Rabu, 12 Februari 2025

Skizofrenia dalam Film Joker




Skizofrenia dalam dunia medis dan psikologis secara umum dianggap sebagai gangguan 

psikotik berat yang mengakibatkan penderitanya mengalami halusinasi dan tingkah laku 

yang kacau. Namun, sebaliknya, paradigma skizoanalisis melihat bahwa skizofrenia 

merupakan sistem pemikiran yang menentang  diskursus sistem Oedipus yang telah 

mapan. Skizofrenia dapat diamati di berbagai media, salah satunya dalam film Joker yang 

dirilis pada 2019. Penelitian ini bertujuan untuk melihat secara reflektif skizofrenia tokoh 

utama Joker dari perspektif skizoanalisis yang dipopulerkan oleh Gilles Deleuze dan Fellix 

Guattari. Penelitian kualitatif ini memakai  metode deskriptif interpretatif, dengan 

kacamata pemikiran psikoanalisis menuju skizoanalisis. Hasilnya, Joker sebagai subjek 

skizofrenik berhasil merekonstruksi ulang ide dan gagasan dengan membiarkan hasrat 

bebas melakukan berbagai tindakan dengan menentang sistem yang mapan di Gotham 

City. Kegilaan ini ditampilkan oleh Arthur Fleck sebagai tokoh utama yang mencoba keluar 

dari teritori nilai serta norma sosial. Pada awalnya, ia hanya berkhayal mempertanyakan 

realitas yang tidak adil, tetapi pada akhirnya ia menghancurkan sistem atau tatanan itu. 

Joker, sebagai subjek progresif dan revolusioner secara jelas mendekonstruksi sistem 

Oedipus. Lebih jauh, skizofrenia memunculkan potensi  gerakan yang lebih luas, kaotis, 

tidak terduga, dan di luar kendali. Hasrat yang tidak terbendung sebagai suatu energi 

inilah yang membuat para demonstran bertarung melawan kapitalisme.


Skizofrenia, dalam dunia psikologis dan biomedis didefinisikan secara negatif sebagai gangguan mental 

dan halusinasi. Skizofrenia yaitu  gangguan psikotik pada manusia yang bercirikan gangguan kesadaran, 

gangguan berpikir, autisme dan seolah dikendalikan oleh kekuatan dari luar diri penderitanya. Sebagai 

kondisi yang “abnormal”, gejala skizofrenia dapat hadir padai usia remaja hingga dewasa, dan hampir 1% 

penduduk di dunia pernah mengalaminya. Bahkan laki-laki dianggap lebih berpeluang mengalami gangguan 

mental ini dibandingkan perempuan. Di Indonesia, data menunjukkan bahwa sekitar 70% orang yang masuk 

dalam perawatan psikiatri masuk dalam kategori skizofrenia ,

Berdasarkan variabel klinis ICD-10, ada berbagai jenis skizofrenia yang telah dikenali. Pertama yaitu  

skizofrenia paranoid yang penderitanya sering mengalami halusinasi, tetapi fungsi kognisi dan afeksinya 

masih berjalan dengan baik. Kedua yaitu  skizofrenia hebefrenik yang penderitanya kacau dalam berbicara 

dan bertindak (inappropriate). Ketiga yaitu  skizofrenia katatonik yang penderitanya mengalami kegiatan 

motorik secara berlebihan, tidak terkendali, dan masih banyak lagi . Skizofrenia kemudian 

dinilai sebagai sebuah permasalahan negatif atau penyakit yang harus disembuhkan. Fenomena ini dapat 

diamati melalui media film yang menampilkan bagaimana penderita skizofrenia menjalani kehidupannya. 

Salah satunya yaitu  film Joker yang dirilis pada  2019.

Film Joker yang berdurasi 122 menit dan disutradarai oleh Thodd Phillips itu menjadi film terlaris 

sepanjang 2019. Joker ditayangkan perdana di 39 negara, di antaranya Inggris, Rusia, Italia, Spanyol, 

Polandia, Uni Emirat Arab, Jepang, Korea, Indonesia, Brasil, Meksiko, dan Australia. Joker juga menjadi film 

produksi Warner yang laris pada penayangan akhir pekan pertama di kawasan Eropa dan Amerika Latin. Di 

Indonesia, film Joker ditonton oleh 3,5 juta orang dan meraih pendapatan 6,1 juta dolar AS. Film ini bahkan 

menempati peringkat tertinggi dari semua film terlaris garapan Warner Bros. Selain itu, film Joker juga meraih 

banyak penghargaan bergengsi, di antaranya piala Oscar, dan berhasil meraih sebelas nominasi. Film yang 

diangkat dari DC komik ini telah masuk nominasi untuk kategori best actor bagi Joaquin, best director, 

dan best picture, serta masuk nominasi deretan penghargaan lainnya (Pangeran 2019). Film yang memiliki 

kategori R atau Dewasa ini menampilkan berbagai adegan kegilaan, kekerasan, dan pembunuhan. Film 

yang dibintangi Joaquin Phoenix sebagai Joker-penjahat DC Comics ini menceritakan asal-usul karakter itu 

dan menunjukkan kemarahannya sebagai pembunuh yang tumbuh dari isolasi dan penolakan yang kuat. 

Beberapa penonton telah meyakini bahwa film itu yaitu  bentuk kritik terhadap isu-isu sosial. Karakter Joker 

dalam film The Dark Knight (2008) diperankan oleh Heath Ledger dianggap menampilkan sosok Joker yang 

diidealkan sebagai tokoh yang gila dan tidak terkontrol. Hal itu yang kemudian dianggap sebagai gejala 

kegilaan atau skizofrenia yang direalisasikan melalui film.

Secara konseptual istilah skizofrenia yang digunakan dalam psikologi dan biomedis berbeda dengan istilah 

yang sama yang digunakan dalam skizoanalisis. Konsep skizoanalisis dikembangkan oleh Gilles Deleuze 

dan Fellix Guattari yang merupakan tokoh posmodernisme sekaligus poststrukturalisme. Deleuze and 

Guattari dikenal sebagai pemikir asal Prancis yang berpengaruh dalam bidang kritik psikoanalisis (Wiley 

dan Wise 2018). Salah satu gagasan Deleuze dan Guattari hadir sebagai kritik terhadap psikoanalisis yang 

dipopulerkan oleh Sigmund Freud dan Jaques Lacan, khususnya mengenai Oedipus-Complex. Kritik mereka 

terhadap gagasan psikoanalisis dari Freud dan Lacan terdapat dalam buku yang mereka tulis, yaitu Anti-

Oedipus: Capitalism and Schizoprenia (1972) dan A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizoprenia (1987). 

Deleuze lahir di Prancis pada 1925. Ia berkolaborasi dengan Felix Guattari yang dikenal sebagai aktivis 

politis dan psikiatris. Guattari juga lahir di Prancis pada 1930. Kedua pemikir ini secara tajam mereformulasi 

konsep hasrat sebagai entitas yang bebas, berlawanan dengan gagasan psikoanalisis yang membelenggu 

hasrat ke dalam struktur sosial. Deleuze dan Guattari dipengaruhi oleh pemikir besar terdahulu, seperti 

Spinoza, Nietzsche, dan Karl Marx (Indriani 2018, 13). Dalam perspektif kajian budaya dan media, fenomena 

skizofrenia bukan sesuatu yang netral, alamiah, atau taken for granted, tetapi sebagai bentuk konstruksi 

sosio-kultural.

Dari perspektif skizoanalisis tersebut, subjek yang mengalami kegilaan memiliki kekuatan yang dapat 

mengganggu kekuatan kapitalisme. Subjek ini berpotensi melepaskan hasratnya dan tidak tunduk pada 

sistem nilai atau norma sosial yang berlaku. Secara radikal, subjek skizo lahir berkat mesin hasrat yang 

produktif. Mesin hasrat yang kaotis dan liar itu mengarah pada dinamika perubahan melalui “revolusi hasrat”.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, pertanyaan peneliti yaitu  Bagaimana Skizofrenia 

ditunjukkan dalam film Joker? Tujuan penelitian ini yaitu  untuk melihat bagaimana szikofrenia tokoh utama 

dalam film Joker memakai  perspektif skizoanalisis Gilles Deleuze dan Fellix Guattari. Studi ini didasarkan 

pada argumen bahwa skizofrenia dalam film Joker (2019) bukanlah gejala medis yang diinterpretasikan 

secara negatif sebagai sebuah gangguan mental, melainkan sebagai entitas produktif yang menunjukkan 

dinamika perlawanan terhadap sistem kapitalis dengan menguraikan kode-kode sosial yang telah mapan. 

Studi ini bertujuan untuk menafsirkan “skizofrenia” melalui pendekatan yang berbeda.


Skizofrenia bagi Deleuze dan Guattari, dianggap sebagai konstruksi sosial, bukan sebagai fenomena 

gangguan kesehatan (Doubt 1992). Paradigma psikoanalisis dan skizoanalisis memiliki sudut pandang 

yang berbeda dalam memahami konsep hasrat (Muhsyanur 2018). Melalui skizoanalisis, pemikiran 

Deleuze dan Guattari me-rekonfigurasi konsep hasrat menurut psikoanalisis Freud dan Lacan ke dalam 

tiga konsep besar, yakni hasrat, produksi, dan mesin (Sarup 2003, 162). Konsep hasrat telah dominan 

dalam gagasan psikoanalisis Sigmund Freud; konsep “produksi” terkait dengan gagasan Marx dalam 

kritiknya tentang kapitalisme; sedangkan “mesin” dipahami oleh Guattari di dalam tatanan ketidaksadaran 

skizofrenia. Singkatnya, skizofrenia dalam perspektif skizoanalisis tidak hanya berada dalam tatanan 

individu melainkan produksi sosial (Deleuze dan Guattari 1972, 35). Guattari memakai  istilah mesin 

untuk membedakannya dengan paradigma psikoanalisis Lacanian. Sebuah buku berjudul Anti-Oedipus: 

Capitalism and Schizophrenia menguraikan masalah politik dan kritik terhadap psikoanalisis. Isu politik 

menjelma menjadi ranah individu dan sosial sehingga tidak bisa dibedakan. Skizoanalisis melihat bahwa 

hasrat tidak berarti “kekurangan” (lack) yang perlu untuk ditekan. Bukan juga sebagai lubang, atau gap, 

melainkan hasrat sebagai mesin yang produktif (desiring-machine). Hasrat menghasilkan energi perubahan 

yang tidak terduga dalam kemanusiaan dan sejarah (Tuck 2010). Jadi, yang ada hanyalah hasrat dan sosial; 

tidak ada yang lain. Ini yaitu  kritik terhadap imperialisme oedipalisasi dalam psikoanalisis dan studi tentang 

kapitalisme dalam kaitannya dengan skizofrenia memiliki kecenderungan untuk memecah dan menguraikan 

kembali ‘kode-kode yang mapan’ melalui proses ‘decoding’ atau ‘deterritorialization’ (Yan 2020).

Pemaparan hasrat dalam perspektif skizoanalisis diawali dengan kritik terhadap tradisi psikoanalisis 

yang menyatakan bahwa hasrat dianggap sebagai entitas yang perlu untuk diredam karena bersifat negatif. 

Hal ini bekerja dalam logika oedipalisasi di mana seorang anak menginginkan tubuh ibunya untuk menemukan 

keutuhan aslinya. Hasrat tersebut tabu dan harus ditekan. Ibu selamanya diinginkan sebagai objek cinta dan 

kehidupan. Ayah melarang akses (seksual/posesif) kepada ibu sehingga muncul perasaan yang tidak utuh 

dari ikatan psikologis itu (Michelsen 2009). Sebaliknya, Deleuze dan Guattari (2000, 2) tidak menganggap 

hasrat sebagai logika kekurangan (lack) objek, tetapi sebagai subjek yang direpresi. Hasrat dalam gagasan 

psikoanalisis mengacu pada gaya oedipal yang selalu mencari pelarian dan pelampiasan atas kekurangan 

(lack of being). Argumen tersebut menjadi tidak relevan sebab hasrat seolah mencari substitusi karena 

merasa kurang. Sebaliknya, dalam perspektif Deleuze dan Guattari, hasrat yaitu  kekuatan kreatif yang 

menciptakan realitas

Objek kajian skizoanalisis yaitu  mesin hasrat. Mesin hasrat dapat dipahami sebagai rangkaian yang tidak 

mempunyai tujuan. Rangkaian mesin ini dapat dibentuk atau membentuk, dipasang atau dibongkar sesuai 

dengan fungsi dan tujuannya. Artinya mesin hasrat bersifat dinamis untuk dapat terhubung dengan mesin-

mesin lain, membentuk rangkaian baru (Deleuze dan Guattari 2000, 25). Konsep yang memosisikan hasrat 

sebagai mesin, dalam pemikiran Deleuze dan Guattari, beroposisi dengan gagasan hasrat yang ditawarkan 

psikoanalisis ke dalam trikotomi “Rezim Oedipus” antara ayah, ibu, dan aku. Bagi Freud, dorongan hasrat 

dianggap negatif dan diredam oleh ego. Konsep dasar ini kemudian dilanjutkan oleh aliran lacanian sebagai 

sebuah kekurangan dan munculnya misrekognisi yang menjelaskan kesulitan seseorang untuk menjadi 

subjek yang utuh karena konstruksi oedipal yang menekannya. Lacan merumuskan teori fase real, imajiner, 

fase simbolis secara berurutan 

Tradisi psikoanalisis, bagi Sigmund Freud, secara umum melihat esensi hasrat sebagai dorongan 

libido seksual. Pembacaan psikoanalisis ini sering kali digunakan untuk mendeterminasi para pasien dan 

hubungannya dengan warga  Dalam teori dan praktiknya, rezim 

psikoanalisis meletakkan hasrat dalam logika Oedipus Complex. Gagasan itu, menurut Deleuze dan Guatari, 

telah menghadirkan setidaknya tiga persoalan. Pertama, model Oedipus Complex dianggap secara umum 

berimplikasi pada penafsiran yang telah terprediksi sebelumnya, alih-alih melihat berbagai macam persoalan 

dengan konteks tersendiri. Persoalan kedua yaitu  adanya distorsi dan penjelasan yang reduktif berdasarkan 

pengalaman pasien yang berbeda-beda. Ketiga, konsep Oedipus Complex dalam pembacaan psikoanalisis 

berada dalam kerangka patriarki dan bias gender ,Skizoanalisis melihat hasrat secara 

produktif sebagai sebuah mesin yang saling terhubung. Singkatnya, mesin-mesin yang saling terhubung 

secara kompleks memproduksi dan mereproduksi realitas yang digerakkan oleh hasrat sebagai kekuatan 

atau force. Mesin hasrat yang kaotis dan liar itu mengarah pada dinamika perubahan sosial “revolusi hasrat”. 

Di titik inilah hadir gagasan deteritorialisasi sebagai gerak perubahan sosial, yaitu kondisi ketika subjek 

berupaya mengeksplorasi berbagai hal baru dan menciptakan realitas. Gerak perubahan deteritorialisasi 

ini secara aktif menhasilkan sandi mutlak yang dibangun oleh konstruksi sosial. Mekanisme dekodefikasi 

itu sama dengan cara kapitalisme mendeteritorialisasi hampir segala hal. Apa saja diperbolehkan dan 

mengalir secara bebas. Bagi Deleuze dan Guattari, kapitalisme memiliki fungsi yang sama dengan hasrat 

skizo yang terus-menerus menguraikan kode-kode secara terus-menerus 

Bagi Deleuze dan Guattari, hasrat individu memproduksi alirannya secara sosial. Aliran hasrat yang disebut 

undifferentiated (tidak dapat dilacak) memiliki dua sifat: skizofrenik (bergerak tanpa arah dan tidak terkontrol) 

dan revolusioner (selalu aktif untuk menghancurkan tatanan yang mapan) dengan 

demikian, mesin hasrat dapat dikatakan bekerja secara individual sekaligus sosial.

Studi terdahulu mengenai film Joker (2019) telah dilakukan dengan pembacaan tekstual. Nofiawati (2020) 

menunjukkan bagaimana Joker direpresentasikan sebagai sosok yang mengalami gangguan mental secara 

medis. Hal itu diakibatkan oleh kondisi sosial yang tidak mendukung. Studi itu kemudian mengarah pada 

bentuk kriminalitas. Studi Grant (2020) juga menjelaskan kejahatan yang dilakukan oleh tokoh Joker dengan 

melakukan pembunuhan. Hal itu dilihat melalui kial tubuh, dialog, dan ekspresi wajah, sedangkan Syavera 

(2020) lebih berfokus pada perundungan dan dampaknya pada tokoh utama. Dapat dikatakan bahwa studi 

terdahulu memiliki persamaan dalam melihat tokoh Joker sebagai subjek yang jahat akibat ketidakadilan. 

Studi yang dilakukan oleh Permatasari (2020) sedikit berbeda. Ia menunjukkan bahwa Arthur Fleck memiliki 

karakter yang dinamis. Meskipun direpresentasikan sebagai pembunuh yang tidak berperasaan, ia memiliki 

sisi altruistik yang secara khusus terungkap dalam beberapa aspek tertentu.

Studi-studi tersebut menginterpretasikan tindakan tokoh utama dalam logika oposisi biner, yakni 

menempatkannya dalam tindakan baik dan buruk sehingga terjebak dengan paradigma esensialisme, alih- 

alih melihatnya sebagai hasil dari konstruksi sosial. Lebih lanjut, studi-studi itu belum menjelaskan di tataran 

hasrat dan ranah ketidaksadaran, juga mengabaikan dinamika perlawanan subjek di dalamnya: mengapa dan 

bagaimana Arthur Fleck menjadi sosok Joker yang berusaha mendobrak sistem nilai/norma yang berlaku.

Studi tentang skizofrenia dalam film juga dilakukan oleh Yang Fangfang (2020), ia menunjukkan 

bagaimana film Hollywood, Fight Club (1999) mengandung makna kritis terhadap gaya hidup dan budaya 

konsumsi yang diciptakan oleh sistem kapitalis. Tokoh utama yang memiliki kepribadian ganda itu 

memosisikan dirinya dalam situasi tunduk pada nilai dan norma atau membebaskan hasratnya dengan cara 

berkelahi dan melalui aksi terorisme. Dua karakter dalam satu tubuh itu yaitu  tokoh Jack dan Tyler. Tubuh 

dalam analisis skizofrenia selalu menjadi posisi penting untuk persaingan ideologis. Fight Club memberikan 

contoh yang relevan ketika tubuh secara langsung berpartisipasi dalam proses teritorialisasi-deteritorilisasi-

reteritorialisasi dalam gerak perubahan.

Juga dapat ditemukan penelitian tentang skizofrenia dalam berbagai media, seperti film, novel, dan 

musik. Muhsyanur (2018) dalam artikelnya yang membahas hasrat dalam tokoh utama novel Memburu 

Matahari (2003) membagi dua jenis keinginan, yaitu keinginan paranoid dan skizofrenia. Hasrat jenis 

paranoia dibentuk berdasarkan sistem nilai, norma, tradisi dan kepercayaan, dan aspek keturunan. 

Keinginan penderita skizofrenia meliputi tataran psikologis individual dan sosial yang lebih makro. Studi itu 

mengungkapkan kedua jenis hasrat, yakni paranoia dan skizo, dalam bingkai skizoanalisis menurut Deleuze 

dan Guattari.

Selain itu, pembacaan skizoanalisis juga dapat dilihat dalam musik M.I.A rapper Inggris, sekaligus 

penulis lagu, yang dapat dibaca sebagai mode gerakan diferensial yang progresif secara politis. Politik 

oposisi dan gerakan sosial yang berbeda itu ditandai dengan interupsi pada sistem sosial yang ada dengan 

melakukan repolitisasi. Proses repolitisasi mempertemukan kelindan antara subjek dunia pertama dan dunia 

ketiga (Durham 2020).

Lebih lanjut, Kharis, Rosyidah, dan Retnantiti (2020) menganalisis hasrat dalam cerita pendek “Ein 

Tisch ist ein Tisch” yang ditulis oleh Peter Bichse menunjukkan bagaimana hasrat dibentuk oleh bahasa, 

yakni kata, frasa, dan kalimat. Tokoh utama yang menerima tekanan terus-menerus dari warga  berujung 

pada munculnya kondisi paranoid, yaitu keinginan yang terbentuk karena tekanan sistem atau kode sosial. 

Tokoh utama kemudian berupaya keluar dari kondisi itu dengan mewujudkan bahasa baru. Pada akhirnya, 

tokoh utama, Der Mann, dapat memakai  kosakata baru pada level frasa dan kalimat sebagai bentuk 

perlawanannya. Namun, bahasa yang dia ciptakan sendiri tidak dapat diterima di warga .

Pada bagian kedua penelitian kualitatif ini, akan dielaborasi metode yang digunakan, yaitu metode deskriptif 

interpretatif yang dikombinasikan dengan pemikiran skizoanalisis Gilles Deleuze dan Fellix Guattari. Objek 

penelitian ini yaitu  film Joker yang dirilis pada 2019. Penelitian ini memakai  dua sumber data yang 

berbeda, yakni sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer didapatkan dari rangkaian adegan 

tokoh utama yang ada dalam film Joker (2019), sedangkan data sekunder didapatkan dari buku, jurnal, 

dan internet. Penelitian ini memakai  teknik pengumpulan data, yakni dokumentasi melalui screenshot 

adegan yang relevan untuk menjawab pertanyaan peneliti. Objek yang dianalisis yaitu  tayangan film yang 

dibagi ke dalam adegan-adegan yang menunjukkan kriteria subjek skizofrenik secara berurutan. Dalam 

setiap adegan itu kemudian dianalisis bentuk-bentuk skizofrenia yang ditampilkan oleh tokoh utama Joker 

melalui visualisasi dan adegan yang representatif.

Paradigma postpositivisme dan postmodernisme dalam penelitian ini memberikan dasar bagi pemikiran 

kajian budaya dan media untuk mengambil posisi yang berbeda dengan aturan keilmiahan konvensional, 

231Rino Andreas, Skizofrenia dalam Film Joker (2019): Skizoanalisis Perspektif Deleuze dan Guattari

yakni bersifat multidisiplin yang menafsirkan realitas memakai  berbagai sudut pandang politik, ekonomi, 

psikologi, dan sosio-kultural. Selain itu, secara ontologis, juga akan dilakukan dekonstruksi  aturan dan 

pendikotomian antara pengetahuan yang objektif dan subjektif. Lebih jauh, kajian budaya juga mengakui 

bahwa konstruksi pengetahuan bukan sesuatu yang netral dan bebas nilai melainkan berupaya mengubah 

struktur dominasi dan menggugat kebenaran tunggal ,Oleh karena itu, kajian budaya dan media 

mengambil peran dalam menunjukkan konstruksi teks media, yang di dalamnya tertanam suatu ideologi 

sehingga melahirkan posisi subjek yang melawan subordinasi 

“Put on a happy face…”

Film Joker (2019) mengisahkan Arthur Fleck, yang tinggal di kota Gotham. Ia berprofesi badut dalam 

sebuah agensi yang bernama Haha’s. Dalam film digambarkan bagaimana kehidupan Arthur Fleck yang 

penuh dengan persoalan dan konflik yang membangun karakter tokoh utama; dan hal itu beriringan dengan 

kondisi sosial yang tidak mendukungnya, mulai dari ancaman hama tikus, tumpukan sampah di sekitar 

tempat tinggalnya, perundungan, hingga kondisi kesehatan mental yang diderita oleh Arthur sendiri. Kondisi 

itu mengharuskannya rutin untuk berkonsultasi dengan psikiater dan meminum obat karena ia memiliki 

gangguan secara spontan tertawa sendiri meskipun tidak ada hal yang lucu. Di satu sisi, Arthur juga berjuang 

seorang diri untuk merawat ibunya di sebuah apartemen tua. Di tengah kondisi itu, ia sendiri sebetulnya 

menyimpan sebuah keinginan untuk menjadi seorang komedian yang ternama.

Suatu ketika Arthur yang tengah bekerja sebagai badut dan membawa papan iklan diganggu oleh 

segerombolan anak jalanan yang kemudian memukulinya di lorong hingga terluka. Karena kejadian itu, 

seorang rekan Arthur meminjaminya sepucuk senjata untuk melindungi diri dari tindakan perundungan. 

Namun, lagi-lagi, ketika membawa senjata ke rumah sakit anak-anak, ia tidak sengaja membuat kesalahan 

kecil yang membuat dia dipecat.

Kondisi tersebut membuat Arthur semakin depresi dan bersamaan dengan itu ia mendapati bahwa 

kantor pelayanan sosial psikiatris tempat ia biasa memeriksakan diri telah ditutup. Dalam perjalanan pulang 

memakai  kereta bawah tanah, Arthur dirundung oleh pemuda yang bekerja di Wall Street. Dalam kondisi 

kacau dan panik, ia kemudian menembaknya hingga mati.

Pembunuhan yang telah dilakukan Arthur kemudian menginspirasi para pengunjuk rasa yang ada 

di Gotham City melalui ajakan kill the rich dengan memakai topeng badut. Pada saat yang sama, Arthur 

berupaya tampil di suatu pentas lawakan tunggal (stand up comedy). Namun, penampilan Arthur dianggap 

sangat memalukan karena ia tidak dapat mengendalikan sindrom tertawanya di atas panggung. Bahkan, 

kemudian kejadian itu menjadi bahan ejekan dalam acara pertunjukan TV yang dibawakan oleh Murray 

Franklin. Meskipun kecewa, Arthur tetap bekerja demi mengurus ibunya. Namun, seiring dengan waktu, 

Arthur mulai menyadari bahwa ia hidup dalam realitas yang dipenuhi dengan ketidakadilan. Pada gilirannya 

ia tidak lagi peduli akan lingkungan yang menindasnya dan melihat realitas dengan cara yang sama sekali 

berbeda.

Film ini menyuguhkan beragam adegan yang merepresentasikan sistem sosial yang tidak mendukung 

Arthur dan potret ketimpangan warga  Gotham yang situasinya tidak kondusif. Konflik ini juga disertai 

dengan kondisi kesehatan mental Arthur yang tidak stabil sehingga menjadi subjek yang berusaha membuang 

nilai dan norma yang berlaku dalam kehidupannya.

Film ini juga merepresentasikan perubahan yang dinamis tokoh utama dari perkembangan psikoanalisis 

menuju skizoanalisis Deleuze Guattari. Menurut Freud, nafsu atau libido ditekan oleh sistem sosial 

 Dia berkata, “... di mana Id berada, di sana akan ada Ego”. Sebagai akibatnya, semua operasi pikiran 

secara konseptual dikaitkan dengan Ego (Freud 1973). Ego ini berfungsi untuk mengatur serta memenjarakan 

Id (insting bawah sadar) untuk menekan semua keinginan. Ego itu didukung oleh Superego yang merupakan 

internalisasi sistem, nilai, norma, kepercayaan yang dibatinkan oleh subjek melalui kondisi sosio-kultural 


Hal itu dapat ditemukan dalam adegan pada tokoh Arthur Fleck yang menghadirkan kemarahan 

ketika mendapatkan pengalaman yang tidak menyenangkan, seperti adegan ketika anak-anak mencuri papan 

iklannya atau dimarahi oleh atasannya, ia tetap tunduk dan tidak dapat melakukan perlawanan.

Dalam perkembangan psikoanalisis ala Lacan, hasrat yang telah direpresi disalurkan ke dalam tatanan 

simbolis, baik itu melalui gerakan tubuh, kial, dan bahasa. Hal itu sejalan dengan gagasan Lacan yang menyatakan 

bahwa hasrat yang dipendam pada gilirannya mengalami bentuk mekanisme sublimasi atau penyaluran. Objek 

penyaluran hasrat inilah yang diwujudkan secara simbolis dalam upaya untuk mencapai jouissance atau 

kenikmatan. Dalam konteks film Joker (2019) ini ditunjukkan dalam adegan yang memperlihatkan Arthur yang 

dengan bebasnya menari, menyalurkan hasrat yang selama ini ia pendam. Dalam kondisi itu, Arthur sedang 

melakukan proses sublimasi dari Id menuju gerakan yang tidak terkendali dan bebas.

Arthur Fleck mengalami kondisi teroedipal yang ditunjukkan dari adegan ketika ia mulai berkhayal 

menjadi seorang bintang komedi, menjalin hubungan dengan perempuan kulit hitam yang dicintainya, dan 

diundang dalam acara TV Murray Franklin Show. Dapat dikatakan bahwa apa yang membuat Arthur bertahan 

yaitu  menyalurkan hasrat yang tidak terwujud ke dalam fantasi. Fantasi yang dirasakan oleh Arthur sama 

ketika ia merasa terpuaskan yang merujuk pada istilah “phallus”, yaitu suatu entitas tanpa kekurangan, utuh, 

dan menjadi sentral dan lengkap 

Dalam perkembangan terakhir skizofrenia aktif bagi Gilles Deleuze dan Felix Guattari, tampak semakin 

jelas. Pembacaan skizoanalisis bertolak belakang dengan apa yang ditawarkan oleh psikoanalisis Freud dan 

Lacan yang cenderung meredam hasrat atau menyalurkannya di tatanan simbolis. Sebaliknya, pembacaan 

skizoanalisis mencoba untuk melepaskan dan mendorong hasrat subjek untuk larut dan menikmati kegilaan dan 

kebebasan total mereka. Dengan demikian lahirlah “subjek skizofrenia” yang siap menjadi antitesis dari sistem 

Oedipus yang menjadi gambaran kapitalisme di kota Gotham. Hal itu terlihat dari karakter 

Arthur Fleck yang menjadi Joker dan berupaya membuang nilai dan norma sosial yang mengatur hidupnya. 

Dia mulai keluar dari wilayah yang mengatur hasratnya dan secara radikal membunuh ibunya, menembak mati 

temannya (komedian Murray Franklin), dan membunuh seorang perawat rumah sakit jiwa. Secara eksplisit, 

adegan itu menunjukkan bagaimana hasrat telah dibebaskan dari belenggu dan karakter penderita skizofrenia 

mulai menghancurkan sistem atau tatanan yang lebih besar sebagai subjek aktif.


Joker sebagai Subjek Skizo

Apa yang dilakukan Joker dapat dilihat sebagai praktik yang mengancam stabilitas sistem kapitalis melalui 

bentuk ejekan. Meskipun demikian, Joker memahami bahwa upaya melawan kode sosial yang mapan itu 

tidaklah mudah, yakni memerlukan suatu tindakan, melampaui bahasa yang telah ditanamkan oleh model 

Oedipus sehingga ia melakukan tindakan yang dianggap sebagai kegilaan di luar akal sehat.

Joker sebelumnya yaitu  teroedipal, kemudian membentuk sistem ide dengan versinya sendiri. Karakter 

dan pesan simbolis merepresentasikan bagaimana Joker telah mencapai titik di mana ia melampaui kegilaan 

yang dihasilkan oleh adanya represi sosial. Ia merekonfigurasi kode Oedipus yang mapan sebagaimana 

ditawarkan oleh Deleuze dan Guattari, yaitu bahwa esensi hasrat merupakan keinginan yang bebas, produktif, 

dan sama sekali tidak terikat oleh sistem nilai dan norma , Lebih lanjut, 

berbagai adegan yang ditampilkan Joker menunjukkan bagaimana pendekatan skizoanalisis bekerja melihat 

mesin hasrat dibiarkan mengalir dan larut dengan kegilaan yang dibuatnya. Mesin hasrat yang energinya tidak 

terbendung menciptakan kegilaan yang mulai mendelegitimasi ide-ide Oedipus kemudian membangun dengan 

caranya sendiri untuk melawannya. Ini dapat dilihat sebagai manifestasi perlawanan terhadap “father’s law”, 

suatu bentuk pengkhianatan terhadap Oedipus yang pada awalnya mengasuh dan melindunginya.

Joker secara aktif telah mendekontruksi realitas di luar tatanan nilai dan norma yang berlaku, tepatnya 

sesuai dengan hasratnya. Joker melepaskan hasrat yang ada dalam dirinya yang dapat dibaca dalam berbagai 

praktik yang dilakukannya. Pada akhirnya, aliran hasrat seorang Joker pun memiliki energinya sendiri. Ia terlepas 

dari perangkap Oedipus yang terus-menerus menekannya, baik itu secara individual maupun sosial. Dengan 

kata lain, Joker telah meninggalkan wilayah hasrat yang sebelumnya masih tunduk pada nilai dan norma yang 

ada di Kota Gotham. Hal itu sejalan dengan konsep skizoanalisis yang disebut proses deteritorialisasi, yakni 

upaya gerak untuk melepaskan diri dari wilayah kekuasaan yang mengatur dan mengontrol tubuh subjek. 

Gerakan deteritorialisasi ini juga akan diikuti dengan penjinakan kembali melalui reteritorialisasi, yakni upaya 

mengembalikan hasrat yang lepas ke dalam teritori kapitalisme Hasil dari mesin 

hasrat pada akhirnya menghadirkan sosok Joker yang sepenuhnya menjadi tubuh tanpa organ (body without 

organs). Tubuh tanpa organ yaitu  kondisi subjek tanpa teritori yang dapat berubah, bertransformasi, lepas dari 

kode sosial ,Dengan demikian, body without organs dapat diartikan sebagai tubuh 

yang mengalami proses deteritorialisasi secara terus-menerus sesudah  diri dapat lepas dari nilai dan norma 

yang dominan melalui gerak perubahan yang tidak terbatas.

Dengan kata lain, pembacaan skizoanalisis yang digagas oleh Deleuze dan Guattari ingin mendorong 

subjek untuk menikmati kegilaan dalam diri dan sosio-kultural warga  kapitalis. Adanya kontradiksi 

internal yang dibuat oleh sistem kapitalis telah menciptakan subjek skizo yang ditampilkan melalui tokoh 

utama Joker sebagai subjek yang subversif dan revolusioner melawan kekuasaan yang mapan. Film Joker 

(2019) merepresentasikan perjalanan Arthur Fleck menjadi Joker yang berhasil keluar dari model Oedipus 

ala psikoanalisis. Bahkan, upaya melepaskan hasrat pada tatanan individual itu menghasilkan gerakan yang 

lebih luas, spontan, kreatif, dan tidak terencana. Aliran energi para pendemo yang sifatnya liar dan tidak 

terduga mewujud dalam tindakan radikal sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni kapitalisme di kota 

Gotham.

Film Joker 2019 menampilkan tokoh utama sebagai subjek skizofrenia aktif. Joker berhasil membangun 

ide dengan caranya sendiri sesuai dengan keinginannya. Joker membiarkan hasratnya bebas berkeliaran 

melalui praktik yang dihadirkan sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang mapan di Gotham City. 

Kegilaan ini dimainkan oleh Arthur Fleck yang menentang nilai dan norma sosial. Joker yang sebelumnya 

hanya membayangkan dan mempertanyakannya, pada kesempatan tertentu menghancurkan sistem atau 

tatanan yang lebih besar. Pada akhirnya Joker memiliki aliran energinya sendiri dan tidak lagi mengandalkan 

energi Oedipus. Dia berhasil keluar dari hasrat yang menekannya dalam kerangka sistem kapitalis lanjut. 

Perspektif Deleuze dan Guattari dapat digunakan untuk menjembatani studi tentang skizoanalisis kritis 

sebagai kerangka kerja reflektif. Hasrat penderita skizofrenia pada tingkat individual berpotensi merusak 

formasi sosial secara luas.

Kajian ini berpotensi untuk dilanjutkan dengan objek dari berbagai media teks seperti iklan, film, novel, 

video game dan kajian virtual di internet sehingga diharapkan analisis hasil yang lebih komprehensif dan 

mendalam. Dengan demikian, penulis merekomendasikan kontribusi untuk penelitian selanjutnya.


Related Posts:

  • Skizofrenia dalam Film JokerSkizofrenia dalam dunia medis dan psikologis secara umum dianggap sebagai gangguan psikotik berat yang mengakibatkan penderitanya mengalami halus… Read More