suatu karya sastra pada proporsi
yang semestinya di antara karya-karya sastra lainnya; mencirikan kekhasan sebuah karya
sastra, seorang pengarang, suatu periode, atau kesusasteraan nasional tertentu. namun usaha
menguraikan ciri-ciri khas karya sastra, hanya dapat dilakukan secara universal, bila
memungkinkan, jika didasarkan pada suatu teori sastra. Teori sastra, walaupun terus
berkembang, namun secara ideal harus lebih bersifat umum atau universal.
Bagaimana dengan apresiasi sastra? Apresiasi sastra berusaha memahami dan
menghayati karya sastra secara pribadi. Namun demikian apresiasi sastra diperlukan dalam
rangka membudayakan apresiasi dalam masyarakat. Secara ekstrem apresiasi sastra dapat
menjurus ke subyektifitas total, menurut pemahaman pribadinya. Oleh sebab itu studi
sastra secara umum diperlukan untuk membantu mendukung pemahaman terhadap karya
sastra.
Seperti halnya karya sastra, penciptaan sastra dapat dipelajari melalui teori yang
bersifat umum, namun sekaligus juga mengembangkan intuisi pribadi yang bersifat khusus
individual. Dalam pengajaran penciptaan sastra diajarkan berbagai hal secara teoritis, yang
menyangkut berbagai konvensi sastra yang telah ada, sekaligus menekankan kepentingan
inovatif yang harus dikembangkan oleh pencipta atau pengarang sastra.
Adapun sejarah sastra melakukan identifikasi, klasifikasi, periodisasi, hingga
hubungan antar karya sastra dalam kronologi yang menyangkut perkembangan sastra, seni
dan budaya pada umumnya. Dengan demikian sejarah sastra yang berbicara tentang karya
sastra yang khusus berfungsi membantu munculnya teori sastra yang bersifat umum.
Dalam membicarakan pengkajian sastra, mau tidak mau harus melalui pembicaraan
yang pernah dituliskan oleh M.H. Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp. Pada
bagian pendahuluan buku itu , Abrams menyoroti tentang keanekaragaman teori sastra
dan pendekatan terhadap karya sastra yang sering kali mengacaukan. Abrams
memperlihatkan bahwa kekacauan dan keragaman teori ini lebih mudah untuk dipahami
jika berpangkal pada situasi karya sastra secara menyeluruh (the total situation of a work of
art). Abrams memberikan sebuah kerangka yang sederhana namun efektif,
Dalam model ini terkandung 4 macam pendekatan kritis yang utama terhadap karya
sastra, yakni:
1. pendekatan yang menitikberatkan pada karya itu sendiri, yang disebut dengan
pendekatan obyektif
2. pendekatan yang menitikberatkan pada penulis, yang disebut pendekatan
ekspresif
3. pendekatan yang menitikberatkan pada semesta, yang disebut mimetik, dan
4. pendekatan yang menitikberatkan pada pembaca, yang disebut pendekatan
pragmatik
Pada kenyataannya pembagian pada empat pendekatan itu , yang satu dengan
yang lain sering tumpang tindih, tidak mesti berdiri sendiri-sendiri. Hal ini antara lain
dikarenakan idealisme pemaknaan karya sastra mengandaikan penelitian karya sastra secara
interdisipliner yang menyangkut empat bidang ini secara bersama-sama. Di samping itu
pada beberapa pendekatan yang menyangkut unsur-unsur ekstrinsik, secara tidak langsung
telah menyangkut ketiga pendekatan selain obyektif (Ekspresif, mimetik dan pragmatik).
Oleh sebab itu di bawah ini, ketiga pendekatan di atas tidak akan dibicarakan lagi secara
khusus.
B. Pendekatan Struktural
Di atas telah disebutkan bahwa karya sastra dapat dikaji dengan menitikberatkan
pada karya yang bersangkutan yang disebut dengan pendekatan obyektif. Pendekatan
obyektif merupakan pendekatan yang memberikan perhatian secara penuh pada suatu karya
sastra sebagai sebuah struktur yang otonom. Oleh sebab itu membicarakan pendekatan
obyektif sering diidentikkan dengan pembicaraan strukturalisme pada suatu karya sastra.
Menurut Teeuw analisis struktur merupakan tugas prioritas bagi peneliti sastra
sebelum ia melangkah pada hal-hal lain. Analisis karya sastra yang ingin diteliti dari segi
mana pun , merupakan tugas prioritas, pekerjaan pendahuluan. Analisis struktur merupakan
tugas yang sulit dihindari, sebab baru dengan analisis semacam itu dimungkinkan pengertian
yang optimal (Teeuw, 1983). Oleh sebab itu di bawah ini akan diuraikan agak panjang
mengenai analisis struktural pada karya sastra.
Penelitian struktural di bidang ilmu sastra pada mulanya dirintis oleh kelompok
peneliti Rusia antara 1915-1930. Kelompok ini dikenal sebagai kaum formalis, dengan
tokoh-tokohnya Jakobson, Shklovsky, Eichenbaum, Tynjanov, dan lain-lain. Pada mulanya
mereka tidak dikenal di Eropa Barat dan Amerika Serikat, sebab karya-karya mereka
diterbitkan dalam bahasa Rusia. Bahkan kemudian setelah tahun 1930 karya-karya mereka
dilarang oleh Joseph Stalin, diktaktor Rusia, yang menganggap pendekatan formalis
bertentangan dengan ajaran Marxis. Baru setelah perang dunia kedua ide-ide dan karya-
karya aliran formalis dikenal lebih luas, melalui karya Erlich (1965), Todorov (1965) dan
Striedter (1971), dan terjemahan-terjemahan tulisan aslinya ke dalam bahasa-bahasa Barat
Konsep dasar kaum formalis, pertama-tama ingin membebaskan ilmu sastra dari
kungkungan ilmu-ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah, atau penelitian kebudayaan. Mereka
mencari ciri khas suatu karya sastra (mulanya untuk puisi) yang membedakan dengan
ungkapan bahasa lain. Ciri khas itu disebut literariness. Dalam hal ini menurut Erlich bahan
puisi bukanlah imaji atau emosi, melainkan kata-kata……Puisi yaitu tindak bahasa atau
kata. Puisi yaitu pemakaian bahasa yang sign-oriented, terarah ke tanda-tanda, bukan ke
kenyataan.
Selanjutnya, karya sastra seluruhnya dipandang sebagai tanda, lepas dari fungsi
referensial atau mimetiknya. Karya sastra dalam anggapan ini merupakan tanda yang
otonom, yang hubungannya dengan kenyataan bersifat tak langsung (Teeuw, 1984).
Dalam hal ini oleh sebab karya sastra dipandang sebagai karya yang otonom,
peneliti sastra pertama-tama bertugas untuk meneliti struktur karya sastra yang kompleks
dan multidimensional, di mana setiap aspek dan anasir berkaitan dengan aspek dan anasir
yang lain yang semuanya mendapat maknanya secara penuh dari fungsinya dalam totalitas
karya itu (Teeuw, 1984).
Suatu konsep yang penting dalam pandangan kaum formalis, ialah yang disebut
dominant, yakni ciri yang menonjol atau utama. Dalam karya sastra sering kali ada
aspek bahasa tertentu yang secara dominan menentukan ciri-ciri khas karya itu, misalnya
rima, atau matra atau apapun. Dalam analisis dan interpretasi, aspek dominan itulah yang
harus ditekankan, sedang aspek-spek lain bersifat menyangga hal yang dominan itu.
Aliran strukturalis kemudian berkembang di Praha dengan tokoh-tokohnya
Mukarovsky, Vodicka, dll. Di Rusia berkembang dengan tokohnya Jurij Lotman. Diperancis
sebenarnya analisis teks menyeluruh dan struktural telah berkembang terutama dalam bidang
pendidikan dengan sebutan explication de textes. namun dalam aliran sastra strukturalisme
berkembang agak lambat sebab pengaruh Jean-Paul sartre dengan eksistensialismenya yang
menentang pendekatan strukturalis. Baru setelah 1965 strukturalisme berkembang secara
luas dengan tokohnya Claude Levi-Strauss, Roland Barthes, Todorov, Greimas, Julia
Kristeva, dll. Di Inggris berkembang dengan tokohnya I.A. Richards dan T.S. Eliot. Di
Amerika Serikat berkembang dengan sebutan New Criticism, dengan tokohnya Robert Penn
Warren, Alan tate, Cleanth Brooks, Rene Wellek dan Austin Warren, dll. Di Jerman
berkembang dengan tokohnya Wolfgang Kayser, Emil Staiger, dll. Di Nederland oleh W.Gs.
Hellinga, dll. Sedang di Indonesia pernah dikembangkan oleh kelompok Rawamangun
Pemikiran stukturalisme sesungguhnya didasari oleh pemikiran Aristoteles (sekitar
tahun 340 SM) ketika menulis buku Poetika (Teuw, 1984), yang mengatakan bahwa
stukturalisme yaitu cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan
deskripsi struktur. Pada hakikatnya dunia ini lebih tersusun dari hubungan-hubungan dari
pada benda-bendanya itu sendiri. Dalam kesatuan hubungan itu, setiap anasirnya tidak
memiliki makna sendiri-sendiri kecuali dalam hubungannya dengan anasir yang lainnya sesuai
dengan posisinya di dalam keseluruhan strukturnya. Jadi struktur merupakan sebuah sistem,
yang terdiri atas beberapa anasir, yang di antaranya tidak satu pun dapat mengalami
perubahan tanpa menghasilkan perubahan dalam semua anasir lain
di dalam pengertian struktur terkandung tiga
gagasan pokok, yakni: pertama, gagasan keseluruhan (wholeness), dalam arti bahwa
bagian-bagian atau anasir-anasirnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik
yang menentukan, baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan
transformasi (transformation), yakni struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang
terus-menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan mandiri
(self regulation), yakni tidak memerlukan hal-hal dari luar dirinya untuk mempertahankan
prosedur transformasinya. Struktur itu otonom terhadap rujukan sistem lain Terhadap tiga
gagasan itu Jean Peaget lebih eksplisit menyatakan (Veuger, 1983) bahwa struktur yaitu
suatu sistem transformasi yang bercirikan keseluruhan; dan keseluruhan itu dikuasai oleh
hukum-hukum komposisi (rule of composition) tertentu dan mempertahankan atau bahkan
memperkaya dirinya sendiri sebab cara dijalankannya transformasi-transformasi itu tidak
memasukkan ke dalamnya unsur-unsur dari luar Dari konsep dasar di
atas, dalam rangka studi sastra strukturalisme menolak campur tangan pihak luar. Jadi
memahami karya sastra berarti memahami unsur-unsur atau anasir yang membangun struktur
secara keseluruhan.
Analisis struktural pada dasarnya bertujuan untuk membongkar dan memaparkan
secermat, seteliti, semendetil mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek
karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis struktur
bukanlah penjumlahan anasir-anasir itu, namun yang lebih penting yaitu justru sumbangan
yang diberikan oleh semua gejala pada keseluruhan makna, dalam keterkaitan dan
keterjalinannya, antara berbagai tataran. Dalam hal ini tidak ada resep yang dapat diterapkan
secara umum untuk setiap karya sastra. Setiap karya sastra memerlukan metode analisis yang
sesuai dengan sifat dan strukturnya masing-masing. Jadi analisis struktur tidak dapat tidak
harus diarahkan oleh ciri khas karya sastra yang hendak dianalisa ,
berdasar konsep dan metode yang telah dijelaskan di atas, jelas bahwa yang
menjadi pijakan utama analisis yaitu teks sastra itu sendiri; bagaimana unsur-unsur
pembangun strukturnya; sama sekali tidak menganalisis dan mengaitkan dengan jati diri dan
pandangan-pandangan pengarang; tidak mengaitkan dengan peranan pembaca sebagai
pemroduksi makna bedan tanggapan-tanggapannya; tidak mengaitkan dengan dunia nyata;
juga tidak membicarakan karya sastra sebagai tanda (sign) dalam proses komunikasi. Jadi
yang penting yaitu unsur-unsur struktur yang ada di dalam karya itu bedan
transformasinya di dalam keseluruhan sastra yang bersangkutan (Suwondo, 1994).
Dalam analisis struktural dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan
mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik karya sastra yang bersangkutan.
Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan berbagai unsur yang ada. Setelah dicobajelaskan
bagaimana fungsi-fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya
dan bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah
totalitas kemaknaan yang padu .
Analisis struktural, dengan demikian menekankan analisis pada struktur dan
sistemnya yang meliputi berbagai unsur-unsur pembentuk karya sastra yang bersangkutan.
44
Dalam hal ini unsur-unsurnya dibatasi pada unsur-unsur intrinsik sastra seperti yang telah
diuraikan dalam bab sebelumnya.
C. Kajian Semiotik
Konsep semiotik sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari konsep
struktural (Teeuw, 1984). Peletak dasar teori semiotik yaitu Ferdinand de Saussure dan
Charles Sanders Peirce. Saussure yang dikenal sebagai bapak ilmu bahasa modern
memakai istilah semiologi, sedang Peirce, seorang ahli filsafat, mempergunakan istilah
semiotika.
Pada perkembangannya, Peirce memusatkan perhatian pada berfungsinya tanda pada
umumnya, dengan menempatkan tanda-tanda linguistik pada tempat yang penting, namun
bukan yang utama. Hal yang berlaku bagi tanda pada umumnya berlaku pula bagi linguistik,
namun tidak sebaliknya. Sedang Saussure mengembangkan dasar-dasar linguistik umum
(Sudjiman dan Van Zoest, 1992).
Teori Peirce menyatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia
mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda yang disebutnya sebagai representamen, harus
mengacu atau mewakili sesuatu yang disebutnya sebagai objek (acuan, atau designatum,
atau denotatum, atau referent). Jika sebuah tanda mewakili acuannya, hal itu yaitu fungsi
utama tanda itu. Misalnya anggukan kepala mewakili persetujuan, gelengan kepala mewakili
ketidaksetujuan. Agar berfungsi, tanda harus ditangkap, dipahami, misalnya dengan bantuan
suatu kode. Yang dimaksud suatu kode yaitu suatu sistem peraturan, dan bersifat
transindividual. Proses perwakilan tanda pada acuannya terjadi pada saat tanda itu
ditafsirkan hubungannya dengan yang diwakili. Hal itulah yang disebut sebagai interpretant,
yakni pemahaman makna yang timbul dalam kognisi (penerima tanda) lewat interpretasi.
Sedang proses perwakilannya disebut semiosis, yaitu suatu proses dimana suatu tanda
berfungsi sebagai tanda yakni mewakili yang ditandai. Sesuatu tidak akan pernah menjadi
tanda jika tak pernah ditafsirkan sebagai tanda. Proses semiosis menuntut kehadiran
45
bersama antara tanda, objek, dan interpretant, yang disebut triadik. Proses semiosis dapat
terjadi secara terus menerus sehingga sebuah interpretant menghasilkan tanda baru yang
mewakili objek yang baru pula dan akan menghasilkan interpretant yang lain lagi
(Nurgiyantoro,1994).
Peirce membedakan antara tanda dengan acuannya kedalam tiga jenis hubungan,
yaitu (1) ikon, jika ia berupa kemiripan, (2) indeks, jika ia berupa hubungan kedekatan
eksistensi, dan (3) simbol, jika ia merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara
konvensi (Abrams,1981). Tanda yang berupa ikon, misalnya foto dan peta geografis. Tanda
yang berupa indeks, misalnya asap hitam tebal membubung menandai suatu kebakaran,
wajah yang muram menandai hati yang sedih dan sebagainya. Sedang tanda yang berupa
simbol, mencakup berbagai hal yang telah menjadi konvensi dalam masyarakat, antara tanda
dan objek tidak memiliki hubungan kemiripan atau kedekatan melainkan terbentuk sebab
kesepakatan. Misalkan berbagai gerakan anggota badan yang menandakan maksud-maksud
tertentu, warna tertentu melambangkan suatu tertentu, bahasa menandai maksud-maksud
tertentu pula. Dalam kenyataannya sering antara ketiga pembagian ini tidak mudah
untuk mengidentifikasikannya . Oleh kerena itu klasifikasi yang terjadi hanya berdasar
penekannya saja.
Teori Saussure berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara umum,
sehingga istilah-istilah yang dipakai meminjam dari istilah-istilah linguistik. Menurut
Saussure bahasa sebagai sebuah sistem tanda, memiliki dua unsur yang tak terpisahkan,
yakni signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau penanda dan petanda. Wujud
signifiant (penanda) dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedang
signifie (petanda) yaitu unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung dalam
tanda ini (Abrams,1981). Misalnya bunyi /buku/, yang jika dituliskan berupa rangkaian
huruf, atau lambang fonem : b-u-k-u, menyarankan pada benda tertentu, ialah buku, yang
ada secara nyata. Bunyi atau tilisan “buku” itulah yang dalam teori Saussure disebut
penanda, sedang sesuatu yang diacu, yaitu benda buku, itulah petanda. Antara penanda
dan petanda dapat disebut dwitunggal, namun hubungannya bersifat arbitrer. Artinya
46
hubungan antara wujud formal bahasa dan konsepnya atau acuannya, bersifat semaunya,
hanya bersifat kesepakatan sosial. Tidak dapat dijelaskan mengapa benda buku itu disebut
buku, bukan kubu dan sebagainya. Hal itu terjadi sebab masyarakat pemakai tanda (bahasa)
itu menyepakati demikian. Kesepakatan itu dapat saja tidak berlaku dalam masyarakat
(bahasa) yang lain yang telah memiliki kesepakatan sendiri (Nurgiyantoro,1994).
Bahasa merupakan sebuah sistem yang mengandung arti bahwa ia terdiri atas
beberapa unsur, dan tiap unsur itu saling berhubungan secara teratur dan berfungsi sesuai
dengan kaidahnya sehingga dapat dipakai untuk berkomunikasi. Akhirnya teori ini
melandasi teori linguistik modern, yaitu strukturalisme, dan pada perkembangan selanjutnya
menjadi landasan dalam kajian kesusastraan (Zaimar,1991). Dalam studi linguistik, misalnya
dikenal adanya tataran fonetik, morfologi, sistaksis, sematik dan pragmatik. Dalam kajian
kesusastraan juga dikenal adanya kajian dari aspek sintaksis, sematik dan pragmatik atau
menurut Todorov pengelompokan kajian berdasar aspek verbal, sintaksis, sematik, dan
sebagainya. Kajian semiotik karya sastra dengan demikian dapat dimulai dengan kajian
kebahasaannya dengan memakai tataran seperti dalam studi linguistik.
Bahasa sebagai aspek material, atau alat, dalam karya sastra telah memiliki konsep
makna tertentu sesuai dengan konvensi masyarakat pemakainya. Oleh sebab itu unsur
bahasa ini sudah tidak bersifat netral, tidak seperti cat atau seni lukis, dan sebagainya.
Dipihak lain sastra memiliki konvensi antara lain untuk menuturkan sesuatu secara tidak
langsung sehingga makna yang disarankan pun lebih bersifat tataran sistem makna tingkat
kedua. Hal ini misalnya terlihat pada penggunaan perlambangan atau perbandingan. Dengan
demikian dalam sastra, tidak saja signifiant menyatakan signifie, melainkan juga signifie
menyarankan pada signifie-signifie yang lain (Nurgiyantoro,1994). Hal ini mirip dengan
semiosis (Pierce) yang terjadi secara berkelanjutan sehingga sebuah interpretant
menghasilkan tanda baru yang mewakili sesuatu yang lain lagi, seperti disebut di atas.
Salah satu teori Saussure yang dipakai secara luas di bidang kajian kesusastraan
yaitu konsep sintakmatik dan paradikmatik. Dalam sebuah wacana, kata-kata saling
berhubungan dan berkesinambungan sesuai dengan sifat linearitas bahasa, dan tidak
47
mungkin melafalkan dua unsur sekaligus. Di pihak lain, di luar wacana, kata-kata yang
memiliki kesamaan berasosiasi dalam ingatan dan menjadi bagian kekayaan tiap individu
dalam membentuk langue. Hubungan yang bersifat linearitas itu disebut sintakmatik,
sedang hubungan asosiatif disebut hubungan paradigmatik (Nurgiyantoro,1994).
Hubungan sintagmatik dipakai untuk menelaah struktur karya dengan
menekankan urutan satuan-satuan makna karya yang dinamis. Hubungan sintagmatik yaitu
hubungan yang bersifat linear, hubungan konfigurasi, hubungan konstruksi. Dalam karya
sastra hubungan itu bisa berujud kata, peristiwa, atau tokoh. Jadi bagaimana peristiwa yang
satu diikuti peristiwa yang lain yang bersebab akibat, kata-kata saling berhubungan dengan
makna penuh, dan tokoh-tokoh membentuk antitesa dan gradasi. Untuk menelaah linearitas
struktur teks, yang pertama-tama harus dilakukan yaitu menentukan satuan-satuan cerita
dengan mendasarkan diri pada kriteria makna (Roland Barthes, via Zaimar, 1991).
Hubungan paradigmatik merupakan hubungan makna dan perlambang, hubungan
asosiatif, pertautan makna, antara dua unsur yang hadir dan yang tidak hadir. Ia dipakai
untuk mengkaji, misalnya, signifiant tertentu mengacu pada signifie tertentu, baris-baris
kata dan kalimat tertentu mengungkapkan makna tertentu, peristiwa-peristiwa tertentu,
mengingatkan pada peristiwa-peristiwa yang lain, melambangkan gagasan tertentu, atau
menggambarkan suasana kejiwaan tokoh tertentu. Jadi dasar kajian ini yaitu konotasi,
asosiasi-asosiasi yang muncul dalam pikitran pembaca. Peristiwa-peristiwa yang
berhubungan secara makna, misalnya melambangkan suasana kejiwaan tokoh, gagasan
tertentu, atau sebab berkausalitas. Misalnya secara liniar (sintagmatik) tempatnya
berjauhan, misalnya dibagian awal dan bagian akhir, namun berhubungan secara makna atau
berkausalitas, maka merupakan hubungan paradigmatik.
Hubungan sintagmatik dan paradigmatik juga berkaitan dengan kajian dari aspek
waktu. Ada dua tataran waktu dalam teks sastra yaitu waktu dari wacana yang
menggambarkan tataran penceritaan (bersifat linear), dan waktu dari dunia yang
digambarkan (bersifat logis asosiatif). Kaum Formalis Rusia menamakan kedua tataran
48
waktu ini dengan istilah sujet untuk tataran penceritaan, dan fable untuk tataran
peristiwa.
Dalam karya sastra hubungan antara dua tataran waktu ini jarang terjadi
adanya kesejajaran. Adanya manipulasi waktu penceritaan merupakan hal yang wajar dan
biasa terjadi dalam karya sastra. Justru sebab manipulasi waktu yang bervariasi itu sebuah
karya sastra menjadi lebih menarik, baru, dan lain dari yang lain. Dengan demikian tataran
peristiwa yang logis dipermainkan. Ia dapat dimunculkan di manapun dalam urutan
penyajiannya sehingga terjadi anakronis, yaitu sesuatu yang terjadi kemudian justru
didahulukan penceritaannya. Dengan demikian memungkinkan adanya unsur retrospeksi,
yakni kembali ke masa lalu, atau prospeksi (antisipasi), yakni menceritakan lebih dahulu hal
yang terjadi belakangan (Nurgiyantoro,1994).
Perkembangan teori semiotik hingga saat ini dibedakan ke dalam dua jenis semiotik,
yaitu semiotik komunikasi dan semiotik signifikasi. Semiotik komunikasi menekankan pada
teori produksi tanda, sedang semiotik signifikasi menekankan pemahaman, dan atau
pemberian makna suatu tanda. Produksi tanda dalam semiotik komunikasi, menurut Eco,
mensyaratkan adanya pengirim informasi, sumber, tanda-tanda, saluran, proses pembacaan
dan kode. Semiotik signifikasi tidak mempersoalkan produksi dan tujuan komunikasi,
melainkan menekankan bidang kajiannya pada segi pemahaman tanda-tanda dan bagaimana
proses kognisi (interpretasi)-nya.
Pendekatan semiotik bukan tanpa kelemahan. Soediro Satoto (1994: 22) mencatat
bahwa salah satu kelemahan studi semiotik yaitu sangat banyaknya kemungkinan makna
yang didapatkan, yang dikarenakan banyaknya penafsir pemberi makna. Misalnya satu lakon
drama saja yang ditafsirkan oleh berpuluh-puluh penonton, pengamat, dan peneliti, dapat
menghasilkan berpuluh-puluh makna pula.
Suatu pengkajian semiotik pada puisi, pernah dijelaskan oleh Riffaterre (via
Pradopo, 1994). Dalam memproduksi arti secara semiotik, menurut Riffaterre, ada empat
hal yang harus diperhatikan, yakni 1) ketaklangsungan ekspresi puisi, 2) pembacaan
heuristik dan retroaktif, 3) matrix atau kata kunci, dan 4) hipogram.
49
Ketaklangsungan ekspresi puisi, disebabkan oleh tiga hal: 1) penggantian arti, 2)
penyimpangan arti, dan 3) penciptaan arti. Penggantian arti disebabkan oleh penggunaan
metafora dan metonimi sebagai bahasa kiasan pada umumnya, termasuk simile
(perbandingan), personifikasi (benda digambarkan seperti manusia) dan sinekdoke
(penggantian sesuatu dengan bagiannya atau sebaliknya). Dalam perbandingan, sesuatu yang
dibandingkan disebut tenor (term pertama) dan pembandingnya disebut vehicle (term
kedua).
Penyimpangan arti disebabkan oleh ambiguitas, kontradiksi dan nonsen.
Ambiguitas yakni makna ganda atau ketaksaan. Kontradiksi merupakan gaya bahasa
pertentangan yang berarti kebalikannya, bisa berupa paradoks, antitesis, atau ironi. Nonsen
ialah kata-kata yang secara linguistik tidak memiliki arti, namun dalam puisi ia punya
artinya sendiri sesuai dengan puisinya.
Penciptaan arti disebabkan oleh pengorganisasian ruang teks (antara lain: rima
(sajak), enjambement, tipografi (tata aksara), dan homologue (persejajaran bentuk atau baris
pada bait-baitnya)). Pola persajakan menimbulkan intensitas arti. Enjabement yaitu
pemisahan baris yang semestinya bisa menjadi satu baris. Enjabement menimbulkan
perhatian pada akhir baris atau awal baris berikutnya. Tipografi dapat menimbulkan makna
tertentu. Homologue mengandaikan persejajaran makna.
Sajak merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Untuk menerangkan makna
sajak secara semiotik, pertama kali sajak harus dibaca secara heuristik, yaitu pembacaan
menurut sistem semiotik tingkat pertama, menurut konvensi bahasa. Lalu sajak dibaca
secara retroaktif atau hermeneutik, yakni pembacaan menurut sistem semiotik tingkat
kedua, pembacaan menurut konvesi sastra.
Pada pembacaan heuristik, puisi, misalnya geguritan, dibaca secara linier menurut
struktur bahasa Jawa normatif. Padahal dalam bahasa puisi, biasanya menyimpang dari
bahasa normatif, yakni merupakan deotomatisasi atau defamiliarisasi, tidak otomatis atau
tidak biasa. Hal ini merupakan sifat kepuitisan yang dialami secara empiris (shklovsky via
Pradopo, 1994). Oleh sebab itu, dalam pembacaan heuristik, semua yang tidak biasa dibuat
50
menjadi biasa atau dinaturalisasikan (Culler via Pradopo, 1994), sesuai dengan bahasa
normatif. Untuk itu, bila perlu kata-kata diberi imbuhan (prefiks, afiks atau konfiks). Untuk
memperjelas, dapat juga diberikan sinonimnya dalam tanda kurung. Bahkan juga dapat
diberi sisipan kata-kata penjelas supaya hubungan kalimat-kalimatnya menjadi jelas.
Demikian juga logika yang tidak biasa dikembalikan menjadi logika bahasa normatif.
Pembacaan heuristik ini baru merupakan penjelasan dalam bahasa normatif dan
sebagai puisi harus ditingkatkan ke pembacaan retroaktif untuk mengungkapkan maknanya.
Pembacaan retroaktif atau hermeutik yaitu pembacaan ulang dari awal hingga akhir
dengan memberikan penafsiran makna yang lebih dalam, yakni makna berdasar konvensi
puisi. Salah satu konvensi puisi, misalnya, bahwa puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak
langsung, yakni dengan bahasa kiasan (metafora, metonimi, simile, personifikasi,
sinekdoke), ambiguitas, kontradiksi, homolugue, dan tipografi. Konvensi puisi yang lain,
misalnya, hal-hal yang bersifat pribadi “bisa” meluas menjadi hal yang umum. Aku lirik bisa
menjadi atau mewakili setiap aku, dan seterusnya . Dalam pembacaan retroaktif berbagai konvensi
ini harus dipahami untuk menafsirkan makna puisi yang sesungguhnya, walaupun
pemaknaan yang satu dengan yang lain besa berbeda. Pemaknaan yang berbeda-beda
dimungkinkan sebab sastra pada umumnya dan khususnya puisi, bersifat multiinterpretable
atau bermakna banyak.
Matriks atau kata kunci merupakan satuan bahasa atau tanda yang menjadi kunci
penafsiran sajak atau kata-kata yang dapat untuk “membuka” makna sajak itu. Kata kunci
dapat dicari dengan menentukan kata yang erat berhubungan dengan bagian-bagiab lain
pada sajak, atau diambil kata yang paling dimengerti artinya pada sajak “gelap”. Sajak
“gelap” merupakan sajak yang kata-katanya banyak yang tidak bermakna secara linguistik.
Adapun yang dimaksud hipogram oleh Reffaterre yaitu sajak yang ada
sebelumnya yang dianggap sebagai sumber dari sajak yang bersangkutan. Dalam
membicarakan hipogram, tidak harus mencari penjelasan dari penulisnya, namun cukup
memperbandingkan kamiripan sajak dengan sajak sebelumnya. Dalam hal ini dilakukan
dengan pendekatan intertekstualitas.
51
D. Pendekatan Intertekstualitas
Paham intertekstualitas berasal dari Perancis dan bersumber pada aliran dalam
strukturalisme Perancis yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Perancis yang bernama
Jaques Derrida dan dikembangkan oleh Julia Kristeva. Intertekstualitas pada dasarnya
membicarakan hubungan antar teks. Prinsip intertekstualitas dengan demikian merupakan
salah satu prinsip yang mengingkari otonomi karya sastra, walaupun tidak sama sekali
meninggalkan prinsip strukturalisme. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap teks sastra dibaca
dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang
sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaannya dan pembacaannya tidak dapat
dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti
bahwa teks baru hanya meneladan teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan
lebih dahulu namun dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks
yang sudah ada memainkan peranan yang penting. Pemberontakan atau penyimpangan
mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki ataupun disimpangi. Pemahaman teks
baru, memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya.
Menurut Kristeva yang dijelaskan Culler setiap teks terwujud sebagai muzaik kutipan-
kutipan, setiap teks merupakan peresapan dan transformasi teks-teks lain. Sebuah karya
hanya dapat dibaca dalam kaitan ataupun pertentangan dengan teks-teks lain yang
merupakan semacam kisi. Lewat kisi itu teks dibaca dan diberi struktur dengan menimbulkan
harapan yang memungkinkan pembaca untuk memetik ciri-ciri menonjol dan memberikannya
sebuah struktur. Intertekstualitas mendorong untuk memandang teks-teks pendahulu
sebagai sumbangan pada suatu kode yang memungkinkan efek signifikasi, pemaknaan yang
bermacam-macam (Teeuw, 1984).
Rifaterre menyebut teks sastra (dalam hal ini sajak) yang menjadi latar penciptaan
teks (sajak) baru disebut hypogram. Sedang teks baru yang menyerap dan
mentransformasikan hypogram itu disebut teks transformasi (Ratih dalam Jabrohim 1994).
Menurut Teeuw (1983), Rifaterre dalam pendekatannya tidak menolak prinsip pendekatan
52
struktural, namun justru memperingatkan bahwa prinsip intertekstual masih memerlukan
pendekatan struktural. Melalui analisis struktur harus disebut lebih dahulu esensi sebuah
sajak, baru kemudian perbandingan secara intertekstual menjadi mungkin dan dapat
diharapkan memberikan hasil baik; dalam arti pemahaman lengkap sebagai transformasi
hypogramnya.
Menurut Teeuw (1983) prinsip intertekstualitas jauh lebih luas jangkauannya dari
sekedar perkara pengaruh, saduran, atau peminjaman dan penjiplakan. Intertekstualitas
menyaran sampai pada tindak interpretasi secara tuntas dan sempurna. Teeuw
mencontohkan bahwa sajak Chairil Anwar berjudul Senja di Pelabuhan Kecil, baru
mendapat makna penuh sebagai tanda (semiotik) dalam kontrasnya dengan hypogramnya,
yakni sajak Amir Hamzah yang berjudul Berdiri Aku.
Dalam prinsip intertekstualitas, untuk mencari “bukti” keterkaitan antara hypogram
dengan teks transformasinya, tidak perlu harus mendapatkan bukti secara mutlak. Menurut
Teeuw (1983) bukti yang mutlak tidak mungkin didapatkan, namun bukan berarti pembuktian
secara ilmiah tidak mungkin dicapai. Oleh sebab itu diperlukan: (a) kesepakatan antara
pembaca, pengkritik dan peneliti sastra akan gejala seperti itu; (b) pengumpulan sebanyak
mungkin akan data dan gejala semacam itu.
Dalam hubungannya dengan sastra Jawa, menurut Teeuw (1984) tak dapat disangkal
bahwa prinsip intertekstualitas tidak kurang suburnya untuk penelitian sastra tradisional;
misalnya para pujangga dalam kraton-kraton Jawa Tengah (baca: Yogyakarta dan Surakarta)
menciptakan karya sastra tidak dari awang-awang, namun sebagai tanggapan terhadap karya
lain.
Khususnya dalam tradisi menyalin naskah, menjadi jelas sekali bahwa berbagai
perbedaan dengan hypogramnya harus mendapat perhatian tersendiri dalam hubungannya
dengan pemaknaan sastra yang bersangkutan. Dalam hal ini, misalnya, dalam penelitian
terhadap babad, sebagaimana pernyataan Teeuw di atas, akan menghasilkan kesimpulan
bahwa dalam suatu peristiwa yang sama sering dituliskan secara berbeda oleh dua penulis
babad yang berbeda latar keberpihakannya. Peristiwa peperangan antara Mangir Wanabaya
53
dari Kademangan Mangiran dengan Panembahan Senapati dari Kraton Mataram, dituliskan
secara berbeda antara versi yang memihak Kraton dengan versi yang memihak Mangiran.
Hal ini harus dimaknai sebagai keberpihakan dan legalisasi dari perjuangan masing-masing
pihak.
Contoh yang berhubungan dengan seni drama tradisional ketoprak, yakni pada lakon
Minakjingga Nagih Janji yang dipentaskan oleh kelompok Sapta Mandala, harus dimaknai
secara intertekstualitas, yakni mengambil hypogram dari cerita-cerita Minakjingga
sebelumnya, termasuk babad Majapahit. Lakon Minakjingga Nagih Janji karya Sapta
Mandala menekaknkan sisi kebenaran Minakjingga dalam hubungannya dengan janji yang
diikrarkan oleh Ratu Kencanawungu dari Majapahit. Sedang pada teks-teks cerita
Minakjingga yang lain, menekankan tokoh Minakjingga sebagai pemberontak kerajaan
Majapahit.
Contoh lain yang berhubungan dengan tradisi penyalinan teks, ialah pemaknaan Serat
Bima Bungkus karya Can Cu An yang mendasarkan pada hypogram dari teks sebelumnya,
yakni teks-teks lakon Bima bungkus dan teks-teks Islam-Kejawen termasuk Wirid Hidayat
Jati karya R.Ng. Ranggawarsita, dan Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV (Widayat,
2002).
E. Pendekatan Sosiologis.
Pada dasarnya karya sastra tidak lahir dari kekosongan. Pengarang menciptakan
karya sastra dengan berawal dari latar belakang pengalaman hidupnya. Ia hidup dalam
rangka sosial, yakni berada dalam lingkungan masyarakat tertentu. Oleh sebab itu berbagai
hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial dapat mewarnai terciptanya karya sastra.
Keadaan seperti itulah yang mendasari pendekatan sosiologis dalam pengkajian sastra.
Menurut Umar Junus (1986), dalam hubungannya dengan sosiologi, pengkajian
sastra setidak-tidaknya ada enam macam, sebagai berikut.
1. Karya sastra dilihat sebagai dokumen sosiobudaya
54
2. Penelitian mengenai hasil dan pemasaran karya sastra
3. Penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra dan apa
sebabnya
4. Pengaruh sosiobudaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan
Marxiist yang berhubungan dengan pertentangan kelas
5. Pendekatan strukturslisme genetik
6. Pendekatan yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra.
Di bawah ini akan diringkaskan catatan Junus (1986) pada masing-masing
pendekatan sosiologis di atas.
1. Karya sastra dapat dilihat sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan
sosiobudaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Dalam hal ini karya sastra tidak
dilihat sebagai suatu keseluruhan. Pendekatan ini melihat unsur-unsur sosiobudaya di
dalam karya sastra yang dilihat sebagai unsur-unsur yang lepas. Ia mendasarkan pada
cerita tanpa mempersoalkan struktur sastranya. Jadi keeadaannya sebagai berikut.
a. Unsur dalam karya sastra diambil terlepas dari unsur yang lain. Unsur ini secara langsung
dihubungkan dengan suatu unsur sosiobudaya sebab karya itu hanya memindahkan unsur
itu di dalam dirinya.
b. Boleh saja mengambil citra tentang sesuatu dalam satu karya atau beberapa karya yang
mungkin dilihat dalam perspektif perkembangan. Bila demikian akan terlihat
perkembangan sesuatu itu sesuai dengan perkembangan sastra yang membayangkan
perkembangan budaya.
c. Boleh juga mengambil tentang motif atau tema. Keduanya berbeda secara gradual, yakni
tema lebih abstrak sedang motif lebih konkret. Jadi motif dapat dikonkretkan dengan
pelaku, penerima perbuatan dan perbuatan.
d. Menurut Swingewood konsep karya sastra sebagai refleksi realitas hanya terbatas pada
waktu tertentu saja. Sedang Harry Levin melihat suatu karya bukan merefleksikan realitas
namun membiaskannya (to refract), bahkan mungkin merubahnya sehingga terjadi bentuk
yang berbeda.
55
e. Dalam penciptaan sastra, campur tangan penulis sangat menentukan, realitas ditentukan
oleh pikiran penulisnya. Seorang penulis yang penuh idealisme cenderung
mempertentangkan dua dunia secara ekstrim, yakni dunia yang dicitakannya dan dunia
nyata yang dianggapnya buruk.
2. Penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra menyentuh empat hal: a)
penulis dan latar belakang sosiobudayanya, b) hubungan antara penulis dengan
pembacanya, c) pemasaran hasil sastra, dan d) pasaran hasil sastra.
a. Dalam hal penulis dan latar belakang sosiobudayanya ada 6 faktor: 1) asal sosial
(termasuk latar belakang sebelum menjadi penulis), 2) kelas sosial dalam arti luas (orang
kampung atau kota, birokrat atau bukan, minoritas atau mayoritas, dan seterusnya ), 3) jenis kelamin,
4) umur, 5)pendidikan, dan 6) pekerjaan (menulis bisa sebagai pekerjaan utama
sambilan,atau bisa juga menulis sebab diupah seperti patronase, dan seterusnya ).
b. Ada dua kemungkinan hubungan penulis dengan pembaca: 1) bila menulis sebab diupah
maka pengupah akan menentukan gaji (ada patronase, seperti pada sastra istana di Jawa),
2) yang ada cuma calon pembaca, hasil penulis ditentukan oleh pemasaran. Dalam hal ini
penerbit berperanan penting (ada penerbit yang sekedar mencari untung, ada yang sebagai
patron). Penerbitan ditentukan oleh selera, keyakinan dan kemungkinan pemasaran.
Peranan penerbit juga dalam hal promosi. Penerbit menjadi perantara penulis dan
pembaca.
c. Pemasaran menyangkut beberapa hal: 1) cara penyampaiannya: buku, berkala, buletin,
dan seterusnya . Berkala, buletin dan seterusnya . menjadikan populer, sedang buku tidak begitu. Unsur komersil
hanya dapat ditekan pada terbitan khusus, dengan target pemasaran tertentu. 2) cara
pemesarannya juga penting: diecerkan atau diborongkan
d. Dalam hal pasaran, menyangkut pasaran luas atau sempit, baik dan tidak. Jumlah
pemakai bahasa menentukan hasil pasaran. Karya berbahasa Inggris tingkat lakunya
akan berbeda dengan bahasa daerah, walau tidak mutlak. Sistem nilai berlaku dalam
hubungannya dengan membaca buku sehingga menentukan pasaran buku. Dalam hal
56
pasaran ini juga perlu dibicarakan klasifikasi pembaca buku tertentu, umur, seks,
pendidikan, kelas sosial, tradisional dan modern, dan seterusnya .
Biasanya dalam penelitian ini karya sastra lalu menjadi periferal, yang utama bukan
penelitian sastra. Ia akan menjadi penting sebagai penelitian sastra bila dengan penghasilan
dan pemesaran tertentu berpengaruh pada munculnya karya sastra tertentu, dan seterusnya . Penelitian
ini lebih sebagai penelitian sosiologi penulis, penerbit, dan pemasaran karya, bukan
penelitian sastra. Biasanya karya sastra bukan sebab pasaran tapi sebab penulis ingin
berkarya saja.
3. Penerimaan masyarakat terhadap karya penulis tertentu, bisa negatif bisa positif.
Keduanya sama pentingnya. Novelet Jawa tahun 1960-an yang dikategorikan sebagai
roman panglipur wuyung, yang banyak berisi cremedan (agak porno), mungkin ketika itu
banyak dibaca orang dan diterima sebagai panglipur wuyung. Suluk Gatholoco, Serat
Darmagandhul dan beberapa karya sastra Jawa tradisional dibaca dan diterima orang
secara negatif, sebab bisa dianggap berisi simbolisasi seksual dan pelecehan terhadap
agama tertentu. Lowenthal pernah mencoba membuktikan bahwa penerimaan karya sastra
(tertentu) berhubungan dengan iklim sosiobudayanya. Dalam penerimaan juga bisa secara
pasif, hanya sekedar membaca sebab senang membaca, jadi tanpa kesan. Oleh sebab itu
penerimaan bisa aktif (positif dan negatif), dan bisa pasif.
Dalam penelitian seperti ini biasanya yang dipentingkan penerimaan
masyarakatnya, jadi karya sastranya juga menjadi periferal. Dengan demikian juga
cenderung bukan penelitian sastra.
4. Pengaruh sosiobudaya terhadap penciptaan karya sastra. Menurut pandangan Marxisme
dan pandangan umum pada abad 19, a) sastra yaitu refleksi masyarakat (Swingewood
via Junus, 1986) dan dipengaruhi oleh kondisi sejarah (Eagleton via Junus, 1986). b)
Setiap jaman mengenal pertentangan kelas dan hasil sastra menyuarakan suara kelas
tertentu, sehingga ia merupakan alat perjuangan kelas. c) Kesan pertentangan kelas akan
ditemui dalam karya sastra, sehingga tokoh-tokoh dalamnya merupakan tokoh yang
representatif mewakili kelas sosial tertentu.
57
Pengaruhnya jauh lebih luas dari sekedar menyebut pertentangan kelas. Ia juga
berhubungan dengan bentuk, gaya dan arti. Pendekatan ini melihat sastra sebagai struktur
atas (super struktur) dengan sistem ekonomi sebagai dasarnya. Hasil sastra akan
membayangkan dan diakibatkan oleh sistem ekonomi masyarakat penghasilnya.
Pandangan Marxisme memiliki kelemahan sebab walaupun ada struktur sosial,
belum tentu bersifat buruh dan majikan, belum tentu bersifat pertentangan, perbedaan
kelas tidak bersifat kaku namun longgar, kenyataannya tidak sesederhana pandangan
Marxisme, dan seterusnya .
5. Pendekatan strukturalisme genetik dari Lucien Goldmanann akan dibicarakan dalam sub
bab tersendiri setelah sub bab ini.
6. Pendekatan Duvignaud, yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra.
Duvignaud menolak empat mitos tentang estetika, yakni: 1) pandangan Goethe bahwa
seni yaitu realisasi empiris dari keindahan ideal, 2) seni berasal dari seni primitif,
sehingga setiap pembicaraan pasti dimulai dari seni primitif, 3) seni bertugas melayani
(melukiskan) kenyataan dan alam, 4) seni selalu terikat kepada agama.
Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk memahami hakikat seni, harus bertolak
dari lima hipotesis kerja: 1) Seni yaitu drama yang mengandung implikasi situasi konkret
dan konflik, 2) seni memiliki sifat polemik, yang menunjukkan adanya: (a) halangan
yang mesti dihilangkan, (b) usaha untuk menghilangkannya, 3) ada hubungan antara
sistem klasifikasi alam dan sosial dengan meminjam klasifikasi dari Durkheim, 4) ada
keadaan anomi, masyarakat yang goncang sebab adanya perubahan yang radikal, 5)
keadaan atypic, orang yang menyimpang atau memberontak terhadap kehidupan yang
dijalaninya. Biasanya karya seni dihasilkan oleh orang-orang yang memiliki ciri ini.
Menurut Duvignaud segala kegiatan seni dapat didasarkan pada delapan sikap
estetiika sebagai berikut.
1. Estetika yaitu manifestasi seluruh masyarakat yang boleh dikatakan hilang pada seni
modern. Sikap estetika ini berhubungan dengan manifestasi sosial, misalnya festival.
Kehilangan sikap ini mungkin akan menimbulkan hal kedua.
58
2. Nostalgia kepada keadaan kemasyarakatan yang sudah hilang, sehingga mereka
menceritakan masa lampau. Nostalgia ini bersifat romantik dan mengandung dua
aspek, yakni: a) sesuatu yang inheren pada masyarakat modern ketika mereka
meninggalkan tradisi, dan b) sesuatu yang berdaya untuk campur tangan secara efektif
dalam kehidupan sosial.
3. Seorang seniman dianggap sebagai seorang pendeta yang mewakili Tuhan di dunia. Ini
terjadi pada masyarakat kharismatik dan seni dihubungkan dengan agama, dengan
sesuatu yang sakral.
4. Estetika yaitu usaha yang disengaja untuk melukiskan kehidupan atau keadaan
sehari-hari
5. Seni yaitu sesuatu yang tertutup (esoterik), terbatas untuk orang-orang dengan
kedudukan tertentu.
6. Seni yaitu pameran kekayaan (potlatch), mungkin untuk manusia, mungkin untuk
Tuhan.
7. Oposisi dengan dasar etika terhadap kebudayaan tradisional dan nilai-nilai yang sudah
mantap (established) yang merupakan akibat dari perkembangan ekonomi modern.
Oposisi ini memiliki dua komponen: a) sesuatu yang dipertahankan dalam proses
transisi dari satu tipe masyarakat ke tipe yang mengikutinya, b) mungkin tipe
masyarakat yang menggantikan tidak menghilangkan kesadaran tentang masa lampau
yang sengsara, atau kelanjutan lembaga yang sudah ada, atau institusi terhadap nilai-
nilai baru. namun semua tidak dikenal sebab adaptasi terhadap keadaan yang baru.
8. Sikap yang berhubungan dengan ajaran seni untuk seni.
berdasar sikap estetik itu Duvignaud membagi seni dengan tujuan untuk
mengkaji fungsinya dalam empat tipe, yakni: seni primitif, seni dalam masyarakat
teokrasi, seni dalam kehidupan kota (-feodal), dan seni modern. Tipe-tipe ini
berkembang secara urut dari tipe yang satu ke yang lain.
Seni primitif memiliki fungsinya sendiri dalam masyarakat primitif, yang
akan hilang bila berhubungan dengan seni modern. Seni dalam masyarakat teokrasi
59
selalu berhubungan dengan kekuatan gaib di luar manusia. Dalam seni ini terkandung asal
mula bibit drama. Seni dalam kehidupan kota mengubah kehidupan mitos (yang ada
pada tipe sebelumnya) ke arah sastra, sebab pada tipe ini keadaannya: a) Adanya
keragaman bentuk, b) fungsi seni berhubungan dengan anomi, c) kehidupan dan
perkembangan seni didukung oleh kelas menengah yang memegang peranan penting.
Menurut Duvignaud, kota memegang peranan penting bagi perkembangan seni menuju
seni modern, yang bercirikan: a) dalam melukiskan manusia yang dipentingkan yaitu
peristiwa, perbuatan lebih penting dari komentar, pengungkapan spontanitas lebih penting
dari lukisannya, b) seni modern lebih bersifat collage, yang mengacaukan antara realitas
dengan imajinasi, antara manusia nyata dengan tokoh wira (imajiner).
Menurut Umar Junus (1986) pandangan Duvignaud bisa disimpulkan sebagai
berikut. a) Seni, oleh Divignaud, dilihat dari perspektif sejarah kesenian. b) Setiap
manifestasi seni mesti dihasilkan oleh kondisi sosial tertentu. c) Semua seni dilihat dalam
perspektif umum, berlaku dimana saja dan kapan saja. d) Seni suatu bangsa akan melalui
perkembangan yang sama dengan bangsa-bangsa lain. e) sebab itu Duvignaud lebih
mengerjakan sosiologi kesenian. f) Kelemahannya, terlalu menekankan tipe, sehingga ia
tidak memperhatikan perkembangan seni setempat yang bersifat khusus. Hal ini
bertentangan dengan sosiologi sastra yang menekankan adanya perbedaan sebab
perbedaan sosiobudaya sehingga sosiologi sastra menonjolkan perbedaan lokal.
Disamping itu Duvignaud mengesampingkan variasi individual antar kreatifitas seniman
yang merupakan ciri hakikat dari seni modern. Pandangan ini juga bertentangan dengan
sosiologi sastra yang menekankan latarbelakang sosial seniman.
Pendekatan Duvignaud tidak banyak berbeda dari pendekatan Marxist, hanya
kelas pada Marxist dirubah menjadi tipe. Pada Marxist, setiap kelas menyuarakan
kelasnya, pada Duvignaud setiap masyarakat menghasilkan tipe seni yang sesuai dengan
perkembangan masyarakat itu.
F. Strukturalisme Genetik
60
Strukturalisme genetik dicetuskan oleh Goldmann. Ia percaya bahwa karya sastra
merupakan sebuah struktur, namun struktur itu tidak statis, melainkan merupakan produk
dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup
dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan. Untuk menopang
teorinya, Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling berkaitan sehingga
membentuk apa yang disebut strukturalisme genetik itu. Kategori-kategori itu ialah: a) fakta
kemanusiaan, b) subjek kolektif, c) strukturasi, d) pandangan dunia, dan e)
pemahaman dan penjelasan
Fakta kemanusiaan yaitu segala hasil aktivitas atau perilaku manusia, baik yang
verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta
kemanusiaan dapat berwujud aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun
kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung dan seni sastra. Fakta
kemanusiaan dapat dibedakan menjadi dua: 1) fakta individual dan 2) fakta sosial. Fakta
kedua memiliki peranan dalam sejarah sedang yang pertama tidak. Semua fakta
kemanusiaan memiliki struktur tertentu dan arti tertentu. Pemahamannya harus
memperhatikan strukturnya dan artinya.
Fakta kemanusiaan memiliki arti sebab merupakan respon-respon dari subyek
kolektif atau individual, untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok bagi aspirasi-
aspirasi subjek itu. Dengan kata lain fakta-fakta itu merupakan hasil usaha manusia untuk
mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya
(Goldmann via Faruk, 1994).
Goldmann meminjam teori psikologi Piaget, bahwa manusia dan lingkungan
sekitarnya selalu berusaha dalam proses strukturasi timbal balik yang saling bertentangan
namun sekaligus saling isi mengisi. Kedua proses itu yaitu proses asimilasi dan proses
akomodasi. Di satu pihak manusia selalu mengasimilasikan lingkungan sekitarnya ke dalam
skema pikiran dan tindakannya. Di lain pihak, usahanya itu tidak selalu berhasil sebab
adanya rintangan sebagai berikut.
61
1. Kenyataan bahwa sektor-sektor kehidupan tertentu tidak menyandarkan dirinya
pada integrasi dalam struktur yang dielaborasikan.
2. Kenyataan bahwa semakin lama penstrukturan dunia eksternal itu semakin sukar,
bahkan semakin tidak mungkin dilakukan.
3. Kenyataan bahwa individu-individu dalam kelompok, yang melahirkan proses
keseimbangan, telah mentransformasikan lingkungan sosial dan fisiknya, sehingga
mengganggu proses keseimbangan dalam proses strukturasi itu.
Bila kendala itu tidak teratasi lagi maka yang terjadi ialah sebaliknya, yakni tidak
melakukan asimilasi terhadap lingkungannya, namun mengakomodasikan dirinya pada
struktur lingkungannya.
Dalam proses strukturasi (asimilasi dan akomodasi) yang terus menerus itulah karya
sastra (sebagai fakta kemanusiaan), sebagai hasil aktivitas kultural, memperoleh arti. Proses
ini sekaligus merupakan proses genesis dari struktur karya sastra.
Fakta kemanusiaan merupakan hasil dari aktvitas manusia sebagai subjeknya. Subjek
fakta kemanusiaan ada dua, yakni subjek individual (subjek fakta individual / libidinal) dan
subjek kolektif (subjek fakta sosial / historis). Revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-
karya kultural yang besar merupakan fakta sosial hasil dari subjek kolektif atau subjek trans-
individual. Karya sastra yang besar juga hasil dari subjek kolektif sebab merupakan hasil
aktivitas yang objeknya sekaligus alam semesta dan kelompok manusia. Subjek kolektif
dapat berupa kelompok kekerabatan, kelompok kerja, kelompok teritorial, dan seterusnya . Untuk
memperjelas, Goldmann mengkhususkan sebagai kelas sosial dalam pengertian Marxist.
Goldmann percaya adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur
masyarakat, sebab keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama. namun ,
hubungan struktur masyarakat dengan struktur sastra tidak berupa determinasi langsung.
Hubungan keduannya dimediasi oleh apa yang disebut pandangan dunia atau ideoligi.
Menurut Goldmann (Faruk, 1994), pandangan dunia merupakan istilah yang cocok
bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan,
yang mengaitkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu
dan yang mempertentangkannya dengan kelompok sosial yang lain. Sebagai suatu kesadaran
kolektif, pandangan dunia itu berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomi
tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya. Pandangan dunia terbentuk
dari transformasi mentalitas yang lama secara perlahan-lahan dan bertahap, terbangun
mentalitas yang baru yang mengatasi mentalitas yang lama. Pandangan dunia merupakan
kesadaran yang mungkin, yamg tidak setiap orang dapat memahaminya. Kesadaran yang
mungkin itu dibedakan dengan kesadaran yang nyata.
Kesadaran yang nyata yaitu kesadaran yang dimiliki oleh individu-individu yang
ada dalam masyarakat. Individu-individu itu menjadi anggota kelompok-kelompok yang ada
dalam masyarakat, seperti keluarga, kelompok kerja, dan seterusnya . Individu-individu itu jarang sekali
berkemampuan menyadari secara lengkap dan menyeluruh mengenai makna dan arah
keseluruhan dari aspirasi-aspirasi, perilaku-perilaku dan emosi-emosi kolektifnya.
Kesadaran yang mungkin yaitu kesadaran yang menyatakan suatu kecenderungan
kelompok ke arah koherensi menyeluruh, perspektif yang koheren dan terpadu mengenai
hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta. Kesadaran yang demikian
jarang disadari pemiliknya, kecuali dalam momen-momen krisis dan sebagai ekspresi
individual pada karya-karya kultural yang besar
Karya sastra yang besar merupakan produk strukturasi dari subyek kolektif. Oleh
sebab itu karya sastra memiliki struktur yang koheren dan terpadu. Goldmann
menyatakan dua hal tentang karya sastra pada umumnya. 1) Karya sastra merupakan
ekspresi pandangan dunia secara imajiner. 2) Dalam usahanya mengekspresikan pandangan
dunia itu, pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara
imajiner. Jadi yang menjadi pusat perhatian Goldmann, yaitu relasi antara tokoh dengan
tokoh dan tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya.
Goldmann mendevinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian akan nilai-nilai
yang otentik yang terdegradasi (memburuk) dalam dunia yang juga terdegradasi. Pencarian
itu dilakukan oleh seorang hero (wira) yang problematik. Nilai-nilai yang otentik yaitu
totalitas yang secara tersirat muncul dalam novel, nilai-nilai yang mengorganisasi sesuai
dengan mode dunia sebagai totalitas. Nilai-nilai itu hanya ada dalam kesadaran pengarang /
novelis, dalam bentuk konseptual dan abstrak. Dinyatakan juga bahwa novel merupakan
genre sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dalam hubungan antara
hero dengan dunia. Keterpecahan itu yang memicu dunia dan hero sama-sama
terdegradasi dalam hubungannya dengan nilai-nilai yang otentik yang berupa totalitas.
Keterpecahan itu yang membuat sang hero menjadi problematik.
Karya sastra yaitu stuktur yang berarti. sebab memiliki struktur, karya sastra
harus atau cenderung koheren. sebab memiliki arti, karya sastra berkaitan dengan usaha
manusia memecahkan persoalan-persoalannya dalam kehidupan sosialnya yang nyata. Untuk
itu Golmann mengembangkan metode dialektik. Metode ini berawal dari karya sastra dan
berakhir pada karya sastra, dengan mempertimbangkan koherensi struktural. Prinsip dasar
metode dialektik ini yaitu pengetahuan mengenai fakta-fakta kemanusiaan yang abstrak dan
harus dibuat konkret dengan mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan. Untuk itu metode
dialektik mengembangkan dua pasangan konsep yakni keseluruhan bagian dan
pemahaman penjelasan ,Dalam sudut pandang ini setiap fakta atau
gagasan individual hanya memiliki arti jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya,
keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-
fakta partial yang membangun keseluruhan itu. Oleh sebab itu proses pencapaian
pengetahuannya menjadi semacam gerak melingkar secara terus-menerus, tanpa ada ujung
pangkalnya.
Metode semacam ini, sebenarnya secara umum telah dikenal dengan nama lingkaran
hermeneutik atau ideologi Jerman, namun metode Goldmann harus ditempatkan dalam
rangka teori Goldmann. Menurut Goldmann teknik pelaksanaan metode
dialektik sebagai berikut. Pertama, peneliti membangun sebuah model yang dianggapnya
memberikan probabilitas tertentu atas dasar bagian. Kedua, melakukan pencekan terhadap
model itu dengan membandingkannya dengan keseluruhan, dengan cara menentukan: 1)
sejauh mana setiap unit yang dianalisa tergabungkan dalam hipotesis yang menyeluruh, 2)
daftar elemen-elemen dan hubungan-hubungan baru yang belum diperlengkapi dalam model
semula, 3) frekuensi elemen-elemen dan hubungan-hubungan yang diperlengkapinya dalam
model yang sudah dicek itu.
Metode semacam itu tidak hanya berlaku untuk analisis teks sastranya, namun juga
untuk struktur yang mengatasi teks sastra itu, yakni struktur yang menempatkan teks sastra
sebagai bagian dari keseluruhan. Goldmann mengatakan bahwa pandangan
dunia merupakan kesadaran kolektif yang dapat dipakai sebagai hipotesis kerja yang
konseptual, suatu model, bagi pemahaman mengenai koherensi struktur teks sastra.
Menurut Junus (1986), dalam metode kerja Goldmann, hubungan dengan latar
sosiobudaya baru mungkin dilakukan setelah didapatkan kesatuan (unity) dari keragaman
sebuah novel. Sifat hubungan itu ialah:
a. Yang berhubungan dengan latar belakang sosial hanyalah unsur kesatuan, bukan
unsur keragaman (bukan setiap unsurnya).
b. Latar belakang ini ialah pandangan dunia suatu kelompok sosial yang dilahirkan
oleh seorang penulis, sehingga dapat dikonkretkan.
Ada beberapa kritik kepada strukturalisme genetik Goldmann, antara lain sebagai
berikut. Menurut Swingewood (Junus, 1986) Goldmann mengabaikan hakikat sastra yang
memiliki dunia dan tradisinya sendiri (misalnya dalam hubungannya dengan
intertekstualitas). Swingewood juga mempertanyakan apakah kesatuan (unity) merupakan
ciri karya yang berhasil (karya besar)? Apakah tidak ada tempat bagi karya yang berupa
riwayat hidup? Swingewood juga meragukan bahwa mungkin konsep wira (hero)
bermasalah (problematik) hanya berdasar fenomena sastra Perancis yang memang mengenal
pertentangan kelas, yang berbeda dengan Inggris yang mengenal kompromi kelas.
Kritik dari Caute (Junus, 1986) berhubungan dengan kreativitas pengarang. Bila
pengarang hanya menyampaikan pikiran yang terbentuk dari “kelompok sosial”, maka ia
tidak memiliki pikiran sendiri dan kacamata sendiri. Disamping itu Caute, seide dengan
Duvignaud, mempersoalkan apakah seorang penulis dapat mewakili keseluruhan jamannya.
G. Dekonstruksi
Paham dekonstruksi muncul sebagai bagian dari munculnya pemikiran filsafati yang
dikenal dengan istilah posmo yang merupakan singkatan dari postmodernisme atau
pascamodernisme dengan tokohnya, antara lain, Lyotard dan Derrida. Paham posmo pada
dasarnya menggugat dan menolak produk paham modernisme yang berupa universalitas,
totalitas, keutuhan organis, pensisteman dan segala macam legitimasi, termasuk dalam
bidang keilmuan yang oleh Lyotard disebut sebagai grand-narrative dan oleh Derrida
disebut logocentrisme atau fonocentrisme, sesuatu yang mengacu pada pusat yang dianggap
benar Sebenarnya antar tokoh-tokoh dekonstruksi
tidak memiliki pandangan tunggal, juga dalam pendekatannya pada sastra, namun tentu
juga banyak persamaannya.
Posmo menolak kemapanan atau kebakuan teori-teori modernisme. Dalam bidang
linguistik antara lain menolak strukturalisme yang disebutnya sebagai grand-theory. Teori-
teori itu dianggapnya terlalu menyederhanakan persoalan dan cenderung menolak pluralisme.
Posmo menggoyang sendi-sendi teori atau ilmu sastra, linguistik, estetika, dan sampai pada
pemikiran anti teori. Dekonstruksi merupakan salah satu paham dari posmo yang juga
diterapkan dalam teori atau ilmu sastra
Dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti,
tertentu, dan konstan, seperti dalam pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada ungkapan
atau bentuk-bentuk kebahasaan yang bermakna tertentu dan pasti. Itulah sebabnya
dekonstruksi juga disebut poststrukturalisme. Kesetiaan yang berlebihan pada suatu teori
justru akan memunculkan pembangkangan terhadap kebenaran teori itu. Dekonstruksi
merupakan pembangkangan terhadap strukturalisme dan semiotik dalam linguistik.
Dekonstruksi terhadap teks kesusastraan menolak makna umum yang diasumsikan ada dan
melandasi karya itu dengan unsur-unsur yang ada dalam karya itu sendiri. Pembacaan karya
sastra, menurut paham dekonstruksi, justru untuk menemukan makna kontradiktifnya,
makna ironisnya. Ia bermaksud melacak unsur-unsur aporia, yakni yang berupa makna
paradoksal, makna kontradiktif, makna ironi dalam karya sastra. Unsur atau bentuk-bentuk
dalam karya sastra dicari dan dipahami dalam arti kebalikannya. Unsur-unsur yang tidak
penting dilacak kepentingannya hingga menjadi penting. Misalnya tokoh periferal,
didekonstruksi hingga menjadi tokoh penting yang memiliki fungsi dan makna yang
menonjol
Levy-Strauss menganggap cara pembacaan dekonstruksi sebagai pembacaan
kembar (double reading). Di satu pihak ada makna semu, maya, pura-pura (makna
yang umum) yang ditawarkan, di pihak lain pemaknaan dekonstruksi yakni makna
kontradiktif, makna ironis.
Menurut Derrida, tiap teks mendekonstruksi dirinya sendiri, sekaligus
mendekonstruksi dan didekonstruksi oleh teks-teks lain, sehingga berhubungan dengan
paham intertekstual. Dalam mendekonstruksi teks, Jausz mempertimbangkan aspek historis,
yakni tanggapan para pembaca dari masa-ke masa yang sering berbeda-beda. Jadi paham
dekonstruksi juga berhubungan dengan paham resepsi sastra .
Dalam sastra Jawa, paham dekonstruksi dapat diterapkan, misalnya, dalam lakon-
lakon yang dipentaskan oleh kethoprak plesetan. Sebagai contoh dalam lakon Minak Jinggo
Nagih Janji, ditampilkan tokoh Minak Jinggo yang hingga kematiannya tetap tampan, dan
ditampilkan sebagai tokoh protagonis yang berpihak pada kebenaran. Ia berjuang demi
menagih janji yang pernah diikrarkan oleh Ratu Kencanawungu, bahwa barang siapa yang
berhasil menumpas pemberontakan Kebo Marcuet, akan dijadikan suami Kencanawungu.
Selama ini, secara tradisional, Minak Jinggo selalu ditampilkan sebagai antagonis, tokoh
pemberontak yang tidak memiliki legalitas pembenaran. Contoh lain yaitu munculnya
cerkak-cerkak yang menampilkan tokoh-tokoh yang secara tradisional diberi watak jahat,
seperti Dasamuka, Korawa, dan seterusnya . yang dalam cerkak itu ditampilkan dengan watak baik
bahkan mulia.
Klasifikasi Tokoh
Dalam karya fiksi, biasanya ada lebih dari satu tokoh. Ditinjau dari segi peranan
atau tingkat pentingnya dalam sebuah cerita, dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan
tokoh tambahan. Tokoh utama (central character, main character) yaitu tokoh yang
diutamakan penceritaannya dalam fiksi yang bersangkutan, paling banyak diceritakan, dan
sangat menentukan perkembangan plot secra keseluruhan. Sedang tokoh tambahan biasanya
lebih sedikit pemunculannya, tidak dipentingkan, dan hanya muncul dalam hubunganya dengan
tokoh utama baik secara langsung maupun tak langsung. Tokoh utama bisa lebih dari satu
orang, namun kadar keutamaannya pasti berbeda-beda. Oleh sebab itu bisa dikelompokkan
menjadi tokoh paling utama danseterusnya
Ditinjau dari fungsi penampilannya, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis
dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis yaitu tokoh yang diidealkan oleh pembaca,
pengejawantahan nilai-nilai dan norma-norma dan harapan-harapan pembaca sehingga
mendapat empati pembaca. Sedang tokoh antagonis yaitu tokoh penyebab terjadinya
konflik, tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis baik secara langsung atau tidak, baik
secara fisik maupun batin. Bila klasifikasi tokoh di atas digabungkan, maka bisa ada tokoh
utama protagonis, tokoh utama antagonis, tokoh tambahan protagonis, dan seterusnya . Dalam fiksi
konflik belum tentu datang dari tokoh antagonis namun bisa dari bencana alam, kecelakaan,
sosial, atau pikiran dan batinnya sendiri, dan seterusnya , yang biasanya disebut kekuatan antagonis
(antagonistic force).
Forster dalam bukunya Aspects of the Novel, membedakan tokoh berdasar
perwatakannya menjadi tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh bulat
(complex atau round character). Tokoh sederhana yaitu tokoh yang hanya memiliki satu
kualitas pribadi tertentu,satu sifat watak yang tertentu saja. Perwatakannya dapat dirumuskan
menjadi satu frase saja, misalnya “ia seorang yang miskin tapi jujur”, atau “ia seorang kaya
namun kikir”, atau “ia seorang yang senantiasa pasrah pada nasib”. Tokoh sederhana cenderung
stereotip. Sedang tokoh bulat atau kompleks yaitu tokoh yang memiliki dan diungkap
berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Perwatakannya
bermacam-macam, bahkan sering bertentangan dan sulit diduga, sering mengejutkan.
Pembedaan tokoh sederhana dan kompleks ini semata-mata berdasar tingkat
kompleksitasnya sehingga bersifat relatif, setiap pengamat bisa berbeda pendapat
berdasar perkembangan perwatakannya, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh
statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis (static character) yaitu tokoh cerita yang
secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan akibat
peristiwa-peristiwa yang terjadi, Tokoh statis
memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita.
Sedang tokoh berkembang yaitu tokoh cerita yang mengalami perubahan dan
perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan.
Sikap dan watak tokoh berkembang mengalami perkembangan dan atau perubahan dari awal,
tengah, dan akhir cerita sesuai dengan tuntutan koherensi cerita secara keseluruhan.
Pembedaan tokoh statis dan berkembang dapat dihubungkan dengan tokoh sederhana dan
kompleks. Tokoh statis cenderung sama dengan tokoh sederhana, dan tokoh berkembang
cenderung sama dengan tokoh kompleks ,
Teknik Pencitraan Tokoh
Secara garis besar pelukisan tokoh dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni teknik
uraian (telling) dan teknik ragaan (showing) atau teknik penjelasan
(expository) dan teknik dramatik (dranatic) atau teknik
diskursif (discursive), dan kontekstual Pada
intinya teknik yang pertama menyaran pada pelukisan secara langsung dan yang kedua
menyaran pada pelukisan secara tidak langsung.
Teknik ekspositori atau teknik analitik, yakni teknik penokohan yang dilakukan
dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Jadi sikap, sifat, watak,
tingkah laku, dan ciri fisiknya telah disimpulkan oleh pengarang dan dijelaskan secara
langsung. Dalam hal ini pengarang harus konsisten dalam melukiskan penokohan itu. Bila
terjadi perubahan dan perkembangan sifat dan wataknya, harus dengan penjelasan alasan-alasannya.
Sedang pada teknik dramatik, penokohan dilukiskan secara tidak langsung atau tidak
eksplisit. Wujud penggambaran teknik dramatik ada beberapa macam, sebagai berikut. (1)
Teknik cakapan, yakni pencitraan tokoh melalui percakapan. Percakapan yang baik, yang
efektif, yang fungsional, yaitu yang menunjukkan perkembangan plot dan sekaligus
mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya Pelukisan tokoh dalam penggalan cakapan
merupakan bagian dari pelukisan tokoh secara keseluruhan dalam suatu fiksi. Oleh sebab itu
setiap bagian percakapan harus ditafsirkan maknanya dalam rangka bagian dari keseluruhan.
(2) Teknik tingkah laku, yakni pencitraan tokoh melalui tingkah laku atau tindakan
nonverbal, atau gerak fisik. Tingkah laku gerak fisik tokoh juga bisa menggambarkan sifat atau
watak tokoh yang bersangkutan, reaksi, tanggapan, sikap yang mencerminkan sifat-sifatnya.
Seperti halnya dalam teknik cakapan, teknik tingkah laku juga harus ditafsirkan dalam rangka
penggambaran tokoh secara keseluruhan dalam suatu fiksi. (3) Teknik pikiran dan
perasaan, yakni pencitraan tokoh melalui penggambaran jalan pikiran dan perasaan tokoh
yang bersangkutan. Jalan pikiran dan perasaan bisa dinilai lebih jujur (bisa dipercaya) dari pada
ucapan dan tingkah laku tokoh. Jadi tingkah laku dan ucapan tokoh bisa saja pura-pura, namun
jalan pikiran dan perasaannya tidak. Biasanya dalam karya sastra, perbedaan tingkah laku dan
ucapan dengan pikiran dan perasaan tokoh akan diberi penjelasan alasan-alasannya. Tingkah
laku dan ucapan tokoh pada dasarnya merupakan perwujudan konkret dari pikiran dan
perasaannya. Namun tidak semua jalan pikiran dan perasaan selalu diwujudkan dalam cakapan
dan tingkah laku, dan hanya berhenti di pikiran dan perasaan saja. Oleh sebab itu teknik
pikiran dan perasaan bisa ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku, namun tidak
sebaliknya. (4) Teknik arus kesadaran, yakni teknik pencitraan tokoh melalui proses
kehidupan batin atau mental tokoh, yang memang hanya terjadi di batin, baik yang berada di
ambang kesadaran maupun ketaksadaran, termasuk kehidupan bawah sadar. Teknik ini sering
disamakan dengan teknik pikiran dan perasaan sebab sama-sama menggambarkan tingkah
laku batin tokoh. Teknik arus kesadaran banyak ada dalam karya fiksi yang bergaya ‘aku’
(gaya orang pertama). (5) Teknik reaksi tokoh, yakni teknik pencitraan tokoh melalui
pelukisan reaksi tokoh yang bersangkutan terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata,
dan sikap tingkah laku tokoh lain, dan seterusnya . (6) Teknik reaksi tokoh lain, yakni pencitraan tokoh
melalui reaksi tokoh lain pada dirinya (tokoh yang dicitrakan kediriannya). Reaksi tokoh lain
itu dapat berupa penilaian, pandangan, pendapat, sikap, komentar, dll. (7) Teknik pelukisan
latar, yakni pencitraan tokoh melalui bantuan pelukisan latarnya. Latar, yang menyangkut
waktu, tempat dan suasana, dan keadaan sosial dapat membantu pencitraan tokoh tertentu.
Misalnya, rumahnya yang bersih dan rapi, mungkin membantu pencitraan tokoh pemilik rumah
itu sebagai tokoh yang rajin (membersihkan dan merapikan). Harus diingat bahwa tidak semua
pelukisan latar, dimaksudkan untuk membantu pencitraan tokoh. (8) Teknik pelukisan fisik,
yakni pencitraan tokoh melalui pelukisan fisiknya. Misalnya bibir yang tipis menyaran pada
tokoh yang ceriwis atau bawel, badan yang gemuk menyaran pada tokoh yang malas atau tidak
cekatan, dan seterusnya .
Semua teknik pencitraan tokoh ini selalu harus dicek kembali kebenarannya
dengan dikonfirmasikan dengan teknik-teknik yang lain, pada karya fiksi yang bersangkutan,
sehingga tidak menimbulkan kesalahan tafsir. Bagian yang satu membantu pencitraan pada
bagian yang lain-lainnya.
Jenis Plot
Plot dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam . Menurut
urutan waktu kejadiannya dapat dibedakan menjadi plot kronologis (plot lurus / plot
progresif) dan plot tak kronologis (sorot balik / mundur / flash back). Plot kronologis
menampilkan cerita secara urut dari waktu kejadian yang paling awal hingga waktu kejadian
yang paling akhir. Plot tak kronologis menampilkan cerita secara tidak urut. Bagian-bagian
cerita yang waktu kejadiannya di tengah atau akhir kejadian, diceritakan mendahului kejadian
yang waktunya lebih awal.
berdasar kuantitasnya atau jumlahnya, plot diklasifikasikan menjadi plot tunggal
dan plot sub-sub plot. Plot tunggal biasanya menceritakan secara setia pada tokoh utamanya
saja sehingga tidak ditemukan plot lain yang mengisahkan tokoh lain terpisah dengan tokoh
utamanya. Plot sub-sub plot sering juga disebut plot ganda, ada dalam fiksi yang
plotnya sebagian mengisahkan tokoh utamanya, namun pada bagian lain plotnya mengisahkan
tokoh (-tokoh) lain, terpisah dari tokoh utamanya. Pada bagian lain plot(-plot) yang ada
disatukan.
berdasar kriterian kepadatannya, plot diklasifikasikan menjadi plot padat dan plot
longgar. Pada plot padat, cerita ditampilkan secara cepat, dan hubungan sebab-akibat pada
antarperistiwa sangat erat. Setiap peristiwa yang ditampilkan terasa sangat penting sehingga
pembaca tidak bisa meninggalkan setiap bagian yang ada. Pada Plot longgar, cerita
ditampilkan secara lambat dan hubungan antarperistiwa penting (fungsional) diselai oleh
peristiwa(-peristiwa) yang tidak penting (fungsional).
Di samping itu plot juga dapat diklasifikasikan berdasar kriteria isinya. Menurut
Friedman menurut isinya plot dapat dibedakan menjadi tiga golongan
besar, yakni plot peruntungan (plot of fortune), plot tokohan (plot of character) dan plot
pemikiran (plot of thought). Peruntungan berhubungan dengan nasib, peruntungan yang
menimpa tokoh utama cerita yang bersangkutan. Plot tokohan menyaran pada sifat
pementingan tokoh; tokoh yang menjadi fokus perhatian. Kejadian-kejadian menjadi penting
sepanjang mengungkapkan diri tokoh. Adapun plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang
menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan, berbagai macam obsesi, dll. Masalah hidup dan
kehidupan manusia. Menurut Nurgiyantoro pembagian ini bersifat teoritis dan mungkin sekali
tumpang tindih.
Latar netral yaitu latar yang dilukiskan secara umum tiadak ditonjolkan
kekhususannya, misalnnya keramaian kota, sifat-sifat umum sebuah jalan raya, dan seterusnya , yang bisa
saja dipakai untuk menggambarkan kota lain atau jalan lain; atau mungkin sekedar disebutkan
namanya saja. Sedang latar tipikal yaitu latar yang digambarkan secara khusus sampai pada
detail-detailnya dengan tujuan menekankan tujuan tertentu. Latar tipikal secara langsung atau
tidak akan berpengaruh terhadap pengaluran dan penokohan. Latar tipikal memberikan kesan
lebih meyakinkan.
Seperti halnya unsur-unsur sastra yang lain, latar dalam karya fiksi sebenarnya masih
bisa dibedakan menjadi latar realis dan surealis. Yang dimaksud latar realis yaitu latar yang
dilukiskan seperti yang ada dalam dunia nyata. Sedang latar surealis yaitu latar yang hanya
diciptakan dalam karya fiksi itu. Dalam karya sastra Jawa banyak ditemukan latar surealis yang
sering berhubungan dengan kepercayaan atau mungkin mistis. Misalnya dalam jagading
lelembut banyak ditemukan tokoh-tokoh hantu dengan segala latarnya yang surealis. Ia bisa
saja masuk dan melintasi tembok. Istana lelembut bisa berada di dalam batu akik yang sangat
kecil, dan seterusnya . Dalam cerita wayang ada latar tempat yang disebut Lokantara di mana sukma atau
nyawa tokoh tertentu melayang-layang mengembara atau nglambrang. Ada juga Kahyangan
tempat para dewa yang tidak berada di bumi ini, dan seterusnya .
Latar juga dapat dibagi menjadi latar fisik dan latar spiritual. Di samping itu latar juga
dapat di bagi menjadi latar netral dan latar tipikal . Latar fisik menyaran
pada tempat dan saat tertentu secara jelas. Sedang latar spiritual menyaran pada nilai-nilai
yang melingkupi dan dimilki oleh latar fisik. Latar spiritual antara lain berwujud tata cara, adat
istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat tertentu dalam cerita.