Bahasa Kawi yaitu bahasa ragam tulis yang dipakai
oleh para pengawi atau pengarang untuk menampung buah
pikirannya. Karya-karya ini sebagian besar yaitu warisan
Hindu di Jawa dari abad IX sampai abad XV Masehi. Bahasa
Kawi yaitu bahasa pilihan dan campuran antara bahasa Jawa
Kuno dan bahasa Sanskerta.
Bahasa Kawi yaitu suatu jenis bahasa yang pernah
berkembang di Pulau Jawa pada jaman kerajaan Hindu-Budha
di Nusantara dan dipakai dalam penulisan karya-karya sastra.
Bahasa Kawi digunakan dalam naskah-naskah dan lontar-lontar
sastra dan kesusastraan yang merupakan sumber ajaran agama
Hindu di Indonesia.
Kedudukan dan fungsi bahasa Kawi yaitu amat penting.
Bahasa Kawi yaitu salah satu kunci untuk mengungkapkan
nilai-nilai Hindu di Nusantara. Bahasa Kawi yaitu bahasa
sumber kedua setelah bahasa Sanskerta yang dipakai
dalam literatur agama Hindu Indonesia.
Bahasa Kawi yaitu bahasa yang dipakai di Jawa pada
masa lampau. Bahasa Kawi disebut juga dengan istilah bahasa
Jawa Kuno. Menurut Bapak I.G.K. Ranuh dalam Śakuntala
menyatakan bahwa, Bahasa Kawi yaitu bahasa Jawa Kuna,
namun bahasa Jawa Kuno tidak identik dengan Bahasa
Kawi.
Kata kawi berasal dari kata kavya (Sanskerta) yang artinya
puisi/syair, sama dengan kakawin. Pada mulanya kata kawi
(India) berarti seorang yang memiliki pengertian luar biasa,
seorang yang bisa melihat hari depan, seorang yang bijak. Dalam
sastra klasik berarti seorang penyair, pencipta atau pengarang
Di India kata kawi berarti seseorang yang memiliki
pengetahuan yang luar biasa, seorang yang bijak dan mampu
melihat hari depan. namun kemudian dalam kesussatraan
Sanskerta klasik, kawi berarti seorang penyair, pencipta atau
pengarang.
berdasar penjabaran di atas, bahwa yang dimaksud
bahasa Kawi yaitu bahasanya seorang pengarang atau seorang
pujangga. namun tidak setiap bahasa yang dipakai oleh
seorang pengarang atau pujangga disebut bahasa Kawi. Namun
istilah bahasa Kawi hanyalah istilah yang dipakai untuk
menunjukkan ragam tulis yang merupakan bagian dari bahasa
Jawa Kuna. Jadi bahasa Kawi yaitu bahasa Jawa Kuna, ragam
tulis yang dipakai oleh para Kawi (Pengarang) untuk
menampung buah pikirannya.
Bahasa Kawi yaitu bahasa campuran antara bahasa
Sanskerta dan bahasa Jawa. Bahasa Kawi sangat banyak
menyerap kosakata dari bahasa Sanskerta, namun Bahasa
Kawi tidak meniru tata bahasa Sanskerta.
Bahasa dan Sastra Kawi2
Bahasa Kawi yaitu merupakan bahasa Jawa Kuno
yang kata-katanya dipilih oleh para Kawi (pengarang) untuk
kesusastraan. Jadi Bahasa Kawi hanyalah sebagian saja dari
bahasa Jawa Kuno. Karena itu lebih tepatlah bahwa Bahasa
Kawi yaitu bahasa Jawa Kuno ragam tulis yang dipakai
oleh para kawi untuk menampung buah pikirannya. Karya-
karya ini sebagian besar yaitu warisan Hindu Jawa dari
abad IX sampai abad XV.
Pengawi berarti pengarang. Jadi bedasarkan pengertian
itu maka tepatlah kiranya kalau Bahasa Kawi yaitu bahasa
pengarang, yang ruang lingkupnya lebih sempit dari pada
bahasa Jawa Kuna. Bahasa Kawi yaitu merupakan bagian dari
bahasa Jawa Kuna, yang dipakai dalam sebagian besar
naskah-naskah Hindu Indonesia sejak abad IX sampai abad XV
Masehi. Naskah-naskah ini berisi nilai ajaran dan budaya
Hindu, saat ini sebagian besar tersimpan di perpustakaan formal
maupun pribadi di Bali.
Para pujangga sengaja memilih kata-kata sedemikian
rupa dalam hal karang mengarang, baik mengenai bentuk prosa
maupun puisi, sehingga enak dibaca, sedap didengar, dan menarik
bagi pembacanya. Pada umumnya para pujangga tidak memilih
kata-kata yang kasar, lebih-lebih kata-kata yang merupakan
makian. Isi karangan, bentuk karangan, jalan bahasa dan pilihan
kata-katanya selalu menjadi perhatian bagi para pujangga atau
pengarang. Misalnya kita ambil contoh kalimat dari lontar
Bharatayuddha, yang dikarang oleh Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh dalam tahun 1079 Śaka atau 1157 Masehi, yaitu pada
masa pemerintahan Raja Jayabaya, yang bunyi candra sangkala
-nya: “Nāhan don Mpu Sêdah makīrtya sākakāla ri sanga kuda
suddha candramā” kira-kira terjemahannya sebagai berikut:
Demikianlah tujuan Mpu Sedah mengubah (Bharatayuddha)
dalam tahun śaka : satuannya sanga = 9, puluhannya kuda = 7,
ratusannya suddha = 0 dan ribuannya candramā =1, jadi tahunnya
yaitu 1079 śaka (Bahasa Kawi untuk PGAH). Adapun bahasa
yang dipakai oleh Mpu Sêdah yaitu bahasa Jawa yang
umum pada waktu itu, hanya saja merupakan bahasa pilihan.
Menurut Prof.Dr.P.J.Zoetmulder (1985:35) mengatakan
bahwa Bahasa Jawa Kuna yaitu bahasa Jawa yang umum
dipakai oleh masyarakat Jawa sealma periode Hindu
Jawa sampai runtuhnya Majapahit. Ada pula yang menyebutkan
bahwa bahasa Jawa Kuna yaitu salah satu bahasa dialek
temporal bahasa pribumi di Jawa. Maksudnya yaitu bahasa
Jawa yang pernah dipakai dalam kehidupan sehari-hari
dalam kurun waktu tertentu, yaitu selama periode Hindu-Jawa
sampai runtuhnya Majapahit. Mulai runtuhnya Majapahit (abad
XV), masyarakat Jawa diperkirakan tidak lagi mempergunakan
bahasa Jawa Kuna sebagai bahasa sehari-hari. Oleh karena itu,
bahasa Jawa Kuna dan termasuk bahasa Kawi yaitu merupakan
bahasa mati, artinya bahasa yang tidak dipakai sebagai
bahasa pergaulan dan percakapan sehari-hari oleh masyarakat
Jawa sendiri. Bahasa Jawa Kuna yang sampai kepada kita,
yaitu bahasa yang ada dalam dokumen-dokumen dan
nakah - naskah. Oleh karena itu bahasa Jawa Kuna dan juga
bahasa Kawi disebut juga bahasa dokumenter. Sama halnya
dengan bahasa Sanskerta, Latin, Yunani, kuna dan lain-lainnya.
Bahasa Kawi yaitu bahasa Jawa Kuna yang dewasa ini
hanya dapat kita jumpai dalam karya -karya tulis, seperti :
Naskah - naskah keagamaan (lontar-lontar Tattwa,
Sasana, Niti dan lain-lain), naskah-naskah sastra (lontar Parwa,
Kakawin, Kidung dan lain-lain), Peninggalan-peninggalan
sejarah (Prasasti, Babad, Usana, Purana dan lain-lain), Naskah-
naskah pengobatan (lontar Usada dan lain-lain) dan Naskah-
naskah pengetahuan lain (naskah arsitektur, Hukum, Astronomi,
Kesenian, Bahasa dan lain - lain).
Walaupun demikian Bahasa Kawi masih perlu kita pelajari
mengingat bahasa Kawi atau bahasa Jawa Kuna dan juga bahasa
Sanskerta, merupakan induk dari bahasa daerah yang ada di
Indonesia, terutama bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bali, Sasak
dan beberapa daerah lainnya. Disamping itu ketiga bahasa
ini merupakan bahasa yang dipakai dalam kitab-
kitab dan lontar-lontar yang merupakan sumber ajaran agama
Hindu. Dengan mempelajari bahasa-bahasa ini kita akan
dapat menguak isi dari lontar-lontar sastra dan kesusastraan
yang merupakan sumber ajaran agama Hindu, khususnya yang
ada di Bali dan umumnya di Indonesia.
Banyak istilah-istilah yang dipakai terutama nama-nama
angkatan, gedung-gedung, wilayah-wilayah, tempat dan lain-
lain, banyak kita lihat mempergunakan bahasa Kawi atau bahasa
Sanskerta.
Perlu diingat bahwa bahasa Kawi tidak sama dengan bahasa
Sanskerta. Bahasa Sanskerta yaitu bahasa yang dipakai
dalam Veda yang menjadi pegangan orang Hindu. Bahasa
Sanskerta ini datang ke Indonesia dengan pusat perkembangannya
terutama di kerajaan-kerajaan Sriwijaya dan kerajaan di Jawa
seperti Majapahit. Bahasa ini lalu bercampur baur dengan bahasa
yang ada pada waktu itu, kita warisi sampai kini, misalnya : sorga,
naraka, sùrya, àkàúa, wighna, dìrgha dan lain-lain.
Pengaruh bahasa Sanskerta di Indonesia di mulai abad
permulaan Masehi, hal ini dapat dibuktikan di Indonesia
berdasar aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta yang
dipakai dalam tujuh buah Yupa yang diketemukan di
Muara Kanan, di Kalimantan Timur.
Di samping bukti itu, kepustakaan Kawi, juga menunjukkan
adanya kontak yang mendalam dalam bidang agama dan
kebudayaan. Bahasa Sanskerta dipelajari secara sungguh-
sungguh dalam rangka memahami agama dan kebudayaan
Hindu. Beberapa kitab Hindu India dialihbahasakan dan diulas
dengan bahasa Kawi. Latar belakang itu mengakibatkan sejumlah
besar kosa kata Sanskerta (kata benda, sifat, dan kata majemuk
dalam bentuk lingga, serta beberapa kata penghubung) diserap
ke dalam bahasa Kawi. Walaupun demikian namun bahasa Kawi
tidak kehilangan identitas aslinya.
Kedudukan dan fungsi bahasa Kawi yaitu amat penting.
Kepustakaan yang mempergunakan bahasa Kawi beraneka
ragam jenis dan isinya.Keseluruhan naskah atau dokumen
itu bernafaskan ajaran Hindu. Secara luas kepustakaan Kawi
yaitu sumber dan kekayaan budaya bangsa Indonesia yang
dapat dimnfaatkan sebagai objek penelitian dari berbagai
disiplin ilmu, khususnya ilmu-ilmu sosial. Khusus dalam hal
sastranya, di samping sebagai sumber dan faktor penunjang bagi
pengembangan sastra -sastra daerah Indonesia, dan juga yaitu
merupakan sumbangan yang khas pada khasanah sastra dunia.
Bahasa Kawi yaitu kunci utama untuk mengungkapkan
nilai-nilai kepustakaan Jawa Kuna, dan bagi umat Hindu
Indonesia, bahasa Kawi yaitu bahasa sumber kedua setelah
bahasa Sanskerta yang dipakai dalam literaturnya. Di
samping itu bahasa Kawi juga merupakan sumber dan faktor
penunjang dalam rangka penelitian sejarah bahasa-bahasa daerah
Indonesia dan dalam usaha pengembangan bahasa Indonesia.
Sumber tertulis yang paling tua mengenai Bahasa Kawi
ditemukan di Sukabumi, sehingga disebut Prasasti Sukabumi.
Prasasti Sukabumi merupakan piagam yang pertama memakai
Bahasa Jawa Kuno (Kawi), dan sejak saat itu Bahasa Jawa Kuno
dipakai dalam kebanyakan dokumen resmi. Menurut Prof.Dr.
PJ. Zoetmulder dalam bukunya Kalangwan, (1994:3) prasasti
Sukabumi yaitu presasti yang tertua yang memakai bahasa
Kawi. Adapun isinya prasasti Sukabumi yaitu diawali sebagai
berikut : “Pada tahun 726 penanggalan Śaka, dalam bulan
Caitra, pada hari kesebelas paro terang, pada hari haryang (hari
kedua dalam minggu yang berhari enam), wage (hari keempat
dalam minggu berhari lima), saniścara (hari ketujuh dalam
minggu yang berhari tujuh) …” dan seterusnya. Inilah sebuah
contoh khas cara orang Jawa dulu menentukan sebuah tanggal.
Dari sistem penanggalan itu Prof.Dr. PJ. Zoetmulder menarik
kesimpulan bahwa prasasti Sukabumi ditulis pada tanggal 25
Maret 804 Masehi.
Prasasti Jawa sebelumnya selalu diketemukan dalam
bahasa Sanskerta sebagai medianya. Oleh karena itu prasasti
Sukabumi dapat dikatakan sebagai tonggak yang mengawali
kesejarahan bahasa Kawi atau bahasa Jawa Kuna. Sistem
penulisan prasasti ini kemudian menjadi panutan penulisan
prasasti-prasasti selanjutnya di pulau Jawa.
Prof. Dr. RMG Poerbatjaraka dalam bukunya, Kepustakaan
Jawa, menyimpulkan hasil penelitiannya terhadap sejumlah
naskah sastra Kawi sebagai berikut : Naskah Kawi yang tertua
yaitu Candakarana, naskah ini berisikan tentang pelajaran
bagaimana membuat sebuah kakawin (syair dalam Jawa Kuna)
dan daftar kata-kata Kawi (semacam kamus Kawi). Dalam
naskah ini menyebut-nyebut seorang raja keturunan bangsa
Sailendra yang mendirikan candi Kalasan, kira-kira pada 700
śaka atau 778 masehi.
berdasar gaya bahasa, tahun penulisan, dan nama raja-
raja yang disebut-sebut dalam naskah yang diteliti itu, Prof. Dr.
RMG Poerbatjaraka, kemudian mengelompokkan sastra Kawi
itu atas tiga bagian, yaitu :
1. Kitab-kitab Jawa Kuna yang tergolong tua, seperti : naskah
parwa/prosa (Candakarana, Sanghyang Kamayanikan,
Brahmandapurana, Agastyaparwa, Uttarakanda, Adiparwa,
Sabhaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa,
Aśramawasanaparwa, Mosalaparwa, Prasthanikaparwa,
Swargarohanaparwa dan Kunjarakarna. Dan juga sebuah
naskah puisi yaitu Kakawin Rāmāyana. Keseluruhan naskah-
naskah ini ditulis mulai menjelang abad IX sampai
abad X.
2. Kitab-kitab Jawa Kuna yang bertembang, yaitu seluruh
karya sastra Kawi (Kakawin) yang lahir di antara abad ke XI
sampai abad XIII, yaitu antara lain : Kakawin Arjuna Wiwaha,
Bahasa dan Sastra Kawi 7
Krêṣṇāyana, Sumanasantaka, Smaradahana, Bhomakawya,
Bharatayuddha, Hariwangśa, Gatotkacaśraya.
3. Kitab-kitab Jawa Kuna yang tergolong baru, yaitu
seluruh karya sastra Kawi yang digubah menjelang abad
ke XIV sampai runtuhnya kerajaan Majapahit, yaitu
antara lain: kakawin Brahmandapurana, Kunjarakarna,
Nagarakertagama, Arjunawijaya, Sutasoma, Parthayajña,
Nitisastra, Nirartaprakrêta, Dharmaúunya, dan Hariúraya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa, bahasa Kawi
sudah dipakai untuk manggubah karya sastra mulai abad
IX sampai abad XV. Namun penggunaan bahasa Kawi secara
lisan (diwariskan dari mulut ke mulut) sudah mulai pada abad
VIII atau sebelum abad IX.
Menurut Wayan Simpen AB. dalam tulisannya Riwayat
Kesusastraan Jawa Kuna, mengklasifikasikan kesusastraan
Kawi atas lima bagian yaitu sebagai berikut :
1. Jaman sebelum abad IX, jaman ini dikenal dengan jaman
prasejarah sastra Kawi. Kehidupan sastra Jawa Kuna
diduga secara lisan. Cerita-cerita diwariskan secara lisan
(dari mulut ke mulut).
2. Jaman Mataram, jaman ini mulai dari abad IX sampai
abad X , yaitu jaman pemerintahan Mpu Sindok (tahun
925-962 masehi), di Mataram sampai jaman raja
Dharmawangsa Teguh (991-1007 masehi). Karya sastra
yang lahir pada jaman ini yaitu karaya sastra prosa dan
puisi seperti kakawin Rāmāyana.
3. Jaman Kediri, jaman ini mulai dari bertahtanya raja
Kediri, Prabhu Airlangga (1019-1049 M) sampai masa
pemerintahan raja Kertanegara (1268-1292 M) di
Singasari. Karya sastra kawi yang lahir pada periode ini
yaitu karya sastra yang tergolong bertembang.
4. Jaman Majapahi I, jaman ini diawali sejak lahirnya kerajaan
Majapahit (1293 M) sampai puncak keemasan kerajaan
Bahasa dan Sastra Kawi8
Majapahit, dengan raja Hayam Wuruk (1350- 1389 M).
Karya sastra yang lahir pada masa ini yaitu kakawin:
Brahmanadapurana, Kuñjarakarna, Nagarakertagama,
Arjunawijaya, Sutasoma, dan Parthayajña.
5. Jaman Majapahit II, jaman ini mulai dari bertahtanya
Wikramawardana (1389-1428 M) sampai runtuhnya
kerajaan Majapahit (1518 M). Adapun karya sastra yang
lahir pada masa ini antara lain : kakawin Nitisastra,
Nirartaprakerta, Dharmaśunya, Hariśraya.
Pada periode yang terakhir ini di atas, kehidupan
para pujangga, rupa-rupanya kurang mendapat perhatian.
Situasi kerajaan semakin memprihatinkan. Karenanya para ahli
memperkirakan bahwa orang-orang Majapahit yang tidak mau
tunduk dan tidak mau menganut agama Islam, menyingkir ke
arah pedalaman dan ke arah timur, ada yang sampai di Bali.
Mereka kemungkinan membawa hal-hal yang dianggapnya
penting untuk diselamatkan, yaitu seperti naskah-naskah
keagamaan, sastra dan yang lain -lainnya.
Dalam pustaka Raja Pūrwa dikisahkan : Mpu Arthati,
seorang pujangga keraton Majapahit, mendapat perintah untuk
menggubah sebuah kakawin pada tahun 1518 M. namun sebelum
selesai menggubah kakawin, karena kerajaan Majapahit
runtuh, beliau menyelamatkan diri ke Bali dengan membawa
seluruhpustaka miliknya. Di Bali beliau mengabdikan diri
kepada raja Gelgel yaitu Dalêm Waturenggong (1460 -1550 M).
Dalêm Waturenggong, disamping memperhatikan
kesejahtraan rakyat secara materi, juga menaruh perhatian yang
besar terhadap hal-hal yang bersifat rohani. Kehidupan para
rohaniawan terjamin. Karya-karya keagamaan dan sastra Kawi
dilanjutkan dan dipelajari secara mendalam dalam perguruan-
perguruan yang ada pada waktu itu. Kehidupan keagamaan yang
telah ada ditata disempurnakan bersama para rohaniawan yang
datang dari Jawa itu.
Bahasa dan Sastra Kawi 9
Dalam bidang bahasa, bahasa Kawi agaknya semakin
berbaur dengan bahasa Bali waktu itu. Dari pembauran inilah
diperkirakan memunculkan istilah bahasa Kawi-Bali (Jawa
Tengahan atau Bali Tengahan). Model bahasa ini dapat kita
temukan dalam naskah-naskah seperti : Tutur, Usada, Babad,
dan naskah lainnya yang muncul abad XVI sampai abad XVIII.
Pada abad ini muncul pula sastra Kidung, di samping karya-
karya Kakawin. Menurut Prof. Dr. PJ. Zoetmulder menyatakan
bahwa sastra Kidung yaitu kelanjutan dari suatu bentuk sastra
(sastra kawi) yang berasal dari Jawa.
Di Jawa sendiri semenjak kedatangan agama Islam, bahasa
Kawi (baca: Jawa Kuna) berkembang menjadi dua yang berlainan.
Di satu sisi bahasa Kawi berkembang menjadi bahasa Jawa
Pertengahan dan di sisi lain bahasa Kawi berkembang menjadi
bahasa Jawa Modern. Dapat dilihat ciri- cirinya sebagai berikut :
1. Bahasa Jawa Tengahan memperlihatkan hubungan yang erat
antara budaya Hindu-Jawa-Bali, dimana pengaruh India
(bahasa sanskerta) masih tetap terasa. Karya sastra yang
mempergunakan bahasa Jawa Pertengahan antara lain : Tantu
Panggêlaran, Calonarang, Tantri Kamandaka, Korawaśrama,
Pararaton, Kidung Harsawijaya, Kidung Ranggalawe, Babad
Tanah Jawi dan lain-lain.
2. Bahasa Jawa Modern, semakin menggeser kedudukan bahasa
sanskerta, dan menggantikannya dengan bahasa Arab.
Pada jaman peralihan(abad XVI M) ini disebut-sebut
seorang maha kawi (pujangga agung) yang gemar mengembara di
pesisir pantai dan di gunung-gunung (nyagara-giri). Beliau yaitu
orang yang Nirartha. Pujangga keraton Majapahit ini, pada tahun
1489 M pindah ke Bali. Bekas-bekas pesanggrahan beliau di Bali,
menjadi tempat patirthan (tempat suci atau pura), anatara lain Pura:
Purancak, Rambut Siwi, Tanah Lot, Peti Tengêt, Uluwatu, Sakenan,
Masceti, Air Jeruk, Batu Klotok, dan lain-lain.
Bahasa dan Sastra Kawi10
Di tempat-tempat inilah beliau menikmati keindahan dan
menciptakan sejumlah karya sastra Kawi seperti : Kidung Rasmi,
Sañca Edan Lalangon, Kakawin Danghyang Nirartha, Kakawin
Mayadana-wantaka dan karya sastra lainnya, termasuk sejumlah
karya sastra keagamaan, seperti : Kakawin Nirartha Prakrêta,
Nitisastra, dan Dharmaśunya, diduga dikarang beliau sebelum
beradadi Bali.
Demikian seterusnya sastra Kawi diwarisi di Bali. Bukan
hanya diwarisi sebagai koleksi, namun dipelajari dengan sungguh-
sungguh secara mentradisi dalam perguruan tradisional aśrama.
Aśrama sistem pendidikan Hindu yang pernah diterapkan pada
jaman raja-raja Hindu di Jawa maupun di Bali.
Di Bali ada kelompok apresiasi sastra yang berkaitan erat
dengan sistem pendidikan aśrama itu. Kelompok ini umum disebut
sekaa mabebasan atau sekaa kakawin atau pesantian. Mereka
yang bergabung dalam kelompok ini, secara tekun mempelajari,
membahas nilai-nilai yang terkandung dalam naskah atau kitab
itu, dan memedomani nilai-nilai itu untuk mengukur baik buruk,
benar salah, perilakunya sendiri maupun prilaku masyarakat
lingkungannya. Tidak hanya itu mereka menyalin secara teliti
naskah-naskah yang dianggapnya penting. Lebih jauh mereka
menciptakan karya-karya baru yang bersumber dari karya- karya
sebelumnya. Dalam sistem tradisional inilah dikenal sistem belajar
magending sambilang malajah atau malajah sambilang magending.
(bernyanyi sambil belajar atau belajar sambil bernyanyi).
Beberapa tokoh tradisional yang lahir dari sistem pendidikan
ini antara lain : 1) Ida Pedanda Sidemen (wafat 1984), dari beliau
kita mewarisi sejumlah karya seperti : Pūrwadigama, (Śiwagama),
Kakawin Gayadijaya (Kakawin Cantaka), Kakawin Candrabherawa
(Kakawin Dharmawijaya), Kakawin Singhalalayangyala, Kakawin
Kalpasanghara, Kidung Pisaca Harana, Geguritan Patitip, dan
ratusan karya- karya turunan lainnya. 2) Ida Ketut Jelantik (wafat
18 Nopember 1961), karya-karya dari beliau anatara lain: Geguritan
Bahasa dan Sastra Kawi 11
Lokika, Geguritan Sucita-Sabudi, Geguritan Bhagawadgita, Satua
Men Tingkes dan sebuah kitab tattwa (filsafat), Aji Sangkhya yaitu
merupakan ringkasan dari ajaran Śiwa Tattwa yang tertuang dalam
lontar-lontar yang tersimpan di Bali. Disamping itu beliau dijadikan
nara sumber dan juru bahasa oleh peneliti-peneliti bahasa Bali oleh
Schwarts, kesusastraan dan agama Hindu di Bali oleh C Hooykaas.
1.3 Abjad Bahasa Kawi
Aksara Kawi atau aksara Jawa Kuno merupakan bentuk
aksara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Jawa Kuno atau
Bahasa Kawi dan berkembang di Nusantara pada abad VIII-XVI.
Aksara Jawa Kuno berasal dari aksara Pallawa yang mengalami
penyederhanaan bentuk huruf pada sekira abad VIII. Aksara
Pallawa itu sendiri merupakan turunan aksara Brahmi dan berasal
dari daerah India bagian selatan. Aksara Pallawa menjadi induk
beberapa aksara daerah di Asia Tenggara seperti : aksara Thai,
aksara Batak, aksara Burma, dan lain-lain.
Aksara bahasa Kawi yaitu aksara turunan dari aksara Pallawa
yang mana aksara Kawi dan aksara Pallawa sangat dipengaruhi oleh
aksara Devanāgarī. Aksara Devanāgarī yaitu sebuah jenis aksara
yang berasal dari India bagian utara, yang muncul dari aksara Brahmi
dan mulai dipakai pada XI. Aksara Devanāgarī dipakai
untuk menuliskan bahasa Sanskerta dan bahasa Hindi.
Sebagaimana halnya dengan semua keturunan Aksara Brahmi
maka aksara Devanāgarī, aksara Kawi, aksara Jawa Kuno dan juga
aksara Bali merupakan jenis aksara abugida atau aksara alpha-
sylable. Jenis aksara ini huruf konsonannya memiliki vokal “a” yang
melekat pada huruf konsonan itu dan bunyi vokalnya bisa diubah
dengan menggunakan tanda vokal lain. Vokal “a” yang melekat
pada satu huruf konsonan dapat dihilangkan dengan memberi tanda
wirama atau sandangan pada huruf konsonan ini .
Aksara atau huruf yaitu gambaran dari pada bunyi. Rentetan
dari pada beberapa huruf atau aksara disebut dengan abjad. Abjad
Bahasa dan Sastra Kawi12
bahasa Kawi yaitu sama dengan ejaan bahasa Jawa Kuna Latin,
sebab bahasa Kawi yaitu merupakan bagian dari bahasa Jawa
Kuna.
Abjad bahasa Jawa Kuna Latin yaitu berjumlah 49 buah,
yaitu meliputi akṣara swara (vokal) sebanyak 16 (enam belas) buah
dan aksara wyañjana (konsonan) sebanyak 33(tiga puluh tiga) buah.
Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel di bawah ini :
1.3.1 sÙor Swāra (Vokal)
Akṣara Bali Aksara Latin Contoh Arti
Á hṛṣwa a Ácl, acala gunung
õ dīrgha ā õK ], ākāśa angkasa
) hṛṣwa ê h)nÓs/, êntas seberang
)o dīrgha ö Ï\)on/, rêngön dengarkan
÷ hṛṣwa i ÷ki, iki ini
÷o dīrgha ī aùr , dhīra berani
ú hṛṣwa u új( , ujar kata
úo dīrgha ū ]Ur , śūra pemberani
Ï hṛṣwa ṛ Ï[i , ṛṣi Resi
Ïo dīrgha ṝ Ï))o p/, röp kantuk
\Â hṛṣwa ḷ \Âm; , lêmah tanah
\Æ dīrgha ḹ mn)\Æ , manêlö menelan
Bahasa dan Sastra Kawi 13
6 hṛṣwa e 6k , eka satu
ü dīrgha ai ü (l\á , Airlangga Airlangga
3 hṛṣwa o 3ln/, olan ulat
3o dīrgha au 3o[a , auṣadha obat
1.3.2 wêzén Wyañjana (Konsonan)
Contoh penggunaan masing-masing konsonan sebagai
berikut ini.
Bahasa dan Sastra Kawi14
1. Akṣara Kaṇṭhya (Gutturals) yaitu huruf kerongkongan
Akṣara Bali Aksara Latin Contoh Arti
k ka kmi, kami kami
¼ kha su¼, sukha senang
g ga gm, gama jalan
f gha f n, ghana hawan
\ ṅa /nga \rn/, ngaran nama
2. Akṣara Talavya (Palatals) yaitu huruf langit-langit
Akṣara Bali Aksara Latin Contoh Arti
c ca ctu(, catur empat
È cha ÈnÑ, chanda chanda
j ja jgt/, jagat dunia
ü jha ü [, jhaṣa ikan
Z ña/nya Z mut/, ñamut kabur
3. Akṣara Mūrdhanya (Linguals) yaitu huruf lidah
Akṣara Bali Akṣara Latin Contoh Arti
` ṭa `ik, ṭika tulisan
~ ṭha sda sda
a ḍa at%, datêng datang
Bahasa dan Sastra Kawi 15
a ḍha sda sda
x ṇa trux, taruṇa pemuda
4. Akṣara Daṇṭya (Dentals) yaitu huruf gigi
Akṣara Bali Akṣara Latin Contoh Arti
t ta t\n/, tangan tangan
q tha qoni, thani pertanian
d da ddi, dadi jadi
a dha yua, yudha perang
n na nrpti, narapati raja
5. Akṣara Oṣṭhya (Labials) yaitu huruf bibir
Akṣara Bali Akṣara Latin Contoh Arti
p pa pwn, pawana angin
8 pha 8l, phala buah
b ba bl, bala kekuatan
v bha vy, bhaya bahaya
m ma mt, mata mata
Bahasa dan Sastra Kawi16
6. Akṣara Ardha Swara
Akṣara Bali Akṣara Latin Contoh Arti
y ya y], yasa jasa
r ra R g, rāga nafsu
l la lki, laki laki - laki
w wa wn, wana hutan
7. Akṣara Usma (bunyi desis)
Akṣara Bali Akṣara Latin Contoh Arti
] śa ]t, śata seratus
[ ṣa [d/, ṣad enam
s sa sh, saha dengan
8. Akṣara Wisarga
Akṣara Bali Akṣara Latin Contoh Arti
h ha hn hana ada
1.3.3 Pasangan Akṣara Wyañjana
Akṣara
Bali
Transli-
terasi
Pasang-
annya
Contoh Pemakaian
ArtiAkṣara Bali Kawi Latin
k ka ¨¨¨¨¨Ð¨¨ m\Ðn, mangkana demikian
¼ kha ¨¨¨¨¨Ð¨¨ su¼, sukha suka
Bahasa dan Sastra Kawi 17
g ga ¨¨¨¨¨¨á¨¨ li\á, lingga tanda
f gha ¨¨¨¨¨â¨¨ s\â, sanggha massa
\ ṅa ¨¨¨¨¨¨¨å¨¨ - - -
c ca ¨¨¨¨¨¨¨Ç¨¨¨ pZÇ pañca lima
È cha ¨¨¨¨¨¨¨È¨¨¨ escÈ, seccha enak
j ja ¨¨¨¨¨¨¨é¨¨¨ digéy, digjaya gagah,sakti
ü jha ¨¨¨¨¨¨ - - -
Z ña ¨¨¨¨¨¨¨ñ jñn, jñana pikiran
` ṭa ¨¨¨¨¨¨¨Õ¨¨ kX
x
kaṇṭa leher
~ ṭha ¨¨¨¨¨¨¨Õ¨¨ - - -
a ḍa ¨¨¨¨¨¨¨Ò¨¨¨¨ dnÒ, dandha tongkat
a ḍha ¨¨¨¨¨¨Ò¨¨¨ - - -
x ṇa ¨¨¨¨¨¨¨¨¨Å¨¨ j^X
jirṇṇa cacat
t ta ¨¨¨¨¨¨¨Ó¨¨¨¨ nIsÓnê , nistanya walaupun
q tha ¨¨¨¨¨Ô¨¨¨¨
ÁAsÔ , adhastha di bawah
d da ¨¨¨¨¨Ñ¨¨ ÁnÑg, andaga tidak patuh
a dha ¨¨¨¨¨¨Ò¨¨¨ yudÒ , yuddha perang
n na ¨¨¨¨¨¨Â¨¨¨ jgt
Â
OQ
Jagat
nātha
Dewa
Śiwa
Bahasa dan Sastra Kawi18
p pa ¨¨¨¨æ¨¨¨ pu[ æ, puṣpa bunga
8 pha ¨¨¨¨è¨¨¨ nI
i
l, niṣphala tak berbuah
b ba ¨¨¨¨¨¨¨ã¨¨ tmã, tamba obat
v bha ¨¨¨¨¨¨¨ä¨¨ Álmän, alambhana kesang-gupan
m ma ¨¨¨¨¨¨¨ß¨¨ õ tß ātma atma
y ya ¨¨¨¨¨ê¨¨¨¨ ü (] nê , airsanya timur
r ra ¨¨¨¨¨¨Î¨¨¨ putÉ , putra anak
l la ¨¨¨¨¨¨¨Þ¨¨ wÞs/, wlas belas kasihan
w wa ¨¨¨¨¨¨¨Ù¨¨ hyÙ, hywa jangan
] śa ¨¨¨¨¨¨¨Ö¨¨ Á\ Ö, angúa titisan
[ ṣa ¨¨¨×¨¨¨¨ Ák×r, akṣara huruf
s sa ¨¨¨¨u樨¨ wtuæ, watsa anak lembu
h ha ¨¨¨¨¨¨¨À¨¨ si\ À, singha singa
1.3.4 Sandangan Akṣara Swara (Tanda- tanda Akṣara
Swara)
¨¨¨¨¨¨¨o = tedong untuk suara ‘ā’ (panjang)
e¨¨¨¨¨ = taleng untuk suara ‘e’.
E¨¨¨¨¨¨¨ = taleng daitya untuk suara ‘ai’.
¨¨¨¨¨i¨¨ = ulu untuk suara ‘i’ (pendek)
Bahasa dan Sastra Kawi 19
¨¨¨¨¨¨¨ù¨¨ = ulu sari untuk suara ‘ī’ (panjang)
¨¨¨¨u¨¨¨ = suku untuk suara ‘u’(pendek)
¨¨¨¨U¨¨¨ = suku ilut untuk suara ‘ū’ (panjang)
e¨¨¨¨¨o = taleng + tedong untuk suara ‘o’
E¨¨¨¨o = taleng daetya + tedong untuk suara ‘au’.
¨¨¨¨¨)¨¨ = pêpêt untuk suara ‘ê’.
¨¨¨¨¨)o = pêpêt + tedong untuk suara ‘ö’.
¨¨¨¨¨¨Ê¨ = guwung repa untuk suara ‘ṛ/rê’.
¨¨¨¨¨¨; = bisah untuk menulis huruf ‘ḥ’ mati pada akhir suku kata/kata.
¨¨¨¨¨¨¨/ = adêg – adêg untuk mematikan huruf pada akhir suku kata/kata.
¨¨¨¨¨*¨¨ = cêcêk untuk menulis têngênan ‘ng’.
¨¨¨¨¨(¨¨ = surang untuk menulis têngênan r.
1.4 Aturan Bunyi
Setelah melihat deretan dari pada aksara ini di atas,
maka perlu mengetahui mengenai aturan bunyi, yang dapat
menghasilkan vokal dan konsonan dalam bahasa Kawi. Vokal
yaitu bunyi ujaran yang terjadi karena udara yang keluar
dari paru-paru tidak mendapat halangan. Sedangkan konsonan
yaitu bunyi-bunyi ujaran yang terjadi karena udara keluar dari
paru-paru mendapat halangan.
Bahasa dan Sastra Kawi20
Perlu diketahui bahwa di dalam membaca naskah yang
berbahasa Kawi baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun
puisi (tembang), dikenal bentuk panjang (dīrgha) dan bentuk
pendek (hṛṣwa). Yang berguna untuk kepentingan “guru dan
laghu”. Guru artinya suara panjang atau berat, dalam tulisan-
tulisan ejaan latin guru itu diberi tangda corek atau garis
melintang. Laghu artinya suara pendek atau ringan, contoh :
1. pāda : berarti kaki.
2. pada : berarti bumi.
Di dalam pengucapannya harusnya “pā” pada contoh
nomor satu lebih panjang dari pada pa pada contoh nomor dua,
demikian juga “pā” pada contoh nomor satu harus mendapat
tekanan atau ngilêg sedangkan “pa” pada contoh nomor dua
tanpa tekanan atau tanpa nglêg, karena “pā” pada contoh nomor
satu yaitu termasuk “guru” sedangkan “pa” pada contoh nomor
dua yaitu laghu. Demikian juga pada vokal yang lainnya.
1.4.1 Fungsi Tanda Dīrgha
Tanda dīrgha dalam bahasa Kawi memiliki fungsi antara
lain :
1. Tanda dīrgha yang ada pada nama orang, fungsinya
untuk menunjukan jenis kelamin perempuan, contoh :
Kośalyā, Sumitrā, Kaikeyī, Sitā, dan lain – lain.
2. Untuk menunjukkan persaṁdhian, contoh :
ka + ajar = kājar
Raghu + uttama = Raguttama
Hari + īśwara = Harīśwara, dan lain – lain.
3. Untuk menyatakan hurif r yang hilang (luluh), contoh :
ikū – ikur (ekor)
rāh – rarah (darah)
rāt – rarat (darat)
Bahasa dan Sastra Kawi 21
4. Untuk menyatakan memiliki atau memiliki, contoh :
śrênggī dari śrêngga (memiliki tanduk)
tantrī dari tantra (memiliki kekuatan)
śaśi dari śaśa (memiliki bulan)
5. Untuk menyatakan pasang pagêh (memang demikian),
contoh : tumūt (mengikuti), Śrī (Dewi Śrī), ādi (pertama)
dan lain-lain.
Alat ucap yang perlu untuk menghasilkan bunyi ujaran
yaitu : (1) Udara (yang dialirkan keluar dari paru-paru), (2)
Artikulator/Lidah (bagian dari alat ucap yang dapat digerakkan
untuk menimbulkan suatu bunyi) dan (3) Titik Artikulasi (bagian
dari alat ucap yang menjadi tujuan sentuh dari Artikulator).
1.4.2 Cara Pembentukan Fonem Vokal Dan Konsonan.
1) Swara (Vokal).
Secara kewargaan aksara atau daerah artikulasi, maka
vokal dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok yaitu :
1. Kāṇṭhya (Gutural) yaitu huruf yang keluar dengan
mendekatkan lidah pada bagian langit-langit dekat
kerongkongan, misalnya : a, ā.
2. Tālawya (Palatal) yaitu huruf yang keluar dengan
mendekatkan gerak lidah ke tekak, misalnya : i, ī.
3. Oṣṭhya (Labial) yaitu huruf yang dihasilkan oleh bibir,
misalnya : u, ū.
4. Mūrdhanya (Lingual) yaitu huruf yang keluar dengan
menggetarkan lidah di dalam langit-langit, misalnya : ṛ, ṝ.
5. Daṇṭya (Dental) yaitu huruf yang keluar karena sentuhan
lidah dengan gigi atas, misalnya :ḷ, ḹ.
6. Kāṇṭhya-Tālawya (Guturo-Palatal) yaitu huruf yang
dihasilkan oleh lidah di dalam Kaṇṭha dan Talu, misalnya
: ai, e.
Bahasa dan Sastra Kawi22
7. Kāṇṭoṣṭhya (Guturo- Labial) yaitu huruf yang dihasilkan
di dalam langit-langit dan bibir, misalnya : au, o.
2) Wyañjana (Konsonan)
Dalam timbulnya bunyi konsonan halangan yang dijumpai
udara itu dapat bersifat keseluruhan, sebagian yaitu dengan
menggeserkan atau mengadukkan arus udara itu. Dengan
memperhatikan bermacam-macam faktor untuk menghasilkan
konsonan maka kita dapat membagi konsonan atas dasar : (1)
Artikulator dan Titik Artikulasi, (2) Macam halangan udara
yang dijumpai mengalir ke luar. (3) Turut tidaknya pita suara
bergetar. dan (4) Jalan yang dilalui udara ketika keluar dari
rongga-rongga ujaran. Penggolongan konsonan - konsonan
yang muncul berdasar artikulator dan artikulasinya, yaitu
sebagai berikut :
1. Konsonan Velar, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh belakang
lidah dan langit-langit lembut, yaitu: k, kh, g, gh, ṅ (ng).
2. Konsonan Palatal, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh bagian
tengah lidah dan langit-langit keras, yaitu : c, ch, j, jh, ñ (ny).
3. Konsonan Apiko-aveolar, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh
ujung lidah dan lengkung kaki gigi, yaitu : ṭ, ṭh, ḍ, ḍh, ṇ.
4. Apiko-interdental, yaitu bunyi yang diahasilkan oleh ujung
lidah (apex) dan daerah antar gigi (dens), yaitu : t, th, d, dh,
n.
5. Konsonan Bilabial, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan
mempertemukan kedua bibir yaitu bibir atas dan bibir
bawah, yaitu: p, ph, b, bh, m.
6. Konsonan Spiran, yaitu bunyi yang dihasilkan bila udara
keluar dari paru-paru mendapat halangan berupa pengadukan,
sedangkan sementara itu terdengar bunyi desis, yaitu: ś, ṣ, s.
Bahasa dan Sastra Kawi 23
BAB II
AFIKSASI DAN SAṀDHI
2.1 Afiksasi
Afiks yaitu imbuhan. Imbuhan adalan morfen terikat yang
dapat dibedakan menurut tempatnya melekat pada bentuk dasar.
Kata berimbuhan yaitu merupakan kata turunan yang dihasilkan
melalui proses morfologis dengan pembubuhan imbuhan (afiks)
pada suatu morfem dasar atau morfem pangkal. Afiks atau
imbuhan dapat dibedakan menjadi empat kelompok yaitu :
1. Prefiks yaitu awalan, misalnya : a, ma, ka, pa, pi, paka,
paha.
2. Infiks yaitu sisipan, misalnya : in, um, êr, êl.
3. Sufiks yaitu akhiran, misalnya : a, ên, i, an, akên.
4. Konfiks yaitu imbuhan gabungan (awalan dan akhiran),
misalnya : pa…an, ka…an, ka…akên.
2.1.1 Prefiks
Prefiks atau awalan yaitu suatu unsur yang secara
struktural ditambahkan di depan sebuah kata dasar (lingga)
atau bentuk kata dasar. Kadang-kadang dalam pembentukan
itu ditamba dengan bunyi sengau, misalnya : “ny, m, n, ng”.
Sebagai akibat penambahan huruf (bunyi) sengau itu maka dapat
menimbulkan arti yang berbeda, contoh : doh, adoh artinya
jauh, kemudian angdoh, artinya menjauh. etes, artinya terbuka,
kemudian anetes artinya menetes. Demikian pula contoh-
contoh yang lain seperti : angalas (pergi ke hutan), mangjanma
(menjelma), manêmbah (menyembah), amangan (memakan),
anatur (berkata) dan lain-lain.
2.1.2 Infiks
Infiks atau sisipan yaitu semacam morfem terikat yang
disisipkan pada sebuah kata. Pada umumnya infiks itu terletak
Bahasa dan Sastra Kawi24
diantara konsonan dan vokal suku kata pertama. Diantara infiks
yang agak sering dipakai ialah : “in dan um”. Infik in
menyatakan bentuk pasif dan infik um menyatakan bentuk aktif.
Contoh :
a. rākṣa artinya jaga, rinākṣa artinya dijaga, rumākṣa artinya
menjaga.
b. tusuk artinya tusuk, tinusuk artinya ditusuk, tumusuk artinya
menusuk.
c. (h) iring artinya serta, (h) iniring artinya disertai, (h) umiring
artinya menyertai.
Pada contoh c, huruf ‘h’ kami letakkan dalam kurung,
karena dalam praktek, pada umumnya huruf ‘h’ itu dihilangkan,
sehingga kelihatannya kata-kata itu mulai dengan huruf hidup
(vokal).
Berlainan halnya kata-kata yang mulai dengan huruf
labial : (p, b, m, w,) yaitu dalam bentuk aktif, infiks itu terletak
di muka, sama seperti dalam bentuk pasif. Infiks itu terletak
antara konsonan dan vokal suku kata yang pertama. Untuk lebih
jelasnya perhatikan contoh-contoh di bawah ini :
1. Kata-kata yang mendapat infiks ‘um’, misalnya :
pangan : um + pangan - ummangan - umangan - mangan,
artinya memakan.
bañcana : um+bañcana-ummañcana-umañcana - mañcana,
artinya membahayakan.
mitra : um+mitra -ummitra-umitra-mitra, artinya bersahabat.
wêtu : um + wêtu – ummêti – umêtu – mêtu, artinya keluar.
2. Kata-kata yang mendapat infiks ‘in’, misalnya :
panah – pinanah, artinya dipanah,
buñcang – binuñcang, artinya dilemparkan.
mangsa – minangsa, artinya dimakan.
wastu - winastu, ditetapkan.
Bahasa dan Sastra Kawi 25
berdasar contoh-contoh di atas akhirnya dapat
disimpulkan dalam bentuk rumus-rumus sebagai berikut :
a. Bentuk :
1. Pada umumnya infiks terletak diantara konsonan dan
vokal suku kata pertama, misalnya :
guyu + um = gumuyu, artinya bersenda gurau.
sahur + um = sumahur, artinya menyahut.
tambak + in = tinambak, artinya diempang.
tikêl + in = tinikêl, diapatahkan.
gigi + êr = gêrigi, artinya bergigi.
tunjuk + êl = têlunjuk, artinya telunjuk.
2. Apabila kata-kata itu mulai dengan vokal, maka infiks
ditambahkan di muka kata misalnya :
atur + um = umatur, artinya berkata.
iring + in = iniring, artinya diikuti.
3. Kalau kata-kata itu mulai dengan huruf bibir (labial) : p,
b, m, wa, maka :
a. Dalam bentuk aktif, infiks itu terletak di muka,
contoh :
panah + um – umpanah – ummanah – umanah –
manah (memanah)
bañcana + um – umbañcana – ummañcana – mañcana
(membencanai)
b. Dalam bentuk pasif, infiks itu terletak di antara
konsonan dan vokal suku kata pertama dari kata
dasar, misalnya contoh :
wastu + in = winastu (ditetapkan).
buñcang + in = binuñcang (dilemparkan)
b. Arti :
1. Infiks ‘um’ :
Infiks ‘um’ menunjukkan kata kerja aktif dan dapat
disamakan dengan prefix ‘a’atau’ma’,dalam terjemahan
Bahasa dan Sastra Kawi26
dapat disamakan dengan awalan me atau ber dalam
bahasa Indonesia, contoh :
santwa + um = sumantwa (menyapa)
santwa + ma (n) = masantwa – mannantwa – manantwa
(menyapa, menyosong)
atur + um = umatur – matur (berkata)
atur + ma = maatur (màtur) – matur (berkata).
Pada contoh terakhir di atas, kita lihat ‘mà’ pada kata
matur, ‘a’nya dirgha atau panjang, sebab di sini berlaku
hukum saṁdhi.
2. Infiks ‘in’ :
Infiks ‘in’ menunjukkan kata kerja pasif, yang dalam
terjemahan dapat disamakan dengan awalan ‘di’ dalam
bahasa Indonesia, contoh :
pupuh + in = pinupuh (dipukul)
rākṣa + in = rinākṣa (dijaga)
3. Infiks ‘êr’ dan ‘êl’ :
Infiks ‘êr’ dan ‘êl’ agak jarang dipakai. Pada umumnya
pemakaian infiks ini menunjukkan arti banyak, contoh :
gigi + êr = gêrigi (banyak gigi)
tapak + êl = telapak (banyak tapak).
Perlu dijelaskan bahwa pembentukkan kata kerja pasif
selain dari pada infiks ‘in’ dapat juga dilakukan dengan
pemakaian sebagai berikut :
a. Prefiks ‘ka’, misalnya :
ka + ton = katon (terlihat)
ka + rêngö = karêngö (terdengar)
b. Sufiks ‘ên’, misalnya :
prih + ên = prihên (diperlukan, harap diusahakan)
wawa + ên = wawaên (bawalah, harap dibawakan)
c. Sufiks ‘akên’/‘akêna’, misalnya :
weh + akêna = wehakêna (harap diberikan)
pinton + akên = pintonakên (perlihatkanlah)
Bahasa dan Sastra Kawi 27
Bentuk-bentuk semacam ini banyak dijumpai dalam
bacaan-bacaan atau sastra-sastra bahasa Kawi, baik
dalam bentuk puisi maupun prosa.
2.1.3 Sufiks
Sufiks atau akhiran yaitu semacam morfen terikat yang
dilekatkan (ditambahkan) di belakang suatu morfen dasar atau
kata dasar, contoh :
ratu + a = ratua – ratwa (akan menjadi raja).
hurip + ên = huripên (hidupkanlah).
weh + i = wehi – wehi – wehana (agar diberi).
unggu + an = ungguan – unggwan (yang ditempati).
kawaśa + akên = kawaśakên (agar dikuasai).
Adapun sufiks semacam itu pada umumnya mengandung
pengertian harapan atau perintah atau sesuatu pekerjaan yang
kalau belum terjadi sufiks semacam itu disebut sufiks arealis.
2.1.3.1 Sufiks Arealis.
Sufiks arealis, ialah suatu akhiran yang bersifat tidak nyata
(arealis = a = tidak, real = nyata). Pengertian tidak nyata yaitu
mengandung arti yang belum pasti atau yang belum nyata dan
memiliki pengertian yang sangat luas, antara lain:
1. Menyatakan pekerjaan yang baru diperintahkan (disuruh)
atau inperative active)
2. Menyatakan pekerjaan yang belum terjadi, akan terjadi
(future), harus, tidak akan, mungkin, tidak mungkin.
3. Baru diharap-harapkan dan biasanya disalin dengan kata-
kata : supaya , agar, mudah-mudahan, andaikata, akan dan
lain-lain.
4. Walaupun telah terjadi, namun pekerjaan itu belum
sempurna, ada celanya.
Bahasa dan Sastra Kawi28
Cara membentuk sufiks arealis yaitu :
1. Dapat ditambahkan pada kata benda (substantive) yang tidak
berakhiran, contoh :
ratu + a = ratwa (akan menjadi raja)
paweh + a = paweha (akan diberi, namun belum)
hurip + a = huripa (akan dihidupkan)
paran + a = parana
mālap + a = mālapa
hantuk + a = hantuka
2. Dapat ditambahkan pada kata kerja(verbal), contoh :
amêjah + a = amêjaha (akan membunuh)
lumaku+a=lumakua-lumakwa (akan berjalan, meminta)
3. Dapat ditambahkan pada kata keadaan (ajektive), contoh :
manis + a = manisa (supaya menjadi manis)
durbala + a = durbalaa - durbalā (akan menjadi rusak).
Bentukan sufiks arealis yaitu sebagai berikut ini.
1. Bentuk aktif.
a. Bentuk nasal/um + a, contoh :
ma (ng) + hurip + a = manghuripa (akan menghidupkan)
a (m) + panah +a = ampanaha-ammanaha-amanaha
(akan memanah).
b. Bentuk nasal/um + i (an, ana), contoh :
ka+um+lilir+i = kumaliliri-kumaliliran-kumalilirana
(akan menggantikan).
um + pati + i = umpatii -ummatī -umatī -umatyan-
umatyana (akan membunuh)
c. Bentuk nasal/um + akên (akêna, akna), contoh :
am + pinton + akêna = apintonakên-apintonakêna-
apintonakna (akan memperlihatkan, akan memamerkan).
ganti + um + akên = gumantyakên – gumantyakêna –
gumantyakna (akan menggantikan)
Bahasa dan Sastra Kawi 29
2. Bentuk pasif.
a. Pada kata dasar + ên/n, contoh :
hurip + ên = huripên (supaya duhidupkan).
wawa + ên =wawaên-wawan (supaya dibawa, bawalah)
b. Pada kata dasar + i (an, ana), contoh:
weh + i = wehi - wehan - wehana (agar diberi)
hurip+i = huripi-huripan-huripana(supaya dihidupkan)
c. Pada kata dasar + akên (akêna, akna), contoh :
tinggal+ akên =tinggalakên-tinggalakêna - tinggalakna
(harap ditinggalkan).
kawaśa+akên= kawaśaakên-kawaśākên - kawaśākêna –
kawaśākna (agar dikuasai, kuasailah).
Catatan :
1. Sufiks ‘ana’ sebenarnya tidak ada, yang ada yaitu sufiks
‘i’, yang dapat berubah menjadi ‘an’ lalu mendapat
akhiran ‘a’, kemudian menjadi ‘ana’.
2. Sufiks ‘akna’, sebenarnya tidak ada, yang ada yaitu
sufiks ‘akên’, kemudian ditambah ‘a’, menjadi akêna
(akên + a), ‘akêna’ kemudian dapat berubah menjadi
‘akna’.
3. Penambahan sufiks ên pada suatu kata, mengalami dua
syarat, yaitu :
a. Kalau kata itu berakhir dengan konsonan + ên, maka
akhiran ‘ên’ itu tetap dirulis, contoh :
alap + ên = alapên (ambillah).
pêjah + ên = pêjahên (bunuhlah).
b. Kalau kata itu berakhir dengan vokal + ‘ên’, maka ‘ê’
pada ‘ên’ menjadi luluh atau lenyap, contoh :
wêli + ên = wêlin (belilah).
tuku + ên = tukun (belilah).
Sufiks atau akhiran arealis dapat diterjemahkan dalam
berbagai jalan, menurut bentuk dan susunan kalimatnya, contoh.:
Bahasa dan Sastra Kawi30
1) Anakku sang Śakuntala, haywa kita lara, mānaka ratu
cakrawartī kita dlêha=Anakku Śakuntala, janganlah engkau
susah engkau kelak akan memiliki anak yang berkuasa di
dunia.
2) Kunang yang huwus māti si nāga Takṣaka, samangkana
nghulun mahuwusana ng yajña sarpa = Maka apabila sudah
mati si Naga Takṣaka, ketika itulah saya akan menghentikan
kurban ular itu.
3) Aku sumaputana kita lêbu. Yapwan lungha sang hyang Agni,
ungkabana ni nghulun tang lyang = Aku akan menutupi
engkau dengan debu. Jika sang hyang Agni pergi, akan
kubuka lubang itu.
4) Atyanta nisturanta kamung nāga sapinta….kasihku tāsmad
duhka panggihênyu panganên ing apuy ta ko = Hai naga
alangkah kejam kamu terhadap segala permintaan belas
kasihan, oleh karena itu kesupaya nlah yang akan kamu
temui, akan dimakan apilah engkau.
2.1.4 Konfiks.
Konfiks atau imbuhan gabungan yaitu pemakaian
imbuhan sekaligus pada suatu kata dasar. Imbuhan-imbuhan
yang biasa dipakai bersama-sama, antara lain yaitu : ‘pa...an’
dan ‘ka…an’, contoh :
pa + malaku+an = pamalalakwan (orang yang dimintai)
pa + ngaji + an = pangajyan (tempat berguru)
ka + úura + an = kaúuraan - kaśurān (keberanian)
ka + dusta + an = kadustaan - kadustān (kejahatan)
Kalau kita perhatikan contoh-contoh yang diberikan
di atas, tampaknya seakan-akan kurang jelas bentuk paduan
kata dasar dengan imbuhan itu. Hal ini disebabkan bukan saja
karena adanya persengauan, namun juga adanya bentuk-bentuk
persaṁdhian.
Bahasa dan Sastra Kawi 31
2.2 Saṁdhi
Bila dalam rangkaian linggadan imbuhan (awalan, sisipan,
akhiran) atau dalam rangkaian dua, ada dua buah huruf
hidup atau lebih berturut-turut, sering kali huruf-huruf hidup itu
luluh. Luluh itu dalam bahasa sanskerta disebut dengan saṁdhi.
Saṁdhi artinya hubungan atau gabungan. Ada dua macam
saṁdhi yaitu :
a. Saṁdhi dalam, yaitu suatu persandian yang terjadi dalam
satu atau sepatah kata akibat proses afiksasi (penambahan
imbuhan).
Contoh : pa + ajar = pājar (berkata) ; ka + ucap = kocap
(berkata) ; maka + ibu = makebu (sebagai ibu) ; ma + inget
= mengêt (teringat)
b. Saṁdhi luar, yaitu suatu persandian yang terjadi dalam dua
patah kata atau lebih,di mana kata yang pertama diakhiri
oleh vokal dan kata berikutnya diawali oleh vokal.
Contoh : sira + aburu = sirāburu (ia berburu)
nguni + ikang = ngunīkang (lebih itu)
mahā + īśvara = maheśvara (Tuhan)
prabu + uttama = prabhūttama (raja utama)
Syarat-syarat untuk kedua macam saýdhi itu yaitu sama
yaitu :
a. Dua vokal yang sama menjadi satu, namun berbunyi panjang,
contoh :
a + a = ā i + i = ī u + u = ū
a + ā = ā i + ī = ī u + ū = ū
ā + ā = ā ī + ī = ī ū + ū = ū
b. Bunyi ‘ê’ di belakang vokal lain selalu hilang serta yang
tertinggal hanya vokal yang mendahuluinya, contoh :
Bahasa dan Sastra Kawi32
a + ê = a wawa + ên = wawan
i + ê = i weli + ên = welin
u + ê = u tuju + ên = tujun
ö + ê = ö rengö + ên = rengön
c. Bunyi ‘a’ bila diikuti oleh bunyi lain, namun bukan ‘é’ maka
menjadi demikian, contoh:
a + u = o a + umah = omah
a + i = e kapa + ingin = kapengin
d. Bunyi ‘u’ dan ‘i’ bila diikuti bunyi lain , namun bukan ‘é’
maka menjadi demikian, contoh :
u menjadi w sinusu + an = sinuswan
i menjadi y manguni + akén = mangunyakén
‘O’ dan ‘ö’ bila diikuti bunyi lain, namun bukan ‘é’,
maka menjadi ‘w’, contoh :
inasö + akên = inaswakên
mangko + angde = mangkwangde
e. Bunyi ‘ê’ bila diikuti oleh bunyi lain, namun bukan ‘ê’, maka
menjadi ‘w’, contoh :
magawe + a = magawaya
2.3 Kata Sandang
2.3.1 Penentuan : “ng atau ang”.
Kata sandang penentuan “ng atau ang” ditempatakan di
muka kata yang sudah ditentukan. Kalau kata itu belum diketahui
Bahasa dan Sastra Kawi 33
atau belum ditentukan, maka “ng atau ang” itu tidak dipakai.
Kata sandang ini sama fungsinya dengan “the” dalam bahasa
Inggris, contoh :
Ang kathā (ceritera itu)
Mangrêngö ta ng danawa (mendengarlah raksasa itu)
2.3.2 Penunjuk orang.
Ada beberapa jenis kata sandang penunjuk orang, yaitu:
1. Kata penunjuk orang ‘si’ : Seperti dalam bahasa Indonesia
‘si’ dipakai untuk orang kebanyakan, contoh :
Hana ta rākṣasa si Duloma ngaranya (yaitu raksasa si
Duloma namanya).
Ikang asu si Sarameya (Anjing itu si Sarameya).
Untuk merendahkan diri orang juga memakai ‘si’ , sedangkan
untuk orang lain orang memakai ‘sang’, contoh : Tadantara
datêng ta sang Kānana … mājar ta ya : “Pinakanghulun si
Kānana, kinon ārya Widura”.
2. Kata penunjuk orang ‘pun’ kata sandang ini sudah amat
jarang dipakai. Hampir sama dengan ‘ipun’ dalam bahasa
Bali, contoh :
Bapa ! māti ngganya pun Kaca ……. Tasyāsih ta bapa,
huripên pun Kaca muwah !
3. Kata penunjuk orang ‘sang’ kata sandang ‘sang’ dipakai
untuk orang ternama atau bangsawan, contoh:
sang Arjuna, sang mahārsi, sang mati ing raóa dan lain-lain.
4. Kata penunjuk orang ‘sang hyang’ kata sandang ‘sang
hyang’dipakai untuk dewa-dewa serta yang dianggap amat
mulia seperti dewa misalnya: matahari, bulan, bumi, hurip,
ātma, buku suci, kuṇḍa, contoh:
Sang hyang Wiṣṇu, sang hyang Agni, sang hyang Indra dan
lain-lain.
Sêdêng têngah wêngi wahu sumurup sang hyang wulan.
Bahasa dan Sastra Kawi34
Kata penunjuk orang ‘sang hyang’ saja dapat dipakai kerap
kali untuk menunjuk matahari. Contoh :
Sore kāla sang hyang mangke.
Rahina pwa sang hyang ri sakatembay esuk.
5. Kata penunjuk orang ‘ḍang hyang’ kata sandang ‘ðang hyang’
dipakai untuk menunjuk orang mulia karena kesuciannya
dipakai orang ḍang diikuti hyang, kadang-kadang ācārya.
Contoh:
Mengêt kita ḍang hyang Kṛpa mijil sakeng śarastamba
kacaritan ira muwah ḍang hyang Droṇa mijil sakeng luwang
kacaritan ira.
6. Kata penunjuk orang ‘ra’ kata sandang ‘ra’ biasa dipakai orang
yang berkata kepada orang yang lebih tinggi pangkatnya.
Contoh :
Matangnyan hênêng ra bhujangga haji.
Pirengön ra putu mpungku.
7. Kata penunjuk orang ‘sira’ kata sandang ‘sira’ sering juga
dipakai untuk mengganti sang, hal ini terjadi lebih-lebih
pada kata sebut yang mengenai macam. Contoh :
Sukha ta sira bapa ri datêng sang Gandhawati. Mawarah ta
sira mpu… Mangkana ling sang Jaratkaru ring sira stri.
2.4 Kata dan Jenis Kata
Kata merupakan dua macam satuan yaitu satuan fonologis
dan satuan gramatis. Sebagai satuan fonologis kata terdiri atas
satu atau beberapa suku kata dan suku kata itu terdiri dari satu
atau beberapa fonem. Sebagai satuan gramatis kata terdiri atas
satu atau beberapa morfem. Morfem yaitu kesatuan yang ikut
serta dalam pembentukan kata yang dapat dibedakan artinya.
Gabungan morfem yang dapat diujarkan sebagai bentuk bebas,
yang paling kecil inilah yang disebut kata. Sebagai contoh dalam
ujaran :
Bahasa dan Sastra Kawi 35
“Mahābhaya tan sinipi iking alas pinaranta artinya: Sangat
berbahaya tidak terhingga hutan yang kamu datangi ini”
Dalam ujaran ini ada satuan-satuan bentuk bebas
yang paling kecil. Satuan ini masing-masing: ‘mahābhaya’
(sangat berbahaya), ‘tan’ (tidak), ‘sinipi’ (terhingga), ‘iki’ (ini),
‘ng’(partikel), ‘alas’ (hutan) dan ‘pinaranta’ (kamu datangi).
Satuan bentuk seperti : ‘tan’, ‘alas’, dan ‘iki’ yaitu kata yang
terdiri atas satu morfem yang disebut morfem dasar. Sedangkan
kata : ‘sinipi’, ‘pinaranta’, dan ‘mahabhaya’ disebut morfem
gabungan (gabungan morfem). Kata sinipi dari morfem dasar
(sipi = sedikit) dan morfem imbuhan berupa sisipan ‘in’. Kata
‘pinaranta’ terdiri atas morfem dasar (para=datang) dan morfem
imbuhan berupa sisipan ‘in’, serta morfem inklitik (nta = mu/
kamu). Kata ‘mahabhaya’ terdiri atas morfem dasar (bhaya =
bahaya) dan morfem imbuhan berupa awalan (maha = sangat).
Kata yang terdiri dari satu morfem disebut kata tunggal
yang dapat dibentuk dari morfem dasar. Oleh karenanya kata ini
juga disebut kata dasar. Kata yang terdiri dari beberapa morfem
dasar maupun morfem pangkal dengan proses morfologis
disebut kata turunan. Kata turunan dapat dibedakan atas : kata
berimbuhan, kata ulang, dan kata majemuk. Jenis- jenis kata
dalam bahasa Kawi terdiri dari :
1. Kata Benda, contoh : śiṣya (murid), phala (buah), panah
(panah), mṛga (binatang), ikū (ekor), rwan (daun), watu(batu),
pari (padi) dan lain-lain.
2. Kata Kerja, contoh : magawe (bekerja), malayu (berlari),
maburu (berburu), katon (terlihat), mangan (makan),
umawa(membawa), magulingan (bergulingan) dan lain- lain.
3. Kata Sifat, contoh : sweta (putih), kweh (banyak), magöng
(besar), tiksna (tajam), tikta (pahit), panes (panas), takut
(takut) dan lain-lain.
Bahasa dan Sastra Kawi36
4. Kata Ganti Orang. Ada dua macam kata ganti orang yaitu :
kata ganti orang yang sebenarnya dan yang tidak sebenarnya.
2.5 Kata Ganti Orang
Ada dua kata ganti orang yaitu kata ganti orang yang
sebenarnya dan kata ganti orang yang tidak sebenarnya.
1. Kata ganti orang yang sebenarnya. Kata ganti orang ini
dapatlah dibeda-bedakan sebagai berikut :
Ke Kata Ganti Orang Kata Ganti Milik
Pertama aku ku, ngku
kami mami
kita ta, nta
Kedua ko, nyu nyu
kamu mu
kita ta, nta
Ketiga ya nya, ya
sira ira, nira
2. Kata ganti orang yang tidak sebenarnya.
Orang I nghulun ning nghulun ngwang, ring wang,
sanghulun, pinangkanghulun dan lain-lain.
Orang II rakryan rahadyan, sanghulun, mpu, mpungku
mpungkulun, maharaja,bhatara, maharsi,
haji dan lain-lain.
Orang III pwangkulun, maharaja, haji dan lain-lain.
2.5.1 Kata Ganti Orang Untuk Orang Pertama.
Kata ganti ‘aku’ dan ‘kami’ kedua-duanya ada dalam
arti yang sama dan pemakaian yang sama. Seorang dapat
mengatakan dirinya dengan ‘aku’ dan ‘kami’ dalam sebuah
Bahasa dan Sastra Kawi 37
kalimat. Kata ganti ‘miliku’, kalau ditambahkan kepada kata
yang berakhir vokal maka haruslah kata ‘ku’ itu, disisipkan
bunyi sengau ‘ng’ di mukanya. Contoh : bapangku, mpungku
dan lain-lain.
Bunyi ‘n’ pada akhir kata kerap kali menjadi ‘ng’, jika
diikuti oleh ‘ku’. Contoh : ngarangku.
Bila ku itu ditambahkan kepada kata yang berakhir “k”,
maka hanya sebuah k saja ditulis. Contoh : anak + ku maka
menjadi ‘anaku’ bukan ‘anakku’. Contoh-contoh dalam kalimat.:
• Aku dinalihta suaminyu, atyanta ta wruh ring asambawa
ike ta karih, artinya : Aku kau kira suamimu, sungguh
tidak tahu sopan santun sama sekali.
• Brāhmaṇa daridra kami, artinya : Brahmana miskin
saya.
• Kawidagdhan mami nita caturangga, artinya :
Kepandaianku permainan catur.
Selain dari pada kata ganti ‘aku’ dan ‘kami’, masih ada
beberapa kata ganti tak sebenarnya untuk orang pertama, antara
lain :
1. ‘Nghulun, ni nghulun’
Kata-kata inilah yang kerap kali dipakai, lebih-lebih dari
pada aku. Rasa hormat di dalam kata itu yang sebenarnya
berarti, ‘budak’ tak terasa lagi. Guru misalnya berkata
kepada muridnya memakai nghulun juga. Contoh :
Nghulun ratu śomawangśa, sang yayati ngaraninghulun,
artinya : Saya raja keturunan Soma, yayati nama saya.
2. ‘Ngwang, ni ngwang’
Pun kata-kata ini tak terasa lagi rasa hormat. Contoh :
Śarīranta kabrh sakeng śarūra ni ngwang tattwanya,
artinya : Badanmu seluruhnya dari badanku hakekatnya.
3. ‘Sanghulun, pinakanghulun’
Kata-kata ini dipakai oleh orang rendahan kepada orang
Bahasa dan Sastra Kawi38
yang dihormati. Dapat diterjemahkan dengan kata hamba.
Contoh :
Pinakanghulun tapwan nānak.Yan yogya ta
pinakanghulun anugrahāna de paramarṣi, artinya :
Kalau boleh anugrahilah hamba oleh tuanku maharṣi.
2.5.2 Kata Ganti Orang Untuk Orang Kedua.
Jika kata ganti untuk orang yang kedua ini dipakai untuk
memanggil dan disertai oleh kata benda, maka kata ini menjadi
‘kong’,‘kamung’, ‘kitang’, contoh : kong nāga, kitang nāga,
kamung sang hyang apuy.
‘Ko’, kerap kali agak menghina. Beda pemakaian antara
‘kamu’ dan ‘kita’ tidak terang. Sering kali kedua kata itu
dipertukar-tukarkan saja dalam sebuah kalimat, contoh :
Yan mahyun kiteng amṛta kamung watêk hyang kabeh,
artinya : Jika kamu menghendaki amṛta kamu dewa-dewa
sekalian.
Beberapa Kata Ganti Orang Untuk Orang Kedua
Yang Tak Sebenarnya.
1. ’Rakryan’ : Kata ini dipakai terhadap keluarga raja,
pramaisuri, patih dan terhadap orang-orang besar. Contoh :
Sapinta rakryan i nghulun, artinya : Berapa yang kamu
minta kepadaku.
2. ’Rahadyan sanghulun’ : sang ahulun. Rahadyan sanghulun
dipakai untuk orang yang lebih tinggi. Contoh :
Pinakanghulun sinangguh tan papadeng dhanudhara úàûtra
adwa rahadyan sanghulun, artinya : Hamba tuah sebut tak
ada samanya dalam kecakapan memanah namun kelirulah
tuan.
Sang ahulun sama artinya dengan pinakanghulun, namun
lebih jarang dipakai. Contoh :
Bahasa dan Sastra Kawi 39
Ndi ta ling patik haji ri sang ahulun sang Gandhawatì sira
ta dharmapatnya sang nātha, artinya : Adapun sembah patik
kepada paduka tuanku, sang Gandhawatī beliaulah harus
menjadi permaisuri baginda.
3. ’Mpu’, ‘mpungku’, ‘mpungkulun’: Kata-kata ini dipakai
untuk semua golongan rohaniawan. ‘Mpu’ saja jarang
dipakai. Contoh :
Hana ta pāngning carita rêngön de mpu makabehan,
artinya : yaitu cabang ceritera hendaklah dengarkan
oleh tuan semua.
Yan yogya tulusakênasih mpungku ring pinakang-
hulun, artinya : Bila boleh teruskanlah kasih tuan
kepada hamba.
Sadhyākāla mangke mpungkulun, artinya : Senjakala
sekarang tuanku.
2.5.3 Kata Ganti Orang Untuk Orang Ketiga.
Kata ganti ‘ya’ dipakai untuk orang kebanyakan dan sira
dipakai untuk orang yang tinggi derajatnya. Perbedaan antara
tunggal dan jamak, di sinipun tidak jelas, contoh :
Tinakwananta ya de ning guru,….artinya: ditanyailah
ia oleh gurunya.
Sira ta kumawaṣākên pṛthiwi maṇḍala,…..artinya:
Bagindalah menguasai dunia.
2.6 Kata Ganti Milik (Genetive)
Kata ganti milik (genetive) kadang-kadang memiliki
bentuk sendiri, yaitu dengan jalan menyingkatkan kata ganti
orang atau dengan jalan menambahkan ‘ni’ atau ‘n’ di depannya.
1. Orang pertama :
‘ku’, ‘ngku’, misalnya: anaku, wêkangku, bapaku, bapangku,
dan lain-lain.
Bahasa dan Sastra Kawi40
‘mami’ (dari kata kami), misalnya : śiṣya mami, hyang mami,
dan lain-lain.
‘ni’ misalnya: wêtêng ni nghulun, dan lain-lain.
‘ni ngwang’ misalnya: carita ni ngwang, dan lain-lain.
2. Orang kedua :
‘mu’(dari kata kami), misalnya: anakmu.
‘nyu’(dari kata kanya),misalnya: suamimu.
‘ta’(dari kata kita), misalnya: anakta, wkanta.
3. Orang ketiga :
‘ya’, ‘nya’, misalnya: carmistha ngaranya,
‘nira’, ‘ira’, misalnya: wwang atuha nira, pinaranira.
Beberapa contoh kata ganti milik dalam kalimat:
1. Orang pertama :
• Yan tuhu śiṣya mami ta agawe ta kita guru dakṣina,
huma rêpakêna mamidakûinanta, artinya : Jika benar-
benar murid saya, kau buatlah upah guru hadapkanlah
kepadamu upahmu itu.
• Salwiring kapangan masuk ing wêtêng ni nghulu,
artinya: Segala macam yang dapat dimakan masuk ke
dalam perutku.
• Kaharêp ning patik mahārṣi wêka sewu kwehnya,
artinya: Kehendak hamba maharesi ini, (ialah) anak
seribu banyaknya.
2. Orang kedua :
• Aku dinalihta swaminyu ! Arah lakumur tako !, artinya:
Aku kau kira suamimu ! Hai pergi henyahlah kau !.
• Patêngêran ira denta yan mapanas ikā gulūnta kadi
mangêlêd apuy lwirnya hana brāhmaṇa kapangan
denta yan mangkana, artinya: Tandanya bagimu apabila
Bahasa dan Sastra Kawi 41
merasa panas lehermu sebagai menelan api ada brahmana
termakan olehmu jikalau demikian.
• Kunang yan sang prabhu mahyun inghulun, kêsatyan
rahadyan sanghulun panumbasa haji, artinya: Maka
jika sang prabhu mengijinkan hamba, kesetiaan tuan
hambalah sebagai pembelian tuan.
3. Orang ketiga :
• Hana ta sang Akūpa ngaranya,ratu ning pās angśa
bhaṭāra Wiṣṇu kacaritanya nguni, artinya: yaitu yang
namanya Akūpa raja dari kura-kura, penjelmaan Bhaṭāra
Wiṣṇu dahulu menurut ceriteranya.
• Hana sira ratu sang Parikêsit ngaranira, artinya: yaitu
seorang raja sang Parikesit nama beliau.
• Kumêtêr tikang hati dening wêlas harêp ndatan
hana winarah nira, tuhun umulat têta ri sira, artinya:
Gemetarlah hatinya oleh karena belas kasihan, tak
ada yang dikatakannya, hanya memandang sampai
kepadanya.
2.7 Kata Ganti Penunjuk
Yang temasuk kata ganti penunjuk dalam bahasa Kawi
antara lain :
1) ‘Iki, ike, iku, iko, ikê, ikāna’
Vokal akhir dari masing-masing kata ganti penunjuk itu
menunjuk barang pada perhubungannya dengan yang
berbicara (orang I), yang diajak berbicara (orang II), atau
yang jauh dari keduanya itu.
‘Iki, ike’, artinya ini (menunjuk orang/barang yang dekat
dengan orang yang diajak berbicara atau orang
II).
Bahasa dan Sastra Kawi42
‘Iku, ikê’, artinya itu (menunjuk orang/barang yang dekat
dengan orang yang diajak berbicara atau orang
II).
‘Ikā, ikana’, artinya itu (menunjuk orang/barang yang dekat
dengan yang dbicarakan orang III).
Jarak ini tidak hanya menunjuk jarak tempat saja, melainkan.:
‘Ikā, ikana’, artinya itu (menunjuk orang/barang yang dekat
dengan yang dbicarakan orang III).
Jarak ini tidak hanya menunjukjarak tempat
saja, melainkan juga jarak waktu.
Iki, ike = sekarang.
Ika, ikana = dahulu atau tadi.
Beberapa contoh dalam kalimat :
• Iki pwa ya sabha pamintonan kaśaktin, artinya : Inilah
gelanggang tempat untuk mempertunjukkan kesaktian.
• Mojar sang aṣṭabasu : Rahayu yan mangkana nghulun
mangjanma ri kita ike sanamami wwalung siki, artinya :
sang Aṣṭabasu berkata : Baiklah jika demikian saya akan
menjelma padamu (dengan) saudara saya delapan orang
ini.
• Ikā kewala śarananta i sêdêng ning haneng alas, artinya.:
Itu hanya syarat bagimu(sementara) sedang ada di dalam
hutan.
• Ndatan suka sang hyang pitara denira apan tan yogya
ikāna ng rāh yan tarpanakna ri sira, artinya : Sang dewa
arwah tidak senang oleh karena darah itu tidak pantas
untuk disajikan kepadanya.
2) ‘Nihan, nahan’
Kata ini biasanya dipakai untuk menunjuk kata orang.
‘Nìhan’ dipakai untuk kata-kata yang masih akan dikatakan
sedangkan ‘nahan’ untuk kata-kata yang sudah dikatakan.
Bahasa dan Sastra Kawi 43
namun juga tidak semata-mata dipakai untuk menunjuk kata
orang saja. Umumnya dapat berarti begini :
‘Nīhan’ artinya : inilah, beginilah atau disinilah.
‘Nahan’ artinya: itulah, begitulah atau disanalah.
3) ’Ngke, ngkā, ngkana’
Kata-kata ini dapat dipakai untuk menunjuk waktu atau
tempat.
‘Ngke’ artinya : disini, sekarang ini atau disini.
‘Ngkā’ artinya : sana, di sana, demikian.
‘Ngkana’ artinya : sana, di sana, demikian.
4) ’Mangke’ mangko, mangkā’
‘Mangke’ artinya : sekarang, pada saat ini, demikian.
‘Mangko’ artinya : sekarang, demikian (kata ini jarang
dipakai).
‘Mangkā’ artinya : demikian,begitulah.
5) ‘Mangkana, samangkana, samangkā’
‘Mangkana’artinya:demikian, begitulah, (kata ini kadang-
kadang dipakai pula untuk menunjuk kata-kata orang-orang
yang telah dikatakan).
‘Samangkana’ artinya : waktu itu, ketika itu, sebanyak itu,
sebesar itu/sedemikian besarnya,sepanjang itu/sedemikian
panjangnya.
‘Samangkā’ artinya : yang demikian, maka pada waktu itu.
6) ‘Kumwa, kwa’
‘Kumwa’, artinya : demikian, sama artinya dengan kata :
‘nìhan dan nahan’.
‘Kwa’ dipakai pada ungkapan : ‘Yan kwa linganta’, artinya :
Kalau demikian katamu.
Kecuali itu jiga dipakai semacam jawab pertanyaan yang
dianggap ditanyakan oleh orang kedua. Contoh :
Bahasa dan Sastra Kawi44
• Apa pwa yan alaparingku ? Yan kwa linganta : nihan ta
buddhi rasikā,
• artinya : Bagaimanakah maka dia melarikan adik saya ?
kalau demikian katamu (maka jawab saya) : “demikianlah
pikiran beliau”.
Bahasa dan Sastra Kawi 45
BAB III
PEMBENTUKAN KATA DENGAN AFFIKS
(IMBUHAN)
3.1 Prefiks: ‘a’ atau ‘ma’.
Prefiks atau awalan ‘a’ atau ‘ma’ pada umumnya berarti
“memiliki ”. Sering kali pasangan ini dapat disamakan dengan
awalan ‘ber’ dalam bahasa Indonesia. Contoh :
‘atuha’ (matuha), artinya : berumur.
‘ahyun’ (mahyun), artinya : beringin, berkeinginan.
‘mawêka’ artinya : beranak.
‘mojar’ artinya : berkata.
Lain dari pada awalan ber, awalan a (ma) sering dapat
berarti berlaku seperti. Contoh : marare, artinya: seperti anak
kecil.
3.2 Prefiks: ‘(m) a’ dengan Sengau
Awalan ‘(m) a’ dengan sengau sering disebut anusuara
ialah bunyi sengau : ‘ñ (ny)’, ‘m’, ‘n’, dan ‘ṅ (ng)’. Bila suatu
kata asal (lingga) mendapat anusuara maka dapat terjadi dua hal
yaitu:
1. Huruf pertama dari kata itu hilang dan diganti dengan
anusuara yang sesuai.
2. Anusuara ditambahkan di muka kata itu.
Aturan-aturan untuk memberikan anusuara pada suatu kata
yang difahului oleh awalan ‘a – (ma)’ yaitu sebagai berikut :
1. Anusuara ṅ(ng) dipakai di muka kata-kata yang mulai
dengan huruf-huruf hidup: ‘g, y, d, ḍ, r, l, ḥ’ dan mengganti
‘k’. Contoh :
adêg – angadêg = berdiri
gêgö – anggêgö = memegang
Bahasa dan Sastra Kawi46
janma – mangjanma = menjelma
rêngö – mangrêngö = mendengar
lipur – anglipur = menghibur.
2. Anusuara ‘n’, dipakai mengganti :’t, ṭ, ś, ṣ, dan s’.Contoh :
têmu – anêmu = bertemu
tasi – manasi = meminta-minta
śapa – anapa – manapa = menyapa
satpada – manatpada = seperti kumbang
saput – anaput – manaput = menyelimuti.
3. Anusuara ‘m’,dipakai mengganti :’p,b, bh,dan w’.Contoh :
panas – amanasi = menyelimuti.
Parikṣa – amarikṣa = memeriksa.
bangun – amangun = membentu.
bhukti – amukti = menikmati.
wungu – awungu = membangunkan.
4. Anusuara ‘ñ (ny)’, dipakai mengganti ‘c’. Contoh :
culuh – añuluh = menyinari.
cêngil – añêngil = berbantah.
‘c’diganti dengan’ñ’ apabila suku kata yang berikutnya
mulai dengan ‘c’. Contoh :
cicip – anicipi = mencicipi.
Artinya : arti awalan ‘m (a)’ dengan sengau yaitu bermacam-
macam seperti awalan ‘me’ + bunyi sengau di dalam bahasa
Indonesia.
Arti-arti itu antara lain :
1. Melakukan pekerjaan yang disebut pada lingga,contoh :
panah – amanah = memanah.
janma – mangjanma = menjelma.
ngher – angher = menunggu.
turun – manurun = menurun.
2. Pergi ke. Contoh :
angalas = pergi ke hutan.
Bahasa dan Sastra Kawi 47
angulwan = pergi kehulu.
manêpi = pergi ke tepi.
3. Berlaku seperti. Contoh :
manatpada = seperti lebah.
anupaka = seperti cempaka.
4. Bekerja dengan alat yang dinyatakan pada lingga, contoh:
mangjala = menjala.
manumbak = manumbak.
Angdaṇḍa = menghukum.
manakra = mencakra.
Beda anatara awalan ‘m (a)’ dan ‘m (a)’ ditambah bunyi
sengau. Adapun perbedaannya antara awalan ‘m (a)’ dan ‘m (a)’
titambah bunyi sengau yaitu demikian. Awalan ‘m (a)’ ditambah
bunyi sengau lebih menyatakan tindakan, laku, kerja, sedangkan
awalan ‘m (a)’ tanpa sengau lebih menunjukkan keadaan.
3.3 Prefiks: ‘ka’.
Pembentukan dengan prefiks atau awalan’ka’,ada dua
macam yaitu :
1. Jika kata asalnya mulai dengan konsonan, awalan ‘ka’
diletakkan langsung di muka kata ini .Contoh :
panggih – kapanggih.
ton – katon.
rêngö – karêngö.
cakra – kacakra.
panah – kapanah.
2. Jika kata asalnya mulai dengan vokal maka peraturan saṁdhi
berlaku. Contoh :
ajar – kajar.
ucap – kocap.
ingêr – kengêr.
ari – kāri.
Bahasa dan Sastra Kawi48
Artinya awalan ‘ka’ boleh disamakan dengan awalan ‘ter’
dalam bahasa Indonesia. Jadi juga memiliki arti pasif
yang lebih mengutamakan keadaan yang disebabkan oleh
tindakan. Contoh :
katon = terlihat.
kāri = tertinggal.
kapanah = terpanah.
karêngö = terdengar.
kapangan = termakan.
kapangguh = terjumpai.
3.4 Prefiks: ‘pi’
Arti prefiks atau awalan ‘pi’.
Awalan ‘pi’ memberi arti kausatif. Misalnya :
Tutur-pitutur = nasehat, peringatan, (berhubung dengan
memperingatkan)
Tuhu-pituhu = hal yang harus ditaati.
Hutang-pihutang = hutang.
Kata dasar yang mendapat awalan ‘pi’ dapat dibentuk
dengan awalan ‘a atau ma’ dengan nasal, ataupun sisipan
‘um’. Misalnya :
mapitutur = memberi peringatan.
umintonakên = memperlihatkan.
mamisinggih = mempercayai.
3.5 Prefiks: ‘pa’
Arti prefiks atau awalan ‘pa’
a. Kata-kata yang mendapat awalan ‘pa’ menyatakan ‘hal” atau
“cara tindakan”. Dalam bahasa Indonesia sama dengan kata
kerja yang ditambahkan dengan “nya” di belakangnya, atau
kata kerja yang ditambahkan dengan “hal” di depannya, atau
dengan bentuk ‘pa + nasal (per) – ‘an’. Pembentukan dengan
awalan ‘pa’ ada yang diberi nasal dan ada pula yang tidak.
Awalan ‘pa’ dengan nasal.
Bahasa dan Sastra Kawi 49
panadah = makannya, hal makan.
pamangguh = pendapat.
panapak = injakannya.
panon = penglihatan.
paminta = permintaan, memintanya.
panangis = menangisnya.
Awalan ‘pa’ tidak dengan nasal.
pataña = pertanyaan.
patakwan = pertanyaan.
pawarah = pemberitahuan.
pakarya = pekerjaan.
paprang = hal berperang, berperangnya.
pasayut = cegahan.
pasusun = susunan.
b. Awalan ‘pa’ menyatakan “alat tindakan”.
Di atas telah disebutkan awalan ‘pa’ menyatakan “cara
tindakan”. Di samping itu awalan “pa” dapat juga menyatakan
“alat tindakan” atau alat untuk….”. Maksudnya “Alat yang
dipakai untuk me …….”. Dalam bahasa Indonesia sering
dipakai awalan pa. Contoh :
panumbas = pembeli (alat untuk membeli).
panulak = penolak (alat untuk menolak).
pamanah = pemanah (alat untuk memanah).
pamupuh = pemukul (alat untuk memukul).
pangduk = penusuk (alat untuk menusuk).
pamuja = pemuja (alat untuk memuja).
pangremuk = pembinasa (alat untuk membinasakan).
3.6 Prefiks: ‘paha’
Arti prefiks atau awalan ‘paha’
Kata-kata yang mendapat awalan ‘paha’ pada umumnya
hanya kata-kata yang manunjukkan sifat. Dan kata-kata yang
dibentuk dengan awalan ‘paha’ memiliki arti kausatif.
Kata-kata yang mendapat awalan ‘paha’ dapat pula dibentuk
Bahasa dan Sastra Kawi50
dengan awalan’a’ atau ‘ma’ dengan ‘nasal’ atau sisipan ‘in’.
Misalnya:
Pahalêba- umahalêba = membuat lega, tenang.
Pahenak- uamahenak = membuat enak.
Pahalit- pinahalit = membuat kecil diperkecil.
Paharcala- pinaharcala = membuat bergerak, digerakkan.
Pahatêguh- amahatêguh = membuat kokoh, memperkokoh.
3.7 Prefiks: ‘sa’
Pada umumnya yang menjadi dasar arti prefiks atau
awalan ‘sa’ ialah satu. Barangkali daptlah disamakan dengan
arti-arti awalan ‘sa’ dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini arti
satu dapat dibedakan demikian :
1. Awalan ‘sa’ merupakan kesatuan ukuran, misalnya :
sagalah = segalah, sepanjang galah.
salek = sebulan, satu bulan.
saparwata = sebesar gunung.
satêngah = setengah.
2. Awalan ‘sa’ merupakan keseluruhan. Dalam hal ini berarti
‘segala, seluruh, segenap, semua, sekalian’, misalnya :
sakweh = sebanyak, semua.
sapakon = segala perintah.
sawêngi = sepanjang malam.
sakatêmu = semua yang ditemui.
samiring = semua yang mengiring.
salwir = segala macam.
sarāt = seluruh dunia.
sakadatwan = segenap (isi) kerajaan.
sapinasuk = sekalian yang termasuk.
sawesa = semua pakaian.
sakahyun = semua kehendak.
sapinasang = semua yang dipasang.
Bahasa dan Sastra Kawi 51
3. Awalan ‘sa’ merupakan kesatuan dengan yang lain. Dalam
hal ini berarti : ‘sama, bersama-sama, dengan, serta, ketika’,
misalnya :
sapanglayang = semua yang bersama-sama terbang.
saḍatêng = ketika sampai.
sapêjah = ketika meninggal.
sakaton = serta dilihatnya.
sapalungguhan = bersama-sama tempat duduk.
sanama = sama nama.
3.8 Prefiks: ‘maka (pinaka)’.
Prefik atau awalan ‘maka’ ditempatkan di muka kata
dasar, yang berarti : memiliki , memakai, menganggap, atau
menjadikan sebagai. Dalam bahasa Indonesia kira-kira sama
artinya dengan : ber, ber-kan, memper, memper-kan. Contoh :
makānak = beranak.
makastri = beristri, memperistri.
makapurohita = mempergunakan pendeta.
makaphala = berhasil.
makangaran = bernama.
makawahana = berkendaraan.
makadatwan = berkerajaan.
Kata – kata yang dibentuk dengan awalan ‘maka’, dapat
dibuat pasif, yaitu dengan jalan mengganti awalan ‘maka’
dengan awalan ‘pinaka’, sehingga berarti : “dipunyai, dipakai,
dianggap, atau dijadikan sebagai”. namun harus diingat pula
sering kali ada bentuk pinaka yang tidak dapat atau sukar sekali
diterjemahkan dengan secara pasif. Contoh :
pinakastri = diperistri, dijadikan istri.
pinakasārathi = dijadikan kusir, menjadi kusir.
pinakamantu = dijadikan mantu.
pinaka padyusan = dijadikan tempat permandian.
pinaka śiṣya = dijadikan murid, menjadi murid.
Bahasa dan Sastra Kawi52
3.9 Infiks : ‘um’.
Pembentukannya.
1. Infiks atau sisipan ‘um’disisipkan antara konsonan pertama
dan vokal yang mengikutinya pada kata dasar, jika kata dasar
ini mulai dengan konsonan. Contoh :
kênñar – kumêñar.
kêmit – kumêmit.
gêgö – gumêgö.
2. Bila kata dasar mulai dengan huruf : ‘b, p, m, w’, sisipan
‘um’ menjadi menjadi prefiks (awalan) untuk mengganti
huruf : ‘b, p, m, dan w’. Contoh :
pangan – umangan.
beñcana – umañcana.
mitra – umitra.
waca – umaca.
3. Bila kata dasar mulai dengan vokal, sisipan ‘um’ ditempatkan
di muka kata dasar. Contoh :
angkat – umangkat.
ikêt – umikêt.
ungu – umungu.
Sisipan ‘um’ ini kehilangan vokal ‘u’, juga jika kata dasar
mulai dengan konsonan : ‘b, p, m, dan w’. Contoh :
umanggih – manggih.
umlês – umalês.
Artinya : Sisipan ‘um’ sama artinya dengan awalan ‘ma’
ataupun awalan ‘ber’, dalam bahasa Indonesia.
Tidak semua kata-kata dalam bahasa Kawi boleh
ditambahkan sisipan ‘um’. Ada kata-kata yang hanya harus
dibentuk dengan sisipan ‘um’ saja, namun ada pula yang
hanya harus disengaukan. Boleh dikatakan bahwa kata-kata
yang menyatakan keadaan bunyi atau pandangan biasanya
menggunakan sisipan ‘um’.
Bahasa dan Sastra Kawi 53
Contoh :
kumêtêr – kumisik
kumêñar – kumilas
gumêrêh – gumêntêr
Kata-kata yang menyatakan pergi, datang sering kali juga
menggunakan sisipan ‘um’. Contoh :
umijil, umangkat
mulih, milu
lumampah, maluy, dan lain –lain.
3.10 Infiks : ‘in’
Pembentukkan dengan infiks atau awalan ‘in’ ada dua
macam yaitu :
a. Kata-kata yang mulai dengan konsonan, sisipan ‘in’
disisipkan di antara huruf pertama dengan vokal berikutnya.
Misalnya :
sangguh – sinangguh.
pangguh – pinangguh.
wawa – winawa.
rêngö – rinêngo.
ton – tinon.
sahut – sinahut.
b. Kata-kata yang mulai dengan vokal, maka sisipan ‘in’
diletakkan di muka kata dasar itu. Dalam hal ini sisipan ‘in’
seolah-olah berlaku sebagai prefik atau awalan. Misalnya :
ucap – inucap.
ujar – inujar.
usi – inusi.
ajar – inajar.
ingu – iningu.
Artinya : Sisipan ‘in’ sama artinya dengan awalan ‘di’
dalam bahasa Indonesia. Jadi memiliki arti pasif, yang
lebih mengutamakan tindakan dan pelakunya. Berbeda
Bahasa dan Sastra Kawi54
dengan pasif yang dibentuk dengan awalan ‘ka’ yang lebih
mengutamakan keadaannya. Misalnya :
inucap = diucapkan.
inusi = didesak, dikejar.
pinangan = dimakan.
iningu = dipelihara.
sinahut = digigit.
winawa = dibawa.
3.11 Sufiks : ‘i’.
Sufiks atau akhiran ‘i’ ditempatkan di belakang kata dasar
yang telah mendapat awalan ‘a’ atau ‘ma’ dengan nasal (sengau)
atau sisipan ‘um’. Dalam hal ini ada dua macam pembentukan
yaitu :
a. Jika kata ini berakhir dengan konsonan maka akhiran i
ditambahkan saja di belakang kata ini . Misalnya :
mênuruni – dari kata turun.
tumangisi – dari kata tangis.
humudani – dari kata hudan.
b. Jika kata itu berakhir dengan vokal, maka dapat terjadi dua
macam pembentukan pula yaitu :
1. Akhiran ‘i’ ditambahkan saja di belakang kata itu dengan
memakai aturan saýdhi. Misalnya :
anglara + i = anglare = membuat sengsara.
umara + i = umare = mendatangi.
kumêna + i = mengenai.
umati + i = umatī = membunuh.
umunggwi + i = umunggwì = menempati.
2. Akhiran ‘i’ ditambahkan pada kata itu, namun disisipi
dengan ‘an’ atau ‘n’. Misalnya :
pati – amatyani.
wighna – amighni.
ganti – gumantyani.
para – amarani.
Bahasa dan Sastra Kawi 55
Artinya : Akhiran ‘i’ dapat disamakan dengan akhiran ‘i’
dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu sebagian besar
dapat diterjemahkan dengan akhiran ‘i’ dalam bahasa
Indonesia. Semua kata kerja yang mendapat akhiran ‘i’,
yaitu transitif, jadi berobyek.
Arti kata yang dibentuk dengan akhiran ‘i’ yang biasa sekali
ialah : tindakan yang berubungan dengan tempat. Misalnya :
tumangisi = menangisi.
humudani = menghujani.
manganugrahi = menganugrahi/memberkahi.
amagêhi = menguasai.
mangliwati = melewati.
Bentuk ‘i’ dapat pula berarti kausatif, yaitu menyebabkan.
Dalam hal ini dapat diterjemahkan dengan akhiran …’kan’
dalam bahasa Indonesia. Misalnya :
marasare = menyembuhkan.
manarimani = menerimakan.
manglêpasi = melepaskan.
Catatan :
Akhiran ‘i’ ini dalam hubungannya dengan sisipan ‘in’,
selalu diganti dengan dengan akhiran-’an’. Maka menjadi
sebagai berikut ini.
tinariman = diberi.
dinawuhan = diperintah.
pinatyan = di bunuh.
kinasihan = dikasihi.
inaranan = dinamai.
3.12 Sufiks : ‘an’
Kata-kata yang mendapat sufiks atau akhiran ‘an’,
bermacam-macam artinya, tergantung pada kata-kata yang
diberi akhiran itu.
Bahasa dan Sastra Kawi56
a. Berarti hasil tindakan yang ternyata pada kata asal. Dalam
bahasa Indonesia, kira-kira dapatlah disalin dengan : ‘yang
di’ …. Contoh :
tasyan (tasi + an) = barang atau hasil/yang diminta.
duman (dum + an) = barang atau hasi/yang dibagi/bagian.
pêhan (pêh + an) = barang atau hasil/yang diperah/susu.
dunungan (dunung + an) = barang/yang ditruju/tujuan.
larangan (larang + an) = barang/yang dilarang.
laksyan (lakṣi + an) = barang atau hasil/yang diarah/sasaran.
tunwan (tunu + an) = barang atau hasil/yang dibakar.
punpunan (punpun + an) = barang atau hasil/yang dipunyai/
milik.
dalihan (dalih + an) = yang dipikirkan/maksud.
unggwan (unggu + an) = yang ditempati/tempat.
tanduran (tandur + an) = barang yang di tanam/tanaman.
paran (para + an) = tempat yang didatangi.
b. Ada beberapa bentuk akhiran an yang artinya tetap sama
seperti kata dasarnya. Contoh :
tambayan (tambay + an) = permulaan.
wêkasan (wêkas + an) = akhirnya.
têmahan (têmah + an) = menjadi, akhirnya menjadi.
wêdihan(wêdih + an) = pakaian.
walyan (wali + an) = akhli mengobati, dukun.
hibêkan (hibêk + an) = penuh.
wunwunan (wunwun + an) = ubun-ubun.
walakan (wulak + an) = mata air.
3.13 Sufiks : ‘ên’.
Sufiks atau akhiran ‘ên’ memiliki dua macam arti,
yaitu.:
a. Menyatakan sifat yang tidak baik, atau sangat, Contoh :
girih – girih (giri – giri + ên) = sangat takut.
prihatin (prihati + ên) = sangat sedih.
Bahasa dan Sastra Kawi 57
waringutên (waringut + ên) = sangat garang.
tontonên (tonton + ên) = sangat terkenang.
sangúayan (sangúaya + ên) = sangat kawatir.
b. Menjadi bentuk arealis pasif.
wawan (wawa + ên) = harus dibawa.
wêlin (wêli + ên) = harus/akan dibeli.
tujun (tuju + ên) = harus/akan dituju.
rêngön (rêngö + ên) = harus/akan didengar.
wehên (weh + ên) = harus/akan diberi.
huripên (hurip + ên) = harus/akan dihidupi.
3.14 Sufiks : ‘akên’
Pembentukan sufiks atau akhiran’akên’yaitu sebagai
berikut :
a. Akhiran ‘akên’ ditempatkan di belakang kata dasar yang
diberi awalan ‘a’ atau ‘ma’ dengan nasal (sengau) atau
sisipan ‘um’. Misalnya : ‘kawaśa menjadi kumawaśakên’.
b. Kalau kata itu berakhir dengan vokal maka aturan saṁdhi
harus berlaku. Misalnya :
dadi – dumadyakên.
rêngö – rumêngwakên.
Artinya : Pada umumnya arti akhiran ‘akên’ sama dengan
arti akhiran ‘kan’ dalam bahasa Indonesia.
Bentuk ‘akên’ berarti kausatif :
a. Menyebabkan …….yang tercantum dalam kata dasarnya.
Misalnya :
manghilangakên = menghilangkan, menyebabkan hilang.
manahutakên=menggigitkan, menyebabkan (menyuruh)
gigit.
angratwakên = merajakan, menjadikan (seorang) raja.
manarimakên = menerimakan.
Bahasa dan Sastra Kawi58
b. Menganggap sebagai…,yang tercantum dalam kata dasarnya.
Misalkan :
mangadbaitakên = mengistimewakan, menganggap sebagai
yang luar biasa
mangluhurakên = menginginkan, menganggap sebagai yang
tinggi.
c. Memakai sebagai …,yang tercantum dalam kata dasarnya.
Misalnya :
amanahakên = memanahkan, memakai sebagai panah.
manakrakên = mencakrakan, memakai sebagai panah cakra.
Catatan :
Kadang-kadang ada juga bentuk ‘akên’ yang tidak dapat
diterjemahkan dengan akhiran ‘kan’ menurut kebiasaan
bahasa Indonesia. Misalnya :
humarêpakên = menghadapi.
umungkurakên =membelakangi.
angapitakên = mengiringi.
mangalorakên = membuat supaya ke utara.
3.15 Konfiks : ‘ka – an (ên)’.
Pembentukan dengan konfiks atau imbuhan ‘ka – an’,
seringkali terjadi pula dengan ‘ka-ên’, terutama apabila kata
dasarnya berakhir dengan vokal. Keduanya tidak ada perbedaan
arti. Arti kata-kata yang mendapat imbuhan ‘ka - an(ên)’, yaitu
sebagai berikut :
a. Menyatakan sifat. Sering kali kata-kata ini hanya kata-kata
pinjaman dari bahasa Sanskerta. Misalnya :
kottaman = keutamaan.
kamahātmyan = sifat kerohanian, kesaktian.
kaúuran = keberanian.
Bahasa dan Sastra Kawi 59
kawidagdhan = kepandaian.
kaniścayan = keniscayaan.
kadustan = kejahatan.
kaśaktian = kesaktian.
kapawitran = kasucian.
katiśayan = keistimewaan.
kadurlabhan = kesukaran, kesupaya n.
kasandehan = kekhawatiran.
kawiryan = keberanian.
kasiddyan = kegaiban.
kalistuhayuan = kecantikan.
kajênêkan = keasikan.
b. Menyatakan pangkat/ada dalam keadaan.
kaprabhun = jabatan kerajaan.
kacakrawartyan = kekuasaan.
kajayaúatrun = kemenangan atas musuh.
kajñānawāsan = dalam keadaan yang tidak dikenal.
Kapānḍawan = keadaan sebagai orang pàndawa.
karatun = jabatan r