Skizofrenia dalam dunia medis dan psikologis secara umum dianggap sebagai gangguan
psikotik berat yang mengakibatkan penderitanya mengalami halusinasi dan tingkah laku
yang kacau. Namun, sebaliknya, paradigma skizoanalisis melihat bahwa skizofrenia
merupakan sistem pemikiran yang menentang diskursus sistem Oedipus yang telah
mapan. Skizofrenia dapat diamati di berbagai media, salah satunya dalam film Joker yang
dirilis pada 2019. Penelitian ini bertujuan untuk melihat secara reflektif skizofrenia tokoh
utama Joker dari perspektif skizoanalisis yang dipopulerkan oleh Gilles Deleuze dan Fellix
Guattari. Penelitian kualitatif ini memakai metode deskriptif interpretatif, dengan
kacamata pemikiran psikoanalisis menuju skizoanalisis. Hasilnya, Joker sebagai subjek
skizofrenik berhasil merekonstruksi ulang ide dan gagasan dengan membiarkan hasrat
bebas melakukan berbagai tindakan dengan menentang sistem yang mapan di Gotham
City. Kegilaan ini ditampilkan oleh Arthur Fleck sebagai tokoh utama yang mencoba keluar
dari teritori nilai serta norma sosial. Pada awalnya, ia hanya berkhayal mempertanyakan
realitas yang tidak adil, tetapi pada akhirnya ia menghancurkan sistem atau tatanan itu.
Joker, sebagai subjek progresif dan revolusioner secara jelas mendekonstruksi sistem
Oedipus. Lebih jauh, skizofrenia memunculkan potensi gerakan yang lebih luas, kaotis,
tidak terduga, dan di luar kendali. Hasrat yang tidak terbendung sebagai suatu energi
inilah yang membuat para demonstran bertarung melawan kapitalisme.
Skizofrenia, dalam dunia psikologis dan biomedis didefinisikan secara negatif sebagai gangguan mental
dan halusinasi. Skizofrenia yaitu gangguan psikotik pada manusia yang bercirikan gangguan kesadaran,
gangguan berpikir, autisme dan seolah dikendalikan oleh kekuatan dari luar diri penderitanya. Sebagai
kondisi yang “abnormal”, gejala skizofrenia dapat hadir padai usia remaja hingga dewasa, dan hampir 1%
penduduk di dunia pernah mengalaminya. Bahkan laki-laki dianggap lebih berpeluang mengalami gangguan
mental ini dibandingkan perempuan. Di Indonesia, data menunjukkan bahwa sekitar 70% orang yang masuk
dalam perawatan psikiatri masuk dalam kategori skizofrenia ,
Berdasarkan variabel klinis ICD-10, ada berbagai jenis skizofrenia yang telah dikenali. Pertama yaitu
skizofrenia paranoid yang penderitanya sering mengalami halusinasi, tetapi fungsi kognisi dan afeksinya
masih berjalan dengan baik. Kedua yaitu skizofrenia hebefrenik yang penderitanya kacau dalam berbicara
dan bertindak (inappropriate). Ketiga yaitu skizofrenia katatonik yang penderitanya mengalami kegiatan
motorik secara berlebihan, tidak terkendali, dan masih banyak lagi . Skizofrenia kemudian
dinilai sebagai sebuah permasalahan negatif atau penyakit yang harus disembuhkan. Fenomena ini dapat
diamati melalui media film yang menampilkan bagaimana penderita skizofrenia menjalani kehidupannya.
Salah satunya yaitu film Joker yang dirilis pada 2019.
Film Joker yang berdurasi 122 menit dan disutradarai oleh Thodd Phillips itu menjadi film terlaris
sepanjang 2019. Joker ditayangkan perdana di 39 negara, di antaranya Inggris, Rusia, Italia, Spanyol,
Polandia, Uni Emirat Arab, Jepang, Korea, Indonesia, Brasil, Meksiko, dan Australia. Joker juga menjadi film
produksi Warner yang laris pada penayangan akhir pekan pertama di kawasan Eropa dan Amerika Latin. Di
Indonesia, film Joker ditonton oleh 3,5 juta orang dan meraih pendapatan 6,1 juta dolar AS. Film ini bahkan
menempati peringkat tertinggi dari semua film terlaris garapan Warner Bros. Selain itu, film Joker juga meraih
banyak penghargaan bergengsi, di antaranya piala Oscar, dan berhasil meraih sebelas nominasi. Film yang
diangkat dari DC komik ini telah masuk nominasi untuk kategori best actor bagi Joaquin, best director,
dan best picture, serta masuk nominasi deretan penghargaan lainnya (Pangeran 2019). Film yang memiliki
kategori R atau Dewasa ini menampilkan berbagai adegan kegilaan, kekerasan, dan pembunuhan. Film
yang dibintangi Joaquin Phoenix sebagai Joker-penjahat DC Comics ini menceritakan asal-usul karakter itu
dan menunjukkan kemarahannya sebagai pembunuh yang tumbuh dari isolasi dan penolakan yang kuat.
Beberapa penonton telah meyakini bahwa film itu yaitu bentuk kritik terhadap isu-isu sosial. Karakter Joker
dalam film The Dark Knight (2008) diperankan oleh Heath Ledger dianggap menampilkan sosok Joker yang
diidealkan sebagai tokoh yang gila dan tidak terkontrol. Hal itu yang kemudian dianggap sebagai gejala
kegilaan atau skizofrenia yang direalisasikan melalui film.
Secara konseptual istilah skizofrenia yang digunakan dalam psikologi dan biomedis berbeda dengan istilah
yang sama yang digunakan dalam skizoanalisis. Konsep skizoanalisis dikembangkan oleh Gilles Deleuze
dan Fellix Guattari yang merupakan tokoh posmodernisme sekaligus poststrukturalisme. Deleuze and
Guattari dikenal sebagai pemikir asal Prancis yang berpengaruh dalam bidang kritik psikoanalisis (Wiley
dan Wise 2018). Salah satu gagasan Deleuze dan Guattari hadir sebagai kritik terhadap psikoanalisis yang
dipopulerkan oleh Sigmund Freud dan Jaques Lacan, khususnya mengenai Oedipus-Complex. Kritik mereka
terhadap gagasan psikoanalisis dari Freud dan Lacan terdapat dalam buku yang mereka tulis, yaitu Anti-
Oedipus: Capitalism and Schizoprenia (1972) dan A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizoprenia (1987).
Deleuze lahir di Prancis pada 1925. Ia berkolaborasi dengan Felix Guattari yang dikenal sebagai aktivis
politis dan psikiatris. Guattari juga lahir di Prancis pada 1930. Kedua pemikir ini secara tajam mereformulasi
konsep hasrat sebagai entitas yang bebas, berlawanan dengan gagasan psikoanalisis yang membelenggu
hasrat ke dalam struktur sosial. Deleuze dan Guattari dipengaruhi oleh pemikir besar terdahulu, seperti
Spinoza, Nietzsche, dan Karl Marx (Indriani 2018, 13). Dalam perspektif kajian budaya dan media, fenomena
skizofrenia bukan sesuatu yang netral, alamiah, atau taken for granted, tetapi sebagai bentuk konstruksi
sosio-kultural.
Dari perspektif skizoanalisis tersebut, subjek yang mengalami kegilaan memiliki kekuatan yang dapat
mengganggu kekuatan kapitalisme. Subjek ini berpotensi melepaskan hasratnya dan tidak tunduk pada
sistem nilai atau norma sosial yang berlaku. Secara radikal, subjek skizo lahir berkat mesin hasrat yang
produktif. Mesin hasrat yang kaotis dan liar itu mengarah pada dinamika perubahan melalui “revolusi hasrat”.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, pertanyaan peneliti yaitu Bagaimana Skizofrenia
ditunjukkan dalam film Joker? Tujuan penelitian ini yaitu untuk melihat bagaimana szikofrenia tokoh utama
dalam film Joker memakai perspektif skizoanalisis Gilles Deleuze dan Fellix Guattari. Studi ini didasarkan
pada argumen bahwa skizofrenia dalam film Joker (2019) bukanlah gejala medis yang diinterpretasikan
secara negatif sebagai sebuah gangguan mental, melainkan sebagai entitas produktif yang menunjukkan
dinamika perlawanan terhadap sistem kapitalis dengan menguraikan kode-kode sosial yang telah mapan.
Studi ini bertujuan untuk menafsirkan “skizofrenia” melalui pendekatan yang berbeda.
Skizofrenia bagi Deleuze dan Guattari, dianggap sebagai konstruksi sosial, bukan sebagai fenomena
gangguan kesehatan (Doubt 1992). Paradigma psikoanalisis dan skizoanalisis memiliki sudut pandang
yang berbeda dalam memahami konsep hasrat (Muhsyanur 2018). Melalui skizoanalisis, pemikiran
Deleuze dan Guattari me-rekonfigurasi konsep hasrat menurut psikoanalisis Freud dan Lacan ke dalam
tiga konsep besar, yakni hasrat, produksi, dan mesin (Sarup 2003, 162). Konsep hasrat telah dominan
dalam gagasan psikoanalisis Sigmund Freud; konsep “produksi” terkait dengan gagasan Marx dalam
kritiknya tentang kapitalisme; sedangkan “mesin” dipahami oleh Guattari di dalam tatanan ketidaksadaran
skizofrenia. Singkatnya, skizofrenia dalam perspektif skizoanalisis tidak hanya berada dalam tatanan
individu melainkan produksi sosial (Deleuze dan Guattari 1972, 35). Guattari memakai istilah mesin
untuk membedakannya dengan paradigma psikoanalisis Lacanian. Sebuah buku berjudul Anti-Oedipus:
Capitalism and Schizophrenia menguraikan masalah politik dan kritik terhadap psikoanalisis. Isu politik
menjelma menjadi ranah individu dan sosial sehingga tidak bisa dibedakan. Skizoanalisis melihat bahwa
hasrat tidak berarti “kekurangan” (lack) yang perlu untuk ditekan. Bukan juga sebagai lubang, atau gap,
melainkan hasrat sebagai mesin yang produktif (desiring-machine). Hasrat menghasilkan energi perubahan
yang tidak terduga dalam kemanusiaan dan sejarah (Tuck 2010). Jadi, yang ada hanyalah hasrat dan sosial;
tidak ada yang lain. Ini yaitu kritik terhadap imperialisme oedipalisasi dalam psikoanalisis dan studi tentang
kapitalisme dalam kaitannya dengan skizofrenia memiliki kecenderungan untuk memecah dan menguraikan
kembali ‘kode-kode yang mapan’ melalui proses ‘decoding’ atau ‘deterritorialization’ (Yan 2020).
Pemaparan hasrat dalam perspektif skizoanalisis diawali dengan kritik terhadap tradisi psikoanalisis
yang menyatakan bahwa hasrat dianggap sebagai entitas yang perlu untuk diredam karena bersifat negatif.
Hal ini bekerja dalam logika oedipalisasi di mana seorang anak menginginkan tubuh ibunya untuk menemukan
keutuhan aslinya. Hasrat tersebut tabu dan harus ditekan. Ibu selamanya diinginkan sebagai objek cinta dan
kehidupan. Ayah melarang akses (seksual/posesif) kepada ibu sehingga muncul perasaan yang tidak utuh
dari ikatan psikologis itu (Michelsen 2009). Sebaliknya, Deleuze dan Guattari (2000, 2) tidak menganggap
hasrat sebagai logika kekurangan (lack) objek, tetapi sebagai subjek yang direpresi. Hasrat dalam gagasan
psikoanalisis mengacu pada gaya oedipal yang selalu mencari pelarian dan pelampiasan atas kekurangan
(lack of being). Argumen tersebut menjadi tidak relevan sebab hasrat seolah mencari substitusi karena
merasa kurang. Sebaliknya, dalam perspektif Deleuze dan Guattari, hasrat yaitu kekuatan kreatif yang
menciptakan realitas
Objek kajian skizoanalisis yaitu mesin hasrat. Mesin hasrat dapat dipahami sebagai rangkaian yang tidak
mempunyai tujuan. Rangkaian mesin ini dapat dibentuk atau membentuk, dipasang atau dibongkar sesuai
dengan fungsi dan tujuannya. Artinya mesin hasrat bersifat dinamis untuk dapat terhubung dengan mesin-
mesin lain, membentuk rangkaian baru (Deleuze dan Guattari 2000, 25). Konsep yang memosisikan hasrat
sebagai mesin, dalam pemikiran Deleuze dan Guattari, beroposisi dengan gagasan hasrat yang ditawarkan
psikoanalisis ke dalam trikotomi “Rezim Oedipus” antara ayah, ibu, dan aku. Bagi Freud, dorongan hasrat
dianggap negatif dan diredam oleh ego. Konsep dasar ini kemudian dilanjutkan oleh aliran lacanian sebagai
sebuah kekurangan dan munculnya misrekognisi yang menjelaskan kesulitan seseorang untuk menjadi
subjek yang utuh karena konstruksi oedipal yang menekannya. Lacan merumuskan teori fase real, imajiner,
fase simbolis secara berurutan
Tradisi psikoanalisis, bagi Sigmund Freud, secara umum melihat esensi hasrat sebagai dorongan
libido seksual. Pembacaan psikoanalisis ini sering kali digunakan untuk mendeterminasi para pasien dan
hubungannya dengan warga Dalam teori dan praktiknya, rezim
psikoanalisis meletakkan hasrat dalam logika Oedipus Complex. Gagasan itu, menurut Deleuze dan Guatari,
telah menghadirkan setidaknya tiga persoalan. Pertama, model Oedipus Complex dianggap secara umum
berimplikasi pada penafsiran yang telah terprediksi sebelumnya, alih-alih melihat berbagai macam persoalan
dengan konteks tersendiri. Persoalan kedua yaitu adanya distorsi dan penjelasan yang reduktif berdasarkan
pengalaman pasien yang berbeda-beda. Ketiga, konsep Oedipus Complex dalam pembacaan psikoanalisis
berada dalam kerangka patriarki dan bias gender ,Skizoanalisis melihat hasrat secara
produktif sebagai sebuah mesin yang saling terhubung. Singkatnya, mesin-mesin yang saling terhubung
secara kompleks memproduksi dan mereproduksi realitas yang digerakkan oleh hasrat sebagai kekuatan
atau force. Mesin hasrat yang kaotis dan liar itu mengarah pada dinamika perubahan sosial “revolusi hasrat”.
Di titik inilah hadir gagasan deteritorialisasi sebagai gerak perubahan sosial, yaitu kondisi ketika subjek
berupaya mengeksplorasi berbagai hal baru dan menciptakan realitas. Gerak perubahan deteritorialisasi
ini secara aktif menhasilkan sandi mutlak yang dibangun oleh konstruksi sosial. Mekanisme dekodefikasi
itu sama dengan cara kapitalisme mendeteritorialisasi hampir segala hal. Apa saja diperbolehkan dan
mengalir secara bebas. Bagi Deleuze dan Guattari, kapitalisme memiliki fungsi yang sama dengan hasrat
skizo yang terus-menerus menguraikan kode-kode secara terus-menerus
Bagi Deleuze dan Guattari, hasrat individu memproduksi alirannya secara sosial. Aliran hasrat yang disebut
undifferentiated (tidak dapat dilacak) memiliki dua sifat: skizofrenik (bergerak tanpa arah dan tidak terkontrol)
dan revolusioner (selalu aktif untuk menghancurkan tatanan yang mapan) dengan
demikian, mesin hasrat dapat dikatakan bekerja secara individual sekaligus sosial.
Studi terdahulu mengenai film Joker (2019) telah dilakukan dengan pembacaan tekstual. Nofiawati (2020)
menunjukkan bagaimana Joker direpresentasikan sebagai sosok yang mengalami gangguan mental secara
medis. Hal itu diakibatkan oleh kondisi sosial yang tidak mendukung. Studi itu kemudian mengarah pada
bentuk kriminalitas. Studi Grant (2020) juga menjelaskan kejahatan yang dilakukan oleh tokoh Joker dengan
melakukan pembunuhan. Hal itu dilihat melalui kial tubuh, dialog, dan ekspresi wajah, sedangkan Syavera
(2020) lebih berfokus pada perundungan dan dampaknya pada tokoh utama. Dapat dikatakan bahwa studi
terdahulu memiliki persamaan dalam melihat tokoh Joker sebagai subjek yang jahat akibat ketidakadilan.
Studi yang dilakukan oleh Permatasari (2020) sedikit berbeda. Ia menunjukkan bahwa Arthur Fleck memiliki
karakter yang dinamis. Meskipun direpresentasikan sebagai pembunuh yang tidak berperasaan, ia memiliki
sisi altruistik yang secara khusus terungkap dalam beberapa aspek tertentu.
Studi-studi tersebut menginterpretasikan tindakan tokoh utama dalam logika oposisi biner, yakni
menempatkannya dalam tindakan baik dan buruk sehingga terjebak dengan paradigma esensialisme, alih-
alih melihatnya sebagai hasil dari konstruksi sosial. Lebih lanjut, studi-studi itu belum menjelaskan di tataran
hasrat dan ranah ketidaksadaran, juga mengabaikan dinamika perlawanan subjek di dalamnya: mengapa dan
bagaimana Arthur Fleck menjadi sosok Joker yang berusaha mendobrak sistem nilai/norma yang berlaku.
Studi tentang skizofrenia dalam film juga dilakukan oleh Yang Fangfang (2020), ia menunjukkan
bagaimana film Hollywood, Fight Club (1999) mengandung makna kritis terhadap gaya hidup dan budaya
konsumsi yang diciptakan oleh sistem kapitalis. Tokoh utama yang memiliki kepribadian ganda itu
memosisikan dirinya dalam situasi tunduk pada nilai dan norma atau membebaskan hasratnya dengan cara
berkelahi dan melalui aksi terorisme. Dua karakter dalam satu tubuh itu yaitu tokoh Jack dan Tyler. Tubuh
dalam analisis skizofrenia selalu menjadi posisi penting untuk persaingan ideologis. Fight Club memberikan
contoh yang relevan ketika tubuh secara langsung berpartisipasi dalam proses teritorialisasi-deteritorilisasi-
reteritorialisasi dalam gerak perubahan.
Juga dapat ditemukan penelitian tentang skizofrenia dalam berbagai media, seperti film, novel, dan
musik. Muhsyanur (2018) dalam artikelnya yang membahas hasrat dalam tokoh utama novel Memburu
Matahari (2003) membagi dua jenis keinginan, yaitu keinginan paranoid dan skizofrenia. Hasrat jenis
paranoia dibentuk berdasarkan sistem nilai, norma, tradisi dan kepercayaan, dan aspek keturunan.
Keinginan penderita skizofrenia meliputi tataran psikologis individual dan sosial yang lebih makro. Studi itu
mengungkapkan kedua jenis hasrat, yakni paranoia dan skizo, dalam bingkai skizoanalisis menurut Deleuze
dan Guattari.
Selain itu, pembacaan skizoanalisis juga dapat dilihat dalam musik M.I.A rapper Inggris, sekaligus
penulis lagu, yang dapat dibaca sebagai mode gerakan diferensial yang progresif secara politis. Politik
oposisi dan gerakan sosial yang berbeda itu ditandai dengan interupsi pada sistem sosial yang ada dengan
melakukan repolitisasi. Proses repolitisasi mempertemukan kelindan antara subjek dunia pertama dan dunia
ketiga (Durham 2020).
Lebih lanjut, Kharis, Rosyidah, dan Retnantiti (2020) menganalisis hasrat dalam cerita pendek “Ein
Tisch ist ein Tisch” yang ditulis oleh Peter Bichse menunjukkan bagaimana hasrat dibentuk oleh bahasa,
yakni kata, frasa, dan kalimat. Tokoh utama yang menerima tekanan terus-menerus dari warga berujung
pada munculnya kondisi paranoid, yaitu keinginan yang terbentuk karena tekanan sistem atau kode sosial.
Tokoh utama kemudian berupaya keluar dari kondisi itu dengan mewujudkan bahasa baru. Pada akhirnya,
tokoh utama, Der Mann, dapat memakai kosakata baru pada level frasa dan kalimat sebagai bentuk
perlawanannya. Namun, bahasa yang dia ciptakan sendiri tidak dapat diterima di warga .
Pada bagian kedua penelitian kualitatif ini, akan dielaborasi metode yang digunakan, yaitu metode deskriptif
interpretatif yang dikombinasikan dengan pemikiran skizoanalisis Gilles Deleuze dan Fellix Guattari. Objek
penelitian ini yaitu film Joker yang dirilis pada 2019. Penelitian ini memakai dua sumber data yang
berbeda, yakni sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer didapatkan dari rangkaian adegan
tokoh utama yang ada dalam film Joker (2019), sedangkan data sekunder didapatkan dari buku, jurnal,
dan internet. Penelitian ini memakai teknik pengumpulan data, yakni dokumentasi melalui screenshot
adegan yang relevan untuk menjawab pertanyaan peneliti. Objek yang dianalisis yaitu tayangan film yang
dibagi ke dalam adegan-adegan yang menunjukkan kriteria subjek skizofrenik secara berurutan. Dalam
setiap adegan itu kemudian dianalisis bentuk-bentuk skizofrenia yang ditampilkan oleh tokoh utama Joker
melalui visualisasi dan adegan yang representatif.
Paradigma postpositivisme dan postmodernisme dalam penelitian ini memberikan dasar bagi pemikiran
kajian budaya dan media untuk mengambil posisi yang berbeda dengan aturan keilmiahan konvensional,
231Rino Andreas, Skizofrenia dalam Film Joker (2019): Skizoanalisis Perspektif Deleuze dan Guattari
yakni bersifat multidisiplin yang menafsirkan realitas memakai berbagai sudut pandang politik, ekonomi,
psikologi, dan sosio-kultural. Selain itu, secara ontologis, juga akan dilakukan dekonstruksi aturan dan
pendikotomian antara pengetahuan yang objektif dan subjektif. Lebih jauh, kajian budaya juga mengakui
bahwa konstruksi pengetahuan bukan sesuatu yang netral dan bebas nilai melainkan berupaya mengubah
struktur dominasi dan menggugat kebenaran tunggal ,Oleh karena itu, kajian budaya dan media
mengambil peran dalam menunjukkan konstruksi teks media, yang di dalamnya tertanam suatu ideologi
sehingga melahirkan posisi subjek yang melawan subordinasi
“Put on a happy face…”
Film Joker (2019) mengisahkan Arthur Fleck, yang tinggal di kota Gotham. Ia berprofesi badut dalam
sebuah agensi yang bernama Haha’s. Dalam film digambarkan bagaimana kehidupan Arthur Fleck yang
penuh dengan persoalan dan konflik yang membangun karakter tokoh utama; dan hal itu beriringan dengan
kondisi sosial yang tidak mendukungnya, mulai dari ancaman hama tikus, tumpukan sampah di sekitar
tempat tinggalnya, perundungan, hingga kondisi kesehatan mental yang diderita oleh Arthur sendiri. Kondisi
itu mengharuskannya rutin untuk berkonsultasi dengan psikiater dan meminum obat karena ia memiliki
gangguan secara spontan tertawa sendiri meskipun tidak ada hal yang lucu. Di satu sisi, Arthur juga berjuang
seorang diri untuk merawat ibunya di sebuah apartemen tua. Di tengah kondisi itu, ia sendiri sebetulnya
menyimpan sebuah keinginan untuk menjadi seorang komedian yang ternama.
Suatu ketika Arthur yang tengah bekerja sebagai badut dan membawa papan iklan diganggu oleh
segerombolan anak jalanan yang kemudian memukulinya di lorong hingga terluka. Karena kejadian itu,
seorang rekan Arthur meminjaminya sepucuk senjata untuk melindungi diri dari tindakan perundungan.
Namun, lagi-lagi, ketika membawa senjata ke rumah sakit anak-anak, ia tidak sengaja membuat kesalahan
kecil yang membuat dia dipecat.
Kondisi tersebut membuat Arthur semakin depresi dan bersamaan dengan itu ia mendapati bahwa
kantor pelayanan sosial psikiatris tempat ia biasa memeriksakan diri telah ditutup. Dalam perjalanan pulang
memakai kereta bawah tanah, Arthur dirundung oleh pemuda yang bekerja di Wall Street. Dalam kondisi
kacau dan panik, ia kemudian menembaknya hingga mati.
Pembunuhan yang telah dilakukan Arthur kemudian menginspirasi para pengunjuk rasa yang ada
di Gotham City melalui ajakan kill the rich dengan memakai topeng badut. Pada saat yang sama, Arthur
berupaya tampil di suatu pentas lawakan tunggal (stand up comedy). Namun, penampilan Arthur dianggap
sangat memalukan karena ia tidak dapat mengendalikan sindrom tertawanya di atas panggung. Bahkan,
kemudian kejadian itu menjadi bahan ejekan dalam acara pertunjukan TV yang dibawakan oleh Murray
Franklin. Meskipun kecewa, Arthur tetap bekerja demi mengurus ibunya. Namun, seiring dengan waktu,
Arthur mulai menyadari bahwa ia hidup dalam realitas yang dipenuhi dengan ketidakadilan. Pada gilirannya
ia tidak lagi peduli akan lingkungan yang menindasnya dan melihat realitas dengan cara yang sama sekali
berbeda.
Film ini menyuguhkan beragam adegan yang merepresentasikan sistem sosial yang tidak mendukung
Arthur dan potret ketimpangan warga Gotham yang situasinya tidak kondusif. Konflik ini juga disertai
dengan kondisi kesehatan mental Arthur yang tidak stabil sehingga menjadi subjek yang berusaha membuang
nilai dan norma yang berlaku dalam kehidupannya.
Film ini juga merepresentasikan perubahan yang dinamis tokoh utama dari perkembangan psikoanalisis
menuju skizoanalisis Deleuze Guattari. Menurut Freud, nafsu atau libido ditekan oleh sistem sosial
Dia berkata, “... di mana Id berada, di sana akan ada Ego”. Sebagai akibatnya, semua operasi pikiran
secara konseptual dikaitkan dengan Ego (Freud 1973). Ego ini berfungsi untuk mengatur serta memenjarakan
Id (insting bawah sadar) untuk menekan semua keinginan. Ego itu didukung oleh Superego yang merupakan
internalisasi sistem, nilai, norma, kepercayaan yang dibatinkan oleh subjek melalui kondisi sosio-kultural
Hal itu dapat ditemukan dalam adegan pada tokoh Arthur Fleck yang menghadirkan kemarahan
ketika mendapatkan pengalaman yang tidak menyenangkan, seperti adegan ketika anak-anak mencuri papan
iklannya atau dimarahi oleh atasannya, ia tetap tunduk dan tidak dapat melakukan perlawanan.
Dalam perkembangan psikoanalisis ala Lacan, hasrat yang telah direpresi disalurkan ke dalam tatanan
simbolis, baik itu melalui gerakan tubuh, kial, dan bahasa. Hal itu sejalan dengan gagasan Lacan yang menyatakan
bahwa hasrat yang dipendam pada gilirannya mengalami bentuk mekanisme sublimasi atau penyaluran. Objek
penyaluran hasrat inilah yang diwujudkan secara simbolis dalam upaya untuk mencapai jouissance atau
kenikmatan. Dalam konteks film Joker (2019) ini ditunjukkan dalam adegan yang memperlihatkan Arthur yang
dengan bebasnya menari, menyalurkan hasrat yang selama ini ia pendam. Dalam kondisi itu, Arthur sedang
melakukan proses sublimasi dari Id menuju gerakan yang tidak terkendali dan bebas.
Arthur Fleck mengalami kondisi teroedipal yang ditunjukkan dari adegan ketika ia mulai berkhayal
menjadi seorang bintang komedi, menjalin hubungan dengan perempuan kulit hitam yang dicintainya, dan
diundang dalam acara TV Murray Franklin Show. Dapat dikatakan bahwa apa yang membuat Arthur bertahan
yaitu menyalurkan hasrat yang tidak terwujud ke dalam fantasi. Fantasi yang dirasakan oleh Arthur sama
ketika ia merasa terpuaskan yang merujuk pada istilah “phallus”, yaitu suatu entitas tanpa kekurangan, utuh,
dan menjadi sentral dan lengkap
Dalam perkembangan terakhir skizofrenia aktif bagi Gilles Deleuze dan Felix Guattari, tampak semakin
jelas. Pembacaan skizoanalisis bertolak belakang dengan apa yang ditawarkan oleh psikoanalisis Freud dan
Lacan yang cenderung meredam hasrat atau menyalurkannya di tatanan simbolis. Sebaliknya, pembacaan
skizoanalisis mencoba untuk melepaskan dan mendorong hasrat subjek untuk larut dan menikmati kegilaan dan
kebebasan total mereka. Dengan demikian lahirlah “subjek skizofrenia” yang siap menjadi antitesis dari sistem
Oedipus yang menjadi gambaran kapitalisme di kota Gotham. Hal itu terlihat dari karakter
Arthur Fleck yang menjadi Joker dan berupaya membuang nilai dan norma sosial yang mengatur hidupnya.
Dia mulai keluar dari wilayah yang mengatur hasratnya dan secara radikal membunuh ibunya, menembak mati
temannya (komedian Murray Franklin), dan membunuh seorang perawat rumah sakit jiwa. Secara eksplisit,
adegan itu menunjukkan bagaimana hasrat telah dibebaskan dari belenggu dan karakter penderita skizofrenia
mulai menghancurkan sistem atau tatanan yang lebih besar sebagai subjek aktif.
Joker sebagai Subjek Skizo
Apa yang dilakukan Joker dapat dilihat sebagai praktik yang mengancam stabilitas sistem kapitalis melalui
bentuk ejekan. Meskipun demikian, Joker memahami bahwa upaya melawan kode sosial yang mapan itu
tidaklah mudah, yakni memerlukan suatu tindakan, melampaui bahasa yang telah ditanamkan oleh model
Oedipus sehingga ia melakukan tindakan yang dianggap sebagai kegilaan di luar akal sehat.
Joker sebelumnya yaitu teroedipal, kemudian membentuk sistem ide dengan versinya sendiri. Karakter
dan pesan simbolis merepresentasikan bagaimana Joker telah mencapai titik di mana ia melampaui kegilaan
yang dihasilkan oleh adanya represi sosial. Ia merekonfigurasi kode Oedipus yang mapan sebagaimana
ditawarkan oleh Deleuze dan Guattari, yaitu bahwa esensi hasrat merupakan keinginan yang bebas, produktif,
dan sama sekali tidak terikat oleh sistem nilai dan norma , Lebih lanjut,
berbagai adegan yang ditampilkan Joker menunjukkan bagaimana pendekatan skizoanalisis bekerja melihat
mesin hasrat dibiarkan mengalir dan larut dengan kegilaan yang dibuatnya. Mesin hasrat yang energinya tidak
terbendung menciptakan kegilaan yang mulai mendelegitimasi ide-ide Oedipus kemudian membangun dengan
caranya sendiri untuk melawannya. Ini dapat dilihat sebagai manifestasi perlawanan terhadap “father’s law”,
suatu bentuk pengkhianatan terhadap Oedipus yang pada awalnya mengasuh dan melindunginya.
Joker secara aktif telah mendekontruksi realitas di luar tatanan nilai dan norma yang berlaku, tepatnya
sesuai dengan hasratnya. Joker melepaskan hasrat yang ada dalam dirinya yang dapat dibaca dalam berbagai
praktik yang dilakukannya. Pada akhirnya, aliran hasrat seorang Joker pun memiliki energinya sendiri. Ia terlepas
dari perangkap Oedipus yang terus-menerus menekannya, baik itu secara individual maupun sosial. Dengan
kata lain, Joker telah meninggalkan wilayah hasrat yang sebelumnya masih tunduk pada nilai dan norma yang
ada di Kota Gotham. Hal itu sejalan dengan konsep skizoanalisis yang disebut proses deteritorialisasi, yakni
upaya gerak untuk melepaskan diri dari wilayah kekuasaan yang mengatur dan mengontrol tubuh subjek.
Gerakan deteritorialisasi ini juga akan diikuti dengan penjinakan kembali melalui reteritorialisasi, yakni upaya
mengembalikan hasrat yang lepas ke dalam teritori kapitalisme Hasil dari mesin
hasrat pada akhirnya menghadirkan sosok Joker yang sepenuhnya menjadi tubuh tanpa organ (body without
organs). Tubuh tanpa organ yaitu kondisi subjek tanpa teritori yang dapat berubah, bertransformasi, lepas dari
kode sosial ,Dengan demikian, body without organs dapat diartikan sebagai tubuh
yang mengalami proses deteritorialisasi secara terus-menerus sesudah diri dapat lepas dari nilai dan norma
yang dominan melalui gerak perubahan yang tidak terbatas.
Dengan kata lain, pembacaan skizoanalisis yang digagas oleh Deleuze dan Guattari ingin mendorong
subjek untuk menikmati kegilaan dalam diri dan sosio-kultural warga kapitalis. Adanya kontradiksi
internal yang dibuat oleh sistem kapitalis telah menciptakan subjek skizo yang ditampilkan melalui tokoh
utama Joker sebagai subjek yang subversif dan revolusioner melawan kekuasaan yang mapan. Film Joker
(2019) merepresentasikan perjalanan Arthur Fleck menjadi Joker yang berhasil keluar dari model Oedipus
ala psikoanalisis. Bahkan, upaya melepaskan hasrat pada tatanan individual itu menghasilkan gerakan yang
lebih luas, spontan, kreatif, dan tidak terencana. Aliran energi para pendemo yang sifatnya liar dan tidak
terduga mewujud dalam tindakan radikal sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni kapitalisme di kota
Gotham.
Film Joker 2019 menampilkan tokoh utama sebagai subjek skizofrenia aktif. Joker berhasil membangun
ide dengan caranya sendiri sesuai dengan keinginannya. Joker membiarkan hasratnya bebas berkeliaran
melalui praktik yang dihadirkan sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang mapan di Gotham City.
Kegilaan ini dimainkan oleh Arthur Fleck yang menentang nilai dan norma sosial. Joker yang sebelumnya
hanya membayangkan dan mempertanyakannya, pada kesempatan tertentu menghancurkan sistem atau
tatanan yang lebih besar. Pada akhirnya Joker memiliki aliran energinya sendiri dan tidak lagi mengandalkan
energi Oedipus. Dia berhasil keluar dari hasrat yang menekannya dalam kerangka sistem kapitalis lanjut.
Perspektif Deleuze dan Guattari dapat digunakan untuk menjembatani studi tentang skizoanalisis kritis
sebagai kerangka kerja reflektif. Hasrat penderita skizofrenia pada tingkat individual berpotensi merusak
formasi sosial secara luas.
Kajian ini berpotensi untuk dilanjutkan dengan objek dari berbagai media teks seperti iklan, film, novel,
video game dan kajian virtual di internet sehingga diharapkan analisis hasil yang lebih komprehensif dan
mendalam. Dengan demikian, penulis merekomendasikan kontribusi untuk penelitian selanjutnya.