mengelola Baitul Mal.
Ketiga, tanah-tanah rampasan perang atau ditinggalkan
pemiliknya pada waktu perluasan wilayah di masa khalifah
Umar dulu dijadikan milik negara. Tanah itu diolah rakyat,
dan negara memperoleh bagian dari hasil tanah itu.
Kini, di masa Usman tanah-tanah itu diperjual-belikan.
Seperti tanah negara yang ada di Basrah dan Kufah dijual
kepada Talhah dan zubeir. Juga memberikan tanah Fadak di
Persia kepada Marwan ibn Hakam dan membolehkan
Muawiyah mengambilalih tanah-tanah negara di seluruh
wilayah Syiria, suatu hal yang dilarang keras oleh Khalifah
Umar sebelumnya.99
Akibatnya, banyak keluarga Bani Umaiyah dan
sahabat-sahabat tertentu yang kaya mendadak yang hidup
mewah melimpah berkecukupan, sebaliknya sangat banyak
pula warga yang menjadi miskin mendadak sebab lahan
kehidupan mereka terputus, hilang mata pencaharian.
Dari tiga macam kebijaksanaan yang dilakukan
khalifah Utsman di atas menimbulkan kekecewaan dan
kemarahan rakyat, terutama di Kufah, Basrah dan Mesir.
Bahkan Abu Zar Al-Qhiffari mengecam para gubernur dan
ketimpangan ekonomi pemerintah. Ia dielu-elukan rakyat,
namun dia ditangkap Muawiyah dan dikirim ke Madinah.
Akhirnya dia meninggal dalam kemiskinan.
Sementara itu Abdullah bin Saba’- seorang munafik
dan bekas penganut agama Yahudi- memprovokasi
kekecewaan warga itu, sehingga ia berhasil menggalang rakyat
di Kufah, Basrah dan Mesir supaya memberontak. Mereka
datang ke Madinah meminta Ali agar bersedia menjadi
khalifah pengganti Utsman, namun ditolaknya. Demikian juga
Talhah dan Zubeir. Dengan rasa kecewa mereka kembali ke
daerah masing-masing.
Dalam perjalanan pulang, warga dari Mesir
menangkap seorang yang dicurigai. Ia ternyata membawa
surat yang hendak disampaikan kepada gubernur Mesir. Surat
itu mengatasnamakan khalifah, berisi perintah agar pemimpin
kaum pemberontak dari Mesir, yaitu Muhammad bin Abu
Bakar ditangkap dan dibunuh.
Mereka kembali ke Madinah membawa surat itu
kepada khalifah, namun khalifah Utsman menyangkal
membuat surat itu dengan mengatakan: “Demi Allah aku tidak
menulisnya, tidak mendiktekannya dan tidak tahu menahu
tentang isinya, dan bahkan stempel ini yaitu palsu”.
Mereka meminta agar khalifah Utsman lengser dari
jabatannya, tapi ditolak Utsman dengan berucap “Demi Allah
saya tidak akan melepaskan baju yang dipakaikan Allah
kepadaku”.
3.4. Utsman Terbunuh
Para pemberontak mengepung rumah Utsman selama
40 hari, dalam pada itu salah seorang di antara mereka terkena
panah yang datang dari kediaman khalifah. Mereka mendesak
agar si pemanah diserahkan kepada mereka. Namun tidak
juga dipenuhi khalifah. Akhirnya mereka menyerbu kediaman
khalifah dan membunuhnya dalam usia sekitar 82 tahun.
4. Ali bin Abi Thalib (35 – 40 H / 656 – 661 M)
4.1. Riwayat Singkat Ali bin Abi Thalib
Nama lengkapnya yaitu Ali bin Abi Thalib bin Abd
al-Muththalib bin Hasyim bin Abd al-Manaf bin Luay bin Kilab
bin Qushai. Dia dilahirkan di Makkah sepuluh tahun sebelum
kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. Ibunya bernama Fathimah
binti Asad bin Hasyim bin Abd al-Manaf.
Abu Thalib dikenal memiliki banyak anak. Ketika
Makkah dilanda paceklik, Rasulullah mengajak pamannya
Abbas untuk bersama-sama meringankan beban Abu Thalib
dengan mengasuh sebagian di antara anaknya. Mereka berdua
mendatangi Abu Thalib untuk menawarkan bantuan
kepadanya, tawaran ini diterima Abu Thalib. Abbas
mengambil Ja’far dan Rasulullah mengambil Ali.100
Ali yaitu orang pertama yang masuk Islam dari
kalangan anak-anak, pada saat itu umurnya belum genap
berusia tiga belas tahun. Ali yaitu orang yang tidur di tempat
Nabi, waktu malam beliau hijrah dari Makkah ke Yatsrib dan
menyusul Nabi ke Yatsrib sesudah menunaikan segala amanah
yang dipercayakan Nabi kepadanya.
Ali dinikahkan Nabi dengan puterinya Fathimah binti
Muhammad s.a.w. pada tahun ketiga hijrah, saat itu usia Ali
dua puluh enam tahun. Dari hasil pernikahan itu, mereka
dikurnia Allah s.w.t. dua orang patera, yaitu Hasan dan
Husein. Ali bersama Rasulullah turut dalam semua perang
yang diikuti Nabi, kecuali hanya perang Tabuk yang tidak
dapat diikuti Ali, sebab saat itu dia dipercayakan Nabi
menggantikan beliau di Madinah.
Ali terkenal ahli menunggang kuda dan sebagai
seorang pemberani. Abu Bakar dan Umar telah menjadikan
Ali sebagai anggota musyawarah dalam berbagai urusan
penting, mengingat Ali yaitu seorang faqih dalam agama,
di samping sebagai orang yang cerdas.
4.2. Diangkat Menjadi Khalifah
Kaum pemberontak menguasai Madinah dan orang-
orang Bani Umayyah banyak yang meninggalkan ibu kota itu,
di antaranya Marwan bin Al-Hakam yang berhasil
menyelundupkan baju Utsman yang berlumuran darah ke
Makkah.
Kaum pemberontak mendesak Ali supaya bersedia
diangkat menjadi khalifah, namun ditolaknya, dan dia
menegaskan bahwa masalah itu bukanlah urusan mereka,
namun urusan para pejuang perang Badr. Mana Thalhah,
Zubeir, dan mana Sa’ad, tanya Ali kepada mereka. Karena
ditolak Ali, mereka kemudian meminta kesediaan Sa’ad bin
Abi Waqqash dan Abdurrahman bin Auf. namun masing-
masing dari mereka juga menolak.
Kaum pemberontak kembali mendesak Ali supaya
bersedia diangkat menjadi khalifah. Ali akhirnya menerima
jabatan itu dengan ketentuan dia diberi kesempatan
memerintah sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul. Ia
memangku jabatan khalifah itu mulai 24 Juni 656 M. atau
tahun 35 H. dalam usia 58 tahun.
Tidak seorang pun di antara sahabat terkemuka yang
sanggup menerima jabatan khalifah dalam menghadapi
suasana pancaroba seperti itu. namun juga mereka tidak mau
memberikan bai’at kepada Ali seperti sa’ad bin Abi Waqqash,
Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, dan Abu Sa’id al-Khudri.
Dari fakta di atas membuktikan bahwa Ali tidak
mendapat pengakuan dari beberapa sahabat penting di
Madinah, ditambah lagi dari penduduk wilayah Syam. Maka
tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa pemerintahan
Ali inilah yang paling tidak stabil. Dia dihadapkan pada
konflik berkepanjangan dari awal sampai akhir pemerintahan
beliau. Konflik dengan Aisyah, Muawiyah, dan dengan bekas
anak buahnya Khawarij.
Menurut al-Khudri Bek, yang menjadi penyebab utama
tidak stabilnya keadaan di masa pemerintahan Ali sebab Ali
terlalu percaya diri dan memandang hanya pendapatnya saja yang
benar. Hampir tidak ada (jarang) dia bermusyawarah dengan
orang-orang besar Quraisy dalam urusan penting sekalipun.
Malahan ia terlalu keras terhadap orang-orang besar Quraisy itu.
Selanjutnya maha guru itu berkata membandingkan
Umar yang keras dengan Ali yang juga keras “Umar dahulu
keras, namun dia didukung rakyat, Ali bertindak keras tetapi
warga menentangnya”, sebab Umar selalu bermusyawarah
sedang Ali tidak.
Pernah Thalhah dan zubeir mencela sikap Ali yang
seperti itu, dan Ali menjawab “Apakah yang tidak saya ketahui
sehingga saya harus bermusyawarah”?
berdasar fakta di atas, nampaknya Ali ditinggal
para pembesar Quraisy bahkan pengikut setianya sekalipun
memisahkan diri dari dia, kemudian menjadi kelompok
Khawarij. Dia berperang dengan Aisyah, isteri Nabi yang
didukung Thalhah dan Zubeir, kemudian dengan Muawiyah,
gubernur Syam.
4.3. Kebijaksanaan Ali
Setelah Ali diangkat menjadi khalifah, dia mengambil
dua kebijaksanaan. Pertama, memecat gubernur yang diangkat
Utsman termasuk Muawiyah yang sudah menjadi gubernur
Syam semenjak khalifah Umar. Kedua, mengambil kembali
tanah-tanah negara yang sudah diperjual-belikan kroni-kroni
khalifah Utsman.105
Banyak pendukung dan penasehat Ali serta kaum
kerabatnya, menasehatinya agar tidak melakukan perubahan
dulu atau menangguhkan tindakan radikal seperti itu sampai
keadaan stabil. Akan namun Ali tidak mengindahkan nasehat
itu. Mereka merasa tidak diindahkan Ali, akibatnya Mughirah
bin Syu’bah dan Abdullah bin Abbas meninggalkan Ali. Dan
yang konyol, semua kepala daerah yang diangkat Ali terpaksa
kembali lagi ke Madinah sebab tidak dapat memasuki daerah
yang ditugaskan kepadanya.
Dari fakta sejarah di atas, diketahui bukan berarti para
penasehat Ali itu setuju kepada gubernur yang diangkat
Utsman. Mereka pun tidak akan membiarkan pejabat-pejabat
yang berbuat aniaya di masa Utsman bekerja terus, tetapi
menunggu waktu stabil, kemudian baru dipecat. Akibat
tindakan Ali itu, dia kehilangan dukungan dari sahabat-sahabat
karibnya. Jika pemuka-pemuka Quraisy seperti Abdullah bin
Abbas tidak lagi mendukung Ali, apalagi Muawiyah tentu
memusuhinya lagi.
4.4. Konflik Dengan Aisyah (Perang Jamal)
Saat rumah Utsman dikepung oleh pemberontak,
Aisyah meninggalkan Madinah menuju Makkah. Setelah
Utsman terbunuh, dia kembali lagi ke Madinah. Setelah dia
ketahui bahwa Ali telah dibai’at menjadi khalifah, dia marah
dan berkata: “Demi Allah! Sekali-kali ini tidak boleh terjadi,
Utsman telah dibunuh secara aniaya, saya akan menuntut
balas atas kematian Utsman”.
Jika Ali konflik dengan pembesar Quraisy sebab dia
hampir tidak pernah mengajak mereka bermusyawarah atau
tidak mengindahkan nasehat mereka. Dengan Aisyah lain lagi
halnya. Paling tidak ada dua faktor. Pertama, dulu waktu terjadi
peristiwa Hadits Ifqi, Ali memberatkan Aisyah.
Kedua, dulu Ali lama memberi bai’atnya kepada Abu
Bakar, ayah Aisyah. Jadi menuntut bela atas kematian Utsman
apakah didorong oleh kepiluan hatinya atas kematian Utsman
atau faktor di atas. Hal ini menjadi sebuah teka-teki.
Aisyah kembali ke Makkah, sementara Thalhah dan
Zubeir yang telah mendapat izin dari Ali meninggalkan
Madinah untuk melakukan umrah berangkat pula ke Makkah
dan bergabung dengan Aisyah menentang Ali.106
Di Makkah juga telah berkumpul tokoh-tokoh
pemerintah di masa Utsman, seperti Marwan bin Al-Hakam
(menantu dan sekretaris Utsman), Abdullah bin Amir,
gubernur Basrah yang dipecat Ali. Kini mereka semua
bergabung dengan Aisyah.
Aisyah menentang Ali sebab dia menginginkan anak
saudaranya Abdullah bin Zubeir (putera Zubeir yang sedang
bergabung dengannya) diangkat menjadi khalifah. Dan
Abdullah bin Zubeirlah yang mendorong Aisyah melanjutkan
perjalanan, sebab dia pun berambisi menjadi khalifah. Tidak
salah kiranya kalau dikatakan Aisyah diperalat oleh Abdullah
bin Zubeir untuk mencapai tujuan pribadinya.
Untuk membuktikan betapa besar ambisi Abdullah bin
Zubeir menjadi khalifah dan mendorongnya melakukan
peperangan, dapat dilihat meskipun dia gagal memperolehnya
sesudah perang Jamal, tetap diperjuangkannya sesudah Husein wafat
pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah, dia
mengumumkan dirinya sebagai khalifah. Sementara Aisyah,
walaupun dia menginginkan anak saudara sekaligus anak
angkatnya itu menjadi khalifah dan menuntut bela atas
kematian Utsman, tidak menginginkan diselesaikan melalui
perang.
Akan namun dorongan Abdullah bin Zubeir lebih kuat
dari segala-galanya, sehingga Aisyah kehilangan segala daya
untuk menolak. Dia dinaikkan ke atas Unta dan berangkat
dengan iring-iringan menuju Basrah. Keberangkatan Aisyah
ditangisi ribuan orang, akan namun tangisan itu tidak bisa
mencegahnya untuk berangkat.108
Di Basrah, Aisyah didukung 20.000 orang karena
Abdullah bin Amr yang kini bergabung dengan Aisyah, bekas
gubernur Basrah yang pecat Ali. Sementara Ali berangkat ke
Kufah didukung oleh para pemberontak yang telah
membunuh Utsman. Di Kufah, Ali dapat mengumpulkan
pasukan sebanyak 10.000 orang.
Di suatu tempat bernama Huzaibah, kedua pasukan itu
berhadap-hadapan. Ali berusaha menyelesaikan konflik itu
secara damai. Ia menasehati supaya Aisyah dan para pengikut-
pengikutnya mengurungkan niat mereka berperang. Nasehat
Ali termakan oleh mereka. Kemudian diadakan perundingan,
jika saja perundingan itu berhasil maka kaum muslimin akan
terhindar dari bahaya perang.
Namun di pihak Ali ada orang-orang munafik,
pengikut Abdullah bin Saba’. Mereka tidak ingin kedua
golongan ini berdamai. Tanpa sepengetahuan Ali, pengikut-
pengikut Abdullah bin Saba’ ini memancing perkelahian dan
dibalas oleh pengikut-pengikut Aisyah. Maka terjadilah
pertempuran antara dua golongan kaum muslimin itu.
Perang ini disebut perang Unta, sebab Aisyah
menunggang Unta, suatu peperangan yang pertama kali
terjadi antara sesama kaum muslimin. Dan telah memakan
korban lebih kurang 10.000 (sepuluh ribu) orang kaum
muslimin, termasuk Thalhah dan Zubeir.
Setelah Unta yang ditumpangi Aisyah dapat dibunuh,
peperangan berhenti dengan kemenangan di pihak Ali. namun
Aisyah dihormati Ali, dan dipulangkannya ke Makkah dengan
penuh kehormatan yang didampingi oleh saudara
kandungnya Muhammad bin Abu Bakar yang ikut berperang
di pihak Ali.
Menurut Ahmad Syalabi dan sebagian ahli sejarah,
perang Jamal bukanlah perang membela kebenaran, tatepi
sebab keinginan dan nafsu dari Abdullah bin Zubeir, Thalhah,
Zubeir dan kebencian Aisyah kepada Ali. Dapat diketahui
bahwa kedua orang ini sudah lama tidak berbaikan. Kebencian
Aisyah disulut Abdullah bin Zubeir menghidupkan api
peperangan agar keinginannya menduduki kursi khalifah
dapat tercapai. Maka yang memikul tanggung jawab perang
Jamal yaitu mereka ini. Kemudian ditambah Ali yang tidak
mampu menguasai pasukannya. Kalau dia menguasai mereka,
pasti peperangan tidak akan terjadi.
4.5. Konflik Dengan Muawiyah (Perang Shiffin)
Konflik Ali yang paling lama, bahkan membawa
kepada kematiannya yaitu dengan Muawiyah. Ketika Ali
diangkat menjadi khalifah, Muawiyah sudah menjadi
gubernur Syam selama 22 tahun. Bukan saja semenjak khalifah
Utsman namun sudah semenjak khalifah Umar.
Riwayat singkat Muawiyah dapat dikatakan bahwa dia
sebagai keturunan Bani Umayah masih satu keturunan dengan
Utsman bin Affan. Sehingga yang paling patut menuntut bela
atas kematian Utsman yaitu dia, bukan Aisyah. Dia bersama
ayahnya Abu Sofyan dulu yaitu penentang utama Nabi.
Ibunya Hindun memakan hati Hamzah, paman Nabi waktu
perang Uhud. Saudaranya Ummi Habibah menjadi isteri Nabi
sesudah dikejar-kejar ayahnya dari Makkah sebab masuk
Islam.
Dalam usia 23 tahun, dia bersama ayahnya masuk
Islam waktu penakhlukkan kota Makkah, tahun 8 H. Setelah
itu Nabi mengangkat dia menjadi salah seorang penulis wahyu
bersama Zaid bin Tsabit.
Muawiyah dan penduduk Syam menuduh Ali ikut
terlibat dalam peristiwa pembunuhan Utsman. Mereka
meminta pertanggung jawaban Ali terhadap peristiwa itu atau
setidak-tidaknya mengajukan ke pengadilan orang-orang yang
ikut membunuh Utsman.
Karena Ali tidak dapat memenuhi permintaan yang
ajukan, maka mereka menolak membaiat Ali, juga mereka
menolak memberikan jabatan khalifah kepada Ali, sebab hal
itu menurut mereka berarti menyerahkan jabatan itu kepada
Bani Hasyim untuk selamanya.
Mereka berpihak kepada Muawiyah sebab kehidupan
mereka bertambah baik dan semakin makmur di bawah
pemerintahannya. Tentu saja mereka ingin makmur selamanya
di bawah kekuasaan Muawiyah.
Ali memandang Muawiyah sebagai seorang
pembangkang (Bughah) yang harus diperangi. Oleh karena
itu, dia bersama 50.000 orang tentaranya berangkat menuju
utara dan di suatu tempat bernama Shiffin, di sebelah barat
sungai Eufrat, dia bertemu dengan pasukan Muawiyah
sebanyak 80.000 orang.
Untuk kedua kalinya Ali tetap berkeinginan untuk
tidak berperang. Oleh sebab itu dia mengutus delegasi
menemui Muawiyah meminta supaya Muawiyah
membai’atnya sebagai khalifah. namun Muawiyah tidak
mengindahkannya. Oleh sebab itu, tidak ada alternatif lain
bagi Ali kecuali memerangi Muawiyah.
Maka perangpun terjadi dalam beberapa hari. Ali
berhasil membangkitkan semangat pasukannya sehingga
kemenangan sudah hampir dicapainya. Muawiyah yang
cemas melihat situasi itu memanggil Amr bin Ash untuk
melakukan siasat. Kemudian Amr memerintahkan kepada
anggota pasukannya yang membawa Mushaf (Kitab Al-
Qur’an) supaya diangkat dengan tombak ke atas. Sambil
berseru mereka mengangkat Mushaf “Inilah Kitabullah yang
menjadi hukum antara kita ”.
Sebagian pasukan Ali yang melihat hal itu memintanya
menghentikan perang, namun ditolak Ali sambil menegaskan
bahwa “Itu tipu muslihat Muawiyah sebab dia sudah mengenal
Muawiyah dan Amr sejak kecil”. Katanya mereka itu tidak dapat
dipercaya. Seruan Ali agar meneruskan peperangan tidak
mendapat sambutan dari mereka, malahan mereka memaksa Ali
agar menghentikan perang.
Ali terpaksa mengalah dan mengumumkan peperangan
dihentikan. Dan perselisihan itu diselesaikan melalui arbitrase.
Perang itu menelan korban sebanyak 70.000 orang.
Dari fakta sejarah di atas dapat diketahui bahwa untuk
kedua kalinya Ali tidak dapat mengusai pasukannya. Hal ini
membuktikan bahwa orang yang dibelakangnya tidak
semuanya murni memperjuangkannya sebagai khalifah. namun
ada diantara mereka yang mengaku pengikut Ali, namun
mereka berkhianat kepadanya. Ini termasuk kelemahan Ali.
4.6. Munculnya Kaum Khawarij
Dalam perjalanan pulang ke Kufah, anggota pasukan
kelompok Ali yang tadinya mengancam Ali supaya
menghentikan perang dan menerima tahkim berubah
pendirian. Kini mereka berpendapat bahwa menerima tahkim
yaitu salah sebab hak mengadili hanya ada di tangan Allah
s.w.t. (Semboyan mereka “La Hukma Illa Lillah”). Atas dasar
itu mereka mengusulkan agar persetujuan mengadakan
tahkim dibatalkan dan usul ini ditolak Ali, sehingga dia
konflik dengan kaum Khawarij.
Ketika diingatkan bahwa merekalah yang memaksa Ali
menerima tahkim, mereka menjawab “Kami telah keliru, tetapi
mengapa anda mengikuti kekeliruan kami. Sebagai seorang
khalifah anda mestinya memiliki pandangan jauh ke depan
dan pikiran yang mendalam”. Mereka tidak menyertai Ali ke
Kufah namun menuju ke suatu tempat bernama “Harura” yang
lebih dikenal dengan sebutan Khawarij, yaitu mereka yang
keluar dari barisan Ali.
4.7. Peristiwa Tahkim
Masing-masing pihak disetujui mengutus seorang
perunding (hakam). Keputusan mereka mengikat kedua belah
pihak. Dari pihak Ali diutus Abu Musa Al-Asy’ari, bekas
gubernur Kufah yang pernah dipecatnya. Dari pihak
Muawiyah, Amr bin Ash, penakhluk dan bekas gubernur
Mesir yang dulu dipecat khalifah Utsman.
Tahkim atau perundingan diselenggarakan pada bulan
Ramadhan 37 H / Januari 659 M, di suatu tempat bernama
Dumat Al-Jandal, terletak antara Madinah – Damaskus.
Agenda perundingan ialah: pertama, Utsman terbunuh secara
zalim, kedua, siapa yang tepat untuk menjadi khalifah.
Mengenai agenda pertama, Amr berhasil meyakinkan
Abu Musa bahwa Utsman terbunuh secara zalim. Oleh karena
itu Muawiyah yaitu orang yang paling pantas menuntut bela
atas kematian Utsman.
Mengenai agenda kedua, ide yang dikemukakan Abu
Musa ialah menghentikan pemerintahan Ali dan Muawiyah
dari jabatan masing-masing dan kemudian diserahkan kepada
kaum muslimin untuk mencari penggantinya. Usul itu
disetujui oleh Amr.
Untuk menyampaikan hasil perundingan di atas ke
khalayak ramai, Abu Musa tampil lebih dulu menyampaikan
apa adanya. Sementara Amr yang tampil kemudian menyatakan
bahwa dia telah menurunkan Ali dari jabatannya sebagai khalifah
dan menetapkan Muawiyah sebagai penggantinya.
Dari fakta sejarah di atas, diketahui bahwa dari pihak
Muawiyah tidak ada maksud menyelesaikan perselisihan
mereka dengan Ali melalui Tahkim itu. Tahkim bagi mereka
hanya sekedar menghindar dari kekalahan waktu perang
Shiffin. Termasuk menuntut bela atas kematian Utsman pun
hanya kedok belaka. Sebenarnya Muawiyah ingin menjadi
khalifah.
4.8. Ali Terbunuh
Peristiwa tahkim telah menimbulkan perpecahan di
kalangan tentara Ali sebab mereka tidak menerima hasil
tahkim. Selain itu Ali pun tidak menerima hasil tahkim karena
kedua hakam telah menyimpang dari Kitabullah dan Sunnah
Rasul. Oleh sebab itu Ali tetap merasa dirinya sebagai
khalifah dan Muawiyah sebagai pembangkang.
Dengan sisa kekuatan yang ada, Ali bertekad
memerangi Muawiyah sekali lagi. Untuk itu ia berhasil
menggugah hati 65.000 orang berperang. Dalam perjalanan
menuju Syam, ada berita dari Nahrawan bahwa orang-
orang Khawarij melakukan berbagai tindak kekerasan,
yaitu penyiksaan dan pembunuhan. Ali terpaksa
membatalkan perjalanan ke Syam dan dialihkan menuju
Nahrawan. Di sini Ali kembali ditinggalkan sebagian besar
tentaranya.
Tentara Ali yang masih tinggal, mengusulkan agar
kembali dulu ke Kufah untuk menyiapkan persenjataan yang
lebih baik. Ali menerima usul itu. akan namun upaya Ali
mengumpulkan mereka kembali tidak mereka indahkan.
Keengganan mereka berperang bersama Ali karena
beberapa sebab, antara lain. Ali hanya menghalalkan darah
musuh, namun tidak boleh mengambil harta rampasan dari
mereka. Kemungkinan lain, sebab Ali tidak bisa memberikan
finansial yang cukup bagi mereka. Suatu hal yang menjadi
kelemahan Ali. Menurut riwayat, banyak prjurit Ali yang
menderita akibat peperangan, namun Ali tidak dapat turun
tangan untuk meringankan beban hidup mereka.
Secara militer, posisi Ali sudah lemah. Kesempatan
itu dipakai Muawiyah merebut Mesir dan mengangkat
Amr bin Ash menjadi gubernur di situ. Jabatan yang dulu
pernah dipangkunya di masa Umar bin Khaththab.
Sesudah itu, Muawiyah pun merebut Madinah dan Yaman,
namun penduduk Makkah menolak mengakui Muawiyah.
Sementara itu kaum Khawarij berpendapat bahwa
biang keladi perpecahan umat Islam yaitu Ali, Muawiyah
dan Amr bin al-Ash. Oleh sebab itu mereka sepakat
membunuh ketiga tokoh itu pada waktu yang sama.
Abdurrahman bin Muljan berhasil menikam Ali
dalam shalat subuh di mesjid Kufah. Barak bin Abdillah
al-Tamimi berhasil menikam Muawiyah namun hanya
terluka dan tidak membahayakannya. ‘Amr bin Bakr al-
Tamimi tidak berhasil menikam ‘Amr sebab sakit tidak
keluar pada waktu subuh itu. Orang yang terbunuh yaitu
yang menggantikannya sebagai imam shalat.
Peristiwa itu terjadi pada bulan Ramadhan 40 H
(Januari 661 M). Dalam beberapa hari sesudah penikaman
itu, Ali meninggal dunia dalam usia enam puluh tiga
tahun, sesudah memerintah selama lima tahun. Dengan
wafatnya khalifah keempat itu berakhirlah pemerintahan
al-Khulafa’ al-Rasyidun.
SEJARAH DAULAH UMAIYAH I
DI SYRIA
1. Pembentukan Pemerintahan
Setelah khalifah Ali meninggal dunia bulan Ramadhan
40 H, penduduk Kufah mengangkat putranya, Hasan menjadi
khalifah mereka walaupun sebenarnya dia tidak berbakat
menjadi khalifah sebab lebih suka hidup bersenang-senang
dan kawin dengan banyak wanita. Pernah juga dia menantang
Muawiyah dengan mengirim 12.000 orang pasukan untuk
menyerang Muawiyah. Akan namun pasukannya kalah dan
dia mengajak Muawiyah berdamai.
Sementara itu, penduduk Syam pun telah mengangkat
Muawiyah menjadi khalifah mereka semenjak peristiwa
tahkim. Berbeda dengan Hasan, dia didukung oleh tentara-
tentara militan yang keperluan finansial mereka ditanggung
Muawiyah, apalagi tanah Syam yang kaya raya mendukung
Muawiyah untuk hal itu.
Nama lengkapnya Muawiyah bin Abi Sofyan bin Harb
bin Umayah bin Abd al-Syams bin Abd Manaf bin Qushai.
Ibunya Hindun binti Utbah bin Rabiah bin Abd al-Syams.
Muawiyah dilahirkan di Makkah lima tahun sebelum
kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. dan masuk Islam bersama
ayahnya Abu Sofyan) saudaranya (Yazid) dan ibunya
(Hindun) pada waktu penaklukan kota Makkah.113
Muawiyah yaitu salah seorang yang ahli dan paling
menguasai dunia politik, cerdik, ahli siasat, penguasa yang
kuat dan bagus planingnya dalam urusan pemerintahan.
Maka tidak mengherankan jika dia dapat menjadi gubernur
selama dua puluh dua tahun (pada masa khalifah Umar dan
Usman, 13-35 H.)dan menjadi khalifah selama dua puluh
tahun (40-60 H).
Sementara Hasan, nama lengkapnya yaitu Hasan bin
Ali bin Abi Thalib bin Abd al-Muththtalib. Dia dilahirkan di
Madinah tahun ketiga hijrah, cucu Nabi dari putrinya
Fatimah. Namanya diberikan oleh kakeknya Rasulullah dan
Nabi sangat mencintai cucunya itu. “Hasan dan Husein
memberi rasa harum bagiku di dunia” kata Nabi Muhammad
s.a.w.
Hasan ikut dalam ekspedisi penaklukan ke Afrika
Utara dan Tabaristan pada masa khalifah Utsman bin Affan.
Ikut melindungi Khalifah dari serangan pemberontak dan ikut
dalam perang Jamal dan Shiffin bersama ayahnya. Hasan
meninggal dunia di Madinah pada tahun 49 H. sebab diracun
oleh salah seorang isterinya. Munurut orang Syi’ah, sudah
berulang kali suruhan Muawiyah hendak meracun Hasan
agar Muawiyah terbebas dari membayar kompensasi yang
dipikulnya terus menerus setiap tahun.
Dengan demikian, dunia Islam sepeninggal khalifah
Ali ada dua khalifah, yaitu di Kufah dan Syam, suatu hal
yang tidak perlu terjadi bila dikaitkan dengan perlunya
menciptakan persatuan di kalangan umat Islam. Maka
tawaran Hasan untuk berdamai merupakan suatu hal yang
tepat untuk mengatasi masalah itu. Itulah sebabnya waktu
Hasan mengajak Muawiyah berdamai langsung diterima
Muawiyah sebab dia sangat berambisi menjadi khalifah.
Walaupun Hasan mengajukan beberapa syarat, bagi
Muawiyah hal itu tidak ada persoalan, asalkan jabatan
khalifah diserahkan Hasan bin Ali kepadanya. Adapun syarat-
syaratnya, yaitu:
a. Hasan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah
dengan syarat, Muawiyah berpegang teguh pada
Kitabullah dan Sunnah Rasul serta sirah (prilaku)
khalifah-khalifah yang saleh.
b. Agar Muawiyah tidak mengangkat seseorang menjadi
putera mahkota sepeninggalnya dan urusan kekhalifahan
diserahkan kepada orang banyak untuk memilihnya.
c. Agar Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap penduduk
Irak, menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan mereka.
d. Agar pajak tanah negeri Ahwaz di Persia diperuntukkan
kepada Hasan dan diberikan setiap tahun.
e. Agar Muawiyah membayar kepada saudaranya Husein
sebanyak 5 juta dirham dari Baitul Mal.
f. Agar Muawiyah datang secara langsung ke Kufah untuk
menerima penyerahan jabatan khalifah dari Hasan dan
mendapat baiat dari penduduk Kufah.
Pada waktu pendukung Hasan mengecam penyerahan
kekuasaan kepada Muawiyah, hal itu dijawab Hasan bahwa
dia tidak rela menyaksikan umat Islam saling membunuh
untuk memperebutkan kekuasaan dan dia berkata: “inti
kekuasaan bangsa Arab saat ini ada di tanganku, jika aku ingin
damai mereka siap berdamai, jika aku ingin perang mereka
siap berperang”.
Selain itu, Hasan sadar bahwa ayahnya Ali dahulu pun
banyak mengalami kesulitan menghadapi Muawiyah dan
tidak dapat diatasi ayahnya, apalagi dia. Oleh sebab itu dia
ingin mencari jalan selamat bagi dirinya dan keluarganya
sebab kekuatan yang dimilikinya tidak mampu menghadapi
tekanan-tekanan Muawiyah.
Muawiyah menyetujui syarat-syarat yang
dia jukan Hasan. Untuk i tu dia datang ke Kufah
menerima bai ’at jabatan khali fah dari Hasan dan
penduduk Kufah. Tahun itu (661 M/41 H) disebut “Tahun
Persatuan”, sebab umat Islam telah bersatu di bawah
pimpinan seorang khalifah.
Setelah itu Hasan pindah ke Madinah dan hidup
tenang di sana sampai meninggal tahun 675 M/ 49 H., lima
belas tahun sesudah penyerahan jabatan kekhalifahan itu.
Untuk mempertahankan jabatan khalifah tetap di tangan Bani
Umaiyah, Muawiyah menciptakan sistem Monarchi dalam
pemerintahannya. Walaupun untuk itu dia telah melanggar
janjinya dengan Hasan bin Ali.
Daulah yang didirikan oleh Muawiyah ini, disebut
dengan daulah Umaiyah, diambil dari nama Umaiyah bin
Abd. Syams, Datuk Muawiyah (lihat silsilah), daulah ini
berkuasa selama kurang lebih 90 tahun (40-132 H/661-750 M)
diperintahkan oleh 14 orang khalifah. Masa perintahan
khalifah-khalifah itu dapat dibagi atas tiga periode, yaitu masa
pertumbuhan, masa puncak dan masa kemunduran dan
faktor-faktornya.
2. Pertumbuhan Pemerintahan (661 – 680 M)
Pada masa pertumbuhan ini mencakup masa
pemerintahan Muawiyah (661 – 680 M/40-60 H), Yazid
bin Muawiyah (680 – 683 M/61-63 H), Muawiyah bin
Yazid (683 M/63 H) dan Marwan bin Hakam (684 – 685
M/64-65H).
2.1. Muawiyah (661 – 680 M/40-60 H)
Muawiyah sebagai khalifah pertama melakukan
pemindahan ibu kota negara dari Kufah (pusat kekuasaan Ali)
ke Damaskus sebab dia sudah 22 tahun menjadi gubernur di
daerah ini. Selain itu dia memiliki pendukung yang dapat
diandalkan di sana, sedangkan di Kufah hanya ada
pendukung Ali yang beraliran Syi’ah.
Selain itu Muawiyah untuk pertama kali dalam
pemerintahan Islam mempergunakan tenaga Body-Guard
(pengalaman pribadi) untuk alasan keamanan, juga Muawiyah
membangun tempat khusus untuk dirinya di dalam mesjid
yang disebut dengan Maqsurah.
Muawiyah juga memperkuat pemerintahan dengan
mengembangkan armada angkatan laut sehingga saat itu
dia telah memiliki 1.700 buah kapal. Dia pernah menyerahkan
angkatan laut itu di bawah pimpinan puteranya Yazid untuk
merebut Konstantinopel (668 – 669 M). Akan namun usaha ini
gagal sebab pertahanan kota ini sangat kokoh.
Akibatnya banyak yang menderita korban jiwa dan kapal,
sekaligus sebab pihak musuh tetap dapat memakai
“Bom Yunani”.
Menjelang wafatnya dia mengangkat puteranya Yazid
sebagai putera mahkota yang mendapat dukungan dari para
gubernurnya, namun dia mendapat tantangan dari para tokoh
sahabat di Madinah, antara lain Husein bin Ali, Abdullah bin
Umar, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Zubeir, karena
hal itu bertentangan dengan janjinya pada Hasan dahulu.
Al-Mughiroh bin Syu’bah yaitu orang pertama yang
mengusulkan kepada Muawiyah agar mengangkat anaknya
Yazid menjadi khalifah sepeninggalnya. Karena dia akan
dipecat Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Kufah,
maka dia pergi ke Syam menemui Yazid bin Muawiyah dan
mengatakan: bahwa sesungguhnya para sahabat pilihan Nabi telah
berpulang ke rahmatullah demikian juga para pembesar Quraisy
yang berpengaruh, sekarang tingga para puteranya, sedangkan
engkau yaitu yang paling utama di antara mereka, saya tidak
mengerti mengapa Amirul Mukminin tidak mengangkat engkau
menjadi khalifah sesudahnya.
Muawiyah yang diberitahu anaknya Yazid tentang
pemikiran al-Mughiroh itu memanggil al-Mughiroh untuk
menanyakan kebenaran pemikirannya itu. Maka al-Mughiroh
menjawab: Ya Amirul Mukminin sesungguhnya saya telah
menyaksikan pertumpahan darah sepeninggal Utsman maka alangkah
baiknya bila engkau mewariskan kekhalifahan itu kepada Yazid,
sungguh Yazid lebih berhak menjadi khalifah sesudahmu nanti.
Akhirnya, al-Mughiroh tidak jadi dipecat Muawiyah,
malahan disuruh untuk mempersiapkan bai’at bagi penobatan
Yazid menjadi putera mahkota. Missi al-Mughiroh berhasil
dan dapat menggalang penduduk Kufah untuk mendukung
Yazid menjadi putera mahkota sepeninggal Muawiyah
nanti.
Pemikiran al-Mughiroh itu diterima Muawiyah,
dengan menunjuk puteranya Yazid menjadi khalifah
sepeninggalnya, sebab dia berkeinginan agar umat Islam
tidak terlibat lagi dalam suatu pertempuran karena
memperebutkan jabatan khalifah. Sebab, belum lama lagi
umat Islam berperang sesamanya dalam Perang Jamal, Perang
Shiffin dan mereka belum dapat melupakan malapetaka
ini dipicu adanya keinginan orang-orang tertentu
menduduki jabatan khalifah.
Oleh sebab itu Muawiyah mengirim surat kepada
Gubernur Madinah Marwan bin al-Hakam, sebagai berikut:
“Aku ini telah lanjut usia, tulangku telah lemah, aku khawatir akan
terjadi perpecahan di kalangan umat Islam sepeninggalku. Dan aku
berpendapat kini sebaiknya aku memilih untuk umat seseorang yang
akan menjadi khalifah mereka sesudahku..”
Keinginan Muawiyah itu mendapat sokongan dari
para gubernurnya, kecuali Ziyad, gubernur Basrah yang
menganjurkan kepada Muawiyah agar tidak tergesa-gesa
melaksanakan cita-citanya itu. namun sesudah Ziyad meninggal,
Muawiyah mendapat dukungan dari anaknya Ubaidillah bin
Ziyad yang menggantikan ayahnya. Hal ini berarti keinginan
Muawiyah itu mendapat sokongan penuh dari kalangan Bani
Umaiyah, namun ditentang oleh keturunan Bani Hasyim.
Tantangan keras datang dari Abdurrahman bin Abi
Bakar, dengan tegas dia berkata “… kamu hendak menjadikan
khalifah itu sebagai ‘Heracliusisme’, bila seorang Heraclius
meninggal dunia maka digantikan oleh Heraclius yang lain … ”
Sikap Abdurrahman itu mendapat sokongan dari pemimpin-
pemimpin lainnya di Madinah seperti Husein bin Ali,
Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin
Zubeir, dan lain-lainnya.
Tantangan dari Bani Hasyim dan sahabat-sahabat yang
tinggal di Madinah dihadapi Muawiyah dengan tangan besi.
Dia datang ke sana dan mengumpulkan warga dan sahabat-
sahabat ini di masjid. Muawiyah mngancam, siapa yang
berani memotong pembicaraannya, algojo telah siap
memenggal lehernya. Dalam pidatonya disebutkan bahwa
tokoh-tokoh kalian telah setuju mengangkat Yazid sebagai
khalifah sepeninggalku, apakah kalian setuju? Disambut
warga dengan suara bulat, setuju.
Dengan demikian Muawiyah yang sudah berkuasa
selama dua puluh tahun telah mendapat persetujuan dari
seluruh wilayah untuk mengangkat putranya Yazid sebagai
khalifah sepeninggalnya. Hal itu berarti telah merubah wajah
pemerintahan Islam dari system demokrasi menjadi monarchi
dengan mendudukkan Bani Umaiyah di semua jabatan-
jabatan penting Negara.
Khalifah Usman pun telah melakukan hal ini
sebelumnya, bedanya, pada masa khalifah Usman penuh
dengan protes dari warga , sementara di masa khalifah
Muawiyah tidak seorang pun yang berani memprotes
walaupun warga tidak sepenuhnya setuju dengan tindakan
Muawiyah ini .
Dalam keadaan seperti ini, andaikan dari kalangan
Bani Hasyim ada yang diangkat menjadi khalifah , Husein
misalnya, maka dapat diperhitungkan bila dia memecat para
pejabat yang diangkat Muawiyah, seperti khalifah Ali
memecat gubernur yang diangkat Usman sebelumnya, maka
dikhawatirkan akan terjadi perang yang lebih dahsyat dari
perang Jamal, dan perang Shiffin.
Selain itu, dari segi politik jika Bani Hasyim
memprotes Muawiyah mengangkat anaknya Yazid sebagai
khalifah sepeninggalnya, mengapa mereka tidak memprotes
orang yang mengangkat Hasan sebagai khalifah
menggantikan Ali? Bukankah itu masih dalam sistem turun-
temurun juga. Hal ini berarti Bani Hasyim tidak setuju dengan
sistem pemerintahan monarchi untuk Bani Umaiyah dan
menyetujui untuk Ali bin Abi Thalib.
Kalau begitu, esensi masalah pada saat itu bukan
terletak pada sikap Muawiyah yang membentuk
pemerintahan daulah dengan sistem Monarchi, akan tetapi
lebih dipicu persaingan sengit antara Bani Hasyim dan
Bani Umaiyah. Terbukti sesudah Bani Hasyim tidak dapat
membendung keinginan Muawiyah membentuk Daulah
Umaiyah, Bani Hasyim melakukan hal yang sama secara
turun-temurun.
Masalah berikutnya andaikata Muawiyah tidak
menunjuk anaknya Yazid menjadi khalifah sesudahnya,
adakah yang sanggup memegang jabatan khalifah, selain Bani
Umaiyah. Orang yang mampu mengendalikan pemerintahan
Islam tanpa pertumpahan darah. Husein misalnya, tidak
memiliki kaki tangan yang kuat untuk menegakkan
pemerintahan. Hal yang sama terjadi juga pada diri Abdullah
bin Zubeir. Dengan demikian yang benar-benar ada persiapan
matang dan terbaik melanjutkan pemerintahan yaitu orang-
orang Bani Umaiyah, khususnya para gubernur yang telah
berpengalaman dalam pemerintahan.
Oleh sebab itu, tindakan Muawiyah membentuk
daulah tidak sepenuhnya dapat disalahkan, jika dikaitkan
dengan kondisi riil pemerintahan Islam pada saat itu, agar
kaum Muslimin terhindar dari pertumpahan darah karena
memperebutkan jabatan khalifah.
Andaikata Muawiyah tidak menunjuk anaknya
Ya z id menjadi khalifah sesudahnya, adakah yang
sanggup memegang jabatan khali fah, selain Bani
Umaiyah. Dia mampu mengendalikan pemerintahan
Islam tanpa pertumpahan darah. Husein misalnya, tidak
memiliki kaki tangan yang kuat untuk menegakkan
pemerintahan. Hal yang sama terjadi juga pada diri
Abdullah bin Zubeir.
Dengan demikian yang benar-benar sudah ada
persiapan yang matang dan terbaik melanjutkan pemerintahan
saat itu yaitu orang-orang Bani Umaiyah, khususnya para
gubernur yang telah berpengalaman dalam pemerintahan.
Oleh sebab itu, tindakan Muawiyah membentuk
daulah Umaiyah tidak sepenuhnya dapat disalahkan, jika
dikaitkan dengan kondisi riil pemerintahan Islam pada saat
itu, agar kaum Muslimin terhindar dari pertumpahan darah
sebab memperebutkan jabatan khalifah.
Muawiyah telah dipandang sukses membentuk sebuah
pemerintahan Daulah Umaiyah di Syam yang telah
memerintah di sana, dua puluh dua tahun menjadi Gubernur
dan dua puluh tahun menjadi Khalifah. Pemerintahannya
terkesan sebagai pemerintahahan sistem kerajaan dan tidak
sistem republik seperti yang telah dikenal sebelumnya.
Sistem kerajaan yang dibentuknya menjadi sistem
pemerintahan dunia Islam selama berabad-abad sesudahnya
sampai 1924 saat Mustafa Kemal menjatuhkan Kerajaan
Turki Usmani.
2.2. Yazid ibn Muawiyah (680 – 683 M/61-63 H)
Masa pemerintahan Muawiyah digantikan oleh
anaknya Yazid yang memerintah hanya selama tiga tahun (61-
63 H), akan namun sebab mendapat perlawanan dari
penduduk Kufah, Bashrah, dan penduduk serta sahabat-
sahabat di Madinah terutama di Makkah Abdullah bin Zubeir
memberontak, maka pemerintahannya dihadapkan kepada
kerusuhan-kerusuhan.
Tahun pertama, dia membunuh Husein bin Ali di
Karbela. Saat itu Penduduk Kufah mengundang Husein bin
Ali untuk datang ke Kufah dan dijanjikan akan mereka angkat
menjadi khalifah. Husein memenuhi undangan itu walaupun
kepergiannya ke Kufah dicegah beberapa sahabat, tetapi
Husein tetap berangkat dengan dikawal sekitar 200 orang,
termasuk keluarganya.
Mendengar kedatangannya ke Kufah maka Yazid
memerintahkan Gubernur Kufah Ubaidillah bin Ziyad untuk
mencegat Husein. Ubaidillah bersama 4000 tentaranya
mencegat Husein di Karbela (25 mil Barat Laut Kufah), dan
mereka membunuh Husein dan rombongannya. Kepala Husein
mereka penggal dan dikirim kepada khalifah Yazid di Syam,
sementara badannya mereka kuburkan di Karbela. Demi
mendapat kepala Husein ternyata Yazid sangat menyayangkan
kejadian itu dan mengutuk Ubaidillah bin Ziyad.
Peristiwa itu terjadi 10 Oktober 680 atau 10 Muharam 61
H. sampai kini hari pembunuhan itu diperingati kaum Syi’ah
sebagai hari “Tragedi Karbela”. Padahal ayahnya Muawiyah telah
membunuh Hasan sebelumnya dengan menyuruh salah seorang
isteri Hasan untuk meracunnya.
Tahun kedua, dia menjarah Madinah. Karena penduduk
Madinah tidak mengakui kekhalifahan Yazid, bahkan mereka
memecat gubernur yang diangkat Yazid serta mengusir
gubernur ini bersama dengan seluruh keturunan Bani
Umaiyah dari Madinah.123 Bahkan menurut Ahmad Syalabi
mereka memenjarakan semua orang-orang Bani Umaiyah
yang ada di Madinah.124 Hal itu menimbulkan kemarahan
Yazid.
Oleh sebab itu, dia mengirim utusan dan meminta
kepada penduduk Madinah agar mereka taat kepadanya tanpa
peperangan; akan namun mereka menolak permintaan itu. Maka
Yazid mengirim tentara ke sana dibawah pimpinan Muslim bin
‘Uqbah al-Murri, orang yang dikenal diktator dan kejam. Yazid
berpesan kepadanya: “ajaklah mereka agar membai’atku dalam
batas waktu tiga hari tanpa peperangan, dan jangan menyerang
mereka, kecuali sesudah habis batas waktu tiga hari itu”. namun
penduduk Madinah tetap tidak mau membai’at Yazid”. Maka
Muslim menyerang mereka dari jurusan al-Harrah.125
Sayangnya, selama tiga hari, Muslim membolehkan
para pasukan tentaranya melakukan tindakan brutal untuk
berbuat saja apa yang mereka inginkan terhadap penduduk
Madinah, sebagai kota suci Rasulullah, suatu hal yang tidak
patut terjadi.
Tahun ketiga, dia menggempur Ka’bah. Yazid
menyuruh panglimanya itu (Muslim bin Uqbah) agar
melanjutkan penyerangannya ke Makkah untuk
menaklukkan kota suci itu seperti yang telah dia lakukan
untuk kota Madinah. Sebab disana Abdullah bin Zubeir
mengangkat dirinya sebagai khalifah dan diakui seluruh
penduduk Hijaz.
Di tengah jalan dia meninggal dan digantikan oleh
Husein bin Namir. Panglima baru ini mengepung Makkah,
menembaki Masjidil Haram, merusak Ka’bah dan
memecahkan Hajral Aswad. Dalam pada itu diberitakan
bahwa Yazid meninggal dunia, Husein menghentikan
serangan dan kembali Syam.
Yazid meninggal secara mendadak tanpa diketahui
yang menjadi penyebabnya pemerintahannya digantikan oleh
anaknya Muawiyah II bin Yazid, sebagai pengganti dia hanya
memerintah selama 3 bulan dan sakit-sakitan, sebab tidak
mampu mengendalikan pemerintahan, dia mengundurkan
diri. Tidak ada pengganti lagi dari keturunan mereka. Dengan
demikian berakhirlah masa pemerintahan Bani Umaiyah dari
Abu Sofyan dan beralih ke keturunan al-Hakam Abu Ash’
bin Umaiyah yaitu Marwan bin Hakam.
2.3. Marwan bin Hakam (684 – 685 M/64-65H)
Marwan bin Hakam menggantikan Muawiyah II
sebagai Khalifah, dia bekas sekretaris Utsman bin Affan, dan
menjadi gubernur Madinah pada masa Muawiyah, kini dia
menjadi khalifah menggantikan Muawiyah II.
Pada saat dia diangkat menjadi Khalifah sudah ada
tantangan dari Abdullah bin Zubeir yang pada masa itu sudah
sejak khalifah Yazid memberontak dan telah mendapat
pengakuan dari penduduk Hijaz, Kufah, Basrah dan sebagian
penduduk Syam. Demikian juga dari kalangan Arab Utara di
Syam telah ikut mengakui Abdullah bin Zubeir menjadi
Khalifah, sementara Arab Selatan berpihak kepada Marwan
bin Hakam.
Dalam menghadapi tantangan di atas Marwan hanya
dapat mengalahkan Arab Utara dan mereka menyatakan
tunduk kepadanya, dan juga dia meneruskan serangan ke
Mesir, penduduk Mesir pun menyatakan sumpah setia
kepadanya. Akan namun sebelum dapat mengalahkan
penduduk Hijaz dia wafat pada bulan Ramadhan 63 H dan
hanya memerintah selama satu tahun. Sebelumnya, dia telah
membujuk anaknya Abdul Malik sebagai penggantinya.
3. Masa Kejayaan Pemerintahan dan Perkembangan Ilmu
(685 – 715)
Masa puncak pemerintahan daulah Umaiyah
berlangsung selama 30 tahun (685 – 715 M), yaitu Abdul Malik
bin Marwan (685 – 705 M) dan puteranya Walid bin Abd.
Malik (705 – 715 M).
3.1. Abdul Malik bin Marwan (685 – 705 M)
Abdul Malik yang menggantikan ayahnya Marwan
sebagai Khalifah yaitu sebagai khalifah terbesar kedua
sesudah Muawiyah dalam pemerintahan daulah Umaiyah,
sebab dia berhasil memadamkan banyak pemberontakan
dan menata administrasi pemerintahan, serta kemampuannya
dalam mengendalikan berbagai urusan sehingga dia berhasil
membebaskan daulah Umaiyah dari carut marut yang
merongrong daulah itu dan menggantinya dengan keagungan
yang mempesona.
Abdul Malik lahir di Madinah pada tahun 26 H, pada
masa pemerintahan Utsman bin Affan. Dia dikenal sebagai
orang yang hafal al-Qur’an, dia juga yaitu seorang ilmuwan
ahli fiqih, tafsir dan hadits di Madinah yang berguru pada
ulama-ulama Hijaz di Madinah.
Di antara peristiwa penting yang pernah dihadapi
Abdul Malik yaitu pemberontakan “Amru bin Sa’id yang
ingin menjadi khalifah sesudah Marwan sebab dia sudah
sibuk berjuang untuk memperkokoh kekuasaan Marwan,
sebab dijanjikan Marwan untuk diangkat menjadi khalifah
sesudahnya, namun Marwan menipu dia dengan mengangkat
anaknya Abdul Malik sebagai putra mahkota.
Pada suatu malam Abdul Malik mengundang ’Amru
agar berkunjung ke rumahnya. ’Amru datang dengan
beberapa pengawal. namun para pengawal itu ditahan seorang
demi seorang di belakang pintu sampai akhirnya ’Amru tiba
di ruangan Abdul Malik dia hanya seorang saja dan tidak
ada lagi orang lain bersamanya. Waktu itulah Abdul Malik
membunuhnya.
Abdullah bin Zubeir telah memberontak di Hijaz sejak
masa khalifah Yazid bin Muawiyah, namun Abdul Malik yakin
dapat menghadapi pemberontakan Abdullah bin Zubeir
ini , sebab dia pernah berkata: Aku tidak mengatahui
ada orang lain yang lebih kuat dariku, Ibn Zubeir memang
lama sembahyangnya, banyak puasanya, namun sifat bakhilnya
memicu dia tidak pantas menjadi pemimpin.
Untuk menghadapi pemberontakan Abdullah bin
Zibeir, Abdul Malik mengirim Hajjaj bin Yusuf -seorang
panglima besar yang amat ditakuti sebab keberingasannya-
untuk memadamkan pemberontakannya di Makkah.
Hajjaj mengepung Makkah selama 6,5 bulan.
Sementara itu Abdullah bin Zubeir berjuang gagah berani,
namun pasukannya kalah dan dia terbunuh. Kemudian Abdul
Malik mengangkat Hajjaj menjadi Gubernur Hijaz untuk
beberapa lama dan berhasil pula menumpas pemberontakan
lainnya di Semenanjung Arabia itu.
Setelah itu di Irak terjadi kekacauan maka Abdul Malik
mengangkat al-Hajjaj menjadi Gubernur Irak untuk
memadamkan pemberontakan penduduk Irak dan orang-
orang Khawarij di sana. Sesampainya di Irak al-Hajjaj
menyampaikan pidato: Hai penduduk Kufah aku melihat banyak
kepala yang sudah matang, dan telah tiba waktu memetiknya. Aku
laksana melihat darah di antara jenggot-jenggot dan sorban-
sorban...Dan dia menyuruh pengawalnya membacakan surat
khalifah yang ditujukan kepada penduduk Kufah ini .
Maka pembantunya itu membacanya: Dari Abdul Malik,
Amirul Mukuminin, kepada kaum Muslimin yang berada di
Kufah. „Salamun’alaikum” ..... namun mereka tidak menjawab.
Berhenti! Kemudian al-Hajjaj menoleh mereka dan memberikan
ancaman, maka pembantu itu dusuruh lagi membaca surat
ini dan mereka menjawab salam khalifah serentak.131
Kemudian al-Hajjaj menuju Basrah dan melakukan hal
yang sama kepada penduduk Basrah sehingga penduduk
Basrah tunduk dan patuh seperti penduduk Kufah. Maka
penduduk Irak semuanya tunduk kepada ancaman al-Hajjaj
dan memerintahkan kepada mereka agar menggabungkan
diri ke dalam pasukannya.
Kemudian al-Hajjaj mengangkat Panglimanya Muhalla
bin Abi Shufrah menghadapi pemberontakan orang-orang
Khawarij di Irak dan dia berhasil memukul perlawanan mereka,
di bawah pimpinan Khatari bin Al-Fujjah.
Setelah pemberontakan Abdullah bin Zubeir, penduduk
Irak dan kaum Khawarij dapat ditumpas, suasana politik
menjadi tenang sehingga memberikan kesempatan kepada
Abdul Malik membenahi pemerintahannya.
Ada tiga hal pembenahan yang dilakukan Abdul
Malik dalam pemerintahannya. Pertama menjadikan bahasa
Arab sebagai bahasa resmi di seluruh wilayah negara daulah
Umaiyah. Sebelumnya, kantor pemerintahan di Syam
memakai bahasa Yunani sebagai bahasa resmi, sedangkan di
Mesir memakai bahasa Qibthi dan bahasa Arab hanya
dipakai di Semenanjung Arabia sebagai bahasa resmi
dalam administrasi negara, juga wilayah Persia dan propinsi-
propinsi bagian timur.
Kedua, menciptakan mata uang yang seragam di
seluruh wilayah negara. Dari mata uang dinar dan dirham
disatukan menjadi mata uang riyal, sampai sekarang.
Ketiga, pelayanan pos yang lebih disempurnakan dari
yang selama ini ada untuk menghubungkan sebuah ibu kota
dengan ibu kota lainnya di seluruh propinsi dan antara
propinsi dengan negara.
3.2. Walid bin Abd. Malik (705 – 715 M)
Setelah Abdul Malik memerintah selama dua puluh
tahun (685-705 M) dia mengangkat anaknya al-Walid sebagai
Khalifah penggantinya. Kalifah Al-Walid mewarisi stabilitas
politik yang memungkinkannya dapat membangun negara.
Oleh sebab itu, dia memperluas Masjid Makkah, membangun
Masjid Madinah. Di Syam sebagai ibu kota negara, dia
membangun sejumlah sekolah dan rumah ibadah serta
membantu lembaga-lembaga sosial, seperti lembaga yang
menangani penderita penyakit kusta, lumpuh dan buta.
Al-Walid bin Abdul Malik melakukan perluasan
wilayah di Front timur mencapai titik terjauh dengan
kecemerlangan di bawah dua panglima perangnya yaitu
Qutaibah bin Muslim dan Muhammad bin al-Qasim,
keduanya merupakan menantu al-Hajaj. Mereka telah berhasil
menguasai India bagian barat (kini Pakistan), Bukhara,
Samargand, dan Sind. Akan namun seluruh India baru dapat
ditaklukkan pada penghujung abad ke 9 oleh Muhammad
Ghaznah dari Daulah Ghaznawiyah.
Penaklukkan di front barat yang dilakukan Musa bin
Nushair, tidak kurang cemerlang dari front timur. Sebagai
gubernur, Qairawan, dia dapat meluaskan wilayah Islam
sampai ke Spanyol. Pertama, Musa mengirim Tarif bin Malik
bersama 500 pasukan untuk menaklukkan Spanyol pada
tahun 710 M. Kedua, Musa mengirim Tariq bin Ziyad bersama
12.000 pasukan pada tahun 711 M. Ketiga, Musa berangkat
ikut serta menaklukkan Spanyol pada tahun 712 M. Proses
penaklukkan Spanyol akan diuraikan lebih lanjut dalam bab
pembahasan Islam di Spanyol.
3.3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban
Bangsa Arab tidak membawa tradisi ilmu
pengetahuan dan warisan kebudayaan ke negeri-negeri yang
ditaklukkannya. Jelasnya mereka tidak berwatak pencinta
ilmu dan tidak pula memiliki kebudayaan yang berarti.
Akibatnya mereka menjadi murid dari bangsa yang
ditakhlukkannya yang memiliki kebudayaan dan tradisi
keilmuwan yang lebih tinggi, seperti bangsa Persia atau Iran.
Ada empat pusat kebudayaan pada masa daulah
Umaiyah ini, yaitu Makkah, Madinah, Basrah, dan Kufah. Dua
yang pertama terletak di wilayah Hijaz, sedang dua terakhir
terletak di wilayah Irak yang lebih dikenal sebagai bekas
kerajaan Persia. Dalam ilmu Fiqh dikenal ulama Hijaz sebagai
ahl al-Hadist dan ulama Irak sebagai ahl al-Ra’yi.
Di masa daulah Umaiyah berkuasa lebih tepat
dikatakan sebagai masa penyebaran benih kebudayaan yang
hidup subur di masa daulah Abbasiyah. Ilmu pengetahuan
yang berkembang pada masa daulah Umaiyah ini yaitu
ilmu-ilmu keagamaan (naqliyah), seperti ilmu qira’at, ilmu
tafsir, ilmu hadist, ilmu fiqh, ilmu bahasa, ilmu kalam, ilmu
tasawuf dan ilmu arsitektur. Uraian yang lebih terperinci
tentang ilmu-ilmu keagamaan (naqliyah), dapat dilihat
sebagaimana berikut ini:
1. Ilmu Tafsir
Pada masa awal Islam, ilmu tafsir belum
dibutuhkan sebab umat Islam dapat mengerti apa yang
dimaksud oleh setiap ayat al-Qur’an. Namun saat
wilayah Islam sudah meluas dan orang-orang bukan Arab
telah menganut agama Islam, mulai dirasakan perlunya
menafsirkan al-Qur’an. Beberapa orang sahabat seperti Ali
bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud,
Ubay bin Ka’ab menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan apa
yang mereka dengar dari Nabi.
Mereka ini dipandang sebagai pendiri ilmu tafsir.
Bentuk tafsir al-Qur’an pada awal Islam dikenal dengan
tafsir bi al-ma’tsur yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
didasarkan pada apa yang mereka dengar dari Nabi dan
sahabat-sahabat senior atau dikenal dengan tafsir bi al-
riwayah, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an didasarkan
pada riwayat.
Tafsir bi al-ma’tsur ini mengalami perkembangan di
masa daulah Abbasiyah, seperti Jami’ al-Bayan fi tafsir al-
qur’an oleh Ibn Jarir al-thabari dan Maqarin al Tanzil oleh
al-Baidhawi. Tafsir-tafsir telah tersusun secara sistematis
menurut urutan ayat.
Tafsir bi al-Ra’yi pun berkembang pesat pada masa
Daulah Abbasiyah. Tafsir yang didasarkan pada
pemahaman akal ini ada beberapa corak, seperti
Tafsir Mu’tazili berjudul al-Kasysyaf al Dhawamiri al-Tanzil
oleh al-Zamakhsari. Tafsir al-Ilmy berjudul Mafatih al-
Ghaib oleh Fakhrurazi. Tafsir Sufi seperti yang yang
dilakukan oleh al-Junaid dan Sofyan Tsuri dan lain-
lainnya.133
Tafsir Al-Qur’an yang mengambil bermacam-
macam bentuk atau corak itu yaitu pengaruh dari
kebebasan berfikir pada masa itu. Sehingga latar belakang
pemikiran mereka sangat mewarnai tafsir yang mereka
lakukan.
2. Ilmu Hadits
Hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam pada
mulanya belum ditulis seperti al-Qur ’an karena
dikhawatirkan bercampur baur dengan al-Qur’an. Karena
itu Nabi melarang menulis sesuatu darinya selain al-
Qur’an. Pemeliharaan Hadits oleh para sahabat dilakukan
melalui hafalan.134 Pembukaan Hadits untuk pertama kali
dilakukan oleh khalifah Umar bin abd al-Aziz di awal
abad kedua Hijrah. Dalam mengumpulkan Hadits dari
para penghafal Hadits, diadakan suatu metode yang
disebut Isnad yaitu membahas persambungan Hadits.
Selain itu dipakai pula metode al-Jarh wa al-ta’dil yang
membahas asal-usul penghafal Hadits.
Pada masa daulah Abbasiyah, pembukuan Hadits
mengalami perkembangan pesat. Muncul tokoh-tokoh
Muhadditsin terkemuka dan terkenal sampai saat ini. Mereka
itu yaitu : Imam Malik, Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-
tTurmudzi, al-Nasa’i, dan Ibn Majah.
Penulisan Hadits di masa daulah Abbasiyah
dilakukan secara gencar dalam rangka memelihara
eksistensinya sebagai sumber kedua ajaran Islam, selain
itu untuk kebutuhan umat juga, sebab para penghafal
Hadits banyak yang meninggal dunia sehingga
dikhawatirkan terjadi kepunahan Hadits.
3. Ilmu Fiqih
Fiqih belum dikenal sebagai ilmu pada awageograf
sebab pada waktu itu semua persoalan yang dihadapi
kaum muslimin dapat ditanyakan langsung kepada Nabi.
namun sesudah Rasulullah wafat, sementara daerah
kekuasaan Islam semakin luas dan problem yang dihadapi
umat semakin banyak, memaksa kaum muslimin
menggali hukum-hukum dari ayat-ayat al-Qur’an dan
Hadits dengan berijtihad untuk mendapatkan hukumnya.
Usaha-usaha kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an
dan Hadits serta aktivitas ijtihad berkembang pesat pada
masa daulah Abbasiyah dengan munculnya mujtahid-
mujtahid terkenal seperti Imam Abi Hanifah (w. 150 H /
767 M), Imam Malik (w. 179 H / 795 M), Imam Muhammad
bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H / 820 M) dan Imam Ahmad
bin Hambal (w. 231 H / 855 M). Melalui kajian-kajian yang
mereka lakukan, akhirnya lahirlah ilmu fiqih sebagai suatu
disiplin ilmu dalam Islam yang membicarakan hukum
syara’.
Imam-imam mujtahid dalam kajian hukum
Islam, mereka menempuh cara-cara yang berbeda-beda
satu sama lainnya yang selanjutnya melahirkan aliran-
aliran hukum dalam Islam. Misalnya Imam Abu Hanifah
(80 – 150 H / 669 – 767 M) lebih banyak mempergunakan
ra’yu dalam istimbath hukumnya, sehingga dia
dipandang sebagai pendiri aliran ra’yu dalam hukum
Islam.
Penggunaan metode al-Ra’yu oleh Imam Abu
Hanifah yaitu konsekwensi logis dari kondisi
lingkungan tempat tinggalnya di Iraq yang jauh dari pusat
Hadits di Madinah, juga sebab sikap kehati-hatiannya
dalam menerima suatu Hadits. Bagi Imam Abu Hanifah
sebuah Hadits baru dapat diterima bila Hadits itu telah
pada tingkat Hadits masyhur atau para fuqaha’ lainnya
sepakat mengamalkannya.
Sementara Imam Malik (97 – 179 H / 715 – 795 M)
yang lahir di daerah Hijaz dan seluruh usianya dihabiskan
di kota Madinah, dalam menetapkan hukum
mendasarkan ijtihadnya terlebih dahulu pada zahir Nash
dan lebih banyak mempergunakan Hadits, sehingga dia
terkenal sebagai Ahl al-Hadits. Imam Malik memakai
metode itu kerana dipengaruhi oleh kondisi kota Madinah
sebagai pusat Hadits,
Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 – 204 H / 67 –
820 M) menempuh metode yang berbeda dengan kedua
aliran Iraq (ra’yu) dan Hijaz (hadits) di atas. Dia
melakukan penggabungan antara aliran ra’yu dengan
aliran Hadits. Metode istimbath hukumnya dapat
ditelusuri dalam karya monumentalnya, al-Risalah yang
memberi tuntunan dalam berijtihad.
Fuqaha’ besar lainnya yang terkenal pada masa
daulah Abbasiyah yaitu Imam Ahmad bin Hambal (164
– 231 H / 780 – 855 M). Dalam menetapkan hukum dia lebih
banyak mengambil dalil-dalil dari zahir Nash dan kurang
mempergunakan ra’yu. Oleh sebab itu dia dikenal juga
sebagai ahl al-Hadits di samping sebagai seorang fuqaha’.
4. Ilmu Kalam
Ilmu kalam ini membahas masalah-masalah
keimanan dengan mempergunakan argumen-argumen
akal atau filosofis. Munculnya ilmu ini dalam Islam
sesudah Islam tersiar kepada bangsa-bangsa non-Arab
yang telah lebih tinggi kebudayaannya. Mereka
senantiasa mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai
dasar-dasar keimanan dengan mempergunakan
argumen-argumen filosofis.
Di antara tokoh-tokoh ulama ilmu kalam yaitu :
Washil bin Atha’, Abu Huzail Al-Jubba’i, dan Al-Nazham
dari kelompok Mu’tazilah, Hasan Basri, Abu Hasan al-
Asy’ari, al-Maturidy, dan Hujjah al-Islam Imam Ghazali
dari kelompok Sunni.
5. Ilmu Tasawuf
Ilmu ini muncul berawal dari ajaran Zuhd, yaitu ajaran
yang menekuni ibadah dan menjauhkan diri dari kesenangan
hidup duniawi. Perang saudara yang berkepanjangan,
fanatisme kelompok-kelompok politik, pameran kehidupan
mewah dan lain-lainnya, mendorong sebagian orang
meninggalkan kehidupan duniawi dan menekuni ibadah
yang kemudian mereka dikenal dengan kaum sufi.
Dalam membersihkan jiwa sehingga berada dekat
dengan Tuhan mereka tempuh melalui tahap-tahap yang
disebut dengan maqamat, seperti al-Taubah, al-Zuhd, al-
Shabar, al-Tawakkal dan al-Ridha. Pelopor ajaran ini
yaitu Hasan Basri.
Diantara tokoh-tokohnya yang terkenal dalam
ilmu tasawuf ini yaitu Hasan Basri, Rabi’ah al-Adawiyah,
Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj, Al-Misri, Ibn al-Arabi,
dan Jalaluddin al-Rumi.
Sementara ilmu umum (aqliyah), seperti ilmu filsafat,
ilmu pasti, ilmu astronom, musik, kedokteran, kimia dan lain-
lain baru berkembang pesat bersama dengan ilmu aqliyah di
masa daulah Abbasiyah. Uraian yang lebih terperinci tentang
ilmu-ilmu umum (aqliyah) akan diuraikan lebih lanjut dalam
pembahasan perkembangan ilmu pengetahuan pada masa
daulah Abbasiyah.
Selain perkembangan ilmu pengetahuan dalam
bidang ilmu-ilmu agama, pada masa daulah Umaiyah
berkembang juga peradaban lainnya, yaitu seni arsitektur.
1. Arsitektur
Seni bangunan pada masa daulah Umaiyah yaitu
bangunan sipil berupa kota-kota, dan bangunan agama
berupa masjid-masjid. Di masa daulah Umaiyah banyak
kota-kota baru dibangun dan kota-kota lama
diperbaharui dengan pembangunan berbagai gedung
dengan gaya perpaduan Persia, Romawi dan Arab, tapi
dijiwai semangat Islam.
Damaskus, dulu sebelum Islam merupakan ibu
kota kerajaan Romawi di Syam. Sebagai kota lama
diperbaharui Muawiyah, dengan mendirikan gedung-
gedung indah bernilai seni, dilengkapi jalan-jalan dan taman-
taman rekreasi yang menakjubkan dan dijadikan sebagai ibu
kota daulah Umaiyah. Muawiyah juga membangun “istana
hijau” di Miyata dan istana itu pada tahun 704 M,
diperbaharui oleh Walid bin Abd al-Malik.
Salah satu kota baru yang dibangun pada
masa daulah Umaiyah ini yaitu kota Kairawan di Afrika
Utara oleh Uqbah bin Nafi’ saat dia menjadi gubernur
di wilayah ini pada masa khalifah Muawiyah. Kota
Kairawan dibangun dengan gaya arsitektur Islam
dilengkapi dengan gedung-gedung indah, masjid, taman
rekreasi, pangkalan militer dan lain-lainnya. Kota in
kemudian berkembang menjadi kota internasional karena
di dalamnya bertempat tinggal bangsa-bangsa Arab,
Barbar, Persia, Romawi, Qibthi dan lain-lainnya.142
Pada masa al-Walid dibangun pula masjid agung
yang terkenal sampai sekarang dengan nama “Masjid
Damaskus” atas kreasi arsitektur Abu Ubaidah bin Jarrah.
Dalam pembangunannya khalifah al-Walid
mendatangkan 12.000 orang tukang bangunan dari
Romawi. Ukuran masjid ini seluas 300x200 m dan
memiliki 68 pilar dilengkapi dinding-dinding dengan
berukiran indah.
Di sekeliling masjid ini ada empat buah mercu
bekas bangunan peninggalan Yahudi, namun hanya
diambil satu mercu saja untuk dijadikan menara tempat
adzan. Menara ini terletak di sebelah tenggara masjid.
Dalam ruangan masjid Damaskus dihiasi dengan ukiran-
ukiran indah, marmer-marmer halus (mozaics) dan pintu-
pintunya memakai kaca-kaca berwarna warni.
Khalifah Abd al-Malik kemudian melakukan
perbaikan-perbaikan terhadap masjid-masjid tua yang
sudah ada semenjak masa Nabi. Di antaranya beliau
menyediakan dana 10.000 dinar mas untuk memperluas
Masjid al-Haram dan disempurnakan al-Walid dari segi seni
arsiternya pada pintu, jendela berukir dan tiang-tiangnya
dibuat dari batu granit yang indah.
Khalifah al-Walid memperluas memperluas masjid
Nabawi dan memperindahnya dengan konstruksi dan
arsitektur Syria di bawah pengawasan Umar bin Abd Aziz,
saat itu menjadi gubernur Madinah. Menurut salah satu
sumber mengatakan bahwa dinding masjid ini dihiasi
mozaik dan batu permata. Tiangnya dari batu marmer,
lantainya dari batu pualam, plafonnya bertahtakan emas
murni, ditambah empat buah menara.
4. Kemunduran Pemerintahan .
Masa ini mencakup 8 orang khalifah, yaitu Sulaiman
bin Abd. Malik, (715 - 717 M), Umar bin Abd. Aziz (717 – 720
M), Yazid bin Abdil Malik (720-724 M),Hisyam bin Abd. Malik
(724 – 743 M), Al-Walid bin Yazid (743 – 744 M), Yazid bin Al-
Walid (744 M), Ibrahim bin Sulaiman (744 M) dan Marwan
bin Muhammad (744 – 750 M).
4.1. Sulaiman Menahan Pahlawan Spanyol
Sulaiman bin Abdul Malik dilahirkan pada tahun 54
H. Dia menggantikan saudaranya al-Walid sebagai khalifah.
Hal ini berarti terjadi pengangkatan dua putera mahkota oleh
Abdul Malik. Sebelum al-Walid meninggal, dia pernah
bermaksud memecat saudaranya Sulaiman sebagai putera
mahkota. Dalam hal ini al-Walid meminta nasehat kepada para
penasehat dan panglima-panglimanya.
Ketiga panglimanya, al-Hajjaj bin Yusuf, Muhamad bin
Qasim, dan Quthaibah bin Muslim menyetujui maksud
ini , namun Umar bin Abdul Aziz menantangnya dan
mengatakan kepada al-Walid: Bai’at dan sumpah setia kepadamu
dan saudaramu Sulaiman yaitu satu, tidak dapat dibagi-bagi.
Karena mendapat tantangan yang hebat, keinginan al-
Walid tidak dapat terlaksana, namun usaha al-Walid untuk
menggeser putera mahkota dari saudaranya kepada anaknya
telah berakibat jelek pada masa pemerintahan Sulaiman,
diliputi suasana kebencian dan pembunuhan.
Al-Hajjaj wafat sebelum al-Walid wafat, maka dia
terbebas dari kebencian Sulaiman, namun M