Mental disorder merupakan kondisi kesehatan yang mempengaruhi pemikiran,
perasaan, perilaku dan suasana hati. Pertanggungjawaban pidana bagi orang dengan
gangguan mental diatur dalam Pasal 44 KUH Pidana, namun ketentuan ini tidak
menjelaskan batasan-batasan yang tidak dapat dijelaskan dari keadaan seseorang,
sehingga dalam hal ini harus diketahui hubungan gangguan kejiwaan dengan aktivitas
yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Penulisan ini menggunakan metode
penulisan normatif yang didasarkan pada pendekatan undang-undang dan pendekatan
kasus. Berdasarkan hasil penelitian pengaturan hukum terhadap orang dengan
gangguan mental yang telah diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) KUH Pidana.
Hukuman pidana tidak dapat dijatuhkan kepada pelaku kejahatan dengan gangguan
mental, dikarenakan masih adanya kekaburan dalam Pasal 44 KUH Pidana. Hukum di
Indonesia telah mengatur dan menetapkan bahwa sebagaimana seseorang dapat
dikatakan dewasa serta dapat bertanggung jawab terhadap tindakan hukum yang dia
lakukan, sehingga hakim dapat menjatuhkan hukuman sesuai yang telah diatur oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Akal yang dimiliki oleh manusia sesungguhnya merupakan suatu penunjang
agar manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Melalui
kemampuan akal ini , manusia dapat melakukan suatu pekerjaan, serta
bersosialisasi dengan lingkungan hingga mengetahui perbuatan yang seharusnya
dikerjakan dan yang dihindari. Hal ini kemudian dipertegas kembali dalam
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang
menjelaskan bahwa, “Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi di mana seorang individu
mampu berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan secara sosial, sehingga
individu ini menyadari kemampuannya sendiri, mampu mengatasi tekanan,
dapat bekerja secara produktif, dan dapat memberikan kontribusi untuk
masyarakat.”
Berdasarkan hal ini gangguan mental atau yang sering dikenal juga
sebagai gangguan kejiwaan merupakan suatu hasil yang timbul dari psikologis
beberapa atau sekelompok manusia. Gangguan mental seperti ini bukanlah sesuatu
yang dikehendaki oleh setiap orang bahkan penderita, di masa yang demokrasi ini
banyak ditemukan berbagai banyak masalah tindak kriminal khususnya di
Indonesia yang secara terus menerus meningkat, hal ini kemudian membuat
masyarakat khawatir dengan hal ini . Tindakan kekerasan dan aktivitas
kriminal merupakan suatu ancaman utama bagi kehidupan sosial. Masalah
kejahatan memang selalu membutuhkan perhatian serius dari waktu ke waktu.
KUH Pidana buku dua sudah mengatur kejahatan, suatu perbuatan dianggap
sebagai tindak pidana jika melanggar ketentuan buku kedua KUH Pidana.1 Faktanya
tidak semua kejahatan dilakukan oleh orang yang sehat secara akal pikiran dan
jiwanya, namun dapat juga dilakukan oleh orang yang kondisi jiwanya terganggu.
Dalam perkembangannya beberapa kasus tindak pidana yang dilakukan oleh
penyandang gangguan jiwa sering kali terjadi di Indonesia.
Menurut Kartika Sari Dewi,2 kesehatan mental merupakan kondisi
kesejahteraan yang disadari oleh individu, yang terdiri atas kemampuan-
kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara
produktif dan menghasilkan serta berperan serta dalam komunitasnya. Data WHO
di tahun 2018 menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun
mengalami gangguan mental emosional, dengan prevelensi 6,2%, prevelensi
semakin meningkat seiring dengan peningkatan usia, tertinggi pada umur 75 tahun
sebesar 8,9%; 65-74 tahun sebesar 8,0%; 55-64 tahun sebesar 6,5% dan lebih dari
12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi. Badan Litbankes
di tahun 2016 sebanyak 1.800 orang. Serta semakin meningkat sejak adanya covid-
19.
Mental disorder juga dikenal dengan mental manik depresi adalah kondisi
kesehatan yang mempengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, suasana hati atau
dengan kata lain dari suasana hati yang senang menjadi suasana hati yang sedih.4
Episode manik ialah peningkatan mood dan merasa gembira yang terjadi secara
tak wajar. Sedangkan episode depresi ialah gangguan mood terhadap seseorang
yang mengalami gejala depresi.5 Selama episode manik penderita mungkin merasa
sangat bahagia, lebih energi dan lebih aktif dari biasanya, sedangkan selama
episode depresi penderita gangguan mental ini merasa sangat sedih dan kurang
aktif.
Tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang memiliki kepribadian ganda itu
merupakan suatu hal yang lumrah yang sering terjadi di masyarakat dengan
berbagai macam kasus yang sangat berkarakteristik. Hal ini membuat banyak
pertanyaan apakah hal ini dapat dikenakan sanksi atau tidak.6 Contoh kasus
yang terjadi pada seorang yang bernama Arsil yang ditabrak oleh Mahmud,
sehingga Arsil mengalami luka-luka. Kasus yang lain terjadi di Madura yang
melakukan pembacokan terhadap korban, sehingga korban mengalami luka-luka
yang sangat parah.
Perlakuan yang dilakukan terhadap orang yang mempunyai kekurangan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) KUH Pidana. Meskipun dalam
KUH Pidana tidak mengatur tentang konsep tanggung jawab pidana secara khusus,
namun KUH Pidana memiliki pengaruh negatif terhadap tanggung jawab pidana,
yaitu untuk membentuk keadaan pikiran yang tidak dapat bertanggung jawab dan
tidak bertanggung jawab. Pertanggungjawaban pidana mengarah pada
pemahaman tentang pemidanaan bagi pelaku tindak pidana, yang bertujuan untuk
memberikan efek jera bagi pelaku.7 Mengenai tanggung jawab pidana bagi seorang
dengan gangguan mental dalam hal tindak pidana, diatur alasan-alasan
penghapusan, pengurangan, atau pemberatan suatu tindak pidana sehubungan
dengan Pasal 44 ayat (1) KUH Pidana yang sering digunakan dalam pasal-pasal ini
saat menyangkut tindak pidana terhadap orang dengan masalah kesehatan jiwa.
Sebaliknya seseorang yang memiliki gangguan mental disebut dengan orang
gila tanpa gangguan mental, yang artinya orang dengan gangguan kejiwaan
tetaplah orang normal pada umumnya, tetapi memiliki kepribadian ganda yang
mirip dengan orang yang gangguan jiwa. Jika pasal ini tidak mengatur terkait
dengan kejiwaan seseorang dan tidak diatur secara jelas dan tegas oleh undang-
undang atau pengaturan lainnya, maka hal ini akan menimbulkan kebingungan
dikemudian hari.
Pengamatan atau kajian yang berkaitan dengan kejiwaan manusia harus
membedakan penyakit jiwa agar keadaan jiwa menjadi jelas agar tercipta aturan
hukum yang jelas. Hal itu memberikan jawaban yang jelas kepada orang-orang
yang kurang kompeten dibandingkan orang dengan penyakit jiwa sementara dia
memberikan penelitian yang maksimal akan memberikan jawaban dan keadilan
bagi para korban-korban juga bagi pelaku mental disorder itu sendiri.8
Berkaca dari kasus yang terjadi antara Asril dan Mahmud, serta kasus
pembacokan ini banyak menimbulkan polemik terkait bagaimana proses
penanganan dari kasus ini , ada pihak yang berpendapat bahwa pelaku tidak
dapat dihukum karena terbukti menderita gangguan kejiwaan dan ada juga yang
mengatakan bahwa pelaku tetap dapat dihukum. Sebab adanya kekaburan pada
norma yang terdapat dalam Pasal 44 KUH Pidana yang mengharuskan adanya
spesifikasi yang termasuk dalam suatu kategori “perkembangan intelektual yang
tidak sempurna”, dan kategori “gangguan akibat penyakit”, dalam hal ini hakim
memiliki peran yang sangat penting dalam proses peradilan pemeriksaan hukum
agar memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat dalam memutus sebuah perkara,
sehingga interpretasi hakim sangat diperlukan.9
Hukum telah menetapkan bahwa seseorang bisa dikatakan dewasa serta
cakap hukum dan bertanggung jawab atas masalah hukum yang dia lakukan.
Meskipun hal ini masih mendapatkan pengeculian akan hal ini .
Seseorang dianggap cakap secara hukum apabila sehat secara jasmani dan rohani
atau bisa dikatakan dengan tidak adanya gangguan jiwa. Namun terkadang banyak
kasus yang dilakukan oleh orang yang berlatarbelakang gangguan jiwa, apakah
mereka dapat dijatuhkan hukuman sesuai dengan masalah hukum yang
ditimbulkan olehnya atau tidak, terkadang hal ini terus-menerus menjadi konflik
serta pertanyaan besar dalam penerapan hukum ini .
Mengenai kemampuan bertanggung jawab seseorang terhadap tindakan yang
dilakukan menurut peneliti ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi, yaitu: akal dan
kehendak atau kemauan. Akal merupakan sesuatu yang dapat membedakan antara
perbuatan yang dapat diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Sedangkan
kemauan adalah sesuatu yang dapat mengatur perilakunya dengan menyadari apa
yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan.10
Namun faktor lain yaitu faktor kemauan atau kehendak, bukanlah merupakan
faktor yang menentukan mampu tidaknya bagi seseorang untuk bertanggung
jawab, karena kemauan tergantung pada kemampuan akal. Jika akal seseorang
ini sehat dan normal, yang artinya seseorang mampu membedakan antara
perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak dapat diperbolehkan, dapatlah
hukum diharuskan orang ini juga menentukan kehendaknya sesuai dengan
yang diperolehkan oleh hukum, karenanya faktor kehendak bukanlah merupakan
suatu faktor yang menentukan kemampuan bertanggung jawab, melainkan
sebagai salah satu faktor dalam menentukan kesalahan dan kemampuan
bertanggung jawab hanyalah satu unsur dari kesalahan saja.
Srikandi Wahyuning Tyas dan Diana Lukitasari,11 menjelaskan
pertanggungjawaban pidana penderita gangguan kejiwaan haruslah disesuaikan
dengan kondisi keadaan yang dihadapi korban dalam kasus hukum dan tidak
dapat digeneralisasikan bahwa suatu perbuatan tindak pidana yang dilakukan
oleh korban tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagian darinya. Oleh karena
itu, harus adanya hubungan antara kejahatan dan penyakit serta tidak demikian
halnya bila keadaan sehat.
Jika tidak ada hubungan antara penyakit dengan kejahatan yang dilakukan,
maka terdakwa dianggap bersalah dan mampu bertanggung jawab, sehingga dapat
dijatuhi pidana. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
peneliti akan membahas permasalahan menjadi dua. Pertama, apakah seseorang
dengan gangguan kejiwaan termasuk subjek hukum yang cakap hukum? Kedua,
bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana dengan
gangguan kejiwaan menurut hukum yang berlaku?
1. Seseorang Dengan Gangguan Kejiwaan Termasuk Subjek Hukum yang
Cakap Hukum
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban
menurut hukum atau segala pendukung hak dan kewajiban menurut hukum. Subjek
hukum adalah setiap makhluk yang berwewenang untuk memiliki, memperoleh dan
menggunakan hak-hak kewajiban dalam lalu lintas hukum.13 Orang dengan
gangguan mental sering kita temui di sekitar masyarakat, bahkan yang
diperlihatkan oleh orang hampir sama antara satu sama lain, sehingga sangat sulit
untuk dibedakan satu sama lain karena ada banyak jenis gangguan mental dan
gejalanya. Meskipun hal ini terlihat serupa, namun klasifikasinya berbeda
tergantung pada diagnosis yang ditentukan. Tidak termasuk dalam subjek hukum.
Terkadang banyak faktor seseorang melakukan masalah pidana contoh salah
satunya ialah masalah kejiwaan seseorang atau mentalnya,14 tindakan hukum atau
masalah hukum yang ditimbulkan oleh orang yang mengalami gangguan jiwa
dengan orang normal tentu berbeda secara akibat serta bentuk masalah hukum
yang ditimbulkan. Hal ini juga terdapat keterkaitan dengan batas usia yang cakap
hukum. Namun permasalahannya bukan terkait usia pelaku, melainkan pada syarat-
syarat yang dengannya seseorang dapat disebut cakap hukum. Pertanyaan lain
adalah apakah terdapat undang-undang yang mengatur tanggung jawab pelaku
tindak pidana jika terbukti mengalami gangguan kejiwaan.
Menurut Pasal 1329 KUH Perdata yang berbunyi, “Setiap orang dianggap
mempunyai kecakapan hukum, kecuali badan hukum itu telah dinyatakan tidak
mampu melakukan perbuatan hukum.” Mengenai kesanggupan seseorang dalam
melakukan perbuatan melawan hukum dapat dilihat pada Pasal 330, 433, dan 1330
KUH Perdata. Sebagai yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa menurut Pasal 1320
KUH Perdata yang menyatakan di antara syarat sahnya suatu perjanjian adalah
kesanggupan atau kemampuan melaksanakan suatu perikatan, yang juga dapat
diinterpretasikan sebagai salah satu bentuk kesanggupan (kemampuan) untuk
menjalankan suatu perbuatan yang diperbuat oleh hukum, dan salah satu syarat
kecakapan untuk melakukan perbuatan adalah cukup umur dan bukan berada di
bawah pengampuan atau dengan kata lain ialah subjek hukum (natuurlijk persoon)
yang di mana harus wajib mempunyai kemampuan untuk melaksanakan perbuatan
hukum secara mandiri, sehingga para pihak dalam suatu hubungan hukum dapat
saling mendukung antara hak dan kewajibannya sendiri.
Selanjutnya dalam pasal-pasal ini tidak secara khusus menyebutkan orang yang
berwenang melakukan perbuatan hukum. Serta dalam Pasal 1330 KUH Perdata
menyatakan bahwa tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
a) Orang yang belum dewasa (genap 21 tahun);
b) Orang-orang yang ditempatkan di bawah pengampuan; dan
c) Perempuan dalam hal yang diatur oleh undang-undang dan pada prinsipnya
segala sesuatu yang dilarang undang-undang harus membuat perjanjian-
perjanjian tertentu.
Sebaliknya berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata maka dapat ditafsirkan secara
a contrario bahwa cakap membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang sudah
dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, orang-orang perempuan dalam
hal tidak ditetapkan oleh undang-undang, dan orang-orang yang dilarang oleh
undang-undang mengenai siapa yang dikatakan dewasa dapat ditafsirkan dari
ketentuan Pasal 330 KUH Perdata yang berbunyi “Belum dewasa adalah setiap
orang yang belum mencapai umur 21 tahun, dan belum menikah. Jika perkawinan
itu dibubarkan sebelum usia itu, mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum
dewasa.”
Mereka yang tidak di bawah pengampuan dapat ditafsirkan secara contrario
dari isi Pasal 433 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Setiap orang dewasa yang
selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau memiliki mata gelap harus ditaruh di
bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.
Seseorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”
Pasal 1330 ayat (3) KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa dalam pasal ini
terdapat dua golongan orang yang dinyatakan tidak cakap hukum dalam melakukan
perbuatan hukum. Golongan pertama terdiri kaum wanita, dalam hal yang diatur
dengan undang-undang, dan golongan kedua adalah orang-orang yang dilarang oleh
undang-undang untuk membuat suatu perjanjian. Perempuan yang oleh undang-
undang ditetapkan tidak mampu melakukan perbuatan hukum menurut ketentuan
ini adalah istri.
Kemampuan bertanggung jawab berkaitan erat dengan keadaan jiwa atau
badan dari seseorang pada saat melakukan suatu perbuatan. Apabila keadaan
seseorang keadaan jiwanya sehat atau normal maka diharapkan dapat mengatur
tingkah lakunya sesuai yang telah dianut oleh masyarakat, akan tetapi apabila
seseorang yang keadaan jiwa dan batinnya terganggu tentunya tingkah lakunya juga
terganggu atau tidak normal, sehingga norma-norma yang ada dalam hidup dan
berlaku di masyarakat tidak dapat dilakukan dengan baik dan benar.
Mengenai kemampuan bertanggung jawab menurut Simons,15 menyatakan
bahwa “kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan
psikis yang sedemikian rupa, yang membenarkan adanya suatu upaya pemidanaan
baik dilihat dari sudut hukum maupun orang.” Seseorang mampu bertanggung
jawab apabila jiwanya sehat, yaitu: a) Mampu mengetahui atau menyadari bahwa
apa yang dilakukan itu bertentangan dengan hukum; b) Dapat menentukan
kehendaknya sesuai dengan kesadaran ini . Atas dasar itu pengampuan adalah
suatu kondisi dalam diri seseorang (curandus) x yang disebabkan oleh perilaku
pribadinya yang teranggap tidak cakap atau tidak mampu melakukan sendiri dalam
urusan hukum. Atas dasar itu, orang ini diklasifikasikan sebagai penyandang
cacat berdasarkan keputusan hakim. Orang ini ditugaskan perwakilan sebagai
wali pengampu (curator).
Dasar hukum dari pengampuan adalah Pasal 433 bab XVII KUH Perdata yang
kini dijelaskan dalam Pasal 434-461 KUH Perdata. Menurut Pasal 433 kriteria orang
yang berada di bawah pengampuan adalah orang-orang yang sudah cakap umur
(dewasa) yang sering dalam keadaan dungu, sakit jiwa (pikiran abnormal) atau
buta, hendaknya ditetapkan sepatutnya ditaruh pada pengampuan, meskipun
kadang-kadang ia mampu melakukan sesuatu dengan pikirannya. Selanjutnya Pasal
1330 KUH Perdata menjelaskan mengenai subjek hukum yang tidak dapat
mengadakan perjanjian, yaitu orang yang masih anak-anak atau belum dewasa (21
tahun) dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan.
Hal ini dipertegas kembali dalam Pasal 45 KUH Pidana yang menyatakan
bahwa penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan
suatu perbuatan sebelum umur 16 (enam belas) tahun, hakim dapat menentukan
memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya atau
walinya tanpa pidana apapun atau memerintahkan supaya yang bersalah
diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun jika perbuatan ini
merupakan kejahatan.
Dengan demikian, seseorang yang melakukan tindak pidana pada saat
keadaannya tidak sempurna maka dapat diadili sebagai tindak pidana biasa.
Namun dalam hal ini hakim berwewenang untuk memerintahkan kepada terdakwa
untuk dikembalikan kepada orang tuanya atau walinya karena segala perbuatan
yang dilakukan oleh orang-orang yang secara akalnya tidak sempurna dianggap
menjadi tanggung jawab dari orang tua atau walinya, tidak termasuk dalam subjek
yang cakap hukum.
2. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Dengan
Gangguan Kejiwaan Menurut Hukum yang Berlaku
Salah satu ciri dari semua sistem hukum adalah tanggung jawab pidana pribadi
atas kejahatan yang telah dilakukan yang selalu dikaitkan dengan kondisi mentalnya
tertentu. Keadaan khusus ini yang selalu dirumuskan dalam bentuk negatif sebagai
syarat untuk memaafkan, yang artinya dapat dirumuskan dengan menyebut
keadaan-keadaan sebagai alasan-alasan pembatalan hukuman dengan
menyebutkan keadaan ini .
Penegak hukum atau law enforcement yang dimulai dari proses penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana, yang menjadi tugas disini adalah institusi Polri disini
berkomitmen untuk mendukung penegakan hukum, keadilan dan perlindungan
sebagai penyidik dan penyelidik utama serta sebagai alat penegak hukum,
pengayom dan pelindung masyarakat harkat dan martabat manusia serta
ketertiban dan kepastian hukum. Negara hukum dapat dilaksanakan melalui
peraturan perundang-undangan atau aturan lain yang telah menjadi asas umum
sistem hukum.17
Dalam hukum pidana dikenal dengan doktrin mens rea adalah bahwa adanya
unsur subjektif adalah mutlak bagi pertanggungjawaban pidana atau dengan kata
lain mens rea merupakan setiap perkara pelanggaran hukum yang dilakukan
disebabkan pada diri orang itu sudah melekat sikap batin yang jahat (evil will), maka
dari itu perbuatan ini dianggap merupakan dosa. Mens rea atau yang sering
disebut dengan “actus non est reus nisi mens sit rea” yang artinya adalah suatu
perbuatan tidak menjadikan seseorang bersalah kecuali pemikirannya ialah salah.
Namun rumusan ini di atas dapat dinyatakan sebagai suatu pernyataan
yang teliti dari suatu prinsip yang sebenarnya lain, yaitu bahwa mens rea adalah
suatu kehendak untuk melakukan suatu perbuatan yang salah dalam arti yang
dilarang oleh undang-undang. Maka berdasarkan doktrin ini pula suatu peradilan
pidana dapat melibatkan penyelidikan-penyelidikan terhadap kesehatan jiwa dari
seorang terdakwa terhadap apa yang diketahuinya, yakini atau diduga sebelumnya
atau terhadap persoalan-persoalan sekitar apakah dia telah diancam atau dihasut
untuk melakukan perbuatan pidana itu atau apakah dia telah dihalangi oleh suatu
penyakit ataupun ketidaksadaran atas pengawasan terhadap dirinya atau
badannya.
Berdasarkan hal ini di atas inilah yang dalam hukum pidana Anglo
American disebut dengan mistake, accident, provocation, duress dan insanity. Hal ini
juga dapat memainkan peran penting bahkan kerap kali dramatis jika ada sebuah
tuntutan-tuntutan yang dikualifikasi pidana berat.
Doktrin mens rea ini disebut sebagai salah satu dasar hukum pidana, dan dalam
praktik bahkan ditambahkan orang bahwa pertanggungjawaban pidana menjadi
lenyap jika ada salah satu dari keadaan-keadaan atau kondisi-kondisi yang
memaafkan itu. Sebagai aturan hukum untuk melakukan perbuatan hukum,
seseorang harus sudah dewasa dan cakap serta mampu melakukan perbuatan
hukum.18 Sehingga saat seseorang mengambil atau melakukan suatu tindakan
hukum terhadap apa yang mereka perbuat, mereka juga mampu bertanggung
jawab.
Setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh seseorang pasti memiliki
konsekuensinya masing-masing baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
Demikian pula saat ia melakukan kejahatan atau pelanggaran, ia harus dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya ini , sebagai cerminan bahwa ia
adalah subjek hukum. Namun tidak semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap
orang dapat dimintai pertanggungjawaban, karena tidak semua orang yang
memiliki kecakapan hukum dapat menggunakan kecakapan hukumnya secara utuh
dan sempurna. Oleh karena itu, ada beberapa alasan dalam hukum pidana yang
memberikan pengecualian terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang
tidak mempunyai termasuk dalam golongan subjek cakap hukum. Kemampuan
pertanggungjawaban semacam ini belum diatur secara jelas dalam KUH Pidana.
Berdasarkan pendapat Moeljatno,19 yang mengatakan bahwa kemampuan
pertanggungjawaban berkaitan dengan Pasal 44 KUH Pidana yang di dalam telah
mengatur tentang keadaan seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawabannya.
Seperti contoh kasus yang terjadi antara Mahmud yang telah melakukan
perbuatan yang dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor, sehingga
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, yang mengakibatkan orang lain terluka
parah, serta kasus pembacokan yang terjadi di Madura. Perlakuan terhadap orang
yang memiliki kekurangan ini telah diatur dalam KUH Pidana tepatnya dalam
Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3) menetapkan:
(1) “Bahwa tiada dapat dipidana barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang
sempurna akalnya atau sakit berubah akal;
(2) Bahwa jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadaannya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka
dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa
selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa; dan
(3) Bahwa ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.”
Atas dasar itulah, peneliti menilai bahwa peraturan perundang-undangan
dalam hal ini KUH Pidana belum secara tegas mengatur secara jelas mengenai
gangguan jiwa hanya ada ketentuan mengenai kapan seseorang dianggap tidak
mampu bertanggung jawab karena dua alasan yang tercantum dalam Pasal 44 KUH
Pidana. Menurut R. Soesilo, hakim memiliki wewenang untuk memutuskan apakah
terdakwa dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu perbuatannya,
meskipun ia juga dapat meminta nasihat dari psikiater. Jika hakim berpendapat
bahwa orang ini tidak bertanggung jawab atas perbuatannya orang ini
akan dibebaskan dari segala tuntutan pidana. Namun untuk mencegah hal yang
membahayakan keselamatan dari seorang yang memiliki gangguan mental dan
masyarakat umum, hakim dapat memerintahkan terdakwa berada di rumah sakit
jiwa dengan masa percobaan selama satu tahun untuk perlindungan dan
pemeriksaan.
Menurut hukum pidana Indonesia yang ditulis oleh P.A.F. Lamintang dan C.
Djisman Samosir,21 yang mengatakan bahwa tidak dapat dihukum, barang siapa
melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya,
karena pertumbuhan akal sehatnya yang tidak sempurna atau sakit jiwanya.
Selanjutnya Adami Chazawi berpendapat bahwa, “Barang siapa melakukan suatu
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya
cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena suatu penyakit tidak dapat
dipidana.”
Pendapat yang dikemukakan oleh ahli ini di atas adalah sudah sesuai
dengan apa yang disebutkan dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP. Seseorang yang tidak
dapat mengerti dengan apa yang dilakukan dan tidak mengetahui apa akibat yang
akan ditimbulkan akibat yang sudah dilakukannya, maka tidaklah dapat
dimintakan pertanggungjawaban. Dari norma yang dirumuskan dalam Pasal 44
ayat (1) KUH Pidana jelas ada dua penyebab tidak dapat dipidananya berhubung
dengan tidak mempunyai pertanggungjawaban dari pembuat atau pelaku yang
terbukti melakukan tindak pidana, yaitu; 1) karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan; dan 2) karena terganggu jiwanya dari sebab penyakit. Sehingga
menurut hukum pidana tidak dapat digolongkan dalam subjek yang cakap hukum
dan dapat bertanggung jawab. Orang yang memiliki gangguan mental tidak dapat
dipidana. Hal itupula dipertegas kembali dalam KUH Pidana menjelaskan bahwa
setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas
mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau
dikenai tindakan.
Ketentuan pada Pasal 44 ayat (1) KUH Pidana yang menjelaskan bahwa
seseorang yang memiliki gangguan jiwa atau mental atas tindakannya
mengakibatkan masalah hukum akan dibebaskan dari segala tuntutan hukum
serta dibebaskan dari segala ancaman pidana. Berdasarkan hal ini , peneliti
dalam hal ini menilai adanya kelemahan pada Pasal 44 KUH Pidana ini saat
melihat dari uraian di atas:
a) Bahwa pada pasal ini ditujukan kepada orang yang tidak mampu
bertanggung jawab dan dalam kondisi yang sakit secara kejiwaan atau
tidak sempurna secara akalnya, sehingga alasan peniadaan pidana pun
layak untuk dijatuhkan terhadap mereka, dalam hal ini konsekuensinya
logis yaitu lepas dari segala tuntutan jika memang kondisi terdakwa
berada dalam keadaan sakit jiwa;
b) Bahwa pasal ini kurang jelas dalam memberikan uraian mengenai
batasan kemampuan bertanggung jawab seseorang, yang pada praktiknya
dalam proses penyelidikan seringkali ditemukan fakta bahwa tersangka
dalam keadaan normal secara fisik, namun secara mental dan kejiwaannya
bermasalah, sehingga ia melakukan kejahatan atau yang sering disebut
dengan gangguan jiwa.
Selain itu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa,
dalam Pasal 1 menjelaskan bahwa, orang yang mengalami gangguan kesehatan
kejiwaan adalah orang-orang yang mengalami kondisi gangguan pikiran serta
mental, terhadap diri sendiri dan terhadap perasaan yang diekspresikan dalam
bentuk gejala dan/atau perubahan perilaku yang signifikan karena bisa
menyebabkan penderitaan atau rintangan yang menghalanginya untuk memenuhi
peran manusia sebagai dirinya dan menjadi manusia seutuhnya.
Pemerintah seharusnya membuat undang-undang yang memuat pengaturan
khusus tentang pertanggungjawaban subjek cakap hukum dan subjek tidak cakap
hukum, sehingga pada masa yang akan datang dapat digunakan untuk mengatasi
permasalahan yang muncul terkait kekaburan norma pada Pasal 44 KUH Pidana
(lama), serta dalam Pasal 38 KUH Pidana (baru), bahwa kedua pasal ini
memang sama-sama mengatur mengenai hukuman untuk para pelaku pidana
yang sedang dalam gangguan jiwa disabilitas, tetapi pada Pasal 44 menjelaskan
bahwa hukuman yang dikurangkan.
Berdasarkan hasil dari pembahasan di atas, maka peneliti menyimpulkan
bahwa seseorang yang dianggap cakap hukum salah satunya ialah seseorang sedang
tidak di bawah pengampuan, sehingga orang gila atau orang yang memiliki
gangguan penyakit kejiwaan (disorder) merupakan salah satu contoh subjek yang
tidak cakap hukum. Pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pelaku yang
memiliki gangguan mental atau gangguan kejiwaan menurut hukum yang berlaku
di Indonesia, tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena hal ini berkaitan
dengan tujuan dari penghukuman itu sendiri di mana tujuannya itu adalah untuk
memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh pelaku. Ketentuan ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUH Pidana ayat (1) (lama) serta hal ini
dipertegas kembali dalam Pasal 38 KUH Pidana (baru).
Berdasarkan undang-undang ini , yang dalam hal ini adalah hukum
pidana tidak secara tegas mengatur ketentuan tentang gangguan kejiwaan, yang
ada hanyalah pengaturan tentang kapan seseorang dianggap tidak mampu
bertanggung jawab berdasarkan pada dua keadaan yang diatur dalam Pasal 44
KUH Pidana. Pemerintah dalam hal ini seharusnya membuat undang-undang yang
ideal dimasa yang akan datang guna untuk mengatasi permasalahan yang muncul
terkait kekaburan norma pada Pasal 44 KUH Pidana dan belum adanya istilah
dalam hukum disorder positif yang ada di Indonesia maupun dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUH Pidana.
Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak… (Orintina Vavinta Ida dan Nany Suryawati)