Kamis, 22 Februari 2024

sampit





 Kerusuhan sosial selalu merupakan awal dari dua hal ialah 

bencana sosial dan sesudahnya (re)konstruksi sosial. Jika yang pertama 

dapat berlangsung sesaat , cepat dan dalam tempo yang singkat, maka 

yang kedua seringkali berlangsung setahap demi setahap, lambat dan bisa 

mengambil waktu bertahun-tahun. 

 Apabila dicermati secara mendalam, konflik etnis di Kalimantan 

Tengah antara orang Madura dengan warga warga  Dayak bukanlah 

suatu peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba. Puncak peristiwanya terjadi 

dalam sesaat, namun sesungguhnya benih-benihnya ternyata sudah 

berakumulasi selama bertahun-tahun. Konflik-konflik terdahulu yang 

melibatkan orang Dayak dan Madura yang tidak pernah diselesaikan secara 

tuntas menyisakan residu konflik yang siap meledak sewaktu-waktu. 

Begitulah sebagian latar belakang tragedi Sampit yang kemudian meluas 

menjadi tragedi Kalimantan Tengah. 

 Kerusuhan sosial di Kalimantan Tengah merombak konstruksi 

etnisitias warga nya. Sebelumnya warga  Kalteng terdiri atas 

berbagai etnis tanpa pembatasan. Karena tragedi itu beberapa kota (Sampit,  Palangka Raya, Kuala Kapuas) sampai Juni 2002 tidak mempunyai 

penduduk dari etnis Madura. Tragedi ini  disamping me(re)konstruksi 

tatanan pluralitas warga nya, sebenarnya ia juga me(re)konstruksi 

pandangan terhadap posisi dan peranan warga  Dayak yang 

sebelumnya dikenal sebagai kelompok etnis yang ramah, suka berkawan, 

menjunjung tinggi solidaritas dan banyak lagi atribut lainnya yang 

mengarah kepada sifat yang menyukai keakraban, kedamaian dan 

ketenteraman. Akibat tragedi ini  pandangan sebagian orang berubah 

dengan memposisikan orang Dayak sebagai warga suatu sukubangsa yang 

dapat pula beringas, suka membunuh, dan atribut lainnya yang berfokus 

kepada tuduhan kurang memiliki rasa prikemanusiaan. 

Pandangan suatu kelompok dalam melihat kelompok warga  

lainnya memang senantiasa berubah seiring dinamika proses hubungan 

yang terjalin antar kelompok-kelompok yang ada. Kondisi demikian pada 

hakekatnya adalah juga konsekuensi logis dari warga  bangsa 

Indonesia yang majemuk. Oleh karena itu (re)konstruksi kekuasaan dalam 

konteks daerah yang otonom tidak bisa dilepaskan dari konsep “komunitas 

kami atau kita (us)” yang seringkali dibedakan, bahkan dipertentangkan, 

dengan “komunis mereka” (others). Begitu juga perbedaan antara 

mayoritas dan minoritas, superior dan inferior, dominasi dan subdominasi. 

Allan Bullock et.al. (1989) menulis bahwa (re)konstruksi dapat dibedakan 

dalam dua jenis, yaitu yang bersifat logik (logical (re)construction) dan 

hipotetis (hypothetical (re)construction). Keduanya merupakan konsep konsep pemikiran yang tidak mempunyai hubungan dengan realitas tetapi 

keduanya sangat berfaedah untuk mengikhtisarkan sejumlah rincian fakta fakta atau membuat formulasi teori-teori yang menjelaskannya. Oleh 

karena itu pembicaraan mengenai konstruksi atau (re)konstruksi “mood of 

the Dayak peoples” pada hakekatnya tidak hanya mengenai suasana hati 

dari sukubangsa (peoples) Dayak itu sendiri, tetapi lebih berkaitan dengan 

sikap dan tingkah laku berjuta orang yang secara kolektif menyatakan diri 

sebagai warga Dayak. 

Pada umumnya “komunitas kami atau kita” seringkali dianggap 

sebagai dasar pemahaman terhadap pembenaran. Cara pandang demikian, 

menurut Stanley J. Grenz (2001) sekurang-kurang menegaskan bahwa 

“apapun yang kita anggap benar dan cara kita mengatakan kebenaran itu 

sangat bergantung kepada komunitas kita. Tidak ada kebenaran mutlak, 

kebenaran itu tergantung kepada komunitas”. Bertolak dari kondisi seperti 

itu maka pembahasan dalam tulisan ini sebenarnya merupakan bagian dari 

proses (re)konstruksi komunitas etnis Dayak. Tragedi Sampit yang 

kemudian melebar ke Palangka Raya selain mereformulasi hubungan 

warga Dayak dengan warga sukubangsa Madura, juga me(re)konstruksi 

konsep etnisitas dari warga  Dayak sendiri.  Tragedi Sampit adalah sebuah malapetaka, demikian dinyatakan 

oleh beberapa orang informan dalam kesempatan wawancara. Menurut 

mereka, peristiwa Sampit, Kotawaringin Timur, selain memicu  

adanya korban ratusan nyawa manusia melayang, harta benda musnah juga 

terjadi pengungsian penduduk secara besar-besaran untuk menyelamatkan 

diri daripada menjadi korban amukan massa, banyak orang kehilangan 

pekerjaan, anak-anak yang masa depannya suram karena pendidikannya 

terganggu dan banyak yang putus sekolah, keamanan tidak stabil, 

lingkungan sosial tidak kondusif, juga menyisakan tekanan psikologis 

yang mendalam di kalangan warga . Seorang pemilik toko, Bapak 

HM, orang Banjar3

 menyatakan "setiap kali mendengar ada warga / 

keluarga suku Madura ditemukan di tempat persembunyiannya, perasaan 

selalu membatin semoga tidak ada lagi pembunuhan, pembantaian”. 

Seorang lainnya, Pak S, berasal dari Jawa,4

 bekerja di sebuah usaha 

fotocopy di Palangka Raya menyatakan ”…. sejak peristiwa itu – 

menyaksikan orang-orang Dayak membawa kepala manusia menyusuri 

beberapa jalan protokol di Palangka Raya – saya selalu berdoa semoga 

tidak akan pernah melihat lagi peristiwa seperti itu sampai akhir hayat”. 

 Kerusuhan sosial Sampit memang masih menyisakan banyak 

permasalahan dan pertanyaan. Ada asumsi yang menyatakan bahwa latar 

belakang peristiwa Sampit adalah karena orang-orang Dayak cemburu 

kepada orang Madura yang sukses dalam usaha ekonomi. Menanggapi 

asumsi ini seorang tokoh warga  Dayak, HC menyatakan bahwa 

memang harus diakui banyak orang Madura berhasil dalam kegiatan atau 

usaha ekonomi, tetapi bukan hal itu yang menjadi penyulut kerusuhan 

sosial Sampit 2001. Dikatakannya kalau sukses di bidang ekonomi orang 

Cina jauh melebihi orang Madura, tetapi mengapa mereka tidak 

dipermasalahkan oleh orang-orang Dayak. Sebenarnya latar belakang 

kerusuhan Sampit 2001 yang kemudian meluas ke beberapa kota / 

kabupaten lainnya di Kalimantan Tengah adalah benturan budaya bukan 

kecemburuan sosial. Bapak HC5

 lebih jauh menjelaskan bahwa warga  Madura tidak mau mengerti budaya warga  Dayak. Mereka tidak 

menghayati dan mempraktekkan budaya "dimana langit dijunjung disitu 

bumi dipijak” – maksudnya tidak menghargai kebudayaan, adat istiadat 

warga  lokal, yang dalam hal ini adalah kebudayaan warga  Dayak 

sebagai penduduk asli Kalimantan Tengah. 

 Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) memang merupakan 

wilayah konsentrasi terbanyak warga keturunan Madura di Kalimantan 

Tengah. Sebelum kerusuhan diperkirakan ada sekitar 75 ribu jiwa 

penduduk Madura di daerah itu. Di DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat 

Daerah) Kabupaten Kotim mereka mempunyai 4 orang wakil (1 PAN, 1 

PPP dan 2 PKB). Mungkin karena besar jumlah warganya, sehingga 

merasa berpengaruh dan juga “menguasai” Sampit, ibukota Kotawaringin 

Timur. Begitulah saat  melakukan pawai keliling kota Sampit, 18-19 

Pebruari 2002, mereka menunjukkan kekuatannya, dengan membawa 

senjata tajam (clurit) dan membawa spanduk yang bertuliskan “Selamat 

Datang di Sampang II”. Jadi orang Madura mendeklarasikan Sampit atau 

Kotawaringin Timur sebagai Sampang II (Sampang I tentunya yang ada di 

Pulau Madura). Mereka pun melakukan pembakaran dan pembunuhan 

terhadap warga warga  Dayak. Pembunuhan ini, menurut beberapa 

informan, sebagai pembalasan terhadap perlakuan yang sama yang 

dilakukan oleh warga Dayak terhadap warga Madura sebelumnya. 

 Sebenarnya konflik antar kedua kelompok warga  ini  

serta berakibat adanya korban meninggal sudah seringkali terjadi. Rupanya 

terhadap konflik-konflik seperti itu dan beberapa lagi tindakan yang sejenis 

terjadi jauh sebelum tragedi Sampit 2001, pihak aparat keamanan dan 

penegak hukum tidak menerapkan tindakan hukum yang tegas. Bermacam macam kendala dan masalah untuk melakukan solusi hukum yang terbaik 

dan adil, mulai dari alasan jumlah personil yang terbatas, peralatan yang 

tidak memadai, juga ada sistem pemihakan dalam menangani persoalan 

konflik sosial dan sampai kepada indikasi penyuapan. Oleh karena itu, 

kelompok-kelompok yang terlibat konflik merasakan adanya 

ketidakadilan.6

 Bagi warga  Dayak, menghadapi atau dihadapkan 

dengan masalah-masalah seperti itu, pada akhirnya dengan sangat terpaksa 

mengambil cara solusi yang paling tradisional, yaitu dengan mengadakan 

perlawanan. Tragedi Sampit 2001 itu pun muncul dengan sangat transparan 

ke permukaan. 

 

Imbas tragedi Sampit sampai ke Palangka Raya mulai terjadi 

sejak hari meletusnya tragedi itu, yaitu pada tanggal 18 Pebruari 2001. 

saat  itu sudah mulai adanya gelombang pengungsian warga dari 

berbagai etnis ke kota Palangka Raya. Juga ibukota Propinsi Kalimantan 

Tengah ini mulai dilanda berbagai isu yang sangat berpengaruh terhadap 

opini warga  umum, situasi keamanan dan ketertiban warga . 

Aktivitas warga  mulai terganggu, misalnya esok harinya di pasar pasar sebagian pedagang tidak berani membuka toko, kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah berhenti sementara, kantor-kantor pemerintah 

sepi karena sebagian pegawai negeri sipil tidak ke kantor, juga transportasi 

umum berkurang. 

 usaha  mengantisipasi dan menyikapi pengaruh yang lebih luas 

dari Tragedi Sampit dilakukan oleh Pemerintah Kota Palangka Raya. Atas 

dasar undangan yang dikirimkan tanggal 19 Pebruari 2001 (pagi), dan sore 

harinya mulai jam 15.00 pada hari yang sama, Pemerintah Kota Palangka 

Raya mengadakan pertemuan dengan para tokoh warga , tokoh adat, 

tokoh agama dan tokoh paguyuban dari berbagai etnis se Kota Palangka 

Raya.8

 Tujuan pertemuan, menurut pihak Pemkot Palangka Raya, untuk  

menyampaikan informasi yang sebenarnya tentang kronologis kejadian (di 

Sampit Kotawaringin Timur) dan berdialog langsung untuk mencari solusi 

terbaik agar di wilayah Pemerintah Kota Palangka Raya tidak terjadi hal hal serupa. 

Dalam kesempatan itu berbicara, antara lain pihak Kapolresta 

Palangka Raya menyampaikan kejadian kerusuhan etnis di Kotawaringin 

Timur dan langkah-langkah penanganan yang telah dilakukan untuk 

mengendalikan situasi, dan menyarankan kepada warga  Kota 

Palangka Raya untuk tetap tenang karena aparat sudah melakukan 

pemantauan di setiap kegiatan warga . Pihak Dandim 1016 Palangka 

Raya menginformasikan kepada semua peserta tentang tugas dan tanggung 

jawab TNI dalam masalah keamanan untuk mendukung pihak Kepolisian 

dalam mengantisipasi isu-isu yang berkembang di kalangan warga  

luas dan menghimbau untuk waspada terhadap provokator yang datang dari 

luar Kalimantan Tengah. Dalam pertemuan itu, Ketua LMMDD-KT 

(Lembaga Musyawarah warga  Dayak dan Daerah Kalimantan 

Tengah), Prof H. KMA M. Usop MA, menyarankan agar warga  dapat 

mengendalikan diri terhadap isu-isu minor yang berkembang, tidak 

menjadi “pengipas” masalah serta mengamalkan budaya dimana bumi di 

pijak disitu langit dijunjung. 

 Dalam pertemuan itu, forum dialog yang digelar kemudian 

dipandu oleh 2 (dua) tokoh pemuda masing-masing dari suku Dayak Drs. 

Yansen Binti, MBA dan dari suku Madura Abdul Hadi, BR, SH. Tujuan 

dialog ialah mencari solusi bagaimana melakukan antisipasi terhadap 

kejadian Sampit ini  agar tidak mengganggu keamanan dan ketertiban 

warga  di wilayah Pemerintah Kota Palangka Raya serta bagaimana 

menyampaikan informasi kepada warga  terhadap isu-isu yang 

berkembang sebagai imbas dari kejadian Sampit, agar warga  

mendapat informasi yang benar dan akurat sehingga tidak terjadi keresahan 

di kalangan warga  Palangka Raya khususnya. 

 Dalam forum dialog telah berbicara sebanyak 19 (sembilan belas) 

tokoh dengan menyampaikan pula sejumlah saran-sarannya. Tokoh-tokoh 

itu selain sebagai pribadi yang ikut prihatin atas tragedi Sampit, mereka 

juga mewakili beberapa unsur atau organisasi yang ada di Palangka Raya, 

antara lain DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Palangka Raya, 

LMMDD-KT (Lembaga Musyawarah warga  Dayak dan Daerah 

Kalimantan Tengah), KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan), 

warga  Dayak, Warga Kawanua (Manado), Angkatan 45, IKAMA 

(Ikatan Keluarga Madura), Demang Tengkiling, organisasi DUSMALA 

(Dusun Manyan dan Lawangan), Universitas PGRI, MPR RI, Organda Tk I 

Kaltim, Warga Rungan Manuhing, dan lain-lain.  

Beberapa hal yang dikemukakan dan diusulkan ialah (1) agar 

siskamling RT/RW ditingkatkan, bentuk pengamanan swakarsa (2) agar 

aparat keamanan menindak tegas para perusuh tanpa pandang bulu dari 

etnis / suku mana saja, bertindak persuasif dan tidak memihak (3) 

tegakkan supremasi hukum, (4) bentuk forum komunikasi antar etnis / suku 

di Palangka Raya untuk perdamaian dan mempermudah penyampaian 

informasi, (5) menyikapi agar kasus di Sampit dan kasus konflik etnis 

karena minuman keras di Kereng Pangi tidak terjadi di Palangka Raya, (6) 

masing-masing etnis / suku membina warganya dan menghimbau 

warganya di Sampit agar menghentikan kerusuhan, (7) menangkal hal-hal 

yang dapat merusak kerukunan warga  di lapisan bawah, (8) 

mengenali warga di lingkungan masing-masing, warga masuk dari luar 

daerah diadakan razia / sweeping KTP dan senjata tajam (9) kendalikan 

minuman keras di Palangka Raya, (10) serahkan / percayakan penanganan 

kasus kepada pengamanan yang dibantu TNI dan warga , (11) agar 

aparat menyebarkan intelijen di lingkungan warga , (12) jangan terima 

isu-isu yang tidak jelas sumber dan kebenarannya, (13) pekerja batu di 

Tengkiling agar diungsikan sementara, (14) ambil senjata tajam dari kedua 

belah pihak, (15) warga yang datang dari Sampit agar dikunjungi untuk 

menenangkannya, (16) penyelesaian jangan hanya di tingkat elit saja, (17) 

hilangkan rasa dendam, (18) selesaikan masalah melalui forum dialog, (19) 

pers sangat mempengaruhi keadaan, (20) suku-suku lain agar aktif mencari 

solusi yang terbaik, (21) bentuk forum lintas suku di Palangka Raya, (22) 

IKAMA sulit mengenal warganya yang baru datang karena tidak melapor 

diri, (23) usut tuntas kasus yang terjadi dan nyatakan kepada warga  

secara transparan, (24) laksanakan budaya betang untuk semua suku di 

Palangka Raya, (25) di Sampit terindikasi ada keberpihakan dari aparat, 

(26) usaha optimal jangan dilakukan hanya saat  konflik, (27) kerusuhan 

Sampit terjadi karena kesenjangan sosial, (28) agar dipahami dulu 

peristiwa Sampit secara benar dan jelas, (29) persoalan Sampit agar 

diblokir, (30) tenaga kerja yang masuk Kalteng masih banyak tidak 

memiliki identitas yang jelas, (31) tenaga kerja melalui cukong agar 

disepakati dulu pemerintah daerah, (32) dalam forum yang akan dibentuk 

agar sedapatnya ada wakil-wakil dari kerukunan warga yang ada di 

Palangka Raya, seperti jalur sungai yang ada – Barito, Kapuas, Kahayan, 

Mentaya dan Rungan Manuhing, (33) berpikir jernih dalam menyikapi 

masalah yang terjadi, (34) hentikan semua hujatan kepada TNI / POLRI. 

 Dari pertemuan ini  disepakati tiga hal, yaitu (1) masing masing tokoh etnis yang ada di Palangka Raya agar menghimbau warganya 

masing-masing yang ada di Kabupaten Kotawaringin Timur untuk 

menghentikan pertikaian yang terjadi; (2) membentuk Forum Komunikasi 

Antar Suku / Etnis, yang ada di kota Palangka Raya, untuk memudahkan 

komukasi antar warga; (3) untuk membentuk Forum ini  telah 

terbentuk Tim Kecil sebagai Formatur / Tim Perumus untuk menyusun 

Kepengurusan yang diberi waktu selama 3 (tiga) hari harus sudah selesai.  

Dilihat dari segi waktu pertemuan, yaitu pada sore hari tanggal 19 

Pebruari 2001, dan berdasarkan undangan tanggal 19 Pebruari 2001 (pagi 

hari) sebagai respon terhadap kerusuhan Sampit tanggal 18 Pebruari 2001, 

dapat dikatakan bahwa usaha  Pemerintah Kota Palangka Raya cq Kantor 

Kesatuan Bangsa dan Perlindungan warga  mengantisipasi peristiwa 

Sampit dan dampaknya sebenarnya termasuk cepat. Kemampuannya 

mengumpulkan sekitar 300 peserta dialog dari berbagai unsur warga  

etnis, lembaga dan organisasi serta mahasiswa, maupun usaha  menciptakan 

semangat dan memberi  suasana kebebasan berbicara dan berpendapat 

dalam forum sangat demokratis. Hasil-hasil forum dialog, seperti 

dikedepankan oleh 19 orang pembicara dan dibentuknya Forum 

Komunikasi Antar Suku / Etnis Kota Palangka Raya, semestinya dapat 

menjadi pangkal tolak untuk menangkal meluasnya dampak kerusuhan 

Sampit di Palangka Raya. Namun, ternyata tidak demikian. 

 Masalahnya perkembangan peristiwa Sampit membawa pengaruh 

yang sangat besar. Berita dan informasi yang menyebar di warga  

bahwa dalam 3 (tiga) hari saja (22 Februari 2001) jumlah korban kerusuhan 

(meninggal) sudah 57 orang, ada yang menyatakan sudah 110 orang dan 

pada sehari berikutnya (23 Februari 2001) sudah mencapai 200 orang. 

Diantara korban yang meninggal puluhan dibunuh secara sadis. Sementara 

itu jumlah pengungsi sudah lebih 250.000 orang dan Sampit serta daerah 

Kotawaringin Timur lainnya sudah menjadi wilayah pembantaian. Berita 

dan informasi menyesatkan seperti itu menjadi salah satu penyebab yang 

mempercepat gerak dan perubahan warga  di Palangka Raya kepada 

kondisi konflik antar kelompok warga  Dayak dan warga Madura. 

 Adanya berita bahwa pihak keamanan di Sampit menahan 

sejumlah orang yang diduga terlibat dalam kerusuhan di kota ini , 

termasuk warga warga  Dayak. Karena jumlahnya besar sehingga tidak 

memungkinkan semuanya ditahan di Mapolres Sampit. Sebanyak 38 orang, 

semuanya warga Dayak dipindahkan ke tahanan Mapolda Kalimantan 

Tengah. Penahanan itulah yang menimbulkan ketidakpuasan bagi warga 

warga  Dayak di Palangka Raya. Pada tanggal 21 Pebruari 2001, 

warga warga  Dayak di Palangka Raya mengadakan unjuk rasa ke 

DPRD Propinsi Kalimantan Timur dan Kapolda Kalteng (untuk 

membebaskan tahanan) dengan tidak lupa mengajukan beberapa 

permintaan, tuntutan dan himbauan, sebagai berikut: 

1) Keadilan dari aparat keamanan agar bersikap tidak memihak. 

2) Pembebasan, penangguhan penahanan warga warga  Dayak (38 

orang) yang diduga terlibat dalam kerusuhan Kota Sampit dan ditahan 

di Mapolda Kalimantan Tengah. 

3) Kapolri mengganti Pejabat Kapolda Kalimantan Tengah.  

4) Bupati Kotawaringin Timur susaha  bertanggungjawab penuh 

menyelesaikan secara adil dan berimbang kerusuhan di Kota Sampit. 

5) Kepada warga Madura yang tidak dapat menyesuaikan diri agar secara 

sukarela meninggalkan wilayah Kalimantan Tengah. 

Sejak tanggal 21 Pebruari 2001 itu, keadaan dan suasana Kota 

Palangka Raya semakin mencekam, apalagi berbagai macam isu yang 

disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab bertambah 

banyak. Sementara itu, tanpa penekanan dan atas kesadaran sendiri 

beberapa warga Madura Kota Palangka Raya melakukan pengungsian 

melalui Banjarmasin / Kalimantan Selatan dengan pertimbangan demi 

keamanan bersama. Namun, bagi mereka yang belum mengungsi 

bersembunyi di sekitar Kota Palangka Raya. 

 Isu akan meluasnya konflik dari Sampit ke Palangka Raya 

menjadi kenyataan pada tanggal 24 dan 25 Pebruari 2001. Pada hari-hari 

ini , aksi solidaritas warga  Dayak melakukan pembakaran dan 

pengrusakan terhadap rumah / toko / kios dan kendaraan milik warga etnis 

Madura. Para peserta aksi itu juga melakukan sweeping (pembersihan) di 

beberapa tempat yang mereka curigai sebagai persembunyian warga etnis 

Madura. Aksi-aksi ini  menimbulkan korban jiwa 7 (tujuh) orang yang 

ditemukan mayatnya pada tanggal 27 Pebruari 2002, terdiri atas 2 orang 

wanita dan 5 orang pria; pada hari itu juga dimakamkan di pemakaman 

Muslimin Jl. Cilik Riwut Km. 2 Palangka Raya. 

 Kejadian pada tanggal 25 Pebruari 2002, berawal saat  ada 

penjambretan di Pasar Besar yang memicu  keributan di sekitar pasar. 

Pada hari itu juga aparat keamanan menemukan sejumlah bom di Jalan Dr 

Murjani (Panarung Bawah).9

 Akibat penemuan bom itu memicu gerakan 

amuk massa warga lokal dengan membawa spanduk bertuliskan “Usir 

Madura”dan massa sudah tidak terkendali lagi dan langsung merusak 

Komplek IKAMA (Ikatan Keluarga Madura) dan terus menjalar ke 

berbagai sudut kota. Gerakan amuk massa ini  mengakibatkan 

kerusakan harta benda.  

Beberapa informan penelitian menyatakan bahwa sejak tanggal 25 

Pebruari 2001 sampai kurang lebih sebulan kemudian, keadaan Kota 

Palangka Raya seakan-akan dalam siaga “perang”, disetiap lorong, jalan, 

kampung, RT/RW, setiap hari dan malamnya ada  kelompok-kelompok 

penduduk yang mengadakan siskamling. Kegiatan itu dilakukan untuk 

mengantisipasi berbagai kemungkinan yang mengarah kepada timbulnya 

kerusuhan. Sampai tanggal 31 Maret 2001, berdasarkan laporan 

Pemerintah Kota Palangka Raya, korban kerusuhan sebanyak 7 (tujuh) 

orang, belum termasuk ditemukannya kepala manusia (tanpa identitas) di 

Betang Mandala Palangka Raya, pada tanggal 25 Maret 2001 dan 

ditemukannya mayat tanpa kepala di Jalan Adonis Samad, Panarung, pada 

tanggal 28 Maret 2001.10 

 Imbas kerusuhan Sampit di Palangka Raya, sampai penelitian ini 

dilaksanakan pada bulan Mei s/d Juni 2002, masih terasa dampak dan 

pengaruhnya. Dalam pengertian, menurut para informan, konflik masih 

menyisakan keadaan kehidupan ekonomi kota Palangka Raya yang belum 

benar-benar pulih setelah kepergian warga etnis Madura dari kota ini. 

Masalahnya ialah beberapa jenis pekerjaan yang sebelumnya lebih banyak 

dilakukan oleh warga Madura, seperti menarik gerobak barang di pasar, 

menarik becak yang dapat memperlancar perjalanan seseorang dari/ke 

suatu tempat dan tujuan, mengumpulkan barang-barang bekas, bahkan 

menjadi sopir angkutan kota belum sepenuhnya dilakukan oleh warga dari 

kelompok etnis lainnya. Dari berbagai informasi juga menyebutkan bahwa 

tingkat tamu hotel dan penginapan mengalami penurunan, pelanggan dan 

tamu rumah makan dan restauran berkurang, demikian pula di beberapa 

pertokoan dan supermarket tingkat keramaiannya tidak seperti saat  masa 

sebelum kerusuhan terjadi. Kurangnya jumlah taksi yang beroperasi dari 

Bandara Tjilik Riwut ke wilayah Kota Palangka Raya, juga merupakan 

salah satu jenis dampak dari kerusuhan. Seorang sopir angkutan kota 

menyatakan bahwa hengkangnya orang Madura berdampak juga kepada 

perekonomian di Palangka Raya, buktinya jumlah orang yang naik angkot 

(angkutan kota) berkurang sehingga berakibat berkurangnya pula 

penghasilan sopir angkot.  

Dampak kerusuhan Sampit, sampai penelitian ini dilakukan pada 

bulan Mei s/d akhir Juni 2002, berarti sudah hampir satu setengah tahun 

berlalu sejak meletusnya pada tanggal 18 Pebruari 2001, menunjukkan 

kondisi yang sebenarnya untuk seluruh wilayah Kalimantan Tengah, juga 

di Palangka Raya belum bisa disebut sudah kondusif secara total, terutama 

untuk warga Madura. Dikatakan demikian karena beberapa warga Madura 

yang berhasil ditemukan oleh warga warga  setempat, walaupun telah 

“menyembunyikan” identitasnya tetap saja diminta kembali untuk keluar 

dari wilayah Kalimantan Tengah. Di Palangka Raya beberapa kasus terjadi 

dan disini akan dikedepankan 2 (dua) kasus. 

 Kasus I.11

Kejadiannya pada tanggal 6 Juni 2002 yang melibatkan seorang 

bernama Boniwar (39). Boniwar dan Madi (temannya, orang 

Banjar) datang di Palangka Raya dari Sebangau (5 Juni 2002) 

dengan maksud menagih utang kerja kayu pada bosnya, Cuming. 

Mereka menginap di Hotel Halmahera. Namun, pada pagi hari 

tanggal 6 Juni, saat  dia lagi berada di atas angkot (angkutan 

Kota) di Jalan Darmosugondo, tiba-tiba angkot yang 

ditumpanginya dihentikan kawanan pemuda pasar pimpinan 

Dhadhiet dan Anjang. Begitu angkot berhenti, Boniwar diminta 

turun dan kejadian itu menarik perhatian warga pasar. Beruntung 

petugas dan Dhadhiet cs cekatan dan langsung menghubungi 

Kecamatan Pahandut. Pada saat itu juga Bonimar dibawa ke 

kantor kecamatan di Jalan Diponegoro Palangka Raya. 

Boniwar sangat fasih berbahasa Dayak sehingga sulit diketahui 

identitasnya baik oleh Dhadhiet cs maupun pihak Hotel 

Halmahera. Dia sebenarnya adalah asli kelahiran Mandomai 

(Kalimantan Tengah). Bapaknya Banjar, ibunya keturunan 

Madura yang lahir di Mandomai juga. Boniwar dan temannya 

Madi sudah dua bulan bekerja di Sebangau. Selama di sana, tidak 

ada seorang pun yang mengusiknya. Dia masuk Sebangau lewat 

Garong. 

Camat Pahandut menyatakan bahwa pihaknya sama sekali tidak 

bermaksud mengusir Boniwar. Dibawa ke kantor kecamatan 

maksudnya untuk dilindungi dan diamankan karena, meskipun 

Palangka Raya sudah relatif kondusif, tapi karena aturan mainnya 

(izin masuknya warga Madura ke Palangka Raya) belum ada, 

maka diminta untuk bersabar atau sebaiknya jangan ke Palangka 

Raya dulu. “Itu demi keamanan semuanya” Kepala Kesbang 

Linmas Kota Palangka Raya, menambahkan. Setelah beberapa 

saat di kantor Kecamatan Pahandut, Boniwar diantarkan sampai 

keluar Kalampangan dengan menggunakan mobil Toyota Kijang. 

Sebelumnya Camat memberi sangu. Boniwar menyatakan mau 

langsung ke Binuang, Kalimantan Selatan, tempat tinggalnya 

memang di sana. 

Kasus Boniwar ini  menarik karena sebenarnya apabila dilihat 

dari segi tujuannya ke Palangka Raya, yaitu untuk menagih upah kerja, 

berarti hanya tinggal sementara, dalam beberapa hari saja. Namun 

demikian, ternyata tetap juga menjadi “masalah” bagi warga  dan 

pemerintah di Palangka Raya. Keadaan itu menandakan bahwa, bagi warga 

keturunan Madura, kota Palangka Raya sampai saat itu belum juga 

kondusif bagi mereka. Pihak pemerintah kota dan aparat keamanan pun 

belum dapat memberi  jaminan keamanan, sehingga jalan yang 

ditempuh ialah mengantar kembali mereka yang ditemukan ke luar dari 

Palangka Raya. 

Kasus 2.12

Kejadian pada tanggal 9 Juni 2002 di Pasar Besar Palangka Raya, 

melibatkan seorang perempuan (ibu) (36 tahun) bernama Ramlah 

yang terindikasi warga etnis Madura. Ditemukan saat  sedang 

berbelanja di sebuah warung. Ramlah terpaksa diamankan di 

sebuah rumah warga di dekat Toko Sumber Logam di Jalan 

Sumatera. Ramlah yang bicaranya sangat terpengaruh logat 

Madura ditemukan oleh Dhadhiet, pemuda pasar, yang kemudian 

menyerahkannya kepada Camat Pahandut, saat  itu didampingi 

oleh Kepala Kesbang Linmas Kota Palangka Raya, yang 

menjemputnya. Romlah kemudian dibawa ke kantor Kecamatan 

Pahandut, Jalan Diponegoro, Palangka Raya. 

Dalam pengakuannya ke Pak Camat, Ramlah menyatakan sudah 

lebih (5) lima bulan berada di Palangka Raya. Kepada Dhadhiet 

dia menyatakan 3 (tiga) bulan. Saat kerusuhan pecah, dia memang 

sempat mengungsi ke Kandangan Kalimantan Selatan, tempat 

kelahirannya. Ramlah berayahkan orang Jember berdarah Madura, 

sedangkan ibunya orang Banjar Kandangan. Suaminya bernama 

Tony, orang Dayak asli bekerja di Kapuas. saat  itu, Ramlah 

sendiri bekerja sebagai buruh pengupas bawang di Pasar Besar 

dengan gaji sebesar Rp7.500 per hari. 

Sekembalinya dari pengungsian di Kandangan, Kalimantan 

Selatan, di Palangka Raya Ramlah dan suaminya serta 2 orang  

anaknya, pertama-tama tinggal di Jalan G. Obos. Dia kemudian 

pindah ke Jalan Murjani, Gang Kurnia, RT.04 RW.VIII (rumah 

salah seorang keluarganya) karena lebih dekat ke Pasar Besar 

tempatnya bekerja. Kedua orang tuanya dimakamkan di 

Pekuburan Muslim Km 2,5 Jalan Cilik Riwut. Ibu dua anak ini 

mengaku tidak tahu harus bekerja apa dalam pengungsiannya di 

Kalimantan Selatan memicu  ia kembali ke Palangka Raya 

yang dianggapnya tanah tempat menanam jutaan harapan. Sejak 

kecil dia sudah di Palangka Raya, jauh sebelum jalan-jalan di 

lingkungan Pasar Besar diaspal. 

Tentang kerusuhan 2001, Ramlah yang tidak bisa menulis dan 

membaca itu menyatakan bahwa kerusuhan itu membuatnya 

kehilangan segalanya merupakan musibah yang tak patut ia sesali. 

Dia hanya salah satu dari sekian ribu warga yang terpaksa kenah 

“getah” (akibat) dari “cempedak” yang dimakan (perlakuan) orang 

lain. Dia tidak menaruh dendam meskipun rumah dan sedikit harta 

yang susah payah dikumpulkannya tandas tak berbekas. 

Rumahnya di Jalan Kalimantan (Palangka Raya), tapi kini tinggal 

hanya puing-puing dan arang. Rumah berikut tanahnya dibeli dari 

usahanya, sebelum kerusuhan, bekerja sebagai pemulung yang 

mengumpulkan kardus dan plastik bekas. Menurutnya, 

penghasilan menjadi pemulung jauh lebih besar jika dibandingkan 

dengan menjadi buruh kupas bawang. Sehari, penjualan kardus 

dan plastik bekas yang dikumpulkannya bisa mencapai Rp30 ribu. 

Dari uang itulah, ia bersama suaminya berhasil mengumpulkan 

sedikit demi sedikit dan akhirnya dapat membeli tanah dan 

rumahnya. 

Dengan alasan menyelamatkan jiwa Ramlah dan semuanya, untuk 

menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, serta kondisi 

psikologis sebagian warga  Palangka Raya belum bisa 

menerima Madura, Perda (Peraturan Daerah) reevakuasi etnis 

Madura eks konflik Sampit belum rampung, maka Ramlah 

sekeluarga akan segera dipulangkan ke Banjarmasin, Kalimantan 

Selatan. 

Kasus 2 ini menunjukkan pengalaman seorang perempuan (ibu) 

pengungsi korban konflik yang berusaha kembali ke kota tempat 

tinggalnya, Palangka Raya. Sebenarnya dia sudah berhasil tinggal beberapa 

bulan dan, bahkan, sudah kembali bekerja, namun keberadaannya ternyata 

tercium juga oleh warga warga  Dayak. Dilihat dari sisi keluarga, 

dimana Ramlah sudah bersuamikan seorang laki-laki asli Dayak, ternyata 

juga belum bisa menjadi dasar yang kuat baginya agar bisa diakui oleh 

yang lain untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai keluarga warga  

Dayak. Sebenarnya bagaimana membangun identitas etnis (dalam kaitan 

dengan penelitian ini “Dayak”), bagi keluarga yang jelas-jelas sudah 

campuran Dayak sekalipun, tampaknya suatu masalah yang sungguh rumit.  

Untuk mendapatkan pengakuan itu mungkin sama sulitnya dengan 

keinginan pengungsi Madura korban konflik untuk kembali lagi menjadi 

warga Kalimantan Tengah. Kondisi demikian itu ada hubungannya dengan 

(re)konstruksi etnis Dayak yang akan dibahas selanjutnya. 

(Re)konstruksi Etnisitas

 Masa-masa pasca kerusuhan, bagi warga  Dayak sendiri, 

bukanlah masa yang sarat dengan kemudahan untuk menata kembali 

kehidupan sosial mereka. Selain kerusuhan itu membawa dampak sosial 

budaya, ekonomi dan politik, juga dampak psikologis yang sangat dalam. 

Akibat kerusuhan itu, mereka berhadapan dengan bermacam-macam 

tudingan dan tantangan yang cenderung menilai negatif dan memojokkan 

posisi mereka, tidak hanya berskala lokal, nasional bahkan juga 

internasional.13 Sementara itu usaha  pemulihan kembali (recovery) 

keadaan adalah suatu keharusan, bukan saja sebagai respon terhadap 

berbagai tudingan dan tantangan yang muncul dari luar, tetapi juga 

merupakan tuntutan dari dalam (internal pressure) sebagai warga  

yang beradab dan berbudaya. 

 Berbagai kegiatan yang mempunyai tujuan penataan kembali 

kehidupan sosial budaya mereka, khususnya yang berhubungan dengan 

(re)konstruksi etnisitas Dayak dilakukan. Pertama-tama digelar upacara 

ritual yang disebut “Mangantung Manaheta, Manguat Sahur Parapah” di 

Balai Kaharingan, Palangka Raya, pada hari Minggu, tanggal 18 Maret 

2002. Upacara adat itu dipimpin oleh Damang Kepala Adat Sinyal 

Penyang (Damang Kecamatan Pahandut dan Koordinator Damang se 

Kalimantan Tengah). Upacara mempunyai tujuan untuk memohon 

keselamatan dan segera berakhirnya bencana seperti konflik berdarah yang 

terjadi di daerah-daerah Kalimantan Tengah. Tujuannya yang lebih umum 

ialah untuk menjaga wilayah dan warga  Kalimantan Tengah serta 

menghentikan konflik yang merugikan semua pihak dan bahkan 

mendiskreditkan citra warga  Dayak di dunia internasional. Upacara 

adat ritual itu juga adalah sebagai usaha  konsiliasi secara spiritual dan 

supernatural yang berpengaruh terhadap perilaku warga  Kalimantan 

Tengah, termasuk didalamnya penjagaan terhadap preman-preman yang 

berdatangan di Kalimantan Tengah dengan maksud meresahkan 

warga  dengan cara hidup yang menghalalkan segala cara didalam 

segala lapisan dan tingkatan dalam warga .

Kegiatan lain di tingkat nasional ialah Musyawarah Damai Anak 

Bangsa di Bumi Kalimantan (MDAB-BK) yang diadakan di Nam Centre, 

Jakarta, 22-24 Maret 2002. Pada kesempatan ini bertemu wakil-wakil 

kelompok yang terlibat konflik dan mereka yang peduli terhadap masalah masalah konflik sosial. Selain dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri dan 

Otonomi Daerah dan empat gubernur dari Kalimantan serta Jawa Timur, 

juga wakil-wakil yang hadir meliputi 4 (empat) propinsi di Kalimantan 

(Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan 

Kalimnatan Timur) serta dari Jawa Timur. Pertemuan ini  

menghasilkan beberapa keputusan yang pada intinya selain berorientasi 

untuk mengungkapkan akar masalah konflik, juga membuat prinsip dasar 

penyelesaian masalah-masalah konflik.15 Bagi pemimpin dan tokoh 

warga  Dayak, keterlibatan dalam musyawarah ini  dan 

persetujuan terhadap semua keputusan yang dihasilkan sangat bermanfaat 

untuk membangun kembali citra “etnisitas” warga nya. 

Musyawarah damai itu juga telah menghasilkan rumusan-rumusan 

yang mengarah kepada kesamaan persepsi, kesamaan tujuan dan kesamaan 

cara bertindak dalam menangani masalah-masalah konflik. Kesamaan 

persepsi dibangun dari kesamaan cara pandang terhadap masalah yang 

terjadi dan yang sedang dihadapi, sehingga antisipasi bisa dilakukan yaitu: 

1) Bahwa kejadian di Bumi Kalimantan ini adalah musibah, yang harus 

kita terima dengan tawakal dan ikhlas, serta kita dapat memetik 

hikmah dari kejadian ini , sambil melakukan mawas diri agar 

kejadian ini adalah yang terakhir dan tidak akan terulang lagi. 

2) Bahwa semua peserta bertekad untuk menciptakan suasana yang 

kondusif dan damai sehingga seluruh program rekonsiliasi dan 

rehabilitasi dapat terlaksana dengan baik.  

3) Bahwa hal ini memerlukan kerja keras yang ikhlas dari semua pihak, 

terutama dalam rangka sosialisasi sampai ke akar rumput (warga  

lapisan bawah), sehingga tidak terjadi salah informasi dan salah 

interpretasi yang dapat memberi peluang kepada provokator atau 

anasir lainnya untuk menciptakan kejadian serupa terulang. 

Kesamaan tujuan yang akan dicapai dan diusaha kan oleh semua 

pihak ke seluruh strata, yaitu: 

1) Menciptakan suasana aman dan damai, menegakkan prinsip-prinsip 

persatuan dan kesatuan sebagai perwujudan Sumpah Pemuda 1928 

untuk mengisi kemerdekaan 17 Agustus 1945 serta mensukseskan 

program reformasi yang demokratis, anti anarkis dan menghargai 

kebhinekaan dalam keikaan dalam wadah Negara Kesatuan Republik 

Indonesia. 

2) Pemulangan pengungsi ke pemukiman semula di tempat sebelum 

mereka mengungsi, yaitu di Kalimantan diatur sebaik-baiknya melalui 

proses dan pentahapan seperti dimaksud dalam prinsip dasar, dengan 

tetap menghargai keinginan lain yang muncul. Perlindungan hak-hak 

sipil bagi para pengungsi seperti atas aset yang mereka miliki. 

3) Pemerintah Pusat dan Daerah akan terus menerus melakukan fasilitasi 

terhadap permasalahan pengungsi dan usaha -usaha  kerukunan / 

rekonsiliasi. 

4) Jaminan keamanan umum oleh negara dengan dukungan aparatur 

keamanan serta aparat penegak hukum dan tokoh-tokoh warga . 

Menciptakan rasa aman dan saling pengertian serta rasa kebersamaan. 

Ditegakkannya supremasi hukum berdasarkan keadilan, sehingga 

tercapai rasa keadilan warga . 

5) Penghormatan pada Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia tidak 

hanya berpotensi untuk dilanggar oleh aparatur negara, tetapi juga bisa 

dilanggar oleh warga warga  yang lain (rakyat biasa) sehingga 

setiap pelanggaran Hak Asasi Manusia harus bisa dicegah dan ditindak 

secara adil dan bertanggung jawab. 

6) Peningkatan kesejahteraan rakyat seluruhnya dan menghilangkan 

kesenjangan dalam berbagai aspek kehidupan, berdasarkan rasa 

keadilan sosial dan berwatak mulia, mengatasi kemiskinan dan 

pemerataan pendidikan guna meningkatkan peradaban yang lebih 

maju, melalui program-program yang didukung dana pemerintah 

maupun swasta.  

Kesamaan cara bertindak yang berhubungan dengan sosialisasi 

dan operasionalisasi dari hasil-hasil musyawarah, secara simultan dan 

sungguh-sungguh, sehingga tercapai: 

1) Penghentian konflik dan menjaga agar konflik tidak terulang lagi. 

2) Perwujudan rekonsiliasi di semua strata sosial warga . 

3) Langkah-langkah nyata dan komprehensif dalam menangani masalah 

pengungsi untuk merumuskan prinsip-prinsip yang akan digunakan 

dan titik temu yang ideal dan komprehensif. 

4) Pelembagaan suatu wadah / forum yang terdiri dari golongan etnis, 

tokoh warga , tokoh agama untuk meredam dan menyelesaikan 

konflik antar etnis, antar agama dalam kegiatan keagamaan seperti 

mesjid, gereja, pura, kelenteng, vihara dan lain-lain. 

5) Menghilangkan kecemburuan dalam kehidupan sosial kewarga an 

dengan cara memberdayakan dan memberi  kesempatan yang sama 

untuk berpartisipasi dalam berbagai kehidupan sosial ekonomi dan 

sosial budaya. 

6) usaha -usaha  rehabilitasi yang meliputi mental, sosial ekonomi dan 

fisik. 

7) Seluruh usaha  yang direncanakan untuk pelaksanaannya mensyaratkan 

sosialisasi dan bekal-bekal cerdas bagi pihak-pihak, khususnya 

warga  akar rumput. 

8) Meningkatkan secara terus menerus kewaspadaan semua warga bangsa 

untuk senantiasa mendahulukan kepentingan negara daripada 

kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, demi keutuhan bangsa. 

9) Proses ini melibatkan seluruh pihak-pihak warga , tokoh adat, 

agama dan aparat. Pemerintah harus lebih proaktif dalam menginisiasi 

dan pelaksanaan sesuai dengan tahapan penyelesaian. 

10) Pemerintah Daerah agar mendorong Kongres warga  Dayak 

Kalimantan secepatnya dan perlu segera dipersiapkan sebagai bagian 

dari proses penyelesaian secara sistematis termasuk Musyawarah 

Kerja sebagai tindak lanjutnya yang perlu dilakukan dalam waktu 

singkat. 

11) Meningkatkan atensi dalam pengembangan wilayah pedalaman. 

12) Faktor pendukung lain ialah dapat dikembangkannya institusi-institusi 

pendukung yang harus segera disiapkan pembentukannya seperti Tim 

Ad Hoc, lembaga adat, pusat kajian lintas etnis, dan lain-lain.  

13) Butir-butir cara tindak ini  kiranya dapat ditindak lanjuti secara 

konsisten dan dalam suatu kerangka kerja dan rentang waktu yang 

relevan dengan perkembangan permasalahan. 

Terhadap berbagai keputusan yang diambil dalam Musyawarah 

Damai Anak Bangsa di Bumi Kalimantan (MDAB-BK) di Jakarta ini  

semakin diperkuat penerimaannya dalam Kongres Rakyat Kalimantan 

Tengah Tahun 2001, yang diadakan di Palangka Raya pada tangga 4-7 Juni 

2001. Hal itu seperti termaktub dalam ayat 1, dari Pernyataan Sikap yang 

diambil yaitu: 

“Menerima sepenuhnya Tekad Damai Anak Bangsa di Bumi 

Kalimantan hasil Musyawarah Damai Anak Bangsa di Bumi 

Kalimantan di Jakarta 20-22 Maret 2001 sebagai wujud nyata 

mediasi Pemerintah Pusat dalam Konflik Antar Etnik di Kalteng 

dan selanjutnya menyetujui sepenuhnya Pemerintah Pusat 

sebagai mediator. Karena itu kesepakatan ini akan disampaikan 

kepada Pemerintah Pusat oleh perutusan Pemerintah dan DPRD 

Propinsi Kalteng serta perwakilan KRKT [Kongres Rakyat 

Kalimantan Tengah] 2001 untuk dipertimbangkan, ditindaklanjuti 

dan ditawarkan kepada pihak warga warga  Madura eks Kalteng melalui Pemerintah Propinsi Jawa Timur”. 

 Selain soal penyelesaian konflik, dalam Kongres Rakyat ini  

juga dicetuskan pernyataan sikap yang berorientasi kepada penguatan rasa 

dan kesadaran etnisitas warga  Dayak. Dengan kata lain ada  

proses (re)konstruksi etnisitas yang diakibatkan oleh terjadinya konflik. 

Hal itu seperti tercantum dalam pernyataan sikap nomor 8 sebagai berikut: 

“Bahwa hikmah yang dapat diperoleh dari Konflik Antar Etnik 

ialah: 1) harkat dan martabat serta jatidiri warga  Dayak telah 

diselamatkan dan terangkat dalam tatanan warga  majemuk / 

multi etnik, 2) dengan demikian rasa persatuan, kesatuan dan 

kerukunan serta kesetiakawanan kian meningkat bukan hanya di 

kalangan warga  Dayak sendiri, tetapi juga antara warga  

Dayak dan warga warga  etnik-etnik lain di Kalteng, 3) 

kesadaran akan hukum dan adat yang kian meningkat, 4) 

keyakinan kepada kehandalan “budaya betang” [budaya rumah 

panjang] dalam memberi  rasa aman dan sejahtera kepada 

semua pihak, 5) kesadaran akan mendesaknya pemerataan 

pembangunan sampai ke daerah-daerah pedesaan, dan 6) 

kesadaran akan pelestarian SDA [Sumber Daya Alam] dan 

pengembangan SDM [Sumber Daya Manusia] dan 7) kesetiaan 

yang tetap kukuh pada “utus” dalam bingkai NKRI [Negara 

Kesatuan Republik Indonesia] dengan semangat patriotisme yang 

tinggi.  

Proses (re)konstruksi itu juga sangat mewarnai Musyawarah Besar 

Damang / Kepala Adat se-Kalimantan Tengah, di Palangka Raya, tanggal 

23-24 Mei 2002. Dalam musyawarah ini  diambil berbagai keputusan, 

Sikap / Kesepakatan Mubes yang betul-betul sudah menyentuh “filsafat” 

kehidupan warga  Dayak secara lebih luas dan utuh, antara lain: (1) 

untuk mendukung kehidupan mereka yang dekat dengan alam, Mubes 

mendeklarasikan Kalimantan Tengah Sebagai Daerah Ekologi, 2) 

menyarankan kepada DPRD dan Pemerintah Propinsi / Kabupaten dan 

Kota agar membuat Perda (Peraturan Daerah) tentang Kalimantan Tengah 

Sebagai Daerah Ekologi, 3) membentuk Badan Pekerja Musyawarah Besar 

Damang Kepala Adat Kalimantan Tengah (BP-MBDKA-KT) dan Badan 

Pengembangan Adat Dayak yang di tingkat Propinsi Kalimantan Tengah, 

disingkat Bakor-litbang Adat, 4) merevisi Peraturan Daerah No.14 Tahun 

1998 Tentang Kedamangan, 5) menyepakati untuk membina dan 

mengembangkan Sistem Nilai Adat “Budaya Betang” sebagai sumber 

pembinaan dan pengembangan adat serta hukum adat dalam proses 

perkembangan warga  multi-etnik, multi-agama, warga  madani 

[civil society], 6) sepakat untuk menganugerahkan gelar kehormatan adat 

kepada pejabat-pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh warga  yang 

peduli pada pelestarian Sumber Daya Alam dan lingkungan hidup di 

Kalimantan Tengah, dan lain sebagainya.  

Konflik dengan bentuknya yang beragam memang selalu 

berakibat adanya korban dan pengorbanan. Oleh karena itu juga seringkali 

menjadi titik tolak me(re)konstruksi kesadaran betapa pentingnya 

kehidupan yang damai dan tenteram. Tragedi Sampit 2001 yang kemudian 

meluas ke beberapa daerah di Kalimantan Tengah, juga ke Palangka Raya. 

telah menjadi pendorong dan motivator bagi warga  Dayak 

Kalimantan Tengah untuk kembali menata kehidupan sosial budaya, sosial 

ekonomi dan sosial politik mereka dalam konteks lokal dan nasional. Bagi 

mereka, penataan itu merupakan dinamika proses yang berlanjut terus menerus sejak Rapat Damai Tumbang Anoi 189416 (pertemuan pertama 

seluruh kelompok warga sukubangsa Dayak dengan tujuan (re)konstruksi 

adat dan tradisi warga  Dayak) untuk menjaga, memelihara serta 

memperkuat jatidiri dan identitas Dayak.  

Pada konteks Tumbang Anoi (1894) proses (re)konstruksi 

dilakukan sebagai akibat perang antar kelompok-kelompok (sub-etnis) 

Dayak. Pada konteks Tragedi Sampit 2001 yang kemudian berimbas ke 

Palangka Raya proses (re)konstruksi warga  Dayak disebabkan konflik 

antara kelompok-kelompok (sub-etnis) Dayak dengan warga sukubangsa 

Madura. Menurut Eriksen (1993) (re)konstruksi suatu kelompok etnis atau 

kelompok identitas dapat bangkit kembali saat  kelompok ini  berada 

dibawah ancaman. Proses itu dilakukan sebagai usaha untuk 

mempertahankan eksistensi kelompok dan kebudayaannya.  



Related Posts:

  • sampit Kerusuhan sosial selalu merupakan awal dari dua hal ialah bencana sosial dan sesudahnya (re)konstruksi sosial. Jika yang pertama dapat… Read More