Di dalam kehidupan, perilaku pasien dapat tumbuh dan berkembang secara
berbeda-beda antar satu dan pasien lainnya. Perilaku pasien dapat memengaruhi
suatu kehidupan sosial yang selain memiliki dampak positif namun dapat juga
memiliki dampak negatif yang melanggar hukum sehingga dapat berakibat mendapat
hukuman. Perilaku ini dapat disebut sebagai kejahatan atau tindak pidana.
Kejahatan ini muncul disebab kan banyak hal, salah satunya adalah disebabkan oleh
gangguan psikologis yang dikenal sebagai kepribadian ganda. Gangguan jiwa ini
ditandai dengan adanya dua atau lebih kepribadian secara bersamaan dalam diri
seorang individu. Penderita kepribadian ganda ini akan cenderung menimbulkan
gejala yang membuatnya melakukan perbuatan secara impulsif yang menjurus pada
kejahatan. Gejala ini muncul sebagai bentuk pertahanan diri dari suatu keadaan
yang membuatnya tertekan, terutama saat dirinya teringat peristiwa traumatik yang
dialaminya. Seringkali yang melakukan kejahatan ini adalah bukan kepribadian
aslinya melainkan kepribadian penggantinya sehingga pribadi yang asli tidak
mengetahui bahkan mengalami amnesia saat pribadi pengganti mengambil alih
peribadi yang asli. Dalam hal ini orang dengan kepribadian ganda melakukan tindak
pidana, namun dalam kenyataannya ia memiliki kondisi yang tidak dilakukan
oleh seseorang yang berkeadaan jiwa dan akal yang sehat. Maka hal ini akan
berkaitan erat dengan pertanggungjawaban pidananya, apakah ia dapat dimintai
pertanggungjawaban apakah tidak. Sebagaimana kasus kejahatan oleh penderita
kepribadian ganda di Indonesia memang fenomena yang masih terbilang jarang
terjadi, namun apabila terdapat kejahatan yang dilakukan oleh orang dengan
kepribadian ganda ini akan sulit dijatuhi sanksi atas perbuatannya, disebab kan
penyakit gangguan mental yang diderita serta pembuktiannya yang harus kuat.
Sehingga perlunya perlakuan khusus terhadap orang-orang yang secara umum
dikatakan sebagai tidak normal jiwanya, dan aspek penegakan hukum pidana sebab
telah ada orang yang dirugikan akibat perbuatannya.
Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui bentuk tindak pidana yang
dilakukan oleh orang penderita kepribadian ganda dan bagaimana
pertanggungjawabannya dalam hukum pidana.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, sebab penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder atau penelitian
hukum kepustakaan. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian sistematika hukum
dengan pendekatan pada Perundang-undangan (Statute Approach) dan Pendekatan
Kasus (Case Approach).
Penekanan pendekatan perundang-undangan adalah pada pengaturan mengenai
pertanggungjawaban pidana orang yang mengidap gangguan jiwa yaitu dalam Pasal
44 KUHP dan pada pendekatan kasus adalah dengan melihat penerapan
pertanggungjawaban pidana oleh orang dengan kepribadian ganda dalam kasus-kasus
yang ada dan dengan melihat dari perspektif hukum pidananya.
Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa :
1. Adakalanya orang berkepribadian ganda melakukan suatu perbuatan yang
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana akibat kondisi psikologisnya yang
dapat memotivasi perilaku kriminal. Sehingga, kepribadian ganda
menyebabkan penderitanya beresiko tinggi melakukan perbuatan melawan
hukum sebab terdapat hubungan antara perilaku atau kejahatan dengan
keadaan psikologisnya. Kepribadian ganda ini dapat menyebabkan
penderitanya beresiko tinggi melakukan perbuatan melawan hukum sebab
kejahatannya dilakukan bukan sebab perilaku dirinya sendiri (host),
melainkan perilaku identitas lain yang ada di dirinya (alter host). Perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh penderita kepribadian ganda sejauh ini
yang dapat ditemui kasusnya sangat bervariasi tergantung pada kasus
individu. Bentuk tindakan yang dilakukan oleh orang dengan gangguan
disosiatif kepribadian ganda (berdasarkan beberapa kasusnya yang relevan)
diantaranya seperti kekerasan fisik, pembunuhan, pencurian, pelecehan
seksual, perusakan barang dan berbagai tindakan impulsif.
2. Kepribadian ganda dapat dianggap sebagai suatu alasan penghapus pidana
berdasarkan Pasal 44 Ayat (1) KUHP. Berdasarkan unsur-unsur pasal yang
termuat dalam pengaturan ini bahwa pelaku tindak pidana yang
berkepribadian ganda memenuhi unsur ‘terganggu sebab penyakit’ sebab
berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Jiwa, Kepribadian Ganda dapat
dikategorikan sebagai suatu bentuk gangguan jiwa. Namun dengan
sebelumnya ditentukan oleh keadaan jiwanya pada saat melakukan tindak
pidana. Hal ini dapat dibuktikan melalui keterangan dari ahli kedokteran jiwa
atau psikiater. Apabila dapat dibuktikan keadaan tubuhnya dikendalikan oleh
alter, maka dirinya sebagai host tidak mampu menyadari perbuatan yang ia
lakukan sehingga tidak dapat dipidana dan pelaku dimasukkan ke Rumah
Sakit Jiwa paling lama 1 (satu) tahun sebagai waktu percobaan sebagaimana
yang termuat dalam Pasal 44 Ayat (2) KUHP. Namun apabila terbukti host
yang mengendalikan dirinya pada saat melakukan tindak pidana, maka dirinya
dianggap mampu secara sadar atas perbuatannya dan dianggap mampu
bertanggungjawab secara hukum pidana sehingga dapat dijatuhkan putusan
pidana terhadapnya sesuai dengan pengaturan hukum tindak pidana yang ia
lakukan. Hakim dapat menyampingkan keterangan ahli dengan
memperhatikan keterangan saksi dan terdakwa dipersidangan. Maka
pengadilan mungkin mempertimbangkan ketidakmampuan penderita
kepribadian ganda dengan menghindari penahanan atau mempertimbangkan
hukuman yang lebih ringan. Sehingga dalam menentukan unsur peringan
pidana yang digunakan untuk mengurangi pidana seorang terdakwa pengidap
gangguan kepribadian ganda dapat dipertimbangkan dengan baik sesuai
dengan kondisi mental dan kemampuan pertanggungjawabannya, termasuk
juga tindak pidana apa yang ia lakukan
Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui bentuk tindak pidana yang
dilakukan oleh orang penderita kepribadian ganda dan bagaimana
pertanggungjawabannya dalam hukum pidana. Penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif, sebab penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder atau penelitian hukum kepustakaan.
Menurut hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : Pertama, kepribadian ganda dapat
menyebabkan penderitanya beresiko tinggi melakukan perbuatan melawan hukum
(tindak pidana) sebab kejahatannya dilakukan bukan sebab perilaku dirinya sendiri
(host), melainkan perilaku identitas lain yang ada di dirinya (alter host). Tindak
pidana yang dilakukan oleh penderita kepribadian ganda sejauh ini yang dapat
ditemui kasusnya sangat bervariasi tergantung pada kasus individu. Bentuk tindakan
yang dilakukan oleh orang dengan kepribadian ganda (berdasarkan beberapa
kasusnya yang relevan) diantaranya seperti kekerasan fisik, pembunuhan, pencurian,
pelecehan seksual, perusakan barang dan berbagai tindakan impulsif. Kedua,
kepribadian ganda dapat dianggap sebagai suatu alasan penghapus pidana
berdasarkan Pasal 44 KUHP. sebab pelaku tindak pidana yang berkepribadian ganda
memenuhi unsur ‘terganggu sebab penyakit’ berdasarkan Undang-Undang
Kesehatan Jiwa, kepribadian ganda dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk
gangguan jiwa. Hal ini sebelumnya harus dapat dibuktikan melalui keterangan dari
ahli kedokteran jiwa atau psikiater. Namun apabila terbukti host yang mengendalikan
dirinya pada saat melakukan tindak pidana, maka dirinya dianggap mampu secara
sadar atas perbuatannya dan dianggap mampu bertanggungjawab secara hukum
pidana. Sehingga pertimbangan mengenai ketidakmampuan penderita kepribadian
ganda dapat dengan menghindari penahanan atau mempertimbangkan hukuman yang
lebih ringan sesuai dengan kondisi mental dan kemampuan pertanggungjawabannya,
termasuk juga tindak pidana apa yang ia lakukan.
Masalah kejahatan merupakan masalah sosial yang menarik dan menuntut
perhatian yang serius dari waktu ke waktu. Kejahatan itu semakin lama semakin
berkembang. Banyak kejahatan-kejahatan besar yang terjadi dimasyarakat. Dari
beberapa kejahatan yang terjadi, ada banyak kasus yang menjadi legenda dan selalu
diingat oleh masyarakat sebab pelakunya melakukan kejahatan dengan cara-cara
yang diluar jangkauan logika atau kebiasaan masyarakat.
Kejahatan yang sulit diterima logika pasien pada umumnya biasanya dilakukan
dengan cara-cara yang luar biasa oleh mereka yang mengalami gangguan jiwa.
Muncul fenomena baru dimana kejahatan itu dilakukan oleh mereka yang menderita
dissosiative identity disorder (DID). Menurut ilmu psikologi dissosiative identity
disorder (DID) merupakan suatu keadaan dimana kepribadian individu terpecah
sehingga muncul kepribadian lain.
1
Penderita dissosiative identity disorder (DID) seringkali mengalami amnesia.
Sehabis melakukan kejahatan mereka lupa akan kronologis terjadinya kejahatan yang
mereka lakukan sehingga sulit dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Dari
beberapa kasus yang diduga pelakunya merupakan penderita dissosiative identity
disorder pada akhirnya dijatuhi pidana mati. Hal ini bertentangan dengan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang didalam Buku I pasal 44 menyatakan secara
tegas :
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya sebab jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu sebab
penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat pertanggungjawabkan kepada
pelakunya sebab pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu sebab penyakit,
maka Hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah
sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
Penderita dissosiative identity disorder seharusnya dapat digolongkan dalam
penderita gangguan jiwa atau jiwanya cacat seperti diatur dalam pasal 44 KUHP,
sehingga perbuatan yang dilakukan penderita dissosiative identity disorder tidak
dipidana. Mereka tidak sepantasnya dijatuhi pidana mati yang jelas-jelas bertentangan
dengan Hak Asasi pasien .
B. Rumusan Masalah
Apakah penjatuhan pidana mati terhadap pelaku kejatahan penderita dissosiative
identity disorder (DID) dapat dibenarkan secara hukum?
VI. Isi Makalah
A. Tinjauan Umum Tentang Kejahatan
a. Pengertian Kejahatan
Pengertian kejahatan menurut Paul Moedikdo Moeliono yaitu:
“Kejahatan adalah pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan atau patut
ditafsirkan sebagai perbuatan yang merugikan, menjengkelkan dan tidak boleh
dibiarkan.”
b. Penjahat
Siapa sebenarnya penjahat itu? Apakah mereka yang melakukan perbuatan
yang dilarang dan diberi sanksi hukum yang tercantum dalam pasal undang-
undang cukup disebut sebagai penjahat? Dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) kita tidak ada satu pasal pun yang memuat pengertian penjahat.
KUHP tidak menjelaskan siapa yang pantas disebut sebagai penjahat. KUHP
hanya menjelaskan dengan sangat rinci unsure-unsur tentang perbuatan yang
dapat dikategorikan dalam berbagai bentuk kejahatan. namun KUHP
menyatakannya dengan menggunakan istilah “barangsiapa” yang menyiratkan
tentang adanya pelaku kejahatan jika memenuhi unsur-unsur perbuatan yang
dianggap jahat oleh KUHP.
c. Penyebab terjadinya kejahatan
1) Mazhab Antropologi
Mazhab ini berpendapat bahwa kejahatan terjadi melekat pada pribadi-pribadi.
Bisa saja terjadi sebab kewarisan atau kemerosotan sifat atau menderita
penyakit. Mazhab ini memiliki kesamaan dengan teori Lambroso yang
mengatakan bahwa sebab kejahatan melekat pada diri pasien .
2) Mazhab Lingkungan
Pendapat dari mazhab lingkungan memandang beberapa factor lingkungan
sebagai sebab kejahatan, seperti:
a) Lingkungan memberikan kesempatan akan timbulnya kejahatan
b) Lingkungan pergaulan yang member contoh/teladan
c) Lingkungan ekonomi (kemiskinan, kesengsaraan)
d) Lingkungan pergaulan yang berbeda-beda.
d. Jenis-jenis kejahatan
Berikut adalah jenis-jenis kejahatan yang menurut POLRI sebagai kejahatan-
kejahatan yang “situasional” berat :
1) Kejahatan-kejahatan ekonomi:
a) Penyelundupan
b) Kejahatan dalam bidang perbankan
c) Manipulasi dalam perdagangan
2) Kejahatan-kejahatan yang mempunyai aspek ekonomi
a) Penyelewengan keuangan negara (korupsi)
b) Pengrusakan (sabotase pusat-pusat kegiatan ekonomi)
3) Kejahatan-kejahatan yang mengancam rasa aman penduduk secara luas:
a) Banditisme
b) Hi jacking
c) Perdagangan obat bius (Narkotika)
d) Pelanggaran lalu lintas yang membahayakan jiwa orang banyak dan
mengganggu lalu lintas orang.
B. Tinjauan Umum Tentang Dissosiative Identity Disorder (DID)
a. Pengertian dissosiative identity disorder (DID)
Dissosiative Identity Disorder (DID) atau kepribadian ganda dapat
didefinisikan sebagai kelainan mental dimana seseorang yang mengidapnya akan
menunjukkan adanya dua atau lebih kepribadian (alter) yang masing-masing
memiliki nama dan karakter yang berbeda.
b. Ciri-ciri dissosiative identity disorder (DID)
Berikut adalah ciri-ciri orang yang memiliki kepribadian ganda atau
dissosiative identity disorder (DID) yaitu :
1) Di dalam satu tubuh terdapat dua atau lebih identitas atau kesadaran yang
berbeda.
2) Dua atau lebih identitas atau kesadaran ini mengambil alih perilaku orang
ini secara berulang-ulang (switching).
3) Menderita amnesia dalam arti tidak mampu mengingat tentang hal-hal yang
penting atau yang sudah dilakukan.
4) Gejala-gejala yang terjadi bukan efek dari alcohol atau obat-obatan lainnya
melainkan sebab efek psikologis.
c. Penyebab terjadinya dissosiative identity disorder (DID)
1. Faktor psikologis
2. Pembentukan kepribadian dari awal memang tidak baik
3. Faktor organic biologis
4. Faktor lingkungan
d. Proses Penyembuhan Penderita Dissosiative Identity Disorder (DID)
1. Pendekatan Psikodinamik
2. Pendekatan Biologi
3. Pendekatan Perilaku
C. Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pidana Mati Terhadap Pelaku Kejahatan
Penderita Dissosiative Identity Disorder (DID)
a. Pengertian pidana mati
Menurut Bambang Poernomo, pidana mati merupakan salah satu bentuk
pidana yang paling tua, sehingga dapat juga dikatakan bahwa pidana mati itu
sudah tidak sesuai dengan kehendak zaman, namun sampai saat ini belum
ditentukan adanya alternatif lain sebagai penggantinya.
b. Kejahatan yang diancam pidana mati
a) Kategori kejahatan pembunuhan berencana
b) Kategori kejahatan terhadap kepala Negara (maker)
c) Kategori kejahatan pencurian dengan pemberantasan (pencurian-pembunuhan)
d) Kategori kejahatan di perairan (bajak laut)
c. Eksistensi pidana mati
Awal eksistensi pidana mati sudah diatur di dalam KUHP. Secara historis,
KUHP berasal dari Belanda yaitu WvS. namun seiring perkembangan zaman
terdapat perbedaan antara Belanda dan Indonesia dalam perlakuan terhadap
pidana mati. Di Belanda, sejak tahun 1870 pidana mati sudah ditiadakan,
sementara di Indonesia masih diakui dan dipertahankan eksistensinya.
d. Penderita dissosiative identity disorder (DID) yang dijatuhi pidana mati
Terhadap penderita dissosiative identity disorder (DID) berlaku alasan pemaaf
atau schulduitsluitingsgrond yaitu menyangkut pertanggungjawaban seseorang
terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya atau criminal responsibility.
Alasan pemaaf ini berlaku sepanjang penderita dissosiative identity disorder
ini benar-benar menderita gangguan kepribadian ganda, bukan dibuat-buat
atau pura-pura.
Melihat kasus kejahatan yang dilakukan oleh penderita dissosiative identity
disorder (DID) yang diancam pidana mati, para psikiater tidak dapat bertindak
sendiri. Artinya, psikiater akan bekerja apabila mendapat perintah dari penyidik.
Misalnya si A melakukan pembunuhan, selama proses penyidikan dan
penyelidikan para penyidik merasa bahwa si A memiliki kepribadian yang aneh.
saat para penyidik memiliki dugaan bahwa si A mengalami gangguan
kepribadian, barulah prnyidik menghubungi psikiater untuk melakukan
pemeriksaan.
saat pemeriksaan dilakukan psikiater, proses penyidikan ditunda atau
dilanjutkan tergantung oleh penyidik. Tapi berdasarkan penelitian yang dilakukan,
psikiater menyarankan agar proses penyidikan ditunda untuk waktu yang tidak
dapat ditentukan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan dalam memutus
sanksi pidana yang dijatuhi.
Menurut Dr.Venny Pungus,Sp.KJ. penderita dissosiative identity disorder
(DID) dapat dipidana. sebab penderita dissosiative identity disorder (DID) bukan
merupakan gangguan mental yang berat. Sehingga dia masih dapat dimintai
pertanggungjawaban.
Setelah dilakukan penelitian dan analisis menggunakan teori dan konsep dari
hukum positif maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Terdapat perbedaan pendapat antara para ahli (psikiater) tentang dissosiative
identity disorder (DID). Disatu sisi mengatakan bahwa dissosiative identity disorder
(DID) termasuk Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dimana setiap
perbuatan yang dilakukan oleh penderita dissosiative identity disorder (DID) tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan hal ini ,maka terhadap pelaku
kejahatan penderita dissosiative identity disorder (DID) dilindungi Pasal 44 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi:
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan sebab jiwanya cacat dalam
tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu sebab penyakit
(ziekelijke storing), tidak dapat dipidana.
(2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan
padanya disebabkan sebab jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu sebab penyakit, maka Hakin dapat memerintahkan supaya
orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan ini dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
Bagi pihak yang setuju dengan pendapat ini tentu saja aparat hukum telah
keliru dalam memutus perkara kejahatan yang dilakukan oleh penderita dissosiative
identity disorder (DID), apalagi sampai memvonis pidana mati.
Sementara disisi lain berpendapat bahwa penderita dissosiative identity
disorder (DID) dapat dimintai pertanggungajawaban. sebab dissosiative identity
disorder (DID) bukan merupakan gangguan mental berat. Sehingga setiap perbuatan
yang dilakukan masih disadari oleh penderita dissosiative identity disorder (DID) dan
masih dapat dimintai pertanggungjawaban.
Tujuan dari kajian hukum ini adalah untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi
pelaku pembunuhan berkepribadian ganda (Dissociative Identity Disorder) diatur. sumber sekunder
lainnya.data yang dikumpulkan dari buku-buku literatur, penelitian yang ada, dan peraturan
perundang-undangan yang relevan. Temuan penelitian membawa kita pada kesimpulan bahwa
sebab telah memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana, orang dengan kepribadian ganda
(Dissociative Identity Disorder) dapat dihukum sebab pembunuhan yang telah mereka lakukan.
Penerapan gagasan akuntabilitas dalam strict liability adalah bentuk pertanggungjawaban pidana. Hal
ini memungkinkan pelaku dipidana penjara sesuai dengan ancaman Pasal 338 KUHP yang mengatur
tentang pembunuhan.
sebab mempengaruhi kehidupan pasien dalam masyarakat, masalah kejahatan dalam
masyarakat saat ini sebagai fenomena akan selalu dibicarakan. Tidak dapat disangkal bahwa
kejahatan ini terjadi dalam kehidupan pasien dengan persaingan kepentingan. Menurut
Bawengan (1974), istilah “kejahatan” diartikan sebagai “nama atau stempel yang diberikan
kepada seseorang yang digunakan untuk menilai perbuatan tertentu sebagai kategori
perbuatan jahat.” kejahatan ini terjadi saat seseorang
melanggar hukum baik secara langsung maupun tidak langsung. , atau sebagai akibat dari
kelalaian yang dapat mengakibatkan hukuman. Dikaitkan dengan berbagai kesalahan,
kesalahan dapat diartikan sebagai demonstrasi dan kegiatan yang jahat yang biasanya
diketahui dan diperhatikan oleh individu. Dari sudut pandang hukum, kejahatan adalah apa
saja perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau peraturan yang berlaku. Secara
umum yang dimaksud dengan “kejahatan” adalah perbuatan yang merugikan masyarakat
dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. sakit terus
meningkat dari waktu ke waktu.
Ada kejahatan yang dilakukan oleh pelaku internal maupun yang dilakukan oleh pelaku
kejahatan berteknologi maju. Pelaku internal dipecah menjadi tiga kategori: ekonomi,
biologis, dan psikologis. Hal ini terlihat dari faktor ekonomi bahwa banyak orang tidak dapat
memenuhi kebutuhan fundamental mereka.A status seseorang sebagai miskin menunjukkan
bahwa mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti perumahan,
makanan, pakaian, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Pencurian dan penjambretan
adalah contoh kejahatan yang biasanya berasal dari faktor ekonomi. Berikutnya adalah
faktor biologis. Menurut unsur-unsur alami, kejahatan dapat dikenali dari adanya unsur-
unsur nyata seseorang, termasuk rahang miring ke depan, struktur wajah besar, tulang pipi
tinggi, pelipis terbatas, hidung rata atau lebar, rahang besar, penampilan sangat mencolok,
hidung berduri. atau bibir yang tebal, mata terlihat licik, rambut wajah diabaikan atau tidak
tertutup dan tidak ada keengganan untuk menyiksa, sebuah d memiliki lengan yang
umumnya panjang. para ahli di bidang genetika juga
berpendapat bahwa kecenderungan kekerasan dapat diturunkan melalui gen. Terakhir,
aspek psikologis. Kegiatan kriminal dapat dihasilkan dari berbagai faktor psikologis, termasuk
penyimpangan dalam kesadaran, emosi yang tidak stabil, sosialisasi masa kanak-kanak yang
tidak memadai, perkembangan moral yang buruk, dan sebagainya. Gangguan identitas
disosiatif (DID), juga dikenal sebagai gangguan kepribadian ganda, adalah salah satu
gangguan yang dihasilkan dari berbagai gangguan psikologis ini. faktor penyebab seseorang
melakukan kejahatan.
seseorang dengan kepribadian ganda cenderung menunjukkan dua
atau lebih ciri kepribadian (alter), masing-masing dengan nama, sifat, dan kepribadian yang
unik. kondisi perilaku. Menurut Semium (2006), kepribadian ganda ini biasanya disebut
sebagai kepribadian jahat dan kepribadian suci. Kepribadian dengan emosi tinggi yang
memungkinkan penderitanya melakukan kejahatan dapat muncul dari kepribadian jahat
ini .
kejahatan yang dikenal dengan pembunuhan dapat didefinisikan sebagai
suatu perbuatan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih yang mengakibatkan kematian
banyak orang. Kejahatan pembunuhan termasuk dalam kategori kejahatan terhadap nyawa
menurut Pidana Hukum (KUHP). Suatu bentuk penyerangan terhadap nyawa orang lain
disebut sebagai kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven)
adalah nama umum untuk jenis hukuman ini. Dengan melakukan sesuatu, Anda melakukan
kejahatan pembunuhan. Tentu saja, ada banyak cara yang berbeda untuk melakukan
pembunuhan, masing-masing dengan konsekuensi hukum yang unik. Konsekuensi hukum
dalam bentuk pidananya akan jauh lebih besar jika tindak pidana pembunuhan dilakukan
dengan unsur kesengajaan atau ada rencana sebelumnya, berbeda dengan tindak pidana
pembunuhan yang dilakukan tanpa perencanaan yang turut memperberat suatu kejahatan.
Pertanggungjawaban atas setiap perbuatan kriminalitas yang dilakukan oleh pasien tidak
dapat dipisahkan. “Tanggung jawab pidana diartikan sebagai melanjutkan suatu bentuk cela
yang obyektif yang dapat dipidana atas perbuatannya”, demikian pendapat Roeslan Shaleh.
Asas legalitas menjadi landasan terjadinya pidana, sedangkan asas kesalahan menjadi dasar
penuntutan pidana terhadap pelakunya. Oleh sebab itu dapat ditarik kesimpulan bahwa
sebagai penentu tindak pidana hanya akan dipidana apabila perbuatan atau kejahatan itu
yang dilakukannya keliru”
Tidak akan ada kesalahan yang tidak dapat dipidana, jika seseorang tidak mempunyai
kemampuan untuk mempertanggungjawabkannya. Artinya, pertanggungjawaban pidana
hanya dapat dijatuhkan kepada orang yang sudah dewasa, berakal budi, dan dapat
mengambil keputusan sendiri. Demikian pula, tanggung jawab pidana ada untuk kejahatan
pembunuhan, yang dianggap sebagai kejahatan terhadap kehidupan, kategori kejahatan
berat yang melanggar hak asasi pasien , khususnya hak untuk hidup.
Sebelum tahun 1980-an, data menunjukkan bahwa hanya beberapa kasus gangguan
kepribadian ganda yang didiagnosis di seluruh dunia; namun, pada tahun 1990-an, puluhan
ribu lebih kasus gangguan kepribadian ganda telah didiagnosis. Sehingga beberapa
profesional dan ahli percaya bahwa kepribadian ganda lebih mungkin terjadi daripada yang
diperkirakan sebelumnya (Zabita, 2017). 14 juta orang di atas usia Menurut data statistik
Kemenkes tahun 2018 terdapat 15 orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Jika
dibandingkan dengan tahun 2013 mengalami peningkatan dari 1,7% menjadi 7% ,Padahal kasus kepribadian ganda jarang terjadi. di Indonesia, mereka berpotensi
mengakibatkan tindak kriminal sebab orang dengan kepribadian ganda tidak memiliki
kendali atas dirinya saat berada di kepribadian lain.
Sehubungan dengan penggambaran di atas, penulis esai memulainya dalam sebuah ulasan
yang digunakan sebagai salinan cetak sebuah artikel dengan judul "Kewajiban Pidana Orang
dengan Psikosis Kepribadian Konflik yang Melakukan Pelanggaran Pembunuhan".
Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Bagi Orang Berkepribadian Ganda (Dissociative
Identity Disorder) Yang Melakukan Tindak Pidana Pembunuhan
Meskipun merupakan konsep yang berbeda, namun pembahasan pertanggungjawaban
hukum pidana tentu akan melibatkan pembahasan perbuatan atau tindakan pidana. Konsep
pertanggungjawaban pidana tidak termasuk dalam pengertian perbuatan atau kejahatan.
Demonstrasi kriminal hanya mengatur pembatasan kegiatan ini dengan bahaya disiplin
pidana. Sementara pertanggungjawaban pidana mengatur tentang kesanggupan seseorang
untuk dihukum atas suatu kejahatan yang dilakukannya, pertanggungjawaban pidana juga
mengacu pada tanggung jawab seseorang atas kejahatan itu. Sehingga seseorang harus
terlebih dahulu melakukan kejahatan agar dinyatakan bersalah. pelaku harus mampu
bertanggung jawab sendiri agar dapat dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan
ini . Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, individu dengan kepribadian ganda
(Dissociative Identity Disorder) memiliki kapasitas untuk bertanggung jawab, memungkinkan
mereka untuk dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan yang mereka lakukan.
hal lain yang mengakui demonstrasi atau kegiatan kriminal dan
kewajiban pidana adalah bahwa standar tindakan pelanggar hukum adalah pedoman
legitimasi. Ungkapan "mullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli" dapat
ditemukan dalam asas legalitas , yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat
dipidana jika tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang larangan
perbuatan ini . Sedangkan konsep bersalah adalah gagasan bahwa seseorang dapat
dihukum. kesalahan saat melakukan kejahatan. Doktrin ini diungkapkan dalam bahasa
Inggris sebagai "suatu perbuatan tidak membuat seseorang mendua, kecuali jika pikiran itu
secara hukum tercela," yang berarti bahwa suatu perbuatan tidak membuat seseorang
bersalah kecuali mereka memiliki pikiran jahat. Oleh sebab itu , disebutkan bahwa syarat-
syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang untuk dipidana:
sebuah. harus ada perbuatan yang dilarang (actus reus); b. Harus ada sikap mental jahat
(mens rea) sehubungan dengan perbuatan atau tindak pidana pembunuhan dimana
pelakunya berkepribadian ganda (gangguan identitas disosiatif); kedua syarat ini harus
dipenuhi sebelum pelaku dapat dipidana. Asas legalitas yang dibahas pada alinea
sebelumnya erat kaitannya dengan syarat adanya suatu perbuatan yang dilarang. sehingga
siapa saja yang melanggar peraturan ini dapat dipidana jika diatur sebagai perbuatan
pidana. Dalam KUHP, khusus pada pasal 338, perbuatan tindak pidana. Oleh sebab itu, jika
seseorang melakukan pembunuhan, maka akan menghadapi hukuman yang diatur dalam
Pasal 338 KUHP, yaitu penjara paling lama lima belas tahun. sebab dalam pembahasan ini
disebutkan bahwa orang yang berkepribadian ganda (identitas disosiatif) gangguan) dapat
dihukum, yang berarti bahwa jika mereka membunuh seseorang, mereka dapat dihukum
sesuai dengan hukuman KUHP.
Mens rea, atau sikap mental negatif, adalah syarat selanjutnya. Seseorang yang berniat
membunuh harus memiliki rencana sebelumnya. Niat ini bisa berupa niat membunuh atau
niat melakukan kejahatan lain yang berujung pada pembunuhan. Hal yang perlu diketahui
adalah bahwa dalam melakukan kegiatan ini terdapat perasaan dalam diri mereka
meskipun pada kenyataannya mereka memiliki karakter yang sedikit.
Pada akhirnya, mereka yang melakukan kejahatan akan dihukum sebab
pertanggungjawaban pidananya. Dimana dalam konteks hukum pidana, pemidanaan
diartikan sebagai tahapan untuk menentukan pemidanaan dan penjatuhan sanksi. Seseorang
harus memenuhi beberapa unsur pertanggungjawaban pidana agar untuk dipidana.
unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah:
sebuah. Memiliki kapasitas untuk memenuhi kewajiban hukum
b. Ada kesalahan.
c. Tidak ada pembenaran.
Mampu bertanggung jawab adalah aspek pertama. Syarat lahiriah suatu kesalahan adalah
telah dilakukannya suatu perbuatan atau kejahatan. Sementara itu, terkait dengan kondisi
batin berupa keadaan normal atau kondisi dalam alam pikiran pencipta. Moeldjatno
mengungkapkan hal ini . keyakinan bahwa hanya orang dengan kesehatan mental yang
normal yang dapat diharapkan untuk berperilaku dengan cara yang dianggap dapat diterima
oleh masyarakat sehingga kriteria untuk menentukan apakah kejahatan tertentu dapat
dikaitkan dengannya hanya dapat dipenuhi oleh orang yang berada dalam kondisi mental
yang normal keadaan.Keadaan atau keadaan mental adalah normal sebab pencipta
menggunakan akal untuk membedakan antara perilaku baik dan buruk.sebab pelaku dapat
dianggap bersalah jika mereka dapat membedakan antara dua hal ini .Orang yang
menderita gangguan kepribadian ganda (identitas disosiatif gangguan) masih dapat
membedakan antara tindakan baik dan buruk, memungkinkan mereka untuk mengetahui
konsekuensi dari tindakan mereka saat mereka melakukannya. Merakit komponen ini
telah dijelaskan dalam kasus di mana orang dengan DID dianggap memiliki persyaratan
pertanggungjawaban pidana yang diajukan Sudarto juga telah dipenuhi oleh individu dengan
kepribadian ganda (gangguan identitas disosiatif) (Sudarto, 1997). Orang dengan kepribadian
ganda (gangguan identitas disosiatif) dianggap memiliki beberapa tanggung jawab pidana
jika mereka memenuhi persyaratan ini.
Kesalahan merupakan komponen kedua. Agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana,
suatu perbuatan atau perbuatan harus mengandung kesalahan. Kesalahan terjadi apabila
suatu keadaan atau akibat yang melanggar hukum pidana disebabkan oleh perbuatan yang
dilakukan dengan unsur kesengajaan atau kelalaian. Apabila seseorang tetap melakukan
perbuatan meskipun telah mengetahui akibatnya, maka ia telah melakukan kelalaian. sebab
ada akibat yang tidak dapat diketahui atau diduga sebelumnya tidak dapat dipertanggung
jawabkan sebagai kelalaian (Amrani dan Ali 2015), sedangkan kesengajaan dalam bentuk
kehendak atau niat untuk bertindak dalam melakukan kejahatan, mengetahui terlebih
dahulu akibat dari pelaku tindak pidana merupakan syarat mutlak. untuk melakukan suatu
tindakan dan kehendak untuk dihasilkan dari tindakan itu disediakan oleh teori kehendak.
Oleh sebab itu, intensionalitas terjadi saat suatu tindakan menghasilkan hasil tertentu.
Oleh sebab itu, inte pengertian ada saat hasil yang diinginkan dari suatu tindakan menjadi
niat dari tindakan yang dilakukan. saat datang ke kejahatan pembunuhan, salah satu unsur
kejahatan adalah unsur kesengajaan. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku menyadari bahwa
tujuan perbuatannya adalah untuk mengakhiri hidup orang lain dan perbuatan ini
dilakukan dengan sukarela.
Aspek ketiga, tidak ada pembenaran untuk memaafkan. Hakim memutuskan bahwa kondisi
mental pelaku yang memiliki gangguan kepribadian ganda (gangguan identitas disosiatif)
tidak dapat dijadikan alasan sebab tidak termasuk dalam perumusan Pasal 44 KUHP.
Putusan ini didasarkan pada putusan hakim saat pelaku mengalami gangguan kepribadian
ganda. ) masih menghadapi hukuman atas tindakan mereka.
Konsep kesalahan dan pertanggungjawaban pidana saat ini sangat erat hubungannya.
Artinya, selain membuktikan unsur-unsur kejahatan, kesalahan pelaku juga harus dibuktikan
untuk menjatuhkan hukuman kepadanya. Namun, dua gagasan pertanggungjawaban pidana
—pertanggungjawaban ketat dan pertanggungjawaban pengganti—telah muncul sebagai
hasil dari kemajuan di bidang hukum.
Tanggung jawab ketat adalah gagasan tanggung jawab yang dilakukan dalam lingkup
kejahatan tanpa membuat kesalahan. Apabila pelaku telah melakukan suatu tindak pidana
yang telah dirumuskan dan diatur oleh undang-undang, bagaimanapun perasaan batinnya, ia
sudah dapat dituntut. Jadi dalam pengertian tanggung jawab ini yang dikendalikan adalah
kegiatannya (actus reus). tanpa kesalahan" digunakan untuk menggambarkan ide ini. Tidak
masalah jika tindakan itu dilakukan dengan niat jahat; yang penting melanggar hukum,
sehingga pelakunya sudah dapat dihukum. Oleh sebab itu, ciri-ciri berikut berlaku untuk
konsep strict liability:
sebuah. Tidak ada mens rea; b. Unsur utama berupa tindakan (actus reus); c. Buktinya hanya
pada actus reus, bukan mens rea. Pertanggungjawaban perwakilan adalah pengganti konsep
pertanggungjawaban di mana tanggung jawab hukum diadakan terhadap satu orang atas
kesalahan yang dilakukan oleh orang lain. Ruang lingkup pekerjaan harus tercermin dalam
persyaratan dua individu. Ada tidaknya actus reus dan mens rea adalah pembedaan antara
strict liability dan vicarious liability. Jika mens rea tidak diwajibkan untuk
pertanggungjawaban pidana di bawah strict liability, rea pekerja diharuskan di bawah
tanggung jawab pengganti untuk meminta pertanggungjawaban pemberi kerja atas tindakan
karyawan mereka.
Konsep strict liability dapat diterapkan pada tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh
orang dengan gangguan identitas disosiatif. sebab sulit untuk mempertanyakan adanya
mens rea dalam perbuatan atau tindak pidana pembunuhan dengan pelaku gangguan
identitas disosiatif, maka Konsep pertanggungjawaban pidana dalam strict liability tidak.
Apalagi jika telah terjadi pertukaran karakter dari tokoh yang melakukan kesalahan serius
kepada tokoh lain. Pelaku dengan kepribadian ganda (gangguan identitas disosiatif) tidak
akan menyadari bahwa kepribadian lain yang ada dalam dirinya telah melakukan kejahatan
atau pembunuhan. Kepribadian yang aktif tidak akan mengetahui hal ini. Untuk dapat
mengembalikan kepribadian yang telah melakukan kejahatan ini , diperlukan seorang
psikiater. Namun, meskipun seorang psikiater telah memberikan bantuan, hal ini tidak
menjamin bahwa psikiater ini dapat memulihkan orang yang telah melakukan
perbuatan pembunuhan. Mens rea tetap dianggap harus ada, meskipun tidak perlu
pembuktian, meskipun konsep strict liability tentang pertanggungjawaban tidak meragukan
keberadaannya.
Roeslan Saleh mengusulkan gagasan strict liability dalam hukum pidana
Pada kenyataannya, respon kriminal kemungkinan hilang saat satu keadaan memaafkan.
Selain itu, praktik ini menghasilkan berbagai kondisi mental yang diperlukan untuk
penghapusan hukuman pidana. Akibatnya, muncul kelas kejahatan yang hukumannya cukup
di bawah teori tanggung jawab yang ketat. Dalam benak terdakwa, ketidaktahuan dan sama
sekali tidak ada niat melakukan kejahatan merupakan definisi kejahatan. Padahal, terlepas
dari faktanya bahwa mereka tidak berniat melakukan kejahatan, diyakini bahwa mereka
masih memikul tanggung jawab atas apa yang terjadi. Ini biasanya berlaku untuk
pelanggaran ringan, juga dikenal sebagai pelanggaran. Beberapa penulis percaya bahwa
tindakannya adalah kriminal, namun tidak dianggap sebagai benar-benar perbuatan pidana.
Tanpa memeriksa keadaan jiwanya sebagai suatu keadaan yang dapat meniadakan
pemakaian pidana, ia harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum hanya sebab
perbuatannya memenuhi unsur delik.
Menurut Roeslan Salwh, ada kelompok pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan dalam
keadaan tidak sadar dan masih dapat dihukum dengan tanggung jawab yang tegas.
Terdakwa tidak berniat melakukan kejahatan dan tidak mengetahui keadaan sekitar
perbuatannya. Kesamaan antara kondisi ini dan pelaku kejahatan dengan kepribadian ganda
(gangguan identitas disosiatif).di mana identitas asli orang ini tidak menyadari bahwa
ia melakukan kejahatan.di mana kepribadian asli seseorang tidak menyadari bahwa ia telah
melakukan kejahatan sebab kejahatan ini merupakan akibat dari tindakan
kepribadian lain meskipun itu telah dinyatakan bahwa tindak pidana ringan atau
pelanggaran termasuk dalam lingkup strict liability, hal ini tidak menutup kemungkinan
bahwa tindak pidana lain termasuk dalam lingkup strict liability juga. sebab terdakwa
dianggap telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dimaksud. didakwa, hakim dapat
menjatuhkan pidana kepada terdakwa berdasarkan putusan yang telah terjadi atau cr
perbuatan kriminal yang dilakukan terhadap seseorang dengan kepribadian ganda
(gangguan identitas disosiatif).
saat satu keadaan memaafkan, peluang hilang. Selain itu, praktik ini menghasilkan
berbagai kondisi mental yang diperlukan untuk penghapusan hukuman pidana. Teori
tanggung jawab yang ketat mengarah pada pengembangan subset kejahatan yang
hukumannya cukup. Terdakwa berpendapat bahwa definisi kejahatan adalah ketidaktahuan
dan sama sekali tidak ada niat untuk melakukan kejahatan. Bahkan, diyakini bahwa mereka
masih memikul tanggung jawab atas apa yang terjadi meskipun faktanya mereka tidak
berniat melakukan kejahatan. kejahatan di tempat pertama. Dalam banyak kasus, ini juga
berlaku untuk pelanggaran ringan. Meskipun mereka tidak dianggap sebagai tindakan
kriminal yang sebenarnya, beberapa penulis percaya bahwa tindakannya adalah kriminal. Dia
harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum hanya sebab tindakannya memenuhi
unsur-unsur kejahatan. suatu delik, tanpa mempertimbangkan keadaan jiwanya sebagai
syarat yang dapat menghalangi penerapan hukuman.
Roeslan Salwh mengatakan bahwa ada kelompok pelaku kejahatan yang melakukan
perbuatan dalam keadaan tidak sadarkan diri dan masih dapat dihukum berat. Terdakwa
tidak mengetahui keadaan sekitar perbuatannya dan tidak berniat melakukan tindak pidana.
Kemiripan antara kondisi ini dengan orang yang melakukan kejahatan yang memiliki
kepribadian ganda (gangguan identitas disosiatif).di mana orang yang sebenarnya tidak
menyadari bahwa mereka melakukan pelanggaran.Terlepas dari fakta bahwa telah
dinyatakan bahwa tindakan kejahatan kecil atau pelanggaran diingat untuk tingkat tanggung
jawab yang berat, hal ini tidak 't mengecualikan kemungkinan bahwa kesalahan yang
berbeda juga diingat sebab tingkat risiko yang parah.sebab diyakini bahwa terdakwa
melakukan unsur-unsur kejahatan yang relevan.Keputusan yang dibuat atau kejahatan yang
dilakukan terhadap seseorang dengan gangguan identitas disosiatif (DID) dapat digunakan
oleh hakim untuk menjatuhkan hukuman kepada terdakwa pada saat didakwa.
Jenis pertanggungjawaban pidana terhadap orang dengan berbagai watak (Conflicting
Personality Psychosis) yang melakukan demonstrasi pembunuhan terhadap pelanggar
hukum adalah dengan memaksakan hukuman sesuai dengan bahaya pidana Pasal 338 KUHP,
yaitu pidana penjara paling lama lima belas tahun. .Namun, seseorang dengan gangguan
kepribadian ganda (Dissociative Identity Disorder) harus menunjukkan pertanggungjawaban
pidana sebelum menerima hukuman. Selain itu, perlu ditentukan definisi tanggung jawab
pidana yang akan digunakan. Akibatnya, strict liability dapat digunakan untuk meminta
pertanggungjawaban seseorang untuk melakukan kejahatan seperti pembunuhan saat
mereka memiliki kepribadian ganda (Dissociative Identity Disorder). Meskipun mens rea
dianggap ada, tidak diragukan lagi bahwa mens rea ada dalam kerangka
pertanggungjawaban yang ketat. Seseorang dapat dihukum selama mereka melakukan
perbuatan atau melakukan kejahatan dan mempunyai kemampuan untuk bertanggung
jawab. Penjelasan bahwa Konsep risiko berat cocok untuk pembunuhan yang pelakunya
memiliki karakter yang berbeda (Conflicting personality psychosis) sebab saat terjadi
pertukaran karakter dalam diri pelakunya, sulit untuk menunjukkan keberadaan mens rea
berdasarkan faktanya. bahwa individu dengan karakter yang berbeda (Conflicting personality
psychosis) mengalami amnesia tidak permanen saat karakternya berubah. sebab telah
mengakibatkan kematian orang lain, kejahatan pembunuhan dianggap sebagai pelanggaran
berat, namun pelakunya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Akibatnya, tindak
pidana ini memenuhi syarat strict liability sebab strict liability tidak menimbulkan keraguan
terhadap adanya mens rea.