Kamis, 22 Februari 2024

sastra kawi 1

 





 Bahasa Kawi yaitu  bahasa ragam tulis yang dipakai  

oleh para pengawi atau pengarang untuk menampung buah  

pikirannya. Karya-karya ini  sebagian besar yaitu  warisan 

Hindu di Jawa dari abad IX sampai abad XV Masehi. Bahasa 

Kawi yaitu  bahasa pilihan dan campuran antara bahasa Jawa 

Kuno dan bahasa Sanskerta. 

Bahasa Kawi yaitu  suatu jenis bahasa yang pernah 

berkembang di Pulau Jawa pada jaman kerajaan Hindu-Budha 

di Nusantara dan dipakai dalam penulisan karya-karya sastra. 

Bahasa Kawi digunakan dalam naskah-naskah dan lontar-lontar 

sastra dan kesusastraan yang merupakan sumber ajaran agama 

Hindu di Indonesia. 

Kedudukan dan fungsi bahasa Kawi yaitu  amat penting. 

Bahasa Kawi yaitu  salah satu kunci untuk mengungkapkan 

nilai-nilai Hindu di Nusantara. Bahasa Kawi yaitu  bahasa 

sumber kedua setelah bahasa Sanskerta yang dipakai  

dalam literatur agama Hindu Indonesia.

Bahasa Kawi yaitu  bahasa yang dipakai di Jawa pada 

masa lampau. Bahasa Kawi disebut juga dengan istilah bahasa 

Jawa Kuno. Menurut Bapak I.G.K. Ranuh dalam Śakuntala 

menyatakan bahwa, Bahasa Kawi yaitu  bahasa Jawa Kuna, 

namun bahasa Jawa Kuno tidak identik dengan Bahasa 

Kawi. 

Kata kawi berasal dari kata kavya (Sanskerta) yang artinya 

puisi/syair, sama dengan kakawin. Pada mulanya kata kawi 

(India) berarti seorang yang memiliki  pengertian luar biasa, 

seorang yang bisa melihat hari depan, seorang yang bijak. Dalam 

sastra klasik berarti seorang penyair, pencipta atau pengarang 

Di India kata kawi berarti seseorang yang memiliki  

pengetahuan yang luar biasa, seorang yang bijak dan mampu 

melihat hari depan. namun  kemudian dalam kesussatraan 

Sanskerta klasik, kawi berarti seorang penyair, pencipta atau 

pengarang. 

berdasar  penjabaran di atas, bahwa yang dimaksud 

bahasa Kawi yaitu  bahasanya seorang pengarang atau seorang 

pujangga. namun  tidak setiap bahasa yang dipakai  oleh 

seorang pengarang atau pujangga disebut bahasa Kawi. Namun 

istilah bahasa Kawi hanyalah istilah yang dipakai  untuk 

menunjukkan ragam tulis yang merupakan bagian dari bahasa 

Jawa Kuna. Jadi bahasa Kawi yaitu  bahasa Jawa Kuna, ragam 

tulis yang dipakai  oleh para Kawi (Pengarang) untuk 

menampung buah pikirannya.

Bahasa Kawi yaitu  bahasa campuran antara bahasa 

Sanskerta dan bahasa Jawa. Bahasa Kawi sangat banyak 

menyerap kosakata dari bahasa Sanskerta, namun Bahasa 

Kawi tidak meniru tata bahasa Sanskerta.  

Bahasa dan Sastra Kawi2

Bahasa Kawi yaitu  merupakan bahasa Jawa Kuno 

yang kata-katanya dipilih oleh para Kawi (pengarang) untuk 

kesusastraan. Jadi Bahasa Kawi hanyalah sebagian saja dari 

bahasa Jawa Kuno. Karena itu lebih tepatlah bahwa Bahasa 

Kawi yaitu  bahasa Jawa Kuno ragam tulis yang dipakai  

oleh para kawi untuk menampung buah  pikirannya. Karya-

karya ini  sebagian besar yaitu  warisan Hindu Jawa dari 

abad IX sampai abad XV.

Pengawi berarti pengarang. Jadi bedasarkan pengertian 

itu maka tepatlah kiranya kalau Bahasa Kawi yaitu  bahasa 

pengarang, yang ruang lingkupnya lebih sempit dari pada 

bahasa Jawa Kuna. Bahasa Kawi yaitu  merupakan bagian dari 

bahasa Jawa Kuna, yang dipakai  dalam sebagian besar 

naskah-naskah Hindu Indonesia sejak abad IX sampai abad XV 

Masehi. Naskah-naskah ini  berisi nilai ajaran dan budaya 

Hindu, saat ini sebagian besar tersimpan di perpustakaan formal 

maupun pribadi di Bali. 

Para pujangga sengaja memilih kata-kata sedemikian 

rupa dalam hal karang mengarang, baik mengenai bentuk prosa 

maupun puisi, sehingga enak dibaca, sedap didengar, dan menarik 

bagi pembacanya. Pada umumnya para pujangga tidak memilih 

kata-kata yang kasar, lebih-lebih kata-kata yang merupakan 

makian. Isi karangan, bentuk karangan, jalan bahasa dan pilihan 

kata-katanya selalu menjadi perhatian bagi para pujangga atau 

pengarang. Misalnya kita ambil contoh kalimat dari lontar 

Bharatayuddha, yang dikarang oleh Mpu Sedah dan Mpu 

Panuluh dalam tahun 1079 Śaka atau 1157 Masehi, yaitu pada 

masa pemerintahan Raja Jayabaya, yang bunyi candra sangkala 

-nya: “Nāhan don Mpu Sêdah makīrtya sākakāla ri sanga kuda 

suddha candramā” kira-kira terjemahannya sebagai berikut: 

Demikianlah tujuan Mpu Sedah mengubah (Bharatayuddha) 

dalam tahun śaka : satuannya sanga = 9, puluhannya kuda = 7, 

ratusannya suddha = 0 dan ribuannya candramā =1, jadi tahunnya 

yaitu  1079 śaka (Bahasa Kawi untuk PGAH). Adapun bahasa 

yang dipakai  oleh Mpu Sêdah yaitu  bahasa Jawa yang 

umum pada waktu itu, hanya saja merupakan bahasa pilihan.

Menurut Prof.Dr.P.J.Zoetmulder (1985:35) mengatakan 

bahwa Bahasa Jawa Kuna yaitu  bahasa Jawa yang umum 

dipakai  oleh masyarakat Jawa sealma periode Hindu 

Jawa sampai runtuhnya Majapahit. Ada pula yang menyebutkan 

bahwa bahasa Jawa Kuna yaitu  salah satu bahasa dialek 

temporal bahasa pribumi di Jawa. Maksudnya yaitu  bahasa 

Jawa yang pernah dipakai  dalam kehidupan sehari-hari 

dalam kurun waktu tertentu, yaitu selama periode Hindu-Jawa 

sampai runtuhnya Majapahit. Mulai runtuhnya Majapahit (abad 

XV), masyarakat Jawa diperkirakan tidak lagi mempergunakan 

bahasa Jawa Kuna sebagai bahasa sehari-hari. Oleh karena itu, 

bahasa Jawa Kuna dan termasuk bahasa Kawi yaitu  merupakan 

bahasa mati, artinya bahasa yang tidak dipakai  sebagai 

bahasa pergaulan dan percakapan sehari-hari oleh masyarakat 

Jawa sendiri. Bahasa Jawa Kuna yang sampai kepada kita, 

yaitu  bahasa yang ada  dalam dokumen-dokumen dan 

nakah - naskah. Oleh karena itu bahasa Jawa Kuna dan juga 

bahasa Kawi disebut juga bahasa dokumenter. Sama halnya 

dengan bahasa Sanskerta, Latin, Yunani, kuna dan lain-lainnya. 

Bahasa Kawi yaitu  bahasa Jawa Kuna yang dewasa ini 

hanya dapat kita jumpai dalam karya -karya tulis, seperti :

Naskah - naskah keagamaan (lontar-lontar Tattwa, 

Sasana, Niti dan lain-lain), naskah-naskah sastra (lontar Parwa, 

Kakawin, Kidung dan lain-lain), Peninggalan-peninggalan 

sejarah (Prasasti, Babad, Usana, Purana dan lain-lain), Naskah-

naskah pengobatan (lontar Usada dan lain-lain) dan Naskah-

naskah pengetahuan lain (naskah arsitektur, Hukum, Astronomi, 

Kesenian, Bahasa dan lain - lain).

Walaupun demikian Bahasa Kawi masih perlu kita pelajari 

mengingat bahasa Kawi atau bahasa Jawa Kuna dan juga bahasa 

Sanskerta, merupakan induk dari bahasa daerah yang ada di 

Indonesia, terutama bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bali, Sasak 

dan beberapa daerah lainnya. Disamping itu ketiga bahasa 

ini  merupakan bahasa yang dipakai  dalam kitab-

kitab dan lontar-lontar yang merupakan sumber ajaran agama 

Hindu. Dengan mempelajari bahasa-bahasa ini  kita akan 

dapat menguak isi dari lontar-lontar sastra dan kesusastraan 

yang merupakan sumber ajaran agama Hindu, khususnya yang 

ada di Bali dan umumnya di Indonesia.

Banyak istilah-istilah yang dipakai terutama nama-nama 

angkatan, gedung-gedung, wilayah-wilayah, tempat dan lain-

lain, banyak kita lihat mempergunakan bahasa Kawi atau bahasa 

Sanskerta. 

Perlu diingat bahwa bahasa Kawi tidak sama dengan bahasa 

Sanskerta. Bahasa Sanskerta yaitu  bahasa yang dipakai  

dalam Veda yang menjadi pegangan orang Hindu. Bahasa 

Sanskerta ini datang ke Indonesia dengan pusat perkembangannya 

terutama di kerajaan-kerajaan Sriwijaya dan kerajaan di Jawa 

seperti Majapahit. Bahasa ini lalu bercampur baur dengan bahasa 

yang ada pada waktu itu, kita warisi sampai kini, misalnya : sorga, 

naraka, sùrya, àkàúa, wighna, dìrgha dan lain-lain.

Pengaruh bahasa Sanskerta di Indonesia di mulai abad 

permulaan Masehi, hal ini dapat dibuktikan di Indonesia 

berdasar  aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta yang 

dipakai  dalam tujuh buah Yupa yang diketemukan di 

Muara Kanan, di Kalimantan Timur.

Di samping bukti itu, kepustakaan Kawi, juga menunjukkan 

adanya kontak yang mendalam dalam bidang agama dan 

kebudayaan. Bahasa Sanskerta dipelajari secara sungguh-

sungguh dalam rangka memahami agama dan kebudayaan 

Hindu. Beberapa kitab Hindu India dialihbahasakan dan diulas 

dengan bahasa Kawi. Latar belakang itu mengakibatkan sejumlah 

besar kosa kata Sanskerta (kata benda, sifat, dan kata majemuk 

dalam bentuk lingga, serta beberapa kata penghubung) diserap 

ke dalam bahasa Kawi. Walaupun demikian namun bahasa Kawi 

tidak kehilangan identitas aslinya.

Kedudukan dan fungsi bahasa Kawi yaitu  amat penting. 

Kepustakaan yang mempergunakan bahasa Kawi beraneka 

ragam jenis dan isinya.Keseluruhan naskah atau dokumen 

itu bernafaskan ajaran Hindu. Secara luas kepustakaan Kawi 

yaitu  sumber dan kekayaan budaya bangsa Indonesia yang 

dapat dimnfaatkan sebagai objek penelitian dari berbagai 

disiplin ilmu, khususnya ilmu-ilmu sosial. Khusus dalam hal 

sastranya, di samping sebagai sumber dan faktor penunjang bagi 

pengembangan sastra -sastra daerah Indonesia, dan juga yaitu  

merupakan sumbangan yang khas pada khasanah sastra dunia.

Bahasa Kawi yaitu  kunci utama untuk mengungkapkan 

nilai-nilai kepustakaan Jawa Kuna, dan bagi umat Hindu 

Indonesia, bahasa Kawi yaitu  bahasa sumber kedua setelah 

bahasa Sanskerta yang dipakai  dalam literaturnya. Di 

samping itu bahasa Kawi juga merupakan sumber dan faktor 

penunjang dalam rangka penelitian sejarah bahasa-bahasa daerah 

Indonesia dan dalam usaha pengembangan bahasa Indonesia. 

Sumber tertulis yang paling tua mengenai Bahasa Kawi 

ditemukan di Sukabumi, sehingga disebut Prasasti Sukabumi. 

Prasasti Sukabumi merupakan piagam yang pertama memakai 

Bahasa Jawa Kuno (Kawi), dan sejak saat itu Bahasa Jawa Kuno 

dipakai dalam kebanyakan dokumen resmi. Menurut Prof.Dr. 

PJ. Zoetmulder dalam bukunya Kalangwan, (1994:3) prasasti 

Sukabumi yaitu  presasti yang tertua yang memakai bahasa 

Kawi. Adapun isinya prasasti Sukabumi yaitu  diawali sebagai 

berikut : “Pada tahun 726 penanggalan Śaka, dalam bulan 

Caitra, pada hari kesebelas paro terang, pada hari haryang (hari 

kedua dalam minggu yang berhari enam), wage (hari keempat 

dalam minggu berhari lima), saniścara (hari ketujuh dalam 

minggu yang berhari tujuh) …” dan seterusnya. Inilah sebuah 

contoh khas cara orang Jawa dulu menentukan sebuah tanggal. 

Dari sistem penanggalan itu Prof.Dr. PJ. Zoetmulder menarik 

kesimpulan bahwa prasasti Sukabumi ditulis pada tanggal 25 

Maret 804 Masehi.

Prasasti Jawa sebelumnya selalu diketemukan dalam 

bahasa Sanskerta sebagai medianya. Oleh karena itu prasasti 

Sukabumi dapat dikatakan sebagai tonggak yang mengawali 

kesejarahan bahasa Kawi atau bahasa Jawa Kuna. Sistem 

penulisan prasasti ini kemudian menjadi panutan penulisan 

prasasti-prasasti selanjutnya di pulau Jawa.

Prof. Dr. RMG Poerbatjaraka dalam bukunya, Kepustakaan 

Jawa, menyimpulkan hasil penelitiannya terhadap sejumlah 

naskah sastra Kawi sebagai berikut : Naskah Kawi yang tertua 

yaitu  Candakarana, naskah ini berisikan tentang pelajaran 

bagaimana membuat sebuah kakawin (syair dalam Jawa Kuna) 

dan daftar kata-kata Kawi (semacam kamus Kawi). Dalam 

naskah ini  menyebut-nyebut seorang raja keturunan bangsa 

Sailendra yang mendirikan candi Kalasan, kira-kira pada 700 

śaka atau 778 masehi.

berdasar  gaya bahasa, tahun penulisan, dan nama raja-

raja yang disebut-sebut dalam naskah yang diteliti itu, Prof. Dr. 

RMG Poerbatjaraka, kemudian mengelompokkan sastra Kawi 

itu atas tiga bagian, yaitu :

1. Kitab-kitab Jawa Kuna yang tergolong tua, seperti : naskah 

parwa/prosa (Candakarana, Sanghyang Kamayanikan, 

Brahmandapurana, Agastyaparwa, Uttarakanda, Adiparwa, 

Sabhaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, 

Aśramawasanaparwa, Mosalaparwa, Prasthanikaparwa, 

Swargarohanaparwa dan Kunjarakarna. Dan juga sebuah 

naskah puisi yaitu Kakawin Rāmāyana. Keseluruhan naskah-

naskah ini  ditulis mulai menjelang abad IX sampai 

abad X.

2. Kitab-kitab Jawa Kuna yang bertembang, yaitu seluruh 

karya sastra Kawi (Kakawin) yang lahir di antara abad ke XI 

sampai abad XIII, yaitu antara lain : Kakawin Arjuna Wiwaha, 

Bahasa dan Sastra Kawi 7

Krêṣṇāyana, Sumanasantaka, Smaradahana, Bhomakawya, 

Bharatayuddha, Hariwangśa, Gatotkacaśraya.

3. Kitab-kitab Jawa Kuna yang tergolong baru, yaitu 

seluruh karya sastra Kawi yang digubah menjelang abad 

ke XIV sampai runtuhnya kerajaan Majapahit, yaitu 

antara lain: kakawin Brahmandapurana, Kunjarakarna, 

Nagarakertagama, Arjunawijaya, Sutasoma, Parthayajña, 

Nitisastra, Nirartaprakrêta, Dharmaúunya, dan Hariúraya.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa, bahasa Kawi 

sudah dipakai  untuk manggubah karya sastra mulai abad 

IX sampai abad XV. Namun penggunaan bahasa Kawi secara 

lisan (diwariskan dari mulut ke mulut) sudah mulai pada abad 

VIII atau sebelum abad IX.

Menurut Wayan Simpen AB. dalam tulisannya Riwayat 

Kesusastraan Jawa Kuna, mengklasifikasikan kesusastraan 

Kawi atas lima bagian yaitu  sebagai berikut :

1. Jaman sebelum abad IX, jaman ini dikenal dengan jaman 

prasejarah sastra Kawi. Kehidupan sastra Jawa Kuna 

diduga secara lisan. Cerita-cerita diwariskan secara lisan 

(dari mulut ke mulut).

2. Jaman Mataram, jaman ini mulai dari abad IX sampai 

abad X , yaitu jaman pemerintahan Mpu Sindok (tahun 

925-962 masehi), di Mataram sampai jaman raja 

Dharmawangsa Teguh (991-1007 masehi). Karya sastra 

yang lahir pada jaman ini yaitu  karaya sastra prosa dan 

puisi seperti kakawin Rāmāyana.

3. Jaman Kediri, jaman ini mulai dari bertahtanya raja 

Kediri, Prabhu Airlangga (1019-1049 M) sampai masa 

pemerintahan raja Kertanegara (1268-1292 M) di 

Singasari. Karya sastra kawi yang lahir pada periode ini 

yaitu  karya sastra yang tergolong bertembang.

4. Jaman Majapahi I, jaman ini diawali sejak lahirnya kerajaan 

Majapahit (1293 M) sampai puncak keemasan kerajaan 

Bahasa dan Sastra Kawi8

Majapahit, dengan raja Hayam Wuruk (1350- 1389 M). 

Karya sastra yang lahir pada masa ini yaitu  kakawin: 

Brahmanadapurana, Kuñjarakarna, Nagarakertagama, 

Arjunawijaya, Sutasoma, dan Parthayajña.

5. Jaman Majapahit II, jaman ini mulai dari bertahtanya 

Wikramawardana (1389-1428 M) sampai runtuhnya 

kerajaan Majapahit (1518 M). Adapun karya sastra yang 

lahir pada masa ini antara lain : kakawin Nitisastra, 

Nirartaprakerta, Dharmaśunya, Hariśraya.

Pada periode yang terakhir ini  di atas, kehidupan 

para pujangga, rupa-rupanya kurang mendapat perhatian. 

Situasi kerajaan semakin memprihatinkan. Karenanya para ahli 

memperkirakan bahwa orang-orang Majapahit yang tidak mau 

tunduk dan tidak mau menganut agama Islam, menyingkir ke 

arah pedalaman dan ke arah timur, ada yang sampai di Bali. 

Mereka kemungkinan membawa hal-hal yang dianggapnya 

penting untuk diselamatkan, yaitu seperti naskah-naskah 

keagamaan, sastra dan yang lain -lainnya.

Dalam pustaka Raja Pūrwa dikisahkan : Mpu Arthati, 

seorang pujangga keraton Majapahit, mendapat perintah untuk 

menggubah sebuah kakawin pada tahun 1518 M. namun  sebelum 

selesai menggubah kakawin, karena kerajaan Majapahit 

runtuh, beliau menyelamatkan diri ke Bali dengan membawa 

seluruhpustaka miliknya. Di Bali beliau mengabdikan diri 

kepada raja Gelgel yaitu Dalêm Waturenggong (1460 -1550 M).

Dalêm Waturenggong, disamping memperhatikan 

kesejahtraan rakyat secara materi, juga menaruh perhatian yang 

besar terhadap hal-hal yang bersifat rohani. Kehidupan para 

rohaniawan terjamin. Karya-karya keagamaan dan sastra Kawi 

dilanjutkan dan dipelajari secara mendalam dalam perguruan-

perguruan yang ada pada waktu itu. Kehidupan keagamaan yang 

telah ada ditata disempurnakan bersama para rohaniawan yang 

datang dari Jawa itu.

Bahasa dan Sastra Kawi 9

Dalam bidang bahasa, bahasa Kawi agaknya semakin 

berbaur dengan bahasa Bali waktu itu. Dari pembauran inilah 

diperkirakan memunculkan istilah bahasa Kawi-Bali (Jawa 

Tengahan atau Bali Tengahan). Model bahasa ini dapat kita 

temukan dalam naskah-naskah seperti : Tutur, Usada, Babad, 

dan naskah lainnya yang muncul abad XVI sampai abad XVIII. 

Pada abad ini muncul pula sastra Kidung, di samping karya-

karya Kakawin. Menurut Prof. Dr. PJ. Zoetmulder menyatakan 

bahwa sastra Kidung yaitu  kelanjutan dari suatu bentuk sastra 

(sastra kawi) yang berasal dari Jawa. 

Di Jawa sendiri semenjak kedatangan agama Islam, bahasa 

Kawi (baca: Jawa Kuna) berkembang menjadi dua yang berlainan. 

Di satu sisi bahasa Kawi berkembang menjadi bahasa Jawa 

Pertengahan dan di sisi lain bahasa Kawi berkembang menjadi 

bahasa Jawa Modern. Dapat dilihat ciri- cirinya sebagai berikut :

1. Bahasa Jawa Tengahan memperlihatkan hubungan yang erat 

antara budaya Hindu-Jawa-Bali, dimana pengaruh India 

(bahasa sanskerta) masih tetap terasa. Karya sastra yang 

mempergunakan bahasa Jawa Pertengahan antara lain : Tantu 

Panggêlaran, Calonarang, Tantri Kamandaka, Korawaśrama, 

Pararaton, Kidung Harsawijaya, Kidung Ranggalawe, Babad 

Tanah Jawi dan lain-lain.

2. Bahasa Jawa Modern, semakin menggeser kedudukan bahasa 

sanskerta, dan menggantikannya dengan bahasa Arab.

Pada jaman peralihan(abad XVI M) ini disebut-sebut 

seorang maha kawi (pujangga agung) yang gemar mengembara di 

pesisir pantai dan di gunung-gunung (nyagara-giri). Beliau yaitu  

orang yang Nirartha. Pujangga keraton Majapahit ini, pada tahun 

1489 M pindah ke Bali. Bekas-bekas pesanggrahan beliau di Bali, 

menjadi tempat patirthan (tempat suci atau pura), anatara lain Pura: 

Purancak, Rambut Siwi, Tanah Lot, Peti Tengêt, Uluwatu, Sakenan, 

Masceti, Air Jeruk, Batu Klotok, dan lain-lain.

Bahasa dan Sastra Kawi10

Di tempat-tempat inilah beliau menikmati keindahan dan 

menciptakan sejumlah karya sastra Kawi seperti : Kidung Rasmi, 

Sañca Edan Lalangon, Kakawin Danghyang Nirartha, Kakawin 

Mayadana-wantaka dan karya sastra lainnya, termasuk sejumlah 

karya sastra keagamaan, seperti : Kakawin Nirartha Prakrêta, 

Nitisastra, dan Dharmaśunya, diduga dikarang beliau sebelum 

beradadi Bali.

Demikian seterusnya sastra Kawi diwarisi di Bali. Bukan 

hanya diwarisi sebagai koleksi, namun  dipelajari dengan sungguh-

sungguh secara mentradisi dalam perguruan tradisional aśrama. 

Aśrama sistem pendidikan Hindu yang pernah diterapkan pada 

jaman raja-raja Hindu di Jawa maupun di Bali.

Di Bali ada kelompok apresiasi sastra yang berkaitan erat 

dengan sistem pendidikan aśrama itu. Kelompok ini umum disebut 

sekaa mabebasan atau sekaa kakawin atau pesantian. Mereka 

yang bergabung dalam kelompok ini, secara tekun mempelajari, 

membahas nilai-nilai yang terkandung dalam naskah atau kitab 

itu, dan memedomani nilai-nilai itu untuk mengukur baik buruk, 

benar salah, perilakunya sendiri maupun prilaku masyarakat 

lingkungannya. Tidak hanya itu mereka menyalin secara teliti 

naskah-naskah yang dianggapnya penting. Lebih jauh mereka 

menciptakan karya-karya baru yang bersumber dari karya- karya 

sebelumnya. Dalam sistem tradisional inilah dikenal sistem belajar 

magending sambilang malajah atau malajah sambilang magending. 

(bernyanyi sambil belajar atau belajar sambil bernyanyi).

Beberapa tokoh tradisional yang lahir dari sistem pendidikan 

ini antara lain : 1) Ida Pedanda Sidemen (wafat 1984), dari beliau 

kita mewarisi sejumlah karya seperti : Pūrwadigama, (Śiwagama), 

Kakawin Gayadijaya (Kakawin Cantaka), Kakawin Candrabherawa 

(Kakawin Dharmawijaya), Kakawin Singhalalayangyala, Kakawin 

Kalpasanghara, Kidung Pisaca Harana, Geguritan Patitip, dan 

ratusan karya- karya turunan lainnya. 2) Ida Ketut Jelantik (wafat 

18 Nopember 1961), karya-karya dari beliau anatara lain: Geguritan 

Bahasa dan Sastra Kawi 11

Lokika, Geguritan Sucita-Sabudi, Geguritan Bhagawadgita, Satua 

Men Tingkes dan sebuah kitab tattwa (filsafat), Aji Sangkhya yaitu  

merupakan ringkasan dari ajaran Śiwa Tattwa yang tertuang dalam 

lontar-lontar yang tersimpan di Bali. Disamping itu beliau dijadikan 

nara sumber dan juru bahasa oleh peneliti-peneliti bahasa Bali oleh 

Schwarts, kesusastraan dan agama Hindu di Bali oleh C Hooykaas. 

1.3 Abjad Bahasa Kawi

Aksara Kawi atau aksara Jawa Kuno merupakan bentuk 

aksara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Jawa Kuno atau 

Bahasa Kawi dan berkembang di Nusantara pada abad VIII-XVI. 

Aksara Jawa Kuno berasal dari aksara Pallawa yang mengalami 

penyederhanaan bentuk huruf pada sekira abad VIII. Aksara 

Pallawa itu sendiri merupakan turunan aksara Brahmi dan berasal 

dari daerah India bagian selatan. Aksara Pallawa menjadi induk 

beberapa aksara daerah di Asia Tenggara seperti : aksara Thai, 

aksara Batak, aksara Burma, dan lain-lain.

Aksara bahasa Kawi yaitu  aksara turunan dari aksara Pallawa 

yang mana aksara Kawi dan aksara Pallawa sangat dipengaruhi oleh 

aksara Devanāgarī. Aksara Devanāgarī yaitu  sebuah jenis aksara 

yang berasal dari India bagian utara, yang muncul dari aksara Brahmi 

dan mulai dipakai  pada XI. Aksara Devanāgarī dipakai  

untuk menuliskan bahasa Sanskerta dan bahasa Hindi.

Sebagaimana halnya dengan semua keturunan Aksara Brahmi 

maka aksara Devanāgarī, aksara Kawi, aksara Jawa Kuno dan juga 

aksara Bali merupakan jenis aksara abugida atau aksara alpha-

sylable. Jenis aksara ini huruf konsonannya memiliki vokal “a” yang 

melekat pada huruf konsonan itu dan bunyi vokalnya bisa diubah 

dengan menggunakan tanda vokal lain. Vokal “a” yang melekat 

pada satu huruf konsonan dapat dihilangkan dengan memberi tanda 

wirama atau sandangan pada huruf konsonan ini .

Aksara atau huruf yaitu  gambaran dari pada bunyi. Rentetan 

dari pada beberapa huruf atau aksara disebut dengan abjad. Abjad 

Bahasa dan Sastra Kawi12

bahasa Kawi yaitu  sama dengan ejaan bahasa Jawa Kuna Latin, 

sebab bahasa Kawi yaitu  merupakan bagian dari bahasa Jawa 

Kuna. 

Abjad bahasa Jawa Kuna Latin yaitu  berjumlah 49 buah, 

yaitu meliputi akṣara swara (vokal) sebanyak 16 (enam belas) buah 

dan aksara wyañjana (konsonan) sebanyak 33(tiga puluh tiga) buah. 

Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel di bawah ini :

1.3.1 sÙor  Swāra (Vokal)

Akṣara Bali Aksara Latin Contoh Arti

Á hṛṣwa a  Ácl, acala gunung

õ dīrgha ā õK ], ākāśa angkasa

 ) hṛṣwa ê h)nÓs/, êntas seberang

 )o dīrgha ö Ï\)on/, rêngön dengarkan

÷ hṛṣwa i ÷ki, iki ini

÷o dīrgha ī aùr , dhīra berani

ú hṛṣwa u új( , ujar kata

úo dīrgha ū ]Ur , śūra pemberani

Ï hṛṣwa ṛ Ï[i , ṛṣi Resi

Ïo dīrgha ṝ Ï))o p/, röp kantuk

\Â hṛṣwa ḷ \Âm; , lêmah tanah

 \Æ dīrgha ḹ mn)\Æ , manêlö menelan

Bahasa dan Sastra Kawi 13

6 hṛṣwa e 6k , eka satu

ü dīrgha ai ü (l\á , Airlangga Airlangga

3 hṛṣwa o 3ln/, olan ulat

3o dīrgha au 3o[a , auṣadha obat

1.3.2 wêzén Wyañjana (Konsonan)

Contoh penggunaan masing-masing konsonan sebagai 

berikut ini.

Bahasa dan Sastra Kawi14

1. Akṣara Kaṇṭhya (Gutturals) yaitu huruf kerongkongan

Akṣara Bali Aksara Latin Contoh Arti

k ka kmi, kami kami

¼ kha su¼, sukha senang

g ga gm, gama jalan

f gha f n, ghana hawan

\ ṅa /nga \rn/, ngaran nama

2. Akṣara Talavya (Palatals) yaitu huruf langit-langit

Akṣara Bali Aksara Latin Contoh Arti

c ca ctu(, catur empat

È cha ÈnÑ, chanda chanda

j ja jgt/, jagat dunia

ü jha ü [, jhaṣa ikan

Z ña/nya Z mut/, ñamut kabur

3. Akṣara Mūrdhanya (Linguals) yaitu huruf lidah

Akṣara Bali Akṣara Latin Contoh Arti

` ṭa `ik, ṭika tulisan

~ ṭha sda sda

a ḍa at%, datêng datang

Bahasa dan Sastra Kawi 15

a ḍha sda sda

x ṇa trux, taruṇa pemuda

4. Akṣara Daṇṭya (Dentals) yaitu huruf gigi

Akṣara Bali Akṣara Latin Contoh Arti

t ta t\n/, tangan tangan

q tha qoni, thani pertanian

d da ddi, dadi jadi

a dha yua, yudha perang

n na nrpti, narapati raja

5. Akṣara Oṣṭhya (Labials) yaitu huruf bibir

Akṣara Bali Akṣara Latin Contoh Arti

p pa pwn, pawana angin

8 pha 8l, phala buah

b ba bl, bala kekuatan

v bha vy, bhaya bahaya

m ma mt, mata mata

Bahasa dan Sastra Kawi16

6. Akṣara Ardha Swara

Akṣara Bali Akṣara Latin Contoh Arti

y ya y], yasa jasa

r ra R g, rāga nafsu

l la lki, laki laki - laki

w wa wn, wana hutan

7. Akṣara Usma (bunyi desis)

Akṣara Bali Akṣara Latin Contoh Arti

] śa ]t, śata seratus

[ ṣa [d/, ṣad enam

s sa sh, saha dengan

8. Akṣara Wisarga

Akṣara Bali Akṣara Latin Contoh Arti

h ha hn hana ada

1.3.3 Pasangan Akṣara Wyañjana

Akṣara 

Bali

Transli-

terasi

Pasang-

annya

Contoh Pemakaian

ArtiAkṣara Bali Kawi Latin

k ka ¨¨¨¨¨Ð¨¨ m\Ðn, mangkana demikian

¼ kha ¨¨¨¨¨Ð¨¨ su¼, sukha suka

Bahasa dan Sastra Kawi 17

g ga ¨¨¨¨¨¨á¨¨ li\á, lingga tanda

f gha ¨¨¨¨¨â¨¨ s\â, sanggha massa

\ ṅa ¨¨¨¨¨¨¨å¨¨ - - -

c ca ¨¨¨¨¨¨¨Ç¨¨¨ pZÇ pañca lima

È cha ¨¨¨¨¨¨¨È¨¨¨ escÈ, seccha enak

j ja ¨¨¨¨¨¨¨é¨¨¨ digéy, digjaya gagah,sakti

ü jha ¨¨¨¨¨¨ - - -

Z ña ¨¨¨¨¨¨¨ñ jñn, jñana pikiran

` ṭa ¨¨¨¨¨¨¨Õ¨¨ kX

kaṇṭa leher

~ ṭha ¨¨¨¨¨¨¨Õ¨¨ - - -

a ḍa ¨¨¨¨¨¨¨Ò¨¨¨¨ dnÒ, dandha tongkat

a ḍha ¨¨¨¨¨¨Ò¨¨¨ - - -

x ṇa ¨¨¨¨¨¨¨¨¨Å¨¨ j^X

jirṇṇa cacat

t ta ¨¨¨¨¨¨¨Ó¨¨¨¨ nIsÓnê , nistanya walaupun

q tha ¨¨¨¨¨Ô¨¨¨¨

ÁAsÔ , adhastha di bawah

d da ¨¨¨¨¨Ñ¨¨ ÁnÑg, andaga tidak patuh

a dha ¨¨¨¨¨¨Ò¨¨¨ yudÒ , yuddha perang

n na ¨¨¨¨¨¨Â¨¨¨ jgt

Â

OQ



Jagat

nātha

Dewa 

Śiwa

Bahasa dan Sastra Kawi18

p pa ¨¨¨¨æ¨¨¨ pu[ æ, puṣpa bunga

8 pha ¨¨¨¨è¨¨¨ nI

i

l, niṣphala tak berbuah

b ba ¨¨¨¨¨¨¨ã¨¨ tmã, tamba obat

v bha ¨¨¨¨¨¨¨ä¨¨ Álmän, alambhana kesang-gupan

m ma ¨¨¨¨¨¨¨ß¨¨ õ tß ātma atma

y ya ¨¨¨¨¨ê¨¨¨¨ ü (] nê , airsanya timur

r ra ¨¨¨¨¨¨Î¨¨¨ putÉ , putra anak

l la ¨¨¨¨¨¨¨Þ¨¨ wÞs/, wlas belas kasihan

w wa ¨¨¨¨¨¨¨Ù¨¨ hyÙ, hywa jangan

] śa ¨¨¨¨¨¨¨Ö¨¨ Á\ Ö, angúa titisan

[ ṣa ¨¨¨×¨¨¨¨ Ák×r, akṣara huruf

s sa ¨¨¨¨u樨¨ wtuæ, watsa anak lembu

h ha ¨¨¨¨¨¨¨À¨¨ si\ À, singha singa

1.3.4 Sandangan Akṣara Swara (Tanda- tanda Akṣara 

Swara)

¨¨¨¨¨¨¨o = tedong untuk suara ‘ā’ (panjang)

e¨¨¨¨¨ = taleng untuk suara ‘e’.

E¨¨¨¨¨¨¨ = taleng daitya untuk suara ‘ai’.

¨¨¨¨¨i¨¨ = ulu untuk suara ‘i’ (pendek)

Bahasa dan Sastra Kawi 19

¨¨¨¨¨¨¨ù¨¨ = ulu sari untuk suara ‘ī’ (panjang)

¨¨¨¨u¨¨¨ = suku untuk suara ‘u’(pendek)

¨¨¨¨U¨¨¨ = suku ilut untuk suara ‘ū’ (panjang)

e¨¨¨¨¨o = taleng + tedong untuk suara ‘o’

E¨¨¨¨o = taleng daetya + tedong untuk suara ‘au’.

¨¨¨¨¨)¨¨ = pêpêt untuk suara ‘ê’.

¨¨¨¨¨)o = pêpêt + tedong untuk suara ‘ö’.

¨¨¨¨¨¨Ê¨ = guwung repa untuk suara ‘ṛ/rê’.

¨¨¨¨¨¨; = bisah untuk menulis huruf ‘ḥ’ mati pada akhir suku kata/kata.

¨¨¨¨¨¨¨/ = adêg – adêg untuk mematikan huruf pada akhir suku kata/kata.

¨¨¨¨¨*¨¨ = cêcêk untuk menulis têngênan ‘ng’.

¨¨¨¨¨(¨¨ = surang untuk menulis têngênan r.

1.4 Aturan Bunyi

Setelah melihat deretan dari pada aksara ini  di atas, 

maka perlu mengetahui mengenai aturan bunyi, yang dapat 

menghasilkan vokal dan konsonan dalam bahasa Kawi. Vokal 

yaitu  bunyi ujaran yang terjadi karena udara yang keluar 

dari paru-paru tidak mendapat halangan. Sedangkan konsonan 

yaitu  bunyi-bunyi ujaran yang terjadi karena udara keluar dari 

paru-paru mendapat halangan.

Bahasa dan Sastra Kawi20

Perlu diketahui bahwa di dalam membaca naskah yang 

berbahasa Kawi baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun 

puisi (tembang), dikenal bentuk panjang (dīrgha) dan bentuk 

pendek (hṛṣwa). Yang berguna untuk kepentingan “guru dan 

laghu”. Guru artinya suara panjang atau berat, dalam tulisan- 

tulisan ejaan latin guru itu diberi tangda corek atau garis 

melintang. Laghu artinya suara pendek atau ringan, contoh :

1. pāda : berarti kaki.

2. pada : berarti bumi.

Di dalam pengucapannya harusnya “pā” pada contoh 

nomor satu lebih panjang dari pada pa pada contoh nomor dua, 

demikian juga “pā” pada contoh nomor satu harus mendapat 

tekanan atau ngilêg sedangkan “pa” pada contoh nomor dua 

tanpa tekanan atau tanpa nglêg, karena “pā” pada contoh nomor 

satu yaitu  termasuk “guru” sedangkan “pa” pada contoh nomor 

dua yaitu  laghu. Demikian juga pada vokal yang lainnya.

1.4.1 Fungsi Tanda Dīrgha

Tanda dīrgha dalam bahasa Kawi memiliki fungsi antara 

lain :

1. Tanda dīrgha yang ada  pada nama orang, fungsinya 

untuk menunjukan jenis kelamin perempuan, contoh : 

Kośalyā, Sumitrā, Kaikeyī, Sitā, dan lain – lain.

2. Untuk menunjukkan persaṁdhian, contoh : 

 ka + ajar = kājar

 Raghu + uttama = Raguttama

 Hari + īśwara = Harīśwara, dan lain – lain.

3. Untuk menyatakan hurif r yang hilang (luluh), contoh :

 ikū – ikur (ekor)

 rāh – rarah (darah)

 rāt – rarat (darat)

Bahasa dan Sastra Kawi 21

4. Untuk menyatakan memiliki  atau memiliki, contoh :

 śrênggī dari śrêngga (memiliki  tanduk)

 tantrī dari tantra (memiliki  kekuatan)

 śaśi dari śaśa (memiliki  bulan) 

5. Untuk menyatakan pasang pagêh (memang demikian), 

contoh : tumūt (mengikuti), Śrī (Dewi Śrī), ādi (pertama) 

dan lain-lain.

Alat ucap yang perlu untuk menghasilkan bunyi ujaran 

yaitu  : (1) Udara (yang dialirkan keluar dari paru-paru), (2) 

Artikulator/Lidah (bagian dari alat ucap yang dapat digerakkan 

untuk menimbulkan suatu bunyi) dan (3) Titik Artikulasi (bagian 

dari alat ucap yang menjadi tujuan sentuh dari Artikulator).

1.4.2 Cara Pembentukan Fonem Vokal Dan Konsonan.

1) Swara (Vokal).

Secara kewargaan aksara atau daerah artikulasi, maka 

vokal dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok yaitu :

1. Kāṇṭhya (Gutural) yaitu huruf yang keluar dengan 

mendekatkan lidah pada bagian langit-langit dekat 

kerongkongan, misalnya : a, ā.

2. Tālawya (Palatal) yaitu huruf yang keluar dengan 

mendekatkan gerak lidah ke tekak, misalnya : i, ī.

3. Oṣṭhya (Labial) yaitu huruf yang dihasilkan oleh bibir, 

misalnya : u, ū.

4. Mūrdhanya (Lingual) yaitu huruf yang keluar dengan 

menggetarkan lidah di dalam langit-langit, misalnya : ṛ, ṝ.

5. Daṇṭya (Dental) yaitu huruf yang keluar karena sentuhan 

lidah dengan gigi atas, misalnya :ḷ, ḹ.

6. Kāṇṭhya-Tālawya (Guturo-Palatal) yaitu huruf yang 

dihasilkan oleh lidah di dalam Kaṇṭha dan Talu, misalnya 

: ai, e.

Bahasa dan Sastra Kawi22

7. Kāṇṭoṣṭhya (Guturo- Labial) yaitu huruf yang dihasilkan 

di dalam langit-langit dan bibir, misalnya : au, o.

2) Wyañjana (Konsonan)

Dalam timbulnya bunyi konsonan halangan yang dijumpai 

udara itu dapat bersifat keseluruhan, sebagian yaitu dengan 

menggeserkan atau mengadukkan arus udara itu. Dengan 

memperhatikan bermacam-macam faktor untuk menghasilkan 

konsonan maka kita dapat membagi konsonan atas dasar : (1) 

Artikulator dan Titik Artikulasi, (2) Macam halangan udara 

yang dijumpai mengalir ke luar. (3) Turut tidaknya pita suara 

bergetar. dan (4) Jalan yang dilalui udara ketika keluar dari 

rongga-rongga ujaran. Penggolongan konsonan - konsonan 

yang muncul berdasar  artikulator dan artikulasinya, yaitu  

sebagai berikut :

1. Konsonan Velar, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh belakang 

lidah dan langit-langit lembut, yaitu: k, kh, g, gh, ṅ (ng).

2. Konsonan Palatal, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh bagian 

tengah lidah dan langit-langit keras, yaitu : c, ch, j, jh, ñ (ny).

3. Konsonan Apiko-aveolar, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh 

ujung lidah dan lengkung kaki gigi, yaitu : ṭ, ṭh, ḍ, ḍh, ṇ. 

4. Apiko-interdental, yaitu bunyi yang diahasilkan oleh ujung 

lidah (apex) dan daerah antar gigi (dens), yaitu : t, th, d, dh, 

n. 

5. Konsonan Bilabial, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan 

mempertemukan kedua bibir yaitu bibir atas dan bibir 

bawah, yaitu: p, ph, b, bh, m.

6. Konsonan Spiran, yaitu bunyi yang dihasilkan bila udara 

keluar dari paru-paru mendapat halangan berupa pengadukan, 

sedangkan sementara itu terdengar bunyi desis, yaitu: ś, ṣ, s.

Bahasa dan Sastra Kawi 23

BAB II

AFIKSASI DAN SAṀDHI

2.1 Afiksasi

Afiks yaitu  imbuhan. Imbuhan adalan morfen terikat yang 

dapat dibedakan menurut tempatnya melekat pada bentuk dasar. 

Kata berimbuhan yaitu  merupakan kata turunan yang dihasilkan 

melalui proses morfologis dengan pembubuhan imbuhan (afiks) 

pada suatu morfem dasar atau morfem pangkal. Afiks atau 

imbuhan dapat dibedakan menjadi empat kelompok yaitu : 

1. Prefiks yaitu awalan, misalnya : a, ma, ka, pa, pi, paka, 

paha. 

2. Infiks yaitu sisipan, misalnya : in, um, êr, êl.

3. Sufiks yaitu akhiran, misalnya : a, ên, i, an, akên.

4. Konfiks yaitu imbuhan gabungan (awalan dan akhiran), 

misalnya : pa…an, ka…an, ka…akên.

2.1.1 Prefiks

Prefiks atau awalan yaitu  suatu unsur yang secara 

struktural ditambahkan di depan sebuah kata dasar (lingga) 

atau bentuk kata dasar. Kadang-kadang dalam pembentukan 

itu ditamba dengan bunyi sengau, misalnya : “ny, m, n, ng”. 

Sebagai akibat penambahan huruf (bunyi) sengau itu maka dapat 

menimbulkan arti yang berbeda, contoh : doh, adoh artinya 

jauh, kemudian angdoh, artinya menjauh. etes, artinya terbuka, 

kemudian anetes artinya menetes. Demikian pula contoh-

contoh yang lain seperti : angalas (pergi ke hutan), mangjanma 

(menjelma), manêmbah (menyembah), amangan (memakan), 

anatur (berkata) dan lain-lain.

2.1.2 Infiks

Infiks atau sisipan yaitu  semacam morfem terikat yang 

disisipkan pada sebuah kata. Pada umumnya infiks itu terletak 

Bahasa dan Sastra Kawi24

diantara konsonan dan vokal suku kata pertama. Diantara infiks 

yang agak sering dipakai  ialah : “in dan um”. Infik in 

menyatakan bentuk pasif dan infik um menyatakan bentuk aktif.

Contoh : 

a. rākṣa artinya jaga, rinākṣa artinya dijaga, rumākṣa artinya 

menjaga.

b. tusuk artinya tusuk, tinusuk artinya ditusuk, tumusuk artinya 

menusuk.

c. (h) iring artinya serta, (h) iniring artinya disertai, (h) umiring 

artinya menyertai.

Pada contoh c, huruf ‘h’ kami letakkan dalam kurung, 

karena dalam praktek, pada umumnya huruf ‘h’ itu dihilangkan, 

sehingga kelihatannya kata-kata itu mulai dengan huruf hidup 

(vokal). 

Berlainan halnya kata-kata yang mulai dengan huruf 

labial : (p, b, m, w,) yaitu dalam bentuk aktif, infiks itu terletak 

di muka, sama seperti dalam bentuk pasif. Infiks itu terletak 

antara konsonan dan vokal suku kata yang pertama. Untuk lebih 

jelasnya perhatikan contoh-contoh di bawah ini : 

1.  Kata-kata yang mendapat infiks ‘um’, misalnya :

 pangan : um + pangan - ummangan - umangan - mangan, 

artinya memakan.

 bañcana : um+bañcana-ummañcana-umañcana - mañcana, 

artinya membahayakan.

 mitra : um+mitra -ummitra-umitra-mitra, artinya bersahabat.

 wêtu : um + wêtu – ummêti – umêtu – mêtu, artinya keluar.

2. Kata-kata yang mendapat infiks ‘in’, misalnya : 

 panah – pinanah, artinya dipanah,

 buñcang – binuñcang, artinya dilemparkan.

 mangsa – minangsa, artinya dimakan.

 wastu - winastu, ditetapkan.

Bahasa dan Sastra Kawi 25

berdasar  contoh-contoh di atas akhirnya dapat 

disimpulkan dalam bentuk rumus-rumus sebagai berikut :

a.  Bentuk : 

1. Pada umumnya infiks terletak diantara konsonan dan 

vokal suku kata pertama, misalnya :

guyu + um = gumuyu, artinya bersenda gurau.

sahur + um = sumahur, artinya menyahut.

tambak + in = tinambak, artinya diempang.

tikêl + in = tinikêl, diapatahkan.

gigi + êr = gêrigi, artinya bergigi.

tunjuk + êl = têlunjuk, artinya telunjuk.

2. Apabila kata-kata itu mulai dengan vokal, maka infiks 

ditambahkan di muka kata misalnya :

atur + um = umatur, artinya berkata.

iring + in = iniring, artinya diikuti.

3. Kalau kata-kata itu mulai dengan huruf bibir (labial) : p, 

b, m, wa, maka :

a.  Dalam bentuk aktif, infiks itu terletak di muka, 

contoh :

 panah + um – umpanah – ummanah – umanah – 

manah (memanah)

 bañcana + um – umbañcana – ummañcana – mañcana 

(membencanai)

b. Dalam bentuk pasif, infiks itu terletak di antara 

konsonan dan vokal suku kata pertama dari kata 

dasar, misalnya contoh :

wastu + in = winastu (ditetapkan).

buñcang + in = binuñcang (dilemparkan)

b.  Arti : 

1. Infiks ‘um’ :

Infiks ‘um’ menunjukkan kata kerja aktif dan dapat 

disamakan dengan prefix ‘a’atau’ma’,dalam terjemahan 

Bahasa dan Sastra Kawi26

dapat disamakan dengan awalan me atau ber dalam 

bahasa Indonesia, contoh :

santwa + um = sumantwa (menyapa)

santwa + ma (n) = masantwa – mannantwa – manantwa 

(menyapa, menyosong)

atur + um = umatur – matur (berkata)

atur + ma = maatur (màtur) – matur (berkata).

Pada contoh terakhir di atas, kita lihat ‘mà’ pada kata 

matur, ‘a’nya dirgha atau panjang, sebab di sini berlaku 

hukum saṁdhi.

2. Infiks ‘in’ :

Infiks ‘in’ menunjukkan kata kerja pasif, yang dalam 

terjemahan dapat disamakan dengan awalan ‘di’ dalam 

bahasa Indonesia, contoh :

pupuh + in = pinupuh (dipukul)

rākṣa + in = rinākṣa (dijaga) 

3. Infiks ‘êr’ dan ‘êl’ :

Infiks ‘êr’ dan ‘êl’ agak jarang dipakai. Pada umumnya 

pemakaian infiks ini menunjukkan arti banyak, contoh :

gigi + êr = gêrigi (banyak gigi)

tapak + êl = telapak (banyak tapak).

Perlu dijelaskan bahwa pembentukkan kata kerja pasif 

selain dari pada infiks ‘in’ dapat juga dilakukan dengan 

pemakaian sebagai berikut : 

a. Prefiks ‘ka’, misalnya :

ka + ton = katon (terlihat)

ka + rêngö = karêngö (terdengar)

b. Sufiks ‘ên’, misalnya :

prih + ên = prihên (diperlukan, harap diusahakan)

wawa + ên = wawaên (bawalah, harap dibawakan)

c. Sufiks ‘akên’/‘akêna’, misalnya :

weh + akêna = wehakêna (harap diberikan)

pinton + akên = pintonakên (perlihatkanlah)

Bahasa dan Sastra Kawi 27

Bentuk-bentuk semacam ini banyak dijumpai dalam 

bacaan-bacaan atau sastra-sastra bahasa Kawi, baik 

dalam bentuk puisi maupun prosa.

2.1.3 Sufiks

Sufiks atau akhiran yaitu  semacam morfen terikat yang 

dilekatkan (ditambahkan) di belakang suatu morfen dasar atau 

kata dasar, contoh :

ratu + a = ratua – ratwa (akan menjadi raja).

hurip + ên = huripên (hidupkanlah).

weh + i = wehi – wehi – wehana (agar diberi).

unggu + an = ungguan – unggwan (yang ditempati).

kawaśa + akên = kawaśakên (agar dikuasai).

Adapun sufiks semacam itu pada umumnya mengandung 

pengertian harapan atau perintah atau sesuatu pekerjaan yang 

kalau belum terjadi sufiks semacam itu disebut sufiks arealis. 

2.1.3.1 Sufiks Arealis.

Sufiks arealis, ialah suatu akhiran yang bersifat tidak nyata 

(arealis = a = tidak, real = nyata). Pengertian tidak nyata yaitu  

mengandung arti yang belum pasti atau yang belum nyata dan 

memiliki  pengertian yang sangat luas, antara lain:

1. Menyatakan pekerjaan yang baru diperintahkan (disuruh) 

atau inperative active)

2. Menyatakan pekerjaan yang belum terjadi, akan terjadi 

(future), harus, tidak akan, mungkin, tidak mungkin.

3. Baru diharap-harapkan dan biasanya disalin dengan kata-

kata : supaya  , agar, mudah-mudahan, andaikata, akan dan 

lain-lain.

4. Walaupun telah terjadi, namun pekerjaan itu belum 

sempurna, ada celanya.

Bahasa dan Sastra Kawi28

Cara membentuk sufiks arealis yaitu : 

1. Dapat ditambahkan pada kata benda (substantive) yang tidak 

berakhiran, contoh :

ratu + a = ratwa (akan menjadi raja)

paweh + a = paweha (akan diberi, namun  belum)

hurip + a = huripa (akan dihidupkan)

paran + a = parana

mālap + a = mālapa

hantuk + a = hantuka

2. Dapat ditambahkan pada kata kerja(verbal), contoh :

 amêjah + a = amêjaha (akan membunuh)

 lumaku+a=lumakua-lumakwa (akan berjalan, meminta)

3. Dapat ditambahkan pada kata keadaan (ajektive), contoh :

 manis + a = manisa (supaya   menjadi manis)

 durbala + a = durbalaa - durbalā (akan menjadi rusak).

Bentukan sufiks arealis yaitu  sebagai berikut ini.

1. Bentuk aktif.

a. Bentuk nasal/um + a, contoh :

 ma (ng) + hurip + a = manghuripa (akan menghidupkan)

 a (m) + panah +a = ampanaha-ammanaha-amanaha 

(akan memanah).

b. Bentuk nasal/um + i (an, ana), contoh :

ka+um+lilir+i = kumaliliri-kumaliliran-kumalilirana 

(akan menggantikan).

um + pati + i = umpatii -ummatī -umatī -umatyan- 

umatyana (akan membunuh)

c. Bentuk nasal/um + akên (akêna, akna), contoh :

am + pinton + akêna = apintonakên-apintonakêna- 

apintonakna (akan memperlihatkan, akan memamerkan).

ganti + um + akên = gumantyakên – gumantyakêna – 

gumantyakna (akan menggantikan)

Bahasa dan Sastra Kawi 29

2. Bentuk pasif.

a. Pada kata dasar + ên/n, contoh :

hurip + ên = huripên (supaya   duhidupkan).

wawa + ên =wawaên-wawan (supaya   dibawa, bawalah)

b. Pada kata dasar + i (an, ana), contoh:

weh + i = wehi - wehan - wehana (agar diberi)

hurip+i = huripi-huripan-huripana(supaya   dihidupkan)

c. Pada kata dasar + akên (akêna, akna), contoh :

tinggal+ akên =tinggalakên-tinggalakêna - tinggalakna 

(harap ditinggalkan).

kawaśa+akên= kawaśaakên-kawaśākên - kawaśākêna – 

kawaśākna (agar dikuasai, kuasailah).

Catatan :

1. Sufiks ‘ana’ sebenarnya tidak ada, yang ada yaitu  sufiks 

‘i’, yang dapat berubah menjadi ‘an’ lalu mendapat 

akhiran ‘a’, kemudian menjadi ‘ana’. 

2. Sufiks ‘akna’, sebenarnya tidak ada, yang ada yaitu  

sufiks ‘akên’, kemudian ditambah ‘a’, menjadi akêna 

(akên + a), ‘akêna’ kemudian dapat berubah menjadi 

‘akna’. 

3. Penambahan sufiks ên pada suatu kata, mengalami dua 

syarat, yaitu :

a.  Kalau kata itu berakhir dengan konsonan + ên, maka 

akhiran ‘ên’ itu tetap dirulis, contoh :

 alap + ên = alapên (ambillah).

 pêjah + ên = pêjahên (bunuhlah).

b. Kalau kata itu berakhir dengan vokal + ‘ên’, maka ‘ê’ 

pada ‘ên’ menjadi luluh atau lenyap, contoh :

wêli + ên = wêlin (belilah).

tuku + ên = tukun (belilah).

Sufiks atau akhiran arealis dapat diterjemahkan dalam 

berbagai jalan, menurut bentuk dan susunan kalimatnya, contoh.:

Bahasa dan Sastra Kawi30

1) Anakku sang Śakuntala, haywa kita lara, mānaka ratu 

cakrawartī kita dlêha=Anakku Śakuntala, janganlah engkau 

susah engkau kelak akan memiliki  anak yang berkuasa di 

dunia.

2) Kunang yang huwus māti si nāga Takṣaka, samangkana 

nghulun mahuwusana ng yajña sarpa = Maka apabila sudah 

mati si Naga Takṣaka, ketika itulah saya akan menghentikan 

kurban ular itu.

3) Aku sumaputana kita lêbu. Yapwan lungha sang hyang Agni, 

ungkabana ni nghulun tang lyang = Aku akan menutupi 

engkau dengan debu. Jika sang hyang Agni pergi, akan 

kubuka lubang itu.

4) Atyanta nisturanta kamung nāga sapinta….kasihku tāsmad 

duhka panggihênyu panganên ing apuy ta ko = Hai naga 

alangkah kejam kamu terhadap segala permintaan belas 

kasihan, oleh karena itu kesupaya nlah yang akan kamu 

temui, akan dimakan apilah engkau.

2.1.4 Konfiks.

Konfiks atau imbuhan gabungan yaitu  pemakaian 

imbuhan sekaligus pada suatu kata dasar. Imbuhan-imbuhan 

yang biasa dipakai bersama-sama, antara lain yaitu  : ‘pa...an’ 

dan ‘ka…an’, contoh :

pa + malaku+an = pamalalakwan (orang yang dimintai)

pa + ngaji + an = pangajyan (tempat berguru)

ka + úura + an = kaúuraan - kaśurān (keberanian)

ka + dusta + an = kadustaan - kadustān (kejahatan)

Kalau kita perhatikan contoh-contoh yang diberikan 

di atas, tampaknya seakan-akan kurang jelas bentuk paduan 

kata dasar dengan imbuhan itu. Hal ini disebabkan bukan saja 

karena adanya persengauan, namun  juga adanya bentuk-bentuk 

persaṁdhian.

Bahasa dan Sastra Kawi 31

2.2 Saṁdhi

Bila dalam rangkaian linggadan imbuhan (awalan, sisipan, 

akhiran) atau dalam rangkaian dua, ada  dua buah huruf 

hidup atau lebih berturut-turut, sering kali huruf-huruf hidup itu 

luluh. Luluh itu dalam bahasa sanskerta disebut dengan saṁdhi. 

Saṁdhi artinya hubungan atau gabungan. Ada dua macam 

saṁdhi yaitu : 

a. Saṁdhi dalam, yaitu  suatu persandian yang terjadi dalam 

satu atau sepatah kata akibat proses afiksasi (penambahan 

imbuhan). 

Contoh : pa + ajar = pājar (berkata) ; ka + ucap = kocap 

(berkata) ; maka + ibu = makebu (sebagai ibu) ; ma + inget 

= mengêt (teringat)

b. Saṁdhi luar, yaitu  suatu persandian yang terjadi dalam dua 

patah kata atau lebih,di mana kata yang pertama diakhiri 

oleh vokal dan kata berikutnya diawali oleh vokal. 

Contoh :  sira + aburu = sirāburu (ia berburu)

nguni + ikang = ngunīkang (lebih itu)

mahā + īśvara = maheśvara (Tuhan)

prabu + uttama = prabhūttama (raja utama)

Syarat-syarat untuk kedua macam saýdhi itu yaitu  sama 

yaitu :

a. Dua vokal yang sama menjadi satu, namun  berbunyi panjang, 

contoh :

a + a = ā i + i = ī u + u = ū

a + ā = ā i + ī = ī u + ū = ū

ā + ā = ā ī + ī = ī ū + ū = ū

b.  Bunyi ‘ê’ di belakang vokal lain selalu hilang serta yang 

tertinggal hanya vokal yang mendahuluinya, contoh :

Bahasa dan Sastra Kawi32

a + ê = a wawa + ên = wawan

i + ê = i weli + ên = welin

u + ê = u tuju + ên = tujun

ö + ê = ö rengö + ên = rengön

c.  Bunyi ‘a’ bila diikuti oleh bunyi lain, namun bukan ‘é’ maka 

menjadi demikian, contoh:

a + u = o a + umah = omah

a + i = e kapa + ingin = kapengin

d. Bunyi ‘u’ dan ‘i’ bila diikuti bunyi lain , namun  bukan ‘é’ 

maka menjadi demikian, contoh :

u menjadi w sinusu + an = sinuswan

i menjadi y manguni + akén = mangunyakén

‘O’ dan ‘ö’ bila diikuti bunyi lain, namun  bukan ‘é’, 

maka menjadi ‘w’, contoh : 

inasö + akên = inaswakên

mangko + angde = mangkwangde

e. Bunyi ‘ê’ bila diikuti oleh bunyi lain, namun  bukan ‘ê’, maka 

menjadi ‘w’, contoh : 

magawe + a = magawaya

2.3 Kata Sandang 

2.3.1 Penentuan : “ng atau ang”.

Kata sandang penentuan “ng atau ang” ditempatakan di 

muka kata yang sudah ditentukan. Kalau kata itu belum diketahui 

Bahasa dan Sastra Kawi 33

atau belum ditentukan, maka “ng atau ang” itu tidak dipakai. 

Kata sandang ini sama fungsinya dengan “the” dalam bahasa 

Inggris, contoh : 

Ang kathā (ceritera itu)

Mangrêngö ta ng danawa (mendengarlah raksasa itu)

2.3.2 Penunjuk orang.

Ada beberapa jenis kata sandang penunjuk orang, yaitu:

1.  Kata penunjuk orang ‘si’ : Seperti dalam bahasa Indonesia 

‘si’ dipakai untuk orang kebanyakan, contoh : 

 Hana ta rākṣasa si Duloma ngaranya (yaitu  raksasa si 

Duloma namanya).

 Ikang asu si Sarameya (Anjing itu si Sarameya).

 Untuk merendahkan diri orang juga memakai ‘si’ , sedangkan 

untuk orang lain orang memakai ‘sang’, contoh : Tadantara 

datêng ta sang Kānana … mājar ta ya : “Pinakanghulun si 

Kānana, kinon ārya Widura”.

2. Kata penunjuk orang ‘pun’ kata sandang ini sudah amat 

jarang dipakai. Hampir sama dengan ‘ipun’ dalam bahasa 

Bali, contoh :

 Bapa ! māti ngganya pun Kaca ……. Tasyāsih ta bapa, 

huripên pun Kaca muwah !

3. Kata penunjuk orang ‘sang’ kata sandang ‘sang’ dipakai 

untuk orang ternama atau bangsawan, contoh: 

 sang Arjuna, sang mahārsi, sang mati ing raóa dan lain-lain.

4. Kata penunjuk orang ‘sang hyang’ kata sandang ‘sang 

hyang’dipakai untuk dewa-dewa serta yang dianggap amat 

mulia seperti dewa misalnya: matahari, bulan, bumi, hurip, 

ātma, buku suci, kuṇḍa, contoh: 

 Sang hyang Wiṣṇu, sang hyang Agni, sang hyang Indra dan 

lain-lain.

 Sêdêng têngah wêngi wahu sumurup sang hyang wulan. 

Bahasa dan Sastra Kawi34

 Kata penunjuk orang ‘sang hyang’ saja dapat dipakai kerap 

kali untuk menunjuk matahari. Contoh :

 Sore kāla sang hyang mangke.

 Rahina pwa sang hyang ri sakatembay esuk.

5. Kata penunjuk orang ‘ḍang hyang’ kata sandang ‘ðang hyang’ 

dipakai untuk menunjuk orang mulia karena kesuciannya 

dipakai orang ḍang diikuti hyang, kadang-kadang ācārya. 

Contoh:  

 Mengêt kita ḍang hyang Kṛpa mijil sakeng śarastamba 

kacaritan ira muwah ḍang hyang Droṇa mijil sakeng luwang 

kacaritan ira.

6. Kata penunjuk orang ‘ra’ kata sandang ‘ra’ biasa dipakai orang 

yang berkata kepada orang yang lebih tinggi pangkatnya. 

Contoh :

 Matangnyan hênêng ra bhujangga haji.

 Pirengön ra putu mpungku.

7. Kata penunjuk orang ‘sira’ kata sandang ‘sira’ sering juga 

dipakai untuk mengganti sang, hal ini terjadi lebih-lebih 

pada kata sebut yang mengenai macam. Contoh :

 Sukha ta sira bapa ri datêng sang Gandhawati. Mawarah ta 

sira mpu… Mangkana ling sang Jaratkaru ring sira stri.

2.4 Kata dan Jenis Kata

Kata merupakan dua macam satuan yaitu satuan fonologis 

dan satuan gramatis. Sebagai satuan fonologis kata terdiri atas 

satu atau beberapa suku kata dan suku kata itu terdiri dari satu 

atau beberapa fonem. Sebagai satuan gramatis kata terdiri atas 

satu atau beberapa morfem. Morfem yaitu  kesatuan yang ikut 

serta dalam pembentukan kata yang dapat dibedakan artinya.

Gabungan morfem yang dapat diujarkan sebagai bentuk bebas, 

yang paling kecil inilah yang disebut kata. Sebagai contoh dalam 

ujaran : 

Bahasa dan Sastra Kawi 35

“Mahābhaya tan sinipi iking alas pinaranta artinya: Sangat 

berbahaya tidak terhingga hutan yang kamu datangi ini”

Dalam ujaran ini ada  satuan-satuan bentuk bebas 

yang paling kecil. Satuan ini  masing-masing: ‘mahābhaya’ 

(sangat berbahaya), ‘tan’ (tidak), ‘sinipi’ (terhingga), ‘iki’ (ini), 

‘ng’(partikel), ‘alas’ (hutan) dan ‘pinaranta’ (kamu datangi). 

Satuan bentuk seperti : ‘tan’, ‘alas’, dan ‘iki’ yaitu  kata yang 

terdiri atas satu morfem yang disebut morfem dasar. Sedangkan 

kata : ‘sinipi’, ‘pinaranta’, dan ‘mahabhaya’ disebut morfem 

gabungan (gabungan morfem). Kata sinipi dari morfem dasar 

(sipi = sedikit) dan morfem imbuhan berupa sisipan ‘in’. Kata 

‘pinaranta’ terdiri atas morfem dasar (para=datang) dan morfem 

imbuhan berupa sisipan ‘in’, serta morfem inklitik (nta = mu/

kamu). Kata ‘mahabhaya’ terdiri atas morfem dasar (bhaya = 

bahaya) dan morfem imbuhan berupa awalan (maha = sangat).

Kata yang terdiri dari satu morfem disebut kata tunggal 

yang dapat dibentuk dari morfem dasar. Oleh karenanya kata ini 

juga disebut kata dasar. Kata yang terdiri dari beberapa morfem 

dasar maupun morfem pangkal dengan proses morfologis 

disebut kata turunan. Kata turunan dapat dibedakan atas : kata 

berimbuhan, kata ulang, dan kata majemuk. Jenis- jenis kata 

dalam bahasa Kawi terdiri dari :

1. Kata Benda, contoh : śiṣya (murid), phala (buah), panah 

(panah), mṛga (binatang), ikū (ekor), rwan (daun), watu(batu), 

pari (padi) dan lain-lain.

2. Kata Kerja, contoh : magawe (bekerja), malayu (berlari), 

maburu (berburu), katon (terlihat), mangan (makan), 

umawa(membawa), magulingan (bergulingan) dan lain- lain.

3. Kata Sifat, contoh : sweta (putih), kweh (banyak), magöng 

(besar), tiksna (tajam), tikta (pahit), panes (panas), takut 

(takut) dan lain-lain.

Bahasa dan Sastra Kawi36

4. Kata Ganti Orang. Ada dua macam kata ganti orang yaitu : 

kata ganti orang yang sebenarnya dan yang tidak sebenarnya.

2.5 Kata Ganti Orang

Ada dua kata ganti orang yaitu kata ganti orang yang 

sebenarnya dan kata ganti orang yang tidak sebenarnya.

1.  Kata ganti orang yang sebenarnya. Kata ganti orang ini 

dapatlah dibeda-bedakan sebagai berikut :

Ke Kata Ganti Orang Kata Ganti Milik

Pertama aku ku, ngku

kami mami

kita ta, nta

Kedua ko, nyu nyu

kamu mu

kita ta, nta

Ketiga ya nya, ya

sira ira, nira

2. Kata ganti orang yang tidak sebenarnya.

Orang I nghulun ning nghulun ngwang, ring wang, 

sanghulun, pinangkanghulun dan lain-lain.

Orang II rakryan rahadyan, sanghulun, mpu, mpungku 

mpungkulun, maharaja,bhatara, maharsi, 

haji dan lain-lain.

Orang III pwangkulun, maharaja, haji dan lain-lain.

2.5.1 Kata Ganti Orang Untuk Orang Pertama.

Kata ganti ‘aku’ dan ‘kami’ kedua-duanya ada  dalam 

arti yang sama dan pemakaian yang sama. Seorang dapat 

mengatakan dirinya dengan ‘aku’ dan ‘kami’ dalam sebuah 

Bahasa dan Sastra Kawi 37

kalimat. Kata ganti ‘miliku’, kalau ditambahkan kepada kata 

yang berakhir vokal maka haruslah kata ‘ku’ itu, disisipkan 

bunyi sengau ‘ng’ di mukanya. Contoh : bapangku, mpungku 

dan lain-lain. 

Bunyi ‘n’ pada akhir kata kerap kali menjadi ‘ng’, jika 

diikuti oleh ‘ku’. Contoh : ngarangku.

Bila ku itu ditambahkan kepada kata yang berakhir “k”, 

maka hanya sebuah k saja ditulis. Contoh : anak + ku maka 

menjadi ‘anaku’ bukan ‘anakku’. Contoh-contoh dalam kalimat.:

• Aku dinalihta suaminyu, atyanta ta wruh ring asambawa 

ike ta karih, artinya : Aku kau kira suamimu, sungguh 

tidak tahu sopan santun sama sekali.

• Brāhmaṇa daridra kami, artinya : Brahmana miskin 

saya.

• Kawidagdhan mami nita caturangga, artinya : 

Kepandaianku permainan catur.

Selain dari pada kata ganti ‘aku’ dan ‘kami’, masih ada 

beberapa kata ganti tak sebenarnya untuk orang pertama, antara 

lain :

1. ‘Nghulun, ni nghulun’

 Kata-kata inilah yang kerap kali dipakai, lebih-lebih dari 

pada aku. Rasa hormat di dalam kata itu yang sebenarnya 

berarti, ‘budak’ tak terasa lagi. Guru misalnya berkata 

kepada muridnya memakai nghulun juga. Contoh : 

 Nghulun ratu śomawangśa, sang yayati ngaraninghulun, 

artinya : Saya raja keturunan Soma, yayati nama saya.

2. ‘Ngwang, ni ngwang’

 Pun kata-kata ini tak terasa lagi rasa hormat. Contoh :

 Śarīranta kabrh sakeng śarūra ni ngwang tattwanya, 

artinya : Badanmu seluruhnya dari badanku hakekatnya.

3. ‘Sanghulun, pinakanghulun’

 Kata-kata ini dipakai oleh orang rendahan kepada orang 

Bahasa dan Sastra Kawi38

yang dihormati. Dapat diterjemahkan dengan kata hamba. 

Contoh :

 Pinakanghulun tapwan nānak.Yan yogya ta 

pinakanghulun anugrahāna de paramarṣi, artinya : 

Kalau boleh anugrahilah hamba oleh tuanku maharṣi.

2.5.2 Kata Ganti Orang Untuk Orang Kedua.

Jika kata ganti untuk orang yang kedua ini dipakai untuk 

memanggil dan disertai oleh kata benda, maka kata ini menjadi 

‘kong’,‘kamung’, ‘kitang’, contoh : kong nāga, kitang nāga, 

kamung sang hyang apuy. 

‘Ko’, kerap kali agak menghina. Beda pemakaian antara 

‘kamu’ dan ‘kita’ tidak terang. Sering kali kedua kata itu 

dipertukar-tukarkan saja dalam sebuah kalimat, contoh :

Yan mahyun kiteng amṛta kamung watêk hyang kabeh, 

artinya : Jika kamu menghendaki amṛta kamu dewa-dewa 

sekalian.

Beberapa Kata Ganti Orang Untuk Orang Kedua 

Yang Tak Sebenarnya.

1. ’Rakryan’ : Kata ini dipakai terhadap keluarga raja, 

pramaisuri, patih dan terhadap orang-orang besar. Contoh : 

 Sapinta rakryan i nghulun, artinya : Berapa yang kamu 

minta kepadaku.

2. ’Rahadyan sanghulun’ : sang ahulun. Rahadyan sanghulun 

dipakai untuk orang yang lebih tinggi. Contoh :

 Pinakanghulun sinangguh tan papadeng dhanudhara úàûtra 

adwa rahadyan sanghulun, artinya : Hamba tuah sebut tak 

ada samanya dalam kecakapan memanah namun  kelirulah 

tuan.

Sang ahulun sama artinya dengan pinakanghulun, namun 

lebih jarang dipakai. Contoh : 

Bahasa dan Sastra Kawi 39

Ndi ta ling patik haji ri sang ahulun sang Gandhawatì sira 

ta dharmapatnya sang nātha, artinya : Adapun sembah patik 

kepada paduka tuanku, sang Gandhawatī beliaulah harus 

menjadi permaisuri baginda.

3. ’Mpu’, ‘mpungku’, ‘mpungkulun’: Kata-kata ini dipakai 

untuk semua golongan rohaniawan. ‘Mpu’ saja jarang 

dipakai. Contoh :

Hana ta pāngning carita rêngön de mpu makabehan, 

artinya : yaitu  cabang ceritera hendaklah dengarkan 

oleh tuan semua.

Yan yogya tulusakênasih mpungku ring pinakang- 

hulun, artinya : Bila boleh teruskanlah kasih tuan 

kepada hamba.

Sadhyākāla mangke mpungkulun, artinya : Senjakala 

sekarang tuanku.

2.5.3 Kata Ganti Orang Untuk Orang Ketiga.

Kata ganti ‘ya’ dipakai untuk orang kebanyakan dan sira 

dipakai untuk orang yang tinggi derajatnya. Perbedaan antara 

tunggal dan jamak, di sinipun tidak jelas, contoh :

Tinakwananta ya de ning guru,….artinya: ditanyailah 

ia oleh gurunya.

Sira ta kumawaṣākên pṛthiwi maṇḍala,…..artinya: 

Bagindalah menguasai dunia.

2.6 Kata Ganti Milik (Genetive)

Kata ganti milik (genetive) kadang-kadang memiliki  

bentuk sendiri, yaitu dengan jalan menyingkatkan kata ganti 

orang atau dengan jalan menambahkan ‘ni’ atau ‘n’ di depannya.

1. Orang  pertama : 

 ‘ku’, ‘ngku’, misalnya: anaku, wêkangku, bapaku, bapangku, 

dan lain-lain.

Bahasa dan Sastra Kawi40

 ‘mami’ (dari kata kami), misalnya : śiṣya mami, hyang mami, 

dan lain-lain.

 ‘ni’ misalnya: wêtêng ni nghulun, dan lain-lain.

 ‘ni ngwang’ misalnya: carita ni ngwang, dan lain-lain.  

2. Orang kedua : 

 ‘mu’(dari kata kami), misalnya: anakmu.

 ‘nyu’(dari kata kanya),misalnya: suamimu.

 ‘ta’(dari kata kita), misalnya: anakta, wkanta.

3. Orang ketiga : 

 ‘ya’, ‘nya’, misalnya: carmistha ngaranya,

 ‘nira’, ‘ira’, misalnya: wwang atuha nira, pinaranira.

Beberapa contoh kata ganti milik dalam kalimat:

1. Orang pertama :

Yan tuhu śiṣya mami ta agawe ta kita guru dakṣina, 

huma rêpakêna mamidakûinanta, artinya : Jika benar-

benar murid saya, kau buatlah upah guru hadapkanlah 

kepadamu upahmu itu. 

Salwiring kapangan masuk ing wêtêng ni nghulu, 

artinya: Segala macam yang dapat dimakan masuk ke 

dalam perutku.

Kaharêp ning patik mahārṣi wêka sewu kwehnya, 

artinya: Kehendak hamba maharesi ini, (ialah) anak 

seribu banyaknya.

2. Orang kedua :

Aku dinalihta swaminyu ! Arah lakumur tako !, artinya: 

Aku kau kira suamimu ! Hai pergi henyahlah kau !.

Patêngêran ira denta yan mapanas ikā gulūnta kadi 

mangêlêd apuy lwirnya hana brāhmaṇa kapangan 

denta yan mangkana, artinya: Tandanya bagimu apabila 

Bahasa dan Sastra Kawi 41

merasa panas lehermu sebagai menelan api ada brahmana 

termakan olehmu jikalau demikian.

Kunang yan sang prabhu mahyun inghulun, kêsatyan 

rahadyan sanghulun panumbasa haji, artinya: Maka 

jika sang prabhu mengijinkan hamba, kesetiaan tuan 

hambalah sebagai pembelian tuan.

3. Orang ketiga :

Hana ta sang Akūpa ngaranya,ratu ning pās angśa 

bhaṭāra Wiṣṇu kacaritanya nguni, artinya: yaitu  yang 

namanya Akūpa raja dari kura-kura, penjelmaan Bhaṭāra 

Wiṣṇu dahulu menurut ceriteranya.

Hana sira ratu sang Parikêsit ngaranira, artinya: yaitu  

seorang raja sang Parikesit nama beliau.

Kumêtêr tikang hati dening wêlas harêp ndatan 

hana winarah nira, tuhun umulat têta ri sira, artinya: 

Gemetarlah hatinya oleh karena belas kasihan, tak 

ada yang dikatakannya, hanya memandang sampai 

kepadanya.

2.7 Kata Ganti Penunjuk

Yang temasuk kata ganti penunjuk dalam bahasa Kawi 

antara lain :

1) ‘Iki, ike, iku, iko, ikê, ikāna’

 Vokal akhir dari masing-masing kata ganti penunjuk itu 

menunjuk barang pada perhubungannya dengan yang 

berbicara (orang I), yang diajak berbicara (orang II), atau 

yang jauh dari keduanya itu.

 ‘Iki, ike’,  artinya ini (menunjuk orang/barang yang dekat 

dengan orang yang diajak berbicara atau orang 

II).

Bahasa dan Sastra Kawi42

 ‘Iku, ikê’,  artinya itu (menunjuk orang/barang yang dekat 

dengan orang yang diajak berbicara atau orang 

II).

 ‘Ikā, ikana’, artinya itu (menunjuk orang/barang yang dekat 

dengan yang dbicarakan orang III).

 Jarak ini tidak hanya menunjuk jarak tempat saja, melainkan.:

 ‘Ikā, ikana’, artinya itu (menunjuk orang/barang yang dekat 

dengan yang dbicarakan orang III).

  Jarak ini tidak hanya menunjukjarak tempat 

saja, melainkan juga jarak waktu. 

 Iki, ike = sekarang. 

 Ika, ikana = dahulu atau tadi.

 Beberapa contoh dalam kalimat :

Iki pwa ya sabha pamintonan kaśaktin, artinya : Inilah 

gelanggang tempat untuk mempertunjukkan kesaktian.

Mojar sang aṣṭabasu : Rahayu yan mangkana nghulun 

mangjanma ri kita ike sanamami wwalung siki, artinya : 

sang Aṣṭabasu berkata : Baiklah jika demikian saya akan 

menjelma padamu (dengan) saudara saya delapan orang 

ini.

Ikā kewala śarananta i sêdêng ning haneng alas, artinya.: 

Itu hanya syarat bagimu(sementara) sedang ada di dalam 

hutan.

Ndatan suka sang hyang pitara denira apan tan yogya 

ikāna ng rāh yan tarpanakna ri sira, artinya : Sang dewa 

arwah tidak senang oleh karena darah itu tidak pantas 

untuk disajikan kepadanya.

2) ‘Nihan, nahan’

 Kata ini biasanya dipakai untuk menunjuk kata orang. 

‘Nìhan’ dipakai untuk kata-kata yang masih akan dikatakan 

sedangkan ‘nahan’ untuk kata-kata yang sudah dikatakan. 

Bahasa dan Sastra Kawi 43

namun  juga tidak semata-mata dipakai untuk menunjuk kata 

orang saja. Umumnya dapat berarti begini :

 ‘Nīhan’ artinya : inilah, beginilah atau disinilah.

 ‘Nahan’ artinya: itulah, begitulah atau disanalah.

3) ’Ngke, ngkā, ngkana’

 Kata-kata ini dapat dipakai untuk menunjuk waktu atau 

tempat.

 ‘Ngke’ artinya : disini, sekarang ini atau disini.

 ‘Ngkā’ artinya : sana, di sana, demikian.

 ‘Ngkana’ artinya : sana, di sana, demikian.

4) ’Mangke’ mangko, mangkā’

 ‘Mangke’ artinya : sekarang, pada saat ini, demikian.

 ‘Mangko’ artinya : sekarang, demikian (kata ini jarang 

dipakai).

 ‘Mangkā’ artinya : demikian,begitulah.

5) ‘Mangkana, samangkana, samangkā’

 ‘Mangkana’artinya:demikian, begitulah, (kata ini kadang-

kadang dipakai pula untuk menunjuk kata-kata orang-orang 

yang telah dikatakan).

 ‘Samangkana’ artinya : waktu itu, ketika itu, sebanyak itu, 

sebesar itu/sedemikian besarnya,sepanjang itu/sedemikian 

panjangnya.

 ‘Samangkā’ artinya : yang demikian, maka pada waktu itu.

6) ‘Kumwa, kwa’

 ‘Kumwa’, artinya : demikian, sama artinya dengan kata : 

‘nìhan dan nahan’.

 ‘Kwa’ dipakai pada ungkapan : ‘Yan kwa linganta’, artinya : 

Kalau demikian katamu.

 Kecuali itu jiga dipakai semacam jawab pertanyaan yang 

dianggap ditanyakan oleh orang kedua. Contoh :

Bahasa dan Sastra Kawi44

Apa pwa yan alaparingku ? Yan kwa linganta : nihan ta 

buddhi rasikā, 

artinya : Bagaimanakah maka dia melarikan adik saya ? 

kalau demikian katamu (maka jawab saya) : “demikianlah 

pikiran beliau”.

Bahasa dan Sastra Kawi 45

BAB III

PEMBENTUKAN KATA DENGAN AFFIKS

(IMBUHAN)

3.1 Prefiks: ‘a’ atau ‘ma’.

Prefiks atau awalan ‘a’ atau ‘ma’ pada umumnya berarti 

“memiliki ”. Sering kali pasangan ini dapat disamakan dengan 

awalan ‘ber’ dalam bahasa Indonesia. Contoh :

‘atuha’ (matuha), artinya : berumur.

‘ahyun’ (mahyun), artinya : beringin, berkeinginan.

‘mawêka’ artinya : beranak.

‘mojar’ artinya : berkata.

Lain dari pada awalan ber, awalan a (ma) sering dapat 

berarti berlaku seperti. Contoh : marare, artinya: seperti anak 

kecil.

3.2 Prefiks: ‘(m) a’ dengan Sengau

Awalan ‘(m) a’ dengan sengau sering disebut anusuara 

ialah bunyi sengau : ‘ñ (ny)’, ‘m’, ‘n’, dan ‘ṅ (ng)’. Bila suatu 

kata asal (lingga) mendapat anusuara maka dapat terjadi dua hal 

yaitu:

1. Huruf pertama dari kata itu hilang dan diganti dengan 

anusuara yang sesuai.

2. Anusuara ditambahkan di muka kata itu.

Aturan-aturan untuk memberikan anusuara pada suatu kata 

yang difahului oleh awalan ‘a – (ma)’ yaitu  sebagai berikut :

1. Anusuara ṅ(ng) dipakai di muka kata-kata yang mulai 

dengan huruf-huruf hidup: ‘g, y, d, ḍ, r, l, ḥ’ dan mengganti 

‘k’. Contoh :

 adêg – angadêg = berdiri

 gêgö – anggêgö = memegang

Bahasa dan Sastra Kawi46

 janma – mangjanma = menjelma

 rêngö – mangrêngö = mendengar

 lipur – anglipur = menghibur.

2. Anusuara ‘n’, dipakai mengganti :’t, ṭ, ś, ṣ, dan s’.Contoh :

 têmu – anêmu = bertemu

 tasi – manasi = meminta-minta

 śapa – anapa – manapa = menyapa

 satpada – manatpada = seperti kumbang

 saput – anaput – manaput = menyelimuti.

3. Anusuara ‘m’,dipakai mengganti :’p,b, bh,dan w’.Contoh :

 panas – amanasi = menyelimuti.

 Parikṣa – amarikṣa = memeriksa.

 bangun – amangun = membentu.

 bhukti – amukti = menikmati.

 wungu – awungu = membangunkan.

4. Anusuara ‘ñ (ny)’, dipakai mengganti ‘c’. Contoh :

 culuh – añuluh = menyinari.

 cêngil – añêngil = berbantah.

 ‘c’diganti dengan’ñ’ apabila suku kata yang berikutnya 

mulai dengan ‘c’. Contoh :

 cicip – anicipi = mencicipi.

 Artinya : arti awalan ‘m (a)’ dengan sengau yaitu  bermacam-

macam seperti awalan ‘me’ + bunyi sengau di dalam bahasa 

Indonesia.

Arti-arti itu antara lain :

1. Melakukan pekerjaan yang disebut pada lingga,contoh :

 panah – amanah = memanah.

 janma – mangjanma = menjelma.

 ngher – angher = menunggu.

 turun – manurun = menurun.

2. Pergi ke. Contoh :

 angalas = pergi ke hutan.

Bahasa dan Sastra Kawi 47

 angulwan = pergi kehulu.

 manêpi = pergi ke tepi. 

3. Berlaku seperti. Contoh :

 manatpada = seperti lebah.

 anupaka = seperti cempaka.

4. Bekerja dengan alat yang dinyatakan pada lingga, contoh:

 mangjala = menjala.

 manumbak = manumbak.

 Angdaṇḍa = menghukum.

 manakra = mencakra.

Beda anatara awalan ‘m (a)’ dan ‘m (a)’ ditambah bunyi 

sengau. Adapun perbedaannya antara awalan ‘m (a)’ dan ‘m (a)’ 

titambah bunyi sengau yaitu  demikian. Awalan ‘m (a)’ ditambah 

bunyi sengau lebih menyatakan tindakan, laku, kerja, sedangkan 

awalan ‘m (a)’ tanpa sengau lebih menunjukkan keadaan.

3.3 Prefiks: ‘ka’.

Pembentukan dengan prefiks atau awalan’ka’,ada dua 

macam yaitu :

1. Jika kata asalnya mulai dengan konsonan, awalan ‘ka’ 

diletakkan langsung di muka kata ini .Contoh :

 panggih – kapanggih.

 ton – katon. 

 rêngö – karêngö. 

 cakra – kacakra. 

 panah – kapanah. 

2. Jika kata asalnya mulai dengan vokal maka peraturan saṁdhi 

berlaku. Contoh :

 ajar – kajar. 

 ucap – kocap. 

 ingêr – kengêr. 

 ari – kāri. 

Bahasa dan Sastra Kawi48

 Artinya awalan ‘ka’ boleh disamakan dengan awalan ‘ter’ 

dalam bahasa Indonesia. Jadi juga memiliki  arti pasif 

yang lebih mengutamakan keadaan yang disebabkan oleh 

tindakan. Contoh :

 katon = terlihat.

 kāri = tertinggal.

 kapanah = terpanah.

 karêngö = terdengar.

 kapangan = termakan.

 kapangguh = terjumpai.

3.4 Prefiks: ‘pi’

Arti prefiks atau awalan ‘pi’. 

Awalan ‘pi’ memberi arti kausatif. Misalnya :

Tutur-pitutur = nasehat, peringatan, (berhubung dengan 

memperingatkan)

Tuhu-pituhu = hal yang harus ditaati.

Hutang-pihutang = hutang.

Kata dasar yang mendapat awalan ‘pi’ dapat dibentuk 

dengan awalan ‘a atau ma’ dengan nasal, ataupun sisipan 

‘um’. Misalnya :

mapitutur = memberi peringatan.

umintonakên = memperlihatkan.

mamisinggih = mempercayai.

3.5 Prefiks: ‘pa’

Arti prefiks atau awalan ‘pa’

a. Kata-kata yang mendapat awalan ‘pa’ menyatakan ‘hal” atau 

“cara tindakan”. Dalam bahasa Indonesia sama dengan kata 

kerja yang ditambahkan dengan “nya” di belakangnya, atau 

kata kerja yang ditambahkan dengan “hal” di depannya, atau 

dengan bentuk ‘pa + nasal (per) – ‘an’. Pembentukan dengan 

awalan ‘pa’ ada yang diberi nasal dan ada pula yang tidak.

 Awalan ‘pa’ dengan nasal.

Bahasa dan Sastra Kawi 49

 panadah = makannya, hal makan.

 pamangguh = pendapat.

 panapak = injakannya.

 panon = penglihatan.

 paminta = permintaan, memintanya.

 panangis = menangisnya.

 Awalan ‘pa’ tidak dengan nasal.

 pataña = pertanyaan.

 patakwan = pertanyaan.

 pawarah = pemberitahuan.

 pakarya = pekerjaan. 

 paprang = hal berperang, berperangnya.

 pasayut = cegahan.

 pasusun = susunan.

b. Awalan ‘pa’ menyatakan “alat tindakan”.

 Di atas telah disebutkan awalan ‘pa’ menyatakan “cara 

tindakan”. Di samping itu awalan “pa” dapat juga menyatakan 

“alat tindakan” atau alat untuk….”. Maksudnya “Alat yang 

dipakai untuk me …….”. Dalam bahasa Indonesia sering 

dipakai  awalan pa. Contoh :

 panumbas = pembeli (alat untuk membeli).

 panulak = penolak (alat untuk menolak).

 pamanah = pemanah (alat untuk memanah).

 pamupuh = pemukul (alat untuk memukul).

 pangduk = penusuk (alat untuk menusuk).

 pamuja = pemuja (alat untuk memuja).

 pangremuk = pembinasa (alat untuk membinasakan).

3.6 Prefiks: ‘paha’

Arti prefiks atau awalan ‘paha’

Kata-kata yang mendapat awalan ‘paha’ pada umumnya 

hanya kata-kata yang manunjukkan sifat. Dan kata-kata yang 

dibentuk dengan awalan ‘paha’ memiliki  arti kausatif. 

Kata-kata yang mendapat awalan ‘paha’ dapat pula dibentuk 

Bahasa dan Sastra Kawi50

dengan awalan’a’ atau ‘ma’ dengan ‘nasal’ atau sisipan ‘in’. 

Misalnya: 

Pahalêba- umahalêba = membuat lega, tenang.

Pahenak- uamahenak = membuat enak.

Pahalit- pinahalit = membuat kecil diperkecil.

Paharcala- pinaharcala = membuat bergerak, digerakkan.

Pahatêguh- amahatêguh = membuat kokoh, memperkokoh.

3.7 Prefiks: ‘sa’

Pada umumnya yang menjadi dasar arti prefiks atau 

awalan ‘sa’ ialah satu. Barangkali daptlah disamakan dengan 

arti-arti awalan ‘sa’ dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini arti 

satu dapat dibedakan demikian :

1. Awalan ‘sa’ merupakan kesatuan ukuran, misalnya :

sagalah = segalah, sepanjang galah.

salek = sebulan, satu bulan.

saparwata = sebesar gunung.

satêngah = setengah.

2. Awalan ‘sa’ merupakan keseluruhan. Dalam hal ini berarti 

‘segala, seluruh, segenap, semua, sekalian’, misalnya :

sakweh = sebanyak, semua.

sapakon = segala perintah.

sawêngi = sepanjang malam.

sakatêmu = semua yang ditemui.

samiring = semua yang mengiring.

salwir = segala macam.

sarāt = seluruh dunia.

sakadatwan = segenap (isi) kerajaan.

sapinasuk = sekalian yang termasuk.

sawesa = semua pakaian.

sakahyun = semua kehendak.

sapinasang = semua yang dipasang.

Bahasa dan Sastra Kawi 51

3. Awalan ‘sa’ merupakan kesatuan dengan yang lain. Dalam 

hal ini berarti : ‘sama, bersama-sama, dengan, serta, ketika’, 

misalnya :

sapanglayang = semua yang bersama-sama terbang.

saḍatêng = ketika sampai.

sapêjah = ketika meninggal.

sakaton = serta dilihatnya.

sapalungguhan = bersama-sama tempat duduk.

sanama = sama nama.

3.8 Prefiks: ‘maka (pinaka)’.

Prefik atau awalan ‘maka’ ditempatkan di muka kata 

dasar, yang berarti : memiliki , memakai, menganggap, atau 

menjadikan sebagai. Dalam bahasa Indonesia kira-kira sama 

artinya dengan : ber, ber-kan, memper, memper-kan. Contoh :

makānak = beranak.

makastri = beristri, memperistri.

makapurohita = mempergunakan pendeta.

makaphala = berhasil.

makangaran = bernama.

makawahana = berkendaraan. 

makadatwan = berkerajaan.

Kata – kata yang dibentuk dengan awalan ‘maka’, dapat 

dibuat pasif, yaitu dengan jalan mengganti awalan ‘maka’ 

dengan awalan ‘pinaka’, sehingga berarti : “dipunyai, dipakai, 

dianggap, atau dijadikan sebagai”. namun  harus diingat pula 

sering kali ada bentuk pinaka yang tidak dapat atau sukar sekali 

diterjemahkan dengan secara pasif. Contoh :

pinakastri = diperistri, dijadikan istri.

pinakasārathi = dijadikan kusir, menjadi kusir.

pinakamantu = dijadikan mantu.

pinaka padyusan = dijadikan tempat permandian.

pinaka śiṣya = dijadikan murid, menjadi murid.

Bahasa dan Sastra Kawi52

3.9 Infiks : ‘um’.

Pembentukannya.

1. Infiks atau sisipan ‘um’disisipkan antara konsonan pertama 

dan vokal yang mengikutinya pada kata dasar, jika kata dasar 

ini mulai dengan konsonan. Contoh :

 kênñar – kumêñar.

 kêmit – kumêmit.

 gêgö – gumêgö.

2. Bila kata dasar mulai dengan huruf : ‘b, p, m, w’, sisipan 

‘um’ menjadi menjadi prefiks (awalan) untuk mengganti 

huruf : ‘b, p, m, dan w’. Contoh : 

 pangan – umangan. 

 beñcana – umañcana.

 mitra – umitra. 

 waca – umaca.

3. Bila kata dasar mulai dengan vokal, sisipan ‘um’ ditempatkan 

di muka kata dasar. Contoh : 

 angkat – umangkat.

 ikêt – umikêt.

 ungu – umungu.

 Sisipan ‘um’ ini kehilangan vokal ‘u’, juga jika kata dasar 

mulai dengan konsonan : ‘b, p, m, dan w’. Contoh :

 umanggih – manggih.

 umlês – umalês. 

 Artinya : Sisipan ‘um’ sama artinya dengan awalan ‘ma’ 

ataupun awalan ‘ber’, dalam bahasa Indonesia. 

 Tidak semua kata-kata dalam bahasa Kawi boleh 

ditambahkan sisipan ‘um’. Ada kata-kata yang hanya harus 

dibentuk dengan sisipan ‘um’ saja, namun  ada pula yang 

hanya harus disengaukan. Boleh dikatakan bahwa kata-kata 

yang menyatakan keadaan bunyi atau pandangan biasanya 

menggunakan sisipan ‘um’.

Bahasa dan Sastra Kawi 53

 Contoh :

 kumêtêr – kumisik

 kumêñar – kumilas 

 gumêrêh – gumêntêr

 Kata-kata yang menyatakan pergi, datang sering kali juga 

menggunakan sisipan ‘um’. Contoh :

 umijil, umangkat 

 mulih, milu

 lumampah, maluy, dan lain –lain.

3.10 Infiks : ‘in’

Pembentukkan dengan infiks atau awalan ‘in’ ada dua 

macam yaitu :

a. Kata-kata yang mulai dengan konsonan, sisipan ‘in’ 

disisipkan di antara huruf pertama dengan vokal berikutnya. 

Misalnya :

 sangguh – sinangguh.

 pangguh – pinangguh.

 wawa – winawa. 

 rêngö – rinêngo. 

 ton – tinon. 

 sahut – sinahut.

b. Kata-kata yang mulai dengan vokal, maka sisipan ‘in’ 

diletakkan di muka kata dasar itu. Dalam hal ini sisipan ‘in’ 

seolah-olah berlaku sebagai prefik atau awalan. Misalnya :

 ucap – inucap. 

 ujar – inujar.

 usi – inusi.

 ajar – inajar.

 ingu – iningu.

 Artinya : Sisipan ‘in’ sama artinya dengan awalan ‘di’ 

dalam bahasa Indonesia. Jadi memiliki  arti pasif, yang 

lebih mengutamakan tindakan dan pelakunya. Berbeda 

Bahasa dan Sastra Kawi54

dengan pasif yang dibentuk dengan awalan ‘ka’ yang lebih 

mengutamakan keadaannya. Misalnya :

 inucap = diucapkan.

 inusi = didesak, dikejar.

 pinangan = dimakan.

 iningu = dipelihara. 

 sinahut = digigit.

 winawa = dibawa. 

3.11 Sufiks : ‘i’.

Sufiks atau akhiran ‘i’ ditempatkan di belakang kata dasar 

yang telah mendapat awalan ‘a’ atau ‘ma’ dengan nasal (sengau) 

atau sisipan ‘um’. Dalam hal ini ada dua macam pembentukan 

yaitu :

a. Jika kata ini berakhir dengan konsonan maka akhiran i 

ditambahkan saja di belakang kata ini . Misalnya :

 mênuruni – dari kata turun.

 tumangisi – dari kata tangis.

 humudani – dari kata hudan.

b. Jika kata itu berakhir dengan vokal, maka dapat terjadi dua 

macam pembentukan pula yaitu :

 1. Akhiran ‘i’ ditambahkan saja di belakang kata itu dengan 

memakai aturan saýdhi. Misalnya :

  anglara + i = anglare = membuat sengsara.

  umara + i = umare = mendatangi.

  kumêna + i = mengenai.

  umati + i = umatī = membunuh.

  umunggwi + i = umunggwì = menempati.

2. Akhiran ‘i’ ditambahkan pada kata itu, namun  disisipi 

dengan ‘an’ atau ‘n’. Misalnya :

  pati – amatyani. 

  wighna – amighni.

  ganti – gumantyani.

  para – amarani.

Bahasa dan Sastra Kawi 55

 Artinya : Akhiran ‘i’ dapat disamakan dengan akhiran ‘i’ 

dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu sebagian besar 

dapat diterjemahkan dengan akhiran ‘i’ dalam bahasa 

Indonesia. Semua kata kerja yang mendapat akhiran ‘i’, 

yaitu  transitif, jadi berobyek. 

Arti kata yang dibentuk dengan akhiran ‘i’ yang biasa sekali 

ialah : tindakan yang berubungan dengan tempat. Misalnya :

tumangisi = menangisi.

humudani = menghujani.

manganugrahi = menganugrahi/memberkahi.

amagêhi = menguasai.

mangliwati = melewati.

Bentuk ‘i’ dapat pula berarti kausatif, yaitu menyebabkan. 

Dalam hal ini dapat diterjemahkan dengan akhiran …’kan’ 

dalam bahasa Indonesia. Misalnya :

marasare = menyembuhkan.

manarimani = menerimakan.

manglêpasi = melepaskan.

Catatan :

Akhiran ‘i’ ini dalam hubungannya dengan sisipan ‘in’, 

selalu diganti dengan dengan akhiran-’an’. Maka menjadi 

sebagai berikut ini.

tinariman = diberi.

dinawuhan = diperintah.

pinatyan = di bunuh.

kinasihan = dikasihi.

inaranan = dinamai.

3.12 Sufiks : ‘an’

Kata-kata yang mendapat sufiks atau akhiran ‘an’, 

bermacam-macam artinya, tergantung pada kata-kata yang 

diberi akhiran itu.

Bahasa dan Sastra Kawi56

a. Berarti hasil tindakan yang ternyata pada kata asal. Dalam 

bahasa Indonesia, kira-kira dapatlah disalin dengan : ‘yang 

di’ …. Contoh :

tasyan (tasi + an) = barang atau hasil/yang diminta.

duman (dum + an) = barang atau hasi/yang dibagi/bagian.

pêhan (pêh + an) = barang atau hasil/yang diperah/susu.

dunungan (dunung + an) = barang/yang ditruju/tujuan.

larangan (larang + an) = barang/yang dilarang.

laksyan (lakṣi + an) = barang atau hasil/yang diarah/sasaran.

tunwan (tunu + an) = barang atau hasil/yang dibakar.

punpunan (punpun + an) = barang atau hasil/yang dipunyai/

milik.

dalihan (dalih + an) = yang dipikirkan/maksud.

unggwan (unggu + an) = yang ditempati/tempat.

tanduran (tandur + an) = barang yang di tanam/tanaman.

paran (para + an) = tempat yang didatangi.

b. Ada beberapa bentuk akhiran an yang artinya tetap sama 

seperti kata dasarnya. Contoh :

tambayan (tambay + an) = permulaan.

wêkasan (wêkas + an) = akhirnya.

têmahan (têmah + an) = menjadi, akhirnya menjadi.

wêdihan(wêdih + an) = pakaian.

walyan (wali + an) = akhli mengobati, dukun.

hibêkan (hibêk + an) = penuh.

wunwunan (wunwun + an) = ubun-ubun.

walakan (wulak + an) = mata air.

3.13 Sufiks : ‘ên’.

Sufiks atau akhiran ‘ên’ memiliki  dua macam arti, 

yaitu.:

a. Menyatakan sifat yang tidak baik, atau sangat, Contoh :

girih – girih (giri – giri + ên) = sangat takut.

prihatin (prihati + ên) = sangat sedih.

Bahasa dan Sastra Kawi 57

waringutên (waringut + ên) = sangat garang.

tontonên (tonton + ên) = sangat terkenang.

sangúayan (sangúaya + ên) = sangat kawatir.

b.  Menjadi bentuk arealis pasif.

wawan (wawa + ên) = harus dibawa.

wêlin (wêli + ên) = harus/akan dibeli.

tujun (tuju + ên) = harus/akan dituju.

rêngön (rêngö + ên) = harus/akan didengar.

wehên (weh + ên) = harus/akan diberi.

huripên (hurip + ên) = harus/akan dihidupi. 

3.14 Sufiks : ‘akên’

Pembentukan sufiks atau akhiran’akên’yaitu  sebagai 

berikut :

a. Akhiran ‘akên’ ditempatkan di belakang kata dasar yang 

diberi awalan ‘a’ atau ‘ma’ dengan nasal (sengau) atau 

sisipan ‘um’. Misalnya : ‘kawaśa menjadi kumawaśakên’.

b. Kalau kata itu berakhir dengan vokal maka aturan saṁdhi 

harus berlaku. Misalnya :

 dadi – dumadyakên. 

 rêngö – rumêngwakên.

 Artinya : Pada umumnya arti akhiran ‘akên’ sama dengan 

arti akhiran ‘kan’ dalam bahasa Indonesia.

Bentuk ‘akên’ berarti kausatif :

a. Menyebabkan …….yang tercantum dalam kata dasarnya. 

Misalnya :

 manghilangakên = menghilangkan, menyebabkan hilang.

 manahutakên=menggigitkan, menyebabkan (menyuruh) 

gigit.

 angratwakên = merajakan, menjadikan (seorang) raja.

 manarimakên = menerimakan.

Bahasa dan Sastra Kawi58

b. Menganggap sebagai…,yang tercantum dalam kata dasarnya. 

Misalkan :

 mangadbaitakên = mengistimewakan, menganggap sebagai 

yang luar biasa

 mangluhurakên = menginginkan, menganggap sebagai yang 

tinggi.

c. Memakai sebagai …,yang tercantum dalam kata dasarnya. 

Misalnya :

 amanahakên = memanahkan, memakai sebagai panah.

 manakrakên = mencakrakan, memakai sebagai panah cakra.

Catatan :

 Kadang-kadang ada juga bentuk ‘akên’ yang tidak dapat 

diterjemahkan dengan akhiran ‘kan’ menurut kebiasaan 

bahasa Indonesia. Misalnya :

 humarêpakên = menghadapi.

 umungkurakên =membelakangi.

 angapitakên = mengiringi.

 mangalorakên = membuat supaya   ke utara.

 

3.15 Konfiks : ‘ka – an (ên)’.

Pembentukan dengan konfiks atau imbuhan ‘ka – an’, 

seringkali terjadi pula dengan ‘ka-ên’, terutama apabila kata 

dasarnya berakhir dengan vokal. Keduanya tidak ada perbedaan 

arti. Arti kata-kata yang mendapat imbuhan ‘ka - an(ên)’, yaitu  

sebagai berikut : 

a. Menyatakan sifat. Sering kali kata-kata ini hanya kata-kata 

pinjaman dari bahasa Sanskerta. Misalnya :

kottaman = keutamaan.

kamahātmyan = sifat kerohanian, kesaktian.

kaúuran = keberanian.

Bahasa dan Sastra Kawi 59

kawidagdhan = kepandaian.

kaniścayan = keniscayaan.

kadustan = kejahatan.

kaśaktian = kesaktian.

kapawitran = kasucian.

katiśayan = keistimewaan.

kadurlabhan = kesukaran, kesupaya n.

kasandehan = kekhawatiran.

kawiryan = keberanian.

kasiddyan = kegaiban.

kalistuhayuan = kecantikan.

kajênêkan = keasikan.

b. Menyatakan pangkat/ada dalam keadaan.

kaprabhun = jabatan kerajaan.

kacakrawartyan = kekuasaan.

kajayaúatrun = kemenangan atas musuh.

kajñānawāsan = dalam keadaan yang tidak dikenal.

Kapānḍawan = keadaan sebagai orang pàndawa.

karatun = jabatan r

Related Posts:

  • sastra kawi 1  Bahasa Kawi yaitu  bahasa ragam tulis yang dipakai  oleh para pengawi atau pengarang untuk menampung buah  pikira… Read More