Sastra, mungkin telah ada sejak manusia ada. Bersamaan dengan perkembangan
manusia dan kebudayaannya, sastra juga berkembang menurut situasi dan kreasi manusianya.
Dengan demikian, sejalan dengan pengelompokan-pengelompokan manusia dan
kebudayaannya, sastra juga berkembang dalam kelompok-kelompok itu. Barangkali hal
seperti inilah yang hingga saat ini menjadikan sastra memiliki keumuman sekaligus
kekhususan. Seperti setiap manusia yang memiliki kekhasan dan kesamaan dengan manusia
lainnya, setiap karya sastra demikian halnya. secara agak optimis,
menuliskan bahwa setiap karya sastra, di samping memiliki ciri khas, juga memiliki sifat-sifat
yang sama dengan karya seni yang lain, sehingga orang dapat membuat generalisasi terhadap
karya sastra dan drama periode tertentu, atau drama, kesusasteraan, atau kesenian pada
umumnya.
Pernyataan Wellek & Warren di atas, tentu saja harus dilengkapi dengan pernyataan bahwa menurut mereka tidak mungkin memberikan sebuah
definisi yang universal mengenai sastra. Sastra bukanlah sebuah benda yang dijumpai, sastra
yaitu sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada beberapa hasil tertentu
dalam suatu lingkungan kebudayaan.
Barangkali inilah titik pangkal dari permasalahan kajian sastra yang pertama kali
muncul, yakni perihal tidak pernah terjawabnya (dengan memuaskan) pertanyaan “apakah
sastra itu?”, sebab terlalu kompleksnya sesuatu yang disebut sastra itu.
Arti sastra yang sangat kompleks itu telah mengaburkan batasan sastra sebagai obyek
kajian keilmuan. bahwa meskipun sudah cukup
banyak usaha yang dilakukan sepanjang masa untuk memberi batasan yang tegas atas
pertanyaan: “apakah sastra itu ?”, namun batasan manapun juga yang diberikan oleh para
ilmuwan tidak kesampaian. Hal itu dikarenakan batasan sastra itu hanya menekankan satu
atau beberapa aspek saja, atau hanya berlaku untuk sastra tertentu saja, atau sebaliknya,
terlalu luas dan longgar sehingga melingkupi banyak hal yang jelas bukan sastra lagi.
kegagalan definisi itu antara lain sebagai berikut.
1. sebab orang ingin mendefinisikan terlalu banyak sekaligus, sering memakai
dua kriteria sekaligus, sering memakai definisi deskriptif dan definisi evaluatif
sekaligus, dengan menuilai baik dan tidaknya suatu karya sastra.
2. sebab memakai definisi “ontologis” mengenai sastra, yakni mengungkap
hakikat sebuah karya sastra. Padahal mengingat kompleksnya obyek sastra,
mestinya sastra didefinisikan di dalam situasi pemakai atau pembaca sastra.
Norma dan deskripsi sering dicampuradukkan, padahal suatu karya bagi satu
orang bisa termasuk sastra, bagi orang lain mungkin tidak.
3. Anggapan mengenai sastra sering ditentukan oleh sastra Barat, khususnya sejak
jaman renaisance, tanpa memperhitungkan bentuk-bentuk sastra di luar Eropa.
Sastra India, Melayu, Jawa dan sebagainya tentu memiliki kekhasannya masing-
masing, apalagi kalau dipisahkan dari jaman-jaman tertentu.
4. Definisi oleh ahli yang sering memuaskan untuk diterapkan pada beberapa jenis
sastra, tidak cocok untuk diterapkan pada sastra secara umum.
Pada berbagai hal secara umum, untuk mendefinisikan sesuatu itu dapat didekati dari
namanya. Secara etimologis, kata sastra dalam bahasa Indonesia (dalam bahasa Inggris
sering disebut literature dan dalam bahasa Perancis disebut litterature) berasal dari bahasa
Sanskerta: akar kata ‘sas-, dalam kata kerja turunan berarti “mengarahkan, mengajar,
memberi petunjuk atau instruksi”. Akhiran -tra, biasanya menunjukkan “alat, sarana”.
Jadi sastra dapat berarti “alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau
pengajaran”.
Kata lain yang sering dipakai ialah kata susastra yang berasal dari kata sastra
mendapat awalan su- yang berarti “baik, indah”. Jadi kata suastra dapat berarti “sastra
yang baik” atau “sastra yang indah” yang dalam bahasa Perancis atau Inggris
dipakai istilah belles-lettres. Menurut Gonda kata susastra tidak dipakai dalam
bahasa Jawa Kuna, sehingga istilah susastra yaitu ciptaan Jawa atau Melayu yang muncul
kemudian .
Batasan secara etimologis itu , juga belum maksimal. Tidak semua alat untuk
mengajar bisa dikategorikan sebagai sastra, walaupun dalam arti sebaliknya, semua sastra
“dapat” dipakai sebagai alat untuk mengajar.
Luxemburg, dkk. (1989) menyebutkan beberapa faktor yang dewasa ini mendorong
para pembaca untuk menyebut teks ini sastra dan teks itu bukan sastra, yakni sebagai
berikut.
(1) Yang dikaitkan dengan pengertian sastra ialah teks-teks yang tidak melulu untuk
tujuan komunikatif praktis yang bersifat sementara waktu saja.
(2) Bagi sastra Barat dewasa ini kebanyakan teks drama dan cerita mengandung
fiksionalitas. Bagi orang Yunani dahulu, fiksionalitas tidak relevan untuk
membatasi pengertian sastra, dan di Cina dahulu teks-teks rekaan justru tidak
dianggap sastra.
(3) Dalam hal puisi lirik, dipakai konvensi distansi untuk mengambil jarak
sehingga tidak setiap puisi lirik dinamakan rekaan.
(4) Bahan sastra diolah secara istimewa dan dengan cara yang berbeda-beda sehingga
misalnya, pengertian bahasa puitik tidak pernah bisa dibatasi secara mutlak.
(5) Sebuah karya sastra dapat dibaca menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda.
Perbedaan-perbedaan itu tergantung pada mutu sastra yang bersangkutan dan
kemampuan pembaca dalam menggauli teks-teks sastra.
(6) Karya-karya bukan fiksi dan juga bukan puisi, sebab ada kemiripan tertentu
digolongkan dalam sastra, yakni karya-karya naratif, seperti biografi-biografi dan
karya-karya yang menonjol sebab bentuk dan gayanya. Surat-menyurat antar
sastrawan lebih mudah dikategorikan sebagai sastra dibandingkan antar sejarawan.
(7) ada karya-karya yang semula tidak masuk sastra, kemudian dikategorikan
sastra. Misalnya kitab-kitab babad bukan sekedar penulisan sejarah namun sastra.
bahwa untuk mendefinisikan sastra ada beberapa
cara, yakni sebagai berikut.
(1) Salah satu batasan sastra yaitu segala sesuatu yang tertulis atau tercetak.
Pengertian ini seperti pengertian etimologis pada kata literature (Inggris). Jadi
ilmuwan sastra dapat mempelajari profesi kedokteran, ekonomi, dan seterusnya . Dengan
demikian seperti yang dikemukakan Edwin Greenlaw (teoritikus sastra Inggris)
bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan termasuk dalam
wilayah sastra. Demikian pula menurut banyak praktisi ilmu lain, sastra bukan
hanya berkaitan erat dengan sejarah kebudayaan namun memang identik. Dalam
hal ini Wellek & Warren mengomentari bahwa akhirnya studi semacam ini bukan
studi sastra lagi. Studi yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan cenderung
menggeser studi sastra yang murni, sebab dalam studi kebudayaan semua
perbedaan dalam teks sastra diabaikan. Bagi sastra Jawa, seperti halnya pada
banyak budaya lain, batasan seperti ini tidak menguntungkan sebab Jawa
memiliki tradisi sastra lisan yang sangat kuat.
(2) Cara lain untuk membatasi definisi pada sastra yaitu membatasi pada
“mahakarya” (great books), yaitu buku-buku yang dianggap “menonjol sebab
bentuk dan ekspresi sastranya”. Dalam hal ini kriteria penilaiannya yaitu segi
estetis atau nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah. Di antara puisi lirik,
drama dan cerita rekaan, mahakarya dipilih berdasar pertimbangan estetis.
Sedang buku-buku lain dipilih sebab reputasinya atau kecemerlangan ilmiahnya,
ditambah penileian estetis dalam gaya bahasa, komposisi, dan kekuatan
penyampaiannya. Dalam hal ini sastra atau bukan sastra ditentukan oleh penilaian.
Di samping itu sejarah, filsafat dan ilmu pengetahuan termasuk dalam sastra.
Dalam sastra Jawa kuna dan sebagian sastra Jawa modern, memang banyak karya
sastra yang berisi ilmu pengetahuan atau sejarah, namun sering dikategorikan
sebagai karya sastra sebab gaya bahasanya, antara lain Negarakertagama (Jawa
kuna) dan karya sastra Babad (Jawa modern) yang sebagian besar berisi sejarah.
(3) sastra yang paling tepat diterapkan pada
seni sastra, yakni sastra sebagai karya imajinatif. Istilah lainnya yaitu fiksi
(fiction) dan puisi (poetry), namun pengertannya lebih sempit. Sedang
penggunaan istilah sastra imajinatif (imaginative literature) dan belles latters
(tulisan yang indah dan sopan) kurang lebih menyerupai pengertian etimologis
kata susastra, dinilai kurang cocok dan bisa memberi pengertian yang keliru.
Istilah Inggris, literature, juga lebih sempit pengertiannya. Istilah yang agak luas
pengertiannya dan lebih cocok yaitu istilah dari Jerman wortkuns dan dari Rusia
slovesnost.
(4) Cara lain yang dilakukan untuk memecahkan definisi sastra yaitu melalui
kategorisasi bahasa. Bahasa yaitu media yang dipakai oleh sastra. Namun
demikian sastra tidak memiliki media secara khusus, sebab bahasa juga
dipakai sebagai media komunikasi oleh bidang keilmuan lain. Oleh sebab
itu membatasi sastra dari segi bahasanya juga tidak sesederhana itu.
bahwa untuk melihat penggunaan bahasa
yang khas sastra, harus dibedakan antara bahasa sastra, bahasa ilmiah dan bahasa sehari-hari.
Hal ini pernah dilakukan oleh Thomas Clark Pollock dalam bukunya The Nature of
Literature. Namun demikian buku itu tidak memuaskan terutama dalam membedakan bahasa
sastra dengan bahasa sehari-hari.
Antara bahasa ilmiah dengan bahasa sastra memang agak mudah dibedakan. Bahasa
ilmiah bersifat denotatif , yakni ada kecocokan antara tanda (sign) dengan yang diacu
(referent). Jadi bahasa ilmiah cenderung menyerupai sistem tanda matematika atau logika
simbolis.
Bahasa sastra, dibanding bahasa ilmiah, penuh ambiguitas dan homonim (kata-kata
yang sama bunyinya namun berbeda artinya), dan memiliki kategori-kategori yang tak
beraturan dan tak rasional. Bahasa sastra juga penuh dengan asosiasi, mengacu pada
ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumnya. Dengan kata lain bahasa sastra sangat
konotatif sifatnya. Bahasa sastra memiliki fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan
sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha mempengaruhi, membujuk dan
pada akhirnya mengubah sikap pembaca. Disamping itu yang dipentingkan dalam bahasa
sastra yaitu tanda, simbolisme suara dari kata-kata. Berbagai teknik diciptakan untuk
menarik perhatian pembaca.
Membedakan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari lebih sulit. Bahasa
sehari-hari sering juga bersifat ekspresif. Yang jelas, perbedaan pragmatisnya ialah bahwa
segala sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan tindakan langsung yang kongkrit
sukar untuk diterima sebagai puisi
Dalam hubungannya dengan bahasa, khususnya bahasa tulis,
memberikan beberapa catatan sebagai berikut.
(1) Dalam sastra tulis ada keindahan bahasa, yakni pemakaian bahasa yang tepat
dan sempurna. Disamping itu dalam sastra tulis sering memberi banyak
kemungkinan untuk menciptakan keambiguan, makna ganda, yang sering
dianggap sebagai ciri khas bahasa sastra.
(2) Dalam sastra tulis, ambiguitas diri penulis yang tidak langsung dihadapi oleh
pembaca, sering dimanfaatkan bahkan dieksploitasi secara sangat halus. Tokoh
aku dalam karya sastra belum tentu identik dengan penulisnya.
(3) sebab hubungan antara karya sastra dengan penulisnya terputus, dengan
sendirinya tulisan itu menjadi sangat penting dan mandiri. Jadi karya sastra
bukanlah tindak komunikasi biasa dan memunculkan bermacam-macam konvensi
yang harus dikuasai pembaca dalam memahami sastra
(4) Sastra yaitu dunia dalam kata dan dalam pemahamannya tidak dibantu lagi oleh
penulisnya sehingga tergantung pada kata.
(5) Tulisan dapat diulang baca, sedang konvensi sastranya dapat berubah-ubah
sehingga interpretasi sastra dapat ditinjau lagi disesuaikan dengan informasi baru.
(6) Reproduksi sastra sangat mungkin terjadi sehingga dimungkinkan terjadinya
perubahan atau pemantapan sehingga terjadi variasi makna. Bagi peneliti hal itu
justru memperluas lahan kajian. Bagi pembaca memungkinkan terpenuhi
seleranya.
(7) Reproduksi sastra dalam berbagai jaman, berbagai bahasa dan budaya menjadikan
sastra menjadi gejala sejarah dengan segala akibatnya. Saat ini orang bisa
membaca karya Homeros 30 abad yang lalu, atau karya Prapanca pada abad XIV.
Kesinambungan kebudayaan sebagian besar tergantung dari penemuan tulisan dan
abjad. Namun demikian penafsiran sastra kadang menjadi berbeda dari masa ke
masa. Perbedaan penafsiran itu menjadi permasalahan apakah hal ini justru sebagai
kekayaan sastra atau sebaliknya, harus berusaha menginterpretasi sesuai dengan
maksud awal (asli)-nya.
Teeuw (1984) menegaskan bahwa sastra bukan hanya dalam rangka sastra tulis,
sebab ada sastra yang hidup dan berkembang dalam bentuk sastra lisan. Tujuh catatan dalan
hubungannya dengan sastra tulis di atas tidak dan merta dapat diterapkan pada sastra lisan,
namun setidak-tidaknya ada kemiripan terutama pada nomor 1, 2, dan 5. Dalam sastra
sering sekali ada bentuk campuran antara sastra tulis dengan sastra lisan, misalnya banyak
tersebar di Indonesia.
Pada akhirnya Teeuw (1984) berkesimpulan bahwa tidak ada kriteria yang jelas yang
dapat diambil dari perbedaan pemakaian bahasa lisan dan bahasa tulis untuk membatasi
sastra sebagai gejala yang khas. Ada pemakaian bahasa lisan dan tulis yang sastra, ada pula
yang bukan sastra; sebaliknya ada sastra tulis dan ada sastra lisan. Tolok ukur untuk
membedakan sastra dan bukan sastra harus dicari di bidang lain.
Dengan demikian semakin komplekslah permasalahan yang dihadapi untuk
memberikan batasan antara sastra dan bukan sastra. Namun demikian ada beberapa
pengertian yang berlaku pada zaman Romantik yang menurut Luxemburg dkk (1989) hingga
saat ini masih selalu dipakai, sebagai berikut.
(1) Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah
imitasi. Sastra terutama merupakan luapan emosi yang spontan. Unsur kreativitas
dan spontanitas dewasa ini pun masih sering dijadikan sebagai pedoman
(2) Sastra bersifat otonom, tidak mengacu pada sesuatu yang lain; sastra tidak
bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keseralaran di dalam karyanya
sendiri. Misalnya kaum formalis dari Rusia di awal abad XX (masih) menganggap
bahwa cara pengungka[pan merupakan ciri khas bagi kesastraan. Kesastraan
ditentukan oleh cra bahannya disajikan. Bahan puisi ialah bahasa dan subyeknya,
sedang bahan naratif yaitu sejarah atau peristiwa yang diceritakan.
(3) Karya sastra yang otonom itu bercirikan suatu koherensi. Pengertian koherensi
itu dapat ditafsirkan sebagai suatu keselarasan yang mendalam antara bentuk dan
isi. Setiap isi berkaitan dengan bentuk atau ungkapan tertentu. Seperti bentuk dan
isi saling berhubungan, demikian bagian dan keseluruhan kait-mengait secara erat
sehingga saling menerangkan.
(4) Sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan,
antara yang disadari dengan yang tidak, antara pria dan wanita, antara roh dan
benda, dan seterusnya . Misalnya aliran New critics di Amerika (masih) menganggap bahwa
bahasa puisi yaitu bahasa paradoks.
(5) Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Oleh sastra ditimbulkan asosiasi
dan konotasi. Dalam teks sastra ada sederet arti yang tidak diungkapkan dalam
bahasa sehari-hari. Misalnya Roland Barthes (masih) menyatakan bahwa
menafsirkan sebuah teks sastra tidak boleh menunjukkan satu arti saja, melainkan
membeberkan aneka kemungkinan.
Sebagai bahan pembanding dan langkah awal untuk melakukan pengkajian pada
khasanah kesasteraan, kiranya perlu juga disampaikan beberapa batasan sastra yang pernah
dituliskan oleh beberapa pengamat sastra di Indonesia.
Andre Hardjana dalam bukunya Kritik Sastra: Sebuah Pengantar (1983),
memakai batasan sastra yang diberikan oleh William Henry Hudson, yakni bahwa sastra
- sebagai “pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, apa
yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dipermenungkan, dan dirasakan
orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung lagi kuat -
pada hakikatnya yaitu suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa.
bahwa sastra yaitu
suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya yaitu manusia dan
kehidupannya, dengan memakai bahasa sebagai mediumnya.
Panuti Sudjiman, dalam edisinya Kamus Istilah ,sastra
yaitu karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan,
keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.
Jakob Sumarjo, dalam bukunya Memahami Kesusastraan (1984), menyatakan bahwa
kesusasteraan dapat dilihat sebagai memiliki badan dan jiwa. Jiwa sastra berupa pikiran,
perasaan dan pengalaman manusia, sedang badannya yaitu ungkapan bahasa yang indah,
sehingga memberikan hiburan bagi pembacanya.
B. Fungsi Sastra
Antara sastra, fungsi dan sifatnya yaitu sesuatu yang koheren. Membicarakan apa
itu sastra berarti juga menyinggung bagaimanakah sastra itu dan untuk apa. Fungsi suatu
benda sesuai dengan sifat-sifat benda itu. Fungsi puisi sesuai dengan sifat-sifat puisi itu.
Setelah dicermati beberapa pengertian sastra di atas, maka ada unsur-unsur yang
ada dalam sastra, misalnya kreatif, keindahan, menghibur, baik, bermanfaat, tentang
manusia dan kehidupannya, dan seterusnya . Unsur-unsur ini merupakan indikator yang dapat
dipakai untuk melacak, menangkap atau merumuskan fungsinya.
Fungsi sastra sering berubah-ubah menurut pandangan masyarakat terhadap sastra itu
sendiri. Pada akhir abad ke-19, dengan munculnya doktrin “seni untuk seni”, tentu saja
fungsi sastra juga mengalami perubahan, yakni dalam rangka mengabdi pada seni. Demikian
juga pada abad ke-20 dengan adanya doktrin “poesie pure” atau puisi murni. Pada masa
renaisance di Amerika, Edgar Allan Poe mengkritik konsep bahwa puisi bersifat didaktis,
yang dalam istilah Poe disebut didactic heresy yakni sastra berfungsi menghibur dan
sekaligus mengajarkan sesuatu.
Namun demikian, , bila ditinjau dari sejarah
estetika, konsep dan fungsi sastra pada dasarnya tidak berubah, sejauh konsep-konsep itu
dituangkan dalam istilah-istilah konseptual yang umum. Di bawah ini beberapa catatan
Wellek & Warren dalam hal fungsi sastra.
a. Fungsi Dulce dan Utile
Horace (Horatius) pernah mengemukakan pendapatnya bahwa sastra (puisi) harus
memenuhi fungsi dulce dan utile: puisi itu indah dan berguna. Konsep indah dan berguna itu,
harus berlaku sekaligus, sebab bila indah saja berarti puisi itu menghibur saja dan cenderung
bermain-main sehingga mengesampingkan ketekunan, keahlian, dan perencanaan sungguh-
sungguh dari penyairnya. Sebaliknya, bila berguna saja, berarti melupakan kesenangan yang
ditimbulkan oleh puisi.
Dalam arti luas,konsep berguna tidak hanya dalam rangka berisi ajaran-ajaran moral,
namun berarti “tidak membuang-buang waktu”, dan indah berarti “tidak membosankan”,
“bukan kewajiban” atau ”memberikan kesenangan”, maka fungsi itu telah terbukti, misalnya,
Hegel mendapatkan fungsi itu dalam drama kesenangannya Antigone.
Konsep indah dan berguna ini harus saling mengisi. Dalam sastra, kesenangan
tidak hanya dalam arti fisik, namun lebih dari itu, yakni kontemplasi yang tidak mencari
keuntungan. Sedang manfaatnya keseriusan yang bersifat didaktis, yaitu keseriusan yang
menyenangkan, keseriusan estetis, keseriusan persepsi.
b. Fungsi Khusus Sastra
Apakah sastra memiliki manfaat yang berbeda dengan sejarah, filsafat, musik atau
bidang-bidang lainnya? Aristoteles pernah mengemukakan diktumnya yang terkenal, bahwa
puisi lebih filosofis dari sejarah, sebab sejarah berkaitan dengan hal-hal yang telah terjadi,
sedang puisi berkaitan dengan hal-hal yang bisa terjadi, yakni hal-hal yang umum dan yang
mungkin. Pada jaman neoklasik, Samuel Johnson masih menganggap puisi menyampaikan
hal-hal yang umum (grandeur of generality), sedang para teoritikus abad ke-20 telah
menekankan sifat khusus puisi. Teori sastra dan apologetics (pembelaan terhadap sastra)
juga menekankan sifat tipikal sastra. Sastra dapat dianggap lebih umum dari sejarah dan
biografi, namun lebih khusus dari psikologi dan sosiologi. Namun tingkat keumuman dan
kekususannya berbeda-beda tiap sastra dan tiap periode.
c. Sastra dan Psikologi
Salah satu nilai (fungsi) kognitif drama dan novel yaitu segi psikologisnya. Menurut
Wellek & Warren (1993) pernyataan yang sering terdengar yaitu bahwa novelis dapat
mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia dibandingkan psikolog. Karen Horney
menunjuk pada Dostoyevsky, Shakespeare, Ibsen, dan Balzac sebagai sumber studi
psikologi. E.M. Forster menyatakan bahwa novel sangat berjasa mengungkapkan kehidupan
batin tokoh-tokohnya.
d. Sastra dan Kebenaran
Dalam hubungannya dengan kebenaran, Max Eastman menyangkal bahwa pada abad
ilmu pengetahuan, “pikiran sastra” dapat mengungkapkan kebenaran. Bagi Eastman, “pikiran
sastra” yaitu pikiran amatir tanpa keahlian tertentu (khusus) dan warisan jaman pra-ilmu
pengetahuan yang memanfaatkan sarana verbal untuk menciptakan “kebenaran”. Menurut
pendapatnya, kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra,
yakni pengetahuan sistematik yang dapat dibuktikan. Menurut Eastman, tugas penyair bukan
menemukan dan menyampaikan pengetahuan. Fungsi utamanya yaitu membuat orang
melihat apa yang sehari-hari sudah ada di depannya, dan membayangkan apa yang secara
konseptual dan nyata sebenarnya sudah diketahuinya.
Menurut Wellek & Warren kontroversi antara ada dan tidaknya kebenaran dalam
sastra bersifat semantik antara “pengetahuan”, “kebenaran”, “kognisi”, dan “kebijaksanaan”.
Kalau kebenaran diartikan sebagai konsep dan proposisi, maka seni, termasuk seni sastra,
bukan bentuk kebenaran. Apalagi jika batasan positif reduktif diterapkan, yakni bahwa
kebenaran dibatasi pada apa yang dapat dibuktikan secara metodis oleh siapa saja. Namun
secara umum, ahli-ahli estetika tidak menolak bahwa “kebenaran” merupakan kriteria atau
ciri khas seni. Hal ini dikarenakan: 1) kebenaran yaitu kehormatan sehingga memberi
penghormatan pada seni; 2) bila seni itu tidak “benar” berarti seni itu “bohong” seperti
tuduhan Plato. Menurut Wellek & Warren (1993) sastra rekaan yaitu fiksi sebuah “tiruan
kehidupan” yang artistik dan verbal. Lawan kata fiksi bukanlah “kebenaran” melainkan
“fakta” atau “keberadaan waktu dan ruang”. Dalam sastra hal-hal yang mungkin terjadi lebih
berterima dibandingkan “fakta”.
Ada dua tipe dasar pengetahuan yang memakai sistem bahasa yang terdiri atas
tanda-tanda: 1) ilmu pengetahuan yang memakai cara diskursif, yakni membuat uraian
panjang 2) seni yang memakai cara presentasional, yakni langsung memberi wujud atau
contoh. Sistem pertama dipakai oleh para pemikir dan filsuf. Yang kedua meliputi mitos
keagamaan dan puisi (sastra). Susanne K. Langer melihat sastra dalam beberapa hal,
merupakan campuran arti bentuk diskursif dan presentasional. Dalam hal ini Archibald
MacLeish dalam bukunya Ars Poetica menjabarkan sifat indah sastra dan filsafat, bahwa
puisi sama seriusnya dan sama pentingnya dengan filsafat (ilmu pengetahuan, kebijaksanaan)
dan memiliki persamaan dengan kebenaran; jadi mirip kebenaran.
e. Sastra dan Propaganda
Dalam hubungannya dengan pandangan bahwa seni yaitu propaganda, perlu
dijelaskan batasan propaganda itu. Dalam bahasa populer, propaganda dikaitkan dengan
doktrin yang berbahaya, yang disebarkan oleh orang yang tidak dapat dipercaya. Dalam
propaganda tersirat unsur-unsur perhitungan, maksud tertentu, dan biasanya diterapkan
dalam doktrin atau program tertentu pula. Dengan demikian beberapa seni dapat
digolongkan sebagai propaganda. Sedang seni yang baik, seni yang hebat bukanlah
propaganda. Bila istilah propaganda diperluas hingga mencakup “segala macam usaha yang
dilakukan dengan sadar atau tidak untuk mempengaruhi pembaca agar menerima sikap hidup
tertentu”, maka semua seniman melakukan propaganda. Bahkan, seniman yang bertanggung
jawab wajib secara moral melakukan propaganda. Menurut Montgomery Belgion seorang
sastrawan yaitu pelaku propaganda yang tak bertanggung jawab (irresponsible
propagandist). Menurut Eliot, kadar tanggung jawab dinilai dari maksud pengarang dan
dampak sejarah. pandangan hidup yang diartikulasikan
pengarang (yang) bertanggung jawab tidak sesederhana karya propaganda populer.
Pandangan hidup yang kompleks dalam karya sastra tidak bisa mendorong orang melakukan
tindakan yang naif dan sembrono dengan sugesti hipnotis.
f. Sastra dan Fungsi Katarsis
Chatarsis merupakan istilah bahasa Yunani yang dipakai oleh Aristoteles dalam
bukunya The Poetics dengan makna yang hingga saat ini masih diperdebatkan. Namun yang
jelas masalah yang timbul dari penggunaan istilah itu ialah adanya fungsi sastra yang menurut
beberapa teoritikus, untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Bagi
penulis, mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu. Bagi pembaca, emosi
mereka sudah diberi fokus dalam karya sastra, dan lepas (terbebas) pada akhir pengalaman
estetis mereka sehingga mereka mendapatkan “ketenangan pikiran”. Berbeda dengan hal
itu , menurut Plato, drama tragedi dan drama komedi justru memupuk dan
menyuburkan emosi yang seharusnya di matikan.
Dari uraian yang bersifat umum di atas, kiranya perlu juga dicantumkan di sini fungsi
sastra menurut pengamat sastra di Indonesia. Menurut Atar Semi (1988) ada tiga tugas dan
fungsi sastra. Pertama, sebagai alat penting pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca
kepada kenyataan dan menolongnya mengambil suatu keputusan bila ia mendapat masalah.
Pengarang bertugas mengikuti dan memikirkan tentang budaya dan nilai-nilai bangsanya
pada masa ia hidup untuk kemudian dicurahkan ke dalam karya sastra yang baik. Salah satu
ukuran sastra yang baik ialah sastra yang dapat menggambarkan kebudayaan masyarakat
pemiliknya pada jamannya. Karya sastra memberikan kearifan alternatif untuk menolong
mengatasi masalah kehidupan. Pada jaman globalisasi ini interaksi kebudayaan antar bangsa
terjadi secara intensif sehingga budaya yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa pun
akan mempengaruhi, menggeser, bahkan menggantikan kebudayaan bangsa yang ada
sebelumnya. Di sinilah diharapkan peran sastra dapat menangkal pengaruh-pengaruh negatif
itu .
Kedua, sastra berfungsi sebagai alat untuk meneruskan tradisi suatu bangsa, baik
kepada masyarakat sejaman maupun generasi mendatang. Dengan kata lain sebagai alat
penerus tradisi dari generasi ke generasi berikutnya, baik berupa cara berpikir, kepercayaan,
kebiasaan, pengalaman sejarah, rasa keindahan, bahasa, dan bentuk-bentuk kebudayaannya.
Ketiga, menjadikan dirinya sebagai suatu tempat dimana nilai kemanusiaan diberi
perhatian (dihargai) sewajarnya, dipertahankan dan disebarluaskan, terutama ditengah-
tengah kehidupan modern yang ditandai dengan majunya sains dan teknologi dengan pesat.
Dengan demikian fungsi sastra, dalam hal ini seperti pembicaraan-pembicaraan di
atasnya, tidak dapat digeneralisasikan begitu saja dan memerlukan penjelasan-penjelasan
yang lebih berterima dengan mempertimbangkan kondisi kontekstualnya. Dalam hal ini dapat
dibaca lebih jauh tentang perdebatan sastra kontekstual
C. Genre Sastra
Pembicaraan tentang genre sastra, seperti halnya pembicaraan tentang fungsi sastra
dan teori sastra pada umumnya, telah berlangsung lama. Dalam sejarahnya, batasan
mengenai genre sastra juga bersifat sangat dinamis dan berbeda-beda.
Jenis sastra terjadi sebab konvensi sastra yang berlaku pada suatu karya membentuk
ciri karya itu . Menurut N.H. Pearson jenis sastra dapat dianggap sebagai suatu perintah
kelembagaan yang memaksa pengarangnya sendiri. Menurut Harry Levin, jenis sastra yaitu
suatu “lembaga”, seperti halnya gereja, universitas, atau negara. Jenis sastra itu dinamis
seperti halnya sebuah institusi yang boleh diikuti atau tidak, atau boleh dirubah. Sedang
genre yaitu suatu prinsip keteraturan: sastra dan sejarah sastra
diklasifikasikan tidak berdasar waktu atau tempat (periode atau pembagian sastra
nasional), namun berdasar tipe struktur atau susunan sastra tertentu , mengutip beberapa definisi genre sastra dari beberapa
pakar sastra, antara lain sebagai berikut. Menurut Shipley, genre yaitu jenis atau kelas yang
di dalamnya termasuk karya sastra. Hasry Shaw menyatakan bahwa genre yaitu kategori
atau kelas usaha seni yang memiliki bentuk, teknik atau isi khusus….Di antara genre dalam
sastra termasuk novel, cerita pendek, esai, epik, dan seterusnya . Menurut Abrams, genre merupakan
istilah untuk menandai jenis sastra atau bentuk sastra. Nama genre sastra pada periode kuno:
tragedi, komedi, epik, satire, novel, esai dan biografi. Pada periode renaisan: epik, tragedi,
komedi, sejarah, pas toral, komik pastoral, dan seterusnya . Menurut Hirsch, cara terbaik untuk
mendefinisikan genre ialah dengan melukiskan unsur-unsur di dalam kelompok teks sempit
yang memiliki hubungan sejarah secara langsung.
Aristoteles dalam tulisannya yang berjudul Poetika meletakkan dasar untuk studi
jenis sastra. Ia sadar bahwa karya sastra dapat digolongkan menurut berbagai kriteria;
menurutnya ada tiga macam kriteria yang dapat dijadikan patokan (berdasar sastra
Yunani klasik, namun teori ini banyak cocoknya untuk sastra lain), sebagai berikut
1. Sarana perwujudannya (media of representation):
a. prosa
b. puisi: yang satu matra (contohnya: syair) dan yang lebih dari satu matra (contohnya
tragedi, kakawin)
(Dalam pembagian ini pada prisipnya tidak dibedakan antara sastra dan bukan sastra)
2. Obyek perwujudan (objects of representation): yang menjadi obyek pada prinsipnya
manusia, namun ada tiga kemungkinan:
a. manusia rekaan lebih agung dari manusia nyata: tragedi, epik Homeros, cerita Panji
b. manusia rekaan lebih hina dari manusia nyata: komedi, lenong
c. manusia rekaan sama dengan manusia nyata: Cleophon (bila ketika itu sudah ada
roman pastilah masuk kategori ini)
3. Ragam Perwujudannya (manner of poetic representation):
a. teks sebagian terdiri dari cerita, sebagian disajikan melalui ujaran tokoh (dialog): epik
b. yang berbicara si aku lirik penyair: lirik
c. yang berbicara para tokoh saja: drama
Teeuw (1984) juga mencatat pendapat beberapa pakar yang mempermasalahkan
dinamika jenis sastra, sebagai berikut. Menurut Culler, pada asasnya fungsi konvensi jenis
sastra ialah mengadakan perjanjian antara penulis dan pembaca, agar terpenuhi harapan
tertentu yang relevan, dan dengan demikian dimungkinkan sekaligus penyesuaian dengan dan
penyimpangan dari ragam keterpahaman yang telah diterima. Menurut Todorov, batasan
jenis sastra oleh sebab itu merupakan suatu kian kemari yang terus menerus antara deskripsi
fakta-fakta dan abstraksi teori. Menurut Claudio Guillen, jenis sastra yaitu undangan atau
tantangan untuk melahirkan wujud. Konsep jenis memandang ke depan dan ke belakang
sekaligus. Ke belakang ke karya sastra yang sudah ada dan ke depan ke calon penulis.
Menurut Todorov, setiap karya agung, per definisi, menciptakan jenis sastranya sendiri.
Setiap karya agung menetapkan terwujudnya dua jenis, kenyataan dan norma, norma jenis
yang dilampauinya yang menguasai sastra sebelumnya, dan norma jenis yang diciptakannya.
Demikian juga menurut Hans Robert Jausz, bahwa jenis sastra per definisi tidak bisa hidup
untuk selamanya, karya agung justru melampaui batas konvensi yang berlaku membuka
kemungkinan baru untuk perkembangan jenis sastra. Jenis sastra bukanlah sistem yang beku,
kaku, namun berubah terus, luwes dan lincah. Peneliti sastra harus mengikuti perkembangan
itu dalam penelitiannya. Teeuw menambahkan bahwa dalam penelitian sistem jenis sastra,
tidak ada garis pemisah yang jelas antara pendekatan diakronik dan sinkronik: karya sastra
selalu berada dalam ketegangan dengan karya-karya yang diciptakan sebelumnya.
Sehubungan dengan pernyataan ini Luxemburg dkk. (1989) menuliskan bahwa
penjenisan sering kali tidak hanya deskriptif namun juga preskriptif, yakni membuat
peraturan-peraturan, sehingga pengarang akan bangga bila dapat memenuhinya. Hal inilah
yang disebut dengan estetika identitas. Sedang pertentangan yang mendobrak peraturan-
peraturan itu disebut estetika oposisi. Dalam sejarah sastra di Indonesia juga banyak
sastrawan yang terkenal dengan pembaruan-pembaruannya yang kemudian diikuti oleh
sastrawan-sastrawan di belakangnya yang kemudian menyuarakan jenis sastra baru. Dalam
sastra Jawa dikenal nama Intojo yang mengenalkan jenis soneta pada sastra Jawa sehingga ia
disebut sebagai bapak soneta sastra Jawa modern. Juga dikenal nama Iesmaniasita yang
memberontak aturan-aturan tradisi sastra Jawa sebelumnya. Ia menuliskan
pemberontakannya dalam puisinya yang berjudul Kowe Wis Lega? dan cerpen Jawanya
Tiyupan Pedhut Anjasmara.
Dewasa ini dalam pengajaran sastra di sekolah-sekolah tampak bahwa penjenisan
sastra diterapkan secara sederhana dengan menekankan bentuk material atau lahiriahnya
saja. bahwa sebuah cerita (fiksi) mengisi
seluruh permukaan halaman. Sedang dalam teks drama dijumpai banyak bidang putih,
khususnya bila pembicaranya ganti. Nama-nama pelakunya dicetak secara khusus sehingga
meyakinkan sebagai drama. Dalam hal puisi pun biasanya halaman tidak terisi penuh (larik-
lariknya tidak panjang) dan bait-baitnya dipisahkan oleh bidang-bidang putih atau larik-larik
kosong. Perbedaan antara roman dan novel ditentukan panjangnya teks atau jumlah kata.
Luxemburg, dkk. (1989) juga membagi bab-bab dalam bukunya menjadi teks-teks
naratif, teks-teks drama dan teks-teks puisi. Teks naratif sering disebut juga jenis fiksi yang
biasanya berbentuk prosa atau disebut prosa fiksi. Luxemburg membatasi teks naratif ialah
semua teks yang tidak bersifat dialog dan yang isinya merupakan suatu kisah sejarah, sebuah
deretan peristiwa. Teks-teks drama ialah semua teks yang bersifat dialog-dialog dan yang
isinya membentangkan sebuah alur. Sedang teks-teks puisi ialah semua teks monolog yang
isinya tidak pertama-tama merupakan sebuah alur.
Dalam sastra Jawa modern teks naratif atau prosa disebut gancaran. Dalam puisi
Jawa, dikenal puisi tradisional yang berbentuk tembang dan puisi modern yang disebut
geguritan. Sedang dalam bentuk drama, khususnya drama tradisional dikenal bentuk pakem
(pedoman pementasan), baik pakem jangkep (lengkap) maupun pakem balungan (petunjuk
pembabakan atau pengadegannya). Adapun drama Jawa modern sering disebut sandiwara,
terutama sandiwara (di) radio.
Agaknya tiga jenis inilah (prosa, puisi dan drama) yang secara sederhana dapat
dikenali dan tampak berbeda antar masing-masing jenis dalam karya sastra itu. Namun
demikian dalam kenyataannya, khususnya dalam sastra Jawa, batasan yang diberikan
Luxemburg, dkk. ini harus diberi catatan khusus sebab adanya bentuk-bentuk yang
dasar klasifikasinya ambigu. Misalnya, puisi tradisional (tembang) yang menekankan kisah
sejarah atau rentetan peristiwa, yakni misalnya jenis sastra babad yang kebanyakan ditulis
dalam bentuk puisi tradisional Jawa (tembang).
Pada sastra Jawa modern tampak pembagian ini (prosa, puisi dan drama)
banyak diikuti oleh para pengarang. Tidak mengherankan bila banyak bermunculan buku-
buku antologi sastra Jawa yang berisi masing-masing jenis ini secara terpisah satu
dengan jenis lainnya. Misalnya dalam sastra Jawa bermunculan antologi geguritan (puisi
Jawa modern), yakni antara lain, Kristal Emas (1994), Mantra Katresnan (2000), Kabar
Saka Bendulmrisi (2001) dan seterusnya . Yang berjenis prosa antara lain bermunculan antologi cerkak
(cerita pendek Jawa), yakni antara lain Kalimput ing Pedut (1976), Niskala (1993), Bandha
Pusaka (2001), dan seterusnya . Sedang yang berjenis drama muncul antologi seperti Gapit (1998),
Gong (2002), dan seterusnya .
Bila ditinjau dari segi isi pembicaraan atau tema-temanya, karya sastra Jawa dapat
dibedakan menjadi beberapa jenis, yakni antara lain sebagai berikut.
1) Babad, yakni berisi tentang sejarah yang ditulis dengan cara pandang tradisional,
sehingga dibumbui dengan berbagai mitos, legenda, dan seterusnya . Babad sering ditulis
dalam bentuk puisi (tembang).
2) Niti atau wulang atau pitutur, yakni berisi tentang ajaran kebaikan, antara lain
tentang etika atau moral, tatacara atau tradisi, dan seterusnya .
3) Wirid dan suluk, yakni berisi tentang ajaran kebatinan (Islam-kejawen) atau
tasawuf. Wirid ditulis dalam bentuk prosa, sedang suluk ditulis dalam bentuk
tembang.
4) Wayang, yakni berisi cerita kepahlawanan (wiracarita). Ada beberapa jenis cerita
wayang Jawa, antara lain: wayang purwa, wayang menak, wayang wahyu, wayang
Pancasila, dan seterusnya . Wayang purwa berasal dari sumber kitab Mahabarata, Ramayana,
Serat Lokapala, dan seterusnya . Penulisan cerita wayang purwa berbentuk prosa
(gancaran), tembang, maupun drama (bentuk pakem atau pedoman pementasan).
5) Menak, berisi cerita wiracarita yang berhubungan dengan perkembangan Islam di
Timur-Tengah yang telah dibumbui oleh berbagai mitos Jawa.
6) Panji, yakni berisi wiracarita dengan tokoh utamanya Panji yang berhubungan
dengan babad Kediri dan Jenggala
7) Roman, novel, novelet, dan crita cekak (cerkak), merupakan hasil karya sastra
Jawa modern berbentuk prosa. Antara jenis roman, novel, novelet, dan cerkak,
pada umumnya dibedakan secara kuantitatif, yakni jumlah kata atau halamannya.
Secara urut, roman terpanjang dan cerkak terpendek.
8) Dongeng dan jagading lelembut, dari segi panjangnya, biasanya bisa
dikategorikan sebagai cerkak. Namun penekanan isinya berbeda. Cerkak biasanya
berisi cerita kehidupan manusia sehari-hari. Dongeng berisi cerita khayal
(fantastis) dengan tokoh manusia, binatang, atau benda-benda tertentu. Sedang
jagading lelembut, berisi cerita tentang manusia dalam hubungannya dengan hantu
(lelembut).
9) dan seterusnya .
D. Unsur-unsur Sastra: Intrinsik dan Ekstrinsik
Karya sastra pada dasarnya merupakan hasil rangkaian kata-kata atau bangunan kata-
kata atau sering disebut dunia dalam kata. Bangunan sastra ini memiliki bagian-bagian
yang merupakan unsur-unsur sastra yang secara keseluruhan menjadi satu kesatuan yang
utuh atau sering disebut memiliki totalitas. Unsur-unsur ini saling berkaitan dan
sekaligus saling mendukung dan saling menggantungkan. Unsur-unsur sastra ini sangat
penting untuk dicermati terutama dalam rangka mengkaji atau meneliti karya sastra yang
bersangkutan.
Unsur-unsur pembangun karya sastra, pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yakni
unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik yaitu unsur-unsur yang secara
langsung membangun karya sastra itu sendiri, unsur yang secara faktual akan segera
dijumpai oleh pembaca. Kepaduan atau keterjalinan unsur-unsur intrinsik inilah yang
membuat karya sastra berwujud.
Adapun unsur ekstrinsik karya sastra yaitu unsur-unsur yang berada di luar karya
sastra itu, namun secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya
sastra. Unsur ekstrinsik merupakan unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah
karya sastra, namun ia sendiri tidak secara langsung ikut menjadi bagian di dalam sistem
organismenya. Namun demikian unsur ekstrinsik sangat berpengaruh terhadap totalitas
bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh sebab itu unsur ekstrinsik juga sangat penting untuk
diperhatikan dalam rangka membantu pemahaman karya sastra. Pada kenyataannya karya
sastra memang tidak muncul dari situasi kekosongan budaya, tidak jatuh dari langit.
Penciptaan karya sastra terpengaruh oleh berbagai kondisi sosial budaya yang dimiliki atau
diketahui oleh pengarang. Penciptaan makna atau pemaknaan karya sastra juga terpengaruh
oleh berbagai kondisi sosial budaya yang dimiliki atau diketahui oleh pembaca. Segala
kondisi dari luar yang melatarbelakangi pemaknaan karya sastra itulah yang disebut unsur
ekstrinsik.
Unsur ekstrinsik karya sastra antara lain yaitu
subyektivitas individu pengrang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang
kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Jadi unsur biografi pengarang
akan mempengaruhi corak karya sastra yang diciptakannya. Unsur ekstrinsik lainnya yaitu
unsur psikologi, baik psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi
pembaca (yang mencakup proses pemaknaan), maupun penerapan prinsip-prinsip psikologi
dalam karya sastra. Keadaan ekonomi, politik, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap
karya sastra. Unsur ekstrinsik lainnya lagi yakni pengaruh karya sastra atau karya seni
lainnya. Di samping itu pandangan hidup suatu bangsa juga sering mewarnai isi karya sastra.
Pada kenyataannya sering kali pemisahan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik
menemui kesulitan. Hal ini terutama dikarenakan bahasa, sebagai sarana sastra, mengandung
bentuk dan isi sekaligus. Dari segi bentuknya, bahasa menyampaikan informasi seperti apa
yang ada dalam kata atau frasa atau kalimat dst. yang ada dalam bahasa itu. Dari segi isinya,
informasi yang ada itu sering kali bersifat tidak eksplisit atau simbolis, yang pemaknaannya
harus dicari dari latar belakang sosial budayanya. Di samping itu, antara bahasa dan sastra
sama-sama merupakan sistem semiotik (simbol makna) yang kadang-kadang tidak jelas
batas-batasnya. Dengan kata lain, dalam menguraikan unsur-unsur intrinsik sering kali harus
menengok ke latar belakang sosial budaya pengarang maupun pembacanya, sehingga mau
tidak mau harus mencari unsur-unsur ekstrinsiknya. Sebagai contoh konkrit, dalam
menguraikan penokohan, sering kali orang harus berangkat dari sistem nilai etika dan
moralitas yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Bila dalam sastra Jawa dinyatakan
bahwa seorang pria akan dan harus memilih calon istrinya dengan mempertimbangkan bobot,
bibit, bebet dan dalam karya sastra yang bersangkutan istilah itu tidak pernah dijelaskan
lagi, maka konsep bobot, bibit, bebet ini harus dicari penjelasannya dari konteks sosial
budaya Jawa. Dan sebagainya dan sebagainya.
Unsur-unsur intrinsik yang membangun prosa fiksi antara lain peristiwa, cerita,
plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa,
dan sebagainya .
mendeskripsikan unsur-unsur struktur fiksi yang terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana
sastra.
a. Tema
Tema yaitu sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai
pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, dan
sebagainya. Dalam hal tertentu, sering tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan
utama cerita
b. Fakta Cerita
Fakta cerita yang meliputi alur, tokoh dan latar, merupakan unsur fiksi yang secara
faktual dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya, dalam sebuah novel (fiksi). Oleh
sebab itu ketiganya juga disebut struktur faktual (factual structure) atau derajat faktual
(factual level) sebuah cerita. Ketiga unsur ini harus dipandang sebagai satu kesatuan
dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah
satu dengan yang lain.
1) Plot (Alur)
Alur sering disebut juga plot cerita, sering juga disebut struktur naratif atau sujet.
Dalam hal ini yang harus dicermati ialah bahwa plot bukan sekedar jalan cerita atau urutan
peristiwa secara kronologis, namun rangkaian peristiwa yang ditandai dengan hubungan
sebab-akibat. Hal ini misalnya pernah dikemukakan oleh Stanton, oleh Forster, dan seterusnya . Menurut
Stanton (1965: 14, via Nurgiyantoro, 1995) plot yaitu cerita yang berisi urutan kejadian,
namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu
disebabkan atau memicu terjadinya peristiwa yang lain. Senada dengan itu Forster juga
menyatakan bahwa plot yaitu peristiwa-peristiwa cerita yang memiliki penekanan pada
adanya hubungan kausalitas
Menurut Forster plot memiliki sifat misterius dan
intelektual. Misterius maksudnya bahwa dalam plot itu belum tentu langsung diselesaikan
secara cepat tapi sedikit demi sedikit, atau peristiwanya sengaja dipisahkan pada bagian yang
berjauhan urutan penceritaannya, atau ditunda pengungkapan kunci permasalahannya, atau
justru dibalik urutan waktu kejadiannya. Hal yang demikian itu yang menimbulkan
keingintahuan pembaca untuk membaca terus karya sastra yang bersangkutan hingga selesai.
Harapan dan rasa ingin tahu pembaca terhadap kelanjutan plot yang misterius itu sering
disebut suspense. Sedang yang dimaksud dengan intelektual ialah bahwa dalam plot
terkandung logika tentang hubungan sebab akibat yang harus disikapi dengan intelek dan
kritis oleh pembaca agar pembaca yang bersangkutan mampu memahami permainan plot
pada karya sastra yang dibacanya. Dalam hubungannya dengan analisis struktural justru
permainan plot itu harus dijelaskan secara rinci sehingga dapat dengan mudah dijelaskan
hubungannya dengan anasir-anasir selain plot dalam rangka pemahaman makna secara
keseluruhan.
Membicarakan plot pada dasarnya membicarakan tentang berbagai peristiwa dan
konflik. Yang disebut peristiwa ialah peralihan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang
lain. Peristiwa, setidak-tidaknya dapat dibagi menjadi tiga, yakni peristiwa fungsional,
kaitan dan acuan. Peristiwa fungsional merupakan peristiwa yang menentukan dan atau
mempengaruhi perkembangan alur atau plot. Peristiwa kaitan yaitu perstiwa-peristiwa
yang mengaitkan antar peristiwa-peristiwa penting (fungsional) dalam pengurutan plot.
Sedang peristiwa acuan merupakan peristiwa-peristiwa yang tidak berpengaruh secara
langsung terhadap perkembangan alur, namun mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya
watak tokoh, suasana yang berpengaruh pada watak tokoh, dan seterusnya
Nurgiyantoro mencatat bahwa anatar peristiwa itu di samping memiliki hubungan
logis juga memiliki sifat hierarkhis logis, tingkat kepentingannya, keutamaannya, atau
fungsionalitasnya. Roland Barthes menyebut peristiwa yang dipentingkan atau diutamakan
sebagai peristiwa utama atau peristiwa mayor; sedang yang tidak dipentingkan disebut
peristiwa minor atau peristiwa pelengkap. Senada dengan itu Chatman menyebut peristiwa
utama sebagai kernel, sedang peristiwa pelengkap sebagai satelit ,
Perbedaan peristiwa-peristiwa ini akan tampak jelas bila sebuah karya fiksi diringkas , Semakin tidak penting peristiwa itu akan semakin besar
kemungkinannya untuk tidak dituliskan kembali dalam ringkasan.
Konflik menyaran pada sesuatu yang tidak menyenangkan yang terjadi dan atau
dialami oleh tokoh cerita. Bila tokoh itu memiliki kebebasan untuk memilih, maka ia tidak
akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya ,Konflik yaitu sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua
kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan ,
Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling memicu terjadinya
satu dengan yang lain, bahkan konflik pun pada hakikatnya merupakan peristiwa. Konflik
dapat dibagi menjadi dua, yakni konflik internal (konflik kejiwaan) dan konflik eksternal.
Konflik internal terjadi dalam diri seorang tokoh, sedang konflik eksternal terjadi antara
tokoh dengan lingkungannya, yakni tokoh(-tokoh) lain atau lingkungan alam. Konflik juga
dapat dibagi menjadi konflik batin dan konflik fisik . Di samping itu
berdasar fungsinya konflik juga bisa dibagi menjadi konflik utama dan konflik pendukung
(konflik tambahan). Dengan demikian bisa didapatkan konflik utama internal, konflik utama
eksternal, konflik pendukung internal dan konflik pendukung eksternal.
Dalam fiksi sering terjadi pertemuan antar berbagai konflik sehingga konflik itu
semakin meningkat. Bila konflik meningkat hingga mencapai tingkat intensitas tertinggi
maka keadaan itu disebut klimaks. Klimaks merupakan pertemuan antara dua (atau lebih)
hal (keadaan) yang dialami oleh tokoh-tokoh utama, yang dipertentangkan, dan yang
menentukan bagaimana permasalahan (konflik) pada tokoh-tokoh utama itu akan
diselesaikan .
Ditinjau dari segi keberhasilannya, struktur plot setidak-tidaknya harus
memperhatikan plausibilitas, suspense, surprise, dan kesatupaduan plot, dan
menghindari deus ex machina. Plausibilitas maksudnya bahwa plot harus dapat dipercaya
atau diterima dari segi logika cerita. Dalam hal ini tidak harus berarti bahwa cerita itu harus
realis sesuai dengan keadaan pada dunia nyata, namun lebih mengacu pada sifat koheren dan
konsisten pada sebab-akibat dalam plot. Misalnya, logika cerita untuk novel realis tentu
berbeda dengan novel surealis atau cerita jagading lelembut. Bila tokoh Gathutkaca bisa
terbang bukan berarti alur cerita itu tidak memenuhi konsep plausibilitas. Tapi bila
Gathutkaca tidak bisa terbang, justru itulah yang harus dicari alasannya dan plausibilitasnya.
Apabila suatu cerita secara tiba-tiba, tanpa diberikan alasan yang jelas, dimunculkan
dengan cara kebetulan (Jw: ndilalah) dan dipaksakan sebagai alasan untuk mengembangkan
cerita selanjutnya atau untuk menyelesaikan permasalahan hingga tampak tidak masuk akal,
maka alasan itu disebut sebagai deus ex machina. Adanya deus ex machina mengurangi
kadar plausibilitas pada plot karya sastra.
Suspense atau sering disebut tegangan menyaran pada perasaan kurang pasti
terhadap peristiwa-peristiwa yang akan terjadi atau harapan yang belum pasti terhadap akhir
cerita Suspense harus dibangun dan dipertahankan dalam plot untuk memotivasi, menarik
dan mengikat pembaca agar tetap setia menyelesaikan bacaannya sebab penasaran. Salah
satu cara untuk membangkitkan suspense ialah dengan cara memunculkan foreshadowing
dalam cerita. Foreshadowing yaitu bagian cerita yang dapat dipandang sebagai pertanda
atau isyarat akan terjadinya sesuatu dalam cerita selanjutnya. Bagi orang Jawa, misalnya
menampilkan peristiwa “ketiban cecak” sebagai isyarat akan terjadinya musibah pada tokoh
yang kejatuhan cicak itu .
Di samping suspense, plot sebaiknya juga mengandung surprise atau kejutan. Plot
sebuah karya fiksi dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian-
kejadian yang ditampilkan menyimpang atau bertentangan dengan harapan pembaca
(Abrams, via Nurgiyantoro, 1995). Dalam hal ini sebenarnya tekanannya pada plot itu sendiri
dalam kaitannya dengan sebab-akibat. Sebagai contoh pada fiksi ditektif, biasanya
memberikan surprise pada menjelang akhir kisah, yakni pembunuh atau terdakwanya
biasanya orang yang, oleh pembaca, tak terduga sama sekali. Mungkin orang terdekat
korban yang pada beberapa hal ditampilkan baik budi, namun pada hal-hal tertentu bisa
berbuat buruk dan jahat.
Antara suspense, surprise dan plausibilitas harus berjalinan erat, dan saling
menunjang -mempengaruhi dan membentuk satu kesatuan yang padu. Surprise, walaupun
mengejutkan namun harus tetap bisa dipertanggungjawabkan logika sebab akibatnya, agar
tidak menjadi deus ex machina .
Plot juga harus memiliki kesatupaduan atau keutuhan atau unity. Kesatupaduan
menyaran pada pengertian bahwa berbagai unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-
peristiwa fungsional, kaitan dan acuan, yang mengandung konflik, atau seluruh pengalaman
kehidupan yang hendak dikomunikasikan, memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.
Ada benang merah yang mengaitkan berbagai aspek cerita sehingga seluruhnya dapat
terasakan sebagai satu kesatuan yang utuh padu .
Apabila dalam karya fiksi ada peristiwa yang menyimpang dari pokok masalah
yang dikembangkan atau menjadi bagian yang menyimpang yang tak langsung bertalian
dengan alur dan tema karya sastra, bagian itu disebut sebagai digresi atau lanturan
(Sudjiman, 1986). Misalnya adegan Limbukan, Cantrikan, dan Gara-gara dalam plot
wayang purwa, ditinjau dari struktur isi pembicaraannyanya sebenarnya sering merupakan
digresi. Namun demikian adegan ini sah bila ditinjau dari segi konvensi atau tradisi
wayang purwa.
2) Penokohan
Istilah penokohan dalam ilmu sastra sering juga disebut tokoh, watak,
perwatakan, karakter, atau karakterisasi. Penokohan yaitu penciptaan citra tokoh di
dalam karya sastra (Sudjiman, 1986). Penokohan lebih luas pengertiannya dari pada istilah
tokoh dan istilah perwatakan, sebab sekaligis mencakup masalah siapa tokoh cerita,
bagaimana perwatakannya, bagaimana penempatannya dan pelukisannya dalam sebuah cerita
sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus
menyaran pada teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam cerita (Nurgiyantoro,
1995). Penokohan dapat digambarkan secara fisik, psikologis maupun psikologis. Dari segi
fisik, misalnya: kelaminnya, tampangnya, rambutnya, bibirnya, warna kulitnya, tingginya,
gemuk atau kurusnya, dan seterusnya . Dari segi psikologis, misalnya: pandangan hidupnya, cita-citanya,
keyakinannya, ambisinya, sifat-sifatnya, inteligensinya, bakatnya, emosinya, dan seterusnya Dari segi
sosiologis, misalnya: pendidikannya, pangkat dan jabatannya, kebangsaannya, agamanya,
lingkungan keluarganya, dan seterusnya .
Walaupun tokoh dan penokohannya dalam cerita itu hanya merupakan ciptaan
pengarang, namun harus diperhitungkan logika kewajarannya. Ia harus merupakan tokoh
yang hidup secara wajar sebagaimana kehidupan manusia yang memiliki pikiran dan
perasaan; sekaligus harus sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan yang
30
disandangnya. Jika terjadi seorang tokoh bersikap lain, maka harus tidak terjadi begitu saja,
sebab harus memiliki kadar plausibilitas dan yang terpenting haruslah konsisten (bdk:
Nurgiyantoro, 1995: 167).
3) Latar atau setting
Latar atau setting atau landas tumpu menyaran pada tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, via
Nurgiyantoro, 1995). Latar memberikan pijakan cerita secara konkrit dan jelas, untuk
menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Latar, setidak-
tidaknya dapat dipisahkan menjadi latar tempat (di mana lokasinya), latar waktu (kapan
terjadinya), dan latar suasana (bagaimana keadaannya); termasuk suasana alam, suasana
masyarakat (sosial), dan suasana lahir dan batin tokoh cerita.
Dalam karya fiksi, latar waktu yang diceritakan sering menunjuk pada waktu-waktu
tertentu yang pernah berlangsung, bahkan hingga disebutkan bulan atau tahunnya, atau
penunjukan pada suatu peristiwa yang pernah terjadi dalam fakta sejarah. Dengan demikian
latar waktu itu seakan-akan merupakan latar yang ada dalam realita kehidupan sesungguhnya
(bukan sekedar karangan). Namun demikian di dalam karya fiksi, sering dimunculkan
berbagai hal yang ada pada realita kehidupan sesungguhnya, yang menurut waktunya tidak
sesuai atau tidak tepat sehingga fiksi ini menjadi tidak logis. Misalnya, pada cerita
ketoprak yang mengangkat cerita historis, misalnya jaman Majapahit, lalu tokoh abdinya
membicarakan tentang keluarga berencana (KB) yang sesungguhnya baru muncul pada tahun
1970-an. Hal yang menjadikan latar waktunya menjadi tidak logis itu sering disebut
anakronisme , yakni ketidak sesuaian antara waktu dalam cerita
dengan waktu dalam realita yang diacu oleh karya fiksi yang bersangkutan.
c. Sarana Sastra
Sarana sastra atau sarana pengucapan sastra atau sarana kesastraan (literary
devices) yaitu teknik yang dipakai pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil
cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna. Tujuan penggunaan atau
pemilihan sarana sastra yaitu untuk memungkinkan pembaca melihat fakta sebagaimana
yang dilihat pengarang, menafsirkan makna fakta sebagaimana yang ditafsirkan pengarang,
dan merasakan pengalaman seperti yang dirasakan pengarang. Macam sarana sastra antara
lain berupa sudut pandang penceritaan, gaya (bahasa) dan nada, simbolisme, dan ironi
Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view atau viewpoint, yaitu cara sebuah cerita
dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipakai oleh pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang
membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca Jadi ia merupakan cara atau siasat atau strategi dari pengarang untuk menyampaikan
ceritanya. Dalam hal ini cara yang dipakai yaitu dengan mengambil posisi atau
mendudukkan dirinya pada peristiwa atau cerita yang disampaikannya.
Pencerita itu bisa berposisi sebagai orang luar atau orang yang tidak terlibat dalam
peristiwa (-peristiwa) yang diceritakan, namun juga bisa sebagai orang yang ikut terlibat
dalam kejadian(-kejadian) yang diceritakan. Bila ia berada di luar kejadian-kejadian dalam
cerita atau tidak terlibat, maka tokoh-tokoh yang diceritakan akan dipandang sebagai orang
ketiga atau disebut gaya “dia” atau gaya orang ketiga. Sedang bila pencerita itu terlibat,
maka ia akan menceritakan melalui tokoh “aku” atau disebut gaya “aku” atau gaya orang
pertama. Penggunaan gaya orang ketiga atau pun gaya orang pertama tampak bukan pada
bentuk dialog namun pada bentuk narasi. Dalam karya sastra Jawa gaya orang ketiga tampak
pada narasi yang diungkapkan dengan kata ganti orang ketiga: dheweke atau dheke, dan seterusnya .
Sedang gaya aku tampak pada narasi yang diungkapkan dengan kata ganti aku atau kula.
Pada sudut pandang orang ketiga, dapat diklasifikasikan lagi menjadi: gaya “dia”
maha tahu dan gaya “dia” terbatas atau tidak maha tahu. Bila berbagai hal yang dialami
tokoh (-tokoh) cerita, termasuk apa pun yang dipikirkan atau dirasakan atau dipendam
dalam hati, diketahui oleh pencerita sehingga diceritakan dalam suatu fiksi, maka sudut
pandang itu termasuk gaya “dia” maha tahu. Namun bila pencerita tidak menceritakan hal-
hal yang ada dalam pikiran atau batin tokoh- tokoh cerita, maka termasuk dalam gaya “dia”
terbatas. Gaya “dia” terbatas…….pengamat.
Pada karya sastra yang berbentuk drama (teks drama), yakni karya sastra yang
menekankan dialog dan ditulis dengan tujuan untuk dipentaskan, unsur-unsur intrinsiknya
sedikit berbeda dengan jenis prosa fiksi. Menurut Luxemburg (1989) ada tiga aspek yang
harus diperhatikan dalam teks drama, yakni sebagai berikut.
1. Menurut situasi bahasanya ada teks pokok (berisi dialog para tokohnya) dan teks
samping (berisi penjelasan dari penulis tentang teknik pementasan drama sehingga
berlaku sebagai pelengkap),
2. Penyajian secara khusus pada beberapa unsur seperti alur, tokoh dan latar,
3. Dalam beberapa hal penyajian teks drama dapat identik dengan penyajian jenis naratif
(prosa).
Teks pokok yakni teks dalam drama yang berisi dialog para tokohnya, merupakan
bagian yang terpenting dalam drama. Bahkan ada beberapa teks drama yang hanya berisi teks
pokok saja tanpa teks samping. Drama seperti inilah yang oleh Luxemburg dkk. disebut
drama mutlak. Dalam bentuk drama mutlak itu kekhasan unsur alur, tokoh dan latar
menjadi jelas. Alur drama dibina melalui adegan-adegan dan babak-babak yang berisi dialog-
dialog para tokohnya. Bila terjadi sorot balik, tokohlah yang bercerita tentang masa lalu.
Penokohan dalam drama hanya dapat ditafsirkan dari dialog-dialog saja, sebab tidak ada
penjelasan langsung secara deskriptif dari pengarang teks drama. Demikian pula latar drama
itu juga hanya ditafsirkan melalui dialog-dialog yang ada.
Dalam teks drama yang menyertakan teks samping, semakin banyak teks
sampingnya, semakin mudah menangkap maknanya, sebab semakin banyak penjelasan yang
diberikan. Namun demikian bila teks itu hendak dipentaskan, maka teks itu semakin
mengikat sutradara dan pemain (pelaku)-nya
Walau berbeda, seperti halnya dalam karya sastra yang berbentuk prosa, dalam
drama dapat diteliti unsur-unsurnya yang meliputi tema, alur, penokohan, latar, amanat,
simbolisme dan sebagainya. Terutama dalam drama tradisional, berbagai hal yang bersifat
konvensional harus lebih diperhatikan. Misalnya dalam wayang purwa, hampir semua unsur
yang ada sangat terikat oleh berbagai konvensi yang ada
Dalam wayang purwa, misalnya, kebanyakan temanya dipengaruhi oleh konvensi
filosofis seperti “becik ketitik ala ketara” (yang baik dan yang buruk akan tampak), “sura
dira jayaning rat lebur dening pangastuti” (kejahatan akan terkalahkan oleh kebaikan), “yen
temen mesthi tinemu” (kalau betul-betul diupayakan pasthi ada jalan), dan sebagainya. Alur
wayang purwa dipengaruhi oleh urutan adegan konvensional, yakni adegan negara besar
(Jejer I), adegan di ruang permaisuri (Kedhatonan), adegan di luar istana (Paseban jawi), dst.
Penokohan dalam wayang purwa terikat oleh penokohan konvensional yang ada dalam
tradisi (terutama dalam hubungannya dengan cerita Ramayana dan Mahabharata), dst. Oleh
sebab itu bagi drama tradisional, pendekatan struktural yang menekankan otonomi karya
sastra akan menemui banyak kendala, terutama yang menyangkut berbagai unsur ekstrinsik.
Konvensi pada drama tradisional sangat mengikat dan menyangkut berbagai unsur
yang ada. Oleh sebab itu sering kali teks drama hanya ditulis secara singkat sebagai
pedoman pengadegan atau pembabakannya saja. Hal ini dikarenakan baik penonton maupun
sutradara atau dhalang, sudah mengetahui secara pasti kelengkapannya, berdasar
konvensi yang ada. Dengan demikian isi dialognya tidak dituliskan secara langsung (dialog
dalam bentuk kalimat langsung). Dialog hanya disebutkan dalam bentuk inti dari isi
dialognya saja. Dalam wayang purwa teks semacam itu dikenal sebagai pakem balungan
(kerangka adegan sebagai pedoman pementasan). Adapun dialognya juga hanya disebutkan
intinya (wosing rembag) saja. Bentuk pakem balungan itu dibedakan dengan jenis teks
pakem jangkep (pedoman pementasan secara lengkap).
Pada karya sastra yang berbentuk puisi, unsur-unsur intrinsiknya antara lain berupa
strata norma, yang menyangkut 1) strata bunyi, 2) unit makna, 3) obyek-obyek yang
dikemukakan: latar, pelaku dan dunia yang diciptakan pengarang, 4) strata “dunia” yang
secara implisit ada dalam puisi, 5) lapis metafisis (Ingarden via Pradopo, 2002). Strata
ke-4 dan ke-5 menurut Wellek & Warren (1993) termasuk dalam strata ketiga. Strata bunyi
yaitu suara yang sesuai dengan konvensi bahasa yang disusun sedemikian rupa sehingga
menimbulkan arti. Bunyi yang disusun itu menyangkut jeda, tekanan, persajakan, urutan atau
rangkaian bunyi dan seterusnya . Jeda dalam hal ini bisa jeda panjang dan jeda pendek. Tekanan dalam
hal ini bisa berupa perulangan bunyi atau kata, susunan kata yang dibalik dan seterusnya . Persajakan
merupakan persamaan bunyi yang berefek estetis tertentu. Urutan atau rangkaian bunyi bisa
berupa kakofoni atau efoni. Kakofoni yakni kombinasi bunyi-bunyi yang tidak merdu, parau
dan seterusnya . yang dapat memperkuat seasana yang kacau, tidak teratut, memuakkan. Sedang efoni
merupakan kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi) atau bunyi-bunyi konsonan bersuara
yang menimbulkan bunyi merdu dan berirama, yang dapat mendukung suasana yang mesra,
gembira, bahagia, kasih sayang, dan seterusnya .
Dalam pandangan lain B. Rahmanto (2003) mencatat bahwa bangunan struktur puisi
memiliki tubuh dan jiwa yang bersifat organik, keduanya harus ada dan saling mendukung.
Unsur tubuhnya terdiri atas diksi, citraan, kata-kata konkret, bahasa kias, rima dan
irama. Sedang unsur jiwanya berupa: rasa, nada, amanat dan tema.
Diksi yaitu pemilihan kata yang dilakukan penyair, untuk menyampaikan perasaan
dan pikirannya, dengan secermat-cermatnya atau setepat-tepatnya, agar terjelma ekspresi
jiwa seperti yang dikehendakinya secara maksimal. Citraan (imagery) yaitu gambaran
angan-angan atau pikiran. Citra (image) yaitu sebuah efek dalam gambaran angan-angan
atau pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh ungkapan penyair
terhadap obyek yang dapat ditangkap oleh indera, pikiran dan gerakan. Kata-kata konkret
yaitu kata-kata khusus yang menyangkut denotasi dan konotasi. Bahasa kiasan (Jawa:
tembung entar) yaitu bahasa perbandingan atau bahasa simbol. Rima atau sajak (dalam
bahasa Jawa: purwakanthi) yaitu persamaan bunyi yang dapat berbentuk assonansi,
aliterasi, resonansi, rima berangkai, dan seterusnya . Irama yaitu tinggi-rendahnya, panjang pendeknya,
dan cepat lambatnya suara. Nada puisi bisa nada ketegaran, kedewasaan sikap,
menyesakkan, memilukan, dan seterusnya . Nada merupakan sikap penyair dihadapan pembacanya.
Sedang rasa merupakan sikap penyair terhadap obyek yang ditulisnya. Amanat merupakan
pesan penyair yang disampaikan pada pembaca. Adapun tema yaitu pokok persoalan yang
ditulis penyair dalam puisinya.
Dalam sastra Jawa, terutama dalam puisi Jawa tradisional, sering ada bentuk-
bentuk tertentu yang didan kan sebagai unsur-unsur yang ikut menentukan maknanya.
Unsur-unsur yang dimaksud antara lain paribasan, bebasan, saloka, pepindhan, candra,
wangsalan, sandi-asma, dan sengkalan (Padmosoekatjo, tt).
Paribasan, bebasan, dan saloka yaitu bahasa kiasan dalam bahasa Jawa yang
wujud kata-katanya tetap, tidak boleh diganti dengan kata-kata yang lain. Paribasan yaitu
bahasa kiasan yang tidak memakai perbandingan (pepindhan). Bebasan yaitu bahasa
kiasan yang memakai perbandingan (pepindhan), yang diperbandingkan yaitu orang,
yang ditekankan yaitu sifat atau watak orang itu . Adapun saloka yaitu bahasa kiasan
yang memakai perbandingan, yang diperbandingkan yaitu orang, yang ditekankan
yaitu orangnya.
Contoh paribasan: adigang-adigung-adiguna yakni orang yang menyombongkan
diri. Ana catur mungkur yakni orang yang tidak suka kasak-kusuk membicarakan buruknya
orang lain. Welas temahan lalis yakni cara berbelas-kasihan yang salah yang memicu
orang yang dikasihani menjadi celaka. dan seterusnya .
Contoh bebasan: kebak luber kocak-kacik yakni orang yang sakit ingatan sebab
ilmu tertentu. Sawat abalang wohe yakni orang yang mencintai dengan meminta pertolongan
saudara orang yang dicintai. Lahang karoban manis yakni tampan atau cantik dan berbudi
baik. dan seterusnya .
Contoh saloka: asu belang kalung wang yakni orang yang tidak baik tapi kaya harta.
Gajah ngidak rapah yakni orang yang melanggar apa yang dijanjikan sendiri. Ketepang
ngrangsang gunung yakni orang yang lemah menginginkan sesuatu yang sulit dijangkaunya.
Pepindhan yakni kata atau kelompok kata yang yang bermakna seperti atau bagaikan
atau bak. Dalam hal ini yang ditekankan yaitu pembentukan katanya. Adapun candra yakni
jenis pepindhan yang menekankan penggambaran sesuatu. Bebasan, saloka, dan candra
termasuk dalam pepindhan. Contoh pepindhan lainnya: netrane abang angatirah, artinya
matanya merah seperti daun Katirah, maknanya marah sekali. Contoh candra: netra lir
baskara kembar artinya matanya seperti matahari kembar.
Wangsalan yakni semacam teka-teki (Jawa: cangkriman) yang bertujuan
mengarahkan pembicaraan pada suatu jawaban yang dari segi bentuknya mirip dengan
jawaban pada teka-tekinya. Jadi cara mengutarakan tidak langsung eksplisit namun
disandikan. Contoh: njanur gunung. Janur gunung yang dimaksudkan yaitu daun pohon
Aren. Yang dimaksud dengan njanur gunung yaitu kadingaren (tumben). Nguler kambang
alon-alonan. Uler kambang yakni ulat yang di air namanya Lintah. Nguler kambang
maksudnya satitahe atau ora ngaya, jadi alon-alonan (pelan-pelan dengan sekenanya atau
santai)
Sandi-asma yakni pencantuman nama pengarang dalam baris-baris puisi Jawa dengan
cara tidak langsung atau disandikan. Misalnya setiap suka kata dari nama pengarangnya
ditempatkan sebagai suku kata awal setiap baris puisi Jawa (misalnya: dalam tembang).
Contoh: dari Serat Aji Pamasa karya R. Ng. Ranggawarsita.
Rasikaning sarkara kaesthi / Denya kedah mardi mardawa / Ngayawara puwarane /
Bela-belaning ukara / Inukarta nis karteng gati / Rongas rehing ukara /
Gagaranirantuk / Warta wasitaning kuna / Sinung tengran Janma Trus Kaswareng
Bumi (sengkalan tahun 1791) / Talitining carita
Kata “pengkajian” sebenarnya menyaran pada aktivitas mengkaji. Jadi “pengkajian”
merupakan pembendaan dari kata kerja “mengkaji”. Adapun kata “mengkaji”, dalam hal ini
menyaran pada pengertian yang luas yang berhubungan dengan aktivitas mempelajari
berbagai seluk-beluk karya sastra sampai dengan penelaahan atau penelitian terhadap karya
sastra. Oleh sebab itu, semestinya, di dalamnya harus membicarakan, mulai dari apa itu
karya sastra, dari mana suatu karya sastra, bagaimana menciptakannya, mengapa dan untuk
apa diciptakan karya sastra, sampai pada bagaimana caranya agar bisa mengetahui semua itu.
Dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan karya sastra, disamping karya
sastra itu sendiri, ada beberapa kegiatan dan bidang garapan, yakni (1) penciptaan sastra (2)
apresiasi sastra (3) teori sastra, (4) sejarah sastra, (5) kritik sastra, (6) perbandingan sastra,
dan sebagainya, yang sering dijumpai dalam pengajaran sastra di sekolah-sekolah hingga
perguruan tinggi. Wellek dan Warren (1993) membicarakan berbagai masalah ini
secara panjang lebar dalam bab “sastra dan studi sastra”.
Bila dicermati, studi sastra beranjak dari sifat sastra, yakni pada dasarnya sastra
bersifat umum dan sekaligus bersifat khusus atau bersifat umum dan individual. Karya sastra
bersifat umum sebab memiliki berbagai ciri yang sama dengan karya sastra lainnya, atau
bahkan dengan karya seni lainnya. Karya sastra bersifat khusus sebab selalu memiliki
kekhasannya sendiri yang tidak dijumpai pada karya sastra lainnya.
Dalam karya sastra, apa yang umum dan apa yang khusus itu dapat dicari dan
dipelajari dengan perbandingan sastra. Dari perbandingan sastra secara luas, berbagai
kategori yang bersifat umum dapat ditarik ke dalam bidang teori sastra. Di samping itu
perbandingan sastra juga dimaksudkan untuk mendudukkan s