Kamis, 22 Februari 2024

sastra jawa 2

 



suatu karya sastra pada proporsi 

yang semestinya di antara karya-karya sastra lainnya; mencirikan kekhasan sebuah karya 

sastra, seorang pengarang, suatu periode, atau kesusasteraan nasional tertentu. namun  usaha 

menguraikan ciri-ciri khas karya sastra, hanya dapat dilakukan secara universal, bila 

memungkinkan, jika didasarkan pada suatu teori sastra. Teori sastra, walaupun terus 

berkembang, namun secara ideal harus lebih bersifat umum atau universal. 

Bagaimana dengan apresiasi sastra? Apresiasi sastra berusaha memahami dan 

menghayati karya sastra secara pribadi. Namun demikian apresiasi sastra diperlukan dalam 

rangka membudayakan apresiasi dalam masyarakat. Secara ekstrem apresiasi sastra dapat 

menjurus ke subyektifitas total, menurut pemahaman pribadinya. Oleh sebab itu studi 

sastra secara umum diperlukan untuk membantu mendukung pemahaman terhadap karya 

sastra.  

Seperti halnya karya sastra, penciptaan sastra dapat dipelajari melalui teori yang 

bersifat umum, namun sekaligus juga mengembangkan intuisi pribadi yang bersifat khusus 

individual. Dalam pengajaran penciptaan sastra diajarkan berbagai hal secara teoritis, yang 

menyangkut berbagai konvensi sastra yang telah ada, sekaligus menekankan kepentingan 

inovatif yang harus dikembangkan oleh pencipta atau pengarang sastra.  

Adapun sejarah sastra melakukan identifikasi, klasifikasi, periodisasi, hingga 

hubungan antar karya sastra dalam kronologi yang menyangkut perkembangan sastra, seni 

dan budaya pada umumnya. Dengan demikian sejarah sastra yang berbicara tentang karya 

sastra yang khusus berfungsi membantu munculnya teori sastra yang bersifat umum. 

Dalam membicarakan pengkajian sastra, mau tidak mau harus melalui pembicaraan 

yang pernah dituliskan oleh M.H. Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp. Pada 

bagian pendahuluan buku itu , Abrams menyoroti tentang keanekaragaman teori sastra 

dan pendekatan terhadap karya sastra yang sering kali mengacaukan. Abrams 

memperlihatkan bahwa kekacauan dan keragaman teori ini lebih mudah untuk dipahami 

jika berpangkal pada situasi karya sastra secara menyeluruh (the total situation of a work of 

art). Abrams memberikan sebuah kerangka yang sederhana namun  efektif, 

Dalam model ini terkandung 4 macam pendekatan kritis yang utama terhadap karya 

sastra, yakni: 

1.  pendekatan yang menitikberatkan pada karya itu sendiri, yang disebut dengan  

            pendekatan obyektif 

2.  pendekatan yang menitikberatkan pada penulis, yang disebut pendekatan          

            ekspresif 

3.  pendekatan yang menitikberatkan pada semesta, yang disebut mimetik, dan 

4.  pendekatan yang menitikberatkan pada pembaca, yang disebut pendekatan  

                pragmatik  

Pada kenyataannya pembagian pada empat pendekatan itu , yang satu dengan 

yang lain sering tumpang tindih, tidak mesti berdiri sendiri-sendiri. Hal ini antara lain 

dikarenakan idealisme pemaknaan karya sastra mengandaikan penelitian karya sastra secara 

interdisipliner yang menyangkut empat bidang ini secara bersama-sama. Di samping itu 

pada beberapa pendekatan yang menyangkut unsur-unsur ekstrinsik, secara tidak langsung 

telah menyangkut ketiga pendekatan selain obyektif (Ekspresif, mimetik dan pragmatik). 

Oleh sebab itu di bawah ini, ketiga pendekatan di atas tidak akan dibicarakan lagi secara 

khusus.    

 

 

 

B. Pendekatan Struktural 

Di atas telah disebutkan bahwa karya sastra dapat dikaji dengan menitikberatkan 

pada karya yang bersangkutan yang disebut dengan pendekatan obyektif. Pendekatan 

obyektif merupakan pendekatan yang memberikan perhatian secara penuh pada suatu karya 

sastra sebagai sebuah struktur yang otonom. Oleh sebab itu membicarakan pendekatan 

obyektif sering diidentikkan dengan pembicaraan strukturalisme pada suatu karya sastra.  

Menurut Teeuw analisis struktur merupakan tugas prioritas bagi peneliti sastra 

sebelum ia melangkah pada hal-hal lain. Analisis karya sastra yang ingin diteliti dari segi 

mana pun , merupakan tugas prioritas, pekerjaan pendahuluan. Analisis struktur merupakan 

tugas yang sulit dihindari, sebab baru dengan analisis semacam itu dimungkinkan pengertian 

yang optimal (Teeuw, 1983).  Oleh sebab itu di bawah ini akan diuraikan agak panjang 

mengenai analisis struktural pada karya sastra.  

Penelitian struktural di bidang ilmu sastra pada mulanya dirintis oleh kelompok 

peneliti Rusia antara 1915-1930. Kelompok ini dikenal sebagai kaum formalis, dengan 

tokoh-tokohnya Jakobson, Shklovsky, Eichenbaum, Tynjanov, dan lain-lain. Pada mulanya 

mereka tidak dikenal di Eropa Barat dan Amerika Serikat, sebab karya-karya mereka 

diterbitkan dalam bahasa Rusia. Bahkan kemudian setelah tahun 1930 karya-karya mereka 

dilarang oleh Joseph Stalin, diktaktor Rusia, yang menganggap pendekatan formalis 

bertentangan dengan ajaran Marxis. Baru setelah perang dunia kedua ide-ide dan karya-

karya aliran formalis dikenal lebih luas, melalui karya Erlich (1965), Todorov (1965) dan 

Striedter (1971), dan  terjemahan-terjemahan tulisan aslinya ke dalam bahasa-bahasa Barat 


Konsep dasar kaum formalis, pertama-tama ingin membebaskan ilmu sastra dari 

kungkungan ilmu-ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah, atau penelitian kebudayaan. Mereka 

mencari ciri khas suatu karya sastra (mulanya untuk puisi) yang membedakan dengan 

ungkapan bahasa lain. Ciri khas itu disebut literariness. Dalam hal ini menurut Erlich bahan 

puisi bukanlah imaji atau emosi, melainkan kata-kata……Puisi yaitu  tindak bahasa atau 

kata. Puisi yaitu  pemakaian bahasa yang sign-oriented, terarah ke tanda-tanda, bukan ke 

kenyataan.  

Selanjutnya, karya sastra seluruhnya dipandang sebagai tanda, lepas dari fungsi 

referensial atau mimetiknya. Karya sastra dalam anggapan ini merupakan tanda yang 

otonom, yang hubungannya dengan kenyataan bersifat tak langsung (Teeuw, 1984).  

 Dalam hal ini oleh sebab karya sastra dipandang sebagai karya yang otonom, 

peneliti sastra pertama-tama bertugas untuk meneliti struktur karya sastra yang kompleks 

dan multidimensional, di mana setiap aspek dan anasir berkaitan dengan aspek dan anasir 

yang lain yang semuanya mendapat maknanya secara penuh dari fungsinya dalam totalitas 

karya itu (Teeuw, 1984).  

Suatu konsep yang penting dalam pandangan kaum formalis, ialah yang disebut 

dominant, yakni ciri yang menonjol atau utama. Dalam karya sastra sering kali ada  

aspek bahasa tertentu yang secara dominan menentukan ciri-ciri khas karya itu, misalnya 

rima, atau matra atau apapun. Dalam analisis dan interpretasi, aspek dominan itulah yang 

harus ditekankan, sedang aspek-spek lain bersifat menyangga hal yang dominan itu. 

Aliran strukturalis kemudian berkembang di Praha dengan tokoh-tokohnya 

Mukarovsky, Vodicka, dll. Di Rusia berkembang dengan tokohnya Jurij Lotman. Diperancis 

sebenarnya analisis teks menyeluruh dan struktural telah berkembang terutama dalam bidang 

pendidikan dengan sebutan explication de textes. namun  dalam aliran sastra strukturalisme 

berkembang agak lambat sebab pengaruh Jean-Paul sartre dengan eksistensialismenya yang 

menentang pendekatan strukturalis. Baru setelah 1965 strukturalisme berkembang secara 

luas dengan tokohnya Claude Levi-Strauss, Roland Barthes, Todorov, Greimas, Julia 

Kristeva, dll. Di Inggris berkembang dengan tokohnya I.A. Richards dan T.S. Eliot. Di 

Amerika Serikat berkembang dengan sebutan New Criticism, dengan tokohnya Robert Penn 

Warren, Alan tate, Cleanth Brooks, Rene Wellek dan Austin Warren, dll. Di Jerman 

berkembang dengan tokohnya Wolfgang Kayser, Emil Staiger, dll. Di Nederland oleh W.Gs. 

Hellinga, dll. Sedang di Indonesia pernah dikembangkan oleh kelompok Rawamangun 

Pemikiran stukturalisme sesungguhnya didasari oleh pemikiran Aristoteles (sekitar 

tahun 340 SM) ketika menulis buku Poetika (Teuw, 1984), yang mengatakan bahwa 

stukturalisme yaitu  cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan 

deskripsi struktur. Pada hakikatnya dunia ini lebih tersusun dari hubungan-hubungan dari 

pada benda-bendanya itu sendiri. Dalam kesatuan hubungan itu, setiap anasirnya tidak 

memiliki makna sendiri-sendiri kecuali dalam hubungannya dengan anasir yang lainnya sesuai 

dengan posisinya di dalam keseluruhan strukturnya. Jadi struktur merupakan sebuah sistem, 

yang terdiri atas beberapa  anasir, yang di antaranya tidak satu pun dapat mengalami 

perubahan tanpa menghasilkan perubahan dalam semua anasir lain 

 di dalam pengertian struktur terkandung tiga 

gagasan pokok, yakni: pertama, gagasan keseluruhan (wholeness), dalam arti bahwa 

bagian-bagian atau anasir-anasirnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik 

yang menentukan, baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan 

transformasi (transformation), yakni struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang 

terus-menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan mandiri 

(self regulation), yakni tidak memerlukan hal-hal dari luar dirinya untuk mempertahankan 

prosedur transformasinya. Struktur itu otonom terhadap rujukan sistem lain  Terhadap tiga 

gagasan itu Jean Peaget lebih eksplisit menyatakan (Veuger, 1983) bahwa struktur yaitu  

suatu sistem transformasi yang bercirikan keseluruhan; dan keseluruhan itu dikuasai oleh 

hukum-hukum komposisi (rule of composition) tertentu dan mempertahankan atau bahkan  

memperkaya dirinya sendiri sebab cara dijalankannya transformasi-transformasi itu tidak 

memasukkan ke dalamnya unsur-unsur dari luar Dari konsep dasar di 

atas, dalam rangka studi sastra strukturalisme menolak campur tangan pihak luar. Jadi 

memahami karya sastra berarti memahami unsur-unsur atau anasir yang membangun struktur 

secara keseluruhan. 

Analisis struktural pada dasarnya bertujuan untuk membongkar dan memaparkan 

secermat, seteliti, semendetil mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek 

karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis struktur 

bukanlah penjumlahan anasir-anasir itu, namun  yang lebih penting yaitu  justru sumbangan 

yang diberikan oleh semua gejala pada keseluruhan makna, dalam keterkaitan dan 

keterjalinannya, antara berbagai tataran. Dalam hal ini tidak ada resep yang dapat diterapkan 

secara umum untuk setiap karya sastra. Setiap karya sastra memerlukan metode analisis yang 

sesuai dengan sifat dan strukturnya masing-masing. Jadi analisis struktur tidak dapat tidak 

harus diarahkan oleh ciri khas karya sastra yang hendak dianalisa  ,

berdasar  konsep dan metode yang telah dijelaskan di atas, jelas bahwa yang 

menjadi pijakan utama analisis yaitu  teks sastra itu sendiri; bagaimana unsur-unsur 

pembangun strukturnya; sama sekali tidak menganalisis dan mengaitkan dengan jati diri dan 

pandangan-pandangan pengarang; tidak mengaitkan dengan peranan pembaca sebagai 

pemroduksi makna bedan  tanggapan-tanggapannya; tidak mengaitkan dengan dunia nyata; 

juga tidak membicarakan karya sastra sebagai tanda (sign) dalam proses komunikasi. Jadi 

yang penting yaitu  unsur-unsur struktur yang ada di dalam karya itu bedan  

transformasinya di dalam keseluruhan sastra yang bersangkutan (Suwondo, 1994). 

Dalam analisis struktural dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan 

mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik karya sastra yang bersangkutan. 

Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan berbagai unsur yang ada. Setelah dicobajelaskan 

bagaimana fungsi-fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya 

dan bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah 

totalitas kemaknaan yang padu .   

Analisis struktural, dengan demikian menekankan analisis pada struktur dan 

sistemnya yang meliputi berbagai unsur-unsur pembentuk karya sastra yang bersangkutan. 

 44

Dalam hal ini unsur-unsurnya dibatasi pada unsur-unsur intrinsik sastra seperti yang telah 

diuraikan dalam bab sebelumnya.  

 

 

C. Kajian Semiotik 

Konsep semiotik sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari konsep 

struktural (Teeuw, 1984). Peletak dasar teori semiotik yaitu  Ferdinand de Saussure dan 

Charles Sanders Peirce. Saussure yang dikenal sebagai bapak ilmu bahasa modern 

memakai  istilah semiologi, sedang Peirce, seorang ahli filsafat, mempergunakan istilah 

semiotika. 

Pada perkembangannya, Peirce memusatkan perhatian pada berfungsinya tanda pada 

umumnya, dengan menempatkan tanda-tanda linguistik pada tempat yang penting, namun 

bukan yang utama. Hal yang berlaku bagi tanda pada umumnya berlaku pula bagi linguistik, 

namun tidak sebaliknya. Sedang Saussure mengembangkan dasar-dasar linguistik umum 

(Sudjiman dan Van Zoest, 1992).   

Teori Peirce menyatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia 

mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda yang disebutnya sebagai representamen, harus 

mengacu atau mewakili sesuatu yang disebutnya sebagai objek (acuan, atau designatum, 

atau denotatum, atau referent). Jika sebuah tanda mewakili acuannya, hal itu yaitu  fungsi 

utama tanda itu. Misalnya anggukan kepala mewakili persetujuan, gelengan kepala mewakili 

ketidaksetujuan. Agar berfungsi, tanda harus ditangkap, dipahami, misalnya dengan bantuan 

suatu kode. Yang dimaksud suatu kode yaitu  suatu sistem peraturan, dan bersifat 

transindividual. Proses perwakilan tanda pada acuannya terjadi pada saat tanda itu 

ditafsirkan hubungannya dengan yang diwakili. Hal itulah yang disebut sebagai interpretant, 

yakni pemahaman makna yang timbul dalam kognisi (penerima tanda) lewat interpretasi. 

Sedang proses perwakilannya disebut semiosis, yaitu suatu proses dimana suatu tanda 

berfungsi sebagai tanda yakni mewakili yang ditandai. Sesuatu tidak akan pernah menjadi 

tanda jika tak pernah ditafsirkan sebagai tanda. Proses semiosis menuntut kehadiran 

 45

bersama antara tanda, objek, dan interpretant, yang disebut triadik. Proses semiosis dapat 

terjadi secara terus menerus sehingga sebuah interpretant menghasilkan tanda baru yang 

mewakili objek yang baru pula dan akan menghasilkan interpretant yang lain lagi 

(Nurgiyantoro,1994).  

Peirce membedakan antara tanda dengan acuannya kedalam tiga jenis hubungan, 

yaitu (1) ikon, jika ia berupa kemiripan, (2) indeks, jika ia berupa hubungan kedekatan 

eksistensi, dan (3) simbol, jika ia merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara 

konvensi (Abrams,1981). Tanda yang berupa ikon, misalnya foto dan peta geografis. Tanda 

yang berupa indeks, misalnya asap hitam tebal membubung menandai suatu kebakaran, 

wajah yang muram menandai hati yang sedih dan sebagainya. Sedang tanda yang berupa 

simbol, mencakup berbagai hal yang telah menjadi konvensi dalam masyarakat, antara tanda 

dan objek tidak memiliki hubungan kemiripan atau kedekatan melainkan terbentuk sebab 

kesepakatan. Misalkan berbagai gerakan anggota badan yang menandakan maksud-maksud 

tertentu, warna tertentu melambangkan suatu tertentu, bahasa menandai maksud-maksud 

tertentu pula. Dalam kenyataannya sering antara ketiga pembagian ini tidak mudah 

untuk mengidentifikasikannya . Oleh kerena itu klasifikasi yang terjadi hanya berdasar 

penekannya saja.   

Teori Saussure berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara umum, 

sehingga istilah-istilah yang dipakai meminjam dari istilah-istilah linguistik. Menurut 

Saussure bahasa sebagai sebuah sistem tanda, memiliki dua unsur yang tak terpisahkan, 

yakni signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau penanda dan petanda. Wujud 

signifiant (penanda) dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf  tulisan, sedang 

signifie (petanda) yaitu  unsur konseptual,  gagasan, atau makna yang terkandung dalam 

tanda ini (Abrams,1981). Misalnya bunyi /buku/, yang jika dituliskan berupa rangkaian 

huruf, atau lambang fonem : b-u-k-u, menyarankan pada benda tertentu, ialah buku, yang 

ada secara nyata. Bunyi atau tilisan “buku” itulah yang dalam teori Saussure disebut 

penanda, sedang sesuatu yang diacu, yaitu benda buku, itulah petanda. Antara penanda 

dan petanda dapat disebut dwitunggal, namun  hubungannya bersifat arbitrer. Artinya 

 46

hubungan antara wujud formal bahasa dan konsepnya atau acuannya, bersifat semaunya, 

hanya bersifat kesepakatan sosial.   Tidak dapat dijelaskan mengapa benda buku itu disebut 

buku, bukan kubu dan sebagainya. Hal itu terjadi sebab masyarakat pemakai tanda (bahasa) 

itu menyepakati demikian. Kesepakatan itu dapat saja tidak berlaku dalam  masyarakat 

(bahasa) yang lain yang telah memiliki  kesepakatan sendiri (Nurgiyantoro,1994). 

Bahasa merupakan sebuah sistem yang mengandung arti bahwa ia terdiri atas 

beberapa  unsur, dan tiap unsur itu saling berhubungan secara teratur dan berfungsi sesuai 

dengan kaidahnya sehingga dapat dipakai untuk berkomunikasi. Akhirnya teori ini 

melandasi teori linguistik modern, yaitu strukturalisme, dan pada perkembangan selanjutnya 

menjadi landasan dalam kajian kesusastraan (Zaimar,1991). Dalam studi linguistik, misalnya 

dikenal adanya tataran fonetik, morfologi, sistaksis, sematik dan pragmatik. Dalam kajian 

kesusastraan juga dikenal adanya kajian dari aspek sintaksis, sematik dan pragmatik atau 

menurut Todorov pengelompokan kajian berdasar  aspek verbal, sintaksis, sematik, dan 

sebagainya. Kajian semiotik karya sastra dengan demikian dapat dimulai dengan kajian 

kebahasaannya dengan memakai  tataran seperti dalam studi linguistik. 

Bahasa sebagai aspek material, atau alat, dalam karya sastra telah memiliki konsep 

makna tertentu sesuai dengan konvensi masyarakat pemakainya. Oleh sebab itu unsur 

bahasa ini sudah tidak bersifat netral, tidak seperti cat atau seni lukis, dan sebagainya. 

Dipihak lain sastra memiliki  konvensi antara lain untuk menuturkan sesuatu secara tidak 

langsung sehingga makna yang disarankan  pun lebih bersifat tataran sistem makna tingkat 

kedua. Hal ini misalnya terlihat pada penggunaan perlambangan atau perbandingan. Dengan 

demikian dalam sastra, tidak saja signifiant menyatakan signifie, melainkan juga signifie 

menyarankan pada signifie-signifie yang lain (Nurgiyantoro,1994). Hal ini mirip dengan 

semiosis (Pierce) yang terjadi secara berkelanjutan sehingga sebuah interpretant 

menghasilkan tanda baru yang mewakili sesuatu yang lain lagi, seperti disebut di atas. 

Salah satu teori Saussure yang dipakai secara luas di bidang kajian kesusastraan 

yaitu  konsep sintakmatik dan paradikmatik. Dalam sebuah wacana, kata-kata saling 

berhubungan dan berkesinambungan sesuai dengan sifat linearitas bahasa, dan tidak 

 47

mungkin melafalkan dua unsur sekaligus. Di pihak lain, di luar wacana, kata-kata yang 

memiliki  kesamaan berasosiasi dalam ingatan dan menjadi bagian kekayaan tiap individu 

dalam membentuk langue. Hubungan yang bersifat linearitas itu disebut sintakmatik, 

sedang hubungan asosiatif disebut hubungan paradigmatik (Nurgiyantoro,1994). 

 Hubungan sintagmatik  dipakai untuk menelaah struktur karya dengan 

menekankan urutan satuan-satuan makna karya yang dinamis. Hubungan sintagmatik yaitu  

hubungan yang bersifat linear, hubungan konfigurasi, hubungan konstruksi. Dalam karya 

sastra hubungan itu bisa berujud kata, peristiwa, atau tokoh. Jadi bagaimana peristiwa yang 

satu diikuti peristiwa yang lain yang bersebab akibat, kata-kata saling berhubungan dengan 

makna penuh, dan tokoh-tokoh membentuk antitesa dan gradasi. Untuk menelaah linearitas 

struktur teks, yang pertama-tama harus dilakukan yaitu  menentukan satuan-satuan cerita 

dengan mendasarkan diri pada kriteria makna (Roland Barthes, via Zaimar, 1991). 

Hubungan paradigmatik merupakan hubungan makna dan perlambang, hubungan 

asosiatif, pertautan makna, antara dua unsur yang hadir dan yang tidak hadir. Ia dipakai 

untuk mengkaji, misalnya, signifiant tertentu mengacu pada signifie tertentu, baris-baris 

kata dan kalimat tertentu mengungkapkan makna tertentu, peristiwa-peristiwa tertentu, 

mengingatkan pada peristiwa-peristiwa yang lain, melambangkan gagasan tertentu, atau 

menggambarkan suasana kejiwaan tokoh tertentu. Jadi dasar kajian ini yaitu  konotasi, 

asosiasi-asosiasi yang muncul dalam pikitran pembaca. Peristiwa-peristiwa yang 

berhubungan secara makna, misalnya melambangkan suasana kejiwaan tokoh, gagasan 

tertentu, atau sebab berkausalitas. Misalnya secara liniar (sintagmatik) tempatnya 

berjauhan, misalnya dibagian awal dan bagian akhir, namun  berhubungan secara makna atau 

berkausalitas, maka merupakan hubungan paradigmatik. 

Hubungan sintagmatik dan paradigmatik juga berkaitan dengan kajian dari aspek 

waktu. Ada dua tataran waktu dalam teks sastra yaitu waktu dari wacana yang 

menggambarkan tataran penceritaan (bersifat linear), dan waktu dari dunia yang 

digambarkan (bersifat logis asosiatif). Kaum Formalis Rusia menamakan kedua tataran 

 48

waktu ini dengan istilah sujet untuk tataran penceritaan, dan fable untuk tataran 

peristiwa. 

Dalam karya sastra hubungan antara dua tataran waktu  ini jarang terjadi 

adanya kesejajaran. Adanya manipulasi waktu penceritaan merupakan hal yang wajar dan 

biasa terjadi dalam karya sastra. Justru sebab manipulasi waktu yang bervariasi itu sebuah 

karya sastra menjadi lebih menarik, baru, dan lain dari yang lain. Dengan demikian tataran 

peristiwa yang logis dipermainkan. Ia dapat dimunculkan di manapun dalam urutan 

penyajiannya sehingga terjadi anakronis, yaitu sesuatu yang terjadi kemudian justru 

didahulukan penceritaannya. Dengan demikian memungkinkan adanya unsur retrospeksi, 

yakni kembali ke masa lalu, atau prospeksi (antisipasi), yakni menceritakan lebih dahulu hal 

yang terjadi belakangan (Nurgiyantoro,1994). 

Perkembangan teori semiotik hingga saat ini dibedakan ke dalam dua jenis semiotik, 

yaitu semiotik komunikasi dan semiotik signifikasi. Semiotik komunikasi menekankan pada 

teori produksi tanda, sedang semiotik signifikasi menekankan pemahaman, dan atau 

pemberian makna suatu tanda. Produksi tanda dalam semiotik komunikasi, menurut Eco, 

mensyaratkan adanya pengirim informasi, sumber, tanda-tanda, saluran, proses pembacaan 

dan kode. Semiotik signifikasi tidak mempersoalkan produksi dan tujuan komunikasi, 

melainkan menekankan bidang kajiannya pada segi pemahaman tanda-tanda dan  bagaimana 

proses kognisi (interpretasi)-nya.  

Pendekatan semiotik bukan tanpa kelemahan. Soediro Satoto (1994: 22) mencatat 

bahwa salah satu kelemahan studi semiotik yaitu  sangat banyaknya kemungkinan makna 

yang didapatkan, yang dikarenakan banyaknya penafsir pemberi makna. Misalnya satu lakon 

drama saja yang ditafsirkan oleh berpuluh-puluh penonton, pengamat, dan peneliti, dapat 

menghasilkan berpuluh-puluh makna pula.   

Suatu pengkajian semiotik pada puisi, pernah dijelaskan oleh Riffaterre (via 

Pradopo, 1994). Dalam memproduksi arti secara semiotik, menurut Riffaterre, ada empat 

hal yang harus diperhatikan, yakni 1) ketaklangsungan ekspresi puisi, 2) pembacaan 

heuristik dan retroaktif, 3) matrix atau kata kunci, dan 4) hipogram. 

 49

Ketaklangsungan ekspresi puisi, disebabkan oleh tiga hal: 1) penggantian arti, 2) 

penyimpangan arti, dan 3) penciptaan arti. Penggantian arti disebabkan oleh penggunaan 

metafora dan metonimi sebagai bahasa kiasan pada umumnya, termasuk simile 

(perbandingan), personifikasi (benda digambarkan seperti manusia) dan sinekdoke 

(penggantian sesuatu dengan bagiannya atau sebaliknya). Dalam perbandingan, sesuatu yang 

dibandingkan disebut tenor (term pertama) dan pembandingnya disebut vehicle (term 

kedua).   

Penyimpangan arti disebabkan oleh ambiguitas, kontradiksi dan nonsen. 

Ambiguitas yakni makna ganda atau ketaksaan. Kontradiksi merupakan gaya bahasa 

pertentangan yang berarti kebalikannya, bisa berupa paradoks, antitesis, atau ironi. Nonsen 

ialah kata-kata yang secara linguistik tidak memiliki  arti, namun  dalam puisi ia punya 

artinya sendiri sesuai dengan puisinya.  

Penciptaan arti disebabkan oleh pengorganisasian ruang teks (antara lain: rima 

(sajak), enjambement, tipografi (tata aksara), dan homologue (persejajaran bentuk atau baris 

pada bait-baitnya)). Pola persajakan menimbulkan intensitas arti. Enjabement yaitu  

pemisahan baris yang semestinya bisa menjadi satu baris. Enjabement menimbulkan 

perhatian pada akhir baris atau awal baris berikutnya. Tipografi dapat menimbulkan makna 

tertentu. Homologue mengandaikan persejajaran makna. 

 Sajak merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Untuk menerangkan makna 

sajak secara semiotik, pertama kali sajak harus dibaca secara heuristik, yaitu pembacaan 

menurut sistem semiotik tingkat pertama, menurut konvensi bahasa. Lalu sajak dibaca 

secara retroaktif atau hermeneutik, yakni pembacaan menurut sistem semiotik tingkat 

kedua, pembacaan menurut konvesi sastra. 

Pada pembacaan heuristik, puisi, misalnya geguritan, dibaca secara linier menurut 

struktur bahasa Jawa normatif. Padahal dalam bahasa puisi, biasanya menyimpang dari 

bahasa normatif, yakni merupakan deotomatisasi atau defamiliarisasi, tidak otomatis atau 

tidak biasa. Hal ini merupakan sifat kepuitisan yang dialami secara empiris (shklovsky via 

Pradopo, 1994). Oleh sebab itu, dalam pembacaan heuristik, semua yang tidak biasa dibuat 

 50

menjadi biasa atau dinaturalisasikan (Culler via Pradopo, 1994), sesuai dengan bahasa 

normatif. Untuk itu, bila perlu kata-kata diberi imbuhan (prefiks, afiks atau konfiks). Untuk 

memperjelas, dapat juga diberikan sinonimnya dalam tanda kurung. Bahkan juga dapat 

diberi sisipan kata-kata penjelas supaya hubungan kalimat-kalimatnya menjadi jelas. 

Demikian juga logika yang tidak biasa dikembalikan menjadi logika bahasa normatif. 

Pembacaan heuristik ini baru merupakan penjelasan dalam bahasa normatif dan 

sebagai puisi harus ditingkatkan ke pembacaan retroaktif untuk mengungkapkan maknanya. 

Pembacaan retroaktif atau hermeutik yaitu  pembacaan ulang dari awal hingga akhir 

dengan memberikan penafsiran makna yang lebih dalam, yakni makna berdasar  konvensi 

puisi. Salah satu konvensi puisi, misalnya, bahwa puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak 

langsung, yakni dengan bahasa kiasan (metafora, metonimi, simile, personifikasi, 

sinekdoke), ambiguitas, kontradiksi, homolugue, dan tipografi. Konvensi puisi yang lain, 

misalnya, hal-hal yang bersifat pribadi “bisa” meluas menjadi hal yang umum. Aku lirik bisa 

menjadi atau mewakili setiap aku, dan seterusnya . Dalam pembacaan retroaktif berbagai konvensi 

ini harus dipahami untuk menafsirkan makna puisi yang sesungguhnya, walaupun 

pemaknaan yang satu dengan yang lain besa berbeda. Pemaknaan yang berbeda-beda 

dimungkinkan sebab sastra pada umumnya dan khususnya puisi, bersifat multiinterpretable 

atau bermakna banyak.  

Matriks atau kata kunci merupakan satuan bahasa atau tanda yang menjadi kunci 

penafsiran sajak atau kata-kata yang dapat untuk “membuka” makna sajak itu. Kata kunci 

dapat dicari dengan menentukan kata yang erat berhubungan dengan bagian-bagiab lain 

pada sajak, atau diambil kata yang paling dimengerti artinya pada sajak “gelap”. Sajak 

“gelap” merupakan sajak yang kata-katanya banyak yang tidak bermakna secara linguistik. 

Adapun yang dimaksud hipogram oleh Reffaterre yaitu  sajak yang ada 

sebelumnya yang dianggap sebagai sumber dari sajak yang bersangkutan. Dalam 

membicarakan hipogram, tidak harus mencari penjelasan dari penulisnya, namun  cukup 

memperbandingkan kamiripan sajak dengan sajak sebelumnya. Dalam hal ini dilakukan 

dengan pendekatan intertekstualitas. 

 51

  

D. Pendekatan Intertekstualitas 

Paham intertekstualitas berasal dari Perancis dan bersumber pada aliran dalam 

strukturalisme Perancis yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Perancis yang bernama 

Jaques Derrida dan dikembangkan oleh Julia Kristeva. Intertekstualitas pada dasarnya 

membicarakan hubungan antar teks. Prinsip intertekstualitas dengan demikian merupakan 

salah satu prinsip yang mengingkari otonomi karya sastra, walaupun tidak sama sekali 

meninggalkan prinsip strukturalisme. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap teks sastra dibaca 

dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang 

sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaannya dan pembacaannya tidak dapat 

dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti 

bahwa teks baru hanya meneladan teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan 

lebih dahulu namun  dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks 

yang sudah ada memainkan peranan yang penting. Pemberontakan atau penyimpangan 

mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki ataupun disimpangi. Pemahaman teks 

baru, memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya.  

Menurut Kristeva yang dijelaskan Culler setiap teks terwujud sebagai muzaik kutipan-

kutipan, setiap teks merupakan peresapan dan transformasi teks-teks lain. Sebuah karya 

hanya dapat dibaca dalam kaitan ataupun pertentangan dengan teks-teks lain yang 

merupakan semacam kisi. Lewat kisi itu teks dibaca dan diberi struktur dengan menimbulkan 

harapan yang memungkinkan pembaca untuk memetik ciri-ciri menonjol dan memberikannya 

sebuah struktur.  Intertekstualitas mendorong untuk memandang teks-teks pendahulu 

sebagai sumbangan pada suatu kode yang memungkinkan efek signifikasi, pemaknaan yang 

bermacam-macam (Teeuw, 1984).  

Rifaterre menyebut teks sastra (dalam hal ini sajak) yang menjadi latar penciptaan 

teks (sajak) baru disebut hypogram. Sedang teks baru yang menyerap dan 

mentransformasikan hypogram itu disebut teks transformasi (Ratih dalam Jabrohim 1994). 

Menurut Teeuw (1983), Rifaterre dalam pendekatannya tidak menolak prinsip pendekatan 

 52

struktural, namun  justru memperingatkan bahwa prinsip intertekstual masih memerlukan 

pendekatan struktural. Melalui analisis struktur harus disebut lebih dahulu esensi sebuah 

sajak, baru kemudian perbandingan secara intertekstual menjadi mungkin dan dapat 

diharapkan memberikan hasil baik; dalam arti pemahaman lengkap sebagai transformasi 

hypogramnya. 

Menurut Teeuw (1983) prinsip intertekstualitas jauh lebih luas jangkauannya dari 

sekedar perkara pengaruh, saduran, atau peminjaman dan penjiplakan. Intertekstualitas 

menyaran sampai pada tindak interpretasi secara tuntas dan sempurna. Teeuw 

mencontohkan bahwa sajak Chairil Anwar berjudul Senja di Pelabuhan Kecil, baru 

mendapat makna penuh sebagai tanda (semiotik) dalam kontrasnya dengan hypogramnya, 

yakni sajak Amir Hamzah yang berjudul Berdiri Aku.  

Dalam prinsip intertekstualitas, untuk mencari “bukti” keterkaitan antara hypogram 

dengan teks transformasinya, tidak perlu harus mendapatkan bukti secara mutlak. Menurut 

Teeuw (1983) bukti yang mutlak tidak mungkin didapatkan, namun  bukan berarti pembuktian 

secara ilmiah tidak mungkin dicapai. Oleh sebab itu diperlukan: (a) kesepakatan antara 

pembaca, pengkritik dan peneliti sastra akan gejala seperti itu; (b) pengumpulan sebanyak 

mungkin akan data dan gejala semacam itu. 

Dalam hubungannya dengan sastra Jawa, menurut Teeuw (1984) tak dapat disangkal 

bahwa prinsip intertekstualitas tidak kurang suburnya untuk penelitian sastra tradisional; 

misalnya para pujangga dalam kraton-kraton Jawa Tengah (baca: Yogyakarta dan Surakarta) 

menciptakan karya sastra tidak dari awang-awang, namun  sebagai tanggapan terhadap karya 

lain.  

Khususnya dalam tradisi menyalin naskah, menjadi jelas sekali bahwa berbagai 

perbedaan dengan hypogramnya harus mendapat perhatian tersendiri dalam hubungannya 

dengan pemaknaan sastra yang bersangkutan. Dalam hal ini, misalnya, dalam penelitian 

terhadap babad, sebagaimana pernyataan Teeuw di atas, akan menghasilkan kesimpulan 

bahwa dalam suatu peristiwa yang sama sering dituliskan secara berbeda oleh dua penulis 

babad yang berbeda latar keberpihakannya. Peristiwa peperangan antara Mangir Wanabaya 

 53

dari Kademangan Mangiran dengan Panembahan Senapati dari Kraton Mataram, dituliskan 

secara berbeda antara versi yang memihak Kraton dengan versi yang memihak Mangiran. 

Hal ini harus dimaknai sebagai keberpihakan dan legalisasi dari perjuangan masing-masing 

pihak.  

Contoh yang berhubungan dengan seni drama tradisional ketoprak, yakni pada lakon 

Minakjingga Nagih Janji yang dipentaskan oleh kelompok Sapta Mandala, harus dimaknai 

secara intertekstualitas, yakni mengambil hypogram dari cerita-cerita Minakjingga 

sebelumnya, termasuk babad Majapahit. Lakon Minakjingga Nagih Janji karya Sapta 

Mandala menekaknkan sisi kebenaran Minakjingga dalam hubungannya dengan janji yang 

diikrarkan oleh Ratu Kencanawungu dari Majapahit. Sedang pada teks-teks cerita 

Minakjingga yang lain, menekankan tokoh Minakjingga sebagai pemberontak kerajaan 

Majapahit.       

Contoh lain yang berhubungan dengan tradisi penyalinan teks, ialah pemaknaan Serat 

Bima Bungkus karya Can Cu An yang mendasarkan pada hypogram dari teks sebelumnya, 

yakni teks-teks lakon Bima bungkus dan teks-teks Islam-Kejawen termasuk Wirid Hidayat 

Jati karya R.Ng. Ranggawarsita, dan Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV (Widayat, 

2002). 

 

 

E. Pendekatan Sosiologis. 

Pada dasarnya karya sastra tidak lahir dari kekosongan. Pengarang menciptakan 

karya sastra dengan berawal dari latar belakang pengalaman hidupnya. Ia hidup dalam 

rangka sosial, yakni berada dalam lingkungan masyarakat tertentu. Oleh sebab itu berbagai 

hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial dapat mewarnai terciptanya karya sastra. 

Keadaan seperti itulah yang mendasari pendekatan sosiologis dalam pengkajian sastra.  

Menurut Umar Junus (1986), dalam hubungannya dengan sosiologi, pengkajian 

sastra setidak-tidaknya ada enam macam, sebagai berikut. 

1.  Karya sastra dilihat sebagai dokumen sosiobudaya 

 54

2.  Penelitian mengenai hasil dan pemasaran karya sastra 

3.  Penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra dan apa 

sebabnya 

4.  Pengaruh sosiobudaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan 

Marxiist yang berhubungan dengan pertentangan kelas 

5.  Pendekatan strukturslisme genetik 

6.  Pendekatan yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra. 

Di bawah ini akan diringkaskan catatan Junus (1986) pada masing-masing 

pendekatan sosiologis di atas. 

1.  Karya sastra dapat dilihat sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan 

sosiobudaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Dalam hal ini karya sastra tidak 

dilihat sebagai suatu keseluruhan. Pendekatan ini melihat unsur-unsur sosiobudaya di 

dalam karya sastra yang dilihat sebagai unsur-unsur yang lepas. Ia mendasarkan pada 

cerita tanpa mempersoalkan struktur sastranya. Jadi keeadaannya sebagai berikut.  

a.  Unsur dalam karya sastra diambil terlepas dari unsur yang lain. Unsur ini secara langsung 

dihubungkan dengan suatu unsur sosiobudaya sebab karya itu hanya memindahkan unsur 

itu di dalam dirinya. 

b.  Boleh saja mengambil citra tentang sesuatu dalam satu karya atau beberapa karya yang 

mungkin dilihat dalam perspektif perkembangan. Bila demikian akan terlihat 

perkembangan sesuatu itu sesuai dengan perkembangan sastra yang membayangkan 

perkembangan budaya. 

c.  Boleh juga mengambil tentang motif atau tema. Keduanya berbeda secara gradual, yakni 

tema lebih abstrak sedang motif lebih konkret. Jadi motif dapat dikonkretkan dengan 

pelaku, penerima perbuatan dan perbuatan. 

d.  Menurut Swingewood konsep karya sastra sebagai refleksi realitas hanya terbatas pada 

waktu tertentu saja. Sedang Harry Levin melihat suatu karya bukan merefleksikan realitas 

namun  membiaskannya (to refract), bahkan mungkin merubahnya sehingga terjadi bentuk 

yang berbeda. 

 55

e.  Dalam penciptaan sastra, campur tangan penulis sangat menentukan, realitas ditentukan 

oleh pikiran penulisnya. Seorang penulis yang penuh idealisme cenderung 

mempertentangkan dua dunia secara ekstrim, yakni dunia yang dicitakannya dan dunia 

nyata yang dianggapnya buruk. 

2.  Penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra menyentuh empat hal: a) 

penulis dan latar belakang sosiobudayanya, b) hubungan antara penulis dengan 

pembacanya, c) pemasaran hasil sastra, dan d) pasaran hasil sastra. 

a.  Dalam hal penulis dan latar belakang sosiobudayanya ada 6 faktor: 1) asal sosial 

(termasuk latar belakang sebelum menjadi penulis), 2) kelas sosial dalam arti luas (orang 

kampung atau kota, birokrat atau bukan, minoritas atau mayoritas, dan seterusnya ), 3) jenis kelamin, 

4) umur, 5)pendidikan, dan 6) pekerjaan (menulis bisa sebagai pekerjaan utama 

sambilan,atau bisa juga menulis sebab diupah seperti patronase, dan seterusnya ).  

b.  Ada dua kemungkinan hubungan penulis dengan pembaca: 1) bila menulis sebab diupah 

maka pengupah akan menentukan gaji (ada patronase, seperti pada sastra istana di Jawa), 

2) yang ada cuma calon pembaca, hasil penulis ditentukan oleh pemasaran. Dalam hal ini 

penerbit berperanan penting (ada penerbit yang sekedar mencari untung, ada yang sebagai 

patron). Penerbitan ditentukan oleh selera, keyakinan dan kemungkinan pemasaran. 

Peranan penerbit juga dalam hal promosi. Penerbit menjadi perantara penulis dan 

pembaca. 

c.  Pemasaran menyangkut beberapa hal: 1) cara penyampaiannya: buku, berkala, buletin, 

dan seterusnya . Berkala, buletin dan seterusnya . menjadikan populer, sedang buku tidak begitu. Unsur komersil 

hanya dapat ditekan pada terbitan khusus, dengan target pemasaran tertentu.  2) cara 

pemesarannya juga penting: diecerkan atau diborongkan 

d.  Dalam hal pasaran, menyangkut pasaran luas atau sempit, baik dan tidak. Jumlah 

pemakai bahasa menentukan hasil pasaran. Karya berbahasa Inggris tingkat lakunya 

akan berbeda dengan bahasa daerah, walau tidak mutlak. Sistem nilai berlaku dalam 

hubungannya dengan membaca buku sehingga menentukan pasaran buku. Dalam hal 

 56

pasaran ini juga perlu dibicarakan klasifikasi pembaca buku tertentu, umur, seks, 

pendidikan, kelas sosial, tradisional dan modern, dan seterusnya . 

Biasanya dalam penelitian ini karya sastra lalu menjadi periferal, yang utama bukan 

penelitian sastra. Ia akan menjadi penting sebagai penelitian sastra bila dengan penghasilan 

dan pemesaran tertentu berpengaruh pada munculnya karya sastra tertentu, dan seterusnya . Penelitian 

ini lebih sebagai penelitian sosiologi penulis, penerbit, dan pemasaran karya, bukan 

penelitian sastra. Biasanya karya sastra bukan sebab pasaran tapi sebab penulis ingin 

berkarya saja. 

3.  Penerimaan masyarakat terhadap karya penulis tertentu, bisa negatif bisa positif. 

Keduanya sama pentingnya. Novelet Jawa tahun 1960-an yang dikategorikan sebagai 

roman panglipur wuyung, yang banyak berisi cremedan (agak porno), mungkin ketika itu 

banyak dibaca orang dan diterima sebagai panglipur wuyung. Suluk Gatholoco, Serat 

Darmagandhul dan beberapa karya sastra Jawa tradisional dibaca dan diterima orang 

secara negatif, sebab bisa dianggap berisi simbolisasi seksual dan pelecehan terhadap   

agama tertentu. Lowenthal pernah mencoba membuktikan bahwa penerimaan karya sastra 

(tertentu) berhubungan dengan iklim sosiobudayanya. Dalam penerimaan juga bisa secara 

pasif, hanya sekedar membaca sebab senang membaca, jadi tanpa kesan. Oleh sebab itu 

penerimaan bisa aktif (positif dan negatif), dan bisa pasif. 

               Dalam penelitian seperti ini biasanya yang dipentingkan penerimaan 

masyarakatnya, jadi karya sastranya juga menjadi periferal. Dengan demikian juga 

cenderung bukan penelitian sastra. 

4.  Pengaruh sosiobudaya terhadap penciptaan karya sastra. Menurut pandangan Marxisme 

dan pandangan umum pada abad 19, a) sastra yaitu  refleksi masyarakat (Swingewood 

via Junus, 1986) dan dipengaruhi oleh kondisi sejarah (Eagleton via Junus, 1986). b) 

Setiap jaman mengenal pertentangan kelas dan hasil sastra menyuarakan suara kelas 

tertentu, sehingga ia merupakan alat perjuangan kelas. c) Kesan pertentangan kelas akan 

ditemui dalam karya sastra, sehingga tokoh-tokoh dalamnya merupakan tokoh yang 

representatif mewakili kelas sosial tertentu.  

 57

                   Pengaruhnya jauh lebih luas dari sekedar menyebut pertentangan kelas. Ia juga 

berhubungan dengan bentuk, gaya dan arti. Pendekatan ini melihat sastra sebagai struktur 

atas (super struktur) dengan sistem ekonomi sebagai dasarnya. Hasil sastra akan 

membayangkan dan diakibatkan oleh sistem ekonomi masyarakat penghasilnya. 

                  Pandangan Marxisme memiliki kelemahan sebab walaupun ada struktur sosial, 

belum tentu bersifat buruh dan majikan, belum tentu bersifat pertentangan, perbedaan 

kelas tidak bersifat kaku namun  longgar, kenyataannya tidak sesederhana pandangan 

Marxisme, dan seterusnya . 

5.  Pendekatan strukturalisme genetik dari Lucien Goldmanann akan dibicarakan dalam sub 

bab tersendiri setelah sub bab ini. 

6.  Pendekatan Duvignaud, yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra. 

Duvignaud menolak empat mitos tentang estetika, yakni: 1) pandangan Goethe bahwa 

seni yaitu  realisasi empiris dari keindahan ideal, 2) seni berasal dari seni primitif, 

sehingga setiap pembicaraan pasti dimulai dari seni primitif, 3) seni bertugas melayani 

(melukiskan) kenyataan dan alam, 4) seni selalu terikat kepada agama.  

                   Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk memahami hakikat seni, harus bertolak 

dari lima hipotesis kerja: 1) Seni yaitu  drama yang mengandung implikasi situasi konkret 

dan konflik, 2) seni memiliki  sifat polemik, yang menunjukkan adanya: (a) halangan 

yang mesti dihilangkan, (b) usaha untuk menghilangkannya, 3) ada hubungan antara 

sistem klasifikasi alam dan sosial dengan meminjam klasifikasi dari Durkheim, 4) ada 

keadaan anomi, masyarakat yang goncang sebab adanya perubahan yang radikal, 5) 

keadaan atypic, orang yang menyimpang atau memberontak terhadap kehidupan yang 

dijalaninya. Biasanya karya seni dihasilkan oleh orang-orang yang memiliki  ciri ini. 

                   Menurut Duvignaud segala kegiatan seni dapat didasarkan pada delapan sikap 

estetiika sebagai berikut. 

1.  Estetika yaitu  manifestasi seluruh masyarakat yang boleh dikatakan hilang pada seni 

modern. Sikap estetika ini berhubungan dengan manifestasi sosial, misalnya festival. 

Kehilangan sikap ini mungkin akan menimbulkan hal kedua. 

 58

2.  Nostalgia kepada keadaan kemasyarakatan yang sudah hilang, sehingga mereka 

menceritakan masa lampau. Nostalgia ini bersifat romantik dan mengandung dua 

aspek, yakni: a) sesuatu yang inheren pada masyarakat modern ketika mereka 

meninggalkan tradisi, dan b) sesuatu yang berdaya untuk campur tangan secara efektif 

dalam kehidupan sosial. 

3.  Seorang seniman dianggap sebagai seorang pendeta yang mewakili Tuhan di dunia. Ini 

terjadi pada masyarakat kharismatik dan seni dihubungkan dengan agama, dengan 

sesuatu yang sakral. 

4.  Estetika yaitu  usaha yang disengaja untuk melukiskan kehidupan atau keadaan 

sehari-hari 

5.  Seni yaitu  sesuatu yang tertutup (esoterik), terbatas untuk orang-orang dengan 

kedudukan tertentu. 

6.  Seni yaitu  pameran kekayaan (potlatch), mungkin untuk manusia, mungkin untuk 

Tuhan. 

7.  Oposisi dengan dasar etika terhadap kebudayaan tradisional dan nilai-nilai yang sudah 

mantap (established) yang merupakan akibat dari perkembangan ekonomi modern. 

Oposisi ini memiliki  dua komponen: a) sesuatu yang dipertahankan dalam proses 

transisi dari satu tipe masyarakat ke tipe yang mengikutinya, b) mungkin tipe 

masyarakat yang menggantikan tidak menghilangkan kesadaran tentang masa lampau 

yang sengsara, atau kelanjutan lembaga yang sudah ada, atau institusi terhadap nilai-

nilai baru. namun  semua tidak dikenal sebab adaptasi terhadap keadaan yang baru. 

8.  Sikap yang berhubungan dengan ajaran seni untuk seni. 

                    berdasar  sikap estetik itu Duvignaud membagi seni dengan tujuan untuk 

mengkaji fungsinya dalam empat tipe, yakni: seni primitif, seni dalam masyarakat 

teokrasi, seni dalam kehidupan kota (-feodal), dan seni modern. Tipe-tipe ini 

berkembang secara urut dari tipe yang satu ke yang lain. 

                  Seni primitif memiliki  fungsinya sendiri dalam masyarakat primitif, yang 

akan hilang bila berhubungan dengan seni modern. Seni dalam masyarakat teokrasi 

 59

selalu berhubungan dengan kekuatan gaib di luar manusia. Dalam seni ini terkandung asal 

mula bibit drama. Seni dalam kehidupan kota mengubah kehidupan mitos (yang ada 

pada tipe sebelumnya) ke arah sastra, sebab pada tipe ini keadaannya: a) Adanya 

keragaman bentuk, b) fungsi seni berhubungan dengan anomi, c) kehidupan dan 

perkembangan seni didukung oleh kelas menengah yang memegang peranan penting. 

Menurut Duvignaud, kota memegang peranan penting bagi perkembangan seni menuju 

seni modern, yang bercirikan: a) dalam melukiskan manusia yang dipentingkan yaitu  

peristiwa, perbuatan lebih penting dari komentar, pengungkapan spontanitas lebih penting 

dari lukisannya, b) seni modern lebih bersifat collage, yang mengacaukan antara realitas 

dengan imajinasi, antara manusia nyata dengan tokoh wira (imajiner). 

               Menurut Umar Junus (1986) pandangan Duvignaud bisa disimpulkan sebagai 

berikut. a) Seni, oleh Divignaud, dilihat dari perspektif sejarah kesenian. b) Setiap 

manifestasi seni mesti dihasilkan oleh kondisi sosial tertentu. c) Semua seni dilihat dalam 

perspektif umum, berlaku dimana saja dan kapan saja. d) Seni suatu bangsa akan melalui 

perkembangan yang sama dengan bangsa-bangsa lain. e) sebab itu Duvignaud lebih 

mengerjakan sosiologi kesenian. f) Kelemahannya, terlalu menekankan tipe, sehingga ia 

tidak memperhatikan perkembangan seni setempat yang bersifat khusus. Hal ini 

bertentangan dengan sosiologi sastra yang menekankan adanya perbedaan sebab 

perbedaan sosiobudaya sehingga sosiologi sastra menonjolkan perbedaan lokal. 

Disamping itu Duvignaud mengesampingkan variasi individual antar kreatifitas seniman 

yang merupakan ciri hakikat dari seni modern. Pandangan ini juga bertentangan dengan 

sosiologi sastra yang menekankan latarbelakang sosial seniman. 

             Pendekatan Duvignaud tidak banyak berbeda dari pendekatan Marxist, hanya 

kelas pada Marxist dirubah menjadi tipe. Pada Marxist, setiap kelas menyuarakan 

kelasnya, pada Duvignaud setiap masyarakat menghasilkan tipe seni yang sesuai dengan 

perkembangan masyarakat itu. 

 

F.  Strukturalisme Genetik 

 60

Strukturalisme genetik dicetuskan oleh Goldmann. Ia percaya bahwa karya sastra 

merupakan sebuah struktur, namun struktur itu tidak statis, melainkan merupakan produk 

dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup 

dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan. Untuk menopang 

teorinya, Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling berkaitan sehingga 

membentuk apa yang disebut strukturalisme genetik itu. Kategori-kategori itu ialah: a) fakta 

kemanusiaan, b) subjek kolektif, c) strukturasi, d) pandangan dunia, dan e) 

pemahaman dan penjelasan   

Fakta kemanusiaan yaitu  segala hasil aktivitas atau perilaku manusia, baik yang 

verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta 

kemanusiaan dapat berwujud aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun 

kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung dan seni sastra. Fakta 

kemanusiaan dapat dibedakan menjadi dua: 1) fakta individual dan 2) fakta sosial. Fakta 

kedua memiliki  peranan dalam sejarah sedang yang pertama tidak. Semua fakta 

kemanusiaan memiliki  struktur tertentu dan arti tertentu. Pemahamannya harus 

memperhatikan strukturnya dan artinya.  

Fakta kemanusiaan memiliki  arti sebab merupakan respon-respon dari subyek 

kolektif atau individual, untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok bagi aspirasi-

aspirasi subjek itu. Dengan kata lain fakta-fakta itu merupakan hasil usaha manusia untuk 

mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya 

(Goldmann via Faruk, 1994). 

Goldmann meminjam teori psikologi Piaget, bahwa manusia dan lingkungan 

sekitarnya selalu berusaha dalam proses strukturasi timbal balik yang saling bertentangan 

namun  sekaligus saling isi mengisi. Kedua proses itu yaitu  proses asimilasi dan proses 

akomodasi. Di satu pihak manusia selalu mengasimilasikan lingkungan sekitarnya ke dalam 

skema pikiran dan tindakannya. Di lain pihak, usahanya itu tidak selalu berhasil sebab 

adanya rintangan sebagai berikut.  

 61

1.  Kenyataan bahwa sektor-sektor kehidupan tertentu tidak menyandarkan dirinya 

pada integrasi dalam struktur yang dielaborasikan. 

2.  Kenyataan bahwa semakin lama penstrukturan dunia eksternal itu semakin sukar, 

bahkan semakin tidak mungkin dilakukan. 

3.  Kenyataan bahwa individu-individu dalam kelompok, yang melahirkan proses 

keseimbangan, telah mentransformasikan lingkungan sosial dan fisiknya, sehingga 

mengganggu proses keseimbangan dalam proses strukturasi itu. 

Bila kendala itu tidak teratasi lagi maka yang terjadi ialah sebaliknya, yakni tidak 

melakukan asimilasi terhadap lingkungannya, namun  mengakomodasikan dirinya pada 

struktur lingkungannya. 

Dalam proses strukturasi (asimilasi dan akomodasi) yang terus menerus itulah karya 

sastra (sebagai fakta kemanusiaan), sebagai hasil aktivitas kultural, memperoleh arti. Proses 

ini sekaligus merupakan proses genesis dari struktur karya sastra.  

Fakta kemanusiaan merupakan hasil dari aktvitas manusia sebagai subjeknya. Subjek 

fakta kemanusiaan ada dua, yakni subjek individual (subjek fakta individual / libidinal) dan 

subjek kolektif (subjek fakta sosial / historis). Revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-

karya kultural yang besar merupakan fakta sosial hasil dari subjek kolektif atau subjek trans-

individual. Karya sastra yang besar juga hasil dari subjek kolektif sebab merupakan hasil 

aktivitas yang objeknya sekaligus alam semesta dan kelompok manusia. Subjek kolektif 

dapat berupa kelompok kekerabatan, kelompok kerja, kelompok teritorial, dan seterusnya . Untuk 

memperjelas, Goldmann mengkhususkan sebagai kelas sosial dalam pengertian Marxist. 

Goldmann percaya adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur 

masyarakat, sebab keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama. namun , 

hubungan struktur masyarakat dengan struktur sastra tidak berupa determinasi langsung. 

Hubungan keduannya dimediasi oleh apa yang disebut pandangan dunia atau ideoligi.  

Menurut Goldmann (Faruk, 1994), pandangan dunia merupakan istilah yang cocok 

bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, 

yang mengaitkan  secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu 

dan yang mempertentangkannya dengan kelompok sosial yang lain. Sebagai suatu kesadaran 

kolektif, pandangan dunia itu berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomi 

tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya. Pandangan dunia terbentuk 

dari transformasi mentalitas yang lama secara perlahan-lahan dan bertahap, terbangun 

mentalitas yang baru yang mengatasi mentalitas yang lama. Pandangan dunia merupakan 

kesadaran yang mungkin, yamg tidak setiap orang dapat memahaminya. Kesadaran yang 

mungkin itu dibedakan dengan kesadaran yang nyata. 

Kesadaran yang nyata yaitu  kesadaran yang dimiliki oleh individu-individu yang 

ada dalam masyarakat. Individu-individu itu menjadi anggota kelompok-kelompok yang ada 

dalam masyarakat, seperti keluarga, kelompok kerja, dan seterusnya . Individu-individu itu jarang sekali 

berkemampuan menyadari secara lengkap dan menyeluruh mengenai makna dan arah 

keseluruhan dari aspirasi-aspirasi, perilaku-perilaku dan emosi-emosi kolektifnya. 

Kesadaran yang mungkin yaitu  kesadaran yang menyatakan suatu kecenderungan 

kelompok ke arah koherensi menyeluruh, perspektif yang koheren dan terpadu mengenai 

hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta. Kesadaran yang demikian 

jarang disadari pemiliknya, kecuali dalam momen-momen krisis dan sebagai ekspresi 

individual pada karya-karya kultural yang besar 

Karya sastra yang besar merupakan produk strukturasi dari subyek kolektif. Oleh 

sebab itu karya sastra memiliki  struktur yang koheren dan terpadu. Goldmann 

menyatakan dua hal tentang karya sastra pada umumnya. 1) Karya sastra merupakan 

ekspresi pandangan dunia secara imajiner. 2) Dalam usahanya mengekspresikan pandangan 

dunia itu, pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara 

imajiner. Jadi yang menjadi pusat perhatian Goldmann, yaitu  relasi antara tokoh dengan 

tokoh dan tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya.  

Goldmann mendevinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian akan nilai-nilai 

yang otentik yang terdegradasi (memburuk) dalam dunia yang juga terdegradasi. Pencarian 

itu dilakukan oleh seorang hero (wira) yang problematik. Nilai-nilai yang otentik yaitu  

totalitas yang secara tersirat muncul dalam novel, nilai-nilai yang mengorganisasi sesuai 

dengan mode dunia sebagai totalitas. Nilai-nilai itu hanya ada dalam kesadaran pengarang / 

novelis, dalam bentuk konseptual dan abstrak. Dinyatakan juga bahwa novel merupakan 

genre sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dalam hubungan antara 

hero dengan dunia. Keterpecahan itu yang memicu  dunia dan hero sama-sama 

terdegradasi dalam hubungannya dengan nilai-nilai yang otentik yang berupa totalitas. 

Keterpecahan itu yang membuat sang hero menjadi problematik. 

Karya sastra yaitu  stuktur yang berarti. sebab memiliki  struktur, karya sastra 

harus atau cenderung koheren. sebab memiliki  arti, karya sastra berkaitan dengan usaha 

manusia memecahkan persoalan-persoalannya dalam kehidupan sosialnya yang nyata. Untuk 

itu Golmann mengembangkan metode dialektik. Metode ini berawal dari karya sastra dan 

berakhir pada karya sastra, dengan mempertimbangkan koherensi struktural. Prinsip dasar 

metode dialektik ini yaitu  pengetahuan mengenai fakta-fakta kemanusiaan yang abstrak dan 

harus dibuat konkret dengan mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan. Untuk itu metode 

dialektik mengembangkan dua pasangan konsep yakni keseluruhan bagian dan 

pemahaman penjelasan ,Dalam sudut pandang ini setiap fakta atau 

gagasan individual hanya memiliki  arti jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, 

keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-

fakta partial yang membangun keseluruhan itu. Oleh sebab itu proses pencapaian 

pengetahuannya menjadi semacam gerak melingkar secara terus-menerus, tanpa ada ujung 

pangkalnya.  

Metode semacam ini, sebenarnya secara umum telah dikenal dengan nama lingkaran 

hermeneutik atau ideologi Jerman, namun metode Goldmann harus ditempatkan dalam 

rangka teori Goldmann. Menurut Goldmann  teknik pelaksanaan metode 

dialektik sebagai berikut. Pertama, peneliti membangun sebuah model yang dianggapnya 

memberikan probabilitas tertentu atas dasar bagian. Kedua, melakukan pencekan terhadap 

model itu dengan membandingkannya dengan keseluruhan, dengan cara menentukan: 1) 

sejauh mana setiap unit yang dianalisa  tergabungkan dalam hipotesis yang menyeluruh, 2) 

daftar elemen-elemen dan hubungan-hubungan baru yang belum diperlengkapi dalam model 

semula, 3) frekuensi elemen-elemen dan hubungan-hubungan yang diperlengkapinya dalam 

model yang sudah dicek itu.  

Metode semacam itu tidak hanya berlaku untuk analisis teks sastranya, namun  juga 

untuk struktur yang mengatasi teks sastra itu, yakni struktur yang menempatkan teks sastra 

sebagai bagian dari keseluruhan. Goldmann mengatakan  bahwa pandangan 

dunia merupakan kesadaran kolektif yang dapat dipakai sebagai hipotesis kerja yang 

konseptual, suatu model, bagi pemahaman mengenai koherensi struktur teks sastra.    

Menurut Junus (1986), dalam metode kerja Goldmann, hubungan dengan latar 

sosiobudaya baru mungkin dilakukan setelah didapatkan kesatuan (unity) dari keragaman 

sebuah novel. Sifat hubungan itu ialah: 

a.  Yang berhubungan dengan latar belakang sosial hanyalah unsur kesatuan, bukan 

unsur keragaman (bukan setiap unsurnya). 

b.  Latar belakang ini ialah pandangan dunia suatu kelompok sosial yang dilahirkan 

oleh seorang penulis, sehingga dapat dikonkretkan.  

Ada beberapa kritik kepada strukturalisme genetik Goldmann, antara lain sebagai 

berikut. Menurut Swingewood (Junus, 1986) Goldmann mengabaikan hakikat sastra yang 

memiliki  dunia dan tradisinya sendiri (misalnya dalam hubungannya dengan 

intertekstualitas). Swingewood juga mempertanyakan apakah kesatuan (unity) merupakan 

ciri karya yang berhasil (karya besar)? Apakah tidak ada tempat bagi karya yang berupa 

riwayat hidup? Swingewood juga meragukan bahwa mungkin konsep wira (hero) 

bermasalah (problematik) hanya berdasar fenomena sastra Perancis yang memang mengenal 

pertentangan kelas, yang berbeda dengan Inggris yang mengenal kompromi kelas.   

Kritik dari Caute (Junus, 1986) berhubungan dengan kreativitas pengarang. Bila 

pengarang hanya menyampaikan pikiran yang terbentuk dari “kelompok sosial”, maka ia 

tidak memiliki  pikiran sendiri dan kacamata sendiri. Disamping itu Caute, seide dengan 

Duvignaud, mempersoalkan apakah seorang penulis dapat mewakili keseluruhan jamannya.        

 

G. Dekonstruksi  

Paham dekonstruksi muncul sebagai bagian dari munculnya pemikiran filsafati yang 

dikenal dengan istilah posmo yang merupakan singkatan dari postmodernisme atau 

pascamodernisme dengan tokohnya, antara lain, Lyotard dan Derrida. Paham posmo pada 

dasarnya menggugat dan menolak produk paham modernisme yang berupa universalitas, 

totalitas, keutuhan organis, pensisteman dan segala macam legitimasi, termasuk dalam 

bidang keilmuan yang oleh Lyotard disebut sebagai grand-narrative dan oleh Derrida 

disebut logocentrisme atau fonocentrisme, sesuatu yang mengacu pada pusat yang dianggap 

benar  Sebenarnya antar tokoh-tokoh dekonstruksi 

tidak memiliki  pandangan tunggal, juga dalam pendekatannya pada sastra, namun tentu 

juga banyak persamaannya. 

Posmo menolak kemapanan atau kebakuan teori-teori modernisme. Dalam bidang 

linguistik antara lain menolak strukturalisme yang disebutnya sebagai grand-theory.  Teori-

teori itu dianggapnya terlalu menyederhanakan persoalan dan cenderung menolak pluralisme. 

Posmo menggoyang sendi-sendi teori atau ilmu sastra, linguistik, estetika, dan sampai pada 

pemikiran anti teori. Dekonstruksi merupakan salah satu paham dari posmo yang juga 

diterapkan dalam teori atau ilmu sastra 

Dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti, 

tertentu, dan konstan, seperti dalam pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada ungkapan 

atau bentuk-bentuk kebahasaan yang bermakna tertentu dan pasti. Itulah sebabnya 

dekonstruksi juga disebut poststrukturalisme. Kesetiaan yang berlebihan pada suatu teori 

justru akan memunculkan pembangkangan terhadap kebenaran teori itu. Dekonstruksi 

merupakan pembangkangan terhadap strukturalisme dan semiotik dalam linguistik. 

Dekonstruksi terhadap teks kesusastraan menolak makna umum yang diasumsikan ada dan 

melandasi karya itu dengan unsur-unsur yang ada dalam karya itu sendiri. Pembacaan karya 

sastra, menurut paham dekonstruksi, justru untuk menemukan makna kontradiktifnya, 

makna ironisnya. Ia bermaksud melacak unsur-unsur aporia, yakni yang berupa makna 

paradoksal, makna kontradiktif, makna ironi dalam karya sastra. Unsur atau bentuk-bentuk 

dalam karya sastra dicari dan dipahami dalam arti kebalikannya. Unsur-unsur yang tidak 

penting dilacak kepentingannya hingga menjadi penting. Misalnya tokoh periferal, 

didekonstruksi hingga menjadi tokoh penting yang memiliki  fungsi dan makna yang 

menonjol  

Levy-Strauss menganggap cara pembacaan dekonstruksi sebagai pembacaan 

kembar (double reading). Di satu pihak ada  makna semu, maya, pura-pura (makna 

yang umum) yang ditawarkan, di pihak lain pemaknaan dekonstruksi yakni makna 

kontradiktif, makna ironis.  

Menurut Derrida, tiap teks mendekonstruksi dirinya sendiri, sekaligus 

mendekonstruksi dan didekonstruksi oleh teks-teks lain, sehingga berhubungan dengan 

paham intertekstual. Dalam mendekonstruksi teks, Jausz mempertimbangkan aspek historis, 

yakni tanggapan para pembaca dari masa-ke masa yang sering berbeda-beda. Jadi paham 

dekonstruksi juga berhubungan dengan paham resepsi sastra . 

Dalam sastra Jawa, paham dekonstruksi dapat diterapkan, misalnya, dalam lakon-

lakon yang dipentaskan oleh kethoprak plesetan. Sebagai contoh dalam lakon Minak Jinggo 

Nagih Janji, ditampilkan tokoh Minak Jinggo yang hingga kematiannya tetap tampan, dan 

ditampilkan sebagai tokoh protagonis yang berpihak pada kebenaran. Ia berjuang demi 

menagih janji yang pernah diikrarkan oleh Ratu Kencanawungu, bahwa barang siapa yang 

berhasil menumpas pemberontakan Kebo Marcuet, akan dijadikan suami Kencanawungu. 

Selama ini, secara tradisional, Minak Jinggo selalu ditampilkan sebagai antagonis, tokoh 

pemberontak yang tidak memiliki  legalitas pembenaran. Contoh lain yaitu  munculnya 

cerkak-cerkak yang menampilkan tokoh-tokoh yang secara tradisional diberi watak jahat, 

seperti Dasamuka, Korawa, dan seterusnya . yang dalam cerkak itu ditampilkan dengan watak baik 

bahkan mulia. 

 

Klasifikasi Tokoh 

Dalam karya fiksi, biasanya ada  lebih dari satu tokoh. Ditinjau dari segi peranan 

atau tingkat pentingnya dalam sebuah cerita, dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan 

tokoh tambahan. Tokoh utama (central character, main character) yaitu  tokoh yang 

diutamakan penceritaannya dalam fiksi yang bersangkutan, paling banyak diceritakan, dan 

sangat menentukan perkembangan plot secra keseluruhan. Sedang tokoh tambahan biasanya 

lebih sedikit pemunculannya, tidak dipentingkan, dan hanya muncul dalam hubunganya dengan 

tokoh utama baik secara langsung maupun tak langsung. Tokoh utama bisa lebih dari satu 

orang, namun  kadar keutamaannya pasti berbeda-beda. Oleh sebab itu bisa dikelompokkan 

menjadi tokoh paling utama danseterusnya 

Ditinjau dari fungsi penampilannya,  tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis 

dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis yaitu  tokoh yang diidealkan oleh pembaca, 

pengejawantahan nilai-nilai dan norma-norma dan  harapan-harapan pembaca sehingga 

mendapat empati pembaca. Sedang tokoh antagonis yaitu  tokoh penyebab terjadinya 

konflik, tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis baik secara langsung atau tidak, baik 

secara fisik maupun batin. Bila klasifikasi tokoh di atas digabungkan, maka bisa ada  tokoh 

utama protagonis, tokoh utama antagonis, tokoh tambahan protagonis, dan seterusnya . Dalam fiksi 

konflik belum tentu datang dari tokoh antagonis namun  bisa dari bencana alam, kecelakaan, 

sosial, atau pikiran dan batinnya sendiri, dan seterusnya , yang biasanya disebut kekuatan antagonis 

(antagonistic force).  

Forster dalam bukunya Aspects of the Novel, membedakan tokoh berdasar  

perwatakannya menjadi tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh bulat 

(complex atau round character). Tokoh sederhana yaitu  tokoh yang hanya memiliki satu 

kualitas pribadi tertentu,satu sifat watak yang tertentu saja. Perwatakannya dapat dirumuskan 

menjadi satu frase saja, misalnya “ia seorang yang miskin tapi jujur”, atau “ia seorang kaya 

namun  kikir”, atau “ia seorang yang senantiasa pasrah pada nasib”. Tokoh sederhana cenderung 

stereotip. Sedang tokoh bulat atau kompleks yaitu  tokoh yang memiliki dan diungkap 

berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Perwatakannya 

bermacam-macam, bahkan sering bertentangan dan sulit diduga, sering mengejutkan. 

Pembedaan tokoh sederhana dan kompleks ini semata-mata berdasar  tingkat 

kompleksitasnya sehingga bersifat relatif, setiap pengamat bisa berbeda pendapat 

berdasar  perkembangan perwatakannya, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh 

statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis (static character) yaitu  tokoh cerita yang 

secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan akibat 

peristiwa-peristiwa yang terjadi, Tokoh statis 

memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita. 

Sedang tokoh berkembang yaitu  tokoh cerita yang mengalami perubahan dan 

perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan. 

Sikap dan watak tokoh berkembang mengalami perkembangan dan atau perubahan dari awal, 

tengah, dan akhir cerita sesuai dengan tuntutan koherensi cerita secara keseluruhan. 

Pembedaan tokoh statis dan berkembang dapat dihubungkan dengan tokoh sederhana dan 

kompleks. Tokoh statis cenderung sama dengan tokoh sederhana, dan tokoh berkembang 

cenderung sama dengan tokoh kompleks ,

 

Teknik Pencitraan Tokoh 

Secara garis besar pelukisan tokoh dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni teknik 

uraian (telling) dan teknik ragaan (showing)  atau teknik penjelasan 

(expository) dan teknik dramatik (dranatic)  atau teknik 

diskursif (discursive), dan kontekstual  Pada 

intinya teknik yang pertama menyaran pada pelukisan secara langsung dan yang kedua 

menyaran pada pelukisan secara tidak langsung. 

Teknik ekspositori atau teknik analitik, yakni teknik penokohan yang dilakukan 

dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Jadi sikap, sifat, watak, 

tingkah laku, dan ciri fisiknya telah disimpulkan oleh pengarang dan dijelaskan secara 

langsung. Dalam hal ini pengarang harus konsisten dalam melukiskan penokohan itu. Bila 

terjadi perubahan dan perkembangan sifat dan wataknya, harus dengan penjelasan alasan-alasannya.  

 

Sedang pada teknik dramatik, penokohan dilukiskan secara tidak langsung atau tidak 

eksplisit. Wujud penggambaran teknik dramatik ada beberapa macam, sebagai berikut. (1) 

Teknik cakapan, yakni pencitraan tokoh melalui percakapan. Percakapan yang baik, yang 

efektif, yang fungsional, yaitu  yang menunjukkan perkembangan plot dan sekaligus 

mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya  Pelukisan tokoh dalam penggalan cakapan 

merupakan bagian dari pelukisan tokoh secara keseluruhan dalam suatu fiksi. Oleh sebab itu 

setiap bagian percakapan harus ditafsirkan maknanya dalam rangka bagian dari keseluruhan. 

(2) Teknik tingkah laku, yakni pencitraan tokoh melalui tingkah laku atau tindakan 

nonverbal, atau gerak fisik. Tingkah laku gerak fisik tokoh juga bisa menggambarkan sifat atau 

watak tokoh yang bersangkutan, reaksi, tanggapan, sikap yang mencerminkan sifat-sifatnya. 

Seperti halnya dalam teknik cakapan, teknik tingkah laku juga harus ditafsirkan dalam rangka 

penggambaran tokoh secara keseluruhan dalam suatu fiksi. (3) Teknik pikiran dan 

perasaan, yakni pencitraan tokoh melalui penggambaran jalan pikiran dan perasaan tokoh 

yang bersangkutan. Jalan pikiran dan perasaan bisa dinilai lebih jujur (bisa dipercaya) dari pada 

ucapan dan tingkah laku tokoh. Jadi tingkah laku dan ucapan tokoh bisa saja pura-pura, namun 

jalan pikiran dan perasaannya tidak. Biasanya dalam karya sastra, perbedaan tingkah laku dan 

ucapan dengan pikiran dan perasaan tokoh akan diberi penjelasan alasan-alasannya. Tingkah 

laku dan ucapan tokoh pada dasarnya merupakan perwujudan konkret dari pikiran dan 

perasaannya. Namun tidak semua jalan pikiran dan perasaan selalu diwujudkan dalam cakapan 

dan tingkah laku, dan hanya berhenti di pikiran dan perasaan saja. Oleh sebab itu teknik 

pikiran dan perasaan bisa ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku, namun tidak 

sebaliknya. (4) Teknik arus kesadaran, yakni teknik pencitraan tokoh melalui proses 

kehidupan batin atau mental tokoh, yang memang hanya terjadi di batin, baik yang berada di 

ambang kesadaran maupun ketaksadaran, termasuk kehidupan bawah sadar. Teknik ini sering 

disamakan dengan teknik pikiran dan perasaan sebab sama-sama menggambarkan tingkah 

laku batin tokoh. Teknik arus kesadaran banyak ada  dalam karya fiksi yang bergaya ‘aku’ 

(gaya orang pertama). (5) Teknik reaksi tokoh, yakni teknik pencitraan tokoh melalui 

pelukisan reaksi tokoh yang bersangkutan terhadap suatu kejadian, masalah,  keadaan, kata, 

dan sikap tingkah laku tokoh lain, dan seterusnya . (6) Teknik reaksi tokoh lain, yakni pencitraan tokoh 

melalui reaksi tokoh lain pada dirinya (tokoh yang dicitrakan kediriannya). Reaksi tokoh lain 

itu dapat berupa penilaian, pandangan, pendapat, sikap, komentar, dll. (7) Teknik pelukisan 

latar, yakni pencitraan tokoh melalui bantuan pelukisan latarnya. Latar, yang menyangkut 

waktu, tempat dan suasana, dan  keadaan sosial dapat membantu pencitraan tokoh tertentu. 

Misalnya, rumahnya yang bersih dan rapi, mungkin membantu pencitraan tokoh pemilik rumah 

itu sebagai tokoh yang rajin (membersihkan dan merapikan). Harus diingat bahwa tidak semua 

pelukisan latar, dimaksudkan untuk membantu pencitraan tokoh. (8) Teknik pelukisan fisik, 

yakni pencitraan tokoh melalui pelukisan fisiknya. Misalnya bibir yang tipis menyaran pada 

tokoh yang ceriwis atau bawel, badan yang gemuk menyaran pada tokoh yang malas atau tidak 

cekatan, dan seterusnya .

Semua teknik pencitraan tokoh ini selalu harus dicek kembali kebenarannya 

dengan dikonfirmasikan dengan teknik-teknik yang lain, pada karya fiksi yang bersangkutan, 

sehingga tidak menimbulkan kesalahan tafsir. Bagian yang satu membantu pencitraan pada 

bagian yang lain-lainnya. 

 

Jenis Plot 

Plot dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam . Menurut 

urutan waktu kejadiannya dapat dibedakan menjadi plot kronologis (plot lurus / plot 

progresif) dan plot tak kronologis (sorot balik / mundur / flash back). Plot kronologis 

menampilkan cerita secara urut dari waktu kejadian yang paling awal hingga waktu kejadian 

yang paling akhir. Plot tak kronologis menampilkan cerita secara tidak urut. Bagian-bagian 

cerita yang waktu kejadiannya di tengah atau akhir kejadian, diceritakan mendahului kejadian 

yang waktunya lebih awal. 

berdasar  kuantitasnya atau jumlahnya, plot diklasifikasikan menjadi plot tunggal 

dan plot sub-sub plot. Plot tunggal biasanya menceritakan secara setia pada tokoh utamanya 

saja sehingga tidak ditemukan plot lain yang mengisahkan tokoh lain terpisah dengan tokoh 

utamanya. Plot sub-sub plot sering juga disebut plot ganda, ada  dalam fiksi yang 

plotnya sebagian mengisahkan tokoh utamanya, namun pada bagian lain plotnya mengisahkan 

tokoh (-tokoh) lain, terpisah dari tokoh utamanya. Pada bagian lain plot(-plot) yang ada 

disatukan. 

berdasar  kriterian kepadatannya, plot diklasifikasikan menjadi plot padat dan plot 

longgar. Pada plot padat, cerita ditampilkan secara cepat, dan hubungan sebab-akibat pada 

antarperistiwa sangat erat. Setiap peristiwa yang ditampilkan terasa sangat penting sehingga 

pembaca tidak bisa meninggalkan setiap bagian yang ada. Pada Plot longgar, cerita 

ditampilkan secara lambat dan hubungan antarperistiwa penting (fungsional) diselai oleh 

peristiwa(-peristiwa) yang tidak penting (fungsional). 

Di samping itu plot juga dapat diklasifikasikan berdasar  kriteria isinya. Menurut 

Friedman menurut isinya plot dapat dibedakan menjadi tiga golongan 

besar, yakni plot peruntungan (plot of fortune), plot tokohan (plot of character) dan plot 

pemikiran (plot of thought). Peruntungan berhubungan dengan nasib, peruntungan yang 

menimpa tokoh utama cerita yang bersangkutan. Plot tokohan menyaran pada sifat 

pementingan tokoh; tokoh yang menjadi fokus perhatian. Kejadian-kejadian menjadi penting 

sepanjang mengungkapkan diri tokoh. Adapun plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang 

menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan, berbagai macam obsesi, dll. Masalah hidup dan 

kehidupan manusia. Menurut Nurgiyantoro pembagian ini bersifat teoritis dan mungkin sekali 

tumpang tindih.   

Latar netral yaitu  latar yang dilukiskan secara umum tiadak ditonjolkan 

kekhususannya, misalnnya keramaian kota, sifat-sifat umum sebuah jalan raya, dan seterusnya , yang bisa 

saja dipakai untuk menggambarkan kota lain atau jalan lain; atau mungkin sekedar disebutkan 

namanya saja. Sedang latar tipikal yaitu  latar yang digambarkan secara khusus sampai pada 

detail-detailnya dengan tujuan menekankan tujuan tertentu. Latar tipikal secara langsung atau 

tidak akan berpengaruh terhadap pengaluran dan penokohan. Latar tipikal memberikan kesan 

lebih meyakinkan.  

Seperti halnya unsur-unsur sastra yang lain, latar dalam karya fiksi sebenarnya masih 

bisa dibedakan menjadi latar realis dan surealis. Yang dimaksud latar realis yaitu  latar yang 

dilukiskan seperti yang ada dalam dunia nyata. Sedang latar surealis yaitu  latar yang hanya 

diciptakan dalam karya fiksi itu. Dalam karya sastra Jawa banyak ditemukan latar surealis yang 

sering berhubungan dengan kepercayaan atau mungkin mistis. Misalnya dalam jagading 

lelembut banyak ditemukan tokoh-tokoh hantu dengan segala latarnya yang surealis. Ia bisa 

saja masuk dan melintasi tembok. Istana lelembut bisa berada di dalam batu akik yang sangat 

kecil, dan seterusnya . Dalam cerita wayang ada latar tempat yang disebut Lokantara di mana sukma atau 

nyawa tokoh tertentu melayang-layang mengembara atau nglambrang. Ada juga Kahyangan 

tempat para dewa yang tidak berada di bumi ini, dan seterusnya .  

Latar juga dapat dibagi menjadi latar fisik dan latar spiritual. Di samping itu latar juga 

dapat di bagi menjadi latar netral dan latar tipikal . Latar fisik menyaran 

pada tempat dan saat tertentu secara jelas. Sedang latar spiritual menyaran pada nilai-nilai 

yang melingkupi dan dimilki oleh latar fisik. Latar spiritual antara lain berwujud tata cara, adat 

istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat tertentu dalam cerita.   

 

 

 

Related Posts:

  • sastra jawa 2 suatu karya sastra pada proporsi yang semestinya di antara karya-karya sastra lainnya; mencirikan kekhasan sebuah karya sastra, seoran… Read More