aja.
kapunyan = kebaikan, ada dalam keadaan baik.
c. Menyatakan tempat/tempat kediaman.
kabinihajyan = tempat istri raja.
kasatryan = tempan kediaman kesatriya.
kahyangan = tempat dewa.
kaḍatwan = tempat kediaman raja (kadang-kadang juga
berarti jabatan).
kadohan = tempat yang jauh, kejauhan.
kahanan = tempat berada.
d. Menyatakan arti yang hampir sama dengan bentuk pasif.
kālapan = terambilnya.
kaputêran = diputarnya.
kapanganan = termakannya.
Bahasa dan Sastra Kawi60
kālahan = terkalahkan.
kinumah = diminumnya.
kahêrêtan = terhambatnya.
kacaritan = diceriterakan.
kagawayan = diperbuatanya, apa yang diperbuat.
kapangguhan = ada , apa yang didapat.
kawarnan = ceritera, apa yang diceriterakan.
kapanasan = kepanasan, terkena panas.
3.16 Konfiks : ‘pa – (a) – n’
Sebuah kata dasar yang mendapat awalan ‘pa’ dan akhiran
‘a(n)’, biasanya memiliki arti : “tempat…atau kumpulan,
keseluruhan” apa yang disebut pada kata dasar itu. Ada yang kata
dasarnya diberi ‘nasal’ dan ada pula yang tidak diberi ‘nasal’.
Keduanya tidak ada perbedaan arti, yaitu sebagai berikut :
a. Yang memiliki arti tempat :
payajñan (yajña) = tempat berkurban.
paburwan (buru) = tempat berburu.
paprangan(prang) = tempat berperang.
pahêthötan (hêthöt) = tempat bersembunyi.
panghwanan (nghwan) = tempat pengembala.
panangkilan (tangkil) = tempat menghadap.
panadahan (tadah) = tempat makan.
pagawayan (gaway) = tempat bekerja.
pametan (pet) = tempat mengambil.
pamintonan (pinton) = tempat pertunjukkan.
pangdonan (don) = tempat tujuan.
panginuman (inum) = tempat minum.
pagêlaran (gêlar) = tempat yangluas, bangsal.
pangigêlan (igêl) = tempat menari.
b. Yang memiliki arti “kumpulan, keseluruhan” :
pasangkêpan (sangkêp) = perlengkapan, persiapan.
Bahasa dan Sastra Kawi 61
pakadangan (kadang) = hubungan saudara.
pakatonan (katon) semua yang dapat dilihat.
3.17 Konfiks : ‘a (ma) – an’
Kata dasar yang dibentuk dengan awalan ‘a (ma)’ dengan
akhiran ‘an’, pada umumnya menyatakan : sifat yang agak
berlebih – lebihan dalam arti :
1. Terus menerus.
2. Sungguh – sungguh.
3. Banyak.
Konfiks ‘a – (ma) – an’, dalam bahasa Indonesia dapat
disamakan dengan imbuhan: ‘ber – an’. Contoh :
magênturan = berdentuman.
madarawayan = bercucuran.
mahayunan = bergoyang – goyang.
mawilêtan = berlilitan.
makabehan = kesemuanya.
maluwaran = selesai, bubar.
mahuwusan = habis, berhenti.
mararyan = berhenti, mengaso.
akarwan = berdua, bersama – sama.
agarawalan = tergopoh – gopoh.
agulingan = bergulingan.
akudampêlan = berpautan.
atotohan = bertaruhan.
atêmahan = akhirnya menjadi.
akisapwan = berpangkuan.
3.18 Konfiks : ‘in – an’.
Dalam hal ini konfiks atau akhiran ‘an’ hanya mengganti
akhiran ‘i’ yang ada dalam bentuk aktifnya. Contoh :
anakwani (aktif ) tinakwanan (pasif ) = ditanyai.
Bahasa dan Sastra Kawi62
mamêjahi (aktif ) pinêjahan (pasif ) = dibunuh.
anahuri (aktif ) sinahuran (pasif ) = dijawab.
dumêdêli (aktif ) dinêdêlan (pasif ) = diinjak-injak.
manghyasi (aktif ) hinyasan (pasif ) = dihiasi.
manunwi (aktif ) tinunwan (pasif ) = dibakar.
tumali (aktif) tinalyan (pasif ) = diikat.
mamati (aktif ) pinatyan(pasif ) = dibunuh.
manuruni (aktif ) tinurunan(pasif ) = dituruni.
tumangisi (aktif ) tinangisan (pasif ) = ditangisi.
mangliwati (aktif ) liniwatan (pasif ) = dilalui.
manganugrahani(aktif)inanugrahan (pasif ) = dianugrahi.
tumarima (aktif ) tinariman (pasif ) = diberi.
manglêpasi (aktif) linêpasan (pasif ) = dilepasi.
Bahasa dan Sastra Kawi 63
BAB IV
KATA BILANGAN, KATA BERULANG, KATA
MAJEMUK DAN PERTUKARAN BUNYI
4.1 Kata Bilangan Tentu
Dalam hal kata bilangan dalam bahasa Kawi dipakai juga
kata bilangan bahasa Sanskerta. Ada dua macam kata bilangan,
yaitu:kata bilangan tentu dan kata bilangan tak tentu.
1. Kata bilangan tentu yaitu sebagai berikut :
No Bahasa Kawi Bahasa Sanskerta
1. tunggal eka
2. rwa dwi
3. têlu tri
4. pat(patpat) catur
5. lima pañca
6. nêm sad
7. pitu sapta
8. wwalu aṣṭa
9. sanga nawa
10. sapuluh daśa
11. sawêlas ekadaśa
12. sawêlas dwadaśa
13. tigawêlas trayodaśa
14. patwêlas caturdaśa
15. limawêlas pañcadaśa
16. nêmwêlas sodaśa
17. pituwêlas saptadaśa
18. wwaluwêlas aṣṭadaśa
19. sangawêlas nawadaśa
20. rwangpuluh viṁśati
Untuk bilangan 20 sampai 29, disamping ada kata
salikur (21), têlu likur (23) dan seterusnya, juga ada
Bahasa dan Sastra Kawi64
kata rwang puluh tunggal (21), rwang puluh têlu (23) dan
seterusnya, seperti cara dalam bahasa Indonesia. Mulai 30
(tiga puluh), cara menghitungnya seperti bahasa Indonesia.
Adapun : ratus dalam bahasa Kawi yaitu : atus.
ribu dalam bahasa Kawi yaitu : iwu.
Lakṣa dalam bahasa Kawi yaitu : lakûa.
kêti dalam bahasa Kawi yaitu : kêti, koti.
juta dalam bahasa Kawi yaitu : yuta, ayuta.
Misalnya : Sangan yuta limang kêti têlung lakṣa sangang
iwu limang atus nemang puluh = 9.539.560.
2. Jika kata bilangan itu dihubungkan dengan kata-kata yang
menyatakan ukuran waktu, ruang, atau jumlah, maka kata
bilangan itu mendapat tambahan “ng” dibelakangnya. namun
kata tunggal berubah menjadi “sa” Contoh :
patang wêngi = empat malam.
limang wêngi = lima malam.
limang tahun = lima tahun.
nêmang ayuta = enam yuta.
wwalung dêpa = delapan dêpa.
têlung siki = tiga buah (ekor).
limang atus = lima ratus.
nêmang iwu = enam ribu.
salek = satu bulan.
satahun = satu tahun.
saawiji = satu biji, seekor.
Perkecualian :
Di muka kata-kata wêlas, likur, dan sànak, tidak pernah ada
tambahan “ng”. Misalnya :
lima wêlas namun ada lima puluh.
rwa sànak namun ada rwang puluh.
têlu likur namun ada têlung siki.
3. Kata bilangan dengan awalan ‘ka’. Jika awalan ‘ka’ ini
ditambahkan pada kata bilangan, maka awalan ‘ka’ ini
Bahasa dan Sastra Kawi 65
berarti : semua, bersama-sama, atau tingkatan. Misalnya :
katêlu = ketiga- tiganya (semua atau yang ketiga/
tingkatan).
kapat = keempat-empatnya (semua atau yang keempat/
tingkatan).
kalima = kelima-limanya (semua atau yang kelima/
tingkatan).
kapitu = ketujuh- tujuhnya (semua atau yang ketujuh/
tingkatan).
4. Bilangan dengan awalan ‘pa’. Awalan ‘pa’, di muka kata
bilangan sering kali menyatakan arti “bagian”, dan bentuk
ini sering pula mendapat awalan ‘ma’ atau awalan ‘sa’.
Misalnya :
mapasewu = menjadi seribu bagian.
maparwa = menjadi dua bagian.
saparwa = menjadi sebagian, separuh.
saparpatan = seperempat.
5. Kata bilangan dengan awalan ping (pin). Awalan ping (pin)
di muka kata bilangan menyatakan arti: mempergandakan.
Misalnya :
pingrwa = dua kali.
pingtiga = tiga kali.
pisan = sekali.
pinglima = lima kali.
4.2 Kata Bilangan Tak Tentu
Bilangan tak tentu ini hanya dinyatakan dengan beberapa
kata-kata saja misalnya: ‘pira’, ‘sapira’, ‘angkên’ atau ‘nangkên’
dan ‘asing’. Contoh :
1. ’Pira’ ta lawas nira hana ngkā, katêkan ta sang brāhmana
duhka bhāra = Setelah beberapa lamanya ada di sana
tertimpalah sang brahmana itu oleh kesupaya n.
2. ’Pirang’ warsa kunang lawas nirātêmu tangan, inakànak
nira ta sang Citrānggada mwang Citrawirya = Maka setelah
Bahasa dan Sastra Kawi66
beberapa tahun lamanya bersuami istri, beranalah mereka
Citrānggada dan Citrawirya.
3. Tan ‘sapira’ lara ni nghulun pêjah saka ri pêjaha rahadya
sanghulun mangke = Tak seberapa aku susah akan kematian
(ku) jika dibandingkan kalau engkau sekarang mati.
4. Tan ‘sapira’ nggan ing harohara nirerikang anak = Tidak
seberapa bingungnya karena anak.
5. ’Nangkên’ tahun sira mānak = Tiap tahun ia beranak.
6. Maweh ta janma ‘angkên ‘tahun tahada nikang ràkûasa pati
= Tiap- tiap tahun (mereka itu) mamberikan manusia untuk
mangsanya raja raksasa itu.
7. ’Asing’ wwang mara ngkāna pinanganya = Setiap orang
yang datang ke sana di makannya.
8. ’Asing’ manghilangakên kadhurgandhan ira yukti maka
swamyanta = Barang siapa dapat menghilangkan bau yang
busuk itu, tentu akan menjadi suamimu.
9. ’Sasing’sarwabhawa masukeng guhā, yatika tugêl mapasewu
= Barang apa yang hendak masuk ke dalam gua, maka
hancurlah (menjadi seribu bagian).
10. ’Asing’ ta molah ring alas ing Khandawawana mawe rêg
tan uning paranya = Barang yang ada di hutan Khandawa
gemparlah tak tahu ke mana perginya.
4.3 Kata Berulang
Walaupun dalam bahasa Jawa Kuna di Parwa-Parwa
macam dan coraknya belum sebanyak kata berulang bahasa
Indonesia namun artinya yang terutama sama saja dengan
kata berulang bahasa Indonesia ialah : menegaskan pengertian
yang ternyata pada kata yang diulangi itu. Penegasan ini lalu
dapat menunjuk : banyaknya, berkali-kali, kesangatan tindakan
Bahasa dan Sastra Kawi 67
atau sifat. Dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa sekarang
penegasan ini ada juga menyatakan heran dan pengakuan
(meskipun) misalnya : kecil-kecil cabai rawit, hitam-hitam gula
jawa.
Adapun arti kata berulang yang menunjuk keumuman,
kesamaran, yang kemudian menjadi persamaan boleh juga
dikembalikan ke banyak tadi.Adapun tentang pembentukannya :
sering-sering bagian pertama kata berulang kehilangan bunyinya
yang terakhir.
Wija-wijah, kêdi-kêdik, tungga-tunggal, liniku- linikuran,
dan lain-lain.
Kata berulang yang berganti suara semacam bolak-balik,
jarang ada dalam bahasa Jawa Kuna.
‘Dwipūrwa’ (perulangan suku pertama) hanya sedikit
sekali seperti: ‘lilima, tatali’. Barangkali jabatannya ilaha untuk
membuat umum atau samar, walaupun berbeda dengan bentuk
yang tidak berulang.
Kata berulang menyatakan sebagai berikut :
1. Banyak :
• Rug ‘kayu-kayunya’…. (apuy) ... gumêsêng ing ‘alas-
alasnya’ = Roboh pohon-pohonnya ..., api ... membakar
hutan-hutannya.
• Katon tikang nāga kasungsang kawalik ‘masulung-
sulung’, tibeng kuṇḍa, kadi ‘larwa-larwan’ tumon dilah
ning dīpta kāla ning rātri = Tampak naga tunggang
terbalik seperti kelekatu jatuh ke tempayan pengorbanan
selaku laron yang melihat api pada malam hari.
2. Bermacam – macam :
• Atiśaya nghel ni nghulun, ibu, denya n wêgig maparan
-paran = Saya amat jemu, ibu, amat sukar mreka itu
karena menjalar ke mana - mana. (Kata Garuda kepada
ibunya, ia harus menjaga naga - naga).
Bahasa dan Sastra Kawi68
• Sinêgêh-sinêgêhan ta sira de sang maharsi = Ia disuguh
- suguhi (diberi bermacam - macam sajian) oleh maharsi.
3. Perulangan; berkali – kali ; masing - masing :
• Mahêm sira sore, ring prabhatakāla mêntas ‘muwah
muwah’ sira mangkana = Malam hari ia duduk di dalam
air, dinihari keluarlah ia, dan demikianlah berkali - kali.
• Ya ta gilir ‘salawang-salawang’ = berganti-ganti pintu
ke pintu.
• Ikā tānak nira kalima. Ya tikahêlêt ‘satahun-satahun’
sake wwang sānaknya ‘sowang-sowang’ = Itulah anak
-anak orang kelima itu. Antara saudara itu masing-
masing yaitu setahun.
4. Kesamaran, kaumuman, barang :
• Lumampah ta sirā ‘buru-buru’, ry alas nikang
Himawānpada nānāwidha mṛga uluh nirāburu = Ia
berangkat untuk berburu di hutan pada kaki gunung
Himalaya, banyaklah binatang yang diperolehnya
(karena berburu itu). (“aburu- buru” agak umum, dalam
bahasa Indonesia “berburu-buru” tak ada, namun sifat kata
berulang ini nyata juga, bandingkan dengan melihat-
lihat).
• Ya tikā alapên panêbusantê ibunta, narapwan ibunta
marya ‘hulun-hulun’ = Carilah itu untuk penebus ibumu
kepada kami, supaya ibumu tak usah mengabdi - abdi.
• Hana ta kārya mami ‘kêdi-kêdik’ = yaitu barang
pekerjaan sedikit-sedikit bagimu.
5. Persamaan :
• Molah ‘tanak-anak’ ing mata nira = Bergerak –geraklah
orang-orangan matanya.
• Dumudut i sang āsuki kangkên’tali-tali’ ning
Mandarācala = Mereka itu menarik Basuki yang seolah-
olah menjadi tali gunung Mandara.
Bahasa dan Sastra Kawi 69
• ’Wêka- wêka’ sang Kuru = Keturunan Kuru (dikatakan
kepada Parikêsit yang bukan anak Kuru, melainkan
keturunannya saja).
• Lêbu mêlêk de nya ‘angin-angin’ i hêlar sang Garuda =
Debu membubung ke atas karena angin sayap Garuda.
6. Kesangatan :
• ’Gila-gila’ tumon i rowangnya pinangan = Takut - takut
ia melihat kawan-kawannya di makan.
• Kāri ta mahārāja Drupada ‘tungga-tunggal’= Tinggalah
raja drupada seorang diri saja.
Pada kalimat penyuruh atau larangan :
• Haywa ‘sowe- sowe’ patyani juga usên = Jangan lama -
lama bunuhlah segera.
• Pasuk ‘śighra- śighra’ = Masuklah lekas-lekas.
Sering kali kata tambah berbentuk -’a (ma)....-an’
dipersangat, Contoh :
• Ndi ta paran mpungku matangnyan ‘agyāgyan’ têkap
rahadyan sanghulun lumaku = Kemanakah pergi tuan
hamba, maka berjalan amat tergesa – gesa.
• Tan dadi nghulun ‘maguywa-guywa’ tuwi = Tak patutlah
saya bergurau - gurauan.
• Rwa wêlas tahun lawas tamolah ing alas, ‘masukha –
sukha’ lawan sang Tapati = Dua belas tahun lamanya ia
tinggal di hutan bersuka-sukaan dengan Tapati.
• Umiṇḍuhur ta ya rambutnyawyang ‘awêrut- wêrutan’ =
Seramlah rambutnya, kusut masai kemerah – merahan.
Kata berulang dapat juga diberi awalan ka menjadi kata
tambah; “ka”- ini yang banyak mengandung arti kausatif.
Contoh :
• ’Kalunghā-lunghā’ ta laku nira = Makin menjauhlah
jalannya (makin lama makin jauh ia berjalan)
Bahasa dan Sastra Kawi70
• Madêg ta sira tumonton ri rùpa nikang ràkûasa, ‘kagiri
- giri’ bhayānaka = Berdirilah ia melihat raksasa, amat
sangat menakutkan rupanya.
• Māti ta sira, nda tan hilang rūpa nira, mangkin ‘konêng
- onêng’ tininghalan = Matilah ia tak lenyap-lenyap
kecantikannya, makin merindukan kelihatannya.
• Lain dari pada itu masih ada juga ‘konang-unang’,
‘konang-onang’ dan ‘konêng-unêng’, ada sebagai
kata sebut. Contoh :
• Bhinukti nira ramya ning sarwa kusuma mwang ‘konang-
unang’ ning lwah Yamunā = Dirasainya kecantikan
bunga-bunga serta kaindahan sungai Yamuna.
Sering-sering kata ini agaknya berubah menjadi kata
tambah karena diulangi belaka, Contoh:
• Hulun-hulun di samping mahulun: mengabdi, menjadi
budak.
Kata berulang (lebih-lebih kata dwipūrwa) dalam bahasa
Jawa sekarang ada yang berarti kausatif, misalnya : ‘ngengêl –
engêl’, ‘mbebingung’, ‘ndedawa’. Hal ini ada juga dalam
contoh - contoh di bawah ini :
• Apa matangnyan yan ‘pamuta-muta’ = Apakah sebabnya
maka tuan membuta itu (membuat buta) diri sendiri.
• Sangke ‘pamêdi-mêdi’ nira =Karena hendak menakutkan
dia.
4.4 Kata Majemuk
Kata majemuk merupakan gabungan dua kata tunggal atau
lebih yang penggabungannya sudah sedemikian rupa sehingga
menciptakan satu arti baru.
Bahasa dan Sastra Kawi 71
4.4.1 Ciri – ciri Kata Majemuk
1. Ciri arti ;
Pada ciri arti kata majemuk tidak memperlihatkan lagi arti
masing-masing unsurnya. Kata majemuk memiliki satu arti
dan merupakan kesatuan arti yang bulat. Contoh : ‘dana
punya’ (derma atau sumbangan).
2. Ciri konstruksi ;
Jika kata majemuk mendapat imbuhan, maka imbuhan
ini dibubuhkan pada awal unsur kata majemuk (kata
pertama) atau paling akhir pada unsur kata yang terakhir.
Demikian pula jika mendapat konfiks (imbuhan gabungan)
maka ia merupakan satu kata yang susunan unsur tidak
dapat dibalik.Contoh:’jananuraga’(simpatik),jika mendapat
konfiks ‘ka-an’ maka menjadi ‘kajananuragan’ (tentang
simpati).
3. Ciri unsurnya ;
Kata majemuk antara unsur-unsurnya tidak dapat disisipkan
sebuah morfem lain, antara unsur-unsurnya tidak dapat
dipisahkan. Contoh : ‘rama rena’ (kedua orang tua).
4. Ciri tekanan.
Tekanan kata majemuk selalu jatuh pada suku terakhir dari
unsur yang terakhir pula. Contoh : priya hita (ramah tamah).
Pada kata majemuk ini tekanan jatuh pada suku terakhir dari
unsur yang kedua yaitu suku ‘ta’ pada kata ‘hita’ dan bukan
pada suku terakhir pada unsur yang pertama (ya pada kata
priya).
4.4.2 Macam-macam Kata Majemuk
berdasar sifatnya kata majemuk dibedakan menjadi
dua yaitu : kata majemuk endosentris dan kata majemuk
eksosentris. Kata majemuk endosentris yaitu kata majemuk
yang distribusinya sama dengan salah satu atau semua unsurnya.
Bahasa dan Sastra Kawi72
Contoh : ‘jatugreha’ (rumah damar) dan lain – lain. Kata
majemuk eksosentris yaitu kata majemuk yang salah satu
unsurnya tidak dapat menggantikan seluruh unsurnya. Contoh :
‘priya hita’ (ramah).
Dilihat dari strukturnya kata majemuk dapat dibedakan
menjadi dua macam yaitu : kata majemuk setara dan kata
majemuk yang tidak setara.
1. Kata majemuk setara;
Kata majemuk setara yaitu kata majemuk yang unsur –
unsurnya tidak saling menerangkan namun berkedudukan
setara. Contoh :
bapebu = bapa + ibu (ibu bapak).
jatukarma = jatu + karma (jodoh).
wahyādhyatmika = wahya + adhyatmika (jasmani rohani).
2. Kata majemuk yang tidak setara;
Kata majemuk tidak setara yaitu kata majemuk yang salah
satu unsurnya menerangkan unsur lain. Contoh :
dewa putra (putra dewa).
yama brata (nama sumpah).
jatugreha (nama rumah).
kurukṣetra (nama lapangan).
Catatan :
Kata majemuk dalam bahasa Kawi ada yang berstruktur
asli Kawi yang menuruti ketentuan hukum DM
(diterangkan,menerangkan) mendahului yang diterangkan.
4.4.3 Arti Kata Majemuk :
1. Menyatakan arti kumpulan dari kedua unsurnya : Contoh:
bapebu (ibu bapak), punya pāpa (baik buruk), surapsari
(dewa bidadari), dan lain-lain.
2. Menyatakan pengertian mengeraskan. Contoh : wêlas arêp
Bahasa dan Sastra Kawi 73
(belas kasihan), priya hita (sopan santun), suka trêpti (suka
dan puas), dan lain -lain.
3. Menyatakan pembalas arti. Dalam hal ini unsur yang kedua
membatasi arti atau memberi penjelasan unsur yang pertama.
Contoh : suranggana (bidadari), suraraja (raja dewa), anak
hyang (anak dewa), dan lain- lain.
4.5 Pertukaran Bunyi
Di masa sekarang banyak kata - kata dari bahasa Jawa
Kuna menjadi kata-kata bahasa Jawa sekarang. namun
meskipun berubah suaranya banyak yang masih tetap suaranya.
Untuk perbandingan di bawah ini di berikan beberapa contoh :
No Bunyi Berubah menjadi : Contoh :
1. ‘r' ‘d’
ri
ron
aran
pari
ari
rara
menjadi
menjadi
menjadi
menjadi
menjadi
menjadi
di
don
adan
padi
adi
dara,dll.
2. ‘r’ hilang
hari
turi
duri
darat
pari
pêrêh
menjadi
menjadi
menjadi
menjadi
menjadi
menjadi
hai
tui
dui
daat
pai
pêêh,dll.
3. ‘w’ ‘b'
watu
wwat
wangke
waringin
wiji
menjadi
menjadi
menjadi
menjadi
menjadi
batu
bwat
bangke
beringin
biji,dll.
Bahasa dan Sastra Kawi74
4. ‘u’ ‘i’
sungguh
lungguh
pangguh
menjadi
menjadi
menjadi
singgih
linggih
panggih
5. ‘wa’ ‘o’
kwan
wwang
rwan
lwang
karwa
lwa
bwat
kulwan
menjadi
menjadi
menjadi
menjadi
menjadi
menjadi
menjadi
menjadi
kon
wong
ron
long
karo
lo
bot
kulon,dll.
6. ‘r’ ‘h’ nyiurikur
menjadi
menjadi
nyuh
ikuh,dll.
Bahasa dan Sastra Kawi 75
BAB V
KALIMAT BAHASA JAWA KUNA
5.1 Pengertian
Bahasa terdiri dari dua unsur ialah bentuk dan arti yang
dinyatakan oleh bentuk itu sendiri. Bentuk bahasa terdiri dari
satuan-satuan yang disebut satuan gramatik. Satuan-satuan
bahasa ini ialah : wacana, klausa, frase, kata dan morfem.
Kalimat dalam bahasa Jawa Kuna ada yang terdiri dari satu kata,
misalnya : ‘ih’, ada yang terdiri dari dua kata misalnya : ‘sang
resi’, demikian pula selanjutnya. Kalimat dalam suatu bahasa
sesungguhnya bukan ditentukan oleh banyaknya kata yang
menjadi unsurnya,melainkan intonasinya. Dengan demikian
yang dimaksud dengan kalimat ialah bentu linguistik yang
diakhiri oleh intonasi final atau intonasi akhir selesai. Beberapa
contoh kalimat bahasa Jawa Kuna dari teks Àdiparwa :
• ”Hana ta sang Daśabala ngaranya, parnah wadwa de
maharaja Basuparicara, hulun juru tambangan maparahu
gantinya”, artinya ada seseorang bernama Daśabala dalam
kekuasaan raja Basuparicara menjadi juru tambangan,
menyeberangkan orang dengan perahu, itulah tugasnya.
• ”Mangkana ling sang prabhu, sumahur sang tapi sira”,
artinya demikian kata sang prabhu, katakanlah sewajarnya
olehmu kepada ku.
• ”Mojar ta sang swami sira kabeh”, artinya berkatalah semua
pendeta menyambut.
• ”Katon pwa sirahayu”, artinya terlihatlah wajah yang molek.
Dari bentuk-bentuk kalimat di atas masing-masing
memiliki bentuk linguistik yang memiliki intonasi akhir.
Bahasa dan Sastra Kawi76
Bentuk-bentuk di atas ada yang terdiri dari banyak kata dan
ada pula yang terdiri dari tiga kata, namun masing-
masing memiliki intonasi akhir. Bentuk yang
semacam inilah yang disebut dengan kalimat.
5.2 Macam-macam Kalimat Bahasa Jawa Kuna
berdasar intonasi dan banyaknya klausa yang
menjadi unsur kalimat itu, maka kalimat bahasa Jawa
Kuna dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu : kalimat
berita, kalimat perintah dan kalimat tanya.
1. Kalimat Berita;
Kalimat berita yaitu kalimat yang berfungsi untuk
memberitahukan atau menyampaikan sesuatu berita
kepada orang lain. Contoh :
”Hana sira ratu sang Mahabhima ngaranira” =
ada seorang raja Mahabhima namanya.
2. Kalimat Perintah;
Kalimat perintah yaitu kalimat yang
mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan
setelah disampaikan dari orang yang diajak bicara.
Contoh :
“Mangkana pawêkas sang Sawitri ri sira” =
Demikianlah pesan sang Sawitri kepadanya.
3. Kalimat Tanya.
Kalimat tanya yaitu kalimat yang umumnya
berfungsi untuk menanyakan sesuatu. Intonasi
kalimat tanya berbeda dengan kalimat berita maupun
Bahasa dan Sastra Kawi 77
kalimat perintah. Kalimat berita berintonasi akhir
turun sedangkan kalimat tanya berintonasi akhir naik.
Contoh :
“Apa don mu datêng marangke” ? = Apa tujuanmu datang
kemari ?.
berdasar banyaknya klausa yang menjadi unsurnya,
kalimat dalam bahasa Jawa Kuna dikelompokkan menjadi tiga
macam yaitu : kalimat tunggal, kalimat majemuk dan kalimat
minor.
1. Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal yaitu merupakan kalimat yang sederhana
terdiri atas satu klause.Contoh : “Sumahur sang Jaratkaru”
= Menjawab sang Jaratkaru.
2. Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk yaitu kalimat yang terdiri dari dua klausa
atau lebih. Kalimat majemuk dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu : kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk
tak setara.
a. Kalimat majemuk setara yaitu : kalimat yang salah satu
klausanya tidak merupakan bagian dari klausa lainnya.
Masing - masing klausa berdiri sendiri sebagai sebagai
klausa yang setara. Contoh : malit ahirêng, abang
matanya = kecil hitam (badannya), merah matanya.
b. Kalimat majemuk tidak setara yaitu : kalimat majemuk
tidak setara yaitu kalimat majemuk yang antara
klausanya merupakan bagian dari klausa yang lainnya.
Jadi salah satu klausanya merupakan inti sedang klausa
lainnya bukan inti. Contoh : “Huwus pwa siddhi mantra,
Bahasa dan Sastra Kawi78
mahas ta sireng sarwaloka” = sesudah ia tamat akan
segala mantra, ia diperbolehkan memasuki segala
tempat.
3. Kalimat Minor
Kalimat minor yaitu kalimat yang terdiri atas satu kata atau
satu frase namun tidak memenuhi struktur frase. Contoh : ‘Ih’
= Hai.
Bahasa dan Sastra Kawi 79
BAB VI
MEMBACA KARYA SASTRA
PROSA DAN PUISI JAWA KUNA
6.1 Membaca Karya Sastra Prosa
Dalam pelajaran bahasa Kawi kita jumpai dua bentuk
karya sastra,yaitu bentuk prosa atau gancaran dan bentuk puisi
atau tembang, yang masing-masing memiliki cara-cara
tersendiri dalam hal membacanya. Dalam mebaca prosa ada dua
cara yaitu :
6.1.1 Membaca phalering
Kata phalering berasal dari dua kata yaitu : phala (buah)
dan iring (ikut, serta) lalu disaṁdikan. Jadi menurut hemat
kami kata phalering, ialah membaca secara beriring-iring atau
berturutan dengan suara yang hampir sama.
Membaca phalering yaitu membaca biasa dengan
intonasi (tekanan) yang monoton artinya membaca biasa atau
hampir senada. Dalam membaca phalering yang penting
diperhatikan yaitu tanda baca, penggalan-penggalan kalimat
sesuai dengan “guru bhasa”. Guru bhasa yaitu penggalan-
penggalan kalimat yang akan diterjemahkan dan mengandung
pengertian yang memadai. Biasanya tiap-tiap pemenggalan atau
koma, pembacaan atau suara kita agak naik sedangkan dalam
tanda titik agak menurun.
6.1.2 Membaca palawakya
Membaca palawakya yaitu membaca yang penuh
mempergunakan ketentuan-ketentuan intonasi, sebagai nada,
tekanan, perhentian, dan lain-lainnya. Jadi keras lembutnya
suara, panjang pendeknya suara dan tinggi rendahnya suara
betul-betul memegang peranan dalam membaca palawakya.
Kalau kita mendengarkan orang membaca palawakya, kira- kira
Bahasa dan Sastra Kawi80
tidak jauh dengan orang yang berdeklamasi, walaupun gaya
dan toonnya agak berbeda. Untuk dapat membaca phalawakya
dengan baik, tepat dan benar, ada beberapa syarat harud dikuasai
diantaranya:
1. Mahir dan dapat mengetahui mengenai notasi – notasi yang
berlaku dalam abjad bahasa Kawi, misalnya :
a. Akṣara Wyañjana : ñ - dibaca ny.
ç - dibaca ś.
b. Akṣara suara : ā, ī, ū, - dibaca dirgha (panjang)
ê - dibaca e pêpêt.
ö - dibaca ê.
2. Mengetahui tentang syarat guru laghu, maksudnya suku
kata mana harus baca agak panjang dan yang mana dibaca
pendek atau biasa. Guru artinya suara berat, panjang, dan
laghu berarti suara ringan, pendek.
3. Pemenggalan- pemenggalan kalimat harus tepat dan benar.
Untuk dapat memenggal kalimat dengan tepat dan benar kita
harus paham akan arti kata- kata yang ada dalam bacaan
ini , (guru bhasa).
4. Dalam setiap pemenggalan atau pada suku kata terakhir
biasanya suara itu dipanjangkan.
5. Yang tidak kalah pentingnya ialah cara melafalkan atau
melagukan kalimat-kalimat ini , sehingga enak didengar
dan gampang ditangkap.
Phalawākya berasal dari kata ‘phala’ artinya buah dan
‘wākya’ yang berasal dari kata wāk yang berarti suara atau
ucapan. Pengertian yang lain palawakya berasal dari kata para
dan wākya, ‘para’ berarti lain, mulia, luhur, utama, dan ‘wākya’
berasal dari kata ‘vāk’ berarti suara atau ucapan. Jadi palawākya
berarti hasil ucapan, yaitu ucapan-ucapan dari seseorang yang
dipandang lebih tinggi (luhur, utama, mulia) serta mengandung
Bahasa dan Sastra Kawi 81
suatu petuah atau ajaran-ajaran yang berguna bagi kita. Naskah
yang biasa dibaca dengan phalawākya misalnya naskah-naskah
yang berbentuk prosa atau parwa atau gancaran, seperti :
Adiparwa, Putru, dan naskah-naskah parwa lainnya.
Kakawin mengambil bentuk terikat dan isinya bersifat
perasan, maka parwa yaitu karya sastra beberan yang
jika dibacakan kalimatnya diberi tekanan sedemikian rupa
pada bagian-bagian tertentu yang disebut phalawakya. P.J.
Zoetmulder mengatakan bahwa parwa-parwa merupakan proses
yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam bahasa sanskerta
dan menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan
dari karya asli dalam bahasa sanskerta, kutipan-kutipan ini
di seluruh teks parwa itu. Diadaptasi artinya disadur. Para Kawi
Jawa Kuna berusaha membahasa Jawakan karya sanskerta,
khususnya epos Mahābhārata dan Rāmāyana. Dalam rangka ini
pengarang sering mengutip kata, kalimat atau śloka. Kalimat-
kalimat bahasa Kawi yang mengikutinya biasanya merupakan
transliterasi (alih bahasa) kutipan itu.
Karya sastra prosa (parwa), jika ditinjau dari struktur dan
isinya dapat digolongkan dalam jenis prosa naratif (kisahan)
yang strukturnya sederhana, jernih dan teratur. Sang Kawi
padaumumnya amat pandai menceritakan suatu peristiwa
dengan gaya yang hidup serta lancar.
6.2 Membaca Karya Sastra Puisi
berdasar bahasa yang dipakai dalam puisi, ada
dua bentuk puisi yaitu puisi berbahasa Kawi yang berupa bentuk
wirama (kakawin) dan puisi yang bernahasa Sanskerta, yang
berupa bentuk śloka.
Menurut sejarah tembang-tembang yang tercantum dalam
pengantar Puisi Jawa oleh Soesatyo Darmawi dinyatakan : bahwa
orang-orang India yang datang ke Indonesia, mempengaruhi
kebudayaan Indonesia terutama Jawa dan Bali. Dalam
kesusastraanpun pengaruhnya sangat besar. Banyak hasil-hasil
Bahasa dan Sastra Kawi82
kesusastraan India Kuna diterjemahkan, disadur ke dalam bahasa
Jawa Kuna. Dengan ini maka kesusastraan Jawa Kuna mulai
lahir. Puisi India Kunapun masuk dalam kehidupan kesusastraan
Jawa. Oleh karena bahasa Sanskerta itu memiliki vokal
panjang maupun pendek, sedangkan bahasa Jawa sebagaimana
bahasa-bahasa lain di Indonesia tidak mengenal bentuk itu,
maka pujangga-pujangga Jawa berusaha menirunya terutama
dalam hal mengarang sanjak-sanjak yang disebut sekar agung
atau kakawin, sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku bagi
sajak- sajak úloka India. Selaku pegangan dikaranglah sebuah
buku yang bernama Wrêttasañcaya oleh Mpu Tanakung pada
abad XII Masehi, yang memuat skema, dan macam- macam,
serta persyaratan tembang-tembang bersama dengan guru dan
laghunya.
6.2.1 Membaca Puisi Jawa Kuna
Istilah membaca puisi Jawa Kuna atau Kawi ini kami
tekankan pada tembang, yaitu tembang-tembang sekar agung
atau kakawin atau wirama. Mengenai jenis-jenis tembang cukup
banyak dan memiliki variasi sendiri-sendiri tentang guru
laghunya. Syarat-syarat secara umum dapat kami kemukakan
sebagai berikut :
1. Tiap-tiap bait umumnya terdiri dari empat baris kalimat.
2. Tiap-tiap baris jumlah suku katanya tetap sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam nyanyian itu masing-
masing.
3. Memakai guru laghu yang syaratnya juga sesuai dengan
ketentuan yang ada pada nyanyian itu masing- masing.
4. Suku kata yang terakhir boleh guru boleh juga laghu.
1) Guru Laghu
Pemahaman guru lagu merupakan modal dasar bagi si
pembaca (pengewacen) di dalam kegiatan mabebasan sedangkan
Bahasa dan Sastra Kawi 83
penerjemah dituntut penguasaan dalam hal bahasa teks yaitu
bahasa Jawa Kuna. Baik buruk dan berhasil tidaknya pembaca
(pangawacen) dalam melagukan Kakawin tergantung kepada
pemahaman dan penguasaan dalam bidang guru laghu, disamping
suara dan vokal yang cukup baik. Bila seseorang pembaca
(pengewacen) kurang penguasaannya terhadap guru laghu,
pasti akan banyak melakukan kesalahan berupa pelanggaran
guru laghu. Pelanggaran terhadap guru laghu disebut dengan
memurug. Guru laghu merupakan pola dasar pembentukan puisi
Jawa Kuna atau Kakawin. Beberapa hal penting yang harus
diketahui dalam pemahaman dan penguasaan terhadap guru
laghu yaitu sebagai berikut:
1) Guru ditulis dengan garis melintang (-), guru berarti berat,
panjang, berliku-liku. Tempo suara guru pada satu suku
kata kalau dihitung dalam perasaan ketukan lambat yaitu
minimal tiga ketukan.Wanda atau suku kata-suku kata yang
sepatutnya mendapat nilai guru ialah :
1. Semua aksara suara dirgha (panjang) yaitu :
Nama Bentuk Contoh Latin
Tĕdong o ā rog, rāga
Ulu sari I ī d(uxIti, durṇīti
Suku ilut .. U ū ]Ur, śūra
Taleng E e ekÙ;, kweh
Taleng- tedong EO o erog, roga
Bahasa dan Sastra Kawi84
Pêpêt- têdong o) ö Ï\)on/, rêngön
Cakra
mêsurang-
têdong Êo rö/æ - -
Gantungan
lê-mêpêpt-
mêtêdong ÞO í/lö - -
Suara angkêp
“ai” E ai E dtê daitya
Suara angkêp
“au” E O au E ho[a auṣadha
2. Semua suku kata yang bertekanan (matêngênan) yakni
suku kata yang memakai tanda seperti :
Nama Bentuk Contoh Latin
Bisah ; ḥ p)j;, pêjah
Surang ( p(t, parta
Cêcêk * s*, sang
Adêg-adêg / tn/, tan
Bahasa dan Sastra Kawi 85
3. Semua suku kata yang ngarepin (menghadapi) :
Nama Bentuk Contoh Latin
Dwita (aksara
rangkap) útætÓi, budÒi , útætÓi, budÒi , utpatti, buddhi
Di depan Suku
kembung Ù rk Ù , rakwa
Nania ê stêwti, satyawati
Di depan Cakra É k×tÉiy , kṣatriya
2) Laghu umumnya ditulis dengan tanda lengkung ( ‚ ) atau
setengah bulatan dan ada juga memakai bulatan penuh (0)
Laghu artinya ringan, pendek, kencang. Tempo suara lagu
pada suku kata kalau dihitung dalam perasaan yaitu satu
ketukan biasa/lambat. Wanda atau suku kata yang sepatutnya
mendapat nilai laghu ialah wanda yang memakai aksara
suara pendek (hrêswa) dan suku kata yang lagena, artinya
suku kata yan tidak memakai sandangan. Dalam akṣara Bali
yang menandakan mengandung laghu, suara pendek yaitu
yaitu semua akûara Danti dan akûara Murddha yang polos,
yang tidak memakai sandangan (pakaian). Akṣara Danti
ini yaitu sebagai berikut ini.
h, n, c, rÉ, k, d, t, s, w,
ha na ca ra ka da ta sa wa
l, m, g, b, \, p, j, y, z,
la ma ga ba nga pa ja ya nya
Bahasa dan Sastra Kawi86
Akṣara Murddha yaitu:
Nama Akṣara
na rambat x, ṇa
gantungan ca laca ; cha È, cha
ra repa Ï, ṛ
guwung repa Ô
da madhu a dha
ta tawa q
ta latik `
sa saga ]
sa sapa [
lelenga 2
gaghora
F
bekembang
V
pekapal 8
Bahasa dan Sastra Kawi 87
Akṣara yang memakai sandangan (penganngge swara) berupa :
iulu bersuara ‘i’
Usuku bersuara ‘u’
)pêpet bersuara ‘ê’
Demikian juga akṣara yang memakai :
kÉ maguwung memakai guwung
dê mananya memakai nanya
kÙ masuku kembung memakai suku kembung
Semua akṣara ini di atas termasuk laghu, bersuara
pendek (I.G.B. Sugriwa, 1978).
Perhitungan guru laghu dalam satu baris kakawin juga
ditentukan oleh pengelompokan suku kata. Pengelompokan
ini terdiri dari tiga-tiga suku kata yang disebut gana. Dengan
penyusunan kelompok ini akan terlihat bentuk metrum dari
sebuah kakawin. Untuk lebih jelasnya tentang gana, maka
penulis merujuk isi lontar Candhakarana sebagai berikut :
“Purwwa nihan ma-kara ngaraning guru tiga sagama,
laghu kunang panendhasaning hungguhi ya-kara gana,
yapwan ikang ra-kara gana laghu madhudhuki tengah,
hetunikang sa-kara gana matwanga guru wekasan.
Wruh pwa kita ta-kara ngaraning laghu tepi kawuri,
jatinikang ja-kara gana mangkana guru ring tengah,
Bahasa dan Sastra Kawi88
bhakti juga ng bha-kara gana ring guru sira rumuhun,
na-kara gana telwa madulur tika ya laghu pada”.
Arti bebasnya, yang disebut dengan:
ma-kara gana, bentuk komposisinya :
guru-guru-guru =/- - -/
ya-kara gana, komposisinya :
laghu-guru-guru =/u - -/
ra-kara gana, komposisinya :
guru-laghu-guru =/- u -/
sa-kara gana, komposisinya :
laghu-laghu-guru =/u u -/
ta-kara gana, komposisinya :
guru-guru-laghu =/- - u /
ja-kara gana, komposisinya :
laghu-guru-laghu =/u - u /
bha-kara gana, komposisinya :
guru-laghu-laghu =/- u u /
na-kara gana, komposisinya :
laghu-laghu-laghu =/u u u/
Untuk mudah dapat mengingatnya gana ini dapat
disusun sebagai berikut :
Ya gana/u - -/
Ta gana/- - u /
Ra gana/- u - /
Ma gana/- - - /
Bha gana/- u u /
Ja gana/u - u /
Sa gana/u u - /
Na gana/u u u /
Dari perhitungan kelompok tiga-tiga suku kata dalam satu
baris kakawin, apabila masih tersisa satu suku kata yang terakhir
biasa ditandai dengan/u /. Suku kata terakhir ini dapat dibaca
Bahasa dan Sastra Kawi 89
sebagai guru dan dapat juga sebagai laghu. Kalu sisa terakhirnya
dua suku kata, yang pertama guru/-/ini disebut “ga kara”, yang
terakhir laghu/u/disebut “la kara”.
Dalam tradisi Mabebasan di Bali istilah guru dibedakan
menjadi : guru hrêswa, guru dirgha guru pluta, guru bhasa dan
guru lambuk.
1) Guru Hrêswa
Guru hrêswa yaitu guru pendek. Maksudnya yaitu
seorang pengewacen atau pembaca Kakawin tatkala
menembangkannya, mendapat kelonggaran, tanpa harus
bersuara panjang, berat dan beralun.
2) Guru Dirgha
Guru dirgha yaitu guru panjang. Di sini pembaca Kakawin
harus menyuarakan dengan suara berat dan panjang pada
suku kata yang jatuh pada hitungan guru dirgha.
3) Guru Pluta
Guru Pluta bermakna suara guru yang beralun. Bila suku kata
suatu baris Kakawin jatuh pada hitungan guru dirgha, maka
pembaca wajib melagukannya dengan suara berat, panjang
dan beralun.
4) Guru Bhasa
Istilah guru bhasa terdiri atas dua kata yaitu kata guru yang
berarti suara berat, panjang dan beralun dan kata bhasa yang
berarti bahasa. Jadi Guru Bhasa artinya suara berat, panjang
dan beralun yang jatuh pada suku kata tertentu,walaupun
suku kata ini bukan merupakan suku kata terakhir dari
baris Kakawin yang dibaca. Pada suku kata ini, pembacaan
dihentikan sementara untuk disambung dengan terjemahan
oleh penerjemah (pemawos). Jadi singkatnya guru bhasa
yaitu suara guru yang jatuh pada suku kata yang sudah
memiliki satu kesatuan tafsir makna.Guru bhasa boleh jatuh
Bahasa dan Sastra Kawi90
pada metrum guru atau metrum laghu. Kegunaan guru bhasa
yaitu untuk memudahkan bagi penerjemah, baik dalam
mengingat kata-kata yang baru habis dibacakan (dinyanyikan)
maupun dalam menyusun dan menyampaikan terjemahan
dalam bentuk lisan.
5) Guru Lambuk
Lambuk atau nglambuk artinya tidak beraturan. Maksudnya
pada waktu menyanyikan suatu nyanyian atau wirama
kakawin, penyanyi atau pengewacen atau pembaca tidak
mengiraukan syarat-syarat guru laghu dan guru bhasa, namun
yang penting yaitu soal rasa dan menjiwai nyanyian itu.
Hal ini sering kita lihat pada waktu orang bernyanyi dalam
hubungan kematian.
6.2.2 Membaca Śloka
1) Pengertian Śloka
Menurut The Concise Sanskrit English Dictionary oleh
Vasudeo Govind Apte kata Śloka artinya bait, pujian atau
memuji-muji, kemasyuran, ketenaran dan popularitas (a stanza,
praise, fame). Sedangkan menurut Arthur A. Macdonell
(1997:232) Śloka berasal dari kata śru yang berarti mendengar.
Śloka dikembangkan dari Veda Anuṣṭubh. Dalam Veda Anustubh
śloka berarti syair sajak atau ayat kepahlawanan.
Kata Śloka memiliki kesamaan akar kata dengan Śruti
yaitu akar kata “śru” yang berarti mendengar. Akar kata “śru”
dalam tasrifan akar kata bahasa Sanskerta dapat menjadi śruti.
Śruti artinya ia memperdengarkan. Śruti juga berarti wahyu,
yaitu Veda Śruti. Veda Śruti yaitu Veda yang isinya yaitu
wahyu dari Brahman atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang
diterima oleh para Maharsi.
Śloka dan Śruti memiliki kesamaan arti mamperdengarkan.
Śloka juga berarti bait syair pujian. Mengucapkan Śloka juga
dapat dikatakan “nyruti”yaitu ia memperdengarkan. Para
Bahasa dan Sastra Kawi 91
Maha Rsi jaman dahulu sebelum tahu membaca dan menulis
menyampaikan ajaran ajaran pada siswanya secara lisan. Para
siswa duduk bersila sambil mendengarkan ajaran-ajaran dari
gurunya (upaniṣad). Gurunya menyampaikan ajaran dalam
bentuk Śloka dengan tembang, sehingga menarik bagi siswanya
mendengarkan.
berdasar uraian ini di atas bahwa pembacaan
Śloka yaitu membaca bait syair susastra Veda(Upanisad,
Bhagavadgītā, Sārasamuccaya, dan kitab-kitab Nibandha) dan
Catur Veda (Ṛg, Sama, Yajur dan Arharva Veda Saṁhitā) dengan
irama Śruti.
2) Bahasa Śloka
Śloka menggunakan bahasa Sanskerta. Bahasa Sanskerta
dalam kitab Aṣṭadhyāyi oleh Panīni disebut dengan deivīvāk yaitu
bahasa para dewa, hurufnya bernama Devanāgarī yang berarti
Alam Kedewaan. Bahasa Sanskerta dalam kesejarahannya bukan
bahasa manusia. Bahasa Sanskerta yaitu bersifat kedewaan,
bahasa para dewa (Sanskṛtam nāma daivi-vāk), demikian
dijelaskan oleh para maharsi (Anvakhyata mahārṣibhiḥ).
Bahasa Sanskerta jika diucapkan dan diperdengarkan akan
menumbuhkan sifat-sifat dewa dalam diri orang.
3) Bentuk Śloka
Ada dua jenis bentuk śloka sesuai pembacaan Veda, yaitu :
Padapāṭha dan Saṁhitāpāṭha. Paṭapāṭha yaitu pembacaan
setiap kata pada setiap baris dengan jelas dan terang. Pembacaan
dengan di-saṁdhi-kan (digabung /ditemukan antara kata yang
satu dengan yang lain) disebut Saṁhitāpāṭha.
4) Membaca Śloka
Dalam membaca Śloka harus memperhatikan cara
membaca dan mengucapkan huruf-huruf Devanāgarī sebagai
berikut.
Bahasa dan Sastra Kawi92
1. Pengucapan konsonan Mūrdhanya (ṭ; ṭh; ḍ; ḍh; ṇ)
diucapkan seperti aksara Dental/Danti (t; d; n)
2. Konsonan Mahāpraṇa (kh; gh; ch; jh; th; dh; ph; bh)
diucapkan seperti satu konsonan (k; g; c; j; t; d; p; b)
3. Konsonan ‘Ś’ (Talavya) dan ‘Ṣ’ (Mūrdhaṇya) diucapkan
seperti ‘S‘ (Dental)
4. Pengucapan beberapa vocal seperti: Ṛ dibaca “ri”, Ñ
dibaca “nya”, Ṅ dibaca “nga”, Ḥ dibaca “ah”
5) Guru Laghu
Śloka dibaca dengan mempertimbangkan guru laghu.
berdasar Veda Pratisakhya oleh Paṇḍita Gaṅgadasa
menyatakan suku kata yang disebut guru sebagai berikut.
sanuSvré dI`Ré ivsgIR c guä.Rv et(-
v,R" s'yogpUvRé tqa padaNtgoipva--
Sānusvaraśca dīrghaśca visargī ca gururbhavet,
Varṇaḥ saṁyogapūrvaśca tathā pādānta gopivā.
Artinya:
Kutipan ini di atas dijelaskan bahwa suku kata guru
yaitu : 1) suku kata dengan anusvara (ṁ) atau visarga (ḥ)
selalu guru. 2) Vokal hresva diikuti oleh gugus konsonan,
misal: tan, tar, pat, dan sebagainya. 3) Semua vokal dīrgha:
ā, ī, ū, ṝ, e, ai, o dan au.
Sedangkan suku kata laghu yaitu : 1) Semua vokal hrêsva/
pendek dan diikuti oleh satu konsonan. 2) Vokal monophthongs
pendek: a, i, u, ṛ, dan ḷ. 3) Suku kata pada konsonan mahaprana.:
kh, gh, ch, jh, th, dh, ṭh, ḍh, ph, dan bh.
berdasar kutipan ini di atas bahwa dalam
membaca śloka harus memperhatikan guru laghu. Guru yaitu
suara berat dan laghu yaitu suara ringan. Suku kata dengan
mendapat anusvara (ṁ) atau visarga (ḥ) yaitu guru. Vokal
Bahasa dan Sastra Kawi 93
panjang: ā, ī, ū, ṝ, e, ai, o, au, yaitu guru. Vokal prndek: a,
i, u, ṛ, dan í yaitu laghu. Ketika suatu huruf hidup pendek
mengikuti suatu Anusvāra atau Visarga atau oleh suatu huruf
mati itu disebut suatu prosodi vokal panjang seperti : gamya,
accha, pṛccha, dan lain-lain. Suku kata yang terakhir suatu pāda
yaitu dapat berupa guru (berat) atau laghu (ringan).
6) Irama Śloka
Umat Hindu Indonesia membaca Śloka dengan irama
yang khas yaitu irama Śruti (reng mantra). Irama śruti telah
disepakati secara nasional seperti dalam Utsawa Dharmagītā
Nasional. Pengambilan suara biasanya di pangkal kerongkongan
disebut dengan angkus prana. Suara kedengaran bergema ke
dalam, seperti dengungan kumbang yang sedang mengisap sari
bunga (Bramara angisep sari).
Reng (irama) Śloka kalau diperhatikan sulit dipisahkan
antara laras pelog dan selendro, namun lebih banyak presentasenya
ke laras pelog, apabila Śloka itu mengambil nada irama Śruti
ngwilet (panjang).
berdasar pengamatan artikulasi suara dalam dharmagītā
ada 3 yaitu: 1) Suara nantia yaitu suara yang berartikulasi di
ujung lidah (tungtunging jihwa) untuk menyanyikan sekar
alit atau geguritan (pupuh); 2) Suara madya yaitu suara yang
berartikulasi di bagian tengah lidah (madhyaning jihwa)
untuk menyanyikan sekar madya (kidung); dan 3) Suara yang
berartikulasi di pangkal lidah/kerongkongan (bungkahing jihwa)
untuk sekar agung (kakawin, palawakya) suara angkus prana
untuk menyanyikan śloka, dan mantra.
Pengucapan huruf murdhanya (ṭa, ṭha, ḍa, ḍha dan ṇa)
dan vokal perubahan (ḥ/ah) belum diberlakukan sebagaimana
kaidah bahasa Sanskerta dalam menyanyikan irama śloka baik
utsawa membaca dan menghafal, namun huruf anusvara (ṁ/em)
diucapkan sebagaimana mestinya.
Bahasa dan Sastra Kawi94
berdasar pengamatan dilapangan pembacaan teks
Śloka dari mantra Veda oleh Pinandita (Pemangku) dan Pendeta
(Sulinggih) pada umumnya memakai beberapa reng (irama)
yaitu: ada yang diucapkan dengan: tanpa tembang (tanpa irama),
Palawakya, seperti wirama Sardhula, seperti wirama Sroñca
dan ada juga yang tidak bersuara (diam dalam hati).
7) Contoh Śloka
Beradasarkan jenis bahasa Sanskerta yang digunakan
dalam teks śloka dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
1. Bahasa Sanskerta Veda
puåz Ev ed' svRm(
Puruṣa evedam sarvam,
yÙUt' yé .Vym( -
yadbhūtam yaśca bhavyam,
£tam*t TvSye xano
utāmṛta tvasye śāno,
ydÞen itrohit --
yadannena tirohati.
(Ṛgveda,X.90.2)
Dia sesungguhnya yaitu semua ini. Dia yaitu apa yang
telah ada dan yang akan terjadi. Dia yaitu penguasa
keabadian. Dia dipahami melalui keberadaan benda-benda
materi.
2. Bahasa Sanskerta Klasik
è[eyaNd–VymyaÛDaj(
śreyān dravya-mayād yajñāj
DanyD" pr'tp -
jñāna yajñaḥ paraṁtapa,
Bahasa dan Sastra Kawi 95
sv| kmaRi%l' paqR
sarvaṁ karmākhilaṁ pārtha
Dane pirsm aPyte --
jñāne parisamāpyate.
(Bhagavadgītā,IV.33)
Persembahan berupa pengetahuan, wahai Arjuna, lebih
mulia daripada persembahan materi. Dalam keseluruhan
kerja ini akan mendapatkan apa yang diinginkan dalam
pengetahuan itu, wahai Partha.
3. Bahasa Sanskerta Archipelago atau Kepulauan
b[aõa s*Äyte lokm(-
Brāhmā sṛjjayate lokam,
ivZ,v e palka iZ$tm(-
viṣṇave pālakā ṣṭitam,
äd– Tv e s'haréevm(-
Rudra tve sanghāraś cevam,
i] mUiTtR" nam Evc--
tri murttiḥ nāma evaca.
(Bhuwana Kosa, III. 76)
Dewa Brahma menciptakan dunia,
Dewa Wisnu menjaga dunia,
Dewa Rudra melebur dunia.
Tiga perwujudan Beliau (Ida Sang Hyang Widhi Wasa)
dengan nama yang berbeda.
Ketiga contoh śloka ini di atas menggunakan jenis
bahasa Sanskerta yang berbeda, yaitu bahasa Sanskerta Veda,
Klasik, dan bahasa sanskerta Nusantara. Ketiga jenis bahasa
ini memiliki kaidah bahasa yang berbeda.
Bahasa dan Sastra Kawi96
Śloka memiliki konvensi pembacaan yang dinamakan
Śruti. Dalam satu bait śloka terdiri atas 4 baris kalimat, setiap
baris kalimat memiliki nama, karakter dan kualitas suara yang
berbeda. Baris pertama namanya pengawit, baris kedua namanya
pengenter atau pengisep, baris ketiga namanya pengumbang dan
baris keempat namanya pemada.
Bahasa dan Sastra Kawi 97
BAB VII
MENERJEMAH DAN MENTRANSLITRASI
TEKS BAHASA KAWI
7.1 Pengertian
Menerjemah berarti berkomonikasi. E. Sadminto dalam
bukunya Pedoman Menerjemah, menjelaskan bahwa apa yang
kita terjemahkan harus dapat dimengerti oleh orang-orang yang
akan membaca hasil terjemahan itu. Akan lebih baik lagi kalau
para pembaca itu nanti dapat mengerti dan menikmati hasil
terjemahan itu tanpa merasa bahwa karya itu sebenarnya yaitu
hasil terjemahan.
Menerjemah yaitu menyampaikan berita yang terkandung
dalam bahasa sumber ke dalam bahasa penerima supaya isinya
benar-benar mendekati aslinya. Dengan kata lain, makna dan
gaya terjemahan haruslah serupa. Maksudnya penerjemah harus
berusaha menghasilkan terjemahan yang sama artinya dengan
karangan aslinya dan bukan terjemahan yang meniru bentuk
aslinya.
7.2 Tujuan Menterjemah
Dalam kumpulan karangan yang berjudul Pembinaan
Minat Baca, Bahasa dan Sastra oleh Ayip Rosidi, menerangan
bahwa tujuan menerjemahkan karya sastra dari bahasa daerah
ke dalam bahasa Indonesia, ialah agar warisan kekayaan budaya
dan rohani yang selama ini hanya menjadi warisan suku bangsa
yang menggunakan bahasa ini , menjadi benar-benar milik
nasional. Dengan demikian bukan saja akan terbina jembatan
saling mengerti lebih baik antar suku bangsa yang jumlahnya
cukup banyak diseluruh tanah air, melainkan juga akan dapat
meningkatkan kesadaran suku bangsa, yang pada gilirannya
akan menjadi titik tolak budaya yang sama bagi seluruh bangsa.
Maka dapatlah diharapkan nanti, perbedaan-perbedaan yang
Bahasa dan Sastra Kawi98
ada diantara suku bangsa yang satu dengan yang lainnya, akan
menjadi variasi dari satu pokok yang sama.
Penerjemahan dan perkenalan karya-karya bahasa daerah
ke dalam bahasa Indonesia akan memperkokoh kesadaran
nasional dan menanamkan wawasan nusantara diantara warga
bangsa. Tujuan menerjemahkan ialah menyempaikan berita
dalam bahasa penerima (E.Sadmanto).
7.3 Model Terjemahan Sastra Daerah
Ayip Rosidi menerangkan bahwa menerjemahkan karya
sastra ke dalam bahasa Indonesia secara garis besarnya dapat di
bagi menjadi dua macam yaitu :
a. Menerjemahkan secara ilmiah, yaitu terjemahan dengan
prinsip ketepatan terjemahan menurut arti kata yang
sebenarnya. Kalau perlu diberi catatan kaki sebanyak
mungkin.
b. Menerjemahkan secara sastra, yaitu terjemahan dengan
prinsip agar terjemahan itu mudah dan menarik bagi pembaca
seluas mungkin sehingga untuk itu tidak apa kalau akan
dilakukan terjemahan bebas, bahkan saduran sekalipun.
Dalam usaha menerjemah secara ilmiah, maka karya itu
diberlakukan sebagai obyek ilmu yang hendak dipindahkan
ke dalam bahasa Indonesia, kalau perlu dengan sebanyak
mungkin keterangan dengan catatan kaki atau yang lainnya.
Contoh terjemahan model ini yaitu : terjemahan Kakawin
Bharatayuddha oleh Prof. Dr. Sutjipto Wiryosuparto, terjemahan
Kakawin Nagarakrêtagama oleh Prof. Dr. Slamet Mulyana,
Kakawin Arjuna Wiwaha oleh Dr. Kuntara Wiryamartana dan
terjemahan yang lainnya.
Terjemahan secara ilmiah jangkauan pembacanya sangat
terbatas, ialah para penelaah dan para ahli belaka. Maka
disamping terjemahan secara ilmiah diperlukan terjemahan
Bahasa dan Sastra Kawi 99
secara sastra, supaya terjemahan ini dapat menarik minat
lingkungan yang lebih luas. Terjemahan secara secara sastra
ialah terjemahan secara bebas, kadang-kadang beberapa bagian
dilewati atau diringkas atau tidak diterjemahkan. Terjemahan
bebas memperhatikan minat pembacanya.
7.4 Pengetahuan yang diperlukan oleh Penerjemah
Hakikat menerjemahkan yaitu menyampaikan berita
yang terkandung dalam bahasa sumber ke dalam bahasa
penerima supaya isinya benar – benar mendekati aslinya. Oleh
karena itu kita perlu melakukan beberapa penyesuain tata
bahasa dan pembendaharaan kata. Penerjemah harus berusaha
menghasilkan terjemahan yang sama artinya dengan karangan
aslinya dan bukan terjemahan yang meniru bentuk bahasa
asli. Jadi terjemahan yang baik ialah : terjemahan yang tidak
menyadur sifat bahasa asal ke dalam bahasa penerima. Arti atau
maksud yang terkandung dalam teks yang hendak diterjemahkan
harus diutamakan, karena yang penting dalam penerjemahan
yaitu isi berita.
Untuk dapat menerjemahkan atau menangkap isi dari
bahasa sumber, disamping harus menguasai bahasa itu, juga
harus memiliki pengetahuan tentang budaya masyarakat yang
melahirkan karya sastra itu. Dan kalau terjemahan (karya yang
akan diterjemahkan) itu yaitu karya sastra maka sipenerjemah
pun harus membekali diri dengan pengetahuan tentang sastra
ini .
7.5 Contoh Terjemahan
1) Oṁ awighnamastu
Hana sira ratu Parikêsit ngaranira, anak sang Abhimanyu,
patêmu tangan lāwan san Uttarī, pinaka śiṣya bhagawan
Kṛṣa, paripurna ring bahuweda.
Bahasa dan Sastra Kawi100
Terjemahan I yaitu :
Om semoga tidak ada aral melintang.
Ada beliau raja sang Parikesit nama beliau, putra sang
Abhimanyu, pertemuan tangan dengan sang Uttari, sebagai
murid bhagawan Kåûa, sempurna dalam lengan Weda.
Terjemahan II yaitu :
Om semoga tidak ada aral melintang.
Ada seorang raja sang Parikesit namanya, putra dari
perkawinan sang Abhimanyu dengan sang Uttari, beliau
yaitu siswa dari bhagawan Kåûa, sempurna yang amat ahli
dalam ilmu pengetahuan Weda.
Keterangan :
Terjemahan I yaitu terjemahan menurut arti kata yang
diterjemahkan menurut struktur kalimat bahasa Kawi(teks
aslinya).
Terjemahan II yaitu penyempurnaan terjemahan I,
baik penyempurnaan tata kalimatnya maupun arti yang
hendak diberitakan oleh teks sumber. Kata patêmu tangan,
arti sebenarnya : pertemuan tangan, maksudnya yaitu
perkawinan, pernikahan, bertemu jodoh. Kata bahuweda
arti sebenarnya : lengan/banyak Weda, maksudnya yaitu
bermacam-macam ilmu pengetahuan weda.
2) Gowinda priyaḥ saṁyuktaḥ, prasiddha kāsih bhatara Kṛṣṇa,
hinuripnirān kêneng hrū sang Aśwatthāma, ri sêdêngira
haneng jêro wêtêng sang ūttari.
Terjemahan I yaitu :
Berasil dikasihi bhatara Krisna, dihidupkannya ketika kena
panah sang Aswatthama, ketika beliau sedang ada di dalam
perut sang Uttari.
Terjemahan II yaitu :
Sesungguhnyalah beliau dikasihi oleh prabhu Krisna, beliau
Bahasa dan Sastra Kawi 101
dihidupkan kembali ketika kena panah sang Aawattama, saat
beliau masih dikandung oleh sang Uttari.
Keterangan :
“Gowinda priyaḥ saṁyuktaḥ”, ialah sebuah kalimat Sanskerta.
Kalimat ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Kawi :
“prasiddha kāsih bhatara Krisna”, (Sesungguhnyalah beliau
dikasihi oleh prabhu Krisna). Maka dalam menerjemahkan,
pada umumnya kutipan kalimat bahasa Sanskerta seperti itu
tidak diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia. “haneng
jêro wêtêng” artinya ada di dalam perut, yang dimaksud
yaitu sedang dikandung masih dikandung.
3) Mijil ta ya winastwan mahuripa de bhatara Kṛṣṇa iningu
mahāraja Yuddhisthira. Sira ta sumilih ratu ri Hastinapura,
ri lungha sang Paṇḍawānusup ing alas muwah.
Terjemahan I yaitu :
Keluarlah ia ditentukan supaya hidup oleh bhatara Krisna,
dipelihara oleh mahàraja Yuddhisthira. Beliau menjadi raja
di Hastinapura, ketika pergi sang Pandawa menyusup ke
hutan lagi.
Terjemahan II yaitu :
Lahirlah beliau, karena diselamatkan oleh prabhu Krisna.
Kemudian diasuh oleh maharaja Yuddhidthira. Beliau yang
dinobatkan menjadi raja di Hastinapura, ketika sang Pandawa
kembali mengasingkan diri ke dalam hutan.
Keterangan :
”Mijil ta ya” : artinya keluarlah ia, yang dimaksudkan lahirlah
beliau. “Winaswan mahuripa” : ditentukan supaya hidup,
maksudnya diberai supaya hidup; diberkahi keselamatan ;
diselamatkan.
4) Saṣṭiwarsānya apālayat, lawasnira siniwi nêmang puluh
tahun. Yatā Paṇḍur mahābāhuh, ndan kadi mahāraja Paṇḍu
Bahasa dan Sastra Kawi102
sira śakti ring gunāburu. Asing wukir alas paranirāmet
mṛga. Hana pwa kidang tinūtnira, anghel ta sira denya.
Terjemahan I yaitu :
Lama beliau dihormati enam puluh tahun. Ia seperti maharaja
Pandu, beliau gemar terhadap pekerjaan berburu. Setiap
pegunungan hutan beliau tuju untuk mencari binatang.
yaitu seekor kidang dikejarnya, sehingga payahlah beliau
karenanya.
Terjemahan II yaitu :
Lama beliau bertahta enam puluh tahun. Seperti mahāraja
Pandu, beliaupun gemar berburu setiap pegunungan dan
hutan beliau kunjungi untuk mencari binatang. yaitu seekor
kidang dikejarnya. Sehingga payahlah beliau karenanya.
Keterangan :
“Saṣṭiwarsānya apālayat dan yatā Paṇḍur mahābāhuh”,
yaitu kalimat Sanskerta yang telah diterjemahkan oleh
kalimat yang mengikutinnya.
5) Kṣutpipāsāśrama turaḥ, ahyun anginuma wwe sira. Hana
sira wiku kapangguh ing têgal ri têpining aśrama, ri
panghwananing lêmbu.
Terjemahan I yaitu :
Berkainginan meminum air beliau. Ada seorang pandita
dijumpai di tanah lapang pada tepi dari pertapaan, di
pengembalaan lembu.
Terjemahan II yaitu :
Beliau ingin minum air. Ada seorang pandita dijumpainya di
tanah lapang, tempat mengembala lembu, di dekat pertapaan.
Keterangan :
”Kṣutpipāsāśrama turaḥ” yaitu bahasa Sanskerta yang
telah diterangkan dengan kalimat bahasa Kawi yang
menyertainya.
Bahasa dan Sastra Kawi 103
Contoh-contoh kutipan ini di atas merupakan terjemahan
dari kutipan prosa bahasa Kawi. Dalam terjemahan I dapat
diketahui struktur bahasa sumber yang telah diterjemahkan
dengan bahasa Indonesia. Dari struktur itu jelas diketahui
bahwa kalimat terjemahan yang mengikuti struktur dari
tata kalimat bahasa penerjemahan (teks). Selanjutnya pada
terjemahan II, yaitu terjemahan berdasar struktur bahasa
penerjemah (bahasa Indonesia) dengan mengutamakan isi
berita yang hendak disampaikan oleh bahasa sumber (bahasa
Kawi).
Di bawah ini yaitu contoh terjemahan teks puisi bahasa
Kawi :
6) Gunamānta sang Daśaratha,
wruh sira ring weda bhakti ring dewa,
tar malupeng pitra pūja,
māsih ta sireng swagotra kabeh.
Terjemahan I yaitu :
Bertabiat baiklah sang Daśaratha, tahu beliau akan Weda
bhakti kepada leluhur, tidak melupakan terhadap leluhur
pemujaan, berkasihlah beliau terhadap famili sendiri semua.
Terjemahan II yaitu :
Gunawanlah sang Daśaratha, beliau menguasai weda bhakti
kepada dewa, pun tak melupakan pemujaan leluhur, beliau
mencintai rakyat semua.
Keterangan :
Kata “guṇamanta” artinya : kaya akan tabiat baiknya, akhiran
man atau manta berarti memiliki .
7) Rāgādi musuh maparö,
ri hati ya tonggwanya tan madoh ring awak,
yeka tan hana ri sira,
prawira wihikan sireng nīti.
Bahasa dan Sastra Kawi104
Terjemahan I yaitu :
Nafsu dan lain – lain musuh mendekat, di hati ia tempatnya
tidak menjauh dari badan, ia itu tidak ada pada beliau,
pemberani pandai beliau terhadap siasat.
Terjemahan II yaitu :
Nafsu dan yang lain musuh dekat, di hati tempatnya tidak
jauh dari badan, itu tidak ada pada beliau, beliau pemberani
dan ahli ilmu tata negara.
Keterangan :
“Rāgādi” artinya nafsu dan lain-lain. Yang dimaksud yaitu
sad ripu, enam musuh utama manusia, yaitu : rāga (kama)
= nafsu ; dwesa (krodha) = kebencian(kemarahan) ; lobha
= ketamakan; mada = kemabukan atau kecongkakkan;
matsarya = irihati ; moha = kebingungan.
Dalam menerjemahkan bentuk puisi penerjemah dituntut
untuk menerjemahkan puisi menjadi puisi pula walaupun
tidak berdasar kaidah metrum Kawi. Prof Dr. Sadmanto
menegaskan bahwa kita tidak boleh menerjemahkan sebuah
puisi menjadikannya sebuah prosa. Memang agak mustahil
kalau kita sampaikan segala kehalusan bahasa asal ke dalam
bahasa penerima, misalnya permainan kata, sajak acrostik
(sajak yang dimulai dengan huruf tertentu). Kadang- kadang
sifat- sifat tertentu yang terkandung dalam bahasa asal terpaksa
diterangkan sedikit dalam catatan kaki untuk menolong pembaca
mengetahui sebab teks itu berbunyi demikian. Ini memang perlu
terutama sekali dalam menerjemahkan permainan kata yang
mengandung makna batin selain makna lahir. Demikian pula
terjemahan yang baik nampaknya lebih panjang dari karangan
aslinya.Kecendrungan terhadap hasil yang lebih panjang itu
disebabkan oleh keinginan penerjemah untuk menyatakan setiap
yang ada dalam komonikasi asal.
Bahasa dan Sastra Kawi 105
7.6 Translitrasi Teks Bahasa Kawi
Translitrasi yaitu pengganti atau pengalihan huruf demi
huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lainnya. Misalnya
dari aksara Bali ke aksara Latin atau dari aksara Latin atau dari
aksara Devanāgarī (bahasa Sanskerta) ke aksara Jawa. Jelasnya
translitrasi yaitu penggantian jenis tulisan dari abjad yang satu
ke abjad yang lainnya.
Translitrasi berbeda dengan transkripsi. Transkripsi
diartikan sebagai salinan atau turunan tanpa pergantian macam
tulisan. Jadi hurufnya tetap sama. Misalnya naskah kakawin
Rāmāyana yang ditulis dengan aksara Bali, karena lontarnya
telah rusak(lapuk) disalin kembali ke dalam lontar yang baru
dengan aksara Bali pula.
Translitrasi dianggap sangat penting untuk
memperkenalkan teks-teks lama yang tertulis dengan aksara
Daerah karena kebanyakan orang sudah tidak mengenal atau tidak
akrab lagi dengan tulisan daerahnya sendiri. Dalam melakukan
translitrasi, hal yang amat penting diperhatikan yaitu sistem
ejaan, pembagian kata dan tanda baca. Sistem ejaan dan tanda
baca sedapat mungkin diusahakan supaya mencerminkan teks
aslinya. Misalnya : kata R moyx ditranslit dengan Rāmāyaṇa
bukan Ramayana, dU(Gá ..ditranslit menjadi Dūrgga bukan Durga.
Kata v`or]iw ditranslit menjadi Bhaṭāra Śiwa bukan Batara
Siwa. Kata vrotyudÒ ditranslit menjadi Bharātayuddha
bukan Beratayuda. Kata kÊ[Åoyn ditranslit menjadi Kṛṣṇāyana
bukan Kresnayana. Kata ýÁwifÂmsÓu ditranslit menjadi Oṁ awighṇamastu bukan Om awignamastu, dan lain-lain.
Untuk mengetahui tanda baca dan sistem ejaan aksara
Bali yang dipakai untuk menulis teks Kawi, harus
diketahui terlebih dahulu ejaan dan kosa kata bahasa Kawi.
Bahasa dan Sastra Kawi106
Sistem penulisan aksara Bali (dalam lontar) menggunakan jajar
sambung, sistem penulisan kosa katanya tidak dipisah- pisahkan
antara kata yang satu dengan kata yang lainnya. Pemisahan baru
terjadi setelah kalimat itu berarkhir, yang biasanya ditandai
dengan carik (koma atau titik). Dengan demikian ciri-ciri teks
aslinya dapat dipertahankan dan kesalahan penafsiran dalam
rangka menerjemahkan teks dapat dihindari.
Teks Wirama atau Kakawin dan Palawakya ditranslit
sedemikian rupa dengan sedapat mungkin berdasar sistem
ejaan Bahasa Kawi yang telah ditetapkan untuk mempertahankan
teks aslinya, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
dan bahasa Bali yang baik dan benar.
PENGGOLONGAN KESUSASTRAAN KAWI
8.1 Kerangka Sejarah Kesusastraan Kawi
Ada beberapa pembabakan yang patut dicatat dalam
rangka kesusastraan Kawi. Pembabakan itu yaitu :
1) Jaman Mataram.
Abad X yaitu tahapan paling awal yang disepakati sebagai
tonggak kesejarahan bahasa Kawi (prasasti Sukabumi), demikian
pula dalam hal sastranya. Pada abad ini pusat kekuasaan politis
dan kehidupan kebudayaan ada di Jawa Tengah, sekitar
tahun 930 M. Pusat itu bergeser kearah Timur. Pada jaman ini
yang memerintah Mataram yaitu Mpu Sindok (929-962 M).
Tahun 1016 Masehi. Disebut-sebut dalam prasasti bertahta di
Jawa Timur (di lembah Kali Brantas). Mataram runtuh maka
tamatlah riwayat Sindok. Kitab Sang Hyang Kamahayanikan
yang memuat ajaran Budha Mahayana yaitu kitab yang di tulis
pada masa itu.
2) Jaman Kediri.
Dharmawangsa Teguh yang masih merupakan keturunan
wangsa Sindok, amat gemar akan kebudayaan, khususnya
kesusastraan. Pada jaman ini diketahui raja menjadi pelindung
suatu proyek besar : “mangjawakên Byasamata” atau
membahasa Jawakan ajaran-ajaran Bhagawan Byasa. Bhagawan
Byasa yaitu pengarang Mahābhārata atau Aṣṭadaśa Parwa (18
parwa). Di samping itu pada jaman itu dilakukan pula kegiatan
membahasa Jawakan ajaran Walmiki. Uttarakaṇḍa sebagai kaṇḍa
ketujuh yang membangun Rāmāyana diketahui ditulis pada
masa itu. Dharmawangsa Teguh tampaknya menaruh perhatian
besar pada sastra-sastra yang mengandung ajaran agama Hindu
ini .
Bahasa dan Sastra Kawi108
Erlangga (1019-1049) yang menggantikan Dharmawangsa
Teguh, yaitu seorang putra Bali, putra raja Udayana berasil
memulihkan kerajaan Jawa Timur (kerajaan Kediri) dan
mengikuti jejak Dharmawangsa Teguh memberikan iklim yang
baik bagi perkembangan penulisan sastra. Kakawin Arjuna
Wiwāha karya Mpu Kanwa dikarang pada masa ini, sebuah
kakawin yang sangat digemari oleh masyarakat Hindu di Bali
hingga saat ini.
Semua karya sastra Jawa Kuna yang berasal dari abad XI
dan XII berasal dari jaman Kediri. Karya-karya penting dalam
kesusastraan Jawa Kuna yang ditulis antara lain : Kakawin
Bharātayuddha (karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh), Hariwamśa
dan Gatotkacaśraya (karya Mpu Panuluh), Semaradahana (karya
Mpu Dharmaja), Sumanasantaka (karya Mpu Tri Guna) dan lain
– lain. Pada tahun 1222 Masehi kerajaan Kediri berakhir.
3) Jaman Majapahit.
Kerajaan Majapahit yaitu kerajaan besar, selama abad XIV-
XV, di bawah pemerintahan raja Hayam Wuruk mencapai
puncak kejayaannya. Kekuasaannya mencapai seluruh pulau
yang ada di Nusantara. Pada masa ini kebudayaan berkembang
dengan suburnya dan sangat besar karya sastra yang dihasilkan
antara lain : kakawin Arjuna Wijaya dan Sutasoma (karya
Mpu Tantular), Nagarakretagama yaitu sebuah kakawin yang
merekam kisah perjalanan Hayam Wuruk (karya Mpu Prapanca),
Wrêttasañcaya, Śiwarātrikalpa, Patibrata, Banawa Sêkar (karya
Mpu Tanakung)
4) Jaman Gelgel.
Setelah jaman Majapahit kehadiran pulau Bali menjadi
sangat penting dalam perkembangan kesusastraan Hindu di
Indonesia. Pulau Bali disamping sebagai penyelamat naskah-
naskah Jawa Kuna namun juga sebagai tempat pembinaan,
Bahasa dan Sastra Kawi 109
pengembangan, ditulis kembali, dan juga dikarang sastra- sastra
Jawa Kuna yang baru.
Pusat perkembangan kesusastraan di Bali terjadi pada
jaman Gelgel abad XVI ketika pemerintahan raja Waturenggong.
Dang Hyang Nirartha dengan murid beliau Ki Gusti Dauh
Baleagung yaitu dua orang pengarang yang produktif dari
jaman ini. Banyak karangan Dang Hyang Nirartha antara lain
: Mayadanawantaka, Aryang Nirartha, Dharma Sunya Keling,
Kidung Sebun Bangkung, Sara Kusuma, Ampik Kidung Madya
Muter, Legarang, Mahisa Langit, Ewer, Dharma Pitutur, Wasistha
Sraya, Kawya Dharmaputus, Mahisa Mgat Kung, Wilêt Demung
Sawit, Gegutuk Menur, Brati Sasana, Siwa Sasana, Putra Sasana,
Tuan Sumeru dan lain – lain.
Sedangan karangan Ki Gusti Dauh Baleagung antara
lain : Rareng Canggu, Wilêt Wukir, Padelegan, Segaragunung,
Karas Nagara, Jagultua, Wilêt Mayura, Anting-anting Timah
dan sebagainya. Masih pada jaman Gelgel, namun dalam
pemerintahan Dalêm Bêkung, ada pengarang yang cukup
produktif yaitu : Pangeran Telaga dan Kiyayi Pande Basa.
Pangeran Telaga yang mengarang antara lain : Kidung Rangga
Wungu, Amurwa Tembang, Amrêtamasa, Patol, Wilêt Sih Tan
Pegat, Rara Kedura, Kebo Dungkul, Caruk Amrêtamasa dan
lain-lain. Kiyayi Pande Basa mengarang : Arjuna Pralabdha.
Setelah jaman Gelgel banyak muncul pengarang atau
pujangga dan pusat-pusat keagamaan dan kebudayaan, tempat
mendiskusikan, mempelajari dan mengarang karya sastra serta
menulis naskah-naskah agama. Seperti : Ida Pedanda Sidemen
pada abad XX telah mengarang dan menggubah karya sastra
prosa maupun puisi yang sangat terkenal antara lain : Pūrwāgama
Sasana, kakawin Cayadijaya, Candra Bhairawa (Dharma Wijaya)
Singhalanggyala, Kalpha Sanghara, Kalepasan, Manuk Dadali,
Pūrwaning Gunung Agung, Kidung Rangsang, Pisaca Harana,
geguritan Salampah Laku dan lain - lain.
Bahasa dan Sastra Kawi110
8.2 Penggolongan Kesusastraan Kawi
Prof. Dr. RMG. Poerbatjaraka dalam bukunya Kepustakaan
Jawa, menyimpulkan hasi penelitiannya terhadap sejumlah
karya sastra Kawi berdasar : ciri angka tahun, nama raja
atau pahlawan yang disebut dalam karya sastra itu, gaya bahasa
dan induk (sumber) karangan itu, akhirnya mengelompokkan
kesusastraan Kawi atas tiga bagian yaitu : kitab-kitab Jawa
Kuna yang tergolong tua, kitab-kitab Jawa Kuna yang tergolong
bertembang dan kitab-kitab Jawa Kuna yang tergolong baru.
8.2.1 Kitab-kitab Jawa Kuna yang Tergolong Tua
1. Candakarana yaitu kitab yang berisikan tentang kaida
prosidi (pedoman tentang metrum kakawin) dan berisikan
semacam kamus yang disusun secara Sanskerta. Kitab ini
digubah kira-kira tahun 703, karena di dalamnya disebut-
sebut keturunan Sailedra yang mendirikan candi Kalasan.
2. Kakawin Rāmāyana, kakawin yang tersohor ini digubah
pada masa pemerintahan Dyah Balitung (820- 832M).
Isinya menceritakan tentang kisah Rāma dan Sitā yang
bersumber dari Rahwanawadha (matinya Rahwana)
gubahan Bhattikavya.
3. Sang Hyang Kamahayanikan, kitab ini berisikan tentang
ajaran agama Budha Mahāyana, digubah dalam bentuk
prosa. Bagian epilognya menyebut-nyebut raja Jawa
Timur, Mpu Sindok (929-962 M ).
4. Brahmandapurana, kitab ini ditulis dalam bentuk prosa.
Isinya tentang pelajaran agama Hindu (Śiwa). Ditinjau
dari gaya bahasanya, usia kitab ini sejaman dengan Sang
Hyang Kamahayanikan.
5. Agastyaparwa, kitab ini dalam bentuk prosa, berisikan
percakapan antara Drêshasyu dengan ayahnya, Bhagawan
Bahasa dan Sastra Kawi 111
Agastya tentang ajaran agama Hindu, misalnya tentang
karmaphala, sorga, naraka dan lain- lain.
6. Uttara Kaṇḍa, kitab ini berbentuk prosa, pada bagian
manggalanya menyebut-nyebut raja Jawa Timur
Dharmawangsa Teguh (991-1007M ). Isinya bersumber
dari Rāmāyana yang digubah oleh Bhagawan Walmiki,
yaitu bagian ke-7 yang disebut Uttara Kaṇḍa, yang isi
pokoknya yaitu kisah kehidupan dewi Sitā sekembalinya
ke Ayodhya setelah gugurnya Rahwana.
7. Àdìparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber pada
bagian pertama epos Mahābhārata, isi pokoknya
mengisahkan tentang: asal usul keluarga Bharata dan
masa kecil Paṇḍawa dan Kaurawa, digubah pada masa
pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh.
8. Sabhaparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber
pada bagian kedua epos Mahābhārata, isi pokoknya
mengisahkan tentang : Peṇḍawa dan Kaurawa main dadu.
9. Wirāṭaparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber
pada bagian keempat epos Mahābhārata, isi pokoknya
mengisahkan tentang : pengembaraan Paṇḍawa
(menyamar sebagai abdi) di Negeri Wirata.
10. Udyogaparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber
pada bagian kelima epos Mahābhārata, isi pokoknya
mengisahkan tentang : persiapan perang keluarga Bharata
(Bharata Yuddha).
11. Bhīṣmaparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber
pada bagian keenam epos Mahābhārata, isi pokoknya
mengisahkan tentang : senapati Bhisma memimpin
pasukan Kaurawa melawan Paṇḍawa.
12. Āśramawasikaparwa, kitab ini berbentuk prosa,
bersumber pada bagian kelima belas epos Mahābhārata,
Bahasa dan Sastra Kawi112
isi pokoknya mengisahkan tentang : prabhu Dhrêstarastra
bersama tetua Hastina lainnya menjalani kehidupan
bertapa.
13. Mosalaparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber pada
bagian keenam belas epos Mahābhārata, isi pokoknya
mengisahkan tentang : pralayanya kerajaan Dwarawati
akibat ulah Sambha memperolok-olok Bhagawan Narada.
14. Mahāprasthanikāparwa, kitab ini berbentuk prosa,
bersumber pada bagian ketujuh belas epos Mahābhārata,
isi pokoknya mengisahkan tentang : hari-hari terakhirnya
Paṇḍawa, setelah Paṇḍawa mengangkat Parikêsit sebagai
raja Hastina, mereka kemudian menjalani hidup sebagai
pertapa, berkeliling mendaki gunung Himalaya.
15. Kuñjarakarna, kitab ini berbentuk prosa, yang
mengandung ajaran Budha Mahāyana. Isi pokoknya
mengisahkan tentang : seorang raksasa Kuñjarakarna
yang ingin ruat menjadi manusia. Maka ia menghadap
dan menerima ajaran dari Bhatara Wairacana (salah satu
Dyani Budha). berdasar gaya bahasanya kitab ini
sejaman dengan kitab-kitab parwa di atas.
16. Swargārohaṇaparwa, kitab ini berbentuk prosa,
bersumber pada bagian kedelapan belas (terakhir) epos
Mahābhārata, isi pokoknya mengisahkan tentang :
kesaksian Yuddhisthira di alam baka, ia menyaksikan
sanak keluarganya menerima pahala segala perbuatannya
di dunia. Perbuatan baik menerima pahala baik demikian
sebaliknya perbuatan buruk menerima pahala buruk.
8.2.2 Kitab-kitab Jawa Kuna yang Tergolong Bertembang.
1. Kakawin Arjuna wiwāha, digubah oleh Mpu Kanwa pada
masa pemerintahan Erlangga, isi pokoknya mengisahkan
tentang : laku tapa sang Arjuna di gunung Indrakila, dan
akhirnya ia mendapat hadiah 7 orang bidadari karena
berasil mengalahkan raksasa Niwatakawaca, raja raksasa
yang mengobrak-abrik sorga. Cerita diambil dari kitab
Wanaparwa.
2. Kakawin Kreṣṇayana, digubah oleh Mpu Triguna pada
masa pemerintahan Warsajaya, raja Kediri (1104.M), isi
pokoknya mengisahkan tentang : Krêṣṇa mempersunting
dewi Rukmini.
3. Kakawin Sumanasantaka, digubah oleh Mpu Triguna
pada masa pemerintahan Warsajaya, isi pokoknya
mengisahkan tentang : asal-usul dan lahirnya Dasaratha,
Raja Ayodhya. Kakawin ini bersumber dari Raghuvaýsa
gubahan pujangga besar India Kālidāsa.
4. Kakawin Smaradahana, digubah oleh Mpu Dharmaja
pada masa pemerintahan raja Kameśwara, raja Kediri
(1115-1130M), isi pokoknya mengisahkan tentang :
terbakarnya dewa Kāma oleh api yang memancar dari
mata ketiga dewa Śiwa.
5. Kakawin Bhomakawya, penggubah anonim (tidak
diketahui). Isi pokoknya mengisahkan tentang :
gugurnya Bhoma oleh Krêsṇa. Pada bagian manggalanya
menyebut Phatyara Kamajaya seperti yang disebut-sebut
dalam kakawin Samaradahana. berdasar langgam
bahasanya kakawin ini sejaman dengan Smaradahana.
6. Kakawin Bharatayuddha, digubah oleh Mpu Sedah dan
Mpu Panuluh pada masa pemerintahan Jayabaya, raja
Kediri (1135-1157M), isi pokoknya mengisahkan tentang
: perang Bharata di medan Kuru.
7. Kakawin Hariwangsa, digubah oleh Mpu Kanwa pada
masa pemerintahan Erlangga, isi pokoknya mengisahkan
kisah yang sama dengan kakawin Krêṣṇayana.
8. Kakawin Gatotkacaśraya, digubah oleh Mpu Panuluh
pada masa pemerintahan Jayakreta (1188 M) raja Kediri
pengganti dari Jayabaya, isi pokoknya mengisahkan
tentang : Sang Gatotkaca menolong Abhimanyu untuk
dapat mempersunting Dewi Siti Sundari.
9. Kakawin Wrêttasañcaya, digubah oleh Mpu Tanakung,
isi tentang : kaidah prosidi metrum kakawin.
10. Kakawin Lubdaka, atau sering disebut Kakawin
Śiwarātrikalpa, digubah oleh Mpu Tanakung (1466- 1478
M) pada masa kerajaan Majapahit akhir atau dua setengah
abad sejak pemerintahan Ken Arok (Prof. Dr. Teeuw).
Isi pokoknya mengisahkan tentang : kehidupan seorang
pemburu si Lubdaka, yang karena melaksanakan brata
Śiwaratri, akhirnya ia mencapai alam Śiwa. Pada bagian
manggalanya ada menyebutkan nama Girindrawangsaja,
yang dikatakan nama kebesaran Ken Arok, raja Singasari
tahun 1222 Masehi.
8.2.3 Kitab – kitab Jawa Kuna yang Tergolong Baru
1. Kakawin Brahmandapurāṇa, kakawin ini digubah
berdasar kitab Brahmandapurāṇa prosa. Di dalamnya
ada disebut seorang raja putri sang Úri Prakretiwirya.
Siapa dia, dan di kerajaan mana memerintah tidaklah
dikatahui.
2. Kakawin Kuñjarakarna, sama halnya dengan kakawin
Brahmandapurāṇa, kakawin ini bersumber dari kitab
Kuñjarakarna prosa.
3. Kakawin Nagarakrêtagama, digubah oleh Mpu
Prapañca (1365 M), Mpu Prapañca yaitu anak Mpu
Nadendra, penghulu dalam urusan agama Budha di
Majapahit. Kakawin ini mengandung nilai sejarah. Yaitu
menguraikan keadaan Majapahit, khususnya perjalanan
Hayam Wuruk, ke daerah-daerah kekuasaannya.
4. Kakawin Arjunawijaya, digubah oleh Mpu Tantular pada
masa Hayam Wuruk bertahta di Majapahit. Inti ceritanya
bersumber pada Uttara Kaṇḍa. Isinya mengisahkan
tentang : Rahwana menyerang kakak tirinya Wairawana
yang dilanjutkan dengan menyerang kerajaan Mahispati.
Dan akhirnya ia ditawan oleh Arjuna Sahasrabahu.
5. Kakawin Sutasoma, digubah oleh Mpu Tantular pada
masa Hayam Wuruk bertahta di Majapahit. Isi pokoknya
mengisahkan tentang : petualangan rohani Sang
Sutasoma (titisan Budha), sekembalinya ke Hastina, ia
berasil menyelamatkan sejumlah raja yang ditawan oleh
Purusada Santa, raja yang gemar makan daging manusia.
6. Kakawin Parthayajña, berdasar analisa bahasanya
umur kakawin ini sebaya dengan Kakawin Sutasoma.
Isinya mengisahkan tentang : kehidupan Paṇḍawa setelah
kalah main dadu yang penekanannya pada perjalanan
Arjuna bertapa ke gunung Indrakila.
7. Kakawin Nitiśaṣtra, digubah pada akhir jaman Majapahit.
Kakawin ini merupakan kumpulan bait didaktis dan tidak
bersifat naratif.
8. Kakawin Nirarthaprakrêta, ditulis pada tahun 1459
Masehi di desa Kancana. Kakawin ini sama halnya
dengan kakawin Nitiśaṣtra, bait – baitnya berisi ajaran
mistik yang bersifat didaktis.
9. Kakawin Dharmaśunya, kakawin ini penuh dengan
ajaran mistik yang bersifat Śiwaistis. Di bagian efilognya
ada baris kalimat yang memberi petunjuk kemungkinan
ditulis pada tahun 1304 atau 1340 Śaka, pengarangnya
tidak diketahui.
10. Kakawin Hariśraya, kakawin yang anonim digubah tahun
1574 Masehi. Isinya mengisahkan tentang : pertempuran
antara Bhatara Wiṣṇu melawan tiga raksasa yaitu : Mali,
Maliawan dan Sumali yang ingin menguasai Sorga.
Sesungguhnya masih cukup banyak karya sastra Kawi
yang tidak dicatat dan tidak diberi komentar oleh Poerbatjaraka
dalam Kepustakaan Jawanya. Terutama karya sastra Kawi
yang oleh Zoetmulder disebut Kakawin Minor dari kemudian
hari. Yang dimaksudkan yaitu aneka warna kakawin yang
panjangnya berbeda-beda dan waktu penulisannya terbentang
sejak akhir kerajaan Majapahit sampai abad XIX dan beberapa
diantaranya diduga ditulis di Bali.
Berbeda halnya dengan kakawin mayor, kakawin minor
ditinjau dari mutu literarnya (mutu sastranya), umumnya
memperlihatkan cacat-cacat yang biasanya kita jumpai dalam
tulisan seorang epigon atau peniru belaka, tanpa imajinasi
atau inspirasi. Pelukisnya terdiri atas sejumlah ungkapan dan
perumpamaan yang telah menjadi klise yang kaku. Adegan-
adegan di medan pertempuran diperpanjang tanpa batas.
Sedangkan para lawan tidak memperlihatkan watak yang
khas dan jelas, adegan pertempuran bertele-tele, sehingga
menjemukan. Sering terjadi penyimpangan dalam tata bahasa,
arti kata, dan pemanjangan vokal demi pemenuhan metrumnya.
Isinya sebagian besar bersumber dari karya prosa. Karya- karya
sastra minor antara lain :
1. Kakawin Subadra Wiwaha atau Kakawin Parthayajña
(pernikahan dewi Subadra atau pengembaraan Arjuna).
2. Kakawin Abhimanyu Wiwaha (pernikahan Abhimanyu).
3. Kakawin Hariwijaya (kemenangan Wiṣṇu).
4. Kakawin Krêṣṇawijaya atau Kakawin Kalayuwanantaka
(kemenangan Krêṣṇa atau kematian Kalayawana.
5. Kakawin Krêṣṇadaka atau Kakawin Kangśa (matinya
Kangśa).
TEKS ĀDIPARWA
9.1 Bhagawān Domya
Hana sira brāhmana bhagawān Dhomya ngaran ira.
Patapan ira ry Ayodhyāwiśaya. Hana ta śiṣya nira tigang siki,
ngaran ira sang Utamanyu, sang Āruṇika, sang Weda. Kapwa
pinarīkṣa nira, yan tuhu guruśuśrūṣa gurubhakti. Kramanya
de nira marīkṣa: sang Āruṇika kinon ira yāsawaha rumuhun,
kamênā nira wehana ri sang hyang Dharmaśāṣtra. Yatna ta
sang Āruṇikāgulaha, sakrama ning masawah ginawayakên ira.
Sêdêng ahayu tuwuh nikang wīja, têka tang wah saha wṛṣṭipāta
hudan adrês. Alah ta galêng nikang sawah. Saka ri wêdi nira n
kahibêkana toya ikang pari, tinambak nira ta ya, tapwan asowe
ikang wway. Alah teka tambak nikā, muwah tinambak nira. Tan
wring deya nira, i wêkasan tinambakakên tāwak nireng wway
manglêṇḍö, tarmolah irikang rahina wêngi. Katon tāwak nira
ngkāneng sawah de sang guru. Mojar bhagawān Dhomya ri sira,
kinon ta ya sirāwungwa.
Yasmāt kewārakhaṇḍena
varadanyepi sangṣṭhitaḥ,
Tasmāt vavarika bhūtvā
dhārakaḥ munin aruniḥ.
Anaku sang Āruṇika, atyanta ring dhāraka. Pawungwa
tānaku. Sang Addyayatu (?) ngarananta, apan manambakakên
awakta ring awway, makanimitta bhaktimta ring guru.
Śreyo’vāsyanti yo siddhiḥ
Astwanêmwa kita sukha, siddhimantrā wākbajrā kita.”
Nāhan ta pamarikṣa bhagawān Dhomya ri sang Āruṇika.
Tumūt sang Utamanyu pinarikṣa nira.Ya ta kinon ira
mahwana ng lêmbu. Yatna tingkah nira n pahwan irikang goh.
Hāraka sang Utamanyu mahwan; ulih nirānasi ndatan pawwat
nasi tasyan sira ri dang hyang guru. Ojar ta sang guru:
,,Anaku sang Utamanyu. Krama ning śiṣya yan gurubhakti:
mawwat nasi solih nirānasi krama nikā.
Svayam aśrayamakopajīvana
Solihtānasi tan yogya bhuktinta.”
Mangkana ling nira mpu guru. Manêmbah ta sang
Utamanyu, umupakṣamākên i śīla nira n salah. Irikang
sakatambay eñjing lumampah ta sirāhwan, sumêlang manasi
muwah. Solih nirānasi ya ta pawwat nire dang hyang guru.
Huwus nirāwwat tasyan, manasi ta sira muwah, pinakopajīwa
nirāhwan ikang lêmbu. Katinghalan tānasi ping rwa, inuhutan
ta sira de sang guru, apan lobha ngaran ing mangkana. Ndatan
panasi ping rwa pinakopajīwanā nira, ling ning guru. Dadi sira
minum irikang kṣīra tatúeûa ning lêmbw anusu. Tinakwanan ta
sira hāraka nira dening guru, mājar sira yar pamöh tatśeṣa ning
lêmbw anusu. Ling sang guru:
”Udū, mangkin tan yogya ulahteku, apan malap gurudṛwya.
Tan dadi ring śiṣya mangan dṛwya ning guru.”
Mangkana ling nira mpu. Mari ta sira minum susu. Hana
ta wêrêh ning watsa mêtu sangkeng tutuknya yan panusu warêg
sinuswan ing indungnya. Ya tika dinilat nira, pinakopajīwa
nirāngrakṣekang lêmbu. Muwah ta sira tinañan de dang ācārya
guru ry āhāra nira, mājar sira yan pangdilat i wêrêh ning watsa n
tumibeng lêmah, pinakāhāra nira. Mājar ta sang guru:
”Ai anaku sang Utamanyu, tan yogya ike āhāranta. Ikang
watsa wruh ika ri lapāntānaku. Saka ri wêlas ny ambêknye kita,
hetunyāngutahakên ulihnyānusu. Tuhun yan wêrêh ngaranya,
tan dadi ng wwang kadi kita mangêpeki pangan ing watsa.
Sangkṣepanya: manghorati bhukti ning len ngaranya. Haywa
pinakāhāra ikang tan yogya upajīwanā, apan agyang akuru ikang
watsa yan mangkana.”
Nāhan ling nira mpu. Manêmbah ta sang Utamanyu. Ri
sakatambay eñjing mahwan ta sira muwah, tatan pamangan
sira. Saka ri lapā nira, amangan ta sira gêtih i rwan ing waduri.
Ardhāpanas pwekā gêtih ing rwan ing waduri, sumök ta ya têkeng
mata. Andhībhūta, dadi ta sira wuta tan panon deśa; hàrohara ta
sirāmet irikang lêmbu. Hana ta ya sumur mati. Ngkāna ta sira
n tibā kalêbw ing sumur, apan tan panon ing mārga nira. Sore
pwekang kāla, mulih tekang wṛśabha tan hanāngiring mare
kandangnya. Ndatan katon sira mulih de nira mpu, hārohara
ta sirāmet i śiṣya nira. Irikang