Kamis, 22 Februari 2024

sastra kawi 2

 



aja.

kapunyan = kebaikan, ada dalam keadaan baik.

c. Menyatakan tempat/tempat kediaman.

kabinihajyan = tempat istri raja.

kasatryan = tempan kediaman kesatriya.

kahyangan = tempat dewa.

kaḍatwan = tempat kediaman raja (kadang-kadang juga 

berarti jabatan).

kadohan = tempat yang jauh, kejauhan.

kahanan = tempat berada.

d. Menyatakan arti yang hampir sama dengan bentuk pasif.

kālapan = terambilnya.

kaputêran = diputarnya.

kapanganan = termakannya.

Bahasa dan Sastra Kawi60

kālahan = terkalahkan.

kinumah = diminumnya.

kahêrêtan = terhambatnya.

kacaritan = diceriterakan.

kagawayan = diperbuatanya, apa yang diperbuat.

kapangguhan = ada , apa yang didapat.

kawarnan = ceritera, apa yang diceriterakan.

kapanasan = kepanasan, terkena panas.

3.16 Konfiks : ‘pa – (a) – n’

Sebuah kata dasar yang mendapat awalan ‘pa’ dan akhiran 

‘a(n)’, biasanya memiliki  arti : “tempat…atau kumpulan, 

keseluruhan” apa yang disebut pada kata dasar itu. Ada yang kata 

dasarnya diberi ‘nasal’ dan ada pula yang tidak diberi ‘nasal’. 

Keduanya tidak ada perbedaan arti, yaitu  sebagai berikut :

a. Yang memiliki  arti tempat :

payajñan (yajña) = tempat berkurban.

paburwan (buru) = tempat berburu.

paprangan(prang) = tempat berperang.

pahêthötan (hêthöt) = tempat bersembunyi.

panghwanan (nghwan) = tempat pengembala.

panangkilan (tangkil) = tempat menghadap.

panadahan (tadah) = tempat makan.

pagawayan (gaway) = tempat bekerja.

pametan (pet) = tempat mengambil.

pamintonan (pinton) = tempat pertunjukkan.

pangdonan (don) = tempat tujuan.

panginuman (inum) = tempat minum.

pagêlaran (gêlar) = tempat yangluas, bangsal.

pangigêlan (igêl) = tempat menari.

b. Yang memiliki  arti “kumpulan, keseluruhan” :

pasangkêpan (sangkêp) = perlengkapan, persiapan.

Bahasa dan Sastra Kawi 61

pakadangan (kadang) = hubungan saudara.

pakatonan (katon) semua yang dapat dilihat.

3.17 Konfiks : ‘a (ma) – an’

Kata dasar yang dibentuk dengan awalan ‘a (ma)’ dengan 

akhiran ‘an’, pada umumnya menyatakan : sifat yang agak 

berlebih – lebihan dalam arti : 

1.  Terus menerus.

2.  Sungguh – sungguh.

3.  Banyak.

Konfiks ‘a – (ma) – an’, dalam bahasa Indonesia dapat 

disamakan dengan imbuhan: ‘ber – an’. Contoh : 

magênturan = berdentuman.

madarawayan = bercucuran.

mahayunan = bergoyang – goyang. 

mawilêtan = berlilitan.

makabehan = kesemuanya.

maluwaran = selesai, bubar.

mahuwusan = habis, berhenti.

mararyan = berhenti, mengaso.

akarwan = berdua, bersama – sama. 

agarawalan = tergopoh – gopoh.

agulingan = bergulingan.

akudampêlan = berpautan.

atotohan = bertaruhan.

atêmahan = akhirnya menjadi. 

akisapwan = berpangkuan.

3.18 Konfiks : ‘in – an’.

Dalam hal ini konfiks atau akhiran ‘an’ hanya mengganti 

akhiran ‘i’ yang ada  dalam bentuk aktifnya. Contoh :

anakwani (aktif ) tinakwanan (pasif ) = ditanyai.

Bahasa dan Sastra Kawi62

mamêjahi (aktif ) pinêjahan (pasif ) = dibunuh.

anahuri (aktif ) sinahuran (pasif ) = dijawab.

dumêdêli (aktif ) dinêdêlan (pasif ) = diinjak-injak.

manghyasi (aktif ) hinyasan (pasif ) = dihiasi.

manunwi (aktif ) tinunwan (pasif ) = dibakar.

tumali (aktif) tinalyan (pasif ) = diikat.

mamati (aktif ) pinatyan(pasif ) = dibunuh.

manuruni (aktif ) tinurunan(pasif ) = dituruni.

tumangisi (aktif ) tinangisan (pasif ) = ditangisi.

mangliwati (aktif ) liniwatan (pasif ) = dilalui.

manganugrahani(aktif)inanugrahan (pasif ) = dianugrahi.

tumarima (aktif ) tinariman (pasif ) = diberi.

manglêpasi (aktif) linêpasan (pasif ) = dilepasi. 

Bahasa dan Sastra Kawi 63

BAB IV

KATA BILANGAN, KATA BERULANG, KATA 

MAJEMUK DAN PERTUKARAN BUNYI

4.1 Kata Bilangan Tentu

Dalam hal kata bilangan dalam bahasa Kawi dipakai juga 

kata bilangan bahasa Sanskerta. Ada dua macam kata bilangan, 

yaitu:kata bilangan tentu dan kata bilangan tak tentu.

1.  Kata bilangan tentu yaitu  sebagai berikut :

No Bahasa Kawi Bahasa Sanskerta

1. tunggal eka

2. rwa dwi

3. têlu tri

4. pat(patpat) catur

5. lima pañca

6. nêm sad

7. pitu sapta

8. wwalu aṣṭa

9. sanga nawa

10. sapuluh daśa

11. sawêlas ekadaśa

12. sawêlas dwadaśa

13. tigawêlas trayodaśa

14. patwêlas caturdaśa

15. limawêlas pañcadaśa

16. nêmwêlas sodaśa

17. pituwêlas saptadaśa

18. wwaluwêlas aṣṭadaśa

19. sangawêlas nawadaśa

20. rwangpuluh viṁśati

Untuk bilangan 20 sampai 29, disamping ada kata 

salikur (21), têlu likur (23) dan seterusnya, juga ada  

Bahasa dan Sastra Kawi64

kata rwang puluh tunggal (21), rwang puluh têlu (23) dan 

seterusnya, seperti cara dalam bahasa Indonesia. Mulai 30 

(tiga puluh), cara menghitungnya seperti bahasa Indonesia.

Adapun :  ratus dalam bahasa Kawi yaitu  : atus.

ribu dalam bahasa Kawi yaitu  : iwu.

Lakṣa dalam bahasa Kawi yaitu  : lakûa.

kêti dalam bahasa Kawi yaitu  : kêti, koti.

juta dalam bahasa Kawi yaitu  : yuta, ayuta.

Misalnya : Sangan yuta limang kêti têlung lakṣa sangang 

iwu limang atus nemang puluh = 9.539.560.

2. Jika kata bilangan itu dihubungkan dengan kata-kata yang 

menyatakan ukuran waktu, ruang, atau jumlah, maka kata 

bilangan itu mendapat tambahan “ng” dibelakangnya. namun  

kata tunggal berubah menjadi “sa” Contoh :

patang wêngi = empat malam.

limang wêngi = lima malam.

limang tahun = lima tahun.

nêmang ayuta = enam yuta.

wwalung dêpa = delapan dêpa.

têlung siki = tiga buah (ekor).

limang atus = lima ratus.

nêmang iwu = enam ribu.

salek = satu bulan.

satahun = satu tahun.

saawiji = satu biji, seekor.

Perkecualian :

Di muka kata-kata wêlas, likur, dan sànak, tidak pernah ada 

tambahan “ng”. Misalnya :

lima wêlas namun  ada lima puluh.

rwa sànak namun  ada rwang puluh.

têlu likur namun  ada têlung siki.

3. Kata bilangan dengan awalan ‘ka’. Jika awalan ‘ka’ ini 

ditambahkan pada kata bilangan, maka awalan ‘ka’ ini 

Bahasa dan Sastra Kawi 65

berarti : semua, bersama-sama, atau tingkatan. Misalnya :

katêlu  = ketiga- tiganya (semua atau yang ketiga/

tingkatan).

kapat = keempat-empatnya (semua atau yang keempat/

tingkatan).

kalima  = kelima-limanya (semua atau yang kelima/

tingkatan).

kapitu  = ketujuh- tujuhnya (semua atau yang ketujuh/

tingkatan).

4. Bilangan dengan awalan ‘pa’. Awalan ‘pa’, di muka kata 

bilangan sering kali menyatakan arti “bagian”, dan bentuk 

ini sering pula mendapat awalan ‘ma’ atau awalan ‘sa’. 

Misalnya :

mapasewu = menjadi seribu bagian.

maparwa = menjadi dua bagian.

saparwa = menjadi sebagian, separuh.

saparpatan = seperempat.

5.  Kata bilangan dengan awalan ping (pin). Awalan ping (pin) 

di muka kata bilangan menyatakan arti: mempergandakan. 

Misalnya :

pingrwa = dua kali.

pingtiga = tiga kali.

pisan = sekali.

pinglima = lima kali.

4.2 Kata Bilangan Tak Tentu

Bilangan tak tentu ini hanya dinyatakan dengan beberapa 

kata-kata saja misalnya: ‘pira’, ‘sapira’, ‘angkên’ atau ‘nangkên’ 

dan ‘asing’. Contoh : 

1. ’Pira’ ta lawas nira hana ngkā, katêkan ta sang brāhmana 

duhka bhāra = Setelah beberapa lamanya ada di sana 

tertimpalah sang brahmana itu oleh kesupaya n. 

2. ’Pirang’ warsa kunang lawas nirātêmu tangan, inakànak 

nira ta sang Citrānggada mwang Citrawirya = Maka setelah 

Bahasa dan Sastra Kawi66

beberapa tahun lamanya bersuami istri, beranalah mereka 

Citrānggada dan Citrawirya.

3. Tan ‘sapira’ lara ni nghulun pêjah saka ri pêjaha rahadya 

sanghulun mangke = Tak seberapa aku susah akan kematian 

(ku) jika dibandingkan kalau engkau sekarang mati.

4. Tan ‘sapira’ nggan ing harohara nirerikang anak = Tidak 

seberapa bingungnya karena anak.

5. ’Nangkên’ tahun sira mānak = Tiap tahun ia beranak.

6. Maweh ta janma ‘angkên ‘tahun tahada nikang ràkûasa pati 

= Tiap- tiap tahun (mereka itu) mamberikan manusia untuk 

mangsanya raja raksasa itu.

7. ’Asing’ wwang mara ngkāna pinanganya = Setiap orang 

yang datang ke sana di makannya. 

8. ’Asing’ manghilangakên kadhurgandhan ira yukti maka 

swamyanta = Barang siapa dapat menghilangkan bau yang 

busuk itu, tentu akan menjadi suamimu.

9. ’Sasing’sarwabhawa masukeng guhā, yatika tugêl mapasewu 

= Barang apa yang hendak masuk ke dalam gua, maka 

hancurlah (menjadi seribu bagian).

10. ’Asing’ ta molah ring alas ing Khandawawana mawe rêg 

tan uning paranya = Barang yang ada di hutan Khandawa 

gemparlah tak tahu ke mana perginya. 

4.3 Kata Berulang

Walaupun dalam bahasa Jawa Kuna di Parwa-Parwa 

macam dan coraknya belum sebanyak kata berulang bahasa 

Indonesia namun artinya yang terutama sama saja dengan 

kata berulang bahasa Indonesia ialah : menegaskan pengertian 

yang ternyata pada kata yang diulangi itu. Penegasan ini lalu 

dapat menunjuk : banyaknya, berkali-kali, kesangatan tindakan 

Bahasa dan Sastra Kawi 67

atau sifat. Dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa sekarang 

penegasan ini ada juga menyatakan heran dan pengakuan 

(meskipun) misalnya : kecil-kecil cabai rawit, hitam-hitam gula 

jawa.

Adapun arti kata berulang yang menunjuk keumuman, 

kesamaran, yang kemudian menjadi persamaan boleh juga 

dikembalikan ke banyak tadi.Adapun tentang pembentukannya : 

sering-sering bagian pertama kata berulang kehilangan bunyinya 

yang terakhir.

Wija-wijah, kêdi-kêdik, tungga-tunggal, liniku- linikuran, 

dan lain-lain. 

Kata berulang yang berganti suara semacam bolak-balik, 

jarang ada  dalam bahasa Jawa Kuna.

‘Dwipūrwa’ (perulangan suku pertama) hanya sedikit 

sekali seperti: ‘lilima, tatali’. Barangkali jabatannya ilaha untuk 

membuat umum atau samar, walaupun berbeda dengan bentuk 

yang tidak berulang. 

Kata berulang menyatakan sebagai berikut :

1. Banyak :

Rug ‘kayu-kayunya’…. (apuy) ... gumêsêng ing ‘alas-

alasnya’ = Roboh pohon-pohonnya ..., api ... membakar 

hutan-hutannya.

Katon tikang nāga kasungsang kawalik ‘masulung- 

sulung’, tibeng kuṇḍa, kadi ‘larwa-larwan’ tumon dilah 

ning dīpta kāla ning rātri = Tampak naga tunggang 

terbalik seperti kelekatu jatuh ke tempayan pengorbanan 

selaku laron yang melihat api pada malam hari.

2. Bermacam – macam :

Atiśaya nghel ni nghulun, ibu, denya n wêgig maparan 

-paran = Saya amat jemu, ibu, amat sukar mreka itu 

karena menjalar ke mana - mana. (Kata Garuda kepada 

ibunya, ia harus menjaga naga - naga).

Bahasa dan Sastra Kawi68

Sinêgêh-sinêgêhan ta sira de sang maharsi = Ia disuguh 

- suguhi (diberi bermacam - macam sajian) oleh maharsi.

3. Perulangan; berkali – kali ; masing - masing :

Mahêm sira sore, ring prabhatakāla mêntas ‘muwah 

muwah’ sira mangkana = Malam hari ia duduk di dalam 

air, dinihari keluarlah ia, dan demikianlah berkali - kali.

Ya ta gilir ‘salawang-salawang’ = berganti-ganti pintu 

ke pintu.

Ikā tānak nira kalima. Ya tikahêlêt ‘satahun-satahun’ 

sake wwang sānaknya ‘sowang-sowang’ = Itulah anak 

-anak orang kelima itu. Antara saudara itu masing- 

masing yaitu  setahun.

4. Kesamaran, kaumuman, barang :

Lumampah ta sirā ‘buru-buru’, ry alas nikang 

Himawānpada nānāwidha mṛga uluh nirāburu = Ia 

berangkat untuk berburu di hutan pada kaki gunung 

Himalaya, banyaklah binatang yang diperolehnya 

(karena berburu itu). (“aburu- buru” agak umum, dalam 

bahasa Indonesia “berburu-buru” tak ada, namun  sifat kata 

berulang ini nyata juga, bandingkan dengan melihat-

lihat).

Ya tikā alapên panêbusantê ibunta, narapwan ibunta 

marya ‘hulun-hulun’ = Carilah itu untuk penebus ibumu 

kepada kami, supaya   ibumu tak usah mengabdi - abdi.

Hana ta kārya mami ‘kêdi-kêdik’ = yaitu  barang 

pekerjaan sedikit-sedikit bagimu.

5. Persamaan :

Molah ‘tanak-anak’ ing mata nira = Bergerak –geraklah 

orang-orangan matanya.

Dumudut i sang āsuki kangkên’tali-tali’ ning 

Mandarācala = Mereka itu menarik Basuki yang seolah-

olah menjadi tali gunung Mandara.

Bahasa dan Sastra Kawi 69

’Wêka- wêka’ sang Kuru = Keturunan Kuru (dikatakan 

kepada Parikêsit yang bukan anak Kuru, melainkan 

keturunannya saja).

Lêbu mêlêk de nya ‘angin-angin’ i hêlar sang Garuda = 

Debu membubung ke atas karena angin sayap Garuda.

6. Kesangatan :

’Gila-gila’ tumon i rowangnya pinangan = Takut - takut 

ia melihat kawan-kawannya di makan.

Kāri ta mahārāja Drupada ‘tungga-tunggal’= Tinggalah 

raja drupada seorang diri saja.

 Pada kalimat penyuruh atau larangan :

Haywa ‘sowe- sowe’ patyani juga usên = Jangan lama - 

lama bunuhlah segera.

Pasuk ‘śighra- śighra’ = Masuklah lekas-lekas.

 Sering kali kata tambah berbentuk -’a (ma)....-an’ 

dipersangat, Contoh :

Ndi ta paran mpungku matangnyan ‘agyāgyan’ têkap 

rahadyan sanghulun lumaku = Kemanakah pergi tuan 

hamba, maka berjalan amat tergesa – gesa.

Tan dadi nghulun ‘maguywa-guywa’ tuwi = Tak patutlah 

saya bergurau - gurauan.

Rwa wêlas tahun lawas tamolah ing alas, ‘masukha – 

sukha’ lawan sang Tapati = Dua belas tahun lamanya ia 

tinggal di hutan bersuka-sukaan dengan Tapati.

Umiṇḍuhur ta ya rambutnyawyang ‘awêrut- wêrutan’ = 

Seramlah rambutnya, kusut masai kemerah – merahan.

Kata berulang dapat juga diberi awalan ka menjadi kata 

tambah; “ka”- ini yang banyak mengandung arti kausatif. 

Contoh : 

’Kalunghā-lunghā’ ta laku nira = Makin menjauhlah 

jalannya (makin lama makin jauh ia berjalan) 

Bahasa dan Sastra Kawi70

Madêg ta sira tumonton ri rùpa nikang ràkûasa, ‘kagiri 

- giri’ bhayānaka = Berdirilah ia melihat raksasa, amat 

sangat menakutkan rupanya.

Māti ta sira, nda tan hilang rūpa nira, mangkin ‘konêng 

- onêng’ tininghalan = Matilah ia tak lenyap-lenyap 

kecantikannya, makin merindukan kelihatannya.

Lain dari pada itu masih ada juga ‘konang-unang’, 

‘konang-onang’ dan ‘konêng-unêng’, ada  sebagai 

kata sebut. Contoh :

Bhinukti nira ramya ning sarwa kusuma mwang ‘konang-

unang’ ning lwah Yamunā = Dirasainya kecantikan 

bunga-bunga serta kaindahan sungai Yamuna.

Sering-sering kata ini  agaknya berubah menjadi kata 

tambah karena diulangi belaka, Contoh:

Hulun-hulun di samping mahulun: mengabdi, menjadi 

budak.

Kata berulang (lebih-lebih kata dwipūrwa) dalam bahasa 

Jawa sekarang ada yang berarti kausatif, misalnya : ‘ngengêl – 

engêl’, ‘mbebingung’, ‘ndedawa’. Hal ini ada  juga dalam 

contoh - contoh di bawah ini :

Apa matangnyan yan ‘pamuta-muta’ = Apakah sebabnya 

maka tuan membuta itu (membuat buta) diri sendiri.

Sangke ‘pamêdi-mêdi’ nira =Karena hendak menakutkan 

dia.

4.4 Kata Majemuk 

Kata majemuk merupakan gabungan dua kata tunggal atau 

lebih yang penggabungannya sudah sedemikian rupa sehingga 

menciptakan satu arti baru. 

Bahasa dan Sastra Kawi 71

4.4.1 Ciri – ciri Kata Majemuk 

1.  Ciri arti ; 

 Pada ciri arti kata majemuk tidak memperlihatkan lagi arti 

masing-masing unsurnya. Kata majemuk memiliki satu arti 

dan merupakan kesatuan arti yang bulat. Contoh : ‘dana 

punya’ (derma atau sumbangan).

2. Ciri konstruksi ; 

 Jika kata majemuk mendapat imbuhan, maka imbuhan 

ini  dibubuhkan pada awal unsur kata majemuk (kata 

pertama) atau paling akhir pada unsur kata yang terakhir. 

Demikian pula jika mendapat konfiks (imbuhan gabungan) 

maka ia merupakan satu kata yang susunan unsur tidak 

dapat dibalik.Contoh:’jananuraga’(simpatik),jika mendapat 

konfiks ‘ka-an’ maka menjadi ‘kajananuragan’ (tentang 

simpati).

3.  Ciri unsurnya ; 

 Kata majemuk antara unsur-unsurnya tidak dapat disisipkan 

sebuah morfem lain, antara unsur-unsurnya tidak dapat 

dipisahkan. Contoh : ‘rama rena’ (kedua orang tua).

4. Ciri tekanan.

 Tekanan kata majemuk selalu jatuh pada suku terakhir dari 

unsur yang terakhir pula. Contoh : priya hita (ramah tamah).

 Pada kata majemuk ini tekanan jatuh pada suku terakhir dari 

unsur yang kedua yaitu suku ‘ta’ pada kata ‘hita’ dan bukan 

pada suku terakhir pada unsur yang pertama (ya pada kata 

priya).

4.4.2 Macam-macam Kata Majemuk

berdasar  sifatnya kata majemuk dibedakan menjadi 

dua yaitu : kata majemuk endosentris dan kata majemuk 

eksosentris. Kata majemuk endosentris yaitu  kata majemuk 

yang distribusinya sama dengan salah satu atau semua unsurnya. 

Bahasa dan Sastra Kawi72

Contoh : ‘jatugreha’ (rumah damar) dan lain – lain. Kata 

majemuk eksosentris yaitu  kata majemuk yang salah satu 

unsurnya tidak dapat menggantikan seluruh unsurnya. Contoh : 

‘priya hita’ (ramah). 

Dilihat dari strukturnya kata majemuk dapat dibedakan 

menjadi dua macam yaitu : kata majemuk setara dan kata 

majemuk yang tidak setara. 

1. Kata majemuk setara;

 Kata majemuk setara yaitu  kata majemuk yang unsur – 

unsurnya tidak saling menerangkan namun  berkedudukan 

setara. Contoh : 

 bapebu = bapa + ibu (ibu bapak).

 jatukarma = jatu + karma (jodoh).

 wahyādhyatmika = wahya + adhyatmika (jasmani rohani).

2. Kata majemuk yang tidak setara;

 Kata majemuk tidak setara yaitu  kata majemuk yang salah 

satu unsurnya menerangkan unsur lain. Contoh : 

 dewa putra (putra dewa).

 yama brata (nama sumpah).

 jatugreha (nama rumah).

 kurukṣetra (nama lapangan).

Catatan :

 Kata majemuk dalam bahasa Kawi ada yang berstruktur 

asli Kawi yang menuruti ketentuan hukum DM 

(diterangkan,menerangkan) mendahului yang diterangkan.

4.4.3 Arti Kata Majemuk :

1.  Menyatakan arti kumpulan dari kedua unsurnya : Contoh: 

bapebu (ibu bapak), punya pāpa (baik buruk), surapsari 

(dewa bidadari), dan lain-lain.

2. Menyatakan pengertian mengeraskan. Contoh : wêlas arêp 

Bahasa dan Sastra Kawi 73

(belas kasihan), priya hita (sopan santun), suka trêpti (suka 

dan puas), dan lain -lain.

3. Menyatakan pembalas arti. Dalam hal ini unsur yang kedua 

membatasi arti atau memberi penjelasan unsur yang pertama. 

Contoh : suranggana (bidadari), suraraja (raja dewa), anak 

hyang (anak dewa), dan lain- lain.

4.5 Pertukaran Bunyi

Di masa sekarang banyak kata - kata dari bahasa Jawa 

Kuna menjadi kata-kata bahasa Jawa sekarang. namun 

meskipun berubah suaranya banyak yang masih tetap suaranya. 

Untuk perbandingan di bawah ini di berikan beberapa contoh :

No Bunyi Berubah menjadi : Contoh :

1. ‘r' ‘d’

ri

ron

aran

pari

ari

rara

menjadi

menjadi

menjadi

menjadi

menjadi 

menjadi

di

don

adan

padi

adi 

dara,dll.

2. ‘r’ hilang

hari

turi

duri

darat

pari

pêrêh

menjadi

menjadi

menjadi 

menjadi

menjadi

menjadi

hai

tui

dui

daat

pai

pêêh,dll.

3. ‘w’ ‘b'

watu

wwat

wangke

waringin

wiji

menjadi

menjadi

menjadi

menjadi

menjadi

batu

bwat

bangke

beringin

biji,dll.

Bahasa dan Sastra Kawi74

4. ‘u’ ‘i’

sungguh

lungguh

pangguh

menjadi

menjadi

menjadi

singgih

linggih

panggih

5. ‘wa’ ‘o’

kwan

wwang

rwan

lwang

karwa

lwa

bwat

kulwan

menjadi

menjadi

menjadi 

menjadi

menjadi

menjadi 

menjadi

menjadi

kon

wong

ron

long

karo

lo

bot

kulon,dll.

6. ‘r’ ‘h’ nyiurikur

menjadi

menjadi

nyuh

ikuh,dll.

Bahasa dan Sastra Kawi 75

BAB V

KALIMAT BAHASA JAWA KUNA

5.1 Pengertian

Bahasa terdiri dari dua unsur ialah bentuk dan arti yang 

dinyatakan oleh bentuk itu sendiri. Bentuk bahasa terdiri dari 

satuan-satuan yang disebut satuan gramatik. Satuan-satuan 

bahasa ini  ialah : wacana, klausa, frase, kata dan morfem. 

Kalimat dalam bahasa Jawa Kuna ada yang terdiri dari satu kata, 

misalnya : ‘ih’, ada yang terdiri dari dua kata misalnya : ‘sang 

resi’, demikian pula selanjutnya. Kalimat dalam suatu bahasa 

sesungguhnya bukan ditentukan oleh banyaknya kata yang 

menjadi unsurnya,melainkan intonasinya. Dengan demikian 

yang dimaksud dengan kalimat ialah bentu linguistik yang 

diakhiri oleh intonasi final atau intonasi akhir selesai. Beberapa 

contoh kalimat bahasa Jawa Kuna dari teks Àdiparwa :

”Hana ta sang Daśabala ngaranya, parnah wadwa de 

maharaja Basuparicara, hulun juru tambangan maparahu 

gantinya”, artinya ada seseorang bernama Daśabala dalam 

kekuasaan raja Basuparicara menjadi juru tambangan, 

menyeberangkan orang dengan perahu, itulah tugasnya.

”Mangkana ling sang prabhu, sumahur sang tapi sira”, 

artinya demikian kata sang prabhu, katakanlah sewajarnya 

olehmu kepada ku.

”Mojar ta sang swami sira kabeh”, artinya berkatalah semua 

pendeta menyambut.

”Katon pwa sirahayu”, artinya terlihatlah wajah yang molek.

Dari bentuk-bentuk kalimat di atas masing-masing 

memiliki  bentuk linguistik yang memiliki  intonasi akhir. 

Bahasa dan Sastra Kawi76

Bentuk-bentuk di atas ada yang terdiri dari banyak kata dan 

ada pula yang terdiri dari tiga kata, namun masing-

masing memiliki  intonasi akhir. Bentuk yang 

semacam inilah yang disebut dengan kalimat.

5.2 Macam-macam Kalimat Bahasa Jawa Kuna 

berdasar  intonasi dan banyaknya klausa yang 

menjadi unsur kalimat itu, maka kalimat bahasa Jawa 

Kuna dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu : kalimat 

berita, kalimat perintah dan kalimat tanya.

1. Kalimat Berita;

Kalimat berita yaitu  kalimat yang berfungsi untuk 

memberitahukan atau menyampaikan sesuatu berita 

kepada orang lain. Contoh :

”Hana sira ratu sang Mahabhima ngaranira” = 

ada seorang raja Mahabhima namanya.

2. Kalimat Perintah;

 Kalimat perintah yaitu  kalimat yang 

mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan 

setelah disampaikan dari orang yang diajak bicara. 

Contoh : 

 “Mangkana pawêkas sang Sawitri ri sira” = 

Demikianlah pesan sang Sawitri kepadanya.

3. Kalimat Tanya.

 Kalimat tanya yaitu  kalimat yang umumnya 

berfungsi untuk menanyakan sesuatu. Intonasi 

kalimat tanya berbeda dengan kalimat berita maupun 

Bahasa dan Sastra Kawi 77

kalimat perintah. Kalimat berita berintonasi akhir 

turun sedangkan kalimat tanya berintonasi akhir naik. 

Contoh : 

 “Apa don mu datêng marangke” ? = Apa tujuanmu datang 

kemari ?.

berdasar  banyaknya klausa yang menjadi unsurnya, 

kalimat dalam bahasa Jawa Kuna dikelompokkan menjadi tiga 

macam yaitu : kalimat tunggal, kalimat majemuk dan kalimat 

minor.

1. Kalimat Tunggal

 Kalimat tunggal yaitu  merupakan kalimat yang sederhana 

terdiri atas satu klause.Contoh : “Sumahur sang Jaratkaru” 

= Menjawab sang Jaratkaru.

2.  Kalimat Majemuk

 Kalimat majemuk yaitu  kalimat yang terdiri dari dua klausa 

atau lebih. Kalimat majemuk dapat dibedakan menjadi dua 

macam yaitu : kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk 

tak setara.

a. Kalimat majemuk setara yaitu  : kalimat yang salah satu 

klausanya tidak merupakan bagian dari klausa lainnya. 

Masing - masing klausa berdiri sendiri sebagai sebagai 

klausa yang setara. Contoh : malit ahirêng, abang 

matanya = kecil hitam (badannya), merah matanya.

b. Kalimat majemuk tidak setara yaitu : kalimat majemuk 

tidak setara yaitu  kalimat majemuk yang antara 

klausanya merupakan bagian dari klausa yang lainnya. 

Jadi salah satu klausanya merupakan inti sedang klausa 

lainnya bukan inti. Contoh : “Huwus pwa siddhi mantra, 

Bahasa dan Sastra Kawi78

mahas ta sireng sarwaloka” = sesudah ia tamat akan 

segala mantra, ia diperbolehkan memasuki segala 

tempat.

3.  Kalimat Minor

 Kalimat minor yaitu  kalimat yang terdiri atas satu kata atau 

satu frase namun  tidak memenuhi struktur frase. Contoh : ‘Ih’ 

= Hai.

Bahasa dan Sastra Kawi 79

BAB VI

MEMBACA KARYA SASTRA

PROSA DAN PUISI JAWA KUNA

6.1 Membaca Karya Sastra Prosa

Dalam pelajaran bahasa Kawi kita jumpai dua bentuk 

karya sastra,yaitu bentuk prosa atau gancaran dan bentuk puisi 

atau tembang, yang masing-masing memiliki  cara-cara 

tersendiri dalam hal membacanya. Dalam mebaca prosa ada dua 

cara yaitu :

6.1.1 Membaca phalering 

Kata phalering berasal dari dua kata yaitu : phala (buah) 

dan iring (ikut, serta) lalu disaṁdikan. Jadi menurut hemat 

kami kata phalering, ialah membaca secara beriring-iring atau 

berturutan dengan suara yang hampir sama.

Membaca phalering yaitu  membaca biasa dengan 

intonasi (tekanan) yang monoton artinya membaca biasa atau 

hampir senada. Dalam membaca phalering yang penting 

diperhatikan yaitu  tanda baca, penggalan-penggalan kalimat 

sesuai dengan “guru bhasa”. Guru bhasa yaitu  penggalan- 

penggalan kalimat yang akan diterjemahkan dan mengandung 

pengertian yang memadai. Biasanya tiap-tiap pemenggalan atau 

koma, pembacaan atau suara kita agak naik sedangkan dalam 

tanda titik agak menurun.

6.1.2 Membaca palawakya 

Membaca palawakya yaitu  membaca yang penuh 

mempergunakan ketentuan-ketentuan intonasi, sebagai nada, 

tekanan, perhentian, dan lain-lainnya. Jadi keras lembutnya 

suara, panjang pendeknya suara dan tinggi rendahnya suara 

betul-betul memegang peranan dalam membaca palawakya. 

Kalau kita mendengarkan orang membaca palawakya, kira- kira 

Bahasa dan Sastra Kawi80

tidak jauh dengan orang yang berdeklamasi, walaupun gaya 

dan toonnya agak berbeda. Untuk dapat membaca phalawakya 

dengan baik, tepat dan benar, ada beberapa syarat harud dikuasai 

diantaranya: 

1. Mahir dan dapat mengetahui mengenai notasi – notasi yang 

berlaku dalam abjad bahasa Kawi, misalnya : 

a. Akṣara Wyañjana : ñ - dibaca ny.

  ç - dibaca ś. 

b. Akṣara suara : ā, ī, ū, - dibaca dirgha (panjang)

 ê - dibaca e pêpêt.

 ö - dibaca ê.

2. Mengetahui tentang syarat guru laghu, maksudnya suku 

kata mana harus baca agak panjang dan yang mana dibaca 

pendek atau biasa. Guru artinya suara berat, panjang, dan 

laghu berarti suara ringan, pendek. 

3. Pemenggalan- pemenggalan kalimat harus tepat dan benar. 

Untuk dapat memenggal kalimat dengan tepat dan benar kita 

harus paham akan arti kata- kata yang ada  dalam bacaan 

ini , (guru bhasa).

4. Dalam setiap pemenggalan atau pada suku kata terakhir 

biasanya suara itu dipanjangkan.

5. Yang tidak kalah pentingnya ialah cara melafalkan atau 

melagukan kalimat-kalimat ini , sehingga enak didengar 

dan gampang ditangkap.

Phalawākya berasal dari kata ‘phala’ artinya buah dan 

‘wākya’ yang berasal dari kata wāk yang berarti suara atau 

ucapan. Pengertian yang lain palawakya berasal dari kata para 

dan wākya, ‘para’ berarti lain, mulia, luhur, utama, dan ‘wākya’ 

berasal dari kata ‘vāk’ berarti suara atau ucapan. Jadi palawākya 

berarti hasil ucapan, yaitu ucapan-ucapan dari seseorang yang 

dipandang lebih tinggi (luhur, utama, mulia) serta mengandung 

Bahasa dan Sastra Kawi 81

suatu petuah atau ajaran-ajaran yang berguna bagi kita. Naskah 

yang biasa dibaca dengan phalawākya misalnya naskah-naskah 

yang berbentuk prosa atau parwa atau gancaran, seperti : 

Adiparwa, Putru, dan naskah-naskah parwa lainnya.

Kakawin mengambil bentuk terikat dan isinya bersifat 

perasan, maka parwa yaitu  karya sastra beberan yang 

jika dibacakan kalimatnya diberi tekanan sedemikian rupa 

pada bagian-bagian tertentu yang disebut phalawakya. P.J. 

Zoetmulder mengatakan bahwa parwa-parwa merupakan proses 

yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam bahasa sanskerta 

dan menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan 

dari karya asli dalam bahasa sanskerta, kutipan-kutipan ini  

di seluruh teks parwa itu. Diadaptasi artinya disadur. Para Kawi 

Jawa Kuna berusaha membahasa Jawakan karya sanskerta, 

khususnya epos Mahābhārata dan Rāmāyana. Dalam rangka ini 

pengarang sering mengutip kata, kalimat atau śloka. Kalimat-

kalimat bahasa Kawi yang mengikutinya biasanya merupakan 

transliterasi (alih bahasa) kutipan itu.

Karya sastra prosa (parwa), jika ditinjau dari struktur dan 

isinya dapat digolongkan dalam jenis prosa naratif (kisahan) 

yang strukturnya sederhana, jernih dan teratur. Sang Kawi 

padaumumnya amat pandai menceritakan suatu peristiwa 

dengan gaya yang hidup serta lancar.

6.2 Membaca Karya Sastra Puisi

berdasar  bahasa yang dipakai  dalam puisi, ada 

dua bentuk puisi yaitu puisi berbahasa Kawi yang berupa bentuk 

wirama (kakawin) dan puisi yang bernahasa Sanskerta, yang 

berupa bentuk śloka. 

Menurut sejarah tembang-tembang yang tercantum dalam 

pengantar Puisi Jawa oleh Soesatyo Darmawi dinyatakan : bahwa 

orang-orang India yang datang ke Indonesia, mempengaruhi 

kebudayaan Indonesia terutama Jawa dan Bali. Dalam 

kesusastraanpun pengaruhnya sangat besar. Banyak hasil-hasil 

Bahasa dan Sastra Kawi82

kesusastraan India Kuna diterjemahkan, disadur ke dalam bahasa 

Jawa Kuna. Dengan ini maka kesusastraan Jawa Kuna mulai 

lahir. Puisi India Kunapun masuk dalam kehidupan kesusastraan 

Jawa. Oleh karena bahasa Sanskerta itu memiliki  vokal 

panjang maupun pendek, sedangkan bahasa Jawa sebagaimana 

bahasa-bahasa lain di Indonesia tidak mengenal bentuk itu, 

maka pujangga-pujangga Jawa berusaha menirunya terutama 

dalam hal mengarang sanjak-sanjak yang disebut sekar agung 

atau kakawin, sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku bagi 

sajak- sajak úloka India. Selaku pegangan dikaranglah sebuah 

buku yang bernama Wrêttasañcaya oleh Mpu Tanakung pada 

abad XII Masehi, yang memuat skema, dan macam- macam, 

serta persyaratan tembang-tembang bersama dengan guru dan 

laghunya.

6.2.1 Membaca Puisi Jawa Kuna

Istilah membaca puisi Jawa Kuna atau Kawi ini kami 

tekankan pada tembang, yaitu tembang-tembang sekar agung 

atau kakawin atau wirama. Mengenai jenis-jenis tembang cukup 

banyak dan memiliki  variasi sendiri-sendiri tentang guru 

laghunya. Syarat-syarat secara umum dapat kami kemukakan 

sebagai berikut :

1. Tiap-tiap bait umumnya terdiri dari empat baris kalimat.

2. Tiap-tiap baris jumlah suku katanya tetap sesuai dengan 

ketentuan yang ditetapkan dalam nyanyian itu masing- 

masing.

3. Memakai guru laghu yang syaratnya juga sesuai dengan 

ketentuan yang ada pada nyanyian itu masing- masing.

4. Suku kata yang terakhir boleh guru boleh juga laghu.

1) Guru Laghu 

Pemahaman guru lagu merupakan modal dasar bagi si 

pembaca (pengewacen) di dalam kegiatan mabebasan sedangkan 

Bahasa dan Sastra Kawi 83

penerjemah dituntut penguasaan dalam hal bahasa teks yaitu 

bahasa Jawa Kuna. Baik buruk dan berhasil tidaknya pembaca 

(pangawacen) dalam melagukan Kakawin tergantung kepada 

pemahaman dan penguasaan dalam bidang guru laghu, disamping 

suara dan vokal yang cukup baik. Bila seseorang pembaca 

(pengewacen) kurang penguasaannya terhadap guru laghu, 

pasti akan banyak melakukan kesalahan berupa pelanggaran 

guru laghu. Pelanggaran terhadap guru laghu disebut dengan 

memurug. Guru laghu merupakan pola dasar pembentukan puisi 

Jawa Kuna atau Kakawin. Beberapa hal penting yang harus 

diketahui dalam pemahaman dan penguasaan terhadap guru 

laghu yaitu  sebagai berikut:

1)  Guru ditulis dengan garis melintang (-), guru berarti berat, 

panjang, berliku-liku. Tempo suara guru pada satu suku 

kata kalau dihitung dalam perasaan ketukan lambat yaitu  

minimal tiga ketukan.Wanda atau suku kata-suku kata yang 

sepatutnya mendapat nilai guru ialah :

1. Semua aksara suara dirgha (panjang) yaitu :

Nama Bentuk Contoh Latin

Tĕdong o ā rog, rāga

Ulu sari I ī d(uxIti, durṇīti

Suku ilut .. U ū ]Ur, śūra

Taleng E e ekÙ;, kweh

Taleng- tedong EO o erog, roga

Bahasa dan Sastra Kawi84

Pêpêt- têdong o) ö Ï\)on/, rêngön

Cakra 

mêsurang-

têdong Êo rö/æ - -

Gantungan 

lê-mêpêpt-

mêtêdong ÞO í/lö - -

Suara angkêp 

“ai” E ai E dtê daitya

Suara angkêp 

“au” E O au E ho[a auṣadha

2. Semua suku kata yang bertekanan (matêngênan) yakni 

suku kata yang memakai tanda seperti :

Nama Bentuk Contoh Latin

Bisah ; ḥ p)j;, pêjah

Surang ( p(t, parta

Cêcêk * s*, sang

Adêg-adêg / tn/, tan

Bahasa dan Sastra Kawi 85

3. Semua suku kata yang ngarepin (menghadapi) :

Nama Bentuk Contoh Latin

Dwita (aksara 

rangkap) útætÓi, budÒi , útætÓi,  budÒi , utpatti, buddhi

Di depan Suku 

kembung  Ù rk Ù , rakwa

Nania  ê stêwti, satyawati

Di depan Cakra  É k×tÉiy , kṣatriya

2)  Laghu umumnya ditulis dengan tanda lengkung ( ‚  ) atau 

setengah bulatan dan ada juga memakai bulatan penuh (0) 

Laghu artinya ringan, pendek, kencang. Tempo suara lagu 

pada suku kata kalau dihitung dalam perasaan yaitu  satu 

ketukan biasa/lambat. Wanda atau suku kata yang sepatutnya 

mendapat nilai laghu ialah wanda yang memakai aksara 

suara pendek (hrêswa) dan suku kata yang lagena, artinya 

suku kata yan tidak memakai sandangan. Dalam akṣara Bali 

yang menandakan mengandung laghu, suara pendek yaitu  

yaitu  semua akûara Danti dan akûara Murddha yang polos, 

yang tidak memakai sandangan (pakaian). Akṣara Danti 

ini  yaitu  sebagai berikut ini. 

h, n, c, rÉ, k, d, t, s, w,

ha na ca ra ka da ta sa wa

l, m, g, b, \, p, j, y, z,

la ma ga ba nga pa ja ya nya

Bahasa dan Sastra Kawi86

Akṣara Murddha yaitu: 

Nama Akṣara

na rambat x, ṇa

gantungan ca laca ; cha È, cha

ra repa Ï, ṛ

guwung repa Ô

da madhu a dha

ta tawa q

ta latik `

sa saga ]

sa sapa [

lelenga 2

gaghora

F

bekembang

V

pekapal 8

Bahasa dan Sastra Kawi 87

Akṣara yang memakai sandangan (penganngge swara) berupa : 

iulu bersuara ‘i’

Usuku bersuara ‘u’

)pêpet bersuara ‘ê’

Demikian juga akṣara yang memakai : 

kÉ maguwung memakai guwung

dê mananya memakai nanya

kÙ masuku kembung memakai suku kembung

Semua akṣara ini  di atas termasuk laghu, bersuara 

pendek (I.G.B. Sugriwa, 1978).

Perhitungan guru laghu dalam satu baris kakawin juga 

ditentukan oleh pengelompokan suku kata. Pengelompokan 

ini terdiri dari tiga-tiga suku kata yang disebut gana. Dengan 

penyusunan kelompok ini akan terlihat bentuk metrum dari 

sebuah kakawin. Untuk lebih jelasnya tentang gana, maka 

penulis merujuk isi lontar Candhakarana sebagai berikut : 

“Purwwa nihan ma-kara ngaraning guru tiga sagama,

laghu kunang panendhasaning hungguhi ya-kara gana,

yapwan ikang ra-kara gana laghu madhudhuki tengah,

hetunikang sa-kara gana matwanga guru wekasan.

Wruh pwa kita ta-kara ngaraning laghu tepi kawuri,

jatinikang ja-kara gana mangkana guru ring tengah,

Bahasa dan Sastra Kawi88

bhakti juga ng bha-kara gana ring guru sira rumuhun,

na-kara gana telwa madulur tika ya laghu pada”. 

Arti bebasnya, yang disebut dengan: 

ma-kara gana, bentuk komposisinya : 

guru-guru-guru =/- - -/

ya-kara gana, komposisinya : 

laghu-guru-guru =/u - -/

ra-kara gana, komposisinya : 

guru-laghu-guru =/- u -/

sa-kara gana, komposisinya : 

laghu-laghu-guru =/u u -/

ta-kara gana, komposisinya : 

guru-guru-laghu =/- - u /

ja-kara gana, komposisinya : 

laghu-guru-laghu =/u - u /

bha-kara gana, komposisinya : 

guru-laghu-laghu =/- u u /

na-kara gana, komposisinya : 

laghu-laghu-laghu =/u u u/

Untuk mudah dapat mengingatnya gana ini  dapat 

disusun sebagai berikut :

Ya gana/u - -/  

Ta gana/- - u /  

Ra gana/- u - /  

Ma gana/- - - /

Bha gana/- u u /  

Ja gana/u - u /

Sa gana/u u - /

Na gana/u u u /

Dari perhitungan kelompok tiga-tiga suku kata dalam satu 

baris kakawin, apabila masih tersisa satu suku kata yang terakhir 

biasa ditandai dengan/u /. Suku kata terakhir ini dapat dibaca 

Bahasa dan Sastra Kawi 89

sebagai guru dan dapat juga sebagai laghu. Kalu sisa terakhirnya 

dua suku kata, yang pertama guru/-/ini disebut “ga kara”, yang 

terakhir laghu/u/disebut “la kara”. 

Dalam tradisi Mabebasan di Bali istilah guru dibedakan 

menjadi : guru hrêswa, guru dirgha guru pluta, guru bhasa dan 

guru lambuk.

1) Guru Hrêswa 

Guru hrêswa yaitu  guru pendek. Maksudnya yaitu  

seorang pengewacen atau pembaca Kakawin tatkala 

menembangkannya, mendapat kelonggaran, tanpa harus 

bersuara panjang, berat dan beralun.

2) Guru Dirgha

Guru dirgha yaitu  guru panjang. Di sini pembaca Kakawin 

harus menyuarakan dengan suara berat dan panjang pada 

suku kata yang jatuh pada hitungan guru dirgha.

3) Guru Pluta

Guru Pluta bermakna suara guru yang beralun. Bila suku kata 

suatu baris Kakawin jatuh pada hitungan guru dirgha, maka 

pembaca wajib melagukannya dengan suara berat, panjang 

dan beralun.

4) Guru Bhasa

Istilah guru bhasa terdiri atas dua kata yaitu kata guru yang 

berarti suara berat, panjang dan beralun dan kata bhasa yang 

berarti bahasa. Jadi Guru Bhasa artinya suara berat, panjang 

dan beralun yang jatuh pada suku kata tertentu,walaupun 

suku kata ini  bukan merupakan suku kata terakhir dari 

baris Kakawin yang dibaca. Pada suku kata ini, pembacaan 

dihentikan sementara untuk disambung dengan terjemahan 

oleh penerjemah (pemawos). Jadi singkatnya guru bhasa 

yaitu  suara guru yang jatuh pada suku kata yang sudah 

memiliki satu kesatuan tafsir makna.Guru bhasa boleh jatuh 

Bahasa dan Sastra Kawi90

pada metrum guru atau metrum laghu. Kegunaan guru bhasa 

yaitu  untuk memudahkan bagi penerjemah, baik dalam 

mengingat kata-kata yang baru habis dibacakan (dinyanyikan) 

maupun dalam menyusun dan menyampaikan terjemahan 

dalam bentuk lisan. 

5) Guru Lambuk

Lambuk atau nglambuk artinya tidak beraturan. Maksudnya 

pada waktu menyanyikan suatu nyanyian atau wirama 

kakawin, penyanyi atau pengewacen atau pembaca tidak 

mengiraukan syarat-syarat guru laghu dan guru bhasa, namun  

yang penting yaitu  soal rasa dan menjiwai nyanyian itu. 

Hal ini sering kita lihat pada waktu orang bernyanyi dalam 

hubungan kematian.

6.2.2 Membaca Śloka

1) Pengertian Śloka

Menurut The Concise Sanskrit English Dictionary oleh 

Vasudeo Govind Apte kata Śloka artinya bait, pujian atau 

memuji-muji, kemasyuran, ketenaran dan popularitas (a stanza, 

praise, fame).  Sedangkan menurut Arthur A. Macdonell 

(1997:232) Śloka berasal dari kata śru yang berarti mendengar. 

Śloka dikembangkan dari Veda Anuṣṭubh. Dalam Veda Anustubh 

śloka berarti syair sajak atau ayat kepahlawanan. 

Kata Śloka memiliki kesamaan akar kata dengan Śruti 

yaitu akar kata “śru” yang berarti mendengar. Akar kata “śru” 

dalam tasrifan akar kata bahasa Sanskerta dapat menjadi śruti. 

Śruti artinya ia memperdengarkan. Śruti juga berarti wahyu, 

yaitu Veda Śruti. Veda Śruti yaitu  Veda yang isinya yaitu  

wahyu dari Brahman atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang 

diterima oleh para Maharsi.

Śloka dan Śruti memiliki kesamaan arti mamperdengarkan. 

Śloka juga berarti bait syair pujian. Mengucapkan Śloka juga 

dapat dikatakan “nyruti”yaitu ia memperdengarkan. Para 

Bahasa dan Sastra Kawi 91

Maha Rsi jaman dahulu sebelum tahu membaca dan menulis 

menyampaikan ajaran ajaran pada siswanya secara lisan. Para 

siswa duduk bersila sambil mendengarkan ajaran-ajaran dari 

gurunya (upaniṣad). Gurunya menyampaikan ajaran dalam 

bentuk Śloka dengan tembang, sehingga menarik bagi siswanya 

mendengarkan.

berdasar  uraian ini  di atas bahwa pembacaan 

Śloka yaitu  membaca bait syair susastra Veda(Upanisad, 

Bhagavadgītā, Sārasamuccaya, dan kitab-kitab Nibandha) dan 

Catur Veda (Ṛg, Sama, Yajur dan Arharva Veda Saṁhitā) dengan 

irama Śruti.

2) Bahasa Śloka

Śloka menggunakan bahasa Sanskerta. Bahasa Sanskerta 

dalam kitab Aṣṭadhyāyi oleh Panīni disebut dengan deivīvāk yaitu 

bahasa para dewa, hurufnya bernama Devanāgarī yang berarti 

Alam Kedewaan. Bahasa Sanskerta dalam kesejarahannya bukan 

bahasa manusia. Bahasa Sanskerta yaitu  bersifat kedewaan, 

bahasa para dewa (Sanskṛtam nāma daivi-vāk), demikian 

dijelaskan oleh para maharsi (Anvakhyata mahārṣibhiḥ). 

Bahasa Sanskerta jika diucapkan dan diperdengarkan akan 

menumbuhkan sifat-sifat dewa dalam diri orang.

3) Bentuk Śloka

Ada dua jenis bentuk śloka sesuai pembacaan Veda, yaitu : 

Padapāṭha dan Saṁhitāpāṭha. Paṭapāṭha yaitu  pembacaan 

setiap kata pada setiap baris dengan jelas dan terang. Pembacaan 

dengan di-saṁdhi-kan (digabung /ditemukan antara kata yang 

satu dengan yang lain) disebut Saṁhitāpāṭha. 

4) Membaca Śloka

Dalam membaca Śloka harus memperhatikan cara 

membaca dan mengucapkan huruf-huruf Devanāgarī sebagai 

berikut. 

Bahasa dan Sastra Kawi92

1. Pengucapan konsonan Mūrdhanya (ṭ; ṭh; ḍ; ḍh; ṇ) 

diucapkan seperti aksara Dental/Danti (t; d; n) 

2. Konsonan Mahāpraṇa (kh; gh; ch; jh; th; dh; ph; bh) 

diucapkan seperti satu konsonan (k; g; c; j; t; d; p; b) 

3. Konsonan ‘Ś’ (Talavya) dan ‘Ṣ’ (Mūrdhaṇya) diucapkan 

seperti ‘S‘ (Dental)

4. Pengucapan beberapa vocal seperti: Ṛ dibaca “ri”, Ñ 

dibaca “nya”, Ṅ dibaca “nga”, Ḥ dibaca “ah”

5) Guru Laghu

Śloka dibaca dengan mempertimbangkan guru laghu. 

berdasar  Veda Pratisakhya oleh Paṇḍita Gaṅgadasa 

menyatakan suku kata yang disebut guru sebagai berikut. 

sanuSvré dI`Ré ivsgIR c guä.Rv et(-

v,R" s'yogpUvRé tqa padaNtgoipva--

Sānusvaraśca dīrghaśca visargī ca gururbhavet,

Varṇaḥ saṁyogapūrvaśca tathā pādānta gopivā.

Artinya:

Kutipan ini  di atas dijelaskan bahwa suku kata guru 

yaitu  : 1) suku kata dengan anusvara (ṁ) atau visarga (ḥ) 

selalu guru. 2) Vokal hresva diikuti oleh gugus konsonan, 

misal: tan, tar, pat, dan sebagainya. 3) Semua vokal dīrgha: 

ā, ī, ū, ṝ, e, ai, o dan au. 

Sedangkan suku kata laghu yaitu  : 1) Semua vokal hrêsva/

pendek dan diikuti oleh satu konsonan. 2) Vokal monophthongs 

pendek: a, i, u, ṛ, dan ḷ. 3) Suku kata pada konsonan mahaprana.: 

kh, gh, ch, jh, th, dh, ṭh, ḍh, ph, dan bh. 

berdasar  kutipan ini  di atas bahwa dalam 

membaca śloka harus memperhatikan guru laghu. Guru yaitu  

suara berat dan laghu yaitu  suara ringan. Suku kata dengan 

mendapat anusvara (ṁ) atau visarga (ḥ) yaitu  guru. Vokal 

Bahasa dan Sastra Kawi 93

panjang: ā, ī, ū, ṝ, e, ai, o, au, yaitu  guru. Vokal prndek: a, 

i, u, ṛ, dan í yaitu  laghu. Ketika suatu huruf hidup pendek 

mengikuti suatu Anusvāra atau Visarga atau oleh suatu huruf 

mati itu disebut suatu prosodi vokal panjang seperti : gamya, 

accha, pṛccha, dan lain-lain. Suku kata yang terakhir suatu pāda 

yaitu  dapat berupa guru (berat) atau laghu (ringan).

6) Irama Śloka

Umat Hindu Indonesia membaca Śloka dengan irama 

yang khas yaitu irama Śruti (reng mantra). Irama śruti telah 

disepakati secara nasional seperti dalam Utsawa Dharmagītā 

Nasional. Pengambilan suara biasanya di pangkal kerongkongan 

disebut dengan angkus prana. Suara kedengaran bergema ke 

dalam, seperti dengungan kumbang yang sedang mengisap sari 

bunga (Bramara angisep sari). 

Reng (irama) Śloka kalau diperhatikan sulit dipisahkan 

antara laras pelog dan selendro, namun  lebih banyak presentasenya 

ke laras pelog, apabila Śloka itu mengambil nada irama Śruti 

ngwilet (panjang). 

berdasar  pengamatan artikulasi suara dalam dharmagītā 

ada 3 yaitu: 1) Suara nantia yaitu suara yang berartikulasi di 

ujung lidah (tungtunging jihwa) untuk menyanyikan sekar 

alit atau geguritan (pupuh); 2) Suara madya yaitu suara yang 

berartikulasi di bagian tengah lidah (madhyaning jihwa) 

untuk menyanyikan sekar madya (kidung); dan 3) Suara yang 

berartikulasi di pangkal lidah/kerongkongan (bungkahing jihwa) 

untuk sekar agung (kakawin, palawakya) suara angkus prana 

untuk menyanyikan śloka, dan mantra.

Pengucapan huruf murdhanya (ṭa, ṭha, ḍa, ḍha dan ṇa) 

dan vokal perubahan (ḥ/ah) belum diberlakukan sebagaimana 

kaidah bahasa Sanskerta dalam menyanyikan irama śloka baik 

utsawa membaca dan menghafal, namun huruf anusvara (ṁ/em) 

diucapkan sebagaimana mestinya.

Bahasa dan Sastra Kawi94

berdasar  pengamatan dilapangan pembacaan teks 

Śloka dari mantra Veda oleh Pinandita (Pemangku) dan Pendeta 

(Sulinggih) pada umumnya memakai beberapa reng (irama) 

yaitu: ada yang diucapkan dengan: tanpa tembang (tanpa irama), 

Palawakya, seperti wirama Sardhula, seperti wirama Sroñca 

dan ada juga yang tidak bersuara (diam dalam hati). 

7) Contoh Śloka

Beradasarkan jenis bahasa Sanskerta yang digunakan 

dalam teks śloka dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:

1. Bahasa Sanskerta Veda

puåz Ev ed' svRm( 

Puruṣa evedam sarvam, 

yÙUt' yé .Vym( -

yadbhūtam yaśca bhavyam,

£tam*t TvSye xano

utāmṛta tvasye śāno, 

ydÞen itrohit --

yadannena tirohati.

(Ṛgveda,X.90.2)

Dia sesungguhnya yaitu  semua ini. Dia yaitu  apa yang 

telah ada dan yang akan terjadi. Dia yaitu  penguasa 

keabadian. Dia dipahami melalui keberadaan benda-benda 

materi.

2. Bahasa Sanskerta Klasik

è[eyaNd–VymyaÛDaj( 

śreyān dravya-mayād yajñāj 

DanyD" pr'tp  -

jñāna yajñaḥ paraṁtapa,

Bahasa dan Sastra Kawi 95

sv| kmaRi%l' paqR

sarvaṁ karmākhilaṁ pārtha 

Dane pirsm aPyte --

jñāne parisamāpyate.

(Bhagavadgītā,IV.33)

Persembahan berupa pengetahuan, wahai Arjuna, lebih 

mulia daripada persembahan materi. Dalam keseluruhan 

kerja ini akan mendapatkan apa yang diinginkan dalam 

pengetahuan itu, wahai Partha.

3. Bahasa Sanskerta Archipelago atau Kepulauan

b[aõa s*Äyte lokm(-

Brāhmā sṛjjayate lokam,

ivZ,v e palka iZ$tm(-

viṣṇave pālakā ṣṭitam, 

äd– Tv e s'haréevm(- 

Rudra tve sanghāraś cevam, 

i] mUiTtR" nam Evc--

tri murttiḥ nāma evaca.

(Bhuwana Kosa, III. 76)

Dewa Brahma menciptakan dunia, 

Dewa Wisnu menjaga dunia, 

Dewa Rudra melebur dunia. 

Tiga perwujudan Beliau (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) 

dengan nama yang berbeda.

Ketiga contoh śloka ini  di atas menggunakan jenis 

bahasa Sanskerta yang berbeda, yaitu bahasa Sanskerta Veda, 

Klasik, dan bahasa sanskerta Nusantara. Ketiga jenis bahasa 

ini  memiliki kaidah bahasa yang berbeda. 

Bahasa dan Sastra Kawi96

Śloka memiliki  konvensi pembacaan yang dinamakan 

Śruti. Dalam satu bait śloka terdiri atas 4 baris kalimat, setiap 

baris kalimat memiliki nama, karakter dan kualitas suara yang 

berbeda. Baris pertama namanya pengawit, baris kedua namanya 

pengenter atau pengisep, baris ketiga namanya pengumbang dan 

baris keempat namanya pemada.

Bahasa dan Sastra Kawi 97

BAB VII

MENERJEMAH DAN MENTRANSLITRASI 

TEKS BAHASA KAWI 

7.1 Pengertian

Menerjemah berarti berkomonikasi. E. Sadminto dalam 

bukunya Pedoman Menerjemah, menjelaskan bahwa apa yang 

kita terjemahkan harus dapat dimengerti oleh orang-orang yang 

akan membaca hasil terjemahan itu. Akan lebih baik lagi kalau 

para pembaca itu nanti dapat mengerti dan menikmati hasil 

terjemahan itu tanpa merasa bahwa karya itu sebenarnya yaitu  

hasil terjemahan.

Menerjemah yaitu  menyampaikan berita yang terkandung 

dalam bahasa sumber ke dalam bahasa penerima supaya   isinya 

benar-benar mendekati aslinya. Dengan kata lain, makna dan 

gaya terjemahan haruslah serupa. Maksudnya penerjemah harus 

berusaha menghasilkan terjemahan yang sama artinya dengan 

karangan aslinya dan bukan terjemahan yang meniru bentuk 

aslinya.

7.2 Tujuan Menterjemah

Dalam kumpulan karangan yang berjudul Pembinaan 

Minat Baca, Bahasa dan Sastra oleh Ayip Rosidi, menerangan 

bahwa tujuan menerjemahkan karya sastra dari bahasa daerah 

ke dalam bahasa Indonesia, ialah agar warisan kekayaan budaya 

dan rohani yang selama ini hanya menjadi warisan suku bangsa 

yang menggunakan bahasa ini , menjadi benar-benar milik 

nasional. Dengan demikian bukan saja akan terbina jembatan 

saling mengerti lebih baik antar suku bangsa yang jumlahnya 

cukup banyak diseluruh tanah air, melainkan juga akan dapat 

meningkatkan kesadaran suku bangsa, yang pada gilirannya 

akan menjadi titik tolak budaya yang sama bagi seluruh bangsa. 

Maka dapatlah diharapkan nanti, perbedaan-perbedaan yang 

Bahasa dan Sastra Kawi98

ada diantara suku bangsa yang satu dengan yang lainnya, akan 

menjadi variasi dari satu pokok yang sama.

Penerjemahan dan perkenalan karya-karya bahasa daerah 

ke dalam bahasa Indonesia akan memperkokoh kesadaran 

nasional dan menanamkan wawasan nusantara diantara warga 

bangsa. Tujuan menerjemahkan ialah menyempaikan berita 

dalam bahasa penerima (E.Sadmanto).

7.3 Model Terjemahan Sastra Daerah

Ayip Rosidi menerangkan bahwa menerjemahkan karya 

sastra ke dalam bahasa Indonesia secara garis besarnya dapat di 

bagi menjadi dua macam yaitu :

a. Menerjemahkan secara ilmiah, yaitu terjemahan dengan 

prinsip ketepatan terjemahan menurut arti kata yang 

sebenarnya. Kalau perlu diberi catatan kaki sebanyak 

mungkin.

b. Menerjemahkan secara sastra, yaitu terjemahan dengan 

prinsip agar terjemahan itu mudah dan menarik bagi pembaca 

seluas mungkin sehingga untuk itu tidak apa kalau akan 

dilakukan terjemahan bebas, bahkan saduran sekalipun.

Dalam usaha menerjemah secara ilmiah, maka karya itu 

diberlakukan sebagai obyek ilmu yang hendak dipindahkan 

ke dalam bahasa Indonesia, kalau perlu dengan sebanyak 

mungkin keterangan dengan catatan kaki atau yang lainnya. 

Contoh terjemahan model ini yaitu  : terjemahan Kakawin 

Bharatayuddha oleh Prof. Dr. Sutjipto Wiryosuparto, terjemahan 

Kakawin Nagarakrêtagama oleh Prof. Dr. Slamet Mulyana, 

Kakawin Arjuna Wiwaha oleh Dr. Kuntara Wiryamartana dan 

terjemahan yang lainnya.

Terjemahan secara ilmiah jangkauan pembacanya sangat 

terbatas, ialah para penelaah dan para ahli belaka. Maka 

disamping terjemahan secara ilmiah diperlukan terjemahan 

Bahasa dan Sastra Kawi 99

secara sastra, supaya   terjemahan ini  dapat menarik minat 

lingkungan yang lebih luas. Terjemahan secara secara sastra 

ialah terjemahan secara bebas, kadang-kadang beberapa bagian 

dilewati atau diringkas atau tidak diterjemahkan. Terjemahan 

bebas memperhatikan minat pembacanya.

7.4 Pengetahuan yang diperlukan oleh Penerjemah

Hakikat menerjemahkan yaitu  menyampaikan berita 

yang terkandung dalam bahasa sumber ke dalam bahasa 

penerima supaya   isinya benar – benar mendekati aslinya. Oleh 

karena itu kita perlu melakukan beberapa penyesuain tata 

bahasa dan pembendaharaan kata. Penerjemah harus berusaha 

menghasilkan terjemahan yang sama artinya dengan karangan 

aslinya dan bukan terjemahan yang meniru bentuk bahasa 

asli. Jadi terjemahan yang baik ialah : terjemahan yang tidak 

menyadur sifat bahasa asal ke dalam bahasa penerima. Arti atau 

maksud yang terkandung dalam teks yang hendak diterjemahkan 

harus diutamakan, karena yang penting dalam penerjemahan 

yaitu  isi berita.

Untuk dapat menerjemahkan atau menangkap isi dari 

bahasa sumber, disamping harus menguasai bahasa itu, juga 

harus memiliki pengetahuan tentang budaya masyarakat yang 

melahirkan karya sastra itu. Dan kalau terjemahan (karya yang 

akan diterjemahkan) itu yaitu  karya sastra maka sipenerjemah 

pun harus membekali diri dengan pengetahuan tentang sastra 

ini .

7.5 Contoh Terjemahan

1) Oṁ awighnamastu

Hana sira ratu Parikêsit ngaranira, anak sang Abhimanyu, 

patêmu tangan lāwan san Uttarī, pinaka śiṣya bhagawan 

Kṛṣa, paripurna ring bahuweda.

Bahasa dan Sastra Kawi100

Terjemahan I yaitu  :

Om semoga tidak ada aral melintang.

Ada beliau raja sang Parikesit nama beliau, putra sang 

Abhimanyu, pertemuan tangan dengan sang Uttari, sebagai 

murid bhagawan Kåûa, sempurna dalam lengan Weda.

Terjemahan II yaitu  : 

Om semoga tidak ada aral melintang.

Ada seorang raja sang Parikesit namanya, putra dari 

perkawinan sang Abhimanyu dengan sang Uttari, beliau 

yaitu  siswa dari bhagawan Kåûa, sempurna yang amat ahli 

dalam ilmu pengetahuan Weda.

Keterangan :

Terjemahan I yaitu  terjemahan menurut arti kata yang 

diterjemahkan menurut struktur kalimat bahasa Kawi(teks 

aslinya).

Terjemahan II yaitu  penyempurnaan terjemahan I, 

baik penyempurnaan tata kalimatnya maupun arti yang 

hendak diberitakan oleh teks sumber. Kata patêmu tangan, 

arti sebenarnya : pertemuan tangan, maksudnya yaitu  

perkawinan, pernikahan, bertemu jodoh. Kata bahuweda 

arti sebenarnya : lengan/banyak Weda, maksudnya yaitu  

bermacam-macam ilmu pengetahuan weda.

2) Gowinda priyaḥ saṁyuktaḥ, prasiddha kāsih bhatara Kṛṣṇa, 

hinuripnirān kêneng hrū sang Aśwatthāma, ri sêdêngira 

haneng jêro wêtêng sang ūttari.

 Terjemahan I yaitu  :

 Berasil dikasihi bhatara Krisna, dihidupkannya ketika kena 

panah sang Aswatthama, ketika beliau sedang ada di dalam 

perut sang Uttari.

 Terjemahan II yaitu  :

 Sesungguhnyalah beliau dikasihi oleh prabhu Krisna, beliau 

Bahasa dan Sastra Kawi 101

dihidupkan kembali ketika kena panah sang Aawattama, saat 

beliau masih dikandung oleh sang Uttari.

 Keterangan :

 “Gowinda priyaḥ saṁyuktaḥ”, ialah sebuah kalimat Sanskerta. 

Kalimat ini  telah diterjemahkan ke dalam bahasa Kawi : 

“prasiddha kāsih bhatara Krisna”, (Sesungguhnyalah beliau 

dikasihi oleh prabhu Krisna). Maka dalam menerjemahkan, 

pada umumnya kutipan kalimat bahasa Sanskerta seperti itu 

tidak diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia. “haneng 

jêro wêtêng” artinya ada di dalam perut, yang dimaksud 

yaitu  sedang dikandung masih dikandung.

3) Mijil ta ya winastwan mahuripa de bhatara Kṛṣṇa iningu 

mahāraja Yuddhisthira. Sira ta sumilih ratu ri Hastinapura, 

ri lungha sang Paṇḍawānusup ing alas muwah.

Terjemahan I yaitu  :

Keluarlah ia ditentukan supaya   hidup oleh bhatara Krisna, 

dipelihara oleh mahàraja Yuddhisthira. Beliau menjadi raja 

di Hastinapura, ketika pergi sang Pandawa menyusup ke 

hutan lagi.

Terjemahan II yaitu  :

Lahirlah beliau, karena diselamatkan oleh prabhu Krisna. 

Kemudian diasuh oleh maharaja Yuddhidthira. Beliau yang 

dinobatkan menjadi raja di Hastinapura, ketika sang Pandawa 

kembali mengasingkan diri ke dalam hutan.

Keterangan :

”Mijil ta ya” : artinya keluarlah ia, yang dimaksudkan lahirlah 

beliau. “Winaswan mahuripa” : ditentukan supaya   hidup, 

maksudnya diberai supaya   hidup; diberkahi keselamatan ; 

diselamatkan.

4) Saṣṭiwarsānya apālayat, lawasnira siniwi nêmang puluh 

tahun. Yatā Paṇḍur mahābāhuh, ndan kadi mahāraja Paṇḍu 

Bahasa dan Sastra Kawi102

sira śakti ring gunāburu. Asing wukir alas paranirāmet 

mṛga. Hana pwa kidang tinūtnira, anghel ta sira denya.

Terjemahan I yaitu  :

Lama beliau dihormati enam puluh tahun. Ia seperti maharaja 

Pandu, beliau gemar terhadap pekerjaan berburu. Setiap 

pegunungan hutan beliau tuju untuk mencari binatang. 

yaitu  seekor kidang dikejarnya, sehingga payahlah beliau 

karenanya.

Terjemahan II yaitu  :

Lama beliau bertahta enam puluh tahun. Seperti mahāraja 

Pandu, beliaupun gemar berburu setiap pegunungan dan 

hutan beliau kunjungi untuk mencari binatang. yaitu  seekor 

kidang dikejarnya. Sehingga payahlah beliau karenanya. 

Keterangan :

“Saṣṭiwarsānya apālayat dan yatā Paṇḍur mahābāhuh”, 

yaitu  kalimat Sanskerta yang telah diterjemahkan oleh 

kalimat yang mengikutinnya.

5) Kṣutpipāsāśrama turaḥ, ahyun anginuma wwe sira. Hana 

sira wiku kapangguh ing têgal ri têpining aśrama, ri 

panghwananing lêmbu.

Terjemahan I yaitu  :

Berkainginan meminum air beliau. Ada seorang pandita 

dijumpai di tanah lapang pada tepi dari pertapaan, di 

pengembalaan lembu.

Terjemahan II yaitu  :

Beliau ingin minum air. Ada seorang pandita dijumpainya di 

tanah lapang, tempat mengembala lembu, di dekat pertapaan.

Keterangan :

”Kṣutpipāsāśrama turaḥ” yaitu  bahasa Sanskerta yang 

telah diterangkan dengan kalimat bahasa Kawi yang 

menyertainya.

Bahasa dan Sastra Kawi 103

Contoh-contoh kutipan ini  di atas merupakan terjemahan 

dari kutipan prosa bahasa Kawi. Dalam terjemahan I dapat 

diketahui struktur bahasa sumber yang telah diterjemahkan 

dengan bahasa Indonesia. Dari struktur itu jelas diketahui 

bahwa kalimat terjemahan yang mengikuti struktur dari 

tata kalimat bahasa penerjemahan (teks). Selanjutnya pada 

terjemahan II, yaitu terjemahan berdasar  struktur bahasa 

penerjemah (bahasa Indonesia) dengan mengutamakan isi 

berita yang hendak disampaikan oleh bahasa sumber (bahasa 

Kawi). 

Di bawah ini yaitu  contoh terjemahan teks puisi bahasa 

Kawi :

6) Gunamānta sang Daśaratha, 

wruh sira ring weda bhakti ring dewa,

tar malupeng pitra pūja, 

māsih ta sireng swagotra kabeh.

Terjemahan I yaitu  :

Bertabiat baiklah sang Daśaratha, tahu beliau akan Weda 

bhakti kepada leluhur, tidak melupakan terhadap leluhur 

pemujaan, berkasihlah beliau terhadap famili sendiri semua.

Terjemahan II yaitu  :

Gunawanlah sang Daśaratha, beliau menguasai weda bhakti 

kepada dewa, pun tak melupakan pemujaan leluhur, beliau 

mencintai rakyat semua.

Keterangan :

Kata “guṇamanta” artinya : kaya akan tabiat baiknya, akhiran 

man atau manta berarti memiliki .

7) Rāgādi musuh maparö, 

ri hati ya tonggwanya tan madoh ring awak,

yeka tan hana ri sira, 

prawira wihikan sireng nīti.

Bahasa dan Sastra Kawi104

Terjemahan I yaitu  :

Nafsu dan lain – lain musuh mendekat, di hati ia tempatnya 

tidak menjauh dari badan, ia itu tidak ada pada beliau, 

pemberani pandai beliau terhadap siasat.

Terjemahan II yaitu  :

Nafsu dan yang lain musuh dekat, di hati tempatnya tidak 

jauh dari badan, itu tidak ada pada beliau, beliau pemberani 

dan ahli ilmu tata negara.

Keterangan :

“Rāgādi” artinya nafsu dan lain-lain. Yang dimaksud yaitu  

sad ripu, enam musuh utama manusia, yaitu : rāga (kama) 

= nafsu ; dwesa (krodha) = kebencian(kemarahan) ; lobha 

= ketamakan; mada = kemabukan atau kecongkakkan; 

matsarya = irihati ; moha = kebingungan.

Dalam menerjemahkan bentuk puisi penerjemah dituntut 

untuk menerjemahkan puisi menjadi puisi pula walaupun 

tidak berdasar kaidah metrum Kawi. Prof Dr. Sadmanto 

menegaskan bahwa kita tidak boleh menerjemahkan sebuah 

puisi menjadikannya sebuah prosa. Memang agak mustahil 

kalau kita sampaikan segala kehalusan bahasa asal ke dalam 

bahasa penerima, misalnya permainan kata, sajak acrostik 

(sajak yang dimulai dengan huruf tertentu). Kadang- kadang 

sifat- sifat tertentu yang terkandung dalam bahasa asal terpaksa 

diterangkan sedikit dalam catatan kaki untuk menolong pembaca 

mengetahui sebab teks itu berbunyi demikian. Ini memang perlu 

terutama sekali dalam menerjemahkan permainan kata yang 

mengandung makna batin selain makna lahir. Demikian pula 

terjemahan yang baik nampaknya lebih panjang dari karangan 

aslinya.Kecendrungan terhadap hasil yang lebih panjang itu 

disebabkan oleh keinginan penerjemah untuk menyatakan setiap 

yang ada  dalam komonikasi asal.

Bahasa dan Sastra Kawi 105

7.6 Translitrasi Teks Bahasa Kawi

Translitrasi yaitu  pengganti atau pengalihan huruf demi 

huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lainnya. Misalnya 

dari aksara Bali ke aksara Latin atau dari aksara Latin atau dari 

aksara Devanāgarī (bahasa Sanskerta) ke aksara Jawa. Jelasnya 

translitrasi yaitu  penggantian jenis tulisan dari abjad yang satu 

ke abjad yang lainnya.

Translitrasi berbeda dengan transkripsi. Transkripsi 

diartikan sebagai salinan atau turunan tanpa pergantian macam 

tulisan. Jadi hurufnya tetap sama. Misalnya naskah kakawin 

Rāmāyana yang ditulis dengan aksara Bali, karena lontarnya 

telah rusak(lapuk) disalin kembali ke dalam lontar yang baru 

dengan aksara Bali pula.

Translitrasi dianggap sangat penting untuk 

memperkenalkan teks-teks lama yang tertulis dengan aksara 

Daerah karena kebanyakan orang sudah tidak mengenal atau tidak 

akrab lagi dengan tulisan daerahnya sendiri. Dalam melakukan 

translitrasi, hal yang amat penting diperhatikan yaitu  sistem 

ejaan, pembagian kata dan tanda baca. Sistem ejaan dan tanda 

baca sedapat mungkin diusahakan supaya   mencerminkan teks 

aslinya. Misalnya : kata R        moyx ditranslit dengan Rāmāyaṇa 

bukan Ramayana, dU(Gá  ..ditranslit menjadi Dūrgga bukan Durga. 

Kata v`or]iw ditranslit menjadi Bhaṭāra Śiwa bukan Batara 

Siwa. Kata vrotyudÒ ditranslit menjadi Bharātayuddha 

bukan Beratayuda. Kata kÊ[Åoyn ditranslit menjadi Kṛṣṇāyana 

bukan Kresnayana. Kata ýÁwifÂmsÓu ditranslit menjadi Oṁ awighṇamastu bukan Om awignamastu, dan lain-lain. 

Untuk mengetahui tanda baca dan sistem ejaan aksara 

Bali yang dipakai  untuk menulis teks Kawi, harus 

diketahui terlebih dahulu ejaan dan kosa kata bahasa Kawi. 

Bahasa dan Sastra Kawi106

Sistem penulisan aksara Bali (dalam lontar) menggunakan jajar 

sambung, sistem penulisan kosa katanya tidak dipisah- pisahkan 

antara kata yang satu dengan kata yang lainnya. Pemisahan baru 

terjadi setelah kalimat itu berarkhir, yang biasanya ditandai 

dengan carik (koma atau titik). Dengan demikian ciri-ciri teks 

aslinya dapat dipertahankan dan kesalahan penafsiran dalam 

rangka menerjemahkan teks dapat dihindari. 

Teks Wirama atau Kakawin dan Palawakya ditranslit 

sedemikian rupa dengan sedapat mungkin berdasar  sistem 

ejaan Bahasa Kawi yang telah ditetapkan untuk mempertahankan 

teks aslinya, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia 

dan bahasa Bali yang baik dan benar. 


PENGGOLONGAN KESUSASTRAAN KAWI

8.1 Kerangka Sejarah Kesusastraan Kawi

Ada beberapa pembabakan yang patut dicatat dalam 

rangka kesusastraan Kawi. Pembabakan itu yaitu  :

1) Jaman Mataram.

Abad X yaitu  tahapan paling awal yang disepakati sebagai 

tonggak kesejarahan bahasa Kawi (prasasti Sukabumi), demikian 

pula dalam hal sastranya. Pada abad ini pusat kekuasaan politis 

dan kehidupan kebudayaan ada  di Jawa Tengah, sekitar 

tahun 930 M. Pusat itu bergeser kearah Timur. Pada jaman ini 

yang memerintah Mataram yaitu  Mpu Sindok (929-962 M). 

Tahun 1016 Masehi. Disebut-sebut dalam prasasti bertahta di 

Jawa Timur (di lembah Kali Brantas). Mataram runtuh maka 

tamatlah riwayat Sindok. Kitab Sang Hyang Kamahayanikan 

yang memuat ajaran Budha Mahayana yaitu  kitab yang di tulis 

pada masa itu.

2) Jaman Kediri.

Dharmawangsa Teguh yang masih merupakan keturunan 

wangsa Sindok, amat gemar akan kebudayaan, khususnya 

kesusastraan. Pada jaman ini diketahui raja menjadi pelindung 

suatu proyek besar : “mangjawakên Byasamata” atau 

membahasa Jawakan ajaran-ajaran Bhagawan Byasa. Bhagawan 

Byasa yaitu  pengarang Mahābhārata atau Aṣṭadaśa Parwa (18 

parwa). Di samping itu pada jaman itu dilakukan pula kegiatan 

membahasa Jawakan ajaran Walmiki. Uttarakaṇḍa sebagai kaṇḍa 

ketujuh yang membangun Rāmāyana diketahui ditulis pada 

masa itu. Dharmawangsa Teguh tampaknya menaruh perhatian 

besar pada sastra-sastra yang mengandung ajaran agama Hindu 

ini . 

Bahasa dan Sastra Kawi108

Erlangga (1019-1049) yang menggantikan Dharmawangsa 

Teguh, yaitu  seorang putra Bali, putra raja Udayana berasil 

memulihkan kerajaan Jawa Timur (kerajaan Kediri) dan 

mengikuti jejak Dharmawangsa Teguh memberikan iklim yang 

baik bagi perkembangan penulisan sastra. Kakawin Arjuna 

Wiwāha karya Mpu Kanwa dikarang pada masa ini, sebuah 

kakawin yang sangat digemari oleh masyarakat Hindu di Bali 

hingga saat ini. 

Semua karya sastra Jawa Kuna yang berasal dari abad XI 

dan XII berasal dari jaman Kediri. Karya-karya penting dalam 

kesusastraan Jawa Kuna yang ditulis antara lain : Kakawin 

Bharātayuddha (karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh), Hariwamśa 

dan Gatotkacaśraya (karya Mpu Panuluh), Semaradahana (karya 

Mpu Dharmaja), Sumanasantaka (karya Mpu Tri Guna) dan lain 

– lain. Pada tahun 1222 Masehi kerajaan Kediri berakhir.

3) Jaman Majapahit.

Kerajaan Majapahit yaitu  kerajaan besar, selama abad XIV-

XV, di bawah pemerintahan raja Hayam Wuruk mencapai 

puncak kejayaannya. Kekuasaannya mencapai seluruh pulau 

yang ada di Nusantara. Pada masa ini kebudayaan berkembang 

dengan suburnya dan sangat besar karya sastra yang dihasilkan 

antara lain : kakawin Arjuna Wijaya dan Sutasoma (karya 

Mpu Tantular), Nagarakretagama yaitu  sebuah kakawin yang 

merekam kisah perjalanan Hayam Wuruk (karya Mpu Prapanca), 

Wrêttasañcaya, Śiwarātrikalpa, Patibrata, Banawa Sêkar (karya 

Mpu Tanakung)

4) Jaman Gelgel.

Setelah jaman Majapahit kehadiran pulau Bali menjadi 

sangat penting dalam perkembangan kesusastraan Hindu di 

Indonesia. Pulau Bali disamping sebagai penyelamat naskah- 

naskah Jawa Kuna namun  juga sebagai tempat pembinaan, 

Bahasa dan Sastra Kawi 109

pengembangan, ditulis kembali, dan juga dikarang sastra- sastra 

Jawa Kuna yang baru.

Pusat perkembangan kesusastraan di Bali terjadi pada 

jaman Gelgel abad XVI ketika pemerintahan raja Waturenggong. 

Dang Hyang Nirartha dengan murid beliau Ki Gusti Dauh 

Baleagung yaitu  dua orang pengarang yang produktif dari 

jaman ini. Banyak karangan Dang Hyang Nirartha antara lain 

: Mayadanawantaka, Aryang Nirartha, Dharma Sunya Keling, 

Kidung Sebun Bangkung, Sara Kusuma, Ampik Kidung Madya 

Muter, Legarang, Mahisa Langit, Ewer, Dharma Pitutur, Wasistha 

Sraya, Kawya Dharmaputus, Mahisa Mgat Kung, Wilêt Demung 

Sawit, Gegutuk Menur, Brati Sasana, Siwa Sasana, Putra Sasana, 

Tuan Sumeru dan lain – lain.

Sedangan karangan Ki Gusti Dauh Baleagung antara 

lain : Rareng Canggu, Wilêt Wukir, Padelegan, Segaragunung, 

Karas Nagara, Jagultua, Wilêt Mayura, Anting-anting Timah 

dan sebagainya. Masih pada jaman Gelgel, namun dalam 

pemerintahan Dalêm Bêkung, ada pengarang yang cukup 

produktif yaitu : Pangeran Telaga dan Kiyayi Pande Basa. 

Pangeran Telaga yang mengarang antara lain : Kidung Rangga 

Wungu, Amurwa Tembang, Amrêtamasa, Patol, Wilêt Sih Tan 

Pegat, Rara Kedura, Kebo Dungkul, Caruk Amrêtamasa dan 

lain-lain. Kiyayi Pande Basa mengarang : Arjuna Pralabdha.

Setelah jaman Gelgel banyak muncul pengarang atau 

pujangga dan pusat-pusat keagamaan dan kebudayaan, tempat 

mendiskusikan, mempelajari dan mengarang karya sastra serta 

menulis naskah-naskah agama. Seperti : Ida Pedanda Sidemen 

pada abad XX telah mengarang dan menggubah karya sastra 

prosa maupun puisi yang sangat terkenal antara lain : Pūrwāgama 

Sasana, kakawin Cayadijaya, Candra Bhairawa (Dharma Wijaya) 

Singhalanggyala, Kalpha Sanghara, Kalepasan, Manuk Dadali, 

Pūrwaning Gunung Agung, Kidung Rangsang, Pisaca Harana, 

geguritan Salampah Laku dan lain - lain.

Bahasa dan Sastra Kawi110

8.2 Penggolongan Kesusastraan Kawi

Prof. Dr. RMG. Poerbatjaraka dalam bukunya Kepustakaan 

Jawa, menyimpulkan hasi penelitiannya terhadap sejumlah 

karya sastra Kawi berdasar  : ciri angka tahun, nama raja 

atau pahlawan yang disebut dalam karya sastra itu, gaya bahasa 

dan induk (sumber) karangan itu, akhirnya mengelompokkan 

kesusastraan Kawi atas tiga bagian yaitu : kitab-kitab Jawa 

Kuna yang tergolong tua, kitab-kitab Jawa Kuna yang tergolong 

bertembang dan kitab-kitab Jawa Kuna yang tergolong baru.

8.2.1 Kitab-kitab Jawa Kuna yang Tergolong Tua

1. Candakarana yaitu  kitab yang berisikan tentang kaida 

prosidi (pedoman tentang metrum kakawin) dan berisikan 

semacam kamus yang disusun secara Sanskerta. Kitab ini 

digubah kira-kira tahun 703, karena di dalamnya disebut-

sebut keturunan Sailedra yang mendirikan candi Kalasan.

2. Kakawin Rāmāyana, kakawin yang tersohor ini digubah 

pada masa pemerintahan Dyah Balitung (820- 832M). 

Isinya menceritakan tentang kisah Rāma dan Sitā yang 

bersumber dari Rahwanawadha (matinya Rahwana) 

gubahan Bhattikavya.

3. Sang Hyang Kamahayanikan, kitab ini berisikan tentang 

ajaran agama Budha Mahāyana, digubah dalam bentuk 

prosa. Bagian epilognya menyebut-nyebut raja Jawa 

Timur, Mpu Sindok (929-962 M ).

4. Brahmandapurana, kitab ini ditulis dalam bentuk prosa. 

Isinya tentang pelajaran agama Hindu (Śiwa). Ditinjau 

dari gaya bahasanya, usia kitab ini sejaman dengan Sang 

Hyang Kamahayanikan.

5. Agastyaparwa, kitab ini dalam bentuk prosa, berisikan 

percakapan antara Drêshasyu dengan ayahnya, Bhagawan 

Bahasa dan Sastra Kawi 111

Agastya tentang ajaran agama Hindu, misalnya tentang 

karmaphala, sorga, naraka dan lain- lain.

6. Uttara Kaṇḍa, kitab ini berbentuk prosa, pada bagian 

manggalanya menyebut-nyebut raja Jawa Timur 

Dharmawangsa Teguh (991-1007M ). Isinya bersumber 

dari Rāmāyana yang digubah oleh Bhagawan Walmiki, 

yaitu bagian ke-7 yang disebut Uttara Kaṇḍa, yang isi 

pokoknya yaitu  kisah kehidupan dewi Sitā sekembalinya 

ke Ayodhya setelah gugurnya Rahwana.

7. Àdìparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber pada 

bagian pertama epos Mahābhārata, isi pokoknya 

mengisahkan tentang: asal usul keluarga Bharata dan 

masa kecil Paṇḍawa dan Kaurawa, digubah pada masa 

pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh.

8. Sabhaparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber 

pada bagian kedua epos Mahābhārata, isi pokoknya 

mengisahkan tentang : Peṇḍawa dan Kaurawa main dadu.

9. Wirāṭaparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber 

pada bagian keempat epos Mahābhārata, isi pokoknya 

mengisahkan tentang : pengembaraan Paṇḍawa 

(menyamar sebagai abdi) di Negeri Wirata.

10. Udyogaparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber 

pada bagian kelima epos Mahābhārata, isi pokoknya 

mengisahkan tentang : persiapan perang keluarga Bharata 

(Bharata Yuddha).

11. Bhīṣmaparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber 

pada bagian keenam epos Mahābhārata, isi pokoknya 

mengisahkan tentang : senapati Bhisma memimpin 

pasukan Kaurawa melawan Paṇḍawa.

12. Āśramawasikaparwa, kitab ini berbentuk prosa, 

bersumber pada bagian kelima belas epos Mahābhārata, 

Bahasa dan Sastra Kawi112

isi pokoknya mengisahkan tentang : prabhu Dhrêstarastra 

bersama tetua Hastina lainnya menjalani kehidupan 

bertapa.

13. Mosalaparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber pada 

bagian keenam belas epos Mahābhārata, isi pokoknya 

mengisahkan tentang : pralayanya kerajaan Dwarawati 

akibat ulah Sambha memperolok-olok Bhagawan Narada.

14. Mahāprasthanikāparwa, kitab ini berbentuk prosa, 

bersumber pada bagian ketujuh belas epos Mahābhārata, 

isi pokoknya mengisahkan tentang : hari-hari terakhirnya 

Paṇḍawa, setelah Paṇḍawa mengangkat Parikêsit sebagai 

raja Hastina, mereka kemudian menjalani hidup sebagai 

pertapa, berkeliling mendaki gunung Himalaya.

15. Kuñjarakarna, kitab ini berbentuk prosa, yang 

mengandung ajaran Budha Mahāyana. Isi pokoknya 

mengisahkan tentang : seorang raksasa Kuñjarakarna 

yang ingin ruat menjadi manusia. Maka ia menghadap 

dan menerima ajaran dari Bhatara Wairacana (salah satu 

Dyani Budha). berdasar  gaya bahasanya kitab ini 

sejaman dengan kitab-kitab parwa di atas. 

16. Swargārohaṇaparwa, kitab ini berbentuk prosa, 

bersumber pada bagian kedelapan belas (terakhir) epos 

Mahābhārata, isi pokoknya mengisahkan tentang : 

kesaksian Yuddhisthira di alam baka, ia menyaksikan 

sanak keluarganya menerima pahala segala perbuatannya 

di dunia. Perbuatan baik menerima pahala baik demikian 

sebaliknya perbuatan buruk menerima pahala buruk.

8.2.2 Kitab-kitab Jawa Kuna yang Tergolong Bertembang.

1. Kakawin Arjuna wiwāha, digubah oleh Mpu Kanwa pada 

masa pemerintahan Erlangga, isi pokoknya mengisahkan 

tentang : laku tapa sang Arjuna di gunung Indrakila, dan 


akhirnya ia mendapat hadiah 7 orang bidadari karena 

berasil mengalahkan raksasa Niwatakawaca, raja raksasa 

yang mengobrak-abrik sorga. Cerita diambil dari kitab 

Wanaparwa.

2. Kakawin Kreṣṇayana, digubah oleh Mpu Triguna pada 

masa pemerintahan Warsajaya, raja Kediri (1104.M), isi 

pokoknya mengisahkan tentang : Krêṣṇa mempersunting 

dewi Rukmini.

3. Kakawin Sumanasantaka, digubah oleh Mpu Triguna 

pada masa pemerintahan Warsajaya, isi pokoknya 

mengisahkan tentang : asal-usul dan lahirnya Dasaratha, 

Raja Ayodhya. Kakawin ini bersumber dari Raghuvaýsa 

gubahan pujangga besar India Kālidāsa.

4. Kakawin Smaradahana, digubah oleh Mpu Dharmaja 

pada masa pemerintahan raja Kameśwara, raja Kediri 

(1115-1130M), isi pokoknya mengisahkan tentang : 

terbakarnya dewa Kāma oleh api yang memancar dari 

mata ketiga dewa Śiwa.

5. Kakawin Bhomakawya, penggubah anonim (tidak 

diketahui). Isi pokoknya mengisahkan tentang : 

gugurnya Bhoma oleh Krêsṇa. Pada bagian manggalanya 

menyebut Phatyara Kamajaya seperti yang disebut-sebut 

dalam kakawin Samaradahana. berdasar  langgam 

bahasanya kakawin ini sejaman dengan Smaradahana.

6. Kakawin Bharatayuddha, digubah oleh Mpu Sedah dan 

Mpu Panuluh pada masa pemerintahan Jayabaya, raja 

Kediri (1135-1157M), isi pokoknya mengisahkan tentang 

: perang Bharata di medan Kuru.

7. Kakawin Hariwangsa, digubah oleh Mpu Kanwa pada 

masa pemerintahan Erlangga, isi pokoknya mengisahkan 

kisah yang sama dengan kakawin Krêṣṇayana.

8. Kakawin Gatotkacaśraya, digubah oleh Mpu Panuluh 

pada masa pemerintahan Jayakreta (1188 M) raja Kediri 

pengganti dari Jayabaya, isi pokoknya mengisahkan 

tentang : Sang Gatotkaca menolong Abhimanyu untuk 

dapat mempersunting Dewi Siti Sundari.

9. Kakawin Wrêttasañcaya, digubah oleh Mpu Tanakung, 

isi tentang : kaidah prosidi metrum kakawin.

10. Kakawin Lubdaka, atau sering disebut Kakawin 

Śiwarātrikalpa, digubah oleh Mpu Tanakung (1466- 1478 

M) pada masa kerajaan Majapahit akhir atau dua setengah 

abad sejak pemerintahan Ken Arok (Prof. Dr. Teeuw). 

Isi pokoknya mengisahkan tentang : kehidupan seorang 

pemburu si Lubdaka, yang karena melaksanakan brata 

Śiwaratri, akhirnya ia mencapai alam Śiwa. Pada bagian 

manggalanya ada menyebutkan nama Girindrawangsaja, 

yang dikatakan nama kebesaran Ken Arok, raja Singasari 

tahun 1222 Masehi.

8.2.3 Kitab – kitab Jawa Kuna yang Tergolong Baru

1. Kakawin Brahmandapurāṇa, kakawin ini digubah 

berdasar  kitab Brahmandapurāṇa prosa. Di dalamnya 

ada disebut seorang raja putri sang Úri Prakretiwirya. 

Siapa dia, dan di kerajaan mana memerintah tidaklah 

dikatahui.

2. Kakawin Kuñjarakarna, sama halnya dengan kakawin 

Brahmandapurāṇa, kakawin ini bersumber dari kitab 

Kuñjarakarna prosa.

3. Kakawin Nagarakrêtagama, digubah oleh Mpu 

Prapañca (1365 M), Mpu Prapañca yaitu  anak Mpu 

Nadendra, penghulu dalam urusan agama Budha di 

Majapahit. Kakawin ini mengandung nilai sejarah. Yaitu 

menguraikan keadaan Majapahit, khususnya perjalanan 

Hayam Wuruk, ke daerah-daerah kekuasaannya.

4. Kakawin Arjunawijaya, digubah oleh Mpu Tantular pada 

masa Hayam Wuruk bertahta di Majapahit. Inti ceritanya 

bersumber pada Uttara Kaṇḍa. Isinya mengisahkan 

tentang : Rahwana menyerang kakak tirinya Wairawana 

yang dilanjutkan dengan menyerang kerajaan Mahispati. 

Dan akhirnya ia ditawan oleh Arjuna Sahasrabahu.

5. Kakawin Sutasoma, digubah oleh Mpu Tantular pada 

masa Hayam Wuruk bertahta di Majapahit. Isi pokoknya 

mengisahkan tentang : petualangan rohani Sang 

Sutasoma (titisan Budha), sekembalinya ke Hastina, ia 

berasil menyelamatkan sejumlah raja yang ditawan oleh 

Purusada Santa, raja yang gemar makan daging manusia.

6. Kakawin Parthayajña, berdasar  analisa bahasanya 

umur kakawin ini sebaya dengan Kakawin Sutasoma. 

Isinya mengisahkan tentang : kehidupan Paṇḍawa setelah 

kalah main dadu yang penekanannya pada perjalanan 

Arjuna bertapa ke gunung Indrakila.

7. Kakawin Nitiśaṣtra, digubah pada akhir jaman Majapahit. 

Kakawin ini merupakan kumpulan bait didaktis dan tidak 

bersifat naratif. 

8. Kakawin Nirarthaprakrêta, ditulis pada tahun 1459 

Masehi di desa Kancana. Kakawin ini sama halnya 

dengan kakawin Nitiśaṣtra, bait – baitnya berisi ajaran 

mistik yang bersifat didaktis. 

9. Kakawin Dharmaśunya, kakawin ini penuh dengan 

ajaran mistik yang bersifat Śiwaistis. Di bagian efilognya 

ada baris kalimat yang memberi petunjuk kemungkinan 

ditulis pada tahun 1304 atau 1340 Śaka, pengarangnya 

tidak diketahui.

10. Kakawin Hariśraya, kakawin yang anonim digubah tahun 

1574 Masehi. Isinya mengisahkan tentang : pertempuran 

antara Bhatara Wiṣṇu melawan tiga raksasa yaitu : Mali, 

Maliawan dan Sumali yang ingin menguasai Sorga.

Sesungguhnya masih cukup banyak karya sastra Kawi 

yang tidak dicatat dan tidak diberi komentar oleh Poerbatjaraka 

dalam Kepustakaan Jawanya. Terutama karya sastra Kawi 

yang oleh Zoetmulder disebut Kakawin Minor dari kemudian 

hari. Yang dimaksudkan yaitu  aneka warna kakawin yang 

panjangnya berbeda-beda dan waktu penulisannya terbentang 

sejak akhir kerajaan Majapahit sampai abad XIX dan beberapa 

diantaranya diduga ditulis di Bali.

Berbeda halnya dengan kakawin mayor, kakawin minor 

ditinjau dari mutu literarnya (mutu sastranya), umumnya 

memperlihatkan cacat-cacat yang biasanya kita jumpai dalam 

tulisan seorang epigon atau peniru belaka, tanpa imajinasi 

atau inspirasi. Pelukisnya terdiri atas sejumlah ungkapan dan 

perumpamaan yang telah menjadi klise yang kaku. Adegan- 

adegan di medan pertempuran diperpanjang tanpa batas. 

Sedangkan para lawan tidak memperlihatkan watak yang 

khas dan jelas, adegan pertempuran bertele-tele, sehingga 

menjemukan. Sering terjadi penyimpangan dalam tata bahasa, 

arti kata, dan pemanjangan vokal demi pemenuhan metrumnya. 

Isinya sebagian besar bersumber dari karya prosa. Karya- karya 

sastra minor antara lain :

1. Kakawin Subadra Wiwaha atau Kakawin Parthayajña 

(pernikahan dewi Subadra atau pengembaraan Arjuna).

2. Kakawin Abhimanyu Wiwaha (pernikahan Abhimanyu).

3. Kakawin Hariwijaya (kemenangan Wiṣṇu).

4. Kakawin Krêṣṇawijaya atau Kakawin Kalayuwanantaka 

(kemenangan Krêṣṇa atau kematian Kalayawana.

5. Kakawin Krêṣṇadaka atau Kakawin Kangśa (matinya 

Kangśa).


TEKS ĀDIPARWA

9.1 Bhagawān Domya 

Hana sira brāhmana bhagawān Dhomya ngaran ira. 

Patapan ira ry Ayodhyāwiśaya. Hana ta śiṣya nira tigang siki, 

ngaran ira sang Utamanyu, sang Āruṇika, sang Weda. Kapwa 

pinarīkṣa nira, yan tuhu guruśuśrūṣa gurubhakti. Kramanya 

de nira marīkṣa: sang Āruṇika kinon ira yāsawaha rumuhun, 

kamênā nira wehana ri sang hyang Dharmaśāṣtra. Yatna ta 

sang Āruṇikāgulaha, sakrama ning masawah ginawayakên ira. 

Sêdêng ahayu tuwuh nikang wīja, têka tang wah saha wṛṣṭipāta 

hudan adrês. Alah ta galêng nikang sawah. Saka ri wêdi nira n 

kahibêkana toya ikang pari, tinambak nira ta ya, tapwan asowe 

ikang wway. Alah teka tambak nikā, muwah tinambak nira. Tan 

wring deya nira, i wêkasan tinambakakên tāwak nireng wway 

manglêṇḍö, tarmolah irikang rahina wêngi. Katon tāwak nira 

ngkāneng sawah de sang guru. Mojar bhagawān Dhomya ri sira, 

kinon ta ya sirāwungwa.

Yasmāt kewārakhaṇḍena 

varadanyepi sangṣṭhitaḥ,

Tasmāt vavarika bhūtvā 

dhārakaḥ munin aruniḥ.

Anaku sang Āruṇika, atyanta ring dhāraka. Pawungwa 

tānaku. Sang Addyayatu (?) ngarananta, apan manambakakên 

awakta ring awway, makanimitta bhaktimta ring guru.

Śreyo’vāsyanti yo siddhiḥ

Astwanêmwa kita sukha, siddhimantrā wākbajrā kita.”

Nāhan ta pamarikṣa bhagawān Dhomya ri sang Āruṇika. 

Tumūt sang Utamanyu pinarikṣa nira.Ya ta kinon ira 

mahwana ng lêmbu. Yatna tingkah nira n pahwan irikang goh. 

Hāraka sang Utamanyu mahwan; ulih nirānasi ndatan pawwat 

nasi tasyan sira ri dang hyang guru. Ojar ta sang guru:


,,Anaku sang Utamanyu. Krama ning śiṣya yan gurubhakti: 

mawwat nasi solih nirānasi krama nikā.

Svayam aśrayamakopajīvana

Solihtānasi tan yogya bhuktinta.”

Mangkana ling nira mpu guru. Manêmbah ta sang 

Utamanyu, umupakṣamākên i śīla nira n salah. Irikang 

sakatambay eñjing lumampah ta sirāhwan, sumêlang manasi 

muwah. Solih nirānasi ya ta pawwat nire dang hyang guru. 

Huwus nirāwwat tasyan, manasi ta sira muwah, pinakopajīwa 

nirāhwan ikang lêmbu. Katinghalan tānasi ping rwa, inuhutan 

ta sira de sang guru, apan lobha ngaran ing mangkana. Ndatan 

panasi ping rwa pinakopajīwanā nira, ling ning guru. Dadi sira 

minum irikang kṣīra tatúeûa ning lêmbw anusu. Tinakwanan ta 

sira hāraka nira dening guru, mājar sira yar pamöh tatśeṣa ning 

lêmbw anusu. Ling sang guru:

”Udū, mangkin tan yogya ulahteku, apan malap gurudṛwya. 

Tan dadi ring śiṣya mangan dṛwya ning guru.”

Mangkana ling nira mpu. Mari ta sira minum susu. Hana 

ta wêrêh ning watsa mêtu sangkeng tutuknya yan panusu warêg 

sinuswan ing indungnya. Ya tika dinilat nira, pinakopajīwa 

nirāngrakṣekang lêmbu. Muwah ta sira tinañan de dang ācārya 

guru ry āhāra nira, mājar sira yan pangdilat i wêrêh ning watsa n 

tumibeng lêmah, pinakāhāra nira. Mājar ta sang guru:

”Ai anaku sang Utamanyu, tan yogya ike āhāranta. Ikang 

watsa wruh ika ri lapāntānaku. Saka ri wêlas ny ambêknye kita, 

hetunyāngutahakên ulihnyānusu. Tuhun yan wêrêh ngaranya, 

tan dadi ng wwang kadi kita mangêpeki pangan ing watsa. 

Sangkṣepanya: manghorati bhukti ning len ngaranya. Haywa 

pinakāhāra ikang tan yogya upajīwanā, apan agyang akuru ikang 

watsa yan mangkana.”

Nāhan ling nira mpu. Manêmbah ta sang Utamanyu. Ri 

sakatambay eñjing mahwan ta sira muwah, tatan pamangan 

sira. Saka ri lapā nira, amangan ta sira gêtih i rwan ing waduri. 


Ardhāpanas pwekā gêtih ing rwan ing waduri, sumök ta ya têkeng 

mata. Andhībhūta, dadi ta sira wuta tan panon deśa; hàrohara ta 

sirāmet irikang lêmbu. Hana ta ya sumur mati. Ngkāna ta sira 

n tibā kalêbw ing sumur, apan tan panon ing mārga nira. Sore 

pwekang kāla, mulih tekang wṛśabha tan hanāngiring mare 

kandangnya. Ndatan katon sira mulih de nira mpu, hārohara 

ta sirāmet i śiṣya nira. Irikang 

Related Posts:

  • sastra kawi 2 aja.kapunyan = kebaikan, ada dalam keadaan baik.c. Menyatakan tempat/tempat kediaman.kabinihajyan = tempat istri raja.kasatryan = tempan kediama… Read More