Rabu, 12 Februari 2025

pidana untuk sakit kepribadian ganda



Mental disorder merupakan kondisi kesehatan yang mempengaruhi pemikiran, 

perasaan, perilaku dan suasana hati. Pertanggungjawaban pidana bagi orang dengan 

gangguan mental diatur dalam Pasal 44 KUH Pidana, namun ketentuan ini tidak 

menjelaskan batasan-batasan yang tidak dapat dijelaskan dari keadaan seseorang, 

sehingga dalam hal ini harus diketahui hubungan gangguan kejiwaan dengan aktivitas 

yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Penulisan ini menggunakan metode 

penulisan normatif yang didasarkan pada pendekatan undang-undang dan pendekatan 

kasus. Berdasarkan hasil penelitian pengaturan hukum terhadap orang dengan 

gangguan mental yang telah diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) KUH Pidana. 

Hukuman pidana tidak dapat dijatuhkan kepada pelaku kejahatan dengan gangguan 

mental, dikarenakan masih adanya kekaburan dalam Pasal 44 KUH Pidana. Hukum di 

Indonesia telah mengatur dan menetapkan bahwa sebagaimana seseorang dapat 

dikatakan dewasa serta dapat bertanggung jawab terhadap tindakan hukum yang dia 

lakukan, sehingga hakim dapat menjatuhkan hukuman sesuai yang telah diatur oleh 

peraturan perundang-undangan yang berlaku.  


Akal yang dimiliki oleh manusia sesungguhnya merupakan suatu penunjang 

agar manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Melalui 

kemampuan akal ini , manusia dapat melakukan suatu pekerjaan, serta 

bersosialisasi dengan lingkungan hingga mengetahui perbuatan yang seharusnya 

dikerjakan dan yang dihindari. Hal ini  kemudian dipertegas kembali dalam 

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang 

menjelaskan bahwa, “Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi di mana seorang individu 

mampu berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan secara sosial, sehingga 

individu ini  menyadari kemampuannya sendiri, mampu mengatasi tekanan, 

dapat bekerja secara produktif, dan dapat memberikan kontribusi untuk 

masyarakat.” 

Berdasarkan hal ini  gangguan mental atau yang sering dikenal juga 

sebagai gangguan kejiwaan merupakan suatu hasil yang timbul dari psikologis 

beberapa atau sekelompok manusia. Gangguan mental seperti ini bukanlah sesuatu 

yang dikehendaki oleh setiap orang bahkan penderita, di masa yang demokrasi ini 

banyak ditemukan berbagai banyak masalah tindak kriminal khususnya di 

Indonesia yang secara terus menerus meningkat, hal ini kemudian membuat 

masyarakat khawatir dengan hal ini . Tindakan kekerasan dan aktivitas 

kriminal merupakan suatu ancaman utama bagi kehidupan sosial. Masalah 

kejahatan memang selalu membutuhkan perhatian serius dari waktu ke waktu. 

KUH Pidana buku dua sudah mengatur kejahatan, suatu perbuatan dianggap 

sebagai tindak pidana jika melanggar ketentuan buku kedua KUH Pidana.1 Faktanya 

tidak semua kejahatan dilakukan oleh orang yang sehat secara akal pikiran dan 

jiwanya, namun dapat juga dilakukan oleh orang yang kondisi jiwanya terganggu. 

Dalam perkembangannya beberapa kasus tindak pidana yang dilakukan oleh 

penyandang gangguan jiwa sering kali terjadi di Indonesia. 

Menurut Kartika Sari Dewi,2 kesehatan mental merupakan kondisi 

kesejahteraan yang disadari oleh individu, yang terdiri atas kemampuan-

kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara 

produktif dan menghasilkan serta berperan serta dalam komunitasnya. Data WHO 

di tahun 2018 menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun 

mengalami gangguan mental emosional, dengan prevelensi 6,2%, prevelensi 

semakin meningkat seiring dengan peningkatan usia, tertinggi pada umur 75 tahun 

sebesar 8,9%; 65-74 tahun sebesar 8,0%; 55-64 tahun sebesar 6,5% dan lebih dari 

12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi. Badan Litbankes 

di tahun 2016 sebanyak 1.800 orang. Serta semakin meningkat sejak adanya covid-

19.

Mental disorder juga dikenal dengan mental manik depresi adalah kondisi 

kesehatan yang mempengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, suasana hati atau 

dengan kata lain dari suasana hati yang senang menjadi suasana hati yang sedih.4 

Episode manik ialah peningkatan mood dan merasa gembira yang terjadi secara 

tak wajar. Sedangkan episode depresi ialah gangguan mood terhadap seseorang 

yang mengalami gejala depresi.5 Selama episode manik penderita mungkin merasa 

sangat bahagia, lebih energi dan lebih aktif dari biasanya, sedangkan selama 

episode depresi penderita gangguan mental ini merasa sangat sedih dan kurang 

aktif. 

Tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang memiliki kepribadian ganda itu 

merupakan suatu hal yang lumrah yang sering terjadi di masyarakat dengan 

berbagai macam kasus yang sangat berkarakteristik. Hal ini membuat banyak 

pertanyaan apakah hal ini  dapat dikenakan sanksi atau tidak.6 Contoh kasus 

yang terjadi pada seorang yang bernama Arsil yang ditabrak oleh Mahmud, 

sehingga Arsil mengalami luka-luka. Kasus yang lain terjadi di Madura yang 

melakukan pembacokan terhadap korban, sehingga korban mengalami luka-luka 

yang sangat parah. 

Perlakuan yang dilakukan terhadap orang yang mempunyai kekurangan 

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) KUH Pidana. Meskipun dalam 

KUH Pidana tidak mengatur tentang konsep tanggung jawab pidana secara khusus, 

namun KUH Pidana memiliki pengaruh negatif terhadap tanggung jawab pidana, 

yaitu untuk membentuk keadaan pikiran yang tidak dapat bertanggung jawab dan 

tidak bertanggung jawab. Pertanggungjawaban pidana mengarah pada 

pemahaman tentang pemidanaan bagi pelaku tindak pidana, yang bertujuan untuk 

memberikan efek jera bagi pelaku.7 Mengenai tanggung jawab pidana bagi seorang 

dengan gangguan mental dalam hal tindak pidana, diatur alasan-alasan 

penghapusan, pengurangan, atau pemberatan suatu tindak pidana sehubungan 

dengan Pasal 44 ayat (1) KUH Pidana yang sering digunakan dalam pasal-pasal ini 

saat  menyangkut tindak pidana terhadap orang dengan masalah kesehatan jiwa. 

Sebaliknya seseorang yang memiliki gangguan mental disebut dengan orang 

gila tanpa gangguan mental, yang artinya orang dengan gangguan kejiwaan 

tetaplah orang normal pada umumnya, tetapi memiliki kepribadian ganda yang 

mirip dengan orang yang gangguan jiwa. Jika pasal ini  tidak mengatur terkait 

dengan kejiwaan seseorang dan tidak diatur secara jelas dan tegas oleh undang-

undang atau pengaturan lainnya, maka hal ini akan menimbulkan kebingungan 

dikemudian hari. 

Pengamatan atau kajian yang berkaitan dengan kejiwaan manusia harus 

membedakan penyakit jiwa agar keadaan jiwa menjadi jelas agar tercipta aturan 

hukum yang jelas. Hal itu memberikan jawaban yang jelas kepada orang-orang 

yang kurang kompeten dibandingkan orang dengan penyakit jiwa sementara dia 

memberikan penelitian yang maksimal akan memberikan jawaban dan keadilan 

bagi para korban-korban juga bagi pelaku mental disorder itu sendiri.8 

Berkaca dari kasus yang terjadi antara Asril dan Mahmud, serta kasus 

pembacokan ini banyak menimbulkan polemik terkait bagaimana proses 

penanganan dari kasus ini , ada pihak yang berpendapat bahwa pelaku tidak 

dapat dihukum karena terbukti menderita gangguan kejiwaan dan ada juga yang 

mengatakan bahwa pelaku tetap dapat dihukum. Sebab adanya kekaburan pada 

norma yang terdapat dalam Pasal 44 KUH Pidana yang mengharuskan adanya 

spesifikasi yang termasuk dalam suatu kategori “perkembangan intelektual yang 

tidak sempurna”, dan kategori “gangguan akibat penyakit”, dalam hal ini hakim 

memiliki peran yang sangat penting dalam proses peradilan pemeriksaan hukum 

agar memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat dalam memutus sebuah perkara, 

sehingga interpretasi hakim sangat diperlukan.9 

Hukum telah menetapkan bahwa seseorang bisa dikatakan dewasa serta 

cakap hukum dan bertanggung jawab atas masalah hukum yang dia lakukan. 

Meskipun hal ini  masih mendapatkan pengeculian akan hal ini . 

Seseorang dianggap cakap secara hukum apabila sehat secara jasmani dan rohani 

atau bisa dikatakan dengan tidak adanya gangguan jiwa. Namun terkadang banyak 

kasus yang dilakukan oleh orang yang berlatarbelakang gangguan jiwa, apakah 

mereka dapat dijatuhkan hukuman sesuai dengan masalah hukum yang 

ditimbulkan olehnya atau tidak, terkadang hal ini terus-menerus menjadi konflik 

serta pertanyaan besar dalam penerapan hukum ini . 

 


Mengenai kemampuan bertanggung jawab seseorang terhadap tindakan yang 

dilakukan menurut peneliti ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi, yaitu: akal dan 

kehendak atau kemauan. Akal merupakan sesuatu yang dapat membedakan antara 

perbuatan yang dapat diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Sedangkan 

kemauan adalah sesuatu yang dapat mengatur perilakunya dengan menyadari apa 

yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan.10 

Namun faktor lain yaitu faktor kemauan atau kehendak, bukanlah merupakan 

faktor yang menentukan mampu tidaknya bagi seseorang untuk bertanggung 

jawab, karena kemauan tergantung pada kemampuan akal. Jika akal seseorang 

ini  sehat dan normal, yang artinya seseorang mampu membedakan antara 

perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak dapat diperbolehkan, dapatlah 

hukum diharuskan orang ini  juga menentukan kehendaknya sesuai dengan 

yang diperolehkan oleh hukum, karenanya faktor kehendak bukanlah merupakan 

suatu faktor yang menentukan kemampuan bertanggung jawab, melainkan 

sebagai salah satu faktor dalam menentukan kesalahan dan kemampuan 

bertanggung jawab hanyalah satu unsur dari kesalahan saja. 

Srikandi Wahyuning Tyas dan Diana Lukitasari,11 menjelaskan 

pertanggungjawaban pidana penderita gangguan kejiwaan haruslah disesuaikan 

dengan kondisi keadaan yang dihadapi korban dalam kasus hukum dan tidak 

dapat digeneralisasikan bahwa suatu perbuatan tindak pidana yang dilakukan 

oleh korban tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagian darinya. Oleh karena 

itu, harus adanya hubungan antara kejahatan dan penyakit serta tidak demikian 

halnya bila keadaan sehat. 

Jika tidak ada hubungan antara penyakit dengan kejahatan yang dilakukan, 

maka terdakwa dianggap bersalah dan mampu bertanggung jawab, sehingga dapat 

dijatuhi pidana. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka 

peneliti akan membahas permasalahan menjadi dua. Pertama, apakah seseorang 

dengan gangguan kejiwaan termasuk subjek hukum yang cakap hukum? Kedua, 

bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana dengan 

gangguan kejiwaan menurut hukum yang berlaku? 


1. Seseorang Dengan Gangguan Kejiwaan Termasuk Subjek Hukum yang 

Cakap Hukum 

Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban 

menurut hukum atau segala pendukung hak dan kewajiban menurut hukum. Subjek 

hukum adalah setiap makhluk yang berwewenang untuk memiliki, memperoleh dan 

menggunakan hak-hak kewajiban dalam lalu lintas hukum.13 Orang dengan 

gangguan mental sering kita temui di sekitar masyarakat, bahkan yang 

diperlihatkan oleh orang hampir sama antara satu sama lain, sehingga sangat sulit 

untuk dibedakan satu sama lain karena ada banyak jenis gangguan mental dan 

gejalanya. Meskipun hal ini terlihat serupa, namun klasifikasinya berbeda 

tergantung pada diagnosis yang ditentukan. Tidak termasuk dalam subjek hukum. 

Terkadang banyak faktor seseorang melakukan masalah pidana contoh salah 

satunya ialah masalah kejiwaan seseorang atau mentalnya,14 tindakan hukum atau 

masalah hukum yang ditimbulkan oleh orang yang mengalami gangguan jiwa 

dengan orang normal tentu berbeda secara akibat serta bentuk masalah hukum 

yang ditimbulkan. Hal ini juga terdapat keterkaitan dengan batas usia yang cakap 

hukum. Namun permasalahannya bukan terkait usia pelaku, melainkan pada syarat-

syarat yang dengannya seseorang dapat disebut cakap hukum. Pertanyaan lain 

adalah apakah terdapat undang-undang yang mengatur tanggung jawab pelaku 

tindak pidana jika terbukti mengalami gangguan kejiwaan. 

Menurut Pasal 1329 KUH Perdata yang berbunyi, “Setiap orang dianggap 

mempunyai kecakapan hukum, kecuali badan hukum itu telah dinyatakan tidak 

mampu melakukan perbuatan hukum.” Mengenai kesanggupan seseorang dalam 

melakukan perbuatan melawan hukum dapat dilihat pada Pasal 330, 433, dan 1330 

KUH Perdata. Sebagai yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa menurut Pasal 1320 

KUH Perdata yang menyatakan di antara syarat sahnya suatu perjanjian adalah 

kesanggupan atau kemampuan melaksanakan suatu perikatan, yang juga dapat 

diinterpretasikan sebagai salah satu bentuk kesanggupan (kemampuan) untuk 

menjalankan suatu perbuatan yang diperbuat oleh hukum, dan salah satu syarat 

kecakapan untuk melakukan perbuatan adalah cukup umur dan bukan berada di 

bawah pengampuan atau dengan kata lain ialah subjek hukum (natuurlijk persoon) 

yang di mana harus wajib mempunyai kemampuan untuk melaksanakan perbuatan 

hukum secara mandiri, sehingga para pihak dalam suatu hubungan hukum dapat 

saling mendukung antara hak dan kewajibannya sendiri. 

Selanjutnya dalam pasal-pasal ini tidak secara khusus menyebutkan orang yang 

berwenang melakukan perbuatan hukum. Serta dalam Pasal 1330 KUH Perdata 

menyatakan bahwa tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: 

a) Orang yang belum dewasa (genap 21 tahun); 

b) Orang-orang yang ditempatkan di bawah pengampuan; dan 

c) Perempuan dalam hal yang diatur oleh undang-undang dan pada prinsipnya 

segala sesuatu yang dilarang undang-undang harus membuat perjanjian-

perjanjian tertentu. 

 


Sebaliknya berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata maka dapat ditafsirkan secara 

a contrario bahwa cakap membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang sudah 

dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, orang-orang perempuan dalam 

hal tidak ditetapkan oleh undang-undang, dan orang-orang yang dilarang oleh 

undang-undang mengenai siapa yang dikatakan dewasa dapat ditafsirkan dari 

ketentuan Pasal 330 KUH Perdata yang berbunyi “Belum dewasa adalah setiap 

orang yang belum mencapai umur 21 tahun, dan belum menikah. Jika perkawinan 

itu dibubarkan sebelum usia itu, mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum 

dewasa.” 

Mereka yang tidak di bawah pengampuan dapat ditafsirkan secara contrario 

dari isi Pasal 433 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Setiap orang dewasa yang 

selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau memiliki mata gelap harus ditaruh di 

bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. 

Seseorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.” 

Pasal 1330 ayat (3) KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa dalam pasal ini 

terdapat dua golongan orang yang dinyatakan tidak cakap hukum dalam melakukan 

perbuatan hukum. Golongan pertama terdiri kaum wanita, dalam hal yang diatur 

dengan undang-undang, dan golongan kedua adalah orang-orang yang dilarang oleh 

undang-undang untuk membuat suatu perjanjian. Perempuan yang oleh undang-

undang ditetapkan tidak mampu melakukan perbuatan hukum menurut ketentuan 

ini adalah istri. 

Kemampuan bertanggung jawab berkaitan erat dengan keadaan jiwa atau 

badan dari seseorang pada saat melakukan suatu perbuatan. Apabila keadaan 

seseorang keadaan jiwanya sehat atau normal maka diharapkan dapat mengatur 

tingkah lakunya sesuai yang telah dianut oleh masyarakat, akan tetapi apabila 

seseorang yang keadaan jiwa dan batinnya terganggu tentunya tingkah lakunya juga 

terganggu atau tidak normal, sehingga norma-norma yang ada dalam hidup dan 

berlaku di masyarakat tidak dapat dilakukan dengan baik dan benar. 

Mengenai kemampuan bertanggung jawab menurut Simons,15 menyatakan 

bahwa “kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan 

psikis yang sedemikian rupa, yang membenarkan adanya suatu upaya pemidanaan 

baik dilihat dari sudut hukum maupun orang.” Seseorang mampu bertanggung 

jawab apabila jiwanya sehat, yaitu: a) Mampu mengetahui atau menyadari bahwa 

apa yang dilakukan itu bertentangan dengan hukum; b) Dapat menentukan 

kehendaknya sesuai dengan kesadaran ini . Atas dasar itu pengampuan adalah 

suatu kondisi dalam diri seseorang (curandus) x yang disebabkan oleh perilaku 

pribadinya yang teranggap tidak cakap atau tidak mampu melakukan sendiri dalam 

urusan hukum. Atas dasar itu, orang ini  diklasifikasikan sebagai penyandang 

cacat berdasarkan keputusan hakim. Orang ini  ditugaskan perwakilan sebagai 

wali pengampu (curator).

Dasar hukum dari pengampuan adalah Pasal 433 bab XVII KUH Perdata yang 

kini dijelaskan dalam Pasal 434-461 KUH Perdata. Menurut Pasal 433 kriteria orang 

yang berada di bawah pengampuan adalah orang-orang yang sudah cakap umur 

(dewasa) yang sering dalam keadaan dungu, sakit jiwa (pikiran abnormal) atau 

buta, hendaknya ditetapkan sepatutnya ditaruh pada pengampuan, meskipun 

kadang-kadang ia mampu melakukan sesuatu dengan pikirannya. Selanjutnya Pasal 

1330 KUH Perdata menjelaskan mengenai subjek hukum yang tidak dapat 

mengadakan perjanjian, yaitu orang yang masih anak-anak atau belum dewasa (21 

tahun) dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan. 

Hal ini  dipertegas kembali dalam Pasal 45 KUH Pidana yang menyatakan 

bahwa penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan 

suatu perbuatan sebelum umur 16 (enam belas) tahun, hakim dapat menentukan 

memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya atau 

walinya tanpa pidana apapun atau memerintahkan supaya yang bersalah 

diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun jika perbuatan ini  

merupakan kejahatan. 

Dengan demikian, seseorang yang melakukan tindak pidana pada saat 

keadaannya tidak sempurna maka dapat diadili sebagai tindak pidana biasa. 

Namun dalam hal ini hakim berwewenang untuk memerintahkan kepada terdakwa 

untuk dikembalikan kepada orang tuanya atau walinya karena segala perbuatan 

yang dilakukan oleh orang-orang yang secara akalnya tidak sempurna dianggap 

menjadi tanggung jawab dari orang tua atau walinya, tidak termasuk dalam subjek 

yang cakap hukum. 

2. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Dengan 

Gangguan Kejiwaan Menurut Hukum yang Berlaku 

Salah satu ciri dari semua sistem hukum adalah tanggung jawab pidana pribadi 

atas kejahatan yang telah dilakukan yang selalu dikaitkan dengan kondisi mentalnya 

tertentu. Keadaan khusus ini yang selalu dirumuskan dalam bentuk negatif sebagai 

syarat untuk memaafkan, yang artinya dapat dirumuskan dengan menyebut 

keadaan-keadaan sebagai alasan-alasan pembatalan hukuman dengan 

menyebutkan keadaan ini . 

Penegak hukum atau law enforcement yang dimulai dari proses penyelidikan 

dan penyidikan tindak pidana, yang menjadi tugas disini adalah institusi Polri disini 

berkomitmen untuk mendukung penegakan hukum, keadilan dan perlindungan 

sebagai penyidik dan penyelidik utama serta sebagai alat penegak hukum, 

pengayom dan pelindung masyarakat harkat dan martabat manusia serta 

ketertiban dan kepastian hukum. Negara hukum dapat dilaksanakan melalui 

peraturan perundang-undangan atau aturan lain yang telah menjadi asas umum 

sistem hukum.17 

Dalam hukum pidana dikenal dengan doktrin mens rea adalah bahwa adanya 

unsur subjektif adalah mutlak bagi pertanggungjawaban pidana atau dengan kata 

lain mens rea merupakan setiap perkara pelanggaran hukum yang dilakukan 

disebabkan pada diri orang itu sudah melekat sikap batin yang jahat (evil will), maka 

dari itu perbuatan ini  dianggap merupakan dosa. Mens rea atau yang sering 

disebut dengan “actus non est reus nisi mens sit rea” yang artinya adalah suatu 

perbuatan tidak menjadikan seseorang bersalah kecuali pemikirannya ialah salah.  

Namun rumusan ini  di atas dapat dinyatakan sebagai suatu pernyataan 

yang teliti dari suatu prinsip yang sebenarnya lain, yaitu bahwa mens rea adalah 

suatu kehendak untuk melakukan suatu perbuatan yang salah dalam arti yang 

dilarang oleh undang-undang. Maka berdasarkan doktrin ini pula suatu peradilan 

pidana dapat melibatkan penyelidikan-penyelidikan terhadap kesehatan jiwa dari 

seorang terdakwa terhadap apa yang diketahuinya, yakini atau diduga sebelumnya 

atau terhadap persoalan-persoalan sekitar apakah dia telah diancam atau dihasut 

untuk melakukan perbuatan pidana itu atau apakah dia telah dihalangi oleh suatu 

penyakit ataupun ketidaksadaran atas pengawasan terhadap dirinya atau 

badannya. 

Berdasarkan hal ini  di atas inilah yang dalam hukum pidana Anglo 

American disebut dengan mistake, accident, provocation, duress dan insanity. Hal ini 

juga dapat memainkan peran penting bahkan kerap kali dramatis jika ada sebuah 

tuntutan-tuntutan yang dikualifikasi pidana berat. 

Doktrin mens rea ini disebut sebagai salah satu dasar hukum pidana, dan dalam 

praktik bahkan ditambahkan orang bahwa pertanggungjawaban pidana menjadi 

lenyap jika ada salah satu dari keadaan-keadaan atau kondisi-kondisi yang 

memaafkan itu. Sebagai aturan hukum untuk melakukan perbuatan hukum, 

seseorang harus sudah dewasa dan cakap serta mampu melakukan perbuatan 

hukum.18 Sehingga saat  seseorang mengambil atau melakukan suatu tindakan 

hukum terhadap apa yang mereka perbuat, mereka juga mampu bertanggung 

jawab. 

Setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh seseorang pasti memiliki 

konsekuensinya masing-masing baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. 

Demikian pula saat  ia melakukan kejahatan atau pelanggaran, ia harus dapat 

mempertanggungjawabkan perbuatannya ini , sebagai cerminan bahwa ia 

adalah subjek hukum. Namun tidak semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap 

orang dapat dimintai pertanggungjawaban, karena tidak semua orang yang 

memiliki kecakapan hukum dapat menggunakan kecakapan hukumnya secara utuh 

dan sempurna. Oleh karena itu, ada beberapa alasan dalam hukum pidana yang 

memberikan pengecualian terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang 

tidak mempunyai termasuk dalam golongan subjek cakap hukum. Kemampuan 

pertanggungjawaban semacam ini belum diatur secara jelas dalam KUH Pidana. 

Berdasarkan pendapat Moeljatno,19 yang mengatakan bahwa kemampuan 

pertanggungjawaban berkaitan dengan Pasal 44 KUH Pidana yang di dalam telah 

mengatur tentang keadaan seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawabannya. 

Seperti contoh kasus yang terjadi antara Mahmud yang telah melakukan 

perbuatan yang dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor, sehingga 

mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, yang mengakibatkan orang lain terluka 

parah, serta kasus pembacokan yang terjadi di Madura. Perlakuan terhadap orang 

yang memiliki kekurangan ini  telah diatur dalam KUH Pidana tepatnya dalam 

Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3) menetapkan: 

(1) “Bahwa tiada dapat dipidana barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan 

yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang 

sempurna akalnya atau sakit berubah akal; 

(2) Bahwa jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan 

kepadaannya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka 

dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa 

selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa; dan 

(3) Bahwa ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, 

Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.” 

Atas dasar itulah, peneliti menilai bahwa peraturan perundang-undangan 

dalam hal ini KUH Pidana belum secara tegas mengatur secara jelas mengenai 

gangguan jiwa hanya ada ketentuan mengenai kapan seseorang dianggap tidak 

mampu bertanggung jawab karena dua alasan yang tercantum dalam Pasal 44 KUH 

Pidana. Menurut R. Soesilo, hakim memiliki wewenang untuk memutuskan apakah 

terdakwa dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu perbuatannya, 

meskipun ia juga dapat meminta nasihat dari psikiater. Jika hakim berpendapat 

bahwa orang ini  tidak bertanggung jawab atas perbuatannya orang ini  

akan dibebaskan dari segala tuntutan pidana. Namun untuk mencegah hal yang 

membahayakan keselamatan dari seorang yang memiliki gangguan mental dan 

masyarakat umum, hakim dapat memerintahkan terdakwa berada di rumah sakit 

jiwa dengan masa percobaan selama satu tahun untuk perlindungan dan 

pemeriksaan.

Menurut hukum pidana Indonesia yang ditulis oleh P.A.F. Lamintang dan C. 

Djisman Samosir,21 yang mengatakan bahwa tidak dapat dihukum, barang siapa 

melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, 

karena pertumbuhan akal sehatnya yang tidak sempurna atau sakit jiwanya. 

Selanjutnya Adami Chazawi berpendapat bahwa, “Barang siapa melakukan suatu 

perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya 

cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena suatu penyakit tidak dapat 

dipidana.”

Pendapat yang dikemukakan oleh ahli ini  di atas adalah sudah sesuai 

dengan apa yang disebutkan dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP. Seseorang yang tidak 

dapat mengerti dengan apa yang dilakukan dan tidak mengetahui apa akibat yang 

akan ditimbulkan akibat yang sudah dilakukannya, maka tidaklah dapat 

dimintakan pertanggungjawaban. Dari norma yang dirumuskan dalam Pasal 44 

ayat (1) KUH Pidana jelas ada dua penyebab tidak dapat dipidananya berhubung 

dengan tidak mempunyai pertanggungjawaban dari pembuat atau pelaku yang 

terbukti melakukan tindak pidana, yaitu; 1) karena jiwanya cacat dalam 

pertumbuhan; dan 2) karena terganggu jiwanya dari sebab penyakit. Sehingga 

menurut hukum pidana tidak dapat digolongkan dalam subjek yang cakap hukum 

dan dapat bertanggung jawab. Orang yang memiliki gangguan mental tidak dapat 

dipidana. Hal itupula dipertegas kembali dalam KUH Pidana menjelaskan bahwa 

setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas 

mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau 

dikenai tindakan. 

Ketentuan pada Pasal 44 ayat (1) KUH Pidana yang menjelaskan bahwa 

seseorang yang memiliki gangguan jiwa atau mental atas tindakannya 

mengakibatkan masalah hukum akan dibebaskan dari segala tuntutan hukum 

serta dibebaskan dari segala ancaman pidana. Berdasarkan hal ini , peneliti 

dalam hal ini menilai adanya kelemahan pada Pasal 44 KUH Pidana ini  saat  

melihat dari uraian di atas: 

a) Bahwa pada pasal ini ditujukan kepada orang yang tidak mampu 

 

 

bertanggung jawab dan dalam kondisi yang sakit secara kejiwaan atau 

tidak sempurna secara akalnya, sehingga alasan peniadaan pidana pun 

layak untuk dijatuhkan terhadap mereka, dalam hal ini konsekuensinya 

logis yaitu lepas dari segala tuntutan jika memang kondisi terdakwa 

berada dalam keadaan sakit jiwa; 

b) Bahwa pasal ini  kurang jelas dalam memberikan uraian mengenai 

batasan kemampuan bertanggung jawab seseorang, yang pada praktiknya 

dalam proses penyelidikan seringkali ditemukan fakta bahwa tersangka 

dalam keadaan normal secara fisik, namun secara mental dan kejiwaannya 

bermasalah, sehingga ia melakukan kejahatan atau yang sering disebut 

dengan gangguan jiwa. 

Selain itu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, 

dalam Pasal 1 menjelaskan bahwa, orang yang mengalami gangguan kesehatan 

kejiwaan adalah orang-orang yang mengalami kondisi gangguan pikiran serta 

mental, terhadap diri sendiri dan terhadap perasaan yang diekspresikan dalam 

bentuk gejala dan/atau perubahan perilaku yang signifikan karena bisa 

menyebabkan penderitaan atau rintangan yang menghalanginya untuk memenuhi 

peran manusia sebagai dirinya dan menjadi manusia seutuhnya. 

Pemerintah seharusnya membuat undang-undang yang memuat pengaturan 

khusus tentang pertanggungjawaban subjek cakap hukum dan subjek tidak cakap 

hukum, sehingga pada masa yang akan datang dapat digunakan untuk mengatasi 

permasalahan yang muncul terkait kekaburan norma pada Pasal 44 KUH Pidana 

(lama), serta dalam Pasal 38 KUH Pidana (baru), bahwa kedua pasal ini  

memang sama-sama mengatur mengenai hukuman untuk para pelaku pidana 

yang sedang dalam gangguan jiwa disabilitas, tetapi pada Pasal 44 menjelaskan 

bahwa hukuman yang dikurangkan. 

Berdasarkan hasil dari pembahasan di atas, maka peneliti menyimpulkan 

bahwa seseorang yang dianggap cakap hukum salah satunya ialah seseorang sedang 

tidak di bawah pengampuan, sehingga orang gila atau orang yang memiliki 

gangguan penyakit kejiwaan (disorder) merupakan salah satu contoh subjek yang 

tidak cakap hukum. Pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pelaku yang 

memiliki gangguan mental atau gangguan kejiwaan menurut hukum yang berlaku 

di Indonesia, tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena hal ini berkaitan 

dengan tujuan dari penghukuman itu sendiri di mana tujuannya itu adalah untuk 

memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh pelaku. Ketentuan ini  

sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUH Pidana ayat (1) (lama) serta hal ini  

dipertegas kembali dalam Pasal 38 KUH Pidana (baru). 

Berdasarkan undang-undang ini , yang dalam hal ini adalah hukum 

pidana tidak secara tegas mengatur ketentuan tentang gangguan kejiwaan, yang 

ada hanyalah pengaturan tentang kapan seseorang dianggap tidak mampu 

bertanggung jawab berdasarkan pada dua keadaan yang diatur dalam Pasal 44 

KUH Pidana. Pemerintah dalam hal ini seharusnya membuat undang-undang yang 

ideal dimasa yang akan datang guna untuk mengatasi permasalahan yang muncul 

terkait kekaburan norma pada Pasal 44 KUH Pidana dan belum adanya istilah 

dalam hukum disorder positif yang ada di Indonesia maupun dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUH Pidana. 

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak… (Orintina Vavinta Ida dan Nany Suryawati) 


Related Posts: