Kamis, 22 Februari 2024

sastra jawa 1

  




Sastra, mungkin telah ada sejak manusia ada. Bersamaan dengan perkembangan 

manusia dan kebudayaannya, sastra juga berkembang menurut situasi dan kreasi manusianya. 

Dengan demikian, sejalan dengan pengelompokan-pengelompokan manusia dan  

kebudayaannya, sastra juga berkembang dalam kelompok-kelompok itu. Barangkali hal 

seperti inilah yang hingga saat ini menjadikan sastra memiliki keumuman sekaligus 

kekhususan. Seperti setiap manusia yang memiliki kekhasan dan kesamaan dengan manusia 

lainnya, setiap karya sastra demikian halnya.  secara agak optimis, 

menuliskan bahwa setiap karya sastra, di samping memiliki ciri khas, juga memiliki sifat-sifat 

yang sama dengan karya seni yang lain, sehingga orang dapat membuat generalisasi terhadap 

karya sastra dan drama periode tertentu, atau drama, kesusasteraan, atau kesenian pada 

umumnya.  

Pernyataan Wellek & Warren di atas, tentu saja harus dilengkapi dengan pernyataan bahwa menurut mereka tidak mungkin memberikan sebuah 

definisi yang universal mengenai sastra. Sastra bukanlah sebuah benda yang dijumpai, sastra 

yaitu  sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada beberapa  hasil tertentu 

dalam suatu lingkungan kebudayaan.  

Barangkali inilah titik pangkal dari permasalahan kajian sastra yang pertama kali 

muncul, yakni perihal tidak pernah terjawabnya (dengan memuaskan) pertanyaan “apakah 

sastra itu?”, sebab terlalu kompleksnya sesuatu yang disebut sastra itu.   

Arti sastra yang sangat kompleks itu telah mengaburkan batasan sastra sebagai obyek 

kajian keilmuan. bahwa meskipun sudah cukup 

banyak usaha yang dilakukan sepanjang masa untuk memberi batasan yang tegas atas 

pertanyaan: “apakah sastra itu ?”, namun batasan manapun juga yang diberikan oleh para 

ilmuwan tidak kesampaian. Hal itu dikarenakan batasan sastra itu hanya menekankan satu 

atau beberapa aspek saja, atau hanya berlaku untuk sastra tertentu saja, atau sebaliknya, 

terlalu luas dan longgar sehingga melingkupi banyak hal yang jelas bukan sastra lagi. 

kegagalan definisi itu antara lain sebagai berikut.  

1.  sebab orang ingin mendefinisikan terlalu banyak sekaligus, sering memakai  

dua kriteria sekaligus, sering memakai  definisi deskriptif dan definisi evaluatif 

sekaligus, dengan menuilai baik dan tidaknya suatu karya sastra.  

2.  sebab memakai  definisi “ontologis” mengenai sastra, yakni mengungkap 

hakikat sebuah karya sastra. Padahal mengingat kompleksnya obyek sastra, 

mestinya sastra didefinisikan di dalam situasi pemakai atau pembaca sastra. 

Norma dan deskripsi sering dicampuradukkan, padahal suatu karya bagi satu 

orang bisa termasuk sastra, bagi orang lain mungkin tidak.  

3.  Anggapan mengenai sastra sering ditentukan oleh sastra Barat, khususnya sejak 

jaman renaisance, tanpa memperhitungkan bentuk-bentuk sastra di luar Eropa. 

Sastra India, Melayu, Jawa dan sebagainya tentu memiliki kekhasannya masing-

masing, apalagi kalau dipisahkan dari jaman-jaman tertentu.  

4.  Definisi oleh ahli yang sering memuaskan untuk diterapkan pada beberapa  jenis 

sastra, tidak cocok untuk diterapkan pada sastra secara umum.    

Pada berbagai hal secara umum, untuk mendefinisikan sesuatu itu dapat didekati dari 

namanya. Secara etimologis, kata sastra dalam bahasa Indonesia (dalam bahasa Inggris 

sering disebut literature dan dalam bahasa Perancis disebut litterature) berasal dari bahasa 

Sanskerta: akar kata ‘sas-, dalam kata kerja turunan berarti “mengarahkan, mengajar, 

memberi petunjuk atau instruksi”. Akhiran -tra, biasanya menunjukkan “alat, sarana”. 

Jadi sastra dapat berarti “alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau 

pengajaran”.  

Kata lain yang sering dipakai  ialah kata susastra yang berasal dari kata sastra 

mendapat awalan su- yang berarti “baik, indah”. Jadi kata suastra dapat berarti “sastra 

yang baik” atau “sastra yang indah” yang dalam bahasa Perancis atau Inggris 

dipakai  istilah belles-lettres. Menurut Gonda kata susastra tidak dipakai  dalam 

bahasa Jawa Kuna, sehingga istilah susastra yaitu  ciptaan Jawa atau Melayu yang muncul 

kemudian .

Batasan secara etimologis itu , juga belum maksimal. Tidak semua alat untuk 

mengajar bisa dikategorikan sebagai sastra, walaupun dalam arti sebaliknya, semua sastra 

“dapat” dipakai  sebagai alat untuk mengajar.   

Luxemburg, dkk. (1989) menyebutkan beberapa  faktor yang dewasa ini mendorong 

para pembaca untuk menyebut teks ini sastra dan teks itu bukan sastra, yakni sebagai 

berikut. 

(1) Yang dikaitkan dengan pengertian sastra ialah teks-teks yang tidak melulu untuk 

tujuan komunikatif praktis yang bersifat sementara waktu saja.  

(2) Bagi sastra Barat dewasa ini kebanyakan teks drama dan cerita mengandung 

fiksionalitas. Bagi orang Yunani dahulu, fiksionalitas tidak relevan untuk 

membatasi pengertian sastra, dan di Cina dahulu teks-teks rekaan justru tidak 

dianggap sastra. 

(3) Dalam hal puisi lirik, dipakai  konvensi distansi untuk mengambil jarak 

sehingga tidak setiap puisi lirik dinamakan rekaan. 

(4) Bahan sastra diolah secara istimewa dan dengan cara yang berbeda-beda sehingga 

misalnya, pengertian bahasa puitik tidak pernah bisa dibatasi secara mutlak. 

(5) Sebuah karya sastra dapat dibaca menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda. 

Perbedaan-perbedaan itu tergantung pada mutu sastra yang bersangkutan dan  

kemampuan pembaca dalam menggauli teks-teks sastra.  

(6) Karya-karya bukan fiksi dan juga bukan puisi, sebab ada kemiripan tertentu 

digolongkan dalam sastra, yakni karya-karya naratif, seperti biografi-biografi dan 

karya-karya yang menonjol sebab bentuk dan gayanya. Surat-menyurat antar 

sastrawan lebih mudah dikategorikan sebagai sastra dibandingkan  antar sejarawan. 

(7) ada  karya-karya yang semula tidak masuk sastra, kemudian dikategorikan 

sastra. Misalnya kitab-kitab babad bukan sekedar penulisan sejarah namun  sastra.  

  bahwa untuk mendefinisikan sastra ada beberapa 

cara, yakni sebagai berikut. 

(1) Salah satu batasan sastra yaitu  segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. 

Pengertian ini seperti pengertian etimologis pada kata literature (Inggris). Jadi 

ilmuwan sastra dapat mempelajari profesi kedokteran, ekonomi, dan seterusnya . Dengan 

demikian seperti yang dikemukakan Edwin Greenlaw (teoritikus sastra Inggris) 

bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan termasuk dalam 

wilayah sastra. Demikian pula menurut banyak praktisi ilmu lain, sastra bukan 

hanya berkaitan erat dengan sejarah kebudayaan namun  memang identik. Dalam 

hal ini Wellek & Warren mengomentari bahwa akhirnya studi semacam ini bukan 

studi sastra lagi. Studi yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan cenderung 

menggeser studi sastra yang murni, sebab dalam studi kebudayaan semua 

perbedaan dalam teks sastra diabaikan. Bagi sastra Jawa, seperti halnya pada 

banyak budaya lain, batasan seperti ini tidak menguntungkan sebab Jawa 

memiliki tradisi sastra lisan yang sangat kuat. 

(2) Cara lain untuk membatasi definisi pada sastra yaitu  membatasi pada 

“mahakarya” (great books), yaitu buku-buku yang dianggap “menonjol sebab 

bentuk dan ekspresi sastranya”. Dalam hal ini kriteria penilaiannya yaitu  segi 

estetis atau nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah. Di antara puisi lirik, 

drama dan cerita rekaan, mahakarya dipilih berdasar  pertimbangan estetis. 

Sedang buku-buku lain dipilih sebab reputasinya atau kecemerlangan ilmiahnya, 

ditambah penileian estetis dalam gaya bahasa, komposisi, dan kekuatan 

penyampaiannya. Dalam hal ini sastra atau bukan sastra ditentukan oleh penilaian. 

Di samping itu sejarah, filsafat dan ilmu pengetahuan termasuk dalam sastra. 

Dalam sastra Jawa kuna dan sebagian sastra Jawa modern, memang banyak karya 

sastra yang berisi ilmu pengetahuan atau sejarah, namun sering dikategorikan 

sebagai karya sastra sebab gaya bahasanya, antara lain Negarakertagama (Jawa 

kuna) dan karya sastra Babad (Jawa modern) yang sebagian besar berisi sejarah. 

 

(3) sastra yang paling tepat diterapkan pada 

seni sastra, yakni sastra sebagai karya imajinatif. Istilah lainnya yaitu  fiksi 

(fiction) dan puisi (poetry), namun pengertannya lebih sempit. Sedang 

penggunaan istilah sastra imajinatif (imaginative literature) dan belles latters 

(tulisan yang indah dan sopan) kurang lebih menyerupai pengertian etimologis 

kata susastra, dinilai kurang cocok dan bisa memberi pengertian yang keliru. 

Istilah Inggris, literature, juga lebih sempit pengertiannya. Istilah yang agak luas 

pengertiannya dan lebih cocok yaitu  istilah dari Jerman wortkuns dan dari Rusia 

slovesnost.   

(4) Cara lain yang dilakukan untuk memecahkan definisi sastra yaitu  melalui 

kategorisasi bahasa. Bahasa yaitu  media yang dipakai  oleh sastra. Namun 

demikian sastra tidak memiliki media secara khusus, sebab bahasa juga 

dipakai  sebagai media komunikasi oleh bidang keilmuan lain. Oleh sebab 

itu membatasi sastra dari segi bahasanya juga tidak sesederhana itu. 

  bahwa untuk melihat penggunaan bahasa 

yang khas sastra, harus dibedakan antara bahasa sastra, bahasa ilmiah dan bahasa sehari-hari. 

Hal ini pernah dilakukan oleh Thomas Clark Pollock dalam bukunya The Nature of 

Literature. Namun demikian buku itu tidak memuaskan terutama dalam membedakan bahasa 

sastra dengan bahasa sehari-hari. 

Antara bahasa ilmiah dengan bahasa sastra memang agak mudah dibedakan. Bahasa 

ilmiah bersifat denotatif , yakni ada kecocokan antara tanda (sign) dengan yang diacu 

(referent). Jadi bahasa ilmiah cenderung menyerupai sistem tanda matematika atau logika 

simbolis. 

Bahasa sastra, dibanding bahasa ilmiah, penuh ambiguitas dan homonim (kata-kata 

yang sama bunyinya namun  berbeda artinya), dan  memiliki kategori-kategori yang tak 

beraturan dan tak rasional. Bahasa sastra juga penuh dengan asosiasi, mengacu pada 

ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumnya. Dengan kata lain bahasa sastra sangat 

konotatif sifatnya. Bahasa sastra memiliki fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan 

sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha mempengaruhi, membujuk dan 

pada akhirnya mengubah sikap pembaca. Disamping itu yang dipentingkan dalam bahasa 

sastra yaitu  tanda, simbolisme suara dari kata-kata. Berbagai teknik diciptakan untuk 

menarik perhatian pembaca. 

Membedakan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari lebih sulit. Bahasa 

sehari-hari sering juga bersifat ekspresif. Yang jelas, perbedaan pragmatisnya ialah bahwa 

segala sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan tindakan langsung yang kongkrit 

sukar untuk diterima sebagai puisi 

Dalam hubungannya dengan bahasa, khususnya bahasa tulis,

memberikan beberapa catatan sebagai berikut.  

(1) Dalam sastra tulis ada  keindahan bahasa, yakni pemakaian bahasa yang tepat 

dan sempurna. Disamping itu dalam sastra tulis sering memberi banyak 

kemungkinan untuk menciptakan keambiguan, makna ganda, yang sering 

dianggap sebagai ciri khas bahasa sastra. 

(2) Dalam sastra tulis, ambiguitas diri penulis yang tidak langsung dihadapi oleh 

pembaca, sering dimanfaatkan bahkan dieksploitasi secara sangat halus. Tokoh 

aku dalam karya sastra belum tentu identik dengan penulisnya. 

(3) sebab hubungan antara karya sastra dengan penulisnya terputus, dengan 

sendirinya tulisan itu menjadi sangat penting dan mandiri. Jadi karya sastra 

bukanlah tindak komunikasi biasa dan memunculkan bermacam-macam konvensi 

yang harus dikuasai pembaca dalam memahami sastra 

(4) Sastra yaitu  dunia dalam kata dan dalam pemahamannya tidak dibantu lagi oleh 

penulisnya sehingga tergantung pada kata. 

(5) Tulisan dapat diulang baca, sedang konvensi sastranya dapat berubah-ubah 

sehingga interpretasi sastra dapat ditinjau lagi disesuaikan dengan informasi baru. 

(6) Reproduksi sastra sangat mungkin terjadi sehingga dimungkinkan terjadinya 

perubahan atau pemantapan sehingga terjadi variasi makna. Bagi peneliti hal itu 

justru memperluas lahan kajian. Bagi pembaca memungkinkan terpenuhi 

seleranya. 

(7) Reproduksi sastra dalam berbagai jaman, berbagai bahasa dan budaya menjadikan 

sastra menjadi gejala sejarah dengan segala akibatnya. Saat ini orang bisa 

membaca karya Homeros 30 abad yang lalu, atau karya Prapanca pada abad XIV. 

Kesinambungan kebudayaan sebagian besar tergantung dari penemuan tulisan dan 

abjad. Namun demikian penafsiran sastra kadang menjadi berbeda dari masa ke 

masa. Perbedaan penafsiran itu menjadi permasalahan apakah hal ini justru sebagai 

kekayaan sastra atau sebaliknya, harus berusaha menginterpretasi sesuai dengan 

maksud awal (asli)-nya. 

Teeuw (1984) menegaskan bahwa sastra bukan hanya dalam rangka sastra tulis, 

sebab ada sastra yang hidup dan berkembang dalam bentuk sastra lisan. Tujuh catatan dalan 

hubungannya dengan sastra tulis di atas tidak dan  merta dapat diterapkan pada sastra lisan, 

namun setidak-tidaknya ada  kemiripan terutama pada nomor 1, 2, dan 5. Dalam sastra 

sering sekali ada bentuk campuran antara sastra tulis dengan sastra lisan, misalnya banyak 

tersebar di Indonesia.  

Pada akhirnya Teeuw (1984) berkesimpulan bahwa tidak ada kriteria yang jelas yang 

dapat diambil dari perbedaan pemakaian bahasa lisan dan bahasa tulis untuk membatasi 

sastra sebagai gejala yang khas. Ada pemakaian bahasa lisan dan tulis yang sastra, ada pula 

yang bukan sastra; sebaliknya ada sastra tulis dan ada sastra lisan. Tolok ukur untuk 

membedakan sastra dan bukan sastra harus dicari di bidang lain. 

Dengan demikian semakin komplekslah permasalahan yang dihadapi untuk 

memberikan batasan antara sastra dan bukan sastra. Namun demikian ada beberapa  

pengertian yang berlaku pada zaman Romantik yang menurut Luxemburg dkk (1989) hingga 

saat ini masih selalu dipakai, sebagai berikut. 

(1) Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah 

imitasi. Sastra terutama merupakan luapan emosi yang spontan. Unsur kreativitas 

dan spontanitas dewasa ini pun masih sering dijadikan sebagai pedoman 

(2) Sastra bersifat otonom, tidak mengacu pada sesuatu yang lain; sastra tidak 

bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keseralaran di dalam karyanya 

sendiri. Misalnya kaum formalis dari Rusia di awal abad XX (masih) menganggap 

bahwa cara pengungka[pan merupakan ciri khas bagi kesastraan. Kesastraan 

ditentukan oleh cra bahannya disajikan. Bahan puisi ialah bahasa dan  subyeknya, 

sedang bahan naratif yaitu  sejarah atau peristiwa yang diceritakan. 

(3) Karya sastra yang otonom itu bercirikan suatu koherensi. Pengertian koherensi 

itu dapat ditafsirkan sebagai suatu keselarasan yang mendalam antara bentuk dan 

isi. Setiap isi berkaitan dengan bentuk atau ungkapan tertentu. Seperti bentuk dan 

isi saling berhubungan, demikian bagian dan keseluruhan kait-mengait secara erat 

sehingga saling menerangkan.   

(4) Sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan, 

antara yang disadari dengan yang tidak, antara pria dan wanita, antara roh dan 

benda, dan seterusnya . Misalnya aliran New critics di Amerika (masih) menganggap bahwa 

bahasa puisi yaitu  bahasa paradoks. 

(5) Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Oleh sastra ditimbulkan asosiasi 

dan konotasi. Dalam teks sastra ada sederet arti yang tidak diungkapkan dalam 

bahasa sehari-hari. Misalnya Roland Barthes (masih) menyatakan bahwa 

menafsirkan sebuah teks sastra tidak boleh menunjukkan satu arti saja, melainkan 

membeberkan aneka kemungkinan. 

Sebagai bahan pembanding dan langkah awal untuk melakukan pengkajian pada 

khasanah kesasteraan, kiranya perlu juga disampaikan beberapa batasan sastra yang pernah 

dituliskan oleh beberapa pengamat sastra di Indonesia. 

Andre Hardjana dalam bukunya Kritik Sastra: Sebuah Pengantar (1983),  

memakai  batasan sastra yang diberikan oleh William Henry Hudson, yakni bahwa sastra 

- sebagai “pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, apa 

yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dipermenungkan, dan dirasakan 

orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung lagi kuat - 

pada hakikatnya yaitu  suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa. 

bahwa sastra yaitu  

suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya yaitu  manusia dan 

kehidupannya, dengan memakai  bahasa sebagai mediumnya. 

Panuti Sudjiman, dalam edisinya Kamus Istilah ,sastra 

yaitu  karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, 

keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya. 

Jakob Sumarjo, dalam bukunya Memahami Kesusastraan (1984), menyatakan bahwa 

kesusasteraan dapat dilihat sebagai memiliki badan dan jiwa. Jiwa sastra berupa pikiran, 

perasaan dan pengalaman manusia, sedang badannya yaitu  ungkapan bahasa yang indah, 

sehingga memberikan hiburan bagi pembacanya.  

 

B. Fungsi Sastra 

Antara sastra, fungsi dan sifatnya yaitu  sesuatu yang koheren. Membicarakan apa 

itu sastra berarti juga menyinggung bagaimanakah sastra itu dan untuk apa. Fungsi suatu 

benda sesuai dengan sifat-sifat benda itu. Fungsi puisi sesuai dengan sifat-sifat puisi itu. 

Setelah dicermati beberapa pengertian sastra di atas, maka ada  unsur-unsur yang 

ada  dalam sastra, misalnya kreatif, keindahan, menghibur, baik, bermanfaat, tentang 

manusia dan kehidupannya, dan seterusnya . Unsur-unsur ini merupakan indikator yang dapat 

dipakai untuk melacak, menangkap atau merumuskan fungsinya. 

Fungsi sastra sering berubah-ubah menurut pandangan masyarakat terhadap sastra itu 

sendiri. Pada akhir abad ke-19, dengan munculnya doktrin “seni untuk seni”, tentu saja 

fungsi sastra juga mengalami perubahan, yakni dalam rangka mengabdi pada seni. Demikian 

juga pada abad ke-20 dengan adanya doktrin “poesie pure” atau puisi murni. Pada masa 

renaisance di Amerika, Edgar Allan Poe mengkritik konsep bahwa puisi bersifat didaktis, 

yang dalam istilah Poe disebut didactic heresy yakni sastra berfungsi menghibur dan 

sekaligus mengajarkan sesuatu. 

Namun demikian, , bila ditinjau dari sejarah 

estetika, konsep dan fungsi sastra pada dasarnya tidak berubah, sejauh konsep-konsep itu 

dituangkan dalam istilah-istilah konseptual yang umum. Di bawah ini beberapa catatan 

Wellek & Warren dalam hal fungsi sastra. 

 

a. Fungsi Dulce dan Utile 

Horace (Horatius) pernah mengemukakan pendapatnya bahwa sastra (puisi) harus 

memenuhi fungsi dulce dan utile: puisi itu indah dan berguna. Konsep indah dan berguna itu, 

harus berlaku sekaligus, sebab bila indah saja berarti puisi itu menghibur saja dan cenderung 

bermain-main sehingga mengesampingkan ketekunan, keahlian, dan perencanaan sungguh-

sungguh dari penyairnya. Sebaliknya, bila berguna saja, berarti melupakan kesenangan yang 

ditimbulkan oleh puisi. 

Dalam arti luas,konsep berguna tidak hanya dalam rangka berisi ajaran-ajaran moral, 

namun  berarti “tidak membuang-buang waktu”, dan indah berarti “tidak membosankan”, 

“bukan kewajiban” atau ”memberikan kesenangan”, maka fungsi itu telah terbukti, misalnya, 

Hegel mendapatkan fungsi itu dalam drama kesenangannya Antigone.  

Konsep indah dan berguna ini harus saling mengisi. Dalam sastra, kesenangan 

tidak hanya dalam arti fisik, namun  lebih dari itu, yakni kontemplasi yang tidak mencari 

keuntungan. Sedang manfaatnya keseriusan yang bersifat didaktis, yaitu  keseriusan yang 

menyenangkan, keseriusan estetis, keseriusan persepsi. 

 

b. Fungsi Khusus Sastra 

Apakah sastra memiliki manfaat yang berbeda dengan sejarah, filsafat, musik atau 

bidang-bidang lainnya? Aristoteles pernah mengemukakan diktumnya yang terkenal, bahwa 

puisi lebih filosofis dari sejarah, sebab sejarah berkaitan dengan hal-hal yang telah terjadi, 

sedang puisi berkaitan dengan hal-hal yang bisa terjadi, yakni hal-hal yang umum dan yang 

mungkin. Pada jaman neoklasik, Samuel Johnson masih menganggap puisi menyampaikan 

hal-hal yang umum (grandeur of generality), sedang para teoritikus abad ke-20 telah 

menekankan sifat khusus puisi. Teori sastra dan apologetics (pembelaan terhadap sastra) 

juga menekankan sifat tipikal sastra. Sastra dapat dianggap lebih umum dari sejarah dan 

biografi, namun  lebih khusus dari psikologi dan sosiologi. Namun tingkat keumuman dan 

kekususannya berbeda-beda tiap sastra dan tiap periode. 

 

c. Sastra dan Psikologi 

Salah satu nilai (fungsi) kognitif drama dan novel yaitu  segi psikologisnya. Menurut 

Wellek & Warren (1993) pernyataan yang sering terdengar yaitu  bahwa novelis dapat 

mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia dibandingkan  psikolog. Karen Horney 

menunjuk pada Dostoyevsky, Shakespeare, Ibsen, dan Balzac sebagai sumber studi 

psikologi. E.M. Forster menyatakan bahwa novel sangat berjasa mengungkapkan kehidupan 

batin tokoh-tokohnya.  

 

d. Sastra dan Kebenaran 

Dalam hubungannya dengan kebenaran, Max Eastman menyangkal bahwa pada abad 

ilmu pengetahuan, “pikiran sastra” dapat mengungkapkan kebenaran. Bagi Eastman, “pikiran 

sastra” yaitu  pikiran amatir tanpa keahlian tertentu (khusus) dan warisan jaman pra-ilmu 

pengetahuan yang memanfaatkan sarana verbal untuk menciptakan “kebenaran”. Menurut 

pendapatnya, kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra, 

yakni pengetahuan sistematik yang dapat dibuktikan. Menurut Eastman, tugas penyair bukan 

menemukan dan menyampaikan pengetahuan. Fungsi utamanya yaitu  membuat orang 

melihat apa yang sehari-hari sudah ada di depannya, dan membayangkan apa yang secara 

konseptual dan nyata sebenarnya sudah diketahuinya.  

Menurut Wellek & Warren kontroversi antara ada dan tidaknya kebenaran dalam 

sastra bersifat semantik antara  “pengetahuan”, “kebenaran”, “kognisi”, dan “kebijaksanaan”. 

Kalau kebenaran diartikan sebagai konsep dan proposisi, maka seni, termasuk seni sastra, 

bukan bentuk kebenaran. Apalagi jika batasan positif reduktif diterapkan, yakni bahwa 

kebenaran dibatasi pada apa yang dapat dibuktikan secara metodis oleh siapa saja. Namun 

secara umum, ahli-ahli estetika tidak menolak bahwa “kebenaran” merupakan kriteria atau 

ciri khas seni. Hal ini dikarenakan: 1) kebenaran yaitu  kehormatan sehingga memberi 

penghormatan pada seni; 2) bila seni itu tidak “benar” berarti seni itu “bohong” seperti 

tuduhan Plato. Menurut Wellek & Warren (1993) sastra rekaan yaitu  fiksi sebuah “tiruan 

kehidupan” yang artistik dan verbal. Lawan kata fiksi bukanlah “kebenaran” melainkan 

“fakta” atau “keberadaan waktu dan ruang”. Dalam sastra hal-hal yang mungkin terjadi lebih 

berterima dibandingkan  “fakta”.   

Ada dua tipe dasar pengetahuan yang memakai  sistem bahasa yang terdiri atas 

tanda-tanda: 1) ilmu pengetahuan yang memakai cara diskursif, yakni membuat uraian 

panjang 2) seni yang memakai cara presentasional, yakni langsung memberi wujud atau 

contoh. Sistem pertama dipakai oleh para pemikir dan filsuf. Yang kedua meliputi mitos 

keagamaan dan puisi (sastra). Susanne K. Langer melihat sastra dalam beberapa hal, 

merupakan campuran arti bentuk diskursif dan presentasional. Dalam hal ini Archibald 

MacLeish dalam bukunya Ars Poetica menjabarkan sifat indah sastra dan filsafat, bahwa 

puisi sama seriusnya dan sama pentingnya dengan filsafat (ilmu pengetahuan, kebijaksanaan) 

dan memiliki persamaan dengan kebenaran; jadi mirip kebenaran.  

 

 

e. Sastra dan Propaganda 

Dalam hubungannya dengan pandangan bahwa seni yaitu  propaganda, perlu 

dijelaskan batasan propaganda itu. Dalam bahasa populer, propaganda dikaitkan dengan 

doktrin yang berbahaya, yang disebarkan oleh orang yang tidak dapat dipercaya. Dalam 

propaganda tersirat unsur-unsur perhitungan, maksud tertentu, dan biasanya diterapkan 

dalam doktrin atau program tertentu pula. Dengan demikian beberapa  seni dapat 

digolongkan sebagai propaganda. Sedang seni yang baik, seni yang hebat bukanlah 

propaganda. Bila istilah propaganda diperluas hingga mencakup “segala macam usaha yang 

dilakukan dengan sadar atau tidak untuk mempengaruhi pembaca agar menerima sikap hidup 

tertentu”, maka semua seniman melakukan propaganda. Bahkan, seniman yang bertanggung 

jawab wajib secara moral melakukan propaganda. Menurut Montgomery Belgion seorang 

sastrawan yaitu  pelaku propaganda yang tak bertanggung jawab (irresponsible 

propagandist). Menurut Eliot, kadar tanggung jawab dinilai dari maksud pengarang dan 

dampak sejarah.  pandangan hidup yang diartikulasikan 

pengarang (yang) bertanggung jawab tidak sesederhana karya propaganda populer. 

Pandangan hidup yang kompleks dalam karya sastra tidak bisa mendorong orang melakukan 

tindakan yang naif dan sembrono dengan sugesti hipnotis.  

 

f.  Sastra dan Fungsi Katarsis 

Chatarsis merupakan istilah bahasa Yunani yang dipakai oleh Aristoteles dalam 

bukunya The Poetics dengan makna yang hingga saat ini masih diperdebatkan. Namun yang 

jelas masalah yang timbul dari penggunaan istilah itu ialah adanya fungsi sastra yang menurut 

beberapa  teoritikus, untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Bagi 

penulis, mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu. Bagi pembaca, emosi 

mereka sudah diberi fokus dalam karya sastra, dan lepas (terbebas) pada akhir pengalaman 

estetis mereka sehingga mereka mendapatkan “ketenangan pikiran”.  Berbeda dengan hal 

itu , menurut Plato, drama tragedi dan drama komedi justru memupuk dan 

menyuburkan emosi yang seharusnya di matikan.  

Dari uraian yang bersifat umum di atas, kiranya perlu juga dicantumkan di sini fungsi 

sastra menurut pengamat sastra di Indonesia. Menurut Atar Semi (1988) ada tiga tugas dan 

fungsi sastra. Pertama, sebagai alat penting pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca 

kepada kenyataan dan menolongnya mengambil suatu keputusan bila ia mendapat masalah. 

Pengarang bertugas mengikuti dan memikirkan tentang budaya dan nilai-nilai bangsanya 

pada masa ia hidup untuk kemudian dicurahkan ke dalam karya sastra yang baik. Salah satu 

ukuran sastra yang baik ialah sastra yang dapat menggambarkan kebudayaan masyarakat 

pemiliknya pada jamannya. Karya sastra memberikan kearifan alternatif untuk menolong 

mengatasi masalah kehidupan. Pada jaman globalisasi ini interaksi kebudayaan antar bangsa 

terjadi secara intensif sehingga budaya yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa pun 

akan mempengaruhi, menggeser, bahkan menggantikan kebudayaan bangsa yang ada 

sebelumnya. Di sinilah diharapkan peran sastra dapat menangkal pengaruh-pengaruh negatif 

itu . 

Kedua, sastra berfungsi sebagai alat untuk meneruskan tradisi suatu bangsa, baik 

kepada masyarakat sejaman maupun generasi mendatang. Dengan kata lain sebagai alat 

penerus tradisi dari generasi ke generasi berikutnya, baik berupa cara berpikir, kepercayaan, 

kebiasaan, pengalaman sejarah, rasa keindahan, bahasa, dan  bentuk-bentuk kebudayaannya. 

Ketiga, menjadikan dirinya sebagai suatu tempat dimana nilai kemanusiaan diberi 

perhatian (dihargai) sewajarnya, dipertahankan dan disebarluaskan, terutama ditengah-

tengah kehidupan modern yang ditandai dengan majunya sains dan teknologi dengan pesat. 

Dengan demikian fungsi sastra, dalam hal ini seperti pembicaraan-pembicaraan di 

atasnya, tidak dapat digeneralisasikan begitu saja dan memerlukan penjelasan-penjelasan 

yang lebih berterima dengan mempertimbangkan kondisi kontekstualnya. Dalam hal ini dapat 

dibaca lebih jauh tentang perdebatan sastra kontekstual 

 

 

 

C. Genre Sastra 

Pembicaraan tentang genre sastra, seperti halnya pembicaraan tentang fungsi sastra 

dan teori sastra pada umumnya, telah berlangsung lama. Dalam sejarahnya, batasan 

mengenai genre sastra juga bersifat sangat dinamis dan berbeda-beda.  

Jenis sastra terjadi sebab konvensi sastra yang berlaku pada suatu karya membentuk 

ciri karya itu . Menurut N.H. Pearson jenis sastra dapat dianggap sebagai suatu perintah 

kelembagaan yang memaksa pengarangnya sendiri. Menurut Harry Levin, jenis sastra yaitu  

suatu “lembaga”, seperti halnya gereja, universitas, atau negara. Jenis sastra itu dinamis 

seperti halnya sebuah institusi yang boleh diikuti atau tidak, atau boleh dirubah. Sedang 

genre yaitu  suatu prinsip keteraturan: sastra dan sejarah sastra 

diklasifikasikan tidak berdasar  waktu atau tempat (periode atau pembagian sastra 

nasional), namun  berdasar  tipe struktur atau susunan sastra tertentu , mengutip beberapa definisi genre sastra dari beberapa 

pakar sastra, antara lain sebagai berikut. Menurut Shipley, genre yaitu  jenis atau kelas yang 

di dalamnya termasuk karya sastra. Hasry Shaw menyatakan bahwa genre yaitu  kategori 

atau kelas usaha seni yang memiliki bentuk, teknik atau isi khusus….Di antara genre dalam 

sastra termasuk novel, cerita pendek, esai, epik, dan seterusnya . Menurut Abrams, genre merupakan 

istilah untuk menandai jenis sastra atau bentuk sastra. Nama genre sastra pada periode kuno: 

tragedi, komedi, epik, satire, novel, esai dan biografi. Pada periode renaisan: epik, tragedi, 

komedi, sejarah, pas toral, komik pastoral, dan seterusnya . Menurut Hirsch, cara terbaik untuk 

mendefinisikan genre ialah dengan melukiskan unsur-unsur di dalam kelompok teks sempit 

yang memiliki  hubungan sejarah secara langsung. 

Aristoteles dalam tulisannya yang berjudul Poetika meletakkan dasar untuk studi 

jenis sastra. Ia sadar bahwa karya sastra dapat digolongkan menurut berbagai kriteria; 

menurutnya ada tiga macam kriteria yang dapat dijadikan patokan (berdasar  sastra 

Yunani klasik, namun teori ini banyak cocoknya untuk sastra lain), sebagai berikut 

1. Sarana perwujudannya (media of representation): 

a.  prosa 

b.  puisi: yang satu matra (contohnya: syair)  dan yang lebih dari satu matra (contohnya 

tragedi, kakawin) 

(Dalam pembagian ini pada prisipnya tidak dibedakan antara sastra dan bukan sastra) 

 

2.  Obyek perwujudan (objects of representation): yang menjadi obyek pada prinsipnya 

manusia, namun  ada tiga kemungkinan: 

a.  manusia rekaan lebih agung dari manusia nyata: tragedi, epik Homeros, cerita Panji 

b.  manusia rekaan lebih hina dari manusia nyata: komedi, lenong 


c.  manusia rekaan sama dengan manusia nyata: Cleophon (bila ketika itu sudah ada 

roman pastilah masuk kategori ini) 

3.  Ragam Perwujudannya (manner of poetic representation): 

a.  teks sebagian terdiri dari cerita, sebagian disajikan melalui ujaran tokoh (dialog): epik 

b.  yang berbicara si aku lirik penyair: lirik 

c.  yang berbicara para tokoh saja: drama 

Teeuw (1984) juga mencatat pendapat beberapa pakar yang mempermasalahkan 

dinamika jenis sastra, sebagai berikut. Menurut Culler, pada asasnya fungsi konvensi jenis 

sastra ialah mengadakan perjanjian antara penulis dan pembaca, agar terpenuhi harapan 

tertentu yang relevan, dan dengan demikian dimungkinkan sekaligus penyesuaian dengan dan 

penyimpangan dari ragam keterpahaman yang telah diterima. Menurut Todorov, batasan 

jenis sastra oleh sebab itu merupakan suatu kian kemari yang terus menerus antara deskripsi 

fakta-fakta dan abstraksi teori. Menurut Claudio Guillen, jenis sastra yaitu  undangan atau 

tantangan untuk melahirkan wujud. Konsep jenis memandang ke depan dan ke belakang 

sekaligus. Ke belakang ke karya sastra yang sudah ada dan ke depan ke calon penulis. 

Menurut Todorov, setiap karya agung, per definisi, menciptakan jenis sastranya sendiri. 

Setiap karya agung menetapkan terwujudnya dua jenis, kenyataan dan norma, norma jenis 

yang dilampauinya yang menguasai sastra sebelumnya, dan norma jenis yang diciptakannya. 

Demikian juga menurut Hans Robert Jausz, bahwa jenis sastra per definisi tidak bisa hidup 

untuk selamanya, karya agung justru melampaui batas konvensi yang berlaku membuka 

kemungkinan baru untuk perkembangan jenis sastra. Jenis sastra bukanlah sistem yang beku, 

kaku, namun  berubah terus, luwes dan lincah. Peneliti sastra harus mengikuti perkembangan 

itu dalam penelitiannya. Teeuw menambahkan bahwa dalam penelitian sistem jenis sastra, 

tidak ada garis pemisah yang jelas antara pendekatan diakronik dan sinkronik: karya sastra 

selalu berada dalam ketegangan dengan karya-karya yang diciptakan sebelumnya.  

Sehubungan dengan pernyataan ini Luxemburg dkk. (1989) menuliskan bahwa 

penjenisan sering kali tidak hanya deskriptif namun  juga preskriptif, yakni membuat 

peraturan-peraturan, sehingga pengarang akan bangga bila dapat memenuhinya. Hal inilah 

yang disebut dengan estetika identitas. Sedang pertentangan yang mendobrak peraturan-

peraturan itu disebut estetika oposisi. Dalam sejarah sastra di Indonesia juga banyak 

sastrawan yang terkenal dengan pembaruan-pembaruannya yang kemudian diikuti oleh 

sastrawan-sastrawan di belakangnya yang kemudian menyuarakan jenis sastra baru. Dalam 

sastra Jawa dikenal nama Intojo yang mengenalkan jenis soneta pada sastra Jawa sehingga ia 

disebut sebagai bapak soneta sastra Jawa modern. Juga dikenal nama Iesmaniasita yang 

memberontak aturan-aturan tradisi sastra Jawa sebelumnya. Ia menuliskan 

pemberontakannya dalam puisinya yang berjudul Kowe Wis Lega? dan cerpen Jawanya 

Tiyupan Pedhut Anjasmara.  

Dewasa ini dalam pengajaran sastra di sekolah-sekolah tampak bahwa penjenisan 

sastra diterapkan secara sederhana dengan menekankan bentuk material atau lahiriahnya 

saja. bahwa sebuah cerita (fiksi) mengisi 

seluruh permukaan halaman. Sedang dalam teks drama dijumpai banyak bidang putih, 

khususnya bila pembicaranya ganti. Nama-nama pelakunya dicetak secara khusus sehingga 

meyakinkan sebagai drama. Dalam hal puisi pun biasanya halaman tidak terisi penuh (larik-

lariknya tidak panjang) dan bait-baitnya dipisahkan oleh bidang-bidang putih atau larik-larik 

kosong. Perbedaan antara roman dan novel ditentukan panjangnya teks atau jumlah kata.  

Luxemburg, dkk. (1989) juga membagi bab-bab dalam bukunya menjadi teks-teks 

naratif, teks-teks drama dan teks-teks puisi. Teks naratif sering disebut juga jenis fiksi yang 

biasanya berbentuk prosa atau disebut prosa fiksi.  Luxemburg membatasi teks naratif ialah 

semua teks yang tidak bersifat dialog dan yang isinya merupakan suatu kisah sejarah, sebuah 

deretan peristiwa. Teks-teks drama ialah semua teks yang bersifat dialog-dialog dan yang 

isinya membentangkan sebuah alur. Sedang teks-teks puisi ialah semua teks monolog yang 

isinya tidak pertama-tama merupakan sebuah alur.  

Dalam sastra Jawa modern teks naratif atau prosa disebut gancaran. Dalam puisi 

Jawa, dikenal puisi tradisional yang berbentuk tembang dan puisi modern yang disebut 

geguritan. Sedang dalam bentuk drama, khususnya drama tradisional dikenal bentuk pakem 

(pedoman pementasan), baik pakem jangkep (lengkap) maupun pakem balungan (petunjuk 

pembabakan atau pengadegannya). Adapun drama Jawa modern sering disebut sandiwara, 

terutama sandiwara (di) radio.  

Agaknya tiga jenis inilah (prosa, puisi dan drama) yang secara sederhana dapat 

dikenali dan tampak berbeda antar masing-masing jenis dalam karya sastra itu. Namun 

demikian dalam kenyataannya, khususnya dalam sastra Jawa, batasan yang diberikan 

Luxemburg, dkk. ini harus diberi catatan khusus sebab adanya bentuk-bentuk yang 

dasar klasifikasinya ambigu. Misalnya, puisi tradisional (tembang) yang menekankan kisah 

sejarah atau rentetan peristiwa, yakni misalnya jenis sastra babad yang kebanyakan ditulis 

dalam bentuk puisi tradisional Jawa (tembang).   

Pada sastra Jawa modern tampak pembagian ini (prosa, puisi dan drama)  

banyak diikuti oleh para pengarang. Tidak mengherankan bila banyak bermunculan buku-

buku antologi sastra Jawa yang berisi masing-masing jenis ini secara terpisah satu 

dengan jenis lainnya. Misalnya dalam sastra Jawa bermunculan antologi geguritan (puisi 

Jawa modern), yakni antara lain, Kristal Emas (1994), Mantra Katresnan (2000), Kabar 

Saka Bendulmrisi (2001) dan seterusnya . Yang berjenis prosa antara lain bermunculan antologi cerkak 

(cerita pendek Jawa), yakni antara lain Kalimput ing Pedut (1976), Niskala (1993), Bandha 

Pusaka (2001), dan seterusnya . Sedang yang berjenis drama muncul antologi seperti Gapit (1998), 

Gong (2002), dan seterusnya . 

Bila ditinjau dari segi isi pembicaraan atau tema-temanya, karya sastra Jawa dapat 

dibedakan menjadi beberapa jenis, yakni antara lain sebagai berikut. 

1)  Babad, yakni berisi tentang sejarah yang ditulis dengan cara pandang tradisional, 

sehingga dibumbui dengan berbagai mitos, legenda, dan seterusnya . Babad sering ditulis 

dalam bentuk puisi (tembang).  

2)  Niti atau wulang atau pitutur, yakni berisi tentang ajaran kebaikan, antara lain 

tentang etika atau moral, tatacara atau tradisi, dan seterusnya .  

3)  Wirid dan suluk, yakni berisi tentang ajaran kebatinan (Islam-kejawen) atau 

tasawuf. Wirid ditulis dalam bentuk prosa, sedang suluk ditulis dalam bentuk 

tembang.  


4)  Wayang, yakni berisi cerita kepahlawanan (wiracarita). Ada beberapa jenis cerita 

wayang Jawa, antara lain: wayang purwa, wayang menak, wayang wahyu, wayang 

Pancasila, dan seterusnya . Wayang purwa berasal dari sumber kitab Mahabarata, Ramayana, 

Serat Lokapala, dan seterusnya .  Penulisan cerita wayang purwa berbentuk prosa 

(gancaran), tembang, maupun drama (bentuk pakem atau pedoman pementasan). 

5)  Menak, berisi cerita wiracarita yang berhubungan dengan perkembangan Islam di 

Timur-Tengah yang telah dibumbui oleh berbagai mitos Jawa. 

6)  Panji, yakni berisi wiracarita dengan tokoh utamanya Panji yang berhubungan 

dengan babad Kediri dan Jenggala 

7)  Roman, novel, novelet, dan crita cekak (cerkak), merupakan hasil karya sastra 

Jawa modern berbentuk prosa. Antara jenis roman, novel, novelet, dan cerkak, 

pada umumnya dibedakan secara kuantitatif, yakni jumlah kata atau halamannya. 

Secara urut, roman terpanjang dan cerkak terpendek. 

8)  Dongeng dan jagading lelembut, dari segi panjangnya, biasanya bisa 

dikategorikan sebagai cerkak. Namun penekanan isinya berbeda. Cerkak biasanya 

berisi cerita kehidupan manusia sehari-hari. Dongeng berisi cerita khayal 

(fantastis) dengan tokoh manusia, binatang, atau benda-benda tertentu. Sedang 

jagading lelembut, berisi cerita tentang manusia dalam hubungannya dengan hantu 

(lelembut). 

9)  dan seterusnya .     

    

D. Unsur-unsur Sastra: Intrinsik dan Ekstrinsik 

Karya sastra pada dasarnya merupakan hasil rangkaian kata-kata atau bangunan kata-

kata atau sering disebut dunia dalam kata. Bangunan sastra ini memiliki bagian-bagian 

yang merupakan unsur-unsur sastra yang secara keseluruhan menjadi satu kesatuan yang 

utuh atau sering disebut memiliki totalitas. Unsur-unsur ini saling berkaitan dan 

sekaligus saling mendukung dan saling menggantungkan. Unsur-unsur sastra ini sangat 

penting untuk dicermati terutama dalam rangka mengkaji atau meneliti karya sastra yang 

bersangkutan.  

Unsur-unsur pembangun karya sastra, pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yakni 

unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik yaitu  unsur-unsur yang secara 

langsung membangun karya sastra itu sendiri, unsur yang secara faktual akan segera 

dijumpai oleh pembaca. Kepaduan atau keterjalinan unsur-unsur intrinsik inilah yang 

membuat karya sastra berwujud.  

Adapun unsur ekstrinsik karya sastra yaitu  unsur-unsur yang berada di luar karya 

sastra itu, namun  secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya 

sastra. Unsur ekstrinsik merupakan unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah 

karya sastra, namun ia sendiri tidak secara langsung ikut menjadi bagian di dalam sistem 

organismenya. Namun demikian unsur ekstrinsik sangat berpengaruh terhadap totalitas 

bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh sebab itu unsur ekstrinsik juga sangat penting untuk 

diperhatikan dalam rangka membantu pemahaman karya sastra. Pada kenyataannya karya 

sastra memang tidak muncul dari situasi kekosongan budaya, tidak jatuh dari langit. 

Penciptaan karya sastra terpengaruh oleh berbagai kondisi sosial budaya yang dimiliki atau 

diketahui oleh pengarang. Penciptaan makna atau pemaknaan karya sastra juga terpengaruh 

oleh berbagai kondisi sosial budaya yang dimiliki atau diketahui oleh pembaca. Segala 

kondisi dari luar yang melatarbelakangi pemaknaan karya sastra itulah yang disebut unsur 

ekstrinsik. 

Unsur ekstrinsik karya sastra antara lain yaitu  

subyektivitas individu pengrang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang 

kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Jadi unsur biografi pengarang 

akan mempengaruhi corak karya sastra yang diciptakannya. Unsur ekstrinsik lainnya yaitu  

unsur psikologi, baik psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi 

pembaca (yang mencakup proses pemaknaan), maupun penerapan prinsip-prinsip psikologi 

dalam karya sastra. Keadaan ekonomi, politik, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap 

karya sastra. Unsur ekstrinsik lainnya lagi yakni pengaruh karya sastra atau karya seni 

lainnya. Di samping itu pandangan hidup suatu bangsa juga sering mewarnai isi karya sastra.     

Pada kenyataannya sering kali pemisahan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik 

menemui kesulitan. Hal ini terutama dikarenakan bahasa, sebagai sarana sastra, mengandung 

bentuk dan isi sekaligus. Dari segi bentuknya, bahasa menyampaikan informasi seperti apa 

yang ada dalam kata atau frasa atau kalimat dst. yang ada dalam bahasa itu. Dari segi isinya, 

informasi yang ada itu sering kali bersifat tidak eksplisit atau simbolis, yang pemaknaannya 

harus dicari dari latar belakang sosial budayanya. Di samping itu, antara bahasa dan sastra 

sama-sama merupakan sistem semiotik (simbol makna) yang kadang-kadang tidak jelas 

batas-batasnya. Dengan kata lain, dalam menguraikan unsur-unsur intrinsik sering kali harus 

menengok ke latar belakang sosial budaya pengarang maupun pembacanya, sehingga mau 

tidak mau harus mencari unsur-unsur ekstrinsiknya. Sebagai contoh konkrit, dalam 

menguraikan penokohan, sering kali orang harus berangkat dari sistem nilai etika dan 

moralitas yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Bila dalam sastra Jawa dinyatakan 

bahwa seorang pria akan dan harus memilih calon istrinya dengan mempertimbangkan bobot, 

bibit,  bebet dan dalam karya sastra yang bersangkutan istilah itu tidak pernah dijelaskan 

lagi, maka konsep bobot, bibit, bebet ini harus dicari penjelasannya dari konteks sosial 

budaya Jawa. Dan sebagainya dan sebagainya.  

Unsur-unsur intrinsik yang membangun prosa fiksi antara lain peristiwa, cerita, 

plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, 

dan sebagainya .

mendeskripsikan unsur-unsur struktur fiksi yang terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana 

sastra.  

 

a. Tema  

Tema yaitu  sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai 

pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, dan 

sebagainya. Dalam hal tertentu, sering tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan 

utama cerita 

b. Fakta Cerita 

Fakta cerita yang meliputi alur, tokoh dan latar, merupakan unsur fiksi yang secara 

faktual dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya, dalam sebuah novel (fiksi). Oleh 

sebab itu ketiganya juga disebut struktur faktual (factual structure) atau derajat faktual 

(factual level) sebuah cerita. Ketiga unsur ini harus dipandang sebagai satu kesatuan 

dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah 

satu dengan yang lain. 

 

1) Plot (Alur) 

Alur sering disebut juga plot cerita, sering juga disebut struktur naratif atau sujet. 

Dalam hal ini yang harus dicermati ialah bahwa plot bukan sekedar jalan cerita atau urutan 

peristiwa secara kronologis, namun rangkaian peristiwa yang ditandai dengan hubungan 

sebab-akibat. Hal ini misalnya pernah dikemukakan oleh Stanton, oleh Forster, dan seterusnya . Menurut 

Stanton (1965: 14, via Nurgiyantoro, 1995) plot yaitu  cerita yang berisi urutan kejadian, 

namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu 

disebabkan atau memicu  terjadinya peristiwa yang lain. Senada dengan itu Forster juga 

menyatakan bahwa plot yaitu  peristiwa-peristiwa cerita yang memiliki  penekanan pada 

adanya hubungan kausalitas 

Menurut Forster plot memiliki sifat misterius dan 

intelektual. Misterius maksudnya bahwa dalam plot itu belum tentu langsung diselesaikan 

secara cepat tapi sedikit demi sedikit, atau peristiwanya sengaja dipisahkan pada bagian yang 

berjauhan urutan penceritaannya, atau ditunda pengungkapan kunci permasalahannya, atau 

justru dibalik urutan waktu kejadiannya. Hal yang demikian itu yang menimbulkan 

keingintahuan pembaca untuk membaca terus karya sastra yang bersangkutan hingga selesai. 

Harapan dan rasa ingin tahu pembaca terhadap kelanjutan plot yang misterius itu sering 

disebut suspense. Sedang yang dimaksud dengan intelektual ialah bahwa dalam plot 

terkandung logika tentang hubungan sebab akibat yang harus disikapi dengan intelek dan 

kritis oleh pembaca agar pembaca yang bersangkutan mampu memahami permainan plot 

pada karya sastra yang dibacanya. Dalam hubungannya dengan analisis struktural justru 

permainan plot itu harus dijelaskan secara rinci sehingga dapat dengan mudah dijelaskan 

hubungannya dengan anasir-anasir selain plot dalam rangka pemahaman makna secara 

keseluruhan.  

Membicarakan plot pada dasarnya membicarakan tentang berbagai peristiwa dan 

konflik. Yang disebut peristiwa ialah peralihan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang 

lain. Peristiwa, setidak-tidaknya dapat dibagi menjadi tiga, yakni peristiwa fungsional, 

kaitan dan acuan. Peristiwa fungsional merupakan peristiwa yang menentukan dan atau 

mempengaruhi perkembangan alur atau plot. Peristiwa kaitan yaitu  perstiwa-peristiwa 

yang mengaitkan antar peristiwa-peristiwa penting (fungsional) dalam pengurutan plot. 

Sedang peristiwa acuan merupakan peristiwa-peristiwa yang tidak berpengaruh secara 

langsung terhadap perkembangan alur, namun  mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya 

watak tokoh, suasana yang berpengaruh pada watak tokoh, dan seterusnya  

Nurgiyantoro mencatat bahwa anatar peristiwa itu di samping memiliki  hubungan 

logis juga memiliki  sifat hierarkhis logis, tingkat kepentingannya, keutamaannya, atau 

fungsionalitasnya. Roland Barthes menyebut peristiwa yang dipentingkan atau diutamakan 

sebagai peristiwa utama atau peristiwa mayor; sedang yang tidak dipentingkan disebut 

peristiwa minor atau peristiwa pelengkap. Senada dengan itu Chatman menyebut peristiwa 

utama sebagai kernel, sedang peristiwa pelengkap sebagai satelit ,

Perbedaan peristiwa-peristiwa ini akan tampak jelas bila sebuah karya fiksi diringkas , Semakin tidak penting peristiwa itu akan semakin besar 

kemungkinannya untuk tidak dituliskan kembali dalam ringkasan. 

Konflik menyaran pada sesuatu yang tidak menyenangkan yang terjadi dan atau 

dialami oleh tokoh cerita. Bila tokoh itu memiliki kebebasan untuk memilih, maka ia tidak 

akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya ,Konflik yaitu  sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua 

kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan ,

Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling memicu  terjadinya 

satu dengan yang lain, bahkan konflik pun pada hakikatnya merupakan peristiwa. Konflik 

dapat dibagi menjadi dua, yakni konflik internal (konflik kejiwaan) dan konflik eksternal. 

Konflik internal terjadi dalam diri seorang tokoh, sedang konflik eksternal terjadi antara 

tokoh dengan lingkungannya, yakni tokoh(-tokoh) lain atau lingkungan alam. Konflik juga 

dapat dibagi menjadi konflik batin dan konflik fisik . Di samping itu 

berdasar  fungsinya konflik juga bisa dibagi menjadi konflik utama dan konflik pendukung 

(konflik tambahan). Dengan demikian bisa didapatkan konflik utama internal, konflik utama 

eksternal, konflik pendukung internal dan konflik pendukung eksternal.  

Dalam fiksi sering terjadi pertemuan antar berbagai konflik sehingga konflik itu 

semakin meningkat. Bila konflik meningkat hingga mencapai tingkat intensitas tertinggi 

maka keadaan itu disebut klimaks. Klimaks merupakan pertemuan antara dua (atau lebih) 

hal (keadaan) yang dialami oleh tokoh-tokoh utama, yang dipertentangkan, dan yang 

menentukan bagaimana permasalahan (konflik) pada tokoh-tokoh utama itu akan 

diselesaikan .  

Ditinjau dari segi keberhasilannya, struktur plot setidak-tidaknya harus 

memperhatikan plausibilitas, suspense, surprise, dan kesatupaduan plot, dan  

menghindari deus ex machina. Plausibilitas maksudnya bahwa plot harus dapat dipercaya 

atau diterima dari segi logika cerita. Dalam hal ini tidak harus berarti bahwa cerita itu harus 

realis sesuai dengan keadaan pada dunia nyata, namun  lebih mengacu pada sifat koheren dan 

konsisten pada sebab-akibat dalam plot. Misalnya, logika cerita untuk novel realis tentu 

berbeda dengan novel surealis atau cerita jagading lelembut. Bila tokoh Gathutkaca bisa 

terbang bukan berarti alur cerita itu tidak memenuhi konsep plausibilitas. Tapi bila 

Gathutkaca tidak bisa terbang, justru itulah yang harus dicari alasannya dan plausibilitasnya.  

Apabila suatu cerita secara tiba-tiba, tanpa diberikan alasan yang jelas, dimunculkan 

dengan cara kebetulan (Jw: ndilalah) dan dipaksakan sebagai alasan untuk mengembangkan 

cerita selanjutnya atau untuk menyelesaikan permasalahan hingga tampak tidak masuk akal, 

maka alasan itu disebut sebagai deus ex machina. Adanya deus ex machina mengurangi 

kadar plausibilitas pada plot karya sastra.   

Suspense atau sering disebut tegangan menyaran pada perasaan kurang pasti 

terhadap peristiwa-peristiwa yang akan terjadi atau harapan yang belum pasti terhadap akhir 

cerita Suspense harus dibangun dan dipertahankan dalam plot untuk memotivasi, menarik 

dan mengikat pembaca agar tetap setia menyelesaikan bacaannya sebab penasaran. Salah 

satu cara untuk membangkitkan suspense ialah dengan cara memunculkan foreshadowing 

dalam cerita. Foreshadowing yaitu  bagian cerita yang dapat dipandang sebagai pertanda 

atau isyarat akan terjadinya sesuatu dalam cerita selanjutnya. Bagi orang Jawa, misalnya 

menampilkan peristiwa  “ketiban cecak”  sebagai isyarat akan terjadinya musibah pada tokoh 

yang kejatuhan cicak itu . 

Di samping suspense, plot sebaiknya juga mengandung surprise atau kejutan. Plot 

sebuah karya fiksi dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian-

kejadian yang ditampilkan menyimpang atau bertentangan dengan harapan pembaca 

(Abrams, via Nurgiyantoro, 1995). Dalam hal ini sebenarnya tekanannya pada plot itu sendiri 

dalam kaitannya dengan sebab-akibat. Sebagai contoh pada fiksi ditektif, biasanya 

memberikan surprise pada menjelang akhir kisah, yakni pembunuh atau terdakwanya 

biasanya orang yang, oleh pembaca, tak terduga sama sekali. Mungkin orang terdekat 

korban yang pada beberapa hal ditampilkan baik budi, namun pada hal-hal tertentu bisa 

berbuat buruk dan jahat.  

Antara suspense, surprise dan plausibilitas harus berjalinan erat, dan saling 

menunjang -mempengaruhi dan  membentuk satu kesatuan yang padu. Surprise, walaupun 

mengejutkan namun  harus tetap bisa dipertanggungjawabkan logika sebab akibatnya, agar 

tidak menjadi deus ex machina . 

Plot juga harus memiliki kesatupaduan atau keutuhan atau unity.  Kesatupaduan 

menyaran pada pengertian bahwa berbagai unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-

peristiwa fungsional, kaitan dan acuan, yang mengandung konflik, atau seluruh pengalaman 

kehidupan yang hendak dikomunikasikan, memiliki  keterkaitan satu dengan yang lain. 

Ada benang merah yang mengaitkan  berbagai aspek cerita sehingga seluruhnya dapat 

terasakan sebagai satu kesatuan yang utuh padu . 

Apabila dalam karya fiksi ada  peristiwa yang menyimpang dari pokok masalah 

yang dikembangkan atau menjadi bagian yang menyimpang yang tak langsung bertalian 

dengan alur dan tema karya sastra, bagian itu disebut sebagai digresi atau lanturan 

(Sudjiman, 1986). Misalnya adegan Limbukan, Cantrikan, dan Gara-gara dalam plot 

wayang purwa, ditinjau dari struktur isi pembicaraannyanya sebenarnya sering merupakan 

digresi. Namun demikian adegan ini sah bila ditinjau dari segi konvensi atau tradisi 

wayang purwa.  

2) Penokohan 

Istilah penokohan dalam ilmu sastra sering juga disebut tokoh, watak, 

perwatakan, karakter, atau karakterisasi. Penokohan yaitu  penciptaan citra tokoh di 

dalam karya sastra (Sudjiman, 1986). Penokohan lebih luas pengertiannya dari pada istilah 

tokoh dan istilah perwatakan, sebab sekaligis mencakup masalah siapa tokoh cerita, 

bagaimana perwatakannya, bagaimana penempatannya dan pelukisannya dalam sebuah cerita 

sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus 

menyaran pada teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam cerita (Nurgiyantoro, 

1995). Penokohan dapat digambarkan secara fisik, psikologis maupun psikologis. Dari segi 

fisik, misalnya: kelaminnya, tampangnya, rambutnya, bibirnya, warna kulitnya, tingginya, 

gemuk atau kurusnya, dan seterusnya . Dari segi psikologis, misalnya: pandangan hidupnya, cita-citanya, 

keyakinannya, ambisinya, sifat-sifatnya, inteligensinya, bakatnya, emosinya, dan seterusnya  Dari segi 

sosiologis, misalnya: pendidikannya, pangkat dan jabatannya, kebangsaannya, agamanya, 

lingkungan keluarganya, dan seterusnya .  

Walaupun tokoh dan penokohannya dalam cerita itu hanya merupakan ciptaan 

pengarang, namun harus diperhitungkan logika kewajarannya. Ia harus merupakan tokoh 

yang hidup secara wajar sebagaimana kehidupan manusia yang memiliki  pikiran dan 

perasaan; sekaligus harus sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan yang 

 30

disandangnya. Jika terjadi seorang tokoh bersikap lain, maka harus tidak terjadi begitu saja, 

sebab harus memiliki kadar plausibilitas dan yang terpenting haruslah konsisten (bdk: 

Nurgiyantoro, 1995: 167).  

 

3) Latar atau setting     

Latar atau setting atau landas tumpu menyaran pada tempat, hubungan waktu, dan 

lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, via 

Nurgiyantoro, 1995). Latar memberikan pijakan cerita secara konkrit dan jelas, untuk 

menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Latar, setidak-

tidaknya dapat dipisahkan menjadi latar tempat (di mana lokasinya), latar waktu (kapan 

terjadinya), dan latar suasana (bagaimana keadaannya); termasuk suasana alam, suasana 

masyarakat (sosial), dan suasana lahir dan batin tokoh cerita.   

Dalam karya fiksi, latar waktu yang diceritakan sering menunjuk pada waktu-waktu 

tertentu yang pernah berlangsung, bahkan hingga disebutkan bulan atau tahunnya, atau 

penunjukan pada suatu peristiwa yang pernah terjadi dalam fakta sejarah. Dengan demikian 

latar waktu itu seakan-akan merupakan latar yang ada dalam realita kehidupan sesungguhnya 

(bukan sekedar karangan). Namun demikian di dalam karya fiksi, sering dimunculkan 

berbagai hal yang ada pada realita kehidupan sesungguhnya, yang menurut waktunya tidak 

sesuai atau tidak tepat sehingga fiksi ini menjadi tidak logis. Misalnya, pada cerita 

ketoprak yang mengangkat cerita historis, misalnya jaman Majapahit, lalu tokoh abdinya 

membicarakan tentang keluarga berencana (KB) yang sesungguhnya baru muncul pada tahun 

1970-an. Hal yang menjadikan latar waktunya menjadi tidak logis itu sering disebut 

anakronisme , yakni ketidak sesuaian antara waktu dalam cerita 

dengan waktu dalam realita yang diacu oleh karya fiksi yang bersangkutan. 

 

c. Sarana Sastra 

Sarana sastra atau sarana pengucapan sastra atau sarana kesastraan (literary 

devices) yaitu  teknik yang dipakai  pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil 

cerita  (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna. Tujuan penggunaan atau 

pemilihan sarana sastra yaitu  untuk memungkinkan pembaca melihat fakta sebagaimana 

yang dilihat pengarang, menafsirkan makna fakta sebagaimana yang ditafsirkan pengarang, 

dan merasakan pengalaman seperti yang dirasakan pengarang. Macam sarana sastra antara 

lain berupa sudut pandang penceritaan, gaya (bahasa) dan nada, simbolisme, dan ironi  

 

Sudut Pandang  

Sudut pandang atau point of view atau viewpoint, yaitu  cara sebuah cerita 

dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipakai  oleh pengarang 

sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang 

membentuk cerita  dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca Jadi ia merupakan cara atau siasat atau strategi dari pengarang untuk menyampaikan 

ceritanya. Dalam hal ini cara yang dipakai yaitu  dengan mengambil posisi atau 

mendudukkan dirinya pada peristiwa atau cerita yang disampaikannya.  

Pencerita itu bisa berposisi sebagai orang luar atau orang yang tidak terlibat dalam 

peristiwa (-peristiwa) yang diceritakan, namun juga bisa sebagai orang yang ikut terlibat 

dalam kejadian(-kejadian) yang diceritakan. Bila ia berada di luar kejadian-kejadian dalam 

cerita atau tidak terlibat, maka tokoh-tokoh yang diceritakan akan dipandang sebagai orang 

ketiga atau disebut gaya “dia” atau gaya orang ketiga. Sedang bila pencerita itu terlibat, 

maka ia akan menceritakan melalui tokoh “aku” atau disebut gaya “aku” atau gaya orang 

pertama. Penggunaan gaya orang ketiga atau pun gaya orang pertama tampak bukan pada 

bentuk dialog namun  pada bentuk narasi. Dalam karya sastra Jawa gaya orang ketiga tampak 

pada narasi yang diungkapkan dengan kata ganti orang ketiga: dheweke atau dheke, dan seterusnya . 

Sedang gaya aku tampak pada narasi yang diungkapkan dengan kata ganti aku atau kula.   

Pada sudut pandang orang ketiga, dapat diklasifikasikan lagi menjadi: gaya “dia” 

maha tahu dan gaya “dia” terbatas atau tidak maha tahu. Bila berbagai hal yang dialami 

tokoh (-tokoh) cerita, termasuk apa pun yang dipikirkan atau dirasakan atau dipendam 

dalam hati, diketahui oleh pencerita sehingga diceritakan dalam suatu fiksi, maka sudut 

pandang itu termasuk gaya “dia” maha tahu. Namun bila pencerita tidak menceritakan hal-

hal yang ada dalam pikiran atau batin tokoh- tokoh cerita, maka termasuk dalam gaya  “dia” 

terbatas. Gaya “dia” terbatas…….pengamat.   

 

Pada karya sastra yang berbentuk drama (teks drama), yakni karya sastra yang 

menekankan dialog dan ditulis dengan tujuan untuk dipentaskan, unsur-unsur intrinsiknya 

sedikit berbeda dengan jenis prosa fiksi. Menurut Luxemburg (1989) ada tiga aspek yang 

harus diperhatikan dalam teks drama, yakni sebagai berikut.  

1.  Menurut situasi bahasanya ada teks pokok (berisi dialog para tokohnya) dan teks       

samping (berisi penjelasan dari penulis tentang teknik pementasan drama sehingga    

berlaku sebagai pelengkap),  

2. Penyajian secara khusus pada beberapa unsur seperti alur, tokoh dan latar,  

3. Dalam beberapa hal penyajian teks drama dapat identik dengan penyajian jenis naratif    

    (prosa). 

Teks pokok yakni teks dalam drama yang berisi dialog para tokohnya, merupakan 

bagian yang terpenting dalam drama. Bahkan ada beberapa  teks drama yang hanya berisi teks 

pokok saja tanpa teks samping. Drama seperti inilah yang oleh Luxemburg dkk. disebut 

drama mutlak. Dalam bentuk drama mutlak itu kekhasan unsur alur, tokoh dan latar 

menjadi jelas. Alur drama dibina melalui adegan-adegan dan babak-babak yang berisi dialog-

dialog para tokohnya. Bila terjadi sorot balik, tokohlah yang bercerita tentang masa lalu. 

Penokohan dalam drama hanya dapat ditafsirkan dari dialog-dialog saja, sebab tidak ada 

penjelasan langsung secara deskriptif dari pengarang teks drama. Demikian pula latar drama 

itu juga hanya ditafsirkan melalui dialog-dialog yang ada.  

Dalam teks drama yang menyertakan teks samping, semakin banyak teks 

sampingnya, semakin mudah menangkap maknanya, sebab semakin banyak penjelasan yang 

diberikan. Namun demikian bila teks itu hendak dipentaskan, maka teks itu semakin 

mengikat sutradara dan pemain (pelaku)-nya  

Walau berbeda, seperti halnya dalam karya sastra yang berbentuk prosa, dalam 

drama dapat diteliti unsur-unsurnya yang meliputi tema, alur, penokohan, latar, amanat, 

simbolisme dan sebagainya. Terutama dalam drama tradisional, berbagai hal yang bersifat 

konvensional harus lebih diperhatikan. Misalnya dalam wayang purwa, hampir semua unsur 

yang ada sangat terikat oleh berbagai konvensi yang ada 

Dalam wayang purwa, misalnya, kebanyakan temanya dipengaruhi oleh konvensi 

filosofis seperti “becik ketitik ala ketara” (yang baik dan yang buruk akan tampak), “sura 

dira jayaning rat lebur dening pangastuti” (kejahatan akan terkalahkan oleh kebaikan), “yen 

temen mesthi tinemu” (kalau betul-betul diupayakan pasthi ada jalan), dan sebagainya. Alur 

wayang purwa dipengaruhi oleh urutan adegan konvensional, yakni adegan negara besar 

(Jejer I), adegan di ruang permaisuri (Kedhatonan), adegan di luar istana (Paseban jawi), dst. 

Penokohan dalam wayang purwa terikat oleh penokohan konvensional yang ada dalam 

tradisi (terutama dalam hubungannya dengan cerita Ramayana dan Mahabharata), dst. Oleh 

sebab itu bagi drama tradisional, pendekatan struktural yang menekankan otonomi karya 

sastra akan menemui banyak kendala, terutama yang menyangkut berbagai unsur ekstrinsik.  

Konvensi pada drama tradisional sangat mengikat dan menyangkut berbagai unsur 

yang ada. Oleh sebab itu sering kali teks drama hanya ditulis secara singkat sebagai 

pedoman pengadegan atau pembabakannya saja. Hal ini dikarenakan baik penonton maupun 

sutradara atau dhalang, sudah mengetahui secara pasti kelengkapannya, berdasar  

konvensi yang ada. Dengan demikian isi dialognya tidak dituliskan secara langsung (dialog 

dalam bentuk kalimat langsung). Dialog hanya disebutkan dalam bentuk inti dari isi 

dialognya saja. Dalam wayang purwa teks semacam itu dikenal sebagai pakem balungan 

(kerangka adegan sebagai pedoman pementasan). Adapun dialognya juga hanya disebutkan 

intinya (wosing rembag) saja. Bentuk pakem balungan itu dibedakan dengan jenis teks 

pakem jangkep (pedoman pementasan secara lengkap). 

 

Pada karya sastra yang berbentuk puisi, unsur-unsur intrinsiknya antara lain berupa 

strata norma, yang menyangkut 1) strata bunyi, 2) unit makna, 3) obyek-obyek yang 

dikemukakan: latar, pelaku dan dunia yang diciptakan pengarang, 4) strata “dunia” yang 

secara implisit ada dalam puisi, 5) lapis metafisis  (Ingarden via Pradopo, 2002). Strata 

ke-4 dan ke-5 menurut Wellek & Warren (1993) termasuk dalam strata ketiga. Strata bunyi 

yaitu  suara yang sesuai dengan konvensi bahasa yang disusun sedemikian rupa sehingga 

menimbulkan arti. Bunyi yang disusun itu menyangkut jeda, tekanan, persajakan, urutan atau 

rangkaian bunyi dan seterusnya . Jeda dalam hal ini bisa jeda panjang dan jeda pendek. Tekanan dalam 

hal ini bisa berupa perulangan bunyi atau kata, susunan kata yang dibalik dan seterusnya . Persajakan 

merupakan persamaan bunyi yang berefek estetis tertentu. Urutan atau rangkaian bunyi bisa 

berupa kakofoni atau efoni. Kakofoni yakni kombinasi bunyi-bunyi yang tidak merdu, parau 

dan seterusnya . yang dapat memperkuat seasana yang kacau, tidak teratut, memuakkan. Sedang efoni 

merupakan kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi) atau bunyi-bunyi konsonan bersuara 

yang menimbulkan bunyi merdu dan berirama, yang dapat mendukung suasana yang mesra, 

gembira, bahagia, kasih sayang, dan seterusnya .    

Dalam pandangan lain B. Rahmanto (2003) mencatat bahwa bangunan struktur puisi 

memiliki tubuh dan jiwa yang bersifat organik, keduanya harus ada dan saling mendukung. 

Unsur tubuhnya terdiri atas diksi, citraan, kata-kata konkret, bahasa kias, rima dan 

irama. Sedang unsur jiwanya berupa: rasa, nada, amanat dan tema.  

Diksi yaitu  pemilihan kata yang dilakukan penyair, untuk menyampaikan perasaan 

dan pikirannya, dengan secermat-cermatnya atau setepat-tepatnya, agar terjelma ekspresi 

jiwa seperti yang dikehendakinya secara maksimal. Citraan (imagery) yaitu  gambaran 

angan-angan atau pikiran. Citra (image) yaitu  sebuah efek dalam gambaran angan-angan 

atau pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh ungkapan penyair 

terhadap obyek yang dapat ditangkap oleh indera, pikiran dan gerakan. Kata-kata konkret 

yaitu  kata-kata khusus yang menyangkut denotasi dan konotasi. Bahasa kiasan (Jawa: 

tembung entar) yaitu  bahasa perbandingan atau bahasa simbol. Rima atau sajak (dalam 

bahasa Jawa: purwakanthi) yaitu  persamaan bunyi yang dapat berbentuk assonansi, 

aliterasi, resonansi, rima berangkai, dan seterusnya . Irama yaitu  tinggi-rendahnya, panjang pendeknya, 

dan cepat lambatnya suara. Nada puisi bisa nada ketegaran, kedewasaan sikap, 

menyesakkan, memilukan, dan seterusnya . Nada merupakan sikap penyair dihadapan pembacanya. 

Sedang rasa merupakan sikap penyair terhadap obyek yang ditulisnya. Amanat merupakan 

pesan penyair yang disampaikan pada pembaca. Adapun tema yaitu  pokok persoalan yang 

ditulis penyair dalam puisinya. 

Dalam sastra Jawa, terutama dalam puisi Jawa tradisional, sering ada  bentuk-

bentuk tertentu yang didan kan sebagai unsur-unsur yang ikut menentukan maknanya. 

Unsur-unsur yang dimaksud antara lain paribasan, bebasan, saloka, pepindhan, candra, 

wangsalan, sandi-asma, dan sengkalan (Padmosoekatjo, tt). 

Paribasan, bebasan, dan saloka yaitu  bahasa kiasan dalam bahasa Jawa yang 

wujud kata-katanya tetap, tidak boleh diganti dengan kata-kata yang lain.  Paribasan yaitu 

bahasa kiasan yang tidak memakai  perbandingan (pepindhan). Bebasan yaitu bahasa 

kiasan yang memakai  perbandingan (pepindhan), yang diperbandingkan yaitu  orang, 

yang ditekankan yaitu  sifat atau watak orang itu . Adapun saloka yaitu  bahasa kiasan 

yang memakai  perbandingan, yang diperbandingkan yaitu  orang, yang ditekankan 

yaitu  orangnya.  

Contoh paribasan: adigang-adigung-adiguna yakni orang yang menyombongkan 

diri. Ana catur mungkur yakni orang yang tidak suka kasak-kusuk membicarakan buruknya 

orang lain. Welas temahan lalis yakni cara berbelas-kasihan yang salah yang memicu  

orang yang dikasihani menjadi celaka. dan seterusnya . 

Contoh bebasan: kebak luber kocak-kacik yakni orang yang sakit ingatan sebab 

ilmu tertentu. Sawat abalang wohe yakni orang yang mencintai dengan meminta pertolongan 

saudara orang yang dicintai. Lahang karoban manis yakni tampan atau cantik dan berbudi 

baik. dan seterusnya . 

Contoh saloka: asu belang kalung wang yakni orang yang tidak baik tapi kaya harta. 

Gajah ngidak rapah yakni orang yang melanggar apa yang dijanjikan sendiri. Ketepang 

ngrangsang gunung yakni orang yang lemah menginginkan sesuatu yang sulit dijangkaunya.  

Pepindhan yakni kata atau kelompok kata yang yang bermakna seperti atau bagaikan 

atau bak. Dalam hal ini yang ditekankan yaitu  pembentukan katanya. Adapun candra yakni 

jenis pepindhan yang menekankan penggambaran sesuatu. Bebasan, saloka, dan candra 

termasuk dalam pepindhan. Contoh pepindhan lainnya: netrane abang angatirah, artinya 

matanya merah seperti daun Katirah, maknanya marah sekali. Contoh candra: netra lir 

baskara kembar artinya matanya seperti matahari kembar. 

Wangsalan yakni semacam teka-teki (Jawa: cangkriman) yang bertujuan 

mengarahkan pembicaraan pada suatu jawaban yang dari segi bentuknya mirip dengan 

jawaban pada teka-tekinya. Jadi cara mengutarakan tidak langsung eksplisit namun  

disandikan. Contoh: njanur gunung. Janur gunung yang dimaksudkan yaitu  daun pohon 

Aren. Yang dimaksud dengan njanur gunung yaitu  kadingaren (tumben). Nguler kambang 

alon-alonan. Uler kambang yakni ulat yang di air namanya Lintah. Nguler kambang 

maksudnya satitahe atau ora ngaya, jadi alon-alonan (pelan-pelan dengan sekenanya atau 

santai)  

Sandi-asma yakni pencantuman nama pengarang dalam baris-baris puisi Jawa dengan 

cara tidak langsung atau disandikan. Misalnya setiap suka kata dari nama pengarangnya 

ditempatkan sebagai suku kata awal setiap baris puisi Jawa (misalnya: dalam tembang). 

Contoh: dari Serat Aji Pamasa karya R. Ng. Ranggawarsita. 

Rasikaning sarkara kaesthi / Denya kedah mardi mardawa / Ngayawara puwarane / 

Bela-belaning ukara / Inukarta nis karteng gati / Rongas rehing ukara /     

Gagaranirantuk / Warta wasitaning kuna / Sinung tengran Janma Trus Kaswareng    

Bumi (sengkalan tahun 1791) / Talitining carita 

 

Kata “pengkajian” sebenarnya menyaran pada aktivitas mengkaji. Jadi “pengkajian” 

merupakan pembendaan dari kata kerja “mengkaji”. Adapun kata “mengkaji”, dalam hal ini 

menyaran pada pengertian yang luas yang berhubungan dengan aktivitas mempelajari 

berbagai seluk-beluk karya sastra sampai dengan penelaahan atau penelitian terhadap karya 

sastra. Oleh sebab itu, semestinya, di dalamnya harus membicarakan, mulai dari apa itu 

karya sastra, dari mana suatu karya sastra, bagaimana menciptakannya, mengapa dan untuk 

apa diciptakan karya sastra, sampai pada bagaimana caranya agar bisa mengetahui semua itu.   

Dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan karya sastra, disamping karya 

sastra itu sendiri, ada beberapa kegiatan dan bidang garapan, yakni (1) penciptaan sastra (2) 

apresiasi sastra (3) teori sastra, (4) sejarah sastra, (5) kritik sastra, (6) perbandingan sastra, 

dan sebagainya, yang sering dijumpai dalam pengajaran sastra di sekolah-sekolah hingga 

perguruan tinggi. Wellek dan Warren (1993) membicarakan berbagai masalah ini 

secara panjang lebar dalam bab “sastra dan studi sastra”.   

Bila dicermati, studi sastra beranjak dari sifat sastra, yakni pada dasarnya sastra 

bersifat umum dan sekaligus bersifat khusus atau bersifat umum dan individual. Karya sastra 

bersifat umum sebab memiliki berbagai ciri yang sama dengan karya sastra lainnya, atau 

bahkan dengan karya seni lainnya. Karya sastra bersifat khusus sebab selalu memiliki 

kekhasannya sendiri yang tidak dijumpai pada karya sastra lainnya.  

Dalam karya sastra, apa yang umum dan apa yang khusus itu dapat dicari dan 

dipelajari dengan perbandingan sastra. Dari perbandingan sastra secara luas, berbagai 

kategori yang bersifat umum dapat ditarik ke dalam bidang teori sastra. Di samping itu 

perbandingan sastra juga dimaksudkan untuk mendudukkan s

Related Posts:

  • sastra jawa 1  Sastra, mungkin telah ada sejak manusia ada. Bersamaan dengan perkembangan manusia dan kebudayaannya, sastra juga berkembang menurut … Read More