Rabu, 19 Juli 2023
raja majapahit 5
By Lampux.blogspot.com Juli 19, 2023
diri ke tempat ini. Selain itu di
kawasan ini juga terdapat resi atau pemuka agama yang
dapat melindungi mereka dari bahaya. Hingga kini tokoh
agama atau dukun Tengger memiliki status yang
terpandang dan sangat dipercaya oleh masyarakat Tengger. Hal ini ditunjukkan dengan fungsi dukun adat baik
sebagai penyembuh, pemimpin upacara, dan tokoh
masyarakat yang disegani serta penengah suatu
permasalahan.
Setelah masa Majapahit, kawasan Pegunungan
Tengger masih dianggap sebagai tempat pertahanan
ataupun pengungsian yang mumpuni. Pada masa Mataram
kawasan ini ditempati oleh para pemberontak Mataram.
Tokoh pemberontak Mataram seperti Trunojoyo dan
Suropati pernah membuat pertahanan di kawasan ini
ketika mereka terdesak. Ketika membuat pertahanan ini
mereka dibantu juga oleh penduduk yang berada di
kawasan Pegunungan Tengger (Hefner, 1999:58-59).
Simpulan
Varian genetik yang dihasilkan dari komparasi
dengan rCRS pada masyarakat Tengger khususnya Tengger
Wonokitri yaitu berjumlah 30 titik mutasi atau haplotype.
Di antara 30 titik mutasi itu, terdapat kesamaan mutasi
pada antar sampel. Kesamaan titik-titik mutasi ini
mengindikasikan adanya hubungan kekerabatan di antara
semua sampel Tengger Wonokitri kecuali TW VIII.
Kesamaan ini dimungkinkan terjadi karena adanya
perkawinan endogami. Namun, Perkawinan endogami
pada masyarakat Tengger tidak begitu kuat, karena varian
genetik pada masyarakat Tengger sangatlah beragam
dalam satu sampel. Keragaman itu dapat terlihat dari
jumlah titik mutasi yang muncul pada masing-masing
sampel.
Perbandingan data sekuens masyarakat Tengger di Wonokitri dengan temuan rangka Kedaton menunjukkan
adanya similaritas di antara keduanya. Similaritas itu
terlihat pada beberapa sampel yaitu sampel KDT II dan V;
TW V, VII, dan XIV. Sampel masyarakat Tengger yang
menunjukkan similaritas kuat terlihat pada sampel TW XIV
dengan kedua sampel Kedaton. Similaritas genetik di
antara kedua jenis sampel ini didasarkan pada titik-titik
mutasi atau haplotype. Titik mutasi yang menunjukkan
similaritas di antara kedua sampel terlihat pada A87T dan
-111A. Maka dimungkinkan masyarakat Majapahit di masa
keruntuhannya bercampur dengan penduduk asli
Pegunungan Tengger atau Walandit sehingga membentuk
masyarakat Tengger seperti saat ini.
Arkeologi maritim masa kini memanfaatkan ragam
disiplin, termasuk arkeologi terestrial, antropologi, dan
sejarah. Landasan interdisipliner itu menjawab kebutuhan
untuk mendapatkan lebih banyak informasi dari sebuah
situs yang terkait kemaritiman (Fontenoy, 1998;
Muckelroy, 1998). Di sini arkeologi maritim dapat merujuk
kepada suatu kajian tentang interaksi manusia dengan
perairan, baik laut maupun darat melalui kajian arkeologis
atas manifestasi budaya materialnya, antara lain sarana
transportasi, fasilitas-fasilitas, kargo dan permukimannya,
bahkan sisa-sisa biologis lingkungan dan manusianya
(Mundardjito, 2007). Kajian arkeologi maritim kita masih
miskin sekali untuk penelitian biologi manusianya, padahal
tujuannya adalah upaya untuk mengungkap kehidupan
manusia yang terkait dengan wilayah kemaritiman.
Pantai Utara Jawa, terutama Jawa Tengah bagian
timur dan Jawa Timur bagian barat, merupakan lokasi yang
memiliki banyak potensi sumberdaya arkeologis, terutama
yang berhubungan dengan bukti-bukti arkeologis maritim.
Kawasan pesisirnya menunjukkan telah ada
keberlangsungan hidup penduduknya yang berupa
permukiman-permukiman dan aktivitas ekonomis
(Setyawati, 1992; Ernawan, 2001). Seringkali dalam kawasan permukimannya ditemukan kubur-kubur sebagai
bukti ekofak, ipsefak, dan artefaknya.
Salah satu situs di Pantai Utara Jawa Tengah yang
memiliki potensi sebagai bahan penelitian arkeologi
maritim dan masa akhir Majapahit adalah Caruban, Lasem,
Rembang. Situs itu terletak di Dukuh Caruban, Kelurahan
Gedongmulyo, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang(Gambar 1). Situs ini terletak 1,5 kilometer di sebelah barat
laut Lasem. Luas Dukuh Caruban sekitar 14, 727 Ha (Nastiti
& Rangkuti, 1988). Situs ini merupakan situs peralihan dari
masa Klasik menuju masa Islam. Bukti-bukti itu
berdasarkan penelitian terhadap sumber historis dan
arkeologis yang berkaitan dengan aktivitas perekonomian
yang terjadi sekitar abad 14–17 M (Satari, 1983).
Penelitian intensif terhadap situs Caruban, Lasem,
Rembang, dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional pada tahun 1979, 1980, 1981, 1983, 1984, dan
1985. Pada ekskavasi tahap ketiga (tahun 1981) ditemukan
tiga rangka manusia. Seluruh rangka ditemukan pada
sektor II; di mana Rangka I diangkat pada tanggal 4 Juni
1981, rangka II diangkat pada tanggal 3 Juni 1981, dan
rangka III diangkat pada tanggal 2 Juni 1981. Penanggalan
radiokarbon terhadap rangka-rangka tersebut belum
dilakukan, namun berdasarkan temuan-temuan
artefaktualnya, mereka diperkirakan berasal dari masa
peralihan antara masa Klasik menuju masa Islam (Nastiti &
Rangkuti, 1981). Jika dikaitkan dengan situs penguburan
lainnya di Pantai Utara Jawa Tengah, rangka dari Caruban
itu diperkirakan memiliki penanggalan yang berdekatan
dengan rangka dari Bancar, Kabupaten Tuban, yang di
simpan di Universitas Airlangga (Sukadana & Wangania,
1977).
Penelitian lebih lanjut pada situs Caruban, Lasem,
Rembang, telah dilakukan oleh Rangkuti (1986) dengan
menganalisis pola persebaran artefaktualnya. Hasil
penelitiannya berkesimpulan bahwa situs itu merupakan
situs permukiman berdasarkan temuan-temuan arkeologisnya yang merujuk ke kegiatan sehari-hari. Buktibukti arkeologis lainnya ditunjukkan oleh Prijoharijono
(1986) dengan menerapkan metode sampling pada
artefak-artefaknya untuk memperkirakan frekuensi,
kepadatan temuan artefak pada situs, luas dan sebaran
artefak di permukaan situs tersebut.
Tiga individu rangka manusia dari Caruban, Lasem,
Rembang, telah diteliti oleh Boedhisampurno (1984)
dengan mendeskripsikan karakteristik-karakteristik
osteometris, kraniometris dan odontometrisnya. Penelitian
itu juga telah mengidentifikasi jenis kelamin, yakni Rangka
I dan III adalah perempuan, dan Rangka II adalah laki-laki.
Selanjutnya, Rangka I berumur sekitar 17 tahun, Rangka II
sekitar 25–30 tahun dan Rangka III sekitar 20 tahun.
Sementara itu, informasi mengenai ras yang didapat dari
tengkorak dan geliginya menunjukkan bahwa ketiga
individu itu berafinitas Mongoloid. Lebih jauh penelitian itu
mengungkap pengaruh budaya berupa mutilasi gigi yang
dapat ditemukan pada Rangka II dan III.
Penelitian ulang yang dilakukan saat ini memiliki
beberapa perbedaan dengan penelitian tahun 1984 itu.
Fokus penelitian sekarang untuk mengetahui kondisi
kesehatan yang terkait penyakit dan kelainan pada ketiga
individu rangka Caruban, Lasem, Rembang, yang tidak
dibahas dalam penelitian sebelumnya. Penelitian mengenai
penyakit berdasarkan rangka manusia di Indonesia yang
berkaitan dengan konteks arkeologis telah dilakukan
sebelumnya oleh beberapa orang peneliti Indonesia. Murti
et al. (2013) telah meneliti patologi vebtebrata individu
Liang Bua 3 dari Liang Bua, Manggarai, Flores. Suriyanto et al. (2012) telah mendeskripsikan ragam patologi dari
sebuah tenkorak beserta latar belakangnya yang berasal
dari paruh pertama Abad ke-20 M. Pada penelitian lainnya,
Indriati (2006) mendiskusikan mengenai bekas luka pada
kranium Homo erectus Ngandong 7 dari masa Pleistosen,
yang disebabkan karena faktor kekerasan yang terjadi pada
individu tersebut.
Penelitian mengenai kondisi kesehatan masa
lampau pada konteks yang lebih luas di Asia Tenggara
sudah dilakukan dalam berbagai topik bahasan, seperti
studi kasus penyakit oleh Tayles (2003), Domett & Buckley
(2012), Willis & Oxenham (2013), Vlok et al. (2017).
Selanjutnya penyakit gigi dan hubungannya dengan
perpindahan menuju bercocok tanam oleh Tayles et al.
(2000), Pietrusewsky & Douglas (2001), Oxenham et al.
(2006) dan Newton et al. (2013). Penelitian lain terkait
status kesehatan dan demografi oleh Douglas (1996),
Labidon (2012) dan Cekalovic (2014). Terkait modifikasi
gigi terutama ablasi gigi oleh Nelsen et al. (2001), Domett
et al. (2011) dan Willman et al. (2016). Enamel hypoplasia
dan kaitannya dengan kesehatan ibu dan bayi dibahas oleh
McDonell & Oxenham (2014). Penelitian mengenai kondisi
kesehatan masa lampau seperti itu dalam konteks
Indonesia dapat memperkaya khazanah bioarkeologi dan
paleopatologi Indonesia terkait perubahan lingkungan dan
kebudayaan, sejarah dan persebaran penyakit, migrasi dan
kontak populasi. Selama proses persebaran populasi
manusia bersamaan dengan evolusi budaya dan kontak dan
konflik antar populasi di hampir penjuru dunia lebih dari
50.000–100.000 tahun yang lalu, maka di sini telah terjadi beberapa transisi mayor dalam hubungan manusia modern
dengan lingkungannya, antara lain: 1). Pertanian dan
permukiman awal (sekitar 10 ribu tahun yang lalu), di
mana manusia lebih aktif berkontak dengan mikrobamikroba dari hewan-hewan dan tanaman-tanaman
(sylvatic enzootic) –bersifat lokal; 2). Peradaban-peradaban
Eurasia Awal (misal Kekaisaran Yunani, Romawi dan Cina
sekitar dua sampai tiga ribu tahun yang lalu), di mana
makin aktif kontak militer dan perdagangan diikuti makin
menyebarnya penyakit-penyakit infeksi utama di antara
mereka –bersifat kontinental; 3). Ekspansionisme Eropa
(kolonialisme, imperialisme), lebih dari lima abad yang
lalu, membawa penyakit-penyakit infeksi yang mematikan
ke benua-benua di seberang lautan –bersifat
interkontinental; dan 4). Masa sekarang ini, di mana wabah
berbagai penyakit infeksi memperoleh pertambahan,
persebaran, perluasan dan percepatannya karena makin
ditunjang kebudayaan dan perubahan lingkungan yang
makin radikal –bersifat global.
Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan
bagaimana kondisi kesehatan penduduk pesisir pada
sekitar masa akhir Majapahit berdasarkan temuan rangkarangka manusia Caruban, Lasem, Rembang. Temuan status
kesehatanya itu akan dikaitkan dengan aspek lingkungan
dan budayanya dengan menggunakan pendekatan
bioarkeologis.
Bahan dan Metode
Laut Jawa merupakan jalur strategis untuk
pelayaran dan perdagangan di perairan Nusantara karena memiliki gelombang yang relatif tenang, dan banyak
pantainya yang landai yang sangat mudah untuk diakses.
Lalu lintas pelayaran kapal-kapal dari Laut Cina Selatan,
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik akan
memanfaatkan bandar-bandar di Jawa bagian utara untuk
berlabuh dan berdagang. Salah satu bandar yang ramai itu
Lasem (Aziz, 2014; Unjiya, 2014; Nurhajarini et al., 2015;
Utomo, 2017; Utomo et al., 2018). Wilayah Lasem bagian
utara membentang daerah pesisir, bagian timurnya berupa
rangkaian pegunungan dan bagian tengah bertopografi
datar. Lasem memiliki sungai yang dapat menjadi lalu lintas
perdagangan yang menghubungkan daerah pedalaman di
sekitarnya dengan daerah pesisirnya. Di situ bandarbandar berfungsi sebagai arena keluar masuk orang dan
barang, baik dari daerah Lasem dan sekitarnya maupun
dari wilayah yang akan ke Lasem dan sekitarnya. Sungai
Kiringan mengalir ke muara di sisi Barat Laut Lasem dan
Sungai Lasem yang mengalir di bagian tengah Lasem.
Lasem juga merupakan sentra produsen kapal yang
tangguh, baik kapal perang maupun kapal dagang sejak
zaman Majapahit hingga masa VOC (Nurhajarini et al., 201).
Kondisi itu berpengaruh pada dinamika sosial dan budaya
yang terjadi di Lasem.
Lasem sebagai tanah lungguh Majapahit mulai
berkembang pada abad ke 13–14 M. Dalam Serat Badra
Santi yang ditulis Mpu Santi Badra tahun 1479, disebutkan
bahwa pada tahun 1273 S atau 1351 M, Lasem telah
menjadi tanah perdikan Majapahit. Lasem termasuk ke
dalam wilayah Negara Agung atau Negara Utama, yaitu
bagian dari inti kerajaan (wilayah sekitar ibukota kerajaan) yang dikelola oleh Bhre (kerabat dekat raja) (Unjiya, 2014).
Waktu itu Lasem dipimpin seorang perempuan bernama
Dewi Indu, keponakan Raja Hayam Wuruk bergelar Bhre
Lasem, dalam versi Kitab Negarakertagama. Bhre Lasem
waktu itu adalah seorang putri bernama Sri
Rajasaduhitendudewi, adik sepupu perempuan Hayam
Wuruk.
Sepeninggal Hayam Wuruk pada tahun 1389, tahta
Majapahit diserahkan kepada Wikramawardhana, sebagai
raja istana barat. Ketika Dewi Indu meninggal dunia,
jabatan Bhre Lasem diserahkan pada putrinya
Nagarawardhani; namun Wikramawardhana juga
mengangkat Kusumawardhani sebagai Bhre Lasem. Dalam
Pararaton menyebutkan dua orang Bhre Lasem yaitu Sang
Halemu, istri dari Bhre Wirabhumi, dan Bhre Lasem Sang
Ahayu, istri dari Wikramawardhana. Sengketa jabatan Bhre
Lasem ini menciptakan perang dingin antara istana barat
dan timur, sampai akhirnya Nagarawardhani dan
Kusumawardhani sama-sama meninggal pada tahun 1400.
Wikramawardhana segera mengangkat menantunya (istri
Bhre Tumapel) sebagai Bhre Lasem yang baru. Setelah
pengangkatan Bhre Lasem baru, perang dingin antara
istana barat dan timur berubah menjadi perselisihan.
Pararaton juga mencatat bahwa terjadi pertengkaran hebat
di antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana pada
akhir tahun 1401. Pusat kerajaan di Trowulan juga makin
lemah. Setelah runtuhnya Majapahit pada tahun 1478,
kemudian berdiri Kerajaan Demak pada tahun 1481. Lasem
kemudian berada dalam kekuasaan Kerajaan Demak.
Kondisi kekuasaan Majapahit dan Demak itu yang kemudian menyebabkan pengaruh Islam bisa tumbuh dan
berkembang di Lasem (Nurhajarini et al., 201).
Seiring dengan berdirinya Kerajaan Demak, Lasem
diperintah oleh Pangeran Santipuspa. Beliau menggantikan
Nyi Ageng Malokah yang meninggal pada tahun 1490.
Pangeran Santipuspa adalah anak sulung Pangeran Santi
Badra. Pangeran Santipuspa pernah menjabat Dhang
Puhawang di Bandar Caruban, Lasem, Rembang. Saat itu
Caruban menjelma menjadi kawasan yang penting dalam
bidang perdagangan dan kelautan. Kekuasaan perairannya
membentang dari Juana di Pati sampai ke Sarang, bagian
paling timur Kabupaten Rembang saat ini. Adipati
Santipuspa meninggal dunia pada tahun 1501, dan
dimakamkan di Caruban. Penguasa Lasem selanjutnya
adalah Pangeran Kusuma Badra yang kekuasaannya
sampai ke kawasan Tuban, Lamongan dan Gresik.
Material yang dipergunakan pada penelitian ini
adalah temuan ekskavasi tiga individu rangka manusia dari
Caruban, Lasem, Rembang, yang tersimpan di
Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi,
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan
Keperawatan, Universitas Gadjah Mada. Penelitian tiga
rangka manusia ini bersifat deskriptif analitis dan
menggunakan metode analisis makroskopis. Ketiga
individu Caruban pada saat ini kondisinya relatif lengkap
dan utuh dengan beberapa kerusakan tafonomik.
Kelengkapan tulang post-cranium Rangka I mencapai
sekitar 70%, yakni dengan tidak lengkapnya humerus,
scapula dan manubriumnya. Seluruh tulang panjang berada
dalam keadaan lengkap pada Rangka II yang mencapai 80%, yakni dengan tidak adanya scapula dan vertebra
thoracicaenya. Sementara pada Rangka III hanya
ditemukan tengkorak dan bagian ekstremitas atasnya.
Tidak ada penjelasan dari arsip laporan lapangannya
apakah temuannya itu hanya berupa ekstremitas atas atau
ekstremitas bawah tidak dapat diangkat.
Proses identifikasi individuasi ketiga rangka
manusia Caruban, Lasem, Rembang, dikerjakan lagi, yang
meliputi jenis kelamin, umur, ras dan tinggi badannya.
Selanjutnya akan diteliti secara makroskopis mengenai
penyakit-penyakit dan kelainan lainnya serta pengaruh
aktivitas dan dinamika sosial budaya pada biologisnya.
Hasil dan Diskusi
Identifikasi biologis tiga individu rangka Caruban,
Lasem, Rembang, dimulai dengan menentukan jenis
kelaminnya. Penanda penentuan jenis kelaminnya pada
tengkorak merujuk pada protuberantia occipitalis externa,
processus mastoideus, margo supraorbitalis, glabella, dan
protuberantia mentalis; dan untuk karakteristikkarakteristik pelvisnya merujuk pada incisura ischiadica
major, arcus subpubicus dan ramus inferior ossis pubis
(White & Folkens, 2005). Walaupun kepastian jenis
kelamin Rangka I relatif sulit karena terkendala oleh
umurnya yang relatif muda, namun karakteristikkarakteristiknya merujuk perempuan berdasarkan
incisura ischiadica major yang membundar dan bersudut
lebar, arcus subpubicus yang melebar dan ramus inferior
ossis pubis yang mulai nampak nyata. Rangka II berjenis
kelamin laki-laki berdasarkan karakteristik-karakteristik tengkorak dan pelvisnya. Rangka III bersjenis kelamin
perempuan berdasarkan processus mastoideus, margo
supraorbitalis, protuberantia occipitalis externa dan
protuberantia mentalisnya.
Identifikasi biologis berikut adalah umurnya.
Perkiraan umur individunya menggunakan beberapa
metode, yaitu: perubahan morfologi pada permukaan
symphysi pubis (Todd, 1920), atrisi gigi (Lovejoy, 1985),
derajat penutupan sutura kranial (Meindl & Lovejoy, 1985),
morfologi facies auricularis (Lovejoy et al., 1985) dan
penyatuan epiphysis dan diaphysis pada tulang-tulang
ekstremitas (Buikstra & Ubelaker, 1994). Individu Rangka
I berumur sekitar 15–16 tahun berdasarkan penyatuan
epiphysis dan diaphysis pada ulna dan humerusnya.
Individu Rangka II berumur lebih dari 40 tahun. Hasil
pengamatan ini berbeda dengan hasil dari penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Boedhisampurno (1985)
yang menyebutkan individu ini berada pada umur 25–30
tahun. Penentuan umur berdasarkan sutura pada
tengkoraknya merujuk pada kisaran umur 30–40 tahun.
Selanjutnya adanya osteopit pada patella, sacrum, vertebra
cervicalis dan vertebra lumbalis yang menandakan umur
individu ini setidaknya telah melewati 40 tahun, dan pola
bekas pakai pada geligi menunjukkan kisaran umur 35–40
tahun. Penentuan umur berdasarkan facies
symphysialisnya merujuk umur 35–45 tahun. Sementara
itu, berdasarkan facies auricularisnya merujuk umur 40–45
tahun. Berdasarkan itu, dapat disimpulkan bahwa individu
ini memiliki umur sekitar 40 tahun ketika mati. Individu
Rangka III berbeda dengan hasil identifikasi Boedhisampurno (1985) yang menyimpulkan bahwa
individu ini meninggal dunia pada usia sekitar 20 tahun.
Pada identifikasi ulang kali ini, usia ketika mati Rangka III
berkisar antara 35–40 tahun berdasarkan penanda bekas
pakai pada geligi yang menghasilkan kisaran umur antara
35–40 tahun. Sementara itu perkiraan umur berdasarkan
sutura kranialnya merujuk sekitar 45,2 tahun dengan
deviasi 9,1 tahun.
Perkiraan tinggi badan ketiga individu Caruban,
Lasem, Rembang, berdasarkan femur, fibula, tibia dan
humerus. Individu Rangka I bertinggi badan sekitar 156,99
± 3,24 cm. Individu Rangka II bertinggi badan sekitar
165,308 ± 3,18 cm. Selain itu, tempat melekatnya otot pada
tulang sangat jelas terlihat pada humerus, ulna dan
radiusnya. Bukti itu menunjukkan bahwa individu ini
memiliki tubuh yang kekar. Berdasarkan tebal diaphysis
dapat disimpulkan bahwa bagian tubuh kiri dan kanan
individu ini dipergunakan dengan seimbang. Perbedaan
tebal lengan bagian kanan yang hanya berbeda 0,1 cm lebih
banyak pada bagian kanan menunjukkan bahwa tidak
terlihat adanya preferensi penggunaan salah satu sisi
badan dalam aktivitas kehidupan sehari-harinya.
Identifikasi tinggi badan Rangka III sulit ditentukan karena
sudah tidak ditemukan tulang panjang utuh pada
rangkanya.
Berdasarkan karakteristik-karakteristik geligi
individu Caruban, Lasem, Rembang, berafiliasi Mongoloid.
Saat itu populasi Mongoloid ini telah mondominasi
kawasan Jawa berdasarkan kurun sejarah migrasi
Nusantara (Suriyanto & Koesbardiati, 2006; Suriyanto etal., 2006; Suriyanto, 2007; Koesbardiati & Suriyanto,
2007a).
Kondisi Kesehatan Penduduk Caruban, Lasem,
Rembang
Beberapa penyakit gigi dijumpai pada individu
Rangka II dan Rangka III. Penyakit gigi kedua individu itu
meliputi karies pada oklusal dan akar gigi, atrisi gigi,
kalkulus sub dan supra gingival, periodontitis dan enamel
hypoplasia. Di sana juga ditemukan modifikasi gigi labial,
oklusal dan lingual dan ablasi giginya. Sebagai tambahan,
pada individu Rangka III, terlihat tidak adanya erupsi pada
molar ketiga mandibula kanannya, yang dapat terjadi
karena kelainan genetis (dental agenesis) atau karena
impaksi gigi yang biasa terjadi pada molar ketiga.
Karies merupakan penyakit infeksi pada gigi yang
merusak struktur gigi, mahkota atau akarnya yang dimulai
dengan aktivitas mikroba pada permukaan giginya.
Penyebab utama karies adalah bakteri Streptococcus
mutans atau Lactobacillus acidophilus (Roberts &
Manchester, 2005). Individu Rangka II berkaries pada
mahkota M1 kanan; selain itu, terdapat karies pada oklusal
M2,3 kiri. Pada individu Rangka III, karies terlihat pada akar
gigi M2 kanan dan M2,3 kiri (Gambar 2). Mereka merasakan
nyeri dan mengganggu proses mastikasinya, dan biasanya
terlihat pada perubahan penggunaan sisi untuk
mengunyah. Di sini karies gigi itu dapat mengganggu
aktivitas keseharian dan kualitas kehidupannya (Sheiham,
2006). Berdasarkan perbandingan dengan situs lain di
Thailand, dari 67 rangka yang ditemukan di Khok Phanom Di, 39 rangka memiliki karies gigi; berikutnya, Ban Lum
Khao 19 dari 43 rangka dan Noen U-Loke 13 dari 42 rangka
(Tayles et al., 2000). Peristiwa itu makin meningkat seiring
Homo sapiens meninggalkan aktivitas subsistensi
pemburu-pengumpul ke diet kaya karbohidrat (Ungar,
2014).
Gambar 2. Karies gigi pada bagian occlusal M2 kiri dan M2 kanan
Rangka III
(Sumber: Dokumentasi peneliti)
Atrisi gigi merupakan produk natural yang terjadi
pada gigi karena proses mastikasi makanan. Atrisi gigi
biasanya terjadi pada permukaan oklusal dan terjadi
karena proses gesekan dan tumbukan antara geligi mandibula dan maxilla (Ortner, 2003). Pada kawasan
hunian pesisir, atrisi gigi dapat menjadi lebih signifikan
dari daerah lainnya karena sering tercampurnya makanan
dan pasir dari hembusan angin yang acapkali terjadi. Bisa
juga terjadi karena faktor pengolahan dan penyajian
makanannya. Pada masa kini makanan diolah dengan
proses relatif lebih panjang sehingga lebih lembut dan
lebih mudah untuk dikunyah (Roberts & Manchester,
2005). Walaupun individu-individu rangka Caruban,
Lasem, Rembang, dikuburkan dalam tanah yang bercampur
dengan pasir, namun tidak terlihat adanya tanda-tanda
abrasi gigi yang normal terjadi pada penduduk yang tinggal
di daerah pantai.
Kalkulus gigi adalah mineralisasi dari plak gigi yang
merupakan kumpulan matriks dari mikroorganisme yang
melekat pada gigi. Proses pertumbuhan kalkulus gigi akan
semakin cepat jika individu tersebut mengkonsumsi diet
tinggi protein dan/atau tinggi karbohidrat, dan dengan
kondisi mulut yang memiliki keasaman tinggi (Roberts &
Manchester, 2005). Kalkulus gigi dibagi menjadi dua
berdasarkan lokasinya yaitu supra-gingival dan subgingival. Supra-gingival merujuk kalkulus yang terletak di
atas gusi. Kalkulus ini merupakan jenis yang lebih umum, di
mana berukuran relatif lebih tebal dan berwarna cokelat
atau abu-abu. Sementara sub-gingival terletak di bawah
batas gusi, sering terlihat pada akar gigi yang tersingkap,
keras dan berwarna kehijauan atau kehitaman (Roberts &
Manchester, 2005). Kalkulus gigi juga dapat dipergunakan
untuk mendeteksi jenis dietnya. Kalkulus supra-gingival
individu Rangka II terdapat pada rahang atas, antara lain: M1,2 kiri, I1,2 kiri, C kiri dan P1,2 kanan; dan rahang bawah,
antara lain: I1,2, C, P1 dan M1,2,3 kiri. Kalkulus sub-gingival
individu Rangka III terdapat pada rahang atas, antara lain:
C, P1,2 dan M1,2 kanan, dan P2 dan M1 kiri; dan rahang
bawahnya, antara lain: P1,2 dan seluruh molarnya. Pada
rangka ini juga terdapat supra-gingival kalkulus pada P2
kiri dan kanan dan M1 kiri dan kanan. Pada perbandingan
dengan situs lain di Asia Tenggara, kalkulus gigi terdapat
pada populasi Guar Kepah dan Gua Cha di Malaysia dengan
tingkat persentase mencapai lebih dari 33% total populasi
untuk Guar Kepah dan sekitar 43% untuk Gua Cha
(Bullbeck, 2005). Boleh jadi karena kalkulus gigi tidak
menimbulkan rasa sakit, maka individu-individu Caruban,
Lasem, Rembang, itu tidak mempedulikan keberadaannya.
Jika kejadian itu berlanjut dapat berujung terhadap
kurangnya tingkat kepedulian dan pengetahuan untuk
membersihkan geligi.
Dental crowding merupakan suatu keadaan di mana
geligi mandibula atau maxilla terdesak dari tempat
seharusnya sehingga bergeser. Peristiwa ini terjadi ketika
ukuran rentetan seluruh geliginya melebihi ukuran
rahangnya. Penyebab dari keadaan itu masih belum dapat
dipastikan (Ortner, 2003), namun pengaruh dari
perkembangan pertanian dapat berasosiasi dengan reduksi
ukuran gigi, bertambahnya karies gigi dan periodontitis
(Latham, 2013). Peristiwa itu bukan merupakan
permasalahan gigi populasi modern saat ini saja (Pinhasi et
al, 2015). Tentu saja peristiwa itu dapat dianggap sebagai
salah satu gangguan pada aparatus gigi karena
mempengaruhi aktivitas normal fungsi mastikatorinyayang berupa maloklusi. Individu Rangka II Caruban, Lasem,
Rembang, membuktikan kejadian itu pada C mandibula
kanannya (Gambar 3).
Gambar 3. Dental crowding Rangka II, periodontitis M1
kiri Rangka II dan enamel hypoplasia pada Rangka III
(Sumber: Dokumentasi peneliti)
Gingivitis dikenal sebagai gusi berdarah. Peristiwa
ini terjadi karena adanya pembengkakan gusi yang berupa
jaringan lunak dan biasanya terjadi pada daerah
perbatasan gusi dengan gigi, yaitu di antara mahkota gigi
dan akar gigi. Kondisi itu sering dipicu karena adanya plak
gigi. Gingivitis dapat berubah menjadi periodontitis tatkala
diabaikan. Jika gingivitis ini makin parah dapat berakibat
tanggalnya gigi (Ortner, 2003). Periodontitis merupakan
suatu keadaan di mana tulang alveolar dan ligamen periodontal menghilang yang dapat memperlemah
struktur penyokong gigi (Ortner, 2003). Peristiwa
demikian bisa muncul di antara gigi, jaringan lunak (gusi)
dan rahang, dan adanya kalkulus gigi pada regio tersebut.
Periodontitis merupakan penyakit gigi yang umum pada
masa kini dan merupakan salah satu penyebab tanggalnya
gigi (Roberts & Manchester, 2005). Periodontitis individu
Rangka II terdapat pada M1 kiri (Gambar 3), dan pada
individu Rangka III terdapat pada M3 kiri. Diperkirakan
kedua individu itu memiliki penyakit tersebut karena
memiliki kalkulus gigi tingkat lanjut yang kemudian
menjadi periodontitis. Periodontitis dapat menyebabkan
rasa sakit yang akan mempengaruhi kehidupan keseharian
individu tersebut.
Enamel hypoplasia merupakan kondisi di mana
kualitas gigi yang rendah berakibat pada dentin dan
enamelnya. Cacat yang terjadi pada enamel berupa garis,
lubang-lubang kecil atau lekukan pada permukaan enamel
yang biasanya terdapat pada geligi seri dan taring (Roberts
& Manchester, 2005). Enamel hypoplasia bisa dikaitkan
dengan beberapa penyakit seperti sifilis, rakhitis,
tuberculosis, trauma dan kekurangan gizi (Ortner, 2003).
Enamel hypoplasia lebih sering dikaitkan kepada gangguan
pada pertumbuhan fisik dalam temuan-temuan arkeologis
(Hillson, 1996). Acapkali peristiwa ini terjadi sebelum
umur 6 tahun karena saat itu merupakan umur ketika
mahkota gigi permanen terbentuk (Regezi et al., 2000).
Dalam konteks temuan individu Caruban, Lasem, Rembang,
enamel hypoplasia lebih dikaitkan kepada faktor
kurangnya gizi pada waktu individu ini bertumbuh-kembang karena tidak terberkas penyakit-penyakit
tersebut pada tulang-tulangnya. Enamel hypoplasia
terberkas pada gigi taring rahang atas kanan individu
Rangka III. Pada individu tersebut, garis kerusakan yang
terlihat hanya berupa satu alur tipis yang melintang
(Gambar 3). Pada perbandingannya dengan situs lain di
Asia Tenggara, enamel hypoplasia telah dijumpai pada
individu dari Gua Cha dan Guar Kepah; di mana jumlah
individu dengan enamel hypoplasia dari kedua situs
tersebut pada gigi caninus adalah 32 dari 51 individu di Gua
Cha dan 7 dari 28 individu dari Guar Kepah (Bulbeck,
2005).
Modifikasi gigi dilakukan sebagai penanda individu
tersebut telah melakukan suatu ritus kedewasaan, ritus
berkabung, identitas kelompok, estetika atau ritual
pernikahan (Ichord, 2000; Domett et al., 2011). Modifikasi
gigi dapat dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu ablasi
atau pencabutan gigi, filing atau pengikiran (pangur),
pewarnaan, pengeboran gigi dan pengisian dengan
material berhias (Barnes, 2010). Individu-individu rangka
Caruban, Lasem, Rembang, memperlihatkan modifikasi
pangur dan ablasi gigi. Pengikiran (pangur) biasanya
terjadi pada gigi seri dan taring, karena gigi dan mulut juga
sebagai organ sosial (Koesbardiati & Suriyanto, 2007b).
Pangur gigi terdapat ditemukan pada individu Rangka II
yang dilakukan pada bagian labial, lingual dan klusal
geliginya (Gambar 4). Pada individu Rangka II juga dapat
dirasakan pada permukaan oklusal geligi seri
mandibulanya, yang berarti dia mendapatkan proses
pangur pada bagian oklusalnya dalam rentang waktu tidak lama sebelum yang bersangkutan meninggal dunia. Bukti
ini berasal dari morfologi oklusalnya yang kasar dan
hampir tidak rata. Lebih lanjut, jika diraba pada bagian
oklusal-lingualnya maka geligi serinya terasa tajam yang
dapat menjadi bukti bahwa individu ini belum banyak
menggunakan geligi serinya setelah proses pangur hingga
meninggalnya.
Bukti lain menunjukkan modifikasi I1,2 dan C
maxilla kiri dan kanannya pada bagian labial dan lingualnya
sehingga membuat gigi berbentuk pipih menajam. Pada
rangka ini dapat dilihat bahwa proses mengikir gigi
dilakukan dari dua arah, seperti tampak pada I1 kiri
berfacies pada lingual dan labialnya. Modifikasi seperti itu
dapat ditemukan pada rangka-rangka arkeologis
Semawang (Bali) dan Liang Toge (Flores) (Koesbardiati et
al., 2015). Di Asia Tenggara, proses pangur ditemukan pada
rangka-rangka arkeologis dari Phum Sophy dan Phum
Snay, Kamboja. Pengikiran gigi memiliki frekuensi yang
sangat rendah dengan hanya 6,9% maxilla dan 4,3%
mandibula pada Phum Sophy, dan mencapai 4,8% untuk
maxilla dan 6,5% untuk mandibula pada Phum Snay.
Kesimpulan yang menarik dari penelitian tersebut adalah
tidak ada kaitan antara umur, jenis kelamin dan modifikasi
giginya (Domett et al, 2011). Terdapat bukti etnografis
bahwa pangur masih diperatekkan hingga saat ini, seperti
pada masyarakat Bali, sebagai ritus pendewasaan untuk
anak laki-laki dan perempuan yang memasuki masa
pubertas. Modifikasi gigi lain yang dipratekkan pada individu
rangka Caruban, Lasem, Rembang, adalah pencabutan atau
ablasi gigi. Pada individu yang memiliki modifikasi ini, akan
terlihat seperti gigi yang hilang sebelum mati (antemortem
toothloss) dan dibedakan dengan posisinya yang simetris
dan biasanya terjadi pada geligi seri atau taring. Geligi
anterior individu Rangka III telah mengalami ablasi
(Gambar 4). Seluruh gigi serinya memiliki tanda-tanda
telah dicabut dan mengalami proses penyembuhan
sehingga lubang alveolus telah tertutup. Tanggalnya geligi
seri kiri dan kanan terdapat pada beberapa situs di
Indonesia, yaitu Liang Bua, Lewoleba dan Melolo
(Suriyanto & Kosbardiati, 2010; Koesbardiati et al., 2015).
Pada konteks yang lebih luas dilaporkan terdapat pada
rangka-rangka manusia Neolitik di Asia Tenggara, seperti
Ban Kao di Thailand. Individu termuda yang mengalami
proses ablasi berumur 18 tahun dan menunjukkan bukti
bahwa ablasi merupakan ritual menuju kedewasaan (Sangvichien et al., 1969). Sementara itu, Situs Phum Snay
and Phum Sophy, menunjukkan tingginya antemortem
tooth loss terjadi secara simetris (83,5% pada maxilla dan
61,1% pada mandibula) (Domett et al., 2011). Ablasi gigi
yang dilakukan untuk alasan ritual nampak pada 72%
individu yang terdapat pada pada situs Neolitik Khok
Phanom Di (Thailand) dengan penanggalan 4000–3500 BP
(Tayles, 1996). Pada situs lainnya dari masa Logam di
Thailand, yaitu Noen U-Loke, terdapat individu yang
kehilangan gigi seri rahang atas keduanya. Peristiwa yang
langka bahwa ketidak-hadiran gigi seri rahang atas lateral
ini kemungkinan karena agenesis gigi, atau tidak
munculnya gigi sejak lahir (Nelsen et al., 2001).
Ivory osteoma
Ivory osteoma merupakan tumor jinak yang
biasanya terletak pada bagian ektokranial tengkorak.
Tumor ini biasanya memiliki ukuran kurang dari 1 cm,
soliter, padat dan dapat terlihat batas pinggirnya (Ortner,
2003). Tumor ini tidak menimbulkan rasa sakit dan
gangguan terhadap kehidupan individu yang memilikinya.
Bahkan mustahil untuk dapat diketahui oleh individu
tersebut ketika hidup kecuali tumor ini telah memiliki
ukuran yang signifikan besar. Tumor ini terdapat pada dua
individu, yaitu pada individu Rangka II yang terletak pada
parietal kanannya (Gambar 5), dan pada individu Rangka
III yang terletak pada parietal kirinya. Tumor ini tidak
mengganggu kedua indvidu ini ketika mereka masih hidup.
Presentase tercatatnya ivory osteoma pada konteks
arkeologis mencapai 41%, dan pada konteks masa kini mencapai 38% dari populasi tanpa ada perbedaan pada ras,
dan jenis kelamin (Eshed et al, 2002). Jika dibandingkan
dengan perbandingan tersebut, sangat wajar untuk dapat
menemukan osteoma tersebut pada populasi Caruban,
Lasem, Rembang.
Gambar 5. Osteoma pada parietal kanan Individu II
(Sumber: Dokumentasi Peneliti)
Trauma
Pada individu rangka Caruban, Lasem, Rembang
terdapat tanda-tanda trauma yang terjadi pada Rangka II.
Pada bagian tulang sesamoid lateral metatarsal kiri
pertamanya berukuran tiga kali dari ukuran normal
(Gambar 6). Letak tulang sesamoid pada kaki itu rentan
oleh trauma dan fraktur (Nwawka et al., 2013). Trauma itu
dapat berlanjut menjadi sesamoiditis.
Terdapat lima penyakit yang umum terjadi pada
tulang sesamoid yaitu, trauma, sesamoiditis, infeksi,
osteoarthritis dan sindroma rasa sakit (Nwawka et al.,
2013). Trauma individu Rangka II itu terjadi ketika masih
berumur relatif muda. Dalam proses penyatuan dari
trauma itu kembali, ternyata tulangnya bersama dengan
darah yang menggenang di antara ototnya kemudian
membentuk osifikasi atau penulangan. Morfologi
penulangan itu kemudian tidak berubah hingga individu
meninggal dunia. Pada tulang sesamoidnya dapat dilihat
alur yang merupakan pengikat jaringan otot flexor hallucis
brevis. Dia dapat merasakan nyeri seperti ditusuk dan
pembengkakan pada regio itu, dan seringkali terpincang
atau jalan dengan menggunakan bagian luar kakinya. Nyeri
demikian dapat terjadi selama berbulan-bulan (Nwawka et
al., 2013). Peristiwa itu di masa modern biasa terjadi pada
orang yang sering meloncat, penari, pelari, atau orang yang
sering menggunakan sepatu hak tinggi (Karasick &
Schweitzer, 1998). Dia mendapakan cedera pada telapak
kakinya itu saat bermobilitas tinggi.
Osteopit
Osteopit merupakan suatu keadaan di mana tulang
pada tepi persendian bertumbuh sebagai akibat dari badan
beradaptasi terhadap beban yang diterima oleh
persendian; dan semakin tinggi beban yang diterima
persendian, semakin besar ukuran osteopit yang dapat
muncul (Roberts & Manchester, 2005). Osteopit individu
Rangka II terdapat pada bagian patella, sacrum, vertebra
cervicalis dan vertebra lumbalisnya. Osteopit individu
Rangka III terdapat hanya pada vertebra thoracicaenya.
Individu Rangka I tidak memiliki osteopit karena umurnya
relatif masih muda.
Simpulan
Sejauh ini ekskavasi di situs Caruban, Lasem,
Rembang, yang berasal dari sekitar masa akhir Majapahit,
telah menemukan tiga individu rangka manusia. Penelitian
intensif terhadap situs tersebut telah dilakukan oleh Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 1979, 1980,
1981, 1983, 1984 dan 1985. Pada ekskavasi tahap ketiga
(tahun 1981) ditemukan tiga rangka manusia. Seluruh
rangka ditemukan pada sektor II; di mana inividu Rangka I
diangkat pada tanggal 4 Juni 1981, individu Rangka II
diangkat pada tanggal 3 Juni 1981, dan inividu Rangka III
diangkat pada tanggal 2 Juni 1981. Individu Rangka I adalah
seorang perempuan bertinggi badan 154,69–156,99 cm
dan berumur sekitar 15–16 tahun. Berikutnya, individu
Rangka II adalah seorang laki-laki bertinggi badan 163–165
cm dan berumur sekitar 40 tahun. Selanjutnya, individu
Rangka III adalah seorang perempuan berumur sekitar 35–40 tahun. Mereka adalah populasi Mongoloid.
Beberapa bukti patologis terekam pada individuindividu rangka manusia arkeologis Caruban, Lasem,
Rembang. Individu Rangka I tidak terlihat adanya penyakit
pada poskraniumnya. Pada individu Rangka II terdapat
osteopit pada patella, vertebra lumbalis dan vertebra
cervicalis, karies dan atrisi gigi, serta ivory osteoma pada
parietal kanannya. Sesamoiditis pada tarsal pertama
menunjukkan bahwa individu ini mengalami cedera pada
masa mudanya. Berdasarkan tinggi badan dan perlekatan
ototnya pada humerus, radius dan ulnanya yang sangat
kentara mengesankan bahwa dia berbadan kekar. Patologi
yang terekam pada individu Rangka III adalah karies,
kalkulus dan atrisi gigi, periodontitis, enamel hypoplasia,
osteopit dan ivory osteoma. Mereka juga mengalami
cultural dental trauma. Bukti-bukti patologis yang terekam
pada sisa-sisa hayatnya itu menunjukkan kondisi individuindividu itu selama hidup. Yang bisa jadi sebagai gambaran
kondisi kesehatan penduduk pesisir pada sekitar masa
akhir Majapahit di Caruban, Lasem, Rembang. Bukti-bukti
yang didapatkan itu hanya sebagian dari ragam patologis
individu-individu tersebut karena bukti-buktinya hanya
berasal dari sebagian jaringan keras yang berupa geligi dan
belulangnya. Mereka mati dalam usia remaja awal sampai
dewasa tengah yang berarti mereka harus bertahan hidup
dalam lingkungannya yang relatif keras. Mereka terpapar
beragam penyakit karena ketidakmampuannya
mengimbangi dinamika lingkungannya. Kondisi kesehatan
seperti itu dalam konteks bioarkeologis dapat terkait oleh
perubahan atau dinamika lingkungan dan kebudayaannya,sejarah dan persebaran penyakit, migrasi dan kontak di
antara populasi. Di sini kondisi itu juga bisa terkait dengan
transisi perubahan-perubahan kekuasaan di suatu
wilayah.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
gambaran kehidupan penduduk pesisir masa lampau
dalam suatu kurun waktu dan wilayah, terutama yang
terkait dengan kondisi kesehatannya berdasarkan temuantemuan osteologis manusianya. Penelitian seperti itu dapat
memberikan sumbangsih untuk kajian arkeologi maritim
Indonesia yang masih sangat miskin dengan pendekatan
bioarkeologis, khususnya sekitar masa dan pasca
kekuasaan Majapahit.
raja majapahit 4
By Lampux.blogspot.com Juli 19, 2023
dilatih memahami bahasa Jawa. Lembaga ini pada awalnya
berjalan dengan baik namun pada dalam perjalananya
mendapatkan resistensi dari para muridnya yang merasa tidak layak menjadi murid seorang guru yang half-blood,
(C.F. Winter yang merupakan keturunan Belanda-Jawa).
Sehingga akhirnya lembaga ini dibubarkan, sebagai
gantinya lembaga serupa dan lebih luas cakupannya
didirikan di Delft Belanda.85
Dalam menjalankan kerjanya, Winter sebagai
pemimpin institut banyak bekerjasama dengan para
pujangga lokal, seperta R. Ngabehi Ronggowarsito dan
Kertapraja. Keduanya sangat mempuni dalam bahasa
kesusastraan, penulisan sejarah Jawa. Winter sendisi tidak
diragukan kemampuannya setelah sekian lama bergaul dan
berguru dengan mereka. Mereka diibaratkan sebagai
bronen van nutritie (sumber nutrisi) bagi Winter.86 Lembaga
ini juga yang banyak berperan melakukan pengumpulan
sumber-sumber manuskrip Jawa dan juga
penerjemahannya dalam Bahasa Belanda. Dari lembaga ini
pula lahir Babad Tanah Jawi dalam versi prosa yang
kemudian diedit oleh Meinsma, sehingga dalam dunia
akademis Belanda dikenal dengan Babad Meinsma.
Menurut Ricklefs yang telah mengaji secara kritis tentang Babad Meinsma, yang kemudian diterjemahkan dan
dilatinkan oleh Olthoff (terbit tahun 1941) ini bersumber
dari Major Babad Tanah Jawi dari istana Surakarta yang
ditulis selama pemerintahan Susuhunan Pakubuwana IV.
Sekarang salinan naskah ini berada di Universitas Leiden
Belanda. Sementara itu naskah aslinya tidak lagi diketahui
apakah masih ada di Surakarta. Babad Meinsma menurut
Ricklefs sangat membantu dalam memahami struktur
Babad Tanah Jawi secara keseluruhan dengan pembagian
sub-sub bab di dalamnya, namun nilainya sebagai sumber
sejarah rendah dan harus dibaca dengan seksama, karena
telah mengalami penyuntingan berlapis. Bahkan edisi
pertama dari naskah yang akan diterbitkan batal terbitkan
karena pemerintah kolonial menginginkan adanya
penghapusan beberapa episode penting yang dianggap
terlalu mitologis.87
Namun di kalangan para sarjana Belanda karya
Meinsma ini sangat popular dan menjadi rujukan penting
banyak para penulis sejarah Jawa. Pada tahun 1939, Major
Babad Tanah Jawi yang dikoleksi oleh Universitas Leiden itu
dicetak masih dalam huruf Jawa ke dalam 31 buku oleh
Balai Poestaka. Terbitan baru ini menjadi pembanding
penting bagi karya Meinsma, mengingat karya ini yang
menjadi sumber rujukan dari versi prosa. Karena karya ini
masih dalam bentuk pusisi Jawa (tembang Macapat) dan
dalam huruf Jawa tentunya masih kalah popular dengan
karya Meinsma. Glorifikasi Majapahit oleh Kaum Orientalis Belanda
Semakin membanjirnya naskah-naskah klasik Jawa
sebagai sumber referensi instituut kolonial di Belanda,
khususnya selama abad ke-18 yang oleh Pigeaud disebut
sebagai “Renasissance Kesusatraan Jawa Klasik”88 (masa
Hindu-budha), maka wacana tentang kejayaan Jawa di masa
Hindu-Budha mengemuka. Seiring dengan itu upaya-upaya
melakukan rekonstruksi situs-situs peninggalan sejarah
periode itu semakin gencar dilakukan. Berbagai artefak,
prasasti dan segala sesuatu yang berkaitan dengan periode
ini diburu dan dikaji. Dari kajian-kajian inilah kemudian
mengemuka tentang Majapahit sebagai Kerajaan Hindu
terbesar di Jawa yang kekuasaanya mencapai wilayah
seberang lautan. Artikel dan buku tentang periode ini
banyak ditulis dan diterbitkan. Bahkan karya-karya roman
semi-sejarah mulai muncul. Di antaranya yang paling
menarik adalah dua jilid roman Majapahit karya J.S.G
Gramberg.89 Dari kata pengantar bukunya di jilid pertama
ini kita dapat memahami apa arah dan tujuan glorifikasi
terhadap Majapahit ini. Dalam kata pengantar itu Gramberg
mengritik kebijakan pemerintah kolonial yang ia katakana
“telah membiarkan Islam berkembang di Jawa” yang telah
menghancurkan kejayaan dan keunggulan budaya
masyarakat Jawa. Islam dianggap menjadi biang keladi atas
segala kehancuran masyarakat dan kebudayaan Jawa. Oleh
karenanya menyarankan agar pengetahuan tentang sejarah
Jawa dan masa keemasan mereka dapat menjadipemahaman generasi baru masyarakat Jawa.
Dari pernyataan Gramberg ini jelas bahwa
glorifikasi Majapahit menjadi landasan akademis untuk
dapat menyadarkan masyarakat Jawa dari “kesesatannya”
memilih Islam sebagai masa depan” yang tentu saja
dianggap menjadi ancaman penting bagi tatanan kolonial
yang sedang diperkuat di Jawa. Kuatnya literasi tentang
narasi Majapahit dalam historiografi dan sastra kolonial ini
menjadi pengetahuan dan ispirasi penting bagi para penulis
Jawa di masa peralihan dari abad ke-19 hingga abad ke-20,
ketika muncul karya-karya seperti Serat Sabdo Palon yang
berisi ramalan-ramalan tetang kebangkitan lagi kejayaan
Hindu-Budha 600 tahun sesudah kejatuhannya. Munculnya
literasi jenis ini dianggap sebagai penyokong tradisi
glorifikasi Majapahit ala orientalis Belanda dan sebagai
narrative counter (narasi tandingan) atas menjamurnya
teks-teks Islam. Karya-karya sastra sejenis yang dianggap
sebagai oposisi Islam misalnya Serat Darmagandul dan
Suluk Gatholoco. Naskah-naskah yang mendiskreditkan
Islam dan mengagungkan kembali agama lama Jawa itu
disinyalir sebagai wujud oposisi kelompo Kristen.90
Glorisfikasi Majapahit berlanjut di dalam kurikulam
nasional sekolah-sekolah kolonial. Dari buku-buku
pelajaran sejarah sekolah Eropa, seperti karya Krom dan
Stutterheim.91 Dan di masa kemerdekaan orang-orang
seperti Muhammad Yamin menjadi penerusnya. Sejarawan yang kritis seperti Slamet Muljana92 juga tidak dapat
melepaskan diri dari tradisi ini sekalipun ia tidak melihat
jatuhnya Majapahit sebagai diskontinuitas sejarah karena
kemudian menyusul munculnya Islam dan kebudayaan
Islam yang dianggapnya lebih sebagai penerus Majapahit
dengan pakaian yang berbeda. Cara pandang Slamet
Mulyana ini juga sejalan dengan penulis-penulis
sejamannya seperti H.J De Graaf dan Pigeaud yang membuat
seri kajian tentang kerajaan-kerajaan Islam di Jawa penerus
Majapahit.93
Ada yang Ironis di sini bahwa glorifikasi Majapahit
yang diinisiasi oleh para orientalis Belanda untuk
mengendorkan perkembangan Islam atau sebagai oposisi
terhadap Islam justru menjadi senjata makan tuan. Karena
semangat penyatuan Nusantara di masa kejayaan Majapahit
digunakan oleh para tokoh nasional dan pergerakan sebagai
epitome negara baru yang merdeka dari kekuasaan kolonial.
Majapahit dalam Historiografi Nasional Indonesia
Sejarawan sekaligus ahli hukum seperti Muhammad
Yamin adalah proponen utama yang ikut mengglorifikasi
Majapahit. Ia menulis buku yang panjang lebar tentang
Majapahit dan juga tentang Gadjah Mada.94 Tak ketinggalan
para tokoh nasional seperti Sukarno dalam pidatonya
tanggal 1 Juni 1945 menggali nilai-nilai Pancasila dari nilai-
nilai moral dan politik yang pernah diterapkan di Nusantara
pada masa Majapahit. Ia memandang unitary state yang
ingin dijadikan bentuk negara Indonesia yang akan segera
diproklamerkan pada tanggal 17 Agustus itu adalah
mendapat legitimasi historisnya dari pengalaman Sriwijaya
dan majapahit. Pandangan-pandangan ini kemudian
mempengaruhi banyak buku pelajaran sejarah sesudah
kemerdekaan dan dalam historiografi Indonesia
mempengaruhi penyusunan kronologi Sejarah Nasional
Indonesia.
Pengajian tentang sejarah Majapahit semakin
berkembang saat ini demikian juga publikasi tentang hasilhasil kajian mutakhir itu. Perdebatan juga semakin meluas
ke berbagai isu, dari kronologi, sebab-bab kejatuhan,
sikapnya terhadap Islam dan juga reputasi politik dan
ekspansi wilayah dan kekuasaanya. Beberapa tokoh
pentingpun juga mulai diperbincangkan, dari para raja yang
memerintah, para punggawa kerajaan, hingga perempuanperempuan di sekitar raja dan bangsawan istana lainnya.
Maraknya literatur tentang sejarah Majapahit ini juga
berpengaruh besar terhadap perkembangan karya fiksi
maupun semi-fiksi tentang Majapahit.95
Dari sekian banyak kajian tentang Majapahit itu,
pada umumnya tidak terlalu banyak perkembangan yang
berarti dari sisi sumber penulisan khususnya sumbersumber tertulis. Majapahit meninggalkan banyak artefak
penting berupa material cultures, yang ditemukan di kompleks utama ibukota Majapahit dimana istana berdiri,
tetapi sumber-sumber itu umumnya sumbe-sumber bisu
yang masih perlu dikaji agar dapat menjelaskan banyak
unsur tentang sejarah Majapahit.96 Sementara itu sumbersumber yang berupa prasasti rupanya sedikit dapat
membantu menjelaskan kejatuhan Majapahit. Sekalipun
parasasti-prasati itu sendiri tidak menyebutkan
kejatuhannya namun usia-usia prasasti dapat dipakai
petunjukkan tentang bentang waktu eksistensi kerajaan
Majapahit. Contoh penting dari studi-studi terhadap
prasasti-prasasti ini seperti yang dilakukan oleh J.G. de
Casparis.97
Hingga saat ini kesimpulan-kesimpulan yang
dihasilkan dari berbagai kajian-kajian tentang sejarah
Majapahit yang dilakukan oleh sejarawan Indonesia
maupun asing belum didasarkan pada bukti yang definitif
tentang tahun keruntuhan Majapahit. Yang ada hanyalah
patokan-patokan khusus yang digali dari berbagai sumber
untuk mendapatkan bentangan waktu eksistensi kerajaan
Majapahit. Terlepas dari berbagai perbedaan angka tahun
yang dihasilkan itu namun ada suatu benang merah yang
dapat ditarik bahwa keruntuhan Majapahit adalah proses
yang gradual yang memakan waktu hingga beberapa
dekade sampai akhirnya eksistensi Majapahit benar-benar
lenyap dari Jawa Timur. Proses yang gradual itu merupakan
kombinasi antara konflik politik yang melibatkan berbagai
pihak, baik internal dinasti maupun para vasal Majapahit
sendiri. Unsur-unsur lain adalah munculnya kekuatan baru
Islam yang mengambil alih pusat-pusat ekonomi dan
perdagangan di pesisir laut Jawa oleh kaum pedagang
muslim. Demikian pula pertentangan aliran di dalam agama
Hindu sendiri juga menjadi penyebab yang lain runtuhnya
Majapahit.
Cara pujangga Mataram menggambarkan
keruntuhan Majapahit, seperti yang digambarkan dari
berbagai babad utama, jelas melibatkan unsur kekerasan,
yang ironisnya ditempatkan dalam konteks pertalian
genealogis. Namun gambaran seperti ini tidak hanya khas
sejarah transformasi dari Hindu ke Islam pada abad ke-15
saja, namun juga menjadi pola pokok dalam sejarah politik
Jawa di kemudian hari. Para pujangga Jawa dari periode
Mataram Islam mengedepankan nilai-nilai keagamaan
sebagai caesura untuk memisahkan secara tegas jaman
lama (Hindu=kafir) dan Jaman Baru (Islam). Sebaliknya
dalam tradisi historiografi kolonial, runtuhnya Majapahit
(Hindu) dan munculnya Demak (Islam) adalah sebuah
kemunduran dalam pencapaian budaya dan peradaban.
Sebuah cara pandang yang sangat dipengaruhi oleh idiologi
kolonial, untuk menepiskan Islam yang telah membawa
efek buruk bagi eksistensi negara kolonial. Namun
glorifikasi periode Hindu Jawa dengan menempatkan
periode kekuasaan Majapahit sebagai masa keemasan Jawa,
telah dimanfaatkan oleh para tokoh pergerakan yang justru
dimanfaatkan untuk mengembangkan rasa senasib dan
solidaritas kebangsaan. Dengan kata lain senjata yang
diciptakan oleh historiografi kolonial itu telah melukai dan
bahkan membunuh si penciptanya sendiri ketika Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya dengan membangun
landasan idiologi yang digali dari nilai-nilai dan capaian
politik Majapahit. Glorifikasi terhadap Majapahit terus
berlanjut hingga kini, dan seperti sulit untuk tidak
mengakui bahwa semua itu bermula dari upaya-upaya yang
telah dilakukan oleh sejarawan kolonial. Sebuah warisan
historiografis yang berharga bagi historiografi nasional
Indonesia sebagai landasan historis memumpuk persatuan
dan kesatuan, dalam kerangka sebuah negara yang besar
dan hegemonik.
Sejarah menyebutkan bahwa banyak peradaban
manusia berkembang di sekitar tepi sungai, dimulai sejak
zaman pra sejarah sampai sekarang, seperti zaman manusia
Purba yang banyak bermukim di sepanjang Bengawan Solo.
Banyak kerajaan berkembang di sekitar daerah aliran
Brantas Jawa Timur. Berawal dari Mpu Sindok
memindahkan Kerajaan Mataram Kuna dari Jawa Tengah ke
darah aliran Bengawan Brantas Jawa Timur pada tahun 928
Syaka (1006 M) yang mendirikan Kerajaan Medang
berwangsa Isyana sampai berakhirnya Majapahit. Saat
berakhirnya ini dikenal dengan “sandhyakala ning
Majapahit” pada 1400 Syaka (1478 M). Sampai akhirnya
raja-raja ditaklukan Demak pada awal tahun 1500 M. Sungai
Brantas mempunyai peran penting bagi kerajaan kerajaan
saat itu dan menjadi saksi utama peristiwa-peristiwa
kesejarahan di Jawa Timur. Mpu Sindok menurunkan
Erlangga, dan terus-menerus sampai ke raja-raja pertama
Majapahit.
Sungai Brantas bermata airnya ada di lereng selatan
kompleks gunung Arjuno-Anjasmoro. Sungai Brantas
mengalir ke timur terus ke selatan baru ke utara dan
disudet ke arah timur. Pola melingkar yang panjang ini
mempunyai karakter berbeda di bagian hulu, tengah dan
hilir Brantas. Kegiatan politik dan ekonomi kerajaankerajaan berbeda beda di sepanjang Kali Brantas antara hulu dan muara Brantas. Daldjoeni (1982) secara geologi
dan geografi membagi daerah aliran Bengawan Brantas
menjadi tiga bagian yaitu aliran hulu, aliran tengah dan
aliran hilir.
1. Aliran Brantas bagian atas menempati dataran
tinggi Malang sekarang yang dulunya ditempati
oleh wilayah induk Tumapel sejak akuwu
Tunggul Ametung berkuasa sampai pada masa
berkuasanya Kertajaya, raja terakhir Kerajaan
Kediri (1220 M).
2. Aliran Brantas bagian tengah adalah tempat
ibukota Kerajaan Panjalu (1041 M), yaitu Daha
(Gelang-gelang, Gegelang, atau Kediri) sebelum
menjadi Kerajaan Kediri (1045-1222 M).
Dataran rendah Kediri memanjang dari selatan
ke utara, dari Tulungagung sampai Kertosono
sekarang, diapit oleh tiga gunung: Wilis di
sebelah barat dan Arjuno-Anjasmoro serta
Kawi-Kelud di sebelah timurnya.
3. Aliran Brantas bagian bawah memanjang barattimur dari Kertonoso sampai Delta Brantas di
area Surabaya sekarang. Di sinilah terletak
Trowulan, di Kabupaten Mojokerto sekarang,
ibukota Kerajaan Majapahit.
Kerajaan yang ideal dan kuat bila suatu kerajaan
dapat menguasai seluruh aliran sungai, sehingga menguasai
pertanian (agraria) di pedalaman dan perdagangan maritim
di muaranya. Struktur ini pernah nyata pada zamanAirlangga memerintah Kahuripan (1037-1041 M),
kemudian diikuti Kertanegara di Singhasari (1268-1292 M),
dan terakhir Hayam Wuruk di Majapahit (1350-1389 M).
Bahan dan Data
Berdasarkan banyaknya penemuan di desa-desa di
situ berupa fondasi bangunan, candi, gapura, kolam air dan
umpak-umpak rumah. Juga penemuan barangbarang pakai, perhiasan dan patung-patung kini masih
dapat dilihat di museum arkeologi Trowulan. Banyak ahli
bersepakat bahwa Kerajaan Majapahit berada di Trowulan
yang letaknya kurang lebih 10 Km di sebelah Baratdaya
Mojokerto sekarang. Kerajaan ini di sebelah Utaranya
terhampar dataran banjir kali Brantas sedang disebelah
Selatan dan Tenggaranya sejauh kurang lebih 25 Km
menjulang tinggi kompleks gunung Anjasmoro, Arjuna dan
Welirang dengan ketinggian antara 2000 dan 3000
m (Daldjoeni, 1992). Pelabuhan Majapahit diperkirakan
kali Surabaya (kali Mas) semula merupakan alur pelayaran
yang penting karena menghubungkan Majapahit dengan
dunia luar. Adapun sungai Brantas sebagai cabang kali
Brantas dapat dilayari untuk mendekati pusat kerajaan,
paling tidak sampai daerah Japaran.
Kerajaan Majapahit merupakan sebuah negara
agraris dan maritim sangat bergantung kepada sungai
sebagai penunjang baik dalam irigasi dan sarana
transportasi. Hal ini dapat dilihat dari masyarakat
Majapahit yang melakukan kegiatan pertanian dengan
bercocok tanam, menangkap ikan serta
berdagang. Kegiatan produksi menghasilkan barang dan jasa ini tidak terlepas dari peran anak-anak cabang Sungai
Brantas. Cabang Sungai Brantas mempermudah distribusi
barang-barang secara cepat dengan menggunakan perahu
atau rakit.
Menurut sejarah geologinya, dataran rendah
lembah Sungai Brantas dari Blitar sampai Mojokerto
dulunya merupakan suatu teluk lautan yang semakin lama
terisi oleh endapan gunung berapi dari Gunung Kelud
(Daldjoeni, 1984). Oleh karenanya endapan Sungai Brantas
berasal dari Gunung Kelud maka endapan di sepanjang
alirannya ini subur dan cocok untuk perniagaan. Selain itu
keberadaan Sungai Brantas menguntungkan karena sebagai
akses penghubung yang lebih cepat dan aman antar daerah
pedalaman dengan pesisir. Mengingat Ibukota kerajaan
Majapahit yang berada di pedalaman, maka kerajaan
Majapahit sukses memadukan keunggulan agraris dan
memperluas kekuatan maritimnya dengan memanfaatkan
Sungai Brantas sebagai penghubung ke laut lepas. Wilayah
Majapahit termasuk kawasan rawan bencana geologi
berupa letusan gunungapi, gempa, banjir dan semburan
lumpur. Pada masa Singasari dan Majapahit, bencanabencana ini pernah terjadi melanda dua kerajaan tersebut,
seperti tercatat di Kitab Pararaton. Penggalian arkeologi
masih berlangsung dan telah menemukan beberapa lapisan
bangunan Majapahit dan yang lebih tua yang terkubur
lumpur lempung dan/atau sebagian material volkanik hal
ini tertulis dalam “Pararaton” yang memuat berita kejadian
bencana geologi seperti banyu pindah, gunung anyar,
gunung jeblug, lindu di kawasan Kerajaan Singasari dan
Majapahit di sekitar Kediri sampai Delta Brantas sekarang. Delta Sungai Brantas terbentuk selama berabad
abad dan tersusun oleh endapan delta, endapan sungai dan
endapan rawa air payau. Tanah endapan delta Brantas
umumya jelek dan tidak subur yang tumbuh hanya semak
belukar. Endapan delat terus maju ke arah laut dan semakin
luas.
Slamet Muljana dalam Nagarakrtagama dan Tafsir
Sejarahnya menerjemahkan peristiwa yang dicatat Mpu
Prapanca dalam kisah kelahiran Raja Hayam Wuruk. Ada
peristiwa alam yang terjadi ditafsirkan sebagai isyarat
keluhuran sang bayi. Seperti gempa bumi di Banupindah,
hujan abu diikuti guruh dan halilintar. Segala isyarat
kebesaran itu terlaksana setelah baginda dewasa dan
memegang tampuk kepemimpinan. Kerajaan aman
dan tenteram, bebas dari kejahatan. Slamet
menerjemahkan kalimat tahun saka memanah
surya sebagai petunjuk tahun terjadinya peristiwa yaitu
pada 1256. Serat Pararaton juga memberitakan, setelah
peristiwa Sadeng, terjadi gempa bumi di Banupindah pada
1256 Saka. Dwi Cahyaono mengemukaan dalam mitologi
Hindu, gempa terjadi akibat hewan-hewan penompang
bumi berubah posisinya. Bumi dipercaya disangga oleh
beberapa binatang mitologis: delapan ekor gajah raksasa
yang berdiri di atas termpurung kura-kura, ular dengan
tujuh kepalanya, babi hutan dengan gadingnya, dan lembu
dengan tanduknya. Apabila di antara binatang mitologis itu
berganti posisi, bumi yang ditopangnya akan
bergoncang. Sementara budaya Jawa sangat terpengaruh
budaya India. Kestabilan dunia amat tergantung pada dua
ekor naga yang menjadi penjaga dan penyangga bumi. Naga Ananta (Anantaboga) yang berada di dalam perut bumi,
bertugas sebagai penjaga bumi. Naga Sesa (Ananta Sesa
atau Adi Sessa) yang menyelam ke dasar laut (patala),
bertugas menyangga pertiwi. Kata lindu juga digunakan
sebagai perumpamaan untuk menggambarkan kondisi yang
berguncang. Ia bersinonim dengan kata reg. Akar
kata reg menunjuk kepada gerakan menghentak, atau
getaran bahkan goncangan hebat.
Kerajaan-kerajaan yang beribukota di daerah Jawa
Timur, seperti Kanjuruhan, Mataram setelah 929-1049
M, Pangjalu (Kadiri) dan Jenggala, Singhasari dan
Majapahit, bukanlah tidak mungkin pernah terpapar gempa
bumi. Paling tidak gempa vulkanis karena lokasinya tak
jauh dari gunung berapi aktif seperti Semeru, Bromo, Kelud
(Kampud), Welirang (Kumukus), dan Penanggungan
(Pawitra). Serat Pararaton memberitakan meletusnya
gunung pada 1233 Saka (1311 M), gemuruh lahar dingin
(guntur banyu pindah) pada 1256 Saka (1334
M), munculnya gunung anyar (baru) pada 1307 Saka (1385
M), gunung meletus pada 1317 Saka (1395 M), gunung
meletus pada 1343 Saka (1421 M) disusul kekurangan
pangan pada 1348 Saka (1426 Masehi), gempa bumi
(palindu) pada 1372 Saka (1450 Masehi) disusul gunung
meletus setahun kemudian, 1373 Saka (1451 M), gunung
meletus pada 1384 Saka (1462 M), gunung lainnya meletus
pada 1403 Saka (1481 M).
Berdasarkan data BBWS Brantas (2011)
menyebuatkan bahwa Wilayah Sungai Brantas merupakan
wilayah sungai strategis nasional dan menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat berdasarkan Permen PU No. 11A Tahun
2006, terletak di Propinsi Jawa Timur pada 110°30' BT
sampai 112°55' BT dan 7°01' LS sampai 8°15' LS. Kali
Brantas mempunyai panjang ± 320 km dan memiliki luas
cacthment area ± 14.103 km2. Curah hujan rata-rata
mencapai 2.000 mm/tahun sekitar 85% jatuh pada musim
hujan sehingga potensi air permukaan per tahun rata-rata
13,232 milyar m3. WS Brantas terdiri dari DAS Brantas
seluas 11.988 km2 dan lebih dari 100 DAS kecil yang
mengalir ke pantai selatan P. Jawa antara lain DAS Kali
Tengah, DAS Ringin Bandulan, DAS Kondang Merak dan
DAS kecil lainnya dengan total luas sekitar 2115 km2. Salah
satu sumber sedimen yang masuk ke Kali Brantas dari
letusan Gunung Kelud yang sudah meletus jauh sebelum
kerajaan Majapahit dan diketahui aktif sampai sekarang.
Konsep geologi yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah konsep geologi tentang
uniformitariansme Lyeel (1830) menyebutan bahwa proses
yang terjadi di masa kini sama dengan yang terjadi di masa
lampau (The present is the key to the past). Dengan demikian
K Brantas telah mengalami banyak banjir setiap tahun dan
saat terjadi letusan G. Kelud maka daya rusak banjir K
Brantas sangat di rasakan penduduk di kiri kanan K
Brantas. Pengendalian banjir K Brantas dengan
membangun bendungan dan atau tanggul pada masa Jawa
Kuna abad V sampai abad XI Masehi. Bendungan dan atau
tanggul menahan dan atau mengalihkan air banjir sehingga
air tidak menggenangi sawah maupun pemukiman
penduduk.
Penelitian ini bersifat eksploratif meliputi tahap
persiapan, tahap analisis data sekunder, tahap penelitian
lapangan dan tahap analisis dan pembahasan. Tahap
persiapan berkaitan dengan pencarian data sekunder dan
penyiapan alat alat untuk pengukuran di lapangan. Data
sekunder yang diperlukan antara lain data arkeologis,
toponimi dan Cerita Tutur/Rakyat: Cerita rakyat serta
karya budaya lainnya seperti prosa maupun puisi, yang
meliputi kepercayaan, adat istiadat, seni pertunjukan yang
ada, kajian terdahulu, foto satelit, peta topografi dan data
hasil temuan masyarakat.
Survei di lapangan terkait erat untuk pembuktian
dari hasil interpretasi geologi dari ata foto satelit dan peta
topografi dan pengukuran geolistrik. Untuk memindai
kondisi lapisan tanah yang ada di dalam bumi bisa dilakukan dengan metoda geolistrik yaitu dengan jalan
memasukkan arus dan beda potensial ke dalam tanah
dengan konfigurasi terterntu sehingga bisa diketahui
resistivias tanah di dalam bumi. Pada prakteknya arus
listrik dimasukkan melalui elektroda C1 dan C2. sedangkan
beda potensial diukur dengan elektroda potensial P1 dan P2
yang terletak antara C1 dan C2 (Gambar 2).
Akibat pengaruh arus pada elektroda C2, maka
bidang equipotensial yang terbentuk akan semakin
berbentuk tidak setengah bola silinder. Jika jarak antar
elektroda C1 dan C2 diperbesar, maka equipotensial
bernilai lebih kecil dari setengah permukan bola silinder.
Bila mediumnya tidak homogen isotrop, maka
resistivitasnya disebut resistivitas semu. Dengan
menggunakan susunan elektroda tertentu maka harga K
dapat diketahui. Beda potensial dan arus yang dialirkan
dapat diukur. Dengan demikian resistivitas semu dapat
dihitung seperti tercantum dalam Gambar 3.
Hasil dan Diskusi
Secara geologi Sungai Brantas berada diwilayah
tektonik aktif dan dikelilingi gunung berapi aktif (Gambar
4.), sehingga ada kemungkinan hubungan antara musnahnya sisa peradaban disekitar delta Sungai Brantas
dengan bencana alam (Gempa Bumi, Gunung Meletus,
Banjir dan Longsor) yang terjadi di masa lampau.
Berdasarkan data citra satelit yang diakses melalui
portal www.earthexplorer.usgs tahun 1972, 2000 dan
2017, dapat dilakukan rekonstruksi garis pantai seperti
terlihat pada Gambar 5. Secara detail besar perubahan garis
pantai ditunjukan pada Gambar 6, dimana garis pantai
tahun 2017 ditandai dengan warna kuning, garis pantai
tahun 2000 ditandai dengan warna hijau dan garis pantai
tahun 1972 ditandai dengan warna merah. Dengan
melakukan perata-rataan nilai perubahan garis pantai dari
tahun 1972 sampai tahun 2017 didapatkan informasi
besarnya perubahan garis pantai sebesar kurang lebih 40
meter pertahun. Dari informasi tersebut kemudian
dilakukan interpretasi rekonstruksi garis pantai pada
zaman Majapahit sampai dengan tahun 1200 M.
Rekonstruksi garis pantai pada tahun 1200, 1400
dan 1750 dapat dilihat pada Gambar 7. Penarikan garis
pantai didasarkan pada informasi perubahan garis pantai
pertahun berdasarkan citra satelit dan topografi atau
elevasi permukaan tanah saat ini. Lembah delta Sungai
Brantas yang menghadap kearah Timur berupa cekungan
atau Teluk, yang seiring berjalannya waktu terisi oleh
sedimen yang dibawa oleh Sungai Brantas yang berasal dari
gunung-gunung api aktif yang mengelilinginya.
Selain rekonstruksi garis pantai berdasarkan citra
satelit Lansat dan citra Google Earth juga dilakukan
interpretasi daerah aliran sungai (DAS) atau beberapa anaksungai yang sangat mungkin mempengaruhi proses
sedimentasi di pantai Timur, meskipun kondisi saat ini
sudah bukan menjadi anak sungai lagi seperti ditunjukan
pada Gambar 8. Pada beberapa lokasi anak Sungai Brantas banyak
ditemukan sisa sisa peradaban yang mungkin berkaitan
dengan era Kerajaan Majapahit atau sebelumnya, seperti
temuan berupa sumur atau jobong. Selain berbentuk sumur
juga ditemukan bangunan yang diperkirakan merupakan
bekas pelabuhan sungai Kadipaten Terung yang berada di
desa Terung Wetan Sidoarjo saat ini (Gambar 9). Di sekitar temuan sisa bangunan yang diperkirakan
bangunan pelabuhan sungai Kadipaten Terung ini
dilakukan pengukuran geolistrik untuk mengetahui
ketebalan lapisan penutup sisa bangunan tersebut seperti
ditunjukan pada Gambar 10.
Simpulan
1. Laju sedimentasi delta Sungai Brantas rata rata dari
tahun 1972 – 2017 rata-rata sebesar 40 meter pertahun
atau 1,837 m dalam 45 tahun.
2. Berdasarkan data ketebalan lapisan tanah penutup sisa
bangunan pelabuhan sungai Kadipaten Terung
diperkirakan garis tepian sungai yang ada di kawasan
Terung berada disekitar temuan sisa bangunan
pelabuhan atau sekitar 100 meter dari tepian sungai
sekarang pada era Kerajaan Majapahit dan sebelumnya.
3. Material letusan Gunung Kelud berperanan penting
dengan laju sedimentasi Sungai Brantas dan
terpendamnya jejak jejak peradaban disekitar sistem
sungai.
4. Peradaban disekitar Sungai Brantas dipengaruhi oleh
kejadian gempa yang terjadi di masa lampau karena
sebagian besar bangunan hancur.
Kemajuan dan pudarnya suatu negara atau kerajaan
berpengaruh pada perkembangan peradaban bangsa dalam
negara atau kerajaan tersebut, yang dipengaruhi oleh
kondisi sosial, politik, keamanan, lingkungan geografi dan
iklim wilayahnya. Lingkungan geografi dan iklim adalah
faktor alam, sedangkan kondisi sosial, politik, keamanan
merupakan faktor yang timbul sebagai akibat interaksi
manusia atau masyarakat dalam negara tersebut.
Uraian, pandangan ataupun kesimpulan banyak ahli
sejarah menyatakan banwa kemajuan dan kemunduran
(pemerintahan) kerajaan-kerajaan (besar maupun kecil)
yang ada di Indonesia pada masa lalu seperti Sriwijaya dan
Majapahit disebabkan oleh masalah sosial, politik,
keamanan dan agama (Andrisijanti, 2014; Kartodirdjo et al.,
1976; Mulyono, 2005; Pusponegoro dan Notosusanto,
1993; Putri, 2019; Raditya, 2018). Sangat sedikit ahli yang
meninjau adanya pengaruh alam, seperti kondisi geografi,
perubahan lingkungan dan bencana alam yang dijadikan
sebagai faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan
suatu (pemerintahan) kerajaan-kerajaan yang pernah ada
di Indonesia. Tercatat beberapa nama seperti Sampurno
dan Bandono (1980), Purwanto (1983), Zaim (1977) dan
Satyana (2007) yang menyatakan adanya pengaruh alam
terhadap kemunduran kerajaan-kerajaan besar yang
pernah ada di Indonesia pada masa lalu, termasuk Kerajaan
Majapahit.
Setelah dibukanya hutan Dukuh Tarik oleh Raden
Wijaya tahun 1292, nama Tarik lalu dirubah manjadi
Majapahit sebagai wilayah pemukiman baru yang
kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan baru yaitu
Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit berdiri pada tahun
1293, pada saat Raden Wijaya dinobatkan sebagai Raja
Majapahit pertama yang bergelar Raden Kertajasa
Jayawardhana,
Yang menarik adalah pemilihan hutan Dukuh Tarik
sebagai wilayah pemukiman baru, yang tentunya meliputi
area yang luas sehingga layak sebagai daerah pemukiman.
Secara morfologi, daerah Tarik merupakan daerah dataran,
dekat dengan aliran Sungai Brantas yang tidak jauh dari
muara sungai tersebut, merupakan daerah yang subur dan
sangat mungkin sebagiannya merupakan daerah rawarawa. Aliran Sungai Brantas yang dekat dengan Dukuh Tarik
merupakan wilayah yang strategis untuk jalur transportasi
air, yang sangat vital dalam suatu wilayah pemukiman.
Disamping itu, Sungai Brantas juga sebagai sumber air yang
penting untuk pertanian, dan kebutuhan
masyarakat,sehingga pemilihan membuka hutan Dukuh
Tarik dan sekitarnya sebagai wilayah pemukiman adalah
sangat tepat. Wilayah Kerajaan Majapahit yang semula
hanya di Dukuh Tarik dan sekitarnya, yang sekarang ini
masuk wilayah Sidoarjo, berkembang dan meluas sampai
Trowulan-Mojokerto. Pusat pemerintahan Majapahit lalu
berpindah dari Tarik ke daerah Trowulan yang diyakini
menjadi pusat Majapahit berdasarkan bukti-bukti arkeologi
yang ditemukan di Trowulan.
Wilayah Tarik-Trowulan yang datar di dekat sungai
besar seperti Sungai Brantas, juga rentan terhadap bencana
alam, seperti bencana banjir. Dari aspek geomorfologi,
Daerah Tarik-Trowulan dan sekitarnya, terletak pada
daerah dataran rendah, di bagian utaranya terdapat
tinggian berupa Pegunungan Kendeng, di selatannya
terdapat gunung api aktif seperti G. Wilis, dan Komplek
Kelud (Gn. Kelud–Gn. Anjasmoro–Gn. Welirang) dan yang
tidak aktif yaitu G. Penanggungan. Oleh sebab itu, secara
klimatologis, daerah selatan Tarik - Trowulan merupakan
wilayak pemasok air yang baik
Lembah luas di antara G. Wilis dan Komplek Kelud
terdapat aliran Sungai Brantas, yang sumber mata-airnya
berasal dari lembah di lereng barat G. Anjasmoro, mulanya
mengalir ke arah selatan lalu membelok ke arah barat
memutari lereng selatan kaki G. Kelud, lalu membelok
kearah utara sebagaimana alirannya sekarang ini di dataran
lembah antara G. Wilis di barat dan Komplek Kelud di timur.
Pasokan air yang berasal dari curahan hujan maupun
melalui aliran Sungai Brantas termasuk anak-anak
sungainya dapat berdampak banjir pada wilayah dataran
rendahnya, membawa material tanah dan bebatuan yang
terbawa aliran sungai hasil erosi dari hulu sungai. Selain itu,
daerah selatan Tarik-Trowulan yang merupakan komplek
gunung api, juga memberikan pasokan material tanah dan
batuan hasil erosi serta material piroklastika hasil dari
kegiatan letusan gunung api tersebut. Di Jawa Timur,
wilayah Majapahit tidak saja di wilayah dataran TarikTrowulan saja, tetapi meluas ke timur mengikuti rute
perjalanan Raja Hayam Wuruk yang meliputi wilayah
wilayah di Kabupaten Mojokerto, Pasuruan, Sidoarjo,
Lumajang, Malang, Jember, Probolinggo , Bondowoso, dan
Banyuwangi (Rangkuti, 2000).
Sampurno dan Bandono (1983), Purwanto (1983),
dan Zaim (1977) menyatakan bahwa material hasil letusan
gunung api yang berada di selatan Tarik-Trowulan berupa
lahar dan endapan piroklastika lainnya yang masuk ke
dalam aliran Sungai Brantas, menyebabkan terjadinya
banjir di daerah dataran rendah Tarik-Trowulan. serta
pendangkalan Sungai Brantas.
Pratomo (1992) mengatakan bahwa telah terjadi
letusan dahsyat G. Kelud, berdasarkan teks Sansekerta
Goentoer Pabanjoepinda pada tahun 1334 yang berbunyi:
“…Bumi mengguncang, uap panas dimuntahkan dari
gunung api dan banyak abu jatuh, gemuruh guntur, petir
besar-besar…,muntahan lahar segera tiba kemudian….”.
Material volkanik hasil letusan tersebut akan dibawa oleh
berbagai sungai di sekitar tubuh G. Kelud, salah satunya
Sungai Brantas, yang akan diendapkan pada daerah
rendahan, termasuk wilayah pusat Kerajaan Majapahit,
yaitu daerah Tarik-Trowulan. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Sutikno (1993) yang menyatakan bahwa dataran
rendah di utara dari Komplek G. Arjuno dan G. Welirang
terbentuk dari hasil endapan gunungapi berupa kipas
alluvial terdiri dari pasir dan lempung, yang menurutnya
sebagai endapan fluvio-volkanik. Meski peristiwa letusan
dahsyat G. Kelud terjadi pada tahun 1334, pada periode
awal Kerajaan Majapahit, namun sepanjang masa
pemerintahan Majapahit selama 185 tahun (1298-1478)
tidak mustahil telah terjadi berulang kali letusan gunung api yang berada di sebelah selatan wilayah pemerintahan
Majapahit yaitu G. Kelud, G. Anjasmoro maupun G. Welirang.
Satyana (2007) mengaitkan adanya bencana alam
intrusi gunung lumpur (mud volcano) seperti bencana
Gunung lumpur LUSI (= Lumpur Sidoarjo) yang sekarang ini
terjadi di daerah Sidoarjo. Fenomena intrusi gunung
lumpur ini menurut Satyana (2007) juga pernah terjadi di
wilayah dan pada periode pemerintahan Majapahit yang
jejaknya terdapat di dekat Surabaya, karena wilayah ini
merupakan daerah hasil sedimentasi delta Sungai Brantas.
Di daerah pengendapan delta, sangat sering terbentuk
lapisan lumpur di bawah permukaan yang karena proses
sedimentasinya berjalan cepat maka bersifat over pressure
yang masih seperti bubur lumpur, yang jika ada celah ke
permukaan tanah maka akan menerobos mengalir keluar
permukaan tanah membentuk aliran dan genangan
(gunung) lumpur seperti yang terjadi pada Lumpur LUSI
sekarang ini yang merupakan bencana alam merusak
lingkungan yang luas baik wilayah pemukiman maupun
pertanian.
Bencana alam seperti banjir, intrusi gunung lumpur,
pendangkalan Sungai Brantas dan letusan gunungapi dapat
berdampak pada kondisi Majapahit. Banjir, dan letusan
gunungapi tentu berdampak pada kerusakan pertanian,
perkebunan serta aspek ketahanan sosial-ekonomi
masyarakat. Majapahit yang merupakan sebuah kerajaan
yang kuat dalam bidang pelayaran maka pendangkalan
Sungai Brantas sebagai sarana utama transportasi akan
melemahkan jalur pelayaran untuk rantai-pasok
perdagangan, hal ini dapat memperlemah ketahanan ekonomi maupun keamanan.
Semua bencana alam tersebut di atas berdampak
pada pelemahan kesejahteraan, sosial-ekonomi, psikologi
masyarakat dan keamanan Majapahit, yang turut memicu
terjadinya gejolak politik yang menyebabkan lemah dan
pudarnya Majapahit, dah hal ini dapat menjawab
pertanyaan: “Adakah Kejayaan Majapahit Pudar karena
Bencana Alam?” Kerajaan Majapahit atau Wilwatikta didirikan oleh
Raden Wijaya. Raen Wijaya adalah menantu raja terakhir
Singosari, Kartanegara. Majapahit didirikan dengan
menghancurkan kekuasaan Jayakatwang dari Kediri,
pemberontak Singasari. Kerajaan ini mencapai
kejayaannya semasa Raja ke-4 yaitu Rajasanagara atau
Hayam Wuruk dengan patihnya yang bernama Gajah Mada.
Menurut Negarakertagama; Pararaton; dan Hikayat RajaRaja Pasai, pada masa kejayaannya Majapahit menguasai
hampir seluruh wilayah Indonesia saat ini. Wilayah
kerajaan Majapahit tidak hanya di pulau Jawa dan Bali
namun dari negeri Pasai hingga Banda serta Cebu di
Philipina. Pengaruh Majapahit tidak hanya di wilayah
Indonesia tetapi meluas hingga ke kerajaan lain di Asia
Tenggara seperti Siam, Ayuthaya, Campa, dan Annam.
Pengaruh Majapahit dengan negara lain bukanlah
pengaruh seperti layaknya penguasaan suatu negara tetapi
dalam bentuk persahabatan setara atau mitra satata
(Djafar, 2012:51-52; Nugroho, 2010:128-129).
Kerajaan Majapahit mengalami masa
keruntuhannya ketika raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah
Mada meninggal. Permasalahan keluarga menjadi salah
satu penyebab mulai merosotnya kerajaan ini. Masalah inidiawali dengan Raja Hayam Wuruk tidak memiliki putra
dari Parameswari, istri sah Raja Hayam Wuruk. Raja Hayam
Wuruk dengan Parameswari melahirkan anak perempuan
bernama Kusumawardhani sedangkan dengan salah satu
selirnya memiliki putra bernama Wirabhumi. Perselisihan
perwarisan kerajaan membuat Majapahit dibagi menjadi
dua; Majapahit Barat dikuasai oleh Wikramawardhana,
suami Kusumawardhani, sedangkan Majapahit
Timur/Blambangan dikuasai Wirabhumi. Perpecahan ini
membuat berbagai persengketaan sering terjadi salah
satunya pada tahun 1404-1406 terjadi perang saudara
yang dinamakan perang paregreg. Setelah perang paregreg,
keadaan Majapahit tidaklah sama seperti sebelumnya,
ekonomi menjadi hancur, kewibawaan dan pengaruhnya
tidak sama ketika masa-masa jayanya (Muljana, 2013:177-
179).
Pada akhir abad ke-15 kekuatan kerajaan Islam
yang telah muncul di daerah pesisir tidak bisa dibendung
oleh kerajaan Majapahit yang berada di pedalaman Jawa
(Djafar, 2012:69). Menurut Serat Kanda runtuhnya
Majapahit terjadi ketika masa Bhre Kertabhumi atau lebih
dikenal dengan prabu Brawijaya V. Hal ini
diperlambangkan dalam bentuk candra sengkala “sirnailang-kertaning-bumi” yang menunjukkan tahun saka 1400
atau 1478 masehi. Menurut Serat Kanda dan catatan yang
tersimpan di Klenteng Sam Po Kong Semarang, ketika raja
Kertabumi berkuasa terdapat kerajaan Islam yang
berkuasa di pesisir pulau Jawa yang lebih dikenal dengan
kerajaan Demak. Kekuasaan kerajaan ini membesar seiring
banyaknya adipati yang tertarik untuk memeluk Islam. Tetapi Prabu Brawijaya dan Adipati Klungkung tidak
tertarik dengan ajakan untuk memeluk Islam. Seiring
perkembangan Agama Islam di Jawa, kerajaan ini menjadi
lebih kuat dan menyerang Majapahit, kekuatan kerajaan
Demak yang besar membuat pihak Majapahit mundur.
Merasa terdesak, Prabu Brawijaya beserta pengikutnya
mengungsi ke Sengguruh (Muljana, 2013:52-54). Wilayah
ini dirasa belum aman sehingga mereka berpindah ke arah
timur yang dirasa lebih kondusif. Daerah-daerah yang
menjadi tempat migrasi pengikut Prabu Brawijaya atau sisa
penduduk Majapahit itu ialah Pegunungan Tengger,
Banyuwangi dan Bali (Waluyo, 1997:12).
Masyarakat Tengger percaya bahwa mereka
merupakan keturunan masyarakat Majapahit yang
terdesak ketika masa akhir kerajaan ini (Waluyo, 1997:11;
Hefner, 1999:14; Warouw et al., 2012:14). Berpindahnya
masyarakat Majapahit ke arah timur dan pegunungan
dikarenakan beberapa penduduk masih ingin
mempertahankan tradisi dan kepercayaan yang dimiliki
dari desakan kerajaan Islam. Hingga kini masyarakat
Pegunungan Tengger masih mempertahankan
kepercayaan Hindu, walaupun pada akhirnya terdapat
varian-varian yang membedakannya dengan Hindu Bali.
Varian yang terlihat di antara Tengger dengan Bali ialah
upacara Kasada yang ditemui pada masyarakat Tengger
sedangkan masyarakat Bali tidak mengenal adanya
upacara ini. Terdapat kisah rakyat masyarakat Tengger
yang menceritakan asal mula masyarakat ini. Masyarakat
Tengger mempercayai Rara Anteng dan Jaka Seger sebagai
leluhur mereka. Perpaduan nama kedua tokoh ini dijadikan nama masyarakat ini, Teng dari nama Rara Anteng dan Ger
dari nama Jaka Seger (Sutarto, 2006:5).
Asal-usul masyarakat Tengger hingga kini masih
belum diketahui. Di samping itu terdapat temuan prasasti
Walandit yang ditemukan di kawasan Penanjakan,
Wonokitri. Pada prasasti ini menunjukkan angka tahun
ketika Hayam Wuruk berkuasa (Waluyo, 1997:11). Hal ini
mengindikasikan bahwa sejak jaman Majapahit berdiri
kawasan tersebut telah dihuni oleh penduduk. Selain itu
anggapan asal-usul Tengger yang berasal dari pengungsi
Majapahit ditentang oleh beberapa peneliti salah satunya
penelitian somatologis (Sukadana, 1969:73). Menurut
Glinka dan Koesbardiati (2007) masyarakat Tengger
memiliki ciri-ciri protomalayid yang besar. Kepercayaan
masyarakat dan cerita rakyat Tengger berbeda dengan
penelitan somatologis.
Hingga kini asal mula masyarakat Tengger masih
belum diketahui pasti sehingga perlu adanya penelitian
lanjutan dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya budaya
maupun sejarah. Kemajuan teknologi dan perkembangan
ilmu genetik dapat digunakan untuk pencarian asal-usul
masyarakat Tengger. Penelitian genetika populasi dapat
menunjukkan pola migrasi dan kondisi suatu populasi,
bahkan penelitian genetika dapat digunakan pada populasi
kuno (Hagelberg, 1994:195). Ilmu genetik dapat dijadikan
data pelengkap pada penelitian arkeologi dan antropologi.
Pada penelitian Renatasya (2017) yang membahas tentang
variasi genetik mtDNA temuan 5 rangka di Trowulan
menunjukkan bahwa antara KDT I, KDT II, dan KDT V masih
dalam satu populasi sehingga di antara temuan tersebut terdapat hubungan kekerabatan. Hubungan kekerabatan
ini dapat dilihat dari sekuens haplotipe atau titik mutasi
mitochondria DNA pada bagian HVS II. Rangka yang
ditemukan diasumsikan berstatus sosial tinggi
berdasarkan gambaran lokasi rangka ditemukan dan
temuan-temuan yang ada. Kelima rangka ini ditemukan di
sekitar candi Kedaton (Sumur Upas). Data sekuens mtDNA
temuan rangka Trowulan dapat dijadikan data pembanding
untuk mengetahui similaritasnya dengan masyarakat
Tengger.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi
genetik berdasarkan mutasi atau haplotype yang terjadi
pada HVS II (hypervariable segment II) D-Loop mtDNA dan
mengetahui similaritas antara variasi haplotype
masyarakat Tengger dengan temuan rangka Kedaton,
Trowulan.
Metode Penelitian
Penelitian ini berfokus pada deskripsi similaritas
masyarakat Tengger dengan temuan rangka di Candi
Kedaton, Trowulan berdasarkan sekuens mitochondrial
DNA (mtDNA). Analisis mtDNA menggunakan bagian Dloop daerah HVS (hypervariable segment) II. Bagian HVS II
dijadikan obyek penelitian dikarenakan bagian ini telah
diambil sebelumnya pada data sekuens temuan rangka
Trowulan. Kedua data, baik data pembanding dan yang
dibandingkan haruslah sama atau setara dalam hal ini
bagian yang sama itu adalah mtDNA HVS II. Selain itu
penelitian ini menggunakan metode komparatif untuk
melihat similaritas masyarakat Tengger dengan temuan rangka Trowulan.
Penelitian berlokasi di desa Wonokitri, Kecamatan
Tosari, Kabupaten Pasuruan. Lokasi ini dipilih karena pada
daerah penanjakan Wonokitri ditemukan adanya prasasti
Walandit yang dikeluarkan di era Hayam Wuruk untuk
daerah Walandit yang merupakan wilayah suci. Prasasti ini
menunjukkan bahwa daerah Wonokitri telah ditempati
penduduk sejak jaman dahulu. Lokasi ini juga tidak
dijadikan tujuan wisata utama seperti yang terdapat di
Desa Ngadisari, karena aksesnya yang curam. Selain itu
mayoritas kepercayaan yang dianut di desa ini adalah
Hindu yang merupakan kepercayaan masyarakat Tengger.
Hal ini didukung data BPS tahun 2017 yang menunjukkan
bahwa tempat ibadah yang terdapat di desa Wonokitri
kebanyakan pura sedangkan desa Ngadisari masih
terdapat 1 langgar. Adanya langgar dimungkinkan
pengaruh dari sistem kepercayaan luar masuk ke desa
tersebut. Di samping itu penduduk Tengger pada wilayah
ini memiliki model perkawinan endogami (Batoro,
2017:12; Hefner, 1999:271).
Sampel yang digunakan ialah sel epitel mukosa
yang terdapat di bagian mulut. Sampel diambil dari 6 orang
penduduk Tengger yang tinggal di Wonokitri secara tidak
acak. Sampel berjumlah 6 orang, berdasarkan kondisi
masyarakat Tengger yang bersifat homogen yaitu
kebanyakan petani, kepercayaan yang dianut kebanyakan
Hindu dan kebanyakan bukan pendatang. Selain itu
masyarakat Tengger memiliki model perkawinan
endogami. Individu yang dijadikan sampel merupakan
penduduk asli Tengger sejak tiga generasi dari garis ibu dan tidak memiliki hubungan darah secara maternal.
Sel epitel mukosa yang telah didapat diperiksa
bagian mtDNA di laboratorium Institute of Tropical Disease
(ITD) UNAIR. Hasil sekuens mtDNA yang telah diperiksa
dianalisis untuk melihat variasi genetiknya. Di samping itu
digunakan juga data sekuens 5 temuan rangka Trowulan
untuk melihat similaritas masyarakat Tengger dengan
temuan rangka Trowulan. Data sekuens ini didapat dari
penelitian yang telah dilakukan oleh Dr.Phil. Toetik
Koesbardiati.
Pemeriksaan mtDNA terdiri dari beberapa tahap
yaitu tahap pengambilan sampel, isolasi DNA, proses PCR
dan sekuensing mtDNA (Syukriani, 2012:79). Beberapa
tahap pemeriksaan mtDNA dilakukan oleh laboran yang
ada di Institute of Tropical Disease (ITD) Universitas
Airlangga. Proses yang dilakukan oleh laboran-laboran ITD
ialah isolasi DNA, proses PCR dan sekuensing mtDNA,
sedangkan pengambilan sampel dilakukan oleh peneliti.
Data hasil pemeriksaan mtDNA laboratorium ITD
UNAIR dibandingkan dengan data sekuens referensi untuk
mengetahui varian nukleotida atau titik-titik mutasi
mtDNA Hypervariable II. Sekuens referensi yang digunakan
ialah rCRS (revised Cambridge Reference Sequence).
Sekuens referensi ini merupakan data sekuens lengkap
manusia yang didapat dari hasil penelitian Anderson et al.
pada tahun 1981. Sekuens referensi rCRS didapat melalui
Genbank dengan nomor NC_012920. Varian nukleotida
masyarakat Tengger Wonokitri yang telah terdidentifikasi
dideskripsikan similaritasnya dengan data sekuens temuan
rangka Trowulan, sehingga asal-usul masyarakat Tengger yang dianggap berasal dari masyarakat Majapahit akhir
dapat dibuktikan.
Hasil
Sampel yang telah dikumpulkan berasal dari sel
epitel mukosa masyarakat Tengger yang mendiami
Wonokitri selama 3 generasi Setiap sampel diberi kode TW
dan diberi nomor Romawi seperti I, II, III, dst.
Pemeriksaan PCR yang telah dilakukan pada
sampel epitel mukosa 6 individu menghasilkan urutanurutan nukleotida. Hasil sekuensing ini berupa rangkaian
basa nitrogen yaitu basa purin (adenin, timin) dan basa
pirimidin (guanin, citosin). Rangkaian basa nitrogen
disimbolkan dari huruf depan masing-masing unsur, yaitu
A untuk adenin, T untuk timin, G untuk guanin dan C untuk
citosin. Rangkaian basa ini tergambar dalam bentuk
elektroforegram yang berisi kurva berwarna mewakili
setiap unsur nukleotida. Unsur Adenin dilambangkan
dengan garis kurva berwarna hijau, unsur timin
dilambangkan dengan garis kurva berwarna merah, unsur
guanin dilambangkan dengan garis kurva berwarna hitam,
dan unsur citosin dilambangkan dengan garis kurva
berwarna biru.
Penentuan haplotipe atau lokasi mutasi
menggunakan perangkat online yang bernama BLAST atau
Basic Local Alignment Search Tool. Pada perangkat ini
terdapat dua jenis nukleotida yang harus dimasukkan
untuk dianalisis yaitu query dan subject. Query merupakan
data sekuens pembanding yaitu revisied Cambridge
Reference Sequences (rCRS), sedangkan subject merupakan
data sekuens epitel mukosa yang didapat.
Perbandingan dengan rCRS menunjukkan adanya
perubahan nukleotida pada beberapa lokasi nukleotida.
Perubahan nukleotida hanya berubah pada tiap-tiap
nukelotida saja tidak sampai keseluruhan. Menurut
Apriliyanto dan Sembiring (2016:4) perubahan atau mutasi
pada tingkatan satu basa nitrogen atau nukleotida disebut
dengan mutasi titik. Mutasi titik terbagi dua yaitu subsitusi
dan in-del. Mutasi subsitusi merupakan perubahan basa
nitrogen menjadi basa nitrogen lain baik sejenis maupun
berbeda. Mutasi subsitusi terbagi menjadi dua yaitu mutasi
transisi dan transversi. Mutasi transisi merupakan
perubahan nukleotida yang sejenis seperti purin dengan
purin (T-A) dan pirimidin dengan pirimidin (C-G),
sedangkan tranversi merupakan perubahan nukleotida
yang berbeda jenis basa nitrogennya seperti purinpirimidin (T-G). Mutasi indel merupakan mutasi yang
terjadi ketika adanya pengurangan nukleotida (delesi) atau
penambahan nukleotida (insersi). Mutasi ini biasanya
dilambangkan dalam bentuk “–“ atau gap.
Analisis Homologi Antar Sampel Tengger dengan
Temuan Rangka Kedaton, Trowulan
Titik-titik mutasi pada masing-masing sampel
menunjukkan adanya kesamaan pada nomor nukleotida
tertentu. Sampel yang memiliki kesamaan mutasi terdapat
pada TW I, II, III, V dan VI. Pada tabel 1 Nomor nukleotida
dengan mutasi terbanyak ada pada nomor 73 dan 87.
Sampel dengan kesamaan titik mutasi terbanyak
ada pada sampel TW I dengan TW III, TW II dengan TW IIIdan TW III dengan TW VI yaitu sebanyak 2 mutasi.
Kesamaan mutasi yang paling sedikit terdapat pada sampel
TW V yang hanya menunjukkan satu kesamaan mutasi
dengan sampel TW II dengan III. Pada sampel TW IV tidak
ditemukan adanya kesamaan mutasi dengan sampel lain.
Perubahan nukleotida atau mutasi pada nomor
yang sama menggambarkan adanya hubungan kekerabatan
di antara sampel. Menurut Yudianto dan Masjkur
(2012:64) individu yang berbeda tetapi memiliki mutasi
pada nomor nukleotida yang sama menunjukkan adanya
hubungan kekerabatan, semakin banyak kesamaan titik
mutasi maka semakin kuat hubungan kekerabatannya.
Berdasarkan kesamaan atau homogenitas mutasi yang
terjadi, beberapa sampel menunjukkan adanya hubungan
kekerabatan seperti yang terlihat pada gambar 1.
Kesamaan mutasi pada sampel TW V
memperlihatkan adanya hubungan kekerabatan dengan
sampel TW II dan III, sedangkan TW I memiliki hubungan
kekerabatan dengan TW III dan TW VI. Namun hubungan
kekerabatan pada sampel TW V tidak sekuat hubungan
kekerabatan yang terjadi pada sampel TW III. Sampel TW
III memperlihatkan memiliki hubungan kekerabatan
dengan sampel lain kecuali TW IV. Hal ini mengindikasikan
beberapa memiliki hubungan kekerabatan satu sama lain
berdasarkan garis ibu yang sama. Sedangkan sampel TW IV
memiliki nenek moyang dari garis ibu yang berbeda dengan
sampel lain.
Hubungan genetik antara temuan rangka Trowulan
dengan masyarakat Tengger dapat dilihat dengan
membandingkan titik-titik mutasi pada kedua sampel. Pada
tabel 2 menunjukkan adanya kesamaan titik mutasi di
antara kedua sampel. Sampel yang menunjukkan kesamaan
titik mutasi terdapat pada sampel TW I, TW III dan TW VI
dengan KDT II. Kesamaan mutasi pada sampel ini dapat
dilihat pada nomor nukleotida 87 dengan perubahan
nukleotida adenin menjadi timin. Kesamaan mutasi juga
ditunjukkan pada nomor nukleotida 111 yang ditunjukkan
adanya penambahan nukleotida adenin. Mutasi ini terjadi
pada sampel TW VI dengan KDT V.
Pada tabel 2 perbandingan kedua kelompok sampel
menunjukkan sampel Tengger dengan kode TW VI
memiliki hubungan genetik yang kuat dengan sampel
Kedaton. Kesamaan mutasi pada sampel TW VI dengan
sampel Kedaton terjadi pada nomor nukleotida yang
berbeda. Selain itu pada sampel Tengger yang lain
menunjukkan adanya hubungan genetik dengan Kedaton
walaupun hubungan itu tidak sekuat sampel TW VI. Hal ini
mengindikasikan adanya hubungan genetik di antara
sampel Kedaton dengan Tengger berdasarkan mutasi yang
terjadi.
Hubungan genetik yang terjadi di antara sampel
Tengger dengan Kedaton merupakan hubungan genetik
berdasarkan garis ibu. Hal ini terjadi karena mutasi yang
ada pada sampel adalah mutasi mtDNA. Mitochondria DNA
memiliki sifat penurunan hanya pada garis ibu atau disebut
juga maternal inheritance. Sehingga bila dua individu
memiliki hubungan kekerabatan berdasarkan mtDNA
maka hubungan kekerabatan itu berasal dari nenek
moyang perempuan yang sama.
Beberapa sampel Tengger tidak memiliki hubungan
genetik dengan sampel Kedaton begitupun juga sebaliknya.
Namun pada penelitian Renatasya (2017) menunjukkan
adanya hubungan kekerabatan di antara sampel-sampel
Kedaton. Selain itu pada sampel Tengger menunjukkan
terdapat hubungan kekerabatan di antara sampel-sampel.
Sehingga bila salah satu sampel baik Kedaton maupun
Tengger yang saling berkerabat memiliki hubungan
genetik maka dapat mengindikasikan beberapa sampel
yang tidak memiliki hubungan genetik secara langsung
dimungkinkan masih memiliki hubungan satu sama lain. Di
samping itu beberapa sampel yang tidak menunjukkan
adanya kesamaan mutasi mengindikasikan adanya
nukleotida yang telah berubah. Hal ini terjadi karena
mutasi pada mitochondria DNA memiliki laju mutasi yang
cepat yaitu sekitar 1 mutasi tiap 33 generasi (Syukriani,
2012:74).
Pembahasan
Mutasi yang terlihat pada sampel masyarakat
Tengger menunjukkan adanya variasi genetik yang beragam walaupun tidak terlalu banyak. Keberagaman
mutasi ini menunjukkan adanya pencampuran dengan
populasi lain. Hal ini mengindikasikan masyarakat Tengger
merupakan masyarakat yang terbuka dengan populasi lain,
sehingga asal-usul masyarakat Tengger tidak hanya dari
satu populasi tetapi dari populasi lain juga. Menurut
Sutarto (2006) terdapat dua kemungkinan asal-usul
masyarakat yang mendiami kawasan Pegunungan Tengger:
kemungkinan pertama kawasan ini telah didiami
penduduk sejak Kerajaan Majapahit berdiri dan memiliki
corak religi yang sama dengan masyarakat Majapahit di
waktu itu, sehingga penduduk asli ini membentuk
masyarakat Tengger; kemungkinan kedua penduduk asli
kawasan Pegunungan Tengger menerima dengan tangan
terbuka pengungsi Majapahit yang lari dari pengaruh
Islam, sehingga terjadi kawin campur antara penduduk asli
dengan pengungsi Majapahit dan menurunkan masyarakat
Tengger yang ada hingga saat ini.
Penduduk asli ini diindikasikan adalah orang-orang
protomalayid yang telah mendiami Indonesia lebih dahulu.
Menurut Glinka dan Koesbardiati (2007) secara morfotipe
wajah dan kepala masyarakat Tengger memiliki ciri
protomolayid sebesar 90,8% dan ciri deutromalayid
sebesar 8,9%. Protomalayid hingga kini dapat ditemui di
wilayah Indonesia Timur dan beberapa pulau kecil di
Sumatera, sedangkan deutromalayid dapat ditemui di
Indonesia bagian barat seperti suku Jawa. Bila dilihat dari
cerita rakyat ataupun legenda masyarakat Tengger, mereka
memiliki nenek moyang berasal dari Majapahit. Penelitian
terkait identifikasi afiliasi kelompok rangka Kedaton menunjukkan memiliki kesamaan ciri dengan mongoloid
(Koesbardiati, 2016:61)
Penelitian somatologi menunjukkan adanya isolasi
yang terjadi pada masyarakat Tengger sehingga
menimbulkan perbedaan ciri-ciri dengan masyarakat di
sekitarnya. Namun dari perbandingan genetik dengan
temuan rangka Kedaton menunjukkan adanya similaritas
di antara keduanya. Maka dimungkinkan pada masyarakat
Tengger terjadi fenomena gene drift.
Wilayah Pegunungan Tengger dan masyarakatnya
tidak bisa terlepas dari masa-masa kerajaan HinduBuddha. Catatan sejarah tentang wilayah Tengger dan
masyarakatnya sudah ada sejak masa Mpu Sindok, dalam
prasasti Muncang yang dikeluarkan tahun 944 Masehi
disebutkan bahwa terdapat tanah perdikan yang
digunakan untuk pembangunan siddhayoga yaitu tempat
pemujaan kepada Sang Hyang Swayambhu (yang ada
dengan sendirinya) atau dewa Brahma di wilayah
Walandit. Prasasti yang menjelaskan tentang
penyembahan kepada penguasa kawasan Walandit
(Bhatara-i-Walandit) juga dijelaskan dalam prasasti Lingga
sutan yang dikeluarkan pada masa Mpu Sindok (Istari,
2015). Pada prasasti Penanjakan atau Walandit disebutkan
bahwa kawasan Walandit merupakan tempat tinggal para
abdi atau penyembah dewata sehingga kawasan
disekitarnya merupakan kawasan suci (hila-hila). Kerajaan
Majapahit saat itu dilarang menarik pajak titileman atau
pajak untuk upacara kenegaraan kepada masyarakat
kawasan Walandit. Pajak dibebaskan kepada masyarakat
Walandit karena mereka diwajibkan melaksanakan persembahan kepada dewa Brahma (dewa api) yang
bersemayam di Gunung Bromo di bulan Asada (Sutarto,
2006).
Prasasti-prasasti yang telah ditemukan
menunjukkan kawasan Walandit merupakan kawasan suci
sejak masa Mpu Sindok hingga masa Majapahit. Menurut
Sutarto (2006) wilayah Walandit terletak di kawasan
Pegunungan Tengger yang didiami oleh penganut SiwaBuddha. Bila ditarik ke masa sekarang Masyarakat Tengger
saat ini kebanyakan menganut agama Hindu Dharma.
Namun dengan mempertahankan beberapa upacaraupacara penghormatan kepada roh nenek moyang. Pada
upacara kematian masyarakat Tengger tidak mengenal
adanya ngaben atau kremasi. Keluarga yang telah
meninggal akan dikuburkan mirip seperti yang dilakukan
umat Islam. Begitupun juga ketika perayaan setelah
kematian terdapat upacara entas-entas (nyewu), upacara
ini dilaksanakan dengan membuat boneka mirip dengan
leluhur yang meninggal dan selanjutnya disucikan oleh
dukun dengan cara dibakar. Walaupun mereka telah
menganut agama Hindu Dharma, masyarakat Tengger
masih mempertahankan agama asli mereka yang
menghormati roh nenek moyang. Kepercayaan yang dianut
oleh masyarakat Tengger saat ini memiliki kemiripan
dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat ketika
masa Majapahit. Menurut Stutterheim (1930) dalam Kusen
et al. (1993:92) agama yang dianut ketika masa kerajaan
Majapahit adalah agama Siwa, Buddha, dan Karsyan tetapi
agama-agama ini kebanyakan dianut oleh para raja dan
bangsawan tetapi kebanyakan masyarakat menganut agama asli Jawa. Agama asli Jawa ketika itu menjadi
terpengaruh dengan adanya agama Siwa-Buddha.
Ketika Majapahit mengalami keruntuhannya di
abad 15 atau 16 keagamaan masa itu mengalami
perubahan. Agama Asli yang telah ada sebelumnya,
menjadi sangatlah menonjol. Agama asli yang berkembang
ketika itu mempercayai adanya roh-roh yang mendiami
alam semesta. Roh-roh yang dimaksud bisa berupa roh
nenek moyang, roh baik dan buruk. Namun karena adanya
pengaruh Hindu roh itu dipersonifikasikan menjadi dewadewa. Selain itu agama asli juga menjadikan gunung
sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang,
sehingga gunung menjadi tempat yang didewakan (Kusen
et al., 1993:97-99). Pada kepercayaan masyarakat Tengger,
Gunung Bromo menjadi pusat aktivitas mereka dalam
melaksanakan ibadah dan berbagai kegiatan. Di samping
itu Gunung Bromo dianggap sebagai tempat dewa Brahma
dan roh nenek moyang mereka bersemayam. Kepercayaan
masyarakat Tengger saat ini memperlihatkan kepercayaan
agama asli ketika masa-masa keruntuhan Majapahit.
Kawasan Walandit atau Pegunungan Tengger
diindikasikan merupakan tempat melaksanakan
wanasrama atau tapawana (kegiatan meninggalkan
kehidupan duniawi). Tempat pertapaan seperti ini
biasanya didiami oleh para resi ataupun penduduk yang
ingin mengasingkan diri. Tempat pertapaan atau mandala
ketika itu biasanya dipimpin oleh seorang siddhapandhita.
Menurut Soepomo (1977:67-68) aktivitas komunitas kecil
ini biasanya berada di sekitaran pegunungan dengan pusat
berada di puncak bukit (tunha nin acala). Wilayah sedikit kebawah dari puncak aktivitas biasanya digunakan oleh
para pertapa perempuan (ubwan) sedangkan tempat
tinggal para resi biasanya berada di lembah-lembah (lebaklebak) dekat dengan pegunungan ini. Tempat tinggal para
resi dan keluarganya menyatu menjadi suatu desa kecil
yang disebut dukuh. Selain itu para masyarakat
pegunungan ini biasanya mengonsumsi hasil bumi berupa
tanaman di ladang-ladang kering atau gogo. Penggambaran
yang dilakukan oleh Soepomo (1977) berdasarkan kitab
Arjunawijaya memperlihatkan kawasan pertapaan tidak
hanya berfungsi sebagai tempat pemujaan kepada dewa
atau kegiatan mengasingkan diri tetapi juga menjadi
kawasan permukiman kecil.
Kawasan Tengger berdasarkan prasasti dan
penggambaran sebagai tempat wanasrama, dulunya sudah
terdapat banyak penduduk yang hidup layaknya penduduk
lain di masa Majapahit ketika itu hanya saja mereka
mengabdikan hidupnya untuk dewata. Ketika Majapahit
mengalami keruntuhan, sebagian penduduk Majapahit
yang tidak mampu melanjutkan hingga ke Bali pergi
menuju Pegunungan Tengger yang dianggap suci. Alasan
mereka mengungsi ke Pegunungan Tengger disebabkan
karena kawasan ini memiliki geografis yang mumpuni
sebagai tempat pertahanan serta pengungsian dan
dimungkinkan terdapat keluarga dekat maupun jauh yang
sedang mengasingkan diri