Bagi manusia rumah memiliki
arti yang sangat penting bagi
kehidupan. Di samping sebagai
tempat berlindung, rumah juga
berfungsi sebagai tempat
berlangsungnya proses sosialisasi,
proses dimana seorang individu
diperkenalkan kepada nilai, adat
istiadat yang berlaku dalam
warga nya, yang juga tempat
manusia memenuhi kebutuhan-
kebutuhan hidupnya. Sebagai
tempat tinggal manusia, rumah
haruslah dapat memberikan rasa
aman dan tenteram bagi
penghuninya ,
Mengingat konsep ber-
dirinya pura Mangkunegaran
mengetrapkan konsep ‘Rumah
Tinggal Jawa’ mulai orientasi
keraton arah pa-ju-pat/ arah mata
angin, pola massa/ pola tata massa
dari pintu arah masuk utama (main
entrance) dari selatan ada ruang
terbuka (open space) berupa
halaman / lapangan sebagai space
penerima sebagai daerah umum
(public), kemudian masuk kearah
semi umum dan masuk daerah
private berupa bangunan inti dalam
hal ini rumah tinggal raja.
Fungsi selain sebagai rumah
tinggal raja juga berfungsi
sebagai tempat untuk mengatur
pemerin-tahan, sedangkan fungsi
rumah tinggal pejabat sekarang
tidak digunakan untuk mengatur
pemerintahan, tetapi hanya
sebagai tempat tinggal saja.
Apabila dikaji dari aspek budaya,
bangunan pura Mangkunegaran
merupakan bangu-nan tradisional
peninggalan leluhur pada masa
pemerintahan Raden Mas Said/
Pangeran Samber Nyowo yang
bergelar Mangkunegoro I. Pada
dasarnya pura Mangkunegaran
merupakan tempat tinggal raja
yang hampir sama dengan tempat
tinggal warga Jawa pada saat
itu, hanya saja mempunyai fungsi
dan bentuk yang beraneka ragam
dam kompleks banguna pura
Mangkunegaran merupakan
sekumpulan bentuk bentuk rumah
Jawa antara lain Joglo, limasan,
kampung. Dengan melihat ini
semua dapat diungkap suatu
permasalahan ditinjau dari aspek
budaya, indentifikasi konsep pada
bangunan pura Mangkunegaran
terahadap konsep rumah tinggal
Jawa.
Manusia sebagai makhluk
yang berbudaya tidak lain adalah
makhluk yang senantiasa men-
dayagunakan akal budinya untuk
menciptakan kebahagiaan, karena
yang membahagiakan hidup manusia
itu hakikatnya sesuatu yang baik,
benar dan adil, maka hanya manusia
yang selalu berusaha menciptakan
kebaikan, kebenaran dan keadilan
sajalah yang berhak menyandang
gelar manusia berbudaya. Berbudaya
merupakan ciri khas kehidupan
manusia yang membedakannya dari
mahluk lain. Manusia dilahirkan
dalam suatu budaya tertentu yang
mempengaruhi kepribadiannya. Pada
umumnya manusia sangat peka
terhadap budaya yang mendasari
sikap dan perilakunya.
Kebudayaan merupakan
induk dari berbagai macam pranata
yang dimiliki manusia dalam hidup
berwarga . Etika merupakan
bagian dari kompleksitas unsur-
unsur kebudayaan. Ukuran etis dan
tidak etis merupakan bagian dari
unsur-unsur kebudayaan. Manusia
membutuhkan kebudayaan, yang di
dalamnya ada unsur etika, untuk
bisa menjaga kelangsungan hidup.
Manusia yang berbudaya adalah
manusia yang menjaga tata aturan
hidup. Selain didasarkan pada etika,
berbudaya juga terkandung estetika
di dalamnya. Jika etika menyangkut
analisis dan penerapan konsep
seperti benar, salah, baik, buruk, dan
tanggung jawab, estetika membahas
keindahan, bagaimana ia bisa
terbentuk, dan bagaimana seseorang
bisa merasakannya.
Tanpa bantuan manusia
lainnya, manusia tidak mungkin
bisa berjalan dengan tegak. Dengan
bantuan orang lain, manusia bisa
memakai tangan, bisa ber-
komunikasi atau bicara, dan bisa
mengembangkan seluruh potensi
kemanusiaannya.
Dapat disimpulkan, bah-
wa manusia dikatakan sebagai
makhluk sosial, karena beberapa
alasan, yaitu:
a. Manusia tunduk pada aturan,
norma sosial.
b. Perilaku manusia mengharapkan
suatu penilaian dari orang lain.
c. Manusia memiliki kebutuhan
untuk berinteraksi dengan orang
lain
d. Potensi manusia akan ber-
kembang bila ia hidup di tengah-
tengah manusia.
J.J Honigmann (dalam Koen
tjaraningrat, 2000) membedakan
tiga ‘gejala kebudayaan’ : yaitu :
ideas, activities, dan artifact, dan ini
diperjelas oleh Koenjtaraningrat
yang mengistilahkannya dengan tiga
wujud kebudayaan :
1. Ideas : Wujud kebudayaan
sebagai suatu yang kompleks
dari ide-ide, gagasan-gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, pera-
turan dan sebagainya.
2. Activities : Wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks aktivitas
serta tindakan berpola dari
manusia dalam warga
3. Artefact : Wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya
manusia.
Gambar 01.
Diagram Wujud Budaya di dalam
gejala Kebudayaan.
Mengenai wujud kebudayaan
ini, Elly M.Setiadi dkk dalam Buku
Ilmu Sosial dan Budaya Dasar
(2007:29-30) memberikan pen-
jelasannya sebagai berikut:
a. Wujud Ide
Wujud ini menunjukann
wujud ide dari kebudayaan, sifatnya
abstrak, tak dapat diraba, dipegang
ataupun difoto, dan tempatnya ada
di alam pikiran warga warga
dimana kebudayaan yang ber-
sangkutan itu hidup.
Budaya ideal mempunyai
fungsi mengatur, mengendalikan,
dan memberi arah kepada tindakan,
kelakuan dan perbuatan manusia
dalam warga sebagai sopan
santun. Kebudayaan ideal ini bisa
juga disebut adat istiadat.
b. Wujud perilaku
Wujud ini dinamakan
sistem sosial, karena menyangkut
tindakan dan kelakuan berpola dari
manusia itu sendiri. Wujud ini bisa
diobservasi, difoto dan didoku-
mentasikan karena dalam sistem
sosial ini ada aktivitas-aktivitas
manusia yang berinteraksi dan
berhubungan serta bergaul satu
dengan lainnya dalam warga .
Bersifat konkret dalam wujud
perilaku dan bahasa.
c. Wujud Artefak
Wujud ini disebut juga
kebudayaan fisik, dimana
seluruhnya merupakan hasil fisik.
Sifatnya paling konkret dan bisa
diraba, dilihat dan didokumen-
tasikan. Contohnya : candi, ba-
ngunan, baju, kain komputer dll.
d. Fungsi Kebudayaan
Fungsi kebudayaan yaitu
untuk mengatur manusia agar dapat
mengerti bagaimana seharusnya
bertindak dan berbuat untuk
menentukan sikap kalau akan
berbehubungan dengan orang lain
didalam menjalankan hidupnya.
Kebudayaan berfungsi sebagai:
1) Suatu hubungan pedoman
antar manusia atau kelompok,
contohnya: norma. Norma
adalah kebiasaan yang
dijadikan dasar bagi hubungan
antara orang-orang ini
sehingga tingkah laku masing-
masing bisa diatur. Norma
sifatnya tidak tertulis dan
berasal dari warga .
Makan apabila dilanggar,
sangsinya berupa cemoohan
dari warga .
2) Wadah untuk menyalurkan
perasaan-perasaan dan
kehidupan lainnya, contoh:
kesenian.
3) Melindungi diri kepada alam.
Hasil karya warga
melahirkan teknologi atau
kebudayaan kebendaan yang
mempunyai kegunaan utama di
dalam melindungi warga
terhadap lingkungan alamnya.
4) Pembimbing kehidupan
manusia
5) Pembeda antar manusia dan
binatang
Kebudayaan atau disingkat
“budaya”, menurut Koentja-
raningrat merupakan “keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka
kehidupan warga yang
dijadikan milik diri manusia
dengan belajar, di lain pihak
Clifford Geertz mengatakan bahwa
kebudayaan merupakan sistem
mengenai konsepsi-konsepsi yang
diwariskan dalam bentuk simbolik,
yang dengan cara ini manusia
dapat berkomunikasi, meles-
tarikan, dan mengembangkan
pengetahuan dan sikapnya
terhadap kehidupan.
Lebih sepesifik lagi, E. B
Taylor, dalam bukunya “Primitive
Cultures”, mengartikan kebu-
dayaan sebagai keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya
terkandung ilmu pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, kemampuan
yang lain serta kebiasaan yang
didapat oleh manusia sebagai
anggota warga . Dari berbagai
definisi di atas, maka penulis
menarik kesimpulan bahwa
kebudayaan atau budaya
merupakan sebuah sistem, dimana
sistem itu terbentuk dari perilaku,
baik itu perilaku badan maupun
pikiran. Dan hal ini berkaitan erat
dengan adanya gerak dari
warga , dimana pergerakan
yang dinamis dan dalam kurun
waktu tertentu akan menghasilkan
sebuah tatanan ataupun sistem
tersendiri dalam kumpulan ma-
syarakat.
e. Wujud Kebudayaan
J. J Honigmann (dalam
Koenjtaraningrat, 2000) mem-
bedakan adanya tiga ‘gejala
kebudayaan’ : yaitu : (1) ideas, (2)
activities, dan (3) artifact, dan ini
diperjelas oleh Koenjtaraningrat
yang mengistilahkannya dengan
tiga wujud kebudayaan :
1) Wujud kebudayaan sebagai
suatu yang kompleks dari ide-
ide, gagasan-gagasan, nilai-
nilai, norma-norma, peraturan
dan sebagainya.
2) Wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks aktivitas serta
tindakan berpola dari manusia
dalam warga
3) Wujud kebudayaan sebagai
benda-benda hasil karya
manusia.
f. Unsur Kebudayaan
Mengenai unsur kebudayaan,
dalam bukunya pengantar Ilmu
Antropologi, Koenjtaraningrat,
mengambil sari dari berbagai
kerangka yang disusun para
sarjana Antropologi, mengemu-
kakan bahwa ada tujuh unsur
kebudayaan yang dapat ditemukan
pada semua bangsa di dunia yang
kemudian disebut unsur-unsur
kebudayaan universal, antara lain :
1) Bahasa
2) Sistem Pengetahuan
3) Organisasi Sosial
4) Sistem Peralatan Hidup dan
Teknologi
5) Sistem Mata Pencaharian
6) Sistem Religi
7) Kesenian
Arsitektur adalah bagian dari
kebudayaan. Oleh karena itu, maka
setiap pergeseran ataupun peru-
bahan yang terjadi di dalam
kebudayaan tentu saja akan
mempengaruhi dinamika arsitek-
tur. Pandangan-pandangan dan
peristiwa-peristiwa di dalam kehi-
dupan manusia memberikan sum-
bangan pada bentuk dan orientasi
nilai budaya. Selanjutnya, nilai
budaya manusia banyak mem-
berikan sumbangan pada bentuk
dan orientasi pandangan-pan-
dangan arsitektural. Orientasi
nilai-nilai budaya ditentukan oleh
5 masalah dasar kehidupan :
hakekat hidup, hakekat karya,
persepsi manusia tentang waktu,
pandangan manusia terhadap alam
dan hakekat manusia dengan
sesamanya.Kelima masalah dasar
ini bertautan dengan masalah
lingkungan, baik lingkungan alami
maupun lingkungan fisik
terbangun dan lingkungan sosial.
Manusia adalah makhluk yang
dinamis. Mereka memiliki
keinginan dan rasa serta aspirasi
yang didasarkan pada akal budinya
yang setiap saat akan bergeser dan
berkembang. Kebudayaan tidak
pernah terlepas dari perkembangan
kehidupan manusia. Kebudayaan
merupakan bagian dari kehidupan,
pandangan hidup, sikap, cara hidup
dan hasil kehidupan manusia.
Karena itu maka kebudayaan tidak
bersifat statis dan kaku.
Kebudayaan akan selalu berubah
Perubahan ini dipengaruhi oleh :
- Komunikasi antar warga .
Tingkat komunikasi banyak
ditentukan oleh tingkat
teknologi. Semakin tinggi
tingkat teknologi, semakin cepat
perubahan terjadi.
- Kebebasan-kebebasan individu.
Kebebasan ini dipengaruhi oleh
kebutuhan-kebutuhan setiap in-
dividu
- Perubahan lingkungan fisik
Wujud arsitektur merupakan
ungkapan makna sosial budaya
manusia. Makna sosial budaya
itu sendiri dipengaruhi oleh
nilai-nilai budaya mereka.
Nilai-nilai ini pada hakekatnya
ditentukan oleh lingkungan
manusia yang terdiri dari
lingkungan alami, lingkungan
fisik buatan dan lingkungan
sosial. Hubungan antara
manusia dengan lingkungannya
ini selalu mengalami dinamika
atau perubahan. Perubahan ini
menimbulkan adanya perubahan
pula pada nilai-nilai budaya
meraka. Tahap selanjutnya
adalah bahwa perubahan nilai-
nilai budaya ini
melahirkan karya arsitektural
yang selalu berubah. Dengan
kata lain, perkembangan karya
arsitektural selalu mengikuti
perkembangan nilai-nilai bu-
daya yang ada pada
warga yang melahirkan
perkembangan pada lingkungan
alami, fisik dan sosial mereka.
Suku Jawa merupakan salah
satu suku di Indonesia yang telah
memiliki peradaban yang cukup
tinggi sejak lama. Hal ini
dapat dilihat dari falsafah hidup,
ajaran, serta pengetahuan masya-
rakat terdahulu yang dapat kita
jumpai pada peninggalan-
peninggalan nenek moyang seperti
manuskrip, arca, patung, maupun
peninggalan tak benda seperti
tradisi lisan maupun norma. Dari
beberapa peninggalan ini kita
dapat mengetahui ideologi, jalan
pikiran, maupun cara pandang
warga yang hidup sebelum
kita.
Salah satu peninggalan yang
hingga saat ini dapat ditemui dan
diikuti oleh sebagian warga
adalah peninggalan berupa
arsitektur. Menurut Josef
Priyotomo (1999: 1-2), sekitar
pergantian abad ke-19 sampai 20
Masehi sejumlah naskah yang
berkaitan dengan arsitektur Jawa
telah dihadirkan dalam bentuk
tulisan tangan (naskah). Pada
tahun 1930-an, Pigeaud meme-
rintahkan untuk melatinkan
naskah-naskah Jawa. Sedangkan
pada tahun 1970-an naskah-naskah
ini sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia.
Naskah-naskah arsitektur ter-
sebut memiliki judul yang berbeda,
tetapi di kalangan pengkaji
arsitektur Jawa dikenal sebagai
‘Kawruh Kalang’. Akan tetapi
penyebutan ini mengaki-
batkan naskah ini dikaitkan dengan
warga Kalang. Sehingga
digunakan sebutan Kawruh Griya
yang mengambil dari salah satu
judul naskah, yaitu ‘Kwruh
Griyanipun Tiyang Djawi’. Dua
kelompok besar naskah Kawruh
Griya yaitu membicarakan seluk
beluk bagian bangunan beserta
pengukuran dan pengkonstruk-
siannya, yang kedua yaitu
menyajikan petunjuk perancangan
bangunan.
a. Gambaran Rumah Ideal
Menurut Kawruh Griya
Arti kata griya bila
diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia adalah rumah. Terdapat
gambaran griya atau rumah ideal
warga Jawa dalam naskah
Kawruh Griya yang secara umum
dideskripsikan terdiri dari enam
gugus bangunan, diantaranya
adalah
1) Griya Regol, disebut juga
gapura. Gapura digambarkan
sebagai batas pemberhentian
kendaraan bermotor serta
dilepasnya topi atau payung.
Dalam hal ini gapura
disimbolkan sebagai tempat
penetapan tata krama antara
yang muda dengan yang tua,
atau yang lebih tinggi
derajatnya. Dapat juga
diartikan sebagai seorang tamu
yang menghormati tuan
rumah.
2) Griya Pawon, disebut juga
dapur dalam bahasa Indonesia.
Merupakan tempat meracik
atau mengolah segala hal yang
berkaitan dengan makanan
atau kebutuhan pangan
anggota keluarga.
3) Griya Gandhok, disebut juga
bangunan penghubung dengan
bangunan yang ada di
belakangnya. Dalam naskah
ini tidak dijelaskan lebih lanjut
mengenai gandhok.
4) Griya Lumbung, diartikan
sebagai tempat penyimpanan
padi.
5) Griya Kandhang, tidak
dijelaskan secara rinci
mengenai arti dari kandhang
ini. Akan tetapi jika merujuk
pada bahasa Jawa, kandhang
dapat diartikan sebagai tempat
tinggal hewan peliharaan
seperti sapi, kambing, bebek,
ayam, dan lain sebagainya.
6) Griya Gedhogan, disebut juga
kandang kuda. Kuda
merupakan alat transportasi
utama pada masa lalu. Maka
dari itu bagi warga
zaman dulu satu rumah
biasanya memiliki paling tidak
satu kuda.
Rumah tradisional warga
Jawa juga mengenal istilah griya
wingking atau rumah belakang.
Maksudnya rumah yang letaknya
berada di belakang. Sedangkan
griya ngrarep atau bangunan yang
letaknya di depan yaitu pendapa.
Selain gambaran mengenai bagian-
bagian dalam rumah ideal bagi
warga Jawa dalam naskah
Kawruh Griya, dalam “Primbon
Djawa Pandita Sabda Nata” yang
dihimpun oleh R. Tanaja
menyebutkan ada beberapa ba-
ngunan tambahan, seperti
pagongan yang digunakan untuk
memainkan musik atau gamelan,
pringgitan yaitu bangunan peng-
hubung antara griya ngajeng
dengan griya wingking, griya
pamujan sebagai tempat pemujaan
atau sembahyang, serta halaman
depan, belakang, serta samping
rumah untuk tempat bermain anak.
Naskah ini juga
menggambarkan posisi ideal dari
bangunan-bangunan ini ,
seperti posisi yang baik atas rumah
yang menghadap selatan, dengan
regol di selatan dan menghadap
selatan. Pendapa berada di selatan
letaknya di belakang, pagongan
berada di barat pendapa, gandok
berada di timur letaknya di
belakang, pawon di utara letaknya
di belakang, kandhang berada di
tenggara gandok, gedhogan berada
di selatan kandang, griya pamujan
berada di pojok rumah tepatnya di
sebelah barat laut.
Dari deskripsi di atas kita
bisa menyimpulkan bahwa peng-
gambaran rumah ideal dalam
naskah Kawruh Griya lebih
menggambarkan rumah masya-
rakat Jawa yang erat kaitannya
dalam bidang pertanian. Terlihat
dari adanya lumbung padi dan
kandhang. Sedangkan naskah
Primbon Djawa Pandita Sabda
Nata lebih menggambarkan rumah
elit atau priyayi Jawa.
b. Makna Rumah dalam
Naskah Kawruh Griya
Rumah dalam warga
Jawa tidak hanya digambarkan
sebagai tempat berteduh. Akan
tetapi rumah merupakan rangkaian
dari gugusan bangunan yang
diumpamakan sebagai bagian-
bagian pohon yang sangat penting
untuk menopang keberadaan pohon
ini . Adapun bagian-bagian
ini ada lima, dan bila
berkurang maka akan berkurang
makna dari rumah itu sendiri.
Untuk lebih jelasnya berikut ini
merupakan petikan Kawruh Griya
yang diambil dari tulisan Josef
Prijotomo.
1) Bila orang tanpa rumah,
diumpamakan pohon tanpa
bunga. Tidak enak di-
pandang, juga tidak akan
berbuah. Kalaupun berbuah
tidak akan bermanfaat bagi
kehidupan.
2) Rumah tanpa pendapa di-
umpamakan pohon tanpa
batang.
3) Rumah tanpa dapur di-
umpamakan rumah tanpa
buah, tidak ada yang
diharapkan.
4) Rumah tanpa kandhang
diumpamakan pohon tanpa
daun yang tidak bisa di-
gunakan untuk berteduh.
5) Rumah tanpa gapura atau
tempat penyembahan dium-
pamakan pohon tanpa akar,
tidak bisa menopang kehi-
dupan.
Dari metafora di atas dapat
disimpulkan bahwa bagi masya-
rakat Jawa, rumah bukan sekedar
tempat berteduh, melainkan tempat
bernaung. Dari rumahlah segalanya
bermula dan rumah merupakan
sumber penghidupan.
Kehidupan warga Jawa
sangat erat dengan filosofi dan
kepercayaan dalam setiap aktivitas
yang dilakukan. Begitu pula dalam
membangun tempat tinggal.
Masyarakat Jawa menyebut tempat
tinggal dengan sebutan omah yang
berasal dari dua kata, yaitu om
yang berarti angkasa dan bersifat
laki-laki, serta mah yang berarti
lemah (tanah) dan dalam hal ini
bersifat perempuan. Jadi dalam
penyebutan rumah ada dua
unsur yang disebut dengan Bapak
Angkasa dan Ibu Pertiwi.
Dalam warga Jawa
setiap bagian dari rumah memiliki
filosofi masing-masing. Misalnya
saja bentuk atap pada rumah
tradisional Jawa yang mengambil
filosofi bentuk gunung. Gunung
sering digambarkan sebagai se-
suatu yang suci, tempat para dewa
tinggal, dan lain sebagainya.
Perwujudan gunung dalam atap
rumah tradisional warga Jawa
dapat dilihat dari bentuk tajug,
joglo, limasan, dan kampung.
Struktur bangunan atap ditopang
dengan saka (tiang). Bangunan
utama penyangga atap disebut saka
guru yang berjumlah empat buah.
Jumlah saka guru ini melam-
bangkan arah mata angin yang
berjumlah empat. Manusia
dianggap berada di antara empat
penjuru ini . Bangunan yang
diapit oleh saka guru ini kemudian
disebut dengan pancer.
Terkait dengan kepercayaan arah
mata angin ini juga mempengaruhi
penentuan orientasi bangunan.
Rumah tradisional warga
Jawa umumnya memakai
orientasi dari sumbu Utara-Selatan
yang diyakini sebagai tempat
tinggal penguasa laut selatan dan
Dewi pelindung kerajaan Mataram.
Sedangkan arah Timur-Barat
cenderung dihindari oleh
warga Jawa karena arah
Timur diyakinini sebagai tempat
tinggal dewa pencabut nyawa.
Selain itu warga Jawa juga
mengenal mitos pamali bagi rumah
tusuk sate, yaitu rumah yang
berada tepat menghadap arah
frontal pada suatu pertigaan. Bagi
warga Jawa posisi rumah ini
cenderung dihindari karena
dianggap dapat mendatangkan
marabahaya. Jika kita kaiytkan
dengan hal-hal yang bersifat nalar,
ada beberapa kemungkinan yang
membuat rumah tusuk sate
cenderung dihindari. Pertama,
karena masalah keamanan lalu
lintas. Kedua, masalah Kenya-
manan, terutama kebisingan dan
pengaruh cahaya kendaraan pada
malam hari. Ketiga, masalah
kesehatan yang disebabkan
banyaknya debu dan kerasnya
tiupan angin yang menerpa
langsung pada bangunan rumah.
Dari uraian di atas kita dapat
melihat warga Jawa yang
selalu ingin menciptakan ruang
hidup yang tidak dapat lepas dari
nilai dan norma yang berlaku, serta
mengandalkan kepekaan terhadap
lingkungan dan kepercayaan yang
dianut.
Bangunan Jawa secara prin-
sipial tidak mengenal adanya teras
atau elemen serambi karena elemen
ini merupakan kekhasan dari villa-
villa di Eropa. Bangunan Jawa yang
tanpa mengenal serambi ini
dipadukan dengan elemen Eropa
secara visual dan fungsional
menghadirkan keindahan dan
kegunaan terwariskan secara tradisi
kegenerasi berikutnya. Aliran
klasik dan neoklasik Eropa berpadu
dengan semangat neoklasik Jawa
menghadirkan pengolahan tata
ruang yang secara simbolik
menampilkan citra dan kegunaan
aktivitas.
Dari visualisasi bangunan,
Pura Mangkunegaran mengambil
corak Eropa dalam Empire Style
dalam perpaduan Jawa yang
menghadirkan kemaharajaan de-
ngan keagungan dan kewi-
bawaannya. Perpaduan antara
Arsitektur Jawa dan Arsitektur
Eropa terserap di Mangkunegaran
yang memang terbuka untuk
inovasi dan ide-ide yang baru.
Sistem denah menghadirkan
suatu pola tatanan ruang yang
tertutup dan bersifat linear. Pada
kondisi struktur bangunan tampak
bahwa antara atap dan dinding
merupakan satu kesatuan utuh
struktur dengan kata lain sistem
struktur bangunan Pura meng-
gunakan sistem strutur dinding
pemikul. pemakaian kolom-kolom
bulat yang terbuat dari besi tuang
(cor) dengan konsol-konsol besi
semakin menampakan perpaduan
Jawa dengan neoklasik Eropa
dalam penampilannya.
Ciri utama peningalan Eropa
di Jawa dalam soal bangunan juga
ada pada keluasan bidang
bukaan jendela dan pintu serta
skala ruang yang luas dan tinggi.
Aspek keluasan ini pada intinya
adalah pengolahan aspek Kenya-
manan penghuni dalam aktivitasnya
sehari hari yang hadir di bumi
beriklim tropis.
Bangunan dalam pura
Mangkunegaran terlihat ber-
gerombol, komposisi demikian bias
terjadi karena adanya per-
kembangan kebutuhan sepan-jang
rangkaian masa pemerintahan tiap
tiap raja, namun komposisi pokok
tetap terasa sesuai dengan kaidah
bangunan tradisional, konsisten
dengan fungsi, orientasi dan
filosofis. Bangunan Arsitektur
tradisional mempunyai cirri tertentu
baik secara kualitatif maupun
secara kuantitatif, seperti terlihat
pada pola tata ruang arsitektur
tradisional Jawa.
Di dalam pola tata ruang
kompleks bangunan pura Mangku-
negaran mempunyai kesamaan
khususnya pada pola tata ruang
bangunan inti dengan bangunan
rumah tradisional Jawa. Kesamaam
secara kualitatif antara lain: 1)
Adanya poros atau As yang
dijadikan pengarah keseluruhan tata
bangunan, 2) Adanya orientasi
terhadap arah mata angin sebagai
patokan arah hadap bangunan, 3)
Adanya keseimbangan as/poros
sebagai pembagi, 4) Adanya hirarki
ruang dimana makin kedakam
makin penting/ private, sedangkan
makin keluar semakin umum, 5)
Adanya inti atau pusat ruang/
bangunan yang mengikat ke-
seluruhan gubahan ruang/ bangunan.
Selain itu kesamaan lain antara lain:
1) Adanya bentuk-bentuk ruang dan
bangunan bersegi empat, sebagai
dasar seluruh gubahan ruang dan
bangunan, 2) Adanya bentuk ragam
atap, 3) Adanya skala manusia, 4)
Adanya skala lingkungan bangunan,
5) Adanya system struktur, 6)
Adanya pemakaian bahan bangunan
dari alam terutama bahan dari kayu.
Dari hasil analisis di atas maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bangunan pura Mangkunegaran
merupakan karya budaya
tradisional (Arsitektur Tradisi-
onal) dan diaktua-lisasikan ke
dalam :
- Pola Tata Massa
- Bentuk- bentuk bangunan
- Simbol-simbol dari bentuk,
warna dan ornament.
Wujud fisik bangunan dan nilai
nilai filosofi yang ter-
kandungnya merupakan konsep
fisik bangunan tradisional yang
dilandasi dengan konsep budaya
warga Jawa dan bertujuan
untuk kenaikan, keselamatan
dan keselarasan dengan alam.
2. Konsep budaya keraton yang
berakar dalam kehidupan
warga Jawa sekarang ini
sehingga konsep ini dapat
dipakai sebagai acuan konsep
perancangan bangunan rumah
tinggal bagi warga Jawa
3. Konsep yang ideal dalam pe-
rencanaan rumah tinggal perlu
dipertimbangkan aspek fungsi
ruang, persyaratan ruang dan
kenyamanan ruang yang
dipadukan di dalam makna,
bentuk, warna, symbol dan
sebagainya, sehingga sangat
dipertimbangkan untuk di-
lakukan : Analisis tautan
menyeluruh “ dari unsur fisik
dan non fisik untuk dijadikan
konsep perancangan rumah
tiunggal. Dengan memper-
hatikan aspek kepentingan
penghuni dengan menonjolkan
unsur fungsi dan filosofi