Kamis, 22 Februari 2024

pura surakarta

  





Bagi manusia rumah memiliki 

arti yang sangat penting bagi 

kehidupan. Di samping sebagai 

tempat berlindung, rumah juga 

berfungsi sebagai tempat 

berlangsungnya proses sosialisasi, 

proses dimana seorang individu 

diperkenalkan kepada nilai, adat 

istiadat yang berlaku dalam 

warga nya, yang juga tempat 

manusia memenuhi kebutuhan-

kebutuhan hidupnya. Sebagai 

tempat tinggal manusia, rumah 

haruslah dapat memberikan rasa 

aman dan tenteram bagi 

penghuninya ,

Mengingat konsep ber-

dirinya pura Mangkunegaran 

mengetrapkan konsep ‘Rumah 

Tinggal Jawa’ mulai orientasi 

keraton arah pa-ju-pat/ arah mata 

angin, pola massa/ pola tata massa 

dari pintu arah masuk utama (main 

entrance) dari selatan ada ruang 

terbuka (open space) berupa 

halaman / lapangan sebagai space 

penerima sebagai daerah umum  

(public), kemudian masuk kearah 

semi umum dan masuk daerah 

private berupa bangunan inti dalam 

hal ini rumah tinggal raja. 

Fungsi selain sebagai rumah 

tinggal  raja juga berfungsi 

sebagai tempat untuk mengatur 

pemerin-tahan, sedangkan fungsi 

rumah tinggal pejabat sekarang 

tidak digunakan untuk mengatur 

pemerintahan, tetapi hanya 

sebagai tempat tinggal saja. 

Apabila dikaji dari aspek budaya, 

bangunan pura Mangkunegaran 

merupakan bangu-nan tradisional 

peninggalan leluhur pada masa 

 pemerintahan Raden Mas Said/ 

Pangeran Samber Nyowo yang 

bergelar Mangkunegoro I. Pada 

dasarnya pura Mangkunegaran 

merupakan tempat tinggal raja 

yang hampir sama dengan tempat 

tinggal warga  Jawa pada saat 

itu, hanya saja mempunyai fungsi 

dan bentuk yang beraneka ragam 

dam kompleks banguna pura 

Mangkunegaran merupakan 

sekumpulan bentuk bentuk rumah 

Jawa antara lain Joglo, limasan, 

kampung. Dengan melihat  ini 

semua dapat diungkap suatu 

permasalahan ditinjau dari aspek 

budaya, indentifikasi konsep  pada 

bangunan pura Mangkunegaran 

terahadap konsep rumah tinggal 

Jawa. 


Manusia sebagai makhluk 

yang berbudaya tidak lain adalah 

makhluk yang senantiasa men-

dayagunakan akal budinya untuk 

menciptakan kebahagiaan, karena 

yang membahagiakan hidup manusia 

itu hakikatnya sesuatu yang baik, 

benar dan adil, maka hanya manusia 

yang selalu berusaha menciptakan 

kebaikan, kebenaran dan keadilan 

sajalah yang berhak menyandang 

gelar manusia berbudaya. Berbudaya 

merupakan ciri khas kehidupan 

manusia yang membedakannya dari 

mahluk lain. Manusia dilahirkan 

dalam suatu budaya tertentu yang 

mempengaruhi kepribadiannya. Pada 

umumnya manusia sangat peka 

terhadap budaya yang mendasari 

sikap dan perilakunya. 

    Kebudayaan merupakan 

induk dari berbagai macam pranata 

yang dimiliki manusia dalam hidup 

berwarga . Etika merupakan 

bagian dari kompleksitas unsur-

unsur kebudayaan. Ukuran etis dan 

tidak etis merupakan bagian dari 

unsur-unsur kebudayaan. Manusia 

membutuhkan kebudayaan, yang di 

dalamnya ada  unsur etika, untuk 

bisa menjaga kelangsungan hidup. 

Manusia yang berbudaya adalah 

manusia yang menjaga tata aturan 

hidup. Selain didasarkan pada etika, 

berbudaya juga terkandung estetika 

di dalamnya. Jika etika menyangkut 

analisis dan penerapan konsep 

seperti benar, salah, baik, buruk, dan 

tanggung jawab, estetika membahas 

keindahan, bagaimana ia bisa 

terbentuk, dan bagaimana seseorang 

bisa merasakannya. 

Tanpa bantuan manusia 

lainnya, manusia tidak mungkin 

bisa berjalan dengan tegak. Dengan 

bantuan orang lain, manusia bisa 

memakai  tangan, bisa ber-

komunikasi atau bicara, dan bisa 

mengembangkan seluruh potensi 

kemanusiaannya. 

Dapat disimpulkan, bah-

wa manusia dikatakan sebagai 

makhluk sosial, karena beberapa 

alasan, yaitu: 

a. Manusia tunduk pada aturan, 

norma sosial. 

b. Perilaku manusia mengharapkan 

suatu     penilaian dari orang lain. 

c. Manusia memiliki kebutuhan 

untuk berinteraksi dengan orang 

lain 

d. Potensi manusia akan ber-

kembang bila ia hidup di tengah-

tengah manusia. 

 


  J.J Honigmann (dalam Koen 

tjaraningrat, 2000) membedakan 

tiga ‘gejala kebudayaan’ : yaitu : 

ideas, activities, dan artifact, dan ini 

diperjelas oleh Koenjtaraningrat 

 yang mengistilahkannya dengan tiga 

wujud kebudayaan : 

1. Ideas : Wujud kebudayaan 

sebagai suatu yang kompleks 

dari ide-ide, gagasan-gagasan, 

nilai-nilai, norma-norma, pera-

turan dan sebagainya. 

2. Activities : Wujud kebudayaan 

sebagai suatu kompleks aktivitas 

serta tindakan berpola dari 

manusia dalam warga  

3. Artefact : Wujud kebudayaan 

sebagai benda-benda hasil karya 

manusia. 

Gambar 01. 

Diagram Wujud Budaya di dalam 

gejala   Kebudayaan. 

 

Mengenai wujud kebudayaan 

ini, Elly M.Setiadi dkk dalam Buku 

Ilmu Sosial dan Budaya Dasar 

(2007:29-30) memberikan pen-

jelasannya sebagai berikut:  

a.       Wujud Ide 

Wujud ini  menunjukann 

wujud ide dari kebudayaan, sifatnya 

abstrak, tak dapat diraba, dipegang 

ataupun difoto, dan tempatnya ada 

di alam pikiran warga warga  

dimana kebudayaan yang ber-

sangkutan itu hidup. 

Budaya ideal mempunyai 

fungsi mengatur, mengendalikan, 

dan memberi arah kepada tindakan, 

kelakuan dan perbuatan manusia 

dalam warga  sebagai sopan 

santun. Kebudayaan ideal ini bisa 

juga disebut adat istiadat. 

 

b.      Wujud perilaku 

Wujud ini  dinamakan 

sistem sosial, karena menyangkut 

tindakan dan kelakuan berpola dari 

manusia itu sendiri. Wujud ini bisa 

diobservasi, difoto dan didoku-

mentasikan karena dalam sistem 

sosial ini ada  aktivitas-aktivitas 

manusia yang berinteraksi dan 

berhubungan serta bergaul satu 

dengan lainnya dalam warga . 

Bersifat konkret dalam wujud 

perilaku dan bahasa. 

 

c.      Wujud Artefak 

Wujud ini disebut juga 

kebudayaan fisik, dimana 

seluruhnya merupakan hasil fisik. 

Sifatnya paling konkret dan bisa 

diraba, dilihat dan didokumen-

tasikan. Contohnya : candi, ba-

ngunan, baju, kain komputer dll. 

 

d.      Fungsi Kebudayaan 

Fungsi kebudayaan yaitu 

untuk mengatur manusia agar dapat 

mengerti bagaimana seharusnya 

bertindak dan berbuat untuk 

menentukan sikap kalau akan 

berbehubungan dengan orang lain 

didalam menjalankan hidupnya. 

Kebudayaan berfungsi sebagai:  

1) Suatu hubungan pedoman 

antar manusia atau kelompok, 

contohnya: norma. Norma 

adalah kebiasaan yang 

dijadikan dasar bagi hubungan 

antara orang-orang ini  

sehingga tingkah laku masing-

masing bisa diatur. Norma 

sifatnya tidak tertulis dan 

berasal dari warga . 

Makan apabila dilanggar, 

 sangsinya berupa cemoohan 

dari warga . 

2) Wadah untuk menyalurkan 

perasaan-perasaan dan 

kehidupan lainnya, contoh: 

kesenian.  

3) Melindungi diri kepada alam. 

Hasil karya warga  

melahirkan teknologi atau 

kebudayaan kebendaan yang 

mempunyai kegunaan utama di 

dalam melindungi warga  

terhadap lingkungan alamnya. 

4) Pembimbing kehidupan 

manusia 

5)    Pembeda antar manusia dan 

binatang 

Kebudayaan atau disingkat 

“budaya”, menurut Koentja-

raningrat  merupakan “keseluruhan 

sistem gagasan, tindakan dan hasil 

karya manusia dalam rangka 

kehidupan warga  yang 

dijadikan milik diri manusia 

dengan belajar, di lain pihak 

Clifford Geertz mengatakan bahwa 

kebudayaan merupakan sistem 

mengenai konsepsi-konsepsi yang 

diwariskan dalam bentuk simbolik, 

yang dengan cara ini manusia 

dapat berkomunikasi, meles-

tarikan, dan mengembangkan 

pengetahuan dan sikapnya 

terhadap kehidupan. 

Lebih sepesifik lagi, E. B 

Taylor, dalam bukunya “Primitive 

Cultures”, mengartikan kebu-

dayaan sebagai keseluruhan yang 

kompleks, yang di dalamnya 

terkandung ilmu pengetahuan, 

kepercayaan, kesenian, moral, 

hukum, adat istiadat, kemampuan 

yang lain serta kebiasaan yang 

didapat oleh manusia sebagai 

anggota warga . Dari berbagai 

definisi di atas, maka penulis 

menarik kesimpulan bahwa 

kebudayaan atau budaya 

merupakan sebuah sistem, dimana 

sistem itu terbentuk dari perilaku, 

baik itu perilaku badan maupun 

pikiran. Dan hal ini berkaitan erat 

dengan adanya gerak dari 

warga , dimana pergerakan 

yang dinamis dan dalam kurun 

waktu tertentu akan menghasilkan 

sebuah tatanan ataupun sistem 

tersendiri dalam kumpulan ma-

syarakat. 

 

e.      Wujud Kebudayaan 

  J. J Honigmann (dalam 

Koenjtaraningrat, 2000) mem-

bedakan adanya tiga ‘gejala 

kebudayaan’ : yaitu : (1) ideas, (2) 

activities, dan (3) artifact, dan ini 

diperjelas oleh Koenjtaraningrat 

yang mengistilahkannya dengan 

tiga wujud kebudayaan : 

1) Wujud kebudayaan sebagai 

suatu yang kompleks dari ide-

ide, gagasan-gagasan, nilai-

nilai, norma-norma, peraturan 

dan sebagainya. 

2) Wujud kebudayaan sebagai 

suatu kompleks aktivitas serta 

tindakan berpola dari manusia 

dalam warga  

3) Wujud kebudayaan sebagai 

benda-benda hasil karya 

manusia. 

f.       Unsur Kebudayaan 

Mengenai unsur kebudayaan, 

dalam bukunya pengantar Ilmu 

Antropologi, Koenjtaraningrat, 

mengambil sari dari berbagai 

kerangka yang disusun para 

sarjana Antropologi, mengemu-

kakan bahwa ada tujuh unsur 

kebudayaan yang dapat ditemukan 

pada semua bangsa di dunia yang 

kemudian disebut unsur-unsur 

kebudayaan universal, antara lain : 

1) Bahasa 

2) Sistem Pengetahuan 

 3) Organisasi Sosial 

4) Sistem Peralatan Hidup dan 

Teknologi 

5) Sistem Mata Pencaharian 

6) Sistem Religi 

7) Kesenian 

 


Arsitektur adalah bagian dari 

kebudayaan. Oleh karena itu, maka 

setiap pergeseran ataupun peru-

bahan yang terjadi di dalam 

kebudayaan tentu saja akan 

mempengaruhi dinamika arsitek-

tur. Pandangan-pandangan dan 

peristiwa-peristiwa di dalam kehi-

dupan manusia memberikan sum-

bangan pada bentuk dan orientasi 

nilai budaya. Selanjutnya, nilai 

budaya manusia banyak mem-

berikan sumbangan pada bentuk 

dan orientasi pandangan-pan-

dangan arsitektural. Orientasi 

nilai-nilai budaya ditentukan oleh 

5 masalah dasar kehidupan : 

hakekat hidup, hakekat karya, 

persepsi manusia tentang waktu, 

pandangan manusia terhadap alam 

dan hakekat manusia dengan 

sesamanya.Kelima masalah dasar 

ini bertautan dengan masalah 

lingkungan, baik lingkungan alami 

maupun lingkungan fisik 

terbangun dan lingkungan sosial. 

Manusia adalah makhluk yang 

dinamis. Mereka memiliki 

keinginan dan rasa serta aspirasi 

yang didasarkan pada akal budinya 

yang setiap saat akan bergeser dan 

berkembang. Kebudayaan tidak 

pernah terlepas dari perkembangan 

kehidupan manusia. Kebudayaan 

merupakan bagian dari kehidupan, 

pandangan hidup, sikap, cara hidup 

dan hasil kehidupan manusia. 

Karena itu maka kebudayaan tidak 

bersifat statis dan kaku. 

Kebudayaan akan selalu berubah 

Perubahan ini dipengaruhi oleh : 

- Komunikasi antar warga . 

Tingkat komunikasi banyak 

ditentukan oleh tingkat 

teknologi. Semakin tinggi 

tingkat teknologi, semakin cepat 

perubahan terjadi. 

- Kebebasan-kebebasan individu. 

Kebebasan ini dipengaruhi oleh 

kebutuhan-kebutuhan setiap in-

dividu 

-   Perubahan lingkungan fisik 

Wujud arsitektur merupakan 

ungkapan makna sosial budaya 

manusia. Makna sosial budaya 

itu sendiri dipengaruhi oleh 

nilai-nilai budaya mereka. 

Nilai-nilai ini pada hakekatnya 

ditentukan oleh lingkungan 

manusia yang terdiri dari 

lingkungan alami, lingkungan 

fisik buatan dan lingkungan 

sosial. Hubungan antara 

manusia dengan lingkungannya 

ini selalu mengalami dinamika 

atau perubahan. Perubahan ini 

menimbulkan adanya perubahan 

pula pada nilai-nilai budaya 

meraka. Tahap selanjutnya 

adalah bahwa perubahan nilai-

nilai budaya ini  

melahirkan karya arsitektural 

yang selalu berubah. Dengan 

kata lain, perkembangan karya 

arsitektural selalu mengikuti 

perkembangan nilai-nilai bu-

daya yang ada  pada 

warga  yang melahirkan 

perkembangan pada lingkungan 

alami, fisik dan sosial mereka. 


Suku Jawa merupakan salah 

satu suku di Indonesia yang telah 

 memiliki peradaban yang cukup 

tinggi sejak lama. Hal ini  

dapat dilihat dari falsafah hidup, 

ajaran, serta pengetahuan masya-

rakat terdahulu yang dapat kita 

jumpai pada peninggalan-

peninggalan nenek moyang seperti 

manuskrip, arca, patung, maupun 

peninggalan tak benda seperti 

tradisi lisan maupun norma. Dari 

beberapa peninggalan ini  kita 

dapat mengetahui ideologi, jalan 

pikiran, maupun cara pandang 

warga  yang hidup sebelum 

kita. 

Salah satu peninggalan yang 

hingga saat ini dapat ditemui dan 

diikuti oleh sebagian warga  

adalah peninggalan berupa 

arsitektur. Menurut Josef 

Priyotomo (1999: 1-2), sekitar 

pergantian abad ke-19 sampai 20 

Masehi sejumlah naskah yang 

berkaitan dengan arsitektur Jawa 

telah dihadirkan dalam bentuk 

tulisan tangan (naskah). Pada 

tahun 1930-an, Pigeaud meme-

rintahkan untuk melatinkan 

naskah-naskah Jawa. Sedangkan 

pada tahun 1970-an naskah-naskah 

ini  sudah diterjemahkan ke 

dalam bahasa Indonesia. 

Naskah-naskah arsitektur ter-

sebut memiliki judul yang berbeda, 

tetapi di kalangan pengkaji 

arsitektur Jawa dikenal sebagai 

‘Kawruh Kalang’. Akan tetapi 

penyebutan ini  mengaki-

batkan naskah ini dikaitkan dengan 

warga  Kalang. Sehingga 

digunakan sebutan Kawruh Griya 

yang mengambil dari salah satu 

judul naskah, yaitu ‘Kwruh 

Griyanipun Tiyang Djawi’. Dua 

kelompok besar naskah Kawruh 

Griya yaitu membicarakan seluk 

beluk bagian bangunan beserta 

pengukuran dan pengkonstruk-

siannya, yang kedua yaitu 

menyajikan petunjuk perancangan 

bangunan. 

a. Gambaran Rumah Ideal 

Menurut Kawruh Griya 

Arti kata griya bila 

diterjemahkan dalam bahasa 

Indonesia adalah rumah. Terdapat 

gambaran griya atau rumah ideal 

warga  Jawa dalam naskah 

Kawruh Griya yang secara umum 

dideskripsikan terdiri dari enam 

gugus bangunan, diantaranya 

adalah 

1) Griya Regol, disebut juga 

gapura. Gapura digambarkan 

sebagai batas pemberhentian 

kendaraan bermotor serta 

dilepasnya topi atau payung. 

Dalam hal ini gapura 

disimbolkan sebagai tempat 

penetapan tata krama antara 

yang muda dengan yang tua, 

atau yang lebih tinggi 

derajatnya. Dapat juga 

diartikan sebagai seorang tamu 

yang menghormati tuan 

rumah. 

2) Griya Pawon, disebut juga 

dapur dalam bahasa Indonesia. 

Merupakan tempat meracik 

atau mengolah segala hal yang 

berkaitan dengan makanan 

atau kebutuhan pangan 

anggota keluarga. 

3) Griya Gandhok, disebut juga 

bangunan penghubung dengan 

bangunan yang ada di 

belakangnya. Dalam naskah 

ini tidak dijelaskan lebih lanjut 

mengenai gandhok. 

4) Griya Lumbung, diartikan 

sebagai tempat penyimpanan 

padi.  

5) Griya Kandhang, tidak 

dijelaskan secara rinci 

mengenai arti dari kandhang 

 ini. Akan tetapi jika merujuk 

pada bahasa Jawa, kandhang 

dapat diartikan sebagai tempat 

tinggal hewan peliharaan 

seperti sapi, kambing, bebek, 

ayam, dan lain sebagainya. 

6) Griya Gedhogan, disebut juga 

kandang kuda. Kuda 

merupakan alat transportasi 

utama pada masa lalu. Maka 

dari itu bagi warga  

zaman dulu satu rumah 

biasanya memiliki paling tidak 

satu kuda. 

Rumah tradisional warga  

Jawa juga mengenal istilah griya 

wingking atau rumah belakang. 

Maksudnya rumah yang letaknya 

berada di belakang. Sedangkan 

griya ngrarep atau bangunan yang 

letaknya di depan yaitu pendapa. 

Selain gambaran mengenai bagian-

bagian dalam rumah ideal bagi 

warga  Jawa dalam naskah 

Kawruh Griya, dalam “Primbon 

Djawa Pandita Sabda Nata” yang 

dihimpun oleh R. Tanaja 

menyebutkan ada beberapa ba-

ngunan tambahan, seperti 

pagongan yang digunakan untuk 

memainkan musik atau gamelan, 

pringgitan yaitu bangunan peng-

hubung antara griya ngajeng 

dengan griya wingking, griya 

pamujan sebagai tempat pemujaan 

atau sembahyang, serta halaman 

depan, belakang, serta samping 

rumah untuk tempat bermain anak. 

Naskah ini juga 

menggambarkan posisi ideal dari 

bangunan-bangunan ini , 

seperti posisi yang baik atas rumah 

yang menghadap selatan, dengan 

regol di selatan dan menghadap 

selatan. Pendapa berada di selatan 

letaknya di belakang, pagongan 

berada di barat pendapa, gandok 

berada di timur letaknya di 

belakang, pawon di utara letaknya 

di belakang, kandhang berada di 

tenggara gandok, gedhogan berada 

di selatan kandang, griya pamujan 

berada di pojok rumah tepatnya di 

sebelah barat laut. 

Dari deskripsi di atas kita 

bisa menyimpulkan bahwa peng-

gambaran rumah ideal dalam 

naskah Kawruh Griya lebih 

menggambarkan rumah masya-

rakat Jawa yang erat kaitannya 

dalam bidang pertanian. Terlihat 

dari adanya lumbung padi dan 

kandhang. Sedangkan naskah 

Primbon Djawa Pandita Sabda 

Nata lebih menggambarkan rumah 

elit atau priyayi Jawa. 

b.   Makna    Rumah   dalam 

Naskah Kawruh Griya 

Rumah dalam warga  

Jawa tidak hanya digambarkan 

sebagai tempat berteduh. Akan 

tetapi rumah merupakan rangkaian 

dari gugusan bangunan yang 

diumpamakan sebagai bagian-

bagian pohon yang sangat penting 

untuk menopang keberadaan pohon 

ini . Adapun bagian-bagian 

ini  ada lima, dan bila 

berkurang maka akan berkurang 

makna dari rumah itu sendiri. 

Untuk lebih jelasnya berikut ini 

merupakan petikan Kawruh Griya 

yang diambil dari tulisan Josef 

Prijotomo. 

1) Bila orang tanpa rumah, 

diumpamakan pohon tanpa 

bunga. Tidak enak di-

pandang, juga tidak akan 

berbuah. Kalaupun berbuah 

tidak akan bermanfaat bagi 

kehidupan. 

2) Rumah tanpa pendapa di-

umpamakan pohon tanpa 

batang. 

 3) Rumah tanpa dapur di-

umpamakan rumah tanpa 

buah, tidak ada yang 

diharapkan. 

4) Rumah tanpa kandhang 

diumpamakan pohon tanpa 

daun yang tidak bisa di-

gunakan untuk berteduh. 

5) Rumah tanpa gapura atau 

tempat penyembahan dium-

pamakan pohon tanpa akar, 

tidak bisa menopang kehi-

dupan. 

Dari metafora di atas dapat 

disimpulkan bahwa bagi masya-

rakat Jawa, rumah bukan sekedar 

tempat berteduh, melainkan tempat 

bernaung. Dari rumahlah segalanya 

bermula dan rumah merupakan 

sumber penghidupan. 


Kehidupan warga  Jawa 

sangat erat dengan filosofi dan 

kepercayaan dalam setiap aktivitas 

yang dilakukan. Begitu pula dalam 

membangun tempat tinggal. 

Masyarakat Jawa menyebut tempat 

tinggal dengan sebutan omah yang 

berasal dari dua kata, yaitu om 

yang berarti angkasa dan bersifat 

laki-laki, serta mah yang berarti 

lemah (tanah) dan dalam hal ini 

bersifat perempuan. Jadi dalam 

penyebutan rumah ada  dua 

unsur yang disebut dengan Bapak 

Angkasa dan Ibu Pertiwi. 

Dalam warga  Jawa 

setiap bagian dari rumah memiliki 

filosofi masing-masing. Misalnya 

saja bentuk atap pada rumah 

tradisional Jawa yang mengambil 

filosofi bentuk gunung. Gunung 

sering digambarkan sebagai se-

suatu yang suci, tempat para dewa 

tinggal, dan lain sebagainya. 

Perwujudan gunung dalam atap 

rumah tradisional warga  Jawa 

dapat dilihat dari bentuk tajug, 

joglo, limasan, dan kampung. 

Struktur bangunan atap ditopang 

dengan saka (tiang). Bangunan 

utama penyangga atap disebut saka 

guru yang berjumlah empat buah. 

Jumlah saka guru ini melam-

bangkan arah mata angin yang 

berjumlah empat. Manusia 

dianggap berada di antara empat 

penjuru ini . Bangunan yang 

diapit oleh saka guru ini kemudian 

disebut dengan pancer. 

Terkait dengan kepercayaan arah 

mata angin ini juga mempengaruhi 

penentuan orientasi bangunan. 

Rumah tradisional warga  

Jawa umumnya memakai  

orientasi dari sumbu Utara-Selatan 

yang diyakini sebagai tempat 

tinggal penguasa laut selatan dan 

Dewi pelindung kerajaan Mataram. 

Sedangkan arah Timur-Barat 

cenderung dihindari oleh 

warga  Jawa karena arah 

Timur diyakinini sebagai tempat 

tinggal dewa pencabut nyawa. 

Selain itu warga  Jawa juga 

mengenal mitos pamali bagi rumah 

tusuk sate, yaitu rumah yang 

berada tepat menghadap arah 

frontal pada suatu pertigaan. Bagi 

warga  Jawa posisi rumah ini 

cenderung dihindari karena 

dianggap dapat mendatangkan 

marabahaya. Jika kita kaiytkan 

dengan hal-hal yang bersifat nalar, 

ada beberapa kemungkinan yang 

membuat rumah tusuk sate 

cenderung dihindari. Pertama, 

karena masalah keamanan lalu 

lintas. Kedua, masalah Kenya-

manan, terutama kebisingan dan 

pengaruh cahaya kendaraan pada 

malam hari. Ketiga, masalah 

kesehatan yang disebabkan 

 banyaknya debu dan kerasnya 

tiupan angin yang menerpa 

langsung pada bangunan rumah. 

Dari uraian di atas kita dapat 

melihat warga  Jawa yang 

selalu ingin menciptakan ruang 

hidup yang tidak dapat lepas dari 

nilai dan norma yang berlaku, serta 

mengandalkan kepekaan terhadap 

lingkungan dan kepercayaan yang 

dianut. 


Bangunan Jawa secara prin-

sipial tidak mengenal adanya teras 

atau elemen serambi karena elemen 

ini merupakan kekhasan dari villa-

villa di Eropa. Bangunan Jawa yang 

tanpa mengenal serambi ini 

dipadukan dengan elemen Eropa 

secara visual dan fungsional 

menghadirkan keindahan dan 

kegunaan terwariskan secara tradisi 

kegenerasi berikutnya. Aliran 

klasik dan neoklasik Eropa berpadu 

dengan semangat neoklasik Jawa 

menghadirkan pengolahan tata 

ruang yang secara simbolik 

menampilkan citra dan kegunaan 

aktivitas.  

Dari visualisasi bangunan, 

Pura Mangkunegaran mengambil 

corak Eropa dalam Empire Style 

dalam perpaduan Jawa yang 

menghadirkan kemaharajaan de-

ngan keagungan dan kewi-

bawaannya. Perpaduan antara 

Arsitektur Jawa dan Arsitektur 

Eropa terserap di Mangkunegaran 

yang memang terbuka untuk 

inovasi dan ide-ide yang baru. 

Sistem denah menghadirkan 

suatu pola   tatanan ruang yang 

tertutup dan bersifat linear. Pada 

kondisi struktur bangunan tampak 

bahwa antara atap dan dinding 

merupakan satu kesatuan utuh 

struktur dengan kata lain sistem 

struktur bangunan Pura meng-

gunakan sistem strutur dinding 

pemikul. pemakaian  kolom-kolom 

bulat yang terbuat dari besi tuang 

(cor) dengan konsol-konsol besi 

semakin menampakan perpaduan 

Jawa dengan neoklasik Eropa 

dalam penampilannya. 

Ciri utama peningalan Eropa 

di Jawa dalam soal bangunan juga 

ada  pada keluasan bidang 

bukaan jendela dan pintu serta 

skala ruang yang luas dan tinggi. 

Aspek keluasan ini pada intinya 

adalah pengolahan aspek Kenya-

manan penghuni dalam aktivitasnya 

sehari hari yang hadir di bumi 

beriklim tropis. 

Bangunan dalam pura 

Mangkunegaran terlihat ber-

gerombol, komposisi demikian bias 

terjadi karena adanya per-

kembangan kebutuhan sepan-jang 

rangkaian masa pemerintahan tiap 

tiap raja, namun komposisi pokok 

tetap terasa sesuai dengan kaidah 

bangunan tradisional, konsisten 

dengan fungsi, orientasi dan 

 filosofis. Bangunan Arsitektur 

tradisional mempunyai cirri tertentu 

baik secara kualitatif maupun 

secara kuantitatif, seperti terlihat 

pada pola tata ruang arsitektur 

tradisional Jawa. 

 


 

Di dalam pola tata ruang 

kompleks bangunan pura Mangku-

negaran mempunyai kesamaan  

khususnya pada pola tata ruang 

bangunan inti dengan bangunan 

rumah tradisional Jawa. Kesamaam 

secara kualitatif antara lain: 1) 

Adanya poros atau As yang 

dijadikan pengarah keseluruhan tata 

bangunan, 2) Adanya orientasi 

terhadap arah mata angin sebagai 

patokan arah hadap bangunan, 3) 

Adanya keseimbangan as/poros 

sebagai pembagi, 4) Adanya hirarki 

ruang dimana makin kedakam 

makin penting/ private, sedangkan 

makin keluar semakin umum, 5) 

Adanya inti atau pusat ruang/ 

bangunan yang mengikat ke-

seluruhan gubahan ruang/ bangunan. 

Selain itu kesamaan lain antara lain: 

1) Adanya bentuk-bentuk ruang dan 

bangunan bersegi empat, sebagai 

 dasar seluruh gubahan ruang dan 

bangunan, 2) Adanya bentuk ragam 

atap, 3) Adanya skala manusia, 4) 

Adanya skala lingkungan bangunan, 

5) Adanya system struktur, 6) 

Adanya pemakaian bahan bangunan 

dari alam terutama bahan dari kayu. 

 


Dari hasil analisis di atas maka 

dapat disimpulkan sebagai berikut: 

1.   Bangunan pura Mangkunegaran 

merupakan karya budaya 

tradisional (Arsitektur Tradisi-

onal) dan diaktua-lisasikan ke 

dalam : 

      -   Pola Tata Massa 

      -   Bentuk- bentuk bangunan 

      - Simbol-simbol dari bentuk,  

warna dan ornament. 

       Wujud fisik bangunan dan nilai 

nilai filosofi yang ter-

kandungnya merupakan konsep 

fisik bangunan tradisional yang 

dilandasi dengan konsep budaya 

warga  Jawa dan bertujuan 

untuk kenaikan, keselamatan 

dan keselarasan dengan alam. 

2. Konsep budaya keraton yang 

berakar dalam kehidupan 

warga  Jawa sekarang ini 

sehingga konsep ini  dapat 

dipakai sebagai acuan konsep 

perancangan bangunan rumah 

tinggal bagi warga  Jawa 

3. Konsep yang ideal dalam pe-

rencanaan rumah tinggal perlu 

dipertimbangkan aspek fungsi 

ruang, persyaratan ruang dan 

kenyamanan ruang yang 

dipadukan di dalam makna, 

bentuk, warna, symbol dan 

sebagainya, sehingga sangat 

dipertimbangkan untuk di-

lakukan : Analisis tautan 

menyeluruh “ dari unsur fisik 

dan non fisik untuk dijadikan 

konsep perancangan  rumah 

tiunggal. Dengan memper-

hatikan aspek kepentingan 

penghuni dengan menonjolkan 

unsur fungsi dan filosofi  

 


Related Posts:

  • pura surakarta  Bagi manusia rumah memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan. Di samping sebagai tempat berlindung, rumah juga … Read More