Kerusuhan sosial selalu merupakan awal dari dua hal ialah
bencana sosial dan sesudahnya (re)konstruksi sosial. Jika yang pertama
dapat berlangsung sesaat , cepat dan dalam tempo yang singkat, maka
yang kedua seringkali berlangsung setahap demi setahap, lambat dan bisa
mengambil waktu bertahun-tahun.
Apabila dicermati secara mendalam, konflik etnis di Kalimantan
Tengah antara orang Madura dengan warga warga Dayak bukanlah
suatu peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba. Puncak peristiwanya terjadi
dalam sesaat, namun sesungguhnya benih-benihnya ternyata sudah
berakumulasi selama bertahun-tahun. Konflik-konflik terdahulu yang
melibatkan orang Dayak dan Madura yang tidak pernah diselesaikan secara
tuntas menyisakan residu konflik yang siap meledak sewaktu-waktu.
Begitulah sebagian latar belakang tragedi Sampit yang kemudian meluas
menjadi tragedi Kalimantan Tengah.
Kerusuhan sosial di Kalimantan Tengah merombak konstruksi
etnisitias warga nya. Sebelumnya warga Kalteng terdiri atas
berbagai etnis tanpa pembatasan. Karena tragedi itu beberapa kota (Sampit, Palangka Raya, Kuala Kapuas) sampai Juni 2002 tidak mempunyai
penduduk dari etnis Madura. Tragedi ini disamping me(re)konstruksi
tatanan pluralitas warga nya, sebenarnya ia juga me(re)konstruksi
pandangan terhadap posisi dan peranan warga Dayak yang
sebelumnya dikenal sebagai kelompok etnis yang ramah, suka berkawan,
menjunjung tinggi solidaritas dan banyak lagi atribut lainnya yang
mengarah kepada sifat yang menyukai keakraban, kedamaian dan
ketenteraman. Akibat tragedi ini pandangan sebagian orang berubah
dengan memposisikan orang Dayak sebagai warga suatu sukubangsa yang
dapat pula beringas, suka membunuh, dan atribut lainnya yang berfokus
kepada tuduhan kurang memiliki rasa prikemanusiaan.
Pandangan suatu kelompok dalam melihat kelompok warga
lainnya memang senantiasa berubah seiring dinamika proses hubungan
yang terjalin antar kelompok-kelompok yang ada. Kondisi demikian pada
hakekatnya adalah juga konsekuensi logis dari warga bangsa
Indonesia yang majemuk. Oleh karena itu (re)konstruksi kekuasaan dalam
konteks daerah yang otonom tidak bisa dilepaskan dari konsep “komunitas
kami atau kita (us)” yang seringkali dibedakan, bahkan dipertentangkan,
dengan “komunis mereka” (others). Begitu juga perbedaan antara
mayoritas dan minoritas, superior dan inferior, dominasi dan subdominasi.
Allan Bullock et.al. (1989) menulis bahwa (re)konstruksi dapat dibedakan
dalam dua jenis, yaitu yang bersifat logik (logical (re)construction) dan
hipotetis (hypothetical (re)construction). Keduanya merupakan konsep konsep pemikiran yang tidak mempunyai hubungan dengan realitas tetapi
keduanya sangat berfaedah untuk mengikhtisarkan sejumlah rincian fakta fakta atau membuat formulasi teori-teori yang menjelaskannya. Oleh
karena itu pembicaraan mengenai konstruksi atau (re)konstruksi “mood of
the Dayak peoples” pada hakekatnya tidak hanya mengenai suasana hati
dari sukubangsa (peoples) Dayak itu sendiri, tetapi lebih berkaitan dengan
sikap dan tingkah laku berjuta orang yang secara kolektif menyatakan diri
sebagai warga Dayak.
Pada umumnya “komunitas kami atau kita” seringkali dianggap
sebagai dasar pemahaman terhadap pembenaran. Cara pandang demikian,
menurut Stanley J. Grenz (2001) sekurang-kurang menegaskan bahwa
“apapun yang kita anggap benar dan cara kita mengatakan kebenaran itu
sangat bergantung kepada komunitas kita. Tidak ada kebenaran mutlak,
kebenaran itu tergantung kepada komunitas”. Bertolak dari kondisi seperti
itu maka pembahasan dalam tulisan ini sebenarnya merupakan bagian dari
proses (re)konstruksi komunitas etnis Dayak. Tragedi Sampit yang
kemudian melebar ke Palangka Raya selain mereformulasi hubungan
warga Dayak dengan warga sukubangsa Madura, juga me(re)konstruksi
konsep etnisitas dari warga Dayak sendiri. Tragedi Sampit adalah sebuah malapetaka, demikian dinyatakan
oleh beberapa orang informan dalam kesempatan wawancara. Menurut
mereka, peristiwa Sampit, Kotawaringin Timur, selain memicu
adanya korban ratusan nyawa manusia melayang, harta benda musnah juga
terjadi pengungsian penduduk secara besar-besaran untuk menyelamatkan
diri daripada menjadi korban amukan massa, banyak orang kehilangan
pekerjaan, anak-anak yang masa depannya suram karena pendidikannya
terganggu dan banyak yang putus sekolah, keamanan tidak stabil,
lingkungan sosial tidak kondusif, juga menyisakan tekanan psikologis
yang mendalam di kalangan warga . Seorang pemilik toko, Bapak
HM, orang Banjar3
menyatakan "setiap kali mendengar ada warga /
keluarga suku Madura ditemukan di tempat persembunyiannya, perasaan
selalu membatin semoga tidak ada lagi pembunuhan, pembantaian”.
Seorang lainnya, Pak S, berasal dari Jawa,4
bekerja di sebuah usaha
fotocopy di Palangka Raya menyatakan ”…. sejak peristiwa itu –
menyaksikan orang-orang Dayak membawa kepala manusia menyusuri
beberapa jalan protokol di Palangka Raya – saya selalu berdoa semoga
tidak akan pernah melihat lagi peristiwa seperti itu sampai akhir hayat”.
Kerusuhan sosial Sampit memang masih menyisakan banyak
permasalahan dan pertanyaan. Ada asumsi yang menyatakan bahwa latar
belakang peristiwa Sampit adalah karena orang-orang Dayak cemburu
kepada orang Madura yang sukses dalam usaha ekonomi. Menanggapi
asumsi ini seorang tokoh warga Dayak, HC menyatakan bahwa
memang harus diakui banyak orang Madura berhasil dalam kegiatan atau
usaha ekonomi, tetapi bukan hal itu yang menjadi penyulut kerusuhan
sosial Sampit 2001. Dikatakannya kalau sukses di bidang ekonomi orang
Cina jauh melebihi orang Madura, tetapi mengapa mereka tidak
dipermasalahkan oleh orang-orang Dayak. Sebenarnya latar belakang
kerusuhan Sampit 2001 yang kemudian meluas ke beberapa kota /
kabupaten lainnya di Kalimantan Tengah adalah benturan budaya bukan
kecemburuan sosial. Bapak HC5
lebih jauh menjelaskan bahwa warga Madura tidak mau mengerti budaya warga Dayak. Mereka tidak
menghayati dan mempraktekkan budaya "dimana langit dijunjung disitu
bumi dipijak” – maksudnya tidak menghargai kebudayaan, adat istiadat
warga lokal, yang dalam hal ini adalah kebudayaan warga Dayak
sebagai penduduk asli Kalimantan Tengah.
Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) memang merupakan
wilayah konsentrasi terbanyak warga keturunan Madura di Kalimantan
Tengah. Sebelum kerusuhan diperkirakan ada sekitar 75 ribu jiwa
penduduk Madura di daerah itu. Di DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah) Kabupaten Kotim mereka mempunyai 4 orang wakil (1 PAN, 1
PPP dan 2 PKB). Mungkin karena besar jumlah warganya, sehingga
merasa berpengaruh dan juga “menguasai” Sampit, ibukota Kotawaringin
Timur. Begitulah saat melakukan pawai keliling kota Sampit, 18-19
Pebruari 2002, mereka menunjukkan kekuatannya, dengan membawa
senjata tajam (clurit) dan membawa spanduk yang bertuliskan “Selamat
Datang di Sampang II”. Jadi orang Madura mendeklarasikan Sampit atau
Kotawaringin Timur sebagai Sampang II (Sampang I tentunya yang ada di
Pulau Madura). Mereka pun melakukan pembakaran dan pembunuhan
terhadap warga warga Dayak. Pembunuhan ini, menurut beberapa
informan, sebagai pembalasan terhadap perlakuan yang sama yang
dilakukan oleh warga Dayak terhadap warga Madura sebelumnya.
Sebenarnya konflik antar kedua kelompok warga ini
serta berakibat adanya korban meninggal sudah seringkali terjadi. Rupanya
terhadap konflik-konflik seperti itu dan beberapa lagi tindakan yang sejenis
terjadi jauh sebelum tragedi Sampit 2001, pihak aparat keamanan dan
penegak hukum tidak menerapkan tindakan hukum yang tegas. Bermacam macam kendala dan masalah untuk melakukan solusi hukum yang terbaik
dan adil, mulai dari alasan jumlah personil yang terbatas, peralatan yang
tidak memadai, juga ada sistem pemihakan dalam menangani persoalan
konflik sosial dan sampai kepada indikasi penyuapan. Oleh karena itu,
kelompok-kelompok yang terlibat konflik merasakan adanya
ketidakadilan.6
Bagi warga Dayak, menghadapi atau dihadapkan
dengan masalah-masalah seperti itu, pada akhirnya dengan sangat terpaksa
mengambil cara solusi yang paling tradisional, yaitu dengan mengadakan
perlawanan. Tragedi Sampit 2001 itu pun muncul dengan sangat transparan
ke permukaan.
Imbas tragedi Sampit sampai ke Palangka Raya mulai terjadi
sejak hari meletusnya tragedi itu, yaitu pada tanggal 18 Pebruari 2001.
saat itu sudah mulai adanya gelombang pengungsian warga dari
berbagai etnis ke kota Palangka Raya. Juga ibukota Propinsi Kalimantan
Tengah ini mulai dilanda berbagai isu yang sangat berpengaruh terhadap
opini warga umum, situasi keamanan dan ketertiban warga .
Aktivitas warga mulai terganggu, misalnya esok harinya di pasar pasar sebagian pedagang tidak berani membuka toko, kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah berhenti sementara, kantor-kantor pemerintah
sepi karena sebagian pegawai negeri sipil tidak ke kantor, juga transportasi
umum berkurang.
usaha mengantisipasi dan menyikapi pengaruh yang lebih luas
dari Tragedi Sampit dilakukan oleh Pemerintah Kota Palangka Raya. Atas
dasar undangan yang dikirimkan tanggal 19 Pebruari 2001 (pagi), dan sore
harinya mulai jam 15.00 pada hari yang sama, Pemerintah Kota Palangka
Raya mengadakan pertemuan dengan para tokoh warga , tokoh adat,
tokoh agama dan tokoh paguyuban dari berbagai etnis se Kota Palangka
Raya.8
Tujuan pertemuan, menurut pihak Pemkot Palangka Raya, untuk
menyampaikan informasi yang sebenarnya tentang kronologis kejadian (di
Sampit Kotawaringin Timur) dan berdialog langsung untuk mencari solusi
terbaik agar di wilayah Pemerintah Kota Palangka Raya tidak terjadi hal hal serupa.
Dalam kesempatan itu berbicara, antara lain pihak Kapolresta
Palangka Raya menyampaikan kejadian kerusuhan etnis di Kotawaringin
Timur dan langkah-langkah penanganan yang telah dilakukan untuk
mengendalikan situasi, dan menyarankan kepada warga Kota
Palangka Raya untuk tetap tenang karena aparat sudah melakukan
pemantauan di setiap kegiatan warga . Pihak Dandim 1016 Palangka
Raya menginformasikan kepada semua peserta tentang tugas dan tanggung
jawab TNI dalam masalah keamanan untuk mendukung pihak Kepolisian
dalam mengantisipasi isu-isu yang berkembang di kalangan warga
luas dan menghimbau untuk waspada terhadap provokator yang datang dari
luar Kalimantan Tengah. Dalam pertemuan itu, Ketua LMMDD-KT
(Lembaga Musyawarah warga Dayak dan Daerah Kalimantan
Tengah), Prof H. KMA M. Usop MA, menyarankan agar warga dapat
mengendalikan diri terhadap isu-isu minor yang berkembang, tidak
menjadi “pengipas” masalah serta mengamalkan budaya dimana bumi di
pijak disitu langit dijunjung.
Dalam pertemuan itu, forum dialog yang digelar kemudian
dipandu oleh 2 (dua) tokoh pemuda masing-masing dari suku Dayak Drs.
Yansen Binti, MBA dan dari suku Madura Abdul Hadi, BR, SH. Tujuan
dialog ialah mencari solusi bagaimana melakukan antisipasi terhadap
kejadian Sampit ini agar tidak mengganggu keamanan dan ketertiban
warga di wilayah Pemerintah Kota Palangka Raya serta bagaimana
menyampaikan informasi kepada warga terhadap isu-isu yang
berkembang sebagai imbas dari kejadian Sampit, agar warga
mendapat informasi yang benar dan akurat sehingga tidak terjadi keresahan
di kalangan warga Palangka Raya khususnya.
Dalam forum dialog telah berbicara sebanyak 19 (sembilan belas)
tokoh dengan menyampaikan pula sejumlah saran-sarannya. Tokoh-tokoh
itu selain sebagai pribadi yang ikut prihatin atas tragedi Sampit, mereka
juga mewakili beberapa unsur atau organisasi yang ada di Palangka Raya,
antara lain DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Palangka Raya,
LMMDD-KT (Lembaga Musyawarah warga Dayak dan Daerah
Kalimantan Tengah), KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan),
warga Dayak, Warga Kawanua (Manado), Angkatan 45, IKAMA
(Ikatan Keluarga Madura), Demang Tengkiling, organisasi DUSMALA
(Dusun Manyan dan Lawangan), Universitas PGRI, MPR RI, Organda Tk I
Kaltim, Warga Rungan Manuhing, dan lain-lain.
Beberapa hal yang dikemukakan dan diusulkan ialah (1) agar
siskamling RT/RW ditingkatkan, bentuk pengamanan swakarsa (2) agar
aparat keamanan menindak tegas para perusuh tanpa pandang bulu dari
etnis / suku mana saja, bertindak persuasif dan tidak memihak (3)
tegakkan supremasi hukum, (4) bentuk forum komunikasi antar etnis / suku
di Palangka Raya untuk perdamaian dan mempermudah penyampaian
informasi, (5) menyikapi agar kasus di Sampit dan kasus konflik etnis
karena minuman keras di Kereng Pangi tidak terjadi di Palangka Raya, (6)
masing-masing etnis / suku membina warganya dan menghimbau
warganya di Sampit agar menghentikan kerusuhan, (7) menangkal hal-hal
yang dapat merusak kerukunan warga di lapisan bawah, (8)
mengenali warga di lingkungan masing-masing, warga masuk dari luar
daerah diadakan razia / sweeping KTP dan senjata tajam (9) kendalikan
minuman keras di Palangka Raya, (10) serahkan / percayakan penanganan
kasus kepada pengamanan yang dibantu TNI dan warga , (11) agar
aparat menyebarkan intelijen di lingkungan warga , (12) jangan terima
isu-isu yang tidak jelas sumber dan kebenarannya, (13) pekerja batu di
Tengkiling agar diungsikan sementara, (14) ambil senjata tajam dari kedua
belah pihak, (15) warga yang datang dari Sampit agar dikunjungi untuk
menenangkannya, (16) penyelesaian jangan hanya di tingkat elit saja, (17)
hilangkan rasa dendam, (18) selesaikan masalah melalui forum dialog, (19)
pers sangat mempengaruhi keadaan, (20) suku-suku lain agar aktif mencari
solusi yang terbaik, (21) bentuk forum lintas suku di Palangka Raya, (22)
IKAMA sulit mengenal warganya yang baru datang karena tidak melapor
diri, (23) usut tuntas kasus yang terjadi dan nyatakan kepada warga
secara transparan, (24) laksanakan budaya betang untuk semua suku di
Palangka Raya, (25) di Sampit terindikasi ada keberpihakan dari aparat,
(26) usaha optimal jangan dilakukan hanya saat konflik, (27) kerusuhan
Sampit terjadi karena kesenjangan sosial, (28) agar dipahami dulu
peristiwa Sampit secara benar dan jelas, (29) persoalan Sampit agar
diblokir, (30) tenaga kerja yang masuk Kalteng masih banyak tidak
memiliki identitas yang jelas, (31) tenaga kerja melalui cukong agar
disepakati dulu pemerintah daerah, (32) dalam forum yang akan dibentuk
agar sedapatnya ada wakil-wakil dari kerukunan warga yang ada di
Palangka Raya, seperti jalur sungai yang ada – Barito, Kapuas, Kahayan,
Mentaya dan Rungan Manuhing, (33) berpikir jernih dalam menyikapi
masalah yang terjadi, (34) hentikan semua hujatan kepada TNI / POLRI.
Dari pertemuan ini disepakati tiga hal, yaitu (1) masing masing tokoh etnis yang ada di Palangka Raya agar menghimbau warganya
masing-masing yang ada di Kabupaten Kotawaringin Timur untuk
menghentikan pertikaian yang terjadi; (2) membentuk Forum Komunikasi
Antar Suku / Etnis, yang ada di kota Palangka Raya, untuk memudahkan
komukasi antar warga; (3) untuk membentuk Forum ini telah
terbentuk Tim Kecil sebagai Formatur / Tim Perumus untuk menyusun
Kepengurusan yang diberi waktu selama 3 (tiga) hari harus sudah selesai.
Dilihat dari segi waktu pertemuan, yaitu pada sore hari tanggal 19
Pebruari 2001, dan berdasarkan undangan tanggal 19 Pebruari 2001 (pagi
hari) sebagai respon terhadap kerusuhan Sampit tanggal 18 Pebruari 2001,
dapat dikatakan bahwa usaha Pemerintah Kota Palangka Raya cq Kantor
Kesatuan Bangsa dan Perlindungan warga mengantisipasi peristiwa
Sampit dan dampaknya sebenarnya termasuk cepat. Kemampuannya
mengumpulkan sekitar 300 peserta dialog dari berbagai unsur warga
etnis, lembaga dan organisasi serta mahasiswa, maupun usaha menciptakan
semangat dan memberi suasana kebebasan berbicara dan berpendapat
dalam forum sangat demokratis. Hasil-hasil forum dialog, seperti
dikedepankan oleh 19 orang pembicara dan dibentuknya Forum
Komunikasi Antar Suku / Etnis Kota Palangka Raya, semestinya dapat
menjadi pangkal tolak untuk menangkal meluasnya dampak kerusuhan
Sampit di Palangka Raya. Namun, ternyata tidak demikian.
Masalahnya perkembangan peristiwa Sampit membawa pengaruh
yang sangat besar. Berita dan informasi yang menyebar di warga
bahwa dalam 3 (tiga) hari saja (22 Februari 2001) jumlah korban kerusuhan
(meninggal) sudah 57 orang, ada yang menyatakan sudah 110 orang dan
pada sehari berikutnya (23 Februari 2001) sudah mencapai 200 orang.
Diantara korban yang meninggal puluhan dibunuh secara sadis. Sementara
itu jumlah pengungsi sudah lebih 250.000 orang dan Sampit serta daerah
Kotawaringin Timur lainnya sudah menjadi wilayah pembantaian. Berita
dan informasi menyesatkan seperti itu menjadi salah satu penyebab yang
mempercepat gerak dan perubahan warga di Palangka Raya kepada
kondisi konflik antar kelompok warga Dayak dan warga Madura.
Adanya berita bahwa pihak keamanan di Sampit menahan
sejumlah orang yang diduga terlibat dalam kerusuhan di kota ini ,
termasuk warga warga Dayak. Karena jumlahnya besar sehingga tidak
memungkinkan semuanya ditahan di Mapolres Sampit. Sebanyak 38 orang,
semuanya warga Dayak dipindahkan ke tahanan Mapolda Kalimantan
Tengah. Penahanan itulah yang menimbulkan ketidakpuasan bagi warga
warga Dayak di Palangka Raya. Pada tanggal 21 Pebruari 2001,
warga warga Dayak di Palangka Raya mengadakan unjuk rasa ke
DPRD Propinsi Kalimantan Timur dan Kapolda Kalteng (untuk
membebaskan tahanan) dengan tidak lupa mengajukan beberapa
permintaan, tuntutan dan himbauan, sebagai berikut:
1) Keadilan dari aparat keamanan agar bersikap tidak memihak.
2) Pembebasan, penangguhan penahanan warga warga Dayak (38
orang) yang diduga terlibat dalam kerusuhan Kota Sampit dan ditahan
di Mapolda Kalimantan Tengah.
3) Kapolri mengganti Pejabat Kapolda Kalimantan Tengah.
4) Bupati Kotawaringin Timur susaha bertanggungjawab penuh
menyelesaikan secara adil dan berimbang kerusuhan di Kota Sampit.
5) Kepada warga Madura yang tidak dapat menyesuaikan diri agar secara
sukarela meninggalkan wilayah Kalimantan Tengah.
Sejak tanggal 21 Pebruari 2001 itu, keadaan dan suasana Kota
Palangka Raya semakin mencekam, apalagi berbagai macam isu yang
disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab bertambah
banyak. Sementara itu, tanpa penekanan dan atas kesadaran sendiri
beberapa warga Madura Kota Palangka Raya melakukan pengungsian
melalui Banjarmasin / Kalimantan Selatan dengan pertimbangan demi
keamanan bersama. Namun, bagi mereka yang belum mengungsi
bersembunyi di sekitar Kota Palangka Raya.
Isu akan meluasnya konflik dari Sampit ke Palangka Raya
menjadi kenyataan pada tanggal 24 dan 25 Pebruari 2001. Pada hari-hari
ini , aksi solidaritas warga Dayak melakukan pembakaran dan
pengrusakan terhadap rumah / toko / kios dan kendaraan milik warga etnis
Madura. Para peserta aksi itu juga melakukan sweeping (pembersihan) di
beberapa tempat yang mereka curigai sebagai persembunyian warga etnis
Madura. Aksi-aksi ini menimbulkan korban jiwa 7 (tujuh) orang yang
ditemukan mayatnya pada tanggal 27 Pebruari 2002, terdiri atas 2 orang
wanita dan 5 orang pria; pada hari itu juga dimakamkan di pemakaman
Muslimin Jl. Cilik Riwut Km. 2 Palangka Raya.
Kejadian pada tanggal 25 Pebruari 2002, berawal saat ada
penjambretan di Pasar Besar yang memicu keributan di sekitar pasar.
Pada hari itu juga aparat keamanan menemukan sejumlah bom di Jalan Dr
Murjani (Panarung Bawah).9
Akibat penemuan bom itu memicu gerakan
amuk massa warga lokal dengan membawa spanduk bertuliskan “Usir
Madura”dan massa sudah tidak terkendali lagi dan langsung merusak
Komplek IKAMA (Ikatan Keluarga Madura) dan terus menjalar ke
berbagai sudut kota. Gerakan amuk massa ini mengakibatkan
kerusakan harta benda.
Beberapa informan penelitian menyatakan bahwa sejak tanggal 25
Pebruari 2001 sampai kurang lebih sebulan kemudian, keadaan Kota
Palangka Raya seakan-akan dalam siaga “perang”, disetiap lorong, jalan,
kampung, RT/RW, setiap hari dan malamnya ada kelompok-kelompok
penduduk yang mengadakan siskamling. Kegiatan itu dilakukan untuk
mengantisipasi berbagai kemungkinan yang mengarah kepada timbulnya
kerusuhan. Sampai tanggal 31 Maret 2001, berdasarkan laporan
Pemerintah Kota Palangka Raya, korban kerusuhan sebanyak 7 (tujuh)
orang, belum termasuk ditemukannya kepala manusia (tanpa identitas) di
Betang Mandala Palangka Raya, pada tanggal 25 Maret 2001 dan
ditemukannya mayat tanpa kepala di Jalan Adonis Samad, Panarung, pada
tanggal 28 Maret 2001.10
Imbas kerusuhan Sampit di Palangka Raya, sampai penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Mei s/d Juni 2002, masih terasa dampak dan
pengaruhnya. Dalam pengertian, menurut para informan, konflik masih
menyisakan keadaan kehidupan ekonomi kota Palangka Raya yang belum
benar-benar pulih setelah kepergian warga etnis Madura dari kota ini.
Masalahnya ialah beberapa jenis pekerjaan yang sebelumnya lebih banyak
dilakukan oleh warga Madura, seperti menarik gerobak barang di pasar,
menarik becak yang dapat memperlancar perjalanan seseorang dari/ke
suatu tempat dan tujuan, mengumpulkan barang-barang bekas, bahkan
menjadi sopir angkutan kota belum sepenuhnya dilakukan oleh warga dari
kelompok etnis lainnya. Dari berbagai informasi juga menyebutkan bahwa
tingkat tamu hotel dan penginapan mengalami penurunan, pelanggan dan
tamu rumah makan dan restauran berkurang, demikian pula di beberapa
pertokoan dan supermarket tingkat keramaiannya tidak seperti saat masa
sebelum kerusuhan terjadi. Kurangnya jumlah taksi yang beroperasi dari
Bandara Tjilik Riwut ke wilayah Kota Palangka Raya, juga merupakan
salah satu jenis dampak dari kerusuhan. Seorang sopir angkutan kota
menyatakan bahwa hengkangnya orang Madura berdampak juga kepada
perekonomian di Palangka Raya, buktinya jumlah orang yang naik angkot
(angkutan kota) berkurang sehingga berakibat berkurangnya pula
penghasilan sopir angkot.
Dampak kerusuhan Sampit, sampai penelitian ini dilakukan pada
bulan Mei s/d akhir Juni 2002, berarti sudah hampir satu setengah tahun
berlalu sejak meletusnya pada tanggal 18 Pebruari 2001, menunjukkan
kondisi yang sebenarnya untuk seluruh wilayah Kalimantan Tengah, juga
di Palangka Raya belum bisa disebut sudah kondusif secara total, terutama
untuk warga Madura. Dikatakan demikian karena beberapa warga Madura
yang berhasil ditemukan oleh warga warga setempat, walaupun telah
“menyembunyikan” identitasnya tetap saja diminta kembali untuk keluar
dari wilayah Kalimantan Tengah. Di Palangka Raya beberapa kasus terjadi
dan disini akan dikedepankan 2 (dua) kasus.
Kasus I.11
Kejadiannya pada tanggal 6 Juni 2002 yang melibatkan seorang
bernama Boniwar (39). Boniwar dan Madi (temannya, orang
Banjar) datang di Palangka Raya dari Sebangau (5 Juni 2002)
dengan maksud menagih utang kerja kayu pada bosnya, Cuming.
Mereka menginap di Hotel Halmahera. Namun, pada pagi hari
tanggal 6 Juni, saat dia lagi berada di atas angkot (angkutan
Kota) di Jalan Darmosugondo, tiba-tiba angkot yang
ditumpanginya dihentikan kawanan pemuda pasar pimpinan
Dhadhiet dan Anjang. Begitu angkot berhenti, Boniwar diminta
turun dan kejadian itu menarik perhatian warga pasar. Beruntung
petugas dan Dhadhiet cs cekatan dan langsung menghubungi
Kecamatan Pahandut. Pada saat itu juga Bonimar dibawa ke
kantor kecamatan di Jalan Diponegoro Palangka Raya.
Boniwar sangat fasih berbahasa Dayak sehingga sulit diketahui
identitasnya baik oleh Dhadhiet cs maupun pihak Hotel
Halmahera. Dia sebenarnya adalah asli kelahiran Mandomai
(Kalimantan Tengah). Bapaknya Banjar, ibunya keturunan
Madura yang lahir di Mandomai juga. Boniwar dan temannya
Madi sudah dua bulan bekerja di Sebangau. Selama di sana, tidak
ada seorang pun yang mengusiknya. Dia masuk Sebangau lewat
Garong.
Camat Pahandut menyatakan bahwa pihaknya sama sekali tidak
bermaksud mengusir Boniwar. Dibawa ke kantor kecamatan
maksudnya untuk dilindungi dan diamankan karena, meskipun
Palangka Raya sudah relatif kondusif, tapi karena aturan mainnya
(izin masuknya warga Madura ke Palangka Raya) belum ada,
maka diminta untuk bersabar atau sebaiknya jangan ke Palangka
Raya dulu. “Itu demi keamanan semuanya” Kepala Kesbang
Linmas Kota Palangka Raya, menambahkan. Setelah beberapa
saat di kantor Kecamatan Pahandut, Boniwar diantarkan sampai
keluar Kalampangan dengan menggunakan mobil Toyota Kijang.
Sebelumnya Camat memberi sangu. Boniwar menyatakan mau
langsung ke Binuang, Kalimantan Selatan, tempat tinggalnya
memang di sana.
Kasus Boniwar ini menarik karena sebenarnya apabila dilihat
dari segi tujuannya ke Palangka Raya, yaitu untuk menagih upah kerja,
berarti hanya tinggal sementara, dalam beberapa hari saja. Namun
demikian, ternyata tetap juga menjadi “masalah” bagi warga dan
pemerintah di Palangka Raya. Keadaan itu menandakan bahwa, bagi warga
keturunan Madura, kota Palangka Raya sampai saat itu belum juga
kondusif bagi mereka. Pihak pemerintah kota dan aparat keamanan pun
belum dapat memberi jaminan keamanan, sehingga jalan yang
ditempuh ialah mengantar kembali mereka yang ditemukan ke luar dari
Palangka Raya.
Kasus 2.12
Kejadian pada tanggal 9 Juni 2002 di Pasar Besar Palangka Raya,
melibatkan seorang perempuan (ibu) (36 tahun) bernama Ramlah
yang terindikasi warga etnis Madura. Ditemukan saat sedang
berbelanja di sebuah warung. Ramlah terpaksa diamankan di
sebuah rumah warga di dekat Toko Sumber Logam di Jalan
Sumatera. Ramlah yang bicaranya sangat terpengaruh logat
Madura ditemukan oleh Dhadhiet, pemuda pasar, yang kemudian
menyerahkannya kepada Camat Pahandut, saat itu didampingi
oleh Kepala Kesbang Linmas Kota Palangka Raya, yang
menjemputnya. Romlah kemudian dibawa ke kantor Kecamatan
Pahandut, Jalan Diponegoro, Palangka Raya.
Dalam pengakuannya ke Pak Camat, Ramlah menyatakan sudah
lebih (5) lima bulan berada di Palangka Raya. Kepada Dhadhiet
dia menyatakan 3 (tiga) bulan. Saat kerusuhan pecah, dia memang
sempat mengungsi ke Kandangan Kalimantan Selatan, tempat
kelahirannya. Ramlah berayahkan orang Jember berdarah Madura,
sedangkan ibunya orang Banjar Kandangan. Suaminya bernama
Tony, orang Dayak asli bekerja di Kapuas. saat itu, Ramlah
sendiri bekerja sebagai buruh pengupas bawang di Pasar Besar
dengan gaji sebesar Rp7.500 per hari.
Sekembalinya dari pengungsian di Kandangan, Kalimantan
Selatan, di Palangka Raya Ramlah dan suaminya serta 2 orang
anaknya, pertama-tama tinggal di Jalan G. Obos. Dia kemudian
pindah ke Jalan Murjani, Gang Kurnia, RT.04 RW.VIII (rumah
salah seorang keluarganya) karena lebih dekat ke Pasar Besar
tempatnya bekerja. Kedua orang tuanya dimakamkan di
Pekuburan Muslim Km 2,5 Jalan Cilik Riwut. Ibu dua anak ini
mengaku tidak tahu harus bekerja apa dalam pengungsiannya di
Kalimantan Selatan memicu ia kembali ke Palangka Raya
yang dianggapnya tanah tempat menanam jutaan harapan. Sejak
kecil dia sudah di Palangka Raya, jauh sebelum jalan-jalan di
lingkungan Pasar Besar diaspal.
Tentang kerusuhan 2001, Ramlah yang tidak bisa menulis dan
membaca itu menyatakan bahwa kerusuhan itu membuatnya
kehilangan segalanya merupakan musibah yang tak patut ia sesali.
Dia hanya salah satu dari sekian ribu warga yang terpaksa kenah
“getah” (akibat) dari “cempedak” yang dimakan (perlakuan) orang
lain. Dia tidak menaruh dendam meskipun rumah dan sedikit harta
yang susah payah dikumpulkannya tandas tak berbekas.
Rumahnya di Jalan Kalimantan (Palangka Raya), tapi kini tinggal
hanya puing-puing dan arang. Rumah berikut tanahnya dibeli dari
usahanya, sebelum kerusuhan, bekerja sebagai pemulung yang
mengumpulkan kardus dan plastik bekas. Menurutnya,
penghasilan menjadi pemulung jauh lebih besar jika dibandingkan
dengan menjadi buruh kupas bawang. Sehari, penjualan kardus
dan plastik bekas yang dikumpulkannya bisa mencapai Rp30 ribu.
Dari uang itulah, ia bersama suaminya berhasil mengumpulkan
sedikit demi sedikit dan akhirnya dapat membeli tanah dan
rumahnya.
Dengan alasan menyelamatkan jiwa Ramlah dan semuanya, untuk
menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, serta kondisi
psikologis sebagian warga Palangka Raya belum bisa
menerima Madura, Perda (Peraturan Daerah) reevakuasi etnis
Madura eks konflik Sampit belum rampung, maka Ramlah
sekeluarga akan segera dipulangkan ke Banjarmasin, Kalimantan
Selatan.
Kasus 2 ini menunjukkan pengalaman seorang perempuan (ibu)
pengungsi korban konflik yang berusaha kembali ke kota tempat
tinggalnya, Palangka Raya. Sebenarnya dia sudah berhasil tinggal beberapa
bulan dan, bahkan, sudah kembali bekerja, namun keberadaannya ternyata
tercium juga oleh warga warga Dayak. Dilihat dari sisi keluarga,
dimana Ramlah sudah bersuamikan seorang laki-laki asli Dayak, ternyata
juga belum bisa menjadi dasar yang kuat baginya agar bisa diakui oleh
yang lain untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai keluarga warga
Dayak. Sebenarnya bagaimana membangun identitas etnis (dalam kaitan
dengan penelitian ini “Dayak”), bagi keluarga yang jelas-jelas sudah
campuran Dayak sekalipun, tampaknya suatu masalah yang sungguh rumit.
Untuk mendapatkan pengakuan itu mungkin sama sulitnya dengan
keinginan pengungsi Madura korban konflik untuk kembali lagi menjadi
warga Kalimantan Tengah. Kondisi demikian itu ada hubungannya dengan
(re)konstruksi etnis Dayak yang akan dibahas selanjutnya.
(Re)konstruksi Etnisitas
Masa-masa pasca kerusuhan, bagi warga Dayak sendiri,
bukanlah masa yang sarat dengan kemudahan untuk menata kembali
kehidupan sosial mereka. Selain kerusuhan itu membawa dampak sosial
budaya, ekonomi dan politik, juga dampak psikologis yang sangat dalam.
Akibat kerusuhan itu, mereka berhadapan dengan bermacam-macam
tudingan dan tantangan yang cenderung menilai negatif dan memojokkan
posisi mereka, tidak hanya berskala lokal, nasional bahkan juga
internasional.13 Sementara itu usaha pemulihan kembali (recovery)
keadaan adalah suatu keharusan, bukan saja sebagai respon terhadap
berbagai tudingan dan tantangan yang muncul dari luar, tetapi juga
merupakan tuntutan dari dalam (internal pressure) sebagai warga
yang beradab dan berbudaya.
Berbagai kegiatan yang mempunyai tujuan penataan kembali
kehidupan sosial budaya mereka, khususnya yang berhubungan dengan
(re)konstruksi etnisitas Dayak dilakukan. Pertama-tama digelar upacara
ritual yang disebut “Mangantung Manaheta, Manguat Sahur Parapah” di
Balai Kaharingan, Palangka Raya, pada hari Minggu, tanggal 18 Maret
2002. Upacara adat itu dipimpin oleh Damang Kepala Adat Sinyal
Penyang (Damang Kecamatan Pahandut dan Koordinator Damang se
Kalimantan Tengah). Upacara mempunyai tujuan untuk memohon
keselamatan dan segera berakhirnya bencana seperti konflik berdarah yang
terjadi di daerah-daerah Kalimantan Tengah. Tujuannya yang lebih umum
ialah untuk menjaga wilayah dan warga Kalimantan Tengah serta
menghentikan konflik yang merugikan semua pihak dan bahkan
mendiskreditkan citra warga Dayak di dunia internasional. Upacara
adat ritual itu juga adalah sebagai usaha konsiliasi secara spiritual dan
supernatural yang berpengaruh terhadap perilaku warga Kalimantan
Tengah, termasuk didalamnya penjagaan terhadap preman-preman yang
berdatangan di Kalimantan Tengah dengan maksud meresahkan
warga dengan cara hidup yang menghalalkan segala cara didalam
segala lapisan dan tingkatan dalam warga .
Kegiatan lain di tingkat nasional ialah Musyawarah Damai Anak
Bangsa di Bumi Kalimantan (MDAB-BK) yang diadakan di Nam Centre,
Jakarta, 22-24 Maret 2002. Pada kesempatan ini bertemu wakil-wakil
kelompok yang terlibat konflik dan mereka yang peduli terhadap masalah masalah konflik sosial. Selain dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah dan empat gubernur dari Kalimantan serta Jawa Timur,
juga wakil-wakil yang hadir meliputi 4 (empat) propinsi di Kalimantan
(Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan
Kalimnatan Timur) serta dari Jawa Timur. Pertemuan ini
menghasilkan beberapa keputusan yang pada intinya selain berorientasi
untuk mengungkapkan akar masalah konflik, juga membuat prinsip dasar
penyelesaian masalah-masalah konflik.15 Bagi pemimpin dan tokoh
warga Dayak, keterlibatan dalam musyawarah ini dan
persetujuan terhadap semua keputusan yang dihasilkan sangat bermanfaat
untuk membangun kembali citra “etnisitas” warga nya.
Musyawarah damai itu juga telah menghasilkan rumusan-rumusan
yang mengarah kepada kesamaan persepsi, kesamaan tujuan dan kesamaan
cara bertindak dalam menangani masalah-masalah konflik. Kesamaan
persepsi dibangun dari kesamaan cara pandang terhadap masalah yang
terjadi dan yang sedang dihadapi, sehingga antisipasi bisa dilakukan yaitu:
1) Bahwa kejadian di Bumi Kalimantan ini adalah musibah, yang harus
kita terima dengan tawakal dan ikhlas, serta kita dapat memetik
hikmah dari kejadian ini , sambil melakukan mawas diri agar
kejadian ini adalah yang terakhir dan tidak akan terulang lagi.
2) Bahwa semua peserta bertekad untuk menciptakan suasana yang
kondusif dan damai sehingga seluruh program rekonsiliasi dan
rehabilitasi dapat terlaksana dengan baik.
3) Bahwa hal ini memerlukan kerja keras yang ikhlas dari semua pihak,
terutama dalam rangka sosialisasi sampai ke akar rumput (warga
lapisan bawah), sehingga tidak terjadi salah informasi dan salah
interpretasi yang dapat memberi peluang kepada provokator atau
anasir lainnya untuk menciptakan kejadian serupa terulang.
Kesamaan tujuan yang akan dicapai dan diusaha kan oleh semua
pihak ke seluruh strata, yaitu:
1) Menciptakan suasana aman dan damai, menegakkan prinsip-prinsip
persatuan dan kesatuan sebagai perwujudan Sumpah Pemuda 1928
untuk mengisi kemerdekaan 17 Agustus 1945 serta mensukseskan
program reformasi yang demokratis, anti anarkis dan menghargai
kebhinekaan dalam keikaan dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2) Pemulangan pengungsi ke pemukiman semula di tempat sebelum
mereka mengungsi, yaitu di Kalimantan diatur sebaik-baiknya melalui
proses dan pentahapan seperti dimaksud dalam prinsip dasar, dengan
tetap menghargai keinginan lain yang muncul. Perlindungan hak-hak
sipil bagi para pengungsi seperti atas aset yang mereka miliki.
3) Pemerintah Pusat dan Daerah akan terus menerus melakukan fasilitasi
terhadap permasalahan pengungsi dan usaha -usaha kerukunan /
rekonsiliasi.
4) Jaminan keamanan umum oleh negara dengan dukungan aparatur
keamanan serta aparat penegak hukum dan tokoh-tokoh warga .
Menciptakan rasa aman dan saling pengertian serta rasa kebersamaan.
Ditegakkannya supremasi hukum berdasarkan keadilan, sehingga
tercapai rasa keadilan warga .
5) Penghormatan pada Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia tidak
hanya berpotensi untuk dilanggar oleh aparatur negara, tetapi juga bisa
dilanggar oleh warga warga yang lain (rakyat biasa) sehingga
setiap pelanggaran Hak Asasi Manusia harus bisa dicegah dan ditindak
secara adil dan bertanggung jawab.
6) Peningkatan kesejahteraan rakyat seluruhnya dan menghilangkan
kesenjangan dalam berbagai aspek kehidupan, berdasarkan rasa
keadilan sosial dan berwatak mulia, mengatasi kemiskinan dan
pemerataan pendidikan guna meningkatkan peradaban yang lebih
maju, melalui program-program yang didukung dana pemerintah
maupun swasta.
Kesamaan cara bertindak yang berhubungan dengan sosialisasi
dan operasionalisasi dari hasil-hasil musyawarah, secara simultan dan
sungguh-sungguh, sehingga tercapai:
1) Penghentian konflik dan menjaga agar konflik tidak terulang lagi.
2) Perwujudan rekonsiliasi di semua strata sosial warga .
3) Langkah-langkah nyata dan komprehensif dalam menangani masalah
pengungsi untuk merumuskan prinsip-prinsip yang akan digunakan
dan titik temu yang ideal dan komprehensif.
4) Pelembagaan suatu wadah / forum yang terdiri dari golongan etnis,
tokoh warga , tokoh agama untuk meredam dan menyelesaikan
konflik antar etnis, antar agama dalam kegiatan keagamaan seperti
mesjid, gereja, pura, kelenteng, vihara dan lain-lain.
5) Menghilangkan kecemburuan dalam kehidupan sosial kewarga an
dengan cara memberdayakan dan memberi kesempatan yang sama
untuk berpartisipasi dalam berbagai kehidupan sosial ekonomi dan
sosial budaya.
6) usaha -usaha rehabilitasi yang meliputi mental, sosial ekonomi dan
fisik.
7) Seluruh usaha yang direncanakan untuk pelaksanaannya mensyaratkan
sosialisasi dan bekal-bekal cerdas bagi pihak-pihak, khususnya
warga akar rumput.
8) Meningkatkan secara terus menerus kewaspadaan semua warga bangsa
untuk senantiasa mendahulukan kepentingan negara daripada
kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, demi keutuhan bangsa.
9) Proses ini melibatkan seluruh pihak-pihak warga , tokoh adat,
agama dan aparat. Pemerintah harus lebih proaktif dalam menginisiasi
dan pelaksanaan sesuai dengan tahapan penyelesaian.
10) Pemerintah Daerah agar mendorong Kongres warga Dayak
Kalimantan secepatnya dan perlu segera dipersiapkan sebagai bagian
dari proses penyelesaian secara sistematis termasuk Musyawarah
Kerja sebagai tindak lanjutnya yang perlu dilakukan dalam waktu
singkat.
11) Meningkatkan atensi dalam pengembangan wilayah pedalaman.
12) Faktor pendukung lain ialah dapat dikembangkannya institusi-institusi
pendukung yang harus segera disiapkan pembentukannya seperti Tim
Ad Hoc, lembaga adat, pusat kajian lintas etnis, dan lain-lain.
13) Butir-butir cara tindak ini kiranya dapat ditindak lanjuti secara
konsisten dan dalam suatu kerangka kerja dan rentang waktu yang
relevan dengan perkembangan permasalahan.
Terhadap berbagai keputusan yang diambil dalam Musyawarah
Damai Anak Bangsa di Bumi Kalimantan (MDAB-BK) di Jakarta ini
semakin diperkuat penerimaannya dalam Kongres Rakyat Kalimantan
Tengah Tahun 2001, yang diadakan di Palangka Raya pada tangga 4-7 Juni
2001. Hal itu seperti termaktub dalam ayat 1, dari Pernyataan Sikap yang
diambil yaitu:
“Menerima sepenuhnya Tekad Damai Anak Bangsa di Bumi
Kalimantan hasil Musyawarah Damai Anak Bangsa di Bumi
Kalimantan di Jakarta 20-22 Maret 2001 sebagai wujud nyata
mediasi Pemerintah Pusat dalam Konflik Antar Etnik di Kalteng
dan selanjutnya menyetujui sepenuhnya Pemerintah Pusat
sebagai mediator. Karena itu kesepakatan ini akan disampaikan
kepada Pemerintah Pusat oleh perutusan Pemerintah dan DPRD
Propinsi Kalteng serta perwakilan KRKT [Kongres Rakyat
Kalimantan Tengah] 2001 untuk dipertimbangkan, ditindaklanjuti
dan ditawarkan kepada pihak warga warga Madura eks Kalteng melalui Pemerintah Propinsi Jawa Timur”.
Selain soal penyelesaian konflik, dalam Kongres Rakyat ini
juga dicetuskan pernyataan sikap yang berorientasi kepada penguatan rasa
dan kesadaran etnisitas warga Dayak. Dengan kata lain ada
proses (re)konstruksi etnisitas yang diakibatkan oleh terjadinya konflik.
Hal itu seperti tercantum dalam pernyataan sikap nomor 8 sebagai berikut:
“Bahwa hikmah yang dapat diperoleh dari Konflik Antar Etnik
ialah: 1) harkat dan martabat serta jatidiri warga Dayak telah
diselamatkan dan terangkat dalam tatanan warga majemuk /
multi etnik, 2) dengan demikian rasa persatuan, kesatuan dan
kerukunan serta kesetiakawanan kian meningkat bukan hanya di
kalangan warga Dayak sendiri, tetapi juga antara warga
Dayak dan warga warga etnik-etnik lain di Kalteng, 3)
kesadaran akan hukum dan adat yang kian meningkat, 4)
keyakinan kepada kehandalan “budaya betang” [budaya rumah
panjang] dalam memberi rasa aman dan sejahtera kepada
semua pihak, 5) kesadaran akan mendesaknya pemerataan
pembangunan sampai ke daerah-daerah pedesaan, dan 6)
kesadaran akan pelestarian SDA [Sumber Daya Alam] dan
pengembangan SDM [Sumber Daya Manusia] dan 7) kesetiaan
yang tetap kukuh pada “utus” dalam bingkai NKRI [Negara
Kesatuan Republik Indonesia] dengan semangat patriotisme yang
tinggi.
Proses (re)konstruksi itu juga sangat mewarnai Musyawarah Besar
Damang / Kepala Adat se-Kalimantan Tengah, di Palangka Raya, tanggal
23-24 Mei 2002. Dalam musyawarah ini diambil berbagai keputusan,
Sikap / Kesepakatan Mubes yang betul-betul sudah menyentuh “filsafat”
kehidupan warga Dayak secara lebih luas dan utuh, antara lain: (1)
untuk mendukung kehidupan mereka yang dekat dengan alam, Mubes
mendeklarasikan Kalimantan Tengah Sebagai Daerah Ekologi, 2)
menyarankan kepada DPRD dan Pemerintah Propinsi / Kabupaten dan
Kota agar membuat Perda (Peraturan Daerah) tentang Kalimantan Tengah
Sebagai Daerah Ekologi, 3) membentuk Badan Pekerja Musyawarah Besar
Damang Kepala Adat Kalimantan Tengah (BP-MBDKA-KT) dan Badan
Pengembangan Adat Dayak yang di tingkat Propinsi Kalimantan Tengah,
disingkat Bakor-litbang Adat, 4) merevisi Peraturan Daerah No.14 Tahun
1998 Tentang Kedamangan, 5) menyepakati untuk membina dan
mengembangkan Sistem Nilai Adat “Budaya Betang” sebagai sumber
pembinaan dan pengembangan adat serta hukum adat dalam proses
perkembangan warga multi-etnik, multi-agama, warga madani
[civil society], 6) sepakat untuk menganugerahkan gelar kehormatan adat
kepada pejabat-pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh warga yang
peduli pada pelestarian Sumber Daya Alam dan lingkungan hidup di
Kalimantan Tengah, dan lain sebagainya.
Konflik dengan bentuknya yang beragam memang selalu
berakibat adanya korban dan pengorbanan. Oleh karena itu juga seringkali
menjadi titik tolak me(re)konstruksi kesadaran betapa pentingnya
kehidupan yang damai dan tenteram. Tragedi Sampit 2001 yang kemudian
meluas ke beberapa daerah di Kalimantan Tengah, juga ke Palangka Raya.
telah menjadi pendorong dan motivator bagi warga Dayak
Kalimantan Tengah untuk kembali menata kehidupan sosial budaya, sosial
ekonomi dan sosial politik mereka dalam konteks lokal dan nasional. Bagi
mereka, penataan itu merupakan dinamika proses yang berlanjut terus menerus sejak Rapat Damai Tumbang Anoi 189416 (pertemuan pertama
seluruh kelompok warga sukubangsa Dayak dengan tujuan (re)konstruksi
adat dan tradisi warga Dayak) untuk menjaga, memelihara serta
memperkuat jatidiri dan identitas Dayak.
Pada konteks Tumbang Anoi (1894) proses (re)konstruksi
dilakukan sebagai akibat perang antar kelompok-kelompok (sub-etnis)
Dayak. Pada konteks Tragedi Sampit 2001 yang kemudian berimbas ke
Palangka Raya proses (re)konstruksi warga Dayak disebabkan konflik
antara kelompok-kelompok (sub-etnis) Dayak dengan warga sukubangsa
Madura. Menurut Eriksen (1993) (re)konstruksi suatu kelompok etnis atau
kelompok identitas dapat bangkit kembali saat kelompok ini berada
dibawah ancaman. Proses itu dilakukan sebagai usaha untuk
mempertahankan eksistensi kelompok dan kebudayaannya.