandung kecenderungan untuk kembali ke keadaan anorganik.
Dalam hal ini, kembalinya berarti membebaskan diri dari semua
rangsangan dan semua ketegangan dengan tujuan untuk mencapai
kematian sehingga naluri untuk kembali ini dikenal dengan sebutan
naluri kematian (death instinct) atau Thanatos (Feist dan Feist 2008, 30).
Tujuan dari naluri kehidupan yaitu kesenangan, tetapi
kesenangan ini tidak terbatas pada kesenangan genital semata. Freud
percaya bahwa seluruh badan manusia tertanami oleh libido. Life instincs
ini mengambil bentuk salah satunya seperti narsisisme. Narsisisme
yaitu istilah yang pada mulanya digunakan untuk menyatakan suatu
penyimpangan seksual saat penderitanya jatuh cinta kepada diri sendiri
dan bukan kepada orang lain. Namun, sikap narsisisme atau cinta diri
yang berlebihan dapat membuat indvidu terangsang untuk melakukan
hal-hal yang bahkan di luar dari batas kewajaran dan cenderung bersifat
Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. IV, No. 1, Juni 2020 10
menghancurkan diri, “narcissistic pathology, repetition compulsion may
have the function of an active destruction of the passage of time, as an
expression of denial of aging and death.” (Resenfeld 1971 dalam
Kernberg 2009, 1013). Sikap penghancuran diri dapat dimanifestasikan
ke dalam bentuk sadisme dan masokisme, sebagai motivasi dari adanya
unsur kematian itu sendiri
Freud juga menjelaskan bahwa naluri kematian termasuk salah
satu tujuan dari naluri kehidupan walaupun terlihat berseberangan sebab
naluri kematian memiliki sifat menghancurkan atau memusnahkan.
Namun, Freud menegaskan kembali bahwa naluri kehidupan dan
kematian berjalan bersamaan dan saling bergantian, seperti dalam
kutipan berikut.
It is as though the life of the organism moved with vacillating rhythm. One
group of instinct rushes forward so as to reach the final aim of lime as
swiftly as possible. But when a particular stage in the advance reached,
the other group jerks back to a certain point to make a fresh and start
prolong the journey.
Jadi, dapat diketahui bahwa dualisme antara kehidupan dan
kematian berjalan beriringan dan saling bergantung satu sama lain.
Pernyataan Freud ini juga jelas memperlihatkan bagaimana pada
saat satu bagian bergerak menuju pencapaian, dengan sendirinya bagian
lain dari hal ini akan kembali kepada titik awal, untuk membuat
awal yang baru, guna memperpanjang perjalanan itu sendiri. saat
segala kehidupan dijalankan maka dengan sendirinya rasa naluri
kematian itu hadir.
We may picture an initial state as one in which the total available energy
of Eros, which henceforward we shall speak of as “libido”, is present in
the still undifferentiated ego-id and serves to neutralize the destructive
tendencies which are simultaneously present.
Oleh sebab itu, dapat ditarik pemahaman bahwa bahwa sejak
awal siklus kehidupan hanya akan terdiri dari jalan memutar dengan
tujuan mencapai kematian masing-masing organisme, dan apa yang
tampaknya merupakan dorongan untuk melestarikan kehidupan, yaitu
manifestasi naluri yang memelihara kehidupan. Hal ini sendirinya
menjadi tidak lebih dari cara khas masing-masing organisme untuk
mencapai kematian.
A Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde berlatar belakang waktu pada
abad ke-sembilan belas atau yang lebih akrab dikenal sebagai zaman
Victoria. Periode ini dinamakan dengan periode Victoria sebab
sebagain besar waktu ini bersamaan dengan berkuasanya Victoria
sebagai ratu Inggris. Era ini dikenal dengan masa dimana banyak
terjadi perubahan sosial yang penting seperti perkembangan ekonomi
dan teknologi yang pesat. Perubahan-perubahan ini merupakan
dampak dari salah satu aspek yang disebut dengan revolusi industri
menyatakan bahwa masyarakat pada zaman
Victoria sangat memperhatikan penampilan mereka. Hal itu disebab kan
penampilan akan merepresentasikan kelas sosial dan kepribadian
mereka. Agar tetap terlihat prima dan menarik, masyarakat pada zaman
Victoria akan menutup erat semua kekurangan yang mereka miliki,
termasuk keinginan-keiinginan mereka yang terpendam, apalagi jika hal
ini tidak sesuai dengan aturan dan norma yang ada. Ditambahkan
lagi oleh Spiazzi dan Travella (2009) bahwa zaman Victoria merupakan
era yang dikenal dengan “moralizers,” dimana orang-orang sangat
memperhatikan karakter, pekerjaan, kesopanan, tenggang rasa, dan
kemurnian. Maka, dapat dipahami bahwa masyarakat di era Victoria
sangat tidak toleran terhadap hal-hal yang menyimpang dari aturan dan
norma.
Aturan-aturan yang ada pada zaman Victoria ini dapat dilihat
sebagai prinsip realitas atau kenyataan. Sebagaimana dikemukakan oleh
Freud, bahwa prinsip realitas bersifat mengatur dan menunda
terwujudnya pencapaian hasrat untuk mencapai kesenangan. Hal ini
dapat dilihat dari penggambaran karakter utama, Henry Jekyll, pada awal
cerita. Jekyll diceritakan sebagai seorang dokter yang sukses, berada
pada kelas sosial yang tinggi dan dihormati sebab memiliki kecerdasan
lebih dari pada orang-orang di sekitarnya.
“I was born in the year 18— to a large fortune, endowed besides with
excellent parts, inclined by nature to industry, fond of the respect of the
wise and good among my fellow-men, and thus, as might have been
supposed, with every guarantee of an honourable and distinguished
future.”
Walaupun demikian, Jekyll merasa bahwa dirinya terperangkap
dan tidak bahagia dengan pencapaian yang telah diraihnya. Terdapat
hasrat pada diri Jekyll yang tidak bisa ia luapkan dalam bentuk dirinya
akibat norma dan aturan yang berlaku. Kepuasan yang tidak bisa
didapatkannya ini membuat Jekyll mengira bahwa ada dualitas
dalam dirinya.
“Hence it came about that I concealed my pleasures; and that when I
reached years of reflection, and began to look round me and take stock of
my progress and position in the world, I stood already committed to a
profound duplicity of life. Many a man would have even blazoned such
irregularities as I was guilty of; but from the high views that I had set
before me, I regarded and hid them with an almost morbid sense of
shame.”
Merujuk pada pandangan Freud mengenai naluri, sebenarnya yang
membuat Jekyll mengatakan dirinya mempunyai dualitas sebab
kenyataan dan fakta yang dia temukan di lingkangan dan masyarakat
tidak sejalan dengan dirinya. Oleh sebab itu, curahan hasrat atau
keinginan yang tidak bisa diekspresikan itu, disebutnya sebagai dualitas.
Keinginan dari Jekyll dapat kita lihat sebagai id, yaitu hasrat murni dari
dalam diri seorang individu. Namun, akibat aturan-aturan yang ada pada
zaman Victoria, maka id akan ditekan terlebih dahulu oleh superego,
disebab kan hasrat ini berlawanan dengan tata aturan yang ada,
sebagaimana fungsi dari prinsip realitas berlaku. Jekyll mencitrakan
dirinya bukanlah seperti sosok yang dia kenal saat dia melakukan
hasrat yang tidak diizinkan oleh aturan di dalam masyarakat.
“I was no more myself when I laid aside restraint and plunged in shame,
than when I laboured, in the eye of day, at the furtherance of knowledge
or the relief of sorrow and suffering.”
Keterpisahan dalam diri Henry Jekyll akibat tata aturan era
Victoria ini membuat ia mengatakan bahwa seseorang ini
tidak satu tetapi ada dua, “that man is not truly one, but truly two”
Pemikiran akan adanya dua karakter yang terdapat
dalam diri manusia membuat dia ingin mencoba untuk melakukan
pemisahan di antara keduanya. Hasrat akan pemisahan ini dapat
dilihat sebagai pandangan akan diri yang ideal, mengenai bagaimana dia
ingin melihat dirinya yang sempurna. Pandangan diri yang ideal ini
dalam pembacaan Freud disebut dengan ego-ideal. Menurut Nunberg,
ego-ideal merupakan struktur atau konsep dimana seseorang melihat
dirinya yang ideal yang dalam keadaan tertentu berkemungkinan
membuat individu menjurus ke sifat narsisistik
Keadaan ini secara singkat dapat dipahami bahwa ego-ideal yaitu
sebuah harapan akan konsep mengenai diri yang sempurna itu
diharapkan. Namun, dalam kasus Jekyll, ego-ideal ini yaitu ego
yang tidak stabil akibat id yang telalu tertekan oleh superego sehingga
ego yang muncul sebagai ego-ideal lebih condong pada pemenuhan
ekspektasi sosial terhadap dirinya.
Dalam kasus Jekyll, dirinya yang ideal yaitu dirinya yang
sempurna, yang selalu baik dan tidak memiliki sisi gelap. Dengan
demikian, dirinya akan tetap mampu mempertahankan posisi dirinya di
ranah sosial.
“If each, I told myself, could but be housed in separate identities, life
would be relieved of all that was unbearable; the unjust might go his way,
delivered from the aspirations and remorse of his more upright twin; and
the just could walk steadfastly and securely on his upward path, doing the
good things in which he found his pleasure, and no longer exposed to
disgrace and penitence by the hands of this extraneous evil.”
Gambaran diri yang sempurna pada akhirnya membuat Jekyll
melakukan tindakan yang di luar dari aturan norma yang ada. Ia
melakukan eksperimen terhadap dirinya sendiri agar dia mampu
memisahkan sisi baik dan buruk dari dirinya. Walaupun, Jekyll tahu
bahwa risiko dari apa yang dia lakukan cukup tinggi:
“I knew well that I risked death; for any drug that so potently controlled
and shook the very fortress of identity, might by the least scruple of an
overdose or at the least inopportunity in the moment of exhibition, utterly
blot out that immaterial tabernacle which I looked to it to change. But the
temptation of a discovery so singular and profound, at last overcame the
suggestions of alarm.”
Tindakan mencapai kesempurnaan diri yang dilakukan Jekyll
menjadi tidak wajar, sebab semua yang dia lakukan hanya demi untuk
mendapatkan kesenangan. Keinginan kesempurnaan terhadap diri Jekyll
dapat dilihat sebagai tindakan mencintai diri yang berlebihan. Ia rela
melakukan segalanya asalkan dirinya selalu terlihat sempurna serta demi
citra diri di masyarakat juga terlihat baik. Sehingga dapat dikatakan
bahwa tindakan ekstrim yang dilakukan Jekyll merupakan salah satu dari
tindakan narsisisme yang cukup tinggi. Narsisisme sendiri yaitu sebuah
keadaan di mana hasrat atau pun keinginan seseorang tidak lagi perihal
mencari objek untuk dimanifestasikan sebagai tempat pencurahan
libidonya, tetapi libido ini ditarik ke dalam diri yang membuat
individu menginvestasikan hasrat ini ke dalam dirinya sendiri.
Aktivitas ini membuat megalomania semakin besar dan membuat
seseorang merencanakan berbagai cara untuk membuat dirinya menjadi
lebih terlihat baik menurut persepsi dari si libido yang telah
diinvestasikan ke dalam diri ini .
Semua tindakan yang dilakukan Jekyll, seperti tindakan ekstrim
dari eksperimen-eksperimen yang berisiko fatal dan tidak sesuai aturan
pada zaman Victoria, dapat diobservasi menjurus pada satu hasrat
naluriah, yaitu naluri kehidupan. Naluri kehidupan bekerja agar Jekyll
dapat bertahan hidup dalam lingkungan sosialnya. Semua hal ini
juga bertujuan untuk meraih kesenangan, walaupun cara yang ditempuh
tidak harus menyenangkan (unpleasure). Salah satu ketidaksenangan
yang dialami oleh Jekyll yaitu pada saat dia melakukan percobaannya
untuk kali pertamanya “the most racking pangs succeeded: a grinding in
the bones, deadly nausea, and a horror of the spirit that cannot be
exceeded at the hour of birth or death.” Percobaan
yang menyakitkan ini anehnya justru membuat Jekyll merasa
seperti terlahir kembali; ia merasa dirinya lebih baik dari sebelumnya.
“There was something strange in my sensations, something indescribably
new and, from its very novelty, incredibly sweet. I felt younger, lighter,
happier in body; […], an unknown but not an innocent freedom of the
soul.”
Percobaan ektsrim menyakitkan itu pun akhirnya memunculkan
sosok lain dari diri Henry Jekyll, yaitu Mr. Edward Hyde.
“I saw for the first time the appearance of Edward Hyde.”
Edward Hyde yaitu sosok individu baru dari Henry Jekyll tetapi hanya
memiliki sisi gelap dari Jekyll. Pada awal keberhasilan dari
percobaannya ini terlihat bahwa cara pemisahan ini merupakan
salah satu cara agar Jekyll dapat merasakan kebebasan akan dirinya. Saat
menjadi Hyde, Jekyll dapat melakukan apa pun dan juga tetap dapat
mengikuti aturan dan norma saat dia berada di dalam tubuh Jekyll.
Namun, hal ini tidak dapat berlangsung lama. Keadaan berubah
setelah sekian banyak percobaan yang ia lakukan, yakni percobaan
bertukar memakai tubuh dengan Hyde. Biasanya, pertukaran ini
hanya dapat terjadi saat Jekyll meminum ramuan dari hasil racikan yang
dilakukannya di laboratorium. Namun kemudian, peristiwa yang tidak
seperti biasanya terjadi; suatu saat , Jekyll tidur dalam bentuk dirinya
tetapi terbangun dalam wujud Hyde. Keadaan ini menjelaskan bahwa
tokoh Hyde memiliki kuasa pada tubuh Jekyll, dimana kini ia dapat
berubah walaupun tanpa harus meminum ramuan terlebih dahulu.
“At the sight that met my eyes, my blood was changed into something
exquisitely thin and icy. Yes, I had gone to bed Henry Jekyll, I had
awakened Edward Hyde.”
Kuasa yang dimiliki Hyde dapat dilihat sebagaimana seharusnya
tujuan dari naluri kehidupan berkerja, yaitu untuk menghadirkan naluri
yang lainnya, naluri kematian. Pada saat suatu pencapaian dilakukan
maka unsur lain akan berkerja berputar menuju kearah sebelumnya,
kembali ke titik awal yaitu ketidak hadiran. Namun, jika ketidakhadiran
yang dimaksudkan yaitu kematian maka ketidakhadiran disini tidak
begitu saja terjadi. Menurut Tyson, cara yang lebih baik, serta lebih
akurat, untuk memahami hubungan kita dengan kematian yaitu dengan
memeriksanya dalam diri yaitu kaitannya dengan pengalaman psikologis
yang kita alami. Jika kita melakukan ini, kita akan melihat bahwa
kematian, khususnya ketakutan akan kematian, terkait erat dengan
sejumlah realitas psikologis lainnya. Dan kita menjadi takut untuk
mengalami kematian salah satunya sebab rasa fear of abandonment
yang tumbuh dalam diri kita sendiri
Rasa ketakuan akan ditinggalkan atau tidak dihiraukan merupakan
rasa yang pertama kali muncul dari sosok Jekyll. Hal ini tersirat
dari bagaimana ia ingin selalu untuk mempertahankan status sosial dan
apa yang sudah dia dapatkan saat ini sehingga ia merasa harus
melakukan sesuatu untuk tetap dihormati dan disegani oleh lingkungan
sekelilingnya. Pengalaman-pengalam yang menyenangkan selama hidup
dan karirnya membuatnya juga makin tidak ingin kehilangan apa yang
sudah diraihnya, sebab hal ini yaitu penggambaran dirinya yang
ideal. Kecintaan Jekyll akan dirinya secara berlebihan ini yang
membuatnya melakukan tindakan di luar batas kewajaran, keadaan
ini dikenal dengan sebutan narcissistic pathology. Narcissistic
pathology yaitu tindakan yang dapat menjurus pada penghancuran diri,
yang dapat mengambil tindakan seperti sadisme dan masokisme.
Tindakan sadisme dapat dilihat dari perilaku Edward Hyde,
dimana, dia selalu menimbulkan kengerian dari tindakan yang ia
lakukan, seperti tindakan menyiksa dan bahkan membunuh korbannya.
Para korban dari Hyde pun yaitu sosok-sosok yang tidak bersalah,
lemah dan tidak melakukan perlawanan terhadap dirinya. Seperti contoh,
anak perempuan dan Sir Danvers. Sadisme yaitu sebuah perbuatan
yang dirangsang hanya oleh yang tak berdaya, tidak pernah oleh mereka
yang memiliki kekuatan Ada dua konsep menurut
Fromm mengenai perbuatan sadis. Yang pertama yaitu fenomena dari
aktivitas seksual dan yang kedua yaitu sebagai keinginan untuk
menimbulkan rasa sakit, yang terlepas dari keterlibatan seksual apa pun
Deskripsi ini senada dengan kutipan pada saat Hyde
menyiksa Sir Danvers.
“Hyde drank ‘pleasure with bestial avidity from any degree of torture to
another’, ‘tast[ed] delight from every blow’ that he inflicts on the
unresisting body of Danvers Carew, and is later described as ‘strung to
the pitch of murder, lusting to inflict pain.”
Tindakan sadis yang dilakukan Hyde dapat dilihat sebagai luapan
emosi akibat tindakan yang dilakukan oleh Henry Jekyll yaitu tindakan
pemisahan kepribadian, atau dalam realitas ini memisahkan karakter
Hyde dari diri Jekyll. Pemisahan ini membuat fungsi menstabilkan
dalam tubuh menjadi tidak ada, lalu membuat keadaan tidak terkontrol,
sebagaimana tindakan kekerasan yang terus menerus dilakukan oleh
Hyde. Tindakan sadisme ini juga dapat diartikan sebagai
perwujudan naluri kematian, yang dirangsang akibat narsisisme yang
tinggi. Hal ini dijelaskan oleh Freud dengan mengatakan bahwa “sadism
is properly a death instinct which is driven apart from the ego by the
influence of the narcissistic libido, so that it becomes manifest only in
reference to the object.”
saat karakter dari Edward Hyde dilihat sebagai karakter yang
sadis, Henry Jekyll sebaliknya dilihat sebagai karakter yang memiliki
sifat masokisme. Walaupun banyak pernyataan dari Jekyll bahwa ia
merasa “horror of my other self” atau pun “still
hated and feared the thought of the brute that slept within me”
(Stevensen, 1886:68). Namun, hal itu tetap saja tidak membuatnya
berhenti untuk melakukan aksinya ini . “I began to be tortured with
throes and longings, as of Hyde struggling after freedom; and at last, in
an hour of moral weakness, I once again compounded and swallowed
the transforming draught.” (Stevenson 1886, 63). Tokoh Henry Jekyll
tetap kembali melakukan apa yang ia sebut menyakitkan dan
menakutkan ini walaupun ia mengetahui bahaya dan kemungkinan
yang terjadi saat dia mengambil tindakan ini . Sadisme dan
masokisme pada dasarnya memiliki keterkaitan satu sama lain walaupun
tindakan mereka terlihat berlawanan, tetapi kedua tindakan ini
sebenarnya yaitu dua sisi berbeda dari satu situasi mendasar ,Situasi mendasar pada konteks kajian ini yaitu
ketidakstabilan individu, Henry Jekyll, akibat pemisahan sifat yang ia
lakukan sendiri.
Kernberg menyatakan bahwa terdapat perilaku bunuh diri
yang merusak diri sendiri yang disebabkan oleh kepribadian narsis yang
parah. Dalam kasus ini, rasa kekalahan, kegagalan, penghinaan, dan
hilangnya kepercayaan diri seseorang dapat membawa tidak hanya
perasaan kekalahan, memalukan dan inferioritas yang dapat
menghancurkan diri, tetapi juga rasa penghargaan terhadap hidup yang
mereka miliki. Sehingga mereka memutuskan untuk mengambil tindakan
menghilangkan nyawanya sendiri. Tindakan ini sebagai pembuktian
bahwa mereka tidak takut sakit dan tidak takut mati. Sebaliknya,
kematian merupakan sebuah pengabaian yang elegan terhadap dunia dan
hidup yang mereka anggap sudah tidak berharga
Hal ini sepaham pada saat keadaan berbalik dan membuat Jekyll
kehilangan kontrol dalam dirinya, kontrol atas Hyde. Keadaan ini
membuat Jekyll merasa hidupnya sudah hancur, sudah kalah dan sudah
tidak bisa melakukan apa pun sehingga rasa untuk menyerah terhadap
kehidupan yang dia miliki pun muncul dan kematian merupakan sebuah
keputusan yang rasional bagi diri Henry Jekyll. Tyson menjelaskan
keadaan ini dengan gambaran bahwa, kematian bukanlah sesuatu
yang ditandai dengan kematian fisik, melainkan terlebih dahulu ada
kematian yang dialami oleh seorang secara psikis sehingga membuat
seseorang akhirnya memilih untuk mati . Lebih dalam lagi
dijabarkan oleh Henseler bahwa seseorang menginginkan kematian
dirinya akibat dari narsistik pada diri yang tidak sesuai dengan fantasi
khayalan dan harapan yang ia temukan di kenyataannya. Superego
menggerus unsur diri dalam si individu sehingga dia dengan suka rela
memilih untuk mengakhiri hidupnya
Pemahaman ini senada dengan usaha yang dilakukan Jekyll
tetapi belum berhasil. sebab usahanya belum juga berhasil, dirinya
kehilangan arah dan jatuh pada posisi dimana dia tidak memiliki arti bagi
dirinya, yang dapat dipahami dengan kematian psikis dari Henry Jekyll.
Pada saat kehilangan arti akan hidupnya, maka dengan begitu si tokoh
Jekyll dapat diartikan sudah tidak hidup, walaupun masih bernyawa. Hal
ini disebabkan sebab rasa dan nilai yang hilang berada di dalam diri dan
bukan di luar diri si tokoh.
Pergantian Jekyll menuju Hyde tanpa adanya perantara obat, serta
kesulitan Jekyll dalam meraih wujudnya sendiri, dapat dilihat bagaimana
karaker Jekyll seolah-olah menyerah kepada sosok Hyde, yang di mana
merupakan simbolisasi dari penyerahan naluri kehidupan kepada naluri
kematian.
“I have more than once observed that, in my second character, my
faculties seemed sharpened to a point and my spirits more tensely elastic;
thus it came about that, where Jekyll perhaps might have succumbed,
Hyde rose to the importance of the moment.” (Stevenson 1886, 68).
Dualisme antara naluri kehidupan dan kematian juga dapat terlihat
jelas pada penggambaran yang dilakukan oleh tokoh Jekyll dalam
kutipan berikut.
“And certainly the hate that now divided them was equal on each side.
With Jekyll, it was a thing of vital instinct. He had now seen the full
deformity of that creature that shared with him some of the phenomena of
consciousness, and was co-heir with him to death: and beyond these links
of community, which in themselves made the most poignant part of his
distress, he thought of Hyde, for all his energy of life, as of something not
only hellish but inorganic.” (Stevenson 1886, 69).
Pada bagian akhir, cerita ditutup dengan kematian secara fisik
yang dialami oleh Henry Jekyll.
“I am careless; this is my true hour of death, and what is to follow
concerns another than myself. Here then, as I lay down the pen and
proceed to seal up my confession, I bring the life of that unhappy Henry
Jekyll to an end.”
Pemikiran awal Freud yang selalu mengedepankan desire dan sex yang
bertujuan hanya melestarikan kehidupan di tentangnya sendiri dalam
BPP. Freud menyatakan bahwa naluri kehidupan yang bertujuan
melestarikan kehidupan juga memiliki fungsi sebagai stimulus untuk
menghidupkan naluri yang lain, yaitu naluri kematian. Naluri kematian
berfungsi untuk meniadakan kehidupan. Freud juga menyatakan bahwa
naluri kehidupan dan naluri kematian ini saling berjalan beriringan,
membentuk sebuah dualisme dengan menyatakan bahwa semua yang ada
berasal dari semua yang tidak ada sebelumnya.
Dalam melakukan pembacaan konsep dualisme antara naluri
kehidupan dan naluri kematian pada novel A Strange Case of Dr. Jekyll
and Mr. Hyde yang ditulis oleh Robert Louis Stevenson. Penggambaran
tokoh utama novel, Henry Jekyll, mengalami ketidakselarasan dirinya
dengan norma yang ada, sehingga ia merasa memiliki dualisme di dalam
dirinya. Keadaan ini disebabkan sebab Jekyll yaitu tokoh yang
memiliki latar belakang kelas sosial tinggi, terpandang dan dihormati
sehingga menimbulkan rasa cinta kepada diri yang tinggi yang juga
membuat rasa fear of abandonment, dalam dirinya juga menjadi semakin
besar. Perasaan ini pada akhirnya mendorong Jekyll melakukan
tindakan-tindakan yang di luar batas norma masyarakat yang ada untuk
mendapatkan kesenangan ini seperti conoth tindakan masokisme.
Disebab kan naluri kehidupan dan kematian berjalan beriringan,
rencana Henry Jekyll tidak mampu untuk terwujud. Hal ini bermula dari
ketidakmampuan tokoh Jekyll untuk mengendalikan sosok yang lain
dalam dirinya, Hyde. Situasi ini dalam pandangan Freud dapat
dikatakan sebagai dimulainya naluri kematian itu berjalan. Bekerjanya
naluri kematian ini dapat dilihat dari rusaknya fantasi diri yang
ideal yang Jekyll miliki sebab berbenturan dengan kenyataan dan
memicu dirinya mati secara psikis lebih dahulu. Henry Jekyll
kehilangan arti akan hidupnya, sehingga dalam akhir cerita kematian
secara psikis ini dilanjutkan dengan kematian secara fisik yang
dialami oleh Henry Jekyll.